WET TU TELU : PELUANG MEMBANGUN PERADILAN DI TINGKAT DESA Lokasi Kunjungan ke-1
: :
Kunjungan ke-2
:
Kunjungan ke-3
:
Nusa Tenggara Barat 25 Maret – 3 April 2004
Bambang Soetono, Peri Umar Farouk, Prima Wira Putra 4 – 13 Oktober 2004
Dewi Novirianti, Dwi, Peri Umar Farouk, Samuel Clark 15 – 20 Desember 2004
Dewi Novirianti, Peri Umar Farouk, Phillipa Venning, Prima Wira Putra
Bagian 1: Ringkasan Sejak diberlakukannya Undang-undang Otonomi Daerah, di Lombok, Nusa Tenggara Barat muncul beberapa inisiatif dan aktivitas, yang bisa dianggap sebagai hal yang melatarbelakangi atau sekurang-kurangnya menyemangati peningkatan akses masyarakat terhadap keadilan, terutama di bidang penyelesaian sengketa alternatif. Fenomena itu berupa menggejalanya penggalian kearifan lokal dalam awig-awig adat, adanya gerakan revitalisasi desa adat dan lebih khusus lagi dilibatkannya (dibentuknya) mahkamah adat desa. Di sini perkembangan yang terjadi relatif homogen. Gagasan penyelesaian sengketa alternatif di masyarakat muncul dalam bentuk yang hampir serupa, yakni memfungsikan perangkat pemerintahan di lingkungan terdekat sebagai forum atau aktor dalam mekanisme penyelesaian. Perbedaanya yang paling menonjol hanya pada formalisasi lembaga/pihak tersebut dalam struktur pemerintahan. Bagian terbanyak saat ini memang yang tidak memformilkannya dalam struktur organisasi pemerintahan. Namun di desa-desa yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (Perekat Ombara), bagian utara dari Kabupaten Lombok Barat, mencanangkan ditariknya forum penyelesaian sengketa menjadi salah satu fungsi formal di pemerintahan desa, berfungsi laksana badan yudikatif. Sehingga desa menjadi lengkap diperangkati fungsi eksekutif (Kepala Desa), legislatif (BPD) dan yudikatif (Mahkamah Adat/Majelis Krama Adat). Di mahkamah atau majelis krama adat ini tergabung juga unsur tiga otoritas, yang dipercaya sebagai pilar dalam prinsip adat, yakni: otoritas pemerintah, agama dan adat (berbagai pihak menyebutnya sebagai implementasi wet tu telu). Proses penyelesaian sengketa yang dikembangkan di NTB relatif informal sebagaimana permufakatan atau kegiatan musyawarah pada umumnya, bahkan
1|41
di desa-desa yang memformilkan lembaga peradilan adatnya. Model pencarian solusinya, meski bisa dimasukkan dalam jenis-jenis penyelesaian alternatif yang berkembang seperti negosiasi, konsiliasi, mediasi maupun arbitrase, namun lebih bersifat common sense, dalam arti tidak dimaksudkan memakai salah satu proses secara kaku. Mengalir sebagaimana kasus tersebut dibawa atau disepakati para pihak. Putusannya pun bisa berupa penetapan janji sepihak yang diikrarkan demi kepentingan pihak lawan selisih, berupa kesepakatan atau bersifat hukuman (sanksi adat). Referensi yang dipakai, meski menggunakan istilah adat, namun sebenarnya merupakan konsensus yang sedang dikembangkan saat ini. Artinya bukan patokan-patokan kaku yang ada dalam kesadaran masyarakat tentang kaedahkaedah jaman dahulu kala. Oleh karenanya yang ditunjuk sebagai sumber hukum adat adalah awig-awig, yang lebih bersifat kesepakatan daripada dikte para pemuka adat, yang sebagian telah ditulis bahkan diperkuat menjadi Peraturan Desa (Perdes). Yang dipertahankan dari kaedah lama hanya berkisar pada jenis dan besaran sanksinya, dengan penafsiran atau pemaknaan kembali agar tidak bertentangan terutama dengan isu hak asasi manusia, serta penyesuaian perhitungannya (seperti rasio perbandingan 1 uang bolong –mata uang yang dipakai secara adat/kebiasaan, dengan jumlah tertentu rupiah). Pilihan aktor penyelesai sengketa di masyarakat sangat beragam, sesuai dengan tipe kasus yang mereka hadapi. Mereka terdiri dari: sesepuh keluarga/ketua marga, Ketua RT/RW, Kepala Dusun/Kampung, Kepala Desa, Tokoh Agama/Tuan Guru, Tokoh Pemuda, aparat hukum dan aparat administrasi sipil di tingkat desa/kecamatan. Menurut jenis pelanggarannya sendiri, kasus-kasus yang masuk mengharapkan penyelesaian di tingkat masyarakat berkisar antara: kriminal ringan, perkelahian, pencurian, berkenaan dengan pergaulan laki-perempuan, hamil luar nikah, pelecehan seksual, perzinahan, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, pembagian harta perkawinan, pewarisan, sengketa tanah atau sumber air, dan korupsi di lingkungan desa. Berkenaan dengan wilayah kasusnya, bilamana merupakan intern dalam satu kampung, desa atau kelurahan relatif dapat diselesaikan. Beberapa bahkan dilakukan dengan relatif cepat. Namun yang menyangkut komunitas luar masih merupakan tantangan berat. Masyarakat, apalagi berhubungan dengan komunitas pendatang, perbedaan prinsip atau agama misalnya belum bisa diharapkan dapat meredam perselisihan/sengketa secara mandiri, peran fasilitasi pemerintah masih sangat dibutuhkan. Dari beberapa kasus yang didekati dapat dianalisis adanya kondisi serta problematik dalam situasi pengembangan atau penguatan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di NTB, yakni berupa: Adanya model yang relatif sama yang melibatkan aparat pemerintahan tingkat desa atau di bawahnya dalam penyelesaian sengketa di masyarakat, dengan bantuan person/lembaga adat dan agama. Namun sebagian masyarakat mempraktekkan dengan varian memformalisasi, sebagian lain tidak memformalisasi lembaga penyelesaian sengketa dimaksud dalam struktur
2|41
pemerintahan desa atau lingkungannya. Hal ini menjadi sumber lemahnya fasilitasi dari pemerintah daerah (kabupaten) untuk mengambil sikap dan strategi penguatan, mengingat masyarakat belum dianggap mempunyai kesepakatan yang sama mengenai pilihan apa yang dikehendakinya. Kalau keadaannya demikian, pemerintah merasa sudah berbuat dengan menetapkan peraturan daerah yang bersifat umum seperti kebebasan pengembangan lembaga-lembaga khas desa berdasar kesepakatannya sendiri dan pedoman pembuatan peraturan desa. Kekuatan yang sangat menonjol dari mekanisme penyelesain sengketa alternatif di NTB adalah kemudahannya untuk diakses masyarakat, bersifat instan, dan relatif memulihkan harmoni di masyarakat. Namun juga masih mengandung kelemahan dimana eksekusi putusannya masih problematis, mengingat sifatnya yang mirip kesepakatan dalam hukum perdata dan tidak ada upaya pemaksa, bahkan ada yang menganggapnya sebagai putusan liar karena tanpa dasar legitimasi pemerintah. Beberapa kasus juga memperlihatkan adanya kekalahan wibawa putusan penyelesaian informal di depan proses hukum formal, dalam bentuk tidak diperhatikan, bahkan terdapat putusan Pengadilan Negeri yang menganulir putusan masyarakat (adat). Kelemahan lain, bilamana proses tidak dikelola secara hati-hati, mengingat pendekatannya yang tidak ajeg serta belum terstruktur, belum adanya prosedur mulai dari pengaduan/pelaporan sampai pelaksanaan putusan, maka penyelesaian sendiri oleh masyarakat rawan menimbulkan konflik. Penyelesaian sengketa informal juga relatif tidak berdaya bagi pemulihan konflik yang menghadapkan kelompok-kelompok dalam masyarakat, misalnya antar kampung, antar berbagai agama, atau antara masyarakat asli dengan pendatang. Adanya koordinasi antara sektor formal hukum dengan upaya-upaya penyelesaian informal yang dilakukan di tingkat masyarakat, meski sebatas kesalingsepahaman berhasil menciptakan iklim penyelesaian masalah di masyarakat secara sehat. Artinya mencegah satu kasus dihukum secara ganda atau sebaliknya sebagaimana terjadi di satu kasus, diabaikan dengan saling mengandalkan bahwa mekanisme lain dianggap lebih cocok menyelesaikan. Kenyataan buruk lainnya adalah berkenaan dengan isu perempuan di dalam dinamika penyelesaian sengketa alternatif. Dalam prosesnya, perempuan sebagai aktor penyelesai sengketa di tingkat masyarakat masih merupakan hal langka. Dalam statusnya sebagai korban sekalipun, perempuan masih merupakan obyek yang tidak mandiri. Penyelesaian sengketa lebih berpihak pada pemulihan keluarga atau kehormatan sosial masyarakat dibanding pemulihan pribadi perempuan itu sendiri. Padahal terdapat potensi penghargaan perempuan dalam mekanisme alternatif di NTB, mengingat terbukanya akses yang bersifat langsung untuk perempuan dalam mengadukan atau melaporkan permasalahannya kepada perangkat penyelesaian sengketa informal di tingkat desa. Namun mengingat statusnya yang sangat lemah, terbukanya akses perempuan ke mekanisme penyelesaian sengketa alternatif tetap tidak menempatkan perempuan menjadi pihak yang kuat dalam proses-proses bersangkutan selanjutnya.
3|41
Bagian 2: Tujuan & Metodologi Kunjungan lapangan dalam rangka studi Village Judicial Autonomy di Nusa Tenggara Barat dilakukan sebanyak tiga kali, yang dimulai bulan Maret sampai Desember 2004. Di tanggal 20 Desember 2004 diselenggarakan seminar bertajuk “Penguatan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif di Desa-desa Nusa Tenggara Barat” guna menginformasikan temuan tim Justice sampai saat itu. Seminar dimaksud juga berhasil ditindaklanjuti dengan lokakarya di hari yang sama dengan titik tekan mencari respon konkrit bagi berbagai permasalahan atau problematik yang dianalisis dalam laporan tim Justice. Lokakarya menghasilkan komitmen, dengan membentuk sebuah tim fasilitasi di tingkat lokal yang akan bekerja sama dengan tim Justice untuk memformat gagasan serta kegiatan yang lebih strategis untuk menindaklanjuti penguatan mekanisme penyelesaian sengketa informal di tingkat desa secara lebih serius. Realisasi dari komitmen di atas, ditindaklanjuti dengan diselenggarakannya kembali lokakarya yang lebih mengarah pada kegiatan konkrit. Lokakarya diselenggarakan tanggal 26 – 28 April 2005, dengan tujuan: merumuskan model penyelesaian sengketa alternatif dan strategi keberdayaan PSA yang disepakati multi pihak pemangku kepentingan, dipercaya masyarakat serta diakui negara. Tujuan dari kunjungan lapangan yang dilakukan adalah, pertama mendapatkan gambaran berbagai mekanisme penyelesaian sengketa yang dipakai dan bagaimana mekanisme tersebut dipersepsi, seperti apa jenis kasusnya, siapa-siapa pihak yang terlibat di dalam penyelesaian, efisiensi putusan, serta faktor-faktor apa yang mendukung dan memberikan fasilitasi terhadapnya.
Kedua, untuk mengidentifikasi hambatan yang menghalangi proses penyelesaian yang dikehendaki, pembatasan-pembatasan yang dialami warga perempuan dan etnis minoritas dalam memakai jalur formal maupun informal dalam memproses keadilan.
Ketiga, untuk mengeksplorasi pengaruh dari desentralisasi dan perubahan
administrasi pemerintahan lokal yang mengikuti isu otonomi daerah dalam penyelesaian sengketa di daerah; Dan keempat, untuk mengidentifikasi gagasan dan pilihan-pilihan dalam memperbarui mekanisme penyelesaian sengketa di level daerah dan mendiskusikan hal tersebut dengan para stakeholder. Kunjungan lapangan berhasil mewawancarai berbagai narasumber, yang terdiri dari aktivis lembaga swadaya masyarakat, bantuan hukum, pengacara, anggota DPRD, aparat pemerintahan daerah (tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan, desa dan lingkungan/dusun), aparat hukum (hakim, jaksa dan polisi), tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama, warga (terutama yang pernah atau sedang menjadi pihak yang bersengketa dalam mekanisme penyelesaian informal) serta aktivis perempuan. Sedangkan kasus yang berhasil didekati dalam kunjungan lapangan terdiri dari kasus: pelecehan adat, menzinahi istri orang (ngiwat), perebutan harta waris (tanah), sengketa tanah, serta perkawinan campur Islam-Hindu dengan cara menculik mempelai perempuan (merariq). Dan sekilas juga melakukan pendekatan dalam kasus: dugaan korupsi dana sumbangan bagi masyarakat oleh seorang kepala dusun, kekerasan terhadap perempuan, percobaan perkosaan, tindak pidana ringan
4|41
(pencurian oleh remaja), pelecehan seksual terhadap gadis oleh sekelompok pemuda dan pemerkosaan terhadap perempuaan di bawah umur, dan incest.
Bagian 3: Konteks Lokal Gema kembali kepada adat mulai didengungkan di Lombok, Nusa Tenggara Barat seiring diberlakukannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang lebih dikenal sebagai UU Otonomi Daerah. Fakta di lapangan sendiri menunjukkan indikasi dinamika demikian, terutama yang paling menonjol antara lain: upaya penggalian kearifan lokal sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam mengatur dirinya sendiri (pembuatan awig-awig adat); pencanangan revitalisasi desa adat; dan yang lebih khusus berkenaan dengan otonomi penyelesaian sengketa di tingkat masyarakat adalah dilibatkannya sumber daya selain perangkat pemerintahan dalam mekanisme penyelesaian sengketa sesuai adat.
A. Kearifan Lokal Dalam Awig-awig Adat Perkembangan paling umum dan hampir merata dari penghidupan kembali norma dan sanksi adat sebagai sistem nilai dan pranata sosial di tingkat desa adalah diakuinya norma dan sanksi adat tidak tertulis yang disebut awig-awig. Penggalian dan/atau kemudian penulisannya di lakukan tidak saja di tingkat desa, melainkan sampai di tingkat dusun. Dari pemantauan tim Justice, di beberapa desa di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah misalnya, bahkan telah berhasil mengkodifikasi dan menetapkan awig-awig menjadi Peraturan Desa, atau sekurangkurangnya kesepakatan Dusun. Materi yang telah berhasil disepakati berkisar antara lain mengenai keamanan, pedoman masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan di bidang tata krama pendekatan lawan jenis (midang), pernikahan (merarik), perceraian (berseang) termasuk aturan mengenai harta gono gini, dan hamil luar nikah (metianin). Di desa-desa anggota organisasi kemasyarakatan Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (Perekat Ombara), mencanangkan isu pengkodifikasian awig-awig sebagai salah satu agenda penting revitalisasi adat. Yang kelanjutannya nanti diharapkan awig-awig bisa ditetapkan sebagai peraturan desa di masing-masing desa anggota Perekat Ombara.
B. Wet Tu Telu: Revitalisasi Desa Adat Dalam dinamika Lombok, pada mulanya logos adat dipersepsi dan difungsikan dengan hubungannya untuk meningkatkan kehidupan demokrasi di basis massa. Yakni implementasi sistem penguatan institusi masyarakat dan pranata lokal berbasis rakyat yang diusahakan bisa membuka ruang seluas-luasnya untuk merancang pembangunan di tingkat desa secara demokratis dan transparan. Yang dianggap paling nyata adalah digalinya kembali roh kehidupan masyarakat dalam sistem kepemimpinan kolektif.
