U Universitas Indonesia
MANAJEM M MEN ASUHA AN KEPER RAWATAN SPESIAL ALIS JIWA A PADA KLIE EN DENGA AN HALU USINASI DII RUANG SSADEWA DI RU UMAH SAK KIT Dr. H MARZOE EKI MAHD DI BOGOR R
KAR RYA ILMIIAH AKHIIR
Sri Nyu umirah 100680 01084
FAKULTA AS ILMU KEPERAW WATAN ESIALIS KEPERAW PROG GRAM SPE K WATAN JIW WA UNIV VERSITAS S INDONES SIA D DEPOK, JU ULI 2013
i
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN SPESIALIS JIWA PADA KLIEN HALUSINASI DI RUANG SADEWA DI RUMAH SAKIT Dr. H MARZOEKI MAHDI BOGOR KARYA ILMIAH AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Keperawatan Jiwa (Sp.Kep.J)
Sri Nyumirah NPM. 1006801084
PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, JULI 2013
ii
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
ABSTRAK PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA Karya Ilmiah Akhir, 2013 Sri Nyumirah, Budi Anna Keliat, Novy Helena Catherina Daulima Manajemen Asuhan Keperawatan Spesialis Jiwa Pada Klien Halusinasi Di Ruang Sadewa RSMM Bogor xv +131 hal + 14 Tabel + 2 Skema + Lampiran Halusinasi merupakan diagnosa keperawatan terbanyak (54,05%) yang ditemukan mulai dari 18 Februari – 20 April 2013 di ruang Sadewa. Tujuan penulisan karya ilmiah akhir ini menggambarkan asuhan keperawatan spesialis jiwa pada klien halusinasi. Metode yang digunakan dengan studi kasus pada 20 klien halusinasi dengan purposive sampling. Pada 7 klien dilakukan tindakan keperawatan generalis, perilaku kognitif dan psikoedukasi keluarga, 10 klien dilakukan tindakan keperawatan generalis dan terapi kognitif, dan 3 klien dilakukan tindakan keperawatan generalis dan terapi perilaku. Hasil studi menunjukkan klien yang mendapatkan tindakan keperawatan generalis, terapi perilaku kognitif dan psikoedukasi keluarga mengalami peningkatkan kemampuan klien dalam menggunakan tanggapan yang rasional untuk melawan pikiran dan perilaku yang negatif, serta meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat klien dengan halusinasi, sehingga mengurangi tanda dan gejala munculnya halusinasi. Hasil studi menunjukkan klien yang mendapatkan tindakan keperawatan generalis dan terapi perilaku mengalami peningkatkan kemampuan klien dalam melawan pikiran negatif yang muncul saat halusinasi muncul. Hasil studi menunjukkan klien yang mendapatkan tindakan keperawatan generalis dan terapi kognitif mengalami peningkatkan kemampuan klien dalam melakukan perilaku yang positif saat halusinasi muncul. Tindakan keperawatan generalis, terapi perilaku kognitif dan psikoedukasi keluarga direkomendasikan untuk klien halusinasi disertai penelitian lebih lanjut. Kata kunci : Halusinasi, terapi perilaku kognitif, terapi perilaku dan terapi kognitif, model stres adaptasi Stuart dan interpersonal Peplau Daftar Pustaka : 76 (1989-2013)
viii
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
ABSTRACT Psychiatric Nurse Specialist-Faculty of Nursing-University of Indonesia Sri Nyumirah, Budi Anna Keliat, Novy Helena Catherina Daulima Psychiatric Nursing Specialist Case Management with Hallucination at Sadewa Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital, Bogor xv +131 pages + 14 Tables + 2 Schemas + Attachment Hallucination was the major nursing diagnose (54,5%) found during 18 – April, 20 2013 at Sadewa ward. The aim of this scientific writing paper was to described the nursing intervention spesialist mental of clients with hallucinations. The method used by the 20 client case study with purposive sampling hallucinations. At 7 clients cognitive behavioral therapy and family psychoeducation, cognitive therapy 10 clients, and 3 client behavior therapy. The study result showed that clients get generalist nursing action, cognitive behavioral therapy and family psychoeducation increase the clients ability to use a rational response to counter negative thought and behaviors that increase the ability of hallucinations. The study result showed clients get generalist nursing action and behavior therapy to increase the clients ability to fight the negative thoughts that arise when hallucinations appear. The study result showed that clients get generalist nursing action and cognitive therapy have increased the ability of clients in making postive behavior as hallucinations appear. Generalist nursing action, cognitive behavioral therapy and family psychoeducation for clients hallucinations accompanied recommended further research. Key words : Hallucination, cognitive behavior therapy (CBT), cognitive therapy (CT), behavior therapy (BT), Stuart’s Stress Adaptation Model and Peplau’s Interpersonal Model References : 76 (1989-2013)
ix
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Karya Ilmiah Akhir dengan judul ” Manajemen Asuhan Keperawatan Spesialis Jiwa Pada Klien Halusinasi Di Ruang Sadewa - RSMM Bogor”. Penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini dibuat dalam rangka menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh gelar Spesialis Keperawatan Jiwa di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak sehingga penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada yang terhormat: 1. Dr. Erie Darmawan, SpKj., selaku Direktur utama RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengunakan lahan BLU sebagai tempat praktek. 2. Ibu Dewi Irawati, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 3. Ibu Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., MN., selaku Ketua Program Pasca Sarjana S2 Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 4. Ibu Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc., selaku Pembimbing I yang telah membimbing penulis dengan sabar, tekun, bijaksana dan cermat memberikan masukan dan motivasi dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini. 5. Ibu Novy Helena, CD., S.Kp.,MSc., selaku Pembimbing II yang telah memberikan masukan, arahan serta cermat memberikan bimbingan selama proses penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini. 6. Ibu Dr. Puji Triastuti, MARS, selaku penguji saya yang telah memberikan masukan untuk perbaikan Karya Ilmiah Akhir ini. 7. Ibu Fauziah, S.Kp.,M.Kep.,Sp.Kep.J selaku penguji saya yang telah memberikan masukan untuk perbaikan Karya Ilmiah Akhir ini. 8. Ibu Yossie Susanti Eka Putri, S.Kp.,MN selaku penguji saya yang telah memberikan masukan untuk perbaikan Karya Ilmiah Akhir ini dan selaku Ketua Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. x
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
9. Bapak dr. Parno Widjojo, AF, Sp.FK (K), selaku Ketua Stikes Cendekia Utama Kudus yang telah memberikan ijin belajar. 10. Prof. Achir Yani S. Hamid, M.N., D.N.Sc, selaku pengajar Mata Kuliah Keperawatan Jiwa pada Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 11. Ns. Ice Yulia Wardani, S. Kp., M. Kep., Sp. Kep. J., selaku pengajar Mata Kuliah Keperawatan Jiwa pada Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 12. Dr. Mustikasari, S. Kp., MARS., selaku pengajar Mata Kuliah Keperawatan Jiwa
pada
Kelompok
Keilmuan
Keperawatan
Jiwa
Fakultas
Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia. 13. Herni Susanti, S.Kp., M.N, selaku pengajar Mata Kuliah Keperawatan Jiwa pada Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 14. Staf pengajar Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan yang telah membekali ilmu, sehingga penulis mampu menyusun Karya Ilmiah Akhir ini. 15. Suami tercinta Hery Prihastomo yang selalu memberikan dukungan, doa, dan pengertiannya dalam proses Karya ilmiah akhir ini 16. Bapak, Ibu dan mertua saya yang selalu mendoakan dan memberikan arahan supaya penulis selalu berjuang untuk mencari ilmu. 17. Teman- teman di Stikes Cendekia Utama Kudus yang telah memberikan motivasi dan keringanan kerja selama dalam proses belajar. 18. Rekan-rekan angkatan VI (2010) Program Pasca Sarjana Keperawatan Jiwa yang selalu memberikan dukungan dan kerjasamanya. 19. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penyusunan proposal ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan atas semua kebaikan yang telah Bapak/Ibu/Saudara/i berikan dan mudah-mudahan Karya Ilmiah Akhir ini dapat bermanfaat bagi upaya peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan jiwa.
Depok, Juli 2013
Penulis xi
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... HALAMAN JUDUL ..................................................................................... LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................... HALAMAN PERNYATAAN PLAGIARISME ........................................... HALAMAN PERNYATAAN PUBLIKASI ................................................ ABSTRAK ..................................................................................................... ABSTRACT ................................................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................................. DAFTAR ISI ................................................................................................ DAFTAR TABEL ........................................................................................ DAFTAR GAMBAR ................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
Hal i ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii xiii xiv
1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1.2 Tujuan ............................................................................................... 1.3 Manfaat ............................................................................................
1 1 10 11
2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 2.1 Konsep Teori Stres dan Adaptasi Stuart dan Hidegard Peplau dalam merawat klien halusinasi.......................................................... 2.1.1 Konsep Stres Adaptasi Stuart......... ................................................. 2.1.1.1. Faktor Predisposisi...................................................................... 2.1.1.2. Faktor Presipitasi ............................................................... 2.1.1.3. Penilaian Stressor........................................................................ 2.1.1.4. Sumber Koping...........................................................................
13 13 13 14 20 23 26
2.1.2 Konsep Teori Hidegard Peplau....................................................... 2.1.2.1. Aplikasi Penerapan Teori Peplau Pada Klien Halusinasi...........
31 35
2.1.3 Konsep Teori Stres dan Adaptasi Stuart dan teori Hidegard Peplau.……...................................................................... 2.2 Halusinasi………………………........................................................ 2.2.1 Pengertian …….…………………………....................................... 2.2.2 Proses Terjadinya Halusinasi............................................................ 2.2.3 Faktor Predisposisi........................................................................... 2.2.4 Faktor Presipitasi.............................................................................. 2.2.5 Respon Terhadap Stressor................................................................ 2.2.6 Sumber Koping................................................................................ 2.2.7 Diagnosa dan Tindakan....................................................................
39 41 41 43 45 47 49 52 57
xi
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
1
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan perilaku, koping individu efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Johnsons,1997 dalam Videback 2008). Kesehatan jiwa juga mempunyai sifat yang harmonis dan memperhatikan semua segi dalam kehidupan manusia dalam berhubungan dengan manusia lainnya yang akan mempengaruhi perkembangan fisik, mental, dan sosial individu secara optimal yang selaras dengan perkembangan masing-masing individu. Ciri – ciri sehat jiwa adalah perilaku positif terhadap diri sendiri, mampu tumbuh dan berkembang dan mampu mencapai aktualisasi diri, mempunyai integritas diri, rasa otonomi yang positif, mampu mengekspresikan realita secara tepat dan mampu menguasai lingkungan yang berubah (Jahoda dalam Stuart, 2009). Seorang individu dapat beradaptasi terhadap perubahan–perubahan yang terjadi, maka seorang tersebut akan dalam kondisi sehat jiwa, namun sebaliknya bila seorang tidak mampu beradaptasi akan terjadi kondisi gangguan jiwa.
Gangguan jiwa adalah merupakan respon maladaptif terhadap stressor dari dalam dan luar lingkungan yang berhubungan dengan perasaan dan perilaku yang tidak sejalan dengan budaya/kebiasaan/norma setempat dan mempengaruhi interaksi sosial individu, dan fungsi tubuh (Townsend, 2009). Gangguan jiwa merupakan kondisi kesehatan individu yang ditandai dengan terjadinya gangguan pada pola pikir, perasaan mood, kemampuan interaksi serta kemampuan melakukan aktifitas sehari-hari (Alliance on Mental Illness of America, 2010). Gangguan jiwa dapat diartikan sebagai suatu kumpulan gejala yang tercermin dari pola pikiran, perasaan serta perilaku individu yang terganggu yang akan mempengaruhi interaksi
sosial
individu,
dan
akan
menyebabkan
individu
mengalami
ketidakmampuan untuk terlibat dari aktivitas karena penyakit mental yang dialami atau
peningkatan
secara
signifikan
resiko
untuk
kematian,
sakit
dan
mempengaruhi fungsi kehidupan.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
2
Prevalensi gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan kemungkinan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030, gangguan jiwa juga berhubungan dengan bunuh diri, lebih dari 90% dari satu juta kasus bunuh diri setiap tahunnya akibat gangguan jiwa (WHO, 2009). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dari Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan Kemenkes Republik Indonesia (Kemenkes RI, 2008), prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa dengan prevalensi tertinggi di Jawa Barat yaitu 20,0%. Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 0,46 %, dengan kata lain dari 1000 penduduk Indonesia empat sampai lima diantaranya menderita gangguan jiwa berat. Prevalensi gangguan jiwa berat di Jawa Barat sebesar 0,22 % dan angka tersebut meningkat menjadi 0,40% di kota Bogor. Kondisi diatas mengambarkan prevalensi masalah kesehatan jiwa baik gangguan jiwa ringan sampai berat cukup tinggi dan membutuhkan penanganan yang serius serta berkesinambungan. Salah satu gangguan jiwa berat yang dialami oleh klien adalah skizofrenia.
Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realita (halusinasi dan waham), afek yang tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif (tidak mampu berfikir abstrak) dan mengalami kesukaran melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat, 2006). Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang akan membebani masyarakat sepanjang hidup penderita yang dikarakteristikan dengan disorganisasi pikiran, perasaan dan perilaku (Lenzenweger & Gottesman, 1994 dalam Sinaga 2008). Skizofrenia merupakan gangguan neurobiologikal otak yang persisten dan serius, sindroma secara klinis yang dapat mengakibatkan kerusakan hidup baik secara individu, keluarga dan komunitas. Seorang yang mengalami skizofrenia terjadi kesulitan berfikir dengan benar, memahami dan menerima realita, gangguan emosi/perasaan, tidak mampu membuat keputusan, serta gangguan dalam melakukan aktivitas atau perubahan perilaku.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
3
Gejala yang muncul dari skizofrenia dibagi dalam 5 dimensi, yaitu gejala positif, gejala negatif, gejala kognitif, gejala agresif dan hostilitas serta gejala depresi dan anxious (Shives, 2005; Sinaga, 2008). Gejala positif mengambarkan fungsi normal yang berlebihan dan khas, meliputi waham, halusinasi, disorganisasi pembicaraan dan disorganisasi perilaku seperti katatonia atau agitasi/kegelisahan. Gejala agresif dan hostile, gejala ini menekankan pada masalah pengendalian impuls. Hostile bisa berupa penyerangan secara fisik atau verbal terhadap orang lain, termasuk juga perilaku mencederai diri sendiri (suicide), merusak barang orang lain atau seksual acting out. Gejala depresi dan anxious pada klien skizofrenia sering kali didapatkan bersamaan dengan gejala lain seperti mood yang terdepresi, mood cemas, rasa bersalah (guilt), tension, irritabilitas atau kecemasan. Berdasarkan berbagai gejala diatas pada klien skizofrenia mengambarkan banyaknya masalah yang muncul seperti penyerangan terhadap orang lain, perilaku mencederai diri dan orang lain, halusinasi, depresi, rasa bersalah/harga diri rendah, waham.
Prevalensi skizofrenia saat ini adalah 7 perseribu penduduk dewasa yang terbanyak pada usia 15-35 tahun, lebih dari 50% klien skizofrenia tidak mendapat perawatan yang sesuai dan tidak hanya itu, di negara berkembang ditemukan lebih dari 90% klien skizofrenia yang tidak diobati (WHO, 2010). Data statistik Direktorat Kesehatan Jiwa, Departemen Kesehatan menunjukan klien gangguan jiwa berat terbesar adalah skizofrenia yaitu 70% (Dep.Kes, 2008) dan klien yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia 90% dengan skizofrenia (RSJ Magelang, 2006). Berdasarkan hasil penelitian di RS Prof. HB. Sa’anin Padang yang sudah dilakukan oleh Basmanelly, Keliat dan Gayatri (2008) bahwa dari 60 klien skizofrenia sebagian besar diagnosa keperawatan halusinasi. Hasil penelitian di RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor yang dilakukan oleh Lelono, Keliat dan Besral (2011) dan Sudiatmika, Keliat dan Wardani (2011) bahwa dari 60 klien skizofrenia dengan diagnosa keperawatan halusinasi, perilaku kekerasan dan harga diri rendah, dan 60 klien lagi dengan diagnosa keperawatan perilaku kekerasan dan halusinasi. Prevalensi tersebut akan semakin meningkat apabila tidak dilakukan upaya pencegahan terhadap skizofrenia, serta upaya pengobatan
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
4
dan perawatan klien skizofrenia dengan baik dan sesuai terutama pada diagnosa keperawatan halusinasi.
Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari pancaindera tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal. Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penyerapan panca indera tanpa ada rangsangan dari luar, suatu penghayatan yang dialami seperti suatu persepsi melalui pancaindera tanpa stimulus eksternal; persepsi palsu. (Stuart, 2009). Halusinasi juga merupakan persepsi sensori yang salah yang meliputi salah satu dari kelima panca indera (Townsend, 2009). Halusinasi pendengaran paling sering terjadi ketika klien mendengar suara-suara, suara tersebut dianggap terpisah dari pikiran klien sendiri. Isi suara-suara tersebut mengancam dan menghina, sering kali suara tersebut memerintah klien untuk melakukan tindakan yang akan melukai klien atau orang lain (Copel, 2007), jadi halusinasi merupakan suatu pengalaman persepsi yang salah tanpa adanya stimulus dan pengalaman persepsi tersebut merupakan hal yang nyata bagi diri klien tetapi tidak untuk orang lain, sehingga perlu menjadi perhatian petugas di rumah sakit karena halusinasi juga bisa memicu perilaku kekerasan akibat persepsi yang salah dan perintah-perintah dari halusinasi yang didengar.
Upaya untuk mengatasi masalah gangguan jiwa terutama pada klien dengan diagnosa keperawatan halusinasi diberikan dalam bentuk asuhan keperawatan jiwa pada klien dan melibatkan keluarga. Tindakan keperawatan yang dilakukan pada klien dengan halusinasi yaitu tindakan keperawatan generalis dan spesialis. Tindakan keperawatan yang generalis sesuai dengan standar asuhan keperawatan yaitu mengidentifikasi halusinasi yang muncul (isi, jenis, durasi, situasi dan respon), mengontrol halusinasi dengan menghardik atau mengusir, bercakapcakap dengan orang lain, melakukan kegiatan dan minum obat dengan teratur, serta melakukan terapi aktivitas stimulasi persepsi (Fortinash, 2007). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Caroline, Keliat, dan Sabri (2008) bahwa penerapan standar asuhan keperawatan klien halusinasi dalam mengontrol halusinasi akan mempengaruhi kemampuan kognitif dan psikomotor klien,
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
5
sehingga klien halusinasi akan mengalami penurunan terhadap intensitas tanda dan gejala halusinasi yang muncul. Dapat disimpulkan bahwa tindakan keperawatan generalis pada klien halusinasi yang dilakukan sesuai standar asuhan keperawatan memiliki dampak yang positif pada penurunan tanda dan gejala halusinasi, sehingga meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotor klien ketika muncul halusinasi.
Tindakan keperawatan spesialis yang dapat dilakukan untuk klien baik individu maupun keluarga dengan halusinasi, untuk terapi individu adalah terapi perilaku kognitif (CBT) bahwa penerapan terapi psikososial dengan perilaku kognitif dapat merubah pola pikir yang negatif menjadi positif, sehingga perilaku yang maladaptif menjadi adaptif (Martin, 2010). Terapi perilaku (BT) menurut Laraia (2005) merupakan terapi yang digunakan untuk membentuk perilaku baru yang positif, sehingga meningkatkan ketrampilan atau meminimalkan perilaku yang dihindari. Terapi kognitif (CT) menurut Copel (2007) adalah terapi yang membantu klien untuk mengembangkan pola pikir yang rasional. Terapi keluarga yang dilakukan pada keluarga klien adalah terapi psikoedukasi keluarga yang merupakan satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang terapeutik menurut (Stuart, 2009). Penerapan tindakan keperawatan spesialis pada klien maupun keluarga dengan halusinasi yang sesuai dapat membantu meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotor klien dalam mengontrol halusinasi dan menurunkan intensitas tanda dan gejala halusinasi, sehingga dapat menurunkan efek yang lebih lanjut.
Sesuai dengan penelitian yang terkait yaitu menurut Sasmita, Keliat dan Budiharto (2007) Cognitive behaviour therapy meningkatkan secara bermakna kemampuan kognitif dan perilaku klien harga diri rendah, Fauziah, Hamid dan Nuraini (2009) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien skizofrenia dengan perilaku kekerasan, Wahyuni, Keliat dan Yusron (2010) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien halusinasi, Erwina, Keliat, Yusron dan
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
6
Helena (2010) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien pasca gempa. Sesuai penelitian yang telah dilakukan oleh Morisson (2009) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat diberikan pada klien skizofrenia yang menjadikan klien dapat mengontrol perilaku marah, mengontrol klien yang berbicara sendiri atau halusinasi dan dapat meningkatkan hubungan klien baik di rumah sakit, keluarga dan di tempat kerja. Menurut Davis dkk (2005) terapi perilaku kognitif dapat diberikan klien skizofrenia untuk meningkatkan kepercayaan yang positif bagi klien, sehingga muncul perilaku yang positif. Menurut Sudiatmika, Keliat dan Wardani (2011) bahwa penerapan terapi Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) pada klien halusinasi dapat membantu individu untuk mengubah keyakinan irrasional menjadi lebih rasional melalui pembelajaran kognitif, emosi dan perilaku klien. Menurut Lelono, Keliat dan Besral (2011) klien yang menerapkan terapi psikososial RECBT pada klien halusinasi mengalami peningkatan kemampuan dan penurunan respon halusinasi secara bermakna, dilihat dari lima variabel yang diteliti yaitu: respon perilaku, sosial, kognitif, respon fisik, serta peningkatan kemampuan dalam mengendalikan pikiran negatif untuk menjadi positif, perasaan irrasional menjadi perasaan rasional dan perilaku negatif menjadi perilaku positif. Dapat disimpulkan bahwa penerapan tindakan keperawatan spesialis pada klien dengan halusinasi dapat meningkatkan kemampuan klien mengubah status pikiran, dan perasaanya klien dari perilaku negatif menjadi positif.
Kemampuan kognitif dan psikomotor klien dengan diagnosa keperawatan halusinasi meningkat apabila tindakan keperawatan yang dilakukan tidak hanya menggunakan pendekatan tindakan keperawatan saja, namun perlu dilakukan pendekatan tindakan medis yaitu pemberian antipsikotik agar menghasilkan perbaikan yang lebih optimal dibandingkan pendekatan secara tunggal. Tindakan medis dengan pemberian antipsikotik yang digunakan merupakan pemberian obat dengan kategori tipikal atau atipikal antipsikotik yang akan menurunkan gejala psikotik pada fase akut dan menurunkan perilaku maladaptif pada klien (Gorman, 2007 dalam Townsend, 2009). Tindakan medis dengan pemberian antipsikotik tergantung dari keadaan klien ketika datang dalam fase apa, jika dalam fase akut
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
7
perlu penangganan yang segera. Interval antara munculnya gejala dengan perawatan/pengobatan pertama berhubungan dengan kecepatan dan kualitas respon pengobatan dan gejala negatif yang muncul, semakin cepat klien mendapat pengobatan setelah terdiagnosis, maka semakin cepat dan bermakna responnya. Pengobatan fase akut lebih difokuskan untuk menurunkan gejala psikotik yang berat, umumnya setelah dilakukan pengobatan selama 4-8 minggu dengan obat antipsikotik klien masuk dalam fase stabilisasi (Sinaga, 2008). Dapat disimpulkan bahwa pendekatan medis dengan pemberian antispikotik harus diberikan pada klien dengan halusinasi untuk membantu klien menurunkan gejala psikotik pada fase akut dan membantu meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotor pada klien.
Karya Ilmiah Akhir ini dilaporkan dan dianalisis berdasarkan praktik klinik keperawatan jiwa III di RS Dr Marzoeki Mahdi di Ruang Sadewa selama 9 minggu yaitu dari tanggal 18 Februari sampai dengan 19 April 2013. Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor merupakan Rumah Sakit Tipe A Khusus yang merawat klien dengan gangguan fisik, jiwa dan Napza, sebagai pusat rujukan klien gangguan jiwa dan pusat pengembangan keperawatan jiwa di Indonesia. RSMM Bogor memiliki kapasitas tempat tidur 641 dan 484 tempat tidur untuk klien gangguan jiwa dengan BOR : 64,4%, TOI 47,96 hari, dan LOS 86,7 hari. Ruang Sadewa merupakan ruang kelas 1 laki-laki dan perempuan dengan kapasitas tempat tidur 25, dengan menggunakan pendekatan MPKP metode tim mulai tahun 2003, dengan jumlah tenaga kesehatan 13 yaitu perawat sejumlah 12 perawat, 11 dengan pendidikan D3 dan 1 pendidikan S1 Ners, sedangkan tenaga medis 1 dokter umum, dan 9 dokter psikiatri.
Di ruang Sadewa pada bulan Februari – April 2013 ada beberapa diagnosis yang muncul baik medis dan keperawatan. Diagnosis keperawatan utama yang ditemukan dari 37 klien selama di rawat yaitu, sebanyak 20 klien diagnosis keperawatan halusinasi, 9 diagnosis keperawatan RPK, 5 diagnosis keperawatan HDR Kronik, dan 3 diagnosis keperawatan isolasi sosial. Diagnosa medis yang ditemukan skizofrenia paranoid sebanyak 24 klien, skizofrenia 3 klien, gangguan
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
8
afektif bipolar 4 klien, psikosis 5 klien, dan skizofrenia hebrefenik 1 klien. Diagnosa medis yang paling sering ditemukan skizofrenia paranoid sebanyak 24 klien dan diagnosa keperawatan utama yang paling sering ditemukan adalah halusinasi sebanyak 20 klien. Manajemen asuhan keperawatan dengan halusinasi telah diberikan tindakan keperawatan generalis dan tindakan keperawatan spesialis.
Tindakan keperawatan yang telah dilakukan pada klien halusinasi di Ruang Sadewa meliputi tindakan keperawatan generalis dan spesialis keperawatan jiwa baik dengan pendekatan individu, keluarga maupun kelompok, sehingga memberikan dampak yang positif bagi klien yaitu untuk mengoptimalkan kemampuan klien dalam mengontrol halusinasi yang muncul baik kognitif, afektif dan psikomotor klien. Tindakan keperawatan generalis dilakukan oleh perawat ruangan dan mahasiswa yang paraktik di ruang Sadewa. Setiap klien halusinasi di ruang Sadewa tidak selalu diberikan tindakan keperawatan yang sama karena setiap klien mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, sesuai dengan pengkajian yang sudah dilakukan di ruang Sadewa yang dilakukan dari faktor predisposisi, presipitasi, dengan melihat tanda dan gejala klien baik kognitif, afektif dan psikomotor, mekanisme koping yang digunakan klien dan sumber koping yang dimiliki klien maupun keluarga sampai menemukan diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan yang muncul tidak hanya diagnosa keperawatan halusinasi namun ada diagnosa lain di setiap klien yaitu diagnosa keperawatan perilaku kekerasan, harga diri rendah, dan isolasi sosial, defisit perawatan diri, setelah mengetahui diagnosa keperawatan pada klien akan mempermudah perawat dalam memberikan tindakan keperawatan yang tepat.
Tindakan keperawatan spesialis yang sudah dilakukan oleh penulis pada klien halusinasi di ruang Sadewa yaitu dari 20 klien, diberikan terapi melalui pendekatan individu dan melibatkan keluarga jika ada anggota keluarga yang datang mengunjungi klien. Tindakan keperawatan spesialis yang telah diberikan dengan pendekatan individu meliputi terapi perilaku kognitif (CBT) sebanyak 7 klien, terapi kognitif (CT) sebanyak 10 klien, dan terapi perilaku (BT) sebanyak 3
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
9
klien. Tindakan keperawatan yang diberikan pada keluarga adalah terapi psikoedukasi keluarga sebanyak 7 keluarga. Berdasarkan hasil penerapan tindakan keperawatan spesialis telah sesuai dengan konsep (teori Peplau’s) pendekatan yang sudah dilakukan pada klien dan keluarga dengan diagnosa keperawatan halusinasi adalah keperawatan psikodinamis, yaitu memahami kemampuan seorang klien halusinasi dengan tingkah laku klien untuk membantu klien mengidentifikasi kesulitan yang dirasakan dan untuk mengaplikasikan prinsip berhubungan antar manusia pada permasalahan yang timbul dan pada semua pengalaman yang dialami klien, sehingga tercipta hubungan interpersonal antara perawat dan klien untuk mempermudah pelaksanaan tindakan keperawatan spesialis yang diberikan oleh perawat. Berdasarkan hasil dari pelaksanaan tindakan keperawatan spesialis keperawatan jiwa terbukti mampu mengatasi diagnosa keperawatan halusinasi yaitu meningkatnya kemampuan klien dalam mengontrol halusinasi yang muncul dengan menyeimbangkan antara pikiran, perasaan dan perilaku klien yang rasional.
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien dengan halusinasi yang sudah dilakukan di Rumah Sakit sudah dikembangkan melalui model praktik keperawatan profesional (MPKP) yang diberikan oleh perawat ruangan. Pelaksanakan MPKP di ruang Sadewa untuk mempermudah dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien, sehingga ada kesinambungan dalam melakukan asuhan keperawatan yang setiap hari dilakukan adalah penerapan operan yaitu melaporkan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan yang sudah dilakukan kedua tim bagi shift pagi, siang dan malam, pre dan post conference yaitu melaporkan rencana yang mau dilakukan pada klien dan melaporkan hasil tindakan keperawatan yang dilakukan pada masing-masing tim sebelum operan, membuat daftar alokasi pasien untuk mempermudah kolaborasi tim atas pengelolaan masing-masing klien. Melakukan asuhan keperawatan dengan berkolaborasi untuk masing-masing klien perawat ruangan melakukan terapi generalis dan penulis melakukan terapi spesialis. Visit dokter juga dilakukan oleh dokter psikiatri yang didampingi oleh perawat ruangan untuk melaporkan hasil tindakan keperawatan
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
10
yang sudah dilakukan oleh perawat, sehingga ada tindak lanjut dari tenaga medis (dokter) terhadap terapi obat yang diberikan dari resep dokter yang diberikan.
Hasil manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa yang sudah dilakukan menunjukan hasil dapat mengubah perilaku maladaptif menjadi adaptif pada klien dengan peningkatan kemampuan klien baik kognitif, psikomotor dan afektif dalam mengontrol halusinasi yang muncul. Berdasarkan hal tersebut penulis akan mencoba menganalisis manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa dan melaporkannya dalam bentuk Karya Ilmiah Akhir.
1.2. Tujuan penelitian 1.2.1. Tujuan Umum Mengambarkan hasil manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa terhadap klien halusinasi di Ruang Sadewa Rumah Sakit Dr Marzoeki Mahdi Bogor dengan pendekatan model stres adaptasi Stuart dan model Hildegard Peplau’s.
1.2.2. Tujuan Khusus 1.2.2.1. Diketahuinya karakteristik klien halusinasi di Ruang Sadewa Rumah Sakit Dr Marzoeki Mahdi Bogor. 1.2.2.2. Diketahuinya gambaran kasus yang meliputi stressor, respon dan kemampuan yang dimiliki klien halusinasi di Ruang Sadewa Rumah Sakit Dr Marzoeki Mahdi Bogor. 1.2.2.3. Diketahuinya pelaksanaan terapi spesialis terhadap klien yang mengalami halusinasi di Ruang Sadewa Rumah Sakit Dr Marzoeki Mahdi Bogor. 1.2.2.4. Diketahuinya hasil terapi spesialis yang sudah dilakukan pada klien yang mengalami halusinasi di Ruang Sadewa Rumah Sakit Dr Marzoeki Mahdi Bogor dengan pendekatan model stres adaptasi Stuart dan model Hildegard Peplau’s. 1.2.2.5. Diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanan terapi spesialis pada klien dengan halusinasi di Ruang Sadewa Rumah
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
11
Sakit Dr Marzoeki Mahdi Bogor dengan pendekatan model stres adaptasi Stuart dan model Hildegard Peplau’s.
1.3. Manfaat Penelitian 1.3.1. Manfaat Aplikatif 1.3.1.1. Klien halusinasi dapat dilakukan tindakan keperawatan di Rumah Sakit dengan baik oleh tenaga keperawatan dan medis dengan melibatkan keluarga yang berpartisipasi sebagai dukungan sosial yang terdekat saat klien di rumah yang telah dilatih cara merawat klien dengan gangguan jiwa. 1.3.1.2. Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa, khususnya pada klien dengan halusinasi yang diberikan oleh perawat di ruangan dengan melibatkan keluarga. 1.3.1.3. Menjadi bahan pertimbangan untuk menyusun program rehabilitasi yang lebih bervariatif dalam penanggulangan masalah gangguan jiwa pada klien halusinasi di masa mendatang.
1.3.2.
Manfaat Keilmuan
1.3.2.1 Hasil Karya Ilmiah Akhir ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran peran perawat kesehatan jiwa di Rumah Sakit dalam menangani masalah halusinasi pada klien gangguan jiwa di Rumah Sakit. 1.3.2.2 Masukan bagi pengelola program kesehatan jiwa di Rumah Sakit Dr. Marzoeki Mahdi Bogor dalam merencanakan program-program yang lebih efektif dan merupakan dasar dalam merumuskan kebijakan dalam menangani masalah gangguan jiwa. 1.3.3
Manfaat Metodologi
1.3.3.1 Dapat dijadikan data rujukan terkait dengan proses belajar mengajar yang melibatkan mahasiswa program pascasarjana terkait dengan manajemen pelayanan kesehatan jiwa dan asuhan keperawatan jiwa secara nyata di Rumah Sakit.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
12
1.3.3.2 Memperoleh pengalaman dalam penerapan ilmu dan konsep keperawatan jiwa khususnya dalam menerapkan terapi spesialis pada klien gangguan jiwa dan melakukan koordinasi serta kerjasama dengan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit. 1.3.3.3 Hasil Karya Ilmiah Akhir ini selanjutnya dapat menjadi bahan acuan untuk tindak lanjut program bagi spesialis keperawaan jiwa yang selanjutnya. 1.3.3.4 Berguna sebagai data dasar bagi penelitian selanjutnya dalam memberikan gambaran terapi yang efektif bagi klien dengan masalah halusinasi.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
13
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis akan menguraikan konsep teori stres adaptasi Stuart dan Hildegard Peplau dalam merawat klien dengan halusinasi, menjelaskan konsep halusinasi, diagnosa serta penatalaksanaan baik medis maupun keperawatan yang telah dilakukan. Berikut ini akan penulis uraikan berbagai konsep yang terkait.
2.1 Konsep Teori Stres dan Adaptasi Stuart dan Hildegard Peplau Dalam Merawat Klien Dengan Halusinasi Konsep teori membantu memberikan pengetahuan kepada perawat untuk meningkatkan praktik keperawatan dengan cara menguraikan, menjelaskan, meramalkan dan mengendalikan fenomena. Konseptual model memperlihatkan bagaimana hubungan antara konsep yang beraneka ragam dengan aplikasi berbagai teori untuk memprediksi atau mengevaluasi berbagai alternatif dari konsekuensi. Hal ini menjadi dasar dalam pengembangan dan dalam rangka penerapan terapi spesialis keperawatan jiwa dalam melakukan asuhan keperawatan jiwa pada klien halusinasi.
2.1.1. Konsep Teori Stres Adaptasi Stuart Model Stress Adaptasi Stuart dari keperawatan jiwa memandang perilaku manusia dalam perspektif yang holistik terdiri atas biologis, psikologis dan sosiokultural dan aspek- aspek tersebut saling berintegrasi dalam perawatan. Komponen biospikososial dari model tersebut termasuk dalam faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan mekanisme koping (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009).
Model adaptasi stres Stuart mengintegrasikan antara aspek biologis, psikologis, sosial budaya, lingkungan dan aspek etnik legal dalam perawatan klien ke dalam kesatuan kerangka kerja untuk proses asuhan keperawatan yang inklusif, holistik, dan relevan dengan kebutuhan klien, keluarga, kelompok, dan komunitas (Stuart, 2009). Model tersebut menjelaskan mengapa klien berespon terhadap stres dan membantu menyediakan pemahaman tentang proses dan tujuan yang diinginkandari intervensi keperawatan.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
14
Skema 2.1 dibawah ini menjelaskan psikodinamika masalah keperawatan jiwa Faktor predisposisi Biologi
Psikologi
Sosialkultural
Stresor presipitasi Nature
Origin
Timing
Number
Penilaian terhadap stresor Kognitif
Afektif Fisiologis
Perilaku Sosial
Sumber koping
Kemampuan personal Dukungan sosial
Aset material Keyakinan positif
Mekanisme koping
Konstruktif
Destruktif
Rentang respon koping Respon adaptif
Respon Maladaptif
DIAGNOSA KEPERAWATAN Skema 2.1. Psikodinamika Masalah Keperawatan Jiwa (Stuart, 2009) 2.1.1.1. Stressor Predisposisi 2.1.1.1 Faktor Predisposisi Faktor predisposisiyang dapat menyebabkan terjadinya gangguan jiwa pada klien skizofrenia meliputi faktor biologis, psikologis dan juga sosiokultural (Stuart & Laraia 2005; Stuart, 2009). a. Biologi Faktor biologi yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan jiwa pada skizofrenia adalah faktor genetik, neuroanatomi, neurokimia serta imunovirologi (Videbeck, 2008).
1) Genetik Secara
genetik
ditemukan
perubahan
pada
kromosom
5
dan
6
yang
mempredisposisiskan individu mengalami skizofrenia (Copel, 2007), sedangkan Buchanan dan Carpenter (2000, dalam Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009) menyebutkan bahwa kromosom yang berperan dalam menurunkan skizofrenia adalah Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
15
kromosom 6, sedangkan kromosom lain yang juga berperan adalah kromosom 4, 8, 15 dan 22, Craddock et al (2006 dalam Stuart, 2009).
Penelitian lain juga menemukan gen GAD 1 yang bertanggung jawab memproduksi GABA, dimana pada klien skizofrenia tidak dapat meningkat secara normal sesuai perkembangan pada daerah frontal, dimana bagaian ini berfungsi dalam proses berfikir dan pengambilan keputusan Hung et al, (2007 dalam Stuart, 2009).
