Widaningsih, Tinjauan Aspek Hukum Pidana Teknologi Informasi Di Indonesia
31
TINJAUAN ASPEK HUKUM PIDANA TEKNOLOGI INFORMASI DI INDONESIA (UU NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK) Widaningsih1 e-mail:
[email protected] Abstrak Hukum pidana pada teknologi informasi dapat kita sebut dengan cyberlaw, cyberlaw tersebut berisikan tentang peraturan dan perundang-undangan yg diperuntukkan kepada penjahat di dunia maya. Cybercrime potensial menimbulkan kerugian pada beberapa bidang yaitu: politik,ekonomi, sosial budaya yang lebih besar dampaknya dibandingkan dengan kejahatan yang berintensitas tinggi lainnya. Di masa mendatang dapat mengganggu perekonomian nasional melalui jaringan infrastruktur yang berbasis teknologi elektronik (perbankan, telekomunikasi satelit, jaringan listrik, dan jaringan lalu lintas penerbangan). Negara Indonesia telah membuat kebijakan yang berhubungan dengan hukum teknologi informasi (law of information technology) setelah diundangkannya Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada tanggal 21 April 2008 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Produk hukum yang berkaitan dengan ruang siber (cyberspace) atau mayantara ini dianggap oleh pemerintah perlu untuk memberikan keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Kata kunci: cybercrime, cyberlaw, UU ITE
PENDAHULUAN Teknologi informasi sangat berkembang pesat dari tahun ke tahunnya. Tidak hanya memberikan dampak positif saja terhadap masyarakat, namun juga memberikan dampak negatif dan dapat mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global. Teknologi informasi saat ini selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan peradaban dunia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.2 Kehidupan pola dapat dipengaruhi oleh teknologi dalam berbagai bidang, sehingga secara langsung telah mempengaruhi munculnya perbuatan hukum baru di masyarakat. Bentukbentuk perbuatan hukum itu perlu mendapat penyesuaian, seperti melakukan harmonisasi terhadap beberapa perundang-undangan yang sudah ada, mengganti jika tidak sesuai lagi dan membentuk ketentuan hukum baru.3 Salah satu dampak yang paling besar di dalam perubahan global adalah munculnya kejahatan yang dapat melintasi batas-batas yurisdiksi dari tiap negara, yang dapat disebut
1 2
3
Politeknik Negeri Malang, Jl. Soekarno Hatta 9 Malang Ahmad M. Ramli, (2004), Cyber Law dan Haki Dalam Sistem Hukum di Indonesia, Bandung: PT Refika Aditama, hlm. 1 Syamsul Muarif, Menunggu Lahirnya Cyber Law, dalam http://cybernews.cbn.id, diakses tanggal 22 Juni 2016
32
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
oleh kejahatan dalam dunia maya yaitu cybercrime. Cybercrime merupakan kejahatan yang berada dalam bidang teknologi informasi dan tentunya sangat berbahaya bagi masyarakat. Kejahatan dalam dunia teknologi informasi (cybercrime) merupakan kejahatan masa kini yang mendapat perhatian yang sangat luas dari dunia internasional. Munculnya cybercrime merupakan suatu fenomena yang memerlukan penanggulanagn secara cepat dan akurat. Penanganan dengan hukum pidana merupakan salah satu cara yang tepat dipergunakan untuk mengatasi jenis kejahatan ini terutama dengan kebijakan kriminalisasi yang tepat dengan memperhatikan segala aspek mulai dari pertanggung jawaban pidana, aspek yurisdiksi, pemindanaan sampai dengan perbaikan terhadap ketentuan perundang-undangan yang sudah ada, dan penyusunan undang-undang khusus mengenai tindak pidana. Hukum yang mengatur kejahatan dunia maya dapat juga disebut dengan cyberlaw. Adapun masalah yang berkaitan dengan hukum pidana di bidang teknologi informasi adalah: bagaimana aspek hukum pidana teknologi informasi dan perbandingan dengan negara lain. PEMBAHASAN Hukum pidana pada teknologi informasi dapat kita sebut dengan cyberlaw, cyberlaw tersebut berisikan tentang peraturan dan perundang-undangan yg diperuntukkan kepada penjahat di dunia maya. Cybercrime potensial menimbulkan kerugian pada beberapa bidang yaitu politik,ekonomi, sosial budaya yang lebih besar dampaknya dibandingkan dengan kejahatan yang berintensitas tinggi lainnya. Di masa mendatang dapat mengganggu perekonomian nasional melalui jaringan infrastruktur yang berbasis teknologi elektronik (perbankan, telekomunikasi satelit, jaringan listrik, dan jaringan lalu lintas penerbangan). Maka dari itu perlunya hukum pidana di Indonesia sangat penting. Sebelum itu kita akan membahas pembaruan hukum terlebih dahulu di bidang teknologi informasi. Pertama, perlu diperhatikan upaya internasional dalam menanggulangi cyber crime sehingga terjadi sinergi antara kiat-kiat yang dilakukan untuk menanggulanginya