5|41
Di tingkat desa misalnya, kekuasaan tidak tunggal dipegang oleh Kepala Desa melainkan bagian dari kepemimpinan kolektif di antara pemimpin lainnya, yang disebut wet tu telu. Wet tu telu sendiri diberi pengertian mutakhir melalui gerakan masyarakat ini sebagai wet yang berarti wilayah teritorial, tu berarti orang dan telu berarti tiga, sehingga disimpulkan bahwa masing-masing teritori mempunyai kepemimpinan sendiri, yakni: (i)
wet agama yang dipimpin kiai (Islam), bikku (Buddha) atau penanda (Hindu) sebagai pemegang norma agama;
(ii)
wet adat istiadat yang dipimpin oleh mangku (aparat adat) beserta sub-sub mangkunya, yang berperan sebagai perumus dan penentu awig-awig, pemberian sanksi adat dan pemimpin acara ritual adat, seperti mangku bumi (pengairan), mangku alas (lingkungan hutan) dan lain-lain; serta
(iii)
wet pemerintahan yang dipimpin oleh pemusungan (Kepala Desa).
Menurut pernyataan Datu Artadhi (tokoh adat di Lombok Utara, dan mantan Camat di salah satu kecamatan di Lombok Barat) serta Kamardi, SH, kepemimpinan adat wet tu telu pernah berlaku baik di jaman kolonial Belanda maupun masa pemerintahan Republik Indonesia orde lama. Dan terus hidup sampai diberangus dengan uniformasi peraturan perundang-undangan pemerintahan daerah, yakni Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah serta Undangundang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Secara umum, meskipun tidak menggunakan istilah dan pengetrapan implementasi yang sama, terutama di desa-desa, pengaruh pelibatan adat ini dalam kehidupan dinamika desa sangat terasa. Hal tersebut dapat dibuktikan di masing-masing desa yang dikunjungi, dengan keberadaan atau dikenalnya person atau tokoh yang bisa disematkan status wet lain selain pemimpin pemerintahan (Kepala Desa). Namun inisiatif yang paling mengemuka saat ini adalah adanya Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (Perekat Ombara). Mereka mendeklarasikan keberadaannya di pertemuan besar (gundem) ke-5 tokoh-tokoh kepala desa dari 25 desa di Lombok Utara1, tanggal 9 Desember 1999 di Desa Becingah, Kacamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat. Mulanya gerakan yang kemudian mewujud menjadi Perekat Ombara ini merupakan wadah keprihatinan beberapa tokoh kepala desa yang memiliki kasus sama berkenaan dengan degradasi ekosistem hutan, yang diakibatkan eksploitasi perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan melibatkan lebih banyak lagi para tokoh kepala desa ini, yang menamakan dirinya kemudian sebagai Pertemuan Masyarakat Adat Lombok Utara, tidak saja hanya membicarakan masalah degradasi lingkungan, melainkan berkembang ke wacana revitalisasi adat budaya sebagai upaya penggalangan
1 Sebutan Lombok Utara sendiri bukanlah penamaan resmi sebuah wilayah pemerintahan, mengingat sebetulnya wilayah yang menyebut dirinya sebagai Lombok Utara tersebut adalah termasuk dalam wilayah Kabupaten Lombok Barat.
6|41
solidaritas masyarakat dan mencari solusi kemasyarakatan yang ada di Lombok Utara.
untuk
menangani
masalah
Melalui misi yang dicanangkan dalam gundem Badan Pekerjanya di tanggal 6 Mei 2000, Perekat Ombara bertekad memberdayakan masyarakat adat dalam semua aspek pembangunan kekinian. Sejalan dengan peluang dan semangat otonomi daerah dari peraturan perundang-undangan pemerintahan daerah yang baru, Perekat Ombara kemudian mengusung isu revitalisasi majelis krama adat yang dipercaya sebagai aplikasi dari kekuatan trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif), mulai dari krama gubug (setingkat RT/RW) hingga krama desa.
C. Mahkamah Adat: Peradilan Otonom di Desa Berkenaan dengan bidang pengembangan otonomi peradilan di tingkat desa, yang juga secara sadar telah dianggap sebagai suatu wewenang dalam otonomi pemerintahan desa, yang diberikan Pasal 101 huruf e UU No. 22/1999, desa-desa anggota Perekat Ombara, sebagaimana dituturkan Kamardi, SH dan Djekad (Kepala Desa Sesait, salah satu tokoh Perekat Ombara) mengupayakan masuknya secara formal institusi Mahkamah Adat Desa, sebagai lembaga yudikatif di tingkat desa, melengkapi Kepala Desa sebagai eksekutif dan Majelis Krama Adat Desa sebagai legislatif (Badan Perwakilan Desa/BPD). Bila melihat struktur Desa Adat (Pemusungan) Bentek misalnya, jelas di dalam struktur perangkat desanya tiga kekuasaan fungsional yang bisa disebandingkan sebagai eksekutif (Kepala Desa), legislatif (Majelis Krama Desa/BPD) dan yudikatif (Mahkamah Adat Desa). Di daerah lain mengikuti kecenderungan pelibatan otoritas lain selain Kepala Desa dalam mekanisme penyelesaian sengketa informal, namun dengan tidak memasukkannya sebagai perangkat desa. Di Lombok Barat (Paer Selatan) dan di Lombok Timur misalnya, majelis yang beranggotakan Kepala Desa, Tokoh Adat serta Penghulu stand-by untuk bekerja sewaktu-waktu bilamana terjadi kasus yang dibawa ke hadapan Kepala Desa. Jadi tidak masuk dalam struktur resmi pemerintahan desa sehari-hari, namun keberadaannya secara informal diakui. Sebagaimana ditegaskan Sarbini Azhari, Kepala Desa Banyumulek, “…karena adat kita rata-rata sama, jadi kekuasaan itu sebetulnya ada di masyarakat dan sudah difungsikan, perbedaannya sih antara desa satu dengan lain mungkin hanya soal penyebutan. Ada yang pakai istilah kiyai, penghulu atau lebe’ untuk tokoh agama, kalau untuk adat ada yang bilang mangku, let adat, langlang dan lain-lain…” Begitupun di daerah perkotaan yang berbentuk pemerintahan kelurahan. Yang berada di depan memang aparat pemerintahan resmi, yakni Lurah. Namun menurut Drs. Sudarsana, Lurah Cakranegara Barat, “…dalam praktek penyelesaian permasalahan, tokoh agama dan adat itu pasti dilibatkan.” Menurut pengakuannya sendiri, terutama untuk masalah kawin lari (merariq, penculikan mempelai perempuan) dan lebih khusus lagi dengan percampuran agama, Hindu Muslim misalnya, “Lurah tidak akan sanggup bekerja sendiri, karena dampaknya juga luas, baik berhubungan dengan kehidupan adat dan keagamaan masing-masing keluarga.”
7|41
Bagian 4: Penyelesaian Sengketa Alternatif Penjelasan di bawah mengenai proses, referensi, sanksi, aktor dan peran dalam mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di NTB merupakan sistematisasi secara ideal. Jadi dalam tinjauan kasus-kasus konkrit yang berhasil diteliti, kelengkapan aspek berkenaan dengan penyelesaian sengketa alternatif kadang-kadang tidak hadir sepenuhnya dan tidak berurut sebagaimana proses ideal ini.
A. Proses Dapat dikatakan bahwa di Lombok model penyelesaian sengketa di luar institusi formal hukum erat berkaitan dengan pemerintahan lokal setempat. Artinya lingkungan pemerintahan terdekat telah berfungsi dan difungsikan oleh warga masyarakat sebagai sumber daya dalam penyelesaian sengketa yang mereka hadapi. Perbedaannya hanyalah terletak pada formalisasi pihak-pihak penyelesai sengketa (mediator) dalam mekanisme dimaksud. Ada daerah yang memformalkan para mediator itu menjadi bagian dari struktur pemerintahan di desa, yakni sebagaimana fenomena di 29 desa yang saat ini telah mengikatkan diri dalam Perekat Ombara. Ada pula yang mengakuinya secara informal, yakni tanpa memasukkannya dalam struktur pemerintahan desa. Berkenaan dengan prosesnya, penyelesaian sengketa di tingkat masyarakat belum ada aturan ketat tertentu. Meski diupayakan relevan dengan hierarki pemerintahan di desa yang diurutkan mulai yang terbawah dari RT/RW kemudian Dusun lalu Desa, namun pendekatan langsung ke tingkat yang lebih tinggi sangat terbuka dan tidak tercatat adanya penolakan dari semua tingkat tersebut. Semua tingkat menjadi pilihan forum yang sangat terbuka. Memang bila langsung membawa ke tingkat desa biasanya ada himbauan terlebih dahulu untuk menyelesaikannya di tingkat yang lebih rendah, RT/RW atau Dusun. Gambar 1: Akses warga terhadap aktor penyelesai sengketa
Kepala Desa (Mahkamah Adat Desa)
Ketua Banjar (RT/RW)
WARGA
Kepala Dusun (Krama Dusun)
8|41
Lalu berkenaan dengan acaranya sendiri, biasanya melalui pola sebagai berikut: 1. Penemuan kasus atau pengaduan/pelaporan RT/RW, Kadus atau Kades (atau melalui Sekretaris Desa) mengetahui suatu kasus lebih banyak dari pengaduan atau laporan. Yang pertama kali menginformasikan biasanya orang yang merasa menjadi korban. Namun di beberapa tipe kasus, pelaku (yang menjadi biang keladi) yang berinisiatif melaporkan, misalnya dalam kasus perkelahian atau pengeroyokan guna menghindari balas dendam. Di bidang yang lebih khusus, terutama berhubungan dengan pergaulan laki-laki perempuan tercatat adanya inisiatif dari Ketua RT/RW, pemuka masyarakat (penghulu, kiyai, atau mangku adat),atau tokoh pemuda menemukan kasus, misalnya hamil luar nikah, pemidangan (apel) kepada istri orang dan perzinahan. Pengaduan/laporan bisa diberikan secara tertulis maupun lisan. Dan biasanya yang datang adalah orang yang berhubungan langsung dengan kasus, dengan didampingi oleh keluarganya atau yang dianggap sesepuh keluarga yang bersangkutan (biasanya paman dari yang bersangkutan). 2. Penggalian informasi dari pihak pertama Pada kesempatan yang pertama informasi digali dari pengadu/pelapor atau orang yang diketahui mempunyai kasus. Di kesempatan ini, pihak yang diakses (RT/RW, Kadus, Kades) mempunyai hak diskresi untuk melibatkan orang lain atau tidak, terutama anggota Krama-nya (penghulu dan mangku adat) untuk mendengarkan keterangan (pendahuluan). Dari wawancara dengan I Ketut Jirna, Kepala Kampung Panaragan Utara dan Nengsah, Kepala Banjar Buwani Desa Bentek, terkesan juga adanya kasus-kasus yang dicoba selesaikan sendiri oleh RT/RW, Kadus, Kades tanpa melibatkan majelis yang lebih besar. Nengsah menyatakan, “Banjar tempat menampung segala permasalahan di masyarakat. Mulai tahun 1999, hanya 3 kasus yang tidak diselesaikan di tingkat Banjar dari 15 kasus yang diajukan.” 3. Penggalian informasi dari pihak lainnya (pihak lawan) Kesempatan berikutnya, selang satu sampai tiga hari, aktor penyelesai sengketa mengundang pihak lain dalam kasus yang ditangani untuk didengar keterangan serta informasinya. Undangannya sendiri bisa berupa tertulis atau pesan lisan oleh kurir, dan jarang secara spesifik menyebutkan dalam kapasitas apa dan berkenaan dengan kasus apa orang dimaksud diundang. Biasanya pesan untuk menemui aparat lingkungan yang bersangkutan saja. Di kesempatan ini pihak yang diundang ditanyakan balik tentang versi dan konfirmasi sebagaimana pengaduan/laporan orang pertama. 4. Penggalian informasi dari saksi Bilamana terdapat saksi atau pihak-pihak lain yang bisa menguatkan posisi kasus yang sedang ditangani, maka para saksi inipun diundang untuk didengar keterangannya. Proses berkenaan dengan saksi sendiri bisa juga terjadi pada saat menggali keterangan dari pengadu/pelapor, saat mana para
9|41
pengadu/pelapor keterangannya.
membawa
serta
mereka
dalam
rangka
menguatkan
5. Mempertemukan para pihak Di kesempatan ini masing-masing pihak mengemukakan secara terbuka persoalannya dan didengar langsung pihak lawannya. Di sessi ini juga bisa terjadi tanya jawab, saling mengkonfirmasi, bahkan saling silang pendapat. Di sessi ini juga semua kalangan yang berkaitan langsung dengan kejadian, seperti saksi, dihadirkan dan mengemukakan apa yang disaksikannya. Namun alih-alih untuk memperhatikan kebenaran materi perkaranya, pertemuan para pihak ini lebih terfokus pada tuntutan yang dikehendaki satu pihak kepada pihak lainnya. “Kita memang tidak berlaku seperti seorang hakim yang mendudukan perkara sebagai benar atau tidak secara hukum,” keterangan Kamardi ketika mengomentari pertanyaan condongnya penyelesaian informil mengabaikan kebenaran materiil hukum, “…yang kita upayakan adalah solusinya. Yang diperhatikan adalah layak tidaknya sebuah tuntutan satu pihak dipenuhi pihak lainnya. Kalau mencari yang benar, tidak pernah akan selesai.” 6. Pencarian solusi: negosiasi, konsiliasi, mediasi, arbitrase2 Sebagaimana disinggung di butir 5, penyelesaian sengketa informal cenderung memposisikan diri untuk mencari solusi yang bisa langsung disepakati para pihak, daripada mengurai kebenaran suatu perkara. Oleh karenanya pendekatannya tidak seragam untuk tiap-tiap kasus. Pendekatan pertama para aktor biasanya memposisikan diri terlebih dahulu sebagai orang yang meminta kesepakatan pihak satu dari tuntutan pihak lainnya. Di sini ia bertindak laksana negosiator atau konsiliator. Ia mengkomunikasikan atau menawarkan kehendak pihak yang menuntut untuk
Untuk kepentingan penulisan laporan ini, definisi dari model penyelesaian sengketa alternatif adalah sbb: 2
⇒ Negosiasi (berunding/musayawarah) – upaya penyelesaian dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang lebih harmonis. Para pihak berhadapan langsung berdiskusi secara terbuka dan mencari jalan keluar bersama; ⇒ Konsiliasi – usaha mempertemukan selisih pendapat demi persetujuan, biasanya dengan menyerahkan kepada satu kelompok orang yang bertugas menguraikan/menjelaskan fakta, membuat usulan penyelesaian, meski keputusannya tidak mengikat. ⇒ Mediasi (menengahi) – memfungsikan penengah (tak berpihak) dalam penyelesaian masalah, di mana pemutus perkaranya adalah para pihak yang berselisih sendiri. Pihak netral itu bisa berupa tokoh masyarakat, agama, adat, aparat pemerintahan, atau kepala lingkungan setempat. ⇒ Arbitrase – penyelesaian sengketa dimana ada pihak khusus yang ditunjuk dengan wewenang memutuskan perkara. Apa yang ditetapkan oleh pihak ketiga yang ditunjuk tersebut merupakan putusan bagi penyelesaian sengketa yang bersangkutan.
