WANITA SEBAGAI IMAM SALAT Juhaiti IAIN Raden Intan Lampung E-mail :
[email protected]
Abstrak Ajaran-ajaran Islam yang telah mengangkat wanita prestise dan posisi. Namun, diskriminasi dalam aspek-aspek tertentu masih ada. Salah satu diskriminasi semacam itu adalah larangan terhadap wanita menjadi pemimpin (imam) shalat (shalat). Hadits tersebut dikutip tentang larangan tersebut adalah weake atau tidak mencukupi untuk dijadikan hujjah hukum. Sebaliknya, hal ini ditemukan dalam sejarah di mana seorang wanita diizinkan untuk menjadi pemimpin dari doa. Sejarah berdebu Dawud dan diasumsikan oleh shahih oleh Ibnu Huzaimah Kata Kunci: Islam pengajaran, Diskriminatif Abstract Islamic teaching is belived to has lift the woman‟s prestige and position. However, discrimination in certain aspects still exist. One of such discrimination is the prohibition of the woman‟s becoming the leader (imam) of the prayer (shalat). The quoted hadits about such prohibition is weake or is insufficient to be made law hujjah. On the contrary, it is found in the history in which a woman was allowed to be the leader of the prayer. Dusty history of Dawud and assumed by shahih by Ibnu Huzaimah Keywords : Teaching Islam, Diskriminatif Pendahuluan Ajaran Islam telah mampu mengangkat harkat dan martabat manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Di mana pada masa Jahiliyah sebelum datang ajaran Islam, perempuan diperlakukan sangat diskriminatif bahkan tidak dihargai. Walaupun ajaran Islam telah mampu mengangkat harkat dan martabat wanita, tetapi dalam beberapa hal masih menyisakan permasalahan. Adanya kesan masih
terjadinya diskriminatif terhadap perempuan semisal dalam masalah perempuan menjadi pemimpin dan perempuan menjadi imam salat. Perbedaan perlakukan dalam hal menjadi imam salat ini hanya salah satu dari sekian banyak ajaran Islam yang terkesan tidak adil dalam memperlakukan laki-laki dan perempuan semata-mata karena gender. Ajaran-ajaran Islam yang membedakan laki-laki dan perempuan cukup banyak, seperti dalam hukum ibadah, dalam hukum keluarga, dalam hukum muamalah, dan bahkan diriwayatkan sebagian besar penghuni neraka adalah perempuan. Perbedaan hukum yang hanya semata-mata didasarkan pada perbedaan jenis kelamin itu untuk kehidupan sekarang ini dirasakan tidak adil, oleh karena itu harus dilakukan pemahaman ulang yang lebih komprehensif dengan memperhatikan perkembangan sosial. Tulisan ini akan turut mengkaji permasalahan tersebut dalam kasus dugaan ketidakadilan gender dalam ibadah salat, khususnya tentang larangan bagi seorang perempuan untuk menjadi imam salat. Kajian akan lebih difokuskan kepada penilaian hadis-hadis (takhrij) karena sebagian ajaran tersebut didasarkan pada dalil hadis, di samping dengan pendekatan istinbath hukum yang lain.
Pembahasan A. Diskriminasi Gender dalam Ibadah Salat Dalam pelaksanaan ibadah salat, yang merupakan ibadah pokok (imaduddin) dan menjadi salah satu rukun Islam serta menjadi parameter bagi ibadah-ibadah lain, perempuan dan laki-laki dibedakan dalam beberapa hal sebagai berikut : 1. Dalam hal menutup aurat, laki-laki cukup menutup bagian tubuhnya antara pusat dan lutut. Dan bahkan menurut sebagian pendapat, cukup menutup kemaluan dan pinggul saja, karena paha laki-laki tidak termasuk aurat.1 Sedangkan aurat perempuan dalam salat adalah seluruh tubuhnya yang wajib ditutupi, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Ketentuan mengenai batas aurat perempuan ini didasarkan pada beberapa riwayat yang saling menguatkan, di samping telah menjadi ijma ulama, karena tidak ada satu pun
