Nr. 52, November 2015
Women'sLetter Letter
Women's Letter adalah alat Untuk saling berbagi dan Menguatkan Mission 21 Women's Network
Artikel, esei dan refleksi tentang
«KAUM PEREMPUAN MEMBUAT SEJARAH – dan mempunyai cerita untuk ditutur» Konferensi Kaum Perempuan Internasional dan Perayaan ula ng tahun ke-200 Basel Mission Ditulis oleh kaum perempuan di Afrika, Eropa, Amerika Latin, dan Asia.
Editor
Mission 21 Mission Basel Protestan Biro Perempuan dan Missionsstrasse 21 P.O. Box 270 4009 Basel Telephone: +41 61 260 21 20 Telex: +41 61 260 21 22 Web: www.mission-21.org www.m21-womengender.org Women's Letter diterbitkan sekali setahun. Dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Indonesia, dan Spanyol.
Editor
Josefina Hurtado Neira Telephone: +41 61 260 22 79
[email protected]
Pembantu Editor
Susan Cabezas Cartes
Terjemahan
Alan Mackern Shabnam Edith Barth
Baca proof
Ruth Bradley
Tataletak
Samuel Heller
Donasi
IBAN: CH 58 0900 0000 4072 6233 2 Project Nr. 840.1005
Foto
Foto kelompok, Konferensi Kaum Perempuan Internastiona, Basel, Juni 2015 Oleh Pino Covino
2
Daftar Isi Dari meja redaksi
Josefina Hurtado Neira.......................................... 3 Decolonising Minds: Tantangan bagi Missi Sekarang ini
Silvia Regina de Lima Silva..................................... 5 Jaringan melawan Penjualan Manusia: Tantangan bagi Gereja-gereja dan Organisasion-organisasi
Lucy Kumala.........................................................7 Kepemimpinan dalam Konteks Kekerasan Politik
Suzan Mark Zira ................................................... 9 Istri Missionaris
Pia Müller........................................................... 11 Menemukan Kehidupan Sehari-hari di dalam Arsip
Claudia Wirthlin..................................................12 Politik Menjahit
Roberta Bacic...................................................... 13 Alat untuk Refleksi dan Transformasi
Kaum perempuan Women, Bagaikan Mutiara yang berharga dan berwarna Rut dan Naomi, Kaum Perempuan Menulis Sejarah 15 Ruang Info
Gereja Moravia di Konferensi Kaum Perempuan Tanzania Aksi-aksi Solidaritas untuk para Korban Boko Haram Blog Kaum Perempuan dan Gender Blog baru: Weaving Networks in Latin America Order Form.........................................................16
Dari meja redaksi Yang kekasih pembaca
Apa yang kita pahami mengenai ‘missi’ sekarang ini? Siapa yang menjadi pusat perhatian kita? Metode-metode apa yang bisa kita gunakan agar upaya berbagi pengalaman menjadi lebih mudah, sambil tetap bisa mendengar kemungkinan pendapat dan praktek yang berbedabeda? Alat-alat apa yang ada pada kita agar dengannya kita bisa slaing mendukung satu sama lain manakala kita bergumul dan berjuang untuk suatu kondisi kehidupan yang utuh? Pertanyaan-pertanyaan ini mengemuka baik pada waktu persiapan-persiapan dan kemudian berlanjut lagi dalam sessi-sessi dari Konferensi Internasional: Kaum Perempuan Membuat Sejarah dan Mempunyai Cerita untuk Dituturkan, yang diadakan di Basel pada tanggal 8 Juni 2015. Lebih dari pada 120 orang yang menghadiri peristiwa ini. Mereka berefleksi tentang isu-isu yang mempersatukan kita sekarang ini dan memperkuat ikatanikatan komitmen dan kerja mereka. Kami berharap, Women’s Letter ini akan melanjutkan refleksi-refleksi tersebut dan mendorong keringinan mereka untuk bekerja bersama. Silvia Regina de Lima Silva, Koordinator Umum dari Majelis Kontinental Amerika Latin, memvisualisasikan peran missi sebagai bagian dari pembentukan terhadap pribadi-pribadi yang merdeka dan kritis yang memang berkomitmen untuk melakukan transformasi sosial. Lucy Kumala, Koordinator Jaringan Kaum Perempuan Asia, bercerita kepada kita tentang kemajuan yang diraih dalam upaya membangunkan kesadaran gereja-gereja terhadap masalah-masalah seputar jual beli manusia. Suzan Mark, koordinator Jaringan Kaum perempuan Afrika, memaparkan tentang situasi kritis di Nigeria dan pekerjaannya sendiri menangani ppara pengungsi sebagai akibat dari serangan-serangan Boko Haram. Dalam konteks ini, Mission 21 menyatakan kepe-
duliannya terhadap gereja-gereja dan organisasi-organisasi yang harus mengalami penganiayaan/penghambatan karena alasan-alasan politis dan agamawi. Kampanye solidaritas terhadap Nigeria sudah dimulai dan organisasi-organisasi berbasis iman yang berbeda hadir juga di konferensi itu dan ikut mengambil bagian dalam langkah awal upaya ini. Pia Müller, Sekretaris dari Dewan Missi Basel, mengingatkan kita semua mengenai asal mula lembaga missioner ini dan situasi serta kondisi kaum perempuan berkulit hitam pada masa dulu. Ia mengajak kita sekalian untuk mengadakan penelitian mengenai kompleksitas hidup yang dialami oleh kaum istri-istri para missionaris.Ia bercerita tentang keberanian mereka. Juag diceritakan tentang kontribusi dan kreatifitas mereka, tersembunyi di balik peran-peran sterotip yang ditugaskan kepada kaum perempuan dan laki-laki. Irmgard Frank, Ketua Komisi Khusus Kaum Perempuan dan Gender, bercerita kepada kita tentang jalan-jalan yang ditapaki kaum perempuan dalam struktur Missi Basel dan Mission 21, yakni tentang kesulitan-kesulitan, kemajuan, dan kemunduran mereka. Bahan untuk refleksi ini menimbulkan banyak pertanyaan: Sudah sejauh mana kemajuan yang telah kita raih, dengan berpartisipasi secara aktif dalam proses pengambilan keputusan atau memegang posisi-posisi kekuasaan, berkontribusi terhadap terjadinya perubahan yang mendatangkan keuntungan bagi kita sebagai perempuan dan sekaligus juga sebagai mahkluk manusia? Kepasa siapa kita telah memberikan kekuasaan untuk mengambil keputusan? Kemudian, walau masih dalam sessi pleno, Elaine Neuenfeldt dari Federasi Lutheran Sedunia (LWF) memakai satu cerita untuk mengajak kita sekalian berpartisipasi dalam kegiatankegiatan lokakarya, mendorong kita untuk mendengar dan berbagi cerita. Dengan memasukan musik,kita untuk bisa me ngekspresikan kehidupan kita. Dalam Women’s Letter ini, kita berbagi penjelasan mengenai lokakarya seputar ‘Menemukan Kehidupan Sehari-hari di dalam Arsip’, yang dipresentasikan oleh pustakawan dan sejarahwan Mission 21, Claudia Wirthlin. Marlies Flury dari Komisi Kaum Perempuan, mengomentari lokakarya tentang ‘Rut dan Naomi: Kaum Perempuan menulis Sejarah”, yang diorganisasir oleh Heidi Zingg Knöpfli, Kepala Studi di 3
