1. Kedatangan Yang Tak Terduga
Hari Minggu yang begitu panas di bulan Desember, aku perkirakan akan turun hujan malam ini. Karena kulihat langit di sebelah barat tampak berat oleh awan hitam yang tebal, dan udara begitu panas ku rasa. Angin juga bertiup sesekali menerbangkan awan-awan itu menuju ke arah timur dan terus saja berderak-derak menutupi gambaran biru langit. Demi mengikuti rasa panas tubuhku, aku putuskan untuk naik ke beranda atas sekedar melepaskan penat. Aku duduk di sebuah kursi rotan kesayanganku yang langsung menghadap ke arah bukit yang hijau. Lebih nyaman jika aku tidak memakai baju, maka ku lepaskan kaos putihku dan aku sisakan celana jeans membalut tubuhku. Aku lempar begitu saja kaos putihku di kursi rotan kecil di sudut pagar pembatas beranda, di bawah bonsai pohon kamboja Jepang. Hem….sedikit nyaman. Mulai kurasakan angin meniup pori-pori tubuhku yang tertutup keringat itu. Perlahan angin-angin itu menerbangkannya dan menggantikannya dengan kesejukkan. Di depanku, sebuah meja dari batang kayu yang terukir dengan manis, sebuah hadiah dari Frans, seorang temanku. Frans adalah pengrajin kayu dari Jepara. Hasil kerajinan tangannya sangat luar biasa. Di atas meja itu tersaji di papan saji segelas jus jeruk segar yang aku bawa dari dapur di lantai bawah tadi dan sekantong plastik ceriping pisang buatan tangan tetangga Wastuti – asisten rumah tanggaku, Ari Wastuti nama lengkapnya – yang selalu dibelinya karena Wastuti tahu aku sangat suka dengan ceriping pisang ini. Benar-benar camilan yang sehat tanpa bahan pengawet dan bahan pewarna. Aku senang sekali berada di berandaku ini. Wastuti yang suka berkebun, menghiasinya dengan tanaman hias yang kupikir membuat beranda ini menjadi sejuk. Benar-benar tangan yang trampil. Wastuti selalu tahu dan mengenali kebutuhan tanaman yang dirawatnya itu, seperti dia mengenali diriku dan kebutuhanku. Sembari mengagumi nikmatnya ceriping pisang ini, aku menoleh kembali pada kepenatan hariku. Hari ini aku cukup dibingungkan oleh tulisan-tulisanku yang tidak juga kutemukan ending dari kisah cinta yang diminta penerbit. Mereka ingin membuat sensasi di pasar, bahwa Widya Susena penulis cerita detektif dapat juga menulis cerita romantis. Tetapi memang menulis kisah
cinta yang romantis itu tidak mudah. Aku sudah lelah sekali memikirkan masa laluku dan mendramatisir setiap kisahnya tetapi tetap saja tidak menghasilkan sesuatu yang mengejutkan. Hanya sebuah kisah cinta biasa saja yang endingnya dapat dengan mudah ditebak oleh pembacanya. Aku juga sudah meminta Wastuti untuk membacanya dan menebak apa akhir dari ceritaku, dan seperti yang sudah aku duga, Wastuti dengan tersenyum, tahu endingnya! Aku rebahkan tubuhku di atas balai-balai sambil berpikir tentang apa yang telah aku lakukan selama ini. Aku tak pernah menyangka bahwa beberapa tahun yang lalu aku tinggal di desa bersama orangtuaku dan kini aku telah memiliki sebuah rumah mungil dengan taman yang sejuk dan segar di bawah sana. Dan sebuah pekerjaan yang menyenangkan telah mengisi dan menghiasi hari-hariku walau kadang membuatku penat seperti ini. Di tengah-tengah lamunanku, Wastuti naik ke atas dan menghampiri seraya berkata, “Mas Widya,” ucapnya halus. Aku membuka mataku dan menatap wajah khas Jawa itu, “Saya pamit pulang dulu ya. Habis nanti malam saya mau pergi ke tempat orang hajatan.” Jelasnya sambil meraih kaos putihku yang tadi aku lempar di bawah pohon kamboja Jepang itu. Terusnya lagi, “Makan malam sudah saya siapkan, dan kopi ada di ruang kerjanya Mas Wid. Kemudian tadi ada Bapak Reinhart menelpon, katanya dari Penerbit, katanya ingin bertemu dengan Mas Widya minggu depan, di kafe Bamboo jam 9 pagi. Saya sudah mencatat perinciannya di buku schedulenya Mas