TEMU ILMIAH IPLBI 2016
Melihat Heterotopia pada Ruang Publik (Studi Kasus: Taman Alun-alun, Kota Bandung) Astriana Marsalince Asbanu Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota, Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan, ITENAS.
Abstrak Ruang publik telah menjadi kebutuhan bagi berlangsungnya interaksi masyarakat perkotaan. Taman kota seperti Taman Alun-alun Kota Bandung yang berfungsi sebagai ruang publik, merefleksikan realitas kehidupan masyarakat kota. Namun, keberadaan taman ini juga merupakan manifestasi dari ‘ruang yang lain’ yang diimajinasikan oleh pengguna taman tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keberadaan heterotopia dalam ruang publik khususnya dalam Taman Alun-alun Kota Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode eksplorasi kualitatif, data dikumpulkan melalui pengamatan terhadap taman dan aktivitas di dalamnya, serta melalui kajian literatur seperti jurnal dan buku. Analisis spasial dilakukan dengan mengeksplorasi dan menganalisis ke-6 prinsip heterotopia yaitu heterotopology pada Taman Alun-alun Kota Bandung. Heterotopia dapat dilihat pada Taman Alun-alun Kota Bandung. Baik krisis dan penyimpangan, fungsi, penjajaran, waktu, tempat maupun masyarakat dalam taman ini, berperan serta dalam memproduksi ‘ruang yang lain’ dalam imajinasi sekaligus secara fisik. Taman ini merupakan ruang nyata yaitu ruang publik yang terbuka dan dapat dinikmati oleh semua golongan masyarakat sekaligus ‘ruang yang lain’ yaitu ruang utopis yang direfleksikan oleh intra dan inter-aksi individu maupun ruang kepada kehidupan di dalam dan di luar taman tersebut. Kata-kunci: heterotopia, heterotopology, ruang publik, taman kota
Pengantar Istilah utopia pertama kali dikemukakan oleh Sir Thomas More (1516) dalam karya sastra sindirannya -Utopia- terhadap masyarakat abad ke16 (Johnson, 2012; & Hetherington, 2003). Dengan memecah dua kata Yunani: eutopia (tempat yang baik) dan ou-topia (bukan tempat atau tidak dimanapun juga). Dengan demikian, Utopia yang dimaksud oleh More adalah tempat yang baik yang berada tidak dimanapun, kecuali dalam imajinasi (Hetherington, 2003). Kota ‘ideal’ seringkali dianggap sebagai sesuatu yang utopis. Kota yang selamanya eksis dalam fantasi manusia. Kota utopis ini dipersepsikan sebagai kota yang menyediakan ruang kehidupan bagi kondisi masyarakat yang sempurna, bahagia dan terutama ada unsur kebebasan di dalamnya.
Kota ‘ideal’ selalu menjadi cita-cita dan harapan dalam pembangunan suatu kota, di sepanjang zaman. Dengan demikian, pembangunan kota selalu diarahkan untuk menciptakan ruangruang yang beragam guna mewujudkan ide tentang yang utopis tersebut, salah satunya adalah dalam ruang publik. Ruang publik merupakan semua tempat yang terbuka dan dapat diakses oleh semua anggota masyarakat dalam masyarakat, meski pada prinsipnya tidak selalu dalam praktik (Neal 2010 dalam Orum & Neal, 2010). Karena keterbukaan dan aksesibilitasnya, ruang publik menjadi arena potensial bagi terciptanya suatu kehidupan masyarakat sempurna yang di-utopis-kan. Ruang publik inilah yang coba dimanifestasikan dalam bentuk fisik.
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | A 117
Melihat Heterotopia Pada Ruang Publik
Sejalan dengan hal itu, Michel Foucault pada tahun 1967 mengemukakan satu ide tentang perwujudan ruang yang utopis yang disebut dengan Heterotopia.