Mission 21, bersama dengan Fulata Lusungu Moyo, Ekesekutif Program untuk Kaum Perempuan dalam Gereja dan Masyarakat di Dewan Gereja-gereja Sedunia (DGD). Lokakarya, Perlawanan, Cara mengatasi dan Kenangan: Politik Menjahit, diarahkan oleh Roberta Bacic, berlangsung selama tiga hari dengan menyelenggarakan pameran yang terbuka untuk umum. Di sini kita menyaksikan banyak sekali identifikasi dan asosiasi yang melampaui batas-batas waktu dan wilayah. Selain melakukan pilihan cermat sebagai bagian dari upaya merayakan 200 tahun Missi Basel, Roberta juga menjadi tuan rumah untuk pameran yang dilakukan oleh seorang artis Chili yang bernama Cecilia Hurtado. Cecilia sudah bekerja bersama dengan orangorang yang mengalami trauma kematian karena bencana-bencana alam, seperti gempa bumi dan tsunami. Gagasan memasukkan sebuah poster mengenai Agigimpong, sebuah pola tenun, di dalam edisi khusus dari Women’s Letter ini, sebetulnya muncul dari kegiatan lokakarya tentang: Pola Tenun Berceita tentang Kisah Nyata, yang dipimpin oleh Claudia Hoffmann dari Komisi Kaum Perempuan. Kami mengajak Anda sekaina untuk menciptakan kesempatan-kesempatan untuk berbagi cerita terkait dengan pola ini dalam konteks Aktivisme melawan kekerasan terhadap Gender Kami mengakhiri konferensi dengan perayaan pertunjukan musik langsung dari Triple Threat. Dengan penuh kasih sayang kami mau mengenang semua perempuan pendahulu kita. Dipimpin oleh Claudia Hoffman, kami beri nama: Kaum Perempuan, Bernilai dan Berwarna laksana Mutiara dan memasukkannya dalam Women’s Letter edisi ini sebagai sebuah alat untuk refleksi dan transformasi. Sama seperti pada awal Konferensi ini, penyanyi Chili Anita Tijoux mengajak kita untuk ‘berbicara’, demikianlah juga dalam Women’s Letter ini, kami mengajak Anda sekalian untuk membaca tulisan-tulisan dan laporan-laporan yang ada dan menemukan suara dan visi mereka untuk kehidupan utuh dari pribadi-pribadi yang berbeda-beda. Anda bisa menemukan lebih banyak informasi mengenai Konferensi dalam tulisan dari Esther Gisler dan juga dalam video-video tentang 200 tahun pelayanan Missi Basel di www.m21-womengender.org/es/mision-21-de-basileainternational-womens-conference-report.
Josefina Hurtado Neira Kepala Biro Kaum Perempuan dan Gender Mission 21 4
Kaum Perempuan Dan Gender
Dalam semua In all its aktivitasnya, Mission 21 memperjuangkan penetapan keadilan setara gender. Bersama dengan jaringan-jaringan kaum perempuan, gereja-gereja, dan organisasi-organisasi mitra, Mission 21 berusaha mencari jalan yang paling baik bagi setiap situasi lokal, dengan tujuan menghilangkan hierarkhi dan diskriminasi gender. Biro Khusus
• menawarkan dukungan finansial untuk memperkuat dan memajukan kaum perempuan dan jaringan-jaringan kaum perempuan di gerejagereja dan organisasi-organisasi mitra di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. • menyelenggarakan kuliah-kuliah dan menyediakan informasi mengenai teologi feminis dari perspektifselatan. • menerbitkan Women's Letter setiap tahun. Terbitan ini, dicetak dalam bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Spanyol, dan Indonesia, menawarkan ruang untuk bertukar pengalaman kepada kaum perempuan dari empat daratan di dunia. Komisi Kaum Perempuan dan Gender
Swiss dan Jerman, menyediakan dukungan sebagai kelompok pakar. Anngota-anggotanya: Irmgard Frank (presiden), Marlies Flury, Pdt. Esther Gisler Fischer, Pdt. Claudia Hoffmann, Pdt. Christine Höötmann, Pdt. Kirsten Jäger, Pdt. María-Inés Salazar dan Esther Janine Zehntner.
Mendecolonisasikan Pikiran: Sebuah tantangan bagi Misi sekarang ini Silvia Regina de Lima Silva, Koordinator Umum Dewan Amerika Latin
Di pesisir pantai Suriname, budak yang melarikan diri adalah peristiwa tetap ... Sebelum melarikan diri, budak-budak perempuan mencuri beras, biji jagung dan gandum dan kacang dan labu. Rambut panjang mereka berfungsi sebagai. Ketika mereka sampai ke tempat pengungsian yang terbuka, kaum perempuan menggoyangkan kepada mereka dan, dengan cara ini mereka menyuburkan tanah yang bebas. Eduardo Galeano – MEMORY OF FIRE
Kolonialitas Pikiran. Kolonialitas adalah istilah yang di-
pakai untuk menunjuk kepada eksistensi yang sedang berlangsung sekarang ini mengenai kolonial imajiner1. Meskipun sebuah konstruksi mental, kolonialitas telah menorehkan tandanya di tubuh kita, baik pribadi maupun kolektif. Presentasi singkat ini berfokus pada aspek-aspek kolonialitas yang terhubung dengan misi dan kehidupan masyarakat-masyarakat asli dan keturunan Afrika, dimana salah satu ekspresinya adalah diskriminasi rasial dan rasisme. Inilah bekas-bekas luka yang ditinggalkan membekas bukan hanya pada tubuh dan sejarah tetapi juga pada bagaimana kita berpikir. Diskriminasi mempengaruhi harga diri, bagaimana kita memandang diri kita sendiri, menilai diri kita sendiri dan menghubungkan ke diri kita sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, diskriminasi mempengaruhi hubungan-hubungan antar pribadi dan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Diskriminasi malah dapat menjadi faktor penting dalam menentukan hubungan dari kuasa dengan posisi dan peran sosial. Titik berangkatnya adalah klasifikasi sosial dasar terhadap penduduk sesuai dengan gagasan mengenai ‘ras’. Klasifikasi ini adalah ungkapan yang paling mendalam dan efektif mengenai dominasi kolonial yang diterapkan kepada penduduk sebagai akibat dari ekspansi kolonialisme Eropa. Klasifikasi adalah sebuah bentuk dominasi sosial, material dan inter-subyektif2. Hubungan dengan Missi. Missi dan kolonialisme sangat terkait erat secara historis. Masyarakat yang dijajah dipan-
dang lebih rendah baik karena ras mereka maupun karena praktek-praktek religius mereka. Cara untuk lepas dari dua bentuk diskriminasi itu adalah dengan menjadi orang Kristen. Kolonialitas ini masih terus ada melalui khayalankhayalan kolektif yang berbeda yang merefleksikan konsekuensi-konsekuensi dari proyek menjajah di masyarakat Amerika Latin dan mencakup ketekunannya sebagai bentuk diskriminasi yang berbeda. Itulah sebabnya ‘mendekolonisasikan pikiran kita’ adalah penting sebagai langkah pertama untuk datang kepada kesadaran akan prasangka-prasangka yang sudah menyatu di dalam cara kita melihat diri kita sendiri, orang-orang lainm dan masyarakat. Mendekolonisasikan pikiran-pikiran kita akan membuat kita mampu melihat dengan cara baru, memahami diri kita sendiri sebagai masyarakat dan mentransformasikan hubungan-hubungan sosial. Missi perlu dilihat dalam kerangka proyek yang lebih luas tentang memikirkan diri sendiri, keterhubungan dan dunia yang kita diami. Diperhadapkan dengan kebudayaan yang dominan. Terus berlanjutnya tanda-tanda kolonial telah dimungkinkan karena adanya kekuatan yang memberlakukan kebudayaan dominan. Agama Kristen yang hadir di Amerika Latin secara historis diidentifikasi sebagai kebudayaan dominan, mula-mula Eropa lalu dilanjutkan oleh Amerika Utara. Nilai-nilai dari kebudayaan-kebudayaan ini ditransmisi sebagai nilai-nilai Kristen sedemikian rupa sehingga kita tidak mengalami apa artinya menerima nilai-nilai Kristen dari tolok ukur kepelbagaian kebudayaan asli dan 5
keturunan Afrika kami. Tantangan kita bukanlah inkulturasi melainkan menerapkan proses dekolonisasi yang membuat terciptanya reuni dan dialog dengan nilai-nilai berbeda dan akar-akar budaya, sambil tetap menjaga dan mengingat hubungan antar budaya sebagai cakrawala.
