Dikutip dari buku “MEMECAH PEMBISUAN” Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan 2011
WARDIK YANG TAK TERHANCURKAN OLEH ORBA
Lelaki
kelahiran tahun 1949 itu diberi nama oleh ibunya Wardik. Ibunya berasal dari
Majalaya Jawa Barat yang ketika berumur 12 tahun dibawa oleh bibinya ke Sumatra diajak bekerja di perkebunan. Enam tahun kemudian gadis dari Majalaya itu ketemu jodohnya yang kemudian menjadi ayah Wardik. Ayahnya berasal dari Ponorogo Jawa Timur. Wardik menikah dengan Elya tahun 1980, dan menurunkan empat orang anak laki-laki dan seorang perempuan. Pada usia senjanya, 62 tahun, tubuhnya masih tetap kekar dengan kumis tebal melintang di atas bibirnya. Pandangan matanya tajam, tetapi membersitkan kegelisahan dan kecurigaan. Teman-temannya menganggap ia agak sangar. Sepintas
pengelihatan segera tertangkap bahwa lelaki ini adalah pekerja keras yang
berhasil. Ia tinggal di bilangan Helvetia Medan, di rumah gedung yang dibangun permanen, dengan hamparan rawa-rawa di halaman belakangnya. Genangan rawa-rawa itu sering dijadikan arena pemancingan oleh masyarakat sekitarnya. Dulunya tempat itu adalah tanah garapan bekas perkebunan tembakau yang pada tahun 90-an oleh masyarakat ditempati dan kini menjadi pemukiman penduduk Untuk mencapai rumahnya dari Bandara Polonia dibutuhkan uang taksi sekitar Rp.100.000,(pada tahun 2010), dengan waktu tempuh sekitar 1 jam perjalanan kalau lalu lintas tidak terlalu macet. Perjalanan akan melintasi pusat kota Medan, sesampai di bawah jembatan layang yang menuju ke Pelabuhan Belawan, belok ke kiri ke daerah pemukinan yang padat, banyak anak-anak berkeliaran, kemudian melalui sebuah gang sepanjang 300 meter yang tidak dilewati kendaraan umum akan sampailah di rumah Wardik. Pada usianya yang baru mencapai 62 tahun, ia sudah jarang ke luar rumah karena mulai merasakan keluhan beberapa penyakit menggangu kesehatannya. Rumah ini dibangun dari hasil kerjanya sebagai kontraktor pembangunan rumah di komplek Malibu Medan tahun 1999. Rumahnya mempunyai 4 kamar tidur, tiga kamar untuk keluarganya dan satu kamar disediakan bagi teman-teman lamanya dari kampung Padang Halaban Rantau Prapat kalau mereka datang ke Medan. Ia tidak pernah melupakan mereka, sebab mereka adalah bahagian dari darah daging kehidupannya. Persahabatan mereka dibangun oleh akar saling bertaut di dalam 1
memperjuangkan hak atas tanahnya, maupun dalam mengatasi perjalanan pahit getir di bawah kekuasaan Orde Baru. *** Pada usianya yang 18 tahun, di suatu pagi ketika ia sedang lagan (membantu kerja), di kampung Padang Halaban Rantau Prapat datang beberapa tentara yang menangkapnya. Peristiwa itu terjadi tahun 1967 tanggal 30 Mei. Ia sempat pulang sebentar dari tempat hajatan itu, kemudian digiring ke kantor PUTERPRA kecamatan Merbau Kabupaten Labuhan Batu. Tidak lama kemudian setelah menjalani pemeriksaan dan penyiksaan, ia dibawa ke markas Korem 021 Pantai Timur Pematang Siantar. Sesudah diperiksa di Seksi I Korem 021 itu, ia dipindahkan ke penjara Jalan Sutomo. Ingatan tentang pengalaman pemeriksaan itu masih membekas seperti diceterikannya pada tahun 2010, sebagai berikut: ”Aku diperiksa atas tuduhan menyembunyikan senjata dalam jumlah yang banyak. Sementara menurut mereka, juru periksa itu, hanya mbak San lah yang tahu di mana aku sembunyikan senjata itu. Ketika aku diambil oleh petugas dari penjara di Jalan Sutomo Pematang Siantar, yang terbayang di benakku hanyalah penyiksaan bahkan kematian. Aku tak ingat lagi sudah berapa kali aku diperiksa, pertanyaannya yang itu-itu saja. Pertanyaan yang kujawab, “Tidak tahu.” Karena memang aku tidak tahu. Kemudian kurasakan sengatan-sengatan arus listrik, tiga empat kali, juga libasan rotan sebesar ibu jari kaki, rata ke seluruh badan. Ekor ikan pari, sengaja didatangkan dari Kodim Tanjung Balai, ikut membuat guratan-guratan panjang warna merah di punggung. Waktu masuk ke ruangan seksi I, kulihat mbak San, saudara kandungku yang tertua. tergeletak di lantai. Sekitar matanya biru lebam, darah mengalir dari mulutnya, rambutnya yang panjang, digunting habis. Aku diperintahkan duduk, borgol di tanganku dilepas. Pembantu letnan satu, Meta Ginting duduk berseberangan, berhadap-hadapan dibatasi meja kerjanya di depanku. Peltu itu berkata “Bagaimana masih tidak mau mengaku. Lihat kakakmu, apa
kau tak kasihan
melihatnya. Itu semua terserah kau”. Dia memulai. Diam sebentar, lagaknya berfikir. “Kalau kau mengaku, kau dan kakakmu akan dibebaskan. Dan kau akan mendapat bintang penghargaan dari Negara. Sebab kau sudah membongkar jaringan pemberontakan.” Wardik terdiam sebentar, seolah digalau oleh rasa sakit yang dirasakannya kembali. Kemudian ia meneruskan lagi ceritanya: “Tapi kalau kau tetap keras kepala, akan tahu sendiri akibatnya. Sekarang jelaskan di mana kau sembunyikan senjata-senjata itu?”.Wardik menirukan suara pemeriksa: “Saya tidak tahu, pak”. 2