baik secara nasional, regional maupun internasional. Dalam resolusi kongres PBB VIII/1990 mengenai Computer-related crimes, mengajukan beberapa kebijakan yang antara lain menghimbau negaranegara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Melakukan modernisasi hukum pidana material dan hukum acara pidana; 2) Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer; 3) Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka warga masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan komputer. Kedua, dalam rangka mengejawantahkan seruan internasional dalam menanggulangi cyber crime tersebut, hal-hal menyangkut pidana substantif yang perlu diubah aadalah konsep pertanggung jawaban pidana. Seperti yang diutarakan di atas bahwa pada prinsipnya pertangggung jawaban dalam hukum pidana adalah pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan (liability base on fault). Akan tetapi dalam kaitannya dengan penanggulangan cyber crime, khusus perlindungan terhadap sistem keamanan komputer oleh lembaga penyedia jasa internet atau pejabat/petugas yang diembani tugas tersebut, selain liability base on fault terhadap para pelaku, perlu dipikirkan kemungkinan pertanggung jawaban ketat (strict liability). Pertanggung jawaban ini artinya seorang pelaku dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tanpa memperhatikan lebih jauh kesalahan pembuat dalam melakukan tindak pidana tersebut. Dalam konteks cyber crime ini, artinya pemilik lembaga
Widaningsih, Tinjauan Aspek Hukum Pidana Teknologi Informasi Di Indonesia
33
penyedia jasa internet atau pejabat/ petugas atau orang yang bertanggung jawab dalam bidang information technology bertanggung jawab atas keamanan dari sistem komputernya. Konsekuensi lebih lanjut apabila kejahatan internet dilakukan melalui komputer yang berada di bawah tanggung jawabnya, maka pemilik atau orang yang bertanggung jawab dalam bidang information technology dapat dipidana. Ketiga, masih dalam kaitannya dengan pidana subtantif, sambil menunggu cyber law yang lebih komprehensif, kiranya perlu dilakukan penambahan beberapa ketentuan dalam KUHP yang menyangkut pencurian, penipuan, pemalsuan maupun perusakan untuk menanggulangi cyber crime yang modus operandinya tiap kali berkembang. Banyak negara telam menempuh hal ang demikian, antara lain: Belanda, Canada, Denmark, Finlandia, Italia, Jerman, Perancis dan Yunani. Namun ada beberapa negara yang membuat undang-undang khusus berkaitan dengan kompute, seperti Israel dan Inggris. Selain itu pula ada yang memasukkan cyber crime ke dalam undang-undang telekomunikasi, seperti Cina. Keempat, dalam menyusun cyber law yang berkaitan dengan penanggulanagan cyber crime, kiranya dapat membandingkan dengan draft Konvensi Cyber Crime yang dihasilkan oleh European Committe on Crime Problems.4 Peraturan terhadap teknologi informasi agar diterima masyarakat harus mempertimbangkan semua aspirasi dan berbagai kepentingan harus diselaraskan dan diserasikan. Pembentukan peraturan perundang-undangan di dunia cyber pun, berpangkal pada keinginan masyarakat untuk mendapatkan jaminan keamanan, keadilan dan kepastian hukum. Sebagai norma hukum cyber atau cyber law akan bersifat mengikat bagi tiap-tiap individu-individu untuk tunduk dan mengikuti segala kaidah-kaidah yang terkandung di dalamnya. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur secara khusus tentang pemanfaatan teknologi informasi, sebenarnya Indonesia dalam persoalan cybercrime tidak ada kekosongan hukum, ini terjadi jika digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini yang mestinya dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi perbuatan-perbuatan yang berdimensi baru yang secara khusus belum diatur dalam undang-undang. Metode penafsiran hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum menjadi hal yang logis untuk menghindari kekosongan hukum terhadap tindak pidana teknologi informasi. Penerapan ketentuan-ketentuan hukum positif sebelum adanya UU ITE tidaklah sederhana karena karateristik cybercrime yang bersifat khas dari kejahatan konvensional/ di dunia biasa. Sebelum disahkannya UU ITE terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan untuk menanggulangi tindak pidana di dunia maya. Tindak pidana teknologi informasi kaitannya dengan kitab undang-undang hukum pidana. Adapun pasal-pasal yang dapat dikenakan dalam KUHP yang mengkriminalisasi terhadap kejahatan dunia maya, sebagaimana dikatakan oleh Petrus Reinhard Golose di antaranya adalah:5 a) Pasal 362 KUHP untuk kasus Carding dimana pelaku mencuri kartu kredit milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang diambil dengan menggunakan software card generator di internet untuk melakukantransaksi di E-Commerce; b) Pasal 378 KUHP untuk penipuan dengan seolah-olah menawarkan dan menjual suatu produk atau barang dengan 4
