RUANG PUBLIK PHOENAM SEBAGAI BAGIAN BUDAYA POLITIK KONTEMPORER MAKASSAR: SUATU PERTARUNGAN IDEOLOGIS MENUJU HEGEMONI
TESIS
Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Humaniora Pada Program Studi Ilmu Susastra Pengkhususan Cultural Studies Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Oleh:
Andi Faisal 670 501 0028
Program Studi Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia 2008
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
kepada keluargaku tercinta, kupersembahkan buah pemikiran ini:
Asni Asing Ngaji Rifqah Aqilah & Hisyam Harits
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis ini telah diujikan pada hari Jumat, tanggal 16 Mei 2008, dengan susunan penguji sebagai berikut:
1. Dr. Lily Tjahjandari (Ketua Penguji)
_______________________
2. Dr. Reni Winata (Pembimbing/Anggota)
_______________________
3. Dr. Risa Permanadeli (Anggota)
_______________________
4. Junaidi, M.A. (Anggota/Panitera)
_______________________
5. M. Fuad, M.A. (Anggota)
_______________________
Disahkan oleh: Ketua Departemen Ilmu Susastra Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia,
Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia,
Dr. Titik Pudjiastuti NIP. 131 635 535
Dr. Bambang Wibawarta NIP. 131 882 265
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin, itulah untaian kalimat pertama yang penulis patut panjatkan kehadirat Yang Maha Kuasa, Allah SWT, diakhir perjalanan panjang penulisan tesis ini. Banyak masalah dan rintangan yang dihadapi dari awal kuliah hingga saat ini, namun berkat rahmat dan petunjuk-Nya jualah, sehingga hal tersebut sedikit demi sedikit dapat teratasi. Semenjak berkenalan dengan warung kopi Phoenam Makassar sebagai ruang publik politis yang menjadi ruang “berdemokrasi” bagi publik Makassar untuk mempersoalkan berbagai masalah ke hadapan penguasa (pemerintah’), ada rasa penasaran untuk menyelami persoalan “berdemokrasi” tersebut, yang sebenarnya persoalan “berkumpul dan berdiskusi” ini telah ada dan dialami dalam tradisi ruang kultural tradisional Bugis Makassar di masa lampau. Namun di jaman era liberalisasi ini, ruang kultural tersebut banyak muncul dalam wujud ruang publik kontemporer ala warung kopi. Warung kopi menjadi tempat “bebas dan netral” bagi publik Makassar untuk minum kopi, diskusi, kongkow-kongkow, bersenda gurau, ber-talkshow, berbisnis, berbicara “apa saja” tentang “apa saja”, bertemu teman, dan sebagainya. Hal yang menarik dalam ruang publik Phoenam, keterlibatan media dan publik yang berbedabeda, di antaranya crew stasiun radio, para wartawan, para tokoh publik, pengunjung, kelompok komunitas, dengan latar belakang dan kepentingan yang berbeda, yang membuat ruang publik Phoenam menjadi “ramai” dengan segala kepentingan. Kepentingan yang beragam ini membuat ruang publik Phoenam menjadi ruang “pertarungan ideologis” dari publik untuk memperjuangkan apa yang hendak diraihnya. Hal inilah yang kemudian “menggelitik” penulis untuk mencari lebih jauh kompleksitas pertarungan kepentingan di ruang publik tersebut di era liberalisasi dan mengangkatnya menjadi topik penelitian. Dalam penyelesaian akhir penelitian ini, ijinkanlah penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu dan mendampingi penulis dalam menyelesaikan perjalanan panjang yang menggairahkan ini. Pertama-tama, terima kasih khusus kepada Ibu Reni Winata, yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk membimbing penulis dengan penuh sabar dan antusias, mengarahkan dan mencerahkan penulis dengan pemikiran-pemikirannya serta komitmennya kepada kearifan budaya lokal. Terima kasih yang sedalam-dalamnya juga penulis sampaikan kepada para dosen cultural studies yang telah memperkenalkan cultural studies sebagai “cara lain” memandang kebudayaan, di antaranya Ibu Reni, Ibu Melani, Ibu Lila, Ibu Wiwin, Ibu Aime, Ibu Risa, Pak Manneke, Pak Junaedi, dan Pak Seno. Terima kasih juga kepada para staf administrasi di sekretariat bersama Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya UI, yaitu Mas Nanang, Mbak Nur, dan Mbak Rita. Kepada teman-teman seperjuangan, Mbak Ira, Kenny, Gietty, dan Diah, terima kasih yang setulus-tulusnya telah menjadi sahabat dikala suka dan duka, smoga persahabatan ini menjadi abadi selamanya. Juga kepada rekan-rekan senior cultural studies, Yuka, Irsyad, dan Ulil, yang telah banyak membantu, baik lewat pinjaman buku maupun lewat pemikiran-pemikiran alternatifnya.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
iv
Kepada para narasumber, Bapak Albert Liongady dari Phoenam, Bapak Raihan Wahyudi dan Bapak A. Mangara yang mewakili Mercurius FM, Bapak Nur Alim Djalil dan Bapak Sultan Rakib dari harian Fajar, Bapak Anwar Ibrahim (almarhum), Bapak Mukhlis Hadrawi, Bapak Mappinawang, Bapak Mansyur Semma (almarhum), Bapak H. M. Adil Patu, Bapak H. Sukardi, Bapak Tabsyir Sanusi, dan Bapak Anwar Lasapa, dan lain-lain yang tak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu, penulis sampaikan banyak-banyak terima kasih atas data-data dan informasi yang tak ternilai yang telah diberikan kepada penulis. Yang terakhir, kepada yang “di atas sana”, orang tua tercinta H.A. Paskori dan H.A. Bungapadang, yang telah memberikan arti hidup dan kasih sayang yang tulus ikhlas sepanjang hayat kepada penulis, semoga amal ibadahnya senantiasa diterima di sisi-Nya. Amin. Tak ada gading yang tak retak, sesungguhnya tesis ini hanyalah hasil pergulatan pemikiran penulis semata yang masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu mohon maaf jika terdapat banyak kesalahan dan kekurangan di dalamnya. Kesempurnaan hanyalah milik Yang Maha Sempurna, segala kekeliruan dan keterbatasan dalam tesis ini, menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.
Depok, Mei 2008
Penulis
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
iii
KATA PENGANTAR
iv
ABSTRAK ABSTRACT
vi vii
DAFTAR ISI
viii
Bab I PENDAHULUAN
1
1.1 1.2 1.3 1.4
Latar Belakang Masalah Rumusan Masalah Tujuan dan Relevansi Penelitian Landasan Teori
1 10 11 11
1.4.1 1.4.2
12 21
1.5
1.6
Rasionalisasi Kekuasaan dan Perubahan Struktural Ruang Rublik Ruang Publik dan Pertarungan Hegemonik
Metode Penelitian
28
1.5.1 1.5.2 1.5.3 1.5.4 1.5.5
28 29 29 30 30
Jenis Penelitian Lokasi Penelitian Pengumpulan Data Analisis Data Langkah-langkah Penelitian
Sistematika Penulisan
30
Bab II BUDAYA POLITIK BUGIS MAKASSAR
32
2.1 2.2 2.2
Tudang Sipulung sebagai Budaya Politik Tradisional Bugis Makassar Proses Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Politik Tradisional Bugis Makassar Warung Kopi sebagai Budaya Politik Kontemporer di Makassar pada Era Liberalisasi Media Ruang Publik Phoenam sebagai Bagian dari Budaya Politik Kontemporer Makassar
32 49
2.3.1 2.3.2
60
2.3
Sekelumit Mengenai Phoenam: Persinggahan dari Selatan Ruang Publik Phoenam: Trend Setter Budaya Politik Kontemporer Makassar
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
54 60
62
viii
Bab III RUANG PUBLIK PHOENAM SEBAGAI BAGIAN DARI BUDAYA POLITIK KONTEMPORER MAKASSAR
65
3.1
Phoenam Makassar dan Pertarungan Ideologis Ruang Publik
65
3.1.1 3.1.2 3.1.3 3.1.4 3.1.5
68 75 90 98
3.2
Kapitalisasi dan Komersialisasi Ruang Publik oleh Phoenam Komodifikasi dan Marginalisasi Ruang Publik oleh Mercurius Ekonomi Politik Ruang Publik oleh Fajar Konstruksi Politik dan Identitas Ruang Publik oleh Tokoh Publik Kompleksitas Kepentingan dan Konstruksi Ruang Publik oleh Pengunjung dan Komunitas Phoenam
109
Derajat Kepublikan Ruang Publik Phoenam Makassar
116
3.2.1 3.2.1
117 122
Wacana-wacana Publik dalam Ruang Publik Phoenam Akses Publik di Ruang Publik Phoenam
Bab IV PENUTUP
129
DAFTAR PUSTAKA
134
LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1
x
Lampiran 2
xviii
Lampiran 3
xx
Lampiran 4
xxiii
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
ix
ABSTRAK
Nama : Andi Faisal NPM : 670 501 0028 Judul : Ruang Publik Phoenam sebagai Bagian Budaya Politik Kontemporer Makassar: Suatu Pertarungan Ideologis Menuju Hegemoni
Fokus penelitian ini adalah melihat bagaimana gambaran budaya politik kontemporer Makassar di era liberalisasi pasar, yang terwujud dalam ruang publik kontemporer ala warung kopi yaitu ruang publik Phoenam. Dengan mengambil ruang publik Phoenam Makassar sebagai objek pembahasan, penelitian ini menguraikan bagaimana hubungan-hubungan kekuasaan (pertarungan ideologis) berlangsung dalam ruang publik Phoenam Makassar, yang pada akhirnya akan mengungkap derajat kepublikan ruang publik Phoenam tersebut. Derajat kepublikan tersebut dilihat dari wacana yang berkembang dan akses yang diberikan kepada publik dalam ruang publik Phoenam, dengan kondisi demokrasi maksimal sebagai parameternya. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi lapangan, dan studi pustaka. Sementara analisis data digunakan pendekatan kajian budaya (cultural studies). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagai trendsetter dan representasi ruang publik kontemporer Makassar, ruang publik Phoenam telah memediasi berbagai pertarungan kepentingan yang terlibat di dalamnya seperti radio Mercurius, harian Fajar, Phoenam, tokoh-tokoh publik, dan pengunjung/komunitas Phoenam. Tiap-tiap elemen publik ini secara politis dan ideologis berusaha mengooptasi dan mengomodifikasi ruang publik Phoenam dengan cara melakukan “perang posisi” (war of position) untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing menuju hegemoni, yang pada akhirnya mendefinisikan ruang publik Phoenam Makassar sebagai ruang publik tidak otentik. Pertarungan ideologis tersebut di ruang publik Phoenam berimplikasi terhadap tersingkirnya kearifan lokal ruang kultural tudang sipulung dalam budaya politik tradisional Bugis Makassar yang disinyalir sebagai ruang demokratis yang pernah dialami masyarakat Bugis Makassar sebagai tradisi berdemokrasi pada masa lampau
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
vi
ABSTRACT
Name : Andi Faisal NPM : 670 501 0028 Title
: Phoenam’s Public Sphere as a Part of Makassar’s Contemporary Political Culture: An Ideological Struggle towards Hegemony
The focus of this research is to see how the image of Makassar’s contemporary political culture in the ere of market liberalization, which takes coffee house as a form of public sphere, namely Phoenam’s public sphere. Taking Makassar Phoenam’s public sphere as object analyzed, this research describes how power relations (ideological struggle) take place in Phoenam’s publis sphere, and finally, reveal the publicity degree of the Phoenam’s public sphere. The publicity degree is seen from public discourses and acces given to the public in Phoenam’s public sphere, with ideal democracy as its parameter. Interview, observation, and bibliographical research are used to collect the data, and cultural studies (kajian budaya) for analyzing the data. The result of this research shows that as trendsetter and representation of Makassar‘s contemporary public sphere, Phoenam’s public sphere has mediated the struggle of ideological interests of the public, that is, Mercurius radio station, Phoenam’s owner, Fajar newspaper, public figures, and Phoenam’s visitors/community. Each of these public elements politically and ideologically, tries to cooptate and to commodificate Phoenam’s public sphere by taking a “war of position” (perang posisi) to fight their own interests towards hegemony. The ideological struggle finally defines Phoenam’s public sphere as a non authentic public sphere. The struggle in Phoenam’s public sphere implicate to the marginalization of local wisdom of the cultural sphere “tudang sipulung” in Bugis Makassar’s traditional political culture, which signaled as a democratic sphere, that has been experimented by the Bugis Makassar’s people as tradition in experimenting democracy in the past.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
vii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan berdemokrasi, pemahaman terhadap suatu budaya politik,
dapat menjadi titik awal dalam menganalisis kehidupan sistem politik suatu kelompok, negara, atau bangsa, yang kemudian dapat memberi kontribusi dalam menganalisis dan mengembangkan suatu kehidupan demokrasi. Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang terdiri dari ide, pengetahuan, adat istiadat, mitos, yang dikenal dan diakui oleh sebagian besar suatu masyarakat (Widjaya, 1988: 250). Budaya politik merupakan hal yang bernilai dan berdampak terhadap pelaksanaan suatu sistem politik. Pemahaman tentang budaya politik merupakan konsep yang menghubungkan antara nilai-nilai, sikap, dan kepercayaan yang dianut bersama dengan relasi kekuasaan. Hubungan elemen-elemen ini berdampak terhadap suatu sistem politik dan realisasinya. Budaya politik secara luas dapat dipahami sebagai sistem kepercayaan yang dimiliki bersama (a shared system of beliefs) terhadap suatu pemerintahan, dan peran warganegara dalam pemerintahan tersebut. Dengan kata lain, pemahaman tentang budaya politik ini menyangkut gambaran masyarakat mengenai wajah pemerintahannya dan bagaimana seharusnya pemerintahan tersebut berjalan.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
1
Salah satu aspek budaya politik yang cukup esensial dalam sistem politik dewasa ini adalah ruang publik (public sphere) yang dapat mewadahi publik dalam menyampaikan aspirasinya kehadapan pemerintah (negara). Ruang publik inilah yang diharapkan dapat berperan sebagai kontrol publik terhadap jalannya pemerintahan maupun sebagai jembatan kepentingan publik terhadap pemerintah. Jurgen Habermas menjelaskan ruang publik sebagai ruang (kondisi-kondisi) yang memungkinkan para warga negara (private sphere) datang bersama-sama mengartikulasikan
kepentingan-kepentingannya
untuk
membentuk
opini
dan
kehendak bersama secara diskursif (Habermas, 1993: 27, 176). Kondisi-kondisi yang dimaksudkan Habermas adalah pertama, semua warga negara yang mampu berkomunikasi, memiliki hak yang sama dalam berpartisipasi di ruang publik. Kedua, semua partisipan memiliki peluang yang sama untuk mencapai konsensus yang fair dan memperlakukan rekan komunikasinya sebagai pribadi-pribadi yang otonom dan bertanggung jawab, dan bukan sebagai alat yang dipakai untuk kepentingan tertentu. Ketiga, ada aturan bersama yang melindungi proses komunikasi dari tekanan dan diskriminasi, sehingga argumen yang lebih baik menjadi dasar proses diskusi1. Dengan kata lain, dalam ruang publik, kondisi-kondisi (nilai-nilai) yang tercipta adalah kondisi yang inklusif, egaliter, dan bebas tekanan (Hardiman, 1994: 44). Berbicara tentang ruang publik dalam pengertian politis (political public sphere), berarti bagaimana diskusi publik yang terbentuk dari kepentingankepentingan individu dihubungkan dengan kekuasaan negara. Ruang publik politis 1
Habermas (1993), Ibid., hal. 36-37
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
2
adalah ruang publik yang menjembatani antara kepentingan publik dan negara, yang mana publik mengorganisasi dirinya sebagai sebagai pemilik opini publik berdasarkan prinsip demokrasi (Habermas, 2002: 102-103). Ruang publik (politis) ini pada esensinya merupakan ruang demokrasi bagi publik untuk menyampaikan aspirasinya terhadap pemerintah sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan (kekuasaan). Artinya bahwa ruang publik tersebut berasal dari kepentingan publik, oleh kepentingan publik, dan untuk kepentingan publik itu sendiri, tanpa campur tangan dari pihak-pihak tertentu, seperti pribadi atau kelompok, maupun dari pihak pemerintah. Jadi, esensi ruang publik adalah nilai-nilai demokrasi yang mementingkan kepentingan bersama (publik). Nilai demokrasi maksimal inilah yang menjadi inti suatu ruang publik politis. Di Sulawesi Selatan, khususnya pada masyarakat Bugis Makassar, konsep ruang publik politis sebagai ruang demokrasi, sebagaimana yang disinyalir oleh Habermas sebagai ruang publik politis yang dapat memediasi antara kepentingan publik dengan pemerintah (penguasa), sebenarnya telah ada sejak berlangsungnya masa-masa kerajaan di Sulawesi Selatan. Dalam tradisi masyarakat Bugis Makassar dikenal istilah tudang sipulung yang secara harfiah berarti “duduk bersama”, namun secara konseptual merupakan ruang kultural yang demokratis bagi publik (rakyat) untuk menyuarakan kepentingankepentingannya dalam rangka mencari solusi atas permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
3
Tudang sipulung ini yang menjadi ruang demokrasi untuk memperoleh kata mufakat atas pertikaian atau permasalahan yang sedang dihadapi. Ruang kultural tudang sipulung inilah yang dianggap oleh Habermas sebagai representasi ruang publik politis (political public sphere) pada awal abad ke 18 di Eropa. Tudang sipulung ini berlangsung secara demokratis karena dilandasi oleh nilai-nilai luhur dan kebijaksanaan adat, di antaranya seperti nilai-nilai kejujuran (lempu’), perilaku yang benar (gau tongeng), saling menghargai (sipakatau), harga diri/malu (siri’), yang sangat dihormati dan dijunjung tinggi oleh rakyat maupun penguasa (raja). Hasil kesepakatan dalam tudang sipulung ini kemudian dapat menjadi sebuah keputusan/ketetapan yang mengikat semua unsur yang terlibat dalam tudang sipulung tersebut. Disebutkan dalam Lontara’ Bugis Makassar bahwa keputusan tertinggi suatu kekuasaan berada pada kehendak rakyat (ditangan rakyat). Dengan kata lain, kehendak rakyatlah yang menjadi hukum tertinggi dalam suatu tata urutan hukum adat (Mattulada, 1974: 34). Jadi, istilah ruang publik sebagai ruang demokrasi yang sering dipakai pada masa sekarang ini, sebenarnya esensi dan aplikasinya telah diterapkan sejak masamasa kerajaan di Sulawesi Selatan. Namun seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan jaman, konsep dan praktik nilai-nilai (kondisi-kondisi) tudang sipulung sebagai ruang berdemokrasi ala masyarakat tradisional Bugis Makassar, perlahanlahan mulai hilang dan tergantikan dengan nilai-nilai (kondisi-kondisi) ruang publik kontemporer yang (banyak) diintervensi oleh kepentingan pemerintah dan pemilik modal (pasar) yang dimediasi oleh media massa.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
4
Kilasan sejarah Orde Baru (Orba) di Indonesia menunjukkan, bagaimana ruang-ruang yang seharusnya menjadi ekspresi milik publik, dalam realitas sosialnya malah terkooptasi dan terdominasi oleh kepentingan pemerintah (negara). Kekuatan otoriter Orba terbukti telah mendikte ruang-ruang publik. Lembaga-lembaga perwakilan, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) misalnya, yang seharusnya menjadi penyambung kepentingan publik, malah turut mendukung kepentingan pemerintah (negara). Aktivitas ruang publik dipenuhi oleh doktrin-doktrin pembangunan pertumbuhan ekonomi yang berbalut dengan pelanggengan kekuasaan Orba, yang tentu saja aktivitas kepublikan tersebut berlangsung di bawah teror dan todongan senjata. Saat ini, angin demokrasi telah berhembus di Indonesia. Angin demokrasi ini telah membuka kembali ruang-ruang kebebasan bagi publik dalam era reformasi. Reformasi 1998 merupakan penegasan atas proses demokrasi tersebut. Kebebasan pers pun memperoleh napasnya kembali setelah sekian lama terbelenggu oleh pemerintahan Orba (negara). Dikeluarkannya UU No. 40/1999 tentang kebebasan pers oleh pemerintahan BJ. Habibie, maka kebebasan berkumpul dan berpendapat semakin terbuka lebar. Dengan berakhirnya kekuasaan negara atas ruang-ruang publik, maka kekuasaan atas ruang-ruang publik diambil alih oleh kekuatan pasar di era kapitalisme Hal ini kemudian membuat ruang-ruang publik kembali terbelenggu di bawah “cengkraman” kekuatan pasar, dan kekuatan pasar ini menjadi “roh” ruangruang publik kontemporer di era liberalisasi pasar dewasa ini di tanah air.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
5
Di Sulawesi Selatan pada umumnya dan di Makassar pada khususnya, fenomena ruang-ruang publik kontemporer banyak muncul dalam wujud warungwarung kopi. Warung-warung kopi menjadi sarana publik Makassar untuk berinteraksi dan berdiskusi. Trend warung-warung kopi sebagai tempat berdiskusi mulai terasa di Makassar sejak 2003-an2. Sebenarnya, keberadaan warung kopi bukan merupakan hal yang baru muncul di Makassar. Pada masa penjajahan pun telah berdiri beberapa warung kopi, di antaranya warung kopi Phoenam, yang telah berdiri sejak tahun 1946 dan masih bertahan hingga sekarang3. Di antara beragam dan maraknya fenomena warung kopi di Makassar, Phoenam cukup mendapat tempat bagi warga Makassar. Pertama, Phoenam telah hadir sejak tahun 1946 di Makassar dan masih bertahan hingga kini, bahkan telah membuka cabang di beberapa tempat di Makassar, di Sulawesi Selatan, termasuk di Jakarta. Kedua, Phoenam bersama dengan Mercurius, merintis talkshow secara reguler yaitu 2 kali sebulan, yang diberi label Obrolan Warkop Phoenam yang membahas isu-isu aktual dan lokal seputar Makassar secara khusus ataupun isu-isu nasional secara umum. Talkshow di Phoenam tersebut kemudian mulai ramai diikuti dan diselenggarakan warung-warung kopi lain Ketiga, keterlibatan tokoh-tokoh publik dalam “menghidupkan” perbincangan publik baik lewat talkshow maupun jumpa pers di Phoenam. Keempat, para pencari berita (wartawan) sering menjadikan Phoenam sebagai tempat untuk mencari berita dan informasi untuk kepentingan
2 3
Lihat liputan Tribun Timur, 19 Pebruari 2007). Lihat Fajar on line di http:www.fajar.co.id/news.php?newsid=30063 (dipunggah 29 Juli 2007)
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
6
medianya. Media lokal harian Fajar misalnya, sering memuat hasil-hasil talkshow atau hal-hal seputar jumpa pers yang dilakukan di Phoenam sebagai laporan liputannya. Melihat peran dan posisi strategis Phoenam tersebut di atas, dan beragamnya elemen publik yang terlibat di Phoenam, maka dapat dikatakan bahwa Phoenam telah menjadi representasi ruang publik kontemporer di Makassar, dan trend setter sebagai “ruang publik politis” bagi pertarungan ideologis dari berbagai kelompok (publik) yang berkepentingan atas opini publik. Dalam konteks penelitian pertarungan ideologis di ruang publik Phoenam ini, pengertian ruang publik (politis) Phoenam mengacu kepada elemen-elemen publik yang terlibat di dalam Phoenam Makassar, yaitu media massa, tepatnya stasiun radio Mercurius Makassar dan media harian Fajar, talkshow, tokoh-tokoh publik yang mewakili publik dalam talkshow dan jumpa pers, Phoenam sendiri (warung kopi), dan para pengunjung atau komunitas Phoenam. Definisi operasional ini, yaitu ruang publik Phoenam, selanjutnya akan digunakan seterusnya untuk merujuk dan menjelaskan permasalahan-permasalahan pokok yang ada di dalam penelitian mengenai ruang publik Phoenam ini. Karena kedudukannya sebagai ruang publik (politis), maka keberadaan ruang publik Phoenam tidak dapat dilepaskan dari relasi-relasi kekuasaan (power relations) dan relasi ideologis yang bermain dibaliknya. Relasi ruang publik dan pertarungan ideologis ini dapat dipahami lewat konsep hegemoni dari Antonio Gramsci.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
7
Dalam Selections from Prison Notebooks (1996), Gramsci mengungkapkan bagaimana konsep hegemoni tidak hanya menjelaskan dominasi politik lewat kekuatan, akan tetapi juga melalui kepemimpinan intelektual dan moral di dalam sebuah relasi yang kompleks di antara sistem kekuasaan dan berbagai elemen sosial, yang di dalamnya sangat penting peran ruang publik (Gramsci, 1996: 57-58, 80, 161). Jadi, ruang publik dan penerimaan publik (public consent) yang terbentuk di dalamnya, merupakan hal yang menjembatani antara kepentingan publik dan kepentingan penguasa (untuk melanggengkan kekuasaan), yang di dalamnya berlangsung pertarungan ideologis secara terus menerus. Di dalam pertarungan ideologis tersebut, sangat berperan institusi yang mengembangkan, membentuk dan menyebarluaskan opini publik, yaitu salah satunya, media massa. Sebagai pembentuk dan penyebar opini publik, maka media massa pun merupakan bagian dari ruang publik. Dalam lintasan sejarah, media massa pada rejim Orde Baru (Orba) telah memberi pengalaman buruk bagi publik di tanah air. Media massa lebih berperan sebagai bagian dari aparatus ideologis negara (Althusser dalam Zizek, 1999: 109-113)4 atau regulasi negara (state regulation) yang tidak mampu menempatkan diri sebagai ruang publik yang demokratis. Setelah Orde Baru tumbang, “kebebasan” menjadi napas baru bagi media massa dalam menjalankan peran dan fungsi ruang publiknya. Namun napas kebebasan itu pula yang menguatkan era regulasi pasar (market regulation) (Dedy N Hidayat, 2003: 3). 4
Istilah ini mengacu kepada konsep perangkat ideologi dari Althusser, yang membagi idelogi ke dalam dua kategori yaitu ideological state apparatus (apparatus ideologis negara) dan repressive state apparatus (apparatus represif negara).
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
8
Dengan demikian, media massa, dalam hal ini stasiun radio dan surat kabar, berada di dalam ranah pertarungan antara peran dan fungsi ruang publiknya dengan eksistensi dirinya yang berada dalam era regulasi pasar yang menuntut kompetisi yang tinggi, sehingga media massa pun turut bertarung dalam memperebutkan hegemoni atas gagasan ideologis yang sedang diperjuangkannya. Dalam konteks ini, maka peran Fajar dan Mercurius cukup signifikan dalam pertarungan tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian ini secara garis besar melihat bagaimana perubahan struktural ruang publik di Makassar dari ruang kultural tradisional ke ruang publik kontemporer yang direpresentasikan lewat ruang publik Phoenam. Secara khusus, penelitian ini mengurai berbagai pertarungan kekuasaan di ruang publik Phoenam, dalam rangka mengungkap derajat kepublikan ruang publik Phoenam.
Derajat kepublikan ruang publik Phoenam ini dilihat dari seberapa
efektifnya komunikasi yang terjalin di dalamnya, apakah sesuai dengan prinsipprinsip demokrasi maksimal ruang publik (politis). Prinsip-prinsip demokrasi maksimal
yang
dimaksud
adalah
kondisi-kondisi
yang
memungkinkan
berlangsungnya proses komunikasi secara inklusif, egaliter dan bebas tekanan atau benar, adil, dan tulus. Dengan pendekatan cultural studies (kajian budaya), penelitian ini bermaksud mengungkap berbagai relasi-relasi ideologis yang “bermain” di balik representasi ruang publik Phoenam, yang pada akhirnya menyingkap praktik-praktik dominasi dan ketidakadilan dalam ruang publik Phoenam, dan kemudian menjadi sebuah kritik terhadap gejala berdemokrasi di Makassar di era kapitalisme kontemporer.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
9
Selain itu, penelitian ini juga relevan untuk menstimulasi dalam mencari model budaya politik yang berlandaskan pada kearifan budaya politik tradisional Indonesia, tepatnya budaya Bugis Makassar, mengingat konsep “berdemokrasi” sebenarnya telah berlangsung sejak abad ke-14 dalam budaya politik tradisional Bugis Makassar, namun perlahan-lahan tergantikan oleh budaya politik kontemporer yang banyak direpresentasikan oleh media massa dan tokoh-tokoh publik.
1.2
Rumusan Masalah Permasalahan pertama difokuskan pada relasi-relasi kekuasaan yang
berlangsung dalam ruang publik Phoenam. Relasi-relasi kekuasaan ini berinteraksi satu sama lain dalam rangka memperebutkan hegemoni atas gagasan ideologis yang sedang diperjuangkan. Relasi kekuasaan yang dimaksud adalah relasi-relasi antar berbagai elemen publik dalam ruang publik Phoenam, yaitu media massa beserta talkshow di Phoenam, Phoenam (warung kopi), tokoh-tokoh publik, dan para pengunjung dan komunitas Phoenam. Elemen-elemen inilah yang kemudian membentuk ruang publik Phoenam Makassar. Fokus masalah ini akan melihat bagaimana masing-masing elemen publik ini, dengan berbagai strategi dan konsensus mengorganisir dirinya menuju hegemoni. Permasalahan kedua difokuskan pada persoalan kemampuan kepublikan ruang Phoenam dalam mewadahi berbagai pertarungan ideologis tersebut. Kemampuan kepublikan tersebut akan bermuara pada derajat kepublikan ruang publik Phoenam dalam memediasi berbagai kepentingan. Parameter derajat kepublikan ini dilihat dari
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
10
suasana demokratis yang tercipta dalam ruang publik Phoenam. Suasana demokratis yang dimaksud adalah suasana yang inklusif, egaliter, dan bebas tekanan, bagi elemen-elemen publik untuk terlibat secara fair, rasional, dan kritis, dalam ruang publik Phoenam. Terkait dengan pemaparan di atas, maka permasalahan penelitian ruang publik Phoenam Makassar ini dapat dirumuskan sebagai berikut:. 1. Bagaimanakah pertarungan ideologis yang berlangsung dalam ruang publik Phoenam Makassar? 2. Bagaimanakah tingkat/ derajat kepublikan ruang publik Phoenam Makassar?
1.3
Tujuan dan Relevansi Penelitian Berangkat dari permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka penelitian
ini bertujuan untuk: 1. Mengungkap berbagai pertarungan ideologis (relasi-relasi kekuasaan) dalam ruang publik Phoenam Makassar, 2. Mengungkap derajat kepublikan ruang publik Phoenam Makassar. Selain tujuan tersebut, penelitian ini juga secara khusus berelevansi dengan kondisi budaya politik kontemporer Indonesia yang telah mengalami perubahan yang signifikan, dari budaya politik tradisional ke kontemporer, akibat desakan pasar dan globalisasi sehingga (dianggap) perlu untuk mencari “alternatif-alternatif” baru dalam mengembangkan budaya politik Indonesia ke depan. Dalam konteks tersebut, maka penelitian ini berelevansi dalam:
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
11
a. Mencari model berdemokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan, yang bersumber dari nilai-nilai kearifan budaya politik tradisional (lokal) di Indonesia, yaitu budaya politik lokal Bugis Makassar. b. Membangkitkan kesadaran ke-Indonesiaan akan nilai-nilai kearifan budaya politik lokal yang dapat menjadi kekuatan dan filter dalam menghadapi maupun mengadaptasi setiap perubahan yang terjadi baik secara politis maupun ideologis. c. Menggugah kesadaran akan pentingnya nilai-nilai kekayaan dan kearifan kebudayaan lokal dan nasional dalam mencari alternatif pemikiran dan kepribadian nasional. d. Meletakkan esensi budaya politik tradisional dalam dalam konteks budaya politik kontemporer Indonesia sebagai bentuk kritik terhadap kondisi-kondisi budaya politik di Indonesia secara umum dan di Makassar secara khusus.
1.4
Landasan Teori
1.4.1
Rasionalisasi Kekuasaan dan Perubahan Struktural Ruang Publik (The Structural Transformation of the Public Sphere). Konsep ruang publik secara detail banyak dibicarakan oleh Jurgen Habermas
dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (1993). Dalam karya tersebut dibahas dua tema pokok, yaitu pertama, asal mula ruang publik kelas menengah (borjuis), yang muncul di Jerman, Prancis dan Inggris, pada awal abad ke18, dan kedua, diikuti oleh analisis terhadap perubahan struktural di ruang publik di jaman modern, yaitu pada abad ke-19, yang ditandai oleh bangkitnya kapitalisme,
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
12
industri kebudayaan, dan makin kuatnya posisi organisasi-organisasi ekonomi serta kelompok bisnis besar yang mempengaruhi kehidupan ruang publik (Kelner, 2004) (Crossley, 2005: 228). Karya tersebut merupakan usaha Habermas untuk menggali potensi-potensi kritis dan emansipatoris ruang publik yang akan terbuka dengan sendirinya bila ruang-ruang komunikasi diperluas dan pintu-pintu jaringan komunikasi dibuka secara lebar. Dengan diperluas dan diperlebarnya ruang-ruang komunikasi, maka publik akan memiliki lebih banyak kesempatan mempermasalahkan kehidupan sosial politiknya secara diskursif dan kritis. Hal ini berimplikasi terhadap penerimaan publik terhadap opini yang terbentuk dari hasil diskusi yang kritis rasional tersebut. Dengan demikian, unsur interaksi kritis rasional ini merupakan “batu ujian” bagi suatu opini dalam ruang publik, dan inilah yang dapat menjadi wujud nyata bagi rasionalisasi kekuasaan yang tengah berlangsung dalam masyarakat. Rasionalisasi kekuasaan bukan sekedar masalah penentuan tujuan-tujuan rasional atas dasar pertimbangan-pertimbangan rasional, melainkan juga menuntut keterlibatan publik secara luas dalam pengambilan keputusan. Artinya, opini yang terbentuk melalui diskusi kritis rasional, benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat, dan hanya kekuasaan yang ditentukan oleh diskusi publik yang kritis merupakan kekuasaan yang dirasionalisasikan. Rasionalisasi kekuasaan pada gilirannya mengangkat isu demokrasi dalam arti bentuk-bentuk komunikasi umum, dan publik yang bebas dari sensor dan dominasi (otonom) yang terjamin secara institusional (Hardiman, 1993: 126-128).
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
13
Gagasan Habermas tentang ruang publik otonom ini bisa dimengerti bila dibaca dari kekagumannya terhadap rasionalisme Aufklarung (pencerahan). Menurut Habermas, Aufklarung tidak hanya mencerahkan akal budi individual, tapi juga akal budi publik sosial. Pandangan Habermas ini sangat dipengaruhi oleh idealisme Kantian (rasionalisme) mengenai Aufklarung. Seperti yang dikatakan Kant, Aufklarung bahwa penggunaan rasio secara kritis merupakan titik berangkat bagi manusia untuk meninggalkan hakikatnya yang kekanak-kanakan menuju pada keakilbaligan (mündigkeit). Dengan menjadi akilbalig (dewasa), berarti manusia telah menjadi otonom/merdeka dan bebas (dalam Sindhunata, 2004: 50-53). Oleh karena itu, penggunaan rasio secara kritis haruslah terbebas dari segala bentuk dominasi, tekanan, manipulasi, karena hanya dengan penggunaan rasio dengan cara inilah yang dapat membawa pencerahan. Jadi, rasionalitas komunikasi yang berlangsung di ruang publik haruslah berdasarkan pada kondisi-kondisi ideal komunikasi yang diperluas ke seluruh publik dan bebas dominasi. Kondisi-kondisi ideal komunikasi di sini bersifat normatif dan evaluatif terhadap kenyataan yang ada. Agar rasionalitas komunikatif ini terwujud, Habermas mengandaikan berlakunya 3 syarat atau tuntutan (claim) komunikasi yang mesti ada agar perilaku komunikatif benar-benar bisa efektif, yaitu pertama bahwa dalam mengungkapkan sesuatu, orang harus benar-benar (jujur) mengemukakan kebenaran. Kedua, dalam mengemukakan kebenaran itu, orang harus mengupayakan keadilan terhadap yang lain. Ketiga, orang harus benar-benar saling tulus dan bersungguh-sungguh menjalin
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
14
relasi satu sama lain5. Jadi, komunikasi yang efektif harus mempertimbangkan faktor kebenaran (benar), keadilan (adil), ketulusan (tulus), dalam konteks kehidupan bersama yang disebut Habermas dengan “dunia kehidupan”. Dunia kehidupan ini berkaitan dengan cakrawala, pengetahuan, nilai-nilai, dan norma-norma yang dimiliki, yang menjadi dasar bagi pemahaman dan penilaian. Pandangan tersebut diletakkan dalam kerangka cita-cita Habermas tentang rasionalitas komunikatif, bahwa manusia dapat mencapai saling pengertian yang benar, adil, dan tulus jika ia terbebas dari segala belenggu yang menghalanginya untuk sampai pada tujuan tersebut. Belenggu tersebut bukan hanya belenggu sosial politik, tapi juga belenggu rasionalitas. Rasionalitas komunikatif merupakan keterbukaan terhadap kritik dan mampu mengajukan argumen yang baik/rasional bagai berbagai keyakinan, putusan, dan tindakan. Rasionalitas komunikatif inilah yang menurut Habermas mampu melawan segala macam kolonialisasi ruang publik maupun pribadi. Dengan demikian, rasionalitas komunikatif di ruang publik hanya akan mungkin dalam hubungan bebas sederajat antar subjek. Dengan kata lain, hubungan antar manusia menurut Habermas adalah hubungan antar subjek dengan subjek (dialogis). Habermas menyimpulkan bahwa tindakan manusia yang paling dasar adalah tindakan komunikasi atau interaksi, yang tujuannya adalah saling pengertian. Bila dalam komunikasi yang bebas (otonom) saling pengertian dapat tercapai, maka hal itu berarti bahwa rasionalitas komunikasi juga telah tercapai (Lubis, 2006: 32). 5
Sindhunata (2004), Ibid., hal. 51; Habermas (1993), Op.cit., hal. 36-37
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
15
Dalam bagian pertama The Structural Transformation of the Public Sphere (1993), Habermas menggambarkan ruang publik yang muncul sekitar awal abad 18 tersebut, sebagai jembatan yang menghubungkan antara kepentingan pribadi dari individu-individu dalam kehidupan keluarga, dengan tuntutan serta kepentingan kehidupan sosial dan publik, yang muncul dalam konteks kekuasaan negara. Mediasi ruang publik juga mencakup kontradiksi yang sering digambarkan antara kepentingan borjuis di satu pihak dan kepentingan warga negara di lain pihak. Tujuannya adalah mengatasi perbedaan-perbedaan dalam berbagai kepentingan dan pendapat pribadi demi kepentingan umum serta mencapai konsensus bersama. Ruang publik ini terdiri dari organ-organ penyedia informasi dan perdebatan politik seperti surat kabar dan jurnal. Termasuk ruang publik adalah juga lembaga-lembaga diskusi politik seperti parlemen, klub-klub politik, klub-klub sastra, perkumpulan publik, pub, warung kopi, balaikota, dan tempat-tempat publik lainnya, yang menjadi ruang terjadinya diskusi sosial politik6. Sebelum menjadi ruang publik (politis) yang secara eksplisit berfungsi politis dalam memediasi hubungan kekuasaan (negara) dengan publik, cikal bakal ruang publik politis sebenarnya telah berkembang lewat jalur-jalur sastra/literer (ruang publik dunia sastra). Masyarakat menengah yang terdidik mempelajari seni-seni perdebatan publik yang rasional kritis melalui kontak dengan dunia sastra. Perlahanlahan, masyarakat terdidik ini memisahkan diri dari kekuasaan pusat (istana) dan kemudian membentuk oposisi-oposisi di kota. Kota lalu menjadi pusat kehidupan 6
Habermas (1993), Op.cit., 27-56
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
16
masyarakat sipil, bukan hanya secara ekonomis, melainkan juga dalam oposisi kultural-politisnya dengan kekuasaan pusat (istana). Melalui ruang-ruang dunia sastra, muncul klarifikasi dan refleksi kritis masyarakat terhadap pengalamanpengalaman mereka. Ruang-ruang publik literer (world of letters) ini menciptakan publiknya sendiri, yang institusi-institusinya adalah warung-warung kopi, salon-salon, dan table societies. Frekuensi pertemuan-pertemuan golongan humanistik-aristokratik dengan golongan intelektual borjuis semakin intens melalui diskusi-diskusi yang berkembang dengan pesat menjadi kritisisme publik, dan kemudian perlahan-lahan berusaha membangun jembatan antara pemahaman kepublikan yang lama dengan pemahaman tatanan kepublikan yang baru, yaitu ruang publik borjuis. Hal inilah yang kemudian melahirkan ruang publik politis/borjuis di abad ke-18. Sejarah munculnya ruang publik ditandai oleh bangkitnya suatu masa dalam sejarah ketika individu-individu dan kelompok dalam masyarakat dapat membentuk opini publik, memberikan tanggapan langsung terhadap apapun yang menyangkut kepentingan mereka sambil berusaha mempengaruhi praktik-praktik politik. Kemunculan ruang publik tersebut merupakan tanggapan terhadap bentuk-bentuk hirarkis dan tradisional dari feodalisme yang menguasai praktik-praktik politik di Eropa selama beberapa abad. Ruang-ruang yang tadinya dikontrol oleh sekelompok elit politik dan agama pada abad pertengahan, perlahan-lahan ditentang oleh beragam komunitas. Mereka adalah pada pedagang dan pengusaha yang terus bertambah luas jumlah dan
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
17
pengaruhnya,
sementara
lembaga-lembaga
politik
mapan
saat
itu,
tidak
memungkinkan partisipasi kalangan swasta seperti mereka. Di ruang-ruang publik, mereka mendiskusikan dan menentang pemahaman mengenai hakikat kekuasaan yang berlaku pada saat itu (Juliawan, 2004: 33). Namun, seiring dengan perkembangan kapitalisme, organ-organ publik yang semula menjadi tempat diskusi publik, lama-kelamaan mulai berubah fungsi. Media tidak lagi menyuarakan kepentingan publik dan perjuangan politik (idealisme), melainkan menjadi ruang iklan. Komersialisasi, tumbuhnya perusahaan-perusahaan besar, meningkatnya intervensi negara demi stabilitas ekonomi dalam kehidupan sosial memperparah proses depolitisasi ini. Ruang publik berubah dari ruang diskusi rasional, debat, dan konsensus menjadi wilayah konsumsi massal dan dikuasai oleh korporasi-korporasi serta kaum elit dominan. Hal inilah yang disebut Habermas sebagai perubahan struktural ruang publik. Habermas menjelaskan bahwa ruang publik pada abad ke 19 telah mengalami refeudalization yang menandai babak baru dalam sejarah yang ditandai oleh percampuran antara otoritas politik dan ekonomi, industri budaya yang manipulatif, dan masyarakat terpimpin yang makin tidak demokratis dan bebas7. Berdasarkan analisisnya, Habermas membedakan 2 tipe ruang publik politis. Pertama, ruang publik otentik, adalah ruang publik komunikasi
yang
diselenggarakan
oleh
yang terdiri atas proses
institusi-institusi
non-formal
yang
mengorganisasikan dirinya sendiri. Komunikasi yang terjadi terjalin secara 7
Kelner (2004), Loc.cit., hal. 5
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
18
horisontal, inklusif, bebas tekanan dan diskurfif. Kedua, ruang publik tak otentik, adalah kekuatan yang memiliki pengaruh atas keputusan para konsumen, klien, untuk memobilisasi loyalitas, daya beli dan prilaku masyarakat lewat media massa8. Menurut Habermas, otensitas maupun ketidakotensitasan ruang publik ditentukan efektifitas komunikasi yang berlangsung di dalamnya. Jika komunikasi yang berkembang telah memenuhi tuntutan-tuntutan komunikasi yang baik, seperti komunikasi yang jelas, benar, jujur, dan wajar (sesuai aturan), disertai suasana tanpa tekanan (kebebasan) dan egaliter dalam berkomunikasi, maka komunikasi yang tercipta adalah komunikasi rasional yang harus dibuktikan lewat diskursus. Artinya, bahwa hanya argumen yang lebih baik/rasionallah yang dapat diterima, dan itu hanya dapat terwujud jika komunikasi tersebut bebas dari segala ancaman dan tekanan. Titik berangkat Habermas mengenai ruang publik liberal/borjuis (otentik) ini adalah
kekagumannya
terhadap
semangat
Aufklarung
(pencerahan)
yang
mengidealisasikan kemampuan rasio manusia (subjek) dalam menjawab berbagai permasalahan. Namun rasionalitas yang dikembangkan Habermas merupakan kritik terhadap rasionalitas modernisasi kapitalistis yang telah merasionalisasi masyarakat dalam satu bentuk rasionalitas dominan, yang disebutnya sebagai rasionalitas kognitif-instrumental (rasionalitas sasaran). Jenis rasionalitas ini
hanya cocok
digunakan untuk mengembangkan kontrol teknis atas alam dan proses-proses yang diobjektifkan. Dengan kata lain, jika rasionalitas instrumental ini diterapkan pada wilayah sosial politik, maka hanya mewujudkan model rasionalitas teknokratis, 8
Hardiman (2005), Ibid., hal. 48
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
19
misalnya penggunaan IPTEK secara intensif dalam pembangunan sosial, yang juga akan membuka jalan ke arah institusionalisasi tindak ekonomis politik dan administratif, misalnya saja untuk kepentingan ekonomi dan kontrol terhadap sosial. Dengan demikian, dalam ruang publik liberal/borjuis (otentik) abad ke-18, rasionalitas yang muncul adalah rasionalitas moral-komunikatif yang mana ruang publik dibentuk oleh debat-debat rasional, fair, tanpa tekanan, dan konsensus. Sedangkan pada ruang publik di era kapitalisme lanjut (late capitalism), rasionalitas yang dominan berkembang adalah rasionalitas instrumental (bertujuan) yang mana prilaku yang dominan adalah pertarungan kepentingan yang mau mencapai sasaran (tujuan) melalui tindakan strategis, sehingga eksistensi ruang publik lebih banyak ditentukan oleh para elit politik, ekonomi dan media, yang mengatur ruang publik sebagai bagian dari sistem manajemen dan kontrol sosial. Jika pada tahap awal perkembangan masyarakat borjuis, opini publik dibentuk melalui debat terbuka untuk kepentingan umum dan bertujuan membentuk konsensus, sedangkan dalam tahap kapitalisme lanjut, opini publik dibentuk oleh para elit dominan yang menampilkan kepentingan mereka, sehingga yang tercapai bukan lagi konsensus rasional, melainkan “pertarungan” yang mendahulukan kepentingan masing-masing. Pada saat itu, pula ruang publik telah didominasi oleh kekuatan negara dan media yang menampilkan kepentingan ekonomi politik yang terorganisir. Media massa, yang awalnya, menjadi bagian dari suatu ruang publik yang mengedepankan debat-debat rasional, kemudian berubah ketika negara, para konglomerat serta media massa itu sendiri bergabung menjadi suatu kekuatan yang
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
20
justru memperlemah ruang publik. Media massa menjadi “industri” yang memanipulasi opini publik serta menjadikan publik sebagai penonton dan konsumen yang pasif. Akibatnya, debat-debat rasional dan konsensus pun mulai digantikan oleh diskusi yang diatur dan dikontrol oleh periklanan dan agen-agen politik9. Fungsi media pun berubah. Dari memediasi wacana dan debat rasional, kemudian menjadi membentuk, mengonstruksi, dan membatasi wacana publik hanya diseputar tema-tema yang disetujui oleh korporasi media. Saling ketergantungan antara ruang debat publik dengan partisipasi individu pun mulai goyah, dan berubah menjadi ruang pertunjukan politik. Masyarakat yang menjadi konsumen senantiasa menyerap secara pasif semua informasi dan hiburan yang disajikan oleh media10.