Wardik akhirnya disiksa lagi, jatuh bangun ditendang, sampai ia pingsan. Dua bulan kemudian ia diperiksa lagi. Cara penyiksaan kali ini agak berbeda. Ia disuruh duduk di bangku, diperintahkan untuk meluruskan kakinya di atas bangku yang lain, yang ada di depannya. Pemeriksa berpangkat Peltu itu memakai sepatu larsa, memijak kaki Wardik sehingga patah. Wardik kembali tidak sadarkan diri, dan siuman sesudah berada di Rumah Sakit. Kaki kanannya digips tergantung di atas rusbang. “Bapak dibawa kemari, dalam keadaan pingsan”, salah seorang perawat itu menjelaskan kepadanya. Wardik dirawat di Rumah Sakit sampai kakinya sembuh dan kuat untuk dipakai berjalan. Di rumah sakit itu ada beberapa perawat yang memberikan perhatian penuh kepada Wardik, sehingga mereka menjalin persahabatan. Wardik menceritakan mengapa ia sampai disiksa sedemikian rupa, juga dari mana asal muasalnya. Perawat-perawat itu sering memberikan makanan ekstra, roti, susu, selain rasa empatinya. Wardik ingat nama perawat itu seperti Malijarwati, Sundari, Kartini Sebayang, Kartini br Sinaga, Ginem, dan dokter yang mengobatinya adalah dokter bermarga Siagian, berseragam tentara, pangkatnya mayor. Oleh karena itu Wardik sadar kalau ia dirawat di rumah sakit tentara. Enam bulan kemudian Wardik dinyatakan sembuh dan dikembalikan ke dalam penjara semula. Wardik mengulang sepotong dialognya dengan salah satu perawat. “Sebenarnya abang ini dari mana, dan apa kesalahan abang hingga sampai begini? Cerita dong bang, biar kami tahu tentang abang”, desak mereka berdua serentak. “Tapi kalau itu rahasia, tak apa Bang. Yang itu jangan diceritakan”. Perawat Malijarwati seolah-olah mengerti. “Apakah bersalah bila seseorang itu berusaha menyelamatkan jiwa orang lain? Tidakkan? Tadi suster Malijar bicara tentang kemanusiaan, tentang menyelamatkan nyawa manusia. Begitu indah, begitu mulia kedengarannya. Tetapi aku menyelamatkan nyawa manusia yang hampir dihabisi, malah ditangkap, dimasukkan ke kurungan. Dijadikan penghuni hotel prodeo, dibui, dan disiksa, sampai-sampai membuat aku berada di sini, dan kalian rawat”. Wardik menempati salah satu kamar di sal C yang dulunya di khususkan untuk orang-orang sakit kusta. Ukurannya tiga kali empat meter. Isinya satu rusbang, satu lemari kecil dan dua bangku. Sudah enam bulan ia menghuni ruangan tersebut dengan gratis. Selain perawat yang baik itu, ia juga punya sahabat kecil, Supriadi namanya. Rumah sahabat kecilnya tak jauh dari komplek Rumkit ini. Selepas sekolah, Supriadi berjualan Utri keliling rumah sakit dan tiap sore dia datang menemaninya. Di hari Minggu atau hari libur sahabat kecilnya itu dengan rajin berjualan sejak pagi hari. Usianya dekat duabelas tahun. Wardik juga bercerita kepada perawat-perawat itu soal dia menyembunyiklan seorang 3
pelarian, Cak Muso, dari Kodim 0206 Labuhan Batu pada bulan Maret 1966, karena tahanan tersebut akan dibunuh. Ia menandaskan bahwa perbuatannya didorong oleh rasa perikemanusiaan. “Dia bersama ayahku ditangkap dan disekap di markas Kodim. Ayahku dan beberapa kawannya, mereka, tentara itu, membawa ayahku keluar dari tempat penyekapannya di markas Kodim. Mereka bunuh. Mengapa aku tidak harus berbuat menyelamatkan, kawan ayahku, tetanggaku. Aku tak bisa menyelamatkan ayahku.“ Sesudah dianggap sembuh Wardik dikembalikan ke penjara di Jalan Soetomo Pematang Siantar. Dari penjara ini ia dipindahkan bersama 9 tahanan lain ke Medan. Di Medan ada dua tempat penahanan yaitu di Jalan Gandhi dan di TPU C Jalan Binjai Kilometer 7. Ternyata mereka dibawa ke Jalan Gandhi, yang menurut cerita yang pernah didengarnya ini berarti penahanan akan masih panjang lagi. Seketika denyut jantung Wardik bertambah cepat. Di Jalan Gandhi mereka dijemput oleh pasukan pengawal yang langsung memeriksa barang-barang bawaan mereka. Wardik menceritakan tempat penahannya sebagai berikut: “Gedung ini cukup luas. Ketika sudah masuk ke gedung itu aku tahu ada ruangan pentas dan hall. Aku ingat sebuah sekolah di Rantau Prapat. Sekolah itu Sin Min School, gedung itu sama dengan bentuk gedung ini. Di sebelah kiri lewat pintu besar ruangan hall ini terlihat kamar-kamar tertutup menyerupai ruangan kelas. Pasti ini dulunya sebuah sekolah. Sebuah sekolah yang disulap menjadi tempat penyekapan para tahanan, kurungan bagi para tahanan. Keadaannya lebih baik dari pada penjara Siantar. Di sini tahanan diizinkan membawa kompor atau membuat kompor untuk menanak nasi, merebus air. Jatah makan hanya sekali sehari itupun setempurung kelapa. Nasi campur gerontol jagung, rebusan kangkung yang kuahnya seperti air comberan, secuil potongan ikan asin bulu ayam goreng. Tapi keluarga diperbolehkan berkunjung, mengirim bahan mentah, dua kali seminggu. Solidaritas kesetiakawanan jauh lebih tinggi bila dibanding dengan di penjara Siantar.” Hendrik Napitupulu, dikurung disini bersama isterinya Supriati, keduanya aktifis CGMI di salah satu universitas di Yokyakarta. Putri kecilnya Niken terpaksa ikut bersama mereka. Niken sikecil lincah. Semua menyukainya, semua menyayanginya. Hendriklah yang mengabari, bahwa kedua kakak Wardik masih hidup dan berada di TPU C KM 7 Jalan Binjai. Lewat seorang pengawal, ia mengabari mereka, bahwa ia sudah di Gandhi. Seminggu berselang, ia dikirimi sayuran lewat bus Teperda, bus yang setiap hari kerja
4