Heterotopia merupakan bentuk aktualisasi dari ruang dan/ atau tempat yang utopis; tempat dimana yang biasa memenuhi yang luar biasa dalam kondisi-kondisi keserempakan, penjajaran, ambivalensi dan penyebaran (Foucault, 1967 dalam Johnson, 2012). Tempat nyata yang bertindak sebagai utopis yang dapat ditemukan di dalam budaya, yang secara serempak diwakili, dikontraskan dan dibalik (Foucault, 1967 dalam Einla, 2009). Heterotopia merupakan tempat yang berbeda, tempat yang dibangun dalam hubungan dengan tempat lainnya oleh perbedaan mereka (Hetherington, 2003).
Metode Analisis Data Penelitian ini bersifat eksploratif dan menggunakan metode kualitatif (Creswell, 2008). Metode Analisis yang digunakan adalah spatial analytic milik Foucault, yaitu heterotopology. Analisis dilakukan dengan mengeksplorasi dan menganalisis ke-6 prinsip heterotopia yaitu heterotopology pada Taman Alun-alun Kota Bandung.
Heterotopology merupakan alat analisis spasial dalam melihat ruang dan/ atau tempat heterotopia (Violeau, 2005 dalam Dehaene & De Cauter 2007: 53). Enam prinsip heterotopology, antara lain: 1.
mewa (khusus), sakral atau terlarang, yang disediakan bagi individu yang, dalam kaitannya dengan lingkungan manusia dimana mereka tinggal, dalam kondisi krisis; (b) heterotopia of deviation: dimana individu ditempatkan karena perilaku mereka yang menyimpang dalam hubungan yang dimaksudkan atau norma yang diwajibkan dalam masyarakat, bersantai merupakan suatu kebiasaan. Menurut Fou-cault, 2004b: 43 dalam Dehaene & De Cauter 2007: 18, kemalasan adalah satu bentuk penyimpangan. Contoh: layanan wajib militer bagi pemuda, rumah sakit jiwa, rumah pensiun, rumah peristirahatan dan penjara.
Demikian halnya dengan kota. Di dalam kota terdapat tempat-tempat yang secara nyata exist (ada) tetapi juga secara bersamaan menyatakan ‘ruang yang lain’ di dalamnya. Seringkali ‘the other space’ ini tidak disadari dan bahkan diabaikan dalam kehidupan sehari-hari dengan menganggapnya sebagai sesuatu hal yang biasa. Apakah ‘the other space’ atau heterotopia dapat dilihat pada ruang-ruang publik di perkotaan, salah satunya seperti pada taman kota? Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat keberadaan ‘ruang dan/ atau tempat yang lain’ atau heterotopia dalam ruang publik khususnya dalam Taman Alun-alun Kota Bandung dengan mengidentifikasi heterotopia berdasarkan heterotopology.
2.
Metode Pengumpulan Data
A 118 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Function. Suatu tempat yang memiliki fungsi yang tepat dan telah ditentukan dalam masyarakat (Dehaene & De Cauter 2007: 18). Atau suatu tempat dengan fungsi tertentu sebagai suatu tempat dalam sebuah masyarakat (Einla, 2009). Contoh: kuburan.
Metode
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melakukan survei lapangan. Dalam survei lapangan dilakukan observasi terhadap Taman Alun-alun Kota Bandung dan aktivitas yang terjadi di dalamnya. Data juga dikumpulkan melalui kajian literatur terkait Taman Alun-alun Kota Bandung dan kajian heterotopia.
Crisis & Deviation. (a) Heterotopia of crisis: tempat yang memiliki hak-hak isti-
3.
Juxtaposition. Keberagaman ruang dalam suatu tempat tunggal yang nyata: serangkaian ruang di dalam suatu tempat yang asing satu sama lain (Einla, 2009). Memiliki kekuatan untuk menempatkan secara berdampingan beberapa tempat dalam suatu
Astriana Marsalince Asbanu
tempat tunggal yang nyata (Dehaene & De Cauter 2007: 19). Contoh: teater, bioskop, kebun dan taman. 4.
