WALLACE: DARI GARIS MAYA ZOOGEOGRAFI HINGGA SURAT DARI TERNATE
W
allace, nama lengkapnya Alfred Russel Wallace, adalah seorang cendekiawan Inggeris yang namanya masyhur karena perjalanannya yang legendaris di Nusantara pada pertengahan abad 19. Ia tidak berasal dari
golongan sosial yang terpandang, juga tidak pernah mengikuti pendidikan formal di perguruan tinggi, tetapi ia seorang otodidak. Ia menjadikan alam Nusantara ini, yang terbentang dari Sumatra hingga Papua, sebagai laboratorium alam yang penuh pesona dan tantangan yang mengasah kemampuan intelektualnya. Pada akhirnya dari kajian-kajiannya di kawasan ini, ia dapat melahirkan pemikiran-pemikiran cemerlang dalam ilmu pengetahuan yang mendapat pengakuan dunia dan yang dampaknya jauh melampaui zamannya. Wallace lahir di Usk, Wales, tahun 1823, sebagai anak ke-delapan dari sembilan bersaudara. Ia masuk sekolah dasar (Grammar School) di Hertford, tetapi karena kesulitan keuangan keluarganya, ia terpaksa berhenti di tahun 1836. Ia kemudian mengikuti kakaknya William, bekerja sebagai surveyor, dan selanjutnya menjadi guru di Collegiate School, Leicester, yang dilakoninya hanya setahun. Tahun 1848, ia ikut bersama seorang naturalis, Henry Walter Bates, ke Brazil di Amerika Selatan untuk mengoleksi spesimen biologi dari hutan-hujan Amazon. Tetapi malang, kapal yang ditumpangnya pulang ke Inggeris tahun 1852, terbakar dan tenggelam di tengah perjalanan, dan sebagian besar koleksinya hilang. Setelah terkatung-katung selama 10 hari di atas sebuah perahu kecil di Tengah Samudra Atlantik, ia akhirnya dapat diselamatkan oleh kapal yang melintas dekatnya. Tetapi, pengalamannya di Brazil justru merupakan awal yang menggugahnya untuk bertualang ke bagian dunia lainnya yang tak kalah menantangnya. Kemudian ia memutuskan untuk ke Nusantara (Hindia Belanda) seorang diri dan melakukan perjalanan panjang di daerah ini dari tahun 1854 hingga 1862. Kisah perjalanannya inilah, yang dituangkannya dalam bukunya yang sangat populer, The Malay Archipelago, pertama kali diterbitkan tahun 1869. Buku ini kemudian menjadi literatur klasik dunia yang terus dicetak ulang sampai abad ke-21 ini. Petualangannya menjelajahi berbagai pelosok Nusantara dilakukannya tidak hanya dengan kapal api yang ada di zaman itu, tetapi ia juga ikut serta dalam pelayaran dengan perahu tradisional dari Makassar hingga ke Dobo (Kepulauan 1
Aru) pergi-pulang, dan menuliskan rekaman yang detail tentang perahu tradisional pada zaman itu.