mengangkut dan memulangkan para tahanan yang akan diperiksa dari TPU C dan Jalan Gandhi. Setiap hari kerja, ada saja yang dipanggil untuk diperiksa, siang, malam, pagi, sore, tengah malam, bahkan sampai pagi lagi. Tahanan mendengar jeritan-jeritan kesakitan dari ruang pemeriksaan. Tempat penahanan ini mempunyai delapan kamar, aula dan ruang pentas. Tujuh kamar bekas ruangan kelas dijadikan kurungan bagi mereka-mereka yang dianggap berbahaya. Satu kamar paling belakang gedung itu untuk tahanan perempuan, aula dan ruang pentas untuk para tahanan kurang berbahaya, Wardik ditempatkan di ruangan ini. Ada sebuah gudang, di bawah ruangan pentas dulunya diperuntukkan menyimpan alat-alat yang rusak sebelum diperbaiki. Ruangan ini juga sewaktu-waktu digunakan untuk para tahanan yang tak mau mengakui apa yang menjadi kemauan juru periksa. Ruangan yang beralih fungsi ini, gelap, pengap dan lembab. Pak Marto, pensiunan Pelda, seorang serdadu dari masa-masa mempertahankan kemerdekaan di Pangkalan Brandan, terakhir bertugas di Koanda, Komando Antar Daerah Sumatera, pernah menjadi penghuni ruangan itu. Selama duapuluh satu hari, di ruangan ini dia ditemani tikus sebesar anak kucing, kecoa dan cecak. Dia dikeluarkan dari ruangan itu, hampir-hampir tak mampu berjalan, badannya kurus, lemah. Pak Marto, sebelum dimasukkan ke ruangan bekas gudang itu, adalah penghuni bekas ruangan kelas, kamar tujuh. Ruangan yang luasnya tiga setengah meter kali tiga setengah meter ini, dijejali empat belas tahanan. Mereka tak pernah kena sinar matahari. Di depan pintu kamar tujuh itulah, ruangan bekas gudang yang disulap menjadi ruangan tahanan. Para pengawal tak semuanya berlaku kasar. Kopral Sujati misalnya, kerap memberi Wardik gula, kopi, nasi bungkus jatahnya, bahkan sampai pakaian bekas. Dia bilang, melihat Wardik teringat adiknya di Jawa. Dari tempat penahanan ini Wardik dipindah ke TPU C Jalan Binjai KM 7 yang dihuni oleh sekitar 2000 tahanan. Di sini Wardik bertemu dengan kakak perempuannya dan teman-temannya sekampung dari Labuah Batu. Tadinya Wardik berpikir bahwa mereka semua sudah mati dibunuh. Demkian juga mereka berpikir tentang Wardik. Kedua kakak perempuannya, San dan Yus bersama Nurhaida Lintang, pimpinan Gerwani Labuah Batu, mendatanginya membawakan nasi jagung beserta ikan asin dan sayur bayam. Tempat ini juga dihuni oleh anak-anak mereka. Mereka terpaksa ikut orang tuanya di dalam barak tahanan karena tidak mempunyai sanak keluarga yang menampungnya. Ada yang rumahnya disita, ayahnya dibunuh. Di barak ini sebagian anak-anak belajar membaca dan menulis, gurunya adalah para tahanan sendiri, ada juga yang diijinkan ke luar barak menjual barang dagangan, seperti kue yang dibuat oleh orang tuanya. Untuk mempertahankan hidup 5
para tahanan membuat berbagai kerajinan tangan. Wardik kemudian belajar melukis dari Jono, seorang anggota Lekra. Berbulan-bulan Wardik belajar melukis sehingga sudah dibuatnya 10 lukisan tetapi satupun tak laku dijualnya. Uang upah yang diperolehnya dari membersihkan kamar petugas, menyetrika selama di Jalan Gandhi habis sudah untuk membeli kanvas dan cat minyak. Akhirnya ia mendapat tawaran untuk ikut membongkar kuburan Tionghoa di Petisah di luar barak. Bekerja ke luar barak bisa diperoleh dengan membayar petugas yang mengawalnya. Kuburan itu dibongkar untuk mendirikan tempat hiburan “Taman Ria”. Wardik menceritakan penghasilannya sebagai berikut. ”Pemborongnya adalah anggota CPM. Pembongkaran tiap kuburan ongkosnya Rp.1.500,Untuk tahanan diberikan Rp.1000,- dan yang Rp.500,- untuk pemborongnya.” Kedua kakaknya senang mengetahui Wardik ikut bekerja ke luar barak. Wardik menyerahkan uang pendapatannya kepada kakaknya. San pernah minta ijin pulang ke kampungnya menengok ibunya. Wardik sangat sedih mendengar penderitaan yang dialami oleh ibunya. Ia pun ingin minta ijin untuk pulang menengok ibunya melalui perantaraan seorang tahanan perempuan yang punya hubungan baik dengan Komandan, sebab ketika ia langsung meminta ijin, ia tidak mendapatkannya. Menurut Wardik, desanya mengalami pembumirataan yang dilakukan oleh penguasa. Penduduk tidak ada yang berani melawan, semua pasrah. Penduduk tidak mendapat ganti rugi.”Emak terpaksa pindah ke perladangan dekat hutan. Emakku yang di jaman perjuangan kemerdekaan menjadi kepala dapur umum kini terkapar kelaparan.” Dari TPU C Jalan Binjai KM 7 Wardik dikerjapakaskan ke perkebunan Blangkahan bersama tahanan lainnya. Mereka dipekerjakan oleh penguasa di P.T.Telaga Sari Indah Perkebunan Blangkahan Kecamatan Kwala, Kabupaten Langat. Sejak tahun 1969 para tahanan sudah dipekerjapaksakan di perkebunan ini. Oleh karena itu rombongan Wardik yang dipimpin oleh Suratijo disambut mereka. Penjelasan yang didapat dari orang lama adalah, ”Di sini tidak ada pengawalan. Kita betul-betul dijadikan budak, kawan-kawan jangan berharap akan mendapat upah. Pukul setengah enam harus berangkat dari barak. Mandor perkebunan memimpin pekerjaan, kepala barak tugasnya membagi anggota sesuai dengan permintaan sang mandor. Pengawas kita, Letda Sungkono dari Brigmob, datang hanya sebulan sekali. Kita hanya mendapat ransun dua kali sehari yang tidak mencukupi. Tidak ada sarapan. Silakan mencari dan mengupayakan sarapan dengan jalannya masing-masing.” Demikian keterangan Ngamen yang dulunya adalah pemimpin Pemuda Rakyat Tanjung Keliling. Wardik menceritakan salah satu pengalamannya di perkebunan ini sebagai berikut:
6
