perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KONSEP PERENCAAN DAN PERANCANGAN
REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO SEBAGAI RUANG PUBLIK TUGAS AKHIR
Diajukan sebagai Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Teknik Arsitektur Universitas Sebelas Maret
Disusun Oleh : AHMAD FARIS ANSORI I0205027
JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVESITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO SEBAGAI RUANG PUBLIK Disusun Oleh : AHMAD FARIS ANSORI I 0205027
Menyetujui, Surakarta, 1 Agustus 2012 Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Suparno, MT NIP. 1955 0516 198601 1 001
Ir. Hari Yuliarso, MT NIP. 1959 0725 199802 1 001
Mengesahkan, Ketua Jurusan Arsitektur
Ketua Program Studi Arsitektur
Fakultas Teknik
Fakultas Teknik
Dr. Ir. Mohamad Muqoffa, MT NIP. 1962 0610 199103 1 001
Kahar Sunoko, MT NIP. 1969 0320 199503 1 003
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Assalamu ‘alaikum wa rohmatullohi wa barokatuh.... Om Swastiastu....Om Shanti Shanti Shanti, Om..... Namo Buddhaya... Shalom Aleichem b’Shem Ha Mashiach.... Puji syukur kepada Allah swt. atas waktu untuk kita semua, kesempatan untuk bernafas, kesempatan mengingat keluarga dan mengingat-Nya. Sehingga semua proses dalam penyelesaian Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir ini pun berjalan dengan baik. Sebuah proses menuju akhir memang tidak mudah, tetapi juga tidak sulit, relative. Maka berkat bantuan dari berbagai pihak, penyusunan pun selesai pada waktunya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Mohamad Muqoffa, MT selaku Ketua Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret. 2. Kahar Sunoko, ST, MT selaku Ketua Prodi Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret. 3. Ir. Suparno, MT, selaku Dosen Pembimbing I Tugas Akhir. 4. Ir. Hari Yuliarso, MT , selaku Dosen Pembimbing II Tugas Akhir. 5. Ir. FX. Soewandi, selaku Pembimbing Akademik. 6. Teman-teman Jurusan Arsitektur UNS, teman-teman kantin, teman-teman KFA, terima kasih atas prosesnya. commit to user
Surakarta, 31 Juli 2012
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Terima kasih untuk semuanya...... Untuk keluarga, untuk kawan, untuk dosen..... commit to user
Terima kasih prosesnya.....
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN
ii
KATA PENGANTAR
iii
UCAPAN TERIMA KASIH
iv
DAFTAR ISI
v
BAB I PENDAHULUAN
1
I.1.
2
LATAR BELAKANG
I.1.1. Umum – Perkembangan paradigma dan konsekuensi pemanfaatan alun-alun kota sebagai ruang publik.
2
I.1.2. Khusus – Panggung pertunjukan seni sebagai wadah apresiasi.
4
I.2.
PERMASALAHAN DAN PERSOALAN
5
I.3.
TUJUAN DAN SASARAN
6
I.4.
LINGKUP DAN BATASAN
6
I.5.
METODOLOGI
7
I.5.1. Metode Penelusuran Masalah
7
I.5.2. Metode Pencarian Data dan Informasi
7
I.5.3. Metode Perumusan Konsep Desain
7
I.5.4. Metode Desain
8
I.6.
8
SISTEMATIKA PENULISAN
BAB II TINJAUAN
9
II.1.
REVITALISASI
9
II.2.
AWAL PERADABAN NUSANTARA
11
II.3.
PERMUKIMAN KOTAcommit JAWAto user
14
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
II.3.1. Jagad dan Kota
14
II.3.2. Halun-Halun
28
II.3.3. Marga dan Ratan
38
II.3.4. Pasar atau Peken
43
II.3.5. Mesjid dan Pusat Kekuasaan
44
II.3.6. Pawisman atau Pamohan
46
II.3.7. Dari Kuta Negara ke Kota Modern
49
II.4.
II.5.
ALUN-ALUN SECARA FUNGSIONAL MASA PRAKOLONIAL
54
RUANG PUBLIK
62
II.5.1. Peranan Ruang Publik
62
II.5.2. Permasalahan Ruang Publik Kota
65
II.5.3. Ruang Publik sebagai Elemen Perancangan Kota
70
II.5.4. Paradigma Baru Perancangan Kota di Indonesia
73
II.5.5. Tipologi Ruang Publik
76
II.5.6. Kriteria Desain Tak Terukur (unmeasureable design criterias) 83 II.6.
PANGGUNG PERTUNJUKAN
84
II.6.1. Jenis-jenis Panggung
85
II.6.2. Pengetahuan Tata Pentas
93
II.6.3. Macam-macam Panggung
95
II.6.3.1. Panggung Prosenium atau Panggung Pigura
95
II.6.3.2. Panggung Portable
97
II.6.3.3. Panggung Arena
97
II.6.3.4. Panggung Terbuka
commit to user
99
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
II.6.3.5. Panggung Kereta
100
II.6.3.6. Pokok-pokok Persyaratan Set Panggung/Pentas
100
II.7.
102
KONDISI KABUPATEN PONOROGO
II.7.1. Potensi Kawasan Alun-alun Ponorogo
108
II.7.2. Masalah Kawasan Alun-alun Ponorogo
109
II.8.
PRESEDEN
110
II.8.1. Alun-alun Wonosobo
110
II.8.2. Alun-alun Jogjakarta
111
II.9.
112
KESIMPULAN
BAB III REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO SEBAGAI RUANG PUBLIK
113
BAB IV ANALISA REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO
119
IV.1.
ANALISA KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO
122
IV.2.
ANALISA KARAKTERISTIK BANGUNAN
125
IV.3.
ANALISA PERUANGAN
126
IV.3.1. Analisa Kebutuhan Ruang Panggung Utama
126
IV.3.2. Analisa Kebutuhan Ruang Pasar
127
IV.3.3. Analisa Pengelompokan Ruang Panggung Utama
128
IV.3.4. Analisa Pengelompokan Ruang Pasar
130
IV.3.5. Analisa Persyaratan Ruang
130
IV.3.6. Analisa Besaran Ruang
132
IV.3.7. Analisa Pengolahan Tapak
133
IV.3.7.1. Analisa Klimatologis
133
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
IV.3.7.2. Analisa View
135
IV.3.7.3. Analisa Pencapaian
137
IV.3.7.4. Analisa Kebisingan
138
IV.3.7.5. Analisa Zoning
139
IV.3.7.6. Analisa Pencahayaan
140
IV.3.7.7. Analisa Penghawaan
140
BAB V KONSEP REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO SEBAGAI RUANG PUBLIK
141
V.1.
Konsep Bangunan Revitalisasi Kawasan Alun-alun Ponorogo 141
V.2.
Konsep Peruangan
143
V.2.1.
Konsep Pesyaratan Ruang
143
V.2.2.
Konsep Besaran Ruang
144
V.3.
Konsep Site Terpilih
145
V.4.
Konsep Dalam Bangunan
146
V.5.
Konsep Struktur Bangunan
146
V.6.
Konsep Utilitas Bangunan
148
DAFTAR PUSTAKA
xii
LAMPIRAN
xiii
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1
Kondisi alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal
3
Gambar 1.2
Panggung Pertunjukan di Alun-alun Ponorogo
5
Gambar 2.1
Struktur Pusat Negara Demak
17
Gambar 2.2
Kompleks Masjid Demak 1602-1606
20
Gambar 2.3
Kompleks Masjid Demak 1602-1606
20
Gambar 2.4
Mesjid Mantingan di Jepara, dibangun sekitar 1599. Terdapat di kompleks makam Ratu Kalinyamat
Gambar 2.5
21
Candi Tinggi di Muara Takus (Jambi) yang dibangun kira-kira abad ke-12 merupakan puncak hasil seni bangunan batu bata di Indonesia
22
Gambar2.6
Denah kompleks makam Kota Gede
23
Gambar 2.7
Kompleks makam-masjid Kota Gede
25
Gambar 2.8
Pusat kota Yogyakarta
31
Gambar 2.9
Denah Kompleks Keraton Yogyakarta
31
Gambar 2.10 Keraton Yogyakarta
32
Gambar 2.11 Pusat Kota Surakarta
33
Gambar 2.12 Keraton Surakarta
34
Gambar 2.13 Tatanan Keraton Surakarta berdasarkan Kosmologi
54
Gambar 2.14 Rekonstruksi Kraton Majapahit oleh Maclaine Port berdasakan Kitab Negarakertagama (1924)
56
Gambar 2.15 Keadaan Kraton Surakarta sekarang dengan Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul
58
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.16 Sketsa Topografi Kraton Yogyakarta dan lingkungannya ketika serangan Inggris (1812)
59
Gambar 2.17 Pagar kayu yang membatasi Alun-alun Kraton Yogyakarta, yang merupakan bukti bahwa Alun-alun dulunya masih merupakan bagian dari Kraton
60
Gambar 2.18 Denah panggung teater kecil
85
Gambar 2.19 Berbagai macam model panggung
86
Gambar 2.20 Panggung proscenium
87
Gambar 2.21 Panggung thrust
89
Gambar 2.22 Bagian-bagian panggung I
90
Gambar 2.23 Bagian panggung II
91
Gambar 2.24 Denah Panggung Proscenium
96
Gambar 2.25 Panggung Portable
97
Gambar 2.26 Denah Panggung Tapal Kuda
98
Gambar 2.27 Denah Panggung Arena bentuk U
98
Gambar 2.28 Denah Panggung Arena bujur sangkar
99
Gambar 2.29 Denah Panggung Arena bentuk lingkaran
99
Gambar 2.30 Denah Panggung Terbuka
100
Gambar 2.31 Peta Wilayah Kabupaten Ponorogo
103
Gambar 2.32 Jumlah Penduduk Kabupaten Ponorogo
104
Gambar 2.33 Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Ponorogo
107
Gambar 2.34 Kepadatan Penduduk Kabupaten Ponorogo
108
Gambar 2.35 Situasi Alun-alun Wonosobo
110
Gambar 2.36 Situasi Alun-alun Kidul Yogyakarta commit to user
111
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.37 Kawasan Alun-alun Kabupaten Ponorogo
112
Gambar 3.1
Alun-alun Ponorogo sebelum Panggung Pertunjukan
116
Gambar 3.2
Alun-alun Ponorogo sesudah Panggung Pertunjukan
117
Gambar 4.1
Kondisi panggung pertunjukan di alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal
Gambar 4.2
119
Kondisi panggung pertunjukan pada waktu Grebeg Suro 2011
120
Gambar 4.3
Alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal
121
Gambar 4.4
Kondisi sirkulasi lalu lintas Alun-alun Ponorogo sekarang
122
Gambar 4.5
Pasar Alun-alun Ponorogo
123
Gambar 5.1
Candi Tinggi di Muara Takus (Jambi) yang di bangun kira-kira abad ke-12 merupakan salah satu puncak hasil
Gambar 5.2
seni bangunan batu bata di Indonesia
141
Kompleks Menara Kudus beserta Makan-Masjid
142
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAKSI REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO SEBAGAI RUANG PUBLIK Setiap kota memiliki keragaman bentuk sosial,budaya,dan ekonomi. Ponorogo yang merupakan salah satu kota yang masih menganut kota jawa kuno, dimana di dalamnya sebuah pusat kota terdapat sebuah Alun-alun. Kondisi Alun-alun pun sekarang bergeser pemaknaannya dari awal penciptaanya. Kegiatan perekonomian pun seperti merajai kondisi Alun-alun sekarang. Perevitalisasian yang bersifat penggabungan antara pemaknaan Alun-alun pada masa Keraton dengan kebutuhan ruang publik masyarakat modern sekarang. Modernisasi bukanlah suatu alternatif terhadap tradisi, tapi keduanya berkaitan secara dialektis. Tentang tata letak pusat kota Jawa, pengaruh agama Hindu Budha dalam mendesain sebuah pusat kota.
REVITALIZATION OF ALUN-ALUN PONOROGO AREA AS A PUBLIC SPACE Every town has a variety of forms of social, cultural, and economic. Ponorogo which is one city that still adhered to the ancient Javanese city, from where there is a center of a town square. Square condition was now shifted from the initial meaning of thought. Economic activity was dominated conditions such as the square now. Revitalization which is a merger between the meaning of the square in the Palace with the needs of the public sphere of modern society today. Modernization is not an alternative to the tradition, but the two are dialectically related. About the layout of the center of Java, the influence of Hinduism Buddhism in designing a city center.
Kata Kunci : Revitalisasi, Alun-alun, Ruang Publik, Ponorogo commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
Pengenalan tentang kebudayaan nusantara sangat penting sekali, seiring dengan memudarnya kebudayaan itu sendiri, seolah-olah ditelan oleh modernisasi. Pengenalan kebudayaan pun harus mempunyai solusi untuk mengembalikannya, pengenalan yang bersifat plural dan dapat di akses oleh masyarakat secara luas dan mudah. Sebuah modernisasi bukanlah sebuah aral yang menghambat perkembangan seni, lalu bagaimana kita dapat berjalan seiring dengan modernisasi dan kemajuan teknologi. Sebuah wadah yang mengapresiasi kebutuhan akan ruang berseni yang dapat di akses oleh masyarakat luas. Hampir setiap kota memiliki ciri khas sendiri-sendiri,kita setuju dengan hal itu. Sama hal-nya dengan kota Ponorogo –kota asal mula kesenian reogmempunyai kebudayaan, kebiasaan, perilaku masyarakat yang sangat khas. Setiap malam bulan purnama pada setiap bulannya, selalu di adakan sebuah pagelaran seni pertunjukan di alun-alun kota. Bisa berupa seni tari reog, wayang kulit, tari kontemporer. Adanya panggung pertunjukan mempunyai peran penting dalam menyajian sebuah karya seni pertunjukan. Kota ponorogo pun juga memiliki sebuah panggung pertunjukan yang sangat strategis yang dapat diakses oleh semua warga masyarakatnya, dipusat kota, alun-alun kota ponorogo. Tetapi panggung tersebut mempunyai nilai fungsional yang kurang maksimal. Tidak adanya zona servis yang dapat menunjang semua kegiatan seni pertunjukan.
Dengan
redesain panggung commit to user
tersebut
diharapkan
dapat
1 |BAB I
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memaksimalkan potensi seni pertunjukan di wilayah ponorogo dan pada akhirnya dapat memberikan kontribusi dalam memperbaiki sosial ekonomi masyarakat ponorogo.
I.1
LATAR BELAKANG I.1.1
Umum
–
Perkembangan
paradigma
dan
konsekuensi
pemanfaatan alun-alun kota sebagai ruang publik. Alun-alun merupakan salah satu bentuk ruang terbuka kota yang keberadaannya menyandang filosofi dan tampil dengan ciri-ciri khas. Ciriciri sebidang alun-alun yang sudah hilang barangkali sangat sulit dikembalikan, atau setidak-tidaknya memerlukan waktu cukup lama. Metamorfosa alun-alun nyaris tak bisa dicegah, walaupun fungsi sebagai ruang terbuka masih tampil kuat bahkan kadang-kadang berlebihan. Banyak anggota masyarakat yang kebablasan memaknai ruang terbuka umum dengan paham berhak melakukan apa saja. Nasib alun-alun yang tidak menentu sesudah jaman pasca kolonial ini barangkali disebabkan belum adanya suatu konsensus budaya yang dapat diterima oleh semua golongan. Etika keselarasan yang dipakai sebagai sumber konsep untuk mewujudkan alun-alun kota, berakar dalam suatu struktur sosial budaya dan pandangan dunia yang amat berbeda dengan apa yang kita sebut sebagai modernisasi sekarang. Modernisasi bukanlah suatu alternatif terhadap tradisi, tapi keduanya berkaitan secara dialektis. Sikap kreatif yang dijunjung tinggi pada jaman modern ini misalnya, berarti: bergairah untuk memikirkan, mencari, menemukan, menciptakan commit to user
2 |BAB I
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sesuatu yang baru. Padahal tradisi masa lalu selalu bertitik tolak pada keadaan selaras yang sudah ada, yang perlu dipertahankan, sesuatu yang baru pasti mengacaukan harmoni dan harus ditolak. Terhadap keadaan yang harmonis dan baik, yang baru mesti merupakan ancaman. Karena itu pemikiran tradisional masa lalu yang berdasarkan keselarasan ditantang untuk menunjukkan bagaimana dalam kerangkanya kreativitas dapat diminati sebagai sesuatu yang positif. Konsensus misalnya, andaikata terbentuk sifatnya mungkin hanya sementara saja. Adalah tidak mungkin untuk mempertahankan nilai-nilai masa lalu dari arsitektur tradisional sebagai dasar konsensus yang berlaku sekarang. Meskipun nilai-nilai dasar dalam arsitektur tradisional tetap dipertahankan, perlu dipikirkan pengembangan yang memadai untuk menghadapi tantangan – tantangan dewasa ini. Banyak
alun-alun
yang
tidak lagi bisa disebut alun-alun dalam makna tradisional. Alunalun sekarang adalah ruang terbuka umum, namun tidak seharusnya kehilangan makna filosifis yang terkandung di dalamnya agar alun-alun masih menunjukkan ikatan budaya dengan
masyarakat
Gambar 1.1
dalam
Kondisi alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal
bentuk yang sesuai dengan commit to user
Sumber: dokumen pribadi, 4 Agustus 2011
3 |BAB I
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perkembangan jaman. Alun-alun, sejak dahulu kala sampai sekarang, bagi sebagian anggota masyarakat adalah tempat mencari nafkah. PKL sudah ada sejak dahulu, perbedaannya dahulu lebih sebagai pedagang keliling sedangkan sekarang lebih banyak membangun tenda semi permanen. Wajah berubah, elemen dan tatanannya berganti, namun peran alunalun sebagai ruang terbuka umum tak bisa dihilangkan dari sebuah hunian, bahkan seharusnya diperkuat peran dan fungsinya. Selain berfungsi sebagai taman untuk menghirup udara segar, rekreasi bersama keluarga, olah raga ringan, tempat upacara, juga bisa menjadi wahana pendidikan. Filosofi alun-alun yang sudah cukup tua, dan gagasan pengadaannya, memiliki nilai kesejarahan dan pendidikan. Nilai-nilai ini seharusnya juga bisa menjadi aset kekayaan daerah yang bisa dijual sebagai objek pariwisata. Masalahnya adalah bagaimana cara pengemasan dan kiat penjualan sebagai objek peninggalan budaya. Alun-alun sedikit banyak bisa “bercerita” tentang sejarah suatu kota di masa feodal, baik itu alunalun dalam skala Keraton maupun dalam skala Kabupaten. Menjadi objek maka alun-alun tidak boleh kehilangan makna filosofi yang terkandung sebagai warisan kekayaan budaya nasional.
I.1.2
Khusus – Panggung pertunjukan seni sebagai wadah apresiasi. Panggung
pertunjukan
mempunyai
peran
penting
dalam
pengembangan apresiasi seni, juga sebagai media pengenalan kepada masyarakat. Seharusnya panggung tersebut memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitarnya. Pengenalan kepada generasi muda agar bisa tetap commit to user
4 |BAB I
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menjaga kebudayaan nusantara. Panggung pertunjukan yang ada di alun-alun Ponorogo sekarang ini tidak mempunyai zona servis sendiri.
Hal
ini
menyangkut
kenyamanan bangunan tersebut ketika Ketika
di
gunakan
bangunan
pertunjukan
usernya. panggung
ini
dapat Gambar 1.2
dimaksimalkan secara fungsional diharapkan
perekonomian
Panggung pertunjukan di alun-alun Ponorogo Sumber: dokumen pribadi, 17 Nopember 2011
masyarakat sekitar juga meningkat karena adanya wisatawan dalam kota maupun luar kota.
I.2
PERMASALAHAN DAN PERSOALAN Permasalahannya, bagaimanakah merevitalisasi kawasan di alun-alun Ponorogo yang lebih baik secara fungsional dan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan potensi masyarakat dibidang ekonomi, sosial, dan budaya. Persoalan dipaparkan sebagai berikut. - Bagaimanakah desain yang dapat menjadi solusi untuk meningkatkan fungsi bangunan. - Bagaimana tatanan baru yang tetap dapat menjadi wadah kegiatan sosial, budaya, dan ekonomi.
commit to user
5 |BAB I
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
- Bagaimanakah desain yang sebisa mungkin dapat mengembalikan fungsi alun-alun.
I.3
TUJUAN DAN SASARAN Tujuannya, revitalisasi kawasan Alun-alun di Ponorogo, sehingga dapat memberikan input baru kepada masyarakat tentang kebudayaan nusantara. Sasaran dipaparkan sebagai berikut. - Tata massa bangunan. - Bentuk panggung pertunjukan. - Sistem struktur dan konstruksi bangunan. - Material bangunan. - Tata kawasan dan landscaping. - Sistem sirkulasi bangunan dan kawasan. - Sistem utilitas penunjang fungsi
I.4
LINGKUP DAN BATASAN Lingkup pembahasan adalah cakupan disiplin ilmu arsitektur antara lain tema spesifik mengenai ruang publik, aspek redesain panggung pertunjukan sebagai produk fisik, aspek lingkungan alun-alun, serta lokasi (site) spesifik area alun-alun Ponorogo. Batasannya dapat dijelaskan sebagai berikut. - Pembahasan tema ruang publik untuk masyarakat Ponorogo - Aspek mengenai lingkungan alun-alun dibatasi pada isu-isu yang bersangkutan,
keluar
dari
ketentuan-ketentuan
formal
mengenai
pengelolaan alun-alun kota. commit to user
6 |BAB I
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
- Aspek lokasi berkaitan dengan fisik panggung pertunjukan dan esksisting sebagai objek perencanaan.
I.5
METODOLOGI I.5.1
Metode Penelusuran Masalah
- Observasi, menyusun adanya permasalahan-permasalahan yang timbul di sekitar panggung pertunjukan dan alun-alun Ponorogo. - Studi literatur, menemukan keterkaitan antara fenomena yang terjadi dengan acuan ilmu.
I.5.2
Metode Pencarian Data dan Informasi
- Survey lanjutan, melanjutkan pengamatan pada lokasi dan aspek-aspek yang berhubungan dan dibutuhkan dalam pertimbangan kebijakan desain nantinya. - Studi literatur, mengumpulkan referensi ilmu untuk mengolah informasi dan data yang diperoleh.
I.5.3
Metode Perumusan Konsep Desain Perumusan konsep perancanaan dan perancangan (desain) yaitu
melalui metoda induktif (berdasar data empirik) dan metode deduktif (berdasar referensi yang membantu mengarahkan pembahasan). Cara yang digunakan
yaitu
analisis
deskriptif,
yaitu
analisis
dengan
cara
membandingkan/membahas data dan informasi dengan referensi yang ditentukan.
commit to user
7 |BAB I
perpustakaan.uns.ac.id
I.5.4
digilib.uns.ac.id
Metode Desain
- Mentransformasikan konsep yang diskriptif (verbal) ke dalam bentuk gambar (visual). - Sketsa ide. - Studi tiga dimensi. - Realisasi gambar ide menjadi suatu wujud rancangan (desain).
I.6
SISTEMATIKA PENULISAN BAB I
Sebagai
Pendahuluan
untuk
memberikan
gambaran
tentang keseluruhan substansi penulisan ini. BAB II
Pemahaman Referensi, di sini sebagai acuan ilmu atau pengetahuan umum yang dipilih dan dibutuhkan berkaitan dengan pembahasan. Disertai tinjauan Ponorogo dengan segala potensi yang ada di dalamnya.
BAB III
Merupakan Gagasan, sebuah lingkungan alun-alun yang akan direncanakan.
BAB IV
Analisa merupakan penyelesaian persoalan desain untuk menghasilkan konsep desain.
BAB V
Merupakan output, memaparkan desain dan hasil rumusan dari proses desain sebagai Konsep.
commit to user
8 |BAB I
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
TINJAUAN TEORI
II.1.
REVITALISASI
Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat) (Danisworo, 2002). Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat.Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan sebagainya). Pengertian melalui bahasa lainnya revitalisasi bisa berarti proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali berbagai program kegiatan apapun. Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum commit to user
9 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali. Revitalisasi
termasuk
di
dalamnya
adalah
konservasi-preservasi1
merupakan bagian dari upaya perancangan kota untuk mempertahankan warisan fisik budaya masa lampau yang memiliki nilai sejarah dan estetika-arsitektural. Atau tepatnya merupakan upaya pelestarian lingkungan binaan agar tetap pada kondisi aslinya yang ada dan mencegah terjadinya proses kerusakan.Tergantung dari kondisi lingkungan binaan yang akan dilestarikan, maka upaya ini biasanya disertai pula dengan upaya restorasi, rehabilitasi dan/atau rekonstruksi.Jadi, revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Selain itu, revitalisasi adalah kegiatan memodifikasi suatu lingkungan atau benda cagar-budaya untuk pemakaian baru. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang-ruang publik) kota, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Hal ini mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota. Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi 1
pengawetan; pemeliharaan; penjagaan; perlindungan (sumber:http://www.artikata.com/articommit to user 345973-preservasi.html)
10 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lingkungan. Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud bukan sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat luas. Ada beberapa aspek lain yang penting dan sangat berperan dalam revitalisasi, yaitu penggunaan peran teknologi informasi, khususnya dalam mengelola keterlibatan banyak pihak untuk menunjang kegiatan revitalisasi. Selain itu revitalisasi juga dapat ditinjau dari aspek keunikan lokasi dan tempat bersejarah. atau revitalisasi dalam rangka untuk mengubah citra suatu kawasan. Dengan dukungan mekanisme kontrol/pengendalian rencana revitalisasi harus mampu mengangkat isu-isu strategis kawasan, baik dalam bentuk kegiatan/aktifitas sosial-ekonomi maupun karakter fisik kota. Rancang kota merupakan perangkat pengarah dan pengendalian untuk mewujudkan lingkungan binaan yang akomodatif terhadap tuntutan kebutuhan dan fungsi baru.
II.2.AWAL PERADABAN NUSANTARA 2 Permukiman kota di nusantara tidak serta merta muncul begitu saja, proses yang cukup panjang, mulai dari peradaban Hindu-Budha hingga sekarang. Negara sebagai suatu bentuk kekuasaan politis ekonomis di Indonesia baru dikenal, setidak-tidaknya, sejak abad ke-4. Bukti dari pengaruh ini diperoleh dari Prasasti 2
commit to Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia (A.user Bagoes P. Wiryomartono)
11 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kutai3 pada pertengahan abad ke-20. Meskipun pada Prasasti Kutai tersebut tidak disebut adanya sebuah negara, dapat diduga bahwa kerajaan Kutai dibawah Mulawarman telah mengembangkan sebuah negara. Dengan negara ini organisasi sosial politik dan ekonomi permukiman dikelola oleh suatu sistem kekuasaan atas beberapa desa. Lingga 4 menandai suatu keyakinan bahwa kekuatan kosmik dihadirkan diatas bumi untuk menciptakan kesatuan aturan bumi dan kosmik raya atas masyarakat manusia. Pada dasarnya simbolisme lingga sebagai penghubung bumi dan langit ini tidak lebih dari monumentalitas kekuasaan. Kekuatan spiritual yang dipakai dalam pengukuhan lingga tidak bisa dilihat terpisah dari upaya untuk mempersatukan apa yang telah dicapai secara sekuler. Dengan ritualisasi, lingga akan tidak dilihat orang sebagai sekadar batu tegak, tetapi suatu benda yang telah diisi oleh makna mistis. Mitologi akan mendukung kehadiran dan monumentalitas lingga tersebut agar penghormatan atasnya terpelihara. Mitologi berkaitan erat dengan fungsi suatu sejarah. Dari peristiwa-peristiwa yang terjadi terbukti bahwa sejarah tidak luput dari pemaknaan perubahan kekuasaan baik polotik, sosial, maupun ekonomi.
3
Batu monumen lingga merupakan unsur penting dalam peradaban Hindu. Lingga didirikan untuk menandai tempat permukiman di mana kekuasaan dikukuhkan secara ritual menurut kepercayaan Hindu. Secara simbolik, lingga adalah representasi kekuatan Isvara. Daerah lingga biasanya didirikan/ditanami suatu prasasti yang memberikan keterangan waktu dan jumlah harta yang dipersembahkan oleh sang penguasa kepada para biarawan. Persembahan ini membuktikan kepada khalayak ramai bahwa kemampuan materi suatu wangsa telah sah dan mendapatkan restu serta dukungan spiritual. Dengan demikian wangsa yang bersangkutan memiliki legitimasi untuk memerintah daerah-daerah yang berada dibawah pengaruhnya. Lingga memiliki kesamaan dengan menhir. 4
Lingga adalah sebuah arca atau patung, yang merupakan sebuah objek pemujaan atau sembahyang umat Hindu. Kata lingga ini biasanya singkatan dari Siwalingga dan merupakan sebuah objek tegak, tinggi yang melambangkan falus (penis) atau kemaluan Batara Siwa. Objek ini commit to user merupakan lambang kesuburan.
