W i l d l i f e C o n s e r v a t i o n S o c i e t y I n d o n e s i a M a r i n e P r o g r a m Jl. Burangrang No. 18 - Bogor, INDONESIA 16151 www.wcsmarine-indonesia.org
“Membangun Puing Harapan” Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
Yudi Herdiana Irfan Yulianto Stuart J. Campbell Andrew H. Baird
2010
Wildlife Conservation Society Indonesia Marine Program
Buku “Membangun Puing Harapan” Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan diproduksi oleh Wildlife Conservation Society-Indonesia Marine Program Jl. Burangrang No. 18, Bogor 16151 Telepon: (+62) 251 8313 651, (+62) 251 8316 307 Fax: (+62) 251 8357 347 Email:
[email protected] Website: www.wcsmarine-indonesia.org Dan didukung oleh Kerzner Marine Foundation dan National Fish and Wildlife Foundation Tata letak sampul dan isi Amal Fatullah Randy dan Yudi Herdiana Foto sampul Rachel Grahamm
“Membangun Puning Harapan”
Sitasi Herdiana. Y, I. Yulianto, A. H. Baird, S. J. Campbell. 2010. Membangun Puing Harapan, Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan. Wildlife Conservation Society. Bogor. iv + 24 hlm.
i
Diproduksi tahun 2010
National Fish and Wildlife Foundation
Kerzner Marine Foundation
Indonesia Marine Program
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
i
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR TABEL
iv
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan 1.3. Ruang Lingkup BAB 2. GAMBARAN UMUM PERAIRAN UTARA ACEH 2.1. Kondisi Oseanografi 2.2. Kondisi Biodiversitas 2.2.1. Kondisi Terumbu Karang 2.2.2. Kondisi Ikan Karang 2.2.3. Konsiai Makro Avertebrata
1 1 2 2
BAB 3. GAMBARAN UMUM KONDISI PERIKANAN
7
BAB 4. GAMBARAN UMUM KONERVASI PENGELOLAAN PESISIR DAN LAUT 4.1. Latar Belakang 4.2. Tujuan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
8 8 9
BAB 5. KONSERVASI DAN PENGELOLAAN UNTUK KAWASAN PERAIRAN UTARA ACEH 5.1. Target Konservasi Perairan Aceh 5.2. Penentuan Kawasan Prioritas Konservasi di Perairan Aceh 5.3. Parameter Pendukung (Habitat Layer) 5.4. Parameter Kendala (Cost Layer) 5.5. Analisis Parameter Kendala 5.6. Analisis Spesies Penalty Factor 5.7. Kawasan Prioritas Konservasi Laut di Perairan Aceh
12 12 12 14 15 21 21 21
DAFTAR PUSTAKA
23
“Membangun Puning Harapan”
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
3 3 4 4 5 6
ii
DAFTAR GAMBAR
Pola Arus pada Februari – Maret (Bearman, 1993). Pola Arus pada Agustus-September (Bearman, 1993). Lokasi monitoring terumbu karang. Regenerasi karang paska terjadinya Tsunami (Y. Herdiana). Juvenil ikan karang (R. Ardiwijaya). Tridacna squamosa (WCS). Aktifitas di pasar ikan Lam Pulo, Banda Aceh (Y. Herdiana). Pengelompokan bioregion untuk análisis MARXAN (perbedaan warna menunjukan perbedaan bioregion). Sebaran kondisi penutupan karang hidup di perairan utara Aceh. Sebaran kondisi keragaman jenis karang keras di perairan utara Aceh. Sebaran kondisi rekrutmen karang di perairan utara Aceh. Sebaran kondisi biomassa ikan karang di perairan utara Aceh. Sebaran kondisi kelimpahan ikan karang di perairan utara Aceh. Sebaran kondisi kepadatan kima di perairan utara Aceh. Sebaran kondisi reef resillience di perairan utara Aceh. Sebaran habitat pari manta di perairan utara Aceh. Sebaran habitat penyu di perairan utara Aceh. Sebaran habitat Whaleshark di perairan utara Aceh. Sebaran habitat spesies ikan karismatik di perairan utara Aceh. Dampak pelabuhan di perairan utara Aceh. Dampak pemukiman di perairan utara Aceh. Daerah prioritas konservasi laut di Pulau Weh dan Pulau Aceh berdasarkan hasil analisis MARXAN.
“Membangun Puning Harapan”
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
iii
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
3 3 4 5 5 6 7 12 15 15 16 16 17 17 18 18 19 19 20 20 21 22
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Parameter dalam analisis MARXAN. Tabel 2. Parameter yang digunakan dalam analisis, pembobotan target dan Spesies Penalty Factor.
13 13
“Membangun Puning Harapan”
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
iv
1. PENDAHULUAN
“Membangun Puning Harapan”
1.1. Latar Belakang
1
Sebagai pengejawantahan dari Undang-Undang No.27 Tahun 2007 mengenai Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, elemen-elemen pemerintahan di daerah hingga ke tingkat kecamatan memiliki tanggung jawab dalam membangun sebuah sistem pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil di wilayahnya. Pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi suatu hal yang sangat penting dengan kecenderungan adanya laju kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh implementasi pengelolaan yang belum sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Implementasi pengelolaan masih bersifat eksploitatif dan hanya mengedepankan kepentingan ekonomi tanpa mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dengan kelestarian sumberdaya dan ekosistem di sekitarnya. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak memenuhi kaidah-kaidah pembangunan yang berkelanjutan akan mempengaruhi ekosistem disekitarnya secara signifikan. Kegiatan pembangunan yang akan mempengaruhi produktivitas sumberdaya akibat proses produksi dan residu, dimana pemanfaatan yang berbeda dari sumberdaya pesisir kerap menimbulkan konflik yang dapat berdampak timbal balik. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan pembangunan nasional akan dapat berhasil jika dikelola secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management, ICZM). (Dahuri et al., 1996; CicinSain and Knecht 1998; Kay and Alder 1999). Pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil diterjemahkan salah satunya kedalam bentuk kawasan konservasi perairan. Sebagai turunan dari Undang-Undang No.27 Tahun 2007, Indonesia memiliki panduan dalam pembentukan kawasan-kawasan konservasi perairan dalam bentuk. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kawasan konservasi perairan memiliki berbagai model dengan tujuan-tujuan spesifik yang berbeda, akan tetapi semuanya bermuara pada sebuah tujuan besar yaitu pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang berkelanjutan. Sumatra memiliki sebagian daerah yang memiliki keragaman karang tertinggi di wilayah barat Indonesia dimana hewan laut, khususnya ikan karang, termasuk keunikan campuran karakteristik spesies dari Samudera Hindia dan Pasifik (Brown, 2007). Sebagai contoh, dari 2057 spesies ikan karang yang tercatat di Indonesia, 60% ditemukan di Sumatera (Allen dan Adrim, 2003). Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Aceh) dikelilingi oleh perairan laut, di sebelah utara berbatasan dengan perairan Selat Malaka dan Laut Andaman, sebelah timur dengan perairan Selat Malaka; sebelah barat dan selatan dengan Perairan Samudera Hindia. Provinsi Aceh memiliki panjang pantai mencapai 1.660 km dengan luas kawasan pesisir dan lautan seluas 57.365,57 km2 (Anon, 2007). Perairan utara Aceh yang meliputi perairan di sekitar Pulau Weh dan Kepulauan Aceh merupakan daerah pesisir yang didominasi oleh ekosistem terumbu karang. Terumbu karang di Provinsi Aceh terkonsentrasi di tiga daerah yaitu Pulau Weh, Pulau Aceh, dan di sebelah Barat Daya Sumatera; Pulau Simeulue dan Kepulauan Banyak; termasuk hamparan karang-karang tepi di pesisir Pulau Sumatera (Spalding et al., 2001). Sebagian masyarakat di wilayah ini memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya laut, terutama yang berasal dari ekosistem terumbu karang. Manfaat ekonomi masyarakat di wilayah ini dari sumberdaya terumbu karang tidak hanya terbatas pada sumberdaya ikan, tetapi juga dari sektor lain, salah satunya pariwisata. Buku ini dibuat sebagai bentuk kepedulian terhadap pembangunan konservasi pesisir yang berkelanjutan di Provinsi Aceh. Buku ini menyajikan sebuah perspektif desain konservasi di wilayah pesisir khususnya bagi kawasan perairan utara Aceh yang meliputi Pulau Weh dan Kepulauan Aceh. Oleh karena itu buku ini diharapkan dapat menjadi sebuah solusi praktis bagi pemerintah Aceh dalam kepentingan perencanaan konservasi pesisir. Kami tentunya perlu menekankan bahwa analisis yang disajikan dalam buku Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
ini adalah gambaran awal dari rencana konservasi di Aceh. Analisis lebih lanjut hingga tingkat perencanaan dan implementasi perlu melibatkan stakeholder dalam menentukan target yang tepat untuk mencapai keseimbangan antara konservasi dan pembangunan di wilayah pesisir Aceh.
