PROLOG
Queenstown – Singapore, 1970 Apartemen setinggi ratusan kaki itu mustahil akan membuatnya mudah turun dan keluar. Dia ada di lantai paling atas. Bersama tiga nyawa yang telah hilang dengan beragam cara. Mereka tergeletak menodai lantai apartemen itu dengan darah. Miris rasanya saat melihat tiga mayat sekaligus berlumuran darah di sini saat dia sendiri justru hidup. Pembunuhan! Wanita itu memetakan pikiran ke masa belakang. Sejam yang lalu dia tidak di sini. Tidak di tempat ini. Dia bersama kedua orangtuanya. Masih dapat ia rasakan saat tangan kedua orangtuanya yang lembut membelai wajah dan sekeliling kepalanya. Sekarang? Tiba giliran baginya untuk membelai mayat orangtuanya yang mengenaskan. Kening Mama yang semula putih kini berubah menjadi merah. Darah segar mengalir keluar dari sana. Deras. Benturan di kepalanya yang begitu keras telah mematikan aliran darahnya. Begitupula Ayah. Laki – laki itu mengerang ketika timah panas menembus jantungnya dengan rasa sakit. Tentu wanita itu dapat membayangkan bagaimana sakitnya tertembak. Mungkin akan dua atau tiga kali lebih sakit dari pengalaman wanita itu kehilangan kaki karena kecelakaan itu. Buktinya Ayah mati. Dan darah. Satu – satunya hal
yang paling tidak pernah luput dari kematian adalah cairan ini. Wanita itu meringis ngilu. Semua yang menimpanya kini sudah jelas bagian dari penyiksaan. Dan ketika kedua orangtuanya telah pergi, apa mungkin bisa menghidupkan mereka kembali? Menangis sepanjang hidup, berdoa dalam kegelapan, menyalahkan Tuhan, atau memohon sambil menjerit histeris, nyatanya tidak akan bisa mengembalikan kedua orangtuanya kembali ke dunia ini. Kini dia sendiri, di dunia yang bahkan orang lain yang mengenalnya akan berpura – pura tidak mengenalnya – lantaran kecacatan tubuhnya. Satu – persatu orang – orang di sekitarnya mati, dan ia yakin pembunuhan ini bukan suatu kebetulan. Ada satu mayat lagi. Laki – laki itu. Bajingan gila itu tergeletak tepat di samping tempat tidurnya. Kematian laki – laki ini sungguh tidak membawa kesedihan sedikitpun pada benak wanita itu. Entah kenapa dia begitu senang dengan kematian laki – laki ini. Bahkan ia menyesal telah membiarkannya hidup dan membawa garis hitam pada dirinya. Pada Mama dan Ayahnya. Dan pada kekasihnya yang juga telah mati karena laki – laki itu. Semuanya karena laki – laki itu. Dulunya ia berpikir pernikahannya dengan laki – laki itu akan menjadi kehidupan yang lebih baik. Pada hari ini dia baru menyadari itu salah. Dan setelah semuanya terjadi. Laki – laki itu, mengapa dia harus diciptakan? Mengapa dia harus hidup? Mengapa dia merusak semua kehidupan dan kedamaianku? Mengapa penghancur ini diciptakan? Mengapa dia yang harus menjadi suamiku? Mengapa harus dia yang menikahiku? Mengapa harus aku yang terbuai akan kebaikan palsunya? Dan mengapa aku harus selalu 2
mempercayainya? Tidak! Dia tidak mau mengakui bahwa laki – laki itu adalah suaminya. Dia bukan manusia. Dia telah tahu laki – laki itu adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang salah. Sesuatu yang penuh kepalsuan. Laki – laki ini telah mencintainya dengan cara yang paling buruk. Yang dia kira murni, namun ternyata keruh. Wanita itu berkeringat seperti seorang pendosa di peradilan Tuhan. Dia sudah menjerit ratusan kali demi terbebas dari pembunuhan ini. Tiba – tiba dia takut pada tuduhan hukum meski kenyataan membuktikan bahwa dia tidak melakukan apa – apa. Jika polisi datang kesini, tentu dialah satu – satunya yang bisa menjelaskan kejadian siang ini. Dia akan dianggap sebagai saksi, menceritakan