12 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam kepercayaaan Hindu yang berkembang di Jawa dan Bali, lingga berhubungan erat dengan Dewa Siwa. Dewa yang dipercaya sebagai penguasa dunia dalam segala bentuk manifestasinya. Siwa menguasai nasib dan jalan kehidupan manusia di atas bumi ini. Dengan keyakinan demikian, lingga bukan hanya lambang dari awal adanya kehidupan bertempat tinggal, tetapi juga awal dari penyerahan diri dari ketidakpastian kepada sumber kekuatan kosmik raya. Pendirian lingga membutuhkan pengorbanan dan upacara. Semua ini mungkin dibuat untuk memberikan makna adanya keinginan mempertautkan kekuasaan dengan bumi dan lingkungan dengan cara membuka alam. Kebutuhan manusia akan adanya tengaran pada lanskap atau lingkungan fisiknya tampaknya berakar dari hakikat eksistensialnya. Ada semacam ketakutan pada manusia yang berkelompok mendiami suatu kawasan tanpa memiliki suatu tengaran tempatnya. Tengaran menandakan bahwa suatu daerah dapat dikatakan sebagai tempat tinggalnya. Tinggal di suatu daerah membutuhkan suatu sistem tanda, entah berupa tugu atau pelataran. Mungkin lingga tidak lebih dan kurang dari satu sistem tanda manusia intik memberikan tanda teritorial yang sudah dikuasai untuk tempat tinggal. Pendirian tugu monumen yang lazim dalam peradaban Hindu di Indonesia tak tampak lagi setelah peradaban Islam mulai mengembangkan pengaruhnya di Indonesia. Sebenarnya pendirian monumen semacam lingga ini tidaklah hilang begitu saja. Beberapa kasus memperlihatkan lingga sebagai bentuk yang monumental yang terwujud dalam bentuk candi. Selama ini, hanya candicandi yang memberikan indikasi bahwa pembangunannya didukung oleh masyarakat yang berbudaya kota. Sekalipun demikian, tidaklah selalu berarti commit to user
13 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahwa kompleks candi menjadi petunjuk bahwa masyarakat pendirinya sudah bermukim, terkonsentrasi menetap, dalam pengertian urban. Ketika dalam lingkungan candi memiliki suatu masyarakat yang terkonsentrasi menetap –bermukim- dan mempunyai sistem sosial politik ekonomi, tidak menutup kemungkinan adanya sebuah pusat pemerintahan. Dalam hal ini, sebuah keraton memiliki perannya. Keraton sebagai pusat kekuasaan selayaknya merupakan pusat di mana perkembangan permukiman urban bermula. Keraton sebagai pusat kekuasaan sudah pasti memiliki tempat yang memberikan tengaran orientasi dan membentuk wilayah yang terorganisir pencapaiaannya. Untuk mendukung dua kondisi ini, pusat perlu didukung oleh lapangan terbuka dan pasar.
II.3.PERMUKIMAN KOTA JAWA 5 II.3.1. Jagad dan Kota Konsep jagad Jawa erat kaitannya dengan konsep kekuasaan yang pada prakteknya konstan dan mengalir di alam maupun di masyarakat manusia. Dalam konsep ini, jagad merupakan kesatuan dan keteraturan hidup yang tidak didasarkan pada perbedaan yang tajam atas kategori organik dan anorganik. Jagad terjadi dan mengambil ruang serta waktu tertentu yang bisa berulang. Pusat sebuah jagad atau rat (istilah Jawa asli) merupakan konsep yang berdasarkan peristiwa di mana kekuatan-kekuatan kosmik dipercaya hadir dalam dunia nyata. Peristiwa ini hanya terjadi melalui satu figur kepemimpinan yang mampu merangkum spiritual dan sekuler sekaligus. Konsep kepemimpinan yang 5
commit to Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia (A.user Bagoes P. Wiryomartono)
14 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dikembangkan kebudayaan Jawa dalam permukiman urbannya tidak memisahkan kekuasaan sekuler dari spiritual, justru menghendaki integrasi6 keseluruhan kekuatan sosial yang ada dalamsatu figur. Karena konsep pusat urban Jawa tidak pada pembendaan atau objektifikasi, bisa dipahami bila struktur fisiknya tidak otoriter dan teratur geometris seperti halnya kota Alberti dan Scamozi7. Sumber keberadaan jagad adalah satu dan karena itu kekuasaan pun memiliki sifat homogen, sehingga kemanunggalan menjadi sentral dalam pemikiran Jawa tentang jagadnya. Karena konsep kemanunggalan inilah hubungan antara sesama manusia dan lingkungan alam maupun binaannya cenderung mencari konsensus, bukan konflik yang dialektik8. Jika jagad terjadi di lingkungan binaan, struktur apakah yang memberi batas padanya? Bagaimana sebenarnya orang Jawa mendefinisikan jagad itu jika tidak dikenal batas-batas yang jelas? Batas dimaksud berkaitan dengan strukturstruktur yang membangun pengertian tentang apa dan bagaimana jagad itu. Dalam Serat Centhini9 V pupuh 4 dapat dibaca perumpamaan jagad yaitu sebagai kelirnya pementasan wayang. Kelir dalam pengertian ini erat kaitannya dengan 6
Integrasi berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi social dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi. Hal ini terkait dengan asimilasi dan akulturasi. 7
Leon Battista Alberti (14 Februari 1404 – 20 April 1472), Arsitek Vincenzo Scamozzi (2 September 1548 – 7 Agustus 1616), Arsitek
8
Dialektik merupakan seni berpikir secara teratur, logis, dan teliti yang diawali dengan tesis, antithesis, dan sintesis. 9
Serat Centhini (dalam aksara Jawa: ), atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk commit to jenis userlagunya. tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut
15 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pementasan itu sendiri, ada adegan, peran, tempat, dan waktu. Kelir sendiri hanya dimengerti bila ada lampu (blencong) yang memberi bayangan pada wayangwayang yang berperan. Jika sang dalang itu tak ubahnya sebagai yang empunya dan menguasai hidup ini, jagad dalam pengertian Jawa itu sebenarnya bukan dalam kekuasaan manusia. Kejadian-kejadian ketika jagad memperlihatkan diri sebagai fenomena bermukim oleh orang Jawa hanya dipandang sebagai mampir untuk minum. Dalam Serat Centhini sendiri dibedakan pengertian jagad dan dunya. Dunya dikaitkan dengan pengertian yang fana dan menawarkan kenikmatan sensual, yang tidak memiliki kedalaman dan makna kehidupan masa depan. Sementara jagad bicara mengenai wisma masa depan manusia yang memberikan pengetahuan sejati dan kebersatuan antara Sang Pencipta dan yang diciptakan. Bermukim di atas bumi ini menurut konsepsi Jawa tidak lebih dari kesementaraan untuk membekali diri dengan air kehidupan yang bisa membawa langkah seseorang menuju kemanunggalan dengan Penciptanya. Dengan konsep bermukim sekadar 'mampir minum' ini, orang Jawa banyak melihat hidup dalam pengertian suatu kerangka maju atau mundur dalam masalah materialistik. Struktur-struktur fisik permukiman oleh orang Jawa tidak dilihat sebagai bangunan permanen, tetapi sebagai pondok sementara. Jika konsep kesementaraan ini yang dianut, bermukim secara Jawa tidak banyak meluangkan waktu untuk mengembangkan seni bangunannya.
commit to user
16 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bagaimanakah karya rancang-bangun dan struktur fisik dari sebuah negara atau kuta itu sebenarnya? Kota tua Jawa yang hingga kini masih dapatdilihat strukturnya adalah Demak, Kudus, dan Kota Gede. Bagian kotaDemak yang masih negara,nampak daerah
petunjuk gagasan
kota
pada
yang
disebut
banyak meninggalkan
kini
Kauman,
Pecinan,
dan
Siti
Hinggil.(Gambar 2-1). Meskipun dalem Sultan Demak, Raden Patah (15001518),
sudah
nampak,
tidak namun
lokasinya masih dapat
Gambar 2-1Struktur pusat negara Demak (Sumber : buku Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia)
diketahui. Dalem ini pasti terletak di daerah yang dikenal sebagai Siti Hinggil, sebelah selatan alun-alun. Struktur pusat negara Demak .merupakan indikasi penting konsep pusat kota di Jawa setelah Majapahit pudar kekuasaannya di Jawa Timur. Demak berkembang bukan dari surplus pertanian, tetapi dari turnbuhnya jasa perdagangan di pantai utara Jawa sebelum Portugis menguasai Selat Malaka tahun 1513-1516. Dengan jasa perdagangan inilah, kompleks mesjid Demak yang menandai masuknya Islam dalam sistem kekuasaan Jawa itu didirikan. Struktur pusat Demak kemungkinan merujuk pada ibukota Majapahit dengan skala lebih kecil. Di dalam struktur ini halun-halun menjadi struktur ruang commit to user
17 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengikat bagi Dalem/keraton maupun mesjid yang bersangkutan. Elemen-elemen yang menarik warisan rancang bangun peradaban Hindu nampak pada kompleks Mesjid Demak. Sekalipun orang masih berharap untuk mendapat data arkeologi pada daerah Siti Hinggil (siti: permukaan tanah/bumi, hinggil: tinggi atau ketinggian), namun bisa dilihat bahwa keraton sebagai tempat tinggal tidak dibangun dalam struktur sepermanen dinding-dinding mesjid. Atau, kuta atau tembok keliling keraton telah diratakan dengan tanah untuk perumahan penduduk setelah kekuasaan sultan pudar dan bergeser ke Pajang dan Kota Gede sejak 1518 Kudus merupakan salah satu kota penting yang melanjutkan sinkretisme10 antara peradaban Hindu dan Islam ke dalam bangunan kompleks mesjid dan makam. Sunan Kudus dalam sejarah dikenal sebagai salah satu Wali Sanga yang sangat berpengaruh pada kerajaan-kerajaan Jepara, Demak, dan Pajang sekitar awal abad ke-16. Sebagaimana Mesjid Demak, Mesjid Kudus merupakan bagian yang dibangun tidak berdiri sendiri. Mesjid Kudus merupakan pendukung kompleks makam Sunan Kudus. Kompleks Kudus ini meliputi wilayah lebih dari 5000 meter persegi. Seperti halnya kompleks Mesjid Demak, di makam-mesjid Sunan Kudus orang akan menjumpai perpaduan elemen-elemen pura Hindu dan kegiatan Islam. Bagian utama Mesjid Kudus lebih kecil dari Mesjid Demak. Mesjid di Kudus ini nampak istimewa karena memiliki struktur bentar dan paduraksa yang menerus menembus ruang utama mesjid. Struktur gerbanggerbang ini sekaligus memberi arah Kiblat yang kuat. Jika hal ini dibuat secara
10
Sinkretisme adalah upaya untuk penyesuaian atau pencampuran kebudayaan pertentangan perbedaan kepercayaan, sementara sering dalam praktik berbagai aliran berpikir. Istilah ini bisa mengacu kepada upaya untuk bergabung dan melakukan sebuah analogi atas beberapa ciri-ciri tradisi, terutama dalam teologi dan mitologi agama, dan dengan demikian menegaskan sebuah commit to user kesatuan pendekatan yang melandasi memungkinkan untuk berlaku inklusif pada agama lain.
18 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sengaja, struktur utama mesjid (mungkin aslinya) tidak perlu berdinding. Sumbu Kiblat yang dibentuk oleh gerbang-gerbang memberikan konotasi sinkretisme Hindu Islam pada tingkat tata ruang. Sementara penggunaan menara kul-kul dan bedug
memberi
konotasi
sinkretisme
pada
tingkat
rancang
bangun
representatifnya. Struktur ruang makam-mesjid Kudus tidak memiliki hierarki11 yang sederhana. Kompleks ini dibangun dengan dinding keliling bata merah, seperti juga di Demak. Rancangan profil dinding ini mirip dengan dinding kompleks candi-candi di Jawa Timur, Candi Penataran dan Candi Tikus. Setiap pintu masuk yang melalui dinding-dinding tersebut hampir selalu ditandai oleh bangunan bentar atau paduraksa. Tata ruang yang berlapis-Iapis dan membentuk segi empat oleh dinding batu bata menunjukkan prosesi yang jelas memperlihatkan terhormatnya derajat wilayah makam. Di Kudus, terdapat tidak kurang dari tujuh lapis gerbang dan halaman berdinding. Di Demak, dapat dijumpai pula tatanan ruang berlapis-Iapis, namun tidak serumit makam Sunan Kudus. Yang menarik di Demak adalah kejelasan struktur ruang yang dibentuk oleh tembok keliling segi empat dengan empat gerbang penjuru angin (Gambar 2-2). Struktur yang jelas ini menyebabkan mesjid nampak lebih menonjol monumentalitasnya.
11
Hierarki adalah urutan atau aturan dari tingkatan abstraksi menjadi struktur pohon commit to user (www.id.shroong.com/social-sciences/education/2069530-pengertian hierarki)
19 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sarean dikompleks mesjid ini
nampak
sebagai
struktur
pendukung yang memiliki jalur prosesi sendiri. Yang membuat tata ruang berlapis-lapis adalah sarean
utama
yang
dibangun
dengan struktur cungkup. Struktur ini diyakini memberi perlindungan bagi makam sebagai mana atap melindungi tempat tidur. Orang Jawa melihat kuburan sebagai tempat
yang
disucikan
dari Gambar 2-2Kompleks Mesjid Demak 16021606 (Sumber: Ismudiyanto, 1987:53
kegiatan harian. Berziarah ke makam setara
dengan menghadap pada yang bersangkutan dengan penuh hormat dan dengan menyucikan badan dari kotoran. Untuk mengawasi tertibnya ritual ini didirikanlah paseban, di mana petugas jaga makam melaksanakan tugasnya. Pada umumnya, paseban sudah dapat dilihat sejak masuk kompleks makam. Untuk melengkapi ritual ziarah, pemandian dibangun. Di beberapa makam dikenakan tradisi menggunakan pakaian tradisional Jawa tanpa alas kaki. Ritual semacam ini merupakan bagian dari prosesi ziarah. Ritual ini pula yang menjadi dasar tata ruang kompleks makam.
commit to user
20 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lapisan ruang-ruang yang
perlu
dilalui
prosesi ziarah
dari
ini dibuat
sedemikian rupa sehingga memiliki kemiripan dengan prosesi tinggal
menuju raja
tempat yang
bersangkutan. Secara tata ruang sarean dan dalem alias
kalenggahan
sultan
selintas tidak berbeda. Dasar dari struktur ruang yang
Gambar 2-4Mesjid Mantingan di Jepara, dibangun sekitar 1599. Terdapat di kompleks makam Ratu Kalinyamat. (Sumber: Album Peninggalan Purbakala, 1991: 79)
dikembangkan pada makam-makam Sunan Kudus, Ratu Kalinyamat, hingga Panembahan Senapati menunjukkan gejala yang sama yaitu sinkretisme antara konsep candi Hindu, penghormatan leluhur asli Jawa dengan fasilitas dan ritual Islam. Elemen-elemen pribumi nampak pada rancang bangun makam berumpak yang mengingatkan pada punden berundak. Elemen-elemen Hindu diungkapkan pada gubahan atap mesjid maupun struktur ruang berdinding dengan paduraksa dan bentar. Semua terpadu untuk memberi tempat dimana kesucian badan disyaratkan dalam mengikuti proses ritual di dalamnya.
commit to user
21 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Teknik konstruksi dinding
terakota
dan
rancang bangun kompleks makam-mesjid Demak ini dapat
Gambar 2-5Candi Tinggi di Muara Takus (Jambi) yang dibangun kira-kira abad ke-12 merupakan salah satu puncak hasil seni bangunan batu bata di Indonesia.
ditelusuri
asal
usulnya dari
bangunan-
bangunan
peradaban
Majapahit, Candi Brahu, Candi
Tinggi
(lihat
Gambar2-5), dan sisa-sisa Keraton Trowulan. Konstruksi batu bata yang saling terkait tanpa bahan lain (tanpa semen pc, misalnya), selain hasil reaksi antara gesekan bata-bata, merupakan kekhasan warisan Majapahit. Warisan seperti ini masih dipraktekkan pada bangunan-bangunan tradisional Bali: puri, pura, dan patirtan. Di dalam tradisi bangunan di Kota Gede, hubungan antar batu bata tersebut dilekat oleh putih telur. Gubahan bentuk dinding pada kompleks makam-mesjid Demak berupa segi empat yang membentuk suatu enclosure12. Konsep segi empat ini mungkin diturunkan dari konsep puri. Dengan konsep Sanskerta ini, wilayah terbina atau terbangun telah menjadi suatu kategori dalem. Artinya, tempat yang dikelilingi tembok batu bata itu sudah menjadi milik seseorang dalam mengungkapkan pusat kekuasaan. Dari tatanan fisik bangunannya, kompleks mesjid dan makam nampak tidak dalam kaitan prosesi langsung, namun saling mendukung. Makam 12
Enclosure merupakan struktur yang terdiri dari suatu daerah yang telah ditutup untuk beberapa commit to user tujuan tertentu.
22 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ditempatkan sebagai bagian dalam dengan mesjid sebagai latar depannya. Dengan begitu, nampak keluhuran kepercayaan asli memberi prioritas pada mesjid untuk langsung menghadap ke alun-alun. Kompleks makam dan mesjid ini mungkin bukan bermula di Demak dan Kudus, kemudian mencapai kesempurnaan di Kota Gede (lihat Gambar2-6). Setelah Kota Gede, makam-mesjid tidak lagi dibangun di pusat kota kerajaan. Meskipun di Mesjid Agung Yogyakarta masih terdapat makam, namun bukanlah tempat pemakaman keluarga Keraton Yogyakarta, karena Sultan Agung membangun makam keluarga Kerajaan Mataram di Imogiri.
Kota Gede sebagai pusat peradaban Islam Jawa dibina oleh Ki Gede Pamanahan sekitar tahun 1577 atas piagam Raja Pajang. Diceritakan oleh de Graaf (1954/1987:52-54) bahwa hutan Mentaok mula-mula dibuka dan dibangunlah kuta atau tembok bata keliling. Di dalam wilayah bertembok keliling commit to user
23 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ini ditanami pohon buah-buahan. Ki Gede Pamanahan mendirikan mesjid sekitar tahun 1587. Kemudian dilengkapi dengan serambi oleh Panembahan Senapati, putra Ki Gede Pamanahan. Senapati membina apa yang sudah dirintis ayahnya ini dengan membangun dinding luar, kitha bata putih, antara 1592-1593. Apa yang dikenal sebagai kitha banon petak ini dibangun setelah Senapati bertemu dengan Sunan Kalijaga. Sunan yang berpengaruh besar ini menganjurkan Senapati untuk membangun dalem-nya, dengan itu ia bisa berkuasa sebagai Raja Mataram. Namun, tembok berbata putih masih belum sempurna bila tidak dilindungi oleh pagar keliling yang lebih luas. Senapati memerintahkan rakyatnya untuk membakar bata merah setiap musim kemarau dan mulai membangun kitha jaba. Dengan pembangunan ini maka terbinalah apa yang disebut kitha jaba dan kitha dalem. Dilaporkan oleh de Haan yang pemah mengunjungi Kota Gede tahun 1623 (de Graaf, 1987:116) bahwa jarak antara Jaba dan Dalem adalah sepenembakan peluru (tidak lebih dari 2000 meter). Situs Kota Gede memberikan informasi bahwa kitha dalem atau beteng jera yang dibangun Senapati dengan banon putih masih nampak sisasisanya.Beteng Jero ini melingkari kompleks keraton-singosaren (sekarang namadesa) yang melingkupi kompleks makam-mesjid yang dibangun Ki Gede Pamanahan menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sementara itu, sepanjang beteng atau kuta ini terdapat parit-parit. Dikabarkan bahwa Senapati biasa menggunakan perahu kecil atau kanu untuk menuju keratonnya dari bagian selatan. Beteng jaba kota Mataram Islam ini dibangun meliputi kawasan 5 km memanjang dari Grojogan ke Ngipik, serta lebih dari 5 km dari Ngipik ke Wioro dan dengan jarak yang hampir sama dari Wioro ke Warung Bokodan kembali ke Grojogan. Luas commit to user
24 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
areal yang ada di bawah perlindungan beteng jaba atau kuta jaba meliputi wilayah seluas 25 hingga 30 km persegi.Luas ini belum apa-apa dibandingkan dengan Trowulan yang meliputi kawasan lebih dari 10 x 10 km persegi. Benteng luar dibedakan dengan benteng dalam karena konstruksi dan bahan bangunannya. Pada dinding kota bagian luar, Senapati tidak membangun dengan batu putih dengan tebal lebih dari 30 cm dan tinggi lebih dari 2 meter, melainkan dengan dinding batu bata setebal 60-70 cm dengan tinggi 2 hingga 3 meter. (lihat Gambar 2-6 dan Gambar2-7).
Gambar 2-7 Kompleks makam-masjid Kota Gede commit to user (Sumber : buku Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia)
25 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari apa yang dapat dilihat di Kota Gede ini dapat dibicarakan beberapa aspek: ·
Inti Kota Gede dimengerti sebagai tempat kompleks Sarean (kuburan) Panembahan Senapati itu berada, setelah Raja Mataram Islam ini meninggal. Keraton Kota Gede sendiri tidak nampak seperti pemakaman keluarga raja-raja. Kawasan di mana kuta yang dibangun oleh Senapati masih dikenal sebagai permukiman dalem/keraton. Mungkin struktur fisik keraton secara perlahanlahan hancur. Beberapa bagian pentingnya sejak 1618 dibawa pindah ke Pleret, Kartasura kemudian ke Surakarta danYogyakarta. Bisa diduga, bahwa di kompleks ini keraton Mataram Islam pertama itu berdiri. Mesjid, makam, dan keraton merupakan struktur-struktur utama dari apa yang disebut pusat Jagad-nya Mataram Islam.Struktur fisik ini dikelilingi oleh dinding keliling atau pager bhumi sehingga disebut kuta bukan pradesa.
·
Pendirian benteng yang mengelilingi pusat kekuasaan· Mataram, yang disebut pager bhumi itu, mengingatkan orang pada tradisi karya rancang bangun Hindu. Dinding kelilingnya memberi nuansa pengaruh karya rancang-bangun Hindu pada tata ruang Kota Gede. Pengaruh ini dapat dilihat lebih jelas pada bentuk gapura serta dinding yang dibangun dengan batu bata. Tempat pusat alias nabha dalam pengertian negara-nya Kuta Gede ini jelas tidak menganut aturan tata ruang sumbu yang menerus. Kompleks makam-mesjid dapat dicapai dari arah timur, di mana alun-alun semula berada. commit to user
26 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tempat di mana permukiman dan pasar berada masih merujuk ke kawasan sekitar nama alun-alun ini. Sekarang, lokasi daerah yang namanya alun-alun Kota Gede itu terisi oleh permukiman yang padat. ·
Di sekitar tempat pusat atau alun-alun inilah permukiman berkembang tanpa mengikuti jalur-jalur yang aksial geometris atau berupa sumbu-sumbu yang terencana. Jalur pencapaian yang ada pada prinsipnya bebas dan dibentuk oleh dinding pagar halaman. Regol atau pintu masuk ke masing-masing rumah dicapai melalui jalur sirkulasi yang meliuk-liuk ini.
·
Permukiman Kota Gede terdiri dari beberapa kelompok yang tidak didasarkan oleh pola geometris sistematis, tetapi merupakan compound yang terdiri dari beberapa keluarga. Setiap satu compound dibangun dengan pembatas dinding keliling dari batu bata terbuka atau diplester, dan terdiri atas 6 hingga 10 rumah. Di kawasan yang disebut Jagalan, Purbayan, dan Basen dapat dilihat struktur permukiman yang tunggal tidak berupa compound, seperti di Singosaren dan Mutihan. Umumnya rumah tinggal dilengkapi oleh pendapa yang dibangun di depan sebagai tempat tamu atau kerja. Permukiman di Kota Gede ini dalam beberapa hal memiliki persamaan dengan permukiman Bali Aga di Bug-bug.
commit to user
27 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
II.3.2. Halun-Halun 13 Dalam kenyataan fisiknya, yang disebut kuta atau negara itu selalu ada halun-halunnya, yang kemudian disebut alun-alun. Mengapa bentuk dari ruang terbuka ini segi empat atau hampir bujur sangkar? Di Yogyakarta dapat ditemukan bentuk denah alun-alun yang jajaran genjang. Zoetmulder(1935) menyebut adanya Mancapat yang sering dianut oleh orang Jawa sebagai pusat orientasi spasial. Arah empat ini dipegang oleh orang Jawa dalam hubungannya dengan empat unsur pembentuk keberadaan bhuwana: air, bumi, udara, dan api. Dasar pembentuk kehidupan ini kemudian diturunkan sebagai dasar kategorisasi untuk hal-hal lain, misalnya tata ruang pada kawasan alun-alun. Hingga kini masih belum diketahui dengan pasti asal-usul alun-alun ini. Jawa dikenal sebagai suatu budaya yang mengembangkan pemikiran tempat bermukim lebih pada memberi atau mengenali sifat-sifatnya. Kata halun-halun mungkin diasosiasikan dengan suatu tempat yang memiliki sifat telaga dengan riak yang tenang. Sifat ini diperlukan oleh konsep kekuasaan Jawa sebagai integrator segala keragaman peran, aspirasi, dan tradisi. Dengan kemampuan integrasi dan toleransi yang tinggi, kemungkinan besar konsep halun-halun ini merepresentasikan orang Jawa. Dapat diperkirakan bahwa lapangan terbuka ini sudah ada sebelum masa Borobudur dan Prambanan dibangun, meskipun pada relief-relief candi tersebut tak dilukiskan secara gamblang. Hinduisme dan Buddhisme memberikan kontribusi perkembangan alunalun itu, sebab upacara-upacara kenegaraan Hindu pada khususnya membutuhkan ruang terbuka untuk prosesi-prosesi ritual: penobatan Ratu, perkawinan agung, 13
Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di commit Indonesiato (A.user Bagoes P. Wiryomartono)
28 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan penyambutan-penyambutan tamu mancanegara. Catatan-catatan Portugis dan Belanda sekitar abad ke-17 banyak merekam adu macan di alun-alun. Jadi alunalun bukan sekedar tempat upacara tetapi juga tempat hiburan negara. Apakah lapangan ini gagasan asli? Jika lapangan itu tidak pernah dikenal dalam tata urban Jawa Hindu dan Buddha, tak akan ada konsep alun-alun itu. Kata halun-halun sendiri berasal dari Bahasa Jawa Kuno (Kawi) bukan Sanskerta. Jadi, bisa diduga bahwa lapangan terbuka itu orisinal Jawa. Yang menarik untuk diketahui adalah kenyataan bahwa di Tanah Sunda (Jawa Barat) dikenal alun-alun dengan konsep yang sarna dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mungkin terdapat campur tangan Belanda dalam memberikan status administrasi kabupaten, karesidenan, kawedanan, pada daerah-daerah tertentu yang berada dalam pengawasan administrasi Pemerintah Kolonial. Dugaan ini semakin kuat oleh adanya bangunan penjara yang selalu ditempatkan di utara berhadapan dengan Kabupaten yang berada di selatan. Dalam kitab Negarakertagama tertulis dengan jelas bahwa keberadaan alun-alun sudah dimulai sejak abad ke-14 peradaban Majapahit. Namun alun-alun yang dimaksud hendaknya tidak dikacaukan dengan Lapangan Bubat. Lapangan ini lebih dekat dengan pengertian suatu waterfront Majapahit terhadap Kali Brantas. Negarakertagama menyebut adanya bhawana (yang bisa diduga gudanggudang) dan mapanta (diduga hunian pedagang). Indikasi yang diberikan dari inskripsi mengenai negara pada zaman Majapahit tidak cukup untuk membuat rekonstruksi fisik, tanpa bantuan data-data galian arkeologi. Hingga saat ini kemajuan di bidang arkeologi belum memadai dan masih terus berlangsung. commit to user
29 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Meskipun demikian, Stutterheim (1948) dengan cermat telah membuat suatu dugaan rekonstruksi dari kota Majapahit di Trowulan. Hasil rekonstruksi ini memperlihatkan bahwa struktur kota Majapahit memiliki bentuk yang tersusun oleh beberapa jalan dengan arah-arah sesuai dengan mata angin. Dapat ditafsirkan bahwa struktur simpul kota Majapahit serupa dengan Perempatan Agung-nya Hindu Bali. Dan sumbu-sumbu mata angin-lah yang mengorganisir tata ruang dan bangunan secara keseluruhan. Sekalipun jalan-jalan nampak tidak direncanakan dengan pegangan pada satu sumbu aksial yang dominan, tetapi orang akan melihat posisi sentral dari istana dan alun-alun. Dari hasil rekonstruksi yang dibuat Stutterheim, istana Majapahit merupakan suatu struktur yang tidak sederhana dalam hierarki ruangruangnya. Struktur di dalamnya dibentuk oleh bangunan-bangunan yang dibatasi oleh dinding penyengker yang pasagi. Struktur ini menunjukkan bahwa karya rancang-bangun Hindu berpengaruh besar terhadap tata ruang Jawa Majapahit, di mana ruang hidup atau tempat peribadatan dibentuk oleh struktur yang memberi kepastian orientasi. Struktur bangunan yang didirikan di dalam tembok pasagi yang mengelilinginya dalam Bahasa Jawa Kuno disebut bangsal atau binangsal. Jika alun-alun itu memiliki dasar keberadaan sebagai tempat ritual-ritual dan kegiatan sosial kenegaraan, ia akan dianggap sebagai bagian dari pusat kekuasaan bersama keraton dan candi utama. Pasar tidak akan berada di sekitar alun-alun sebab berhubungan dengan kehidupan sekuler dan sehari-hari. Fakta ini tidak dilihat pada kasus Kota Gede, di sini pasar (Sargede) berada di atas lahan alun-alun tempo dulu. Bisa jadi pada zaman Majapahit pun, kegiatan sekuler dan commit to user
30 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
spiritual terjadi di tempat yang sama: alun-alun. Di Jawa dikenal apa yang disebut hari pasar, yang memungkinkan tumpang tindihnya kegiatan sekuler dan spiritual. Dalam Majapahit
denah
hasil
kota
rekonstruksi
Stutterheim (1948) dan tulisan Madaine Pont keterangan Majapahit
(1924)
didapat
bahwa
alun-alun
bersama
keratonnya
terletak sentral. Di tengah alunalun
terdapat
bangunan
atau
monumen, mungkin tempat Sang Ratu dan para menterinya duduk untuk
menghadiri
upacara-
upacara. Di sekitar alun-alun ini dibangun candi Buddha. Yang
Gambar 2-8Pusat kota Yogyakarta (Sumber : buku Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia)
menarik adalah fakta bahwa purapura
Hindu-nya
pinggiran
luar
dibangun
di
kuta-negara
di
Trowulan. Pada
pusat-pusat
kota
Yogyakarta (lihat Gambar 2-8) dan Surakarta (lihat Gambar2-10) terdapat dua alun-alun, utara dan selatan.
