Wajib Lapor Tindak KDRT1 Rita Serena Kolibonso. S.H., LL.M.
Pengantar Dalam beberapa periode, pertanyaan tentang kewajiban lapor dugaan tindak pidana memang sering diangkat oleh kalangan profesi khususnya kedokteran terutama dikaitkan dengan rahasia pasien, rahasia profesi dan sebagainya, terutama untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Di satu sisi dapat diartikan bahwa perlu sosialisasi kepada pihak yang belum mengetahuinya. Namun di sisi lain bisa diartikan sebagai “dipertanyakan kembali” tentang kewajiban lapor. karena belum ada pemahaman yang mendalam mengenai makna kejahatan tersebut sehingga perlu mewajibkan seorang atau Saksi atau ‘Saksi Ahli’ untuk melapor. Pada pemberlakuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), secara eksplisit dinyatakan pertimbangan konstitusional dan pelanggaran Hak Asasi Manusianya serta sebagai suatu kejahatan terhadap kemanusiaan [As A Crime Against Humanity], sebagai berikut:
‘Bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945’.
‘Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus’.
Oleh karenanya, ada masalah substansi yang menjadi dasar pemberlakuan UU ini. Kewajiban lapor pada tindak pidana KDRT merupakan isu utama sejak Indonesia memberlakukan UU PKDRT, dimana selain kriminalisasi terhadap bentuk-bentuk tindak pidana KDRT, tetapi juga memberikan pemahaman bahwa tindak pidana tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Mengapa Penting Dilaporkan? Dari definisi dan tindak pidananya, KDRT mencakup unsur-unsur yang sangat menuntut keseriusan dalam pembuktiannya. Selain diperlukan pendekatan kemanusiaan yang memperhatikan aspek perlindungan hak asasi korban, juga melibatkan kewajiban dan tanggung jawab berbagai pihak (pemerintah, masyarakat termasuk profesi).
1
Presentasi pada Konferensi Nasional III Psikiatri Komunitas Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 26-28 Maret 2014. Bandung.
1|Page
KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. PKDRT merupakan jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya KDRT, menindak Pelaku KDRT dan melindungi Korban KDRT. Hak-hak Korban atas perlindungan, pelayanan kesehatan, penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial, bantuan hukum dan pelayanan rohani.
Kepentingan Korban KDRT sangatlah penting tidak hanya untuk dipresentasikan dalam proses pelaporan adanya tindak pidana KDRT, tetapi juga pada proses pemulihan Korban, permohonan perlindungan dari Pengadilan serta proses penjatuhan pidana tambahan kepada Pelaku KDRT oleh Pengadilan.
Apa Yang Dilaporkan? Pertama, hal-hal yang dilaporkan adalah terkait dengan kondisi seseorang yang terdapat dalam pasal-pasal Larangan KDRT.
Psl. 5. Setiap orang dilarang melakukan KDRT terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.
Psl. 6. Kekerasan fisik yang dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,jatuh sakit atau luka berat.
Psl. 7. Kekerasan psikis yang dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya ras percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, ras tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Psl. 8. Kekerasan seksual yang diamksud meliputi: a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Psl. 9. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan terhadap orang tersebut. Penelantaran yang dimaksud juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban di bawah kendali orang tersebut.
