DIAJUKAN UNTUK UJIAN TERBUKA
DISERTASI
WACANA TRADISI LISAN VERA ETNIK RONGGA DI MANGGARAI TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR
NI WAYAN SUMITRI NIM 1090171009
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
1
2
WACANA TRADISI LISAN VERA ETNIK RONGGA DI MANGGARAI TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR
NI WAYAN SUMITRI NIM 1090171009
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI LINGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
3
WACANA TRADISI LISAN VERA ETNIK RONGGA DI MANGGARAI TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR
Disertasi untuk memperoleh Gelar Doktor Pada Program Doktor, Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI WAYAN SUMITRI NIM 1090171009
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI LINGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
iii
4
Lembar Pengesahan
DISERTASI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 21 NOVEMBER 2014
Promotor
Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S NIP 195706181983031001
Kopromotor I,
Kopromotor II,
Prof.Dr.I Nyoman Suarka,M.S NIP 196101121988031001
Dr. Drs. Fransiskus Bustan, M.Lib. NIP 1956042419088031001
Mengetahui
Ketua Program Doktor Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjan Universitas Udayana,
Prof. Dr. Aron Meko Mbete NIP 195902151985102001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.K(K) NIP 195902151985102001
iv
5
Panitia Ujian Disertasi, Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 2668 Tanggal 14 Agustus 2014
Ketua
: Prof. Dr. Aron Meko Mbete
Anggota
:
1.
Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S (Promotor)
2.
Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum (Promotor I)
3.
Dr. Drs. Fransiskus Bustan, M.Lib (Promotro II)
4.
Prof. Dr. I Wayan Cika,M.S
5.
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U
6.
Prof. Dr. I Made Suastika, S.U
7.
Prof. Dr. Nyoman Darma Putra
v
6
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Ni Wayan Sumitri
NIM
: 1090171009
Program Studi
: Program Doktor Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Konsentrasi
: Kajian Wacana Sastra
Alamat
: Jalan Padma Gang I/A1 No 4 Penatih Denpasar Timur
Telepon/HP
: (0361) 481831; 081213668662
Dengan ini menyatakan karya ilmiah disertasi ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan mendikbud RI No. 17 tahun 2010 dan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar,
November 2014
Yang membuat pernyataan,
Ni Wayan Sumitri
vi
7
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya berupa kesehatan dan kekuatan, sehingga disertasi dengan judul “Wacana Tradisi Lisan Vera Etnik Rongga di Manggarai Timur Nusa Tenggara Timur” dapat diselesaikan. Kajian ini merupakan suatu upaya untuk menelaah tradisi lisan vera sebagai produk dan praktik budaya etnik Rongga yang memiliki karakteristik struktur teks, fungsi, makna dan mekanisme pewarisannya. Disertasi ini dapat diselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan tulus dan kerendahan hati disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada: Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan bantuan finansial berupa bantuan BPPS dan Hibah Disertasi Doktor tahun 2013 sehingga meringankan beban penulis dalam menyelesaikan studi ini, serta memberikan kesempatan mengikuti Program Sandwich ke Leiden-Belanda tahun 2011 dalam rangka pendalaman proposal disertasi ini. Tim pembimbing Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma M.S. promotor utama yang dengan sabar dan penuh perhatian telah memberikan dorongan semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti progran doktor, khususnya dalam menyelesaikan disertasi ini.
Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum dan Dr.
Fransiskus Bustan, M.Lib, Kopromotor I dan Kopromotor II yang dengan penuh perhatian
dan
kesabaran
membimbing,
mengarahkan,
mendorong,
dan
memberikan masukan yang sangat berharga ide-ide kritisnya. Koreksi, dan komentar-komentar yang diberikan demi percepatan penulisan disertasi ini. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. Dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan doktor di Universitas Udayana. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), Prof. Dr. Made Budiarsa, MA selaku Asisten Direktur I, dan Prof. Made Sudiana
vii
8
Mahendra, Ph.D selaku Asisten Direktur II atas kesempatan yang diberikan kepada penulis menjadi mahasiswa Program Doktor Universitas Udayana. Ketua Program Studi Doktor Linguitik Universitas Udayana Prof. Dr. Aron Meko Mbete, dan Sekretaris Program Studi Doktor Linguistik Universitas Udayana Dr. A.A. Putu Putra, M.S, yang telah membantu segala hal dan memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan studi ini. Ketua ATL Pusat Jakarta Prof. Dr. Pudentia MPPS dan ketua ATL Universitas Udayana Prof. Dr. I Made Suastika, S.U atas bimbingan, masukan, kritikan saat penulisan proposal awal serta rekomendasinya memberikan kesempatan untuk mengikuti Program Sandwich ke Leiden-Belanda Rektor IKIP PGRI Bali atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan doktor. Dr. I Wayan Arka, M.S, M.Phil, Ph.D, yang telah meluangkan waktunya memberikan sumbangan pemikiran, yang berkaitan dengan etnik Rongga, ide dan data awal penelitian ini, referensi, masukan, konsultasi dalam aspek kebahasaan, dengan penuh kesabaran dan ketulusan baik langsung maupun tidak langsung melalui email memberikan kritik dan saran yang bermanfaat dan kontributif dalam penulisan disertasi ini. Terima kasih pula atas motivasi dan dorongan semangat untuk menyelesaikan penelitian ini. Prof. Drs. I Ketut Artawa, Ph.D, yang telah meluangkan waktu dengan tulus memberikan masukan, kesempatan berkonsultasi, kritik dan saran khususnya dalam aspek linguistik yang bermanfaat dan kontributif dalam penulisan disertasi ini. Terima kasih yang dalam penulis sampaikan pula atas motivasi dan dorongan semangat untuk menyelesaikan penelitian ini. Prof. Dr. Aron Meko Mbete yang
memberikan motivasi, untuk
melanjutkan pendidikan, serta bimbingan, masukan, kritikan, saran dan pemikiran kritis yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian disertasi ini. Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M. Litt, yang telah meluangkan waktu dengan tulus memberikan arahan pertanyaan
cara berpikir logis, bimbingan, berbagai
kritis dan saran melalui diskusi yang sangat
kontributif dalam penulisan disertasi ini.
viii
bermanfaat dan
9
Prof. Dr. Mathhew Isaac Cohen dari Royal Holloway University of London, ucapan terima kasih khusus penulis sampaikan atas bimbingan metode penelitian, referensi, masukan, kritikan, dan saran yang sangat berharga saat penulis mengikuti Program masukan
Sandwich di Leiden-Belanda dan juga memberikan
melalui email dalam melakukan penelitian lapangan penelitian di
lapangan. Tim penguji ungkapan terima kasih yang paling dalam penulis sampaikan kepada Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S, Prof. Dr. I Nyoman Suarka,M.Hum, Dr. Frasnsiskus Bustan,M’Lib, Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S, Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, Prof. Dr. I Made Suastika, SU, Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt, Prof. Dr. Aron Meko Mbete, yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan pemikiran yang sangat berarti demi kesempurnaan disertasi ini. Almarhum Prof. Dr. I Wayan Bawa mentor yang selalu memberi penulis motivasi untuk melanjutkan pendidikan, nasihat, dan petuah dalam menghadapi tantangan hidup yang senantiasa penulis ingat. Gubernur Provinsi Nusa TenggaraTimur, Bupati Kabupaten Manggarai Timur, Camat Kecamatan Kota Komba, Lurah Tanarata, atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengadakan penelitian. Bapak Paulus M. Tasman sekeluarga yang sangat baik sudah seperti keluarga sendiri memberikan penulis pemondokan di Borong selama penelitian. Bapak Alfridus Ndolu sekeluraga, Bapak Markus Bana sekeluarga, bapak Thomas Ola sekeluarga, Bapak david Lombe sekeluarga, Bapak welhem Roma sekeluarga, Bapak Hendrikus Tanggang, Ibu Regina sekeluarga dan semua infroman yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan atas bantuan data dan informasi yang telah diberikan kepada penulis, sehingga data dan infromasi itu dapat dianalisis menjadi suatu karya tulis dalam bentuk disertasi ini. Bapak I Nyoman Sukarta, Hamirudin Udu, I Made Suyasa, Aswandikari, I Nyoman Tingkat, I Gede Subawa Mas, I. B Mantra, dan Ni Nyoman Astini, teman seperjuangan yang ikut mendorong terselesainya disertasi ini.
ix
10
Bapak Syahrial, Katubi, Trias yusuf, Sainul Hermawan, Hamirudin Udu, Yon Adlis, Muhamad Isman, Muhamad Ali Prawiro, Sumiman Udu, La Aso, Polumun Ginting, Lies Mariani, Mariana Liwier, Jultje Aneka Rattu, Siti Gomo attas, Retty Esnendes, Maria Maltindis Banda, teman KTL seperjuangan Program Sandwich di Leiden-Belanda angkatan 2011 yang ikut memberikan dorongan semangat terselsaikannya disertasi ini. Akhirnya kepada suamiku tercinta I Wayan Widjasa, S.H dan anak-anakku tercinta Ni Wayan Septyawini, Ni Made Dwi Aksami, dan Ni Nyoman Ciptaning Trisamini yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan disertasi ini. Kepada kedua orangtua, dan mertua penulis yang ikut memberikan dorongan semangat. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua anggota keluarga besar lainnya kakak, adik, dan ipar yang telah memberikan semangat untuk menyelesaikan studi ini. Semoga Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Mahaesa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian disertasi ini, serta kepada kelurga penulis.
Denpasar,
Penulis
x
Januari 2015
11
ABSTRAK WACANA TRADISI LISAN VERA ETNIK RONGGA DI MANGGARAI TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR Penelitian ini mengkaji wacana tradisi lisan vera haimelo mbuku sa’o mbasa wini (WVHMM). Tradisi tersebut merupakan ritual pertanian yang masih hidup dan berkembang pada etnik Rongga di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Kepesatan arus balik budaya global mengakibatkan tradisi itu terancam kelestariannya dan tidak diminati lagi oleh sebagian besar etnik Rongga terutama generasi muda. Fenomena itu salah satu yang melatarbelakngi perlunya dilakukan penelitian tentang tradisi lisan vera haimelo mbuku sa’o mbasa wini. Fokus kajian mencakupi struktur, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisan WVHMM. Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif analitik. Data dianalisis secara kualitatif dibantu dengan tabel sederhana. Teori yang digunakan adalah teori formula, teori fungsi, teori semiotik, dan teori perubahan kebudayaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa WVHMM merupakan wacana tradisi lisan bergaya sastra dengan karakteristik struktur, fungsi, dan makna khas. Kekhasan WVHMM tercermin dalam struktur formal dan struktur naratif. Struktur formal meliputi: (1) Struktur makro, yakni makna global WVHMM berupa doa permohonan kepada Tuhan, roh leluhur, dan roh alam agar tahun musim tanam yang akan datang berjalan dengan baik; (2) Superstruktur yang terdiri atas : bagian pendahuluan yang disebut wacana ti’i ka berupa ritual pemberian makanan kepada roh leluhur; bagian isi adalah inti vera; dan penutup adalah tetendere; (3) Struktur mikro yang terwujud dalam (a) aspek kebahasaan: satuan bunyi, kata, frasa, klausa/kalimat, hubungan baris secara sintaktis, dan kohesi wacana terdapat dalam baris-baris dalam bait, (b) sistem formula: formula satu kata dan formula frasa/ setengah baris, dan (c) gaya bahasa: gaya bahasa paralelisme dan gaya bahasa kias. Sementara itu, struktur naratif berdasarkan suasana hati yang mencakupi suasana hati tuturan dan suasana hati perspektif. WVHMM mengemban fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes meliputi : fungsi referensial, emotif, konatif, dan puitik. Fungsi laten: sebagai pranata religius, sistem pengetahuan, sarana pemersatu, kontrol sosial/kritik sosial/himbauan, sarana pendidikan, pengesahan kebudayaan, dan media hiburan. Sesuai dengan konteks sosial budaya etnik Rongga yang melatarinya, WVHM menyiratkan makna religius, sosiologis, ekonomis, historis, politis, estetis, dan didaktis. Mekanisme pewarisan WVHMM melalui mekanisme pewarisan alamiah yang berlangsung secara turun-temurun, secara lisan, melalui unjuk libat tari dalam kegiatan vera dan mekanisme pewarisan non-alamiah melalui pelatihan yang bersifat tradisional, sporadis, dan temporal berdasarkan kebutuhan tertentu. Sebagai tradisi lisan yang mewadahi pandangan dunia etnik Rongga, WVHMM juga mengemban peran sebagai wahana rekonsiliasi dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam; antarsesama, baik dengan lingkungan sosial budaya maupun lingkungan alam fisik yang melingkupi kehidupannya. Kata kunci: wacana, tradisi lisan, vera, etnik Rongga
xi
12
ABSTRACT THE TRADITIONAL ORAL DISCOURSE OF VERA OF THE ETHNIC RONGGA IN EAST MANGGARAI IN EAST NUSA TENGGARA This study examines the traditional oral discourse of vera haimelo mbuku sa'o mbasa wini (WVHMM). The tradition is an agricultural ritual still alive and practiced by the ethnic in Rongga in East Manggarai regency, East Nusa Tenggara. The rapid impact of modern global culture has threatened the tradition, and it is no longer of interest to most of the Rongga people, especially the younger generation. This phenomenon is one of the reasons for the need to do research on this oral tradition. The focus of the study includes the structure, function, meaning, and the mechanism of inter-generational transmission of the WVHMM. This research is a descriptive analytic study. Data were analysed qualitatively aided by simple tables. The theory used are the formula theory, function theory, semiotic theory, and the theory of cultural change. The results show that WVHMM is an oral traditional discourse in literary style with unique characteristics in terms of structure, function, and meanings. The uniqueness of WVHMM is reflected in the formal and structural narrative structure. Its formal structure includes: (1) The macro structure encoding the global meanings of the WVHMM such as the prayer requests to God, ancestral spirits, and spirits of the nature wishing to have good outcomes of the up-coming harvests of the seasons; (2) Superstructure, consisting of the introductory section ti'i ka in the form of offering ritual to ancestral spirits; the main part of vera; and the closing part called tetendere; (3) The microstructure shows up in (a) aspects of language: the unit sounds, words, phrases, clauses / sentences, syntactic relationships are in rows in stanzas, and discourse cohesion, (b) the system formula: formula of words and phrases / half line , and (c) language style: parallelism and figurative style. Meanwhile, the narrative structure is based on the subtle feeling and mood, as manifested in speech and inner personal perspectives. WVHMM bears the manifest and latent functions. Manifest functions include referential, emotive, conative, and poetic functions. Latent functions include its functions in relation to religious institution, knowledge system, uniting function, social control/social critic /advice, educational function, cultural validation, and entertainment media. In line with the socio-cultural context of the ethnic Rongga, WVHM carries religious meaning, sociological, economic, historical, political, aesthetic, and didactic. The transmission of WVHMM is done through natural oral intergenerational inheritance mechanism in the form of real vera performances in regular rituals, and also through non-natural mechanisms such as training practices, usually sporadic, and temporal in nature based on specific needs. As an oral tradition that embodies the worldview of the Rongga people, WVHMM also serves as the means for reconciliation with God, the ancestral spirits, and the spirits of nature as well as with fellow human beings, both in socio-cultural contexts and in physical natural environments. Keywords: discourse, oral tradition, Vera and Ethnic Rongga xii
13
RINGKASAN DISERTASI
WACANA TRADISI LISAN VERA ETNIK RONGGA DI MANGGARAI TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Etnik Rongga adalah salah satu etnik minoritas di Indonesia yang berdiam di wilayah Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Etnik Rongga yang terdiri atas 22 suku (clan) memiliki kebudayaan sendiri dengan corak khas, sebagaimana tercermin dalam berbagai tradisi. Salah satu tradisi yang mencoraki kebudayaan etnik Rongga adalah vera, yakni pertunjukan tarian tradisional yang disertai dengan nyanyian dalam bahasa Rongga. Vera merupakan bagian dari ritual yang tidak saja berkaitan dengan pertanian dan kehidupan manusia, tetapi juga berfungsi sebagai perekat rasa kebersamaan dalam ikatan komunitas etnik Rongga. Berdasarkan konteksnya, vera terdiri atas beberapa jenis, termasuk vera haimelo mbuku sa’o mbasa wini (ritual berkaitan dengan pertanian) yang menjadi fokus penelitian ini. Pengaruh arus balik budaya global sebagai dampak kepesatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang teknologi informasi, di samping masuknya agama Katolik dan pendidikan modern terasa saat ini. Pengaruh tersebut menyebabkan kebudayaan etnik Rongga terus mengalami perubahan dalam tataran tertentu. Perubahan itu menyebabkan daya hidup wacana tradisi lisan vera terancam kelestarian serta terus mengalami penyusutan fungsi dan pergeseran makna karena tidak dipahami lagi oleh sebagian besar warga etnik Rongga terutama generasi muda. Fenomena itu merupakan salah satu alasan yang melatarbelakangi perlunya dilakukan penelitian tentang tradisi lisan vera etnik Rongga di Kabupaten Manggarai Timur. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi, menganalisis dan menjelaskan
struktur wacana tradisi lisan vera;
(2)
menafsirkan,
mengidentifikasi dan menjelaskan fungsi wacana tradisi lisan vera; dan (3)
xiii
14
menelaah, menafsirkan, dan menjelaskan makna wacana tradisi lisan vera; (4) mengidentifikasi, menganalisis, dan menjelaskan mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan vera.
2. Kajian Pustka, Konsep, dan Landasan Teori 2.1 Kajian Pustaka Beberapa pustaka yang mengkaji tentang bahasa Rongga dan budaya Rongga yang digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Porat (1997), dalam penelitiannya berjudul “Struktur Bahasa Ngada
Dialek Rongga”, mengkaji aspek sintaksis bahasa Ngada dialek Rongga dengan menggunakan teori strukural. Kajian yang sangat rinci memaparkan tentang struktur frasa, struktur klausa, dan struktur kalimat bahasa Ngadha dialek Rongga. Dalam penelitian itu dipaparkan pula mengenai kategori kata yang meliputi: (1) kategori leksikal yang terdiri atas verba, adjektiva, nomina, pronomina, numeralia, dan adverbia; dan (2) kelas kata tugas yang terdiri atas konjungsi, preposisi, partikel, dan interjeksi. Arka, Kosmas, dan Suparsa (2007), dalam penelitian mereke berjudul “Tata Bahasa Rongga”, menghasilkan temuan yang komprehensif mengenai aspek fonologi, morfologi, dan sintaksis bahasa Rongga. Selain itu, dalam penelitian itu dipaparkan pula konteks ekologis, historis, dan sosiokultural etnik Rongga. Arya Wibawa (2008), dalam penelitian berjudul “Semantic Typologi: Semantics of Locative Relations in Rongga”, mengkaji tipologi semantik relasi lokatif bahasa Rongga dan implikasinya terhadap universalisme hubungan lokatif. Dalam penelitian itu dipaparkan bahwa hubungan fungsional antara objek sangat penting di Rongga dan hubungan tersebut digunakan untuk memisahkan hubungan fungsional dan lokatif. Kosmas (2008), dalam penelitiannya berjudul “Klausa Bahasa Rongga: Sebuah Analisis Leksikal-Fungsional, menelaah tipologi bahasa dan bahasa Rongga. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bahasa Rongga tergolong bahasa akusatif. Bahasa Rongga sebagai bahasa akusatif mempunyai alternasi struktur klausa, yaitu aktif dan pasif. Struktur pasif dalam bahasa Rongga adalah
xiv
15
pasif yang bersifat sintaktis karena bahasa Rongga tergolong bahasa isolatif yang tidak mempunyai pemarkah morfologis terutama afiks. Disamping itu, penelitian Kosmas membahas pula aspek fungsi gramatikal. Bahasa Rongga mempunyai fungsi gramatikal inti, yaitu subjek, predikat dan objek dan fungsi gramatikal di luar inti, yaitu OBL, KOMP, dan ADJUNG. Suparsa (2008) dalam penelitiannya berjudul “Fonologi Bahasa Rongga, Sebuah Kajian Transformasi Generatif”, mengkaji fonologi bahasa Rongga dengan menggunakan teori Transformasi Generatif. Temuan yang sangat lengkap telah dipaparkan yang berupa segmen-segmen vokal dan segmen konsonan. Dijelaskannya bahwa bahasa Rongga tidak mengenal rangkaian segmen konsonan pada morfem pangkal karena bahasa Rongga tersebut merupakan bahasa vokalik. Dijelaskannya
pula bahwa bahasa Rongga tidak mempunyai sistem tulisan
sehingga bahasa itu menggunakan huruf Latin. Tarno dkk. (2009), dengan penelitian berjudul “Pemakaian Skema Citra Kinestetik sebagai Sumber Peregangan Metafora Nominal dalam Guyub Tutur Rongga di Kabupaten Manggarai Timur”, menyatakan bahwa ditinjau dari perspektif antropologi atau linguistik kebudayaan penggunaan anggota tubuh manusia dan hewan sebagai sumber peregangan atau perluasan bentuk metafora nominal dalam bahasa Rongga. Paulus (1993), dalam penelitiannya berjudul “Pandangan Hidup Orang Rongga Menjadi Locus Evangelisasi Gereja”, mengkaji pandangan hidup etnik Rongga berdasarkan ungkapan-ungkapan tradisional bahasa Rongga dan menelaah hubungan antara wahyu purba dan wahyu Kristiani dalam rangka inkulturasi. Fokus penelitian itu berkaitan dengan evangelisasi gereja Katolik yang dipotret melalui pandangan hidup orang Rongga. Sumitri (2005) dengan hasil penelitian berjudul “Ritual Dhasa Jawa pada Masyarakat Petani di Rongga, Manggarai, NTT” menerapkan teori semiotik, fungsi, dan teori perubahan kebudayaa. Hasil temuannya memaparkan secara lengkap mengenai
struktur upacara dhasa jawa yang terdiri atas beberapa
komponen, yaitu struktur upacara, pelibat upacara, tempat dan waktu pelaksanaan
xv
16
upacara, sarana upacara dan bahasa yang digunakan. Ritual dhasa jawa mempunyai makna dan fungsi yang sangat dalam pada masayarakat Rongga. Dalam dinamika menuju ke tatananan kehidupan yang maju terlihat adanya perubahan ritual dhasa jawa yang merengkuh pola pikir, sikap, perilaku, dan orientasi hidup. Arka (2010), dalam penelitiannya berjudul “Maintaining Vera in Rongga and Struggle Over Culture, Tradition and Language in Modern ManggaraiIndonesia”. membahas definisi, jenis, keberadaan vera dan tantangannya dalam konteks modern. Dalam penelitian itu dipaparkan bahwa vera dalam konteks modern dinyatakan kehilangan daya tarik dari generasi muda, dan vera merupakan ritual yang terancam punah. Lebih jauh dijelaskan bahwa perlu adanya dokumentasi bahasa dan budaya dalam konteks modern, serta
kompleksitas
tantangan dan prospeknya dalam mempertahankan vera dalam pemeliharaan bahasa dan revitalisai yang lebih luas. Robertus Se dkk (2011), dengan hasil penelitian berjudul “Karakteristik Sistem Ekonomi dalam Realitas Sosial Guyub Budaya Rongga”,
mengkaji
tentang sistem ekonomi budaya Rongga. Temuan yang lengkap telah dipaparkan bahwa sistem eknonomi dalam guyub budaya Rongga berkaitan dengan sistem pertanian, sistem peternakan, dan sistem perdagangan, yang hidup dan berkembang dalam realitas sosial guyub budaya Rongga pada masa silam. Terdapat pula beberapa pustaka lain yang tidak berkaitan dengan masalah bahasa dan kebudayaan Rongga yang digunakan sebagai sumber rujukan dalam melakukan penelitian ini. Penelitian-penelitian yang dimaksud antara lain sebagai berikut. Yapi Taum (1999), dengan penelitian berujudl “Kajian Paralelisme dalam Tradisi Masyarakat Flores Timur (dalam Sastra Lisan)”, memaparkan tentang fenomena paralelisme dalam sastra lisan masyarakat Flores Timur yang diciptakan untuk memberikan efek estetis, tetapi juga mengemban fungsi sebagai media pewarisan sistem nilai dalam masyarakat yang berlangsung secara turuntemurun. Sastra lisan tidak hanya diciptakan, tetapi juga membentuk kebudayaan lisan. Beberapa fakta yang ditemukan adalah, (a) sastra lisan Flores Timur xvi
17
masih hidup dan memiliki dinamika tersendiri, namun sudah mulai ada gejala tergusur; (b) ungkapan pasangan paralelisme sastra dalam tradisi masyarakat Flores Timur merupakan bahasa ritual yang dalam dirinya mengandung hubungan internal dalam kesatuan semantis; dan (c) pengulangan semantis tidak seluruhnya menunjukkan mentalitas “suka mengulang”, tetapi pengulangan itu memiliki kaitan dengan licensia poetika yang di dalamnya terkandung gambaran tentang sistem nilai masyarakat. Fox (1986) dalam penelitiannya berjudul “Kajian Sastra dan Sejarah (kumpulan karangan) tentang masyarakat Pulau Rote”, memaparkan tentang sastra dan sejarah masyarakat Rote, dengan menggunakan teori paralelisme semantik yang dikembangkan oleh Roman Jakobson. Temuannya menunjukkan bahwa (a) bahasa ritual Roti berbentuk puisi lisan dan bercirikan penyepasangan wajib pada semua unsur semantik dengan penataan bahasa yang bersifat formal mengikuti aturan-aturan dan paralelistik; (b) penggunaan unsur-unsur semantik yang terdiri atas perangkat diad yang sudah baku dan bersifat tetap menghasilkan suatu komposisi berupa lirik-lirik puisi paralel; dan (c) kemungkinan pengembangan stilistik dalam teks wacana tersebut cukup banyak walaupun ditampilkan dengan struktur yang tampak sederhana dalam tataran permukaan. Marsel Robot dkk. (1996) dengan penelitian berjudul “Tola Kaba Sastra Lisan Manggarai dengan Lokasi di Manggarai Timur”, menelaah hubungan bahasa dengan kebudayaan Manggarai berdasarkan fenomena kebahasaan yang digunakan dalam upacara tola kaba atau tudak kaba dilihat dari dimensi kesastraan. Lingkup kajiannya menyangkut bentuk tekstual dan kontekstual wacana budaya tola kaba dalam ritus kelas mese, seser tompok, dan randang uma. Badrun (2002) dalam penelitiannya berjudul “Patu Mbojo: Struktur, Konteks Pertunjukan, Proses Penciptaan dan Fungsi”, menggunakan teori yang bersifat eklektik dengan lebih berorientasi pada teori Lord menyangkut formula dan tema sebagai acuannya. Salah satu gagasan menarik yang diungkap bahwa teori Lord tentang formula dan tema tidak berlaku sepenuhnya pada patu karena patu adalah sejenis sastra lisan yang cukup fleksibel sehingga dapat disajikan pada peristiwa apa saja.
xvii
18
Tuloli (1991) dalam penelitiannya berjudul “Tanggomo Sastra Lisan di Gorontalo” yang menelaah struktur, variasi, nilai, dan fungsi Tanggomo dengan menggunakan penedekatan formula dan sosiologi sastra yaitu analisis teks sastra tanpa mengabaikan konteksnya. Dalam penelitiannya dipaparkan bahwa Tanggomo adalah ragam sastra lisan yang mempunyai sistem yang teratur yang diciptakan berdasarkan peristiwa nyata, oleh masayarakat yang di dalamnya terdapat pengulangan pola formula memiliki kesamaan dengan konsep Lord (1976). Sistem formula ini tidak dihubungkan dengan matra tetapi dengan irama. Selain itu dipaparkannya pula bahwa tanggomo memiliki fungsi untuk menyimpan, meneruskan, dan memberikan informasi tentang peristiwa masa lalu. Hutomo (1987), dalam Sarahwulan di Tuban”,
penelitiannya
berjudul “Cerita Kentrung
mengungkapkan kegunaan dan fungsi cerita rakyat
Kentrung. Dalam penelitian itu bahwa kegunaan ceritra rakyat itu dihubungkan dengan pendidikan, yaitu pesan nilai budaya yang terdapat pada cerita itu yang ditujukan kepada pendengar. Penelitian tersebut ini menggunakan teori folklor humanistis atau folklor berlatar belakang sastra serta didukung konsep dan peralatan folklor.
2.2 Konsep Konsep-konsep yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini adalah tradisi lisan dan sastra lisan, ritual, vera, wacana, teks, dan konteks, dan pewarisan. Semua konsep tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 2.2.1 Tradisi lisan dan Sastra Lisan Tradisi lisan diartikan sebagai “segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara (Pudentia, 1988:vii). Menurut Danandjaja (1986:2), tradisi merupakan sebagian dari kebudayaan suatu kolektif macam apa saja, secara kolektif tradisional tampil dalam versi berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Sementara itu, sastra lisan adalah jenis kesusastraan yang mengungkap ekspresi kesusastraan dalam suatu kebudayaan yang disebarkan secara lisan, baik dalam bentuk suatu pertunjukan seni maupun di luarnya
xviii
19
Hutomo (1991:1-3). Dalam konteks tertentu, istilah sastra lisan disebut sastra rakyat (folk literature) yang biasanya tampil dalam bentuk ungkapan tradisional, puisi, prosa, dan nyanyian. 2.2.2 Ritual Ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan adanya sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat dengan yang luhur karena dalam ritual manusia diajak dan diarak masuk ke dalam suatu situasi pengalaman yang suci (Hadi,1999/2000:
29-30).
2.2.3 Vera Vera adalah tarian ritual tradisional etnik Rongga yang disertai dengan nyanyian yang berkaitan dengan pertanian dan kehidupan manusia. Vera adalah sebuah pertunjukan tradisional yang dibawakan oleh penari dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, dalam bentuk dua baris dengan seorang pemimpin tarian yang disebut noa lako yang dipertunjukan pada malam hari dan berakhir pada pagi hari menjelang matahari terbit ( Arka, 2010:93). 2.2.4 Wacana, Teks, dan Konteks Wacana sebagai suatu bentuk praktik sosial
pada kenyataannya dapat
berupa ujaran, respons atau aksi dari masyarakat terhadap lingkungan sosialnya Fairclough (1997:63). Menurut Osch (1988:8), wacana merupakan seperangkat makna yang menghubungkan struktur bahasa dengan konteks yang melatarainya, yang dirajut penutur dan pendengar dalam proses memproduksi dan menafsirkan makna. Teks merupakan produk dalam arti teks merupakan keluaran, sesuatu yang sudah direkam dan dipelajari karena mempunyai susunan tertentu yang dapat diungkapkan dengan istilah yang sistematis (Halliday dan Hasan, 1994:13-14). Teks merupakan tenunan atau rajutan makna dalam satu kesatuan wacana yang utuh dengan memanfaatkan unit mulai dari bunyi sampai dengan satuan yang lebih besar daripada kalimat (Djawanai,1995:64). Sementara itu, konteks adalah keseluruhan lingkungan tempat teks terbentang dan dapat ditafsirkan (Halliday dan Hasan 1994:6).
xix
20
2.2.5 Pewarisan Pewarisan adalah proses pemindahan hak dari seseorang kepada orang lain. Dalam pengertian secara umum pewarisan adalah pemindahan hak dari orang tua kepada anaknya atau keluarganya (Jendra, 2002:19). Di pihak lain, Agussalim (2006:155) mengatakan bahwa pewarisan merupakan suatu proses untuk memberikan pengetahuan berupa ilmu, keterampilan, sikap dan perilaku, serta harta pustaka dari pemilik kepada penerima waris.
2.3 Landasan Teori Terkait dengan karakter fokus masalah yang ditelaah, penelitian ini menerapkan beberapa teori sebagai pedoman dan panduan, yakni teori formula, teori fungsi, teori semiotik, dan teori perubahan kebudayaan. Analisis struktur wacana tradisi lisan Vera dikaji dari beberapa unsur yang membentuknya. Permasalahan dalam penelitian ini dikaji dengan menggunakan teori formula Lord. Untuk mengetahui kegunaan wacana tradisi lisan Vera dalam konteks kehidupan etnik Rongga digunakan teori fungsi yang dikemukakan oleh Merton dalam mengkaji fungsi manifes serta teori Bascom dan Dundes dalam mengkaji fungsi laten. Untuk menganalisis makna tanda dalam wacana tradisi lisan Vera, digunakan teori semiotik yang dikembangkan oleh Eco. Analisis mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan Vera berpedoman pada teori perubahan kebudayaan yang dikemukakan oleh Geertz dan Bourdieu.
3. Metode Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan ancangan fenomenologis sebagai landasan filosofisnya. Lokasi penelitian adalah wilayah Rongga yang tersebar di dua kelurahan, yakni KelurahanTanarata, dan Kelurahan Watu Nggene dan di dua desa yakni, Desa Bamo dan Desa Komba. Namun, yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah Kelurahan Tanarata tepatnya kampung Sambi. Sumber data adalah peristiwa tradisi vera yang dipraktikkan oleh etnik Rongga. Data tersebut berupa rekaman video, audio visual dan data lisan, hasil wawancara dari informan kunci dan
xx
21
informan pembanding. Pengumpulan data dilakukan dengan metode pengamatan, wawancara, diskusi kelompok terarah, dan studi dokumentasi. Data dianalisis secara kualitatif-analitik dengan cakupan data utama yang meliputi wacana Vera dan hubungan kontekstual dengan kebudayaan Rongga secara keseluruhan sebagai lingkungan nonverbal yang mendasari pemberian makna terhadap wacana tradisi lisan Vera. Data dianalisis secara induktif, dimulai dengan menelaah seluruh data dari berbagai sumber, dan hasil analisis disajikan secara formal dan non formal.
4. Hasil Penelitian 4.1 Struktur Teks Wacana Vera Haimelo Mbuku Sa’o Mbasa wini 4.1.1 Struktur Formal Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur formal teks WVHMM terdiri atas struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Berdasarkan hubungan topik dari berbagai komponen pesannya, struktur makro atau tema sentral teks WVHMM adalah doa kepada Tuhan, roh leluhur, dan roh alam agar mereka (etnik Rongga) diberikan kesejahteraan hidup pada musim tanam yang akan datang. Doa permohonan ini disertai dengan penyembelihan ayam merah sebagai sarana persembahan kepada leluhur. Superstruktur atau Skema teks WVHMM terbentuk dari tiga bagian, yakni pendahuluan, isi, dan penutup. Bagian pendahuluan berupa ritual ti’i ka, yakni ritual pemberian makanan kepada roh leluhur (embu nusi). Bagian isi juga terdiri atas tiga bagian, yakni pendahuluan, isi, dan penutup. Bagian pendahuluan adalah tora loka, yakni acara pembersihan arena tempat upacara vera dengan tujuan untuk memohon kepada Tuhan agar tempat berlangsungnya pertunjukan vera bebas dari berbagai ganggguan. Bagian inti adalah upacara vera berupa pertunjukan tarian dan nyanyian yang dibawakan oleh kelompok penari dewasa yang terdiri atas woghu ‘penari laki-laki’ dan daghe ‘penari perempuan’ dan pemimpin tarian disebut noa lako. Sambil menari mereka mendendangkan syairsyair lagu vera, dengan esensi pesannya yang mengandung nilai sejarah dan filosofis sebagai penuntun moral dan pedoman etika bagi etnik Rongga dalam
xxi
22
menata pola perilaku hidup mereka sehari-hari. Bagian akhir (tangi jo) adalah tanda berakhirnya pertunjukan vera, yang ditandai dengan pelemparan selendang oleh seorang daghe. Bagian penutup adalah tetendere. Tetendere yakni upacara tabuh
gendang berirama yang dilaksanakan oleh woghu dan daghe sebagai
rangkaian kegiatan upacara vera mbuku sa’o mbasa wini sudah berakhir. Sesuai dengan
kenyataan bentuk tekstual yang tampak secara fisik,
kekhasan karakteristik struktur mikro teks WVHMM sebagai sebuah wacana bergaya sastra secara formal tercermin dalam
(1) aspek kebahasaan yang
mencakupi: satuan bunyi, kata, frasa, klausa atau kalimat, hubungan baris secara sintaksis; dan kohesi wacana (2) sistem formula, dan (3) gaya bahasa. Secara umum, satuan bunyi dalam bahasa Rongga terdiri atas enam fonem vokal dan dua puluh lima fonem konsonan. Satuan bunyi yang terdapat pada teks WVHMM selain terdiri atas fonem segmental juga terdiri
atas fonem
suprasegmental. Fonem tersebut tidak berbeda dengan fonem yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari etnik Rongga. Fonem suprasegmental ditandai oleh intonasi atau modulasi. Fitur suprasegmental yang paling menonjol adalah penggunaan intonasi lembut. Kedua aspek bunyi tersebut memiliki peran sangat penting untuk membangun daya estetis teks WVHMM melalui permainan bunyi dengan memanfaatkan fitur paralelisme sebagai penciri kaidah bahasa bergaya sastra. Realitas penggunaan kata sebagai penciri karakteristik teks WVHMM ditandai dengan pola suku kata yang bervariasi antarbaris, antara 8 sampai 17 suku kata, dengan jumlah terbanyak adalah 12 suku kata. Jumlah kata yang membentuk baris teks WVHMM bervariasi antara 4 sampai 8 kata tiap baris, dan yang paling banyak ditemukan terdiri atas 6 kata dalam baris. Dilihat dari struktur kata, semua kata yang membentuk baris dalam teks WVHMM berciri monomorfemis atau hanya berbentuk kata dasar. Penggunaan kata yang berciri monomorfemis terkait dengan tipologi bahasa Rongga yang tidak memiliki afiks seperti halnya bahasa Indonesia. Semua kata dalam teks WVHMM dapat diklasifikasi atas lima kategori, yakni nomina, verba, adjektiva, adverbia, dan kata tugas berupa preposisi, konjungsi, dan partikel. Kelas kata yang dominan adalah
xxii
23
nomina karena esensi isi pesan utama teks WVHMM berkaitan dengan dunia kebendaan. Sebagai wacana bergaya sastra, teks WVHMM menggunakan katakata arkais yang tidak mudah dimengerti sehingga membutuhkan keterampilan lingual yang tinggi untuk mengerti dan menggunakannya. Kata-kata arkais yang ditemukan sebanyak 36 kata dari 1.896 jumlah kata yang digunakan. Meskipun berkaitan dengan konteks pertanian, tidak banyak ditemukan kata yang berhubungan dengan pertanian, kecuali kata-kata yang bermakna filosofis dengan inti ajarannya berisi nilai-nilai luhur. Dalam baris-baris teks WVHMM, formula awal ditemukan lebih banyak diawali nomina yang diikuti verba, adjektiva, adverbia, partikel dan konjungsi, seperti terlihat pada data, lako kolo rongo ndau, lau wena watu ‘anjing menggongong kambing itu di selatan bawah batu’. Nomina yang digunakan pada formula awal juga dapat dalam bentuk kata atau frasa. Frasa yang membentuk teks WVHMM meliputi frasa nominal (FN), frasa verbal (FV), frasa adjektival (Fadj), frasa adverbial (F-adv), dan frasa preposisional (Fprep). Seperti halnya dalam tataran kata dari semua jenis frasa tersebut, frasa nominal paling banyak digunakan karena esensi isi pesannya berkaitan dengan dunia kebendaan. Secara sintaktis, klausa/kalimat dalam teks WVHMM memiliki pola yang dapat berfungsi sebagai pembentuk kalimat majemuk. Pola-pola klausa yang ditemukan adalah Subjek-Predikat (S-P) dan Subjek-Predikat-Objek (S-P-O) dengan berbagai variasinya. Dari pola itu, pola klausa yang paling banyak adalah pola S-P. Berdasarkan struktur kalimatnya, kalimat yang terdapat dalam teks WVHMM terdiri atas kalimat tunggal dan kalimat majemuk, namun kalimat tunggal lebih banyak.
Lebih banyaknya kalimat tunggal terutama berkaitan
dengan struktur puitis yang paralel dalam satuan baris dan bait, di samping bermaksud menjaga keseimbangan dalam pengaturan nafas sesuai dengan irama syair lagu dan gerakan tarian. Penggunaan kalimat pendek berkaitan dengan ciri kelisanan sebagai perangkat pengingat (mnemonic devices). Baris-baris yang membentuk satuan bait dalam teks WVHMM memiliki hubungan antarbaris berupa hubungan sintaktis berdasarkan susunan kata,
xxiii
24
hubungan sintaktis berdasarkan struktur yang sama, dan hubungan berdasarkan struktur yang sama dengan posisi berselang-seling. Terdapat hubungan sebabakibat berdasarkan konstruksi sintaktis yang membentuk hubungan antarfrasa dan hubungan antarklausa yang menyiratkan adanya hubungan sebab-akibat dan berfungsi mempertegas makna. Wacana sebagai bentuk pemakaian bahasa dalam komunikasi, baik lisan maupun tertulis didukung oleh berbagai unsur sebagai satu kesatuan yang utuh dan padu seperti
halnya dalam teks WVHMM. Kepaduan teks WVHMM
didukung oleh kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal yang terdapat dalam teks WVHMM mencakupi (1) pengacuan (referensi) yang diklasifikasikan menjadi dua yakni pengacuan persona dan pengacuan demonstratif; dan (2) perangkaian (konjungsi). Kohesi leksikal mencakupi repetisi (perulangan), sinonim dan antonim. Sistem formula yang membentuk teks WVHMM adalah formula kata dan formula frasa atau setengah baris. Dalam sistem formula ditemukan kekhasan formula yang unsur-unsur pembentuknya tidak teratur, seperti penggunaan katakata dan frasa yang sama, jika diulang posisinya berselang-seling atau tidak pada matra yang sama. Temuan yang berbeda dengan Lord yang mengatakan bahwa formula adalah kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan ide pokok tertentu formula bisa berbentuk frasa, klausa, dan baris. Dari 163 jumlah bait yang membentuk teks WVHMM, hanya 60 bait mengandung pola formula yang terdiri atas formula kata dan formula frasa atau formula setengah baris. Gaya bahasa dalam teks WVHMM tampil dalam baris dan bait. Gaya bahasa paralelisme sebagai penciri bahasa bercorak puitis terdiri atas paralelisme fonologis yang berupa asonansi, aliterasi, rima, bentuk gramatikal, dan paralelisme leksikosemantik antara butir-butir leksikal yang bersinonim, berantonim, dan bersintesis. Gaya bahasa kias yang digunakan dalam WVHMM terdiri atas persamaan atau smile, metafora, personifikasi, dan sindiran. Penggunaan gaya bahasa dalam teks WVHMM terbanyak adalah metafora. Banyaknya penggunaan gaya bahasa metafora berkaitan dengan fenomena alam
xxiv
25
seperti tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, binatang,
dan benda-benda lainnya
sebagai acuan dan perbandingan etnik Rongga dalam berkomunikasi. 4.1.2 Struktur Naratif Struktur naratif teks WVHMM dapat dilihat dari segi suasana hati (mood). Unsur tersebut merupakan unsur dominan dalam teks WVHMM yang meliputi suasana hati tuturan dan suasana hati perspektif. Suasana hati tuturan dalam teks WVHMM ada empat, yakni (1) suasana hati khusuk yang berkaitan dengan yang transendental; (2)
suasana hati cemas yang berkaitan dengan berbagai
gangguan yang mengganggu kelancaran upacara; (3) suasana hati gembira yang berkaitan dengan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan roh leluhur terhadap kehidupan etnik Rongga sebagai manusia dan anggota masyarakat; dan (4) suasana hati kebahagiaan karena sudah dapat melaksanakan upacara dengan lancar. Suasana hati perspektif merupakan sudut pandang narator atau penutur sendiri, dan sudut pandang narator sebagai tokoh di dalam peristiwa atau tuturan. Suasana perspektif dalam teks WVHMM dapat dilihat dari (1) penutur sebagai tokoh dalam tuturan yang dimarkahi oleh pronomina pertama jamak kami dan (2) penutur tidak sebagai tokoh dalam tuturan yang dimarkahi oleh penggunaan pronomina kedua tunggal, kau.
4.2 Fungsi WVHMM Teks WVHMM sebagai sebuah tradisi ritual milik sosial-kolektif etnik Rongga menyimpan berbagai informasi yang berfungsi sebagai pedoman dalam menata pola hidup dan kehidupanya. Fungsi tersebut meliputi fungsi manifes dan fungsi laten. Secara tekstual, aspek bahasa yang tampak secara fisik berkaitan dengan fungsi manifes yang banyak bersentuhan dengan fungsi referensial, emotif, konatif, dan puitik. Fungsi puitik paling dominan, yakni sebanyak 115 bait dari 163 jumlah bait karena terkait dengan komunikasi vertikal-transendental dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Sebagai bagian ritual, WVHMM mengemban fungsi magis-religius yang dikemas dalam satu kesatuan dengan daya estetis bahasa yang digunakan. Berdasarkan konteks yang melatarinya, fungsi
xxv
26
laten WVHMM adalah sebagai pranata religius, sistem pengetahuan, pemersatu, sarana
kontrol/kritik
sosial/himbauan,
sarana
pendidikan,
pengesahan
kebudayaan, sarana ekonomis, dan sarana hiburan.
4.3 Makna WVHMM Berdasarkan fungsi Teks WVHMM dalam tautannya dengan konteks sosial budaya tenik Rongga WVHMM mengemban makna filosofis. Makna filosofis yang dimaksud meliputi makna religius, sosiologis, historis, politis, estetis, dan didaktis. Makna religius bergayut dengan kepercayaan etnik Rongga tentang eksistensi Tuhan, roh leluhur, dan roh alam sebagai kekuatan moral dan spiritual utama yang sangat menentukan keberadaan dan kebertahanan hidup mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Tuhan dipahami sebagai Wujud Tertinggi, Penguasa Alam Semesta, Pengasih dan Penyayang. Roh leluhur dipahami sebagai perantara doa dan permohonan kepada Tuhan. Roh alam yang dipahami sebagai mahkluk ciptaan Tuhan yang bertugas menunggu dan menjaga lingkungan agar tetap lestari. Makna sosial bertalian dengan kesucian sosial etnik Rongga demi penciptaan dan pemertahanan keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan. Makna historis berkaitan dengan ikatan batin yang kuat sebagai warga masayarakat Rongga yang berasal dari satu keturunan. Fungsi WVHMM adalah sebagai pengikat dan perajut rasa kebersamaan dalam ikatan komunitas etnik atau sub etnik Rongga. Makna ekonomis bertalian dengan sistem ekonomi dan mata pencaharian hidup yang digeluti etnik Rongga, yakni sistem pertanian dan sistem peternakan. Makna politis berkaitan dengan kekuasaan yang berpengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap tatanan kehidupan etnik Rongga. Makna estetis tercermin dalam pilihan kata-kata dan cara pengungkapan melalui penggunaan paralelisme fonologis. Secara dasariah,
WVHMM
mengemban makna didaktis karena di dalamnya terkandung seperangkat norma dan nilai pendidikan dan pengajaran tentang pengetahuan keagamaan, kemasyarakatan, hukum, adat, politik ekonomi, dan kesenian.
xxvi
27
4.4 Mekanisme Pewarisan WVHMM Sebagai salah satu produk dan praktek budaya Rongga WVHMM dapat memperkuat dan meneruskan nilai tradisi warisan leluhur etnik Rongga. Mekanisme pewarisan teks WVHMM berlangsung secara alamiah yang ditandai dengan pementasan vera karena tuntutan ritual melalui mekanisme unjuk libat tari tari dalam kegiatan vera. Mekanisme pewarisan non-alamiah melalui pelatihan yang bersifat tradisional, sporadis, dan temporal berdasarkan kebutuhan tertentu.
4.5 Temuan Penelitian Penelitian ini menyajikan temuan-temuan yang dilandasi dengan teori yang dipakai sebagai kerangka acuan. Secara teoretis, penelitian ini memadukan wilayah kajian sastra lisan dan ekspresi linguistik. Di samping membedah aspek kesastraan penelitian ini
juga membedah dan mengelaborasi elemen-elemen
linguistik struktur teks. Kajian ini dapat dikatakan kajian inovatif karena sepanjang pengetahuan peneliti penelitian sastra lisan dengan tetap menggunakan teori sastra, tetapi juga memanfaatkan kemajuan teori linguistik secara teritegrasi dan ekplisit belum ditemukan. Terkait dengan dimensi kebaruan dalam temuannya, kajian ini berpilar pada analisis struktur teks WVHMM dengan menggunakan paradigma analisis wacana kritis sesuai dengan paradigma yang dikembangkan oleh van Dijk. Secara dasariah, penerapan paradigma ini bertujuan untuk membongkar aspek-aspek pembentuk struktur internal teks WVHMM sebagai satu kesatuan yang utuh. Aspek-aspek yang dimaksud berkaitan dengan daya lingual dan daya sastra sebagai perajut teks WVHMM. Dengan melihat sinergisitas berbagai unsur yang membingkai teks WVHMM dapat disingkap secara komprehensif berbagai informasi budaya etnik Rongga yang tersembunyi di balik ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam teks WVHMM. Dalam penerapan teori terdapat ketidaksesuaian dengan teori Lord, yakni formula dan tema. Teks WVHMM yang dituturkan secara lisan tidak hanya didasarkan pada kaidah formula, tetapi lebih cenderung menggunakan fitur paralelisme, sebagai ciri khas bahasa ritual di kawasan Indonesia Timur, seperti
xxvii
28
yang diungkap oleh Fox (1974). Fitur paralelisme ini memegang peranan penting dalam merajut struktur teks WVHMM untuk menciptakan makna estetis sebagai ciri yang paling menonjol. Meskipun teori Lord tidak sepenuhnya berlaku dalam teks WVHMM,
teori itu telah memberikan sumbangan pemikiran dalam
penelitian tardisi lisan. Sisi kebaruan dalam kajian fungsi mengacu pada pendapat Merton dengan memilah fungsi teks WVHMM atas fungsi manifes dan fungsi laten. Sepengetahuan peneliti kajian fungsi yang dilakukan oleh penelitian yang setipe dengan penelitian ini hanya pada kajian fungsi laten. Fungsi manifes yang identik dengan fungsi tekstual bergayut dengan telaah bahasa pada tataran mukaan sesuai yang dikemukkakn oleh Jakobson. Fungsi laten yang identik dengan fungsi kontekstual beraras pada fungsi tradisi lisan sebagaimana yg tersirat dalam pandangan Bascom dan Dundes. Oleh karena itu, kajian fungsi dalam penelitian ini lebih komprehensif. Dimensi kebaruan dalam aspek metodologis dalam penelitian ini ditandai dengan penggunaan pendekatan etnografis dialogis dalam persfektif emik. Artinya, analisis fungsi dan makna teks WVHMM bersumber pada sudut pandang etnik Rongga sebagai pemilik dan penghayat teks WVHMM. Selain itu, pemahaman dari sudut pandang emik (native’s point of view) akan memperkaya wawasan peneliti tentang keberadaan tradisi lisan atau sastra lisan yang diteliti. Secara emperik, dalam teks WVHMM ditemukan fenomena menarik sebagai kekhasan produk budaya etnik Rongga. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa
secara dasariah konteks penuturan teks WVHMM berkenaan dengan
pertanian, tetapi tidak banyak kosakata yang berkaitan dengan kosakata pertanian. Kosakata yg banyak digunakan dalam teks WVHMM adalah jagung (jawa) dan padi (pare) karena selain sebagai makanan pokok etnik Rongga, kedua tanaman tersebut adalah jenis tanaman yang diwariskan dari leluhurnya secara turun temurun. Selain itu, ditemukan juga kosakata babi (wawi) dan ayam (manu) karena keduanya banyak digunakan sebagi sarana persembahan utama dalam berbagai ritual, dan bersentuhan langsung dengan kebutuhan hidup sehari-hari etnik Rongga.
xxviii
29
DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL ................................................................................... i PRASYARAT GELAR............................................................................... iii LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................... iv PENETAPAN PANITIA UJIAN ................................................................. v SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT.............................................. vi UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... vii ABSTRAK................................................................................................... xi ABSTRACT ................................................................................................ xii RINGKASAN.............................................................................................. xiii DAFTAR ISI ............................................................................................... xxviii DAFTAR BAGAN ...................................................................................... xxxiv DAFTAR TABEL........................................................................................ xxxv DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xxxvi BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1.1 Latar Belakang .......................................................................................
1 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................
11
1.3 Tujuan Penelitian.....................................................................................
12
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................
13
1.4.1 Manfaat Teoritis ..................................................................................
13
1.4.2 Manfaat Praktis ......................................................................................
14
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA,
KONSEP
DASAR,
LANDASAN
TEORI, DAN MODEL PENELITIAN ......................................
16
2.1 Kajian Pustaka........................................................................................
16
2.2 Konsep ...................................................................................................
24
2.2.1 Tradisi Lisan dan Sastra Lisan ... ..........................................................
24
2.2.2 Ritual ............... ...................................................................................
26
2.2.3 Vera.....................................................................................................
27
2.2.4 Wacana, Teks, dan Konteks..................................................................
28
2.2.5 Pewarisan ............................................................................................
31
2.3 Landasan Teori .....................................................................................
32
2.3.1 Teori Formula .....................................................................................
33
2.3.2 Teori Fungsi
.....................................................................................