Alun-alun commitGambar to user 2-9Denah Kompleks Keraton Yogyakarta
(Sumber : buku Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia)
31 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
utaramerupakan tempat resmi yang berhubungan dengan raja. Sementara alunalunselatan untuk putra mahkota sebagai persiapan untuk melakukanupacaraupacara kenegaraan. Situasi
di
alun-alun
biasanya
mudah
diamatidari
panggung
Sanggabhuwana. Menara pandang ini tidak nampak di Keraton Yogyakarta, tetapi dominan di Keraton Kasunanan Surakarta. Pada situs Trowulan menara pandang ini dapat ditemukan sisa-sisanya. Dengan menara pandang yang tingginya lebih dari 12 meter ini, Sang Raja dapat mengamati lebih saksama situasi di alun-alun maupun pasar. Hingga saat ini, yang disebut alun-alun di Jawa masih dianggap lapangan formal yang erat kaitannya dengan upacara kenegaraan. Lapangan Monas atau hampir semua alun-alun di Jawa tidak menampung kegiatan komersial. Bisa dikatakan ada kesan
bahwa
mempunyai
makna
alun-alun spiritual.
Betulkah konsep ini berakar dari peradaban Jawa Hindu-Buddha? Atau ini semua rekaan Sang Penguasa memperkuat
Kolonial kedudukan
untuk para
Gambar 2-10Keraton Yogyakarta (Sumber : buku Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia)
commit to user
32 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bupati yang diawasinya supaya tidak dekat dengan rakyatnya? Perubahan konsep alun-alun dapat ditemukan pada kasus kota Bandung. Semula alun-alun Bandung merupakan pendukung perkembangan kota kembang dipimpin oleh Bupati Wiranata Kusumah (1846-1874) di bawah instruksi Gubernur Jendral van Hoevell, penerus Daendels. Alun-alun Bandung ini dibangun beserta mesjid dan kabupatennya atas permintaan Pemerintah HindiaBelanda. Dengan demikian, alun-alun Bandung bukan dibangun atas dasar aspirasi pribumi. Pemerintah Hindia-Belanda bermaksud untuk mempermudah kontrol pada kekuasaan lokal jika pusat pemerintahannya berada di sepanjang Grote Postweg. Belanda
sejak
VOC
abad
ke-17
sudah
sangat
berpengalaman
memanfaatkan konsep maupun kekuasaan lokal. Perubahan konsep alun-alun sebagai tempat upacara negara menjadi taman umum kota berlangsung di Bandung sejak 1967. Sekarang alun-alun ini telah menjadi taman kota, bukan sebagai kekosongan yang hanya digunakan untuk upacara-upacara kenegaraan. Perubahan makna alunalun sebagai tempat terjadinya dunia
dalam
konteks
ritual
spiritual menjadi taman atau ruang
terbuka
umum
kota,
adalah konsep urban yang dapat berkembang dalam kehidupan bermukim modern. Kebutuhan masyarakat kota akan upacara
commit to Gambar user 2-11Pusat kota Surakarta (Sumber : Bonnef, 1986: 296)
33 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
atau ritual-ritual kenegaraan akan didesak oleh kebutuhan pragmatis ekonomis urban modern. Yang menarik untuk diketahui adalah kenyataan bahwa persepsi masyarakat terhadap alun-alun seperti maknanya semula tetap terpelihara dengan adanya kegiatan ritual yang berpusat di mesjid, meskipun hanya sekali-sekali. Misalnya pada hari Idul Fitri atau Idul Adha. Sultan Agung merupakan salah seorang raja Jawa yang sangat cerdik dalam memelihara makna yang dimiliki alun-alun ini. Sekatenan atau upacara Grebeg merupakan suatu tradisi upacara yang akan mampu membina makna urban Jawa dari keberadaan alun-alun. Dengan adanya upacara ini, konsep negara yang terjadi melalui pesta kenegaraan selalu diaktualisasikan. Tradisi-tradisi yang dimiliki Jawa dari Hindu dan Islam dapat berpadu dalam satu upacara sekaligus. Upacara ini fenomenal
bagi
budaya
bermukim urban, sebab kaitan antara
fungsi-fungsi
ketatanegaraan
dalam Jawa
menampakkan diri sebagai suatu konsep dunia yang khas, yang maknanya bukan sekadar festival, tetapi ada hal-hal yang sakral. Semua ini menampakkan diri dalam bentuk puisi kekuasaan
Gambar 2-12Keraton Surakarta (Sumber : Bonnef, 1986: 292)
commit to user
34 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang penuh simbol. Orang modern yang tidak terbuka untuk belajar, mungkin akan menganggap peristiwa atau peringatan Sekatenan sekadar pasar malam. Jika pengertian sentra dari negara itu terjadi di alun-alun lalu bagaimana kaitan lapangan ini dengan permukimannya? Tatanan permukiman yang ada di Yogyakarta maupun hasil rekonstruksi Trowulan oleh Stutterheim sendiri tidak langsung berkaitan dengan pola memusat. Ada indikasi yang dapat ditelusuri konsep dasarnya, bahwa permukiman negara cenderung pada pola linier yang menyebar dari alun-alun menurut empat arah utama. Posisi alun-alun sendiri cenderung sebagai pusat orientasi mata angin. Meskipun memiliki pusat yang berbentuk ruang terbuka, pengendalian atau
pengawasan
penduduk yang besar dalam
wilayah
negara
tidak
mengandalkan perencanaan struktur fisik yang geometris dengan bentuk dasar tertentu. Dari struktur yang dapat ditangkap dari Kota Gede, Trowulan, maupun Majapahit, orang cenderung mengatakan, bahwa struktur sosial masyarakat Jawa, sekalipun hierarkis, tidak memperlihatkan sifat otoriter tegas. Struktur yang egaliter14 nampak lebih dominan pada kota-kota Jawa ini. Hubungan konsep pusat dan rakyat nampak lebih cenderung melalui kegiatan ritual upacara-upacara masal di alun-alun negara. Di sini, ratu dianggap sebagai pusat kekuasaan sekaligus pusat kegiatan ritual. Posisi ini mendukung struktur fisik permukiman urban lebih terkonsentrasi pada ruang kegiatan upacara di depan keraton. Hingga saat ini, belum cukup data yang memuaskan untuk memberikan rekonstruksi kota Jawa masa Mataram Sanjaya-Syailendra hingga Majapahit.
Egaliter berarti bersifat sama; sederajatcommit to user
14
35 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Apakah dengan data yang bisa dilihat di Karang Asem, Bali, dan di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, bisa ditelusuri konsep fisik negara? Ada petunjuk umum bahwa pengertian ruang yang morfologis tidak dikenal di Jawa. Hal ini ditunjukkan bukan saja pada fakta saat ini, tetapi data-data catatan Cina abad ke-7 hingga ke-10 pun tak memberi titik terang. Ruang luar sebagai titik tolak perencanaan dan perancangan fisik tidak sentral, tetapi ruang urban sebagai pusat kegiatan ritual punya nilai tersendiri. Di sini, dapat diduga bahwa apa yang disebut negara itu bisa jadi tak lebih dan tak kurang sebagai 'event' yang merujuk pada kepentingan upacara. Makna kekuasaan ritual dan sekuler diulangi dalam kalender beberapa peristiwa. Konsep kekuasaan yang manunggal ini terus-menerus dibina sebagai bagian dari tradisi urban dari zaman Mataram Hindu-Buddha hingga sekarang. Jika dugaan ini benar, persepsi orang Jawa pada khususnya dan Indonesia secara umum tentang kota bukan merujuk pada fisik. Rujukan mereka pada 'kejadian' berkumpul
dalam
memperingati
suatu
peristiwa
yang
mempertautkan
kepentingan-kepentingan: sosiokultural, ekonomi, dan spiritual. Jika persepsi kota merujuk pada bangun atau struktur fisik, sudah tentu ini semua bertalian dengan organisasi sosial bermukimnya. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa secara fisik, struktur permukiman urban Jawa hingga kini cenderung linier. Pencapaian menjadi hal penting dalam tata letak. Ruang luar yang morfologis tidak nampak dominan dalam tata letak permukiman. Yang menarik untuk ditelaah lebih jauh adalah fakta bahwa linieritas ini menjadi bagian dari kegiatan sosial ekonomi di luar bangunan, sementara kegiatan ritual lekat dengan pusat-pusat kekuasaan. Konsep alun-alun sendiri bisa dilihat commit to user
36 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagai upaya memadukan dua kepentingan ritual yang berpusat pada keraton atau kabupaten dan mesjid. Sementara itu, yang disebut jalan bukan semata-mata tempat orang berjalan, tetapi lebih bermakna sebagai pusat interaksi sosialekonomi di luar rumah. Apakah dua beringin kembar yang ditanam di tengah-tengah alun-alun itu berkaitan dengan konsep dasar halun-halun? Di Yogyakarta maupun dikota-kota kabupaten atau kadipaten di zaman Kolonial Belanda, alun-alun selalu lekat dengan adanya dua beringin kurung pad a sumbu yang ditarik dari kabupaten atau kadipatennya. Di Kota Gede, masyarakat setempat secara turun temurun masih mengingat adanya dua beringin itu di alun-alunnya. Tengaran utama dari kompleks keraton sekarang adalah tempat di mana Watu Cilang dari Raden Rangga disemayamkan. Sekitar tempat yang dikeramatkan ini ditanam empat beringin yang mengitarinya. Beringin sebagai tengaran kitha di Kerajaan Mataram Kota Gede ditanam oleh Ki Gede Pamanahan atas restu Sunan Kalijaga di muka kompleks makam-mesjid. Beringin tua itu kemudian diberi nama oleh Sunan Kalijaga. Sejak kapan sebenarnya beringin mulai digunakan sebagai tengaran pusat kota? Apakah dengan demikian alun-alun di zaman Majapahit pun punya beringin kurung pula? Dalam peradaban Hindu-Buddha, beringin dianggap sangat tepat untuk tempat mendapat inspirasi. Di dalam kitab Negarakertagama, adanya beringin kurung ini disebut, tetapi posisinya tidak terlalu jelas. Pohon beringin dalam tradisi Hindu-Buddha dipercaya sebagai tempat yang memberikan kesempatan untuk mencapai pengetahuan hidup sejati. Dalam kepercayaan Jawa, commit to user
37 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pohon ini sering dianggap angker dan memiliki potensi sebagai tempat kekuatan yang tak terlihat.
II.3.3. Marga dan Ratan 15 Apa yang disebut marga sebenarnya telah menjadi identik dengan jalan. Tetapi apa yang dimaksud dalam konsep asalnya, marga berkaitan dengan penyebab adanya jagad sehari-hari. Ini untuk membedakan dengan halun-halun. Marga mengindikasikan adanya lantaran atau laku sehingga sesuatu terjadi. Dunia sehari-hari orang Jawa terjadi oleh adanya marga, yang mengantarkan dunia umum menampakkan dirinya. Dalam perkembangan berikutnya, marga sebagai jalan tenggelam oleh konsep lain ratan yang merujuk pada dunia publik. Rat adalah Bahasa Jawa Kuno untuk konsep 'dunia umum'. Nama Raja Amangku Rat sebenarnya tidak lain dari pengukuhan sang penguasa atas dunia, bahwa ialah yang memangku kehidupan di dalamnya. Konsep Rat ini diduga tenggelam setelah pengaruh Hindu-Buddha dengan bahasa Sansekertanya menjadi bahasa resmi keraton sejak pemerintahan Dinasti Sanjaya dan Syailendra. Raja-raja Jawa setelah Sultan Agung Hanyakrakusuma kemudian menggunakan kata Rat kembali, mungkin untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat akan konsep kuno mereka akan dunia. Apa yang disebut Rat kemudian Ratan itu bukanlah jalan atau permukaan yang rata, tetapi suatu konsep yang mampu merangkum dunia publik, negara,
15
Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di commit Indonesiato (A.user Bagoes P. Wiryomartono)
38 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
rakyat, dan semua kejadian di atas bumi pada suatu kaum atau kejadian-kejadian yang erat kaitannya dengan kesadaran. Rat adalah kata antonim dari tanrat yang artinya tak sadarkan diri. Jadi konsep dunia yang asli dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno itu tidak abstrak seperti apa yang diungkapkan oleh pengertian bhuwana. Jalan di luar pawisman di mana kehidupan bermasyarakat terjadi itulah ratan. Sementara, marga memberi indikasi penyebab atau lantaran terjadinya rat itu. Jadi, marga adalah sarana untuk memungkinkan adanya atau eksistensinya dunia sehari-hari. Jika persepsi masyarakat Jawa terhadap jalan umum itu adalah tempat dunia di luar rumahnya, sarana ini sebenarnya bukan sebagai tempat lalulalang dengan kecepatan tinggi. Di dalam modernitas kehidupan urban abad ke-20 ini, apa yang disebut jalan identik dengan jalur sirkulasi kendaraan bermotor. Yang menarik pada jaringan jalan pada Kuta Trowulan Majapahit adalah terlukisnya jaringan jalan utama yang membentuk dua avenue yang saling berpotongan (Stutterheim:1948). Jika hasil rekonstruksi kota Majapahit karya Stutterheim benar, maka apa yang disebut marga pada kuta-negara Majapahit itu tidak lebih dan tidak kurang sebagai ruang terbuka kota yang memberikan pedoman pembangunan. Pada marga-marga kecil ruang umum kota itu diciptakan, sementara pada marga utama lebih memberikan konotasi orientasi dan mobilitas transportasi untuk bala tentara. Dasar lain dari pembangunan marga utama tidak bisa dilepaskan dari kemungkinan adanya prosesi ritual atau upacara yang memerlukan ruang gerak linier untuk parade di muka Wanguntur atau balairung di muka keraton. Seberapa commit to user
39 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seringkah upacara kenegaraan yang identik dengan 'grand festival' itu terjadi di Majapahit? Apakah jalan merupakan unsur utama pembentuk struktur kota-kota Jawa? Yang pasti diketahui adalah, bahwa ruang umum terbuka tidak menjadi bagian pembentuk struktur dan citra kota. Alun-alun sendiri merupakan ruang terbuka yang lepas. Ia tidak dibentuk secara meruang oleh struktur atau bangunan sekitarnya sehingga membentuk suatu enclosure yang terencana. Tetapi, dindingdinding penyengker yang terlihat di Kota Gede membentuk lorong-lorong untuk sirkulasi pejalan kaki yang dikenal sebagai padamarga. Bahkan pada bangunanbangunan yang menghadap ratan terlihat struktur lorong yang memiliki skala manusia. Sekalipun belum terungkap secara terperinci bahwa marga tidak menjadi struktur pertama pembentuk tata ruang kuta adhiraja Majapahit di Trowulan, namun ada karakter khas yang perlu diperhatikan. Karakter ini adalah Catuspatha yang pada tradisi tata ruang tradisional Bali disebut Caturmuka atau Prapatan Agung atau simpang empat. Pada posisi ini bangunan-bangunan negara yang penting berada. Di Trowulan Majapahit pada simpang empat ini berdiri Kuta adhinarphati (di mana keraton berada), Brahmasthana (pohon beringin yang besar), Peken Agung atau pasar besar, dan Lebuh atau lapangan terbuka yang dibiarkan tak ditempati oleh bangunan dan bukan alun-alun. Simpang empat ini menjadi pedoman orientasi arah-arah yang akan diambil ke dalam atau ke luar kuta. Sementara pohon-pohon beringin ditanam berjejeran sebagai elemen ruang terbuka umum yang memberikan indikasi kawasan kuta. commit to user
40 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jika jaringan marga itu tidak berperan penting dalam memberi bentuk struktur kota Jawa di Majapahit atau Kota Gede, pasti ada unsur fisik lain yang membimbing orang pada pengertian strukturnya. Yang pasti bisa diketahui adalah, bila marga menjadi pembentuk struktur dasar fisik urbannya, maka akan nampak pola geometris yang tegas, sekalipun tidak harus aksial. Di Kota Gede hal ini tidak dijumpai. Marga yang terbangun lebih mudah dimengerti sebagai akibat bukan sebab dari pembangunan yang bertahap bermula di sekitar sentra utama dan sentra-sentra selanjutnya. Sentra utama Kota Gede adalah tempat tinggal Panembahan Senapati, sementara sentra-sentra lainnya tempat tinggal para pangeran atau orang penting dari kerajaan Senapati. Di kota Yogyakarta orang akan menyaksikan adanya sumbu dari Keraton menembus alun-alun terus melalui Jalan Malioboro ke Tugu dan Gunung Merapi. Apakah ini suatu tata ruang Jawa? Orang patut mencurigai pedoman tata ruang dan bangunan kota menurut sumbu ini pada campur tangan arsitek Barat (Belanda atau Portugis)16. Dalam Bahasa Jawa konsep garis aksial itu sesuatu yang asing. Pembuatan tata ruang dengan bentuk perspektifis ini membutuhkan penggunaan teropong dan alat ukur berpresisi tinggi. Dari struktur fisiknya, nampak jelas bahwa permukiman yang berkembang di luar kawasan sumbu Tugu-Keraton itu berupa 'kampung' yang tidak berpedoman pada pola marga tetapi pada teritorialitas penyebaran pusat-utama ke pusat-pusat anak buahnya. Marga terbangun, tidak dibangun mendahului
16
Keraton Yogya (dibangun 1755) banyak menampakkan pengaruh campuran Hindu Majapahit dengan Barok Italia dan Gothik Spanyol. Terlihat dari Taman Sari (1758) yang dirancang orang Portugis. Sejak Senapati hingga Sultan Agung, juru taman keraton adalah orang Eropa atau Cina (De Graaf, 1987:88-89). Oleh karena itu,commit bisa jadi to Keraton user Yogyakarta bukan sepenuhnya rancangan arsitek Jawa, namun di bawah nasihat ahli Belanda atau Eropa.
41 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
permukiman, merupakan penghubung antarsentra yang ada: Pakualaman, Gondomanan, Suryodiningratan, Prawirotaman, Tirtodipuran, Mangkuyudan, Sosrowijayan,
Jogokarsan,
Suryatmajan,
Pringgokusuman,
Bausasran,
Purwanggan, dan seterusnya. Nama-nama daerah ini dikenal dan diidentifikasikan pada para pangeran yang dipercaya oleh Sang Ratu untuk mendiaminya. Permukiman rakyat yang menjadi pengikut atau kawula dari pangeran itu mengikuti prinsip tata ruang yang disebut di Yogya magersari. Artinya permukiman mengelilingi ghrya Sang Pangeran tertentu itu dalam rangka membangun pagar yang indah. Sari sendiri berarti inti. Jadi, apa yang dimaksud dengan tata ruang magersari adalah membangun tempat bermukim mengelilingi sebuah pusat kekuasaan yang mewakili kekuasaan keraton di tanah itu. Beberapa kawasan tidak memiliki pola ini, misalnya: Tukangan, Godean, Mergangsan, Jagalan, dan seterusnya. Kelompok permukiman yang berkembang di sini ada yang berkaitan dengan profesi tertentu ada pula yang sekedar nama, artinya tidak mengikuti tata ruang magersari. Dengan dasar tata ruang yang membentuk 'compound' permukiman yang berinti pada tempat tinggal Sang Penguasa ini, maka tidak mengherankan bila jalan-jalan tradisonal itu tidak perlu lurus-lurus, bukan hanya karena moda transportasi yang dipakai berkecepatan di bawah 30 km per jam,tetapi juga titik tolak pembangunannya yang bukan didasarkan atas perencanaan dan desain arsitektural. Dalam tata kehidupan negara, marga pun memiliki fungsi yang penting dalam menghidupkan aktivitas ekonomi. Aktivitas semacam ini bisa diduga tempatnya tak akan jauh dari tepian jalan. commit to user
42 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
II.3.4. Pasar atau Peken17 Pasar secara harfiah berarti berkumpul untuk tukar menukar barang atau jual beli sekali dalam 5 hari Jawa. Pasar diduga dari kata Sanskerta Pancawara.Pasar dalam konsep urban Jawa adalah kejadian yang berulang secara ritmik dimana transaksi sendiri tidak sentral. Yang sentral dalam kegiatan pasaran adalah interaksi sosial dan ekonomi dalam satu peristiwa. Berkumpul dalam arti saling ketemu muka dan berjual beli pada hari pasaran menjadi semacam panggilan sosial periodik. Kata lain dari pasar adalah peken yang kata kerjanya mapeken artinya berkumpul. Peken adalah tempat berkumpul yang tidak berkaitan dengan upacara. Berbeda dengan berkumpul karena ada 'gawe' atau upacara atau 'slametan', kegiatan pasar atau peken tidak dititipi oleh ritual dan simbol-simbol. Ini menjadi petunjuk, bahwa hari pasar bukanlah peristiwa dimana manifestasi kekuasaan itu mengalami proses transformasi. Pada pertemuan ritual atau 'slametan', orang Jawa percaya adanya transformasi kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi stabilitas Jagad Jawa. Jika pasar dipandang sebagai kejadian periodik yang tidak bersangkut-paut dengan konsep kekuasaan secara langsung,letak pasar secara urban Jawa tidak akan di alun-alun. Pasar akanmenjadi kejadian di luar alun-alun dan masuk ke dalam kegiatan margayang menyebabkan kehidupan dunya bisa berlangsung. Pasar atau peken di kehidupan urban Majapahit terletak di simpang empat yang menjadi titik orientasi sebelum masuk ke kuta-negara. Dari titik inilah dapat diketahui daerah-daerah yang ada dalam kawasan urbannya. Peken Agung 17
Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di commit Indonesiato (A.user Bagoes P. Wiryomartono)
43 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memiliki arti tersendiri bagi Majapahit, karena di tempat inilah pertempuran besar terjadi. Mungkin inilah tempat pertempuran antara Pajajaran dan Majapahit akibat kesalahan fatal Maha Patih Gajahmada di alun-alun Bubat. Peken Agung disebut dalam sejarah Majapahit bukan sekadar pasar tetapi tempat yang mengingatkan pada kepahitan sejarah.
II.3.5. Mesjid dan Pusat Kekuasaan18 Mesjid kota Jawa hampir selalu berada di kawasan alun-alun sebelah barat. Pusat kekuasaan ditempatkan hampir selalu di bagian selatan dan menghadap ke alun-alun. Sumbu bangunan
mesjid dan pusat pemerintahan
diusahakan bertemu di bagian tengah alun-alun. Arah atau orientasi sembahyang ke Kiblat tidak selalu menjadi sumbu bangunan mesjid. Keunikan tata bangunan ini memberikan arah penafsiran yang berbeda-beda. Di antara penafsiran itu adalah struktur fisik yang membentuk konsep kuta-negara itu memiliki kepatuhan pada satu sistem orientasi yang berpangkal pada bentuk pasagi alun-alun. Apakah orientasi ini perlu taat pada Mancapat? Jawaban pertanyaan untuk ini masih perlu kajian lebih jauh disertai dukungan data baru. Kesatuan struktur dari bangunan pusat kekuasaan dan mesjid bisa dianggap sebagai representasi terpangkunya jagad oleh dua struktur kelembagaan yang mengatur kehidupan manusia. Kegiatan sembahyang sendiri dapat ditafsirkan sebagai bagian dari elemen jagad yang dapat menyesuaikan diri. Jadi, bangunan akan menjadi wadah terjadinya jagad yang dianggap perlu struktur yang mantap dan bersatu.
18
Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di commit Indonesiato (A.user Bagoes P. Wiryomartono)
44 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sebaliknya, manusia sebagai pengisi struktur yang mantap itu dipandang dapat selalu luwes mengikuti tatanan wadahnya. Selain mesjid dan keraton, di dalam kuta-negara Majapahit dikenal banyak bangunan yang berkaitan dengan ketatanegaraan dan kehidupan urban. Bangunan kamentrian merupakan tempat kerja para menteri negara. Letaknya tidak terpusat, tetapi tersebar di dalam kawasan sekitar pusat kota di luar keraton. Bangunan institusi pemerintah lainnya adalah: Kadhyaksal/Kadharmmadhyaksa (kejaksaan), Gosti (tempat berunding), Kusalasala (rumah sakit), Nyasa (balai serba guna), Nrttasala (sanggar tari), Witana (balai untuk pesta-pesta kenegaraan di dalam maupun di luar keraton), dan seterusnya. Sementara bangunan peribadatan chaitya19 atau Pura ditempatkan tersebar. Di sekitar alun-alun Bubat nampak candi Buddha, yang mengundang pertanyaan: mengapa bukan candi chiva? Diketahui pula bahwa pemakaman Islam Torloyo yang bertarikh 1281 ada di situs Trowulan. Tidak mengherankan bahwa berbagai keyakinan hidup berdampingan secara damai di Majapahit. Buddha dan Hindu sudah memulai hidup berdampingan ini sejak dari tanah asalnya: India. Biasanya bangunan-bangunan peribadatan atau chaitya dan biara dan juga pertapaan merupakan mandala atau tanah yang dibebaskan dari pajak dan diberi otonomi untuk mengatur administrasi sendiri. Tanah demikian sering disebut tanah perdikan. Mandala semacam ini tetap di bawah perlindungan aparat keamanan Keraton. Di alun-alun Bubat, berdirinya candi Buddha itu mungkin berkaitan dengan keyakinan yang dipeluk Sang Ratu yang membangun kuta19
Chaitya adalah sebuah kuil Buddha atau Jain termasuk stupa. Dalam teks-teks modern pada arsitektur India, istilah chaitya-Griha sering digunakan untuk menunjukkan ruang pertemuan atau commit to user doa yang rumah stupa
45 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
negara di Trowulan pertama kalinya. Bisa jadi Raden Wijaya adalah pemeluk ajaran Buddha, sementara Hayam Wuruk pemeluk ajaran Hindu chiva/Siwa. Karakteristik untuk mesjid negara di Jawa, mungkin juga di Indonesia, adalah kaitannya dengan makam orang-orang yang dianggap penting seperti para raja dan wali. Kudus, Demak, dan Kota Gede membuktikan hal ini. Sejarah Hindu-Buddha tidak bisa diabaikan dalarn mengaitkan antara makam dan candi, meskipun tidak semua candi dipakai untuk mengabadikan abu jenazah. Candi yang digunakan untuk mengabadikan Raja Singasari, Kertanegara, tidak digunakan untuk peribadatan. Mesjid dan makam menjadi satu sistem tata ruang yang secara mencolok ditemukan pada tempat tempat di mana 8 wali dikuburkan. Mesjid Kota Gede yang dibangun oleh Ki Gede Pamanahan, ayah Panembahan Senapati, dipertautkan dalam satu sistem tata ruang sarean Raja Mataram Islam pertama itu. Mungkin makam Nabi Muhammad SAW dijadikan contoh keterkaitannya dengan mesjid yang berdiri di situ.
II.3.6. Pawisman atau Pamohan 20 Permukiman dalam konsep urban Jawa merupakan suatu perluasan dari Dalem Keratan hingga kawasan Negara Agung. Ada beberapa terminologi yang digunakan untuk menyebut tempat tinggal. Konsep dalem berarti suatu teritori tempat suatu dunia keluarga bermula. Secara fisik apa yang disebut hunian atau tempat tinggal seseorang Jawa dalam terminologi dalem itu adalah di dalam pagar di mana rumah didirikan. Kata omah sendiri dekat dengan pengertian humah dalam bahasa Jawa Kuno yang berarti lantai yang bisa ditinggali. Ini berarti 20
Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di commit Indonesiato (A.user Bagoes P. Wiryomartono)
46 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahwa di dalam budaya Jawa, konsep rumah itu tidak merujuk semata-mata pada fisik bangunannya, tetapi di dalam wilayah di mana seseorang dan keluarganya tinggal. Ketidakpermanenan rumah mungkin erat kaitannya dengan pemikiran 'tempat tinggal' sebagai kampung halaman, bukan bangunan. Keterikatan sosial yang memberikannya rasa aman dan teritorialitas halaman yang diakui oleh masyarakat sebagai dalem-nya, merupakan struktur utama konsep hunian itu. Dalam budaya Jawa, tempat tinggal juga merujuk pada kalenggahan dan ngasta alias bekerja. Duduk atau lenggah itu sendiri menunjukkan suatu posisi memberi indikasi menetap. Duduk sendiri dalam budaya Jawa merupakan suatu aktivitas yang memberikan informasi mengenai posisinya dalam tata ruang negara. Jarak dan peran (ngasta) ini akan memberikan petunjuk kaitannya dengan pusat kekuasaan. Perlu dicatat di sini bahwa jarak tempat tinggal seseorang terhadap keraton tidak bisa dijadikan petunjuk kedudukan orang itu tanpa tahu ngasta apa yang dilakukannya. Kata ngasta sendiri berarti secara harfiah/kasar menangani. Kehidupan dunia Jawa tidak lepas dari asta atau 'tangan-tangan' yang terlibat di dalamnya sehingga berputar dan berkembang. Sangat menarik kaitan konsep asta ini untuk ditelaah lebih lanjut kaitannya dengan pemikiran Heidegger (1927) yang disebutnya: Zuhandenheit. Dunia di mana manusia hidup menurut pemikiran Heidegger berdiri di atas suatu struktur yang dipahami dan karena itu semua yang ada termasuk manusia, benda, alam, dan seterusnya berada pada kondisi 'teraih oleh tangan', sebagai kata kiasan kerja yang dilakukan orang karena memahami dunianya. Dari pemahaman inilah seseorang mampu menciptakan tempat tinggal yang membuatnya kerasan/betah.
commit to user
47 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam perwujudan fisiknya, yang disebut hunian atau pawisman dalam budaya Jawa memiliki hierarki status yang dikaitkan dengan hubungan kepala keluarga yang bersangkutan dengan pusat kekuasaan. Hunian bermula dari: omah, grhya, graha, puri hingga keraton. Di keraton pun ada berbagai kategori menurut orang-orang yang tinggal di situ. Masyarakat biasa tinggal di sekitar pusat-pusat kekuasaan, dari rumah patih, bhupati, mentri, pangeran, hingga Sang Ratu. Di desa-desa dalam kawasan Negara Agung di luar Jaba sebuah kuta, tidak dikenal nama-nama yang berkonotasi 'privilege' pada rumah-rumahnya. Mereka hanya mengenal tempat tinggal seseorang sebagai omah. Secara epistemologi21, rekonstruksi kota Jawa lama dapat dibuat. Makammesjid merupakan salah satu struktur penting bagi rekonstruksi ini, sebab fasilitas mesjid merupakan salah satu pusat kegiatan sosial spiritual masyarakat hingga kini. Kompleks makam-mesjid ini merupakan struktur yang terus menerus dipelihara masyarakatnya. Sementara keraton dan pasar serta alun-alun bisa saja berubah atau dipindahkan atau lenyap. Pengalaman kota Surabaya (Multhaupt & Santoso, 1987:128) memberikan keterangan, bahwa sekalipun kota Surabaya telah berubah secara fisik, namun beberapa daerah tetap menggunakan konsep aslinya: Kepraban (tempat para pembesar keraton), Kepatihan (wilayah tempat tinggal patih kerajaan), Ngabla (lumbung keraton), Kranggan (wilayah para pande keris), Pandean (wilayah para pande besi), Pengampon (tempat produksi keramik terakota), Pencindilan (tempat
21
Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan commit to user kebenaran dan keyakinan
48 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penghasil kain tenun), Pegirian (tempat para pekerja kasar), Ngaglili (tempat membudidayakan kain katun), Ketabang (tempat membudidayakan bahan bangunan bambu), Jagalan (tempat pemotongan hewan), Keputran (tempat pendidikan dan tinggal putra-putri pangeran keluarga kerajaan), dan sebagainya.
