Indonesia, sebagai negara berkembang, dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa (http://www.m.republika.co.id), tercatat masih memiliki berbagai permasalahan
pada
berbagai
aspek
dalam
usahanya
meningkatkan
kesejahteraan. Salah satu permasalahan yang sangat penting adalah kurangnya layanan kesehatan, terutama layanan kesehatan jiwa, yang diterima oleh masyarakat. Kesehatan jiwa (Keswa) tidak dapat dipisahkan dengan kesehatan fisik. Menurut World Health Organization (WHO), seseorang dikatakan sehat apabila berada dalam kondisi sejahtera fisik, mental, dan sosial yang tidak sebatas bebas dari penyakit atau kecacatan (World Health Organization [WHO] & World Organization of Family Doctors [Wonca], 2008). Pentingnya permasalahan Keswa, yang selama ini belum banyak disadari manifestasinya pada kesejahteraan individu, keluarga, masyarakat, serta negara, saat ini menjadi fokus kajian Pemerintah Indonesia dan profesi terkait. Hal ini terkait tingginya prevalensi masalah Keswa yang tidak diikuti oleh ketersediaan kapasitas layanan Keswa, ketersediaan sumber daya Keswa, sehingga berujung pada kurangnya permasalahan Keswa yang tertangani. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 mencatat Indonesia memiliki prevalensi penduduk dengan gangguan jiwa berat sebesar 1,7 per mil, sedangkan penduduk dengan gangguan mental emosional adalah sebesar 6,0% (37.728 orang dari total subyek yang dianalisis). Data menunjukkan Provinsi DI Yoyakarta masuk ke dalam 5 besar prevalensi penduduk dengan gangguan emosional terbanyak yaitu berada dalam urutan ke 4 sebesar 8,1%. (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia [Kemenkes RI], 2013). Apabila prevalensi gangguan mental emosional di DI Yogyakarta 8,1% dari 3.456.604 jumlah penduduk DIY tahun 2010, maka sebanyak 279.985 penduduk yang tercatat mengalami gangguan mental
2
emosional. Data dari Sistem Informasi Kesehatan Mental (SIKM) on-line bulan Juli 2010 sampai Februari 2014, tercatat jumlah layanan psikologi pada Puskesmas Kota Yogyakarta adalah sebanyak 14.371 sesi (Centre of Public Mental Health [CPMH], 2014). Hal ini menunjukkan jumlah penduduk yang membutuhkan layanan Keswa tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang terlayani (treatment gap). Kesenjangan pengobatan (treatment gap) pada permasalahan Keswa disebabkan oleh 4 faktor, antara lain (1) faktor pasien yang kurang mengenali simptom gangguan mental karena lebih fokus pada simptom gangguan fisik, (2) faktor tenaga layanan yang memiliki keterampilan yang terbatas, (3) faktor sistem kesehatan (Kurangnya fasilitas dan jumlah sumber daya manusia), dan (4) faktor lingkungan dan sosial (WHO & Wonca, 2008). Hal lain yang menjadi penyebab treatment gap adalah permasalahan Keswa tidak secara adekuat berada pada seting
layanan
kesehatan
primer.