1.2. Tujuan
Tujuan dari kajian di dalam buku ini adalah melaksanakan perencanaan konservasi yang sistematis untuk memberikan kerangka dalam memastikan proses perbaikan alami ekoststem dapat terus berlanjut, dan sumberdaya laut yang ada saat ini dapat terlindungi dari ancaman yang semakin meningkat. Sebagai proses kajian awal, analisis dari penentuan target dan tujuan dalam analisis ini hanya terbatas pada kelompok peneliti saja. Analisis spasial selanjutnya perlu mengikutsertakan target dan tujuan dari berbagai stakeholder yang terkait.
1.3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup yang dibahas dalam buku ini adalah mengenai latar belakang penyusunan, gambaran umum sumberdaya pesisir, laut, dan perikanan di perairan utara Aceh. Buku ini pada akhirnya menyajikan sebuah perspektif desain konservasi perairan melalui identifikasi kawasan-kawasan prioritas untuk konservasi di wilayah pesisir. Proses analisis dan identifikasi didasarkan atas informasi-informasi ekologi, sosialekonomi, dan perikanan dilakukan secara spasial menggunakan alat bantu analisis MARXAN.
“Membangun Puning Harapan”
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
2
2. GAMBARAN UMUM PERAIRAN UTARA ACEH 2.1. Kondisi Oseanografi
Kondisi oseanografi di Pulau Weh sangat dipengaruhi oleh pola yang ada di Samudra Hindia (Indian Ocean). Menurut Bearman (1993) sirkulasi air di Samudra Hindia berubah mengikuti pola musim. Pada musim timur laut yang terjadi mulai Februari sampai Maret pada wilayah utara dan selatan samudra terjadi arus khatulistiwa utara dan arus khatulistiwa selatan yang bergerak dari timur ke barat dan di sekitar khatulistiwa terjadi arus equator yang bergerak sebaliknya dari barat ke timur (Gambar 1).
Gambar 1. Pola Arus pada Februari – Maret (Bearman, 1993)
“Membangun Puning Harapan”
Pada musim tenggara yang terjadi pada Agustus hingga September, di wilayah utara Samudra Hindia terjadi arus tenggara yang bergerak dari Jazirah Arab kearah tenggara dan barat. Di wilayah selatan Samudra Hindia terjadi Arus Khatulistiwa Selatan yang bergerak dari selatan Indonesia ke arah Afrika. Dalam skala yang lebih kecil juga menunjukkan hal yang serupa dengan yang terjadi di Samudra Hindia. Di Pulau Weh arus bergerak dari Selat Malaka menuju ke arah barat pada bulan Desember hingga Maret. Pada bulan agustus hingga Oktober terjadi arus yang bergerak dari arah barat dan berbalik arah di sekitar Selat Malaka di bagian utara.
Gambar 2. Pola Arus pada Agustus-September (Bearman, 1993)
3
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
2.2. Kondisi Biodiversitas
Perairan Aceh memiliki keunikan tersendiri bagi kawasan perairan sisi barat Indonesia secara umum. Kawasan utara Aceh memiliki karakteristik yang unik karena dipengaruhi oleh karakteristik perairan Selat Malaka dan Laut Andaman serta perairan Samudera Hindia. Wilayah pesisir perairan Aceh bagian utara dan pesisir selatan merupakan kawasan yang memiliki ekosistem terumbu karang membentang mulai dari Sabang, Aceh besar, Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeleu, sampai Pulau Banyak Kabupaten Aceh Singkil dengan luas ±274.841 ha. Pada Desember 2004, bencana tsunami mengakibatkan kerusakan terumbu karang di beberapa wilayah di perairan Aceh walaupun secara mengejutkan dalam skala yang tidak terlalu besar. Kerusakan karang lebih ditentukan oleh karakteristik habitat, dan lebih banyak dialami oleh jenis-jenis karang yang hidup pada substrat yang tidak stabil (substrat pasir). Terumbu karang di Aceh meskipun bervariasi, kondisinya berkorelasi dengan aktivitas manusia sebelum tsunami terjadi. Penutupan karang hidup yang tinggi ditemukan di kawasan yang aktivitas penangkapan ikannya dapat di kontrol. Sebaliknya di kawasan tanpa pengelolaan memiliki penutupan karang hidup yang rendah serta tingginya alga (Baird et al., 2005). Wildilife Conservation Society, bekerjasama dengan Universitas Syiah Kuala dan Institut Pertanian Bogor telah melakukan monitoring kondisi terumbu karang di perairan utara Aceh, meliputi Pulau Weh dan Pulau Aceh sejak tahun 2005. Monitoring dilakukan di 29 lokasi pengamatan yang tersebar di Pulau Weh dan Pulau Aceh (Gambar 3).
Gambar 3. Lokasi monitoring terumbu karang
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
“Membangun Puning Harapan”
2.2.1. Kondisi Terumbu Karang Kondisi terumbu karang bervariasi di kawasan ini, dimana ada perbedaan signifikan kondisi penutupan karang hidup berdasarkan pengelolaan kawasannya. Penutupan karang hidup ditemukan paling tinggi di kawasan Panglima Laut, dimana adanya pengaturan perikanan dibandingkan dengan kawasan wisata dan daerah lainnya di Pulau Weh. Rekrutmen karang ditemukan secara signifikan meningkat sejak tahun 2006, dan fenomena ini ditemukan merata di tiap-tiap kawasan pengelolaan. (Ardiwijaya et al., 2008). Ditemukan sebanyak 45 genus karang selama WCS melakukan survey di perairan Aceh; tahun 2005 ditemukan sebanyak 30 genus, sementara pada tahun 2006 ditemukan sebanyak 42 genus. Komposisi genus karang di perairan Aceh didominasi oleh jenis Porites (37%), Acropora (30%), dan Heliopora (11%); sedangkan 10% terdiri dari 39 genus lainnya (Ardiwijaya et al., 2006).Keragaman karang keras tercatat sebagai jumlah kumulatif genera karang keras sepanjang transek, Jumlah genera vs panjang transek ditransformasi menggunakan log10 untuk mengubah kurva menjadi garis lurus jumlah genera vs log10 (jarak).