Time (Heterochronism). Berkaitan dengan akumulasi (irisan) waktu dalam satu tempat yaitu ‘waktu tradional’ berupa rutinitas dalam kehidupan keseharian. Berbeda dengan akumulasi waktu, sebalik-nya, terkait dengan waktu yang temporer dan musiman (Dehaene & De Cauter 2007: 20; Einla, 2009). Contoh: festival, vacation villages dan kuburan.
5.
Place (Public or Private). Heterotopia selalu mensyaratkan sistem buka dan tutup, baik untuk mengisolasikannya dan membuatnya dapat dimasuki (Dehaene & De Cauter 2007: 21). Tetapi ada heterotopia lainnya yang seharusnya menjadi ‘ruang yang dibagi dan kolektif’, terbuka untuk publik dan dapat diakses (Dehaene & De Cauter 2007: 21 dalam Iliopoulou, 2015). Contoh: barak, penjara, sauna Scandinavia.
6.
Society. Mereka memiliki peran untuk menciptakan ruang ilusi yang mengekspos semua ruang yang nyata, atau sebaliknya menciptakan ruang lain, ruang nyata lain, yang sempurna dan sangat teliti (Dehaene & De Cauter 2007: 21). Koloni khusus dari masyarakat yang beroperasi dalam irama yang sama, kebiasaan, kewajiban, kesamaan maksud/ tujuan/ kepentingan, suka, tidak suka dan sebagainya. Masyarakat dalam suatu tempat dapat menjadi ‘ilusi’ bagi orang dan/ atau pengunjung yang lewat secara acak (Einla, 2009). Contoh: taman hiburan.
Analisis dan Interpretasi Taman Alun-alun Kota Bandung Taman Alun-alun Kota Bandung sudah ada sejak tahun 1800-an, dengan hanya berupa lapangan terbuka dan pohon beringin pada ke empat sisinya, alun-alun ini berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan tempat aktivitas masyarakat
yang sifatnya terbatas pada inisiatif penguasa daerah. Hingga kini, Taman Alun-alun Kota Bandung sudah mengalami tujuh transformasi bentuk & fungsi, dengan perubahannya yang terakhir terjadi pada tahun 2014 (Dirgantara, et al, 2015).
Heterotopology
Taman
Alun-alun
Kota
Bandung Berdasarkan hasil pengamatan pada Taman Alun-alun Kota Bandung dan juga kajian literatur terkait heterotopia, berikut ke-6 prinsip heterotopology yang dapat ditemukan pada Taman Alun-alun Kota Bandung: 1.
Crisis & Deviation
Georg Simmel dalam esainya yang berjudul The Metropolis and Mental Life 1903, mencirikan kehidupan pada kota modern dengan dua jenis penyakit yaitu neurasthenia (suatu kelainan dari depresi dan kegelisahan (Hickie et al, 2002)) dan sikap bosan yang menciptakan agoraphobia (ketakutan terhadap tempat umum seperti panik). Dua penyakit ini dapat dikategorikan pada prinsip crisis & deviation milik Foucault. Dengan kondisi psikologis masyarakat perkotaan yang digambarkan oleh Simmel diatas, maka merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat kota untuk mencari tempat yang ‘dapat’ mengurangi kondisi gangguan psikis tersebut. Salah satunya adalah taman kota. Dengan demikian, maka Taman Alun-alun Kota Bandung menjadi tempat bagi individu (pengunjung) yang sedang berada dalam crisis & deviation yaitu untuk melepas lelah, jenuh, bosan akan rutinitas keseharian yang setiap hari dilakukannya. Kemalasan (e.g leisure), dalam suatu masyarakat modern yang sibuk, adalah satu bentuk penyimpangan (Foucault, 2004b: 43 dalam Dehaene & De Cauter 2007: 18). Taman kota menjadi salah satu tempat modern leisure di perkotaan (Roberts, 2006). Taman Alun-alun Kota Bandung menjadi tempat wisata dan bersantai bagi para pengunjungnya. Hal ini terlihat dari aktivitas pengunjung yang banyak menghaProsiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | A 119
Melihat Heterotopia Pada Ruang Publik
biskan waktu di dalam taman dengan hanya sekedar duduk-duduk dan tidur saja.
budaya dan fungsi ekonomi (Sumber: Pengamatan, 2016 & Kemenag.go.id).
