Wanita Penghibur di Jepang Persamaan dan Perbedaan Antara Yūjo dan Geisha Fajar Triperdana, Siti Dahsiar Anwar Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Abstrak Makalah ini bertujuan untuk memaparkan perkembangan wanita penghibur di Jepang yang difokuskan pada persamaan dan perbedaan antara yūjo dan geisha. Penulis menemukan bahwa meskipun keduanya merupakan bentuk wanita penghibur khas Jepang, keduanya merupakan bentuk wanita penghibur yang berbeda satu sama lain. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif analitis berupa pemaparan dan penguraian data-data relevan yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan kemudian dianalisis. Teori yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah teori perubahan yang dikemukakan oleh Thomas R. Rochon yang menyatakan bahwa terdapat tiga cara perubahan, yaitu value conversion, value creation, dan value connection. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di dalam perkembangan wanita penghibur di Jepang terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antara yūjo dan geisha. Hal ini dilihat melalui analisis perubahan nilai, pengenalan nilai baru, dan penghubungan nilai dalam proses pendidikan, cara kerja, dan penampilan. Kata kunci: yūjo; geisha; persamaan; perbedaan; nilai
Women of Pleasure in Japan Similarities and Differences Between Yūjo and Geisha Fajar Triperdana, Siti Dahsiar Anwar Japanese Studies, Faculty of Humanities, University of Indonesia Abstract This paper aims to explain the development of women of pleasure in Japan which focused on the comparison between yūjo and geisha. I find that although they are Japan’s unique form of women of pleasure, both of them are a distinct form of woman of pleasure that is different from one and another. Research conducted using analytical descriptive method by presenting and elaborating relevant data gathered from literature approach and analyzing them. Theory used for this analysis is theory of change presented by Thomas R. Rochon who states that there are three modes of change occurred, which is value conversion, value creation, and value connection. Analysis’ conclusion shows that in the development of woman of pleasure in Japan there are several similarities and differences that can be found between yūjo and geisha. This can be observed through analysis of value conversion, value creation, and value connection on education process, way of working, and appearance. Keywords: yūjo; geisha; similarities; differences; value Pendahuluan Hiburan merupakan suatu kegiatan yang dapat memberikan rasa santai dan pelepasan dari kepenatan di waktu luang. Menurut Oxford English Dictionary, hiburan, yang dalam bahasa Inggris disebut entertainment, dapat diartikan sebagai tindakan menyediakan atau 1 Wanita penghibur..., Fajar Triperdana, FIB UI, 2013
diberikan hiburan atau kesenangan. Hiburan juga dapat diartikan sebagai sebuah peristiwa, penampilan, atau kegiatan yang diadakan dengan tujuan untuk menghibur. Terdapat juga definisi lain dalam skala yang lebih kecil yaitu tindakan menerima seorang atau beberapa tamu dan menyediakan makanan dan minuman untuk mereka. Seiring perkembangan zaman, bentuk-bentuk hiburan pun menjadi semakin beragam. Pada awalnya, bercerita atau jamuan makan sudah merupakan bentuk hiburan. Bentuk-bentuk hiburan sederhana lainnya adalah bermain musik, olahraga, dan pertandigan. Berburu binatang sebagai bentuk hiburan diperkenalkan pada masa Kekaisaran Romawi dari Kartago dan menjadi hiburan dan tontonan publik yang populer (Potter, 1999: 308). Bentuk hiburan lain yang juga terkenal adalah hiburan istana, yaitu kegiatan hiburan yang dilaksanakan di istana atau daerah sekitarnya yang ditujukan untuk hiburan pribadi keluarga istana atau juga untuk publik. Hiburan istana dapat berbentuk pertandingan, jamuan makan, ataupun pertunjukan seni musik atau seni tari. Terdapat juga bentuk hiburan yang sudah tidak lagi diterima karena satu dan lain hal. Contoh dari bentuk hiburan ini adalah hukuman publik yang dapat berupa perajaman, pemenggalan, ataupun penggantungan. Hukuman publik sebagai bentuk hiburan berlangsung sampai abad kesembilan belas, zaman dimana “kejadian penggantungan publik yang mengagumkan membangkitkan kebencian para penulis dan filsuf (Gay, 2002: 121). Di dalam dunia hiburan, salah satu bentuk hiburan yang populer sejak dulu adalah hiburan yang ditawarkan oleh wanita. Para wanita ini, uang disebut sebagai wanita