Penelitian yang paling sering memusatkan pada penelitian anak kembar yang menunjukkan anak kembar identik beresiko mengalami skizofrenia sebesar 50%, sedangkan pada kembar non identik/fraternal berisiko 15% mengalami skizofrenia. Resiko 15 % jika salah satu orang tua menderita skizofrenia, angka ini meningkat 40% - 50% jika kedua orangtua biologis menderita skizofrenia (Cancro & Lehman, 2000; Videbeck, 2008; Stuart, 2009; Townsend, 2009; Fontaine, 2009).
Semua penelitian ini menunjukkan bahwa faktor genetik dapat menjadi penyebab terjadinya skizofrenia dan perlu menjadi perhatian untuk mengetahui resiko seseorang mengalami skizofrenia dilihat dari faktor keturunan.
2) Neuroanatomi Penelitian menunjukkan kelainan anatomi, fungsional dan neurokimia di otak klien skizofrenia hidup, penelitian menunjukkan bahwa korteks prefrontal dan sistem limbik tidak sepenuhnya berkembang di otak klien dengan skizofenia. Penurunan volume otak mencerminkan penurunan baik materi putih dan materi abu-abu pada neuron akson (Kuroki et al, 2006; Higgins, 2007 dalam Stuart, 2009). Hasil pemeriksaan Computerized Tomography (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI), memperlihatkan penurunan volume otak pada individu dengan skizofrenia, temuan ini memperlihatkan adanya keterlambatan perkembangan jaringan otak dan atropi. Pemeriksaaan Positron Emission Tomography (PET) menunjukkan penurunan aliran darah ke otak pada lobus frontal selama tugas perkembangan kognitif pada individu dengan skizofrenia.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
16
Penelitian lain juga menunjukkan terjadinya penurunan volume otak dan fungsi otak yang abnormal pada area temporalis dan frontal (Videbeck, 2008). Perubahan pada kedua lobus tersebut belum diketahui secara pasti penyebabnya. Keadaan patologis yang terjadi pada lobus temporalis dan frontalis berkorelasi dengan terjadinya tandatanda positif dan negatif dan skizofrenia.
Tanda-tanda positif skizofrenia Copel (2007) menyebutkan bahwa seperti psikosis disebabkan karena fungsi otak yang abnormal pada lobus temporalis. Tanda negatif seperti tidak memiliki kemauan atau motivasi dan anhedonia disebabkan oleh fungsi otak yang abnormal pada lobus frontalis. Hal ini sesuai dengan Sadock (2007) yang menyatakan bahwa fungsi utama lobus frontalis adalah aktivasi motorik, intelektual, perencanaan konseptual, aspek kepribadian, aspek produksi bahasa, apabila terjadi gangguan pada lobus frontalis, maka akan terjadi perubahan kepribadian, tidak memiliki kemauan atau motivasi, anhedonia. Fungsi utama dan lobus temporalis adalah ingatan dan emosi. Gangguan yang terjadi pada korteks temporalis dan nukleus limbik yang berhubungan pada lobus temporalis.
3) Neurokimia Penelitian di bidang neurotransmisi telah memperjelas hipotesis disregulasi pada skizofrenia, gangguan terus menerus dalam satu atau lebih neurotransmitter atau neuromodulator mekanisme pengaturan homeostatik menyebabkan neurotransmisi tidak stabil atau tidak menentu. Teori ini menyatakan bahwa area mesolimbik overaktif terhadap dopamine, sedangkan apa area prefrontal mengalami hipoaktif sehingga terjadi ketidakseimbangan antara sistem neurotransmiter dopamine dan serotonin serta yang lain (Stuart, 2009). Pernyataan ini memberi arti bahwa neurotransmiter mempunyai peranan yang penting menyebabkan terjadinya skizofrenia.
Neurotransmiter yang berperan menyebabkan skizofrenia adalah dopamin dan serotonin. Satu teori yang terkenal memperlihatkan dopamin sebagai faktor penyebab, ini dibuktikan dengan obat-obatan yang menyekat reseptor dopamin pascasinaptik mengurangi gejala psikotik dan pada kenyataannya semakin efektif obat tersebut dalam mengurangi gejala skizofrenia. Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
17
Dopamin penting dalam respon terhadap stress dan memiliki banyak koneksi ke sistem limbik. Dopamin memiliki empat jalur utama dalam otak. (1) Jalur mesolimbik di daerah tegmentum ventral dan proyeksi ke daerah-daerah dari sistem limbik, termasuk amigdala, nucleus accumbens dan hipotalamus. Jalur mesolimbik dikaitkan dengan fungsi memori, emosi, gairah, dan kesenangan. Kelebihan aktivitas dalam saluran mesolimbik telah terlibat dalam gejala positif skizofrenia (misalnya halusinasi, delusi) dan perilaku emosi yang muncul sebagai perilaku agresif dan kekerasan. (2) Jalur mesokortikal di daerah tegmentum ventral dan proyeksi ke korteks. Jalur mesokortikal berkaitan dengan kognisi, perilaku sosial, perencanaan, pemecahan masalah, motivasi, dan penguatan dalam belajar, gejala negatif dari skizofrenia (misalnya afek datar, apatis, kurangnya motivasi dan anhedonia) telah dikaitkan dengan aktivitas berkurang dalam saluran mesokortikal yang mengarah pada kondisi harga diri rendah. (3) Jalur nigrostriatal di substantia nigra dan berakhir di striatum dari basal ganglia jalur ini terkait dengan fungsi kontrol. Degenerasi di jalur ini dikaitkan dengan penyakit parkinson dan gejala psikomotorik paksa skizofrenia. (4) Jalur tuberoinfundibular di hipotalamus dan proyeksi ke kelenjar pituitari (Townsend, 2009; Stuart, 2009). Hal ini terkait dengan fungsi endokrin, pencernaan, metabolisme, kelaparan, haus, kontrol suhu, dan gairah seksual Implikasinya dalam kelainan endokrin tertentu yang berkaitan dengan skizofrenia.
4) Imunovirologi Penelitian yang menemukan “virus Skizofrenia” telah berlangsung (Torrey et al, 2007; Dalman et al, 2008). Bukti campuran menunjukkan bahwa paparan prenatal terhadap virus influenza, terutama selama trimester pertama, menjadi salah satu faktor penyebab skizofrenia pada beberapa orang tetapi tidak pada orang lain (Brown et al, 2004). Teori ini didukung oleh temuan riset yang memperlihatkan lebih banyak orang dengan skizofrenia lahir di musim dingin atau awal musim semi dan di daerah perkotaan (Van Os et al, 2004). Temuan ini menunjukkan musim potensial dan tempat lahir dampak terhadap risiko untuk skizofrenia. Infeksi virus lebih sering terjadi pada tempat keramaian dan musim dingin dan awal musim semi dan dapat terjadi in utero atau pada anak usia dini pada beberapa orang yang rentan (Gallagher et al, 2007; Veling et al, 2008 dalam Stuart, 2009).
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
18
Data epidemiologis menunjukkan bahwa tingginya insiden skizofrenia setelah terpapar kehamilan dengan influenza. Data lain mendukung hipotesis virus adalah peningkatan jumlah anomali fisik saat lahir, tingkat peningkatan komplikasi kehamilan dan kelahiran, lahir musiman yang konsisten dengan infeksi virus, kluster geografis kasus orang dewasa, dan hospitalisasi (Sadock, 2007). Dapat disimpulkan bahwa paparan prenatal pada virus influenza terutama selama trimester pertama, mungkin menjadi salah satu faktor penyebab skizofrenia pada beberapa orang dan kejadian yang paling banyak terjadi pada kehamilan dengan influenza.
b. Psikologis
Faktor psikologis juga ikut berperan mengakibatkan terjadinya skizofrenia. Awal terjadinya
skizofrenia
difokuskan
pada
hubungan
dalam
keluarga
yang
mempengaruhi perkembangan gangguan ini (Townsend, 2009). Teori awal menunjukkan kurangnya hubungan antara orangtua dan anak, serta disfungsi sistem keluarga sebagai penyebab skizofrenia. Penelitian lain disebutkan beberapa anak dengan skizofrenia menunjukkan kelainan motorik halus yang meliputi perhatian, koordinasi, kemampuan sosial, fungsi neuromotor dan respon emosional jauh sebelum mereka menunjukkan gejala yang jelas dari skizofrenia (Schiffman et al, 2004 dalam Stuart, 2009). Hal diatas didukung oleh Sinaga (2008) yang menyebutkan bahwa lingkungan emosional yang tidak stabil mempunyai resiko yang besar pada perkembangan skizofrenia, pada masa anak disfungsi situasi sosial seperti trauma masa kecil yag tidak menyenangkan atau masa lalu yang tidak menyenangkan, kekerasan, hostilitas dan hubungan interpersonal yang kurang hangat diterima oleh anak sangat mempengaruhi perkembangan neurologikal anak, sehingga lebih rentan mengalami skizofrenia di kemudian hari.
Berdasarkan faktor psikologis yang dapat mempengaruhi adalah tingkat intelegensi, kemampuan verbal, moral, kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri dan motivasi (Stuart & Laraia, 2005). Faktor penyebab terjadinya skizofrenia berdasarkan teori interpersonal berpendapat bahwa skizofrenia muncul akibat hubungan disfungsional pada masa kehidupan awal dan masa remaja, skizofrenia terjadi akibat ibu yang cemas berlebihan, terlalu protektif atau tidak perhatian secara
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
19
emosional atau ayah yang jauh dan suka mengontrol (Torrey, 1995 dalam Videbeck, 2008). Hal ini memberi arti bahwa anak akan belajar pada orangtuanya yang mengalami skizofrenia dan akan mempraktekkan apa yang dilihatnya setelah ia besar dalam setiap ia mengalami masalah seperti cemas yang berlebihan yang menjadikan anak kurang percaya diri serta kurang mampu mengontrol emosional yang mengakibatkan anak berperilaku temperamen dan perilaku kekerasan atau karena kurang percaya diri menyebabkan anak menjadi lebih banyak diam, menyendiri dan melamun dengan berbagai stressor yang dialami yaitu lingkungan emosional yang tidak stabil, mempunyai resiko yang besar pada perkembangan skizofrenia, pada masa kanak terjadi trauma masa kecil yag tidak menyenangkan atau masa lalu yang tidak menyenangkan, kekerasan, dan hubungan interpersonal yang kurang hangat atau kurang perhatian.
c. Sosiokultural Berdasarkan faktor sosial kultural meliputi disfungsi dalam keluarga, konflik keluarga, komunikasi doueble bind serta ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi tugas perkembangan (Towsend, 2009). Hal ini didukung oleh Seaward (1997, dalam Videbeck, 2008) menyebutkan bahwa skizofrenia disebabkan oleh faktor interpersonal yang meliputi komunikasi yang tidak efektif, ketergantungan yang
berlebihan
atau
menarik
diri
dalam
hubungan,
dan
kehilangan
kontrolemosional. Pernyataan ini menunjukkan bahwa faktor sosial budaya seperti komunikasi yang tidak efektif anak menjadikan anak memiliki persepsi yang tidak akurat yang mengarah ke halusinasi; ketergantungan yang berlebihan atau menarik diri dalam hubungan menjadikan anak menjadi kurang percaya diri dan rendah diri dalam hubungan sosial yang mengarah pada harga diri rendah, serta kehilangan kontrol emosional yang menjadi anak meniru perilaku kekerasan yang dialami. karena kurang percaya diri menyebabkan anak menjadi lebih banyak diam, menyendiri dan melamun sehingga beresiko terjadinya halusinasi.
Faktor budaya dan sosial yang dapat menyebabkan terjadinya skizofrenia adalah masalah pekerjaan karena tidak bekerja sehingga tidak adanya penghasilan, adanya kekerasan, tidak memiliki tempat tinggal (tunawisma), kemiskinan dan diskriminasi ras, golongan, usia maupun jenis kelamin, kekerasan dalam rumah tangga, Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
20
permasalahan dengan pasangan (Seaward 1997, dalam Videbeck, 2008) dan diperkuat oleh Sinaga, (2008) menyatakan bahwa stressor sosial juga mempengaruhi perkembangan skizofrenia, diskriminasi pada komunitas minoritas mempunyai angka kejadian skizofrenia yang tinggi, skizofrenia lebih banyak didapatkan pada masyarakat di lingkungan perkotaan dibanding masyarakat pedesaan, individu dengan skizofrenia akan bergeser ke kelompok sosial ekonomi rendah, bergantung dengan lingkungan sekitar, kehilangan pekerjaan dan berkurang penghasilan. Faktor sosial kultural yang dapat mempengaruhi yaitu usia, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan, pekerjaan. posisi sosial, latar belakang budaya, nilai dan pengalaman sosial individu (Stuart & Laraia, 2005).
Hal diatas memberikan gambaran pada kita semua bahwa faktor sosial budaya seperti masalah rumah tangga atau pasangan, kemiskinan, pendidikan maupun pekerjaan juga dapat mempengaruhi kualitas kesehatan jiwa individu, oleh sebab itu perlu ditingkatkan kemampuan individu dalam beradaptasi menghadapi situasi tersebut agar individu tidak mengalami skizofrenia.
2.1.1.2 Faktor Presipitasi a. Biologis Stressor presipitasi adalah stimuli yang diterima individu sebagai tantangan, ancaman atau tuntutan. Stressor presipitasi biologis berupa ancaman terhadap integritas fisik yang terjadi karena ketidakmampuan fisiologis atau penurunan kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari di masa mendatang, jika seorang klien yang terkena gangguan fisik, akan lebih mudah mengalami ansietas (Tarwoto & Wartonah, 2010). Ancaman terhadap integritas fisik meliputi sumber internal dan eksternal. Sumber internal meliputi kegagalan mekanisme fisiologis seperti sistem kardiovaskuler, sistem imun, atau regulasi suhu, sedangkan sumber eksternal meliputi terpaparnya infeksi virus atau bakteri, polusi lingkungan, bahaya keamanan, kehilangan perumahan yang adekuat, makanan, pakaian atau trauma injuri (Stuart & Laraia, 2005). Ancaman terhadap integritas fisik selanjutnya akan dilihat sebagai stressor presipitasi biologis.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
21
Faktor biologis lainnya yang merupakan predisposisi dapat menjadi presipitasi dengan memperhatikan asal stressor, baik internal atau lingkungan eksternal individu. Waktu dan frekuensi terjadinya stressor penting untuk dikaji (Stuart & Laraia, 2005). Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami bahwa stressor presipitasi biologis yaitu segala bentuk ancaman yang terjadi karena adanya gangguan pada sistem kardiovaskuler, berupa peningkatan tekanan darah, yang akan mempengaruhi integritas fisik, dan dapat menimbulkan respon ketakutan klien terhadap kondisi kesehatannya yang dianggap dapat mengancam jiwanya.
b. Psikologis Pemicu skizofrenia dapat diakibatkan oleh toleransi terhadap frustasi yang rendah, koping individu yang tidak efektif, impulsif dan membayangkan atau secara nyata adanya ancaman terhadap keberadaan dirinya, tubuh atau kehidupan, yang menjadikan klien berperilaku maladaptif serta kesalahan mempersepsikan stimulus yang tampak pada klien. Klien skizofrenia dapat terjadi karena beberapa perasaan seperti ansietas, rasa bersalah, marah,frustasi atau kecurigaan (Townsend, 2009). Ancaman terhadap sistem diri diindikasikan sebagai ancaman terhadap identitas diri, harga diri, dan fungsi integritas sosial. Ancaman terhadap sistem diri juga terdiri atas dua sumber yaitu internal daan eksternal (Stuart, 2009; Gunarsa, 1998). Sumber internal meliputi kesulitan dalam hubungan interpersonal di rumah atau di tempat kerja karena penurunan produktivitas, dan perubahan peran di keluarga dan masyarakat. Sumber eksternal terdiri atas resiko perceraian dan kehilangan orang berarti. Hal ini menggambarkan bahwa pada klien skizofrenia dengan halusinasi dapat dipicu kondisi rasa bersalah, cemas dan frustasi karena keinginannya tidak tercapai dan kehilangan orang yang dicintai, serta merasa tersinggung dapat muncul karena klien salah dalam mempersepsikan kondisi yang dialaminya pada klien.
c. Sosialkultural Penelitian dilakukan yang menghubungkan skizofrenia dilihat dari kondisi sosial. Data statistik epidemiologi telah menunjukkan bahwa individu dari kelas sosial ekonomi rendah lebih besar mengalami gejala-gejala yang berhubungan dengan
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
22
skizofrenia dibandingkan yang berasal dari kelompok sosial ekonomi lebih tinggi (Ho, Black, & Andreasen, 2003). Penjelasan untuk kejadian ini meliputi kondisi yang terkait dengan hidup dalam kemiskinan seperti akomodasi perumahan padat, nutrisi yang tidak memadai, tidak adanya perawatan sebelum melahirkan, beberapa sumber daya untuk menangani situasi stres, dan merasa putus asa untuk mengubah gaya hidup seseorang yang mengalami kemiskinan, selain itu kegagalan dalam integritas sosial dan ekonomi, termasuk didalamnya faktor status ekonomi dan penghasilan keluarga (Stuart, 2009).
Pandangan alternatif adalah bahwa dari hipotesis drift down, yang menunjukkan bahwa, karena gejala karakteristik gangguan, individu dengan skizofrenia mengalami kesulitan mempertahankan pekerjaan yang menguntungkan dan "drift down" ke tingkat yang lebih rendah sosial ekonomi (atau gagal untuk bangkit keluar dari kelompok
sosial
ekonomi
rendah).
Para
pendukung
pandangan
ini
mempertimbangkan kondisi sosial yang buruk sebagai akibat bukan penyebab skizofrenia (Townsend, 2009).
Penelitian telah dilakukan dalam upaya untuk menentukan apakah episode psikotik mungkin akan dipicu oleh peristiwa hidup penuh stres. Hal ini sangat mungkin, bagaimanapun stress yang dapat berkontribusi pada keparahan dan perjalanan penyakit, telah diketahui bahwa stres ekstrem dapat memicu episode psikotik. Stres memang dapat menimbulkan gejala pada seorang individu yang memiliki kerentanan genetik untuk skizofrenia. Peristiwa kehidupan, stres mungkin terkait dengan eksaserbasi gejala skizofrenia dan tingkat peningkatan kambuh. Pemahaman terhadap penerimaan lingkungan dan stres klien perlu diidentifikasi oleh petugas. Perlu dikaji asal stressor sosiokultural, waktu terjadinya stressor dan jumlah stressor psikologis yang terjadi dalam suatu waktu, dengan demikian banyak sekali stresor sosiokultural yang dapat mempengaruhi dan menjadi penyebab ataupun pencetus skizofrenia.
2.1.1.3 Penilaian Stressor Penilaian terhadap stressor merupakan penilaian individu ketika menghadapi stressor yang datang. Faktor biologis, psikososial dan lingkungan saling berintegrasi satu Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
23
sama lain pada saat individu mengalami stres sedangkan individu sendiri memiliki kerentanan (diatesis), yang jika diaktifkan oleh pengaruh stres maka akan menimbulkan gejala skizofrenia (Sinaga, 2008).
a.
Respons Kognitif
Respon kognitif merupakan suatu mediator bagi interaksi antara klien dan lingkungan (Stuart, 2009; Videbeck, 2008). Klien dapat menilai adanya suatu bahaya terhadap stressor yang dipengaruhi oleh: Pertama, pandangan dan pemahaman klien terhadap stressor seperti sikap terbuka terhadap adanya perubahan, serta keterlibatannya secara aktif dalam suatu kegiatan, dan kemampuan untuk kontrol diri terhadap pengaruh lingkungan. Kedua, adalah sumber untuk toleransi serta beradaptasi terhadap stressor yang dihadapi yang berasal dari diri sendiri serta lingkungannya. Ketiga, kemampuan koping, hal ini seringkali berhubungan dengan pengalaman klien dalam menghadapi stresor dan paparan terhadap cara menghadapi stresor. Keempat adalah efektifitas koping yang dipergunakan oleh klien dalam mengatasi stresornya (Stuart, 2009; Isaacs, 2001). Respon kognitif klien skizofrenia akan muncul pembicaraan kacau dan tidak masuk akal, tidak mampu membedakan yang nyata dengan yang tidak nyata (Townsend, 2009; Stuart, 2009; Fontaine, 2009). Berdasarkan penjelasan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa respon kognitif pada klien skizofrenia, meliputi fokus perhatian terpecah, tidak bisa berfikir logis, muncul gangguan proses pikir, dan disorientasi atau tidak mampu membedakan yang nyata dan tidak nyata.
b. Respon Afektif Respon afektif terkait dengan: Pertama, ekspresi emosi: respon emosi dalam menghadapi stresor dapat berupa perasaan sedih, gembira, takut, marah, menerima, tidak percaya, antisipasi, kejutan. Kedua, klasifikasi dari emosi akan tergantung pada tipe, lama dan intensitas dari stressor yang diterima dari waktu ke waktu. Ketiga, suasana hati dapat berupa emosi dan sudah berlangsung lama yang akan mempengaruhi suasana hati seseorang. Keempat, sikap: hal ini terjadi bila stressor telah berlangsung lama, sehingga sudah menjadi suatu kebiasaan/pola bagi individu tersebut (Stuart, 2009; Isaacs, 2001). Penilaian afektif sangat dipengaruhi oleh
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
24
kegagalan individu dalam menyelesaikan tugas perkembangan di masa lalu, terutama berkaitan dengan pengalaman berinteraksi dengan orang lain. Respon afektif yang dapat muncul perasaan, merasa ketakutan, mudah tersinggung, jengkel, merasa curiga, dan mudah marah (Townsend, 2009; Stuart, 2009; Fontaine, 2009). Berdasarkan penjelasan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa respon afektif pada klien skizofrenia meliputi, tidak sabar, mudah tersinggung, curiga terhadap orang lain dan mudah marah.
c.
Respon Fisiologis
Respon fisiologis berkaitan dengan struktur fisiologis yang meliputi fungsi saraf, hormon, anatomi dan kimia saraf dimana diketahui otak memiliki reseptor khusus terhadap benzodiazepin yang berfungsi membantu regulasi ansietas. Regulasi tersebut berhubungan dengan aktivitas neurotransmiter gamma amino butyric acid (GABA) yang mengatasi aktivitas neuron di bagian otak. Respon fight atau flight yang dilakukan oleh klien dalam menghadapi stressor akandistimulasi oleh sistem saraf otonom serta meningkatkan aktivitas dari kelenjar pituitari adrenal (Stuart, 2009; Isaacs, 2001). Respon fisiologis dapat dilihat dari ekspresi wajah tidak semangat, lemah, lesu, berkeringat, pernapasan dan nadi meningkat, sulit tidur (Townsend, 2009; Stuart, 2009; Fontaine, 2009). Berdasarkan penjelasan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa respon fisiologis pada klien skizofrenia meliputi, lemah, lesu, tidak bersemangat dan sulit tidur.
d. Respon perilaku Respon perilaku menunjukkan manifestasi dari penilaian kognitif dan afektif klien terhadap stressor (Stuart, 2009). Penilaian kognitif dan afektif tidak adekuat terhadap stressor dan tidak mampu mengatur fungsi fisiologisnya, maka hal tersebut akan mengakibatkan perilaku tidak normal/spesifik. Penjelasan tentang respon perilaku pada klien yang mengalami halusinasi klien berbicara, senyum dan tertawa sendiri, mengatakan mendengar suara, melihat, menghirup, mengecap dan merasa sesuatu yang tidak nyata, merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan, serta malas melakukan perawatan diri seperti mandi, sikat gigi, ganti pakaian dan tidak ada kontak mata (Townsend, 2009; Stuart, 2009; Fontaine, 2009). Berdasarkan
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
25
penjelasan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa respon perilaku pada klien skizofrenia meliputi, bicara atau tertawa sendiri, suka menyendiri, malas merawat diri dan kadang terlihat curiga dengan orang lain.
e.
Respon Sosial
Respon sosial yang muncul yaitu sikap curiga dan bermusuhan sehingga lama kelamaan klien akan menarik diri dari orang lain (Townsend, 2009; Stuart, 2009; Fontaine, 2009). Hal ini memberikan arti bahwa apabila individu mengalami suatu stressor maka ia akan merespon stressor tersebut dan akan tampak melalui tanda dan gejala yang muncul pada klien yaitu muncul perilaku suka menyendiri, membatasi interaksi dengan orang lain dan kadang muncul perasaan marah dengan orang lain.
f.
Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah beberapa usaha yang secara langsung dilakukan klien untuk mengelola stres yang dihadapi (Stuart, 2009). Mekanisme koping terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu mekanisme koping konstruktif dan dekstruktif. Mekanisme koping konstruktif bersifat membangun dan menguatkan ketahanan mental klien, sedangkan mekanisme koping dekstruktif bersifat merusak dan menyebabkan kondisi maladaptif pada klien. Pada kenyataannya, sering dijumpai beberapa klien yang mengalami halusinasi menunjukkan mekanisme koping yang destruktif maka, diperlukan penguatan koping klien untuk merubah mekanisme koping destruktif menjadi konstruktif. Kemampuan mengatasi masalah yang dimiliki oleh klien akan menghasilkan mekanisme koping konstruktif atau destruktif. Kemampuan klien dalam mengatasi masalah yang memunculkan mekanisme koping konstruktif digunakan sebagai dasar perawat untuk menyusun kegiatan yang bertujuan untuk menguatkan kemampuan klien. Kemampuan klien dalam mengatasi masalah yang memunculkan mekanisme koping destruktif akan digunakan sebagai dasar penyusunan kegiatan melatih keterampilan dan kemampuan klien untuk mengurangi stressor yang muncul. Kemampuan mengatasi masalah dan mekanisme koping, respon klien terhadap stressor dapat digunakan sebagai dasar penyusunan rencana keperawatan pada klien.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
26
2.1.1.4 Sumber Koping Kemampuan mengatasi suatu masalah merupakan koping yang dimiliki klien dalam berespon terhadap setiap stressor yang dihadapi (Stuart, 2009;Videbeck, 2008). Koping yang dimiliki oleh klien dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu kemampuan internal dan kemampuan eksternal. Kemampuan internal bersumber dari individu, meliputi
kemampuan
personal
(personal
abilities)
dan
keyakinan
positif
(positivebelief), sedangkan kemampuan eksternal bersumber dari luar individu. Termasuk dalam kemampuan eksternal yaitu dukungan sosial (socialsupport) dan ketersediaan materi (material assets)
(Stuart, 2009). Kekuatan pada keempat
komponen tersebut dapat membantu klien dalam mengintegrasikan pengalaman yang tidak menyenangkan di masa lalu menjadi pembelajaran untuk dapat beradaptasi di kehidupan selanjutnya.
a) Kemampuan Personal Kemampuan personal merupakan kemampuan yang dimiliki oleh klien dalam mengatasi stressor (Stuart, 2009). Kemampuan tersebut meliputi pengetahuan, motivasi, kemampuan memecahkan masalah dan latihan mengurangi halusinasi. Kemampuan mengatasi stressor yang muncul yang dimiliki oleh klien merupakan suatu upaya untuk membantu klien mengatasi stressornya secara konstruktif. Kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh klien untuk mengatasi stressor adalah kemampuan mengenal stressor yang muncul, kemampuan mengatasi stressor, dan latihan mengontrol stressor yang terjadi. Seorang klien yang mengalami stressor dikatakan berhasil mengontrol stressor muncul, apabila mampu mengoptimalkan kemampuan personal yang dimiliki selama ini. Kemampuan personal yang perlu dioptimalkan meliputi kemampuan mengenal masalah, kemampuan mengatasi stressor, kemampuan meningkatkan konsep diri terkait peran dan posisi di masyarakat, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan memanfaatkan dukungan sosial yang ada, kemampuan menggunakan nilai kepercayaan yang selaras dan tidak bertolak belakang dari nilai positif yang dimiliki, dan latihan mengurangi stressor (Stuart, 2009). Seluruh kemampuan di atas, digunakan dalam rangka mengontrol stressor yang muncul. Klien dan keluarga sering mengenyampingkan stressor sebagai sebuah gejala yang mengancam, karena klien
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
27
dan keluarga cenderung lebih memprioritaskan masalah fisik daripada masalah psikososial. Keterbatasan intelektual klien sangat mempengaruhi dalam kemampuan penyelesaian masalah dan ketidakmampuan memanfaatkan dukungan sosial.
b) Keyakinan positif Keyakinan positif merupakan nilai yang sudah tertanam sejak dini dalam lingkungan keluarga dan sekitarnya melalui proses pembelajaran (Stuart, 2009). Keyakinan positif (positive belief), merupakan keyakinan spiritual dan gambaran positif klien terhadap kondisinya atau kemampuannya, sehingga dapat menjadi dasar dari harapan yang dapat mempertahankan koping adaptif walaupun dalam kondisi penuh stressor. Nilai/keyakinan untuk melihat sebuah masalah atau stressor dapat dibiasakan dengan tidak menakut-nakuti, mengancam atau nilai distorsi lainnya. Apabila keyakinan tersebut terdistorsi atau tidak adekuat maka akan terjadi ketidakseimbangan baik kognitif, afektif dan emosi yang berlanjut pada ketidakmampuan beradaptasi pada masalah/stressor. Distorsi dalam aspek keyakinan tersebut, hampir sama yaitu: memiliki keterbatasan kemampuan diri dalam menghadapi masalahnya. Keyakinan harus dikuatkan untuk membentuk keyakinan positif (kognitif) dan dapat menguatkan afektif, kestabilan fisiologis tubuh, perilaku konstruktif dan sosial yang baik. Keyakinan positif pada klien halusinasi diperoleh dari keyakinan terhadap kondisi kesehatan dan kemampuan diri dalam mengontrol halusinasi yang dirasakan serta keyakinan terhadap pelayanan kesehatan. Adanya keyakinan yang positif akan berpotensi meningkatkan motivasi klien untuk menggunakan mekanisme koping yang konstruktif. Keyakinan yang negatif akan meningkatkan halusinasi yang muncul dan berpotensi menimbulkan perilaku destruktif.
c) Dukungan sosial Dukungan sosial merupakan komponen terpenting dalam sumber koping yang perlu dikembangkan. Dukungan sosial akan membuat klien merasa tidak sendiri dan berada pada lingkungan keluarga atau masyarakat yang peduli pada dirinya. Dukungan sosial tidak adekuat maka klien akan merasa sendiri dan terlalu berat menghadapi stressor (Friedman, 2010; Maglaya, 2009). Dukungan sosial bagi klien dapat bersumber dari keluarga, kelompok, dan orang-orang di sekitar klien (masyarakat). Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
28
tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing dalam menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Maglaya, 2009). Keluarga merupakan sumber pendukung utama bagi klien yang meliputi dukungan dalam merawat klien (Stuart, 2009). Dukungan psikologis bagi klien akan dapat dipenuhi jika keluarga mampu memenuhi tugas kesehatan keluarga. Maglaya (2009) menyebutkan bahwa lima tugas kesehatan yang harus dimiliki keluarga, meliputi: kemampuan mengenal masalah, mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi masalah, merawat anggota keluarga yang mengalami masalah, memodifikasi lingkungan (fisik, psikis, dan sosial) yang tepat untuk menurunkan stressor yang muncul, dan mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan secara tepat. Kurangnya informasi yang lengkap tentang diagnosa, kondisi psikososial, dan cara memfasilitasi peningkatan kesehatan klien mengakibatkan ketidaktahuan keluarga. Kurangnya dukungan emosional serta sikap empati dan konstruktif dalam memahami perasaan dan reaksi keluarga mengakibatkan ketidakmauan keluarga.
d) Kelompok merupakan sumber pendukung sosial bagi klien yang bisa diperoleh dari orang lain di sekitar tempat tinggal klien, dimana masing-masing anggota kelompok memiliki masalah yang hampir sama (Stuart, 2009; Videbeck, 2008). Kemampuan yang harus dimiliki oleh kelompok meliputi pemberi dukungan (informasi,
instrumental,
dan
afektif),
sosialisasi,
peningkatan
informasi,
pemberdayaan, dan menjalin persahabatan antar anggota kelompok.
e) Masyarakat adalah sumber pendukung klien yang diperoleh dari orang-orang yang bertempat tinggal di sekitar klien (Stuart, 2009). Masyarakat sebagai sumber pendukung, terdiri dari: tokoh masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan jiwa, dan tetangga yang tinggal dalam satu wilayah dengan klien. Tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tetangga yang tinggal di sekitar klien, idealnya memiliki kemampuan untuk menciptakan lingkungan psikologis bagi klien. Kader kesehatan jiwa (KKJ) merupakan sumber daya masyarakat yang perlu dikembangkan di Kelurahan Siaga Sehat Jiwa (Keliat, Panjaitan, & Riasmini, 2010). Kemampuan menciptakan lingkungan psikologis tercermin dari pemberian dukungan emosional, informasional, dan instrumental bagi klien agar mampu mengatasi masalah. Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
29
f) Material Asset Material asset dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu ketersediaan pelayanan kesehatan dan finansial. Pelayanan kesehatan merupakan upaya yang diselenggarakan sendiri/secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat (Notoatmodjo, 2007; Levey & Lomba, 1973). Pelayanan kesehatan dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier (Juanita, 2002). Pelayanan kesehatan primer (primary health care) merupakan pelayanan kesehatan terdepan, yang pertama kali diperlukan masyarakat pada saat mereka mengalami ganggunan kesehatan. Pelayanan kesehatan sekunder dan tersier (secondary and tertiary health care) adalah rumah sakit, tempat masyarakat memerlukan perawatan lebih lanjut (rujukan).
Pelayanan
kesehatan
primer
pada
umumnya
bersifat
rawat
jalan/ambulatory services (Sanusi, 2010).
Klien akan relatif mudah untuk menjangkau pusat pelayanan primer ketika muncul gejala yang dirasakan, maka setiap pelayanan kesehatan primer seharusnya memiliki pusat pelayanan kesehatan jiwa. Klien membutuhkan pelayanan kesehatan jiwa yang lebih lengkap, atau pelayanan kesehatan primer belum mencukupi, maka klien dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder, yang meliputi dokter spesialis dan dokter subspesialis yang terbatas, atau jika belum mencukupi, klien dapat dirujuk ke dokter sub spesialis yang lebih luas, yang berperan sebagai pelayanan kesehatan tersier (Ramadhan, 2011).
Klien membutuhkan ketersediaan dana finansial yang mencukupi dalam menjangkau pusat pelayanan kesehatan. Finansial merupakan ketersediaan dana yang dimiliki oleh klien yang dibutuhkan untuk dapat menjangkau pusat pelayanan kesehatan, baik primer, sekunder, atau tersier (Juanita, 2002). Finansial meliputi sumber penghasilan, aset/investasi (tanah, rumah, dll), dan tabungan, apabila finansial mencukupi, maka klien relatif mudah menjangkau pusat pelayanan kesehatan, tetapi kenyataan di realita menunjukkan bahwa beberapa klien kesulitan dalam menjangkau pusat pelayanan kesehatan primer. Salah satu kendala yang menghambat akses klien menuju pusat pelayanan kesehatan primer yaitu keterbatasan finansial. Indonesia Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
30
merupakan negara berkembang, dimana lebih dari 50 % penduduknya berada di bawah garis kemiskinan (Juanita, 2002).
Penderita gangguan jiwa lebihdari75% dari pembayaran pajak di Amerika Serikat yang dialokasikan bagi penderita gangguan jiwa dihabiskan untuk pengobatan penderita skizofrenia (Stuart, 2009). Di Indonesia dibutuhkan jaminan kesehatan bagi klien yang dapat diperoleh dari pemerintah ataupun pihak swasta untuk menguatkan dukungan finansial bagi klien. Jaminan kesehatan yang bersumber dari swasta dapat berupa asuransi kesehatan atau jaminan sosial. Jaminan kesehatan yang bersumber dari pemerintah dapat berupa Jamkesmas. Jamkesmas merupakan jaminan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah dan bertujuan untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan (Permenkes RI, 2011).
Keberadaan Jamkesmas diharapkan akan mampu menguatkan dukungan finansial klien, sehingga mampu mengatasi keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan. Dukungan finansial merupakan ketersediaan dana yang dimiliki oleh klien untuk membantu dalam perawatan dan kehidupan sehari-hari. Status ekonomi yang adekuat merupakan sumber koping dalam menghadapi situasi yang penuh dengan stres (Townsend, 2009).
Kondisi sosial ekonomi rendah berhubungan dengan hidup dalam kemiskinan, tinggal di pemukiman padat penduduk, nutrisi tidak adekuat, dan perasaan putus asa serta tidak berdaya untuk mengubah kondisi hidup dalam kemiskinan. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa status ekonomi yang rendah akan mengurangi kemampuan koping klien dalam menghadapi masalah, oleh karena itu, klien membutuhkan penguatan materal asset melalui dukungan finansial yang akan membantu dalam perawatan dan kehidupan sehari-hari, yang meliputi ketersediaaan finansial baik dari asuransi kesehatan maupun tabungan pribadi. Ketersediaan finansial akan membantu klien dalam menjangkau pusat layanan kesehatan. Terpenuhinya akses terhadap pelayanan kesehatan akan berpotensi meminimalkan masalah pada klien, akibat tidak optimalnya sumber koping yang dimiliki.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
31
Ketersediaan materi akan mendorong klien untuk melakukan kontrol kesehatan (khususnya kontrol klien) dengan baik, melakukan rekreasi yang dapat mengurangi perasaan tegang dan rasa tidak nyaman. Ketidakmampuan dalam aset materi akan menyebabkan beberapa penyimpangan dalam menyelesaikan masalah (mekanisme koping). Material asset pada klien halusinasi yang biasanya ditemukan adalah kemampuan finansial kurang dari kebutuhan dan berada pada golongan ekonomi menengah ke bawah. Kemampuan materi dapat dioptimalkan melalui pemberian pemahaman tentang masalahnya (kognitif), mengatur perasaan (afektif) optimisme, memperbaiki perilaku, mengontrol fisiologis tubuh dan mengembangkan hubungan sosial untuk memperluas support system.