II.3.7. Dari Kuta-Negara ke Kota Modern 22 Dalam perkembangan tradisi politik Jawa, pergeseran kekuasaan dari daerah pesisir, Demak ke Yogyakarta, merupakan awal dari pemantapan konsep Negarigung. Konsep ini memantapkan kawasan atau daerah Yogyakarta sebagai pusat dunia. Daerah-daerah lain di luar, disebut Mancanegari dan Pesisir, dan akhirnya Tanah Sabrang. Apa yang disebut Negarigung itu tak lain dan tak bukan adalah tempat keraton berada dan daerah sekitarnya yang berlapis-Iapis dari Jeron Mbeteng hingga daerah para buphati yang berbatasan dengan Mancanegari. Konfigurasi yang berlapis-Iapis dari konsep kekuasaan Jawa sekitar abad ke-17, ketika Sultan Agung berkuasa, memperlihatkan spektrum halus-kasar dari pusat (keraton) ke luar. Sedangkan dalam organisasi teritorialnya, desa-desa di kawasan Negarigung terstruktur dalam prinsip Mancapat. Prinsip ini dibangun oleh ikatan lima desa yang saling bekerjasama dalam gotong royong untuk mengerjakan daerah pertanian sawah dan bantuan bila terjadi malapetaka (Koentjaraningrat, 1984:431-432). Konsep Mancapat ini membentuk mata rantai yang sangat efektif untuk kerjasama sosial dan ekonomi dalam produksi pertanian. Hal ini tidak terjadi di daerah pesisir karena kebutuhan kerjasama semacam ini tidaklah dominan. 22
Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di commit Indonesiato (A.user Bagoes P. Wiryomartono)
49 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sementara di kawasan Mancanegara kebutuhan struktur Mancapat bisa jadi ada, namun tidak dikaitkan dengan struktur kekuasaan seperti yang ada pada Negarigung. Struktur Mancapat yang dimantapkan di Negarigung oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) diangkat ke dalam pemahaman kosmologis 23 yang dikenal dalam Primbon Jawa. Jadi Primbon merupakan interpretasi kosmologik untuk memberi nilai elemen-elemen yang membentuk Mancapat: desa, arah, warna, dan kala. Primbon ini memantapkan prinsip Mancapat dengan simbolisasi kosmik, sehingga desa-desa yang terlibat mempunyai tempat yang berharga dalam gambaran dunia keseluruhan. Puser atau pusat setiap struktur Mancapat tidaklah berarti pusat kekuasaan terhadap empat desa sekitarnya dalam konstelasi mata angin. Puser dalam hal ini diartikan kedudukan suatu desa terhadap empat desa yang mengitarinya. Hubungan antara desa-desa itu terhadap sub-sub pusat Negarigung dinyatakan dengan setoran pajak berkala. Sementara kabupaten sebagai subpusat akan mengirim upeti ke pusat Negarigung secara berkala pula. Sebagai imbalannya, Negarigung menjamin keamanan teritorial dari kemungkinan infiltrasi mancanegara. Perlindungan ini diperhalus oleh suatu konsep spiritual mengenai makna pusat kekuasaan sebagai kiblat dari praktek ritual. 23
Kosmologi berarti [n] (1) ilmu (cabang astronomi yg menyelidiki asal-usul, struktur, dan hubungan ruang waktu dr alam semesta; (2) ilmu tt asal-usul kejadian bumi, hubungannya dng sistem matahari, serta hubungan sistem matahari dng jagat raya; (3) ilmu (cabang dr metafisika) yg menyelidiki alam semesta sbg sistem yg beraturankos.mo.lo.gis[a] bersifat atau berhubungan dng commit to user kosmologi (http://kamusbahasaindonesia.org/kosmologi/)
50 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kesultanan Yogyakarta memakai nama Hamengkubhuwana, sementara di Kasunanan Surakarta dipakai Pakubhuwana. Kedua nama Ratu Jawa tersebut secara jelas memberikan pengukuhan pada kaitan konsep dunia dengan pusat kekuasaan. Yang menarik untuk diperhatikan adalah indikasi bahwa Sang Ratu memiliki peran yang 'mendefinisikan' dunia baik dalam pengertian memangku maupun memaku. Ada kecenderungan untuk membuat dunia Jawa itu 'terpegang' dan tidak bergerak di luar pengendalian. Ini berarti bahwa di mana negara itu berpusat, di situlah 'pegangan' orientasi maupun kehidupan itu bersumber. Jika dugaan ini benar, maka struktur fisik kuta-negara itu memiliki representasi penampung yang mampu untuk berorientasi. Struktur inilah yang bisa dilihat orang pada alun-alun. Negara sebagai Jagad hanya mungkin menunjukkan dirinya pada event/ereignis di alun-alun. Konsep Manunggaling Gusti Ian Kawula secara fenomena hanya akan bermakna di lapangan terbuka alun-alun. Terintegrasinya konsep kekuasaan dalam praktek ritual ini kemudian menjadi bagian dari karakter khas kesejarahan kota-kota di Jawa. Kejadiankejadian penting dalam pembangunan kota tidak luput dari ritualisasi yang dibuat oleh pemegang tampuk kekuasaan. Pembangunan jembatan, pendirian gedung penting, perayaan peristiwa penting, dan peringatan kejadian menjadi bagian dari pembentuk citra kota Jawa itu. Semua praktek ritual itu memperkuat gagasan kota sebagai negara. Kota dalam pemikiran Jawa nampaknya bukan suatu sistem permukiman yang terpisah dari kehidupan bernegara. Kegiatan ekonomi atau perdagangan seperti yang hidup di pesisir Jawa, tidaklah dalam kerangka pengertian kuta-negara dalam Negarigung. commit to user
51 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Konsep kuta-negara secara perlahan-lahan berkembang dalam masa pemerintahan Hindia-Belanda. Dan, tampaknya masih merupakan konsep yang terus berkembang dalam Indonesia modern saat ini. Sekalipun kekuatan pasar ekonomi terus bertambah kuat, namun kejadian-kejadian penting di dalamnya tidak luput dari ritualisasi kenegaraan. Ritualisasi ini melibatkan peranan para petinggi birokrasi untuk meresmikan setiap awal pembangunan, penggunaan, atau produksi. Kaitan ritualisasi pembangunan fasilitas kota dengan upacara resmi mungkin merupakan ciri tersendiri dalam kehidupan kota di Indonesia. Apa ritualisasi yang khas dari Indonesia ini dalam kaitannya dengan identitas kota Indonesia? Tidak tertutup kemungkinan beberapa realitas dan persepsi urban masa kini berhubungan dengan konsep urban masa lalu. Kota, di mana pun, kebanyakan tidak direncanakan sebagai suatu karya rancang-bangun yang selesai. Sekalipun direncanakan sejak awal berdirinya, namun kenyataan menunjukkan bahwa permasalahan pengendalian kualitas hidup dan peradabannya ditantang untuk selalu berubah. Semua ini merupakan karakteristik suatu kota sebagai tempat bermukim urban. Bermukim selalu merupakan proses belajar untuk menciptakan 'dunia yang membuat kerasan'. Permasalahan dasar kota tidak bisa mengabaikan aktualisasi kehidupan bermukim sesuai dengan zamannya. Perubahan masyarakat dalam proses modernisasi akan berhadapan dengan masalah identitas kultural. Pencarian pada karakter fisik kota yang tak mengaitkannya dengan konsep mengenai dunia-nya akan sia-sia, sebab kota dalam budaya Jawa mungkin juga Indonesia berintikan pada 'kejadian' yang commit to user
52 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengintegrasikan seluruh warga ke dalam suatu upacara yang mengambil tempat dan waktu di alun-alun, mesjid, dan istana. Di dalam kehidupan urban modern dewasa ini, ritual dan upacara tetap berperan dalam kota-kota modern Indonesia. Tak banyak kota-kota dunia yang memiliki tradisimemperingati peristiwa-peristiwa nasional seperti Indonesia Perencanaan dan perancangan kota perlu melihat sejarah. Apa yang disebut di Yogyakarta sebagai tata ruang Magersari itu tak lain dan tak bukan dari penciptaan suatu komunitas yang terintegrasi secara sosial, di mana beberapa lapisan sosial dari pegawai rendahan hingga pangeran bertempat tinggal di satu komunitas. Pelajaran ini bukan untuk romantisasi, tetapi usaha demikian sudah pernah terjadi. Apa yang disebut subsidi silang dan simbiose mutualistik itu bukan sekadar konsep-konsep di atas kertas. Komunitas berciri Pancasila ini merupakan suatu potensi yang perlu dikembangkan di Indonesia, jika pembinaan karya rancang-bangun kota berakar dari budaya luhur masyarakatnya. Sebab, karya rancang-bangun kota yang sehat hanya mungkin dibangun dan dipelihara oleh masyarakat yang sehat pula. Sehat secara kultur tidak mungkin menjadi lebih baik tanpa terjadinya hidup berkomunitas di suatu lokasi bermukim. Kehidupan
bermukim
modern
Indonesia
ditantang
untuk
lebih
memperhatikan peradaban masyarakatnya daripada memikirkan wajah bangunan, sebab jika wajah-wajah itu. Tidak mencerminkan budaya masyarakatnya, maka akan menjadi bahan cemoohan dan tak akan dicatat dalam sejarah peradaban masyarakat di mana ia berada.
commit to user
53 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
II.4.ALUN-ALUN SECARA FUNGSIONAL MASA PRAKOLONIAL Apakah
sebenarnya alun-alun
itu? Apa fungsi sebenarnya di masa lampau? Mengapa alun-alun
itu
selalu terdapat di hampir setiap kota di P. Jawa? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini selalu muncul dan perlu diketahui menentukan
sebelum sikap
kita lebih
bisa lanjut
tentang nasib alun-alun tersebut untuk masa mendatang.
Gambar 2-13 Tatanan Kraton Surakarta Berdasarkan Kosmologi
Di dalam buku “Encyclopedie van Nederlandsch Indie” (Paulus, 1917:31), terdapat penjelasan tentang alun-alun’ sebagai berikut : “ Di hampir setiap tempat kediaman Bupati, seorang kepala distrik di Jawa, orang selalu menjumpai adanya sebuah lapangan rumput yang luas, yang dikelilngi oleh pohon beringin di tengahnya. Lapangan inilah yang dinamakan ‘alun-alun’. Di kota-kota bekas kerajaan kuno (seperti Surakarta dan Yogyakarta), mempunyai dua buah ’alun-alun’, sebuah terletak di Utara Kraton dan sebuah lagi terletak disebelah Selatan Kraton. Di permukaan alun-alun tersebut tidak boleh ada rumput tumbuh dan diatasnya ditutup dengan pasir halus. Di bagian Selatan dari alun-alun tersebut terdapat pintu masuk yang menuju ketempat kediaman Raja atau Bupati, dimana disana berdiri sebuah pendopo. Pegawai negeri atau orang-orang lain yang ingin bertemu dengan raja atau Bupati menunggu waktunya disana untuk dipanggil, jika commit to user
54 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Raja merestui untuk menerima kedatangan mereka.Oleh sebab itu pendopo tersebut kadang-kadang dinamakan juga Paseban (asal kata seba). Pada masa lampau di alun-alun tiap hari Sabtu atau Senin (Seton atau Senenan) diadakan permainan Sodoran (pertandingan diatas kuda dengan menggunakan tombak yang ujungnya tumpul), atau pertandingan macan secara beramai-ramai yang dinamakan ‘rampog macan’. Pada waktu pertunjukan ini raja duduk di Siti Inggil, tempat yang paling tinggi dimuka pintu Kraton. Pada tempattempat Bupati terdapat panggung untuk melihat tontonan tersebut. Di Jawa Barat juga terdapat alun-alun kecil di depan rumah kepala desa, tapi alun-alun tersebut tidak dikelilingi oleh pohon beringin. Mesjid seringkali terdapat disebelah Barat dari alun-alun. Kehadiran alun-alun sudah ada sejak jaman prakolonial. Meskipun dari dulu sampai sekarang bentuk fisik alun-alunnya sendiri tidak banyak mengalami perubahan, tapi konsep yang mendasari bentuk fisiknya sejak jaman prakolonial sampai sekarang telah mengalami banyak perubahan. Konsep inilah yang sebetulnya menentukan fungsi dan kehadiran laun-alun dalam suatu kota di Jawa. Uraian dibawah ini mencoba untuk menlusuri konsep yang mendasari kehadiran alun-alun di masa lampau, sebagai pertimbangan untuk menghidukan kembali alun-alun yang sekarang masih banyak terdapat pada kota-kota di Jawa, tapi keadannya seperti ‘hidup segan matipun enggan’. Perlu dipikirkan disini bahwa persoalan dan kegagalan yang terjadi dalam proses pembangunan seringkali bersumber dari keinginan membentuk suatu masyarakat baru tanpa mengenal lebih dulu nilai-nilai tradisional masa lalu. commit to user
55 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dimasa lalu sejak jaman Mojopahit sampai Mataram (abad 13 s/d 18), alun-alun selalu menjadi bagian dari suatu komplek Kraton. Kraton dalam masyarakat tradisional masa lalu merupakan pusat pemerintahan dan sekaligus merupakan pusat kebudayaan. Sebagai pusat pemerintahan dimana raja tinggal, maka Kraton dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos24. Komplek Kraton biasanya diberi pagar yang terpisah dari daerah lainnya pada suatu ibukota kerajaan, Batas pagar ini tidak selalu ditafsirkan melalui sistem pertahanan, tapi dapat ditentukan juga dari aspek kepercayaan/keagamaan. Untuk itu kita harus mengerti dulu hubungan antara kepercayaan/keagamaan dengan kota/komplek Kraton. Manusia
yang
religius
seperti halnya mayarakat agraris yang religius di Jawa ini biasanya membagi ruang menjadi dua jenis, ruang yang homogen atau sakral (disucikan) disatu pihak dan ruang yang inhomogen atau yang tidak teratur (bisa disebut profan) dilain pihak. Di alam sakral segalanya Gambar 2-14 Rekonstruksi Kraton Majapahit Oleh Maclaine Pont berdasarkan Kitab Negarakretagama (Tahun 1924)
teratur, baik tingkah laku manusia
24
Kepercayaan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos (antara jagat raya dan dunia manusia) yang dijumpai dalam hubungan kosmologis dari negara dan kedudukan raja di Asia Tenggara, khususnya di Jawa, yang banyak dijumpai pada ujud :gelar-gelar raja, pengaturan negara, penyuunan tata ruang ibukota, denah-denah Kraton, candi-candi dsb.nya telah banyak dibahas para ahli misalnya dalam buku: Conceptions of State and Kingship in Southeast Asia oleh Robert Heine Geldern, Kraton and Cosmos In Traditional commit to user Java oleh Timothy Earl Behren dan sebagainya.
56 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
maupun struktur bangunannya. Sedang di ruang yang inhomogen semuanya tidak teratur, karena tidak/belum disucikan (Eliade, 1959:20-65). Wilayah Kraton selalu dianggap sebagai wilayah yang homogen (Sakral), yang teratur atau harus diatur. Manifestasi dari keinginan inilah yang melahirkan konsepsi ruang dari susunan sebuah Kraton. Seperti dijelaskan di depan bahwa Kraton dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos. Manifestasinya adalah sebagai berikut: tempat tinggal raja yang biasa disebut sebagai ‘dalem ageng’ diibaratkan sebagai puncak Mahameru (atau gunung Semeru di Jawa). Disinlah kekuasaan dan wibawa raja dirasakan sangat besar. Di daerah lingkaran di luarnya disebut ‘negara agung’ (negara besar), batas luarnya adalah pelataran dalam. Disini kekuasan raja masih terasa besar. Di luar ‘negara agung’ dinamakan kawasan ‘mancanegara’ (luar daerah). Ini sudah diluar, tapi belum keluar dari batas teras Kraton. Di tempat inilah biasanya raja menerima tamu. Diluarnya lagi disebut Pasisir. Batas luarnya sudah mencapai Siti Inggil, bangunan di batas alun-alun dengan Kraton. Di Pesisir raja makin jarang muncul, hanya beberapa kali dalam setahun misalnya bila ada perayaan tertentu. Daerah paling luar disebut ‘sabrang’ (daerah seberang). Didaerah inilah bangsal pertemuan untuk para Bupati ditempatkan. Jadi jelaslah disini meskipun tempatnya paling luar tapi ‘alun-alun’ masih terletak di dalam komplek tembok/pagar Kraton25.Di dalamKraton Majapahit
25
Disini jelas adanya perbedaan yang mencolok antara konsep alun-alun dengan Agora di Yunani. Alun-alun pada awalnya dirancang sebagai ‘ruang sakral’. Sedangkan Agora merupakan ruang luar yang bersifat ‘profan’ sebagai pencerminan demokrasi yang dianut oleh negara Yunani commitfaham to user waktu itu.
57 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seperti dilukiskan oleh Prapanca dalam Negarakretagama26, di sebelah Utara dari komplek Kraton terdapat dua alun-alun. Masing-masing dinamakan Bubat (terkenal sebagai tempat pertarungan sengit antara utusan kerajaan pajajaran dengan pasukan Gajah Mada), yang luasnya kira-kira 1 km2, dengan lebar kurang lebih 900.00 M dan alun-alun Utara yang disebut sebagai Waguntur. Meskipun keterangan Prapanca dalam Negarakretagama kurang begitu jelas, tapi masih bisa ditangkap betapa pentingnya peran alun-alun sebagai bagian dari pusat kota. Fungsi kedua alunalun ini agak berbeda. Lapangan Bubat lebih bersifat profan . Pesta rakyat yang diadakan setiap tahun sekali pada bulan caitra (Maret/April) diselenggarakan di lapangan Bubat. Pada 3-4 hari terakhir pertunjukan dan permainan diselenggarakan dengan kehadiran dari
raja.
Fungsi
lapangan
Waguntur lebih sakral. Lapangan ini terletak di dalam pura raja Majapahit, yang digunakan untuk lapangan upacara penobatan atau resepsi kenegaraan. Di lapangan Waguntur ini terdapat Siti Inggil, serta
komplek
pemujaan
(kuil
26
Negarakretagama ditemukan di P. Lombok pada th. 1902. Sejak itu banyak sejarawan dan ahliahli lainnya berusaha untuk merekonstruksi ibukota Majapahit berdasarkan uraian yang dibuat Prapanca. Usaha rekonstruksi ini dilakukan oleh Prof. H. Kern (1905 & 1914), Poerbacaroko (1924), Stutterheim (De Kraton van Majapahit, 1941), Th.G. Pigeaud (1960-1963), dan juga Prof. commit to user Slamet Mulyono (1965). Bahkan pada th. 1970 oleh sarjana Perancis Denys Lombard.
58 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Siwa) yang terletak di sebelah Timur dari lapangan Waguntur. Ini lebih mirip dengan alun-alun Lor Kraton Yogyakarta atau Surakarta, hanya komplek pemujaan pada alun-alun Lor diganti dengan mesjid yang letaknya di sebelah Barat dari alun-alun. Model yang masih bisa kita lihat sebagai prototype alunalun kota di Jawa pada jaman yang lebih muda adalah alun-alun Yogyakarta dan Surakarta bekas perpecahan dimasa
kerajaan
lampau.
Mataram Baik
di
Gambar 2-16 Sketsa Topografi Kraton Yogyakarta dan lingkungannya ketika serangan Inggris (1812)
Yogyakarta maupun di Surakarta terdapat dua buah alun-alun yaitu alun-alun Lor dan Kidul27. Di masa lalu alun-alun Lor berfungsi menyediakan persyaratan bagi berlangsungnya kekuasaan raja. Alun-alun Kidul berfungsi untuk menyiapkan suatu kondisi yang menunjang kelancaran hubungan kraton dengan universum. Alun-alun Kidul dapat juga melambangkan kesatuan kekuasaan sakral antara raja dan para bangsawan yang tinggal disekitar alun-alun. Alun-alun Lor Yogyakarta pada masa lalu berbentuk ruang luar segi empat berukuran 300x265 meter. Di tengahnya terdapat dua buah pohon beringin dan di sekelilingnya terdapat 64 pohon beringin yang ditanam dengan jarak sedemikian rupa sehingga harmoni dengan bangunan disekitarnya.
27
Di Surakarta alun-alun Lor dan Kidul mempunyai dimensi yang hampir sama luasnya yaitu kurang lebih 300x400 meter. Di Yogyakarta alun-alun Lor mempunyai dimensi yang lebih kecil commit to user yaitu 300x265 meter.
59 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Permukaan alun-alun ini ditutupi oleh pasir halus. Dua buah pohon beringin ditengah alun-alun tersebut dikelilingi oleh pagar segi empat. Orang Jawa menyebutnya sebagai ‘Waringin Kurung’. Nama Waringin berasal dari dua suku kata “wri” dan “ngin”. “Wri” berasal dari kata “wruh” yang berarti mengetahui, melihat. “Ngin” berarti memikir, tindakan penjagaan masa depan (Pigeaud, 1940:180). Kedua kata tersebut melambangkan kematangan manusia yang arief bijaksana, karena orang Jawa berangapan bahwa kegiatan bijaksana berasal dari kosmos. Pohon
beringin
dengan
demikian melambangkan kesatuan dan Gambar 2-17 Pagar kayu yang membatasi alun-alun Kraton Yogyakarta, yang merupakan bukti bahwa alunalun dulunya masih merupakan bagian dari Kraton (1772)
harmoni
antara
manusia
dengan universum. Kesatuan ini tidak timbul dengan sendirinya.
Pohon beringin melambangkan langit dan permukaan tanah yang persegi empat didalam pagar kayu mengartikan tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi dan di alam, supaya harmoni dengan hukum universum (Pigeaud, 1940:180). Alun-alun jaman Mataram juga digunakan oleh warga (rakyat biasa) untuk bertemu langsung dengan raja, guna meminta pertimbangan atau sesuatu kasus perselisihan. Orang harus memakai pakaian dan penutup kepala putih dan harus duduk menunggu diantara kedua pohon beringin sampai diperbolehkan menghadap raja. Perbuatan seperti ini disebut “pepe”. Di sebelah Barat alun-alun terdapat mesjid. Di halaman mesjid tersebut terdapat dua buah bangsal terbuka commit to user
60 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
untuk dua buah perlengkapan gamelan. Yang satu disebut “Kyai Sekati” dan yang lain disebut “Nyai Sekati”. Keduanya dimainkan bergantian dimainkan hanya pada 3 upacara keagamaan, yaitu: Garebeg Maulud, Garebeg Sawal dan Garebeg Besar. Di seberang mesjid terdapat bangunan yang disebut ‘Pamonggangan” tempat untuk menyimpan gamelan yang lain. Dahulu pada jaman Mataram, setiap hari Sabtu sore (di luar Kasultanan diadakan pada hari Senin sehingga sering disebut Seton atau Senenan) diadakan pertunjukan ‘Sodoran’28 di alun alun. Gamelan tersebut dimainkan sewaktu ada pertunjukan itu. Di sebelah bangunan “Pamonggangan” tersebut terdapat sebuah kadang harimau dan binatang buas lainnya. Pada hari Sabtu sore selain pertunjukan Sodoran kadang-kadang juga diadakan pertunjukan perkelahian antara banteng dan harimau, yang selalu diakhiri dengan kemenangan banteng. Lambang kekuasaan raja adalah banteng (dalam bahasa Jawa disebut Maesa), sedangkan lambang kekacauan adalah harimau (dalam bahasa Jawa disebut Simo). Pada jaman penjajahan banteng sering dilambangkan dengan orang Jawa dan harimau sebagai orang Belanda. Dalam pertunjukan ini banteng menang, dan orang Belanda ikut bertepuk tangan, karena mereka tidak mengerti. Ada juga dipertunjukkan membunuh harimau (simbol kekacauan), secara beramai-ramai, yang dinamakan ‘rampog macan”. Jadi alun-alun yang pada mulanya merupakan pelataran sakral yang melambangkan harmoni antara langit yang dilambangkan
28
Sodoran adalah pertujukan adu ketangkasan diatas kuda dengan menggunakan tombak yang ujungnya tumpul. Tentang pertujukan Sodoran bisa ibaca pada buku karangan Rob Nieuwenhuis, yang berjudul ‘Oost Indische Spiegel’, yang dterjemahkan oleh Dick Hartoko, dengan judul commit to user “Bianglala Sastra Belanda’, Djambatan, 1985, hal.5-7. Pertujukan Sodoran ini diceritakn oleh R. van Goens utusan V.O.C. pada jaman Mataram.
61 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagai pohon beringin dan bumi yang dilambangkan sebagai pasir halus, dimasa ini telah bertambah artinya. Kesimpulanya alun-alun pada jaman prakolonial bisa berfungsi sebagai (Santoso, 1984) : 1. Lambang berdirinya sistim kekuasaan raja terhadap rakyatnya. 2. Tempat semua upacara keagamaan yang penting (adanya hubungan penting antara Kraton-Mesjid dan Alun-Alun). 3. Tempat pertunjukan kekuasaan militeris yang bersifat profan.
