Intervensi Teknologi Pada Taman Kota Sebagai Ruang Publik Pintar Wafirul Aqli1 1 Mahasiswa
Program Studi Strata 2 Teknik Arsitektur, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Abstract The development of technology has entered various aspect of human life, even become a part of the architectural and urban spaces. A city park as part of public space is no exception, the so called as smart park has been developed with added value that is providing high-tech facilities for the higher level of advantage. A city park as smart park intervened by technology to complement the needs which not just a space for city lungs or social interactions. Technology provided are covered in two categories of benefits namely; ecological benefits and social benefits. To ecologically benefit, the technology which intervened into the city park allows the environmental conditions to be sensed independently or automatically, which is then provide information related to the maintenance and the sustainability of the park. At the other side, socially, a smart city park can be a new attraction because the technology fits the current people which has gadget-oriented lifestyle and preferred to interact with electronic media to gather informations. Keywords: Technology, Smart Public Space, Smart City Park.
1. Latar Belakang Fasilitas taman di perkotaan telah menjadi kebutuhan yang semakin diharapkan kehadirannya. Warga maupun otoritas kota telah sama-sama menyadari akan kebutuhan fasilitas ini seiring dengan munculnya beberapa faktor masalah seperti; mulai kurangnya interaksi sosial dan wadah aktualisasi diri akibat fenomena media sosial elektronik yang mengubah cara manusia berinteraksi satu sama lain. Faktor lain adalah perubahan kondisi lingkungan yang dipicu oleh fenomena seperti pemanasan global. Disaat yang sama perkembangan teknologi semakin melebur dengan kehidupan sehari-hari warga kota. Semakin dibutuhkannya teknologi merupakan reaksi atas kemampuan teknologi itu sendiri dalam memberikan kemudahan dalam setiap aktivitas manusia. Teknologi telah mengikuti mobilitas warga dan kehadirannya dapat ditemui di setiap tempat dalam bentuk dan manfaatnya yang berbeda-beda sesuai kebutuhan. Manfaat seperti apa dan bagaimana teknologi ini menyatu dalam konteks fisik ruang publik tersebut, akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini. Beberapa artikel yang pernah diangkat sering menyebutkan bahwa intevensi teknologi pada ruang publik baik itu di jalan maupun di taman berbentuk sistem pengawasan (surveillance) sebagai bagian dari pengamanan kawasan. Sementara fitur teknologi lain yang membawa manfaat lebih daripada itu belum banyak Kontak: Wafirul Aqli, Mahasiswa Program Studi Strata 2 Teknik Arsitektur, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. e-mail:
[email protected],
[email protected].
dibahas. Oleh karena itu tulisan ini mencoba untuk mengungkap gambaran ideal mengenai bagaimana sebaiknya teknologi dapat dimanfaatkan dalam ruang publik. Teknologi surveillance hanya dirasakan kegunaannya oleh pihak terkait. Apabila ruang publik tersebut berwawasan teknologi pun apakah penggunanya hanya merasakan manfaatnya dari segi akses informasi saja seperti ketersediaan jaringan WiFi atau sejenisnya, atau ada peranan yang lebih dari itu yang bisa disediakan oleh kehadiran teknologi. Tuntutan fasilitas taman, sebagai bagian dari ruang publik yang disebutkan sebelumnya juga disadari perlu diwujudkan dengan nilai lebih dari sisi teknologinya. Nilai lebih ini menjadikan fasilitas yang dibangun berpredikat “pintar”, seperti halnya kota pintar (smart city) hingga rumah pintar. Otoritas kota mengharapkan fasilitas taman yang mereka sediakan dapat dimanfaatkan oleh warganya, maka dari itu penyematan fasilitas yang berteknologi dapat menjadi atraktor. Taman pintar yang dimaksud dalam tulisan ini bukanlah “taman pintar” seperti yang dikenal sebagai nama tempat ekshibisi sains atau wahana ilmu pengetahuan yang berlokasi di Kota Yogyakarta (karena penelusuran referensi terminologinya dalam bahasa Indonesia selalu mengarahkan pencarian kepada tempat tersebut). Taman pintar yang dimaksud di sini adalah taman sebagai ruang publik yang memiliki keunggulan lain selain penyedia ruang sosial dan penyokong lingkungan secara ekologis karena memiliki intervensi teknologi sehingga memberi manfaat lebih bagi penggunanya.