10|41
dipenuhi oleh pihak lainnya. Contohnya: Di Kasus Ratni, pertama-tama Kadus menyatakan kesediaan Udin untuk menikahi Ratni sesuai yang Ratni inginkan (studi kasus 1). Tapi bila yang terjadi seperti di Kasus Gatot – Gandhi (studi kasus 2), yang dikedepankan lebih bersifat konsiliasi/mediasi, karena di sana Lurah langsung bertindak sebagai penengah sengketa yang bersangkutan. Dan di Kasus H Anggeng (studi kasus 3), pendekatan yang dipakai masyarakat adat Dusun Kapu cenderung lebih bersifat arbitrase, yang memutuskan kesalahan yang dilakukan H Anggeng dengan ancaman sanksi-sanksinya. 7. Putusan Putusan bisa dicapai di akhir pertemuan para pihak atau di waktu lain setelah para pihak dipertemukan. Sesuai dengan model penyelesaian sengketanya putusan bisa bersifat: o
penetapan janji sepihak dari pihak satu untuk ditunaikan bagi kepentingan pihak lainnya;
o
berupa kesepakatan; atau
o
hukuman (sanksi adat).
8. Pelaksanaan Putusan Bila memungkinkan, pelaksanaan putusan dilaksanakan seketika dengan ketentuan selambat-lambatnya sesuai waktu yang disanggupi para pihak. Penangguhan eksekusi putusan dimungkinkan dalam kondisi di mana pihak yang diwajibkan sama sekali tidak dapat menunaikan putusan pada waktunya. Bahkan perubahan sanksi pun (menjadi lebih ringan) dimungkinkan bilamana keadaan pihak yang bersangkutan dalam kondisi yang membutuhkan dan disepakati oleh para pihak. Biasanya yang memantau pelaksanaan putusan adalah Kadus di mana pihak yang menjadi korban atau yang mendapat keuntungan dari putusan tersebut tinggal.
B. Referensi Penyelesaian Sengketa di Masyarakat Secara spekulatif, beberapa narasumber percaya bahwa norma serta sanksi yang diterapkan dalam penyelesaian sengketa di masyarakatnya (adat) ada dan telah dihapal dalam kepala para tokoh adat dan orang-orang tua mereka. Orang muda pun menurut perkiraan mereka tahu, mengingat tatakrama serta hukum adat adalah perbincangan serta praktek kehidupan sehari-hari mereka juga. Apa yang diajarkan orang tua serta lingkungan merupakan saripati adat. Dan ketika terjadi kasus pun, orang-orang muda terlibat sebagai komponen masyarakat yang ikut dalam musyawarah penyelesaian. Namun bilamana dirujuk ujung dari referensi hukum adat yang berlaku, menurut budayawan Lombok, Gde S Parman, “…buku besar sumber hukum adat kami ada
dalam bentuk kitab-kitab lontar, misalnya untuk yang berkenaan dengan pidana, ada
11|41
kitab ‘Kertagama’ karangan Mpu Prapanca (Kerajaan Mataram, Jawa Tengah, penulis).” Kemudian menurutnya diturunkan dalam praktek sehari-hari masyarakat dalam bentuk yang dikenal sebagai Awig-awig, yakni suatu peraturan tak tertulis yang dibuat bersama masyarakat untuk mengatur kehidupan bersama dalam suatu gubuk/desa.
Sebagaimana telah disinggung di muka, meski dengan cakupan serta materi yang berbeda-beda, penggalian bahkan penulisan awig-awig sedang menjadi kecenderungan di masyarakat Lombok dalam pencarian gagasan dan aturan-aturan bagi kehidupan bersama suatu lingkungan. Contoh khusus di bidang peningkatan peran penyelesaian sengketa alternatif di masyarakat bisa dilihat contoh di Desa Bentek. Di sini kodifikasi awig-awig adat walau masih berupa draft, namun telah dipakai sebagai referensi Mahkamah Adat Desa dalam memutus atau menyelesaikan masalah/sengketa yang diproses. Awig-awig tersebut merupakan hasil kerja dari Badan Perwakilan Desa (BPD), yang di sana diberi sebutan sebagai Majelis Krama Adat Desa (MKAD), yang dianggap merupakan perwakilan dari seluruh warga masyarakat. Awig-awig sendiri diberi pengertian di sana sebagai suatu peraturan tak tertulis/tertulis yang dibuat bersama masyarakat untuk mengatur kehidupan bersama dalam suatu gubuk/desa. Awig-awig Desa Bentek berisi 28 klausula, yang ditetapkan dengan memakai istilah sepakat. Istilah sepakat menurut Putrawadi, Ketua Majelis Krama Desa Bentek, “…dipakai untuk memberi ketegasan bahwa norma dan sanksi yang ada dalam awig-awig tersebut sebagai hasil dari kesepakatan, bukan penetapan yang semena-mena dari yang berkuasa.” Secara berurutan awig-awig Desa Bentek disistematisir menjadi 5 Bab, dengan pembagian seperti layaknya peraturan perundang-undangan hukum positif, sebagai berikut: Bab I, berisi Sepakat 1 tentang Ketentuan Umum, mengenai istilah dan pengertiannya; Bab II tentang Adat Tapsila, yakni mengatur kehidupan manusia dengan hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan dengan alam. Bab ini berisi norma-norma Adat Tapsila (2 – 10) dan sanksi pelanggaran Adat Tapsila (11); Bab III tentang Adat Krama, yakni yang mengatur hubungan kekerabatan melalui proses perkawinan. Bab ini berisi norma-norma Adat Krama (12 – 21) dan sanksi Adat Krama (22); Bab IV tentang Adat Gama, yakni yang mengatur penyelenggaraan upacara keagamaan maupun upacara keadatan berdasarkan ajaran agama dan tatacara adat (23 – 25); Bab V Penutup, berisi prinsip dasar penyelesaian masalah melalui hukum adat. Yang termasuk pelanggaran adat dalam awig-awig Desa Bentek secara garis besar diatur sebagai berikut: Berkenaan dengan lingkungan;
12|41
Berkenaan dengan rumah ibadat; Berkenaan dengan larangan perbuatan di bulan puasa: menculik perempuan untuk dinikahi, bercerai, berkelahi dan mengumpat; Berkenaan dengan susila: pelecehan seksual dan perkosaan; Bila dibandingkan dengan disiplin ilmu hukum positif, maka materi yang dicakup dalam awig-awig Desa Bentek baru berupa hukum materiil. Pengaturan mengenai forum, prosedur beracara untuk memeriksa dan memutus ketentuan-ketentuan dalam awig-awig itu belum dilakukan.
C. Sanksi Sanksi bagi pelanggaran adat biasanya berupa ganti kerugian, denda serta pemotongan hewan untuk kepentingan ritual dan/atau pemberian sedekah berupa memberi makan anak yatim dan orang miskin. Besarnya sanksi ditetapkan berdasarkan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan. Ganti kerugian diberikan kepada korban untuk mengganti nilai barang atau kerugian yang dideritanya, bisa berupa satu kali atau lebih nilai barang atau kerugiannya. Denda diatur besarannya berdasarkan awig-awig dengan menukar nilai jumlah uang bolong (UB) ke dalam kurs rupiah. Setiap desa berbeda-beda dalam menentukan besarnya rupiah dari uang bolong tersebut, dan kesepakatan mengenai jumlahnya biasa dilakukan secara lisan dalam musyawarah penyelesaian kasus. Saat ini misalnya di Desa Bentek dan Desa Jenggala yang telah dikunjungi, disepakati bahwa 1 uang bolong berharga Rp 250,-, sehingga misalnya penetapan denda sejumlah duang tali samas seket (2.450 UB) untuk perbuatan pelecehan terhadap perempuan, dirupiahkan menjadi 2.450 x Rp 250,- = Rp 612.500,-. Sedangkan sanksi pemotongan hewan dan/atau pemberian sedekah makan ditetapkan bilamana suatu perbuatan mengotori kesucian adat, misalnya perzinahan atau perkosaan. Hal tersebut untuk mengembalikan kesucian pelaku atau para pelaku di mata masyarakat, dengan simbol dibolehkannya kembali yang bersangkutan memasuki rumah peribadatan, setelah dimandikan di dua aliran sungai bertemu. Hal yang menarik juga berhubungan dengan adanya pemberian sanksi ganda (2 kali lipat sanksi biasa) bagi para pelaku yang merupakan tokoh masyarakat, tokoh adat atau para pejabat publik. Pelaksanaan sanksi dilakukan seketika dengan ketentuan selambat-lambatnya biasanya 7 (tujuh) hari sejak dicapai penyelesaian. Penangguhan pelaksanaan sanksi atau hukuman dimungkinkan dalam kondisi di mana si terhukum sama sekali tidak dapat menunaikan sanksi pada waktunya. Kondisi demikian dibicarakan kemudian dalam suatu musyawarah penetapan perpanjangan waktu. Bahkan perubahan sanksi pun dimungkinkan, bilamana keadaan terhukum sebenar-benarnya menghendaki demikian. Misalnya sanksi yang ditetapkan menjadi lebih ringan.
13|41
D. Aktor & Perannya Dalam Penyelesaian Sengketa Warga desa berpendapat bahwa ketika permasalahan atau persengketaannya dicobaselesaikan di luar atau tanpa keterlibatan aparat hukum adalah merupakan masalah adat. Sehingga apapun jenis kasusnya, maka itu merupakan penyelesaian secara hukum adat. Pihak, secara personal maupun institusi, yang biasanya pertama kali diakses oleh warga masyarakat ketika berhadapan atau mengalami masalah adalah kepala lingkungan terdekat. Yakni Kepala Banjar (Ketua RT/RW) atau Keliang (Kepala Dusun). Ketika para pihak yang bersengketa masih dalam wilayah otoritas kepala lingkungan dimaksud, maka mereka mencoba menyelesaikannya dalam wilayah tersebut. Namun bila melibatkan lain-lain Banjar dalam satu wilayah Dusun, diselesaikan di tingkat Dusun. Dan bila berlainan Dusun diselesaikan di tingkat Desa. Pihak lain, secara personal maupun institusi, biasanya terlibat atau dilibatkan atas undangan atau permohonan dari kepala lingkungan yang bersangkutan, dengan peran masing-masing meskipun tidak secara tegas ditetapkan, namun biasanya sebagai berikut: Tetua atau keluarga para pihak sebagai wakil/kuasa para pihak dan/atau saksi penyelesaian sengketa; Pihak ketiga sebagai saksi kasus; Di bawah dijelaskan aktor-aktor yang dirujuk oleh masyarakat dalam penyelesaian sengketa atau dalam permasalahan yang dihadapinya: Ketua Marga (Sesepuh Keluarga) – Konsiliasi, Negosiasi Di kalangan warga masyarakat Lombok yang beragama Hindu-Bali, sesepuh keluarga dikenal dengan istilah Ketua Marga, sedangkan di kalangan warga Islam atau Buddha tidak ada istilah baku. Ketua Marga sebenarnya mempunyai tugas sebagai wakil keluarga terutama dalam sembahyang, ritual atau upacara keagamaan. Ketua Marga menurut Gatot, juga I Ketut Jirna disepakati oleh keluarga besar dalam satu klan/marga, dipilih berdasarkan penilaian ketaatan beragama dan dianggap paling bijak. Kadang-kadang dalam klan yang berkecukupan, Ketua Marga dipersyaratkan tidak bermata pencaharian, dan hidupnya ditanggung oleh iuran anggota klan yang bersangkutan. Sedangkan di kalangan Islam dan Buddha, sifatnya insidental dan kasuistis, artinya yang dianggap sesepuh tergantung pada kasusnya dan tidak dianggap sebagai wakil keluarga secara permanen. Biasanya merupakan paman dari pihak ayah yang bersangkutan. Dan dipilih yang kira-kira dianggap bisa mempertemukan pendapat dengan wakil keluarga pihak lainnya. Dalam kasus di luar keluarga yang bersangkutan, Ketua Marga atau sesepuh keluarga sering diminta atau diundang sebagai pendamping pelaku atau korban sekaligus saksi dalam proses penyelesaian sengketa.
14|41
Ketua Banjar (RT/RW) – Konsiliasi, Negosiasi, Mediasi Sebuah Banjar (RT/RW) atau dikenal juga sebagai Krama Gubug merupakan tangan terakhir aparat pemerintah. Ketua Banjar kerap menjadi akses pertama warga untuk memperjuangkan keadilan. Bilamana sebuah kasus merupakan permasalahan yang bersifat kekeluargaan, Ketua Banjar sendiri akan berusaha menyelesaikan. Namun lebih sering lagi Ketua Banjar menjadi informan dan/atau mewakili (pendampingan) sebuah kepentingan atau kasus untuk dilaporkan ke tingkat yang lebih tinggi, Keliang atau Kepala Desa. Meski tidak setiap banjar memiliki, di sini pun Ketua Banjar mempunyai pendamping dalam menyelesaikan persoalan-persoalannya, yakni let adat (tokoh adat) serta kiyai (pemegang wet agama di lingkungan Krama Gubug). Keliang (Kepala Dusun), Penghulu Dusun dan Mangku Adat Dusun (Krama Dusun) – Administrasi3, Negosiasi, Konsiliasi, Mediasi, Arbitrase Adat Penyelesaian sengketa alternatif di tingkat dusun, sebenarnya merupakan instansi pertama penyelesaian di tingkat masyarakat desa-desa di Lombok. Karena di tingkat ini dimungkinkan adanya lebih dari sekedar rembugan permasalahan, melainkan model-model mediasi bahkan yang bersifat peradilan. Di tingkat ini pula awig-awig dipakai sebagai referensi dalam penyelesaian sengketa, dan berdasarkan kesepakatan menetapkan valuasi terhadap nilai denda uang bolong (pengkurs-an). Dalam model yang mendekati peradilan, bilamana sebuah kasus diangkat ke level desa (Krama Desa), maka Keliang berubah fungsinya menjadi semacam penuntut umum. Keliang menjadi orang yang mewakili kepentingan korban. Memang biasanya korban melapor pada Keliang di mana ia tinggal, sehingga lumrah, Keliang merupakan orang pertama yang mengetahui kasus yang bersangkutan dan paling mengetahui keinginan dari pihak korban. Kepala Desa (Pemusungan), Penghulu Desa dan Mangku Adat Desa (Krama Desa) – Administrasi, Negosiasi, Konsiliasi, Mediasi, Arbitrase Adat Secara pemerintahan, Kepala Desa merupakan jabatan eksekutif tertinggi di desa. Di dalam model penyelesaian sengketa alternatif di tingkat desa, Kepala Desa juga merupakan ketua dari majelis atau mahkamah adat. Untuk hal-hal yang berkenaan dengan administrasi sipil dan pemerintahan, Kepala Desa menyelesaikannya lebih jauh sebagai eksekutif, misalnya dalam hal perceraian, tanah warisan dan status tanah (sertifikasi). Dalam urusan ini, yang dilibatkan adalah sekretaris dan perangkat desa. Namun di luar penyelesaian di atas, Kepala Desa berfungsi yudikatif, bersama-sama Mangku Adat dan Penghulu Desa. Bahkan Kepala Desa secara otomatis sebagai ketua majelis atau mahkamah dari upaya penyelesaian permasalahan yang diproses melalui adat.
3 Administrasi menunjuk pada persoalan atau permasalahan berkenaan dengan administrasi sipil, dokumen resmi yang dikelola pemerintahan desa serta berbagai perijinan.