”Matahari siang itu bersinar terik. Hari pertama kerja paksa ini terasa sangat tersiksa. Harus membongkar gelagah yang tingginya mencapai enam meter. Cucuran peluh. Sudah lama tak memegang cangkul dan parang babat, telapak tangan habis terkelupas. Lengan tergores daun gelagah terasa pedih dan gatal. Asisten perkebunan dan mandornya terus menerus memberi arahan. Tak seorangpun di antara kami yang memakai sepatu. Duri-duri tajam yang terpijak, menusuk, masuk di telapak kaki. Haus mencekik kerongkongan. Baru teringat tak membawa bekal air minum. Aku berusaha mencari mata air. Mandor Saidi mengatakan mata air di kebun ini tak ada. Yang ada hanya parit. Itupun adanya di tengah-tengah rimbunan gelagah di depan kami. Sudah empat hektar rimbunan gelagah kami bongkar, parit yang dimaksud mandor Saidi belum kami jumpai. Sial. Di benak terbersit buruk sangka, jangan-jangan akal sang mandor. Tidak. Jangan, jangan buruk sangka dulu. Bang Selamat menyuruhku, menggali tanah membuat sumur. Kucari tempat yang agak lembab dan mulai menggali tanah. Usahaku tak sia-sia. Baru setengah meter dalamnya kugali, sudah tampak tanda-tanda ada air. Bang Ribut yang mengikutiku memberi semangat, mendorongku agar terus menggali. Aku sudah sangat kelelahan, sangat-sangat. Mengingat kawan-kawan semua sangat kehausan, lebih-lebih aku. Tak ada jalan lain, aku harus menggali terus. Sampai akhirnya, mata air yang besar menyembul. Aku bersorak, sorak parau. Kucari bang Tukimin, ingat dia tadi membawa bontot di rantang. Rantang bekas bontot itu kuambil. Jadilah sumur kecilku, pelepas haus semua kawan-kawan. Asisten dan mandor perkebunan itu agaknya maklum. Pak Senen kebanyakan minum hampir pingsan. Kerja paksa hari pertama, jadi pelajaran. Pukul satu, tengah hari diperbolehkan pulang ke barak. Empat kilo meter jalan kaki. Di pondok perkebunan ada kedai milik orang Tionghoa dipanggil para buruh-buruh di sana dengan sebutan Banglae. Di kedai Banglae ini, kami singgah membeli jerigen ukuran lima liter. Besok kami tak akan kehausan lagi. Limabelas hari, terus bekerja membongkar gelagah. Kulitku yang hitam, bertambah legam. Kawan-kawan ada yang jatuh sakit, karena sudah lama tidak bekerja berat seperti itu. Atau dulunya mereka bukan berasal dari petani. Tapi, tak ada pilihan yang lain, kerjakan dan terus kerjakan. Seperti lembu penarik pedati. Masih lumayan meski tak diberi upah, tapi diberi makan yang cukup.” Di hari-hari berikutnya Wardik dan para tahanan lainnya menemukan jalan dan cara untuk bisa bertahan hidup di tempat kerjapaksanya. Mereka berkenalan dengan warga desa di sekitar perkebunan yang sering memberikan bantuan dan pekerjaan tambahan untuk memperoleh penghasilan. Wardik mempunyai pengalaman berkenalan dengan seorang 7
gadis desa bernama Surtini yang memberikan peluang untuk membantunya di sawah dan menjadi sahabat karibnya. Wardik sering menolong gadis itu sewaktu bekerja di sawahnya. Lama kelamaan Wardik mengantar ke rumah gadis itu dan bertemu dengan orang tuanya. Wardik diterima dengan baik, persahabatan mereka berjalan mulus. Ketika Wardik mendapat ijin 4 hari untuk menengok ibunya ke rumahnya, ia tidak mempunyai uang transport. Maka Surtini memberikan uangnya sehingga Wardik berhasil pergi menengok ibunya. Dari perkebunan Blangkahan dia beserta tahanan lain yang mendapat ijin cuti, diantar ke penjara Sukamulia. Sesudah mendapat pengarahan dan nasehat, ia dan Antaran yang sedesa dengannya pergi ke tempat timbangan dengan dua kali ganti bemo. Di tempat timbangan ini ia minta tumpangan pada sebuah truk. Sopir truk yang ditumpanginya mengetahui mereka adalah tahanan, seperti yang ditulis dalam surat ijin yang ditunjukkan kepadanya. Sopir truk juga membantu mereka bahkan mengajak makan di perjalanan dan memberikan uang saku kepadanya. Di dalam percakapan mereka, ternyata sopir truk itu juga pernah ditahan selama 3 bulan di Siantar. Ketika mereka sudah sampai di simpang Padang Halaban sopir truk ikut turun dan memberi mereka masing-masing uang seribu rupiah. Ia mencari ibunya yang sudah tidak lagi tinggal di desanya semula, melainkan di sebuah ladang. Wardik menceritakan pertemuan dengan keluarganya. “Dari jauh kulihat emak dan adikku Susanto sedang mencangkul di sawah, kupanggil emak. Emak dan adikku menoleh, adikku memekik sekuat-kuatnya. ”Mak, abang pulang”. Cangkul di tangannya dilemparkan. Terseok-seok emakku berlari di lumpur sawah, menangis, meraung, “Anakku, anakku, kau pulang nak”. Tangisnya, raungannya, terdengar di sekitar rumah. Badannya yang berselemak lumpur tak diperdulikannya, dirangkulnya aku, dipeluknya erat-erat. Para tetangga berdatangan ingin tahu apa yang terjadi. Kupapah emak masuk ke dalam rumah. Emak terus memelukku seakan takkan dilepas lagi.” Keponakannya berlari membeli beras dengan uang Wardik yang diperoleh dari supir truk. Pertemuan yang hanya dua hari, digunakan Wardik untuk menemui teman-temannya dan kerabatnya yang semua dalam keadaan tertekan oleh intimidasi dan kemiskinan. Walaupun demikian di antara teman-temannya, antara lain Arfan, Bang Bero memberikan uang kepada Wardik untuk ongkos kembali ke penjara. Ia meninggalkan sebagian uangnya kepada emaknya. Arfan antara lain menceritakan kepada Wardik situasi di perkebunan itu, dan perilaku penghuni komplek, “Apa lagi Letda Aritonang, mentang-mentang perwira pengawas perkebunan, dengan seenaknya mengusir orang kampung dari tanah miliknya. Macam tanah itu milik nenek moyangnya, coba kalau dia pensiun nanti. Orang-orang tak ada yang berani membantah. Siapa saja yang membantah akan dianggap pembangkang mereka 8