II.5.RUANG PUBLIK II.5.1. Peranan Ruang Publik Peranan ruang publik sebagai salah satu elemen kota dapat memberikan karakter tersendiri. Dan pada umumnya memiliki fungsi interaksi sosial bagi masyarakat, kegiatan ekonomi rakyat dan tempat apresiasi budaya. Secara langsung nilai komersial yang ditawarkan tidak begitu menjanjikan bagi investor yang berminat berkiprah menanamkan modalnya, karena masyarakat yang menggunakan ruang publik untuk usaha atau kegiatan sosial yang lain tidak memungkinkan ditarik pajak terlalu tinggi karena daya beli yang relatif rendah, sehingga tidak dapat diandalkan untuk pengembalian modal bagi investor secara langsung. Perlu dipikirkan keterkaitan antara fasilitas pelayanan umum yang memiliki nilai kormersial dengan ruang-ruang publik secara sinergis. Dalam pasal 28 UU RI Nomer 26 tahun 2007 perlunya rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau dan non-hijau, penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan commit to user
62 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal dan ruang evakuasi bencana yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat penumbuhan wilayah. Secara rinci dipertegas dengan pasal 29 yang merupakan kelanjutan pasal 28 bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota, dan proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20%. Karena pentingnya fungsi ruang publik dalam perencanaan kota perlu diuraikan sebagai berikut (Darmawan, 2001): a. Sebagai pusat interaksi, komunikasi masyarakat, baik formal maupun informal seperti upacara bendera, Sholat led pada Hari Idul Fitri, dan peringatan-peringatan yang lain; serta informal seperti pertemuanpertemuan individual, kelompok masyarakat dalam acara santai dan rekreatif seperti konser musik yang diselenggarakan berbagai televisi swasta atau demo mahasiswa yang menjadi pemandangan sehari-hari akhir-akhir ini dengan tujuan untuk menyampaikan aspirasi, ide-ide atau protes terhadap keputusan-keputusan pihak penguasa, instansi atau lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang lain. b. Sebagai ruang terbuka yang menampung koridor-koridor, jalan yang menuju ke arah ruang publik tersebut dan ruang pengikat dilihat dari struktur kota, sekaligus sebagai pembagi ruang-ruang fungsi bangunan di sekitarnya serta ruang untuk transit bagi masyarakat yang akan pindah ke arah tujuan lain.
commit to user
63 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Sebagai tempat pedagang kaki lima yang menjajakan makanan dan minuman, pakaian, souvenir, dan jasa intertainment seperti tukang sulap, tarian kera dan ular, dan sebagainya. d. Sebagai paru-paru kota yang dapat menyegarkan kawasan tersebut, sekaligus sebagai ruang evakuasi untuk menyelamatkan masyarakat apabila terjadi bencana gempa atau yang lain. Sebaliknya, timbul dilema karena banyak investor yang mengincar ruangruang publik kota sebagai tempat bisnis. Secara langsung investor beranggapan bahwa pemanfaatan ruang-ruang publik kota tersebut secara langsung tidak banyak memberikan kontribusi yang berarti, sehingga banyak yang bersikeras untuk mengubah fungsl ekonomi yung lebih menguntungkan, contohnya: departement store dibangun di kawasan alun-alun kola. Di masa mendatang pada setiap program yang akan merubah fungsi ruang publik dengan fungsi lain harus melalui proses yang melibatkan pendapat atau aspirasi masyarakat kota dan mempertimbangkan Undang-Undang baru Penataan Ruang. Ruang publik yang menarik akan selalu dikunjungi oleh masyarakat luas dengan berbagai tingkat kehidupan sosial-ekonomi-etnik, tingkat pendidikan, perbedaan umur dan motivasi atau tingkat kepentingan yang berlainan. Kriteria ruang publik secara esensial ada. tiga macam sbb : a. Dapat memberikan makna atau arti bagi masyarakat setempat secara individual maupun kelompok (meaningful).
commit to user
64 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
b. Tanggap
digilib.uns.ac.id
terhadap
semua
keinginan
pengguna
dan
dapat
mengakomodir kegiatan yang ada pada ruang publik tersebut (responsive). c. Dapat menerima kehadiran berbagai lapisan masyarakat dengan bebas tanpa ada diskriminasi (democratic). Siapa pun tanpa membedakan anak, dewasa, atau orang tua, kaya atau miskin, berpendidikan tinggi atau rendah, atasan atau bawahan, dapat memanfaatkan ruang publik kota untuk segala macam kegiatan baik individual alau berkelompok. Kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan itulah kadangkadang perlu pengendalian aktivitas-aktivitas yang terjadi, perlu pengaturan fungsi ruang, sirkulasi lalu lintas dan parkir kendaraan bermotor, perlu penempatan pedagang kaki lima dan sebagainya sehingga pengertian demokratik tidak diartikan sebagai kebebasan yang menyimpang dari harapan kita. Secara langsung dari segi finansial, fungsi ruang publik tidaklah memberi kontribusi besar kepada investor, akan tetapi ruang publik merupakan salah satu pendukung kegiatan dalam perancangan kota yang harus dipertimbangkan, secara tidak langsung sangat mendorong perkembangan kawasan tersebut.Selanjutnya diperlukan penataan yang baik agar dapat tercapai keseimbangan di kawasan tersebut. II.5.2. Permasalahan Ruang Publik Kota Sampai saat ini Pemerintah Kota, investor, pengembang (developer), dan masyarakat luas masih belum banyak menyentuh perancangan ruang publik Kota. commit to user
65 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Secara langsung ruang-ruang publik belum dapat memberikan keuntungan secara finansial. KadangPemerintah Kota lebih merencanakan dan merevisi kembali Rencana Umum Tata Ruang Kota secara periodik, sehingga perencanaan yang lebih detail belum banyak terealisir berdasarkan hirarkinya. Padahal banyak sekali permasalahan ruang publik kota antara lain peruhahan-perubahan fungsi taman kota menjadi fungsi bangunan yang tidak terkendali, trotoor dipakai untuk pedagang kaki lima (PKL) sehingga menganggu hak-hak bagi pejalan kaki, masalah penataan parkir yang tidak pernah dipikirkan kelayakannya terutama di pusat-pusat fasilitas pelayanan umum, sehingga mengakibatkan macetnya transporatasi kota. Perencanaan ruang-ruang publik akan muncul pada produk Tata Ruang Kota yang lebih detail, misalnya pada Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) atau Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK) yang merupakan bagian dari Rencana yang lebih makro seperti RDTRK dan RUTRK. Perencanaan ruang publik biasanya tidak akan didesain selama perencanaan yang lebih makro belum ada. Hal inilah yang perlu dipahami oleh Pengelola Kota dan masyarakat pada umumnya. Beberapa terobosan dilakukan oleh instansi-instansi yang berkompeten untuk mendesain ruang publik dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) meskipun belum ada Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)nya, dapat mengacu pada hirarki yang lebih makro seperti Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) yang ada. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pedoman teknis dalam mengendalikan pembangunan yang sangat cepat. commit to user
66 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perencanaan ruang publik yang terkait dengan (RTBL) atau (RTRK) tidak mengacu pada Kriteria Desain Tak Terukur (Non measureble design criterias) yang melibatkan peran dari masyarakat pengguna secara sungguh-sungguh, sehingga ruang-ruang publik yang didesain, banyak yang tidak sesuai dengan kenyamanan masyarakat pengguna. Dalam perencanaan ruang publik sering tidak dipikirkan ke depan tentang perawatan dan pengelolaannya. Desain ruang-ruang publik yang dirancang dengan penekanan estetika dan bentuk yang rumit akan menyulitkan dalam perawatan. Bagaimana sistem pengelolaannya perlu dipikirkan, karena selama ini semua ruang publik dibebankan Pemerintah Kota. Metode pengelolaan inilah yang perlu dikembangkan menjadi metode kemitraan bersama masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pengelolaannya. Masih banyak ruang-ruang kota yang tidak berfungsi (unusage) baik ruang kecil maupun ruang-ruang yang luas belum dimanfaatkan secara optimal serta belum disentuh untuk pengembangan ruang publik Kota. Sosialisasi pentingnya peranan ruang publik dalam meningkatkan kualitas ruang kota pada masyarakat perlu ditingkatkan, di samping memotivasi mereka untuk senantiasa peduli terhadap lingkungan ruang kota. Pembangunan ruang-ruang publik di Indonesia masih belum banyak yang memikirkan tentang aksesibilitas bagi orang cacat atau orang yang memiliki kemampuan yang berbeda (diffable). Hal ini sangat dirasakan sekali bagi mereka, sehingga ruang geraknya sangat terbatas dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, ini tidak sesuai dengan keinginan hati nurani mereka yang ingin mandiri seperti layaknya orang normal.
commit to user
67 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pemahaman tentang Perancangan Kota (Urban Design) oleh beberapa kalangan mahasiswa, praktisi maupunmasyarakat masih rancu. Dalam praktek di lapangan berbagaiaspek regional, kawasan maupun detail, fisik, sosial, ekonomi,budaya dan lingkungan menjadi lahan pertimbangan. Goslingdan Maitland (1984) dalam Hidle B (1999) mengatakan bahwaperancangan kota merupakan jembatan antara perencanaankota dan arsitektur (Urban design as bridging the gab between planning and architecture). Perencanaan kota Iebihmenitikberatkan pada bentuk tata guna lahan (landuse pattern) dan masalah sosial ekonomi, sedangkan arsitektur lebih padaperancangan bangunan (Conway.H dan Roenish,R. 1994). Dari perbedaan itu muncul Perancangan Kota sebagai ilmuyang berperan merancang ruang-ruang publik (the design of public spaces). ...It is concerned with the physical form of the public realm over a limited physical area of the city and that it there foreliesbetween the two well established design scales of architecture, whIch is concerned the physical form of the private realm of the individual building and town and regional planning, which is concerned with the organization of public realm in its wider context.... (Frey, H: 1999)
commit to user
68 |BAB II
Perancangan kota
architecture
digilib.uns.ac.id
Urban design
perpustakaan.uns.ac.id
planning
Bagan 2-1. Kedudukan Ilmu Perancangan Kota (Urban Design)
Perancangan Kota (Urban Design) menitikberatkan pengguna (user), fasilitas pelayanan umum di lapangan, bentuk-bentuk aktivitas, infrastruktur, dll. Karakteristik Perancangan Kota (Urban Design) sulit dibedakan dengan perencanaan kota secara luas, sehingga beberapa konsep yang dikemukakan oleh Yokio Nishimura (1999) bahwa ada elemen-elemen urban design yang dapat membedakan dengan jelas dengan desain yang lain: Bagaimana menentukan langkah awal untuk mengevaluasi kedudukan dan sejarah ruang-ruang kota tersebut? Pendekatan yang terbaik dalam urban design adalah mempertimbangkan aspek sosial yang berkaitan dengan ruang-ruang kota yang ada. Urban design didasarkan pada persepsi dari ruang-ruang kota (urban spaces) sebagai objek yang dapat direkayasa atau dimodifikasi sehingga perlu strategi yang dapat menciptakan bentuk yang melebihi keadaan semula, seperti usaha revitalisasi elemen peninggalan yang ada di kota dengan memperhitungkan perubahan fisik penting dan pengaruh terhadap kegiatan penghuninya. Urban design merupakan bagian dari kota, sehingga fungsi dari perancangan tersebut harus berkaitan dengan fungsi-fungsi bagian kota yang lain, commit to user
69 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan secara menyeluruh merupakan bagian dari jaringan yang ada. Urban design dapat merefleksikan strategi kebijakan secara integral sehingga tidak terjadi ketimpangan program dalam pembangunan. Urban design tidak hanya merupakan konsep estetika, tetapi suatu proses pengambilan keputusan termasuk aspek sosiologi kota dengan mengacu pada strategi global.Hasil dari urban design menitikberatkan pada masalah yang penting atau mendesak bagi kehidupan manusia dan kegiatan kotanya. Urban design adalah suatu bentuk perancangan yang berkelanjutan dan tidak akan pernah selesai (never endingmovement), persoalan baru selalu ada setiap saat seiring dengan tuntutan kebutuhan manusia yang selalu berkembang dengan teknologi yang semakin modern. Urban design terdiri dari desain perangkat keras (hard ware) dan desain lunak (soft space). Perangkat keres merupakandesain fisik, sedangkan perangkat lunak merupakan alat kantrolefektif. Perubahan struktur ruang kota secara internal dapatdicapai dengan pendekatan terhadap perilaku dari individu-individupenghuni kota tersebut. Keterkaitan antara perangkatkeras dan lunak merupakan satu konsep yang harusdiperhitungkan dalam perancangan kota (urban design).
II.5.3. Ruang Publik sebagai Elemen Perancangan Kota Berbicara masalah elemen dalam Urban Design, terdapat banyak pendapat yang berlainan. Ada yang berpikir bahwa masalah utama dalam urban design adalah faktor keindahan. Sehingga elemen yang perlu dipikirkan antara lain: pepohonan, perabot jalan, paving, trotoar, penerangan, tanda-tanda asesoris kota dan sebagainya. Lingkup urban design seperti yang telah diketahui, merupakan commit to user
70 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bagian dari proses perencanaan kota yang berkaitan dengan masalah kualitas fisik lingkungan. Dalam praktek tidak dapat sepenuhnya memasukkan semua elemen atau komponen kota ke dalam objek perancangan yang sudah terbentuk sebelumnya, karena akan mengalami berbagai kesulitan. Ruang-ruang yang berada di antara bangunan disebut ruang publik dalam urban design. Bagaimana cara mendesain ruang tersebut? Ada beberapa contoh antara lain pada Urban Design Plan di San Francisco tahun 1970 yang berusaha menghubungkan 4 kelompok ruang-ruang: (1) Bentuk dan kesan secara internal (internal pattern and image). (2) Bentuk dan kesan secara ekstemal (external form and Image). (3) Parkir dan sirkulasi (circulation and parking). lebih berkaitan dengan melihat jalan dan karakteristiknya, baik dari aspek kualitas perawatan, luasan, susunan, kemonotonan, kejelasan dari rute, orientasi ke tujuan, aman, kemudahan sirkulasi, persyaratan parkir dan lokasinya. (4) Kualitas lingkungan (quality ofenvironment) (Shirvani. 1985; Darmawan, 2003).
Dalam menilai Kualitas Lingkungan delapan faktor yang harus diperhatikan yakni: (1) Kecocokan dalam penggunaan lahan. (2) Keberadaan elemen-elemen alami. (3) Arah keruang terbuka. (4) Pandangan yang menarik dari tampak potongan membujur jalan. (5) Kualitas dari sudut-sudut pemandangan. commit to user
71 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(6) Kualitas perawatan. (7) Kebisingan (8) Klimatoiogi Dulu para desainer lebih memperhatikan aspek internal pattern image dan external form and image (Gifford.R, 1987; Heimsath.C, 1980), karena kedua aspek ini lebih berorientasi pada aspek fisik dalam urban design. Terutama elemen fisik yang lebih spesifik seperti plaza, mall, area tempat duduk, pohonpohon, lampu-lampu hias atau elemen lain yang spesifik bagi lingkungan masyarakat setempat. Beberapa analisa terhadap elemen urban design menghasilkan beberapa variasi bentuk, kebijakan, perancangan, pedoman perancangan, program lain di kota-kota yang berlainan. Dari beberapa pengalaman dalam praktek, untuk menentukan elemenelemen dalam urban design yang saling terkait satu dengan yang lain. Hamid Shirvani (1985), menentukan elemen urban design dalam delapan kategori sebagai berikut: (1) Tata guna lahan. (2) Bentuk bangunan dan massa bangunan (Krier.R, 1979). (3) Sirkulasi dan ruang parkir (Childs.M. 1999). (4) Ruang terbuka. (5) Jalan pedestrian (Robeinstein.H, 1992). (6) Kegiatan pendukung. (7) Tanda-tanda(Broadbent.G, 1980). (8) Konsevasi (Cohan.N, 1999;Lynch, 1981). commit to user
72 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
II.5.4. Paradigma Baru Perancangan Kotadi Indonesia Perancangan kota pada dasamya merupakan kegiatan untuk mengatur ruang kota agar aktivitas kehidupan manusia dan lingkungan alam di sekitarnya berkembang secara harmonis dan bersifat lestari. Dua hal pokok yang menjadi azas pemanfaatan ruang di Indonesia yakni pertama, adanya tiga unsur penting dalam penataan ruang kota yaitu manusia beserta aktivitasnya, lingkungan alam sebagai tempat, dan pemanfaatan ruang oleh manusia di lingkungan alam tersebut. Ketiga unsur ini rnerupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dan berada dalam keseimbangan, sehingga aktivitas manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya harus memperhatikan kemampuan daya dukung lingkungannya yang berorientasi pada kehidupan yang berkelanjutan. Kedua, proses pemanfaatan ruang harus bersifat terbuka, efektif, partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana. Sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan. Hal tersebut di atas diatur oleh Undang-Undang Republik lndonesia Nomer 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang memiliki pcrlindungan hukum dan mampu memenuhi kepentingan semua pihak, terpadu, berdaya guna, dan serasi. Sejalan dengan perkembangan sosial politik di Indonesia, rnasyarakat menuntut adanya pergeseran pola pikir yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan daerah yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang No.32/2004 tentang Otonomi Daerah. Bergesernya peran pelaku pembangunan commit to user
73 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari pemerintah ke masyarakat dan dunia usaha merupakan paradigma baru dalam proses perancangan kota. Perancangan kota yang lebih dikenal dengan istilah Perencanaan Tata Ruang merupakan suatu bentuk kesepakatan publik dan mengikat sebagai suatu kontrak sosial, atau suatu bentuk keputusan kolektif yang dihasilkan dari proses politik dan kemudian menjadi kebijakan publik yang harus ditaati oleh seluruh pelaku pembangunan (Ibrahim, 2000). Paradigma baru Perancangan Kota, harus mempertimbangkan aspek globalisasi, desentralisasi, demokratisasi dan sistem pemerintahan.
manusia
aktivitas kota
Fasilitas Area
·
Bagan 2-2. Hubungan Struktur Unsur Kota
Globalisasi Aspek ini menekankan perancangan yang berorientasi pada integritas dengan kota-kota lain di sekitarnya, yang dapat dijadikan mitra dalam pengembangan, dengan harapan saling mengisi dan menguntungkan. Dan dalam setiap elemen kota yang dikembangkan, harus dipikirkan bagaimana bisa diberdayakan menjadi pemasukan commit to user
74 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bagi pemerintah kota, sehingga perencana harus berorientasi pada City Marketing. ·
Desentralisasi Sistem sentralisasi sudah bergeser ke desentralisasi, sehingga Pemerintah pusat sudah tidak lagi menjadi penentu dalam perancangan kota, akan tetapi lebih berperan sebagai mitra dalam memberi saran pemecahan masalah bagi penyelesaian konflik penataan wilayah atau kota antardaerah melalui fasilitas, penyiapan bantuan teknis, norma dan standar, serta pedoman. Pemerintah pusat tidak lagi terlibat secara fisik, kecuali pada tingkat yang lebih makro dan strategis nasional. Dengan demikian pemerintah kota dapat meningkatkan kapasitas manajemen secara optimal, dengan perancangan yang lebih berbasis pada
pertumbuhan
lokal.
Di
pihak
lain
harus
senantiasa
memprioritaskan peningkatan pelayanan pada masyarakat dengan sebaik-baiknya. ·
Demokratisasi Bahwa perancangan kota harus bersifat partisipatif artinya disusun, dilaksanakan, dan dimonitor oleh Stakeholders kota secara bersamasama berdasarkan sosial budaya lokal, sehingga dapat dilaksanakan sesuai
dengan
kemampuan
masyarakat
dan
kondisi
daerah
perencanaan. Singkatnya, bahwa pemberdayaan masyarakat harus lebih diutamakan sehingga hasilnya secara optimal dapat dirasakan dan dinikmati oleh mereka. Sebagai kontrol terhadap perancangan kota, diperlukan terbentuknya forum/Asosiasi kota. commit to user
75 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
·
digilib.uns.ac.id
Sistem pemerintahan yang bersih Pemerintahan diharapkan dapat berperan sebagai fasilitator dan dapat memberikan citra yang bersih atau GoodGorvernance. Oleh karena itu segala kcbijakan dan pelayanan umum harus bersifat transparan. Peran Lembaga Legislatif dan petaruh (stakeholder) harus dapat mengontrol pernbangunan kota itu sendiri.
II.5.5. Tipologi Ruang Publik Dari perkembangan sejarah, ruang publik kota memberi pandangan yang lebih luas tentang bentuk variasi dan karaktemya. Pengertian ruang publik secara singkat merupakan suatu ruang yang berfungsi untuk kegiatan-kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan sosial, ekonomi, dan budaya. Sikap dan perilaku manusia yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi juga berpengaruh terhadap tipologi ruang kota yang direncanakan. Asesori ruang publik yang harus disediakan semakin berkembang, baik dari segi kualitas desain, bahan dan perawatannya, Misalnya: papan-papan informasi dan reklame, tempat sampah, telpon boks, lampu-Iampu, dsb. Tipologi ruang publik ini memiliki banyak variasi yang kadang-kadang memiliki perbedaan yang tipis sehingga seolah-olah memberi pengertian yang tumpang tindih (overlapping). Menurut Stephen Carr (1992) ruang publik dibagi menjadi beberapa tipe dan karakter sebagai berikut: 1. Taman Umum (Public Parks) Berupa lapangan / taman pusat kota dengan skala pelayanan yang beragam sesuai dengan fungsinya. Tipe ini ada tiga macam yaitu : commit to user
76 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
·
digilib.uns.ac.id
Taman Nasional (National Parks) Skala pelayanan taman ini adalah tingkat nasional, lokasinya berada di pusat kota. Bentuknya berupa zona ruang terbuka yang memiliki peran sangat penting dengan luasan melebihi tamantaman kota yang lain, dengan kegiatan yang dilaksanakan berskala nasional. Di samping sebagai Landmark Kota Jakarta juga dapat sebagai Landmark nasional, terutama tugu monumen yang didukung dengan elemen asesori kota yang lain seperti air mancur,jalan pedestrian yang diatur dengan pola-pola menarik, di samping taman dan penghijauan di sekitar kawasan tersebut (Simonds.J.O, 1961).
·
Taman Pusat Kota (Downtown Parks) Taman ini berada di kawasan pusat kota. berbentuk lapangan hijau yang dikelilingi pohon-pohon peneduh atau berupa hutan kota dengan
pola
tradisional
atau
dapat
pula
dengan
desain
pengembangan baru. Areal hijau kota yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan santai dan berlokasi di kawasan perkantoran, perdagangan, atau perumahan kota. Contohnya lapangan hijau di lingkungan perumahan atau perdagangan/perkantoran. ·
Taman Lingkungan (Neighborhood Parks) Ruang terbuka yang dikembangkan di lingkungan perumahan untuk kegiatan umum seperti taman bermain anak-anak, olahraga, dan bersantai bagi masyarakat disekitarnya. Contohnya taman di kompleks perumahan. commit to user
77 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
·
digilib.uns.ac.id
Taman Kecil (Mini Parks) Taman kecil yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan, termasuk air mancur yang digunakan untuk mendukung suasana taman tersebut.
Contonhnya
taman-taman
di
sudut-sudut
lingkungan/setback bangunan. 2. Lapangan dan Plasa (Squares and Plazas) Merupakan bagian dari pengembangan kota plaza atau lapangan yang dikembangkan sebagai bagian dari perkantoran atau bangunan komersial. Dapat dibedakan menjadi Pusat Kota (Central Square) dan Plasa pengikat (Corporate Plaza). ·
Lapangan Pusat Kota (Central Square) Ruang publik ini sebagai bahan pengembangan sejarah berlokasi di pusat kota dan sering digunakan untuk kegiatan-kegiatan formal seperti
upacara-upacara
rendevous point
peringatan
hari
nasional,
sebagai
koridor-koridor jalan di kawasan tersebut. Di
samping untuk kegiatan-kegiatan masyarakat baik sosial, ekonomi, maupun apresiasi budaya. ·
Plaza Pengikat (Corporate Plaza) Plaza ini merupakan pengikat dari bangunan-bangunan komersial atau perkantoran, berlokasi di pusat kota dan pengelolaannya dilakukan oleh pemilik kantor atau pemimpin kantor tersebut secara mandiri.
commit to user
78 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Peringatan (Memorial) Ruang publik yang digunakan untuk memperingati memori atau kejadian penting bagi umat manusia atau masyarakat ditingkat lokal atau nasional. 4. Pasar (Markets) Ruang terbuka atau ruas jalan yang dipergunakan untuk transaksi, biasanya bersifat temporer atau hari tertentu. 5. Jalan (Streets) Ruang terbuka sebagai prasarana transportasi. Menurut Stepen Carr (1992) dan Rubeinstein, H (1992) tipe ini dibedakan menjadi Pedestrian
Sisi Jalan
(Pedestrian Sidewalk), Mall pedestrian
(Pedestrian Mall), Mall transit (Transit Mall), Jalur Lambat (Traffic Restricted Streets) dan Gang Kecil Kota (Town Trail). ·
Pedestrian Sisi Jalan (Pedestrian Sidewalk). Bagian ruang publik kota yang banyak dilalui orang yang sedang berjalan kaki menyusuri jalan yang satu yang berhubungan dengan jalan lain. Letaknya berada di kiri dan kanan jalan.
·
Mall pedestrian (Pedestrian Mall). Suatu
jalan
yang ditutup bagi kendaraan
bermotor, dan
diperuntukkan khusus bagi pejalan kaki fasilitas tersebut biasanya dilengkapi dengan asesoris kota seperti pagar, tanaman, dan berlokasi di jalan utama pusat kota.
commit to user
79 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
·
digilib.uns.ac.id
Mall transit (Transit Mall). Pengembangan pencapaian transit untuk kendaraan umum pada penggal jalan tertentu yang telah dikembangkan sebagai pedestrian area.
·
Jalur Lambat (Traffic Restricted Streets). Jalan yang digunakan sebagai ruang terbuka dan diolah dengan desain pedestrian agar lalu lintas kendaraan terpaksa berjalan lamban, disamping dihiasi dengan tanaman sepanjang jalan tersebut atau jalur jalan sepanjang jalan utama yang khusus untuk pejalan kaki dan kendaraan bukan bermotor.
·
Gang Kecil Kota (Town Trail). Gang-gang kecil ini merupakan bagian jaringan jalan yang menghubungkan ke berbagai elemen kota satu dengan yang lain yang sangat kompak. Ruang publik ini direncanakan dan dikemas untuk mengenal lingkungan lebih dekat lagi.
6. Tempat Bermain (Playground) Ruang publik yang berfungsi sebagai arena anak-anak yang dilengkapi dengan sarana pemainan, biasanya berlokasi di lingkungan perumahan. Tipe ini terdiri dari Tempat bermain (Playground) atau Halaman Sekolah (Schoolyard). (Darmawan. 2005; Simonds.J.O, 1961) ·
Tempat bermain (Playground) Ruang publik ini berlokasi di lingkungan perumahan, dilengkapi peralatan tradisional seperti papan luncur, ayunan, dan fasilitas commit to user
80 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tempat duduk, disamping dilengkapi dengan alat permainan untuk kegiatan petualangan. ·
Halaman Sekolah (Schoolyard) Ruang publik halaman sekolah yang dilengkapi dengan fasilitas untuk pendidikan lingkungan atau ruang untuk melakukan komunikasi.
7. Ruang Komunitas (Community open space) Ruang kosong di lingkungan perumahan yang didesain dan dikembangkan serta dikelola sendiri oleh masyarakat setempat. Ruang komunitas ini berupa taman masyarakat (Community Garden). Ruang ini dilengkapi dengan fasilitas penataan taman termasuk gardu pemandangan, areal bermain, tempat-tempat duduk. Dan fasilitas estetis lain. Ruang ini biasanya dikembangkan di tanah milik pribadi atau tanah tak bertuan yang tidak pernah dirawat (Cullen, 1986). 8. Jalan Hijau dan Jalan Taman (Greenways and Parkways) Merupakan jalan pedestrian yang menghubungkan antara tempaat rekreasi dan ruang terbuka, yang dipenuhi dengan taman dan penghijauan. 9. Atrium/Pasar di dalam Ruang (Atrium/Indoor Market Place) Tipe ini dibedakan menjadi dua yaitu atrium dan pasar/pusat perbelanjaan di pusat kota (Market Place/Downtownshopping center) (Darmawan, 2005). ·
Atrium commit to user
81 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ruang dalam suatu bangunan yang berfungsi sebagai atrium, berperan sebagai pengikat ruang-ruang di sekitarnya yang sering digunakan untuk kegiatan komersial dan merupakan pedestrian area.
Pengelolanya
ditangani
oleh
pemilik
gedung
atau
pengembang/investor. ·
Pasar/pusat perbelanjaan di pusat kota (market place/downtown shopping center) Biasanya
memanfaatkan
bangunan
tua
yang
kemudian
direhabilitasi ruang luar atau ruang dalamnya sebagai ruang komersial. Kadang-kadang dipakai untuk festival pasar dan dikelola sendiri oleh pemilik gedung tersebut. 10. Ruang di Lingkungan Rumah (Found/Neigborhood Spaces) Ruang publik ini merupakan ruang terbuka yang mudah dicapai dari rumah, seperti sisa kapling di sudut jalan atau tanah kosong yang belum dimanfaatkan dapat dipakai sebagai tempat bermain bagi anakanak atau tempat komunikasi bagi orang dewasa atau orang tua. 11. Waterfront Ruang ini berupa pelabuhan, pantai, bantaran sungai, bantaran danau atau dermaga. Ruang terbuka ini berada di sepanjang rute aliran air di dalam kota yang dikembangkan sebagai taman untuk waterfront (Torre.L.A, 1989).
commit to user
82 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
II.5.6. Kriteria Desain Tak Terukur(unmeasureable design criterias) Kriteria desain tak terukur merupakan kriteria yang lebih menekankan pada aspek kualitatif di lapangan. Kriteria ini sering dipakai dalam penelitian kualitatif, untuk mengukur suatu kualitas lingkungan kota. Menurut Shirvani.H (1985:57), ada 6 kriteria desain tak terukur antara lain: 1. Pencapaian (access) Access memberikan kemudahan, kenyamanan, dan keamanan bagi para pengguna untuk mencapai tujuan dengan sarana dan prasana transporatasi
yang
mendukung
kemudahan
aksesibilitas
yang
direncanakan dan dirancang sesuai dengan kebutuhan pengguna sehingga dapat memberikan kenyamanan dan kemudahan dalam menjalankan aktivitasnya. Fasilitas untuk aksesibilitas ini hendaknya dalam perencanaan dan perancangannya memperhatikan tatanan, letak, sirkulasi, dan dimensi (Lynch. 1976). 2. Kecocokan (compatible) Kecocokan adalah aspek-aspek yang berkaitan dengan lokasi, kepadatan, skala dan bentuk masa bangunan. 3. Pemandangan (view) Pemandangan berkaitan dengan aspek kejelasan yang terkait dengan orientasi manusia terhadap bangunan. View dapat berupa landmark, Nilai visual ini dapat diperoleh dari skala dan pola serta warna, tekstur, tinggi dan besaran. 4. Identitas (identity) commit to user
83 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ldentitas adalah nilai yang dibuat atau dimunculkan oleh objek (bangunan/manusia) sehingga dapat ditangkap dan dikenali oleh indera manusia. Identity dikenal juga dengan citra (Darmawan, 2003). 5. Rasa (sense) Rasa kesan atau suasana yang ditimbulkan. Sense ini biasanya merupakan simbol karakter dan berhubungan dengan aspek ragam gaya yang disampaikan oleh individu/ kelompok bangunan atau kawasan (Lyncn.K, 1976; Steele.F,1981). 6. Kenyamanan (livability) Kenyamanan adalah kenyamanan untuk tinggal ataurasa kenyamanan untuk tinggal atau beraktivitas di suatu kawasan/obyek (Darmawan, 2003). Dari kriteria desain tak terukur di atas dapat diartikan bahwa persepsi setiap individu atau kelompok masyarakat akan menuntut kebutuhan fasilitas kota yang berlainan pula, tergantung hirarki sosial ekonomi masyarakat pengguna kota. Menurut Frey. H (1999) kriteria yang dapat mendorong kesinambungan bentuk dan struktur kota diperbandingkan antara kebutuhan dasar manusia menurut hierarki Maslow dan tuntutan kebutuhan fasilitas umum kota.
II.6.PANGGUNG PERTUNJUKAN Dalam sejarah perkembangannya, seni teater memiliki berbagai macam jenis panggung yang dijadikan tempat pementasan. Perbedaan jenis panggung ini dipengaruhi oleh tempat dan zaman dimana teater itu berada serta gaya pementasan yang dilakukan. Bentuk panggung yang berbeda memiliki prinsip commit to user
84 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
artistik yang berbeda.Misalnya, dalam panggung yang penontonnya melingkar, membutuhkan tata letak perabot yang dapat enak dilihat dari setiap sisi. Berbeda dengan panggung yang penontonnya hanya satu arah dari depan. Untuk memperoleh hasil terbaik, penata panggung diharuskan memahami karakter jenis panggung yang akan digunakan serta bagian-bagian panggung tersebut.
II.6.1. Jenis-jenis Panggung Panggung adalah tempat berlangsungnya sebuah pertunjukan dimana interaksi antara kerja penulis lakon, sutradara, dan aktor ditampilkan di hadapan penonton.Di atas panggung inilah semua laku lakon disajikan dengan maksud agar penonton menangkap maksud cerita yang ditampilkan.Untuk menyampaikan maksud tersebut pekerja teater mengolah dan menata panggung sedemikian rupa untuk mencapai maksud yang dinginkan.Seperti telah disebutkan di atas bahwa banyak sekali jenis panggung tetapi dewasa ini hanya tiga jenis panggung yang sering digunakan. Ketiganya adalah panggung proscenium, panggung thrust, dan panggung arena. Dengan memahami bentuk dari masingmasing panggung inilah, penata panggung dapat merancangkan karyanya berdasar lakon yang akan disajikan dengan baik.
