What is it Like to Be Me? IFI-LIP gallery Yogyakarta, Indonesia 5th - 6th December 2014
1
2
Sejak tahun 2008, Pesta Boneka, sebuah festival boneka kontemporer berskala internasional yang digagas oleh Papermoon Puppet Theatre di Yogyakarta, Indonesia, telah membawa banyak seniman dan beragam penonton untuk bersamasama berusaha mengeksplorasi apa yang bisa dibawa teater boneka ke dalam kehidupan masyarakat. Dilaksanakan dua tahunan, Pesta Boneka diselenggarakan untuk yang keempat kalinya pada bulan Desember 2014. Seniman dari Australia, Thailand, Filipina, Jepang, Spanyol, Islandia, Hungaria dan Meksiko bergabung dengan kelompok dari berbagai daerah di Indonesia untuk berpartisipasi dalam pertunjukan dan lokakarya (workshop), sesi memasak, serta kunjungan studio.
“What is it like to be me?” adalah sebuah proyek pertunjukan partisipatif yang disajikan oleh Tokyo Independent Collaboratory (-TIC) di Pesta Boneka #4. Melalui rangkaian pertunjukan, kuliah, lokakarya (workshop) dan diskusi, kegiatan ini disusun untuk memberikan kesempatan bagi pertukaran pengetahuan dan ide-ide seputar pertanyaan: “konsep apa saja yang bisa dimunculkan oleh media boneka?”
Since 2008, Pesta Boneka, an international contemporary puppet festival created by Papermoon Puppet Theatre in Yogyakarta, Indonesia, had brought several artists and diverse audiences together seeking to explore what puppetry can bring to people’s lives. Conceived as a biennale, it was organized for the 4th time in November 2014. Artists from Australia, Thailand, Philippines, Japan, Spain, Iceland, Hungary and Mexico joined groups from different parts of Indonesia to participate in performances and workshops, a cooking session, and studio visits.
was conceived to be an opportunity for exchanges of knowledge and ideas surrounding the question: what concepts can puppetry include?
“What is it like to be me?” is a participatory performance project presented by Tokyo Independent Collaboratory (-TIC) in Pesta Boneka #4. Through performance, lecture, workshop and discussion, the work
Dalam proyek ini, Kanade Yagi menciptakan sebuah pertunjukan dengan menafsirkan seni teater boneka, yang merupakan konsep yang baru baginya, melalui gagasan ilmu yang telah menginspirasinya sejak lama, dan mengembangkan sarana untuk memperkenalkan kembali gagasan ilmu tersebut dari
In this project, Kanade Yagi created a performance by interpreting puppetry, which was a new concept for her, through a science idea which had inspired her for a long time, and developing means to reintroduce this science idea from an artist’s perspective. Ayako Onzo, a neuroscientist, performed a spoken word poem, in lieu of a lecture, which detailed and expressed her lifelong interest in fiction as a scientist and as a Japanese woman. Yuta Nishiyama, also a scientist, delivered a lecture wherein he introduced several interesting tricks to alter our body image and explained, from the perspective of cognitive science,
perspektif seorang artis. Ayako Onzo, adalah seorang neuroscientist, melakukan pembacaan puisi, sebagai bentuk presentasi kuliah, yang dengan rinci menceritakan minat terpendamnya pada fiksi sebagai seorang ilmuwan dan wanita Jepang. Yuta Nishiyama, yang juga seorang ilmuwan, memberikan kuliah yang memperkenalkan beberapa trik menarik untuk mengubah citra tubuh kita dan menjelaskan, dari perspektif ilmu kognitif, bagaimana trik-trik ini berhubungan dengan cara kita menciptakan dan menikmati pertunjukan teater boneka. Presentasi-presentasi ini diikuti dengan diskusi yang seru dengan penonton, yang diantaranya adalah pelaku seni teater boneka internasional yang berpartisipasi dalam festival tersebut. Beberapa percobaan yang diperkenalkan how these tricks relate to the way we create and enjoy puppetry. These presentations were followed by rich discussions with the audience, among which were some of the international puppeteers participating in the festival. Some of the experiments introduced in the performance and the lecture were then demonstrated in a workshop, in which the audience experienced the tricks for themselves. -TIC is a platform, based in Japan, for making projects across disciplines. “What is it like to be me?” was presented in IFI-LIP, Yogyakarta on two consecutive afternoons, December 4 & 5, 2014.
dalam bentuk pertunjukan dan kuliah tersebut kemudian ditunjukkan dalam sebuah lokakarya (workshop), di mana penonton bisa merasakan sendiri trik-trik tersebut. -TIC adalah sebuah platform, yang berbasis di Jepang, untuk membuat proyek-proyek yang melibatkan berbagai disiplin. “What is it like to be me?” dilaksanakan di IFI-LIP, Yogyakarta dalam dua hari berturutturut, December 4 & 5, 2014.
3
4
Melewati Lubang Misterius Through the enigmatic hole Ayako Onzo
Adalah mengejutkan bagi saya untuk bisa menjadi salah satu peserta International Biennale Puppet Festival #4 di Yogyakarta. Saya pikir ada sebuah lubang dalam kehidupan yang bisa membawa kita ke tempat yang tak terbayangkan disaat kita memutar mata kita. Lubang inilah yang seharusnya dinamakan harapan. Saya teringat akan seorang penerjemah bahasa isyarat palsu di acara Memorial untuk Nelson Mandela yang berdiri di samping Presiden Barack Obama. Betapa indah lubang yang dipersiapkan oleh dunia! Meskipun ia pasti telah melewati pemeriksaan yang ketat, tidak ada yang bisa mengatakan bahwa dia merupakan seorang penerjemah yang baik. Tapi bahasa isyarat yang diterjemahkannya, bagi What a surprise it is for me being one of the performers at International Biennale Puppet Festival #4 in Yogyakarta. I think there is a hole in life, through which we get to an unimaginable place while rolling our eyes. This hole should be called a hope. I remember the fake sign language interpreter who stood next to President Obama at the Nelson Mandela’s Memorial. What a wonderful hole the world prepares! Although he must have been selected through the strictest examination, nobody can say that he was a good interpreter. But his sign language seemed to me a beautiful dance even if it did not convey correct meanings. I feel deep sympathy for him because I don’t know, too, why I could be there for the festival.
5
Melewati Lubang Misterius
saya tampak seperti sebuah tarian yang indah, walaupun makna yang disampaikannya tidak benar. Saya merasakan simpati yang mendalam untuknya, karena saya juga tidak tahu, mengapa saya bisa berada di festival (boneka) ini.
Through the enigmatic hole
6
Saya mengunjungi Papermoon Puppet Theater satu kali bersama dengan Kanade dan mendengar bahwa mereka berusaha untuk memperluas ide tentang seni teater boneka. Pada kesempatan itu, Kanade seperti menemukan wadah untuk mewujudkan ambisinya selama ini.
ilmuwan yang ingin menjadi seorang seniman di masa muda saya.) Dia telah menunggu kesempatan untuk menggabungkan ide ilmiah dalam karya seni secara menyeluruh. Gagasan itu menyangkut persepsi kita tentang diri dan tubuh. Dia percaya bahwa cara terbaik adalah dengan mewujudkan ide tersebut di panggung seni teater boneka. Atas jerih payah Kanade dan beberapa orang lainnya, Yuta dan saya diberi kesempatan untuk mengadakan lokakarya (workshop) dan berbicara tentang seni teater boneka dari sudut pandang ilmuwan.
Idenya kali ini didasarkan oleh sebuah studi ilmiah. Dia adalah seorang seniman yang ingin menjadi seorang ilmuwan di masa mudanya. (Kebetulan, saya adalah seorang
Saya sadar bahwa minat penelitian saya cocok dengan ketertarikan Kanade. Saya telah mempelajari kesadaran diri dalam bidang neuroscience. Apa itu ‘saya’? Apa itu
I had visited once Papermoon Puppet Theater with Kanade and had heard that they were trying to extend the idea of puppetry. On that occasion, Kanade found a place to realize her long-held ambition.
I knew my research interest matched Kanade’s interest. I’ve been studying on the self-awareness in the field of neuroscience. What is me? What is others? To what extent can we understand each other? Whereas every person is unique, we can share experiences and even feel someone else as if s/he were ourselves. How? and Why?
Her idea was based on a science study this time. She is an artist who wanted to become a scientist in her youth. (Incidentally, I am a scientist who wanted to become an artist in my youth.) She had been waiting for an opportunity to sublimate the scientific idea to an art piece properly. The idea was concerning our perception of the self and the body. She believed that it would be the best for the idea to be embodied on the stage of puppetry. By Kanade’s and various people’s efforts, Yuta and I were given a chance to hold a workshop there and talk about what is puppetry as scientists.
Facial makeup, masks, and fictions. Those things which substitute for us and are shared among people have been my fascination. So should be puppetry. But actually, after witnessing the rehearsal by Papermoon Theater and Cake Industries, Yuta and I walked to a café and sipped coffee in silence. We had lost words. Their show was utterly beyond our imaginings.
Dandanan wajah, topeng, dan fiksi. Hal-hal yang menggantikan kita dan dibagikan di antara orang-orang itu telah mempesona saya. Begitu pula seni teater boneka.
mengatakan secara bersamaan, “Aku ingin pulang sekarang,” dan tersenyum pasrah. Boneka mereka sama sekali bukan pengganti (bentuk) manusia’. Boneka dan manusia hidup bersama dan saling mencintai. Manusia bukanlah pelakon dari boneka di belakang layar, tapi menunjukkan ekspresi wajah yang beragam. Kehadiran nyata dari keduanya (manusia dan boneka) tampaknya tidak memerlukan cerita yang kompleks.
Tapi sebenarnya, setelah menyaksikan latihan Papermoon Theater dan Cake Industries, Yuta dan saya berjalan ke kafe dan meneguk kopi dalam keheningan. Kami telah kehilangan kata-kata. Pertunjukan mereka benar-benar di luar imajinasi kami. Dalam perjalanan pulang, kami
***
On our way back, we said simultaneously, “I want to go home now.” and helplessly smiled.
Japanese action. Not ours. We place the palm of our hand on the chest when refer to ourselves. Not on the head. Not with the fingers. Don’t be influenced like that, Putri. We are Indonesians,” in a dignified voice.
Their puppets were not at all humans’ substitutes. The puppets and humans co-existed and loved each other. Humans were not simple assistants of the puppets behind the scenes, but showed the richest facial expressions. The vivid presence of both didn’t seem to require any complex stories. *** Another impressive thing for me was what Ries, who took great care of us, said in the rehearsal of Kanade’s performance. When Kanade said to Putri, who also helped us greatly, “Is it you?,” pointing to Putri’s nose, and Putri answered “Yes,” suddenly Ries said, “That’s a
Hal lain yang mengesankan bagi saya adalah apa yang Ries, yang selalu mengurus kami, katakan dalam latihan untuk pertunjukkan Kanade. Ketika Kanade berkata pada Putri, yang juga sangat membantu kami, “Apakah ini kamu?,” dengan
Puppetry and Science. Indonesian people and Japanese people. Words and non-words. No easy understanding. They share some, and differ some. I lost what to say. But I regretted that I didn’t explain my work, or my science, so much to Ries when I first met her. I was nothing but a good friend of Kanade, who was a resident of Ries’s place. Ries was an art director and I was neither an artist
Ayako Onzo
orang lain? Sampai sejauh mana kita dapat memahami satu sama lain? Dimana setiap orang itu unik, kita bisa berbagi pengalaman dan bahkan merasa seolah-olah orang lain adalah diri kita sendiri. Bagaimana? dan mengapa?
7
Melewati Lubang Misterius
menunjuk ke hidung Putri, dan Putri menjawab “Ya,” tiba-tiba Ries mengatakan, “Itu sikap Jepang. Bukan milik kita. Kita menempatkan telapak tangan kita di dada ketika mengacu pada diri kita sendiri. Tidak di kepala. Tidak dengan jari. Jangan terpengaruh seperti itu, Putri. Kita adalah orang Indonesia,” katanya dengan suara yang bermartabat.
Through the enigmatic hole
8
Seni Teater Boneka dan Sains. Masyarakat Indonesia dan masyarakat Jepang. Kata-kata dan non-kata. Tidak ada pemahaman yang mudah. Mereka berbagi beberapa kesamaan, dan mempunyai beberapa perbedaan. Saya kehilangan kata-kata nor a resident. I wanted to be friends with her very much because she was very attractive and kind, but hesitated to talk about my things before the difference. “I don’t do the same thing this time,” I thought. I got to know that a certain amount of talk must resolve the tension between strangers, even if it cannot make them completely understand each other. “A spoken letter to Ries”, with which I wanted to start something. This is the original idea of my performance. I am very happy if my performance became an opportunity for everyone to think if science and art, or we, are so different. And I am deeply grate-
Tapi saya menyesalkan bahwa saya tidak menjelaskan pekerjaan saya, atau ilmu saya, dengan cukup banyak kepada Ries ketika saya pertama kali bertemu dengannya. Saya hanyalah seorang teman baik Kanade, yang saat itu sedang melakukan residensi di tempat Ries. Ries adalah seorang art director dan saya bukanlah seorang seniman atau peserta residensi. Saya sangat ingin berteman dengannya karena dia sangat menarik dan baik, tapi raguragu untuk membicarakan tentang diri saya karena perbedaan. “Saya tidak melakukan hal yang sama saat ini,” pikir saya. Saya harus tahu bahwa sejumlah pembicaraan harus dilakukan untuk menyelesaikan ketegangan antar orang asing, walaupun jika mereka ful to Ries for watching through my performance with an affectionate and a little bit sour face.
tidak mengerti satu sama lain dengan baik. “Sebuah surat berbicara kepada Ries”, dengan ini saya ingin memulai sesuatu. Ini adalah ide dasar dari pertunjukan saya.
