WARUNG HIDANGAN ISTIMEWA KAMPUNG (HIK) SEBAGAI RUANG PUBLIK (Studi Kasus Tentang Karakteristik Pengunjung, Obrolan dan Interaksi Antar Pengunjung Serta Penjaja HIK Di Sepanjang Jalan Dr Rajiman, Solo)
SKRIPSI Oleh: Dian Kristiyawati Utomo K8405012
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
WARUNG HIDANGAN ISTIMEWA KAMPUNG (HIK) SEBAGAI RUANG PUBLIK (Studi Kasus Tentang Karakteristik Pengunjung, Obrolan dan Interaksi Antar Pengunjung Serta Penjaja HIK Di Sepanjang Jalan Dr Rajiman, Solo)
Oleh: Dian Kristiyawati Utomo K8405012
SKRIPSI
Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
2
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini Telah Disetujui untuk Dipertahankan di Hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Surakarta,
Desember 2009
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. Basuki Haryono, M. Pd
Atik Catur Budiati, S. Sos, M. A
NIP. 19500225 197501 1 002
NIP. 132 308 880
3
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan.
Pada hari
:
Tanggal
:
Tim Penguji Skripsi: Nama Terang
Tanda tangan
Ketua
: Drs. Noor Muhsin Iskandar, M. Pd
( ........................ )
Sekretaris
: Drs. Haryono, M. Si
( ........................ )
Anggota I
: Drs. H. Basuki Haryono, M. Pd
( ........................ )
Anggota II
: Atik Catur Budiati, S. Sos, M. A
( ........................ )
Disahkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,
Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd NIP. 19600727 198702 1 001
4
ABSTRAK Dian Kristiyawati Utomo, K8405012, WARUNG HIDANGAN ISTIMEWA KAMPUNG (HIK) SEBAGAI RUANG PUBLIK (Studi Kasus tentang Karakteristik Pengunjung, Obrolan dan Interaksi antar Pengunjung serta Penjaja HIK Di Sepanjang Jalan Dr Rajiman, Solo). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui HIK sebagai ruang publik yang di lihat dari (1) karakteristik pengunjung yang datang ke HIK (2) materi obrolan yang dilakukan oleh sesama pengunjung ataupun antara pengunjung dan penjaja HIK (3) interaksi yang terjadi sesama pengunjung serta antara pengunjung dan penjaja HIK. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan studi kasus analisis jamak. Sumber data dalam penelitian ini berupa manusia (informan), kejadian atau peristiwa dalam masyarakat, tempat dan lokasi, dan dokumen benda-benda lain yang menunjang penelitian ini. Pengumpulan data menggunakan observasi langsung, wawancara, dokumentasi. Untuk mencari kevaliditasan data menggunakan trianggulasi sumber (data) dan metode. Teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan (1) sifat demokratis HIK sebagai ruang publik yang melihat kesetaraan diantara keanekaragaman pengunjung HIK baik itu dari atribut sosial, budaya, ekonomi serta keragaman komunikasi membuat semua orang saling menghormati dan menghargai. Komunikasi yang terjalin di HIK dapat di lihat melalui kegiatan obrolan dalam berbagai topik antara lain politik, ekonomi, sosial, budaya ataupun hanya sekedar curhat. Di lihat dari sifatnya yang bebas dalam obrolan membuat HIK memiliki fungsi mereduksi berbagai ketegangan-ketegangan sosial untuk menghilangkan kejenuhan atau kepenatan setelah melakukan berbagai aktivitas (sebagai tempat refreshing). (2) Sifat bermakna dari HIK sebagai ruang publik dapat di lihat dari proses interaksi yang terjalin baik itu interaksi antara penjaja HIK dan pengunjung ataupun antar pengunjung HIK. Proses interaksi yang terjadi di HIK dapat berupa kerjasama dan persaingan. (3) Sifat responsif HIK sebagai ruang publik dapat di peroleh dari respon pengunjung ataupun penjaja HIK terhadap interaksi yang terjalin di HIK serta topik obrolan yang sedang di bicarakan. Respon pengunjung ataupun penjaja HIK dapat berupa kerjasama ataupun persaingan, sedangkan respon terhadap topik obrolan terjadi secara pasif atau aktif. Respon obrolan terjadi secara aktif jika obrolan terjalin lancar dan menyenangkan karena orang yang merespon dapat menanggapinya. Berbeda dengan respon yang terjalin pasif, obrolan akan terhenti dan di ganti dengan topik obrolan lainnya yang lebih mudah di pahami oleh semua orang.
5
ABSTRACT Dian Kristiyawati Utomo, K8405012, WARUNG HIDANGAN KAMPUNG (HIK) AS A PUBLIC SPHERE (Case Study of the Characteristics of Consuments, Communication and Interaction Between HIK Consument and Salesperson Along The Way of Dr. Rajiman Street, Solo). Essay, Surakarta: Teaching and Education Science Faculty of Sebelas Maret University-Surakarta, 2009. This study aims to determine HIK as public sphere in view of (1) the characteristics of visitors who come to HIK (2) communication material by fellow consuments or between HIK consuments and salespersons (3) interactions that occur between HIK consument and between consuments and salespersons. This research uses a qualitative approach method with a case study analysis of multiple. Sources of data in the study of human form (the informant), an event or events in the community, places and location, and documents other things that support this research. The data was collected using direct observation, interviews, documentation. To search for data using validity Triangulation sources (data) and methods. Data analysis techniques use an interactive analysis model. Based on research results, it can be concluded (1) The character of HIK as democratic public sphere which sees equality among the HIK consuments diversity whether from the social, cultural, economics autributes and also the communication diversity which makes everyone respecting and appreciating each other. The communication happened in HIK could be seen from it’s various to chats like politic, economy, social, culture or just sharing. It is seen from it’s characteristics which are free in it’s chat make HIK functioned to reduce various social tensions to erase boredom and weariness after doing various activities (as refreshing place). (2) The character of HIK as meaningful public sphere can be viewed from the process of interaction that exists that HIK interaction between consuments or between consuments and salespersons. The process of interaction that occurred in HIK can be better co-operation and competition. (3) The character of HIK responsive as a public sphere can be obtained from the response HIK consumens or salespersons of interaction that exists in the HIK and communication topics that are in the talking. Response HIK consuments or salespersons may include cooperation or competition, while the response to the topic of communication occurs passively or actively. Response to actively chatter occurs when the chat woven smooth and enjoyable for people who can respond, give respond. In contrast to the passive response is established, the chat will be stopped and replaced with other chat topics which is easier to be understood by anyone.
6
MOTTO
“Komunikasi adalah sesuatu yang mudah, susahnya ialah apabila kita tidak menyebutnya dengan perkataan yang mudah” (T.S Matthews)
“Suatu lapisan masyarakat hendaknya dileburkan menjadi satu melalui kesadaran bersama” (Sri Sathya Sai Baba)
“Rasa kebersamaan sangat perlu dalam menjaga hubungan timbal balik” (Anonim)
“Rasa takut terhadap manusia jangan sampai menghalangi kamu untuk menyatakan apa yang sebenarnya jika memang benar kamu melihatnya, menyaksikan atau mendengarnya” (HR Ahmad)
7
PERSEMBAHAN
Segala syukur kehadirat Allah SWT Karya ini dipersembahkan kepada: Ibu dan Bapak tercinta atas doa dan pengorbanannya Kakakku tersayang, Ima Sahabat-sahabatku, Teman-teman Sos-Ant’05 dan almamater
8
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat karunia-Nya dan kemudahan dalam penyelesain skripsi ini untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan. Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidaklah berjalan dengan mudah, akan tetapi banyak hambatan yang menyertainya. Oleh karena itu sudah sepantasnya peneliti menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang peneliti hormati: 1. Bapak Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta; 2. Bapak Drs. H. Syaiful Bachri, M. Pd selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta; 3. Bapak Drs. H. MH Sukarno, M. Pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi-Antropologi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sebelas Maret Surakarta; 4. Bapak Drs. H. Basuki Haryono, M. Pd selaku Pembimbing I yang dengan sabar dan penuh perhatian memberikan pengarahan dan bimbingannya; 5. Ibu Atik Catur Budiati, S. Sos, MA selaku Pembimbing Akademik dan Pembimbing II yang dengan sabar dan penuh perhatian memberikan pengarahan, masukan serta saran yang membangun demi penyempurnaan penulisan skripsi; 6. Segenap
Bapak/Ibu
Dosen
Program
Studi
Pendidikan
Sosiologi
Antropologi yang telah memberikan ilmu kepada peneliti selama di bangku kuliah; 7. Bapak Kepala Kantor Kesatuan Bangsa Dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang dan Linmas) Kota Surakarta beserta stafnya atas pelayanan dalam pembuatan surat ijin penelitian;
9
8. Bapak Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Surakarta beserta stafnya atas pelayanan dalam pembuatan surat ijin penelitian; 9. Bapak Kepala Dinas Pasar Kota Surakarta beserta stafnya atas ijin yang diberikan untuk mengadakan penelitian serta informasi yang diperlukan dalam penyusunan skripsi; 10. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Semoga amal kebaikan tersebut mendapatkan balasan dari Allah SWT. Peneliti menyadari akan adanya kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Surakarta, Desember 2009
Peneliti
10
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ............................................................................
i
HALAMAN PENGAJUAN .................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................
iv
HALAMAN ABSTRAK ......................................................................
v
HALAMAN MOTTO ...........................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...........................................................
viii
KATA PENGANTAR...........................................................................
ix
DAFTAR ISI..........................................................................................
xi
DAFTAR TABEL .................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR.............................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xvi
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah........................................................
1
B. Perumusan Masalah ..............................................................
6
C. Tujuan Penelitian ..................................................................
6
D. Manfaat Penelitian ................................................................
7
BAB II LANDASAN TEORI................................................................
8
A. Tinjauan Pustaka ...................................................................
8
B. Penelitian yang Relevan........................................................
27
C. Kerangka Berfikir .................................................................
31
BAB III METODE PENELITIAN.......................................................
34
A. Tempat dan Waktu Penelitian ...............................................
34
B. Bentuk dan Strategi Penelitian..............................................
35
C. Sumber dan Jenis Data..........................................................
38
11
D. Teknik Pengumpulan Data....................................................
40
E. Teknik Analisis Data.............................................................
42
F. Validitas Data........................................................................
43
G. Prosedur Penelitian ...............................................................
45
BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN ………………………...
47
A. Deskripsi Lokasi Penelitian ..................................................
47
B. Deskripsi Data Penelitian......................................................
51
1. Karakteristik Pengunjung HIK........................................
52
2. Obrolan Di HIK ..............................................................
62
3. Interaksi yang Terjadi Di HIK ........................................
76
C. Pembahasan Hasil Penelitian ................................................
79
1. HIK Sebagai Wahana Demokratis ..................................
87
a. Diferensiasi Pengunjung HIK.....................................
88
b. Strata Sosial Pengunjung HIK ....................................
92
c. Keanekaragaman Obrolan Yang Terjadi Di HIK .......
93
2. Kebermaknaan Di HIK ..................................................
98
3. HIK Bersifat Responsif...................................................
103
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN........................
106
A. Kesimpulan ...........................................................................
106
B. Implikasi................................................................................
108
C. Saran......................................................................................
109
DAFTAR PUSTAKA............................................................................
111
LAMPIRAN...........................................................................................
115
12
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 Waktu dan Kegiatan Penelitian......................................
35
2. Tabel 2 Kerangka Observasi .......................................................
152
13
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1 Kerangka Berfikir..............................................................
31
2. Gambar 2 Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif ....
43
14
DAFTAR LAMPIRAN
1. Field Note..........................................................................................
115
2. Interview Guide…………………………………………………….
151
3. Foto-foto Penelitian...........................................................................
154
4. Matrik Analisis Penelitian.................................................................
159
5. Peta Kota Solo...................................................................................
170
6. Peta Jalan Dr Rajiman.......................................................................
171
7. Surat Permohonan Ijin Menyusun Research Kepada Rektor UNS...
172
8. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ........................................
173
9. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi Kepada PD I...................
174
10. Surat Rekomendasi Research dari Bappeda Kota Surakarta ............
175
11. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian………………….
176
12. Curriculum Vitae...............................................................................
177
15
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Keterpurukan perekonomian yang di alami saat ini termasuk Indonesia telah mengakibatkan meningkatnya jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan bertambahnya pengangguran serta berbagai masalah sosial lainnya. Kondisi perekonomian seperti ini mengakibatkan sektor formal mengurangi penerimaan pasokan tenaga kerja, bahkan pada pemutusan hubungan kerja (mem-PHK) pekerjanya. Hal ini membuat sektor informal menjadi salah satu alternatif tumpuan dan harapan bagi masyarakat. Keadaan ini menyebabkan menjamurnya sektor informal, oleh karena itu sektor ini diharapkan dapat menjadi sektor yang dapat menyerap angka pengangguran dalam masyarakat. Kenyataan diatas diperkuat oleh ”hasil survei yang sudah dilakukan di berbagai kota di negara sedang berkembang termasuk Indonesia, yaitu kurang lebih 20%-70% kesempatan kerja terdapat dalam kegiatan ”kecil-kecilan” dengan ”label” sektor informal” (Jefta, 2004: 11). Kegiatan sektor informal yang menonjol biasanya terjadi di kawasan sangat padat penduduk. Disitu pula pengangguran menjadi masalah utama. Apalagi perkembangan sektor informal yang tidak terkendali dikarenakan mudahnya masyarakat untuk memasuki kegiatan di sektor tersebut. Selain itu dalam melakukan kegiatan usaha di sektor informal tidaklah dibutuhkan persyaratan yang ketat seperti tingkat pendidikan, banyaknya modal, keahlian khusus serta berbagai prosedur perijinan formal yang rumit dan susah didapat. Sebenarnya kemudahan-kemudahan prasyarat untuk memasuki kegiatan usaha di sektor informal inilah yang menyebabkan sektor ini berkembang di luar batas kendali. Walaupun begitu kegiatan di sektor ini juga merupakan peluang bagi masyarakat untuk berkecimpung di dalamnya dengan dukungan kemauan, sedikit pengetahuan, keterampilan, peralatan yang sederhana serta keuletan berusaha maka sektor informal
mendukung perekonomiann 16
negara.
Kemudahan-
kemudahan inilah yang membuat masyarakat tertarik menggeluti kegiatan sektor informal ini terutama pedagang kaki lima (PKL). PKL merupakan jenis pekerjaan yang penting dan relatif khas dalam sektor informal di daerah perkotaan. Kekhasan tersebut tersebut karena kehadiran PKL merupakan salah satu bagian dari sektor informal yang banyak menyerap tenaga kerja. PKL merupakan unit usaha kecil yang melakukan usaha untuk menciptakan lapangan kerja dan penghasilan bagi mereka, sehingga unit usaha ini telah mampu menunjukkan diri sebagai usaha mandiri yaitu kegiatan usaha yang dilakukan sendiri. Kategori PKL disini adalah mereka yang melakukan kegiatan usahanya dengan berjualan di sebagian jalan atau trotoar dan biasanya mengambil tempat atau lokasi di daerah-daerah keramaian umum seperti di depan pertokoan, pinggir jalan, terminal, sekolahan/kampus, tempat pemberhentian kendaraan, rumah sakit, tempat ibadah dan lainnya. Perkembangan PKL tidak pernah ada hentinya seiring dengan pertambahan penduduk. Hal ini membawa akibat positif dan negatif, positifnya perdagangan terlihat dari fungsinya sebagai alternatif dalam mengurangi jumlah pengangguran serta dapat melayani kebutuhan masyarakat khususnya bagi golongan ekonomi menengah kebawah. Negatifnya sendiri dapat menimbulkan masalah dalam pengembangan tata ruang kota seperti menganggu ketertiban umum, kesemrawutan dan kemacetan lalu lintas, problema penataan dan kebersihan lingkungan, merusak keindahan. Walaupun terkadang dianggap mengganggu pemandangan kota, keberadaan PKL tetap nilai perlu. Selain sebagai salah satu solusi pengangguran, keberadaan PKL turut menyumbang pendapatan daerah. Pengusaha wedangan atau ada yang menyebutnya HIK adalah merupakan rumpun pedagang kaki lima (PKL) termasuk dalam kategori sektor perekonomian informal yang spesifik bagi Kota Solo. Selain sering disebut dengan HIK ada istilah unik lainnya yaitu warung ceret telu (disebut demikian karena di gerobag selalu ada tiga ceret/ketel yang jumlahnya tiga buah), warung kucingan (karena lokasinya yang kebanyakan di gang-gang kampung serta karena yang di jual di warung HIK identik dengan nasi kucing yaitu nasi lauk 17
bandeng/ikan plus sambal). Di Solo warung seperti ini lebih di kenal dengan nama HIK. HIK yang merupakan kepanjangan dari “Hidangan Istimewa Kampung” adalah semacam warung makan yang berupa gerobak kayu yang ditutupi dengan kain terpal plastik dengan warna khas, biru atau oranye menyolok. Warung HIK inipun juga “berwujud” gerobak kayu berisi aneka makanan dan tiga buah ceret, beratap tenda plastik warna oranye atau biru yang dikelilingi kursi kayu panjang dan diterangi senthir (lampu minyak). “ Gerobak berfungsi sebagai meja makan sekaligus etalase yang mendisplay beraneka macam makanan” (Trah, 2008). Awal berdirinya HIK sekitar tahun 1950-an dari sesosok Mbah Pawiro/Pairo yang berasal dari Cawas, Klaten. Beliau yang merantau dari desanya menuju kota menggelar dagangan di sekitar emperan Stasiun Tugu Yogyakarta. Pada saat itu Mbah Pawiro/Pairo berdagang masih menggunakan pikulan (angkring yang dipikul di pundak). Saat itu pedagang seperti Mbah Pawiro/Pairo dikenal dengan pedagang ting-ting atau HIK. Hal ini dikarenakan biasanya mereka ”bedagang berkeliling kampung dengan meneriakkan kata "hhiikk... hiiiyyeeekkk" serta menghiaskan dagangannya dengan hiasan lentera (lampu ting). Tetapi di Surakarta sendiri nama atau sebutan HIK bermula dari tradisi "Malam Selikuran" Keraton Surakarta” (Nn, 2008). Pada dasarnya HIK adalah penjual wedang (minuman panas) dan jajanan maupun penganan yang cocok untuk mendampingi minuman panas itu. Di masa lalu, pedagang HIK (hampir semuanya laki-laki), memikul dagangannya menyusuri jalan-jalan sempit di kampung-kampung. Satu pikulan berisi air panas yang terus dijaga mendidih. Di pikulan lain penuh jajanan seperti pisang goreng, pisang rebus, singkong goreng, dan banyak macam lainnya. Untuk menandai kehadirannya, si pedagang tiap sebentar meneriakkan kata “HIK !”. Peminat akan keluar rumah, memanggil si penjaja, dan memesan minuman serta mengambil jajanan yang disukai. Disini semua tetangga juga ikut berkumpul, minum dan makan bersama-sama, sambil membicarakan bahan pembicaraan tertentu seperti obrolan tentang ekonomi, sosial ataupun politik, sehingga terjadi ”obrolan yang bebas dan tidak terarah sehingga sering dikatakan mengobrol ngalor-ngidul dengan gayeng” (Nn, 2008). 18
Perkembangannya, warung HIK inipun mengalami kemajuan yang pesat, baik dalam cara berdagang yang dulu dengan dipikul walaupun juga ada yang memakai gerobak, sekarang lebih menetap di pinggiran jalan atau trotoar jalan dengan menggunakan gerobak. Bahkan dari dahulu jualannya hanya pada malam hari saja. Saat ini HIK dapat dijumpai baik siang, sore ataupun malam hari. Apalagi tentang prestise tempat makan seperti HIK ini yang dulu sebagai ikon kaum bawah sekarang menjadi lebih menarik perhatian dari seluruh golongan di dalam masyarakat tanpa memandang status dan jabatan. Perubahan yang terjadi pada masyarakatlah yang membuat seluruh sistem yang didalamnya juga mengikuti perubahan tersebut. Seperti pergeseranpergeseran nilai dalam masyarakat juga berubah seiring dengan pertumbuhan kapitalisme, dimana transformasi kapitalisme mengakibatkan kecenderungan bagi masyarakat untuk mengikuti pola perubahan yang lebih mencirikan materialisme ataupun hedonisme. Perubahan yang terjadi menggeser pola pemikiran masyarakat tentang suatu barang ataupun kebutuhan hidupnya. Salah satu contoh fenomena yang terjadi saat ini adalah terjadinya pergeseran fungsi makan dari pemenuhan kebutuhan biologis menjadi pemenuhan akan kebutuhan sosial seperti perubahan tentang memilih lokasi atau tempat makan. Padahal tujuan utama dari makan ini sendiri sebenarnya hanyalah untuk mengisi perut dan menghilangkan rasa lapar. Namun kini makan bukan hanya untuk kepentingan perut saja melainkan lebih pada kebutuhan simbolis, sehingga makan tidak hanya bersifat fungsional untuk mengisi perut namun juga memenuhi lifestyle. Seperti yang di ungkapkan oleh Abdullah yaitu : “Makan bukan lagi proses pemuasan kebutuhan biologis, tetapi merupakan kebutuhan simbolis yang dikaitkan dengan jenis makanan, tempat makan, dan suasana yang dihadirkan pada saat makan. Tata makan dan seni di dalam praktik makan telah membentuk suatu lingkaran nilai yang menjauhkan praktik makan dari nilai esensialnya.” (Irwan, 2006: 114)”. Akhir-akhir ini masyarakat tidak lagi mempermasalahkan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan simbolis yang sifatnya mewah (untuk memenuhi kebutuhan lifestyle) belaka, namun lebih tertarik kepada hal-hal yang berbau 19
tradisional ataupun bersifat kebersamaan. Perubahan kecil inilah yang mengakibatkan kebutuhan hidup seperti makan pun juga mengalami perubahan. Jika dilhat sekarang ini kebanyakan masyarakat lebih tertarik makan di warung lesehan atau warteg bahkan sampai warung HIK yang terkenal dengan makanan sederhana atau kampungan, hal ini disebabkan kerena dengan makan di tempat seperti itu dapat melepaskan beban (tidak terbebani segala macam tata nilai dan tata norma seperti saat makan di restoran-restoran/café-café). Kini warung-warung lesehan, warteg, HIK telah menjadi sasaran dari berbagai golongan strata sosial dan ekonomi yang berbaur menjadi satu tanpa mempermasalahakan statusnya. Hal ini disebabkan tempat-tempat seperti warteg, HIK, warung lesehan juga merupakan ranah atau ruang publik layaknya taman kota, halte, pasar dan sebagainya. Semuanya dikarenakan selain letaknya yang mengambil sebagian trotoar jalan (yang notabene berfungsi sebagai ruang publik) sehingga tempattempat tersebut juga dirasa sebagai tempat rekreasi dari pada tempat untuk makan, atau sebagai tempat untuk melebur menjadi satu dengan orang lain untuk bebas dari berbagai aktivitas sehari-hari layaknya kegunaan ruang publik. Hal seperti ini terjadi karena terciptanya jalinan yang lebih bebas antara masyarakat dan publik sejak akhir abad ke-19 sampai abad ke-20 berakibat pada matinya ruang publik liberal dan munculnya ruang publik yang lebih demokratis, sehingga masyarakat tidak lagi diawasi oleh pemerintah dalam segala aspek. Hanya saja pemerintah disini hanya berfungsi sebagai penyedia tempat karena walaupun sudah bebas, disini pemerintah sebagai penguasa suatu tempat (Negara) dengan segala tata peraturannya. Di Kota Solo sendiri banyak tersebar PKL yang menjajakan barang dagangan masing-masing. Menjamurnya PKL ini terlihat saat melintasi ruas-ruas jalanan di Solo yang banyak sekali terpampang warung-warung kecil yang letaknya di pinggir-pinggir jalan baik itu pagi, siang, sore ataupun malam hari. Khususnya mengenai warung HIK, bila menjelang malam jumlah mereka terus bertambah sampai ratusan dan menghiasi kanan-kiri jalan hampir di setiap ruas jalan kota aupun jalan-jalan kampung dengan menu khas masing-masing. Salah satu daerah di Solo yang sering dipergunakan para PKL yaitu di sepanjang Jalan 20
Dr Rajiman. Daerah sekitar Jalan Dr Rajiman merupakan areal perekonomian di Kota Solo apalagi karena banyaknya swalayan dan toko-toko disana maka daerah tersebut juga disebut daerah pertokoan Pecinan-nya Solo. Selain itu karena sifatnya yang strategis maka menjadi alternatif utama bagi pedagang terutama penjaja HIK untuk menggelar dagangan mereka. Berdasarkan indikator-indikator dalam latar belakang diatas maka penulis ingin tuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul : WARUNG
HIDANGAN ISTIMEWA KAMPUNG (HIK) SEBAGAI RUANG PUBLIK (Studi Kasus tentang Karakteristik Pengunjung, Obrolan dan Interaksi antara pengunjung serta penjaja HIK Di Sepanjang Jalan Dr Rajiman Solo)
B. PERUMUSAN MASALAH
Proses terbentuknya HIK sebagai sektor informal merupakan bagian dari aktivitas malam yang suasananya tradisional, apalagi HIK disini digunakan sebagai salah satu sarana berinteraksi warga Solo. Dilihat dari hal tersebut maka menarik untuk mengambil perumusan masalah “Bagaimana proses terbentuknya HIK sebagai ruang publik bagi masyarakat kota Solo? Dalam penelitian ini, untuk melihat HIK sebagai ruang publik dibatasi oleh tiga (3) hal yaitu: a. Bagaimana karakteristik pengunjung yang datang ke HIK? b. Apa saja materi obrolan yang dilakukan oleh sesama pengunjung ataupun antara pengunjung dan penjaja HIK? c. Bagaimana terjadinya proses interaksi yang terjadi sesama pengunjung serta pengunjung dan penjaja HIK?
C. TUJUAN PENELITIAN Dari perumusan diatas maka tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui HIK sebagai ruang publik yang dilihat dari: a.
Karakteristik pengunjung yang datang ke HIK.
21
b.
Materi obrolan yang dilakukan oleh sesama pengunjung ataupun antara pengunjung dan penjaja HIK.
c.
Interaksi yang terjadi sesama pengunjung serta pengunjung dan penjaja HIK.
D. MANFAAT PENELITIAN Dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk : 1. Manfaat Teoritis a. Untuk mengidentifikasi keragaman karakteristik pengunjung yang datang ke HIK sebagai bentuk kedemokratisan ruang publik. b. Mengidentifikasi materi obrolan yang dilakukan oleh sesama pengunjung ataupun antara pengunjung dan penjaja HIK sebagai bentuk proses interaksi dan menggambarkan sifat kedemokratisan dan kebermaknaan dalam ruang publik. c. Mengidentifikasi interaksi yang terjadi sesama pengunjung serta pengunjung dan penjaja HIK sebagai bentuk responsif dari ruang publik. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan bagi masyarakat, terutama tentang salah satu ruang publik yang masih bersifat tradisional seperti warung hidangan istimewa kampung (HIK) yang memegang adanya kebersamaan baik antar para pengunjung ataupun pengunjung dengan penjaja HIK, serta untuk mengetahui proses interaksi yang terjadi di HIK. Apalagi karena sifatnya yang tradisional sehingga HIK merupakan bentuk pelestarian kebudayaan bangsa lewat sajian makanan tradisional yang dijajakan disana. Selain itu sebagai salah satu wacana bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan suatu pekerjaan di bidang informal salah satunya pedagang kaki lima (PKL) terutama warung HIK agar lebih dikembangkan karena HIK sendiri juga merupakan suatu cara pelestarian kebudayaan terutama tentang makanannya walaupun merupakan menu yang ala kadarnya dan murah meriah. Apalagi karena warung HIK adalah identitas budaya Solo.