1.4.2
Ruang Publik dan Pertarungan Hegemonik. Habermas menjelaskan pengertian ruang publik politis sebagai ruang
(kondisi-kondisi) yang memungkinkan warga negara (private sphere) datang bersama-sama mengartikulasikan kepentingan-kepentingannya untuk membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif11. Kondisi-kondisi tersebut adalah pertama, semua warga negara yang mampu berkomunikasi, memiliki hak yang sama dalam berpartisipasi di ruang publik. Kedua, semua partisipan memiliki peluang yang sama untuk mencapai konsensus yang fair dan memperlakukan rekan komunikasinya sebagai pribadi yang otonom dan bertanggung jawab, dan bukan sebagai alat yang
9
Habermas, (1993), Op.cit., hal. 206 Habermas, Ibid., hal. 171 11 Habermas, Ibid., hal 27, 176 10
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
21
dipakai untuk kepentingan tertentu. Ketiga, ada aturan bersama yang melindungi proses komunikasi dari tekanan dan diskriminasi, sehingga argumen yang lebih baik menjadi dasar komunikasi12. Kondisi-kondisi ideal yang dikemukakan Habermas tersebut, sejatinya merupakan ciri dari pemerintahan oleh rakyat (demokrasi maksimal). Dalam sistem pemerintahan rakyat, negara harus memberikan kemungkinan seluas-luasnya kepada warganegaranya untuk mengungkapkan opini mereka secara publik. Dengan kata lain, negara tidak memiliki kewenangan terhadap wilayah publik. Oleh karena itu, sistem demokrasi maksimal menuntut adanya ‘ruang publik’, dalam pengertian sebagai ‘ruang bagi kewenangan publik’. Peran kewenangan publik itu kemudian direpresentasikan oleh tokoh-tokoh publik, yang mewakili publik dalam seminar-seminar, talkshow, konferensi pers, atau debat kritis tentang berbagai isu-isu politik, sehingga keberadaannya dapat menjadi jembatan antara publik dan para pengambil keputusan. Adalah figur-figur publik ini, dalam realitasnya, berperan besar dalam membentuk apa yang disebut sebagai opini publik yang terbentuk lewat berbagai diskusi publik di antara elemen-elemen publik. Dalam konteks politik, suatu ruang publik idealnya menjadi milik publik, dan wadah bagi segala kepentingan publik serta untuk kepentingan publik. Dengan kata lain, ruang publik sejatinya berasal dari kepentingan publik, oleh kepentingan publik, dan untuk kepentingan publik. Namun disebabkan oleh berbagai kepentingan publik yang saling berhadapan dan tumpang tindih di dalam suatu ruang publik, dalam 12
Habermas, Ibid., hal. 36-37
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
22
realitasnya sesungguhnya, telah bersinggungan dengan berbagai kepentingan (publik) yang telah menyimpang (distorsi), misalnya untuk kepentingan kelompok atau pribadi, maka hal tersebut dapat mempengaruhi derajat kepublikan ruang publik itu sendiri. Jadi, dalam realitasnya, ruang publik telah menjadi ruang yang di dalamnya terjadi sebuah pertarungan ideologis untuk memenangkan penerimaan publik atas kepentingan yang sedang diperjuangkan, sehingga kedudukan ruang publik tidak dapat dilepaskan dari relasi kekuasaan dan ideologi dibaliknya (Piliang, 2005: 4-5). Hubungan antara ruang publik dan ideologi dapat dipahami lewat konsep hegemoni dari Gramsci. Titik awal Gramsci tentang hegemoni adalah bahwa suatu kelompok dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelompok-kelompok di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Hegemoni bukanlah dominasi dengan kekuasaan, tetapi hubungan persetujuan dengan cara kepemimpinan politis dan ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi konsensus (Simon, 2004: 19-20). Antonio Gramsci dalam Selections from Prison Notebooks (1996) membedakan antara kepemimpinan dominasi/kekerasan, dan kepemimpinan moral dan intelektual. Ia mengungkapkan bahwa “suatu kelompok sosial bisa, bahkan harus, menjalankan kepemimpinan sebelum merebut kekuasaan pemerintahan, dan hal itu pada gilirannya menjadi sangat penting ketika kelompok itu menjalankan kekuasaan, bahkan seandainya kekuasaan itu telah berada ditangannya (kelompok), maka mereka harus tetap memimpin (menjalankan kepemimpinan)” (Gramsci, 1996: 57-58). Di sini, Gramsci mengembangkan gagasan tentang kepemimpinan dan pelaksanaannya sebagai syarat untuk memperoleh kekuasaan ke dalam konsepnya tentang hegemoni.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
23
Hegemoni merupakan hubungan antara suatu kelompok dengan kekuatan kelompok sosial lain. Kelompok hegemonik, atau kelas hegemonik, merupakan kelompok yang mendapatkan persetujuan dari kekuatan kelompok sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologis13. Jadi, suatu kelompok hanya bisa menjadi kelompok hegemonik jika ia memperhatikan berbagai kepentingan dari kekuatan kelompok lain serta menemukan cara untuk mempertemukan kepentingan kelompok tersebut dengan kepentingankepentingan kelompoknya sendiri. Kepentingan ini tidak boleh sebatas pada perjuangan lokal saja, yang oleh Gramsci disebut perjuangan ekonomi-korporasi (economic-corporate), melainkan harus membuat berbagai konsensus dengan beragam kelompok, agar bisa mewakili semua kelompok dan kekuatan sosial yang lebih besar. Jika kelompok hegemonik berhasil memadukan kekuatan dalam jangka waktu yang lama dengan berbagai blok aliansi kekuatan kelompok-kelompok sosial lainnya dengan memunculkan compromise-equilibrum dalam mempertahankan hegemoninya atas masyarakat melalui kepemimpinan dan dominasi, maka kemudian tercipta apa yang disebut Gramsci sebagai blok historis (historical block). Blok historis inilah yang kemudian mewakili sebuah dasar bagi tatanan sosial tertentu, dan di sinilah hegemoni kelompok dominan direproduksi ke dalam lembaga-lembaga, organisasi dan gagasan-gagasan. Benang hegemoni ini kemudian dirajut oleh para intelektual yang secara organisasional berperan dalam berbagai hubungan sosial dimasyarakat. 13
Simon (2004), Op.cit., hal. 22-23
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
24
Gramsci menyatakan bahwa semua orang adalah intelektual, namun tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual14. Hal ini berarti bahwa peran intelektual bukan dicirikan oleh aktifitas berpikir intrinsik yang dimiliki semua orang, namun oleh fungsi yang mereka jalankan. Setiap kelompok/kelas menciptakan satu atau lebih strata intelektualnya sendiri. Intelektual tidak membentuk sebuah kelas namun setiap kelas memiliki intelektualnya tersendiri. Untuk itu, Gramsci membedakan 2 tipe intelektual, pertama intelektual tradisional dan kedua, intelektual organik. Intelektual tradisional merupakan kelompok intelektual yang cenderung menempatkan dirinya digaris depan sebagai kelas yang berkuasa, otonom dan independen, sedangkan intelektual organik merupakan intektual yang berpikir dan mengorganisir kelompok sosial tertentu, baik dari kelompok hegemonik maupun marginal. Dengan demikian, proses menuju hegemoni di ruang-ruang publik merupakan hubungan yang kompleks yang melibatkan kelompok-kelompok dan kekuatankekuatan sosial lainnya, yang masing-masing pihak berusaha keras memperkuat aliansinya masing-masing, memecah belah aliansi kelompok lain, dan mengubah perimbangan kekuatan demi kepentingan kelompoknya. Strategi membangun suatu kelompok yang lebih besar yang terdiri dari berbagai kekuatan sosial yang disatukan oleh konsepsi bersama dalam rangka membangun hegemoni, inilah yang disebut Gramsci sebagai “perang posisi” (war of position)15.
14 15
Gramsci (1996), Op.cit., hal. 9 Gramsci, Ibid., hal. 206-207; 229-241
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
25
Dalam menganalisis war of position yang berlangsung antara berbagai kelompok
untuk
mempertahankan
ataupun
mencapai
hegemoni,
Gramsci
membedakan strategi yang dijalankan oleh kelompok yang hegemonik dan kelompok yang pinggiran (tidak hegemonik). Strategi kelompok hegemonik mempunyai karakteristik yang disebut revolusi pasif (passive revolution). Revolusi pasif ini merupakan respon terhadap kondisi hegemoni yang terancam sehingga perlu dilakukan proses pengorganisasian kembali secara menyeluruh dalam rangka membangun kembali hegemoni. Sedangkan bagi kelompok pinggiran, strategi yang yang diterapkan adalah revolusi anti pasif (antipassive revolution) yang dibangun dengan memperkuat perjuangan kelompok dan melancarkan kritik secara terus menerus terhadap kelompok hegemonik16. Langkah menuju hegemoni oleh kelompok pinggiran (tidak dominan) dilakukan dengan membangun hegemoni tandingan (counter hegemony) yang memerlukan proses moral dan ideologi yang panjang. Jika ada momen yang tepat maka “perang siasat” (war of manoevre) atau serangan revolusioner, yang dapat berupa kekerasan, dapat digunakan untuk menjatuhkan kelompok yang hegemonik (Patria, 1999: 181). Di dalam sebuah sistem kekuasaan, sangat penting diciptakan penerimaan publik (public consent) atau opini publik (public opinion) terhadap berbagai gagasan dan kebijakan, yang hanya mungkin terbentuk di dalam sebuah ruang publik yang terbuka dan sehat (otentik). Oleh sebab itu, pembentukan opini publik merupakan hal 16
Simon (2004), Op.cit., hal. 25-26
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
26
yang sentral dalam prinsip hegemoni, yang untuk itu diperlukan mediasi berupa ruang publik. Di dalam mekanisme hegemoni tersebut, sangat berperan struktur material dan institusi yang mengembangkan dan menyebarluaskan hegemoni, yang disebut alat hegemoni (hegemonic apparatuses), yaitu, diantaranya, media massa (media cetak dan elektronik)17. Media massa ini merupakan jembatan yang memediasi penciptaan opini publik. Karena memediasi penciptaan mekanisme hegemoni, maka media massa selalu berada di dalam sebuah “medan pertarungan” yang di dalamnya berlangsung “perjuangan” tanpa akhir dalam memperebutkan hegemoni. Media massa sebagai sebuah ruang publik, tidak hanya dilihat sebagai sebuah alat kekuasaan dominan semata secara pasif, melainkan juga sebagai ruang publik tempat berlangsungnya pertarungan ideologis, dalam rangka memperebutkan hegemoni atas kepentingan ideologis yang sedang diperjuangkan. Oleh karena itu, media massa sebagai bagian dari ruang publik, memiliki kekuatan yang sangat sentral dan berperan dalam pembentukan hegemoni terutama sebagai media atau alat pembentukan opini publik. Media massa sebagai alat mekanisme hegemoni (sebagai media pembentukan opini publik), idealnya harus mampu menyerap dan mengartikulasikan berbagai kepentingan dan ideologi lain yang ada, dalam upaya membentuk opini publik yang terbuka dan sehat, serta mencapai penerimaan publik (public consent) yang lebih luas. Akan tetapi, perkembangan media massa dalam bentuknya yang sekarang (kontemporer) mempunyai berbagai masalah di dalamnya, terutama masalah pokok 17
Piliang (2005), Op. cit., hal. 6
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
27
antara free press dan free market, antara kepentingan negara, pasar, dan kepentingan media itu sendiri (ideologi media). Media tidak selalu menjadi ruang publik yang demokratis sebagai tempat bertemunya berbagai kepentingan dalam wujud media publik, yang di dalamnya tidak berlangsung prinsip hegemoni, dalam pengertian pertarungan yang demokratis, melainkan dipenuhi oleh berbagai bentuk rekayasa, tekanan, marginalisasi, dan manipulasi.
Ruang publik demikian disebut oleh
Habermas sebagai ruang publik tidak otentik. Kondisi ruang publik tidak otentik inilah yang menjadi gambaran kondisi ruang publik kontemporer dewasa ini.
1.5
Metode Penelitian
1.5.1
Jenis Penelitian Penelitian ruang publik Phoenam Makassar ini merupakan penelitian yang
berjenis deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mengungkap hal-hal yang berhubungan dengan ruang publik Phoenam Makassar. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian lapangan (field research) yaitu dengan cara turun langsung ke lapangan untuk memperoleh data-data primer yang diinginkan, yaitu ke warung kopi Phoenam Makassar dan mengikuti beberapa talkshownya, ke media cetak dan elektronik, dalam hal ini radio Mercurius dan harian Fajar, serta ke para tokoh-tokoh publik (public figure) yang merepresentasikan publik di ruang publik Phoenam, dan pengunjung maupun komunitas Phoenam Makassar.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
28
1.5.2
Lokasi Penelitian Penelitian ruang publik warung kopi Phoenam ini secara terpusat akan
dilakukan di warung kopi Phoenam Makassar, yaitu khususnya di jalan Boulevard, ruko Panakukang Mas, Makassar. Dalam penelitian ini juga akan melibatkan institusi media massa yang berperan memediasi talkshow di ruang publik Phoenam yaitu radio Mercurius, kemudian media harian Fajar, dan para tokoh-tokoh publik yang merepresentasikan publik, serta pengunjung dan komunitas Phoenam di ruang publik Phoenam Makassar.
1.5.3
Pengumpulan Data Data primer diperoleh dengan menggunakan metode wawancara dengan
teknik rekam dan catat, dengan pemilik warung kopi Phoenam, radio Mercurius dan harian Fajar serta beberapa tokoh publik yang pernah tampil sebagai pembicara atau yang sempat berhubungan dengan ruang publik Phoenam Makassar, serta beberapa pengunjung dan komunitas Phoenam. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik sampel bertujuan (purposive sample) (Moleong, 2006: 224-225). Selain itu, data-data sekunder juga dimanfaatkan untuk mendukung penelitian ini. Data-data sekunder ini diperoleh dari berbagai pemberitaan di harian Fajar maupun di internet, yang melibatkan ruang publik Phoenam dalam pemberitaannya, wawancara dengan beberapa orang yang dianggap dapat memberikan informasi tambahan, dan data-data dari berbagai referensi lainnya seperti buku, majalah, atau segala yang berhubungan dengan topik penelitian.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
29
1.5.4
Analisis Data Data-data primer dan sekunder tersebut kemudian akan dianalisis dengan
menggunakan pendekatan Kajian Budaya (cultural studies) untuk mengungkap relasirelasi kuasa yang berlangsung dalam ruang publik Phoenam Makassar. Dengan menggunakan pendekatan ini dalam membedah ruang publik Phoenam, maka akan diperoleh penjelasan komprehensif mengenai berbagai pertarungan ideologis yang bermain dibalik ruang publik Phoenam, dan hal tersebut kemudian akan menjelaskan tingkat/derajat kepublikan ruang publik Phoenam Makassar ini.
1.5.5
Langkah-langkah Penelitian Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Menyusun rancangan penelitian 2. Menyiapkan kelengkapan penelitian 3. Mengumpulkan data primer dan sekunder 4. Mengklasifikasi data-data yang telah ada 5. Menganalisis data-data dengan pendekatan cultural studies 6. Memaparkan hasil analisis data secara deskriptif 7. Menarik kesimpulan
1.6
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari beberapa bab yang disajikan
sebagai berikut:
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
30
Bab 1, Pendahuluan, berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan relevansi penelitian, landasan teoritis, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab 2, Gambaran mengenai budaya politik Bugis Makassar, yang berisi paparan tentang tudang sipulung sebagai representasi ruang publik tradisional dan warung kopi sebagai representasi ruang publik kontemporer di Makassar, serta keberadaan ruang publik Phoenam di antara ruang-ruang publik kontemporer lain di Makassar. Bab 3, Pembahasan, berisi berbagai pertarungan ideologis dalam ruang publik Phoenam dan derajat kepublikan ruang publik Phoenam Makassar. Pembahasan pertama akan mengungkap pertarungan ideologis dari berbagai elemen publik dalam ruang publik Phoenam, dalam hal ini Mercurius, pemilik Phoenam, harian Fajar, tokoh-tokoh publik, dan pengunjung serta komunitas Phoenam dalam ruang publik Phoenam Makassar Pembahasan kedua akan mengungkap derajat kepublikan yang ada di dalam ruang publik Phoenam, yang ditelusuri melalui wacana perbincangan yang mengemuka dalam ruang publik Phoenam dan representasi tokoh-tokoh publik yang mewakili publik, baik dalam talkshow maupun lewat jumpa pers di ruang publik Phoenam Makassar. Bab 4, Penutup, berisi kesimpulan hasil penelitian dan rekomendasi untuk penelitian lanjutan.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
31
Bab 2 BUDAYA POLITIK BUGIS MAKASSAR
2.1
Tudang Sipulung sebagai Budaya Politik Tradisional Bugis Makassar Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang terdiri dari ide,
pengetahuan, adat istiadat, mitos, yang dikenal dan diakui oleh sebagian besar suatu masyarakat18. Budaya politik merupakan hal yang bernilai dan berdampak terhadap pelaksanaan suatu sistem politik. Pemahaman terhadap suatu budaya politik, dapat menjadi titik awal dalam menganalisis kehidupan sistem politik suatu kelompok, negara, atau bangsa, yang kemudian dapat memberi kontribusi dalam menganalisis dan mengembangkan suatu kehidupan demokrasi. Pemahaman tentang budaya politik merupakan konsep yang menghubungkan antara nilai-nilai, sikap, dan kepercayaan yang dianut bersama dengan relasi kekuasaan. Hubungan elemen-elemen ini berdampak terhadap suatu sistem politik dan realisasinya. Budaya politik secara luas dapat dipahami sebagai sistem kepercayaan yang dimiliki bersama (a shared system of beliefs) terhadap suatu pemerintahan, dan peran warganegara dalam pemerintahan tersebut19. Jadi, secara spesifik, konsepsi budaya politik mengacu kepada bagaimana masyarakat memandang aspek-aspek politik, pemerintahan maupun dirinya sendiri, yang mencakup:
18 19
Widjaya (1998), Op. cit., hal. 250 Lihat di http://en.www.wikipedia.org/wiki/political_culture (dipunggah 30 Juli 2007)
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
32
•
hubungan antara pemerintah dan masyarakat,
•
hak-hak dan tanggung jawab masyarakat,
•
kewajiban-kewajiban pemerintah, dan
•
batas-batas otoritas pemerintah. Dalam konteks Sulawesi Selatan, wacana budaya politik pada dasarnya dapat
dipahami dari wacana budaya politik Bugis Makassar sebagai nilai-nilai yang mendasari wacana budaya politik tersebut. Nilai-nilai budaya politik tersebut merupakan kelanjutan dari berbagai gagasan dan aktivitas politik kerajaan-kerajaan di daerah Bugis Makassar dari dahulu sampai sekarang, yang nilai-nilai dan aktivitasnya dapat ditelusuri dari periode La Galigo (Pelras, 2006: 394)20, periode Tomanurung21, periode masuknya Islam22, dan periode sebelum dan sesudah kemerdekaan. Untuk memahami wujud wacana budaya politik Sulawesi Selatan (Bugis Makassar), dapat dilakukan melalui kajian tradisi lisan dan sastra lisan, yang antara lain berupa nyayian rakyat, puisi rakyat, mitos, legenda dan fabel. Selain itu, dapat juga dilakukan kajian terhadap pemikiran-pemikiran para To Acca (cerdik cendikiawan) di Sulawesi Selatan seperti Kajaolaliddo dari Bone, Nene’ Mallomo
20
La Galigo merupakan epos/mitos/teks sejarah yang bercerita tentang periode awal asal mula masyarakat Bugis, dan kondisi sosio-kultural masyarakat Bugis khususnya pada sekitar abad ke-11 hingga abad ke-13. Sebagian ahli menganggap naskah La Galigo adalah mitos belaka, dan sebahagian lagi menganggapnya sebagai suatu kebenaran sejarah, termasuk antropolog Prancis, Christian Pelras, yang banyak menggunakan naskah La Galigo sebagai sumber sejarah untuk merekonstruksi sejarah Bugis. 21 Pelras (2006), Ibid, hal. 394. Periode Tomanurung adalah periode yang dianggap menandai muncul dan berkembangnya berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan yang berlangsung dari abad ke-14 hingga ke abad ke-16. 22 Periode proses Islamisasi di Sulawesi Selatan oleh banyak ahli sejarah dianggap mulai berlangsung pada abad ke-16
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
33
dari Sidrap, MaccaE Ri Luwu dari Luwu, La Waniaga Arung Bila dari Soppeng, dst. Sedangkan kajian terhadap wujud aktivitas budaya politik Bugis Makassar dapat meliputi kajian aktivitas-aktivitas interaksi antara berbagai kekuatan politik. Kajian berwujud artefak budaya dapat melalui telaah benda-benda dan simbol-simbol politik, misalnya bendera, lambang, senjata dan lain-lain (Ibrahim, 2003: 161). Selain itu, kajian terhadap nilai-nilai demokrasi yang terdapat dalam Perjanjian antara To Manurung23 dengan Para Pemimpin Kaum di daerah-daerah Bone, Gowa, Soppeng, dan lain-lain, dapat pula dijadikan rujukan sebagai sumber nilai demokrasi masyarakat Bugis Makassar. Berbagai ungkapan dalam perjanjianperjanjian itu menunjukkan nilai-nilai dasar yang diutamakan, dan menjadi pedoman di dalam penyelenggaraan kekuasaan dan pemerintahan di kerajaan serta menjadi dasar-dasar hukum dalam setiap pengambilan keputusan negara/kerajaan. Dari ranah kesusastraan Bugis Makassar, jenis Pappaseng, yang merupakan himpunan pesan-pesan dan wasiat-wasiat dari orang-orang arif/bijaksana masa lalu, dan Sastra Paseng, yang dikemas dalam bentuk literer, merupakan sumber informasi yang kaya untuk mengkaji nilai-nilai dasar yang menjadi pegangan dalam budaya politik Bugis Makassar24. Dari wujud pemikiran-pemikiran, mitos-mitos, nyanyian rakyat, cerita rakyat, simbol-simbol, perjanjian-perjanjian, karya-karya sastra, nasehat, dan berbagai nilai 23
Menurut kepercayaan tradisional masyarakat Bugis Makassar, To Manurung berarti manusia jelmaan dewa yang turun dari langit untuk menjadi cikal bakal pemimpin (raja) di daerah-daerah Bugis Makassar, namun sebelum menjadi cikal bakal raja, mereka harus mengadakan perjanjian terlebih dahulu dengan pemimpin-pemimpin kampung (anang) perihal berlangsungnya secara harmonis praktek penyelenggaran kehidupan sosial politik di tanah Bugis Makassar. 24 Anwar Ibrahim (2003), Ibid., hal. 161
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
34
dan praktik budaya politik lainnya, yang merupakan sumber-sumber nilai budaya politik Bugis Makassar, maka hal inilah yang merupakan cerminan dari nilai-nilai fundamental, yaitu Ade’ (adat), yang menggerakkan seluruh aspek roda kehidupan masyarakat Bugis Makassar dalam berbagai aspek kehidupan, baik kehidupan budaya politik, sosial, maupun ekonomi masyarakatnya. Dengan kata lain, nilai-nilai Ade’ lah yang menjadi pusat dan penggerak seluruh aspek kehidupan masyarakat Bugis Makassar termasuk di dalam kehidupan budaya politiknya, yang kemudian terwujud dalam gagasan-gagasan, artefak-artefak, dan praktik-praktik budaya masyarakat. Pemahaman mengenai konsepsi ruang publik Bugis Makassar, tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari konteks nilai-nilai tradisional yang masih dianut dan diakui oleh sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan sampai sekarang. Nilai-nilai adat yang menjadi landasan hukum dan filosofis kehidupan tersebut adalah Ade’ (adat). Ade’, bagi sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan, merupakan kepribadian kebudayaan (Rahim, 1985: 122), karena adatlah yang menjadi penggerak kehidupan suatu masyarakat. Hal senada disampaikan pula oleh Mattulada, bahwa adat itu itulah yang memberikan bentuknya dalam wujud watak masyarakat dan kebudayaan serta orang-orang yang menjadi pendukungnya (Mattulada, 1975: 315). S.H. Alatas menyatakan bahwa antara individu dan masyarakat tidaklah terpisah melainkan berkaitan erat satu sama lain. Setiap individu dalam pertumbuhannya (dapat) dibentuk oleh masyarakatnya dimana ia lahir. Sebaliknya, setiap individu sepanjang kehidupannya (dapat) juga memberikan kontribusikontribusi untuk mewarnai kehidupan masyarakatnya. Kedua-duanya bukanlah hal
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
35
yang bertentangan, melainkan saling mengisi. Secara luas, manusia adalah masyarakatnya. Tidak ada watak manusia yang terpisah dari masyarakatnya. Individu dan masyarakatnya adalah dua sisi dari tingkah laku yang saling melengkapi dan mencakupi25. Referensi tentang sistem nilai-nilai masyarakat (adat istiadat) Bugis Makassar, dapat ditemukan dalam naskah-naskah klasik Lontara’ Bugis Makassar. Mattulada misalnya, yang mengkaji dan mengangkat Lontara’ La Toa (Nenek Moyang) sebagai disertasinya, menjelaskan bahwa keseluruhan sistem norma dan aturan adat Bugis Makassar tersebut disebut Panngadereng (sistem adat-istiadat/ adat normatif). Panngadereng ini dapat diartikan sebagai keseluruhan norma yang meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah laku terhadap sesamanya dan terhadap pranata sosialnya secara timbal balik, dan yang menyebabkan adanya gerak (dinamis) masyarakat26. Dengan kata lain, dalam konteks budaya politik, lontara’ La Toa menjelaskan bagaimana orang seharusnya bertingkah laku, bagaimana seorang penguasa memperlakukan rakyatnya, dan sebaliknya, serta bagaimana rakyat memperlakukan sesamanya, berdasarkan prinsip-prinsip sistem adat istiadat atau sistem normatif Panngadereng (Abdullah, 1985: 17-18). Sistem Panngadereng ini terdiri atas lima unsur pokok yang terjalin satu sama lain sebagai satu kesatuan organis dalam alam pikiran masyarakat Bugis Makassar,
25 26
Rahim (1985), Op.cit., hal. 123 Mattulada, (1974), Loc. cit., hal. 30
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
36
yang memberi dasar sentimen kewargamasyarakatan dan rasa harga diri27. Nilai sistem Panngadereng ini semua dilandasi nilai Siri’ (Hamid, 2005)28. Kelima unsur pokok sistem adat istiadat tersebut adalah Ade, Bicara, Rapang, Wari’ dan Sara’. Kelima unsur pokok di atas terjalin satu sama lain dan menjadi landasan hidup dan kehidupan masyarakat baik antar sesama maupun terhadap pranata sosialnya secara timbal balik, termasuk juga menyangkut persoalan budaya politik dan ruang publik masyarakat Bugis Makassar. Kelima unsur-unsur adat normatif Bugis Makassar yang dimaksud adalah Ade’ Bicara, Rapang, Wari’ dan Sara’, merupakan unsur yang saling mengisi satu sama lain dalam menjalankan peran dan fungsinya di masyarakat. Jika Ade’ (adat) berfungsi preventif dalam pergaulan hidup untuk menjaga kelangsungan masyarakat dan kebudayaan, Bicara (pertimbangan atau penafsiran ilmu hukum) berfungsi represif untuk mengembalikan sesuatu pada tempatnya, Rapang (hukum perdata) berfungsi untuk stabilisator untuk kesinambungan pola peradaban, maka Wari memberikan peranannya dalam mappallaiseng yaitu mengatur kompetisi masingmasing, sehingga tak terjadi saling bentrokan. Wari (hukum pewarisan) memberikan ukuran keserasian dalam perjalanan hidup kemasyarakatan. Dengan kata lain, Ade’ memberikan tuntunan hidup, Bicara memulihkan ketidakwajaran
kepada
kewajaran,
Rapang
mempertahankan
pola
untuk
kelanjutannya, dan Wari memberikan keseimbangan antara oposisi-oposisi yang 27
Mattulada, (1974), Ibid, hal. 30 Beragam perspektif mengenai konsep Siri’ ini, namun semuanya ahli budaya Sulawesi Selatan sepakat menganggapnya sebagai nilai harga diri dan kehormatan yang teguh.
28
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
37
terjadi dalam masyarakat. Sedangkan Sara’ yang berasal dari hukum-hukum agama Islam, menjadi pelengkap dari ke 4 hukum adat Bugis Makassar di atas. Menurut Latoa (dalam Mattulada, 1985: 382) bahwa sebelum Islam, ada empat unsur Pangngadereng (sistem adat normatif) yang berlaku di masyarakat, dan setelah masuknya Islam di Sulawesi Selatan, Sara’ menjadi unsur penggenap kelima Panngadereng sehingga menjadi Ade, Bicara, Rapang, Wari, dan Sara’. Dengan datangnya Islam dan diterimanya Sara’ ke dalam Panngadereng, maka pranata-pranata kehidupan sosial budaya yang tumbuh dari aspek-aspek Panngadereng, memperoleh pengisian dengan warna yang lebih tegas, bahwa Sara’ menjadi padu sebagai aspek Panngadereng. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan Sara’ sebagai bagian dari Panngadereng dianggap tidak mengubah nilai-nilai, kaidah-kaidah kemasyarakatan, dan kebudayaan yang telah ada. Apa yang dibawa Islam pada awal kedatangannya hanyalah menyangkut persoalan-persoalan ibadah yang tidak mengubah pranata-pranata kehidupan sosial budaya masyarakat, sehingga terjadi kesesuaian antara nilai-nilai Panngadereng sebelum Islam, dengan nilai-nilai Islam tersebut, sebab nilai-nilai yang dikandung Panngadereng seperti diantaranya nilai-nilai kejujuran, kebenaran, keikhlasan, dan keadilan, yang bermuara pada prinsip Siri’ (harga diri/rasa malu), dianggap sesuai dengan nilai-nilai yang dibawa Islam, sehingga bagi masyarakat Bugis Makassar, Islam itu identik dengan kebudayaan Bugis Makassar29.
29
Mattulada (1985), Ibid., hal 382-383
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
38
Menurut Zainal Abidin dalam Lontara’ Wajo, disebutkan sifat-sifat yang terkandung dalam setiap adat, yaitu “bicara yang jujur, prilaku yang benar, tindakan yang sah, perbuatan yang patut, pabbatang yang tangguh, kebajikan yang meluas. Pabbatang itu, merupakan sandaran bagi orang lemah yang jujur, namun juga menjadi halangan bagi orang kuat yang curang, ia juga menjadi pagar bagi negeri terhadap orang yang berbuat sewenang-wenang”30. Sifat-sifat jujur, benar, sah, patut, tangguh, dan baik, adalah nilai-nilai yang tampil dalam pengertian di atas. Nilai-nilai ini kemudian akan nyata peranan dan realisasinya dalam setiap pelaksanaan setiap adat dan menjadi “roh” yang menghidupi persoalan budaya politik Bugis Makassar. Pada budaya politik tradisional Bugis Makassar, dikenal istilah tudang sipulung yang secara harfiah berarti “duduk bersama”, namun secara konseptual merupakan
ruang
bagi
publik
(rakyat)
untuk
menyuarakan
kepentingan-
kepentingannya dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. Jika melihat esensi tudang sipulung, maka konsepsi Tudang Sipulung ini lah yang kemudian disinyalir dan dianggap oleh Habermas sebagai ruang publik otentik yang dapat memediasi antara kepentingan publik dengan pemerintah (penguasa). Seorang pallontara’ (penafsir lontara’), Andi Baharuddin menjelaskan dengan bahasa Bugis31 bahwa:
30
Rahim (1985), Op.cit, hal. 126 Lihat penelitian AB. Takko & Mukhlis, “Hak Asasi Manusia dalam Budaya Bugis Makassar” dalam Laporan Penelitian Rutin Unhas (Makassar: Lembaga Penelitian Unhas, 2001) hal. 24 31
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
39
“naiya riasenge tudang sipulung, iyanaritu mallari ade-e napogau toriolota’. Tudang maddepu-deppungeng, tudang mallewo-lewoang nasibawai akkatta maelo sipatanggareng nenniya maelo mala ada assimaturuseng”. “yang dimaksud dengan tudang sipulung yaitu tradisi yang sering dilakukan orang dahulu (tetua kita). Duduk bersama-sama, berkumpul dengan tujuan hendak bermusyawarah untuk mufakat”. Pemaparan tersebut di atas mengindikasikan bahwa tradisi tudang sipulung telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat Bugis Makassar sebagai ruang bersama untuk bermusyawarah dan bermufakat dalam rangka mencari solusi atas persoalan yang tengah dihadapi masyarakat. Menurut Anwar Ibrahim, semua persoalan kehidupan masyarakat dapat ditudang sipulung-kan. Pelaksanaan suatu tudang sipulung dapat bersifat resmi maupun tidak resmi. Mulai dari tingkat paling kecil, dalam keluarga, antar keluarga, dalam kampung/negeri (wanua), antar kampung/negeri, dalam kerajaan, hingga antar kerajaan32. Tudang Sipulung yang sifatnya tidak resmi biasanya dilakukan dalam lingkungan keluarga atau antar keluarga, yang membicarakan persoalan-persoalan keluarga seperti perkawinan, lamaran, dsb. Sedangkan hal yang menyangkut persoalan bermasyarakat atau keputusan keputusan penting dalam suatu kampung antar kampung, atau kerajaan, biasanya dilaksanakan secara resmi yang dipimpin oleh seorang Matoa (yang dituakan menurut adat) sebagai pemimpin (raja) suatu kampung/negeri (wanua).
