WAYANG SEBAGAI IDENTITAS DAN INSPIRASI SENI RUPA INDONESIA
Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Kebudayaan Jawa Semester II Pengampu : Drs. Soepardjo, M.Hum.
Oleh:
DESY NURCAHYANTI S 7007003
PASCASARJANA PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
WAYANG SEBAGAI IDENTITAS DAN INSPIRASI SENI RUPA INDONESIA A. PENDAHULUAN Negara-negara
di
seluruh
dunia
secara
naluriah
ingin
diakui
keunggulannya. Kehebatan pada satu bidang tertentu atau menguasai hampir semua potensi yang harus dimiliki sebuah negara. Lima negara pemegang hak feto, yakni Perancis, China, Amerika Serikat, Rusia, dan Inggris terkenal unggul dalam hal persenjataan. Dibalik perang-perang dan permasalahan keamanan yang terjadi pada beberapa negara-negara bertikai, dapat dipastikan lima negara tersebut terlibat. Dalam permasalahan moneter, mereka berperan vital dengan sistem mata uang yang menjadi patokan roda perekonomian dunia. Indonesia menjadi negara yang terkena dampak ulah negara-negara besar penguasa perekonomian dan persenjataan, ketika mereka melakukan manuver untuk menunjukkan kelebihan masing-masing. Satu hal keunggulan Indonesia yang mampu menyejajarkannya dengan negara-negara lain, yakni budaya. Budaya Indonesia yang plural, merupakan warisan berharga pendahulu untuk bekal sosialisasi dengan budaya-budaya lain di dunia. Budaya tersebut mengalami pergeseran dan penyesuaian baik adaptasi, asimilasi, maupun akulturasi, sehingga menjadi beragam. Masing-masing negara mempunyai budaya ---lebih tepatnya seni --- yang diunggulkan, dan diakui oleh hampir seluruh warga dunia, misalnya Kimono, Ikebana, Samurai diidentikan dengan Jepang; Tari Samba adalah Brazil; Piramid adalah Mesir; Menara Eiffel adalah Perancis; dan Kuil Aztec (Suku Indian Inca) adalah Peru1; sedangkan untuk Indonesia diidentikkan dengan Kain Batik, Wayang Kulit, dan Borobudur 2.
1
2
Tiga negara terakhir yang dimaksudkan, identik dengan seni arsitekturnya (bangunan). Mesir dan Peru merupakan bangsa dengan peradaban kuno dengan hasil budaya megah dan bernilai tinggi. Borobudur tidak dikategorikan sebagai tujuh keajaiban dunia oleh suatu lembaga pengaktegorian benda-benda bersejarah Amerika Serikat, karena didasari oleh kepentingan politis.; meskipun demikian tetap mendapat perhatian dan bantuan dana untuk pemeliharaan dari PBB, serta menjadi tujuan wisata di Indonesia.
1
Dari hasil seni identik dengan Indonesia yang disebutkan, wayang kulit --lebih tepatnya wayang secara umum--- merupakan hasil seni (budaya) menarik untuk ditelaah dan diurai. Uraian tersebut berkaitan dengan perannya sebagai inspirasi seniman-seniman Indonesia dalam berkarya, terupa bidang seni rupa untuk diambil esensi simbolisnya maupun divisualisasikan dalam bentuk lain, disamping bentuk Wayang Kulit sebagai benda pendukung seni pertunjukkan (seni sungging atau seni tatah atau kriya kulit) dan isi cerita atau lakon serta karakter tokoh-tokohnya, yang mampu menginspirasi masyarakat (terutama Jawa) dalam bersikap. Berbagai tulisan telah dihasilkan oleh budayawan serta pemerhati seni tentang wayang. Dari tulisan-tulisan tersebut akan diungkap sedikit ulasan bahwa ketertarikan pada wayang merupakan upaya untuk mempertegas identitas dan inspirasi bangsa Indonesia.
B. LANDASAN TEORI 1. Seni Rupa Indonesia Saat Ini Seni rupa modern Indonesia pada umumnya dipengaruhi barat, dan ada yang meninggalkan tradisi. Tidak mengherankan bila seni rupa modern Indonesia saat ini kehilangan identitas (tradisi) daerah, serta belum menemukan identitas nasional Indonesia. Para ahli barat menyebut bahwa seni modern Indonesia --terutama seni rupa--- hanya variasi dari seni barat, dan disebut kehilangan identitas. Tiap zaman memiliki ungkapan tersendiri. Untuk saat ini, ungkapan yang tepat untuk seni rupa di Indonesia adalah “sebagian seni rupa tradisi telah mati”, karena kehilangan masyarakat pendukungnya. Sebagian “seni” tersebut masuk dalam kategori “hidup segan mati tak mau” atau dilematis meskipun diupayakan pelestariannya, karena masyarakat pendukungnya berkurang. Seni (rupa) tradisi mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi sekarang. Dalam upaya tersebut terjadi ketidakseimbangan karena lebih banyak pengaruh kaidah Barat (yang masuk) daripada unsur tradisi bertahan.