Gambar 1. Lukisan menggambarkan Alfred Russel Wallace di meja kerjanya dengan dua spesimen burung cenderawasih. Di latar belakang tampak gubuk yang menjadi pondokannya di tepi hutan belantara Papua. (www.bellerbyandco.com) Dalam pengembaraannya di Nusantara (Gambar 2), ia telah menempuh jarak total perjalanan sepanjang kurang lebih 14 ribu mil, yang mencakup daerah dari Sumatra hingga ke Papua. Di setiap lokasi yang dikunjunginya ia membuat banyak koleksi hewan, dan juga merekam kehidupan dan budaya masyarakat setempat. Dalam kurun delapan tahun pengembaraannya itu ia telah mengoleksi lebih 125.000 spesimen biota, yang antara lain terdiri dari mamalia 310, reptilia 100, burung 8.050, moluska 7.500, kupu-kupu 13.100, kumbang 83.200, dan serangga lainnya 13.400. Sebagian besar koleksinya itu kini disimpan di British Museum. Dari perjalanan dan pengalamannya yang panjang di Nusantara, dan dengan kemampuannya membaca alam, ia mencatat betapa besar perbedaan flora-fauna antara kawasan barat dan kawasan timur di kepulauan Nusnatara ini. Di kawasan barat terdapat gajah, tapir, beruang, tupai, orang utan, macan, yang mencirikan fauna Asia (Oriental) yang tidak terdapat di kawasan timur. Sebaliknya di kawasan timur Nusantara terdapat kuskus, kasuari, cenderawasih, kakatua, yang mencirikan fauna Australia, yang tidak terdapat di kawasan barat. Ia lalu menulis suatu essay berjudul “On the zoological geography of the Malay Archipelago” yang diterbitkan 2
dalam Journal of Linnaean Society di London tahun 1860. Tulisannya ini merupakan representasi dari classical zoogeography, yang telah mengubah cara pandang terhadap persebaran hewan di bumi. Dalam tulisannya ini ia mengemukakan (dalam terjemahan): “ … Kawasan timur dan kawasan barat kepulauan Nusantara (catatan: Wallace menggunakan istilah the Malay Archipelago) mempunyai perbedaan yang sangat nyata yang tiada bandingannya dalam kaitannya dengan zoogeografi dunia. Amerika Selatan dan Afrika saja, yang dipisahkan oleh Samudra Atlantik, perbedaannya tidaklah sebesar seperti yang terjadi di Nusantara antara fauna Asia dan Australia …”
Gambar 2. Jalur penjelajahan Alfred Russel Wallace di Kepulauan Nusantara (1854-1862)
Dalam kesimpulannya, ia kemudian menetapkan garis maya yang merupakan batas zoogeografi antara fauna Asia dan Australia itu terletak di laut, yakni di Selat Lombok (antara Pulau Bali dan Pulau Lombok), selat yang sempit yang di bagian penyempitannya lebarnya hanya 15 mil. Dari sini garis batas maya itu ditarik menuju ke utara melewati Selat Makassar, kemudian membelok ke Laut Sulawesi dan akhirnya melalui celah antara Mindanao (Filipina) dan Kepulauan Sangihe, ke Samudra Pasifik (Gambar 4). Kawasan di sebelah barat garis ini mewakili fauna Asia, sebaliknya kawasan sebelah timur garis ini mewakili fauna Australia. Sangat kontras bahwa macan dan burung jalak (dan banyak contoh lainnya) dari Bali tidak sampai menyeberangi Selat Lombok yang sempit ini. Sebaliknya burung kakak tua yang begitu umum di Lombok dan sebelah timurnya, tidak terdapat di sebelah barat selat sempit ini. Adalah biologiwan Albert Huxley (1868), seorang pendekar kuat Darwinisme, yang kemudian 3
mengusulkan agar garis batas maya zoogeografi itu dinamai “Wallace Line” (Garis Wallace), istilah yang akhirnya sangat populer digunakan hingga saat ini.