32
Hasil wawancara dengan Anwar Ibrahim pada tanggal Juni 2007 pukul 16.00 WIT di Unhas.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
40
Tudang Sipulung yang dilaksanakan dalam suatu kampung disebut tudang wanua (duduk bersama dalam suatu kampung) yang dihadiri oleh seluruh masyarakat dan para penghulu-penghulu adat (pakketenni ade’)33. Ruang publik tradisional Bugis Makassar tudang sipulung atau tudang wanua ini berlangsung secara demokratis. Pimpinan tudang sipulung, yakni arung Matoa (ketua adat) berkewajiban meminta pendapat kepada peserta tudang sipulung. Peserta yang dimintai pendapat, berkewajiban mengemukakan pendapatnya walaupun pendapatnya tersebut sama dengan peserta lain atau telah dikemukakan terlebih dahulu oleh peserta sebelumnya. Apabila seorang peserta tidak setuju atas suatu hal, maka ia harus mengungkapkan secara
langsung
dalam
musyawarah
tersebut,
ketidaksetujuannya
dengan
mengemukakan alasan yang dapat diterima (rasional). Keputusan yang diambil dalam tudang sipulung tersebut, harus berdasarkan prinsip massolo’ pao (mengalir bersama), yang artinya bahwa keputusan yang akan dicapai dalam “duduk bersama” (musyawarah) tersebut merupakan keputusan atas kehendak bersama dan untuk kepentingan bersama, yang diibaratkan bagaikan air yang mengalir bersama-sama. Artinya, kehendak penguasa (pemerintah kerajaan) dan kehendak rakyat haruslah beriringan dalam menemukan titik temu yang berdasarkan kepentingan bersama. Jadi, konsepsi ruang publik politis sebagai perwujudan prinsip-prinsip demokrasi, sebenarnya telah ada dan telah dilaksanakan sejak berlangsungnya masamasa kerajaan di Sulawesi Selatan sejak abad ke-14, yang menjadi sarana 33
Hasil wawancara dengan Mukhlis Hadrawi pada tanggal Juli 2007 pukul 12.30 Wita di Unhas.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
41
bermusyawarah bagi masyarakat untuk memperoleh kata mufakat atas pertikaian atau permasalahan
yang
tengah
dihadapi,
hanya
konteks
dan
perwujudannya
(pelaksanaannya) saja yang berbeda dengan konsep demokrasi ideal yang dikenal saat ini karena konsep demokrasi ala Bugis Makassar ini berlangsung pada masa berlangsungnya kerajaan-kerajaan di wilayah Bugis Makassar. Di antara kerajaan-kerajaan Bugis Makassar yang terdapat di Sulawesi Selatan, kerajaan Wajo memiliki sistem budaya politik yang berbeda dengan kerajaan Bugis Makassar lainnya. Terbentuknya kerajaan Wajo, bukan melalui perantara To Manurung atau keturunannya, seperti yang terjadi pada beberapa kerajaan Bugis Makassar lainnya seperti, diantaranya di Bone, Luwu, Makassar, Soppeng, dan Bacukiki, melainkan melalui pelacakan calon bakal raja pada setiap daerah di Wajo, yang disebut dengan istilah mangngelle pasa’ (turun ke pasar)34. Istilah ini berarti turun ke lapangan mencari calon bakal raja di setiap pelosok-pelosok daerah. Jadi, siapa pun boleh menjadi raja asal melalui melalui mekanisme yang sah, termasuk orang biasa (bukan bangsawan). Bahkan orang luar Wajo pun dapat dicalonkan menjadi raja asal memenuhi kriteria seperti jujur, bijaksana, budiman, dan mempunyai sifat-sifat yang baik. Dengan demikian, yang menjadi raja di kerajaan Wajo, bukanlah dari keturunan bangsawan, melainkan dari kalangan rakyat biasa. Mekanisme pemilihan raja ini, pertama-tama, melalui tudang sipulung yang dihadiri oleh 6 pembesar negeri (semacam kepala daerah) yang disebut petta ennengnge (enam pembesar daerah), para penghulu adat, dan masyarakat. Dari proses 34
Wawancara dengan Mukhlis Hadrawi, Ibid.,
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
42
tudang sipulung itulah kemudian melahirkan seorang raja di Wajo. Jadi, pada masa kerajaan Wajo, tidak dikenal istilah putra mahkota sebagai pewaris kerajaan, melainkan putra kerajaan (calon raja) yang berasal dari masyarakat biasa (bawah) sehingga di daerah Wajo, di kenal istilah Mara’deka To Wajo-E, Ade’nami Napapuang, yang artinya “Merdeka Orang Wajo, Adatlah yang menjadi Tuan (raja)”. Adat di sini dalam pengertian normatif, yaitu sebagai sistem norma-norma dan nilainilai yang mendasari dan mengatur prilaku budaya politik masyarakat. Hal ini berarti bahwa adatlah di atas segalanya yang paling patut dihormati dan dijunjung tinggi masyarakat, atau menjadi hukum tertinggi bagi pelaksanaan kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada kerajaan Wajo. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tudang sipulung merupakan ruang publik tradisional bagi masyarakat Bugis Makassar untuk menyampaikan aspirasinya terhadap persoalan-persoalan penyelengaraan pemerintahan, dan mencari kesepakatan (kehendak bersama) terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Masyarakat datang berkumpul bersama mendiskusikan dan memperdebatkan secara rasional suatu permasalahan guna mendapatkan win-win solution, dengan tetap menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai pangngadereng (sistem adat). Semua keputusan tudang sipulung yang menyangkut persoalan adat, tidak boleh diubah apalagi dibatalkan. Pemimpin bersama rakyat telah sepakat menjadikannya sebagai keputusan yang tetap (Ade’). Jadi, ketetapan adat tersebut mengandung
kesucian,
keluhuran,
dan
kesakralan.
Mengubah
atau
menyelewengkannya berarti pelanggaran secara langsung terhadap nilai-nilai yang
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
43
membentuknya, merusak kemaslahatan bersama, memandang rendah keilmuan, mencurangi kejujuran, dan menghancurkan semangat demokrasi. Dalam lontara’ dijelaskan bahwa ketika kerajaan-kerajan mulai bermunculan di Sulawesi Selatan pada sekitar abad ke-14, To Manurung mengadakan tudang sipulung dengan para pemimpin kaum untuk membuat perjanjian mengenai dasardasar penyelenggaraan keseluruhan aktivitas politik pemerintahan dan kenegaraan Bugis Makassar. Di dalam perjanjian tersebut dimufakati batas-batas hak, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban raja dan rakyat. Penetapan status, fungsi, dan peran masing-masing. Hal ini dengan jelas menunjukkan sistem budaya politik yang dianut dengan memilih dan menetapkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi35. Secara konstitusional hal itu ditegaskan dengan ungkapan: “rusa’ taro-arung, tenrusa’ taro ade’ rusa’ taro ade’, tenrusa’ taro anang, rusa’ taro anang, tenrusa taro to-maega” (batal ketetapan raja, tak batal ketetapan adat batal ketetapan adat, tak batal ketetapan kaum, batal ketetapan kaum, tak batal ketetapan rakyat) Perjanjian tersebut menandakan bahwa kehendak umumlah (volonté generale) yang menjadi ketetapan tertinggi dalam memutuskan suatu perkara. Hal ini berarti bahwa esensi ruang publik politis yaitu demokrasi sebagai pemerintahan rakyat, telah terumuskan dan tercermin dalam Perjanjian Tomanurung dengan Pemimpin Kaum tersebut. Perjanjian ini merupakan suatu bentuk Du Contract Social (kontrak sosial) antara penguasa dan rakyat terhadap proses penyelenggaraan aktifitas politik dan 35
Anwar Ibrahim (2003), Ibid., hal. 167
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
44
pemerintahan, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh filsuf Prancis, Jean-Jacques Rousseau, pada abad ke-18 di Eropa. Pada salah satu Sastra Paseng yang berbentuk puisi, dikemukakakan nilainilai dasar yang menjadi dasar bagi ruang kultural Bugis Makassar36, yaitu: Sadda mappabati ada Ada mappabati gauk Gauk mappanessa tau Temmetto nawa-nawa majak Tellessuk ada-ada belle Temmakatuna ri padanna tau Tekkalupa ri apolEngenna Suara (hati nurani) menjelmakan kata-kata Kata-kata menjelmakan perbuatan Perbuatan menjelaskan hakikat manusia Tidak ada keinginan (maksud) jahat Tidak ada kata-kata bohong Tidak dianggap hina sesama manusia Tidak lupa pada asal penciptaannya/asal muasalnya Dalam Sastra Paseng lainnya, disebutkan sejumlah nilai utama (kondisikondisi) yang juga dijadikan pegangan dalam ruang publik politis tradisional masyarakat Bugis Makassar37, nilai-nilai utama tersebut adalah: Upasengko makkatenning ri lima-E akkatenningeng: Mammulanna, riada tongengng-E Madduanna, rilempuk-E Matellunna, rigettengng-E Maeppakna, sipakatau-E Mallimanna, mappasona-E ri dewata seuwa-E Nigi-nigi makkatenning ri lima-E akkatenning, Salewangengngi lolangenna Ri lino lettu ri esso ri monri
36 37
Anwar Ibrahim (2003), Ibid., hal. 162 Anwar Ibrahim, Ibid., 162
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
45
Nasehat untuk bersandar pada lima pegangan Pertama, pada kata-kata yang benar (perkataan yang jujur) Kedua, pada perbuatan yang lurus (perbuatan yang tidak curang) Ketiga, pada keteguhan/ketegasan (keteguhan pada keyakinan yang benar) Empat, saling menghargai (sesama manusia) Lima, berserah diri/bertawakkal kepada Sang Pencipta Barangsiapa yang bersandar pada lima pegangan tersebut, Maka kelak akan selamat di dunia hingga di hari kemudian (di akhirat) Di dalam kedua Sastra Paseng tersebut ditemukan lima nilai dasar utama yang disebut sebagai lima akkatenningeng (lima pengangan). Kelima nilai pegangan tersebut merupakan nilai dasar yang sifatnya primer di dalam ruang publik politis tradisional masyarakat Bugis Makassar. Penyelewengan terhadap nilai-nilai tersebut mengakibatkan seseorang dianggap kehilangan nilai dasar kemanusiaannya atau terdegradasi, turun martabatnya menjadi binatang (olok-kolo’) Kelima nilai dasar yang primer tersebut akan diuraikan satu persatu, dan kemudian akan dihubungkan dengan kondisi-kondisi ruang publik (politik) ideal yang ada dalam konsepsi tudang sipulung yang dilandasi nilai-nilai dalam sistem nilai adat normatif masyarakat Bugis Makassar. Pertama, nilai dasar ada tongeng (perkataan jujur). Nilai dasar ini mencerminkan kondisi pertama yang ada dalam suatu ruang publik (tradisional) harus berlandaskan pada nilai-nilai kejujuran. Misalnya, peserta yang terlibat dalam suatu tudang sipulung memberikan pandangan-pandangannya dalam bentuk informasi atau argumentasi “yang benar (jujur)”. Informasi atau argumentasi yang diberikan bukanlah suatu rekayasa yang dibaliknya tersembunyi kepentingan-kepentingan
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
46
tertentu, sehingga tudang sipulung yang berlangsung “betul-betul” untuk mencari jalan keluar atas suatu permasalahan untuk kepentingan bersama. Kedua, nilai dasar lempuk (perbuatan lurus/jujur). Nilai dasar ini berhubungan dengan sikap atau perbuatan yang benar (lurus). Dalam pengertian ini, seorang peserta dalam suatu musyawarah tidak memiliki sifat dan prilaku yang curang/tipu muslihat. Dengan demikian, suatu ruang publik harus “steril” dari perbuatan curang, tipu menipu, “main belakang” sehingga kondisi yang tercipta adalah kondisi yang fair dalam suatu tudang sipulung. Ketiga, nilai dasar getteng (keteguhan/ketegasan). Nilai dasar yang ketiga ini menerangkan bahwa suatu ucapan, sikap, atau perbuatan harus bersandarkan (berpegang teguh) pada keyakinan yang benar/objektif (nilai-nilai kebenaran/adat) sehingga kondisi ruang publik yang tercipta benar-benar mencerminkan kondisi objektif (yang sebenarnya), tidak subjektif, tidak memihak, atau berat sebelah. Keempat, nilai dasar sipakatau (saling memanusiakan/menghargai). Nilai dasar ini memiliki dimensi sosial yang mengindikasikan adanya interaksi yang bersifat egaliter dalam suatu ruang publik. Hal ini menunjukkan hubungan yang saling menghargai dan saling menghormati antar peserta dalam suatu ruang publik, yang
mana
setiap
peserta
memiliki
kesempatan/akses
yang
sama
untuk
mengemukakan pandangan-pandangannya tentang suatu permasalahan tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
47
Kelima, nilai dasar mappesona ri Pawinruk sewua-E (berserah diri kepada Sang Pencipta. Nilai ini berdimensi religius dan transendental yang mempedomani setiap aktivitas budaya politik, sehingga timbul keasadaran akan “pertanggung jawaban” setiap individu kepada Sang Penciptanya dalam setiap aktivitas budaya politiknya. Dengan adanya kesadaran vertikal tersebut, maka komunikasi yang terjadi dalam suatu ruang publik akan selalu bersandarkan pada nilai-nilai kejujuran dan kebenaran. Jadi, pelaksanaan tudang sipulung sebagai sebuah ruang publik tradisional bagi kehendak rakyat, harus dilandasi oleh kondisi-kondisi komunikasi ideal atau nilai-nilai lima akkatenningeng (lima pegangan) sebagai sumber nilai normatif tradisional masyarakat Bugis Makassar, dan dihormati oleh semua unsur yang terlibat dalam tudang sipulung agar keputusan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kehendak bersama dan bermanfaat bagi semua pihak. Nilai-nilai utama yaitu ada tongeng (perkataan jujur), lempu’ (perbuatan lurus/jujur), getteng (keteguhan pada kebenaran), sipakatau (saling menghargai), mappesona ri Pawinruk seuwa-E (berserah diri pada Sang Pencipta) harus menjadi prasyarat bagi sebuah ruang publik (politis) agar proses komunikasi yang berlangsung dapat terjalin secara rasional, fair, kritis, sehat dan demokratis. Hal-hal inilah yang dimaksudkan Habermas sebagai ciri ruang publik otentik yang muncul di Eropa pada sekitar abad ke 17, yang ternyata kondisi-kondisi ruang publik otentik tersebut ada dan diterapkan dalam kehidupan budaya politik tradisional masyarakat Bugis Makassar, sejak ratusan tahun silam yang dimulai sekitar abad ke-14.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
48
2.2
Proses Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Politik Bugis Makassar Akhir abad ke-18 ditandai dengan makin membesarnya pengaruh kekuasaan
Belanda di Sulawesi Selatan. Di dalam realitasnya, pemerintah kolonial Belanda menggunakan konsep kekuasaan yang berarti keberkuasaan dan kepenguasaan, yaitu dengan penggunaan kekuatan (macht), penumpukan kekuatan (machtsvorming), dan pendayagunaan kekuatan (machtsaanwending), serta penguasaan sumber-sumber mata pencaharian dan ekonomi38. Konsep semacam itu, kemudian perlahan-lahan mempengaruhi konsep kekuasaan budaya politik Bugis Makassar. Apalagi dengan adanya ketentuan yang dikeluarkan pemerintah Belanda bahwa pengangkatan rajaraja yang ditetapkan oleh Dewan Adat harus dengan “sepengetahuan” penguasa Belanda sehingga aktifitas tudang sipulung sebagai ruang kultural demokratis Bugis Makassar dalam melahirkan keputusan bersama (opini publik), terpaksa harus tunduk pada kekuasaan kolonial Belanda. Terjadilah pertarungan nilai, antara nilai yang sifatnya moral religius, nilaidasar budaya politik Bugis Makassar, dengan nilai yang watak dasarnya memberikan apresiasi yang tinggi pada nilai kekuasaan dan nilai ekonomi, yang dikembangkan oleh penguasa kolonial Belanda. Di dalam pertarungan nilai-nilai tersebut, nilai moralistik religius, tergeser oleh nilai kekuasaan yang bermakna kepenguasaan, dan nilai ekonomi yang pragmatik. Sejumlah penguasa Bumiputera mulai memupuk, menumpuk dan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri, melupakan kepentingan rakyat. Otomatis, isi perjanjian antara Tomanurung dengan Pemimpin38
Anwar Ibrahim (2003), Ibid., hal. 171
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
49
Pemimpin Kaum menjadi terabaikan, yang juga berarti telah terjadinya pergeseran nilai-nilai kultural tudang sipulung dan sistem norma-norma Panngadereng sebagai basis budaya politik Bugis Makassar. Kekecewaan dan ketidakpuasan rakyat, terutama atas tingkah-laku para penguasa Belanda dan penguasa Bumiputera nampak semakin jelas, yang disertai dengan harapan munculnya tokoh/penolong seperti tercermin pada pemujaan terhadap tokoh imajiner dalam cerita sinrilik I Tolok Daeng Magassing, atau harapan munculnya tokoh Sang Ratu Adil. Kekecewaan semacam itu memungkinkan munculnya apa yang disebut Mattulada sebagai gerakan Messiah, seperti gerakan Batara Gowa I Sangkilang dan gerakan Karaeng Data di Gowa, yang dengan cepat memperoleh dukungan luas dari rakyat, terutama rakyat pegunungan. Di bawah pimpinan I Sangkilang dan kemudian Karaeng Data, rakyat mengangkat senjata melawan raja Gowa dan Belanda, sesuatu yang melanggar perjanjian Tomanurung dengan Pemimpin Kaum. Pertarungan nilai-nilai budaya politik semacam itu, terjadi juga di kerajaan-kerajaan Bone, Soppeng, Luwu, dan lain-lain, yang berlanjut terus hingga awal abad ke-20. Tatanan norma-norma Panngadereng, yang terdiri atas Ade’, Bicara, Rapang, Wari’, dan Sara’ yang merupakan penerjemahan nilai-nilai dasar budaya politik Bugis Makassar, perlahan-lahan semakin luntur akibat pertarungan39. Pada awal masa kemerdekaan, kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan Soekarno dan Hatta disambut gembira oleh rakyat dan raja-raja di Sulawesi Selatan. Misalnya Arumpone Andi Mappanyukki, dan Datu Luwu Andi 39
Anwar Ibrahim (2003), Ibid., hal. 172
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
50
Djemma, serta raja-raja lainnya di Sulawesi Selatan, dengan sukarela meleburkan kerajaannya ke dalam republik, menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia. Realitas ini menimbulkan konsekuensi pada kontinuitas nilai-nilai budaya politik Bugis Makassar. Memudarnya nilai-nilai pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, sesungguhnya merupakan awal terjadinya pergeseran nilai-nilai dasar budaya politik di Sulawesi Selatan, yang terus berproses dan makin tampak jelas setelah kemerdekaan. Tatanan Panngadereng yang mengatur norma-norma ruang-ruang kultural tudang sipulung Bugis Makassar mengalami disfungsi. Secara yuridis formal Panngadereng digantikan oleh UUD RI dengan berbagai aturan hukum dan undangundangnya, yang di dalam praktek pengamalannya, sesungguhnya tidak atau kurang mengakomodasi nilai-nilai dasar budaya politik Bugis Makassar. Selanjutnya, nilainilai dasar budaya politik Bugis Makassar yang dijabarkan dan diterjemahkan di dalam Panngadereng, menjadi kehilangan sarana aktualisasi, yang kemudian mengakibatkan makin memudarnya perwujudan nilai-nilai tersebut di dalam aktivitas kehidupan sosial kemasyarakatan dan kenegaraan. Terjadilah krisis nilai. Nilai-nilai lama cenderung ditinggalkan sedang nilai-nilai baru belum mampu diraih. Gegap-gempita anjuran faham nasionalisme yang integralistik disertai hujatan dan nistaan terhadap upaya pengembangan budaya lokal dengan istilah yang (dianggap) berkonotasi negatif, provinsialisme dan daerahisme, mengakibatkan menurunnya upaya dan aktivitas pemeliharaan nilai-nilai dasar budaya politik Bugis Makassar. Hal ini berakibat lanjut, antara Pancasila yang menjadi nilai-nilai dasar
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
51
budaya politik Indonesia dengan nilai-nilai dasar budaya politik Bugis Makassar di Sulawesi Selatan, tidak dapat menyatu dan tidak dapat saling menyelarasi, apalagi saling memperkaya. Tampaknya logis bila nilai-nilai dasar budaya politik Bugis Makassar cenderung tidak dapat memberikan sumbangan yang berarti untuk mengisi dan memperkaya nilai-nilai dasar Pancasila. Hal itu terjadi bukan lantaran adanya pertentangan antara kedua jenis nilai-dasar tersebut, melainkan terutama disebabkan oleh faktor realitas politik di Indonesia yang “sentralistik” dan “seba-pusat”, serta adanya kenyataan bahwa tokoh-tokoh pemimpin dan pelaku politik baik di dalam maupun di luar pemerintahan, serta tokoh-tokoh panutan masyarakat cenderung melakukan penyelewengan nilai-nilai Pancasila di dalam pengamalannya. Realitas tersebut adalah pencerminan dari aktivitas budaya politik di tingkat pusat yang kemudian “ramai-ramai” ditiru di tingkat daerah. Pada satu sisi, disfungsi tatanan pranata-pranata sosial seperti tudang sipulung dan norma-norma Panngadereng cenderung mengakibatkan masyarakat kehilangan pegangan, pada sisi lain, terutama pada awal pasca-kemerdekaan, pengenalan apalagi pengamalan dan penghayatan norma-norma kehidupan berpolitik, bernegara, dan berpemerintahan yang berdasar Pancasila dan UUD RI, belum mampu tercapai oleh pengetahuan politik masyarakat, serta realitas adanya kecenderungan Pancasila menjadi sekedar hiasan bibir dan pemanis wacana politik di dalam kehidupan politik. Realitas tersebut ternyata lebih mempertajam krisis nilai-nilai dan norma-norma kehidupan budaya politik di Sulawesi Selatan.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
52
Pada zaman Orde Lama, pemimpin-pemimpin Indonesia cenderung menempatkan Pancasila sebatas “alat-pemersatu-bangsa”, yang ironiknya disertai anggapan bahwa bila bangsa telah bersatu, Pancasila dapat diganti dengan ideologi lain. Pada zaman kekuasaan Orde Baru, dengan seruan dan wacana politik “membela dan mempertahankan” Pancasila, kemudian digalakkan dengan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4). Ironiknya butir-butir nilai yang
diindoktrinasikan
di
dalam
penataran,
tidak
disertai
contoh-teladan
pengamalannya dari pemimpin-pemimpin politik negara, dan dari para penganjur, termasuk dari para penatar P4. Selain itu, aktifitas masyarakat di wilayah-wilayah publik, lebih banyak dibubarkan atau dikontrol dibawah todongan senjata dengan dalih menjaga stabilitas nasional. Dengan demikian, nilai-nilai Panngadereng tidak lagi menjadi pedoman arah dan orientasi di dalam kehidupan berdemokrasi/berpolitik di masyarakat, sehingga terjadilah semacam krisis nilai-nilai moral di dalam budaya politik Sulawesi Selatan dewasa ini. Demikian pula pada masa reformasi, nilai-nilai aktifitas budaya politik belum menunjukkan perubahan yang berarti. Setelah terlepas dari Orde Baru (negara), dan beralih pada kekuasaan liberalisme, ketidaksambungan nilai-nilai budaya politik Bugis Makassar dalam konteks kekinian justeru semakin jauh. Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada beberapa daerah di Sulawesi Selatan, masih diwarnai desas-desus politik adanya ketidakjujuran dan politik uang (money politic), memberi isyarat diskontinuitas nilai-nilai dasar budaya politik Bugis Makassar dengan nilai-nilai budaya politik di Sulawesi Selatan dewasa ini.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
53
2.3
Warung Kopi sebagai Budaya Politik Kontemporer di Makassar pada Era Liberalisasi Media. Ketika angin reformasi berhembus kencang pada segala sendi-sendi
kehidupan di Indonesia, harapan akan kehidupan yang demokratis mulai terbersit di ruang-ruang publik. Reformasi 1998 telah menyingkap “awan gelap” yang selama 32 tahun menyelimuti ruang publik di Indonesia. Angin reformasi telah membawa desakan liberalisasi yang kuat kepada pemerintah baru (pasca Orde baru) untuk lebih jauh menerapkan kebebasan, termasuk membebaskan ruang-ruang publik dari kontrol pemerintah. Namun ketika kekuatan negara telah berakhir, dan digantikan oleh kekuatan pasar, keberadaan ruang publik bukannya terbebas dari kontrol, malah kembali berada dibawah kontrol yang lain, yaitu kontrol kekuatan pasar. Kekuatan dan logika pasar inilah kemudian banyak mengooptasi keberadaan ruang-ruang publik kontemporer di tanah air dewasa ini. Di Makassar, khususnya pasca reformasi, ruang-ruang publik kontemporer banyak muncul dalam wujud warung-warung kopi. Warung-warung kopi yang dahulunya hanya dihitung jari, saat ini menjamur, menjadi tempat berinteraksi dan berdiskusi, ketimbang menjadi (sekadar) tempat minum kopi40. Persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan tidak lagi melulu dibicarakan di kampus-kampus atau di ruang-ruang seminar, tapi telah berpindah ke warung-warung kopi dimana orang tak perlu bersikap formal untuk membicarakan hal-hal yang serius. Berdiskusi dan mengobrol di warung kopi, telah menjadi trend dan gaya hidup warga kota Makassar.
40
Lihat di http: www.fajar.co.id/news.php?newsid=30769 (dipunggah 15 Juni 2007)
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
54
Dengan demikan, warung-warung kopi ini telah membuka dan memediasi ruang-ruang perbincangan bagi publik untuk membicarakan berbagai aspek sosial ke masyarakatan
dalam
kehidupan
bermasyarakat
maupun
jalannya
proses
penyelenggaraan pemerintahan di Sulawesi Selatan pada umumnya dan di Makassar pada khususnya. Dengan kata lain, keberadaan warung-warung kopi ini di Makassar telah menjadi ruang publik politis bagi publik untuk menyampaikan aspirasinya terhadap proses sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat kota Makassar. Keberadaan ruang-ruang publik politis ini (warung-warung kopi), tidak lagi sekadar tempat minum secangkir kopi atau kongkow-kongkow, namun telah menjadi tempat berinteraksinya segala gagasan, informasi, dan kepentingan, bahkan menjadi ajang debat publik dan “pertarungan ideologis” untuk mendapatkan penerimaan atas publik. Ruang publik ala warung kopi telah menjadi lahan “bebas dan subur” bagi segala kepentingan baik kepentingan sosial, ekonomi, budaya, maupun politik yang melibatkan aktor-aktor (agents) dari berbagai lapisan masyarakat, seperti di antaranya: politikus, cendekiawan, LSM, pejabat pemerintah, praktisi hukum, wartawan, atau pengusaha. Tercatat beberapa warung kopi yang sering menjadi tempat kongkow-kongkow dan diskusi bagi warga Makassar, di antaranya warung kopi Phoenam, Daeng Sija, Daeng Anas, Mappanyukki, Sipakarennu, Kopi Dottoro’, Kopi Ogi, Kafe Turbo, Kafe Rally, Kopi Zone, Kopi Tiam, Tongsang, Tujuh Samudra, dan Short Tune (liputan Tribun Timur, Senin, 19 Pebruari 2007).
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
55
Suatu hal yang perlu dicermati dalam maraknya perbincangan publik di ruang publik warung kopi di Makassar adalah peranan media massa, dalam hal ini stasiun radio, dalam memediasi talkshow tersebut. Media massa pun kemudian berlombalomba mengadakan talkshow. Pembicaraan publik yang dahulunya banyak berlandaskan pada budaya politik tradisional tudang sipulung, kini tergantikan oleh diskusi-diskusi ala warung kopi yang berdasarkan pada mediasi media massa dan representasi tokoh-tokoh publik. Fenomena media massa dan representasi tokoh publik di warung kopi, telah menjadi gambaran kondisi budaya politik kontemporer Makassar saat ini sehingga ruang-ruang yang seharusnya menjadi milik publik ini pun banyak didefinisikan oleh media massa sebagai akibat dari era liberalisasi media. Melihat keberadaan media massa dalam memediasi diskusi di ruang-ruang publik, misalnya di warung-warung kopi, di dalam era liberalisasi industri media yang berada pada rejim fundamentalisme pasar, maka terdapat tendensi yang dapat memunculkan sejumlah ancaman terhadap kebebasan pers dan kepentingan ruang publik di Makassar pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya41. Pertama, sejalan dengan bertambahnya jumlah industri media massa dan persaingan di antara mereka, maka keberadaan dan tingkah laku industri media massa akan semakin ditentukan oleh kepentingan akumulasi modal, yang merupakan bentuk dari konstitusi rejim dogmatisme pasar, yang akan menentukan siapa dan apa yang dipinggirkan oleh media massa. Selain menyingkirkan pelaku pasar yang tidak memiliki kemampuan modal yang cukup, kepentingan akumulasi modal juga 41
Dedy N Hidayat, Op.cit., hal. 7-14
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
56
berpotensi mengooptasi industri media agar tidak memberitakan isu-isu yang bertentangan dengan kepentingan akumulasi modal. Industri media massa juga akan cenderung menampilkan nilai-nilai yang menonjolkan kompetisi, dan hak untuk mengakumulasi modal sebebas-bebasnya, sebagai fenomena yang “wajar dan alami”. Pada saat bersamaan, industri media massa akan mengabaikan eksistensi ketimpangan sosial ekonomi serta ketimpangan dalam kompetisi yang disebabkan oleh kesenjangan sosial ekonomi, seolah-olah itu semua merupakan realitas alami dan wajar, dan suatu konsekuensi logis dari suatu dinamika pasar, yang karenanya itu juga tidak dianggap memiliki nilai berita untuk diolah. Logika regulasi pasar, yang antara lain menonjolkan the logic of accumulation and exclusion, juga akan mendikte agar isu-isu permasalahan sosial tertentu, seperti tunawisma, anak jalanan, kemiskinan, pengangguran, kelompok minoritas, dan juga isu-isu lain yang berkaitan dengan kekerasan, pemerkosaan, pertumpahan darah ataupun tidak menyangkut kepentingan kelompok mayoritas konsumen yang berdaya beli, maka hal tersebut akan dikategorikan sebagai isu yang tidak mengandung nilai berita dan tidak berpotensi untuk diolah menjadi komoditas informasi. Secara umum, media juga cenderung meliput masalah kemiskinan dari sudut (angle) dan fokus keterkejutan pihak yang menyaksikan suatu drama tragis, bukan dari sisi kaum miskin itu sendiri. Industri media massa baru akan mengolahnya sebagai komoditas bila isu-isu tadi telah menjadi bagian dari sebagai suatu kerusuhan sosial, amuk massa, atau peningkatan kriminalitas yang mengganggu keamanan dan kenyamanan sosial mayoritas kelompok kelas menengah, yang nota bene adalah
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
57
konsumen utama industri pers, yang memiliki daya beli atau sumber daya serta peluang yang lebih besar ke media, untuk mengeluhkan ketidaknyamanan yang mereka alami. Kedua, kaidah akumulasi modal juga akan membuat biaya akses ke media menjadi mahal, hanya terjangkau oleh kelompok atau individu tertentu. Bagi kelompok yang tidak memiliki sumber daya berupa kekuatan politik atau kemampuan ekonomi, maka peluang untuk memperoleh akses ke media guna menyuarakan isu kepentingan mereka, akan semakin berkurang dan diperkecil oleh kepentingan industri media massa itu sendiri yang hanya mau menampilkan isu dan peristiwa yang memiliki nilai jual, atau memiliki bobot politik yang menyangkut kepentingan politik besar. Dari segi ini, kerusuhan, aksi massa, pemogokan buruh dan sebagainya, bisa dilihat (hanya) sebagai strategi “kehumasan” kelompok publik tertentu agar memperoleh akses ke media atau untuk meningkatkan nilai berita isu permasalahan mereka. Di lain pihak, kelompok atau individu yang memiliki sumber daya lebih besar akan mampu melakukan manajemen isu atau usaha pembentukan opini publik untuk menyampaikan kepentingan mereka, dengan membeli jam tayang, melakukan rekayasa public relations yang tertib dan berbudaya, seperti jumpa pers, seminar, talkshow, yang dimediasi oleh media massa. Ketiga, kaidah dan logika mekanisme pasar jelas juga berpotensi besar dalam meminggirkan institusi media lain yang tidak mampu mematuhi aturan logika modal dan pasar. Media alternatif yang menyuarakan kepentingan publik atau menempatkan
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
58
diri sebagai dialog politik, dengan tanpa memperhatikan selera pasar atau konsumen, tentunya hanya memiliki daya dan harapan hidup yang lebih rendah. Keempat, media dalam suatu pasar liberal turut pula berperan dalam melanggengkan atau mereproduksi struktur sosial yang bercirikan ketimpangan antar kelas ekonomi. Hal tersebut dilakukan tidak hanya melalui orientasi isi media yang menyajikan ketimpangan semacam itu sebagai sebuah realitas yang wajar dan alami, melainkan juga melalui segmentasi penyediaan informasi antar strata sosial di masyarakat. Segmentasi semacam ini akan berpotensi menciptakan jurang sosial antar elemen masyarakat. Hal ini jelas tidak menunjang kematangan kehidupan demokrasi, yang antara lain membutuhkan adanya kesetaraan kualitas informasi yang diberikan kepada publik, agar publik dapat memperoleh kesetaraan dalam setiap wacana publik. Dengan demikian, dalam sebuah kepentingan pasar yang liberal, regulasi pasar akan menciptakan dominasi kekuatan pasar dalam mendefinisikan apa yang menjadi “kepentingan publik” atau “selera publik”. Kaidah-kaidah ataupun tuntutan struktural pasar itu sendiri yang akan menentukan apa yang menjadi fokus isu publik. Isu-isu sosial seperti tunawisma, anak jalanan, kesejahteraan buruh, tuntutan kelompok minoritas, dan seterusnya, akan selalu berpeluang kecil untuk diangkat dan didefinisikan oleh media sebagai isu-isu yang menyangkut kepentingan publik. Sebab isu-isu semacam itu, menurut ideologi yang melekat pada struktur media itu sendiri, dianggap tidak memiliki nilai berita, nilai tukar, atau tidak berpotensi untuk diolah menjadi suatu komoditas berita.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
59
2.4
2.4.1
Ruang Publik Phoenam Makassar sebagai Representasi Budaya Politik Kontemporer di Makassar Sekelumit Mengenai Phoenam: Persinggahan dari Selatan Warung kopi Phoenam yang telah berdiri sejak 60 tahun silam, pertama kali
didirikan pada masa awal-awal kemerdekaan yaitu tepatnya pada 194642. Warung kopi ini didirikan oleh dua bersaudara, Liong Thay Hiong dan Liong Thay San, di jalan Nusantara No.59 Makassar. Liong Thay San yang bersekolah di Amerika memutuskan kembali ke Republik Rakyat Cina (RRC) pada 1950. Selanjutnya, Liong Thay Hiong lah yang melanjutkan bisnis warung kopi tersebut dan diwariskan kepada keturunan-keturunannya. Menurut penuturan Albert Liongady, putra dari Liong Thay Hiong, ia mengelola warung kopi Phoenam sejak 1972. Nama Phoenam sendiri berasal dari kata “Phoenam” yang berarti persinggahan dari selatan. Nama tersebut diberikan Liong Thay San untuk mengenang asal nenek moyang mereka berasal dari selatan (Cina Selatan). Sekarang ini, warung kopi Phoenam dikelola oleh Albert Liongady dan anak-anaknya. Pada awal mulanya, warung kopi Phoenam terletak di jalan Nusantara No.59. Daerah ini adalah daerah pelabuhan Makassar. Karena tergusur oleh perluasan pelabuhan, warung kopi Phoenam kemudian pindah ke jalan Jampea, dan membuka cabang lagi di Panakukang Mas, dan di Mal Diamond Panakukang. Warung kopi Phoenam Jampea dikelola Albert Liongady sendiri bersama anak dan istrinya, sedangkan Phoenam di Boulevard dan di Mal Diamond, ditangani oleh putra dan menantunya.
42
Hasil wawancara dengan Albert Liongady pada tanggal 17 Maret 2007 pukul 14.30 WIT
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
60
Peralatan yang digunakan dan cara memasak kopi Phoenam masih terbilang tradisional. Kopi yang dipakai berasal dari Tana Toraja yang merupakan paduan kopi arabika dan robusta yang digiling tanpa menggunakan mesin. Kopi digiling, diracik secara manual dan berulang-ulang ala kopi tarik yang menghasilkan ramuan kopi yang berbusa dan aroma kopi Toraja yang khas. Ciri dan aroma khas kopi warung kopi Phoenam tersebut lah yang menimbulkan kesan tersendiri bagi para penggemar dan penikmat kopi buatan Phoenam. Dalam rangka melebarkan usahanya, warung kopi Phoenam membuka cabang di Jakarta, Mamuju, Parepare, dan Palu. Untuk cabang di Jakarta, Albert Liongady dibantu oleh saudaranya Hendra Liongady. Albert baru membuka cabang Phoenam di Jakarta pada 1997. Pertama kali dibuka di Plaza Mandiri jalan Gatot Soebroto, bertambah kemudian di jalan Wahid Hasyim, Menteng. Sedangkan untuk di Mamuju dan Palu, warung kopi Phoenam dikelola dalam bentuk bisnis waralaba (franchise). Pertengahan 2003, warung kopi Phoenam bekerjasama dengan radio Mercurius FM Makassar menggelar talkshow yang diberi nama “Obrolan Warung Kopi Phoenam”, yang membahas persoalan seputar publik Makassar secara khusus dan persoalan politik di Indonesia secara umum. Dengan kerjasama tersebut, maka semakin menguatkan posisi Phoenam sebagai ruang publik yang memiliki brand yang merintis ruang-ruang perbincangan dan perdebatan ala warung kopi di Makassar di era liberalisasi media.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
61
2.4.2
Ruang Publik Phoenam Makassar: Trend Setter Kontemporer di Makassar
Budaya Politik
Keberadaan warung kopi di Makassar sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Warung-warung kopi telah ada sejak jaman kolonial. Namun pasca reformasi 1998, fenomena warung kopi ini telah menjadi sesuatu yang baru dalam perkembangan budaya politik di Makassar, terutama setelah maraknya talkshow yang diadakan di warung-warung kopi. Warung kopi pun telah menjadi ruang publik politis bagi publik untuk menyampaikan aspirasinya terhadap jalannya proses pemerintahan di kota Makassar. Salah satu ruang publik yang menarik di Makassar adalah ruang publik Phoenam. Keberadaan ruang publik Phoenam, bukan sekadar tempat minum kopi atau kongkow-kongkow, namun telah menjadi ruang berinteraksinya informasi dan kepentingan, bahkan menjadi ajang debat publik dan “pertarungan ideologis” untuk mendapatkan penerimaan atas publik. Ruang publik Phoenam telah menjadi ruang bagi berbagai lapisan masyarakat, seperti di antaranya: politikus, intelektual, LSM, pejabat pemerintah, wartawan, dan pengusaha. Di samping talkshow yang diadakan secara intens dan reguler, ruang publik Phoenam menjadi ruang berinteraksinya para pengambil kebijakan dan tokoh-tokoh publik sehingga menjadi ruang pertarungan politis bagi kelompok yang berkepentingan dengan publik. Para pemburu berita menjadikan ruang publik Phoenam sebagai sumber pemberitaan untuk diliput dimedianya. Demikian pula para tokoh publik, politisi, memanfaatkan ruang publik Phoenam untuk menyampaikan pesan-pesan politiknya kepada masyarakat luas.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
62
Dengan demikian, kehadiran ruang publik Phoenam telah menjadi trendsetter ruang publik kontemporer di Makassar. Keberadaan ruang publik Phoenam telah memicu munculnya ruang-ruang publik baru. Ruang-ruang publik baru tersebut bukan saja sebagai kompetitor Phoenam dalam menggelar acara talkshow serupa tapi juga menjadi saingan “bisnis ruang publik” bagi Phoenam di Makassar. Dengan demikian, keberadaan Phoenam sebagai usaha bisnis dan sekaligus ruang publik di Makassar, maka keberadaannya pun tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari persaingan yang terjadi di antara warung-warung kopi lainnya yang ada di Makassar. Bagi Phoenam, maraknya fenomena warung kopi di Makassar merupakan motivasi bagi Phoenam untuk selalu menjaga dan meningkatkan kualitas produk dan pelayanannya. Bukan hanya mempertahankan produk dan pelayanan, Phoenam pun melebarkan sayap dan membuka cabang di beberapa tempat di Makassar. Selain itu, talkshow yang dilaksanakan di ruang publik Phoenam yang merupakan hasil kerja sama dengan Mercurius FM, adalah strategi yang efektif dalam merebut publik di Makassar. Namun demikian, bukan berarti Phoenam tidak memiliki saingan dalam membuka “ruang publik politis” dan usaha warung kopi di Makassar, tercatat beberapa ruang publik (warung-warung kopi) yang sering menjadi tempat tukar pikiran, tukar pendapat dan tukar kepentingan di Makassar, yang sekaligus juga menjadi kompetitor Phoenam yaitu di antaranya warung kopi Phoenam, Daeng Sija, Daeng Anas, Mappanyukki, Sipakarennu, Kopi Dottoro’, Kopi Ogi, Kafe Turbo, Kafe Rally, Kopi Zone, Kopi Tiam, Tongsang, Tujuh Samudra, Tenar, dan Short Tune.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
63
Pertarungan wacana tidak saja berlangsung antar warung kopi, stasiun radio, media cetak, tokoh publik, namun juga para pengunjung (misalnya politisi, tim sukses) warung kopi. Para tim sukses pasangan Pilkada menjadikan ruang-ruang publik sebagai ajang sosialisasi untuk menjual figur-figur jagoannya di ruang-ruang publik di Makassar. Hal ini menunjukkan bahwa ruang-ruang publik yang ada di Makassar menjadi “rebutan” para politisi dalam rangka menarik simpatisan konsumen demi kepentingan partai politiknya atau kandidatnya masing-masing.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
64
Bab 3 RUANG PUBLIK PHOENAM SEBAGAI BAGIAN DARI BUDAYA POLITIK KONTEMPORER MAKASSAR
3.1
Phoenam Makassar dan Pertarungan Ideologis Ruang Publik Ruang publik secara politis adalah ruang demokrasi bagi publik dalam
beraktifitas. Keberadaan suatu ruang publik dapat menggambarkan keadaan budaya politik yang tengah berkembang. Salah satu ruang publik yang menjadi trendsetter budaya politik kontemporer di Makassar dewasa ini adalah ruang publik Phoenam Makassar. Ruang publik Phoenam inilah yang menjadi representasi budaya politik Makassar. Budaya politik di ruang publik Phoenam tersebut melibatkan berbagai elemen publik di dalamnya seperti radio Mercurius, harian Fajar, Phoenam, tokohtokoh publik, dan pengunjung/komunitas Phoenam. Elemen-elemen publik ini berinteraksi satu sama lain, dan “bertarung” untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing menuju hegemoni. Sebagai pemrakarsa talkshow di ruang publik Phoenam, Mercurius berusaha mengonstruksi realitas ruang publik Phoenam Makassar dengan membentuk koalisikoalisi strategis dengan elemen publik lainnya seperti Phoenam dan tokoh-tokoh publik agar kepentingan-kepentingannya menuju hegemoni sebagai media unggulan yang diacu sebagai sumber berita, dapat tercapai. Konstruksi ruang publik dan kepentingan hegemoni Mercurius tersebut membuat ruang publik Phoenam
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
65
mengalami komodifikasi43, yang dapat “dinegosiasikan” dengan pihak-pihak yang menginginkan opini publik. Dalam proses komodifikasi ini, maka ruang publik pun ibaratnya menjadi “pasar” yang di dalamnya orang saling dapat “bernegosiasi” untuk harga sebuah “produk” ruang publik. Komodifikasi ruang publik Phoenam tersebut kemudian juga meminggirkan (marginalisasi) pihak-pihak yang tidak dapat memberikan keuntungan bagi Mercurius. Demikian pula dengan Phoenam, dengan menciptakan koalisi strategis bersama Mercurius dan komunitas Phoenam, maka akan mempermudah kepentingan hegemoni Phoenam menuju bisnis warung kopi yang memiliki brand di Makassar. Hegemoni Phoenam tersebut dilatarbelakangi semangat kapitalisme sebagai bentuk komodifikasi atas ruang publik Phoenam yang dapat dikomersialisasikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Sebagai salah satu elemen ruang publik Phoenam, media Fajar mengonstruksi realitas di ruang publik Phoenam dalam pembingkaiannya sendiri. Dalam rangka menuju hegemoni sebagai media acuan sumber berita, Fajar membentuk konsensus bersama dengan tokoh-tokoh publik agar memperoleh “nilai berita” terhadap realitas yang dikonstruksinya. Konstruksi dan konsensus yang dilakukan Fajar dalam ruang publik Phoenam merupakan suatu bentuk ekonomi politik atas ruang publik untuk mencapai kepentingan hegemoni Fajar. Dengan kata lain, Fajar mendefinisikan ruang
43
Komodifikasi merupakan proses yang menjadikan sesuatu (barang, kualitas, tanda) menjadi komoditas yang bertujuan untuk diperdagangkan, yang melibatkan semangat (kapitalisme) untuk mendapatkan keuntungan. (Barker, 2000: 382) (Barker, 2004: 28-29)
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
66
publik Phoenam Makassar sebagai komoditas yang memiliki “nilai berita” (nilai jual) sehingga persoalan-persoalan publik yang dibicarakan di ruang publik Phoenam (dianggap) layak untuk tampilkan sebagai berita dalam peliputan Fajar. Sementara bagi tokoh-tokoh publik, ruang publik Phoenam merupakan ruang pencitraan diri dan konstruksi realitas politik untuk memperoleh hegemoni penerimaan publik (public consent) dan opini publik (public opinion) atas gagasan politis yang tengah diperjuangkan, dan hal tersebut memerlukan negosiasi-negosiasi strategis dengan elemen-elemen publik lain dalam ruang publik Phoenam, termasuk dengan pengunjung Phoenam. Opini publik dan penerimaan publik inilah yang oleh diharapkan oleh tokoh-tokoh publik agar pesan-pesan politiknya dapat disetujui dan diterima oleh publik. Dalam konteks ini, ruang publik Phoenam dikooptasi sedemikian rupa oleh para tokoh publik untuk meraih kepentingan-kepentingan hegemoninya. Demikian juga kehadiran pengunjung/komunitas Phoenam di ruang publik Phoenam, mereka turut “meramaikan” pertarungan kepentingan tersebut. Dengan perjuangan kultural dan politisnya, para komunitas Phoenam membentuk koalisi strategis agar jalan mendekati kekuasaan hegemonik dapat dengan mudah diraih. Selain itu, kontestasi terhadap wacana hegemonik dan konstruksi identitas juga menjadi strategi politis pengunjung agar dapat mendekati kekuasaan, yang pada akhirnya akan cenderung mengooptasi ruang publik Phoenam untuk kepentingan masing-masing pengunjung.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
67
Dengan kompleksnya pertarungan kepentingan di ruang publik Phoenam Makassar, maka proses penciptaan makna terhadap ruang publik di Makassar pun menjadi politis dan ideologis, sehingga ruang publik yang dahulunya dilandasi oleh nilai-nilai tudang sipulung sebagai panduan berdemokrasi ala tradisi Bugis Makassar, maka kini dalam ruang publik kontemporer, keberadaan ruang publik Phoenam lebih banyak dikomodifikasi dan dikooptasi oleh setiap kepentingan elemen publik yang telah terdistorsi (kepentingan pribadi) untuk meraih hegemoninya masing-masing, sehingga perlahan-lahan nilai-nilai tudang sipulung sebagai ruang kultural masyarakat Bugis Makassar, mulai terkikis oleh representasi media dan pertarungan kepentingan dari setiap elemen-elemen publik yang telah menyimpang.