penghibur, menghibur dengan kemampuan mereka bermain musik, menari, ataupun dengan pelayanan seksual. Sepanjang sejarah, tercatat banyak bentuk wanita penghibur dari berbagai kebudayaan. Dalam kebudayaan Babilonia dan Sumeria, para wanita ini dikenal dengan istilah naditu. Di masa Yunani Kuno, terdapat dua bentuk wanita penghibur, hetaerae dan pornē. Meski tidak terdapat pembedaan yang defitinif, secara umum hetaerae dianggap lebih berkelas dan berpendidikan, terutama di bidang kesenian, sedangkan pornē hanya menjual pelayanan seksual. Wanita penghibur, terutama yang memberikan pelayanan seksual di masa Kekaisaran Romawi disebut meretrix. Di Asia juga terdapat beberapa bentuk wanita penghibur. Pada masa Kekaisaran Mughal di India, dikenal istilah tawaif. Mereka yang disebut sebagai tawaif adalah para wanita penghibur yang bekerja di istana. Mereka memiliki keahlian di bidang kesenian tari, musik, drama, dan sastra tradisional. Wanita penghibur di Korea pertama muncul pada masa Dinasti Goryeo, yang disebut sebagai kisaeng. Meski mereka dilatih dan memiliki keahlian dalam kesenian dan kesusasteraan, mereka tetap dianggap kelas masyarakat yang lebih 2 Wanita penghibur..., Fajar Triperdana, FIB UI, 2013
rendah. Di masa Cina Klasik, dikenal para wanita penghibur yang disebut yiji. Para yiji sangat jarang terlibat dalam pelacuran dan lebih banyak menghibur dengan bermain musik atau berpuisi. Jepang pun memiliki bentuk wanita penghiburnya sendiri. Istilah yang digunakan untuk menyebut para wanita penghibur ini adalah yūjo (遊女). Yūjo di Jepang muncul pertama kali pada zaman Heian (794-1185) dalam bentuk para wanita yang berkelana di jalanjalan yang banyak dilalui orang. Para wanita ini menjual pelayanan seksual kepada para pria yang membutuhkannya. Seiring perkembangan zaman, muncul bentuk yūjo baru yang disebut shirabyōshi (白拍子). Shirabyōshi adalah para wanita penghibur pada masa tersebut yang memiliki kemahiran dalam kesenian, terutama seni tari. Ciri khas dari shirabyōshi adalah penampilan mereka yang meniru laki-laki dengan mengenakan hakama merah, topi samurai, dan membawa pedang. Bentuk dan karakteristik yūjo semakin berkembang setelah munculnya yūkaku (遊郭), distrik lampu merah, di Jepang. Yūkaku dibangun dengan tujuan untuk mengumpulkan kegiatan pelacuran di satu tempat dan melegalkan bisnis pelacuran hanya di tempat tersebut, sehingga bisnis ini menjadi ilegal apabila dilakukan di luar yūkaku. Di dalam yūkaku yang dikelilingi oleh tembok ini, muncul lah bentuk yūjo baru yang kemudian menjadi sangat terkenal selama masa pemerintahan keshogunan di Edo. Mereka adalah para tayū (太夫) beserta rombongannya yang juga terdiri dari para yūjo lainnya. Selama masa Edo ini pun berkembang tingkatan kelas-kelas yūjo. Seiring dengan perkembangan Jepang pada masa Edo, di luar yūkaku mulai bermunculan bentuk wanita penghibur berbeda. Pada tahun 1750-an, muncul bentuk wanita penghibur baru yang bernama geisha (芸者). Berbeda dengan para yūjo di dalam yūkaku, mereka adalah para wanita yang menekankan pekerjaan mereka pada seni. Di saat seorang yūjo di dalam yūkaku menghibur para tamu mereka dengan kehadiran mereka dan percakapan-percakapan yang penuh keeleganan dan kesopanan, yang kemungkinan dapat diikuti dengan pelayanan seksual, seorang geisha menghibur tamu-tamu mereka dengan kemampuan seni mereka, dalam hal ini bermain shamisen (三味線) dan tarian tradisional Jepang, serta dengan kemampuan mereka dalam menciptakan percakapan-percakapan ringan yang luwes. Meski pada awalnya para yūjo di dalam yūkaku merupakan para wanita terkenal yang menjadi idaman para pria dan juga simbol kehidupan mewah, mereka kemudian tergantikan oleh geisha. Meski penampilan dan pembawaan mereka tidak semewah dan seelegan para 3 Wanita penghibur..., Fajar Triperdana, FIB UI, 2013
yūjo, terutama yūjo kelas atas seperti tayū dan kemudan oiran (花魁), para geisha terbukti mampu menggeser ketenaran yūjo sebagai wanita penghibur dan menjadi simbol keanggunan wanita pada zaman Edo. Yūjo dan geisha merupakan bentuk wanita penghibur tradisional Jepang. Keduanya memiliki hal-hal yang berbeda satu sama lain. Meski demikian, terdapat juga persamaan di antara keduanya. Hal yang akan menjadi fokus penelitian dalam makalah ini adalah hal-hal apa saja yang terdapat dalam persamaan dan perbedaan antara yūjo dan geisha. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memaprakan dan menguraikan perbedaan dan persamaan antara yūjo dan geisha.