3.
Gambar 1. Aktivitas leisure pada Taman Alun-alun Kota Bandung (Sumber: Hasil Pengamatan, 2016).
2.
Function
Taman Alun-alun Kota Bandung memiliki fungsi yang tepat dalam masyarakat. Fungsi tersebut yaitu sebagai ruang terbuka publik, yang mana ruang ini digunakan untuk beragam aktivitas sosial budaya bagi para pengunjung taman. Aktivitas yang beragam seperti tempat berkumpul keluarga, anak-anak yang bermain bola bersama orangtuanya, berfoto, duduk-duduk, tidur, mengobrol dan sebagainya.
Hasil
Juxtaposition
Taman Alun-alun Kota Bandung mampu menyejajarkan beberapa tempat di dalamnya. Hal ini terlihat dari keberadaan taman yang mengatur keberadaan beberapa tempat yang berbeda dari taman tersebut seperti Masjid Agung, parking basement, halte bus, taman bunga, area permainan anak-anak, dan area taman baca beserta perpustakaan yang masih dalam proses pembangunan. Dari pada berdiri untuk sesuatu yang lain, seperti yang utopis lakukan, heterotopia (yakni Taman Alun-alun Kota Bandung) berdiri pada penjajaran, sebagai suatu cara alternatif untuk mengatur yang kontras di sekitar mereka (Hetherington, 2003). Pengaturan pad ataman ini dilakukan dengan menjadikan tempat-tempat yang berbeda tersebut sebagai bagian dari elemen pendukung taman ataupun sebaliknya.
Taman ini tidak hanya memiliki satu fungsi saja. Fungsi lainnya yaitu sebagai plaza Masjid Agung. Fungsi ini bekerja ketika ada hari raya keagamaan bagi umat Muslim seperti Idul Fitri, dimana plaza akan digunakan sebagai ruang untuk beribadah (sholat). Fungsi ekonomi juga terlihat di dalam Taman Alun-alun Kota Bandung. Taman ini menjadi tempat aktivitas ekonomi bagi beragam jenis pedagang eceren seperti pedagang minuman dan makanan, penjual mainan anak-anak, pedagang ‘tongsis’ (tongkat narsis) serta penjual kantong plastik untuk mengisi alas kaki pengunjung.
Gambar 2. Taman Alun-alun Kota Bandung memiliki berfungsi sebagai plaza Masjid Agung, fungsi sosial A 120 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Gambar 3. Parking Basement, taman bunga, area permainan anak-anak, dan area taman baca beserta perpustakaan (Sumber: Hasil Pengamatan, 2016).
4.
Time (Heterochronism)
Suatu heterotopia memulai fungsinya secara penuh ketika individu-individu secara resmi menemukan dirinya sendiri di dalam suatu jenis pemutusan total/ absolut dari waktu tradisional mereka (suatu jeda dari rutinitas kehidupan yang biasa) (Baudrillard, 1994 dalam Iliopoulou, 2015). Taman Alun-alun Kota Bandung sebagai ruang terbuka publik dapat dirasakan manfaatnya ketika masyarakat melepaskan dirinya
Astriana Marsalince Asbanu
dari waktu yang berkuasa yakni rutinitas kesehariannya (akumulasi waktu) seperti bekerja dan sekolah, dan masuk ke dalam temporalitas melalui interaksi yang berbeda dengan pengunjung lainnya di dalam taman tersebut. Taman Alun-alun Kota Bandung juga menunjukkan tanda-tanda temporalitas dan musiman. Taman ini seringkali digunakan untuk festival atau event tertentu diantaranya perayaan hari raya keagamaan (Idul Fitri), perayaan akhir tahun, peringatan hari anti korupsi dan sebagainya. 5.