15|41
Tuan Guru – Konsiliasi, Mediasi Syari’ah Menjadi Tuan Guru merupakan prestise di masyarakat Nusa Tenggara Barat. Tuan Guru adalah pemimpin informal yang sangat disegani. Biasanya untuk menjadi Tuan Guru, disamping seseorang harus mempunyai pesantren yang diasuhnya sendiri, juga sudah mencapai tingkat kedudukan tertentu dalam pengajaran agama Islam yang diakui oleh Tuan Guru lainnya. Yang tidak kalah pentingnya lagi, kualitas seorang Tuan Guru dinilai dari sumbangannya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, dikenal sebagai pengayom yatim piatu, orang-orang miskin serta penjaga ketentraman dan kedamaian masyarakat. Berkenaan dengan perannya yang terakhir itulah, maka tidak mengherankan pula bahwa Tuan Guru mempunyai peran sebagai seorang problem-solver. Ia menjadi rujukan, terutama murid serta bekas-bekas muridnya di manapun mereka berada, bagi setiap permasalahan yang menimpa mereka. Praktek demikian berkembang hingga saat ini, sehingga penyelesaian masalah secara informal di masyarakat dengan melibatkan kharisma serta kebijakan Tuan Guru ini juga menjadi sebuah model. Di beberapa awig-awig, terutama yang berhubungan dengan keamanan, serta perkawinan dan perceraian, terdapat aktor yang belum disebutkan di muka yakni: Tokoh Pemuda; dan P3N (Petugas Pembantu Pencatat Nikah).
E. Tipologi Kasus Di semua tempat yang berhasil dikunjungi, tercatat diajukannya berbagai macam kasus untuk ditangani secara informal di masyarakat. Namun jumlah yang paling menonjol adalah perkara menyangkut pelanggaran-pelanggaran dalam proses perkawinan secara merariq/memulang (kawin lari), dan percabulan atau pelecehan seksual. Untuk kasus-kasus lain walaupun ada namun sangat jarang terjadi. Tabel 1: Tipologi kasus menurut pelanggarannya Tipologi
Mediator
Isu Yang Berhubungan/Assement
Kriminal ringan, perkelahian, pencurian
RT/RW, Kadus, Kades Tokoh Adat Tokoh Agama Polisi
Dapat diselesaikan cepat. Di beberapa kasus, polisi menyerahkan terlebih dulu penyelesaian kepada kepala lingkungan.
Permidangan (Pacaran) Merariq (Perkawinan dengan menculik perempuan) Hamil Luar Nikah Pelecehan Seksual Perzinahan
RT/RW, Kadus, Kades Tokoh Adat Tokoh Agama Polisi P3N Tokoh Pemuda
Di beberapa tempat merupakan suatu bentuk awigawig, sebagian bahkan telah menjadikannya peraturan desa (Perdes). Perempuan menjadi obyek dalam penyelesaian (siap menerima putusan tanpa pendapat mandiri). Di kasus pelecehan oleh banyak pria, penyelesaian bahkan seperti undian. Perempuan dipojokkan sebagai pihak yang berkelakuan minus.
16|41
Tipologi
Mediator
Isu Yang Berhubungan/Assement Tuan Guru (Tokoh Agama) lebih memandang laporan perzinahan dari seorang perempuan sebagai sebuah ungkapan pertobatan daripada persoalan tuntutan keadilan, oleh karenanya nasehat yang diberikan berkisar pada upaya penyembunyian ‘aib’ tersebut di mata masyarakat, bahkan suami perempuan yang bersangkutan.
Kekerasan dalam rumah tangga
Sesepuh Keluarga RT/RW, Kadus Tokoh Adat Tokoh Agama Polisi
Adat sangat patrilineal. Jarang dianggap persoalan serius (bunga rumah tangga). Perempuan sering dipaksa menerima perdamaian begitu saja, tanpa proses permasalahan. Polisi sering mengembalikan persoalan kepada orang tua ybs, RT/RW atau Kadus.
Perceraian Pembagian gono-gini Pewarisan
Kadus Tokoh Agama P3N
Banyak terjadi tanpa proses (cukup dengan perkataan talak saja). Perempuan tidak pernah dibagi harta. Dalam pewarisan, kalau tidak menuntut, perempuan tidak diberi bagian. Sekarang menjadi materi aturan dalam awig-awig (perempuan mendapat separuh bagian laki-laki).
Tanah/Sumber Air
Kadus, Kades Tokoh Adat Perekat Ombara (Organisasi Masyarakat)
Pemilikan tanah-tanah strategis secara absentee (pemilik merupakan orang-orang kaya yang tinggal jauh di kota) Eksploitasi oleh pemilik HPH,seperti: penebangan hutan yang dianggap sebagai milik masyarakat adat. NGO lebih berperan dalam advokasi. Ke depan keinginan masyarakat untuk menguasai kembali (reclaiming) hutan adat, pesisir pantai relatif rawan konflik. Pendekatan keamanan dan militer masih menonjol daripada penyelesaian secara hukum dan kemasyarakatan.
Korupsi di lingkungan desa
Kades (+BPD) Polisi
Dimunculkan bilamana terjadi persaingan antar elit desa (bersaing pengaruh). Terjadi dalam pembagian dana program/bantuan. Polisi dilibatkan sebagai alat permainan kekuasaan, bukan pihak negara yang diharapkan netral meenyelesaikan. Oleh karenanya polisi lebih banyak diminta menangani isu sampingan dari kasus sebenarnya, seperti: pencemaran nama baik, upaya mengancam atau menakut-nakuti pihak pelapor/advokator.
17|41
Sengketa/permasalahan dapat juga dikelompokkan berdasarkan para pihak dan lokasi kasusnya: Tabel 2: Penyelesaian kasus menurut pihaknya Komunitas Luar
Antar Komunitas
Intern Komunitas
Penyerobotan tanah/hutan desa
Sengketa batas tanah
Sengketa batas tanah
Perkawinan campur (HinduBuddha-Muslim)
Pembagian saluran air (pertanian)
Perebutan/penyerobotan hak waris
Klaim fasilitas umum: pemakaman
Melarikan istri orang (ngiwat)
Kekerasan rumah tangga
Penipuan bidang perburuhan migran (TKI)
Sengketa rumah tangga: perceraian dan harta gono-gini
Untuk tipe sengketa yang melibatkan pihak dalam satu komunitas atau antar komunitas dalam satu kampung/desa/kelurahan relatif dapat diselesaikan. Di dalam perkara satu komunitas bahkan penyelesaian bisa berjalan secara cepat. Di dalam persoalan menyangkut antar komunitas, biasanya yang terjun langsung menangani adalah Desa/Kelurahan setempat. Di desa-desa adat (anggota Perekat Ombara) saat ini memfungsikan kembali mangku-mangku adat khusus yang berhubungan dengan fasilitas umum di masyarakatnya, misalnya: untuk urusan tanah (mangku bumi), air (mangku air) dan lain-lain. Sengketa menyangkut komunitas luar memang dipandang persoalan yang cukup pelik untuk diselesaikan. Namun terdapat berbagai upaya positif yang difasilitasi pihak pemerintah, misalnya di Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram untuk mencegah konflik yang merupakan ekses dari perkawinan campur di tahun 1984 telah berhasil dibuat nota kesepahaman antar berbagai pihak, terutama pemerintah, pengadilan agama, para tokoh agama: Islam, Hindu dan Buddha serta tokoh adat dan masyarakat lain. Satu contoh gagal untuk meredam sengketa dengan komunitas luar adalah konflik dua kampung, Karang Geteng versus Patemon (lihat Studi Kasus 4), yang sampai saat ini belum dapat difasilitasi, terutama di tingkat masyarakat.
F. Studi Kasus Studi Kasus 1: Perzinahan Ratni dan Udin Ratni bersama seorang anaknya yang baru kelas 3 sekolah dasar tinggal di sebuah rumah kecil terbuat dari alang-alang di tengah kebun pisang. Ia telah ditinggal suaminya, Kawisah, merantau ke Malaysia selama 5 tahun 6 bulan. Selama itu menurut pengakuannya tidak pernah diberi kiriman uang sebagai nafkah. “Memang
selama ini ada kiriman uang yang kalau dijumlahkan semua sebesar Rp 5.600.000,-. Namun uang tersebut habis untuk membayar bon biaya kepergiannya ke Malaysia.”
18|41
Demi menyambung hidup, sehari-hari Ratni menjadi buruh pemecah batu dengan upah yang hanya cukup untuk makan. Kesulitan hidup yang telah dideritanya bertahun-tahun saat ini bertambah dengan keadaannya yang sedang hamil 7 bulan. Kehamilannya tersebut merupakan hasil perzinahannya dengan lelaki bernama Udin, tetangga tidak terlalu jauh di kampungnya. Sejak di usia 4 bulan kehamilannya, Ratni telah mengadukan persoalan perzinahannya kepada Kepala Dusun (Keliang) dengan maksud meminta pertanggungjawaban Udin. Sebelumnya dengan cara dipijat dan memakan obat-obatan tertentu, Ratni pernah berusaha untuk menggugurkan kandungannya. Namun entah kenapa menurutnya, upaya-upaya yang dilakukannya tersebut tidak membuahkan hasil. Dan ketika mendatangi seorang dukun beranak, ia diberitahu bahwa kehamilannya telah kuat dan dukun dimaksud menyarankan Ratni untuk memberitahu ayah anak tersebut. Dengan ditemani kakak perempuannya dan seorang tetangga, Ratni pun datang ke rumah Keliang. Mengadukan persoalannya dan menuntut untuk dipertemukan dengan Udin. Selang seminggu kemudian Keliang berhasil mempertemukan keduanya di rumahnya. Di depan Keliang, keduanya mengakui dengan jujur apa-apa yang telah mereka lakukan. Tuntutan Ratni pun hanya menghendaki pertanggungjawaban Udin untuk menikahinya. Udin pun tidak merasa keberatan. Namun mengingat status Ratni yang masih sebagai istri orang, persoalan itu tidak bisa berhenti tanpa melibatkan pihak suami (keluarga Kawisah). Di pertemuan selanjutnya, ketiga pihak: Ratni – Udin dan keluarga Kawisah, yang diwakili oleh pamannya seorang guru SD bernama Sadiwadi, diproses secara adat. Pedoman yang dipakai menurut penuturan Keliang adalah awig-awig adat. Dari proses itu keluarlah putusan bahwa perbuatan Udin menzinahi Ratni merupakan pelanggaran adat yang disebut ngiwat (mengambil istri orang). Oleh karena itu sebelum pernikahan Ratni Udin bisa berlangsung, Udin harus terlebih dahulu menunaikan beberapa biaya dan denda adat, berupa: 1. Denda adat sebesar 100.000,- uang bolong; 2. Nyowok (denda pembersihan), biasanya dengan penyembelihan hewan kurban dan memandikan para pelaku di sungai tempat persimpangan aliran air; 3. Ganti rugi kepada Kawisah sebagai penggati uang yang dikeluarkannya saat menikahi Ratni. Namun belum sampai pada pembicaraan mengenai besarnya denda yang ditetapkan pihak keluarga Kawisah, Udin merasa tidak akan mampu membayar. Kekhawatirannya tersebut berdasarkan pengalaman yang lalu-lalu, bahwa besarnya ganti rugi ngiwat kepada suami besarnya mencapai Rp 5 juta. Udin sendiri kemudian menyatakan kepada Keliang untuk sanggup menikahi Ratni, namun tidak bersedia untuk membayar denda sama sekali. Karena keadaannya demikian, Keliang kemudian menyerahkan kasus tersebut ke tingkat desa (Desa/Pemusungan Bentek). Di tingkat desa, kasus ini diproses lengkap dalam mekanisme Mahkamah Adat Desa (MAD). MAD bersidang 2 kali dengan Keliang bertindak sebagai penuntut umum, karena dianggap yang menguasai kasus
19|41
tersebut dari awal. Mengingat di tingkat desa pun pedoman untuk memutus perkara tersebut sama, yakni awig-awig adat setempat, maka putusan akhirnya sama persis seperti putusan di tingkat Dusun. Di depan sidang MAD, Udin menerima putusan yang dijatuhkan. Tapi selang 3 hari kemudian, ia mengajukan surat permohonan kepada Kepala Desa untuk diproses di kepolisian saja, dengan alasan yang tetap sama, yakni tidak akan mampu membayar denda. Kepala Desa pun dengan alasan, “…tidak ingin menutup kehendak masyarakat untuk mencari keadilan bagi dirinya,” kemudian memfasilitasi keinginan Udin dengan melaporkan ke Polsek setempat. Di Polsek, baik Udin maupun Ratni sempat dimintai keterangan dengan mengarahkan kasusnya sebagai perzinahan. Bahkan mereka sempat ditahan, Udin selama 7 hari dan Ratni 4 hari. Namun dengan adanya permintaan keluarga, masingmasing dari keluarga Ratni dan Udin, dan dengan membayar sejumlah uang akhirnya keduanya dibebaskan. Menurut penuturan Udin, keduanya akan dipanggil kembali, “…bila Kawisah, suami Ratni telah kembali dari Malaysia dan menuntut perbuatan mereka.” Bagi Udin, putusan bagi kasusnya telah diyakini tinggal menunggu waktu pemanggilan kembali dari pihak kepolisian. “Daripada saya dipaksa membayar denda
adat yang jumlahnya sangat jauh di luar kemampuan mending saya dipenjara saja, untuk sehari-hari makan pun saya sangat kesulitan, apalagi saya sekarang sudah menikah dan harus mengurus seorang ibu yang sudah tua!” Kebetulan 2 bulan sebelum Ratni mengadukan kehamilannya, Udin telah menikahi gadis lain.
Bagi Ratni, tidak ada jalan keluar bagi permasalahannya. Di proses kepolisian, ia hanya salah satu pelaku dari kejahatan yang namanya perzinahan. Dan ia harus siap menjadi pesakitan bilamana suaminya meneruskan pengaduan di kepolisian. Di proses adat, nasibnya tinggal menunggu hasil permufakatan antara keluarga suaminya dengan Udin, yang tak setitikpun memberikan celah penyelesaian, mengingat tidak bersedianya Udin membayar sama sekali kepada pihak Kawisah. Menurut Ratni, “Keliang tidak mendesak Udin untuk bertanggung jawab dan
menikahi saya, padahal saya sendiri dengan dibantu keluarga telah menyatakan siap mengambil alih tanggung jawab berkenaan dengan pembayaran denda kepada pihak suami saya.” Hanya saja melihat keadaaan Ratni juga keluarga kakak-kakaknya
yang dipandang morat-marit, kesediaan Ratni seperti itu seolah-olah dipandang sebelah mata. Dan secara adat, menurut Kamardi, yang diperkuat Putrawadi, “…kalau pihak perempuan mengambil alih membayar denda ngiwat, tidak ubahnya ia nanti akan dianggap seperti binatang, karena sama dengan membeli-beli laki-laki!” Studi Kasus 2: Percobaan Penyerobotan Hak Waris Gatot, berumur sekitar 40 dan Gandhi yang baru lulus SMU adalah dua anak dari ayah penduduk Kampung Panaragan Utara, Kelurahan Cakranegara Barat, Mataram. Gatot merupakan anak angkat dari istri pertama, sedangkan Gandhi adalah anak kandung dari istri yang kedua. Sejak ayah mereka meninggal, masingmasing telah menguasai bidang-bidang tanah sebagai pembagian dari warisan.
