Hasil ketik ulang dari dokumen asli (dokumen asli terlampir di bawah) : Kompas, 20 September 1996
Wajah Teguh Karya dalam Film Pertamanya Pengantar Redaksi Tanggal 18-22 September ini di Pusat Perfilman H Usmar Ismail, Jakarta, dilangsungkan acara “Pekan Film Teguh Karya: Cerminan Multi Dimensi Seorang Sutradara”. Dalam acara ini diputar film-film karya Teguh dari yang pertama, Wajah Seorang Laki-laki (1971) sampai Pacar Ketinggalan Kereta (1989). Acara tersebut juga disertai diskusi
Film pertam a Teguh Karya, Wajah Seorang Laki-Laki, dibuat tahun 1971. jadi usianya sekarang sudah 27 tahun. Sebuah rentang yang cukup panjang. Selama 18 tahun berikutnya, Teguh sudah membuat 13 film. Kalau hanya dilihat dari jumlah karya film, mungkin bias dikatakan tidak terlampau banyak, meski juga tidak bias dikatakan terlampau sedikit. Dengan jumlah itu, berarti setiap tahun Teguh membuat tiga perempat film. Apalagi bila dilihat bahwa kegiatan Teguh Karya bukan hanya film, tapi juga teater dan apa yang sekarang popular dengan sebutan sinetron. Kalau ditambah dengan dua kegiatan terakhir ini, maka Teguh Karya boleh dikatakan sangat produktif. Lihat saja catatan dua macam kegiatan di luar film itu: 26 pentas teater dari 1968-1991 dan lebih dari 20 sinetron sejak 1969. Baik juga diketahui bahwa sebelum membuat film pertamanya ini, Teguh sudah terlibat dalam dunia film. Tahun 1967, ia sudah terlibat dalam film Sembilan sebagai piñata artistic. Film yang disutradarai oleh Wim Umboh ini merupakan film berwarna pertama Indonesia. Sebelumnya, tahun 1958, ia
ikut dalam Djendral Kancil sebagai pemain, begitu juga dalam Mak Comblang pada tahun 1960. Data-data ini sering dilupakan saat orang melihat Wajah Seorang Laki-Laki. Apalagi sebelum film pertama ini, Teguh juga sudah terlibat dalam pembuatan drama televise sejak 1969. paling tidak, media televise juga merupakan dunia audio visual. Tentu tentang hal terakhir ini harus diberi catatan tersendiri, karena pembuatan drama televisi saat itu sangat berbeda dengan pembuatan s inetron sekarang. Saat itu, sutradara hanya mempersiapkan pemain-pemainnya, sementara rekaman gambarnya dikuasai oleh “pengarah acara” TVRI. Gaya Apakah dengan pengalaman ini film pertama Teguh Karya lantas berjalan mulus? Tentu saja tidak. Meski berpengalaman di teater, drama televise, maupun jadi anggota produksi sebuah film; kini ia jadi sutradara sekaligus penulis scenario. Banyak resensi yang sudah mengulas kelemahan-kelemahan film ini saat itu. Itu soal yang wajar, karena meski sudah punya “pengalaman”
yang mirip dengan dunia film, toh membuat dan bertanggung jawab pada keseluruhan film adalah sebuah dunia tersendiri. Teguh juga tidak luput dari kesalahan para sutradara pemula, umpamanya tentang geografi tempattempat kejadian. Bahkan dua shot awal dari film ini yang maksudnya memberi informasi tentang tempat sekitar rumah Umbu Kapitan—tidak memberikan informasi apa-apa. Atau juga gumaman batin pelakunya, harus dinyatakan lewat monolog pelakunya yang memberikan kesan teatral, seperti juga beberapa pengadeganan yang dilakukan. Namun demikian, terlepas dari kelemahankelemahan tadi, yang pantas dicatat dari film pertama ini adalah Teguh “sudah” menemukan gaya sinematografinya. Gaya