22
BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA Di kota-kota besar kawasan Jawa seperti Semarang, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta dan Solo pasti sudah terbiasa melihat warung-warung yang menjajakan makanan tradisional dengan sebutan warung angkringan. Warung angkringan mempunyai banyak nama samaran seperti warung kucingan, atau ceret telu, lesehan, ataupun HIK demikian orang menamai tempat ini. Angkringan juga disebut ceret telu sebab gerobag yang digunakan untuk menjajakan berbagai makanan diatasnya juga berfungsi untuk merebus minuman dengan menggunakan tiga buah ceret (ketel). Selain itu disebut warung kucingan karena jajanan yang disediakan disana khas dengan nasi kucing (nasi putih dengan lauk ikan banding dan sambal), sedang disebut lesehan karena kebanyakan angkringan disediakan tikar untuk duduk yang dalam bahasa Jawa disebut lesehan. Di Solo warung angkringan lebih dikenal dengan sebutan “HIK” ada yang mengatakan itu kepanjangan dari “Hidangan Istimewa Kampung”. Sedangkan angkringan berasal dari kata bahasa Jawa “angkring” yang artinya duduk santai dengan melipat satu kaki ke kursi atau berasal dari kata "angkring" yang berasal dari gerobak jualan yang dipanggul (angkring) atau bisa juga berarti malangkring (nongkrong dengan menaikkan salah satu kaki diatas kursi). Sedangkan sebutan warung lesehan karena warung ini juga menyediakan tempat bagi pembeli untuk makan yang hanya beralaskan tikar, sehingga pembeli harus rela duduk di bawah atau lesehan (dalam bahasa Jawa). Awal perkembangan warung HIK ini sangat menarik, yang mana sebelumnya penjaja HIK menjual makanan/jajanannya dengan cara dipikul (asongan) memakai angkring berkeliling keluar-masuk kampung (dari satu kampung ke kampung lainnya) dan kadang dijajakan dengan penanda suara yang khas berupa teriakan si pedagang dengan vokal keras. Perkembangan HIK pasca krisis ekonomi tahun 1997 membawa perubahan yang sangat kentara yaitu HIK kebanyakan tidak lagi dijajakan secara berkeliling, tetapi sudah menetap dengan
23
sarana gerobak dan penerangan seadanya berupa lampu minyak atau theplok atau senthir. Barang dagangan yang disajikan antara lain sega (nasi) kucing dengan sambel trasi dan sedikit ikan asin, berbagai gorengan seperti tahu goreng, tempe goreng, bakwan, sate usus, cakar ayam, telor puyuh dan tentu saja minuman hangat seperti kopi, teh, jahe sampai susu. Meskipun sekarang sudah ada modifikasi warung HIK dengan kelas yang lebih "mewah" dengan suasana layaknya di restoran atau café-café. HIK adalah identitas budaya Kota Solo sehingga kalau belum santap makan malam di sana rasanya belum jadi wong Solo. Usaha kaki lima angkringan khususnya HIK memang berkembang pesat di Kota Solo dan Yogyakarta. Di setiap ruas jalan utama maupun gang kampung dapat dengan mudah ditemukan pedagang yang menjual nasi kucing dan berbagai lauk sederhana pendukungnya. Bahkan dulu ”warung ini dikenal juga dengan warung remang karena hanya buka pada malam hari dengan penerangan lampu senthir” (Nn, 2008). Warung HIK pada dasarnya adalah tempat menjual wedang (minuman) dan jajanan maupun penganan yang cocok untuk mendampingi minuman panas itu. Di masa lalu, pedagang HIK atau angkringan (hampir semuanya laki-laki), memikul dagangannya menyusuri jalan-jalan sempit di kampung-kampung. Satu pikulan berisi air panas yang terus dijaga mendidih. Di pikulan lain penuh jajanan, seperti: pisang goreng, pisang rebus, singkong goreng, dan banyak macam lainnya. Untuk menandai kehadirannya, pedagang tiap sebentar meneriakkan kata “HIK!”. Peminat akan keluar rumah, memanggil penjaja, dan memesan minuman serta mengambil jajanan yang disukai. ”Para tetangga pun akan ikut berkumpul, minum dan makan bersama-sama, sambil mengobrol ngalor-ngidul dengan gayeng” (Nn, 2008). Kini mereka menempatkan dagangannya pada sebuah gerobak, mendorong gerobak itu ke satu pojok kampung, dan mangkal di sana menunggu pelanggannya. Para pedagang HIK bisaanya muncul sejak senja hari, dan terus berdagang hingga sekitar pukul tiga dinihari. HIK bukan sekadar tempat berjualan minuman
dan
jajanan,
melainkan
sebuah
24
lembaga rakyat
yang
telah
mendenyutkan Solo setiap malam, oleh karena itu dibawah ini akan dibahas tentang:
1. HIK Sebagai Sektor Informal Warung HIK sebagai bentuk dari sektor informal yang bentuknya pedagang kaki lima (PKL) merebak dari dualisme ekonomi di Indonesia, dimana munculnya dilema ekonomi adalah sebagai dampak dari makin kuatnya proses modernisasi yang bergerak menuju sifat-sifat yang dualistis antara sektor ekonomi formal dan informal. Sektor informal ini seringkali juga dipandang sebelah mata dalam kebijakan pembangunana di Indonesia. Selain itu, sektor informal juga disebut sebagai potret kegagalan proses transformasi struktur ekonomi di Indonesia dari pertanian menjadi industri yang terlihat semakin langkanya lahanlahan pertanian di pedesaan. Di mana perubahan ini dapat di lihat dari banyaknya masyarakat yang beralih profesi ke pekerjan sektor informal. Dilihat dari hari kehari ”sektor informal mengalami peningkatan apalagi hal ini didukung oleh suatu survei yang mengatakan bahwa penyerapan tenaga kerja pada sektor ini bertambah 2,71%” (Anton, 2006). Fenomena ini terjadi karena terbatasnya lapangan kerja dan industrialisasi yang terpusat di daerah perkotaan, jadi berdampak pada tenaga kerja yang terampil saja yang dapat memasuki sektor formal sementra di sektor informal mengalami peningkatan dalam kapasitas, intensitas dan jenis kegiataannya. “Istilah sektor informal pertama-tama dilontarkan oleh Hart tahun 1971 dengan menggambarkan sektor informal sebagai bagian dari angkatan kerja di kota yang berada diluar pasar tenaga kerja yang terorganisir” (Breman dalam Chris Maning dan Tadjuddin Noer Effendi, 1996: 138). Hal sama juga diungkapkan dalam European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences oleh Rufus bahwa “Konsep “sektor informal” ditemukan pada tahun 1970an,… yang mana sektor informal adalah suatu badan yang tidak terorganisasi (tidak tersusun), kebanyakan menurut perundang-undangan negara, tetapi tidak teregistrasi oleh pemerintah (The concept of “informal sector” since its invention
25
in the 1970s…the informal sector is unorganized, unregulated and mostly legal, but unregistered” (Akintoye, 2008: 99). “Sethurman juga ikut memperkenalkan konsep sektor informal melalui serangkaian penelitian yang mengungkapkan secara lebih terinci tentang sektor perdagangan dan jasa yang menggelembung dalam jumlah besar, tetapi berskala kecil seperti PKL” (Didik, 1994: 26). Hal serupa juga diungkapkan oleh Evers yaitu: “...sektor informal didefinisikan sebagai bidang di mana produksi barang dan jasa pada umumnya berada di luar kontrol pemerintah dan tidak terdaftar. Pedagang kaki lima, usaha kecil yang tenaga kerjanya anggota keluarga sendiri, tukang becak, tukang semir sepatu dan pemulung dianggap sebagai perwujudan sektor informal ini (Hans-Dieter Everes dan Rudiger Korff, 2002: 234-235)”. Dari berbagai jenis pekerjaan di sektor informal yang paling dominan aktivitasnya adalah PKL, karena merupakan pekerjaan yang paling nyata dan banyak dari sektor ini sehingga istilah sektor informal sering diidentikkan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh PKL. “PKL sebagai satuan tenaga kerja di sektor informal menduduki tempat terbanyak dalam hal jumlah angkatan kerja dan keterlibatan mereka di sektor jasa dan perdagangan” (Cahyono, 1983: 79). Dimana PKL ini sangat beragam bentuk dan jenisnya dari hari-ke hari seperti pedagang dorongan dari yang menjual makanan jadi sampai pada penjual waralaba di pinggir-pinggir jalan, hal ini seperti yang dikemukakan oleh Gary S. Fields bahwa, “….sektor informal mempunyai aktivitas dengan akses yang bebas seperti menjual dagangannya di jalan-jalan (PKL) dan jasa dalam skala kecil yang mendukung mereka untuk mencari uang tambahan, karena pekerjaan seperti ini lebih baik dari pada menjadi pengangguran (…the informal sector has free-entry activities such as street-vending and small scale services that enable those who do such work to eke out a meager existence, which they do because it is better for them than being unemployed (Gary S. Fields, 2007: 3)” Menurut International Labor Organization (ILO) mendefinisikan, “sektor informal sebagai sektor yang mudah ntuk dimasuki oleh pengusaha pendatang baru, menggunakan sumber-sumber ekonomi dalam negeri, dimiliki oleh keluarga berskala kecil, menggunakan sumber ekonomi 26
dalam negeri, dimiliki oleh keluarga berskala kecil, menggunakan teknologi padat karya dan teknologi yang disesuaikan, keterampilan yang dibutuhkan diperoleh diluar bangku sekolah; tidak diatur pemerintah dan bergerak dalam pasar penuh persaingan” (Soedarsono dalam Priyono, Yasin, Hasan dan Hadisumarto, 1982: 58). Pengertian sektor informal dalam data sensus penduduk dalam Jefta (2004: 10) disebut “sebagai pekerja yang berusaha sendiri tanpa buruh, bekerja sendiri dengan buruh tak tetap atau keluarga dan pekerja keluarga tak dibayar”. Sektor informal menurut Miftah adalah “satu bentuk produksi yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat lapisan bawah” (Miftah, 1991: 31). Pengertianpengertian diatas didukung oleh pengertian dari sektor informal dalam Kamus Ekonomi Bisnis Perbankan (Guritno, 1994: 369) dimana “sektor informal berasal dari kata informal sector (sektor tak resmi) khususnya di negeri berkembang (developing country) adalah mereka yang bergerak dalam pekerjaan padat karya (laborintensive) (perdagangan, jasa penjahit dan sebagainya) kecil-kecilan”. Sering dianggap penganggur (unemployed) atau kurang kerja (underemployed) dan tak tercatat pada statistik kesempatan kerja nasional, meskipun sering produktif dan banyak menyumbang pada pendapatan nasional (national income). Umumnya ditandai dengan rasio modal-modal-keluaran (capital-output-ratio) rendah. Dari berbagai pengertian diatas sektor informal merupakan sektor perekonomian yang sifatnya masih bersifat tradisional, tidak memerlukan modal besar dan merupakan wadah yang menyediakan kesempatan kerja bagi masyarakat diluar perekonomian sektor formal. Namun diluar itu semuanya, sektor informal baik disadari dan tidak disadari mampu memberikan kontribusi yang berarti dari sektor penyerapan tenaga kerja sampai menjadi sektor alternatif selain sektor formal. Sektor informal sebenarnya menjadi semakin penting keberadaannya apalagi setelah ekonomi Indonesia dilanda krisis seperti sekarang. Selain itu sebenarnya “sektor informal mempunyai andil yang cukup berarti di dalam memberikan tambahan penghasilan rendah di kota apalagi sektor informal mempunyai kemampuan yang tangguh dalam memberikan peluang pekerjaan bagi kaum penganggur di kota” (Tadjuddin Noer Effendi, 1995: 87). Atau dengan kata 27
lain “memberikan kontribusi yang besar dalam aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat terutama golongan lemah” (Alisjahbana, 2006: 37). Namun sektor informal sendiri juga dianggap banyak mengundang masalah di daerah perkotaan, karena sektor informal terutama yang beroperasi di kota dapat mengurangi keindahan kota dan diduga sebagai penyebab kemacetan lalu lintas. Hal senada juga di ungkapkan oleh Mustafa yaitu: “....keberadaan dan keberlangsungan sektor informal perkotan diwarnai perdebatan wacana antara mereka menyatakan bahwa sektor informal sebagai alternatif kesempatan kerja yang akan meningkatkan pendapatan dan mereka yang mengatakan bahwa sektor informal sebagai patologi sosial yang muncul dalam dinamika pembangunan perkotaan serta mengganggu kenyamanan dan ketertiban (Mustafa, 2008: 4-5).” Fenomena memekarnya “sektor informal di kota-kota besar di Indonesia, banyak ditanggapi sebagai “ganjalan” oleh pihak penguasa (pemerintah kota) karena sektor ini beroperasi ditempat-tempat stategis dan dipandang merusak lingkungan serta keindahan kota” (Jefta, 2004: 10). Bahkan selain itu dampak dari sektor informal terutama yang berpangkalan di pinggir-pinggir jalan juga mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Karena dampak-dampak seperti diatas, maka ada pemerintah kota yang mengambil kebijaksanaan membatasi ruang gerak sektor informal, bahkan terkadang pemerintah kota menggunakan cara-cara yang kurang manusiawi seperti mengusir dengan menghancurkan peralatan usaha para penjaja di sektor informal ini. “Kegiatan sektor informal sendiri memiliki ciri seperti tenaga kerja merupakan anggota keluarga yang tidak dibayar, gerak berpindah-pindah antar kota dan antar desa serta lainnya” (Murray, 1994: 18). Ciri-ciri sektor informal menurut Hidayat sebagai berikut: 1. Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedianya di sektor formal. 2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha. 3. Pola kegiatan usaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. 4. Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini. 5. Unit usaha mudah keluar masuk dari sub sektor ke lain sub sektor. 6. Teknologi yang dipergunakan bersifat tradisional. 28
7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil. 8. Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal, karena pendidikan yang dipergunakan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja. 9. Pada umumnya unit usaha termasuk golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakan, buruh berasal dari keluarga. 10. Sumber dana modal usaha pada umumnya dari tabungan sendiri atau lembaga keuangan yang tidak resmi. 11. Hasil produksi atau jasa terutama di konsumsikan oleh golongan kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang juga yang berpenghasilan menengah (Tadjuddin Noer Effendi, 1995: 91). Selain itu aktivitas-aktivitas informal adalah sesuatu yang ditandai dengan : 1. Mudahnya untuk dimasuki 2. Bersandar pada sumberdaya lokal 3. Usaha milik sendiri 4. Operasinya dalam skala kecil 5. Padat karya dan teknologinya bersifat adaptif (menyesuaikan) 6. Keterampilan dapat diperoleh di luar sistem sekolah formal, dan 7. Tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif (Alan dan Josef, 1996: 96) Dilihat dari ciri-ciri serta segala aktivitasnya diatas, sektor informal merupakan suatu sektor perekonomian yang simpel dan sederhana, dimana masyarakat tidak memerlukan suatu persyaratan khusus untuk berkecimpung di dalamnya. Untuk menjalankan sektor informal ini hanya memerlukan modal, pekerja, lokasi yang tidak terlalu spesifik karena dapat dilakukan oleh siapa saja. Tetapi walaupun begitu, sektor informal merupakan alternatif pekerjaan yang berpeluang besar untuk menambah penghasilan masyarakat. Perekonomian disektor informal ini merupakan perekonomian mandiri yang secara langsung sebenarnya dapat memperbaiki kesejahteraan golongan masyarakat ekonomi lemah dan mengurangi kemiskinan yang terjadi pada suatu negara. “Di perkotaan sendiri masyarakat yang bekerja di sektor informal ini cukup banyak, terutama sebagai pedagang jalanan yang berdagang makanan jadi” (Murray, 1994: 30). Sektor informal sering dihubungkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang pesat terutama di kota-kota besar menjadi pendorong arus urbanisasi, sehingga ini juga berdampak pada timbulnya faktor informal khususnya PKL merupakan akibat adanya dualisme ekonomi di perkotaan dan 29
pedesaan. Apalagi dalam perkembangannya desa menjadi satu gaya hidup dan kota menjadi gaya hidup yang di sebut urbanisme. Dua-duanya muncul sebagai dua jenis gaya hidup, yang lantas berubah menjadi dua kutub yang saling bertentangan (Dhakidae, 1980: 2). Fenomena dualisme ekonomi yang melahirkan sektor informal ini memang akibat adanya perbandingan kesempatan kerja yang ada di perkotaan dan di pedesaan, dimana hal ini berdampak pada urbanisasi besar-besaran dari desa ke kota. Urbanisasi yang terjadi ini membuat menjamurnya sektor informal khususnya PKL di pinggir-pingir jalan karena mereka yang datang di perkotaan (para urban) disini tidak survive dengan perekonomian di kota. Persoalan justru diambil ketika kedua gaya kehidupan itu bertemu atau dipaksa gaya kehidupan itu bertemu bila produk industri yang berasal dari kota meluaskan lintasannya dan menguak tabir-tabir budaya yang melindungi desa, maka desa sudah berada dalam lintasan pengaruh kota. Desa sudah berpedoman kepada kota sehingga konsumsi kota menjadi konsumsi desa, bahkan segala perilaku di kota sampai merebak di desa-desa sehingga sekarang ini pedesaan layaknya perkotaan. Dimana keadaan ini juga berdampak pada merebaknya sektor informal baik diperkotaan dan pedesaan, yang berbeda hanyalah dipedesaan sektor informal ini tidak seperti di perkotan yang jumlahnya terlalu besar. HIK merupakan salah satu bentuk usaha sektor informal yang berupa PKL dalam katagori PKL yang sudah menetap seperti warung-warung tenda lainnya, hanya saja dalam perkembangannya HIK yang dahulu merupakan PKL malam atau waktu operasinya malam hari sekarang ini HIK bisa di temukan setiap saat baik itu pagi, siang , sore dan malam hari. Apalagi dilihat dari ciri-ciri sektor informal diatas pantas saja HIK menjadi bagian dari sektor informal ini. Sampaisampai sekarang ini penjaja HIK merupakan salah satu alternatif masyarakat untuk mencari nafkah, sebab penjaja HIK ini boleh dibilang simpel dimana hanya memerlukan modal kecil sebab makanan yang dijajakan pun merupakan makanan titipan dari orang lain (setoran) yang akan dibayar saat makanan habis terjual. Sehingga penjaja hanya perlu mempersiapkan sajian minumannya saja seperti minuman (wedang) jahe, teh, kopi dan sebagainya yang disajikan hangat ataupun 30
dingin. Jadi usaha HIK ini sebenarnya merupakan usaha sektor informal yang di dalamnya terdapat beberapa usaha rumah tangga. Pedagang warung HIK merupakan salah satu pedagang sektor informal yang mampu bertahan menghadapi dampak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Di samping mampu memberikan pendapatan untuk keluarga yang relatif cukup, mereka juga mampu membuka lapangan pekerjaan dan sekaligus mengurangi angka pengangguran. Bahkan keberadaan pedagang warung HIK mampu menghidupkan suasana kota pada malam hari. Dengan adanya aktifitas ekonomi di malam hari suasana kota menjadi tidak sepi. Dengan adanya warung HIK berarti tersedia tempat bagi masyarakat yang membutuhkan tempat untuk santai, ngobrol, dan berdiskusi pada malam hari. 2. HIK Sebagai Ruang Publik Geertz dalam bukunya Penjaja dan Raja menyadari bahwa, “perubahan-perubahan di masyarakat termasuk di dalam pertumbuhan ekonomi tidaklah berjalan melalui pola-pola radikal”. Perubahan-perubahan masyarakat berjalan lama menuruti pola-pola perubahan yang setahap demi setahap "gradual change" yang tampak dalam sikap dan tingkah laku anggota-anggota masyarakat, dan bukan dalam pendapatan serta produksi seperti dalam proses ekonomi” (Geertz, 1973: xix). Dimana modernisasi ini mempengaruhi tingkah laku (perilaku) masyarakat. “Pembangunan di negara berkembang khususnya Indonesia sendiri menghasilkan citra baru dimana konsumsi menjadi suatu dimensi status dan prestise (gengsi) dalam barang-barang pemenuhan kebutuhan sehari-hari ”seperti makanan, minuman, pakaian dan sebagainya dalam memenuhi kehidupan sosialnya” (Murray, 1994: xiii). Perubahan-perubahan tersebut akan berjalan setahap demi setahap dalam jangka waktu yang lama yang di mulai dari perubahan-perubahan di dalam nilainilai
kehidupan
masyarakat
dan
karakteristik
fungsi
lembaga-lembaga
masyarakat, yang kemudian merembes melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, organisasi ekonomi, politik, yang pada akhirnya muncul sebagai perubahan sosial budaya yang besar di masyarakat. Seperti yang tergambar di 31
dalam sektor informal dimana setelah adanya modernisasi yang salah satunya dengan berkembangnya cara pengolahan makanan (pembuatan makanan) yang cepat atau sering disebut dengan makanan cepat saji (fast food) yang dikembangkan oleh restoran-restoran atau café-café hingga makanan ala kadarnya di warung-warung pinggir jalan yang siap disajikan dengan hanya menunggu di bukanya warung. Warung memiliki bermacam-macam makna, misalnya saja warung tegal (warteg) merupakan suatu tempat untuk makan yang tetap dan khususnya menjual makanan gaya tegal. Warteg pun juga memainkan peran penting karena selain sebagai tempat untuk menjual makanan juga menjadi pusat istirahat dan tempat bergosip bagi para pengunjungnya (langganannya). Hal ini seperti ungkapan Geertz “pasar adalah sebuah lembaga ekonomi dan sekaligus cara hidup... suatu dunia sosial mendekati lengkap karena itu ia cenderung mengabaikan keterikatan antara para pedangang pasar dan rumah tangga kampung dan implikasi-implikasi sosial dari tawar-menawar barang dan gosip” (Murray, 1994: 74-75). Disini HIK pun juga bersifat sama seperti warteg (warung Tegal). Produksi makanan-makanan yang tersedia di warung-warung makanan sangat tergantung oleh pasar, sebab pasar sendiri memang dapat memberikan mode produksi dan konsumsi. Namun dalam pergeseran mode produksi dan konsumsi yang sangat dipengaruhi oleh tahap ekspansi pasar (kapitalisme), seperti berbagai definisi dan “nilai menjadi bergeser dan pengaruh sistem dunia yang dalam konteks sulit dihindari meskipun mode artikulasi akan sangat berbeda dari satu tempat ke tempat lain” (Irwan, 2006: 177). “Konsumsi makanan dianggap sebagai bagian dari rekreasi, bukan hanya pemenuhan kebutuhan dasar” (Irwan, 2006: 180) Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat juga membuat sektor informal memungkinkan terjadinya suatu perlawanan terhadap tekanantekanan dari luar seperti tekanan-tekanan aktivitas-aktivitas para pegunjung dari kerja dan kehidupan-kedupan sehari-hari yang dirasa membosankan. Selain itu sekarang warung-warung jalanan yang ada di pinggir-pinggir jalan bisa digolongkan sebagai ruang publik. Definisi ruang publik adalah sebatas ruangan yang menyediakan kebebasan berekspresi, beraktivitas, dan memberikan makna 32
lebih bagi komunitas, dan suasana hati yang nyaman dan tentram. Dan bahwa ruang publik tidaklah seharusnya sesuatu yang berorientasi ke bisnis, tapi berorientasi ke arah aktivitas komunitas, dan rekreasional dengan aksesabilitas yang mudah dan murah. Konsep ruang publik pada awalnya bermula dari sebuah esai Jurgen Habermas pada tahun 1962 berjudul The Structural Transformation of The Public sphere. Dalam esai tersebut, Habermas melihat perkembangan wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Wilayah itu disebutnya sebagai “public sphere”, yakni semua wilayah yang memungkinkan kehidupan sosial kita untuk membentuk opini publik yang relatif bebas. Ini merupakan sejarah praktek sosial, politik dan budaya yakni praktek pertukaran pandangan yang terbuka dan diskusi mengenai masalah-masalah kepentingan sosial umum. “Penekanannya mengenai pembentukan kepekaan (sense of public), sebagai praktik sosial yang melekat secara budaya” (Ibnu, 2008). Fathurin yang mengutip Alan McKee menyatakan beberapa pengertian tentang public sphere sebagai berikut : “(1) Ruang publik adalah suatu wilayah hidup sosial kita di mana suatu pendapat umum dapat dibentuk diantara warganegara, berhadapan dengan berbagai hal mengenai kepentingan umum tanpa tunduk kepada paksaan dalam menyatakan dan mempublikasikan pandangan mereka. (2) Ruang publik adalah istilah yang berkenaan dengan metafora yang digunakan untuk menguraikan ruang virtual dimana orang-orang dapat saling berhubungan. (3) Ruang publik adalah ruang dimana percakapan, gagasan, dan pikiran masyarakat bertemu. (4) Ruang publik adalah ruang virtual dimana warga negara dari suatu negeri menukar gagasan dan mendiskusikan isu, dalam rangka menjangkau persetujuan tentang berbagai hal yang menyangkut kepentingan umum. (5) Ruang publik adalah tempat di mana informasi, gagasan dan perberdebatan dapat berlangsung dalam masyarakat dan pendapat politis dapat dibentuk” (Fathurin, 2009). Ruang publik secara teoritis dapat diartikan sebagai “wilayah di mana masyarakat sebagai warga negara memikili akses yang luas terhadap setiap kegiatan publik, yang mana warganegara berhak melakukan berbagai kegiatannya secara bebas dan merdeka khususnya dalam hal menyampaikan pendapat, berkumpul dan berserikat” (Nadiroh, 2007: 136). 33
Sementara itu menurut Pauline Johnson ruang publik adalah, “…ruang publik merupakan suatu perkumpulan yang memberikan kesempatan pada orang-orang/individu dalam masyarakat untuk memperlihatkan dirinya sebagai pribadi/individu yang memiliki potensi untuk menyamaratakan dalam kepentingan bersama, yang mana hal ini dapat dibangun melalui musyawarah dan partisipasi (Pauline Johnson defines the public sphere as an inclusive mode of association that provides individuals with the opportunity to establish their private concerns as potentially having generalizable significance and where collective aims can be built through deliberation and participation (Pauline Johnson, 2008). Ruang publik memang merupakan suatu ruang yang bebas yaitu dimana semua orang-orang yang berada di ruang publik dapat melakukan apapun bahkan melakukan dialog (percakapan) tanpa adanya sesuatu yang mengikat mereka. Orang-orang yang terlibat di dalam percakapan public sphere adalah orang-orang privat bukan orang dengan kepentingan bisnis atau profesional bukan pula pejabat atau politikus. Tujuan dari ranah publik adalah menjadikan manusia mampu untuk merefleksikan dirinya secara kritis, baik secara politis-ekonomis maupun budaya. Menurut Habermas tidak ada aspek kehidupan yang bebas dari kepentingan, bahkan juga ilmu pengetahuan. Struktur masyarakat yang emansipatif dan bebas dari dominasi dimana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan adalah struktur ideal. Apa yang ingin disampaikan oleh Habermas adalah mengenai sistem demokrasi. Habermas yakin bahwa sebuah ruang publik yang kuat, terpisah dari kepentingan-kepentingan pribadi, dibutuhkan untuk menjamin tercapainya keadaan ini. Ruang publik yang dipahami Habermas bukanlah prinsip yang abstrak melainkan sebuah konsep yang praktis. Habermas mengangkat obrolan di coffe house (Inggris) abad 18, salons (Prancis) dan tichgesllschaften atau himpunan masyarakat meja (Jerman) sebagai ruang publik. Disitulah forum yang ideal tempat berbagai gagasan didiskusikan secara terbuka. Komentar-komentar yang ada dalam berbagai pemberitaan diperdebatkan. Pada akhirnya, opini yang tercipta mampu mengubah berbagai bentuk hubungan dan struktur sosial kemasyarakatan baik di kalangan kaum 34
aristrokrasi maupun lingkungan bisnis pada umumnya. Bagaimanapun banyak dari Tischgesellschaften, salons, dan coffe house mungkin berbeda dalam ukuran dan komposisi publik mereka, gaya cara bekerja mereka, puncak perdebatan mereka, dan orientasi topik mereka, mereka seluruhnya mengorganisasikan diskusi diantara masyarakat privat yang cenderung terus menerus, sebab itu mereka memiliki sejumlah kriteria institusional umum. Secara
institusional,
menurut
Habermas
terdapat
kriteria
yang
menyamakan ketiga forum diskusi (public sphere) antara lain: 1. Mereka memelihara suatu bentuk hubungan sosial yang jauh dari pensyaratan kesamaan status. Kecenderungan mengganti penghormatan atas tingkatan dengan kebijakan yang cocok secara merata. Sama-sama memelihara kesetaraan sebagai manusia, terlepas dari atribut sosial dan budaya serta kepentingan ekonomi. 2. Diskusi dalam suatu publik mengisyaratkan permasalahan area yang kemudian tidak pernah dipersoalkan. Domain “perhatian umum” yang menjadi objek perhatian kritis publik menetapkan suatu perlindungan diantara otoritas gereja dan negara yang memiliki monopoli interpretasi tidak hanya dari mimbar tetapi juga dalam philosopi, literatur dan seni. 3. Proses yang sama yang mengubah budaya kedalam komoditi, public sphere pada dasarnya bersifat inklusif. Para peserta diskusi senantiasa mengaitkan dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas dan obyek yang didiskusikan dapat diakses oleh siapa saja, dengan demikian fungsi publik (dalam hal ini sekelompok orang yang berdiskusi di coffe house) adalah pendidik. Ruang publik borjuis memang berkembang dari sistem feodal yang menolak prinsipprinsip diskusi publik terbuka pada masalah-masalah universal. Pada awalnya, para angota public sphere hanyalah kaum borjuis laki-laki, bangsawan, dan intelaktual yang bertemu untuk mendiskusikan karya-karya sastra (Habermas, 2007: 54 -56). Namun begitu, dalam kajian Habermas dikemudian hari diskusi-diskusi tersebut telah bergeser menjadi pembicaraan-pembicaraan politik. Pembicaraan mengenai hal ini membuka jarak sosial dan merupakan perlawanan terhadap 35
status quo. Sehingga, tujuan public sphere pun berubah, menjadikan orang mempunyai sikap kritis terhadap kekuatan negara. Hal senada juga dikatakan oleh Soules yaitu, menurutnya: “Habermas menetapkan ruang publik sebagai ruang (tempat) virtual (nyata) atau imajiner (khayalan) dalam masyarakat yang tidak selalu ada di semua ruang pengenalan. Di dalam bentuk ideal, ruang publik adalah "memperbaiki kebersamaan antar pribadi (individu) sebagai publik dan jaringan sosial dengan negara". Melalui tindakan berkumpul dan berdebat (berbicara), ruang publik menghasilkan pendapat dan sikap yang berfungsi untuk menguatkan atau menolak segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan negara. Idealnya ruang publik merupakan sumber opini publik yang diperlukan untuk "mensahkan kewenangan dalam berjalannya demokrasi”.... Habermas percaya pada ruang publik dapat dilakukan dan dikelola melalui dialog, pembicaraan, perdebatan dan diskusi. Dalam "Further Reflections," Habermas menyatakan bahwa debat publik dapat didiskusikan melalui "pengungkapan suatu pendapat sampai dengan membentuk perkumpulan" seperti perkumpulan yang sifatnya sukarela, organisasi sosial, gereja, klub olahraga, kelompok-kelompok masyarakat yang bersangkutan, gerakan bawah tanah, serikat pekerja …… (Habermas defined the public sphere as a virtual or imaginary community which does not necessarily exist in any identifiable space. In its ideal form, the public sphere is "made up of private people gathered together as a public and articulating the needs of society with the state". Through acts of assembly and dialogue, the public sphere generates opinions and attitudes which serve to affirm or challenge-therefore, to guide--the affairs of state. In ideal terms, the public sphere is the source of public opinion needed to "legitimate authority in any democracy"…. Habermas believes the public sphere can be most effectively constituted and maintained through dialogue, acts of speech, through debate and discussion. In "Further Reflections," Habermas claims that public debate can be animated by "opinion-forming associations"--voluntary associations, social organizations, churches, sports clubs, groups of concerned citizens, grassroots movements, trade unions….. (Soules, 2009).
Publik adalah warga negara yang memiliki kesadaran akan dirinya, hakhaknya, kepentingan-kepentingannya. Publik adalah warga negara yang memiliki keberanian menegaskan eksistensi dirinya, memperjuangkan pemenuhan hakhaknya, dan mendesak agar kepentingan-kepentingannya terakomodasi. Sehingga publik bukanlah kategori pasif, melainkan aktif. Sehingga, publik bukan kerumunan massa yang diam (mass of silent) tetapi ruang publik adalah tempat
36
bagi publik untuk mengekspresikan kebebasan dan otonomi mereka, dimana ruang publik bisa berwujud kebebasan berbicara dan mengungkapkan ide. Apa yang ditampilkan Habermas tentang public sphere borjuis baik Salon, Coffe House, dan Tichgesllschaften secara filosofis dan institusional memiliki kesamaan dalam beberapa hal. Baik Salon, Coffe House, dan Tichgesllschaften sama-sama melihat kesetaraan sebagai manusia dalam kontek berkomunikasi dan berbagi informasi melalui tradisi dialog. Dalam diskusi tersebut mereka melepaskan diri dari berbagi atribut sosial dan budaya serta kepentingan ekonomi tertentu. Para peserta diskusi disini senantiasa mengaitkan dengan kepentingan masyarakat luas dan objek yang didiskusikan dapat diakses oleh siapa saja. Namun walaupun begitu ada perbedaan antara public sphere borjuis pada abad ke7 dan ke-8 Eropa dimana yang datang di public sphere borjuis adalah dari kalangan tertentu, seperti borjuis laki-laki, bangsawan dan intelektual untuk mendiskusikan karya-karya sastra khususnya persoalan-persoalan karya seni dan tradisi baca tulis, bvahkan sering pula terjadi diskusi-diskusi tentang perdebatan ekonomi dan politik. Sementara di Prancis, contoh yang diberikan Jurgen Habermas, perdebatan-perdebatan semacam ini bisaa terjadi di salon-salon. Warga-warga Prancis bisaa mendiskusikan buku-buku, karya-karya seni baik berupa lukisan atau musik. Tetapi dalam perubahannya, sekarang ruang publik lebih bersifat bebas dalam artian semua masyarakat dari semua kalangan dapat mengakses ruang ini, bahkan pembicaraan yang terjadi di ruang publik sekarang ini lebih lebar baik itu masalah pribadi sampai masalah umum ataupun gosip belaka. Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis dan bermakna. Responsif dalam arti ruang publik harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Sementara demokratis berarti ruang publik seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Dan terakhir bermakna yang berarti ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dunia luas, dan konteks sosial. Dengan karakteristik ruang publik sebagai tempat interaksi warga masyarakat, tidak diragukan lagi arti 37
pentingnya dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kapital sosial. Namun sayangnya, arti penting keberadaan ruang-ruang publik tersebut di Indonesia lama kelamaan diabaikan oleh pembuat dan pelaksana kebijakan tata ruang wilayah sehingga ruang yang sangat penting ini lama-kelamaan semakin berkurang. Ruang-ruang publik tersebut yang selama ini menjadi tempat warga melakukan interaksi, baik sosial, politik maupun kebudayaan tanpa dipungut biaya, seperti lapangan olah raga, taman kota, arena wisata, arena kesenian, dan lain sebagainya lama-kelamaan menghilang digantikan oleh mall, pusat-pusat perbelanjaan, rukoruko, warung-warung dan ruang-ruang bersifat privat lainnya. Dilihat dari ketiga sifat ruang publik diatas, warung HIK sudah menyangkut ketiga sifat diatas, bersifat responsif karena di HIK kita bebas melakukan apa saja tanpa batasan dan melakukan kegiatan apa saja bahkan kegiatan yang sifatnya formal sekalipun seperti rapat. Dikatakan demokratis, memang warung HIK sekarang tidak hanya ditujukan kepada golongan ekonomi tertentu melainkan sudah dapat dinikmati dari berbagai golongan tanpa memandang status. Sedangkan bermakna, warung HIK ini sebagai ruang interaksi masyarakat dimana di sana kita dapat berinteraksi dengan siapa saja dengan bahan pembicaraan yang luas tanpa ada batasannya. Warung HIK dahulu masuk dalam ruang publik kelas marginal-alternatif atau seringkali dibayangkan ruang publik sebagai sebuah eksklusivitas di ranah Indonesia. Barangkali karena ruang publik menjadi sebuah ruang yang mahal; mahal karena kita menemukan keterbatasan-keterbatasan misalnya jumlah dan luasan yang minim " untuk menjadi sebuah ruang yang benar-benar milik publik" dan harus dibayar dengan harga yang mahal dibandingkan kepentingan yang dirasakan lebih penting dari ruang publik itu sendiri. Atau kadang ruang publik merupakan sebuah ruang sisa dari fasilitas yang diperuntukkan bagi publik, misalnya saja ruang tunggu yang berada di terminal dan stasiun yang kadang merupakan sisia ruang dari lahan yang digunakan untuk kepentingan bernilai ekonomi seperti warung, agen tiket perjalanan, atau jasa ekonomi lain. Trotoar atau pedestrian atau kaki lima yang notabene sebagai daerah milik jalan tetapi untuk saat ini bergeser menjadi lahan yang ‘lagi-lagi’ juga bernilai ekonomi bagi pencari laba seperti pedagang kaki lima, papan iklan atau sektor informal lain. 38
Ruang publik dapat juga terbentuk secara sendiri tanpa kita ketahui dan kita rancang sebelumnya, seperti HIK. HIK sebagai ruang publik dengan karakter yang khas dan sederhana; gerobak plus lampu minyak atau theplok yang tentunya memiliki nuansa yang berbeda di dalamnya karena kita akan menemukan ruang dengan aura kehangatan dan kadang remang-remang oleh efek penerangan lampu theplok tersebut. Ruang itu akan berarti sebagai ruang publik bila ada sekumpulan orang di dalamnya yang menikmati hidangan yang dijual dan terjadi interaksi sosial yang hangat antar pembeli (konsumen) yang saling kenal ataupun yang belum kenal sekalipun, serta pembeli dengan penjual. Kadang terjadi obrolan yang menarik dan bebas tanpa terikat oleh aturan dan birokrasi yang ruwet. HIK sebagai ruang publik marginal sekaligus sebagai ruang publik alternatif karena kita akan menemukan banyak alternatif di dalamnya seperti alternatif dalam segi finansial (karena tidak memerlukan biaya mahal untuk mengaksesnya); alternatif menu (karena bukan makanan yang cepat saji dengan sajian tradisional.dan yang jelas adalah makanan halal) dan alternatif tempat (tidak memerlukan ruang terlalu besar dan bisaanya mengambil lahan publik seperti trotoar dan gang-sudut kampung). Interaksi yang terjadi di HIK sebagai ruang publik terjadi dengan spontan, karena di ruang publiklah jalinan penyesuaian diri paling banyak dituntut sebab di sana siapa saja bisa hadir sebagai manusia bebas bahkan interaksi dapat dilihat dari komunikasi antar individu disana. Komunikasi adalah suatu jenis interaksi, di mana para partisipan memakai bahasa atau simbol-simbol lain yang sudah disepakati bersama melalului sarana-sarana komunikasi lewat bahasa dan simbol-simbol tersebut mempertemukan orang ke dalam relasi-relasi timbal balik. Komunikasi pada dasarnya adalah proses ketika seseorang berhubungan dengan orang yang lain serta membangun suatu keterlibatan antara kedua belah pihak, dalam komunikasi semua orang terlibat. Sehingga dengan komunikasi diharapkan masing-masing orang memiliki ruang untuk mengaktifkan dirinya, yakni suatu ekspresi yang ditujukan terhadap orang lain, salah satunya terwujud di dalam ruang publik.