yang berpendapat lain. Salah satu riwayat tentang batas aurat perempuan adalah Hadis dari Ummu Salamah, yang artinya: “Bahwa ia menanyakan kepada Nabi Saw: “Bolehkah wanita salat dengan memakai baju kurung dan selendang, tanpa kain atau sarung?”. Kemudian Nabi menjawab: “Boleh, asal saja baju itu dalam (panjang) sehingga dapat menutupi punggung kedua tumitnya”.2 Ketentuan mengenai aurat ini juga berlaku di luar salat, dan bahkan tanpa perkecualian seluruh tubuh perempuan adalah aurat, termasuk suaranya. Perempuan yang sering memamerkan aurat kepada orang lain selain suaminya disebut sebagai tabarruj dan dilarang keras dalam Islam bersadarkan beberapa dalil, baik al-Qur`an maupun Hadis Nabi.3 Larangan tabarruj ini tidak berlaku bagi laki-laki, karena tubuh laki-laki tidak dianggap aurat. 2. Dalam hal bacaan jahr (keras) pada salat maghrib, isya‘, dan subuh, laki-laki disunnahkan mengeraskan bacaan salatnya, sedangkan perempuan agar bersuara rendah (sirr). Hal ini karena suara perempuan dianggap sebagai aurat dan mendengarnya yang sekiranya dapat tergoda dianggap haram. Ketentuan ini dipahamkan dari firman Allah: “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya”. (Qs. Al-Ahzab: 32).4
3. Dalam hal keutamaan tempat salat, laki-laki sebaiknya salat berjamaah di masjid, sedangkan perempuan lebih utama salat di kamarnya. Ketentuan ini berkaitan dengan larangan perempuan datang ke masjid. Dalam kitab-kitab fiqh perempuan yang dibolehkan datang ke masjid berjamaah adalah yang sudah „ajuz (sudah berumur tua). Sedangkan yang masih muda hukumnya makruh. Menurut mazhab Syafi‘i dan Hanbali, dimakruhkan bagi perempuan yang cantik atau yang mempunyai tingkah seperti anak muda untuk mendatangi jamaah bersama laki-laki, karena mereka diduga akan menimbulkan fitnah. Sedangkan perempuan yang tidak cantik, tidak memakai parfum, dan dengan ijin suaminya
boleh datang ke masjid. Meskipun demikian salat di rumahnya tetap lebih utama. Dari Ummi Salamah, Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik masjid perempuan adalah pojok rumahnya”.5 Dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Ahmad dan At-Tabrani dari Ummu Humaid as-Sa‘diyah: “Ia datang kepada Rasulullah saw. dan mengatakan, “Ya Rasulullah, saya suka sekali salat bersama Engkau”. Nabi menjawab, “Saya tahu akan hal itu, teapi salatmu di rumahmu adalah lebih baik dari pada di masjid kaummu, dan salatmu di masjid kaummu adalah lebi baik dari salatmu di masjid umum”.6 4. Dalam hal cara mengingatkan imam jika keliru, laki-laki dengan cara membaca tasbih (subhanallah), sedangan bagi jamaah perempuan cukup dengan cara bertepuk tangan. Hal ini didasarkan pada riwayat dari Sahl bin Sa‘ad, Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa mengalami sesuatu (kekeliruan) dalam salatnya, maka bacalah tasbih. Adapun bagi perempuan dengan cara bertepuk tangan”.7 5. Dalam hal bersikap, laki-laki dianjurkan merenggangkan kedua sikunya dari kedua lambungnya, dan merenggangkan (mengangkat) perutnya dari kedua paha ketika ruku‘ dan sujud. Sebaliknya perempuan dianjurkan merapatkan sebagian tubuhnya kebagian tubuhnya yang lain. Hal demikian juga didasarkan pada riwayat-riwayat dari Nabi.8 6. Dalam hal salat berjamaah, perempuan tidak boleh menjadi imamnya ketika ada laki-laki menjadi makmumnya. Bahkan tempat shaf perempuan yang afdhal adalah yang paling balakang. (akan dikupas lebih mendalam dalam sub berikut).
B. Larangan Perempuan sebagai Imam salat Larangan perempuan menjadi imam, baik dalam salat jamaah maupun dalam kehidupan sosial, agaknya telah menjadi kesepakatan kitab fiqh.9 Dalam semua kitab fiqh mensyaratkan imam salat harus laki-laki, dan oleh karenanya tidak
sah laki-laki makmum kepada imam perempuan. Sekedar sebagai sample, berikut akan dinukilkan dari beberapa kitab fiqh populer : 1. Kifayah al-Akhyar, Imam Taqiyuddin Abu Bakar : Kitab yang menjadi kurikulum wajib dibeberapa pesantren dan lembaga pendidikan Islam ini menjelaskan dengan tegas, bahwa tidak boleh laki-laki makmum kepada imam perempuan. Demikian juga tidak sah orang yang pandai membaca bermakmum dengan seorang ummi (buta huruf). Larangan perempuan menjadi imam ini didasarkan kepada beberapa dalil, baik al-Qur`an maupun Hadis Nabi. Di antaranya firman Allah swt.: “Laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan”.