Kerangka Teori Untuk menguraikan perbedaan dan persamaan yang terdapat antara yūjo dan geisha, penulis menggunakan teori perubahan yang dikemukakan oleh Thomas R. Rochon. Dalam bukunya, Rochon (1998: 54-55) mengungkapkan bahwa terdapat tiga cara perubahan, yaitu value conversion (perubahan nilai), value creation (penciptaan nilai), dan value connection (penghubungan nilai). Value conversion adalah penukaran nilai budaya yang sudah ada dengan ide yang baru pada topik yang sama tentang apa yang penting, pantas, atau sah. Rochon (1998: 54) juga menyatakan bahwa dalam value conversion nilai yang baru akan menggantikan nilai yang lama. Ia memberi contoh apabila masyarakat Afro-Amerika dikategorikan sebagai manusia yang tidak dibedakan dengan masyarakat kulit putih, maka segregasi rasial tidak lagi menjadi cara alami untuk mengatur masyarakat. Value creation adalah pengembangan ide, konsep, atau kategori analisis baru yang berlaku pada situasi yang sebelumnya tidak menjadi subjek eksplisit nilai budaya. Tidak seperti value conversion, value creation tidak menciptakan konfrontasi dengan cara pemikiran yang sudah ada melainkan merupakan pemikiran tambahan dalam sebuah topic (Rochon, 1998: 55). Value creation menggambarkan pengembangan budaya. Salah satu contoh yang dikemukakan oleh Rochon adalah kemunculan istilah “konservasi” dalam lingkup lingkungan hidup pada masa pemerintahan Presiden Theodore Roosevelt ketika beberapa tanah umum disatukan dalam sebuah sistem Hutan Nasional. Istilah ini muncul sebagai sebuah perkembangan baru dalam lingkup lingkungan hidup yang sebelumnya tidak mengenal konsep “konservasi.” Value connection adalah pengembangan kaitan konseptual antarfenomena yang sebelumnya tidak dianggap berhubungan satu sama lain atau berhubungan melalui satu atau lain cara. Value connection dapat berkembang seiring berjalannya waktu (Rochon, 1998: 56). 4 Wanita penghibur..., Fajar Triperdana, FIB UI, 2013
Contoh yang diberikan oleh Rochon dalam bukunya adalah adanya hubungan antara konsep religius dengan lingkup lingkungan hidup yang membuat masyarakat merasa harus menjaga keindahan dan kelestarian alam karena alam merupakan ciptaan Tuhan.
Metode Penelitian Metode yang akan digunakan dalam mengumpulkan data-data penelitian adalah studi kepustakaan dari sumber pustaka berupa buku dan ebook. Buku referensi yang menjadi sumber utama penulis adalah The Secret History of the Geisha: Women of the Pleasure Quarter karangan Lesley Downer, Yoshiwara: The Glittering World of the Japanese Courtesan karangan Cecilia Segawa Seigle, dan Geisha karangan Liza Dalby Crihfield. Adapun buku referensi pendukung yang digunakan adalah Geisharon: Karyūkai no Kioku karangan Hisafumi Iwashita dan Yūjo no Seikatsu karangan Nakamura Shikaku. Atas dasar sumber data yang diperoleh, penulis kemudian membuat penelitian dengan metode deskriptif analisis yaitu dengan memaparkan dan menguraikan data-data serta fakta-fakta dari buku referensi kemudian menganalisanya.
Hasil Penelitian Berikut ini adalah tabel-tabel berisi uraian hasil analisa dari data-data yang telah dikumpulkan dan dianalisa dengan teori Thomas R. Rochon yang digunakan. Dimulai dari hasil analisa teori value conversion, value creation, hingga value connection. Tabel Value Conversion Antara Yūjo dan Geisha Aspek
Yūjo
Geisha
1. Proses pendidikan
1. Proses pendidikan
dititikberatkan pada
dititikberatkan pada
cara-cara pemuasan
penguasaan bentuk-
seksual yang disebut
bentuk kesenian seperti
Proses
toko no higi dan cara-
seni musik, khususnya
Pendidikan
cara mempermainkan
shamisen, dan seni tari.
dan membuat laki-laki menjadi tergila-gila. 2. Kecantikan dan kualitas fisik menjadi tolak ukur
2. Kemampuan seni menjadi tolak ukur
5 Wanita penghibur..., Fajar Triperdana, FIB UI, 2013
dalam kenaikan kelas
kenaikan kelas
pekerjaan.
pekerjaan dan diukur melalui ujian serta pertunjukan umum.
1. Seorang yūjo
1. Seorang geisha atau
menunjukkan
maiko berusaha
keformalan dalam
menciptakan suasana
menghibur tamu dengan
santai dalam
tujuan untuk
menghibur melalui
menunjukkan otoritas
percakapan-percakapan
dan harga dirinya.
ringan.
2. Yūjo kelas atas, seperti
2. Geisha dan maiko
tayū dan oiran,
berinteraksi secara
menggunakan perantara
langsung dengan tamu.
untuk berinteraksi dengan tamu. 3. Dibutuhkan tiga kali
Cara Kerja
3. Seorang tamu dapat
kunjungan hingga
mengakrabkan diri
seorang yūjo menghibur
denga maiko atau
tamunya dengan lebih
geisha sejak pertemuan
akrab.
pertama.