2.1.2. Konsep Teori Hildegard Peplau Teori Peplau menjelaskan keperawatan merupakan suatu hal yang terapeutik yang mempunyai satu seni menyembuhkan, menolong individu yang sakit atau membutuhkan pelayanan kesehatan. Keperawatan dapat dipandang sebagai satu proses interpersonal karena melibatkan interaksi antara dua atau lebih individu dengan tujuan yang sama. Tujuankeperawatan ini akan mendorong ke arah proses terapeutik dimana perawat dan klien saling menghormati satu dengan yang lainsebagai individu, kedua duanya mereka belajar dan berkembang sebagai hasil dari interaksi. Belajar menempatkan diri saat individu mendapat stimulus dalam lingkungan dan berkembang penuh sebagai reaksi kepada stimulus tersebut. Untuk mencapai tujuan ini atau tujuan yang lain dicapai melalui penggunaan serangkaian langkah-langkah dan pola yang pasti. Saat hubungan perawat dan klien berkembang pada pola terapeutik ini, ada cara yang fleksibel dimana fungsi perawat dalam berpraktek dengan membuat penilaian dengan keahlian yang didapatkan melalui ilmu pengetahuan, dengan menggunakan kemampuan teknis dan peran asumsi (Tomey, 2006).
Perawat dan klien mengidentifikasi satu masalah
pertama kali dan mulai fokus
pada tindakan yang tepat, pendekatan yang dilakukan melalui perbedaan latar belakang dan keunikan setiap individu. Setiap individu dapat pandang sebagai satu struktur yang unik biologis, psikologis, spiritual dan sosial yang satu dengan yang
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
32
lain tidak bertentangan. Setiap individu telah belajar dari lingkungan, adat istiadat, kebiasaan, dan tersebut.
kepercayaan yang berbeda yang membentuk budaya individu
Setiap orang datang dari (pemikiran) sudut pandang yang berbeda,
sehingga mempengaruhi persepsi dan perbedaan persepsi ini sangat penting dalam proses interpersonal (Fitzpatrick, 1989).
Setiap permasalahan akan mempengaruhi kepribadian perawat dan meningkatkan professionalisme. Ciri perawat yang memiliki perubahan langsung dalam terapeutik, hubungan interpersonal. Peplau mengidentifikasi empat tahapan hubungan interpersonal yang saling berkaitan yaitu: (1) orientasi, (2) identifikasi, (3) eksploitasi, (4) resolusi (pemecahan masalah). Setiap tahapan saling melengkapi dan berhubungan sebagai satu proses untuk penyelesaian masalah.
Model konsep dan teori keperawatan yang dijelaskan oleh Peplau dalam Fitzpatrick, (1989) menjelaskan tentang kemampuan dalam memahami diri sendiri dan orang lain yang menggunakan dasar hubungan antar manusia yang mencakup 4 komponen sentral yaitu klien, perawat, masalah kecemasan yang terjadi akibat sakit (sumber kesulitan), dan proses interpersonal. a. Klien Sistem ini berkembang terdiri dari karakteristik biokimia, fisiologis, interpersonal dan kebutuhan serta selalu berupaya memenuhi kebutuhan dan mengintegrasikan pengalaman belajar. Klien adalah subjek yang langsung dipengaruhi adanya proses interpersonal. b. Perawat Perawat berperan mengatur tujuan dan proses interaksi interpersonal dengan klien yang bersifat partisipatif, sedangkan klien mengendalikan isi yang menjadi tujuan. Hubungan dengan klien, perawat berperan sebagai mitra kerja, pendidik, narasumber, merawat, pemimpin dan konselor sesuai dengan fase prosesinterpersonal. Pendidikan atau pematangan tujuan yang dimaksud untuk meningkatkan gerakan yang progresif dan kepribadian seseorang dalam berkreasi, membangun, menghasilkan pribadi dan cara hidup bermasyarakat. Perawat mempunyai 6 peran sebagai berikut : 1) Mitra kerja, berbagi rasa saling menghargai dan minat yang positif pada klien. Perawat menghadapi klien seperti tamu yang dikenalkan pada situasi baru. Sebagai Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
33
mitra kerja, Hubungan P-K merupakan hubungan yang memerlukan kerjsama yang harmonis atas dasar kemitraan, sehingga perlu dibina rasa saling percaya, saling mengasihi dan menghargai.
2) Nara sumber (resources person) memberikan jawaban yang spesifik terhadap pertanyaan tentang masalah yang lebih luas dan selanjutnya mengarah pada area permasalahan yang memerlukan bantuan. Perawat mampu memberikan informasi yang akurat, jelas dan rasional kepada klien dalam suasana bersahabat dan akrab.
3) Pendidik (teacher) merupakan kombinasi dari semua peran yang lain. Perawat harus
berupaya
memberikan
pendidikan,
pelatihan,
dan
bimbingan
pada
klien/keluarga terutama dalam mengatasi masalah kesehatan.
4) Kepemimpinan (leadership) mengembangkan hubungan yang demokratis sehingga merangsang individu untuk berperan. Perawat harus mampu memimpin klien/keluarga untuk memecahkan masalah kesehatan melalui proses kerja sama dan partisipasi aktif klien.
5) Pengasuh pengganti (surrogate) membantu individu belajar tentang keunikan tiap manusia, sehingga dapat mengatasi konflik interpersonal. Perawat merupakan individu yang dipercaya klien untuk berperan sebagai orang tua, tokoh masyarakat atau rohaniawan guna membantu memenuhi kebutuhannya.
6) Konselor (consellor) meningkatkan pengalaman individu menuju keadaan sehat
yaitu kehidupan yang kreatif, konstruktif dan produktif. Perawat harus dapat memberikan bimbingan terhadap masalah klien sehingga pemecahan masalah akan mudah dilakukan.
c. Proses Interpersonal Proses interpersonal sebagai proses interaksi secara simultan dengan orang lain dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya, biasanya dengan tujuan untuk membina suatu hubungan. Proses interpersonal antara perawat dan klien ini menggambarkan
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
34
metode transformasi energi atau ansietas klien oleh perawat yang terdiri dari 4 fase yaitu : 1) Fase orientasi Membantu klien menyadari ketersediaan bantuan dan rasa percaya terhadap kemampuan perawat untuk berperan serta secara efektif dalam pemberian askep pada klien. Tahap ini ditandai dimana perawat melakukan kontrak awal untuk membangun kepercayaan dan terjadi pengumpulan data.
2) Fase identifikasi Memfasilitasi ekspresi perilaku klien dan memberikan asuhan keperawatan yang tanpa penolakan diri perawat memungkinkan pengalaman menderita sakit sebagai suatu kesempatan untuk mengorientasi kembali perasaan dan menguatkan bagian yang positif dan kepribadian klien. Respon klien pada fase identifikasi dapat berupa : partisipan mandiri dalam hubungannya dengan perawat, individu mandiri terpisah dari perawat dan individu yang tak berdaya dan sangat tergantung pada perawat.
3) Fase eksplorasi Suatu
situasi
dimana
klien
dapat
merasakan
nilai
hubungan
sesuai
pandangan/persepsinya terhadap situasi. Fase ini merupakan inti hubungan dalam proses interpersonal. Fase ini perawat membantu klien dalam memberikan gambaran kondisi klien dan seluruh aspek yang terlibat didalamnya.
4) Fase resolusi Secara
bertahap
klien
melepaskan
diri
dari
perawat.
Resolusi
ini
memungkinkanpenguatan kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan menyalurkan energi kearah realisasi potensi (Stuart, 2009).
Keempat fase tersebut merupakan rangkaian proses pengembangan perawat membimbing klien dari rasa ketergantungan yang tinggi menjadi interaksi yang saling tergantung dalam lingkungan sosial. Artinya seorang perawat berusaha mendorong kemandirian klien.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
35
e. Implementasi Teori Peplau Peplau mengembangkan teorinya sebagai bentuk keprihatinannya terhadap praktik keperawatan “Custodial Care”, sehingga sebagai perawat jiwa Peplau melalui tulisannya kemudian mempublikasikan teorinya mengenai hubungan interpersonal dalam keperawatan. Peplau dalam memberikan asuhan keperawatan ditekankan pada perawatan yang bersifat terapeutik. Aplikasi yang dapat kita lihat secara nyata yaitu pada saat klien mencari bantuan, pertama perawat mendiskusikan masalah dan menjelaskan jenis pelayanan yang tersedia. Hubungan antara perawat dan klien bersama-sama mendefinisikan masalah dan kemungkinan penyelesaian masalahnya dan hubungan ini klien mendapatkan keuntungan, dengan memanfaatkan pelayanan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhannya dan perawat membantu klien dalam hal menurunkan
kecemasan
yang
berhubungan
dengan
masalah
kesehatannya
(Fitzpatrick, 1989).
Teori Peplau merupakan teori yang unik dimana hubungan kolaborasi perawat klien membentuk suatu “kekuatan yang mendewasakan” melalui hubugan interpersonal yang efektif dalam membantu pemenuhan kebutuhan klien. Ketika kebutuhan dasar telah diatasi, kebutuhan yang baru mungkin muncul (Toomey, 2010). Hubungan interpesonal perawat klien digambarkan sebagai fase yang saling tumpang tindih seperti berikut ini orientasi, identifikasi, penjelasan dan resolusi. Teori dan gagasan Peplau dikembangkan untuk memberikan bentuk praktik keperawatan jiwa. Penelitian keperawatan tentang kecemasan, empati, instrument perilaku, dan instrument untuk mengevaluasi respon verbal dihasilkan dari model konseptual Peplau.
2.1.2.1. Aplikasi Penerapan Teori Peplau Pada Klien dengan Halusinasi Pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien dengan halusinasi perawat mempunyai 6 peran yang diterapkan pada klien sebagai berikut : 1) Mitra kerja, antar perawat dan klien halusinasi saling menghargai karena bagaimanapun klien adalah manusia yang pasti memiliki sikap positif yang dimiliki, sehingga dengan perasaan saling menghargai akan menciptakan hubungan yang saling percaya dan bekerjasama saling menghargai anatara perawat dan klien pada saat merubah perilaku dan pikiran klien yang rasional. Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
36
2) Nara sumber (resources person), perawat telah memberikan jawaban yang mudah dipahami dan dimengerti pada klien halusinasi terhadap pertanyaan tentang masalah halusinasi dan cara mengontrol halusinasi yang muncul, perawat telah mampu memberikan informasi yang akurat, jelas dan rasional kepada klien dalam suasana bersahabat dan akrab.
3) Pendidik (teacher) merupakan kombinasi terhadap peran perawat yang dimiliki. Perawat telah berupaya memberikan pendidikan kesehatan pada klien dengan halusinasi pada klien dan keluarga, pelatihan pada klien dengan memberikan kegiatan untuk menggunakan kemampuan positif yang dimiliki, dan bimbingan pada klien/keluarga terutama dalam mengatasi masalah halusinasi yang dialami klien.
4) Kepemimpinan (leadership) mengembangkan hubungan yang demokratis pada klien halusinasi dengan memberikan kesempatan pada klien dalam mengungkapkan pendapatnya dan bertanya saat berinteraksi. Perawat harus mampu memimpin klien/keluarga untuk menyelesaikan masalah klien dengan halusinasi, sehingga proses kerjasama dan partisipasi aktif klien sangat diperlukan.
5) Pengasuh pengganti (surrogate) membantu klien halusinasi belajar memahami tentang keunikan tiap manusia yang satu dengan yang lainnya, sehingga dapat mengatasi konflik interpersonal. Perawat merupakan individu yang dipercaya oleh klien untuk berperan sebagai orang tua, tokoh masyarakat guna membantu kebutuhan yang diinginkan klien dalam mengontrol halusinasi klien serta merubah pikiran dan perilaku yang negatif.
6) Konselor (consellor) meningkatkan pengalaman individu menuju kondisi yang sehat yaitu kehidupan yang kreatif, konstruktif dan produktif. Perawat harus dapat memberikan bimbingan terhadap masalah klien dengan halusinasi sehingga pemecahan masalah akan mudah dilakukan dengan melibatkan keluarga dalam kegiatan di ruangan dan kegiatan di rehabilitasi rumah sakit untuk meningkatkan kemampuan klien dalam menggunakan kemampuan positif yang dimiliki, sehingga ketika pulang klien dapat produktif dan siap bekerja kembali. Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
37
Enam
peran
perawat
tersebut
dalam
melakukan
intervensi
keperawatan
menggunakan tahapan/fase yaitu fase orientasi: dengan melakukan peran sebagai saling menghargai dan percaya maka antara perawat dan klien melakukan kontrak awal atau kesepakatan untuk membangun kepercayaan dan pengumpulandata dalam melakukan intervensi keperawatan. Fase identifikasi: perawat memfasilitasi ekspresi perilaku klien ketika muncul halusinasi dan memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan halusinasi, menolakdiri perawat memungkinkan pengalaman menderita klien sakit sebagai suatu kesempatan untuk mengorientasi kembali perasaan dan menguatkan bagian yang positif dan kepribadian
yang dimiliki klien. Fase
eksplorasi. Memungkinkan suatu situasi dimana klien halusinasi dapat merasakan nilai hubungan antara perawat dan klien sesuai pandangan/persepsinya terhadap situasi yang dialami oleh klien dengan halusinasi. Fase ini merupakan inti hubungan dalam proses interpersonal. Fase ini perawat membantu klien dalam memberikan gambaran kondisi klien dan seluruh aspek yang terlibat didalamnya dalam melakukan intervensi keperawatan. Fase resolusi, secara bertahap klien melepaskan diri dari perawat. Resolusi ini memungkinkan penguatan kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan menyalurkan energi kearah realisasi potensi. Keempat fase tersebut merupakan rangkaian proses pengembangan dimana perawat membimbing klien dari rasa ketergantungan yang tinggi menjadi interaksi yang saling tergantung dalam lingkungan sosial. Artinya seorang perawat berusaha mendorong kemandirian klien.Berdasarkan teori ini klien adalah individu dengan kebutuhan perasaan, dan keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik. Artinya suatu hasil proses kerja sama manusia dengan manusia lainnya supaya menjadi sehat atau tetap sehat (hubungan antar manusia).
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
APLIKASI MODEL
Faktor prediposisi . klien dengan halusinasi : 1. Biologi : NAPZA, genetik, dan riwayat alkohol. 2. Psikologis : kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, pertahanan diri. 3. Sosial Budaya : usia, jenis kelamin, status perkawinan, kurang dukungan sosial. Faktor presipitasi klien dengan halusinasi : 1. Biologi : putus obat. 2. Psikologis : toleransi terhadap stress/frustasi yang rendah, keinginan yan tidak tercapai. 3. Sosial Budaya : kurang pemahaman terhadap situasi penuh stres, kurang penerimaan lingkungan.
Respon terhadap stressor : 1. Kognitif. 2. Afektif. 3. Fisiologis. 4. Perilaku. 5. Sosial.
Sumber koping : Klien 1. Kemampuan personal. 2. Keyakinan positif.
Enam peran perawat dalam hubungan interpersonal menurut Peplau : 1. Mitra Kerja : BHSP/saling menghargai. 2. Narasumber : membantu klien terhadap masalah yang dialami. 3. Pendidik : memberikan penkes. 4. Kepemimpinan : bersikap demokratis. 5. Pengaruh Pengganti : membantu klien memahami keunikan manusia. 6. Konselor : membantu menggali kemampuan klien.
Tindakan Generalis : Klien dan keluarga 1. Mengenal halusinasi. 2. Menghardik. 3. Bercakap-cakap. 4. Melakukan kegiatan. 5. Minum obat. Tindakan Spesialis Individu : 1. Terapi perilaku kognitif (CBT). 2. Terapi perilaku (BT). 3. Terapi kognitif (CT). 4. Terapi spesialis keluarga psikoedukasi keluarga.
38
Respon terhadap stres : 1. Kognitif. 2. Afektif. 3. Fisiologis. 4. Perilaku. 5. Sosial. Sumber koping : Klien 3. Kemampuan personal. 4. Keyakinan positif. Keluarga 2. Dukungan keluarga. Pelayanan kesehatan 3. Ketersediaan aset. 4. Jangkauan pelayanan ke rumah sakit.
Keluarga 1. Dukungan keluarga. Pelayanan kesehatan 1. Ketersediaan aset. 2. Jangkauan pelayanan ke rumah sakit.
Skema 2.2. Aplikasi Model Stuart dan Peplau dengan Klien Halusinasi
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
39
2.1.3. Konsep Teori Stres Adaptasi Stuart dan Konsep Teori Hildegard Peplau Pada Tabel 2.2 di atas dapat dilihat aplikasi teori Stres dan Adaptasi Stuart dan Peplau. Model stres adaptasi Stuart mengintegrasikan antara aspek biologis, psikologis, sosial budaya, lingkungan dan aspek etnik legal dalam perawatan klien ke dalam kesatuan kerangka kerja untuk proses asuhan keperawatan yang inklusif, holistik, dan relevan dengan kebutuhan klien, keluarga, kelompok, dan komunitas (Stuart, 2009). Model tersebut menjelaskan mengapa klien berespon terhadap stres dan membantu menyediakan pemahaman tentang proses dan tujuan yang diinginkan dari tindakan keperawatan.
Penulis dalam melakukan asuhan keperawatan klien halusinasi menggunakan teori dan model konsep keperawatan yaitu konsep stres adaptasi Stuart yang mengutamakan peran serta perawat di ruangan untuk meningkatkan kemampuan klien baik kognitif, afektif maupun psikomotor dalam mengontrol halusinasi. Proses awal dalam melakukan penatalaksanaan pada klien halusinasi, diawali dari proses pengkajian. Pengkajian dilakukan dengan melihat faktor predisposisi, presipitasi (biologis, psikologis, sosial), respon terhadap stressor. Respon terhadap stressor pada klien terdiri dari 5 aspek: kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan sosial. Diagnosa keperawatan halusinasi ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala yang muncul. Rencana asuhan keperawatan disesuaikan dengan diagnosa keperawatan yang telah ditegakkan. Penetapan rencana asuhan keperawatan disesuaikan juga dengan kemampuan klien dan keluarga dalam mengatasi masalah. Berdasarkan kemampuan klien dan keluarga, akan ditetapkan terapi keperawatan yang diberikan pada klien. Penetapan terapi keperawatan menggunakan pendekatan secara individu, keluarga, dan kelompok. Penatalaksanaan terapi keperawatan melibatkan keluarga sebagai sumber dukungan sosial yang paling dekat dan paling penting saat nanti sudah di rumah.
Berdasarkan teori Peplau dalam memberikan asuhan keperawatan terutama pada tindakan keperawatan yang bersifat terapeutik (Fitzpatrick, 1989). Aplikasi yang dapat kita lihat secara nyata yaitu pada saat klien mencari bantuan, pertama perawat mendiskusikan
masalah
dan
menjelaskan
jenis
pelayanan
yang
tersedia.
Berkembangnya hubungan antara perawat dan klien bersama-sama mendefinisikan Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
40
masalah dan kemungkinan penyelesaian masalahnya. Karena perawat mempunyai enam peran yaitu sebagai mitra kerja, narasembur, pendidik, pemimpin, pengasuh penganti dan konselor. Hubungan klien akan mendapatkan keuntungan, dengan memanfaatkan pelayanan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhannya dan perawat membantu klien dalam hal menurunkan halusinasiyang muncul pada klien.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
41
2.2
Halusinasi
2.2.1
Pengertian
Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari pancaindera tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal. Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penyerapan panca indera tanpa ada rangsangan dari luar, suatu penghayatan yang dialami seperti suatu persepsi melalui pancaindera tanpa stimulus eksternal; persepsi palsu (Stuart & Laraia, 2009). Halusinasi juga merupakan persepsi sensori yang salah yang meliputi salah satu dari kelima panca indera (Townsend, 2009). Halusinasi pendengaran paling sering terjadi ketika klien mendengar suara-suara, suara tersebut dianggap terpisah dari pikiran klien sendiri. Isi suara-suara tersebut mengancam dan menghina, sering kali suara tersebut memerintah klien untuk melakukan tindakan yang akan melukai klien atau orang lain (Copel, 2007), jadi halusinasi merupakan suatu pengalaman persepsi yang salah tanpa adanya stimulus dan pengalaman persepsi tersebut merupakan hal yang nyata bagi diri klien tetapi tidak untuk orang lain, sehingga perlu menjadi perhatian petugas di rumah sakit karena halusinasi juga bisa memicu perilaku kekerasan akibat persepsi yang salah dan perintah-perintah dari halusinasi yang didengar.
Respon yang tidak tepat ini dapat terjadi pada kelima panca indera, yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan pengecapan. Isi halusinasi dapat bermacarn-macam yaitu: (a) Halusinasi Pendengaran:halusinasi dengar merupakan gejala mayoritas yang sering dijumpai pada klien skizofrenia. Papolos dan Papolos (2002 dalam Fontaine, 2009) menyatakan bahwa halusinasi dan delusi mencapai 90% pada individu dengan skizofrenia dan halusinasi dengar merupakan masalah utama yang paling sering dijumpai 70% diperkuat oleh Stuart dan Laraia (2005) yang menyatakan bahwa klien skizofrenia 70% mengalami halusinasi dengar.
Senada dengan pernyataan diatas Stuart (2009) juga menyatakan bahwa halusinasi yang paling sering diakitkan dengan skizofrenia, sekitar 70% klien skizofrenia mengalami halusinasi dengar. Pernyataan diatas menunjukkan bahwa persentase halusinasi dengar merupakan persentase terbesar yang ditemukan pada klien Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
42
skizofrenia dibandingkan dengan halusinasi lainnya. Halusinasi pendengaran paling sering terjadi pada skizofrenia, ketika klien mendengar suara-suara, suara tersebut dianggap terpisah dari pikiran klien sendiri. Isi suara-suara tersebut mengancam dan menghina, sering kali suara tersebut memerintah klien untuk melakukan tindakan yang akan melukai klien atau orang lain.
Klien halusinasi dengar tanda dan gejala dapat dikarakteristik mendengar bunyi atau suara, paling sering dalam bentuk suara, rentang suara dari suara sederhana atau suara yang jelas, suara tersebut membicarakan tentang klien, sampai percakapan yang komplet antara dua orang atau lebih seperti orang yang berhalusinasi (Stuart, 2009). Suara yang didengar dapat berupa perintah yang memberitahu klien untuk melakukan sesuatu, kadang-kadang dapat membahayakan atau mencederai. Cancro dan Lehman (2000, dalam Videbeck, 2008) menyebutkan bahwa suara yang paling sering didengar adalah suara orang berbicara pada klien atau membicarakan klien. Suara dapat satu ataupun banyak dan dapat berupa suara yang dikenal maupun yang tidak dikenal.
(b) Halusinasi Penciuman:pada halusinasi penciuman isi halusinasi dapat berupa klien mencium aroma atau bau tertentu seperti urine atau feces atau bau yang bersifat lebih umum atau bau busuk atau bau yang tidak sedap (Cancro & Lehman, 2000 dalam Videbeck, 2008). Pendapat yang sama juga dikemukan oleh Stuart (2009) pada halusinasi penciuman, klien dapat mencium bau busuk, jorok, dan bau tengik seperti darah, urin, atau tinja, kadang-kadang bau bisa menyenangkan, halusinasi penciuman biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang, dan demensia.
(c) Halusinasi Penglihatan:isi halusinasi berupa melihat bayangan yang sebenarnya tidak ada sama sekali, misalnya cahaya atau orang yang telah meninggal atau mungkin sesuatu yang bentuknya menakutkan (Cancro & Lehman, 2000 dalam Videbeck, 2008). Isi halusinasi penglihatan klien adalah klien melihat cahaya, bentuk geometris, kartun atau campuran antara gambar bayangan yang kompleks, dan bayangan tersebut dapat menyenangkan klien atau juga sebaliknya mengerikan (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009).
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
43
(d) Halusinasi Pengecapan:isi halusinasi berupa klien mengecap rasa yang tetap ada dalam mulut, atau perasaan bahwa makanan terasa seperti sesuatu yang lain. Rasa tersebut dapat berupa rasa logam atau pahit atau mungkin seperti rasa tertentu atau berupa rasa busuk, tak sedap dan anyir seperti darah, urine atau feces (Stuart & Laraia., 2005; Stuart, 2009).
(e) Halusinasi Perabaan:Isi halusinasi perabaan adalah klien merasakan sensasi seperti aliran listrik yang menjalar ke seluruh tubub atau binatang kecil yang merayap di kulit (Cancro & Lehman, 2000 dalam Videbeck, 2008). Klien juga dapat mengalami nyeri atau tidak nyaman tanpa adanya stimulus yang nyata, seperti sensasi listrik dan bumi, benda mati ataupun dan orang lain (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009).
(f) Halusinasi Chenesthetik:halusinasi chenesthetik klien akan merasa fungsi tubuh seperti darah berdenyut melalui vena dan arteri, mencerna makanan, atau bentuk urin (Videbeck, 2008; Stuart, 2009).
(g) Halusinasi Kinestetik:terjadi ketika klien tidak bergerak tetapi melaporkan sensasi gerakan tubuh, gerakan tubuh yang tidak lazim seperti melayang di atas tanah. Sensasi gerakan sambil berdiri tak bergerak (Videbeck, 2008; Stuart, 2009).
2.2.2
Tahapan Terjadinya Halusinasi
Dibawah ini dijelaskan beberapa tahapan terjadinyahalusinasi yang dapat dibedakan menjadi empat tahapan yang membagi fase halusinasi dari yang masih bisa mengendalikan dirinya ke yang semakin berat perkembangan fase tingkat halusinasinya menurut Harber (1982 dalam Stuart & Laraia, 2005).
FASE 1. Comforting (ansietas sebagai halusinasi menyenangkan) Merupakan fase halusinasi yang mempunyai karakteristik: klien mengalami perasaan seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah dan takut mencoba untuk berfokus pada pikiran menyenangkan untuk meredakan ansietas individu mengenal bahwa pikiranpikiran dan pengalaman stressor berada dalam kondisi kesadaran jika ansietas dapat ditangani (nonpsikotik). Perilaku klien yang dapat muncul dalam fase ini: tersenyum Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
44
dan tertawa tidak sesuai menggerakkan bibir tanpa suara menggerakkan mata yang cepat dan respon verbal yang lambat.
FASE II Condemning (ansietas berat halusinasi memberatkan) Merupakan fase halusinasi dengan karaktersitik klien pengalaman sensasi menjijikan dan Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukan menakutkan,klien mulai tidak dapat mengontrol dan mencoba untuk menjauhkan dirinya dari sumber yang di persepsikan,individu merasa malu karena pengalaman sensorinya dan menarik diri dari orang lain(nonpsikotik). Perilaku klien yang muncul adalah peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukan ansietas,peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi dan pernapasan, penyempitan kemampuan konsentrasidan kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan realita.
FASE III Controling (Anxietas berat, pengalaman sensori menjadi penguasa) Merupakan fase halusinasi dengan karaktersitik: klien berhenti melakukan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah serta membiarkan halusinasi menguasai dirinya,individu mungkin mengalami kesepian jika pengalaman sensori tersebut berakhir (psikotik). Perilaku klien yang muncul: kemampuan dikendalikan halusinasi akan lebih di takuti,menghindar untuk berhubungan dengan orang lain,saat berinteraksi dengan oranglain perhatian hanya beberapa detik/menit saja, adanya tanda-tanda fisik ansietas berat,tremor, tidak mampu memahami peraturan.
FASE IV Conquering/panic (Umumnya menjadi senang dalam halusinasinya) Meruapakan fase halusinasi dengan karaktersitik: Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi berakhir dari beberapa jam/hari jika intervensi terapeutik (psikotik berat). Perilaku klien: perilaku tremor akibat panik, potensi berat suicide aktifitas merefleksikan halusinasi perilaku isi, seperti kekerasan, agitasi, agitas menarik diri, tidak mampu merespon terhadap perintah yang komplek dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang .
Berdasarkan tahapan fase terjadinya halusinasi bahwa halusinasi dapat muncul mulai dari ansietas sehingga meningkatkan fungsi saraf otonom, terjadinya penyempitan konsentrasi, kehilangan membedakan halusinasi dan realita sampai muncul perilaku Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
45
tertawa atau berbicara senidiri bahkan sampai muncul kekerasan, apabila keempat fase tersebut terjadi pada klien halusinasi maka akan memunculkan tanda dan gejala pada klien sehingga perlu direncanakan tindakan keperawatan yang dilakukan untuk diberikan sesuai fase yang terjadi pada klien halusinasi.
2.2.3
Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi sebagai faktor risiko yang menjadi sumber terjadinya stres yang mempengaruhi tipe dan sumber dari individu untuk menghadapi stres baik yang biologis, psikososial dan sosial kultural. Membedakan stressor predisposisi menjadi tiga, meliputi biologis, psikologis dan sosial budaya. Stressor predisposisi ini kejadiannya telah berlalu (Stuart, 2009). Penjelasan secara rinci tentang ketiga stressor predisposisi tersebut sebagai berikut : a. Biologis, terkait dengan adanya neuropatologi dan ketidakseimbangan dari neurotransmiternya. Dampak yang dapat dinilai sebagai manifestasi adanya gangguan adalah perilaku maladaptif klien (Townsend, 2009). Secara biologi riset neurobiologikal memfokuskan pada tiga area otak yang dipercaya dapat melibatkan klien mengalami halusinasi yaitu sistem limbik, lobus frontalis dan hypothalamus.
Pada klien dengan halusinasi diperkirakan mengalami kerusakan pada sistem limbik dan lobus frontal yang berperan dalam pengendalian atau pengontrolan perilaku, kerusakan pada hipotalamus yang berperan dalam pengaturan mood dan motivasi. Kondisi kerusakan ini mengakibatkan klien halusinasi tidak memiliki keinginan dan motivasi untuk berperilaku secara adaptif. Klien halusinasi juga diperkirakan mengalami perubahan pada fungsi neurotransmitter, perubahan dopamin, serotonin, norepineprin dan asetilkolin yang menyebabkan adanya perubahan regulasi gerak dan koordinasi, emosi, kemampuan memecahkan masalah; perilaku cenderung negatif atau berperilaku maladaptif; terjadi kelemahan serta penurunan atensi dan mood. Genetik juga dapa memicu terjadi halusinasi pada seorang individu.Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif. Terjadinya penyakit jiwa pada individu juga dipengaruhi oleh keluarganya dibanding dengan individu yang tidak mempunyai penyakit terkait. Banyak riset menunjukkan peningkatan risiko mengalami skizofrenia pada individu dengan riwayat genetik terdapat anggota
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
46
keluarga dengan skizofrenia. Pada kembar dizigot risiko terjadi skizofrenia 15%, kembar monozigot 50%, anak dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia berisiko 13%, dan jika kedua orang tua mendererita skizofrenia berisiko 45% (Fontaine, 2009).
b. Psikologis, meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman masa lalu, koping dan keterampilan komunikasi secara verbal (Stuart, 2009). Konsep diri dimulai dari gambaran diri secara keseluruhan yang diterima secara positif atau negatif oleh seseorang. Penerimaan gambaran diri yang negatif menyebabkan perubahan persepsi seseorang dalam memandang aspek positif lain yang dimiliki. Peran merupakan bagian terpenting dari konsep diri secara utuh. Peran yang terlalu banyak dapat menjadi beban bagi kehidupan seseorang, hal ini akan berpengaruh terhadap kerancuan dari peran dirinya dan dapat menimbulkan depresi yang berat. Ideal diri adalah harapan, cita-cita serta tujuan yang ingin diwujudkan atau dicapai dalam hidup secara realistis. Identitas diri terkait dengan kemampuan seseorang dalam mengenal siapa dirinya, dengan segala keunikannya. Harga diri merupakan kemampuan seseorang untuk menghargai diri sendiri serta memberi penghargaan terhadap kemampuan orang lain. Klien yang mengalami halusinasi memandang dirinya secara negatif sering mengabaikan gambaran dirinya, tidak memperhatikan kebutuhannya dengan baik. Intelektualitas ditentukan oleh tingkat pendidikan seseorang, pengalaman dan interaksi dengan lingkungan ketika mengalami halusinasi.
Kepribadian pada klien halusinasi biasanya ditemukan klien memiliki kepribadian yang tertutup. Klien tidak mudah menerima masukan dan informasi yang berkaitan dengan kehidupan klien. Klien juga jarang bergaul dan cenderung menutup diri. Klien memiliki ketidakmampuan untuk mengevaluasi atau menilai keadaan dirinya dan tidak mampu memutuskan melakukan peningkatan keadaan menjadi lebih baik.
Moralitas pandangan negatif terhadap diri sendiri ini menyebabkan klien mengalami penurunan motivasi untk melakukan aktifitas. Kesimpulannya, adanya penilaian diri yang negatif pada diri klien dengan halusinasi menyebabkan tidak ada tanggung jawab secara moral pada klien untuk melakukan aktifitas. Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
47
Menurut beberapa penjelasan di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa jika mempunyai pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, klien mempunyai konsep diri negatif, intelektualitas yang rendah, kepribadian dan moralitas yang tidak adekuat merupakan penyebab secara psikologis untuk terjadinya halusinasi. Klien halusinasi memerlukan perhatian yang cukup besar untuk dapat mengembalikan konsep diri yang seutuhnya yang menyebabkan klien suka menyendiri, melamun dan akhirnya muncul halusinasi.
c. Sosial Budaya, meliputi status sosial, umur, pendidikan, agama, dan kondisi politik. Menurut Townsend (2009) ada beberapa hal yang dikaitkan dengan masalah gangguan jiwa. Salah satunya yang terjadi pada klien halusinasi adalah masalah pekerjaan yang akan mempengaruhi status sosial. Klien dengan status sosial ekonomi yang rendah berpeluang lebih besar untuk mengalami gangguan jiwa dibandingkan dengan klien yang memiliki status sosial ekonomi tinggi. Faktor sosial ekonomi tersebut meliputi kemiskinan, tidak memadainya sarana dan prasarana, tidak adekuatnya pemenuhan nutrisi, rendahnya pemenuhan kebutuhan perawatan untuk anggota keluarga, dan perasaan tidak berdaya. Kultur atau budaya, kepercayaan kebudayaan klien dan nilai pribadi mempengaruhi masalah klien dengan halusinasi. Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa status sosial ekonomi, pendidikan yang rendah, kurangnya pengetahuan, motivasi yang kurang dan kondisi fisik yang lemah dapat mempengaruhi klien dalam mempertahankan aktifitas klien yang mengalami halusinasi.
2.2.4
Stressor Presipitasi
Stressor presipitasi sebagai suatu stimulus yang dipersepsikan oleh individu apakah dipersepsikan sebagai suatu kesempatan, tantangan, ancaman/tuntutan. Stressor presipitasi bisa berupa stimulus internal maupun eksternal yang mengancam individu. Komponen stressor presipitasi terdiri atas sifat, asal, waktu dan jumlah stressor (Stuart, 2009).
Sifat stresor, terjadinya halusinasi berdasarkan sifat terdiri dari biologis, psikologis, dan sosial budaya. Sifat stresor yang tergolong komponen biologis, misalnya penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak, ketidakteraturan dalam Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
48
proses pengobatan. Komponen psikologis, misalnya: intelegensi, ketrampilan verbal, moral, kepribadian dan kontrol diri, pengalaman yang tidak menyenangkan, kurangnya motivasi.
Komponen sosial budaya, misalnya: adanya aturan yang sering bertentangan antara individu dan kelompok masyarakat, tuntutan masyarakat yang tidak sesuai dengan kemampuan seseorang, ataupun adanya stigma dari masyarakat terhadap seseorang yang mengalami gangguan jiwa, sehingga klien melakukan perilaku yang terkadang menentang hal tersebut yang menurut masyarakat tidak sesuai dengan kebiasaan dan lingkungan setempat Asal stresor terdiri dari internal dan eksternal. Stresor internal atau yang berasal dari diri sendiri seperti persepsi individu yang tidak baik tentang dirinya, orang lain dan lingkungannya, merasa tidak mampu, ketidakberdayaan.
Stresor eksternal atau berasal dari luar diri seperti kurangnya dukungan keluarga, dukungan masyarakat, dukungan kelompok/teman sebaya, dan lain-lain. Waktu dilihat sebagai dimensi kapan stresor mulai terjadi dan berapa lama terpapar stressor sehingga menyebabkan munculnya gejala. Lama dan jumlah stresor yaitu terkait dengan sejak kapan, sudah berapa lama, berapa kali kejadiannya (frekuensi) serta jumlah stresor (Stuart, 2009).
Saat pertama kali terkena masalah, maka penanganannya juga memerlukan suatu upaya yang lebih intensif dengan tujuan untuk pencegahan primer. Frekuensi dan jumlah stresor juga mempengaruhi individu, bila frekuensi dan jumlah stresor lebih sedikit juga akan memerlukan penanganan yang berbeda dibandingkan dengan yang mempunyai frekuensi dan jumlah stresor lebih banyak.
Berbagai penyebab/stressor di atas, yang meliputi stressor predisposisi dan stressor presipitasi yang dialami oleh klien halusinasi akan memunculkan beberapa respon. Respon tersebut merupakan pikiran, sikap, tanggapan, perasaan dan perilaku yang ditunjukkan pada klien halusinasi terhadap kejadian yang dialami.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
49
2.2.5
Respon terhadap Stressor
Respon terhadap stressor merupakan suaturespon dari proses evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap stressor dengan tujuan untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang dialaminya. Secara spesifik proses ini melibatkan respon kognitif, respon afektif, respon fisiologis, respon perilaku dan respon sosial (Stuart, 2009).
a. Respon Kognitif Respon kognitif adalah penilaian individu secara kognitif terhadap stressor yang dialami dan merupakan mediator bagi interaksi antara individu dan lingkungan. Individu dapat menilai adanya suatu bahaya/potensi terhadap suatu stressor yang dipengaruhi oleh: pandangan/pengertian: sikap, terbuka terhadap adanya perubahan, peran serta seseorang secara aktif dalam suatu kegiatan, dan kemampuan untuk kontrol diri terhadap pengaruh lingkungan. Sumber untuk toleransi terhadap masalah yang dihadapi selama ini yang berasal dari diri sendiri serta lingkungannya.