Berdasarkan
prevalensi
yang
ada,
permasalahan Keswa pada seting pelayanan kesehatan primer sangat sering tidak terdiagnosis, tidak tertangani, atau berada dibawah jumlah yang harus ditangani. Tampak bahwa pengenalan penyedia pelayanan kesehatan primer pada permasalahan Keswa masih sangat rendah. Hal ini disebabkan karena kurangnya kemampuan tenaga keswa serta instrumen untuk deteksi dini permasalahan Keswa terutama dalam seting pelayanan kesehatan klinis. (http://www.nami.org) Saat ini Indonesia tercatat memiliki 32 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) milik pemerintah dan 16 RSJ swasta yang terletak hanya pada 25 propinsi. Selain RSJ, tersedia sekitar 2 persen dari 1.678 Rumah Sakit Umum (RSU) yang memiliki layanan Keswa. Pada rumah sakit umum daerah milik pemerintah
3
kabupaten/kota, hanya 15 dari 441 rumah sakit yang memiliki layanan psikiatri. Kondisi serupa juga terjadi pada puskesmas, yaitu hanya 1.235 dari sekitar 9.000 puskesmas yang memberikan layanan Keswa (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2012). Selain jumlah pusat layanan yang terbatas, lokasi pusat layanan juga menjadi faktor penghambat masyarakat untuk mengakses layanan Keswa yang berperan pula pada tingginya kesenjangan pengobatan. RSJ, yang terletak di ibukota provinsi, menyulitkan akses masyarakat yang tinggal diluar ibukota provinsi untuk mendapatkan layanan. RSU Kabupaten/Kota dan Puskesmas relatif mudah diakses oleh masyarakat, namun layanan jiwa nyaris tidak tersedia pada Puskesmas di daerah-daerah kecuali beberapa Puskesmas di Aceh dan Pulau Jawa. Selain pusat layanan yang terbatas, fasilitas berupa ketersedian obat-obatan dan alat-alat diagnostika keswa juga sangat terbatas (DPR RI, 2012). Terbatasnya pusat layanan Keswa tidak dapat dipungkiri terkait pula dengan terbatasnya tenaga Keswa di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2011, jumlah psikiater atau dokter spesialis kesehatan jiwa hanya ada 600 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia saat itu, yaitu sekitar 241 juta jiwa, berarti 2,49 psikiater dialokasikan untuk menangani 1 juta penduduk. Demikian pula dengan 365 orang tenaga psikolog klinis yang tersedia, perbandingan menunjukkan 1,51 psikolog klinis dialokasikan untuk menangani 1 juta penduduk. Hasil observasi langsung yang dilakukan tim penyusun naskah akademik RUU Kesehatan Jiwa menunjukkan bahwa dari 600 orang tenaga psikiater, sekitar dua pertiganya berada di pulau Jawa dan selebihnya tersebar
4
diseluruh Indonesia yang mana setengah dari jumlah psikiater yang ada di Pulau Jawa berada di Jakarta. (DPR RI, 2012) Selain berdasarkan kuantitas, kualitas tenaga Keswa, khususnya pada layanan primer yang jangkauan pelayanannya lebih luas, juga memberikan peranan penting dalam penanganan masalah Keswa (DPR RI, 2012). Penelitian di Taiwan yang dilakukan oleh Liu, Mann, Cheng, Tjung, dan Hwang (2004) menunjukkan bahwa dokter umum melewatkan lebih dari 85% kasus yang teridentifikasi gangguan mental. Selain itu, tampak pula bahwa dokter umum melakukan identifikasi gangguan mental umum dengan lebih baik pada orangorang dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi, tanpa penyakit fisik, menunjukkan kondisi psikologis atau atribusi, menderita gangguan mental yang lebih serius, atau memiliki durasi penyakit yang lebih lama. Kurangnya sensitifitas tenaga layanan Keswa dapat menjadi salah satu penyebab gangguan mental emosional gagal teridentifikasi hingga terjadi kesenjangan pengobatan. Fakta mengenai berbagai keterbatasan layanan Keswa di Indonesia menjadi penting untuk ditindaklanjuti mengingat berkembangnya suatu negara tidak dapat dilepaskan dari terjadinya berbagai perubahan dalam setiap aspek kehidupan warganya, pada masa yang akan datang. Perubahan hidup yang ada akan menuntut seseorang untuk dapat menyesuaikan diri dan oleh karenanya perubahan hidup dipandang berpotensi menimbulkan stres (sumber stres) (Butcher, Mineka, & Hooley, 2013; Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Stresorstresor dalam kehidupan memediasi hubungan antara status sosial-ekonomi serta demografis dengan Keswa (Businelle, Mills, Chartier, Kendzor, Reingle, Shuval, 2013). Stres yang berlangsung sangat kuat dan dan lama dapat melebihi batas kemampuan seseorang untuk mengatasinya sehingga terjadi distres