berbagi ‘kabar baik’ yang ada dalam kehidupan setiap hari. Missi yang mendekolonisasi merancang sebuah pandangan tentang kehidupan yang membiarkan terjadinya penemuan yang Illahi di dalam sejarah, di dalam alam. Missi itu mengadopsi perspektif baru, memurnikan cara kita memandang sesuatu, menyucikan hati: "Berbahagialah orang yang suci hatinya karena mereka akan melihat Allah" (Matt. 5.8). Missi yang mendokolonisasi berarti menemukan kembali kepekaan, yakni semacam keinginan untuk berkomitmen terhadap transformasi situasi-situasi tidak adil dan penyangkalan akan kehidupan. Missi itu harus bisa membuat seseorang kaget dan bereaksi terhadap kebutuhan orang-orang lain. Dengan cara ini, missi dapat mendorong terbentuknya subyek-subyek yang merdeka, kritis, dan berkomitmen terhadap transformasi sosial. Umat dan masyarakat adalah subyek dari missi ini. Pemahaman yang baru mengenai missi ini memberi pengakuan bahwa ‘kabar baik’ bagi masyarakat Amerika Latin lebih penting dari pada evangelisasi. Missi apapun yang tidak mulai dengan pengalaman akan kerja Roh Kudus yang mendahului datangnya para missionaris, hanya mempunyai sedikit sekali peluang untuk menjadi missi yang memerdekakan. Ini mencakup terjadinya perubahan perspektif teologis dan proses perubahan bagi gereja-gereja. Menyusul dekolonisasi, nuansa missi di konteks yang begitu beragam bisa dibahasakan sebagai ‘peduli’. Barangkali, jika kita memahami missi sebagai ‘kepedulian’ terhadap kehidupan nyata, manusiawi, sehari-hari dan masa lampau, maupun terhadap kehidupan alam dan planet, maka kita akan mampu mengatasi mentalitas kolonial yang ada dalam konsep tentang missi. Dan, untuk secara bertahap bergerak lebih dekat menuju ke missi Yesus dalam dimensinya yang membebaskan, dengan pengalaman iman-Nya di hadapan kaisar yang begitu dominan, maka individu-individu dan kelompok-kelompok yang berkomitmen perlulah saling peduli satu terhadap yang lain. Inilah salah satu tantangan besar terhadap missi.
Dari kebenaran mutlak menuju ke rasa hormat akan kearifan yang berbeda. Pertempuran merebut tanah oleh
serangan kolonial juga berarti perjuangan tubuh melalui kerja, perjuangan jiwa melalui missi dan kesadaran melalui penerapan moralitas menurut Katolisisme Iberian3 . Masyarakat pribumi dan keturunan Afrika dicabut dari sejarah, budaya, dan kenangan masa lalu mereka, lalu dimasukkan ke dalam suatu identitas negatif, kolonial dan rasial baru. Mereka dicabut dari tempat mereka padahal di sanalah mereka menemukan pengetahuan dan kebudayaan sebagai bagian dari sejarah kemanusiaan mereka. Di sana mereka tidak dipedulikan dan dianggap seakan-akan mereka itu tidak ada. Di tengah-tengah kondisi eksklusivisme logis ini, lalu berita Kristen dipahami sebagai satusatunya kebenaran, diterapkan tanpa ada peluang untuk berdialog. Dengan pola berpikir seperti ini, maka sama sekali tidak ada tempat untuk bertukar kearifan, dan terutama sekali tempat untuk berdialog antar agama. Missi dan dekolonisasi. Missi yang berkomitmen terhadap dekolonisasi menerima tantangan untuk memperkuat permintaan umat supaya menggunakan kata-kata dalam bahasa mereka sendiri, bahasa suci yang dinyatakan Allah di dalam sejarah dan kebudayaan mereka. Pada waktu yang sama, missi itu mendorong gereja-gereja untuk mengapresiasi dan masuk ke dalam dialog dengan kepelbagaian agamawi yang kaya yang terungkap dan kadangkadang tersembunyi di hati masyarakat kita. Karena itu, perlulah beralih dari visi mengenai kebenaran mutlak dan satu-satunya ke visi tentang kebenaran bersama yang mengakui bahwa setiap masyarakat mempunyai pengetahuan dan kebenarannya dan bahwa, secara bersama-sama, kita semua saling dipercaya dengan keaarifan kita yang beragam. Komunitas adalah salah satu tempat khusus yang di dalamnya kita bisa berbagi kearifan. Missi yang mendekolonisasi. Missi yang mendekolonisasi memandang umat bukan sebagai obyek pasif dari missi tetapi sebagai subyek. Missi yang demikian tidak membatasi dirinya pada ‘memberitakan kabar baik’, tetapi sebaliknya berupaya menemukan pengalaman-pengalaman kita sebagai kelompok dan komunitas, yakni pengalamanpengalaman akan ‘kabar baik’. Missi ini menerima dan 6
1
2
3
Dipergunakan dalam pengertian sosiologis mengenai serangkaian nilai, institusi, hukum dan simbol yang dikenal umum di kalangan kelolpok sosial atau masyarakat tertetu, Used in the sociological sense ofa set ofvalues, institutions, laws and symbols common to a particular social group or society. Quijano, Aníbal. Colonialidad del Poder, Eurocentrismo y América Latina. In La Colonialidad del Saber: Eurocentrismo y Ciencias Sociales. Perspectivas Latinoamericanas. Edgardo Lander (ed.), Consejo Latinoamericano de Ciencias Sociales (CLACSO), Buenos Aires, Argentina. July 2000. Mires, F. 1987. La colonización de las almas. DEI: San José de Costa Rica.