Sedangkan hadis-hadis Nabi secara umum mengacu kepada
Sabdanya: “Tidak akan bahagia suatu kaum jika urusannya diserahkan kepada perempuan”, dan secara khusus adalah riwayat Ibnu Majah : “Ingatlah, jangan boleh menjadi imam seorang perempuan atas laki-laki”. Karena perempuan adalah aurat, dan keimamannya bersama laki-laki adalah fitnah.10 2. Al-Muhazzab Fi Fiqh Al-Imam As-Syafi’i, Abu Ishaq Ibrahim Asy Syirazi: Tidak boleh (la yajuzu) seorang laki-laki salat di belakang perempuan (sebagai makmum) berdasarkan riwayat Jabir ra. bahwa Rasullah saw. telah berkhutbah kepada kita: Janganlah perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Jika seorang laki-laki tidak tahu, maka harus mengulangi ketika mengetahui. Demikian juga tidak sah laki-laki makmum di belakang imam khuntsa musykil…”.11 3. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili: Dalam kitab yang tebal dan berjilid-jilid ini disebutkan juga tentang ketidakbolehan perempuan menjadi imam. Tidak sah keimaman seorang perempuan atau seorang khunsa (banci) bagi laki-laki, baik dalam salat wajib maupun salat sunnat. Perempuan hanya boleh menjadi imam bagi perempuan, karena jamaah perempuan tidak harus diimami oleh laki-laki. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi, jamaah perempuan saja makruh tahrim, karena salatnya perempuan di kamarnya yang paling khusus adalah lebih utama.12
Syarat sahnya imam selain harus laki-laki (jika makmumnya ada yang laki-laki atau khunsa) adalah harus Islam, berakal, baligh, suci dari najis dan hadas, bagus bacaan dan gerakannya, ia tidak sebagai makmum (berimam kepada orang yang makmum), terhindar dari uzur/penyakit (seperti beser, kentutan), dan sehat lesannya (tidak pelo).13
4. Fiqh As-Sunnah, Sayyid Sabiq : Mengenai orang-orang yang sah menjadi imam, Fiqh Sunnah tidak tegas mensyaratkan harus laki-laki. Diterangkan, orang yang lebih berhak menjadi imam adalah yang terpandai dalam membaca al-Qur`an, kemudian hadis Nabi saw., kemudian yang terdahulu hijrah, dan jika masih sama maka yang lebih tua usianya.14 Sedangkan orang yang sah menjadi imam adalah sebagai berikut : ―Anak yang sudah mumayiz dan orang buta sah menjadi imam, begitu juga orang yang berdiri bagi yang duduk, dan sebaliknya orang yang duduk sah bagi makmum yang berdiri. Sah orang yang salat fardlu bagi yang salat sunnah, dan sebaliknya. Sah orang yang wudhu bagi yang tayamum, dan sebaliknya. Orang musafir bagi orang mukim, dan sebaliknya. Dan sah juga orang yang lebih rendah kedudukannya bagi yang lebih tinggi. ‗Amar bin Salamah pernah menjadi imam bagi kaumnya, ketika ia baru berumur 6 atau 7 tahun. Rasulullah saw. juga pernah mewakilkan kepada Ibnu Ummi Maktum agar menjadi imam bagi penduduk Madinah sampai dua kali, padahal ia adalah buta. Rasulullah juga pernah salat di belakang Abu Bakar ra. ketika sakit yang membawa ajalnya dengan duduk. Beliau juga pernah salat dengan duduk di waktu sakit, sedangkan di belakangnya berdiri jamaah yang banyak sebagai makmum, kemudian Beliau memberi isyarat agar orang-orang itu duduk saja semuanya. Selesai salat Nabi bersabda : ―Diadakan imam ialah untuk diikuti, maka jika ia ruku‘, ruku‘lah kamu, jika ia mengangkat kepala, angkatlah pula kepalamu, dan jika ia salat dengan duduk, salatlah pula dengan duduk di belakangnya‖.
Mu‘adz pernah salat bersama Nabi saw. yakni salat isya‘ lalu kembali kepada kaumnya dan salat lagi mengimamai mereka pada salat isya‘ juga. Jadi Muadz salat sunnah dan kaumnya salat fardlu. Mihjan bin Adra‘ berkata: ―Saya datang kepada Nabi saw. yang sedang berada di masjid. Ketika salat tiba, Beliau salat dan saya tidak‖. Maka Nabi bertanya: ―Tidak salatkah kamu?‖. Jawab saya: ‖Ya Rasulullah, saya telah salat di rumah tadi, lalu saya datang kemari‖. Beliau bersabda lagi: ―Jika engkau ke sini, maka salatlah dengan mereka dan niatkanlah sebagai salat sunnah‖. Pernah juga Rasulullah melihat seseorang salat sendirian, maka tanyanya: ―Tidak adakah seseorang yang suka bersedekah kepada orang ini, lalu salat bersamanya?‖. ‗Amar bin Ash pernah salat sebagai imam dengan bertayamum dan hal itu disetujui oleh Nabi. Dan ketika kota Makkah dibebaskan, Rasulullah salat dua rakaat-dua rakaat selain maghrib, dan Dia bersabda: ―Wahai penduduk Makkah, berdirilah dan salatlah dua rakaat lagi, sebab kami ini sedang dalam perjalanan‖. Perlu diketahui, jika seorang yang musafir menjadi imam, dan di belakangnya ada orang yang mukim, maka hendaklah menyempurnakan empat rakaat‖.15 Keterangan dalam Fiqh Sunnah ini lebih luwes dibandingkan dengan kitab-kitab yang lain, di samping tidak menyinggung secara eksplisit tentang larangan perempuan menjadi imam. Kitab-kitab fiqh tidak hanya melarang perempuan menjadi imam salat jamaah di mana makmumnya ada yang laki-laki, meskipun anak mumayiz, tetapi lebih dari itu kitab fiqh juga sepakat tentang larangan perempuan salat jamaah ke masjid. Dan jika terpaksa diijinkan salat berjamaah di masjid ada persyaratanpersyaratan tambahan yang harus diikuti, seperti tidak berdandan dan memakai wangi-wangian, serta posisi shafnya harus yang paling belakang. Menurut Abu Hanifah dan para pengikutnya, perempuan Syawab (usia muda) dimakruhkan mendatangi jamaah secara mutlak, baik salat fardlu maupun salat sunnah seperti salat khusuf dan kusuf (gerhana), salat istisqa‟ (minta hujan), salat
jenazah dan salat ‗id, untuk menghindari fitnah. Yang diperbolehkan adalah perempuan-perempuan tua yang sudah tidak menarik laki-laki. Tetapi itupun terbatas pada salat subuh, maghrib dan isya‘. Karena waktu maghrib orang-orang sedang sibuk makan, sedangkan waktu-waktu isya‘ dan subuh adalah waktu di mana kebanyakan orang sedang tidur, sehingga tidak akan terjadi fitnah.16 Pembahasan tentang perempuan menghadiri jamaah di masjid ini didasarkan pada beberapa riwayat yang sangat banyak, dan dikutip oleh hampir semua kitab hadis. Dalam Kutub at-Tis‟ah (kitab hadis sembilan) yang penulis lacak melalui CD Hadis terdapat paling sedikit terdapat 184 riwayat17 yang membahas tentang perempuan menghadiri jamaah ke masjid. Demikian juga tentang hadis yang menyatakan, bahwa sebaik-baik shaffnya perempuan adalah yang paling belakang, juga diriwayatkan oleh Jama‘ah kecuali Bukhari.18 Sedangkan hadis tentang sebaik-baik masjidnya perempuan adalah kamar rumahnya, hanya terdapat 2 riwayat dalam Musnad Ahmad.19 Hal ini menunjukkan, bahwa opini ulama hadis tentang pelarangan perempuan menghadiri jamaah, menjadi imam, dan shaffnya paling belakang adalah cukup kuat. Karena dilihat dari segi kuantitas sanad hadis yang cukup banyak, maka secara umum bisa dinilai hadis tersebut talah mencapai derajat mutawatir dan harus diterima sebagai kebenaran agama. Meskipun demikian tidak tertutup jalan pengkajian dari sudut-sudut yang lain, sebagai upaya penyegaran ajaran Islam agar lebih membumi, khususnya kajian matan dan sosiohistoris yang banyak terabaikan oleh kajian-kajian terdahulu.