Gambar 3. Garis Wallace (Wallace Line) memisahkan fauna-flora Asia disebelah barat, dan fauna-flora Asutralia di sebelah tmur. Garis batas maya ini, disebut Garis Wallace (Wallace Line), disambut hangat dan boleh dikatakan diakui dan dianut oleh semua ahli zoogeografi dunia dalam kurun 1860 hingga 1890. Tetapi seiring dengan perjalanan waktu, dan semakin banyaknya data-data ilmiah yang dapat dikumpulkan, konsep Garis Wallace ini mulai diragukan kebenarannya dan mulai digugat. Ternyata bahwa perubahan zoogeografi itu tak ada yang terjadi secara jelas dalam bentuk garis tajam, banyak penyimpangan yang terjadi. Perubahan zoogeografi itu ternyata tidak merupakan lompatan mendadak bagaikan hitam-putih, tetapi lebih merupakan perubahan yang gradual. Di samping itu sejarah geologi daratan dan lautan setempat seharusnya dapat menjadi dasar yang bisa memberikan informasi pendukung yang lebih kuat untuk menjelaskan hal itu. Perubahan tingginya muka laut pada kala Pleistosen yang lalu, yang menyebabkan muka laut surut rendah karena glasiasi (zaman es), mengakibatkan seluruh Paparan Sunda yang meliputi Pulau Sumatra, Kalimantan, Jawa dan Bali menyatu menjadi daratan yang utuh, yang memungkinkan perpindahan fauna yang lebih bebas dari satu daerah ke daerah lainnya. Tetapi di Selat Makassar terdapat laut yang dalam yang tak pernah menyatu dengan daratan Asia, dan karenanya merupakan penghalang (barrier) bagi persebaran fauna. Namun ini tak berarti komponen Asia sama sekali tak ada di Sulawesi, hanya prosentasenya lebih kecil. Menurut Mayr (1945), Garis Wallace itu bukanlah batas antara fauna Asia dan Australia, tetapi lebih cenderung merupakan batas tepian paparan benua (Paparan Sunda) yang kering pada kala Pleistosen (zaman es sekitar 1,8 juta tahun lalu hingga sekitar 10.000 tahun lalu). 4
Gambar 4. Atas: Garis Wallace, Garis Weber dan Garis Leydekker. Bawah: Kawasan Wallacea
Hal yang mirip dengan Garis Wallace juga bisa diamati di kawasan timur Nusantara. Pulau Papua, beserta Kepulauan Aru, berada di Paparan Sahul (Arafura) yang dangkal, mempunyai ciri-ciri fauna daratan Papua-Australia yang sama. Tetapi Kepulauan Kei, meskipun 5
jaraknya lebih dekat ke daratan Papua, mempunyai ciri fauna yang berbeda. Di Kepulauan Aru misalnya, terdapat burung cenderawasih, kanguru pohon, sedangkan di Kepulauan Kei tak ditemukan. Antara Kepulauan Kei dan Kepulauan Aru terdapat palung yang dalam, yang keduanya secara geologis tidak pernah menyatu. Oleh sebab itu disini pun dapat dibuat garis batas zoogeografi mengikuti tepian garis Paparan Sahul, yakni bermula di antara Kepulauan Aru dan Kepulauan Kei, kemudian melanjut ke sebelah timur Pulau Seram, terus ke celah antara Pulau Halmahera dan Waigeo terus ke Samudra Pasifik. Garis ini dikenal dengan nama Garis Leydekker (Gambar 4). Kemudian muncul pula konsep alternatif yang melahirkan garis zoogeografi yang dikenal dengan Garis Weber (Gambar 4) yang diusulkan oleh Pelseneer (1904). Nama Weber diambil dari Max Weber yang memimpin Ekspedisi Siboga (1899-1900). Garis Weber dibuat berdasarkan hasil-hasil Ekspedisi Siboga mengenai kedalaman laut yang paling mungkin untuk memberikan peluang yang sama untuk kehadiran fauna Asia dan Australia. Jadi, di sebelah barat Garis Weber faunanya lebih 50 % mempunyai peluang ciri fauna Asia, sedangkan di sebelah timur garis itu, lebih 50 % mempunyai ciri fauna Australia. Sekarang banyak difahami, bahwa sesungguhnya batas zoogeografi berupa garis yang sangat tegas itu