35
2.3.3 Teori Semiotik .....................................................................................
37
xxix
30
2.3.4 Teori Perubahan Kebudayaan ..............................................................
39
2.4 Model Penelitian ....................................................................................
41
BAB III METODE PENELITIAN ..........................................................
43
3.1 Rancangan Penelitian .............................................................................
43
3.2 Lokasi Penelitian ....................................................................................
44
3.3 Jenis dan Sumber Data ...........................................................................
46
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data....................................................
48
3.5 Proses Analisis Data..... ...........................................................................
53
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ............................................................
56
3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Penelitian ........................................
57
BAB IV KARAKTERISTIK TRADISI LISAN VERA ...........................
59
4.1 Pengantar ......................................................................... .........................
59
4.2 Pengertian Vera .....................................................................................
59
4.3 Klasisfikasi Vera .....................................................................................
61
4.3.1 Vera Sarajawa .....................................................................................
61
4.3.2 Vera Haimelo .....................................................................................
63
4.3.2.1 Vera Saju .... .....................................................................................
64
4.3.2.2 Vera Dheke Ra’a ...............................................................................
65
4.3.2.3 Vera Dheke Sa’o ...............................................................................
66
4.3.2.4 Vera Gha’u Gha’a ............................................................................
68
4.3.2.5 Vera Mbasa Wini ...............................................................................
69
4.4 Karakteristik Teks Vera ...........................................................................
71
4.4.1 Jenis Teks Wacana Vera ........................................................................
71
4.4.2 Isi Teks Wacana Vera .......... ...............................................................
72
4.4.3 Amanat Teks Wacana Vera . .................................................................
74
4.4.4 Konteks Teks Vera ..............................................................................
75
4.4.5 Latar ................ ....................................................................................
77
4.4.5.1 Latar Waktu .....................................................................................
77
4.4.5.2 Latar Tempat ....................................................................................
77
xxx
31
4.4.5.3 Pelibat………....................................................................................
78
4.4.6 Tujuan ........... .....................................................................................
81
4.4.7 Urutan Tindakan .................................................................................
82
4.5
Bahasa Vera ...... ..................................................................................
92
4.6 Perbandingan Teks Vera .........................................................................
94
4.6.1 Persamaan Teks Vera ..... ......................................................................
94
4.6.2 Perbedaan Teks Vera ...........................................................................
96
4.7 Rangkuman .............................................................................................
98
BAB V
STRUKTUR TEKS WACANA VERA HAIMELO MBUKU SA’O MBASA WINI ...................................................................
99
5.1 Pengantar .......................................................................... ........................
99
5.2 Struktur Formal ................................................................................ ......... 100 5.2.1 Struktur Makro ................................................................................... 100 5.2.2 Superstruktur ... .................................................................................. 103 5.2.2.1 Pendahuluan..... ................................................................................ 103 5.2.2.2 Isi ..................................................................................................... 104 5.2.2.3 Penutup ............................................................................................ 104 5.2.3 Struktur Mikro..................................................................................... 104 5.2.3.1 Aspek Kebahasaan : Satuan Bunyi, Kata, Frasa, Klausa/Kalimat, Hubungan Baris Secara Sintaksis, dan Kohesi Wacana ...................... 105 1) Satuan Bunyi.......................................................................................... 105 2) Kata ....................................................................................................... 107 3) Frasa........................................................................................................ 120 4) Klausa/Kalimat ...................................................................................... 122 5) Hubungan Sintaksis dalam Baris ............................................................ 125 6) Kohesi Wacana ....................................................................................... 127 5.2.3.2 Sistem Formula ................................................................................ 134 5.2.3.3 Gaya Bahasa ............... ..................................................................... 139 1)
Gaya Bahasa Paralelisme ....................................................................... 139
a)
Paralelisme Fonologis ............................................................................ 141
xxxi
32
(1) Asonansi ................................................................................................ 141 (2) Aliterasi ................................................................................................. 143 (3) Rima ...................................................................................................... 144 b)
Paralelisme Gramatikal ......................................................................... 145
c)
Paralelisme Leksikosemantis.................................................................. 150
2)
Gaya bahasa Kias..... .............................................................................. 151
(1) Persamaan ......................................... ..................................................... 152 (2) Metafora ................................................................................................ 153 (3) Personifikasi .......................................................................................... 153 (4) Sindiran ................................................. ................................................. 154 5.3 Struktur Naratif ...................................................................................... 155 5.3.1 Suasana Hati Tuturan............................................................................ 155 5.3.2 Suasana Hati Perspektif ........................................................................ 161 5.3.2.1 Penutur Sebagai Tokoh dalam Tuturan ........................................ ....... 162 5.3.2.2 Penutur Tidak Sebagai Tokoh dalam Tuturan ............................... ...... 163 5.4 Rangkuman .............................................................................................. 163
BAB VI FUNGSI WACANA TRADSI LISAN VERA MBUKU SA’O MBASA WINI .............................................................................. 166 6.1 Pengantar ............................................................................................... 166 6.2 Fungsi Manifes....................................................................................... 166 6.2.1 Fungsi Referensial................................................................................ 168 6.2.2 Fungsi Emotif...................................................................................... 169 6.2.3 Fungsi Konatif..................................................................................... 170 6.2.4 Fungsi Puitik ....................................................................................... 170 6.3 Fungsi Laten........................................................................................... 171 6.3.1 Fungsi Pranata Religius ....................................................................... 173 6.3.2 Fungsi proyeksi dan Refleksi Sistem Pengetahuan............................... 176 6.3.3 Fungsi Sarana Pemersatu ................................................................... 177 6.3.4 Fungsi Sarana Kontrol dan Kritik Sosial .............................................. 179 6.3.5 Fungsi Sarana Pendidikan .................................................................. 180
xxxii
33
6.3.6 Fungsi Sarana Pengesahan Kebudayaan.............................................. 182 6.3.7 Fungsi Sarana Pengesahan Sistem Ekonomi ........................................ 184 6.3.8 Fungsi Media Hiburan ....................................................................... 185 6.4 Rangkuman ............................................................................................. 186
BAB VII MAKNA WACANA TRADISI LISAN VERA HAIMELO MBUKU SA’O MBASA WINI ..................................................... 188 7.1 Pengantar ................................................................................................ 188 7.2 Makna Religius........................ ................................................................ 189 7.2.1 Konseptualisasi Tentang Eksisntensi Tuhan ........................................... 190 7.2.2 Konseptualisasi Tentang Eksistensi Roh Leluhur .................................. 196 7.2.3 Konseptualisasi Tentang Eksistensi Roh Alam ...................................... 197 7.3 Makna Sosial........................................................................................... 199 7.4 Makna Historis dan Identitas .................................................................. 201 7.5 Makna Ekonomis .................................................................................... 202 7.6 Makna Politis ......................................................................................... 202 7.7 Makna Estetis.......................................................................................... 205 7.8 Makna Didaktis. ...................................................................................... 207 7.9 Rangkuman ............................................................................................. 209
BAB VIII MEKANISME PEWARISAN WACANA VERA HAIMELO MBUKU SA’O MBASA WINI ...................................................
211
8.1 Pengantar ................................................................................................
211
8.2 Mekanisme Pewarisan Alamiah ............................................................... 215 8.3 Mekanisme Pewarisan Nonalamiah ......................................................... 220 8.4 Rangkuman ............................................................................................. 224
BAB X SIMPULAN, TEMUAN, DAN SARAN......................................... 227 9.1 Simpulan................................................................................................. 227 9.2 Temuan ................................................................................................... 224 9.3 Saran....................................................................................................... 232
xxxiii
34
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 235 LAMPIRAN ................................................................................................ 243 1)
Glosarium .............................................................................................. 243
2)
Data Acuan Analisis ............................................................................... 246
3)
Asal-Usul Sejarah Vera .......................................................................... 265
4)
Data Pendukung..................................................................................... 268
5)
Daftar Informal ...................................................................................... 276
xxxiv
35
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1
: Model Penelitian..................................................................
42
Bagan 4.1
: Klasifikasi Vera ...................................................................
71
Bagan 5.1
: Struktur Teks WVHMM........................................................
99
Bagan 7.1
:
Cakupan Makna Wacana Tradisi Lisan Vera (WVHMM) .. 209
xxxv
36
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1
Perbandingan Struktur Internal : Teks Vera Sarajawa dan Vera Haimelo ....................................................................................
95
Tabel 4.2
Korpus Data Terkumpul.............................................................
97
Tabel 5.1
Jenis dan Frkuensi Penggunaan Intonasi .................................... 107
Tabel 5.2
Jumlah dan Frekuensi Penggunaan Suku Kata dalam Baris. ....... 108
Tabel 5.3
Jumlah dan Frekuensi Penggunaan Kata dalam Baris ...............
110
Tabel 5.4
Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kelas Kata ............................
111
Tabel 5.5
Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kelas Kata Berkategori Nomina .................................................................................... 114
Tabel 5.6
Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kelas Kara Verba ...................
115
Tabel 5.7
Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kata Arkais ...........................
117
Tabel 5.8
Jenis dan Frekuensi Penggunaan Istilah Pertanian .....................
118
Tabel 5.9
Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kata sebagai Formula Awal ...
119
Tabel 5.10 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Frasa Berdasarkan Struktur Infrafrasal ................................................................................. 121 Tabel 5.11 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Pola Klausa ............................ .. 124 Tabel 5.12 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kalimat Berdasarkan Struktur Pembentuk ............................................................................... 125 Tabel 5.13 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kategori Formula. .................. 135 Tabel 5.14 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Formula Frase ........................ 136 Tabel 5.15 Jenis dan Frekuesni Penggunaan Fonem Vokal Beransonansi.... 142 Tabel 5.16 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Aliterasi pada Posisi Awal dan Tengah ...................................................................................... 144 Tabel 5.17 Posisi dan Frekuensi Penggunaan Rima .................................... 144
xxxvi
37
Tabel 5.18 Jenis dan Frekuensi Ekuivalensi Kelas Kata Perangkat Diad ..... 146 Tabel 5.19 Jensis dan Frekuensi Penggunaan Modus Kalimat ................... 147 Tabel 5.20 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Paralelisme Leksikosemantis . 150 Tabel 5.21 Jenis dan Prekuensi Penggunaan Gaya Bahasa Kias ................. 152 Tabel 6.1
Jenis dan Frekuensi Fungsi Manifes ........................................ 167
Tabel 6.2
Fungsi Laten WVHMM............................................................. 172
Tabel 7.1
Jenis dan Frekuensi Makna dalam Teks WVHMM ................... 188
Tabel 7.2
Jenis dan Frekuensi Makna Religius dalam Teks WVHMM...... 190
xxxvii
38
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1:
Peta Rongga : Lokasi penelitian.............................................
45
Gambar 4.1:
Pemeriksaan hati ayam (ngilo ura manu) dalam konteks vera Mbuku sao’o mbasa wini .......................................................
83
Gambar 4.2 : Formasi penari sebelum pertunjukan Vera .............................
88
Gambar 4.3 : Alur gerakan kaki penari Vera ..............................................
89
Gambar 8.1 : Pertunjukan Vera Heimelo Mbuku Sa’o Mbasa Wini ............. 219 Gambar 8.2 : Pertunjukan Vera Haimelo Mbuku Sa’o Mbasa Wini .............. 219 Gambar 8.3 : Latihan Tarian dan Nyanyian Vera Haimelo oleh Anakanak.. .................................................................................... 221 Gambar 8.4 : Latihan Tarian dan Nyanyian Vera oleh Orang Dewasa ......... 222 Gambar 8.5 : Pentas Tarian dan Nyanyian Vera oleh Anak-anak ................. 222
xxxviii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Etnik Rongga adalah salah satu etnik di wilayah Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).1 Penduduk etnik Rongga diperkirakan berjumlah 8.000 jiwa (dari jumlah 11.957 penduduk (Statistik Kecamatan Kota Komba 2011). 2 Selain dilihat dari besaran penduduknya, etnik Rongga diidentifikasi sebagai etnik minoritas. Etnik Rongga tergolong sebagai etnik minoritas karena tidak memiliki daya dan peluang yang sama dengan warga kelompok etnik Manggarai sebagai kelompok dominan dalam mengakses dan menduduki posisi kekuasaan dalam struktur politik pemerintahan di wilayah Manggarai (lihat Arka, 2013:75).3 Wilayah sebaran etnik Rongga meliputi beberapa kampung di Kelurahan Tanarata, Kelurahan Watu Nggene, Desa Bamo, dan Desa Komba. Etnik Rongga adalah satu kelompok etnik yang terdiri atas 22 suku (clan)4, termasuk suku Liti,
1
2
3
4
Etnik lain yang ada di wilayah Kecamatan Kota Komba yang hidup berdampingan dengan etnik Rongga adalah etnik Waerana atau etnik Kolor. Menurut Sumitri (2005) dan Arka (2007), fakta sejarah asal-usul etnik Rongga umumnya bersumber pada vera. Menurut tuturan ritual vera, nama Rongga terkait dengan orang asli sebagai leluhur etnik Rongga, yakni pasanga suami-istri bernama Tete dan Re, yang tinggal di Wolo Rongga (gunung Rongga). Keturunannya tinggal dan menyebar ke daerah sekitarnya, dari Watu Lamba sampai ke Lia Mabha. Mereka diperkirakan hidup di gua-gua di sekitar batu besar, seperti terekam dalam ungkapan watu susu Rongga yang terdapat dalam teks wacana tradisi lisan vera. Kelompok etnik Manggarai mendiami sebagian besar wilayah pulau Flores bagian barat dengan batas utara Laut Flores, batas selatan Laut Sawu, batas timur Wae Mokel, dan batas barat Selat Sape. Penggunaan istilah suku dalam bahasa Rongga yang mempunyai pengertian lebih sempit daripada dalam bahasa Indonesia. Istilah suku dalam bahasa Rongga mempunyai pengertian kelompok komunitas yang memiliki kesamaan sejarah keturunan dalam bentuk kesamaan
1
2
Motu, Laja, Lowa, Nggeli, Sawu, Raghi, Sera, Sui, Wio, Naru, Nggenga, Nggejo, Tanda, Roka, Ramba, Ria, Kewi, Pau, Poso, Langgo, dan Wake.5 Dilihat dari besaran jumlah penduduknya, dua suku terbesar adalah suku Motu dan Lowa (Sumitri, 2005:36; Arka, 2007:4; Sumitri dan Arka, 2013:733).6 Peran suku dalam kehidupan etnik Rongga pada masa sekarang lebih banyak berkaitan dengan urusan ritual adat warisan leluhur. Hal ini disebabkan oleh pola kepemimpinan yang diterapkan sudah mengikuti pola kepemimpinan birokrasi modern yang berlaku umum di Indonesia melalui sistem pemerintahan desa dan kelurahan.7 Seperti halnya etnik-etnik yang lain, etnik Rongga memiliki kebudayaan sendiri dengan corak khas dalam dimensi wujud dan isi. Kekhasan corak kebudayaan etnik Rongga dalam dimensi isi tercermin dalam bahasa Rongga, yang dalam konteks tertentu, bahasa Rongga sering pula disebut dengan istilah
5
6
7
identitas, termasuk kesamaan bahasa, rumah gendang (adat), dan tradisi vera. Meskipun terdiri atas 22 suku (clan), etnik Rongga merupakan kesatuan masyarakat yang terikat secara geneologis dalam sistem kekerabatan patrilineal dengan konfigurasi sistem pewarisan harta dan tanggungjawab sosial dirunut menurut garis keturunan laki-laki (Bustan, 2013). Pengertian istilah suku dalam bahasa Rongga berpadanan makna dengan istilah ‘wa’u’ dalam bahasa Manggarai yang menunjuk pada klen patrilineal-genealogis. Hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu dan Bapak Thomas Ola di Paundoa, Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba, pada tanggal 29 Oktober 2012. Hasil wawancara dengan Bapak Markus Bana pada tanggal 1 November 2012 di Borong, Ibukota Kabupaten Manggarai Timur. Berapa besaran populasi setiap suku masih merupakan sebuah pertanyaan karena belum ada data hasil penelitian yang dapat mencerahkan. Dalam Arka dkk. (2007:4), tidak disebut secara rinci nama 22 suku yang termasuk dalam etnik Rongga. Setiap suku mempunyai rumah adat (dilengkapi dengan gong, gendang, dan barang pusaka lain seperti emas yang biasa diupacarai di rumah adat (sa’o). Kebanyakan warga etnik Rongga tinggal di rumah biasa yang disebut mbo. Masing-masing suku memiliki sejarahnya sendiri yang terekam dalam ritual vera, meskipun tidak semua suku atau klan mengetahui sejarah sukunya sendiri. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu dan Bapak Thomas Ola di Paundoa, Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba, pada tanggal 29 Oktober 2012, serta hasil wawancara dengan Bapak Markus Bana pada tanggal 1 November 2012 di Borong, Ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, penerapan sistem pemerintahan birokrasi menyebabkan terjadinya penyusutan peran fungsionaris adat dalam realitas kehidupan etnik Rongga.
3
bahasa Mbiwa. 8 Kata mbiwa merupakan salah satu pemarkah sangkalan dalam bahasa Rongga yang berarti ‘tidak’ atau ‘bukan’ (Verheijen, 1991; Se dkk, 2011; Arka 2007:1; Bustan, 2013). Selain tercemin dalam bahasa Rongga, kekhasan corak kebudayaan etnik Rongga dapat dilihat dalam berbagai tradisi ritual warisan leluhurnya.9 Salah satu tradisi ritual warisan leluhur yang hidup dan berkembang dalam realitas sosial budaya etnik Rongga adalah vera10, sebuah tarian tradisional yang disertai dengan nyanyian. Dilihat dari esensi isi pesan yang terkandung di dalamnya, vera merupakan salah satu bagian tradisi ritual warisan leluhur yang mencirikan sistem keyakinan atau religi asli etnik Rongga. Selain menjadi fakta budaya yang mencirikan sistem keyakinan atau religi asli etnik Rongga, tradisi ritual vera juga memiliki efektivitas sosial karena berfungsi sebagai simpul perekat rasa kebersamaan dan kohesivitas sosial sebagai suatu komunitas budaya. 11 Sesuai dengan konteks dengan situasi ritual yang melatari pelaksanaannya, secara umum, tradisi ritual vera yang hidup dan berkembang dalam realitas sosial 8
9
10
11
Istilah bahasa mbiwa sebagai padanan istilah bahasa Rongga digunakan oleh Verheijen (1991) guna membedakannya dengan beberapa bahasa yang termasuk dalam kelompok bahasa Manggarai, seperti bahasa Manggarai Tengah (bahasa Toe), bahasa Waerana (bahasa Mbaen), dan sebagainya (Bustan, 2005). Pelaksanaan ritual warisan leluhur itu terkait erat dengan kegiatan di rumah (sa’o), kebun (uma), dan kampung (nua), yang menyiratkan pentingnya peran, restu, dan perlindungan leluhur sebagai salah satu kekuatan adikodrati yang sangat menentukan keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan hidup mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Pengertian istilah wacana tradisi lisan vera dalam penelitian ini secara khusus menunjuk pada wacana tradisi lisan vera yang dituturkan dalam konteks ritual vera haimelo mbuku sa’o mbasa wini yang disingkat WVHMM, sebagaimana dijelaskan dalam bab IV pada bagian perbandingan. Hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu dan Bapak Thomas Ola di Kampung Paundoa, Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba, pada tanggal 29 Oktober 2012, serta hasil wawancara dengan Bapak Markus Bana di Kota Borong, Ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, pada tanggal 1 Nopember 2012.
4
etnik Rongga dapat diklasifikasi atas dua kelompok, yakni vera sarajawa (vera sedih) dan vera haimelo (vera gembira). Terlepas dari vera sarajawa, beberapa jenis Vera yang termasuk dalam kelompok Vera haimelo adalah (1) vera saju (berkaitan dengan hal-hal ganjil dalam kehidupan manusia), (2) vera dheke ra’a (berkaitan dengan pemulihan nama baik seseorang), (3) vera dheke sa’o (berkaitan dengan upacara masuk rumah adat yang baru), (4) vera gha’u gha’a (dipertunjukkan sebagai sarana hiburan), dan (5) vera mbuku sa’o (berkaitan dengan kegiatan dalam bidang pertanian) yang di dalamnya terdapat beberapa jenis vera dan salah satu di antaranya adalah vera mbasa wini. Kata vera dalam bahasa Rongga berasal dari kata pera “wasiat leluhur” (Arka, 2010:93). Wasiat leluhur tersebut merupakan bagian dari kesalehan ritual vera, yang kebermaknaan esensi isi pesannya ditakar secara empiris dalam kesucian sosial etnik Rongga. Kesucian sosial vera diharapkan mewujud secara empiris dalam pola perilaku hidup mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat demi pemertahanan keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan, di samping keselarasan hubungan dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Sesuai dengan kenyataan yang tampak secara fisik, vera sebagai bagian dari ritual merupakan sebuah petunjukan tarian tradisional yang disertai dengan nyanyian. Tarian itu dibawakan oleh penari dewasa, baik laki-laki maupun perempuan dalam bentuk dua baris di bawah panduan seorang pemimpin tarian yang disebut noa lako. Penari perempuan yang disebut daghe berdiri di barisan depan dan penari laki-laki yang disebut woghu berdiri di barisan belakang12.
12
Sesuai dengan aturan adat yang berlaku, masing-masing barisan, baik barisan penari laki-laki maupun barisan penari perempuan, minimal harus diisi oleh sepuluh orang penari, serta pemimpin yang disebut noa lako diisi oleh seorang woghu (penari laki-laki).
5
Semua penari menari dan menyanyi dalam bentuk dua baris dan saling berpegangan tangan mengikuti rambu-rambu yang dipandu oleh noa lako. Pertunjukan vera dilaksanakan di rumah adat suku, pemilik gendang. Pertunjukan dimulai tengah malam dan berakhir pagi hari menjelang matahari terbit yang ditandai dengan pendendangan lagu tangi jo sebagai bagian penutup. Selain menjadi kekhasan identitas internal atau pemarkah keidentitasan etnik Rongga, vera juga menjadi kekhasan identitas eskternal atau fitur pembeda etnik Rongga. Mengingat tidak ada etnik lain yang memiliki tradisi ritual vera, maka tradisi ritual vera identik dengan etnik Rongga, seperti halnya tradisi ritual penti (ritual pergantian tahun musim atau tahun baru adat Manggarai) yang menjadi kekhasan identitas budaya etnik Manggarai (Bustan, 2005:11). Identitas menunjuk pada esensi yang bisa dibedakan dengan tanda-tanda seperti keyakinan, sikap, dan gaya hidup, yang bersifat personal dan sosial karena menandai seseorang sebagai orang yang sama dan sekaligus berbeda dengan orang lain (Barker, 2005:218). Tradisi ritual vera sebagai sebuah tradisi ritual milik sosial-kolektif etnik Rongga memiliki struktur atau bentuk, fungsi, dan makna khas karena di dalamnya terkandung seperangkat sistem sosial budaya yang berfungsi sebagai penuntun moral dan pedoman etika bagi etnik Rongga dalam menata pola perilaku. Istilah “tradisi” bertalian dengan pandangan Purwasito (2003:229) yang menyatakan bahwa tradisi merupakan adat kebiasaan yang diproduksi oleh suatu masyarakat yang biasanya diwujudkan dalam bentuk aturan atau kaidah yang tidak tertulis. Meskipun tidak diwujudkan dalam bentuk tertulis, aturan atau
6
kaidah adat tersebut dipatuhi warga masyarakat bersangkutan karena di dalamnya berisi pola untuk berperilaku (pattern for behavior). Oleh karena itu, barang siapa melanggar aturan atau kaidah adat itu niscaya mendapat sanksi sesuai dengan konvensi sosial yang berlaku secara mentradisi sejak dari leluhurnya. Seperti disinggung sebelumnya, vera tidak saja berfungsi sebagai peranti pemertahanan keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan etnik Rongga, tetapi juga menjadi media pemertahanan keselarasan hubungan vertikal-transendental dengan kekuatan adikodrati, yakni Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Sesuai dengan konseptualisasi budaya yang terpatri dalam peta pengetahuan etnik Rongga, ketiga kekuatan adikodrati itu merupakan sumber kekuatan spiritual utama yang sangat menentukan keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan hidup mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Terkait dengan kebermaknaannya sebagai penuntun moral dan pedoman etika dalam menata pola perilaku hidup etnik Rongga, maka vera perlu diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikut demi pemertahanan identitas mereka sebagai suatu kelompok masyarakat adat atau guyub budaya. Mengingat mekanisme pewarisannya disampaikan secara lisan sesuai dengan kaidah adat yang sudah terpola pada etnik Rongga, maka vera dapat diidentifikasi sebagai tradisi lisan. Hal ini selaras dengan pandangan Sedyawati (1996:5) yang menyatakan bahwa tradisi lisan adalah segala wacana yang disampaikan secara lisan dan mengikuti cara atau adat-istiadat tertentu yang sudah berpola dalam suatu masyarakat. Sehubungan dengan itu, wacana tradisi lisan vera dicirikan sebagai sebuah produk sastra lisan karena karakteristik bentuk tekstual satuan kebahasannya paling menonjol bercorak puitis. Corak puitis
7
tersebut ditandai antara lain, dengan penggunaan bentuk paralelisme yang berupa asonansi, rima, dan aliterasi yang mengandung keindahan bentuk dan kenikmatan indrawi ketika disimak. Pencirian wacana tradisi lisan vera sebagai sastra lisan bertalian erat dengan pandangan Hutomo (1991:95) yang menyatakan bahwa suatu tradisi lisan dapat disebut sastra lisan apabila mengandung beberapa unsur estetis atau keindahan, seperti asonansi, aliterasi, dan perlambang lainnya. Kepesatan arus-balik budaya global sebagai dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dalam beberapa dasawarna terakhir, menyebabkan etnik Rongga mengalami dinamika. Meskipun kedalaman dan arah pengaruh dinamika tersebut berbeda dari masyarakat dan kebudayaan Manggarai pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, masuknya agama Katolik sebagai sistem religi baru atau agama wahyu pada tahun 1955 yang disebarkan oleh seorang misionaris Katolik bernama Daem (Arka, 2010:92) dan pendidikan modern, telah mengubah pengetahuan, cara berpikir, cara pandang, dan pola perilaku etnik Rongga.13 Perubahan aspek rohaniah turut memengaruhi aspek fisik-material, adat, dan tradisi etnik Rongga. Tradisi ritual vera sebagai salah satu produk dan praktik budaya warisan leluhur etnik Rongga tidak imun dari sentuhan perubahan itu. Meskipun tidak terjadi serta merta, perubahan itu menyebabkan daya hidup tradisi ritual vera dengan berbagai teks wacana yang terkandung di dalamnya mengalami pergeseran di luar bingkai fungsi dan pigura makna yang diamanatkan oleh leluhur etnik Rongga pada masa sekarang. Beberapa fakta menunjukkan bahwa praktik kehidupan sebagian besar warga etnik Rongga pada masa sekarang cenderung bergeser dari nilai-nilai 13
Tuan Daem adalah seorang imam atau misionaris Katolik berkebangsaan Swiss yang bertugas di Paroki Waerana, yang terletak beberapa kilometer dari Kelurahan Tanarata. Paroki adalah pembagian wilayah tugas pastoral dalam satu wilayah keuskupan.
8
tradisional warisan leluhurnya. Nilai-nilai tradisional yang sebelumnya menjadi pola dasar penataan pola perilaku hidup mereka cenderung bergeser di luar bingkai fungsi dan pigura makna yang diamanatkan oleh leluhurnya. Akibat perubahan kebudayaan dan kurangnya kesiapan etnik Rongga untuk menyikapi kondisi perubahan itu ”dikhawatirkan” mereka mengalami alienasi budaya atau ketercerabutan dari akar budaya asli Rongga. Sebagai bukti, sebagian besar warga etnik Rongga, terutama generasi muda terdidik, lebih tertarik menonton pertandingan sepak bola piala dunia yang disiarkan melalui media elektronik (televisi), mendengar musik gaya barat yang modern, dan menari tarian populer, seperti break dance daripada mempelajari dan mempraktikkan tradisi ritual vera warisan leluhurnya (Arka, 2010:96-97).14 Beberapa fenomena perubahan yang diulas di atas menggambarkan bahwa kekuatan komunikatif wacana tradisi ritual vera terancam kelestariannya. Tampilan pola perilaku etnik Rongga yang cenderung bergeser dari kaidah adat warisan leluhurnya menandakan adanya perubahan konseptualisasi budaya etnik Rongga dalam memandang dunia. Pada sisi lain, perubahan pola perilaku itu menggambarkan
pula
keterbatasan
kemampuan
etnik
Rongga
dalam
menginterpretasi kebermaknaan tradisi ritual vera sebagai salah satu produk dan praktik budaya warisan leluhur yang sangat berharga. Dengan merujuk pada beberapa fakta dan fenomena yang dipaparkan di atas sebagai latar pikir, penelitian ini mengkaji secara khusus dan mendalam 14
Hasil penelitian Arka (2007) tersebut diperkuat pula oleh hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu dan Bapak Thomas Ola di Pandoa, Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba pada tanggal 29 Oktober 2012, serta hasil wawancara dengan Bapak Markus Bana pada tanggal 1 November 2012 di Borong.
9
tentang wacana vera dengan fokus kajian adalah vera haimelo (vera gembira), khususnya vera haimelo mbuku sa’o mbasa wini15, yang selanjutnya disingkat WVHMM. Teks WVHMM dipilih menjadi fokus kajian dalam penelitian ini karena tradisi ritual vera mbuku sa’o mbasa wini sebagai konteks situasi ritual yang melatarinya masih dilaksanakan secara rutin dan intensif setiap tahun pada setiap awal musim tanam, sekitar Oktober dan November, oleh warga etnik Rongga sebagai tanda pergantian tahun musim (Se dkk. 2011; Bustan dan Robertus, 2013).16 Mengingat masalah wacana tradisi lisan vera etnik Rongga memiliki cakupan begitu luas, maka beberapa aspek yang menjadi sasaran dan lingkup kajian dalam penelitian ini meliputi struktur teks, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisannya. Analisis mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan vera merujuk pada hasil analisis struktur teks, fungsi, dan makna, dalam tautan dengan adanya fenomena perubahan kebudayaan dalam konteks kehidupan etnik Rongga pada masa sekarang sebagai dampak dari pengaruh modernisasi dan globalisasi. Peneliti tertarik melakukan penelitian khusus dan mendalam tentang wacana tradisi lisan vera etnik Rongga dengan beberapa alasan. Pertama, wacana tradisi lisan vera memiliki struktur teks, fungsi, dan makna khas sebagai lambang identitas internal atau permarkah kedirian dan lambang identitas eksternal atau fitur pembeda etnik Rongga dengan etnik-etnik lain, terutama beberapa etnik yang tercakup dalam kelompok etnik Manggarai. Kedua, wacana tradisi lisan vera
15
16
Alasan lebih rinci secara khusus menunjuk pada wacana vera haimelo mbasa wini dijelaskan pada bab IV, bagian perbandingan teks. Hal itu dapat pula dilihat dalam hasil penelitian Se dkk (2011) menyangkut kalender adat pertanian etnik Rongga.
10
merupakan sebuah wacana bergaya sastra yang ditandai dengan penggunaan bahasa bercorak puitis dengan penggunaan bentuk formulasi ekspresi-ekspresi kebahasaan yang mengandung keindahan ritme kata-kata dengan memanfaatkan fitur paralelisme fonologis, morfologis, dan leksikosemantis. Ketiga, meskipun wacana tradisi lisan vera adalah produk dan praktek budaya lokal milik sosialkolektif etnik Rongga, di dalamnya terkandung seperangkat sistem nilai universal seperti nilai kejujuran yang dapat digunakan sebagai ramuan dasar dalam merancang model pendidikan karakter bangsa Indonesia berbasis kearifan budya lokal etnik Rongga. Keempat, keberadaan wacana tradisi lisan vera sebagai lambang identitas internal dan eksternal etnik Rongga terancam kelestariannya karena cenderung mengalami penyusutan fungsi dan pergeseran makna di luar bingkai fungsi dan pigura makna yang diamanatkan oleh leluhur sebagai dampak modernisasi dan globalisasi. Kelima, wacana tradisi lisan vera sudah tidak diminati lagi oleh sebagian besar warga etnik Rongga, terutama kelompok generasi muda terdidik, karena mereka tergerus oleh pengaruh modernisasi dan globalisasi di samping pengaruh masuknya agama Katolik sebagai agama wahyu yang dianut mayoritas etnik Rongga saat ini dan pendidikan modern17 (Sumitri, 2005:4; Arka 2007:3; Arka, 2010). Keenam, peneliti sudah membangun rapport dengan sejumlah warga etnik Rongga dalam penelitian ritual dhasa jawa, penelitian tesis Magister (S-2) Kajian Budaya, Program Pascasarjana, Universitas
17
Hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu dan Bapak Thomas Ola di Pandoa, Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba pada tanggal 29 Oktober 2012, serta hasil wawancara dengan Bapak Markus Bana pada tanggal 1 November 2012 di Borong. Berkaitan dengan pendidikan, diinformasikan bahwa pada tahun 1955 didirikan Seminari Menengah St. Pius XII di Kisol (termasuk wilayah Kelurahan Tanarata sekarang), sebagai lembaga pendidikan formal calon imam/misionaris gereja Katolik Romawi.
11
Udayana.18 Ketujuh, belum ada hasil penelitian yang mengkaji secara khusus dan mendalam tentang karakteristik wacana tradisi lisan vera etnik Rongga dengan sasaran kajiannya meliputi aspek struktur teks, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisannya.19
1.2 Rumusan Masalah Masalah utama yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini adalah wacana tradisi lisan vera etnik Rongga sebagai sebuah teks wacana bergaya sastra. Sehubungan itu, masalah utama yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan berikut. “Bagaimanakah karakteristik wacana tradisi lisan vera etnik Rongga?” sementara itu sesuai dengan cakupan aspek yang menjadi sasaran pemerian maka dapat dirumuskan sub masalah penelitian ini sebagai berikut. 1)
Bagaimanakah struktur teks wacana tradisi lisan vera?
2)
Bagaimanakah fungsi wacana tradisi lisan vera?
3)
Bagaimanakah makna wacana tradisi lisan vera?
4)
Bagaimanakah mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan vera?
18
19
Hal itu menyebabkan peneliti tidak menemukan kesulitan berarti dalam menjaring dan memilih informan kunci yang menjadi sumber data utama atau data primer untuk menjawab masalah yang ditelaah dalam penelitian ini menyangkut wacana tradisi lisan vera. Ritual dhasa jawa adalah salah satu produk dan praktik budaya warisan leluhur yang mencirikan keberadaan etnik Rongga sebagai suatu kelompok masyarakat adat pengemban budaya pertanian dengan sistem perladangan berpindah-pindah. Arka (2010) memang menulis tentang vera, namun sasaran pemeriannya terbatas pada pengelompokan jenis-jenis vera yang hidup dan berkembang dalam realitas sosial budaya etnik Rongga. Analisis struktur, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan vera, khususnya menyangkut WVHMM, tidak dikaji secara khusus dan mendalam. Alasan tersebut merupakan salah satu bukti yang menunjukkan dimensi kebaruan (novelty dimension) dan keaslian hasil penelitian ini.
12
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Sesuai dengan karakter masalah yang ditelaah, secara umum, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tentang kekahasan budaya daerah di Indoensia dalam usaha memperkokoh persatuan nasional dan memperkaya khazanah budaya nasional. Selain itu, secara umum penelitian ini juga bertujuan untuk mencermati dan memahami keberagaman budaya etnik dan sub-etnik Nusantara, memahami kondisi dan vitalitasnya, serta tantangan perkembangannya, baik berhubungan dengan sikap generasi mudanya maupun dari luar dalam kerangka kebudayaan di Indonesia. 1.3.2 Tujuan Khusus Sesuai dengan masalah yang dirumuskan di atas, secara khusus, penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut. 1)
memaparkan dan menjelaskan struktur teks wacana tradisi lisan vera yang ditelaah berdasarkan struktur formal dan struktur naratif. Strtuktur formal terdiri atas tiga tataran yang mencakup struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro, sedangkan struktur naratif dilihat dari suasana hati mencakup suasana hati tuturan dan suasana hati perspektif;
2)
memaparkan, menafsirkan, dan menjelaskan fungsi wacana tradisi lisan vera yang ditelaah berdasarkan fungsi manifes atau fungsi tekstual dan fungsi laten atau fungsi kontekstual;
3)
memaparkan, menafsirkan, dan menjelaskan makna wacana tradisi lisan vera dengan sasaran kajian meliputi makna religius, sosiologis, ekonomis, historis, politis, estetis, dan didaktis;
13
4)
memaparkan dan menjelaskan mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan vera dengan sasaran kajian mencakup dua bentuk mekanisme pewarisan: pewarisan alamiah dan non-alamiah.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini tidak saja bermanfaat secara teoretis (kontribusi ontologis dan epistemologis), tetapi juga bermanfaat secara praktis (kontribusi aksiologis). Selain itu,penelitian ini juga bermanfaat untuk menunjang program pembangunan masyarakat berbasis budaya lokal, terutama budaya lokal etnik Rongga sebagai etnik minoritas.
1.4.1 Manfaat Teoretis Beberapa manfaat teoretis yang dapat dicapai dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. 1)
Sebagai tambahan acuan pustaka, hasil penelitian yang memuat gambaran objektif tentang struktur teks, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan vera sebagai lambang identitas internal (pemarkah kedirian) dan lambang identitas eksternal (fitur pembeda) etnik Rongga, dapat diperbandingkan dan diterjemahkan dalam konteks penelitian sejenis pada latar setipologi dengan kebudayaan etnik Rongga atau pada latar lain yang tidak setipologi dengan kebudayaan etnik Rongga dilakukan modifikasi dalam tataran tertentu agar sesuai dengan latar baru yang diteliti.
14
2)
Sebagai tambahan acuan pustaka yang memperkuat posisi wacana sastra sebagai salah satu perspektif teoretis dan orientasi metodologis dalam analisis wacana yang menelaah hubungan wacana dan sastra.
3)
Sebagai tambahan khasanah hasil penelitian yang menggunakan teori folklor dan teori tradisi lisan dalam memerikan etnografi budaya yang bersifat lokal-ideografis, yakni perian etnografi, budaya lokal budaya Rongga yang dibuat berdasarkan sudut pandang etnik Rongga.
1.4.2 Manfaat Praktis Beberapa manfaat praktis yang dapat dicapai dari hasil penelitian ini, adalah: 1)
sebagai salah satu sumber rujukan bagi Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur dalam menyusun materi Mata Pelajaran Muatan Lokal (MULOK) dan pendidikan karakter bangsa Indonesia berbasis kearifan budaya lokal etnik Rongga untuk diajarkan pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah (SM) yang ada di wilayah sebaran etnik Rongga20;
2)
sebagai salah satu sumber rujukan bagi Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur dalam upaya merancang program pembangunan masyarakat berbasis budaya atau kebudayaan lokal, khususnya budaya atau kebudayaan lokal etnik Rongga.
20
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu di kampung Paundoa, Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba pada tanggal 29 oktober 2012, sampai sekarang belum ada upaya dari pihak Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur untuk menyusun materi Muatan Lokal dalam bahasa Rongga. Penggunaan bahasa Manggarai Tengah, selain bahasa Indonesia, masih mendominasi wacana interaksional kelas dalam proses pembelajaran di Sekolah Dasar di wilayah sebaran etnik Rongga.
15
3)
sebagai salah satu upaya penyelamatan dan pemeliharaan wacana tradisi lisan vera sebagai lambang identitas internal atau pemarkah kedirian dan lambang identitas eksternal atau fitur pembeda etnik Rongga, dari ancaman kepunahan sebagai dampak modernisasi dan globalisasi21;
4)
sebagai salah satu sumber rujukan bagi peneliti lain yang ingin merancang model pewarisan wacana tradisi lisan vera yang bersifat sinergis dengan memadukan nilai lama dan nilai baru dalam satu kesatuan, agar berterima untuk seluruh lapisan dan komponen masyarakat etnik Rongga, baik kelompok generasi tua maupun kelompok generasi muda.
21
Dikatakan terancam punah karena kekhasan struktur teks, fungsi, dan makna wacana tradisi lisan vera hanya dipahami kelompok generasi tua etnik Rongga. Fakta awal yang dipaparkan Arka (2007) merupakan bukti empiris yang menggambarkan adanya fenomena perubahan yang mengarah pada kepunahan tradisi ritual vera.
16
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DASAR, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Dalam penelitian ini, hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu dikaji berkaitan dengan bahasa dan kebudayaan etnik Rongga. Tujuan kajian hasil penelitian itu untuk mengetahui temuan-temuan yang telah dicapai dan sekaligus memberikan peluang untuk mengkaji wacana tradisi lisan vera dengan pendekatan beberapa teori. Hasil penelitian tersebut juga dimanfaatkan sebagai sumber rujukan dalam mengkaji wacana tradisi lisan vera. Penelitian terdahulu yang dihasilkan itu dipetakan menjadi dua kelompok, yakni pustaka yang mengkaji tentang bahasa Rongga dan pustaka yang mengkaji bidang budaya. Beberapa pustaka yang mengkaji bidang bahasa Rongga, antara lain. seperti. Porat (1997) dalam penelitiannya yang berjudul “Struktur Bahasa Ngada Dialek Rongga” mengkaji tentang aspek sintaksis dengan menggunakan teori strukural.
Temuan yang
sangat rinci dipaparkan
mengenai
struktur frasa,
struktur klausa, dan struktur kalimat bahasa Ngadha dialek Rongga. Selain itu, dipaparkan pula kategori kata yang meliputi: (1) kategori leksikal yang terdiri atas verba, adjektiva, nomina, pronomina, numeralia, dan adverbia; (2) kelas kata tugas yang terdiri atas konjungsi, preposisi, partikel, dan interjeksi. Hasil penelitian itu mengilhami peneliti dalam menelaah karakteristik struktur teks wacana tradisi lisan vera, terutama dalam tataran struktur mikro sebagai wadah makna yang menyingkap pikiran dan gambaran pandangan dunia etnik Rongga.
16
17
Penelitian Arka, Kosmas, dan Suparsa (2007) yang berjudul “Tata Bahasa Rongga” memaparkan hasil temuan yang komprehensif mengenai aspek fonologi, morfologi, dan sintaksis bahasa Rongga. Penelitian ini memberikan sumbangan sangat berarti dalam menelaah karakteristik struktur mikro teks wacana tradisi lisan vera. Beberapa informasi menyangkut konteks ekologis, historis, dan sosiokultural yang dikaji dalam penelitian itu juga digunakan sebagai dasar rujukan dalam menelaah konteks situasi ritual vera sebagai latar nirkata yang melatari kehadiran dan kebermaknaan peran bahasa yang digunakan dalam teks wacana tradisi lisan vera etnik Rongga yang mencirikan keberadaannya sebagai sebuah wacana budaya bergaya sastra. Penelitian yang berjudul “Semantic Typologi: Semantics of Locative Relations in Rongga” yang dilakukan oleh Arya Wibawa (2008) mengkaji tentang tipologi semantik relasi lokatif bahasa Rongga yang memiliki implikasi terhadap universalisme hubungan lokatif. Dipaparkan bahwa hubungan fungsional antara objek sangatlah penting dalam bahasa Rongga, dan hubungan tersebut digunakan untuk memisahkan hubungan fungsional dan hubungan lokatif. Penelitian tersebut sangat bermanfaat sebagai bahan kaji banding dalam menganalisis data kebahasaan dalam tataran struktur mikro penelitian ini. Kajian mikro yang dilakukan itu berkenaan dengan penggunaan adverbia pemarkah lokatif sebagai bagian dari fitur kebahasaan yang mencirikan karakteristik struktur teks wacana tradisi lisan vera. Kosmas (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Klausa Bahasa Rongga: Sebuah Analisis Leksikal-Fungsional” menelaah tentang aspek tipologi
18
bahasa dan bahasa Rongga. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bahasa Rongga tergolong bahasa akusatif. Bahasa Rongga sebagai bahasa akusatif mempunyai alternasi struktur klausa, yaitu aktif dan pasif. Struktur pasif dalam bahasa Rongga adalah pasif yang bersifat sintaktis karena bahasa Rongga tergolong bahasa isolatif yang tidak mempunyai pemarkah morfologi, terutama afiks. Di samping itu, penelitian Kosmas membahas pula aspek fungsi gramatrikal. Bahasa Rongga mempunyai fungsi gramatikal inti yaitu subjek, objek dan objek dan fungsi gramatikal di luar inti, yaitu OBL, KOMP, dan ADJUNG.. Beberapa pokok pikiranmya berkenaan dengan fitur sintaksis bahasa Rongga menjadi acuan perbandingan dalam mengkaji bentuk tekstual satuan kebahasaan yang membentuk dan mencirikan karakteristik struktur teks wacana tradisi lisan vera. Suparsa (2008) dalam
penelitiannya yang berjudul “Fonologi Bahasa
Rongga, Sebuah Kajian Transformasi Generatif’ mengkaji fonologi bahasa Rongga dengan menggunakan teori Transformasi Generatif. kajian yang sangat lengkap telah dipaparkan mengenai segmen-segmen vokal dan segmen konsonan. Dijelaskan bahwa bahasa Rongga tidak mengenal rangkaian segmen konsonan pada fonologi pangkal, karena bahasa Rongga merupakan bahasa vokalik, dan dijelaskan pula bahwa bahasa Rongga menggunakan huruf latin karena bahasa Rongga tidak mempunyai sistem tulisan. Hasil penelitian itu menjadi salah satu sumber rujukan dalam menelaah aspek fonologis atau aspek bunyi sebagai satuan kebahasaan terkecil yang mencirikan karakteristik struktur teks dan yang menentukan kebermaknaan bahasa yang digunakan dalam teks wacana tradisi lisan vera.
19
Penelitian dengan judul “Pemakaian Skema Citra Kinestetik sebagai Sumber Peregangan Metafora Nominal dalam Guyub Tutur Rongga di Kabupaten Manggarai Timur” yang dilkukan oleh Tarno dkk. (2009) menunjukkan bahwa dari perspektif antropologi atau linguistik kebudayaan penutur menggunakan anggota tubuh manusia dan hewan sebagai sumber peregangan atau perluasan bentuk metafora nominal dalam bahasa Rongga. Beberapa pokok pikiran dalam kerangka teori yang digunakan dalam penelitian tersebut menjadi sumber rujukan dalam mengkaji relasi bahasa dan kebudayaan Rongga yang terdapat dalam teks wacana tradisi lisan vera terutama dalam kaitan dengan penggunaan gaya bahasa sebagai salah satu fitur kebahasaan yang mencirikan struktur wacana tradisi lisan vera. Beberapa pustaka yang mengkaji masalah budaya Rongga, antara lain sebagai berikut: Nggoi Paulus (1993) dalam penelitiannya yang berjudul “Pandangan Hidup Orang Rongga Menjadi Locus Evangelisasi Gereja” memaparkan pandangan hidup etnik Rongga berdasarkan ungkapan-ungkapan tradisional bahasa Rongga. Selain itu memaparkan hubungan antara wahyu purba dan wahyu Kristiani dalam rangka inkulturasi. Fokus penelitian itu berkaitan dengan evangelisasi gereja Katolik yang dipotret melalui pandangan hidup orang Rongga. Beberapa ungkapan tradisional yang dipilih sebagai potret data penafsirannya menjadi bahan kaji banding dalam menganalisis struktur teks, fungsi, dan makna wacana tradisi lisan vera. Penelitian Sumitri (2005) berjudul “Ritual Dhasa Jawa pada Masyarakat Petani di Rongga, Manggarai, NTT”, dengan menerapkan teori semiotik, teori
20
fungsi dan perubahan kebudayaan, memaparkan secara komprehensif mengenai struktur ritual dhasa jawa yang terdiri atas beberapa komponen, yaitu struktur upacara, pelibat upacara, tempat dan waktu pelaksanaan upacara, sarana upacara dan bahasa yang digunakan. Diuraikannya pula bahwa ritual dhasa jawa merupakan ritual tahunan yang bertujuan untuk menyatukan manusia dengan penguasa adikodrati khususnya penghuni gaib. Ritual dhasa jawa mempunyai makna dan fungsi yang sangat dalam pada masayarakat Rongga dan sebagai pedoman etikan moral untuk bersikap dan berperilaku dalam kehidupan seharihari. Selain sebagai wahana rekonsiliasi dengan Tuhan, roh alam, dan roh leluhur, ritual dhasa jawa juga merupakan ajang rekonsiliasi antarsesama khususnya keluarga dan warga yang masih dalam satu klen, manusia dengan alam. Penelitian tersebut digunakan sebagai rujukan terutama yang berkaitan dengan aspek kebudayaan. Arka (2010) dengan penelitiannya berjudul “Maintaining Vera in Rongga and Struggle Over Culture, Tradition and Language in Modern ManggaraiIndonesia” membahas tentang definisi, jenis, keberadaan vera, dan tantangannya dalam konteks modern. Dipaparkannya bahwa vera dalam konteks modern dinyatakan telah kehilangan daya tarik dari generasi muda sehingga menjadi ritual yang terancam punah. Lebih jauh dijelaskannya bahwa perlu adanya dokumentasi bahasa dan budaya dalam konteks modern, serta kompleksitas tantangan dan prospeknya dalam mempertahankan vera dalam pemeliharaan bahasa dan revitalisai yang lebih luas. Penelitian itu menjadi pijakan dasar bagi peneliti dalam melakukan kajian terhadap wacana tradisi lisan vera guna
21
menampilkan hasil penelitian yang lebih komprehensif tentang karakteristik struktur teks, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisannya. Penelitian Robertus Se dkk. (2011) berjudul “Karakteristik Sistem Ekonomi dalam Realitas Sosial Guyub Budaya Rongga” mengkaji tiga aspek yang berkaitan dengan sistem ekonomi, yakni sistem pertanian, sistem peternakan, dan sistem perdagangan, yang hidup dan berkembang dalam realitas sosial guyub budaya Rongga pada masa silam. Beberapa gagasan yang diulas berkenaan dengan ritual pertanian dan sistem pengetahuan tentang taksonomi klasifikasi musim digunakan sebagai anjungan berpikir dalam mengkaji wacana tradisi lisan vera karena berkaitan dengan konteks ritual pertanian. Terdapat pula beberapa pustaka lain yang tidak berkaitan dengan masalah bahasa dan kebudayaan Rongga yang digunakan peneliti sebagai sumber rujukan dalam melakukan penelitian ini. Penelitian-penelitian yang dimaksud antara lain seperti berikut. Yapi Taum (1999) dalam penelitiannya berjudul “Kajian Paralelisme dalam Tradisi Masyarakat Flores Timur (dalam Sastra Lisan)” mengulas tentang fenomena paralelisme dalam sastra lisan masyarakat Flores Timur diciptakan tidak hanya untuk memberikan efek estetis, tetapi juga mengemban fungsi sebagai media pewarisan sistem nilai dalam masyarakat yang berlangsung secara turuntemurun. Sastra lisan tidak hanya diciptakan, tetapi juga terbentuk dari kebudayaan lisan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ditemukan beberapa fakta sebagai berikut: (a) sastra lisan Flores Timur masih hidup dan memiliki dinamika tersendiri, namun sudah mulai ada gejala ketergusuran; (b)
22
ungkapan pasangan paralelisme sastra dalam tradisi masyarakat Flores Timur merupakan bahasa ritual yang dalam dirinya mengandung hubungan internal dalam kesatuan semantis; dan (c) pengulangan semantis tidak seluruhnya menunjukkan mentalitas “suka mengulang”, tetapi pengulangan itu memiliki kaitan dengan lesensia poetika yang di dalamnya terkandung gambaran tentang sistem nilai masyarakat. Beberapa temuan yang dikemukan di atas mengilhami peneliti untuk melakukan penelitian tentang wacana tradisi lisan vera dalam kaitan dengan keberadaannya sebagai wacana budaya bergaya sastra. Penelitian Fox (1986) yang berjudul “Kajian Sastra dan Sejarah (kumpulan karangan) tentang masyarakat Pulau Rote”
memaparkan tentang sastra dan
sejarah masyarakat Rote, dengan menggunakan teori paralelisme semantik yang dikembangkan oleh Roman Jakobson. Beberapa gagasan menarik yang dikaji dan disajikan dalam penelitian itu, digunakan sebagai acuan pembanding dalam mengkaji wacana tradisi lisan vera adalah sebagai berikut: (a) bahasa ritual Roti adalah bentuk puisi lisan dan bercirikan penyepasangan wajib pada semua unsur semantik dengan penataan bahasa yang bersifat formal mengikuti aturan-aturan dan paralelistik; (b) penggunaan unsur-unsur semantik yang terdiri atas perangkat diad yang sudah baku dan bersifat tetap menghasilkan suatu komposisi berupa lirik-lirik puisi paralel; dan (c) kemungkinan pengembangan stilistik dalam teks wacana tersebut cukup banyak walaupun ditampilkan dengan struktur yang tampak sederhana dalam tataran permukaan. Marsel Robot dkk. (1996) dengan penelitian berjudul “Tola Kaba Sastra Lisan Manggarai dengan Lokasi di Manggarai Timur”
menelaah hubungan
23
bahasa dan kebudayaan Manggarai berdasarkan fenomena kebahasaan yang digunakan dalam upacara tola kaba atau tudak kaba dilihat dari dimensi kesastraan. Lingkup kajiannya menyangkut bentuk tekstual dan kontekstual wacana budaya tola kaba dalam ritus kelas mese, seser tompok, dan randang uma. Terdapat gagasan menyangkut bentuk tekstual dan kontekstual tola kaba yang dapat diterjemahkan dan diperbandingkan dalam menelaah wacana tradisi lisan vera sebagai masalah pokok yang menjadi fokus utama penelitian ini. Badrun (2002) dalam penelitiannya berjudul “Patu Mbojo: Struktur, Konteks Pertunjukan, Proses Penciptaan dan Fungsi” menggunakan teori yang bersifat eklektik dengan lebih berorientasi pada teori Lord yang menyangkut formula dan tema sebagai acuannya. Salah satu gagasan menarik yang diungkapkannya, yakni teori Lord tentang formula dan tema tidak berlaku sepenuhnya pada patu karena patu adalah sejenis sastra lisan yang cukup fleksibel sehingga dapat disajikan pada peristiwa apa saja. Gagasan tersebut digunakan sebagai panduan dalam melakukan analisis karakteristik struktur mikro wacana tradisis lisan vera. Penelitian Tuloli (1991) yang
berjudul “Tanggomo Sastra Lisan di
Gorontalo” berfokus pada kajian mengenai struktur, variasi, nilai, dan fungsi Tanggomo. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan formula dan sosiologi sastra, yakni analisis teks sastra tanpa mengabaikan konteksnya karena munculnya sebuah karya sastra memiliki hubungan dengan masayarakat dan budaya sebagai faktor eksternal. Beberapa gagasan tentang pendekatan formula dan sosiologi sastra dalam penelitiannya dipakai sebagai panduan teoretis dalam mengkaji dimensi kesastraaan wacana tradisi lisan vera.