C. Telaah Ulang Perempuan Sebagai Imam Salat Dari deskripsi tentang status perempuan sebagai imam salat jamaah di atas dapat disimpulkan, bahwa kitab-kitab fiqh telah sepakat tentang tidak bolehnya seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki atau seorang banci sekalipun. Yang diperbolehkan adalah perempuan menjadi imam bagi sesama perempuan di tempat yang khusus untuk perempuan (tidak bercampur dengan jamaah laki-laki). Lebih dari itu, ajaran Islam juga melarang (setidaknya makruh) perempuan-perempuan
muda menghadiri jamaah di masjid untuk menghindari timbulnya fitnah. Sedangkan perempuan-perempuan yang sudah berusia lanjut diperbolehkan dengan syarat tidak memakai minyak wangi dan harus mengambil shaff
yang
paling belakang. Ajaran-ajaran misoginis ini untuk masa sekarang ini tidak sepenuhnya relevan. Sebab kaum perempuan sekarang ini telah memiliki status yang sama, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam pergaulan di masyarakat. Perempuan juga telah terbiasa keluar rumah untuk berbagai keperluan seperti sekolah, bekerja, belanja, rekreasi,
olah raga, dan sebagainya, dan ternyata tidak menimbulkan
firtnah sebagaimana yang selalu dikhawatirkan oleh kitab-kitab fiqh itu. Dalam sub ini penulis akan mencoba menelaah ulang hadis-hadis yang dijadikan dasar pelarangan perempuan menjadi imam, masjidnya perempuan adalah di kamarnya, dan sebaik-baik shaffnya adalah yang paling belakang. Tentu saja tidak mungkin mengkaji seluruh riwayat yang ada, tetapi hanya akan menelaah satu sample untuk masing-masing masalah. 1. Hadis tentang larangan perempuan menjadi imam. Pelarangan perempuan menjadi imam salat ini didasarkan pada dalil-dalil umum, seperti ayat “laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan”, dan hadis tentang larangan perempuan menjadi pemimpin “tidak akan bahagia suatu kaum jika urusannya diserahkan kepada perempuan”. Hadis yang secara khusus melarang laki-laki berimam dengan perempuan adalah riwayat Ibnu Majah: “Dalam riwayat Ibnu Majah dari Jabir ra.: Jangan sekali-kali seorang perempuan menjadi imam atas laki-laki, atau a‟rabi (badui) atas orang yang berhijrah, atau orang durjana atas orang mukmin”. Jumhur ulama memjadikan hadis ini sebagai dalil, bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam laki-laki. Hadis ini tidak berhasil dilacak dalam kitab-kitab standar, baik melaui Mu‟jam al Mufahras maupun melalui CD Hadis, sehingga tidak bisa dibahas dari segi
sanadnya. Satu-satu sumber hadis tersebut adalah Kitab Bulugh al-Maram hadis nomor 437 dan kitab Syarahnya Subulussalam.20 Menurut keterangan dalam kitab ini, sanad hadis tersebut dhaif (lemah). Karena ada salah satu rawinya bernama Abdullah bin Muhammad al-Adawi dari Ali bin Zaid bin Jad‘an yang dinilai oleh Waki‘ dhaif. Pada jalur lain terdapat Abdul Muluk bin Habib, ia juga sering mencampuradukkan sanad. Dari data yang ada ini, penulis berkesimpulan hadis tentang larangan wanita menjadi imam tersebut lemah, atau tidak cukup kuat untuk dijadikan hujjah hukum. Selain Hadis tersebut, di tempat yang lain ditemukan riwayat yang membolehkan perempuan menjadi imam salat jama‘ah sebagai berikut : “Dari Ummu Waraqah ra. bahwasanya Nabi saw. memerintah kepadanya agar menjadi imam atas penduduk kampungnya”. Hadist riwayat Abu Dawud dan dianggap shahih oleh Ibnu Huzaimah.21
Ummu Waraqah yang dimaksudkan dalam riwayat tersebut adalah Ummu Waraqah binti Naufal al-Anshari, atau sebagian riwayat menyebutkan binti Abdillah bin Harits bin ‗uwaimar. Rasulullah sering mengunjunginya dan menamakan dia dengan Asy Syahidah, dia hafal al-Qur`an, dan menjadi imam penduduk kampungnya. Ketika Rasulullah perang Badar, Ummu Waraqah bertanya: “Ya Rasulullah, ijinkanlah aku ikut perang bersamamu !”, maka Nabi menyuruhnya, agar ia menjadi imam saja bagi penduduk desanya. Nabi juga menugaskan seseorang untuk menjadi mu‘adzdzin baginya. Ia menjadi imam atas anak-anak laki-laki dan perempuan. Hadis inilah yang dijadikan dasar kebolehan seorang perempuan bertindak menjadi imam atas laki-laki, sebagaimana yang dipilih oleh al-Muzani dan Abu Tsaur. Sedangkan At-Tabari memperbolehkan perempuan menjadi imam salat tarawih jika di antara yang hadir tidak ada yang hafal al-Qur`an. Sedangkan menurut Jumhur, perempuan diperbolehkan menjadi imam hanya ketika