Widya. ” Aku hanya mengangguk sambil tersenyum saja menanggapi ucapan Wastuti. Gadis ini benar-benar anak yang teliti dan cermat. Dia tidak pernah membuat kesalahan sejak pertama kali bekerja denganku. Setelah tersenyum dengan lega, gadis belasan tahun yang tidak lulus sekolah itu berbalik sambil menarik ujung hem hitamnya yang berlengan pendek dan roknya yang sepanjang tumit itu menyisakan angin di tubuh bagian kananku. Selanjutya, aku mendengar lembut kaki kecilnya menapaki tangga-tangga rumah. Beberapa kali terdengar deritan pintu dibuka dan ditutup. Ah….gadis malang itu tak cukup mampu melanjutkan sekolahnya, karena keadaan ekonomi. Tetapi atas saranku, Wastuti mengikuti program paket B yang setara dengan SMP itu. Kasihan juga melihat perjuangan gadis seusianya yang bekerja demi sesuap nasi. Wastuti adalah gadis yang hebat, seusianya ia sudah menjadi tulang punggung keluarganya. Menyekolahkan kedua adiknya
yang masih di bangku Sekolah Dasar. Dia tak pernah mengeluh atas keadaannya. Ayahnya meninggal karena kecelakaan Kereta Api, sementara Ibunya sakit-sakitan setelah ayahnya meninggal. Saat aku seusianya dulu aku tahunya hanya bermain dan bersenang-senang dengan teman-temanku. Jika minta sesuatu semua harus terpenuhi. Aku adalah raja di rumahku sendiri, karena aku satu-satunya anak lelaki orangtuaku. Perbandingan yang sangat mencolok antara aku dan Wastuti. Aku mengalihkan lamunanku dari Wastuti dan masa lalunya kepada peristiwa-peristiwa masa silamku. Aku biarkan angan-anganku merantau ke sana. Aku telusuri peristiwa demi peristiwa masa lalu yang terkadang membuatku tersenyum, atau mengerutkan dahi demi mengingat masalah-masalah yang serius, atau kadang marah dan kesal karena peristiwa yang menjengkelkan. Sebagian masa laluku telah aku tulis menjadi buku yang laris keras di pasaran. Yah….masa laluku telah mengantarkan aku sampai di sini. Tetapi kadang aku juga ingin membenahi masa laluku yang sempat terkoyak karena sikap-sikap dan perilakuku. Lamunan masa laluku terpotong oleh suara truk yang berhenti di depan rumahku. Aku bergegas turun ingin mengetahui apa yang terjadi di bawah sana. Sejenak aku mengintip truk itu dari jendela ruang depan yang tertutup oleh korden tipis dengan bau khas cucian Wastuti. Aku lihat seorang gadis turun dari truk itu dan membuka pintu pagar rumahku. Sepertinya aku mengenali gadis itu, tapi entahlah aku tidak terlalu yakin. Aku biarkan saja gadis itu mengetuk pintu beberapa kali sebelum akhirnya aku jawab perlahan. Pintu telah aku buka untuk gadis cantik itu. Gadis yang berdiri di depanku ini mengernyitkan dahinya dan tiba-tiba tersenyum, “Widya? Widya Susena „kan?!” soraknya. Aku hanya tersenyum sambil mengingat-ingat siapa yang memiliki sorakan itu. Yah…..dia adalah orang yang memang pernah aku kenal dan sempat tinggal sejenak di hatiku. Dia adalah Krisna Dewi, teman SMA-ku yang kekanakan. Tiba-tiba aku merasa geli melihat Krisna. Gadis kekanakan itu berubah menjadi wanita muda yang cantik. Aku mentertawakannya seraya bersidekap di depan pintu. Melihat ekspresi wajahku, Krisna mulai marah-marah, “Kenapa? Apa yang kau tertawakan?!” Jawabku, “Tidak ada, aku hanya berpikir lucu sekali melihatmu hari ini. Kau masih ingat tidak dengan dirimu sewaktu kita masih SMA?” “Tidak ada yang lucu!” sungutnya seraya menyodorkan secarik kertas padaku. Tanyaku sambil menarik kertas yang ada di tangannya Krisna, “Kau mencari alamat ini ya?” Jawab Krisna, “Ya. Aku rencananya nge-kos di situ.” Aku jawab petanyaan Krisna dengan menunjukkan jariku