20|41
Di sekitar Maret 2004, Gatot mengusulkan kepada Gandhi untuk mensertifikatkan bagian tanah Gandhi dan diatasnamakan bertiga antara Gatot, Gandhi dan ibu yang pertama. Tanpa curiga dengan maksud apapun di balik permintaan Gatot, mulanya Gandhi menyetujui usul sertifikasi tanah itu. Namun kemudian berdasarkan desakan tante dari ayahnya, Gandhi mengajukan keberatan dan dengan bantuan pengacara melakukan pembatalan permohonan sertifikat dimaksud. Mengingat menurut penjelasan tantenya, bahwa tanah itu sudah merupakan haknya Gandhi. Gatot telah mendapatkan bagian, bahkan kalau dirupiahkan lebih besar daripada hak Gandhi, mengingat letak tanahnya yang berada di jalan utama. Tante Gandhi mengkhawatirkan adanya maksud tidak baik Gatot. Yang kemudian diketahui memang sedang terlibat utang. Selanjutnya melalui pengacaranya, Gandhi mengancam akan mempermasalahkan mengenai status Gatot yang bukan merupakan anak kandung dari ayahnya. Mulanya permohonan Gatot untuk melakukan sertifikasi di tanah bagian Gandhi difasilitasi oleh Kepala Lingkungan Panaragan Utara, I Ketut Jirna. Bahkan menurut penuturan Gandhi, entah dengan alasan apa I Ketut Jirna sangat condong sekali membela kepentingan Gatot. Ingatan Gandhi sendiri melayang pada saat didesaknya ia menandatangani kertas kosong di waktu-waktu awal proses sertifikasi, yang kemudian ia tahu tanda tangannya itu menjadi terbubuh dalam surat keterangan mengenai pengakuan bahwa Gatot sebagai kakak kandungnya. Oleh karenanya ia sendiri merasa keberatan ketika permasalahan dengan kakaknya akan ditengahi oleh Kepala Lingkungan. Pihaknya mendesak untuk diselesaikan setidaktidaknya di Kelurahan. Di kelurahan mereka bertemu dengan dimediasi oleh Lurah setempat, Drs. Sudarsana. Pihak lain, termasuk pengacara yang telah disewa Gandhi, tidak diperkenankan untuk ikut dalam proses mediasi tersebut. Sehingga yang berada di hadapan Lurah Sudarsana hanyalah Gatot, Gandhi dan keluarga dekat mereka. Akhirnya disepakati perdamaian dengan bentuk: pengakuan Gandhi bahwa Gatot adalah kakaknya, dan penjualan sebagian tanah yang akan disertifikasi untuk menutupi utang-utang Gatot kepada pihak ketiga. Sebetulnya Gandhi tidak merasa puas dengan putusan mediasi itu. Namun katanya, “…daripada hubungan saya dengan kakak saya itu lebih buruk lagi, lebih baik
mengalah saja. Saya memang kehilangan bagian hak saya, tapi dengan itu kemudian saya bisa memisahkannya menjadi atas nama sendiri, tanpa direcokin lagi. Sebetulnya kasihan hidup kakak saya, anaknya banyak, tapi belum punya pekerjaan…” Studi Kasus 3: Masyarakat Adat versus Individu Pada mulanya adalah sanksi adat yang dirasa berlebihan. H Anggeng Aswadi, salah seorang penduduk Dusun Kapu, Desa Jenggala, Kecamatan Tanjung, Lombok Barat mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri, untuk melakukan pembatalan putusan masyarakat (adat) terhadap dirinya dan menuntut sepuluh orang tetangga dusunnya secara pribadi serta tanggung renteng untuk membayar sebesar dua
21|41
setengah milyar sebagai ganti kerugian moril. Sepuluh orang dimaksud adalah anggota masyarakat dan aparat dusun Kapu yang terdiri dari: Saptadi (Kadus); Rumedi (Penghulu); Serta (Ketua RT); R Sucipto, Sudirman, Nawidah, Mindrawa, dan M Urip (Tokoh Masyarakat); Wardoyo, S.Pd (Ketua Remaja Mesjid); dan Sahrudin (warga, yang merupakan calon mempelai yang menculik puteri H Anggeng Aswadi). Menurut penuturannya, gugatan perdata adalah upaya satu-satunya yang dipandang bisa lebih adil memproses tindakan masyarakat yang mengatas-namakan adat dalam memperlakukan dirinya. Latar belakangnya menurutnya bukannya mau melecehkan adat, melainkan dalam rasa keadilannya ada hal-hal di luar kewajaran yang mesti dibenahi, yakni antara lain: (i)
masalah representasi adat;
(ii)
mekanisme/prosesnya;
(iii)
bentuk sanksi; dan
(iv)
ketiadaan upaya banding.
Untuk yang pertama, H Anggeng mempertanyakan bahwa apa yang disebut adat tidaklah seperti yang dihadapinya. Adanya organisasi kepemudaan, bahkan dilibatkannya lembaga swadaya masyarakat telah mengotori kemurnian adat. Yang kemudian terbukti menurutnya dalam upaya politisasi putusan yang mengkaitkaitkan sanksi dengan kedudukannya sebagai anggota sebuah partai dan legislatif daerah. Berkenaan dengan mekanisme, apa perlunya masyarakat banyak dihadirkan dalam proses penyelesaian, padahal yang sedang diproses adalah masalah pernikahan yang merupakan masalah keluarga yang perlu dijaga privasinya. Dan selama proses, yang dilakukan di tempat-tempat publik, H Anggeng merasa bahwa masyarakat banyak telah digiring untuk memposisikan dirinya menjadi pihak yang bersalah, sehingga tidak mendapatkan kesempatan untuk berbicara secara leluasa, karena belum-belum sudah diteriaki dan disoraki. Sanksi yang diputuskan pun dirasakannya sangat berlebihan, terutama sanksi yang berbentuk ‘selong’, yakni pengusiran dirinya dari tengah-tengah masyarakat selama tiga tahun. Dengan sanksi demikian ia kehilangan hak-hak sipilnya di dalam masyarakat serta pemerintahan desanya. Padahal menurutnya, “Selama dua puluh
lima tahun terakhir ini, saya tidak pernah melihat dan menemui seseorang yang dihukum dengan selong. Sanksi selong sebetulnya dikenakan bagi perbuatan biadab yang dilakukan oleh tetua adat, misalnya seorang Mangku Adat memperkosa istri orang di rumahnya sendiri. Sedangkan saya membela milik saya (Linda, puteri H
22|41
Anggeng, penulis) yang dicuri orang lain, masak diperlakukan sebagai orang biadab seperti itu?” Dan lagi, mengingat mereka memutuskan secara sepihak seperti hakim pengadil, bahkan tanpa dapat dikoreksi atau diupayakan banding, demi pembelajaran harus ada pihak lain yang memberi keadilan. “Saya pernah mempertimbangkan untuk
mengajukan banding putusan adat tersebut ke Perekat Ombara, namun kesimpulan penjajakan saya negatif, karena belum adanya kewenangan mengadili banding di tubuh Perekat Ombara.” Cerita H Anggeng. Menurut H Anggeng upaya melalui
Pengadilan Negeri adalah sarana yang paling tepat, mengingat netralitasnya sebagai lembaga formal dan bersifat publik. H Anggeng sendiri menegaskan penghargaannya terhadap mekanisme adat, “…dengan ini sebenarnya saya menghormati keputusan
adat, namun karena tidak adil harus dikembalikan kepada keadilannya! Ya, lembaga yang paling sah, tentunya lembaga negara yang bernama Pengadilan.”
H Anggeng menyatakan, bahwa kalau dikembalikan kepada kasus awalnya, ini bukan sesuatu yang luar biasa. Kasus penculikan anaknya untuk dikawin (merariq/memulang) oleh Sahrudin merupakan adat kebiasaan yang berlaku seharihari di masyarakat. Secara singkat kronologi kasus yang dianggap pelecehan H Anggeng terhadap adat Dusun Kapu itu sebagai berikut: 27-02-2002. Sahrudin, anak tetangga kampung H Anggeng Aswadi membawa lari Linda Ernawati puteri H Anggeng dengan maksud untuk dinikahi (memulang); 28-02-2002. Keluarga Sahrudin mengutus Kepala Dusun (Saptadi) ke rumah H Anggeng untuk mengabarkan niat pernikahan Sahrudin dengan Linda. Mereka bertemu dan menurut pengakuan narasumber dari pihak masyarakat, telah berhasil disepakati akad nikah asalkan sanggup memenuhi ‘uang pisuka’ (denda penculikan) sebesar lima juta rupiah. Sampai saat itu, masyarakat menilai, karena telah ada proses pemberitahuan dan rembug (sejati – selabar) dan telah disanggupinya pisuka oleh kedua keluarga, proses perkawinan bisa berlangsung, tinggal menunggu waktu peresmian; 02-03-2002. H Anggeng dan keluarga menjenguk Linda di rumah di mana dilarikan, dengan maksud meyakinkan tentang kebenaran penerimaan anaknya untuk dinikah tanpa paksaan. Menurut penuturan H Anggeng, proses klarifikasi ini adalah sah secara adat, mengingat anaknya diculik pada siang hari, yang semestinya dikenakan denda secara adat. Karena yang benar, penculikan seharusnya dilakukan malam hari. Namun tetua adat Dusun Kapu merasakan hal tersebut sebagai akal-akalan H Anggeng untuk menghalang-halangi pernikahan Sahrudin. Kecurigaan ini menurut mereka dipastikan dengan keluarnya perkataan yang tidak patut secara adat, ketika H Anggeng menyatakan kepada puterinya, “Apakah kamu tidak kasihan, inangmu sedang sakit?” lalu, “Apakah kamu sanggup menganyam tikar dan bakul?” Yang dianggap masyarakat sebagai sebuah bentuk penghinaan terhadap keluarga Sahrudin. Padahal saat itu Linda mengiyakan keinginannya untuk dinikahi Sahrudin. 03-03-2002. Jam dua malam, Linda sudah lari dari tempat dimana ia disembunyikan. Yang kemudian diselidiki berada di rumah H Anggeng yang berada di Rembige, Mataram. Hal ini kemudian dikutuk masyarakat dan mengaitkannya dengan kedatangan H Anggeng sebelumnya. Dengan mempertahankan puterinya di rumahnya, H Anggeng dianggap telah tidak menghormati adat. Siangnya, para pebenah adat (Kadus, Penghulu, Kiyai, Ketua RT) langsung bermusyawarah dan menghasilkan keputusan bahwa H Anggeng telah melanggar hukum adat: (i) meresahkan masyarakat (ngeletuhing jagat), yang harus dipulihkan dengan cara ‘penyowokan’, yakni mempersembahkan bagi fakir miskin 1 ekor kambing putih, 1 ekor kambing hitam, dan 44 ancak
23|41
(makanan yang dibungkus) beserta sesajen; (ii) menantang konflik (ngawenang pati), yang harus dipulihkan dengan membayar denda adat 49.000 uang bolong dan dilipatgandakan jumlahnya (karena H Anggeng sebagai anggota DPRD, dianggap pejabat publik); 05-03-2002. Perwakilan masyarakat menyampaikan secara lisan hasil musyawarah adat Dusun Kapu di atas kepada H Anggeng, dan meminta melaksanakan hukumannya sesegera mungkin. Namun H Anggeng menolak melaksanakan putusan dimaksud; 08-03-2002. Reaksi atas penolakan H Anggeng disikapi dengan dilakukannya ‘Sangkep Akbar’ (musyawarah besar masyarakat adat) sesusai shalat jum’at di Masjid Dusun Kapu dengan putusan: (i) penegasan dua sanksi yang telah diputuskan sebelumnya; (ii) menghadirkan H Anggeng di depan pengadilan adat hari itu juga guna meminta pertanggungjawaban atas penolakannya. Jam 15.30 H Anggeng hadir dan didengar keterangan mengenai penolakannya. Namun dianggap tidak memberikan alasan rasional sesuai adat, malah bertingkah seolah-olah tidak mengerti tata krama perkawinan dengan membawa lari, seperti mengatakan, “Masak anak saya kawin tidak memberi tahu orang tua!” Sepulang H Anggeng dari singkep akbar tersebut, yang dianggap nyata-nyata menguatkan kembali penolakannya, para pebenah adat bermusyawarah kembali dan menetapkan putusan yang lebih berat dengan menjatuhkan sanksi ‘selong’. Artinya mengeluarkan H Anggeng dari keluarga besar masyarakat Dusun Kapu. Mereka juga menambahkan beberapa rekomendasi, sebagai berikut: 1. Meminta Perekat Ombara untuk segera bertindak sebagai lembaga bantuan hukum adat membantu masyarakat menyelesaikan kasus di tingkat elit; 2. Meminta pimpinan DPD II Partai Golkar Lombok Barat untuk menurunkan H Anggeng Aswadi dari Pengurus Partai Golkar; dan 3. Meminta kepada Ketua DPRD II Lombok Barat untuk menurunkan H Anggeng Aswadi dari jabatan publik karena tidak layak lagi memangku jabatan tersebut karena tidak tahu adat. Sekarang, setelah putusan pembatalan dari Pengadilan Negeri atas putusan adat Dusun Kapu ditetapkan masyarakat tidak bergeming. Menganggap putusan Pengadilan Negeri seperti angin lalu. Mereka merasa tetap memberlakukan sanksi adat, berupa selong atau mengeluarkannya dari masyarakat adat Dusun Kapu selama 3 (tiga) tahun. Dengan putusan tersebut, hak-hak sipil H Anggeng Aswadi pun, baik yang berhubungan dengan adat maupun yang berhubungan dengan administrasi kewargaan menjadi hilang. Dan masyarakat merasa cukup dengan keterlibatan semua warganya serta aparat pemerintahannya di Dusun serta Desa yang bersangkutan, untuk tidak memperhatikan hak-hak kemasyarakatan H Anggeng Aswadi, misalnya konsensus untuk tidak melayani permintaan KTP, pengurusan ijin-ijin serta pelayanan ritual atau hajatan yang dilakukan keluarga H Anggeng Aswadi. Di sisi lain, dengan putusan Pengadilan Negeri, H Anggeng telah merasa diadili secara benar, dan merasa ancaman selong dari masyarakat hanyalah gertak di atas kertas. “Saya mencoba mengadakan hajatan beberapa kali setelah kejadian itu, dan
masyarakat tidak ada yang memboikot. Mereka datang, bahkan para tetua dan tokohtokoh adat sekalipun.”