4. Seorang yūjo berhak
4. Seorang geisha atau
memilih siapa yang
maiko dipilih untuk
menjadi pasangannya
melakukan hubungan
dalam berhubungan
intim dengan tamu.
intim. Ia juga berhak
Mereka tidak selalu
untuk menolak.
memiliki hak untuk menolak.
5. Seorang yūjo tidak
5. Seorang maiko atau
diperbolehkan untuk
geisha dapat pergi dari
meninggalkan yūkaku
dan kembali ke
untuk alasan apapun.
hanamachi sesuka mereka.
6 Wanita penghibur..., Fajar Triperdana, FIB UI, 2013
1. Seorang yūjo memakai
Penampilan
1. Geisha dan maiko
kimono indah berlapis-
memakai kimono serta
lapis dan menghias
aksesoris rambut
rambut mereka dengan
mereka sebagai bagian
bermacam aksesoris
dari perwujudan seni
dengan tujuan untuk
mereka, dalam hal ini
memamerkan keindahan
seni estetika
material yang mereka
berpakaian.
miliki serta dianggap sebagai alat pemuas kesenangan pribadi. 2. Daerah yang dianggap
2. Daerah yang dianggap
sensual adalah kaki
sensual adalah daerah
telanjang yūjo yang
di sekitar tengkuk yang
sesekali terlihat saat
tidak diwarnai dengan
melakukan parade oiran
pulasan putih.
dōchū.
Tabel Value Creation Pada Geisha Aspek
Nilai yang Tercipta 1. Penggunaan tatanan rambut dan gaya berpakaian sebagai
Proses Pendidikan
identitas
dari
tahapan
pendidikan
tertentu. 2. Penggunaan perubahan gaya berpakaian sebagai upacara perubahan kelas pekerjaan. 1. Munculnya istilah zashiki dan tōde untuk menyebut acara dimana maiko atau geisha menghibur.
Cara Kerja
2. Digunakannya istilah zakone dan mirare untuk menyebut kegiatan yang melibatkan seorang tamu menghabiskan malam dengan maiko atau geisha.
7 Wanita penghibur..., Fajar Triperdana, FIB UI, 2013
3. Penggunaan sebutan okā-san kepada pemilik okiya atau ochaya. Penampilan
Tidak ditemukan adanya nilai baru yang tercipta
Tabel Value Connection Antara Yūjo dan Geisha Aspek
Nilai yang Berhubungan 1. Hubungan kekerabatan antara seorang kamuro dengan kakak yūjo-nya (baik itu tayū, shinzō, ataupun oiran) yang juga terlihat antara maiko
Proses Pendidikan
dengan geisha. 2. Upacara misedashi yang dalam pelaksanaannya mirip dengan upacara debut seorang oiran. 3. Mizuage sebagai bentuk ritual peralihan yang harus dijalani. 1. Ageya bagi yūjo serta ochaya bagi maiko dan geisha sama-sama berfungsi sebagai tempat mereka menghibur tamu atau menghabiskan
Cara Kerja
malam bersama. 2. Adanya konsep tamu yang mengambil yūjo atau geisha keluar dari rumah bordil atau okiya, meski terdapat perbedaan di antara keduanya.
Penampilan
Tidak ditemukan adanya kaitan nilai
Pembahasan
1.
Perubahan Nilai Antara Yūjo dan Geisha Berdasarkan teori Thomas R. Rochon mengenai perubahan budaya dalam
menganalisis perbedaan dan persamaan dari yūjo ke geisha, maka perubahan nilai, atau value conversion, adalah pembahasan pertama. Melihat penjelasan dan contoh yang sudah diberikan sebelumnya, maka value conversion dalam kasus perubahan wanita penghibur di Jepang dari yūjo ke geisha dari sisi pendidikan dapat dilihat melalui dua poin. Poin pertama adalah dihilangkannya pendidikan toko no higi dan cara-cara untuk memainkan serta membuat seorang pria menjadi tergila-gila. Toko no higi adalah teknik-teknik pemuasan seksual kepada 8 Wanita penghibur..., Fajar Triperdana, FIB UI, 2013
seorang tamu (Crihfield, 1983: 55). Poin kedua adalah penggantian tolak ukur sebagai dasar penentuan kenaikan kelas pekerjaan. Tolak ukur yang digunakan untuk menentukan kenaikan kelas pekerjaan bagi yūjo lebih cenderung melihat kecantikan, bentuk wajah serta kualitaskualitas penampilan fisik lainnya, sedangkan geisha dan maiko menggunakan tolak ukur berupa penguasaan keahlian di bidang kesenian. Cara-cara untuk menilai penguasaan keahlian ini antara lain melalui ujian pertunjukan kemampuan kesenian di hadapan para guru kesenian dan pertunjukan tahunan yang diselenggarakan pada waktu yang berbeda di setiap hanamachi, sebuah kawasan tempat para geisha dan maiko hidup dan bekerja. Contoh pertunjukan tahunan ini antara lain, pertunjukan Miyako Odori (都をどり) yang diselenggarakan di hanamachi Gion Kōbu selama bulan April dan pertunjukan Kamogawa Odori (鴨川をどり) pada bulan Mei yang diselenggarakan oleh hanamachi Pontochō. Seorang geisha atau maiko yang mampu menari dengan bagus dan memukau pada acara ini akan meningkat kepopulerannya dan hal tersebut dapat berujung pada meningkatnya permintaan kepada dirinya untuk menghibur, baik untuk zashiki ataupun