WAYANG BEBER SEBAGAI MATERI PELAJARAN SENI BUDAYA
Margana Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36A, Kentingan, Surakarta e-mail:
[email protected]
Abstract: Wayang Beber as Instructional Material of Arts and Culture. This study aims to describe the teaching and learning process of arts and culture based on uniqueness and local wisdom using wayang beber (beber puppets) material, and to identify the factors which support and hinder the process. The study was carried out in the State Senior High School (SMAN) of Punung, Pacitan regency, a school that implements the method. It is a qualitative study, in which the data were collected through interviews, observations, focused group discussions, and document analyses, and analyzed using the interactive method of analysis. The results show that the teaching learning process is initiated by designing a syllabus, lesson plans, and developing instructional materials on wayang beber. The factors that support the teaching and learning process include the commitment from the local government of Pacitan regency, the school, and the teachers, as well as the students’ enthusiasm to learn about wayang beber as part of the local contents that reflects local wisdom. The hindering factors, on the other hand, are limited time allocation for the Arts and Culture subject, and limited number of teachers and learning facilities for the subject. The model and teaching learning strategy employed is the balanced integration model. Keywords: arts and culture, uniqueness and local wisdom, wayang beber Abstrak: Wayang Beber sebagai Materi Pelajaran Seni Budaya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui proses pembelajaran seni budaya berbasis keunikan dan kearifan lokal dengan materi wayang beber di SMA Negeri Punung Kabupaten Pacitan, dan untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan pembelajaran. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dengan teknik wawancara, FGD, observasi, dan analisis dokumen. Analisis data menggunakan metode analisis interaktif. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran seni budaya dengan materi wayang beber di SMA Negeri Punung diawali menyusun silabus, RPP, dan menyusun materi pembelajaran tentang wayang beber. Faktor pendukung adalah komitmen pemerintah kabupaten Pacitan, sekolah, guru, dan antusiasme siswa untuk memelajari wayang beber sebagai muatan kearifan lokal. Faktor penghambat dalam pembelajaran adalah terbatasnya jam pelajaran seni budaya, minimnya guru seni budaya, dan terbatasnya sarana-prasarana pembelajaran. Model dan strategi pembelajaran menggunakan model integrasi berkeseimbangan. Kata kunci: seni budaya, keunikan dan kearifan lokal, wayang beber
Indonesia kaya seni tradisi. Salah satu di antaranya adalah wayang beber. Wayang beber merupakan jenis seni tradisi yang memiliki nilai tinggi karena keunikannya. Seperti jenis wayang yang lain, wayang beber memuat simbol-simbol yang penuh makna dan mengandung ajaran moral. Namun, dalam perkembangannya, wayang beber saat ini dalam keadaan kritis, karena semakin dilupakan orang. Wayang beber mulai ditinggalkan sebagian besar masyarakat pendukungnya dan terancam punah, baik berkaitan
dengan keberadaan fisik wayang beber itu sendiri maupun regenerasi dalang. Dalang wayang beber harus mampu membeberkan atau menuturkan cerita yang terdapat pada lukisan wayang beber. Lukisan itu berisi adegan (jagong) yang mengandung pesan atau petuah yang penuh makna. Berbeda dengan wayang kulit purwa yang mudah ditemukan di banyak tempat dan masih sering dipentaskan pada berbagai acara, wayang beber saat ini hanya tinggal ditemukan di dua tempat yaitu
156
Margana, Wayang Beber sebagai Materi … 157
di Pacitan, Jawa Timur, dan Gunung Kidul, Yogyakarta. Hal ini membuktikan bahwa semakin langkanya jenis kesenian tradisi tersebut. Kesenian wayang beber yang mengandung nilainilai moral dapat dijadikan sumber inspirasi bagi generasi muda dalam menghadapi tantangan jaman, termasuk arus globalisasi yang amat gencar dan cenderung menenggelamkan identitas kebangsaan dan budaya lokal. Oleh karena itu, wayang beber sebagai aset budaya perlu diwariskan kepada generasi muda dalam rangka memerkokoh jati diri dan ketahanan budaya bangsa di tengah-tengah gempuran budaya global yang demikian gencar. Sehubungan dengan hal itu, agar supaya warisan budaya lokal yang berharga itu tidak hilang ditelan jaman dan dapat dipertahankan untuk diwariskan kepada generasi mendatang, perlu ada upaya-upaya sistematis untuk melestarikan wayang beber. Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk pelestarian dan pengembangan wayang beber, khususnya sebagai karya seni rupa, adalah memasukkan wayang beber ke dalam materi pelajaran seni budaya, khususnya materi seni rupa di sekolah menengah atas. Upaya memasukkan wayang beber ke dalam materi pelajaran seni budaya, khususnya seni rupa tersebut memiliki beberapa keuntungan. Wayang beber sebagai karya seni rupa dapat dilestarikan dan dihayati serta dinikmati oleh generasi yang akan datang. Di sisi lain, dengan adanya muatan wayang beber, pengayaan materi atau diversifikasi bahan pelajaran untuk mata pelajaran seni budaya yang bersumber dari keunikan dan kearifan lokal akan terjadi. Hasil penelitian ini sangat penting untuk menjawab permasalahan tersebut dan diharapkan dapat dijadikan bahan rekomendasi kebijakan yang mampu membangun koordinasi antara seluruh elemen terkait, termasuk pemerintah, sekolah, dan masyarakat, untuk melestarikan wayang beber sebagai aset budaya daerah yang dapat dibanggakan sebagai identitas daerah dan bahkan sebagai identitas nasional. Wayang beber adalah salah satu jenis wayang yang dikenal masyarakat Indonesia berpuluh tahun yang lalu. Di samping wayang beber, terdapat jenis wayang lainnya seperti Wayang Purwa, Wayang Golek, Wayang Suluh, Wayang Krucil, Wayang Wahyu, Wayang Tengul, Wayang Wong, dan Wayang Topeng. Wayang Beber adalah jenis pertunjukan wayang dengan gambar-gambar sebagai objek pertunjukan. Gambar-gambar itu dilukiskan pada selembar kertas atau kain. Gambar dibuat dari satu adegan ke adegan yang lain, berurutan menurut narasi ceritera. Kertas atau kain yang dipergunakan berukuran lebar 1 meter dan panjang 4 meter (Suharyono, 2008).