3.1.1
Kapitalisasi dan Komersialisasi Ruang Publik oleh Phoenam Warung kopi Phoenam mulai berdiri di Makassar pada tahun 1946. Pada awal
mulanya, Phoenam berada di daerah pelabuhan. Karena tergusur oleh perluasan pelabuhan, maka kemudian Phoenam pindah ke jalan Jampea, Makassar. Pada pertengahan 2002, Phoenam membuka cabang baru di daerah Panakukang Mas, dan di cabang yang baru inilah kemudian secara reguler diadakan talkshow. Talkshow tersebut merupakan kerjasama Phoenam dengan radio Mercurius FM Makassar yang diberi nama “Obrolan Warung Kopi Phoenam”, yang membahas persoalan seputar publik Makassar secara khusus dan persoalan sosial politik di Indonesia secara umum. Awal mula talkshow tersebut sebenarnya merupakan tawaran dari radio Mercurius yang kemudian langsung disambut baik oleh Phoenam.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
68
Kerjasama tersebut dianggap saling menguntungkan kedua belah pihak, yang di satu sisi, Mercurius sebagai penyelenggara kegiatan dapat melaksanakan programprogram acaranya, dan di sisi lain, Phoenam yang menyediakan tempat dapat memperoleh keuntungan dari hasil penjualan minuman dari acara talkshow tersebut, sebagaimana yang dituturkan Albert Liongady44, sebagai berikut: “.....Waktu itu, Mercurius, Pak A. Mangara menghubungi saya, katanya dia mau buat diskusi sebulan sekali, tapi akhirnya 2 kali sebulan, sekitar tahun 2002. Jadi kita kerjasama begitu saja, beliau yang buat acara, kita (Phoenam) hanya menyediakan minuman saja. Kita tidak pungut biaya lain....”. “...... Saya kira baik kerjasamanya, kita cuma menjual, Merkurius yang urus semuanya, ya...mungkin kita bisa tambah ramai kalau ada acara, jadi kita cuma terima hasil dari minuman saja (hasil penjualan)...” Bagi Phoenam, kerjasama tersebut merupakan strategi untuk meramaikan pengunjung warung kopinya dan diharapkan akan semakin dapat menguatkan hasil penjualan (modal) Phoenam sebagai pebisnis warung kopi di Makassar. Strategi kerjasama ini merupakan suatu bentuk konsensus atau strategi perang posisi (war of position) Phoenam menuju hegemoni bisnis warung kopi untuk memperebutkan pangsa pasar peminum kopi di Makassar, mengingat semakin banyaknya warungwarung kopi yang mulai bermunculan di Makassar sebagai pesaing bisnisnya seperti di antaranya warung kopi Daeng Sija, Dottoro’, Rally Café, Daeng Naba, dan Daeng Anas.
44
Hasil wawancara dengan Albert Liongady (pemilik warung kopi Phoenam)
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
69
Dari kerjasama dengan Mercurius inilah Phoenam mulai mengorganisir dirinya untuk membangun dan mempertahankan hegemoni di ruang-ruang publik di Makassar45. Selain dengan Mercurius secara khusus, Phoenam juga bekerjasama dengan Fajar, Mercurius, dan komunitas Phoenam46, rutin menggelar Turnamen Bulutangkis Phoenam Cup dalam rangka memperingati dan memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan RI47. Turnamen tersebut dikuti oleh pelanggang setia Phoenam beserta sejumlah wartawan media cetak dan elektronik yang sering mangkal di Phoenam dan juga bersama sejumlah profesional muda Makassar. Selain hadiah trofi dan uang tunai, disediakan juga hadiah hadiah berupa voucher menginap di Hotel Clarion dan Hotel Quality Makassar48. Hal tersebut dilakukan Phoenam untuk menarik perhatian pengunjung datang ke Phoenam, dan dengan bertambahnya jumlah pengunjung, maka otomatis akan menambah pula hasil pendapatan Phoenam. Acara-acara demikian, dapat dikatakan sebagai salah satu upaya Phoenam untuk memperluas hegemoninya di Makassar. Kegiatan tersebut sesungguhnya tidak saja sekedar meramaikan pengunjung Phoenam atau merayakan hari kemerdekaan, namun dapat menjadi media bagi Phoenam untuk membuat publik menerima prinsip, ide, atau nilai-nilai Phoenam sebagai milik mereka juga. Keberadaan komunitas 45
Perlu disampaikan bahwa pada awal mulanya Phoenam hanya memiliki satu warung kopi saja yaitu di jalan Jampea, namun setelah mengadakan kerjasama dengan Mercurius, perlahan-lahan Phoenam mulai membuka cabang di beberapa tempat di Makassar, hingga ke daerah-daerah, bahkan Phoenam berencana membuka cabang di Singapura. 46 Pengunjung setia Phoenam menamakan dirinya dengan sebutan komunitas Phoenam 47 Hasil penuturan dari Ibu Emilia, menantu Albert Liongady, yang mengelola warkop Phoenam di Boulevard Panakukang Mas, tempat berlangsungnya acara talkshow. 48 Lihat di www.tribun-timur.com/view.php?id=32778 (dipunggah 19 Agustus 2006)
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
70
Phoenam beserta program-program yang dilakukan, merupakan salah satu bentuk konsensus terinternalisasinya ide-ide atau prinsip-prinsip Phoenam yang dapat menjadi jalan rintisan atau semakin membuka peluang Phoenam menuju hegemoni bisnis warung kopi di Makassar. Dalam pandangan Gramsci, hal ini menunjukkan bahwa strategi menuju hegemoni dapat diraih tidak saja melalui usaha-usaha politis, namun juga melalui usaha-usaha yang bersifat kultural, seperti pertandinganpertandingan olah raga dan permainan-permainan (games) sebagaimana yang dilakukan oleh Phoenam Makassar. Suatu hal yang menarik dalam strategi perang posisi (war of position) Phoenam adalah upaya Phoenam memperhatikan suasana arus keterbukaan, kepentingan, dan kecenderungan publik Makassar, khususnya pascareformasi, untuk senantiasa berdialog dan berdiskusi dalam suasana yang non formal dan santai, yaitu dengan memfasilitasi ruang dan memberikan peluang terbuka kepada tokoh-tokoh publik atau komunitas-komunitas tertentu untuk mengadakan acara atau jumpa pers di Phoenam Makassar Penyediaan ruang berekspresi ini adalah suatu strategi yang dilakukan Phoenam untuk membangun pemahaman bersama mengenai peran sosial yang ingin dicitrakan Phoenam kepada publik Makassar, sebagai “ruang publik” yang dapat diakses oleh setiap kelompok atau individu yang ingin menyampaikan aspirasi atau gagasan-gagasannya secara bebas dan terbuka di ruang publik Phoenam, seperti yang diutarakan Nur Alim Djalil bahwa Phoenam telah memberikan kesempatan kepada publik Makassar untuk memanfaatkan Phoenam sebagai tempat untuk berdialog, atau
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
71
berdiskusi49. Penuturan tersebut mengindikasikan strategi perjuangan ideologis dan kultural Phoenam dalam rangka menuju hegemoni bisnis warung kopi di Makassar. Strategi yang ditempuh Phoenam dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan publik dalam hal ini tokoh-tokoh publik dan pengunjungnya, dan mempertemukan dengan kepentingannya sendiri (lokal), dalam bahasa Gramsci, merupakan suatu organisasi konsensus (persetujuan) yang melibatkan bukan hanya kepentingan lokal, melainkan juga konsensus-konsensus dengan beragam kelompok, agar bisa mewakili semua kelompok dan kekuatan sosial yang lebih besar. Sebagai usaha swasta di bidang usaha warung kopi, bagaimanapun juga keberadaan Phoenam tidak terlepas dari logika yang beroperasi dan berorientasi pada keuntungan atau dengan kata lain pada logika akumulasi modal (logika pasar). Oleh karena itu, strategi-strategi maupun negosiasi-negosiasi yang dilakukan Phoenam terhadap kepentingan publik di dalam ruang publik Phoenam sesungguhnya merupakan
upaya kapitalisasi dan komersialisasi ruang publik. Ruang publik
Phoenam menjadi media pengumpulan kapital (akumulasi modal) dengan cara dikomersialisasikan
untuk
mendapatkan
keuntungan
sebanyak-banyaknya.
Sebagaimana yang dituturkan Albert Liongady secara tersirat: “....Saya kira baik kerjasamanya, kita cuma menjual, Mercurius yang urus semuanya, ya...mungkin kita bisa tambah ramai kalau ada acara, jadi kita cuma terima hasil dari minuman saja (hasil penjualan)...” “... kita cuma sediakan tempat, kita cuma terima hasil dari pembelian kopi saja”.
49
Hasil wawancara dengan Nur Alim Djalil pada 21 Maret 2007
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
72
Penuturan tersebut mengindikasikan bahwa motif ekonomi dalam bentuk kapitalisasi (akumulasi modal) dan komersialisasi turut membungkus berbagai kesepakatan-kesepakatan dan pertarungan ideologis di ruang publik Phoenam, yang kebetulan salah satu pelakunya adalah Phoenam sendiri sebagai pemilik warung kopi Phoenam Makassar beserta koalisi-koalisinya. Dengan demikian, sesungguhnya keberadaan Phoenam sebagai salah satu bagian dari ruang publik Phoenam di ruang publik kontemporer dewasa ini di Makassar sebenarnya telah menghidupkan kembali suasana tradisi “duduk bersama” (tudang sipulung) yang ada dalam tradisi berdemokrasi ala Bugis Makassar, namun karena berada dalam era persaingan ketat kapitalisme global, maka hal tersebut membuat Phoenam untuk terus ikut berkoalisi dan bernegosiasi dengan berbagai elemen publik lainnya seperti media, tokoh publik, pencari berita, dan pengunjung Phoenam, agar dapat menuju hegemoni bisnis warung kopi yang memiliki brand di kota Makassar. Hal ini yang kemudian membuat kondisi-kondisi tudang sipulung budaya politik tradisional Bugis Makassar mengalami perubahan struktural sebagaimana yang disinyalir Habermas mengenai perubahan struktural di ruang publik dewasa ini. Tudang sipulung di warung kopi Phoenam tidak lagi mempersoalkan problem keseharian masyarakat dan mencari solusinya, namun menjadi cenderung “warung politik” bagi publik untuk mengekspresikan kepentingan-kepentingan publiknya (yang telah terdistorsi) terhadap proses penyelenggaraan politik dan kehidupan sosial di Makassar.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
73
Jika dalam ruang kultural tradisional yang dipentingkan adalah nilai-nilai “harga diri” (Siri’) yang menjadi nilai penggerak tudang sipulung di masa lalu, maka dalam tudang sipulung di ruang publik Phoenam saat ini, yang menjadi nilai utama adalah nilai ekonomis warung kopi Phoenam, sebagaimana yang telah dipaparkan pemilik Phoenam sebelumnya bahwa yang dipentingkan adalah “harga kopi” Phoenam atau dengan kata lain yang menjadi prioritas adalah “hasil penjualan” makanan dan minuman di Phoenam. Kapitalisasi dan komersialisasi Phoenam tersebut dalam masa kini memperlihatkan bagaimana nilai-nilai tradisi tudang sipulung telah tercemari oleh kepentingan bisnis Phoenam sehingga keberadaan Phoenam cenderung menjadi nilai komoditas
bagi pemiliknya. Dengan komodifikasi tersebut, maka ada tongeng
(kebenaran)50, lempu’ (kejujuran), sipakatau (saling menghargai) sebagai kondisikondisi otentik tudang sipulung yang pernah dialami masyarakat dalam budaya politik tradisional Bugis Makassar, cenderung menjadi “slogan” dan “lipstick” saja, sebab yang berlaku adalah bagaimana mendapatkan keuntungan yang sebanyakbanyaknya tanpa memprioritaskan atau mementingkan lagi perubahan kultural ruang publik yang tengah terjadi. Hal inilah yang turut menjadi keprihatinan Habermas melihat perubahan-perubahan struktural di ruang publik yang ditengarainya sebagai ruang publik tidak otentik.
50
Kebenaran yang dimaksud di sini adalah kebenaran yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, tanpa ada yang disembunyikan, dan mencerminkan persoalan publik yang sesungguhnya. Sedangkan “kebenaran “ yang ada dalam ruang publik kontemporer, hanya berasal dari sudut pandang kelompok tertentu saja, misalnya kebenaran elit, kebenaran Mercurius dsb.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
74
3.1.2
Komodifikasi dan Marjinalisasi Ruang Publik oleh Mercurius Sejak runtuhnya rejim otoriter Orde Baru, ruang-ruang publik yang dahulunya
terbelenggu dan terdikte oleh berbagai kepentingan penguasa (negara), perlahanlahan mulai terbuka dan dapat diakses oleh berbagai elemen publik. Namun iklim keterbukaan dan kebebasan tersebut justeru membawa kembali ruang-ruang publik ke belenggu baru, yaitu belenggu kekuatan pasar (kapitalisme). Hal inilah yang kemudian membuat ruang publik kontemporer terkomodifikasi dan termajinalisasi oleh pertarungan-pertarungan kepentingan pribadi elemen publik di ruang publik Phoenam kontemporer di Makassar. Di Makassar, muncul trend diskusi-diskusi dan talkshow di warung kopi. Kecenderungan ini mulai terasa sejak tahun 2003. Talkshow-talkshow di ruang publik ala warung kopi pun mulai muncul satu persatu. Hal ini merupakan gejala mulai timbulnya semangat publik untuk menyampaikan berbagai hal yang terkait dengan proses bernegara dan bermasyarakat di Makassar maupun di Indonesia Hal yang menarik dari talkshow di ruang publik tersebut adalah bahwa talkshow-talkshow tersebut banyak dimediasi oleh lembaga-lembaga penyiaran, dalam hal ini stasiun radio. Salah satu lembaga penyiaran yang secara reguler dan konsisten mengadakan talkshow di ruang publik ala warung kopi adalah radio Mercurius FM Makassar. Radio Mercurius merupakan pionir dalam penyelenggaraan talkshow di ruang publik ala warung kopi di Makassar sebab radio inilah yang pertama-tama membuka perbincangan di warung kopi dengan melibatkan berbagai elemen publik seperti tokoh-tokoh publik dan media cetak, yang dan kemudian acara
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
75
serupa mulai ditiru oleh beberapa stasiun radio yang lain. Untuk acara talkshow tersebut, Mercurius melakukan kerjasama dengan warung kopi Phoenam Makassar. Talkshow, yang diberi nama Obrolan Warung Kopi Phoenam, dilaksanakan secara periodik yaitu 2 kali dalam sebulan yang dimulai sejak 2003. Warung kopi Phoenam yang dahulunya hanya sebagai tempat minum kopi, kongkow-kongkow (kumpul-kumpul), atau obrolan lepas dari berbagai elemen publik, kini diformat menjadi “ruang publik politis” yang terorganisir dan didefinisikan oleh Mercurius dan koalisi-koalisinya, sehingga keberadaan ruang publik Phoenam berubah menjadi ruang komodifikasi Mercurius. Komodifikasi Mercurius tersebut atas ruang publik Phoenam berdampak pada termarjinalisasinya “publik yang lain” (the other public), yaitu kelompok-kelompok yang tidak mampu “membeli” jam tayang acara publik (talkshow) di ruang publik Phoenam Makassar. Menurut pandangan dari Mercurius yang diwakili oleh produser program acara talkshow di ruang publik Phoenam, Reihan Wahyudi, mengatakan bahwa ide awal pelaksanaan talkshow tersebut adalah keinginan Mercurius untuk menjalankan fungsi publiknya, yaitu membuka (mengonstruksi) ruang-ruang perbincangan dan perdebatan di ruang publik, yang sifatnya santai namun bermanfaat dan terbuka untuk umum51. Seperti penuturan Reihan sebagai berikut: “Awalnya itukan kita ada ide, eh....sebagai fasilitator untuk pelayanan publik, membicarakan banyak hal di suatu tempat yang orang bisa santai tetapi ada tujuan komunikasi yang bisa diteruskan baik kepada pemerintah kota, pengusaha jasa atau lembaga-lembaga politik.
51
Hasil wawancara dengan Reihan Wahyudi di Makassar pada Jumat, 2 Maret 2007 pukul 10.00 Wita
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
76
Nah setelah kita diskusikan tempat-tempat mana, apakah di hotel, ataukah sewa tempat, ternyata kita amati kecenderungan, ternyata ada tempat yang bisa mengumpulkan berbagai profesi, berbagai kalangan, dan itu warung kopi. Cuma karena segmen Merkurius adalah segmen menengah ke atas, maka kita bidik warung kopi yang segmen menengah ke atas juga. Kebetulan pada waktu itu warkop Phoenam, warkop phoenam itu identik dengan warkop yang sudah cukup lama di Makassar, baru buka cabang di Pengayoman (Panakukang Mas), maka kita coba-cobalah menggagas obrolan warung kopi Merkurius di warkop Phoenam”. Pemaparan Reihan tersebut mengandaikan, pertama, upaya Mercurius dalam menjalankan fungsi publiknya sebagai bentuk kontrol sosial terhadap pemerintah. Kedua, warung kopi diformat menjadi “ruang publik politis” untuk membicarakan berbagai persoalan, dan ketiga, perlunya keterlibatan langsung Mercurius terhadap persoalan publik tersebut dalam ruang publik. Hal ini tentu saja dapat menjadi nilai tersendiri Mercurius bagi ruang publik di Makassar. Namun jika melihat politik ekonomi Mercurius, hal ini dapat berimplikasi terhadap terkomodifikasinya ruang publik Phoenam atas kepentingan Mercurius tersebut. Dengan demikian, apa yang sebenarnya ingin direpresentasikan Mercurius melalui Reihan Wahyudi, adalah bahwa antara kepentingan Mercurius yang disebutnya sebagai “fasilitator untuk pelayanan publik”, dengan konstruksi sosial ruang publik di ruang publik Phoenam, secara internal dan politis merupakan upayaupaya untuk menjadi “hero” bagi kepentingan publik, dan mendekat dengan pengambil keputusan/kebijakan (kekuasaan). Sebab dari hasil talkshow yang dilakukan, menurut penjelasan lebih lanjut dari Reihan Wahyudi, kemudian dibuat rekomendasi-rekomendasi untuk diteruskan kepada pihak yang terkait dengan diskusi tersebut. Hal itu berarti bahwa Mercuriuslah yang secara langsung, atas nama publik,
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
77
memberikan catatan-catatan (reports) atas kinerja para decision maker dalam berbagai bidang sosial, budaya, politik, maupun ekonomi di Makassar. Dengan demikian, hal tersebut akan memberikan peluang lebih besar kepada Mercurius untuk memiliki akses menuju kekuasaan, dan dari hal tersebut pula dapat memberi peluang “negosiasi” terhadap kekuasaan (pasar maupun pemerintahan). Dominannya
keterlibatan
pejabat
publik
(seperti
anggota
dewan,
pejabat
pemerintahan) dalam talkshow di Phoenam merupakan salah satu bukti “negosiasi” antara Mercurius dengan pejabat publik. Preferensi Phoenam sebagai tempat untuk membuka ruang-ruang diskusi, tak lepas dari keberadaan Phoenam yang telah mentradisi dan memiliki reputasi yang baik di Makassar52. Dengan mengadakan kerjasama dan koalisi dengan Phoenam, berarti Mercurius juga ingin mengooptasi reputasi dan identitas yang dimiliki Phoenam, sehingga Mercurius dapat mengukuhkan hegemoninya sebagai stasiun radio (media) yang leading dalam membuka ruang-ruang diskusi publik. Seperti yang disampaikan oleh A. Mangara Taddampali, selaku moderator talkshow di ruang publik Phoenam53: “Ini warung kopi yang pertama dan punya brand saya kira, jadi kita saling “menunggangi“ dalam arti yang positif, dia sudah punya brand, Merkurius sudah punya brand, kita buat sama-sama menguatkan posisi, akhirnya jumlah pengunjung Phoenam juga meningkat, kemudian brand makin baik, Merkurius juga jumlah pendengarnya makin baik (banyak) dan acaranya makin di minati, dan akhirnya pendidikan politik berjalan”.
52 53
Lihat www.kontan-online.com dan www.cybertravel.cbnnet.id/detilhit.asp?kategori=place Hasil wawancara dengan A. Mangara Taddampali
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
78
Pemaparan A. Mangara tersebut menunjukkan secara tidak langsung konstruksi hegemoni yang ingin dikukuhkan Mercurius lewat acara program talkshow dan kerjasamanya dengan Phoenam. Konstruksi hegemoni yang dimaksud adalah yaitu
bagaimana
penguatan
posisi
Mercurius
dalam
kancah
pertarungan
lembaga/media penyiaran di Makassar pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya, menuju media unggulan yang diacu sebagai sumber berita. Di sinilah kemampuan Mercurius dalam mereposisi dirinya untuk terus menciptakan aliansi dan koalisi dengan Phoenam dalam rangka membangun hegemoninya menuju media terdepan. Dengan menggandeng Phoenam sebagai koalisi, diharapkan akan tercipta brand yang lebih baik terhadap identitas Mercurius. Dalam bahasa Gramsci, koalisi dengan Phoenam yang dilakukan Mercurius merupakan upaya “perang posisi” (war of position) dalam rangka memperebutkan hegemoni di ruang-ruang publik di Makassar. Selain berkoalisi dengan Phoenam, Mercurius juga bekerjasama dengan publik melalui undangan partisipasi publik (koalisi dengan publik) lewat berbagai kelompok sosial (intelektual, politikus, ekonom, budayawan, agamawan, kalangan pemerintah, dsb) baik secara perseorangan maupun kelompok untuk terlibat dalam acara talkshow Mercurius. Partisipasi publik disini ada dua: pertama, sebagai narasumber talkshow, baik sebagai narasumber perseorangan (seperti kelompok intelektual dan pengamat) ataupun narasumber yang mewakili publik (seperti anggota dewan pejabat pemerintah, dsb), dan kedua, sebagai peserta talkshow (baik sebagai peserta undangan ataupun sekadar pengunjung).
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
79
Sebagaimana yang dikemukakan Reihan Wahyudi sebelumnya bahwa peranan Mercurius terhadap publik adalah sebagai fasilitator pelayanan publik dengan cara mengundang unsur-unsur publik untuk membicarakan persoalan publik. Undangan partisipasi “publik” ini lewat mediasi ruang publik Phoenam dan Mercurius, yang dalam pandangan Gramsci sesungguhnya merupakan strategi negosiasi untuk mendapatkan persetujuan (consent) dari kekuatan kelompok lain dengan cara menciptakan ruang partisipasi publik dan mempertahankan sistem kerjasama dengan “publik” melalui perjuangan politik dan ideologis. Dengan kata lain Mercurius “memanfaatkan” publik (tokoh/elit publik) untuk memperoleh public consent atas kepentingan yang sedang diperjuangkan. Hal tersebut dilakukan Mercurius sebagai bentuk perang posisi untuk memperkuat hegemoninya sebagai media yang unggul dalam memediasi kepentingan publik. Undangan partisipasi publik ini diharapkan (dapat) membentuk opini publik terhadap peran Mercurius dalam menjembatani kepentingan publik sebagai media yang dianggap “bersimpati” terhadap permasalahan publik, dan tentu saja hal ini akan menguntungkan Mercurius sebab secara langsung maupun tidak, akan membuka jalan bagi Mercurius untuk bernegosiasi dengan pihak yang “merasa” berkepentingan dengan pembentukan opini publik, diantaranya seperti politisi, pemerintah, dan sebagainya, yang pada akhirnya akan terbangun hegemoni Mercurius di ruang-ruang publik Makassar, dan negosiasi ini akan terus berlangsung mengingat munculnya kompetitor Mercurius di ruang-ruang penyiaran di ruang publik Makassar.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
80
Sebagai radio swasta, radio Mercurius FM Makassar bagaimanapun juga adalah suatu institusi bisnis yang beroperasi pada logika akumulasi modal. Oleh karena itu, idealisme yang dilakukan radio Mercurius dengan membuka ruang-ruang diskusi di ruang publik Phoenam akan dibatasi oleh fakta eksistensi dirinya sebagai intitusi komersial dalam sebuah struktur ekonomi politik yang memiliki logika, dogma dan kaidah tersendiri. Hal tersebut terungkap lewat pengakuan, Reihan Wahyudi, yang mengatakan bahwa pihak-pihak tertentu (kelompok kepentingan) seperti politisi, pengusaha, perusahaan, LSM, dan lainnya, sering meminta Mercurius untuk memfasilitasi mereka dalam menggelar talkshow di ruang publik Phoenam. Permintaan talkshow tersebut tentu saja dibuat dalam bentuk kerjasama tertulis yang melibatkan transaksi finasial di dalamnya. Seperti yang diutarakan Reihan Wahyudi soal keterlibatan pihak-pihak lain dalam program talkshow di ruang publik Phoenam dan bentuk kerjasama yang terjadi di antara Mercurius dan pihak tersebut. Berikut petikan penjelasannnya: “Ya, Pak, kita mau adakan talkshow seperti ini, ok, kita siarkan secara langsung ok, kita sediakan tempat ok, siapa yang sediakan nara sumber, kamu atau saya, nara sumbernya ini, ok…” “LSM ada, organisasi bisnis juga ada, properti ada....” Dari partai juga ada, hampir semualah ada kerjasamanya....” “Oh iya, harus tertulis karena bagaimanapun ini bisnis kan, ada pay before broadcast, bayar dulu sebelum kita siaran”.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
81
Pernyataan-pernyataan Reihan tersebut menyiratkan secara langsung bahwa penyelenggaraan talkshow di ruang publik Phoenam ternyata “dapat dipesan dan dibeli” oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki modal berdasarkan kesepakatan antara Mercurius dengan pihak yang berkepentingan dengan publik dalam rangka menciptakan penerimaan publik (public consent) atas kepentingan-kepentingannya. Hal ini tentu saja akan memberikan keuntungan finansial kepada Mercurius sebagai penyelenggara acara.
Sebenarnya pengakuan Mercurius tersebut
secara implisit
mengindikasikan bahwa “permintaan” talkshow tidak semata-mata berasal dari inisiatif pihak luar (eksternal) saja (kelompok kepentingan), namun hal tersebut juga berasal dari “penawaran” Mercurius (internal) terhadap pihak-pihak
yang
menginginkan pesan-pesan politiknya disampaikan ke publik. Selain itu, karena acara talkshow tersebut juga disiarkan live melalui radio, maka diharapkan berimplikasi terhadap terdongkraknya rating pendengar dan acara radio Mercurius terhadap publik pendengarnya sebagai media penyiaran. Hal tersebut akan dapat memberi kesan baik dan positif terhadap Mercurius sebagai radio yang peduli dengan nasib publik, Dengan terdongkraknya rating Mercurius, maka perlahan-lahan iklan-iklan radio juga akan masuk ke dalam acara talkshow, dan hal ini akan berdampak pada peningkatan penghasilan radio Mercurius. Dengan demikian, logika akumulasi modal yang turut melatarbelakangi acara talkshow Mercurius tersebut, kemudian akan berdampak pada komodifikasi ruang publik Phoenam oleh Mercurius. Ruang publik Phoenam diandaikan sebagai sebuah
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
82
“pasar” yang menjadi pusat “transaksi” atas harga suatu “produk” ruang publik yang diinginkan oleh elemen publik. Sebagai ilustrasi, ketika pemerintah kota Makassar hendak menyampaikan gagasannya kepada masyarakat luas mengenai logo (tag line) kota Makassar, “Makassar Great Expectation”, pemerintah kota memanfaatkan mediasi talkshow radio Mercurius di ruang publik Phoenam sebagai media pengirim (sender) pesanpesan
politik pemerintah. Talkshow tersebut merupakan upaya pemerintah kota
Makassar dalam membentuk opini publik terhadap wajah kota Makassar. Upaya penciptaan penerimaan publik (public consent) akan program pemerintah kota Makassar tersebut lewat talkshow di ruang publik Phoenam sesungguhnya merupakan upaya-upaya penetrasi negara dan pasar ke dalam ruang-ruang publik di Makassar, yang dimediasi oleh media Mercurius. Mengenai “tarif pasar” yang ditetapkan Mercurius dalam menggelar acaraacara talkshownya di ruang publik Phoenam, Andi Mangara, moderator talkshow, memberikan pemaparan sebagai berikut: “Ya, kita sebagai event organiser juga, dimediasi saja apa topiknya, jika cocok, program kita terima dan kalau tidak, maka kita tolak....” “Ya, bayar, misalnya untuk pengudaraan dua jam, kita ada range, ada harganya, sejam itu....dua setengah, jadi kalau dua jam itu, lima juta, untuk air time-nya”. Dari pernyataan A. Mangara tersebut secara eksplisit disebutkan bahwa pengudaraan siaran langsung talkshow di ruang publik Phoenam dapat dimediasi oleh Mercurius dengan tarif tertentu. Hal ini tentu saja akan memberikan peluang kepada
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
83
pihak-pihak yang memiliki modal (uang) atau yang merasa berkepentingan dengan publik untuk mengakses ruang publik Phoenam lewat mediasi radio Mercurius. Bagi pihak-pihak tersebut, peluang tersebut merupakan upaya untuk membentuk opini publik
(public
opinion)
atas
kepentingan-kepentingan
publik
yang
ingin
diperjuangkannya, dan sebaliknya bagi Mercurius, hal tersebut akan menambah pendapatan finansial perusahaannya. Yang menjadi ambigu adalah ketika sebuah persoalan yang diklaim sebagai kepentingan “publik”, kemudian mengalami distorsi akibatnya bercampurnya kepentingan, antara kepentingan publik (individu/kelompok) dengan kepentingan pribadi dari publik tersebut. Dengan kata lain, klaim atas publik tersebut dapat menjadi kedok atas kepentingan pribadi/kelompok yang tersembunyi di dalamnya. Begitu pun dengan kepentingan Mercurius, sebagaimana yang telah dinyatakan sebelumnya bahwa peranan Mercurius merupakan fasilitator publik dalam menyampaikan aspirasi publik terhadap pengambil keputusan, hal ini dapat menjadi distorsi akibat bercampurnya kepentingan ekonomi politik Mercurius dengan kepentingan publik yang difasilitasinya. Klaim “fasilitator publik” dapat menjadi bias dan kedok dari Mercurius sebagai lembaga swasta (komersial) dan kepentingan Mercurius yang sesungguhnya Hal lain yang patut dicermati dari pemaparan A. Mangara di atas adalah kecenderungan Mercurius untuk menyeleksi pihak-pihak mana yang ingin ditampilkan sebagai representasi publik (tokoh publik) dalam acara talkshownya dan pihak-pihak mana yang ingin ditolak. Pemilihan atau penolakan tersebut tentu saja
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
84
didasarkan kepada kepentingan-kepentingan Mercurius sendiri, sebagaimana yang diungkapkan A. Mangara mengenai “penyeleksian” representasi publik tersebut: “....... Ya, kita sebagai event organiser juga, dimediasi saja apa topiknya, jika cocok, program kita terima dan kalau tidak, maka kita tolak....” Penuturan tersebut mengindikasikan bahwa penerimaan ataupun penolakan Mercurius atas permintaan acara talkshow oleh suatu kelompok didasarkan pada “kecocokan” antara Mercurius dengan kelompok tersebut. Faktor kecocokan disini dapat berimplikasi politis kepada sejauh mana “kepentingan” kedua belah pihak dapat terakomodasi. Di sinilah fungsi politik Mercurius lebih dominan, dan gagal dalam menjalankan fungsi publiknya karena adanya negosiasi kepentingan antara Mercurius dengan kelompok yang menginginkan jam tayang talkshow di ruang publik Phoenam. Dengan adanya faktor kecocokan dalam penyeleksian ini, maka akan berpengaruh pada peluang setiap unsur publik untuk mengakses talkshow di ruang publik Phoenam. Dengan demikian, hal ini tidak saja dapat menampilkan atau menonjolkan wacana-wacana yang dianggap (dapat) menjadi isu “perbincangan dan kepentingan publik” oleh
Mercurius, tapi secara tidak langsung juga akan
meminggirkan atau bahkan mengeliminir “wacana-wacana” yang dianggap tidak menarik untuk menjadi isu “perbincangan dan kepentingan publik”. Dengan kata lain, pengertian wacana “publik” atau “bukan publik”, akan lebih banyak didefinisikan oleh kepentingan-kepentingan politis Mercurius sebagai mediator talkshow di ruang publik Phoenam, dan di sinilah pertarungan ideologis sekaligus negosiasi Mercurius berlangsung terhadap elemen-elemen publik mana yang diterima sebagai publik dan
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
85
unsur mana yang ditolaknya sebagai publik. Penerimaan maupun penolakan tersebut tentu saja disesuaikan dengan kepentingan ideologis radio Mercurius. Disinilah kegagalan Mercurius menjalankan fungsi publiknya, dan lebih cenderung kepada fungsi politiknya. Dengan demikian, otomatis representasi publik melalui tokoh-tokoh publiknya akan lebih banyak diwakili oleh kelompok-kelompok atau pihak-pihak yang hanya memiliki modal (uang) besar, atau hanya dikehendaki oleh Mercurius, akibat dari komodifikasi ruang publik Phoenam, sedangkan representasi publik yang “lain” (the other) seperti kelompok-kelompok minoritas yang tidak bermodal, diantaranya kelompok gelandangan, pengemis, masyarakat miskin, buruh, dan sebangainya, kepentingan-kepentingannya tidak akan terekspresikan atau tersuarakan di dalam ruang publik Phoenam atau akan menjadi pihak-pihak yang mengalami marginalisasi (terpinggirkan) di dalam ruang publik Phoenam, dan kalaupun representasi publik yang “lain” ini dibicarakan, maka keberadaan mereka akan lebih banyak dipolitisir untuk kepentingan elit saja, agar menimbulkan sensasi keprihatinan publik, yang pada akhirnya akan menguntungkan kelompok-kelompok elit saja. Melihat peranan dan kiprah Mercurius tersebut di ruang publik Phoenam Makassar, di satu sisi, radio Mercurius FM Makassar telah menjalankan fungsi ruang publiknya yaitu membuka dan menjembatani ruang-ruang perbincangan dan perdebatan publik di ruang publik Phoenam, namun di sisi lain, karena berada pada era liberalisasi media yang membutuhkan kemampuan bersaing yang kuat, maka Mercurius terus berusaha keras agar tetap (dapat) “survive” di dunia industri media,
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
86
akibat kerasnya persaingan di dalam era kapitalisme dan liberalisasi media tersebut, sehingga konsekuensi logis dari persaingan antar media tersebut, memicu Mercurius untuk selalu membuat konsensus-konsesus (perang posisi) dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan pembentukan opini publik. Dengan demikian, jika melihat permasalahan ruang publik di Sulawesi Selatan pada umumnya dan di Makassar pada khususnya dewasa ini, tampak jelas bahwa telah terjadi perubahan yang prinsipil pada kondisi-kondisi ruang publik di Makassar. Jika pada ruang kultural tradisional Bugis Makassar, kondisi-kondisi tudang sipulung sebagai representasi ruang politis yang dilandasi nilai-nilai, di antaranya seperti nilai ada tongeng (perkataan benar/kebenaran), lempu’ (kejujuran), getteng (ketegasan), dan sipakatau (saling menghargai) menjadi dasar rasionalisasi jalannya demokrasi dalam masyarakat tradisional Bugis Makassar, yang karakternya oleh Habermas dianggap sebagai representasi ruang publik otentik, maka pada ruang publik kontemporer di Makassar dewasa ini, khususnya pada ruang publik Phoenam, logika komodifikasi dan marginalisasi politiklah yang menjiwai semangat Mercurius dalam menjalankan fungsi publiknya, sehingga proses yang berlangsung bukan lagi berjalan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi maksimal, melainkan proses konstruksi politis dan negosiasi-negosiasi politis antara kepentingan Mercurius dengan koalisi-koalisinya. Hal inilah yang disinyalir oleh Jurgen Habermas sebagai ruang publik tidak otentik yang menandai perubahan struktural ruang publik di Makassar dewasa ini.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
87
Jadi, dengan adanya pertarungan konsensus dan koalisi kepentingan Mercurius tersebut, maka ruang publik Phoenam mengalami distorsi akibat bercampurnya kepentingan pribadi Mercurius dengan kepentingan publik yang difasilitasinya, dan hal ini yang membuat ruang kultural tudang sipulung yang ada dan dialami oleh masyarakat Bugis Makassar pada masa lampau, kemudian tergantikan oleh ruang publik kontemporer yang dimediasi oleh media. Kondisikondisi tudang sipulung dalam ruang kultural tradisional yang tadinya berlandaskan nilai-nilai adat Bugis Makassar, kini tidak lagi menjadi dasar dalam berkomunikasi (berdemokrasi) dalam ruang publik politis di Makassar dewasa ini, melainkan berlandaskan pada negosiasi-negosiasi kepentingan. Pertarungan kepentingan inilah yang kemudian perlahan-lahan mengubah struktur kondisi-kondisi ruang kultural tradisional Bugis Makassar menjadi ruang komodifikasi oleh kepentingan Mercurius, dan bentuk komodifikasi ini pun cenderung menjadi ciri khas ruang publik kontemporer di era mediasi dewasa ini. Begitu pun perbincangan publik lewat talkshow Mercurius di ruang publik Phoenam tidak lagi didasarkan pada prinsip ada tongeng (kebenaran) untuk mengungkap persoalan masyarakat pinggiran, prinsip lempu’ (kejujuran) untuk memberitakan fakta apa adanya tanpa ada yang disembunyikan, dan prinsip sipakatau (saling menghargai/penghargaan terhadap sesama) untuk melibatkan semua unsur masyarakat termasuk masyarakat pinggiran, sebagaimana yang berlangsung pada ruang publik tradisional tudang sipulung, melainkan diatur sedemikian rupa oleh kesepakatan-kesepakatan
Mercurius.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
Topik-topik
pembicaraan
tidak
lagi
88
mencerminkan realitas persoalan publik Makassar yang luas dan sesungguhnya, melainkan dikonstruksi “untuk dan hanya” membicarakan segelintir kepentingan elit pemerintah atau elit politik saja, yang kemudian diklaim sebagai kepentingan publik. Persoalan publik Makassar tidak lagi bersumber dan dibicarakan oleh elemen publik yang mengalami permasalahan tersebut dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang berlangsung dalam ruang kultural tudang sipulung, tetapi lebih banyak disuarakan oleh Mercurius sebagi mediator pelayanan publik, dan akibatnya kebenaran (ada tongeng) dan ketegasan kepada kebenaran (getteng’) serta keberpihakan kepada orang banyak (tenrusa taro to mega-E) bukan menjadi prioritas utama tetapi menjadi simulasi dan diatur untuk kepentingan Mercurius dan koalisikoalisinya. Nilai-nilai utama ruang kultural tudang sipulung yang sebelumnya merupakan ruang komunikasi bagi masyarakat Bugis Makassar untuk menyampaikan aspirasinya secara demokratis ke pemerintah (penguasa), perlahan-lahan semakin meluntur dan tergantikan oleh ekonomi politik media di ruang-ruang publik kontemporer di Makassar sehingga proses komunikasi yang berlangsung tidak lagi terjalin secara rasional, fair, kritis, sehat, dan demokratis seperti yang berlangsung pada ruang publik tradisional, tetapi telah berubah menjadi ruang pertunjukan dan ruang pertarungan kepentingan yang telah terdistorsi, dan hal inilah yang dimaksudkan Habermas sebagai “refeudalization” ruang publik di era mediasi dewasa ini.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
89
3.1.3
Ekonomi Politik Ruang Publik oleh Fajar Sejak dilaksanakannya talkshow di Phoenam, berbagai elemen publik turut
membentuk ruang publik Phoenam, di antaranya dari kalangan media cetak. Para pencari berita sering menjadikan Phoenam sebagai tempat untuk mencari berita dan informasi untuk kepentingan medianya. Salah satu media cetak yang intens memuat hasil-hasil talkshow, kegiatan-kegiatan komunitas, atau hal-hal seputar konferensi pers yang dilakukan di Phoenam adalah media lokal harian Fajar Makassar. Ruang publik Phoenam merupakan sumber informasi bagi Fajar khususnya dan media-media lain pada umumnya. Informasi yang berkembang di Phoenam dapat menjadi sumber berita atau background ide bagi Fajar untuk dikembangkan lebih jauh menjadi suatu liputan besar. Dengan kata lain, ruang publik Phoenam merupakan sumber “bahan mentah” bagi Fajar untuk mendapatkan bahan berita. Sebagaimana yang diungkapkan wakil pemimpin redaksi Fajar, Nur Alim Djalil, bahwa54: “Pertama, kita melihat selain daripada tempat itu sendiri sebagai sarana transit masyarakat, yang bukan saja untuk santai dan minum kopinya ya, tetapi kita melihat bahwa di sana, ternyata tumbuh komunitas-komunitas diskusi dan bagi kita Fajar, melihat ini merupakan sumber berita yang menarik karena banyak isu-isu, banyak pemikiran-pemikiran yang menarik baik itu di tingkat lokal, entah nasional, bahkan internasional, yang berkembang di situ...” “Bagi kalangan pers, seperti Fajar misalnya, pembicaraan-pembicaraan warkop itu merupakan sebagai background ide bahwa ada yang diberitakan seperti ini tentang ini. Itu yang menjadi dasar kami untuk mengetahui dan menyelidiki lebih jauh, ada sih isu yang kita dapatkan di sana yang memang benar kenyataanya seperti itu, namun ada juga yang sama sekali isu yang hanya berkembang di situ, dengan bukti yang masih sangat sulit kita dapatkan.”