tōde. Zashiki adalah sebuah pesta tempat geisha dan maiko menghibur yang dilakukan di dalam hanamachi. Sedangkan tōde digunakan untuk menyebut semua perjanjian yang tidak dilaksanakan di restoran atau ochaya di sebuah hanamachi tempat geisha atau maiko yang dimaksud bertempat tinggal (Crihfield, 1983: 198). Perubahan ini terjadi karena perbedaan nilai yang dipegang oleh yūjo dan geisha. Sebagai seorang wanita penghibur, yūjo berpandangan bahwa daya tarik penampilan fisik dan kemampuan untuk memuaskan hasrat laki-laki merupakan daya pikat utama mereka. Sementara itu, geisha dan maiko memandang tinggi kemampuan mereka dalam menghibur dengan keahlian kesenian mereka, sehingga penguasaan seni lebih diutamakan ketimbang penampilan fisik. Dari sisi cara bekerja, bentuk value conversion terlihat dari cara yūjo dan geisha menghibur dan berinteraksi dengan tamu. Seorang yūjo, terutama yūjo kelas atas seperti tayū dan oiran, akan memulai pertemuan dengan formalitas berupa versi sederhana dari upacara pernikahan. Mereka kemudian menghibur tamu dengan kemampuan kesenian mereka yang merupakan bentuk kesenian yang dikuasai oleh para wanita bangsawan zaman Heian seperti bertukar puisi, upacara minum teh, dan upacara menebak dupa. Para yūjo kelas atas bahkan akan meminta orang lain untuk menghibur dirinya sendiri beserta tamunya. Dalam berinteraksi dengan tamu, seorang tayū menggunakan perantara, yaitu shinzō atau yūjo kelas menengah lainnya (Seigle, 1993: 228). Mereka pun berbicara dengan bentuk percakapan 9 Wanita penghibur..., Fajar Triperdana, FIB UI, 2013
formal dengan tamu. Seorang tayū tidak akan memerlihatkan emosinya kepada tamu dan dibutuhkan tiga kali kunjungan hingga seorang tayū mulai memanggil seorang tamu dengan panggilan yang lebih akrab dan intim (Seigle, 1993: 67). Berbeda halnya dengan geisha. Dalam menghibur tamu, seorang geisha atau maiko akan berinterkasi langsung dengan tamu sejak pertemuan pertama. Geisha dan maiko selalu menyebut danna-nya sebagai otō-san dan tamu lain sebagai onī-san (Downer, 2002: 167). Hal ini menciptakan suasana yang akrab dan intim dengan tamu. Seorang geisha dan maiko juga diajarkan untuk menciptakan percakapan-percakapan ringan yang cerdas untuk menghibur dan bagaimana memberikan reaksi yang tepat untuk menjaga suasana. Selain itu, mereka juga akan menari, menyanyi, dan memainkan musik tergantung kepada keinginan tamu. Kedua hal di atas menunjukkan bahwa dalam menghibur, seorang yūjo menciptakan aura formal yang menunjukkan harga diri dan otoritasnya, sementara para geisha dan maiko berusaha menciptakan suasana yang nyaman dan santai bagi para tamu untuk bersantai dan melakukan percakapan ringan yang menghibur sebagai pengganti keseriusan kerja. Hal lain yang juga berubah sebagai bentuk value conversion dari segi cara bekerja adalah saat seorang tamu ingin menghabiskan malam bersama mereka. Seorang yūjo, terutama para yūjo kelas atas, mampu memilih siapa yang akan menjadi teman tidur mereka (Downer, 2002: 135). Mereka juga dapat menolak keinginan seorang tamu apabila mereka tidak ingin menghabiskan malam dengan tamu tersebut. Sementara seorang geisha atau maiko dipilih oleh tamu. Meski seorang geisha atau maiko juga berhak untuk menolak seorang tamu, tetapi ada waktu dimana mereka dapat menolak dan ada waktu dimana mereka tidak dapat menolak (Downer, 2002: 135). Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, satu perbedaan lagi yang dapat ditemukan adalah bahwa yūjo tidak diperbolehkan untuk pergi keluar yūkaku untuk alasan apapun, bahkan meski ia diminta oleh daimyō sekalipun. Semua pertemuan dengan yūjo harus dilakukan di dalam yūkaku. Mereka baru diperbolehkan meninggalkan yūkaku apabila dibebaskan oleh tamu yang membeli kontrak kerjanya dari rumah bordil. Larangan ini tertulis dalam peraturan yang diberikan oleh pemerintahan keshogunan saat memberikan wilayah Yoshiwara kepada Jinemon Shōji dan kolega-koleganya untuk dijadikan yūkaku. Larangan semacam ini tidak ditemukan pada geisha atau maiko. Mereka dapat dengan bebas pergi dari dan kembali ke hanamachi-nya. Mereka bahkan memiliki istilah sendiri untuk menyebut perjanjian yang dilakukan di luar hanamachi. Value conversion dalam segi penampilan terlihat dari perubahan gaya berpakaian yang sangat drastis antara yūjo dan geisha. Seorang yūjo mengenakan berlapis-lapis kimono dengan 10 Wanita penghibur..., Fajar Triperdana, FIB UI, 2013