Informasi mengenai wayang beber dalam kepustakaan kita sangat terbatas. Bahkan, dalam karyanya yang terkenal, History of Java, Raffles (1965) tidak menyinggung sama sekali tentang wayang beber. Raffles hanya membicarakan tiga jenis wayang pada saat pertama kali ia menulis bukunya pada 1818, yaitu wayang purwa, wayang gedog, dan wayang klitik secara singkat. Ketiga jenis wayang ini merupakan bagian dari seni pertunjukkan atau drama rakyat yang diiringi gamelan. Wayang purwa bersumber dari epos Mahabarata dan Ramayana, sementara wayang gedog mengambil cerita Panji, dan wayang klitik mengambil cerita Minak Jingga-Damarwulan (Raffles, 1965). Terbatasnya informasi tentang wayang beber juga dibarengi oleh terbatasnya pentas wayang beber di tengah-tengah masyarakat Jawa untuk berbagai tujuan. Tidak seperti wayang kulit atau wayang purwa yang demikian populer, wayang beber hanya dikenal oleh sebagian kecil masyarakat Jawa, karena jarang dipertunjukkan. Dalam laporan penelitian Suwaryadi dan kawan-kawan (1982) disebutkan, selain wayang beber hanya tinggal ditemukan di dua tempat yaitu di Gunung Kidul dan Pacitan, frekuensi pementasannya juga sangat terbatas. Wayang beber Gunung Kidul misalnya, pernah dipentaskan di Pura Mangkunegaran pada 1932 dan di Paku Alaman pada 1935. Setelah itu baru setengah abad kemudian (1982) wayang beber dipentaskan di Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta. Hal ini menunjukkan bahwa wayang beber yang memiliki nilai seni tinggi itu termasuk kesenian langka. Wayang beber merupakan representasi lukisan Jawa masa lalu sebelum datangnya orang-orang Barat. Wayang beber merupakan nenek moyang komik dan terdiri atas serangkaian gambar yang dilukis pada gulungan kertas dan melukiskan secara berurutan episode-episode sebuah cerita. Wayang beber dipertunjukkan dengan mengomentari gambar demi gambar dengan iringan gamelan. Adanya seni tersebut untuk pertama kali dilaporkan pada awal abad ke-15 oleh Ma Huan, yang menyertai Laksamana Cheng Ho dalam berbagai ekspidisi lautnya (Raffles, 1965). Kini, yang tertinggal hanyalah dua buah wayang beber di seluruh Jawa, yaitu di Pacitan dan di Gunung Kidul (Yogyakarta). Di samping itu, Museum Kerajaan di Leiden memiliki beberapa fragmen yang indah. Selama abad ke-19, gaya wayang beber itu, dengan tokoh-tokoh yang digambarkan seperti dalam wayang kulit, digunakan kembali oleh para seniman di karaton Jawa Tengah dalam lukisan dekoratif atau dalam gambargambar yang dimaksudkan sebagai ilustrasi pakem wayang. Gambar-gambar yang memeriahkan naskahnaskah dan yang disalin dalam karya-karya cetakan
158 Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 20, Nomor 2, Desember 2014, hlm. 156-164)
pertama itu memberikan suatu gambaran mengenai apa yang disebut lukisan Jawa dari masa prabarat (Lombard, 1996: 185). Sayid menyebutkan bahwa wayang beber berasal dari Jenggala sekitar abad ke XI (Suwaryadi dan kawan-kawan, 1982). Dikatakan, semula wayang beber dilukis di atas daun rontal dengan alat perekat yang dibuat dari tulang yang ditumbuk. Dalam perkembangannya, wayang beber kemudian terdesak oleh wayang kulit dan baru pada jaman Majapahit (abad XIV) wayang beber kembali muncul dengan mengambil cerita Panji (Lombard, 1996). Semua jenis wayang Jawa dapat dikategorikan ke dalam cerita rakyat atau folklor. Folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Warto dkk. 2011). Folklor memiliki ragam yang bermacam-macam. Dalam kaitannya dengan budaya, ragam folklor antara lain unsur-unsurnya meliputi budaya material, organisasi politik, dan religi. Folklor memiliki beberapa fungsi bagi pendukungnya, antara lain sebagai sistem projeksi, alat pengesahan kebudayaan, alat pendidikan, alat pemaksaan pemberlakuan norma-norma, memertebal perasaan solidaritas kolektif, alat pembenaran suatu masyarakat, memberikan arahan kepada masyarakat agar dapat mencela orang lain, alat memprotes ketidak-adilan, dan alat hiburan (Mustafa, 2006). Sutardi (2007) berpendapat bahwa folklor memiliki beberapa ciri. Penyebaran dan pewarisan biasanya dilakukan secara lisan, yakni melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya. Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap dan di antara kolektivitas tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi). Folklor menjadi milik bersama dari kolektivitas tertentu. Hal ini sudah tentu karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektivitas mengetahui folklor tersebut dan menganggapnya milik bersama. Folklor memiliki kegunaan dalam kehidupan bersama yaitu sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan yang terpendam. Menurut Danandjaja (1997), folklor berkembang dalam versi yang berbedabeda. Hal ini disebabkan karena penyebarannya secara lisan sehingga folklor mudah mengalami perubahan. Akan tetapi bentuk dasarnya tetap bertahan. Biasanya ia memiliki bentuk berpola. Kata-kata pembukanya misalnya, “menurut sahibul hikayat” (menurut yang