39
Interaksi dalam ruang publik dapat juga berupa perdebatan terutama perdebatan yang bebas dari semua peraturan yang sifatnya formatif saja karena di ruang publik seperti HIK perdebatan juga bisa sifatnya non-formatif. Karena sesuai dengan fungsi ruang publik yang bebas sehingga segala interaksi yang didalamnya tidak bersifat monoton tetapi sifatnya relaks, maka debat yang terjadi pun bisa berujud suatu pembicaraan non rasional bahkan sampai perdebatan yang sifatnya jenaka. Partisipan debat juga diharuskan memiliki kepentingan bersama atas kebenaran, yang berarti mereka juga harus dapat menunda perbedaan status, sehingga mereka berbicara dalam keadaan setara. Komunikasi di era modernitas sendiri adalah komunikasi yang bebas dominasi. Setiap individu memiliki hak untuk saling berdialog dan berwacana atas segala sesuatu yang terjadi di ruang publik. Interaksi ini juga pernah dibahas oleh Georg Simmel atas bentuk-bentuk interaksi/sosiasi yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang mana Simmel menekankan dalam kehidupan kita diperintah oleh dua kutub. Kutub-kutub tersebut yaitu kutub individualitas dan kutub yang bersifat umum. Kutub individualitas seseorang dapat dilihat di dalam pengembangan kepribadian sesuai dengan ciri khas atau keunikan individu tunggal, sedangkan kutub yang sifatnya umum dapat dilihat dalam lingkungan sosial/lingkungan kebudayaan guna memperoleh pengakuan dalam masyarakat. ”Sosiasi adalah bentuk-bentuk dan pola-pola khusus di mana manusia saling bergaul dan berinteraksi” (Widyanta, 2002: 89). Dalam hal ini interaksi-interaksi yang semula hanya terjadi sementara atau pendek dan kemudian berubah menjadi suatu interaksi yang intensif dan cepat maka disebut sebagai sosiasi. ”Sosiasi ini meliputi berbagai interaksi yang relatif stabil dan individu yang terlibat dalam interaksi pasti melibatkan berbagai kepentingan, alasan, persangkalan psikologisnya masingmasing” (Widyanta, 2002: 88). Diantara kedua kutub ini yaitu antara kepentingan pribadi dan umum akan terbentuk dalam suatu tempat atau wilayah sosial (lingkungan sosial/kebudayaan). Dalam wilayah ini manusia diposisikan sebagai aktor (subyek/self) yang aktif, sehingga Simmel menggambarkan manusia sebagai 40
makhluk yang berada dalam pusat atau tengah-tengah lingkaran antara wilayah privat individual, wilayah sosial individual dan wilayah kultural. Di lingkungan kebudayaan, manusia (individu) barada dalam dua wilayah privat dan sosial sekaligus, karena individu selain individu memenuhi kebutuan atau keingingan di wilayah privatnya dia juga sekaligus memenuhi kebutuhan sosialnya. Bisa di umpamakan bila seseorang berada di dalam suatu wilayah kultural seperti warung HIK, individu selain memenuhi kebutuhan pribadi (makan, minum, rekreasi, dan sebagainya) juga sekaligus memenuhi kebutuhan sosialnya yaitu bertemu dengan orang lain, ngobrol ataupun bentuk interaksi lainnya. Hal serupa juga dapat di lihat di warung-warung HIK, dimana disana selain sebagai ruang publik yang merupakan hasil dari kebudayaan dalam masyarakat juga sekaligus merupakan tempat privat yaitu sebagai tempat dimana individu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Apalagi karena sifatnya yang umum memungkinkan di HIK seseorang bisa bebas dalam mengungkapkan segala hal baik itu sifatnya individualis ataupun sosial. Dalam memenuhi kebutuhan individual (privat) disini individu bisa menunjukkan kemampuannya atau berekspresi sesuasai dengan keinginannya tanpa ada suatu peraturan yang mengikat seperti di ruang umum lainnya. Karena dalam suatu interaksi yang terjadi di ruang publik seperti warung HIK ini, individu bebas mengungkapkan segala beban pikirannya sehingga juga terjalin suatu interaksi sosial dengan individu lain (pengunjung HIK lainnya). Pertama kali di HIK mungkin akan aneh melihat seseorang dengan bebas membicarakan sesuatu yang sifatnya pribadi, tetapi bagi individu (anggota masyarakat) yang sering datang ke HIK hal tersebut merupakan suatu fenomena yang biasa saja. Sebab HIK dimata mereka merupakan suatu wilayah dimana seseorang melepas segala hal yang pribadi maupun umum sekaligus sebagai tempat mencari suatu partner, teman bicara atau berdiskusi mulai dari masalah sekolah, pergaulan remaja, permasalahan pekerjaan, kondisi perekonomian, pelayanan publik, olah raga sampai dengan masalah perkembangan politik di daerah atau negara.
41
B. PENELITIAN YANG RELEVAN Beberapa sumber penelitian relevan yang digunakan oleh peneliti ada dua yaitu penelitian dari Noviana Lely Setyowati dan Slamet Santoso. Noviana Lely Setyowati adalah seorang mahasiswi dari Universitas Sebelas Maret, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), jurusan Sosiologi. Lely mengambil penelitian dengan judul Eksistensi Pengusaha HIK dan Kepuasan Pelanggan (Studi Diskriptif Kualitatif tentang Eksistensi Pengusaha HIK dan Kepuasan Pelanggan di Sekitar Kampus Universitas Sebelas Maret Surakarta) sebagai syarat untuk memenuhi tugas-tugas dan melengkapi sarjana FISIP. Penelitian ini sangat menarik karena disini dikatakan bahwa Pengusaha HIK merupakan alternatif pekerjaan yang tergolong dalam sektor informal dan juga menghindari pandangan negatif daripada menganggur. Kegiatan perdagangan HIK merupakan timbal balik atau sepihak dimana para pelaku dalam perdagangan HIK yaitu pengusaha HIK, juragan, maupun konsumennya saling berinteraksi sehingga terjadi pertukaran yang saling menguntungkan. Bahkan pertukaran tersebut akhirnya menjadi suatu aktivitas yang melembaga dalam struktur sosial yang lebih luas. Jenis kegiatan perdagangan HIK ini mengalami perubahan dengan segala atribut yang melekat pada warung tersebut. Eksistensi secara ekonomi, sosial dan budaya merupakan akibat dari perjuangan yang panjang seperti pengusaha HIK yang bertahan menghadapi problema-problema kehidupan sosial di masyarakat Surakarta yang semakin tidak toleran berorientasi pada kehidupan di daerah asalnya. Namun walaupun terjadi beberapa perubahan dalam menjalankan usahanya ini, para pengusaha HIK tidak mudah putus asa dalam membangun usaha dalam sektor ini. Sehingga keberadaan pengusaha HIK makin hari turut mewarnai kehidupan malam di Surakarta. Elemen-elemen dasar dalam struktur pengusaha HIK meliputi eksistensi, fungsionalitas dan kultural. Eksistensi pengusaha HIK sendiri terdiri dari eksistensi ekonomi, eksistensi sosial, dan eksistensi kultural. Sedang elemen fungsionalitas diantaranya fungsi ekonomi, fungsi sosial, dan fungsi budaya yang menimbulkan persepsi dan interaksi masyarakat. Eksistensi kultural dalam HIK
42
dapat dilihat dari berbagai hidangan yang disajikan dan suasana yang masih ketradisionalan Alasan yang dikemukakan oleh pengusaha HIK dalam menekuni usaha berdagang makanan dan minuman disebabkan beban dan resiko yang ditanggung adalah minimal. Pada umumnya HIK yang ada, sebelumnya berprofesi lain, ada yang menjadi tukang becak, jual ayam, supir truk dan sebagainya. Proses ini merupakan penggambaran dalam pekerjaan. Oleh karena itu, menjadi pengusaha HIK dengan penghasilan yang lumayan dan tanggung jawab yang tidak menuntut secara ketat menjadi sebuah pilihan bagi mereka yang memiliki ketrempilan dan pendidikan terbatas. Beberapa faktor-faktor yang menjadi eksistensi pengusaha HIK dapat terus berjalan dari penelitian dan observasi yang dilakukan diantaranya yaitu: 1. Fenomena pengusaha HIK memiliki akar historis panjang dalam masyarakat Surakarta. 2. Fenomena pengusaha HIK bagi masyarakat Surakarta memiliki dimensi fungsionalitas, sosial dan kultural disebabkan eksistensi pengusaha HIK yang meliputi eksistensi ekonomi, eksistensi sosial dan eksistensi budaya. 3. Fenomena pengusaha HIK merupakan kegiatan sektor ekonomi informal yang mempunyai daya serap atau daya tampung cukup besar disebabkan untuk memasukinya tidak diperlukan persyaratan khusus, seperti: pendidikan, ketrampilan serta persyaratan formal lainnya. 4. Fenomena pengusaha HIK dilihat dari aspek ekonomi memiliki jangkauan segmentasi pasar yang luas, bebas dan murah meriah. 5. Fenomena pengusaha HIK merupakan kultur sebagai pos atau tempat ”wedangan” dan ngobrol-ngobrol pada waktu malam, karena apa yang ditawarkan pengusaha HIK sebenarnya bukan hanya jajanannya seperti nasi kucing dan ”wedangan” tetapi itu suasana, keramahan, kebebasan serta kemurahmeriahan juga ditawarkan. 6. Fenomena pengusaha HIK tetap eksis disebabkan pengusahanya memiliki daya tahan untuk tetap berlangsung dengan mencoba melakukan perubahanperubahan tanpa merubah esensi eksistensi pengusaha HIK yang telah ada. 43
7. Fenomena pengusaha HIK memiliki resikoekonomis yang ringan karena hampir semua dagangan titipan dan gerobag HIK menyewa dengan tarif antara Rp 1.500,- sampai dengan Rp 2.000,- per hari. dengan demikian praktis, pengusaha HIK hanya bermodalkan tenaga. 8. Fenomana eksistensi pengusaha HIK juga dipengaruhi adanya aktifitas supranatural yaitu dengan melibatkan dukun untuk menjaga usaha HIK tetap laris. 9. Menjadi pengusaha HIK memiliki suka duka tersendiri dalam menghadapi resiko-resiko berdagang pada malam hari seperti menghadapi para pemuda yang suka mabuk dan meminta jenis makanan serta minuman tanpa membayar. Namun hal ini bagi pengusaha HIK bukan merupakan masalah yang berarti. Di samping itu suasana tempat HIK yang familiar sebagai tempat obrolan yang bahkan disertai dengan canda tawa menjadikan pengusaha HIK serta konsumennya melupakan persoalan-persoalan yang membelit mereka. Hal ini sangat mendukung pengusaha HIK tersebut terus bertahan. 10. Konsumen HIK merasa puas dengan keberadaan HIK di sekitar kampus UNS. 11. Terjadi hubungan antara pengusaha HIK dengan juragan gerobag, penyetor makanan dan juga konsumennya. Hubungan disini saling menguntungkan dan mereka saling tergantung sama lain. Hal ini juga mempengaruhi kepuasan konsumen sehingga hubungan tersebut menjadi salah satu faktor penting pengusaha HIK tetap bertahan hingga sekarang. Disamping faktor-faktor tersebut, juga didukung oleh faktor laian baik itu alamiah ataupun rekayasa yang semuanya tetap tergantung pada pengusaha HIK sebagai aktor aktif yang menentukan masa depannya sendiri. Penelitian yang ke dua dari Slamet Santoso, dia adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Skripsinya berjudul Kemampuan Bertahan Pedagang Warung HIK Di Kota Ponorogo (The Survival Of Hik Vendors In Ponorogo). Penelitiannya ini juga masih senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Lely, hanya saja penelitian ini lebih berbicara tentang bertahannya pedagang HIK saja. Di mana pedagang warung HIK di kota Ponorogo telah mampu berkembang dengan baik dan mampu bertahan 44
menghadapi persaingan usaha. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan jumlah pedagang warung HIK yang mengalami peningkatan cukup signifikan dari tahun ke tahun. Kemampuan berkembang dan bertahan menghadapi persaingan usaha tersebut, di samping didorong faktor ketrampilan dan semangat kerja yang tinggi, juga didorong oleh berperannya modal sosial di antara pedagang warung HIK. Modal sosial yang telah berperan pada para pedagang warung HIK adalah saling memberikan informasi dan bantuan, baik terkait dengan informasi peluang usaha, lokasi usaha yang startegis, modal usaha, kelompok usaha, maupun tempat tinggal. Berdasarkan tingkat kemandirian (kepemilikan) pedagang warung HIK terhadap gerobak untuk berjualan dan penyediaan makanan dan jajanan yang akan disajikan, pedagang warung HIK di kota Ponorogo dapat digolongkan menjadi tiga golongan. Ketiga golongan itu ialah pedagang warung HIK yang mandiri, semi mandiri, dan nonmandiri. Seorang pedagang warung HIK dikatakan sebagai pedagang yang mandiri, jika mereka memiliki gerobak sendiri, sekaligus menyiapkan makanan dan jajanan sendiri, kendati tetap dan selalu bersedia menerima makanan titipan. Pedagang warung HIK yang termasuk dalam golongan semimandiri adalah mereka yang memiliki gerobak sendiri, tetapi makanan dan jajanan dipasok oleh orang lain, biasanya oleh ketua kelompok. Adapun pedagang warung HIK yang termasuk dalam golongan nonmandiri adalah mereka yang menyewa gerobak dan sekaligus mengambil makanan dan minuman dari ketua kelompok, sehingga sifatnya hanya menjualkan saja. Dari sisi konsumen, pembeli yang datang ke warung HIK tidak hanya semata-mata didorong oleh motif ekonomi (hanya membeli makanan dan minuman), tetapi didorong juga oleh motif yang lain, yaitu membutuhkan tempat yang nyaman untuk bersantai, mengobrol, dan berdiskusi. Kebanyakan pembeli merasa nyaman untuk singgah berlama-lama di warung HIK. Hal tersebut disebabkan, di samping minuman dan jajanan yang disajikan cukup bervariasi dan dapat memesan jajanan yang dibakar, mereka juga dapat memilih tempat duduk yang disukai untuk bersantai, baik di kursi yang telah disediakan ataupun tempat duduk lesehan di trotoar dengan beralaskan tikar. Karena suasana tradisional dan 45
sifatnya yang masih menganut kebersamaan pengunjung inilah maka HIK menjadi suatu usaha yang tetap bertahan dan banyak diminati oleh masyarakat. Penelitian ini memberikan gambaran bagi peneliti untuk mengetahui profil penjaja HIK dan suasana dalam HIK sehingga peneliti bias menjalin interaksi dalam melakukan penelitian.
C. KERANGKA BERFIKIR
HIK di kota Solo
HIK Sebagai Sektor Informal
HIK sebagai warung yang bernuansa tradisional
bersifat
Responsif
Demokratis
Bermakna
Ruang Publik Gambar 1: Kerangka Berfikir
Keterangan: Banyak aktivitas terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yang dapat dilihat dari berbagai sisi diantaranya ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dari berbagai aktivitas tersebut dalam penelitian ini akan lebih mengangkat pada sektor ekonomi masyarakat, dimana dari sektor ekonomi ini dapat dibedakan menjadi sektor formal dan informal. Sektor formal dan informal disini merupakan kegiatan perekonomian yang terbesar di dalam negara-negara berkembang seperti halnya di 46
Indonesia. Keberadaan kedua sektor atau yang sering disebut dualisme ekonomi ini, membawa dampak yang besar bagi kegiatan perekonomian apalagi dari dua sektor yang paling banyak digeluti oleh masyarakat adalah perekonomian disektor informal. Sektor informal yang semakin pesat perkembangannya mempunyai kemampuan yang lumayan dalam memberikan kesempatan kerja bagi kaum penganggur di kota-kota besar. Kenyataan ini diperkuat oleh ”survei yang sudah dilakukan di berbagai kota di negara sedang berkembang termasuk Indonesia dimana ditemukan kurang lebih 20-70% kesempatan kerja terdapat dalam kegiatan ”kecil-kecilan” dengan label sektor informal” (Jefta, 2004: 11). Fenomena yang terjadi dalam masyarakat sekarang yang lebih menuju ke modernitas khususnya dalam bidang informal menyebabkan banyak sektor informal yang seharusnya dapat menjadi sumber kearifan lokal masyarakat kita menjadi semakin mundur. Salah satunya yang dapat dianggap sebagai bagian dari kebisaaan masyarakat kita dan sudah seharusnya mendarah daging adalah PKL (Pedagang Kaki Lima) khususnya keberadaan HIK (Hidangan Istimewa Kampung). HIK adalah sebuah dagangan yang bergerak komoditas makananminuman-jajanan yaitu pedagang yang menjajakan makanan, dan minuman. Apalagi HIK sendiri juga merupakan suatu warung yang bisa digolongkan sebagai warung yang sifatnya masih tradisional dan menjadi suatu gambaran kehidupan malam di Kota Solo, kenapa disebut tradisonal karena menyajikan berbagai aneka makanan jajanan pasar atau makanan tradisional seperti sega (nasi) kucing dengan sambel trasi dan sedikit ikan asin.; berbagai gorengan seperti tahu goreng, tempe goreng, bakwan, sate usus, cakar ayam, telor puyuh, bahkan terkadang ada wajik (makanan yang terbuat dari ketan), klepon (makanan yang bentuknya bulat warna hijau) dan tentu saja minuman hangat seperti kopi, teh, jahe sampai susu. Nuansa yang menyajikan aneka makanan tradisional di HIK ini bahkan digunakan sebagai salah satu cara pelestarian kebudayaan terutama tentang makanannya walaupun merupakan menu yang ala kadarnya dan murah meriah. Sedangkan HIK sebagai salah satu fenemena kehidupan malam di Kota Solo sebab warung-warung seperti ini mudah sekali di jumpai di Solo dari di pinggir jalan besar sampai gang-gang kecil di perkampungan ataupun di perkotaan saat hari menjelang malam. 47
HIK yang merupakan simbol dari golongan masyarakat kelas bawah, sekarang ini karena perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat juga mempengaruhi perubahan pada sektor informal terutama pada HIK. Perubahan itu dapat dilihat dimana sekarang ini HIK tidak hanya diminati oleh masyarakat golongan ekonomi bawah tetapi oleh semua golongan masyarakat tidak memandang golongan dan stratanya. Di HIK semua orang bisa datang, bisa berbicara apa saja tanpa ada batasan. Inilah yang membuat HIK menjadi ruang publik. HIK sebagai ruang publik dengan karakter yang khas dan sederhana. Ruang publik sendiri ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis dan bermakna. Dilihat dari ketiga sifat ruang publik diatas, warung HIK sudah menyangkut ketiga sifat diatas pertama dikatakan demokratis, memang warung HIK sekarang tidak hanya ditujukan kepada golongan ekonomi tertentu melainkan sudah dapat dinikmati dari berbagai golongan tanpa memandang status. Sedangkan bermakna, warung HIK ini sebagai ruang interaksi masyarakat dimana di sana kita dapat berinteraksi dengan siapa saja dengan bahan pembicaraan yang luas tanpa ada batasannya. Sedangkan responsif karena kita bebas melakukan kegiatan apapun disana. Dengan demikian, maka HIK sebagai ruang publik harus dapat memenuhi ketiga faktor tersebut.
48
BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Solo terutama daerah di sepanjang jalan Dr Rajiman, alasan mengambil lokasi tersebut adalah karena berdasarkan penelitian pendahuluan lokasi ini menunjukkan adanya banyak PKL termasuk di dalamnya HIK dari di pagi sampai malam hari, walaupun ada larangan dari pemerintah kota Solo untuk berjualan dilokasi tersebut. Selain itu banyak masyarakat yang memanfaatkan jajanan tersebut untuk memenuhi kebutuhan makanan dan minuman di warung-warung HIK sambil memanfaatkan ngobrol dengan teman sesama pembeli. Warung-warung HIK pada awalnya hanya buka saat sore sampai malam hari, namun pada perkembangannya warung HIK ini bisa kita jumpai dari pagi sampai malam hari. warung HIK ini bisa ditemui dari pagi sampai malam karena makin banyak pembeli yang tertarik untuk memenuhi makan dan minum dari pagi sampai malam hari sehingga menarik penjaja HIK untuk membuka warungnya dari pagi sampai malam hari. Alasan ilmiah peneliti mengambil lokasi sepanjang Jalan Dr Rajiman yaitu karena adanya penataan/penertiban PKL di sepanjang jalan protokol di Kota Solo. Seiring dengan peresmian program City Walk oleh Pemerintahan Kota Solo (Pemkot), muncul peraturan yang melarangan para PKL untuk berjualan di sepanjang Jalan Slamet Riyadi kecuali di depan Solo Grand Mall (SGM). Adanya larangan tersebut membuat banyak PKL mencari tempat/lokasi alternatif untuk berjualan, yang salah satunya di sepanjang Jalan Dr Rajiman. Selain itu, alasan praktis peneliti mengambil lokasi tersebut disebabkan karena berdekatan dengan tempat tinggal peneliti sehingga setiap saat peneliti dapat melakukan observasi kapan saja. Apalagi karena dekat dengan tempat
49
tinggal maka peneliti dapat mengenal informan lebih dekat sehingga memungkinkan terjadinya wawancara yang lebih mendalam.
2. Waktu Penelitian Penelitian ini diawali dengan penyusunan proposal, penyusunan desain penelitian, pengumpulan data, analisis data dan penulisan laporan. Adapun rincian waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut. Tabel 1: Waktu dan Kegiatan Penelitian
No.
Kegiatan November’08
1. 2. 3. 4.
Maret ’09
Waktu Juni’09 September ’09
Desember ’09
Penyusunan Proposal Penyusunan Desain Penelitian Pengumpulan Data, Analisis Data Penulisan Laporan B. Bentuk dan Strategi Penelitian 1. Bentuk Penelitian Bentuk penelitian yang digunakan oleh peneliti disini adalah penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menggali atau membangun atau menjelaskan berbagai fenomena/peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat. Peneliti melihat peristiwa di lapangan dan berupaya menemukan apa yang sedang terjadi dalam dunia yang diteliti. Penelitian kualitatif seperti ini berupaya “memandang apa yang sedang terjadi dalam dunia tersebut dan meletakkan temuan-temuan yang diperoleh didalamnya” (Bungin, 2003: 82). Penelitian kualitatif merupakan penelitian multimetode dengan satu fokus masalah yang diteliti. Disamping itu “penelitian kualitatif memiliki sudut pandang naturalistik dan pemahaman interpretif tentang pengalaman manusia” (Salim, 2006: 35-38). Dalam sudut pandang naturalistik, topik penelitian kualitatif diarahkan pada kondisi asli (yang sebenarnya) dari subyek penelitian dimana kondisi ini tidak dipengaruhi oleh 50
perlakuan (treatment) secara ketat oleh peneliti. Sedangkan sudut pandang interpretif dalam penelitian kualitatif yaitu penafsiran data (termasuk penarikan kesimpulannya) secara idiografis, yaitu mengkhususkan kasus daripada secara nomotetis (mengikuti hukum-hukum generalisasi). Karena “interprestasi dalam penelitian kualitatif tidak mengarah pada melakukan generalisasi dari hasil penelitiannya” (sic) (Sutopo, 2002:44). “Metode-metode kualitatif memungkinkan kita memahami masyarakat secara personal dan memandang mereka sebagaimana mereka sendiri mengungkapkan pandangan dunianya” (Bogdan, 1993: 30). Definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian kualittatif adalah penelitian untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian meliputi perilaku, persepsi, tindakan yang sifatnya secara holistik dan naturalistik. Penafsiran kualitatif secara ekploratif dari fenomena sosial disajikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa dan dengan metode yang sistematis. Sehingga penelitian secara kualitatif sangat pas untuk meneliti tentang fenomena sosial khususnya yang berhubungan dengan tindakan/perilaku ataupun persepsi masyarakat sebab dalam penelitian ini peneliti terjun langsung ke lapangan. Oleh karena itu, peneliti disini hendak menjelaskan dan menggali data tentang fenomena HIK sebagai ruang publik di sepanjang Jalan Dr Rajiman dengan melihat dari berbagai karakteristik pengunjung yang datang ke HIK, materi obrolan yang dilakukan oleh sesama pengunjung ataupun antara pengunjung dan penjaja HIK, serta interaksi yang terjadi sesama pengunjung serta pengunjung dan penjaja HIK. Semuanya akan disajikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa dengan padat dan jelas sehingga dapat menjelaskan fenomena HIK sebagai ruang publik kepada pembaca.
2. Strategi Penelitian Strategi penelitian ini adalah penelitian studi kasus eksploratoris, jenis penelitian ini adalah ”salah satu strategi dan metode analisis data kualitatif yang menekankan pada kasus-kasus khusus yang terjadi pada objek analisis” (Bungin, 2008: 229). Sedangkan menurut Yin, ”studi kasus adalah suatu inkuiri empiris
51
yang menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata” (Yin, 2006: 1). ”Studi kasus eksploratif ini menggunakan desain analisis jamak (multi-level analysis) karena analisis jamak ini adalah studi kasus yang menyoroti perilaku kehidupan dari kelompok individu dengan berbagai tingkatan masalah penting” (Salim, 2006: 121). Studi kasus eksploratoris dengan desain analisis jamak ini dipilih oleh peneliti sebab sangat cocok dalam meneliti fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat tentang keberadaan HIK sebagai ruang publik yang dilihat dari tiga (3) hal yaitu: a. Karakteristik pengunjung yang datang ke HIK. b. Materi obrolan yang dilakukan oleh sesama pengunjung ataupun antara pengunjung dan penjaja HIK. c. Interaksi yang terjadi sesama pengunjung serta pengunjung dan penjaja HIK. Penelitian ini menggunakan studi kasus eksplanatoris analisis jamak dengan maksud agar peneliti mampu melihat sisi-sisi unik tapi bermakna dari lingkungan sosial sekitarnya di dalam komunitas. Studi ini yang akan dilakukan karena HIK sebagai ruang publik merupakan fenomena sosial yang mempunyai sisi-sisi unik bermakna bagi lingkungan sekitarnya di dalam komunitas para peminat HIK sendiri, sebab HIK merupakan salah satu tempat/warung yang banyak dikunjungi oleh warga Solo karena selain dapat mempererat kebersamaan para pengunjung lewat interaksi yang terjadi disana serta sebagai salah satu tempat untuk sekedar melepas lelah setelah seharian melakukan aktivitas. HIK sebagai ruang publik merupakan suatu fenomena sosial adalah bagian dari realitas yang terikat oleh interaksi secara dialektis dari subjek dan objeknya. Akibatnya terdapat banyak realitas sebanyak manusianya yang ada dan terlibat. Orang boleh membentuk realitas dirinya atau realitas sosialnya menurut pandangan mereka sendiri dengan cara yang berbeda dalam waktu dan tempat yang berbeda pula. Menurut Bergner dalam Sutopo menyatakan bahwa ”realitas sosial sebagai hasil kehendak manusia secara sadar tidak mungkin dapat dipisahkan dari kekhususan hubungan antar manusia, termasuk para peneliti yang mengambil bagian di dalamnya serta memberi tafsir mengenai realitas yang dihadapinya" (Sutopo, 2002: 3).
52
Dalam fenomena HIK sebagai ruang publik juga merupakan relitas yang terikat oleh interaksi secara dialektis sebab di sana terjadi percakapan (obrolan) para pengunjung serta akan melihat karakteristik pengunjung HIK, hal inilah yang akan diteliti oleh peneliti.