24
Hutomo
(1987)
dalam
penelitiannya
berjudul
“Cerita
Kentrung
Sarahwulan di Tuban” mengungungkapkan kegunaan dan fungsi cerita rakyat Kentrung. menjelaskan bahwa kegunaan ceritra rakyat itu dihubungkan dengan pendidikan, yaitu pesan nilai budaya yang terdapat pada cerita itu yang ditujukan kepada pendengar. Penelitian itu menggunakan teori folklor humanistis atau folklor berlatar belakang sastra serta didukung konsep dan peralatan foklor. Teori dan konsep tersebut digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini karena wacana tradisi lisan vera, meskipun bukan berbentuk cerita rakyat, mengemban fungsi didaktis sebagai sarana pendidikan dan pengajaran bagi etnik tentang bagaimana semestinya berperilaku sesuai dengan kaidah leluhur.
2.2 Konsep Dalam melakukan penelitian ini perlu dijelaskan terlebih dahulu sejumlah konsep dalam rangka membantu pemahaman. Uraian konsep-konsep tersebut diuraikan berikut ini. 2.2.1 Tradisi Lisan dan Sastra Lisan 2.2.1.1 Tradisi Lisan Tradisi lisan adalah segala wacana yang diucapkan, meliputi yang lisan dan yang beraksara atau sebagai sistem wacana yang bukan aksara (Pudentia, 1998 :vii) . Sejalan dengan itu, Ong (1988:3) menyatakan “kelisanan suatu budaya yang sepenuhnya tak tersentuh pengetahuan apa pun mengenai tulisan atau cetakan sebagai kelisanan primer” Dalam pandangan Vansina (1985:27--28), tradisi lisan merupakan pesan verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa
25
silam kepada generasi masa kini, yang kemungkinan dituturkan atau dinyanyikan dengan atau tanpa diiringi musik. Berdasarkan makna leksikalnya, tradisi lisan dapat diartikan sebagai sebagian kebudayaan suatu kolektif macam apa saja, secara tradisional tampil dalam versi berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak
isyarat
atau
alat
pembantu
pengingat
(mnemonic
device)
(Danandjaja,1986:2). Bertolak dari batasan pengertian itu, beberapa ciri utama tradisi lisan adalah sebagai berikut: (1) penyebaran dan pewarisan secara lisan; (2) bersifat tradisional; (3) ada dalam versi-versi dan varian berbeda; (4) bersifat anonim; (5) mempunyai bentuk berumus atau berpola; (6) mempunyai kegunaan (fungsi) dalam kehidupan bersama kolektifnya; (7) bersifat pralogis, artinya mempunyai logikanya sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum; (8) menjadi milik bersama suatu masyarakat; dan (9) bersifat polos dan lugu (Danandjaja, 1986:3--4). Berdasarkan pengertian dan ciri-ciri yang dikemukakan di atas, pertunjukan vera pada etnik Rongga dapat diartikan sebagai sebuah tradisi lisan yang merupakan paduan antara tarian dan nyanyian. 2.2.1.2 Sastra Lisan Sastra lisan sebagai bagian dari tradisi lisan merupakan salah satu gejala kebudayaan yang terdapat pada masyarakat terpelajar dan belum terpelajar. Tiaptiap ragam itu mempunyai banyak variasi dengan esensi dan orientasi isinya berkenaan dengan berbagai peristiwa yang terjadi atau kebudayaan masyarakat pemilik sastra lisan tersebut Finnegan (1979:3). Sastra lisan adalah jenis
26
kesusastraan yang mengungkap ekspresi kesusastraan dalam suatu kebudayaan yang disebarkan secara lisan, baik dalam bentuk suatu pertunjukan seni maupun di luarnya Hutomo (1991:1-3). Dalam konteks tertentu, istilah sastra lisan disebut sastra rakyat (folk literature) yang biasanya tampil dalam bentuk ungkapan tradisional, puisi, prosa, dan nyanyian. Dalam penelitian ini tradisi lisan vera dipahami sebagai sastra lisan dalam pertunjukan tarian dan nyanyian.
2.2.2 Ritual Ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan adanya sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat dengan yang luhur karena dalam ritual manusia diajak dan diarak masuk ke dalam suatu situasi pengalaman yang suci (Hadi,1999/2000:29-30). Dalam pengertian luas, menurut Eliade (dalam Dhavamony, 1997:183), ritual adalah bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan kepercayaan atau agama yang ditandai dengan adanya sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat dengan yang luhur karena, dalam ritual, manusia diarak masuk ke dalam situasi pengalaman yang suci. Lebih jauh dijelaskan bahwa ritual dapat menimbulkan dan mengakibatkan perubahan ontologis pada manusia dan mentransformasikannya pada situasi keberadaan baru karena, selain mengingatkan peristiwa-peristiwa primordial, ritual bertujuan memelihara dan menyalurkan dasar masyarakat. Ritual yang hidup dan berkembang dalam suatu masyarakat merupakan cerminan konsep dan kondisi kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, karena
27
pada dasarnya, ritual merupakan tindakan ragawi yang berkaitan dengan simbolsimbol. Ritual memperlihatkan tatanan simbol-simbol yang diobjekkan guna mengungkap perilaku dan perasaan, di samping membentuk disposisi pribadi para pemuja sesuai dengan modelnya masing-masing. Pengobjekan simbol-simbol dalam ritual merupakan suatu hal penting demi keberlanjutan rasa kebersamaan mereka sebagai anggota kelompok keagamaan (Langer dalam Dhavamony, 1997:174). Terkait dengan pelaksanaan, menurut Dhavamony (1997:172), ritual dapat
dibedakan atas: (1) tindakan magi yang berkaitan dengan penggunaan
bahan-bahan yang memiliki daya mistis; (2) tindakan religius yang berkenaan dengan kultus kepada leluhur; (3) ritual konstitutif yang mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian mistis sehingga kehidupan menjadi khas; dan (4) ritual faktitif
yang bertujuan meningkatkan produktivitas, kekuatan,
pemurnian, dan perlindungan, di samping meningkatkan kesejahteraan jasmaniah atau kesejahteraan material.
2.2.3 Vera Vera adalah bagian dari ritual yang berupa pertunjukan tarian tradisional etnik Rongga yang disertai dengan nyanyian yang berkaitan dengan ritual pertanian dan kehidupan manusia. Vera dibawakan oleh penari dewasa, baik lakilaki maupun perempuan, dalam bentuk dua baris dengan seorang pemimpin tarian yang disebut noa lako. Semua penari menari dan menyanyi dalam bentuk dua baris saling berpegangan tangan serta mengikuti rambu-rambu sebagai aturan yang berlaku dalam pertunjukan vera. Pertunjukan vera dimulai pada tengah malam dan berakhir pagi hari menjelang matahari terbit (lihat Arka, 2010:93).
28
Sesuai dengan gagasan yang dipaparkan di atas, dalam pengertian sempit, vera dapat diartikan sebagai pertunjukan, sedangkan dalam pengertian luas vera adalah wacana tradisi lisan dalam konteks ritual vera.
2.2.4 Wacana, Teks, dan Konteks 2.2.4.1 Wacana Wacana sebagai suatu bentuk praktik sosial, yang pada kenyataannya dapat berupa ujaran, respon, atau aksi dari masyarakat terhadap lingkungan sosialnya (Fairclough 1997:63). Menurut Osch (1988:8), wacana merupakan seperangkat makna yang menghubungkan struktur bahasa dengan konteks yang melatarinya, yang dirajut oleh penutur dan pendengar dalam proses memproduksi dan menafsirkan makna. Van Dijk (1985) menyatakan bahwa struktur suatu wacana dapat dipilah atas tiga tataran, yakni (1) struktur makro, (1) superstruktur, dan (3) struktur mikro. Struktur makro berkenaan dengan makna global atau makna umum suatu teks. Superstruktur berkenaan dengan kerangka dasar suatu teks dalam tautan dengan sususan atau rangkaian struktur atau elemen suatu teks dalam membentuk satu kesatuan bentuk yang koheren. Struktur mikro bergayut dengan unsur-unsur intrinsik suatu teks yang mencakup unsur semantik, unsur sintaksis, unsur stilistik, dan unsur retoris. Berkaitan dengan jenis wacana, Kridalaksna (1993:231) mengatakan bahwa
wacana
penuturan
‘narrative
disccourse’ adalah
wacana
yang
mementingkan uraian waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu, berorientasi pada pelaku, dan seluruh bagiannya yang diikat oleh kronologi.
29
Gerard Genette (1980:35--85) menyatakan ada lima komponen utama dalam wacana penuturan atau naratif, yaitu (1) Susunan cerita (order) yang merupakan dasar analisis, yaitu perihal rangkaian yang dinarasikan oleh penutur melalui tokoh-tokohnya yang dikaitkan dengan waktu naratif. Waktu naratif yang dimaksudkan meliputi anakroni atau rangkaian peristiwa; (2) Durasi (duration) yang merupakan dasar dasar analsis novel atau genre yang lain dalam hal waktu cerita berlangsung dan panjang cerita serta elipsis (potongan sebagian cerita) yang dinarasikan oleh pengarangnya; (3) Frekuensi (frequency), yakni dasar analisis tingkat pengulangan peristiwa dalam narasi; (4) Suasana hati (mood), yakni dasar analisis visi narator tentang peristiwa atau kejadian dalam cerita, makna cerita, persepsi, inti cerita, dan suasana cerita. Dalam suasana hati terdapat: (a) suasana hati naratif atau tuturan), yaitu cara menyampaikan cerita kepada pembaca; (b) jarak, yaitu jarak antara pencerita atau penutur dengan pembaca atau pendengar; (c) narasi peristiwa, yaitu transisi suatu peritiwa ke tulisan atau ke lisan di dalam narasi; (d) kata-kata naratif, yaitu beberapa cara pengarang atau penutur menyampaikan kata-kata melalui tokoh-tokoh dan narator; (e) perspektif, yaitu sudut pandang narator sebagai narator dalam tuturan; (f) fokus cerita atau tuturan, yaitu sudut pandang penutur, (g) modalitas ganda, yaitu narator berbicara sebagai tokoh pertama ; (5) Suara (voice),
yakni dasar analisis perihal penceritaan,
tingkat naratif, metalipsis dan person (pencerita sebagai orang pertama atau orang ketiga) yang berfungsi sebagai narator dalam narasi. Merujuk pada pandangan di atas, tradisi lisan vera adalah wacana penuturan dengan menggunakan bahasa Rongga. Vera sebagai sastra lisan
30
diaktualisasikan sebagai peristiwa. Dengan kedudukan seperti itu, tradisi lisan vera dapat bermakna dan berfungsi bagi masyarakat pendukungnya. 2.2.4.2 Teks Secara fungsional, teks berarti bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam suatu konteks situasi (Halliday dan Hasan, 1994:13--14)). Teks merupakan produk atau keluaran yang berupa sesuatu yang sudah direkam dan dipelajari karena mempunyai susunan tertentu yang dapat diungkapkan dengan istilah yang sistemik. Teks adalah sebuah wadah makna yang terajut dalam satu kesatuan dengan tata bunyi, tata kata, tata frasa, tata kalimat, dan wacana secara keseluruhan (Djawanai, 1995:64). Sebagai wadah makna yang memaparkan dunia ide, dalam setiap teks terdapat seperangkat hubungan internal yang mengatur koherensinya, hubungan asosiatif yang menghubungkannya dengan teks-teks lain dalam sebuah korpus budaya, acuan yang menunjuk pada satuan-satuan tertentu, dan kondisi di luar teks itu sendiri. Koherensi internal, pola asosiatif, dan tata acuannya membentuk struktur komunikatif teks dan interaksi yang rumit antara hubungan teks yang satu dan hubungan teks yang lain itu berdasarkan asumsi budaya para penuturnya (Fox, 1986:44). Berdasarkan uraian di atas maka konsep teks dalam penelitian ini mengacu pada teks wacana tradisi lisan vera. Tradisi lisan vera merupakan salah satu produk penggunaan bahasa Rongga yang mencerminkan seperangkat norma dan nilai sosial budaya yang dianut oleg etnik Rongga dalam menghadapi realitas kehidupan setiap hari.
31
2.2.4.3 Konteks Konteks adalah keseluruhan lingkungan tempat teks terbentang dan dapat ditafsirkan (Halliday dan Hasan, 1994:6). Konteks memainkan peranan penting dalam pengkajian makna sebuah teks wacana. Zoest (1992:94) mengidentifikasi konteks atas konteks verbal dan konteks nonverbal, di samping konteks linguistik dan konteks nonlinguistik. Konteks linguistik sudah mencukupi dan mencakupi untuk mencapai interpretasi yang baik terhadap sebuah kata dalam sebuah teks. Konteks dapat dipilah atas konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi adalah lingkungan langsung tempat sebuah teks berfungsi dengan unsur pembentuknya mencakupi pembicara dan pendengar, pesan, latar atau situasi, saluran, dan kode. Konteks budaya merujuk pada kumpulan pengetahuan, sikap dan perilaku bahasa milik bersama suatu kelompok masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang sistematis dari prinsip-prinsip budaya, pola komunikasi antaranggota masyarakat, wujud sikap dan pola perilaku lain secara bersama-sama beterima dan berlaku dalam realitas kehidupan suatu guyub budaya tertentu (Hesslgrave dan Edward, 1996:200). Bertalian dengan fungsinya dalam konteks, menurut Osch (1988:8), wacana merupakan seperangkat makna yang menghubungkan struktur bahasa dengan konteks yang melatarinya yang dirajut oleh penutur dan pendengar dalam proses memproduksi dan menafsirkan makna. Konteks yang melatari tradisi lisan vera adalah kebudayaan etnik Rongga.
32
2.2.5 Pewarisan Pewarisan adalah proses pemindahan hak dari seseorang kepada orang lain. Dalam pengertian secara umum pewarisan adalah pemindahan hak dari orang tua kepada anaknya atau keluarganya (Jendra, 2002:19). Suatu pemindahan hak yang konsisten dikatakan sebagai sistem pewarisan. Di pihak lain Agussalim (2006:155) mengatakan bahwa pewarisan merupakan suatu proses untuk memberikan pengetahuan yang berupa ilmu, keterampilan, sikap dan perilaku, serta harta pusaka dari pemilik kepada penerima waris. Lebih jauh dijelaskan oleh Agussalim bahwa untuk mencapai tujuan pewarisan tradisi yang diharapkan, masyarakat tradisi dapat menggunakan pendekatan manajemen organisasi seni pertunjukan, misalnya, baik pewarisan yang dilakukan di lingkungan keluarga, di lemabaga-lembaga pelatihan milik masyarakat, ataupun pemerintah.
2.3 Landasan Teori Penelitian ini pada dasarnya mengkaji hubungan secara fungsional antara bahasa dan kebudayaan etnik Rongga berdasarkan satuan kebahasaan yang digunakan dalam wacana vera sebagai tradisi lisan. Terkait dengan karakter fokus masalah yang ditelaah, penelitian ini menggunakan beberapa
teori sebagai
pedoman, yaitu teori formula, teori fungsi, teori semiotik, dan teori perubahan kebudayaan. Analisis karakteristik struktur wacana tradisi lisan vera dikaji dari beberapa unsur yang membentuknya. Tolok ukur permasalahan dikaji dengan menggunakan teori formula Lord. Untuk mengetahui kegunaan wacana tradisi lisan vera dalam konteks kehidupan etnik Rongga penelitian ini meggunakan teori fungsi yang dikemukakan oleh Jakobson sebagai panduan dalam mengkaji fungsi
33
tekstual atau fungsi manifes serta teori Bascom dan Alan Dundes sebagai panduan dalam mengkaji fungsi kontekstual atau fungsi laten. Analisis makna tanda dalam wacana tradisi lisan vera, menggunakan teori semiotik yang dikembangkan Eco. Terakhir, analisis mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan vera berpedoman pada teori perubahan kebudayaan yang dikemukakan Geertz dan Bourdieu. Keempat teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini.
2.3.1 Teori Formula Karakteristik teks wacana vera memiliki relevansi dengan pendekatan atau teori formula yang dikembangkan oleh Lord. Pendekatan ini bertumpu pada cerita lisan yang didasarkan pada formula dengan bertolak pada suatu asumsi bahwa setiap pencerita lisan telah menguasai bentuk-bentuk formula yang siap untuk dioperasionalkan dalam proses penciptaan cerita lisan dimaksud. Menurut Sweeny (1987:33-34), pencerita tidak menghafalkan model komposisi tertentu, tetapi pencerita berangkat dari formula cerita yang telah dimilikinya. Teknik formula itu dikembangkan untuk melayani dirinya sendiri sebagai seorang ahli seni atau seniman (Lord, 2000:54; Finnegan, 1979:63). Pencerita mencoba mengingat frasafrasa yang telah berkali-kali digunakannya dengan memberdayakan ingatan (remembering), seperti halnya penggunaan ungkapan-ungkapan yang dilakukan tanpa disadari, sehingga muncul sebagai ucapan biasa yang bukan berdasarkan hafalan (memorization). Dalam pandangan Lord (2000:30), yang dimaksud dengan formula adalah kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan suatu ide hakiki. Formula muncul berulang-ulang dalam
34
tuturan yang terdiri atas frasa dan klausa atau larik (baris). Menurut Sudikan (1993:80), untuk menghasilkan frasa, ada dua cara yang ditempuh oleh pencerita atau penutur ialah mengingat frasa-frasa itu dan menciptakannya melalui analogi dengan frasa-frasa lain yang telah ada. Pola-pola formula tercipta menjadi susunan yang formulaik dan ekspresi formulaik yang berupa larik atau separuh larik disusun atas dasar formula. Dengan formula sebagai dasar, pencerita atau penutur dapat menyusun baris-baris dengan rapi dan tepat pada posisi tertentu. Dalam penyusunan baris dengan pola formula, terjadi proses pergantian, kombinasi, pembentukan model, dan penambahan kata atau ungkapan baru pada formula yang ada sesuai dengan kebutuhan pada pencerita atau penutur. Pencerita, menurut Lord (2000:47), dapat
membuat baris-baris secara
terus-menerus sesuai dengan keinginan dan kreativitasnya karena tidak ada sesuatu pun dalam puisi yang bukan formulaik. Berdasarkan hasil penelitiannya, Tuloli (1991:339) menemukan bahwa formula adalah unsur linguistik, berupa afiks, kata, frasa, klausa, baris, dan struktur, yang dipakai dalam pola sintaksis, ritme, dan posisi tertentu. Pola formula merupakan pola baris yang mengikuti sistem sintaksis dan ritme tertentu untuk menciptakan baris-baris formulaik yang salah satu unsur atau semua unsurnya sama. Tema adalah peristiwa atau adegan yang diulang dan bagian-bagian deskriptif dalam suatu cerita. Tema merupakan kelompok ide yang secara teratur digunakan pada penciptaan suatu cerita dalam gaya formulaik. Tema tersusun dari adegan-adegan yang telah ada dalam pikiran pencerita dan digunakan untuk merakit cerita itu. Tema dapat berkembang, artinya tema bukan hasil kreasi seni
35
yang benar-benar statis, melainkan hasil kreasi seni yang hidup dan berubah sesuai dengan situasi (Lord, 2000:86). Penciptaan
baris-baris
berurutan
dengan
menggunakan
formula
menimbulkan aspek kepuitisan yang meliputi gaya bahasa, kata, frasa, kalimat, dan bunyi. Penguasaan formula dan tema merupakan syarat utama dalam mengungkap tuturan dengan mudah dan lancar. Dalam hubungan ini, menurut Ikram (1980:76), sastra merupakan sumber yang tidak ternilai bagi pemahaman aspek kebudayaan suatu masyarakat. Pemahaman aspek kebudayaan suatu masyarakat dapat dilakukan dengan menelaah sastra yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang bersangkutan.
2.3.2 Teori Fungsi Prinsip-prinsip fungsional yang digunakan sebagai acuan dalam mengkaji fungsi wacana tradisi lisan vera adalah teori fungsi sosial folklor yang dikembangkan oleh Bascom dan Dundes. Menurut Bascom (1965b:279--298), suatu tradisi lisan atau folklor diminati oleh para pemiliknya karena dianggap berguna untuk menunjang keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan kehidupan mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Beberapa fungsi folklor dalam tautan dengan konteks sosial budaya masyarakat yang menjadi pemiliknya adalah sebagai (1) sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan pemiliknya;
(2)
alat
pengesahan
pranata-pranata
dan
lembaga-lembaga
kebudayaan; (3) alat pendidikan anak; dan (4) alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Terkait dengan hal itu, Dundes (1965:270) mengemukakan pula bahwa fungsi-fungsi folklor yang
36
bersifat umum adalah sebagai berikut (1) membantu pendidikan anak muda; (2) meningkatkan perasaan solidaritas suatu kelompok; (3) memberi sanksi sosial agar berperilaku baik atau memberi hukuman; (4) menjadi sarana kritik sosial; (5) memberikan suatu pelarian yang menyenangkan dari kenyataan, dan (6) mengubah pekerjaan yang membosankan menjadi permainan. Kedua pendapat di atas digunakan sebagai dasar dalam menganalisis fungsi wacana tradisi lisan vera karena analisisnya tidak hanya terbatas pada bahasa yang menjadi media pengungkapnya, tetapi juga menggali lebih jauh gejala-gejala budaya yang tersimpan sampai dengan gejala-gejala yang transendal dalam suatu tradisi melalui pemahaman konteksnya. Dengan kata lain, analisis fungsi wacana tradisi lisan vera ditentukan beradasarkan karakteristik struktur wacana teks vera sebagai sebuah teks sastra tanpa mengabaikan etnik Rongga sebagai pemilik, pendukung, dan penghayatnya. Alasan yang mendasarinya ialah tradisi ritual vera merupakan milik kolektif yang tumbuh dan berkembang dalam konteks budaya etnik Rongga. Karena tradisi yang diamati berada dalam konteks budaya, analisis fungsi tersebut disasarkan pada upaya meneropong realitas tradisi ritual vera dalam konteks kehidupan etnik Rongga sebagai pemilik dan penghayat vera. Hal itu dikaitkan dengan pandangan Merton (dalam Kaplan dan Manners, 1999:79) yang menyatakan bahwa fungsi perilaku budaya sebagai cerminan perilaku bahasa dapat dibedakan atas fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes adalah konsekuensi objektif yang memberikan sumbangan pada penyesuaian sistem yang dikehendaki dan disadari oleh partisipan dalam sistem
37
tersebut. Fungsi laten menunjuk pada konsekuensi objektif suatu ikhwal budaya yang tidak dikehendaki dan bahkan tidak disadari oleh warga masyarakatnya. Hal itu dikaitkan dengan pandangan Maliknowski (dalam Halliday dan Hasan, (1994:20) bahwa fungsi magis atau fungsi ritual berkaitan dengan pemakaian bahasa dalam kegiatan seremonial atau ritual keagamaan dalam suatu kebudayaan (Duranti, 1997:201). Teks wacana tradisi lisan vera merupakan sebuah teks wacana budaya bergaya sastra yang sarat dengan penggunaan fitur kebahasaan bercorak puitis dalam membentuk struktur teks, merajut fungsi, dan menganyam makna pesan yang terkandung di dalamnya. Analisis fungsi wacana tradisi lisan vera sebagai wacana bergaya sastra berpilar pada konsep fungsi puitik. Menurut Jakobson (1992:70-79), fungsi puitik berfokus pada cara isi berita dibahasakan yang tidak dapat ditelaah tanpa menyentuh masalah umum bahasa. Analisis fungsi puitik melampui batas puisi atau pengkajian linguistik terhadap puisi tidak terbatas pada fungsi puitik. Kekhasan jenis puisi yang berbeda menyiratkan kehadiran fungsi bahasa yang
berbeda,
namun
fungsi
puitik
paling
dominan.
Fungsi
puitik
memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari poros seleksi kata (paradigmatis) menuju ke poros kombinasi (sintagmatis) (Levinson, 1989:41; Leech, 2003:20; Cook, 1994:39--154).
2.3.3 Teori Semiotik Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda dengan berpilar pada suatu anggapan dasar bahwa fenomena sosial dan fenomena kebudayaan merupakan tanda-tanda. Tanda adalah sesuatu yang merepresentasikan seseorang atau sesuatu
38
yang lain dalam kapasitas atau pandangan tertentu. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa semiotik mempelajari sistem-sistem, atauran-aturan, konvensi-konsvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Pradopo, 2001:71; Danesi, 2012:8). Menurut Eco (1979:8), semiotik adalah suatu disiplin ilmu yang mengkaji semua proses budaya sebagai proses komunikasi. Terkait dengan itu, Segers (1978:4) mengatakan bahwa semiotik adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs ‘tanda-tanda’ dan berdasarkan pada sign system (sistem tanda). Hal itu selaras dengan pandangan Priminger (1985:89) yang menyatakan bahwa semiotik mempelajari sistemsistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai makna. Semiotik berkaitan dengan análisis makna dan pesan dalam semua bentuk dan konteks. Semiotik memandang fenomena sosial budaya sebagai sistem tanda yang mengandung makna. Budaya dapat dikaji sepenuhnya dengan menggunakan semiotik, tetapi entitas budaya dapat dipertimbangkan dari sudut nonsemiotik (Eco, 1979:26). Teori semiotik yang dikembangkan oleh Eco digunakan sebagai panduan analisis wacana tradisi lisan vera karena teori tersebut berpijak pada suatu prinsip dasar bahwa semiotik berurusan dengan segala sesuatu yang bisa dianggap sebagai tanda. Tanda adalah segala sesuatu yang bisa dianggap menggantikan sesuatu yang lain dan sesuatu yang lain tidak harus ada atau benar-benar ada pada saat suatu tanda mewakilinya. Fungsi tanda merupakan interaksi antara berbagai norma, kode memberikan kondisi untuk hubungan timbal balik fungsi-fungsi tanda secara kompleks (Eco, 1979:49).
39
Teori semiotik budaya Levi Strauss (1963:68-69) juga digunakan sebagai panduan analisis wacana tradisi lisan vera, karena dalam teori ini, kebudayaan dipahami sebagai suatu sistem tanda yang menggambarkan kategori dunia berdasarkan oposisi biner atau kebudayaan merupakan sistem simbol atau konfigurasi sistem perlambangan. Asumsi yang mendasarinya, ialah pikiran manusia di mana-mana sama, tetapi kebudayaan sebagai implementasi pikiran manusia yang bersifat abstrak berbeda-beda. Oleh karena itu, untuk memahami seperangkat simbol budaya tertentu, yang di dalamnya termasuk bahasa, pertamatama harus dilihat dalam keseluruhan sistem tempat sistem perlambangan itu digunakan sebagai salah satu bagian.
2.3.4 Teori Perubahan Kebudayaan Pengkajian masalah mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan vera berpedoman pada teori perubahan kebudayaan. Menurut Geertz (1973:89) dan Bourdieu (1977:83), perubahan kebudayaan berlangsung sesuai dengan perguliran waktu dan kemajemukan realitas sosial budaya yang dihadapi pendukungnya. Kebudayaan, selain dipahami sebagai proses sosial, juga merupakan produk sosial yang dibentuk dan dipengaruhi oleh keseluruhan proses sosial tersebut. Sebagai produk yang dikonstruksi secara sosial, dalam kebudayaan terpancar beraneka kepentingan agen sosial yang terlibat yang membentuk sebuah jaringan makna yang dinamis melalui proses negosiasi yang intensif dan berkelanjutan. Perubahan kebudayaan dapat terjadi sebagai akibat perubahan lingkungan, keragaman individual dalam memahami karakteristik kebudayaannya sendiri, serta kontak dan komunikasi dengan kelompok etnik lain. Wujud perubahan itu
40
dapat terjadi dalam bentuk penemuan baru, difusi, hilangnya unsur kebudayaan, dan akulturasi. Perubahan kebudayaan bergantung pada kelenturan dan kebutuhan kebudayaan itu pada waktu tertentu, dan kesesuaian antara unsur-unsur baru dan matrik, kebudayaan yang ada. Perubahan itu biasanya berlangsung seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakatnya sesuai dengan kemajemukan realitas yang dihadapinya. Kebudayaan sebagai aspek kehidupan manusia bukan merupakan sistem terbuka sehingga tidak imun dari perubahan, yang bersumber dari dalam lingkup kehidupan masyarakatnya sendiri (faktor internal) dan dari luar (faktor eksternal), yakni pengaruh kontak dengan kebudayaan dan kelompok masyarakat lain (Haviland, 1988:252--253). Menurut Tylor (dalam Pals, 2001:30--31), tidak semua bentuk dan aspekaspek
kebudayaan
mengalami
perkembangan
dalam
fase
yang
sama.
Perkembangan beberapa bentuk kebudayaan dalam masa tertentu dapat saja tertinggal jauh. Seperti yang disingkapnya dalam “doktrin keberlangsungan hidup”, berbicara tentang kemajuan dalam setiap peradaban tidak dapat mengesampingkan hal-hal yang berada dalam kondisi keterbelakangan. Analisis perubahan kebudayaan harus mengacu pada realitas masa lalu ketika masih berada dalam tingkatan sederhana (primitif), karena dalam semua kebudayaan, setiap generasi belajar dari generasi sebelumnya serta memiliki kemampuan sosial dan intelektual sendiri untuk mengembangkan apa yang sudah dicapai generasi sebelumnya. Perubahan kebudayaan, selain berdampak positif berupa kemajuan dan pembaruan, juga berdampak negatif berupa pergeseran nilai yang selama ini
41
menjadi sumber rujukan bersama bagi para pendukung kebudayaan tersebut dalam menata sikap dan pola perilakunya. Hal ini selaras dengan pandangan Wallace (dalam Kaplan dan Albert, 1999:191) yang menyatakan bahwa pengaruh kondisi perubahan budaya yang begitu pesat dan kontak budaya yang begitu intensif menyebabkan struktur kelembagaan yang ada cenderung mengalami kemacetan. Hal itu terjadi karena skemata budaya lama yang memuat gambaran cara pandang mereka tentang dunia sudah tidak lagi berfungsi secara optimal sebagai penuntun yang memadai dalam mendekati realitas yang ada. Situasi dan kondisi ketidakselarasan itu mendorong mereka melakukan penataan ulang terhadap pengalamannya menjadi satu kesatuan yang utuh dan lebih berarti, yang pada taraf budaya disebut revitalisasi. Revitalisasi adalah suatu bentuk gerakan sosial untuk memberi arti pada sesuatu yang untuk masyarakat bersangkutan sudah menjadi sebuah dunia yang tercerai-berai dan kehilangan makna. Sasarannya bermuara pada penghidupan kembali perangkat makna budaya yang sudah mengalami kekeroposan, baik dalam kandungan ajaran maupun dalam jumlah dan intensitasnya, demi penciptaan kembali suatu tatanan kehidupan masyarakat yang serasi, selaras, dan seimbang (Sudikan, 2001:55).
2.4 Model Penelitian Selaras dengan konsep dasar dan landasan teori yang memayunginya, dalam bagian ini disajikan model penelitian sebagai kerangka acuan. Model penelitian ini dirancang dengan beraras pada pemahaman bahwa etnik adalah suatu kelompok masyarakat yang terikat kesadaran pada kesatuan kebudayaan yang diperkuat oleh kesatuan bahasanya. Oleh karena itu, dalam model ini,
42
masalah pokok yang menjadi objek adalah hubungan antara etnik Rongga, kebudayaan Rongga, dan bahasa Rongga dengan sasaran pemeriannya mencakup karakteristik struktur teks, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisannya, seperti tampak pada bagan di bawah ini.
Etnik Rongga
Tradisional
Kebudayaan Rongga
Modern/Global
Karakteristik Wacana Trasisi Lisan Vera
Struktur Teks
Fungsi
Teori Formula
Teori Fungsi
Makna
Teori Semiotik
Mekanisme Pewarisan
Teori Perubahan Kebudayaan
Temuan (Struktur Teks, Fungsi, Makna, dan Mekanisme Pewarisan) Bagan 2.1 Model Penelitian Catatan: Anak panah ( ) menunjukkan arah analisis wacana tradisi lisan Vera.
43
BAB III METODE PENELITIAN
Dalam bab ini diulas beberapa ikhwal yang berkenaan dengan metode penelitian yang diterapkan untuk menjawab masalah yang ditelaah dalam penelitian ini. Aspek yang menjadi sasaran pemeriannya mencakup rancangan penelitian, pendekatan penelitian, lokasi penelitian, jenis data, sumber data dan informan, metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan uji keabsahan hasil penelitian.
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif analitik yang berlandaskan pada filsafat fenomenologi (lihat Widyastoto, 2010:757; Moleong, 2006:6). Sesuai dengan landasan filosofisnya, data wacana tradisi lisan vera dipaparkan dalam bentuk verbal atau berupa kata-kata. Analisis makna data tersebut bersifat khusus dan mendalam karena memerikan langsung sasaran dengan menarik realitas wacana tradisi lisan vera ke permukaan sehingga peneliti membutuhkan waktu relatif lama untuk memahami makna data tersebut. Terkait dengan itu, alasan lain adalah satuan kebahasaan yang digunakan dalam wacana tradisi lisan vera, selain merupakan realitas, juga merupakan wadah makna yang memuat realitas lain tentang gambaran pandangan dunia etnik Rongga. Dalam menjawab masalah yang ditelaah dalam penelitian ini diperlukan pemahaman mendalam (verstehen) dan menyeluruh (holistic) guna menghasilkan
43
44
simpulan sesuai dengan konteks waktu dan situasi ritual vera yang di dalamnya terdapat wacana tradisi lisan vera. Penelitian ini dilakukan berdasarkan data faktual menyangkut wacana tradisi lisan vera dan data tersebut dipaparkan seperti apa adanya sesuai dengan realitas yang dialami etnik Rongga. Penelitian ini mencirikan penelitian etnografi karena memaparkan suatu simpulan konseptualisasi budaya sesuai yang dilakukan dan dikatakan oleh etnik Rongga, cara etnik Rongga bertindak dalam konteks tradisi ritual vera, dan artefak atau sarana yang mereka gunakan. Dengan demikian, peneliti menangkap pandangan penutur asli etnik Rongga, hubungan dengan kehidupan mereka, dan realisasi visinya terhadap dunia yang tergambar dalam teks wacana budaya tradisi lisan vera. Esensi isi pesannya menyingkap konseptualisasi etnik Rongga tentang eksistensi Tuhan, roh leluhur, dan roh alam, selain eksistensi diri mereka sebagai manusia dan masyarakat dalam hubungan dengan ketiga kekuatan adikodrati dimaksud.
3.2 Lokasi Penelitian Tradisi ritual vera tersebar di beberapa tempat pada komunitas etnik Rongga di Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur meliputi Kelurahan Tanarata, Kelurahan Watu Nggene, Desa Bamo, dan Desa Komba. Etnik Rongga yang tersebar di daerah tersebut memiliki keseragaman ciri yang membangun kesadaran kolektif terhadap kesatuan budaya yang disebut sebagai budaya etnik Rongga. Keseragaman ini terutama pada bahasa Rongga yang digunakan sebagai wahana komunikasi intraetnik. Dari segi
45
pengelompokan etnik, mereka adalah subbudaya dari keseluruhan budaya etnik Rongga yang tersebar itu. Dalam penelitian ini dipilih satu kelurahan sebagai lokasi penelitian, yaitu Kelurahan Tanarata kongkretnya Kampung Sambi. Daerah tersebut dijadikan lokasi penelitian dengan beberapa pertimbangan, yaitu sebagai berikut. Pertama Kelurahan Tanarata, khususnya kampung Sambi
merupakan
kampung tertua dan pusat kebudayaan Rongga. Kedua, di Kelurahan Tanarata sebagian besar masyarakatnya masih mempertahankan kehidupan tradisi ritual tak terkecuali tardisi lisan vera sesuai dengan kalender adat, dan berinteraksinya berbagai etnik sebagai lalu lintas Bajawa-Ruteng. Ketiga, Kelurahan Tanarata adalah tempat tinggalnya para tetua adat dan pemimpin adat karena situasi kehidupan masyarakat yang masih mempertahankan tradisi. Keempat, dari segi kemudahan komunikasi, Kelurahan Tanarata letaknya sangat strategis dan mudah dijangkau oleh peneliti. Selain itu, pilihan dan lokasi tersebut didukung pula oleh tersedianya sarana transportasi umum yang cukup memadai. Lokasi penelitian ini dapat disimak pada peta di bawah ini.
Gambar 3.1 Peta Rongga : Lokasi Penelitian Sumber: Arka 2005
46
3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data hasil penelitian lapangan yang menyangkut wacana tradisi lisan vera yang diperoleh melalui pertunjukan vera mbuku sa’o mbasa wini yang dilaksanakan etnik Rongga pada saat penelitian ini dilaksanakan yakni pada tanggal 27 Oktober 2012. Selain diperoleh melalui pelaksanaan ritual yang berlangsung di dalam rumah adat dan pertunjukan vera yang dipentaskan di halaman rumah adat tersebut, sumber data primer tersebut digali dan dijaring pula dari warga etnik Rongga yang diwakili oleh empat orang informan kunci yang dipilih sesuai kriteria ideal yang dipersyaratkan . Pemilihan keempat informan kunci itu dilakukan dengan menggunakan sistem jaringan, yakni penggunaan tokoh kunci dan penerapan teknik bola salju. Sebelum menentukan informan kunci, pertama-tama peneliti melakukan konsultasi tidak resmi dengan Lurah Tanarata, Bapak Yonanes Loni dan tokoh masyarakat, Bapak Alfridus Ndolu, karena mereka mengetahui secara pasti siapa yang pantas dan layak dipilih sesuai dengan kriteria ideal yang dipersyaratkan menjadi informan kunci dalam penelitian ini. Sebelum konsultasi dimulai, pertama-tama peneliti menyampaikan maksud kedatangannya. Merujuk pada kebiasaan yang berlaku secara mentradisi pada etnik Rongga, penyampaian maksud itu diwahanai melalui ritual kepok (upacara penerimaan tamu) dengan menggunakan sarana satu botol bir dan satu bungkus rokok. Hal yang disampaikan ialah memohon kesediaan mereka memberi informasi tentang siapa yang pantas menjadi informan kunci dalam penelitian ini.22 22
Bahasa yang digunakan peneliti dalam ritual kepok tersebut adalah bahasa Indonesia sesuai dengan terjemahan dari bahasa Rongga yang dibuat oleh Bapak Alfridus Ndolu.
47
Merujuk pada pandangan Faisal (1990:44--45), Spradley (1997:35--52), dan Sudikan (2001:9), kriteria utama sebagai pedoman pemilihan keempat informan kunci tersebut adalah sebagai berikut: (1) warga etnik Rongga atau penutur asli bahasa Rongga yang berdomisili di lokasi utama penelitian; (2) tokoh masyarakat dan tokoh adat Rongga; (3) wawasan pengetahuan relatif luas dan mendalam tentang wacana tradisi lisan vera; (4) laki-laki dewasa berusia minimal 40 tahun; dan (5) kondisi kesehatan jasmaniah dan rohaniah yang baik. Berdasarkan kriteria tersebut, keempat informan kunci yang dipilih menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Bapak Thomas Ola, tetua adat Kampung Paundoa. Penelitian di Kampung Paundoa di Desa Komba diawali dengan pembukaan (kepok) malam hari pada tanggal 02 September 2012, dilanjutkan pada tanggal 07 sampai 09 September 2012; (2) Bapak Markus Bana, tetua adat Kampung Leko Lembo, Kelurahan Watu Nggene. Penelitian di kelurahan Watu Nggene diawali dengan pembukaan (kepok) malam hari pada tanggal 16 September 2012, dilanjutkan pada tanggal 23 sampai 24 September 2012; (3) Bapak David Lombe, tetua adat Kampung Wolomboro. Penelitian di Kampung Wolomboro diawali dengan pembukaan (kepok) malam hari pada tanggal 02 Oktober 2012, dilanjutkan pada tanggal 09 sampai 10 Oktober 2012 ; dan (4) Bapak Alfridus Ndolu, tetua adat Kampung Leke, Kelurahan Tanarata. Penelitian di Kampung Leke diawali dengan pembukaan (kepok) pada tanggal 17 Oktober 2012, dilanjutkan pada tanggal 26 sampai 29 Oktober 2012. Selain keempat informan kunci tersebut, peneliti juga melakukan wawancara dengan sejumlah informan pembanding (daftar informan pembanding terlampir) yang dipilih secara acak.
48
Data sekunder adalah data diperoleh dari teks-teks tertulis seperti teks-teks ritual vera yang ditulis oleh pemuka adat setempat. Karakteristik jenis data tersebut terdiri atas tuturan para pelaku vera yang diekpsresikan dalam bentuk syair-syair yang dinyanyikan secara bergantian dan berkesinambungan antara noa lako, woghu, dan daghe pada saat pertunjukan vera. Data wacana tradisi lisan vera direalisasikan dalam bahasa Rongga melalui penggunaan satuan kebahasaan berbentuk larik puisi yang diperikan lebih lanjut menjadi fragmen bait, baris, klausa/kalimat, frasa, kata, dan bunyi.
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data 3.4.1 Metode Pengumpulan Data Beberapa metode pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah pengamatan, wawancara, diskusi kelompok terarah, dan studi dokumenter. Keempat metode tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 3.4.1.1 Metode Pengamatan Penerapan metode pengamatan lapangan dalam penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran utuh dan menyeluruh tentang konteks ritual vera mbuku sa’o mbuku mbasa wini dan wacananya. Dalam kaitan ini peneliti berada dalam jangka waktu yang lama di lapangan. Peneliti tinggal di Rongga selama kurang lebih enam bulan efektif dengan rincian, dua bulan untuk penelitian awal (06 Juni s.d. 8 Juli 2012), dua bulan pengumpulan data (02 September s.d. 5 November 2012 seperti yang sudah di sebutkan di depan), dan dua bulan (12 Nopember s.d. 19 Januari 2013) melakukan pengecekan ulang data hasil analisis peneliti melalui
49
diskusi dan negosiasi dengan informan demi menjaga objektivitas hasil penelitian sesuai dengan kekhasan ancangan etnografi dialogis dalam perspektif emik. Teknik pengamatan yang diterapkan adalah pengamatan terlibat atau pengamatan berperan serta karena peneliti berperan serta secara langsung sebagai pelibat aktif dalam seluruh rangkaian ritual vera mbuku sa’o mbuku mbasa wini pada tanggal 27 Oktober 2012. Peneliti terlibat sebagai peserta ritus dalam ritual pemberian makan leluhur (ti’i ka) dan pemercikan darah ayam pada bibit (mbasa wini) yang berlangsung pada malam hari di dalam rumah adat.23 Setelah acara makan bersama di dalam rumah adat, peneliti ikut menari vera bersama warga etnik Rongga di halaman depan rumah adat sampai selesai pada pagi hari menjelang matahari terbit. Pengamatan terlibat di lapangan didukung pula dengan perekaman data dengan menggunakan rekaman video oleh pembantu peneliti yang bernama Robertus Alang yang berkerja sebagai tenaga paruh waktu. 3.4.1.2 Metode Wawancara Berdasarkan data hasil pengamatan, peneliti melakukan wawancara dengan keempat informan kunci yang mewakili etnik Rongga, dengan menggunakan teknik wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Sebagai dialog verbal yang bersifat langsung dan bersemuka, wawancara terstruktur digunakan untuk mengeksplorasi budaya etnik Rongga, khsusunya tradisi ritual vera yang mencakup bentuk atau strukturnya, misalnya tata urut ritual, fungsi yang berkaitan dengan keberadaan dan daya hidupnya, serta makna-makna yang tersirat di balik perilaku verbal dan nonverbal. Semua hal itu berasal dari perasaan-perasaan, 23
Peneliti mengenakan sarung adat Manggarai (songket) sesuai dengan petunjuk Bapak Alfridus Ndolu sebelum berangkat menuju ke rumah adat tempat berlangsungnya ritual mbuku sa’o mbuku mbasa wini tersebut.
50
sikap-sikap,
dan kepercayaan
masyarakat. Wawancara difokuskan pada
pengetahuan dan pengalaman pribadi infroman tentang tradisi ritual vera. Wawancara dilakukan peneliti dengan tujuan untuk menggali dan menjaring pengalaman, pengetahuan, dan pandangan mereka tentang wacana tradisi lisan vera, terutama yang menyangkut struktur, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisannya. Kegiatan wawancara dilakukan selama beberapa kali dari satu informan kunci ke informan kunci yang lain, sebagai suatu bentuk pengecekan silang guna menjaga keabsahan data yang dikumpulkan.24 Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia karena semua informan kunci bisa berbahasa Indonesia. Untuk menunjang kelancaran dan keterarasan proses pelaksanaan kegiatan wawancara, peneliti menyiapkan pedoman wawancara yang berisi sejumlah pertanyaan tertulis yang berisi beberapa pokok pikiran menyangkut karakteristik struktur, fungsi, makna, dan sistem pewarisan wacana tradisi lisan vera. Meskipun demikian, daftar pertanyaan tersebut hanya digunakan sebagai pedoman umum bagi peneliti agar alur komunikasi selama wawancara dengan informan tidak membias di luar lingkup masalah yang ditelaah. Selain wawancara semuka, peneliti menerapkan wawancara tansemuka dengan informan kunci selama proses analisis data. Wawancara tansemuka dilakukan dengan menggunakan perangkat teknologi informasi, terutama
24
Waktu pelaksanaan wawancara dengan informan ditentukan sesuai dengan hasil kesepakatan dan lebih banyak berlangsung pada malam hari karena pada siang hari mereka pergi bekerja di kebun. Beberapa foto kegiatan wawancara semuka peneliti dengan informan kunci dapat dilihat pada lampiran.
51
handphone,25 untuk mengkorfirmasi dan menegosiasi hasil analisis data yang dibuat peneliti agar kadar kebenaran penafsiran makna data sesuai dengan konseptualisasi yang terbingkai dalam peta pengetahuan atau skemata budaya etnik Rongga. 3.4.1.3 Metode diskusi kelompok terarah Untuk melengkapi data hasil pengamatan dan wawancara, peneliti melakukan diskusi kelompok terarah (focused-group discussion) dengan informan kunci dan beberapa informan pembanding. 26 Kegiatan diskusi kelompok terarah itu dilaksanakan dengan tujuan untuk menggali dan menjaring secara lebih mendalam lagi pandangan informan tentang struktur, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan vera.27 3.4.1.4 Metode Studi Dokumentasi Metode studi dokumentasi berupa pengumpulan data yang tersedia dalam berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik digunakan dalam penelitian ini dengan tujuan untuk mendapatkan data sekunder yang dipandang relevan dengan karakter masalah yang ditelaah dalam penelitian ini. Data tersebut dipakai pula sebagai latar pikir bagi peneliti dalam melakukan penelitian lapangan untuk mengetahui struktur, fungsi, makna dan sistem pewarisan wacana tradisi lisan vera. Secara umum, dua jenis dokumen sebagai sumber rujukan terdiri atas: (1) acuan umum berupa buku-buku, dan (2) acuan khusus berupa hasil penelitian, 25
26
27
Penggunaan perangkat teknologi informasi, dalam hal ini, HP, sebagai sarana dalam melakukan wawancara tansemuka dengan informan adalah salah satu dimensi kebaruan (novelty) penelitian ini (Bungin, 2007 dan Mashun, 2007). Wawancara tansemuka dengan informan sering kali mengalami hambatan karena gangguan signal di lokasi tempat informan berdomisili. Kegiatan diskusi kelompok terarah dilakukan di rumah Bapak Alfridus Ndolu di Kampung Waekorok, Kelurahan Tanarata. Foto kegiatan wawancara semuka dan diskusi kelompok terarah dengan informan dapat dilihat dalam lampiran.
52
disertasi, tesis, monograf, artikel dan makalah. Selain data dalam media cetak, peneliti juga menggunakan data dalam media elekronik sebagai sumber rujukan dalam pemerolehan data menyangkut wacana tradisi lisan vera. 3.4.2 Teknik Pengumpulan Data Selaras dengan penggunaan beberapa metode di atas, teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian adalah teknik rekam dan simak-catat. Kedua teknik pengumpulan data tersebut dapat diuraikan di bawah ini. 3.4.2.1 Teknik rekam Selama melakukan pengamatan dan wawancara, peneliti merekam data dengan menggunakan perangkat media pandang-dengar yang berupa tustel, video camera, dan tape recorder. Perekaman itu bertujuan untuk memperoleh gambaran secara utuh dan menyeluruh berbagai interaksi yang menyangkut perilaku verbal dan nonverbal yang ditampilkan, di samping perangkat kebendaan yang digunakan dalam konteks ritual vera mbuku sa’o mbasa wini. Agar keterlibatan bersifat penuh, kegiatan perekaman dilakukan dengan bantuan dua orang tenaga pembantu yang memiliki keterampilan dan pengalaman dalam melakukan perekaman dengan menggunakan perangkat fisik yang baik, termasuk tidak cacat wicara. Tenaga pembantu yang bersangkutan memiliki sikap terbuka, sabar, ramah, dan tidak mudah tersinggung, serta yang bersangkutan mengetahui seleuk beluk tradisi lisan vera. Perekaman data dilakukan sebagai pembantu peneliti agar tidak mengganggu kelancaran proses pelaksanaan pengamatan dan wawancara yang sedang dilakukan peneliti. 28
28
Pembantu peneliti adalah Bapak Robertus Alang dan Bapak Paulus Tasman yang bekerja sebagai tenaga paruh waktu dalam penelitian ini.
53
3.4.2.2 Teknik simak-catat Selama melakukan kegiatan pengamatan dan wawancara, peneliti mencatat data dalam bentuk catatan deskriptif dan reflektif. Catatan deskriptif dibuat pada saat kegiatan pengamatan dan wawancara berlangsung. Catatan tersebut berisi rincian tentang apa yang dilihat, dialami, dan disimak, yang dicatat sebagaimana adanya. Catatan reflektif berisi kerangka pikir, ide, dan komentar peneliti sendiri yang dibuat segera setelah setiap kegiatan pengumpulan data tersebut dilaksanakan guna mencegah terjadinya kealpaan. Cakupan materi utama yang dicatat meliputi struktur, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan vera. 29
3.5 Proses Analisis Data Teknik analisis data yang diterapkan dalam penelitian ini bersifat induktif karena analisis bergerak dari data menuju ke konsep atau teori. Proses analisis data diawali dengan telaah seluruh data hasil pengamatan, wawancara, dan studi dokumenter. Data tersebut dianalisis secara kualitatif disertai dengan penggunaan tabel sederhana untuk melihat frekuensi kemunculan data yang dijaring. Prosedur analisis data dilakukan secara bertahap dengan tata-urut kegiatannya sebagai berikut: seleksi data, transkripsi data, pemilihan korpus data, terjemahan, analisis data, dan laporan, sebagaimana dipaparkan dan dijelaskan di bawah ini.
29
Catatan reflektif yang dibuat oleh peneliti dikonfirmasi dengan catatan yang dibuat oleh pembantu peneliti.
