BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Melalui pendidikan, manusia dapat mengembangkan hidup ke arah yang lebih positif dalam berbagai aspek, seperti misalnya meningkatkan kemampuan ekonomi, menambah wawasan dan pengetahuan, melebarkan cara berpikir, membuka diri terhadap perubahan, dan membangun budaya dan karakter. Pentingnya pendidikan juga diatur dalam UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yang menyatakan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab. Menyadari pentingnya pendidikan dan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasar UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 diatas, pada dasarnya kejujuran termasuk dalam satu bagian dalam proses pelaksanaan pendidikan. Namun kenyataannya, ketidakjujuran masih banyak mewarnai proses pelaksanaan pendidikan. Berbagai kasus ketidakjujuran, khususnya menyontek, dengan mudah dan sangat banyak ditemukan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai jenjang perguruan tinggi. Sebagai contoh, siswa di sebuah Sekolah Dasar di kawasan Srengseng, Jakarta Barat, telah memiliki jawaban ujian nasional dan membawa
1
2 kunci jawaban tersebut ke dalam ruang ujian. Siswa tersebut lebih memilih menyontek daripada melihat kunci jawaban yang dibawa dengan alasan takut diketahui oleh pengawas (Setiawan, 2014). Selanjutnya, salah satu siswa Sekolah Menengah Kejuruan di kawasan Jakarta Timur dapat dengan mudah mengerjakan soal ujian karena sudah menerima bocoran kunci jawaban (Aprillatu, 2013). Kasus lain yang terjadi di Bone, Sulawesi Selatan, dua peserta ujian nasional diamankan oleh polisi karena diketahui menyontek dengan melihat dan kemudian menyalin jawaban dari dalam pesan singkat di telepon selular mereka (Rimawan, 2012). Beberapa contoh kasus menyontek diatas menunjukkan keadaan yang sangat memprihatinkan. Hal tersebut lebih diperparah dengan sikap sekolah sebagai penyelenggara pendidikan yang seringkali melakukan pembiaran dan bahkan mendukung ketidakjujuran dalam pendidikan untuk dilakukan. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, seorang siswa dipaksa oleh kepala sekolah untuk saling menyontek dengan siswa lainnya saat ujian nasional berlangsung, parahnya, guru justru membuat perjanjian untuk tidak membocorkan aksi contek-menyontek tersebut kepada siapapun (Malau & Aquina, 2011). Kasus lain terjadi di Tandes, Surabaya. Seorang siswa yang pintar dipaksa untuk mengerjakan soal dan kemudian membagikan jawaban ke teman-temannya dengan perintah guru. Bahkan, pihak sekolah sudah melakukan percobaan untuk melakukan aksi menyontek masal (Maradona, 2011). Penelitian tentang menyontek yang pernah dilakukan di sebuah universitas di Kentucky, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa selama proses perkuliahan, 118 mahasiswa pernah menyontek dan melakukan berbagai kecurangan antara lain menyalin jawaban dari teman dan tanpa sepengetahuan, menyalin jawaban dari teman dengan sepengetahuan, menggunakan catatan yang dilarang dalam ujian,
3 menerima pertanyaan atau jawaban dari teman yang sudah melakukan ujian, membantu teman dalam mengerjakan ujian, berbagi catatan dari ujian take-home, dan memposisikan lembar jawaban sedemikian rupa sehingga teman dapat dengan mudah melihat jawaban (Robinson, Amburgey, Swank, & Faulkner, 2004). Klein, Levenburg, McKendall, dan Mothersell (2007) melakukan penelitian pada 268 mahasiswa dan menemukan 86% siswa menyontek selama mengikuti proses perkuliahan. Penelitian lain mengenai menyontek yang dilakukan dengan survey kepada 158 mahasiswa jurusan bisnis, menyatakan bahwa paling tidak 60% siswa pernah menyontek setidaknya satu kali selama mengikuti proses perkuliahan (Simkin & McLeod, 2010). Berdasarkan beberapa kasus dan penelitian yang telah diuraikan, pada dasarnya melakukan kecurangan, khususnya