Arsitektur dan Urbanisme / Desember 2014
1
2. Kajian Teori 2.1. Ruang Publik Pintar Definisi ruang publik pintar masih sulit untuk ditemukan sebagai pengertian yang utuh. Untuk mendapatkan pengertian yang mudah dipahami, terminologi ‘kota pintar’ (smart city) dapat menjadi referensi untuk menelusurinya. Ruang publik merupakan elemen kota yang sangat penting, dan secara teoritis kota pintar akan memiliki ruang-ruang publik sebagai elemen pembangun kota yang juga ‘pintar’. Mengacu pada suatu uraian; kota pintar belum memiliki pengertian yang baku namun apabila ingin didefinisikan maka kota yang disebut ‘pintar’ adalah kota yang memiliki masukan investasi modal sosial dan manusia, infrastruktur transportasi serta teknologi informasi, yang semua itu mampu mendorong pengembangan ekonomi berkelanjutan dan kualitas hidup yang meningkat, dengan pemanfaatan sumber daya alam yang bijak, melalui tata kelola pemerintahan yang partisipatif (Yusuf, 2012). Kota pintar dapat menjadi solusi terhadap permasalahan urbanisasi di negara berkembang dan dampak yang mengkutinya seperti kemacetan, kriminalitas, sampah, kesehatan, transportasi, lapangan kerja dan lainnya. Sementara di negara maju, kota pintar diterapkan untuk mereduksi masalah lingkungan seperti polusi udara, emisi karbon dan lainnya. Awal pembentukan kota pintar pada umumnya berangkat dari penyiapan teknologi informasi dan komunikasi. (ibid, 2012). Kota pintar meliputi tiga dimensi keterlibatan yaitu kecerdasasn individu manusia, kecerdasan kolektif (warga/komunitas kota) dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) (Komninos, 2006). Pengertian dari dimensi yang ketiga tentang kecerdasan buatan, apabila diuraikan lebih lanjut akan menjelaskan teknologi informasi dan komunikasi yang perlu dipersiapkan. Kecerdasan buatan menyatu (embedded) dengan lingkungan fisik dan diperlukan dalam kota pintar sebagai bentuk dari; infrastruktur komunikasi, ruang digital (digital spaces) dan perangkat pemecahan masalah komunitas kota berbasis online. Contoh-contoh kota yang telah menerapkan konsep kota pintar kemudian telah terbukti sukses dalam meningkatkan performa kotanya. Penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pada masing-masing kota yang mengembangkan konsep ini memiliki permulaan langkah yang berbeda-beda. Pada umumnya pembangunan kota-kota ini menuju kota pintar diawali dengan penggunaan TIK yang bersifat parsial tergantung prioritas masalah-masalah yang ada di masing-masing kota. Dicontohkan seperti kota Amsterdam yang mendasarkan penggunaan TIK untuk memecahkan masalah polusi udara. Sementara itu ibukota Estonia menerapkan TIK untuk memperkuat sistem kerja pemerintahannya melalui e-government, serta menggunakan kartu identitas cerdas (smart ID-
2
Arsitektur & Urbanisme
card) untuk memperlancar pelayanan terhadap warganya. Di Korea Selatan tepatnya di kota Songdo pemanfaatan TIK ditujukan untuk menjadikan kota tersebut sebagai pusat bisnis yang berskala internasional (Widyaningsih, 2013). Ruang publik sebagai bagian dari ruang kota yang cukup penting juga akan memiliki karakter pengembangan yang sama apabila disematkan sebagai ruang yang pintar. TIK akan menjadi bagian dari elemen-elemen seperti jalan, taman, ruang terbuka, atau fasilitas lainnya yang diperuntukkan untuk kepentingan publik kota. Sebelum lebih jauh memahami TIK dalam ruang publik pintar, perlu dipahami bahwa perkembangan TIK memberikan kepada penggunanya kemudahan akses informasi dan kemudahan komunikasi yang semakin praktis. Teknologi terutama arus informasi dan komunikasi yang semakin mudah diakses dapat mematikan aktivitas raung publik (Ellis, 2000). Pemahaman ruang oleh pengguna (yang diibaratkan oleh Ellis sebagai ‘tarian dinamis’ mencari jalan keluar dari labirin/jalan-jalan kota, yang mana pencarian jalan tersebut justru menghidupkan gerak kota) tidak lagi dilakukan karena tanpa diperlukan suatu mobilitas, warga kota tidak perlu bergerak untuk mendapatkan akses informasi dari tempat tinggalnya. Oleh karena itu TIK dalam ruang publik sebaiknya juga diadakan untuk lebih menghidupkan ruang publik. 