Kemampuan koping, hal ini seringkali berhubungan dengan pengalaman secara individual. Efektifitas koping yang dipergunakan oleh klien dalam mengatasi masalahnya. Koping yang tersedia dan dapat dipergunakan oleh klien (Stuart, 2009). Respon kognitif pada halusinasi meliputi tidak mengetahui cara mengontrol halusinasi yang muncul dengan benar, adanya gangguan kognitif, penurunan persepsi, ketidakmampuan melihat bagian tubuh atau ketidakmampuan membedakan yang nyata dan tidak nyata serta ketidakmampuan memahami hubungan sosial nyata (Townsend, 2009; Stuart, 2009; Fontaine, 2009). Disimpulkan bahwa respon kognitif klien
halusinasi
adalah
adanya
penurunan
kemampuan
secara
kognitif,
ketidakmampuan mengambil keputusan dan ketidakmampuan mengatasi masalah.
b. Respon Afektif Respon afektif adalah penilaian individu secara afektif terhadap stressor yang dialami. Hal ini terkait dengan: ekspresi emosi : respons emosi dalam menghadapi masalah dapat berupa perasaan sedih, gembira, takut, marah, menerima, tidak percaya, antisipasi, surprise. Klasifikasi dari emosi akan tergantung pada tipe, lama
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
50
dan intensitas dari stresor yang diterima dari waktu ke waktu. Mood dapat berupa emosi dan sudah berlangsung lama yang akan mempengaruhi suasana hati seseorang. Sikap (attitude): hal ini terjadi bila stresor telah berlangsung lama, sehingga sudah menjadi suatu kebiasaan/pola bagi individu tersebut (Stuart, 2009).
Respon afektif halusinasi terkait dengan: sedih, bingung, apatis/pasif, sehingga tidak ada motivasi untuk melakukan aktivitas. Tidak ada keinginan untuk melakukan aktivitas, tidak berdaya, putus asa, frustasi, gugup, muram, gelisah, muncul perasaan takut, mudah tersinggung, kadang merasa curiga terhadap orang lain, perasaan tidak mampu, perasaan negatif tentang dirinyanyata (Townsend, 2009; Stuart, 2009; Fontaine, 2009). Dapat disimpulkan bahwa respon afektif yang berhubungan dengan klien halusinasi adalah adanya perasaan sedih, apatis/pasif, merasa takut, mudah tersinggung, gelisah dan curiga terhadap orang lain.
c. Respon Fisiologis Respons fisiologis adalah penilaian individu yang dimanifestasikan dengan adanya interaksi neuroendokrin, yang dapat diperoleh dari hasil pemeriksaan penunjang, meliputi: hormon pertumbuhan, prolaktin, hormon adenokortikotropik, hormon luteinising dan stimulasi folikel, hormon tiroid, vasopresin, oksitosin, insulin, epineprin, norepineprin dan beberapa neurotransmiter lain di otak.
Respon fight atau flight yang dilakukan oleh klien dalam menghadapi suatu permasalahan akan distimulasi oleh sistem saraf otonom serta meningkatnya aktivitas dari pituitari adrenal (Stuart, 2009). Respon fisiologis pada klien halusinasi dapat dilihat dari adanya kelelahan, keletihan, kelemahan, penurunan muskuloskeletal, penurunan neuromuskuler, nyeri, ketidaknyamanan yang dihubungkan dengan peran neurotransmitter
norepineprin,
bahwa
penurunan
kadar
norepineprin
akan
menyebabkan kelemahan, sehingga mengakibatkan seseorang berperilaku negatif yang
ditimbulkannyata
(Townsend,
2009;
Stuart,
2009;
Fontaine,
2009).
Kesimpulannya penurunan kadar norepineprin menyebabkan kelelahan dan kelmahan sehingga menyebabkan halusinasi.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
51
d. Respon Perilaku Respon perilaku merupakan suatu reflek dari respons emosi dan perubahan fisiologis sebagai suatu kemampuan analisis kognitif dalam menghadapi suatu situasi yang penuh dengan stres (Stuart, 2009). Perilaku yang dapat muncul pada klien dengan halusinasi adalah berbicara, senyum dan tertawa sendiri, mengatakan mendengar suara, melihat, menghirup, megecap dan merasa sesuatu yang tidak nyata, merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan, serta tidak melakukan melakukan aktivitas, lebih suka menyendiri, duduk sendiri dan tidak ada kontak mata saat berinteraksi (Townsend, 2009). Dapat disimpulkan bahwa klien yang mengalami halusinasi akan muncul perilaku mengatakan mendengar suara, melihat, menghirup, megecap dan merasa sesuatu yang tidak nyata, merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan, serta tidak melakukan melakukan aktivitas, lebih suka menyendiri, duduk sendiri dan tidak ada kontak mata saat berinteraksi.
e. Respon Sosial Respons sosial yaitu memandang masalah yang muncul berasal dari kegagalan mereka sendiri dengan koping yang dipergunakannya (Fontaine, 2009).
Klien
dengan halusinasi cenderung menyalahkan dirinya sendiri, bersikap pasif dan perilakunya menarik diri. Sikap curiga dan bermusuhan sehingga lama kelamaan klien akan menarik diri dari orang lain yang akan menyebabkan klien mudah mengalami halusinasinyata (Townsend, 2009; Stuart, 2009; Fontaine, 2009). Respon yang telah diuraikan di atas merupakan sekumpulan tanda dan gejala pada klien dengan halusinasi, apabila terdapat pada klienmenyebabkan klien berada pada rentang maladaptif karena ketidakmauan,ketidaktahuan dan ketidakmampuannya untuk mengontrol halusinasi.
f. Mekanisme Koping Mekanisme koping adalah beberapa usaha yang secara langsung dilakukan klien untuk mengelola stres yang dihadapi (Stuart, 2009). Mekanisme koping terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu mekanisme koping konstruktif dan dekstruktif. Mekanisme koping konstruktif bersifat membangun dan menguatkan ketahanan mental klien, sedangkan mekanisme koping dekstruktif bersifat merusak dan menyebabkan kondisi Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
52
maladaptif pada klien. Kemampuan mengatasi masalah yang dimiliki oleh klien akan menghasilkan mekanisme koping konstruktif atau destruktif.
Klien halusinasi menggunakan beberapa mekanisme pertahanan diri dalam upaya untuk melindungi diri dari pengalaman menakutkan yang disebabkan oleh stressor mereka. Regresi adalah berkaitan dengan masalah informasi pengolahan dan pengeluaran sejumlah besar energi dalam upaya untuk mengelola kegelisahan, menyisakan sedikit untuk aktivitas hidup sehari-hari. Proyeksi adalah upaya untuk menjelaskan persepsi membingungkan dengan menetapkan responsibiIity kepada seseorang atau sesuatu. Penarikan Diri ini berkaitan dengan masalah membangun kepercayaan dan keasyikan dengan pengalaman internal (Videbeck, 2008).
Kemampuan klien halusinasi dalam mengatasi masalah yang memunculkan mekanisme koping konstruktif digunakan sebagai dasar perawat untuk menyusun kegiatan yang bertujuan untuk menguatkan kemampuan klien. Kemampuan mengatasi masalah dan mekanisme koping, respon klien terhadap stressor dapat digunakan sebagai dasar penyusunan rencana keperawatan pada klien halusinasi.
2.2.6
Sumber Koping
Kemampuan atau koping merupakan pilihan atau strategi bantuan untuk memutuskan mengenai apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi atau berespon terhadap suatu permasalahan akibat stres yang dialami. Perawat dapat menentukan tindakan yang tepat dalam melakukan asuhan keperawatan, dengan mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh klien. Klien diharapkan memiliki kemampuan yang meliputi dua hal, yaitu sumber koping dan mekanisme koping. Sumber koping terdiri dari empat hal, yaitu kemampuan individu (personal abilities), dukungan sosial (social support), ketersediaan materi (material assets) dan kepercayaan (positive belief). Sumber koping adalah beberapa sumber potensi baik secara internal maupun eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk membantu menyelesaikan masalah akibat stressor yang ada (Stuart, 2009). Mekanisme koping adalah upaya sadar dari individu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi akibat paparan stressor. Penggunaan mekanisme koping dipengaruhi oleh tingkat stres, sumber stres, serta kemampuan
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
53
seseorang dalam menghadapi realitas hidup, hubungan interpersonal, dan kesuksesan yang ditampilkan (Stuart, 2009).
a) Kemampuan Individu. Kemampuan individu adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu dan biasa dilakukan dalam menghadapi masalah.
Kemampuan
individu
yang
perlu
dioptimalkan meliputi kemampuan dalam memahami (kognitif) terhadap masalah yang dihadapi secara rasional. Kemampuan dalam mengontrol emosi (afektif) terhadap masalah yang ada. Secara fisiologis dan perilaku yang perlu dioptimalkan adalah hidup teratur (aktivitas dan istirahat) dan pola makan yang teratur dan bergizi sehingga asupan energi bisa mensuplai otak dengan baik. Seorang klien yang mengalami halusinasi dikatakan berhasil mengontrol halusinasi jika muncul, apabila mampu
mengoptimalkan
kemampuan
personal
yang
dimiliki
selama
ini.
Kemampuan personal yang perlu dioptimalkan meliputi kemampuan mengenal masalah (isi, durasi, respon, waktu dan frekuensi), kemampuan mengontrol halusinasi, kemampuan meningkatkan konsep diri terkait peran dan posisi di masyarakat, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan memanfaatkan dukungan sosial yang ada, kemampuan menggunakan nilai kepercayaan yang selaras dan tidak bertolak belakang dari nilai positif yang dimiliki, dan latihan mengurangi halusinasi (Stuart, 2009).
Kemampuan memanfaatkan (dukungan sosial) yang ada dan menggunakan nilai kepercayaan yang selaras dengan tidak bertolak belakang dari nilai yang dimiliki. Seorang klien yang mengalami halusinasi dikatakan berhasil mengontrol halusinasi jika muncul, apabila mampu mengoptimalkan kemampuan personal yang dimiliki selama ini. Kemampuan personal yang perlu dioptimalkan meliputi kemampuan mengenal masalah (isi, durasi, respon, waktu dan frekuensi), kemampuan mengontrol halusinasi, kemampuan meningkatkan konsep diri terkait peran dan posisi di masyarakat, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan memanfaatkan dukungan sosial yang ada, kemampuan menggunakan nilai kepercayaan yang selaras dan tidak bertolak belakang dari nilai positif yang dimiliki, dan latihan mengurangi halusinasi (Stuart, 2009). Dapat disimpulkan bahwa kemampuan individu yang harus dimiliki oleh klien halusinasi adalah kemampuan untuk mengontrol halusinasi yang Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
54
muncul, biasanya didapatkan data rendahnya motivasi klien, keterbatasan intelektual klien yang sangat mempengaruhi dalam kemampuan mengontrol halusinasi dan keterbatasan fisik serta ketidakmampuan memanfaatkan dukungan sosial.
b) Kepercayaan Kepercayaan (positive belief) merupakan keyakinan dan gambaran positif seseorang sehingga dapat menjadi dasar dari harapan yang dapat mempertahankan koping adaptif walaupun dalam kondisi penuh stresor. Stuart (2009) mengemukakan bahwa keyakinan harus dikuatkan untuk membentuk keyakinan positif (kognitif) dan dapat menguatkan afektif, kestabilan fisiologis tubuh, perilaku konstruktif dan sosial yang baik. Keyakinan yang dimaksud adalah keyakinan terhadap tenaga kesehatan, keyakinan tentang kemampuan mengatasi masalah saat mengalami halusinasi, keyakinan bahwa perilaku dapat diubah dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan. Penyimpangan lain tidak adanya kepercayaan kepada petugas kesehatan bahwa petugas kesehatan dapat membantu klien yang mengalami halusinasi. Hal ini terbukti dari sebagian besar perilaku klien dan keluarga dalam mencari pengobatan bagi klien yang mengalami halusinasi. Orang yang didatangi pertama kali adalah Dukun atau pengobatan alternatif, karena mereka percaya bahwa Dukun bisa membantu kesembuhan mereka.
c) Dukungan Sosial Dukungan sosial adalah sumber dukungan yang berasal dari eksternal dan merupakan komponen terpenting dalam sumber koping yang perlu dikembangkan (Stuart, 2009). Dukungan sosial adalah dukungan untuk individu yang didapat dari keluarga, teman, kelompok atau orang-orang disekitar klien termasuk perawat dalam ruangan dan dukungan terbaik yang diperlukan oleh klien adalah dukungan dari keluarga (Maglaya, 2009). Dukungan sosial pada klien yang mengalami halusinasi tidak adekuat maka, seseorang akan merasa sendiri dan terlalu berat menghadapi stressor/masalahnya.
Keluarga sebagai care giver bagi klien harus memiliki kemampuan tentang cara merawat klien (Maglaya, 2009). Kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh keluarga terdiri dari kemampuan memahami dan mengerti tentang halusinasi, Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
55
kemampuan memberikan bantuan untuk mengontrol halusinasi pada klien dengan halusinasi.
Kelompok merupakan sumber pendukung sosial bagi klien yang bisa diperoleh dari orang lain di sekitar tempat tinggal klien, dimana masing-masing anggota kelompok memiliki masalah yang hampir sama (Stuart, 2009; Videbeck, 2008). Kemampuan yang harus dimiliki oleh kelompok meliputi pemberi dukungan (informasi, instrumental, dan afektif), sosialisasi, peningkatan informasi, pemberdayaan, dan menjalin persahabatan antar anggota kelompok.
Masyarakat adalah sumber pendukung klien yang diperoleh dari orang-orang yang bertempat tinggal di sekitar klien (Stuart, 2009). Masyarakat sebagai sumber pendukung, terdiri dari: tokoh masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan jiwa, dan tetangga yang tinggal dalam satu wilayah dengan klien. Tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tetangga yang tinggal di sekitar klien, idealnya memiliki kemampuan untuk menciptakan lingkungan psikologis bagi klien. Kader kesehatan sebagai sistem pendukung bagi klien juga harus memiliki kemampuan-kemampuan untuk ikut merawat klien dengan halusinasi (Keliat, Panjaitan, & Riasmini, 2010). Kemampuan yang harus dimiliki oleh kader kesehatan jiwa adalah kemampuan dalam melakukan kegiatan untuk memberikan dukungan, dorongan dan motivasi kepada klien untuk mengontrol halusinasi dan pengetahuan cara mengontrol halusinasi untuk memberikan kegiatan, bercakap-cakap, menghardik dan minum obat.
Kemampuan yang terdiri dari sumber koping dan mekanisme koping yang dimiliki oleh klien halusinasi inilah yang menjadi perhatian khusus perawat, karena dengan mengetahui sumber koping dan mekanisme koping tersebut menjadi dasar dalam pemberian suatu tindakan keperawatan kepada klien halusinasi untuk mencapai standar kemampuan yang harus dimiliki oleh klien dan atau keluarga. Halusinasi, diperkirakan sebagai akibat dari kurangnya sumber pendukung internal dan eksternal, sehingga klien tidak mengetahui cara mengontrol halusinasi.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
56
d) Ketersediaan Pelayanan kesehatan dan Finansial Materi Ketersediaan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat akan mempermudah dalam mengantisipasi permasalahan kesehatan termasuk penanganan masalah klien dengan halusinasi. Tujuan ketersediaan pelayanan kesehatan adalah supaya masyarakat mudah mendapatkan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan diselenggarakan oleh institusi pelayanan kesehatan yang disebut Rumah Sakit. Menurut UU RI no 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit,dalam BAB VI pasal 19 ayat 1-3 Rumah Sakit sebagai pelayanan kesehatan terdiri dari Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. Rumah Sakit Umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Rumah Sakit Khusus memberikan pelayanan utama pada satu jenis kekhususan tertentu. Contoh Rumah Sakit Khusus adalah Rumah Sakit Jiwa. Rumah Sakit Jiwa memberikan pelayanan kesehatan terkait masalah kesehatan jiwa.
Pelayanan kesehatan harus bisa menjamin dan memberikan kemampuan pada klien untuk menyelesaikan masalah kesehatan. Ketersediaan finansial, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan membutuhkan dana. Dana bisa berasal dari dana pribadi, asuransi kesehatan pribadi atau jaminan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah (JAMKESDA). Menurut UU kesehatan nomor 36 tahun 2009 Bab IX pasal 144 ayat 1-5, dijelaskan bahwa upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang mendapatkan kehidupan kejiwaan yang sehat; upaya kesehatan jiwa tersebut terdiri dari tindakan preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif klien gangguan jiwa dan psikososial; upaya kesehatan jiwa tersebut menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat; pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab menciptakan kondisi kesehatan jiwa dan menjamin ketersediaan, aksesibilitas, mutu dan pemerataan upaya kesehatan; pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk mengembangkan upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat sebagai bagian dari upaya kesehatan jiwa keseluruhan, termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa. Berdasarkan penjelasan di atas, klien dengan halusinasi yang tidak mampu secara ekonomi bisa menggunakan fasilitas pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam hal materi terkait perawatan kesehatannya. Fasilitas yang dimaksudkan adalah
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
57
fasilitas berupa jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) yang bisa didapatkan melalui persetujuan RT, RW dan Kelurahan setempat. Beberapa klien halusinasi yang membutuhkan jamkesda sudah berhasil memanfaatkan fasilitas tersebut.
2.2.7
Diagnosa dan Tindakan
Diagnosa medis dan diagnosa keperawatan perlu diketahui terlebih dahulu pada klien untuk mempermudah klien dalam menyelesaikan masalah yang dialami oleh klien dan menentukan tidakan medis dan keperawatan yang mau dilakukan pada klien. Tindakan medis dan keperawatan diberikan kepada klien dengan tujuan supaya klien memiliki kemampuan yang bisa digunakan untuk mengontrol halusinasi. Tindakan keperawatan yang dilakukan tersebut terdiri dari tindakan generalis dan spesialis.
2.2.7.1. Diagnosa dan Tindakan Medis a) Diagnosa Medis Berdasarkan penggolongan diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ-III), kasus halusinasi dikelompokkan pada gejala positif skizofrenia. Penegakan diagnosis skizofrenia dilakukan berdasarkan tanda dan gejala yang ditemui pada klien, harus ada sedikitnya satu gejala berikut yang amat jelas (biasanya dua atau lebih gejala bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) (PPDGJ-III, 2001). 1) Thought echo atau Thought insertion or withdrawal 2) Delusion of control atau Delusion of influence atau Delusion of passivity: dan Delusion perception. 3) Halusinasi auditorik: suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku klien, atau mendiskusikan perihal klien di antara mereka sendiri (di antara berbagai suara yang berbicara) atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh. 4) Waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa atau paling sedikit.
Berdasarkan diagnosa medis yang dijelaskan diatas bahwa penegakan diagnosis skizofrenia dengan halusinasi dilakukan berdasarkan tanda dan gejala yang ditemui
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
58
pada klien, sehingga mempermudah dalam menentukan tindakan medis yang akan dilakukan..
b) Tindakan Medis Penatalaksanaan tindakan medis pada klien dengan skizofrenia perlu ditatalaksana secara integrasi, baik dari aspek psikofarmakologis dan aspek psikologis. Penatalaksanaan yang diberikan secara komprehensif pada klien dengan skizofrenia menghasilkan perbaikan yang lebih optimal dibandingkan secara tunggal. Menurut Gorman, (2007 dalam Townsend, 2009) menyatakan pengobatan skizofrenia menggunakan pendekatan terapi antipsikotik dan pengobatan psikososial.
Terapi antipsikotik yang digunakan merupakan pengobatan tipikal atau atipikal antipsikotik yang akan menurunkan gejala psikotik pada fase akut dan menurunkan kekambuhan klien untuk terapi psikososial direkomendasikan 6 terapi psikososial yang telah diriset yaitu skill training, supported employed, cognitive behaviour therapy, behaviour modification, social learning/token economy programs dan assertive community treatment. Penatalaksanaan terapi somatik tergantung dari keadaan klien ketika datang dalam fase apa, jika dalam fase akut perlu penangganan yang segera (Varcarolis, 2006). Interval antara munculnya gejala dengan perawatan/pengobatan pertama berhubungan dengan kecepatan dan kualitas respon pengobatan dan gejala negatif yang muncul, semakin cepat klien mendapat pengobatan setelah terdiagnosis maka semakin cepat dan bermakna responnya.
Pengobatan fase akut lebih difokuskan untuk menurunkan gejala psikotik yang berat, umumnya setelah dilakukan pengobatan selama 4-8 minggu dengan obat antipsikotik klien masuk dalam fase stabilisasi (Sinaga, 2008). Disimpulkan bahwa penanganan klien skizofrenia meliputi terapi psikofarmakologis dan
terapi psikososial yang
saling melengkapi.
Antipsikotik bekerja dengan melakukan blok terhadap post sinaps reseptor dopamin. Antipsikotik tidak menyembuhkan skizofrenia, tetapi digunakan untuk mengatasi gejala penyakit yang timbul. Obat ini bersifat multi fungsi yang meliputi 1) menurunkan gejala positif seperti halusinasi dan delusi, 2) meringankan gangguan Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
59
pikiran, 3) mengurangi ansietas dan agitasi, dan 4) memaksimalkan kemampuan yang masih dimiliki klien (Brady, 2004). Antipsikotik terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok tipikal (dikenal juga dengan sebutan konvensional atau tradisional) yang merupakan antagonis dopamin dan kelompok atipikal yang merupakan antagonis serotonin dan antagonis dopamin (Videbeck, 2008). Kedua kelompok ini efektif untuk sebagian besar skizofrenia akut yang memburuk dan untuk mencegah atau memperpanjang jarak kekambuhan.
Antipsikotik baik tipikal maupun atipikal tidak menyembuhkan skizofrenia, tetapi mengatasi gejala positif dan negatif yang timbul dengan melakukan blok terhadap post sinaps reseptor dopamin. Antipsikotik tipikal mengatasi gejala positif seperti waham, halusinasi, gangguan pikiran, dan gejala psikotik lain, tetapi tidak memiliki efek yang tampak pada gejala negatif. Antipsikotik tipikal yang masih sering digunakan adalah haloperidol, fluphenazine, trifluoperazine dan chlorpromazin (Sinaga, 2008). Antipsikotik atipikal tidak hanya mengurangi gejala psikotik, tetapi juga mengurangi tanda-tanda negatif seperti tidak memiliki kemauan dan motivasi, menarik diri, dan anhedonia (Littrell & Littrell, 1998, dalam Videbeck, 2008).
Antipsikotik atipikal meliputi olanzapine (zyprexa), quetiapine (seroquel), risperidon (risperdal), ziprasidone (geodon). Antipsikotik tipikal hanya mengatasi gejala positif, sedangkan antipsikotik atipikal mengatasi gejala positif sekaligus gejala negatif.Efek samping antipsikotik yang dirasakan klien bermulai dari ketidaknyamanringan sampai gangguan gerakan yang permanen (Marder, 2000, dalam Videbeck, 2008).
Efek samping yang dirasakan sering kali menakutkan dan membuat klien kesal, inilah yang menjadi alasan utama klien menghentikan atau mengurangi dosis obat. Efek samping obat antipsikotik dikelompokkan menjadi dua yaitu efek samping neurologis dan non neurologis. Efek samping neurologis meliputi gejala ekstrapiramidal (reaksi distonia akut, akatisia, dan Parkinson), kejang dan sindrom maligna neuroleptik. Efek samping non neorologis mencakup sedasi, fotosensitivitas, dan gejala antikolinergik seperti mulut kering, pandangan kabur, kontsipasi, retensi urin, dan hipotensi ortostatik (Videbeck, 2008). Golongan atipikal mempunyai efek samping lebih rendah dan juga efektif untuk mengatasi gejala negatif dibanding Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
60
golongan tipikal (Sinaga, 2008). Obat pencegahan efek ekstrapiramidal diberikan melalui jenis obat pencegahan sindrom ekstrapiramidal yaitu trihexyphenidil (THP), biperidin dan diphenhidramine hydrochloride (Varcarolis, Carson & Shoemaker, 2006). Trihexyphenidil dosis yang digunakan : 1-15 mg/hari dan difehidamin dosis yang diberikan 10-400 mg/hari untuk semua bentuk parkinsonisme, dan untuk menghilangkan reaksi ekstrapiramidal akibat obat (Kaplan & Saddock, 1997).
Disimpulkan bahwa pemberian obat antipsikotik juga menberikan efek yang kurang menguntungkan pada klien, sehingga hal ini perlu diantisipasi oleh perawat untuk menghindari efek negatif yang muncul dan membahayakan pada klien.
2.2.7.2. Diagnosa Keperawatan dan Tindakan Keperawatan Diagnosa keperawatan perlu diketahui terlebih dahulu pada klien untuk mempermudah klien dalam menyelesaikan masalah yang dialami oleh klien dan menentukan tidakan keperawatan yang mau dilakukan pada klien. Tindakan keperawatan yang dilakukan tersebut terdiri dari tindakan generalis dan spesialis baik individu, keluarga maupun kelompok.
a) Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang dibahas disini adalah disgnosa halusinasi yaitu diagnosa yang diberikan apabila ada persepsi sensori yang salah yang meliputi salah satu dari kelima panca indera (Townsend, 2009).
b) Tindakan Keperawatan Tindakan Keperawatan Generalis Tindakan keperawatan generalis merupakan terapi keperawatan yang dapat dilakukan oleh perawat pada semua jenjang pendidikan seperti perawat dengan pendidikan D.III keperawatan, Ners serta Spesialis. Tindakan keperawatan generalis pada masalah halusinasi, dibagi berdasarkan sasaran tindakan, yaitu klien, keluarga, dan kelompok. Berikut ini penjelasan tentang perencanaan tindakan keperawatan generalis:
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
61
1. Individu Tindakan keperawatan klien halusinasi menurut Keliat dan Akemat (2010) adalah yang pertama membina hubungan saling percaya, yang kedua dengan cara mengajarkan klien mengenal dan yang ketiga memahami halusinasi yang terjadi (isi, durasi, frekuensi, respon dan situasi) serta mengajarkan cara mengendalikan halusinasi dengan cara menghardik, bercakap-cakap, melakukan aktivitas terjadwal dan yang keempat pemanfaatan obat.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Caroline, Keliat dan Sabri (2008) bahwa penerapan standar asuhan keperawatan klien halusinasi dalam mengontrol halusinasi akan mempengaruhi kemampuan kognitif dan psikomotor klien sehingga klien halusinasi akan mengalami penurunan terhadap intensitas tanda dan gejala halusinasi yang muncul.
Disimpulkan bahwa tindakan keperawatan generalis pada klien halusinasi yang dilakukan sesuai standar asuhan keperawatan memiliki dampak yang positif pada penurunan tanda dan gejala halusinasi, sehingga meningkatkan kemampuan kongnitif dan psikomotor klien ketika muncul halusinasi.
2.
Keluarga
Tindakan
keperawatan
keluarga pada klien halusinasi bertujuan agar keluarga
mampu merawat klien dengan halusinasi. Tindakan keperawatan yang diberikan adalah mendiskusikan bersama-sama keluarga mengenai masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat klien dengan halusinasi, selanjutnya mendiskusikan bersama-sama
keluarga
faktor-faktor
yang
menyebabkan
halusinasi
dan
mendemonstrasikan cara merawat klien dengan halusinasi.
Keluarga diajarkan mengenai pentingnya memberikan penghargaan dan pujian yang wajar atas upaya dan keberhasilan yang telah dilakukan dan dicapai oleh klien dan terus mendorong klien untuk melakukan kegiatan yang telah berhasil dilakukan klien. Langkah terakhir menyusun perencanaan pulang untuk klien. Membuat perencanaan pulang keluarga membuat perencanaan kegiatan yang akan dilakukan klien selama dirumah. Dapat disimpulkan bahwakegiatan yang dilakukan bertujuan Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
62
agar keluarga tidak hanya mampu secara kognitif tapi keluarga juga mampu mempraktekkan dan melakukan cara merawat klien dengan halusinasi bila klien telah pulang ke rumah.
3.
Kelompok
Tindakan keperawatan generalis untuk kelompok klien dengan halusinasi adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi halusinasi (TAKSP:Hall). Pemberian terapi aktifitas kelompok halusinasi pada klien dengan halusinasi terbukti efektif untuk meningkatkan kemampuan klien dalam mengendalikan perilaku kekerasan hal ini ditunjang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Keliat dan Akemat (1999) yang menyimpulkan bahwa TAKSP:halusinasi mampu meningkatkan kemampuan mengendalikan perilaku pada klien dengan halusinasi.
Terapi kelompok ini terdiri dari lima sesi. Tujuan dilakukan TAKSP: halusinasi adalah agar klien mampu meningkatkan
kemampuan klien dalam mengontrol
halusinasi, Sesi satu mengajarkan cara mengenal halusinasi yang biasa muncul. Sesi kedua mengontrol halusinasi dengan menghardik atau mengusir. Sesi ketiga mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap sedangkan sesi empat mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan, sesi kelima adalah mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat (Keliat & Akemat, 2010).
Setiap sesi dalam TAKSP:halusinasi bisa dilakukan lebih dari satu kali pertemuan ini dilakukan agar kemampuan klien menjadi membudaya dan klien telah mampu melakukannya dalam kehidupan sehari-hari baik selama klien dirawat di rumah sakit maupun setelah klien kembali dimasyarakat. Teknik pembelajaran yang dilakukan pada TAKSP:halusinasi meliputi diskusi, demonstrasi dan redemonstrasi. Diskusi dilakukan untuk meningkatkan pemahaman klien terhadap topik yang sedang dilakukan. Diskusi klien dilatih untuk mampu mengeluarkan pendapat dan berinteraksi dengan lingkungan sosial. Demonstrasi bertujuan untuk memberikan contoh sikap, perilaku dan teknik komunikasi yang harus dimiliki klien untuk dapat berinteaksi dengan lingkungan sekitar. Redemonstrasi bertujuan melatih klien untuk mampu menampilkan sikap yang telah diajarkan sehingga klien memiliki ketrampilan berintraksi dengan lingkungan sekitar . Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
63
Tindakan Keperawatan Spesialis 1. Individu Berikut ini diuraikan berbagai tindakan keperawatan spesialis yang diberikan pada klien dengan halusinasi. 1) Cognitive behavioral therapy (CBT), adalah terapi kombinasi antara terapi perilaku dan terapi kognif. Aspek perilaku membantu individu mengidentifikasi kebiasaan reaktif terhadap situasi yang merepotkan, hal ini mengajarkan individu untuk rileks dan menenangkan tubuh. Aspek kognitif berfokus pada pola pikiran yang menyimpang/distorsi yang menyebabkan perasaan tidak menyenangkan atau gejala-gejala dari gangguan jiwa (Fontaine, 2009).
Terapi perilaku kognitif merupakan salah satu bentuk psikoterapi yang didasarkan pada teori bahwa tanda-tanda gejala fisiologis berhubungan dengan interaksi antara pikiran, perilaku dan emosi (Pedneault, 2008). Terapi ini bertujuan memodifikasi fungsi berfikir, perasaan, bertindak, dengan menekankan fungsi otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat, dan mengambil keputusan kembali dengan merubah status pikiran, dan perasaannya klien diharapkan dapat merubah perilaku negatif menjadi positif (Oermarjoedi, 2003).
Tindakan keperawatan untuk perubahan perilaku menerapkan teori belajar untuk persoalan hidup dengan tujuan membantu orang mengatasi kesulitan dalam kehidupan klien. Kesulitan ini sering terjadi bersama dengan masalah kesehatan atau kondisi psikiatris. Perawat dapat menggunakan prinsip-prinsip berikut untuk memandu intervensi perubahan perilaku klien (Stuart, 2009): semua perubahan adalah perubahan diri klien adalah peserta aktif dan agen utama perubahan, Selfefficacy sangat penting, klien perlu merasa bahwa mereka mengendalikan kehidupan mereka sendiri dan menerima tanggung jawab atas upaya mereka, pendidikan adalah hanya salah satu bagian dari proses perubahan, sebuah aliansi terapi membantu klien memulai dan mempertahankan perubahan, dimensi responsif dan tindakan tentang hubungan perawat dan klien adalah bahan penting untuk perubahan, harapan adalah penting semua intervensi yang efektif didasarkan pada harapan positif dan penuh harapan bahwa kehidupan bisa lebih baik.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
64
Penerapan terapi perilaku kognitif akan memberikan kesiapan klien untuk berubah terkait dengan motivasi seseorang atau apa yang disebut kesiapan sebagai motivasi. Perubahan perilaku terjadi secara bertahap dari waktu ke waktu (Prochaska et al, 1992 dalam Stuart, 2009). Menyebutkan tahapan perubahan, yaitu: Tahap pertama dari perubahan adalah precontemplation.
Pada tahap ini orang tidak berpikir bahwa mereka memiliki masalah, sehingga mereka tidak mungkin untuk mencari bantuan atau berpartisipasi dalam pengobatan, klien dapat mempertimbangkan, menjelajahi, atau melihat nilai manfaat dari perubahan. Tahap kedua perubahan adalah kontemplasi, menciptakan lingkungan yang mendukung dimana klien dapat mempertimbangkan perubahan tanpa merasa tertekan untuk melakukannya. Klien didorong untuk mengubah dalam fase ini mereka cenderung aktif menolak. Tahap ketiga perubahan adalah persiapan. Pada saat ini klien telah membuat keputusan untuk berubah dan menilai bagaimana keputusan yang terasa. Klien dapat dibantu untuk memilih tujuan pengobatan yang realistis dan cara yang berbeda untuk mencapai tujuan tersebut. Tahap keempat perubahan adalah tindakan.
Klien sekarang memiliki komitmen yang kuat untuk berubah dan telah mengidentifikasi rencana untuk masa depan. Mereka harus memberikan dukungan emosional dan membantu dalam mengevaluasi dan memodifikasi rencana mereka dari tindakan yang akan sukses. Tahap kelima perubahan adalah pemeliharaan. Perubahan terus, dan fokus ditempatkan pada klien apa yang perlu dilakukan untuk mempertahankan atau mengkonsolidasikan keuntungan. Setiap kambuh harus dilihat sebagai bagian dari proses perubahan dan bukan sebagai kegagalan. Tahap keenam dan terakhir adalah terminasi. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa seseorang tidak akan terlibat dalam perilaku lama dalam kondisi apapun. Klien lebih mungkin untuk terlibat dalam mengubah perilaku ketika mereka dapat menilai kesiapan mereka untuk intervensi perubahan dan merencanakan perubahan yang sesuai.
Terapi perilaku kognitif merupakan respon maladaptif timbul dari distorsi kognitif, distorsi tersebut dapat meliputi kesalahan logika, kesalahan dalam penalaran, atau pandangan dunia individual yang tidak mencerminkan realitas yang distorsi mungkin Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
65
baik positif atau negatif, hal ini didukung oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Davis et al (2005) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat diberikan klien skizofrenia untuk intervensi meningkatkan kepercayaan yang positif bagi klien, sehingga muncul perilaku yang positif. Morisson (2009) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat diberikan pada klien skizofrenia yang menjadikan klien dapat mengontrol perilaku marah, mengontrol klien yang berbicara sendiri atau halusinasi dan dapat meningkatkan hubungan klien baik di rumah sakit, keluarga dan di tempat kerja. Wahyuni, Keliat dan Yusron (2010) menerapkan terapi perilaku kognitif pada klien halusinasidapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien halusinasi. Fauziah, Hamid dan Nuraini (2009) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien skizofrenia dengan perilaku kekerasan. Sasmita, Keliat dan Budiharto (2007) Cognitive behaviour therapy meningkatkan secara bermakna kemampuan kognitif dan perilaku klien harga diri rendah. Erwina, Keliat, Yusron dan Helena (2010) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien pasca gempa
2) Terapi kognitif (CT) adalah suatu bentuk terapi yang dapat melatih pasien untuk mengubah cara berfikir yang negatif karena mengalami kekcewaan, kegagalan, dan ketidakberdayaan, sehingga psien dapat menjadi lebih baik dan dapat kembali produktif. Tujuannya mengubah pikiran-pikiran tidak logis dan negatif menjadi pikiran yang positif, obyektif dan rasional (Stuart & Laraia, 2005).
Terapi kognitif merupakan dasar pemikiran tentang bagaimana klien berpikir (kognitif), bagaimana klien merasakan (emosi) dan bagaimana klien bertingkah laku dalam semua interaksi. Secara umum tujuan terapi kognitif adalah membantu klien membentuk kembali cara berpikir mereka (Sanderson, 2002). Beberapa hasil penelitian turut mendukung bahwa terapi kognitif terbukti efektif untuk menurunkan ansietas pada klien.
Menurut Rahayuningsih dan Hamid (2008), terapi kognitif cukup efektif memperbaiki persepsi individu yang pada akhirnya dapat menurunkan ansietas pada klien dengan sakit fisik di RS Darmais. Hasil implementasi oleh Syafwani, Hamid, Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
66
dan Budiharto (2007), menggambarkan bahwa terapi kognitif dapat digunakan tidak hanya pada klien harga diri rendah dan percobaan bunuh diri saja, namun dapat juga dapat digunakan pada klien yang mempunyai masalah ansietas. Menurut Burns (1988), terapi kognitif efektif dan cepat memperbaiki kondisi psikis klien yang terganggu, termasuk ansietas, dan mengalami kesulitan konsentrasi berfikir. Menurut Sarfika, Keliat dan Wardani (2012), terapi kognitif juga efektif dalam meningkatkan kemampuan klien dalam mengubah pikiran negatif klien.
3) Terapi perilaku (BT) adalah terapi yang didasarkan atas proses belajar dan mempunyai tujuan mengubah perilaku yang tidak diinginkan menjadi perilaku yang diinginkan.Tujuan untuk menghasilkan perubahan-perubahan positif dalam berbagai perilaku meliputi kesehatan pribadi, interaksi sosial, kehadiran, dan formasi dalam pekerjaan dan tugas rumah tangga (Stuart & Laraia, 2005).
Prinsip terapi ini adalah: individu menerima token segera setelah mempertunjukkan perilaku yang diinginkan; bentuk token adalah suatu obyek yang benar-benar diinginkan klien atau kehormatan yang penuh arti atau hadiah yang bagus; hadiah dapat bersifat individual tergantung dari umur, jenis kelamin, hobi, dan tipe intensitas dari tanda yang tampak pada klien; besarnya reward/hadiah adalah sama nilainya untuk semua individu dalam suatu kelompok; penggunaan dari hukuman (respon costs) lebih sedikit risikonya dibandingkan bentuk-bentuk hukuman yang lain; individu dapat belajar ketrampilan-ketrampilan yang berhubungan dengan masa depan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Parendrawati, Keliat & Haryati (2008) menerapkan terapi perilaku dengan memberikan token ekonomi pada klien defisit perawatan diri dapat merubah perilakunya dalam melakukan perawatan diri.