54
3.5.1 Seleksi Data Mengingat data tentang wacana tradisi lisan vera beragam, maka langkah pertama yang dilakukan oleh peneliti ialah melakukan seleksi data, dengan tujuan untuk mendapatkan data wacana tradisi lisan vera yang baik dan jelas sebagai data dasar, di samping untuk mengurangi kemungkinan ambiguitas makna dalam proses penafsiran. Kriteria umum yang menjadi parameter dalam melakukan seleksi data tersebut adalah keaslian, kesesuaian data dengan konseptualisasi etnik Rongga, keterkaitan data dengan wacana tradisi lisan vera, di samping dokumen pribadi, foto, gambar, peta bahasa dan kebudayaan Rongga. Data utama yang diseleksi adalah teks wacana tradisi lisan vera,30 hasil pengamatan, hasil wawancara, berbagai catatan lapangan, dan dokumen resmi. Komponen data yang diseleksi mencakup latar yang di dalamnya termasuk jenis tuturan, topik, maksud, dan fungsi, partisipan, bentuk dan isi pesan, urutan tindakan, kaidah interaksi, dan norma penafsiran.
3.5.2 Transkripsi Data Teks wacana tradisi lisan vera yang sudah diseleksi itu ditranskripsi dari bentuk lisan ke dalam bentuk tertulis agar mudah dianalisis. Data wacana tradisi lisan vera yang ditranskripsi memang sudah tidak persis sama dengan pada saat pengumpulannya karena aspek lahiriah data yang disajikan berbeda dengan aspek batiniah (Sudaryanto, 1990:74). Dengan transkripsi tersebut, wacana tradisi lisan vera berubah menjadi sebuah dunia teks sehingga mudah dianalisis. Transkripsi
30
Beberapa teks wacana tradisi lisan vera yang terkumpul disajikan pada bab IV, bagian perbandingan teks.
55
data teks wacana tradisi lisan vera tersebut dilakukan dengan bantuan informan kunci, yakni Bapak Alfridus Ndolu karena dia memiliki pengetahuan relatif luas dan mendalam tentang wacana tradisi lisan Vera. 31
3.5.3 Pemilihan Korpus Data Dari beberapa teks wacana tradisi lisan vera yang sudah ditranskripsi, peneliti memilih satu teks berdasarkan hasil perbandingan teks (teks yang sudah direkam dan ditranskripsi). Berdasarkan hasil perbandingan teks, peneliti memilih teks wacana vera mbuku sa’o mbasa wini sebagai korpus atau potret data utama untuk menjawab masalah penelitian ini yang menyangkut struktur, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisannya.
3.5.4 Terjemahan Setelah membuat transkripsi, teks wacana vera mbuku sa’o mbasa wini yang sudah ditranskripsi dan dipilih menjadi korpus data diterjemahkan dari bahasa Rongga ke dalam bahasa Indonesia. Seperti halnya dalam kegiatan transkripsi, terjemahan data dilakukan dengan bantuan informan kunci, yakni Bapak Alfridus Ndolu. Agar hasil terjemahan lengkap dan mudah dipahami, dua ancangan diterapkan, yakni (1) terjemahan kata demi kata yang langsung diletakkan di bawah teks asli dengan tujuan untuk menunjukkan makna leksikal kata-kata tersebut dalam bahasa Indonesia32, dan (2) terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia dengan tujuan untuk mengetahui makna kata-kata tersebut, di samping
31
32
Bapak Afridus Ndolu adalah Pengawas Sekolah Dasar di Kantor Dinas PPO Kabupaten Manggarai Timur di Borong, yang berdomisili di Kampung Wae Korok, Kelurahan Tanarata. Terjemahan kata tersebut menggunakan teknik morfologis dalam bentuk glos sesuai dengan konvensi yang berlaku dalam dunia kelinguistikan.
56
menerangjelaskan makna kias dari ungkapan-ungkapan dan istilah-istilah bahasa Rongga yang tidak menyandang makna leksikal tertentu.33
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data Data dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode induksi, artinya analisis bergerak dari data menuju ke abstraksi dan konsep tentang wacana tradisi lisan vera, terutama yang menyangkut struktur, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisan. Dengan merujuk pada pandangan Sudikan (2005:105), teknik analisis data yang diterapkan adalah teknik penandaan, yang dilaksanakan melalui beberapa tahapan secara berurut, yaitu (1) pemerolehan data sebanyak mungkin yang menyangkut struktur, fungsi, makna, dan sistem pewarisan wacana tradisi lisan vera dengan berbagai variasi yang prosedur pelaksanaan analisisnya mengikuti proses yang berikut secara berurut: (1) pemerincian, pemeriksaan, konseptualisasi, dan pengategorian data wacana tradisi lisan vera dilihat dari aspek struktur, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisannya; (2) penataan kembali data hasil pengodean sesuai dengan kategori yang sudah dibuat untuk dikembangkan ke arah proposisi dan analisis hubungan antarkategori yang ada menyangkut struktur, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan vera; dan (3) klasifikasi dan pemeriksaan kategori inti melalui perbandingan hubungan dengan kategori-kategori lain guna menghasilkan simpulan umum tang berupa rancangan umum (general design) tentang karakteristik wacana tradisi lisan vera, terutama yang menyangkut struktur, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisannya. 33
Kegiatan terjemahan dibuat oleh informan kunci, Bapak Alfridus Ndolu, dan dibantu oleh Bapak Markus Bana, karena mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman relatif mendalam tentang wacana tradisi lisan vera.
57
Proses analisis data dilakukan secara berkelanjutan sejak pengumpulan data awal sampai dengan laporan hasil penelitian selesai ditulis, dengan tujuan untuk memperoleh pengertian komprehensif tentang karakteristik wacana tradisi lisan vera, khususnya struktur, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisannya, guna pemahamannya secara holistik. Hasil analisis data yang dibuat peneliti dinegosiasikan dan didiskusikan secara terus-menerus dengan informan guna memperoleh kesesuaian dengan konseptualisasi mereka tentang wacana tradisi lisan vera. Selain sebagai bentuk triangulasi data dan sumber data, negosiasi dan diskusi tersebut bertalian dengan penerapan pendekatan etnografi dialogis berperspektif emik, yakni penafsiran makna data wacana tradisi lisan Vera berdasarkan sudut pandang etnik Rongga.34 3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Penelitian Hasil analisis disajikan dengan metode formal dan informal. Metode formal adalah penyajian hasil analisis dengan menggunakan tanda-tanda seperti tanda kurung, tanda panah, dan sebagainya, sedangkan metode informal adalah penyajian hasil analisis dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dalam bentuk uraian-uraian yang berupa perian verbal yang tertata secara sistematis dan terstruktur sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
34
Etnografi dialogis dengan menggunakan ancangan emik (analisis makna data berdasarkan sudut pandang penutur asli) adalah ciri utama etnografi baru yang dikembangkan oleh Spradley (2007) menggantikan etnografi lama, yakni etnografi analogis dengan menggunakan ancangan etik (analisis makna data berdasarkan sudut pandang peneliti). Hasil penafsiran makna data dengan menggunakan etnografi dialogis dan ancangan emik bersifat objektif karena pemaknaan data berdasarkan sudut pandang penutur asli, sedangkan hasil penafsiran makna data dengan menggunakan etnografi analogis bersifat subjektif karena pemaknaan data berdasarkan sudut pandang peneliti.
58
Data-data grafis berupa tabel, peta, dan foto-foto aktivitas sosial yang diteliti berkenaan dengan wacana tradisi lisan vera diletakkan di bagian akhir sebagai lampiran. Hasil penelitian ini ditata secara sistematis dan terstruktur guna menunjukkan hubungan antara fokus dan aspek yang menjadi sasaran kajian, tujuan penelitian, perspektif teoritik, dan metode yang digunakan.
59
BAB IV KARAKTERISTIK TRADISI LISAN VERA
4.1 Pengantar Bab ini mengulas karaktersistik vera sebagai salah satu tradisi lisan milik sosial-kolektif etnik Rongga, berupa tarian tradisional disertai dengan nyanyian dalam bahasa Rongga. Beberapa aspek yang dikaji mencakup pengertian dan konsep vera, klasifikasi vera, karakteristik teks vera, bahasa vera, dan perbandingan teks.
4.2 Pengertian Vera Secara etimologis, kata atau istilah vera berasal dari kata (verba) pera yang berarti ’mempertunjukkan’, ’memperlihatkan’ atau ’memberitahukan’. Sesuai dengan makna leksikalnya, kata atau istilah vera berarti mempertunjukkan dengan cara menari sambil menyanyi. Secara konseptual, yang dimaksud dengan vera adalah pertunjukan tarian yang diiringi nyanyian tradisional dalam bahasa Rongga. Nyanyian itu berbentuk puisi dengan nada dan irama khas sesuai dengan konteks situasi ritual dan konteks sosial budaya etnik Rongga yang melatarinya. Esensi isi pesannya mengandung nilai sejarah, nasihat, ajaran, dan nilai filosofis sebagai pedoman hidup etnik Rongga. Selain mengemban fungsi komunikatif, vera juga menyandang fungsi integratif dengan menggunakan sumber daya bahasa Rongga sebagai media penyampaian pesan. Seperti telah disinggung sebelumnya, kebermaknaan vera tidak dapat dipisahkan dengan konteks situasi ritual dan konteks sosial budaya etnik Rongga yang melatarinya. Hal ini selaras
59
60
dengan pandangan Ben-Amos (1991:112) yang menyatakan bahwa sifat pertunjukan cerita lisan bergantung pada konteks yang di dalamnya terdapat beberapa variabel seperti pendengar dan kesempatan bercerita. Dalam perkembangan selanjutnya, kata vera mengalami perluasan makna menjadi ‘petuah/nasihat’ atau ‘wasiat leluhur’ (Arka, 2010:93). Perubahan itu terjadi karena esensi isi pesan yang terkandung dalam petuah leluhur berfungsi sebagai penuntun moral dan pedoman etika bagi warga etnik Rongga dalam penataan pola perilaku hidup mereka sehari-hari. Esensi isi pesan yang terkandung dalam petuah itu bermuara pada pemertahanan keselarasan hubungan dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Petuah yang terkandung dalam wacana tradisi lisan vera itu mempunyai efektivitas sosial bagi etnik Rongga sebagai simpul dasar yang menentukan keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan hidup mereka sebagai suatu kelompok masyarakat adat yang terikat dalam satu kesatuan suku. Kerangka pemahaman itu menggambarkan bahwa dalam peta pengetahuan etnik Rongga, terpatri konseptualisasi tentang adanya kekuatan lain di luar dirinya sangat menentukan keberadaan, kebertahananan, dan keberlanjutan hidup mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Hal itu tercermin dalam struktur, fungsi, dan makna wacana tradisi lisan vera sebagai produk dan praktek budaya warisan leluhur yang menyingkap wujud tindakan religius sebagai penciri keberagamaan etnik Rongga. Wacana tradisi lisan vera merupakan media komunikasi nilai sosialbudaya warisan leluhur kepada generasi penerusnya. Pelaksanaan vera dengan cara yang benar, selain menjamin kesinambungan tradisi warisan leluhur, juga memberikan
61
kedamaian, ketenteraman, dan kemakmuran hidup bagi etnik Rongga. Dalam konseptualisasi etnik Rongga, pertunjukan vera merupakan media penerusan nilai sosial budaya warisan leluhur berupa nilai pengetahuan tentang sejarah suku, norma, dan nilai filosofis yang berfungsi sebagai penunutun moral dan pedoman etika dalam menata pola perilaku hidup mereka sehari-hari.
4.3 Klasisfikasi Vera Kebermaknaan peran vera bertalian dengan konseptualisasi etnik Rongga bahwa kehidupan manusia bersifat dialektis karena di dalamnya bergayut dua dimensi makna yang berhubungan secara oposisional, yakni makna kehidupan dan makna kematian sebagai bukti keberhinggaan eksistensial manusia. Kedua dimensi makna tersebut tercermin dalam konteks situasi peristiwa yang melatari kehadiran vera dalam realitas kehidupan etnik Rongga. Sesuai dengan konteks situasi ritual peristiwa yang melatarinya, secara umum, vera dapat diklasifikasi atas vera sara jawa (vera sedih) dan vera haimelo (vera gembira). 4.3.1 Vera Sara Jawaa Seperti telah disinggung sebelumnya, vera sara jawa disebut vera sedih karena konteks situasi yang melatari pelaksanaannya adalah peristiwa sedih, seperti peristiwa kematian kepala suku, dengan tujuan untuk menghormati orang yang meninggal. Dalam teks wacana vera sara jawa dikisahkan kebajikan, kebaikan, dan keberhasilan yang dicapai selama masa hidupnya. Pertunjukan vera sara jawaa pada saat orang meninggal dunia berlangsung di halaman rumah adat selama empat hari (putu lelu) dan di pekuburan yang dikenal dengan sebutan atau istilah vera maki polo atau vera nggili rate. Mekanisme pertunjukan jenis vera ini
62
ditandai dengan gerakan kaki arah ke kiri sebanyak tujuh kali. Tujuannya agar setan tidak mengganggu keluarga yang ditinggalkan dan semua dosa dan kesalahan yang dibuat orang yang meninggal itu tidak terwarisi secara turunmenurun kepada semua anggota keluarga yang ditinggalkannya. Oleh karena itu, selaras dengan tujuannya, vera maki polo disebut vera pemurnian diri bagi semua anggota keluarga yang ditinggalkan. Sesuai dengan konteks situasi yang melatarinya, vera sara jawaa termasuk jenis vera khusus karena berlaku khusus untuk orang-orang tertentu, seperti kepala suku yang meninggal. Selain kepala suku, vera sara jawaa dapat pula dilaksanakan bagi orang biasa yang meninggal dalam usia seratus tahun atau lebih apabila keluarga yang bersangkutan mampu membiayainya (hongga Rongga). Seperti telah disinggung sebelumnya, hal-hal yang dikisahkan melalui tuturan ritual vera sara jawa adalah keberadaan orang yang meninggal sebagai orang yang dihormati karena kebajikan dan kebaikan yang telah dilakukan selama masa hidupnya, di samping keberhasilan yang dicapainya terutama dalam bidang ekonomi. Berikut adalah beberapa contoh fragmen teks wacana tradisi lisan vera sara jawa. (4-01)
Embu mata, sara jawa nenek mati nama upacara (sara jawa) ‘ Nenek mati dibuatkan upacara sara jawa’. Pota nangi, tei vera hilang ratap muncul tarian dan nyanyian ‘Pertunjukan tarian dan nyanyian untuk menghilangkan ratapan’
(4-02)
Ema po soro, ma’e rero ma’e ghewo Bapak beri nasihat jangan ribut jangan lupa ‘ Bapak memberi nasihat janganlah ribut dan jangan lupa’ Ine reku lelu, ma’e rero ma’e ghewo ibu beri nasihat jangan ribut jangan lupa’ ‘Ibu memberi nasihat janganlah ribut dan jangan lupa’
63
(4-03)
Loka jere olo, olo horha loka tempat datar depan, depan tengah tempat ‘Tempat datar yang di depan, yang di depan tengah’ Watu ture tana, tana tendole batu susun tanah, tanah lapis ‘Batu bersusun tanah, dengan tanah yang berlapis’
Kata embu ‘nenek’ dalam ungkapan syair (4-01) di atas adalah sebutan etnik Rongga kepada roh nenek moyang mereka yang telah meninggal. Secara maknawi, hal itu merupakan penghormatan kepada roh nenek moyang mereka dalam wujud rasa cinta dan kasih sayang dengan melaksanakan upacara vera sara jawa (pertunjukan tarian dan nyanyian pada upacara kematian). Syair pada data (4-02), secara maknawi, esensi pesannya mengandung nasihat seorang anak hendaknya patuh atau taat kepada orang tua, dengan tidak meremehkan nasihatnasihatnya. Pada data (4-03), syair tersebut menyiratkan makna segala persoalan sebaiknya diselesaikan secara bersama-sama di depan umum untuk mencapai kespakatan.
4.3.2 Vera haimelo Seperti telah dijelaskan sebelumnya, vera haimelo adalah vera gembira yang dilaksanakan dengan tujuan untuk menyampaikan ucapan syukur kepada Tuhan dan roh leluhur atas semua penyelenggaraan dalam kehidupan mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat35. Beberapa jenis vera yang termasuk dalam kelompok vera haimelo adalah sebagai berikut: (1) vera saju, (2) vera dheke ra’a, (3) vera dheke sa’o, (5) vera gha’u gha’a, dan (6) vera mbuku sa’o. Agar lebih jelas, jenis vera tersebut masing-masing dijelaskan seperti berikut. 35
Hasil wawancara dengan Bapak Thomas Ola dan Bapak Alfridus Ndolu di Kampung Paundoa, serta Bapak Markus Bana di Borong pada tanggal 29 Oktober 2012.
64
4.3.2.1 Vera saju Secara leksikal, kata atau istilah saju berarti ‘ane’ atau ‘ganjil’. Vera saju adalah jenis vera haimelo yang dilaksanakan apabila terjadi peristiwa aneh atau ganjil, peristiwa kelahiran bayi kembar dengan jenis kelamin berbeda (laki-laki dan perempuan), dan anak yang tumbuh gigi sejak lahir. Sesuai dengan kepercayaan etnik Rongga, apabila terjadi peristiwa kelahiran bayi kembar dengan jenis kelamin berbeda (laki-laki dan perempuan), maka mereka mesti melaksanakan ritual vera saju yang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Kerbau berwarna merah sebagai sarana persembahan melambangkan keberanian menolak bala yang akan menimpa bayi kembar itu dan seluruh anggota keluarganya. Vera saju dilaksanakan dengan tujuan untuk menolak bala karena diyakini bahwa keganjilan semacam itu dapat mendatangkan marabahaya bagi keluarga bersangkutan. Melalui pelaksanaan vera saju, mereka berharap agar bayi kembar itu terbebas dari segala malapetaka sehingga bisa menjalani kehidupan normal dengan perasaan nyaman, aman, dan damai. Vera saju dilaksanakan tidak saja pada saat terjadi peristiwa kelahiran bayi kembar, tetapi juga ketika mereka berusia empat atau lima tahun yang berlangsung
selama
tujuh hari.
Pada
hari
ketujuh,
diadakan upacara
penyembelihan hewan korban sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas peristiwa yang mereka alami. Di samping itu, mereka juga memohon perlindungan kepada Tuhan agar terbebas dari berbagai bencana dan malapetaka sehingga mereka dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik dalam kehidupan selanjutnya. Di Bawah ini adalah contoh fragmen wacana tradisi lisan vera saju:
65
(4-04)
Mbu’e mai, Liti mai gadis datang, Liti datang ‘Gadis datang dari suku Liti’ Nawu na’a, ndia Nggeli antar untuk ini Nggeli (nama suku di Rongga)’ ‘Antar ini untuk nggeli (suku Nggeli)’
(4-05)
Dheke ndeta wau ndale, kapu tei ana saju naik atas turun bawah, lahir lihat anak aneh. ‘Naik ke atas dan turun ke bawa, melihat anak yang lahir aneh’ tawa ragha kapu ana, weta nara tertawa riang lahir anak wanita laki ‘Anak laki dan wanita lahir dengan tertawa riang’
Ungkapan syair pada data (4-04) di atas esensi pesannya menyiratkan makna kebersamaan, saling menghormati satu dengan yang lain meskipun dari suku yang berbeda. Hal ini merefleksikan aktivitas sosial mereka dalam kehidupan sehari-hari. Pada data (4-05) esensi pesannya menyiratkan makna hidup penuh dengan semangat meskipun banyak tantangan.
4.3.2.2 Vera dheke ra’a Secara umum, vera dheke ra’a adalah vera yang dilaksanakan untuk memulihkan nama baik seseorang yang telah dianiaya sehingga yang bersangkutan bisa menjalani kehidupannya dengan normal kembali. Vera dheke ra’a biasa dilaksanakan oleh orang berstatus sosial tinggi dan berkemampuan ekonomi kuat. Tujuan vera dheke ra’a ialah memohon kepada Tuhan agar yang bersangkutan diberi kekuatan dan perlindungan dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Melalui permohonan itu diharapkan pula agar perlakuan tidak wajar itu tidak akan terulang lagi, terpulih kembali wibawa dan harga diri, serta status sosialnya terangkat kembali. Di bawah ini fragmen wacana tradisi lisan vera dheke ra’a:
66
(4-06) Hongga mai, Liti mai pemuda datang, Liti datang ‘Pemuda datang dari suku Liti’ Pui e pui wasi, ata zhaki sapu e sapu bersih yang kotor ‘Sapu yang kotor supaya bersih’ Kapu kanggo, ramba walo ndia sa’o gendong peluk supaya pulang sini rumah’. ‘Gendong dan peluk supaya pulang ke rumah sini’ (4-07) Mai mbeja-mbeja, ramba pui ata perha datang semua-semua supaya bersih yang miang (sejenis rumput yang menyebabkan gatal) ‘Semua datang supaya miang bersih’ Utu ulu moko lo, ramba mbeja ko mbojo bersatu kepala berada badan, supaya hilang letih capek ‘Kepala dan badan bersatu supaya hilang letih dan capek’ Tampak pada data (4-06) dan (4-07)
secara maknawi esensi pesannya
menyiratkan bahwa kebersamaan adalah suatu pengharapan untuk bisa berkumpul bersatu kembali bersama sanak keluarga dengan penuh kasih sayang baik suka maupun duka seia sekata. Dengan rasa kebersamaan ini mereka menunjukkan diri sebagai satu kesatuan yang utuh sebagai sebuah komunitas etnik yaitu etnik Rongga. 4.3.2.3 Vera dheke sa’o Secara leksikal, kata (verba) dheke berarti ‘naik/masuk’ dan kata (nomina) sa’o berarti ‘rumah adat’. Vera dheke sa’o berkaitan dengan keberhasilan membangun rumah adat yang baru bagi seluruh warga suku, yang dilaksanakan ketika memasuki rumah adat baru. Pelaksanaan vera ini dihadiri oleh seluruh warga dalam satu suku, termasuk ana haki (pihak saudara laki-laki ibu), ana fai (pihak saudara perempuan ayah), dan tetangga sekitar. Jenis hewan korban yang
67
disembelih sebagai sarana persembahan adalah babi, kambing, ayam, atau kerbau bagi keluarga yang berkemampuan ekonomi kuat. Sesuai dengan konteks yang melatarinya, vera dheke sa’o dilaksanakan dengan tujuan: (1) menyampaikan ucapan syukur kepada Tuhan atas keberhasilan mereka dalam membangun rumah adat baru; (2) memohon kepada Tuhan, yang disampaikan dengan perantaraan roh leluhur, agar memberikan keselamatan dan kebahagiaan hidup bagi seluruh warga suku, baik ana haki maupun ana fai; (3) meresmikan rumah baru itu sebagai rumah adat (sa’o merhe/ sa’o lamba); dan (4) mempererat tali persaudaraan warga satu suku serta antara ana haki dan ana fai. Ritual vera dheke sa’o diawali dengan upacara penyembelihan babi dan ayam sebagai sarana persembahan utama. Sebelum disembelih, babi dan ayam persembahan itu didoakan guna memberitahukan kepada roh leluhur maksud ritual tersebut dan sekaligus mengundang roh leluhur untuk menyaksikan dan merestui penggunaan rumah adat itu. Di bawah ini adalah contoh fragmen wacana vera dheke sa’o: (4-08) Embu ndeta mata rangga, ma’e ti’i rara kasa leluhur atas tempat tinggi jangan beri panas badan ‘Leluhur di tempat yang tinggi jangan member panas badan’ Embu ndia papa bhoko, baghi kami lombo wombo leluhur sini bagian bawah beri kami ujung tinggi dan besar ‘Leluhur di sini yang di bagian bawah berkati kami yang tinggi besar’ (4-09) Arhi ka’e woso, moe kolo setoko ‘adik kakak banyak seperti penjolok sebatang Adik dan kakak banyak seperti penjolok sebatang Kita sebija ate, ma’e baghi ngia kita sesuku hati, jangan bagi tempat ‘Kita satu suku dan satu hati jangan berbagi tempat’ Ungkapan syair pada (4-08) esensi pesannya menyiratkan permohonan doa perlindungan kepada Tuhan melalui perantaraan leluhur mereka supaya tidak ada
68
yang mengganggu hidup mereka (etnik Rongga) di dunia ini. Sementara itu, pada data (4-09), secara maknawi menyiratkan persatuan dan kesatuan sebagai salah satu wujud rasa persaudaraan. Rasa persatuan dan kesatuan ini merupkan kesucian sosial yang menjadi pedoman moral etika bagi masyarakat Rongga dalam bersikap dan berperilaku, demi pemertahanan keharmonisan hubungannya dalam kehidupan bermasyarakat. 4.3.2.4 Vera gha’u gha’a Vera gha’u gha’a adalah suatu bentuk pertunjukan dengan tujuan untuk ditonton oleh masyarakat umum dengan bentuk tekstual satuan kebahasaan yang digunakan tidak bersifat sakral. Pertunjukan vera gha’u gha’a biasanya diadakan pada saat penyambutan tamu, pelantikan pejabat baru, atau peresmian gedung baru, di samping sebagai ajang unjuk kebolehan menari dan menyanyi. Jenis vera ini tidak terikat pada urutan tindakan upacara adat tertentu, seperti yang biasa diselenggarakan di rumah adat. Beberapa contoh fragmen wacana vera gha’u gha’a adalah sebagai berikut. (4-10)
Ema Ki Hajar, Ki Hajar Dewantara bapak Ki Hajar, Ki Hajar Dewantara ‘Bapak Ki Hajar Dewantara’ Pera ndara maki embu ana beri cahaya bagi cucu anak ‘Memberikan cahaya kepada cucu dan anak’
(4-11)
Ema guru, pera letu letu bapak guru tunjuk sungguh-sungguh ‘Bapak guru memberi petunjuk dengan sunguh-sungguh’ Ana woso, hewe molo molo anak banyak dengar baik – baik ‘Kalian dengarlah baik-baik’
69
(4-12)
Tabhe ema tabhe kami, pu’u one ate hormat bapa hormat kami dari dalam hati ‘Kami menghormati bapa dari dalam hati’ Ana kio renge, mesi ema no hewe anak rengek bersama, semoga bapa sangat dengar ‘Anak merengek bersama semoga bapak mendengar’
Ungkapan syair pada (4-10) secara maknawi, esensi pesannya menyiratkan bahwa ilmu pengetahuan sebagai suluh hidup yang memberikan penerangan bagi kehidupan manusia di dunia. Data (4-11) dan (4-12) esensi pesannya menyiratkan makna kepatuhan terhadap orang tua dengan menaati semua nasihatnya dan menghormati mereka dengan penuh kasih sayang.
4.3.2.5 Vera mbasa wini Vera mbasa wini adalah bagian dari vera mbuku sa’o atau vera gembira. Secara leksikal, kata mbasa berarti ‘basah’ dan kata wini berarti ‘bibit’. Istilah mbasa wini berarti memerciki bibit dengan darah korban (ayam atau babi) sebagai ungkapan permohonan kepada Tuhan yang disampaikan dengan perantaraan leluhur supaya memberkati bibit yang telah disiapkan untuk ditanam agar bertumbuh subur dan memberikan hasil berlimpah pada tahun musim yang akan datang. Sesuai dengan kalender adat yang hidup dan berkembang dalam realitas sosial budaya etnik Rongga, vera mbasa wini dilaksanakan pada awal musim tanam, yang biasanya jatuh pada sekitar bulan Oktober. Vera mbasa wini dilaksanakan pada malam hari sampai dengan pagi hari menjelang matahari terbit, dengan tujuan sebagai berikut: (1) memberi makanan/sesajian kepada leluhur; (2) memohon berkat kepada Tuhan dan roh leluhur agar bibit-bibit yang akan ditanam di lahan pada tahun musim yang baru
70
bertumbuh subur dan mendatangkan hasil berlimpah; (3) mengingatkan kepada seluruh warga suku supaya bekerja keras dalam mengolah lahan jika ingin memperoleh hasil panen berlimpah; (4) memupuk rasa persatuan dan kesatuan antarwarga yang tercakup dalam satu suku; dan (5) menciptakan suatu tatanan kehidupan yang sehat dan sejahtera karena mendapat rejeki berlimpah. Di bawah ini adalah contoh fragmen wacana vera mbasa wini : (4-13) Rau Kala tata weta, nara ndua sama tebang hutan tata adik perempuan saudara pergi sama ‘Adik perempuan saudara pergi bersama tebang hutan tata’ Na’a pare jawa ramba mbiwa tona ka tanam padi jagung supaya tidak kurang makan ‘ Menanam padi dan jagung supaya tidak kekurangan makan’ (4-14) Su’a kuku gheli weta, pengga hoa wini kayu kukun lurus adik perempuan, tikam tanam bibit ‘Adik perempuan menikam dan tanam bibit dengan kayu kukun lurus’ Nara wetu jomi weta, nggoti do ndomi saudara tajamkan ujungnya adik perempuan, tanam lebih cepat ‘Saudara tajamkan ujungnya sehingga adik perempuan bisa tanam lebih banyak’ Ungkapan syair pada (4-13) dan (4-14) esensi pesannya menyiratkan makna giat bekerja untuk mendapatkan hasil yang berlimpah dengan menanam padi dan jagung. Padi dan jagung merupakan jenis tanaman yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang etnik Rongga yang dikembangkan secara tradisional.
71
Vera (Tarian & Nyanyian)
Vera Sara jawa (Vera Sedih)
Vera Saju (tolak bala)
Vera Haimelo (Vera Gembira)
Vera Dheke Ra’a (pemulihan nama baik)
Vera Dheke Sa’o (masuk rumah adat baru)
Vera Ghau Gha (sebagai media hiburan)
Vera mboku sa’o Mbasa Wini (pemberkatan bibit)
Bagan 4.1 Klasifikasi Vera
4.4 Karakteristik Teks Wacana Vera Berikut dipaparkan karakteristik teks vera yang dirunut menurut jenis teks, isi pesan yang terkandung di dalamnya, dan amanat yang disampaikan. Karakteristik teks tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini. 4.4.1 Jenis Teks Wacana Vera Wacana tradisi lisan vera memiliki bentuk satuan kebahasaan yang diracik secara khusus berupa penggunaan ungkapan berpasangan dan kata-kata arkais yang maknanya sulit dipahami.36 Ditilik dari ragam bahasanya, wacana tradisi lisan vera digolongkan sebagai sastra lisan karena disebarkan dan diwariskan secara lisan atau dari mulut ke mulut. Dilihat dari medium penyampaian, wacana
36
Penggunaan kata-kata arkais tersebut dapat diidentifikasi sebagai fenomena retak dalam teks dengan tujuan untuk menunjang kesakralan fungsi dan makna wacana tradisi lisan vera.
72
tradisi lisan vera termasuk folklor campuran verbal (verbal mixed-folklor atau partly verbal folklore) karena memadukan tarian dan nyanyian. Ditelaah dari aspek bentuk, wacana tradisi lisan vera merupakan puisi rakyat berbentuk syair sebagai model ekspresi gagasan yang ingin disampaikan. Sebagai puisi rakyat, wacana tradisi lisan vera memiliki struktur tersendiri yang memadukan sistem bunyi yang teratur dan terpola dengan formulasi ekspresi-ekspresi dan kata-kata yang diseleksi dengan guratan makna khas sesuai dengan kekhususan konteks ritual yang melatarinya. Ditilik dari perspektif linguistik formal, satuan kebahasaan wacana tradisi lisan vera tampil dalam bentuk baris dan bait yang berupa perpaduan leksem dan pengulangan dengan memanfaatkan fitur paralelisme sebagai ciri utama. Kekhasan fitur paralelisme tersebut tercermin dalam paralelisme fonologis yang ditandai dengan penggunaan asonansi, aliterasi, rima. Paralelisme leksikosemantik ditandai dengan sinonim dengan tujuan untuk mempertegas makna pesan yang ingin disampaikan.37 4.4.2 Isi Teks Wacana Vera Teks vera merupakan produk dan praktik budaya warisan leluhur yang berperan sebagai peranti untuk mempererat rasa kebersamaan dalam ikatan komunitas etnik Rongga, di samping mencirikan identitas keyakinan etnik Rongga sebagai suatu kelompok masyarakat adat. Sesuai dengan esensi isi pesan yang terkandung di dalamnya, teks vera mengulas kisah sejarah asal usul suku yang tercakup dalam kelompok etnik Rongga. 37
Hal ini mendukung pandangan Fox (1974:73) dan Grimes (1997) yang menyatakan bahwa paralelisme merupakan salah satu ciri khas dan menonjol tuturan ritual di kawasan timur Indonesia.
73
Seperti telah disinggung sebelumnya, kelompok etnik Rongga terdiri atas 22 suku yang terdiri atas suku Liti, Motu, Lowa, Nggeli, Sawu, Nggana, Raghi, Sui, Wio, Naru, Sera, Mbula, Kenge, Tanda, Ramba, Ria, Kewi, Poso, Ngenga, Nggejo, Roka, dan Ramba (Sumitri dan Arka, 2013:10). Suku-suku tersebut terbentuk berdasarkan hubungan kekerabatan darah dan kekerabatan perkawinan, di samping kesamaan rumah induk sebagai rumah asal. Sebagai suatu masyarakat adat, enik Rongga memiliki tata susunan masyarakat yang berpijak di atas normanorma adat, kekeluargaan, dan kebersamaan yang terbentuk sesuai dengan kaidah sosial budaya warisan leluhurnya. Kandungan makna historis dalam wacana tradisi lisan vera sebagai sumber pengetahuan tentang asal muasal untuk memupuk semangat sosial-kolektif dan menciptakan kerukunan hidup etnik Rongga. Kerukumam itu dilandasi dengan nilai rasa kebersamaan sebagai saudara hidup dalam kenersamaan. Wacana tradisi lisan vera menyiratkan kekayaan intelektual etnik Rongga yang sarat nilai filosofis yang dikemas dalam satu kesatuan dengan gaya bahasa persamaan, metafora, personifikasi, dan sindiran. Nilai filosofis wacana tradisi lisan vera terkait dengan eksistensi diri etnik Rongga sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk berbudaya. Salah satu nilai filosofis penting dalam vera adalah agar dalam keseharian hidupnya, etnik Rongga mesti menampilkan pola perilaku yang baik demi pemertahanan keselarasan hubungan dengan lingkungan sosial-budaya dan lingkungan alam fisik. Sesuai dengan konseptualisasi yang terbingkai dalam peta pengetahuan etnik Rongga, setiap bencana alam yang terjadi bertalian secara maknawi dengan perilaku manusia. Malapetaka yang
74
dialami dipahami sebagai imbalan atas kesalahan yang sudah dibuat dalam kehidupannya. Malapetaka merupakan ganjaran dari nenek moyang dan Tuhan atas perilaku menyimpang dari kaidah budaya leluhur. Sebagai sebuah produk dan praktik budaya warisan leluhur, dalam wacana tradisi lisan vera tersirat keyakinan akan kemahabesaran Tuhan, di samping signifikansi peran leluhur sebagai perantara dan sandaran untuk mendapatkan perlindungan ketika warga etnik Rongga menghadapi beragam tantangan hidup. 4.4.3 Amanat Teks Wacana Vera Amanat utama yang terkandung dalam wacana tradisi lisan vera bergayut dengan konseptualisasi etnik Rongga tentang eksistensi Tuhan, roh leluhur, dan roh alam, di samping eksistensi diri mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dalam hubungannya dengan ketiga kekuatan adikodrati tersebut. Meskipun pelaksanaan vera sara jawa hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, amanat yang terkandung di dalamnya, selain berkaitan dengan hakikat kematian sebagai bukti keberhinggaan eksistensial manusia di hadapan Tuhan, juga
mempunyai
efektivitas
sosial
menyangkut
pentingnya
memberi
penghormatan kepada orang yang meninggal. Dengan mengisahkan perjalanan hidup, jasa-jasa, dan perbuatan baik yang pernah dilakukan semasa masa hidupnya, tersirat amanat yang patut diteladani dalam konteks kehidupan setiap hari.
Penghormatan
terhadap
orang
yang
meninggal,
sebagaimana
dimanifestasikan melalui vera sara jawa, merupakan refleksi nilai sosial-budaya tentang pentingnya menghargai jasa dan menghormati keteladanan sosok tokohnya.
75
Sesuai dengan konseptualisasi yang tertera dalam peta pengetahuan etnik Rongga, siratan amanat yang terkandung dalam vera haimelo tidak saja bermuara pada rekonsiliasi transendental dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam, tetapi juga rekonsiliasi sosial mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat demi pemertahanan keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan. Substansi amanat vera mbasa wini ialah memohon kepada Tuhan dan roh leluhur agar bibit yang akan ditanam di ladang terbebas dari hama penyakit sehingga dapat bertumbuh subur
dan
memperoleh
hasil
berlimpah.
Esensi
isi
pesan
tersebut
terkonseptualisasi dalam peta pengetahuan atau skemata budaya etnik Rongga sesuai dengan pengalaman yang pernah mereka hadapi sebelumnya. 4.4.4 Konteks Teks Vera Pertunjukan sebagai sebuah aktivitas ekspresif tidak saja memberikan kenikmatan dan mengundang tanggapan, tetapi juga membutuhkan partisipan (Sims dan Stephens, 2005:128-129). Pertunjukan vera sebagai aktivitas ekspresif yang menyingkap sosok kebudayaan etnik Rongga membutuhkan partisipan yang berperan sebagai penari dan penyanyi. Hal ini bertalian dengan pandangan Finnegan (1992a:94-98) yang menyatakan bahwa dalam sebuah pertunjukan dua unsur yang berperan adalah penyaji dan penonton. Penyaji menentukan keberhasilan pertunjukan karena merangsang penonton untuk memberikan respon terhadap pertunjukan. Interaksi antara penyaji dan penonton merupakan salah satu persyaratan yang menentukan keberhasilan dan kualitas sebuah pertunjukan. 38
38
Pandangan di atas diperkuat dengan pendapat Mathew Isaac Cohen, Professor of International Theatre Department of Drama and Theathre, dari University of London Egham dalam wawancara yang berlangsung di Leiden, Belanda, tanggal 4 dan 25 November 2011.
76
Unsur lain yang menentukan keberhasilan sebuah pertunjukan adalah situasi dan media. Beberapa aspek yang tercakup dalam unsur situasi adalah sebagai berikut: (1) waktu, tempat, dan jarak; (2) susunan dan organisasi pertunjukan; (3) perilaku khalayak; dan (4) pandangan masyarakat. Beberapa aspek yang tercakup dalam unsur media adalah sebagai berikut: (1) saluran akuistik (bunyi bahasa, musik, dan akuistik seperti bunyi yang dihasilkan alat-alat tubuh); (2) saluran visual dan material (warna kostum, perhiasan, alat musik, aransemen, sistem tanda, dan simbol); (3) kinesik (bahasa tubuh dan proksemik jarak antarpartisipan dalam komunikasi); dan (4) perasaan yang muncul selama proses pertunjukan. Unsur pertunjukan di atas berkaitan erat dengan komponen dalam etnografi komunikasi (Hymes, 1972:35-37). Etnografi komunikasi mengkaji peran bahasa dalam perilaku komunikatif, yakni bagaimana bahasa digunakan dalam masyarakat yang berbeda-beda kebudayan, dan sebagai salah satu ancangan dan pisau analisis dalam membedah sebuah peristiwa tutur. Merujuk pada pandangan tersebut, dalam bagian ini, dipaparkan dan dijelaskan beberapa komponen utama vera haimelo, khususnya vera mbuku sa’o mbasa wini, yang mencakup latar, pelibat, tujuan, urutan tindakan, dan bahasa. 39
39
Ritual vera mbasa wini diambil sebagai contoh karena termasuk ritual musiman yang dilaksanakan secara rutin dan intensif setiap tahun oleh etnik Rongga sampai sekarang.
77
4.4.5 Latar Pengertian latar di sini menunjuk pada konteks waktu, tempat, dan suasana psikologis sebagai lingkungan nirkata yang melatari pelaksanaan vera mbasa wini. Berikut dijelaskan masing-masing latar tersebut. 4.4.5.1 Latar waktu Vera mbasa wini termasuk ritual musiman yang dilaksanakan secara rutin dan intensif setiap tahun, sebelum musim tanam atau sekitar Oktober sampai November. Akan tetapi, pada masa sekarang, waktu pelaksanaannya bergantung pada kesiapan keluarga yang bersangkutan. Vera mbasa wini dilaksanakan pada malam hari sampai dengan pagi menjelang matahari terbit sesuai dengan konseptualisasi etnik Rongga bahwa malam hari adalah waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Malam hari merupakan kesempatan yang baik bagi orang tua untuk memberikan nasihat kepada anakanaknya yang masih membutuhkan bimbingan dalam proses pembentukan watak dan kepribadian mereka. Waktu pelaksanaan ritual tersebut bersesuaian dengan keberadaan mereka sebagi petani ladang, yang pada siang hari bekerja di kebun dan sore hari baru pulang ke rumah, sehingga pada malam hari, mereka berkumpul bersama dengan seluruh anggota keluarga di rumah. 4.4.5.2 Latar tempat Ritual mbuku sa’o mbasa wini dilaksanakan di halaman rumah adat yang disebut dengan istilah sa’o lamba. Panggung tempat pelaksanaan vera terletak di halaman terbuka dengan posisi penari membentuk barisan tepat di depan halaman
78
rumah adat. Panggung dibuat di luar rumah adat guna memberikan keleluasaan kepada pelibat upacara dalam menari dan menyanyi. 4.4.5.3 Pelibat Setiap orang bisa terlibat dalam acara vera, kecuali dalam acara inti hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Menurut konseptualisasi etnik Rongga, pertunjukan vera harus dilakukan oleh orang dewasa karena memiliki kestabilan emosi dan mampu menari sambil melantunkan syair-syair vera dengan baik sesuai dengan kaidah leluhur. Selain memiliki rasa tanggungjawab atas keberlangsungan hidup vera, pertunjukan vera dilaksanakan oleh orang dewasa agar dapat berjalan lancar karena vera merupakan produk dan praktik budaya warisan leluhur yang bersifat sakral-magis. Tiga kelompok pelibat yang mengemban peran sebagai pelaku utama dalam pertunjukani vera adalah nua lako, woghu, dan daghe. Masing-masing pelibat pertunjukan vera adalah sebagai berikut. 1) Noa Lako Noa lako adalah seorang laki-laki dewasa yang berperan sebagai pemimpin dan pemandu tarian vera yang berposisi paling depan dalam barisan penari berhadapan dengan daghe. Sesuai an denkonseptualisasi etnik Rongga, laki-laki tidak saja memiliki kemampuan fisik yang kuat, tetapi juga mampu mengendalikan dan membangunkan semangat para penari untuk tetap bertahan karena pelaksanaan vera berlangsung dalam waktu relatif panjang dan sangat melelahkan.
79
Orang yang berperan sebagai noa lako adalah orang yang telah dikenal masyarakat karena memiliki keahlian melantunkan syair-syair vera. Selain memiliki keahlian melantunkan syair-syair vera, seorang noa lako mesti memiliki kemampuan menyemarakkan vera dengan membalas syair-syair atau berbalas pantun dari posa pata dengan sikap sopan dan santun. Yang bersangkutan mesti memiliki kemampuan membangkitkan semangat para penari dengan hentakan kaki dan lantunan suara merdu sehingga membakar semangat para penari dalam menampilkan gerakan tari dan menyanyi, teristimewa pada saat gerakan tari berlari mengelilingi arena pertunjukan. Gerakan tari sambil berlari secara berulang tanpa henti mengiringi lantunan syair-syair lagu yang dinyanyikan bersama menambah maraknya suasana pertunjukan vera. 2) Woghu dan Daghe Partisipan lain yang mengemban peran penting dalam konteks pertunjukan tarian vera adalah woghu (penari laki-laki) dan daghe (penari perempuan). Kelompok woghu yang berjumlah minimal sepuluh orang dan berada di barisan paling belakang dari barisan daghe membentuk posisi melengkung serta berperan sebagai penari dan penyanyi. Seorang woghu yang mengemban tugas khusus untuk melantunkan syair-syair nyanyian yang dibalas oleh noa lako dan diiringi sahutan sayir-syair nyanyian dari daghe, yang sarat pesan moral, disebut posa pata ‘tunjuk pesan’. Salah satu contoh syair yang dilantunkan oleh posa pata yang menyiratkan makna kemahakuasaan Tuhan yang menciptakan manusia di dunia tiada yang lain dapat dilihat dan disimak pada fragmen berikut.
80
(4-15) Kau kau ja’o, kau mendu sei kamu-kamu saya kamu bukan siapa ‘Kamu dan saya, kamu bukan siapa’ Kau kau ja’o, kaju jawa mendu ata kamu-kamu saya, kayu jawa bukan orang lain ‘Kamu dan saya bukan orang lain’ Pada pelaksanaan acara inti vera, seorang woghu yang mengemban tugas khusus untuk melantunkan syair-syair vera memberi aba-aba tari dalam gerakan tari sambil berlari disebut posa jara ‘tunjuk langkah’. Salah satu contoh syair di bawah ini yang dilantunkan posa jara
secara maknawi menyiratkan makna
sindiran kepada orang yang tidak mandiri dan selalu bergantung pada orang lain. (4-16) Ana niu embu, kana nderi-nderi anak panggil nenek, selalu nderi nderi (nama orang) ‘Anak memanggil nenek selalu nderi nderi (nama orang)’ Embu niu nusi, kana nderi-nderi nenek panggil moyang selalu nderi nderi (nama orang) ‘Memangil nenek moyang dengan nderi nedri (nama orang)’ Kelompok dhage yang berjumlah minimal sepuluh orang berposisi di depan barisan woghu dan saling berpegangan tangan berangkai. Barisan diatur oleh seorang daghe yang berada pada posisi paling depan, yang disebut ana ulu ‘anak kepala’. Seorang penari dari barisan daghe yang berada pada posisi paling ujung akhir disebut ana eko ‘anak akhir’. Seorang daghe yang bertugas melempar selendang sebagai tanda selesainya vera disebut pani ‘umpan’. Semua penari mesti menunjukkan dan menampilkan kekompakan dalam menari dan menyanyi tanpa henti mengelilingi arena sampai pertunjukan vera selesai pada pagi hari menjelang matahari terbit.
81
4.4.6 Tujuan Komunitas etnik Rongga mengenal berbagai kebiasaan yang dipegang teguh demi mencapai ketenteraman dan kerukunan hidup mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Kesamaan pola pikir religius tentang eksistensi Tuhan, roh leluhur, dan roh alam tampak secara eksplisit dan implisit dalam struktur vera mbuku sa’o mbasa wini. Hal itu menunjukkan adanya ketergantungannya sebagai manusia dan anggota masyarakat dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Sebagai manusia, mereka perlu melakukan pengendalian diri secara sosial dengan mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku sesuai dengan konvensi sosial yang sudah digariskan dan diwariskan leluhurnya. Ritual vera merupakan media dan sarana bagi etnik Rongga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berpilar pada keyakinan akan adanya kekuatan adikodrati yang sangat menentukan keberadaan, kebertahanan, dan keberlangsungan hidup sebagai manusia dan anggota masyarakat. Dalam perspektif ini, ritual sebagai praktik peribadatan tidak saja mengekpresikan emosi spiritual dengan guratan makna magis, tetapi juga mengikat para pelakunya ke dalam ikatan komunitas. Ritual vera yang sudah terpola dalam tatanan kehidupan etnik Rongga memberikan identitas keyakinan yang kemudian dicerap menjadi ciri-ciri individu. Keyakinan yang terpancar melalui ritual vera merupakan sumber daya bagi warga etnik Rongga agar mereka bisa bertahan hidup dalam dunia, baik dalam dunia faktual maupun dalam dunia simbolis. Ritual vera mbuku sa’o mbasa wini berfungsi sebagai wahana penyembahan terhadap Tuhan dan pernghormatan terhadap roh leluhur sebagai
82
sumber kekuatan spiritual utama yang sangat menentukan keberadaan dan kebertahanan hidup mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Dalam wacana tradisi lisan vera, termuat resapan keinginan dan harapan etnik Rongga agar roh leluhur selalu melindungi mereka dalam menghadapi tantangan hidupnya di dunia. Dengan dilaksanakan ritual vera, diharapkan semua anggota suku terbebas dari berbagai malapetaka. Sesuai dengan konseptualisasi etnik Rongga, Pelaksanaan vera sebagai sebuah ritual yang disertai dengan iringan tarian dan nyanyian memiliki tujuan khusus yang tidak terpisahkan dari kepercayaan asli mereka. Oleh karena itu, pelaksanaan ritual vera tidak saja memperkuat dan meneruskan nilai tradisi budaya warisan leluhur, tetapi juga mengesahkan sistem kepercayaan atau agama lokal yang dianut oleh etnik Rongga.
4.4.7 Urutan Tindakan Dilihat dari urutan tindakannya, secara umum, struktur ritual vera terdiri atas tiga bagian upacara yang berhubungan secara organis dan saling terkait dalam satu kesatuan struktur dan tekstur. Ketiga bagian upacara sebagai unsur bawahan yang membentuk struktur ritual vera meliputi bagian pembukaan (ti’ika), inti (vera), dan penutup (tetendere). Masing-masing bagian ini dapat diuraikan seperti berikut. 1. Bagian Pembukaan Upacara bagian pembukaan adalah pemotongan ayam persembahan (pau manu). Pemotongan ayam itu untuk memberi makan kepada roh leluhur (ti’i ka embu nusi) dengan urutan tindakan upacaranya sebagai berikut.
83
a) Ti’i Ka Secara etimologis, ti’i ka terbentuk dari kata (verba) ti’i ‘beri’ dan kata (nomina) ka ‘makanan’. Ritual ti’ika adalah ritual pemberian makanan kepada roh leluhur (embu nusi) dengan tujuan untuk memberitahukan kepada roh leluhur bahwa mereka akan melaksanakan ritual vera dan memohon agar tidak ada halangan dalam proses pelaksanaannya. Jenis hewan yang menjadi sarana persembahan adalah dua ekor ayam jantan berwarna merah. Pertama-tama, kedua ayam itu disembelih dan dibakar (tunu). Setelah dibakar, ayam itu dipotongpotong dan diambil hatinya untuk diperiksa urat (ngilo ura manu), sebagaimana dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.1 Pemeriksaan Hati Ayam (ngilo ura manu) dalam Konteks Vera mbuku sao’o mbasa wini (Dokumen Sumitri, 2012) Gambar 4.1 di atas adalah pemeriksaan hati ayam untuk mengetahui apakah musim tanam pada tahun musim yang akan datang mendapatkan hasil berlimpah atau tidak. Apabila hati ayam sehat, itu berarti mereka akan mendapat hasil berlimpah, atau sebaliknya, apabila tidak sehat, itu berarti panennya akan gagal. Setelah dilaksanakan pemeriksaan hati ayam, sebagian isi dan hatinya
84
dibakar lalu dicuil sebagai lauk untuk dipersembahkan kepada roh leluhur. Setelah pemberian makan kepada leluhur, acara selanjutnya adalah acara makan malam bersama untuk semua peserta vera. b) Mbata Mbata adalah acara menyanyi bersama yang diiringi pemukulan gong dan gendang dengan tujuan mengundang para peserta vera untuk melakukan persiapan karena pertunjukan vera akan segera dimulai. Kelompok pelibat adalah semua orang yang hadir pada malam itu, baik anggota suku maupun di luar suku, yang memiliki keterampilan mbata. Lagu-lagunya diambil dari teks mbata yang sudah biasa didendangkan oleh pecinta mbata, sebagaimana dapat dilihat dan disimak di bawah ini. (4-22)
Romalu totoro, romalu totoro oooooo Semua leluhur hadir semua roh leluhur hadir ‘Semua roh leluhur hadir’
Seperti tampak pada data (4.22) di atas, esensi isi pesan yang tergurat dalam syair itu ialah mengundang roh leluhur agar hadir dalam rangkaian upacara vera dan memohon perlindungan agar proses pelakasanaan vera berjalan lancar. 2. Bagian Inti (Vera) Bagian inti adalah pertunjukan tarian vera yang membawahi beberapa bagian yang berhubungan secara organis dan saling terkait dalam satu kesatuan struktur dan tekstur. a) Nggo Lau Tolo Sebelum acara vera dipentaskan di halaman rumah, diawali dengan acara nggo lau tolo. Kata (nomina) nggo berarti ‘gong’ atau ‘gendang’ dan kata
85
(nomina) lau tolo berarti ‘loteng’, tempat khusus untuk menyimpan gonggendang. Acara ini bertujuan memberitahukan bahwa acara mbata telah berakhir dan gong-gendang disimpan lagi di loteng (lau tolo) karena pertunjukan tarian vera akan segera dimulai. Bunyi syair lagu dalam acara nggo lau tolo adalah sebagai berikut. (4-17)
Nggo lau tolo, e e lau tolo wonga Gong gendang loteng ya ya loteng tempat ‘Gong gendang tempatnya di loteng’
(4-18)
Sese ana manu, ana manu kero Kuning anak ayam. anak ayam kuning ‘Anak ayam berwarna kuning’
Data (4-17) menyiratkan makna bahwa acara mbata sudah selesai dan gong- gendang segera disimpan kembali di loteng rumah adat. Data (4-18) berisi sanjungan kepada penari wanita yang cantik-cantik dan berkulit putih kekuningkuningan. Syair di atas diulang tiga atau empat kali oleh penari sambil berjalan menuju ke arena dan bernyanyi bersahutan antara penari laki-laki dan perempuan. b) Tora Loka Tora loka adalah acara pembersihan arena dari gangguan roh jahat dan sesama manusia agar tarian vera berjalan lancar dan sukses dengan memohon kehadiran leluhur. Para penari laki-laki (woghu) dan penari perempuan (daghe) berbaris dalam posisi berpegangan tangan sambil mengayunkan badan ke kiri dan ke kanan mengikuti irama lagu. Noa lako melantunkan syair-syair yang langsung dijawab oleh woghu. Berikut adalah syair yang didendangkan dalam acara tora loka dengan durasi waktu kurang lebih tiga menit.