C. Sumber dan Jenis Data Sumber data merupakan bagian yang penting dalam penelitian karena ketepatan memilih dan menentukan sumber dan jenis data akan menentukan ketepatan dan kekayaan data atau informasi yang diperoleh. Data tidak akan bisa diperoleh tanpa adanya sumber data. Sumber data dalam penelitian ini berupa manusia (informan), kejadian atau peristiwa dalam masyarakat, tempat dan lokasi, dan dokumen benda-benda lain yang menunjang penelitian ini. Informan (narasumber) adalah individu yang memiliki informasi. Sedangkan menurut Sutopo, “Dalam penelitian kualitatif posisi sumber data manusia (narasumber) sangat penting perannya sebagai individu yang memiliki informasinya. Peneliti dan narasumber disini memiliki oposisi yang sama, dan narasumber bukan sekedar memberikan tanggapan pada yang diminta peneliti, tetapi ia bisa lebih memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang ia miliki. Karena posisi ini, sumber data yang berupa manusia di dalam penelitian kualitati lebih tepatnya disebut sebagai informan daripada responden” (Sutopo, 2002: 50) Informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah informan kunci yang terdiri dari penjaja HIK di jalan Dr. Rajiman, serta pengunjung HIK yang diambil dari berbagai karakteristiknya yaitu berdasarkan beragam usia, pendidikan, macam kendaraan yang dipakai. Selain dari sumber data di atas peneliti juga menggunakan jenis data guna mendukung penelitian yang akan dilakukan. Jenis data yang akan digunakan oleh peneliti dalan penelitian ini antara lain berupa: a. Perilaku atau tingkah laku Data atau informasi dapat dikumpulkan dari peristiwa atau aktivitas atau perilaku sebagai jenis data yang berkaitan dengan sasaran penelitian. Dari 53
pengamatan pada peristiwa atau aktivitas, peneliti bisa mengetahui proses bagaimana sesuatu terjadi secara pasti. Perilaku sebagai jenis data memang sangat beragam baik secara sengaja atau tidak, aktivitas berulang atau hanya satu kali terjadi, aktivitas formal maupun informal dan yang juga tertutup maupun terbuka untuk bisa diamati siapa saja. “Berbagai permasalahan memang memerlukan pemahaman lewat kajian perilaku atau sikap dari para pelaku dalam aktivitas yang dilakukan atau yang terjadi sebenarnya” (Sutopo, 2002: 51). Tingkah laku manusia disini dilakukan dengan cara menafsirkan (memahami). Untuk melakukan ini menuntut apa yang oleh Weber disebut dengan verstehen, “pemahaman yang empatik atau kemampuan menyerap dan mengungkapkan lagi perasaan-perasaan, motif-motif dan pemikiran-pemikiran dibalik tindakan orang lain” (Bogdan, 1993: 45). Data-data ini di dapat dengan melakukan observasi partisipan aktif atau pengamatan berperan serta di warung-warung HIK, dimana yang diteliti adalah tentang tingkah laku para pengunjung dan penjaja HIK yang meliputi interaksi yang dilakukan oleh pengunjung dan penjaja HIK ataupun antar pengujung ataupun kebiasaankebiasaan/perilaku yang dilakukan di HIK. b. Ucapan-ucapan atau kata-kata Ucapan atau kata-kata adalah jenis data yang dapat digunakan jika peristiwa hanya terjadi satu kali atau hanya berjalan dalam jangka waktu tertentu dan tidak berulang kembali, maka karena peristiwanya secara langsung tidak dapat dapat dilihat oleh peneliti sehingga peneliti memperoleh data lewat ceritera dari narasumber. Jika jenis data berupa ucapan-ucapan atau kata-kata dari narasumber dapat dijadikan bukti. ”Bilamana rekaman dilakukan oleh peneliti, hal itu berarti hanya sebagai tambahan kelengkapan untuk lebih memantapkan catatan lapangan” (Sutopo, 2002: 53). Dimana data yang berupa ucapan-ucapan ini diperoleh dari wawancara dengan para informan seperti pengunjung dan
54
penjaja HIK dari cerita-cerita penjaja dan pengunjung tentang kebiasaan yang mereka lakukan di HIK. c. Tulisan-tulisan Jenis data berupa tulisan-tulisan dapat berupa buku-buku dan artikelartikel ataupun lainnya yang merupakan bahan tertulis yang berhubungan dengan peristiwa atau aktivitas tertentu. “Dalam mengkaji jenis data tertulis, peneliti sebaiknya tidak hanya mencatat yang tertulis tetapi juga berusaha menggali dan menangkap makna” yang tersirat di dalamnya (Sutopo, 2002: 54). Catatan tertulis juga bisa berupa tulisan-tulisan dari surat kabar, majalah, memo dan lainnya. “Catatan-catatan ini bisa mempertajam peneliti untuk mengarahkan penelitiannya pada garis yang berhasil guna” (Bogdan, 1993: 122). Seperti tulisan-tulisan yang mendukung tentang penelitian ini baik dari media massa ataupun arsip-arsip dari organisasi yang mewadahi HIK. Catatan tersebut berupa artikel di media massa, hasil penelitian ataupun tulisan-tulisan lainnya tentang HIK, sektor informal (PKL) ataupun ruang publik.
D. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Observasi Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari jenis data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi dan benda. Metode observasi dalam penelitian ini yaitu observasi partisipan aktif atau pengamatan berperan serta. Dalam observasi partisipan aktif, peneliti berperan aktif sebagai pengamat yang mengikuti situasi penelitian dengan mempertimbangkan posisi yang bisa memberikan akses untuk pengumpulan data lengkap dan mendalam (Sutopo, 2002: 67). “Observasi adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindra, karena itu menggukan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata yang dibantu pancaindra lainnya untuk menangkap fenomena yang sedang diteliti” (Bungin, 2008: 15). Dalam hal ini
55
peneliti bertindak sebagai instrumen penelitian. Tugas peneliti berupa pengamatan tentang : apa yang mereka lakukan, apa yang mereka ketahui dan benda-benda apa saja yang mereka buat dan gunakan dalam kehidupan mereka. Observasi partisipan aktif ini digunakan untuk mengamati tentang aktivitas atau perilaku informan. Dari pengamatan tersebut tugas dari peneliti seterusnya adalah menangkap makna dari perilaku informan. Pengamatan ini dilakukan di warung-warung HIK, baik itu kebiasaan para pengunjung dan penjaja ataupun mengamati tentang berbagai obrolan dan interaksi yang ada di HIK serta karakteristik pengunjung yang datang ke warung tersebut. b. Wawancara Jenis data yang sangat penting dalam penelitian kualitas adalah berupa manusia yang dalam posisi sebagai nara jenis (informan). Untuk mengumpulkan informasi dari jenis data ini diperlukan teknik wawancara secara mendalam dalam berbagai situasi sehingga tercipta suasana akrab antara peneliti dan informan. Keakraban ini dilakukan guna mendapatkan data yang punya kedalaman dan rinci. ”Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan dengan cara Tanya jawab sambil bertatap muka dengan atau tanpa pedoman” (Bungin, 2008: 108). Wawancara mendalam ini dilakukan secara tidak terstruktur/tanpa pedoman karena peneliti merasa tidak tahu tentang fenomena yang akan diteliti. Di dalam proses wawancara selain mendengarkan dan menulis, peneliti juga dapat merekamnya tetapi harus meminta ijin terlebih dahulu pada informan demi kelancaran penelitian ini. ”Wawancara ini teknik pengambilan
informan
menggunakan
model
purposisif
agar
terjadi
wawancara yang mendalam (indepth interviewing)” (Salim, 2006: 12). Dalam penelitian
ini,
penulis
melakukan
wawancara
kepada
penjaja
dan
pembeli/pengunjung HIK tentang berbagai kebiasan yang mereka lakukan di HIK mulai dari obrolan yang biasa dibicarakan di HIK, berbagai interaksi yang di lakukan di HIK, serta menanyakan siapa saja yang biasa datang di HIK (khusus untuk penjaja HIK). 56
c. Dokumen “Dokumen dan arsip merupakan sumber data yang sering memiliki posisi penting dalam penelitian kualitatif, terutama bila sasaran kajian mengarah pada latar belakang atau berbagai peristiwa masa lampau yang sangat berkaitan dengan kondisi atau peristiwa masa kini yang sedang diteliti” (Sutopo, 2002: 69). Dokumen memiliki beragam bentuk dari yang sederhana sampai yang lebih lengkap. Selain itu dokumen bisa berbentuk ini bisa berbentuk gambar, grafik, table dan lainnya. Pada penelitian ini dokumen digunakan dengan melihat literature, foto serta dokumen yang relevan dengan penelitian ini. Dokumen-dokumen tersebut berupa data-data tentang PKL terutama warung-warung HIK dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) ataupun dari dinas PKL terkait serta organisasi HIK yaitu Paguyuban Wedangan Baron (PAWON).
E. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan suatu langkah dalam penelitian yang berupa pekerjaan-pekerjaan seperti mengatur, mengurutkan, mengumpulkan data dan mengkatagorikan. Namun sebelum sampai pada pengkatagorian dalam proses analisis data dilakukan pengumpulan data yang dilakukan di lapangan dalam hal ini di HIK. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan model analisis interaktif. Model analisis ini terdapat empat (4) langkah diantaranya pengumpulan data, sajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi dan reduksi data. Untuk bentuk sederhananya dapat dilihat dalam bagan berikut:
57
Pengumpulan data Penyajian data
Reduksi data Penarikan kesimpulan Gambar 2: Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif (Sutopo, 2002: 95-96)
Dari gambar diatas berarti peneliti dalam mengumpulkan data selalu membuat reduksi data dan sajian data yang berupa catatan lapangan berupa data yang telah didapat. Reduksi data disini berupa pokok-pokok penting atau pemahaman segala peristiwa yang dikaji supaya peristiwa menjadi lebih jelas dipahami setelah itu ditarik kesimpulannya tetapi dalam hal ini masih mengacu pada pengumpulan data.untuk merefleksi kembali apa yang telah ditemukan dan digali dalam penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model interaktif sebab dalam aktivitasnya dilakukan dengan cara interaksi anatar penjaja HIK, pengunjung HIK maupun kelompok organisasi HIK. Model interaktif ini dilakuykan agar dalam mengambil kesimpulan akhir nanti dapat merefleksikan kembali dari data-data yang didapat sebelumnya sehingga penelitian yang dilakukan benar-benar dapat menjelaskan fenomena yang sebenarnya terjadi di dalam masyarakat (fenomena sebenarnya yang terjadi di HIK).
F.
Validitas Data
Penelitian kualitatif adalah berusaha menjelaskan makna dibalik realitas, maka untuk pemahaman mendalam tentang fenomena yang diteliti, dalam memperoleh validitas data, dapat dilakukan dengan trianggulasi. “Triangulasi bukan alat atau strategi pembuktian, melainkan suatu alternatif pembuktian secara
58
empiris, sudut pandang pengamatan yang teratur dan menjadi strategi yang baik untuk menambah kekuatan, keluasan dan kedalaman suatu penelitian” (Salim, 2006:35). Dalam penelitian ini, triangulasi yang digunakan yaitu triangulasi sumber (data) dan triangulasi metode. Menurut Sutopo “triangulasi data atau sumber mengarahkan peneliti menggunakan sumber data yang berbeda” (Sutopo, 2002: 79). Artinya, data yang sama atau sejenis, secara kelompok berasal dari sumber sejenis ataupun berbeda jenis. Triangulasi sumber dalam penelitian ini yaitu informan. Kedudukan informan sebagai narasumber dengan teknik wawancara mendalam (wawancara tidak terstruktur), sehingga informasi dari narasumber yang satu bisa dibandingkan dengan informasi dari narasumber (informan) lainnya. Penelitian ini menggunakan triangulasi data (sumber) yaitu informan yang
berbeda-beda
dengan
mengkategorikan
informan
sesuai
dengan
karakteristiknya yaitu dengan ukuran sesuai dengan umur (tua/muda), status pendidikan (pelajar/mahasiswa atau sudah bekerja), status pekerjaan dan kendaraan yang dipakai (motor atau mobil). Selain itu juga melihat tentang interaksi yang terjadi di HIK. Pengecekan balik untuk memperoleh derajat kepercayaan (validitas) dilakukan dengan membandingkan persepsi informan yang satu dengan informan yang lainnya tentang HIK sebagai ruang publik berdasarkan obrolan dan interaksi yang terjadi di sana, lalu membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara yaitu membandingkan antara persepsi informan dengan pengamatan yang sebenarnya tentang HIK sebagai ruang publik. Sedangkan “trianggulasi metode yaitu pengumpulan data-data yang sejenis, tetapi dengan menggunakan teknik atau metode yang berbeda” (Sutopo, 2002: 80). Hal ini digunakan untuk membandingkan data yang telah diperoleh dari beberapa metode atau teknik pengumpulan data, sehingga dapat ditarik kesimpulan data untuk lebih kuat validitasnya. “Trianggulasi ini dilakukan untuk melakukan pengecekan terhadap penggunaan metode pengumpulan data” (Bungin, 2008: 257). Dari hal diatas maka triangulasi metode yang digunakan 59
dalam penelitian ini yaitu dengan metode wawancara mendalam (indepth interviewing) dan metode observasi partisipan (pengamatan berperan serta). Metode wawancara mendalam dan observasi digunakan untuk mengetahui bahwa data yang diperoleh benar-benar valid dan merupakan fenomena yang benar-benar terjadi di dalam masyarakat (dimana dalam penelitian ini peristiwa yang sebenarnya terjadi di HIK).
G.
Prosedur Penelitian
Langkah-langkah penelitian kualitatif tidak dapat ditentukan secara pasti seperti halnya penelitian kuantitatif. Langkah-langkah penelitian ini digunakan sebagai bgan atau kerangka yang akan dilakukan oleh peneliti supaya tidak salah langkah dan digunakan agar penelitian mudah dilakukan karena sesuai prosedur yang pasti. “Langkah-langkah yang diambil dalam penelitian ini adalah dengan mengambil prosedur penelitian yang meliputi empat tahap, yaitu: persiapan, pengumpulan data, analisis data, dan penyusunan laporan penelitian” (Sutopo, 2002: 187-189). Untuk lebih jelas akan diuraikan sebagai berikut. a. Persiapan. 1) Menyusun proposal penelitian yang meliputi pengajuan judul dan tulisan proposal penelitian kepada dosen pembimbing . 2) Membuat desain penelitian yaitu dengan mengumpulkan bahan/sumber materi penelitian yang berasal dari lapangan berupa data dan pengamatan awal serta menyiapkan instrumen penelitian atau alat observasi. 3) Mengurus perizinan penelitian. b. Pengumpulan Data. 1) Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam dan pengamatan atau observasi partisipan aktif dan dokumentasi. 2) Membuat fieldnote (catatan lapangan) dan transkrip hasil wawancara. 3) Memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan. c. Analisis Data. 1) Menentukan teknik analisis data yang tepat sesuai desain penelitian yang diawali dari pengumpulan data yang diikuti dengan reduksi data (pembuatan matriks hasil penelitian lapangan), penyajian data (pembuatan 60
matriks hasil lapangan dengan matriks teori) dan penarikan kesimpulan (verifikasi). 2) Mengembangkan hasil eksplorasi data dengan analisis lanjut kemudian disesuaikan dengan hasil temuan di lapangan. 3) Melakukan pengayaan dalam menganalisis data yang sudah ada dengan dosen pembimbing. 4) Membuat simpulan akhir sebagai temuan penelitian. d. Penyusunan Laporan Penelitian. 1) Penyusunan laporan awal. 2) Review laporan yaitu mendiskusikan laporan yang telah disusun dengan dosen pembimbing. 3) Melakukan perbaikan laporan sesuai hasil diskusi 4) Penyusunan laporan akhir.
61
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian
Kota Surakarta yang terkenal dengan sebutan Kota Solo merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah. Kota Solo secara umum merupakan daratan rendah dengan ketinggian ± 92 meter dari permukaan laut dan luas wilayahnya 44,04 km2. Jumlah penduduk kota Solo menurut data Pemkot tahun 2007 adalah 518.245 jiwa pada malam hari, dan fluktuasi penduduk mencapai 1.200.000 jiwa pada siang hari. Secara geografis Kota Solo sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar. Kota Solo merupakan bekas eksKarisidenan Surakarta yang meliputi Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali, Klaten, Wonogiri dan Kabupaten Sragen. Tetapi Kota Solo merupakan kota yang paling besar dari kabupaten-kabupaten lain. Kondisi Kota Solo yang merupakan daerah transit dan disangga oleh daerah lain (kabupaten lain) merupakan satu kesatuan membuat mobilitas yang terjadi sangat besar. Hal ini disebabkan karena penduduk yang masuk ke Kota Solo (dari berbagai kabupaten) malakukan berbagai aktifitas di antaranya, sekolah, bekerja baik itu disektor formal ataupun informal, dan lainnya. Sedangkan secara administratif Kota Solo memiliki lima kecamatan (dengan jumlah kalurahan ada 51). Kecamatankecamatan yang ada di Kota Solo yaitu Kecamatan Banjarsari, Jebres, Laweyan, Pasarkliwon dan Kecamatan Serengan. Jalan Dr Rajiman membujur dari arah timur ke barat dimulai dari Kecamatan Pasarkliwon (Kalurahan Pasarkliwon Baluwarti dan Kalurahan Kauman), Kecamatan Serengan (Kalurahan Kemlayan, Jayengan) sampai dengan Kecamatan Laweyan (Kalurahan Sriwedari, Panularan, Penumping, Bumi dan Kalurahan Pajang), dan panjangnya sekitar 6 (enam) Km. 62
Dilihat dari jumlah penyebaran PKL di Solo, Jalan Dr Rajiman menempati posisi keempat dengan jumlah 133 PKL, jumlah paling banyak PKLnya adalah Jalan Bridg. Slamet Riyadi yang selanjutnya Jalan Adi Sucipto, dan Jalan Ir. Juanda. Jumlah tersebut masih dapat bertambah, karena PKL yang ada sebagian belum terdaftar oleh Pemkot. ”Di sepanjang Dr Rajiman, daerah yang jumlah PKLnya paling banyak di daerah di depan Pasar Kadipolo yaitu berjumlah 72 PKL” (Solopos, 29 Juli 2009: III). Lokasi ini dipilih karena adanya penataan/penertiban PKL di sepanjang jalan protokol di Kota Solo, yang salah satunya larangan berjualan di sepanjang Jalan Slamet Riyadi kecuali di depan Solo Grand Mall (SGM) seiring peresmian program City Walk oleh Pemerintahan Kota Solo (Pemkot Solo). Adanya larangan tersebut membuat banyak PKL mencari tempat/lokasi alternatif untuk berjualan, yang salah satunya di sepanjang Jalan Dr Rajiman. Apalagi karena letak jalur Jalan Dr Rajiman dianggap strategis karena dengan pusat pembelanjaan seperti daerah Coyudan (pusat pertokaan) yang menjajakan perlengkapan rumah tangga, elektronik, sepatu dan sandal pakaian dan lainnya. Alasan di ataslah yang menjadikan ruas jalan Dr Rajiman diserbu oleh PKL salah satunya pedagang HIK. Menurut Wikipedia ”HIK di Solo tidak diketahui kapan dan dimana pertama kali ada, hanya saja HIK beralih di Solo karena dampak perluasaan HIK di Jogyakarta yang dilakukan oleh masyarakat dengan alasan keunikan warung HIK” (Wikipedia. 2008). Warung HIK sendiri berawal sekitar tahun 1950-an dari sesosok Mbah Pawiro/Pairo yang berasal dari Cawas, Klaten. Mbah Pawiro merantau dari desanya menuju kota dengan tujuan berjualan HIK di sekitar emperan Stasiun Tugu Yogyakarta dengan cara menggelar dagangannya. ”Pada saat itu Mbah Pawiro/Pairo berdagang masih menggunakan pikulan (angkring)” (Nn, 2008). Dari awal mula inilah HIK mulai tersebar di seluruh daerah Jawa Tengah, yang salah satunya di Solo. Hal ini pula yang membawa masyarakat dari luar daerah seperti Klaten dan Boyolali datang ke Solo untuk berdagang HIK. Bahkan sampai sekarang pun mayoritas pedagang HIK masih berasal dari Klaten dan Boyolali, hanya saja mereka kini sudah menetap di Solo. Mereka menyebar ke seluruh penjuru Kota Solo yang salah satunya di sepanjang Jalan Dr Rajiman. 63
HIK di Jalan Dr Rajiman, dilihat dari jumlahnya terdapat sekitar 20-an pedagang. Dari 20 HIK tersebut yang memiliki tempat yang biasa digunakan untuk pengunjung sebagai tempat ngobrol (ruang publik) sebanyak 3 warung HIK, maka dalam penelitian ini yang dijadikan obyek penelitian ketiga warung tersebut. Para pedagang HIK tersebut memilih berjualan di Jalan Dr Rajiman karena berdekatan dengan pangkalan (basecamp) pedagang HIK yaitu di Baron. Selain itu, sebagian besar dari mereka mengambil makanan dari PAWON (Paguyuban Wedangan Baron) yang berada di Baron Gede. PAWON merupakan tempat yang mewadahi para pedagang HIK untuk melakukan transaksi makanan. Bahkan pedagang HIK yang berada di Solo kebanyakan mengambil makanan di PAWON. PAWON beranggotakan kurang lebih 200 penjaja HIK dan 300 pemasok makanan. Ketiga HIK tersebut adalah warung milik Bapak Mrdn, Mgr, dan Bapak Jmd. Warung HIK Bapak Mrdn berada di sebelah Pasar Kadipolo depan toko alatalat musik, kantor koperasi, dan toko alat elektronika, dimana tempat parkir depan toko-toko tersebut digunakan untuk tempat lesehan. Warung Bapak Mrdn terbuat bambu dan diberi atap seng, yang luas warungnya 4X3 meter (12 m2). Disana tersedia fasilitas kursi/bangku panjang dan tikar untuk lesehan. Untuk warung Bapak Mgr terletak di daerah Baron sebelah Apotik Fajar Baron, luas warung tersebut 6X2 meter (12 m2). Warung Bapak Mgr terdiri dari gerobag dan tempat lesehan dari tikar. Sedangkan warung Bapak Jmd terletak di daerah belakang Gor Bhinneka tepatnya depan salon perawatan kulit yang berada di depan Jalan Dr. Rajiman atau dekat dengan toko buku Gajah Mada. Perlengkapan warung Bapak Jmd terdiri dari gerobag dan tempat lesehan dari tikar, yang luas warungnya sekirar 5X3 meter (15 m2). Tipe bangunan warung HIK di sepanjang Jalan Dr Rajiman ada tiga macam yaitu permanen, bongkar pasang tenda dan gerobag (cenderung berhenti). Tipe permanen adalah bangunan warung yang sudah menetap dan bangunananya terkadang sudah terbuat dari batu bata. Tipe bongkar pasang disini hampir sama dengan permanen sudah menetap tetapi bangunannya terbuat dari bahan yang mudah dibongkar pasang setiap saat seperti tenda/deklit. Sedangkan tipe gerobag 64
merupakan bangunan warung yang hanya menggunakan gerobag dan diatasnya sudah dilengkapi dengan deklit, tetapi tipe ini sifatnya cenderung menetap dalam artian jika berpindah tempet pun hanya dalam jarak yang dekat dengan lokasi sebelumnya. Dari ketiga tipe tersebut yang paling banyak dipakai adalah bongkar pasang tenda. Untuk tipe permanen dan gerobag (yang cenderung berhenti), sekarang ini jumlahnya sedikit antara 5 hingga 10 pedagang. Diluar tipe-tipe tersebut, juga terdapat pedagang yang menggunakan tipe bangunan campuran antara bongkar pasang tenda dengan gerobag dan premanen dengan gerobag. Warung HIK Bapak Jmd dan Bapak Mgr masuk dalam kategori bangunan tipe gerobag (cenderung berhenti) karena yang diberi tenda hanya gerobag HIK saja dan untuk tempat lesehan beratapkan langit. Sedangkan warung Bapak Mrdn merupakan tipe bangunan permanen yang dilengkapi dengan tempat lesehan di belakang warungnya. Jenis makanan yang dijajakan di HIK terdiri dari gorengan (tempe/tahu goreng, tempe/tahu bacem, pisang goreng, bakwan goreng, bergedel, ayam/ikan goreng, puyuh goreng, blanggreng (singkong goreng), limpung (ketela goreng) dan lainnya) dan makanan tradisional (jajan pasar) seperti klepon, bikang ambon, lemper, lapis legit, combro (ketela tumbuk goreng), pisang rebus, prastel, karang gesing (makanan yang terbuat dari pisang), mego mendung (makanan yang terbuat dari tepung terigu diisi dengan pisang), dan lainnya. Makanan selain gorengan dan jajan pasar adalah sate (sate ayam, sate kulit, sate bakso, sate jamur, sate telur puyuh, sate kikil, sate usus, dan sate keong), nasi (nasi kucing/banding, nasi oseng-oseng, nasi goreng), dan makanan kecil lainnya seperti marneng, rambak (rambak kulit ikan, rambak kulit sapi, rambak kedelai, rambak biasa), kerupuk, karak, kacang goreng, kacang kulit, kedelai goreng dan sebagainya. Aneka jenis makanan (terutama gorengan dan sate) yang dijajakan di HIK dapat dipesan dalam keadaan hangat dengan dibakar atau biasa. Untuk menu minumannya terdiri dari teh, kopi, jahe hangat dan minuman instant seperti coffeemix, marimas, nutrisari dan lainnya yang semuanya dapat disajikan dalam keadaan hangat atau dingin. Tetapi untuk teh dan kopi di sebagian warung HIK menyediakan kedua minuman tersebut disediakan dalam dua variasi yaitu teh/kopi 65
joss atau tubruk. Teh/kopi joss merupakan racikan minuman yang dicampur dengan bara api saat terakhir penyajiannya, sedangkan teh/kopi tubruk adalah minuman teh/kopi yang dalam pengolahannya diberi jahe. Walaupun kedua minuman ini terbilang kreasi minuman baru, namun menjadi menu favorit yang selalu dicari pelanggan HIK terutama oleh mereka yang menjadi penggemar minuman tersebut. Harga makanan di HIK sangatlah beragam mulai dari Rp. 200,00 hingga Rp 4.000,00, bahkan dari patrolan harga tersebut setiap HIK menentukan tarif berbeda-beda walaupun makanan yang dijual sama. Seperti nasi kucing, di warung HIK Bapak Mrdn harganya hanya Rp. 1.000,00 sedangkan di warung Bapak Jmd harganya Rp. 1.500,00.
B. Deskripsi Data Penelitian
Ruang publik merupakan suatu ruang atau tempat yang bebas digunakan oleh semua orang dari berbagai strata, dan disana semuanya dapat melakukan percakapan tanpa adanya sesuatu yang mengikat mereka. Dari percakapan inilah terjadinya suatu komunikasi yang lama-kelamaan membentuk interaksi individu antar individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok yang ada didalamnya. Dalam percakapan yang terjadi, mereka melepaskan diri dari berbagi atribut sosial dan budaya serta kepentingan tertentu. Semua orang yang berada dalam ruang publik senantiasa mengaitkan materi percakapan dengan kepentingan masyarakat luas atau masalah yang aktual pada saat itu. Percakapanpercakapan dalam ruang publik dapat disebut pula dengan obrolan. Ruang publik di Kota Solo yang sering digunakan untuk mengobrol adalah warung-warung HIK yang berada di Jalan Dr Rajiman. Ruang publik menurut Habermas ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis dan bermakna. Responsif berarti bahwa ruang publik harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas, dalam ruang publik semua orang harus dapat merespons segala situasi yang berkembang didalamnya. Sementara demokratis berarti ruang publik seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya serta 66
aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Dan terakhir bermakna yang berarti ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dunia luas, dan konteks sosial. Tautan-tautan antar manusia inilah yang membentuk suatu interaksi diruang publik. Sifat demokratis ruang publik dalam penelitian ini berhubungan dengan karakteristis pengunjung HIK yang beraneka ragam dan obrolan yang terjadi di HIK. Sifat bermakna dapat dilihat dari salah satu kegiatan yang dilakukan diruang publik yaitu mengobrol untuk membicarakan berbagai persoalaan-persoalaan yang terjadi didalam masyarakat. Obrolan yang merupakan salah satu bentuk komunikasi inilah yang nantinya akan membentuk suatu interaksi semua orang yang berada di HIK. Dari ngobrol-ngobrol disinilah sifat responsif dipergunakan oleh pengunjung untuk merespons segala situasi.
1.
Karakteristik Pengunjung HIK Ruang publik yang sifatnya demokratis salah satunya dapat dilihat dari
karakteristik pengunjung HIK. Karakteristik pengunjung HIK dalam penelitian ini diambil berdasarkan jenis kelamin dan usia, agama, etnis serta strata sosial masing-masing individu di dalam kehidupan bermasyarakat. a. Jenis Kelamin dan Usia Pengunjung HIK Menurut William Kornblum perbedaan “jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dan laki-laki secara biologis” (Priyono, 2007: 21). Selain itu pengunjung juga dapat dikategorikan berdasarkan usia. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa pengunjung HIK dilihat dari jenis kelamin jumlahnya hampir sama antara laki-laki dan perempuan, sedangkan dilihat dari usianya dapat di kategorikan sebagai berikut: 1) Kalangan orang dewasa Menurut Hurlock, masa dewasa terdapat tiga kategori. Pertama masa dewasa dini, yang dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Kedua masa dewasa madya yang dimulai pada umur 40 tahun sampai umur 60 tahun. Ketiga masa dewasa lanjut (usia lanjut), 67
dimulai pada umur 60 tahun keatas (1993: 246). Menurut wawancara dengan penjaja HIK yaitu Bapak Mrdn, Jmd dan Mgr, pengunjung kategori orang dewasa yang biasa datang dua golongan yaitu dewasa yang sudah tua dan dewasa yang masih muda. Kategori usia dewasa yang sudah tua yang dimaksud adalah pengunjung yang berusia 40 tahun keatas atau menurut Hurlock masuk dalam kategori masa dewasa madya dan masa dewasa lanjut. Sedangkan usia dewasa yang masih muda adalah pengunjung yang usianya 20 tahun keatas, seperti pengunjung yang masih kuliah (mahasiswa) ataupun orang dewasa yang sudah bekerja baik itu sudah menikah atau belum menikah. Pengunjung kalangan dewasa lebih suka datang ke HIK setelah pulang kerja terutama ketika malam hari sekitar pukul 19.00 WIB ke atas. Mereka lebih memilih pergi ke HIK atau tempat lainnya setelah kerja karena kegiatan seperti ini merupakan suatu aktivitas refreshing untuk menghilangkan kepenatan dan kejenuhan dari kerja satu hari penuh. Lihat saja Pyn yang berusia 26 tahun (termasuk kategori orang dewasa) dan merupakan karyawan salah satu pabrik di Solo menyatakan bahwa: “…aku biasa datang habis pulang kerja ya….jam segini (sekitar pukul 19.00 WIB) tapi terkadang juga jam sembilan (21.00 WIB) baru datang, cabutnya ntar malam (kurang lebih pukul 22.00 atau 23.00 WIB), sama teman-teman tapi kalau enggak sama pacar….ngilangin stress kerja….kan paling enak nongkrong ma temen gitu….”(Wwcr/Pyn/15/07/09). 2) Kalangan remaja Menurut Hurlock, “masa remaja berlangsung kira-kira dari 13 tahun sampai 16 atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum” (1993: 206). Kategori kalangan remaja antara lain pengunjung yang bersekolah tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Akhir (SMA).