Ayako Onzo
Saya sangat senang jika performans saya memberikan kesempatan pada setiap orang untuk berpikir bahwa ilmu pengetahuan dan seni, atau kita, merupakan hal yang sangat berbeda. Dan saya sangat berterima kasih kepada Ries untuk menonton keseluruhan pertunjukan saya dengan wajah penuh kasih sayang dan sedikit masam.
9
10
11
12
Rubber hand illusion, 2014, digital video, 2’47”, https://www.youtube.com/watch?v=HhPOPBJtFegwas.
13
Naskah Pertunjukan
“Apa Rasanya Menjadi Diriku?” Transcription to the performance
“What is it like to be me?”
Kanade Yagi
14
Pertunjukan dimulai di pintu masuk galeri. Kanade Yagi (KY) berdiri disamping pintu, menghadap penonton yang berada di luar galeri. Mengundang penonton ke dalam galeri, seperti dalam tur wicara seniman, ia memulai pertunjukannya dengan pengenalan karya-karyanya yang sebelumnya. Ia memegang handycam dan rekaman yang ditangkap oleh kamera tersebut diproyeksikan pada layar yang ditempatkan di sudut ruangan, melalui Adegan 1. Gambargambar dan benda-benda tersebut ditampilkan pada kedua sisi dindingdinding ruangan. Gambar 1: Gambar seorang gadis kecil Gambar 2: Sebuah handuk tangan Jepang yang tipis dengan pola tradisional Jepang dan Kanji The performance begins at the entrance of the gallery. Kanade Yagi (KY) stands by the door facing the audience, who are outside the gallery. Inviting the audience into the gallery, like in an artist talk tour, she begins her performance with an introduction of her past works. She is holding a handy-cam and the image shot by it is projected to a screen placed at the end of the space, throughout Scene 1. These figures and objects are displayed on the walls on both sides. Figure 1: A picture of a little girl Figure 2: A thin Japanese hand towel with the print of a traditional Japanese pattern and a Kanji Figure 3: 7 pieces of photographs pertinent to a solar eclipse, on a white A0 size of paper Figure 4: 6 pieces of photographs of mounted cameras, on a white A0 size
Adegan 1 KY: Selamat sore. Hari ini saya memperkenalkan karya saya kepada Anda, dan mengundang Anda pada percobaan ilmiah. Dengan saya adalah anggota -TIC (Tokyo Independen Collaboratory). *Menunjuk Ayako Onzo dan Yuta of paper Object 1: An iPad; a photograph of a Sony Cybershot camera is on the screen Object 2: Improvised mask with cloth Object 3: Small human-shaped stickers made of thin card SCENE 1 KY: Selamat sore (good afternoon). Today I introduce to you my work, and invite you to a science experiment. With me are members of -TIC (Tokyo Independent Collaboratory). *Points to Ayako Onzo and Yuta Nishiyama* They are scientists. This space is not wide enough for you, but I hope everybody can come in. *Moves to Figure 1*
Nishiyama* Mereka adalah ilmuwan. Ruang ini tidak cukup besar untuk Anda semua, tapi saya berharap semua orang bisa masuk. *Bergerak ke Gambar 1* Pertama-tama, saya ingin memperkenalkan dia. *Menunjuk Gambar 1* Ini adalah anak teman saya. Namanya Saya. Ketika saya datang ke Indonesia untuk pertama kalinya, saya belajar bahwa “Saya” berarti “I/my/me/mine”, jadi saya bertanya-tanya: Jika dia memperkenalkan dirinya, dia harus mengatakan “Nama saya Saya.” “Saya” adalah nama yang cukup umum di Jepang. *Bergerak ke Gambar 2*
Kanade Yagi
Gambar 3: 7 buah foto yang berkaitan dengan gerhana matahari, pada kertas putih ukuran A0 Gambar 4: 6 buah foto-foto kamera yang terpasang, pada kertas putih ukuran A0 Obyek 1: Sebuah iPad; foto dari kamera Sony Cybershot pada layar Obyek 2: Topeng improvisasi dengan kain Obyek 3: Stiker kecil berbentuk manusia dari kertas tipis
KY: Kami menggunakan Kanji First of all, I want to introduce her. *Points to Figure 1* This is my friend’s kid. Her name is Saya. When I came to Indonesia for the first time, I learned that “Saya” means “I/my/ me/mine”, so I wondered: If she introduces herself, she has to say, “Nama saya Saya.” (“My name is Saya.”) “Saya” isn’t a very rare name in Japan. *Moves to Figure 2* KY: We use Kanji (a component of the Japanese writing system, derived from the Chinese) to write our names. For the name “Saya”, we use this Kanji character. *Points to Figure 2* This Kanji and the sound, “saya”, actually refer to the pattern printed on this towel. This is a traditional Japanese pattern.
15
16
17
Naskah Pertunjukan “Apa Rasanya Menjadi Diriku?” Transcription to the performance “What is it like to be me?”
18
(komponen dari sistem penulisan Jepang, yang berasal dari Cina) untuk menulis nama kami. Untuk nama “Saya”, kita menggunakan karakter Kanji ini. *Menunjuk Gambar 2* Ini Kanji dan bunyinya, “Saya”, sebenarnya mengacu pada pola yang tercetak pada handuk ini. Ini adalah pola tradisional Jepang. *Pindah ke Gambar 3* KY: *Menunjuk Gambar 3* Gambargambar ini dari-Saya tidak tahu apakah Anda ingat atau tidak, atau jika Anda telah melihat atau tidakgerhana matahari total pada tahun 1999 di Eropa. Saya berada di Jepang pada waktu itu dan saya benar-benar ingin pergi ke sana untuk melihat gerhana ini. Tapi saya tidak bisa pergi, dan saya hanya melihat gambar-gambar tersebut dari *Moves to Figure 3* KY: *Points to Figure 3* These images are of--I don’t know whether you remember or not, or if you have already seen or not--a total solar eclipse in 1999 in Europe. I was in Japan at that time and I really wanted to go there to see this eclipse. But I could not go, and I just saw these images through the television. At once I took pictures of TV broadcasting about eclipse with my camera. I felt weird, imagining there were thick and long something, like a tube or tunnel composed of many optical equipments, cables, lenses and many people’s eyes, between the event and me; I could see the image from far far away. I wondered, what were these images which I was seeing. And then I felt as if my body were extended worldwide.
televisi. Saya langsung mengambil gambar dari siaran TV tentang gerhana dengan kamera saya. Saya merasa aneh, membayangkan ada sesuatu yang tebal dan panjang, seperti tabung atau terowongan yang terdiri dari banyak peralatan optik, kabel, lensa dan banyak mata orang, antara peristiwa tersebut dan saya; Saya bisa melihat gambar dari jauh. Saya bertanya-tanya, apa gambargambar yang sedang saya lihat saat itu. Dan kemudian aku merasa seolah-olah tubuh saya menjangkau seluruh dunia. *Menggambar garis yang merepresentasikan tanah, permukaan bumi dan mata dibawah gambar, dan kemudian garis yang menghubungkan foto masing-masing ke mata* Itu adalah pengalaman yang misterius bagi saya, meskipun menonton TV merupakan hal yang normal bagi kita. Saya tidak *Draws a line representing the ground, the earth’s surface and eyes below the pictures, and then lines connecting each photo to the eye* It was a mysterious experience for me, although watching TV is such a normal thing for us. I didn’t see it with my own eyes, but I can say that I saw this image, through their cameras and their eyes. *Moves to Figure 4* KY: *Points to Figure 4* This is from 2009. There was a total solar eclipse seen from Japan. At that time, I was under the sky where the event was supposed to happen. Unfortunately it was cloudy but it was okay for me because my interest was in another thing. I was surprised there were a bigger number of cameras than people, waiting for the moment the
*Pindah ke Gambar 4* KY: *Menunjuk Gambar 4* Ini dari tahun 2009. Ada gerhana matahari Total yang terlihat di Jepang. Pada saat itu, saya berada di bawah langit di mana peristiwa tersebut seharusnya terjadi. Sayangnya pada saat itu langit sedang berawan tapi tidak apa-apa karena saya tertarik pada hal lain. Saya terkejut karena jumlah kamera lebih banyak dari pada jumlah orang, menunggu saat gerhana muncul. Manusia membantu mereka melihatnya. Bagi saya, tampaknya kamera adalah mata mereka. *Menggambar wajah pada kamera yang mengarah ke atas ke eclipse occurs. Humans were helping them see it. For me, the cameras appeared to be their eyes. *Draws faces on the cameras pointing upwards to the sky in the photograph* *Moves to Object 1* *Picks up Object 1* This is a photo of a Sony Cybershot. Actually, I only got this image from the Internet. But I actually bought this camera two years ago. And then I named this camera “Mr. S”. Mr. S is this person. *Swipes to another image, the photograph of a man* Long hair, beard, and has a big belly. He is a philosopher, and he is one of the most important philosophers in Japan. Everybody who wants to be a philosopher knows about him; so he’s famous. But he
langit dalam foto* *Pindah ke Obyek 1* *Mengangkat obyek 1* Ini adalah foto dari Sony Cybershot. Sebenarnya, saya hanya mengambil gambar ini dari internet. Tapi saya benar-benar membeli kamera ini dua tahun yang lalu. Dan kemudian saya menamai kamera ini “Mr. S”. Mr. S adalah orang ini. *Geser ke gambar lain, foto seorang pria* Rambut panjang, jenggot, dan memiliki perut besar. Dia adalah seorang filsuf, dan dia merupakan salah satu filsuf paling penting di Jepang. Semua orang yang ingin menjadi seorang filsuf tahu tentang dia; jadi dia terkenal. Tapi dia tidak pernah menulis esai dan buku. Dia menghindari mengambil dokumentasi never writes essays and books. He avoids taking documentation of his life. Ria Papermoon (RP): So that’s the concept of his philosophy. KY: Yeah, there is a connection with his ideas, his philosophy, and his decision not to take any documentation. Then I decided to document his life using only this camera secretly. I named this Mr. S, and defined it as the camera that can take only his photos. It cannot take photos of landscape, or sea... or Jogja--or maybe only if he comes here. I want to invite him. This project is an ongoing project. It will continue until he dies. I wonder
Kanade Yagi
melihatnya dengan mata saya sendiri, tapi saya bisa mengatakan bahwa saya melihat gambar ini, melalui kamera dan mata mereka.
19
akan hidupnya. Ria Papermoon (RP): Jadi itulah konsep filsafatnya.
Naskah Pertunjukan “Apa Rasanya Menjadi Diriku?”
KY: Ya, ada hubungan dengan ideidenya, filsafat, dan keputusannya untuk tidak mendokumentasi.
Transcription to the performance “What is it like to be me?”
20
Kemudian saya memutuskan untuk mendokumentasikan hidupnya dengan menggunakan kamera ini secara diam-diam. Saya menamai kamera ini Mr. S, dan mendefinisikannya sebagai kamera yang hanya bisa memotret dia. Kamera ini tidak boleh mengambil foto landscape, atau laut... atau Jogja-atau mungkin hanya jika dia datang ke sini. Saya ingin mengundang dia. Proyek ini merupakan proyek yang what a set of Mr. S. is *Moves to Object 2* Through these experiences, I had begun to think of a camera like this *sets up handy-cam to Object 2 as its eye*--a puppet! Hi. *Holds up the camera puppet and waves her hands to the audience for a while* Ah, I have others for you. RP: Oh, yes this is a big one. But there are some, they are very nice. There is… Someone. Oh, he has. Ah, you want something? *KY hands out Object 3 to the audience. A hole is made on its head, its size is similar to the lens of most
sedang berlangsung. Ini akan berlanjut sampai ia mati. Saya ingin tahu apa isi dari Mr. S. *Pindah ke Obyek 2* Melalui pengalaman ini, saya mulai memikirkan tentang kamera seperti ini *mengarahkan handycam ke Obyek 2 sebagai mata nya* --sebuah boneka! Hi. *Mengangkat boneka kamera dan melambaikan tangannya kepada penonton untuk beberapa saat* Ah, saya membawa yang lain untuk kamu. RP: Oh, ya yang ini besar. Tapi ada beberapa yang sangat bagus. Ada... yang mau. Oh, dia. Ah, Anda ingin sesuatu? phone cameras. The audience sticks these figures onto the back of their mobile phones* KY: So, any camera can be a puppet! *Hands out to the documentation camera staff another improvised mask and he set the video camera to the mask* *Refers to the camera puppet she’s holding* I think…, if this has a name… her name would be… SAYA. She will introduce herself like this “Nama saya SAYA.” *Moves the camera puppet in front of audience face to face slowly* KY: Nama saya SAYA. *Points puppet’s face* Ini SAYA. (Ini=this) *Points to an audience who hands his mobile with human-shaped stickers*
KY: Jadi, kamera apapun bisa menjadi boneka! *Menyerahkan topeng improvisasi yang lain kepada staf dokumentasi yang kemudian ia pasangkan pada kamera video* *Mengacu pada boneka kamera sedang ia pegang* saya pikir..., jika benda ini memiliki nama... namanya mungkin...SAYA. Dia akan memperkenalkan dirinya seperti ini “Nama saya SAYA.” *Menggerakkan kamera berhadapan dengan penonton secara perlahan*
KY: Nama saya SAYA. *Menunjuk pada boneka wajah* Ini SAYA. *Menunjuk salah satu penonton yang menyerahkan ponselnya yang memiliki stiker berbentuk manusia* Itu...Anda? Seorang pria diantara penonton: SAYA! KY: Oh, *Menunjuk wajah boneka* ini SAYA. *Menunjuk pria tersebut* Itu... SAYA? Laki-laki: SAYA! SAYA! KY: *Menunjuk wajah boneka* Ini...? Laki-laki: SAYA! KY: Di mana Anda? Laki-laki: *Berpikir untuk sejenak*
Itu…anda?(Itu=that; Anda=you/your/ yours)
Man: *Points to him and answers* SAYA.