Jaringan melawan perdagangan manusia: tantangan bagi gereja-gereja dan organisasi-organisasi Lucy Kumala, Koordinator Jaringan Perempuan Asia
Perdagangan manusia bukan lagi merupakan isu yang tidak kita kenal. Ini bukan hanya ‘masalah regional’ semata, tetapi telah menjadi isu global yang dihadapi oleh banyak negara. Akan tetapi, untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, masalah ini menjadi lebih serius dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Topik ini menjadi isu terhangat dalam Konferensi Kaum Perempuan mengenai Persekutuan Asia (Women's Conference ofthe Asian Fellowship) yang diadakan di Hong Kong pada September 2012. Gereja-gereja, terutama di wilayah-wilayah yang terimbas, berupaya untuk memerangi perdagangan manusia. Membahas isu seperti ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan telah terbukti merupakan tantangan yang berat bagi gereja-gereja mitra yang terlibat. Saya merasa terhormat untuk bisa berbagi dengan para pembaca sekalian pengalaman pribadi saya di bidang ini. Apa Perdagangan Manusia itu?
Secara umum, perdagangan manusia itu dapat diartikan sebagai: perekrutan, transportasi, transfer, penyembunyian atau penerimaan orang-orang dengan maksud eksploitasi dengan cara ancaman, pemaksaan, atau bentuk-bentuk paksaan lainnya, melalui penculikan atau penipuan atau dengan menawarkan keuntungan-keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari seorang yang mempunyai kuasa atas orang lain. Eksploitasi ini mencakup: eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan atau pemotongan organ-organ tubuh. Mengapa dan bagaimana terjadinya?
Di Indonesia, alasan mengapa orang tertarik dengan gagasan mengenai kehidupan yang lebih baik terutama sekali adalah: kemiskinan, pengangguran dan tidak adanya peluang ekonomis, dan, bagi banyak perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, kondisi-kondisi tertekan atau dukungan bagi anggota-anggota keluarga. Beberapa metode yang dipergunakan untuk rekruitmen perdagangan manusia adalah: rekruitmen melalui teman dekat,
penculikan, adopsi bayi, kawin kontrak, kawin paksa, dan terlilit beban hutang. Para korban dikontrol oleh para pelaku melalui kekerasan, ancaman terhadap keluarga korban atau pengasingan sebagai akibat dari penyitaan atas dokumen perjalanan atau kendala bahasa dan lingkungan sosial. Apa yang sudah kami buat?
Dengan bantuan dari Mission 21, Persekutuan Kaum Perempuan Asia menyelenggarakan lokakarya dengan tema “Perdagangan Manusia: Penangangan dan Pencegahan” di Bandung pada 16-18 September 2013. Hadir sebagai peserta antara lain mencakup gereja-gereja partner dari Indonesia, Malaysia, Taiwan, Korea, dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (International Organization for Migration [IOM]) Indonesia. Lokakarya ini memberikan kami kesempatan untuk mempelajari apa arti perdagangan manusia, mengapa itu terjadi, siapa yang terlibat, dan apa yang harus kita lakukan. Lokakarya itu juga membuat kami tetap terhubungkan dengan organisasi-organisasi – seperti IOM Indonesia, Department Tenaga Kerja Migran Nasional, polisi, pelayanan kesehatan, Departemen Sosial, dan beberapa LSM lokal – di mana bersama mereka kami bisa bekerja bergandengan tangan dalam memerangi perdagangan manusia. Rencana kerja sudah dibuat dan para mitra sudah siap memulai mengimplementasikannya. Diprogramkan, pertama, bahwa gereja-gereja mitra mengadakan penelitian-penelitian relevan dan mengumpulkan dokumentasi mengenai kasus-kasus perdagangan manusia di wilayah masing-masing. Kedua, disetujui bahwa gereja-gereja mitra akan menyelenggarakan peristiwa-peristiwa yang membuat masyarakat umum sadar akan topik spesial ini. Jalan-jalan lainnya yang didiskusikan mencakup kemungkinan bahwa para penyelenggara perlu mempertimbangkan kegiatan-kegiatan yang akan menarik minat masyarakat umum dan kemudian akan menjadi saluran komunikasi isu ini. Dengan kegiatan-kegiatan ini kami berharap dapat menggalang dukungan dana un7
tuk mendukung kelanjutan langkah-langkah yang sudah dimulai ini. Ketiga, diprogramkan bahwa gereja-gereja mitra akan menyediakan layanan langsung, seperti: konseling, rumah singgah, perlindungan lanjutan atau pelayanan medis lanjutan untuk para korban yang menderita secara fisik dan psikis. Tantangan masih berlanjut …
Pertama-tama, tidak banyak pemimpin gereja yang menunjukkan visi dan kepedulian yang sama mengenai isu-isu dan masalah-masalah sosial. Hanya beberapa saja yang bersedia melangkah lebih jauh dan kebanyakan lebih memilih untuk hanya melakukan kegiatan rutin normal mereka, yaitu membiarkan diri mereka hanya disibukkan dengan kegiatan-kegiatan gereja yang biasa Tantangan berikutnya adalah partisipasi dan keterlibatan kaum laki-laki dalam isu ini. Akhir-akhir ini, kebanyakan yang hadir dalam kegiatan-kegiatan awal ini adalah kaum perempuan , baik dari gereja-gereja maupun dari LSM-LSM. Kami percaya bahwa perdagangan manusia tidak hanya mempengaruhi kaum perempuan dan kaum laki-laki harus juga bertindak untuk membicarakan, mencegah, dan memeranginya. Mereka malah justru sering berkontribusi sebagai penyebab sebab sebagai ayah atau suami, mereka sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan/atau menerima keuntungan dari hasil mengeksploitasi anak-anak gadis atau istri mereka. Kesadaran di kalangan kaum laki-laki dan partisipasi mereka sangat penting untuk mencegah terjadinya praktek perdagangan manusia yang selama ini masih saja terjadi. Kita juga berhadapan dengan tantangan teknis karena gereja-gereja kita umumnya kekurangan tenaga ahli dan berpengalaman yang diperlukan untuk menangani isu sebesar perdagangan manusia ini. Yang ada di dalamnya bukan hanya aspek spiritual, tetapi juga merupakan tindakan kriminal dengan dimensi-dimensi yang mencakup kesehatan mental,
kenyamanan fisik, dan ketegangan sosial. Isu ini juga kompleks secara hukum dan melibatkan mitra-mitra resmi dan tidak resmi di antara beberapa kelompok. Tantangan lainnya adalah kemiskinan sebab keadaan ini bisa saja menyebabkan satu keluarga bersedia memperdagangkan anggota keluarga mereka. Ini bisa juga terjadi terkait dengan cara orang-orangmenakarkeberhasilan itu dari sudut pandang materi. Status atau nilai seseorang dilihat dari seberapa besar rumah yang dimilikinya, dan lain sebagainya. Ada sejumlah orang tua yang sebetulnya sudah memperdagangkan anak-anak mereka atau anggota-anggota keluarga mereka karena alasan ini. Yang terakhir tetapi yang juga tidak kalah pentingnya, kita berhadapan dengan tantangan mengenai dukungan finansial untuk kelanjutan rancangan kerja kita ini. Kami sudah mencoba mengadakan beberapa kegiatan penggalangan dana agar program-program kerja ini bisa tetap berjalan dan kami terus menerus berdoa dan memohon akan adanya dukungan yang memadai. Penutup
Kami merasa sangat terdorong ketika melihat adanya tanggapan positifterhadap isu tentang perdagangan manusia ini di dalam konferensi “Kaum Perempuan Membuat Sejarah dan Mempunyai Cerita untuk Dituturkan”, yang diselenggarakan pada bulan Juni 2015 dalam konteks jubile 200 tahun Basel Mission. Tidak lama sesudah itu, kami memutuskan untuk mencari pengalaman misalnya dengan mengadakan program-program pelatihan untuk kaum laki-laki di gereja-gereja kami pada tahun-tahun yang akan datang. Kami juga ingin mengembangkan program-program pelatihan ketrampilan bagi kaum perempuan dan mengupayakan beasiswa untuk pendidikan tinggi bagi kaum perempuan desa yang masih muda. Akhirnya, kami akan menggalang dana untuk memerangi perdagangan manusia dan menciptakan kesadaran tentangnya.