54
Hasil wawancara dengan Nur Alim Djalil di Makassar pada 21 Maret 2007
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
90
Pernyataan Nur Alim Djalil tersebut secara implisit menunjukkan bahwa keberadaan ruang publik Phoenam merupakan sumber berita sekaligus langkah awal bagi Fajar untuk mengadakan investigasi mendalam terhadap hubungan-hubungan kekuasaan (power relations) yang ada di Makassar. Di sinilah Fajar mulai “mengooptasi” ruang publik Phoenam sebagai sumber pemberitaan dan menjadikan ruang publik Phoenam sebagai komoditas untuk mendapatkan keuntungan. Hal yang menarik dari investigasi tersebut adalah terbukanya peluang bagi Fajar untuk mendekati kekuasaan atau dengan kata lain bernegosiasi dengan para pengambil kebijakan (tokoh-tokoh publik). Sebab dari liputan-liputan Fajar di ruang publik Phoenam, kemudian dilakukan tindak lanjut baik berupa investigasi lebih jauh mengenai suatu informasi ataupun berupa rekomendasi-rekomendasi yang perlu disampaikan Fajar kepada pihak-pihak yang terkait dengan pemberitaan tersebut. Investigasi ataupun rekomendasi tersebut dapat menjadi kesepakatan bersama bagi Fajar dengan pihak-pihak yang disasar untuk membentuk suatu opini publik tertentu terhadap suatu permasalahan/berita, sebagaimana yang dipaparkan Nur Alim Djalil ketika ditanya tindak lanjut dari talkshow-talkshow yang dilakukan di Phoenam. Berikut petikan penjelasannya: “Ya...biasa kita sampaikan misalnya kalau ada rekomendasi tetapi kita menyampaikan dalam bentuk, biasanya dalam bentuk lisan, kemudian penyampaian kita biasanya dalam bentuk tertulis, apa kita beritakan seperti itu. Biasanya setelah diskusi, kita menelpon pihak-pihak yang mungkin kita sasar dalam diskusi itu bahwa kita telah diadakan diskusi seperti ini, dan hasilnya seperti ini, kemudian selengkapnya silahkan bapak membaca di Fajar”
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
91
Antara Fajar dan para tokoh publik memiliki hubungan timbal balik, yaitu hubungan yang saling memanfaatkan, dalam arti hubungan hubungan yang saling bernegosiasi untuk mencapai kepentingan masing-masing pihak, yang mana para tokoh publik membutuhkan Fajar untuk kepentingan pembentukan opini publik terhadap suatu masalah, dan sebaliknya Fajar memerlukan dukungan sumber pemberitaan dari para tokoh publik, agar dapat menjadi hegemoni media pembentukan opini publik yang terdepan55. Dengan hegemoni tersebut, secara ekonomis akan berimplikasi kepada terdongkraknya rating Fajar dalam dunia pers, dan secara otomatis akan semakin banyak pembaca atau pembeli yang meminati Fajar. Hal tersebut kemudian membuat ruang publik Phoenam mengalami komodifikasi akibat kepentingan ekonomi politik Fajar di ruang publik Phoenam Fungsi media massa Fajar dalam komunikasi politik bisa menjadi penyampai pesan-pesan politik dari pihak-pihak diluar dirinya, sekaligus menjadi pengirim pesan politik yang dikonstruksi oleh Fajar kepada pembacanya. Jadi bagi para aktor politik atau tokoh publik, Fajar dapat dipakai untuk menyampaikan pesan pesan politik mereka kepada publik, sementara bagi untuk Fajar, medianya dimanfaatkan untuk memproduksi pesan-pesan politik, karena peristiwa-peristiwa politik itu selalu memiliki nilai jual, meskipun berita tersebut hanya sebuah peristiwa rutin yang melibatkan aktor politik atau pejabat terkenal sehingga bisa dijadikan bahan berita yang menarik.
55
Yang dimaksud “terdepan” dalam perngertian tersebut adalah bahwa berita yang disampaikan adalah berita yang dapat dipercaya, aktual, tajam, dan berbagai kualitas lainnya.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
92
Para wartawan Fajar juga sering mendapatkan informasi politik yang tidak disengaja karena disamarkan oleh aktor politik sebagai nara sumber, yang kemudian menjadi berita besar dan menarik perhatian masyarakat luas. Sebagaimana pengakuan Sultan Rakib56, wartawan Fajar yang melakukan liputan talkshow di ruang publik Phoenam, yang menyatakan bahwa dirinya sering dipanggil atau dihubungi oleh tokoh-tokoh publik atau aktor politik jika ingin menyampaikan suatu isu atau informasi mengenai suatu permasalahan. Jika dianggap memiliki “nilai berita” maka akan dimuat dalam liputan Fajar. Hal inilah kemudian menunjukkan perang posisi dari kedua belah pihak, Fajar dan tokoh publik, yang menegosiasikan kepentingankepentingannya masing-masing agar dapat membentuk opini publik terhadap isu atau berita yang disampaikan. Galtung dan Ruge (1973) menyatakan bahwa suatu peristiwa dianggap memiliki nilai berita jika peristiwa-peristiwa tersebut: (a) terkait dengan personalitas elit, (b) bersifat negatif, (c) mutakhir, dan (d) mengejutkan (dalam Fiske, 2004: 132). Sebagai contoh, yaitu ketika ditanya mengenai liputan Fajar di ruang publik Phoenam yang menarik perhatian luas dari masyarakat, Nur AlimDjalil memberi contoh mengenai skandal bupati kabupaten Jeneponto, yang dituduh menghamili pembantunya, dan isu penyerangan rumah seorang bupati. Berikut petikan pemaparan Nur Alim Jalil tersebut:
56
Hasil wawancara non formal dengan Sultan Rakib pada tanggal 23 Maret 2007
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
93
“....Selain itu, termasuk juga pembicaraan-pembicaraan mengenai kasus hukum, misalnya tentang salah seorang bupati yang menghamili pembantunya, pembicaran atau isu itu sudah berkembang di warkop Phoenam. Berita itu sudah menjadi ide awal bagi kami namun perlu diinvestigasi lebih jauh lagi, ini hanya background kita bahwa ada isu seperti ini. Misalnya pernah juga ada isu di warkop Phoenam bahwa akan ada penyerangan terhadap rumah seorang bupati....dan itu terjadi, makanya di warkop itu juga banyak dari kalangan intel (polisi), wartawan. Berita-berita tersebut sebenarnya hanya merupakan peristiwa biasa (rutin), namun karena melibatkan pejabat elit, mengejutkan, negatif dan baru terjadi (mutakhir) serta disebarkan oleh aktor-aktor politik, maka peristiwa tersebut kemudian dianggap memiliki “nilai berita” sehingga menjadi berita besar karena dibentuk dan disebarkan oleh Fajar. Di sinilah peranan Fajar dalam menyebarkan suatu berita menjadi luas dan besar, yang pada akhirnya dapat membentuk opini publik yang luas terhadap citra seseorang atau suatu permasalahan tertentu. Peranan ini kemudian menjadi sangat krusial ketika dimanfaatkan oleh kepentingan politik tertentu dalam membentuk opini publik, sehingga Fajar pun menjadi ruang pertarungan dari berbagai kepentingan dalam rangka penciptaan penerimaan publik Ketika suatu isu dibicarakan dalam ruang publik Phoenam, baik sumbernya melalui talkshow ataupun melalui tokoh publik, tidak serta merta kemudian isu tersebut di beritakan di Fajar apa adanya, melainkan dikonstruksi sedemikian rupa sehingga dapat menjadi realitas tersendiri, yang fokus dan penekanannya tidak lagi mengacu kepada hasil pembicaraan yang berkembang di ruang publik Phoenam. Sebagai contoh bagaimana Fajar mengonstruksi realitas dan memilih (membingkai) bahasa dan fakta yang akan dimasukkan dalam berita, yakni soal peliputan Fajar
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
94
mengenai salah satu hasil talkshow. Dalam liputannya tertanggal 9 Desember 2005 tersebut, Fajar memberitakan peluncuran logo Makassar oleh walikota Makassar dengan mengangkat judul “Ishak Tolak Logo Makassar”, dengan disertai sub judul “Budayawan Sulsel, Ishak Ngeljaratan, dengan Tegas Menolak Penggunaan "Makassar Great Expectation" sebagai Logo dalam Menjual Kota Makassar. Dalam artikel berita tersebut, fokus dan arah pembicaraan lebih banyak mengarah kepada penolakan Ishak atas logo Makassar ketimbang berita peluncuran logo kota Makassar. Hal ini berarti bahwa Fajar memilih bahasa dan fakta-fakta mana yang akan dimasukkan dalam pemberitaan. Pemilihan bahasa dan fakta tersebut dikonstruksi sedemikian rupa agar memiliki efek “nilai berita” pada masyarakat. Dengan pemilihan judul demikian maka akan menimbulkan kesan “mengejutkan dan sensasional” bagi masyarakat, dan berita seperti itulah yang kebanyakan masyarakat cari dan inginkan, dan Fajar membingkainya agar dapat memiliki nilai komoditas bagi medianya. Strategi pemilihan bahasa dan fakta-fakta dalam bahasa demikian dalam kajian media sering disebut dengan strategi Framing (Hamad, 2004: 16). Framing merupakan salah satu strategi yang biasa dilakukan media massa, termasuk Fajar, dalam mengonstruksi suatu realitas, termasuk realitas politik, yang dapat berujung pada pembentukan citra dan opini publik. Strategi Framing (pembingkaian) adalah strategi pemilihan fakta yang akan disajikan atau pembingkaian realitas (strategi framing) dalam suatu peristiwa dengan berbagai faktor, misalnya karena adanya tuntutan teknis, keterbatasan halaman, kolom, maupun kepentingan pada suatu media, sehingga suatu berita yang panjang dan rumit,
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
95
kemudian disederhanakan melalui mekanisme pemilihan (pembingkaian) bahasa dan fakta-fakta yang akan dimasukkan dalam suatu berita sehingga layak terbit atau layak tayang57. Jadi, keberadaan media massa di ruang publik Phoenam dapat menjadi krusial karena adanya hubungan pertarungan kepentingan timbal balik antara publik dan media dalam memaknai ruang publik Phoenam Makassar, yang berimplikasi kepada persoalan-persoalan sosial budaya di Makassar. Ruang publik yang tadinya berjalan dan berkembang sesuai dengan nilai-nilai tudang sipulung sebagai sarana berdemokrasi ala Bugis Makassar, kini tergantikan oleh ruang-ruang yang dikonstruksi oleh media dan koalisi-koalisinya. Realitas publik tidak lagi ditampilkan berdasarkan prinsip-prinsip ada tongeng (kebenaran) dan lempu’ (kejujuran) sebagaimana yang ada tradisi ruang publik tradisional tudang sipulung, melainkan telah dibingkai lewat strategi framing dan agenda setting untuk kepentingan tertentu media Fajar maupun koalisinya, sehingga persoalan masyarakat Makassar yang sebenarnya, “luput” dari perbincangan publik secara meluas, dan kalau pun mendapat peliputan, karena hal tersebut dianggap memiliki “nilai berita” di dalamnya sehingga perlu untuk disampaikan ke publik luas, dan di sinilah peranan ideologis media Fajar dalam mengooptasi, membentuk, mengonstruksi, dan membatasi wacana publik Makassar hanya diseputar tema-tema yang memiliki nilai berita.
57
Ibnu Hamad (2004), Ibid., hal. 21-24
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
96
Prinsip “nilai berita” inilah yang kemudian membuat kondisi-kondisi ruang kultural tradisional mengalami perubahan signifikan, sehingga sikap-sikap seperti sipakatau (saling menghargai), sipakalebbi (saling memuliakan), sipakamase (saling menyayangi/menghargai) yang berlaku dalam tradisi tudang sipulung akan sulit terwujud akibat menguatnya ekonomi politik media, dan hal tersebut akan berimplikasi kepada “hak publik” untuk mengakses ruang publik politis dalam rangka menampilkan permasalahan-permasalahannya akan semakin terbatas. Dengan kata lain, kondisi-kondisi seperti fair, inklusif, egaliter, sebagaimana yang disinyalir Habermas sebagai kondisi ideal ruang publik, akan semakin sulit terealisasikan. Fungsi ruang kultural tradisional pun telah berubah dengan adanya mediasi media massa. Jika sebelumnya ruang tudang sipulung dapat menjadi media bagi semua kalangan untuk menyampaikan aspirasinya secara demokratis ke penguasa, maka di ruang publik Phoenam, kehadiran media Fajar lebih cenderung menyuarakan pesan-pesan politik dari para tokoh-tokoh publik atau para elit untuk disampaikan ke khalayak luas, sehingga secara tidak langsung kepentingan elitlah yang paling dominan tersuarakan dibanding suara kelompok minoritas. Demikian pula opini yang terbentuk, jika pada tradisi berdemokrasi tudang sipulung, opini yang terbentuk terbangun melalui prinsip massolo’ pao (mengalir bersama), yang artinya bahwa konstruksi opini yang terbentuk mementingkan kepentingan umum dan bertujuan membentuk konsensus sesuai kesepakatan bersama, sedangkan pada ruang publik Phoenam kontemporer, konstruksi opini lebih banyak dibentuk oleh para elit dominan yang hanya menampilkan kepentingan-kepentingan
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
97
mereka, sehingga yang tercapai kemudian bukan lagi konsensus rasional di antara kelompok masyarakat melainkan “pertarungan” yang mendahulukan kepentingan masing-masing.
3.1.4
Konstruksi Politik dan Identitas Ruang Publik oleh Tokoh Publik Sejak dilaksanakannya talkshow di ruang publik Phoenam, pengunjung
Phoenam perlahan-lahan meningkat. Peningkatan tersebut tidak saja dilihat dari peserta diskusi yang mengikuti talkshow, tapi juga partisipasi tokoh-tokoh publik yang memanfaatkan ruang publik Phoenam untuk berbagai kepentingan. Mulai dari jumpa pers, peluncuran produk, ulang tahun, transaksi bisnis, dan sebagainya. Figurfigur publik yang dimaksud diantaranya seperti anggota dewan, pejabat pemerintah, pengusaha, pengurus partai, tokoh kepemudaan, tokoh LSM, dan cendikiawan. Tokoh-tokoh publik ini secara organisasional berperan dalam berbagai hubungan sosial di masyarakat. Menurut Gramsci, peranan tokoh-tokoh publik (intelektual) dalam pencapaian suatu hegemoni adalah sangat strategis. Sebab keterlibatan mereka dalam ruang publik dianggap “mewakili publik” dalam membicarakan persoalan publik terhadap berbagai
proses
penyelenggaraan
kekuasaan
oleh
pemerintah,
sehingga
keberadaannya dapat menjadi jembatan antara publik dan para pengambil keputusan (pemerintah/parlemen). Adalah tokoh-tokoh publik ini, dalam realitasnya, berperan besar dalam membentuk opini publik (public opinion) yang terbentuk lewat berbagai diskusi publik di antara elemen-elemen publik.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
98
Mengenai maraknya partisipasi tokoh-tokoh publik di dalam ruang publik Phoenam, Nur Alim Djalil58 dan Mappinawang menuturkan59: “....Pertama, yang menjadi dan sering di sana (di warung kopi Phoenam) sebagai penikmat kopi, adalah orang-orang yang punya kapasitas, orangorang yang sudah menjadi public figure yang pemikiran dan ide-idenya itu bisa jadi sangat dibutuhkan oleh masyarakat, bahkan juga oleh pengambilpengambil kebijakan...” “...bahkan pejabat-pejabat pemerintahan, orang-orang penting di Makassar sering datang ke Phoenam untuk minum kopi, diskusi, atau ngobrol-ngobrol santai...” Pemaparan tersebut mengandaikan ruang publik Phoenam menjadi ruang bagi publik untuk menyampaikan banyak hal terhadap penyelenggaraan kekuasaan. Dalam konteks ini, ruang publik Phoenam idealnya menjadi milik publik Makassar, dan wadah bagi kepentingan publik. Namun disebabkan oleh berbagai kepentingan publik yang saling berhadapan dan tumpang tindih di dalamnya, maka ruang publik Phoenam terkooptasi menjadi ruang pertarungan untuk memenangkan penerimaan publik atas kepentingan yang sedang diperjuangkan (hegemoni). Pertarungan yang dimaksud adalah tidak saja bagaimana membangun kekuatan bersama tapi juga memecah belah kekuatan, mengorganisir diri untuk mencapai kepentingan masingmasing menuju hegemoni. Salah seorang pengamat politik di Makassar, Mansyur Semma menyatakan bahwa ruang publik Phoenam memiliki peranan strategis bagi publik Makassar dalam mempersoalkan dan mempertanyakan pelaksanaan jalannya pemerintahan di
58 59
Hasil wawancara dengan Nur Alim Djalil pada 21 Maret 2007 di Makassar Hasil wawancara singkat dengan Mappinawang pada 25 Oktober 2007 di Makassar
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
99
kota Makassar60. Mansyur melihat bahwa keberadaan ruang publik Phoenam telah menjadi pendidikan politik dan demokrasi di Makassar, dan menurutnya, keberadaan ruang publik Phoenam telah memberikan ruang bagi publik untuk mempertanyakan proses pelaksanaan kekuasaan negara/pemerintah, sebagaimana penuturan Mansyur Semma berikut: “…tapi juga menjadi ruang bagi masyarakat untuk mengeritik pemerintah, dan mempersoalkan kinerja aparat dalam melaksanakan tugas-tugasnya…” Bagi tokoh-tokoh publik, seperti Mansyur Semma misalnya, ruang Publik Phoenam juga merupakan ruang untuk melakukan “perlawanan” terhadap wacana dominan yang ada (pemerintah kota Makassar), dan perlawanan tersebut sesungguhnya adalah suatu strategi untuk memposisikan diri dalam rangka mencapai hegemoni tertentu. Sebagaimana yang dikatakan Gramsci bahwa dalam perang posisi menuju hegemoni tidak saja melibatkan kelompok-kelompok dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya, yang masing-masing pihak berusaha keras memperkuat aliansinya masing-masing, tapi juga bagaimana memecah belah aliansi kelompok lain, dan bagaimana
mengubah
perimbangan
kekuatan
demi
kepentingan
dirinya/kelompoknya. Jadi, strategi war of position dapat terwujud dalam bentuk strategi perlawanan terhadap suatu hegemoni. Strategi perang posisi berupa counter hegemony ataupun memecah belah aliansi kelompok sering pula dilakukan oleh tokoh-tokoh publik melalui jumpa pers di ruang publik Phoenam, yang tentu saja strategi-strategi tersebut bertujuan untuk
60
Hasil Wawancara dengan Mansyur Semma pada 05 Oktober 2007 di Makassar
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
100
mencapai kepentingan pribadi/kelompok masing-masing. Misalnya, sikap sekretaris DPD partai Golkar (nonaktif), Agus Arifin Nu’mang, yang maju mencalonkan diri menjadi wakil gubernur Sulawesi Selatan mendampingi Syahrul Yasin Limpo, mulai menuai protes keras, dan bahkan usulan pemecatan dari Angkatan Muda Pembaruan Golkar (AMPG) Makassar61. Ketua AMPG Makassar ini, Nasran Mone, mendesak agar DPD partai Golkar Sulsel membicarakan status Agus karena dianggap telah memecah belah dan mengkhianati partai. Anggota DPRD Makassar ini menjelaskan melalui jumpa pers di ruang publik Phoenam bahwa status Agus harus diberikan sanksi pemecatan sesuai aturan partai. Alasannya, sikap Agus dianggap sudah mencederai dan menganiaya AMPG dan partai Golkar, padahal Agus sudah diberi kepercayaan beberapa jabatan strategis seperti sekretaris partai Golkar, ketua AMPG Sulsel, dan juga ketua DPRD Sulsel. Sikap kedua tokoh-tokoh publik tersebut di ruang publik Phoenam dalam sesungguhnya merupakan strategi perang posisi dari masing-masing pihak untuk memecah belah aliansi atau mengubah haluan kepentingan dan kekuatan, untuk mendapatkan kepentingannya masing-masing, dan jika pada saat yang tepat strategi “perang manuver” (war of manoevre) dilakukan untuk menjatuhkan pihak lawan politiknya, baik berupa tindakan tekanan psiklogis (seperti ancaman, penghinaan, pendiskreditan) terhadap kelompok lawan maupun
pengerahan massa untuk
menjatuhkan seseorang atau suatu kelompok lain. Di sinilah peranan strategis ruang publik Phoenam dalam memfasilitasi medan “pertempuran” bagi tokoh-tokoh publik 61
Lihat beritanya di http//www.fajar.co.id/news.php?newsid=35883 (dipunggah 30 Mei 2007)
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
101
untuk saling menyusun strategi, melancarkan manuver-manuver, dan saling menjatuhkan,
untuk
memenangkan
kepentingannya
masing-masing,
dengan
melibatkan berbagai perangkat-perangkat publik seperti media massa. Hal senada dilakukan seorang pengamat budaya Makassar, Ishak Ngeljaratan ketika menolak logo dan tag line kota Makassar yang diluncurkan pemerintah kota Makassar (dalam hal ini walikota Makassar) dalam suatu acara talkshow di ruang publik Phoenam. Ia dengan tegas menolak logo dan tag line tersebut62. Menurutnya, penolakan terhadap tag line “Makassar Great Expectation" adalah karena dianggap tidak realistis, dan terlalu mengambang, dan menyarankan untuk mengambil brand yang berangkat dari budaya Makassar misalnya prinsip budaya Siri’, yang dapat dijadikan semboyan kota Makassar, yang memiliki makna mendalam bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Dengan kata lain, apa yang dilakukan Ishak adalah melakukan perlawanan terhadap gagasan-gagasan hegemoni pemerintah kota Makassar. Sikap dan posisi Ishak Ngeljaratan tersebut sesungguhnya dalam perspektif Gramscian, adalah perang posisi berupa counter-hegemony dimana Ishak memposisikan diri “berseberangan” dengan gagasan-gagasan kelompok penguasa (pemerintah). Bagi para tokoh publik, khususnya para elit politik, ruang publik Phoenam menjadi ruang bagi mereka untuk mengatur dan menyusun strategi serta manuvermanuver politik mereka dalam rangka mencapai kepentingan-kepentingan mereka Manuver-manuver politik tersebut tidak saja dimanfaatkan untuk mengadakan 62
Lihat beritanya di http: www.fajar.co.id/php?newsid=13893 (dipunggah 25 Maret 2007)
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
102
pembelaan terhadap suatu isu atau menanggapi (counter) suatu isu, tapi juga melancarkan “serangan” terhadap kelompok lawannya dalam rangka memecah belah aliansi lawan politiknya. Dengan kata lain, ruang publik Phoenam dikooptasi menjadi “ruang politik” untuk menyusun strategi politik yang akan dilancarkan lewat jumpa pers di ruang publik Phoenam. Mengenai strategi dan manuver politik di ruang publik Phoenam, H. A. Muh. Adil Patu, anggota DPRD Sulsel dari partai PDK menjelaskan63: “...Bagi kami, warung kopi Phoenam, eh, tempat strategi politik dibicarakan, digodok, untuk menghasilkan konsep-konsep agenda politik kami kedepan, dan juga bagaimana menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah. Selain itu, juga merupakan ruang menanggapi suasana dan isu politik yang terjadi....” Pernyataan Adil Patu tersebut memperlihatkan bagaimana ruang publik Phoenam menjadi ruang “manajemen isu” politik, yang mana strategi dan taktik politik dirancang untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu, dan menanggapi sekaligus melakukan tindakan politik terhadap persoalan publik. Di sinilah pertarungan atas ruang publik terjadi, war of position berlangsung atas nama ruang publik, yang tidak saja melibatkan strategi bagaimana mengemas isu dan konflik, tapi juga strategi bagaimana melibatkan unsur publik lainnya, seperti keberadaan media massa sebagai alat pembentukan hegemoni (hegemonic apparatuses). Sebenarnya, jika melihat kepentingan tokoh-tokoh publik yang tumpang tindih dalam ruang publik Phoenam, maka keterlibatan mereka tidak dapat dilepaskan dari pertarungan kepentingan yang ada dibaliknya. Seperti yang disampaikan 63
Hasil wawancara singkat dengan Adil Patu pada 24 Oktober 2007 di Makassar
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
103
Mansyur Semma bahwa keterlibatannya di ruang publik Phoenam menyampaikan gagasan-gagasan kritis atau informasi-informasi tentang dunia politik kepada khalayak Makassar. Sebagaimana penuturannya berikut ini: “Yah...memberikan komentar-komentar dan analisis-analisis politik mengenai peristiwa politik yang terjadi saat ini, eh..., memetakan komunikasi politik maupun tindakan politik para aktor-aktor politik yang sedang berlangsung, baik itu skala nasional maupun skala Makassar...”. “....Eh, disinilah sebenarnya kita belajar berdemokrasi, menghargai pendapat orang lain, bagaimana memberikan argumentasi yang rasional, dan sesungguhnya kita memperlihatkan pembelajaran politik yang baik kepada warga Makassar bagaimana menerima sebuah perbedaan, dan itulah hakikat demokrasi yang sebenarnya.” Penyampaian Mansyur Semma tersebut mengenai keterlibatannya di ruang publik Phoenam mengindikasikan bagaimana peranan strategis tokoh publik dalam membentuk suatu pandangan umum mengenai suatu permasalahan sebab tokoh-tokoh publiklah yang banyak berperan dalam merajut gagasan-gagasan dan hegemoni di tengah-tengah masyarakat. Bagi seorang Mansyur, ruang publik Phoenam bukan sekadar ruang untuk menyampaikan gagasannya ke publik, tapi juga menjadi ruang bagi dirinya untuk “menguji” kapasitasnya sebagai pengamat yang handal. Dengan kata lain, ruang publik Phoenam merupakan ruang untuk menyampaikan pesan-pesan politiknya kepada pemerintah dan masyarakat kota Makasssar
sekaligus
menjadi
ruang
konstruksi-konstruksi
identitas
yang
dinginkannya, dan ruang publik Phoenam memberi ruang untuk kepentingan tersebut. Namun untuk membangun konstruksi identitas yang diinginkan, diperlukan strategistrategi “perang posisi” yang melibatkan berbagai “kesepakatan” dengan elemen
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
104
publik lain, termasuk negosiasi dengan media massa, agar kepentingan menuju hegemoni tercapai. Di sinilah hubungan krusial antara tokoh-tokoh publik dengan media dapat terbentuk. Salah satu hal yang menarik hubungan antara tokoh publik dengan Mercurius dalam hal “kesepakatan” balas jasa di ruang publik Phoenam adalah bahwa umumnya narasumber (tokoh publik) dalam talkshow, rata-rata menolak menerima honor pembicara dari Mercurius atas jasa yang mereka berikan sebagai narasumber. Menurut Mercurius, mereka sudah merasa senang jika bisa “tampil” di acara talkshow dan dapat menyampaikan gagasan ke publik Makassar. Hubungan “balas jasa” ini tentu saja menguntungkan kedua belah pihak. Dari pihak Mercurius, hal ini tentu saja akan mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk membuat acara talkshow tersebut. Sedangkan dari pihak tokoh publik, hal tersebut akan membantu dalam memposisikan dan mencuatkan dirinya sebagai pembicara yang handal dan dikenal, sebab jika memiliki kesempatan untuk sering tampil sebagai narasumber di acara talkshow di ruang publik Phoenam, maka akan semakin dikenal oleh masyarakat, dan memiliki peluang lebih banyak untuk “menguji” dirinya dalam pentas politik, dan hal tersebut sedikit banyak akan berdampak pada popularitas dirinya sebagai narasumber yang berkualitas. Sebagaimana penuturan Mercurius, A. Mangara, di bawah ini: “Ya, kita bayar atau kita kasih gift, adalah sebagai ucapan terima kasih, terserah lah, ada yang mau bentuk uang atau barang, namun banyak yang menolak, dia malah sudah bangga dan senang bisa berbicara di warung kopi jadi, karena acara ini sudah punya nama, dia malah minta kapan-kapan saya bisa ditampilkan lagi, jadi sebuah panggung untuk mencuatkan namanya, untuk memposisikan dirinya. Tadi ada yang menelpon, kapan nih saya ditampilkan lagi....”
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
105
Pemaparan Mercurius tersebut menunjukkan bahwa ruang publik Phoenam menjadi ruang “pertarungan” hegemoni para tokoh publik untuk mencitrakan dirinya ke hadapan publik dengan berbagai strategi perang posisi (politik pencitraan). Dengan demikian, pertarungan atas konstruksi identitas tokoh-tokoh publik di ruang publik Phoenam akan terus berlangsung, yang melibatkan sejumlah strategi, yang tidak saja bagaimana mengatur “manajemen
kesan” (management impression)64 di ruang
publik Phoenam, tapi juga bagaimana strategi bernegosiasi dengan berbagai unsur publik di ruang publik Phoenam. Ruang publik Phoenam ibaratnya sebuah “panggung sandiwara” yang mana elemen-elemen publik yang “bermain” di dalamnya, mengatur sedemikian rupa “lakon” yang dimainkankan agar tujuan-tujuan dan kepentingankepentingan tiap “pemainnya” dapat tercapai (hegemoni). Di sinilah proses penciptaan makna (meaning making) dan penafsiran ulang terhadap ruang publik Phoenam berlangsung, yang masing-masing tokoh-tokoh publik melakukan konstruksi atas ruang publik, dan “perang posisi” untuk kepentingan
yang
tengah
diperjuangkan
menuju
hegemoni.
Terminologi
“kepentingan publik” pun dapat menjadi bias ketika “atas nama kepentingan publik” mengalami penyimpangan atau percampuran, antara kepentingan publik yang diwakili (yang sebenarnya), dengan kepentingan pribadi atau kelompok, akibat dari pertarungan-pertarungan kepentingan untuk menciptakan opini (public opinion) dan penerimaan atas publik (public consent). 64
Istilah ini diambil dari Erving Goffman yang melihat bahwa dalam kehidupan kita selalu “mengatur kesan” kita terhadap orang lain (Lihat Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life Hardmonsworth: Penguin, 1969)
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
106
Dengan demikian, representasi publik lewat dominannya tokoh-tokoh publik di ruang publik Phoenam dewasa ini telah memperlihatkan bagaimana perubahan mendasar pada ruang publik politis di Makassar. Ruang-ruang yang dahulunya diwarnai nilai-nilai tradisi demokrasi ala Bugis Makassar, tudang sipulung misalnya, yang “roh” utamanya adalah konsep Siri’ (malu/harga diri) untuk kepentingan bersama (massolo’ pao), kini dalam era liberalisasi, kepentingan pribadi tokoh-tokoh atau kelompok publiklah yang menjiwai setiap aktivitas berdemokrasi di ruang publik Phoenam, dan akibatnya, yang menguat adalah “pertarungan kepentingan” untuk mencapai apa yang hendak diinginkan. Dengan pertarungan kepentingan tokoh-tokoh publik, maka kondisi ada tongeng (perkataan jujur) bukan lagi menjadi prioritas para elit dalam melakukan diskusi atau jumpa pers (tudang sipulung), melainkan konstruksi informasi atau argumentasi, yang dibaliknya terselubung kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga tudang sipulung yang berlangsung bukan lagi mencari jalan keluar atas suatu permasalahan publik, tetapi bagaimana membangun konstruksi-konstruksi politik dan identitas yang ingin diraih oleh para elit. Demikian pula kondisi lempuk (perbuatan lurus) tidak menjadi referensi lagi dalam bersikap dan bertindak para elit di ruang publik Phoenam, sebab yang diperjuangkan adalah kepentingan pribadi elit sehingga prilaku yang tidak fair (dapat) terbentuk dalam pertarungan kepentingan tersebut. Prinsip getteng (keteguhan/ketegasan) sebagai suatu, ucapan, sikap, atau perbuatan yang bersandarkan (berpegang teguh) pada keyakinan yang benar/objektif (nilai-nilai kebenaran/adat), tidak lagi mengarahkan para elit publik dalam
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
107
mempersoalkan keberpihakan mereka terhadap persoalan kelompok minoritas publik Makassar,
tetapi
menjadi
jalan
“negosiasi”
jika
hal
tersebut
(dianggap)
menguntungkan atau tidak. Kemudian prinsip sipakatau (saling memanusiakan/menghargai), yang mana memiliki dimensi sosial yang mengindikasikan adanya interaksi sosial yang bersifat egaliter dalam suatu ruang publik, akhirnya akan menjadi jargon-jargon belaka sebab pertarungan kepentingan elit pada akhirnya akan meminggirkan kelompok yang tidak memiliki nilai tawar terhadap kepentingan-kepentingan elit tokoh-tokoh publik tersebut. Jadi, karena pertarungan kepentingan pribadi/kelompok tersebut maka prinsip-prinsip
ada
tongeng
(perkataan
benar/kebenaran/kejujuran),
lempu’
(perbuatan lurus/kejujuran), getteng (keteguhan/ketegasan), dan sipakatau (saling memanusiakan/saling menghargai) bukan lagi menjadi acuan atau tujuan komunikasi rasional dalam ruang publik Phoenam, melainkan bagaimana meraih kepentingan masing-masing tokoh-tokoh publik dan koalisi-koalisinya. Ruang yang seharusnya berasal dari publik, oleh publik, dan untuk publik Makassar di ruang publik Phoenam, kemudian terdistorsi akibat bercampurnya kepentingan pribadi tokoh-tokoh publik dengan kepentingan publik yang diwakilinya, dan hal ini yang membuat ruang publik tradisional tudang sipulung yang ada dan dialami oleh masyarakat Bugis Makassar pada masa lampau, kemudian berubah dan digantikan oleh ruang publik kontemporer yang banyak dikooptasi untuk kepentingan pribadi para tokoh publik dan koalisinya.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
108
Slogan tudang sipulung beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, digunakan hanya untuk menarik perhatian dan opini publik agar mendapat simpati dan dukungan luas, padahal yang tengah diperjuangkan adalah kepentingan elit masing-masing (pribadi) meskipun dibungkus dalam kemasan kepentingan publik. Persoalan publik Makassar dikooptasi, dan tidak lagi bersumber dan dibicarakan oleh elemen publik yang mengalami permasalahan tersebut dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang berlangsung dalam ruang publik tradisional tudang sipulung, tetapi lebih banyak disuarakan wakil-wakil publik seperti misalnya politisi, intelektual, pejabat pemerintahan, anggota dewan, dan lainnya. Hal inilah yang menjadi gambaran kondisi ruang publik kontemporer dewasa ini di Makassar.
3.1.5
Kompleksitas Kepentingan dan Konstruksi Pengunjung dan Komunitas Phoenam
Ruang
Publik
oleh
Semenjak bergulirnya reformasi, khususnya pasca reformasi, warung-warung kopi di Makassar muncul satu demi satu, dan menjadi fenomena yang menarik. Warung-warung kopi yang dahulunya hanya dihitung jari, saat ini menjamur, menjadi tempat berdiskusi, hiburan, melepas lelah, dan santai, ketimbang menjadi (sekadar) tempat minum kopi. Fenomena warung kopi menjadi gejolak tersendiri di Makassar, dan telah menjadi trend dan gaya hidup masyarakat kota Makassar. Warung kopi yang sering dikunjungi warga Makassar, diantaranya adalah warung kopi Phoenam. Pengunjung Phoenam rata-rata berasal dari kelompok menengah ke atas, yang telihat dari banyaknya kendaraan roda empat yang sering ada
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
109
di sana. Anggota dewan, pengurus partai politik, pejabat pemerintah, cendekiawan, praktisi, pengusaha, komunitas hobi, dan kalangan LSM merupakan kelompokkelompok yang menjadi pengunjung setia Phoenam. Dengan beragamnya kelompokkelompok publik yang hadir di ruang publik Phoenam, maka kepentingankepentingan yang ada pun juga semakin beragam, sehingga pertarungan-pertarungan ideologis tidak dapat dihindari, yang masing-masing kelompok mereposisi dirinya, melakukan konsensus, strategi, dan taktik untuk meraih kepentingan hegemoninya. Bagi kalangan profesional dan pengusaha, ruang publik Phoenam memberi mereka ruang untuk menciptakan peluang-peluang terhadap usaha atau pekerjaan mereka. Menurut penuturan Anwar Halim bahwa dia bisa bersantai sambil membicarakan bisnis dengan rekan-rekannya di Phoenam. Anwar Halim mengaku, dalam sehari, dia selalu menyempatkan diri menyambangi warung kopi Phoenam yang disukainya setelah pulang kantor65. Senada dengan Anwar Halim, seorang pengusaha SPBU di Makassar, H. Sukardi, menyatakan bahwa ia sering ke Phoenam untuk keperluan bisnisnya. Di sana, dia dapat dengan santai membicarakan bisnis dengan rekan-rekan usahanya dan mendapatkan peluang-peluang bisnis di Makassar66. Sebagaimana yang diungkapkan oleh H. Sukardi berikut: “...di sana pak Ilo (Walikota Makassar) dan pak Syahrul sering hadir, pejabat-pejabat elit juga sering datang, mungkin saya bisa mendapatkan peluang bisnis dari perkenalan dengan mereka...”.