dikatakan PKI. Kalau sudah dicap PKI, dia sudah harus kehilangan segalanya, juga nyawanya. Pada malam hari sebelum Wardik kembali ke perkebunan Blangkahan, mereka saling bertukar cerita kepedihan hidup, tetapi juga kemampuan mengatasi penderitaan yang dialaminya. Wardik menitipkan Emaknya kepada Arfan. Mereka berpisah dalam tangis dan derai air mata. Sesudah dua tahun di perkebunan Blangkahan Wardik dipindahkan ke penampungan tahanan di Tanjung Kasau. Letaknya di kabupaten Asahan berbatasan dengan daerah kabupaten Simalungun dan kabupaten Deli Serdang. Dari Tebing Tinggi arah ke Kisaran berjarak sekitar sembilan belas kilo meter. Di dalam perkebunan karet ini di jaman Belanda didirikan bangunan rumah sakit yang kemudian dirubah dijadikan Sekolah Polisi Negara. Komplek bekas Rumah Sakit Perkebunan ini mereka sebut Tempat Penampungan Umum golongan B. Wardik yang tadinya dimasukkan ke golongan C dengan sendirinya sekarang masuk golongan B, tanpa proses apa-apa dan tanpa pemberitahuan kepadanya. Wardik bersama 200 tahanan lain dikerjapaksakan di perkebunan karet Suka Luwei, di kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Deli Serdang. Udaranya dingin karena terletak di lereng Bukit Barisan. Wardik menceritakan poengalamannya di perkebunan karet ini. “Kami diberi cangkul dan parang babat. Pekerjaannya, membabat dan mencangkul. Seorang harus menyelesaikan empat gawang. Satu gawang berukuran empat kali enam meter. Berarti satu orang harus menyelesaikan sembilan puluh enam meter. Dan setelah itu selesai, barulah mendapat upah duapuluh lima rupiah pergawang. Kalau hanya mendapatkan babatan dan cangkulan yang diwajibkan, para tahanan hanya diberi pinjaman beras dua ons perorang. Dengan demikian para tahanan harus bekerja keras untuk mendapatkan hasil lebih babatan dan cangkulan dari yang wajib. Enam hari sudah dilalui, rasa lapar berbaur dengan letih. Tak ada tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan di hutan itu. Untungnya ada lipan, juga kala jengking yang besarnya setelapak tangan menjadi santapan lezat. Persis udang bakar, bila dipanggang diperapian. Beras bisa kami dapatkan dengan paksaan bekerja ektra keras. Suatu kali akhirnya aku punya akal. Setiap pagi, patok yang dipacakkan pihak perkebunan kugeser ke belakang sejauh empat gawang. Jadi kalau nantinya jumlah babatan dan cangkulan didapat delapan gawang, berarti sudah mendapatkan dua belas gawang. Yang enam gawang pekerjaan wajib, dari yang enam gawang mendapatkan upah seratus lima puluh rupiah perhari. Tak semua kawan-kawan mau ikut mengelabui seperti yang kubuat. Mereka takut kalau ketahuan pasti sangat berat hukumannya. Pernah seorang kawan, karena tak kuat mengerjakan jatah wajibnya, semua para pekerja paksa diperintah pulang ke Suka Luwei berlari dengan cangkul dan parang babat di pundak. Padahal jarak yang harus ditempuh delapan kilo meter.
9
Tikus ladang dan ular jadi santapan .Biasanya, dengan keroyokan bisa mendapat empat sampai delapan ekor tikus ladang. Tiga setengah bulan jadi budak pekerja paksa di Suka Luwei. Aku sudah mulai tak sanggup. Kudekati pengawal pengganti. Aku minta agar aku bisa dikembalikan ke Tanjung Kasau. Dia bilang aku harus punya alasan. Cari alasannya. Aku tak punya jawaban untuk ini, aku malah balik bertanya. Sarannya, besok aku harus melawan asisten perkebunan yang ikut mengawasi kerja kami. “Kalau perlu kau hajar Mesin Tarigan. Pasti dia mengadu. Sudah pasti juga kau akan kuhukum. Barulah kau bisa dipulangkan ke Tanjung Kasau, karena melawan asisten”. Nasehat itu aku laksanakan dengan baik. Dua puluh orang dianggap ikut terlibat dalam perkelahian. Dua puluh orang dipanggil, mendapat hukuman. Ditampari dan merayap sejauh seratus meter, disuruh kembali kebarak berjalan kaki Aku mendapat hukuman tetapi dipindahkan ke Tanjung Kasau.’ *** KEMBALI ke Tanjung Kasau. Baru dua hari, tigapuluh orang diantaranya Wardik, terdaftar dimandahkan lagi. Hanya sebagai tenaga sisipan, begitu keterangan dari wakil komandan TPU. “Perkebunan Naga Timbul masih di kabupaten Deli Serdang. Kota terdekatnya Tanjung Morawa. Jarak perkebunan ini lebih kurang lima belas kilo meter dari Tanjung Morawa. Di perkebunan ini kami mendapat upah seratus rupiah perhari, membersihkan parit-parit perkebunan. Sudah delapan tahun tak pernah dibersihkan. Tak ada barak seperti biasanya di tempat hunian kami sebelumnya. Para tahanan ditempatkan di tiga pondok kosong”. Anemer Menghong membeli tenaga tahanan dari penguasa. Tenaga yang sangat murah, melebihi murahnya tenaga budak. Pakis, kangkung, genjer dan banyak lagi yang tumbuh di bawah kelapa sawit yang dapat dimakan. Segala macam ikan parit dari ikan gabus, lele, paitan, belut sampai labi-labi, bisa menjadi santapan lezat. Setiap hari mereka menempuh perjalanan tidak kurang dari lima kilo meter. Pukul setengah enam pagi sudah harus berangkat dan pukul setengah enam sore baru selesai. Tak ada alasan hujan atau sakit. Harus kerja, seperti ketentuan yang dibuat anemer. Ada satu desa di dekat perkebunan itu. Desa Naga Rejo namanya, dulunya sangat luas. Tetapi pada tahun 1969, sembilan desa ini separuhnya dirampas oleh perkebunan, ditanami kelapa sawit. Menurut warganya, mereka tak pernah mendapatkan ganti rugi. Nasib desa Naga Rejo sama dengan kampungnya Wardik. “Aku sering menukarkan ikan yang kutangkap, dengan ubi atau kelapa. Hampir setiap sore bila melewati desa itu, ada saja yang memberi pisang, ubi kayu atau sayuran. Suatu hari ada perintah berangkat ke daerah Galang. Pagi masih berkabut truk bergerak melewati perkebunan Batu Lokong menuju Petumbukan. Ketika melewati jembatan bung Legimin merapat mengatakan disini ratusan kawan terkubur di dasarnya. Inilah Sungai Ular, abangku dihabisi di sungai ini. Di seberang sana, desa Pulau Gambar, kawan-kawan dari Pulau Gambar semua dihabisi di sungai ini.“ Mereka kerap dipekerjakan di perkebunan-perkebunan lain, mengerjakan borongan yang menjadi borongan anemer Menghong. Meski dipekerjakan di perkebunan lain sorenya mereka tetap dipulangkan ke perkebunan Naga Timbul. 10