2.2. Teknologi dalam Ruang Publik Pintar Diskusi mengenai teknologi informasi dan komunikasi seperti apa yang dapat diterapkan dalam ruang publik pintar dapat mengacu pada beberapa wacana, salah satunya seperti yang diungkap oleh Dana Cuff (2003) dalam “Immanent Domain – Pervasive Computing and the Public Realm”. Cuff menyebutkan TIK yang dimaksud dapat berbentuk pervasive computing. Apabila diartikan, pervasive computing merupakan suatu lingkungan dimana sejumlah teknologi (terutama teknologi komputer) digunakan dan menyatu di dalam obyek dan aktivitas keseharian manusia, sehingga kehadirannya pun tidak dirasakan sebagai sesuatu yang khusus atau disadari (Arman, 2008). Pengertian meresap dalam kata pervasive bahwa teknologi tersebut semakin menyatu kepada pemakai dan lingkungannya. Sehingga kehadirannya semakin tidak terasa lagi menjadi perangkat yang bukan khusus lagi dan tidak disadari kehadirannya oleh kita. Sehingga dapat dikatakan juga pervasive computing pada dasarnya adalah sebuah lingkungan, bukan teknologi (ibid, 2008). Lebih lanjut bagaimana teknologi-teknologi tersebut menyatu dengan lingkungannya dapat dipahami dengan melihat penjelasan dari Streitz (2005) yaitu terdapat dua hal yang saling melengkapi yaitu: 1. Continual Miniaturization, yaitu teknologinya yang merupakan hasil dari penyesuaian bentuk dan ukuran yang dibuat menjadi sekecil
Wafirul Aqli
mungkin, hampir tidak terlihat, sehingga dapat disisipkan (permeate) disetiap elemen-elemen lingkungan. 2. Pengembangan artefak/elemen lingkungan yang fungsionalitasnya telah ditambahkan dengan kemampuannya untuk melakukan interaksi dan tanggap perilaku pengguna. Produk teknologi dengan dua ciri tersebut di atas disebut sebagai smart artifacts yang menyusun smart environment. Kemudian masih dari Streitz (2005), teknologi yang ada di lingkungan tersebut dapat dibedakan menjadi dua tipe smart artifacts melihat dari cara kerjanya yaitu: 1. Artefak teknologi yang berorientasi pada sistem sehingga kecerdasannya didesak untuk bekerja sedemikian rupa (system - oriented, importunate smartness). Smart artifact dengan tipe ini adalah artefak teknologi yang bekerja sesuai dengan informasi-informasi yang dikumpulkan sebelumnya. Sebagai contoh, suatu artefak akan mempelajari perilaku seseorang seperti berapa lama orang tersebut menggunakan (occupied) suatu ruang/space dan tindakan/respon apa yang dapat dilakukan saat itu. Respon yang dilakukan seperti mengatur temperatur ruang (apabila di ruang tertutup) atau mengaktifkan jaringan internet nirkabel karena sistem mempelajari kebiasaan penggunan yang selalu mengakses internet setiap berada di ruang/space tersebut. 2. Artefak teknologi yang berorientasi pada manusia dan memberdayakan kecerdasannya (people-oriented, empowering smartness). Smart artifact dengan tipe ini menggunakan pendekatan memberdayakan kecerdasan penggunanya agar artefak teknologi itu pun lebih tepat sasaran dalam hal kebermanfaatanya bagi pengguna. Sistem ini akan mendorong penggunanya mengambil keputusan dari pilihan-pilihan yang disediakan oleh artefak teknologi tersebut melihat dari siapa penggunanya dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Berbeda dengan tipe system-oriented di mana keputusan tindakan/respon sepenuhnya ditentukan oleh artefak teknologinya, tipe ini hanya memberikan tawaran respon yang selanjutnya akan dipilih oleh pengguna mana yang paling cocok dengan kondisi dan kebutuhannya saat itu. 2.3. Ruang Publik Pintar berupa Taman Kota Taman merupakan bagian dari ruang publik yang dapat menyediakan manfaat ekologis bagi kota. Taman kota bermanfaat untuk menghasilkan oksigen, meminimalisir polusi udara dengan kemampuan filter debu dan asapnya, juga dapat meminimalisir kebisingan, serta sebagai tempat penampungan air
Arsitektur & Urbanisme
tanah dan mencegah banjir atau erosi. Dari manfaat sosialnya taman dapat menjadi wadah komunikasi sosial, beraktivitas seperti olahraga, bermain dan rekreasi. Sebagai manfaat lebihnya adalah menjadikan kota berestetika dan memiliki daya tarik dengan adanya taman.