4
Kemudian hasilnya dianalisis menggunakan regresi linier dan digunakan sebagai indeks keragaman genera (Edinger et.al, 1998). Rata-rata keragaman karang keras di Kepulauan Aceh adalah 2,7. Rata-rata keragaman di P. Weh dimana tidak ada kegiatan pengelolaan adalah sebesar 4,4, di pesisir timur P. Weh sebesar 4,98, dan di Kawasan Wisata (Iboih) 4,72. Jumlah rekrutmen karang yang tercatat pada tahun 2008 meningkat secara signifikan sejak tahun 2006. Fenomena ini ditemukan secara merata hampir di seluruh kawasan pengelolaan. Hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan tingkat regenerasi karang di kawasan ini. Di beberapa lokasi pengamatan di Pulau Aceh, ditemukan regenerasi penutupan karang hidup yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan tersebut memiliki kemampuan untuk pulih kembali, setelah mengalami kerusakan parah akibat tsunami tahun 2004. Fenomena ini juga ditemukan di kawasan lain Gambar 4. Regenerasi karang paska terjadinya Tsunami (Y. Herdiana) di Pulau Weh.
“Membangun Puning Harapan”
5
2.2.2. Kondisi Ikan Karang Berdasarkan monitoring sejak tahun 2006 hingga 2008, ditemukan bahwa kelimpahan serta biomassa ikan karang lebih tinggi secara signifikan di kawasan dimana ada pengelolaan dan pengaturan perikanan. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi ikan karang di kawasan ini. Hal ini menunjukkan bahwa usaha-usaha perlindungan dan pengelolaan harus tetap di jalankan di kawasan ini (Ardiwijaya et al., 2008). Jumlah spesies ikan karang secara signifikan ditemukan
antara kawasan yang ada pengelolaan serta kawasan tanpa pengelolaan. Rata-rata jumlah spesies ikan yang ditemukan, tertinggi berada di kawasan wisata (276 spesies), kemudian kawasan Panglima Laut (242 spesies), Pulau Weh (214 spesies), dan Pulau Aceh (159 spesies) (Ardiwijaya et al., 2006). Rata-rata biomassa ikan karang di Pulau Aceh adalah 399 kg/ha, dimana nilai ini relatif sama dengan daerah-daerah tanpa pengelolaan di Pulau Weh 460 kg/ha. Biomassa tertinggi ditemukan di kawasan pesisir timur P. Weh dimana terdapat pengelolaan Panglima Laut yaitu sebesar 1.346 kg/ha, serta Kawasan Wisata (Iboih) sebesar 942 kg/ha. Kelimpahan rata-rata ikan karang di Aceh Kepulauan adalah 10.771 ind/ha, dan di P. Weh tanpa pengelolaan sebesar 22.134 ind/ha. Rata-rata kelimpahan ikan karang di P. Weh dengan pengelolaan Panglima Laut sebesar Kawasan Wisata sebesar 70.517 ind/ha, dan di Kawasan Wisata sebesar 51.735 Gambar 5. Juvenil ikan karang (R. Ardiwijaya) ind/ha.
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
2.2.3. Kondisi Makro Avertebrata Kondisi terumbu karang bervariasi di kawasan ini, dimana ada perbedaan signifikan kondisi penutupan karang hidup berdasarkan pengelolaan kawasannya. Penutupan karang hidup ditemukan paling tinggi di kawasan Panglima Laut, dimana adanya pengaturan perikanan dibandingkan dengan kawasan wisata dan daerah lainnya di Pulau Weh. Rekrutmen karang ditemukan secara signifikan meningkat sejak tahun 2006, dan fenomena ini ditemukan merata di tiap-tiap kawasan pengelolaan. (Ardiwijaya et al., 2008). Kima banyak ditemukan di daerah perairan utara Aceh. Terdapat tiga jenis kima dari keluarga Tridacnidae yang tercatat, yaitu Tridacna maxima, T. squamosa, dan T. crocea, T. crocea dan T. maxima lebih banyak ditemukan di perairan dangkal, sedangkan T. squamosa lebih banyak ditemukan di perairan yang lebih dalam. Rata-rata kepadatan kima di P. Aceh ditemukan sebesar 0,5 ind./100m2, P. Weh tanpa pengelolaan sebesar 3,2 ind/100m2. Kepadatan kima di daerah pesisir timur P. Weh sebesar 2,9 ind/100m2, dan di Kawasan Wisata sebesar Gambar 6. Tridacna squamosa (WCS) 4,5 ind/100m2). Teripang dari famili Holothuridae jenis invertebrata laut yang dikumpulkan untuk konsumsi. Kepadatan teripang di P. Weh tanpa pengelolaan adalah sebesar 1,85 ind/100m2. Dalam Kawasan Wisata rata-rata kepadatan teripang adalah 0,6 ind/100m2, sedangkan di pesisir timur P. Weh dengan pengelolaan Panglima Laut sebesar 1 ind/100m2.
“Membangun Puning Harapan”
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
6
“Membangun Puning Harapan”
3. GAMBARAN UMUM KONDISI PERIKANAN
7
Di sektor perikanan, mengeksploitasi pesisir pantai sepanjang 1.660 km dengan luas perairan laut 295.370 km², terdiri atas luas wilayah perairan ( teritorial dan kepulauan ) seluas 56.563 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 238.807 km². Jenis ikan laut yang ditangkap: ikan kembung, layang, tongkol, tuna, dan tembang. Dari 1.660 km panjang garis pantai, 800 km di antaranya rusak diterjang gelombang tsunami. Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan terdiri perikanan tangkap di laut dan perairan umum (sungai, danau, waduk dan rawa-rawa) dan perikanan budidaya (ikan air payau di tambak, di kolam, ikan di sawah (mina padi) atau budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung, baik di laut maupun diperairan tawar). Gempa bumi dan tsunami 2004 telah menyebabkan kerusakan besar di sektor kelautan dan perikanan. Produksi perikanan tangkap (kembung, laying, tongkol, tuna, dan tembang) pada 2005 sebanyak 109.152,2 ton, sementara produksi 2004 mencapai 140.780,8 ton. Produksi 2006 ditar-
Gambar 7. Aktifitas di pasar ikan Lam Pulo, getkan meningkat menjadi 154.000 ton. Potensi ikan tangBanda Aceh (Y. Herdiana) kap di Aceh 1,8 juta ton. Sektor perikanan hanya menyerap 257.300 tenaga kerja atau sekitar 51.460 kepala keluarga atau mencapai 31,68% dari 811.971 total tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian. Potensi sumberdaya perikanan lainnya adalah budidaya rumput laut, kerapu, kakap, lobster dan kerang mutiara dengan potensi sebaran seluas ±12.014 ha,membentang mulai dari Sabang, Aceh besar, Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeleu, sampai Pulau Banyak Kabupaten Aceh Singkil. Pengembangan perikanan ini didukung oleh sebaran luas terumbu karang seluas ±274.841 ha, membentang mulai dari Sabang, Aceh Besar sampai pantai barat selatan Aceh. Produksi perikanan di Propinsi Aceh dari tahun 2005 sampat 2007 semakin meningkat setiap tahun. Pada Tahun 2005 dan 2006 memiliki komposisi produksi yang sama yaitu dengan produksi dominan adalah ikan (finfish) sebesar 96 % dari total produksi yangdiikuti udang sebesar 2%, binatang kulit keras dan binatang kulit lunak masing-masing 1 %. Pada tahun 2007 produksi dominan adalah binatang kulit keras yang mencapai 95 % yang diikuti ikan 4,76 %, dan binatang kulit lunak dan udang yang kurang dari 1 %. Jenis ikan hasil tangkapan yang mendominasi antara lain: longtail tuna, skipjack tuna, short bodied macckerel, Eastern litle tuna, shrimp scad, bigeye tuna, frigate tuna, slander scad, bluefin trevally, topedo scad, deepbody sardinella, dan anchovies. Wilayah pantai timur menyumbang 56 % dari total produksi pada tahun 2007, wilayah utara menyumbang 10 % dan wilayah barat menyumbang 34 %. Hal ini menunjukkan pada wilayah utara (Sabang, Banda Aceh , dan Aceh Jaya) lebih produktif karena jika dilihat dari jumlah nelayan, armada dan alat tangkap yang ada di wilayah utara hanya 4% dibandingkan dengan 2 wilayah lainnya.