5
http://jamalwiwoho.com/wp-content/uploads/2010/10/Presentasi-Klp-II-Urgensi-Cybercrime-Law.pdf diakses pada 22 Juni 2016 Petrus Reinhard Golose, “Perkembangan Cybercrime dan Upaya Penanggulangannya di Indonesia Oleh Polri”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 4 Nomor 2, Jakarta, Agustus 2006, hlm. 38-39
34
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
memasang iklan di salah satu website sehingga orang tertarik untuk membelinya lalu mengirimkan uang kepada pemasang iklan; c) Pasal 335 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pengancaman dan pemerasan yang dilakukan melalui e-mail; d) Pasal 331 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan media internet. Modusnya adalah pelaku menyebarkan e-mail kepada teman-teman korban tentang suatu cerita yang tidak benar atau mengirimkan e-mai lsecara berantai melalui mailling list (millis) tentang berita yang tidak benar; e) Pasal 303 KUHP dapat dikenakan untuk menjerat permainan judi yang dilakukan secara on-line di internet dengan penyelenggara dari Indonesia; f) Pasal 282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi maupun website porno yang banyak beredar dan mudah diakses di internet; Pasal 282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran foto atau film pribadi seseorang yang vulgar di internet; g) Pasal 378 dan 262 KUHP dapat dikenakan pada kasus carding, karena pelaku melakukan penipuan seolah-olah ingin membeli suatu barang dan membayar dengankartu kredit yang nomor kartu kreditnya merupakan hasil curian; h) Pasal 406 KUHP dapat dikenakan pada kasus deface suatu website, karena pelaku setelah berhasil memasuki website korban, selanjutnya melakukan pengrusakan dengan cara mengganti tampilan asli dari website tersebut. Tindak pidana teknologi informasi kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Kebijakan hukum yang terkait dengan masalah kriminalisasi yang terkait dengan tindak pidana teknologi informasi dalam Undang-Undang Telekomunikasi adalah sebagai berikut: Pasal 21: Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum. Pasal 50 juncto Pasal 22: Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.600.000.000,-(enam ratus juta rupiah). Pasal 55 juncto Pasal 38: Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Pasal 56 juncto Pasal 40: Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Tindak pidana teknologi informasi kaitannya dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta. Kriminalisasi perbuatan yang berhubungan dengan tindak pidana teknologi informasi dalam UU Hak Cipta berhubungan dengan perbuatan pembajakan dan peredaran program komputer sebagaimana sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (1) , (2) dan (3) Undang-Undang Hak Cipta yaitu:
Widaningsih, Tinjauan Aspek Hukum Pidana Teknologi Informasi Di Indonesia
35
Pasal 72: (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait.sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Perumusan tindak pidana dalam UU ITE selalu diawali dengan kata-kata “setiap orang” yang menunjukkan kepada pengertian orang. Namun dalam Pasal 1 sub 21 UU ITE ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan “orang” adalah orang, perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum. Penegasan dalam pertanggung jawaban pidana terhadap badan hukum juga terdapat dalam penjelasan Pasal 2 UU ITE yang menyatakan badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia merupakan subjek tindak pidana UU ITE. Demikian pula dalam Bab XI tentang ketentuan pidana, dalam Pasal 52 ayat (4) yang mengatur tentang pertanggung jawaban korporasi. Dengan demikian subjek tindak pidana (yang dapat dipidana) menurut UU ITE dapat berupa orang perorangan maupun korporasi. Pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi mengenai ketentuan terhadap kapan korporasi dikatakan telah melakukan tindak pidana dan siapa yang dapat dipertanggungj awabkan tidak diatur secara jelas dan khusus dalam UU ITE, tetapi Penjelasan Pasal 52 ayat (4) memberikan persyaratan terhadap subjek pertanggungjawaban korporasi untuk dikenakan sanksi pidana adalah yang dilakukan oleh korporasi dan/ atau oleh pengurus dan/ atau staf korporasi. Perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 27 1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. 2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian. 3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan atau dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik.