makmumnya sama-sama perempuan. Adapun yang ditunjukkan oleh hadis di atas, bahwa jamaah Ummu Waraqah juga terdapat ghulam (anak laki-laki), ini tidak bisa dipahami secara umum. 2. Hadis tentang perempuan lebih utama salat di kamarnya. Beberapa riwayat melarang perempuan menghadiri jamaah bersama laki-laki di masjid karena salatnya di kamar yang paling sepi adalah paling utama. Misalnya riwayat Abu Hurairah ra: “Ada seorang perempuan yang melintas didepannya dengan aroma parfum yang harum. Lalu dia bertanya: “Hendak ke mana kamu?”. Dia menjawab: “Ke masjid”. Abu Hurairah bertanya lagi: “Apakah kamu memakai parfum?” Ia menjawab: “ya”. Lalu Abu Hurairah berkata: “pulang dan mandilah!” Sesungguhnya Nabi saw. bersabda: “Allah tidak akan menerima salat seseorang perempuan di masjid dengan memakai parfum sehingga ia pulang dan mandi”.22 Hadis senada adalah riwayat Ahmad dalam Musnadnya sebagai berikut : “Dari Hasan dari Lahi‟ah dari Darraj dari Saib dari Ummi Salamah istri Nabi saw. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “sebaik-baik tempat salatnya perempuan adalah di ujung kamarnya”.23 Hadis tersebut diriwayatkan melalui 5 orang rijal (Hasan, Abu Lahi‘ah, Darraj, as-Saib dan Ummi Salamah). Dari segi kualitas sanad (pelacakan melalui CD) ditemukan data-data sebagai berikut : a) Hasan adalah Hasan bin Musa Abu Ali al-Asyib, Tabi‟in kecil, wafat 209 H di Ar-Raya, gurunya sebanyak 29 orang, termasuk Abu Lahi‘ah (mutasil), nilai: siqah. b) Abu Lahi’ah adalah Abdullah bin Lahi‘ah bin ‗Uqbah al-Hadrami Abu Abdirrahman, Tabi‘in besar, tempat tinggal Marwa, wafat 174H, gurunya 85 orang termasuk Darraj (mutasil), nilai : saduq, khalat, da‟if.
c) Darraj adalah Darraj bin Sam‘an al-Qarsyi as Sahmi Abu as-Samah, tidak masuk tabi‘in tengah, tempat tinggal di Marwa, wafat 126 H, gurunya 9 orang termasuk As Saib (mutasil), nilai : Saduq, dha‟if. d) As Saib Maula Ummi Salamah, Tabi‘in tengah, gurunya hanya Ummi Salamah (mutasil), nilai: siqah. e) Hindun bin Abu Umaiyah bin al-Mughirah al-Makhzumiyah Ummi Salamah, sahabat, istri Nabi, nilai: autsaq, „udul.
Dari temuan tersebut dapat disimpulkan, bahwa hadis tersebut sanadnya bernilai dha‘if, karena terdapat Abu Lahi‘ah dan Darraj yang dinilai oleh para nuqqat (para kritisi hadis) sebagai dhaif atau khalath, banyak melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadis. 3. Hadis tentang sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling belakang. Hadis yang terkesan merendahkan kaum perempuan karena semata-mata dia tercipta sebagai perempuan, dan bukan karena prestasinya ini salah satunya adalah sebagai berikut : “Diriwayatkan kepada saya dari Qutaibah dari Abdul Aziz bin Muhammad dari Suhail bin abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda : “Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling awal dan seburuk-buruknya adalah yang paling belakang. Sedangkan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling belakang dan seburuk-buruknya adalah yang paling depan”.24 Hadis tersebut diterima oleh at-Tirmizi (mukharij) melalui 5 rijal, yaitu Qutaibah, Abdul Aziz bin Muhammad, Suhail bin Abi Shalih, ayahnya, dan Abu Hurairah. Adapun identitas dan nilai masing-masing rawi adalah sebagai berikut : a) Qutaibah bin Sa‘id bin Jamil bin Tariq bin Abdillah as-S|aqafi al-Baghlani Abu Raja‖, tabi‟ut tabi‟in besar, tempat tinggal: Hamash, wafat 240H, gurunya 103 orang di antaranya Abdul Aziz bin Muhammad, muridnya 4 orang di antaranya at-Tirmizi (mutasil), nilai: siqah sabat.