ke arah bangunan berlantai tiga yang berdiri tepat di sisi kanan rumahku. Krisna berbalik dan pergi sambil mengucapkan terima kasih. Aku menatapi punggung Krisna yang meninggalkan pintu rumahku seperti beberapa tahun yang lalu, panggilku, “Kris,” Krisna berhenti dan memandangku, lanjutku, “Hanya itu yang kau ucapkan pada sahabat lamamu?” Krisna hanya mencibir lalu pergi. Aku tutup pintu rumahku dan masih tertawa geli. Krisna tidak jauh berbeda dengan Krisna yang tinggal di masa lalu, tapi apakah Krisna yang beberapa menit yang lalu berdiri di muka pintuku masih tetap Krisnaku yang dulu? Aku kembali ke kamarku dan meneruskan tulisan-tulisanku. Orang-orang dari penerbit sudah mengejar-ngejar aku untuk menyelesaikan tulisanku. Tapi sepertinya tulisan ini takkan selesai bulan ini. Karena aku sudah satu jam duduk di mejaku tapi tak satupun kata keluar dari benakku. Aku putuskan untuk memandangi kos-kosan putri yang tepat berada di depan kamarku. Namun itupun tidak menumbuhkan ide apa-apa padaku. Malahan wajah seorang gadis dengan masker putihnya mengejutkan aku. “Arrgghhhh……!!!” seruku. Aku kira dia kuntilanak yang muncul di siang bolong. Gadis itu menahan tawanya dan berlari masuk ke dalam pintu rumah kosnya, menyisakan aku yang mengelus-elus dadaku untuk menenangkan diri. Ah….mungkin sebaiknya aku keluar saja dulu. Mencari angin segar yang bisa mendinginkan kepalaku, siapa tahu ada tambahan ide tulisanku. Aku turun dari kamar dan langsung menuju garasi. Motor bututku sudah menanti dengan warnanya yang cerah. Aku buka garasi dan mulai keluar. Baru saja aku keluar pagar terdengar suara perempuan memanggilku, “Wid....Widya! Tunggu!” Ternyata suara itu milik Krisna. Kata Krisna padaku sambil berjalan menghampiriku, “Kau mau pergi, ya?” “Menurutmu, kalau aku ada di sini dengan arah motor ke jalan itu kira-kira aku akan pergi atau pulang?” sahutku. Krisna melotot. Kataku kemudian, “Kau mau kemana?” “Sebenarnya, kalau kau tidak ada acara aku mau minta bantuanmu.” Ucapnya dengan polos. Kataku padanya, “Bantuan apa? Lagian pergiku juga tidak terlalu penting.” “Tolong antarkan aku untuk menemui seseorang.” Kata Krisna padaku.
“Seseorang?” potongku cepat, “Pacarmu? Tunanganmu? Suamimu? Mantan suamimu? Atau hanya seorang fans? Maksudku….hanya seperti aku..” “Sudahlah… aku tak ingin membahas apapun mengenai masa itu. Aku saja tidak tahu siapa yang akan aku temui. Aku sangat ketakutan saat ini. Tapi aku harus menemui dia saat ini juga.” Ucap Krisna. Aku melihat kesungguhan di wajahnya yang mendadak pucat pasi itu. Tanyaku kepada Krisna “Memangnya apa yang terjadi padamu?” “Aku… aku akhir-akhir ini sering mendapat surat kaleng. Penuh dengan cerita ngeri dan ancaman-ancaman. Lalu kali ini dia mengundangku ke suatu tempat dan katanya tak boleh ada seorangpun yang tahu. Semula aku mengabaikan surat itu, tapi surat-surat berikutnya penuh dengan ancaman. Aku ingin kau menemani aku tapi aku tak ingin orang yang mengundangku itu tahu kehadiranmu.” “Dimana tempat yang dijanjikannya itu?” tanyaku pada Krisna. “Di hotel Puri Sakti di jalan Taman Siswa no.7. Katanya aku ditunggu di kolam renang.” “Oke, kita akan ke sana. Tetapi menurutmu pengirimnya laki-laki atau perempuan?” tanyaku lebih lanjut. “Aku tidak tahu. Tulisan itu di ketik rapi, jadi aku tidak tahu itu jenis tulisan yang ditulis laki-laki atau perempuan.” “Oh… begitu, lalu kau sudah pernah lapor polisi atau belum?” tanyaku lagi. Krisna menggelengkan kepalanya dan menjawab, “Belum, Tidak! Aku tidak mau sesuatu yang buruk akan terjadi.” “Baiklah aku akan tiba di sana lebih awal. Sekarang aku pergi dulu ya, say.” Ucapku sambil tertawa menggoda Krisna. Krisna melotot jengkel. Ah… anak itu, mungkin kalau sedang tidak terdesak seperti ini dia tidak akan meminta bantuanku. Dalam perjalanan menuju hotel Puri Sakti aku berpikir bahwa hal inilah yang harus aku tulis. Tapi aku membutuhkan sesuatu hal yang bisa mengendalikan peristiwa yang akan terjadi nanti.