2. Keluarga Family Pscyhoeducation(FPE) Berbagai ahli mendefinisikanpsikoedukasi keluarga (FPE) yang menyatakan bahwa psikoedukasi
diantaranya menurut
merupakan suatu alat terapi keluarga
bertujuan untuk menurunkan faktor–faktor risiko yang berhubungan dengan
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
67
perkembangan gejala–gejala perilaku (Carson, 2000). Pendapat lain yang senada diutarakan oleh Stuart dan Laraia (2005), bahwa FPE adalah salah satu element program perawatan kesehatan jiwa keluarga yang dilakukan dengan cara memberikan informasi dan edukasi melalui komunikasi yang therapeutik.
Psikoedukasi keluargabertujuan untuk berbagi informasi tentang perawatan kesehatan jiwa (Varcarolis, 2006).) Tujuan pemberian terapi ini adalah untuk mengurangi dan mencegah kekambuhan klien serta mempersiapkan klien kembali kedalam lingkungankeluarga dan masyarakat dengan memberikan ketrampilan dan penghargaan terhadap fungsi sosial dan okupasi klien, selain itu tujuan lainnya adalah memberikan dukungan terhadap anggota keluarga dalam dalam mengurangi beban keluarga terutama beban fisik dan mental dalam merawat klien dengan gangguan jiwa dalam waktu yang lama (Nevin, L, 2002).
Prinsip psikoedukasi dapat membantu anggota keluarga dalam meningkatkan pengetahuan tentang penyakit melalui pemberian informasi dan edukasi yang dapat mendukung pengobatan dan rehabilitasi klien dan meningkatkan dukungan bagi anggota keluarga itu sendiri. Peran perawat dalam family psychoeducation therapy meliputi lima komponen yaitu memberikan informasi terkait gangguan jiwa khususnya dalam merawat
klien dengan halusinasi, melatih keluarga dalam
menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam keluarga, memberi kesempatan dalam memvalidasi perasaan klien dan keluarga terkait dengan keyakinan dan sumbersumber pendukung dalam melakukan aktivitas sosial dan interaksi sosial klien, meningkatkan koping keluarga dalam menghadapi klien dengan gangguan jiwa, dan meningkatkan penggunaan dukungan formal atau informal bagi klien dan keluarga.
Family system therapy pemberian dukungan keluarga merupakan salah satu alternatif terapi yang dapat diberikan pada keluarga, sebagaimana terapi yang disarankan oleh Dochterman (2004) yang menyatakan bahwa, terapi ini membantu keluarga mengidentifikasi dukungan dari keluarga terhadap klien dan menyediakan sumber-sumber yang dimiliki keluarga. Family system therapy perawat memfasilitasi sistem keluarga dalam menentukan peran, harapan peran, penyelesaian konflik, membantu anggota keluarga mengklarifikasi kebutuhan dalam berhubungan dengan Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
68
diri sendiri, orang lain, lingkungan dan zat yang lebih tinggi.Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sari, Keliat, Susanti dan Helena (2009) bahwa dengan penerapan terapi psikoedukasi keluarga dapat membantu mengurangi beban keluarga dan mengetahui cara merawat klien dengan gangguan jiwa yang masih dipasung.
3. Kelompok a) Terapi Kelompok Suportif Terapi kelompok suportif merupakan sekumpulan orang-orang yang berencana, mengatur dan berespon secara langsung terhadap isue-isue dan tekanan yang khusus maupun keadaan yang merugikan (Grant-Iramu 1997 dalam Hunt, 2004). Terapi ini merupakan salah satu model dalam psikoterapi yang bersifat ekletik dan tidak tergantung pada satu konsep atau teori saja. Terapi ini menggunakan pendekatan psikodinamik yang bertujuan untuk memahami perubahan perilaku akibat faktor biopsikososial dengan memberikan penekanan pada respon koping maladaptif. Pada awalnya terapi ini bertujuan untuk memberikan support dan menyelesaikan perilaku kekerasan dari masing-masing anggotanya.
Terapi
kelompok
suportif
yang
diberikan
bertujuan
untuk
meningkatkan
keterampilan dan penggunaan sumber-sumber koping yang dimiliki oleh anggota kelompok (Rockland, 1989 dalam Stuart & Laraia, 2005). Hasil pemberian terapi adalah meningkatnya kemampuan klien untuk berinteraksi dalam kelompok selain itu klien mendapatkan dukungan dari kelompok dalam mengatasi masalah dengan melakukan tukar menukar
pengalaman (sharing). Kemampuan klien dalam
memecahkan masalah sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Wheeler (2008), bahwa dengan pemberian terapi suportif akan membantu klien belajar meningkatkan kekampuan klien dalam memecahkan masalah (problem solving) dan meningkatkan kemampuan pertahanan diri. Beberapa tindakan keperawatan di atas diberikan oleh penulis kepada klien dan keluarganya dalam rangka memberikan asuhan keperawatan yang tepat untuk mengatasi masalah klien dan keluarga.Terapi ini sesuai dengan penelitian Hidayati, Hamid dan Mustikasari (2011) bahwa terapi suportif diberikan pada klien skizofrenia dengan masalah perilaku kekerasan mendapatkan peningkatan kemampuan dalam mengatasi perilaku kekerasan.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
69
b) Kelompok Swa Bantu/Self Help Group Self help group merupakan satu pendekatan untuk mempertemukan kebutuhan keluarga dan sumber penting untuk keluarga dengan gangguan jiwa (Citron, et.all, 1999). Self helpgroup merupakan suatu kelompok atau peer dimana tiap anggota saling berbagi masalah baik fisik maupun emosional atau issue tertentu (Anonim, 2008). Self help group bertujuan untuk mengembangkan empathy diantara sesama anggota kelompok dimana sesama anggota kelompok saling memberikan penguatan untuk membentuk koping yang adaptif. Self help group pada keluarga dengan gangguan
jiwa
perlu
dilakukan
untuk
membantu
keluarga
mengatasi
permasalahannya yang diselesaikan bersama dalam kelompok. Hasil penelitian pengaruh self help group terhadap kemampuan keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa di Kelurahan Sindang Barang dan Katulampa menunjukkan kemampuan kognitif dan psikomotor keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa meningkat secara bermakna setelah melaksanakan self helpgroup (Utami, Keliat & Gayatri 2008). Bila dilihat dari hasil tersebut self helpgroup sangat penting dilakukan pada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa.
Tujuan dari terapi ini adalah : membentuk self help group pada keluarga dengan gangguan jiwa, melakukan implementasi selfhelp group pada keluarga dengan gangguan jiwa, mengevaluasi self help group pada keluarga dengan gangguan jiwa, mendokumentasian kegiatan self help group pada keluarga dengan gangguan jiwa. Prinsip Self help group, pembentukan self help group harusmemperhatikan prinsipprinsip sebagai berikut ini: tiap anggota kelompok berperan secara aktif untuk berbagi pengetahuan dan harapan terhadap pemecahan masalah serta menemukan solusi melalui kelompok; sesama anggota saling memahami, mengetahui dan membantu berdasarkan kesetaraan, respek antara satu dengan yang lain dan hubungan timbal balik; Self help group merupakan kelompok informal dan dibimbing oleh volunteer; Selfhelp group adalah kelompok self supporting anggota self helpgroup berbagi pengetahuan dan harapan terhadap pemecahan masalah serta menemukan solusi melalui kelompok. Pembiayaan untuk pelaksanaan kegiatan ditanggung bersama kelompok; kelompok harus menghargai privacy dan kerahasiaan dari anggota kelompoknya; pengambilan keputusan dengan melibatkan kelompok
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
70
dan kelompok harus bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan. Terapi ini sesuai dengan penelitian dari Utami, Keliat dan Gayatri (2008) bahwa penerapan terapi self help group (SHG) dapat menyelesaikan masalah dan memberikan support terhadap semua anggota yang diberikan ke keluarga, sehingga menambah kemampuan keluarga dalam merawat klien yang mengalami gangguan jiwa.
2.3 Konsep Manajemen Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) Pelayanan prima keperawatan dikembangkan dalam bentuk model praktik keperawatan profesional, yang awalnya dikembangkan oleh Sitorus (2005) di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo dan beberapa rumah sakit umum yang lain. MPKP dikembangkan beberapa jenis sesuai dengan kondisi sumber daya manusia yang ada. Dibawah ini dijelaskan tingkat model praktik keperawatan profesional. MPKP di Rumah Sakit Jiwa Di Rumah sakit jiwa telah dikembangkan MPKP dengan memodifikasi MPKP yang telah dikembangkan di Rumah sakit umum. Beberapa modifikasi yang telah dilakukan meliputi beberapa jenis MPKP. 1) MPKP Transisi MPKP dasar yang masih memiliki tenaga perawat yang berpendidikan SPK, tetapi kepala ruangan dan ketua timnya minimal berpendidikan D3 Keperawatan. 2) MPKP Pemula MPKP dasar dengan semua tenaganya minimal D3 Keperawatan 3) MPKP Profesional dibagi menjadi tiga tingkat a. MPKP I (MPKP dasar) dengan tenaga perawat pelaksana minimal D3 keperawatan, tetapi kepala ruangan (Karu) dan Ketua tim (Katim) berpendidikan minimal S1 Keperawatan. b. MPKP I (menengah) dengan tenaga minimal D3 keperawatan dan mayoritas Ners Sarjana Keperawatan dan sudah memiliki tenaga spesialis keperawatan jiwa. c. MPKP III (tindak lanjut) yang semua perawatnya minimal Ners Sarjana Keperawatan dan sudah mempunyai tenaga spesialis keperawatan jiwa dan Doktor keperawatan yang bekerja di area keperawatan jiwa (Keliat & Akemat, 2010).
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
71
Asuhan keperawatan jiwa pada klien halusinasi di pelayanan terutama di rumah sakit dapat dilakukan melalui penerapan MPKP. Pendekatan MPKP dapat diterapkan dengan menggunakan 4 pilar yang terdiri dari: Pilar I management approach, Pilar II compensatory reward, Pilar III profesional relationship, serta Pilar IV patient care delivery (Keliat & Akemat, 2010). Asuhan keperawatan jiwa dengan pendekatan MPKP membutuhkan proses kerjasama anggota staf keperawatan untuk memberikan asuhan keperawatan. Berikut akan diuraikan tentang asuhan keperawatan jiwa pada klien halusinasi di rumah sakit berdasarkan pendekatan MPKP.
1) Management Approach Management approach sebagai praktik profesional yang pertama, harus dilakukan secara disiplin dan benar untuk menjamin kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien dan keluarga (Keliat & Akemat, 2010).Manajemen approach diterapkan dalam bentuk fungsi manajemen yang terdiri dari: a. Perencanaan. Perencanaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh perawat di Rumah Sakit. Kegiatan perencanaan yang diterapkan di pelayanan di ruang MPKP meliputi penyusunan visi, misi, filosofi, rencana harian, rencana bulanan dan tahunan (Keliat & Akemat, 2010). Perawat menyusun perencanaan, yang terdiri dari rencana harian, rencana bulanan dan tahunan (Kepala Ruang), sedangkan Ka.Tim hanya membuat rencana harian dan rencana bulanan, perawat pelaksana hanya rencana harian. Rencana harian perawat dibuat sebelum shift isinya disesuaikan peran dan fungsi perawat. Rencana harian perawat meliputi kegiatan manajerial dan kegiatan asuhan keperawatan. Rencana Bulanan Kepala Ruang yaitu membuat jadwal : case conference, penkes keluarga, jadwal dinas, petugas TAK, rapat perawat, rapattim kesehatan, supervisi, penilaian kinerja Ka.tim dan perawat pelaksana, audit dokumentasi dan laporan bulanan, sedang untuk Ka. Tim: mempresentasikan kasus case conference, penkes keluarga dan supervisi perawat pelaksana. Rencana tahunan kepala ruang meliputi evaluasi hasil kegiatan dalam satu tahun yang dijadikan sebagai acuan tindak lanjutdan penyusunan rencana tahunan berikutnya. b. Pengorganisasian. Kegiatan pengorganisasian yang digunakan di pelayanan Rumah sakit meliputi 3 kegiatan yaitu penyusunan struktur organisasi, daftar dinas ruangan dan daftar pasien Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
72
(Keliat & Akemat, 2010). Struktur organisasi dipimpin oleh kepala ruang, yang beranggotakan Ka.tim. Ka.tim beranggotakan perawat pelaksana yang bertanggung jawab 8-10 klien di setiap tim. Kegiatan pengorganisasian yang dilakukan oleh perawat yaitu dengan membentuk struktur organisasi di ruangan. Penyusunan struktur organisasi MPKP akan memberikan garis kewenangan dan tanggung jawab dalam pengelolaan klien gangguan di Rumah sakit yang memiliki masalah halusinasi. Perawat harus memiliki daftar alokasi klien di setiap ruangan, mengetahui letak masing-masing klien dalam tim tersebut, dan mengetahui nama perawat yang bertanggungjawab terhadap masing-masing klien.
c. Pengarahan Pengarahan yaitu penerapan perencanaan dalam bentuk tindakan dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Kegiatan pengarahan yang dilaksanakan pada layanan Rumah sakit yaitu menciptakan iklim motivasi di ruang sadewa, mengelola waktu secara efisien, dengan melakukan
komunikasi
efektif pada semua perawat di ruangan untuk melakukan operan antar shift, melakukan pre dan post conference antara Ka. Tim di ruang sadewa dengan perawat pelaksana, menyelesaikan manajemen konflik, supervisi kepala ruang pada Ka.tim di ruang sadewa, supervisi Ka.tim dengan perawat pelaksana, pendelegasian pada masing-masing peran baik kepala ruang, Ka.tim maupun perawat pelaksana.
d. Pengendalian Kegiatan pengendalian yang akan dilaksanakan pada layanan Rumah sakit antara lain dengan mengevaluasi indikator mutu di setiap ruangan dan melakukan monitoring dan evaluasi (Keliat & Akemat, 2010). Kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan untuk menilai kemampuan perawat pelaksana, klien, dan keluarga. Kegiatan monitoring dan evaluasi kepada klien meliputi monitor dan evaluasi kemampuan klien dalam mengontrol halusinasi dengan melihat tanda dan gejala klien yang masih muncul. Kegiatan monitoring dan evaluasi kepada keluarga meliputi monitor dan evaluasi kemampuan keluarga dalam merawat klien, monitor beban dan stres yang dialami keluarga selama merawat klien, dan monitor kemampuan keluarga dalam menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan untuk mengurangi halusinasi yang dialami klien. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi kemampuan perawat, Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
73
penyegaran pelatihan perawat menjadi perlu jika saja ditemukan sebagian besar kemampuan perawat yang belum optimal.
2) Compensatory Reward Pelaksanaan dalam melakukan penilaian kinerja dan pengembangan tenaga perawat. Penilaian kinerja atau evaluasi kinerja di ruang MPKP yaitu kemampuan tiap SDM dievaluasi dengan menggunakan supervisi baik secara langsung maupun tidak langsung melalui dokumentasi (Keliat & Akemat, 2010). Kinerja kepala ruang dinilai oleh kepala bidang keperawatan, Ka.tim dinilai oleh kepala ruang, perawat pelaksana dinilai oleh Ka.tim.Pengembangan tenaga perawat merupakan salah satu proses yang berhubungan dengan manajemen SDM. Bentuk pengembangan tenaga perawat di ruang MPKP adalah pendidikan keperawatan berkelanjutan, dan program pengembangan jenjang karier.
3) Relationship Hubungan profesional yang terjadi di ruang MPKP yaitu rapat perawat ruangan, rapat tim kesehatan, case conference, visit dokter. Rapat tim keperawatan adalah suatu metode dengan menyampaikan informasi permasalahan yang ditemukan pada pasien, evaluasi hasil kerja secara keseluruhan, informasi dll. Fokus pembicaraan adalah membahas hasil-hasil kerja keperawatan selama sebulan mengenai aktivitas ruang MPKP (laporan bulanan). Case conference adalah salah satu kelompok tentang kasus asuhan keperawatan klien /keluarga, topik yang dibicarakan : kasus klien baru, kasus klien yang tidak ada perkembangan, kasus klien pulang, klien yang meninggal, klien dengan masalah yang jarang ditemukan. Rapat tim kesehatan adalah media komunikasi antar tim kesehatan (rapat multidisiplin) untuk membahas manajerial ruang MPKP. Fokus pembicaraan rapat adalah semua hal yang terkait dengan manajerial. Visit dokter adalah kunjungan dokter ke ruangan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan pada klien dan ketua tim bertanggungjawab melakukan kolaborasi
serta
mendampingi
dokter
saat
melakukan
pemeriksaan
dan
menyampaikan informasi tentang klien.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
74
4) Patient Care Delivery Sistem pemberian asuhan keperawatan yang diterapkan di MPKP adalah asuhan keperawatan dengan menerapkan proses keperawatan. Berdasarkan hasil survai tersebut, sistem pemberian asuhan keperawatan dalam MPKP yaitu dijelaskan di pedoman proses keperawatan, pedoman asuhan keperawatan pada 7 masalah keperawatan, pedoman pendidikan kesehatan.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
75
BAB 3 HASIL MANAJEMEN PELAYANAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN HALUSINASI DI RUANG SADEWA RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKIMAHDI BOGOR
Bab 3 akan menguraikan tentang hasil manajemen pelayanan dan asuhan keperawatan klien halusinasi di Ruang Sadewa RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Bertujuan untuk melihat hasil penerapan asuhan keperawatan dalam merawat klien dan melibatkan keluarga terutama pada klien dengan halusinasi.
3.1. HASIL PELAKSANAAN MANAJEMEN PELAYANAN DI RUANG SADEWA RSMM Proses didirikannya RSMM dimulai dengan sensus pada tahun 1862. Proses pendiriannya, dimulai dengan menunjuk dua orang ahli, yakni Dr FH Bauer, psikiater yang memimpin suatu RSJ di Belanda dan Dr WM Smith, dokter Angkatan Laut. Pada tanggal 1 Juli 1882 akhirnya pemerintah Hindia Belanda meresmikan
pendirian
Rumah
Sakit
Jiwa
Bogor
dengan
nama
krankzinnigengestich te buitenzorg. Tahun 1945 menjadi Rumah Sakit Jiwa Bogor dengan direktur pribumi pertama dr.H. Marzoeki Mahdi. Tahun 1978 menjadi Rumah
Sakit
Jiwa
Pusat
Bogor
berdasarkan
SK
Menkes
No. 135/menkes/SK/IV/78. Tahun 2002 diberi nama rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor berdasarkan SK Menkes No. 266/menkes/sk/IV/2002 tanggal 10 April 2002. Tahun 2007 menjadi instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU berdasarkan SK Menkeu No.279/KMK 05/2007 tanggal 21 juni 2007. Perkembangan rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi dilihat dari sejarah pendiriannya terus mengalami perbaikan.Rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi awalnya hanya memberikan pelayanan bagi klien yang mengalami gangguan jiwa dan akhirnya berkembang melakukan perawatan klien NAPZA dan pelayanan umum. RSMM juga terus berupaya untuk memaksimalkan fungsi lebih profesional dan secara proaktif melakukan antisipasi terhadap perubahan, termasuk keperawatan yaitu dengan pengembangan Model Praktik Keperawatan
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
76
Profesional (MPKP) melalui kerja sama dengan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI). MPKP pertama kali diterapkan tahun 2003 di tiga ruang perawatan yaitu Srikandi, Kresna dan Sadewa. Berdasarkan informasi yang diperoleh terjadi peningkatan mutu setelah MPKP diterapkan. Hal ini dapat dilihat dari BOR sebesar 65-80% dan AvLOS sebesar 25 hari. Angka BOR berada pada rata-rata nasional dengan nilai AvLOS lebih rendah dari standar nasional, hal ini menunjukkan angka yang ditampilkan di ruang MPKP RSMM lebih baik dari standar nasional. Berdasarkan hasil tersebut sejak awal tahun 2006 kerja sama antara FIK-UI dan RSMM dilanjutkan dengan menempatkan mahasiswa magister keperawatan Jiwa di ruang rawat inap RSMM, dengan tujuan mengenalkan dan menerapkan MPKP baik untuk manajemen pelayanan keperawatan maupun manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa dan perkembangan MPKP pada tahun 2011 ini yaitu 4 ruangan fisik, 14 ruangan psikiatri, ruang NAPZA dan IGD telah melaksanakan MPKP. Ruangan yang digunakan dalam praktik yaitu Ruang Sadewa merupakan ruang kelas 1 yaitu ruang rawat inap laki-laki dan perempuan, dengan kapasitas tempat tidur 25. Pendekatan manajemen MPKP di ruang Sadewa dimulai sejak tahun 2003, dengan metode asuhan keperawatan yang dipergunakan adalah bentuk metode tim-primer.
Ruangan Sadewa merupakan salah ruangan yang memberikan pelayanan psikiatri terutama untuk kondisi klien yang tenang yang memerlukan perawatan lanjut dengan tujuan untuk mengurangi tanda dan gejala negatif yang muncul untuk meningkatkan kemampuan klien dalam merawat dirinya. Proses keperawatan yang dilakukan di ruang Sadewa yaitu dengan tahapan pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
Jumlah tenaga keperawatan sampai bulan April 2013 adalah 12 orang dengan latar belakang pendidikan 11 orang DIII Keperawatan dan 1 orang sarjana keperawatan Ners. Tenaga non keperawatan ada 5 orang dengan pendidikan
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
77
masing-masing 1 orang sarjana administrasi, 2 orang pramuhusada dan 2 cleaning service. Ruang Sadewa telah dipergunakan sebagai area praktik oleh Residen Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI). Pasien yang dirawat di Ruang Sadewa sejak 18 Februari – 19 April 2013 adalah 37 klien kelolaan. Selama mahasiswa menjalankan praktik di ruang Sadewa, ditemukan diagnosa keperawatan utama dari 37 klien selama di rawat yaitu, sebanyak 20 kliendiagnosis keperawatan halusinasi, 9 diagnosis keperawatan RPK, 5 diagnosis keperawatan HDR Kronik, dan 3 diagnosis keperawatan isolasi sosial. Diagnosa medis yang ditemukan skizofrenia paranoid sebanyak 24 klien, skizofrenia 3 klien, gangguan afektif bipolar 4 klien, psikosis 5 klien, dan skizofrenia hebrefenik 1 klien. Diagnosa medis skizofrenia paranoid yang paling sering ditemukan sebanyak 24 klien dan diagnosa keperawatan utama yang paling sering ditemukan adalah halusinasi sebanyak 20 klien.
Hasil Kegiatan Model praktik keperawatan profesional yang digunakan dalam merawat kliendi ruang Sadewa yaitu: a) Persiapan Kegiatan persiapan pada pelaksanaan manajemen pelayanan di ruang Sadewa yaitu kegiatan pengorganisasian dengan menggunakan 3 kegiatan yaitu struktur organisasi, daftar dinas di ruangan dan daftar alokasi klien. Struktur organisasi sudah terbentuk yang dipimpin oleh kepala ruang Sadewa terdiri dari Katim satu, dua, dan perawat pelaksana sertaseorang dokter umum, maupun tenaga pendukung yang lain (administrasi dan pramuhusada). Penyusunan struktur organisasi ruangan akan memberikan kewenangan dan tanggung jawab dalam pengelolaan klien halusinasi di ruang Sadewa. Penyusunan jadwal dinas perawat di ruang Sadewa dibuat berdasarkan jumlah perawat (12) dan waktu dinas yang dibagi 3 shift (pagi, siang dan malam) yang dibagi menjadi dua tim yaitu tim 1: 5 perawat pelaksana dan tim 2 : 5 perawat.
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
78
Setiap perawat mempunyai jumlah klien yang dikelola dari datang sampai pulang. Perawat juga harus melihat daftar alokasi klien untuk mempermudah kolaborasi tim atas pengelolaan klien dengan halusinasi sesuai jadwal dinas yang telah dibuat untuk 1 bulan. Setiap klien halusinasi memiliki perawat pada setiap shift dinas yang bertanggung jawab secara total selama dirawat. Daftar klien juga dapat menggambarkan tanggung jawab dan tanggung gugat perawat atas asuhan keperawatan klien halusinasi yang sudah dilakukan, sehingga terwujud keperawatan yang holistik, serta memberikan informasi bagi dokter maupun tenaga kesehatan lain dan keluarga untuk berkolaborasi tentang perkembangan klien halusinasi.
Perawat menyusun rencana bulanan. Rencana bulanan biasa dibuat oleh kepala ruang dan Ka. Tim yaitu perawat membuat jadwal pelaksanaan case conference yang sudah dilakukan setiap dua minggu sekali setiap hari kamis (4x) yang dihadiri oleh semua perawat. Case conference pembahasan tentang kasus asuhan keperawatan klien halusinasi keluarga, topik yang dibicarakan: kasus klien baru, kasus klien yang tidak ada perkembangan, kasus klien pulang, klien yang meninggal, klien dengan masalah yang jarang ditemukan. Perawat membuat jadwal dinas untuk mengetahui tanggung jawab setiap perawat dalam 1 bulan, rapat/pertemuan dilakukan untuk mengevaluasi kegiatan asuhan keperawatan yang dilakukan 2 bulan sekali, khususnya tindakan keperawatan pada klien halusinasi, setelah melakukan dokumentasi pelaksanaan tindakan keperawatan, maka perlu dilakukan audit dokumentasi.
b) Pelaksanaan Kegiatan pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan yang dilakukan setiap hari adalah perawat membuat rencana harian yang dibuat sebelum operan dilakukan dan dilengkapi pada saat operan dan preconference untuk mempermudah rencana pelaksanaan tindakan keperawatan yang akan dilakukan pada klien halusinasi, agar ada kesinambungan dalam melakukan asuhan keperawatan halusinasi yang setiap hari dilakukan perlu dilakukan operan yaitu melaporkan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan halusinasi yang sudah dilakukan kedua tim bagi shift pagi,
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
79
siang dan malam yang dilakukan sehari 3 kali sesuai masing-masing perawat pada shift tersebut, pre dan post conference yaitu melaporkan rencana yang mau dilakukan pada klien halusinasi dan melaporkan hasil tindakan keperawatan pada klien halusinasi yang dilakukan pada masing-masing tim sebelum operan, setiap pelaksanaan operan dan pre maupun post conference dilakukan selalu iklim motivasi untuk meberikan motivasi bagi perawat dalam melakukan kegiatan asuhan keperawatan pada klien halusinasi. Penerapan asuhan keperawatan dengan melakukan interaksi dengan klien halusinasi berkolaborasi untuk masing-masing klien halusinasi dengan perawat ruangan melakukan terapi generalis dan penulis melakukan terapi spesialis sesuai dengan tanggung jawab perawat masing-masing yang telah tertulis di daftar alokasi pasien yang dilakukan interaksi dalam sehari minimal dua kali pada setiap klien halusinasi.
Pemberian asuhan keperawatan yang diterapkan di ruang Sadewa dengan menerapkan proses keperawatan mulai dari pengkajian sampai evaluasi. Pemberian asuhan keperawatan jiwa juga melibatkan keluarga dengan pemberian pendidikan kesehatan jiwa, jika ada anggota keluarga klien halusinasi yang datang perawat juga memberikan pendidikan kesehatan cara merawat anggota keluarga yang mengalami halusinasi dan psikoedukasi keluarga.; memberikan terapi aktifitas kelompok pada klien halusinasi dan melakukan rehabilitasi pada klien halusinasi sesuai program rehabilitasi di RSMM dan menyesuaikan kemampuan klien yang dimiliki.
Visit dokter juga dilakukan oleh dokter psikiatri yang didampingi oleh perawat ruangan untuk melaporkan hasil tindakan keperawatan pada klien halusinasi yang sudah dilakukan oleh perawat, sehingga ada tindak lanjut dari tenaga medis (dokter) terhadap terapi obat yang diberikan dari resep dokter. Ketua tim bertanggungjawab melakukan kolaborasi serta mendampingi dokter saat melakukan pemeriksaan dan menyampaikan informasi tentang klien halusinasi.
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
80
c) Hasil Hasil pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan di ruang Sadewa perawat mengevaluasi kegiatan asuhan keperawatan yang sudah dilakukan yaitu salah satunya audit dokumentasi untuk mengevaluasi dokumen asuhan keperawatan pada klien halusinasi yang telah dilaksanakan oleh perawat, kegiatan audit dokumentasi dilakukan setelah klien halusinasi pulang atau meninggal, hasil audit tersebut direkapitulasi dalam satu bulan. Melakukan evaluasi indikator mutu pada klien halusinasi untuk mengetahui jumlah rata-rata lama rawat klien halusinasi yaitu 45-60 hari, untuk mengevaluasi penilaian kinerja perawat, juga dapat dilakukan dengan melihat peningkatan kemampuan klien halusinasi dalam menggunakan pikiran dan perilaku yang positif dalam mengontrol halusinasi yang muncul.
Manajemen asuhan keperawatan di ruang Sadewa dilakukan bersama-sama mahasiswa, perawat di ruangan dan melibatkan keluarga jika berkunjung di ruangan. Jumlah klien gangguanyang dikelola sebanyak 37 klien, yang memiliki masalah halusinasi sebanyak 20 orang dengan berkolaborasi 12 perawat di ruang Sadewa. Semua klien yang mengalami halusinasi telah memperoleh perawatan, berupa tindakan keperawatan jiwa dengan melatih klien mengontrol halusinasi dan melatih klien perilaku yang maladaptif menjadi adaptif, serta melakukan pendidikan kesehatan jika ada keluarga yang datang dan belum mengetahui cara merawat anggota keluarga yang sakit dan pendokumentasian kegiatan.
Berdasarkan uraian pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan di atas, dapat dipahami bahwa semua kegiatan manajemen pelayanan sudah diterapkan, meskipun ada satu kegiatan yang belum dilakukan yaitu rapat tim kesehatan. Hal ini mengindikasikan diperlukannya upaya tindak lanjut dilakukannya rapat tim kesehatan untuk meningkatkan kolaborasi antar tim kesehatan dalam mengelola klien halusinasi di ruang Sadewa.
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
81
3.2 HASIL PELAKSANAAN MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN DI RUANG SADEWA RSMM Pelaksanaan asuhan keperawatan melalui proses keperawatan dengan pendekatan model Stuart yang meliputi pengkajian stressor predisposisi, stressor presipitasi, respon terhadap stressor dan kemampuan yang dimiliki terhadap stressor. Penegakan diagnosa keperawatan dilakukan berdasarkan data-data yang ditemukan. Tindakan keperawatan dan pelaksanaan tindakan keperawatan didasarkan pada pengkajian dan diagnosa keperawatan yang terdiri dari intervensi generalis dan terapi spesialis.
Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan pada klien halusinasi yang meliputi hasil pengkajian yang terdiri dari karakteristik klien, stressor predisposisi dan stressor presipitasi, diagnosa keperawatan dan diagnosa medik, rencana tindakan keperawatan, pelaksanaan dan hasil tindakan keperawatan, rencana tindak lanjut dan hambatan pelaksanaan asuhan keperawatan.
3.2.1. Hasil Pengkajian Pengkajian terhadap klien dengan diagnosa keperawatan halusinasi dilakukan menggunakan pendekatan konsep stres adaptasi Stuart (2009) yang dikembangkan dalam bentuk pola pengkajian menggunakan scanning. Hasil pengkajian yang meliputi karakteristik klien, stressor predisposisi, stressor presipitasi, respon terhadap stressor dan kemampuan yang dimiliki klien, terhadap 20 orang klien yang mengalami halusinasi.
3.2.1.1. Karakteristik Klien Karakteristik 20 klien dengan halusinasi di ruang sadewa yang mendapatkan asuhan keperawatan dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin,usia, status perkawinan, pendidikan pekerjaan, lama sakit dan lama rawat.Asuhan keperawatan diberikan mulai tangal 18 Februari-19 April 2013. Berdasarkan tabel 3.1 dibawah ini dijelaskan bahwa klien yang mengalami halusinasi sebagian besar berjenis kelamin laki-laki yaitu 13 klien (65%). Usia
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
82
klien yang mengalami halusinasi terbanyak adalah usia 40-65 tahun sebanyak 15 klien (75%). Sebagian besar klien belum menikah yaitu 10 klien (50%). Sebagian besar klien berpendidikan menengah yaitu 9 klien (45%). Sebagian besar klien tidak bekerja sebanyak 13 klien (65%). Lama sakit klien terbanyak adalah kurang dari 10 tahun sebanyak 12 klien
(64%). Lama rawat klien yang sekarang
terbanyak adalah 2 bulan dan 3 bulan (25%) dan frekuensi masuk RS terbanyak adalah lebih dari 3 kali yaitu 10 klien (50%).Jumlah klien sebagian besar sudah pulang sebnyak 17 klien (85%). Rata-rata rawat klien halusinasi sebagian besar 2 bulan sebanyak 8 klien (47%). Rata-rata rawat klien yang mengalami gangguan jiwa mulai 9 hari sampai 54 hari (2 minggu-2 Bulan). Rumah sakit jiwa mempunyai rata-rata lama hari rawat yang lebih tinggi dari rata-rata nasional, antara lain, RSJP Bogor 115 hari, RSJP Lawang 95 hari. Survei tentang rata-rata lama hari rawat klien skizofrenia dengan perilaku kekerasan adalah 42 hari, sedangkan Morrison (2009) dalam penelitiannya menemukan bahwa rata-rata lama hari rawat minimal perilaku kekerasan dengan diagnosis skizofrenia adalah 14 hari
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
83
Tabel 3.1 Distribusi Karakteristik Klien Dengan Halusinasi di Ruang Sadewa Periode 18 Februari – 19 April 2013 (n = 20) No 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10
Karakteristik klien
Jumlah
Prosentase
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan
13 7
65 35
Usia 21-40 40-65
5 15
25 75
Status Menikah Belum Menikah Janda/Duda
5 10 5
25 50 25
Pendidikan SMP SMA S1
4 9 7
20 45 35
Pekerjaan Tidak Bekerja Bekerja
13 7
65 35
Lama Sakit < 10 Tahun 10 - 20 Tahun > 20 Tahun
12 3 5
60 15 25
Lama Rawat yang sekarang 2 Minggu 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan >3 Bulan
2 4 5 5 4
10 20 25 25 20
1 kali
3
15
2 kali
3
15
3 kali
4
20
> 3 kali
10
50
17 3
85 15
Frekuensi Masuk RS
Jumlah klien Pulang Masih dirawat Lama Rawat Klien Pulang 2 Minggu 3 Minggu 1 Bulan 2 Bulan
2 2 5
8
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
12 12 29 47
Universitas Indonesia
84
3.2.1.2. Stressor Predisposisi Stressor predisposisi adalah faktor resiko yangmenjadi sumber terjadinya stres, yang terdiri dari biologis, psikologis dansosial kultural. Pada klien dengan masalah halusinasi, stressor predisposisi akan diidentifikasi berdasarkan tiga komponen tersebut (Stuart, 2009). Tabel 3.2 Distribusi Stressor Predisposisi Klien Dengan Halusinasi di Ruang SadewaPeriode 18 Februari – 19 April 2013 (n = 20) No 1
2
3
Stressor Predisposisi Biologis Genetik Trauma/Penyakit Fisik Suicide Narkoba Psikologis Masa lalu yg tdk menyenangkan Kepribadian Tertutup Gangguan Konsep Diri Sosio Kultural Masalah Pekerjaan Tidak Menikah Masalah Pasangan Tidak lanjut sekolah Ekonomi Rendah
Jumlah
Prosentase
10 7 4 3
50 35 20 15
18 13 11
90 65 55
7 7 4 3 2
35 35 20 15 10
Berdasarkan tabel 3.2 diatas, dijelaskan tentang stressor predisposisi klien halusinasi. Stressor predisposisi tersebut dijelaskan dalam tiga aspek, yaitu aspek biologis, aspek psikologis dan aspek sosio kultural.
Pengkajian aspek biologis didapatkan hasil bahwa klien dengan halusinasi terbanyak disebabkan oleh faktor genetik yang dialami oleh 10 orang klien (50%). Faktor genetik yang muncul pada klien dari adik, kakak dan orang tua serta dari saudara orang tua (paman, dan tante).
Pengkajian aspek psikologis didapatkan hasil bahwa klien halusinasi terbanyak disebabkan oleh masa lalu yang tidak menyenangkan yang dialami oleh 18 klien (90%). Masa lalu yang tidak menyenangkan pada klien yang banyak terjadi yaitu
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
85
pengalaman saat kecil suka diejek oleh teman bermain, kurang mendapat penghargaan dari orang tua maupun orang lain, jarang mendapatkan kasih sayang dari orang tua, penolakan dari keluarga, putus cinta dan pergaulan bebas. Pengkajian aspek sosiokultural didapatkan hasil bahwa klien halusinasi terbanyak disebabkan oleh masalah pekerjaan dan belum menikah yang dialami oleh 7 klien (35%). Masalah pekerjaan yang dialami klien yaitu sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai keinginan klien dan ada permasalahan ketika masih bekerja. 3.2.1.3. Stressor Presipitasi Berdasarkan tabel 3.3 dibawah ini dijelaskan tentang stressor presipitasi yang menggambarkan tentang sifat stressor yang meliputi aspek biologis, psikologis dan sosio kultural; asal stressor; lama sakit dan jumlah stressor. Tabel 3.3 Distribusi Stressor Presipitasi Klien Dengan Halusinasidi Ruang SadewaPeriode 18 Februari – 19 April 2013 (n = 20) No 1 2
3
4
5
6
Stressor Presipitasi Biologis Putus obat
Jumlah
Prosentase
14
70
Psikologis Keinginan tidak terpenuhi Kurang motivasi Gagal membina hubungan lawan jenis Kehilangan orang yang berarti
9 5
45 25
4 3
20 15
Sosio Kultural Masalah Ekonomi Konflik keluarga Bangkrut/PHK
5 2 1
25 10 5
Asal Stressor Dalam Luar
18 15
90 75
Lama Stressor 1 Bulan 2 Bulan > 2 Bulan
3 5 12
15 25 60
Jumlah Stressor 2 Stressor 3 Stressor > 3 Stressor
4 6 10
20 30 50
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
86
Stressor presipitasi terkait dengan suatu stimulus yang dipersepsikan oleh individu apakah dipersepsikan sebagai suatu kesempatan, tantangan, ancaman/tuntutan. Stressor presipitasi ini meliputi empat hal yaitu sifat stresor, asal stresor, lamanya stresor yang dialami, dan banyaknya stresor yang dihadapi oleh seseorang (Stuart, 2009).