desain yang rumit dan indah, sementara para geisha dan maiko mengenakan selapis kimono dengan desain yang lebih sederhana tetapi memiliki nilai keindahannya sendiri. Seorang yūjo juga menghias rambutnya dengan berbagai jenis sirkam, kanzashi, dan tusukan rambut dari cangkang penyu, sementara geisha dan maiko hanya menghias rambut mereka dengan satu atau dua sirkam dan kanzashi. Meski pada awalnya perbedaan penampilan ini merupakan hasil dari peraturan yang ditetapkan oleh Shōroku, pengurus kenban pertama, untuk membedakan yūjo dan geisha di dalam yūkaku, kesederhanaan penampilan geisha dan maiko menjadi daya tarik mereka dan berkembang menjadi nilai estetika tersendiri. Yūjo menggunakan kimono dan segala aksesorisnya untuk memamerkan keindahan yang dimiliki oleh dirinya dan rombongannya.
Kimono juga dianggap sebagai sebuah alat pemuas
kesenangan pribadi (Seigle, 1993: 69). Sementara geisha dan maiko menganggap pemakaian kimono dan seluruh aksesorisnya sebagai bagian dari estetika dalam berpakaian. Perubahan dari segi penampilan juga melingkupi perubahan pandangan mengenai bagian tubuh yang dianggap sensual. Bagian tubuh seorang yūjo yang dianggap sensual adalah kaki telanjangnya yang terkadang terlihat saat mereka melakukan parade oiran dōchū, sedangkan bagian tubuh geisha dan maiko yang dianggap sensual adalah daerah di tengkuk mereka yang tidak diberi pulasan riasan putih.
2.
Nilai Baru yang Muncul Pada Geisha Salah satu hal yang terjadi dalam dalam teori perubahan yang dikemukakan oleh
Thomas R. Rochon adalah sebuah fenomena yang disebut value creation. Dalam hal perubahan wanita penghibur di Jepang dari yūjo ke geisha, bentuk value creation dari segi tahapan pendidikan adalah berupa pergantian tatanan rambut dan gaya berpakaian yang sejalan dengan perkembangan pendidikan seorang maiko. Setiap tatanan rambut memiliki arti yang melambangkan tahapan-tahapan pendidikan tertentu. Sebagai contoh, tatanan rambut ware-shinobu yang memiliki arti muda dan imut menjadi simbol bagi para maiko baru, sementara gaya ofuku yang berarti bahwa maiko tersebut tidak lagi perawan menyimbolkan maiko yang telah menjalani mizuage. Selain itu, gaya dalam berpakaian juga digunakan sebagai identitas dari satu tahapan pendidikan tertentu. Contohnya, seorang maiko akan mengikat obi-nya dengan gaya darari-musubi dan mengenakan eri berwarna merah sementara seorang geisha akan mengikat obi-nya dengan gaya taiko-musubi serta mengenakan eri berwarna putih. Pergantian dalam gaya berpakaian juga dapat dijadikan sebagai proses perubahan dari satu kelas pekerjaan dari kelas berikutnya, yang dalam hal ini terlihat dari erikae, upacara penggantian kerah yang dijalani oleh maiko yang berubah menjadi geisha. 11 Wanita penghibur..., Fajar Triperdana, FIB UI, 2013
Dari segi cara kerja, value creation terlihat melalui beberapa poin. Poin pertama adalah munculnya istilah zashiki dan tōde yang mengacu kepada pesta atau acara dimana seorang maiko atau geisha menghibur. Poin kedua adalah penggunaan istilah zakone dan mirare untuk menyebut kegiatan yang melibatkan seorang tamu menghabiskan malam bersama dengan geisha atau maiko dan prosesnya. Zakone adalah kegiatan yang dilakukan dengan cara para maiko dan geisha tidur bersama dengan para tamu di sebuah ruangan yang besar, dengan seorang pelayan tua terjaga sepanjang malam untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Para tamu dapat bercakap-cakap dengan para maiko dan geisha, tetapi peraturannya adalah tidak boleh memegang (Downer, 2002: 136). Sedangkan mirare adalah proses dimana seorang tamu memilih pasangan tidur, baik untuk semalam atau untuk jangka panjang (Downer, 2002: 135). Kedua istilah ini tidak ditemukan dalam yūjo karena memberikan kepuasan seksual merupakan salah satu keahlian yang diajarkan kepada mereka, sementara maiko dan geisha tidak menjadikan hal tersebut sebagai hal yang utama dalam menghibur karena mereka mengutamakan kesenian sebagai cara menghibur. Poin ketiga adalah digunakannya istilah okā-san untuk menyebut pemilik okiya atau ochaya. Sebutan ini muncul karena, berbeda dengan dunia yūjo dimana pemilik rumah bordil dan pemilik usahausaha lain di dalam yūkaku adalah para pria, di dunia geisha semua diatur oleh para perempuan. Sementara itu, tidak ditemukan adanya nilai baru yang tercipta dari segi penampilan.