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
4. GAMBARAN UMUM KONSERVASI DAN PENGELOLAAN PESISIR DAN LAUT 4.1. Latar Belakang
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
“Membangun Puning Harapan”
Telah dipahami bersama bahwa laut dan sumberdaya alami di dalamnya saat ini mengalami tekanan yang berat. Tekanan yang semakin meningkat disebabkan oleh kegiatan manusia, khususnya di daerah pesisir telah mengakibatkan kerusakan habitat-habitat yang ada dan juga mengakibatkan terjadinya overfishing terhadap sumber daya ikan. Lebih jauh lagi, tekanan ini juga mengancam kepunahan spesies dan kepunahan keragaman genetis yang semuanya disebabkan oleh kegiatan manusia. Seiring dengan meningkatnya persepsi mengenai pengelolaan sumberdaya laut dan habitatnya yang dirasakan belum cukup, perhatian semakin bertumbuh dalam mengembangkan berbagai pendekatan untuk memastikan keberlanjutan sumberdaya laut. Selama abad terakhir, perhatian terhadap cepatnya degradasi sumberdaya alam telah mengarahkan pembentukan kawasan-kawasan dilindungi di ekosistem terestrial yang membatasi kegiatan manusia, untuk menjaga keindahan alam dan mendukung keberadaan spesies-spesies lokal. Masyarakat menerima konsep ini yang kemudian diadaptasikan di ekosistem pesisir dan laut, dengan tujuan untuk mencegah eksploitasi berlebihan (overexploitation), konservasi keragaman hayati, dan perlindungan habitat, dalam bentuk kawasan konservasi laut. Saat pengelolaan menjadi lebih terintegrasi dan menyeluruh, kawasan konservasi laut (KKL) menjadi tools yang lebih penting untuk konservasi sumberdaya laut. Kawasan konservasi laut salah satunya diusulkan sebagai komponen yang terintegrasi dalam pengelolaan, dengan membangun jejaring kawasan konservasi laut yang bertujuan untuk meningkatkan pengelolaan pesisir dan laut (Done dan Reichelt, 1998). Meskipun begitu, implementasinya terhambat oleh kurangnya pemahaman mengenai bagaimana mendesain kawasan konservasi laut untuk memaksimalkan fungsinya. Penurunan produktivitas dan keragaman biologi dalam banyak kasus dapat diakibatkan oleh penangkapan ikan dan kegiatan manusia seperti pembangunan pesisir, polusi, wisata, dan lain-lain. Keadaan ini telah mendorong pendekatan baru yang dapat menjaga dan mengembalikan kondisi produktivitas dan keragaman biologi. Kawasan konservasi laut dapat digunakan untuk melindungi habitat penting dan terancam dalam rangka mendukung pemulihan kembali komunitas biologi dan produktivitasnya. Hal penting lainnya dari kawasan konservasi laut adalah memotivasi masyarakat dalam meningkatkan kepedulian mereka terhadap sumberdaya pesisir dan laut melalui kebijakan pemanfaatan lahan dan kontrol terhadap polusi. Pemanfaatan sumberdaya laut tidak selalu beriringan dengan konsep daerah perlindungan laut atau menerima konsep tersebut saat KKL terbentuk. Stakeholder mungkin kehilangan kepercayaan terhadap lembaga pengelola, pemerintah, maupun ilmuan, terutama saat keberadaan KKL harus berbenturan dengan kemungkinan hilangnya akses masyarakat terhadap sumberdaya yang ada. Selain itu konflik kepentingan pemanfaatan (perikanan, wisata selam, pertanian, pembangunan, dan industri), dapat mengakibatkan hambatat dalam pengelolaan KKL. Masalah ini khususnya timbul jika stakeholder yang ada tidak terlibat cukup dalam desain dan perencanaan KKL, yang bahkan seringkali mengakibatkan pertentangan (Kelleher dan Recchia, 1998). Oleh karena itu sangat penting untuk melakukan proses desain dan perencanaan konservasi yang melibatkan sebanyak mungkin pihak-pihak yang terkait. Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi suatu mandat yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
8
4.2. Tujuan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Dalam ruang lingkup Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, menurut UU No. 27 Tahun 2007, pengelolaan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan dengan tujuan: a. Melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan; b. Menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; c. Memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan; dan d. Meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Salah satu bentuk pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil diterjemahkan kedalam bentuk pembentukan suatu kawasan konservasi. Pembentukan suatu kawasan konservasi laut bertujuan untuk melindungi: a. Sumber daya ikan; b. Tempat persinggahan dan/atau alur migrasi biota laut lain; c. Wilayah yang diatur oleh adat tertentu, seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, dan/atau istilah lain adat tertentu; dan d. Ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan. Secara umum, kawasan konservasi laut dibangun untuk memenuhi berbagai tujuan, meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan nilai dari suatu kawasan pengelolaan di daerah pesisir dan laut. Berdasarkan tujuannya secara umum kawasan konservasi laut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
“Membangun Puning Harapan”
a.