Berdasarkan kasus yang telah dikelola pada 20 klien halusinasi ditemukan stressor presipitasi biologis sebagian besar berupa riwayat putus obat sebanyak 14 klien (70%) yaitu selama klien di rumah klien tidak mau minum obat, tidak pernah kontrol kembali di pelayanan kesehatan, jadi pengobatan klien terputus. Pada stressor psikologis sebagian besar disebabkan oleh keinginan klien yang tidak terpenuhi sebanyak 9 (45%) yaitu keinginan klien untuk menikah, mempunyai uang dan pekerjaan yang layak serta ingin mendapatkan perhatian dari keluarga. Pada stressor sosiokultural sebagian besar karena adanya masalah ekonomi yang dialami 5 klien (25%) yaitu karena klien belum bekerja, sehingga klien belum mempunyai uang sendiri, semua keuangan tergantung dengan orangtua.
Pengkajian asal stressor, sumber permasalahan pada klien halusinasi sebagian besar berasal dari individu itu sendiri yaitu sebanyak 18 klien (90%). Lamanya klien terpapar stressor sebagian besar kurang dari 2 bulan sebanyak 12 klien (60%). Seluruh klien yang mengalami halusinasi mengalami lebih dari 3 stressor yaitu sebanyak 10 klien (50%), stressor dari biologis, psikologis dan sosial budaya setiap klien berbeda. 3.2.1.4. Respon Terhadap Stressor Respon terhadap stresor merupakan suatu respon dari proses evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap stressor dengan tujuan untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang dialaminya (Stuart, 2009). Respon terhadap stresor ini meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan respon sosial.
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
87
Tabel 3.4 Distribusi Respon Terhadap Stressor Klien Dengan Halusinasi di Ruang SadewaPeriode 18 Februari – 19 April 2013 (n = 20) No 1
2
3
4
5
Respon Terhadap Stressor
Jumlah
Prosentase
Respon Kognitif Tidak mampu membedakan yang nyata dan tidak nyata Tidak tahu cara mengontrol halusinasi
16 14
80 70
Respon Afektif Mudah marah Curiga terhadap orang lain Mudah tersinggung Merasa ketakutan
15 10 8 8
75 50 40 40
Respon Fisiologis Lelah/letih/lemah Penurunan muskuloskeletal
13 3
65 15
Respon Perilaku Mengatakan mendengar suara-suara atau melihat atau merasakan sesuatu Berbicara dan tertawa sendiri Mondar-mandir Malas merawat diri
17 15 12 11
85 75 60 55
Respon Sosial Mengurung diri Menghindar dari orang lain Sikap curiga dan bermusuhan pada orang lain
15 15 10
75 75 50
Pada tabel 3.4 diatas ini dijelaskan tentang respon terhadap stressor yang meliputi respon kognitif, afekif, fisiologis, perilaku dan respon sosial. Respon kognitif, sebagai respon kognitif yang dilakukan klien dengan halusinasi yang terbanyak adalah tidak mampu membedakan yang nyata dan tidak nyata sebanyak 16 klien (80%). Respon afektif yang terbanyak pada klien halusinasi adalah mudah marah 15 klien (75%). Respon fisiologis yang terbanyak adalah lelah/letih/lemah 13 klien (65%). Respon perilaku yang terbanyak adalah mengatakan mendengar suara-suara atau melihat atau merasakan sesuatu 17 klien (85%). Respon sosial yang terbanyak pada klien halusinasi adalah menghindar dari orang lain dan mengurung diri 15 klien (75%).
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
88
3.2.1.5. Sumber Koping (Kemampuan Klien) Sumber koping merupakan kekuatan yang dimiliki individu dalam berespon terhadap berbagai stresor yang dihadapi. Menurut Stuart (2009), sumber koping terdiri dari kemampuan individu (personal abilities), dukungan sosial (social support), ketersediaan materi (material assets) dan kepercayaan(positive belief).
Berdasarkan tabel 3.5 dibawah dijelaskan tentang kemampuan pada 20 klien halusinasi, yang meliputi kemampuan klien, dukungan sosial yang berasal dari keluarga dan kelompok serta keyakinan positif klien halusinasi. Tabel 3.5 Distribusi Sumber Koping Klien Dengan Halusinasi di Ruang SadewaPeriode 18 Februari – 19 April 2013 (n = 20) No 1
2
3
4
5
6
Sumber Koping
Jumlah
Prosentase
Kemampuan klien a. Tidak mampu mengidentifikasi pikiran otomatis dan perilaku yang negatif b. Tidak mampu menggunakan tanggapan rasional terhadap pikiran yang negatif c. Tidak mampu memodifikasi perilaku negatif menjadi positif d. Tidak mampu menjelaskan tentang pentingnya psikofarma
17
85
17 20 14
85 100 70
Keyakinan positif a. Yakin akan sembuh b. Tidak yakin terhadap tenaga kesehatan
17 3
85 15
Dukungan Keluarga a. Keluarga tidak mengenal masalah yang dialami klien b. Keluarga tidak mampu memutuskan c. Keluarga tidak mampu merawat klien d. Keluarga tidak mampu memodifikasi lingkungan e. Keluarga tidak mampu memanfaatkan Yankes
10 10 10 10 6
50 50 50 50 30
Dukungan Kelompok a. Kelompok tidak memberi motivasi b. Kelompok tidak memberi bantuan c. Kelompok tidak tahu cara merawat
9 6 5
45 30 25
Ketersedian Finansial Pribadi Askes
13 7
65 35
Jangkauan Ke RS Jiwa Dekat Jauh
13 7
65 35
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
89
Sebagian besar kemampuan klien halusinasi tidak mampu memodifikasi perilaku negatif menjadi positif sebanyak 20 klien (100%). Sebagian besar klien halusinasi yakin akan sembuh sebanyak 17 klien (85%). Dukungan keluarga yang terbanyak pada klien halusinasi adalah keluarga tidak mampu yang mampu merawat klien dengan halusinasi dan tidak mampu memodifikasi lingkungan sebanyak 14 klien (70%). Dukungan kelompok yang terbanyak pada klien halusinasi adalah kelompok tidak tahu cara merawat sebanyak 17 klien (85%). Ketersedian finansial, sebagian besar klien halusinasi menggunakan biaya pribadi sebanyak 13 klien (65%). Jangkauan rumah klien dengan Rumah Sakit jiwa sebagian besar dekat sebanyak 13 klien (65%).
3.2.2. Diagnosa Medis dan Tindakan Medis Tabel 3.6 Distribusi Diagnosa Medis Pada Klien Halusinasi di Ruang Sadewa Periode 18 Februari – 19 April 2013 (n=20) Aspek Medis Diagnosa Medis Skizofrenia Paranoid Gangguan afektif bipolar Psikosis Skizofrenia Skizofrenia hebrefenik
Jumlah
Prosentase
11
55
3 3 2 1
15 15 10 5
Berdasarkan tabel 3.6 diatas dijelaskan bahwa diagnosa medis yang banyak muncul pada klien halusinasi adalah diagnosa skizofrenia paranoid sebanyak 11 klien (55%). Terapi medis yang banyak digunakan pada klien halusinasi dengan diagnosa medis skizofrenia paranoid adalah penggunaan obat. Penggunaan obat yang digunakan Obatantipikal dan obat tipikal yang banyak digunakan dalam terapi awal untuk mengendalikan klien dengan halusinasi, hal ini sesuai karena terapi tipikal sangat cocok untuk mengatasi gejala positif dari skizofrenia seperti halusinasi. Penggunaan terapi tipikal perlu dimonitor dan dievaluasi sesuai kondisi klien.
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
90
3.2.3. Diagnosa Keperawatan Klien yang dikelola oleh penulis memiliki diagnosa yang lain, selain diagnosa halusinasi. Diagnosa penyerta dapat dilihat tabel berikut : Tabel 3.7 Distribusi Diagnosa Keperawatan Yang Menyertai Pada Klien Halusinasidi Ruang Sadewa Periode 18 Februari – 19 April 2013 (n=20) Diagnosa utama Halusinasi
Diagnosa penyerta Harga diri rendah
Isolasi sosial
RPK
DPD
9
9
9
9
Harga diri rendah
Isolasi sosial
RPK
DPD
4
3
4
0
9 Halusinasi 11
Berdasarkan tabel 3.7 di atas, dijelaskan bahwa klien yang mengalami halusinasi dari 20 klien halusinasi bahwa 9 klien halusinasi dengan diagnosa penyerta harga diri rendah, isolasi sosial, resiko perilaku kekrasan dan defisit perawatan diri, 11 klien halusinasi dengan diagnosa penyerta 4 klien harga diri rendah, 3 klien isolasi sosial dan 4 klien resiko perilaku kekerasan.
3.2.4. Rencana Tindakan Keperawatan Rencana asuhan keperawatan jiwa dilakukan kepada klien halusinasi berdasarkan pada upaya membantu klien melakukan tindakan keperawatan dengan melawan pikiran dan perilaku negatif pada klien halusinasi. Rencana keperawatan yang ditetapkan pada klien halusinasi dan keluarga adalah pemberian terapi generalis halusinasi, terapi spesialis perilaku kognitif dan psikoedukasi keluarga. Tabel 3.8 Distribusi Rencana Tindakan Keperawatan Pada Klien Halusinasi di Ruang SadewaPeriode 18 Februari – 19 April 2013 (n=20) No 1
2
Tindakan Keperawatan Tindakan Keperawatan Generalis Individu Keluarga Kelompok Tindakan Keperawatan Spesialis Individu Keluarga Kelompok
Jenis Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan generalis halusinasi Tindakan keperawatan keluarga dengan halusinasi Stimulasi persepsi
Terapi perilaku kognitif, terapi kognitif dan terapi perilaku Psikoedukasi keluarga Terapi suportif
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
91
Berdasarkan tabel 3.8, dapat diketahui beberapa pilihan tindakan keperawatan yang bisa diberikan kepada klien halusinasi. Pemilihan tindakan keperawatan akan disesuaikan dengan respon klien terhadap stressor dan kemampuan yang telah dimiliki. Rencana tindakan keperawatan yang akan dipilih disesuaikan dengan sasaran tindakan keperawatan, yaitu: individu, keluarga, dan kelompok. Berikut ini akan disampaikan uraian rencana tindakan keperawatan pada masingmasing sasaran.
3.2.5. Pelaksanaan dan Hasil Tindakan Keperawatan Tindakan keperawatan yang diberikan meliputi terapi generalis pada klien halusinasi maupun pada keluarga ketika melakukan kunjungan di ruang Sadewa dan terapi spesialis yang keduanya dilakukan oleh mahasiswa serta bekerja sama dengan tim kesehatan di ruang Sadewa. Tabel 3.9 Distribusi Pelaksanaan Tindakan KeperawatanGeneralis Dan Spesialis Keperawatan JiwaPada Klien Halusinasi di Ruang SadewaPeriode 18 Februari – 19 April 2013(n = 20) No 1 2 3
Tindakan Keperawatan Tindakan Generalis dan Terapi perilaku kognitif dan Psikoedukasi keluarga Tindakan Generalis dan Terapi kognitif Tindakan Generalis dan Terapi perilaku
Jumlah
Prosentase
7 10 3
35 50 15
Berdasarkan tabel 3.9 dapat dijelaskan tentang tindakan keperawatan generalis dan spesialis yang diberikan kepada 20 klien dengan diagnosa keperawatan halusinasi yang berada di ruang Sadewa yaitu seluruh klien dilakukan tindakan keperawatan generalis, tindakan keperawatan spesialis yang paling banyak dilakukan adalah terapi kognitif (CT) 10 klien (50%), terapi kognitif dan perilaku sebanyak 7 klien (35%), terapi perilaku 3 klien (15%) dan psikoedukasi keluarga sebanyak sebanyak 7 keluarga klien (35%).
Tindakan keperawatan generalis dilakukan kepada 20 klien, rata-rata dilakukan sebanyak 2 kali pertemuan yang dilakukan dalam sehari dengan kolaborasi perawat ruangan maupun mahasiswa yang praktik di ruang Sadewa baik diploma maupun S1, selain dengan perawat klien juga melakukan interaksi dengan dokter
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
92
dalam melakukan visit dokter sehari 1kali. Tindakan keperawatan yang dilakukan penulis adalah mengevaluasi kemampuan yang telah dimiliki klien untuk mengontrol halusinasi dan melatih kemampuan yang belum dimiliki untuk mengontrol halusinasi (menghardik, bercakap-cakap, melakukan kegiatan dan patuh minum obat). Tindakan generalis sebagian besar juga dilakukan oleh perawat ruangan dan mahasiswa praktik yang lain di ruang Sadewa.
Tindakan keperawatan spesialisyang diberikan terhadap 20 klien, yaitu: terapi kognitif yang diberikan pada 10 orang klien. Pencapaian kemampuan klien yaitu dari10 klien, 8 klien selesai semua sesi dengan pertemuan 4-5 kali pertemuan; 1 orang klienselesai semua sesi dengan jumlah pertemuan 6-7 kali pertemuan, 1 orang klien sampai sesi 2 dengan jumlah pertemuan 2-3 kali karena klien pindah ruangan dan sudah dioperkan pada perawat spesialis di ruangan tersebut. Keterampilan yang dilatih kepada klien halusinasi dalam pelaksanaan terapi kognitif yaitu melatih klien mengidentifikasi pikiran negatif yang muncul terutama saat halusinasi muncul, melatih klien melawan pikiran negatif yang muncul, mengungkapkan manfaat tanggapan yang rasional dan melibatkan keluarga dalam melawan pikiran negatif yang muncul. Klien menunjukkan peningkatan kemampuan dalam hal melawan pikiran negatif yang muncul dan mampu berfikir positif. Semua sesi dapat diselesaikan oeh klien, keyakinan positif akan kesembuhan klien memberikan motivasi tersendiri bagi klien dan lamanya sesi karena sesuai dengan kemampuan kognitif klien yaitu dari pendidikan klien yang bervariasi.
Terapi perilaku kognitif diberikan terhadap 7 klien dan semua sesi dapat diselesaikan, dengan frekuensi interaksi rata-rata 6-7 kali pertemuan. Tujuan dari pelaksanaan terapi ini adalah memodifikasi fungsi berfikir, perasaan, bertindak, dengan menekankan fungsi otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat, dan mengambil keputusan kembali dengan merubah status pikiran, dan perasaannya klien diharapkan dapat merubah perilaku negatif menjadi positif dan setelah dilakukan terapi perilaku kognitif klien banyak mengalami perubahan khususnya dalam respon kognitif, dan perilaku klien terlihat saat berada di dalam
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
93
ruangan. Sesi 1 dan kedua biasanya dilakukan dalam satu sampai dua kali pertemuan yaitu mengidentifikasi pikiran otomatis yang negatif serta akibat negatif pada perilaku, sesi 3 memodifikasi perilaku negatif menjadi positif dengan token, sesi 4 mengevaluasi perkembangan pikiran dan perilaku positif, dan menjelaskan pentingnya psikofarma dan terapi modalitas untuk mencegah kekambuhan dan mempertahankan dan membudayakan pikiran positif dan perilaku yang positif. Semua sesi dapat dilaksanakan sampai selesai. Hal ini dopengaruhi oleh keyakinan positif klien terhadap kesembuhan klien, sehingga memberikan motivasi yang baik terhadap tindakan yang sudah dilakukan dan sesi yang dilakukan memanjang karena usia klien yang masuk tahap lansia dan ketenangan dalam melakukan terapi yang dilakukan.
Terapi perilaku dilakukan pada 3 orang klien dan semua sesi dapat dilakukan sampai selesai. Sesi 1 dan kedua dalam pertemuan 1-2 kali yaitu membuat kesepakatan perilaku negatif yang akan dirubah dan melatih kemampuan klien untuk merubah perilaku yang negatif tersebut, sesi 3 melatih kemampuan klien yang lain dengan memberikan token ekonomi, dan sesi yang terakhir adalah mengevaluasi hasil dan manfaat dari latihan setiap sesi. Frekuensi interaksi ratarata 4-5 kali. Perubahan yang terjadi pada klien yang nampak secara umum setelah dilakukan terapi perilaku (BT) yaitu adanya perubahan khususnya dalam respon perilaku terutama ketika muncul halusinasi pada klien. Semua sesi dapat dilakukan
karena
klien
mempunyai
keyakinan
yang
positif
terhadap
kesembuhannya dan dalam pelaksanaan memberika reward atau reinforcement positif ternyata memberikan motivasi tersendiri dalam mengubah perilaku klien yang negatif ketika muncul halusinasi.
Terapi psikoedukasi keluarga dilakukan pada 7 keluarga.Terapi generalis diawali oleh perawat ruangan dan mahasiswa praktik lainnya. Tindakan keperawatan diberikan pada 7 orang keluarga sehingga keluarga mengetahui cara merawat klien dengan halusinasi; dilakukan untuk satu kali pertemuan pada 3 keluarga klien dan dua kali pertemuan pada 4 keluarga klien. Terapi spesialis dilakukan pada 7 keluarga dengan frekuensi rata-rata 1-3 kali. Pelaksanaan sesi dalam
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
94
psikoedukasi keluarga semua selesai hingga sesi ke-5 yaitu sesi 1 dan 2 biasanya dilakukan bersamaan yaitu mengidentifikasi masalah keluarga dalam merawat klien dan masalah pribadi, perawatan klien oleh keluarga, manajemen stres oleh keluarga dan manajemen beban keluarga dan sesi terakhir pemberdayaan komunitas dalam merawat klien. Hasil pemberian terapi generalis dan psikoedukasi keluarga, yaitu keluarga mampu secara kognitif dalam merawat klien halusinasi serta keluarga mendapat dukungan dari anggota keluarga atau lingkungannya dalam melakukan perawatan pada klien dengan halusinasi.
Pelaksanaan terapi spesialis dilakukan tidak berdasarkan waktu, dimana satu hari hanya satu sesi, namun didasarkan pada evaluasi kemampuan klien dalam mengikuti tahapan terapi spesialis dan juga kemampuan klien sesuai target kemampuan klien tiap sesi, dimana bila klien dianggap mampu maka sesi berikutnya dapat dilanjutkan dengan mengevaluasi kemampuan klien sebelumnya dan juga membudayakan kemampuan yang telah dimiliki.
3.2.6. Evaluasi Hasil Evaluasi
terhadap
hasil
tindakan
keperawatan
yang
dilakukan
dengan
membandingkan rencana tindakan yang telah disusun dengan pelaksanaan tidakan yang diberikan. Hasil tindakan keperawatan ini keberhasilannya dilihat dengan menilai perubahan respon klien baik secara kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial, sesuai tabel 3.10.
Berdasarkan tabel 3.10 dibawah ini menunjukkan bahwa secara umum klien mengalami penurunan halusinasi yang muncul.Hal ini tampak dari adanya penurunan gejala/respon pada klien dengan membandingkan respon klien saat sebelum diberikan terapi kognitif, terapi perilaku kognitif, terapi perilaku dan psikoedukasi keluarga. Perubahan atau selisih yang paling besar terlihat pada respon perilaku perilaku yang mengatakan mendengar suara-suara atau melihat bayangan 100% dan pada respon kognitif khususnya tidak mampu membedakan yang nyata dan tidak nyata 100%, respon afektif pada aspek mudah marah 86%, respon fisiologis pada letih/lemah dan lesu 86%, dan respon sosial mengurung diri
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
95
dan menghindar dari orang lain 100%. Data tersebut menunjukkan bahwa dengan pemberian terapi perilaku kognitif, terapi perilaku kognitif dan terapi perilaku, serta setelah mendapatkan dukungan dari keluarga terutama bagi klien yang keluarganya mendapatkan terapi psikoedukasi keluarga, maka respon klien halusinasi terhadap stresor akhirnya menunjukkan respon yang adaptif baik secara kognitif, afektif, fisiologis, sosial, maupun perilaku.
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
96
Tabel 3.10 Distribusi Hasil Evaluasi Respon Terhadap Stressor Pada Klien Halusinasi di Ruang Sadewa Periode 18 Februari – 19 April 2013 (n: 20)
No
1
2
Generalis+CBT+FPE (7)
Respon Terhadap Stressor
Pre
Post
Tidak mampu membedakan yang nyata dan tidak nyata
6
0
6
Tidak tahu cara mengontrol halusinasi
6
0
4
0
Selisih
%
Pre
Post
100
7
1
6
6
100
6
0
6
4
100
2
0
2
100
1
Generalis+BT(3)
Selisih
%
1
2
67
1
1
50
1
1
50
Pre
Post
86
3
100
2
2
Mudah tersinggung
5
1
4
80
1
0
100
2
1
1
50
Mudah marah
7
1
6
86
5
1
4
80
3
0
3
100
Curiga terhadap orang lain
5
0
5
100
3
1
2
67
2
0
2
100
7
1
6
86
5
2
3
60
1
0
1
100
1
100
2
1
1
100
Respon Fisiologis
Penurunan muskuloskeletal
Mondar mandir
Universitas Indonesia
0
0
0
0
1
0
7
0
7
100
5
1
4
80
2
0
2
100
2
0
2
100
3
1
2
67
7
Respon Perilaku Berbicara dan tertawa sendiri
5
Generalis+CT (10)
Respon Afektif
Lelah/letih/lemah
4
%
Respon Kognitif
Merasa ketakutan
3
Selisih
7
0
7
100
Mengatakan mendengar suara-suara atau melihat atau merasakan sesuatu
7
0
7
100
7
0
100
3
1
2
67
Malas merawat diri
2
0
2
100
6
0
6
100
3
0
3
100
7
0
7
100
5
0
5
100
2
0
2
100
5
0
5
100
2
0
2
100
5
1
4
80
1
0
1
100
Respon Sosial Mengurung diri Menghindar dari orang lain Sikap curiga dan bermusuhan pada orang lain
7 4
0
7
0
4
100 100
96
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
97
Tabel 3.11 Distribusi Kemampuan Klien Halusinasi Setelah dilakukan Terapi Perilaku Kognitif dan Psikoedukasi Keluarga di Ruang Sadewa Periode 18 Februari – 19 April 2013 (n: 20)
No
1
Respon Terhadap Stressor
Generalis+CBT+FPE (7) Pre
Post
Selisih
%
Kemampuan klien a. Klien tidak mampu mengidentifikasi pikiran otomatis dan perilaku yang negatif b. Klien tidak mampu menggunakan tanggapan rasional terhadap pikiran yang negatif
7
0
7
100
7
0
7
100
c. Klien tidak mampu memodifikasi perilaku negatif menjadi positif
7
0
7
100
d. Klien tidak mampu menjelaskan tentang pentingnya psikofarma
7
0
7
100
Selisih
%
Tabel 3.12 Distribusi Kemampuan Klien Halusinasi Setelah dilakukan Terapi Kognitif di Ruang Sadewa Periode 18 Februari – 19 April 2013 (n: 20)
No
1
Respon Terhadap Stressor
Generalis+CT (10) Pre
Post
Kemampuan klien
Universitas Indonesia
a. Klien tidak mampu mengidentifikasi pikiran otomatis yang negatif b. Klien tidak mampu menggunakan tanggapan rasional terhadap pikiran yang negatif
7
0
7
100
7
0
7
100
c. Klien tidak mampu memodifikasi pikiran negatif menjadi positif
10
1
9
90
d. Klien tidak mampu menjelaskan tentang pentingnya psikofarma
5
0
5
100
Universitas Indonesia
97
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
98
Tabel 3.13 Distribusi Kemampuan Klien Halusinasi Setelah dilakukan Terapi Perilaku di Ruang Sadewa Periode 18 Februari – 19 April 2013 (n: 20)
No
1
Generalis+BT (3)
Respon Terhadap Stressor
Selisih
%
2
1
33
3
1
2
67
3
0
3
100
2
0
2
100
Pre
Post
a. Klien tidak mampu membuat kesepakatan perilaku yang dirubah
3
b. Klien tidak mampu mengubah perilaku yang negatif c. Klien tidak mendapatkan token ekonomi setelah perilaku dirubah d. Klien tidak mampu mengevaluasi perilaku negatif dan belum mampu menjelaskan tentang pentingnya psikofarma
Kemampuan klien
Tabel 3.14 Distribusi Kemampuan Keluarga Pada Klien Halusinasi di Ruang Sadewa Periode 18 Februari – 19 April 2013 (n: 20)
No 1
Generalis+FPE (7)
Sumber Koping
Universitas Indonesia
Dukungan Keluarga a. Keluarga tidak mengenal masalah yang dialami klien b. Keluarga tidak mampu memutuskan c. Keluarga tidak mampu merawat klien d. Keluarga tidak mampu memodifikasi lingkungan e. Keluarga tidak mampu memanfaatkan Yankes
Pre
Post
10 10
3 3 3 3 0
10 10 6
%
7 7 7 7 6
70 70 70 70 70
Universitas Indonesia
98
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Selisih
99
Berdasarkan tabel 3.11-3.13 diatas menunjukkan bahwa klien mengalami peningkatan kemampuan klien dalam mengatasi halusinasi yang muncul dengan melakukan merubah pikiran dan perilaku yang negatif menjadi positif. Perubahan yang paling besar yaitu pada kemampuan klien dalam memodifikasi perilaku yang negatif menjadi positif yaitu sebanyak 100%. Data tersebut menunjukkan bahwa dengan pemberian terapi perilaku kognitif, terapi perilaku kognitif dan terapi perilaku, serta setelah mendapatkan dukungan dari keluarga terutama bagi klien yang keluarganya mendapatkan terapi psikoedukasi keluarga, maka respon klien halusinasi terhadap kemampuan klien akhirnya menunjukkan kemampuan perilaku yang positif.
Berdasarkan tabel 3.12 diatas menunjukkan bahwa keluarga klien mengalami peningkatan kemampuan klien dalam mengenal masalah yang dialami klien halusinasi, klien mampu membuat keputusan, klien mampu merawat klien dengan halusinasi dan klien mampu memodifikasi lingkungan yaitu sebanyak (100%), setelah dilakukan terapi pada keluarga bermanfaat dalam merawat anggota keluarga yang mengalami halusinasi.
3.3 Kendala 3.4.1
Pelaksanaan Terapi
Pelaksanaan terapi yang telah dilakukan oleh penulis ada beberapa hal yang mempengaruhi proses terapi keperawatan, salah satu yang mempengaruhi adalah karakteristik klien yang diantaranya tingkat pendidikan klien yang rendah juga mempengaruhi dalam pelaksanaan terapi khususnya dalam menulis buku kerja dan dalam melakukan evaluasi di buku kerja. Klien dalam ruangan sadewa lebih banyak dengan usia yang diatas 50 tahun juga memerlukan pendekatan yang lebih lama dalam menjelaskan proses terapi yang akan dilakukan dan proses berpikirnya sudah mulai berkurang, sehingga penerimaan terapi harus secara perlahan dan diulang-ulang supaya mudah diterima oleh klien.
Pelaksanaan terapi kadang ada beberapa klien merasa kurang termotivasi. Hal ini disebabkan klien tersebut berpikiran bahwa dirinya merasa tidak sakit atau belum
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
100
adanya kesadaran diri tentang kondisi yang dialami klien dan klien menyampaikan bahwa latihan yang dilatih oleh perawat ternyata juga tidak memberi efek untuk membuat dirinya cepat dibawa pulang oleh keluarganya. Motivasi atau kesadaran keluarga dalam membantu perawatan klien juga masih kurang diperhatikan dan klien seperti diasingkan, hal ini terlihat dari kehadiran keluarga ke rumah sakit masih sangat jarang dan komitmen untuk bertemu dengan perawat juga sering diabaikan serta kedatangan keluarga ke rumah sakit cukup jarang.
3.4.1 Lingkungan Perawatan Pemberian asuhan keperawatan yang kurang kondusif memberikan dampak yang cukup berarti dalam kondisi klien, yaitu dalam pelaksanaan terapi tidak ada tempat yang khusus sehingga tidak mampu menjaga privacy klien dan membuat klien tidak nyaman dalam pelaksanaan terapi. Pelaksanaan terapi generalis yang kadang kala tumpang tindih antara yang dilaksanakan mahasiswa yang praktik di ruangan yang cukup banyak karena disetiap dua minggu berbeda mahasiswa yang praktek padahal klien dalam ruangan masih sama, hal ini membuat klien kadang kala merasa bosan dan merasa capek karena lebih banyak ditanya-tanya dengan tema yang sama oleh mahasiswa praktik tersebut.
3.4 Rencana Tindak Lanjut 3.4.1
Klien :
Klien yang telah memiliki pikiran dan perilaku yang positif dapat dipertahankan yaitu ketika muncul halusinasi dapat mengontrol halusinasi dengan menunjukkan pikiran dan perilaku yang positif dan melatih kembali apa yang sudah diajarkan oleh perawat.
Klien yang sudah diizikan untuk pulang supaya saat melakukan kontrol ke bagian polikliki psikiatri datang bersama keluarga agar mengetahui perkembangannya seperti apa dengan melibatkan keluarga. Klien atau keluarga juga dapat kontak dengan dokter atau perawat yang merawat untuk mendapatkan pendidikan
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
101
kesehatan tentang terapi atau cara merawat klien yang mengalami halusinasi untuk mempertahankan status kesehatan klien saat di rumah.
Kontrol juga dapat dilakukan klien pada pelayanan kesehatan lain yang terdekat dengan domisili klien seperti puskesmas. Klien yang belum pulang untuk melanjutkan
kegiatan
latihan
yang
sudah
dijadualkan
sesuai
dengan
perkembangan klien masing-masing di ruangan. Latihan ketrampilan selanjutnya akan dipimpin oleh perawat, khususnya perawat spesialis jiwa di ruangan tersebut atau perawat lain yang berkompeten.
3.4.2
Keluarga:
Keluarga sebaiknya lebih rutin mengunjungi klien agar memberikan dukungan sosial bagi klien dan klien merasa ada yang memperhatikan klien, sehingga terjalin komunikasi yang baik dengan perawat ruangan.
3.4.3 Lingkungan Perawatan: Kegiatan tindak lanjut meliputi; melakukan program discharge planning, melanjutkan dan sosialisasi asuhan keperawatan yang sudah dilakukan sesuai jadual latihan klien khususnya terapi spesialis, meningkatkan frekuensi interaksi kepada klien, melakukan pertemuan keluarga secara terjadual dengan membuat kesepakatan dengan keluarga terlebih dahulu. Melakukan kolaborasi dengan unit rehabilitasi untuk memfasilitasi klien dalam melatih keterampilan klien berperilaku asertif supaya klien saat pulang siap bekerja dan dapat produktif.
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
102
BAB 4 PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas tentang manajemen kasus spesialis dan manajemen asuhan keperawatan masalah halusinasi di ruangan Sadewa yang dilakukan mulai tanggal 18 Februari sampai dengan 19April 2013. Manajemen kasus spesialis dibahas berdasarkan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan, yaitu karakteristik klien, hasil pengkajian kondisi klinis klien dan hasil terapi klien halusinasi dengan menggunakan aplikasi model Stress Adaptasi Stuart dan model Interpersonal Peplau. Manajemen asuhan keperawatan dengan diagnosa halusinasi yang dibahas, berdasarkan hasil penerapan manajemen asuhan keperawatan jiwa profesional di ruangan Sadewa
4.1. Karakteristik Klien Hasil pengkajian yang telah dilakukan melalui pendekatan model konsep Stuart bahwa proses terjadinya masalah halusinasi dipengaruhi oleh stressor predisposisi, presipitasi, respon terhadap stresor, sumber koping, dan mekanisme koping yang digunakan klien (Stuart, 2009). Berdasarkan hal tersebut, maka data yang didapatkan dari hasil pengkajian tersebut sangatbervariasi untuk masing-masing klien, meskipun dengan diagnosa keperawatan yang sama, yaitu halusinasi. Karakteristik klien dengan halusinasi terdiri usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, status pekerjaan, lamanya mengalami gangguan, dan jumlah perawatan yang telah dijalani.
4.1.1. Jenis Kelamin Klien yang dirawat dengan diagnosa keperawatan halusinasi di ruang Sadewa sebagian besar laki-laki yaitu sebanyak 13 klien (65%). Jenis kelamin akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan komunikasi karena jenis kelamin laki-laki dan perempuan menunjukkan gaya komunikasi yang berbeda dan memiliki interpretasi yang berbeda terhadap suatu percakapan (Townsend, 2009).
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
103
Hal ini sesuai dengan pendapat Seaward (1997, dalam Videbeck, 2008) juga menyebutkan bahwa faktor budaya dan sosial yang dapat menyebabkan terjadinya skizofrenia adalah karena tidak adanya penghasilan, adanya kekerasan, tidak memiliki tempat tinggal (tunawisma), kemiskinan dan diskriminasi ras, golongan, usia maupun jenis kelamin. Hal ini sesuai dengan penelitian Lelono, Keliat dan Besral (2011) bahwa sebagian besar klien yang mengalami halusinasi klien dengan jenis kelamin laki-laki. Dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin lakilakiyang paling banyak mengalami halusinasi.
4.1.2. Usia Klien yang dirawat dengan diagnosa keperawatan halusinasi di ruang Sadewa sebagian besar pada rentang usia 40-65tahun yaitu sebanyak 15 klien (75%) dan sebagian besar klien mengalami sakit sejak usia 30 tahun. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2009) melaporkan bahwa frekuensi tertinggi usia seseorang beresiko mengalami gangguan jiwa yaitu pada usia 25-44 tahun.
Prevalensi skizofrenia saat ini adalah 7 perseribu penduduk dewasa dan terbanyak pada usia 15-35 tahun, lebih dari 50% klien skizofrenia tidak mendapat perawatan yang sesuai dan tidak hanya itu, di negara-negara berkembang ditemukan lebih dari 90% klien skizofrenia yang tidak diobati (WHO, 2010).
Usia juga berhubungan dengan pengalaman seseorang dalam menghadapi berbagai macam stressor kemampuan memanfaatkan sumber dukungan dan ketrampilan yang dalam menyelesaikan masalah atau menggunakan mekanisme koping yang akan digunakan (Stuart & Laraia, 2005). Menurut Erikson (2000, dalam Stuart & Laraia, 2005), pada usia ini individu mulai mempertahankan hubungan
saling
ketergantungan,
memilih
pekerjaan,
memilih
karir,
melangsungkan perkawinan. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lelono, Keliat dan Besral (2011) bahwa klien yang mengalami halusinasi terjadi pada usia 31-51 Tahun.
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
104
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan klien yang berada dalam rentang usia dewasa lebih rentan untuk mengalami gangguan jiwa dengan diagnosa keperawatan halusinasi. Pada tahapan usia ini individu memiliki tanggung jawab kemandirian yang tinggi terkait dengan sosial ekonomi, sumber dukungan dan kemampuan koping dalam menghadapi masalah kehidupan dibandingkan pada tahapan kehidupan yang lain. Kegagalan individu dalam menjalankan tugas perkembangannya sering kali menyebabkan klien mengalami gangguan jiwa dengan diagnosa keperawatan halusinasi. Halusinasi yang dialami klien terjadi karena tidak mampu melaksanakan komitmen dalam menjalankan tugas perkembangan dan fungsi secara optimal.
4.1.3. Pendidikan Klien yang dirawat dengan diagnosa keperawatan halusinasi di ruang Sadewa memiliki pendidikan bervariasi mulai dari SMP sampai Sarjana. Sebagian besar klien mempunyai pendidikan tinggi SMA sampai sarjana sebanyak 16 klien (80%). Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi cara individu untuk berperilaku, memecahkan masalah dan membuat keputusan, serta mempengaruhi cara klien berespon terhadap stressor.
Menurut Model Stres Adaptasi Stuart, pendidikan merupakan salah satu sumber koping yaitu kemampuan personal dibidang pendidikan terkait dengan pengetahuan dan intelegensi seseorang (Stuart & Laraia, 2005). Pendidikan sebagai sumber koping berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menerima informasi yang dapat membantu mengatasi masalah yang dihadapi seseorang. Seseorang dengan pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima informasi, mudah mengerti, dan mudah menyelesaikan masalah (Notoatmodjo, 2007).
Para peneliti di AS dan Afrika (Menulty et al, 1997) mengatakan bahwa umur, pendidikan dan pekerjaaan seseorang akan mempengaruhi gangguan psikologis seseorang karena pendidikan merupakan sumber koping bagi seseorang dalam menghadapi suatu masalah yang dialaminya dengan kemampuan seseorang untuk
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
105
menerima informasi yang dapat membantu mengatasi masalah yang dihadapi seseorang. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Kopelowicz (2003) yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan dan pengetahuan seseorang akan berkorelasi positif dengan keterampilan koping yang dimiliki seseorang dalam menyelesaikan masalah. Kesimpulan dari temuan ini adalah bahwa pendidikan dan pengetahuan yang tinggi tentang kondisi kesehatan dapat memberi dua dampak terhadap klien halusinasi. Dampak positif yang ditemukan adalah dengan pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi penghasilan klien, sehingga dapat menjadi sumber koping dalam mengelola stressor. Dampak positif lain adalah dengan pendidikan yang tinggi diharapkan pengetahuan dan keterampilan klien semakin baik, sedangkan dampak negatif yang teridentifikasi adalah semakin tinggi pendidikan klien maka pengetahuan tentang masalah yang dihadapi semakin bertambah dan hal ini berpotensi menimbulkan peningkatan klien yang mengalami halusinasi.
4.1.4. Status Pekerjaan Klien yang dirawat dengan diagnosa keperawatan halusinasi di ruang Sadewa sebagian besar dengan riwayat tidak punya pekerjaan (menganggur) sebelum dirawat yaitu 13 klien (65%). Ada beberapa penelitian terkait dengan kemiskinan dan kesehatan mental, hasilnya diyakini bahwa adanya perbedaan risiko untuk mengalami gangguan jiwa antara kelompok utama yang diukur dari stratifikasi sosial dan kemiskinan (Vega et al 1999, dalam Stuart & Laraia, 2005).