86
(4-19) O
a
o
Embu mai o o a o leluhur datang A a o a sama neki o o a o o sama kumpul A a o o a ‘Kumpul bersama mengundang kehadiran leluhur’ Songgo bondo o o a o o pinjam lumbung A a o o a nggelu bhondo o o a o o kembali lumbung A a o o a songgo kamba o o a o o pinjam kerbau A a o o a nggelu kamba o o a o o kembali kerbau A a o o a
Peringatan jika memiliki hutang hendaknya dibayar. Selaras dengan makna leksikal kata-kata dalam data (4-19) di atas, tujuan acara tora loka ialah mengundang roh leluhur agar hadir bersama dalam kegiatan vera. Selain itu, acara tora loka juga mengingatkan kepada sesama jika mereka mempunyai utang agar segera dibayar atau dilunasi. c) Ngga’e Ngga’e adalah acara pemaparaan sejarah asal usul suku yang melaksanakan vera. Masing-masing suku memiliki vera, tetapi pada dasarnya semua vera sama, kecuali bagian ngga’e. Berikut adalah contoh ngga’e suku Motu yang dituturkan dalam konteks vera mbasa wini. (4-20)
Motu weka ndili mai, weka ndili mai Jawa suku Motu nama turun datang, nama turun datang Jawa ‘Nama suku motu turun dan datang dari Jawa’
87
Rajo ngazha Milo Motu, tu ndele Sarikondo perahu nama Milo Motu tanah utara Sarikondo ‘Nama perahu Milo Motu dari tanah utara Sarikondo’ (4-21) Sarikondo mosa me’a, tei Motu stana mezhe nama laki dewasa sendiri lihat nama Motu sangat besar ‘Sarikondo sendiri sangat dikenal dan pertumbuhan Motu sangat besar’ Motu woe limazhua, embu me’a Sunggisina motu suku tujuh nenek sendiri Sunggisina’. ‘Motu adalah tujuh bersaudara keturunan dari Sunggisina’ Motu woe limazhua, beka sogho wae kodhe motu suku tujuh pecah sebab air kera’. ‘Motu adalah tujuh bersaudara tetapi mereka pecah belah karena berjuang untuk memperebutkan sup kera’ Ungkapan (4-20) dan (4-21) di atas esensi pesannya menyitakan makna sejarah orang Rongga khususnya suku Motu yang merupakan suku terbesar berasal dari tanah Jawa.
d) Vera (Acara Inti) Vera sebagai acara inti adalah pertunjukan tarian yang diiringi nyanyian, dengan karakteristik unik karena hanya menampilkan gerakan kaki sambil bergoyang dengan posisi tangan selang berangkai dan tarik-tarikan tatkala syairsyair dinyanyikan. Seperti telah disinggung sebelumnya, tarian vera dibawakan oleh penari dewasa (laki-laki dan perempuan), yang terdiri atas noa lako (pemimpin tarian), daghe (penari perempuan), dan woghu (penari laki-laki). Tarian vera diragakan dalam posisi berdiri dengan membentuk dua barisan, yakni barisan depan adalah daghe yang berpegangan tangan merentang setinggi ulu hati dan barisan belakang adalah woghu, dan noa lako sebagai pemimpin berada di depan daghe. Formasi penari vera (woghu, dhage, noa lako) sebagai kelompok pelibat utama dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
88
Gambar 4.2: Formasi Penari Vera (noa lako, daghe, woghu) (Dokumen Sumitri, 2012) Gambar 4.2 di atas adalah formasi penari vera sebelum dimulai dengan membentuk dua barisan. Barisan depan diisi oleh daghe (penari perempuan) dengan tangan berpegangan dalam bentuk saling-silang. Para penari menari dan menyanyi bersama dengan gerakan kaki serentak. Kekuatan tarian vera tidak saja ditentukan oleh kepekatan pesan yang terungkap dalam syairnya, tetapi juga gerakan tari yang ditampilkan oleh penarinya, sebagaimana tercermin dari ketaatan penari dalam membawakan perannya masing-masing. Gerakan kaki penari mulai pelan dan siap-siap lari dalam posisi baris berangkai di bawah panduan penari paling depan (ana ulu). Gerakan kaki disesuaikan dengan irama lagu berpantun yang dinyanyikan oleh woghu dan dibalas oleh noa lako. Syair nyanyian vera yang berisi pesan moral dan etika kehidupan seperti imbauan jangan mencampuri urusan orang lain, dapat disimak dalam syair berikut. (4-21) eu lako seku, ma’e hewe hale kende lolongan anjing seku, jangan dengar sana kende Anjing seku melolong, jangan dengar di Kende (nama tempat) kolo waeko, ma’e paru mabha landu gonggong waeko, jangan lari padang landu Gonggongan waeko padang landu jangan lari
89
Woghu yang mengemban tugas khusus untuk melantunkan syair vera memberikan aba-aba kepada penari untuk mulai menari sambil berlari pelan disebut posa jara ‘petunjuk langkah’. Noa lako yang berada pada barisan paling depan menghadap daghe adalah pemandu yang bertugas membalas pantun dari posa pata. Ana ulu ‘anak kepala’ adalah seorang penari perempuan yang berada di barisan ujung paling depan yang bertugas menarik dan mengarahkan para penari yang lain pada saat gerakan tari berlari mengelilingi arena. Ana eko ‘anak akhir’ bersama ana ulu ‘anak kepala’ membentuk barisan yang kuat agar tidak putus atau pisah. Sambil menari dan menyanyi, para penari berpegangan tangan menari sambil bergerak ke depan dan ke belakang, berjalan berkeliling secara berulangulang. Semua gerakan disesuaikan dengan gerakan kaki dan badan seiring dengan irama lagu, namun tetap bernuansa sakral. Gambaran alur gerakan kaki dan badan sesuai dengan irama lagu yang didendangkan dapat dilihat pada gambar 4-3 di bawah ini.
Gambar 4.3.
Alur gerakan kaki daghe/penari vera perempuan (Dokumen Sumitri, 2012)
90
Gambar 4-3 di atas menunjukkan alur gerak kaki penari vera yang dipandu oleh noa lako. Nilai seni vera itu terletak pada keharmonisan gerak penari, lantunan lagu, dan kepiawaian pemimpin dalam memandu. Kreasi seni vera menuntut penari untuk memiliki kemampuan memainkan keharmonisan bersama secara lingual dan seni gerak dalam menyanyikan syair-syair dengan pola-pola bahasa yang khas bergaya sastra menambah kedinamisan tarian vera (Sumitri dan Arka, 2013:6). Sinergisitas semua unsur menambah keindahan dan keharmonisan gerak tari vera, di samping nyanyian yang didendangkan menambah maraknya suasana pertunjukan vera. Berikut adalah contoh syair lagu vera yang dinyanyikan dan didendangkan pada saat acara inti berlangsung. (4-23) Kowa ko sapa, lau lema lema lau perahu kecil atau sampan, ke (selatan) dalam dalam ke (selatan) ‘Perahu kecil atau sampan ke arah selatan yang dalam’ Tewa laja lewa ramba pere angi merhe kibar layar panjang supaya lindung angin besar ‘Kibar layar yang panjang supaya terlindung dari angin besar’ (4-24) Ngguru tara woso, woso arhi woso ka’e aur ranting banyak, banyak adik banyak kakak ‘Aur (sejenis pohon bambu) ranting banyak, banyak adik dan banyak kakak’ Bhesi singga lina lina riwu lina ngasu saudara banyak sekali sekali orang banyak sekali seratus ‘Bersaudara banyak orang; Teks vera di atas tersusun dalam baris yang berhubungan secara fungsional dan maknawi berdasarkan susunan kata, struktur yang sama, struktur yang sama berselang-seling, pertukaran kata pada posisi berbeda dan bait yang
91
menunjukkan
perpaduan
secara
leksikal
melalui
pengulangan
dengan
memanfaatkan fitur paralelisme sebagai salah satu ciri khas rajutan bahasa bergaya sastra. Penggunaan paralelisme dalam teks wacana mbuku sa’o mbasa wini, selain menyentuh tataran formal yang berupa paralelisme fonologis, asonansi, aliterasi, rima, dan bentuk gramatikal yang lain, juga merengkuh tataran leksikosemantik berupa penggunaan butir-butir leksikal yang saling berhubungan secara semantis demi menunjang dan mempertegas makna pesan. Uraian lebih rinci dapat dilihat pada bab V. e) Tangi Jo Tangi jo adalah tarian penutup yang ditandai dengan pelemparan selendang oleh daghe. Pada tahap ini, noa lako bergabung kembali ke barisan woghu dan posisinya diganti oleh seorang daghe yang disebut pani ‘umpan’. Woghu menyanyikan syair-syair lagu secara berulang pada saat acara tangi jo, yang esensi isi pesannya menyiratkan makna kegembiraan. Setelah usai pertunjukan mereka kembali ke rumah, seperti dapat dilihat pada fragmen berikut. (4-25) jo jodo na tangi jo e jona pasang tangga kami mau masuk rumah ‘ Anak tangga dipasang agar kami bisa masuk ke rumah’ Jo jodo na tangi jo e jona pasang tangga kami mau masuk rumah ‘Anak tangga dipasang agar kami bisa masuk ke rumah’
Syair di atas diulang empat sampai lima kali oleh woghu, sementara penari perempuan hanya menari dan tidak ikut menyanyi. Pada saat dinyanyikan jo jodo, selempang dari seorang pani dan ana ulu bersentuhan dan kemudian keduanya berpelukan sebagai tanda perdamaian. Hal itu menandakan bahwa tarian vera
92
sudah selesai. Vera ditutup dengan acara tetendere, yakni pemukulan gong dan tambur oleh woghu dan daghe, dengan durasi waktu kurang lebih sepuluh menit. Acara selanjutnya adalah acara minum kopi bersama dan sesudah itu semua peserta vera bubar dan pulang ke rumah masing-masing. Urutan tindakan upacara tersebut merupakan bagian dari kaidah warisan leluhur yang diterima oleh etnik Rongga sebagai norma sosial yang patut ditaati. Jika tidak ditaati, diyakini bahwa roh leluhur akan marah dan sebagai konsekuensinya mereka akan mendapat sanksi adikodrati seperti sakit dan sebagainya. Sanksi tersebut dipahami oleh etnik Rongga sebagai media peringatan atas kesalahan yang dibuatnya pada saat pelaksanaan vera. Oleh karena itu, selama upacara vera berlangsung, semua pelibat mesti berperilaku santun dalam tuturan dan perbuatan. 3. Penutup (Tetendere) Bagian penutup dengan
upacara tetendere. Upacara tetendere adalah
upacara tabuh gendang berirama yang dilakukan oleh woghu dan daghe, guna menandakan bahwa seluruh rangkaian kegiatan upacara ritual vera mbuku sa’o mbasa wini berakhir.
4.5 Bahasa Vera Seperti telah dijelaskan di atas, vera adalah bagian ritual berupa pertunjukan tarian yang disertai dengan nyanyian dalam bahasa Rongga. Syair nyanyian vera tampil dalam bentuk puisi yang mengandung keindahan bentuk dan
93
kenikmatan inderawi. 40 Bahasa vera adalah bahasa ritual yang dirakit secara apik dalam wujud frasa, klausa, larik, dan bait. Kata-kata dipilih secara cermat demi terciptanya suasana sakral-magis dalam satu kemasan bahasa beragam sastra dan bermakna estetis.41 Suasana sakral-magis itu memiliki keterkaitan dengan emosi para pelaku dan penonton, terutama ketika jejak sejarah asal usulnya (leluhur) dituturkan pada acara ngga’e, yakni penuturan silsilah suku. Pemanfaatan diksi dalam teks vera juga berkaitan dengan lingkungan alam, sebagaimana tercermin dalam penggunaan kata nunu ‘pohon beringin’ yang dalam konseptualisasi etnik Rongga dipahami sebagai pohon sakral karena dihuni kekuatan gaib. Kerimbunan dahan, ranting, daun, dan akarnya diyakini sebagai simbol pengayoman, perlindungan, kenyamanan, dan kesejukan bagi semua mahkluk hidup. Sifat pohon beringin diandaikan dengan sifat Tuhan sebagai sumber kehidupan bagi semua mahkluk dan menjadi tempat manusia bersandar jika mengalami kesulitan. Secara ekologis, pohon beringin memiliki sejumlah fungsi atau kegunaan. Kemampuan akarnya menyimpan dan meresap air menjadikan pohon beringin sebagai sumber air, di samping rimbunnya dahan, daun, dan ranting sebagai tempat berbagai fauna dapat menikmati suasana kehidupan nyaman. Situasi demikian mencerminkan pola perilaku yang setia menjaga dan melestarikan lingkungan alam.
40
41
Penggunaan bahasa beragam sastra dalam syair-syair vera merupakan bagian dari kesalehan ritual vera. Hasil wawancara dengan Bapak Markus Bana di Waelengga, pada tanggal 18 November 2012. Hasil wawancara ini didiskusikan dan dinegosiasi lebih lanjut dengan Bapak Wilhelmus Roma, Bapak Agustinus Roka, Bapak Paulus Meka, dan Bapak Antonius Salo.
94
Kata jawa ‘jagung’ adalah salah satu media untuk mengekspresikan keyakinan etnik Rongga akan kemahabesaran Tuhan sebagai pencipta
alam
semesta. Dalam konseptualisasi etnik Rongga, jawa ‘jagung’ bersifat sakral karena memiliki kekuatan yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Konseptualisasi itu terbentuk karena jagung adalah makanan pokok bagi etnik Rongga pada masa silam, di samping padi dan kacang-kacangan. Jagung dipahami etnik Rongga sebagai manifestasi kasih Tuhan terhadap mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat, sehingga jagung mendapat perlakuan khusus dan istimewa dalam konteks kehidupan etnik Rongga, seperti dapat disaksikan dalam vera mbasa wini.
4.6 Perbandingan Teks Vera Berikut dipaparkan teks vera sara jawa yang disanding dalam tolok bandingan dengan teks vera haimelo, khususnya vera mbuku sa’o mbasa wini. Perbandingan ini bertujuan untuk mengetahui sisi persamaan dan perbedaannya sebagai basis argumentasi yang mendasari pemilihan teks vera sebagai sumber data utama dalam menjawab masalah yang ditelaah dalam penelitian ini. 4.6.1 Persamaan Teks Vera Jumlah teks vera yang terkumpul dalam penelitian ini sebanyak dua buah yang direkam lebih dari satu kali. Ada yang direkam secara langsung pada saat pertunjukan vera berlangsung dan ada yang direkam pada saat kegiatan wawancara dengan informan. Berdasarkan konteks yang melatarinya, vera dapat diklasifikasi atas vera sara jawa (vera sedih) dan vera haimelo (vera gembira).
95
Vera sara jawa berkaitan dengan kematian, sedangkan vera haimelo berkaitan dengan syukuran, yang di dalamnya tercakup vera saju, vera dheke ra’a, vera dheke sa’o, vera gha’u gha’a, dan vera mbuku sa’o mbasa wini. Sebagai ragam puisi, vera tersebut mempunyai ciri-ciri yang sama, di samping ciri-ciri khusus berkaitan dengan jumlah baris dan bait. Vera sara jawa dan vera haimelo memiliki persamaan dalam struktur internal, sebagaimana tercermin dalam jumlah baris dalam bait, jumlah kata dalam baris, jumlah kata arkais, keterikatan jumlah suku kata tiap baris, sistem bunyi, dan paralelisme. Perbandingan struktur internal teks vera sara jawa dan vera haimelo dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4.1 Perbadingan Struktur Internal Teks Vera Sara jawa dan Vera Haimelo No. 1.
2.
3.
Perbandingan Struktur Internal Baris 1).panjang baris terdiri atas 2-8 2) kata-kata arkais dalam satu baris dan bait 3) hubungan baris berdasarkan susunan kata dengan pola S - P dan S - P - O dengan berbagai variasi 4) hubungan struktur yang sama pada posisi berbeda: awal, tengah, dan akhir Sistem Formula: satu baris, setengah baris, dan kata Gaya Bahasa: 1) Paralelisme Fonologis: asonansi, aliterasi, dan sajak 2) Paralelisme Leksikosemantis: Hubunagan makna kata Hubungan antarunsur perangkat diad: sinonim, antonim, dan sinetsis 3) Metafora 4) Perbandingan 5) Personifikasi
Frekwensi Kemunculan
Vera Sara jawa
Vera Haimelo
6 kata satu baris
128 39
131 36
S-P
166
170
akhir
22
20
setengah baris
29
32
fonologis
132
139
antonim
9
13
metafora
71
74
96
4.6.2 Perbedaan Teks Vera Beberapa aspek yang menandai perbedaan antara teks vera sara jawa dan teks vera haimelo dapat dilihat pada aspek struktur, sebagaimana tercermin dari tema, bagian upacara, dan latar, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisannya. Dilihat dari struktur makro, tema utama atau makna global teks vera sara jawa adalah peristiwa sedih, sedangkan tema utama atau makna global teks vera haimelo adalah peristiwa gembira. Dilihat dari superstruktur, jumlah bagian upacara yang tercakup dalam vera sara jawa lebih kurang daripada vera haemelo. Teks vera sara jawa bersifat insidental dan nonrepetitif, sedangkan teks vera haimelo khususnya vera mbasa wini bersifat rutin dan intensif setiap tahun. Suasana psikologis yang tercipta dalam teks vera sara jawa bersifat sedih, sedangkan suasana psikologis teks vera haimelo bersifat gembira. Dilihat dari struktur mikro, teks wacana vera sara jawa lebih singkat daripada teks wacana vera haimelo. Fungsi vera sara jawa lebih kurang, terutama fungsi laten, dibandingkan dengan vera haimelo karena di dalamnya tercakup beberapa jenis vera, termasuk vera saju, vera dheke ra’a, dheke sa’o, vera gha’u gha’a, dan vera mbuku sa’o atau vera mbasa wini (lihat bagian 4.2.2). Medan makna vera sara jawa lebih sempit karena berkaitan dengan peristiwa kematian, sedangkan medan makna vera haimelo lebih luas karena membawahi beberapa jenis vera. Mekanisme pewarisan vera sara jawa bersifat alamiah, sedangkan mekanisme pewarisan vera haimelo bersifat nonalamiah karena berberpeluang dirancang menjadi model buatan dalam bentuk revitalisasi dan inovasi.
97
Berdasarkan hasil perbandingan di atas, peneliti memilih wacana vera mbuku sa’o mbasa wini sebagai fokus penelitian dengan sasaran kajian mencakup struktur teks, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisannya. Korpus data lapangan yang terkumpul berisi hasil perbandingan vera sara jawa dan vera haimelo menurut sumber data dan frekuensi rekaman, jumlah rekaman, jumlah baris, dan jumlah bait, sebagaimana dapat dilihat di bawah ini. Tabel 4.2 Korpus Data yang Terkumpul Jenis Vera
Vera Sara jawa
Sumber dan Frekwensi Rekaman Peristiwa Informan Pertunjukan Kunci Vera 1 4
Jumlah Rekaman
Jumla h Baris
Jumlah Bait
5
314
157
Vera Haimelo 1.
Vera Saju
-
4
4
318
159
2.
Vera Dheke Ra’a
-
4
4
310
155
3.
Vera Dheke Sa’o
-
4
4
312
156
4.
Vera Gha’u Gha’a
1
4
5
316
158
5.
Vera Mbuku Sa’o 1
5
6
326
163
3
25
28
1.896
948
Mbasa Wini
Jumlah
Seperti tampak pada data dalam tabel 4.2 di atas, wacana vera haimelo mbuku mbasa wini (yang selanjutnya disingkat WVHMM) dipilih menjadi fokus utama penelitian karena memiliki jumlah baris dan bait paling banyak. Sesuai engan dsasaran kajian, gambaran peta masalah yang dibahas pada beberapa bab selanjutnya adalah sebagai berikut: (1) Bab V: Struktur Teks WVHMM, (2) Bab VI: Fungsi WVHMM, (3) Bab VII: Makna WVHMM, dan (4) Bab VIII: Mekanisme Pewarisan WVHMM.
98
4.7 Rangkuman Vera adalah pertunjukan tarian yang diiringi dengan nyanyian berbahasa Rongga berbentuk puisi, yang didendangkan dengan nada dan irama khas sesuai dengan konteks situasi ritual dan konteks sosial budaya etnik Rongga yang melatarinya. Vera dapat diklasifikasi atas vera sara jawa dan vera haimelo. Vera sara jawa adalah vera sedih yang dilaksanakan apabila ada orang yang meninggal dunia, khususnya kepala suku dan orang biasa yang meninggal dalam usia lebih dari seratus tahun dan keluarga yang bersangkutan mampu membiayainya (hongga rongga). Vera haimelo adalah vera gembira yang dilaksanakan untuk menyampaikan
ucapan
syukur
kepada
Tuhan
dan
roh
leluhur
atas
penyelenggaraan vera dan terhadap kehidupan mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Vera haimelo membawahi beberapa jenis vera, termasuk vera saju, vera dheke ra’a, vera dhekhe sa’o, vera ghau gha’a, dan vera mbuku sa’o atau mbasa wini. Teks wacana tradisi lisan vera merupakan sastra lisan dengan isi pesan yang berkenaan dengan sejarah asal-usul suku. Vera sara jawa memiliki efektivitas sosial tentang pentingnya memberi penghormatan kepada orang yang meninggal. Vera sebagai media komunikasi yang menyingkap gambaran pandangan dunia etnik Rongga berlangsung dalam konteks tertentu dengan urutan tindakannya terdiri atas pembukaan (ti’ika), inti (vera), dan penutup (tetendre). Ditilik dari struktur internal, wacana tradisi lisan vera mempunyai persamaan dan perbedaan dalam fitur satuan kebahasaan yang digunakan.
99
BAB V STRUKTUR TEKS WACANA VERA HAIMELO MBUKU SA’O MBASA WINI
5.1 Pengantar Pada bab ini dipaparkan dan dijelaskan struktur teks wacana vera mbuku sa’o mbasa wini yang selanjutnya disingkat (WVHMM) sebagai wacana bergaya sastra. Teks WVHMM
diungkap
dalam
bentuk
bahasa
puisi dengan
memanfaatkan fitur paralelisme dan menggunakan pola-pola formula sebagai pemarkah kelisanan. Teks WVHMM terpapar dalam 326 baris dan 163 bait. Esensi isi pesannya menyingkap konseptualisasi budaya etnik Rongga tentang dunia. Analisis struktur teks WVHMM yang dibahas dalam penelitian ini dikaji dari dua segi yakni analisis struktur formal dan
analisis struktur naratif.
Perspektif teoretis digunakan sebagai panduan dalam menganalisis struktur formal teks WVHMM adalah model atau paradigma analisis wacana kritis (Van Dijk, 1985a:1-8), dengan sasaran kajian meliputi struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro seperti dipetakan pada bagan di bawah ini.
Struktur Wacana Struktur Makro Superstruktur
Struktur Mikro
Elemen Makna global teks ditelaah sesuai topik/gagasan inti yang terkandung di dalam teks WVHMM. Kerangka teks meliputi pendahuluan, isi, dan penutup, yang berhubungan secara organis dengan ritual dan wacananya masing-masing. Struktur teks berdasarkan satuan linguistik seperti bunyi, kata, frasa, klausa/ kalimat, hubungan sintaktis, kohesi wacana, sistem formula, dan gaya bahasa.
Bagan 5.1 Struktur Teks WVHMM
99
Formula Kaidah Tema Kaidah skema
Kaidah bahasa sehari-hari dan bahasa susastra
100
Analisis struktur naratif menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Genette (1980:35-85) yang menyatakan bahwa ada lima komponen utama yang terdapat dalam wacana naratif yakni susunan cerita (order), durasi (duration), frekuensi (prequency), suasana hati (mood), dan suara (voice). Kelima komponen di atas tidak sepenuhnya diterapkan dalam menganalisis teks WVHMM, karena teks WVHMM bukan merupkan cerita panjang yang mempunyai episode. Untuk teks WVHMM dianalisis hanya difokuskan pada komponen utama yang keempat, yaitu suasana hati (mood), hal ini terkait dengan unsur mood yang dominan terkandug dalam teks WVHMM.
Fokus kajian pada komponen suasana hati
(mood) bertujuan untuk mengetahui pendapat, sikap dan keadaan penutur, bagaimana penutur mengatur dan menyampaikan tuturannya kepada pendengar, serta untuk mengetahui posisi penutur dalam penuturan teks WVHMM. Kedua struktur teks WVHMM tersebut akan diuraikan di bawah ini. 5.2 Struktur Formal Teks WVHMM 5.2.1 Struktur Makro Analisis struktur makro teks WVHMM bertujuan untuk mengetahui makna global atau tema sentral yang ditelaah berdasarkan hubungan topik berbagai komponen pesan yang terkandung di dalamnya. Dilihat dari struktur makro, makna global atau tema sentral teks WVHMM adalah doa permohonan kepada Tuhan, roh leluhur, dan roh alam, agar tahun musim yang akan datang berjalan baik. Doa permohonan ini disertai dengan penyembelihan ayam merah sebagai sarana persembahan kepada roh leluhur. Beberapa fragmen yang esensi isi pesannya menyingkap makna global atau tema sentral teks WVHMM adalah sebagai berikut.
101
(5-01)
Renge meu embu nusi, ndia kami dhete manu dengar kamu nenek moyang, sekarang kami pegang ayam ‘Dengarlah kamu para leluhur, sekarang kami memegang ayam’ Nunu meu, ramba tau ti’i kamu meu bhate beritahu kamu supaya buat beri kamu kamu semua ‘Untuk memberitahukan kamu (leluhur) semua untuk hadir makan’
(5-02)
Komba ndia, kami tau adha malam ini kami buat upacara adat ‘Malam ini kami akan membuat upacara adat’ Ko adha, kau mbasa wini tentang adat engkau basah bibit ‘Tentang upacara adat kamu (leluhur) untuk pemberkatan benih/ bibit’
(5-03)
Ramba tau nggoti, ne’e mula bhate one uma kami supaya mau tanam dan tanam semua di kebun kami ‘Supaya mau menanam semua di kebun kami’ dhengi ne kami, mai sama pa’o ka nake manu ndia minta dengan kami, mari sama duduk makan daging ayam ini ‘Minta dengan kami mari duduk bersama makan daging ayam ini’
Fragmen (5.01) berisi pemberitahuan kepada roh leluhur bahwa mereka mau mempersembahkan ayam untuk makanan roh leluhur. Fragmen wacana tersebut terbentuk dari dua kalimat majemuk bertingkat. Kalimat majemuk pada baris pertama terdiri atas dua kluasa. Klausa pertama adalah Renge meu embu nusi ‘dengar kamu nenek moyang’ sebagai induk kalimat dan klausa ndia kami dhete manu ‘sekarang kami pegang ayam‘ sebagai anak kalimat. Induk kalimat bermodus imperatif ditandai dengan distribusi penempatan kata (verba) renge ‘dengar’ sebagai predikat yang berdistribusi pada awal kalimat. Kata renge berdistribusi pada posisi awal mendahului kata (pronomina persona kedua jamak) meu ‘kamu’ sebagai subjek dengan aposisinya adalah embu nusi ‘roh leluhur’, sebagai pihak penerima pesan dan perantara doa permohonan yang mereka sampaikan kepada Tuhan. Esensi isi pesannya adalah agar roh leluhur sudi
102
mendengar doa permohonan yang disampaikan melalui teks WVHMM. Penuturan doa permohonan itu diawali dengan penyembelihan ayam berwarna merah sebagai sarana persembahan, seperti terlihat dalam klausa ndia kami dhete manu ‘sekarang kami pegang ayam’. Sesuai dengan konteks yang melatarinya, yang dimaksud dengan dhete manu ‘pegang ayam’ adalah persembahan ayam guna memberi makanan kepada roh leluhur. Kalimat majemuk bertingkat pada baris kedua terdiri atas dua klausa. Klausa pertama nunu meu ‘beritahu kamu’ sebagai induk kalimat dan klausa ramba tau ti’i kamu meu bhate ‘supaya buat beri makan kamu semua’ sebagai anak kalimat. Kata (pronomina persona kedua jamak) meu ‘kamu’ didahului kata (verba) nunu ‘beritahu’ sebagai pihak penerima pesan. Fragmen (5-02) menginformasikan kepada roh leluhur bahwa persembahan ayam itu dilaksanakan melalui ritual mbasa wini sesuai dengan kaidah adat warisan leluhur. Fragmen (5-02) merupakan sebuah kalimat tunggal bermodus indikatif. Esensi isi pesan yang terkandung di dalamnya ialah memberitahukan kepada roh leluhur bahwa pada malam ini (komba ndia) mereka melaksanakan upacara adat (adha) Mbasa Wini.
Upacara adat ini dilaksanakan oleh etnik
Rongga bukan atas kemauan sendiri, tetapi menuruti kaidah budaya yang sudah digariskan dan diwariskan leluhurnya. Pelaksanaan upacara adat Mbasa Wini merupakan bentuk dan wujud penghormatan mereka terhadap leluhurnya. Fragmen (5-03) memuat informasi bahwa mereka akan menanam di semua lahan yang mereka miliki pada tahun musim tanam yang baru dan memohon kehadiran roh leluhur duduk bersama (sama pa’o) makan daging ayam persembahan. Fragmen (5-03) dibentuk oleh sebuah kalimat majemuk setara yang
103
terbentuk dari dua klausa independen yang berhubungan secara sintaksis dan semantis. Kedua klausa itu adalah Ramba tau nggoti, ne mula bhate one uma kami ‘Supaya mau tanam, tanam semua di kebun kami’ dan Dhengi ne kami mai sama po’o, ka nake manu ndia ‘Minta dengan kami mari sama-sama duduk, makan daging ayam ini.’ Klausa pertama berisi pemberitahuan kepada roh leluhur bahwa mereka mau menanam di semua lahan yang mereka miliki. Klausa kedua berisi permohonan kepada roh leluhur agar duduk bersama (sama po’o) makan daging ayam persembahan. Secara keseluruhan ada beberapa tahapan pelaksanaan ritual mbasa wini yang merupakan skema sebagai satu kesatuan organis dalam istilah Van Dijk (1985) disebut superstruktur, yang akan diuraikan di bawah ini. 5.2.2 Superstruktur Superstruktur adalah pengkajian kerangka dasar atau skema teks WVHMM yang terdiri atas pendahuluan, isi, dan penutup, dengan ritual dan wacananya masing-masing. Ketiga bagian tersebut berhubungan secara organis dengan kerangka makna yang saling terkait dalam satu kesatuan dalam menyingkap konseptualisasi budaya etnik Rongga tentang dunia, seperti uraian di bawah ini. 5.2.2.1 Pendahuluan: upacara ki’i ka Bagian pendahuluan adalah upacara ti’i ka dengan wacananya disebut wacana ti’i ka. Secara leksikal, kata (verba) ti’i berarti ‘beri’ dan kata (nomina) ka berarti ‘makanan’. Upacara ti’i ka adalah upacara pemberian makanan kepada roh leluhur dengan tujuan untuk memberitahukan roh leluhur bahwa mereka akan melaksanakan ritual mbasa wini.
104
5.2.2.2 Isi: upacara vera Bagian isi adalah upacara vera yang terdiri atas pembukaan, inti, dan penutup, yang berhubungan secara organis. Bagian pembukaan adalah tora loka dengan wacananya disebut wacana tora loka. Kata (verba) tora berarti ‘merintis’ dan kata (nomina) loka berarti ‘arena danding atau tempat pementasan vera’. Upacara tora loka adalah upacara pembersihan tempat pementasan vera agar para penari terbebas dari berbagai gangguan. Bagian inti adalah upacara vera dengan wacananya disebut wacana vera. Upacara ini terdiri atas tiga bagian upacara yang meliputi pembukaan (nggae), inti (vera), dan penutup (tangi jo), yang berhubungan seara organis. Bagian pembukaan (nggae) adalah periwayatan sejarah asal usul suku yang melaksanakan vera. Bagian inti (vera) adalah pertunjukan tarian yang disertai dengan nyanyian. Bagian penutup (tangi jo) adalah pelemparan selendang oleh daghe sebagai tanda akhir pementasan vera. 5.2.2.3 Penutup: upacara tetendere Bagian penutup adalah tetendere dengan wacananya disebut wacana tetendere. Upacara tetendere adalah upacara tabuh gendang berirama yang dilakukan oleh woghu dan daghe, guna menandakan bahwa seluruh rangkaian kegiatan upacara ritual vera mbasa wini berakhir.
5.2.3 Struktur Mikro Teks WVHMM dalam penelitian ini dipandang sebagai bahasa yang dapat dikaji dari struktur mikronya. Analisis struktur mikro mencirikan struktur teks WVHMM yang bertujuan untuk mengkaji teks secara internal yang secara linguistik teoretis mencakup tataran bahasa seperti bunyi (fonologis), kata
105
(morfologi), kalimat (sintaksis), wacana (diskusrsus), makna (semantik), maksud (pragmatik), gaya bahasa (stilistika), dan bahasa kias (figuratif). Kajian teks secara mikro tersebut dapat dilakukan bersama-sama dan akan merumuskan pola formula sesuai dengan karakteristik teks tradisi lisan atau satra lisan yang dikaji (Sibarani, 2012:316). Berdasarkan hal tersebut uraian struktur mikro dianalisis dari bentukbentuk baris pembentuk teks WVHMM yang mencakupi tiga aspek utama, yakni (1) aspek lingual atau kebahasaan tercermin dalam satuan bunyi, kata, frasa, klausa/kalimat, hubungan sintaksis baris-baris dan kohesi wacana sebagai struktur dasar teks WVHMM; (2) sistem formula teks WVHMM yang menciptakan aspekaspek puisitas menjadi pemarkah kelisanan; dan (3) gaya bahasa, adalah cara pengungkapan pesan dan menambah kualitas estetis. Ketiga aspek kebahasaan itu merupakan peranti kebahasaan sebagai pembingkai daya estetis teks WVHMM sebagai wacana bergaya sastra. Selain itu, aspek kebahasaan tersebut juga menyingkap fungsi dan makna teks WVHMM
yang hidup dan berkembang
dalam realitas sosial budaya etnik Rongga. Ketiga aspek kebahasaan itu dapat diuraikan sebagai berikut. 5.2.3.1. Aspek Kebahasaan : satuan bunyi, kata, frasa, klausa/kalimat, hubungan baris secara sintaksis, dan kohesi wacana 1) Satuan bunyi Satuan bunyi yang terdapat dalam teks WVHMM terdiri atas fonem segmental dan suprasegmental. Sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa Rongga, menurut Arka dkk (2007:16), fonem segmental terdiri atas enam fonem
106
vokal, yakni / i/, /u/, /e/,/o/, /ə/, /a / dan dua puluh lima fonem konsonan, yakni /p/ , /b/, /t/, /d/, /k/, /g/, //, / /, / /, / /, / b/, /ⁿd/, /ⁿg/, /m/, /n/, / /, /f/, /v/, /s/, /y/, /h/, /r/, /l/, /w/, /
/. Semua fonem segmental yang digunakan dalam teks
WVHMM tidak berbeda dengan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari etnik Rongga. Kombinasi fonem segmental tersebut membentuk ragam bahasa bercorak puitis guna menciptakan rasa kedalaman dan suasana khusus karena komunikasi melalui teks WVHMM bersifat vertikal-transendental. Komunikasi melalui teks WVHMM ditujukan kepada Tuhan, roh leluhur, dan roh alam, yang dipahami oleh etnik Rongga sebagai sumber kekuatan moral utama yang menentukan keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan hidup mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Penggunaan fonem segmental ditandai dengan penggunaan bentuk paralelisme fonologis atau fenomena permainan bunyi yang berupa asonansi, aliterasi, dan rima yang dibahas secara rinci pada sub gaya bahasa. Penggunaan fonem suprasegmental ditandai dengan intonasi naik dan panjang serta intonasi lembut dan panjang. Penggunaan intonasi panjang dan lembut tercermin dalam data (5-01), Renge meu embu nusi, ndia kami dhete manu ‘Dengar kamu nenek moyang, sekarang kami pegang ayam’, yang esensi isi pesannya adalah permohonan kepada Tuhan dan roh leluhur. Penggunaan intonasi naik dan panjang terdapat pada data (5-01), Nunu meu ramba tau ti’i kamu meu bhate ‘Beri tahu kamu, kami mau beri makan kamu semua’. Jenis dan frekuensi penggunaan intonasi dalam teks WVHMM dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
107
Tabel 5.1 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Intonasi No.
Jenis Intonasi
Jumlah
Persentase (%)
1.
Intonasi naik dan panjang
24
14,72
2.
Intonasi lembut dan panjang
139
85, 28
Jumlah
163
100
Seperti tampak pada tabel 5.1 di atas, dari 163 jumlah jenis intonasi yang terdapat dalam teks WVHMM menunjukkan jumlah intonasi naik dan panjang sebanyak 24 (14%) dan intonasi panjang dan lembut sebanyak 139 (85,28%). Dominasi intonasi panjang dan lembut bertujuan menampilkan ekspresi keindahan bunyi dan kesantunan berbahasa dalam komunikasi lisan karena Tuhan, roh leluhur, dan roh alam memiliki struktur kekuasaan lebih tinggi daripada manusia. 2) Kata Kata adalah satuan atau bentuk bebas dalam tuturan (Verhaar, 1996:97). Sebagai bentuk yang bebas, kata merupakan salah satu unsur dasar pembentuk struktur mikro suatu teks wacana, dalam hal ini, teks WVHMM. Secara tekstual kata-kata yang diungkapkan dalam teks WVHMM mengemban pesa-pesan yang berkaitan dengan kehidupan manusia, seperti perasaan, tindakan, atau aksi, keyakinan, alam lingkungan, dan sebagainya.
Penggunaan kata sebagai unsur
dasar pembentuk struktur mikro teks WVHMM terwujud dalam tata kata, pola suku kata dalam baris, jumlah kata dalam baris, kelas kata pembentuk baris, istilah pertanian, kata arkais, pemanfaatan kata pada posisi tertentu dalam baris. Masing-masing perwujudan kata itu diuraikan seperti berikut
108
a) Tata kata dalam Baris Tata kata dalam baris teks WVHMM terdiri atas suku kata dengan struktur beragam. Sebagian besar suku kata tersebut terdiri atas sebuah konsonan dan sebuah vokal, seperti kata tibo ‘kambing’ terdiri atas dua suku kata, yakni suku kata pertama ti (KV) dan suku kata kedua bo (KV). b) Pola suku kata dalam baris Semua pola suku kata dalam baris teks WVHMM bersifat terbuka karena bahasa Rongga merupakan bahasa vokalik atau bersuku terbuka. Pola suku kata dalam baris teks WVHMM adalah sebagai berikut: V pada kata /e/ ‘partikel’, KV pada kata bha ‘piring’, VV pada kata ua ‘rotan’, VKV pada kata ema ‘ayah’, KVKV pada kata jawa ‘jagung’, KVKVKV pada kata sewunu ‘sehelai’, KVKVKVV pada kata lukamai ‘besok’. Jumlah dan frekuensi penggunaan suku kata dalam baris teks WVHMM dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.2 Jumlah dan Frekuensi Penggunaan Suku Kata dalam Baris No.
Jumlah Suku Kata
Jumlah Baris
Persentase (%)
1.
8
13
3,99
2.
9
3
0,92
3.
10
31
9,51
4.
11
28
8,59
5.
12
112
34,36
6.
13
31
9,51
7.
14
86
26,38
8.
15
6
1,84
9.
16
14
4,29
10.
17
2
0,61
326
100
Jumlah
109
Seperti terlihat pada tabel 5.2 di atas, dari 326 jumlah baris yang terdapat dalam teks WVHMM, pola 8 suku kata tersebar dalam 13 baris (3,99%), pola 9 suku kata tersebar dalam 3 baris (0,92%), pola 10 suku kata tersebar dalam 31 baris (9,51%), pola 11 suku tersebar dalam 28 baris (8,59%), pola 12 suku kata tersebar dalam 112 baris (34,36%), pola 13 suku kata tersebar dalam 31 baris (9,51%), pola 14 suku kata tersebar dalam 86 baris (26,38%), pola 15 suku kata tersebar dalam 6 baris (1,84%), pola 16 suku kata tersebar dalam 14 baris (4,29%), dan pola 17 suku kata tersebar dalam 2 baris (0,61%), Dominasi penggunaan pola 12 suku kata dalam baris bertujuan untuk menciptakan keharmonisan estetis dan mempertahankan sinergisitas gerak tari dan lagu. Penggunaan kata dan pola suku kata dalam baris yang mencirikan kekhasan struktur teks WVHMM dapat dilihat dalam data berikut. (5-04)
Keti nata logho-logho Molosoli 2 2 2 2 4 petik sirih logho-logho Molosoli ‘Petik daun sirih logho-logho Molosoli’
= 5 kata = 12 suku kata
(5-05)
Mbako ghembe Kende wunu ghebhage = 5 kata 3 2 2 2 3 = 12 suku kata tembakau tebing Kende daun lebar-lebar ‘Tembakau di tebing kende daunnya lebar-lebar’
Seperti tampak pada data (5-04) dan (5-05), masing-masing baris kalimat tersebut terbentuk dari 5 kata dengan pola 12 suku kata. Kesamaan jumlah kata dan pola suku kata tersebut menjalin keseimbangan irama, tempo, dan gerak tari. c) Jumlah kata dalam baris Teks WVHMM disusun berdasarkan bait yang terdiri atas dua baris dan setiap baris berisi beberapa kata dengan jumlah bervariasi antara empat sampai delapan kata. Sebagian besar kata tersebut adalah kata dasar atau morfem bebas
110
karena bahasa Rongga tidak memiliki afiks (Arka dkk, :20017:57). Jumlah dan frekuensi penggunaan kata dalam baris teks WVHMM dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.3 Jumlah dan Frekuensi Penggunaan Kata dalam Baris No.
Persentase (%)
Jumlah Kata
Frekuensi Penggunaan
Tiap Baris
dalam Baris
1
4
18
5,52
2
5
58
17,80
3
6
136
41,70
4
7
102
31,29
5
8
11
3,40
Jumlah
326
100
Data pada tabel 5.3 di atas menunjukkan bahwa penggunaan kata didominasi jumlah 6 kata tiap baris tersebar dalam 136 baris dari 326 total jumlah baris. Dominasi jumlah 6 kata dalam tiap baris mempertimbangkan keseimbangan dengan irama, gerak tari, dan lagu untuk mencapai keharmonisan estetis. d) Kelas kata pembentuk baris Kategori kelas kata pembentuk baris sebagai unsur pembentuk struktur teks WVHMM terdiri atas nomina, verba, adjektiva, adverbia, dan kata tugas berupa preposisi, konjungsi dan partikel. Kategori kelas kata sebagai struktur dasar pembentuk teks WVHMM tersebut juga berfungsi sebagai perakit makna dan daya estetis struktur teks WVHMM. Berdasarkan analisis data, jenis dan frekuensi penggunaan kelas kata dalam teks WVHMM dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
111
Tabel 5.4 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kelas Kata No.
Kelas Kata
1.
Nomina
2.
Jumlah
Persentase (%)
1.104
58,30
Verba
392
20,67
3.
Adjektiva
173
9,12
4.
Adverbia
67
3,54
5.
Kata Tugas (preposisi 66, konjungsi 33, dan partikel 61) Jumlah
160
8,44
1.896
100
Data pada tabel 5.4 di atas menunjukkan hal sebagai berikut: dari 1.896 kata dalam teks WVHMM, jumlah nomina sebanyak 1.104 (58,30%), verba sebanyak 392 (20,67%), adjektiva sebanyak 173 (9.12%), adverbia sebanyak enam puluh tujuh (3,54%), dan kata tugas sebanyak 160 (8.44%). Kelas kata yang terbanyak digunakan adalah nomina. Hal tersebut berkaitan dengan aktivitas etnik Rongga dalam mengerjakan dan menghasilkan sesuatu sebagai salah satu penopang hidup mereka lebih banyak berkaitan dengan dunia kebendaan. Kelas kata berkategori nomina yang digunakan dalam teks WVHMM terdiri atas dua kelompok, yakni yang berkaitan dengan makhluk hidup dan yang berkaitan dengan benda mati. Dari 1.104 kategori nomina yang digunakan, sebanyak 212 nomina (19,21%) berkaitan dengan makhluk hidup dan sebanyak 892 nomina (80,79%) (lihat tabel 5.5 di bawah) berkaitan dengan benda mati atau tanbernyawa. Kelas kata nomina yang menunjuk pada makhluk hidup dan benda mati dapat dilihat pada fragmen berikut.
112
(5-06) Lako kongo rongo ndau, lau wena watu anjing gonggong kambing itu, di (selatan) bawah batu ‘Anjing menggonggong kambin itu, ke selatan di bawah batu’ Tibo miri kembi ndau, lau wena watu kambing sandar dinding itu, di (selatan) bawah batu ‘Kambing bersandar di dinding itu, di selatan bawah batu’ (5-07)
Embo sosa ndau, lau wiri nanga ombak bunyi itu ke (selatan) batas pantai ‘Ombak berbunyi itu ke selatan batas pantai’ Meti ndili seli, meti reta wiri penda surut bawah gelap surut henti batas pandan ‘Surut dan gelap di bawah, berhenti di batas pandan’
Seperti tampak pada data (5-06), nomina yang menunjuk pada makhluk hidup berupa hewan adalah lako ‘anjing’, rongo ‘kambing’, tibo ‘kambing’. Penggunaan nomina lako (anjing) dan tibo (kambing) banyak ditemukan dalam teks WVHMM selain wawi (babi) dan manu (ayam). Hal ini berkaitan pula dengan sebagian besar mata pencaharian penduduk etnik Rongga adalah di sektor pertanian sebagai sektor andalan pekerjaan utama, di samping pertanian ladang dan perkebunan sebagai sumber kehidupannya. Etnik Rongga juga mengenal sistem peternakan berupa pemeliharaan binatang dan hewan seperti anjing (lako), kambing (tibo), selain jenis ternak utama yang dipelihara yakni babi (wawi) dan ayam (manu) merupakan hewan kurban dalam berbagai upacara ritual. Lako (anjing)
adalah binatang peliharaan
etnik Rongga yang bernilai
ekonomis karena selain digunakan untuk berburu, juga sebagai penjaga rumah, dan pengusir hewan yang mengganggu kebun atau ladang yang mereka miliki. Bahkan, anjing juga bisa dijual untuk meningkatkan kesejatraan hidup etnik Rongga. Penggunaan noimna tibo,rongo, ‘kambing’ banyak ditemukan dalam teks WVHMM. Ternak jenis kambing wajib dipelihara dalam budaya Rongga untuk
113
kebutuhan adat sebagai sarana upacara dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi selain babi dan ayam. Misalnya, jika ada upacara kematian kambing adalah hewan kurban yang digunakan selain babi dan ayam. Nomina berupa benda mati atau makhluk tanbernyawa sangat dominan digunakan dalam teks WVHMM seperti terlihat pada (5-06) dan (5-07), yakni watu ‘batu’ pada (5-06). Dalam kebudayaan etnik Rongga watu ‘batu’ memiliki makna penting berkaitan dengan identitas mereka secara sosio-kolektif sebagai satu kesatuan etnik di Manggarai. Berdasarkan penuturan para tetua adat etnik Rongga dari versi cerita lisan masyarakat setempat, bahwa alasan pemberian nama orang Rongga bentuk perkampungannya berbentuk pondo ‘priuk’ dikelilingi oleh beberapa gunung berbatu. Konon sebelum mengenal budaya membuat rumah mereka tinggal di goa-goa di sekeliling batu besar. Dari kebiasaan hidup seperti itu muncul istilah dalam bahasa Rongga, yakni watu susu Rongga, yang terekam dalam vera‘ artinya orang-orang tidur di sekeliling batu besar pada malam harinya seperti menyusui batu, seakan-akan batu itu memberikan kehidupan pada etnik Rongga (Sumitri, 2005:39). Selain itu, batu juga selalu hadir dalam berbagai kegiatan ritual, karena dipahami memiliki kekuatan tertentu yang selalu menyertai kehidupan mereka. Misalnya, dalam upacara membuat tempat penguburan orang yang meninggal, bahan dibuat dari batu setinggi satu meter yang disebut sesendepo ‘tekan ke bawah’.42
Pada data (5-7), nomina yang menunjuk pada
benda mati adalah kembi ‘dinding’, watu ‘batu’, dan nanga ’pantai’. Jalinan kelas kata nomina tersebut yang berdistribusi dengan kategori kelas kata lain, 42
Hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu dan Bapak Markus Bana di Kampung Leke Kelurahan Tanarata, tanggal 29 Oktober 2012.
114
seperti verba, adjektiva, adverbia, dan kata tugas membentuk daya estetis dengan memanfaatkan fitur paralelisme fonologis seperti permainan bunyi vokal o-o pada kelas kata (verba) kolo ‘gonggong’ dan kata (nomina) rongo ‘kambing’. Jenis dan frekuensi penggunaan kelas kata berkategori nomima, baik mahkluk hidup maupun benda mati, yang terdapat dalam teks WVHMM dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.5 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kelas Kata Berkategori Nomina No.
Jenis Kategori Nomina
Jumlah
Persentase (%)
1.
Mahkluk hidup
212
19,21
2.
Benda mati
892
80,79
1.104
100
Jumlah
Seperti tampak pada data dalam tabel 5.5 di atas, dari jumlah 1.104 nomina yang terdapat dalam teks WVHMM, sebanyak 212 (19,21%) menunjuk pada makhluk hidup dan 892 (80,79%) menunjuk pada benda mati atau takbernyawa sebagai kategori yang dominan. Dominannya penggunaan nomina takbernyawa dalam teks WVHMM berkaitan dengan
aktivitas kehidupan
etnik Rongga.
Dalam memenuhi kebutuhan hidup etnik Rongga secara faktual lebih banyak berkaitan dengan benda mati atau makhluk takbernyawa. Gambaran keadaan sistem ekologi yang melingkupi kehidupan etnik Rongga tercermin dalam katakata yang diciptakan dan digunakannya, sebagaimana tercermin dalam teks WVHMM. Sementara itu, kelas kata berkategori verba yang digunakan dalam teks WVHMM terdiri atas verba aksi atau verba tindakan seperti kata kolo’ gonggong’
115
miri ’bersandar’ pada data (5-06), verba proses meti ‘surut’, dan verba keadaan seli ‘gelap’ pada data (5-06). Jenis dan frekuensi penggunaan verba tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.6 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kategori Verba No.
Jenis Verba
Jumlah
Persentase (%)
1.
Verba aksi
314
80,10
2.
Verba proses
42
10,70
3.
Verba keadaan
36
9,20
392
100
Jumlah
Pada tabel 5.6 di atas, terlihat dari jumlah 392 verba yang digunakan dalam teks WVHMM, verba aksi sebanyak 314 (80,10%), verba proses sebanyak 42 (10.70%), dan verba keadaan sebanyak 36 (9,20%) dan jumlah persentasenya 100%. Data tersebut menunjukkan bahwa peran verba sebagai unsur pembentuk struktur teks WVHMM lebih banyak menampilkan dimensi aksi atau tindakan yang berkaitan dengan ritual vera. Seeperti telah di singgung di atas bahwa penggunaan kelas kata berkategori adjektiva ditemukan dalam teks WVHMM. Dari 1.896 kata yang digunakan sebanyak 173 (9,12%) berkategori adjektiva seperti kata ghebage ‘lebar-lebar’ pada data (5-05) dan seli ‘gelap’ pada data (5-07). Seperti halnya adjektiva, penggunaan kelas kata berkategori adverbia ditemukan dalam teks WVHMM sebanyak 67 (3,54%) dari 1.896 jumlah kata yang digunakan. Kelas kata yang berkategori adverbia adalah kata ko’e ‘sisa’ pada data (5-09).
116
Selain itu, kelas kata tugas digunakan pula dalam teks WVHMM. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, kelas kata tugas yang ditemukan sebanyak 160
(8,44%) dari 1.896 jenis kata yang digunakan dalam teks
WVHMM. Jenis kata tugas tersebut terdiri atas preposisi, konjungsi, dan partikel dengan jumlah bervariasi dalam penggunaannya. Dari 160 kata tugas yang ditemukan dalam teks WVHMM, jumlah konjungsi sebanyak 33 (1,74%) partikel sebanyak 61 (3,22%) dan preposisi sebanyak 66 (3,48%) Dari jenis penggunaan kata tugas yang digunakan dalam teks WVHMM, penggunaan jenis preposisi terutama yang menyatakan latar tempat paling banyak ditemukan yang membantu memberi makna teks WVHMM secara utuh. Selain itu, pemaknaan terkait pula dengan sejarah asal usul etnik Rongga yang mendiami beberapa kampung di Manggarai Timur.