Gambar 1. Taman Menteng sebagai salah satu contoh taman kota yang menyadiakan penghijaunan untuk fungsi ekologisnya ditambah rumah kaca untuk pemberdayaan flora dan fungsi aktivitas lainnya serta ruang-ruang terbuka untuk interaksi sosial dan rekreasi (sumber: devianart.com, akses Desember 2014)
Taman yang memiliki kecerdasan dalam konteks ruang publik pintar juga memiliki kelebihan dalam penerapan TIK sebagai bagian dari lingkungan taman tersebut. TIK dalam ruang taman berperan mulai dari sebatas menyediakan akses internet nirkabel seperti WiFi atau hingga ke fungsi-fungsi mendukung keberlangsungan ekologis dari taman tersebut. Peranan dalam fungsi ekologisnya menjadi kelebihan tersendiri bagi ruang taman sebagai ruang publik pintar. Hal tersebut dikarenakan TIK yang disematkan ke dalam ruang taman tidak hanya mendukung aktivitas pengguna tetapi juga dapat menjaga kualitas lingkungan sesuai perannya sebagai taman di kota. Taman kota biasanya merupakan ruang kota dengan skala meso/sedang dan berkonteks lokal. Karena skalanya tersebut taman kota merupakan fasilitas ruang publik yang paling strategis untuk menerapkan teknologi berkecerdasan. Berdasarkan Steven Moore (2001) skala meso disebutkan sebagai skala yang paling strategis untuk memadukan antara ruang yang berkualitas dengan perkembangan teknologi yang maju. Dan perpaduan tersebut dapat berjalan seiring dan seimbang. Apa yang dimaksud dengan perpaduan yang seimbang, digambarkan oleh Moore bahwa dengan berbagai takarannya teknologi maupun ruang sama-sama memberikan manfaat keberlanjutan atau pun manfaat ekologis. Manfaat ini merupakan manfaat ruang yang mengarah positif bagi kehidupan kota.
Wafirul Aqli
3
taman kota sebagai ruang publik dan beraktivitas sosial.
Gambar 2. Skema perpaduan ruang dan teknologi dalam setiap
Gambar 3. Penerapan WiFi di Taman Kota untuk kebutuhan mengakses internet di ruang publik (sumber: viva.co.id, akses Desember 2014)
takarannya (sumber: Moore, 2001)
Skala taman kota yaitu skala meso menurut Moore lagi adalah skala di mana hubungan sosial terbentuk, terdapat keberhunian yang biasanya terinstitusi (seperti Kelurahan atau RT/RW) dan arsitektur banyak berkontribusi dalam pembentukannya. 3. Studi Kasus Beberapa studi kasus dalam tulisan ini dibagi dalam dua bagian yaitu yang mencontohkan penerapan teknologi dalam konteks artefak atau sistemnya (meminjam istilah Streitz untuk menyebut produk teknologi yang digunakan) dan intervensi teknologi dalam ruang taman kota. Penulis tidak menemukan lokasi studi kasus yang menerapkan teknologi ruang publik pintar secara menyeluruh, diharapkan dengan menjelaskan dalam dua bagian ini didapatkan gambaran apabila intervensi teknologi bisa diterapkan seluruhnya untuk lapisan manfaat yang seutuhnya. Intervensi teknologi dalam taman kota yang pintar untuk menyokong fungsi utamanya secara ekologis dapat dicontohkan dari taman Garden by the Bay, Singapura.