Status pekerjaan akan mempengaruhi timbulnya stres. Status pekerjaan terkait dengan status ekonomi seseorang, orang dengan status ekonomi yang tinggi akan jauh lebih sukar mengalami stres dibanding mereka yang status ekonominya lemah. Pekerjaan juga menjadi faktor predisposisi terjadinya stres, sesuai dengan hasil temuan bahwa responden lebih banyak bekerja dibandingkan yang tidak bekerja sehingga dalam menyelesaikan masalah lebih cepat dan tidak muncul perilaku negatif yang ada (Tarwoto & Wartonah, 2003).
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
106
Banyak hal yang telah dicoba untuk dikaitkan dengan diagnosa keperawatan halusinasi, salah satunya akan terkait dengan masalah status sosial. Faktor status sosial ekonomi yang rendah lebih banyak mengalami gangguan jiwa yang menyebabkan perilaku negatif dibanding pada tingkat sosial ekonomi tinggi (Townsend, 2009). Menurut Maguire (2002 dalam Fortinash & Worret, 2004) yang menyatakan bahwa skizofrenia terjadi pada semua kelompok sosial ekonomi, namun lebih banyak terjadi pada kelompok sosial ekonomi rendah. Sesuai dengan penelitian Wahyuni, Keliat dan Yusron (2010) dan Lelono, Keliat dan Besral (2011) bahwa klien yang mengalami halusinasi sebagian besar yang tidak mempunyai pekerjaan di rumah. Dapat disimpulkan bahwa klien halusinasi yang tidak mempunyai pekerjaan lebih rentan dengan masalah kesehatan jiwa dalam kehidupan sehari-hari. Rendahnya tingkat sosial ekonomi dan kemiskinan, erat kaitannya dengan ketersediaan materi dalam pemenuhan kebutuhan seharihari dan penghargaan oleh lingkungan.
4.1.5. Status Perkawinan Klien yang dirawat dengan diagnosa keperawatan halusinasi di ruang Sadewa sebagian besar status perkawinanya belum menikah sebanyak 10 klien (50%). Pernikahan merupakan salah satu penyebab umum gangguan jiwa. Status perkawinan tidak kawin (belum kawin, janda atau duda) berisiko mengalami gangguan jiwa lebih besar dibandingkan kelompok status perkawinan kawin atau memiliki pasangan hidup (Kintono, 2010).
Proporsi klien berstatus tidak kawin lebih besar pada penelitian ini sesuai dengan temuan penelitian Wardani, Keliat, dan Mustikasari (2003) tentang karakterikstik klien yang dirawat di ruang model praktik keperawatan profesional RSMM Bogor, dimana dari 79 klien yang dirawat terdapat 47 orang (59,49%) berstatus tidak kawin.
Seseorang yang belum menikah mudah mengalami stres. Stres dapat ditimbulkan oleh menurunnya stabilitas unit keluarga misalnya kurangnya support sistem dalam keluarga dan kontak/hubungan yang kurang antar anggota keluarga dan
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
107
berpisah dari orang yang berarti, misalnya karena dirawat di rumah sakit (Townsend, 2009). Stressor lain yang dapat menjadi pencetus terjadinya masalah halusinasi adalah kondisi lingkungan yang bermusuhan, lingkungan penuh dengan kritik, tekanan di tempat kerja atau kesulitan mendapatkan pekerjaan, kemiskinan, dan stigma yang ada di lingkungan tempat tinggal seseorang, sehingga mempengaruhi pikiran dan perilaku klien. Sesuai dengan penelitian Wahyuni, Keliat dan Yusron (2010) dan Lelono, Keliat dan Besral (2011) bahwa klien yang mengalami halusinasi sebagian besar belum menikah. Dapat disimpulkan bahwa klienhalusinasi yang belum menikah atau belum kawin mempengaruhi kognitif dan afektif, sehingga klien lebih sering untuk berfikir negatif sampai muncul perilaku yang negatif yang mempengaruhi klien dalam menyelesaikan masalah yang dialami klien. Karena dengan mempunyai suami atau istri seseorang merasakan ada yang memperhatikan dan membantu setiap masalah yang dihadapi, sehingga seseorang mampu mengungkapkan perasaanya, sedangkan jika tidak mempunyai pasangan seseorang lebih suka menyendiri, tertutup dan mengurung diri jika mengalami masalah.
4.1.6. Lama Sakit, Lama Rawat dan Frekuensi Masuk RS Klien halusinasi yang dirawat di ruang Sadewa sebagian besar sakitnya kurang dari 10 tahun dengan lama rawat sebagian besar 2-3 Bulan dengan frekuensi masuk RS sebanyak lebih dari 3 kali. Rata-rata klien yang pulang lama rawatnya yang paking banyak adalah 60 hari. Hal ini sesuai denganpernyataan dari Kaplan dan Sadock (2007) bahwa klien dengan gangguan jiwa dipengaruhi oleh lama seseorang terpapar dengan stressor. Lama seseorang terkait dengan pengalaman klien mengatasi masalah yang dialami ketika muncul stressor. Pengalaman awal klien merupakan pengalaman yang sangat berharga yang terjadi pada klien terutama untuk masa-masa yang akan datang. Pengalaman awal ini sebagai bagian penting dan bahkan sangat menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian hari. Menurut Stuart dan Laraia (2005), waktu atau lamanya terpapar stresor, yaitu terkait dengan sejak kapan, sudah berapa lama, serta berapa kali kejadiannya (frekuensi). Bila baru pertama kali terkena masalah, maka penanganannya juga memerlukan suatu upaya yang lebih intensif dengan tujuan untuk tindakan
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
108
pencegahan primer. Rata- rata klien yang dirawat di Rumah sakit menurut Depkes (2008) bahwa rata-rata lama rawat klien yang mengalami gangguan jiwa adalah minimal 42 hari, hal ini juga didukung oleh penelitian Morrison (2009) bahwa dalam penelitiannya menemukan rata-rata lama hari rawat minimal perilaku kekerasan dengan diagnosis skizofrenia adalah 14 hari. Berdasarkan hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa lama sakit, lama rawat dan frekuensi masuk RS klien dengan halusinasi akan mempengaruhi lama pengobatan klien menyelesaikan masalah yang dialami. Semakin lama terpapar dengan halusinasi sebagai stressor, halusinasi klien cenderung meningkat. Hal ini terkait dengan presepsi klien tentang dampak terjadinya halusinasi.
4.1.7. Penerapan Proses Keperawatan Dengan pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart Dan Model Interpersonal Peplau Aplikasi dilakukan melalui pendekatan model Stres Adaptasi Stuart dan model Interpersonal Peplau. Pengkajian yang dilakukan dalam manjemen kasus klien dengan halusinasi menggunakan pendekatan psikodinamika gangguan jiwa menurut Stuart (2009). Penggunaan model Stuart ini sangat efektif dalam menggambarkan kondisi klinis klien dan proses terjadinya gangguan jiwa, khususnya diagnosa halusinasi. Pengkajian yang dilakukan dengan pendekatan Stuart ini penting untuk mengetahui proses maladaptif dalam rentang kehidupan klien, yang dapat dijadikan landasan dalam pemberian terapi keperawatan. Pengkajian sesuai dengan respon klien, sehingga dapat dirumuskan diagnosa keperawatan berdasarkanprioritas kebutuhan klien saat ini (here and now).
Menurut Peplau keperawatan adalah proses terapeutik yang merupakan seni
menyembuhkan, menolong
individu yang sakit
pelayanan kesehatan. Keperawatan dapat dipandang
atau sebagai
satu
membutuhkan satu proses
interpersonal karena melibatkan interaksi antara dua atau lebih individu dengan tujuan yang sama. Keperawatan tujuan bersama
ini akan mendorong kearah
proses terapeutik dimana perawat dan klien saling menghormati satu dengan yang lain sebagai individu, kedua-duanya belajar dan berkembang sebagai hasil dari interaksi (Fitzpatrick, 1989). Berdasarkan hal tersebut, maka data yang
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
109
didapatkan dari hasil pengkajian tersebut sangat bervariasi untuk masing-masing klien, meskipun dengan diagnosa keperawatan yang sama, yaitu halusinasi. Berikut ini pembahasan tentang aplikasi proses terjadinya diagnosa keperawatan halusinasi dengan menggabungkan dua model tersebut seperti dalam skema 2.2 Aplikasi model Stuart dan Peplau pada klien halusinasi.
4.1.7.1. PengkajianStressor Presdisposisi Hasil pengkajian terhadap stressor predisposisi klien dengan halusinasi di ruang Sadewa didapatkan yaitu dari aspek biologis sebagian besar dari faktor genetik sebanyak 10 klien (50%). Aspek psikologis sebagian besar dari pengalaman masa lalu klien yang tidak menyenangkan yaitu 18 klien (90%) dan dari aspek sosial budaya sebagian besar dari masalah pekerjaan 7 klien (35%).
a) Faktor biologis pada klien halusinasi di ruang Sadewa sebagian besar karena faktor genetik yang muncul yang mengalami gangguan jiwa dari adik, kakak, orang tua, dan saudara dari orang tua (paman dan tante). Secara genetik ditemukan perubahan pada kromosom 5 dan 6 yang mempredisposisiskan individu mengalami skizofrenia (Copel, 2007). Menurut Buchanan dan Carpenter (2000, dalam Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009) menyebutkan bahwa krornosom yang berperan dalam menurunkan skizofrenia adalah kromosom 6, sedangkan kromosom lain yang juga berperan adalah kromosom 4, 8, 15 dan 22, (Craddock et al , 2006 dalam Stuart, 2009).
Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif. Terjadinya penyakit jiwa pada individu juga dipengaruhi oleh keluarganya dibanding dengan individu yang tidak mempunyai penyakit terkait.Banyak riset menunjukkan peningkatan risiko mengalami skizofrenia pada individu dengan riwayat genetik terdapat anggota keluarga dengan skizofrenia. Pada kembar dizigot risiko terjadi skizofrenia 15%, kembar monozigot 50%, anak dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia berisiko 13%, dan jika kedua orang tua mendererita skizofrenia berisiko 45% (Fontaine, 2009). Dapat disimpulkan bahwa faktor biologis penting untuk diketahui, terkait dengan terapi psikofarmaka yang tepat
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
110
diberikan pada klien dengan halusinasi. Adanya gangguan dari salah satu komponen biologis sangat mempengaruhi terapi yang harus diberikan sebagai koreksi terhadap kekurangan atau berlebihnya fungsi atau produksi hormon yang mempengaruhi kerja otak.
b) Aspek psikologis yang menjadi stressor predisposisi pada klien dengan halusinasi sebagian besar karena pengalaman yang tidak menyenangkan pada klien banyak terjadi yaitu pengalaman saat kecil suka diejek oleh teman bermain, kurang mendapat penghargaan dari orang lain terutama orang tua, jarang mendapatkan kasih sayang dari orang tua, penolakan dari keluarga, putus cinta dan pergaulan bebas. Faktor psikologis diantaranya kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, dan pertahanan psikologi. Suatu pandangan psikologi tentang perilaku negatif yang muncul menyatakan bahwa pentingnya mengetahui predisposisi faktor perkembangan atau pengalaman hidup yang membatasi kemampuan individu untuk memilih koping mekanisme seseorang (Stuart & Laraia, 2005).
Faktor perkembangan atau pengalaman hidup yang membatasi mekanisme koping nonviolence menurut Stuart (2009) sebagai berikut: ketidakmampuan belajar karena kerusakan kapasitas bertindak secara efektif terhadap frustasi; deprivasi emosional yang berat atau penolakan terhadap anak; mengalami kekerasan bertahun-tahun, korban child abuse atau sering melihat kekerasan dalam keluarga dapat menanamkan pola penggunaan kekerasaan sebagai cara menyelesaikan masalah. Dapat disimpulkan bahwa pengalaman yang tidak menyenangkan dimasa lalu dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesisimis, tidak mampu merumuskan dan mengungkapkan keinginan, dan merasa tertekan. Akibatnya akan menyebakan klien menjadi tertekan dan frustasi yang akhirnya berespon dengan menyalahkan diri dan orang lain disekitarnya dan menghindar dari orang lain.
c) Aspek sosial budaya merupakan stressor predisposisi yang juga menentukan terjadinya halusinasi yaitu sebagian besar klien halusinasi terkait masalah
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
111
pekerjaan yang dialami klien yaitu sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai keinginan dan klien ada permasalahan ketika masih bekerja. Kondisi sosial yang dapat menimbulkan halusinasi seperti: kemiskinan dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009; Tardiff, 2003 dalam Townsend, 2009). Salah satu penyebab gangguan gangguan jiwa terkait dengan masalah status sosial ekonomi. Faktor status sosial ekonomi yang rendah lebih banyak mengalami gangguan jiwa yang menyebabkan halusinasi dibandingkan pada tingkat sosial ekonomi tinggi (Townsend, 2009).
Faktor lain yang berhubungan dengan munculnya halusinasi secara sosial termasuk kurangnya dukungan sosial, kesulitan pekerjaan, atau masalah keuangan, akses yang mudah ke senjata dan kecenderungan budaya Amerika Serikat untuk memaafkan perilaku yang negatif sebagai solusi untuk pemecahan masalah (Woodside & McClum, 2006 dalam Fontaine, 2009). Dapat disimpulkan bahwa apabila klien halusinasi tidak bekerja akan berpengaruh lebih mudah terjadi pikiran dan perilaku yang negatif, sehingga akan berdampak terhadap kemampuan klien dalam menyelesaikan masalah ketika muncul halusinasi pada klien.
Pengetahuan tentang beberapa stressor predisposisi pada klien halusinasi di ruang Sadewa yaitu dari aspek biologis, psikologis dan sosial budaya menjadi dasar yang kuat bagi perawat dalam menjalankan proses keperawatan secara holistik yaitu memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan pendekatan biologis, psikologis, dan sosial budaya.
4.1.7.2. Stressor Presipitasi Pengkajian terhadap stressor presipitasi yaitu dari sifat stresor, asal stresor,waktu dan jumlah stressor pada klien halusinasi di ruang Sadewa. Klien terpapar stresor yang bersifat biologis, psikologis dan sosial budaya.
a) Presipitasi faktor biologis klien didapatkan yaitu putus obat 14 klien (70%) yaitu selama klien di rumah tidak mau minum obat,tidak pernah kontrol ke
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
112
pelayanan kesehatan. Kondisi putus obat pada klien menurut penulis dikarenakan pengobatan gangguan jiwa pada klien yang memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga kondisi ini membuat kebosanan kepada klien. Pemberian obat pada klien gangguan jiwa juga pada awalnya lebih banyak memberikan efek sekunder dari pada efek optimal, hal ini yang memberi anggapan kepada klien bahwa obat yang dikonsumsinya tidak memberikan efek penyembuhan tetapi menambah gejala atau efek samping. Efek samping pemberian psikofarmaka golongan tipikal dapat menimbulkan terjadinya ekstra piramidal syndrome (EPS). Gejala EPS mirip dengan penyakit Parkinson yang ditandai dengan, tremor pada kedua tangan, kekakuan alat gerak (jika berjalan seperti robot), otot leher kaku, sehingga kepala seolah-olah terpelintir (Stuart, 2009).
Faktor biologis ini terkait dengan adanya neuropatologi dan ketidakseimbangan dari neurotransmiternya. Dampak yang dapat dinilai sebagai manifestasi adanya gangguan adalah pada perilaku maladaptif klien (Townsend, 2009). Secara biologis riset neurobiologikal memfokuskan pada tiga area otak yang dipercaya dapat melibatkan munculnya halusinasi yaitu sistem limbik, lobus frontalis dan hipotalamus. Kondisi lain yaitu adanya kondisi patologis dan ketidakseimbangan dari beberapa neurotransmitter. Neurotransmitter tersebut adalah dopamin, serotonin, norepineprin dan asetilkolin. Dapat disimpulkan bahwa faktor biologis penting untuk diketahui, terkait dengan terapi psikofarmaka yang tepat diberikan pada klien dengan halusinasi. Adanya gangguan dari salah satu komponen biologis sangat mempengaruhi terapi yang harus diberikan sebagai koreksi terhadap kekurangan atau berlebihnya fungsi atau produksi hormon yang mempengaruhi kerja otak.
Tidak efektifnya obat yang dikonsumsi menurut peneliti karena adanya pengaruh beberapa faktor yang menyebabkan obat tidak efektif, diantaranya rokok dan minum kopi. Hasil observasi pada klien gangguan jiwa mempunyai perilaku merokok yang kuat lebih dari 1 bungkus perhari serta minum kopi yang lebih dari 2 gelas perhari, seperti pendapat Stuart (2009) dan Townsend (2009) bahwa kebiasaan merokok dan minum kopi akan mengurangi efek teraupetik dari
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
113
pemberian antipsikotik.Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wardani, Keliat dan Mustikasari (2009) bahwa penyebab klien putus obat pada klien gangguan jiwa adalah karena klien tidak yakin terhadap pengobatan yang dilakukan, belum menemukan adanya keyakinan akan manfaat obat dan pengalaman yang menyenangkan terkait pengobatan yang dilakukan, tempat klien minum obat misalnya jika di Rumah sakit klien dibantu tenaga kesehatan untuk minum obat, namun jika sudah di rumah klien menganggap dirinya sudah sembuh, sehingga klien tidak minum obat lagi, angka rawat ulang klien yang sudah sering keluar masuk RS. Hal ini juga didukung oleh penelitian Iswanti, Helena dan Wardani (2012) bahwa ketidakpatuhan klien tidak minum obat karena perilaku klirn yang tidak memahami pentingnya minum obat karena lebih banyak melihat efek ketika minum obat. Dapat disimpulkan bahwa apabila klien halusinasi putus obat dengan menghentikan semua pengobatan yang dilakukan akan berpengaruh lebih mudah terjadi pikiran dan perilaku yang negatif, sehingga akan berdampak terhadap kemampuan klien dalam menyelesaikan masalah ketika muncul halusinasi pada klien.
b) Presipitasi faktor psikologis pada klien didapatkan memiliki riwayat psikologis berupa keinginan klien yang tidak terpenuhi sebanyak 9 klien (45%). Keinginan klien tidak terpenuhi tersebut menyebabkan merasa mengalami kegagalan. Hasil ini juga didukung oleh pendapat (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009) faktor psikologis lain dapat berupa kegagalan). Faktor psikologis, yang meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman masa lalu, koping dan ketrampilan komunikasi secara verbal mempengaruhi perilaku seseorang dalam hubungannya dengan orang (Stuart & Laraia, 2005). Kegagalan dapat berakibat frustrasi. Kegagalan sering diartikan oleh individu dengan ketidakmampuan, respon yang muncul pada saat individu mengalami kegagalan dapat berupa penyalahan terhadap diri sendiri, atau orang lain yang ditunjukkan dengan perilaku negatif (Dyah, 2009 dalam Jumaini, 2010). Dapat disimpulkan bahwa kegagalan yang dialami oleh seseorang menyebabkan individu menjadi frustasi, sehingga muncul suatu perilaku negatif yang akan menyebabkan ketidakmampuan klien dalam menyelesaikan masalah terutama saat klien mengalami halusinasi.
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
114
c) Presipitasi faktor sosial budaya terbesar yang diperoleh pada klien halusinasi adalah masalah ekonomi berupa kemiskinan dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup sebesar 25 %. Kondisi sosial yang dapat menimbulkan halusinasi seperti: kemiskinan dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup, masalah perkawinan, keluarga single parent, pengangguran, kesulitan mempertahankan hubungan interpersonal dalam keluarga, struktur keluarga, dan kontrol sosial (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009; Tardiff, 2003 dalam Townsend, 2009).
Faktor lain yang berhubungan dengan halusinasi secara sosial termasuk kurangnya dukungan sosial, kesulitan pekerjaan, atau masalah keuangan, akses yang mudah ke senjata dan kecenderungan budaya Amerika Serikat untuk memaafkan perilaku kekerasaan sebagai solusi untuk pemecahan masalah (Woodside & McClum, 2006 dalam Fontaine, 2009).
Ada beberapa hal yang dikaitkan dengan masalah gangguan jiwa. Salah satunya yang terjadi pada klien halusinasi adalah masalah pekerjaan yang akan mempengaruhi status sosial. Klien dengan status sosial ekonomi yang rendah berpeluang lebih besar untuk mengalami gangguan jiwa dibandingkan dengan klien yang memiliki status sosial ekonomi tinggi. Faktor sosial ekonomi tersebut meliputi kemiskinan, tidak memadainya sarana dan prasarana, tidak adekuatnya pemenuhan nutrisi, rendahnya pemenuhan kebutuhan perawatan untuk anggota keluarga, dan perasaan tidak berdaya (Townsend, 2009). Dapat disimpulkan bahwa sosial ekonomi yang rendah berpeluang besar untuk mengalami gangguan jiwa dengan halusinasi dibandingkan dengan status sosial ekonomi yang tinggi karena akan berpengaruh terhadap kebutuhan yang harus dipenuhi oleh klien.
d) Sumber stressor berasal dari internal dan eksternal diri klien, sebagian besar sumber internal 18 (90%). Sumber internal adalah kegagalan dan perasaan bersalah yang ditujukan kepada dirinya karena perasaan frustasi akan kebutuhan yang tidak terpenuhi. Sumber eksternal klien yaitu tuntutan dari lingkungan serta kecaman dari lingkungan yang menyebabkan klien tidak mampu memenuhinya.
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
115
Kondisi ini memberikan konflik pada diri dan lingkungan serta munculnya perasaan tidak berharga. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2009) dimana faktor penyebab halusinasi dari faktor psikologis diantaranya intelegensi, ketrampilan verbal, moral, kepribadian dan kontrol diri, keinginan yang tidak tercapai, kurangnya motivasi. Dapat disimpulkan bahwa stressor utama dapat menimbulkan respon yang berkontribusi terhadap stressor psikologis dan biologis, sehingga pada akhirnya asal stresor yang dialami oleh klien halusinasi adalah stressor internal dan eksternal.
Waktu terpaparnya stressor, klien halusinasi di ruang Sadewa sebagian besar terjadi dalam periode sebelum masuk RS, sebagian besar terpapar stressor dalam jangka waktu yang lamayaitu lebih dari 2 Bulan 12 klien (60%). Jumlah stressor yang dialami sebagian bervariasi. Waktu atau lamanya terpapar stresor, yaitu terkait dengan sejak kapan, sudah berapa lama, serta berapa kalikejadiannya (frekuensi) (Stuart, 2009). Apabila klien baru pertama kali terkena masalah, maka penanganannya juga memerlukan suatu upaya yang lebih intensif dengan tindakan pencegahan primer. Bagi keluarga dan klien dapat memahami kondisi yang sekarang terjadi, sehingga dapat melakukan tindakan pencegahan untuk terpaparnya kondisi atau kejadian yang bisa merupakan stressor presipitasi terjadinya gangguan jiwa. Dapat disimpulkan bahwa klien halusinasi klien baru pertama kali mengalami masalah dan rentan waktunya sakit cukup lama, sehingga tidak mampu mengatasi masalah juga memerlukan suatu upaya yang lebih intensif dengan melihat kondisi dan permasalahan yang sekarang terjadi supaya dapat mengatasi masalah yang dialami klien halusinasi.
e) Sebagian besar klien yang mengalami halusinasi disebabkan oleh lebih dari 3 stressor sebesar 10 klien (50%), pemicu terjadinya halusinasi dapat diakibatkan oleh toleransi terhadap frustasi yang rendah, koping individu yang tidak efektif, impulsive dan membayangkan atau secara nyata adanya ancaman terhadap keberadaan dirinya, tubuh atau kehidupan (Stuart, 2009). Adanya stressor atau sumber
stress
yang
banyak
akan
mempengaruhi
individu
mengalami
halusinasi.Pemahaman terhadap situasi dan penerimaan lingkungan, kognitif dan
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
116
stress komunikasi serta respon afektif klien perlu di identifikasi oleh petugas, selanjutnya perlu dikaji asal stressor sosiokultural, waktu terjadinya stressor dan jumlah stressor psikologis yang terjadi dalam suatu waktu (Stuart & Laraia, 2005). Banyak sekali stressor yang dapat mempengaruhi dan menjadi penyebab ataupun pencetus halusinasi. Semakin banyak jumlah stressor yang dialami maka halusinasi yang dialami oleh klien semakin meningkat. Hal ini memperkuat pernyataan Stuart (2009) yang menyatakan bahwa jumlah stressor lebih dari satu yang dialami oleh klien dalam satu waktu akan lebih sulit diselesaikan dibandingkan dengan satu stressor yang dialami. Dapat disimpulkan bahwa jumlah stressor akan berkorelasi positif terhadap kejadian halusinasi, semakin banyak jumlah stressor yang dialami dalam satu waktu, maka akan sulit diselesaikan dibanding stressor muncul hanya satu.
4.2. Pengaruh Tindakan Keperawatan Terhadap Respon Stressor dan Kemampuan Klien dan Keluarga Respon terhadap stresor merupakan suatu respon proses evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap sumber stres dengantujuan untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang dialaminya (Stuart, 2009). Hasil evaluasi respon terhadap stressor pada klien halusinasi menunjukkan gejala negatif dan ketidakmampuan. Ini menunjukan bahwa seluruh klien memandang sumber stressornya adalah sebagai suatu ancaman bagi klien. Semua klien memiliki respons negatif dalam menghadapi masalah secara kognitif, afektif, perilaku dan sosial. Kemampuan personal yang dimiliki sebagian besar klien halusinasi yaitu telah dilatih bagaimana mengenal tentang masalah halusinasi yang dialaminya dan mengenal tentang cara mengontrol halusinasi pada klien.
4.2.1. Penerapan Tindakan Keperawatan Generalis dan Cognitif Behaviour Theraphy (CBT) dan Psikoedukasi KeluargaPada Klien Dengan Halusinasi Penerapan terapi generalis dan terapi perilaku dan kognitifmenunjukan hasil yang lebih efektif mengubah pikiran dan perilaku klien dengan halusinasi. Hal ini terbukti dengan perubahan respon terhadap stressor baik respon perilaku,
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
117
fisiologis, afektif, sosial dan kognitif. Hasil yang dicapai yaitu, klien menunjukkan peningkatan dalam hal respon terhadap stressor pada lima aspek yaitu respon kognitif mampu membedakan yang nyata dan tidak nyata dan mampu memahami cara mengontrol halusinasi 100%, respon afektif yang mampu mengurangi perasaan takut 100%, mampu mengontrol marah dan tidak tersinggung sebesar 86%, tidak curiga terhadap orang lain 100%. Respon fisiologis yang ditunjukkan tidak muncul kondisi lemah/lesu 86%. Respon perilaku klien tidak tertawa dan senyum sendiri, mondar-mandir, mau merawat diri, mengatakan sudah tidak mendengar suara dan melihat bayangan sebanyak 100%. Respon sosial klien sudah tidak mengurung diri, tidak menghindar dengan orang lain dan tidak curiga dengan orang lain sebanyak 100%. Peningkatan kemampuan klien dalam mengontrol halusinasi yaitu sebagian klien mampu mengidentifikasi pikiran negatif yang muncul, klien sudah mampu menggunakan tanggapan yang rasional, klien mampu memodifikasi pikiran yang negatif menjadi positifPeningkatan kemampuan dalam mengontrol halusinasi yang muncul kemampuan
dalam
mengontrol
halusinasi
(menghardik,
bercakap-cakap,
melakukan kegiatan dan minum obat) dan mampu mengidentifikasi pikiran dan perilaku otomatis yang negatif, mampu menggunakan tanggapan yang rasional terhadap pikiran yang negatif, mampu memodifikasi perilaku negatif menjadi positif dengan memberikan token dan mampu menjelaskan pentingnya psikofarma sebesar 100%.
Pada pemberian terapi perilaku kognitif memberikan peningkatan kemampuan klien dan respon terhadap stressor pada aspek kognitif, afektif, fisiologis dan sosial. Hasil pengkajian pada klien dengan halusinasi di ruang Sadewa menunjukan bahwa banyak klien yang merasa yakin akan kesembuhan klien yaitu sebanyak 17 klien (85%). Keyakinan dan gambaran positif seseorang dapat menjadi dasar dari harapan yangdapat mempertahankan koping adaptif walaupun dalam kondisi penuh stressor. Keyakinan harus dikuatkan untuk membentuk keyakinan positif (kognitif) dan dapat menguatkan afektif, kestabilan fisiologis tubuh, perilaku konstruktif dan sosial yang baik. Kondisi ini klien dengan halusinasi perlu mendapatkan terapi yang lebih advance yaitu terapi perilaku
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
118
kognitif (Stuart, 2009). Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar menunjukkan dukungan sosial dan keyakinan yang positif akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan klien. Dukungan sosial dan keyakinan positif ini berkorelasi positif dengan halusinasi. Semakin negatif keyakinan klien dan tidak adanya dukungan sosial, maka semakin berat halusinasi yang dialami klien.
Keyakinan positif yang muncul pada klien halusinasi akan mempermudah perawat dalam melakukan tindakan keperawatan terutama dalam menerapkan terapi perilaku kognitif yaitu antara perawat dan klien dapat bekerjasama dengan baik dalam proses terapi hal ini dapat dijelaskan oleh teori Peplau bahwa perawat dan klien
mengidentifikasi satu
masalah
pertama
kali dan mulai fokus pada
tindakan yang tepat, pendekatan yang dilakukan melalui perbedaan latar belakang dan keunikan setiap individu. Setiap individu dapat pandang sebagai satu struktur yang unik biologis, psikologis, spiritual dan sosial yang satu dengan yang lain tidak bertentangan. Setiap individu telah belajar dari lingkungan, adat istiadat, kebiasaan, dan kepercayaan yang berbeda yang membentuk budaya individu tersebut.Setiap orang datang dari (pemikiran) sudut pandang yang berbeda sehingga mempengaruhi persepsi dan perbedaan persepsi ini sangat penting dalam proses interpersonal (Fitzpatrick, 1989).
Konsep ini didukung oleh Genevieve Burton (1950) penulis lain tentang keperawatan mengatakan : “ tingkah laku orang lain harus dimengerti agar dapat mengerti diri sendiri secara jelas”. Orang-orang yang tersentuh dengan diri sendiri akan lebih sadar terhadap berbagai ragam jenis reaksi bujukan individu yang lain.Setiap permasalahan akan mempengaruhi kepribadian perawat dan meningkatkan professionalisme. Ciri perawat yang memiliki perubahan langsung dalam terapeutik, hubungan interpersonal. Peplau mengidentifikasi empat tahapan hubungan interpersonal yang saling berkaitan yaitu: (1) orientasi, (2) identifikasi, (3) eksploitasi, (4) resolusi (pemecahan masalah). Setiap tahapan saling melengkapi dan berhubungan sebagai satu proses untuk penyelesaian masalah.
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
119
Hal ini sesuai dengan pendapat Oemarjoedi (2003) bahwa terapi perilaku kognitif meyakini pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses rangkaian stimuluskognisi-respon yang saling terkait dan membentuk jaringan dalam otak manusia, dimana faktor kognitif akan menjadi penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa, dan bertindak.
Hasil penelitian Sasmita, Keliat dan Budiharto (2007) bahwa dalam penelitiannya tentang pengaruh terapi perilaku kognitif yang diterapkan pada klien HDR yang mendapatkan hasil yang terjadi peningkatan kemampuan kognitif secara bermakna. Hasil penelitian Lelono, Keliat dan Besral (2010) tentang pengaruh terapi perilaku kognitif pada klien halusinasi dan perilaku kekerasan mendapatkan hasil terjadi peningkatan kemampuan kognitif secara bermakna. Menurut Davis dkk (2005) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat diberikan klien skizofrenia untuk intervensi meningkatkan kepercayaan yang positif bagi klien sehingga muncul perilaku yang positif juga pada klien.
Menurut Fauziah, Hamid dan Nuraini (2009) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien skizofrenia dengan perilaku kekerasan, Wahyuni, Keliat dan Yusron (2010) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien halusinasi, Erwina, Keliat, Yusron dan Helena (2010) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien pasca gempa. Sesuai penelitian yang telah dilakukan oleh Morisson (2009) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat diberikan pada klien skizofrenia yang menjadikan klien dapat mengontrol perilaku marah, mengontrol klien yang berbicara sendiri atau halusinasi dan dapat meningkatkan hubungan klien baik di rumah sakit, keluarga dan di tempat kerja. Dapat disimpulkan bahwa penerapan tindakan keperawatan spesialis terapi perilaku kognitif pada klien dengan halusinasi dapat meningkatkan kemampuan klien mengubah status pikiran, dan perasaanya klien dari perilaku negatif menjadi positif.
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
120
Family Psycoeducation Theraphy atau terapi psikoedukasi keluargadiberikan kepada tujuh keluarga klien dengan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa dengan diagnosa keperawatan halusinasi, yaitu sebanyak 7 keluarga (35%). Seluruhkeluarga juga sudah diberikan terapi generalis halusinasiuntuk merawat anggota keluarga. Terapi spesialis psikoedukasi keluarga merupakan terapi lanjut dari terapi generalis yang mengukur aspek kognitif, afektif dan psikomotor keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa. Hasil yang didapatkan adalah 100% keluarga memiliki kemampuan dalam melaksanakan 5 tugas perkembangan keluarga yang meliputi mengenal masalah halusinasi, mengambil keputusan untuk merawat anggota keluarga dengan halusinasi, melakukan perawatan pada anggota keluarga dengan masalah halusinasi, memodifikasi lingkungan yang mendukung untuk perawatan anggota keluarga dengan masalah halusinasi dan memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk merawat anggota keluarga dengan masalah halusinasi. Dukungan sosial adalah dukunganuntuk individu yang didapat dari keluarga, teman, kelompok atauorangorang disekitar klien termasuk perawat dalam ruangan dan dukungan terbaik yangdiperlukan oleh klien adalah dukungan dari keluarga (Maglaya,2009). Keluarga sebagai care giver bagi klien harus memiliki kemampuan tentang cara merawat klien (Maglaya,2009).
Dukungan sosial adalah sumber dukungan yang berasaldari eksternal dan merupakan komponen terpenting dalam sumber koping yang perlu dikembangkan (Stuart, 2009). Sebagian besar kenyataan yang banyak ditemukan bahwa kurangnya dukungan sosial dan keluarga untuk membantu klien dalam mengembangkan kemampuan yang positif yang menyebabkan klien sering mengalami masalah kembali pada klien atau halusinasi kembali muncul. Hal ini terbukti dari rendahnya kunjungan keluarga yang dilihat dari frekuensi kunjungan keluarga klien di rumah sakit, motivasi yang rendah dari keluarga untuk merawat klien dirumah, rendahnya kelompok pemerhati gangguan jiwa di masyarakat dan belum terlibatnya klien pada kelompok-kelompok suportif. Kondisi ini menurut penulis dikaitkan dengan stigma dan beban yang diterima keluarga atau
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
121
masyarakat, padahal keluarga sebagai care giver bagi klien harus memiliki kemampuan tentang cara merawat klien (Maglaya,2009).
Sebagian besar klien termasuk keluarga dengan perekonomian yang cukup karena berada di ruang yang berkelas dengan biaya lebih banyak menggunakan fasilitas pribadi sebanyak 13 klien (65%), karena keluarga menganggap, anggota keluarganya yang mengalami halusinasi merasa lebih baik jika menggunakan biaya sendiri terkait dengan fasilitas yang dapat diberikan pada klien dan memeberikan kenyamanan bagi klien selama di rumah sakit, sehingga mempercepat kesembuhan klien. Anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa membuat keluarga menjadi terbebani yang menganggu dalam kehidupan keluarga karena beban yang dialami keluarga semakin bertambah.
Beban keluarga pada klien gangguan jiwa ada dua jenis yaitu beban obyektif dan subyektif. Beban obyektif yaitu beban yang berhubungan dengan masalah dan pengalaman anggota keluarga meliputi gangguan hubungan antar anggota keluarga, terbatasnya hubungan sosial dan aktifitas kerja, kesulitan finansial dan dampak negatif terhadap kesehatan fisik anggota keluarga. Beban Subyektif, yaitu beban yang berhubungan dengan reaksi psikologis anggota keluarga meliputi perasaan kehilangan, kesedihan, cemas dan malu dalam situasi sosial, koping stress terhadap gangguan perilaku dan frustrasi yang disebabkan karena perubahan hubungan (WHO, 2008). Keluarga merupakan dukungan sosial yang utama yang menanggung beban fisik, emosional dan finansial karena adanya salah satu anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Ketidakmampuan keluarga dalam menanggung beban ini mengakibatkan rendahnya motivasi keluarga dalam memberikan perawatan klien dengan halusinasi. Tindakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dukungan sosial yang harus dilakukan oleh klien antara lain dengan membentuk sebuah kelompok dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa sehingga ada persamaan tujuan dan dapat sharing. Memberikan pendidikan kesehatan jiwa dalam upaya menurunkan diskriminasi dan stigma yang ada terhadap anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa sehingga tercipta
penerimaan
sehingga
meningkatkan
motivasi
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
kelompok
untuk
Universitas Indonesia
122
memberikan dukungan sosial, pemberian terapi spesialis psikoedukasi keluarga dalam mengurangi beban keluarga yang dialami, sehingga meningkatkan motivasi yang kurang pada keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan halusinasi. Peran perawat dalam terapi psikoedukasi keluarga meliputi lima komponen yaitu memberikan informasi terkait halusinasi, melatih keluarga dalam menyelesaikan konflik yang terjadi didalam keluarga, memberi kesempatan dalam memvalidasi perasaan klien dan keluarga terkait dengan keyakinan dan sumber-sumber pendukung dalam melakukan aktivitas sosial, meningkatkan koping keluarga dalam menghadapi distres dan meningkatkan penggunaan dukungan formal atauinformal bagi klien dan keluarga (Stuart, 2009; Carson, 2000). Kemampuan yang dimiliki keluarga dari hasil pemberian terapi psikoedukasi keluarga ini adalah keluarga memiliki kemampuan mengenal permasalahan yang dihadapi dalam merawat anggota keluarga dengan masalah halusinasi, keluarga mampu merawat anggota keluarga dengan masalah halusinasi, keluarga mampu memanajemen stress akibat merawat anggota keluarga dengan masalah halusinasi, keluarga mampu memanajemen beban keluarga akibat merawat anggota keluarga dengan masalah halusinasi dan keluarga mampu memberdayakan masyarakat untuk merawat anggota keluarga dengan masalah halusinasi.