Empat tahun sudah, dari perkebunan satu ke perkebunan lain, menjalani kerja paksa. Pada Oktober 1974, semua tahanan yang dipekerjakan di perkebunan-perkebunan diharuskan kembali ke Tanjung Kasau. Dari Inrehab Tanjung Kasau Wardik dipindahkan ke Inrehab Sukamulia. Tujuh bulan di penjara Sukamulia, Wardik dipindahkan ke Tanjung Kasau lagi dalam rangka pembebasan. Sebelum dibebaskan Wardik sempat lagi menengok ibunya yang sudah sangat lemah. Ia minta disuapi oleh Wardik. Lima belas hari kemudian San datang membawa berita kematian ibunya. San menceritakan pesan ibunya kepada Wardik, “Kau jangan mudah menyerah.” Pada tanggal 20 Desember 1977, ada pembebasan pertama yang dihadiri oleh Sudomo Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban dari Jakarta. Wardik tidak ikut dibebaskan, tetapi datang ke upacara tersebut sebagai penonton yang sesudahnya harus kembali lagi ke penjara. Pertengahan April1977, ada lagi yang dibebaskan, pada gelombang kedua ini, semua tahanan di Sumatera Utara akan dibebaskan, kecuali yang sudah diadili. Wardik tidak berniat untuk kembali ke kampungnya sesudah dibebaskan. Temannya menyarankan agar ia pergi ke rumah iparnya Bandi. Kemudian bersama-sama mengontrak rumah. Tanggal 19 Mei 1978 diumumkan semua tahanan akan dibebaskan. Malamnya, diadakan keramaian di komplek tahanan. Ada pertunjukan ludruk dari group ludruk Indra Pura. Kali ini tahanan akan dilepas di markas Pomdam, di jalan Sena Medan. Pukul tujuh pagi puluhan iring-iringan truk militer yang mengangkut para tahanan dari Tanjung Kasau memasuki komplek Markas Polisi Militer. Hampir semua tahanan dijemput sanak keluarganya. Lapangan di depan markas Pomdan sudah lengang, tinggal para petugas lalu lalang di halamannya. Wardik sendirian. Ransel berisi pakaian tersandang di bahunya. Bingung, entah gamang, mau ke Barat mau ke Utara, bagi Wardik sama saja. Ia pernah lama menjadi warga kota Medan, ibukota Sumatera Utara. Tak menyangka, ada suara orang memanggil namanya. Bandi mengenderai sepeda mendekat. Sepedanya dicagakkan. Dia tak tahu bahwa Wardik ikut dibebaskan. Pada pagi hari kebetulan dia mendengarkan warta berita RRI, bahwa pagi hari ini ada upacara pelepasan semua tahanan. “Sekarang Lelek ikut aku kerumah, selanjutnya terserah lelek mau kemana. Persoalan Lelek tak mau campur dengan mbak Yus mu, itu urusan nanti”. Begitu kata Bandi. *** DIBEBASKAN dari keterasingan malah membuat Wardik merasa terasing. Gamang di keramaian. Dua hari di rumah mbak Yusnya, ia diantar Bandi ke rumah San di Martubung. Menginap semalam. Banyak cerita yang didapat dari abang iparnya bang Mansyur tentang bagaimana mereka sekarang ini disibukkan dengan memelihara ternak. Adik-adiknya ikut membantu, sekalian menjadi beban mereka. Santo, Ambran dan Subali, lain lagi kemenakan; anak-anak mbak San, Agus, Maisih, Dinah dan Jety. Akhirnya Wardik menemui temannya yang juga pernah ditahan di tempat yang sama. Basiman dibebaskan tahun tujuh puluh empat. Dia membuka usaha kerajinan ukiran kayu. Wardik ditawari membantunya. 11
Belum sebulan, ada masalah. Kalau Basiman ke luar rumah, yang menjadi majikan, isterinya. Rewelnya membuat Wardik tak betah dan mengundurkan diri. Tetapi Wardik tetap diberi pekerjaan membuat design kepala tempat tidur yang dikerjakan di rumah tempatnya menumpang. Ia menyempatkan diri menengok makam ibunya di kampungnya. Pada saat dari kampung kembali ke Medan, di stasiun besar Medan penumpang semua turun, Wardik yang terakhir. Tak ada yang dituju. Tak ada arahnya. Ia melangkah dengan ransel tersandang di bahu, isinya beberapa pasang pakaian dan sendal jepit. Langkah yang tak terarah berhenti di depan Kantor Pos. Di depan Kantor Pos, di lapangan Merdeka, ada tribun. Wardik ke sana. Di siang hari ia mencoba mencari pekerjaan, malamnya tidur di lantai tribun. Di depan Kantor Pos, banyak berdiri kios-kios, orang-orang menggelar barang dagangannya. Ada pedagang rokok, sekalian menjual perangko, kertas meterai, koran dan majalah. Pada pagi berikutnya ia datangi si pedagang rokok. Wardik sudah mengenalnya. karena selama di tribun ia setiap hari membeli rokok di kiosnya. Berkat bantuan pedagang rokok itu ia mulai berjualan koran dan majalah di stasiun kereta api. Selama dua bulan berjualan koran dan majalahpun dilaluinya. Pada suatu sore para penumpang kereta api dari Rantau Prapat turun. Ketika asik menawarkan koran, ada yang memanggilnya. Bukan nama Wardik yang dipanggil, tetapi nama koran yang dijajakan. Tapi suara itu seperti yang sudah akrab dengan telinganya. “Mbak Rohana”, sapanya. Perempuan itu terheran-heran, agaknya dia pangling. “Aku Wardik, mbak”. Kata