36
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau me ntransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/ atau pengancaman. Pasal 28 1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. 2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/ atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Pasal 29 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut nakuti yang ditujukan secara pribadi. Pasal 30 1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/ atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun. 2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/ atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik. 3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/ atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan. Pasal 31 1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dalam suat Komputer dan/ atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain. 2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/ atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/ atau penghentian Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan. 3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang undang. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah intersepsi secara tidak sah terhadap komputer, sistem, dan jaringan operasional komputer. Pasal 32 1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan,
Widaningsih, Tinjauan Aspek Hukum Pidana Teknologi Informasi Di Indonesia
2)
3)
memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak. Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.
Pasal 33 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerjasebagaimana mestinya Hukuman setiap orang yang melanggar ketentuan pasal 33 UU ITE, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda Rp10 miliar rupiah. (Pasal 49 UU ITE). Pasal 34 1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki: a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33; b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33. 2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum. Pasal ini disebut kejahatan penyalahgunaan alat Hukuman setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 34 UU ITE, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda Rp 10 miliar (Pasal 50 UU ITE). Pasal 35 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah olah data yang otentik Pasal ini merupakan kejahatan perbuatan memanipulasi data sehingga menjadi data otentik. Hukuman setiap orang yang melanggar ketentuan pasal 35 UU ITE, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda hingga Rp 12 miliar (Pasal 51 UU ITE). Pasal 36 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.
37
38
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Pasal 37 Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia. Sanksi pidana dalam UU ITE dirumuskan secara kumulatif, dimana pidana penjara dikumulasikan dengan pidana denda. Ketentuan pidana dalam UU ITE tertulis dalam Bab XI Pasal 45 sampai dengan Pasal 52, dengan rumusan sebagai berikut: Pasal 45 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 46 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 47 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 48 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Widaningsih, Tinjauan Aspek Hukum Pidana Teknologi Informasi Di Indonesia
39
Pasal 49 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 50 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 51 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). (2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Pasal 52 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok. (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasa 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Kompute dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana pokok ditambah sepertiga. (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau badan strategis termasuk dan tidak terbatas pada lembaga pertahanan, bank sentral, perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas penerbangan diancam dengan pidana maksimal ancaman pidana pokok masing-masing Pasal ditambah dua pertiga. (4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga. Aturan pemidanaan terhadap penyertaan, percobaan, permufakatan jahat, perbarengan, pengulangan dan alasan peringanan tidak diatur dalam UU ITE, Karena tidak diaturnya penyertaan, percobaan dan peringanan tindak pidana berarti dalam hal ini berlaku ketentuan umum yakni Bab I sampai dengan Bab.VIII dalam KUHP. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa korporasi sebagai subjek tindak pidana UU ITE, maka sistem pidana dan pemidanaannya juga seharusnya berorientasi pada korporasi. Menurut Barda Nawai Arief apabila korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam suatu undang-undang ini berarti, harus ada ketentuan khusus mengenai:6 a) kapan dikatakan korporasi melakukan 6