Place (Public or Private)
Taman Alun-alun Kota Bandung termasuk dalam tempat yang dikategorikan ruang terbuka publik. Oleh sebab itu, taman ini dapat dimasuki oleh pengunjung dengan berbagai latar belakang usia, sosial, ekonomi dan budaya.
Gambar 4. Pengunjung wajib melepaskan alas kaki; hanya jenis bola tertentu yang digunakan di dalam taman; serta keberadaan Satpol PP untuk menertibkan perilaku-perilaku pengunjung yang tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan pada Taman Alun-alun Kota Bandung (Sumber: Hasil Pengamatan, 2016).
Beberapa hal yang menarik terkait Taman Alunalun Kota Bandung ini diantaranya ketika masuk ke taman, pengunjung wajib melepaskan alas kakinya. Selain itu, jika ingin bermain bola di dalamnya, harus menggunakan jenis bola tertentu (yang tidak keras bahannya seperti bola sepak pada umumnya). Jika hal ini dilanggar oleh pengunjung, maka petugas Satpol PP yang sedang bertugas pada saat itu akan memberikan peringatan langsung kepada pengunjung tersebut.
Tidak seperti kebanyakan taman-taman lainnya di Kota Bandung, Taman Alun-alun merupakan taman yang keberadaannya dijaga hampir setiap hari oleh petugas keamanan yakni Satpol PP. Jadi, taman ini ‘sebenarnya’ secara simultan menyembunyikan pengecualian yang ‘melukiskan kondisi yang lainnya’ seperti yang dikemukakan oleh Foucault (1967) dalam Dehaene & De Cauter 2007: 21. Pembatasan-pembatasan seperti ini yang dimaksudkan oleh Foucault (1967) bahwa ada gesture khusus untuk dapat masuk ke tempat heterotopia, dalam hal ini Taman Alun-Alun Kota Bandung. 6.
Society
Sebuah taman hanya akan menjadi ruang ‘mati’ di dalam kota tanpa adanya interaksi di dalamnya. Interaksi dari para pengguna taman inilah yang memberikan ‘nyawa’ bagi taman tersebut. Oleh sebab itu, pengunjung selaku pengguna taman memainkan peran yang signifikan dalam menciptakan ruang yang ‘hidup’ pada taman tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa heterotopia merupakan manifestasi dari apa yang dipandang sebagai yang utopis. Aktivitas yang berada pada ruang ini dengan demikian mencerminkan suatu kondisi ‘ideal’ yang diharapkan, yang mampu dipantulkan bagi orangorang yang berada diluarnya. Aktivitas yang beragam yang dihasilkan oleh interaksi oleh pengguna di dalam Taman Alun-alun Kota Bandung dapat mengekspos ruang yang nyata dari interaksi diantara mereka, namun juga sekaligus memproduksi ruang nyata lainnya yang ideal. Yang membuat pengguna taman ini ‘unik’ salah satunya ialah aktivitas menarik yang banyak dan relatif sama yang dilakukan oleh pengunjung di dalam taman yaitu bermain bola. Seperti ruang nyata (taman) tempat ibu dan anaknya yang sedang bermain bola sekaligus memperlihatkan ‘ruang nyata lainnya’ yaitu suatu ruang kehidupan yang bahagia dan menyenangkan bagi individu yang terlibat di dalamnya maupun tidak, dimana bermain aktif maupun pasif sama-sama menimbulkan kesenangan bagi individu yang
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | A 121
Melihat Heterotopia Pada Ruang Publik
berperan aktif maupun yang hanya melihat dan mendengarkan saja (Hurlock, 1978).
juga terbatas. Oleh sebab itu, perlu ada penelitian lanjutan mengenai persepsi masyarakat dalam melihat heterotopia pada ruang publik lainnya. Daftar Pustaka Borden, Iain. (1997). Space Beyond: Spatiality and the City in the Writings of Georg Simmel. The Journal of Architecture, v.2 (Winter 1997), pp. 313-35. Creswell, J.W. (2008). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California: Sage Publications Inc. Dehaene, Michiel. & Cauter, Lieven de. (2008).