2
Pada masa lalu Indonesia dikenal sebagai bangsa yang mampu mengolah berbagai pengaruh budaya dari luar sehingga tinggi muatan lokalnya, serta membawa pengaruh perkembangan budaya tanpa kehilangan jati diri. Yang terjadi sekarang adalah sebaliknya. Bangsa Indonesia seakan-akan kehilangan dinding pelindung seni rupa tradisinya (pada akhirnya berkembang menjadi seni rupa modern). Seni budaya yang masuk diterjemahkan masyarakat secara mentah, tanpa penyaring, sehingga menutup peran seni rupa tradisi. Seni rupa modern yang berkembang, dapat dikatakan telah ke luar akar tradisi. Dahulu asimilasi, akulturasi dan sebagainya dimungkinkan, karena bangsa Indonesia mengenal secara baik tradisinya, sedangkan di saat ini dihadapkan pada hiruk pikuk modernisasi, yang membawa bangsa Indonesia semakin „menjauh‟ dari seni (rupa) tradisinya. Hal tersebut dapat diatasi dengan menggali salah satu potensi seni rupa yang dapat dijadikan identitas bangsa (meskipun tidak secara untuh, mengingat pluralisme di Indonesia yang kental) (Tabrani, 2005:111). 2. Sekilas tentang Wayang dalam Seni Rupa Indonesia Indonesia memiliki karya seni rupa adiluhung wayang (kulit) Jawa Wayang menuntut seniman yang juga dalang mampu merambah lintas bidang. Seorang dalang harus mengerti musik; filosofi, karakter rupa wayang hingga seni pentas tradisional. Campuran seni rupa, pentas dan musik semacam ini semakin nyata dalam bentuk wayang beber. Pasalnya, kerap kali sang Dalang yang melukis sendiri kisah-kisah pentasnya di atas selembar kain. Tradisi di atas mulai terlupakan saat Indonesia memasuki zaman modern. Seni rupa nasional terus terseok berusaha mengejar kemajuan Barat. Akibatnya, hingga kini seni rupa Indonesia masih berusaha memaksakan diri masuk dalam kerangka pikiran Barat. Kerancuan terjadi saat para perupa Indonesia yang masih gamang; berusaha masuk ke dalam kerangka berpikir Barat yang matang. Seniman-seniman rupa Indonesia sampai sekarang masih menjadi tawanan pemikiran Barat.
3
Seni rupa Indonesia memang belum bisa dikatakan memiliki jati dirinya sendiri, jika mengilas balik tentang seni rupa nusantara, terungkap bahwa Indonesia tidak memiliki seni rupa yang otentik. Kebudayaan nusantara dipercaya tercipta lewat migrasi Yunnan dan bangsa Austronesia, sekitar 4000 tahun yang lalu. Saat itu seni pertama kali lahir, sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Seni menjadi barang bermanfaat dijual atau digunakan dalam ritual keagamaan. Seni hasil para imigran tersebut, yang menjadi dasar kebudayaan di Indonesia. Penemuan arkeologi guci perunggu bermotif ganda; membuktikan pengaruhnya pada seni rupa motif parang rusak (kain batik Jawa) sekaligus motif tameng Papua. Gelombang migrasi yang sama terus berulang secara berjangka. Seiring itu pula kebudayaan nusantara terus berkembang. Mulai dari migrasi Dong Son pada 500 SM yang mengenalkan kebudayaan perunggu, hingga masuknya Islam, yang menciptakan sosok punakawan di wayang Jawa. Campur aduk pengaruh aneka kebudayaan ini menghasilkan sosok seni rupa yang menyesatkan di Indonesia. Indonesia memiliki seni paling primitif sekaligus kontemporer. Saat seniman ”kubu” Bandung dan Yogyakarta telah mengenal pop art ala Andi Warhol, seniman Asmat masih setia menggunakan tiga warna alam dalam karyanya (Indah, diakses 20 April 2008, pukul 15.34 WIB). 3. Wayang Wayang adalah seni pertunjukan berupa drama yang khas. Seni pertunjukan ini meliputi seni suara, seni sastra, seni musik, seni tutur, seni rupa, dan lain-lain. Ada pihak beranggapan, bahwa pertunjukan wayang bukan sekedar kesenian, tetapi mengandung lambang-lambang keramat. Sejak abad ke-19 sampai dengan sekarang, wayang telah menjadi pokok bahasan serta dideskripsikan oleh para ahli. Wayang adalah sebuah kata bahasa Indonesia (Jawa) asli berarti bayang atau bayang-bayang, berasal dari akar yang dengan mendapat awalan wa menjadi kata wayang.