Barda Nawawi Arief, (2007). Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm.151
40
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
tindak pidana; b) siapa yang dapat dipertanggungjawabkan; c) dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan; d) jenis-jenis sanksi apa yang dapat dijatuhkan untuk korporasi. Redaksi pasal-pasal dalam UU ITE (Pasal 1 sampai dengan Pasal 54) tidak mengatur kapan, siapa dan bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan melakukan tindak pidana, tetapi dalam penjelasan Pasal 52 ayat (4) memberikan persyaratan/ kapasitas terhadap korporasi dan/atau oleh pengurus dan/atau staf melakukan tindak pidana, yaitu: a) mewakili korporasi; b) mengambil keputusan dalam korporasi; c) melakukan pengawasan dan pengendalian dalam korporasi; d) melakukan kegiatan demi keuntungan korporasi. Penjelasan Pasal 52 ayat (4) di atas merupakan norma kapan, siapa dan bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan melakukan tindak pidana, seharusnya norma-norma tersebut tidak berada dalam “penjelasan”, tetapi dirumuskan dalam perumusan pasal tersendiri, yaitu: dalam aturan umum mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. Dari pernyataan-pernyataan diatas adalah kebijakan hukum pidana di Indonesia mengenai teknologi informasi. Berikut ini adalah perbedaan Indonesia dengan negara lainnya (Singapura dan Amerika). Tabel 1. Perbandingan Kebijakan Hukum Pidana ITE di 3 (tiga) negara
Kebijakan Peraturan Cyber Law
Penegakan Hukum
Indonesia
Singapore
UU ITE (UndangThe Electronic Undang Informasi dan Transaction Act (ETA) Transaksi Elektronik) 1. Kontrak - Pasal 27: Asusila, Elektronik, perjudian, didasarkan pada penghinaan, hukum dagang pemerasan online yang - Pasal 28 : berita dilakukan secara bohong dan wajar dan cepat menyesatkan, berita serta untuk kebencian dan memastikan bahwa permusuhan kontrak elektronik - Pasal 29: ancaman memiliki kepastian kekerasan dan hukum. menakut nakuti 2. Kewajiban - Pasal 30: akses komputer pihak lain tanpa izin, cracking - Pasal 31: penyadapan, perubahan, penghilangan informasi
Amerika Serikat Uniform Electronic Transaction Act (UETA)
- Pasal 5: Mengatur penggunaan dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik - Pasal 7: Memberikan pengakuan legal untuk dokumen elektronik, tanda tangan elektronik, dan kontrak elektronik. Penyedia Jasa - Pasal 8: Mengatur Jaringan, Mengatur informasi dan dokumen yang mengenai potensi / disajikan untuk kesempatan yang semua pihak. dimiliki oleh - Pasal 9: Membahas network service atribusi dan provider untuk
Widaningsih, Tinjauan Aspek Hukum Pidana Teknologi Informasi Di Indonesia
- Pasal 32 : pemindahan, perusakan dan membuka informasi rahasia - Pasal 33 : virus, membuat sistem tidak bekerja (DOS) - Pasal 35 :
melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti mengambil, membawa, menghancurkan material atau informasi pihak ketiga yang menggunakan jasa jaringan tersebut. Pemerintah Singapore merasa perlu untuk mewaspadai hal tersebut. 3. Tandatangan dan
-
-
Arsip elektronik, Bagaimanapun hukum memerlukan arsip/bukti arsip
menjadikan seolah
elektronik untuk
dokumen otentik
menangani kasus-
(Phising)
kasus elektronik,
-
karena itu tandatangan dan arsip elektronik tersebut harus sah menurut hukum, namun tidak semua hal/bukti dapat berupa arsip elektronik sesuai yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Singapore.
-
41
pengaruh dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik. Pasal 10: Menentukan kondisi-kondisi jika perubahan atau kesalahan dalam dokumen elektronik terjadi dalam transmisi data antara pihak yang bertransaksi. Pasal 11: Memungkinkan notaris publik dan pejabat lainnya yang berwenang untuk bertindak secara elektronik, secara efektif menghilangkan persyaratan cap/ segel. Pasal 12: Menyatakan bahwa kebutuhan “retensi dokumen” dipenuhi dengan mempertahankan dokumen elektronik. Pasal 13: Dalam penindakan, bukti dari dokumen atau tanda tangan tidak dapat dikecualikan hanya karena dalam bentuk elektronik
42
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
- Pasal 14: mengatur mengenai transaksi otomatis - Pasal 15: mendefinisikan waktu dan tempat pengiriman dan penerimaan dokumen elektronik - Pasal 16: mengatur mengenai dokumen yang dipindahtangankan - Undang-undang No
- penggunaan secara
19 Tahun 2002
dengan sengaja
hukum dari sistem
tentang hak cipta :
menyebabkan
komunikasi
pidana penjara
komputer untuk
komputerisasi;
paling lama 5 tahun
melakukan fungsi
Kelas B
dan/atau denda
apapun untuk
pelanggaran; denda
paling banyak Rp.