b) Abdul Aziz bin Muhammad bin Abid bin Abi Abid ad-Darawardi Abu Muhammad, tabi‘in tengah, tempat tinggal: Madinah, wafat 187H, gurunya 61 orang di antaranya Suhail dan muridnya 71 orang di antaranya Qutaibah (mutasil), nilai: khata‟, ghalat (banyak melakukan kesalahan). c) Suhail bin Abi Shalih Dzakwan as-Siman Abu Yazid, tempat tinggal: Madinah, wafat 138 H, gurunya 36 orang di antaranya Dzakwan (ayahnya) dan muridnya ada 55 orang di antaranya Abdul Aziz (mutasil), nilai: shaduq, banyak melakukan perubahan pada akhir riwayat, khatha‟. d) Abihi, yang dimaksudkan adalah Dzakwan as-Siman az-Ziyan Abu Shalih, Tabi‘in tengah, tempat tinggal: Madinah, wafat 101 H, gurunya 26 orang di antaranya Abu Hurairah dan muridnya ada 62 orang di antaranya ada Suhail, nilai: siqah sabat. e) Abdurrahman bin Shakhr ad-Duwasi al-Yamani Abu Hurairah, tempat tinggal: Madinah, wafat 57 H, sebagian ia menerima hadis langsung dari Nabi, muridnya 500 orang lebih, di antaranya ada Dzakwan, nilai: ausaq, „udul. Dari data ini dapat disimpulkan, bahwa hadis tersebut sanadnya bernilai dhaif, sebab beberapa rawinya dinilai khatha atau ghalath oleh sebagian nuqqat. Dan menurut kaidah jarh wa ta‟dil, jarh harus didahulukan dari pada ta‟dil. Meskipun hadis melalui jalur at-Tirmizi ini bernilai dhaif, tetapi matan hadis ini diriwayatkan oleh Jama‘ah (kecuali Bukhari) sebanyak 15 riwayat. Banyaknya riwayat ini sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa hadis tentang shufuf tersebut bernilai mutawatir. Unsur-unsur suatu hadis dinilai mutawatir jika periwayatannya berdasarkan panca indra, jumlah rawi telah mencapai ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk bohong, dan adanya keseimbangan jumlah rawi antara satu thabaqat dengan thabaqat berikutnya.25 Ulama muhadditsin telah sepakat tentang kehujjahan hadis mutawatir, bahwa ia tidak perlu lagi dilakukan penelitian terhadap sanad maupun matannya. Status
mutawatir suatu hadis telah memberikan keyakinan yang pasti, bahwa berita tersebut benar-benar berasal dari Nabi dan kedudukan periwayatannya sama dengan periwayatan al-Qur`an.26 Menurut ulama muhaddisin, para rawi hadis mutawatir tidak harus memenuhi kreteria rawi pada hadis shahih atau hasan, karena yang dijadikan ukuran adalah segi kuantitasnya yang secara nalar mutasil bersepakat untuk berbuat dosa.27
Menurut pendapat saya, dalil-dalil yang dijadikan dasar pelarangan permempuan menjadi imam salat secara mutlak tersebut tidak cukup kuat. Jika larangan tersebut dikaitkan dengan dalil-dalil umum, seperti ayat yang menyatakan ―laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan”, maupun hadis “tidak akan bahagia suatu kaum jika menyerahkan urusannya kepada perempuan”, adalah tidak pada tempatnya. Sebab konteksnya berbeda-beda. Ayat tersebut dalam konteks keluarga sedangkan hadis tersebut dalam konteks kepemimpinan sosial politik. Dan oleh karena itu tidak serta merta larangan untuk menjadi imam. Hadis tentang larangan perempuan menjadi imam di samping sanadnya dhaif, juga bertentangan dengan hadis Ummu Waraqah yang berisi kebolehan perempuan menjadi imam, yang sanadnya dinilai lebih shahih. Larangan perempuan menjadi imam juga bertentangan dengan ketentuan umum tentang orang yang lebih berhak menjadi imam. Telah menjadi ijma‘ ulama, bahwa orang yang berhak menjadi imam adalah yang terpandai dalam membaca/hafalan alQur`an. Jika mereka sama, maka yang terpandai dalam penguasaan hadis Nabi. Kalau mereka sama, maka yang terdahulu hijrah. Jika masih sama, maka yang dipilih adalah yang tertua usianya. Sebaliknya dimakruhkan untuk menjadi imam, orang fasik dan ahli bid‘ah, orang ber‘uzur (menderita beser, sering keluar angin), dan orang yang dibenci. Apa yang dapat dipahami dari ketentuan ini adalah, bahwa imam haruslah orang yang terbaik di antara para jamaah yang ada, terbaik keagamaannya, keilmuannya, fisik/kesehatannya, dan pergaulan sosialnya. Prestasi demikian ini tidak hanya dimiliki oleh kaum laki-laki saja. Bahkan disuatu