Perdagangan Para Gadis dan Kaum Perempuan: Sebuah Tantangan bagi Misi dan Ekumenisme
Konsutasi Pakar Internasional, Februari 2015
Komisi Kaum Perempuan dari Asosiasi Gereja-gereja dan Misi Protestan di Jerman (EMW) menjadi tuan rumah bagi konsultasi pakar internasional mengenai pokok ini di Hamburg. Para pakar dari berbagai negara mempresentasikan laporan mereka yang akan dibahas dan dikaitkan dengan perspektifteologis dan hak asasi manusia. Sepuluh tuntutan dirumuskan, diteruskan ke gereja-gereja di Jerman dan jaringan-jaringan internasional mereka. Kontribusi dan artikel para pakar dapat dilihat dalam OUR VOICES 2015-16 dalam bentuk sudah dipadatkan. Tersedia di www.emw-d.de/fix/files/10%20DemandsHumanTrafficking.pdf 8
Kepemimpinan dalam Konteks Kekerasan Politik Suzan Mark Zira, Koordinator Jaringan Perempuan Afrika
Kekerasan politik adalah salah satu konteks yang paling menantang untuk menerapkan kepemimpinan. Dalam situasi seperti itu, para pemimpin harus mampu menghadapi tantangan-tantangan dengan berani, tak peduli apa kata orang. Mereka harus selalu berpikir positif supaya kehidupan dapat menjadi mematikan. Mereka harus menghadirkan aspek stabilitas meskipun orang-orang lain menjadi tidak stabil. Kepemimpinan, sebagaimana yang kita ketahui, adalah sebuah akta melayani. Situasi di Nigeria telah menggerakkan para pemimpin kami untuk berbicara tentang kekerasan dan penganiayaan yang diderita setiap hari oleh banyak rakyat kami, terutama kaum perempuan dewasa dan muda. Saya ingin berbagi dengan Anda mengenai tantangan-tantangan utama yang dihadapi oleh kepemimpinan gereja dan dunia sebagai akibatdari kekerasan politikdan agama di Nigeria sekarang ini. • Kebanyakan pengikut atau anggota gereja dan pemimpinpemimpin mereka sekarang ini memulai kehidupan mereka lagi setelah kejatuhan karena kehilangan hampir segala sesuatu akibat serangan keras oleh Boko Haram. • Para penanggung jawab kehidupan keluarga telah dibunuh dan meninggalkan istri dan anak-anak mereka terlantar. • Anak-anaktidakmenerimapendidikan lagi karenabanyak sekolah hancur atau ditutup. • Para petani tidak bisa lagi mengelola ladang mereka karena tidaklagi dijamin keamanan mereka, bahkan di tempattempat yang tidak kena serangan sekalipun. • Pemerintah telah gagal memberikan solusi terakhir bagi masalah ketidak-amanan dan pengangguran yang meluas di dalam masyarakat. • Banyakorang hidup dalam kecemasan setelah mengalami trauma dramatis seperti kehilangan orang-orang yang mereka kasihi dan rumah mereka. • Penyakit dan kelaparan telah membunuh banyak orang karena kekurangan rumah sakit. • Keluarga-keluarga menjadi berantakan karena banyak anggotanya terserak ke mana-mana. • Istri-istri yang diculik yang berhasil kembali ke rumah ternyata ditolak oleh suami mereka dan dibiarkan dalam
layanan gereja; banyak gadis-gadis yang diculik ternyata hamil dan sebagian dari mereka mengidap penyakit kelamin (STDs). Untuk menangani tantangan-tantangan ini, para pemimpin harus mencari jalan untuk mempertahankan gereja dalam konteks kekerasan politis. Langkah pertama yang diambil adalah: menangani kebutuhan dasar orang, yakni: makanan, pakaian, dan rumah. Dengan bantuan Mission 21 dan Church of the Brethren (COB), kepemimpinan gereja Ekklesiyar Yan'uwa a Nigeria (EYN) sudah mampu melakukan langkah ini. Langkah kedua adalah menyembuhkan trauma. Lokakarya diselenggarakan di tempat-tempat berbeda. Lokakaryalokakarya ini adalah untuk pada pendeta, kaum muda, jandajandadan kaum perempuan dan benar-benarmenyembuhkan luka di hati banyak orang. Ada banyak kesaksian dari orangorang yang rencananya adalah untuk membalas dendam, namun mengubah rencana tersebut setelah menghadiri lokakarya ini. Langkah berikutnya adalah menawarkan ajang pelatihan ketrampilan bagi orang-orang yang kena dampak supaya mereka bisa memulai hidup mereka lagi. Pelatihan ini dimaksudkan untuk membuatmereka yang terdampak mampu memulai hidup mereka dengan segar. Para janda, khususnya, dilatih dengan banyak ketrampilan dan diberi uang sebagai 9
modal awal untuk memulai menggunakan ketrampilan, dan beberapa orang akhirnya bisa mandiri Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa untuk segala sesuatu ada waktunya. Itu berarti bahwa ada juga waktu untuk krisis. Waktu untuk krisis dapat membawa seseorang kepada Pemerintah Nigeria telah menetapkan Rencana Kegiatan Nasional untuk mengimplementasikan Resolusi 1325 dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNSCR) tentang perempuan, perdamaian, dan keamanan. Masyarakat madani mempunyai peranan penting baik dalam menyediakan informasi maupun dalam memonitor dan mengevaluasi impelementasi rencana itu. Ini adalah salah satu dari tugas utama bagi gerejagereja dan organisasi-organisasi ekumenis berdasarkan iman. Di bawah ini adalah intisari dari Deklarasi Mission 21 tentang situasi kaum perempuan di belahan Timur Laut Nigeria dan sebuah deskripsi dari Resolusi 1325 tentang kaum perempuan, perdamaian, dan keamanan. PERNYATAAN TENTANG SITUASI KAUM PEREMPUAN DI TIMURLAUT NIGERIA Intisari dari Resolusi tentang Timur Laut Nigeria, diadopsi oleh Sinode Missi dari Mission 21 pada 12 Juni 2015:
Kami mengajak lembaga-lembaga pemerintah, organisasi-organisasi masyarakatsipil, para donor, dan semua yang berkemauan baik untuk mengambil bagian dalam pekerjaan meringankan dan membangun ulang mulai dari perencanaan dan berlanjutdengan tindakan nyata:
• Seturut dengan praktek-praktek humanitarian yang bertanggung jawab (‘jangan melakukan kekerasan) • Proaktif mempromosikan perdamaian di antara denominasi-denominasi gereja dan kelompok-kelompok etnis • Tahu tentang dan memberi apresiasi terhadap kegiatan-kegiatan, ketrampilan, dan pengetahuan lokal
pengenalan yang lebih mendalam tentang Tuhan dan dapat menolong seseorang mengembangkan hubungan spiritual dengan-Nya. Waktukrisis adalahwaktubagikitasemuauntuk berjaga-jaga dan berdoa sehingga kita bisa menggunakan waktu kita dengan bijak demi Injil itu sendiri. - Sejalan dengan Rencana Kerja Nasional yang disebut di atas, termasuk di dalamnya menjamin adanya partisipasi dari kaum perempuan dan kaum muda pada semua aras dalam proses pembangunan dan perdamaian - Menjadikan pemberdayaan sosial ekonomi kaum perempuan dan para gadis sebagai prioritas utama - Mengintensifkan pembelaan melawan praktekpraktek tradisional dan kultural yang menghalangi dan menghambat implementasi efektifdari UNSCR1325 - Mempromosikan kesadaran akan hukum-hukum nasional dan internasional terkait dengan hak dan perlindungan bagi kaum perempuan dan gadis. - Mendukung ditetapkannya pengadilan khusus bagi orang-orang yang melakukan kekerasan terhadap kaum perempuan dan gadis. Kami mengundang masyarakat-masyarakat etnis dan religius melindungi dan secara aktifmendampingi para korban kekerasan seksual, terutama kekerasan seksual, dengan • menciptakan lingkungan yang aman cara fisik dan emosional • membangun rasa sensitif di kalangan anggota masyarakatterhadap situasi-situasi khusus parakorban • Mengkoordinir bantuan (konseling trauma, layanan pastoral, layanan kesehatan, dan lain-lain) • mengutuk bentuk stigmatisasi apapun terhadap pribadi-pribadi yang menjadi korban kekerasan seksual.