Wardik. Rohana mengajak ke rumahnya. Baru keesokan harinya Wardik singgah ke rumah Rohana. Sesudah Wardik menceritakan pengalaman dan keadaan hidupnya saat itu, ia menyampaikan maksudnya untuk numpang di rumah Rohana. Rohana dan suaminya Pardi setuju, asal ia membantu mereka membiayai makannya. Wardik kemudian mencari teman setahanan melalui ipar dan kakak-kakaknya. Ia berhasil menemui Zul Iskandar yang pernah memesannya kalau sudah bebas datanglah kepadanya yang pekerjaannya menata taman. Zul Iskandar sebelum peristiwa 65, adalah wartawan Harian Harapan, bisa melukis, membuat patung, piawi menata taman. Keesokan harinya Wardik sudah bekerja membuat taman dengannya. Sorenya ia pulang ke rumah Rohana. Tak setiap harinya ada pekerjaan membuat taman, kadang-kadang kosong. Dalam keadaan tak ada pesanan, Wardik bekerja serabutan apa saja. Yang penting baginya, ia bisa memberikan uang pada Rohana untuk biaya makan. Setahun ia tinggal di komplek Sutomo ujung itu. Wardik mendengar ada sanggar senirupa memerlukan tenaga. Ia datangi sanggar itu. Ia diterima bekerja, dan dibolehkan tinggal di sanggar. Sanggar milik pak Kamarudin Nasution. Sanggar itu namanya, “Sanggar Murni”. “Sanggar Murni”, meski bila hujan bocor, tapi lumayan bagi Wardik yang akhirnya sudah tak membebani orang lain. Ia menjadi lebih tenang. Meskipun demikian ia tidak pernah lupa kepada Rohana, terkadang ia menginap sampai dua malam di rumahnya. Sesudah dua tahun bebas, kakaknya San mendesak agar ia segera menikah. Wardik menjawab dengan singkat “Nikah itukan perlu modal. Aku belum punya apa-apa.” Sekali waktu Wardik berjumpa dengan seorang kepala sekolah. Perempuan dengan suaminya, usia separo baya. Malam itu hampir pukul sebelas malam, ia baru pulang nonton layar tancap di lapangan bola Kebun Pisang. Mobilkepala sekolah mogok, ketika mereka sedang di jalan pulang. Wardik menghampirinya. Mobil itu tidak bisa distater, dan Wardik menolongnya. Kepala akinya kotor, sesudah dibersihkan mobilpun bisa dihidupkan. Ia 12
menolak bayaran yang akan diberikan oleh suami perempuan tersebut. Mereka saling mengenalkan diri dan sang suami meminta Wardik agar datang keesokan harinya ke rumah mereka. Mereka tinggal di Sampali. Hasil dari kunjungan Wardik ke rumah Bu Guru, ia ditawari menata taman di depan sekolah Perguruan SMA Swasta yang dipimpinnya. Pada hari itu juga mereka melihat lahan taman tersebut, dan Wardik akan membuatkan design. Design dan biaya mengerjakan taman disetujui oleh Ibu Kepala Sekolah, dan Wardik dalam seminggu sudah menyelesaikan pekerjaannya. Ibu kepala sekolah mengusulkan supaya siswa diikutkan menata taman, maksudnya memenuhi ekstra kurikuler. Wardik juga ditawari untuk mengisi mata pelajaran melukis dan diangkat menjadi guru honorer di SMA Swasta tersebut. Selesai mengajar ia masih terus mengerjakan pekerjaan di sanggarnya kalau ada pesanan. Selagi tidak mengajar ia terus memperdalam pengetahuannya tentang seni rupa, secara otodidak. Dalam perjalanan hidupnya lebih lanjut Wardik bertemu dengan seorang gadis pendiam, anak seorang polisi Bribmob yang sudah almarhum. Sesudah beberapa lama saling mengenal, maka Elya Yuswita, gadis yang berumah di Sei Batang Serangan, Medan Baru itupun dinikahinya. Menurut cerita teman Wardik yaitu Juah Sembiring yang tinggal di Binjai, ibu gadis itu kalau saja tidak ikut suaminya bertugas ke Kisaran, mungkin juga ditangkap seperti Wardik. Kondisi seperti itu memantapkan tekad Wardik untuk menikahinya. Wardik bercerita tentang perjuangan hidupnya lebih lanjut sebagai berikut: ”Tanggal 29 Februari 1980, menjadi hari pernikahanku. Pernikahan sederhana, cuma semacam pertemuan keluarga. Ada pelaminan memang yang kubuat sendiri. Ijab Kabul, Tepung tawar dan iringan Marhaban. Ada mbak Supri, suaminya Hendrik Napitupulu, bang Anas, juga bang Rumandung. Seminggu kemudian, kuboyong isteriku ke rumah kontrakan di desa Helvetia. Jadilah aku suami Elya. Dan dia isteriku. Jadi guru honorer dan jadi pengrajin, kujalani. Terkadang dapat borongan menata taman, terkadang merehab rumah atau membangunnya, kalau bernasib baik merehab gedung. Aku sudah tahu alamat kawan-kawan, anak-anaknya kuajak bekerja bersamaku. Ketika Elya hamil tua, aku lepas guru honorerku, masalahnya waktuku mengajar yang tiga hari itu membuat pekerjaan yang lain menjadi kurang bermanfaat, maksudku kurang mendapatkan lebihan. Sedang pendapatan yang kuterima sebagai guru honorer sangat minim. Berhentinya jadi guru honorer, kusampaikan pada ibu kepala sekolah. Kuterangkan tentang keadaanku. Dia mengerti. Kebetulan aku mendapat kontrak kerja agak lumayan dan tenggang waktu yang kuperkirakan bisa bertahan lama. Anak pertamaku lahir bulan November ditahun pernikahanku. Awal tahun 1981, ibu kepala sekolah datang ke rumahku. Aku diterima menjadi guru tetap. Kesepakantan ini, atas usul para siswa, guru-guru dan kepala sekolah. Kusampaikan terima kasihku. Aku tahu mengapa para siswa dan guru-guru memberikan usulan agar aku menjadi guru tetap. Bukan hanya ekstra kulikuler mata pelajaran jam-jam belajar, yang menjadi tugasku mengajar, seperti, senirupa, drum band, pramuka dan berenang. Tapi juga terkadang bila guru-guru perempuan lagi cuti hamil, mata pelajaran yang diajarkannya kugantikan. Pihak sekolah dan yayasan tak susah-susah mencari guru dari sekolah lain.