68
3) Kalangan anak-anak Kalangan anak-anak yang sering datang ke HIK yaitu usia 2 tahun hingga usia 12 tahun. Anak-anak kategori ini adalah mereka yang belum sekolah hingga anak-anak yang sudah bersekolah tingkat Sekolah Dasar (SD). Pengunjung HIK kategori anak-anak biasa datang bersama dengan orang tua atau orang dewasa yang masih satu keluarga. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Sr, “ …saya hampir setiap hari kesini (HIK) dengan anak (masih TK) dan suami, ya…biasanya jam segini (sekitar pukul 19.00 WIB) datangnya habis ntar kalau malam-malam kan anakku ngantuk lah, apalagi besok kan anak harus sekolah dan kita (orang tua)nya kerja…….ya enggak langsung pulang kerumah tapi dari sini masih keliling-keliling….”(Wwcr/Sr/14/08/09). Setiap hari di HIK pengunjung yang datang dari berbagai usia mulai dari anak-anak sampai orang tua, hanya saja untuk pengunjung anak-anak datang saat sore hari tetapi untuk mereka yang datang bersama orang dewasa bisa sampai malam hari. b. Agama Menurut pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, untuk mengetahui agama pengunjung HIK dapat dilihat atribut-atribut agama yang mereka pakai. Seperti agama Islam perempuannya memakai kerudung, agama Katholik dan Kristen memakai kalung/gelang berbentuk salib. Meskipun tidak semua pengunjung HIK memakai berbagai atribut-atribut agama. c. Etnis Keberadaan berbagai etnis menjadi gambaran tentang kompleksitas kebudayaan di Indonesia. Menurut Bruce J. Cohen bahwa ”kelompok etnis dibedakan oleh karakteristik budaya yang dimiliki oleh para anggotanya” (Priyono, 2007: 19). Salah satu karakteristik etnis dapat dilihat melalui penggunaan bahasa. Tetapi karena lokasi penelitian mengambil daerah Solo yang masyarakatnya sebagian besar etnis Jawa, Tionghoa dan Arab, maka
69
disini diambil perbedaan dari daerah asal para pengunjung HIK serta bahasa yang digunakan dalam melakukan interaksi di dalam HIK. Menurut pengamatan yang dilakukan, perbedaan bahasa yang digunakan terlihat dari logat atau dialek saat berbicara. Di Solo sendiri logat bahasa yang digunakan beranekaragam karena dilihat dari daerah asalnya penduduk di Solo bersifat heterogen/beragam. Ada penduduk asli Solo dan penduduk berasal dari daerah luar Solo yang menetap di Solo (menjadi warga Solo). Pengunjung yang merupakan orang asli Solo merupakan etnis Jawa dalam berbicara menggunakan Bahasa Indonesia atau Jawa dengan logat Solo. Sedangkan pengunjung yang merupakan orang Solo tetapi berasal dari luar daerah, bahasa yang digunakan sama yaitu Bahasa Indonesia dan Jawa namun mereka menggunakan logat asal daerah mereka. Dan pengunjung yang merupakan etnis Tionghoa dalam berbahasa lebih berirama dengan logat China. Pengunjung etnis Arab menggunakan Bahasa Indonesia dengan logat Arab mendayu dan tegas tidak seperti orang China yang agak cadel. Untuk pengunjung yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam berbahasa logatnya sangat medok (khas) Bahasa Jawa sesuai dengan daerah masingmasing. Terutama mereka yang berasal dari daerah seperti Purbalingga, Cilacap dan Banjarnegara menggunakan logat ngapak-ngapak, sedangkan pengunjung berasal dari Jawa Barat dalam berbicara terlihat dengan logat Sunda. Pengunjung dari Jakarta menggunakan Bahasa Indonesia yang sebagian terlihat menggunakan logat Betawi. d. Strata sosial Strata sosial yang berarti membedakan masyarakat berdasarkan lapisan-lapisan sosial secara bertingkat atau sifatnya vertikal. Terbentuknya strata sosial merupakan hasil kebiasaan manusia antara satu dengan yang lain secara teratur dan tersusun, baik secara perorangan ataupun kelompok. HIK sebagai ruang publik yang bebas di kunjungi oleh berbagai strata sosial dalam masyarakat dapat dilihat dari berbagai kelas dan golongan di antaranya berdasarkan kriteria ekonomi, sosial, dan politik. Strata sosial dari pengunjung HIK dilihat dari berbagai kriteria antara lain: 70
1). Kriteria Sosial-Ekonomi Pengunjung Secara umum, pelapisan sosial (strata sosial) masyarakat di negaranegara demokratis seperti Indonesia, dilihat dari pekerjaan antara lain golongan pertama adalah upper-upper class meliputi golongan orang kaya lama yang berpengaruh dalam masyarakat seperti penguasa negara. Golongan kedua, lower-upperclass merupakan kelompok orang yang belum lama menjadi kaya. Golongan ketiga, upper-middle class mencakup
pengusaha
dan
kaum
professional
(pekerjaan
yang
membutuhkan ijazah dan gelar pendidikan minimal S1/Strata1). Golongan
keempat,
lower-middle
class
meliputi
para
pegawai
pemerintah, kaum semi professional (pegawai kantor, pedagang, teknisi yang berpendidikan menengah dan mereka yang tidak bergelar), para supervisor
(manager,
kepala
cabang
perusahaan)
dan
pengrajin
terkemuka. Golongan kelima, upper-lower class terdiri dari sebagian besar pekerja tetap (pekerja), orang-orang yang mempunyai keterampilan mekanis, teknisi dan kapster. Golongan keenam, lower-lower class diantaranya pekerja tidak tetap, pengangguran, buruh musiman, dan orang-orang yang hampir terus-menerus bergantung pada tunjangan. Selain itu kriteria ekonomi ini dibagi menjadi kelompok orang kaya, berkecukupan dan miskin. Di HIK sebagai ruang publik sangatlah beragam pekerjaan pengunjungnya mulai dari pengangguran, buruh, sopir becak, sampai karyawan/pegawai dengan berbagai jabatan. Dilihat dari pekerjaan pengunjung
HIK,
sebagian
besar
mereka
bekerja
sebagai
pegawai/karyawan suatu perusahaan atau toko yang masuk dalam golongan keempat yaitu lower-middle class. Golongan tersebut paling banyak karena Jalan Dr Rajiman (lokasi penelitian) dekat dengan pabrikpabrik dan pertokoan. Dilihat dari tingkat pendidikan yang dicapai oleh individu dalam masyarakat ada tiga golongan diantaranya:
71
a) Masyarakat berpendidikan tinggi adalah mereka yang melanjutkan pendidikan tingkat kuliah, baik itu yang sudah lulus kuliah atau masih kuliah. b) Masyarakat
berpendidikan
menengah
adalah
mereka
yang
melanjutkan pendidikan ke tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga lulus. c) Masyarakat berpendidikan rendah adalah mereka yang
hanya
berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dan masyarakat yang tidak bersekolah. Pendidikan menjadi faktor penting yang menjadi indikator penentuan strata sosial oleh masyarakat dalam berbagai strata, golongan strata atas umumnya bersekolah disekolah-sekolah terkenal ataupun sekolah taraf internasional dan mereka melanjutkan pendidikan sampat tingkat pendidikan tertinggi seperti S1, S2, S3 dan seterusnya. Sementara itu masyarakat yang menduduki strata menengah ke bawah kebanyakan bersekolah di sekolah negeri atau swasta biasa, bahkan ada diantara mereka putus sekolah atau tidak sekolah sama sekali karena keterbatasan ekonomi. Pengunjung HIK dilihat dari tingkat pendidikannya culup beragam, mulai dari mereka yang masih sekolah sampai yang sudah lulus/tamat sekolah seperti SMA dan sederajat (SMK/STM) bahkan terdapat pengunjung yang lulusan S1 dan S2. Mereka yang sudah lulus/tamat sekolah ini rata-rata sudah bekerja. “he…aku kelas XI (SMA kelas 2 disalah satu SMA Negeri di Solo)….kan baru pulang les jadi mampir sekalian kan lapar kebetulan diajak bocah-bocah (teman-teman) makan sini ya udah deh…”(Wwcr/T/26/08/09). Berbeda dengan ungkapan Bapak Rhmt yang agak ragu-ragu ketika peneliti menanyakan pekerjaan dan pendidikan terakhirnya, namun karena sebelumnya Bapak Rhmt menanyakan berbagai hal kepada peneliti akhirnya beliau mengungkapkan dan menceritakan tentang pekerjaanya. 72
“ saya kerja di agent travel X, sama mbak dulu saya juga kuliah di UNS tetapi di Ekonomi program administrasi. Saya bisa kerja disitu juga karena program magang waktu semester VII kebetulan milih administrasi di travel. E’… mungkin karena kerjanya bagus dan kebetulan membutuhkan administrasi saya dipanggil untuk menggantikan yang lama sampai sekarang. Hanya saja satu tahun kerja dapat jabatan baru untuk mempromosikan travel akhirnya menjadi sekarang menjadi kepala pemasaran…..”(Wwcr/Bpk Rhmt/14/08/09). Selain itu, dari wawancara dengan beberapa pengunjung lainnya seperti Pyn dan Dn yang merupakan lulusan SMA/SMK dan mereka sudah bekerja sebagai karyawan/karyawati. Pyn merupakan karyawan di sebuah pabrik tekstil di Solo, sedangkan Dn adalah karyawati di sebuah toko yang letaknya di dekat Pasar Kembang. Mereka berdua menyatakan bahwa mereka senang datang ke HIK untuk bersantai-santai sambil nongkrong setelah satu hari bekerja. Mereka datang ke HIK biasanya bersama teman-teman mereka dan pasangan masing-masing. Bahkan menurut penuturan penjaja HIK yang bernama Bapak Jmd dan Mrdn sebagian dari pengunjung ada yang tidak bersekolah. Menurut pengamatan dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti, di
HIK
tingkatan
pendidikan
tidaklah
dipermasalahkan
bagi
pengunjungnya sehingga tingkat pendidikan ini bukan merupakan suatu penghalang seseorang untuk datang ke HIK.
2). Kriteria Sosial-Budaya Pengunjung Kriteria sosial-budaya pengunjung HIK dapat dilihat dari kebiasaan-kebiasaan perilaku mereka setiap hari terutama ketika mereka di HIK. Salah satu kebiasaan-kebiasaan tersebut dapat dilihat dari cara berbicara pengunjung HIK, karena cara berbicara antara pengunjung berbeda-beda tergantung strata mereka dalam masyarakat. Cara berbicara pengunjung yang tergolong strata atas akan berbeda dengan masyarakat yang berada dalam strata bawah. Pengunjung yang termasuk golongan strata atas (baik itu dilihat dari pekerjaan atau tingkat pendidikannya 73
tinggi) memiliki gaya bicara yang sopan dan memperhatikan etika berbicara (tergantung lawan bicara mereka). Bahkan jika berbicara dalam satu kelompok (pendidikannya setara), mereka sering mengadaptasi istilah-istilah asing. Seperti kalangan anak muda (remaja) yang masih duduk dibangku sekolah atau kuliah menyebut warung HIK yang sering mereka kunjungi dengan sebutan basecamp. Menurut pengamatan yang dilakukan, pengunjung kalangan remaja merupakan pengunjung yang paling menarik perhatian karena kelompok ini lebih mencolok dari pengunjung lainnya. Lihat saja kemeriahan dan kehebohan yang mereka perbuat terutama ketika mereka membicarakan suatu hal yang menarik, ada kalanya mereka tertawa terbahak-bahak sampai melakukan hal-hal yang menarik perhatian pengunjung lain. Seperti perilaku tiba-tiba berdiri sambil mempraktekkan suatu hal yang mereka bicarakan sampai tingkah laku menangis tersedu-sedu karena masalah yang dihadapinya (terutama untuk pengunjung perempuan). Perilaku dan tingkah laku inilah yang membuat pengunjung lain terkejut dan tertarik untuk melihat tingkah mereka. Cara
berbicara
pengunjung
HIK
terkadang
juga
tidak
memperhatikan etika, bahkan sampai mengeluarkan kata-kata yang kurang sopan atau sumpah serapah. Cara berbicara kurang sopan atau sumpah serapah ini biasanya dilakukan oleh pengunjung yang pekerjaannya seperti sopir becak, dan kuli bangunan. Seperti perkataan “bajingan, bajindul, kere, ndlogok”, dan kata-kata kotor lainnya. Kebiasaan berbicara kotor yang mereka bawa ini merupakan dampak dari lingkungan ataupun pekerjaan mereka. Selain cara berbicara kebiasaan perilaku yang lain seperti perilaku saat makan yang tidak sopan atau seenaknya seperti makan dengan kaki diangkat keatas (kebiasaan ini biasa dilakukan oleh pengunjung laki-laki), makan sambil berbicara dan sebagainya. Walaupun kebiasaan-kebiasaan ini
bisa
dibilang
buruk
tetapi
pengunjung
di
HIK
tidak
mempermasalahkannya, karena di HIK semua bebas melakukan segala 74
hal tanpa memandang segala sesuatu dari kesopanan atau tidak asalkan mereka (pengunjung) dan pengunjung lainnya merasa nyaman berada disana. Kebiasaan lain akibat adanya globalisasi menyebabkan alat transportasi juga berkembang pesat, mulai dari munculnya alat transportasi berupa sepeda sampai dengan kendaraan bermesin. Alat transportasi yang berupa kendaraan bermesin digunakan seperti sepeda motor dan mobil membuat kebiasaan berjalan kaki atau bersepeda ontel dilupakan oleh sebagian masyarakat sebab dengan menggunakan sepeda motor atau mobil dapat menempuh suatu perjalanan lebih cepat atau sampai tempat tujuan. Hal inipun juga dilakukan ketika masyarakat datang ke HIK juga menggunakan kendaraan baik itu kendaraan pribadi ataupun kendaraan umum. Kategori kendaraan pribadi disini seperti sepeda motor dan mobil sedangkan kendaraan umum antara lain bus/angkot. Walaupun kendaraan bermesin menjadi primadona alat transportasi masyarakat, alat transportasi tidak bermesin seperti sepeda, becak hingga berjalan kaki masih digunakan oleh sebagian masyarakat terutama masyarakat golongan bawah. Menurut pengamatan yang dilakukan, jenis kendaraan yang dipakai oleh pengunjung HIK diantaranya golongan atas memakai kendaraan mobil dan motor, golongan menengah mengendarai motor dan sepeda. Diluar jenis kendaraan-kendaraan tersebut seperti jalan kaki atau naik kendaraan umum (becak, bus, angkot) tidak dapat digolongkan karena ada beberapa alasan seperti rumahnya dekat memilih untuk berjalan kaki, atau pengunjung yang malas mengendarai kendaraan pribadi atau tidak dapat mengoperasikannya akan memilih nebeng teman atau naik kendaraan umum.
3). Kriteria Sosial-Politik Pengunjung Pelapisan masyarakat dalam kriteria sosial-politik berhubungan dengan wewenang dan kekuasaan masyarakat. Masyarakat yang memiliki 75
wewenang atau
kekuasaan
umumnya ditempatkan pada lapisan
masyarakat atas. Kelompok ini antara lain para penjabat eksekutif dalam pemerintahan pusat ataupun daerah hingga penjabat dalam suatu perusahaan atau lembaga-lembaga sosial di dalam masyarakat. Kriteria sosial-politik pengunjung HIK sangatlah beragam mulai dari masyarakat biasa, kalangan penjabat serta berbagai aktivis dari LSM. Mereka datang ke HIK selain dalam rangka makan atau hanya ngobrol, sebenarnya mereka juga ingin mengetahui kebiasaan masyarakat lewat obrolan yang mereka lakukan (melakukan pengamatan di HIK). Bahkan sebagian kalangan seperti para aktivis dan penjabat pemerintahan (Lurah atau Kades, Camat dan lainnya), warung HIK digunakan untuk mendengarkan suara masyarakat tentang berbagai hal yang berhubungan dengan keluhan atau kenyamanan masyarakat tentang program atau kegiatan dari pemerintah dan sebagainya. Di lihat dari hal tersebut menjadikan HIK sebagai tempat untuk menyampaikan aspirasi masyarakat terutama pengunjung HIK kepada perangkat desa ataupun penjabat pemerintahan lainnya tentang keluhankeluhan sekitar lingkungan tempat tinggal atau desa mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Jmd bahwa di HIKnya terkadang ada pembicaraan tentang program desa seperti perbaikan selokan, perbaikan saluran pembuangan samapah dan sebagainya yang biasanya juga didatangi oleh Bapak Lurah, tetapi untuk pembicaraan seperti kerja bakti yang datang adalah warga bersama Bapak RT atau RW. Senada dengan Bapak Jmd, penjaja HIK lainnya yaitu Bapak Mrdn mengatakan bahwa warung HIK miliknya terkadang digunakan oleh anggota LSM untuk mengumpulkan aspirasi masyarakat, salah satunya organisasi PKL Jalan Dr. Rajiman dalam membicarakan pengelolaan PKL Pasar Kembang dan Pasar Kadipolo dengan perwakilan PKL setempat. Selain itu menurut Bapak Mrdn terkadang ketika terdapat pengunjung yang kebetulan menjabat sebagai pejabat pemerintahan, para pengunjung lain (yang mengetahuinya) secara spontan menanyakan masalah-masalah 76
ekonomi, politik hingga masalah pemerintahan tetapi pembicaraan ini biasanya dibumbui dengan pembicaraan yang lucu sehingga pembicaraan tidak membosankan. Mendengarkan suara masyarakat yang dilakukan di tempat umum seperti HIK ini terjadi secara spontan karena mereka memang refleks membicakan suatu masalah yang berhubungan dengan keadaan desa atau sekitar tempat tinggal mereka kepada siapa saja yang datang di HIK tidak terkecuali dengan mereka yang menjabat sebagai perangkat desa (kedudukan dalam pemerintahan). Keadaan seperti inilah yang membuat HIK sebagai ruang publik bersifat demokratis sebab semua pengunjung dapat membicarakan berbagai hal dan kepada siapa saja tanpa batasan.
2.
Obrolan Di HIK Obrolan atau pembicaraan di HIK terjadi secara bebas (sifatnya bebas) dan terbuka dengan mempergunakan bahasa atau simbol sebagai alat komunikasi diantara pedagang dan pengunjung atau antara pengunjung. Sifatnya bebas, dalam artian semua orang yang berada di HIK bebas membicarakan berbagai hal/peristiwa/masalah, sedangkan terbuka berarti mereka secara terbuka atau bebas berbicara dengan siapa saja termasuk dengan orang yang belum dikenal sekalipun. Pembicaraan/obrolan yang terjadi di HIK menggunakan beberapa bahasa diantaranya Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia dan Campuran antara Bahasa Indonesia dan Jawa. Tetapi karena perkembangan jaman dan arus globalisasi seperti sekarang ini, bahasa juga mengalami perkembangan terutama bahasa yang digunakan oleh sekelompok orang sehingga muncullah suatu bahasa baru yang salah satunya adalah bahasa gaul. Bahasa gaul wujud dari campuran atau gabungan berbagai bahasa yang ada di Indonesia. Bahasa gaul ini biasa digunakan oleh sebagian sekelompok anak muda untuk berkomunikasi. Bahasa Jawa yang digunakan oleh pengunjung HIK adalah Bahasa Jawa Ngoko. Bahasa Jawa yang dipergunakan sangat beragam dengan 77
bermacam-macam logat tergantung daerah asal pengunjung yang belum terbiasa dengan logat Jawa Solo. Bahasa Indonesia yang menjadi Bahasa Nasional, merupakan bahasa pengantar yang paling banyak digunakan dalam berinteraksi oleh semua pengunjung terutama oleh pengunjung yang tidak mengerti Bahasa Jawa. Ataupun pengunjung yang hanya bergaya dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Sedangkan bahasa gaul sering digunakan oleh pengunjung kalangan remaja terutama remaja yang sangat senang menggunakan teknologi atau yang terkena imbas arus informasi dan globalisasi. Karena bahasa gaul ini merupakan perpaduan atar berbagai bahasa yang digunakan oleh mereka (komunitas) yang mengakuinya dan menggunakannya. Diluar logat (cara pengucapan) yang sesuai dengan daerah asal (medok), sekarang ini masyarakat terutama kalangan remaja sedang mengikuti logat orang asing (Bule). Salah satu contohnya adalah memanggil teman mereka dengan sebutan “bro” (singkatan dari brother yang berarti saudara) atau “bu” (panggilan untuk teman wanita) dan banyak lagi. Trend bahasa gaul ini mulai marak digunakan oleh masyarakat terutama remaja dari film-film ataupun sinetron yang mereka lihat di televisi. Selain bahasa, di HIK simbol juga digunakan sebagai alat komunikasi. Diantaranya angkat tangan, tepuk tangan atau bersiul sebagai simbol kalau pengunjung ingin memesan sesuatu pada pedagang, dan berbagai pola tingkah laku lainnya yang digunakan untuk memberikan isyarat pada orang lain (baik itu pedagang ataupun pengunjung lainnya). Obrolan yang terjadi di HIK sangatlah beragam mulai dari obrolan yang sifatnya pribadi seperti keluarga, pacar, diri sendiri (yang bersangkutan), pekerjaan/sekolah, konflik dengan orang lain, dan sebagainya. Serta obrolan yang sifatnya umum diantaranya tentang ekonomi, politik, sosial, olahraga, fashion/pakaian, teknologi, kesehatan, internasional, hiburan dan sebagainya. Obrolan sifatnya pribadi yang sering dibicarakan antara lain: a. Obrolan tentang diri sendiri (yang bersangkutan) Pembicaran tentang diri sendiri ini merupakan suatu hal yang dibicarakan untuk memulai pembicaraan (pernyataan basa-basi) dengan 78
orang lain yang tidak dikenal atau karena tidak ada topik poembicaraan lainnya. Seperti “…bosan hari ini…?; hah…stress nie…?”. Obrolan tentang diri sendiri digunakan untuk mengungkapkan kegelisahan, kegundahan ataupun kegembiraan seseorang kepada orang lain. Salah satu kegundahan dan kegelisahan yang menjadi bahan obrolan di HIK adalah tentang masalah diri sendiri. Masalah tentang diri sendiri merupakan suatu persoalan yang timbul dalam diri individuindividu karena ketidakmampuan mereka mengendalikan diri. Obrolan dalam kategori ini antara lain tentang susah tidur, stress karena suatu hal, bosan dan sebagainya. Masalah ini merupakan salah satu topik obrolan yang sering dibicarakan oleh semua orang. b. Obrolan tentang keluarga Obrolan tentang keluarga sering dibicarakan oleh pengunjung, terutama pengunjung yang sudah dewasa. Pembahasan obrolan keluarga biasanya tentang keberhasilan atau kesuksesan putra-putri mereka, tingkah lucu ataupun kenakalan anak atau cucu mereka hingga berbagai kejadian unik atau lucu yang terjadi di dalam keluarga mereka. Salah satu obrolan tentang masalah keluarga adalah seperti yang dibicarakan oleh Ibu Sr yang yang bertukar pengalaman dengan pengunjung lain tentang masalah anak–anak mereka yang nakal atau bandel: “piye tho bu….??? Ry niku mboten saget moco tapi yen itungitungan isoh bu, tapi yen diajari ngeja niku mboten saget-saget nganti mumet bu….padahal tahun ngarep ajeng SD…. (…bagaimana bu…??? Ry (anak ibu Sr yang masih TK besar) tidak bisa membaca padahal tentang hitung-hitungan (matematika dasar) sudah lancer tetapi kalau dilatih setiap hari tetap saja tidak bisa-biasa membuat pusing saja padahal tahun depan sudah mau SD…)” (Wwcr/Sr/14/08/09). Obrolan masalah tersebut biasanya ditanggapi oleh pengunjung lainnya yang sama-sama sudah berkeluarga dengan berbagi pengalaman mereka satu sama lainnya atau terkadang memberi nasihat tentang sikap yang harus mereka lakukan kepada keluarga mereka masing-masing. Selain itu, obrolan keluarga terkadang juga dibicarakan oleh remaja atau 79
kalangan anak muda yang mempunyai masalah keluarga seperti bentrok atau konflik dengan orang tua atau anggota keluarga lain serta masalahmasalah yang dihadapi remaja karena orang tua mereka bercerai dan sebagainya. Obrolan masalah keluarga oleh remaja ini merupakan pembicaraan dalam bentuk curhat atau sharing baik itu dengan teman ataupun penjaja (mereka yang sudah akrab). Salah satu hasil pengamatan tentang masalah keluarga ini adalah yang dilakukan oleh Dn yang sering meminta saran/sharing/curhat kepada teman-temannya atau terkadang dengan penjaja HIK tentang konflik dengan orang tuanya, “pusing enggak betah dirumah…. ibu tu…ngomel-ngomel terus gak tahu sebabnya apa….tapi kalau di tanya ngapain marah e…malah banding-bandingin aku ma tetanggaku yang sekarang dah PNS…mana jadi PNS lulus ja SMK kerja sekarang ja dah syukur… tho!!! E’ belum lagi ntar kompalin lain-lainnya lagi. Terus ja bandingin anaknya dengan orang lain….sebel aku…(Obsvsi/Dn/21/07/09)” Berbeda dengan Tn yang masih duduk di bangku SMA, merasa sebal dengan orang tuanya yang marah-marah karena ketahuan bolos sekolah satu hari. “ha…diceramahi ki…ma ibuku…wingi konangan cabut neng SGM, kowe kit ho… pekok bengok-bengok yo weruh to…. Ha…neng ngomah ku di ceramahi….suwe tenan, nganyelke…. ( ha…dimarahi sama ibu karena kemarin ketahuan tidak masuk sekolah jadi di rumah di marahi lama banget)”(Obsvs/Wr Bp Mrdn/25/08/09). Masalah keluarga yang dialami oleh remaja ini, biasanya tentang perasaan kekesalan, kekecewaan atau unek-unek mereka terhadap orang tua atau anggota keluarga lain yang membuat mereka tidak merasa nyaman dirumah. c. Obrolan tentang pacar Obrolan tentang pacar memang tergolong pembicaraan yang umum dilakukan oleh pengunjung HIK terutama kalangan anak muda/remaja yang memiliki pacar ataupun orang dewasa yang belum menikah. Obrolan
ini
berisi
tentang 80
konflik
akibat
kecemburuan
atau
ketidakcocokan mereka dalam berbagai hal yang menimbulkan suatu problem didalamnya. Seperti dialami oleh Pyn yang merasa sudah tidak cocok dengan pacarnya yang menurutnya sering menuntut untuk ditemani kamana saja, “…stress’ pak…ben byar kon ngancani mrono-mrene, padahal gandeng wae lagi anyaran… (menyebalkan, setiap hari disuruh menemani kemana saja padahal pacaran saja baru saja….)”(Wwcr/Pyn/15/07/09). Berbeda dengan Sp yang merasa marah dengan tingkah pacarnya yang over protective (pecemburu) sehingga dia merasa keberatan harus selalu memberitahu dimana saja dia berada, “…pertama-tama senang diperhatikan selalu tanya dimana dan dengan siapa aku tapi lama-kelamaan capai setiap saat ditanya ntar kalau dengan teman cowok (satu kampus) saja marah-marah sampai berantem akhirnya ko’…”(Obsvs/Wr Bp Mrdn/25/08/09). Menurut pengakuan penjaja HIK Bapak Mgr, obrolan tentang pacar ini di warungnya memang menjadi bahan pembicaraan yang dibicaran oleh pengunjung yang masih sekolah (SMA) dan sudah akrab dengan beliau, “ judeg mbak…yen wis bocah-bocah kemari kalau ada masalah dengan pacarnya. Walah curhatannya komplit dari A sampai Z tapi intine’ okeh-okeh’e ( intinya masalah yang dibicarakan kebanyakan) paling masalah cemburu dan bertengkar enggak jelas maklum masih SMA masih labil sedikit-sedikit bertengkar…,”(Wwce/Bpk Mgr/14/08/09). Selain masalah pertengkaran atau kecemburuan dalam berpacaran, di HIK juga terdapat yang membicarakan tentang tempat ngedate atau hang out yang enak untuk berduaan dengan pacar. Bahkan mereka sampai mencari informasi tentang tempat-tempat yang akan mengadakan suatu kegiatan seperti konser atau lainnya. Informasi-informasi tentang konser ataupun pagelaran lainnya di dapat oleh pengunjung HIK dari mulut ke mulut atau terkadang mereka memesan informasi kepada penjaja HIK jika mendapat informasi dari pengunjung lainnya. Menurut pengamatan, informasi tentang event-event atau acara seperti konser, 81
pameran, ataupun pagelaran biasa memang ditampung oleh penjaja HIK dari berbagai pengunjung untuk diberitahukan kepada para pelanggannya terutama mereka yang masih remaja ataupun dewasa yang tertarik dengan informasi-informasi tersebut. d. Obrolan tentang sekolah dan masalah pekerjaan Obrolan tentang sekolah biasanya terjadi pada kalangan anak sekolah atau pelajar/mahasiswa. Obrolan ini isinya tentang berbagai hal yang terjadi di sekolah atau kampus baik itu tentang pelajaran, teman atau staff pengajar (guru/dosen). Seperti Rt yang merupakan mahasiswa PTN di Solo terkadang membicarakan masalah kampus seperti masalah teman kampusnya dengan pacarnya, “ temenku itu menyebalkan (resek), pinjam sesuatu pasti enggak kembali….kemarin ja pinjam baju putih ku padahal baju putih kesayangan satu-satunya lagi, udah ku pinjami e’….waktunya ku minta segala alasan.. baru di cuci, ketinggalan dirumah apalah….akhirnya ya enggak kembali….., kata si E juga dia pinjam uang juga enggak kembali…parah tu orang pinjam enggak lihat kondisi lainnya…..”(Obsvs/Rt/13/08/09). Obrolan tentang konflik dengan teman sekolah (seperti yang diungkapkan oleh Rt) merupakan topik yang selalu dibahas atau diceritakan di HIK, baik itu diceritakan dengan teman satu geng (gaps) ataupun dengan penjaja HIK. Sedangkan obrolan tentang pelajaran, sangat jarang mereka bahas ketika di HIK karena berbagai persoalan pelajaran mereka selesaikan dengan mengikuti berbagai kegiatan bimbingan belajar (les pelajaran) di luar sekolah. Selain itu menurut pengamatan yang dilakukan, obrolan tentang sekolah yang sering dibicarakan adalah tentang masalah guru atau pengajar, terutama membicarakan guru yang galak (sering disebut killer oleh para siswa). Bagi mereka keberadaan guru killer ini yang membuat kegiatan belajarmengajar di kelas menjadi menakutkan atau menegangkan (tidak menyenangkan) sehingga membuat mereka tidak kerasaan (betah) di kelas saat pelajaran berlangsung. Diluar obrolan tentang guru-guru killer, mereka juga membicarakan kegiatan ekstrakurikuler yang mereka tekuni 82
di sekolah. Obrolan tersebut mulai dari kesenangan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler
tersebut
hingga
jadwal
berbagai
kegiatan
di
ekstrakulikuler, bahkan tidak jarang pula mereka mengajak untuk bergabung dalam kegiatan tersebut kepada teman lainnya yang tidak mengikuti ekstrakurikuler apapun. Obrolan tentang pekerjaan biasanya dilakukan oleh mereka yang sudah bekerja, dan bahan pembicaraannya sekitar masalah date line (masalah waktu mengerjakan tugas mereka yang menumpuk/banyak), masalah konflik dengan teman, masalah dengan atasan (dalam dunia kerja sering disebut boss) dan sebagainya. Hal senada juga diutarakan oleh Pyn yang bekerja di salah satu pabrik tekstil di Kota Solo, “walah….pakde…akhir-akhir niki mboten saget methu-methu, gaweanne numpuk nglembur terus……akeh pesenan de’…tp ngembur terus kok ngih mboten munggah-munggah jabatanne yo de’….ha….(walah pakde…akhir-akhir ini tidak dapat jalan-jalan karena pekerjaannya banyak sampai lembur atau kejar dateline menyelesaikan pekerjaan.. tetapi melembur terus juga tidak naiknaik jabatannya)”(Obsvs/Pyn/15/08/09). Obrolan
tentang
pekerjaan
merupakan
topik
yang
sering
dibicarakan oleh pengunjung HIK yang sudah bekerja. Diantara pengunjung yang sudah bekerja sebagian masih berstatus mahasiswa (kuliah sambil bekerja atau magang). Bahkan untuk kalangan tertentu seperti aktivis-aktivis LSM ataupun perangkat desa (Lurah, Camat, Rt, Rw dan lainnya), warung HIK digunakan untuk mendapatkan informasi dari masyarakat tentang berbagai hal mengenai keluhan-keluhan masyarakat yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan memperbaiki kinerja mereka dalam mengatur program pemerintahan. e. Obrolan keseharian Obrolan soal satu ini terjadi secara spontan karena peristiwa yang mereka temui atau alami menjadi pengalaman menarik bagi mereka. Obrolan keseharian antara lain berisi tentang peristiwa-peristiwa konflik dengan orang lain, kejadian-kejadian lucu dan lainnya yang mereka jumpai secara tidak sengaja ketika berada disuatu tempat dan waktu yang 83
tidak terduga. Misalnya saja kejadian atau peristiwa yang mereka alami ataupun temukan dijalan, warung, mall, bank dan sebagainya. Obrolan tentang topik ini mulai dari konflik dengan orang lain saat dijalan karena menyerempet atau menabrak seseorang hingga kejadian-kejadian lucu, menyebalkan atau tragis. Kejadian lucu tersebut seperti yang terjadi ketika peneliti melakukan pengamatan di warung HIK Bapak Jmd, terdapat beberapa pengunjung yang tiba-tiba menceritakan kejadiankejadian terpeleset di jalan ketika menyeberang yang membuatnya malu karena menjadi perhatian orang lain disana. Pembicaraan dalam menceritakan peristiwa-peristiwa tersebut, biasanya salah satu seseorang menceritakan dan lawan bicara terkadang juga terkenang kembali peristiwa serupa yang mereka alami. Obrolan ini sering di ikuti dengan tawa dari pencerita ataupun pendengar yang berada di HIK.