9
Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Habitat Dorongan untuk menjaga keanekaragaman hayati dan habitatnya datang dari berbagai sudut pandang, dari alasan estetika hingga ekonomi. Manusia menyadari pentingnya menjaga keberlanjutan sumberdaya dan memiliki keinginan untuk menjaga kelestarian habitat bagi generasi mendatang. KKL salah satunya bertujuan untuk menjaga spesies atau populasi yang terancam, hampir punah, ataupun kelimpahan nya mulai menurun. Banyak populasi spesies laut yang semakin terancam keberadaannya atau punah, dengan potensi menghilangkan keragaman genetis (Dayton et al., 1998). Sebagai contoh, kima raksasa (Tridacna gigas), telah hilang dari beberapa kepulauan dai daerah Pasifik disebabkan karena pemanfaatan berlebih (Wells, 1997). Kawasan perlindungan laut dapat dibentuk dengan tujuan spesifik untuk melindungi spesies-spesies tertentu dengan menjaga habitat mereka agar mereka dapat bertahan. Tujuan kawasan konservasi laut berikutnya adalah untuk menjaga dan mengembalikan kondisi habitat-habitat dan ekosistem penting. Dengan menjaga ekosistem penting, KKL akan dapat membantu memastikan konservasi keragaman spesies dan genetis. Meskipun sifat laut yang dinamis dan terbuka serta kemampuan penyebaran dari organisma laut mengurangi kemungkinan kepunahan suatu spesies, akan tetapi menjaga berbagai habitat diperlukan untuk memberikan tempat perlindungan dan makanan dalam mendukung proses-proses regenerasi suatu spesies tertentu. Beberapa habitat mengalami tekanan berat yang diakibatkan oleh kegiatan perikanan merusak dan polusi. Beberapa habitat juga merupakan daerah penting bagi banyak organisma laut seperti tempat memijah dan daerah asuhan (nursery ground) juvenil. Kerusakan daerah-daerah penting tersebut akan mengakibatkan gagalnya berbagai spesies untuk melakukan regenerasi yang disebabkan oleh tidak adanya daerah yang mampu mendukung proses tersebut. Saat habitat-habitat penting dapat didentifikasi, mereka dapat dilindungi melalui implementasi KKL. Selain itu, KKL juga dapat dibangun untuk membantu mengembalikan kondisi habitat yang mengalami kerusakan. b. Pengelolaan Perikanan Suatu kawasan perlindungan untuk perikanan dapat meningkatkan pengelolaan perikanan dengan berbagai cara tergantung karakteristik sumberdaya yang ada, karakteristik komunitas nelayan, dan sistem Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
pengelolaan yang berlaku di lokasi tersebut. Salah satu tujuan kawasan konservasi laut yang berhubungan dengan pengelolaan perikanan adalah untuk membantu mengontrol dan mengurangi tingkat eksploi tasi melalui dua cara. Cara pertama untuk spesies-spesies demersal, kawasan konservasi dapan menjadi cara yang efektif dalam mengontrol tingkat penangkapan dengan cara melindungi atau mempatasi penangkapan terhadap beberapa jenis ikan tertentu. Cara kedua yaitu mengurangi upaya penangkapan dengan menutup suatu kawasan dan mengalihkan kegiatan perikanan dari suatu lokasi ke lokasi lainnya. Tujuan berikutnya adalah untuk melindungi fase kritis dari siklus hidup suatu spesies ikan tertentu. Melindungi daerah asuhan dimana kemungkinan tingginya juvenil-juvenil yang tertangkap akibat kegiatan perikanan menjadi alasan umum dalam mebangun kawasan perlindungan di masa lalu. Menutup suatu daerah asuhan dapat sangat efektif untuk konservasi stok ikan, karena kematian juvenil memberikan pengaruh sangat signifikan terhadap pertumbuhan biomassa ikan dewasa suatu spesies ikan (Horwood et al.,., 1998). Selain itu kawasan konservasi juga mampu melindungi suatu habitat dimana ikan biasa melakukan pemijahan. Perlindungan daerah pemijahan sangat penting jika: (1) melindungi jenis-jenis ikan yang memiliki fase hidup yang kompleks, (2) telur, larva, dan juvenil ikan akan terganggu jika ada kegiatan perikanan, (3) jika ikan melakukan pemijahan dalam jumlah yang besar dan sulit untuk melakukan pengaturan kegiatan penangkapan (Johannes, 1998). Tujuan selanjutnya adalah untuk mengurangi dampak lain dari kegiatan perikanan. Kegiatan penangkapan ikan tidak hanya berdampak terhadap keberadaan stok ikan, akan tetapi seringkali juga mengakibatkan kerusakan terhadap habitat. Tergantung dari jenis alat tangkap yang digunakan, kegiatan penangkapan ikan juga dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem dasar perairan (benthik). Perlindungan terhadap habitat benthik dari kerusakan akibat alat tangkap tidak hanya melindungi keanekaragaman hayati, tetapi juga membantu melindungi sumberdaya ikan tertentu jika fase hidup mereka tergantung pada keberadaan habitat benthik. Kawasan konservasi laut juga bertujuan untuk membantu mengurangi kemungkinan gagalnya pengelolaan perikanan secara konvensional. Karena metode pengkajian stok masih memiliki banyak keterbatasan (NRC, 1998), khususnya yang disebabkan oleh terbatasnya data yang tersedia (NRC, 2000), kawasan konservasi laut menawarkan sebuah cara yang dapat memastikan tingkat pemanfaatan stok ikan tidak akan melebihi suatu angka maksimum tertentu, sehingga stok ikan tidak berkurang hingga titik dimana sulit untuk regenerasi. Banyak penelolaan perikanan dilakukan dengan cara membatasi penangkapan terhadap stok ikan tertentu, atau adanya pengaturan alat tangkap. Akan tetapi pendekatan ini tidak selalu berjalan dengan mulus, diantaranya disebabkan karena tidak adanya informasi mengenai jumlah stok yang boleh diambil.
c.
d. Tujuan Pendidikan Sebuah kawasan konservasi juga memiliki manfaat bagi masyarakat untuk mempelajari keanekaragaman hayati laut dan bagaimana dampak dari kegiatan manusia di darat dan laut mempengaruhi ekoSebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
“Membangun Puning Harapan”
Tujuan Ilmiah Salah satu tujuan kawasan konservasi laut yang berhubungan dengan tujuan ilmiah adalah untuk menyediakan sumber informasi dan data dasar untuk memahami karakteristik ekosistem di suatu daerah. Ekosistem laut memiliki asosiasi yang sangat tinggi sebagai hasil dari variasai alami dan dampak kegiatan manusia. Karena faktor yang mempengaruhi perubahan pada ekosistem berlangsung secara simultan pada waktu dan lokasi yang berbeda, sangat sulit untuk mengukur dampak yang diakibatkan oleh manusia tanpa adanya informasi dasar dari kondisi ekosistem yang masih baik sebagai tolak ukur. Memahami dinamika populasi ikan terkendala oleh sulitnya memisahkan dampak kegiatan penangkapan dari variablitas lingkungan itu sendiri. Spesies-spesies demersal di kawasan perlindungan akan memberikan informasi sebagai control untuk membandingkan kondisi di dalam kawasan perlindungan dan kondisi diluar kawasan. Melindungi beberapa stok ikan dari kegiatan penangkapan mungkin akan dapat memfasilitasi penelitian mengenai rekrutmen dan pertumbuhan stok ikan serta dampak yang dialami dari kegiatan penangkapan. Kawasan perlindungan dapat memilik peran penting dalam penelitian perikanan dalam mempelajari dampak penangkapan ikan terhadap suatu stok ikan atau habitat.
10
sistem. Banyak kawasan konservasi laut yang juga membangun pusat informasi dan materi-materi pendidikan bagi pelajar dan masyarakat.
e.
Mendukung Kegiatan Wisata Kegiatan wisata dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap nilai komersial dari sebuah kawasan konservasi laut. Daya tarik keindahan alam laut untuk wisata sangat tergantung dari kondisi lingkungannya. Sebuah kawasan konservasi mungkin dapat menjadi pemicu dibentuknya kegiatan-kegiatan wisata non-konsumtif dan ramah lingkungan yang lebih mementingkan pengenalan terhadap alam. Kegiatan wisata yang tidak mengancam perlindungan terhadap kehidupan laut tidak hanya membuka peluang ekonomi bagi masyarakat, melainkan juga meningkatkan apresiasi dan dukungan terhadap kawasan konservasi laut. f.
Keuntungan Lingkungan yang Berkelanjutan Ekosistem laut memberikan keuntungan lain selain sumberdaya perikanan yang dapat dimanfaatkan. Ekosistem-ekosistem yang dilindungi di suatu kawasan konservasi juga memberikan manfaat-manfat ekologis seperti perbaikan kualitas air, perlindungan wilayah pesisir dari kerusakan fisik akibat badai (terumbu karang, mangrove, padang lamun), bioremidiasi, pengurangan karbon, dan siklus nutrien. Kawasan konservasi laut dapat menjaga keberadaan ekosistem dan fungsi-fungsi yang dimilikinya.
“Membangun Puning Harapan”
g. Melindungi Warisan Budaya Sebuah kawasan onservasi dapat juga dibentuk di sebuah daerah yang memiliki nilai budaya yang tinggi. Sebagai contoh kawasan konservasi dapat melindungi lokasi arekeologi, kapal tenggelam, lokasi bersejarah, membantu memastikan pemanfaatan tradisional, budaya dan daerah yang dikeramatkan. Hal-hal yang berkaitan dengan kawasan konservasi laut di Indonesia seperti: kategori kawasan konservasi, kawasan konservasi nasional; pola dan tata cara pengelolaan kawasan konservasi, dan tata cara penetapan nya secara lebih spesifik diatur dalam Peraturan Menteri. Peraturan Menteri yang berkaitan dengan hal tersebut diantaranya Peraturan Menteri No. 17 Tahun 2008 tentang kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan No. 2 Tahun 2009 tentang tata cara penetapan kawasan konservasi perairan.