Man in the audience: SAYA!
KY: SAYA? *Points to the man’s mobile* Itu…,
KY: Oh, *Points puppet’s face* Ini SAYA. *Points to the man* Itu… SAYA? Man: SAYA! SAYA! KY: *Points puppet’s face* Ini…?
Kanade Yagi
*KY membagikan Obyek 3 kepada penonton. Sebuah lubang dibuat pada kepalanya, ukurannya sebesar ukuran kebanyakan lensa kamera ponsel. Penonton memasangkan obyek-objek ini dibelakang ponsel mereka*
Man: *Points to his mobile and answers* SAYA. KY: SAYA? Ah I see. *Points puppet’s face* Ini…,
Man: SAYA!
Man: *Waves his hand to the puppet* Hi, SAYA.
KY: Where is anda?
KY: Hi! *Waves her hand to the man*
Man: *Thinks for a while* We are confused!
Man & KY: *Wave their hands to each other* Hi, SAYA.
KY: *Points puppet’s face again* Ini SAYA. *Points to the man* Itu…,
Another man in audience: This is SAYA, this is also SAYA.
21
Kami bingung! KY: *Menunjuk wajah boneka lagi* Ini SAYA. *Menunjuk pria tersebut* Itu...,
Naskah Pertunjukan “Apa Rasanya Menjadi Diriku?”
Laki-laki: *Menunjuk dirinya sendiri dan menjawab* SAYA.
Transcription to the performance “What is it like to be me?”
22
KY: SAYA? *Menunjuk ponsel milik pria tersebut* Itu..., Laki-laki: *Menunjuk ponselnya dan menjawab* SAYA. KY: SAYA? Ah saya tahu. *Menunjuk wajah boneka* Ini..., Laki-laki: *Melambaikan tangannya pada boneka* Hai, SAYA.
Laki-laki & KY: *Melambaikan tangan kepada satu sama lain* Hai, SAYA. Seorang pria lain diantara penonton: Ini adalah SAYA, ini juga SAYA. KY: Dapatkah Anda melihat itu? *Menunjuk pada proyeksi yang menunjukkan apa yang boneka kameranya tangkap. Pria tersebut terlihat didalam layar* Itu, itu... Laki-laki: *Menunjuk pada proyeksi dirinya sendiri dan menunjuk ke dadanya* Ya, SAYA. KY: Itu SAYA?
KY: Hai! *Melambaikan tangannya pada pria tersebut*
Laki-laki: Ya ya. *Menunjukkan ponselnya dengan tempelan stiker berbentuk manusia* SAYA!
KY: Can you see that? *Points to the projection which shows what her camera puppet is capturing. The man is seen onscreen* Itu, itu…
*KY points to the screen; again, the man is looking straight into the camera and is seen onscreen*
Man: *Points to the projection of himself and points to his chest* Yes, SAYA. KY: Itu SAYA? Man: Yes yes. *Shows his mobile with human-shaped stickers* SAYA! Man & Kanade: *Pointing at each other* Itu SAYA. KY: *Points puppet’s camera* Ini SAYA. *Points to the projection, showing the man and mobile with the human-shaped sticker* Itu SAYA? Man: SAYA. *Points at KY’s camera Puppet* SAYA.
KY: *Points the body of the camera attached to the puppet face* So, ini SAYA? Man: That’s camera! KY: *Points to the puppet* But this is SAYA. *Points, from the face of the puppet, to the camera body* So, this is SAYA too, isn’t it? Man *speaks in Bahasa and is translated by RP*: SAYA and the camera are not sold separately. So it will be sold together. KY: *Points each part of the puppet from the face to the camera body* Ini SAYA. Ini SAYA. *Points the camera
KY: *Menunjuk kepada kameranya boneka* Ini SAYA. *Menunjuk ke proyeksi, menunjukkan kepada pria tersebut dengan ponselnya yang memiliki stiker berbentuk manusia* Itu SAYA? Laki-laki: SAYA. *Menunjuk boneka kamera KY* SAYA. *KY menunjuk layar; lagi, pria itu melihat kearah kamera dan terlihat pada layar* KY: *Menunjuk tubuh kamera yang tersambung pada wajah boneka* Jadi, in SAYA? Laki-laki: Itu kamera! display from backside of the puppet face* How about this? Man: *Points the camera display for a while and points to Kanade* That is Kanade! KY: Oh, yes. *Points the camera body again* Ini SAYA. *Points the camera display from backside of the puppet face again. Display shows Kanade’s face* Ini SAYA. *Points to the screen showing her face* Itu SAYA?
KY: *Menunjuk boneka* Tapi ini SAYA. *Menunjuk, dari wajah boneka, ke tubuh kamera* Jadi, ini juga Saya kan? Laki-laki *berbicara dalam Bahasa dan diterjemahkan oleh RP*: SAYA dan kamera tidak dijual secara terpisah. Jadi akan dijual bersamasama. KY: *Menunjuk pada setiap bagian dari boneka, dari wajah hingga tubuh kamera* Ini SAYA. Ini SAYA. *Menunjuk pada tampilan kamera dari bagian belakang wajah boneka* Bagaimana dengan ini? Laki-laki: *Menunjuk pada tampilan kamera selama beberapa saat dan kemudian menunjuk Kanade* Itu Kanade! KY: *KY looks at the projection showing KY holding the man’s arm* Itu anda? Man: Itu SAYA. *KY moves her arm’s position holding the man’s hand* KY: *Looks at the projection showing their arms* Ini SAYA? *The camera closes up from KY’s arm to the man’s arm as she says it*
Man: Is that SAYA? *Points the screen showing Kanade’s face* You are… So many Saya!
*KY and the man touched their hand like they are making sure of their hand feeling*
KY: *KY hold the man’s arm* Ini anda?
Man: I’m confused!
Man: Yes.
KY: *To the audience* What do you think, what do you think?
Kanade Yagi
Laki-laki & Kanade: *Menunjuk pada satu sama lain* Itu SAYA.
23
Naskah Pertunjukan “Apa Rasanya Menjadi Diriku?”
KY: Oh, ya. *Menunjuk pada tubuh kamera lagi* Ini SAYA. *Menunjuk pada tampilan kamera dari bagian belakang wajah boneka lagi. Imaji proyeksi menunjukkan wajah Kanade* Ini SAYA. *Menunjuk pada layar yang menunjukkan wajahnya* Itu SAYA?
Transcription to the performance “What is it like to be me?”
24
Laki-laki: Apakah itu SAYA? *Menunjuk layar yang menunjukkan wajah Kanade* Anda adalah...Begitu banyak Saya! KY: *KY memegang lengan pria itu* Ini Anda? Laki-laki: Ya. KY: *KY melihat proyeksi yang menunjukkan KY yang memegang lengan pria tersebut* Itu Anda? *She takes the man’s hand and asks him to get up from the floor, where he had been sitting* I’d like to invite you to a science experiment. *KY and the man go behind the screen* ― *Behind the screen, KY gives him simple direction for the experiment* SCENE 2 *Screen rises up* KY: Welcome to this science experiment. *Man sits down on a chair, his left hand placed on the surface of a table. Right in front of him, beside his hand, is a hand-shaped cake,
*KY memindahkan posisi lengan nya yang memegang tangan Laki-laki itu* KY: *Melihat pada proyeksi yang menunjukkan tangan mereka* Ini SAYA? *Kamera mendekat dari lengan KY hingga lengan laki-laki tersebut disaat KY berbicara* *KY dan Laki-laki itu menyentuh tangan mereka seperti mereka sedang memastikan rasa dari tangan mereka*
dan meminta dia berdiri dari lantai, di mana ia duduk* Saya ingin mengundang Anda pada sebuah percobaan ilmiah. *KY dan Laki-laki itu pergi di belakang layar* -*Di balik layar, KY memberinya arahan sederhana untuk percobaan tersebut* Adegan 2
Laki-laki: Aku bingung!
*Layar terangkat*
KY: *Kepada penonton* Apa pendapat Anda, apa yang Anda pikirkan?
KY: Selamat Datang pada percobaan sains ini.
*Dia menarik tangan Laki-laki itu
*Laki-laki tersebut duduk di kursi, tangan kirinya ditempatkan diatas
similar in size to his own hand. A bag is placed between his hand and the hand-shaped cake so that he cannot see his own hand when he looks at the cake. The puppet camera that KY was holding in Scene 1 is held by another person. KY begins the experiment by taking two brushes and stroking it on corresponding parts on the man’s hand and the cake*
I was thinking, “Why does my hand look like this?”
*About 1 and a half minute after KY began to stroke by two brushes*
KY: What do you feel?
Man: I feel my hand there! KY: Could you tell me what you felt? Man *speaks in Bahasa Indonesia, translated by RP*: While my eyes were focused on the hand, I felt that this was my real hand. So while you were stroking the brush on my hand,
KY: Next, I won’t use these brushes. I will use my hands. *KY continues the experiment, this time using her fingertips to touch corresponding parts on the man’s hand and the cake.*
RP: *Translating the man’s response* He said that he feels it, but not as real as the first one using the brush. He says he feels it to be more romantic! *Audience laughs* *KY continues to touch both his hand and the cake hand, sometimes pushing fingertip or fingernail*
Kanade Yagi
Laki-laki: Itu SAYA.
25
Naskah Pertunjukan “Apa Rasanya Menjadi Diriku?” Transcription to the performance “What is it like to be me?”
26
permukaan sebuah meja. Tepat di depannya, di samping tangannya, adalah sebuah kue berbentuk tangan, ukurannya sama dengan tangan Laki-laki tersebut. Sebuah tas ditempatkan di antara tangannya dan kue yang berbentuk tangan sehingga ia tak dapat melihat tangannya sendiri ketika ia melihat kue tersebut. Kamera boneka yang dibawa KY pada adegan 1 dipegang oleh orang lain. KY mulai percobaan dengan mengambil dua buah kuas dan mengoleskannya kepada tangan Laki-laki tersebut serta tangan kue di bagian yang sama*
KY: Bisakah Anda ceritakan apa yang Anda rasakan?
*Sekitar satu setengah menit setelah KY mengoleskan kedua kuas tersebut*
*KY melanjutkan percobaan tersebut, kali ini dengan menyentuhkan ujung jari-jarinya pada bagian yang sama dari tangan Laki-laki tersebut serta tangan kue.*
Laki-laki: Aku merasakan tangan saya disitu! *After about 3 min. from the beginning, KY breaks the index finger of the hand-shaped cake, while also suddenly lifting the index finger of the man’s hand. She brings the finger close to the man’s mouth, suggesting that he eats it. The man laughs and promptly turns his head away* Man: I cannot eat my own hand!!! RP: *Translating the man’s response* No, this is my real hand, I couldn’t eat it! SCENE 3 KY: We invite you to do the same experiment in pairs. If you don’t have a partner, you can watch. *A table is brought in. KY hands out brushes to the audience, and hand-
Laki-laki *Berbicara dalam Bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh RP*: Ketika mata saya terfokus pada tangan tersebut, saya merasa seperti itu adalah tangan saya sendiri. Jadi ketika Anda sedang mengoleskan kuas tesebut di tangan saya, saya pikir, “Mengapa tangan saya kelihatannya seperti itu?” KY: Selanjutnya, saya tidak akan menggunakan kuas-kuas ini. Saya akan menggunakan tangan saya.
shaped cookies for them to try the same experiment. The audience begins to do the experiments on their own* *While the audience conducts their own experiments, an editor who is backstage takes footages of the earlier experiment with the cake hand, and edits them with other material which were already shot by Kanade. The editor was directed to edit a video as parody of the “Rubber Hand Illusion” posted on YouTube by an English science TV program* *After a while, the audience is finished with the experiment* Mas Nindit: I have comments. KY: Yes?
RP: *Menerjemahkan respon Laki-laki tersebut* Dia mengatakan bahwa dia merasakan sentuhan itu, tapi tidak senyata ketika menggunakan kuas. Dia mengatakan bahwa sentuhan tersebut terasa lebih romantis! *Para penonton tertawa* *KY terus menyentuh kedua tangan tersebut, kadang-kadang mendorong ujung jari atau kukunya*
memalingkan kepalanya dengan cepat* Laki-laki: Aku tidak bisa memakan tanganku sendiri !!! RP: *Menerjemahkan respon dari Laki-laki tersebut* Tidak, ini adalah tangan saya yang sebenarnya, saya tidak bisa memakannya! Adegan 3
*Setelah sekitar 3 menit. dari awal, KY mematahkan jari telunjuk dari tangan kue, sementara juga tiba-tiba mengangkat jari telunjuk tangan Lakilaki tersebut. Dia membawa jari yang telah dipatahkan mendekati mulut Laki-laki tersebut, menyuruh Lakilaki tersebut untuk memakannya. Laki-laki itu tertawa dan kemudian
KY: Kami mengundang Anda semua untuk melakukan eksperimen yang sama dengan berpasang-pasangan. Jika Anda tidak memiliki pasangan, anda menonton saja.
Mas Nindit: I have many comments, actually. In the beginning, when you were showing the experiment, the guy was able to feel the fake hand to be his own hand. When you continued with another session, using your hands, he started to lose the feeling; maybe because he started to think about it rationally. And then when you offered all of us to try this, I already worried, and I told her *points to companion* about it, maybe I won’t feel it anymore because I already get the logic. But when I try it on her, she can still feel it. But when she did it on me, I couldn’t feel anything; it just isn’t my hand.
because we will have presentations.
*Sebuah meja dibawa masuk. KY membagikan kuas serta kue yang berbentuk tangan agar
KY: Thank you for your comment. Tomorrow, Yuta and Ayako from TIC will give lectures. He will not only explain about fake hand experiment; there are also other interesting experiments that Yuta will introduce. I hope you will be there! SCENE 4 *Lights are turned off*
*RP translates Mas Nindit’s comments to Bahasa Indonesia*
*A video “Rubber Hand Illusion” referred from YouTube (https://www.youtube.com/ watch?v=TCQbygjG0RU) is projected*
RP (to everyone): Actually, you can get a richer explanation tomorrow,
*After that, another video is shown, this time of the experiment in Scene 2
Kanade Yagi
KY: Apa yang Anda rasakan?