empunya cerita) atau dalam bahasa Jawa dimulai dengan kalimat “anuju sawijining dina” (pada suatu hari). Cerita wayang dapat dikategorikan sebagai drama rakyat atau folk-drama yang merupakan bagian dari folklore partly verbal. Hal ini disebabkan karena pertunjukan itu bertujuan memertunjukkan konflik antarmanusia. Suatu pementasan drama rakyat, termasuk di dalamnya wayang, memiliki maksud dan tujuan tertentu. Tujuan ini memberi sifat pada pertunjukan atau pementasannya, yaitu memiliki sifat sakral, keramat, dan religius. Dalam konteks seperti ini, wayang beber diperlakukan sebagai bagian dari seni religius yang setiap unsurnya memiliki nilai-nilai sakral atau keramat. Sifat sakral dari wayang beber, misalnya, dapat dilihat dari cara menyimpannya, tempat penyimpanan, dan upacara-upacara yang menyertainya (Warto dkk., 2011). Pendidikan kesenian bersifat individual karena pemahaman, penikmatan dan penghayatannya bersifat individual pula. Oleh karena itu, karya seni seperti lukisan, desain, kria, musik, tari dan teater memerlukan penginderaan, penikmatan, dan penghayatan yang berlangsung secara individual juga. Jika dilihat secara seksama hasil tersebut bersifat kumulatif, artinya baru dapat dirasakan setelah semuanya berakhir. Oleh karena itu, mata pelajaran kesenian lebih bersifat membantu secara tidak langsung terhadap kebutuhan hidup manusia. Secara tidak sadar telah ditemukan tingkat apresiasi terhadap segala hasil tingkahlaku manusia. Pelajaran kesenian memiliki korelasi dengan mata pelajaran lain. Pelajaran kesenian berfungsi sebagai transfer of learning dan trannsfer of value dari disiplin ilmu yang lain. Secara umum materi pembelajaran seni budaya (seni rupa, seni musik, seni tari dan seni drama) dapat dibedakan menjadi dua hal yakni aspek apresiasi dan kreasi. Apresiasi mengarah kepada aspek kognitif yang berisi pengetahuan tentang teori-teori seni budaya. Apresiasi memungkinkan peserta didik mampu menambah wawasan dan mampu mengembangkan kepribadian yang lebih arif dalam menilai perbedaan karya seni yang ada di sekitarnya. Kreasi bertujuan agar para peserta didik dapat mengembangkan kreasi, berani mengekspresikan ide dan gagasan-gagasannya ke dalam sebuah karya seni, sehingga hal tersebut sekaligus dapat mengasah dan mengembangkan keterampilan. Dari berbagai manfaat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada hakikatnya kehadiran pendidikan seni budaya di sekolah ditujukan untuk membantu mewujudkan peningkatan harkat manusia. Pendidikan seni budaya di Indonesia saat ini diklasifikasikan menjadi dua bagian penting, yakni pendidikan vokasional dan pendidikan avokasional. Pendidikan vokasional yang sering disebut sebagai
Margana, Wayang Beber sebagai Materi … 159
sekolah kejuruan seni dan keterampilan menitikberatkan lulusannya sebagai seniman, juru, tenaga ahli tingkat dasar atau pengelola. Pendidikan avokasional adalah seni budaya yang menitik-beratkan seni sebagai media pendidikan. Pendidikan seni berfungsi sebagai pembinaan pikir, rasa, serta keterampilan. Jenis pendidikan avokasional inilah yang dilaksanakan di sekolah umum (nonkejuruan). Seni sebagai media pendidikan berarti harkat kemanusiaan dibina melalui seni. Di dalamnya dipelajari makna pembinaan individu agar lebih dewasa dan kemudian memiliki kepribadian sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Kearifan lokal atau local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana dan penuh kearifan (Sartini, 2004). Kearifan lokal sesungguhnya merupakan buah dari kecerdasan masyarakat lokal (local genius) dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Local genius adalah merupakan local identity atau identitas budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai dengan watak dan kemampuannya sendiri. Unsur budaya daerah memiliki potensi untuk menjadi local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang (Sartini, 2004). Budaya daerah yang berpotensi sebagai kearifan lokal memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Ia mampu bertahan terhadap pengaruh budaya luar. Ia memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar. Ia mampu mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli. Ia memiliki kemampuan mengendalikan dan mampu memberi arah pada perkembangan budaya. Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adatistiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena itu, bentuknya bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat, sehingga fungsinya menjadi bermacam-macam pula. Bagi orang Bali, kearifan lokal memiliki makna dan fungsi yang sangat luas dalam kehidupannya. Ia berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam. Ia juga berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup. Kearifan lokal berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara Saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji. Ia berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan; bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat, bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian; bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan pencucian roh leluhur; dan bermakna politik, misal-