Beberapa contoh kata tugas yang
digunakan dalam teks WVHMM adalah preposisi lau ‘ke (selatan)’, di (selatan) seperti terlihat pada data (5-06) dan (5-07), konjungsi ramba’ supaya’, na’a ‘dan’, dan partikel seperti ma’e ‘jangan’. e) Kata Arkais Kekhasan struktur teks WVHMM ditandai dengan penggunaan kata arkais yang ditransmisikan dalam stansa yang ketat. Keberadaan dan kebermaknaan WVHMM sebagai sebuah wacana budaya lisan memiliki aspek historis-linguistis yang tidak mudah dimengerti sehingga membutuhkan tingkat keterampilan lingual yang tinggi untuk mengerti dan menggunakannya (Sumitri dan Arka, 20013:732). Meskipun jumlahnya terbatas, kata arkais yang digunakan mengandung makna estetis seperti kata nange ‘pantai’, ndili ‘di‘, ndala ‘bintang’, ndeta ‘di atas, seke
117
‘gelang’, teki ‘petik’, mona ‘goyang’, nderi ‘selalu’, dan peka ‘sudah’. Jenis dan frekuensi penggunaan kata arkais tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.7 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kata Arkais No.
Jenis Kata Arkais
Jumlah
Persentase (%)
1.
Nomina
15
41,67
2.
Verba
8
22,22
3.
Adjektiva
5
13,89
4.
Adverbia
3
8,33
5.
Preposisi
5
13,89
36
100
Jumlah
Seperti tampak pada tabel 5.7 di atas, dari jumlah 36 kata arkais yang digunakan dalam teks WVHMM, jumlah nomina sebanyak 15 (41,67%), verba sebanyak 8 (22,22%), adjektiva sebanyak 5 (13,89%), dan preposisi sebanyak 5 (13,89%) dan persentasenya sebanyak 100%. Penggunaan kata arkais berkategori nomina terbanyak karena esensi isi pesan utama WVHMM lebih banyak berkaitan dengan dunia kebendaan sesuai dengan realitas faktual yang dihadapi dan dialami etnik Rongga. f) Istilah Pertanian Seperti telah dijelaskan sebelumnya, konteks ritual yang melatari kehadiran teks WVHMM adalah ritual mbasa wini, yakni ritual pemercikan darah ayam pada bibit sebelum ditanam. Meskipun demikian, tidak banyak kata berkaitan dengan istilah pertanian. Kata-kata yang digunakan lebih banyak didominasi katakata bermakna filosofis karena vera yang dilaksanakan, baik yang berkaitan
118
dengan pertanian maupun kehidupan manusia, pada intinya adalah sama yaitu sebagai warisan nilai-nilai luhur para leluhur (berdasarkan wawancara dengan tetua adat di Rongga). Artinya, nilai budaya (cultural value) netral terhadap fisik berbagai kegiatan ritual (pertanian, kelautan, kehidupan manusia) hanyalah sebagai media penyampaian. Dalam konseptualisasi etnik Rongga, vera dipahami sebagai peranti agama lokal yang dianutnya. Dengan demikian, dapat diprediksi nilai-nilai kultural yang sama akan didapat pada berbagai jenis vera, dibungkus dengan cara-cara yang berbeda atau leksikal yang berbeda,
Jenis dan frekuensi
penggunaan istilah pertanian dalam teks WVHMM dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.8 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Istilah Pertanian No.
Jenis Istilah Pertanian
Jumlah
Persentase (%)
1.
Nomina
19
90,50
2.
Verba
2
9,50
21
100
Jumlah
Seperti tampak pada tabel 5.8 di atas, dari jumlah 21 istilah pertanian yang terdapat dalam teks WVHMM, nomina sebanyak 19
(90,505%) dan verba
sebanyak 2 (9,50%). Meskipun jumlahnya terbatas, istilah pertanian yang digunakan itu memiliki makna filosofis karena di dalamnya tergurat seperangkat nilai budaya sebagai panduan perilaku hidup dan kesucian sosial etnik Rongga. g) Pemanfaatan kata pada posisi tertentu dalam baris Baris-baris dalam teks WVHMM menggunakan sejumlah kata sebagai dasar pembentuk pola formula awal dalam baris. Menurut Lord (1976:41-42), banyak
119
formula awal dimulai dengan konjungsi atau verba bantu yang diikuti verba atau nomina. Pola formula yang terdapat dalam teks WVHMM lebih banyak diisi oleh nomina yang diikuti verba, adjektiva, adverbia, partikel, dan konjungsi. Dari 163 bait dan 326 baris yang membentuk teks WVHMM, kecenderungan formula baris diawali oleh penggunan kata berkategori nomina. Seperti terlihat pada data (5-06), Lako kolo rongo ndau, lau wena ‘Anjing gonggong kambing itu di selatan bawah batu’ dan Tibo miri kembi ndau, lau wena watu ‘Kambing bersandar di dinding itu di selatan bawah batu’. Formula awal baris pertama diisi oleh kata berkategori noimna lako ‘anjing’ berdistribusi dengan verba ‘kolo’ gonggong’ diikuti oleh noimna rongo ‘kambing dan determinator ndau ‘itu’. Pada baris kedua nomina tibo ‘kambing’ berdistribusi dengan verba miri ‘sandar’ diikuti oleh nomina kembi ‘dinding’, serta determinator ndau ‘itu’ membentuk kelompok kata berupa frasa nominal. Jenis dan frekuensi penggunaan kategori kata sebagai formula awal dalam baris teks WVHMM dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.9 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kategori Kata sebagai Formula Awal No
Kategori Kelas Kata sebagai Formula Awal dalam Baris
Jumlah Baris
Persentase (%)
1.
Nomina
200
61,35
2.
Verba
82
25,15
3.
Adverbia
22
6,74
4.
Adjektiva
14
4,29
5.
Kata Tugas
8
2,45
326
100
Jumlah
120
Seperti tampak pada tabel 5.9 di atas, dari jumlah 326 baris dalam teks WVHMM, penggunaan nomina sebagai formula awal tersebar dalam 200 baris (61,35%), verba tersebar dalam 82 baris (25,15%), adverbia tersebar dalam 22 dua baris (6,74%), adjektiva tersebar dalam 8 baris (4,29%), dan kata tugas tersebar dalam 8 (2,45%). Kecenderungan penggunaan nomina paling dominan karena realitas faktual banyak diakrabi dan dialami oleh etnik Rongga dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan dunia kebendaan. 3) Frasa Sebagian kata yang digunakan dalam teks WVHMM berbentuk frasa atau kelompok kata dengan kandungan pesan yang berkaitan dengan kehidupan etnik Rongga. Frasa sebagai bagian fungsional dari sebuah tuturan yang lebih panjang berkaitan dengan struktur infrafrasal dan ekstrafrasal (Verhaar, 1999:291-292). Berdasarkan struktur infrafrasal, jenis frasa dalam teks WVHMM terdiri atas: (1) frasa nominal (FN), seperti ana embu ‘anak cucu’ yang mengacu pada pelaku dengan struktur nomina + nomina (N+N); (2) frasa verbal (FV), seperti la’a lerha ‘jalan panas’ dengan struktur verba + adjektiva (V + Adj) yang mengacu pada tindakan; (3) frasa adjektival (FAdj) seperti nggote nunu ‘kasihan beringin’ dengan struktur adjektiva + nomina (Adj + N) yang menunjuk pada situasi atau keadaan; (4) frasa adverbial (F-Adv) seperti ko’e serotu ‘tersisa kumpulan kecil’ dengan struktur adverbia + nomina (Adv + N) untuk memperjelas informasi; (5) frasa preposisional (F-prep) seperti lau alo ‘di (selatan) kali’ dengan struktur preposisi + nomina (Prep + N) sebagai pemarkah lokatif, sebagaimana dapat dilihat pada fragmen berikut.
121
(5-08) Nggote nunu merhe, nggote nunu kasihan beringin besar kasihan beringin ‘Kasihan beringinyang besar’ Ana embu la’a lerha, nde jono mawo nde anak cucu jalan panas mana berteduh di pohon rindang mana ‘Anak cucu berjalan di bawah panas, berteduh dipohon yang rindang’ (5-09) Nangge lau alo, lau alo nangge halo pohon asam di (selatan) kali, di (selatan) kali pohon asam piatu ‘Pohon asam di selatan adalah pohon asam piatu’ Ko’e serotu, serotu ko’e sendu tersisa kumpul kecil kumpul kecil tersisa tunas ‘Tersisa sisa tunas kumpulan kecil” Berdasarkan analisis data yang dilakukan,
penggunaan frasa nominal sangat
produktif dalam teks WVHMM. Jenis dan frekuensi penggunaan frasa dalam teks WVHMM seperti terlihat pada tabel bawah ini. Tabel 5.10 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Frasa Berdasarkan Struktur Infrafrasal No.
Jenis Frasa
Jumlah
Persentase (%)
1.
Frasa Nominal
385
59,50
2.
Frasa Verbal
168
25,97
3.
Frasa Adjektival
51
7,88
4.
Frasa Adverbial
19
2,94
5.
Frasa Preposisional
24
3,71
647
100
Jumlah
Seperti tampak pada tabel 5.10 di atas, dari jumlah 647 frasa yang terdapat dalam teks WVHMM, jumlah frasa nominal sebanyak 385 (59,50%), frasa verbal sebanyak 168 (25,97%), frasa adjektival sebanyak 51 (7,88%), frasa adverbial sebanyak 19 (2,94%), dan frasa preposisional sebanyak 24 (3,71%) dan jumlah persentase penggunaannya 100%. Dilihat dari frekuensi kemunculannya dalam
122
teks WVHMM, frasa nominal paling dominan karena dalam kegiatan berbahasa warga etnik Rongga sering menggunakan perbandingan fenomena alam yang hidup di sekitarnya. Pemanfaatan perbandingan fenomena alam berupa nomina dalam kehidupan berbahasa adalah salah satu cara mendidik masyarakat untuk menaati norma-norma yang berlaku. 4)
Klausa/Kalimat Baris-baris dalam teks WVHMM menggunakan klausa/kalimat tunggal
sederhana sebagai satu kesatuan gramatikal yang terdiri atas subjek dan predikat (Verhaar,1996:162).
Klausa/kalimat
itu
merupakan
wadah
makna
yang
menggambarkan cara pengungkapan pikiran dan perasaan etnik Rongga dalam memaknai arti kehidupan mereka. Pola klausa/kalimat yang digunakan adalah subjek-predikat (S-P) dan subjek-predikat-objek (S-P-O) dengan berbagai variasinya seperti terlihat pada fragmen berikut. (5-10)
Mbali azi Rani, mai mbana Mbali adik Rani, datang ramai ‘Mbali adiknya Rani datang ikut meramaikan’ Rae ka’e lawe, lawe mai mbana Rae kakak Lawe, Lawe datang ramai ‘Rae kakak Lawe datang ikut meramaikan’
(5-11)
Jara mosa bhara raru, peko maju kuda jantan putih mata kabur, kejar rusa ‘Kuda jantan putih matanya kabur mengejar rusa’ Langa kara mesi, wa’i teki pasang kekang semoga kaki angkat turun ‘Memasang kekang semoga kakinya angkat turun’
Pola klausa S-P terdapat pada data (5-10), Mbali azi Rani, mai mbana ‘Mbali adik Rani datang meramaikan’. Frasa nominal (FN), Mbali azi Rani, menduduki fungsi subjek (S) yang menjadi pokok pembicaraan dan frasa verbal
123
(FV), mai mbana ‘datang meramaikan’, menduduki fungsi predikat (P) yang memberi penjelasan terhadap pokok pembicaraan. Pola klausa subjek-predikat-objek (S-P-O) terdapat pada data (5-11), Jara mosa bhara raru peko maju ‘Kuda jantan putih mata kabur kejar rusa’. Gugus kata Jara mosa bhara raru ‘Kuda jantan putih matanya kabur’ adalah frasa nominal (FN) yang menduduki fungsi subjek (S) sebagai pokok pembicaraan, kata (verba) peko ‘kejar’ menduduki fungsi predikat (P), dan (nomina) maju ‘rusa’ yang menduduki fungsi objek (O) yang memberi penjelasan terhadap pokok pembicaraan. Klausa berpola S-P-K sebagai salah satu variasi dari klausa berpola S-P dapat dilihat pada data (5-07), Embo sosa ndau lau wiri nanga ‘Ombak berbunyi itu ke selatan batas pantai’. Kata (nomina) embo ‘ombak’ menduduki fungsi subjek (S), frasa nominal (FN) sosa ndau ‘berbunyi itu’ menduduki fungsi predikat ((P), frasa adverbial (F-Ad.) lau wiri nanga ‘ke selatan batas pantai’ menduduki fungsi keterangan sebagai pemarkah lokatif. Klausa berpola S-P-O-K sebagai salah satu variasi klausa berpola S-P-O dapat dilihat pada data (5-06), Lako kongo rongo ndau lau wena watu ‘Anjing menggonggong kambing itu ke selatan bawah batu’. Kata (nomina) lako ‘anjing’ menduduki fungsi subjek (S), kata (verba) kongo ‘gonggong’ menduduki fungsi predikat (P), frasa nominal (FN), rongo ndau ‘kambing itu’, menduduki fungsi objek (O), dan frasa preposisional (F-Prep), lau wena watu ‘ke selatan bawah batu’ sebagai pemarkah lokatif. Jenis dan frekuensi penggunaan pola klausa dalam teks WVHMM dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
124
Tabel 5.11 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Pola Klausa No.
Pola Klausa
Jumlah
Persentase (%)
1.
S-P
299
88,46
2.
S-P-O
39
11,54
338
100
Jumlah
Seperti tampak pada tabel 5.11 di atas, dari jumlah 338 pola klausa yang digunakan dalam teks WVHMM, jumlah klausa berpola S-P sebanyak 299 (88,46%) dan klausa berpola S-P-O sebanyak 39 (11,54%) dengan jumlah persentase sebanyak 100%. Penggunaan klausa berpola S-P lebih produktif daripada klausa berpola S-P-O bertujuan untuk menjaga keseimbangan dalam penuturan dan mempertahankan keselarasan irama gerak tari dan lagu yang dilantunkan. Berdasarkan struktur pembentuk, jenis kalimat yang digunakan dalam teks WVHMM terdiri atas kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa dan kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih (Verhaar, 1996:275). Kedua jenis kalimat tersebut dapat dilihat pada data (5-10) yang masing-masing baris terdiri atas satu klausa, Mbali azi Rani, mai mbana ‘Mbali adik Rani datang meramaikan’, pada baris pertama dan klausa kedua pada baris kedua, Rae ka’e Lawe, Lawe mai mbana ‘Rae kakak Lawe datang meramaikan’, yang esensi pesannya adalah hidup dalam kebersamaan. Kalimat majemuk bertingkat yang terbentuk dari dua klausa
sebagai
jalinan daya estetis bahasa dalam teks WVHMM dapat dilihat pada data (5-01),
125
Renge meu embu nusi, ndia kami dhete manu ‘Dengar, kamu nenek moyang sekarang kami pegang ayam’. Kalimat baris kedua adalah Nunu meu ramba tau ti’i kamu meu bhate ‘Beri tahu disediakan makanan untuk kamu semua’. Esensi pesannya
pemberitahuan
kepada
roh
leluhur
bahwa
mereka
mau
mempersembahkan ayam untuk makanan roh leluhur. Jenis dan frekuensi penggunaan kalimat dalam teks WVHMM berdasarkan struktur pembentukmya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.12 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kalimat Berdasarkan Struktur Pembentuk No.
Jenis Kalimat
Jumlah
Persentase (%)
1.
Kalimat tunggal
272
80,47
2.
Kalimat majemuk
66
19,53
338
100
Jumlah
Seperti tampak pada tabel 5.12 di atas, dari jumlah 338 kalimat yang digunakan dalam teks WVHMM, jumlah kalimat tunggal sebanyak 272 (80,47%) dan kalimat majemuk sebanyak 66 (19,53%) dan jumlah persentasenya sebanyak 100%. Penggunaan kalimat tunggal lebih poduktif karena berkaitan dengan struktur puitis yang paralel dalam satuan baris dan bait. Selain menjaga keseimbangan dalam pengaturan nafas, penggunaan kalimat tunggal itu juga bertujuan menjaga kesesuaian irama, tempo, gerak kaki, dan agar mudah diingat ketika dituturkan. 5) Hubungan baris teks WVHMM Baris-baris yang membentuk satuan bait dalam teks WVHMM memiliki hubungan antarbaris. Meskipun tidak selalu tampil dalam bentuk berjajar,
126
hubungan struktur baris tersebut bersifat sintaktis dan semantis. Kata-kata yang diulang sebagai peranti perekat hubungan antarbaris merupakan hubungan sintaktis berdasarkan susunan kata yang sama dan struktur yang sama dengan posisi berselang-seling. a) Hubungan Sintaktis berdasarkan susunan kata yang sama Satuan bait yang digunakan dalam teks WVHMM terdiri atas baris-baris yang
memiliki
hubungan sintaktis dalam
kalimat.
Dilihat
dari unsur
pembentuknya, satu baris terdiri atas beberapa bagian yang tampil berupa frasa dan klausa. Dilihat dari susunan katanya, jalinan bagian-bagian dalam satu baris membentuk hubungan sintaktis berupa hubungan antarklausa. Seperti terlihat pada data (5-10), klausa pada baris pertama, Mbali azi Rani mai mbana ‘Mbali adik Rani datang meramaikan’, dan klausa pada baris kedua, Rae ka’e Lawe mai mbana, ‘Rae adik Lawe datang meramaikan’, kedua klausa tersebut memiliki hubungan sintaktis dan semantis yang menyatakan kesamaan makna. b) Hubungan baris berdasarkan struktur yang sama dengan posisi berselangseling Selain hubungan sintaktis berdasarkan susunan kata atau struktur yang sama, dalam teks WVHMM ditemukan hubungan baris berdasarkan struktur yang sama pada posisi berbeda, sebagaimana terlihat pada fragmen berikut. (5-12)
Uma lange rhua, ma’e nggari mae kodhi kebun batas dua jangan lewat jangan sebelah ‘Kebun yang berbatasan dua jangan lewat ke sebelah’ Tunu manu kau ka sande uma lange bakar ayam kau makan beri kebun batas ‘Kamu membakar ayam beri juga tetnagga kebun
127
Seperti tampak pada data (5-12) di atas, baris pertama klausa pertama, uma lange ‘kebun berbatasan’, terletak pada posisi awal kalimat, sedangkan pada baris kedua terletak pada posisi akhir dengan makna yang sama. Dari kedua hubungan baris tersebut, hubungan baris berdasarkan struktur yang sama lebih banyak digunakan. Hubungan baris menurut struktur yang sama ditandai dengan penggunaan kata-kata yang sama dan perulangan kata-kata yang memiliki kemiripan makna. Hubungan baris berdasarkan pertukaran kata atau berselangseling bertujuan mempertegas makna pesan yang disampaikan, yaitu hidup tolong menolong dan saling mengasihi. Dilihat dari kedua hubungan baris tersebut, hubungan baris berdasarkan struktur yang sama paling produktif dalam teks WVHMM dan kedua hubungan itu sering tidak memiliki hubungan sintaktis dan semantis. Baris-baris dengan struktur yang sama pada dasarnya terdiri atas dua baris dengan mengulang salah satu struktur yang sama pada baris kedua dalam bentuk paralelisme demi menampilkan
dimensi
estetis.
Perulangan
itu
bertujuan
mempermudah
pengungkapan dan memperkuat jalinan bentuk dan makna pesan. 6) Kohesi wacana Wacana yang baik dan padu di dalamnya selalu mengandung kohesi dan koherensi demikian pula halnya dengan teks WVHMM. Kohesi merupakan keserasian hubungan unsur-unsur dalam wacana, sedangkan koherensi merupakan kepaduan wacana sehingga membawa ide tertentu yang dipahami khalayak (Eriyanto, 2001:4-5). Analisis wacana dilihat dari segi bentuk disebut aspek gramatikal wacana, sedangkan dari segi makna disebut aspek leksikal wacana (Sumarlan, 2003:23).
128
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa Kohesi wacana sebagai peranti pembentuk keutuhan wacana teks WVHMM memiliki karaktersitik yang khas. Kekhasan karakteristik kohesi wacana sebagai keutuhan teks WVHMM tercermin dalam kohesi gramatikal dan kohesi leksikal sebagai unsur
yang
dominan. Kedua kohesi tersebut menjalin kepaduan dan keutuhan wacana teks WVHMM yang diuraikan di bawah ini. 1) Kohesi gramatikal Aspek kohesi gramatikal sebagai peranti keutuhan teks WVHMM meliputi pengacuan atau referensi dan perangkaian. Kedua kohesi gramatikal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut . a) Pengacuan atau referensi Pengacuan atau referensi merupakan salah satu jenis aspek gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu mengacu pada satuan lingual lain yang mengikuti dan mendahuluinya (Sumarlan, 2003:23). Pengacuan atau referensi dalam teks WVHMM mencakupi: (a) persona, dan (b) demonstratif yang terdiri atas pronomina demonstratif tempat dan pronomina demonstratif waktu. Seperti uraian berikut ini. (i) Pengacuan atau referensi persona Pengacuan atau referensi persona yang terdapat dalam teks WVHMM meliputi pengacuan atau referensi pada persona pertama dan kedua yang bersifat eksoforis dan endoforis dalam bentuk bebas maupun terikat. Realitas penggunaan pengacuan atau referensi sebagai pemarkah kohesi gramatikal yang membentuk keutuhan teks WVHMM, sebagai suatu peristiwa komunikasi seperti terlihat pada fragmen berikut.
129
(5-13)
Kau kau ja’o mendu sei kamu kamu saya bukan orang lain ‘Kamu dan saya bukan orang lain melainkan keluarga’ Kau kau ja’, kaju jawa mendu ata kamu kamu saya pohon jagung bukan orang lain ‘Kamu dan saya bukan orang lain melainkan masih keluarga’
(5-14)
Dhengi ne kami, mae sama pa’o minta dengan kami, mari sama-sama duduk ‘Mintalah dengan kami marilah duduk bersama’ Ka nake manu ndia makan daging ayam ini ‘Makanlah suguhan daging ayam ini’
Seperti tampak pada data (5-13), segmen wacana tuturan itu merupakan suatu peristiwa komunikasi yang terbentuk dari dua buah kalimat tunggal yang saling berhubungan secara dialogis dengan kerangka makna yang saling menunjang. Di dalam tuturan itu terdapat dua orang pelibat utama, yaitu sebagai penutur atau sebagai sumber informasi dan sebagai petutur atau penerima informasi. Dalam kalimat tunggal pada baris pertama dan kedua pada data (5-13) terdapat kata kau ‘kamu’ yang merupakan bentuk pengacuan pronomina persona kedua tunggal dan kata ja’o ‘saya’ merupakan bentuk pengacuan atau referensi pada pronomina persona pertama tunggal yang bersifat eksoforis karena yang diacu di luar teks. Meskipun demikian, tetap terjalin kesamaan pemahaman antara penutur dan petutur terhadap predikat, yaitu mendu sei ‘bukan orang lain’, maksudnya masih dalam satu keluarga. Pada segmen (5-14) dibentuk oleh dua kalimat tunggal yang saling berhubungan makna. Dalam kalimat tunggal pada baris pertama terdapat kata kami ‘kami’ sebagai pronomina persona pertama jamak yang menunjuk pada penutur sebagai sumber informasi dan bersifat eksoforis karena yang diacu juga berada di luar teks.
130
Referensi persona terlihat juga pada data (5-02), segmen wacana itu dibentuk oleh dua
kalimat tunggal yang saling berhubungan secara dialogis
dengan kerangka makna yang saling menunjang dan menegaskan satu sama lain demi mempertahankan keutuhan makna. Pada kalimat tunggal baris pertama terdapat kata kami ‘kami’ yang menunjuk pada penutur sebagai sumber informasi dan bersifat eksoforis karena yang diacu pula berada di luar teks. Kata kau ‘kamu’ pada baris kedua merupakan bentuk pengacuan pronomina persona kedua tunggal sebagai penerima informasi yang merupakan bentuk penunjukan pada leluhur dan bersifat endoforis karena yang diacu terdapat dalam teks. (ii) Pengacuan demonstratif Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) yang terdapat dalam teks WVHMM dapat dibedakan menjadi dua, yakni pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina demonstratif tempat (lokasional). Kedua pengacuan demonstratif tersebut secara eksplisit tampak pada fragmen berikut. (5-15)
(5-16)
Manu polu kau, dhanga peni romba maru. ayam peliharaaan kamu, biasa beri makan pagi sore ‘Ayam peliharaan kamu, biasa diberi makan pagi dan sore’ Peni manu mila, kau mila ja’o mila beri makan ayam liar, kau liar saya liar Memberi makan ayam liar, kau liar dan saya juga liar Kodhe mbeke ko’e lau wena watu kera jantan sebelum ke selatan bawah batu ‘ Kera jantan sebelum keselatan berada di bawah batu’ Kodhe mbeke merhe ramba otu mbesi mbolu kera jantan besar agar lihat kayu besi katela rambat yang masih muda ‘Kera jantan besar melihat kayu besi dan ketela rambat yang masih muda’
131
Data (5-15), yaitu pengacuan pronomina demonstratif waktu sekarang, seperti terlihat pada baris pertama yaitu berupa frasa romba maru ‘pagi sore’. Dalam wacana tersebut waktu terjadinya peristiwa adalah pada pagi hari sesudah matahari terbit dan sore hari sebelum matahari terbenam. Suatu kebiasaan bagi masyarakat etnik Rongga memberikan makan pada ayam peliharaannya dua kali sehari, yakni pada pagi hari dan sore hari. Kebiasaan tersebut sesuai pula dengan keberadaan mereka selain sebagai petani ladang juga sebagai pemelihara ternak seperti ayam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pada data (5-16) baris pertama lau wena watu ‘ke selatan bawah batu’ tampak mengacu pada realitas tempat (ruang) yang dekat dengan penutur. Dengan kata lain, penutur ketika menuturkan peristiwa itu sedang berada di tempat yang dekat dengan tempat yang dimaksudkan yaitu dekat dengan batu. b) Perangkaian (konjungsi) Perangkaian atau konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam sebuah wacana. Unsur yang dirangkaikan dapat berupa satuan lingual kata, frasa, klausa, kalimat dan dapat juga berupa unsur yang lebih besar misalnya alenea. Dalam teks WVHMM perangkaian terdapat dalam baris-baris dalam bait berupa konjungsi, seperti tampak pada fragmen berikut. (5-17)
Mbesi tonggu mberi ma’e we’e ame dhenge katela bersusun sanding jangan dengan si jamur Ketela bersusun jangan bersanding dengan si jamur We’e dhenge ame dhenge ata rhe’e dengan jamur si jamur orang jelek ‘Karena si jamur orang yang jelek’
132
Pada (5-17) baik baris pertama maupun baris kedua terdapat konjungsi aditif we’e ‘dengan’ yang didahului oleh penggunaan kata berupa kata sangkalan ma’e ‘jangan’ yang
menunjukkan hubungan penolakan antara
mbesi ‘buah
kastela ‘ dan ame dhenge ‘si jamur’ yang dianggap membahayakan. Dengan penggunaan konjungsi we’e tersebut hubungan kalimat itu lebih ekplisit dan menjadi lebih jelas jika dibandingkan dengan hubungan yang tanpa konjungsi. Makna dari ungkapan tersebut ialah menyatakan sebuah imbauan penutur kepada pendengar hendaknya berhati-hati terhadap orang yang jahat, dalam hal ini adalah penari vera sebagai penutur terhadap penonton atau pendengarnya. Selain konjungsi ne’e ‘dan’ terdapat pula wujud konjungsi lain seperti kata ramba ‘supaya’, ele ‘walaupun’ dan ko ‘atau’ yang menyatakan tujuan suatu peristiwa secara ekplisit, seperti terlihat pada fragmen berikut. (5-18) Ngamba ele lewa ja’o pale kiru tole jurang walaupun panjang saya mendaki dekat melereng ‘Walaupun jurang panjang saya mendekat mendaki melereng’ Tiwu ele lema ja’o nangu kiru watu kolam walaupun dalam saya berenang dekat batu ‘Walaupun kolam dalam saya tetap berenang dekat batu’ (5-19) Kowa ko sapa lau lema lema lau sampan sederhana sampan ke selatan dalam dalam ke selatan ‘Sampan sederhana menuju ke selatan yang dalam’ Tewa laja lewa ramba pere angi merhe kibar layar panjang supaya terlindung angin besar ‘Kibarkan layar yang panjang supaya terlindung dari angin yang besar’ Dari 33 jumlah jenis konjungsi yang digunakan dalam teks WVHMM (lihat tabel 5.04), yang terbanyak digunakan adalah konjungsi dalam wujud ne’e ‘dan’. Dominannya penggunaan konjungsi dalam bentuk ne’e ‘dengan’ ialah
133
untuk
memperpanjang intonasi penuturan dalam mencapai kesesuaian estetis
antara gerakan tari dan intonasi lagu yang dilantunkan oleh penari vera. 2) Kohesi Leksikal Kepaduan wacana selain didukung oleh kohesi gramatikal juga didukung oleh kohesi leksikal. Kohesi leksikal adalah hubungan antarunsur dalam wacana secara semantis (Sumarlan, 2008;169). Analisis kohesi leksikal berfungsi untuk menandai koherensi teks WVHMM sebagai peranti bahasa dalam mendukung keutuhan wacana. Kohesi leksikal yang terdapat dalam teks WVHMM adalah repetisi (perulangan), sinonim (padan kata), dan antonim. Ketiga aspek leksikal tersebut bersinergi mendukung kepaduan teks WVHMM.
Berikut
contoh
penggunaan kohesi leksikal dalam teks WVHMM berupa perulangan satuan lingual berupa kata atau frasa, sinonim dan antonim. (5-20)
Ana halo pae, raku ne’e arhe waru yatim piatu miskin jahit dengan tali waru ‘Yatim piatu miskin, menjahit dengan tali waru’ Ana halo pae, dhepe ne’e arhe tere yatim piatu miskin jahit dengan tali sukun hutan ‘Yatim piatu miskin menjahit dengan tali sukun hutan’
(5-21) Ana halo pae, pae pine tona anak yatim piatu miskin miskin ibu berkekurangan ;Anak yatim piatu miskin tidak memiliki ibu’ Ana halo pae, pae ema tona anak yatim piatu miskin, miskin ayah berkekurangan ‘Anak yatim piatu miskin, tidak mempunyai ayah’ Dalam teks WVHMM repetisi atau perulangan satuan lingual berupa kata atau frasa memiliki peran sangat penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang tampak menonjol penggunaannya. Realitas penggunaan repetisi atau perulangan, seperti tampak pada data (5-20) dan (5-21), merupakan repetisi
134
(perulangan) anafora, yaitu pengulangan kata atau frasa awal pada baris, ana halo pae ‘anak yatim piatu miskin’, yang diulang pada frasa awal baris kedua. Tujuan dari perulangan frasa itu ialah untuk menekankan bahwa anak yatim piatu itu selain miskin juga tidak memiliki orang tua yaitu ayah dan ibu. Pada data (5-20) dan (5-21), selain terdapat aspek leksikal berupa perulangan juga terdapat aspek leksikal berupa sinonim dan antonim seperti kata raku ‘jahit’ yang bersinonim dengan kata dhepe 'jahit’ pada data (5-20). Kedua kata tersebut merujuk pada jenis verba yang sama yakni jahit. Pada data (5-21) kata pine ‘ibu’ baris pertama berantonim dengan kata ema ‘ayah’ pada baris kedua. Kata pine ‘ibu’ merujuk pada wanita dewasa yang sudah berumah tangga dan mempunyai anak, yang berlawanan makna dengan kata ayah yang merujuk pada laki-laik dewasa yang sudah berumah tangga dan mempunyai anak. Pemanfaatan kata-kata bersinonim dapat berfungsi untuk menjalin hubungan makna yang sepadan dan kata yang satu dengan kata yang lain, dan antonim adalah satuan lingual yang maknanya berlawanan atau beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Uraian kohesi leksikal yang berkaitan dengan perulangan berupa kata atau frasa secara lebih rinci dapat disimak pada 5.2.1.4, sedangkan kohesi leksikal yang berkaitan dengan sinonim dan antonim secara rinci dapat disimak pada 5.2.1.5.
5.2.3.2 Sistem formula Kekhasan struktur teks WVHMM ditandai dengan penggunaan baris-baris dengan tatanan kata atau kelompok kata berbentuk pola formula dengan posisi bervariasi sesuai dengan tuntutan irama. Baris-baris berurutan dengan pola
135
formula menimbulkan aspek kepuitisan sebagai ciri khas sastra lisan. Formula adalah kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkap ide pokok tertentu yang terdiri atas frasa, klausa, larik atau baris (Lord, 2000:30). Matra adalah sebuah irama yang tetap sehingga jika terjadi penggantian, maka pergantian tersebut sudah tetap menurut pola tertentu. Dengan kata lain, matra adalah distribusi tekanan teratur pada suku kata atau bunyi dalam larik-larik (Luxemburg, 1989:100). Dalam berbagai sastra lisan, kondisi matra tidak sama seperti halnya pola susunan baris-baris yang menentukan bentuk-bentuk formula dan pola formulanya mempunyai hubungan yang erat dengan sistem bahasa (Lord, 2000:32). Penggunaan bentuk formula dalam teks WVHMM terdiri atas formula kata, frasa, atau setengah baris, seperti pada tabel berikut. Tabel 5.13 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Kategori Formula No
Kategori Formula
Jumlah
Persentase (%)
1.
Formula frasa
37
61,67
2.
Formula kata
23
38,33
60
100
Jumlah
Seperti tampak pada tabel 5.13 di atas, dari jumlah enam puluh kategori formula yang terdapat dalam teks WVHMM formula frasa yang dominan sebanyak 37 (61.67%) dan formula kata sebanyak 37 (61,67%). Dominannya pemakaian pola formula frasa untuk menjaga keseimbangan gerak, tari dan lagu untuk mencapai keharmonisan estetis. Meskipun demikian, kedua pola formula itu mempunyai peran yang penting dalam merajut makna teks WVHMM. Selain
136
untuk menjaga keseimbangan gerak tari dan lagu, pengulangan pola formula juga berfungsi untuk: (1) memberikan penekanan makna secara semantis pada permasalahan yang dituturkan oleh penutur; (2) menciptakan suasana tertentu untuk menggugah emosi bagi pendengar maupun penutur; (3) daya pengingat ke unsur tuturan yang lain; dan (4) mempertahankan dan mengharmonisan gerak tari dan irama lagu yang dilantunkan. Pola formula frasa yang digunakan lebih banyak diisi pola formula frasa nominal (FN), sebagaimana dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.14 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Formula Frasa No.
Jenis Formula Frasa
Jumlah
Persentase%
1.
Formula frasa nominal (FN)
21
56,76
2.
Formula frasa verbal (FV)
6
16,22
3.
Formula frasa adjektival (F-Adj)
2
5,40
4.
Formula frasa perposisional (F-Prep)
8
21,62
Jumlah
37
100
Seperti tampak pada tabel 5.14 di atas, dari jumlah 37 pola formula frasa yang terdapat dalam teks WVHMM, frasa nominal sebanyak 21 (56,76%), frasa verbal sebanyak 6 (16,22%) frasa adjektival sebanyak dua (5,40%), dan frasa preposisional sebanyak delapan (21,62%). Dominannya penggunaan pola formula frasa nominal tersebut berkaitan dengan fenomena alam sekitar lingkup kehidupan etnik Rongga yang lebih banyak berhubungan dengan dunia kebendaan. Untuk memudahkan pemahaman, pola formula yang diulang dalam kalimat pada matra yang sama, baik formula kata maupun frasa atau setengah baris,
137
ditandai dengan cetak tebal yang diberi garis bawah dengan titik untuk menandai pengulangan formula. Untuk pengulangan satu kata dan frasa atau setengah baris yang letaknya tidak teratur ditandai dengan cetak tebal, seperti terlihat pada fragmen di bawah ini. (5-22)
Ramba ma’e menge bhate meu embu woso .................................................................... supaya jangan lapar semua kamu leluhur banyak ‘Supaya jangan lapar kamu semua leluhur’ Dhengi ne’e kami ana embu woso .................................................. minta dengan kami anak cucu banyak ‘Mintalah dengan kami beserta anak cucu yang banyak’
(5-23)
Nderhe Wolomete ne kau pumbu manu kerdil Wolomete karena kau rumput manu ‘Wolomete kerdil karena rumput manu’ Ne kau pumbu manu na’a se’e laki resa karena kau ramput manu dengan patah tersangkut resa ‘Karena tersangkut rumput manu resa patah’
(5-24)
Iu pale sighu melo lombo embo hiu liar karena tumben gulung ombak ‘Ikan hiu liar karena tumben digulung ombak’ Embo lana gheo , ena tuku tendo ombak pasang jelajah, pasir terus menindih ‘Ombak pasang menjelajah terus menindih pasir ’
(5-25)
Uma rhele ghembe uma merhe ................................................ kebun lahan lereng kebun besar Lahan kebun di lereng kebun besar Nara ma’e lere dhuku kumba olo merhe ................................................................ saudara jangan lengah sampai rumput lebih besar ‘Saudara jangan lengah sehingga rumput sampai lebih besar’
(5-26)
Ndala ndau ndeta, ndeta ndala ndoa bintang itu atas, atas bintang kembar ‘Bintang di atas itu, bintang kembar’ ‘Seke ndia lima, ndia lima seke ndake’. gelang ini tangan ini tangan gelang kembar ‘Gelang di tangan gelang kembar’
138
Seperti tampak pada data (5-22) di atas, unsur pembentuk pola formula frasa embu woso ‘leluhur banyak’ diulang pada kalimat kedua baris kedua pada posisi sama di akhir kalimat, sehingga kalimat pertama dan kalimat kedua mengandung pola formula. Ungkapan tersebut mengandung makna penghormatan kepada leluhur. Pada data (5-23) dan (5-24), unsur pembentuk formula kata dan frasa tidak teratur karena kata atau frasa yang diulang pada kalimat berikutnya tidak terletak pada posisi yang sama sehinnga kalimat pertama dan kedua tidak mengandung pola formula. Pada data (5-25), unsur pembentuk pola formula kata diulang pada kalimat kedua pada posisi yang sama di akhir kalimat sehingga kalimat tersebut mengandung pola formula. Pada data (5-26), dalam kalimat pertama terdapat pengulangan kata di tengah kalimat, yakni kata ndeta ‘di atas sana’ kata ndala ‘bintang’, namun tidak terletak pada posisi yang sama. Pada kalimat kedua, terdapat frasa yang diulang di tengah kalimat, yakni seke ndia lima, ndia lima seke ndake ‘Gelang ini tangan, ini tangan gelang kembar’, dan tidak mengandung formula karena pengulangan terletak pada posisi berbeda. Berdasarkan uraian di atas, kata atau frasa sebagai unsur pembentuk pola formula yang diulang pada matra yang sama hanya ditemukan dalam 60 bait dari 163 jumlah bait, yang terdiri atas 37 formula frasa dan 23 formula kata. Ditemukan kekhasan formula teks WVHMM yang unsur-unsur pembentuknya tidak teratur, seperti penggunaan kata-kata dan frasa yang sama jika diulang posisinya berselang-seling atau tidak pada matra yang sama (data 5-26). Temuan ini berbeda dengan Lord yang mengatakan bahwa formula adalah kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk
139
mengungkapkan ide pokok tertentu, formula bisa berbentuk frasa, klausa, dan baris. Fenomena terpenting dalam teks WVHMM adalah tampilan pola-pola bunyi bahasa, seperti asonansi, aliterasi, dan rima sebagai peranti linguistik perajut daya estetis. Temuan ini terkait pula bahwa Indonesia yang terdiri atas berbagai etnik memiliki berbagai ragam sastra lisan. Ragam sastra lisan itu tentu memiliki sistem bahasa sendiri-sendiri sebagai ciri keberbedaan dengan etnik yang lain. Selain memiliki keberbedaan, sistem bahasa itu juga sering menunjukkan adanya persamaan sebagai kekayaan budaya sastra lisan. 5.2.3.3 Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah cara penggunaan bahasa, terutama kosakata yang khas untuk menyatakan pikiran atau perasaan sehingga lebih efektif dan terasa lebih indah (Sibarani, 2004:164). Gaya bahasa yang digunakan dalam teks WVHMM bertujuan untuk menciptakan keindahan penuturan dan memperkuat makna pesan. Sehubungan dengan itu gaya bahasa yang terdapat dan digunakan sebagai unsur pembentuk unsur daya estetis teks WVHMM, antara lain, berupa gaya bahasa paralelisme dan gaya bahasa kiasan. 1) Gaya bahasa paralelisme Bahasa dalam teks WVHMM termasuk jenis bahasa ritual khususnya ritual pertanian. Sebagai bahasa ritual, teks WVHMM dielaborasi secara baik dan disusun dalam bentuk formula yang memiliki kesamaan dalam pemakaian bentuk paralelisme yang menurut Fox (1974:73); Fox, (1982); Grimes, (1997:15); Engelenhoven, (1997); Arka, (2010:95) adalah bagian dari karakteristik bahasa
140
ritual di Indonesia Timur.43 Pemakaian strukur peralelisme terkait dengan transmisi nilai dan identitas budaya. Oleh karena itu budaya dari wilayah Indoensia Timur termasuk etnik Rongga, terkenal dengan tradisi lisan yang sangat kental. Transmisi nilai budaya, asal leluhur, dan norma perilaku semuanya diasosiasikan dengan bentuk paralelisme sebagai salah satu bentuk
budaya
kelisanan, seperti resitasi ritual dari sejarah klan yang dinyanyikan sepanjang malam (lihat Grimes, 1997: 16-17). Paralelisme merupakan salah satu genre (gaya) berbahasa. Studi awal tentang paralelisme sebagai fenomena linguistik terfokus secara ekslusif dalam syair bahasa Hebrew oleh Roberth Lowth (dalam Fox, 1986, 204-205; 282-283; Grimes, 1997:15) yang dikenal dengan sebutan atau istilah paralelisme membrorum. Paralelisme membrorum adalah kata-kata atau kalimat yang saling bersahutan dalam larik yang berkaitan (dalam Fox, 1986:66-67). Teori Lowth itu masih
terbatas
pada
pengungkapan
bentuk
fonologis,
gramatikal,
dan
leksikosemantis. Dalam kaitannya dengan makna dikemukakan tiga macam hubungan semantis antarperangkat diad paralelisme, yaitu hubungan paralel sinonim, antitesis, dan hubungan sinstesis (dalam Fox, 1986:132-133). Teori paralelisme dielaborasi lebih jauh oleh Jakobson (dalam Foley, 1997:366-370), terutama dalam tataran leksikosemantis, yang melahirkan fungsi dan makna bahasa yang berlatarkan kebudayaan masyarakat pendukung paralelisme. Jakobson melihat paralelisme sebagai fungsi puitis (poetic function) yang memproyeksikan prinsip kesepadanan antara seleksi dan kombinasi atau 43
Karaktersitik ini juga ditemukan di luar Indonesia, dan mungkin tidak terbatas pada bahasa ritual seperti contoh cerita yang dinyanyikan di Papua Nugini Rumsey (dalam Arka, 2010).
141
mengenai kesamaan dan kedekatan. Penyingkapan dan pengungkapan paralelisme dilakukan melalui bentuk atau struktur sistem kebahasaan pada tataran fonologis, gramatikal, dan leksikosemantis untuk mengidentifikasi sifat paralelisme fonologis, paralelisme gramatikal, dan paralelisme semantisnya. Paralelisme semantis mencapai perluasannya dalam bahasa-bahasa ritual. Berkaitan dengan itu, berikut dipaparkan dan dijelaskan gaya bahasa paralelisme yang digunakan dalam WVHMM dilihat dari tataran fonologis, gramatikal, dan leksikosemantis. a) Gaya Bahasa Paralelisme Fonologis Karakteristik penggunaan bahasa dalam teks WVHMM tersusun dalam baris dan bait sebagai perpaduan leksikal melalui perulangan dan pemanfaatan satuan kebahasaan bercorak paralelisme. Keindahan bahasa yang digunakan dipengaruhi kehadiran gaya bahasa paralelisme fonologis yang mewujud dalam bentuk asonansi, aliterasi, dan rima, selain perulangan bentuk gramatikal dan leksikosemantis. (1) Asonansi Penggunaan pola bunyi berasonansi adalah ciri paralelisme fonologis yang paling menonjol dalam teks WVHMM. Pola bunyi berasonansi pada tataran kata merupakan perangkat diad dasar dengan salah satu kata atau lebih sebagai perluasannya menyebabkan teks WVHMM menjadi sebuah teks yang utuh, sebagaimana terlihat pada fragmen berikut. (5-27)
Jara mosa bhara posa jara ngarha kuda jantan putih katanya kuda ternama ‘Kuda jantan berwarna putih katanya kuda ternama’ Peko maju pengga, mbau-mbau pengga kejar rusa tikam, tidak jadi tidak jadi tikam ‘Mengejar rusa ingin menikam tetapi tidak jadi’
142
Seperti tampak pada data (5-27) di atas, jenis asonansi yang digunakan adalah asonansi berstruktur simetris dan asimetris. Asonansi berstruktur simetris adalah vokal a-a dalam kata (nomina) jara ‘kuda’ dalam sandingan dengan kata (adjektiva) bhara ‘putih’ dan kata (adjektiva) ngarha ‘ternama’. Asonansi berstruktur asimetris adalah vokal o-a dalam kata (adjektiva) mosa ‘jantan’ dalam sandingan dengan kata (verba) posa ‘kata’. Jenis dan frekuensi penggunaannya dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 5.15 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Fonem Vokal Berasonansi No. Jenis Asonansi 1.
Berstruktur simetris
2.
Berstruktur asimetris
Jumlah
Jenis Fonem Vokal Berasonansi a-a = 37 i-i = 3 e-e = 36 u-u = 3 o-o = 20 a-e = 38 a-i = 24 a-u = 16 a-o = 14 o-i = 6 e-i = 10 e-u = 6 i-u = 7 e-o = 18
Jumlah Persentase (%) 99
40,23
139
59,77
238
100
Seperti tampak pada tabel 5.15 di atas, frekuensi kemunculan asonansi berstruktur asimetris lebih dominan daripada asonansi berstruktur simetris. Dari jumlah 138 asonansi yang terdapat dalam teks WVHMM, jumlah asonansi berstruktur simetris sebanyak 99 (40,23%) dan asonansi bertstruktur asimetris sebanyak 139 (59,77%), dan jumlah presentase seluruhnya adalah 100%. Pada
143
dominasi asonansi berstruktur asimetris terjadi pengaruh pilihan kata guna menampilkan keindahan bentuk dan menimbulkan efek musikal ketika dituturkan. (2) Aliterasi Aliterasi berkaitan dengan permainan bunyi berupa pengulangan konsonan atau kelompok konsonan pada awal suku kata atau kata secara berurutan memperdalam rasa, menampilkan nuansa orkestra dan memperlancar ucapan (Kridalaksana, 1984:9, Pradopo,1987:37). Jenis aliterasi dalam teks WVHMM beragam sehingga sulit dikaidahkan. Kekhasan aliterasi tersebut ditandai dengan letaknya pada kata unsur perangkat yang dijadikan dasar dengan salah satu kata atau lebih sebagai perluasan, sebagaimana terlihat pada fragmen di bawah ini. (5-28)
Kowa saka sapa lau lema lau perahu kecil bonceng sampan ke (selatan) dalam ke (selatan) ‘Perahu kecil bonceng sampan ke selatan di laut yang dalam’ Wesa mani lai tenge tuu-tuu tenge dayung begitu lincah sendiri betul-betul sendiri ‘Betul-betul sendiri mendayung dengan lincah’
(5-29)
Mbata sosa mbata mbale bunyi ombak gelegar sahut ‘Bunyi ombak bergelegar saling bersahutan’ Ture watu lamba ture tepe susun batu gendang susun dengan rapi.’. ‘ Batu bersusun dengan rapi berupa gendang’
Seperti dilihat pada fragmen (5-28), aliterasi konsonan s berdistribusi pada posisi awal dalam kata saka dan sapa, aliterasi konsonan l berdistribusi pada posisi awal dalam kata lau dan lema, aliterasi konsonan t berdistribusi pada posisi awal dalam kata tenge dan tuu. Pada fragmen (5-29), aliterasi konsonan mb berdistribusi pada posisi awal dalam kata mbata dan mbale, serta aliterasi konsonan t berdistribusi pada posisi awal dalam kata ture dan tepe. Jenis dan
144
frekuensi penggunaan aliterasi dalam teks WVHMM seperti tampak pada tabel berikut. Tabel 5.16 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Aliterasi pada Posisi Awal dan Tengah No.
Jenis Aliterasi
Jumlah
Persentase (%)
1.
Posisi Awal
76
82,61
2.
Posisi Tengah
16
17,39
92
100
Jumlah
Seperti tampak pada tabel 5.16 di atas, dari jumlah 92 aliterasi yang terdapat dalam teks WVHMM, sebanyak 76 (82,61%) berdistribusi pada posisi awal dan 16 (17,39%) berdistribusi pada posisi tengah, dan jumlah persentasenya sebanyak 100%. Tidak terdapat aliterasi yang berdistribusi pada posisi akhir karena bahasa Rongga merupakan bahasa vokalik atau bersuku terbuka. (3) Rima Rima adalah pola perulangan bunyi yang sama, yang muncul secara berurutan pada kata, frasa, atau klausa. Berdasarkan posisinya, jenis rima yang terdapat dalam teks WVHMM terdiri atas rima awal, tengah, dan akhir, dengan frekuensi penggunaannya bervariasi, sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.17 Posisi dan Frekuensi Penggunaan Rima No
Posisi
Jumlah
Persentase (%)
1
Posisi awal
80
32,39
2
Posisi tengah
75
30,36
3
Posisi akhir
92
37,25
247
100
Jumlah
145
Seperti tampak pada tabel 5.17 di atas, dari jumlah 247 rima yang terdapat dalam teks WVHMM, jumlah rima awal sebanyak 92 (37,25%), rima tengah sebanyak 80 (32,39%), dan rima akhir sebanyak 75 (30,36%), dan jumlah persentasenya
sebanyak
100%.
Variasi
penggunaannya
bertujuan
untuk
menciptakan efek musikal dan keharmonisan estetis bunyi. Realitas penggunaan rima tersebut dapat dilihat pada fragmen di bawah ini. (5-30)
Kojo paka ghara lau tolo namba kepiting rangkak rayap ke selatan sembarang tanah putih ‘Kepiting merayap merangkak sembarangan ke tanah putih’ Kima mata mite ngata lau wena watu siput mata hitam saja(lah) ke selatan bawah batu ‘Siput bermata hitam sajalah yang ke selatan di bawah batu’
Seperti tampak pada data (5-30), frasa nominal (FN) mata mite ‘mata hitam’, terdapat pada rima awal dan tengah. Rima awal ditandai dengan permainan fonem konsonan m dan rima tengah ditandai dengan permainan fonem konsonan t. Dalam frasa nominal (FN), wena watu, terdapat rima awal yang ditandai dengan permainan fonem konsonan w. Ungkapan di atas memiliki makna imbauan kepada siapa pun agar dalam mengerjakan sesuatu apa pun itu tetap berhati-hati dan waspada. b) Paralelisme Gramatikal Paralelisme gramatikal yang terdapat dalam teks WVHMM meliputi ekuivalensi kelas kata perangkat diad dasar dan modus kalimat, kesemuanya ditandai dengan kesepadanan kelas kata atau penyepasangan kelas kata. (1) Ekuivalensi kelas kata perangkat diad Ekuivalensi kelas kata perangkat diad adalah penyepasangan kelas kata yang sama sebagai bentuk paralelisme gramatikal, seperti terlihat dalam fragmen di bawah ini.
146
(5-31)
Kamba ko jara wa’i nd’a ndoro sala kerbau atau kuda kaki kembar gelincir salah ‘Kerbau atau kuda kakinya berkembaran tergelincir salah’ Renggo mesi mbe’o tetemu ndi’i mema mengganggu semoga tahu tepat duduk jatuh memang ‘Mengganggu semoga tahu tempat duduk jatuh’
(5-32) Lerha mbo mena mbena sama mbesi wonga romba matahari terbit di Mbena seperti bunga kastela pagi hari ‘Matahari yang terbit di Mbena seperti bunga kastela pada pagi hari’ Lerha ko’e nggoru maru kau menga palu wau matahari sebelum sore bunga kamu sudah terlanjur layu ‘Matahari sebelum terbenam sore bungamu sudah terlanjur layu’ Pada data (5-31), kata kamba ‘kerbau’ berekuivalensi dengan kata jara ‘kuda’. Pada data (5-27), kata bhara ‘putih’ berekuivalensi dengan kata ngarha ‘ternama’. Pada data (5-32), kata ko’e ‘sebelum’ berekuevalensi dengan kata nggore ‘sore’. Kelas kata berkategori nomina paling banyak berekuivalensi, seperti terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.18 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Ekuivalensi Kelas Kata Perangkat Diad No.