tidak pernah ada. Yang ada itu lebih merupakan kawasan transisi. Kawasan yang terletak antara Garis Wallace dan Garis Leydekker kini dianggap lebih cocok sebagai kawasan transisi antara fauna Asia dan Australia. Dengan beberapa penyesuaian, kawasan ini kini dikenal sebagai kawasan Wallacea (Gambar 4). Kawasan Wallacea ini banyak mendapat perhatian dunia. Disini terdapat tingkat endemisitas fauna yang tinggi (hanya terdapat di kawasan ini), dan merupakan hot spot, lokasi berbagai biota langka yang kelestariannya semakin terancam. Kontribusi penting lainnya oleh Wallace adalah dalam konsep teori evolusi, yang mencoba menerangkan mekanisme terjadinya spesies (speciation). Pengembaraannya di Nusantara, berinteraksi dengan alam yang sangat tinggi keanekaragaman hayatinya, membuatnya bertanya bagaimana spesies-spesies yang beragam itu bisa terjadi. Pertanyaan itu terus-menerus mengusiknya. Di suatu hari, di bulan Februari 1858, ketika ia sedang menderita demam malaria, di gubuk pondokannya di Pulau Ternate (Maluku Utara), tiba-tiba ia bersorak karena merasa telah menemukan jawabannya. Mungkin seperti Archimedes yang bersorak “Eureka, Eureka” ketika masuk ke bak mandi, air melimpah keluar, yang membuatnya menemukan jawaban mengenai berat jenis. Atau seperti Newton yang kejatuhan buah appel, yang membuatnya menemukan rumus gravitasi (gaya berat). Wallace yang belum sembuh dari demamnya, masih berselimut di tempat tidurnya, segera bangun membuat catatannya. Ia 6
teringat akan buku karya Thomas Malthus, Essay on Population, yang menguraikan batas-batas pertumbuhan penduduk. Dengan latar belakang itu, ia sontak menemukan jawaban kuncinya yakni survival of the fittest, hanya yang terkuat yang bisa terus hidup. Seleksi alami (natural selection) akan terjadi. Yang lemah, yang penyakitan, yang kalah cepat, yang kalah cerdik, akan tersingkir dengan sendirinya, dan menyisakan unsur-unsur yang lebih unggul untuk diwariskan. Dua malam ia menuliskan konsep itu yang diberinya judul “On the tendency of varieties to depart indefinitely from the original type”. Naskah itu kemudian segera dikirimnya ke Charles Darwin di Inggeris. Ia mengharapkan agar Darwin dapat membacanya dan meneruskan juga ke Charles Lyell, seorang tokoh geologi yang ternama, untuk melihat kemungkinannya untuk diterbitkan. Tetapi surat dari Wallace itu, yang kemudian terkenal sebagai “Ternate Paper” , justru membuat Darwin tersengat bahkan bagai tersambar halilintar di siang bolong. Masalahnya, menyelesaikan
Darwin
saat
bukunya
itu
tengah
yang
sudah
digarapnya dengan susah payah sejak hampir 20 tahun tetapi belum juga rampung. Ia sudah meramalkan bahwa bukunya nanti akan menjadi “big book” yang menggemparkan. sangat
terperanjat
Itu sebabnya ia
ketika
mengetahui
bahwa kesimpulan yang akan ditulisnya dalam bukunya itu ternyata sama dengan yang dibuat oleh Wallace, suatu kebetulan Gambar 5. Buku Alfred Russel Wallace: “ The Malay Archipelago”, pertama kali terbit tahun 1860, menjadi literatur klasik dunia yang terus di cetak ulang. (Periplus, 2000)
atau koinsidensi, meskipun keduanya tidak saling
mengenal
dan
masing-masing
bekerja terpisah dalam jarak hampir separuh keliling bumi. Pertanyaannya
adalah, bersediakah Darwin yang telah mempunyai nama besar itu tiba-tiba disalip atau didahului oleh seorang muda, Wallace, pendatang baru yang selama ini tidak dikenal dalam lingkar elit ilmuwan Inggeris, apalagi Wallace bukan pula berasal dari keluarga dengan status sosial yang terpandang?