Hal tersebut sesuai pendapat Levine (2002) menyatakan bahwa tujuan pemberian terapi ini adalah untuk mengurangi dan mencegah kekambuhan klien serta mempersiapkan klien kembali kedalam lingkungan
keluarga dan masyarakat
dengan memberikan ketrampilan dan penghargaan terhadap fungsi sosial dan okupasi klien selain itu tujuan lainnya adalah memberikan dukungan terhadap anggota keluarga dalam dalam mengurangi beban keluarga terutama beban fisik dan mental dalam merawat klien dengan gangguan jiwa dalam waktu yang lama.
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari, Keliat, Helena dan Susanti (2009) psikoedukasi keluarga pada klien gangguan jiwa, meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat klien dirumah serta meningkatkan peran serta keluarga dalam perawatan klien dirumah sakit. Dapat disimpulkan bahwa terapi psikoedukasi keluarga sangat diperlukan pada keluarga untuk meningkatkan
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
123
kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami halusinasi saat sudah di rumah.
Kurangnya kesinambungan pelayanan klien halusinasi setelah dilakukan perawatan dirumah sakit, dukungan sosial yang kurang, serta motivasi yang kurang, sehingga tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi fenomena ini antara lain perlunya peningkatan link atau kesinambungan antara pelayanan di rumah sakit dan di masyarakat seperti CMHN (Community Mental Health Nursing) yang ditingkatkan terus keseluruh wilayah di Indonesia, sehingga meningkatkan produktivitas klien. Tindakan yang lain yaitu klien dan keluarga perlu dilatih kemampuan yang lebih advance (spesialis) dalam mengatasi masalah halusinasinya baik secara kognitif, afektif dan psikomotor.
Terapi yang diberikan pada klien halusinasi yaitu cognitifbehaviour therapy (CBT) dan psikoedukasi keluarga merupakan terapi spesialis keperawatan jiwa yang merupakan sebuah proses pembelajaran bagi klien dan keluarga untuk meningkatkan kemampuannya dalam mengurangi halusinasi yang muncul yang dilakukannya dengan cara meningkatkan kemampuan, meningkatkan motivasi dan pengetahuan tentang merubah pikiran negatif yang muncul karena halusinasi dan mengubah perilaku maladaptif tidak mau berinteraksi dengan orang lain, mendengar suara-suara sehingga kadang muncul perilaku yang agresif menjadi perilaku adaptif mau merubah perilaku yang positif. Pelaksanaan terapi tersebut memberi hasil yang baik karena adanya komunikasi yang baik antara perawatklien dan adanya peran serta keluarga dan perawat ruangan dalam proses terapi perilaku kognitif terbukti efektif untuk meningkatkan kemampuan klien dalam mengontrol halusinasi khususnya dengan diagnosa medis skizofrenia untuk mengontrol halusinasi yang muncul.
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
124
4.2.2. Penerapan Tindakan Keperawatan Generalis dan Cognitif Theraphy (CT)Pada Klien Dengan Halusinasi Penerapan tindakan keperawatan generalis dan terapi kognitif menunjukan hasil yang mengubah pikiran negatif klien ketika muncul halusinasi. Hal ini terbukti dengan perubahan perilaku setelah diberikan terapi tersebut dalam pencapaian respon kognitif klien untuk mengurangi pikiran negatif yang muncul. Hasil pengkajian pada klien dengan halusinasi di ruang Sadewa menunjukan bahwa banyak klien yang merasa yakin akan kesembuhan klien yaitu sebanyak 17 klien (85%).Terapi kognitif diberikan pada 10 klien 50% klien yang mengalami peningkatan kemampuan dalm mengontrol halusinasi sebesar 95%. Peningkatan kemampuan kognitif setelah dilakukan terapi kognitif karena klien halusinasi diidentifikasi pikiran yang negatif yang muncul yang menyebabkan perubahan perilaku pada klien dan latihan untuk melawan pikiran negatif untuk menjadi positif sehingga memunculkan suatu pikiran yang positif dan rasional sebanyak 100%.
Perubahan kemampuan kognitif ini sesuai dengan pernyataan (Bloom 1956 dalam Bastable 2002) bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan salah satu bagian atau domain dari perilaku selain sikap (afektif) dan perilaku (psikomotor) yang ketiganya saling mempengaruhi respon kognitif yang menjadi peran sentral dalam proses adaptasi. Kemampuan kognitif juga akan membentuk cara berfikir seseorang untuk memahami faktor yang berkaitan dengan kondisinya (Edelman & Mandle, 1994 dalam Potter &Perry, 2005).
Menurut
Rahayuningsih
dan
Hamid
(2008),
terapi
kognitif
cukup
efektifmemperbaiki persepsi individu yang pada akhirnya dapatmenurunkan ansietas pada klien dengan sakit fisik di RS Darmais. Hasil implementasi oleh Syafwani, Hamid dan Budiharto (2008), menggambarkan bahwa terapi kognitif dapat digunakan tidak hanya pada klien harga diri rendah dan percobaan bunuh dirisaja, namun dapat juga dapat digunakan pada klien yang mempunyai masalah ansietas. Menurut Burns (1988), terapi kognitif efektif dan cepat memperbaiki kondisipsikis klien yang terganggu, termasuk ansietas, dan mengalamikesulitan
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
125
konsentrasi berfikir. Menurut Sarfika, Keliat dan Wardani (2012), terapi kognitif juga efektif dalam meningkatkan kemampuan klien dalam mengubah pikiran negatif klien.
Pelaksanaan terapi kognitif pada sesi 1 dan 2 mengidentifikasi pikiran negatif yang muncul kemudian melatih responden melawan pikiran yang negatif, pada sesi 1 dan 2 ini lebih berfokus pada pikiran yang negatif supaya menjadi positif, responden diberi kesempatan untuk mengidentifikasi pikiran yang negatif yang muncul ketika halusinasi muncul kemudian menulisnya ke dalam buku kerja. Karena tidak ada ruangan khusus dalam melakukan intervensi, sehingga mempengaruhi proses terapi yang menyebabkan responden merasa tidak nyaman dan kadang kurang konsentrasi, yang mempengaruhi proses berfikir dalam penerapan sesi 1 dan 2, sehingga di sesi 1 dan 2 ini pertemuannya kadang harus diulang sesuai hasil evaluasi di setiap pertemuan pada responden dan sesuai kesepakatan antara responden dan peneliti waktu dan tempat yang ditentukan. Penerapan terapi ini dilakukan lebih banyak terfokus pada pikiran negatif yang muncul ketika mengalami halusinasi, sehingga kurang efektif ketika dilakukan pada klien halusinasi muncul pikiran negatif sehingga berdampak pada perilaku yang negatif.
4.2.3. Penerapan Tindakan Keperawatan Generalis dan Behavioral Theraphy (BT) Pada Klien Dengan Halusinasi Penerapan tindakan keperawatan generalis dan terapi perilakumenunjukan hasil efektif mengubah perilaku negatif klien ketika muncul halusinasi. Hal ini terbukti dengan efektifitas terapi tersebut dalampencapaian respon perilaku klien untuk mengurangi perilaku negatif yang muncul. Hasil pengkajian pada klien dengan halusinasi di ruang Sadewa menunjukan bahwa banyak klien yang merasa yakin akan kesembuhan klien yaitu sebanyak 17 klien (85%). Terapi perilaku diberikan pada 15% klien yang mengalami peningkatan dalam mengurangi perilaku tertawa dan berbicara sendiri sebesar 100%. Peningkatan perilaku yang positif setelah dilakukan terapi perilaku karena klien halusinasi diidentifikasi perilaku yang negatif yang muncul yang menyebabkan klien muncul perilaku suka marah,
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
126
menyendiri dan tertawa dan berbicara sendiri dan latihan untuk melawan perilaku negatif untuk menjadi positif, sehingga memunculkan suatu perilaku yang positif dan rasional dengan memberikan kegiatan diruangan yang dapat mengurangi kembali perilaku klien yang mengalami halusinasi sebanyak 100%, meskipun kadang masih muncul ketidakmampuan klien dalam mengidentifikasi pikiran negatif yang muncul dengan menggunakan tanggapan rasional terhadap pikiran klien yang negatif karena klien merasa halusinasi yang dialami adalah kenyataan yang dialami oleh klien dan menyenangkan bagi klien, sehingga dengan terapi ini lebih banyak terjadi peningkatan kemampuan pada perilaku klien ketika muncul halusinasi.
Latihan ini ditunjang juga dengan reward/token ekonomi agar klien termotivasi untuk berperilaku positif, sehingga akhirnya klien mempunyai kemampuan kognitif, afektif dan perilaku dalam mengontrol halusinasi yang muncul dan mampu mencegah timbulnya perilaku yang sama.
Menurut Albert Ellis, manusia pada dasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irrasional. Ketika berpikir dan bertingkah laku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan memiliki kemampuan. Menurut Froggatt (2005) mengemukakan suatu penjelasan tentang sebab akibat biopsikososial yang merupakan kombinasi dari faktor biologis, psikologis dan sosial yang mempengaruhi perasaan dan perilaku seseorang, bahwa keadaan biologis seseorang juga mempengaruhi perasaan dan perilakunya, ini merupakan hal yang penting dan perlu diingat oleh therapis untuk memahami seberapa besar kemampuan manusia dapat berubah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Parendrawati, Keliat dan Haryati (2008) menerapkan terapi perilaku dengan memberikan token ekonomi pada klien defisit perawatan diri dapat merubah perilakunya dalam melakukan perawatan diri.
Penerapan terapi ini dilakukan lebih banyak terfokus pada perilaku negatif yang muncul ketika mengalami halusinasi, sehingga kurang efektif ketika dilakukan
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
127
pada klien halusinasi muncul perilaku negatif sehingga berdampak pada pikiran yang negatif.
Penerapan semua terapi juga diterapkan berdasarkan 6 (enam) peran perawat dalam hubungan interpersonal menurut Peplau dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Mitra kerja, Hubungan perawat dan klien merupakan hubungan yang memerlukan kerjasama yang harmonis atas dasar kemitraan sehingga perlu dibina rasa saling percaya, saling mengasihi dan menghargai, hubungan ini akan banyak dilakukan oleh perawat pada fase orientasi, identifikasi dan eksplorasi serta resolusi menurut tahapan hubungan interpersonal Peplau. b. Narasumber (resources person), perawat mampu memberikan informasi yang akurat, jelas dan rasional kepada klien dalam suasana bersahabat dan akrab dalam fase ekplorasi yang berguna untuk klien meningkatkan kemampuan koping dan menurunkan atau memodofikasi stimulus dengan respon yang adaptif . c. Pendidik (teacher), perawat harus berupaya memberikan pendidikan, pelatihan, dan bimbingan pada klien/keluarga terutama dalam mengatasi masalah, dalam fase ekplorasi perawat mengajarkan stategi mengatasi masalah melalui terapiterapi yang diberikan baik terapi generalis maupun terapi spesialis agar klien dapat berespon secara adaptif. d. Kepemimpinan (leadership), perawat harus mampu memimpin klien/keluarga untuk memecahkan masalah kesehatan melalui proses kerja sama dan partisipasi aktif klien melalui fase-fase hubungan interpersonal dari orientasi sampai resolusi hingga tujuan akhirnya klien mampu merespon setiap stressor secara adaptif. e. Pengasuh pengganti (surrogate), perawat merupakan individu yang dipercaya klien untuk berperan sebagai orang tua, tokoh masyarakat atau rohaniawan guna membantu memenuhi kebutuhannya, sebagai orang yang dapat dipercaya merupakan dasar dari hubungan interpersonal perawat dan klien agar perawat dapat mengetahui kebutuhan yang diperlukan oleh klien dan mampu memenuhi kebutuhan tersebut, pada peran ini banyak ditemukan pada fase orientasi, identifikasi dan ekplorasi.
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
128
f. Konselor (consellor), perawat harus dapat memberikan bimbingan terhadap masalah klien sehingga pemecahan masalah akan mudah dilakukan, bimbingan pemecahan masalah dilakukan perawat dalam tahapan-tahapan terapi yang dilakukan agar setelah tahapan tersebut dikuasai oleh klien klien dapat secara mandiri mengunakan semua kemampuan yang dimiliki untuk pemecahan masalah (Tomey, 2006). Berdasarkan pemaparan tentang aplikasi penggunaan model stres adaptasi Stuart serta hubungan interpersonal Peplau dapat dibuat suatu kesimpulan :kedua model tadi dapat saling menguatkan dimana pada model stress adaptasi Stuart memamdu perawat dalam mengkaji klien halusinasi secara holistik dari aspek biopsiko dan sosial budaya; dan dilengkapi oleh model Peplau agar perawat melakukan hubungan interpersonal dengan klien menggunakan peran-peran yang bisa dilakukan oleh perawat untuk membantu klien agar berada pada rentang yang adaptif.
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini akan dibahas simpulan dari penyusunan karya ilmiah akhir beserta saran bagi pihak terkait yang berhubungan dengan praktik klinik keperawatan jiwa di setting rumah sakit.
5.1 Simpulan Karya ilmiah akhir ini memberikan gambaran tentang manajemen kasus spesialis pada klien dengan halusinasi di ruang Sadewa Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi Bogor. Simpulan dari kegiatan yang sudah dilaksanakan adalah sebagai berikut :
5.1.1. Karakteristik klien halusinasi di Ruang Sadewa sebagian besar klien lakilaki,berusia 40-65 tahun, belum menikah dengan berpendidikan tinggi, dan tidak bekerja dengan lama sakit klien terbanyak adalah kurang dari 10 tahun dan lama rawat klien terbanyak adalah 2 bulan dan 3 bulan, dengan rata-rata rawat inap klien 60 hari.
5.1.2. Faktor predisposisi pada klien halusinasi di ruang Sadewa 50% karena faktor genetik, 90% mempunyai pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, 35% klien mempunyai masalah pekerjaan dan tidak menikah. Faktor presipitasi klien halusinasi 70 % karena putus obat, 45% keinginan klien yang tidak terpenuhi, 25% karena masalah ekonomi, 90 % stressor berasal dari internal, 60% dalam waktu lebih dari dua bulan, 50% disebabkan lebih dari 3 stressor.
5.1.3. Hasil studi menunjukkan klien yang telah mendapatkan tindakan keperawatan generalis, terapi perilaku kognitif dan psikoedukasi keluarga mengalami peningkatkan kemampuan klien dalam menggunakan tanggapan yang rasional untuk melawan pikiran dan perilaku yang negatif sebesar 100%, serta meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat klien dengan halusinasi sebesar 70%, sehingga mengurangi tanda dan gejala munculnya halusinasi. Hasil studi menunjukkan klien yang mendapatkan tindakan keperawatan generalis dan Universitas Indonesia
129
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
130
terapi perilaku mengalami peningkatkan kemampuan klien dalam melawan pikiran negatif yang muncul saat halusinasi muncul sebesar 90-100%. Hasil studi menunjukkan klien yang mendapatkan tindakan keperawatan generalis dan terapi kognitif mengalami peningkatkan kemampuan klien dalam melakukan perilaku yang positif saat halusinasi muncul sebesar 67 dan 100%. Tindakan keperawatan generalis, terapi perilaku kognitif dan psikoedukasi keluarga direkomendasikan untuk klien halusinasi disertai penelitian lebih lanjut. 5.2 Saran 5.2.1. Masyarakat Masyarakat yang mempunyai keluarga dengan gangguan jiwa (mempunyai faktor genetik) untuk meningkatkan ketahanan dan menggunakan mekanisme koping yang positif dalam menyelesaikan masalah.
5.2.2. Keluarga Klien Keluarga untuk melakukan kunjungan pada klien yang dirawat minimal 5 hari sekali selama di Rumah Sakit untuk memberikan dukungan sosial bagi klien. Memberdayakan fasilitas kesehatan Puskesmas sebagai sarana kesehatan yang terdekat dengan tempat tinggal klien setelah klien keluar dari Rumah Sakit, sehingga proses perawatan dan pengobatan klien tidak berhenti sebagai upaya mengurangi angka kekambuhan; menyusun program promosi kesehatan jiwa melalui pendidikan kesehatan dalam upaya preventif. 5.2.3. Klien Halusinasi Klien melakukan pengobatan secara berkelanjutan supaya tidak terputus dalam proses pengobatannya. Mempertahankan kemampuan klien untuk menggunakan tanggapan yang rasional jika muncul pikiran dan perilaku yang negatif. Melakukan kegiatan yang positif, sehingga meningkatkan kemampuan positif yang dimiliki oleh klien.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
131
Bagi riset keperawatan Agar dikembangkan penelitian tentang ketepatan pemberian terapi perilaku kognitif dan psikoedukasi keluarga pada diagnosis keperawatan halusinasi dan pengembangan instrumen penelitian yang tepat untuk menguji ketepatan pemberian terapi perilaku kognitif dan psikoedukasi keluarga terhadap penurunan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan klien halusinasi.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA . Allience on Mental Illness.(2010). Allience on Mental Illness of America : AMIA Alligood & Toomey, M. (2010), Nursing Theory: Utilization and Application, Mosby Elsevier, United States of America Anonim (2012). Theory Interpersonal-Peplau. diambil dari Argonauta Corporation. Balitbang Depkes, (2008), Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kesehatan Jiwa, Jakarta., Departemen Kesehatan RI. Basmanelly, Keliat. B.A, Gayatri. D (2008). Pengaruh Home Visit Terhadap Kemampuan Keluarga Dan Klien Halusinasi Di Kota Padang Tahun 2008. Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan. Brady, N. (2004). Psychiatric Nursing Made Incredibly Easy. USA : Lippincott Williams & Wilkins Caroline.,Keliat.B.A.,Sabri.L
(2008). Pengaruh Penerapan Standar Asuhan Keperawatan Halusinasi terhadap Kemampuan Klien Mengontrol Halusinasi di RS Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta. Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan.
Carson, V.B. (2000). Mental Health Nursing : The Nurse-Patient Journey. 2nd ed. Philadelphia : W.B. Saunders Company. Copel, L.C. (2007). Kesehatan Jiwa dan Psikiatri: Pedoman Klinis Perawat. Jakarta, EGC Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Riset kesehatan dasar 2007. http://www.litbang.depkes.go.id/LaporanRKD/IndonesiaNasional.pdf.pada tanggal 22 Mei 2013. Erwina,I.,Keliat.,Yusron. N., Helena.N. Pengaruh Cognitive Behavior Therapy Terhadap Post Traumatic Stress Disorder Pada Penduduk Pasca Gempa di Kelurahan Air Tawar Barat Kecamatan Padang Utara Propinsi Sumatera Barat.FIK-UI.Tidak dipublikasikan. Fauziah.,Hamid, A.Y., Nuraini. T (2009). Pengaruh Terapi Perilaku Kognitif (TPK) Pada Klien Skozofrenia Dengan Perilaku Kekerasan di Rumah sakit Marzoeki Mahdi Bogor.Tesis FIK-UI. Tidakdipublikasikan. Fontaine, K.L. (2009). Mental Health Nursing. 7thed. New Jersey : Pearson Education, Inc. Fortinash, K.M., & Worret, P.A.H. (2007).Psychiayric Mental Health Nursing. 4rd ed. USA : Mosby, Inc.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Friedman, (2010). Keperawatan keluarga teori dan praktek. (Edisi 5). Jakarta: EGC Froggatt, W (2005). A brief introduction to rational emotive behaviour therapy, journal of rational emotive behaviour therapy, pada tanggal 29 Mei 2013. Fitzpatrick. (1989). Conseptual Models of Nursing Analysis and Aplication. 2rd. California Granholm, E., dkk. (2006). Cognitive Behavioral Socials Skills Training for Improving Social Functioning in People with Achizophrenia.Ongoing Research.http://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT00338975. pada tanggal 29 Mei 2013 http://currentnursing.com/nursing_theory/interpersonal_theory.html, pada tanggal 12 Mei 2013 Hidayati. N., Hamid.A.Y., Mustikasari., Terapi Suportif Pada Klien Skizofrenia Dengan Perilaku Kekerasan Dalam Mengatasi Perilaku Kekerasan Di RSJ Amino Gondohutomo Semarang.Tesis FIK-UI. Tidakdipublikasikan. Hunt. (2004). A Resource Kit for Self Help/Support Group for People Affected by An Eating Disorder. Iswanti, D.I.,Helena, N.C.D.,Wardani, I.Y.,(2012). Pengaruh Terapi Perilaku Modeling Persiapan Terhadap Kepatuhan Minum Obat Pada Klien Penatalaksanaan Regimen Terapeutik Tidak Efektif di RSJD Amino Gondohutomo Semarang.Tesis FIK-UI. Tidakdipublikasikan. Jalil, M. (2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan penderita skizoprenia di RSJ Prof. Dr. SoeroyoMagelang. Skripsi.Tidak dipublikasikan. Juanita. (2002). Peran Asuransi Kesehatan dalam Bench marking Rumah Sakit dalam Menghadapi Krisis Ekonomi. Artikel USU tidak dipublikasikan Jumaini., Keliat, B.A.,Hastono, S.P. (2009). Pengaruh cognitive behavioral social skills
training (CBSST) terhadap kemampuan bersosialisasi klien isolasisosial di BLU RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.Tesis FIK-UI. Tidakdipublikasikan. Kaplan, H.L., Sadock, B.J., & Grebb, J.A. (2007). Kaplan and Sadock’s synopsis of psychiatry. (7th ed.) Baltimore: Williams & Wilkins. Kazantzis, N., Reinecke, M.A., & Freeman, A. (2010).Cognitive and Behavioral Theories in Clinival Practice. New York : A Division of Guildford Publications, Inc. Keliat, B,A, dkk. (1999). Pengaruh Model Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) Terhadap Kemampuan Komunikasi Verbal dan Non Verbal Pada Klien Menarik Diri di Rumah Sakit Jiwa.Jurnal Keperawatan Indonesia, II(8), 277283 Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Keliat, B.A., &Akemat.(2005). Kelompok.Jakarta : EGC
Keperawatan
Jiwa
Terapi
Aktivitas
Keliat, B.A., &Akemat.(2010). Model Praktek Keperawatan Profesional.Jakarta : EGC Keliat, B.A., (2006). Peran Serta Keluarga Dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa. Jakarta : EGC Keliat, B.A., dkk. (2005). Modul Basic Course Community Mental Health Nursing. Kerjasama FIK UI dan WHO. Keliat, B.A., Panjaitan, R.V & Riasmini, M. (2010). Manajemen Keperawatan Jiwa Komunitas Desa Siaga. Jakarta: EGC Kintono, F. (2010).Penyebab Umum Gangguan Jiwa. http://www.docstoc.com/docs, diperoleh 10 Juni 2013. Kopelowicz, dkk.,(2003). Psychosocial treatment for schizophrenia. New York: Oxford University Lelono, S.K., Keliat, B.A.,Besral (2011). Efektivitas Cognitive Behaviour Therapy dan Rational Emotive Behaviour Therapy Pada Perilaku Kekerasan, Halusinasi dan Harga Diri Rendah di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor.Tesis FIK-UI. Tidak dipublikasikan. Maglaya. (2009). Nursing Practice in the community, fifth edition, Marikina city. Martin, P.F. (2010). CBT. 27 Mei http://www.minddisorders.com/Brdel/Cognitive-behavioral-therapy.html
2013
Morrison. (2009). Cognitive behavior therapy for people with schizofrenia. Department of Psychiatry.Wright State University Boonshoft School of Medicine, Dayton, Ohio. Niven, L , 2002, Pskologi Kesehatan, Edisi 2 EGC, Jakarta. Notoatmodjo, S. (2007).Pengantar pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: RinekaCipta Oemarjoedi, A,K,. (2003). Pendekatan Cognitive Behavioral Dalam Psikoterapi. Jakarta :Kreativ Media. Parendrawati, D.,P. Keliat, B.A, Haryati, T.S (2008). Pengaruh Terapi Token Ekonomi pada Klien Defisit Perawatan Diri di RSMM Bogor, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Potter , P., (2005). Fundamentals of Nursing : Concept, Process, and Practice. Alih bahasaYasmin Asih, dkk.Jakarta : EGC Rahayuningsih, Hamid, A. Y. (2007). Pengaruh Terapi Kognitif terhadap tingkat harga diri dan kemandirian pasien dengan kanker payudara di RS Kanker Dharmais Jakarta. Tesis. FIK UI. Jakarta. Tidak dipublikasikan. Ramdhani, N. (2002). Pelatihan Ketrampilan Sosial untuk Terapi Kesulitan Bergaul.http://lib-ugm.ac.id/data/pubdata/ketsospdf. Juni 5, 2013 Sadock, B.J., &Sadock, V.A. (2007).Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed. Philadelphia., Lippincott Williams & Wilkins Sarfika, R.,Keliat, B.A.,Wardani, I.Y. (2012). Pengaruh Terapi Kognitif dan Logoterapi terhadap Depresi, Ansietas Kemampuan Mengubah Pikiran Negatif dan Memaknai Hidup Klien Diabetes Melitus di RSUP Dr. M Djamil Padang. Tesis. FIK UI. Tidak dipublikasikan. Sari, H.,Keliat, B.A., Helena, N.C.D., Susanti, H. (2009). Pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap beban dan kemampuan keluarga dalam merawat klien pasung di Kabupaten Bireuen Nanggroe Aceh Darussalam. FK UI. Tidak dipublikasikan. Sasmita, H., Keliat, B.A.,Budiharto (2007). Efektifitas Cognitive Behavioral Therapy (CBT) pada Klien Harga Diri Rendah di RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor tahun 2007.Tesis FIK-UI. Tidakdipublikasikan Shives, L.R. (2005). Basic Concepts of Psychiatric Mental Health Nursing. 6th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins Shechtman & Katz. (2007, Agustus). Therapeutic bonding in group as an explanatory variable of progress in the social competence of students with learning disabilities university of haifa, Israel. Group Dynamics: Theory,Research, and Practice, American Psychological Association, Vol.11,No.2, 117-128 Sinaga, B.R. (2008). Skizofrenia& Diagnosis Banding.Jakarta.,Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran – Universitas Indonesia, Stuart, G.W. &Laraia, M.T. (2005).Principles and Practice of Psychiatric Nursing, 8th ed. Missouri : Mosby, Inc. Stuart, G.W. (2009). Principles and Practice of Psychiatric Nursing, 9th ed. Missouri : Mosby, Inc. Sudiatmika, I.K., Keliat, B.A.,Wardani, IY., (2011). Pengaruh Cognitive Behaviour Therapy dan Rational Emotive Behaviour Therapy Pada Perilaku Kekerasan Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
dan Halusinasi di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor.Tesis FIK-UI. Tidak dipublikasikan. Suliswati, dkk. (2005). Konsep Dasar keperawatan Kesehatan Jiwa. Cetakan I. EGC. Jakarta. Syahwani.M.,Hamid.A.Y.,Budiharto.,Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Beban Keluarga Dalam Merawat Klien Dengan Perilaku menarik Diri. Tesis FIK-UI. Tidak dipublikasikan. Tarwoto&Wortonah. (2003). Kebutuhan dasar manusia dalam proses keperawatan. Edisi pertama. Jakarta :Salemba Medika Tomey, A.M & Alligood, M.R. (2006). Nursing Theories and Their Work. (6th ed). St. Louis : Mosby Years Book Inc. Townsend, M.C. (2009). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts of Care in Evidence-Based Practice. 6th ed. Philadelphia: F.A. Davis Company Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Utami, T.W, Keliat, B.A, Gayatri.D (2008). Pengaruh Self Help Group terhadap Kemampuan Keluarga dalam Merawat Klien Gangguan Jiwa di Kelurahan Sindang Barang Bogor, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan. Varcarolis, E.M., Carson, V.B., & Shoemaker, N.C. (2006).Foundations of Psychiatric Mental Health Nursing a Clinical Approach.Missouri : Saunders Elsevier Videbeck, S.L. (2008). Buku Ajar KeperawatanJiwa.Jakarta : EGC. Wahyuni, SE., Keliat, B.A., Yusron, N. (2010). Pengaruh Cognitive Behaviour Therapy Terhadap Halusinasi Pasien di Rumah Sakit Jiwa Pempropsu Medan.Tesis FIK-UI. Tidak dipublikasikan. Wardani, Keliat, &Mustikasari. (2003). KarakteristikKlien yang Dirawat di Ruang Model Praktik Keperawatan Profesional Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Makara, Kesehatan, 7 (1). Wheeler, K. (2008). Psychotherapy for the Advanced Practice Psychiatric Nurse. St. Louis : Mosby, Inc. WHO. (2008). Mental health. www.who.int/mental_health/en/investing_in_mnh_final.pdf
Mei
4.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
WHO. (2009). Improving Health System and Service for Mental Helath : WHO Library Cataloguing-in-Publication Data. WHO. (2010). Mental health and development: targeting people with mental health conditions as a vulnerable group: WHO Library Cataloguing-in-Publication Data. Wilkinson. (2007). Diagnosa Keperawatan .Jakarta : EGC. Workshop KeperawatanJiwa FIK UI.(2011). Draft StandarAsuhan Keperawatan Program Spesialis Jiwa.Tidak dipublikasikan. Wardani,I.Y., Hamid.A.Y, Wiarsih.W. (2009). Pengalaman keluarga menghadapi ketidakpatuhan anggota keluarga dengan skizofrenia dalam mengikuti regimen terapeutik: pengobatan. Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Lampiran 1
LAMPIRAN
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Lampiran 1
TERAPI PERILAKU KOGNITIF a. Sesi 1 : Pengkajian Mengungkapkan pikiran otomatis negative tentang diri sendiri, perasaan dan perilaku negatif yang dialami klien yang berkaitan dengan stressor yaitu pengalaman traumatis yang dialami, mengidentifikasi hal positif yang dimiliki, serta latihan satu pikiran otomatis negatif. b. Sesi 2 : Terapi Kognitif Mereview latihan pikiran otomatis yang negatif yang pertama yang sudah dilatih sebelumnya dan melatih untuk mengatasi pikiran otomatis negatif yang kedua. c. Sesi 3 : Terapi Perilaku Mengevaluasi pikiran otomatis negatif yang masih ada, mengidentifikasi perilaku positif yang dimiliki, mengidentifikasi perilaku positif yang baru, menyusun rencana perilaku yang ditampilkan untuk mengubah perilaku negatif yang timbul akibat stressor kejadian traumatis dengan memberikan konsekwensi positif atau konsekuensi negatif jika perilaku dilakukan atau tidak dilakukan. d. Sesi 4 : Evaluasi Terapi kognitif dan perilaku Mengevaluasi kemajuan dan perkembangan terapi, meriview pikiran otomatis negative dan perilaku negatif, memfokuskan terapi, dan mengevaluasi perilaku yang dipelajari berdasarkan konsekwensi yang disepakati e. Sesi 5 : Mencegah Kekambuhan Menjelaskan pentingnya psikofarmaka dan terapi modalitas lainnya disamping terapi perilaku kognitif untuk mencegah kekambuhan dan mempertahankan dan membudayakan pikiran positif dan perilaku positif secara mandiri dan berkesinambungan dalam mengatasi masalah.
Terapi Kognitif a. Sesi Pertama: Identifikasi pikiran otomatis, yaitu dengan mengidentifikasi seluruh pikiran otomatis negatif, berdiskusi untuk 1 pikiran otomatis yang dipilih, memberi tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif pertama dan membuat catatan harian.
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Lampiran 1
b. Sesi Kedua: Penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif, yaitu mengevaluasi kemampuan pasien dalam melakukan tugas mandiri dalam sesi 1 (memberi tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif 1), mendiskusikan cara dan kesulitan pasien dalam menggunakan catatan harian, dan mendiskusikan penyelesaian terhadap pikiran otomatis kedua dengan langkah-langkah yang sama seperti dalam sesi 1. c.
Sesi Ketiga: Manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis yang negatif (ungkapan hasil dalam mengikuti terapi kognitif), yaitu mengevaluasi kemampuan pasien dalam melakukan tugas mandiri sesi kedua di rumah, mendiskusikan penyelesaian terhadap pikiran otomatis ketiga dengan langkah-langkah yang sama seperti dalam sesi 1 – 2, mendiskusikan cara dan kesulitan pasien dalam menggunakan catatan harian, dan diskusikan manfaat dan perasaan setelah pasien mengikuti terapi (ungkapan hasil dalam mengikuti terapi).
d. Sesi Keempat : Support system, yaitu melibatkan keluarga untuk dapat membantu pasien dalam melakukan terapi kognitif secara mandiri.
Terapi Perilaku a. Sesi 1 Membuat kesepakatan perilaku negatif yang akan dirubah, klien dapat menyepakati program terapi token ekonomi untuk merubah perilaku yang negatif ketika muncul halusinasi. Klien dapat melakukan perubahan perilaku yang negatif ke positif. Klien dapat melatih kemampuan positif yang dimiliki dan melaksanakan kemampuan tersebut. b. Sesi 2 Melatih kemampuan klien untuk merubah perilaku yang negatif tersebut, dengan
metode:
terapis
memodelkan/mendemonstrasikan
:klien
melakukan kembali / redemostrasi. Terapi memberikan umpan balik terhadap kemampuan klien yang telah dilakukan dan menjelaskan makna perilaku yang dilatih dan memberikan kesempatan klien untuk bertanya. Terapis memberikan pujian atas kemampuan klien yang dimiliki.
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Lampiran 1
c. Sesi 3 Melatih kemampuan klien yang lain dengan memberikan token ekonomi. Melatih kemampuan klien yang lain untuk merubah perilaku yang negatif tersebut, dengan metode: terapis memodelkan/mendemonstrasikan :klien melakukan kembali / redemostrasi. Terapi memberikan umpan balik terhadap kemampuan klien yang telah dilakukan dan menjelaskan makna perilaku yang dilatih dan memberikan kesempatan klien untuk bertanya. Terapis memberikan pujian atas kemampuan klien yang dimiliki d. Sesi 4 Mengevaluasi hasil dan manfaat dari latihan setiap sesi, terapis meminta klien menyampaikan manfaat apa yang didapatkan klien dalam latihan perilaku yang dorubah dan caranya, memberi pujian atas kemampuan positif dalam hal merubah perilaku yang dimiliki klien. Merencanakan melakukan supervisi yang akan dilakukan untuk melihat kemampuan klien untuk merrubah perilaku yang positif.
Psikoedukasi Keluarga a. Sesi I: Pengkajian Masalah Keluarga Sesi pertama dilakukan untuk menemukan masalah yang ada pada keluarga. Pada sesi ini terapis dan keluarga bersama-sama mengidentifikasi masalah yang timbul di keluarga karena memiliki klien gangguan jiwa.Tindakan ini mengikutsertakan seluruh anggota keluarga yang terpengaruh dan terlibat dalam perawatan klien, terutama caregiver. Hal yang perlu diidentifikasi adalah makna gangguan jiwa bagi keluarga dan dampaknya pada orangtua, anak, saudara kandung, dan pasangan. b. Sesi II : Cara Merawat Klien Gangguan Jiwa Sesi II ini berfokus untuk membahas mengenai masalah yang dialami oleh klien. Keluarga akan berbagi cara merawat klien yang selama ini dilakukan dan kemudian membahas bersama-sama perawat mengenai cara merawat yang baik. Keluarga kemudian dilatih oleh perawat untuk melakukan perawatan langsung pada klien. c. Sesi III : Cara Mengatasi Stres Pada Keluarga (Manajemen Stres)
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Lampiran 1
Stress adalah kondisi ketidakseimbangan yang terjadi saat ada kesenjangan keinginan individu dalam lingkungan internal atau eksternalnya dengan kemampuannya untuk menghadapi keinginan-keinginan tersebut. Stressor adalah semua hal yang dapat menyebabkan stress. Kondisi klien dengan schizophrenia dapat menjadi stressor tersendiri bagi keluarga. Setiap stressor dapat dihadapi dengan memiliki kemampuan koping yang baik. Untuk meningkatkan kemampuan koping yang baik, diperlukan manajemen stress yang tepat. d. Sesi IV : Cara Mengatasi Manajemen Beban (Manajemen Beban) Pada sesi IV ini perawat bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga, membicarakan mengenai masalah yang muncul karena klien sakit dan mencari pemecahan masalah bersama-sama. Pada sesi ini sangat diperlukan kontribusi dari seluruh anggota keluarga untuk memecahkan masalah yang dirasakan keluarga. Beban dapat bersifat subjektif atau objektif. Beban objektif terkait dengan perilaku klien, penampilan peran, efek luas pada keluarga, kebutuhan akan dukungan, dan biaya yang dikeluarkan karena penyakit. Beban subjektif adalah perasaan terbebani yang dirasakan oleh seseorang; bersifat individual dan tidak selalu berhubungan dengan bagian dari beban objektif. e. Sesi
V:
Pemberdayaan
Masyarakat
(PemberdayaanKomunitasUntukMembantuKeluarga) Pada sesi V ini, akan dibahas mengenai pemberdayaan sumber-sumber di luar keluarga, yaitu di komunitas untuk membantu permasalahan di keluarga dengan klien gangguan jiwa. Keluarga yang merawat klien dengan gangguan jiwa seringkali merasa malu, merasa dikucilkan dan merasa sendiri dalam merawat. Sumber-sumber dukungan yang sebelumnya ada dapat hilang atau terbatas karena kebutuhan untuk merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa. Keluarga dapat merasa malu atau takut jika anggota keluarga yang sakit menunjukkan perilaku yang tidak pantas pada orang lain. Semua aspek dari beban subjektif dapat membatasi akses pada sistem dukungan sosial. Keluarga seperti ini memerlukan bantuan untuk membangun kembali dukungan sosialnya. Komunitas memiliki pengaruh yang besar dalam rehabilitasi dan pemulihan klien dengan gangguan jiwa. Pemberi layanan kesehatan, termasuk perawat, harus menjalani peran pemimpin dalam mengkaji keadekuatan dan keefektifan sumber-sumber di komunitas dan
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013
Lampiran 1
dalam merekomendasikan perubahan untuk memperbaiki akses dan kualitas dari layanan kesehatan mental.
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013