4
Kata-kata di dalam bahasa Jawa yang mempunyai akar kata yang dengan berbagai variasi vokal, antara lain: laying, dhoyong, puyeng, reyong, yang berarti selalu bergerak, tidak tetap, samar-samar, dan sayup-sayup. Kata wayang dan hamayang dahulu berarti mempertunjukkan bayangan, kemudian berkembang menjadi pertunjukan bayang-bayang dan menjadi seni pentas bayang-bayang atau wayang. Wayang sebagai penggambaran alam pikiran Orang Jawa yang dualistik. Ada dua hal, pihak atau kelompok yang saling bertentangan, baik dan buruk, lahir dan batin, serta halus dan kasar. Keduanya bersatu dalam diri manusia untuk mendapat keseimbangan. Wayang juga menjadi sarana pengendalian sosial, misalnya dengan kritik sosial yang disampaikan lewat humor. Fungsi lain adalah sebagai sarana pengukuhan status sosial, karena yang bisa menanggap wayang adalah orang terpandang, dan mampu menyediakan biaya besar. Wayang juga menanamkan solidaritas sosial, sarana hiburan, dan pendidikan (Sumaryoto dalam Tim, 2008:2). Secara umum, pengertian wayang adalah suatu bentuk pertunjukan tradisional yang disajikan oleh seorang dalang, dengan menggunakan boneka atau sejenisnya sebagai alat pertunjukan (Sedyawati, Darmono dalam Tim, 2008:2). Wayang kulit adalah boneka yang dibuat dari kulit, ditatah, dan disungging, sehingga menggambarkan bentuk-bentuk yang proporsinya tidak sama dengan manusia sebenarnya. Ia dipergunakan sebagai alat untuk menggambarkan kehidupan manusia. Wayang dapat menimbulkan bayang-bayang pada layar (kelir), dan dapat digerakkan ke kanan, kiri, atas, bawah, dan sudutsudut tertentu. Kata purwa berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pertama, yang terdahulu, atau yang dulu. Zaman purwa berarti zaman dahulu, dan wayang purwa berarti wayang pada zaman dahulu. Menurut Brandes, kata purwa berasal dari mata rantai kata parwa, berarti bab-bab dalam Mahabharata. Hazeu menyetujui hal tersebut, karena kata purwa sesuai dengan gejala metatesis yang dikategorikan sebagai purwa, sehingga disimpulkan bahwa wayang kulit purwa sebagai wayang kulit yang mengambil tema cerita dari epos Mahabharata dan Ramayana.
5
Perkembangan wujud wayang pada masa ini merupakan bentuk baru dari perubahan konsep awal. Perwujudan tokoh cerita berubah cara penggayaannya menjadi stilistik dan bentuk perlambang. Stilasi bentuk manusia dan binatang melepaskan dari bentuk berdasar pedoman ikonografi seni India, kemudian menghasilkan bentuk wayang yang berkembang pada zaman Islam. Pada masa ini terjadi perkembangan wayang secara menyeluruh, baik dari segi fisik atau wujud, simbolisasi, dan cara pertunjukkan, semuanya mengalami perubahan dan penyempurnaan. Busana pada wayang juga tidak lepas dari pengubahan pada masa Islam ini, terjadi penggayaan, sehingga menjadi harmonis dan untuk membedakan tingkat sosial serta kedudukan dari masing-masing tokoh. Beberapa busana wayang memiliki arti simbolis dan historis, disamping untuk mencapai keselarasan, serta untuk merubah misi yang dibawakan (Sunarto dalam Tim, 2008:8).
C. PEMBAHASAN Seni rupa Indonesia sudah saatnya “bersedia” mengeksplorasi kekayaan budaya bangsa. Selama ini doktrin Barat mempengaruhi perkembangan seni rupa. Karya-karya yang dihasilkan bernuansa politik, tidak murni dari pikiran seniman, tetapi permintaan pasar Barat. Lewat karya seniman, masyarakat Barat membaca peta poleksoshankam3 Indonesia ---secara tidak langsung. Masyarakat Barat memberi apresiasi lebih terhadap budaya negera ini (serta negara lain), dengan dalih pertukaran budaya. Kenyataan yang terjadi lebih tepat disebut “penggadaian” budaya. Barat berbondong-bondong mengirimkan peneliti, ilmuan, dan senimannya (lebih tepat disebut CIA4 Budaya) dengan posisi sebagai penyelemat peninggalan budaya Indonesia (terutama seni rupa). Secara kualitas, kemampuan dokumentasi Barat lebih unggul dan memadai dibanding
3
4
Singkatan dari politik, ekonomi, sosial, pertahanan, dan keamanan. Budaya tidak dimasukkan, karena difungsikan sebagai kunci pembuka gerbang lima hal yang lain (poleksoshankam). Central Intelegent Agent, adalah agen mata-mata pusat dari Amerika Serikat. CIA sebagai perumpaan, karena yang “memata-matai” budaya Indonesia tidak hanya AS tetapi sebagian negara Eropa, bahkan Asia di antaranya Malaysia.