3.
Nilai yang Berhubungan Antara Yūjo dan Geisha Bentuk perubahan terakhir dalam teori perubahan budaya Thomas R. Rochon adalah
value connection. Apabila dilihat dari sisi tahapan pendidikan, maka poin pertama dari bentuk value connection yang terdapat dalam perubahan dari yūjo ke geisha adalah hubungan kakakadik antara seorang maiko dan geisha. Hubungan kekerabatan ini juga dapat ditemui dalam proses pendidikan yūjo, dalam hal ini antara seorang kamuro dengan seorang tayū, shinzō, atau oiran. Di dalam hubungan ini, baik tayū maupun geisha bertugas mendidik kamuro atau maiko-nya serta menjadi orang yang bertanggung jawab atas semua tindakan kamuro atau maiko-nya, baik itu tindakan yang salah ataupun benar. Poin kedua adalah upacara misedashi yang pelaksanaannya mirip dengan upacara debut seorang oiran. Dalam upacara ini, baik maiko ataupun oiran sama-sama berkeliling yūkaku atau hanamachi dengan tujuan untuk diperkenalkan kepada semua orang. Poin berikutnya adalah pelaksanaan mizuage. Baik kamuro maupun maiko sama-sama diharuskan untuk melakukan mizuage sebagai bentuk kematangan seksual mereka. Setelah menjalani mizuage, seorang maiko akan dianggap telah 12 Wanita penghibur..., Fajar Triperdana, FIB UI, 2013
menjadi seorang wanita dan diharapkan untuk mulai menjadi lebih dewasa. Mizuage juga dijadikan sebagai cara mendapatkan dana untuk modal mereka melakukan promosi kenaikan kelas pekerjaan, karena besarnya biaya yang dibayarkan oleh seorang tamu untuk melakukan mizuage kepada maiko ataupun kamuro. Dalam hal cara kerja, value connection terlihat dari konsep ageya dan ochaya sebagai tempat yūjo dan maiko serta geisha menghibur. Di tempat ini seorang tamu dapat memesan sake dan makanan dan menikmati waktu didampingi serta dihibur oleh yūjo atau maiko dan geisha. Apabila seorang tamu ingin menghabiskan malam atau berhubungan intim dengan seorang yūjo atau geisha, ia dapat melakukannya di tempat ini di kamar yang telah disiapkan sebelumnya. Konsep lain yang berhubungan dari sisi cara kerja adalah tamu yang mengambil seorang yūjo atau geisha dari rumah bordil atau okiya. Dalam perkembangannya, tamu ini kemudian disebut sebagai danna. Perbedaan antara keduanya adalah seorang tamu yang mengambil yūjo dari rumah bordil akan membayarkan sejumlah uang untuk mengganti masa kontrak kerja yang masih dimiliki oleh yūjo kepada rumah bordil, sementara seorang danna akan memberikan dukungan finansial kepada geisha. Seorang yūjo yang telah bebas dapat dinikahi oleh tamu yang membebaskannya, sementara danna bukan dan tidak bisa menjadi suami geisha, karena geisha tidak menikah. Sama seperti value creation, bentuk value connection juga tidak dapat ditemukan dalam segi penampilan.