5
emosional seperti depresi dan kecemasan, atau keluhan fisik seperti kelelahan dan sakit kepala. Respon stres yang maladaptif, seperti reaksi emosional yang berlebihan atau hendaya dalam fungsi sosial, seringkali menjadi penyebab terjadinya gangguan mental dalam diri seseorang (Nevid dkk., 2005). Stres karena adanya berbagai perubahan dalam hidup (Passer & Smith, 2007; Huling, Baccaglini, Choquette, Feinn, & Lalla, 2012; Raveesh & Shashidhara, 2014), dan kondisi mental seseorang dipandang memiliki keterkaitan dengan masalah fisik yang terjadi (Sanna, Stuart, Pasco, Kotowicz, Berk, Girardi, Brennan, & Williams, 2013). Stres jangka panjang yang menimbulkan adanya respon psikologis dapat secara langsung membahayakan sistem tubuh yang lain. Sekresi hormon-hormon sebagai respon stres mempengaruhi aktivitas jantung, sekresi berlebih dapat merusak pembuluh arteri (Passer & Smith, 2007) dan menyebabkan kerusakan pada seluruh tubuh termasuk menekan kemampuan system kekebalan tubuh untuk melindungi diri (Nevid dkk.,2005). Berbagai emosi negatif yang muncul akibat adanya stres, berhubungan dengan performansi kesehatan yang buruk (Kiecolt-Glaser, McGuire, Robles, & Glaser, 2002). Berbagai stresor dalam kehidupan seperti tidak memiliki pekerjaan dalam waktu yang lama, perceraian juga mempengaruhi sistem kekebalan yang seharusnya digunakan untuk melindungi tubuh dari infeksi dan penyakit (O’Leary, 1990). Oleh sebab itu, stresor psikososial yang berkontribusi atau berakibat pada munculnya gangguan dalam diri seseorang memiliki peran dalam sistem diagnosis multiaksial aksis IV. Serupa dengan stres, gangguan mental emosional yang lebih kompleks (seperti depresi atau gangguan kecemasan menyeluruh) juga menampakkan adanya respon-respon atau gejala fisik (Pluess, Conrad, Wilhelm, 2008).
6
Keterkaitan
antara
kondisi
psikologis
seseorang
dengan
kondisi
fisik
menimbulkan bias antara gangguan fisik yang terjadi akibat permasalahan psikologis dengan gangguan yang benar-benar karena sakit fisik. Hal ini berpotensi pada minimnya gangguan mental emosional teridentifikasi karena biasanya orang dengan gangguan ini datang ke layanan kesehatan primer dengan keluhan fisik. Akibatnya penanganan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya diperlukan (Kohn, Saxena, Levav, & Saraceno, 2004). Tidak ditanganinya gangguan mental emosional secara tepat akan menyebabkan meningkatnya disabilitas yang berpengaruh pada indeks pembangunan manusia dan kemampuan daya saing bangsa Indonesia (DPR RI, 2012). Pada dasarnya, gangguan fisik akibat gangguan mental emosional dengan akibat sakit fisik akan dapat dibedakan apabila dilakukan asesmen mendalam dan rinci mengenai onset, pemicu, serta penyebab gangguan, dan untuk melakukannya dibutuhkan waktu lebih ketika pemeriksaan (time consuming) (Fitzgerald, Galyer, & Ryan, 2009; WHO & Wonca, 2008). Hal ini menjadi tidak efisien mengingat banyaknya jumlah pasien tidak sebanding dengan banyaknya petugas pelayanan yang tersedia. Selain itu, keterampilan ujung tombak petugas layanan primer dalam mendeteksi juga berperan penting pada proses identifikasi ada atau tidaknya gangguan mental emosional. Alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan identifikasi permasalahan Keswa salah satunya adalah dengan dengan menyusun sebuah instrumen atau alat deteksi yang mampu memprediksi kemungkinan adanya gangguan. Penggunaan instrumen deteksi yang tervalidasi dalam memprediksi peluang munculnya gangguan akan memberikan gambaran awal kemungkinan terjadinya gangguan dalam diri seseorang sehingga harapannya gangguan dapat teridentifikasi lebih cepat.