24|41
Bagian 5: Analisis A. Kekuatan dan Kelemahan Mekanisme Informal i. Kekuatan Mudah Diakses dan Instan Ketua RT/RW, Kepala Dusun dan Kepala Desa sangat mudah untuk diakses oleh warga, karena mereka ada dan hadir di tengah-tengah mereka. Selain itu masyarakat sendiri telah terbiasa untuk melibatkan mereka sebagai person atau pihak yang diajak untuk mempertimbangkan, menengahi dan memutus segala persoalannya. Sehingga masyarakat tidak perlu berpikir panjang mengenai jarak, biaya dan birokrasi untuk menyampaikan permasalahan dan permohonan bantuannya. Hal itu bilamana dibandingkan dengan akses masyarakat terhadap sistem hukum formal: kepolisian, kejaksaan atau pengadilan. Yang selain masalah jarak, yang nantinya juga berakibat terhadap ongkos-ongkos dan biaya, juga masalah pengetahuan masyarakat mengenai kompetensi: kasus apa harus dibawa ke mana. Akses juga dipermudah karena dari beberapa studi kasus yang didekati, para aktor tidak kaku menampilkan diri menjadi satu wajah di semua kasus. Ada kalanya mereka menjadi penasehat, menjadi penengah atau menjadi hakim pemutus. Sehingga memberi harapan bagi para pihak untuk ditempatkan dalam posisi yang berimbang dengan pihak lawannya. Artinya kehadiran di dalam mekanisme penyelesaian alternatif bukan sesuatu yang dikhawatirkan. Disamping itu, mekanisme penyelesaian sengketa alternatif sangat mungkin diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat, baik prosesnya, pengambilan keputusan maupun pelaksanaan putusannya. Untuk perkara yang secara hukum positif termasuk tindak pidana ringan, misalnya: pencurian oleh remaja, penganiayaan ringan, atau perkelahian dalam setengah hari bisa diselesaikan sampai putusan. Namun beberapa kasus juga menghadapi berbagai kendala terutama dalam eksekusi putusan, bila para pihak tidak sukarela melaksanakan putusan, seperti di kasus Ratni, dimana Udin kemudian enggan untuk melaksanakan kesepakatan putusan yang telah ditetapkan. Memulihkan Harmoni Penyelesaian di tingkat masyarakat mengembalikan orang pada harkat kemasyarakatannya seperti sedia kala. Dengan penyelesaian demikian terjadi pemulihan kehidupan dan hubungan antar para pihak yang berselisih. Sebagai contoh dapat ditarik dari kasus sengketa tanah (kurang lebih luasnya 17 HA) yang terjadi di Dusun Jambek, Desa Tanah Awu, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah antara H Achyar melawan Lalu Masnang. Kasus dipicu penemuan lontar yang dianggap sebagai bukti kepemilikan oleh keluarga Lalu Masnang atas tanah yang saat itu dikuasai keluarga H Achyar. Keluarga H Achyar disamping secara fisik juga telah menguasai tanah tersebut sejak tahun 1942an, juga memegang bukti pengalihan hak atas tanah berupa pembelian lelang tanah jaminan bank (Shinko Ginko Bank, sebuah bank di jaman penjajahan Jepang) oleh kakeknya, H Abdul Halim dari H Muhammad
25|41
(kakek Lalu Masnang). Pada tahun 1996 kasus digugat melalui PN Praya, Lombok Tengah. Di PN serta tingkat banding, PT Mataram, gugatan Lalu Masnang dimenangkan. Namun ia dikalahkan di putusan Kasasi MA. Mendapat berbagai hasutan bahwa tidak mungkin pihaknya yang telah dua kali menang dikalahkan kecuali terjadi penyuapan oleh keluarga H Achyar kepada MA, Lalu Masnang bersikukuh tidak mengakui keaslian putusan kasasi dan mencegah penggarapan tanah sengketa oleh keluarga H Achyar. Maka perang antar keluarga terjadi, yang menewaskan satu orang di pihak H Masnang. Permusuhan dua keluarga tersebut kemudian dapat dihentikan dan didamaikan melalui sumpah adat yang difasilitasi Muspika serta Muspida Kabupaten Lombok Tengah, yang dibacakan keluarga H Achyar di Mesjid Besar Praya dengan isi pengakuan bahwa tanah adalah sebenarbenarnya milik sah keluarga H Achyar, dan tidak melakukan penyuapan untuk mempertahankan hak tanah tersebut kepada siapapun. Konsekuensi pemulihan melalui penyelesaian di tingkat masyarakat menjadikan tindakan mengungkit apa yang telah diselesaikan, bahkan dianggap sebagai sebuah pelanggaran tatakrama atau adat kembali. “Bilamana ada yang mengungkit persoalan yang telah selesai tersebut, ia telah melakukan pelanggaran hukum adat baru…” menurut Rasidep, Ketua Mahkamah Adat Desa Bentek, “…dan apa yang sebelumnya terjadi sebelum penyelesaian, setelah penyelesaian dianggap tidak pernah terjadi. Sehingga masyarakat kembali dalam ketentraman dan damai.” Suatu contoh menarik terjadi di Desa Bentek, Rasidep, pernah menjadi oknum perbuatan menzinahi istri orang (ngiwat) di kampungnya sendiri. Namun dianggap secara gentle, mengakui perbuatan itu dan memenuhi semua proses adat yang ditetapkan di Dusunnya. Yang akhirnya diputus untuk membayar denda sebesar lima juta rupiah, yang ia bayar dengan menjual tanah pekarangannya. Kurang lebih dua tahun ini, masyarakat telah mempercayainya sebagai Ketua Banjar. Padahal dipandang secara adat, perbuatan ngiwat adalah termasuk ngilen pati, yang bisa mengundang pertumpahan darah, sehingga merupakan pelanggaran yang berat dari sisi moral budaya. “Penyelesaian secara adat mengembalikan orang kembali terhormat,” kata Kamardi di akhir dengar pendapat kasus dugaan korupsi yang dilakukan Keliang Dusun Benget, yang dihadiri Rasidep dan tim Justice. Namun penyelesaian yang sangat bertendensi terjadinya harmoni juga harus dibaca secara kritis, terutama bila yang menjadi korban adalah perempuan, mengingat dalih harmoni sering mengabaikan perempuan sebagai subyek yang mandiri yang mempunyai kepentingan dan hak-hak yang juga harus diperhatikan.
ii. Kelemahan Eksekusi Putusan Masih Problematis Sepintas, penyelesaian di tingkat masyarakat mirip proses kesepakatan seperti dalam hukum keperdataan. Dasarnya adalah kesukarelaan masing-masing pihak untuk menjalankan apa yang diputuskan. Ia tidak bersifat publik. Dan meski dalam mekanismenya adakalanya seperti sebuah putusan hakim atau wasit, untuk pelaksanaannya tetap tidak mempunyai daya pemaksa. Artinya putusan dengan
26|41
derajat apapun: janji sepihak, kesepakatan, hasil musyawarah (permufakatan) atau putusan mekanisme penyelesaian informal tidak memiliki upaya paksa apapun. Dalam kasus Ratni misalnya, putusan yang telah dihasilkan di tingkat Dusun kemudian diperkuat di tingkat Desa sama sekali mentah, karena Udin memang tidak mau melaksanakan putusan dimaksud. Mengomentari tidak berhasilnya eksekusi putusan yang telah dihasilkannya, Keliang hanya bisa berkelit bahwa, “Cara apa
lagi? Kami sudah berembug baik-baik. Kami tidak punya cara lain untuk menekan pelaksanaan hasil putusan ini, selain menyerahkan perkaranya ke tingkat desa. Harapannya, bila diserahkan ke desa, ke tingkat yang mungkin diketahui masyarakat secara lebih luas, Udin akan punya pertimbangan untuk mau melaksanakan putusan tersebut.” Hakimuddin, tokoh masyarakat di Mataram bahkan menyatakan bahwa, “…putusan adat itu liar, kadang-kadang tidak masuk akal. Misalnya dalam kasus Anggeng, seorang ayah yang tidak setuju terhadap calon suami anaknya kok dipaksa oleh putusan adat untuk menerima?” Kalah Wibawa Di Depan Proses Hukum Formal Di dalam kasus H Anggeng, instansi hukum formal (putusan Pengadilan Negeri) menganulir sama sekali putusan mekanisme masyarakat adat. Pengadilan Negeri menyatakan tidak sah dan batal demi hukum keputusan adat Dusun Kapu. Di dalam kasus Ratni, Udin yang telah diputuskan membayar denda atas perbuatan ngiwatnya, semakin mendapat angin untuk tidak melaksanakan putusan denda yang telah dihasilkan di tingkat Dusun dan Desanya, karena merasa kasusnya telah ditangani oleh kepolisian. “Saya lebih memilih polisi, karena kalau di desa, saya
harus mengakui kesalahan sendiri. Padahal di kepolisian Ratni juga bisa dihukum. Bahkan menurut polisi, bilamana istri Udin mengajukan keberatan, Ratni akan terkena sanksi lebih berat lagi!”
Saat ini Udin merasa tidak perlu lagi menuruti putusan di tingkat informal, karena polisi sendiri sudah mengurusnya. Dia telah ditahan selama tujuh hari, diperiksa dan sekarang dibebankan wajib lapor dua kali seminggu. Menurutnya itu sudah merupakan putusan bagi perbuatannya sementara ini. Memang polisi menyarankannya untuk menyelesaikan secara kekeluargaan terlebih dahulu, tapi Udin bersikukuh, “…bilamana ujung-ujungnya saya harus membayar denda, saya lebih baik dipenjara!” Dan polisipun, sebagaimana diyakini Udin, mengambangkan penyelesaian kasus tersebut, dengan mengatakan, “…bilamana suami Ratni menuntut, baru akan kami proses kembali.” Rawan Konflik Horizontal Pendekatan dalam proses penyelesaian sengketa informal bukanlah satu pendekatan yang ajeg dan terstruktur sebagaimana prosedur penanganan secara hukum formal. Semua tahap yang dilakukan pun, mulai dari penemuan masalah atau pengaduan/pelaporan, pemeriksaan dan pembuktian sampai berhasilnya diambil keputusan lebih bersifat volunteer daripada semacam tugas kedinasan. Oleh karena
27|41
itu bilamana semua faktor yang berkelindan di dalam proses penyelesaian ini tidak dikelola secara baik, maka rawan menimbulkan konflik antar anggota atau kelompok masyarakat. Sebagai contoh adalah intrik yang terjadi dalam penanganan kasus dugaan korupsi Kadus Benget, Desa Bentek. Kadus dibantu oleh keluarga dan beberapa centeng (orang yang dianggap jago berkelahi) melakukan intimidasi dan pengancaman kepada masyarakat, terutama anggota masyarakat yang mulanya mempersoalkan tentang dugaan korupsi yang dilakukan Kadus tersebut. Bahkan untuk memperbesar tekanan dan ancaman itu, Kadus melaporkan Ketua Majelis Krama Adat Desa Bentek kepada Polsek setempat dengan tuduhan melakukan fitnah dan pencemaran nama baik. Segala bentuk intimidasi dan ancaman ia lakukan. Meneror orang tua dari warga yang dianggap berani mempersoalkan kasusnya. Sampai mengeksploitasi ketakutan warga, dengan bekal surat panggilan sebagai saksi di kepolisian berkenaan dengan pemeriksaan laporan pencemaran nama baik/fitnah Ketua MKAD. Kadus menyuruh centengnya mengantarkan surat itu dengan ucapan, “Nih, surat panggilan dari polisi. Kamu bakal masuk penjara!” Melihat kerawanan demikian, sudah menjadi kepentingan bahwa masyarakat di samping berupaya menertibkan norma-norma beserta sanksi dalam mengatur dirinya sendiri, juga perlu diingatkan untuk mencoba juga menetapkan kesepakatankesepakatan tentang prosedur beberapa hal dan aktivitas yang berhubungan dengan proses penyelesaian di tingkat masyarakat itu sendiri. Semacam hukum formil dari penyelesaian sengketa alternatif di tingkat lingkungannya. Impoten Bagi Pemulihan Konflik Massif dan Heterogen Di lokasi tertentu di mana hukum adat dan ketaatan sudah tidak mengakar lagi, atau terjadi perbedaan rasa keadilan yang dianut para pihak, misalnya pihak satu masih memegang adat dan pihak lain tidak, maka model pendekatan informal masyarakat (adat) bahkan mekanisme hukum formal pun tidak bisa lagi menyelesaikan persoalan. Kondisi ini terjadi terutama di daerah transisi kota Mataram. Terdapat berbagai kasus yang tidak bisa dengan mudah diselesaikan dengan cara-cara lazim yang lama. Kasus-kasus dimaksud antara lain adalah konflik antar kampung/dusun, konflik yang melibatkan komunitas dengan agama yang berbeda, atau konflik antara masyarakat Sasak (masyarakat Lombok asli) dengan masyarakat pendatang. Sebagai contoh dibawah dapat dilihat satu studi kasus konflik antar kampung yang sampai saat ini belum tuntas diselesaikan. Berbagai pihak masih menyangsikan damainya kedua kampung dimaksud secara cukup permanen, yang gampang sekali kembali bentrok dengan pemicu yang remeh sekalipun.
Studi Kasus 4: Kampung Karang Geteng vs. Patemon Karang Geteng dan Patemon merupakan kampung (atau sering disebut juga lingkungan) yang bertetangga. Namun dipicu oleh adanya oknum-oknum tertentu dari kedua belah pihak menjadi perang berkepanjangan yang sampai saat ini belum terselesaikan secara tuntas.
28|41
Dari wawancara dengan Kepala Kampung Patemon serta Tuan Guru Misbawaih dari Karang Geteng dapat diketahui bahwa sebagai pemicu awal terjadinya konflik adalah adanya sertifikasi tanah makam yang terletak di antara Kampung Patemon dan Kampung Karang Geteng. Warga Kampung Karang Geteng merasa bahwa selama ini, areal pemakaman tersebut merupakan areal kampungnya. Oleh karenanya mereka tidak menerima ulah beberapa oknum Kampung Patemon, yang disebut oleh kedua belah warga sebagai ‘orang-orang pintar berpendidikan’, mensertifikatkan tanah pemakaman tersebut. Warga Karang Geteng kemudian menyerbu warga Kampung Patemon. Menurut tokoh-tokoh Kampung Patemon, sebenarnya masyarakat umum di Patemon tidak mengetahui secara persis apa yang menjadi permasalahan mengapa mereka sampai diserang oleh warga Karang Geteng. Ulah oknum-oknum Kampung Patemon yang mencoba mensertifikasi tanah pemakaman sebenarnya tidak diketahui juga oleh warga Patemon. Perlawanan warga Kampung Patemon atas penyerangan oleh warga Karang Geteng, menurut Kepala Kampung Patemon sebetulnya tidak ada sangkut pautnya lagi dengan masalah semula, yakni sertifikasi tanah pemakaman. Namun merupakan perlawanan refleks, karena daerahnya diserang. Sampai saat ini perang antara kedua dusun tersebut sudah berlangsung puluhan kali. Kedua belah pihak pun menegaskan kepada tim Justice, senantiasa siap siaga bilamana terjadi penyerangan dari pihak lawannya. “Sampai kapanpun kita akan melawan mereka,” greget Kepala Kampung Patemon, “Bahkan saya sudah perintahkan kepada laki-laki di atas 16 tahun sampai
50 tahun untuk harus selalu siap sedia berperang melawan Kampung Karang Geteng, … bilamana tidak bersedia lebih baik tidak menjadi warga Kampung Patemon!”
Penduduk juga berinisiatif memperlengkapi pertahanannya dengan membeli batubatu atau botol-botol bekas, tombak dan panah, bahkan sampai membeli senjata api rakitan. “Kalau sudah ada isyarat akan terjadi penyerangan,” runut Kepala Kampung Patemon, yang di-iya-kan Ketua Pemuda Kampung Patemon, ”…kami memesan batu atau botol beberapa truk untuk menyerang dan bertahan.” Dari kedua belah pihak juga mengaku bahwa telah banyak korban jiwa di antara mereka. Dalam hal inipun mereka sudah tidak lagi memperdulikan masalah pengusutan oleh pihak yang berwajib, yakni kepolisian, misalnya untuk melaporkan korban dan melakukan visum. “Kami sudah kecewa dari awal, dan sudah tidak mempercayai aparat keamanan.” Kata Kepala Kampung Patemon. Semua upaya aparat keamanan dan beberapa inisiatif lain dari pemerintah juga dianggap tidak ada artinya oleh kedua belah pihak. “Coba perhatikan saja, melerai pertikaian antar warga, kok yang dilakukan pemerintah malah membuat benteng,” kata Misbawaih, Tuan Guru di Karang Geteng, “…apa menurut pemerintah konflik ini sekedar
masalah fisik? Tentunya kan yang harus dilakukan adalah pembenahan secara sosial kemasyarakatan.” Dan memang saat ini kedua belah kampung dipisahkan oleh benteng sekitar 3 meter di masing-masing jalan yang menghadapkan kedua kampung tersebut. Dan dipojok jalan dibuatkan pos polisi khusus untuk menjaga keamanan kedua kampung.