nya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patronclient (Sartini, 2004). Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah kearifan lokal, mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis. Dalam konteks seperti itu, kearifan lokal memiliki makna penting dalam menumbuhkan identitas dan kebanggaan lokal atau nasional. Kearifan lokal yang terungkap dalam kesenian rakyat misalnya, tidak hanya memuat nilai-nilai sosial dan ajaran moral, melainkan juga mengandung aspek-aspek spiritual. Beberapa penelitian tentang seni pertunjukan tradisional wayang beber telah dilakukan. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Suwaryadi dan kawankawan tentang Wayang Beber pada tahun 1982. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk dan isi wayang beber yang unik dan langka tersebut. Kesimpulan dari penelitian adalah bahwa wayang beber masih disakralkan oleh pemiliknya, baik dalam hal cara-cara penyimpanan, tempat penyimpanan, dan upacara-upacara yang menyertainya. Temuan lainnya menyebutkan bahwa sulit menyimpulkan apakah wayang beber lebih tua usianya dibandingkan wayang kulit/purwa, karena cerita wayang beber mengambil repertoirnya lebih muda yaitu cerita Panji, bukan Ramayana atau Mahabarata. Hanya saja, penelitian Suwaryadi dan kawan-kawan belum menjelaskan secara rinci bagaimana makna wayang beber dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat. Sebagai sistem pengetahuan dan sistem nilai, wayang beber diungkap melalui simbol-simbol yang unik dan rumit. Dengan memahami simbol-simbol itu sistem makna wayang beber akan dapat ditangkap secara jelas. Di samping itu, meskipun Suwaryadi dan kawankawan (1982) juga menyimpulkan bahwa wayang beber kurang dapat dikembangkan karena adegan dan isi ceritanya tidak dapat digantikan dengan lakon lain sehingga menjemukan, namun mereka tidak menawarkan jalan keluar untuk melestarikan wayang beber. Penelitian lainnya dilakukan oleh Said (2008) yang secara khusus meneliti Wayang Beber di Desa Gedompol Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan. Namun penelitian tersebut hanya menggarisbawahi bentuk, fungsi, dan makna seni pertunjukan wayang beber dan belum menyentuh kajian untuk merumuskan strategi merevitalisasi wayang beber. Sementara itu, penelitian Prasetyo (2007) menggarisbawahi ragam tutur dalam wayang beber Pacitan yang meliputi jenis, fungsi ragam tutur, dan faktor-faktor yang memengaruhi ragam tutur dalam wayang beber Pacitan. Penelitian tersebut tidak mengkaitkan dengan integrasi ke dalam kurikulum berbasis kearifan lokal.
160 Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 20, Nomor 2, Desember 2014, hlm. 156-164)
Penelitian ini memiliki kekhasan dibandingkan penelitian terdahulu karena memfokus pada upaya mengintegrasikan wayang beber sebagai kearifan lokal ke dalam kurikulum sekolah di Kabupaten Pacitan untuk mendukung kelestariannya. Salah satu upaya implementasi pelestariannya adalah memasukkan materi wayang beber ke dalam mata pelajaran seni budaya di sekolah menengah atas di Kabupaten Pacitan. Wayang beber termasuk salah satu warisan budaya bangsa yang unik dan langka sehingga perlu dilestarikan dan dikembangkan. Apalagi ketika UNESCO menetapkan wayang sebagai warisan budaya dunia yang tinggi nilainya, upaya pelestarian kesenian wayang beber merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya bersama masyarakat dunia dalam melestarikan kesenian wayang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pelaksanaan pembelajaran seni budaya berbasis keunikan dan kearifan lokal berupa materi wayang beber di SMA Negeri Punung Kabupaten Pacitan; mengetahui faktor-faktor pendukung maupun penghambat upaya untuk memasukkan wayang beber ke dalam materi pelajaran seni budaya berbasis keunikan dan kearifan lokal; merumuskan model dan strategi pengintegrasian wayang beber ke dalam materi pelajaran seni budaya berbasis keunikan dan kearifan lokal; dan menyusun modul materi pelajaran seni budaya berbasis keunikan dan kearifan lokal berupa wayang beber, beserta silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) serta melaksanakan pembelajaran seni budaya dengan materi wayang beber di SMA Negeri Punung Kabupaten Pacitan. METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan menghasilkan deskripsi hasil identifikasi kajian yang ditindaklanjuti dengan tindakan sesuai dengan kebutuhan pengembangan. Penelitian dilakukan di SMA Negeri Punung, Kabupaten Pacitan. Dipilihnya SMA Negeri Punung karena lokasinya paling dekat dengan Kecamatan Donorojo sebagai tempat wayang beber berasal, dan kebetulan di Kecamatan Donorojo belum ada sekolah menengah atas. Informan terdiri atas perwakilan dari berbagai unsur pemangku kepentingan, baik dari unsur pemerintah maupun swasta, seperti dinas yang menangani pendidikan, guru, siswa dan kepala SMA Negeri Punung. Data primer dikumpulkan melalui wawancara, diskusi kelompok terarah (focused group discussion, FGD) dan pengamatan langsung di lapangan. Pengumpulan data melalui FGD dilakukan dengan memertemukan stakeholder terkait yakni Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, serta guru mata pela-