7
Gangguan yang telah teridentifikasi memiliki peluang lebih besar untuk ditegakkan diagnosis dan diberikan tritmen atasnya. Terkait dengan stres, sebagai akibat dari perubahan dalam kehidupan dan erat hubungannya dengan kemungkinan seseorang mengalami gangguan mental emosional, Recent Life Changes Questionnaire (RLCQ) merupakan instrumen deteksi dini yang sesuai untuk dapat divalidasi sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai prediktor gangguan. Sebagai instrumen deteksi dini, RLCQ diharapkan mampu menjaring sebanyak-banyaknya indikasi gangguan mental yang diakibatkan oleh paparan stresor, sejalan dengan tujuan dari deteksi dini itu sendiri. Instrumen deteksi dini diperuntukkan sebagai peringatan awal (early warning) terhadap sumber permasalahan munculnya gangguan agar langkah preventif guna menurunkan prevalensi dari suatu gangguan sedini mungkin dapat dilakukan. Berdasarkan Patient-Reported Outcome and Quality of Life Instruments Database (PROQOLID), RLCQ merupakan instrumen asesmen yang telah banyak digunakan secara internasional dan telah diadaptasi di beberapa negara (Arias, Rodríguez, Padilla, González, & Rodríguez, 1999; http://www.proqolid.org; Sobolewski, Strelau, & Zawadzki, 2001). RLCQ telah digunakan pada berbagai studi retrospektif otopsi psikologis yang mengkaji faktor penentu perilaku bunuh diri warga Rusia di Estonia (Kõlves, Sisask, Anion, Samm, & Värnik, 2006), di Tallinn, dan Frankurt (Kõlves, Värnik, Schneider, Fritze, Allik, 2006). Penggunaan RLCQ pada studi prospektif untuk melihat kemungkinan Life Change Unit memprediksi kekambuhan penyakit pada wanita dengan Multiple Sclerosis, juga terbukti efektif (Mitsonis, Zervas, Mitropoulos, Dimopoulos, Soldatos, Potagas, & Sfagos, 2008). RLCQ kerap digunakan untuk mengumpulkan informasi mengenai perubahan-perubahan
8
hidup saat ini dan hubungan antara stres dengan gangguan fisik (Yeh, Lee, Chen, Chen, Yao, Yang, Chiu, & Lu, 2009). RLCQ
terdiri
dari
74
aitem
peristiwa-peristiwa
kehidupan
yang
dikembangkan dari 43 aitem peristiwa kehidupan pada Social Readjusment Rating Scale (SRRS) milik Holmes dan Rahe. 74 aitem peristiwa kehidupan diklasifikasikan dalam 5 kategori yaitu pekerjaan (16 aitem), rumah dan keluarga (27 aitem), kesehatan (6 aitem), pribadi dan sosial (18 aitem), keuangan (7 aitem) (Loretz, 2005). Cara pengisian RLCQ dilakukan dengan memberikan tanda centang (✔) pada pilihan jawaban “ya” atau “tidak” sesuai dengan peristiwa kehidupan yang dialami atau tidak dialami selama enam bulan terakhir. Tiap-tiap aitem memiliki bobot stres atau Life Change Unit (LCU) yang berbeda. Bobot stres atau LCU seseorang didapatkan dari jumlah total LCU aitem-aitem yang dialami atau yang diberi tanda centang “ya”. Adapun kategorisasi kuantifikasi LCU terhadap risiko mengalami penyakit, yaitu 0-125 tergolong rendah, 126-200 tergolong sedang, 201-300 tergolong riskan, >300 tergolong tinggi (Loretz, 2005). RLCQ memiliki koefisien reliabilitas tes-retes 0,84 (Pearson & Long, 1985). Terdapat perbedaan koefisien reliabilitas tes-retes RLCQ berdasar periode waktu dimana koefisien reliabilitas tes-retes 0,87-0,90 dalam 1 minggu atau seterusnya, dan 0,55-0,70 dalam 6-9 bulan. RLCQ memiliki validitas berkisar antara 0,50-0,75 dalam lebih dari 1 atau 2 tahun sebelum instrumen digunakan/diberikan (CMHSR, 2008). Adapun gangguan yang akan dijadikan kriteria untuk diprediksi adalah gangguan
cemas
menyeluruh
(GCM).