29|41
Konflik menjadi berkepanjangan, menurut Kepala Kampung Patemon adalah karena aparat keamanan tidak sedari mula mencari akar permasalahan, yang sebetulnya sangat jelas. Oknum-oknum Kampung Karang Geteng yang menjadi pelaku ide pensertifikatan pun telah dilaporkan dan diketahui identitas dan keberadaannya. “Kalau saja semenjak saat itu, polisi menangkap dan memeriksa para pelaku, kemudian memprosesnya secara hukum,” tambah Kepala Kampung Patemon, “…mungkin konflik Karang Geteng – Patemon ini tidak akan berkepanjangan seperti ini.” Saat ini dari kedua belah pihak merasa bahwa konflik itu telah menjadi dendam turun temurun, mengingat telah banyaknya jatuh korban jiwa dari kedua belah pihak. “Urut-urutan dendamnya sudah tidak bisa didamaikan lagi,” tegas Kepala Kampung Patemon. Begitu juga dari pihak Kampung Karang Geteng. “Yang
penduduk tahu, bahwa ada anggota keluarga mereka yang telah dibunuh si anu atau si anu,” sahut Misbawaih, salah satu Tuan Guru di Kampung Karang Geteng, “…yang tinggalnya di Kampung Patemon.”
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, sebenarnya pemerintah (mulai dari pemerintahan kelurahan, bahkan sampai pemerintahan propinsi) telah mengupayakan berbagai hal untuk mendamaikan konflik Karang Geteng – Patemon ini. Namun sebagaimana dikemukakan responden dari kedua belah pihak, warga belum merasa ada upaya pemerintah atau aparat keamanan yang mencukupi serta memuaskan. “Yang dibangun hanya prasarana fisik saja,” menurut Misbawaih, “Yang kesannya bahkan lebih memisahkan kedua dusun.” Memang seperti juga diakui oleh Tokon Pemuda Kampung Patemon, “…berkah dari adanya konflik ini adalah adanya
beberapa fasilitas baru di Kampung Patemon, yang sebelumnya sepertinya tidak pernah dipikirkan, seperti adanya sekolah dasar, puskesmas, dan lain-lain. Sekarang warga Kampung Patemon tidak perlu pergi ke kampung lain untuk menyekolahkan anaknya atau memeriksakan kesehatannya.”
Konflik tampaknya agak surut, menurut pengakuan Kepala Kampung Patemon, karena konflik tersebut ternyata membawa pengaruh yang sangat besar terhadap merosotnya perekonomian warga kedua dusun, terutama warga Patemon. Hal ini mengingat memang rata-rata penduduk warga Patemon lebih melarat dibanding dengan warga Kampung Karang Geteng, yang rata-rata merupakan pedagang sukses. “Masyarakat mungkin mulai berfikir,“ kata Kepala Kampung Patemon, “Yang semula
perputaran roda bisnis sekitar Rp 35 juta perhari, menjadi sampai Rp 100 ribu pun tidak dapat. Konflik ini tidak lebih hanya mengorbankan segalanya sampai nyawa…”
Perdamaian atas konflik Karang Geteng – Patemon juga pernah difasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat setempat, yakni REDHAM. Namun fasilitasi ini juga terbatas hanya menyentuh pihak per pihak tanpa dihadapkan atau dipertemukan. Fasilitasi yang digagas, yang sering disebut oleh Prima Wira Putera, salah satu aktivis REDHAM, dengan istilah reconciliation by function, lebih mengarah pada pengalih-perhatian bagi kedua belah pihak dari tindakan-tindakan yang memperkeruh konflik menjadi isu-isu pemberdayaan ekonomi, seperti misalnya pembinaan kelompok pengrajin. Sedangkan untuk mempertemukan warga Karang Geteng dengan Patemon dalam satu meja perundingan, menurut beberapa pihak, masih belum saatnya.
30|41
B. Formalisasi: Perlu atau Tidak? Sebagaimana telah dikemukakan di muka, tokoh serta mekanisme penyelesaian sengketa alternatif yang tersedia dan diakses oleh masyarakat Lombok relatif homogen, yang erat berkaitan dengan aparat pemerintahan di desa dan di bawahnya (Kepala Desa, Keliang, Ketua Banjar/RT/RW). Aparat demikian berfungsi dan memfungsikan diri sebagai pemimpin dari upaya penyelesaian (negosiator, konsiliator, mediator dan arbiter) dengan melibatkan pihak lain yang secara adat dan kemasyarakatan diterima sebagai atau mewakili wilayah adat dan agama. Sehingga representasi wet tu telu, yang secara singkat berarti kepemimpinan tiga otoritas: pemerintah, adat dan agama terwakili dalam mekanisme yang bersangkutan. Dari beberapa studi kasus yang telah berhasil didekati, mereka-mereka itulah yang menjadi pihak atau instansi pertama yang diakses oleh masyarakat ketika menjadi ‘korban’ atau ‘bermasalah’. Perbedaannya kemudian terletak dalam masalah formalisasi prinsip wet tu telu dalam struktur pemerintahan desa dan di bawahnya. Sebagaimana diteliti, desa-desa yang tergabung dalam Perekat Ombara, yang saat ini sudah mencapai 29 desa, ada yang telah dan sedang mempersiapkan formalisasi lembaga peradilan (mediasi/penyelesai sengketa) di tingkat desa. Sedangkan di desadesa lain di luar itu mengakomodasi gagasan dilibatkannya otoritas adat dan agama dalam upaya penyelesaian sengketa namun tidak memformalkannya menjadi perangkat formal desa. Jadi otoritas agama dan adat di desa dilibatkan secara insidental ketika terjadi kasus. Terhadap isu formalisasi mekanisme penyelesai sengketa alternatif di desa ini di lapangan mendapatkan tanggapan sebagai berikut:
Sarbini Azhari, Kades Banyumulek, Kec. Kediri, Kab. Lombar (Paer Selatan): “…menurut kami belum ada kepentingan mendesak untuk memformalkan lembaga penyelesaian sengketa alternatif di tingkat desa, karena kami merasa secara informal masih bisa menangani persoalan yang ada. Kalaupun harus ada, karena tentunya berhubungan dengan administrasi pemerintahan, harus diatur terlebih dahulu oleh pemerintah daerah, sehingga legal dan mendapatkan dukungan teknis serta pendanaan….” Sehubungan dengan peran Kepala Desa sebagai pemimpin yang juga mempunyai kewenangan sebagai mediator/penyelesai sengketa di wilayah desanya, Sarbini menyatakan bahwa, “Sebetulnya di tingkat desa sudah diformalkan bahwa Kades sebagai hakim desa dan sekretaris desa sebagai panitera. Kalau untuk memformalkan yang lain, misalnya tokoh adat atau agama, budgeting menjadi problem.., tapi kalau ada kasus mereka semua dilibatkan kok!”
Bhakti, Kabag Otonomi dan Pemerintahan Desa Kab. Lombar: “Masalah inisiatif mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di desa, apa itu berupa formalisasi atau tidak, sebetulnya berpulang kepada masyarakat itu sendiri. Arti dari desa itu sendiri, ditambah pengertian otonomi desa adalah memiliki hak dan kepentingan untuk mengurus berdasarkan aspirasi masyarakat. BPD sebagai badan legislasi di tingkat desa menjadi sangat penting fungsinya. Dan tidak ada halangan
31|41
secara peraturan bagi desa untuk membentuk lembaga lain di luar yang kami atur. Pemda sendiri belum mematok target, hanya memberi pedoman-pedoman. Sepengetahuan kami Kecamatan Tanjung (kecamatan tempat desa-desa anggota Perekat Ombara berada, penulis) sudah melakukan inisiatif menghidupkan kembali adat di desa-desanya. Tapi ini belum merata di semua wilayah Kabupaten Lombar, karena kami punya 15 kecamatan, 120 desa definitif dan 1 desa persiapan.”
Mulyadi, Kabag Hukum Kab. Lombar: “Kalau tidak diformalkan, kapan dan dimana kita bisa mencari keadilan? Lembaga harus stand-by kan?” Namun menurutnya, secara institusional pemerintah daerah Lombok Barat belum spesifik menangani perkembangan berkenaan dengan mekanisme penyelesaian sengketa informal, berkenaan dengan kondisi: (i) aparat pemerintah dan DPRD masih terfokus pada pembenahan dirinya sendiri, mengingat Kabupaten Lombar merupakan kabupaten pemekaran, yang baru berkonsentrasi pada pembenahan dan pengadaan infrastruktur pemerintahan yang baru, sehingga ini hanya masalah prioritas bukan berarti pemerintah mengabaikan perkembangan yang ada; dan (ii) baru bisa membantu terutama dalam pengenaan prinsip-prinsip pembuatan aturan di desa-desa dengan menerbitkan Perda tentang Pembuatan Peraturan Desa, yang menurutnya telah diadopsi masyarakat sebagai pedoman dalam penetapan awig-awig adat menjadi peraturan desa. Mulyadi sendiri menyebutkan, bahwa sebetulnya alternatif lain juga harus dikembangkan, misalnya sebagai transisi formalisasi baik secara kelembagaan maupun putusan lembaga penyelesaian sengketa informal dengan adanya aturan nasional, “…misalnya MA mengatur cara memformalisasi keputusan-keputusan
lembaga informal oleh lembaga formal hukum (legalisasi Pengadilan Negeri, penulis).”;
Kamardi, Kades Bentek, Kec. Gangga, Kab. Lombar (Paer Utara): “Desa Bentek, dan desa-desa lain yang bergabung dalam Perekat Ombara merasa perlu memformalkan lembaga yudikatif di tingkat desa. Disamping fungsinya yang positif di masyarakat, juga secara legal, Kepala Desa sebagaimana ditetapkan Undang-undang Otonomi Daerah (Pasal 101e UU No. 22/99, penulis) wajib dan berwenang menyelesaikan permasalahan atau sengketa di wilayah pemerintahannya. Dan ditambahkan dalam penjelasan aturan itu, bahwa dalam melaksanakan kewenangan tersebut dapat memberdayakan lembaga adat setempat. Jadi dengan pembentukan secara formal Mahkamah Adat Desa yang menjadi salah satu bagian dari aparat pemerintahan desa, kami bukan sedang melakukan percobaan yang mengada-ada. Dan ini pembelajaran berharga bagi masyarakat, karena bermasyarakat juga tidak lepas dari konflik, yang juga harus ada saluran untuk penyelesaiannya. Dan ini pun hanya sebuah bentuk penerimaan pemerintahan terhadap kondisi masyarakat yang sebenarnya, yang kebetulan di masyarakat kita (Sasak - Lombok, penulis) memerlukan kesatuan kekuasaan pemerintahan, adat dan agama. Yang sebetulnya juga tidak terbatas dalam masalah yang berhubungan dengan hukum, misalnya yang bersifat repressif, melainkan seluruh aspek kepentingan masyarakat…”
32|41
Melihat respon-respon di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi penolakan bagi adanya formalisasi mekanisme penyelesaian sengketa alternatif. Kondisi tidak dijadikannya menjadi perangkat desa, lebih sebagai cara untuk tidak dianggap menyalahi tata administratif pemerintahan desa yang telah diatur Perda, serta berkenaan dengan persoalan dana. Juga fakta adanya homogenitas person atau pihak yang diakses masyarakat di desa-desa di Lombok sebenarnya bisa dijadikan dasar bagi eksperimentasi dan inisiasi kebijakan yang lebih luas berkenaan dengan gagasan pengembangan lembaga peradilan (penyelesaian sengketa alternatif) di tingkat desa, misalnya di tingkat pemerintahan daerah kabupaten, bahkan propinsi. Di desa-desa di Lombar (Paer Utara), yang bergabung dalam Perekat Ombara, yang secara grassroot telah memformalisasi lembaga peradilan alternatif di tingkat desa memang terdapat tuntutan pengakuan pemerintah. Pertama, bersifat administratif, sehingga putusan lembaga tersebut tidak dianggap liar dan mendapat dukungan terutama budgeting. Dan kedua, yang bersifat ideal spekulatif, dimana pengakuan negara diharapkan memperkuat legitimasi dan kewibawaan lembaga peradilan yang bersangkutan, sehingga lebih efektif dalam memutus dan mempunyai landasan kuat dalam penegakan putusan.
C. Harmonisasi Ruang Lingkup Formal – Informal Di beberapa kasus terjadi interaksi antara mekanisme informal dengan sistem hukum formal. Berdasarkan wawancara dengan Kades Banyumulek dan Kapolsek Kediri (di mana Desa Banyumulek berada), bahkan interaksi tersebut relatif menjadi kebiasaan, terutama untuk perkara-perkara dalam lingkup satu desa dan bukan pidana berat. Polsek Kediri sebagai shock terapy memang tidak pernah menolak laporan atau pengaduan dari masyarakat, namun setelah pemeriksaan pendahuluan biasanya menyerahkan terlebih dahulu penyelesaian kasusnya kepada Kades setempat. Kades Banyumulek sendiri, menurut pengakuannya, karena permintaan keluarga pihak-pihak yang berperkara bahkan pernah berinisiatif mengambil alih penyelesaian kasus dari Polsek Kediri. Dan Polsek Kediri tanpa keberatan memberi peluang penyelesaian itu di desa. “Tapi saya juga berpegang pada kebiasaan, bahwa
kasus seperti itu oleh polisi biasanya dikembalikan kepada desa. Kalau mengambil alih secara sembrono, saya juga khawatir dianggap mengambil alih otoritas lembaga lain, apalagi Polsek itu kan kedudukannya lebih tinggi karena sejajar dengan pemerintahan kecamatan.” Lanjut Sarbini Azhari (Kades Banyumulek) meluruskan posisi bahwa permintaannya kepada polisi bukan sesuatu yang sering terjadi.
Dari wawancara dengan keduanya pun bisa disimpulkan bahwa adanya interaksi positif, di mana terjadi informasi dan pengalihan upaya penyelesaian perkara dari kepolisian kepada aparat desa masih sebatas kesepahaman yang tidak berdasar legal formal dan tanpa ikatan apa-apa. Dari pihak polisi merasa bahwa sudah saatnya sekarang masyarakat sendiri, yang diwakili oleh pemerintah desanya, ikut dalam proses pengamanan lingkungannya. Sehingga kasus-kasus yang tidak berdampak luas dan kemungkinan bisa diselesaikan di tingkat masyarakat diselesaikan oleh mereka sendiri. Dan kepala lingkungan, baik RT/RW, Kepala Dusun atau Kepala Desa merasa yakin bilamana diberi kesempatan terlebih dahulu untuk
33|41
menyelesaikan kasus yang terjadi di wilayah pemerintahannya, mereka sanggup menyelesaikan. Namun mengamati fakta di Studi Kasus (Kasus 1), tidak adanya interaksi antara proses yang terjadi di tingkat masyarakat (Dusun dan Desa) dengan aparat kepolisian, sehingga terkesan sebagai dua proses yang saling lepas, menyebabkan keadilan yang dituntut oleh pihak yang merasa jadi korban menjadi terabaikan.