masyarakat tertentu, prestasi perempuan bisa melebihi laki-laki. Misalnya banyak para hafidz al-Qur`an adalah perempuan, sedangkan laki-lakinya tidak ada. Apalagi kehidupan modern sekarang ini tidak halangan sedikit pun bagi kaum perempuan untuk menuntut ilmu dan pengalaman, sehingga laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan potensi dan prestasi. Sesuai dengan semangat al-Qur`an dan praktek Nabi yang tidak membedakan manusia karena jenis kelaminnya, maka otoritas keimaman ini harus didasarkan pada prestasi dan bukan pada jenis kelamin. Sehingga wanita mempunyai peluang untuk menjadi imam laki-laki jika memang prestasinya melebihi laki-laki. Misalnya seorang ibu menjadi imam untuk anak-anaknya, termasuk yang laki-laki. Di suatu tempat misalnya, tokoh agama yang mumpuni adalah perempuan dan laki-lakinya tidak ada yang terpelajar dalam ilmu agama, maka tidak ada halangan ia menjadi imam jamaah salat. Ketentuan demikian menjadikan ajaran Islam semakin luwes dan rasional. Adapun tentang larangan perempuan mendatangi masjid karena tempat salatnya yang paling utama adalah di kamarnya yang paling dalam, dan sebaik-baik shafnya adalah yang paling belakang, meskipun didukung oleh banyak hadis, ajaran ini sangat kental dengan pengaruh budaya Arab yang patriarkhi. Semangat kesederajatan laki-laki dan perempuan yang dibawa oleh alQur`an dan dipraktekkan langsung oleh Nabi, memang pada perkembangan berikutnya tidak populer, karena bertentangan dengan kenyataan riil tradisi Arab patriarkhi yang menguat kembali. Menurut penelitian Reuben Levy –seorang yahudi yang mencoba menelusuri fiqh dari akar tradisi Arab—menyimpulkan, bahwa fiqh yang bercorak patriarkhi itu adalah pengaruh langsung dari para penafsir ajaran Islam yang pertama. Para penafsir pertama ini umumnya berasal dari Turki dan Persia, di mana tradisi patriarkhi ini sangat kuat. Mereka ini seringkali memaksakan pandangan-pandangannya berdasarkan tradisi mereka ke dalam ajaran-ajaran Islam. Levy juga menemukan, bahwa pemingitan perempuan yang dipandang sebagai suatu keharusan bagi para muslimah itu juga direkayasa
oleh para penafsir yang berasal dari Persia, tempat di mana para perempuan sudah lama dikurung di rumah.28 Larangan perempuan untuk pergi ke masjid (dan keluar rumah secara umum) dan shaffnya harus di belakang yang oleh kitab fiqh diberi penjelasan untuk menghindari timbulnya fitnah, adalah illah (alasan) yang dibuat-buat untuk mendukung superioritas laki-laki. Sekarang ini kaum perempuan telah terbiasa keluar rumah untuk melakukan berbagai aktifitas bersama laki-laki, tetapi tidak tidak terjadi fitnah sebagaimana yang dikhawatirkan. Maka tidak ada alasan perempuan tidak boleh jamaah ke masjid atau shaffnya harus di belakang sendiri. Bahkan kehadiran perempuan di masjid dan dalam mejlis-majlis yang lain justru dituntut oleh syi‘ar Islam. Yang harus diperhatian adalah etika pergaulan islami, misalnya harus menutup aurat, tidak bergaul bebas yang memancing timbulnya fitnah, tidak mengabaikan tugas-tugas rumah tangga, dan yangterpenting adalah dilakukan semua aktifitas dalam upaya dakwah dan ibadah kepada Allah. Berkaitan dengan dalil hadis yang sering kontroversial itu, mamang perlu dilakukan pembaharuan metodologinya. Banyak hadis yang sanadnya shahih atau hasan, tetapi matannya (teks) mengandung keganjilan, dan sebaliknya. Penelitian Bukhari-pun yang disepakati sebagai yang paling valid (shahih), menurut Ahmad Amin, tidak terlepas dari kerangka yang dibangunnya.29 Saya setuju dengan temuan Musthafa as-Shiba‘i bahwa untuk menilai keshahihan suatu hadis tidak hanya didasarkan pada keshahihan sanadnya saja –sebagaimana yang selama ini berjalan—tetapi juga harus diperhatikan keshahihan matannya juga.30 Dengan kata lain, keshahihan sanad tidak otomatis matannya juga bisa diamalkan sebagai hujjah syar‟iyyah. Keshahihan matan harus diukur dengan prinsip-prinsip syari‘ah, kaidahkaidah ilmu alam (sunnatullah), sejarah, dan kaidah-kaidah rasional.
Simpulan Dari paparan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hadis tentang larangan wanita menjadi imam tersebut lemah, atau tidak cukup kuat untuk
dijadikan hujjah hukum. Selain Hadis tersebut, di tempat yang lain ditemukan riwayat yang membolehkan perempuan menjadi imam salat jama‘ah dari Ummu Waraqah ra. riwayat Abu Dawud dan dianggap shahih oleh Ibnu Huzaimah. Ummu Waraqah yang dimaksudkan dalam riwayat tersebut adalah Ummu Waraqah binti Naufal al-Anshari, atau sebagian riwayat menyebutkan binti Abdillah bin Harits bin ‗uwaimar. Rasulullah menyuruhnya, agar ia menjadi imam saja bagi penduduk desanya pada saat perang badar. Nabi juga menugaskan seseorang untuk menjadi mu‘azzin baginya.