jaran seni budaya. Forum diskusi ini sekaligus untuk melakukan pengecekan kebenaran atas data yang telah dikumpulkan melalui teknik lain (wawancara, observasi, dan simak/content analysis) agar dapat diperoleh keabsahan atau validitas data. Pengumpulan data sekunder melalui analisis isi (metode simak) dilakukan dengan mengumpulkan berbagai dokumen tertulis yang relevan yang berkaitan dengan tema penelitian, yakni menyimak dan mengkaji seluruh dokumen yang berkaitan dengan wayang beber, kurikulum, mata pelajaran seni budaya dan muatan lokal di Kabupaten Pacitan sebagai bahan untuk melengkapi data penelitian. Keempat macam teknik pengumpulan data tersebut digunakan untuk saling melengkapi sehingga data yang tidak diperoleh melalui salah satu teknik pengumpulan data dapat dilengkapi dengan data yang didapatkan melalui teknik pengumpulan data yang lain. Guna memeroleh validitas data, dalam penelitian ini digunakan triangulasi sumber data. Derajat kepercayaan yang lebih tinggi diperoleh dengan cara membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari satu sumber melalui sumber informasi yang berbeda, membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dilakukan secara pribadi, membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen, dan membandingkan data hasil wawancara dengan data yang digali melalui FGD. Teknik triangulasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan dan menjamin validitas hasil penelitian mengenai pengintegrasian wayang beber ke dalam mata pelajaran Seni Budaya di SMA Negeri Punung, Kabupaten Pacitan. Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis interaktif. Prosesnya mencakup pengumpulan data (data collection), reduksi data (data reduction), sajian data (data display), dan penarikan kesimpulan (Miles & Huberman,1994). Analisis mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan pengintegrasian wayang beber ke dalam mata pelajaran seni budaya di SMA Negeri Punung Kabupaten Pacitan dilakukan secara terus menerus dari awal pengumpulan data hingga proses verifikasi yang berlangsung mulai dari awal penelitian sampai dengan penelitian selesai. Dengan demikian proses analisis terjadi secara interaktif dan menguji antarkomponen secara siklus yang berlangsung terus-menerus dalam waktu yang cukup lama. Dengan menggunakan teknik analisis tersebut hasil kesimpulan mengenai dimasukkannya wayang beber ke dalam mata pelajaran seni budaya di SMA Negeri Punung teruji secara akurat.
Margana, Wayang Beber sebagai Materi … 161
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ditinjau dari sejarah asal usulnya, wayang beber merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit sebagaimana dituturkan oleh dalang wayang beber ke-13, yakni Sumardi Gunautama. Menurut sejarah pewayangan di Indonesia, wayang beber merupakan asal mula dari wayang kulit. Wayang yang pertama kali muncul di Indonesia adalah wayang batu. Jenis wayang ini muncul jauh sebelum peradaban wayang sekarang ini ada. Wayang batu pernah mengalami masa keemasan, namun demikian seiring dengan perjalanan waktu wayang batu mulai ditinggalkan, karena penikmatnya berpindah ke jenis pertunjukan lainnya. Jenis pertunjukan lain tersebut diduga merupakan kreasi pengembangan dari wayang batu yang menggunakan media lain. Setelah wayang batu ditinggalkan, muncullah jenis wayang yang dilukis di atas daun lontar. Karena menggunakan daun lontar sebagai media lukis atau ekspresinya maka wayang tersebut dinamakan wayang lontar (Warto dkk., 2011). Pada perkembangan selanjutnya, wayang lontar dilukiskan pada kertas atau kain seperti yang dapat dijumpai pada wayang beber sekarang ini. Sebagai warisan seni lukis Jawa masa lalu, wayang beber menjadi sesuatu yang unik dan langka karena tidak banyak lukisan sejenis ditemukan di tempat lain di wilayah nusantara. Wayang beber pernah mengalami masa keemasan, utamanya karena lukisan yang terdapat di atas kertas tersebut merupakan rangkaian cerita yang dapat dipertontonkan kepada masyarakat luas sehingga wayang beber tidak hanya merupakan karya seni lukis melainkan juga merupakan karya seni pertunjukan. Pementasan wayang beber tersebut dilakukan oleh seseorang (dalang) yang menghadap pada lukisan dan kemudian