b. Sensor Pertamanan. Perangkat sensor pertamanan seperti contohnya Edyn merupakan alat untuk menginderakan kondisi taman khususnya agar dapat dipelihara secara baik dan berlanjut. Berdasarkan karakter vegetasi yang tidak pernah sama kondisinya pada setiap taman, perangkat seperti ini dapat membaca kondisi taman dan vegetasinya secara aktual. Perangkat seperti ini lebih banyak digunakan dalam perkebunan, namun dapat juga diterapkan dalam taman kota untuk menentukan kapan tanaman dapat disirami air dengan teknologi automatic watering-nya atau bagaimana sebaiknya tanaman diasup dengan pupuk secara tepat waktu dan jenisnya.
3.1. Contoh Sistem Teknologi dalam Taman Pintar a. Wireless Fidelity (WiFi). Wireless Fidelity yaitu teknologi nirkabel yang memiliki kemampuan untuk menyediakan akses internet yang biasanya berkapasitas besar karena digunakan oleh beberapa atau berkelompok individu. Hotspot yang menjadi lokasi yang dilengkapi dengan WiFi membentuk ruang area sehingga dapat mempengaruhi lokasilokasi beraktivitasnya seseorang di ruang publik atau taman. Titik akses atau hotspot ini memiliki jangkauan seluas radius 20 meter di dalam ruangan dan lebih jauh lagi cakupannya di dalam ruangan. WiFi telah menjadi elemen keharusan bagi penyediaan taman kota seiring dengan masyarakat yang semakin dekat dengan teknologi gadget untuk komunikasi dan mengakses informasi. WiFi menjadi daya tarik tersendiri untuk menghidupkan
4
Arsitektur & Urbanisme
Gambar 4. Edyn, seperangkat sensor untuk membaca kondisi taman atau kebun tempat vegetasi yang dipelihara tumbuh. Hasil pembacaan sensor dikomunikasikan dalam bentuk notifikasi ke penggunanya sebagai informasi yang dibutuhkan (sumber: www.kickstrarter.com / projects / edyn, akses Desember 2014)
c.
Perabot Interaktif. Perangkat teknologi yang lainnya yang dapat menjadi bagian dari taman kota yang pintar adalah perabot/furniture interaktif. Perabot interaktif sebagai elemen arsitektural dalam taman kota yang berkecerdasan dapat menjadi media yang menyediakan/menampilkan informasi yang kontekstual atau bereaksi terhadap penggunananya dalam berbagai bentuk (sympathetically react to people). Selain menjadi media komunikasi dalam bentuknya sebagai furniture, perabot yang interaktif ini dapat menjadi
Wafirul Aqli
daya tarik dalam taman untuk menghidupkan aktivitas yang rekreasional di dalam taman tersebut. Sehingga taman sebagai ruang publik juga lebih menyenangkan untuk dikunjungi. Contoh perangkatnya adalah Hello.Wall yang dikembangkan oleh Streitz. Hello.Wall merupakan dinding pintar yang dapat bereaksi terhadap orang yang melewatinya atau mendekat kepadanya. Reaksi yang muncul berupa pola-pola warna dan konfigurasi yang menunjukkan mood kawasan serta orang-orang yang berinteraksi dengan dinding tersebut.
Gambar 4. Hallo.Wall yang menjadi contoh dari perabot interaktif yang dapat diterapkan dalam taman kota yang pintar ( sumber: Streitz, 2005)
d. Sistem Teknologi Terpadu. Sistem teknologi ini dapat dikatakan sebagai sistem yang memadukan berbagai kemampuan teknologi yang berdiri sendiri untuk tujuan koordinasi informasi yang berkaitan dengan kebutuhan data dan pengetahuan tentang ruang. Contoh dari sistem ini seperti yang diusulkan oleh Pahl (2013) yaitu Distributed Smart Space Orchestration System (DS2OS) yaitu sistem terpadu yang dapat membaca dan mengatur konsumsi energi pada suatu ruang. Sistem ini merupakan solusi bagi koordinasi penggunaan energi sekaligus lebih ramah terhadap privasi dibandingkan sistem yang terpusat. Manfaat penggunaannya dapat dideskripsikan dalam skenario; (1) Mengurangi kebutuhan tingkat konsumsi energi, dengan cara lebih mengadaptasi kebutuhannya; (2) Membangkitkan distribusi energi yang berbasis kebutuhan berimbang dengan adanya komunikasi data dan informasi antar ruang/area.