Perlahan, aku mengetuk pintu pada sebuah rumah mungil yang bercat merah bata itu. Sahabatku Rudy Harsono keluar menyambutku dengan riang dan diikuti malaikat kecilnya, Putri Harsono yang masih berumur 2 tahun itu. Putri menggelendot manja di kaki ayahnya, nampak ia malu-malu menyapaku. Rambutnya yang keriting dan berwarna merah jagung itu semakin kusut saja karena gerakan tangannya yang berkali-kali mengusap anak rambutnya yang lembut itu. Aku angkat Putri dari kaki ayahnya dan aku dukung dia masuk ke rumah mungil yang tertata rapi. Cerewetnya Putri bercerita dalam dukungannku, menceritakan kegiatannya pagi ini bersama dengan ibunya. Tidak lupa Putri juga menceritakan kalau kemarin dia baru saja membeli balon di pasar malam. Bibirnya yang mungil itu kemudian menyenandungkan lagu Balonku ada lima yang akhirnya mendenda aku untuk menyanyikannya hingga mulutku berbusa karena dia tidak mau berhenti mendengarkan aku menyanyi. Rudy Harsono adalah seorang polisi, ia seorang kenalanku yang selalu memberiku bantuan dalam menulis cerita-cerita kriminalku. Bahkan aku sering ikut Rudy memecahkan kasus-kasus yang ada di lingkup kerjanya. Seperti biasa, aku disambut di ruang duduk dengan satu set kursi sudut berwarna hijau tua dengan jendela yang juga bertirai hijau yang membuat ruangan ini menjadi tampak segar. Lukisan-lukisan pemandangan ada di dinding-dinding ruangan sempit dan sebuah vas bunga yang terisi bunga potong ada di atas meja. Aku duduk di kursi dekat jendela bersama Putri yang masih berada di lenganku dan masih terus saja bercerita dan bernyanyi tiada henti. Dari arah dalam istri Rudy yang cantik itu keluar dan menyapaku, lalu meraih Putri dari dekapanku. Walaupun Putri agak sedikit meronta, tetapi tetap saja diambilnya dengan berbagai macam bujukan. Indah tahu kedatanganku ini pasti ada hubungannya dengan kasus kriminal, maka diajaknya Putri keluar. Aku mulai membicarakan maksud kedatanganku petang ini setelah Putri dan Indah keluar. Rudy tak banyak bicara mengenai hal ini, dia hanya menyetujui saja apa yang aku katakan padanya. Setelah menyusun rencana, Rudy masuk dan berpamitan dengan istri dan anaknya. Putri merengek ingin ikut, tapi Indah membujuknya agar tetap tinggal di rumah seperti biasa. Aku telah berangkat ke hotel Puri Sakti terlebih dahulu dan langsung duduk di lobi. Setengah jam telah ku habiskan di lobi yang temaram dengan secangkir kopi dan surat kabar di tanganku. Sejenak aku alihkan pandangku dari surat kabar ini ke arah kolam renang, kolam itu
masih sepi. Ada beberapa turis asing yang bersantai di tepi kolam renang, ada-ada saja, malam mulai menjelang tapi masih saja berjemur. Lalu aku kembali kepada surat kabar di tanganku. Dari ujung mataku, aku melihat Krisna masuk ke hotel. Ia melepas jaket hitamnya dan sejenak melihat ke arahku. Setelah yakin melihat aku ada di lobi ini, Krisna berjalan menuju ke kolam renang. Krisna berjalan ke arah turis asing itu, apakah turis itu yang ingin menemuinya? Ternyata bukan, Krisna menuju ke tepi kolam yang tepat berhadapan denganku. Seorang waitter mendekati Krisna, terlihat Krisna memesan sesuatu. Sesaat kemudian pesanan Krisna sudah datang. Beberapa kali kulihat Krisna menarik-narik ujung lengan kaus ketatnya yang panjang. Sesekali ia menarik nafas dalam-dalam seperti mencoba meredakan deburan jantungnya yang menyesakkan dadanya. Dan sekarang ia membungkuk merapikan ujung celana jeans hitamnya yang agak kusut. Lalu ia meminum jus yang sudah dipesannya. Krisna berdiri dan berjalan mondar-mandir, lalu duduk kembali. Ia singkap lengannya dan melihat jam di tangannya.