D. Posisi Perempuan
“Perempuan dalam kacamata adat adalah pembawa hukum...” Kamardi & Putrawadi, Kades & Anggota BPD Bentek, Lombok Barat Secara konseptual, sebagaimana diungkapkan beberapa tokoh masyarakat Lombok, dengan kalimat sebagaimana dijelaskan di atas, kedudukan perempuan dipersepsi sangat tinggi. Perempuanlah yang menjadi rasio keberadaan hukum adat, karena hukum adat diciptakan salah satunya untuk menjaga kesucian perempuan. Kedudukan perempuan sama persis seperti kelestarian alam semesta sebagai tujuan dibuatnya hukum adat di bidang lingkungan. Jadi perempuan dalam cara berpikir adat NTB, merupakan salah satu obyek yang ‘dijaga’ hukum adat. Dengan konsep yang relatif mengobyektifikasi perempuan demikian, maka menjadi sahlah praktek-praktek yang menjadikan peran perempuan sangat pasif, baik dalam partisipasi maupun proses penyelesaian sengketa alternatif. Berkenaan dengan aktor penyelesaian sengketa, peran perempuan sangat minim. Dari kunjungan lapangan, hanya menemukan satu di antara sekian banyak responden yang mempunyai peran sebagai aktor, yakni satu di antara dua kades perempuan di Lombok. Selain Baiq Mulyati, kades perempuan tersebut, yang menjadi kades di Desa Saba, Lombok Tengah, mulai dari ketua RT/RW, Kadus, Kades, Pemuka Agama atau Mangku Adat didominasi laki-laki. Perhatian terhadap jabatan pemerintahan di tingkat desa ini menjadi sangat berarti di NTB, mengingat lekatnya (paralel) antara forum penyelesaian sengketa dengan struktur dan jabatan tersebut. Kepala lingkungan merupakan puncak dari otoritas penyelesaian sengketa di tingkat masyarakat. Dengan kelangkaan demikian, sudah tentu sangat berpengaruh terhadap tiadanya ‘suara perempuan’ dalam dinamika pengembangan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif, baik berkenaan dengan representasi perempuan itu sendiri dalam kelembagaan penyelesaian sengketa alternatif maupun konsern penguatan peran dan status perempuan dalam mekanisme di tingkat masyarakat. Dominasi laki-laki dengan berbagai alasannya nyata tidak dapat diharapkan komitmen serta perjuangannya guna melakukan penguatan-penguatan berkenaan dengan isu perempuan. Sebagai contoh ungkapan beberapa pemerhati/aktivis di bidang penguatan akses terhadap keadilan masih meminggirkan isu perempuan dalam advokasi dan kegiatannya dengan dalih, “...memunculkan isu penyelesaian sengketa informal saja sebagai sebuah cara baru mengakses keadilan masih merupakan pinggiran, apalagi isu perempuan dalam penyelesaian adat.”
34|41
Konsekuensi lebih lanjut dari perspektif bahwa perempuan sebagai pembawa hukum, sebagaimana dapat dilihat di studi kasus dan wawancara dengan para aktivis perempuan, tim Justice mencatat adanya problem berkenaan dengan hak serta akses perempuan terhadap proses keadilan di tingkat masyarakat. Bagi perempuan, mekanisme penyelesaian sengketa alternatif juga merupakan ruang ketidak-adilan lainnya. Disamping tidak adanya aktor penyelesai sengketa perempuan sebagaimana disebutkan di muka, bermula dari norma-norma adat, proses, putusan sampai penegakan penyelesaian sengketa alternatif dianggap masih tidak menguntungkan perempuan. Hak-hak serta keadilan bagi perempuan yang berhubungan dengan permasalahan dalam perceraian, pembagian gono-gini, kekerasan dalam rumah tangga, percabulan, perkosaan dan perzinahan masih luput menjadi milik perempuan. Dalam pembagian harta misalnya, sebagaimana pantauan Pendamping Lapangan program PEKKA (Proyek Penguatan Perempuan Kepala Keluarga), perempuan tidak diberi hak atas harta perkawinan. “Sudah mendapatkan bantal dan guling saja sudah untung!” kutipnya. Sebenarnya tidak hanya dalam pembagian harta perkawinan saja, dalam pewarisan pun jarang diberi bagian yang memadai. Bagian yang tak memadai itupun harus dengan tuntutan terlebih dahulu. Contoh konkrit lain, berkenaan dengan posisi perempuan dalam proses resolusi, kerap pengakuan serta pemulihan terhadap perempuan sebagai korban dibaikan, kalah atas nama keharmonisan atau dibekap oleh kesepakatan yang dibuat orang tua atau keluarganya, bahkan harus menerima bentuk ketidak-adilan lanjutan karena harus menerima apapun putusan yang dijatuhkan mekanisme penyelesaian informal yang bersangkutan. Menurut pengamatan LBH-APIK Lombok, bahkan berkenaan dengan sensitivitas jender, mekanisme penyelesaian sengketa alternatif masih dipandang lebih rendah dibanding proses formal. Hal ini dengan bukti seringnya kepolisian diakses pertama kali oleh perempuan bila mengalami kasus-kasus tersebut. Memang di NTB dari segi pendekatan terhadap forum atau aktor penyelesaian sengketa informal yang tersedia, perempuan cukup mempunyai akses. Dan sifatnya bisa langsung, artinya tidak memerlukan perantaraan pihak tertentu. Saat ini juga ada perkembangan menarik dengan diangkatnya awig-awig kawin cerai menjadi peraturan desa (Perdes) di beberapa desa di Lombok Timur. Di sana terdapat ketentuan sekurang-kurangnya perceraian harus melalui persidangan di tingkat desa. Sebelumnya perceraian bisa diistilahkan selesai di mulut sang suami (talak); bila menghendaki perceraian, suami tinggal mengatakannya saja kepada istri. Lagipula, di dalam Perdes itu juga diatur mengenai berhaknya perempuan mendapatkan harta gono-gini (harta milik bersama selama perkawinan) sebanyak setengah bagian laki-laki. Namun perkembangan positif inipun tidak lepasa dari kritik mengingat apa yang semula diperuntukkan bagi perlindungan terhadap perempuan tersebut masih dikeluhkan tidak menyentuh permasalahan sesungguhnya yang dihadapi perempuan. Sebagai contoh misalnya: mahalnya biaya perceraian, yang semula dimaksudkan agar tidak terjadi suami menceraikan istrinya secara semena-mena, menjadi bumerang
35|41
bagi perempuan karena malahan menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak menentu, dicerai tidak tapi diberi hak sebagai istri pun tidak.
Bagian 6: Rekomendasi Secara umum, dinamika pemunculan atau penguatan penyelesaian sengketa di tingkat masyarakat di NTB menarik dan mempunyai kekhasan dibandingkan dengan kondisi di lokasi lain obyek studi Village Judicial Autonomy. Di tingkat politik lokal, isu pengembangan penyelesaian alternatif relatif tidak menimbulkan pro-kontra yang mengganggu karena dinamika ini tidak memunculkan otoritas tandingan bagi pemerintah sampai ke tingkat yang paling bawah sekalipun, mengingat kepala lingkungan juga merupakan aktor dari mekanisme penyelesaian sengketa alternatif. Bahkan merupakan pimpinan di antara otoritas lain, yakni agama dan adat sebagai sebuah kesatuan yang secara tradisi telah diterima masyarakat (wet tu telu). Memang kalau memandangnya dari perspektif keseragaman serta keinginan untuk memudahkan administrasi kelembagaan, dinamika di NTB ini masih menyisakan pekerjaan rumah besar berupa perlu tidaknya formalisasi mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di tingkat pemerintahan desa serta di bawahnya. Fakta saat ini mengungkapkan adanya upaya formalisasi di sebagian masyarakat dan sebagian lain tidak. Namun kecenderungan yang ada, menurut tim Justice lebih ke arah formalisasi, karena bagian masyarakat yang tidak memformalisasi mekanisme penyelesaian sengketa dimaksud lebih dipengaruhi hitung-hitungan berkenaan dengan ketiadaan budget serta kepatuhan administrasi di tingkat pemerintahan daerah. Mengenai isunya sendiri tidak ada yang memandang percuma atau menilai mengada-ada, bahkan dengan dilakukannya formalisasi dianggap mekanisme penyelesaian sengketa di tingkat masyarakat bisa lebih berwibawa, legitimate dan putusannya bisa diakui dan diterima masyarakat. Oleh karena itu rekomendasi dalam tahap tersebut adalah diupayakannya konsensus di antara semua pihak berkepentingan, termasuk pemerintah daerah untuk mengkaji secara lebih mendalam perlu tidaknya formalisasi. Sejalan dengannya perlu dilakukan upaya penguatan berkenaan dengan pengembangan prinsip, prosedur dan penegakan putusan, serta kapasitas personal dan kelembagaan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif dengan mengarahkannya dengan prinsip resolusi yang efektif seperti juga telah disinggung dalam pembicaraan Kasus 3: Individu Melawan Masyarakat Adat, yakni: o
Tidak diskriminatif;
o
Sanksi yang tidak melanggar hak asasi manusia;
o
Tidak mengabaikan prinsip dasar keadilan, seperti hak untuk mendengar dan didengar serta tersedianya hak banding; dan
o
Adanya penerimaan masyarakat.
Khusus untuk kepentingan perempuan, perlu berbagai inisiatif pengembangan sensitivitas jender dalam penguatan mekanisme penyelesaian alternatif, sebagaimana juga dipersyaratkan dalam mekanisme formal hukum.
36|41
Apa yang masih merupakan problem sebagaimana disebutkan di atas, dalam lokakarya lanjutan di tanggal 26-28 April 2005 telah dicoba-tanggapi dengan disepakatinya model serta strategi bagaimana penguatan penyelesaian sengketa alternatif bisa memuaskan berbagai pihak, mendapatkan kepercayaan masyarakat dan dapat diakui oleh negara (Lihat Lampiran I). Kesepakatan yang telah dihasilkan di lokakarya tersebut memang masih merupakan rumusan garis besar yang masih memerlukan agenda lanjutan dan urutan prioritasnya untuk direalisasikan ke depan. Namun yang paling penting dari proses pencarian peluang penguatan PSA ini adalah telah disepakatinya berbagai agenda dan adanya komitmen untuk menindaklanjutinya secara konkrit dalam kerja-kerja penguatan mekanisme PSA yang prinsipprinsipnya telah disepakati tersebut.
37|41
GLOSARIUM
Awig-awig
:
Kaedah/norma yang disepakati sebagai aturan bertingkah laku
Banjar
:
RT/RW
Keliang
:
Kepala/Ketua
Kepala Banjar
:
Ketua RT/RW
MKAD
:
Majelis Krama Adat Desa, nama yang dipakai di Desa Bentek untuk menyebut Badan Perwakilan Desa (BPD)
Ngiwat
:
Melarikan perempuan yang masih bersuami
Pemusung
:
Kepala Desa
Pemusungan
:
Nama adat untuk pemerintahan desa
Tuan Guru
:
Pemuka Agama (Kyai, Jawa), biasanya berprofesi sebagai seorang guru pengelola pesantren
Uang Bolong
:
Sebutan untuk uang jaman kolonial, yang dipakai sebagai mata uang dalam perhitungan sanksi hukum adat
38|41
Lampiran I KESEPAKATAN AKHIR LOKAKARYA MODEL & STRATEGI KEBERDAYAAN PSA YANG DISEPAKATI MULTI PIHAK PEMANGKU KEPENTINGAN, DIPERCAYA MASYARAKAT SERTA DIAKUI NEGARA
No.
Item
Hasil Rumusan
1
Nama Lembaga PSA
Krame Desa (variasi pendekatan penyelesaian sengketa dapat beragam, adat, agama, mistis, dll)
2
Status Lembaga
Permanen Legal: Lembaga diakui oleh negara, bersifat independen tidak masuk dalam struktur Negara
3
Sifat Putusan
Informal: Didasarkan atas norma hukum yang dianut/disepakati oleh masyarakat setempat.
4
Kapasitas Penyelesaian Sengketa
5
Content/Pedoman Operasional
6
Institutional Building
Tindak Pidana Ringan ( TIPIRING) Perdata Sengketa Adat Pelanggaran terhadap hak-hak anak KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) Sengketa Lingkungan/ kelangsungan hidup Syareah, Kotaragama, Awig-awig, perdes ,perda, nilai kepatutan dan keadilan yang berlaku secara universal, pedoman perasional ini perlu digali, diinventarisir, dikembangkan oleh krame desa Nama: Krame DESA Tujuan: Memberikan pelayanan atas keadilan di masyarakat (Mudah, murah, singkat, memuaskan) Struktur: Dibentuk berdasarkan budaya dan kondisi setempat Mekanisme: disesuaikan dengan peran-peran personalia dalam struktur Jenjang: Musyawarah Keluarga – Krame Gubug – Krame Desa – {Paer/Rat} (Krame Desa Sebagai jenjang tertinggi pengambil keputusan dalam PSA- yang jika diperlukan dapat meminta pertimbangan pada Paer/Rat sebagai forum Krame desa, jika para pihak yang bersengketa tidak puas atas putusan Krame desa, dapat ditindaklanjutkan ke proses hukum formal) Personalia o tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh perempuan, tokoh pemuda) o kriteria: Sensitif Jender Landasan oprasional o awig-awig (MKD) o perdes (pemdes) o Perda (DPRD) Program o peningkatan kwlitas SDM pelaku PSA
39|41
No.
Item
Hasil Rumusan o Peningkatan kesadaran hukum masyarat o Peningkatan kwalitas kelembagaan o Jaringan Pola hubungan o kemitraan dengan eksekutif, yudikatif dan legislative o independent dalam pelaksanaan o informal dan egaliter o Terbuka (bekerja sama dengan lembaga yang memiliki misi yang sama)
7
Kendala
Pengakuan masyarakat Kapasitas SDM dan Lembaga Kejelasan dasar hokum Kredibilitas personalia Pengakuan Negara Dana, sarana dan prasarana
8
Dukungan Legislatif
Membuat regulasi/Perda yang mendorong terbentuknya Krame Desa Sosialisasi dan mediasi PSA adat di tengah masyarakat. Memperjuangkan usulan-usulan kebijakan anggaran untuk pengembangan Krame Desa Rekomendasi: Perlu dibentuknya TIM penyusunan Drafting Perda untuk di ajukan ke DPRD Ada pelatihan anggota parlemen mengenai PSA Membangun hubungan kelembagaan antara PSA dan Legislatif bersifat konsultatif.
9
Dukungan Yudikatif
PENGADILAN Memberikan pengakuan terhadap putusan PSA Melakukan pendampingan Pelatihan Informasi Perlindungan Rekomendasi: pengakuan legalitas dari MA bahwa keputusan krame desa dapat diakui pemahaman adat untuk jajaran aparatur di Yudikatif Pengkaderan PSA melalui pendekatan adat (khususnya untuk perempuan) KEPOLISIAN memberi dukungan moral dan perlindungan untuk terlaksananya proses hokum Krame Desa
10
Dukungan Eksekutif
Support penguatan kelembagaan untuk konsolidasi internal, capacity building
40|41
No.
Item
Hasil Rumusan Sosialisasi advokasi untuk mendapatan legitimasi komitmen untuk memperjuangkan legitimasi/keberpihakan Pendanaan di tingkat Desa
11
Dukungan Masyarakat
Berpartisipasi aktif dalam mendukung supremasi Lembaga Krame Desa Melakukan pengawasan pelaksanaan Krame Desa Memberikan kontribusi pembiayaan proses hokum secara swadaya.
12
Sumberdaya Lembaga
Kesejahteraan personalia di upayakan oleh pemerintah desa dari potensi yang dimilikinya Biaya Penanganan sengketa ditanggung para pihak sesuatu dengan kesepakatan yang berlaku di Desa
***
41|41