11
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
5. KONSERVASI DAN PENGELOLAAN UNTUK KAWASAN PERAIRAN PANTAI UTARA ACEH 5.1. Target Konservasi Perairan Aceh
Tidak ada aturan baku mengenai berapa luasan daerah perlindungan yang diharuskan. Hasil-hasil studi memberikan rekomendasi luasan yang berkisar antara 20 – 80% dari luas habitat yang ada, berdasarkan tujuan konservasinya. Sebagai contoh berdasarkan model yang dibangun oleh Goodyear (1993), mencegah overfishing terhadap rekrut baru disarankan untuk melindungi stok untuk tidak ditangkap sebanyak diatas 20%. Beberapa studi yang melakukan evalusasi terhadap berapa luas yang harus dilindungi agar tetap menjaga representasi dan replikasi menyimpulkan setidaknya diperlukan daerah seluas 10 - 35% (NAS, 2001). Dalam kajian ini, target konservasi yang diusulkan untuk perairan Aceh adalah (a) melindungi sebanyak 15 hingga 20% ekosistem terumbu karang, dan (b) melindungi lebih dari 50% habitat-habitat yang memiliki kondisi sangat baik. Selain itu habitat-habitat penting untuk hewan hewan laut karismatik (seperti: ikan Napoleon, Bumpedhead parrotfish, manta, dan penyu merupakan bagian dari target kawasan prioritas konservasi. Daftar parameter dan target yang akan dicapai dari masing-masing parameter tersaji pada Tabel 2.
5.2. Penentuan Kawasan Prioritas Konservasi di Perairan Aceh
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
“Membangun Puning Harapan”
Analisis kawasan prioritas untuk konservasi di kawasan perairan utara Aceh dilakukan melalui metode analsis spasial berbasis GIS dengan software MARXAN. Data yang digunakan dalam analisis ini berasal dari berbagai sumber informasi ekologi dan sosial-ekonomi yang diambil sejak tahun 2006 hingga 2008 (Tabel 1). Data ekologi diambil dari 64 lokasi pengamatan di perairan Aceh. Untuk keperluan análisis MARXAN, kami membagi variabelvariabel tersebut menjadi kelompok ‘habitat layer’ dan ‘cost layer’. Habitat layer adalah variabel-variabel yang menentukan dalam pemilihan lokasi prioritas, cost layer adalah variabel-variabel yang memberikan
beban terhadap kegiatan pengelolaan konGambar 8. Pengelompokan bioregion untuk análisis MARXAN servasi. (perbedaan warna menunjukan perbedaan bioregion) Tahapan awal untuk analisis MARXAN, adalah dengan mendefinisikan bioregion. Bioregion adalah kelompok-kelompok (kluster) kecil dari daerah pesisir dan terumbu karang yang memiliki kesamaan karakteristik dalam hal geografis dan komponen-komponen penyusun dasarnya (Meerman, 2002). Pendekatan ini dipilih karena keperluan dalam melakukan analisis menggunakan berbagai variabel (karang hidup, keragaman jenis karang, rekrutmen karang, biomassa dan kelimpahan ikan karang, kelimpahan makro avertebrata, dan resilien), berdasarkan kategori (sangat baik, baik, sedang, dan buruk). Penentuan dan pengelompokan bioregion dilakukan melalui proses diskusi ahli dengan melihat karakteristik habitat terumbu karang. Pengelompokan bioregion tersaji pada Gambar 8.
12
Tabel 1. Parameter dalam analisis MARXAN.
Parameter Pendukung (Habitat Layer) Karang hidup Keragaman jenis karang Rekrutmen karang Biomassa ikan karang Kelimpahan ikan karang Kekayaan spesies ikan karang Kepadatan kima Reef ressilience Kawasan penting bagi Ikan Napoleon Kawasan penting bagi Ikan Bolbometopon Kawasan penting bagi Ikan Caranx sp. Kawasan penting bagi Manta Kawasan penting bagi Penyu Kawasan penting bagi Whaleshark Mangrove
Parameter Kendala (Cost Layer) Pemukiman Pelabuhan Tekanan perikanan Budidaya Ancaman dari COT
Tabel 2. Parameter yang digunakan dalam analisis, pembobotan target dan Spesies Penalty Factor. No. Mangrove
2 3 4 5 6
SPF 80.00
Penutupan Karang Rendah
0.00
10.00
Penutupan Karang Sedang Penutupan Karang Tinggi
72.00 100.00
50.00 100.00
Rekrutmen Karang Sangat Tinggi Rekrutmen Karang Tinggi
75.00 50.00
50.00 50.00
7
Rekrutmen Karang Sedang
20.00
10.00
8
Rekrutmen Karang Rendah
30.00
10.00
8 9
Biomassa Ikan Karang Rendah
0.00
10.00
Biomassa Ikan Karang Sedang
0.00
30.00
10
Biomassa Ikan Karang Tinggi Biomassa Ikan Karang Sangat Tinggi
80.00 100.00
50.00 100.00
Keragaman Jenis Karang Rendah Keragaman Jenis Karang Sedang Keragaman Jenis Karang Tinggi Keragaman Jenis Karang Sangat Tinggi
0.00 0.00 53.40
10.00 10.00 50.00
70.00
100.00
17
Kepadatan Kima Rendah Kepadatan Kima Sedang
0.00 81.00
10.00 50.00
18 19
Kepadatan Kima Tinggi Bolbometopon muricatum
90.00 90.00
80.00 50.00
20 21
Trevaly
200.00
50.00
Ikan Napoleon
30.00
75.00
22 23
Pari Manta Penyu
50.00 50.00
50.00 75.00
24
Whaleshark
28.80
50.00
25 26
Desa/Pemukiman Kelimpahan Ikan Karang Rendah
174.30 0.00
50.00 10.00
27
Kelimpahan Ikan Karang Sedang Kelimpahan Ikan Karang Baik Kelimpahan Ikan Karang Sangat Baik
10.00 73.80
10.00 50.00
50.00
100.00
12 13 14 15 16
“Membangun Puning Harapan”
Target 17.00
11
13
Parameter
1
28 29 30 31
Resilience Karang Rendah Resilience Karang Sedang
0.00 101.10
10.00 50.00
32
Resilience Karang Tinggi
19.20
100.00
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
5.3. Parameter Pendukung (Habitat Layer)
a. Pentupan karang hidup, keragaman jenis karang, dan rekrutmen karang keras Kondisi karang di Pulau Weh secara umum relatif sangat baik, sehingga memberikan banyak pilihan untuk dijadikan daerah perlindungan. Penutupan karang hidup di perairan utara Aceh berdasarkan survei WCS tahun 2006 menunjukan kisaran antara 1,25% hingga tertinggi 60,75%. Sedangkan berdasarkan data tahun 2009, penutupan karang hidup berkisar antara 11% - 79.75%, yang diakibatkan oleh terjadi peningkatan yang signifikan di beberapa lokasi survei di Pulau Aceh, diantaranya Lhoh dan Paloh. Penutupan karang hidup di Lhoh dan Paloh pada tahun 2006 adalah 12,5% dan 2,25%, dan pada tahun 2009 penutupan karnag hidup meningkat menjadi 55% dan 79.5%. Untuk análisis MARXAN, penutupan karang hidup di Aceh dikelompokan kedalam tiga kelompok yaitu Baik (>50%), Sedang (25–50%), dan Rendah (<25%). Pengelompokan ini didasarkan atas karakteristik sebaran data penutupan karang hidup di kawasan utara Aceh. Sebaran kondisi penutupan karang hidup tersaji pada Gambar 9. Indeks keragaman jenis karang hidup berkisar antara 0 - 9,4. Indeks keragaman jenis karang hidup