menyontek,
merupakan sebuah kesalahan yang tidak boleh terjadi dan dibiarkan, atau bahkan didukung. Hal tersebut harus dipahami dengan cara berpikir bahwa menyontek menjadi perilaku yang dilarang karena merupakan sebuah kesalahan, dan bukan sebaliknya (Bouville, 2010). Menyontek merupakan sebuah kesalahan, maka dari itu menyontek menimbulkan ketidakadilan dan kerugian dalam proses pendidikan. Pertama, pada dasarnya kemampuan siswa dapat diukur dengan nilai yang diperoleh, demikian pula sebaliknya, nilai menunjukkan kemampuan dan pemahaman siswa. Akan tetapi, nilai yang diperoleh dengan menyontek tidak akan mampu menjadi prediktor yang baik untuk melihat kemampuan dan pemahaman siswa. Dengan semikian, ketika nilai tidak menunjukkan kualitas siswa, maka keputusan yang diambil berdasarkan nilai tersebut akan menjadi keputusan yang buruk (Bouville, 2010). Keputusan yang buruk menjadi kerugian yang akan sangat dirasakan khususnya pada siswa yang tidak melakukan kecurangan atau menyontek ketika menggunakan
4 nilai dan bersaing dalam proses seleksi dan semacamnya. Kedua, menyontek membuat guru tidak mampu memberikan umpan balik yang sesuai dan relevan dengan keadaan siswa (Bouville, 2010). Ketiga, kerugian terbesar yang seringkali tidak disadari oleh siswa yang melakukan kecurangan atau menyontek adalah siswa tidak akan mempelajari hal-hal yang seharusnya dipelajari ketika mengerjakan tugas atau ujian dengan tidak menyontek (Bouville, 2010). Meskipun menyontek menimbulkan berbagai ketidakadilan dan kerugian, menyontek tetap sering dilakukan oleh siswa. Pertama, menurut penelitian yang dilakukan Simkin & McLeod (2010), alasan yang paling penting untuk menyontek atau melakukan kecurangan adalah keinginan untuk maju (desire to get ahead). Kemudian, ketika siswa memiliki pemikiran bahwa kemenangan adalah segalanya (winning is everything), maka melakukan kecurangan atau menyontek dengan mudah menjadi cara untuk mengejar tujuan tersebut (Simkin & McLeod, 2010). Kedua, alasan siswa untuk menyontek adalah pemikiran siswa mengenai seberapa penting tugas atau ujian yang akan dilakukan. Ketika tugas dan ujian dirasa tidak penting, maka siswa cenderung untuk menyontek (Cole & Kiss dalam Bouville, 2010). Hal yang sebaliknya terjadi ketika siswa mengagumi dan menghormati guru, dan senang dengan apa yang sedang dipelajari, maka siswa cenderung tidak akan menyontek (Cole & Kiss dalam Bouville, 2010). Ketiga, alasan lain penyebab kecurangan atau menyontek adalah sering kali pendidikan yang diselenggarakan hanya mementingkan nilai akhir dan kurang memperhatikan proses (Whitley, 1998). Dengan demikian, ketika nilai menjadi tujuan akhir, siswa lebih memilih untuk curang dan menyontek. Tujuan siswa dalam menjalani pendidikan seakanakan hanya sebatas untuk mendapat nilai yang baik di setiap mata pelajaran sementara proses bagaimana siswa mendapat nilai menjadi hal yang tidak terlalu