7
Disini tampak ada kemungkinan “rekayasa” di kalangan para elit ilmuwan di Inggeris untuk menepikan Wallace, dan lebih dulu menyelamatkan muka Darwin. Atas desakan kuat tokoh ilmuwan besar Charles Lyell (geologist) dan Joseph Hooker (botanist), Darwin buruburu menyelesaikan ringkasan bukunya yang kemudian dibacakan dalam sidang yang terkenal di forum Linnaean Society di London, tanggal 1 Juli 1858. Tanpa sepengetahuan Wallace, makalahnya yang dikenal sebagai “Ternate Paper” dibacakan juga dalam forum itu sekedar untuk melengkapi presentasi Darwin. Itu pun judulnya telah diubah tanpa sepengetahuan penulisnya. Di lain pihak, Wallace juga tak tahu kalau “Ternate Paper”-nya sudah dibacakan dalam sidang yang sangat bergengsi di Linnaean Society, sampai beberapa bulan kemudian. Pada hari makalahnya dibacakan di Linnaean Society di London, Wallace malah masih sedang mengejar kupu-kupu di belantara Manokwari, Papua. Setahun kemudian (1859) barulah karya monumental Darwin “The origin of species” diterbitkan. Wallace sendiri, menyadari posisinya, tidak merasa sakit hati pada Darwin. Ia malah merasa ada hikmahnya bahwa namanya ikut terbawa oleh Darwin. Siapa pula yang akan mendengarkannya sebagai seorang pemula dalam lingkar ilmuwan, dibandingkan dengan sosok Darwin yang namanya telah benderang bagai matahari? Wallace tetap sangat menghargai Darwin, bahkan dalam bukunya yang sangat populer “The Malay Archipelago” (1860) di halaman depannya ditulisnya:
To Charles Darwin, author of “The Origin of Species” I
dedicate this book not only as token of personal esteem and friendhip but also to express my deep admiration for his genius and his works”. Wallace, yang dipandang sebagai penemu bersama (co-founder) teori evolusi, namanya kurang terdengar karena selalu berada di bawah bayang-bayang Darwin yang sudah menyandang nama besar. Ia juga sangat menghargai Darwin dan karya-karyanya, hingga tahun 1889 ia pun menulis buku berjudul “Darwinism” meskipun ia tak selalu sepaham dengan Darwin. Tetapi sebagian orang menilai, bila saja Wallace mendapat perlakuan yang fair (adil) di Linnaean Society atas asas prioritas, bukan tak mungkin ide terobosan tentang teori evolusi berdasarkan seleksi alami (natural selection) itu lebih dikenal orang bukan bermula dari pengamatan di Kepulauan Galapagos oleh Darwin, tetapi dari Pulau Ternate, Maluku Utara, oleh Wallace. Dengan kian dilupakannya nama Wallace, makin dilupakan pula peran bumi Nusantara yang memberi sumbangan pencetusan teori evolusi. Ketika Wallace meninggal, ia telah menulis lebih 20 buku dan sekitar 700 artikel yang sudah dipublikasikan. Namanya hingga kini banyak digunakan atau diacu untuk berbagai tujuan, seperti nama yayasan, nama ekspedisi, dan sebagainya.
8
Pada tangal 10-13 Desember 2008 di Makassar diselenggarakan Konferensi Internasional “Alfred Walter Wallace and the Wallacea” untuk mempeingati 150 tahun surat Wallace dari Ternate (“Ternate Paper”) yang didukung oleh AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia), LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Yayasan Pengembangan Wallacea. Pada kesempatan itu dibacakan Deklarasi Ternate (disusun di Ternate 2 Desember 2008) yang salah satu butirnya adalah komitmen Pemerintah Kota Ternate untuk membangun monumen Wallace di Ternate, memberikan tempat terhormat bagi sang penjelajah yang pemikirannya menjangkau jauh dari zamannya. Namun rencana itu tampaknya belum dapat terlaksana karena terkendalan berbagai hal.
PUSTAKA
Arif, A. & M. Z. Wahyudi. 2012. Jejak Wallace di Ternate yang dilupakan. Harian Kompas, 27 Februari 2017. Marzuki, S. 2008. Surat dari Ternate. Majalah Berita Mingguan Tempo, 25 Mei 2008. Edisi Khusus Kebangkitan Nasional 1908-2008: 140-141. Mayr, E. 1945. Wallace’s Line: In light of recent zoogeographic studies. In Honig, P. & F. Anderson (Editors). Science and scientists in Netherlands Indies. The Board for the Netherlands Indies, Suriname, and Curacao. New York: 241-250. Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari Masa ke Masa. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm. Wallace, A. R. 1869. The Malay Archipelago. Paperback edition published in 2000 by Periplus (HK) Ltd.: 515 pp.
-----
Anugerah Nontji 04/03/2017
9