Resolusi 1325 tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan
Sudah 15 tahun sejak Resolusi 1325 disetujui. Kesadaran akan dimensi khusus gender tentang perdamaian dan keamanan telah berkembang dan yang diperlukan sekarang ini adalah tindakan dan implementasi. Impelementasi dari Resolusi 1325 memberi pengawasan yang ketat dan mekanisme akuntabilitas serta sumber daya dan keuangan yang memadai. www.un.org/en/peacekeeping/issues/women/wps.shtml
10
Istri Missioner
Pia Müller, Sekretaris Dewan Basel Mission Kaum perempuan di Basel Mission berpenampilan modis. Akibatnya, mereka itu sering tidak terlihat di dalam organisasi. Akan tetapi, kalau kita mau melihat file mereka, banyak hal tentang kehidupan mereka yang dapat diketahui. Dari mana istri misioner ini berasal? Apa yang khas pada dirinya? Dan apa yang bisa kita pelajari dari dia? Banyak perempuan Basel Mission adalah anak dari pedagang, guru, dan pendeta dari kota-kota dan kampungkampung di Swiss dan Jerman Selatan. Mereka bisa membaca dan menulis dan tertarik pada masalah-masalah kemasyarakatan tetapi dididik untuk menjadi ibu rumah tangga dan ibu bagi anak-anak. Masa depan mereka sudah dirancang dengan jelas: mereka menikah dan tidak akan keluar dari lingkungan sosial mereka. Kehidupan religius mereka berlangsung lewat kegiatan berdoa dan membaca Alkitab. Dalam kelompok-kelompok ini, ibu-ibu muda tidak hanya perlu tahu tentang Alkitab tetapi sering juga belajar mengenai dunia luar, di Afrika atau Asia dan bertemu dengan lakilaki muda yang mengikuti seminari Basel Mission. Pada hampir semua aras masyarakat pada abad ke-19, perkawinan yang diatur sebelumnya tidak ada yang berbeda dengan kebiasaan. Banyak kali perempuan muda bermimpi untuk bisa ikut bersama dengan laki-laki muda ke Afrika, India atau Cina yang, selama bertahun-tahun, merupakan satusatunya cara bagi mereka untuk mengambil bagian dalam pelayanan Mission. Banyak yang menerima panggilan dari Basel Mission dan mengikuti ‘pengantin laki-laki yang tidak mereka kenal” menuju ke masa depan yang belum jelas. Ini menjadi kesempatan bagi mereka untuklepas dari cara hidup mewah mereka. Mereka membakar semua jembatan yang ada di belakang mereka. Mereka tidak kenal suami yang dipilih untuk mereka. Mereka juga tahu banyak tentang negara yang akan mereka tuju. Tetapi mereka tidak tahu mengenai kehidupan yang menanti mereka di sana. Banyak tugas menanti istri missionaris. Pertama, dia bertanggung jawab untuk suami dan tugas rumah tangga yang banyak. Pada waktu suami sedang dalam perjalanan untuk tugas khotbah di dalam negeri, sang istri menjadi penanggung jawab tugas administrasi dan kepemimpinan di pusat pelayanan. Akibatnya, sang istri sering menjadi pemeran rahasia, sebab di mata dunia luar dan di lingkungan kepengurusan Mission, hanya laki-laki yang mempunyai tanggung jawab. Banyak kali, laporan missioner jelas ditulis oleh sang istri, meskipun yang menandatanganinya adalah sang suami.
Semua istri missionaris mengajar kaum perempuan dan anak-anak di tempat pelayanan mereka tentang bagaimana membaca dan menulis. Mereka juga mengajar tentang Alkitab serta ketrampilan-ketrampilan praktis seperti menjahit. Para missionaris mula-mula juga mencermati bahwa pendekatan praktis kaum perempuan sering mempermudah mereka mengadakan kontak dan menjalin hubungan dengan penduduk pribumi. Istri-istri para misisonaris bisa melaksanakan semua tugas ini karena mereka bekerja sama dengan kaum perempuan pribumi. Dari mereka itu, istri missionaris bisa belajar tentang bahasa dan banyak hal lainnya yang berfaedah bagi kehidupan setiap hari. Sebagai contoh, istri missionaris mengadakan perjalanan dari kampung yang satu ke kampung lainnya dengan program yang disebut Bible Woman, memberitakan Injil kepada kaum perempuan. Pada gilirannya, mereka sangat berguna untuk masalah-masalah pengasuhan anak. Melahirkan ketika berada di perantauan, tanpa nasihat berharga dari ibu, saudara perempuan, atau tante, memerlukan rasa percaya yang kuat kepada Tuhan. Tidak semua bayi yang bisa bertahan hidup dalam 3 tahun pertama. Banyak kali, seorang ibu terpaksa harus memakamkan satu atau lebih anak mereka di tanah rantau. Di sini, istri-istri para missionaris perlu mengandalkan bantuan dari ibu-ibu dan inang-inang pengasuh lokal. Kaum perempuan berkontribusi banyak bagi gereja dan missi. Pada masa sekarang ini, kaum perempuan terlihat di dalam gereja-gereja dan lembaga-lembaga, bahkan sering berada di posisi pemimpin. Akan tetapi, angin patriarkhal kadang-kadang masih bertiup di dalam struktur-struktur gereja dan missi, walau tidak secara terbuka tetapi tersirat di dalam pertanyaan-pertanyaan seperti: ‘Kaum perempuan terlalu banyak bicara; apakah semua omongan ini selalu berkaitan dengan kerja?’ Mari kita belajar dari istri-istri missionaris tempo dulu; dari keberanian mereka, dari kerelaan mereka untuk memberi kehidupan mereka (bahkan sampai mati), dari iman mereka, dari stamina mereka, dan dari cara mereka yang hebat dalam bertemu dengan orang-orang lain dan dari cara mereka melakukan yang terbaik dari situasi-situasi sulit yang mereka hadapi. 11
Menemukan Kehidupan Sehari-hari di dalam Arsip Claudia Wirthlin, Pustakawati dan Sejarahwati Mission 21
Arsip Basel Mission menyimpan sepuluh ribu dokumen yang ditulis lebih dua abad silam. Selain laporan-daftar, daftar-daftar, dan surat-surat, arsip itu juga memuat sekitar 30,000 foto dan 6,700 peta. Gambaran, peta, dan referensi untuk berbagai dokumen tersedia setiap saat di web arsip (www.bmarchives.org). Jadi, Anda sekarang ini bisa mulai menncari harta-harta yang tersembunyi. Berdasarkan laporan-laporan, surat-surat, lema jurnal dan agenda-agenda konferensi, dan dengan bantuan obyek-obyek kecil dan gambar, maka Anda dapat merekonstruksikan cerita-cerita kehidupan yang masih dapat berbicara kepada kita seratus atau dua ratus tahun kemudian. Masih ada banyak lagi yang bisa ditemukan di dalam arsip ini – beberapa bahan baru bisa dilihat untuk kali pertama sedangkan bahan lainnya sedang menunggu untuk ditemukan ulang dan terlihatsegar lagi. Pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang disebut triviliata sangat menarik.