menceritakan kisah atau rangkaian cerita yang terdapat dalam lukisan tersebut. Pementasan wayang beber tersebut diiringi oleh bunyi-bunyian musik. Seperti jenis seni tradisi yang lain, wayang beber sebagai seni tradisi dan aset budaya nasional telah mengalami kemunduran dan mulai ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kemunduran tersebut diduga karena rendahnya kinerja pekerja seni, rendahnya peminat, dan kebijakan pemerintah yang tidak mendukung. Hasil penelitian Jamil dkk. (2011) tentang faktor-fakor yang memengaruhi lunturnya kesenian tradisional Semarang menyimpulkan bahwa ada tiga faktor yang memengaruhi mundurnya kesenian tradisional Semarang, yakni pekerja seni, peminat, dan kebijakan pemerintah. Faktor pekerja seni menyangkut lemahnya kreativitas, tidak ada upaya kaderisasi, rendahnya minat untuk menjadi pegiat seni tradisi, dan lemahnya managemen kesenian. Per-
kembangan teknologi informasi dan hiburan (televisi dan internet) dan rendahnya pengetahuan generasi muda mengenai kesenian tradisional menyebabkan peminat seni tradidional berkurang. Dan faktor kebijakan pemerintah menyangkut kebijakan konservasi dan revitalisasi seni tradisi yang kurang memadai, kesenian tradisi belum menjadi bagian integral pengembangan pariwisata, dan belum maksimalnya fasilitas pemerintah bagi pengembangan seni tradisi. Pekerja seni memberi andil bagi semakin terpuruknya kesenian tradisi. Mereka kurang kreatif dalam mengembangkan seni tradisional agar tetap digemari oleh generasi muda. Demikian pula jika pekerja seni tidak melakukan sosialisasi dan kaderisasi, maka generasi muda tidak akan pernah tahu bentuk, fungsi dan makna seni tradisi bagi kehidupannya. Hal itu diperparah oleh semakin kuatnya arus globalisasi, sehingga generasi muda semakin jauh pemahamannya tentang seni tradisi. Di sisi lain, generasi muda cenderung akrab dan menikmati hiburan dengan berbagai permainan (game) yang disuguhkan lewat internet, handphone, dan alat-alat elektronik lainnya. Lemahnya sosialisasi seni tradisi kepada kaum muda mengakibatkan tipisnya pemahaman akan seni tradisi yang sarat dengan nilainilai kearifan lokal. Upaya pemerintah untuk mensosialisasikan dan memahamkan nilai-nilai seni tradisi kepada generasi muda sebenarnya telah dilakukan dengan berbagai macam cara. Pemerintah menetapkan mata pelajaran kesenian di semua tingkat sekolah. Struktur dan isi kurikulumnya secara periodik ditinjau ulang untuk disesuaikan dengan perkembangan jaman. Kesimpulan yang sama dikemukakan oleh Wirandi (2011) tentang seni debus. Ia menyatakan bahwa perjalanan kesenian tradisional dalam dipengaruhi oleh elemen seniman atau pelaku seni, pembina atau pengelola seni, dan masyarakat penikmat seni. Ia menyimpulkan bahwa kesenian debus berkembang dengan baik karena kerjasama dari masing-masing elemen tersebut. Seniman atau pelaku seni adalah seseorang yang selalu melakukan dan menjaga eksistensi kesenian. Kesenian tetap hidup apabila pelaku seni mendapat dukungan dari pembina seni. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat dibutuhkan sebagai pembina dan pengelola seni. Persoalannya apabila kedua elemen tersebut tidak ada dukungan dari masyarakat penikmat seninya, maka lambat laun kesenian tradisional akan punah. Pengelola seni sangat berperan dalam perkembangan kesenian. Pendapat senada juga disampaikan oleh Basundoro (2012) dalam artikelnya yang berjudul “Kesenian Tradisional di Tengah Arus Modernisasi”. Ia menjelaskan bahwa terdapat kesenian tradisional yang
162 Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 20, Nomor 2, Desember 2014, hlm. 156-164)
pendukungnya masih banyak, tetapi terdapat pula kesenian tradisional yang pendukungnya mulai surut. Kesenian yang pendukungnya mulai surut pelan-pelan akan lenyap dari muka bumi dan akan tergantikan dengan dengan jenis kesenian yang baru. Kondisi semacam ini bukanlah hal yang mengkhawatirkan, karena merupakan sesuatu yang alamiah. Hanya kesenian yang mampu beradaptasi dengan tuntutan jaman yang akan tetap eksis. Terkait dengan berbagai faktor yang memengaruhi eksistensi seni tradisi seperti yang telah dijelaskan di atas, maka pemerintah Kabupaten Pacitan yang memiliki aset budaya wayang beber telah membuat berbagai kebijakan, di antaranya dapat dilihat dari rencana strategis Dinas Pendidikan Kabupaten Pacitan. Di dalam rencana strategis tersebut terdapat penjelasan mengenai tugas masing-masing bidang yang terdapat di lembaga pemerintah Kabupaten Pacitan. Pengintegrasian muatan lokal dan nilai-nilai budaya lokal ke dalam kurikulum antara lain termuat dalam tugas pertama, yakni melakukan pembinaan pelaksanaan kurikulum/pengajaran SMP, SMA dan SMK. Selain itu, perhatian pemerintah daerah Kabupaten Pacitan terhadap warisan budaya wayang beber sudah ditunjukkan melalui serangkaian kebijakan pembangunan dan program-program pelestarian budaya daerah. Kebijakan pelestarian dan pengembangan kesenian tradisi termasuk di dalamnya kesenian wayang beber dilakukan baik melalui kebijakan makro dengan mengintegrasikan beberapa bidang yang berkaitan dengan kebudayaan dan kesenian, maupun kebijakan khusus yang ditujukan untuk pelestarian dan pengembangan wayang beber. Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalam wayang beber yang dapat dituangkan ke dalam silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran dan materi mata pelajaran seni budaya adalah kesetiaan seseorang kepada pasangannya, kemauan pejabat, atasan atau golongan bangsawan untuk berbaur dengan masyarakat biasa, serta kegigihan berusaha untuk menggapai cita-cita atau keinginan. Kebijakan tersebut diimplementasikan dengan cara memasukkan materi wayang beber ke dalam mata pelajaran seni budaya, khususnya seni rupa di sekolah menengah atas. Prosedurnya dimulai dari tahap menyusun silabus yang berisi pengintegrasian wayang beber, menyusun rencana persiapan pembelajaran, kemudian menyusun materi bahan ajarnya. Bahan ajar terdiri atas materi yang bersifat teoretik dan praktik. Materi yang bersifat teoretik menyangkut pemahaman tentang wayang Beber seperti asal usul wayang Beber, teknik pertunjukkan, tema cerita, teknik pembuatan wayang beber, dan lain-lain. Sedangkan materi yang bersifat praktik berupa cara-cara
pembuatan lukisan wayang beber dan cara pembuatan poster wayang beber. RPP diujicobakan di kelas. Hasil uji coba menunjukkan bahwa siswa telah memahami dengan baik tentang pengertian wayang beber, bentuk pertunjukan, fungsi, dan tema cerita wayang beber. Rerata hasil tes tulis di atas kriteria ketuntasan minimal 75. Kemampuan praktik kurang memuaskan. Hal itu karena latar belakang siswa dari berbagai SMP yang tidak semuanya menerima materi seni rupa, sehingga guru harus memulai pemberian materi seni rupa dari awal. Pelaksanaan tugas praktik membutuhkan beberapa kali pertemuan. Siswa mendapat nilai rerata di bawah kriteria ketuntasan minimal 75 dalam praktik merancang desain poster bertema wayang beber. Proses pembelajaran seni budaya dengan materi wayang beber di SMA Negeri Punung Kabupaten Pacitan didukung oleh beberapa faktor. Pendukung tersebut adalah komitmen pemerintah Kabupaten Pacitan melalui Dinas Pendidikan Kabupaten Pacitan dalam kebijakan revitalisasi budaya daerah, dukungan pihak sekolah, pemahaman guru mengenai pentingnya memasukkan muatan seni tradisi yang mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal, kemauan guru untuk memasukkan muatan lokal berupa wayang beber ke dalam mata pelajaran seni budaya, dan antusiasme siswa untuk memelajari muatan kearifan lokal yang diintegrasikan ke dalam mata pelajaran di sekolah. Faktor-faktor yang menghambat upaya pengintegrasian wayang beber ke dalam mata pelajaran seni budaya berbasis keunikan dan kearifan lokal di SMA Negeri Punung Kabupaten Pacitan terdiri atas terbatasnya jam mata pelajaran seni budaya di sekolah menegah atas, minimnya guru mata pelajaran seni rupa, dan kurangnya sarana-prasarana pembelajaran seni budaya berbasis kesenian daerah. Model yang ditawarkan untuk memasukkan wayang beber ke dalam materi mata pelajaran seni budaya berbasis keunikan dan kearifan lokal di sekolah menengah atas khususnya di SMA Negeri Punung Kabupaten Pacitan dalam penelitian ini adalah model integrasi berkeseimbangan. Model ini menekankan beberapa unsur penting yakni potensi, peluang, permasalahan, unsur yang diseimbangkan, dan keluaran (output). Perumusan model tersebut didasarkan atas potensi dan permasalahan yang ada dalam kaitannya dengan wayang beber dan kemungkinan pengintegrasian wayang ke dalam materi pelajaran seni budaya di sekolah menengah. Wayang beber merupakan potensi utama dalam model integrasi berkeseimbangan (MIB). Hal ini disebabkan karena wayang beber memiliki keunik-
Margana, Wayang Beber sebagai Materi … 163
an, baik keunikan sebagai karya seni pertunjukan, maupun sebagai karya seni rupa. Potensi lainnya adalah dukungan kebijakan pemerintah setempat dan dukungan dari pihak sekolah. Di dalam model ini ada peluang berupa pengakuan wayang beber sebagai identitas nasional dan sekaligus sebagai national heritage atau warisan budaya nasional. Hal ini merupakan kesempatan bagi pemerintah daerah setempat untuk melindungi wayang beber secara hukum dengan mengajukan HaKI bagi wayang beber karena merupakan karya satu-satunya di Indonesia. Permasalahan dalam mewujudkan model integrasi berkeseimbangan ini adalah banyaknya muatan lokal yang harus dimasukkan ke dalam mata pelajaran di sekolah menengah atas. Alokasi jamnya menjadi sangat sedikit. Minimnya guru mata pelajaran seni budaya (seni rupa) juga menjadi permasalahan penting. Di dalam model integrasi berkeseimbangan terdapat beberapa unsur yang diseimbangkan. Seni rupa (wayang beber dan non-wayang beber), seni lainnya (seni musik dan seni tari), jumlah alokasi jam pelajaran, dan jumlah guru mata pelajaran merupakan unsur-unsur yang ditata secara seimbang. Keluaran yang diharapkan dalam konteks model integrasi berkeimbangan ini adalah jumlah jam yang mencukupi untuk pemberian materi wayang beber. Keluaran lainnya adalah kecintaan siswa terhadap wayang beber sebagai produk budaya lokal yang dapat menjadi identitas khas daerah dan identitas nasional. SIMPULAN