kalimat dengan kalimat bersama hal – hal lain yang ingin ia lupakan. Bila polisi tidak percaya, kemungkinan terburuknya dia akan dianggap terdakwa. Singapore masih memberlakukan hukuman mati untuk pembunuh. Keluar. Keluar. Keluar. Keberaniannya untuk kabur kini muncul. Dia harus turun ke lantai dasar, mencari jalan tersembunyi dimana orang – orang tidak akan melihatnya. Tapi sekali lagi itu mustahil. Dia tidak bisa melakukan apa – apa kecuali merayap. Kali ini tangan adalah kakinya. Tongkat kruk yang membantunya berjalan telah dilempar keluar jendela oleh laki – laki menjijikkan itu. Tubuhnya seakan tumbuh memendek oleh sebuah tragedi. Dia sadar kini kecepatannya tidak beda jauh dengan kecepatan siput. Dia akan selalu berada dalam posisi merayap bila tanpa tongkat. Dan itupun dilakukannya. Hanya sebidang tembok yang berhasil dia raih. Itupun takkan sanggup membuatnya berdiri apalagi membawanya keluar. Dia tidak tahu apa yang akan membuatnya nyaman untuk bergerak. 3
Apartemen ini terlalu tinggi. Jika dia ingin mati, dia pasti akan memperlakukan dirinya seperti halnya tongkat kruk yang sudah melayang jatuh ke rekahan trotoar. Dia sempat membayangkan seperti itu. Membayangkan ketika tubuhnya hancur kemudian orang – orang berkerumunan, dan dari atas malaikat akan melihatnya, seperti melihat ada lubang besar dan menyaksikan mayatnya. Tidak. Pasti ada cara lain. Ada jalan keluar. Akan kulakukan sebisaku meskipun pada akhirnya aku harus mati. Hanya satu sugesti yang berhasil ia redam demi kemampuannya mempertahankan hidup. Tidak ada lagi musuh disini sehingga tidak perlu lagi ada pembunuhan. Musuh itu telah mati bersama dengan kedua orangtuanya yang malang. Dia memajukan tangan demi tangan pada lantai dan membawa tubuhnya merayap. Tubuhnya yang ramping membuatnya ringan melakukan ini, namun tak berarti bahwa dia akan sukses sampai ke lantai dasar. Pasti akan ada oranglain yang menyaksikannya, yang disusul dengan kedatangan polisi. Dan dia pasti akan ditahan. Wanita itu mulai membuka pintu dan tenaganya setengah terkuras. Apartemen itu terlihat menegangkan ketika hanya ada tubuhnya yang bergerak merayap keluar ruangan. Dia berhasil keluar dari ruangannya. Lorong apartemen yang terlihat sepi membuatnya tenang. Para penghuni apartemen sialan ini tentusaja masih sibuk bekerja. Ketika petang datang mereka baru akan menyadari ada kehadiran mayat. Ada cucuran darah. Ada bau busuk jika mereka terlambat menyadari situasi ini. Dan pers akan sibuk bila hal semacam ini sampai tercium keluar.
4
Dia masih mengayunkan tangan demi tangan ke arah tangga. Berupaya sekuatnya, tapi tetap saja dia lelah. Dan pada akhirnya…. “Aaaaaaaaahhhh!!!!” Wajah wanita itu meredup ketika muncul suara teriakan itu. Ada orang. Ada yang menyaksikannya. Suara teriakan itu mendorongnya dari belakang. Membuat ia harus menoleh dan kalau perlu memberi isyarat pada orang yang barusaja berteriak untuk tutup mulut. Dia mendapati seorang anak perempuan kecil, berusia tujuh tahun berdiri lima meter di belakangnya. Anak seusia itu manabisa diajak tutup mulut. Ketika sesuatu yang mengerikan seperti dirinya terlihat, tentu anak itu akan mengadu ke orangtuanya sebagai perlindungan. Dan benar saja. Sebelum mengadu, bahkan sebelum dia sempat memberi isyarat, orang lain datang. Beberapa dari mereka adalah laki – laki bertubuh gempal. Mereka semua kini menyaksikan wanita itu. Jelas sudah akan ada tuduhan hukum yang bakal terjadi. Dugaannya terlalu dangkal. Orang – orang itu menghampirinya dan akan…. Oh, Tuhan….tolong jangan !!! *****
5