di bagi kedalam 4 kelas yaitu Sangat Baik (>4,8), Baik (4,5 - 4,8), Sedang (3,5 - 4,5), dan Rendah (<3,5). Kondisi keragaman jenis karang hidup tersaji pada Gambar 10. Rekrutmen karang keras berkisar antara 1 – 7,7 ind/100m2. Rekrutmen karang keras di bagi kedalam 4 kelas yaitu Sangat Baik (>8 ind/100m2 ), Baik (5,5 – 8 ind/100m2 ), Sedang (2,5 – 5,5 ind/100m2 ), dan Rendah (<2,5 ind/100m2). Kondisi rekrutmen karang keras tersaji pada Gambar 11. b. Biomassa, kelimpahan, dan kekayaan spesies ikan karang Biomassa ikan karang berdasarkan data survei ekologi yang dilakukan WCS di 27 lokasi pada tahun 2006 berkisar antara 50.4 kg/ha hingga 2.956,9 kg/ha. Dalam análisis, biomassa ikan karang dikelompokan kedalam 4 kelas yaitu Sangat Baik (>850 kg/ha), Baik (500 - 850 kg/ha), Sedang (275 - 500 kg/ha), dan Rendah (<275 kg/ha). Pengelompokan ini didasarkan atas karakteristik sebaran data penutupan biomassa ikan karang di kawasan utara Aceh. Sebaran kondisi biomass ikan karang tersaji pada Gambar 12. Kelimpahan ikan karang berdasarkan data tahun 2006 berkisar antara 2.490 ind/ha hingga 167.200 ind/ha. Dalam análisis, kelimpahan ikan karang dikelompokan kedalam 4 kelas yaitu Sangat Baik (>40.000 kg/ha), Baik (17.500 - 40.000 ind/ha), Sedang (17.500 – 7.500 ind/ha), dan Rendah (<7.500 ind/ha). Pengelompokan ini didasarkan atas karakteristik sebaran data kelimpahan ikan karang di kawasan utara Aceh. Sebaran kondisi kelimpahan ikan karang tersaji pada Gambar 13. c. Kepadatan kima Kepadatan kima berdasarkan data tahun 2006 berkisar antara 0 ind/100m2 hingga 14 ind/100m2, dengan rata-rata kepadatan 3,4 ind/100m2. Dalam análisis, kepadatan kima dikelompokan kedalam 4 kelas yaitu Sangat Tinggi (>5 ind/100m2), Baik (2 - 5 ind/100m2), Sedang (1 -2 ind/100m2), dan Rendah (<1 ind/100m2). Pengelompokan ini didasarkan atas karakteristik sebaran data kepadatan kima di kawasan utara Aceh. Sebaran kondisi kepadatan kima tersaji pada Gambar 14.
e. Habitat fauna laut karismatik Sebaran spasial habitat fauna laut karismatik didapatkan melalui survei wawancara sosial-ekonomi dan perikanan. Beberapa fauna laut karismatik yang digunakan dalam analisis ini berdasarkan data hasil wawancara dengan nelayan adalah Pari Manta, Penyu, Whaleshark, Ikan Napoleon, Bolbometopon muricatum, dan Ikan Kue (Caranx sp.). Beberapa informasi mengenai sebaran fauna-fauna laut tersebut haSebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
“Membangun Puning Harapan”
d. Reef resillience Reef resillience atau kelentingan adalah kemampuan suatu habitat atau ekosistem dalam mengembalikan keadaannya setelah mengalami gangguan atau kerusakan. Reef resilience dikaji dengan mengacu kepada metodologi yang diperkenalkan oleh reefresillience.org Semakin tinggi nilai resillience menunjukan semakin baiknya suatu daerah dalam mengembalikan kondisi habitatnya setelah mengalami gangguan. Reef resillience merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan suatu kawasan konservasi. Sebaran kondisi reef resillience tersaji pada Gambar 15.
14
hanya tersedia di Pulau Weh saja, karena belum dilakukan studi yang memeadai untuk daerah Kepulauan Aceh. Sebaran spasial habitat fauna laut karismatik tersaji pada Gambar 16, 17, 18, dan 19.
f. Mangrove Mangrove merupakan ekosistem pesisir penting dalam analisis ini. Ekosistem mangrove ditemukan cukup luas di Pulau Weh, yang terkonsentrasi di wilayah Iboih dan Gapang.
5.4. Parameter Kendala (Cost Layer)
Paramater-parameter kendala yang digunakan dalam análisis ini adalah: lokasi pemukiman, pelabuhan, lokasi penangkapan ikan, budidaya, dan kelimpahan bintang laut berduri (Achantaster planci). Beberapa sebaran spasial parameter kendala tersaji pada Gambar 17 dan 18.
“Membangun Puning Harapan”
Gambar 9. Sebaran kondisi penutupan karang hidup di perairan utara Aceh.
Gambar 10. Sebaran kondisi keragaman jenis karang keras di perairan utara Aceh.
15
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
Gambar 11. Sebaran kondisi rekrutmen karang di perairan utara Aceh.
Gambar 12. Sebaran kondisi biomassa ikan karang di perairan utara Aceh.
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
“Membangun Puning Harapan”
16
“Membangun Puning Harapan”
Gambar 13. Sebaran kondisi kelimpahan ikan karang di perairan utara Aceh.
17
Gambar 14. Sebaran kondisi kepadatan kima di perairan utara Aceh.
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
Gambar 15. Sebaran kondisi reef resillience di perairan utara Aceh.
Gambar 16. Sebaran habitat pari manta di perairan utara Aceh.
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
“Membangun Puning Harapan”
18
“Membangun Puning Harapan”
Gambar 17. Sebaran habitat penyu di perairan utara Aceh.
19
Gambar 18. Sebaran habitat Whaleshark di perairan utara Aceh.
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
Gambar 19. Sebaran habitat spesies ikan karismatik di perairan utara Aceh.
Gambar 20. Dampak pelabuhan di perairan utara Aceh.
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
“Membangun Puning Harapan”
20
Gambar 21. Dampak pemukiman di perairan utara Aceh.
5.5. Analisis Parameter Kendala
“Membangun Puning Harapan”
Pembobotan yang berbeda diberikan terhadap empat parameter kendala (pemukiman, pelabuhan, dan tekanan perikanan. Data tekanan perikanan yang digunakan dalam analisis ini adalah aktivitas perikanan yang berasal dari alat tangkap jaring dan pancing. Analisis dilakukan berdasarkan rumus berikut (Herdiana et al., 2008): TFC = 2 P + 8J + 0.5C + 2K dimana: TFC = Total Nilai Fitur Cost P = Pelabuhan J = Jaring C = Pancing D = Pemukiman
21
Terdapat beberapa parameter kendala yang diisolasi agar daerah tersebut tidak dipilih oleh MARXAN saat menentukan daerah priorotas bagi kawasan perlindungan. Fitur-fitur tersebut adalah lokasi budidaya, daerah penambangan karang, dan daerah dengan kelimpahan bintang laut berduri (Achantaster planci) yang tinggi atau melewati ambang batas kelimpahan berlebih. A. planci dikatakan berada dalam kelimpahan berlebih jika kepadatan bintang laut dewasa (diameter >15 cm) sebesar 30 ekor per hektar (IUCN, 2004). Sebaran daerah yang tidak diikutsertakan didalam analisis tersaji pada Gambar 22.