27
Naskah Pertunjukan “Apa Rasanya Menjadi Diriku?”
kepada penonton untuk digunakan dalam percobaan yang sama. Para penonton mulai melakukan eksperimen sendiri*
Transcription to the performance “What is it like to be me?”
28
*Sementara penonton melakukan eksperimen mereka sendiri, seorang editor yang berada dibelakang panggung mengambil rekamanrekaman dari percobaan sebelumnya, dan mengedit rekaman-rekaman tersebut dengan bahan lain yang sudah rekam oleh Kanade. Editor diarahkan untuk mengedit sebuat video sebagai parodi dari “Illusion Tangan Karet/Rubber hand illusion” yang diposting di YouTube oleh sebuah program TV sains Inggris* *Setelah beberapa saat, penonton selesai dengan percobaan mereka* Mas Nindit: Saya punya tanggapan.
KY: Ya? Mas Nindit: Saya memiliki banyak komentar, sebenarnya. Pada awalnya, ketika Anda menunjukkan percobaan tersebut, Laki-laki itu bisa merasakan tangan palsu adalah tangannya sendiri. Ketika anda melanjutkan pada sesi lainnya, dengan menggunakan tangan Anda, ia mulai kehilangan perasaan tersebut; mungkin karena ia mulai berpikir secara rasional. Dan kemudian ketika Anda menawarkan kita semua untuk mencobanya, saya sudah khawatir, dan saya mengatakan padanya *Menunjuk pendampingnya* tentang itu, mungkin saya tidak akan merasakannya karena saya sudah tahu logikanya. Tapi ketika saya mencobanya padanya, dia masih bisa merasakannya. Tapi ketika dia
melakukannya pada saya, saya tidak bisa merasakan apa-apa; Itu bukan tangan saya.
Adegan 4
*RP menerjemahkan komentar Mas Nindit ke dalam Bahasa Indonesia*
*Sebuah video “Illusion Tangan Karet/Rubber Hand Illusion” dari YouTube (https://www.youtube. com/watch?v=TCQbygjG0RU) diproyeksikan /diputarkan*
KY: Terima kasih atas tanggapan Anda. Besok, Yuta dan Ayako dari TIC akan memberikan kuliah/ presentasi. Mereka tidak hanya akan menjelaskan tentang percobaan tangan palsu; akan ada juga eksperimen menarik lainnya yang akan dikenalkan Yuta. Saya harap Anda akan hadir! which had just been edited backstage during the audience experiments (Scene 3), as a parody of the original “Rubber Hand Illusion”. The audience watches in the video the experiment that they had just seen in this performance* *YouTube homepage is seen onscreen. The upload button is clicked, and the video file of the parody of the ”Rubber Hand Illusion” selected. The video is then posted on YouTube* KY: I will upload this video on YouTube now. So, you can see both of them online: original one, and Jogja version. Thank you very much. RP: So, thank you Kanade, thank you Tokyo Independent Collaboratory, and thank you, all of you, for having
*Setelah itu, video lain ditampilkan, kali ini video dari percobaan pada Adegan 2 yang baru saja diedit di belakang panggung selama percobaan yang dilaksanakan penonton (Adegan 3), sebagai parody dari “Illusion Tangan Karet/ Rubber Hand Illusion” yang asli. Para penonton menonton video dari experimen yang baru saja mereka saksikan dalam pertunjukn ini*
these experiments. Please get some cookies if you wanna eat. There are many of these available. Tomorrow, there will be a presentation with Kanade and -TIC. For more of their information, you can get those flyers. Hope to see you tomorrow! Reference: Botvinick, M. & Cohen, J. “Rubber hands ‘feel’ touch that eyes see.” Nature, 1998. “Rubber hand illusion” by New scientist (https://www. youtube.com/watch?v=TCQbygjG0RU) Note: - This performance was presented as one of the programs in Pesta Boneka #4. - This script was transcribed from the documentation video and touched up for readability. - The video work edited during Scene 3 and posted on Youtube in Scene 4 can be accessed through: https:// www.youtube.com/watch?v=HhPOPBJtFegwas.
Kanade Yagi
RP (untuk semua orang): Sebenarnya, Anda bisa mendapatkan penjelasan yang lebih banyak besok, karena kami akan melakukan presentasi.
*Lampu dimatikan*
29
*Homepage YouTube terlihat di layar. Tombol upload diklik, dan file video parodi dari “Illusion Karet Tangan/ Rubber Hand Illusion” dipilih. Video tersebut kemudian diposting di YouTube* KY: Saya akan meng-upload video ini di YouTube sekarang. Jadi, kalian dapat melihat keduanya secara online: versi yang asli dan versi Jogja. Terima kasih banyak.
30
RP: Jadi, terima kasih Kanade, terima kasih Tokyo Independen Collaboratory, dan terima kasih, kalian semua, karena telah melakukan percobaan ini. Silakan ambil kue-kuenya jika kalian ingin memakannya. Ada banyak dari yang tersedia. Besok, akan ada presentasi bersama Kanade dan -TIC. Untuk informasi lebih lanjut mengenai
mereka, kalian bisa brosur-brosur itu. Sampai jumpa besok! Referensi: Botvinick, M. & Cohen, J. Rubber hands ‘feel’ touch that eyes see.” Nature, 1998. “Karet ilusi tangan” oleh New Scientist (https://www. youtube.com/watch?v=TCQbygjG0RU) Catatan: - Pertunjukan ini disajikan sebagai salah satu program di Pesta Boneka # 4. - Script ini ditranskrip dari video dokumentasi dan di perbaiki agar dapat dibaca. - Video yang diedit selama adegan 3 dan diposting di Youtube pada Adegan 4 dapat diakses melalui: https:// www.youtube.com/watch?v=HhPOPBJtFegwas.
Puisi Lisan
Ilmu Pengetahuan yang Berempati Spoken Word Poetry
Science is Empathizing Ayako Onzo
Hadirin Sekalian, Saya telah berpikir apa yang bisa saya hadirkan di hadapan orangorang yang memiliki latar belakang yang berbeda. Di masa kecil, saya bermimpi memiliki teman-teman yang tinggal di tempat yang jauh. Saya berpikir akan ada seseorang yang merasa sama seperti saya, jika saya mencarinya ke seluruh penjuru dunia. Setelah banyak lika-liku, saya menjadi seorang ilmuwan. Pada akhirnya, saya menemukan bahwa ilmu pengetahuan adalah berpikir tentang hal-hal dan orangorang yang berbeda dari diri saya sendiri. Pada awal kehidupan ilmiah saya, Dear Ladies and Gentlemen, I have been thinking what I can present to the people who have different backgrounds.
“Mantis” Ayako Onze
In my childhood, I was dreaming to have friends who live far far away. I was thinking there would be someone who felt exactly the same way as me, if I look for it all over the world. After many twists and turns, I became a scientist. In the end, I found science is to think about things and people different from myself. At the very beginning of my scientific life, my teacher said, “Can you imagine a mantis’s feeling?” A mantis?
31
guru saya mengatakan, “Bisakah kamu bayangkan perasaan dari seekor mantis?”
Bagaimana rasanya menjadi seekor belalang? Ini adalah pemikiran ilmiah.
Seekor mantis? Belalang, dalam Bahasa Indonesia.
Pada waktu lain, guru saya berkata kepada saya lagi, “Kamu harus membaca koran atau buku, bayangkan penulisnya. Tidak penting apakah kamu tertarik pada koran tersebut atau tidak, tetapi mengapa penulis tersebut tertarik. Kamu harus menemukan perasaan tersebut terlebih dahulu.”
Puisi Lisan Ilmu Pengetahuan yang Berempati
Mari kita berpura-pura menjadi seekor belalang!
Spoken Word Poetry Science is Empathizing
32
Seekor belalang berjalan seperti ini. Tapi apa kegunaan kait ini? Untuk makan? Memangsa? Pernahkah Anda membayangkan bagaimana bayi belalang lahir ke dunia? Seekor bayi belalang memiliki tubuh kecil dan kait kecil yang rapuh. Bagaimana mereka mengambil makanan? Jika mereka tidak bisa memangsa, mereka akan mati.
Kita, para orang dewasa, tahu kita tidak bisa benar-benar menjadi orang lain. Tapi pelatihan ilmiah adalah mengenai berempati.
-Belalang in Bahasa Indonesia.
interested in the paper or not, but why the authors are interested. You should share the feeling first.”
Let’s pretend to be a mantis! A mantis walks like this. But what is this hook for? To eat? To prey? Have you ever imagine how a baby mantis comes into the world? A baby mantis has a small body and tiny tiny fragile hook. How do they take food? If they cannot prey, they will just die. What is it like to be a mantis? This is scientific thinking. Another time, my teacher said to me again, “You should read papers or books, imagining the authors. It is not important whether you are
Jadi apa itu kebenaran ilmiah? Itu adalah hal-hal antara anda dan saya.
We adults know we cannot really be someone else. But scientific training was all about empathizing. So what is the scientific truth? That is the things between you and me. Let’s think about our faces. Face is distinguishing. You see my face most among my body parts. This face is a symbol of myself. On the other hand, I don’t know how my face looks now, how my face is moving now. I have to use mirrors and
Wajah adalah bagian yang membedakan kita. Anda lebih sering melihat wajah saya daripada bagian tubuh saya yang lain. Wajah ini merupakan simbol diri saya. Di sisi lain, saya tidak tahu bagaimana wajah saya terlihat sekarang, bagaimana wajah saya bergerak sekarang. Saya harus menggunakan cermin dan foto untuk melihat wajah saya. Anda melihat wajah saya secara langsung, tapi ini adalah hal yang paling tidak bisa saya lihat. Yang mana yang merupakan wajah sejati, yang Anda lihat atau yang ada dalam pikiran saya?
photographs to see my face. You see my face directly, but this is the very thing I cannot see. Which is the true face, the one you see or the one in my mind? A research says, the self image in our brain is by almost 10 percent more beautiful than the real face. Do you agree? We are somewhat posing in the mirror, and memorize the finer face in the brain. So we are beautiful in our own mind. It is difficult to fill the gap between you and me. This is the place where fiction is born. Some people apply facial makeup. Why do they do so?
Sebuah penelitian mengatakan, citra diri di dalam otak kita hampir 10 persen lebih indah dari wajah asli. Apa anda setuju? Kita berpose di cermin, dan mengingat wajah yang lebih bagus di otak. Jadi kita indah dalam pikiran kita sendiri. Sulit untuk mengisi kesenjangan antara anda dan saya. Ini adalah tempat di mana fiksi terlahirkan. Beberapa orang mengenakan rias wajah. Mengapa mereka melakukannya? Mereka memodifikasi wajah asli untuk membuat wajah menyenangkan diantaranya. Wajah sosial itu seperti boneka, They modify the original face to make an agreeable face among the others. The social face is like a puppet, which is not me, not you, but a bearer of reality. The face includes our best wishes, and our sadness. One very dark night, I did one thing. On the narrow street just the moon lit, I sat down with my friends, one by one, with a distance we could see each other’s face faintly in the darkness. I told them to walk away if they thought they saw something in between. I had decided to smile only once in the darkness. Now I know there’s no single person who feels exactly the same way as me. But now I dream what kind of place and time I can make among people, like here with this beautiful people.
Ayako Onzo
Mari berpikir tentang wajah kita.
33
Puisi Lisan Ilmu Pengetahuan yang Berempati
Yang mana bukan saya, bukan anda, tetapi pembawa realitas (kenyataan). Wajah itu termasuk keinginan terbaik kita, dan kesedihan kita.
Spoken Word Poetry Science is Empathizing
34
Suatu malam yang sangat gelap, saya melakukan satu hal. Di jalan sempit hanya ada cahaya menyala, saya duduk bersama teman-teman saya, bersampingan, Dengan berjarak kita dapat melihat wajah satu sama lain yang samar dalam kegelapan. Saya menyuruh mereka untuk pergi jika mereka pikir mereka melihat sesuatu di antara kita. Saya telah memutuskan untuk tersenyum hanya sekali dalam kegelapan. Sekarang saya tahu tidak ada satu orang pun yang merasa sama
dengan saya. Tapi sekarang saya bermimpi tentang jenis tempat dan waktu yang dapat saya buat di antara orang-orang lain, seperti di sini dengan orang-orang yang cantik/tampan ini.
Laporan Wicara dan Lokakarya
Boneka dan Tubuh Talk and Workshop Report
Puppet and Body Yuta Nishiyama
1. Ringkasan Wicara Bagaimana kita mengenali boneka? Atau, bagaimana kita mengenali dunia? Keduanya adalah pertanyaan yang sama. Intinya adalah, apa itu yang lain atau apa itu diri. Saya mengusulkan bahwa beberapa benda seperti boneka dan tubuh, adalah titik temu antara ‘yang lain’ dan ‘diri’. Benda-benda yang memungkinkan kita untuk mengenali dunia. Pertama saya menjelaskan tentang “tubuh di otak” (Body in the brain) berdasarkan sudut pandang prosesproses informasi dari sistem saraf. “Tubuh di otak” (Body in the brain) berbeda dari tubuh fisik dalam hal susunan, ukuran dan posisi spasial. Ini menunjukkan bahwa beberapa benda, misalnya boneka, bisa menjadi “tubuh di otak” menggantikan 1. Talk summary How do we recognize puppetry? Or, how do we recognize the world? They are the same questions. The point is, what is the other or what is the self. I proposed that some objects such as a puppet and the body, are interfaces between the other and the self. Objects enable us to recognize the world. First I explained “body in the brain” from the viewpoint of information processes of nervous systems. “Body in the brain” differs from a physical body in terms of arrangement, size and spatial position. It suggests that some objects, e.g. a puppet, can be “body in the brain” in place of a physical body. Also, “body in the brain” consists of many kinds of information. In other words, it results from integration of information.