12
Kenyataan-kenyataan tentang kehidupan setiap hari di pos missi terasa menyentuh dan sarat dengan pelajaran. Anda bisa merekonstruksi sejarah missi dengan melihat dengan cermat prestasi-prestasi hebat sampai ke detil-detilnya. Berkembara melalui arsip untuk menncaritahu rutinitas harian kaum perempuan dalam bidang missi adalah perjalanan yang sangat menjanjikan. Kebebasan macam apa yang diizinkan untuk dikerjakan kaum perempuan dalam missi? Bagaimana peran gender dirumuskan? Pertanyaanpertanyaan mengenai karakter-karakter lokal juga memperlihatkan hal-hal yang tidak diharapkan. Bekerja di arsip dengan menggunakan sumber-sumber yang berbeda memperlihatkan kepada kita bahwa sejarah dapat ditulis dengan banyak cara dan rekonstruksi terhadap peristiwa masih akan bersifat fragmentaris. Akbatnya, kita harus merekonstruksi sejarah berdasarkan fragmen sebanyak mungkin.
Politik jahit Roberta Bacic, Arpillera Curator
Undangan untuk menyelenggarakan pameran tentang arpilleras, pada waktu Mission 21 merayakan 200 tahun pekerjaan pekabaran Injil di berbagai tempatdi seluruh dunia, rasanya memang relevan dan layak. Saya sendiri juga sedang merayakan 30 tahun terjalinnya hubungan dengan organisasi yang pada tahun 1985 mendukung pekerjaan di Chili. Pada waktu itu namanya adalah Basel Mission. Setelah bekerja sama secara profesional selama bertahun-tahun, hubungan kami berkembang menjadi ikatan persahabatan yang akrab. Demikianlah saya bersahabat baik dengan Peter dan Heidi Gessler dan juga dengan Johanna Eggimann. Khususnya dengan Johanna Eggimann, saya banyak berdiskusi, berbagi cerita, kecemasan, harapan, dan dilema seputar isu-isu khusus kaum perempuan dan mendukung pekerjaan di berbagai belahan dunia. Kami berdiskusi tentang bagaimana cara terbaik untuk memberdayakan, mendorong, dan mendukung pekerjaan dari
dunia bagian utara ke dunia bagian selatan dan bagaimana mengatasi sikap-sikap yang sudah terpola dan mendaratkan cara memandang dunia ini. Kami juga berbagi pandangan dan tindakan mengenai bagaimanamau belajardan mau membiarkan diri kami diinspirasikan oleh kerja yang dilakukan oleh teman-teman di seluruh dunia yang dengannya kami menjalin hubungan.
Arpilleras bisa menjalin kenangan kita.Kita berbagi derita yang kita alami. Kita mengalami perjumpaan yang bermakna dan percakapan-percakapan yang menyembuhkan healing conversations. Josefina Hurtado
13
La cueca sola /Dancing cueca alone Chilean arpillera Aurora Ortiz, 2014 Photo Martin Melaugh Conflict Textiles collection
Bagi para pembaca yang tidak sempat hadir dalam kegiatan perayaan Basel dan yang belum begitu mengenal dunia arpilleras, kami ingin menyambut Bapak/Ibu/Saudara sekalian sama seperti ruangan Bienvenidas menerima penyelenggaraan pameran ini. Arpilleras (dibaca "ar-pee-air-ahs") adalah tekstil aplikasi tiga dimensi Amerika Latin yang berasal dari Chili sejak akhir tahun 1960-an. Kain dengan dasar goni, dalam bahasa Spanyolnya ‘arpillera’, menjadi nama dari permadani tipe khusus ini. Selama masa kekuasaan diktator Pinochet di Chili (1973-1990), tradisi arpilleras berkembang untuk memberikan suara kepada masyarakat Chili yang tertindas dan yang hak suaranya dicabut. Koleksi 12 arpilleras dibawa dari Chili, Peru, Spanyol, Inggris, dan Irlandia. Potongan-potongan permadani yang berasal dari Chili dan Peru (tahun 1970-an – 1990-an) mengingatkan kita akan kehidupan miskin yang melanda mereka, akan penindasan dan kekerasan pihak pemerintah terhadap rakyat, akan hilangnya nyawa rakyat, akan pemenjaraan, dan akhirnya juga akan kembalinya demokrasi. Cara yang sangat bagus dimana arpilleras ini dapat menyingkap kejahatan terhadap hak asasi manusia ditangkap dengan tepat oleh Isabel Allende dalam ucapan pengantarnya terhadap Permadani Pengharapan, Benang Kasih: Gerakan Arpillera di Chili – “Dengan sisa kain dan jahitan sederhana, kaum perempuan menyulam apa yang tidak bi14
sa disampaikan dengan kata-kata ...”! Dari aslinya yang begitu sederhana di Chili, bahasa dan seni membuat arpilleras kemudian menyebar ke Amerika Selatan dan ke Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Afrika, Yamaika, dan Selandia Baru. Diilhami oleh arpilleras mulamula, kaum perempuan di berbagai negara, yang bekerja sendiri atau secara bersama-sama, terus saja mendokumentasikan dalam bentuktekstil pengalaman-pengalaman hidup nyata mereka, atau dalam tanggapan mereka terhadap pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia secara global. Merefleksikan perjalanan universal ini, lembaranlembaran permadani yang lebih baru yang dipamerkan di sini berfokus pada perjuangan mempertahankan tanah sendiri, ranjau darat, aksi tanpa kekerasan, dan kaum migran, yakni isu-isu yang berdampak lokal dan global. Demikianlah, ketika kaum perempuan terus menggunakan jarum, benang, dan potongan kain untuk mengartikulasikan cerita mereka sendiri, kami mengajak Anda sekalian, peninjau atau peserta, untuk mencermati ceritacerita mereka, sekalipun hanya singkat, dan memberi ruang untuk berefleksi dan bertanya kepada diri sendiri bagaimana cerita-cerita ini bisa mendorong Anda untuk melakukan sesuatu, besar ataupun kecil. Akhirnya, kami mengajak Anda untuk mengeksplor arsip digital dari pameran ini di www.cain.ulst.ac.uk/quilts/exhibit/ followup.html#basel080615 .