Ekuivalensi Kelas Kata
Jumlah
Persentase (%)
1.
Nomina + Nomina
84
58,74
2.
Verba + Verba
29
20,28
3.
Adjektiva + Adjektiva
21
14,68
4.
Adverbia + Adverbia
9
6,30
143
100
Jumlah
Seperti tampak pada tabel 5.18 di atas, dari 143 ekuivalensi kelas kata perangkat diad yang terdapat dalam teks WVHMM, jumlah ekuivalensi kelas kata
147
nomina sebanyak 84 (58,74%), ekuivalensi kelas kata verba sebanyak 29 (20,28%), ekuivalensi kelas kata adjektiva sebanyak 21 (14,68%), dan ekuivalensi kelas kata adverbia sebanyak 9 (6,30%) dan jumlah persentasenya sebanyak 100%. Penggunaan kelas kata nomina paling banyak karena esensi pesan yang disampaikan lebih banyak bergayut dengan dunia kebendaan sesuai dengan realitas faktual yang dihadapi dan dialami oleh etnik Rongga. (b) Modus kalimat Modus kalimat yang digunakan dalam teks WVHMM terdiri atas modus desideratif, indikatif, imperatif, dan interogatif. Jenis dan frekuensi penggunaan modus kalimat dalam teks WVHMM dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.19 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Modus Kalimat No.
Modus Kalimat
Jumlah
Persentase (%)
1.
Modus kalimat desideratif
19
5,62
2.
Modus kalimat imperatif
43
12,72
3.
Modus kalimat indikatif
271
80,18
4.
Modus kalimat interogatif
5
1,48
338
100
Jumlah
Seperti dilihat pada tabel 5.19 di atas, dari 238 modus kalimat yang terdapat dalam teks WVHMM, jumlah modus indikatif sebanyak 271 (80,18 %), modus imperatif sebanyak 43 (12,72%), modus desideratif sebanyak 19 (5,62%), dan modus interogatif sebanyak 5 (1,48%), dan jumlah persentase seluruhnya 100%. Dominasi penggunaan kalimat bermodus indikatif menunjukkan bahwa struktur
148
kalimat yang digunakan dalam teks WVHMM cenderung mendeskripsikan tentang sesuatu sesuai dengan realitas faktual yang dialami oleh etnik Rongga. (i) Modus Desideratif Modus desideratif adalah modus yang menyatakan keinginan atau harapan penutur terhadap mitra tutur. Realitas penggunaan modus desideratif dalam teks WVHMM dapat dilihat dan disimak pada data berikut. (5-33)
Li ti’i ko rebha bhagi ko pawa ayo beri yang baik bagi yang baik juga ‘ Ayo berikanlah dan bagikan yang baik’ Ndoa one uma, mae nduta’. pergi ke kebun jangan ada rintangan ‘Pergi ke kebun jangan sampai ada rintangan’
Fragmen (5-33) di atas menyingkap resapan keinginan dan harapan etnik Rongga agar mereka diberkahi, sebagaimana terekspresi dalam kalimat, Li ti’i ko rebha bhagi ko pawa ‘Ayo beri yang baik bagi yang baik’. Kalimat ini diawali dengan partikel li ‘ayo’ sebagai pemarkah desideratif guna menyatakan keingingan dan harapan mereka kepada Tuhan yang disampaikan melalui roh leluhur sebagai perantara untuk permohonan perlindungan. (ii) Modus Imperatif Modus imperatif adalah modus yang menyatakan perintah atau larangan dari penutur terhadap mitra tutur. Realitas penggunaan kalimat bermodus imperatif dalam teks WVHMM dapat dilihat dalam fragmen berikut. (5-34)
Nuka one sa’o karo mae ro’i pulang ke rumah duri jangan duri ‘Jika pulang ke rumah jangan sampai kena duri’ Sambu ata bho menggi polo wura ‘Mungkin orang iri hati cemburu dan dengki setan’. ‘Mungkin ada yang iri hati, cemburu dan dengki seperti setan’
149
Seperti tampak pada data (5-35), modus imperatif tercemin dalam klausa pertama, Nuka one sa’o karo mae ro’i ‘Pulang ke rumah duri jangan kena duri’, yang ditandai dengan penggunaan pemarkah sangkalan mae ‘jangan’ yang berdistribusi mendahului kata (verba) ro’i ‘kena’. Perintah ini ditujukan kepada roh alam agar mereka terbebas dari rintangan dan halangan dalam perjalanan pulang ke rumah pada sore hari setelah mereka bekerja di kebun. (iii) Modus Indikatif Modus indikatif adalah modus kalimat yang menyatakan sifat kenetralan penutur. Dalam teks WVHMM, penutur tidak menginginkan sesuatu dari mitra tutur, kecuali untuk menyampaikan fakta. Realitas penggunaan kalimat bermodus indikatif dapat dilihat pada fragmen di bawah ini. (5-35)
Ngguru tara woso, woso arhi woso ka’e aur ranting banyak banyak adik banyak kakak ‘Aur (sejenis bambu) dengan ranting banyak adik dan kakak’ Besi singga lina, lina riwu lina ngasu banyak wajah bersih, bersih banyak bersih ratus ‘Banyak sampai ratusan wajah yang bersih’
Klausa pertama dalam fragmen (5-35) tampil dalam modus indikatif karena penutur menyampaikan sesuatu kepada orang lain tentang sifat ngguru ‘aur’ yang beranting banyak dan bisa hidup bersama. Modus kalimat ini merupakan analogi yang mengias mengenai suasana kehidupan bersama dalam bingkai persaudaraan. (iv) Modus Interogatif Modus interogatif adalah modus yang menyatakan pertanyaan dari penutur kepada mitra tutur. Realitas penggunaan kalimat bermodus interogatif dalam teks WVHMM dapat dilihat pada fragmen di bawah ini.
150
(5-36)
Sei nunu kau, ma’e rewo ko’e siapa beritahu kamu jangan bohong lagi ‘Siapa yang memberitahukan kamu jangan bohong lagi’ Sei posa kau ma’e mbaje ko’e ‘siapa beritahu kamu jangan bohong lagi’. ‘Siapa yang memberitahukan kamu jangan bohong lagi’
Kedua kalimat pada fragmen (5-36) di atas tampil dalam modus interogatif yang ditandai dengan adanya tindakan penutur bertanya kepada mitra tutur. Modus tersebut ditandai dengan penggunaan kata tanya sei ‘siapa’ yang berdistribusi pada posisi awal mendahului verba nunu ‘beri tahu’ pada klausa pertama dan verba posa ‘beritahu’ pada klausa kedua. Pertanyaan itu bersifat retoris karena tidak memerlukan jawaban langsung dari mitra tutur, tetapi hanya bertujuan menampilkan keindahan bentuk tuturan. c) Paralelisme leksikosemantis Analisis paralelisme leksikosemantis diarahkan pada sifat hubungan makna kata sebagai unsur perangkat diad dan sifat hubungan makna antarunsur kata, frasa, dan kalimat. Karakter tipikal paralelisme adalah struktur dalam dari baris yang menunjukkan perpaduan leksikal melalui perulangan, sinonim, dan antonim. Penggunaan bentuk paralelisme leksikosemantis dalam teks WVHMM tidak begitu produktif, sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.20 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Paralelisme Leksikosemantis No.
Jenis
Jumlah
Peresentase (%)
1.
Sinonim
11
35,48
2.
Antonim
13
41,94
3.
Sintesis
7
22,58
Jumlah
31
100
151
Seperti tampak pada tabel 5.20 di atas, dari 31 bentuk paralelisme leksikosemantis digunakan dalam teks WVHMM, jumlah sinonim sebanyak 11 (35,48%), antonim sebanyak 13 (41,94%), dan sintesis sebanyak 7 (22,58%), dan jumlah persentasenya sebanyak seratus persen. Realitas penggunaan paralelisme leksikosemantis dalam teks WVHMM dapat terlihat pada fragmen di bawah ini. (5-37)
Ine po soro kau rero ma’e ghewo ibu nasihat bicara kamu ribut jangan lupa ‘Ibu bicara memberi nasihat kamu jangan ribut dan lupa’ Ema reku lelu, kau rero ma’e ghewo ayah nasihat bicara beri nasihat kamu ribut jangan lupa ‘Ayah bicara memberi nasihat kamu jangan ribut dan jangan lupa’
Seperti tampak pada data (5-37) di atas, klausa kau rero ma’e ghewo ‘jangan ribut jangan lupa’ dalam baris pertama diulangi pada baris kedua. Baris pertama menunjukkan keterpaduan dengan menggunakan sinonim dan antonim, seperti kata po ‘nasihat’ pada klausa ine po soro ‘ibu menasihati’ bersinonim dengan kata reku ‘nasihat’ pada klausa ema reku lelu ‘bapak menasihati’. Perpaduan sinonim dan antonim pada data (5-37)
merupakan sintesis karena
keduanya membangun makna. Esensi isi pesannya ialah jangan meremehkan nasihat orang tua atau nasihat itu sebaiknya ditaati. 2) Gaya Bahasa Kias Gaya bahasa kias merupakan jenis gaya bahasa yang paling produktif dalam teks WVHMM. Jenis gaya bahasa kias yang digunakan terdiri atas persamaan, metafora, personifikasi, dan sindiran, dengan frekuensi penggunaannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
152
Tabel 5.21 Jenis dan Frekuensi Penggunaan Gaya Bahasa Kias No
Jenis Gaya Bahasa Kias
Jumlah
Persentase (%)
1.
Persamaan
51
25,12
2.
Personifikasi
48
23,65
3.
Metafora
74
36,45
4.
Sindiran
30
14,78
Jumlah
203
100
Seperti tampak dalam tabel 5.21 di atas, dari jumlah 203 gaya bahasa kias yang digunakan dalam teks WVHMM, jumlah gaya bahasa kias metafora sebanyak 74 (36,45%), gaya bahasa kias personifikasi sebanyak 48 (23,65%), gaya bahasa kias perbandingan sebanyak 51 (51,25%), dan gaya bahasa kias sindiran sebanyak 30 (14,78%), dan jumlah persentasenya sebanyak 100%. Gaya bahasa kias metafora paling produktif karena etnik Rongga sering menggunakan fenomena alam sekitar seperti tumbuh-tumbuhan atau buah-buahan, binatang, dan benda lainnya, sebagai acuan perbandingan dalam berkomunikasi. a) Persamaan Gaya bahasa kias persamaan adalah teknik mengias gagasan melalui perbandingan yang dinyatakan secara eskplisit, artinya seseorang langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain, dengan menunjukkan kesamaan melalui penggunaan kata-kata seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya (Keraf, 2006:138). Realitas penggunaan gaya bahasa kias persamaan dapat dilihat pada data (5-33). Seperti tampak pada fragmen (5-33), gaya bahasa
153
kias persamaan tercemin dalam klausa, Lerha mbo mena Mbena sama mbesi wonga romba ‘Matahari terbit di Mbena sama dengan bunga kastela pagi hari.’ Hal yang disamakan adalah cahaya matahari terbit di Mbena dengan warna bunga kestela pada pagi hari. b) Metafora Metafora adalah kiasan yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat dalam gaya berbahasa. Metafora dapat berdiri sendiri sebagai kata. Gaya bahasa kias metafora banyak ditemukan dalam teks WVHMM, yang salah satu contohnya dapat dilihat pada fragmen di bawah ini. (5-38) Ua ndele poso Lando sorhi ndewa rotan di atas gunung Lando pucuk tangkap dewa ‘Rotan di atas gunung Lando ujungnya mengarah dewa (Tuhan)’ To’e lau rha kamu lore nitu pohon to’e di selatan akar kamu lilit penunggu ‘Pohon to’e di selatan akarnya melilit penunggu (roh alam) Seperti tampak pada fragmen (5-38) di atas, gaya bahasa metafora tercermin dalam baris pertama, Ua ndele poso Lando sorhi ndewa ‘Rotan di gunung Lando pucuknya tangkap dewa’, yang mengias permohonan kepada dewa (Tuhan). Artinya, setinggi apa pun kekuasaan manusia, diharapkan selalu menyembah Tuhan karena Dia adalah Sang Mahakuasa. c) Personifikasi Personifikasi adalah gaya bahasa kias yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-seolah memiliki sifat kemanusiaan, yang dapat bertindak, berbuat, dan berbicara (Keraf, 2006:140). Realitas penggunaan gaya bahasa kias personifikasi dalam teks WVHMM dapat dilihat pada fragmen di bawah ini.
154
(5-39)
Sambi waja radha weo mona mendo sambi keras sekali digoyang tidak tumbang ‘Sambi (nama tempat) keras sekali digoyang namun tidak tumbang’ Wara tumbu kembi ate mona leli topan hantam dinding hati tidak gentar ‘Topan menghantam dinding tetapi hati tidak gentar’
Seperti tampak pada data (5-39) di atas, gaya bahasa kias personifikasi tercermin dalam baris pertama, Sambi waja radha ’Sambi keras sekali digoyang tidak tumbang’. Frasa nominal sambi waja radha adalah gaya bahasa personifikasi yang mengias seseorang yang memiliki sifat kuat. Esensi pesannya adalah bahwa dalam kehidupan nyata keteguhan hati mesti dimiliki setiap orang sebagai modal dasar dalam mengarungi hidup yang begitu sarat dengan tantangan. d) Sindiran Sindiran atau ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Realitas penggunaan gaya bahasa sindiran dalam teks WVHMM dapat dilihat pada fragmen di bawah ini. (5-40) Jawa sowo bhara sambo’e rheta one jagung kulit putih seikat simpan kamar ‘ Satu ikat tagung berkulit putih disimpan di dalam kamar’ Pembe sesewe tungga pere maki tenge goreng satu kuali khusus untuk sendiri ‘Digoreng satu kuali hanya untuk sendiri’ Bentuk tekstual satuan kebahasaan dalam fragmen (5-40) menyindir seseorang yang kikir dan rakus. Sifat itu dikiasi dengan menyimpan seikat jagung putih di dalam kamar, seperti terlihat dalam baris pertama, Jawa sowo bhara sambo’e rheta one ‘Jagung kulit putih seikat disimpan dalam kamar’ dan dalam baris kedua, Pembe sesewe tungga pere maki tenge ‘Goreng sekuali khusus makan untuk sendiri.
155
5.3 Strukutur Naratif Teks WVHMM Struktur naratif melihat teks berdasarkan urutan waktu. Unsur naratif yang dikaji dalam teks WVHMM dilihat dari segi suasana hati. Suasana hati merupakan bagian yang sangat penting dan dominan dalam teks WVHMM. Suasana hati dapat menjelaskan dan menggambarkan pendapat, sikap dan keadaan penutur tentang peristiwa vera mbuku sa’o mbasa wini. Selain itu, sauasaa hati juga menggambarkan sudut pandang penutur sebagai penutur dan
sebagai tokoh
dalam peristiwa guyub tutur masyarakat etnik Rongga. Aspek naratif dalam teks WVHMM diwarnai dengan jenis tuturan dialog dari tokoh dengan tuturan langsung kepada partisipan. Semua elemen baik partisipan maupun tuturan sangat menentukan keutuhan struktur wacana teks WVHMM. Dalam penelitian ini, suasana hati naratif yang dikaji meliputi suasana hati tuturan dan suasana hati perspektif yang dapat diuraikan sebagai berikut. 5.3.1 Suasana Hati Tuturan Suasana hati tuturan dalam teks WVHMM yang diungkapkan oleh penutur terdiri atas empat tahapan. Pada tahapan pertama yakni pembukaan berupa ti’ika (pemberian makanan kepada leluhur) yang ditujukan kepada roh leluhur dengan suasana hati yang khusuk. Penuturan diungkapkan dengan menggunakan kalimat majemuk bertingkat bermoduskan instruksi yang ditandai dengan distribusi penempatan kata (verba) renge ‘dengar’ pada posisi awal mendahului (pronomina) persona kedua jamak) meu ‘kamu’ seperti terlihat pada data (5-01), renge meu embu nusi ndia kami dhete manu ‘dengar kamu nenek moyag, sekarang kami pegang ayam’ nunu meu ramba tau ti’i kamu meu bhate ’beritahu kamu supaya
156
buat beri makan kamu semua’. Isi pesan yang disampaikan adalah pemberitahuan kepada roh leluhur bahwa mereka mau mempersembahkan ayam untuk makanan roh leluhur melalui upacara adat mbasa wini (upacara pemercikan darah ayam pada bibit) sesuai dengan kaidah adat yang sudah digariskan. Data (5-02), Komba ndia kami tau adha ‘malam ini kami buat adat’, Ko adha kau mbasa wini ‘adat kamu basah bibit’ dan pada data (5-33) Li ti’i ko rebha, bhagi ko pawa‘ayo’ beri yang baik, bagi yang baik juga’, Ndoa one uma, mae nduta ‘pergi ke kebun jangan ada rintangan’. Ungkapan li ti’i ko rebha, bhagi ko pawa ‘ayo beri yang baik, bagi yang baik juga’ pada data (5-33) di atas merupakan instruksi atau perintah yang ditandai dengan penggunaan kata (partrikel) li ‘ayo’ yang berposisi mendahului kata (verba) ti’i ‘beri’. Ungkapan tersebut menunjukkan harapan agar roh leluhur mendengar doa permohonan yang mereka sampaikan dengan harapan bibit yang mereka akan tanam diberkati. Esensi isi pesan yang terkandung adalah permohonan kepada roh leluhur agar sudi membagi hal-hal yang baik dan harapan agar memberikan perlindungan tanpa ada halangan. Pada tahapan kedua, ungkapan penutur diungkapkan dengan suasana hati yang cemas yakni pada upacara tora loka. Seperti yang sudah dijelaskan di depan, secara kontekstual, tora loka adalah tindakan upacara permulaan dalam pelaksanaan Vera, yakni upacara pembersihan tempat vera akan dilangsungkan. Upacara tora loka dilaksanakan dengan tujuan memohon kepada Tuhan agar sudi membersihkan tempat dilaksanakan vera dari berbagai gangguan yang dapat mengganggu kelancaran pelaksanaan upacara tersebut, seperti terlihat dan disimak dalam fragmen teks wacana tora loka berikut.
157
(5-41)
Lewa rae lembe lewa Sayap burung elang sayap panjang ‘Sayap burung elang panjang’ Nila lau oooo tana tonggi dunia ini ooh tanah kesejahtraan manusia ‘Dunia ini untuk kesejahteraan manusia’. Pui e pui wasi ata rhaki Sapu e sapu bersihkan hati kotor ‘Sapu bersihkan hati yang kotor’
Seperti tampak pada data (5-41), fragmen di atas terdiri atas tiga kalimat/klausa dengan esensi isi pesan yang saling berhubungan secara sintaksis dan semantis. Kalimat pertama, Lewa rae lembe lewa ‘Sayap burung elang sayap panjang’, adalah sebuah kalimat tunggal yang terbentuk dari dua komponen, yakni frasa nominal (FN) lewa rae ‘sayap burung elang’, sebagai subjek dan frasa nomina (FN) lembe lewa ‘sayap panjang’, sebagai predikat nominal. Kalimat tersebut berisi simbol kemahakuasaan Tuhan yang dikiasi secara metaforis dengan sayap burung elang yang panjang, yang bisa mengusir orang jahat atau roh jahat yang suka mengganggu kehidupan manusia. Kalimat kedua, Nila lau oooo tana tonggi ‘Dunia ini untuk kesejahteraan manusia’, adalah sebuah kalimat tunggal bermodus indikatif dengan subjeknya adalah frasa nominal (FN), nila lau ‘dunia ini’ dan frasa nominal (FN) tana tonggi ‘tanah kesejahteraan manusia’ sebagai predikat nominal. Kalimat di atas berisi informasi tentang keberadaan dunia ini sebagai tempat untuk mencapai kesejahteraan manusia sehingga berbagai tindakan yang dapat merusak kesejahteraan hidup manusia di dunia mesti dibasmi dan dibersihkan. Kalimat ketiga, Pui e pui wasi ata rhaki ‘Sapu bersihkan yang kotor’, adalah sebuah kalimat tunggal bermodus imperatif yang ditandai dengan penggunaan kata (verba) pui ‘sapu’. Kata ini digunakan secara berulang dalam
158
susunan beruntun dengan kata (verba) wasi ‘cuci’ sebagai predikat dengan frasa nominal (FN) ata rhaki ‘yang kotor’ sebagai objek/komplemen. Kata (verba) pui dan kata (verba) wasi ‘bersihkan’ berhubungan secara sinonimis yang digunakan secara bersama-sama dalam susunan beruntun untuk mempertegas makna pesan yang disampaikan. Esensi isi pesan yang terkandung dalam fragmen teks wacana tora loka di atas adalah permohonan kepada roh leluhur agar sudi membersihkan “yang kotor” di arena atau lapangan tempat dilaksanakan vera. Sesuai dengan persepsi dan konsepsi etnik Rongga, yang dimaksud dengan “yang kotor” dalam fragmen di atas adalah berbagai bentuk gangguan manusia dan roh jahat yang dapat menghalangi kelancaran pelaksanaan pertunjukan vera.44 Pada tahapan ketiga terdapat penuturan yang menyatakan suasana hati gembira, yakni pada upacara inti Vera mbuku sa’o mbasa wini. Penuturan suasana hati kegembiraan adalah ungkapan yang sangat dominan dalam teks WVHMM. Hal ini terkait dengan Vera mbuku sa’o mbasa wini adalah jenis vera haimelo. Vera haimelo adalah vera gembira yang dilaksanakan untuk menyampaikan ucapan syukur kepada Tuhan dan roh leluhur atas penyelenggaraan terhadap kehidupan mereka
sebagai manusia dan anggota masyarakat. Selain itu,
penuturan teks WVHMM juga berfungsi sebagai sarana hiburan yang tercermin dalam pilihan kata dan penataan kata-kata bercorak puitis yang mengandung keindahan. Keindahan yang dimaksud menunjuk pada nilai rasa seni dan
44
Hasil wawancara dengan Hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu di Wae Kutung pada tanggal 15 Mei 2012 dan hasil wawancara dengan Bapak Markus Bana di Watu Nggene pada tanggal 16 Mei 2012.
159
memberikan suasana kenikmatan kepada masyarakat etnik Rongga sebagai penghayat dan penikmat teks WVHMM Vera mbuku sa’o adalah acara inti dari semua rangkaian acara berupa pertunjukan tarian yang diiringi dengan nyanyian. Vera sebagai salah satu bentuk tarian yang disertai dengan nyanyian menunjukkan karakteristik unik karena hanya menampilkan gerakan-gerakan kaki sambil bergoyang dengan posisi tangan selang berangkai. Keunikan lain terlihat pada gerakan kaki penari dalam posisi tarik-tarikan tatkala syair-syair dinyanyikan secara bersama-sama dengan riang gembira. Seperti telah disinggung sebelumnya, tarian vera dibawakan oleh penari dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, yang terdiri atas tiga kelompok pelibat yang terdiri atas (1) Noa lako, yakni pemimpin tarian yang berada pada barisan paling depan, yang diperankan oleh seorang laki-laki; (2) daghe adalah barisan penari perempuan yang berada di tengah di antara noa lako dan woghu dengan jumlah penari minimal sepuluh orang; dan (3) barisan woghu (penari laki-laki) yang berada di belakang barisan daghe dengan jumlah penari minimal sepuluh orang. Tarian vera ditarikan dalam posisi berdiri dengan membentuk dua barisan, yakni barisan depan yang diisi oleh daghe dengan posisi berpegangan tangan merentang setinggi ulu hati dan barisan belakang yang diisi oleh woghu. Posisi noa lako yang betindak sebagai pemimpin atau pemandu mengambil posisi di depan berhadapan dengan daghe. Posisi kelompok penari vera, baik kelompok penari laki-laki (woghu) maupun kelompok penari perempuan (dhage), dan posisi pemimpin tari (noa lako). Suasana hati gembira tercermin dalam penuturan pada fragmen berikut.
160
(5-42) ndili no ndele moe kowa palo rajo bawah dan atas seperti perahu kecil beriringan sampan ‘Di bawah dan di atas seperti perahu kecil beriringan sampan’ Ndeta no ndale moe bondo wa’u waju bawah dan atas seperti lumbung turun tumbuk ‘Di bawah dan di atas seperti menumbuk’ (5-43) Rota poka woa ramba tei pare tongga Menggali terbenam sumur supaya dapat padi lumbung ‘Terbenam menggali sumur supaya mendapat padi lumbung’ Ma’e ghia perha ramba tei jawa kela Jangan takut miang supaya dapat jagung banyak ‘Jangan takut miang supaya dapat jagung banyak Ungkapan penuturan pada (5-42) diungkapkan dalam bentuk dua buah klausa bermoduskan indikatif. Ungkapan penuturan tersebut menunjukkan betapa pentingnya kebersamaan dalam menapaki hidup di dunia. Berat ringan suatu pekerjaan dikerjakan secara bersama-sama baik suka maupun duka dan hidup selalu berdampingan adalah dambaan setiap orang. Data (5-43) juga diungkapkan dalam bentuk dua buah klausa bermoduskan indikatif. Klausa itu
yang
mencerminkan sifat pekerja keras sehingga menghasilkan hasil yang melimpah. Selain itu, penuturan teks WVHMM
menyatakan suasana kenikmatan,
berfungsi sebagai sarana hiburan. Kenikmatan tercermin dalam pilihan kata dan penataan kata-kata bercorak puitis yang mengandung keindahan. Keindahan yang dimaksud menunjuk pada nilai rasa seni dan memberikan suasana kenikmatan kepada masyarakat etnik Rongga sebagai penghayat dan penikmat teks WVHMM, seperti terlihat pada penuturan data (5-27), Jara mosa bhara posa jara ngarha ‘kuda jantan putih katanya kuda nama’, peko maju pengga mbau-mbau pengga ‘kejar rusa mau tikam tidak jadi tikam’. Pada data tersebut terdapat
berupa
asonansi a-a dalam kata jara ‘kuda’ dan bhara ‘putih’ pada klausa pertama dan
161
kata jara ‘kuda’ dengan kata ngarha ‘ternama pada klausa kedua, serta asonansi o-a pada kata mosa ‘jantan’ dan posa ‘katanya'. Data (5-27) mengandung suasana kenikmatan indrawi yang tercipta ketika para penari menuturkan teks dengan sangat mengesankan. Pada tahapan keempat penuturan menyatakan suasana kebahagiaan, yakni acara penutupan tarian vera yang disebut tangi
jo yang ditandai dengan
pelemparan selendang oleh daghe (penari perempuan). Syair-syair lagu yang didendangkan dalam acara tangi jo sebagai acara penutupan pertunjukan vera seperti terlihat pada fragmen di bawah ini. (5-44)
jo na tangi jo e jona Pasang tangga kami mau masuk rumah ‘Pasanglah tangga kami mau masuk ke rumah’ Jo jodo tangi jo e jodo Pasang tangga kami mau masuk rumah ‘Pasanglah tangga kami mau masuk ke rumah’
Data (5-44) di atas dinyanyikan secara berulang sekitar empat sampai lima kali. Adapun esensi isi pesan yang terkandung dalam syair tersebut adalah permintaan memasang tangga karena mereka ingin masuk kembali ke dalam rumah dengan suasana hati bahagia. 5.3.2 Suasana Hati Perpektif Unsur suasana hati naratif yang lain terdapat pula dalam teks WVHMM, yaitu suasana hati perspektif. Perspektif merupakan sudut pandang narator atau penutur sendiri dan sudut pandang nanartor sebagai tokoh di dalam peristiwa atau tuturan. Adapun suasana hati perspektif teks WVHMM yang dibahas dalam penelitian ini adalah penutur sebagai tokoh dalam tuturan, dan penutur tidak sebagai tokoh di dalam tuturan atau peristiwa.
162
5.3.2.1 Penutur sebagai tokoh dalam tuturan Pada penuturan suasana perspektif, penutur sebagai tokoh dalam teks WVHMM dimarkahi oleh penggunaan pronomina persona pertama, yaitu kami. Penuturan ini terdapat dalam tahap pembukaan yang bermoduskan kalimat imperatif, seperti terlihat pada data (5-01) dan (5-02); data (5-01), yakni renge meu embu nusi ndia kami dhete manu ‘dengar kamu para leluhur, sekarang kami pegang ayam’, nunu meu ramba tau ti’i kamu meu bhate ’beritahu kamu supaya buat beri makna kamu semua’. Esensi pesan yang disampaikan adalah agar roh leluhur
mendengar doa permohonan yang mereka sampaikan. Penuturan doa
permohonan itu diawali dengan penyembelihan ayam berwarna merah sebagai sarana persembahan seperti terlihat dalam klausa ndia kami dhete manu. Sesuai dengan konteks yang melatarinya, yang dimaksud dengan dhete manu ‘pegang ayam’ adalah persembahan ayam guna memberi makan kepada roh leluhur. Data (5-02), yakni komba ndia kami tau adha ‘malam ini kami buat adat’, ko adha kau mbasa wini ‘adat engkau basah bibit’. Isi pesan pesan yang terkandung ialah memberitahukan kepada roh leluhur bahwa pada malam ini (komba ndia) mereka melaksanakan upacara adat (adha). Kedua tuturan di atas menjelaskan bahwa penutur termasuk dalam proses penuturan. Penutur memberitahukan kepada leluhur bahwa mereka akan menyuguhkan makanan dan akan membuat upacara adat. Upacara yang dimaksud adalah upacara mbasa wini. Upacara adat ini dilaksanakan oleh etnik Rongga bukan atas kemauan mereka sendiri, tetapi merupakan suatu kaidah budaya yang sudah digariskan dan diwariskan leluhur. Pelakasanaan upacara mbasa wini tersebut merupakan suatu bentuk dan wujud penghormatan mereka terhadap leluhurnya.
163
5.3.2.2 Penutur tidak sebagai tokoh dalam tuturan Suasana hati perspektif penutur
tidak sebagai tokoh dalam tuturan
terdapat dalam tahap inti upacara Vera mbuku sa’o mbasa wini. seperti terlihat pada data (5-36) Sei nunu kau, ma’e rewo ko’e ‘siapa beri tahu kamu jangan bohong lagi’ Sei posa kau ma’e mbaje ko’e ‘siapa beri tahu kamu jangan bohong lagi’ dan data (5-37), Ine po soro kau rero ma’e ghewo ’ibu nasihati kamu jangan ribut jangan lupa’ Ema reku lelu kau rero ma’e ghewo’ ayah nasihati kamu jangan ribut jangan lupa. Suasana hati tersebut secara ekplisit dimarkahi oleh pronomina persona kedua tunggal, yaitu kau. Data (5-36) di atas penutur mengungkapkan pendidikan tentang kejujuran yang dituturkan dengan menggunakan gaya bahasa bentuk perulangan dalam bnetuk frasa mae rewo koe ‘jangan bohong lagi’. Jujur sebagai nilai dasar kehidupan dan dasar kemanusiaan. Kejujuran merupakan sifat naluriah manusia dan hal itu harus dilakukan dalam kehidupan sebagai manusia dan anggota masyarakat. Data (5-37) penutur mengungkapkan peringatan agar semua warga mematuhi dan mengindahkan norma-norma etika yang berlaku sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat.
5.4 Rangkuman Teks WVHMM memiliki struktur formal
dan struktur naratif. Struktur
formal teks WVHMM memiliki susunan yang teratur terdiri atas tataran struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Dilihat dari struktur makro, makna global atau tema sentral teks WVHMM adalah doa permohonan kepada Tuhan agar musim tanam yang akan datang
164
berjalan baik. Dilihat dari superstruktur, skema teks WVHMM terdiri atas tiga bagian, yakni pendahuluan, isi, dan penutup, yang berhubungan secara organis. Struktur mikro atau struktur internal teks WVHMM mencakupi tiga aspek yang terikat utama pertama aspek kebahasaan terpapar dalam: (a) satuan bunyi yang terdiri atas bunyi segmental dan suprasegmental; (b) kata meliputi tata kata, pola suku kata, jumlah kata dalam baris, kelas kata pembentuk baris, kata arkais, kata istilah pertanian, dan pemanfaatan kata pada posisi tertentu dalam baris; (c) frasa meliputi frasa nominal, verbal, adjektival, adverbial, dan preposisional; dan (d) klausa/kalimat meliputi pola klausa/kalimat subjek-predikat (S-P) dan subjekpredikat-objek (S-P-O) dengan berbagai variasi, kalimat berdasarkan struktur pembentuknya meliputi kalimat tunggal dan majemuk; (e) hubungan baris meliputi hubungan sintaktis berdasarkan susunan kata, struktur yang sama, dan posisi berselang-seling; (f) kohesi wacana meliputi kohesi gramatikal dan leksikal. Kedua, penggunaan sistem formula yang mencoraki kepuitisan sebagai ciri khas sastra lisan meliputi formula kata dan frasa. Ketiga gaya bahasa atau stilistik meliputi: (a) gaya bahasa paralelisme, yakni paralelisme fonologis, gramatikal, leksikosemantis, dan (b) gaya bahasa kias meliputi persamaan, metafora, personifikasi, dan sindiran. Teks WVHMM sebagai wacana naratif dituturkan pada saat vera mbuku sa’o mbasa wini. Tahap tuturan terdiri atas empat tahap, yaitu (1) suasana hati khusuk yang berkaitan dengan yang transendental pada tahap pembukaan; (2) suasana hati cemas berkaitan dengan berbagai gangguan yang mengganggu kelancaran upacara pada tahap kedua, yaitu ti’ika; (3) suasana hati gembira
165
berkaitan dengan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan roh leluhur terhadap kehidupan etnik Rongga sebagai manusia dan anggota masyarakat pada tahap inti vera; dan (4) suasana hati kebahagiaan karena sudah dapat melaksanakan upacara dengan lancar pada tahap akhir yaitu tangi jo. Teks WVHMM sebagai wacana naratif mengandung suasana hati tuturan dan suasana perspektif. Suasana tuturan meliputi suasana hati khusuk, suasanan hati cemas, suasana hati gembira, dan suasana hati bahagia. Suasana hati yang dominan adalah suasana hati gembira yang terdapat pada tahap inti. Suasana hati perspektif meliputi penutur sebagai tokoh dalam tuturan dimarkahi oleh penggunaan pronomina persona pertama jamak kami, dan penutur tidak sebagai tokoh dalam tuturan dimarkahi oleh pemakaian pronomina persona kedua tunggal kau.
166
BAB VI FUNGSI WACANA TRADISI LISAN VERA MBUKU SA’O MBASA WINI
6.1 Pengantar Berdasarkan hasil analisis struktur teks, peneliti yang mengkaji fungsi WVHMM dengan berpedoman pada pandangan Merton (dalam Kaplan dan Manners,
1999:79)
melihat
adanya
perbedaan
fungsi
perilaku
budaya
sebagaimana tercermin dalam perilaku bahasa atas fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes adalah konsekuensi objektif yang memberi sumbangan pada penyesuaian sistem yang dikehendaki dan disadari oleh partisipan sistem tersebut. Fungsi laten menunjuk pada konsekuensi objektif ikhwal budaya yang tidak dikehendaki dan tidak disadari sama sekali oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Fungsi manifes berpadanan dengan fungsi tekstual dan fungsi laten berpadanan dengan fungsi kontekstual (Schiffirin, 1994:22). Fungsi tekstual menunjuk pada penataan bahasa atau teks yang berkaitan dengan satuan kebahasaan yang digunakan, seperti kata, frasa, dan klausa/kalimat, agar pesannya mudah dipahami. Fungsi kontekstual berkenaan dengan peran eksternal di luar sistem bahasa dengan merujuk pada lingkungan sosial budaya yang melatari penggunaan bahasa.
6.2 Fungsi Manifes Analisis fungsi manifes WVHMM berpedoman pada pandangan Jakobson (1992:70--79) yang memilah dan membedakan fungsi bahasa yang digunakan dalam suatu peristiwa komunikasi atas beberapa fungsi, termasuk fungsi
166
167
referensial, emotif, konatif, metalinguistik, fatik, dan puitik (Levinson, 1989:41; Leech, 2003:20; Cook, 1994:39-154). Fungsi manifes WVHMM terdiri atas fungsi referensial, emotif, konatif, dan puitik, yang frekuensi kemunculannya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 6.01 Fungsi Manifes No
Jenis Fungsi Manifes
Jumlah
Persentase (%)
1.
Fungsi Referensial
12
7,60
2.
Fungsi Emotif
19
9,40
3.
Fungsi Konatif
17
10,70
4.
Fungsi Puitik
115
72,30
Jumlah
163
100
Seperti tampak pada tabel 6.28 di atas, dari jumlah 326 baris dalam teks WVHMM, terdapat 163 bait yang menampilkan fungsi manifes. Dengan rincian: fungsi referensial sebanyak 12 (7,60%), fungsi emotif sebanyak 19 (9,40%), fungsi konatif sebanyak 17 (10,705), dan fungsi puitik sebanyak 115 (72,30%) dan jumlah persentase 100%. Dominasi fungsi puitik berkaitan erat dengan kebermaknaan WHMM sebagai media komunikasi vertikal-transendental dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Fungsi puitik tersebut ditandai dengan penggunaan ragam bahasa bercorak puitis yang disasarkan pada pemertahanan kesantunan berbahasa dan demi penghormatan terhadap ketiga kekuatan supranatural tersebut. Penggunaan ragam bahasa bercorak puitis mencirikan
168
keberadaan WHMM sebagai wacana tradisi lisan bergaya sastra.45
Keempat
fungsi manifest tersebut akan diuraikan dibawah ini. 6.2.1 Fungsi Referensial Seperti telah disinggung sebelumnya, fungsi referensial berfokus pada makna referensial berita yang disampaikan. Meskipun lebih banyak berorientasi pada konteks, fungsi-fungsi lain tetap diperhitungkan dalam pengkajian. Bentuk tekstual satuan kebahasaan WVHMM mengemban fungsi referensial yang dapat dilihat dalam klausa, Komba ndia kami tau adha ‘Malam ini, kami buat upacara adat’ pada data (5-02). Klausa ini memuat berita kepada roh leluhur bahwa pada malam ini (komba nia), “kami” merayakan upacara adat (adha). Kata (pronomina persona kedua jamak) “kami” di sini menunjuk pada etnik Rongga atau secara lebih khusus suku yang merayakan upacara adat tersebut.46 Roh leluhur sebagai pihak penerima pesan direpresentasikan dalam pronimina persona kedua jamak “kamu” pada klausa, Ko adha kamu mbasa wini ‘Upacara adat kamu mbasa wini.’ Klausa ini memuat berita bahwa upacara adat dimaksud adalah ritual mbasa wini yang dilaksanakan bukan atas kemauan mereka sendiri, tetapi menuruti kaidah yang sudah diwariskan dan digariskan oleh leluhur kepada mereka.47 Klausa itu menyiratkan mekanisme pewarisan alamiah tradisi tradisi ritual mbasa wini yang di dalamnya terdapat pelantunan wacana tradisi lisan vera. 45
46
47
Penggunaan ragam bahasa bercorak puitis dalam WVHMM merupakan bagian dari kesalehan ritual mbasa wini karena WVHMM merupakan media komunikasi dengan kekuatan adikodrati. Sesuai dengan data rekaman yang terkumpul, suku yang merayakan ritual mbasa wini adalah suku Motu sebagai suku terbesar dalam kelompok etnik Rongga, di samping suku Lowa. Pronomina persona pertama jamak, kami, dan pronomina persona kedua jamak, kamu, dalam bahasa Rongga memiliki kesamaan bentuk dan makna dengan pronomina persona pertama tunggal dan pronomina persona kedua jamak dalam bahasa Indonesia. Apakah kedua kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Indonesia masih merupakan sebuah pertanyaan karena belum ada bukti yang dapat mencerahkannya.
169
6.2.2 Fungsi Emotif Fokus emotif berfokus pada keadaan penutur sebagai sumber informasi atau pihak pengirim pesan, seperti terlihat dalam penggunaan bentuk kata seru yang dipandang sebagai strata emotif paling murni dalam bahasa. Selain berbeda dengan sarana referensial bahasa, baik melalui pola bunyi maupun melalui pesan sintaksis, fungsi emotif terbentang secara nyata dengan tanda seru yang gaungnya terasa pada seluruh tuturan, baik pada tataran bunyi dan gramatikal maupun pada tataran leksikal. Bentuk tekstual satuan kebahasaan dalam WVHMM mengemban fungsi emotif yang tersebar dalam sembilan belas bait. Salah satu contoh dapat disimak pada fragmen (5-01), Renge meu embu nusi, ndia kami dhete manu ‘Dengar kamu leluhur, sekarang kami pegang ayam ‘ dan Nunu meu ramba tau ti’i, kamu meu bhate ’Beri tahu kamu leluhur supaya buat beri makan kamu semua.’ Maksudnya, beritahu leluhur, ini makanan untuk semua leluhur. Fragmen ini adalah sebuah kalimat majemuk setara sebagai hasil perpaduan dua klausa independen, yakni Renge meu embu nusi ‘Dengarlah para leluhur’ dan ndia kami dhete manu ‘sekarang kami memegang ayam’, nunu meu ramba tau ti’i ‘Beri tahu kamu leluhur supaya buat beri makan,’ kamu meu bhate ‘kamu leluhur semua’ Fungsi emotik terbentang pada tataran bunyi, gramatikal, dan leksikal, dalam klausa pertama yang gaungnya terasa pada seluruh klausa tersebut. Pengaruh pengucapan kata renge ‘dengar’ dengan intonasi tinggi menggugah emosi religius pelibat ritual untuk segera masuk dalam situasi sakral-magis karena seolah-olah roh leluhur sudah hadir bersama mereka pada saat itu.
170
6.2.3 Fungsi Konatif Fungsi konatif berfokus pada keinginan penutur agar mitra tutur melakukan atau berpikir demikian. Fungsi ini menghasilkan ekspresi gramatikal paling murni dalam bentuk vokatif dan imperatif yang secara sintaktis, morfologis, dan yang secara fonemis menyimpang dari kategori nomina dan verba lainnya. Bentuk tekstual satuan kebahasaan dalam WVHMM yang menunjukkan fungsi konatif tersebar dalam tujuh belas bait dan salah satu contohnya dapat dilihat pada data (5-34), Li ti’i ko rebha, bhagi ko pawa. ‘Ayo beri yang baik, bagi yang baik” dan Ndoa one uma, ma’e nduta ‘Pergi ke kebun, supaya tidak ada rintangan’ Fungsi konatif tercermin dalam kalimat pertama, Li ti’i ko rebha, bhagi ko pawa, dan kalimat kedua, Ndoa one uma, ma’e nduta, yang tampil dalam bentuk vokatif dan imperatif secara sintaktis. Bentuk vokatif dan imperatif ditandai dengan penggunaan kata seru, li ‘ayo’, yang berposisi mendahului verba ti’i ‘beri’. Bentuk vokatif dan imperatif ditandai dengan penggunaan kata seru, ma’e ‘ayo’ sebagai pemarkah sangkalan yang berposisi mendahului nomina nduta. Seruan dan perintah ditujukan kepada roh alam agar memberi dan membagi halhal yang baik kepada mereka. Hal baik dimaksud adalah pada saat mereka pergi ke kebun, tidak ada rintangan dan halangan seperti gangguan roh jahat atau setan dalam perjalanan. 6.2.4 Fungsi Puitik Fungsi puitik berfokus pada bagaimana isi berita dibahasakan, yang tidak dapat ditelaah tanpa menyentuh masalah umum bahasa. Hal ini berarti bahwa analisis fungsi puitik melampui batas puisi atau pengkajian linguistik terhadap
171
puisi tidak terbatas pada fungsi puitik. Kekhasan jenis puisi yang berbeda menyiratkan kehadiran fungsi bahasa yang lain, namun fungsi puitik dipandang paling dominan yang memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari poros seleksi atau pilihan kata (paradigmatis) menuju ke poros kombinasi (sintagmatis). Bentuk tekstual satuan kebahasaan dalam WVHMM menampilkan fungsi puitik tersebat dalam 115 bait dan salah satu contohnya adalah kalimat, Ndoa one uma, ma’e nduta, pada data (6-01). Fungsi puitik ditandai dengan penggunaan asonansi berstruktur asimetris berupa fenomena permainan fonem vokal tidak sepadan, /au/ - /a-u/, pada kata uma “kebun” dalam klausa pertama, Ndoa one uma, dalam sandingan dengan kata nduta “rintangan”dalam klausa kedua, ma’e nduta ‘jangan ada rintangan’.
6.3 Fungsi Laten Seperti yang sudah dijelaskan di depan bahwa fungsi laten berpadanan dengan fungsi kontekstual. Fungsi kontekstual berkenaan dengan peran eksternal di luar sistem bahasa dengan merujuk pada lingkungan sosial budaya sebagai lingkungan nonverbal yang melatarinya. Meskipun demikian, analisis fumgsi kontekstual tidak terlepas dari analisis fungsi tekstual karena wacana merupakan perpaduan teks dan konteks yang selalu hadir mendahului teks. Oleh karena itu, analisis fungsi laten teks WVHMM tetap merujuk pada bentuk tekstual satuan kebahasaan yang digunakan sebagai wadah yang mewahanai kebermaknaan fungsi tersebut. Sesuai dengan konteks sosial budaya etnik Rongga yang melatarinya, fungsi laten WVHMM adalah sebagai pranata religius, proyeksi, dan refleksi
172
pengetahuan, sarana pemersatu, sarana kontrol sosial, sarana pendidikan, sarana ekonomis, dan media hiburan. Sesuai dengan kenyataan bentuk tekstual yang tampak secara fisik, ragam fungsi laten WVHMM dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 6.02 Fungsi Laten WVHMM No
Fungsi Laten
Jumlah
Persentase (%)
1.
Fungsi pranata religius
14
4.40
2.
Fungsi proyeksi dan refleksi pengetahuan
30
11.43
3.
Fungsi sarana pemersatu
12
3.17
4.
Fungsi sarana kontrol sosial/ kritik sosial
53
28.88
5
Fungsi sarana pendidikan
15
6.66
6
Fungsi pengesahan kebudayaan
7
2.20
7
Fungsi sarana pengesahan sistem ekonomi
11
6.66
8
Fungsi media hiburan
21
36.50
163
100
Jumlah
Seperti tampak pada tabel 6.02 di atas, fungsi laten yang paling menonjol adalah sebagai sarana kontrol sosial atau kritik sosial yang sebagiannya mewujud dalam bentuk imbauan. Fungsi tersebut pada dasarnya bertujuan untuk memberikan pencerahan etika dan moral bagi warga etnik Rongga agar pola perilaku mereka tidak menyimpang dari kaidah warisan leluhur. Pencerahan itu disasarkan pada pemertahanan keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan dan hubungan transendental dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam konseptualisasi etnik Rongga, Tuhan, roh leluhur, dan roh alam dipahami sebagai sumber kekuatan moral utama yang sangat
173
menentukan keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan hidup mereka sebagai manusia dan masyarakat. 6.3.1 Fungsi Pranata Religius WVHMM berfungsi sebagai pranata religius karena di dalamnya tersirat kepercayaan etnik Rongga tentang eksistensi Tuhan, roh leluhur, dan roh alam sebagai kekuatan supranatural yang sangat menentukan keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan hidup mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Bentuk tekstual satuan kebahasaan yang menyiratkan fungsi WVHMM sebagai pranata religius bagi etnik Rongga dapat dilihat dan disimak pada fragmen berikut. (6-01)
Ua ndele poso land, sorhi ndewa ‘ rotan di atas gunung lando tangkap dewa ‘Rotan di gunung lando pucuknya ke atas menghadap dewa’ To’e lau rha kamu lore nitu pohon to’e di selatan akar kamu lilit roh halus ‘ Pohon toe sejenis bambu huran berduri di selatan akarnya melilit roh halus’
Data (6-01) di atas berisi ajaran bagi warga etnik Rongga agar mereka selalu menyembah Tuhan, seperti halnya pucuk rotan di gunung selalu mengarah ke atas karena Tuhan adalah hakikat tertinggi. Sebutan dan atribut yang menggambarkan sosok dan eksistensi Tuhan sebagai Hakikat Tertinggi adalah ndewa dalam gugus kata sorhi ndewa ‘tangkap dewa’. Selain dipahami sebagai hakikat tertinggi, Tuhan dipahami pula sebagai Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, sebagaimana terlihat pada fragmen berikut.
174
(6-02) Nunu po poso, po poso nunu merhe beringin hutan poso hutan poso beringin besar ‘Pohon Beringin di hutan poso adalah pohon beringin yang besar’ Embu la’a lerha, jono mawo merhe nenek jalan siang teduh pohon rindang besar ‘Nenek berjalan siang hari berteduh di pohon rindang yang besar’ Seperti tampak pada data (6--02), eksistensi Tuhan sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang dikiasi secara metaforis dengan nunu merhe ‘beringin besar’. Sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Tuhan selalu memberikan perlindungan kepada manusia ibarat sebuah pohon beringin berdaun rindang yang memberikan keteduhan bagi semua makhluk hidup. Konseptualisasi etnik Rongga tentang eksistensi Tuhan sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang dapat pula dilihat dan disimak dalam klausa, Embu ndeta mata rangga, ma’e ti’i rara kasa ‘Leluhur di atas tempat tinggi, jangan beri panas badan’ dan dalam klausa, Embu ndia papa bhoko baghi kami lombo-wombo ’Leluhur di sini bagian bawah beri kami berkat‘ pada data (4--10). Klausa pertama berisi permohonan kepada Tuhan agar mereka terbebas dari sakit (ma’e ti’i rasa kasa). Klausa kedua berisi permohonan kepada roh leluhur agar mereka diberi berkat. Sebagai petani ladang, wujud berkat yang diharapkan adalah kesuburan pertumbuhan jagung dan padi ladang sehingga memperoleh panen berlimpah. Bentuk tekstual satuan kebahasaan yang digunakan dalam beberapa fragmen di atas menyiratkan bahwa WVHMM berfungsi sebagai wahana rekonsiliasi antara mereka sebagai manusia dan masyarakat dengan Tuhan dan roh leluhur. Pemertahanan keselarasan hubungan dengan Tuhan dan roh leluhur menjamin kedamaian dan kesejahteraan hidup mereka sebagai manusia dan masyarakat di
175
dunia. Wujud penghormatan terhadap roh leluhur sebagai pengantara doa permohonan kepada Tuhan diwahanai melalui upacara pemberian makan kepada roh leluhur. Di samping itu, WVHMM mengemban fungsi sebagai media penghormatan terhadap roh alam yang ditugasi Tuhan secara khusus untuk menjaga lingkungan, seperti tanah dan batu lingkungan yang perlu dijaga, sebagaimana terlihat dalam fragmen berikut. (6-03) Ndau meu nitu, tana mori watu itu kamu mahkluk halus, tanah pemilik batu ‘kamu makhluk halus pemilik tanah dan batu itu’ Tii kami ko mboo bhaghi kami ko nandi beri kami yang kenyang bagi kami yang banyak ‘Berikanlah kami kekenyangan dan bagikanlah kami yang banyak’ (6-04) Watu susu Rongga, rhua ndoa ndoa rhua batu susu Rongga dua pasang pasang dua ‘Batu susu Rongga kembar dua pasang’ Leke ema Komba, rhua ndoa ndoa rhua tinggal bapa Komba dua pasang pasang dua ‘Hanya bapak Komba berpasangan dua’ Seperti tampak pada data (6-03), roh alam disapa dengan nitu yang diyakini etnik Rongga sebagai pemilik tanah (nitu tana) dan pemilik batu (mori watu). Esensi isi permohonan kepada roh alam sebagai penguasa lingkungan alam fisik adalah agar mereka memperoleh panenan melimpah (mboo dan nandi) pada tahun musim yang akan datang. Data (6-04) berisi gambaran kesejahteraan dan keharmonisan hidup yang diharapkan etnik Rongga, yang dikiasi secara analogis dengan kehidupan bapa Komba (ema Komba) di Gunung Komba (watu susu Rongga).