Selain obrolan yang sifatnya pribadi yang menjadi bahan obrolan pengunjung HIK, juga terdapat obrolan yang sifatnya umum. Obrolan-obrolan tersebut antara lain: a. Obrolan tentang sosial-ekonomi Di HIK obrolan tentang sosial-ekonomi merupakan topik umum yang dibicarakan oleh orang dewasa baik itu yang sudah bekerja ataupun belum. Mereka umumnya membicakan masalah ekonomi keluarga hingga perekonomian suatu negara dan lainnya. Obrolan ekonomi yang dibicarakan seputar masalah krisis ekonomi, harga-harga barang terutama sembako dan BBM yang naik turun harganya. Senada dengan hal diatas, menurut salah satu penjaja HIK di Jalan Dr Rajiman yang bernama Bapak Mrdn, masalah krisis yang berdampak pada harga sembako (sembilan bahan pokok) dan BBM memang merupakan topik pembicaraan yang selalu dibicaran, “….kalau masalah harga, dari harga sembako dan minyak yang mahal biasanya lebih sering diobrolkan bapak-bapak mbak…kan
84
ya ngaruh ma keadaan dirumah pa lagi yang masih punya anak kecil-kecil…”(Wwcr/Bp Mrdn/09/07/09). Masalah ekonomi keluarga yang dibicarakan kebanyakan tentang pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka karena dampak dari kenaikan harga barang-barang. Apalagi untuk pengunjung yang masih mempunyai putra-putri usia sekolah dan pekerjaan sehari-hari mereka tidak menunjang seperti buruh atau karyawan pabrik, mereka kebingungan tentang pemenuhan kebutuhan anak-anak mereka. Selain membicarakan dampak dari krisis tersebut, pengunjung juga sering mengkritik penanganan
pemerintah
terhadap
perekonomian
negara
sampai
membanding-bandingkan keadaan ekonomi sekarang (pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono/SBY) dengan perekonomian ketika mereka masih muda (pemerintahan Presiden Suharto). b. Obrolan tentang sosial-politik Pembahasan tentang sosial-politik ini lebih sering dibicarakan ketika ada suatu peristiwa yang dilakukan dalam kancah pemerintahan seperti layaknya pemilihan presiden dan wakil presiden kemarin. Disini pengunjung saling mengeluarkan pendapat mereka tentang pasangan capres dan cawapres dari berbagai partai politik (parpol). Seperti yang diutarakan oleh Bapak Slmt dengan teman ngobrol disampingnya, “piye to..pak, saiki yen nyoblos ra nyoblos podho wae…wong yo rego-rego munggah terus ro podo korupsi…..,mungkin ko’ yo sing kepilih pak SBY maneh, lha wingi britane poling sing okeh SBY…..(bagaimana lagi…sekarang ini masalah memilih dan tidak capres tidak merubah keadaan, paling-paling yang terpilih tetap Bapak SBY karena poling suara terbanyak yang diberitakan di media massa adalah SBY..)”(Obsvs/Bapak Slmt/11/08/09). Hal senada juga dinyatakan oleh Bapak Mrdn bahwa obrolan politik ataupun ekonomi biasanya dilakukan oleh orang dewasa, apalagi musimmusim pilpres yang dibicarakan adalah segala hal yang berhubungan dengan masing-masing kandidat atau calon,
85
“ bapak-bapak yang kemari akhir-akhir ini sering berdebat tentang capres dan cawapres…mulai dari misi-visi mereka sampai janjijanji dari capres …….”(Wwcr/Bapak Mrdn/11/07/09). Selain pembicaraan diatas yang diobrolkan dalam kategori sosialekonomi juga tentang masalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah seperti konversi minyak tanah ke gas, pendidikan, korupsi dan sebagainya. Bahkan pembicaraan tentang persoalan internasional terutama tentang konflik antar negara seperti masalah antara Indonesia dengan Malaysia dalam hal pengklaiman (pengakuan) Malaysia terhadap kebudayaan Indonesia, perang di Palestina dan paska perang Amerika dan Irak dan sesejenisnya menjadi bahan obrolan menarik bagi pengunjung HIK. Pembicaraan-pembicaraan seperti ini biasanya merupakan respon masyarakat tentang keadaan yang diberitakan atau disiarkan di media massa terutama televisi dan koran saat itu. c. Obrolan tentang sosial-budaya Obrolan tentang sosial-budaya merupakan salah satu bahan obrolan yang sering dibicarakan oleh semua orang karena masalah sosial ini menyangkut sesuatu yang berhubungan dengan kepedulian sesama atau kesosialan individu. Pembahasan/topik yang dibicarakan mulai dari kegiatan sosial yang dilakukan individu atau pribadi seperti kepedulian dengan orang disekitar kita sampai kegiatan kepedulian yang sifatnya umum yaitu kegiatan gotong royong atau kegiatan sosial dari pemerintah pusat untuk masyarakat yang kurang mampu salah satunya program BLT (Bantuan Langsung Tunai). Pembicaraan tentang masalah sosial yang terjadi di HIK diantaranya seperti dibicarakan oleh pengunjung yang sudah dewasa (bapak-bapak) di warung HIK Bapak Md, di mana mereka membicarakan kegiatan gotong royong memperbaiki selokan di lingkungan mereka karena menumpuknya sampah. “….sesuk, piye pak kerja baktine mulai jam piro? disisan ke’ ngresiki kalen?....kudune kalenne ku di kei’ penyaring po dititup dadine yen udan ki sampah’e ra mlebu…..(bagaimana besok gotong royong apakah sekalian membersihkan selokannya?....seharusnya diberi penyaring atau ditutup saja 86
atasnya sehingga sampah-sampah di masuk)”(Obsvs/Wr Bpk Md/03/08/09).
jalan
tidak
bisa
Selain itu obrolan tentang sosial-budaya ini juga membicarakan tentang keprihatinan para pengunjung HIK terhadap segala peristiwa bencana alam yang disiarkan di media massa atau peristiwa-peristiwa lain. Terutama pembicaraan tentang mengkritik langkah-langkah tangkas yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah setempat dalam menyikapi bencana alam. Diluar obrolan tersebut yang masuk kategori sosial-budaya adalah masalah olahraga, di mana olahraga merupakan salah satu bahan obrolan yang sering dibicarakan oleh semua pengunjung dari berbagai kalangan. Olahraga yang dibicarakan juga beraneka mulai dari hasil pertandingan yang disiarkan oleh media massa terutama televisi hingga gossip (gosip) atau rumor tentang atlit-atlit yang bersangkutan. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini musim pertandingan bulutangkis, mereka langsung saling berkomentar pertandingan tersebur, “wah…badminton kalah terus….po neh yen (apalagi kalau) lawannya China mesti kalah palagi yang tunggal putra….lamalama peringkatnya turun pasti tahun ketahun”(Wwncr/Bpk Jmd/11/08/09). Hal serupa juga dinyatakan oleh Bapak Mgr bahwa pengunjung HIK warungnya dalam membicarakan tentang olahraga biasanya tergantung pertandingan olahraga apa yang sedang disiarkan di televisi. Kebanyakan adalah pertandingan sepak bola, bulutangkis, Formula One (F1), Grand Prix Formula One (GP) dan tinju. Namun untuk sebagian anak muda lebih sering membicarakan pertandingan basket antar sekolah yang mereka lihat langsung di sekolahan atau di gelanggang-gelanggang olahraga (GOR). Di luar obrolan yang berkaitan dengan olahraga juga diobrolkan tentang kesehatan. Di HIK obrolan dengan topik kesehatan sering dibicarakan oleh pengunjung kalangan dewasa terutama yang sudah menikah. Obrolan masalah satu ini biasanya dalam bentuk bertukar 87
informasi tentang berbagai hal kesehatan seperti obat, dokter, atau tempat alternatif kesehatan lainnya. Seperti yang peneliti temukan saat melakukan pengamatan, para orang tua sering bertukar informasi tentang obat-obat tradisional atau tempat pengobatan alternatif karena bagi mereka obat-obat tradisonal lebih dinilai berkhasiat dan aman bagi kesehatan. Salah satu obrolan tersebut ditemui ketika melakukan pengamatan di warung HIK Bapak Minggar, “….tetanggaku juga ada yang mengidap penyakit dalam kalau enggak salah diabet, sekarang katanya lumayan dia berobat ke klinik wijaya di Jalan Veteran dekat Gading sesudah perempatan Ngemblekan, katanya cuma diberi teh dari makutodewa coba saja kesana….”(Obsrvs/Wrg Bpk Mgr/13/08/09). Senada dengan hasil pengamatan diatas, menurut Bapak Jmd, obrolan tentang kesehatan dalam bentuk bertukar informasi tentang kesehatan memang sering terjadi. Bahkan terkadang obrolan tentang kesehatan dihubungkan dengan hal-hal mistis, seperti pengobatan ke dukun atau ke paranormal. Untuk masalah mistik ini biasanya dibicarakan oleh orang tua terutama orang-orang jaman dulu (kakekkakek atau nenek-nenek) yang masih mempercayainya. Pengunjung yang masih percaya dengan hal-hal mistis ataupun tahayul, pembicaraan tentang kesehatan selalu dikaitkan dengan hal-hal berbau mistik seperti sakit karena pesugihan, susuk, santet dan sejenisnya. Selain olahraga dan kesehatan, kategori sosial budaya juga menyangkut tentang fashion pakaian. Fashion merupakan bahan obrolan yang sering dibicarakan oleh pengunjung wanita terutama kalangan remaja. Remaja yang dimaksud disini adalah mereka yang sudah terpengaruh globalisasi, apalagi mereka yang sering melihat televisi dan membaca majalah tentang fashion. Fashion berdampak terhadap tata cara berpakaian mereka, salah satunya mereka berpakaian dengan model yang beraneka ragam dengan mencontoh pakaian para selebritis/artis ataupun mereka berusaha tampil beda dengan gaya-gaya yang unik (atau lebih tepatnya berpakaian yang aneh-aneh). Keunikan cara berpakaian mereka 88
ini tampilkan karena mereka ingin dianggap trendi atau mengikuti jaman, bahkan terkadang mereka menampilkan cara berpakaian yang berbeda dari siapa pun sehingga membuat mereka menjadi trendsetter (pencetus mode) dalam berpakaian. Pembicaraan fashion berkisar tentang berbagai mode yang ditawarkan atau diiklankan di majalah-majalah atau toko-toko pakaian mana yang menjual/menyajikan pakaian dengan mode-mode pakaian trendi, ada diskonnya, dan sebagainya. Seperti yang dibicarakan oleh kelompok remaja perempuan yang ada di warung HIK Bapak Mrdn, “gimana bu…di Matahari tadi ada hem panjang baru enggak? kemarin ku kesana masih model lama tapi ada sepatu lucu?...doku (uang) enggak cukup…di Singosaren kira-kira ada enggak ya?” Diluar obrolan tentang pakaian, hal lain yang dibicarakan adalah fashion rambut (model rambut) dan berbagai aksesorisnya. Fashion rambut ini lebih ke mode pewarnaan rambut (haircoloring) dan berbagai bentuk rambut harajuku (mode potongan rambut seperti orang Jepang) terutama meniru dari amime (animasi Jepang/cartoon Jepang) dan selebritis dari Jepang, Korea, Taiwan dan China. Obrolan sosial-budaya juga menyangkut tentang teknologi, di mana pembicaraan ini biasanya terjadi di kalangan remaja dan dewasa yang sangat menyukai teknologi terutama tentang item-item teknologi seperi handphone (HP), laptop, kamera digital, gameboy dan lainnya. barangbarang teknologi seperti HP dan laptop lebih digunakan untuk internetan. Di internet mereka lebih senang mengeksplor segala informasi disana atau memasuki situs-situs persahabatan seperti Yahoo Messenger (YM), frienster, facebook, twitter dan lainnya. Menurut pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, obrolan tentang teknologi ini sangat beragam. Untuk mereka yang masih sekolah seperti siswa SMP dan SMA, pembicaraan masalah teknologi berisi tentang permainan game online dan situs-situs persahabatan seperti friendster, facebook ataupun twitter yang mereka akses lewat warung internet ataun
89
handphone (HP). Sedangkan mereka yang kuliah lebih senang membicarakan situs-situs persahabatan seperti diatas, selain itu membicarakan tentang aplikasi-aplikasi komputer (corel, aplikasi web, aplikasi Yahoo Messenger (YM) dan lainnya) ataupun komponenkomponen komputer mulai dari hardware (model keybord, speaker dan aksesoris komputer lainnya) hingga software (CPU), laptop dan sebagainya. Pengunjung yang sudah bekerja lebih membicarakan masalah teknologi yang mendukung pekerjaan mereka seperti HP dan laptop yang multifungsi hingga teknologi untuk sekedar memberi hiburan bagi mereka seperti MP3, MP4, ipod dan lain-lain. Pembahasan
lainnya
adalah
pembicaraan
tentang
hiburan.
pembicaraan tentang hiburan ini diobrolkan oleh semua kalangan dan menyangkup berbagai hiburan. Menurut pengamatan yang dilakukan peneliti, masalah hiburan ini mulai dari acara konser musik, film-film bioskop, pameran-pameran, gossip-gossip di media massa hingga sekedar pembicaraan tentang jalan-jalan ke pusat pembelanjaan. Pembicaraan tentang jalan-jalan di pusat pembelanjaan lebih dibicarakan oleh kalangan remaja. Seperti yang sedang dibicarakan oleh sekelompok siswa-siswi SMA ketika pulang les di salah satu lembaga bimbingan belajar, “…wah….habis nie kemana lagi?...gimana kalau nonton aja… da yang baru kan…..mumpung masih sore juga kan? Apa ada plan lainnya….” “ bosen ah lihat bioskop, enggak punya uang… kan akhir minggu gimana kalau cuma jalan-jalan ja sekalian ke Timezone ja? Ni masih da koin, gimana?”(Obsvsi/Wrg Bpk Mrdn/28/08/09). Sedangkan informasi tentang dangdutan, wayang dibicarakan oleh kalangan orang tua. Dan untuk informasi gosip-gosip, sinetron dan sejenisnya dibicarakan oleh kaum perempuan berbagai usia. Seperti yang terjadi di warung Ibu Ytm, dimana pengunjung HIK kebanyakan para karyawan toko-toko daerah Singosaren, mereka sering mengobrolkan tentang cerita sinetron yang mereka lihat pada malam hari.
90
3.
Interaksi yang Terjadi Di HIK Interaksi adalah suatu hubungan yang sifatnya dinamis menyangkut hubungan antara orang perorangan (individu), antara kelompok dengan kelompok, maupun antara individu dengan kelompok. Dan interaksi disini merupakan suatu pendekatan terhadap orang lain. Interaksi yang terjadi didalam masyarakat ada beberapa bentuk diantaranya kerjasama, persaingan (competition) dan konflik (pertentangan). Kerjasama adalah sebagai suatu usaha bersama antara individu atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama karena mereka menyadari adanya kepentingan dan ancaman yang sama. Kerjasama yang terjalin merupakan suatu langkah mempertahankan kesankesan atau identitas yang ditampilkan individu dalam berhadapan dengan orang lain, sehingga disini individu saling menghormati dan menghargai orang lain dengan cara berusaha menyesuaikan perilaku kita dengannya atau sesuai dengan norma dan sopan santun yang terdapat dalam masyarakat. Di HIK kerjasama ini terlihat jelas karena semua pengunjung yang datang saling menghormati dan menghargai satu sama lain, sehingga menciptakan kerjasama dalam membentuk suasana menyenangkan disana. Bahkan terkadang juga terjalin kerjasama dalam bidang-bidang tertentu, salah satunya kerjasama dalam suatu bisnis. Seperti peneliti temukan dalam pengamatan adalah kerjasama usaha dalam bidang tanaman yang mana Bapak X (seorang pemilik toko bunga) karena sering bertemu dengan Y (kebetulan mempunyai teman yang berjualan pupuk untuk tanaman hias) di HIK dan lama kelamaan mereka sering bertukar informasi tentang berbagai tanaman mulai dari cara perawatan hingga cara menanam tanaman terutama tanaman hias. Dari pertemuan
di
HIK
inilah
akhirnya
mereka
menjalin
kerjasama
mengembangkan toko bunga di luar kota. Selain itu kerjasama yang terjadi di HIK adalah kerjasama dalam bidang penelitian seperti yang sedang peneliti lakukan atau aktivis-aktivis LSM yang ingin mencari informasi yang berhubungan dengan HIK atau lainnya yang mungkin di HIK mereka dapat memperoleh informasi yang diperlukan dalam penelitian.
91
Persaingan diartikan sebagai suatu persaingan antar individu atau kelompok untuk mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan (Soekanto, 1982: 91). Dalam persaingan yang terjadi, terkadang terjalin suatu kerjasama antara pelakunya karena suatu alasan demi menciptakan suatu persaingan yang seru sampai-sampai tidak memberi kesempatan untuk lawan-lawan mereka yang dianggap tidak pantas dalam memenangkan persaingan tersebut. Di HIK persaingan yang terjadi dalam bentuk tingkah laku dan perilaku, dimana persaingan dalam hal menjadi yang lebih dari pengunjung lainnya (istilah Bahasa Jawanya adalah pamer kepada pengunjung lain) baik itu lebih dalam berbagai hal. Diluar persaingan terbut terkadang juga terjadi persaingan dalam hal untuk menjadi perhatian umum dan menarik perhatian pengunjung lain. Seperti dengan bergaya dalam model pakaian yang mereka pakai atau dengan teknologi yang mereka bawa (antara lain HP, laptop, dan sebagainya), dengan tertawa terbahak-bahak atau melakukan tindakan yang aneh-aneh bahkan persaingan dalam berkata-kata (saling mengejek), misalnya jika ada pengunjung lain yang dirasa lebih gaya (dalam artian memakai pakaian yang lebih bagus) mereka biasanya langsung mengomentari pengunjung tersebut dengan beragam sindiran seperti “ ….halah di HIK!...saja masak harus gaya, kan tinggal pakai kaos ok!” atau terkadang dengan melirik temannya dengan maksud agar melihat pengunjung yang lebih bergaya. Sedangkan bentuk interaksi yang lain adalah konflik. Konflik merupakan suatu perasaan atar individu untuk saling menghancurkan karena suatu perbedaan-perbedaan yang ada seperti kebudayaan, pola perilaku, emosi dan lainnya. Konflik biasanya berujud amarah dan rasa benci yang menyebabkan dorongan-dorongan melukai atau menyerang pihak lain (lawan). HIK sebagai ruang publik yang sifatnya demokratis karena semua orang dapat mengaksesnya maka disana perbedaan tidaklah dipermasalahkan sehingga segala bentuk konflik jarang terjadi. Jika terjadipun konflik didalam 92
HIK hanyalah sebatas persaingan yang tidak menimbulkan suatu penyerangan atau melukai orang lain, karena mereka merasa malu untuk ribut-ribut/bentrok dengan pengunjung lain. Interaksi yang terjadi di HIK sebagai ruang publik terjadi dengan spontan, karena di ruang publik jalinan penyesuaian diri paling banyak dituntut sebab di sana siapa saja bisa hadir sebagai manusia yang bebas di mana interaksi dapat dilihat dari komunikasi antar individu disana. Komunikasi adalah suatu jenis interaksi, di mana para partisipan memakai bahasa atau simbol-simbol lain yang sudah disepakati bersama melalui sarana-sarana
komunikasi
lewat
bahasa
dan
simbol-simbol
tersebut
mempertemukan orang ke dalam relasi-relasi timbal balik. Bahasa dan simbol digunakan sebagai alat komunikasi, sehingga komunikasi pada dasarnya adalah proses ketika seseorang berhubungan dengan orang yang lain serta membangun suatu keterlibatan antara kedua belah pihak, dalam komunikasi semua orang terlibat. Di HIK, bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi bermacam-macam ada Bahasa Indonesia, Jawa, Campuran Bahasa Indonesia dengan Jawa dan bahasa gaul. Sedangkan simbol yang digunakan disana seperti tepuk tangan, tunjuk jari atau tangan melambai untuk memanggil penjaja HIK. Sehingga dengan komunikasi diharapkan masing-masing orang memiliki ruang untuk mengaktifkan dirinya, yakni suatu ekspresi yang ditujukan terhadap orang lain, salah satunya terwujud di dalam ruang publik yaitu HIK. Bahkan untuk interaksi yang terjadi di HIK terjalin sangat akrab antar pengunjung, baik itu mereka sudah mengenal ataupun yang belum mengenal satu sama lain. Interaksi yang terjadi di HIK pertama kali biasanya diawali dengan perkenalan atau basa-basi tentang membicarakan topik yang sama-sama mereka ketahui, yang akhirnya berkenalan satu sama lain. Dari perkenalan inilah ada diantara mereka menjadi teman sampai rekan bisnis. Selain itu interaksi yang terjadi dapat juga tentang pertukaran informasi suatu kegiatan atau peristiwa suatu hal. Seperti informasi tentang berbagai pameran, informasi tentang event band, informasi berbagai macam perlombaan, 93
informasi discount/toko-toko mana saja yang sedang sale (terdapat potongan harga) hingga informasi gossip pun juga menjadi bahan obrolan di HIK. Pembicaran basa-basi inipun juga dilakukan oleh penjaja HIK kepada pengunjung yang lama tidak ke warung sehingga para penjaja lupa. Hal ini dilakukan oleh penjaja dengan tujuan bahwa pengunjung tidak merasa dilupakan dan dimaksudkan memberi suasana kekeluargaan sehingga pengunjung merasa senang dan betah. Menurut pengungkapan Bapak Jmd, pembicaraan basa-basi ini dilakukan untuk mengakrabkan diri dan menciptakan suanana kekerabatan dengan pengunjung karena menurut beliau, pengunjung senang datang ke HIK karena suasana di HIK tersebut dan bukanlah karena makanan atau minumannya. Untuk masalah makanan/minumana merupakan prioritas kedua karena untuk makan/minum seseorang bisa datang atau membeli diberbagai tempat (warung), sedangkan prioritas utama adalah suasana kekerabatan yang menjadikan pengunjung “kangen” (senang) bahkan menjadi ketagihan datang ke HIK. Menurut pengamatan yang peneliti lakukan di beberapa warung HIK, interaksi di HIK terjadi sangat alamiah karena pengunjung ataupun penjaja yang tidak saling mengenal dapat berinteraksi satu sama lain. Sifat HIK yang menjalin kebersamaan baik itu antar pengunjung atau pengunjung dengan penjaja membuat hubungan mereka seperti keluarga atau teman sehingga mereka bebas dan terbuka membicaran berbagai persoalan/masalah sampai masalah yang sifatnya pribadi sekalipun.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Sehari-hari individu selalu di hadapkan pada berbagai aktivitas-aktivitas sosial dan ekonomi di dalam bermasyarakat. Sosial digunakan untuk menyebutkan peran dan hubungan seseorang di masyarakat. Sedangkan ekonomi lebih menunjukkan pada aktivitas dalam pemenuhan kebutuhan. Seseorang dapat bertahan hidup harus terpenuhi kebutuhannya terutama kebutuhan primer seperti 94
makan, tempat tinggal, dan pakaian. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut seseorang harus dapat bekerja sesuai kemampuan yang dimiliki. Di Indonesia, jenis pekerjaan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu pekerjaan di sektor formal dan sektor informal. Ke dua jenis pekerjaan tersebut yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah pekerjaan di sektor informal. Berbagai pekerjaan di sektor informal yang paling dominan dan menonjol aktivitasnya adalah pedagang kaki lima (PKL), karena hal tersebut istilah sektor informal sering diidentikkan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh PKL. Apalagi jenis usaha di sektor inilah yang paling berpengaruh karena jumlahnya yang mendominasi dalam masyarakat dalam memenuhi kebutuhan terutama golongan menengah ke bawah. Besarnya jumlah PKL sebagai bagian dari sektor informal di berbagai pusat-pusat perdagangan baik di lokasi pertokoan maupun di tempat-tempat strategis lainnya membuat ”PKL mengarah pada terjadinya pasar dengan pola tradisional, yaitu pasar yang timbul hanya karena adanya peluang transaksi antara pembeli dan penjual” (Ali, 2008: 9). Pasar tidak hanya berwujud dalam karakter ekonomi saja melainkan sebagai suatu gejala sosial sekaligus kebudayaan. Hal ini dapat dilihat dalam proses jual beli dalam kegiatan perekonomian juga terjalin interaksi baik itu antara penjaja dan penjaja, pembeli dengan penjaja ataupun pembeli dengan pembeli. Selain itu, Menurut Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi, “ciri-ciri sektor informal pada umumnya miskin, kebanyakan dalam usia kerja utama (prime age), berpendidikan rendah, upah yang diterima dibawah upah minimum, modal usaha rendah, memberikan kemungkinan untuk mobilitas vertikal” (Maning dan Effendi, 1996: 76). Yang terjadi pada penjaja HIK di kawasan Jalan Dr Rajiman telah memenuhi sebagian ciri-ciri di atas. HIK termasuk dalam sektor informal disebabkan karena kualifikasi ekonomi sektor informal yang dimiliki oleh penjaja HIK. Pertama dilihat dari keterampilan yang dibutuhkan penjaja HIK lebih diperoleh diluar bangku sekolah sehingga di lihat dari pendidikan mereka, rata-rata pendidikan mereka mulai dari SD hingga SMA. Kedua, usahanya tidak diatur oleh pemerintah dan usahanya bergerak dalam pasar yang penuh dengan persaingan. Ketiga, modal yang 95
digunakan tidak terlalu banyak. Keempat, dalam mengembangkan usaha HIK ini tidaklah diperlukan ijin secara resmi dari pemerintah. Kelima, usaha HIK ini tidaklah diperlukan teknologi modern karena cukup dengan gerobag, lampu minyak (teplok), tungku untuk pembakaran, kursi panjang (bangku) dan tikar sebagai tempat lesehan. Menjadi pengusaha HIK tidak memerlukan syarat khusus karena sifatnya tergolong sektor informal maka dapat dijalankan oleh semua orang. Pada umumnya yang menjadi penjaja HIK memiliki keterampilan dan pendidikan minimal dan latar belakang menjadi penjaja HIK ini biasanya di dahului oleh profesi lain atau profesi di bidang informal lainnya. Seperti yang terjadi pada Bapak Jmd bahwa sebelum menekuni pekerjaan ini beliau bekerja sebagai satpam pabrik. Begitu pula yang terjadi oleh pengusaha lainnya lewat wawancara, seperti Bapak Mrdn sebelum berjualan HIK beliau bekerja sebagai buruh bangunan, Bapak Mgr yang dahulu sebelumnya bekerja sebagai buruh sablon, sedangkan Ibu Ytm adalah sebagai buruh jahit. Hampir semua penjaja HIK di Jalan Rajiman berasal dari Klaten, Boyolali dan Solo, seperti Bapak Mrdn berasal dari Klaten, Bapak Jmd dan Bapak Mgr merupakan orang asli Solo. Menurut mereka bertiga, mereka menjadi penjaja HIK karena tidak memerlukan modal yang begitu besar sebab yang disiapkan hanya gerobag, lampu minyak (teplok) atau lampu listrik, anglo, ceret, pemanggang, porong, gelas, meja, piring plastic kecil, ember, tikar, deklit, bangku, sendok, dan tremos. Di mana modal untuk membeli barang-barang tersebut tidak terlalu banyak, dan jika tidak punya uang pun mereka bisa meminjam uang kepada orang lain atau koperasi simpan pinjam. Atau bahkan penjaja HIK dapat menyewa gerobag dengan berbagai peralatannya kepada pengusaha HIK. Sedangkan untuk makanan yang di jual di HIK kebanyakan berasal dari pemasok makanan kecuali nasi (untuk penjaja HIK yang membuat nasi sendiri) dan minuman. Sesuai ungkapan dari Bapak Ptt yang merupakan ketua dari Paguyuban Wedangan Baron (PAWON) mengatakan bahwa modal menjadi penjaja HIK ada dua cara, pertama dengan modal sendiri dan kedua dengan pinjamam. Untuk cara kedua ini bisa saja meminjam dari koperasi simpan 96
pinjam ataupun meminjam dari satu orang ke orang lain. Peminjaman dengan cara ke dua ini bisanya dilakukan dengan berhutang dari orang lain atau tengkulak (reternir). Peminjaman seperti ini sangatlah beresiko karena bunga yang ditanggung oleh peminjam sangat besar. Karena besarnya resiko tersebut para penjaja HIK lebih senang merintis usaha mereka dengan modal sendiri dan jika tidak mempunyai modal, mereka lebih memilih pinjam dari koperasi ataupun pihak keluarga. Seperti yang dilakukan oleh Bapak Mgr dan Mrdn menyatakan bahwa modal untuk merintis usaha HIK mereka dapat dengan meminjam uang dari pihak keluarga. Dengan demikian para penjaja HIK selain mendapat modal dengan caracara diatas, mereka juga hanya bermodalkan tenaga dan peralatan berjualan (untuk yang modal sendiri) karena semua makanan berasal dari pemasok (kecuali membuat nasi sendiri), sehingga penjaja tinggal datang ke paguyuban seperti PAWON (merupakan suatu yang mewadahi para pedagang HIK) untuk mengambil makanan yang telah disiapakan oleh pemasok. Untuk kegiatan mengambil makanan dari pemasok ini berbeda dengan pengambilan makanan dari pemasok pada jaman dulu (yang mana para pemasok mengantarkan makanan ke berbagai penjaja HIK dan mengambilnya lagi setelah habis), sekarang ini karena danya suatu paguyuban seperti PAWON ini menyediakan wadah bagi pemasok dan penjaja HIK untuk transaksi makanan. Berdirinya paguyuban ini berawal dari adanya perselisihan antar pemasok makanan yang saling berebut panjaja HIK karena makanan yang mereka titipkan sama. Dari perselisihan pemasok inilah sehingga timbul gagasan untuk mendirikan suatu organisasi yang mengatur segala macam hal yang berhubungan dengan HIK, mulai dari jenis makanan yang dijual hingga lokasi lokasi yang strategis untuk berdagang. Selain kualifikasi diatas, HIK khususnya HIK malam merupakan kegiatan sektor informal yang tidak teridentifikasi oleh kantor statistik Solo karena aktivitasnya berdagang pada malam hari dan karena lokasi HIK kebanyakan berada depan teras toko, tempat parkir, dan jalan jalur hijau sehingga usaha HIK tidak dianggap terlalu mengganggu lalu lintas di Solo.
97
HIK sebagai sektor informal, dalam transaksi ekonomi yang terjadi mengarah pada terjadinya pasar melalui proses transaksi jual beli. Hal tersebut di lihat sebagai suatu gejala sosial budaya karena terjalinnya interaksi antar penjual dan pembeli. Dalam kegiatan perdagangan, HIK setidaknya ada dua hubungan yang dapat dilihat dari proses perdagangan HIK tersebut yaitu: a)
Hubungan penjaja HIK dengan pemasok makanan Hubungan ini berdasarkan pada hubungan ketergantungan karena pemasok merupakan pihak yang menyediakan pasokan makanan yang akan dijual penjaja HIK. Hubungan ini biasanya terjadi di dalam PAWON dimana penjaja dan pemasok sama-sama bertemu untuk transaksi makanan mulai dari jumlah makanan yang dititipkan kepada penjaja HIK hingga penyerahan uang hasil makanan yang terjual.
b)
Hubungan penjaja HIK dengan konsumennya Hubungan penjaja dengan konsumen adalah mengenai keakraban penjaja HIK kepada konsumennya sehingga para konsumen merasa senang dan nyaman di HIK. Disini penjaja HIK menaruh kepercayaan kepada konsumennya karena sistem jualannya yang “pokwe” (njipuk dewe atau ambil sendiri) dan membayarnya akhir, sehingga jumlah dan apa yang dimakan dipercayakan kepada konsumen. Bahkan terkadang terdapat konsumen yang hutang dibolehkan oleh penjaja karena mereka tidak mau kehilangan pelanggan. Kembali kepada pembahasan tentang HIK sebagai sektor informal, di
mana pada sektor ini selain terjadi kegiatan perekonomian juga menyangkut aspek sosial budaya lewat terjalinnya interaksi dalam perdagangan. Pada karakter interaksi yang terjadi ini maka terbentuklah masyarakat yang guyub karena didasari oleh sifat sektor ini yang masih tradisional. HIK ini merupakan suatu perdagangan yang sifanya tradisional hal ini bisa dilihat dari tampilan warungnya yang masih menggunakan peralatan tradisional seperti lampu minyak “teplok” atau lampu listrik dengan voltase kecil dan suasana remang-remang di HIK tersebut dimanfaatkan para pembeli menikmati makanan dan minuman sambil ngobrol-ngobrol yang memperlihatkan kebersamaan yang terjalin didalamnya. 98
Suasana yang demikian menggambarkan para penjaja HIK masih menyuguhkan sesuatu yang sifatnya tradisional dan bahkan keadaan ini yang membuat masyarakat makin tertarik datang atau berkunjung di HIK. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu pengunjung HIK (Wwn), menurutnya HIK merupakan tempat yang masih menjaga ketradisionalan seperti di pedesaan mulai dari penampilan HIK yang menggunakan peralatan tradisional seperti teplok, anglo,hingga makanan yang dijual disana kebanyakan jajanan pasar. Serta suasana kebersamaan yang mengakrabkan para pengunjung di HIK membuat suatu kenyamanan tersendiri bagi semua orang yang datang. Sisi-sisi yang ditawarkan oleh penjaja HIK pada masyarakat selain jajanan yang disajikan juga berkaitan dengan tradisi agraris (suasana pedesaan) yang sepi dan remang-remang, tempat mengobrol serta wedangan merupakan sensasi tersendiri bagi masyarakat. Hal seperti itu berkembang di tempat HIK sebagai salah satu gambaran suasa tradisional. Budaya oral yaitu mengobrol (obrolan-obrolan) di luar rumah, di pos-pos tertentu masih terus hidup. Boleh dikatakan, pada jaman modernisasi sekarang ini tradisi masih dapat dipertahankan atau bahkan terus diminati karena tradisi dapat dikembangkan dengan berbagai formatnya sehingga menjadikan sisi-sisi unik. Beberapa dugaan tentang kebiasaan-kebiasaaan mengobrol sambil menikmati minuman pada malam hari seperti di HIK merupakan gambaran kebiasaan yang dahulu dilakukan oleh para pejabat keraton. Masyarakat Solo menempatkan HIK sebagai tempat untuk ngobrolngobrol dengan semua orang yang ada disana dalam membicarakan berbagai hal mulai dari pengalaman, gossip, politik, ekonomi, bahkan sampai pembicaraan yang berbau mistik. Di HIK berbagai pembicaraan terjadi secara spontanitas yaitu tanpa persiapan apapun terutama mereka yang datang untuk melakukan kegiatan yang sifatnya formal seperti rapat, arisan dan sebagainya. Dalam pembicaraan yang sifatnya spontanitas ini semua orang bebas mengutarakan apa saja tanpa rasa takut. Bahkan kritikan, keluhan dan umpatan ataupun sumpah-serapah sering kali terucap di warung HIK. Obrolan yang terjadi di HIK dapat masuk ke kegiatan kultural atau eksistensi kultural karena dari obrolan ini akan membentuk suatu 99
interaksi semua orang yang ada di sana. Terjadinya interaksi sebagai akibat dari terjalinnya obrolan semua orang di HIK, menurut pandangan penulis juga dapat disebut sebagai ruang publik hanya saja ruang publik yang sifatnya ekonomis karena terjadi kegiatan jual-beli di dalamnya.