Kesimpulan Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam perkembangan wanita penghibur di Jepang, terdapat beberapa perbedaan dan persamaan antara yūjo dan geisha. Perbedaan dalam proses pendidikan antara yūjo dan geisha terlihat dari lebih diutamakannya penguasaan bentuk-bentuk kesenian dibanding kemampuan dalam pemuasan seksual. Hal tersebut kemudian juga turut membedakan tolak ukur yang digunakan dalam menentukan perkembangan pendidikan dan promosi kenaikan kelas pekerjaan, antara yūjo yang menggunakan tolak ukur kualitas penampilan fisik dan geisha yang menggunakan tingkat keahlian bentuk-bentuk kesenian sebagai tolak ukur. Perbedaan berikutnya adalah cara pembedaan kelas pekerjaan melalui perbedaan tatanan rambut dan gaya berpakaian yang muncul pada geisha. Pergantian perubahan gaya berpakaian pun menjadi salah satu bentuk baru upacara kenaikan kelas pekerjaan. Selain perbedaan-perbedaan tersebut, dalam proses pendidikan yūjo dan geisha juga terdapat beberapa persamaan. Persamaan-persamaan yang terdapat diantara keduanya adalah upacara debut yang dilaksanakan dengan berkeliling distrik 13 Wanita penghibur..., Fajar Triperdana, FIB UI, 2013
yang bertujuan untuk memperkenalkan perempuan yang melakukan debut kepada publik, praktek ritual pendewasaan yang disebut mizuage, dan hubungan kekerabatan antara seorang perempuan yang baru saja masuk ke dunia yūjo dan geisha dengan perempuan yang sudah lebih senior. Dalam hal cara kerja, antara yūjo dan geisha pun memiliki beberapa perbedaan dan persamaan. Dalam menghibur, seorang maiko dan geisha akan berusaha menciptakan suasana yang santai dan mengakrabkan diri secara langsung dengan tamu, berbeda dengan yūjo yang lebih formal dalam menghibur dan berinteraksi dengan tamu. Selain itu, maiko atau geisha lebih bebas bepergian keluar distrik dibanding yūjo. Perbedaan lain adalah maiko dan geisha tidak memiliki kuasa untuk memilih dan menolak tamu untuk menghabiskan malam, mereka dipilih dan tidak selalu bisa menolak tamu. Hal lain yang juga berbeda adalah digunakannya istilah baru seperti zashiki dan tōde oleh geisha dan maiko untuk menyebut acara dimana mereka menghibur serta istilah baru lain seperti zakone dan mirare yang mengacu kepada kegiatan seorang tamu yang menghabiskan malam bersama mereka. Hal baru lainnya adalah digunakannya sebutan okā-san untuk menyebut pemilik okiya atau ochaya. Sebutan ini muncul karena di dunia geisha semua diatur oleh wanita, berbeda dengan dunia yūjo dimana para pemilik rumah bordil dan ageya adalah para pria. Meski terdapat perbedaan, beberapa hal dalam cara bekerja geisha memiliki kesamaan atau berakar dari cara kerja yūjo. Hal-hal tersebut adalah tempat bekerja maiko dan geisha yang disebut ochaya yang merupakan perkembangan dari ageya di yūkaku, dan praktik dimana seorang tamu dapat mengambil yūjo atau geisha pilihannya dari rumah bordil atau okiya, yang dalam dunia geisha disebut sebagai danna. Dalam berpenampilan, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara yūjo dan geisha. Berbeda dengan para yūjo yang memakai berlapi-lapis kimono dengan pola yang rumit dan indah serta menghias rambut mereka hingga penuh, geisha dan maiko hanya mengenakan selapis kimono dengan satu ada dua aksesoris rambut. Perbedaan ini berawal dari adanya peraturan berpakaian untuk membedakan yūjo dan geisha di yūkaku. Kesederhanaan penampilan geisha kemudian menjadi daya tarik tersendiri dan berkembang menjadi estetika berpakaian geisha yang lebih bertujuan untuk menyatu dengan keindahan di sekitarnya ketimbang mengekspresikan keindahan diri dan memberikan kepuasan pribadi akan keindahan yang dimiliki. Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun yūjo dan geisha termasuk ke dalam bentuk wanita penghibur di Jepang, tetapi keduanya memiliki perbedaan dan persamaan. Para yūjo adalah wanita penghibur yang menonjolkan kecantikan dan kualitas 14 Wanita penghibur..., Fajar Triperdana, FIB UI, 2013
penampilan fisik mereka, berpegang kuat pada tradisi dan harga diri mereka sebagai seorang yūjo dalam menghibur, dan berpenampilan mewah. Geisha merupakan para wanita penghibur dengan penampilan yang lebih sederhana yang menjunjung tinggi kebanggaan dan kemampuan mereka dalam kesenian serta keluwesan mereka dalam menghibur.
Daftar Pustaka Cranston, Maurice. 1957. John Locke: A Biography. London: Longmans, Green & Co. Crihfield, Liza Dalby. 1983. Geisha. USA: University of California Press. Downer, Lesley. 2002. The Secret History of the Geisha: Women of the Pleasure Quarters. New York: Broadway Books. Gay, Peter. 2002. Schnitzler’s Century – The making of middle-class culture 1815-1914. New York: W. W. Norton & Co. Golden, Arthur. 1997. Memoirs of a Geisha. New York: Alfred A. Knopf. Hisafumi, Iwashita. 2009. Geisharon: Karyūkai no Kioku. Tokyo: Bunshun Bunko. Nakano, Eizō. 1992. Yūjo no Seikatsu. Tokyo: Yūzankaku. Potter, David Stone & David J. Mattingly. 1999. Life, Death, and Entertainment in the Roman Empire. Michigan: University of Michigan Press. Rochon, Thomas R. 1998. Culture Moves: Ideas, Activism, and Changing Values. New Jersey: Princeton University Press. Seigle, Cecilia Segawa. 1993. Yoshiwara: The Glittering World of the Japanese Courtesan. Honolulu: University of Hawaii Press.
15 Wanita penghibur..., Fajar Triperdana, FIB UI, 2013