5.6. Analisis Spesies Penalty Factor
Tahap selanjutnya adalah menentukan nilai Species Penalty Factor (SPF). SPF didefinisikan sebagai nilai kerugian (dalam bentuk rasio 0-100) jika kita tidak mengikutsertakan salah satu fitur konservasi ke dalam jejaring daerah perlindungan. (Ardron et al., 2008).
5.7. Kawasan Prioritas Konservasi Laut di Perairan Aceh
Kondisi karang di Pulau Weh secara umum relatif sangat baik, sehingga memberikan banyak pilihan untuk dijadikan daerah perlindungan. Daerah-daerah yang berpotensi untuk dijadikan daerah perlindungan ditandai oleh warna merah pada peta hasil analisis (Gambar 18). Daerah berwarna ungu merupakan Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
daerah-daerah yang tidak diikutsertakan dalam analsis, dikarenakan daerah yang sulit untuk dijadikan daerah perlindungan. Warna coklat menunjukkan kawasan yang telah ada pengelolaan sebelumnya (yaitu Kawasan Wisata). Di Pulau Aceh, hasil analisis menunjukkan bahwa hanya lebih kurang 10% dari kawasan peisir yang berpotensi untuk dijadikan daerah perlindungan. Hal ini dikarenakan karena secara umum terumbu karang di Pulau ini berada dalam kondisi buruk (Baird et al., 2005; Campbell et al., 2007). Berdasarkan analisis, dari seluruh kawasan perairan utara Aceh, terdapat sekitar 15-20% dari daerah terumbu karang yang berpotensi untuk dijadikan daerah perlindungan atau pengelolaan, dimana 50% diantaranya merupakan daerah dengan kondisi habitat terbaik. Di abaikan nya daerah-daerah yang mendapatkan tekanan tinggi dari aktifitas manunis seperti kawasan pemukiman, pelabuhan serta konflik pemanfaatan sumberdaya memungkinkan untuk hasil dari analisis ini tidak akan menimbulkan konflik kepentingan di tingkat implementasi. Analisis kawasan prioritas konservasi perairan di perairan utara Aceh dengan menggunakan analisis MARXAN telah mengikutsertakan berbagai faktor ekologi, sosial-ekonomi, dan perikanan didalamnya, sehingga diharapkan telah mengakomodasi representasi karakteristik-karakteristik yang ada di kawasan ini. Analisis ini merupakan kajian awal mengenai kawasan-kawasan prioritas konservasi di perairan utara Aceh. Untuk analisis lebih lanjut perlu dilakukan diskusi publik dengan pihak-pihak terkait untuk menentukan target yang tepat serta menemukan keseimbangan antara konservasi dan pembangunan di wilayah pesisir dan laut di provinsi Naggroe Aceh Darussalam.
Gambar 22. Daerah prioritas konservasi laut di Pulau Weh dan Pulau Aceh berdasarkan hasil analisis MARXAN.
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
“Membangun Puning Harapan”
22
DAFTAR PUSTAKA Allen GR, Adrim M. 2003. Coral Reef Fishes of Indonesia. Zool Stud 42: 1-72. Anonimus. 1997. Dokumen analisis kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Green Coast – for nature and people after the tsunami. Ardiwijaya RL, Kartawijaya T, Setiawan F, Herdiana Y, Campbell SJ. 2008. Technical Report – Coral Reef Ecology Survey: Weh Island and Aceh Islands – 2006. . WildlifeConservation Society – In donesia Marine Program Bogor, Indonesia. Ardiwijaya RL, Kartawijaya T, Setiawan F, Muttaqin E, Prasetya P, Herdiana Y, Wijaya RA, Campbell SJ (2008) Technical Report – Coral Reef Ecology Survey: Weh Island and Aceh Islands – 2008. . WildlifeConservation Society – Indonesia Marine Program Bogor, Indonesia. Ardron JA, Possingham HP, Klein, CJ (eds) (2008). Marxan Good Practices Handbook. External review version; 17 May, 2008. Pacific Marine Analysis and Research Association, Vancouver, BC, Can ada. p 155 Baird AH, Campbell SJ, Anggoro AW, Ardiwijaya RL, Fadli N, Herdiana Y, Kartawijaya T, Mahyiddin D, Mukminin A, Pardede ST, Pratchett MS, Rudi E, Siregar AM. 2005. Acehnese reefs in the wake of the Asian tsunami. Curr Biol 15: 1926-1930 Brown BE. 2000. Coral Reefs of the Andaman Sea - and integrated perspective. Oceanogr. Mar. Biol. Ann. Rev. 45: 173-194 Campbell SJ, Pratchett MS, Anggoro AW, Ardiwijaya RL, Fadli N, Herdiana Y, Kartawijaya T, Mahyid din D, Mukminin A, Pardede ST, Rudi E, Siregar AM, and Baird AH. 2007. Disturbance To Coral Reefs In Aceh, Northern Sumatra: Impacts Of The Sumatra-Andaman Tsunami And Pre- Tsunami Degradation. Atoll Res Bul 544: 55-78. Cicin-Sain and R.W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Marine Management. Island Pres, Washing- ton DC.
“Membangun Puning Harapan”
Dahuri, R., J Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lau tan Secara Terpadu., PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
23
Dayton, P.K., M.J. Tegner, P.B. Edwards, and K.L. Riser. 1998. Sliding baselines, ghosts, and reduce ex pectations in kelp forest communities. Ecological Applications 8:309-322. Done, T.J., and R.E. Reichelt. 1998. Integrated coastal zone and fisheries ecosystem management: Gene- ric goals and performance indices. Ecological Applications 8(1):S110-S118 Edinger Evan N., Jamaluddin Jompa, Gino V. Limmon, Wisnu Widjatmoko, Michael J. Risk. 1998. Reef Degradation and Coral Biodiversity in Indonesia: Effect of Land-based Pollution, Destruc tive Fishing Practice and Changes over Time. Marine Pollution Bulletin, Vol. 36, No. 8, pp. 617-630. Horwood, J.W., J.H. Nichols, and S. Milligan. 1998. Evaluation of closed area for fish stock conserva tion. Journal of Applied Ecology 35: 893-903. Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
IUCN (2004). Managing Marine Protected Areas, a toolkit for the western Indian Ocean. IUCN Eas tern African Regional Programme. Johannes, R.E. 1998. The case for data-less marine resource management: Examples from tropical near shore finfisheries. Trends in Ecology and Evolution 13:243-246. Kay, R. And J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management. E & FN Spon. London Kelleher, G., and C. Recchia. 1998. Editorial – Lessons from marine protected areas around the world. Parks 8:1-4. National Research Council (NRC). 1998. Imroving fish stock assessment. National Academy Press, Wa- shington, DC. National Research Council (NRC). 2000. Improving the Collection, Management, and Use of Marine Fisheries Data. National Academy Press, Washington, DC. National Research Council (NRC). 2001. Marine Protected Areas: tools for sustaining oecean system. National Academy Press, Washington, DC. Spalding MD, Ravilious C, Green EP (2001) World Atlas of Coral Reefs. University of California Press, Berkeley, USA Wells, S. 1997. Giant Clams: Status, trade and mariculture, and the role of CITES in management. Spe- cies Survival Commission, International Union for the Conservation of Nature and Natural Re sources, Gland, Switzerland. Herdiana Y., S. Campbell, A. H. Baird. 2008. Systematic Marine Conservation Planning: towards a ma- rine representative areas network in Naggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Proceedings of the 11th International Coral Reef Symposium. Yulianto, I. 2009. Pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan karang di Pulau Weh, Naggroe Aceh Darussalam. Thesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 73p.
“Membangun Puning Harapan”
Sebuah perspektif untuk pengelolaan perairan utara Aceh yang berkelanjutan
24