Gambar 5. Aktivitas para pengunjung yang beragam di Taman Alun-alun Kota Bandung (Sumber: Hasil Pengamatan, 2016).
Hal ini sepandangan dengan Zukin, 1995, bahwa ruang publik (seperti Tama Alun-alun Kota Bandung) merupakan sarana penting dalam membingkai visi kehidupan sosial dalam kota, visi baik bagi mereka yang tinggal disana, dan berinteraksi dalam ruang publik perkotaan setiap hari, maupun untuk wisatawan, para komuter, dan orang-orang kaya yang membebaskan diri dari kebutuhan kota. Kesimpulan
Heterotopia dapat dilihat pada Taman Alun-alun Kota Bandung. Taman ini merupakan ruang publik yang terbuka dan dapat diakses oleh hampir semua individu. Dalam taman ini juga hadir ‘ruang yang lain’ yang menyejajarkan dan merefleksikan imajinasi dan realitas masyarakat akan kemungkinan kehidupan yang ‘ideal’ (utopis), terlihat dari heterotopology yang dimiliki taman ini yaitu krisis dan penyimpangan, fungsi, penjajaran, waktu, tempat, dan masyarakat serta apa yang dialaminya semuanya berkontribusi dalam beragam bentuk dan cara yang nyata sekaligus utopis dalam memproduksi ‘ruang yang lain’ yakni heterotopia. Penelitian tentang heterotopia ini terbatas pada hasil pengamatan pada Taman Alun-alun Kota Bandung dan kajian literatur terkait heterotopia pada ruang publik, sehingga hasil yang didapat A 122 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Heterotopia and The City: Public Space in A Postcivil Society. Oxon: Routledge. Dirgantara, et al. (2015). Kajian Transformasi Bentuk dan Fungsi Alun-alun Bandung Sebagai Ruang Terbuka Publik. Jurnal Reka Karsa. Jurnal Online
Institut Teknologi Nasional, Jurusan Teknik Arsitektur Itenas No. 3 Volume 3. Foucault, M. (2008). Of other spaces (1967). In M. Dehaene & L. De Cauter (Eds.), Heterotopia and the city (pp. 13-29). New York, NY: Routledge. Groat, L. & Wang, D. (2002). n. New York: John Wiley & Sons. Inc. Hetherington, Kevin.
(1997). The Badlands of Modernity: Heterotopia and Social Ordering. London:
Routledge. Hickie, et al. (2002). Neurasthenia: prevalence,
disability and health care characteristics in the Australian community. British Journal of Psychiatry (2002), 181, 56-61. Hurlock, Elizabeth H. (1978). Perkembangan Anak Jilid 1. Terjemahan. Jakarta: Erlangga. Iliopoulou, Evangelia. (2015). Heterotopias of Police
Towns and Urban Incisions: A decoding of the Metropolitan Police Training Centre and Hidden Brighton’s tunnels. Architectural Humanities Research Project. Unversity of Brighton. Johnson, P. (2012). Some reflections
relationship
between
utopia
and
on the heterotopia.
Heterotopian Studies. http://www.heterotopiastudies.com. Diakses pada tanggal 15 Juni 2016. Kemenag.go.id. Diakses pada tanggal 15 September 2016. Orum, Anthony M. & Neal, Zachary P. (2010).
Common Ground?: Readings and Reflections on Public Space. New York: Routledge. Roberts, K. (2006). Leisure in Contemporary Society. Second Edition. London: CABI. Zukin, Sharon. (1995). The Cultures of Cities. Massachusetts: Blackwell Publishers Inc.