·
Arena Panggung arena adalah panggung yang
penontonnya melingkar atau duduk mengelilingi panggung (Gambar 2-18). Penonton sangat dekat sekali dengan pemain. Agar semua pemain dapat commit to user Gambar 2-18 Denah panggung teater arena
85 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terlihat dari setiap sisi maka penggunaan set dekor berupa bangunan tertutup vertikal tidak diperbolehkan karena dapat menghalangi pandangan penonton. Karena bentuknya yang dikelilingi oleh penonton, maka penata panggung dituntut kreativitasnya untuk mewujudkan set dekor. Segala perabot yang digunakan dalam panggung arena harus benar-benar dipertimbangkan dan dicermati secara hati-hati baik bentuk, ukuran, dan penempatannya.Semua ditata agar enak dipandang dari berbagai sisi. Panggung arena
biasanya
dibuat
secara
terbuka
(tanpa
atap)
dan
tertutup.Inti
dari
pangung
arena
baik terbuka atau Gambar 2-19 Berbagai macam model panggung teater arena
mendekatkan
penonton
dengan
pemain.Kedekatan
tertutup jarak
ini
adalah membawa
konsekuensi artistik tersendiri baik bagi pemain dan (terutama) tata panggung. Karena jaraknya yang dekat, detil perabot yang diletakkan di atas panggung harus benar-benar sempurna sebab jika tidak maka cacat sedikit saja akan nampak. Misalnya, di atas panggung diletakkan kursi dan meja berukir. Jika bentuk ukiran yang ditampilkan tidak nampak sempurna – berbeda satu dengan yang lain – maka penonton akan dengan mudah melihatnya. Hal ini mempengaruhi nilai artistik pementasan.
commit to user
86 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lepas dari kesulitan yang dihadapi, panggun arena sering menjadi pilihan utama bagi teater tradisional.Kedekatan jarak antara pemain dan penonton dimanfaatkan
untuk
melakukan
komunikasi
langsung
di
tengah-tengah
pementasan yang menjadi ciri khas teater tersebut.Aspek kedekatan inilah yang dieksplorasi
untuk
menimbulkan
daya
tarik
penonton.Kemungkinan
berkomunikasi secara langsung atau bahkan bermain di tengah-tengah penonton ini menjadi tantangan kreatif bagi teater modern.Banyak usaha yang dilakukan untuk mendekatkan pertunjukan dengan penonton, salah satunya adalah penggunaan panggung arena.Beberapa pengembangan desain dari teater arena melingkar dilakukan sehingga bentuk teater arena menjadi bermacam-macam. Masing-masing bentuk memiliki keunikannya tersendiri tetapi semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu mendekatkan pemain dengan penonton. ·
Proscenium Panggung proscenium bisa juga disebut
sebagai
panggung
bingkai
karena
penonton
menyaksikan
aksi
aktor dalam lakon Gambar 2-20 Panggung proscenium
melalui
sebuah
bingkai atau lengkung proscenium (proscenium arch).Bingkai yang dipasangi layar atau gorden inilah yang memisahkan wilayah akting pemain dengan penonton yang menyaksikan pertunjukan dari satu arah (Gambar 2-20).Dengan commit to user
87 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemisahan ini maka pergantian tata panggung dapat dilakukan tanpa sepengetahuan penonton.Panggung proscenium sudah lama digunakan dalam dunia teater. Jarak yang sengaja diciptakan untuk memisahkan pemain dan penonton ini dapat digunakan untuk menyajikan cerita seperti apa adanya. Aktor dapat bermain dengan leluasa seolah-olah tidak ada penonton yang hadir melihatnya. Pemisahan ini dapat membantu efek artistik yang dinginkan terutama dalam gaya realisme yang menghendaki lakon seolah-olah benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata. Tata panggung pun sangat diuntungkan dengan adanya jarak dan pandangan satu arah dari penonton.Perspektif dapat ditampilkan dengan memanfaatkan kedalaman panggung (luas panggung ke belakang). Gambar dekorasi dan perabot tidak begitu menuntut kejelasan detil sampai hal-hal terkecil. Bentangan jarak dapat menciptkan bayangan arstisitk tersendiri yang mampu menghadirkan kesan.Kesan inilah yang diolah penata panggung untuk mewujudkan kreasinya di atas panggung proscenium.Seperti sebuah lukisan, bingkai proscenium menjadi batas tepinya.Penonton disuguhi gambaran melalui bingkai tersebut.Hampir semua sekolah teater memiliki jenis panggung proscenium.Pembelajaran tata panggung untuk menciptakan ilusi (tipuan) imajinatif sangat dimungkinkan dalam panggung proscenium. Jarak antara penonton dan panggung adalah jarak yang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan gambaran kreatif pemangungan.Semua yang ada di atas panggung dapat disajikan secara sempurna seolah-olah gambar nyata.Tata cahaya yang memproduksi sinar dapat dihadirkan dengan tanpa terlihat oleh penonton dimana posisi lampu berada. Intinya semua yang di atas panggung dapat commit to user
88 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diciptakan untuk mengelabui pandangan penonton dan mengarahkan mereka pada pemikiran bahwa apa yang terjadi di atas pentas adalah kenyataan. Pesona inilah yang membuat penggunaan panggung proscenium bertahan sampai sekarang.
·
Thrust Panggung
thrust
seperti panggung proscenium tetapi dua per tiga bagian depannya menjorok ke arah penonton. Pada bagian depan yang menjorok ini penonton dapat duduk di sisi kanan dan kiri panggung (Gambar 2-21). Panggung
thrust
nampak
Gambar 2-21 Panggung thrust
seperti gabungan antara panggung arena dan proscenium. Untuk penataan panggung, bagian depan diperlakukan seolah panggung Arena sehingga tidak ada bangunan tertutup vertikal yang dipasang. Sedangkan panggung belakang diperlakukan seolah panggung proscenium yang dapat menampilan kedalaman objek atau pemandangan secara perspektif. Panggung thrust telah digunakan sejak Abad Pertengahan (Medieval) dalam bentuk panggung berjalan (wagon stage) pada suatu karnaval. Bentuk ini kemudian diadopsi oleh sutradara teater modern yang menghendaki lakon ditampilkan melalui akting para pemain secara lebih artifisial (dibuat-buat agar lebih menarik) kepada penonton. Bagian panggung yang dekat dengan penonton memungkinkan commit to user
89 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
gaya akting teater presentasional yang mempersembahkan permainan kepada penonton secara langsung, sementara bagian belakang atau panggung atas dapat digunakan untuk penataan panggung yang memberikan gambaran lokasi kejadian.
·
Bagian-bagian Panggung Panggung modern
teater
memiliki
bagian-
bagian atau ruangruang yang secara
mendasar
dibagi
menjadi tiga, yaitu bagian panggung,
auditorium
(tempat penonton), dan ruang depan. Bagian yang paling kompleks fungsi
dan
artistik
pertunjukan
memiliki pendukung
adalah
bagian
Gambar 2-22 Bagian-bagian Panggung 1
panggung.Masing-masing memiliki fungsinya sendiri.Seorang penata panggung harus mengenal bagian-bagian panggung secara mendetil.Gambar 2-22 dan 2-23 menerangkan bagian-bagian panggung. A. Border. Pembatas yang terbuat dari kain. Dapat dinaikkan dan diturunkan. Fungsinya untuk memberikan batasan area permaianan yang digunakan. B. Backdrop. Layar paling belakang. Kain yang dapat digulung atau diturunnaikkan dan membentuk latar belakang panggung. C. Batten. Disebut juga kakuan. Perlengkapan panggung yang dapat commit to user
90 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
digunakan untuk meletakkan atau menggantung benda dan dapat dipindahkan secara fleksibel. D. Penutup/flies. Bagian atas rumah panggung yang dapat digunakan untuk menggantung set dekor serta menangani peralatan tata cahaya. E. Rumah panggung (stage house). Seluruh ruang panggung yang meliputi latar dan area untuk tampil F. Catwalk (jalan sempit). Permukaan, papan atau jembatan yang dibuat di atas panggung yang dapat menghubungkan sisi satu ke sisi lain sehingga memudahkan pekerja dalam memasang dan menata peralatan. G. Tirai besi. Satu tirai khsusus yang dibuat dari logam untuk memisahkan bagian panggung dan kursi penonton. Digunakan bila terjadi kebakaran di atas panggung. Tirai ini diturunkan sehingga api tidak menjalar keluar dan
penonton
bisa
segera
dievakuasi. H. Latar panggung atas. Bagian latar paling belakang yang biasanya digunakan untuk memperluas area pementasan
dengan
meletakkan
gambar perspektif. I. Sayap (side wing). Bagian kanan dan
kiri
tersembunyi
panggung dari
yang
penonton,
Gambar 2-23 Bagian panggung 2
biasanya digunakan para aktor menunggu giliran sesaat sebelum tampil. commit to user
91 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
J. Layar panggung. Tirai kain yang memisahkan panggung dan ruang penonton. Digunakan (dibuka) untuk menandai dimulainya pertunjukan. Ditutup untuk mengakhiri pertunjukan. Digunakan juga dalam waktu jeda penataan set dekor antara babak satu dengan lainnya. K. Trap jungkit. Area permainan atau panggung yang biasanya bisa dibuka dan ditutup untuk keluar-masuk pemain dari bawah panggung. L. Tangga. Digunakan untuk naik ke bagian atas panggung secara cepat. Tangga lain, biasanya diletakkan di belakang atau samping panggung sebelah luar. M. Apron. Daerah yang terletak di depan layar atau persis di depan bingkai proscenium. N. Bawah panggung. Digunakan untuk menyimpan peralatan set. Terkadang di bagian bawah ini juga terdapat kamar ganti pemain. O. Panggung. Tempat pertunjukan dilangsungkan. P. Orchestra Pit. Tempat para musisi orkestra bermain. Dalam beberapa panggung proscenium, orchestra pit tidak disediakan. Q. FOH (Front Of House) Bar. Baris lampu yang dipasang di atas penonton. Digunakan untuk lampu spot. R. Langit-langit akustik. Terbuat dari bahan yang dapat memproyeksikan suara dan tidak menghasilkan gema. S. Ruang pengendali. Ruang untuk mengendalikan cahaya dan suara (sound system). T. Bar. Tempat menjual makan dan minum untuk penonton selama commit to user
92 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menunggu pertunjukan dimulai. U. Foyer. Ruang tunggu penonton sebelum pertunjukan dimulai atau saat istirahat. V. Tangga. Digunakan untuk naik dan turun dari ruang lantai satu ke ruang lantai lain. W. Auditorium (house). Ruang tempat duduk penonton di panggung proscenium. Istilah auditorium sering juga digunakan sebagai pengganti panggung proscenium itu sendiri. X. Ruang ganti pemain. Ruang ini bisa juga terletak di bagian bawah belakang panggung.
II.6.2. Pengetahuan Tata Pentas Tata pentas bisa disebut juga dengan scenery atau pemandangan latar belakang (Background) tempat memainkan lakon. Tata pentas dalam pengertian luas adalah suasana seputar gerak laku di atas pentas dan semua elemen-elemen visual atau yang terlihat oleh mata yang mengitari pemeran dalam pementasan. Tata pentas dalam pengertian teknik terbatas yaitu benda yang membentuk suatu latar belakang fisik dan memberi batas lingkungan gerak laku. Dengan mengacu pada definisi di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa tata pentas adalah semua latar belakang dan benda-benda yang ada dipanggung guna menunjang seorang pemeran memainkan lakon.
Sebelum memahami lebih jauh tentang tata pentas, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud pentas itu sendiri. Pentas menurut Pramana Padmodarmaya commit to user
93 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ialah tempat pertunjukan dengan pertunjukan kesenian yang menggunakan manusia (pemeran) sebagai media utama. Dalam hal ini misalnya pertunjukan tari, teater tradisional (ketoprak, ludruk, lenong, longser, randai makyong, mendu, mamanda, arja dan lain sebagainya), sandiwara atau drama nontradisi baik sandiwara baru maupun teater kontemporer. Webster mendefinisikan pentas sebagai suatu tempat yang tinggi dimana lakon-lakon drama dipentaskan atau suatu tempat dimana para aktor bermain. Sedang W.J.S. Purwadarminta dalam kamus umum bahasa Indonesia menerangkan pentas sebagai lantai yang agak ketinggian dirumah (untuk tempat tidur) ataupun di dapur (untuk memasak). Dengan demikian kalau disimpulkan pentas adalah suatu tempat dimana para penari atau pemeran menampilkan seni pertunjukan dihadapan penonton. Selain istilah pentas kita mengenal istilah panggung. Panggung menurut Purwadarminta ialah lantai yang bertiang atau rumah yang tinggi atau lantai yang berbeda ketinggiannya untuk bermain sandiwara, balkon atau podium. Dalam seni pertunjukan panggung dikenal dengan istilah Stage melingkupi pengertian seluruh panggung. Jika panggung merupakan tempat yang tinggi agar karya seni yang diperagakan diatasnya dapat terlihat oleh penonton, maka pentas juga merupakan suatu ketinggian yang dapat membentuk dekorasi, ruang tamu, kamar belajar, rumah adat dan sebagainya. Jadi beda panggung dengan pentas ialah pentas dapat berada diatas panggung atau dapat pula di arena atau lapangan. Dari pengertian di atas dapat dijelaskan, pentas merupakan bagian dari panggung yaitu suatu tempat yang ditinggikan yang berisi dekorasi dan penonton dapat jelas melihat. Dalam istilah sehari-hari sering disebut dengan panggung pementasan,
dan
apabila
suatu seni pertunjukan commit to user
dipergelarkan
tanpa
94 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menggunakan panggung maka disebut arena pementasan. Sehingga pementasan dapat diadakan diarena atau lapangan. Kini yang dianggap pentas bagi seni pertunjukan kontemporer tidak saja berupa panggung yang biasa terdapat pada sebuah gedung akan tetapi keseluruhan dari pada gedung itulah pentas, yakni panggung dan tempat orang menonton. Sebab pada penampilan seni pertunjukan tokoh dapat saja turun berkomunikasi dengan penontonnya atau ia dapat muncul dari arah penonton. Seperti istilah Shakespeare bahwa seluruh dunia ini adalah pentas ( all the word’s stage). Dengan begitu bisa saja setiap lingkungan masyarakat memiliki sebuah pentas yang memadai dan sesuai untuk mementaskan sebuah seni pertunjukan.
II.6.3. Macam-macam Panggung Secara fisik bentuk panggung dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu panggung tertutup, panggung terbuka dan panggung kereta. panggung tertutup terdiri dari panggung prosenium, panggung portable dan juga dapat berupa arena. Sedangkan panggung terbuka atau lebih dikenal dengan sebutan open air stage dan bentuknya juga bermacam-macam.
II.6.3.1.
Panggung Prosenium atau Panggung Pigura
Panggung prosenium merupakan panggung konvensional yang memiliki ruang prosenium atau suatu bingkai gambar melalui mana penonton menyaksikan pertunjukan. Hubungan antara panggung dan auditorium dipisahkan atau dibatasi oleh dinding atau lubang prosenium. Sedangkan sisi atau tepi lubang prosenium commit to user
95 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bisa berupa garis lengkung atau garis lurus yang dapat disebut dengan pelengkung prosenium (Proscenium Arch). Panggung prosenium dibuat untuk membatasi daerah pemeranan dengan penonton. Arah dari panggung ini hanya satu jurusan yaitu kearah penonton saja, agar pandangan
penonton
lebih
terpusat kearah pertunjukan. Para pemeran diatas panggung juga agar lebih jelas dan memusatkan
perhatian
Gambar 2-24 Denah Panggung Proscenium
penonton. Dalam kesadaran itulah maka keadaan pentas prosenium harus dapat memenuhi fungsi melayani pertunjukan dengan sebaik-baiknya. Dengan kesadaran bahwa penonton yang datang hanya bermaksud untuk menonton pertunjukan, oleh karena itu harus dihindarikan sejauh mungkin apa yang nampak dalam pentas prosenium yang sifatnya bukan pertunjukan. Maka dipasanglah layar-layar (curtain) dan sebeng-sebeng (Side wing). Maksudnya agar segala persiapan pertunjukan dibelakang pentas yang sifatnya bukan pertunjukan tidak dilihat oleh penonton. Pentas prosenium tidak seakrab pentas arena, karena memang ada kesengajaan atau kesadaran membuat pertunjukan dengan ukuranukuran tertentu. Ukuran-ukuran atau nilai-nilai tertentu dari pertunjukan itu kemudian menjadi konvensi. Maka dari itu pertunjukan yang melakukan konvensi demikian disebut dengan pertunjukan konvensional. commit to user
96 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
II.6.3.2. Panggung
digilib.uns.ac.id
Panggung Portable portable
yaitu panggung tanpa layar muka dan dapat dibuat di dalam
maupun
gedung
di
luar
dengan
Gambar 2-25 Panggung Portable
mempergunakan panggung (podium, platform) yang dipasang dengan kokoh di atas kuda-kuda. Sebagai tempat penonton biasanya mempergunakan kursi lipat. Adegan-adegan dapat diakhiri dengan mematikan lampu (black out) sebagai pengganti layar depan. Dengan kata lain bahwa panggung portable yaitu panggung yang dibuat secara tidak permanen. II.6.3.3.
Panggung Arena
Panggung arena merupakan bentuk panggung yang paling sederhana dibandingkan dengan bentuk-bentuk pangung yang lainnya. Panggung ini dapat dibuat di dalam maupun di luar gedung asal dapat dipergunakan secara memadai. Kursi-kursi penonton diatur sedemikian rupa sehingga tempat panggung berada di tengah dan antara deretan kursi ada lorong untuk masuk dan keluar pemain atau penari menurut kebutuhan pertunjukan tersebut. Papan penyangga (peninggi) ditempatkan di belakang masing-masing deret kursi, sehingga kursi deretan belakang dapat melihat dengan baik tanpa terhalang penonton dimukanya. Sebagai penganti layar pada akhir pertunjukan atau pergantian babak dapat digunakan dengan cara mematikan lampu (black out). Perlengkapan tata lampu dapat
dibuatkan
tiang-tiang tersendiri dan
penempatannya harus
tidak
mengganggu pandangan penonton. commit to user
97 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berbagai ragam bentuk Panggung Arena adalah sebagai berikut : 1. Panggung Arena Tapal Kuda adalah panggung dimana separuh bagian pentas atau panggung masuk kebagian penonton sehingga membentuk lingkaran tapal kuda.
Gambar 2-26 Denah Panggung Tapal Kuda
2. Panggung Arena ¾, berarti ¾ dari panggung masuk kearah penonton atau dengan kata lain penonton dapat menyaksikan pementasan dari tiga sisi atau arah penjuru panggung. Panggung arena ¾ biasanya berupa pentas arena bentuk U.
Gambar 2-27 Denah Panggung Arena bentuk U
3. Panggung Arena Penuh yaitu dimana penonton dapat menyaksikan pertunjukan dari segala sudut atau arah dan arena permainan berada di tengah-tengah penonton. Panggung arena penuh biasanya panggung arena bujur sangkar atau panggung arena bentuk lingkaran. commit to user
98 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2-28 Denah Panggung Arena bujur sangkar
Gambar 2-29 Denah Panggung Arena bentuk lingkaran
II.6.3.4.
Panggung Terbuka
Panggung terbuka sebetulnya lahir dan dibuat di daerah atau tempat terbuka. Berbagai variasi dapat digunakan untuk memproduksi pertunjukan di tempat terbuka. Pentas dapat dibuat di beranda rumah, teras sebuah gedung dengan penonton berada di halaman, atau dapat diadakan disebuah tempat yang landai dimana penonton berada di bagian bawah tempat tersebut. Panggung terbuka permanen (open air stage) yang cukup popular di Indonesia antara lain adalah panggung terbuka di Candi Prambanan.
commit to user
99 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2-30 Denah Panggung Terbuka
II.6.3.5.
Panggung Kereta
Panggung kereta disebut juga dengan panggung keliling dan digunakan untuk mempertunjukkan karya-karya teater dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan panggung yang dibuat di atas kereta. Perkembangan sekarang panggung tidak dibuat di atas kereta tetapi dibuat diatas mobil trailer yang diperlengkapi menurut kebutuhan dan perlengkapan tata cahaya yang sesuai dengan kebutuhan pentas. Jadi kelompok kesenian dapat mementaskan karyanya dari satu tempat ke tempat lain tanpa harus memikirkan gedung pertunjukan tetapi hanya mencari tanah yang agak lapang untuk memarkir kereta dan penonton bebas untuk menonton.
II.6.4. Pokok-pokok Persyaratan Set Panggung/Pentas Set panggung atau pentas (scenery) yaitu penampilan visual lingkungan sekitar gerak laku pemeran dalam sebuah lakon. Untuk itu dalam merancang pentas harus memperhatikan aspek-aspek tempat gerak-laku, memperkuat geraklaku dan mendandani atau memperindah gerak-laku. Oleh sebab itu, tugas seorang perancang pentas hendaklah merencanakan set-nya sedemikian rupa sehingga : a. Dapat memberi ruang kepada gerak-laku. commit to user b. Dapat memberi pernyataan suasana lakon.
100 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Dapat memberi pandangan yang menarik. d. Dapat dilihat dan dimengerti oleh penonton. e. Merupakan rancangan yang sederhana f. Dapat bermanfaat terus menerus bagi pemeran atau pelaku. g. Dapat secara efisien dibuat, disusun dan dibawa. h. Dapat membuat rancangan yang menunjukkan bahwa setiap elemen yang terdapat didalam penampilan visual pentasnya memiliki hubungan satu sama lain. Oleh karena itu, secara singkat seorang perancang pentas yang membuat set harus memiliki tujuan yaitu: lokatif, ekspresif, atraktif, jelas, sederhana, bermanfaat, praktis dan organis. ·
Lokatif yaitu penataan pentas itu harus dapat memberi tempat kepada gerak laku pemeran atau pelaku pertunjukan.
·
Ekspresif yaitu penataan pentas harus dapat memperkuat gerak-laku dengan memberi penjelasan, menggambarkan keadaan sekitar dan menciptakan suasana bagi gerak-laku tersebut.
·
Atraktif yaitu penataan pentas itu harus dapat memberi pandangan yang menarik bagi penonton.
·
Jelas yaitu penataan pentas itu harus merupakan rancangan yang dapat dilihat dan dimengerti oleh penonton dari suatu jarak tertentu.
·
Sederhana yaitu penataan pentas itu harus sederhana. Sederhana tidak berarti bahwa pentas hanya terdiri dari satu meja dan dua kursi, tetapi penataannya tidak ruwet dan penonton dapat melihat dan menarik to user maknanya tanpa memeras commit pikiran dan perasaan.
101 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
·
digilib.uns.ac.id
Bermanfaat yaitu penataan pentas harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat bermanfaat bagi para pemeran dengan efektif dan seefisien mungkin.
·
Praktis yaitu penataan pentas itu harus dapat secara efisien dibuat, disusun dan dibawa serta dapat memenuhi kebutuhan teknis pembuatan tata pentas atau scenery.
Organis yaitu penataan pentas itu harus dapat menunjukkan setiap elemen yang terdapat didalam penampilan visual penataannya dan memiliki hubungan satu sama lainnya Alun-alun merupakan suatu tempat yang kompleks. Pusat kota yang segala aktivitas masyarakat dapat ditampung didalamnya. Mulai dari sekedar jalan-jalan ke alun-alun hingga tamu pemerintahan pun juga dapat mengakses alun-alun dengan mudah. Dengan demikian, alun-alun menjadi sebuah “welcome space” bagi mereka yang belum pernah mengunjungi sebuah kota. Sebuah tempat yang strategis untuk menunjukkan potensi wisata daerah itu sendiri. Kota Ponorogo yang memiliki kesenian tari reog, sebuah potensi besar dalam bidang pariwisata apabila dikelola dengan baik. Potensi besar untuk mendapatkan pendapatan daerah dan ketika pariwisata dapat berkembang dengan dinamis maka pendapatan masyarakat sekitar pun akan cenderung naik.
II.7.KONDISI KABUPATEN PONOROGO Kota Ponorogo sebagai ibukota Kabupaten Ponorogo yang terletak di bagian Barat Daya Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur mempunyai keuntungan lokasi commit to user yang strategis, yaitu terletak di sebagai pusat kegiatan regional Madiun - Pacitan –
102 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Trenggalek - Wonogiri (Jawa Tengah) dan Magetan. Dengan demikian kota Ponorogo mempunyai peranan yang sangat penting baik sebagai pusat koleksi maupun sebagai pusat distribusi bagi wilayah hinterlandnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa kecenderungan perkembangan Kota Ponorogo berlangsung dengan ekspansive (horisontal) dengan pola campuran antara pola pertumbuhan rural (tumbuhnya kampung-kampung yang yang bersifat (enclave) dan pola pertumbuhan urban yang dicirikan dengan perkembangan permukiman antara pola linier dan menyebar (dispersed). Secara geografis Kota Ponorogo terletak pada 111°17’-111°52’ Bujur Timur dan 7°49’-8°20’ Lintang Selatan dengan wilayah seluas 5.119,905 Ha. Kota Ponorogo termasuk ke dalam iklim tropis dan mempunyai curah hujan tertinggi pada bulan Januari-April yaitu sebesar 227-370 mm/det, dan tingkat curah hujan terkecil terjadi pada bulan Oktober-Desember yaitu 51-70 mm/det. Suhu rata-rata di kota Ponorogo berkisar antara 28-34° C. Kota berada
pada
Ponorogo ketinggian
antara 100-199 meter diatas permukaan air laut dengan kondisi lahan yang hampir 90%
landai
atau
datar.
Dengan kemiringan ratarata dibawah 10% maka Gambar 2-31 Peta wilayah Kabupaten Ponorogo
commit to user
dapat dikatakan bahwa Kota Ponorogo tidak mempunyai
103 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kendala untuk berkembang secara ekspansive terutama bila ditinjau dari segi topografi. Di Kota Ponorogo terdapat beberapa sungai utama yang mengalir dan memperngaruhi sistem tata air dan secara tidak langsung mempengaruhi pola perkembangan kota tersebut yaitu Sungai Cokromenggalan, Sungai Mangkungan, Sungai Bibis, Sungai Gendol, Sungai Keyang, Sungai Genting, Sungai Sungkur dan Sungai Sekayu. Kota Ponorogo telah mempunyai fasilitas perdagangan yang lengkap, fasilitas tersebut berupa pasar dan pertokoan yang terkonsentrasi di pusat kota. Khususnya Pasar Kota Ponorogo seperti Pasar Legi di Desa Banyudono, Pasar Pon di Desa Mangunsuman dan pasar yang ada di Desa Tonotan. Selain menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari, keberadaan pasar tersebut juga penting dalam rangka menunjang kegiatan sistem koleksi – distribusi terhadap barangbarang kebutuhan penduduk dan
beberapa
komoditi
pertanian yang dihasilkan oleh Kota Ponorogo dan wilayah sekitarnya. Sedangkan fasilitas perdagangan yang berupa pertokoan terutama banyak terkonsentrasi di Desa Mangkujayan, Tamanarum, Tambakbayan, dan Bangunsari. Hanya saja untuk memenuhi kebutuhan akan barang-barang kebutuhan yang sifatnya tersier seperti peralatan elektronik, otomotif dan sebagainya, penduduk selain pergi ke Kota Ponorogo sendiri juga pergi ke kota besar lainnya seperti Madiun bahkan Surabaya. commit to user
104 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Kabupaten Ponorogo sementara adalah 854.878 orang, yang terdiri atas 427.365 laki-laki dan 427.513 perempuan. Dari hasil SP2010 tersebut masih tampak bahwa penyebaran penduduk Kabupaten Ponorogo masih bertumpu di Kecamatan Ponorogo yakni sebesar 8,70 persen, kemudian diikuti oleh Kecamatan Babadan sebesar 7,32 persen, dan kecamatan lainnya lainnya di bawah 7 persen. Pudak, Ngebel dan Sooko adalah 3 kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit yang masing-masing berjumlah 8.899 orang, 19.102 orang, dan 21.885 orang. Sedangkan Kecamatan Ponorogo, Babadan dan Ngrayun merupakan 3 kecamatan yang paling banyak penduduknya, yakni masing-masing sebanyak 74.354 orang, 62.567 orang dan 55.510 orang. Dengan luas wilayah Kabupaten Ponorogo sekitar 1.371,78 kilo meter persegi yang didiami oleh 854.878 orang maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Ponorogo adalah sebanyak 623 orang per kilo meter persegi. Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Ponorogo yakni sebanyak 3.333 orang per kilo meter persegi sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Pudak yakni sebanyak 182 orang per kilo meter persegi.
commit to user
105 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penduduk Ponorogo terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam empat dasa warsa terakhir menunjukkan adanya tren peningkatan jumlah penduduk. Pada tahun 1980 jumlah penduduk tercatat sebanyak 783.356 jiwa, meningkat menjadi 837.055 jiwa pada tahun 1990 dan 841.497 jiwa pada tahun 2000. Sementara itu hasil SP2010 mencatat jumlah penduduk Ponorogo mencapai 854.878 jiwa.
Tabel 2-1 Jumlah Penduduk menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin (Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo 2010)
Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Ponorogo per tahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010 sebesar 0,16 persen. Laju pertumbuhan penduduk Kecamatan Pudak adalah yang tertinggi dibandingkan kecamatan lain di Kabupaten Ponorogo yakni sebesar 0,95 persen, sedangkan commit yakni to usersebesar -0,46 persen. Kecamatan yang terendah di Kecamatan Kauman
106 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sawoo walaupun menempati urutan keempat dari jumlah penduduk di Kabupaten Ponorogo namun dari sisi laju pertumbuhan penduduk adalah cukup rendah yakni hanya sebesar -0,33 persen. Kecamatan Ponorogo walaupun jumlah penduduknya yang paling banyak tetapi laju
pertumbuhannya masih di bawah Kecamatan
Pudak (0,95 persen) dan Kecamatan Babadan (0,76 persen) yakni sebesar 0,52 persen.