6
Indonesia, sehingga memunculkan kepercayaan masyarakat Indonesia dengan tulus mengeluarkan seluruh harta budayanya untuk diselamatkan. Hal tersebut ironis, tetapi masyarakat seni rupa (terutama) belum menyadari. Kasus pengakuan bahwa musik bambu (angklung), barongan (reog), jamu, kain batik, dan wayang kulit oleh Malaysia, belum cukup membangkitkan rasa Nasionalisme bangsa Indonesia yang tengah lesu. Kemampuan finansial dan pola pemikiran masyarakat Barat mayoritas lebih maju dan unggul secara logika. Sebaliknya, Timur unggul dalam spiritual, termasuk Indonesia. Dalam percaturan globalisasi yang menjemukkan dan hampir mencapai titik kulminasi, menyebabkan pemikiran logis tidak mampu lagi menyediakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seputar “energi tak tampak”. Kancah spiritual adalah jawaban yang membebaskan, dan Indonesia unggul dalam hal ini. Wayang, ditinjau dari berbagai segi mampu menyediakan referensi tidak terhingga secara spiritual. Proses perjalanan panjang dan tempaan membuat wujud wayang saat ini menjadi matang. Penelitian-penelitian tentang wayang oleh peneliti budaya, filsafat, dan seni membuktikan bahwa wayang adalah cermin masyarakat Indonesia sendiri (Jawa). Di dalamnya terdapat nilai-nilai yang masih sejalan dengan kehidupan saat ini. Seni rupa adalah media provokasi yang tepat untuk menyuntikkan nilai-nilai nasionalisme dari wayang (meskipun cerita bersumber dari epos India, tetapi telah terjadi akulturasi sehingga bercitra Indonesia). Dari hasil kesenian di belahan Indonesia, wayang sering digunakan sebagai media fleksibel untuk dibaurkan dengan kesenian dari negeri lain. Untuk kebangkitan seni rupa Indonesia, sepantasnya wayang menjadi sumber inspirasi dan identitas, karena telah terbukti keluhuran dan keunggulan muatan nilai-nilai sosialnya.
D. SIMPULAN Stagnasi seni rupa Indonesia secara nasional dan internasional, menimbulkan keprihatinan sekaligus pertanyaan, “Apakah budaya plural
7
(termasuk budaya asing yang masuk) Indonesia belum cukup inspiratif untuk menyemarakkan karya-karya seni rupa?”. Permasalahan tersebut muncul karena kenyamanan yang tidak langsung diberikan oleh “agen” Barat melalui kerjasama dan program antar bangsa dengan tema budaya. Barat berhasil merebut hati masyarakat Indonesia dan meyakinkan bahwa seni rupa Indonesia sedang “mati suri”, sehingga karya-karya adiluhung dan kontemporer seni rupa Indonesia “diserahkan” kepada bangsa asing. Budaya mempunyai siklus selayaknya tren dan mengalami pergeseran yang dapat diramal. Suatu saat nanti seni rupa Indonesia mampu menjadi primadona dalam arena budaya internasional, tetapi tidak dapat dinikmati secara utuh karena secara fisik harus menimpor dari negara-negara “penyelamat” budaya, diantaranya bangsa Barat. Sebuah kesepakatan tidak tertulis bahwa karya seni (rupa) suatu bangsa dapat tercipta, jika bangsa tersebut mampu menciptakan iklim stabil dengan mengapresiasi dalam kehidupan sehari-hari.
8
DAFTAR PUSTAKA Indah, Febi Mega. Oase Budaya: Sastrawan di Tengah Gejolak Rupa
(diakses 20 April 2008 pukul 15.34 WIB). Sedyawati, Edi; Darmono, Sapardi Djoko. 1983. Seni dalam Masyarakat Indonesia. PT Gramedia: Jakarta. Sumaryoto. 1990. Ensiklopedia Wayang Purwa I: Proyek Pembinaan Kesenian Direktur Jenderal Kebudayaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta. Sunarto. 1990. Seni Gatra Wayang Kulit Purwa. Balai Pustaka: Jakarta. Tabrani, Primadi. 2005. Bahasa Rupa. Bandung : Penerbit Kelir. Tim Presentasi. 2008. Simbolisme Lakon Dewa Ruci dalam Wayang Kulit Purwa (makalah dipresentasikan pada Mata Kuliah Kebudayan Jawa 25 maret 2008). Surakarta : Tim Penyusun.
9