35
Laporan Wicara (Talk) dan Lokakarya (Workshop) Boneka dan Tubuh
tubuh fisik. Selain itu, “tubuh di otak” terdiri atas berbagai jenis informasi. Dalam kata lain, merupakan hasil dari integrasi informasi.
Talk and Workshop Report Puppet and Body
36
Selanjutnya, saya memperkenalkan beberapa trik psikologis di mana “tubuh di otak” (Body in the brain) mudah berubah oleh informasi yang diberikan: Ilusi tangan karet (rubber hand illusion) *1 [lihat versi tangan kue-nya di [workshop # 1], ilusi Mirror Limb (Mirror limb illusion) *2 [workshop # 2], dan perasaan tidak memiliki (kendali) tubuh (Body disownership feeling) *3 [workshop # 3]. Trik-trik ini menunjukkan bahwa “tubuh di otak” (Body in the brain) merupakan hasil dari tidak hanya integrasi informasi tetapi juga diferensiasi informasi. Jadi beberapa objek memiliki sifat ambigu dari informasi yang terintegrasi dan Next, I introduced the several psychological tricks in which “body in the brain” is easy to change by given information: Rubber hand illusion *1 [see cookie hand version of this in Workshop #1], mirror limb illusion *2 [Workshop #2], and body disownership feeling *3 [Workshop #3]. These tricks indicate that “body in the brain” results from not only integration of information but also differentiation of information. Thus some objects have ambiguous properties of integrated and differentiated information and reconcile the paradoxical processes. The objects dynamically mediate the other and the self. Lastly, I accommodated my argument to Kanade’s performance *4. Her performance was based on the rubber hand illusion; this time, the fake hand was made of cake. A man was asked
informasi yang terdiferensiasi dan menggabungkan proses-proses paradoks tersebut. Benda-benda tersebut secara dinamis memediasi ‘yang lain’ dan ‘diri’. Akhirnya, saya tampung argumen saya pada pertunjukan Kanade *4. Pertunjukkan tersebut didasarkan pada ilusi tangan karet; kali ini, tangan palsu yang digunakan terbuat dari kue. Seorang pria diminta untuk berpartisipasi dalam pertunjukan tersebut dan duduk di depan meja di mana tangan palsu diletakkan. Tangan pria tersebut juga diposisikan di atas meja. Dia tidak bisa melihat tangannya sendiri karena terhalang, dan hanya melihat tangan palsu. Kanade memperlakukan tangan palsu dan tangan asli secara bersamaan selama beberapa menit. Pria tersebut pasti menganggap to participate in her performance and seated in front of a table on which the fake hand was placed. His hand was also positioned on the table. He could not see it because of a partition, and only sees the fake hand. She stimulated synchronously the fake hand and the real hand for a few minutes. He must have regarded the fake hand as not only his own hand, but also food. At the end of performance, he was asked to eat the fake hand. He, however, hated to do so. Let’s imagine that the performance is a scientific experiment and the participant will eat the fake hand without control. I suppose that the experimenter’s intention can be turned over by the ambiguity of the fake hand. Then the experimenter is no longer a transcendent controller. The participant is confused with the experimenter through the fake hand. I interpreted that her per-
formance represented such dynamic relation between the other and the self by uncovering the ambiguity of objects. We can find something new by uncovering the ambiguity. The ambiguity of objects always underlies living things. Puppets and the body are prime examples of such objects. *1. Rubber hand illusion: Botvinick, M. & Cohen, J. “Rubber hands ‘feel’ touch that eyes see.” Nature, 1998. *2. Mirror limb illusion: Stafford, T. & Webb, M. “Mind Hacks: Tips & Trucks for Using Your Brain.” O’Reilly Media. 2004. *3. Body disownership feeling: Nishiyama, Y., Tatsumi, S., Nomura, S, and Gunji, Y-P. (in preparation). *4 Kanade Yagi’s work produced in a performance as a parody of “Rubber hand illusion” https://www.youtube. com/watch?v=HhPOPBJtFeg
2. Workshop [Workshop #1] Cookie hand illusion This is inspired by a classical experiment of rubber hand illusion. A fake
dengan mengungkap ambiguitas. Ambiguitas benda-benda selalu mendasari makhluk hidup. Boneka dan tubuh merupakan contoh utama dari benda-benda tersebut. *1. Rubber hand illusion: Botvinick, M. & Cohen, J. “Rubber hands ‘feel’ touch that eyes see.” Nature, 1998. *2. Mirror limb illusion: Stafford, T. & Webb, M. “Mind Hacks: Tips & Trucks for Using Your Brain.” O’Reilly Media. 2004. *3. Body disownership feeling: Nishiyama, Y., Tatsumi, S., Nomura, S, and Gunji, Y-P. (in preparation). *4 Karya Kanade Yagi yang dihasilkan dalam pertunjukan sebagai parodi “Karet ilusi tangan/ Rubber hand illusion” https://www.youtube.com/ watch?v=HhPOPBJtFeg
2. Workshop [Workshop #1] ilusi tangan kue (cookie hand illusion) Hal ini terinspirasi oleh eksperimen klasik ilusi tangan karet (rubber hand illusion). Sebuah tangan kiri palsu yang terbuat dari kue (karet dalam left hand made of cookie (rubber in the case of rubber hand illusion) is placed on a table in front of a participant who put his/her own left hand behind a partition. The participant cannot see his/her own hand but the cookie hand. An experimenter touches the both hands synchronously for a while. The participant then feels as if the cookie hand is his/her own hand. What feeling is eating it? [Workshop #2] Mirror limb illusion This is inspired by an alleviation of the phantom limb*. A participant moves and reflects one limb in a mirror, then synchronously moves another limb behind the mirror. He/ she feels as if the visual limb on the mirror is the real limb behind the mirror. If he/she suddenly stops the only movement behind the mirror, then he/
Yuta Nishiyama
bahwa tangan palsu tersebut bukan hanya merupakan tangannya sendiri, tetapi juga merupakan makanan. Pada akhir pertunjukan, ia diminta untuk memakan tangan palsu. Dia, bagaimanapun juga, tidak ingin melakukannya. Mari kita bayangkan bahwa pertunjukan tersebut adalah eksperimen ilmiah dan pesertanya akan memakan tangan palsu tanpa terkendali. Saya kira niat eksperimenter dapat berubah dikarenakan oleh ambiguitas dari tangan palsu. Maka sang eksperimenter tidak lagi menjadi pengendali penuh. Peserta menjadi bingung dengan eksperimenter melalui tangan palsu tersebut. Saya mengartikan bahwa pertunjukannya mewakili hubungan dinamis seperti antara ‘yang lain’ dan ‘diri’ dengan mengungkap ambiguitas benda. Kita dapat menemukan sesuatu yang baru
37
Laporan Wicara (Talk) dan Lokakarya (Workshop) Boneka dan Tubuh Talk and Workshop Report Puppet and Body
38
kasus ilusi tangan karet) diletakkan di atas meja di depan peserta yang menempatkan tangan kiri sendiri nya balik sebuah sekat. Peserta tersebut tidak dapat melihat tangannya sendiri tetapi dapat melihat tangan kue. Seorang eksperimenter menyentuh kedua tangan tersebut pada saat yang bersamaan untuk sementara waktu. Peserta tersebut kemudian merasa seolah-olah tangan kue merupakan tangannya sendiri. Apa rasanya memakan tangan tersebut? [Workshop #2] ilusi Mirror limb Hal ini terinspirasi oleh pengurangan dari phantom limb*. Seorang peserta bergerak dan mencerminkan satu anggota tubuhnya di cermin, kemudian secara serempak menggerakkan anggota tubuh lain yang berada di balik cermin. Dia merasa seolah-olah visualisasi
dari anggota tubuhnya didepan cermin merupakan anggota tubuh sebenarnya yang berada di balik cermin. Jika dia tiba-tiba menghentikan gerakan bagian tubuhya yang berada dibalik cermin, maka ia merasa seolah-olah tubuhnya terbagi dalam sekejap. *The phantom limb: Orang yang diamputasi sering mengalami kejadian ini. Phantom Limb terjadi ketika seseorang merasa bahwa salah satu anggota tubuhnya masih ada walaupun sebenarnya telah diamputasi. [Workshop #3] Body Disownership Feeling (Perasaan Tidak Memiliki (kendali) Tubuh) Kita bisa saja merasa tidak memiliki/ menyangkal akan tubuh kita sendiri. Seorang peserta memakai Head
she feels as if his/her own body is split in a moment.
3. Discussion: The cookie hand illusion as a preliminary experiment
*The phantom limb: Amputees often suffer from this. It is a strange feeling as if there is a limb even though it was removed by amputation.
We show a preliminary observation of cookie hand illusion (CHI) here. A fake hand was made of cookie instead of rubber. The cookie hand is not just cookie but “something like my hand and food”. We will be able to demonstrate the difference between before and after CHI by examining a change of the taste, because the sense of taste is affected by not only chemical stimuli but also anticipation. It is difficult to anticipate the taste of one’s own hand, unlike usual cookie. Our workshop was also a preliminary experiment. Five participants responded to a questionnaire after CHI [Figure 1]. The questionnaire included five items to which participants agreed or disagreed about feelings during CHI. Answers were given in
[Workshop #3] Body disownership feeling People can feel even disownership of our own body. A participant wears a head mounted display (HMD). He/she is filmed by video camera. Real-time images of one side of his/her upper body are projected on to HMD. If he/ she moves his/her hand with the hidden elbow behind the upper body, he/she feels as if the hand is not his/ her own in spite of moving it his/her own will.
[Workshop #1] Cookie hand illusion
39
[Workshop #2] Mirror limb illusion
[Workshop #3] Body disowner-ship feeling
Laporan Wicara (Talk) dan Lokakarya (Workshop) Boneka dan Tubuh Talk and Workshop Report Puppet and Body
40
Mounted Display (HMD). Dia direkam dengan kamera video. Rekaman satu sisi dari bagian atas tubuhnya di proyeksikan secara real-time kepada HMD yang ia pakai. Jika ia menggerak tangannya dengan siku yang tersembunyi di balik bagian atas tubuhnya, ia merasa seolah-olah tangan tersebut bukan tangan miliknya meskipun ia telah menggerakkannya sendiri. 3. Diskusi: Ilusi tangan kue/the cookie hand illusion sebagai percobaan awal Kami menunjukkan pengamatan awal ilusi tangan kue/the cookie hand illusion (CHI) di sini. Sebuah tangan palsu terbuat dari kue, bukan karet. Tangan kue bukan hanya kue saja, tapi juga “sesuatu
seperti tangan dan makananku”. Kita akan mampu menunjukkan perbedaan antara sebelum dan sesudah CHI dengan memeriksa perubahan rasa, karena indera perasa tidak hanya dipengaruhi oleh rangsangan kimia tetapi juga antisipasi. Sulit untuk mengantisipasi rasa dari tangan sendiri, tidak seperti kue biasa. Workshop kami juga merupakan percobaan awal. Lima peserta menjawab kuesioner setelah CHI [Gambar 1]. Kuesioner tersebut meliputi lima item yang mana dijawab oleh peserta dengan ‘setuju’ atau ‘tidak setuju’ mengenai perasaan selama CHI. Jawabanjawabannya diberikan jangka nilai dari -3 hingga +3 [Gambar 2]. Rasa kepemilikan atas tangan cookie tercermin pada item 1 dan 2 dan rasa cookie tercermin tercerminkan pada item 3 dan 4. Selanjutnya
Figure 1. Questionnaire used in our workshop.
Item1
Item2
Item3
Item4
Item5
Figure 2. Results of the CHI questionnaire.
values from -3 to +3 [Figure 2]. The sense of ownership over a cookie hand is reflected in item 1 and 2 and the taste of the cookie is reflected in item 3 and 4. Furthermore item 5 asks whether the participant feels as if the cookie hand is one’s own hand and food. The positive answers of item 1 and 2 indicate that participants attribute the cookie hand to their own body image. Therefore CHI can cause the sense of ownership over an object as well as RHI. High correlation of answers in item 3 and 5 is interesting. It suggests that the feeling of eating one’s own hand might correspond to the strange taste. We could not mention the change of taste by the current method. However some relation between the intensity of CHI and the taste motivates the future researches.
Yuta Nishiyama
item 5 menanyakan apakah peserta merasa seolah-olah tangan Cookie merupakan tangan dan makanan mereka sendiri. Jawaban positif untuk item 1 dan 2 menunjukkan bahwa peserta melambangkan tangan kue sebagai image dari tubuh mereka sendiri. Oleh karena itu CHI dapat menyebabkan rasa kepemilikan atas suatu benda sama seperti ilusi tangan karet/rubber hand illusion (RHI). Korelasi yang tinggi dari jawaban pada item 3 dan 5 menarik perhatian. Hal ini menunjukkan bahwa perasaan memakan tangan sendiri mungkin berhubungan dengan rasa yang aneh. Kita tidak bisa menyebutkan perubahan rasa dengan metode kali ini. Namun adanya hubungan antara intensitas CHI dan rasa memotivasi penelitian di masa depan.