inilah yang diperbaiki terus menerus dalam film-film berikutnya. Yang juga pantas dicatat adalah bahwa tahun pembuatan film Wajah Seorang Laki-Laki (1971) boleh dibilang tahun awal kebangkitan film nasional. Tahun itu dibuat tidak kurang dari 55 film. Padahal tahun 1970 hanya diproduksi 19 film. Dan pada tahun-tahun berikutn ya, hingga tahun 1990, produksi film nasional lebih dari 40 film setahunnya. Satu diantaranya adalah Ber-nafas dalam Lumpur, yang boleh dibilang menjadi lokomotif kebangkitan perfilman nasional, karena menjadi film laris dan menjadi pembicaraan umum masyarakat, hingga produser dan sutradaranya, Turino Djunaidy, lalu membuat kelanjutannya: Noda tak Berampun dan Kekasihku, Ibuku. Turino Djunaidy inilah yang manjadi produser Wajah Seorang LakiLaki. Tampaknya setelah sukses komersial, Turino juga ingin dikenal sebagai produser film yang berkualitas alias punya kadar kesenian cukup, bukan hanya film yang mengeksploitasi seks dan kekerasan. Proses demikian ini biasa terjadi dalam dunia industri film. Bahwa
kemudian film ini tidak laris di pasaran, itu soal lain lagi. Begitu juga, bahwa film kedua Teguh Karya, Cinta Pertama, yang laris dan warnanya sangat pop, adalah juga proses wajar saja. Tampaknya dalam perjalanan karier filmnya, Teguh (dan juga banyak sutradara lain) bergerak zigzag antara membuat film yang bisa jadi daya tampung muatan ekspresi pribadinya, dan membuat film yang laris. Kelam Yang mudah diingat dari film pertama ini adalah ceritanya. Ceritanya berlangsung sekitar abad ke-19 di kalangan penduduk keturunan Portugis di Batavia. Amallo (Slamet Rahardjo) berontak terhadap ayahnya (WD Mochtar), karena kebrengsekan dan ketidakbertanggungjawaban sang ayah terhadap ibunya. Pemberontakan ini dimulai ketika sang ayah yang juga pemabuk itu kawin lagi dengan seorang indo. Pemberontakannya—antara lain juga dipengaruhi oleh pergaulannya di kota dan peristiwa tertembaknya seorang kawannya oleh Belanda—diwujudkan dengan mencuri senjata dan kuda-kuda yang dirawat ayahnya yang bekerja pada kompeni. Maka perlawanan terhadap ayahnya itu berhimpitan dengan perlawanannya terhadap Kompeni, dan pendewasaan dirinya. Film ini diakhiri dengan peristiwa tragis: Amallo ditembak mati oleh ayahnya sendiri. Sang ayah tentu saja tidak sadar bahwa pencuri kuda-kudanya selama ini adalah anaknya sendiri. Yang menarik dari cerita ini adalah cara pandang Teguh Karya terhadap kehidupan yang tidak membahagiakan. Tema-tema ini terus saja berulang dalam film-film berikutnya: Cinta Pertama, DI Balik Kelambu, Perkawinan dalam Semusim, Ranjang Pengantin, Secangkir Kopi Pahit, Doea Tanda Mata, bahkan Ibunda yang berakhir dengan happy end.
Karena tema tadi hamper berulang di seluruh filmnya, maka menarik untuk menganalisa cara pandang Teguh terhadap kehidupan. Sebuah cara pandang yang cenderung gelap dan kelam. Untuk menganalisa tema yang sangat menarik ini, tentu membutuhkan waktu yang tidak sedikit, seperti juga kalau hendak menganalisa lebih lanjut tentang gaya sinematografi Teguh Karya seperti yang disinggung sedikit di atas. Mungkin sudah saatnya sekarang ada studi-studi khusus tentang sutradarasutradara Indonesia, karena hanya dengan demikian perkembangan film Indonesia bisa terjadi.