65 66
Lihat di http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=46040 (dipunggah 15 Januari 2008) Wawancara singkat dengan H. Sukardi pada 28 Desember 2007 di Makassar
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
110
Dari penuturan H. Sukardi tersebut tergambar bahwa ruang publik Phoenam membuka “peluang” bagi pengunjung, khususnya para pengusaha, untuk merancang usahanya dan mengadakan negosiasi-negosiasi dengan para pengambil kebijakan agar mendapatkan kemudahan dalam mencapai kepentingan-kepentingan usahanya. Seperti diketahui bahwa kedekatan dengan para pengambil keputusan dalam suatu proyek/tender pemerintah, akan lebih memudahkan untuk menggolkan atau menyukseskan proyek tersebut. Dengan mendekat kepada sumber kekuasaan atau keputusan di ruang publik Phoenam, maka kemudahan-kemudahan usaha akan lebih mudah terealisasikan. Dengan kata lain, ruang publik Phoenam memberi “jalan” bagi pengunjung untuk meraih kepentingan-kepentingannya dengan menegosiasikan “kesepakatan-kesepakatan” antara pengunjung dengan para pengambil kebijakan. Salah satu hal menarik yang berlangsung di ruang publik Phoenam adalah adanya pengakuan dari pelanggan setia Phoenam untuk menyatakan diri mereka dengan nama komunitas Phoenam. Salah seorang pelanggan setia Phoenam, Asdar Tukan, menuturkan bahwa mereka kerapkali menyebut diri mereka sebagai komunitas Phoenam67. Meskipun tidak membentuk diri menjadi organisasi formal, namun keberadaan komunitas Phoenam tersebut secara aktif turut memberikan “sumbangsih” dalam mengangkat nama dan pamor Phoenam. Dengan menggelar turnamen-turnamen dan perlombaan-perlombaan olah raga, yang diberi nama Phoenam Cup, misalnya olah raga bulutangkis, maka komunitas Phoenam mencoba mengonstruksi 67
keberadaan
identitas
dirinya
dan
sekaligus
menegosiasikan
Lihat di www.tribun-timur.com/view.php?id=32778 (dipunggah 19 Agustus 2006)
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
111
kepentingan orang yang terlibat di dalamnya, sebagaimana penuturan Tabsyir Sanusi, salah seorang pelanggan setia Phoenam, ketika ditanya mengenai keberadaan dan kegiatan komunitas Phoenam. Tabsyir Sanusi menyatakan bahwa komunitas Phoenam hanya sekadar wadah bagi penikmat kopi Phoenam untuk menyalurkan gagasan-gagasannya, ruang kongkow-kongkow sambil diskusi lepas mengenai persoalan keseharian di kota Makassar68. Lebih lanjut Sanusi menjelaskan bahwa dari diskusi-diskusi kecil tersebut kemudian terpikirkan untuk menggagas acara-acara yang bersifat santai dan menghibur, dan melibatkan pihak-pihak yang sering hadir di Phoenam di antaranya pejabat pemerintah, anggota dewan, wartawan, kalangan pengusaha, dan lainnya. Penyampaian dan penjelasan Tabsyir Sanusi tersebut sebenarnya secara tersirat menunjukkan bahwa pengunjung-pengunjung ruang publik Phoenam juga melakukan strategi “perang posisi” untuk mengonstruksi kepentingannya, dengan melibatkan tokoh-tokoh publik dan media untuk ikut “ambil bagian” dalam kegiatankegiatan komunitas Phoenam seperti pertandingan olah raga dan games (domino). Dengan pelibatan tersebut, diharapkan dukungan sponsorship baik secara materil maupun non materil terhadap kegiatan komunitas Phoenam, dan secara pribadi, memberikan peluang kepada “anggota” komunitas untuk mendekat kepada sumber kekuasaan sehingga diharapkan kepentingan-kepentingannya (komunitas) dapat tercapai. Dengan adanya keberadaan dan kegiatan yang dilaksanakan yang bersifat seremonial (perayaan) oleh komunitas Phoenam, hal tersebut menggambarkan 68
Penuturan salah seorang pelanggan setia Phoenam pada 21 Oktober 2007 di Makassar
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
112
bagaimana hegemoni dapat diraih tidak saja melalui strategi politis, tetapi juga melalui strategi kultural, seperti pada perlombaan-perlombaan yang dilaksanakan dalam rangka merayakan hari jadi kemerdekaan Indonesia. Bagi sebagian pengunjung, talkshow yang diadakan di ruang publik Phoenam juga merupakan ruang penciptaan kontestasi dan konstruksi identitas bagi pengunjung. Kontestasi dan konstruksi tersebut tampak ketika pengunjung talkshow diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau tanggapan terhadap narasumber dalam talkshow. Anwar Lasapa, salah seorang pengunjung reguler talkshow di ruang publik Phoenam, yang berlatar belakang LSM, menuturkan bahwa69: “...Saya biasanya hadiri talkshow Phoenam untuk mendapatkan informasi penting mengenai perkembangan kota Makassar, eh, dengan begitu saya dapat mengikuti apa yang sedang terjadi di sini (Makassar)...” “...Kadang-kadang saya suka bertanya, menanggapi pendapat narasumber, atau memberikan masukan-masukan terhadap persoalan yang sedang dibicarakan...” Pernyataan Anwar tersebut menggambarkan betapa ruang publik Phoenam dapat menjadi ruang sumber informasi bagi masyarakat mengenai kondisi sosial politik di Makassar, dan sekaligus ruang “pro dan kontra” dari pihak pengunjung terhadap narasumber talkshow ataupun wacana yang sedang berkembang. Perang posisi tersebut tampak ketika pengunjung talkshow mempertanyakan, memberi dukungan, mengritik, bahkan memprotes suatu wacana yang sedang dibicarakan, dan di sinilah ruang publik Phoenam terkooptasi menjadi ruang pertarungan bagi 69
Hasil Wawancara Singkat dengan Anwar Lasapa di Makassar pada 14 November 2007
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
113
pengunjung untuk memecah belah kelompok, membangun aliansi, “menguji” dirinya, ataupun mengonstruksi identitas, yang kesemuanya merupakan proses penciptaan makna (meaning making) dan penafsiran ulang terhadap keberadaan ruang publik Phoenam, untuk meraih kepentingan yang tengah diperjuangkan. Keterlibatan pengunjung/komunitas di ruang publik Phoenam telah turut memberi “warna” terhadap pertarungan kepentingan di ruang publik Makassar, dan mengooptasi keberadaan ruang publik Phoenam, yang mana ruang publik Phoenam tidak sekadar sebagai tempat berinteraksi sembari minum kopi, namun menjadi ruang penciptaan “peluang” usaha dan membangun aliansi, serta sekaligus ruang kontestasi, bagi kelompok-kelompok yang tidak dominan, untuk ikut berpartisipasi terhadap perkembangan proses kehidupan sosial politik di Makassar. Dengan
demikian,
prinsip-prinsip
tudang
sipulung
sebagai
media
berdemokrasi ala Bugis Makassar yang pernah dijalani publik di Makassar, sedikit demi sedikit terkikis oleh “pertaruhan” kepentingan pengunjung yang masing-masing “memainkan” diri, untuk meraih apa yang tengah diperjuangkan. Struktur tudang sipulung sebagai pegangan hidup dan kehidupan budaya politik tradisional mulai berubah sejalan dengan tumbuhnya kelompok-kelompok kepentingan (komunitas) di ruang publik Phoenam. Konsep Siri’ na Pacce (harga diri dan kehormatan) untuk kemaslahatan bersama tidak lagi berjalan sesuai konsep yang seharusnya, tetapi telah menyimpang menjadi siri’ na pacce yang keluar dari sistem nilai budaya politik Bugis Makassar, sehingga yang tersisa hanya perjuangan dan pertarungan siri’ na pacce untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya masing-masing. Demikian pula
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
114
kondisi-kondisi ideal seperti ada tongeng (kebenaran), lempu’ (kejujuran), getteng (ketegasan), sipakatau (saling menghargai) yang biasanya menjadi kebiasaan dalam berkomunikasi dalam ruang kultural tradisional, pada akhirnya menjadi “kenangan” dan jargon-jargon semata untuk kepentingan pertarungan elemen publik di ruang publik Phoenam, seperti yang disinyalir dalam Sastra Paseng berikut ini: Sadda mappabati ada Ada mappabati gauk Gauk mappanessa tau Temmetto nawa-nawa majak Tellessuk ada-ada belle Temmakatuna ri padanna tau Tekkalupa ri apolEngenna Suara (hati nurani) menjelmakan kata-kata Kata-kata menjelmakan perbuatan Perbuatan menjelaskan hakikat manusia Tidak ada keinginan (maksud) jahat Tidak ada kata-kata bohong Tidak dianggap hina sesama manusia Tidak lupa pada asal penciptaannya/asal muasalnya Nilai-nilai utama ruang kultural tudang sipulung sebagai ruang berdemokrasi bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya secara demokratis ke pemerintah, perlahan-lahan semakin meluntur dan tergerus oleh kepentingan pribadi/kelompok di ruang publik kontemporer di Makassar, sehingga proses “interaksi” yang berlangsung tidak lagi terjalin secara rasional, fair, kritis, egaliter, sehat, dan demokratis seperti yang digambarkan Habermas sebagai kondisi-kondisi yang memungkinkan publik untuk berinteraksi dalam ruang publik, tetapi telah berubah menjadi ruang pertarungan kepentingan yang telah terdistorsi , dan hal inilah yang menjadi ciri khas ruang publik kontemporer saat ini.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
115
3.2
Derajat Kepublikan Ruang Publik Phoenam Makassar Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Jurgen Habermas sebelumnya
bahwa di dalam ruang publik yang otentik terdapat kondisi-kondisi yang memungkinkan para warga negara (private sphere) datang bersama-sama mengartikulasikan
kepentingan-kepentingannya
untuk
membentuk
opini
dan
kehendak bersama secara diskursif. Kondisi-kondisi yang dimaksudkan adalah bahwa semua warga negara memiliki hak yang sama dalam berpartisipasi di ruang publik. Kedua, semua partisipan memiliki peluang yang sama untuk mencapai konsensus yang fair dan memperlakukan rekan komunikasinya sebagai pribadi-pribadi yang otonom dan bertanggung jawab, dan bukan sebagai alat yang dipakai untuk kepentingan tertentu. Ketiga, ada aturan bersama yang melindungi proses komunikasi dari tekanan dan diskriminasi, sehingga argumen yang lebih baik menjadi dasar proses diskusi. Dengan kata lain, dalam ruang publik otentik, kondisi-kondisi yang tercipta adalah kondisi yang inklusif, egaliter, dan bebas tekanan. Kondisi-kondisi yang dimaksudkan Habermas tersebut sebenarnya telah ada dan dialami dalam konsepsi tudang sipulung sebagai ruang kultural Bugis Makassar pada masa lampau, namun dengan seiring berjalannya waktu, budaya politik tradisional mulai tergantikan dengan budaya politik kontemporer yang banyak dimediasi oleh media massa, dan dikooptasi oleh elit-elit publik untuk kepentingan mereka sendiri. Prinsip ada tongeng (kebenaran), lempu’ (kejujuran), getteng (ketegasan), dan sipakatau (saling menghargai) tidak lagi menjadi rujukan dalam
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
116
melakukan “pertarungan”, melainkan hanya menjadi bahan argumentasi agar komunikasi dan prilaku dalam ruang publik terlihat impresif. Hal tersebut dilakukan untuk mencapai kepentingan-kepentingan ideologis dan politis mereka. Kondisi-kondisi inilah yang akan menjadi titik tolak dalam melihat derajat kepublikan ruang publik Phoenam dalam mewadahi berbagai pertarungan ideologis tersebut. Untuk mengevaluasi kondisi-kondisi ideal tersebut di dalam ruang publik Phoenam, maka akan dilihat dari, pertama-tama, persoalan-persoalan yang diwacanakan dalam ruang publik Phoenam, dan kedua, dari sejauhmana keterlibatan publik atau pemberian akses publik dalam perbincangan tersebut. Dari evaluasi persoalan-persoalan yang mengemuka dalam ruang publik Phoenam dan keterlibatan publik di dalamnya, maka akan tergambar kemudian kemampuan kepublikan atau derajat kepublikan ruang publik Phoenam Makassar dalam mewadahi berbagai pertarungan elemen publik yang terlibat di dalamnya.
3.2.1
Wacana-wacana Publik dalam Ruang Publik Phoenam Dari 62 wacana publik di ruang publik Phoenam70 yang terangkat dalam
talkshow-talkshow maupun lewat liputan Fajar dan jumpa pers di ruang publik Phoenam Makassar dari tanggal 28 Mei 2003 hingga 18 April 2007, maka dapat diklasifikasikan berdasarkan 5 ruang lingkup bidang topik pembicaraan, yaitu bidang politik, hukum, sosial, media komunikasi, dan pelayanan publik.
70
Mengenai klasifikasi wacana publik di ruang publik Phoenam, dapat dilihat selengkapnya pada bagian lampiran
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
117
Klasifikasi tersebut hanya didasarkan pada fokus pembicaraan dari topik-topik tersebut, dan tidak menutup kemungkinan ada persinggungan atau keterkaitan antara satu topik dengan topik yang lain. Berdasarkan keseluruhan wacana perbincangan tersebut di atas (61 topik) yang dibicarakan dalam talkshow di Phoenam maupun lewat liputan Fajar dan jumpa pers di ruang publik Phoenam, maka dapat dikatakan bahwa topik-topik perbincangan bidang politik menempati jumlah tertinggi sebanyak 38 topik atau 62,29 %, kemudian menyusul bidang hukum sebanyak 7 topik atau 11,47 %, dan juga bidang sosial sebanyak 7 topik atau 11,47 %, kemudian bidang pelayanan publik sebanyak 5 topik atau 8,19 %, dan terakhir bidang media dan komunikasi sebanyak 4 atau 6,55 %. Dari topik-topik tersebut, tampak bahwa permasalahan bidang politik, khususnya politik yang menyangkut para elit politik71, merupakan topik yang paling sering muncul dan “hangat” dibicarakan di dalam ruang publik Phoenam. Hal ini menunjukkan bahwa berita atau peristiwa-peristiwa politik selalu menarik perhatian publik ataupun media massa untuk dibicarakan. Sebuah peristiwa politik cenderung lebih rumit daripada peristiwa lain. Pada satu pihak, suatu peristiwa politik memiliki dimensi pembentukan opini publik, baik yang diharapkan oleh para politisi maupun oleh media. Terutama oleh aktor politik, pembicaraan peristiwa politik diharapkan dapat mempengaruhi sikap masyarakat mengenai masalah yang dibicarakan si aktor. Para aktor politik menginginkan publik ikut terlibat dalam pembicaraan dan tindakan 71
Topik politik disini hanya berkisar pada persoalan yang dialami para elit-elit politik atau tokohtokoh publik saja sehingga persoalan publik yang sebenarnya (kepentingan umum) malah terabaikan, sebab sudut pandang dan dan persoalan yang dibicarakan hanya persoalan para elit politik semata.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
118
politik mereka melalui pesan politik yang disampaikan. Dalam komunikasi politik, aspek pembentukan opini memang menjadi tujuan utama, karena hal ini akan mempengaruhi pencapaian-pencapaian politik para aktor politik. Hal tersebut terjadi karena terdapat dua faktor yang saling berkaitan. Pertama, peranan media Mercurius dan Fajar (media massa) dalam mengangkat suatu peristiwa yang dapat membentuk opini publik. Suatu peristiwa politik lazimnya selalu dianggap memiliki “nilai berita” oleh media meskipun peristiwa politik tersebut hanya bersifat rutin belaka, misalnya rapat suatu partai politik atau kecelakaan yang menimpa seorang tokoh politik. Kejadian-kejadian rutin tersebut dapat dianggap memiliki nilai berita oleh media, apalagi jika peristiwa politik itu bersifat luar biasa seperti pembubaran parlemen atau pergantian pejabat daerah di tengah masa jabatan, maka peristiwa politik senantiasa menghiasi berbagai media setiap harinya. Dengan demikian, hampir mustahil kehidupan politik dapat dipisahkan dari media massa, mengingat kehidupan politik dewasa ini berada dalam era mediasi media massa (politics in the age of mediation). Kedua, peranan para aktor politik atau tokoh publik yang senantiasa berusaha menarik perhatian wartawan agar aktivitasnya memperoleh liputan dari media. Bagi para aktor politik atau tokoh publik, Mercurius dan Fajar sebagai media massa, memiliki jangkauan luas dan kemampuan melipatgandakan pesan-pesan politik serta dapat membentuk opini publik, sehingga dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan-pesan politik mereka kepada khalayak, agar pesan-pesan politik mereka dapat membentuk opini publik.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
119
Kalau diperhatikan lebih seksama perbincangan politik yang muncul dalam talkshow maupun lewat liputan Fajar dan jumpa pers tokoh publik di ruang publik Phoenam, maka permasalahan yang dominan mencuat adalah hanya menyangkut politik seputar pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) beserta permasalahan-permasalahnnya, dan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi para anggota dewan dan politisi, sehingga pembicaraan politik publik yang sesungguhnya tidak pernah tersentuh karena hanya mementingkan kepentingan perilaku-perilaku dan kehidupan para elit politik saja. Dalam konteks politik, suatu ruang publik idealnya menjadi milik publik, dan wadah bagi segala kepentingan publik serta untuk kepentingan publik. Namun jika memperhatikan topik-topik tersebut, tampak jelas bahwa persoalan sesungguhnya yang banyak dan ramai dibicarakan adalah persoalan-persoalan dari para tokoh-tokoh publik atau para elit politik, yang hanya saja dikooptasi dengan “mengatasnamakan” kepentingan publik, padahal kepentingan sebenarnya yang muncul adalah kepentingan kelompok atau pribadi dari para elit politik tersebut. Dengan kata lain, kepentingan pribadi elit yang telah dibungkus dalam kemasan kepentingan umum (publik). Hal tersebut bisa terjadi, karena adanya kepentingan publik (tokoh-tokoh publik) yang telah mengalami penyimpangan (terdistorsi), misalnya untuk kepentingan kelompok atau pribadi mereka, yang saling berhadapan dan tumpang tindih di dalam ruang publik Phoenam, sehingga berlangsung adalah pertarungan kepentingan
dari
kelompok-kelompok
elit
atau
pribadi-pribadi
yang
mengatasnamakan kepentingan publik.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
120
Fokus pembicaraan seperti penggusuran pedagang kali lima (PK5), pemerkosaan, kemiskinan, gelandangan, dan pengemis, serta berbagai tema-tema minor lainnya, dapat dikatakan hampir tidak pernah tersentuh dalam perbincangan talkshow dan jumpa pers tokoh publik di ruang publik Phoenam, dan kalaupun “sempat” menjadi bahan perbincangan, hal tersebut hanya dianggap karena memiliki “nilai jual” atau nilai berita di dalamnya, dan bersinggungan dengan kepentingan pejabat elit, misalnya kepentingan elit yang “terganggu” oleh tindakan kelompok minor, sehingga perlu diperbincangkan ke hadapan publik. Jadi, jika melihat representasi ruang publik politis di Makassar yang banyak memediasi topik-topik perbincangan publik di ruang publik Phoenam baik lewat talkshow maupun lewat liputan Fajar dan jumpa pers tokoh-tokoh publik di ruang publik Phoenam, dapat dikatakan bahwa sebagian besar perbincangan yang mencuat hanya memperbincangkan masalah elit politik dan elit pemerintah. Ruang kultural tudang sipulung yang tadinya mampu mengakomodir persoalan masyarakat dari berbagai tingkatan dan dari berbagai masalah, dari persoalan elit hingga persoalan rakyat biasa, kini telah berganti, dan banyak “diramaikan” oleh persoalan elit-elit publik, dan akibatnya persoalan kelompok pinggiran (the other) akan semakin tersingkirkan. Persoalan kepublikan yang muncul tidak lagi didasarkan pada prinsip ada tongeng (kebenaran) untuk mengungkap persoalan masyarakat pinggiran, prinsip lempu’ (kejujuran) untuk memberitakan fakta apa adanya tanpa ada yang disembunyikan, dan prinsip sipakatau (saling menghargai) untuk melibatkan semua
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
121
unsur masyarakat termasuk masyarakat pinggiran, sebagaimana yang berlangsung pada tudang sipulung, melainkan diatur sedemikian rupa oleh kesepakatankesepakatan media dan tokoh publik beserta koalisi-koalisinya. Pembicaraanpembicaraan yang mengemuka tidak lagi mencerminkan realitas persoalan publik Makassar yang luas dan sesungguhnya, melainkan dikonstruksi “untuk dan hanya” membicarakan segelintir kepentingan elit pemerintah atau elit politik saja, yang kemudian diklaim sebagai kepentingan “publik”. Dengan demikian, dengan berubahnya nilai-nilai kondisi-kondisi ruang kultutal tradisional yang telah dikonstruksi fungsi dan perannya oleh struktur ekonomi politik media dan tokoh-tokoh publik di ruang publik Phoenam, maka hal tersebut akan berimplikasi langsung terhadap berkurangnya kemampuan kepublikan ruang publik Phoenam dalam memediasi publik untuk membicarakan persoalanpersoalan bernegara, dan hal tersebut disinyalir oleh Habermas sebagai ruang publik tidak otentik, yang mana opini publik lebih banyak ditentukan oleh para elit politik, ekonomi, dan media, yang mengatur opini publik sebagai bagian dari sistem manajemen dan kontrol terhadap masyarakat.
3.2.2
Akses Publik di Ruang Publik Phoenam Dari keterlibatan sejumlah tokoh publik72 dalam talkshow di ruang publik
Phoenam dari tanggal 28 Mei 2003 hingga 18 April 2007, maka dapat diperoleh gambaran mengenai komposisi tokoh-tokoh publik yang tampil yaitu sebanyak 121 72
Mengenai nama-nama narasumber berserta latarbelakangnya profesinya, dapat dilihat pada daftar lampiran.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
122
orang, dengan perincian masing-masing yaitu, untuk pejabat publik73 sebanyak 63 orang atau 52,06 %. Kelompok intelektual (pengamat dan akademisi) sebanyak 28 orang atau 23,14 %, kemudian kelompok profesional dan praktisi sebanyak 8 orang atau 6,61 %. Dari media massa sebanyak 5 orang atau 4,13 %, dan terakhir dari organisasi kemasyarakatan (seperti LSM, KNPI, Forum-forum) sebanyak 12 orang atau 9,91 %. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa pembicara yang berasal dari pejabat publik dan intelektual merupakan tokoh-tokoh publik yang paling banyak mendapat akses perbincangan di ruang publik Phoenam. Dengan demikian, informasi-informasi penting sebagian besar “hanya” diperoleh dari tokoh-tokoh publik tersebut. Hal ini kemudian menyebabkan persoalan publik lebih banyak dipandang dari kacamata mereka (tokoh-tokoh publik). Pembicara yang mewakili kelompok-kelompok minoritas seperti di antaranya tunawisma, gelandangan, dan pengemis, dapat dikatakan hampir tidak ditemui dalam ruang publik Phoenam. Padahal menurut pengakuan Mercurius sebagai fasilitator perbincangan
publik,
kegiatan
tersebut
dimaksudkan
untuk
membicarakan
kepentingan umum yang akan diteruskan kepada para pengambil kebijakan, namun pada kenyataannya, kelompok-kelompok tertentu saja (pejabat publik dan intelektual) yang memiliki kesempatan menampilkan dirinya dan turut membicarakan persoalanpersoalan mereka (persoalan elit), dan kalaupun persoalan kelompok-kelompok 73
Pejabat publik yang dimaksud di sini seperti anggota dewan (DPRD), anggota KPUD, Panwaslu, Pejabat pemerintahan, KPID, Mantan pejabat, Pimpinan perusahaan, Perwakilan Pimpinan universitas.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
123
minoritas dibicarakan, selain porsinya yang sedikit, persoalan tersebut cenderung dibingkai dalam sudut pandang kelompok elit, dan dianggap memiliki “nilai berita” yang dapat dijual. Selain itu, peristiwa-peristiwa tersebut cenderung dilihat dari sudut (angle) dan fokus keterkejutan pihak yang menyaksikan suatu drama tragis, bukan dari sisi kelompok minoritas itu sendiri. Dengan kata lain, kacamata yang digunakan untuk melihat kelompokkelompok minor ini adalah kacamata kelompok elit, dan juga melibatkan kepentingan bisnis dibaliknya, yang sama sekali tidak mewakili kepentingan umum dan menyentuh persoalan publik yang sebenarnya, melainkan hanya memikirkan kepentingan pribadi atau kelompoknya saja. Mengenai sejauhmana keterlibatan unsur “publik” dalam ruang publik Phoenam,
Mercurius
melalui
Reihan
Wahyudi
mengungkapkan
bahwa
penyelenggaraan dan penyediaan pembicara pada talkshow di ruang publik Phoenam dapat dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu. Hal tersebut tentu saja mensyaratkan adanya kesepakatan tertulis antara Mercurius dan kelompok tersebut. Sebagaimana pernyataan Raihan tentang kesepakatan tersebut: “Oh iya, harus tertulis karena bagaimanapun ini bisnis kan, ada pay before broadcast, bayar dulu sebelum kita siaran”. Pernyataan Reihan tersebut menyiratkan secara langsung bahwa ruang publik Phoenam dapat menjadi ruang “transaksi bisnis” antara Mercurius dengan pihakpihak yang berkepentingan dengan publik dalam rangka menciptakan penerimaan publik (public consent) atas kepentingan-kepentingannya. Di sini terlihat bahwa
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
124
ruang publik Phoenam mengalami “komodifikasi” dan “kooptasi” dari berbagai kepentingan atas ruang publik untuk kepentingan-kepentingan ekonomi politik radio Mercurius sebagai lembaga komersial. Dengan komodifikasi dan kooptasi ini, maka representasi publik melalui tokoh-tokoh publiknya akan lebih banyak diwakili oleh kelompok-kelompok yang hanya memiliki modal (uang) besar, sedangkan kelompok-kelompok minoritas yang tidak bermodal, tentu tidak akan memiliki kesempatan sama untuk mengakses ruang publik Phoenam, sehingga dapat dipastikan bahwa suara-suara atau kepentingankepentingan minoritas tidak akan “terdengar” di dalam ruang publik Phoenam atau akan selalu menjadi pihak-pihak yang mengalami marginalisasi (terpinggirkan) di dalam ruang publik Phoenam tersebut. Dengan demikian, maka kelompok-kelompok yang bermodal besar saja yang akan mampu melakukan manajemen isu atau usaha pembentukan opini publik untuk menyampaikan kepentingan mereka, dengan membeli jam tayang dalam talkshow di ruang publik Phoenam. Selain dari sisi unsur-unsur publik yang ingin terlibat (dari luar) pada talkshow di ruang publik Phoenam, dari sisi Mercurius sendiri (dari dalam), Mercurius dapat memilih kelompok-kelompok mana yang ingin diberi akses sebagai pembicara atau representasi publik (tokoh-tokoh publik) dalam acara talkshow, dan kelompok-kelompok mana yang ingin ditolak, seperti yang dikatakan moderator talkshow, A. Mangara: “....... Ya, kita sebagai event organiser juga, dimediasi saja apa topiknya, jika cocok, program kita terima dan kalau tidak, maka kita tolak....”
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
125
Pernyataan A. Mangara tersebut memperlihatkan kekuasaan “hak” Mercurius dalam
memberi
akses
kepada
pembicara
yang
diinginkan.
Hal
tersebut
mengindikasikan bahwa penerimaan ataupun penolakan Mercurius terhadap permintaan acara talkshow oleh suatu kelompok, tidak saja dapat menampilkan atau menonjolkan “wacana-wacana” yang dianggap (dapat) menjadi isu “perbincangan dan kepentingan publik” oleh
Mercurius, tapi secara tidak langsung juga akan
meminggirkan atau bahkan mengeliminasi “wacana-wacana” yang dianggap tidak menarik untuk menjadi isu “perbincangan dan kepentingan publik”. Dengan kata lain, pengertian wacana “publik” atau “bukan publik”, akan lebih banyak didefinisikan oleh kepentingan-kepentingan ideologis Mercurius sebagai mediator talkshow di ruang publik Phoenam. Dengan demikian, logika yang bermain dalam talkshow di ruang publik Phoenam adalah logika determinisme pasar. Logika determinisme pasar ini, tidak saja akan menjadikan ruang publik sebagai komoditas, tetapi juga akan meminggirkan kelompok-kelompok yang tidak sesuai dengan kepentingan pasar Mercurius. Akibatnya, isu-isu permasalahan sosial seperti tunawisma, anak jalanan, kemiskinan, pengangguran, kelompok minoritas, penggusuran, akan dianggap sebagai isu yang tidak mengandung “nilai berita” dan tidak berpotensi untuk diolah menjadi komoditas informasi, dan secara otomatis pula, peluang akses atau keterlibatan narasumber dari kelompok-kelompok minor ini dalam ruang publik Phoenam, akan semakin sempit atau bahkan tidak ada sama sekali, dan hal itu akan berpotensi menciptakan jurang sosial antar elemen masyarakat.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
126
Jadi, dengan melihat ketimpangan representasi keterlibatan publik antara kelompok yang elit dengan kelompok minoritas dalam
ruang publik Phoenam
Makassar, dan logika determinisme pasar yang ada dibaliknya, maka nilai-nilai ruang kultural tudang sipulung tidak lagi menjadi acuan partisipasi publik dalam ruang publik kontemporer di Makassar dewasa ini, yang mana persoalan publik tidak lagi bersumber dan dibicarakan oleh elemen publik yang mengalami permasalahan tersebut dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang berlangsung dalam tradisi berdemokrasi ala Bugis Makassar, melainkan lebih banyak disuarakan oleh keterlibatan media sebagai mediator pelayanan publik dan representasi tokoh-tokoh publik di ruang publik Phoenam. Kemudian akibatnya, nilai-nilai kebenaran (ada tongeng) dan ketegasan kepada kebenaran (getteng’) serta keberpihakan kepada orang banyak (tenrusa taro to mega-E) bukan menjadi prioritas utama dalam berkomunikasi tetapi menjadi simulasi dan diatur untuk kepentingan media, tokoh-tokoh publik, dan koalisi-koalisi strategisnya. Dengan demikian, untuk menakar kemampuan kepublikan atau derajat kepublikan ruang publik Phoenam dalam menciptakan kondisi-kondisi demokratis ruang publik, maka dapat disampaikan bahwa kondisi ruang publik Phoenam Makassar masih jauh dari kondisi-kondisi ideal suatu ruang publik otentik, yang mana salah satu syaratnya adalah egaliter, fairness, sehingga derajat kepublikannya lebih cenderung kepada ruang publik tidak otentik, sebagaimana yang dipaparkan Habermas bahwa dalam ruang publik tidak otentik, komunikasi berlangsung tidak lagi memenuhi tuntutan-tuntutan komunikasi ideal yang bebas tekanan, dan akibatnya
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
127
opini publik lebih banyak dimanipulasi dan ditentukan oleh para elit politik, ekonomi, dan media, sehingga rasionalitas yang berkembang bukan lagi berdasarkan rasionalitas moral-komunikatif, melainkan rasionalitas kogitif-instrumental, yang cenderung menjadikan ruang publik sebagai tujuan (sasaran) semata-mata untuk mencapai kepentingan masing elemn publik di dalamnya, dan bukan sebagai ruang untuk belajar menuju kedewasaan. Namun terlepas dari menyimpangnya fungsi ruang publik dewasa ini, ruang publik Phoenam telah memfasilitasi ruang kepada publik untuk “bertarung” memperjuangkan kepentingan-kepentingannya masing-masing dalam rangka mencapai kepentingan-kepentingan hegemoniknya.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
128
Bab 4 PENUTUP
Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru (negara) akibat desakan arus liberalisasi, ruang-ruang publik di tanah air mulai menampakkan dirinya. Namun kuatnya arus liberalisasi tersebut, justeru membuat ruang-ruang publik kembali “tercengkram” di bawah kendali kekuasaan regulasi pasar. Kekuasaan logika pasar inilah yang kemudian banyak mengooptasi keberadaan ruang-ruang publik kontemporer di Indonesia. Di Makassar, ruang publik Phoenam tampil sebagai trendsetter dan representasi ruang publik kontemporer Makassar. Ruang publik Phoenam ini mewadahi berbagai pertarungan kepentingan yang terlibat di dalamnya seperti radio Mercurius, harian Fajar, Phoenam, tokoh-tokoh publik, dan pengunjung/komunitas Phoenam. Tiap-tiap elemen publik ini secara politis dan ideologis mengooptasi dan mengomodifikasi ruang publik Phoenam, dan masing-masing melakukan “perang posisi” (war of position) untuk memperjuangkan kepentingannya masing-masing menuju hegemoni. Mercurius misalnya, perang posisi Mercurius berdampak kepada komodifikasi dan marjinalisasi ruang publik Phoenam untuk kepentingan hegemoninya menuju media unggulan. Demikian pula dengan Phoenam, koalisi strategis bersama Mercurius dan komunitas Phoenam mempermudah jalan bagi Phoenam menuju bisnis warung kopi yang memiliki “brand” di Makassar. Koalisi strategis tersebut
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
129
berdampak kepada kapitalisasi dan komersialisasi ruang publik Phoenam sebagai ruang untuk mendapatkan keuntungan. Media Fajar pun mengonstruksi realitas dalam pembingkaiannya sendiri, dengan membangun konsensus bersama tokoh-tokoh publik agar memperoleh “nilai berita” terhadap realitas konstruksinya. Ekonomi politik media Fajar tersebut dilakukan dalam rangka menuju hegemoni media terdepan di ruang publik Phoenam. Sedangkan bagi tokoh-tokoh publik, ruang publik Phoenam merupakan ruang pencitraan diri dan konstruksi realitas politik untuk memperoleh penerimaan publik (public consent) dan opini publik (public opinion) atas hegemoni yang tengah diperjuangkan, dan hal tersebut memerlukan negosiasinegosiasi strategis dengan elemen publik lain, termasuk dengan pengunjung Phoenam. Kehadiran pengunjung dan komunitas Phoenam di ruang publik Phoenam turut “meramaikan” pertarungan kepentingan tersebut. Dengan perjuangan kultural dan politisnya, para pengunjung dan komunitas Phoenam membentuk koalisi strategis agar jalan mendekati hegemoni dapat dengan mudah diraih. Dari wacana-wacana yang mengemuka menjadi perbincangan publik, wacana politik elitlah yang paling dominan dan sering dibicarakan di dalam ruang publik Phoenam. Demikian pula akses publik di ruang publik Phoenam, pejabat publik dan intelektual merupakan tokoh-tokoh yang dominan mendapat akses di ruang publik Phoenam. Konsekuensi logis dari hal tersebut ialah tersingkirnya kelompokkelompok minor dari perbincangan publik Makassar sehingga kelompok-kelompok tersebut tidak memiliki kesempatan menampilkan dirinya, dan akhirnya akan tetap “terpinggirkan” dalam berbagai aspek kehidupan akibat terbatasnya peluang mereka.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
130
Melihat kompleksitas pertarungan kepentingan pribadi/kelompok di ruang publik Phoenam, dan dominannya komunikasi wacana elit politik, serta terbatasnya akses komunikasi publik secara luas dan adil di ruang publik Phoenam, maka hal-hal tersebut dapat mempengaruhi derajat kepublikan ruang publik Phoenam dalam memediasi aspirasi dan kontrol publik terhadap penyelenggaraan kekuasaan (pemerintahan). Oleh karena itu, kondisi-kondisi ruang publik Phoenam Makassar masih jauh dari kondisi-kondisi ideal sebagai suatu ruang publik politis, yang derajat kepublikannya cenderung kepada ruang publik tidak otentik sebab kondisi-kondisi yang berlangsung tidak lagi berjalan secara kritis, rasional, tanpa tekanan, egaliter, dan insklusif, melainkan dikooptasi dan dikomodifikasi oleh para elit politik, ekonomi, dan media, untuk kepentingan-kepentingannya masing-masing. Dengan demikian, dengan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kondisi-kondisi ruang publik Phoenam di Makassar dewasa ini, maka hal tersebut dapat memberi gambaran bagaimana perubahan prinsipil terjadi dalam konsepsi nilai-nilai budaya politik publik di Sulawesi Selatan, dari ruang kultural tradisional ke ruang publik kontemporer. Jika pada ruang kultural tudang sipulung, kondisi-kondisi ideal seperti ada tongeng (kebenaran), lempu’ (kejujuran), getteng (ketegasan), sipakatau (saling menghargai), yang kesemuanya bermuara pada konsepsi Siri’ na Pacce (harga diri dan kehormatan) sebagai “roh” penggerak pola pikir dan prilaku budaya politik masyarakat, menjadi dasar rasionalisasi dalam berpikir dan bertindak dalam budaya politik Bugis Makassar, maka dalam konteks ruang publik Phoenam kontemporer di era mediasi saat ini, faktor komodifikasi dan
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
131
ekonomi politik menjadi logika dan dasar rasionalisasi pertarungan kepentingan masing-masing elemen publik di ruang publik Phoenam, sehingga yang tersisa (hanyalah) adalah kepentingan publik yang telah terdistorsi untuk kepentingan pribadi/kelompok. Tradisi “duduk bersama” (tudang sipulung) sebagai warisan dan kearifan budaya lokal, hanya menjadi slogan dan argumentasi untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan ideologis masing-masing pihak menuju hegemoni di ruangruang publik di Makassar. Hal tersebut (dapat) menjadi salah satu gambaran budaya politik kontemporer yang tengah berkembang di Makassar maupun di tanah air dewasa ini. Dari hasil penelitian ruang publik Phoenam ini, pendekatan Habermasian ternyata belum cukup “menjanjikan” untuk menjawab berbagai kompleksitas permasalahan ruang publik dalam konteks kekinian. Perspektif Habermasian yang mengandaikan tindakan komunikatif yang bebas dan setara, sepertinya menjadi suatu utopia komunikasi sebab sangat sulit membayangkan suatu tatanan masyarakat dalam konteks masa kini yang betul-betul setara, baik secara ekonomis, politis, maupun kultural. Oleh karena itu, dengan semangat cultural studies, kehadiran hasil penelitian ini hanyalah sebentuk kritik terhadap kondisi budaya politik kontemporer yang melanda budaya politik Indonesia secara umum dan di Makassar secara khusus. Sekaligus kritik terhadap pendekatan Habermas mengenai ruang publik di era kapitalisme kontemporer. Dengan demikian, hasil penelitian ini masih jauh dari kata “selesai” dan “sempurna” mengingat keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya untuk
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
132
mengeksplorasi lebih jauh persoalan ruang publik ini. Untuk itu, diharapkan untuk penelitian-penelitian berikutnya dapat menjangkau ruang-ruang publik yang lain, yang tidak hanya terbatas pada ruang publik Phoenam saja, tetapi juga pada ruangruang publik yang lain, dengan pendekatan-pendekatan yang lebih realistis dan “membumi”, agar penjelasan komprehensif mengenai budaya politik kontemporer dapat diperoleh lebih lengkap. Hal yang menarik pula yang belum sempat terjangkau dalam penelitian ini adalah pertarungan wacana antar ruang publik ala warung kopi sebab dari pengamatan umum penulis, tiap-tiap ruang publik ala warung kopi di Makassar mencoba untuk menampilkan dirinya secara “berbeda” dari yang lain, baik dari segi segmen pengunjungnya, kontestasi wacana yang berkembang, maupun dari keterlibatan media dan tokoh-tokoh publiknya. Hal tersebut akan sangat menarik jika menjadi bahan penelitian berikutnya. Demikian pula penelitian mengenai tudang sipulung sebagai ruang kultural Bugis Makassar, kiranya perlu penelitian yang lebih mendalam dan aplikatif, bagaimana “membumikan” tradisi yang sudah beratus tahun lamanya, dalam konteks budaya politik kontemporer, tanpa menghilangkan esensi tudang sipulung, dan juga tanpa menafikan kondisi-kondisi real budaya politik kontemporer. Hal terakhir yang juga menarik untuk diteliti adalah bagaimana perubahan peran dan fungsi warung kopi dari zaman ke zaman, dari zaman penjajahan, kemerdekaan, orde baru, hingga reformasi saat ini.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
133
Daftar Pustaka
Althusser, Louis. 1994. “Ideology and Ideological State Apparatus” dalam Mapping Ideology (edited by Slavoj Zizek). London-New York: Verso. Barker, Chris (2000) Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage Barker, Chris (2004) The Sage Dictionary of Cultural Studies. London: Sage Crossley, Nick (2005) Key Concepts in Critical Social Theory. London: Sage Galtung dan Ruge (2004) “Structuring and Selecting News”, dalam John Fiske, Cultural and Communication Studies (terj). Yogyakarta: Jalasutra Goffman, Erving (1969) The Presentation of Self in Everyday Life. Hardmonsworth: Penguin Gramsci, Antonio (1996) Selections from the Prison Notebooks (eds. by Quintin Hoare & Geoffrey Nowell Smith). London: Lawrence and Wishart Habermas, Jurgen (1993) The Structural Transformation of The Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (trans. by Thomas Burger) Cambridge: The MITT Press Habermas, Jurgen (2002) “The Public Sphere: An Encyclopedia Article” in Media and Cultural Studies (eds. Meenakshi Durham & Douglas Kellner). Massachusetts: Blackwell Hamad, Ibnu (2004) Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta: Granit Hamid, Abu et all. (2005) Siri & Pesse: Harga Diri Manusia Bugis, Makassar, Mandar, Toraja. Makassar: Pustaka Refleksi. Hamid, Abdullah (1985) Manusia Bugis Makassar: Suatu Tinjauan Historis terhadap Pola Tingkah laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis Makassar. Jakarta: Inti Dayu. Hardiman, Franky Budiman (1993) Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
134
Hardiman, Franky Budiman (2005) “Ruang Publik Politis” dalam Republik Tanpa Ruang Publik, Sunaryo Hadi Wibowo (ed). Yogyakarta: IRE Press Hidayat, Dedy N (2003) “Fundamentalisme Pasar dan Konstruksi Sosial Industri Penyiaran: Kerangka Teori Mengamati Pertarungan di Sektor Penyiaran” dalam Konstruksi Sosial Industri Penyiaran, (Effendi Gazali dkk, editor). Depok: Departemen Ilmu Komunikasi Fisip UI Ibrahim, Anwar (2003) Sulesana: Kumpulan Esai tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal. Makassar: Lephas. Juliawan, Hari B (2004) “Ruang Publik Habermas: Solidaritas tanpa Intimitas” dalam Majalah Basis (No.11-12, tahun ke 53, November-Desember 2004). Yogyakarta: Yayasan BP Basis Lubis, Akhyar Yusuf (2006) Dekonstruksi Epistemologi Modern. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu. Mattulada, Drs (1974) “Bugis-Makassar: Manusia dan Kebudayaannya” dalam Terbitan Khusus Berita Antropologi No 16. Jurusan Antropologi Fakultas Sastra UI. Mattulada (1985) La Toa: Suatu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Moleong, Lexy J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. (cet. ke-22). Bandung: Rosda Nas, Jayadi (2007) Konflik Elite di Sulawesi Selatan: Analisis Pemerintahan dan Politik Lokal. Makassar: Lephas & Yayasan Massaile. Patria Nezar dan Andi Arief (1999) Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pelras, Christian (2006). Manusia Bugis. Jakarta: Nalar & Forum Jakarta Paris. Piliang, Yasraf Amir (2005) “Minimalisme Ruang Publik: Budaya Publik di dalam Abad Informasi” dalam Republik Tanpa Ruang Publik, Sunaryo Hadi Wibowo (ed). Yogyakarta: IRE Press Rahim, A. Rahman (1985) Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis. Makassar: LEPHAS
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
135
Simon, Roger (2004) Gagasan-gagasan Politik Gramsci. (terj. Kamdani & Imam Baehaqi). Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar Sindhunata (2004) “Berfilsafat di tengah Zaman Merebak Teror” dalam Majalah Basis (No.11-12, tahun ke 53, November-Desember 2004). Yogyakarta: Yayasan BP Basis Takko, A.B & Mukhlis Hadrawi (2001), Hak Asasi Manusia dalam Budaya Bugis, Laporan Hasil Penelitian Rutin. Makassar: Lembaga Penelitian Unhas Widjaja, Albert (1988) Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES
Website: http://www.tribun-timur.com/view.php?id=32778 (dipunggah 19 Agustus 2006) http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=13893 (dipunggah 25 Maret 2007) http://www.fajar.oc.id/news.php?newsid=35883 (dipunggah 30 Mei 2007) http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=30769 (di punggah 15 Juni 2007) http://www.cybertravel.cbnnet.id/detilhit.asp?kategori=place (dipunggah 15 Juni 2007) http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=30063 (dipunggah 29 Juli 2007) http://en.www.wikipedia.org/wiki/political_culture (dipunggah 30 Juli 2007) http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=46040 (dipunggah 15 Januari 2008) Kelner, Douglas (2004) “Habermas, The Public Sphere & Democracy” di http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/kellner/papers/habermas.html. (dipunggah 27 November 2007)
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
136
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
137
Lampiran 1 TOPIK DAN PEMBICARA MATRIKS OBROLAN WARUNG KOPI PHOENAM PERIODE 2003 – 2007
N Hari/ o Tanggal
Topik
Pembicara
1 Rabu, 28 Mei 2003
KPUD dan Politik, No wowan No Cry
- Tajuddin Rahman, S.H (Pengacara) - Husaimah Husain (LBH) - Dra. Ursia Santi (Anggota Dewan)
2 Rabu, 25 Juni 2003
Try Out Masuk UMPTN oleh Parpol: Virus atau Pendidikan Politik?