41
42
43
Komentar Tentang Tokyo Independent Collaboratory di Pesta Boneka #4 On Tokyo Independent Collaboratory at Pesta Boneka #4
44
Maria Tri Sulistyani (Papermoon Puppet theatre), Organizer, Pesta Boneka
-TIC bukan merupakan seniman Teater Boneka sehingga keterlibatannya dalam Pesta Boneka #4 membawa warna yang cukup berbeda dari sekedar mengeksplorasi teater boneka itu sendiri. Pertunjukan dan eksperimen yang unik telah mengejutkan banyak penonton yang datang ke Pesta Boneka #4. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya penonton datang dengan ekspektasi mereka sendiri, atau bahkan mereka telah memiliki bayangan tentang apa yang akan mereka lihat pada festival ini. Sangat menarik menyaksikan ekspresi keterkejutan, keheranan dan bahkan ekpresi tidak-mengerti yang mereka tunjukkan. Tapi pada akhirnya penonton mendapatkan pengalaman yang baru dan menarik karena mereka diajak untuk mengeksplorasi -TIC is not a Puppet Theatre artist, so its involvement at Pesta Boneka #4 alone has contributed a new fresh color to than just a matter of exploring puppetry. The unique performance and experimentation had surely surprised most of the audience who came to Pesta Boneka #4. It is because normally people come with their expectation in their mind, or sometimes they even have mind set on what they would see in the festival. Very intriguing to witness the surprise, wonder or some even showed the unable-to-get-theidea-expression. Nevertheless, in the end audience acquired a new and interesting experience for they are taken to a new path of exploration than just watch a conventional practice of puppet theatre.
logika yang baru dan tidak hanya menonton pertunjukan teater boneka yang konvensional. Biasanya penonton dihadapkan pada boneka-boneka yang diberi peran, nyawa dan dihidupkan dengan cerita. Pada pertunjukkan yang lebih umum lagi, ada semacam kesepakatan tak terlihat diantara sang pemain boneka dengan penonton yang menyelaraskan rasa dan pola pikir mereka. Dari kesepakatan itu maka penonton bisa menyaksikan boneka secara langsung dan bercerita. Jika kamu percaya bahwa itu adalah ‘tangan’, yang hidup dan dihidupkan, maka itu adalah tangan. Hal ini merupakan logika dasar dari teater boneka. Inilah yang diangkat dan dipertunjukkan oleh TIC dengan cara yang berbeda. Normally, audiences are exposed to puppets which were given roles, life and live a story. In a more common practice of puppet theatre, there is an invisible agreement between the puppeteer and audience to synchronize the senses and mind frame. Consensually, the audience can see the puppets live and tell stories. If you believe that it is a ‘hand’, alive and livened, so be it. It is the basic logic for puppetry. This is what is explored by -TIC in a completely different way. Indeed, there was a need for a ‘bridge’ to slowly usher the audience to the other side of puppetry logic, to be the puppet and to experience being given a life. Not all can find the bridge, therefore it was quite specific for who then could get the idea and enjoy the performance and experiment. Also that the performance
Memang dibutuhkan ‘jembatan’ untuk dengan secara perlahan membawa penonton pada sisi lain dari logika teater boneka, untuk menjadi si boneka, dan untuk merasakan apa yang dirasakan sebuah boneka yang dihidupkan. Tidak semua orang dapat menemukan jembatan tersebut, sehingga siapa yang dapat mengerti dan menikmati pertunjukkan dan percobaannya memang sangat spesifik. Kemudian, karena dilaksanakan dengan format galeri, bukannya panggung, pertunjukan dan percobaan tersebut telah membawa kekayaan baru pada festival teater boneka dalam bentuk experimen.
and experiment were executed in a gallery format, instead of a stage, had brought a new enrichment, in the form of experiment, to a puppet festival.
45
Ingatan tentang proyek “Tokyo Independen Collaboratory” di “Pesta Boneka #4”
46
Reflections on “Tokyo Independent Collaboratory” project at “Pesta Boneka #4” Jesse Stevens & Dean Petersen (Cake Industries) media artists
“Tokyo Independen Collaboratory” telah mempersembahkan sebuah proyek yang benar-benar unik sebagai bagian dari “Pesta Boneka #4” pada bulan Desember 2014. Ini benar-benar sesuatu yang tidak pernah lihat sebelumnya – penampilan yang berkisar antara eksperimen sosial, ilmu pengetahuan eksplorasi, dan instalasi performatif. Pada awalnya, Kanade dan timnya menjelaskan tentang konsep pemisahan pikiran dari tubuh, dan fenomena kamera video yang memungkinkan semacam keberadaan berjarak/telepresence yang belum diketahui sebelum teknologi ini ada. Melalui anekdot dan contoh yang dipilih secara seksama, penonton diajak melalui eksplorasi yang telah dipersiapkannya dengan timnya. “Tokyo Independent Collaboratory” hosted a truly unique project as part of “Pesta Boneka #4” in December 2014. It was truly something we hadn’t seen before – a performance that was somewhere between social experiment, exploratory science, and performative installation. Kanade and her team initially explained the concepts of separation of mind from body, and the phenomenon of video cameras allowing a kind of telepresence unknown before this technology existed. Through carefully crafted anecdotes and examples, the audience was shown through the exploration that had taken place up to that point by the team. Then, in an unexpected twist, an audience member was put through what is known as the “Rubber Hand
Kemudian, secara tak terduga, seorang penonton diajak bersimulasi dengan apa yang dikenal sebagai “Eksperimen Karet Tangan” di mana otak mereka dilatih untuk menerima tangan karet (atau dalam hal ini tangan kue) sebagai tangan kiri mereka. Setelah otak subjek menerima tangan ini sebagai mereka sendiri melalui eksperimen secara seksama, salah satu jari pada tangan palsu itu direnggut tiba-tiba dan ditawarkan kepada subjek untuk dimakan – yang untuk penonton ini menjadi sangat mengejutkan dan mengerikan. Seluruh penonton kemudian ditawari tangan palsu (dari kue) untuk mengalami percobaan berpasangan dan eksperimen sosial terus berkembang menjadi interpretasi baru yang dipandu dan diawasi oleh tim.
Experiment” in which their brain is retrained to accept a rubber hand (or in this case cookie hand) as being their left hand. Once the subject’s brain accepted this hand as their own through careful experiments, the subjects false finger was torn off abruptly and offered to the subject to eat – which was met with shock and horror. The entire audience was then offered cookie hands to continue the experiment in pairs and the social experiment continued to evolve as new interpretations were taken on under the team’s watchful eyes. We thoroughly enjoyed the work, and had our minds opened to a new way of thinking about the idea of self. The execution of the project was as important as the work itself, and both sides of this project worked harmo-
Kami benar-benar menikmati seluruh proses ini, pertunjukan dan pengalamannya, dan merasakan pikiran kami dibuka untuk berpikir tentang ide ‘diri’ dengan cara yang baru. Bahwa pelaksanaan sebuah proyek (pertunjukan) itu ternyata sama pentingnya dengan hasil (pertunjukan) itu sendiri, dan kedua sisi dari sebuah proyek (pertunjukan) ini bekerja secara harmonis untuk menciptakan unsur ketakjuban (pada penonton) dan kesempatan eksplorasi lainnya. Kami sebagai seniman sangat tersentuh oleh hal ini dan kami ingin berkolaborasi dengan Kanade dan timnya (“Tokyo Independen Collaboratory”) di masa depan untuk terus bereksperimen dengan pemisahan pikiran seseorang dari tubuh mereka, dan mengeksplorasi apa artinya ‘ada’. niously to create a sense of wonder and occasion. We as artists were so moved by it that we aim to collaborate with Kanade and her team (“Tokyo Independent Collaboratory”) in future to continue to experiment with the separation of one’s mind from their body, and explore what it means to exist.
47
“Kok Sampai Pikiran Mereka Kesana? “What has Inspired them to Up with this Concept?” Abimanyu Prasastia Perdana (Anak Muda Bicara Teater)
48
Pertama kali melihat performance Kanade Yagi, saya seperti masuk ke sebuah pameran photography yang absurd. Saat Kanade Yagi, Yuta Nishiyama dan Ayako Onzo memulai penampilannya saya mulai memasuki alam kebingungan. Kanade Yagi membuat sebuah boneka bernama “Saya” dengan menempelkan sebuah stiker pada kamera dan menghidupkannya. Pengalaman ini kemudian ditularkan pada penonton dengan membagikan stiker yang kemudian yang ditempel pada kamera telepon selular semua penonton. Dan kami semua merasakan peran sebagai “Saya”, kebingungan dan takjub itu membuat saya berpikir “kok sampai pikiran mereka kesana?” Biasanya saat menonton pertunjukan boneka, penonton melihat boneka dihidupkan, kali ini penonton diajak First I saw Kanade Yagi’s performance, it is like getting into an absurd photography exhibition. When Kanade Yagi, Yuta Nishiyama and Ayako Onzo began their performance I began to enter the realm of confusion. Kanade Yagi made a puppet named “Saya“ by attaching a sticker on the camera and made the puppet alive. This experience was then transmitted to the audience by distributing stickers that were then affixed to the mobile phone cameras of all spectators. And we all experience the role as “Saya”. Confusion and amazement then made me think, “What has inspired them to come up with this concept?”. Usually when watching a puppet show, the audience watch the puppet made alive, this time the audience are invited to become the puppet itself. It was an amazing experience.
menjadi boneka itu sendiri. Sungguh pengalaman yang menakjubkan. Ketakjuban itu akhirnya berubah menjadi ketakjuban yang lebih saat saya menjadi subyek eksperimen di Rubber Hand Illusion. Saat fokus mata dan pikiran saya ada pada tangan palsu, saya merasakan tangan palsu yang terbuat dari kue itu adalah tangan saya. Saya merasakan betul saat tangan dipegang, dipijat dan disapu dengan kuas. Saya berusaha melepaskan pikiran bahwa tangan palsu itu bukan tangan saya, tapi pikiran itu hanya sesaat saja saya tersadar dan akhirnya kembali saya merasakan bahwa tangan palsu tersebut adalah tangan saya. Puncaknya ketika tangan yang terbuat dari kue itu diputus oleh Kanade, saya terkesiap, syok dan ada rasa mual yang mengaliri perut saya.
My amazement was escalating when I was chosen to become the subject of the Rubber Hand Illusion experiment. While focusing my eyes and mind on the fake hand, I felt that the false hand, was my hand. I really felt it when my hand touched, massaged and caressed with a brush. I tried to let go of the thought that the fake hand was not my hand, but I could only hold the thought that it was not my hand only for a moment. I was ‘coerced’ to think that the fake hand IS my hand. The moment when Kanade ripped the hand off, my heart leaped and I was gasping in shock and felt a rush for nauseous feeling flow through my stomach. I was really believe that the hand made of pastry, that finger Kanade ripped, was my hand. The sensation occurred for a while, about 1 to 5
Saya benar-benar meyakini bahwa tangan yang terbuat dari kue dan yang diputus paksa oleh Kanade adalah tangan saya. Sensasi tersebut terjadi beberapa saat, sekitar 1 sampai 5 menit. Dan sesudah itu saya kembali seperti sedia kala. Namun saat itu, saya merasa pikiran kita mengendalikan tubuh kita dan saat pikiran kita dipengaruhi jadilah tubuh kita boneka yang di kontrol oleh pikiran kita. Eksperimen yang luar biasa.
minutes. Only after that I resumed to my normal senses, I realized how powerful our mind control our body. And when the mind is under an influence, then the body become puppet and are controlled by the mind. It was an outstanding experiment.