Gambar 5. Lapisan fungsional dari DS2OS (sumber: Pahl, 2013)
Arsitektur & Urbanisme
3.2. Garden by the Bay, Singapura Garden by the Bay merupakan fasilitas taman yang ikonik di negara kota Singapura. Taman ini dibangun sebagai daya tarik wisata dan juga fasilitas konservatori flora dunia, selain juga untuk menyediakan taman di tengah-tengah kepadatan pusat kota di kawasan Marina Bay. Garden by the Bay, terdiri dari 54 hektar taman dengan di dalamnya terdapat 11 unit taman vertikal berbentuk pohon buatan yang disebut “supertree” dan dua kubah kaca tempat konservatori yang dimaksud dengan membangun lingkungan buatan di dalammnya untuk memamerkan dan mengkonservasi vegetasi serta flora dari berbagai belahan dunia.
Gambar 6. Kawasan taman Garden by the Bay Singapura (sumber: www.building.co.uk, akses Desember 2014)
Dua kubah kaca tersebut dibangun untuk menampung berbagai tanaman dalam kondisi iklim mediterania (iklim hangat) seluas 12.800 m2 di “Flower Dome” dan menempatkan lingkungan buatan beriklim hutan hujan tropis lengkap dengan gunung dan air terjun buatannya di dalam “Cloud Forest Dome” seluah 7.300 m2. Daya tarik yang lain adalah Supertree seperti yang disebutkan di atas, merupakan pohon buatan untuk mengkonfigurasikan taman vertikal dengan. Supertree tidak hanya menjadi media tanam vertikal tetapi berfungsi sebagai utilitas untuk keseluruhan taman dengan teknologi yang dikemas secara arsitektural. Teknologi yang digunakan benar-benar menyatu dalam elemen arsitekturalnya walaupun kegunaan teknologi tersebut lebih banyak untuk mendapatkan manfaat keberlanjutan kawasan seperti sistem exhaust untuk bangunan penghawaan di dalam kubah-kubah konservatori yang terintegrasi di dalam pohon-pohon buatan Supertree. Selain itu juga untuk penampungan air serta daur-ulang air untuk keperluan watering/penyiraman tanaman yang juga terintegrasi di dalam Supertree. Garden by the Bay dapat menjadi contoh solusi dimana infrastuktur berteknologi menyatu dengan lansekap alamiah maupun buatan untuk kelangsungan ekologi. Seperti yang disebutkan oleh Frampton (2001), bahwa efek negatif dari perkembangan teknologi yaitu menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dapat ditekan dengan mengintegrasikannya dengan lansekap yang ekologis. Garden by the Bay merupakan
Wafirul Aqli
5
infrastruktur lingkungan, kawasan wisata dan sekaligus konservatori berbagai sumber daya energi yang mencakup kebutuhan di kawasan Marina/pesisir bagian selatan pulau Singapura dengan sistemnya seperti yang diperlihatkan pada gambar 7.