Wayang beber merupakan salah satu seni tradisi nusantara peninggalan jaman Majapahit memiliki nilai yang sangat tinggi perlu dilestarikan keberadaannya dan memiliki nilai-nilai kearifan lokal. Nilainilai kearifan lokal yang terkandung di dalam wayang
beber antara lain kesetiaan seseorang kepada pasangannya, kemauan pejabat, golongan bangsawan atau golongan atasan untuk berbaur dengan masyarakat biasa, serta kegigihan berusaha untuk menggapai cita-cita atau keinginan. Seni tradisi mulai terancam keberadaannya. Eksistensi seni tradisi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pelaku seni (seniman), masyarakat pendukung, dan peran pemerintah. Wayang beber sebagai seni tradisional secara perlahan mulai terpinggirkan karena ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Upaya pelestarian wayang beber dapat melalui pengintegrasian ke dalam materi pelajaran seni budaya, khususnya seni rupa di sekolah menengah atas. Faktor-faktor yang mendukung upaya untuk melakukan pengintegrasian wayang beber ke dalam mata pelajaran seni budaya berbasis keunikan dan kearifan lokal di sekolah menengah atas meliputi adanya komitmen dari pihak pemerintah melalui Dinas Pendidikan Kabupaten dalam kebijakannya untuk mendukung upaya revitalisasi budaya daerah, dukungan dari pihak sekolah, pemahaman guru mengenai pentingnya memasukkan muatan yang mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal, kemauan guru untuk memasukkan muatan lokal berupa wayang beber ke dalam mata pelajaran seni budaya, serta antusiasme siswa untuk memelajari muatan kearifan lokal yang diintegrasikan ke dalam mata pelajaran di sekolah. Faktor-faktor yang menghambat adalah terbatasnya jam mata pelajaran seni budaya di sekolah menegah atas, minimnya guru mata pelajaran seni rupa, dan kurangnya sarana dan prasarana pembelajaran seni tradisi wayang beber. Perancangan model dan strategi pengintegrasian wayang beber ke dalam mata pelajaran seni budaya berbasis keunikan dan kearifan lokal di Sekolah Menengah Atas adalah model integrasi berkeseimbangan. Model ini menekankan beberapa unsur penting yakni potensi, peluang, permasalahan, unsur yang diseimbangkan, dan keluaran.
DAFTAR RUJUKAN Basundoro. 2012. Kesenian Tradisional di Tengah Arus Modernisasi, (Online), (http://basundoro-fib.web. unair.ac.id), diakses 17 Januari 2014. Danandjaja, J. 1997. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti. Jamil, M.M., Anwar, K., & Kholiq, A. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lunturnya Kesenian Tradisional Semarang (Studi Eksplorasi Kesenian Tradisional Semarang), (Online), (http://bappeda.semarangkota.go.id), diakses 15 Januari 2014. Lombard, D. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya. Jakarta: Gramedia.
Miles, M.B. & Huberman. A.M. 1994. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. London: Sage Publications. Mustafa, S. 2006. Wawasan Sejarah II. Solo: Tiga Serangkai Mandiri. Prasetyo, R. 2007. Ragam Tutur dalam Pertunjukan Wayang Beber Pacitan. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Raffles, T.S. 1965. History of Java. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
164 Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 20, Nomor 2, Desember 2014, hlm. 156-164)
Said, L.H. 2008. Seni Pertunjukan Wayang Beber di Desa Gedompol, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan dalam Telaah Bentuk, Fungsi, dan Makna. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Muhammadiyah Malang. Sartini, 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara sebagai Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat, 37 (2): 111120. Suharyono, B. 2008. Wayang Beber Wonosari. Wonogiri: Bina Citra Media. Sutardi, T. 2007. Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya, (Online), (http://books.google.co.id/books? id.), diakses 17 Maret 2009.
Suwaryadi, P., Sarsono, Suwisno, Buchori, Sudarmono, & Suatmaji, 1982. Wayang Beber di Gunung Kidul dan Pacitan. Laporan penelitian tidak diterbitkan. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Warto, Supariadi, & Margana. 2011. Revitalisasi Wayang Beber untuk Memperkokoh Identitas Budaya Bangsa dan untuk Mendukung Pengembangan Pariwisata Daerah di Kabupaten Pacitan. Laporan penelitian tidak diterbitkan. Surakarta: LPPM UNS. Wirandi, W. 2011. Kesenian Debus, (Online), (http:// wisnunatural.blogspot.com/2012/04/laporan-penelitian-kesenian-debus.html), diakses 19 Januari 2014.