49
50
51
Semuanya Adalah Bentrokan Saya
Laporan Tentang Yogyakarta
Everything is My Clash
Report on Yogyakarta
Yuta Nishiyama
52
“Apa perasaan dari tangan yang dapat dimakan?” Kata Kanade. Pada bulan September 2014, Kanade, Ayako dan saya berada di sebuah kafe di Tokyo. Kami merencanakan karya kami untuk Pesta Boneka #4. Kanade telah menyimpan pertanyaan pertama sudah dari lama. Ketika ia mengetahui tentang ilusi tangan karet/Rubber Hand Illusion(RHI), ia ingin menciptakan sebuah parodi dari RHI dengan menggunakan tangan palsu yang dapat dimakan. Saya berkata, “Mengagumkan! Kita harus melakukannya secepat mungkin! “ Karena saya telah merasakan ada kekurangan dari RHI. Seseorang bisa merasakan kepemilikan akan tangan palsu dengan RHI. Sensasi ini adalah bagian dari “menjadi saya”. Namun saya pikir rasa penyangkalan/ disownership juga merupakan bagian dari “menjadi saya”. Memang, “What feeling is an eatable hand?” said Kanade. In September 2014, Kanade, Ayako and I were at a café in Tokyo. We arranged for our works at Pesta Boneka #4. Kanade had been keeping the first question for a long time. When she knew the rubber hand illusion (RHI), she hoped to create a parody of RHI by using an eatable fake hand. I said, “It is awesome! We should do it as soon as possible!” because I had been feeling a lack in RHI. One can feel a sense of ownership to a fake hand by RHI. This sensation is a part of “being I”. However I thought that a sense of disownership is also a part of “being I”. Indeed, people practice “being I” with accepting a difference between “I who I know” and “I who the others know” [see also Ayako’s Spoken Poetry]. In Kanade’s performance at Pesta Boneka #4,
orang menganggap “menjadi saya” dengan menerima perbedaan antara “Saya yang saya ketahui” dan “Saya yang orang lain ketahui” [lihat juga Puisi Ayako]. Pada pertunjukan milik Kanade di Pesta Boneka #4, ia mencoba membuat salah satu peserta memakan tangan palsu yang mana dirasa seperti tangan milik si peserta itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan (tubuh saya) dan penyangkalan/ disownership (makanan) diakui secara bersamaan. Saya berharap para peneliti menjadi terinspirasi oleh karya ini [lihat “Ilusi tangan kue/ the cookie hand illusion sebagai percobaan awal”]. Pesta Boneka #4 adaah festival seni pertama yang pernah saya ikuti. Festival ini juga merupakan tantangan pertama bagi kami dalam she tried to let a participant eat a fake hand with a sense of ownership. It represented that ownership (my body) and disownership (a food) are simultaneously recognized. I hope that many researchers are inspired by this work [see “The cookie hand illusion as a preliminary experiment”]. Pesta Boneka #4 was the art festival in which I took part for the first time. It was also the first challenge for us to relate scientific research to artist’s work. Best of all, I really appreciate Ria (Papermoon Puppet Theatre) and Ries (Jogja contemporary) who accepted our challenge pleasantly and helped us generously. I’d like to thank every audience. Especially, Sue (Polyglot Theatre) and Anya (assistant director, Pesta Boneka) who translated my confusing talk into easy-to-understand words and
menghubungkan penelitian ilmiah dengan karya seniman. Yang terbaik dari semuanya, saya benar-benar mengapresiasi Ria (Papermoon Puppet Theatre) dan Ries (Jogja Contemporary) yang menerima tantangan kami dengan ramah dan membantu kami dengan murah hati. Saya ingin berterima kasih kepada semua penonton. Terutama, Sue (Polyglot Theatre) dan Anya (pendamping seniman Pesta Boneka) yang menerjemahkan pembicaraan saya yang membingungkan sehingga menjadi kata-kata yang mudah dimengerti serta dalam bahasa Indonesia untuk penonton lainnya. Saya terkesan akan keramahan dan kecerdasan mereka. Begitu workshop kami dimulai, Zak (Polyglot Theatre) datang dan berkata, “Aku akan mencobanya!”. Saya sebelumnya khawatir apakah penonton akan also Bahasa Indonesia for the other audience. I was impressed by their warm heart and intelligence. As soon as our workshop started, Zak (Polyglot Theatre) came and said, “I’ll try it!”. I was worried whether the audiences would enjoy it but I was saved by his words. Everybody tried some experiments with shining eyes. It was a very happy time. Kovács Tamás, who controlled a huge dinosaur suit with skill, told me about some interesting creators, and the next day, he said that he deeply thought about his own body the previous night. I was glad that we could make a good impact on each other. I met many wonderful artists and works at Pesta Boneka. They moved and inspired me. At the artist’s cooking, we made sushi, onigiri and green tea. Many people regardless of age or gender took them as
53
Laporan Tentang Yogyakarta Semuanya Adalah Bentrokan Saya Report on Yogyakarta Everything is My Clash
54
menikmatinya atau tidak, tapi kemudian saya terselamatkan oleh kata-katanya. Semua orang mencoba beberapa eksperimen dengan mata yang bersinar. Saat itu merupakan saat yang membahagiakan. Kovács Tamas, yang mengendalikan kostum dinosaurus raksasa dengan terampil, menceritakan kepada saya mengenai beberapa penciptaan yang menarik, dan pada hari berikutnya, ia mengatakan bahwa ia sangat memikirkan tubuhnya sendiri pada malam sebelumnya. Saya sangat senang bahwa kami bisa memberikan dampak yang baik terhadap satu sama lain. Saya bertemu dengan banyak seniman yang menyenangkan dan bekerja di Pesta Boneka. Mereka menggugah dan menginspirasi saya. Pada kegiatan seniman memasak, kami membuat sushi, onigiri dan teh hijau. Tanpa pandang usia dan jenis soon as we made. So nothing was left on the plate. I was smiling with embarrassment during cooking time. One week has passed since I came back to very cold Osaka. My heart keeps hot like Jogjakarta. I am very grateful to you all again, and shall never forget Pesta Boneka!
kelamin, banyak orang mengambil makanan yang kami buat. Sehingga tidak ada yang tersisa di piring kami. Selama waktu memasak, saya tersenyum malu. Satu minggu telah berlalu sejak saya kembali ke Osaka yang sangat dingin. Hati saya tetap panas seperti Jogjakarta. Saya sangat berterima kasih kepada Anda semua, dan tidak akan pernah lupa pada Pesta Boneka!
Sarasehan
Masalah TanganKanan Sosok Seorang Prajurit Discussion
A Warrior Figure’s Right-Hand Problem Ayako Onzo
Suatu malam, saya berada dalam situasi di mana orang-orang buta berkumpul di jalan, dan berbicara pada satu sama lain. Salah seorang berkata, “Jadi, bagaimana dengan bulan? Bagaimana rasanya bagi kamu?” Seorang buta lain berkata,” Hmmm...bagi saya, bulan itu seperti bola.” “wah! Bagi saya, itu adalah...” Seperti apakah sebuah bola bagi orang-orang yang telah buta sejak lahir? Mereka belum pernah melihat bola. Apakah perasaan menyentuh bola sama dengan bulan? -kita Tidak dapat menyentuh bulan. Sangat sulit untuk mengetahui dengan tepat “bagaimana rasanya” sesuatu bagi orang lain. Saya pernah merasa bulan seperti One night, I encountered a situation where blind people gathered on a street, talking to each other. A person said, “So, how about the moon? What is it like for you?” Another person said, “Hmmm…for me, it is like a ball.” “Boy! For me, it is…” What is a ball like for congenitally blind people? They haven’t seen a ball. Is the touch feeling of a ball the moon?—we can’t touch the moon. It is very hard to know exactly “what it is like” for other people. I have once experienced that the moon felt like a hole on the earth. The inside of the earth was dark and the outside was filled with light. Through the hole outer light came like a spotlight on us. In my mind, at
55
Sarasehan Masalah Tangan-Kanan Sosok Seorang Prajurit Discussion A Warrior Figure’s Right-Hand Problem
56
sebuah lubang di bumi. Bagian dalam bumi gelap dan bagian luar dipenuhi dengan cahaya. Melalui lubang tersebut cahaya dari luar masuk seperti lampu sorot yang mengarah pada kita. Dalam pikiran saya, tepat pada saat itu, lubang itu adalah bulan. (Saya sedang berdiri sendirian di sebuah pantai yang panjang di Australia. Terhampar laut yang luas, pasir yang banyak, dan langit yang luas dalam kegelapan, serta bulan purnama yang bersinar. Saya saat itu sedang berkemah disana bersama rekan-rekan saya dari Australia, tapi saya merasa sangat kesepian karena kelemahan dalam bahasa Inggris saya.) Bagaimana segala sesuatu di sekitar Anda terbayangkan dalam pikiran Anda? Saya selalu ingin membicarakan tentang gambarthe exact moment, the hole was the moon. (I was standing alone on a long sandy beach in Australia. There were the vast sea, the vast sand, and the vast sky in the darkness, except the shining full moon. I was camping near there with my Australian colleagues but very lonely because of my English problem at that time.) How is everything around you pictured in your mind? I always feel like talking about those images as the blind people was doing. About the image which might be false, but real in our own sense. *** I found a science paper in which the author took the subjects to a museum and showed them around. Half of the subjects were asked to take pictures
gambar tersebut, sama seperti yang dilakukan orang-orang buta itu. Tentang gambaran yang mungkin saja salah, tetapi nyata dalam perasaan kita sendiri. *** Saya menemukan sebuah laporan ilmiah dimana sang penulis membawa subyek-subyek penelitian ke sebuah museum dan membawanya berkeliling. Setengah dari subyek-subyek tersebut diminta untuk mengambil foto dari karya-karya seni didalam museum. Sementara yang lainnya hanya melihat-lihat karya. Laporan tersebut menguji grup mana yang lebih baik dalam mengingat karya-karya seni. (Henkel LA. “Point-and-Shoot Memories. The Influence of Taking Photos on Memory for a Museum of the art works. The other half just saw the works. The paper examined which group could remember each work better. (Henkel LA. “Pointand-Shoot Memories. The Influence of Taking Photos on Memory for a Museum Tour.” Psychological Science, 2013) The answer was the people who just saw the works. Our brains have no necessity to retain the memories in themselves when they can use cameras for storage. If we don’t want to forget, we shouldn’t take any records. (Ria was right. It was impressive that she said every time, “Don’t take photos during the show, please be here.”) I like this study. The result was very important. But I had one question. How did the author examine human’s memory accuracy?
Jawabannya adalah orang-orang yang hanya melihat karya-karya. Otak kita tidak memiliki keharusan untuk mempertahankan memori-memori ketika kita menggunakan kamera sebagai penyimpanan. Jika kita tidak ingin lupa, maka seharusnya kita tidak merekamnya . (Ria benar. Saya terkesan setiap kali ia berkata, “Jangan mengambil foto selama pertunjukan, silakan berada di sini.”) Saya suka studi ini. Hasilnya sangat penting. Tapi saya memiliki satu pertanyaan. Bagaimana penulis menguji keakuratan memori manusia? Misalnya, pada hari berikutnya, penulis menanyakan subyek tentang sosok prajurit Dinasti For example, the next day, the author asked the subjects on the Tang Dynasty warrior figure in the museum, “What did the warrior have in his hands?” with the response options —“a shield”, ”a spear”, “his helmet”, and “nothing”. The memory accuracy was calculated as how many correct answers were marked. Of course, it cannot be better than we can memorize that kind of the details correctly. But when we are really impressed by the warrior figure, what will we say? Do we bring home the memory of “what is in his hands?” as the most important thing with us? If I am strongly moved by the figure, the first thing I say will not be like “The figure has a spear in his right hand!” What we copy in our mind might be something different from the
Tang, “Apa yang dipegang prajurit tersebut?” dengan pilihan jawaban - “perisai”, “tombak”, “helmnya”, dan “tidak ada apa-apa”. Akurasi memori dihitung dari berapa banyak jawaban yang benar. Tentu saja, dengan mengingat detaildetail seperti itu dengan benar akan selalu lebih baik. Tapi ketika kita benar-benar terkesan pada sosok prajurit tersebut, apa yang akan kita katakan? Apakah kita membawa pulang ingatan tentang “apa yang dipegang sang prajurit?” sebagai sesuatu yang penting? Jika saya sangat tergerak oleh suatu sosok, hal pertama yang akan saya katakan bukanlan “Sosok itu memegang sebuah tombak di tangan kanannya!” Apa yang kita salin dalam pikiran kita mungkin berbeda original figure. The image in our mind might be false in the objective sense, but mysteriously real especially when we are moved. I am still searching the words for the vivid and indescribable feeling I had for the love between the human lady and the puppet tiger in the performance by Cake Industries feat. Papermoon Puppet Theatre. What is in our memories? How are things affected when we copy them into our mind? How can we tell? *** It was amazing that a talk session was held every time at the end of the performances at the Pesta Boneka #4.
But in my case, because I’d heard that Anya would translate my words
Ayako Onzo
Tour/Pengaruh Mengambil foto terhadap memori dalam sebuah tur museum.” Psychological Science, 2013)
57
Sarasehan Masalah Tangan-Kanan Sosok Seorang Prajurit
dari sosok aslinya. Gambaran dalam pikiran kita mungkin salah secara obyektif, tetapi nyata secara misterius, terutama jika kita tergerak oleh obyek tersebut.
Discussion A Warrior Figure’s Right-Hand Problem
58
Saya masih mencari kata-kata untuk mengutarakan perasaan yang hidup dan tak terlukiskan yang saya rasakan akan percintaan antara seorang wanita dan boneka harimau pada pertunjukan Cake Industries bersama Papermoon Puppet Theatre. Apa yang ada dalam ingatan kita? Bagaimanakah segala hal terpengaruh ketika kita menyalinnya ke dalam pikiran kita? Bagaimana kita bisa tahu? *** Yang menakjubkan adalah bahwa sesi berbincang selalu diadakan of English to Indonesian for the local audience after my performance, I was stunned when she started to talk in English about my poem. “Let me confirm. I think what Ayako said is that…. Is that true, Ayako?” “I’m afraid not. I think Ayako said that….Isn’t it so, Ayako?” I wound up witnessing a cascade of translation of my English poem in English by the audience. In the confusion, I guessed it was due to my poor English skill at first, but gradually I felt an enormous sense of happiness to hear them talking. *** “What is it like for you?” Our performances are a bit more conceptual than the other
setiap seusai pertunjukan pada Pesta Boneka #4. Tapi pada sesi saya, karena saya pernah mendengar bahwa Anya akan menerjemahkan kata-kata saya ke bahasa Indonesia untuk penonton lokal, saya tertegun ketika ia mulai berbicara dalam bahasa Inggris mengenai puisi saya. “Biar saya konfirmasikan. Saya pikir apa yang Ayako katakan adalah.... Apakah itu benar, Ayako?” “Saya rasa tidak. Saya pikir Ayako mengatakan bahwa....bukannya begitu, Ayako?” Saya akhirnya menyaksikan terjemahan bahasa inggris dari puisi bahasa inggris milik saya oleh para penonton. Dalam kebingungan, pada awalnya saya menduga hal ini terjadi karena kemampuan berbahasa Inggris saya yang kurang, namun secara perlahan performances. But we think that “what is it like” must be confirmed for words and concepts, too. Words have meanings, but stay alert! Not only non-verbal performances, but also verbal expressions are transformed in our mind! “I think it is…” We believe a great work begins from such a small voice.
saya merasa bahagia mendengar mereka berbicara. *** “bagaimana menurut Anda?” Pertunjukan-pertunjukan kami sedikit lebih konseptual dari pertunjukan lainnya. Tapi kami pikir “bagaimana rasanya” harus dikonfirmasi dalam kata-kata dan konsep, juga. Kata-kata memiliki arti, tapi tetap waspadalah! bukan hanya pertunjukan non-verbal, tetapi juga ekspresi verbal berubah dalam pikiran kita!
Kami percaya karya yang besar dimulai dari suara yang kecil.
Ayako Onzo
“Saya pikir demikian ...”
59
Pelaksana Proyek Project Member
60
Kanade Yagi, dari Tokyo, Jepang, menganggap karya-karya seninya sebagai semacam sistem. Dengan menganalisis keadaan dan lingkungan, ia berusaha membangun konsep yang terbebas dari pembatasan ruang dan waktu. Ia sering melakukan pertunjukan, menggunakan dirinya sebagai salah satu elemen dalam karyanya. Pada tahun 2013, ia mulai melakukan perjalanan secara ekstensif untuk meneliti berbagai kondisi sosial budaya di Asia Tenggara. Dipengaruhi oleh semangat independen yang dimiliki seniman dari Filipina dan Indonseia, ia mengangkat Tokyo Independent Collaboratory (-TIC), sebuah platform untuk menciptakan proyek-proyek antar disiplib. Project pertama -TIC diadakan pada Pesta Boneka #4 di Yogyakarta.