Endnotes: 1
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 1, Terj. Muhyidin Syaf, (Bandung : Al Ma’arif, 1996), h.
2
HR. Abu Dawud. Al Kahlani, Subulussalam, Juz 1, (Semarang : Thoha Putra, tt.), h. 133.
268-273. 3
Larangan tabarruj ini dipahamkan dari beberapa ayat, diantaranya QS. An Nur : 60, Al Ahzab : 33, 53, 59, dsb. 4
Larangan bagi perempuan mengeraskan bacaan salat ini telah menjadi kesepakatan kitab Fiqh. Lihat misalnya, Musthafa Dibul Bigha’, At Tahdzib, (Gresik Surabaya : Bintang Pelajar, tt.), h. 144-150. 5
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 1404H/1984M), II: 153. 6
(Damaskus: Dar al-Fikr,
Sayyid Sabiq, Figh as-Sunnah, II: 107.
7
HR. Bukhari, Muslim, An-Nasa`i, dan Abu Dawud. Lihat, Ibrahim Muhammad Jamal, Fiqh al- Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshari Umar Sitanggal, (Semarang: Asy-Syifa’, tt.), h. 147. 8
M. Dibul Bigha’, h. 144-147.
9
Sa’di Abu Habib, Mausu’ah fi al-Fiqh al-Islami, Terj. Sahal Mahfudz dan Musthafa Bisri, “Ensiklopedi Ijma’”, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), h. 771. 10
Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayah al-Akhyar, (Semarang : Thoha Putra, tt.), h. 135
11
Imam Abi Ishaq Ibrahim Asy Syirazi, Al-Muhazzab, (Semarang: Thoha Putra, tt.), I: 97.
12
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, h. 175.
13
Wahbah az Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, h. 174-180.
14
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h. 118.
15
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, II: 120-121.
16
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, II: 153-155.
17
Dari pelacakan maudlu’ “khuruj an nisa’ ilal masjid”,melalui CD Hadits ditemukan sebanyak 184 riwayat, antara lain berisi keterangan mengenai larangan wanita jamaah di masjid bersama laki-laki, etika-etika yang harus ditegakkan ketika pergi ke masjid, dan sebaik-baik shafnya wanita adalah yang paling belakang. Terdiri Shahih Bukhari 26 riwayat, Muslim 21 riwayat, Sunan at Turmudzi 3 riwayat, An Nasai 20 riwayat, Abu Dawud 12 riwayat, Ibnu Majah 11 riwayat, Musnad Ahmad 74 riwayat, Al Muwatta Malik 3 riwayat, dan Sunan ad-Darimi 6 riwayat. 18
Hadits tentang “sebaik-baik shafnya wanita adalah yang paling belakang” terdapat 15 riwayat, yaitu Dalam Shahih Muslim hadits no. 664, At Turmudzi n0. 208, An Nasai no. 811, Abu Dawud no. 580, Ibnu Majah no. 990, 991, Musnad Ahmad no. 14628, 14024, 13609, 10609, 10698, 8443, 8290, 8130, dan 8074, Sunan Ad Darimi no. 1240. 19
Musnad Ahmad, nomor : 25331 dan 25358.
20
Ismail al-Kahlani, Juz 2, h. 28.
21
Ibid.., h. 35
22
Nawawi Al-Bantani, h. 13.
23
Musnad Ahmad, nomor 25358 (CD Hadits).
24
Sunan at-Tirmizi, hadits nomor 208 (CD Hadits).
25
Nuruddin Itr, Ulum al-Hadis, Terj. Mujiyo, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1994), II:. 184, Lihat juga Shuhi as-Salih, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 112. 26
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.
27
Nnnnuruddin Itr, h. 198.
31. 28
Reuben Levy, The Sosial Structure of Islam, Terj. H. Ahmad Ludjito: “Susunan Masyarakat Islam”, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1986), h. 139-143. 29
Ahmad Amin, Fajrul Islam, (Kairo: 1975), h. 217.
30
Musthafa as-Sibai’i, Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’ al-Islami, Terj. Nurcholis Majid, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993), h. 228.
Daftar Pustaka Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Muhyidin Syaf, Bandung: al-Ma’arif, 1996. Al-Kahlani, Subulussalam, Semarang : Thoha Putra, tt. Ibrahim Muhammad Jamal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshari Umar Sitanggal, Semarang: Asy Syifa’, tt. . Sa’di Abu Habib, Muashu’ah Fi al-Fiqh al-Islami, Terj. Sahal Mahfudz dan Musthafa Bisri, “Ensiklopedi Ijma’”,Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayah al-Akhyar, Semarang: Thoha Putra, tt. Imam Abi Ishaq Ibrahim Asy-Syirazi, Al-Muhazzab, Semarang: Thoha Putra, tt. Nuruddin Itr, Ulum al-Hadits, Terj. Mujiyo, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994. Subhi as-Salih, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995. M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Reuben Levy, The Sosial Structure of Islam, Terj. H. Ahmad Ludjito: “Susunan Masyarakat Islam”, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986. Ahmad Amin, Fajrul Islam, Kairo: 1975. Musthafa as-Sibai’i, Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’ al Islami, Terj. Nurcholis Majid, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.