5 diperhatikan, khususnya oleh penyelenggara pendidikan. Hal keempat, siswa sering kali merasa tidak yakin dan tidak percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki sehingga siswa lebih memilih bertanya kepada teman, membawa catatan-catatan yang tidak diperbolehkan, dan berbagai kecurangan lain ketika mengerjakan ujian (Robinson, Amburgey, Swank, & Faulkner, 2004). Berdasarkan uraian diatas, penyebab siswa untuk menyontek mengarah pada orientasi tujuan, khususnya orientasi tujuan penguasaan siswa dalam belajar dan efikasi diri siswa. Pertama, kecenderungan untuk menyontek akan muncul ketika keinginan siswa untuk menang (winning is everything) dan keinginan untuk maju atau menjadi yang terdepan (desire to get ahead) tidak diimbangi dengan keinginan untuk menguasai materi. Kedua, penting tidaknya tugas yang diberikan kepada siswa pada dasarnya harus dikerjakan untuk semakin memperkuat penguasaan materi. Ketiga, penelitian mengenai faktor-faktor perilaku menyontek yang pernah dilakukan menyatakan bahwa siswa yang hanya menginginkan nilai cenderung akan menyontek, sedangkan siswa yang menginginkan pengetahuan akan cenderung menghindari menyontek (Whitley, 1998). Oleh karena itu, orientasi tujuan nilai harus diimbangi dengan orientasi tujuan penguasaan. Keempat, pada dasarnya salah satu sumber kepercayaan diri seseorang, atau dalam konteks ini adalah efikasi diri adalah pengalaman (mastery experiences) (Bandura, 1997). Berkaitan dengan efikasi diri, penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa kepercayaan diri tentang kemampuan akademis sedikit berasosiasi dengan perilaku menyontek saat ujian (Robinson, Amburgey, Swank, & Faulkner, 2004). Dengan demikian, efikasi diri akan erat kaitannya dengan orientasi tujuan penguasaan. Berdasarkan segala kesenjangan yang terjadi dalam proses pelaksanaan pendidikan, khususnya perilaku menyontek, maka perlu dan penting untuk
6 dilakukan penelitian dengan judul “Orientasi Tujuan Penguasaan dan Efikasi Diri sebagai Prediktor Perilaku Menyontek pada Siswa SMA N 1 Jogonalan Klaten”. Penelitian yang dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, khususnya dalam hal subjek penelitian. Variabel prediktor yang digunakan adalah orientasi tujuan penguasaan dan efikasi diri, dengan satu variabel kriterium yaitu perilaku menyontek pada siswa SMA.
B. Rumusan Masalah Penelitian Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah orientasi tujuan penguasaan dan efikasi diri dapat menjadi prediktor perilaku menyontek pada siswa SMA N 1 Jogonalan Klaten?”
C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menguji apakah orientasi tujuan penguasaan dan efikasi diri dapat menjadi prediktor perilaku menyontek pada siswa SMA N 1 Jogonalan Klaten.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memperkaya kajian penelitian tentang peran orientasi tujuan penguasaan dan efikasi diri sebagai prediktor perilaku menyontek pada siswa SMA. 2. Bagi pihak sekolah dan tenaga pendidik, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam rangka pengembangan penyelenggaraan pendidikan. Ketika perilaku menyontek dapat diprediksi oleh orientasi tujuan penguasaan dan efikasi diri, maka pihak sekolah dan tenaga pendidik dapat memanfaatkan
7 dua variabel dalam penelitian ini untuk mengatasi perilaku menyontek yang sering muncul pada siswa SMA. 3. Bagi keluarga siswa, penelitian ini diharapkan akan memberikan tambahan pengetahuan tentang peran orientasi tujuan penguasaan dan efikasi diri yang pada akhirnya dapat digunakan untuk membantu keluarga siswa dalam mengarahkan siswa untuk berperilaku jujur dalam menjalani proses pendidikan di sekolah. 4. Bagi siswa, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tambahan tentang peran orientasi tujuan penguasaan dan efikasi diri sebagai prediktor perilaku menyontek, serta bagaimana perilaku menyontek seharusnya dihindari. 5. Bagi masyarakat luas, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan tentang peran orientasi tujuan penguasaan dan efikasi diri sebagai prediktor perilaku menyontek pada siswa SMA.