Untuk kegiatan-kegiatan lainnya, lihat: www.cain.ulst.ac.uk/quilts
Koleksi arpilleras telah berkembang pesat akhirakhir ini, tidak hanya dalam hal jumlah tetapi juga dalam hal corak tekstil. Banyak item didonasikan kepada Roberta Bacic selama bertahun-tahun dan belum lama ini koleksi pribadi diserahkan Derry City dan koleksi arsip Dewan Distrik Strabane di Irlandia Utara. Northern Ireland. Koleksi itu telah diberi merek sebagai CONFLICT TEXTILES dan untuk konsumsi rumah tangga yang berasal dari pribadi dan/atau organisasi yang membantu pekerjaan ini maupun yang menunjukkan usaha mereka sendiri.
Alat Bagi Refleksi Dan Transformasi Rut dan Naomi, Para Perempuan Menulis Sejarah
Diceritakan ulang oleh Dr. Fulata Moyo, Eksekutif Program DGD untuk Kaum Perempuan dalam Gereja dan Masyarakat, dan Heidi Zingg Knöpfli, Ketua Bidang Studi di Mission 21. Cerita tentang Naomi dan Rut dibacakan sampai ke episode di mana Rut mengandung bayi Boas. Kerap pembacaan dihentikan sejenak dan para peserta dincermati kembali setiap tokoh dalam cerita (Rut, Naomi, dan Boas). Salah satu bagian yang paling kontroversial adalah episode tentang Naomi yang meminta Rut untuk pergi menemui Boas, berbaring di dekat kakinya dan singkatnya menyerahkan dirinya kepada laki-laki itu. Pada masa sekarang ini, permintaan Rut ini dapat dianggap sebagai perdagangan manusia. Tetapi apa kira-kira motifNaomi ketika itu? Bisa jadi, motifnya ekonomi, bisa jadi itu adalah jaminan finansial bagi Rut dan Naomo sendiri. Bagaimana perasaan kita sekarang ini dan apa reaksi kita jika kita dimanipulasi seperti itu? Bagaimana perasaan Boas ketika terbangun ia sadar bahwa ada perempuan di dekat kakinya? Mungkin jawaban bisa bervariasi, karena peserta berasal dari daratan yang berbeda. Salah seorang peserta dari Asia menceritakan bahwa di negaranya yang seperti ini bisa saja terjadi sampai beberapa waktu lalu karena baru belum lama ini kaum perempuan boleh mengambil keputusan sendiri setelah mereka menemukan rasa percaya diri yang lebih kuat sebagai dampak dari perkembangan industri. Pada akhirnya, kami semua setuju, walau kami berasal dari daratan yang berbeda, bahwa ketidaktergantungan ekonomi sangat membantu untuk mencegah kaum perempuan diperdagangkan atau dilacurkan. (Marlies Flury)
Women, As Valuable and Colourful as Pearls
Kami telah bertemu dengan banyak perempuan yang, dengan keteladanan mereka, telah mendukung, memperkaya, dan mempengaruhi kami dalam perkembangan dan pekerjaan kami. Kami taruh dan simpan mereka dalam ingatan kami bagaikan mutiara indah, semuanya dengan ukuran, bentuk, dan warna yang berbeda-beda, disatukan dalam satu untaian. Sebuah gambaran yang indah, begitu diungkapkan oleh Mercy Amba Oduyoye (2002) 1: "Ketika saya memandang aneka manik-manik, terpikirkan oleh saya akan keberadaan seorang perempuan Afrika yang mengalami perubahan: nenek saya, ibu saya, diri saya sendiri, para keponakan saya, dan cucu perempuan saya: manik-manikyangberbeda dari panci yangsama, berbeda bentuk, ukuran, warna, penggunaan, pola yangselalu berubah melekatdi benangbaru” (hlm. 102). Apa yang dikatakan oleh MercyAmba Oduyoye tentang kaum perempuan Afrika tentu saja berlaku untukkita semua. Mari kita beri kesempatan kepada semua perempuan untuk mengungkapkan diri mereka sendiri secara kreatif, berulang kali, menggunakan bentuk dan warna yang mereka sendiri pilih. Lalu lihat mereka membuat sejarah dan mempengaruhi cerita-cerita kehidupan di berbagai tempat dan dengan bermacam cara.
Foto: "Mutiara untuk mengenang perempuan-perempuan penting dalam sejarah", ditampilkan di Konferensi Kaum Perempuan Internasional, Juni 2015. Oleh Susan Cabezas.
1
Oduyoye, M. (2002). Beads and Strands. Reflection of an African Woman on Christianity in Africa. Akropong-Akuapem: Regnum Africa. 15
Ruang Info
Rev. Agness Njeyo, Secretary ofWomen and Children, Desk, Moravian Church in Tanzania
Gereja Moravia di Konferensi Kaum Perempuan Tanzania
Pada bulan November 2015, lebih daripada 300 pemimpin perempuan dari semua provinsi dan semua pendeta perempuan berkumpul di Dar es Salaam. Topik utama bahasan adalah hak anak-anak. Pidato-pidato, Pemahaman Alkitab, ibadah dan nyanyian pujian semuanya didasarkan pada perikop Alkitab Maleakhi 4:2, «bagimu akan terbit surya kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya.» Dr. Helen KigoBisimba, Direktur Pusat Lembaga Hukum dan Hak Asasi di Tanzania, melaporkan tentang situasi-situasi kritis yang dihadapi anak-anak di negara tersebut. Aksi-aksi Solidaritas untuk para Korban Boko Haram
BlogBaru: Jaringan-jaringan Weavingdi Amerika Latin
Blog ini merupakan ruang untuk bertukar pengetahuan dan pengalaman tentang teologi feminis, partisipasi sipil dan pilitik dan pencegahan kekerasan terhadap kaum perempuan di Amerika Latin: www.tejiendoredeslatinoamerica.org .
Formulir Pesanan Saya tertarik menerima Women‘s Letter. Nama Keluarga
Selama minggu perayaan ulang tahun ke 200 dari Basel Mission pada Juni 2015, Mission 21 mengadakan vigil terbuka di depan stasiun kereta api Basel untuk para korban Boko Haram. Dari 1 Juli terus sampai 31 Desember 2015, paling tidak ada satu kegiatan yang ditaruh setiap minggu dalam jaringan global Mission 21 dalam rangka solidaritas dengan para korban Boko Haram, Kristen dan juga Islam. Laporan reguler mengenai peristiwa-peristiwa diposting di www.solidarity-nigeria.org .
Nama Pribadi
Blog Kaum Perempuan dan Gender
Kembalikan ke:
Ruangan untuk pertukaran pengalaman di kalangan kaum perempuan dari empat daratan tersedia dalam bahasa Inggris, Jerman, Spanyol, dan Indonesi ada di www.m21-womengender.org/en/. 16
Alamat Kota Negara E-Mail Komentar
E-Mail:
Mission 21, Jolanda Urfer Missionsstrasse 21 Postfach 270 CH-4009 Basel
[email protected]