13
Ketika menjadi guru honorer aku pernah mengajar di kelas satu, dua dan tiga, mata pelajaran sejarah dan ilmu pengetahuan sosial lainnya. Sepulang ibu kepala sekolah itu, kutanya Elya bagaimana pendapatnya. Kukemukakan kontrak kerjaku memang masih agak lama selesainya. Tapi untuk pekerjaan itu aku hanya memerlukan waktu kerja, cuma untuk mengkoordinasi, kepala-kepala tukang. Itu bisa kulakukan setelah tugasku selesai disekolah. Apalagi kalau tugasku seperti kala menjadi guru honorer. Dia setuju yang menurutku apa yang terbaik.” Di awal tahun delapan puluh satu Wardik kembali menjadi guru tetap di SMA perguruan swasta itu. Sesudah surat pengangkatan sebagai guru tetap dikeluarkan Wardik akan mulai mengajar. Di semester dua tahun 1996 Wardik menandatangani kontrak kerja dengan salah sebuah perusahaan kontraktor yang membangun komplek perumahan Malibu di kawasan Polonia Medan. Tugasnya mengkoordinasi dan menyediakan tenaga kerja. Wardik memutuskan berhenti sebagai guru. Lagi pula sejak semula Wardik sudah khawatir karena adanya Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32/1981, tentang larangan bagi eks tapol dan napol, di antaranya menjadi guru. Malah yang terjadi bukan hanya eks tapol dan napol yang dilarang menjadi guru, tapi juga sampai keturunannya. Ada dosa keturunan. Tahun sembilan puluh sembilan, Wardik mendapat kontrak membangun pabrik kramik. “Aku mendapat upah yang lumayan. Dari hasilnya aku bisa membangun rumah sederhana. Empat kamar. Tiga untuk kamar kami sekeluarga. Satu kamar agak besar kugunakan untuk kamar, kalau-kalau, kawan-kawan dari Padang Halaban memerlukan tempat menginap bila datang ke Medan” tutur Wardik dengan mantap. *** SUDAH delapan belas tahun Wardik menjalani hidup bersama Elya, isterinya. Di delapan belas tahun itu, isterinya melahirkan empat bayi lelaki dan satu bayi perempuan. Ada waktuwaktu Wardik berjumpa dengan kawan-kawan yang dulunya bersama di pengasingan. Di pesta-pesta perkawinan anaknya, khitanan anaknya atau di kesempatan lain. Dipastikan juga mereka akan berkumpul di pertemuan duka, saat kawan-kawan yang pernah bersama di berbagai kurungan menghadap Chaliknya. Ketika berembus berita bahwa Suharto akan jatuh, Wardik mulai beraksi. Begini cerita Wardik. “Aku mulai berfikir, aku mulai bertanya pada kawan-kawan, yang kuanggap tahu banyak hal tentang hal-hal seperti itu. Kalau Suharto jatuh, apa tanah yang mereka rampas dulu bisa kembali. Semua kawan-kawan yang kutanya menjawab. Untuk mendapatkan hak kita kembali, diperlukan organisasi. Perlu membentuk wadah yang akan menjadi alat memperjuangkan hak-hak kita. Inilah permulaan yang harus dikerjakan. Mengorganisasi orang-orang yang dirampas haknya. Aku harus segera ke Padang Halaban. Kujumpai bang Samiran, bang Sumardi juga kawan-kawan lain. Kusampaikan berita Suharto akan jatuh, kita harus siapkan langkah-langkah kita. Kukatakan juga, kalau menurut beberapa orang mahasiswa yang menjadi aktifis di kampusnya, Suharto jatuh tinggal menunggu harinya. Tanpa organisasi dan perjuangan hak-hak kita tidak akan dikembalikan. Begitu kataku pada mereka. Bang Samiran bilang, bahwa bukti-bukti kepemilikan dan surat menyurat lahan ada beberapa yang disimpannya. Bang Sumardi menyanggupi, akan menghubungi kawankawan, akan mencoba mengorganisasi. Seperti apa bentuknya, nanti difikirkan. Bang 14
Samiran bilang agar tak menjadi masalah nantinya, buat saja semacam arisan. Sampai disitu kesepakatan. Aku pulang ke Medan dengan Kereta Api malam. Dibulan Mei Sembilan puluh delapan, tujuh hari sebelum Suharto jatuh, aku membuat acara pengkhitanan anakku yang nomor tiga di rumahku. Kawan-kawan kuundang datang. Lagi berbagi cerita, berbagi apa yang dia tahu tentang negeri ini. Tentang mereka yang memegang kekuasaan. Ceritapun sampai pada gerakan mahasiswa yang akan menduduki Parlemen di Senayan, hingga Suharto lengser. Tanggal 21 Mei Suharto mengundurkan diri. Aku terus berhubungan dengan kawan-kawan di Padang Halaban. Mereka sudah membentuk organisasi, para petani yang pada kekuasaan Suharto dirampas tanahnya, dirampas hidupnya. Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya. Menuntut pengembalian tanahnya. Bang Samiran diangkat menjadi ketuanya. Di Medan aku bergabung di Agresu, Aliansi Gerakan Reformasi Sumatera Utara. Bersama dengan para mahasiswa berkeliling membangkitkan kesadaran para kaum tani yang ketika Orde Baru berkuasa tanahnya dirampas. Mereka harus bersatu, melawan kezaliman para petinggi yang berkuasa.” Pada tanggal 28 Oktober 1998 untuk pertama kali aksi kaum tani dimulai. Lima ribu petani, mulai dari kabupaten Labuhan Batu, Asahan, Deli Serdang dan Langkat menyatu dalam barisan unjuk rasa ke kantor Gubernur dan kantor DPRD Sumatera Utara. Pengunjuk rasa bermalam di kantor DPRD. Mereka mengatakan ini rumah wakil rakyat, itu artinya rumah rakyat dan mereka berhak menginap di rumahnya sendiri. Malam itu kaum tani dan para mahasiswa berhasil membentuk wadah aliansi empat klompok tani di empat kabupaten yang ikut pada aksi unjuk rasa itu. Sebuah organisasi kaum tani, yang ketika di masa Orde Baru tak akan dibenarkan. Wadah itu dinamakan, Gerag, Gerakan Reformasi Agraria. Para Aktifis mahasiswa itu mengatakan bahwa melalui Gerag perjuangan kaum tani di empat kabupaten dan di semua kabupaten di Sumatera Utara akan berani mengangkat muka tanpa takut lagi terhadap penguasa. Lebih lanjut Wardik dengan penuh semangat melanjutkan ceritanya. “Tahun di awal reformasi, adalah tahun-tahun aksi. Tahun-tahun unjuk rasa. Setiap ada aksi kaum tani aku ikut. Terkadang kawan-kawan dari Padang Halaban sedikitnya satu gerbong kereta api, ikut aksi datang ke Medan. Kawan-kawan para mahasiswa ada yang menjadi korban penembakan. Unjuk rasa di Tanjung Morawa, sembilan kawan mahasiswa di rawat di rumah sakit Elisabet. Dua sampai tiga orang tertembak kakinya, atau dipukuli dengan tongkat oleh petugas, luka-luka. Di Langkat, di Pancur Batu unjuk rasa kaum tani tak terbendung. Begitu juga aksi-aksi unjuk rasa di desa-desa pinggiran perkebunan di semua daerah kabupaten di Sumatera Utara. Kaum tani di Padang Halaban berkali-kali mengadakan aksi sampai pada pemerintahan SBY. Tetapi tanah yang dirampas belum juga kembali. Para aktifis yang dulu menjadi penggerak, entah sudah ke mana. Mereka datang hanya dibatas lima tahun sekali. Atas nama partainya. Untuk memenangkan partainya dan dirinya, duduk menjadi anggota dewan. Sebagai wakil rakyat di parlemen. Di pusat maupun di provinsi, kabupaten dan kota. Tapi kaum tani Padang Halaban terus, tak hentinya berjuang untuk mendapatkan kembali haknya. Ada penggalan sajak “Pancang” yang ditulis bung Astaman Hasibuan yang kuingat. Begini bunyinya:
15
“pancang itu bagiku adalah janji yang kuyakini sampai hari ini dan nanti pancang itu bagiku adalah garis demarkasi pancang itu bagiku adalah senandungku menapak matahari” . *** Pewawancara dan penulis transkrip : Astaman Hasibuan dan Wardy Penulis feature: Putu Oka Sukanta
16