HIK Sebagai Ruang Publik ”Ruang publik merupakan tempat untuk mempromosikan sekaligus menghargai hak untuk berbeda, sehingga ekspresi perbedaan, spontanitas, dan kreativitas adalah bagian dari kehidupan sehari-hari ruang publik” (Agus, dkk, 2005: 99). Dengan kata lain ruang publik adalah segala macam ruang yang memungkinkan publik untuk menjalani transaksi dalam bingkai kultur demokratis. Dari kegiatan transaksi tersebutlah, sekarang ini ruang publik dimanfaatkan sebagian orang untuk jadi ajang promosi untuk mencari keuntungan saah satunya lewat kegiatan sektor informal khususnya usaha HIK. Pembahasan HIK sebagai ruang publik akan dibahas berdasarkan teori Habermas tentang ruang publik. Apa yang ditampilkan Habermas tentang publik sphere borjuis baik Salon, Coffe House, dan Tichgesllschaften secara filosofis dan institusional memiliki kesamaan dalam beberapa hal. Baik Salon, Coffe House, dan Tichgesllschaften sama-sama melihat kesetaraan sebagai manusia dalam kontek berkomunikasi dan berbagi informasi melalui tradisi dialog. Dalam diskusi tersebut mereka melepaskan diri dari berbagi atribut sosial dan budaya serta kepentingan ekonomi tertentu. Para peserta diskusi disini senantiasa mengaitkan dengan kepentingan masyarakat luas dan objek yang didiskusikan dapat diakses oleh siapa saja. Namun walaupun begitu ada perbedaan antara publik sphere borjuis pada abad ke-7 dan ke-8 Eropa dimana yang datang di publik sphere borjuis adalah dari kalangan tertentu, seperti borjuis laki-laki, bangsawan dan intelektual untuk mendiskusikan karya-karya sastra khususnya persoalanpersoalan karya seni dan tradisi baca tulis, bahkan sering pula terjadi diskusidiskusi tentang perdebatan ekonomi dan politik. Sementara di Prancis, contoh yang diberikan Jurgen Habermas, perdebatan-perdebatan semacam ini bisa terjadi di salon-salon. Warga-warga Prancis biasa mendiskusikan buku-buku, karya100
karya seni baik berupa lukisan atau musik. Tetapi dalam perubahannya, sekarang ruang publik lebih bersifat bebas dalam artian semua masyarakat dari semua kalangan dapat mengakses ruang ini, bahkan pembicaraan yang terjadi di ruang publik sekarang ini lebih lebar baik itu masalah pribadi sampai masalah umum ataupun gosip belaka. Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis dan bermakna. Responsif dalam arti ruang publik harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Sementara demokratis berarti ruang publik seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Dan terakhir bermakna yang berarti ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dunia luas, dan konteks sosial. Dengan karakteristik ruang publik sebagai tempat interaksi warga masyarakat, tidak diragukan lagi arti pentingnya dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kapital sosial. Namun sayangnya, arti penting keberadaan ruang-ruang publik tersebut di Indonesia lama kelamaan diabaikan oleh pembuat dan pelaksana kebijakan tata ruang wilayah sehingga ruang yang sangat penting ini lama-kelamaan semakin berkurang. Ruang-ruang publik tersebut yang selama ini menjadi tempat warga melakukan interaksi, baik sosial, politik maupun kebudayaan tanpa dipungut biaya, seperti lapangan olah raga, taman kota, arena wisata, arena kesenian, dan lain sebagainya lama-kelamaan menghilang digantikan oleh mall, pusat-pusat perbelanjaan, rukoruko, warung-warung dan ruang-ruang bersifat privat lainnya. Dilihat dari sifat ruang publik (demokratis, bermakna dan responsif), warung HIK sudah menyangkut sifat-sifat tersebut. Bersifat demokratis karena di HIK semua orang dapat mengaksesnya tanpa memandang status dan latar belakang sosial, ekonomi dan budaya. Bermakna karena warung HIK sebagai ruang interaksi masyarakat dimana di sana semua orang dapat berinteraksi dengan siapa saja dengan bahan pembicaraan yang luas tanpa ada batasannya. Sedangkan bersifat responsif sebab semua orang dapat merespon segala hal yang terjadi di sana dalam artian semua orang dapat bergabung dalam obrolan yang terjalin di HIK 101
1. HIK Sebagai Wahana Demokratis ”Konsepsi ruang publik (public sphere) yang digagas oleh Habermas merujuk pada suatu area atau ruang di mana warga negara mampu melempari opini, kepentingan dan kebutuhan mereka secara bebas tanpa tekanan siapapun” (Eka, dkk, 2009: 114).
Ini merupakan sejarah praktek sosial,
politik dan budaya yakni pertukaran pandangan yang terbuka dan diskusi mengenai masalah-masalah kepentingan sosial umum. Orang-orang yang terlibat di dalam percakapan ruang publik adalah orang-orang privat bukan orang dengan kepentingan bisnis atau profesional bukan pula penjabat atau politikus karena mereka datang di ruang publik tanpa memandang status ataupun jabatan mereka. Dengan kata lain ruang publik merupakan suatu area atau ruang di mana seluruh anggota masyarakat dapat berinteraksi, bertukar pikiran dan berdebat tentang masalah-masalah publik dengan bebas, baik bebas dari dominasi dimana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan atau percakapan. Inilah yang dimaksud demokratis oleh Habermas. HIK sebagai ruang publik yang demokratis dapat di lihat dari karakteristik pengunjung dan obrolan yang terjadi disana. Di lihat dari karakteristik pengunjung yang datang di HIK beraneka ragam karena HIK terbuka bagi semua orang tanpa terkecuali. Karakteristik pengunjung HIK dalam penelitian ini diambil berdasarkan jenis kelamin dan usia, agama, etnis serta strata sosial masing-masing individu di dalam kehidupan bermasyarakat. Di sana pengunjung mulai dari siswa-siswi, mahasiswa, buruh, sopir becak, pegawai swasta, pegawai pemerintah, aktivis seperti aktivis LSM, dan sebagainya. Menurut struktur sosial yang ada dalam masyarakat, karakteristik pengunjung HIK terdiri dari dua bentuk yaitu diferensiasi dan stratifikasi. Keanekaragaman pengunjung inilah yang didapati pula saat melakukan penelitian.
102
a. Diferensiasi pengunjung HIK Diferensiasi sosial yang merupakan suatu penggolongan terhadap perbedaan-perbedaan tertentu yang biasanya sama/sejenis atau dengan kata lain sifatnya sejajar (horizontal) membuat masyarakat sama (dalam artian masyarakat tidak ada golongan dari pembagian tersebut yang lebih tinggi dari golongan lain, walaupun dalam kenyataannya terdapat kelompok tertentu yang menganggap golongannya lebih tinggi). Di lihat dari pengertian
diferensiasi
tersebut
maka
peneliti
mengelompokkan
pengunjung HIK dari dua kategori. Pertama pengunjung HIK dilihat dari usia dan jenis kelamin. Kedua dilihat dari agama dan etnis pengunjung HIK. Keanekaragaman usia dan jenis kelamin pengunjung HIK Pengunjung HIK tidak hanya diminati oleh laki-laki tetapi juga oleh perempuan. Dari pengamatan yang dilakukan, menunjukkan bahwa HIK merupakan tempat nongkrong para laki-laki tidak benar. Karena jika di lihat dari komposisi jenis kelamin pengunjung HIK antara laki-laki dan perempuan jumlahnya seimbang, tetapi karena pengunjung laki-laki lebih sering nongkrong hingga larut malam atau hingga HIK akan tutup maka masyarakat sering mengidentikan seperti tempat nongkrong laki-laki. Padahal jika kita datang ke HIK sebelum pukul 24.00 WIB, sebenarnya jumlah pengunjung perempuan tidak kalah dengan jumlah pengunjung laki-laki. Sedangkan di lihat dari segi usia, menurut hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, pengunjung HIK sangatlah bervariatif mulai dari usia anak-anak hingga usia dewasa. Dari kenyataan tersebut, sekalipun ada sebagian pendapat bahwa HIK merupakan ruang publik dengan segmentasi kalangan orang tua, tidak selamanya benar karena usaha ini heterogen sehingga semua kalangan usia dapat menikmatinya. Hanya saja untuk usia anak-anak mereka datang ke HIK bersama dengan orang tua ataupun anggota keluarga lainnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa pengunjung seperti Ibu Sr, Bapak Mrdn, Jmd dan Bapak Mgr bahwa pengunjung HIK usia anak-anak juga sering datang ke HIK hanya saja waktu 103
mereka datang bisa di bilang terlalu pagi bagi pengunjung lainnya. Hal ini dikarenakan pengunjung usia anak-anak biasanya dapat kita jumpai pada sore hari sekitar pukul 18.00 WIB hingga pukul 20.00 WIB. Sebab menurut pernyataan beberapa orang seperti Ibu Sr dan Ibu Ttk, mereka sering membawa anak-anak mereka sekitar jam enam hingga delapan malam karena ingin melatih dan membiasakan anak-anaknya untuk berada dirumah sebelum pukul sembilan malam serta membiasakan mereka untuk tidur sebelum jam sembilan. Kebiasaan ini di lakukan dengan maksud anak-anak mereka tidak mengantuk keesokan harinya pada waktu sekolah terutama ketika pelajaran berlangsung. Para orang tua yang menemani anak-anak mereka datang ke HIK sebenarnya berperan sebagai pendamping anak layaknya diruang publik lainnya. Pendampingan tersebut dilakukan terutama oleh pengunjung yang tempat tinggalnya jauh dari lokasi HIK yang di tuju. Kegiatan pendampingan orang tua terhadap anak-anak mereka dilakukan sebagai tindakan pengamanan dan pengawasan orang tua terhadap anak dari bahaya-bahaya tak terduga yang sering terjadi di lingkungan sekitar seperti penculikan anak (kejahatankejahatan yang akhir-akhir ini sedang marak-maraknya di publikasikan oleh media massa), kecelakaan lalu lintas dan lainnya. Apalagi mengingat letak warung-warung HIK yang kebanyakan berlokasi di pinggir jalan yang salah satunya berlokasi di Jalan Dr Rajiman ini menambah suatu pemikiran orang tua menemani anak-anaknya ketika pergi ke HIK. Kebiasaan-kebiasaan tersebut mulai ditinggalkan oleh orang tua yang memiliki anak usia remaja, karena mengingat sifat-sifat remaja yang sensitif dan ingin bebas membuat orang tua berfikir ulang untuk menyamakan mereka seperti anak-anak. Hal tersebut membuat anak-anak yang sudah remaja lebih senang berpergian ke luar rumah tanpa ditemani oleh orang tuanya. Seperti remaja yang berusia 13 hingga 18 tahun atau remaja setingkat SMP dan SMA kebanyakan lebih senang datang ke HIK dengan temantemannya dari pada dengan orang tua masing-masing. Hal inilah yang dilakukan oleh sebagian besar remaja yaitu, T dan teman-temannya ketika 104
datang ke salah satu warung HIK yang berada di Jalan Rajiman. Kedatangan pengunjung HIK usia remaja dapat dijumpai pada saat sore hari sekitar pukul 18.00 WIB hingga pukul sebelum 23.00 WIB. Mereka biasanya datang ke HIK sesudah kegiatan les tambahan ataupun memang karena keinginan mereka untuk keluar rumah. Hal senada juga diungkapkan oleh T yang mengatakan bahwa dia biasa datang ke HIK sehabis les tambahan di salah satu lembaga bimbingan belajar. Dia mengungkapkan bahwa lebih senang mampirmampir sekalian ke mana saja seperti mall ataupun HIK dari pada pulang langsung ke rumah. Berbeda lagi dengan pengunjung HIK dewasa, mereka lebih menyukai datang pada malam hari sekitar pukul 19.00 WIB hingga malam hari bahkan ketika HIK akan tutup. Berbagai alasan yang di utarakan oleh berbagai pengunjung dewasa datang ke HIK beranekaragam mulai dari keindahan suasana malam hari yang indah akan gemerlap lampu-lampu kota hingga alasan refreshing sehabis kerja seharian. Beragam alasan tersebut menjadikan suatu persoalan yang menarik mereka untuk pergi keluar rumah terutama ke HIK dari pada istirahat di rumah. Keanekaragaman Agama dan Etnis Pengunjung HIK Keanekaragaman agama dan etnis di HIK adalah suatu bentuk perbedaan yang tidak terlalu mencolok karena interaksi yang terjadi tidaklah memperdulikan agama ataupun etnis mereka. Untuk masalah perbedaan agama hanya terlihat lewat berbagai atribut keagamaan yang mereka pakai seperti kalung salib, kerudung, ataupun atribut agama lainnya. Hal ini membuat pengunjung yang tidak memakai atribut keagamaan sulit diketahui agama dan kepercayaan mereka. Di lihat dari etnis, Indonesia merupakan negara yang terdiri dari suku bangsa sehingga etnis di Indonesia juga beragam. Di Solo sendiri etnis ada tiga macam yaitu Jawa, Tionghoa dan Arab. Sedangkan etnis lainnya seperti Madura, Sunda, Betawi, dan lainnya juga ada hanya saja jumlahlah lebih sedikit. Keberadaan etnis Tionghoa dan Arab di Kota Solo ini kebanyakan terkumpul dalam suatu daerah dan sisanya berada menyebar. 105
Lihat saja etnis Arab di Solo banyak di temui di daerah Pasar Kliwon dan etnis Tionghoa dapat kita temui di daerah Coyudan dan sekitarnya. Seperti hasil temuan yang disampaikan sebelumnya telah menyebutkan bahwa keragaman etnis ini lebih di lihat dari segi penggunaan bahasa dengan berbagai logat. Dari inilah seseorang dapat diketahui etnis dan asal daerahnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Alex Thio yang mengemukakan bahwa kelompok etnis adalah sekelompok orang yang saling berbagi warisan kebudayaan tertentu. Dengan kata lain ”etnis berbeda dengan ras karena kelompok etnis digunakan untuk mengacu suatu kelompok atau kategori sosial yang perbedaannya terletak pada criteria kebudayaan bukan biologis” (Priyono, 2007: 19). Selain itu, juga diperkuat oleh pernyataan dari ”Bruce J. Cohen menyebutkan bahwa kelompok etnis dibedakan oleh karakteristik budaya yang dimiliki oleh para anggotanya, dimana karakteristik itu meliputi agama, bahasa atau kebangsaan” (Priyono, 2007: 19). Berdasarkan pendapat tersebut maka peneliti berusaha mengungkapkan bahwa perbedaan etnis pengunjung HIK juga dilihat dari pembendaharaan bahasa yang digunakan oleh pengunjung. Tetapi karena pengunjung HIK merupakan warga Negara Indonesia kecuali para turis yang datang maka mereka menggunakan Bahasa Indonesia dan bahasa daerah seperti Bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar setiap hari. Termasuk etnis Tionghoa dan Arab tersebut yang merupakan WNI juga menggunakan Bahasa Indonesia atau bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar, namun yang berbeda hanyalah logat atau dialek mereka dalam mengucapakan kata-kata dalam bahasa pengantar tersebut. Perbedaan bahasa yang terlihat dari logat bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi dengan orang lain inilah yang membedakan orang secara etnis (atau lebih tepatnya kekhasan dalam logat bahasa ini membuat orang lain menebak seseorang berasal dari daerah mana). Seperti logat bahasa ngapak yang digunakan oleh orang berasal dari daerah Purbalingga, Banjarnegara dan Cilacap menggambarkan bahwa orang-orang tersebut berasal dari sana. Sedangkan Bahasa Jawa seperti endasmu, utekmu yang mana di Solo merupakan bahasa kasar sering digunakan oleh orang-orang
106
Jawa Timur. Lain lagi dengan logat dan bahasa yang diakhiri oleh kata-kata je merupakan perkataan yang sering digunakan oleh orang-orang yang berasal dari Yogyakarta dan Magelang. Bahasa dan cara pengucapannya (logat) inilah yang mengidentifikasikan seseorang sesuai dengan daerah asal mereka. Pengunjung yang merupakan etnis Tionghoa ataupun Arab lebih terlihat dari ciri fisik mereka. Etnis Tionghoa lebih bercirikan warna kulit kuning langsat, mata sipit dan dari segi bahasa terutama logat bahasanya lebih terdengar berirama dan cadel. Etnis Arab bercirikan hidung mancung (orang Jawa sering menyebut dengan istilah mbetet), bentuk muka oval dan dalam berbicara dengan logat lebih tegas dan terdengar mendayu-dayu. Di lihat dari ciri-ciri fisik mereka sebenarnya seseorang dapat mengetahuinya tanpa bertanya terlebih dahulu. b. Strata Sosial Pengunjung HIK Dilihat dari status sosial pengunjung HIK beraneka ragam mulai dari strata sosial atas hingga strata sosial bawah. Sehinnga deskripsi bahwa HIK merupakan suatu ruang publik kelas marginal selama ini adalah salah. Mungkin dahulu HIK sebagai alternatif kelas marginal dapat di bilang benar tetapi karena perkembangan jaman dan ketertarikan masyarakat akan suatu hal yang sifatnya tradisional membuat masyarakat dari strata menengah ke atas mulai tertarik datang ke tempat-tempat yang berbau tradisional seperti HIK. Menurut hasil wawancara pengunjung HIK dari semua strata sosial, ketertarikan mereka datang ke HIK karena segi kebersamaannya. Hal ini disebabkan karena sifat masyarakat perkotaan yang individualis membuat mereka ”kangen” dengan kebersamaan antar individu. Kebersamaan yang terlihat di warung-warung HIK, yang mana mereka datang ke HIK selain untuk makan tujuan utama mereka adalah bertemu dan melakukan berbagai aktivitas dengan pengunjung lainnya ataupun penjaja HIK. Baik itu dengan pengunjung dan penjaja yang sudah mereka kenal atau belum. Seperti yang Wwn, Pyn, Bapak Slmt, Dn, T dan pengunjung lainnya rasakan. Mereka senang datang ke HIK dari pada 107
tempat lain karena mereka menganggap semua pengunjung dan penjaja HIK adalah keluarga sehingga suasana yang terjalin seperti suasana kekeluargaan dan kebersamaan. Dari terjalinnya hubungan kekeluargaan dan kebersamaan menjadikan segala sesuatu yang dilakukan tanpa ada rasa pekiwuh-pekiwuhan atau malu-malu. Ikatan kebersamaan tersebut membuat pengunjung yang berasal dari strata bawah tidak harus tunduk kepada mereka yang berstrata atas karena posisi pengunjung yang berada di HIK adalah sama. Keadaan sama dalam artian semua pengunjung mempunyai kebebasan sesuai dengan sifat ruang publik demokratis. Semua pengunjung yang datang di HIK tidaklah memandang usia, jenis kelamin, agama, etnis dan strata sosial, karena jika mereka sudah masuk dalam obrolan mereka melupakan berbagai atribut ataupun status yang mereka sandang. Hal yang terpenting bagi mereka adalah topik pembicaraan yang sedang dibahas. Bahkan terkadang terdapat pengunjung yang datang hanya untuk mengobrol tanpa makan dan minum atau di HIK berjam-jam dengan makan satu gorengan dan memesan satu gelas minum. Keadaan tersebut dapat diartikan bahwa mereka datang ke HIK hanya meminjam tempat untuk berbincang-bincang. c. Keanekaragaman Obrolan Yang Terjadi Di HIK Kembali pada sifat ruang publik yang demokratis selain dilihat dari karakteristik pengunjung, obrolan di HIK termasuk dalam kategori demokrasi. Ruang publik yang merupakan suatu area atau tempat berdebat tentang masalah-masalah
publik
dengan
bebas
merupakan
suatu
penggambaran dari kedemokrasian. Hal ini juga diperkuat oleh Alan McKee menyatakan beberapa pengertian tentang public sphere sebagai berikut : 1) Ruang publik adalah suatu wilayah hidup sosial kita di mana suatu pendapat umum dapat dibentuk diantara warganegara, berhadapan dengan berbagai hal mengenai kepentingan umum tanpa tunduk kepada paksaan dalam menyatakan dan mempublikasikan pandangan mereka.
108
2) Ruang publik adalah istilah yang berkenaan dengan metafora yang digunakan untuk menguraikan ruang virtual dimana orang-orang dapat saling berhubungan. 3) Ruang publik adalah ruang dimana percakapan, gagasan, dan pikiran masyarakat bertemu. 4) Ruang publik adalah ruang virtual dimana warga negara dari suatu negara menukar gagasan dan mendiskusikan isu, dalam rangka menjangkau persetujuan tentang berbagai hal yang menyangkut kepentingan umum. 5) Ruang publik adalah tempat di mana informasi, gagasan dan perberdebatan dapat berlangsung dalam masyarakat dan pendapat politis dapat dibentuk (Fathurin, 2009). Dari pengertian-pengertian diatas menunjukkan bahwa ruang publik merupakan suatu ruang yang mampu mengkomunikasikan pandangan-pandangan yang berbeda sekaligus melahirkan tindakan komunikasi. Salah satu tindakan komunikasi yang dilakukan di ruang publik adalalah suatu obrolan atau omong-omong yang bebas dalam berbagai hal. Demokratis dalam artian berbagai obrolan yang terjadi di HIK dapat terjadi pembicaraan yang bebas atau membicarakan suatu masalah dengan beragam topik bahasan. Keragaman ini merupakan persyaratan yang menurut Habermas harus dipatuhi, dimana suatu ruang publik mesti memungkinkan semua topik dapat di bahas. Dengan kata lain, mestinya tidak ada batasan tentang topik apa yang mesti dibicarakan dalam ruang publik. Menurut hasil penelitan sebelumnya pun sebenarnya juga terlihat bahwa topik obrolan di HIK memang beragam mulai dari topik yang sifatnya pribadi hingga umum. Obrolan yang sifatnya pribadi tidak sama seperti topik umum karena obrolan ini hanya di bicarakan dengan pengunjung lainnya yang sudah dianggap teman ataupun penjaja yang mereka
anggap
seperti
keluarga,
sehingga
tidak
memungkinkan
pembicaraan tersebut dikonsumsi umum. Berbeda dengan obrolan tentang topik-topik umum seperti epolisosbud (ekonomi, politik, sosial, budaya) dan lainnya yang sering di beritakan di media massa membut obrolan tersebut menjadi konsumsi umum. Sebenarnya obrolan dengan topik
109
pribadi seperti pembicaran keluarga, diri sendiri, sekolah atau pekerjaan dan lainnya ini dapat menjadi obrolan publik tergantung seseorang mau membahasnya dengan siapa saja. Menurut penelitian, obrolan di HIK yang sifatnya pribadi sebenarnya merupakan komsumsi umum karena semua hal di bicarakan di sana semua orang dapat melihat dan mendengarnya sehingga mau tidak mau semua obrolan merupakan obrolan yang sifatnya umum (dalam artian semua orang dapat ikut membagi pengalaman, rahasia dan sejenisnya yang sifatnya pribadi tanpa malu-malu). Obrolan di HIK terjadi dalam dua arah yaitu obrolan yang terjadi antara pengunjung dan penjaja HIK serta obrolan yang terjadi antar pengunjung HIK. Obrolan yang terjalin baik antara pengunjung dan penjaja ataupun antar pengunjung HIK, pertama kali merupakan suatu pembicaraan perkenalan yang diawali dengan berbagai pertanyaan yang bisa di bilang suatu pembicaraan basa-basi untuk mengenal penjaja HIK ataupun pengunjung yang baru saja mereka temui. Bahkan terkadang pembicaraan terjadi secara tidak sengaja, dengan pengertian obrolan terjadi tanpa terdapat perkenalan terlebih dahulu yang mana tiba-tiba saja saling terjalin pembicaraan antar ke dua belah pihak. Pembicaraan seperti ini merupakan suatu obrolan yang sering terjadi di HIK. Obrolan-obrolan tersebut selanjutnya terjadi lebih kearah pengakraban diri yang lama-lama terjadi pembicaraan ke arah yang lebih umum seperti obrolan-obrolan bernuasansa politik, ekonomi ataupu perbincangan sesuai keadaan yang terjadi pada saat itu. Selain itu obrolan ini terjadi karena memang di antara ke dua belah pihak sudah saling mengenal dalam artian baik pengunjung ataupun penjaja sudah mengenal lawan bicaranya. Obrolan yang terjalin karena sudah saling mengenal lebih terjalin secara menyenangkan karena pembicaraan yang terjadi lebih lama dan topik bahasan yang dibicarakan pun lebih beragam bahkan sampai obrolan pribadi tidak seperti pembicaraan yang terjadi karena tidak saling mengenal.
110
Pengunjung yang sudah menjadi langganan dari suatu HIK dalam menjadi obrolan terlihat lebih luwes dalam artian tidak ada rasa malu-malu dalam menanyakan segala sesuatunya antar ke dua belah pihak. Kegiatan obrolan yang merupakan suatu bentuk komunikasi lama-kelamaan akan membentuk suatu interaksi antar keduanya. Hubungan inilah yang menurut berbagai informan baik itu penjaja seperti Bapak Jmd, Mrdn, dan Bapak Mgr serta berbagai pengunjung yaitu Bapak Slmt, Pyn, Wwn, Rt, Dn) merupakan suatu hubungan kekeluargaan di HIK. Di lihat dari berbagai hal tersebut, HIK memiliki fungsi mereduksi ketegangan-ketegangan sosial sekalipun sifatnya hanya sesaat tetapi yang sesaat tersebut nampaknya efektif bagi pengunjung yang datang. Fungsi mereduksi tersebut misalnya sebagai tempat untuk menghilangkan kejenuhan, ketegangan, informatif (tempat ngobrol) dan fungsi biologis, yaitu tempat mendapat kesegaran sambil makan dan minum. Walaupun terkadang pengunjung disana bisa ngobrol berjam-jam tanpa membeli makanan ataupun minuman satu pun, penjaja tetap merasa senang karena merupakan salah satu resiko yang dihadapi penjaja. Seperti yang dialami oleh beberapa penjaja HIK yaitu Bapak Mrdn dan Bapak Jmd, bahwa kerugian akibat pengunjungnya hutang tidaklah menyurutkan pendirian mereka untuk merintis usaha HIK karena menurut mereka suatu resiko memang harus dihadapi sebagai wirausaha ataupun pengusaha manapun. Bahkan yang mereka prioritaskan adalah masalah kenyamanan pengunjung. Di HIK kenyamanan pengunjung sangatlah diperhatikan penjaja karena jika pengunjung nyaman di HIK berarti pengunjung merasa ”betah” dan menjadi pelanggan tetap warung mereka. Kenyamanan di HIK tidak sama dengan tempat makan lainnya sebab kenyamanan menurut pengunjung adalah kenyamanan dalam membentuk suatu keakraban dengan semua orang yang berada di sana. Seperti yang di ungkapkan sebelumnya bahwa pengunjung lebih tertarik dengan keakraban yang terjalin di HIK, baik itu lewat bentuk komunikasi yang terjadi ataupun 111
bentuk interaksi yang terjalin di sana. Dari inilah penjaja HIK biasanya menjalin komunikasi dengan pengunjung lewat berbagai obrolan-obrolan tentang berbagai topik saat itu. Hal senada juga di alami oleh Bapak Mgr bahwa setiap orang yang datang ke HIK sebenarnya mempunyai kepentingan masing-masing, mereka datang mulai dari ingin berkenalan atau menjalin silaturahmi, makan, kerjasama (sudah janjian dahulu). Dari kepentingan-kepentingan ini ada yang ngobrol sambil menikmati makanan dan minuman dan ketemu dengan pengunjung yang ada tanpa makan dan minum. Inilah yang menjadi daya tarik HIK bagi masyarakat. HIK juga merupakan tempat pelarian dari berbagai masalahmasalah yang pengunjung hadapi. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa informan yaitu Wwn, Rt, Bapak Jk, Pyn dan informan lainnya yang mengatakan bahwa HIK merupakan tempat untuk menggungkapkan berbagai masalah dari masalah pribadi hingga masalah yang sifatnya umum. Dari hasil pengamatan yang dilakukan, obrolan yang dibicarakan lebih menuju ke arah masalah-masalah umum seperti masalah ekonomi, politik, budaya hingga masalah-masalah gosip selebriti/artis. Untuk masalah pribadi, pengunjung biasanya membicarakan ”uneg-uneg” segala permasalahan yang melilit masing-masing individu. Masalah-masalah yang sifatnya pribadi ini merupakan suatu bentuk curhat individu terhadap masalah dirinya. Dalam posisi seperti ini, pendengar lebih mendengarkan curhat setelah itu baru memberi suatu masukan/saran dan sebagaian ada yang mengalihkan pembicaraan tersebut ke obrolan yang sifatnya lawakan atau lelucon dengan maksud pencurhat tersebut agar lebih rileks dengan berbagai masalah yang dihadapinya. Obrolan tentang masalah-masalah umum di HIK terjadi sebagai bahan pembicaraan yang sifatnya universal sehingga semua orang yang berada di warung dapat bergabung (nimbrung) bersama-sama dan saling mengeluarkan berbagai pendapat serta kesan mereka terhadap masalahmasalah tersebut. Obrolan satu ini merupakan suatu refleksi (pembicaraan 112
yang terjadi secara tidak sengaja) di lakukan oleh pengunjung HIK dan merupakan suatu obrolan yang fresh karena obrolan ini biasanya membahas masalah-masalah yang memang sedang di bicarakan oleh media massa saat itu. Menurut Bapak Jmd, Mgr dan Bapak Mrdn, obrolanobrolan seperti ini yang memang dilakukan oleh pengunjung HIK. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semua masyarakat dari beranekaragam latar belakang sosial, ekonomi dan budaya dapat menikmati HIK. Dari latar belakang sosial dilihat dari pendidikan para pengunjung HIK, ekonomi dilihat dari pekerjaan sedangkan budaya dilihat dari keberagaman etnis, bahasa dan agama. Keberagaman pengunjung HIK inilah yang menjadikan obrolan di HIK juga beragam. Orang-orang yang berkunjung di HIK pasti membawa suatu topik yang berbeda-beda atau bebas. Keanekaragaman tersebut yang mencirikan sifat demokratis HIK.