- Ilham Arif Sirajuddin (Ketua Golkar Makassar) - Drs. Hidayat Nahwi Rasul (Pengamat Komunikasi Politik) - Prof. Dr. Ir. Mappadjantji Amien (Pembantu Rektor IV Unhas)
3 Rabu, 9 Juli 2003
Pemerintah Penyiaran Lokal
dan
- Syahrul Yasin Limpo, S.H. (Wakil Gubernur SulSel), - Drs. Azwar Hasan (Pengamat Komunikasi), - Husain Abdullah (Reporter RCTI/IJTV)
4 Rabu, 23 Juli 2003
Anak Indonesia Tantangannya
dan
- Prof. Mansyur Ramli (Ketua Lembaga Perlindungan Anak Sulsel), - Dewan Anak Kota Makassar, - Dwia Aristina Kalla (Pemerhati Anak).
5 Rabu, 6 Agustus 2003
DPD Dan Partai Politik
-
6 Rabu, 20 Agustus 2003
Pemilihan Walikota Makassar dalam Dilema
- Pahir Halim (Anggota KPU Makassar), - Nasran Mone (Anggota DPRD Makassar), - DR. Aminuddin Ilmar (Pengamat Hukum Tata Negara Unhas).
7 Rabu, 10 September 2003
Makassar SemrawutMakassar di Tata
- Dedy T Tickson (Akademisi Unhas), - Mahendra ( PT. GMTD Tbk ), - Ir. Burhanuddin Odja (Komisi D DPRD Makassar) - HB. Amiruddin Maula (Walikota Makassar )
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
DR. Nursadiq ( Pemerhati Politik ), Notrida M (Calon Anggota DPD) Ridwan Jhony Silamma (Anggota KPU Sulsel), DR.Aswanto,S.H. (Ketua Panwaslu Sulsel).
i
8 Rabu, 23 September 2003
Belajar dari Selayar
-
9 Rabu, 08 Oktober 2003 1 Rabu, 0 03 Desember 2007
KPU SulSel dalam Cobaan dan Godaan
- Ridwan Jhony Silamma (Anggota KPU Sulsel), - Ir. Adil Patu (Mantan Anggota DPRD Sulsel) - Faisal Abdullah, S.H. (Akademi Unhas)
Panwaslu VS Arnold Baramuli: Sebuah Fenomena Hukum dan Politik
- Dr. Aswanto, S.H. (Ketua Panwaslu Sulsel) - Arnold Baramuli (Calon DPD)
1 Rabu, 1 17 Desember 2003
Pemilihan Walikota Makasar: antara Kepentingan Parpol dan Keinginan Masyarakat
-
Ir. Tajuddin Rahman (Pengamat Politik) Drs. Majid Sallatu (Akademisi) Drs. Saleh Manda (Pengamat Politik) Meidi Rahmat Rahardi (Anggota Dewan)
1 Rabu, 2 31 Desember 2003
Pemilu 2004: dari Daftar Caleg Hitam hingga Pencalonan Tertutup
-
Ir. Farouk Beta (Partai Golkar), Abustan, S.H. (Partai Amanat Nasional), Eljas Joseph (IEW), Idrus Marhan (Ketua DPP KNPI), Pahir Halim (KPU Kota Makassar).
1 Rabu, 3 11 Februari 2004
Pemilu DPD tak kenal maka tak milih
-
Mappinawang,S.H (KPU Sulsel ), DR. Aswanto (Panwaslu Sulsel), Faisal Abdullah, S.H.(Akademisi), Aksa Mahmud (Calon Anggota DPD)
1 Rabu, 4 25 Februari 2004
Satgas Parpol dalam Pemilu: Mengamankan atau Diamankan
- Drs. Anas Genda M.M (AMPG Sulsel), - Prof DR. Jalaluddin Rahman (PPP), - Ridwan Jhony Silamma (KPU Sulsel), DR. Aswanto (Panwaslu Sulsel), - Kombes Pol. Jose Risal (Kapolwiltabes Kota Makassar ).
1 Rabu, 5 10 Maret 2004
Detik-detik Kampanye Menyentuh
-
Drs. M.Darwis, M.A (KPU Sulsel), Ir.Ilham Arief Sirajuddin (Partai Golkar), Dr. Qayyim Munarka (Partai Keadilan Sejahtera), Rusdin Abdullah (Calon DPD Sulsel).
1 Rabu, 6 24 Maret 2004
Menggagas Ranperda Perlindungan Pekerja Anak di kota Makassar
-
Rusdin Tompo (LSM) Kadis Tenaga Kerja Jafar Sodding (LSM) Plan Internasional (LSM)
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
Abraham Samad, S.H. (Koordinator ACC Sulsel), Alex Sato Bya, S.H. (Kajati SulSel), Yusuf Gunco, S.H. (Pengacara), Syamsuddin Alimsyah (Koordinator Kopel Sulsel)
ii
1 Rabu, 7 12 Mei 2004
Militer Mengapa Harus Ditolak
-
Imam Mujahidin Fahmid (Pengamat Politik), DR. Muin Salim (Akademisi), Pepih Nugraha (Wartawan), Tajuddin Rahman, S.H. (Pengacara).
1 Rabu, 8 26 Mei 2004
Legitimasi Caleg Terpilih: Belajar dari Kasus Golkar
-
Ir. Rahmawajid (Pengamat Politik), Mappinawang, S.H. (KPU SulSel), DR. Aminuddin Ilmar (Akademisi), A. Patarai (Partai Golkar Makassar).
1 Rabu, 9 09 Juni 2004
Fatwa NU dan Negative Campaign
-
DR. Qasim Mathar (Pengamat Politik), DR. Hamka Haq (Team Sukses Megawati), Notrida Gani Mandica (Pemerhati Perempuan), Drs. Mansyur Semma (Pengamat Komunikasi Politik).
2 Rabu, 0 23 Juni 2004
Wiranto VS SBY: dari Keberpihakan Media hingga Pemecatan Kader
-
Imam Mujahidin Fahmid (Pengamat Politik), Anas Genda (Team Sukses Pasangan WW) DR. Aswanto (Panwaslu Sulsel), Drs. Mansyur Semma (Pengamat Komunikasi).
2 Rabu, 1 07 Juli 2004
Andai Megawati Lolos di Putaran Kedua
- Prof. Tahir Kasnawi (Akademisi), - DR. Laudin Marsuni (Pengamat Hukum Tata Megara), - Prof DR. Hamka Haq (Team Megawati), - Mappinawang, S.H. (KPU Sulsel)
2 Rabu, 2 21 Juli 2004
Amerika Serikat di antara SBY dan Megawati
- Iman Mujahidin Fahmid (Pengamat Politik) - Faisal Abdullah (Akademisi) - Azwar Hasan (KPID/Pengamat Komunikasi)
2 Rabu, 3 04 Agustus 2004
Peluang Wiranto di Mahkamah Konstitusi
-
DR. Aswanto (Panwaslu Sulsel), Ridwan Jhony Silamma (KPU Sulsel), Ir. Arfandi Idris (Team Sukses Wiranto), DR. Aminuddin Ilmar (Pengamat Hukum Tata Negara).
2 Rabu, 4 18 Agustus 2004
Golkar Mendukung Megawati, Bagaimana Peluang SBY?
-
DR. Qasim Mathar (Pengamat Politik), Ishak Ngeljaratan (Pengamat Sosial), Hasyim Manggabarani (Tim Sukses SBY), Imam Mujahidin Fahmid (Pengamat Politik).
2 Rabu, 5 01 September 2004
Tokoh Sulsel Menghadang JK
-
Buhari Kahar Muzakkar (Fungsionaris PAN), Iskandar Pasajo (Anggota Dewan) Hasyim Manggabarani (Team Sukses SBY-JK), Drs. Muh Darwis (KPU SulSel).
2 Rabu, 6 15 September 2004
Jangan Ada Golput di antara Kita
-
Kautsar Bailusy (Pengamat Politik), DR. Aswanto (Panwaslu), Mappinawang (KPU Sulsel), Abbas Hadi (Kepala PMD Kab Gowa).
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
iii
2 Rabu, 7 06 Oktober 2004
Reformasi di DPRD, Mungkinkah?
- Dr. Qaiyyim Munarka (Anggota DRD Partai PKS Sulsel), - Ir. Adil Patu (Anggota DPRD Partai PDK Sulsel), - Madjid Sallatu, S.E (Kepala Pusat Studi Kebijakan dan Managemen Pembangunan UNHAS), - A. Timo Pangerang (Anggota DPRD Sulsel).
2 Rabu, 8 22 Desember 2004
JK Terpilih, Demokrasi Mati?
-
Andi Yakub M.Si (Pengamat Politik), Imam Mujahdin Fahmid (Pengamat Politik), Ishak Ngeljaratan (Pengamat Sosial), Drs. Anas Genda (Partai Golkar)
2 Rabu, 9 05 Januari 2005
Penerimaan CPNS, Permainan Pusat atau Daerah
-
Ir. Ilham Arief Sirajuddin (Walikota Makassar), A.Rudianto Asapa, S.H. (Bupati Sinjai), Edi Suyitno (BAKN Regional), DR. Aswanto (Praktisi Hukum), Arifuddin Mane (SCW).
3 Rabu, 0 09 Februari 2005
Ganyang Perlukah
- DR.Edward Palinggomang (Akademisi), - Idris Buyung, S.H. (Pengamat Hukum Internasional), - Drs. Mansyur Semma (Pengamat Komunikasi) - Drs. A. Syamsu (Diplomat Karier Senior, Mantan Wakil Dubes Indonesia untuk Malaysia).
3 Rabu, 1 23 Februari 2005 3 Rabu, 2 23 Maret 2005
Menggugat Kontrol DPR
Desk Pilkada, Reinkarnasi Pemerintahan Orba dalam Pemilu
-
3 Rabu, 3 06 April 2005
Islam dan Wanita Memimpin Shalat
- DR. Qasim Mathar (Akademisi) - Rahmat Abdurrahman LC (Wahdah Islamiah), - Mas Alim Katu, M.Ag (Kandidat Doktor Islam).
3 Rabu, 4 25 Mei 2005
Doktor Karbitan di Unhas: Isu atau Fakta?
- Prof. DR. Natsir Nessa (Direktur Program Pasca Sarjana Unhas), - DR. Aminuddin Ilmar (Akademisi Unhas), - Imam Mujahidin Fahmid (Akademisi)
3 Rabu, 5 13 Juli 2005
Intervensi DPRD dalam Pilkada dan Amunisi Baru Menuntut KPUD
-
Malaysia,
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
Peran
- Yusuf Gunco, S.H. (Anggota DPRD Makassar), - DR. Aminuddin Ilmar (Akademisi) - Tajuddin Rahman, S.H (Praktisi Hukum)
Ridwan Jhony Silamma (KPU SulSel), Marwan Mas, S.H, M.H. (Akademisi), Azikin Toputiri, S.H. (Bappilu PAN), Muh. Roem, S.H. (Partai Golkar)
Mappinawang S.H. (KPU Sulsel), Dr. Aswanto ( Perludem Pusat ), Dr. Adi Suryadi Culla (Pengamat Politik) Ir. Markus Nari (Peserta Pilkada Tator).
iv
3 Kamis, 6 28 Juli 2005
Jembatan Multi Guna Untuk Siapa?
-
3 Kamis, 7 11 Agustus 2005
Memaknai Krisis di Sulsel
- Najamuddin Madjid (GM PT. Pertamina) - Ridwansyahputra Musagani (Dirut PDAM Makassar). - Ahmad Syafruddin (GM PT PLN Wilayah Sulselra)
3 Rabu, 8 23 Agustus 2005
Pemilihan Langsung Rektor Unhas, Mungkinkah?
-
3 Rabu, 9 21 September 2005
Dana Kompensasi BBM, Santapan Empuk Koruptor. Betulkah?
- Bastian Lubis (Pengamat Keuangan), - Majid Sallatu (Kepala Pusat Studi Kebijakan Unhas), - Anas Genda (Wakil Ketua Komisi E DPRD Sulsel), - Maryadi Mardian (Kepala BPS Sulsel).
4 Jumat, 0 30 September 2005 4 Rabu, 1 16 November 2005
Mengurai Permasalahan PT. INCO
- Burhanuddin (Komisi A DPRD Sulsel), - Ir. Tan Malaka Guntur (Bapedalda Prov. Sulsel), - Edi Suhardi (Direktur External Relation PT. Inco)
Menata Hubungan Presiden dan Wapres, Perlukah?.
-
4 Kamis, 2 08 Desember 2005 4 Rabu, 3 14 Desember 2005
Makassar Kota Great Expectation
- Ir. Ilham Arief Sirajuddin (Walikota Makassar), - Sabri Rasyid (Ketua Tim Perumus), - Ishak Ngeljaratan (Pengamat Sosial)
Partisipasi Publik dalam Pengambilan Kebijakan dan Proses Penyusunan Perda
- Dr. Aminuddin Ilmar (Pengamat Hukum) - Pahir Alim (KPU Sulsel) - DPRD Sulsel
4 Rabu, 4 4 Januari 2006
Menagih Janji Pemberantasan Korupsi di Sulsel Tahun 2006
- DR. Marwan Mas (Akademisi), - Abraham Samad, S.H. (Koordinator ACC), - Abd. Hakim Ritonga (Kajati Sulsel).
4 Rabu, 5 10 Januari 2006
Panwas: Mampukah Unjuk Gigi pada Pilkada Gubernur Mendatang?
- Mappinawang, S.H. (KPU Sulsel), - DR. Aswanto (Perludem dan Mantan Panwas Provinsi), - Drs. Zainal Abidin (Wakil Ketua DPRD Sulsel )
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
Ir. Ilham Arief Sirajuddin (Walikota Makassar), Azikin Toputiri, S.H. (Anggota DPRD Sulsel), Syamsu Rizal, M.SI (Anggota DPRD Makassar), DR. Ir. Slamet Trisutomo, M.S (Pengamat Manajemen Perkotaan)
Drs. Hamid Paddu (Akademisi) Dr. Aminuddin Ilmar (Akademisi) Dr. Amran Razak, M.Sc (Akademisi) Ishak Ngeljaratan, M.S (Akademisi)
Dr. Marwan Mas (Akademisi), Imam Mujahidin Fahmid (Pengamat Politik), Aminuddin Ilmar (Akademisi), Dr. Effendi Gozali (Pengamat Komunikasi Politik UI, By Phone).
v
4 Rabu, 6 18 Januari 2006
Playboy Terbit di Indonesia, Bagaimana di Sulsel?
- Ali Muchtar Ngabalin (Anggota Komisi I DPR RI) - Drs. Mansyur Semma. M.Si (Akademisi), - Lily Yulianty Farid (Pengamat Media dari The Private Editors Tokyo), - Ishak Ngeljaratan (Pengamat Sosial)
4 Rabu, 7 12 April 2006
Prospek Investasi Properti di Makassar dihadang Masalah Lahan
- Ir. Ilham Arief Sirajuddin (Walikota Makassar), - Idris Manggabarani (Ketua DPD REI Sulsel), - Kombes Polisi. Drs. Kurniawan (Kapolwiltabes Makassar), - HM. Ikhsan Saleh, S.H. M.H (Kepala BPN Makassar )
4 Rabu, 8 26 April 2006
Posisi DPRD Kota Makassar dalam Tragedi PDAM
- Ir. Chairil Ibrahim (Ketua Komisi B DPRD Makassar), - Bastian Lubis,S.E.AK (Badan Pengawas PDAM), - DR. Suharwan (Pengamat Manajemen Perusahaan), - Faisal Abdullah (Pengamat Hukum Tata Negara)
4 Rabu, 9 10 Mei 2006
Pejuang tanpa Rumah Dinas
- Asmin Amin (Forum Purnawirawan), - Letkol. Pur. Salahuddin Latief (Pepabri), - Mayjend TNI. Arief Budi Sampurno (Pangdam VII Wirabuana ), - Dr. Ahmadi Miru (Pengamat Hukum)
5 Rabu, 0 07 Juni 2006
Nonton Bareng Piala Dunia: Mengapa Harus Dibatasi?
- Fatma Deliman, S.H. (Pengamat Hukum), - Azwar Hasan (KPID Sulsel), - Jefri Eugine (Debindo Mega Promo).
5 Rabu, 1 14 Juni 2006
Believe It Ornop
- Mappinawang, S.H. (Aktifis Ornop), - Nunding Ram, M. Ed (Sekjend KPPSI), - Ir. Haris Yasin Limpo (Ketua KNPI Sulsel)
5 Rabu, 2 28 Juni 2006 5 Rabu, 3 9 Agustus 2006
Bercermin di Pilkada Sulbar
- Mappinawang, S.H. (Aktifis Ornop), - Hasyim Manggabarani (Peserta Pilkada Sulbar)
Filantropi dan Bencana Alam
- Syahrul Yasin Limpo (Wagub Sulsel), - Husain Abdullah (Dir. Eksekutif CCC), - Abd. Rahman (Ketua Tim Filantropi Sulsel)
5 Rabu, 4 20 September 2006
Rusdi Taher dan Kejahatan Narkoba
-
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
DR. Marwan Mas (Pengamat Hukum), DR. Mansur Semma (Pengamat Media), Tajuddin Rahman, S.H. (Praktisi Hukum), A. Irianto Baso Ence, S.H. M.H. (Pengacara Rusdi Taher)
vi
5 Sabtu, 5 23 Oktober 2006
Telekomunikasi dan Hak Publik
-
5 Rabu, 6 6 Desember 2006
Putusan MA: Antara Fairness Competition VS Reduksi Masa Jabatan Kepala Daerah
- Pahir Halim (KPU Makassar), - Rudianto Asapa (Bupati Sinjai), - DR. Aminuddin Ilmar (Pengamat Hukum Tata Negara), - Drs. M. Idris, Msi (LAN)
5 Rabu, 7 27 Desember 2006
Sanggupkah Media Independen dalam Pilkada Gubernur 2007?
-
5 Rabu, 8 24 Januari 2007
Konvensi Golkar: Bukan Basa-basi
- HM. Roem (Partai Golkar) - Dedy Tikson (Pengamat Politik) - Drs. Mansyur Semma (Pengamat Komunikasi Politik) - Mappinawang, S.H (KPU Sulsel)
5 Rabu, 9 07 Februari 2007
Pilkada Sulsel: Derita Rakyat atau Perbaikan Ekonomi Rakyat
- Drs.M. Darwis,Msi (KPU Sulsel ), - Madjid Sallatu (Pusat Studi Kebijakan dan Pembangunan Unhas), - Ir. Yusran Paris (Anggota DPRD Sulsel). - Idris Manggabarani (REI Sul-Sel)
6 Rabu, 0 21 Februari 2007
Pilkada Sulsel: dari Duet Maut ke Duel Maut
- Mappinawang, S.H. (KPU Sulsel), - Drs. Azwar Hasan (Pengamat Komunikasi/Ketua KPID), - DR. Kautsar Bailusy (Pengamat Politik), - Akmal Pasluddin (Koalisi Keummatan)
6 Rabu, 1 21 Maret 2007
Pilkada Gubernur Sulsel: Partai VS Tokoh
- Mappinawang, S.H. (KPU Sulsel), - Drs. Hasrullah, Msi (Akademisi), - A. Timo Pangerang (Politisi)
6 Rabu, 2 18 April 2007
Cagub Sulsel, Jangan Cuma Dua
-
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
Sabri Rasyid (Telkom Flexi), Isman Pepadri (Star One Indosat), Hamka (Telkom Interkoneksi), Hidayat NR (Masyarakat Telematika)
M. Dahlan (Wapimred Tribun Timur), MS Kartono (Direktur Fajar TV), Hidayat NR (KPID Sulsel ), Ridwan Jhony Silamma (KPU Sulsel)
Ir. Ilham Arif Sirajuddin (Walikota Makassar) Mappinawang, S.H. (KPU Sulsel) Hinca Pandjaitan (Pengamat Politik) Mansyur Semma (Akademisi) Aswar Hasan (Pengamat Komunikasi) Adil Patu (Ketua PDK) Imam Mujahidin Fahmid (Pengamat Politik) Sukriansyah S Latief (Fajar)
vii
Lampiran 2 Wacana-wacana Publik Pada Talkshow Ruang Publik Phoenam Makassar Berdasarkan Klasifikasi Bidang Pembicaraan
A. Bidang Politik 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38.
KPUD dan Politik, No Woman, No Cry Try Out Masuk UMPTN oleh Parpol: Virus atau Pendidikan Politik DPD dan Partai Politik Pemilihan Walikota Makassar dalam Dilema KPU Sulsel dalam Cobaan dan Godaan Pemilihan Walikota Makassar: Kepentingan Parpol dan Keinginan Masyarakat Pemilu 2004: dari daftar Caleg Hitam hingga Pencalonan Tertutup Pemilu DPD: Tak Kenal maka Tak Sayang Satgas Parpol dalam Pemilu: Mengamankan atau Diamankan? Detik-detik Kampanye Menyentuh Mengapa Militer Harus Ditolak? Legitimasi Caleg Terpilih: Belajar dari Kasus Golkar Fatwa NU dan Negative Campaign Wiranto VS SBY: dari Keberpihakan Media hingga Pemecatan Kader Andai Megawati Lolos di Putaran Kedua Amerika Serikat di antara SBY dan Megawati Peluang Wiranto di Mahkamah Konstitusi Golkar Mendukung Megawati, Bagaimana Peluar SBY? Tokoh Sulsel Menghadang JK Jangan Ada Golput di antara Kita Reformasi di DPRD, Mungkinkah? JK Terpilih, Demokrasi Mati Penerimaan CPNS, Permainan Pusat atau Daerah? Menggugat Peran Kontrol DPR Desk Pilkada, Reinkarnasi Pemerintahan Orba dalam Pemilu Intervensi DPRD dalam Pilkada dan Amunisi Baru Menuntut KPUD Pemilihan Langsung Rektor Unhas, Mungkinkah? Menata Hubungan Presiden dan Wapres, Perlukah? Partisipasi Publik dalam Pengambilan Kebijakan dan Proses Penyusunan Perda Panwas: Mampukah Unjuk Gigi pada Pilkada Gubernur Mendatang? Posisi DPRD Kota Makassar dalam Tragedi PDAM Bercermin di Pilkada Sulbar Putusan MA: antara Fairness Competition VS Reduksi Masa Jabatan Kepala Daerah Konvensi Golkar: Bukan Basa Basi Pilkada Sulsel: Derita Rakyat atau Perbaikan Ekonomi Rakyat Pilkada Sulsel: dari Duel Maut ke Duel Maut Pilkada Sulsel: Partai VS Tokoh Pilkada Sulsel Calon Gubernur, Jangan Hanya Dua
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
viii
B. Bidang Hukum 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Belajar dari Selayar Panwaslu VS Arnold Baramuli: Sebuah Fenomena Hukum dan Politik Dana Kompensasi BBM: Santapan Empuk Koruptor, Betulkah? Mengurai Permasalahan PT. INCO Menagih Janji Pemberantasan Korupsi di Sulsel tahun 2006 Rusdi Taher dan Kejahatan Narkoba Menggagas Ranperda Perlindungan Pekerja Anak di Kota Makassar
C. Bidang Sosial 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Anak Indonesia dan Tantangannya Playboy Terbit di Indonesia, Bagaimana di Sulsel? Pejuang tanpa Rumah Dinas Filantropi dan Bencana Alam Believe it Ornop Doktor Karbitan di Unhas, Isu atau Fakta? Islam dan Wanita Memimpin Shalat
D. Bidang Media/Komunikasi 1. 2. 3. 4.
Pemerintahan dan Penyiaran Lokal Nonton Bareng Piala Dunia: Mengapa Harus Dibatasi Telekomunikasi dan Hak Publik Sanggupkah Media Independen dalam Pilkada Gubernur Sulsel 2007?
E. Bidang Pelayanan Publik 1. 2. 3. 4. 5.
Makassar Semrawut, Makassar Ditata Jembatan Multi Guna, Untuk Siapa? Memaknai Krisis di Sulsel Makassar Kota Great Expectation Prospek Investasi Properti di Makassar Dihadang Masalah Lahan
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
ix
Lampiran 3 Daftar Pembicara Publik/Narasumber (Tokoh-tokoh Publik) Talkshow Ruang Publik Phoenam Makassar Periode 2003-2007 Berdasarkan Klasifikasi Profesi/Organisasi Pejabat Publik/Anggota Dewan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.
Alex Sato (Kajati Sulsel) Ilham Arief Sirajuddin (Walikota Makassar) Mappadjantji Amien (Purek IV Unhas) Syahrul Yasin Limpo (Wagub Sulsel) Azwar Hasan (Ketua KPID) Ridwan Jhonny Silamma (KPUD) Aswanto (Panwaslu Sulsel) Pahir Halim (KPUD) Nasran Mone (Anggota Dewan) Burhanuddin Odja (Anggota Dewan) Amiruddin Maula (Asisten III Gubernur Sulsel) Adil Patu (Anggota Dewan) Arnold Baramuli (Anggota Dewan) Madjid Sallatu (Ketua Pembangunan Pasca Unhas) Farouk Beta (Anggota Dewan) Abustan (Anggota Dewan) Mappinawang (Ketua KPUD Sulsel) Akhsa Mahmud (Anggota Dewan) Anas Genda (Anggota Dewan) Jalaluddin Rahman (Anggota Dewan) Muh. Darwis (KPUD) Qayyim Munarka (Anggota Dewan) Rusdin Abdullah (Anggota Dewan) Nootrida Gani Mandica (Anggota Dewan) Kadis Tenaga Kerja A. Patarai (Anggota Dewan) Buhari Kahar Mudzakkar (Anggota Dewan) Iskandar Pasajo (Anggota Dewan) A. Timo Pangeran (Anggota Dewan) A. Rudiyanto Asapa (Bupati Sinjai) Edi Suyitno (Kepala BAKN) A. Syamsu (Diplomat) Azikin Toputiri (Anggota Dewan) Moh. Roem (Anggota Dewan) Arfandi Idris Hasyim Manggabarani (Ketua REI Sulsel) Natsir Nessa (Direktur Pascasarjana Unhas) Markus Nari (Calon Bupati) Syamsu Rizal (Anggota Dewan) Bastian Lubis (Kepala PDAM Makassar) Maryadi Mardian (Kepala BPS Sulsel)
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
x
42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62.
Burhanuddin (Anggota Dewan) Tan Malaka (Pejabat BAPELDA Sulsel) Edi Suhardi (Kepala PT. Inco) Sabri Rasyid (Pegawai Walikota Makassar) Abd. Hakim Ritonga (Kajati Sulsel) Zainal Abidin (Anggota Dewan) Ali Mochtar Ngabalin (Anggota Dewan) Idris Manggabarani (Anggota Dewan) Kurniawan (Kapolwiltabes Makassar) Ikhsan Saleh (Kepala BPN) Khairil Ibrahim (Anggota Dewan) Arief Budi Sampoerna (Pangdam VII Wirabuana) Yusran Paris (Anggota Dewan) Akmal Pasluddin (Anggota Dewan) Ursia Santi (Anggota Dewan) Mahendra (Direktur GMTDC Makassar) Meidi Rahmat Rahardi (Anggota Dewan) Jose Rizal (Anggota Kepolisian) Muh. Idris (LAN) Mansyur Ramli (Ketua Dewan Anak Sulsel) Abbas Hadi (Anggota Dewan)
Pengamat/Intelektual 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Nursadiq (Pengamat Politik) Aminuddin Ilmar (Pengamat Hukum Tatanegara) Dedy T Tickson (Pengamat Hukum) Faisal Abdullah (Pengamat Hukum) Imam Mujahidin Fahmid (Pengamat Politik) Rahmawajid (Pengamat Politik) Qasim Mathar (Pengamat Politik) Hamka Haq (Pengamat Politik) Mansyur Semma (Pengamat Komunikasi/Politik) Tahir Kasnawi (Pengamat Politik) Laudin Marsuni (Pengamat Hukum) Ishak Ngeljaratan (Pengamat Sosial Budaya) Kautsar Bailusy (Pengamat Politik) A. Yakub (Pengamat Politik) Edward Poelinggomang (Sejarahwan) Idris Buyung (Pengamat Hukum) Marwan Mas (Pengamat Hukum) Rahman Abdurrahman (Pengamat Islam) Mas Alim Katu (Pengamat Islam) Adi Suyadi Culla (Pengamat Politik) Slamet Trisutomo (Pengamat Perkotaan) Amran Razak (Akademi/Pengamat Sosial) Hamid Paddu (Akademisi/Pengamat Ekonomi) Lily Yulianti Farid (Pengamat Media) Suharman (Pengamat Manajemen Perusahaan) Ahmadi Miru (Pengamat Hukum)
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xi
27. 28. 29. 30. 31. 32.
Fatma Deliman (Pengamat Hukum) Hasrullah (Pengamat Politik) Hinca Panjaitan (Pengamat Komunikasi) Hidayat Nahwi rasul (Akademisi/Pengamat Politik) Dwia Aristina Kalla (Akademi/Pengamat Perempuan) Saleh Manda (Akademisi/Pengamat Sosial
Profesional/Praktisi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Abraham Samad (Pengacara) Tajuddin Rahman (Pengacara) Husaimah Husain (Pengacara) Yusuf Gunco (Pengacara) Jefri Eugine (Perusahaan Jasa Telkom) Irianto Baso Ende (Praktisi Hukum) Isman Pepadri (Star One) Hamka (Telkom Interkoneksi)
Organisasi Massa (ORMAS)/LSM 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Arifuddin Mane (SCW) Syamsuddin Alimsyah) (KOPEL Sulsel) Elyas Joseph (IEW) Idrus Marhan (KNPI Makassar) Rusdin Tompo (LSM Anak) Jafar Sodding (LSM) Plan Internasional (LSM Internasional) Asmin Amin (Forum Purnawirawan) Salahuddin Latief (LSM) Aminuddin Ram (Sekjen KPPSI) Abd. Rahman (Tim Filantropi) Haris Yasin Limpo (KNPI Sulsel)
Media 1. 2. 3. 4. 5.
Husain Abdullah (RCTI) Pepih Nugraha (Wartawan Tokyo Foundation) Muh. Dahlan (Harian Tribun Timur) Ms. Kartono (Fajar TV) Sukriansyah (Harian Fajar)
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xii
Lampiran 4
Wawancara I Nama Kantor Jabatan Waktu Tempat
: Reihan Wahyudi (38 thn) : Radio Merkurius FM Makassar : Produser Pelaksana Program : Jumat, 02 Maret 2007, Pukul 10.00 WIT : Di Radio Merkurius FM Makassar
Pertanyaan-pertanyaan: Bagaimana ide awalnya Mercurius dapat mengadakan talkshow di warkop Phoenam? Awalnya itukan kita ada ide, eh sebagai fasilitator untuk pelayanan publik, membicarakan banyak hal di suatu tempat yang orang bisa santai tetapi ada tujuan komunikasi yang bisa diteruskan baik kepada pemerintah kota, pengusaha jasa atau lembaga-lembaga politik. Nah setelah kita diskusikan tempat-tempat mana, apakah di hotel, ataukah sewa tempat, ternyata kita amati kecenderungan, ternyata ada tempat yang bisa mengumpulkan berbagai profesi, berbagai kalangan, dan itu warung kopi. Cuma karena segmen Mercurius adalah segmen menengah ke atas, maka kita bidik warung kopi yang segmen menengah ke atas juga. Kebetulan pada waktu itu warkop Phoenam, eh warkop Phoenam itu identik dengan warkop yang sudah cukup lama di Makassar, baru buka cabang di Pengayoman (Panakukang Mas), maka kita coba-cobalah menggagas obrolan warung kopi Mercurius di warkop Phoenam. Tes pertamanya waktu itu adalah pemilihan gubernur Sulsel, yang dulu pak Amin Syam dan Syahrul sekarang ini. Waktu itu, pertama kita ingin membuka perbincangan bahwa pemilihan ini harus disambut dengan partisipasi luas warga Sulsel, khususnya warga kota Makassar. Pertama kita mau membuka ruang-ruang perbincangan dan mulailah gitu…obrolan-obrolan warkop Merkurius di warkop Phoenam. Jadi tema kita hampir selama 4 bulan itu, betul-betul kepada menjaring aspirasi masyarakat terhadap figur gubernur Sulsel yang bisa membawa Sulsel ke arah perubahan, saat itu. Jadi misalnya, apakah harus militer, dikotomi militer sipil, bagaimana suara Golkar, pokoknya semua…eh apa namanya…..aspirasi mengenai calon-calon itu sendiri, koalisi-koalisinya, semua dibicarakan di warung kopi, disitu awalnya. Selain itu, kita ingin membuat tempat diskusi, semua orang bisa masuk, obrolannya santai, tapi tetap memberi manfaat bagi warga kota Makassar, entah itu ke partai politik, ke pemerintah kota, atau bahkan siapa saja yang menjadi obyek dari pembicaraan itu. Jadi proses pertamanya dari keinginan membuka komunikasi luas seputar kota Makassar? Ya, seputar Makassar, jadi kita ingin semua orang bisa menyuarakan, eh….banyak hal di perbincangan itu, tanpa misalnya, kalau di hotel kan agak mahal, maka dipilihlah tempat yang semua orang bisa mengakses tanpa harus pakai dasi, tanpa harus pakai sepatu, eh…rupanya itu di warung kopi, karena semuanya lengkap di sana. Ada makelar, tobacco juga bisa masuk, ….jadi diskusi-diskusi ringan aja. Ide dasarnya dari Mercurius ya pak? bukan dari warung kopi? Bukan, ide dasarnya dari kami, kemudian kita launching itu dan ternyata sempat menjadi trend, jadi beberapa radio juga mulai ikut-ikut di warung-warung kopi, tapi yah…. artinya banyak tempat untuk menyalurkan aspirasi, banyak tempat untuk membincangkan sesuatu hal tapi dengan karakter…., eh karakter warung kopi, ada karakter khasnya adalah lugas, keras tapi tetap terjaga
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xiii
kondisi-kondisinya. Cuman itulah, menangnya kita adalah kondisi warga kota Makassar yang sudah siap menerima perbedaan, jadi sepanas apapun konflik tetap dibingkai dengan keakraban warung kopi seperti itu. Pembicara-pembicaranya dari Mercurius ? Ya, jadi kita meng arrange, kita yang tentukan kecuali kalau misalnya kalau ada lembaga atau ada order, order dalam arti misalnya lembaga A meminta “tolong desainkan obrolan seperti ini”, jadi kita cuma mengacu kepada kompetensi, kepada orang yang berbicara, siapa yang terlibat, kemudian voice yang bagus karena ini adalah dunia radio, jadi itu syaratnya. Kompetensi keilmuan, kompetensi terhadap persoalan, voice yang enak didengar. Kalau dari partai politik? Oh semua, kalau kita berbicara mengenai konstelasi politik kita undang partai politiknya, kalau kita berbicara mengenai aturan pemilu, kita undang KPU. Pokoknya, orang yang betul-betul memiliki kompetensi yang ada lingkup pembicaraan. Jadi segala macam tokohlah, pernah hadir di sini. Yang menentukan tema-tema talkshow? Tema-tema dari kami, kami acara regular, tiap 2 minggu sekali, kita lihat satu minggu ini apa lagi yang hangat dibicarakan, baru kita ambil sisi lainnya, baru kita buat dalam sebuah diskusi Banyak warung kopi yang telah ada di Makassar, kenapa Mercurius memilih Phoenam sebagai tempat untuk mengadakan diskusi? Pertama, segmen. Segmen kita menengah ke atas, kedua, tempatnya kami anggap representatif di sana, kemudian cukup dekat dengan studio kami. Seperti itulah eh…..alasannya. Sebelumnya sudah ada kerjasama dengan Phoenam ya? Ya Jika melihat maraknya diskusi warung kopi sekarang ini, bagaimana tanggapan Mercurius? Kami sebagai pionir acara, welcome-welcome saja, karena kami juga tidak pernah mengklaim bahwa semuanya harus di Merkurius. Segmen kami kan terbatas juga, jadi perlu ada segmen-segmen lain yang perlu digarap radio-radio lain, tidak ada masalah, malah kita gembira karena semakin banyak tempat publik untuk berbicara, maka makin banyak tempat untuk didengar Kalau melihat perkembangan perbincangan di warung kopi, menurut Mercurius apakah ini sebagai gejala mulai tumbuhnya suasana demokrasi di Makassar? Untuk parameter partisipasi, bisalah diukur dari situ, pengamat media pernah hadir disini Hinca Panjaitan, Hinca Panjaitan, nara sumber kami mengatakan bahwa dari hal-hal kecil seperti ini bisa menjadi lebih besar, hm…..contohnya begini waktu pemilihan DPD (Dewan Perwakilan Daerah), ada konflik yang meruncing tajam antara Panwaslu Sulsel dengan salah satu anggota DPD terkait dengan persoalan hukum, itu sangat panas di media, jadi kita mencoba mempertemukan, bukan mendamaikan, mempertemukan pendapat-pendapat, kita dudukkan ketua Panwaslu, kita dudukkan calon yang bermasalah dan perkiraan banyak orang akan kacau dan rusuh, karena anggota DPD ini membawa begitu banyak massa, Panwaslu juga kita dorong untuk bertemu, tapi akhirnya saya rasa itu pendidikan politik yang sangat luar biasa ketika kedua “yang berseteru” akrab berdampingan, berbicara dengan argumentasi yang jelas, argumentasi masing-masing tanpa saling salah menyalahkan, dan kayaknya konteks membincangkan sesuatu yang berbeda dengan kepala dingin, itu substansi demokrasi, itu salah satu, dan itu bisa kami lakukan di warung kopi. Mungkin parameternya bisa diukur dari situ.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xiv
Wawancara II (Lanjutan) dengan Reihan Wahyudi Waktu Hari/Tanggal Tempat
: Pukul 10.30 WIT : Rabu, 14 Maret 2007 : Di Radio Merkurius FM Makassar
Pertanyaan-pertanyaan lanjutan: Mengenai karakteristik warung kopi bisa dielaborasi lebih lanjut? Persoalan tempat ya, jadi memang di warung kopi itu, kita harapkan ada komunikasi terbuka, dimasuki oleh siapa saja segmen, didatangi oleh siapa saja segala profesi, tempat itukan biasanya, warung kopi itu kan tempatnya orang ingin mencari suasana tenang dan rileks, dari situ mungkin kita harapkan ada pemikiran-pemikiran cerdas lugas, apa saja terhadap fenomena-fenomena persoalan kota Makassar, politik, sosial, ekonomi, dan budaya, semua dibicarakan di sana, jadi di luar hal yang gontok-gontokan, berbeda pendapat boleh terbuka saja, memang sifatnya secara mendasar obrolanobrolan warung kopi ini obrolan yang terbuka untuk umum, kemudian membahas topik masalah, kemudian diharapkan eh ada solusi yang muncul, jadi solusi yang muncul ini kan bisa didengarkan oleh DPRD di kantornya, pemerintah di kantornya, eh tempat tapi tidak juga berupaya menjadi sebuah king maker begitu, jadi sekedar menyentil saja Kenapa memilih warung kopi, bukan di hotel atau di tempat lain? Pertimbangan aspek biaya mungkin ya, warung kopi…kalau kita mau hitung-hitung…, satu orang itu dengan modal 10 ribu sudah bisa nongkrong di warung kopi, beli kopi beli kudapan, sudah bisa menikmati perbincangan, kita pun sudah mendapatkan tamu, atau audience di sana, modal-modal 700 ribu, kita sudah bisa menggelar kegiatan di sana, kalau di hotelkan luar biasa, misalnya 35 ribu per pack di kali banyak wah kan bisa biayanya tinggi, di samping dekat, juga Phoenam berada di kawasan ramai perkantoran, Apakah Merkurius atau Bapak secara pribadi sudah mengenal Phoenam sebelumnya? Kebetulan ini, waktu kita baru kita mau bikin obrolan ini, Phoenam memperlebar usahanya, Phoenam itu kan di kenal di Jampea kemudia tiba-tiba dia ingin membulka segmen baru di kawasan pengayoman, kita lihat gedungnya ok, lokasi juga ok, pengunjungnya ok, kita pilih tempat yang tepat bagi segmen Merkurius untuk ada di sini. Waktu itu, Merkurius yang menghubungi Phoenam? Ya, kita tawarilah bahwa kita mau adakan acara seperti ini, kita bayar kopinya, Phoenam sediakan tempatnya. Kitakan yang biasanya menanggung nara sumber, kopinya, pengunjung silahkan datang bayar sendiri kopinya, nikmati perbincangannya, kalau tidak suka bisa menyingkir di ruang sebelah, jadi kita mau memanfaatkan momen pengunjung yang ada di sana, tapi ada undanganundangan karena bagaimanapun berbicara misalnya persoalan politik, harus dihadiri orang-orang partai, kita mengundang khusus beberapa orang partai untuk hadir, berbicara persoalan hukum, ya ada orang-orang hukum yang hadir sebagian di situ, cuman sebagian kita tanggung sebagian bayar sendiri karena modal 10 ribu kok, Bentuk kerjasamanya dalam bentuk formal? Tertulis? Hm….tidak, kita cuma gentlemant agreement saja, karena kita tahu usahanya juga, kalau Phoenam juga dapat acara, biasa hubungi Merkurius, nanti Merkurius yang create acaranya
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xv
Tidak secara mengikat dalam bentuk kontrak kerjasama tertulis gitu? Hm....pernah ada, ada sih, karena kita iklankan juga Phoenam di radio kami sebagai kompensasinya Ada jangka waktu kerjasama tersebut? Hm….jangka waktu, tidak, tapi kerjasama ok, sudah ada Pembicara-pembicara dan tema-tema talkshow, Merkurius yang menentukan? Ya, memang semuanya dari Merkurius, Phoenam hanya menyediakan tempat saja, jadi kan 2 minggu sekali, jadi kalau kita lihat apa perkembangan terkini di dua minggu ini, itu yang kita bahas, Ok setelah kita sepakati, lalu kita hunting nara sumbernya, kita sendiri yang kerjakan Dari pemilik Merkurius, pernah mengusulkan pembicara atau tema talkshow? Oh tidak, di redaksi aja, ada tim yang menanganinya. Kriteria pembicara-pembicaranya bagaimana? Pembicaranya itu, paling tidak harus menguasai masalah, pengambil kebijakan dibidang tersebut, dikenal, karena kalau tidak di kenal, orang tidak mau dengar kan, berbahasa Indonesia yang baik dan benar, suaranya baik… Maksudnya? Ada kan…., suara baik itu artinya suaranya keras lah karena ini kan medium radio, pemikirannya sudah pasti karena kompetensi yang dibutuhkan kurang lebih, berbicara persoalan hukum, kita carilah nasa sumbernya dibidang hukum. Bagaimana jika seseorang atau sebuah institusi ingin mengadakan talkshow di Phoenam? Bisa, misalnya kita pernah kerjasama dengan Yayasan KEHATI, ini tentang persoalan lingkungan….. Kehati yang menghubungi Merkurius? Ya, Pak kita mau adakan talkshow seperti ini, ok, kita siarkan secara langsung ok, kita sediakan tempat ok, siapa yang sediakan nara sumber, kamu atau saya, nara sumbernya ini ok…….. KEHATI yang menyediakan nara sumber? Tergantung, misalnya begini….KEHATI kan biasanya milih, misalnya saya punya dua nara sumber, cuma saya butuh dari pemerintah kota, lalu kita hubungi pemerintah kota. Kerjasama itu dalam bentuk tertulis? Oh iya, harus tertulis karena bagaimanapun ini bisnis kan, ada pay before broadcast, bayar dulu sebelum kita siaran. Apakah tindak lanjut dari hasil talkshow di warung kopi Phoenam? Sampai saat ini, kita cuma beri rekomendasi, dari kesimpulan hasil pembicaraan misalnya tentang walikota, kita buatkan rekomendasi, menurut hasil obrolan warung kopi, untuk kasus ini, sebaiknya pemerintah kota seperti ini, ada rekomendasi Dari institusi-institusi mana yang sering mengusulkan diadakan talkshow? LSM ada, organisasi bisnis juga ada, properti ada........