Gambar 2-33 Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Ponorogo (Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo 2010)
Tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Ponorogo tidak merata. Tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Kecamatan Ponorogo. Daerah kecamatan penyangga wilayah kota, meliputi kecamatan Babadan, Siman, Jetis, Jenangan dan Mlarak merupakan kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk relatif lebih tinggi dibandingkan kecamatan lainnya. Kecamatan di wilayah timur dan selatan umumnya memiliki tingkat kepadatan penduduk rendah dikarenakan luas commit to user
107 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hutan negara yang mendominasi wilayah tersebut. Wilayah dengan kepadatan penduduk rendah meliputi Kecamatan Ngrayun, Sampung, Sawoo, Sooko, Pudak, Pulung dan Ngebel.
Gambar 2-34 Kepadatan Penduduk Kabupaten Ponorogo (Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo 2010)
II.7.1. Potensi Kawasan Alun-alun Ponorogo Perkembangan
seni
tidak
lepas
dari
perkembangan
kebudayaan
masyarakat yang ada di Ponorogo, perkembangan kebudayaan tidak lepas dari perilaku masyarakat sebagai pembentuk sebuah kebudayaan. Dengan adanya kesenian tari reog, perkembangan seni akan meningkat seiring dengan fasilitas penunjang kesenian tersebut yang dikelola secara maksimal. Pengoptimalan commit to user
108 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
panggung pertunjukan yang di alun-alun Ponorogo menjadi alternatif sebagai pengenalan kesenian kepada masyarakat Ponorogo. Kawasan Alun-alun merupakan sebuah pusat kebudayaan dalam suatu daerah. Dengan warisan kebudayaan berupa tari reog Ponorogo bisa membuat peluang meraih pendapatan daerah yang lebih besar melalui sektor pariwisata. Bukan hanya pendapatan daerah saja yang bertambah, pendapatan masyarakat yang disekitar kawasan Alun-alun pun juga ikut meningkat. Menjajakan souvenir ataupun oleh-oleh khas Kabupaten Ponorogo. Hal ini terkait dengan kebutuhan proses jual-beli yang berada di kawasan alun-alun. Menjadi sebuah ruang publik yang plural, siapapun dapat mengakses alun-alun secara bebas. Sebagai ruang publik masyarakat Ponorogo alun-alun bisa digunakan sebagai media untuk memberi pengetahuan secara tidak langsung tentang kebudayaan, sosial masyarakat Ponorogo, dan berbagai potensi wisata di Kabupaten Ponorogo selain kawasan Alun-alun. II.7.2. Masalah Kawasan Alun-alun Ponorogo Potensi yang ada di Kabupaten Ponorogo tidak diimbangi dengan memfasilitasi sebuah ruang yang mempunyai daya tarik tersendiri. Sebuah Panggung Pertunjukan Utama yang berada di dalam Alun-alun pun tidak diperhatikan keberadaannya, rusak. Pedagang Kaki Lima pun semakin semrawut karena tidak adanya penganturan yang jelas. Sebuah sistem di atas kertas pun tidak mampu menahan laju pertumbuhan Pedagang Kaki Lima. Kegiatan ekonomi memang penting bagi masyarakat tetapi Alun-alun yang menjadi pusat kebudayaan kota seakan memudar maknanya dengan penataan kegiatan ekonomi yang buruk.
commit to user
109 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
II.8.PRESEDEN Dalam preseden ini perancang mengambil pola kawasan alun-alun Wonosobo dan alun-alun kidul Yogyakarta. II.8.1. Alun-alun Wonosobo
Gambar 2-35 Situasi Alun-alun Wonosobo (Sumber: www.Hestywork.blogspot.com)
Pedestrian yang di olah sangat baik oleh pemerintah kota Wonosobo untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakatnya. Sirkulasi pejalan kaki pun sangat diperhatikan. Tidak adanya penjual kaki lima yang berjualan di atas trotoar. Terdapat empat pendopo di setiap pojok-pojok alun-alun –sebagai shelter bagi pejalan kaki- sebuah perencanaan arsitektural yang memperhatikan perilaku
commit toyang userpas dengan sejarah alun-alun yang manusia. Penggunaan material pedestrian
110 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sejak dulu ada dan sekarang sudah mengalami pergeseran fungsi. Didukung dengan pola lantai yang dinamis, seperti itulah alun-alun selalu dinamis tidak statis. II.8.2. Alun-alun Yogyakarta Nilai spiritual yang
terus
dijaga
menjadikan Alun-alun Kidul
Yogyakarta
seakan-akan hidup
tetap
di
jaman
sekarang
ini.
Disamping
Kraton
Jogjakarta
yang
menjaga nilai spiritual tersebut sekitar
masyarakat juga
berperan
sangat penting
dalam menghidupkan Gambar 2-36 Situasi Alun-alun Kidul Yogyakarta
nilai
sebuah
Alun-alun
alun-alun.
Ponorogo
pun
(Sumber: dokumen pribadi)
juga
memerlukan
masyarakat
sekitar
untuk
merevitalisasi lingkungan alun-alun Ponorogo, dan untuk menarik mayarakat agar ikut serta dalam revitalisasi tersebut diperlukan sebuah bentuk arsitektural yang dapat menarik masyarakat.
commit to user
111 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
II.9.KESIMPULAN Masyarakat
perkotaan
membutuhkan
ruang gerak yang dapat mendukung aktivitas mereka. Kebutuhan akan ruang gerak ini diikuti dengan
kebutuhan
sebagai
makhluk
interaksi sosial.
antar-manusia Kebutuhan
ini
mendorong munculnya ruang-ruang publik yang dapat menampung berbagai jenis kegiatan tersebut. Masyarakat Ponorogo pun tidak lepas akan kebutuhan ruang publik kota. Dengan memanfaatkan alun-alun sebagai ruang publik menurut kehidupan dan kebutuhan masyarakat Ponorogo sekarang ini. Sekaligus untuk media pengenalan
sektor
Merevitalisasi meredesain
pariwisata
alun-alun
Ponorogo.
Ponorogo
dengan
ulang panggung utama serta
Gambar 2-37 Kawasan Alun-alun Kabupaten Ponorogo
lingkungan alun-alun Ponorogo merupakan salah satu upaya agar tujuan tersebut diatas dapat terwujud. Meredesain dengan memperhatikan sejarah alun-alun tersebut mulai dari jaman kerajaan, jaman kolonial hingga sekarang ini. Begitu juga elemen-elemen yang membentuk alunalun itu sendiri. Dengan begitu nilai spiritual alun-alun Ponorogo tidak hilang begitu saja ketika harus ada bangunan berwajah baru diatasnya. Sebuah sinkronisasi antara yang lama yang mistis dengan yang baru yang fungsionalis. commit to user
112 |BAB II
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III
REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO SEBAGAI RUANG PUBLIK
Kota, permukiman, masyarakat, sebuah sistem keterkaitan satu sama lain. Secara umum perancangan kota di Jawa tidak lepas dari hadirnya sebuah alun-alun yang menjadi pusat kota. Pusat yang menjadi acuan perkembangan permukiman yang bersifat konsentris29. Begitu pula dengan kota Ponorogo yang memiliki alun-alun, tetapi alunalun tersebut sudah mengalami pergeseran bentuk dan fungsi seiring dengan perkembangan masyarakat modern. Apakah perkembangan alun-alun sekarang masih mengacu pada konsep penentuan alun-alun pada awal mula kerajaan jawa?. Sekarang ini kondisi alun-alun Ponorogo menjadi sebuah tempat yang banyak mengakomodasi kegiatan yang bersifat konsumerisme30. Para pedagang kaki lima pun menggelar lapaknya secara random tidak ada keteraturan. Alangkah indahnya para pedagang itu disediakan tempat yang lebih mewadahi kegiatan mereka yang sekaligus meningkatkan pendapatan mereka. Di barat Alun-alun Ponorogo selain terdapat masjid jami’ juga terdapat pasar. Bangunan ini dapat di redesain sehingga dapat mengakomodasi kegiatan perekonomian yang bersifat continue tanpa harus membuat lapak yang permanen. Kegiatan masyarakat yang bersifat rekreasi pun dapat dijumpai di Alun-alun Ponorogo. Kebanyakan masyarakat menikmati suasana sore hari sambil bercanda ria 29
mempunyai pusat yang sama. Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan atau commit to user menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. 30
113 | BAB III
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan keluarga, bahkan bersama kawan. Sebuah potensi untuk menempatkan sebuah bangunan yang bisa mengedukasikan masyarakat tentang sejarah kota Ponorogo, tentang potensi wisata kota Ponorogo sehingga dengan penempatan bangunan yang strategis dapat memacu pendapatan daerah melalui sektor pariwisata. Meskipun setiap tahun di adakan acara seperti syawalan ataupun suroan menjadi salah satu penyelenggaraan yang bersifat rekreatif tetapi kota Ponorogo membutuhkan sebuah bentuk kegiatan rekreatif yang bersifat continue tanpa harus menghilangkan konsep alun-alun yang flexible. Pemaknaan alun-alun Ponorogo seakan-akan hilang ketika pohon beringin yang berada di tengah-tengah alun-alun ditumbangkan. Sebuah klasifikasi simbolik manusia jawa “keblat papat kalimo pancer”. Sebuah pancer telah ditumbangkan, sangat disayangkan. Apakah pancer selalu di simbolkan dengan pohon beringin dan selalu ditengah?. Ketika kita memahami arti alun-alun sebenarnya -menurut tinjauan teori- perlu adanya revitalisasi kawasan alun-alun Ponorogo. Revitalisasi, pemvitalan kembali lingkungan alun-alun. Sebuah pengaturan ulang secara sistematis dan programatis akan kebutuhan ruang. Kebutuhan ruang makro yang menyangkut fungsi bangunan dengan masyarakat sekitarnya. Kebutuhan ruang mikro, pengolahan desain bangunan dengan fungsi bangunan itu sendiri. Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui beberapa tahapan dan membutuhkan kurun waktu tertentu serta meliputi hal-hal sebagai berikut: commit to user
114 | BAB III
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Intervensi fisik Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik bangunan, tata hijau, sistem penghubung, sistem tanda/reklame dan ruang terbuka kawasan (urban realm). Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya dengan kondisi visual kawasan, khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini perlu dilakukan. Isu lingkungan (environmental sustainability) pun menjadi penting, sehingga intervensi fisik pun sudah semestinya memperhatikan konteks lingkungan. Perencanaan fisik tetap harus dilandasi pemikiran jangka panjang. 2. Rehabilitasi ekonomi Revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan artefak urban harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi. Perbaikan fisik kawasan yang bersifat jangka pendek, diharapkan bisa mengakomodasi kegiatan ekonomi informal dan formal (local economic development), sehingga mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan kota (P. Hall/U. Pfeiffer, 2001). Dalam konteks revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang bisa mendorong terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas baru). 3. Revitalisasi sosial/institusional Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan terukur bila mampu menciptakan lingkungan yang menarik (interesting), jadi bukan sekedar membuat beautiful place. Maksudnya, kegiatan tersebut harus berdampak positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat/warga (public realms). Sudah menjadi sebuah tuntutan yang logis, bahwa kegiatan perancangan dan pembangunan kota untuk menciptakan lingkungan sosial yang berjati diri (place making) dan hal ini pun selanjutnya perlu didukung oleh suatu pengembangan institusi yang baik.
commit to user
115 | BAB III
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar III-1 Alun-alun Ponorogo sebelum Panggung Pertunjukan
commit to user
(Sumber : Ahmad M. Nizar Alfian H.)
116 | BAB III
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar III-2 Alun-alun Ponorogo sesudah Panggung Pertunjukan (Sumber : Google Earth)
commit to user
117 | BAB III
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Revitalisasi kawasan Alun-alun Ponorogo dengan memperbaiki fasilitas yang ada tanpa mehilangkan pemaknaan dari alun-alun itu sendiri.
Area untuk penertiban PKL yang ada di Alunalun.
Alun-alun · · ·
· Redesain pasar · Penambahan kioskios souvenir · Tempat parkir mobil
Perbaikan pedestrian Penertiban PKL Penataan taman disekitar Alun-alun
Area yang mendukung Panggung Utama Alun-alun.
Komplek masjid jami’ Ponorogo
· Ruang publik masyarakat dan para seniman. · Tempat sarana edukasi untuk masyarakat · Panggung pertunjukan indoor beserta bangunan penunjangnya
Penambahan site untuk redesain panggung pertunjukan sekaligus media edukasi untuk masyarakat Ponorogo tentang kesenian. Dan tetap memperhatikan bentuk kota Jawa yang bersifat linier konsentris
commit to user
118 | BAB III
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV
ANALISA REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO Perencanaan dan perancangan revitalisasi alun-alun Ponorogo yang salah satunya meredesain panggung pertunjukan di alun-alun Ponorogo ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan funsional panggung pertunjukan yang sekarang ini tidak bisa mengakomodir semua kegiatan pertunjukan di panggung pertunjukan di alun-alun tersebut. Persoalan yang ada berdasarkan urutan prioritas yaitu sebagai berikut : 1. Pemaknaan alun-alun -dulu pada masa-masa kerajaan- dan pemaknaan masyarakat Ponorogo sekarang ini. 2. Alun-alun sebagai ruang publik masyarakat Ponorogo. 3. Alun-alun sebagai ruang terbuka hijau dalam kawasan kota Ponorogo.
Gambar 4.1 Kondisi panggung pertunjukan di alun-alun commit to userSyawal Ponorogo pada saat menjelang Sumber: dokumen pribadi, 4 Agustus 2011
119 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pemaknaan dari alun-alun tidak lepas dari jiwa spiritual masyarakat yang mempunyai alun-alun tersebut. Jiwa alun-alun sebuah kota terdapat dalam penghargaan masyarakat terhadapat tempat tersebut. Dalam hal jiwa spiritual tidak hanya bersifat religius tetapi juga bisa bersifat sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik. Selain itu alunalun juga mempunyai peran penting dalam perkembangan permukiman kota, menjadi sebuah centre. Dengan perkembangan masyarakat Ponorogo sekarang pemaknaan alunalun pun bergeser secara perlahan-lahan. Kegiatan yang terjadi di alun-alun lebih sering untuk kegiatan ekonomi. Tidak memungkiri bahwa kegiatan ekonomi tersebut juga terjadi interaksi antar warga masyarakat Ponorogo.
Gambar 4.2 Kondisi panggung pertunjukan pada waktu Grebeg Suro 2011 Sumber: dokumen Irfan Nurraharja
commit to user
120 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Alun-alun sebagai ruang publik pun menjadi sebuah solusi yang aplikatif untuk fungsi alun-alun sekarang tanpa harus mengurangi makna yang terkandung dalam alunalun itu sendiri. Alun-alun dapat digunakan sebagai ruang publik yang fleksibel, sesuai dengan acara yang akan terjadi di dalamnya.
Gambar 4.3 Alun-alun Ponorogo pada saat menjelang Syawal Sumber: dokumen pribadi, 4 Agustus 2011
Penambahan fungsi panggung pertunjukan utama di alun-alun mempunyai konsekuensi apabila panggung tersebut tidak bisa diterima oleh kalangan masyarakat. Penambahan bangunan pun didesain berada di basement sehingga tanpa mengurangi pandangan masyarakat soal alun-alun yang selalu lapang. Penambahan bentuk arsitektural pada masa Hindu-Budha memberikan makna lebih pada bangunan panggung pertunjukan yang sudah ada dan memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa alun-alun sudah terbentuk sudah beratus-ratus tahun yang lalu. Penambahan basementpun tidak serta merta menghabiskan ruang terbuka hijau (RTH) yang berapa di kawasan
kota
Ponorogo.
Menurut
Peraturan
Menteri
Pekerjaan
Umum
Nomor:05/PRT/M/2008 tentang Pedoman dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di
commit user hijau 20-30% dari luas kota. Kawasan Perkotaan menyebutkan bahwa ruang to tebuka
121 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sehingga penambahan fungsi bangunan seiring dengan penambahan fisik bangunan sangat memperhatikan ruang terbuka hijau (RTH) untuk perkotaaan. Diharapkan dengan adanya ruang terbuka hijau yang lebih banyak dapat menjadikan alun-alun sebagai alternatif ruang publik untuk masyarakat Ponorogo. IV.1.
ANALISA KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO
Penganalisaan secara makro di kawasan alun-alun Ponorogo dimulai dari sirkulasi lalu lintas yang melalui alunalun. Jalur lalu lintas yang mengelilingi alun-alun sekarang ini di buat 2 jalur. Jalur ini juga di gunakan angkutan umum dari
kota
Trenggalek,
Tulungagung,
Pacitan, dan sekitarnya. Konsekuensinya adalah ketika ada sebuah acara di alunalun –syawalan atau suroan- selalu menjadi macet. Lain halnya alun-alun Lor
ataupun alun-alun Kidul Jogjakarta dan alun-alun
Wonosobo
yang
Gambar 4-7 Kondisi sirkulasi lalu lintas Alun-alun Ponorogo sekarang
meemberlakukan satu jalur. Dengan ini dapat mengurangi masalah lalu lintas sekitar alun-alun. Juga pengenalan potensi wisata di Ponorogo bagi wisatawan agar secara tidak langsung akan mengelilingi alun-alun. Sebuah alun-alun tidak lepas dari kegiatan perekonomian karena hampir disetiapnya pasti ada sebuah pasar ataupun pedagang kaki lima. Pasar yang sekarang commit to user
122 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masih tercampur antara pedagang yang menjual kebutuhan pokok sehari-hari dengan pedagang yang menjajakan souvenir khas kota Ponorogo. Pengkategorian dengan barang yang dijual akan memudahkan konsumen untuk memenuhi kebutuhannya.
Gambar 4-8 Pasar Alun-alun Ponorogo (Sumber : dokumen pribadi)
Sebuah pengayoman pemerintah daerah ketika memelihara alun-alunnya sebagai ruang publik masyarakatnya. Alun-alun Ponorogo juga menjadi tempat usefull, ketika pagi hari banyak siswa-siswi yang melakukan olah raga dan sore hari banyak keluarga yang mengajak anak-anaknya sekedar bermain di alun-alun. Alun-alun banyak sekali menampung kegiatan masyarakat, menjadi ruang publik yang komplek.
commit to user
123 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Panggung utama pertunjukan yang berada didalam alun-alun memerlukan penambahan fungsi karena tidak adanya ruang servis untuk pengguna panggung utama. Kemudian penambahan dilakukan di luar lahan alun-alun tetapi masih dalam kawasan alun-alun.
Penambahan site Tidak hanya penambahan zona servis saja tetapi penambahan fungsi yang memasukkan konsep ruang publik. Ruang publik disini disediakan fasilitas tertentu agar masyarakat mengetahui sejarah kota, potensi wisata, dan seluruh hal-hal yang menyangkut kota Ponorogo.
commit to user
124 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
IV.2.
digilib.uns.ac.id
ANALISA KARAKTERISTIK BANGUNAN
Dalam merancang karakteristik bangunan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu : - Menanggapi keadaan tapak pada bangunan - Memaksimalkan penghematan energi meskipun bangunan ini berprospek menggunakan energi listrik yang cukup banyak. - Memanfaatkan kondisi iklim dan dan sumber energi alami - Memperhatikan pengguna bangunan - Memperhatikan ekosistem lingkungan Dengan menerapkannya maka nantinya akan memunculkan desain bangunan revitalisasi alun-alun yang merespon keadaan tapak dan iklim setempat. Dengan demikian akan muncul desain bangunan revitalisasi yang berkesinambungan dengan masyarakat Ponorogo. Dasar pertimbangan : - Kondisi existing site. - Kesesuaian dengan fungsi, karakter kegiatan, tuntutan ruang, dan tampilan bangunan. monumental dan berbentuk irasional sesuai dengan paham ekspresionis pada bab sebelumnya.
commit to user
125 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
IV.3.
digilib.uns.ac.id
ANALISA PERUANGAN
Analisa peruangan merupakan analisa perencanaan dan perancangan bangunan dengan cara mengelompokkan pelaku, kebutuhan ruang tiap pelaku, persyaratan tiap ruang, serta besaran ruang yang dibutuhkan tiap pelaku. Gubahan masa dan bentuk bangunan merupakan target utama dalam perancangan revitalisasi Alun-alun Ponorogo. Oleh karenanya analisa peruangan yang akan dilakukan harus mengikuti bentuk dari bangunan itu sendiri. Sehingga beberapa analisa ruangan merupakan sebuah ide awal yang diselaraskan dengan bentuk bangunan dan besaran ruangan yang diperoleh merupakan besaran minimal. Analisa peruangan yang hendak diselaraskan dengan bentuk bangunan adalah kebutuhan ruang, pengelompokan ruang, persyaratan ruang, serta besaran ruang. IV.3.1. Analisa Kebutuhan Ruang Panggung Utama Kebutuhan ruang diperoleh dari analisa pelaku dan macam kegiatan yang dilakukannya dalam bangunan panggung utama. Pengguna dibedakan menjadi tiga yaitu pengelola, penampil, dan pengunjung. Pengunjung adalah orang yang ingin menonton penampilan dari seniman penyaji, berinteraksi dengan sesama pengunjung ataupun pengelola, atau sekedar menikmati suasana ruang publik. Penampil adalah seniman yang menampilkan karyanya di masyarakat umum. Sedangkan pengelola yaitu orang yang akan mengelola hasil redesain panggung utama ini. Pengelola terdiri dari satu pimpinan utama dan empat bagian, yaitu bagian administrasi, bagian bendahara,bagian perlengkapan, dan bagian perawatan. Setiap bagian mempunyai beberapa staff untuk melayani pengguna maupun penampil.
commit to user
126 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berikut adalah tabel diagramatik pelaku kegiatan, macam kegiatan, dan peruangan yang dibutuhkan. Tabel Kebutuhan Ruang Panggung Utama Pelaku Pengunjung
Pimpinan Utama
Kepala bagian
Staff
Macam Kegiatan Parkir Bersosialisasi Makan/minum Istirahat Ibadah Metabolisme Parkir Memimpin Semua Staff Makan/Minum Istirahat Ibadah Metabolisme Parkir Memimpin Tiap Bagian Makan/minum Istirahat Ibadah Metabolisme Parkir Melayani pengunjung Makan/minum Istirahat Ibadah Metabolisme
Ruang Area parkir Semua area Food Court R. Istirahat Mushola Lavatory Area parkir R. Pimpinan Food Court R Istirahat Mushola Lavatory Parkir Area R. Kabag Food Court R. Istirahat Mushola Lavatory Area parkir Semua area Food Court R. Istirahat Mushola Lavatory
IV.3.2. Analisa Kebutuhan Ruang Pasar Kebutuhan ruang untuk pasar yang berada di sekitar alun-alun. Pengguna dibedakan menjadi tiga yaitu pengelola, penjual, dan pembeli. Pengelola adalah pegawai dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Penjual yang memiliki barang untuk dijajakan, sedangkan pembeli yaitu orang yang memenuhi kebutuhannya dengan nilai tukar barang.
commit to user
127 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berikut adalah tabel diagramatik pelaku kegiatan, macam kegiatan, dan peruangan yang dibutuhkan. Tabel Kebutuhan Ruang Panggung Utama Pelaku Pembeli
Pengelola
Penjual
Macam Kegiatan Parkir Proses pembelian Bersosialisasi Makan/minum Istirahat Ibadah Metabolisme Parkir Memimpin Semua Staff Makan/Minum Istirahat Ibadah Metabolisme Parkir Proses penjualan Makan/minum Istirahat Ibadah Metabolisme
Ruang Area parkir Semua area Semua area Kantin R. Istirahat Mushola Lavatory Area parkir R. Pengelola Kantin R Istirahat Mushola Lavatory Parkir Area Los/kios Kantin R. Istirahat Mushola Lavatory
IV.3.3. Analisa Pengelompokan Ruang Panggung Utama Setelah memperoleh macam ruangan yang dibutuhkan, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa setiap ruangan untuk kemudian dikelompokkan dan direncanakan perletakan ruangan di dalam bangunan. Pengelompokan ruang didasarkan pada fungsinya dan rencana perletakan ruangan diperoleh dari analisa pencapaian menuju ruangan. Berikut adalah tabel diagramatiknya. commit to user
128 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel Analisa Pengelompokan Ruang Panggung Utama Kelompok Ruang Hiburan
Ruang Penginapan Ruang Pameran
Pengelola
Penunjang
Macam Ruang Panggung Utama Panggung Pertunjukan indoor Pendopo Home stay
Pencapaian Dapat diletakkan pada lantai dasar Dapat diletakkan pada lantai dasar Dapat diletakkan pada lantai dasar Butuh ketenangan
Indoor
Dekat dengan lobi utama Semi Outdorr Dekat dengan ruang pameran indoor Outdoor Dapat dilihat dari segala arah R. Pimpinan Pada area yang lebih privat R. Sekretaris Dekat dengan R. Pimp. R. Kabag Dekat dengan R. Pimp. R. Kasubag Dekat dengan R. Kabag R. Staff Dekat dengan ruang pengelola lainnya, dekat dengan ruang yang di tangani Parkir Pengelola Dekat dengan ruangan pengelola Lavatory Dekat dengan setiap ruangan Mushola Lebih maksimal jika ada pada setiap lantai Area Santai Dekat dengan setiap ruangan Coffe Shop Mudah di akses dari setiap ruang Area Parkir Dekat dengan area luar
Rencana Perletakan Lt. 1 Lt. 1
Lt. 1 Lt. 1+ Lt. 1 Lt. 1 Lt. 1 outdoor Lt. 1+ Lt. 1+ Lt. 1+ Lt. 1 Lt. 1
Lt. 1 Setiap lantai Setiap lantai Setiap lantai Lt. 1,3 Lt. 1 Basement
commit to user
129 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
IV.3.4. Analisa Pengelompokan Ruang Pasar Tabel analisa pengelompokan Ruang Pasar Kelompok Ruang Ruang JualBeli Pengelola
Penunjang
Macam Ruang Los /Kios Parkir
Pencapaian
Mudah diakses Dekat dengan Pintu Utama R. Pimpinan Pada area yang lebih privat R. Sekretaris Dekat dengan R. Pimp. R. Kabag Dekat dengan R. Pimp. R. Kasubag Dekat dengan R. Kabag R. Staff Dekat dengan ruang pengelola lainnya, dekat dengan ruang yang di tangani Parkir Pengelola Dekat dengan ruangan pengelola Lavatory Dekat dengan setiap ruangan Mushola Lebih maksimal jika ada pada setiap lantai Area Santai Dekat dengan setiap ruangan Coffe Shop Mudah di akses dari setiap ruang Area Parkir Dekat dengan area luar
Rencana Perletakan Lt. 1+ Lt. 1 Lt. 1+ Lt. 1+ Lt. 1+ Lt. 1 Lt. 1
Lt. 1 Setiap lantai Setiap lantai Setiap lantai Lt. 1,3 Lt. 1 Basement
IV.3.5. Analisa Persyaratan Ruang Setelah memperoleh pengelompokan dan rencana perletakan ruangan, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa persyaratan ruangan, untuk menentukan commit to user konsep dasar interior ruangan dan hubungan antar ruangan. Untuk memperoleh
130 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
interior ruangan yang memberi kesan otaku, maka persyaratan ruang didasarkan pada konteks mengekspresikan otaku ke dalam ruangan. Tabel Analisa Persyaratan Ruang Macam Ruang Ruang pengelola
Home stay
Persyaratan Ruang -
Panggung Pertunjukan indoor
Pendopo
Los/Kios pasar
Area Komunal
Kantin
-
Memerlukan penerangan yang baik Memerlukan penghawaan yang baik Dekat dengan zona servis Lay out ruangan yang nyaman Dekat dengan toilet dan penjualan makanan Terdapat ruang tunggu/santai/komunal di luar ruangan Memerlukan layout ruangan yang nyaman pada tempat memilih film Memerlukan penerangan yang baik Memerlukan penghawaan yang baik Memerlukan layout ruangan yang nyaman Memerlukan penerangan yang baik Memerlukan penghawaan yang baik Privat Dekat dengan home stay Dekat dengan zona penunjang Dekat dengan bangunan Pengelola Dekat dengan home stay Dekat dengan bangunan pengelola Ruang publik Memerlukan ruangan yang nyaman Memerlukan penerangan yang baik Memerlukan penghawaan yang baik Memerlukan area yang luas Memerlukan penerangan yang baik Memerlukan penghawaan yang baik Dekat dengan toilet dan penjualan makanan Dapat dipergunakan sebagai tempat memajang hasil karya seniman Memerlukan penerangan yang baik Memerlukan penghawaan yang baik Dekat dengan toilet Interior dibentuk seperti guild bar atau yang lainnya commit to user
131 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
IV.3.6. Analisa Besaran Ruang Setelah memperoleh hasil analisa persyaratan ruang, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa besaran ruang. Besaran ruang diperoleh dari asumsi rencana layout ruangan, yang diperoleh dari penyusunan furnitur dan flow minimal yang dibutuhkan. Dengan demikian besaran ruang yang diperoleh adalah besaran ruang minimum sehingga besaran ruang tersebut harus dipenuhi dan tidak menutup kemungkinan bahwa besaran ruang akan melebihi berasan ruang minimum. Hal tersebut disebabkan oleh bentuk ruang publiksehingga akan ada beberapa spot yang memerlukan perlebaran, tidak dapat dipakai sebagai ruangan, serta beberapa hal teknis lainnya. Kebutuhan Ruang Panggung pentunjukan indoor
sesuai dengan Time-Saver Standards for Interior Desain andSpace Planning = 400 m2
Pendopo joglo
12x12 = 144 m2
Pendopo limasan Home stay
20x12 = 420 m2 total luas = 144+420 = 564 m2 25x4x3=300m2
±564 m2 ±300 m2
Los/kios pasar
50x5x3=750m2
±750 m2
R. Pimpinan
1 meja + 3 kursi = 4 m2 1 set sofa + meja= 6m2 1 lemari = 0,4 m2 1 rak = 0,4 m2 flow 60% = 0,6 x 10,8 = 6,48 m2 total luas = 10,8 + 6,48 = 17,28 m2 1 meja + 3 kursi = 4 m2 1 lemari = 0,4 m2 1 rak = 0,4 m2 flow 60% = 0,6 x 4,8 = 2,88 m2 total luas = 4,8 + 2,88 = 7,68 m2 1 meja + 3 kursi = 4 m2 1 lemari = 0,4 m2 1 rak = 0,4 m2 flow 60% = 0,6commit x 4,8 = 2,88 m2 to user total luas = 4,8 + 2,88 = 7,68 m2
R. Sekretaris
R. Kabag (4 orang)
Analisa Besaran Ruang
Luas Minimal ±400 m2
±18 m2
±8 m2
±8 m2
132 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
R. Kasubag (14 orang)
R. Staff (34 orang) lavatory mushola food court Luas Total Minimum
digilib.uns.ac.id
4x 8 m2 = 32 m2 1 meja + 3 kursi = 4 m2 1 lemari = 0,4 m2 1 rak = 0,4 m2 flow 60% = 0,6 x 4,8 = 2,88 m2 total luas = 4,8 + 2,88 = 7,68 m2 14 x 8 m2 = 112 m2 1 meja + 3 kursi = 4 m2 flow 60% = 0,6 x 4= 2,4 m2 total luas = 4 + 2,4 = 6,4 m2 34 x 6,5 m2 = 221 m2 menyesuaikan menyesuaikan menyesuaikan
±32 m2
8 m2 ±112 m2 6,5 m2 ±221 m2
±100 m2 ±100 m2 ±300 m2 ±2913 m2
IV.3.7. Analisa Pengolahan Tapak IV.3.7.1. Analisa Klimatologis 1) Dasar pertimbangan :
2)
-
arah datang sinar matahari
-
arah angin
-
pemecahan masalah akibat iklim terhadap bangunan
Kondisi site
commit to user
133 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a) Analisa Masalah yang berhubungan dengan iklim mempunyai beberapa altematif pemecahan masalah dengan pertimbangan sebagai berikut : · Bukaan Biasanya berhubungan dengan dimana seharusnya diletakkan bukaan untuk menangkap sinar matahari kedalam bangunan ataupun bukaan bagi angin sebagai penghawaan alami. · Barrier Barrier atau penghalang dapat berupa sebagai vegetasi ataupun bangunan dan pagar yang didesain sebaik mungkin sebagai penghalang sinar matahari ataupun angin yang merugikan bangunan dan kegiatan di dalamnya. · Material Material
lebih
difungsikan
sebagai
pemecahan
masalah
bangunan dengan sinar matahari, dimana ia berperan sebagai filter sinar dan mengurangi kesilauan (glare) dalam bangunan.