2|Page
Di samping itu, ada beberapa pasal UU PKDRT mengenai ketentuan pidana (putusan pidana) yang mempertimbangkan akibat dari tindak pidana terhadap kondisi korban baik secara fisik maupun gangguan kejiwaan dan lainnya. Keterangan yang dibutuhkan diantaranya mengenai dampak atau akibat dari bentuk-bentuk kekerasan yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan terhadap Korban KDRT, serta penjelasan mengenai pemulihan yang dijalani atau diperlukan oleh Korban. Di tingkat implementasi, secara khusus Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) No. 01 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimum Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan . Beberapa proses pemeriksaan lainnya juga membutuhkan keterangan Ahli atau laporan adalah sbb: 1. Permohonan untuk Surat Perintah Perlindungan dari Pengadilan. Dalam permohonan ini pengadilan akan mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani sebelum menetapkan kondisi-kondisi khusus. Misalnya kondisi khusus adalah pembatasn gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi atau mengintimidasi korban. 2. Penjatuhan pidana tambahan oleh Hakim (psl. 50), berupa: a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan menjauhkan pelaku dari korban dalam waktu dan jarak tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; b.penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. Selama sembilan tahun terakhir implementasi UU PKDRT ini, terhadap kedua proses pemeriksaan terakhir ini belum banyak pengalaman penerapannya. Meskipun suatu Modul Konseling Bagi Pelaku KDRT (diterbitkan Mitra Perempuan, 2008) telah pernah dipergunakan sebagai pilot project Dirjen Pemasyarakatan untuk melakukan konseling kepada Narapidana Pelaku KDRT di LP Cipinang dan Rutan Salemba. Buku Modul Konseling Bagi Pelaku KDRT yang ditulis oleh beberapa ahli ini, diluncurkan oleh Dirjen Pemasyarakatan RI (13 Jan 2009) dan disambut baik oleh seorang Hakim Agung saat itu.
Siapa Yang Diwajibkan Lapor? Pengaturan tentang siapa yang wajib lapor KDRT memang terdapat dalam beberapa pasal berbeda. Korban dan kuasanya dapat melaporkan KDRT kepada kepolisian. Di sisi lain, tetap diperlukan peran dan keseriusan para ahli/profesi/tenaga kesehatan untuk memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya terhadap unsur-unsur atau pembuktian yang dicari dalam perkara KDRT. Psl. 15. Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a.mencegah 3|Page
berlangsungnya tindak pidana; b.memberikan perlindungan kepada korban; c.memberikan pertolongan darurat; dan d.membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. Psl. 21. (1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus: a.memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya; b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atas surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti. (2) Pelayanan kesehatan yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Sesuai KUHAP, ada 5(lima) alat bukti yang sah di pemeriksaan pengadilan, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa (psl 184). Psl. 1 (28) keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Khusus dalam UU PKDRT diatur, bahwa keterangan saksi korban saja (sebagai salah satu alat bukti yang sah), apabila disertai dengan suatu alat bukti lainnya; sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah (psl. 55). Pada beberapa tindak pidana KDRT dikategorikan sebagai delik aduan, dimana memerlukan adanya pengaduan korban (laporan), yakni tindak pidana kekerasan fisik dalam psl. 44 ayat (4), tindak pidana kekerasan psikis dalam psl. 45 ayat (2), tindak pidana kekerasan seksual suami istri. Tindak-tindak pidana ini merupakan tindak pidana kategori ringan dilihat dari dampaknya terhadap Korban, misalnya tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari dan diancam hukuman pidana penjara paling lama 4 bulan.
Kesimpulan
Ada beberapa peluang yang dapat diraih dalam rangka melaksanakan kewajiban lapor tindak pidana KDRT baik oleh kalangan umum maupun kalangan profesi tertentu termasuk Komunitas Psikiatri sebagai bagian dari masyarakat.
Peluangnya tidak hanya pada proses pelaporan awal adanya dugaan tindak pidana atau kejahatan KDRT tersebut, namun juga untuk melengkapi alat bukti lainnya seperti Keterangan Ahli, atau Surat Visum Et Repertum Psikiatrikum.
Dalam proses pemeriksaan tindak pidana KDRT sangatlah penting untuk mengungkap kepentingan korban dan masalah kemanusiaan yang dialamnya sebagai akibat tindak pidana KDRT ini; dengan memberikan keterangan pemeriksaan yang lengkap kepada Pengadilan.
Dalam rangka pemenuhan hak korban, maka perlu bantuan dan kerjasama untuk mendukung proses pemulihan Korban, proses permohonan perlindungan dari
4|Page
Pengadilan serta proses penjatuhan pidana tambahan kepada Pelaku KDRT oleh Pengadilan.
Khusus untuk intervensi terhadap Pelaku KDRT, perlu didorong implementasi penetapan Pengadilan yang mengharuskan Pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu khususnya narapidana di Lembaga Pemasyarakatan; dengan melibatkan partisipasi lembaga masyarakat dan profesi terkait.
26 Maret 2014.
5|Page