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xvi
Dari partai politik? Dari partai juga ada, hampir semualah ada kerjasamanya. Jadi, ada yang mau sosialisasi..., boleh, karena bagaimanapun, ini kan disiarkan secara langsung jadi terbuka orang dengar. Pernah ada kasus talkshow yang berdampak luas kepada masyarakat atau pemerintah? Inikan cuma pembicaraan warung kopi, namanya juga ngobrol-ngobrol, namun apakah akan berefek kepada keputusan, itu bukan urusan kita, seperti persoalan jembatan Multi Guna di Karebosi, ada pro dan kontra tapi yang jelas sudah dibicarakan kan?!. Pembicaraan itu mempengaruhi pendapat umum? Paling tidak, komunikasi antara orang yang setuju dan tidak setuju sudah didengar, apa alasan dia tidak setuju, apa alasan dia setuju, itu targetnya kita, entah itu diolah dikebijakan, yah itu urusan pemerintah. Dari sekian banyak kasus yang telah diangkat, kasus mana yang berimplikasi luas terhadap masyarakat? Yang paling menarik waktu kasus pencalonan DPD, Arnold Baramuli bersama pak Aswanto ketua Panwaslu, terjadi dua kubu besar antara Panwaslu yang membatalkan dan Baramuli yang merasa disewenangi oleh keputusan itu, setelah kita bicarakan, akhirnya masyakat sudah pada posisi menilai, seperti ini loh pertimbangan hukumnya, seperti ini loh kasusnya, bisa meredakanlah apa yang selama ini kedua kubu permasalahkan Pemerintah Kota Makassar sering hadir dalam talkshow di Phoenam? Pak Walikota sering hadir, kita sering undang kalau terkait kebijakan-kebijakan pemerintah kota Makassar. Terima Kasih Pak! Sama-sama.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xvii
Wawancara III Nama Kantor Jabatan Tanggal/Waktu Tempat
: A. Mangara Taddampali (40 thn) : Radio Merkurius FM Makassar, juga Anggota KPI Sulsel : Moderator Talkshow di warkop Phoenam : Rabu, 21 Maret 2007, Pukul 12.30 WIT : Di warkop Phoenam Boulevard Pengayoman
Pertanyaan-pertanyaan: Bagaimana ide awalnya sehingga Merkurius dapat mengadakan talkshow di Phoenam? Jadi kita berkumpul bersama teman-teman, sesama komunitas warung kopi yang suka ngobrol bersama tentang politik baik yang praktis maupun yang berefek ke dunia politik dalam tataran ilmiah, jumlah pengunjung warung kopi cukup banyak dan habit penduduk Makassar ini suka kongkowkongkow di warung kopi. Saya bersama Jossy Karyadi (GM Merkurius), teman saya di Merkurius itu, saya sama-sama masuk Merkurius tahun 1990, terus terpikir kenapa kita tidak buat sebuah acara yang tidak terlalu berat tetapi bermanfaat dan dan sifatnya entertaining dan bisa diterima dengan mudah oleh pendengar, baik oleh yang ada di rumah maupun yang ada di warung kopi, akhirnya kita sepakat wah kalau gitu kita bikin obrolan, namanya obrolan warung kopi dan kita bahas tentang politik dengan khas warung kopi. Khas warung kopi, maksudnya bagimana? Ada kopi yang terhidangkan sambil minum, ngomong tidak dengan bahasa yang formal akademik, lugas, terus terang tapi tentu ada rambu-rambunya. Rambu-rambunya saya kira...., karena ada lembaga yang mengatur, waktu itu belum ada komisi penyiaran, tapi rambu-rambu itu, pertama soal SARA dan semacam itu harus kita jaga, Ok kita bikinlah akhirnya diskusi, kira-kira 4 tahun yang lalu, kira mulai 2003 dan konsisten sampai sekarang Kenapa memilih di warung kopi? Bukan di hotel atau di tempat lain? Yaitu tadi, pertama bahwa orang kan punya habit di sini (di warung kopi), yang kedua, warung kopi itu tidak terhambat masalah busana, orang datang berpakaian celana pendek pun bolehboleh aja, yang penting kan gagasan sebenarnya. Kebetulan ada teman yang namanya pak Darwis, juga anggota KPID, mengatakan Karl Marx melahirkan pemikiran-pemikiran cemerlang itu di warung kopi, Kenapa memilih Phoenam sebagai tempat Talkshow? Ini warung kopi yang pertama dan punya brand saya kira, jadi kita saling “menunggangi“ dalam arti yang positif, dia sudah punya brand, Merkurius sudah punya brand, kita buat sama-sama menguatkan posisi, akhirnya jumlah pengunjung Phoenam juga meningkat, kemudian brand makin baik, Merkurius juga jumlah pendengarnya makin baik (banyak) dan acaranya makin di minati, dan akhirnya pendidikan politik berjalan. Bagaimana respons Phoenam pada saat pertama kali dihubungi? Saya berbicara dengan pak Albert, dia langsung welcome saja, pikirannya sederhana, yang penting warungnya ramai, dia tidak pentingkan pendidikan politik, entertaintment politik, yang penting bagi dia pengunjungnya banyak dan tidak mengganggu bisnis mereka, dan dalam perjalanan dia merasa oh...bahwa dia punya manfaat, dengan tempatnya ini, dia bisa membuat ada pencerahanpencerahan politik yang baik
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xviii
Bentuk kerjasamanya dalam bentuk kerjasama formal tertulis? Bukan, kontrak nurani, ini kepercayaan, saya putar iklannya di Merkurius, dia berikan tempat, dan minumannya kita bayar, jadi tidak ada yang gratis di sini, ini ditanggung semua oleh Merkurius..... Apakah ada kontribusi finansial? Oh tidak, tapi namanya kerjasama, ya harus saling menguntungkan, kita pasang spanduk kita di Phoenam, tapi kita promosikan juga dia, jadi sama-sama lah, jumlah pengunjung dia (Phoenam) banyak, jumlah pendengar kita banyak, kita pasang iklannya dia, jumlah orang yang datang ke sini makin hari makin banyak, jadi sama-sama menguntungkan Siapa yang menentukan pembicara-pembicara dan tema-temanya? Jadi ada rapat redaksi, misalnya 4 hari sebelumnya untuk menentukan rancangan topik, namun terus kira-kira 2 hari sebelumnya bisa berubah, jika ada yang lebih aktual dan mendesak. Jadi kriterianya hangat dan dibutuhkan. Merkurius yang mengundang pembicara? dan itu dibayar? Ya, kita bayar atau kita kasih gift, adalah sebagai ucapan terima kasih, terserah lah, ada yang mau bentuk uang atau barang, beberapa juga yang menolak, dia malah sudah bangga dan senang bisa berbicara di warung kopi jadi, karena acara ini sudah punya nama, dia malah minta kapan-kapan saya bisa ditampilkan lagi, jadi sebuah panggung untuk mencuatkan namanya, untuk memposisikan dirinya. Tadi ada yang menelpon, kapan nih saya ditampilkan lagi.... Bagaimana jika ada institusi atau kelompok yang mengusulkan diadakan talkshow? Ya, kita sebagai event organiser juga, dimediasi saja apa topiknya, jika cocok, program kita terima dan kalau tidak, maka kita tolak......... Itu dibayar ya pak? Ya, bayar, misalnya untuk pengudaraan dua jam, kita ada range, ada harganya, sejam itu....dua setengah, jadi kalau dua jam itu, lima juta, untuk air timenya. Tema-tema talkshow apa yang paling mendapat respon masyarakat? Yang paling aktual itu dibidang politik, misalnya seperti sekarang ini, bertema Pilkada Gubernur, antara Mesin Partai atau Mesin Keluarga, kira-kira judulnya lah yang..., bukan bombastis, sedikit tapi menggigit dan memang dibutuhkan orang, memenuhi rasa ingin tahu, kemampuan produser (Merkurius) siaran ini untuk menyelami apa yang paling ingin diketahui mereka-mereka (masyarakat), dan jawabannya ada di warung kopi. Tindak lanjut dari talkshow ini? Kita bikin rekomendasi, menurut aturan KPID harus kita rekam, setelah itu kita buat transkripnya, setelah itu kita buat rekomendasi, kalau ini terkait dengan KPU, kita kasih rekomendasi ke KPU, terkait dengan Panwas, kita kasih ke Panwas, terkait dengan pendidikan politik, kita kasih ke partai-partai, jadi ada rekomendasi-rekomendasi. Dari kalangan mana saja yang sering datang menghadiri talkshow di Phoenam? LSM, Partai-partai, Wartawan, Pengusaha jarang, dua..tiga...dari kalangan akademik
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xix
Ruang Publik bagaimana yang diharapkan dari Merkurius? Ruang publik itu, pertama, kita tidak bisa nodai dengan content acara yang sifatnya tidak mendidik, harus ada komitmen dari media sendiri untuk mendidik pendengarnya lewat acara-acara seperti ini. Isi dan kemasannya memang harus mengarah ke sana, kita harus mengenal betul siapa yang dengar kita, yang dengar kita ini kan rata dari usia pekerja, dari segi pendidikan itu...pendidikan S1, S2, itu yang kita tangkap. Mereka yang ada di kantor-kantor dan tidak punya waktu buat ke tempat ini, tapi di tempat kerjanya ada radio, jadi sambil memenuhi tugas-tugasnya, dia pun bisa mendengarkan sesuatu dari acara ini (diskusi), kita harus mengisi ruang publik ini dengan acara-acara yang berkualitas.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xx
Wawancara IV Nama Pekerjaan Waktu Hari/Tanggal Tempat
: Albert Liongady (55 thn) : Pemilik Warkop Phoenam : Pukul 14.30 WIT : Sabtu, 17 Maret 2007 : Di Radio Merkurius FM Makassar
Pertanyaan-pertanyaan: Sejak kapan Phoenam didirikan? Sejak tahun 1946 Bagaimana prosesnya hingga dapat berkembang hingga sekarang ini? Sejak tahun 1946, waktu itu....bapak saya dan om saya , Liong Thay Yong dan Liong Thay Sang yang mendirikan Phoenam. Saya lahir tahun 1952, dan saya mulai menangani ini (Phoenam) sejak tahun 1972. Kita dulu berada di jalan Nusantara, kemudian pindah ke jalan Jampea ini, jadi dimulai dari sana. Dahulu, di Makassar, warung kopi juga banyak, tapi satu per satu tutup (gulung tikar), dan beralih ke profesi lain. Kita masih dapat bertahan, karena orang tua saya sejak awal hanya membuka usaha warung kopi. Kemudian berkembang. Saya suka merantau, sejak tahun 1973, saya sering ke Jakarta, di sana saya lihat banyak juga usaha warung kopi, namun sekarang kebanyakan pakai mesin. Saya suka minum kopi, dan meracik sendiri. Saya buat sendiri (kopinya) untuk diminum sendiri. Dari sanalah saya mulai meracik aroma kopi tersendiri, yang berkembang sampai sekarang. Bapak bersaudara berapa orang? Saya tiga bersaudara, saya yang kedua, adik saya sudah meninggal. Kakak saya yang tangani di Jakarta, di Wahid Hasyim, namanya Handra. Phoenam sendiri artinya apa? Itu artinya persinggahan dari selatan. Om saya yang dari Amerika, Liong Thay Sang, yang memberi nama, karena orang tua kita sebenarnya berasal dari selatan (Cina selatan) Cabang-cabang Phoenam sekarang ada dimana saja? Sekarang ini, di Jakarta ada dua, yang di Makassar itu...di sini (Phoenam Jampea) dan di Boulevard (Phoenam Panakukang). Anak saya yang menangani di sana, dan juga di mall Diamond, kemudian saya buka franchise di Mamuju dan di Palu Bagaimana ide awalnya Phoenam dan Merkurius mengadakan talkshow? Waktu itu, Merkurius, pak A. Mangara menghubungi saya, katanya dia mau buat diskusi sebulan sekali, tapi akhirnya 2 kali sebulan, sekitar tahun 2002. Jadi kita kerjasama begitu saja, beliau yang buat acara, kita (Phoenam) hanya menyediakan minuman saja. Kita tidak pungut biaya lain. Kenapa mau menerima tawaran kerjasama Merkurius? Saya kira baik kerjasamanya, kita cuma menjual, Merkurius yang urus semuanya, ya...mungkin kita bisa tambah ramai kalau ada acara, jadi kita cuma terima hasil dari minuman saja (hasil penjualan)
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xxi
Kerjasamanya tertulis? Ya, dia juga wajib membuat laporan-laporan untuk membuat suatu acara, kemudian dia harus melapor (meminta ijin) ke kepolisian, dia yang tanggung jawab semua acara itu, kita cuma sediakan tempat, kita cuma terima hasil dari pembelian kopi saja. Kenapa mau kerjasama dengan Merkurius, kan ada banyak stasiun radio lain? Waktu itu cuma Merkurius yang datang pertama..... Media cetak sering meliput acara talkshow di Phoenam? Ya, mungkin Fajar, Tribun Timur, tapi Fajar paling sering.... Pengunjung Phoenam dari kalangan mana saja? Kalo di Jampea, rata-rata pengusaha, pegawai, kalo di boulevard....umum saja, orang kantoran, pegawai, anak muda.... Tanggapan bapak tentang maraknya warung kopi sekarang ini? Saya kira kita selalu menjaga mutu, buat standar terbaik, itu yang pertama, saya kira kalau Phoenam mau bersaing dengan warung kopi lain, saya tidak takut karena kita punya ciri khas, yaitu aroma, robusta di campur arabika, jadi kita tidak terlalu khawatir...
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xxii
Wawancara V
Nama Kantor Jabatan Tanggal Tempat
: Nur Alim Djalil (38 tahn) : Harian Fajar : Wakil Pemimpin Redaksi (Wapemred) Fajar : Rabu, 21 Maret 2007, Pukul 13.30 WIT : Di Harian Fajar, Jl. Racing Center
Pertanyaan-pertanyaan: Bagaimana pendapat Fajar tentang maraknya fenomena warung kopi di Makassar? Pertama, kita melihat selain daripada tempat itu sendiri sebagai sarana transit masyarakat, yang bukan saja untuk santai dan minum kopinya ya, tetapi kita melihat bahwa di sana, ternyata tumbuh komunitas-komunitas diskusi dan bagi kita Fajar, melihat ini merupakan sumber berita yang menarik karena banyak isu-isu, banyak pemikiran-pemikiran yang menarik baik itu di tingkat lokal, entah nasional, bahkan internasional, yang berkembang di situ di warkop-warkop selain mereka gunakan untuk saling santai, melepaskan kangen antar komunitas-komunitas, kelompok-kelompok tertentu, di situ tumbuh banyak inspirasi, bahkan Fajar misalnya sendiri mendapatkan ide-ide liputan yang kebetulan di warung kopi ketika kita berada di sana, sementara ikut ngopi, atau ikut diskusi di situ kita mendapatkan bahan-bahan liputan, kemudian isunya kita kembangkan di Fajar menjadi suatu liputan yang besar. Jadi sebenarnya kita di Fajar sangat “terbantu” dengan isu-isu pemberitaan dengan adanya warung-warung kopi itu. Pertama, yang menjadi dan sering di sana sebagai penikmat kopi, orang-orang yang punya kapasitas, orang-orang yang sudah menjadi publik figur yang pemikiran dan ide-idenya itu bisa jadi sangat dibutuhkan oleh masyarakat, bahkan juga oleh pengambil-pengambil kebijakan, itu yang menjadi salah satu keuntungan bagi kami dengan adanya warkop-warkop itu. Menurut pengamatan Fajar, Kalangan mana yang sering masuk di warkop-warkop ini? Yang sering masuk di warkop-warkop ini adalah kalangan-kalangan, wartawan sendiri ada, pemerintahan, politisi, komunitas-komunitas hobi, anggota dewan banyak yang datang ke sana. Bagi kalangan pers, seperti Fajar misalnya, pembicaraan-pembicaraan warkop itu merupakan sebagai background ide bahwa ada yang diberitakan seperti ini tentang ini. Itu yang menjadi dasar kami untuk mengetahui dan menyelidiki lebih jauh, ada sih isu yang kita dapatkan di sana yang memang benar kenyataanya seperti itu, namun ada juga yang sama sekali isu yang hanya berkembang di situ, dengan bukti yang masih sangat sulit kita dapatkan. Warkop mana yang sering dikunjungi Fajar? Phoenam, bukan promosi tapi di warung kopi inlah yang sudah sejak lama menjadi langganan-langganan fanatik dari orang-orang, yang akhirnya pada saat sekarang boleh di kata sebagai pengambil-pengambil kebijakan. Phoenam yang kita pilih karena terutama Phoenam sering di datangi oleh orang-orang yang dalam tataran kita dapat mengambil kebijakan, kemudian yang menurut kita buah-buah pikirannya, ide-idenya itu sering didengarkan oleh pengambil kebijakan. Fajar sering memuat hasil talkshow di warkop Phoenam? Ya sering, kita malah mengadakan kerjasama dengan pihak yang menyelenggarakan talkshow di situ
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xxiii
Kerjasama bagaimana maksudnya? Kerjasama dalam hal pemberitaan, jadi di warung kopi mereka (Merkurius) yang menyiapkan pembicara, mereka juga yang kadang-kadang meminta pendapat kita misalnya tema apa yang menrik untuk kita bahas di warung kopi. Kerjasamanya dalam bentuk tertulis formal? Ndak, kita dalam bentuk non formal.. Dari liputan Fajar di warkop Phoenam, kasus-kasus apa yang menarik dan mendapat respon yang cukup luas dari masyarakat? Misalnya yang lagi hangat sekarang, adalah pilkada Gubernul Sulsel. Antara satu calon dengan calon yang lain, bagaimana strategi-strateginya, hal tersebut ternyata banyak dibahas di warung kopi Phoenam, dan kita melihat bahwa mereka adalah para pengamat yang, ada juga yang analisanya tepat, namun ada juga yang tidak benar, namanya juga warkop, msalnya calon gubernur ini akan berpasangan dengan yang ini, yang menarik ini dengan ini. Selain itu, termasuk juga pembicaraanpembicaraan mengenai kasusu hukum, misalnya tentang salahseorang bupati yang menghamili pembantunya, pembicaran atau isu itu sudah berkembang di warkop. Berita itu sudah menjadi ide awal bagi kami namun perlu diinvestigasi lebih jauh lagi, ini hanya background kita bahwa ada isu seperti ini. Misalnya pernah juga ada isu di warkop Phoenam bahwa akan ada penyerangan terhadap rumah seorang bupati....dan itu terjadi, makanya di warkop itu juga banyak dari kalangan intel (polisi), wartawan. Informasi-informasi yang penting banyak kita dapatkan dari warkop. Fajar sering diundang dalam talkshow di warkop Phoenam? Tetapi khusus yang menyangkut media, baru Fajar diundang sebagai pembicara, misalnya bagaimana peran media dalam menyejukkan suasana, seperti pada kasus Adam Air Bagaimana pendapat Fajar tentang ruang publik warkop Phoenam? Kita melihat bahwa Phoenam sebagai ruang publik, memberikan kesempatan kepada pihakpihak luar untuk menggunakan Phoenam sebagai tempat untuk berdialog, berdiskusi, namun kalo kita melihat komunitas yang datang ke Phoenam adalah orang-orang menengah ke atas, para praktisi, legislator, birokrat, komunitas hobi, saya kira secara tidak langsung segmen yang diberikan Phoenam itu adalah terbagi dengan sendirinya seperti itu, bahwa kelas mereka adalah kelas-kelas menengah ke atas, namun tidak menutup kemungkinan bahwa warkop-warkop lain juga dihadiri oleh komunitaskomunitas tertentu. Kalau Phoenam sebagai sara publik, saya kira hanya hanya sebatas itu, hanya sebatas ini tempat mereka, ruang mereka, silahkan memanfaatkan tempat ini sebaik-baiknya, minum kopi, bicara politik, namun demikian kadang-kadang tumbuh pembicaraan yang sangat penting, dan disitu juga kita dapat memperoleh suatu liputan Bagaimana tindak lanjut hasil liputan Fajar di warkop Phoenam? Ya biasa kita sampaikan misalnya kalau ada rekomendasi, tetapi kita meyampaikan dalam bentuk..., biasanya dalam bentuk lisan, kemudian penyampaian kita biasanya dalam bentuk tertulis, apa kita beritakan seperti itu. Biasanya setelah diskusi, kita menelpon pihak-pihak yang mungkin kita sasar dalam diskusi itu bahwa kita telah diadakan diskusi seperti ini, dan hasilnya seperti ini, kemudian selengkapnya silahkan bapak membaca di Fajar
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xxiv
Wawancara VI
Nama Kantor Jabatan Waktu Tempat
: Mappinawang (45 tahun) : KPUD Sulsel : Ketua KPUD Sulsel : Kamis, 25 Oktober 2007, Pukul 10.00 Wita : KPUD Sulsel, Jl. A. P. Petta Rani, di Makassar
Pertanyaan-pertanyaan: Bagaimana tanggapan Bapak tentang maraknya diskusi atau talkshow di warung-warung kopi di Makassar saat ini? Iya, saat ini saya lihat sudah banyak tempat2 kita bisa berkumpul, berdiskusi, sambil minum kopi atau teh, seperti di warung-warung kopi. Saya pikir itu hal bagus, semakin banyak tempat untuk menyalurkan pendapat, dalam suasana santai. Saya kira kita banyak belajar berdemokrasi di warungwarung kopi. Bertukar pikiran untuk berbagai keperluan..., inikan sebenarnya esensi sebuah ruang publik dimana semua orang dapat masuk dengan santai sambil bersenda gurau, berbincang-bincang tentang...., ya politik, masalah ekonomi, bisnis, persoalan sehari-hari. Jadi, memang suatu hal yang menggembirakan jika dilihat ...., tidak saja dari segi bisnis warung kopinya, eh tapi juga sebagai tempat proses pembelajaran berdemokrasi. Tentang warung kopi Phoenam sendiri Pak? Eh...Phoenam sudah cukup lama di Makassar, dia memiliki pelanggan setianya sendiri, bahkan pejabat-pejabat pemerintahan, orang-orang penting di Makassar sering datang ke Phoenam untuk minum kopi, diskusi, atau ngobrol-ngobrol santai..., mungkin karena orang suka minum kopinya. Dan yang menarik bahwa di Phoenam adalah bahwa...secara rutin diselenggarakan perbincangan oleh salah satu stasiun radio, yang menyangkut persoalan-persoalan seperti yang saya katakan tadi.. eh seperti persoalan politik, pemerintahan, hukum, dan lain sebagainya, yang tentu saja hal ini dapat menjadi pembelajaran politik yang berharga bagi kita semua. Eh, Jadi saya kira keberadaan Phoenam cukup memfalisitasi proses demokrasi yang sedang berjalan di Makssar saat ini. Sebagai ketua KPUD Sulsel, bapak sering diundang sebagai nara sumber dalam diskusi-diskusi di warung kopi? Ya, sebenarnya ada beberapa media sering mengundang saya di diskusi-diskusi warung kopi, tapi paling sering adalah di Phoenam. Umumnya adalah persoalan Pilkada Kapasitas kami sebagai penyelenggara Pilkada Sulsel, eh, jadi kami berdiskusi dengan beberapa teman anggota dewan, mencoba mencari jalan terbaik terhadap proses penyenggagaraan Pilkada Gubernur nanti. Kami mendiskusikan berbagai hal, bukan saja persoalan perangkat-perangkat hukum, sistem pemilihan, tata cara, kasus-kasus yang pernah terjadi, bahkan hal-hal yang bersifat teknis mengenai Pilkada, misalnya kami pernah mengadakan simulasi pelaksanaan teknis Pilkada sebelumnya. Pokoknya, eh...segala hal yang menyangkut penyelenggaraan Pilkada Sulsel. Phoenam kan dapat dikatakan sebagai ruang publik, nah bagaimana bapak melihat ruang publik Phoenam? Saya kira Phoenam sudah banyak memediasi publik dalam proses demokrasi di Makassar, memanfaatkan Phoenam untuk berbagai keperluan, ada yang jumpa pers di Phoenam, bicara bisnis, konsolidasi partai, ruang hiburan keluarga, dan kami sendiri dari KPUD, sering diundang di Phoenam untuk menyampaikan kepada warga Makassar segala hal berkaitan dengan Pilkada Gubernur Sulsel.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xxv
Wawancara VII
Nama Kantor Jabatan Waktu Tempat
: Mansyur Semma (50 thn) : Jurusan Komunikasi Unhas : Dosen Komunikasi Unhas : Jumat, 05 Oktober 2007, Pukul 13.30 wita : Kampus Unhas Tamalanrea
Pertanyaan-pertanyaan: Bagaimana tanggapan bapak tentang maraknya diskusi-diskusi politik atau talkshow di warungwarung kopi di Makassar saat ini? Saya rasa....itu suatu awal pendidikan politik, kita tahu orang suka ngumpul-ngumpul di warung kopi sambil membicarakan persoalan-persoalan apa yang sedang terjadi di Makassar saat ini, orang-orang bebas memberikan pendapat-pendapatnya, mengeritik pemerintah, negara, tanpa lagi perlu merasa takut seperti yang dialami pada masa Suharto. Namun kadang-kadang hal tersebut hanya sebatas wacana, yang masih perlu ditindak lanjuti lebih lanjut oleh masyarakat atau pemerintah. Jadi, saya melihat ini suatu hal yang menggembirakan bagi kehidupan demokrasi warga Makassar. Tentang warung kopi Phoenam sendiri Pak? Phoenam..., yang saya tahu Phoenam sudah agak lama dikenal sebagai warung kopi di Makassar, dan memiliki reputasi yang cukup baik di Makssar sebagai usaha warung kopi, eh, dan memang saat ini sering diadakan diskusi atau kegiatan–kegiatan lain yang menyangkut perbincangan politik di Makassar. Jadi, saya melihat Phoenam sangat berperan bagi publik, tidak saja menjadi menjadi tempat bersantai bagi publik, atau menjadi tempat pertemuan bagi pejabat-pejabat politik, figur-figur publik, atau para pengambil kebijakan, tapi juga menjadi ruang bagi masyarakat untuk mengeritik pemerintah, mempersoalkan kinerja aparat dalam melaksanakan tugas-tugasnya, dan saya kira suasana-suasana seperti ini sangat penting dalam kehidupan demokrasi kita. Bapak sering diundang sebagai narasumber di Phoenam? Ya, beberapakali...., Dalam kapasitas sebagai nara sumber apa? Begini, sebenarnya yang mengundang itu radio Mercurius, latar belakang saya adalah pengamat komunikasi dan politik, yah....memberikan pandangan-pandangan dan analisis-analisis politik mengenai permasalahan yang terjadi saat ini, eh,...memetakan komunikasi politik maupun tindakan politik para aktor-aktor politik yang sedang berlangsung baik itu skala nasional maupun skala Makassar. Yah, pokok peristiwa-peristiwa yang tengah terjadi dari sudut pandang politik. Dan bagaimana kesan bapak? Kesan saya...? Eh, disinilah sebenarnya kita belajar berdemokrasi, menghargai pendapat orang lain, bagaimana memberikan argumentasi yang rasional, dan sesungguhnya kita memperlihatkan pembelajaran politik yang baik kepada warga Makassar bagaimana menerima sebuah perbedaan, dan itulah hakikat demokrasi yang sebenarnya.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xxvi
Sebagai ruang publik, bagaimana bapak melihat keberadaan ruang publik Phoenam? Sebagai ruang publik....Phoenam banyak dimanfaatkan orang untuk berbagai keperluaan, hm...ada yang untuk keperluan bisnis, refreshing, rapat pertemuan, dan lain-lain, bahkan ada yang datang merayakan hari jadi perkumpulan atau organisasinya. Dalam perspektif komunikasi politik, yang paling terpenting adalah bahwa.....Phoenam telah menyediakan ruang bagi publik, eh....ruang untuk berekpresi menyampaikan pandangan-pandangannya dalam proses demokrasi di Makassar.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xxvii
Wawancara VIII
Nama Nama Partai Kantor Waktu Tempat
: H. A. Muh. Adil Patu : Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) : Jl. Urip Sumiharjo, Makassar : Rabu, 24 Oktober 2007, Pukul 12.00 Wita : Warkop Phoenam
Pertanyaan-pertanyaan: Bagaimana pendapat Bapak tentang maraknya diskusi/talkshow di warung-warung kopi saat ini di Makassar? Saya kira diskusi-diskusi politik yang lagi ramai sekarang di warung-warung kopi sekarang ini merupakan pertanda bahwa kita mulai kritis melihat persoalan-persoalan yang tejadi disekitar kita, eh.., entah itu persoalan ekonomi, sosial, entah pemerintahan, politik, eh pokoknya mulai tumbuh kebebasan ditengah-tengah masyarakat, khususnya di Makassar, untuk membicarakan jalannya roda pemerintahan. Selain itu, eh...diskusi-diskusi tersebut juga merupakan semacam bahan masukan bagi bagi kami, anggota dewan, pemerintah, aparat pemerintah, dan segala institusi yang menjadi sasaran pembicaraan tersebut guna memperbaiki kinerjanya, dan saya pikir....hubungan timbal balik demikian adalah hal yang sangat menggembirakan bagi peningkatan pelayanan publik di Makassar, eh..dan juga pelajaran berdemokrasi kita di sini. Warkop mana yang Bapak sering kunjungi? Ada beberapa sih, tapi yang paling sering ya ini warkop Phoenam... Sebagai fungsionaris partai politik, Apa arti penting warkop Phoenam bagi Bapak? Bagi kami, warung kopi Phoenam, eh, tempat strategi politik dibicarakan, digodok, untuk menghasilkan konsep-konsep agenda politik kami kedepan, dan juga bagaimana menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah. Selain itu, juga merupakan ruang menanggapi suasana dan isu politik yang terjadi. Phoenam kan dapat dikatakan sebagai ruang publik, nah pendapat bapak mengenai ruang publik Phoenam? O iya, keberadaan warkop Phoenam di Makassar, saya pikir.....sudah menyediakan fasilitas bagi publik Makassar untuk berdikusi, bertemu, berinteraksi, sambil menikmati makanan dan minuman dengan santai, membicarakan banyak hal, sambil mencari solusi terbaik untuk masalahmasalah yang sedang dibicarakan, dan hal tersebut eh, saya kira merupakan kemajuan besar dalam pembelajaran berdemokrasi kita di Makassar, kita bisa saling memberikan alasan...., beradu argumentasi tanpa harus beradu otot, dengan menghadirkan berbagai pihak, pemerintah, swasta, publik, dsb, sehingga sedikit demi sedikit kita akan semakin terbiasa untuk mendiskusikan secara bersama-sama, dan bukan tidak mungkin semua persoalan yang menyangkut persoalan publik akan kita dapat atasi dengan baik. Dan harapan kita bersama bahwa eh....., suasana-suasana demikian...., dapat kita bangun dan harapkan misalnya dari warung kopi Phoenam ini.
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xxviii
Wawancara IX
Nama Pekerjaan/Organisasi Waktu Tempat
: Anwar Lasapa (34 thn) : Pengurus ICMI Muda Sulsel : Rabu, 14 November 2007, Pukul 09.30 Wita : Di Warkop Phoenam
Pertanyaan-pertanyaan: Pak Anwar sering ke sini (Phoenam)? Ya, biasanya sore-sore saya ke sini bersama teman-teman, nongkrong...ngobrol-ngobrol sambil minum kopi...cuma karena hari ini ada talkshow maka saya agak pagi datang untuk menghadiri talkshow ini. Kenapa memilih warkop Phoenam, Pak? Phoenam ini sudah terkenal kopinya sejak dulu, dan memang enak, saya suku minum kopi di sini, suasananya santai, welcome, banyak orang-orang penting minum kopi juga di Phoenam, saya kira kopi di Phoenam agak berbeda dengan warkop lain, berbusa dan rasanya asli. Eh, ini...di sini (di Phoenam) juga sering diadakan acara talkshow dengan tema-tema yang berbeda. Itu kenapa saya senang datang ke sini. Bapak sering menghadiri talkshow-talkshow Phoenam? Ya, sering-sering terutama kalau ada talkshow. Saya biasanya hadiri talkshow Phoenam untuk mendapatkan informasi penting mengenai perkembangan kota Makassar, eh, dengan begitu saya dapat mengikuti apa yang sedang terjadi di sini (Makassar). Pembicaraannya biasanya seputar persoalan politik, pilkada atau isu-isu yang lagi menghangat sekarang ini, dan hm...kadang-kadang saya suka bertanya, menanggapi pendapat narasumber, atau memberikan masukan-masukan terhadap persoalan yang sedang dibicarakan. Sebagai ruang publik yang dapat dimanfaatkan oleh publik Makassar, bagaimana pak Anwar melihat ruang publik Phoenam? Eh, pertama-tama saya lihat bahwa.....banyak kalangan, kelompok maupun individu sering datang ke Phoenam untuk berbagai keperluan, misalnya untuk bicara bisnis, jumpa pers, peluncuran produk, talkshow, dsb. Selain itu, diskusi-diskusi politik yang rutin diadakan menambah ramai suasana Phoenam, sehingga eh, jadi Phoenam betul-betul diharapkan dapat menjembatani masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya dan kepentingan-kepentingannya, dan hm..., hal ini jika dibawa ke wacana politik, akan berdampak kepada dunia pendidikan politik kita, eh karena merupakan pembelajaran politik pada masyarakat dapat berpartisipasi secara langsung, turut mengawasi dan mengritisi proses jalannya roda pemerintahan, eh....meskipun kalau saya lihat ya...Phoenam lebih banyak di kunjungi pejabat atau fungsionaris partai politik, serta eh...pejabat-pejabat pemerintahan, dan kami harapkan Phoenam tidak hanya dikunjungi oleh orang tertentu, hm....namun kalau bisa semua kalangan. Kalau begitu, terima kasih atas kesediaan waktunya Pak. Oke, sama-sama...
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xxix
Wawancara X
Nama Pekerjaan Waktu Tempat
: H. Sukardi (52 thn) : Pengusaha : Jumat, 28 Desember 2007, Pukul 20.00 Wita : Di BTP Makassar
Pertanyaan-pertanyaan: Bapak sering ke Phoenam? Ya, biasanya saya janjian dengan teman-teman sesama pengusaha datang ke Phoenam, kebetulan saya kenal baik juga dengan Pak Albert (pemilik Phoenam), jadi kita bersama-sama bisa saling membicarakan peluang-peluang bisnis di Makassar sambil santai minum kopi. Kenapa memilih Phoenam Pak? Pertama, saya suka kopinya, rasanya berbeda dan khas begitu..., eh suasananya juga agak tenang....sambil cerita-cerita bisnis dengan santai dengan teman-teman, eh, juga banyak kalangan pengusaha dan orang-orang penting minum kopi ke sana. Eh, begini... di sana pak Ilo (Walikota Makassar) dan pak Syahrul sering hadir, pejabat-pejabat elit juga sering datang, mungkin saya bisa mendapatkan peluang bisnis dari perkenalan dengan mereka. Saya kira Phoenam sudah terkenal sejak dulu, sehingga banyak orang yang punya kenangan dengan Phoenam, eh mungkin dengan kopinya, atau suasananya. Jadi Bapak banyak mendapat peluang-peluang bisnis dari sana? Yah, adalah...tapi tidak slalu. Sebenarnya begini, eh di Phoenam, sesama rekan bisnis kami memantapkan pembicaraan yang kami lakukan sebelumnya, sambil melihat peluang-peluang untuk dikembangkan. Jika kami bertemu dengan pejabat-pejabat yang juga pengusaha, biasanya pembicaraannya bisa bertambah luas, dan dari situ kadang-kadang muncul peluang-peluang yang lain, peluang-peluang untuk menggali usaha lain. Kalau boleh tahu, usaha apa yang Bapak geluti sekarang? Bisnis jual beli mobil dan SPBU. Tapi saya lebih banyak konsentrasi di SPBU. Awal tahun nanti ini, saya rencana buka SPBU baru di depan BTP. Baik pak, semoga usahanya selalu lancar, terima kasih Sama-sama
Ruang publik..., Andi Faisal, FIB UI, 2008
xxx