tujuan
hingga $1.000, atau
500.000.000,-
mengamankan
penjara sampai 90
akses tanpa
hari, atau keduanya
36 Tahun 1999
kewenangan untuk
untuk mengirimkan
tentang
setiap program atau
ancaman elektronik
Telekomunikasi
data dalam
atau menggunakan
komputer manapun
cabul atau bahasa
pidana penjara
akan bersalah
profan dalam
paling lama 6 tahun
karena melakukan
komunikasi
dan/atau denda
kejahatan dan harus
elektronik.
paling banyak Rp.
bertanggung jawab
600.000.000,-
atas keyakinan
menipu, mengakses
untuk denda tidak
komputer yang
pidana penjara
melebihi $ 5,000
dilindungi tanpa
paling lama 15
atau penjara untuk
izin, atau melebihi
tahun
jangka waktu tidak
akses yang
melebihi 2 tahun
berwenang, dan
- Undang-undang No
Sanksi
- setiap orang yang
1. Illegal access :
2. Illegal interception:
- maksud untuk
Widaningsih, Tinjauan Aspek Hukum Pidana Teknologi Informasi Di Indonesia
atau keduanya dan, dalam kasus keyakinan kedua atau berikutnya, denda tidak melebihi $10.000 atau penjara untuk jangka waktu tidak melebihi 3 tahun atau keduanya. - setiap orang yang tidak setiap perbuatan yang ia tahu akan - Undang-undang
menyebabkan
nomor 11 tahun
modifikasi yang tidak
2008 tenteng ITE
sah dari isi komputer
pasal 45 ayat 2 :
manapun akan
dipidana penjara
bersalah karena
paling lama 6
melakukan kejahatan
tahun dan/atau
dan harus
denda paling
bertanggung jawab
banyak Rp.
atas keyakinan untuk
1.000.000.000,-
denda tidak melebihi $10.000 atau penjara untuk jangka waktu tidak melebihi 3 tahun atau baik dan, dalam kasus keyakinan kedua atau berikutnya, denda tidak melebihi $20,000 atau penjara untuk jangka waktu tidak melebihi 5 tahun atau keduanya
43
dengan cara perilaku tersebut furthers penipuan dimaksud dan memperoleh sesuatu yang berharga, kecuali obyek penipuan dan hal yang diperoleh hanya terdiri dari penggunaan dari komputer dan nilai penggunaan tersebut tidak lebih dari $5.000 dalam jangka waktu 1 tahun dipidana - Memperoleh informasi dengan akses yang tidak sah : (1) (a) berkomitmen untuk keuntungan komersial atau keuangan, (b) berkomitmen sebagai kelanjutan dari tindak pidana atau perbuatan salah, atau (c) nilai informasi yang melebihi $5,000 5 tahun
44
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Tidak hanya singapura dan Amerika saja, tetapi negara lain juga memiliki banyak potensi terjadinya kejahatan dunia maya. KESIMPULAN Aspek hukum pidana di Indonesia terkait dengan teknologi informasi sudah diatur oleh undang-undang dan peraturan yang berlaku. Aspek hukum pidana teknologi informasi sendiri dapat disebut dengan cyberlaw, sedangkan tindak pidana dapat disebut dengan cybercrime. Untuk undang-undang dan peraturan telah dicantumkan dalam UU ITE. Untuk negara lain mempunyai undang-undang dan kebijakan hukum pidana tersendiri atas kasus cybercrime. Dalam resolusi kongres PBB VIII/1990 mengenai Computer-related crimes, mengajukan beberapa kebijakan yang antara lain menghimbau negara-negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Melakukan modernisasi hukum pidana material dan hukum acara pidana; 2) Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer; 3) Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka warga masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan komputer. SARAN Pengenaan sanksi yang tegas pada pelaku kejahatan cybercrime dengan system perundangundangan yang tepat dan didukung oleh penegak hukum. Masyarakat diharapkan bisa mendukung pemerintah dalam menanggulangi kejahatan cybercrime. DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda Nawawi, (2007), Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Golose, Petrus Reinhard, “Perkembangan Cybercrime dan Upaya Penanggulangannya Di Indonesia Oleh Polri”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 4 Nomor 2, Jakarta, Agustus 2006. Muarif, Syamsul, “Menunggu Lahirnya Cyber Law”, dalam http://cybernews.cbn.id, akses tanggal 22 Juni 2016 Ramli, Ahmad M., (2004), Cyber Law dan Haki Dalam Sistem Hukum di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama. http://jamalwiwoho.com/wp-content/uploads/2010/10/Presentasi-Klp-II-Urgensi-CybercrimeLaw.pdf diakses pada 22 Juni 2016