Kanade Yagi, from Tokyo, Japan, regards her artworks as a kind of system. By analyzing circumstance and environment, she attempts to construct concepts free from restrictions of time and space. She often does performance, using herself as one of the elements in her work. In 2013, she began to travel extensively to research various socio-cultural conditions in Southeast Asia. Influenced by the independent spirit of artists from both Philippines and Indonseia, she put up Tokyo Independent Collaboratory (-TIC), a platform to make projects across disciplines. -TIC’s first project was held for Pesta Boneka #4 in Yogyakarta. Ayako Onzo, Ph.D. Independent Scholar, is a co-founder of Tokyo Independent Collaboratory. Her
Ayako Onzo, Ph.D. Independent Scholar/Cendekiawan independen, adalah co-founder dari Tokyo Independent Collaboratory. Minatnya, baik sebagai ilmuwan maupun sebagai penulis esai, berpacu pada sekitaran gagasan memori, wajah, dan kata-kata. Ia menyelidiki bagaimana segala sesuatu didunia membentuk (dan memecah) menjadi ingatan di dalam otak, dengan cara memindai otak serta menulis apa yang ada dalam pikirannya sendiri. Isi dari penelitiannya meliputi penyelidikan mengapa sebagian dari kita merasa perlu mengenakan make-up di wajah-bagian tubuh kita yang paling penting dalam kehidupan sosial kita. Dia menghubungkan hal ini dengan gagasan bahwa kita membutuhkan fiksi untuk berkomunikasi, dan untuk memahami dunia dan orang lain.
Yuta Nishiyama, Ph.D., meneliti perilaku kolektif hewan, kepemilikan tubuh manusia dan kualitas kesadaran di Universitas Osaka di Jepang. Ia tertarik mengenai hubungan antara bagian dan keseluruhan dalam sebuah sistem kehidupan, dan bagaimana kita dapat mengidentifikasikan sistem tersebut. Dia telah mengembangkan beberapa percobaan inovatif pada perilaku kepiting tentara dan kesadaran tubuh manusia, keduanya merupakan contoh dari sistem kehidupan yang otonom, kuat dan berkerumun. Dalam rangka menggali ketimbal-balikan antara mengamati dan diamati, ia sedang mulai penelitian interdisipliner dengan banyak ahli termasuk seniman dan penari.
interests, both as scientist and as essayist, revolve around notions of memory, face, and words. She investigates how things in the world form (and deform) into memory in the brain, by scanning brains as well as writing what is in her own mind. Her body of research includes an inquiry into why some of us feel the need to apply make-up on the face — the part of our body most important in our social lives. She relates this to the idea that we require fictions to communicate ourselves, and to understand others and the world.
how we can identify the system. He has developed some innovative experiments on swarming behavior of soldier crabs and human bodyawareness, both of which are instances of autonomous, robust and emergent living systems. In order to explore the reciprocity between observing and observed, he is starting interdisciplinary researches with many professionals including performers and dancers.
Yuta Nishiyama, Ph.D., researches in animal collective behavior, human body ownership and the quality of consciousness at Osaka University in Japan. His interest is in what the relationship between part and whole in a living system is, and
61
62
63
Penutup Afterword
64
Kreativitas ilmuwan tampaknya terletak pada pengaturan masalah mereka. Ketika saya berinteraksi dengan mereka sebagai teman, saya sering mengamati kreativitas mereka dan tersentuh oleh mereka, misalnya, oleh cara mereka merancang eksperimen mereka, kuesioner, metode analisis – dari setiap dan keseluruhan proses penelitian. Saya selalu berharap bahwa semua orang memiliki kesempatan untuk melihat proses tersebut dari jarak yang lebih dekat daripada, katakanlah, berita sains instan di internet. Aku meminta dua ilmuwan yang bekerja dengan saya untuk dengan leluasa menulis esai atau laporan mengenai proyek tersebut dalam katalog ini, untuk memberikan pembaca gambaran ke dalam proses yang biasa mereka lalui. Katalog ini tidak hanya memuat cerita tentang bagaimana proyek ini The creativity of scientists seems to lie in their problem-setting. In my interactions with them as their friend, I have often observed their creativity and been touched, for example, by how they design their experiments, questionnaires, method of analysis― any and every process of research. I’ve always wished that everybody would have the opportunity to see their process from a much closer distance than, say, instant science news on the internet. I asked the two scientists I worked with to freely write essays or reports about the project in this catalog, to give the reader a look into their usual process. This catalog contains not only the story of how this project in Pesta Boneka came to be, but also the essence of their ideas about science.
dikerjakan di Pesta Bneka, tetapi juga esensi dari ide-ide mereka tentang ilmu pengetahuan. Ayako terkadang menghadapi situasi di Jogja yang memberikan kesan yang mendalam dalam dirinya, membuatnya menulis “Kami telah kehilangan kata/We had lost words” atau, “Saya tidak tahu apa yang harus dikatakan/I lost what to say” dalam esai-nya. Sebagai teman lamanya, saya bertanya-tanya apakah episode-episode ini akan tersimpan di dalam ingatannya dan pada akhirnya menjadi keprihatinan ilmiah. Tertarik dengan apa yang tidak biasanya diperkirakan untuk dianalisis oleh ilmu pengetahuan, ia menceritakan anekdot pada kami, seperti satu cerita tentang si penerjemah bahasa isyarat palsu, atau orang-orang buta yang Ayako sometimes faced situations in Jogja which gave her deep impressions, leading her to write “We had lost words” or, “I lost what to say” in her essays. As her longtime friend, I wonder whether these episodes would be stored in her memory and eventually build up as a scientific concern. Interested in dealing with what people don’t usually expect to be analyzed by science, she shared anecdotes with us, like the one about the fake sign language interpreter, or blind people imagining the moon, not merely as introductions to her essays―they are real scientific concerns that guide her thinking. The way we imagine scientists may change if we read her essays this way. She also said that the scientific truth is what’s between you and me, and, “It is difficult to fill the gap between us. This is the place where
membayangkan bulan, tidak hanya sebagai perkenalan pada esainya. Hal-hal seperti itu merupakan kekhawatiran ilmiah yang nyata yang memandu pemikirannya. Cara kita melihat ilmuwan dapat berubah jika kita membaca esai-nya. Ia juga mengatakan bahwa kebenaran ilmiah adalah apa yang ada diantara kamu dan saya, dan, “Sulit untuk mengisi kesenjangan diantara kita. Ini adalah tempat di mana fiksi terlahir”. Apa itu kebenaran ini yang berada diantara kamu dan saya? Esai Yuta tampaknya menawarkan satu diskusi yang kokoh mengenai hal ini. Dalam ringkasan wicaranya, Yuta mengusulkan “bahwa beberapa benda, seperti boneka dan tubuh, adalah titik temu antara ‘yang lain’ dan ‘diri’. Benda-benda itu memungkinkan kita untuk mengenali fiction is born”. What is this truth between you and me? Yuta’s essays seem to offer one concrete discussion of this. In the summary of his talk, Yuta proposed “that some objects, such as the puppet and the body, are interfaces between the other and the self. Objects enable us to recognize the world”. The Cookie Hand Illusion (CHI) experiment, he said, “represented such dynamic relationship between the other and the self by uncovering the ambiguity of objects”. We understand this “ambiguity” to be about how objects represent both ownership and disownership. Yuta prepared tricks to demonstrate this in the workshop, exploring ownership (mirror limb illusion), disownership (the one he designed), and both (CHI). The
65
Penutup Afterword
66
dunia.”. Eksperimen Ilusi Tangan Kue/ Cookie hand illusion (CHI), katanya, “mewakili mewakili hubungan dinamis seperti antara ‘yang lain’ dan ‘diri’ dengan mengungkap ambiguitas benda”. Kita memahami “ambiguitas” sebagai bagaimana benda mewakili kepemilikan dan disownership/ ketidakpemilikan/penyangkalan atas kepemilikan. Yuta menyiapkan trik-trik untuk menunjukkan hal ini dalam lokakarya(workshop), menjelajahi kepemilikan/ownership (mirror limb illusion), disownership (yang ia rancang), dan keduanya (CHI). Lokakarya (workshop) ini berlangsung dengan baik, dimana penonton merasakan berbagai sensasi dengan perasaan terkejut dan aneh. Setelah lokakarya (workshop), mereka menjadi lebih akrab dengan konsep boneka-dantubuh-as-antarmuka-antara-yanglain-dan-diri.
Seperti yang Anda ketahui ketika Anda membaca naskah pertunjukan “Apa rasanya menjadi saya?”, saya membuat sebuah kamera video menjadi boneka, yang juga saya digunakan untuk memimpin penonton kepada adegan untuk percobaan ilmiah (CHI). Para penonton kemudian harus menerima dua jenis boneka aneh: boneka-kamera-video dan boneka tangan kue. Dalam teks-nya, Ria menjelaskan bahwa orang-orang biasanya “datang dengan ekspektasi mereka sendiri, atau bahkan mereka telah memiliki bayangan tentang apa yang akan mereka lihat pada festival ini”; dan bahwa “ada semacam kesepakatan tak terlihat diantara sang pemain boneka dengan penonton yang menyelaraskan rasa dan pola pikir mereka”. Saya menyadari kesepakatan yang tak terlihat ini
workshop went pretty well, with the audience meeting each kind of sensation with feelings of surprise and strangeness. After the workshop, they got more familiar with the concept of puppet-and-body-asinterface-between-the-other-and-theself.
festival”; and that “there is an invisible agreement between the puppeteer and the audience to synchronize the senses with this mind frame”. I am aware of this invisible agreement implied in most stage performances. This made me realize that the concepts of the two scientists, about the-interface-between-the-otherand-the-self, or the-place-wherefiction-is-born, should probably have discussed more in relation to this logic. There wasn’t any chance to discuss this, as I was preoccupied with my performance, maintaining a contemporary art mindset. The basic logic for puppetry indeed runs counter to the audience in contemporary art, who approach artworks as neutral as possible, expecting something they have never seen before. After reading Ria’s text, I thought of my performance as “art wearing a mask
As you know when you read the transcript to the performance “What is it like to be me?”, I turned a video camera into a puppet, which I had also used to lead the audience to the scene for the science experiment (CHI). The audience then had to accept two kinds of peculiar puppets: the video-camera-puppet and the cake-hand-puppet. In her text, Ria explains that people normally “come with their expectation in mind, or sometimes even have their mindset on what they would see in the
tersirat pada kebanyakan pertunjukan panggung. Hal ini membuat saya menyadari bahwa konsep dari kedua ilmuwan tersebut, mengenai antaramuka-antara-yang-lain-dan-diri, atau tempat-tempat-dimana-fiksi-terlahir, mungkin harus lebih dibicarakan lagi ketika berhubungan dengan logika ini. Tidak ada kesempatan untuk membicarakan hal ini, karena saya sibuk dengan pertujukan saya, mempertahankan pola pikir seni kontemporer. Logika dasar dari boneka memang bertentangan dengan penonton dalam seni kontemporer, yang mendekati karya seni senetral mungkin, memiliki ekspektasi atas sesuatu yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Setelah membaca teks Ria, saya kira pertunjukan saya merupakan “seni yang menggunakan teater boneka sebagai topeng”, dan penonton hanya of puppetry”, and the audience just accepted us following this invisible agreement which underlies puppetry. I really appreciate Papermoon Puppet Theatre, who invited us, and the audience who accepted our puppetry. Tokyo Independent Collaboratory Kanade Yagi
mengikuti kesepakatan tak terlihat ini yang mendasari teater boneka. Saya sangat menghargai Papermoon Puppet Theatre, yang telah mengundang kami, dan penonton yang telah menerima teater boneka kami. Tokyo Independen Collaboratory Kanade Yagi
67
68
69
70
71
What is it Like to Be Me? IFI-LIP gallery Yogyakarta, Indonesia 5th - 6th December 2014
72
Organized by: Tokyo Independent Collaboratory Co-organized by: Papermoon Puppet Theare Supported by: The Japan Foundation Asia Center, Jogja Contemporary Project members: Kanade Yagi (-TIC), Ayako Onzo (-TIC), Yuta Nishiyama (Osaka University) Project staff: Performance “What is it like to be me?” [Performance] Facilitator: Kanade Yagi Translator: Maria Tri Sulistyani (Papermoon Puppet Theatre) Subject selected from audience: Abimanyu Prasastia Perdana (Anak Muda Bicara Teater) Footage of experiment: Yuta Nishiyama Video editing: Sofyan ‘Brojjol’ Hidayat Performance assistant: Ayako Onzo, Ardiana Putri Siswanto Document of the performance: Mahdi Albart Stage manager: Gading Narendra Paksi, Aditya Murti [Video work] Direction: Kanade Yagi Man talking about “Rubber hand illusion” in Bahasa Indonesia: Antariksa Script translation (English to Bahasa Indonesia): Antariksa Video footage: Kanade Yagi Video editing: Sofyan ‘Brojjol’ Hidayat Title design: Zyrael Genesis Fortes [Production of hand-shaped cakes and cookies] Design: Kanade Yagi Recipe design, production adviser: Kiky Sekali (Ky’s bakery) Assistant: Riska (Ky’s bakery), Edwina Brennan, Zyrael Genesis Fortes Spoken word poetry “Science is empathizing” Performer: Ayako Onzo Translator: Agnes Kenya Winanti Science talk “Puppet and Body” Speaker: Yuta Nishiyama Translator: Agnes Kenya Winanti