teknologi yang menyediakan fasilitas untuk mengakses internet dapat menarik individu untuk berkunjung ke taman dan berinteraksi menghidupkan ruang publik di kota. Tidak hanya sampai di situ saja, daya tariknya dapat ditingkatkan ke level rekreatif dengan mengintegrasikan elemen-elemen teknologi tersebut ke dalam elemen fisik ruang publik, seperti konsep dinding interaktif ataupun konsep Supertree pada studi kasus di atas yang disadari atau tidak, bukan hanya menjadi penghias lansekap saja tetapi juga ‘menyembunyikan’ utilitas taman di dalamnya. ***
Gambar 7. Fungsi infrastruktur lingkungan berteknologi yang disediakan oleh taman Garden by the Bay bagi kawasan pesisir bagian selatan pulau Singapura (sumber: www.archisearch.gr, akses Des.2014)
Referensi
Gambar 8. Teknologi Supertree di Garden by the Bay yang berfungsi untuk mengkonservasi sumber energi dan pemeliharaan iklim lokal (sumber: www.archisearch.gr, akses Des.2014)
4. Kesimpulan Taman pintar sebagai ruang publik kota yang berwawasan teknologi berfungsi sebagaimana taman pada umumnya namun dengan nilai lebih. Nilai lebih pada fungsinya sebagai penyokong ekologi perkotaan adalah, taman pintar dapat secara mandiri dan pro-aktif memberikan informasi terkait pemeliharaan dan kelangsungan taman tersebut. Sistem teknologi seperti sensor pertamanan (seperti perangkat Edyn) dan sistem teknologi terpadu DS2OS yang mengkomunikasikan kondisi aktual lingkungan taman memudahkan pengelola taman untuk menjaga dan memelihara fasilitas taman agar tetap berfungsi sebagai paru-paru kota. Nilai lebih dari fungsinya sebagai wadah sosial adalah, taman pintar memiliki daya tarik tersendiri sesuai dengan perilaku pengguna teknologi sekarang yang gadget-oriented dan selalu mengakses informasi secara cepat dari internet. Maka dari itu dengan adanya
6
Arsitektur & Urbanisme
1) Arman, Arry A. (2008) Pervasive Computing. Artikel blog 9 April 2008 http://kupalima.wordpress.com / 2008 / 04 / 09 / pervasive computing, diakses November 2014. 2) Cuff, D. (2003) Immanent Domain – Pervasive Computing and the Public Realm. Artikel Writing Urbanism editor oleh Douglas Kelbaugh dan Kit Krankel McCullough, Routledge, New York, 360371. 3) Ellis, Eugenia V. (2000) City of Dreams – Virtual Space/Public Space. Artikel Writing Urbanism editor oleh Douglas Kelbaugh dan Kit Krankel McCullough, Routledge, New York, 372-382. 4) Frampton, K. (2001) Technoscience and Environemntal Culture – A Provisional Critique. Artikel Writing Urbanism editor oleh Douglas Kelbaugh dan Kit Krankel McCullough, Routledge, New York, 333344. 5) Ijeh, I. (2012) Garden By The Bay Singapore. Artikel dalam http:// www.building.co.uk / gardens – by – the – bay – Singapore / 5039760.article, tanggal 27 Juli 2012, diakses Desember 2014. 6) Komninos, N (2006) The Architecture of Intelligent Cities: Integrating Human, Collective and Artificial Intelligence to Enhance Knowledge and Innovation. Prosiding 2nd IET International Conference on Intelligent Environment, Vol. 1, 13-20. 7) Mathioudakis, G. (2012) Garden By The Bay. Artikel dalam http://www.archisearch.gr / article / 922 / gardens-by-the-bay-grantassociates-landscape-architects, tanggal 17 Okt. 2012, diakses Desember 2014. 8) Moore, Steven A. (2001) Technology, Place and the Nonmodern Thesis. Artikel Writing Urbanism editor oleh Douglas Kelbaugh dan Kit Krankel McCullough, Routledge, New York, 345-359. 9) Pahl, M.-O., Niedermayer, H., Kinkelin, H. dan Carle, G. (2013) Enabling Sustainable Smart Negihborhoods. Conference Publications on Sustainable Internet and ICT for Sustainability, 3031 Oct. 2013, 1-6. 10) Widyaningsih, D. (2013) Kota Surabaya Menuju Smart City. Tesis Magister Perencanaan Kota dan Daerah, Universitas Gadjah Mada. 11) Streitz, Norbert A., Rocker, C., Prante, T., van Alphen, D., Stenzel, R., dan Magerkurth, C. (2005) Designing Smart Artifacts for Smart Environments. Jurnal IEEE – Computer, Vol. 38 No. 3, 41-49. 12) Yusuf, M. (2012) Jakarta Menuju Smart City. Artikel Kompasiana 18 November 2012, http://teknologi.kompasiana.com / internet / 2012 / 11 / 18 / jakarta-menuju-smart-city-504164.html, diakses Desember 2014.
Wafirul Aqli