2. Kebermaknaan di HIK Sifat ruang publik ke dua menurut Habermas adalah bermakna yang berarti ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dunia luas, dan konteks sosial. Dari pengertian yang menggambarkan bahwa ruang publik harus memiliki tautan antar manusia inilah maka dapat di lihat dari interaksi yang terjalin di ruang publik. Interaksi yang terjadi di HIK sebagai ruang publik terjadi dengan spontan, karena di ruang publik jalinan penyesuaian diri paling banyak dituntut sebab di sana siapa saja bisa hadir sebagai manusia bebas bahkan interaksi dapat terjadi melalui komunikasi yang terjadi antar individu disana. Komunikasi adalah suatu jenis interaksi, di mana para partisipan memakai bahasa atau simbol-simbol yang sudah disepakati bersama. Komunikasi pada dasarnya adalah proses ketika seseorang berhubungan dengan orang yang lain serta membangun suatu keterlibatan antara kedua belah pihak, dalam komunikasi semua orang terlibat. Sehingga dengan komunikasi diharapkan masing-masing orang memiliki ruang untuk mengaktifkan dirinya, yakni 113
suatu ekspresi yang ditujukan terhadap orang lain, salah satunya terwujud di dalam ruang publik. Komunikasi yang terjadi di HIK dapat di lihat melalui bentuk obrolan-obrolan pengunjung ataupun penjaja di sana. Interaksi dalam ruang publik bersifat non-formatif sebab perdebatan yang terjadi terjalin bebas dari semua peraturan. Karena sesuai dengan fungsi ruang publik yang bebas sehingga segala interaksi yang didalamnya tidak bersifat monoton tetapi sifatnya relaks, maka perbincangan atau obrolan yang terjadi pun bisa berwujud suatu pembicaraan non rasional bahkan sampai perdebatan yang sifatnya jenaka. Lihat saja jika anda datang di HIK, anda pasti kebanyakan menemukan obrolan berbau jenaka dari pada obrolan yang serius. Menurut beberapa informan seperti Bapak Slmt, Bapak Jmd dan Pyn mengatakan bahwa obrolan jenaka ini merupakan suatu penyeimbang dalam mempererat keakraban. Apalagi pembicaraan seperti ini biasa juga sebagai selingan bahan obrolan ketika pengunjung ataupun penjaja sedang membicarakan topik pembicaraan yang berat-berat seperti obrolan ekonomi, politik, sosial ataupun budaya. Partisipan debat melalui obrolan ini juga diharuskan memiliki kepentingan bersama atas kebenaran, yang berarti mereka juga harus dapat menunda perbedaan status, sehingga mereka berbicara dalam keadaan setara. Komunikasi di era modernitas sendiri adalah komunikasi yang bebas dominasi. Setiap individu memiliki hak untuk saling berdialog dan berwacana atas segala sesuatu yang terjadi di ruang publik. Interaksi ini juga pernah dibahas oleh Georg Simmel atas bentukbentuk interaksi/sosiasi yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat seharihari. Simmel menekankan dalam kehidupan kita diperintah oleh dua kutub. Kutub-kutub tersebut yaitu kutub individualitas dan kutub yang bersifat umum. Kutub individualitas seseorang dapat dilihat di dalam pengembangan kepribadian sesuai dengan ciri khas atau keunikan individu tunggal, sedangkan kutub yang sifatnya umum dapat dilihat dalam lingkungan sosial/lingkungan
kebudayaan
guna
memperoleh
pengakuan
dalam
masyarakat. ”Sosiasi adalah bentuk-bentuk dan pola-pola khusus di mana 114
manusia saling bergaul dan berinteraksi” (Widyanta, 2002: 89). Dalam hal ini interaksi-interaksi yang semula hanya terjadi sementara atau pendek dan kemudian berubah menjadi suatu interaksi yang intensif dan cepat maka disebut sebagai sosiasi. ”Sosiasi ini meliputi berbagai interaksi yang relatif stabil dan individu yang terlibat dalam interaksi pasti melibatkan berbagai kepentingan, alasan, persangkalan psikologisnya masing-masing” (Widyanta, 2002: 88). Diantara kedua kutub ini yaitu antara kepentingan pribadi dan umum akan terbentuk dalam suatu tempat atau wilayah sosial (lingkungan sosial/kebudayaan). Dalam wilayah ini manusia diposisikan sebagai aktor (subyek/self) yang aktif, sehingga Simmel menggambarkan manusia sebagai makhluk yang berada dalam pusat atau tengah-tengah lingkaran antara wilayah privat individual, wilayah sosial individual dan wilayah kultural. Di lingkungan kebudayaan, manusia (individu) berada dalam dua wilayah privat dan sosial sekaligus, karena individu selain memenuhi kebutuhan atau keinginan di wilayah privat, juga sekaligus memenuhi kebutuhan sosial. Bila di umpamakan seseorang berada di dalam suatu wilayah kultural seperti warung HIK, individu selain memenuhi kebutuhan pribadi (makan, minum, rekreasi, dan sebagainya) juga sekaligus memenuhi kebutuhan sosialnya yaitu bertemu dengan orang lain, ngobrol ataupun bentuk interaksi lainnya. Sedangkan sosiasi yang terjalin merupakan bentuk perpanjangan dari interasi pengunjung dengan semua orang di HIK yang mengarah ke bentukbentuk interaksi seperti kerjasama, persaingan ataupun konflik. Dari ketiga bentuk interaksi yang terjalin pengunjung ataupun penjaja di HIK lebih mengarah ke kerjasama. Lihat saja aktivitas jual beli yang terjadi antara penjaja dan pengunjung HIK merupakan bentuk interaksi kerjasama. Bentuk kerjasama lainnya yang ditemukan oleh peneliti dalam pengamatan adalah kerjasama yang terjadi antar pengunjung HIK yaitu kerjasama bisnis (usaha) tanaman dan kerjasama dalam penelitian (seperti yang peneliti lakukan dalam wawancara dengan pengunjung dan penjaja HIK). Sedangkan persaingan di HIK dapat di lihat dari berbagai perilaku pengunjung. Menurut hasil penelitian yang di dapat dari pengamatan persaingan berupa persaingan dalam 115
perilaku fashion baik itu melalui gaya rambut ataupun pakaian yang pengunjung kenakan. Selain itu persaingan dapat di lihat dari respon mereka yang berupa kata-kata terhadap perilaku, tingkah laku dan gaya (penampilan) pengunjung lain, baik itu respon yang sifatnya positif seperti memuji ataupun negatif seperti mengolok-olok penampilan orang lain. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa interaksi yang terjalin di HIK ada dua hubungan interaksi. Pertama interaksi antara penjaja dengan pengunjung HIK, kedua interaksi antar pengunjung HIK. a. Interaksi antara penjaja dengan pengunjung HIK Interaksi antara penjaja dan pengunjung di HIK mungkin yang terlihat hanya sebatas interaksi antara penjual dan pembeli layaknya di warung-warung lainnya. Tetapi jika kita melihat lebih dalam interaksi yang terjadi antara penjaja dan pengunjung itu layaknya interaksi yang terjalin antar keluarga atau saudara. Lihat saja interaksi yang terjalin antara penjaja seperti Bapak Jmd dan bapak Mrdn dengan pelanggannya remaja seumuran anak SMP atau SMA, yang mana interaksi yang terjalin layaknya anak dan bapak. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak Jmd bahwa anak-anak yang sering datang (dalam artian anak-anak SMP dan SMA bahkan orang dewasa yang belum menikah yang sering memanggil Bapak Jmd dengan sebutan pak’e atau Bapak) menganggap Bapak Jmd sebagai bapak sendiri sehingga mereka datang terkadang hanya untuk curhat atau meminta solusi tentang permasalahan yang mereka hadapi layaknya hubungan yang terjadi antara bapak dan anak. Pengunjung seperti ini bisanya adalah mereka yang memang hubungannya tidak dekat dengan keluarganya (dalam artian keluarga sebenarnya). Di luar hubungan layaknya seperti keluarga ini bisa dibilang hubungan penjaja dan pengunjung HIK adalah hubungan pertemanan (khususnya pengunjung usia dewasa) baik itu dengan pengunjung kalangan orang tua ataupun orang dewasa. Selain itu interaksi yang terjalin dengan pengunjung dan penjaja HIK di sini merupakan bentuk kerjasama. Bentuk kerjasama penjaja dan 116
pengunjung tersebut dapat dilihat dalam relasi jual beli yang terjadi. Sedangkan interaksi yang terjalin secara mendalam seperti jalinan kekeluargan atau pertemanan merupakan suatu dampak berlangsungnya kerjasama tersebut. Disini hubungan tersebut merupakan suatu sosiasi yang terjalin karena keterlanjutan adanya interaksi (kerjasama) antara penjaja dan pengunjung HIK. b. Interaksi antara pengunjung HIK Interaksi yang terjalin antar pengunjung HIK terjadi lebih kearah hubungan pertemanan atau rakanan. Di lihat dari bentuk-bentuk interaksi yang sudah dipaparkan pada hasil temuan, maka bentuk interaksi antar pengunjung dapat dikatakan bentuk interaksi dalam kerjasama dan persaingan. Dikatakan kerjasama karena di HIK antar pengunjung terkadang secara sengaja ataupun tidak terkadang terdapat suatu interaksi yang menjurus kearah tersebut. Beberapa orang yang datang ke HIK menjalin kerjasama dalam hal bisnis ataupun kerjasama saling memberikan informasi seperti yang terjalin antara aktivis LSM dan pengunjung lainnya ataupun kerjasama antara peneliti dengan penjaja ataupun pengunjung HIK lainnya dalam mencari informasi tentang keadaan di HIK. Bentuk interaksi lainnya adalah persaingan. Persaingan yang terjadi di HIK mungkin untuk sebagian orang tidak melihatnya, tetapi cermatilah berbagai tingkah laku dan percakapan yang terjadi disana lamakelamaan kita akan melihatnya sebagai suatu bentuk persaingan. Perhatikan saja pembicaraan yang terjadi pada satu kelompok pengunjung terhadap perilaku pengunjung lain. Jika mereka melihat berbagai tingkah laku pengunjung lain yang dirasa agak norak atau ngaya (lebih bergaya darinya, lebih cantik, ataupun kelebihan lainnya) mereka pasti langsung memberi komentar yang beraneka ragam mulai komentar yang sifatnya positif ataupun negatif. Komentar-komentar yang sifatnya negatif inilah dapat digolongkan ke dalam bentuk persaingan karena mereka (yang memberi komentar negatif tersebut) pasti membandingkannya dengan 117
dirinya ataupun orang lain yang dianggapnya lebih perfect (sempurna) sesuai dengan pemikirannya.
3. HIK Bersifat Responsif Sifat responsif menurut ruang publik Habermas berarti ruang publik harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Dilihat dari sifat responsif yang menyatakan ruang publik dapat digunakan untuk berbagai kegiatan maka orang dapat merespons situasi berkembang salah satunya lewat kegiatan komunikasi yang membuat terjalinnya interaksi. Komunikasi di HIK dilakukan secara langsung antar pengunjung ataupun antara pengunjung dan penjaja. Hanya saja komunikasi di HIK ini lebih mengarah pada berbagai perbincangan yang terjadi atau lebih populernya lewat obrolan-obrolan. Responsif inilah merupakan suatu sifat yang mendasari sifat-sifat ruang publik lainnya (yaitu sifat demokratis dan bermakna). Di lihat dari sifat responsif tersebut, maka HIK sebagai ruang publik yang di dalamnya terjadi berbagai aktivitas seperti kegiatan biologis (makan dan minum) dan kegiatan sosial (komunikasi yang pada akhirnya membentuk suatu jalinan interaksi). Padahal berbagai kegiatan-kegiatan tersebut sudah masuk dalam sifat-sifat sebelumnya. Namun jika di telaah lebih dalam, sifat responsif ini mengacu pada gerak respon seseorang terhadap situasi yang terjadi di ruang publik. Gerak respon yang terjadi di HIK sebagai ruang publik mungkin agak berbeda dengan gerak respon yang terjadi di ruang publik lainnya seperti mall, internet, taman-taman kota atupun lainnya yaitu respon masyarakat terhadap perkembangan-perkembangan yang sifatnya ke arah modernitas dan teknologi. Respon yang terjadi di HIK mungkin bisa di bilang sifatnya sangat sederhana yaitu respon semua orang di sana terhadap obrolan dan interaksi yang terjalin di HIK. Mulai dari respon seseorang terhadap yang terjadi atau dalam artian pemahaman kita terhadap bahan obrolan yang sedang di bicarakan. Di HIK respon obrolan ini bisa terjadi secara pasif atau aktif karena jika pembicaraannya sekitar masalah ekonomi, politik ataupun 118
masalah lainnya yang dianggap rumit atau sulit dipahami banyak orang maka obrolan yang terjadi sifatnya pasif. Namun jika kita membicarakan suatu hal yang memang dipahami oleh semua orang maka responnya akan berlangsung aktif (obrolan terjadi multi arah yang mana semua orang saling memberikan respon lebih cepat dan obrolan terjadi menyenangkan). Bahkan respon yang terjadi terkadang melenceng dari suatu bahasan obrolan. Sifat responsif lainnya juga dapat dilihat dari interaksi yang terjalin di HIK. Bentuk-bentuk interaksi yang terjalin di HIK seperti kerjasama dan persaingan merupakan suatu respon seseorang terhadap orang lain. Sehingga interaksi dapat juga dikatakan sebagai respon lanjutan dari kegiatan obrolan yang terjadi di HIK. Bayangkan jika seseorang tidak merespon segala aktivitas yang terjadi di HIK maka tidak akan terjalin obrolan ataupun interaksi di sana. Respon dari seseorang inilah yang membuat suatu interaksi berjalan lancar atau terhambat. Misalnya saja dalam kegiatan obrolan yang terjadi di HIK, jika respon pendengar terhambat dalam artian lambat memahami bahan obrolan yang sedang di lontarkan dari pembicara otomatis obrolan akan terjadi pasif bahkan obrolan akan melenceng di luar pembahasan. Apabila hal ini terjadi pendengar biasanya hanya mengomentari dengan kata-kata ketidak tahuan seperti ”tidak tahu”, ”masa bodoh”, ”au ah”, dan sebagainya. Tetapi terkadang pendengar melakukan pengalihan pembicaraan ke obrolan lain. Berbeda dengan respon pendengar lancar dalam artian pendengar mengerti maksud dan arah pembicaraan maka obrolan akan berlansung lancar dan menyenangkan. Dalam obrolan yang berlangsung secara lancar ini pendengar ataupun pembicara akan melontarkan berbagai pendiskripsian bahan obrolan sesuai dengan pemahaman ataupun pendapat mereka masing-masing. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa di HIK respon-respon tersebut juga terjalin secara lancar (aktif) atau terhambat (pasif). Tetapi di HIK respon terhadap suatu obrolan tidaklah menjadi suatu hal yang di permasalahkan karena jika seseorang tidak dapat merespon obrolan yang terjadi pembicaraan akan akan tetap berlangsung karena topik yang di 119
obrolkan dapat beragam topik tanpa ada batasan apapun. Begitu pula dengan interaksi yang terjalin di HIK dapat berlangsung selama masing-masing individu melakukan respon sesuai dengan pemahaman mereka terhadap segala hal yang terjadi di sana.
120
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. KESIMPULAN Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dan analisis data penelitian tentang HIK sebagai Ruang Publik (Studi Kasus tentang Karakteristik Pengunjung, Obrolan dan Interaksi antara Pengunjung serta Penjaja HIK Di Sepanjang Jalan Dr Rajiman, Solo), penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: Di lihat dari sifat-sifat ruang publik yaitu demokratis, bermakna dan responsif, HIK dapat menjadi ruang publik dari sifat-sifat tersebut. Sifat pertama demokratis, ruang publik melihat yang melihat kesetaraan sebagai manusia dalam kontek berkomunikasi dan berbagi informasi maka sifat ruang publik demokratis karena di dalamnya semua orang saling menghargai dan menghormati keragaman atribut sosial dan budaya serta kepentingan ekonomi tertentu. Keragaman ini merupakan persyaratan yang harus dipatuhi, dimana suatu ruang publik mesti memungkinkan semua topik dapat di bahas. Ruang publik merupakan suatu ruang yang mampu mengkomunikasikan pandangan-pandangan yang berbeda sekaligus melahirkan tindakan komunikasi inilah yang di maksud adalah kegiatan obrolan di HIK. Dari obrolan-obrolan yang terjadi di HIK menandakan bahwa mereka saling menghormati dan menghargai segala obrolan yang di kemukakan oleh masing-masing orang baik itu obrolan yang berisi curhat (mengutarakan emosi perasaan mereka) hingga obrolan yang berbau politik, ekonomi, sosial, budaya (obrolan yang bersifat umum). Obrolan yang sifatnya umum ini merupakan suatu percakapan tentang ungkapan “uneg-uneg” (pendapat) mereka terhadap keadaan yang terjadi saat itu. Obrolan-obrolan di HIK merupakan suatu refleksi (pembicaraan yang terjadi secara tidak sengaja) di lakukan oleh pengunjung HIK dan merupakan suatu obrolan yang fresh karena obrolan ini biasanya membahas masalah-masalah yang aktual masa itu. Selain itu obrolan ini terjadi karena memang di antara ke dua belah pihak sudah saling mengenal dengan baik antar pengunjung maupun penjaja bahkan obrolan terjadi tanpa rasa malu-malu. Sifat demokratis HIK sebagai ruang publik membuat HIK
121
memiliki fungsi mereduksi ketegangan-ketegangan sosial sekalipun sifatnya hanya sesaat tetapi yang sesaat tersebut nampaknya efektif bagi pengunjung yang datang atau sebagai tempat refreshing. Fungsi mereduksi tersebut misalnya sebagai tempat untuk menghilangkan kejenuhan, ketegangan, informatif (tempat ngobrol) selain fungsi biologis tergantung kepentingan masing-masing orang yang datang. Fungsi mereduksi ini menjadikan HIK juga merupakan tempat untuk membicarakan berbagai masalah secara bersama-sama. Sifat kedua, kebermaknaan HIK sebagai ruang publik dapat di lihat dari interaksi yang terjadi di sana. Sesuai dengan fungsi ruang publik yang bebas membuat interaksi tidak bersifat monoton tetapi sifatnya relaks dalam arti interaksi terjalin pelan-pelan tetapi bertahan lama karena di luar HIK mereka tetap menjalin interaksi. Interaksi yang terjadi ini di awali dengan komunikasi yang terjalin diantara orang-orang di sana. Komunikasi diantara pengunjung yang datang ada yang menggunakan bahasa Indonesia, Jawa ataupun bahasa campuran (campuran bahasa Indonesia-Jawa atau bahasa Indonesia-Inggris) hingga bahasa gaul, obrolan yang terjalin dapat dengan bahasa sopan ataupun tidak sopan seperti memaki dan sebagainya. Interaksi yang terjalin di HIK ada dua hubungan interaksi yaitu antara penjaja dengan pengunjung dan antar pengunjung. Interaksi yang terjadi di HIK dapat berlanjut ke dalam bentuk kerjasama atau persaingan, kerjasama penjual dan pembeli yang di lakukan oleh penjaja dan pengunjung HIK dan kerjasama saling memberikan informasi dalam segala hal baik itu antara penjaja dan pengunjung ataupun antar pengunjung. Persaingan di HIK dapat di lihat dari ekspresi dan pendapat mereka tentang pengunjung lainnya. Selain itu interaksi di HIK yang semula berjalan pendek dalam artian terjadi saat itu saja lama-kelamaan berjalan lebih intensif (sering) membuat interakasi berjalan secara stabil dan individu yang terlibat pasti melibatkan berbagai kepentingan, alasan masing-masing. Dari keragaman kepentingan dan alasan inilah membuat interaksi yang terjadi akan terbentuk suatu kelompok yang bersifat kekeluargaan. Sifat ketiga, responsif ruang publik berkaitan dengan kegiatan obrolan ataupun interaksi di HIK. Dilihat dari sifat responsif berhubungan dengan respon seseorang terhadap segala sesuatu yang terjadi di HIK. Dalam kegiatan obrolan
122
responsif ini merupakan bentuk respon pengunjung terhadap topik pembicaraan yang sedang di bahas. Bentuk-bentuk interaksi yang terjalin di HIK seperti kerjasama dan persaingan merupakan suatu respon seseorang terhadap orang lain. Respon obrolan dapat terjadi secara pasif atau aktif. Dikatakan aktif jika obrolan terjadi multi arah yang mana semua orang saling memberikan respon lebih cepat dan obrolan terjadi menyenangkan. Sedangkan pasif jika obrolan sulit di pahami sehingga obrolan tiba-tiba akan terhenti dan di ganti dengan topik obrolan lainnya. HIK yang dahulu sering diidentifikasikan sebagai ruang publik untuk kalangan marginal tidak benar, ternyata merupakan ruang publik untuk semua kalangan mulai dari kalangan elite (ekonomi ke atas) hingga ekonomi bawah (marginal). Selain itu pengunjungnya berasal dari beranekaragam strata sosial, jenis kelamin, usia, agama, etnis. Dilihat dari topik obrolan yang di bahas beranekaragam masalah yang aktual masa itu sehingga menjadikan HIK sebagai ruang publik yang benar-benar bersifat bebas.
B. IMPLIKASI Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian dapat dikaji implikasi sebagai berikut: 1. Implikasi Teoritis Dari hasil temuan studi, maka dapat dikaji secara teoritis, peneliti menggunakan teori Habermas tentang ruang publik (public sphere), teori ini menyatakan tentang semua wilayah atau tempat yang memungkinkan kehidupan sosial kita untuk membentuk opini publik yang relatif bebas. Bebas baik itu bebas dari dominasi pemerintah, bebas terhadap semua kalangan dan bebas dalam membahas berbagai persoalan. Apa yang ingin disampaikan oleh Habermas adalah mengenai sistem demokrasi dari inilah maka ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis dan bermakna. Dalam penelitian HIK sebagai ruang publik yang di tandai dengan sifat-sifat ruang publik (demokratis, bermakna dan responsif) ini yang merupakan tempat interaksi warga masyarakat mempunyai arti penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kesejahteraan sosial karena di sana semua 123
orang tidak memandang status dan strata yang mereka sandang. Hal ini dapat di lihat dari kegiatan obrolan sangatlah bebas berbicara dengan siapa pun tanpa terkecuali dan membicarakan berbagai hal mulai dari berita-berita yang aktual, gosip hingga obrolan tentang curhat. Selain itu, interaksi yang terjadi di ruang publik juga didukung oleh teori interaksi dari Georg Simmel atas bentuk-bentuk interaksi/sosiasi yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Di HIK Interaksi yang terjalin lebih merupakan suatu bentuk interaksi kerjasama dan persaingan. Interaksi yang terjalin dari beragam keragaman kepentingan dan alasan lamakelamaan akan membentuk suatu kelompok yang bersifat kekeluargaan. 2. Implikasi Praktis Dari penelitian di atas, implikasi praktis adalah memberikan pengetahuan kepada penjaja ataupun pengunjung HIK di Jalan Dr Rajiman. Mereka dapat bertoleransi dengan saling menghormati dan menghargai berbagai keanekaragaman yang ada baik itu keragaman sosial, budaya, ekonomi dan politik pengunjung HIK. Dari toleransi inilah salah satu wujud dalam menjaga interaksi sosial yang terjadi di antara penjaja dan pengunjung ataupun sesama pengunjung baik itu melalui kegiatan obrolan yang dilakukan karena menggambarkan kebersamaan. Kebersamaan yang terjalin di HIK yang menggambarkan kekeluargaan ini sebenarnya menjadikan nilai tambah karena jarang di temui di ruang publik lainnya seperti mall, restoran, taman-taman kota atau ruang publik lainnya. Suasana kebersamaan dan kekeluargaan inilah yang membuat ketertarikan masyarakat untuk berkunjung ke HIK.
C. SARAN Setelah mengadakan penelitian dan pengkajian tentang HIK sebagai Ruang Publik (Studi Kasus tentang Karakteristik Pengunjung, Obrolan dan Interaksi antara Pengunjung serta Penjaja HIK Di Sepanjang Jalan Dr Rajiman, Solo), peneliti memberikan saran-saran untuk menambah wawasan mengenai hal tersebut sebagai berikut:
124
1. Bagi Penjaja HIK Jalan Dr Rajiman a. Penjaja HIK hendaknya tetap dapat mempertahankan usahanya lewat kreasi makanan tradisional yang dijajakan sehingga mampu menjadi salah satu wisata kuliner di Kota Solo. b. Penjaja HIK hendaknya lebih menjaga kebersihan baik itu kebersihan makanan, tempat makan (sendok, garpu, piring kecil, dan gelas) dan lingkungan warungnya. c. Penjaja HIK agar menyediakan sarana prasarana lebih baik seperti tikar karena selama ini tikar-tikar di warung HIK banyak yang sudah berlubang dan kotor. 2. Bagi Pemerintah Kota Pemerintah Kota Solo hendaknya lebih memperhatikan pekerjaan di sektor informal salah satunya warung HIK di Jalan Dr Rajiman, karena HIK sendiri juga merupakan suatu cara pelestarian kebudayaan terutama makanannya sebagai salah satu wisata kuliner. Selain itu warung HIK dianggap sebagai salah satu identitas budaya Solo. 3. Bagi Pengunjung HIK Jalan Dr Rajiman a. Pengunjung HIK hendaknya dapat menjaga kebersihan dengan membuang sampah ke tempat yang sudah disediakan oleh masing-masing penjaja. b. Pengunjung HIK agar dapat menertibkan parkir-parkir kendaraannya yang di pakai (terutama di warung-warung HIK yang tidak ada juru parkir) sehingga tidak mengganggu kelancaran lalu lintas sekitar.
125
DAFTAR PUSTAKA
Agus Salim. 2006. Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogtakarta: Tiara Wacana Agus, S., Bagus, T., B. Herry-Priyono., Budi, H., M. Kusnaeni., R. Kristiawan., Saldi, I., & Yasraf, A. 2005. Republik Tanpa Ruang Publik. Yogyakarta: IRE PRESS Akintoye, Ishola Rufus. 2008. Reducing Unemployment Through The Informal Sector: A Case Study of Nigeria. Diakses dalam http://www.eurojournalsn.com tanggal 28 Mei 2009 pukul 14.00 Ali Achsan Mustafa. 2008. Transformasi Sosial Masyarakat Marginal (Mengukuhkan Eksistensi Pedagang Kaki Lima Dalam Pusaran Modernitas). Malang: INSPIRE Alisjahbana. 2006. Marginalisasi Sektor Informal Perkotaan. Surabaya: TSS Press Alison, J. Murray. 1994. Pedagang Jalanan Dan Pelacur Jakarta. Terjemahan Nasyith Majidi. Jakarta: LP3ES Anton, A Setyawan. 2006. Memberdayakan Sektor Informal Perkotaan, Studi Empirik Pada PKL Kota Solo. Surakarta : UMS Press. Diakses pada http://www.scribd.com/doc/4442595/Artikel-PublikasiInformal2forUSAHAWAN Tanggal 28 Mei 2009 pukul 13.46 Bambang Tri Cahyono. 1983. Pengembangan Kesempatan Kerja. Yogyakarta: UGM Press Bogdan, Robert. 1993. Kualitatif (Dasar-Dasar Penelitian). Terjemahan Khozin Afandi. Surabaya: Usaha Offset Printing Burhan Bungin. 2008. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik Dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana _____________. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif (Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Daniel Dhakidae. 1980. Juni. Gaya HIdup. Prisma. 2 Didik Rachbini. J. 1994. Ekonomi Informal Perkotaan (Gejala Involusi Gelombang Kedua). Jakarta: LP3ES 126
Eka, N. S., Mahendra, W., Firdastin, R. Y., Kamila, A., Paramastu, T. A., Paring, G.U., Dhianika, E. A., Sutopo, J. K., & Gigih, M. 2009. Anomi Media Massa. Surakarta: KATTA Everes, Hans-Dieter & Rudiger Korff. 2002. Urbanisme Di Asia Tenggara: Makna Kekuasaan Dalam Ruang-Ruang Sosial. Terjemahan Zulfahmi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Fathurin. 2009. Pengertian Public Sphere Teori Komunikasi II (INTERPRETIF & KRITIS). Diakses dalam http://www.fathurin-zen.com/?p=93 tanggal 25 Mei 2009 pukul 14.56 Fields,
S. Gary. 2007. Dual Economy. Diakses dalam http://digitalcommons.ilr.cornell.edu/workingpapers/17 tanggal 28 Mei 2009 pukul 14.06
Geertz, Clifford. 1973. Penjaja Dan Raja (Perubahan Sosial Dan Modernisasi Ekonomi Di Dua Kota Indonesia). Terjemahan S. Supomo. Jakarta: PT Gramedia Gilbert, Alan & Josef Gugler. 1996. Urbanisasi Dan Kemiskinan Di Dunia Ketiga. Terjemahan Anshori. Yogyakarta: PT. Tiara Wcana Guritno, T. 1994. Kamus Ekonomi Bisnis Perbankan Inggris-Indonesia. Yogyakarta: UGM Press Habermas, Jurgen. 2007. Ruang Publik (Sebuah Kajian Tentang Katagori Masyarakat Borjuis). Terjemahan Yudi Santoso. Yogyakarta: Kreasi Wacana Hurlock, Elizabeth. B. 1993. Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan). Terjemahan Isti Widayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga Ibnu.
2008. Public Sphere (Ruang Publik). Diakses dalam http://ibnuadamaviciena.wordpress.com/2007/07/24/ruang-publik/) tanggal 16 September 2008 pukul 14.30
Irwan Abdullah. 2006. Kontruksi Dan Reproduksi Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Pelajar Jefta Leibo. 2004. Problem Perkotaan Dan Konflik Sosial (Sebuah Perspektif Sosiologi). Yogyakarta: INPEDHAM
127
Johnson, Pauline. 2008. Habermas: Rescuing The Public Sphere. Diakses dalam http://www.palgrave-journals.com/cpt/journal/v7/n4/full/cpt20087a.html tanggal 26 Mei 2009 pukul 16.32 Manning Chris & Tadjuddin Noer Effendi. 1996. Urbanisasi, Pengangguran Dan Sektor Informal Di Kota. Terjemahan Al. Ghozi Usman & Andre Bayo Ala. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Mitfah Wirahadikusumah. 1991. Mei. Sektor Informal Sebagai ”Bumper” Pada Masyarakat Kapitalis. Prisma. 31 Mulyadi, S. 2003. Ekonomi Jenis Daya Manusia Dalam Perspektif Pembangunan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Nadiroh. 2007. Agustus. Konsep Dan Dinamika Masyarakat Madani (Civil Society) Di Indonesia. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan Tahun Ke-13. 136 Nn,
2008. Angkringan Tugu. Diakses dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Angkringan tanggal 28 Oktober 2008 pukul 13.35
Noviana Lely Setyowati. 2005. Eksistensi Pengusaha Hik Dan Kepuasan Pelanggan (Studi Diskriptif Kualitatif Tentang Eksistensi Pengusaha Hik Dan Kepuasan Pelanggan Di Sekitar Kampus Universitas Sebelas Maret Surakarta. Skripsi. FISIP. UNS Priyono, M. H., Bakir Hasan & Djunaedi Hadisumarto. 1982. Sumber Daya Manusia Kesempatan Kerja Dan Pembangunan Ekonomi (Kumpulan Makalah Terpilih Sidang Pleno Isei 10-12 Desember 1981). Jakarta: FE Universitas Indonesia. Slamet Santoso. 2006. Kemampuan Bertahan Pedagang Warung Hik Di Kota Ponorogo. Skripsi. Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Ponorogo Dalam Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2, 2006: 188201 diakses pada http://74.125.155.132/search?q=cache:tCQJWsu3ahwJ:eprints.ums.ac.id/ 401/1/6._SLAMET_SANTOSA.pdf+hik+sektor+informal&cd=4&hl=id &ct=clnk&gl=id&client=firefox-a , tanggal 10 Juni 2009, pukul 12.17 Suharsih & Tika Sekar Arum. 2000. Target Zero Growth PKL Belum Bisa Terealisasi. Artikel. Solo Raya Dalam Solopos tanggal 29 Juli 2009 Soerjono Soekanto. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
128
Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS Press Soules, Marshall. 2009. Jürgen Habermas Dan Public Sphere. Diakses dalam http://records.viu.ca/~soules/media301/habermas.htm tanggal 12 Mei 2009 pukul 16.49 Tadjuddin, Noer Effendi. 1995. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja Dan Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana Titi Priyono. 2007. Sosiologi 2 (SMA/MA Kelas XI). Jakarta: Yudistira Tsuryo. 2006. HIK: Ruang Publik Dalam Kelas Marginal-Alternatif. Diakses dalam http://tsuryo.blog.friendster.com/ tanggal 24 Oktober 2008 pukul 12.35 Trah.
2008. Fenomena Angkringan Di Kota Jogja. Diakses dalam http://theaples.multiply.com/journal/item/1 tanggal 24 Oktober 2008 pukul 14.40
Widyanta, A. B. 2002. Problem Modernitas Dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas Yin, K. Robert. 1996. Studi Kasus (Desain Dan Metode). Terjemahan M.Djauzi Mudzakir. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
129