GCM
adalah
kecemasan
atau
kekhawatiran yang berlebihan dan tidak rasional yang menyebar secara kronis (free-floating/mengambang), serta tidak terikat pada situasi/objek spesifik -
9
menyebar pada berbagai aspek kehidupan (Passer & Smith, 2007; Butcher dkk., 2013), yang memiliki karakteristik spesifik seperti adanya physical arousal (berkeringat, jantung berdebar-debar, sesak nafas, keluhan lambung, sakit kepala, mulut kering, gemetaran, dll), distres kognitif/subjektif, dan perilaku menghindar pada objek/situasi/kejadian yang ditakuti (Beidel, Bulik, & Stanley, 2012). GCM dipilih karena memiliki tingkat prevalensi yang tinggi pada pusat layanan primer di Provinsi Yogyakarta. Berdasarkan data Sistem Informasi Kesehatan Mental (SIKM) on-line bulan Juli 2010 sampai Februari 2014, tercatat jumlah layanan psikologi pada Puskesmas Kota Yogyakarta adalah sebanyak 14.371 sesi. 181 sesi dari jumlah sesi pelayanan tersebut (1,26%) merupakan sesi layanan psikologi dengan masalah GCM. Pada Puskesmas Kabupaten Sleman Yogyakarta tercatat 136 sesi dari 9.898 total layanan psikologi, atau sebesar 1,37%, merupakan sesi layanan psikologi dengan masalah GCM. Data rekapitulasi diagnosa layanan psikologi pada Puskesmas Kota Yogyakarta periode 1 Juli 2010 – 6 Maret 2014 menunjukkan bahwa GCM memasuki peringkat 5 besar Aksis I dan Diagnosis Banding Aksis I (Aksis I-DB) pada 1 dari total 18 puskesmas. (CPMH, 2014). Selain itu, data WHO (2004) menyatakan bahwa GCM merupakan salah satu gangguan jiwa yang memiliki prevalensi tritmen gap yang tinggi yaitu sebesar 57,5% (Kohn, Saxena, Levav, & Saraceno, 2004). Beberapa penelitian juga menunjukkan keterkaitan antara stres yang dialami dalam kejadian kehidupan dengan kecemasan. Hasil penelitian Allen, Rapee, dan Sandberg (2008) menunjukkan bahwa tingkatan stresor parah dan stresor kronis, dapat menjadi risiko untuk episode kecemasan yang akan datang
10
pada anak-anak. Temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Espejo, Hammen, dan Brennan (2011) yang menyatakan peningkatan penilaian akan dampak negatif dari kejadian-kejadian dalam kehidupan merupakan faktor predisposisi
untuk
depresi
dan
gangguan
kecemasan
dan
dapat
merepresentasikan faktor risiko spesifik untuk komorbiditas depresi dan kecemasan pada pertengahan masa remaja dan masa dewasa awal. Penelitian lain menunjukkan keterkaitan yang signifikan antara kecemasan dengan stressfull life event (McLaughlin & Hatzenbuehler, 2009; Kendler, Hettema, Butera, Gardner, & Prescott, 2003; Hong, Biao, Hui, Yan, & Xi, 2011) akibat permasalahan sosial dan pribadi (Liu, Oda, Peng, & Asai, 1997), dengan intensitas mengalami mimpi buruk (Nadorff, Porter, Rhoades, Greisinger, Kunik, & Stanley, 2013), dan dengan kondisi sosioekonomi tertentu (Ansseau, Fischler, Dierick, Albert, Leyman, Mignon, 2007). Validasi RLCQ dilakukan dengan menggunakan salah satu macam validitas berdasar kriteria yaitu validitas prediktif. Validitas kriteria didapatkan dengan mencari korelasi antara alat ukur yang dievaluasi dengan beberapa alat ukur lainnya yang independen dan terpercaya atau klasifikasi dari konsep yang sama (Sturgis, Thomas, Purdon, Bridgewood, & Dodd, n.d.). Stuart-Hamilton (2007) mendefinisikan validitas prediktif sebagai suatu tingkat yang mana skor tes memprediksi perilaku atau kinerja partisipan di masa depan. Alat ukur lain yang akan digunakan sebagai gold standart adalah Structured Clinical Interview for DSM-IV Axis I (SCID-I). Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian sejauh mana Stressful Life Event (SLE) dalam RLCQ berkaitan dengan GCM. Hipotesis yang ingin dibuktikan dalam penelitian ini
11
adalah RLCQ memiliki daya prediksi terhadap GCM. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memperkaya kajian ilmu psikologi terkait SLE dan GCM dan memberikan sumbangsih pada pengembangan instrumen di setting klinis. Selain manfaat teoritis, penelitian ini juga memiliki manfaat praktis yaitu meningkatkan sensitivitas sumber daya Keswa dalam proses asesmen GCM pada pasien di layanan kesehatan. Hal ini dapat berguna untuk tindakan preventif, yaitu mengenali kondisi atau situasi yang dapat memicu gangguan, dan kuratif, yaitu menangani gangguan dengan segera.
12