b) Hasil analisa · Sinar matahari - Timur Karena merupakan sinar yang dibutuhkan, maka pada sisi timur bangunan perlu diberikan bukaan untuk menangkap sinar matahari untuk mendukung kegiatan di dalamnya. - Barat Sinar dihindari dengan shading pada bangunan yang dapat berupa pepohonan atau bentuk-bentuk penutup dinding yang sedemikian rupa. sedikit bukaan pada bangunan dan juga penggunaan material yang tidak menyerap sinar matahari dan mengurangi efek silau. commit to user
134 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
· Bentuk Bangunan - Bentuk
bangunan
dibuat
memanjang
dan
tipis
untuk
memaksimalkan area bangunan yang menghadap ke arah selatan dan utara, sehingga dapat metode cross ventilation (penghawaan alami) dapat berjalan maksimal dan mengurangi kedalaman ruang sehingga ruang yang berada di tengah banguan juga dapat terkena sinar matahari. · Orientasi Bangunan - Orientasi bangunan terhadap sinar matahari yang paling cocok dan menguntungkan adalah memanjang dari arah barat ke timur, bukaan dimaksimalkan pada bagian fasade utara dan selatan bangunan sehingga cahaya tetap dapat dimanfaatkan tanpa menimbulkan dampak silau dan panas yang berlebihan. - Yang pada umumnya m engalir dari arah barat laut sedangkan bagian lain tetap memanjang ke arah timur dan barat. Aliran udara masih bisa ditangkap dengan desain yang baik namun sinar matahari merupakan hal yang tidak bisa dikondisikan. IV.3.7.2. Analisa View 1) Dasar pertimbangan : - Orientasi dimaksudkan sebagai pengarah atau penunjuk terhadap kegiatan yang ada pada bangunan - View meupakan point of interest yang akan didesain pada sebuah bangunan - View bisa didapatkan dari arah dalam maupun luar bangunan commit to user
135 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
- Letak site dan sirkulasi memegang peranan dalam penentuan view bangunan 2) Kondisi eksisting : View in view in terbesar berada pada bagian timur sebelah utara View out View out langsung ke Alunalun
3) Analisa : - View from site menghadap utara konsentris dengan Alun-alun. - View to site terbesar berasal dari jalan Alun-alun Selatan dari arah utara 4) Hasil analisa : - Orientasi utama bangunan diarahkan ke jalan Alun-alun Selatan sebagai jalan utama untuk menarik pengunjung. Dari dalam site diberi beberapa view seperti taman dan sebagainya, selain itu sebagai plasa tempat berkumpul seperti pada fungsinya yaitu sebagai perluasan kawasan Alun-alun sekaligus sarana sosialisasi dan ruang publik .
commit to user
136 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
IV.3.7.3. Analisa Pencapaian 1) Dasar pertimbangan : - penentuan ME (main entrance) dan SE (second entrance) - sirkulasi yang mudah, aman dan nyaman - kondisi, arus kendaraan dan potensi jalan 2) Analisa
- Dari kondisi eksisting tersebut, dengan pertimbangan jumlah arus transportasi yang melalui Jalan Alun-alun Selatan maka letak ME akan lebih efektif diletakkan di depan. Sedangkan jalur SE diletakkan disamping (bagian barat) demi kenyamanan sirkulasi pengelola. 3) Hasil analisa - ME diletakkan pada Jalan Alun-alun Selatan karena lebih potensial dan lebih mudah dicapai. - SE diletakkan di jalan sebelah barat ME karena cukup nyaman untuk sirkulasi
commit to user
137 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
IV.3.7.4. Analisa Kebisingan 1) Dasar Pertimbangan : - Penentuan zona publik dan servis - Penempatan area outdoor dan area indoor 2)
Kondisi eksisting : Noise Noise terbesar berada pada sebelah utara. Akan lebih efektif jika digunakan sebagai area outdoor, bukan ruangan/indoor.
3) Analisa - Pemberian vegetasi ditekankan pada usaha untuk mereduksi kebisingan dari perempatan, sehingga tidak mengganggu aktivitas di dalam bangunan. - Pemberian vegetasi selain sebagai barrier kebisingan juga untuk elemen estetika. - Peletakan ruangan yang menjauhi pusat kebisingan terbesar 4) Hasil analisa - Bangunan yang bersifat privat diposisikan lebih barat untuk menjauhi kebisingan. - Bagian utara merupakancommit zona publik to userdan zona servis.
138 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
IV.3.7.5. Analisa Zoning 1) Dasar pertimbangan : - Hasil dari analisa makro (pengolahan tapak) yang disesuaikan dengan konsep bangunan yang ingin diterapkan. 2) Kondisi Eksisting : Publik Sesuai dengan analisa sebelumnya, maka area publik lebih sesuai jika diletakkan pada bagian timur site, dekat dengan Main Entrance Privat Sesuai dengan analisa sebelumnya, maka area privat akan lebih sesuai jika diletakkan pada bagian tengah site.
Semi Area semi publik merupakan area transisi. Dapat dipergunakan sebagai area outdoor atau area indoor dengan tingkat sirkulasi tinggi
3) Analisa - ME di posisikan sebagai pintu utama masuknya area. - Zona publik diletakkan di bagian depan site, yaitu di dekat ME. - Zona servis yaitu zona untuk pengelola diletakkan di dekat SE. 4) Hasil analisa - Zona publik diletakkan di bagian timur sebagai area untuk outdoor , taman, dan plasa. - Zona privat berada di tengah sebagai area untuk massa utama. - Zona servis berada di bagian barat atau utara sebagai area pengelola.
commit to user
139 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
IV.3.7.6. Analisa Pencahayaan - Setelah mendapatkan hasil analisa dari pencahayaan yang masuk ke dalam site, maka analisa pencahayaan di dalam bangunan diperlukan sebagai rencana pengaplikasian sistem pencahayaan yang diperlukan di setiap ruangan. Beberapa poin yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: o Dinding transparan. - Penggunaan dinding agar terkesan simple, ringan. Pemilihan bahan ini ditujukan pada bangunan yang bersifat publik. Agar masyarakat bisa ikut merasakan sebuah bentuk ruang. o Skylight - Pemberian kesan lapang secara vertikal, sekaligus untuk memasukkan
cahaya
matahari.
Pengaplikasiannya
juga
digunakan untuk menunjukkan sirkulasi dalam ruang. o Jendela dan roster - Digunakan pada bangunan-bangunan yang bersifat privat. Pengunaan rosterpun untuk menambah sisi artistik dalam ruang. IV.3.7.7. Analisa Penghawaan - Sama seperti analisa pencahayaan, hasil analisa dari penghawaan yang masuk ke dalam site akan dianalisadan dipergunakan sebagai rencana pengaplikasian sistem penghawaan yang diperlukan di setiap ruangan. Penataan komposisi massa bangunan mempengaruhi sirkulasi udara di dalam site.
commit to user
140 |BAB IV
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V
KONSEP REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN PONOROGO SEBAGAI RUANG PUBLIK
V.1. Konsep Bangunan Revitalisasi Kawasan Alun-alun Ponorogo Terjadinya sebuah Alun-alun tidak lepas dari perkembangan sosial, ekonomi,dan budaya masyarakatnya. Begitu pula dengan bentuk bangunan yang ada disekitarnya. Tetapi ketika masyarakat berkembang secara future berpikir kearah modernisasi,
apakah
serta
merta
bentuk
arsitektur
bangunannya
juga
mengikutinya?. Bentuk yang mengakulturasi sejarah perkembangan bentuk bangunan diharapkan dapat memberikan pemahaman untuk masyarakat agar lebih merespon sebuah perjalanan kebudayaan sebuah kota. Penentuan bentuk bangunan mengacu pada proses seni bangunan dan seni bina kota pada masyarakat Jawa pada umunya. Mempelajari tentang bentuk-bentuk pada masa Jawa kuno, bentukbentuk
arsitektural
bangunan
masyarakat
Ponorogo sekarang ini, dan Gambar 5-1Candi Tinggi di Muara Takus (Jambi) yang dibangun kira-kira abad ke-12 merupakan salah satu puncak hasil seni bangunan batu bata di Indonesia.
commit to user
bentuk-bentuk tentang
prediksi
masa
depan.
141 |BAB V
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengaplikasian bahan-bahan bangunan yang bisa memunculkan kesan usang, serta bahan-bahan pabrikasi. Pengambilan bentuk-bentuk candi Hindu-Buddha menjadi salah satu alternatif dalam pengembangan panggung utama yang berada di Alun-alun Ponorogo. Seperti halnya menara Kudus yang dapat mengakulturasi 3 macam kebudayaan, Cina, Hindu-Buddha, dan Islam. Sebuah kota di Jawa tidak lepas dari rentetan sejarah yang panjang.
Gambar 5-2 Komplek Menara Kudus beserta Makam-Masjid (Sumber : Kesit Himawan Setiadji)
Panggung Pertunjukan Utama didesain dengan urutan perjalanan kebudayaan yang ada di Jawa dari 100 tahun yang lalu hingga 100 tahun kedepan. Semua dirangkai agar menjadi sebuah urutan yang dinamis.
commit to user
142 |BAB V
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kegiatan masyarakat di Alun-alun sekarang sudah berbeda dengan kegiatan masyarakat 100 tahun lalu. Pengelolaan pedestrian dan taman di sekitar Alun-alun perlu pengolahan kembali agar kegiatan publik masyarakat bisa optimal. V.2. Konsep Peruangan V.2.1. Konsep Pesyaratan Ruang Macam Ruang Ruang pengelola
Home stay
Panggung Pertunjukan indoor
Pendopo
Los/Kios pasar
Area Komunal
Kantin
-
Persyaratan Ruang Memerlukan penerangan yang baik Memerlukan penghawaan yang baik Dekat dengan zona servis Lay out ruangan yang nyaman Dekat dengan toilet dan penjualan makanan Terdapat ruang tunggu/santai/komunal di luar ruangan Memerlukan layout ruangan yang nyaman pada tempat memilih film Memerlukan penerangan yang baik Memerlukan penghawaan yang baik Memerlukan layout ruangan yang nyaman Memerlukan penerangan yang baik Memerlukan penghawaan yang baik Privat Dekat dengan home stay Dekat dengan zona penunjang Dekat dengan bangunan Pengelola Dekat dengan home stay Dekat dengan bangunan pengelola Ruang publik Memerlukan ruangan yang nyaman Memerlukan penerangan yang baik Memerlukan penghawaan yang baik Memerlukan area yang luas Memerlukan penerangan yang baik Memerlukan penghawaan yang baik Dekat dengan toilet dan penjualan makanan Dapat dipergunakan sebagai tempat memajang hasil karya seniman Memerlukan penerangan yang baik Memerlukan penghawaan yang baik Dekat dengan toilet Interior dibentuk seperti guild bar atau yang lainnya commit to user Tabel 5-1 Tabel Persyaratan Ruang
143 |BAB V
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
V.2.2. Konsep Besaran Ruang Kebutuhan Ruang Panggung pentunjukan indoor
sesuai dengan Time-Saver Standards for Interior Desain andSpace Planning = 400 m2
Pendopo joglo
12x12 = 144 m2
Pendopo limasan Home stay
20x12 = 420 m2 total luas = 144+420 = 564 m2 25x4x3=300m2
±564 m2 ±300 m2
Los/kios pasar
50x5x3=750m2
±750 m2
R. Pimpinan
1 meja + 3 kursi = 4 m2 1 set sofa + meja= 6m2 1 lemari = 0,4 m2 1 rak = 0,4 m2 flow 60% = 0,6 x 10,8 = 6,48 m2 total luas = 10,8 + 6,48 = 17,28 m2 1 meja + 3 kursi = 4 m2 1 lemari = 0,4 m2 1 rak = 0,4 m2 flow 60% = 0,6 x 4,8 = 2,88 m2 total luas = 4,8 + 2,88 = 7,68 m2 1 meja + 3 kursi = 4 m2 1 lemari = 0,4 m2 1 rak = 0,4 m2 flow 60% = 0,6 x 4,8 = 2,88 m2 total luas = 4,8 + 2,88 = 7,68 m2 4x 8 m2 = 32 m2 1 meja + 3 kursi = 4 m2 1 lemari = 0,4 m2 1 rak = 0,4 m2 flow 60% = 0,6 x 4,8 = 2,88 m2 total luas = 4,8 + 2,88 = 7,68 m2 14 x 8 m2 = 112 m2 1 meja + 3 kursi = 4 m2 flow 60% = 0,6 x 4= 2,4 m2 total luas = 4 + 2,4 = 6,4 m2 34 x 6,5 m2 = 221 m2 menyesuaikan menyesuaikan menyesuaikan
R. Sekretaris
R. Kabag (4 orang)
R. Kasubag (14 orang)
R. Staff (34 orang) lavatory mushola food court Luas Total Minimum
Analisa Besaran Ruang
Luas Minimal ±400 m2
±18 m2
±8 m2
±8 m2 ±32 m2
8 m2 ±112 m2 6,5 m2 ±221 m2
±100 m2 ±100 m2 ±300 m2 ±2913 m2
Tabel 5-2 Tabel Besaran Ruang
commit to user
144 |BAB V
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
V.3. Konsep Site Terpilih Pemilihan site yang berada di sebelah
selatan
Alun-alun.
Agar
tujuan revitalisasi Alun-alun sesuai dengan
pola
kota
Jawa
pada
umumnya, yaitu linier konsentris. Redesain pasar yang berada di sebelah barat
juga
termasuk
salah
satu
rangkaian revitalisasi Alun-alun Ponorogo. Tidak lepas dari kedua site tersebut, lingkungan Alun-alunpun juga mejadi perhatian yaitu masalah pedestrian dan pedagang kaki lima. Publik Sesuai dengan analisa sebelumnya, maka area publik lebih sesuai jika diletakkan pada bagian timur site, dekat dengan Main Entrance
Semi Area semi publik merupakan area transisi. Dapat dipergunakan sebagai area outdoor atau area indoor dengan tingkat sirkulasi tinggi Privat Sesuai dengan analisa sebelumnya, maka area privat akan lebih sesuai jika diletakkan pada bagian tengah site.
commit to user
145 |BAB V
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
V.4. Konsep Dalam Bangunan Setelah mendapatkan hasil analisa dari pencahayaan yang masuk ke dalam site, maka analisa pencahayaan di dalam bangunan diperlukan sebagai rencana pengaplikasian sistem pencahayaan yang diperlukan di setiap ruangan. Beberapa poin yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: a. Skylight Skylight dipergunakan sebagai penghantar cahaya maupun pengarah sirkulasi. Skylight dipergunakan pada bagian transisi antar ruangan dan di sekitar panggung pertunjukan indoor. b. Dinding Transparan Digunakan di massa bangunan yang bersifat publik, agar memberi kesan lapang sekaligus fleksible. c. Jendela dan roster Digunakan pada bangunan-bangunan yang bersifat privat. Pengunaan rosterpun untuk menambah sisi artistik dalam ruang. V.5. Konsep Struktur Bangunan a. Sub Struktur Pondasi yang dipilih adalah pondasi tiang pancang dengan pertimbangan sebagai berikut : -
Jenis tanah pada area tapak yang cukup keras
-
Karakter
bangunan
revitalisasi
kawasan
Alun-alun
Ponorogo
mempunyai beban yang dinamis. commit to user
146 |BAB V
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Super Struktur Sistem struktur yang dipilih adalah struktur core, struktur rangka, struktur kantilever, struktur gantung, dengan pertimbangan sbb : -
Struktur core dipergunakan untuk struktur utama di bagian tengah bangunan. Core juga dipergunakan untuk menyangga struktur gantung.
-
Bangunan pengelola bukan merupakan bangunan yang tinggi sehingga hanya memerlukan struktur yang bentuk dan sistemnya sederhana dan ringan namun cukup kuat, yaitu struktur rangka.
-
Struktur rangka memungkinkan bukaan-bukaan yang cukup banyak sehingga bisa mendukung prinsip penghematan energi bangunan dengan pencahayaan dan penghawaan alami.
-
Struktur kantilever digunakan untuk menyangga balkon, dan ruangan lain yang berada di bagian atas bangunan.
-
Struktur gantung juga dipergunakan untuk menyangga ruangan yang berada di bagian atas bangunan.
c. Upper Struktur Sistem struktur atap bangunan pameran yang dipilih adalah sistem plat beton (dak), folded plate, cangkang, dan rangka baja, dengan pertimbangan: -
Sistem plat beton dipergunkan untuk membentuk rooftop.
-
Folded plate dipergunakan untuk membentuk atap pada bagian bangunan yang tidak diperuntukkan untuk rooftop.
-
Sistem cangkang dari baja dan kaca dipergunkan untuk bagian ruangan komunal, dan areayang membutuhkan pencahayaan yang lebih commit to user
147 |BAB V
perpustakaan.uns.ac.id
-
digilib.uns.ac.id
Rangka Baja dipergunakan untuk ruangan yang membutuhkan bentang yang lebar tanpa adanya kolom di tengah ruangan.
V.6. Konsep Utilitas Bangunan Sistem utilitas bangunan yang difungsikan untuk mendukung kelangsungan bangunan dapat dijabarkan sebagai berikut : - Sistem Jaringan Listrik - Sistem Telematika (Komunikasi) - Sistem Jaringan Air (Bersih Dan Kotor) - Sistem Pemadam Kebakaran - Sistem Penangkal Petir Berikut akan dibahas satu persatu a. Sistem Jaringan Listrik Kebutuhan listrik pada bangunan disuplai dari PLN dan untuk keadaan tertentu ketika suplai PLN terhenti digunakan tenaga cadangan dari Genset (Generator set). Listrik dari PLN dan genset dihubungkan dengan sebuah automatic transfer dengan sistem ATS yaitu suatu alat transfer yang secara otomatis akan menjalankan genset apabila aliran listrik dari PLN padam.
commit to user
148 |BAB V
perpustakaan.uns.ac.id
PLN
digilib.uns.ac.id
Trafo M
Autoswitch
HDP
SDP
K
Distribusi
Genset UPS
Skema 5.1. Skema Sistem Jaringan Listrik Sumber : dokumen pribadi Keterangan M
= meteran
MDP = Main Distribution Panel SDP = Sub Distribution Panel UPS = Uninteruptable Power Supply S
= Sekering
b. Sistem Telematika (komunikasi) -
Komunikasi user dengan lingkungan luar Komunikasi ini bisa terjadi antara pengelola dengan pihak luar atau pengunjung dengan pihak luar. Untuk pengelola yang melakukan komunikasi (biasanya formal) dengan pihak luar, diinstalasikan sistem telepon PABX dan WAN (Wide Area Network). Sedangkan untuk pengunjung disediakan box telepon umum/wartel (meskipun saat ini penggunaan telepon seluler sudah marak).
commit to user
149 |BAB V
perpustakaan.uns.ac.id
-
digilib.uns.ac.id
Komunikasi sesama user di dalam bangunan Komunikasi user dalam bangunan meliputi komunikasi pengelola dengan pengunjung, atau komunikasi antar pengelola. Komunikasi antar pengelola dapat dilayani memakai sistem telepon dengan operator (PABX) dan LAN. Sementara itu, untuk komunikasi pengelola dengan pengunjung
dapat
dipergunakan
intercom
atau
speaker
yang
diinstalasikan pada ruang-ruang terutama yang diakses publik. Sistem ini misalnya, berguna untuk pemberitahuan informasi kepada pengunjung. c. Sistem Jaringan Air Bersih Penggunaan sumur sebagai sumber air utama dipertimbangkan berdasar pada nilai ekonomis dan mampu menyediakan air dalam jumlah banyak dengan debet air yang relatif konstan. Penggunaan kembali air kotor yang berasal dari sebelumnya di olah terlebih dahulu pada bagian water treatment. Pertama air kotor disaring terlebih dahulu dengan lapisan ijuk dan koral, setelah itu air tersebut diaduk dan diendapkan dengan larutan bubuk biji kelor. Menurut penelitian, biji daun kelor dapat menjernihkan dan mengikat zat racun dalam air kotor (www.BPPT.co.id). Langkah ini dapat menghemat penggunaan air sumur sehingga menjaga muka air tanah. Ada dua cara pendistribusian air, yaitu Up Feed Distribusion dan Down Feed Distribution. Pemakaian sistem Down Feed Distribution lebih baik karena air tanah tidak terus menerus dipompa ke atas (seperti Up Feed Distribution ), tetapi ditampung dalam tangki-tangki air yang diletakkan di commit to user
150 |BAB V
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
atas beberapa menara kemudian didistribusikan. Keuntungan menggunakan sistem ini adalah mampu memperhitungkan jangkauan distribusi dengan membagi area pelayanan terhadap luasan tapak. Sumur PAM
GT
P
UT
Distribusi
M
Air Kotor
WT
GT
P
UT
Distribusi
Air Hujan Skema 5.2. Skema Sistem jaringan Air Bersih Sumber : dokumen pribadi
Keterangan M
= meteran
GT
= Ground Tank
UT
= Upper Tank
WT = Water Treatment P
= Pompa
d. Sistem Jaringan Air Bersih Sistem jaringan air kotor dibagi menjadi dua bagian, yaitu jaringan air kotor padat (tinja & lavatory) dan j aringan air kotor cair (air hujan, roof garden, wastafel, tempat wudlu, dan dapur). Air kotor padat disalurkan ke Septictank kemudian ke peresapan, sedangkan air kotor cair dikumpulkan di Water treatment untuk di olah kembali sehingga bisa digunakan untuk perawatan commit to user
151 |BAB V
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
roof garden. Air Kotor
P
Air Hujan Dapur
Kotoran Padat Kotoran Cair
GT
WT Bak Kontrol
Penangkap Lemak
Septic Tank
Riol Kota
Resapan
Skema 5.3. Skema Sistem Air Kotor Sumber : dokumen pribadi
e. Sistem Penanggulangan Bahaya Kebakaran Peristiwa kebakaran merupakan bahaya yang sering terjadi pada bangunan, terutama bangunan pameran, konvensi dan hotel dimana ada beribu orang berkumpul untuk menyaksikan pameran, rapat, dsb. Untuk mengantisipasi dan mengatasinya, perlu disediakan sistem pencegahan bahaya kebakaran dalam bangunan. Beberapa sistem pemadaman dan bahan yang dipergunakan dijelaskan pada tabel berikut . Kelas
Bahan Pemadaman
Sistem
Kebakaran pemadaman
Air
Foam
CO2
CTF-BT
(busa) Kelas A
Pendinginan,
Baik
Boleh
Powder Dry
Boleh
Boleh
Boleh
kayu, karet, penguraian, commit to user
152 |BAB V
perpustakaan.uns.ac.id
Kelas B
digilib.uns.ac.id
Isolasi
Bahaya
Isolasi
Isolasi,
Baik
Baik
Boleh
Boleh
Bahaya Bahaya
Baik
Boleh
Baik
Bahaya Bahaya
Boleh
Bahaya
Baik
bensin, cat, Kelas C listrik dan atau mesin Kelas D
logam pendinginan Tabel 5.3. Tabel Sistem Pemadaman dan Bahan yang Dipergunakan Keterangan BCF = Bromide, Chlorine, Fluorine adalah jenis gas Halon Bahan pemadam api CO2
= Carbon dioxida
Sistem pemadaman meliputi : Penguraian = pemisahan / menjauhkan benda-benda yang mudah terbakar Pendinginan = penyemprotan air pada benda-benda yang terbakar Isolasi = dengan cara menyemprotkan CO2 Blasting effect system = pemberian tekanan yang tinggi sekaligus menyerap O2 dengan menggunakan bahan peledak Tingkat bahaya Prosentase CO2 Berbahaya Cukup berbahaya
40% 30%
Volume C02 40% x volume ruang 30% x volume ruang
Berat CO2 / m3 0,8 kg 0,6 kg
Sumber : Utilitas Bangunan, In Hartono Poerbo, M.Arch, dalam Febri Fahmi Hakim, 2005: 153
Cara kerja yang dipilih untuk diterapkan pada bangunan revitalisasi kawasan Alun-alun Ponorogo adalah sistem semi otomatis untuk ruangcommit to user ruang pengelola, mengingat pentingnya dokumen-dokumen yang terdapat 153 |BAB V
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pada ruang-ruang tersebut. Hal ini akan merugikan apabila sistem pemadaman otomatis dengan splinker air langsung dipakai tanpa melihat dulu seberapa besar kebakaran yang terjadi. Untuk itu pula tetap disediakan tabung-tabung gas C02 dengan tujuan ketika digabung dengan sistem semi otomatis, manusia bisa mengambil keputusan apakah kebakaran yang terjadi masih bisa dikendalikan dengan tabung COZ atau tidak.
Api Asap
Alat Deteksi
Panel Alarm
Manusia/ Operator
Sistem Start
Pemadam Kebakaran
Manual (Tabung CO2)
Alat Pemadam Aktif
Skema 5.4. Skema Sistem Penanggulangan Bahaya Kebakaran. Sumber : Hakim, Febri Fahmi, 2005 : 154
f. Sistem Penangkal Petir Dasar pertimbangan : -
Penangkal petir mempunyai kemampuan tinggi untuk melindungi bangunan dari sambaran petir.
-
Sistem penangkal petir tidak menimbulkan efek elekrifikasi/ flash over pada saat penangkal tersebut mengalirkan arus ke grounding sistem.
-
Pemasangan penangkal petir tidak mengganggu fasad bangunan.
Sistem penangkal petir pada terdiri dari: -
Sistem franklin, Prinsip commit kerja melindungi isi dari kerucut, dimana jari to user
154 |BAB V
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
jari dan alasnya sama dengan tinggi kerucut. Sistem ini untuk bangunan dengan luasan atap yang relatif luas dirasa kurang efektif dan efisien. -
Sistem faraday, Sistem ini menggunakan jaringan tiang-tiang kecil yang dipasang di atas atap. Tinggi tiang tidak lebih dari 60cm. Sistem ini lebih efektif dibanding sistem franklin.
-
Sistem Thomas, Sistem ini menggunakan alat berbentuk payung setinggi 50 cm yang dipasang di atas atap dan diisolasi agar tidak mengalirkan listrik kedalam bangunan.
g. Sistem Jaringan Sampah Pengolahan sampah pada bangunan revitalisasi kawasan Alun-alun Ponorogo ini akan menggunakan sistem sampah yang membagi sampah menjadi beberapa bagian sesuai dengan jenisnya. Langkah ini diambil untuk ikut mendukung gerakan peduli lingkungan untuk mengatasi permasalahan pengolahan sampah. Jadi sampah akan dibagi menjadi 3 jenis, yaitu: -
Sampah anorganik, Contoh : logam, besi, kaleng, plastik, karet, botol, dll. yang tidak dapat mengalami pembususkan secara alami.
-
Sampah organik, Contoh : Sampah dapur, sampah restoran, sisa sayuran, rempah-rempah atau dedaunan, dll. yang dapat mengalami pembusukan secara alami.
-
Sampah berbahaya, contoh : Baterei, botol racun nyamuk, jarum suntik bekas, dll. Sampah-sampah tersebut commit kemudian dialihkan ke tempat pembuangan to user
155 |BAB V
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sementara sesuai jenisnya dan selanjutnya diambil oleh petugas untuk dialihkan ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sehingga akan ikut mempermudah proses penyeleksian untuk kemudian akan di olah kembali oleh pihak yang bersangkutan dalam pengolahan sampah.
Sampah Organik
Bak Penampung (Pengkomposan)
TPA
Sampah Anorganik
Bak Penampung Sampah Anorganik
TPA
Sampah Berbahaya
Bak Penampung Sampah Berbahaya
TPA
Skema 5.5. Skema Sistem Pengelolaan Sampah. Sumber : www.walhi.or.id
commit to user
156 |BAB V