176
6.3.2 Fungsi Proyeksi dan Refleksi Pengetahuan Berpedoman pada pemahaman bahwa kebudayaan adalah peta pengetahuan milik bersama suatu masyarakat, maka WVHMM dipandang sebagai proyeksi dan refleksi pengetahuan milik bersama etnik Rongga. Proyeksi dan refleksi pengetahuan tersebut tidak saja berkenaan dengan kebermaknaan perilaku hidup mereka sebagai manusia dan masyarakat, tetapi juga berkaitan dengan pertanian sebagai sumber mata pencaharian hidup mereka yang utama. Pengetahuan tentang kebermaknaan hidup mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat berkaitan dengan pembentukan budi pekerti, seperti keteguhan hati, optimis, dan bijaksana. Butir pengetahuan itu disingkap, antara lain, pada data berikut. (6-05)
Ngambe ele lewa ja’o pale kiru tole jurang biar panjang, saya melereng miring ‘Jurang walaupun panjang saya tetap melereng miring Tiwu ele lema ja’o nagu kiru watu kolam biar dalam saya berenang dekat batu ‘Kolam meskipun dalam saya tetap berenag dekat batu’
Pada data (5-40), Sambi waja radha weo mona nendo “Sambi keras sekali digoyang tidak tumbang’ dan Wara tumbu kembi ate mona leli “Topan menghantam dinding hati tidak gentar’, menyiratkan karakter budaya etnik Rongga yang teguh hati dan sabar dalam menghadapi berbagai tantangan hidup seperti terlihat pula pada data (6-05). Demi mencapai kesejahteraan hidup jasmaniah, mereka diimbau untuk bekerja keras meskipun banyak tantangan, sebagaimana disingkap dalam fragmen di bawah ini:
177
(6-06) Rota poka woa ramba tei pare tongga kerja matahari terbenam kebun supaya dapat padi lumbung ‘Bekerja di kebunsampai matahari terbenam supaya dapat padi untuk lumbung’ Ma’e ghia perha ramba tei jawa kela jangan takut miang supaya dapat jagung banyak ‘Jangan takut dengan miang (sejenis rumput) supaya dapat jagung yang banyak’
Data (6-06) di atas menyiratkan makna bahwa sebagai petani mereka mesti kerja di kebun dan tidak boleh takut terkena miang jika ingin memperoleh panen jagung dan padi berlimpah. Sikap yang mesti ditampilkan oleh warga etnik Rongga dalam menghadapi dan mengatasi berbagai tantangan hidup adalah arif dan bijaksana, sebagaimana disingkap dalam fragmen berikut. (6-07) Bha ndili Jawa bha bhara piring bawah Jawa piring putih ‘Piring Jawa di bawah sana berwarna putih’ Moku lau Sumba moku milo. piring di sana Sumba piring besih ‘Piring Sumba di sana piring bersih’
6.3.3 Fungsi Sarana Pemersatu Dalam kaitan dengan fungsinya sebagai pranata religius, WVHMM mempunyai efektivitas sosial bagi etnik Rongga. Hal itu tercermin dalam fungsinya sebagai peranti pemersatu dan pemerkokoh solidaritas sosial dalam lingkup kehidupan etnik Rongga, terutama dalam lingkup kehidupan suku. Kebermaknaan fungsi laten WVHMM sebagai peranti pemersatu dan pemerkokoh solidaritas etnik Rongga dimungkinkan karena mereka mempunyai ikatan batin yang kuat sebagai saudara yang berasal dari satu keturunan dan juga rumah induk yang sama. Ungkapan rasa pemersatu dan rasa solidaritas dapat dilihat pada data
178
(5-12), Uma lange rhua ma’e ndari ma’e kadhi ‘Kebun yang berbatasan jangan diliwatkan ke sebelah’ dan Tunu manu kau, ka sande uma lange ‘ Bakaran ayam kau makan dan berikan juga pada kebun yang berbatasan’, pada data (5-36), Ngguru tara woso, woso arhi woso ka’e, ‘Aur ranting banyak, banyak adik banyak kakak’ dan Bhesi singgalina lina riwu lina ngasu’ Kesukuan dan persaudaraan menjadikan satu himpunan besar’. Hal itu dapat pula dilihat pada pada (5-26), Ndala ndau ndeta, ndeta ndala ndoa ‘Bintang di atas sana, atas sana bintang kembar’ dan Seke ndia lima, ndia lima seke ndake ‘Gelang/perhiasan di tangan bertingakat-tingkat/kembar. Sesuai dengan kenyataan bentuk tekstual yang tampak secara fisik, satuan kebahasaan dalam data (5-12) Uma lange rhua ma’e ndari ma’e kadhi ‘Kebun yang berbatasan jangan diliwatkan ke sebelah’, Tunu manu kau, ka sande uma lange’ Bakaran ayam kau makan dan suguhkan juga pada kebun yang berbatasan’. Klausa itu mengemban fungsi sebagai peranti pemersatu dan pemerkokoh solidaritas bagi warga etnik Rongga yang selalu mendambakan kebersamaan, hidup selalu berdampingan satu dengan yang lain dengan semangat tolongmenolong dan saling mengasihi. Data (5-26) adalah kalimat majemuk yang terdiri atas dua klausa, yakni klausa Ndala ndau ndeta ndala ndoa ‘Bintang di atas sana, di atas sana bintang kembar dan klausa Seke ndia lima, ndia lima seke ndake gelang/perhiasan di tangan
bertingkat-tingkat/kembar.
Kedua klausa
ini
menyiratkan fungsi persatuan dalam kebersamaan sebagai saudara sesulur. Seperti tampak pada data (5-36), baris pertama terdiri atas dua klausa yang berhubungan secara maknawi. Klausa pertama, Ngguru tara woso ‘Aur ranting
179
banyak’, dan klausa kedua Woso arhi woso ka’e “Banyak adik banyak kakak” menegaskan makna klausa pertama. Klausa ini menyiratkan fungsi persatuan dan kesatuan walaupun mereka bersaudara banyak, mereka bisa bersatu. Baris kedua terdiri atas satu klausa Bhesi singgalina lina riwu lina ngasu ‘Kesukuan dan persaudaraan menjadikan satu himpunan besar’. Klausa ini menyiratkan rasa kebersamaan mereka sebagai etnik Rongga. 6.3.4 Fungsi Sarana Kontrol dan Kritik Sosial Sebagai salah satu produk dan praktik budaya Rongga, WVHMM berfungsi sebagai sarana kontrol dan kritik sosial bagi etnik Rongga. WVHMM berfungsi sebagai sarana kontrol dan kritik sosial untuk bersikap menghargai gagasan dan nilai-nilai kebenaran. Fungsi kontrol berkaitan dengan kesucian sosial karena WVHMM ada dalam masyarakat dan menjadi bagian dari sebuah ritual. Secara tidak langsung mengendalikan masyarakat dan pembimbing masyarakat untuk memahami tentang etika moral, sopan santun, saling menghargai satu sama lain. Mereka
diharapkan
memiliki
kesadaran
untuk
saling
menghargai
dan
menghormati satu sama lain, termasuk orang yang sudah meninggal dan lingkungan. Secara transendental, penghormatan terhadap orang yang sudah meninggal adalah simbolisasi penghormatan kepada leluhur yang selalu mendampingi kehidupan mereka. Fungsi WVHMM sebagai kontrol sosial atau kritik sosial itu terwujud oleh bahasa yang digunakan oleh penutur dalam hal ini penari yang diungkapkan dalam bentuk syair-syair nyanyian, yaitu bahasa yang sederhana tetapi mementingkan estetika dengan memanfaatkan fitur paralelisme dalam bentuk
180
kata, frasa, klausa, bunyi dan gaya bahasa. Esensi isi pesan yang menyingkap fungsi WVHMM sebagai sarana kontrol dan kritik sosial tersirat pada fragmen berikut. (6-08) Peko lako lau kau mae tolo paru’ kejar anjing ke selatan kamu jangan sembarang lari ‘Mengejar anjing ke selatan kamu jangan sembarang berlari’ Peko lako zele kau mae tolo hewe kejar anjing di atas kamu jangan sembarang dengar ‘Mengejar anjing ke atas kamu jangan sembarangan mendengar’ (6-09) Ka’e kasa olo soro ma’e mbai woso Kakak di depan omong jangan terlalu banyak ‘Kakak jangan berbicara terlalu banyak di depan’ Arhi kasa murhi soro ma’e nggetu nggemu’ Adik di belakang omong jangan panjang lebar ‘Adik jangan ngomong panjang dan lebar di belakang’ Ungkapan (6-08) dan (6-09) menyiratkan bahwa, dalam hidup bermasyarakat, mereka dituntut agar selalu menjaga sikap dan perilaku sesuai dengan tata krama hidup bermasyarakat yang berlaku. Jangan cepat percaya akan informasi dari orang lain yang belum jelas kebenarannya. Jangan sering mencemarkan nama orang karena hal itu merupakan fitnah. Sikap saling menghormati dan menghargai pendapat orang lain perlu dijaga sesuai dengan etika hidup bermasayarakat sehingga jalinan hubungan antarmanusia tetap harmonis.
6.3.5 Fungsi Sarana Pendidikan WVHMM mempunyai fungsi sebagai sarana pendidikan sebagaimana fungsi kebudayaan pada umumnya. WVHMM merupakan bentuk ekspresi budaya yang mengandung nilai pendidikan bagi warga etnik Rongga. Nilai pendidikan itu disampaikan secara langsung melalui ungkapan-ungkapan yang esensi isi pesannya mengandung norma-norma kehidupan bermasyarakat menuju pada
181
kebaikan dan kesejahteraan bersama. WVHMM berfungsi sebagai sarana pendidikan karena di dalamnya berisi nasihat dan ajaran bagi warga etnik Rongga tentang bagaimana semestinya mereka bersikap dan berperilaku untuk menjaga dan mempertahankan keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan, sebagaimana dapat disimak pada data (5-37), Sei nunu kau ma’e rewo ko’e ‘Siapa memberitakan kau jangan berbohong lagi’ dan Sei posa kau ma’e mabaje ko’e ‘Siapa beritahu kau jangan bohong lagi’. Fungsi WVHMM sebagai sarana pendidikan dapat pula disimak pada fragmen berikut. (6-09) Ema po soro ma’e, rero ma’e ghewo bapa nasihat berbicara jangan ribut jangan lupa ‘Bapak berbicara tentang nasihat jangan lupa’ Ine reku lelu ma’e, rero ma’e ghewo mama beri nasihat jangan ribut jangan lupa ‘Ibu memberi nasihat jangan ribut dan lupa’
Pada bentuk verbal fungsi teks WVHMM sebagai fungsi pendidikan (5--27) dan (6-10) di atas diungkapkan dalam bentuk klausa bermoduskan imbauan atau harapan. Ungkapan ini
menggambarkan fungsi peringatan agar seseorang
mematuhi dan mengindahkan norma-norma etika yang berlaku dalam masyarakat sebagai hukum adat yang ditetapkan
sebagai pedoman dalam menjalankan
aktivitas kehidupan di dalam msayarakat. Data (5-37) menyiratkan fungsi pendidikan tentang kejujuran diungkapkan dengan menggunakan gaya bahasa perulangan dalam bentuk frasa ma’e rewo koe ‘jangan berbohong lagi’. Data (5-37) di atas adalah sikap terhadap benar dan salah sebagai apa adanya, hendaknya menjadilah orang yang jujur, tidak boleh bohong terhadap siapa pun karena hal ini merupakan nilai dasar kelompok etnik Rongga yang
182
memosisikan kebenaran dan kemurnian jiwa sebagai dasar kehidupan dan dasar kemanuisaan. Jujur merupakan sifat naluriah manusia dan hal itu harus dilakukan. Manusia hendaknya berkata yang baik dan tidak asal bicara saja. Bagi etnik Rongga sifat jujur itu harus dilakukan karena perbuatan bohong atau tidak jujur bisa mendatangkan hal-hal yang negatif bagi kehidupan manusia itu sendiri. Pada (5-37) dan (6-09) terdapat ungkapan yang menyiratkan tentang fungsi tanggung jawab dan sifat menghargai orang lain. Etnik Rongga sebagai makhluk yang berbudaya yang ingin hidup harmonis dengan orang lain dan bertanggung jawab dari apa yang sudah dikerjakannya. Etnik Rongga dalam melakukan aktivitas apa pun selalu dituntut tanggung jawab sebagai konsekuensi bagian dari hidup yang penuh tanggung jawab terhadap pekerjaan yang dilakukan sebagai tanggung jawab moral berkaitan dengan kehidupan. 6.3.6 Fungsi Pengesahan Kebudayaan Sebagai salah satu produk dan praktik budaya warisan leluhur, WVHMM berfungsi sebagai sarana pengesahan kebudayaan Rongga. Hal ini selaras dengan kebermaknaan WVHMM sebagai pemarkah kedirian dan fitur pembeda etnik Rongga. Walaupun tidak terdapat peranti linguistik khusus yang menyatakan fungsi WVHMM sebagai sarana pengesahan kebudayaan, mekanisme pengucapan tuturan ritual dinyatakan sah menurut tata cara keadatan sesuai dengan tradisi etnik Rongga. Sebagai contoh tuturan kepada embu nusi ‘roh leluhur’ dinyatakan sah apabila tercipta suasana sakral melalui pengucapan mantra doa dan para peserta yang ikut dalam upacara itu mengambil sikap tenang dan diam dengan memusatkan perhatian pada tuturan yang diucapkan itu.
183
Tindakan nonverbal berupa sikap tenang dan diam dan mencurahkan perhatian pada pembawa upacara merupakan petunjuk adanya suasana sakral dan magis. Fungsi pengesahan kebudayaan didasarkan pada pengukuhan atas sarana yang digunakan, pelaku ritual, dan ritual itu sendiri, seperti dapat disimak pada (501), Renge meu embu nusi, ndia kami dhete manu ‘Dengalah para leluhur, sekarang kami memegang ayam’, Nunu meu ramba tau ti’i, kamu meu bhate ‘Beritahulah leluhur supaya para leluhur makan semua. Hal ini dapat dilihat pada Data (5-02) Komba ndia kami tau adha, ko adha kau mbasa wini ‘’Malam ini kami buat adat, adat kau mbasa wini ’tentang adat kau basah bibit‘ pada (5-03), Ramba tau nggoti ne mula bhate one uma kami ‘Supaya mau tanam dengan tanam semua di kebun kami’, Dhengi ne kami mai sama pa’o ka nake manu ndia ‘Minta dengan kami mari sama-sama duduk makan daging ayam ini’ Beberapa fragmen di atas menyandang fungsi pengesahan kebudayaan. Sarana upacara berupa manu ‘ayam’ sebagai sarana pengesahan adat ini disampaikan saat pemimpin upacara memberitahukan kepada leluhur bahwa akan diadakan upacara. Kata kami ’kami’ sebagai pelaku upacara menyiratkan pengesahan terhadap objek ritual dengan ungkapan mbasa wini ‘pembasahan bibit’. Pengesahan melalui ungkapan verbal sebagai sarana komunikasi, selain diwujudkan dalam bentuk nonverbal, ditandai pula dengan penyembelihan seekor ayam jantan berwarna merah dengan memercikkan darahnya pada bibit padi dan jagung yang akan ditanam.
184
6.3.7 Fungsi Sarana Pengesahan Sistem Ekonomi Fungsi ekonomi yang tersirat dalam teks WVHMM berkaitan dengan mata pencaharian dan sistem ekonomi yang menjadi pekerjaan etnik Rongga unuk menopang kesejahteraan hidupnya. Sistem mata pencaharian yang digeluti etnik Rongga pada masa silam adalah pertanian ladang berpindah-pindah. Fenomena ungkapan verbal secara kebahasaan yang menunjukkan bahwa etnik Rongga mengembangkan budaya pertanian dengan sistem perladangan yang berpindahpindah dengan adanya kata uma ‘kebun’, su’a kuku ‘sejenis kayu keras untuk menanam jagung dan padi, bhondo ‘lumbung tempat menyimpan padi’, wati ‘bakul’ mbere’ keranjang. Jenis tanaman yang ditanam berupa tanaman musiman seperti jawa ‘jagung’ pare ‘padi’ dan dao ‘ubi’ sebagai makanan pokok etnik Rongga. Selain berladang, mereka juga memelihara binatang ternak secara sederhana untuk menunjang kesejahteraan hidupnya, seperti manu ‘ayam’ wawi ‘babi’, jara ‘kuda’, dan kamba ‘kerbau’. Fungsi ekonomi dapat pula disimak pada beberapa fragmen berikut. (6-10) Nggoti uma nggoli wawi ka manu ka tanam kebun Nggoli daging babi makan daging ayam dimakan ‘Tanam di kebung Nggoli daging babi dan daging ayam dimakan’ Ndua uma waru wawi ka manu ka pergi kerja kebun waru daging babi dimakan daging ayam dimakan’ ‘Pergi kerja ke kebun waru daging babi dan daging ayam dimakan’ (6-11) Tibho lau wio tibho milo kambing selatan Sumba kambing gagah ‘Kambing di selatan sumba kambing gagah’ Bhara tuka lirhu bhara bengge putih perut kemilau putih bulat-bulat ‘ Perutnya kemilau putih bulat-bulat’
185
Fragmen di atas menggunakan nama ternak yang
mempunyai fungsi
ekonomis. Nama/ Jenis ternak tersebut juga digunakan sebagai sarana persembahan dalam upacara. Jenis ternak utama yang dipelihara adalah babi dan ayam, walaupun ada jenis lain seperti kambing dan kuda, jumlahnya sangat terbatas. Babi dan ayam tersebut di atas merupakan hewan kurban dalam berbagai upacara ritual termasuk ritual vera walaupun hewan lain juga digunakan seperti kerbau, tetapi tergantung juga pada alasan dan tujuan. Persembahan kerbau sebagai sarana ritual menunjukkan status sosial atau prestise.
6.3.8 Fungsi Media Hiburan Fungsi WVHMM sebagai media hiburan tercermin dalam pilihan dan penataan kata-kata bergaya sastra dan bercorak puitis yang mengandung dimensi keindahan. Keindahan yang dimaksudkan menunjuk pada nilai rasa seni yang memberikan kenikmatan kepada masyarakat etnik Rongga sebagai penghayat dan penikmat teks WVHMM. Selain mengandung keindahan bentuk, kata-kata yang digunakan dalam teks WVHMM juga mengundang kenikmatan inderawi ketika diucapkan dan disimak. Bagi penutur, WVHMM merupakan media dan wadah untuk menampung ekpresi estetisnya melalui penggunaan bahasa bercorak puitis melaui penggunaan asonansi, rima, aliterasi, pengulangan, perlambang, dan sebagainya. Bagi pendengar, WVHMM dapat menimbulkan suasana syahdu, dan sendu yang mampu menumbuhkan emosi pendengar. Fungsi WVHMM sebagai sarana hiburan dapat disimak pada (5-11), Jara mosa bhara, posa jara ngarha ‘Kuda jantan putih, katanya kuda ternama’, Peko maju pengga,
mbau-mbau
pengga ‘Kejar rusa mau tikam tidak jadi tikam’. Makna ungkapan tersebut ditujukan kepada orang yang tidak serius mengerjakan suatu pekerjaan.
186
Pilihan dan tatanan kata pada (5-11) di atas mengandung keindahan bentuk yang mengundang kenikmatan indrawi ketika disimak. Dimensi keindahan itu ditandai dengan penggunaan beberapa fenomena berikut: (1) asonansi simetris a-a dalam kata jara ‘kuda’ dan bhara ‘putih’ pada klausa pertama serta kata jara ‘kuda’ dan ngarha ‘ternama pada klausa kedua, dan asonansi asimetri o-a dalam kata mosa ‘jantan’ dan posa ‘katanya’; (2) aliterasi fonem konsonan /r/ dalam posisi tengah pada kata jara ‘kuda’ dan bhara ‘putih, aliterasi fonem /s/ dalam posisi tengah pada kata mosa ‘jantan’ dan posa ‘katanya’ serta aliterasi fonem /p/ dalam posisi awal pada kata peko ‘kejar’ dan pengga ‘tikam’ pada klausa pertama baris kedua.
6.4 Rangkuman Vera sebagai sebuah tradisi ritual milik etnik Rongga mengemban fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes adalah konsekuensi objektif yang memberikan sumbangan pada penyesuaian sistem yang dikehendaki dan disadari oleh partisipan dari sistem tersebut. Sementara itu, fungsi laten menunjuk pada konsekuensi objektif ihwal budaya yang tidak dikehendaki bahkan tidak disadari oleh masyarakat, dalam hal ini, masyarakat etnik Rongga. Fungsi manifes WVHMM meliputi fungsi referensial, emotif, konatif, dan puitik. Fungsi puitik paling dominan karena terkait dengan komunikasi yang dilakukan melalui WVHMM merupakan komunikasi vertikal-transendental dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Teks WVHMM memiliki struktur teks yang unik sebagai corak bahasa ritual di kawasan Indonesia Timur, yang diungkapkan dalam bentuk bahasa puisi dalam ragam bahasa sastra dengan memanfaatkan fitur paralelisme.
187
Berdasarkan konteks yang melatarinya, fungsi laten WVHMM adalah sebagai pranata religius, sebagai sistem pengetahuan, pemersatu, sarana kontrol sosial/kritik sosial/imbauan, sarana pendidikan, pengesahan kebudayaan, sarana ekonomis, dan media hiburan. Sebagai salah satu produk dan praktik budaya Rongga, WVHMM berfungsi sebagai sarana kontrol, kritik sosial dan imbauan bagi warga etnik Rongga. Fungsi kontrol berkaitan dengan sosial budaya masyarakat karena teks WVHMM merupakan bagian dari sebuah ritual. Fungsi sebagai sarana pendidikan disampaikan secara langsung melalui penggunaan ungkapan-ungkapan sebagai mediasi pendidikan pada masyarakat sebagai upaya untuk mengukuhkan, sebagai penjabaran norma-norma kehidupan. Fungsi sebagai sarana pengesahan diidentifikasi berdasarkan ciri bentuk upacara dan melalui bentuk lingual yang digunakan, walaupun tidak terdapat peranti linguistik khusus yang menyatakan fungsi pengesahan kebudayaan, dengan pengucapan tuturan ritual upacara dinyatakan sah menurut tata cara. Fungsi pengesahan ekonomi berkaitan dengan mata pencaharian dan sistem ekonomi yang menjadi pekerjaan etnik Rongga untuk menopang kesejahteraan hidupnya. Fungsi sebagai sarana hiburan tercermin dalam pilihan dan penataan kata-kata bergaya sastra dan bercorak puitis.
188
BAB VII MAKNA WACANA TRADISI LISAN VERA HAIMELO MBUKU SA’O MABASA WINI
7.1 Pengantar Bertolak dari hasil analisis fungsi pada bab VI, dalam bab ini dipaparkan dan dijelaskan makna WVHMM dengan merujuk pada bahasa, tindakan, dan sarana yang digunakan sebagai kerangka acuan dalam penafsiran. Analisis makna tersebut berpilar pada asumsi bahwa fungsi bahasa dalam penggunaannya sebagai sarana komunikasi merupakan refleksi makna sesuai dengan konseptualisasi yang terpatri dalam peta pengetahuan etnik Rongga. Sesuai dengan konseptualisasi yang terpatri dalam peta pengetahuan etnik Rongga, WVHMM mengemban seperangkat makna filosofis yang meliputi makna religius, sosial, historis, politis, estetis, dan didaktis. Jenis makna tersebut tersebar dalam bait-bait yang terdapat dalam teks WVHMM dengan frekuensi kemunculannya bervariasi, sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 7.1 Jenis Makna Filosofis WVHMM No. 1. 2. 3. 4. 5. 7. 8.
Jenis Makna Makna Religius Makna Sosial Makna Ekonomis Makna Historis Makna Politis Makna Estetis Makna Didaktis Jumlah
188
Jumlah
Persentase (%)
15 27 11 8 8 21 73 163
9,00 16,50 6,70 5,00 5,00 13,00 44,80 100
189
Seperti tampak pada Tabel 7.1 di atas, jumlah makna yang terkandung dalam WVHMM sebanyak 163. Dilihat dari frekuensi kemunculannya, jumlah makna religius sebanyak 15 (19%), makna sosial sebanyak 27 (16,50%), makna ekonomis sebanyak 11 (6,70%), makna historis sebanyak 8 (5%), makna politis sebanyak 8 (5%), makna estetis sebanyak 21 (13%), dan makna didaktis sebanyak 73 (44,80%) dan jumlah persentase sebanyak 100%. Makna didaktis paling dominan karena makna tersebut membawahi beberapa jenis makna yang lain.
7.2 Makna Religius Selaras dengan pemahaman bahwa ritual merupakan fakta pertama dalam setiap agama, tidak terkecuali dalam religi asli etnik Rongga, maka makna religius merupakan dimensi makna paling utama WVHMM. Makna religius tersebut berkenaan dengan konseptualisasi etnik Rongga tentang eksistensi Tuhan, roh leluhur, dan roh alam, dalam hubungan dengan eksistensi diri mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Ketiga kekuatan adikodrati tersebut dipahami etnik Rongga sebagai sumber kekuatan moral utama yang sangat menentukan keberadaan, kebertahanan, dan keberlangsungan hidupnya sebagai manusia dan anggota masyarakat di dunia dan akkirat. Sesuai cakupan makna yang tertera dalam konseptualisasi tersebut, rincian aspek makna religius yang terkandung dalam WVHMM dapat dilihat pada table 7.2 di bawah ini.
190
Tabel 7.2 Jenis dan Frekuensi Makna Religius dalam Teks WVHMM No.
Makna Religius
Jumlah
Persentase (%)
1. 2.
Konseptualisasi tentang eksistensi Tuhan Konseptualisasi tentang eksistensi roh leluhur Konseptualisasi tentang eksistensi roh alam Jumlah
4 9
25,00 62,50
2
12,50
15
100
3.
Seperti tampak pada Tabel 7.2 di atas, dari ketiga aspek makna religius yang terkandung dalam WVHMM, konseptualisasi tentang eksistensi Tuhan sebanyak 4 (25%), konseptualisasi tentang eksistensi roh leluhur sebanyak 9 (62,50%), dan konseptualisasi tentang eksistensi roh alam sebanyak 2 (12,50) dan jumlah persentase seluruhnya adalah 100%. Seperti tampak pada data, konseptualisasi tentang eksistensi roh leluhur merupakan aspek makna religius yang paling menonjol karena roh leluhur dipahami oleh etnik Rongga sebagai perantara doa permohonan kepada Tuhan.48
7.2.1 Konseptualisasi tentang Eksistensi Tuhan Dalam konseptualisasi etnik Rongga, Tuhan dipahami sebagai Penguasa Alam Semesta, sebagaimana dapat disimak dalam fragmen (6-01) Ua ndele poso, lando sorhi ndewa ‘ Rotan di gunung, pucuk ke atas tangkap dewa’, kamu lore nitu ‘
Pohon to’e (sejenis bambu hutan berduri) akar lilit penunggu
(roh alam) dan (6-02), Nunu 48
To’e lau rha
po
poso,
po
poso
nunu
merhe
Konseptualisasi etnik Rongga tentang eksistensi roh leluhur sebagai perantara doa permohonan kepada Tuhan memiliki kemiripan dengan konseptualisasi etnik Manggarai yang kemungkinan terjadi karena adanya paralelisme perkembangan budaya yang sama (Bustan, 2005). Kemungkinan akan adanya kemiripan itu tentu masih perlu dikaji lebih jauh melalui penelitian kaji banding demi memperoleh pencerahan.
191
‘Beringin hutan poso hutan mawo
poso
beringin besar’ Embu
la’a lerha, jono
merhe ‘ Nenek jalan siang teduh pohon rindang
besar’49. Sesuai
dengan kenyataan bentuk tekstual satuan kebahasaan yang tampak secara fisik, kedua fragmen tersebut menyiratkan makna bahwa dalam konseptualisasi etnik Rongga Tuhan dipahami sebagai wujud tertinggi karena Dia adalah pemilik dan penguasa alam semesta. Bertolak dari pemahaman itu, setiap usaha yang dilakukan dalam konteks kehidupannya di dunia akan mencapai keberhasilan apabila direstui Tuhan. Artinya, manusia boleh berusaha sekuat tenaga dalam bekerja, namun Tuhanlah yang menentukan keberhasilannya karena Dia adalah sumber kekuatan moral yang menjadi penguasa alam semesta. Sesuai dengan esensi isi pesan yang terkandung di dalam fragmen tersebut, etnik Rongga diingatkan untuk selalu menyembah, memuji, dan memuliakan Tuhan dalam konteks kehidupannya setiap hari. Setinggi apa pun cita-cita dan harapan yang ingin dicapai dalam kehidupan mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat di dunia akan menuai kesia-siaan jika tidak mendapat berkat dan rahmat dari Tuhan. Kata atau istilah bahasa Rongga yang menyingkap konseptualisasi etnik Rongga tentang eksistensi Tuhan sebagai penguasa alam semesta adalah ndewa. Kata atau istilah ini adalah sebutan atau atribut untuk Tuhan dalam bahasa Rongga, sebagaimana dapat disimak dalam klausa, Ua ndele poso, lando sorhi ndewa ‘Rotan di gunung, pucuknya ke atas tangkap dewa’. Maksud dari ungkapan tersebut ialah seseorang memiliki cita-cita yang tinggi ingatlah menyembah Tuhan 49
Hasil diskusi dan negosiasi dengan Bapak Alfridus Ndolu, Bapak Markus Bana, Bapak Thomas Ola, Bapak David Lombe pada bulan Mei 2012.
192
sebagai penguasa alam semseta yang juga sangat menentukan keberadaan dan keberlanjutan hidup manuisa. Selain sebagai penguasa langit, Tuhan juga dipahami pula sebagai penguasa bumi dengan segala isinya, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam klausa, To’e leu rhe, kamu lore mitu ‘Aur di padang, akarnya tembus jauh ke bawah’. Pengertian kata mitu “bawah” sebagai adverbia pemarkah lokatif dalam klausa tersebut menunjuk pada bumi, yang penggunaannya dalam konteks ritual selalu hadir secara berpasangan dengan kata rhe ‘atas’ sebagai adverbia pemarkah lokatif. Keduanya muncul dalam suatu konstruksi kata berpasangan dengan kerangka makna yang saling beroposisi satu sama lain. Penggunaan adverbia pemarkah lokatif tersebut menyiratkan makna bahwa, dalam konseptualisasi etnik Rongga, rentangan kekuasaan Tuhan sebagai penguasa alam semesta meliputi langit dan bumi dengan segala isinya, termasuk manusia sebagai makhluk ciptaanNya yang paling mulia jika disanding dalam tolok bandingan dengan spesies hewani yang lain. Selain dipahami sebagai penguasa alam semesta, dalam konseptualisasi etnik Rongga, Tuhan dipahami pula sebagai Sang Pengasih dan Penyayang yang menjadi sumber kasih dan sayang bagi manusia. Seandainya manusia menemukan masalah dan kesulitan dalam konteks kehidupannya Tuhan menjadi tempat bersandar karena Tuhan adalah Sang Pengayom yang penuh kasih dan sayang. Bentuk tekstual satuan kebahasaan yang menyingkap konseptualisasi etnik Rongga tentang eksistensi Tuhan sebagai Sang Pengasih dan Penyayang dianalogikan secara metaforis melaui frasa nominal (FN), nunu merhe ‘beringin
193
besar’, sebagaimana dapat disimak, data (6-02) pada klausa, Nunu po poso, po poso nunu merhe ‘Beringin hutan poso, hutan poso terdapat beringin besar’. Pohon beringin menjadi tempat berteduh yang menyejukkan ketika seseorang kepanasan, terutama di siang bolong setelah lelah berjalan jauh, sebagaimana dapat disimak pada klausa, Embu la’a lerha, jono mawo merhe Nenek berjalan siang hari, berteduh di naungan besar.” Kata atau istilah embu ‘nenek’ menunjuk pada leluhur atau nenek moyang yang menjadi pengasal suku yang bersangkutan (suku yang merayakan ritual vera). Makna tersebut menunjukkan bahwa leluhur yang menjadi pengasal pertama suku bersangkutan berada dalam satu kesatuan kosmis dengan Tuhan, seperti yang dianalogikan secara metaforis dalam klausa, jono mawo merhe Berteduh di naungan besar’. Meskipun demikian, untuk mencapai kehidupan kekal dan abadi dalam lingkaran kasih Sang Ilahi memerlukan suatu proses perjalanan panjang yang begitu sarat dengan beragam tantangan. Hal itu diisyaratkan dalam frasa verbal (FV), la’a lerha ‘jalan siang hari’ dalam klausa, Embu la’a lerha ‘Nenek jalan siang hari’. Frasa verbal (FV) la’a lerha terbentuk dari kata (verba) la’a ‘jalan’ sebagai konstituen inti dan kata (adverbia) lerha ‘siang hari’ sebagai konstituen bawahan yang berfungsi sebagai pemarkah temporal. Frasa verbal (FV) ini menggambarkan secara metaforis bahwa kehidupan manusia di dunia merupakan suatu ziarah menuju ke kehidupan kekal dan abadi. Ziarah kehidupan manusia itu merupakan suatu perjalanan yang panjang dan melelahkan (perjalanan siang hari) sehingga memerlukan kepesertaan Tuhan sebagai pengayom (pohon beringin).
194
Manifestasi penyembahan kepada Tuhan sebagai penguasa alam semesta, selain tercermin dalam pilihan kata-kata, juga direpresentasikan dalam cara pengungkapan bahasanya. Seperti telah disinggung sebelumnya, ragam bahasa yang digunakan dalam WVHMM memiliki struktur, fungsi, dan makna khas sebagai kekhususan pembeda dari ragam bahasa yang biasa digunakan etnik Rongga dalam konteks kehidupan sehari-hari. Kekhasan sebagai kekhususan pembeda WVHMM dapat dilihat dari penggunaan ragam bahasa ritual yang bersifat formal dan baku. Ragam bahasa ritual yang digunakan dalam WVHMM tertata secara apik yang terajut dalam satu kesatuan struktur dan kesetalian tekstur dengan kerangka makna yang bersifat saling menunjang dan menegaskan. Mengingat WVHMM berfungsi sebagai media komunikasi vertikaltransendental dengan Tuhan sebagai penguasa alam Semesta, maka rajutan dan anyaman bahasa yang digunakan tertata secara estetis dengan memanfaatkan beragam perangkat bahasa ragam sastra sebagai ornamen. Ragam bahasa sastra yang digunakan itu tidak saja mengandung keindahan bentuk ketika dilihat, tetapi juga mengundang kenikmatan inderawi ketika disimak. Realitas penggunaan bahasa ragam sastera dalam WVHMM, selain bermaksud untuk menciptakan efek musikal dan menunjang kelancaran dalam penuturan, juga bertujuan agar doa permohonan yang mereka kumandangkan kepada Tuhan terdengar santun dan tidak terkesan memaksa. Kesantunan bahasa merupakan bagian dari kesalehan ritual WVHMM yang menyiratkan makna bahwa Tuhan memiliki struktur kekuasaan lebih tinggi daripada manusia.
195
Selain diungkap secara verbal dengan menggunakan bahasa ragam sastra dengan tuntutan perilaku nonverbal tertentu, manifestasi penyembahan kepada Tuhan diwahanai pula melalui persembahan hewan korban seperti babi dan ayam. Seperti yang sudah dijelaskan di depan bahwa hewan yang menjadi sarana persembahan harus berkondisi fisik sehat dan berwarna tertentu seperti warna merah (toro) dengan asumsi jika kondisi fisik hewan yang menjadi sarana persembahan sehat, maka kondisi urat dan hatinya baik. Sesuai dengan konseptualisasi yang terbingkai dalam peta pengetahuan etnik Rongga, berkenan tidaknya doa permohonan yang mereka kumandangkan kepada Tuhan dapat dilihat dari kondisi hewan yang menjadi sarana persembahan. Jika kondisi urat dan hati hewan persembahan baik, maka itu merupakan tanda awal bahwa doa permohonan yang mereka sampaikan berkenaan di hadapan Tuhan. Demikian pula sebaliknya, jika kondisi urat dan hati hewan persembahan tidak baik, maka hal itu merupakan suatu tanda awal bahwa doa permohonan yang mereka sampaikan melalui WVHMM tidak berkenan di hadapan Tuhan.50 Manifestasi penghormatan terhadap Tuhan sebagai penguasa alam semesta direpresentasikan pula dalam acara makan bersama dalam konteks ritual vera yang dipahami oleh etnik Rongga sebagai wahana rekonsiliasi dengan Tuhan. Kebermaknaan rekonsiliasi itu didukung dengan fakta bahwa jenis makanan yang disantap adalah makanan sakral karena merupakan bagian sisa dari sarana persembahan untuk Tuhan dan penghormatan terhadap roh leluhur. Makanan yang
50
Untuk mencegah terjadinya marabahaya tersebut, mereka melakukan ritual khusus sesuai dengan petunjuk dukun yang disampaikan roh leluhur karena, dalam konseptualisasi etnik Rongga, mereka memiliki kemampuan indrawi untuk melakukan komunikasi dengan roh leluhur.
196
disantap itu dimasak dengan menggunakan wadah yang sama dan dicedok dengan menggunakan sendok yang sama.
7.2.2 Konseptualisasi tentang Eksistensi Roh Leluhur Seperti telah disinggung sebelumnya, selain menyingkap tentang eksistensi Tuhan
sebagai
penguasa
alam
semesta,
WVHMM
menyiratkan
pula
konseptualisasi etnik Rongga tentang eskistensi roh leluhur sebagai dimensi makna yang paling menonjol. Dilihat dari struktur herarkis kekuasaannya, eksistensi roh leluhur tidak berada dalam posisi sama dan sejajar dengan Tuhan. Dalam konseptualisasi etnik Rongga, roh leluhur dipahami sebagai perantara doa permohonan kepada Tuhan sebagai penguasa alam semesta. Konseptualisasi ini memberikan suatu ketegasan bahwa etnik Rongga tidak menyembah roh leluhur, tetapi menghormati roh leluhur dalam tautan dengan perannya sebagai perantara doa permohonan kepada Tuhan51, sebagaimana dapat dilihat dan disimak pada data (5-01), (5-02), dan (5-03). Etnik Rongga memberi penghormatan khusus terhadap roh leluhur karena leluhur merupakan cikal-bakal keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan hidup mereka sebagai warga satu suku. Salah satu manifestasi penghormatan terhadap roh leluhur ditandai dengan pemberian sesajen melalui ritual ti’i ka. Bahan sesajen yang disajikan sebagai santapan roh leluhur memang sedikit, namun diambil dari bagian hewan persembahan yang dipandang paling enak seperti hati dan isi. 52
51
52
Hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu pada tanggal 12 Mei 2012 di Kampung Wae Korok Kelurahan Tanarata, Kecamatan Kotakomba Kabupaten Manggarai Timur. Hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu pada tanggal 12 Mei 2012 di Kampung Wae Korok Kelurahan Tanarata, Kecamatan Kotakomba Kabupaten Manggarai Timur.
197
Seperti halnya penyembahan terhadap Tuhan, manifestasi penghormatan terhadap roh leluhur tercemin pula dalam acara makan bersama dalam ritual haimelo mbuku sa’o mbasa wini sebagai konteks situasi yang melatari kehadiran dan kebermaknaan WVHMM. Acara makan bersama ini dipahami sebagai wahana rekonsiliasi dengan roh leluhur karena, dalam konseptualisasi etnik Rongga, acara makan bersama itu merupakan sarana adat untuk membina kedekatan dan keselarasan hubungan dengan roh leluhur. Resapan harapan yang tersirat di balik itu adalah agar roh leluhur sebagai perantara doa permohonan kepada Tuhan selalu melindungi mereka dari segala macam marabahaya yang akan dihadapi dan dialami dalam konteks kehidupannya sebagai manusia dan anggota masyarakat.53
7.2.3 Konseptualisasi tentang Eksistensi Roh Alam Seperti telah disinggung sebelumnya, dalam konseptualisasi etnik Rongga, roh alam dipahami sebagai salah satu sumber kekuatan moral dan spiritual yang turut menentukan keberadaan, kebertahanan, dan keberlanjutan hidupnya sebagai manusia dan anggota masyarakat, di samping Tuhan dan roh alam. Akan tetapi, eksistensi roh alam dipahami etnik Rongga bukan sebagai kekuatan spiritual yang berdiri sendiri, melainkan dilihat dari hubungan dengan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Dalam konseptualisasi etnik Rongga, roh alam dipahami sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mendiami sisi lain dunia masyarakat manusiawi. Roh alam ditugasi Tuhan untuk menunggu dan menjaga lingkungan alam agar tetap lestari adanya dan tidak dimanfaatkan oleh manusia secara tidak beraturan. 53
Acara makan bersama dilangsungkan segera setelah upacara pemberian sesajen kepada roh leluhur dilaksanakan.
198
Selain sebagai penghuni dunia seberang, dalam konseptualisasi etnik Rongga, roh alam dipahami pula sebagai suatu paguyuban mistis dengan distribusi peran masing-masing. Sebagian mengemban peran menjaga kampung, sedangkan sebagian yang lain mengemban peran menjaga sumber mata air. Etnik Rongga tidak menyembah roh alam, tetapi menghormati roh alam sesuai dengan kapasitas tugas yang diperaninya dalam hubungan dengan eksistensi Tuhan sebagai penguasa alam semesta. Terkait dengan itu, dalam realitas kehidupan etnik Rongga pada masa silam, mereka dilarang membabat hutan secara sembarangan agar flora dan fauna yang ada di dalamnya tidak musnah.54 Konseptualisasi etnik Rongga tentang eksistensi roh alam sebagai penjaga lingkungan alam disingkap, antara lain dalam fragmen (6-03), yakni Ndau meu nitu tana mori watu. Ti’i kami ko mbo’o, bhagi kami ko nandi ‘‘Itu kamu makhluk halus yang memiliki tanah dan batu. Berikan kami yang kekenyangan, bagilah dengan kami dengan baik’. Fragmen ini menyiratkan makna bahwa etnik Rongga mesti menjaga dan memelihara hubungan yang harmonis dengan kekuatan alam, seperti watu ‘batu’ yang berada di lingkungan mereka. Selain sebagai penghuni dunia seberang, dalam konseptualisasi etnik Rongga, roh alam dipahami sebagai suatu peguyuban mistis dengan distribusi peran dan tanggung-jawabnya masingmasing sesuai dengan penugasan Tuhan sebagai penguasa alam semesta. 55
54
55
Hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu di Kampung Wae Korok, Kelurahan Tanarata pada tanggal 12 Mei 2012. Hasil wawancara ini didiskusi dan dinegosiasi lebih lanjut dengan Bapak Markus Bana di Borong, pada tanggal 13 Mei 2013 sebagai suatu bentuk pengecekan silang antarinforman. Ini merupakan suatu masalah yang dihadapi etnik Rongga karena kebermaknaan larangan itu sudah tidak menyata lagi dalam realitas kehidupan mereka pada masa sekarang (bdk Se dkk. 2012). Hasil diskusi dan negosiasi dengan Bapak Alfridus Ndolu, Bapak Markus Bana, Bapak Thomas Ola, Bapak David Lombe di Borong pada bulan Mei 2012.
199
7.3 Makna Sosial Setiap jenis ritual yang dilaksanakan suatu masyarakat niscaya mempunyai efektivitas sosial tersendiri bagi warga masyarakat bersangkutan. Efektivitas sosial suatu ritual tercermin dalam makna sosial yang bertautan dengan kesucian sosial yang mesti dipatuhi warga etnik Rongga demi penciptaan dan pemertahanan keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan. Kebermaknaan kesalehan ritual tersebut mengejawantah dalam efektivitas sosial yang ditakar secara empiris dalam kesucian sosial etnik Rongga. Guratan makna sosial yang terkandung dan diamanatkan dalam WVHMM dapat dilihat dalam beberapa fragmen di bawah ini: (7-01) Ndili no ndete, moe kowa palo rajo bawah dan atas seperti sampan iring dengan perahu ‘Bawah dan atas seperti sampan yang beriringan dengan perahu’ Ndeta no ndale moe’ bondo wa’u waju atas dan bawah seperti lumbung turun tumbuk ‘Atas dan bawah seperti lumbung padi diturunkan dan ditumbuk’ (7-02) Nggoti uma Nggoli, wawi ka manu ka tanam kebun Nggoli daging babi makan daging ayam makan ‘Menanam di kebun nggoli daging babi dan ayam di makan’ Ndua uma waru, wawi ka manu ka pergi kerja kebun waru daging babi makan daging ayam makan ‘Pergi ke kebun waru makan daging babi dan ayam’ (7-03)
Loka jere olo, olo horha loka tempat yang rata depan, depan tengah tempat ‘Depan tengah tempat yang rata’ Watu ture tana tana tendole batu susun tanah tanah berlapis ‘Batu bersusun tanah, dengan tanah yang berlapis’.
Data (7-01) menyiratkan makna bahwa warga etnik Rongga harus selalu seia-sekata dalam bekerja atau mereka dituntut untuk selalu bekerja sama yang dipilari semangat kekeluargaan dan gotong royong. Makna tersebut disingkap
200
secara analogis-metaforis melalui penggunaan kata sampan (kowa) dan perahu (rajo) yang selalu beriringan ke bawah (ndili) dan ke atas (ndete), kata lumbung (bondo) dan tumbuk (waju) yang turun (wa’u) dari atas (ndeta) dan ke bawah (ndale). Data
(7-02)
menyiratkan
makna
bahwa,
demi
penciptaan
dan
pemertahanan keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan, warga etnik Rongga dituntut agar mereka selalu hidup rukun dan damai dalam bingkai persaudaraan sebagai warga satu suku. Sesuai dengan konseptualisasi yang terpatri dalam peta pengetahuan etnik Rongga, kebermaknaan tuntutan hidup rukun dan damai tidak saja menyatu dalam kata-kata, tetapi juga mewujud secara empiris dalam tindakan. Sebagai pengemban budaya pertanian ladang, perwujudan makna dimanifestasikan ketika menanam padi dan jagung di kebun atau ketika pergi berkerja di kebun. Resapan keinginan dan harapan akan adanya suasana rukun dan damai ketika mereka menanam di kebun disingkap dalam klausa, Nggoti uma Nggoli wawi ka, manu ka ‘Tanamlah kebun Nggoli, daging babi dimakan, daging ayam dimakan’. Resapan harapan akan adanya suasana rukun dan damai ketika mereka pergi bekerja ke kebun disingkap dalam klausa, Ndua uma Waru, wawi ka, manu ka ‘Pergilah bekerja di kebun Waru, daging babi dimakan, daging ayam dimakan’. Data (7-03) menyiratkan makna bahwa demi penciptaan dan pemertahanan keselarasana hubungan sosial kemasyarakatan, warga etnik Rongga dituntut agar ketika mereka menghadapi masalah dalam konteks kehidupan bermasyarakat, sebaiknya masalah itu dipecahkan atau dimusyawarahkan bersama di depan
201
umum. Makna tersebut disingkap secara analogis-metaforis dalam klausa, (a) Loka jere olo, olo horha olo loka ‘Tempat rata di depan, tempat di depan dan tengah depan’ dan (b) Watu ture tana tana tendole ‘Batu tersusun berlapis tanah’. Dengan dipecahkan dan dimusyarahkan di depan umum, maka masalah yang mereka hadapi itu dapat diselesaikan secara cepat karena melibatkan banyak pikiran dalam mencari langkah pemecahan.
7.4 Makna Historis WVHMM menyiratkan makna historis karena di dalamnya diulas secara khusus tentang jejak sejarah asal-usul suku, sebagaimana disingkap dalam upacara ngga’e ‘silsilah asal-usul suku’ sebagai bagian pendahuluan ritual vera, seperti dapat dilihat pada data (4-26), Motu weka ndili mai, weka ndili mai Jawa. Rajo ngazha Milo Motu, tu ndele Sarikondo’ Suku Motu nama turun datang, nama turun datang Jawa. Perahu nama Milo Motu, tanah utara Sarikondo’, mengisahkan jejak sejarah asal-usul suku Motu. Dikisahkan bahwa suku Motu berasal dari Jawa denga menumpang perahu bernama Milo Motu yang mendarat di wilayah Utara bernama Sarikondo. Data (4-27), Sarikondo mosa me’a, tei Motu setana mezhe. Motu woe limazhua, embu me’a Sunggisina. Motu woe limazhua, beka sogho wae kodhe ‘Nama laki dewasa sendiri, lihat nama Motu sangat besar. Nama tujuh teman, nenek nama sendiri, Motu adalah tujuh bersaudara, keturunan dari Sunggisina. Suku Motu ada tujuh terpecah pecah karena sup kera’, merupakan fakta lingual yang menggambarkan kisah sejarah asal-usul suku Motu yang pada awalnya bersaudara tujuh, kemudian pecah karena merebut sup kera. Perpecahan tujuh bersaudara menyebabkan suku Motu menyebar di beberapa tempat di
202
wilayah Rongga.56 Makna historis WVHMM tidak saja menjadi simpul perekat rasa kebersamaan (sense of belonging) dalam ikatan komunitas etnik atau sub-sub etnik Rongga, tetapi juga menjadi wadah makna untuk mencari, membangun, dan memelihara identitas bersama sebagai saudara seketuruan.
7.5 Makna Ekonomis WVHMM menyiratkan makna ekonomis berkenaan dengan sistem ekonomi dan mata pencaharian yang digeluti oleh etnik Rongga. Sesuai dengan fakta lingual yang digunakan dalam WVHMM, sistem ekonomi dan mata pencaharian utama etnik Rongga adalah sistem pertanian dan sistem peternakan. Sistem pertanian yang digeluti oleh etnik Rongga adalah sistem pertanian lahan kering dengan jenis tanaman utama yang ditanam adalah padi (pare) dan jagung (jawa). Sistem peternakan yang digeluti etnik Rongga ditandai dengan pemeliharaan babi (wawi), kambing (tibho), dan ayam (manu). Selain dipelihara untuk memenuhi kepentingan konsumsi sehari-hari, ketiga jenis hewan itu digunakan sebagai sarana persembahan utama dalam berbagai ritual, tidak terkecuali dalam ritual haimelo mbuku sa’o mbasa wini sebagai konteks situasi ritual yang melatari kehadiran WVHMM. 7.6 Makna Politis Makna politis WVHMM berkaitan dengan dimensi kekuasaan yang berpengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap tatanan kehidupan kemasyarakatan etnik Rongga. Pengertian istilah ‘politis’ di sini identik dengan
56
Wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu di Kampung Leke,Kelurahan Tanarata pada tanggal 29 Oktober 2012 dan wawancara dengan Bapak Thomas Ola di Kampung Paundoa pada tanggal 16 Oktober 2012.
203
‘kekuasaan’ yang dikemukakan oleh Foucault (1984:227), yang menunjuk pada kemampuan seseorang untuk mengatur dan menata pola perilaku orang lain. Orientasi makna kekuasaan yang terkandung dalam WVHMM bermuara pada penciptaan dan pemertahanan tatanan kehidupan etnik Rongga yang harmonis sesuai dengan konvensi sosial yang sudah digariskan dan dikaidahkan secara mentradisi sejak leluhurnya. Guratan makna politis yang terkandung dalam WVHMM dapat disimak dalam beberapa fragmen berikut. (7-04) Putungguru luw, nggera rhele Lena bakar aur luwu terang di atas Lena ‘Membakar aur luwu yang terang di atas’ Renggo bheto tenggo, ndara lau arha ‘lindungi betung Tenggo terang di sana’ ‘Melindungi betung tenggo yang terang di sana’ (7-05) Ika matalina neo, mbiwa mbe’o ikan matalina intai tidak tahu ‘Tidak tahu mengintai Ikan matalina’ Mbawu mbata lau neo, mebiwa mbe’o belanak di laut intai tidak tahu ‘Tidak tahu mengintai belanak di laut’ (7-06) Nggote ana lobu, nggote lo kasihan ikan lumba-lumba kasihan badan ‘Kasihan badan ikan lumba-lumba’ La’i lema mbata, la’i sala jilat jenis kerang jilat salah ‘Menjilat jenis kerang dengan menjilat yang salah’ (7-07) Watu waewar, ruku raka pau batu waewaru ribut/huru hara duluan ‘Batu Waewaru sudah rebut duluan’ Nggola mbeja jere eke du nde guling habis rata tunggu sampai kapan ‘sampai kapan menunggu guling habis’ Seperti tampak pada data (7-04), fragmen tersebut menyiratkan makna bahwa, dalam menjalankan roda kekuasaan yang dipercayakan masyarakat, seorang pemimpin mesti berperan sebagai pengayom masyarakat demi terciptanya
204
suatu tatanan kehidupan masyarakat yang aman dan damai. Pengejawantahan peran seorang pemimpin sebagai pengayom masyarakat dianalogikan secara metaforis dengan cahaya yang membawa terang. Bentuk tekstual satuan kebahasaan yang menyingkap peran pemimpin sebagai cahaya yang membawa terang kepada masyarakat adalah kata nggera dan ndara yang berarti terang. Kedua kata tersebut berhubungan secara sinonimis yang digunakan dengan tujuan untuk mempertegas makna pesan tentang pentingnya peran seorang pemimpin sebagai pengayom masyarakat. Data (7-05) menyiratkan makna bahwa seorang pemimpin masyarakat dituntut untuk selalu bijaksana dalam bertindak dan mengambil keputusan agar tidak merugikan masyarakat. Bentuk tekstual satuan kebahasaan dalam WVHMM yang menyingkap perilaku pemimpin yang tidak bijaksana dalam bertindak dan mengambil keputusan dianalogikan secara metaforis dengan perilaku ikan matalina (ika matalina) dan mbawu (belanak). Perilaku ikan matalina dan ikan belanak merupakan metafora binatang yang digunakan etnik Rongga untuk menggambarkan karakter seorang pemimpin yang tidak bijaksana dalam bertindak dan mengambil keputusan. Dalam konseptualisasi etnik Rongga, seseorang pemimpin mesti tegas dalam bertindak dan mengambil keputusan demi kesejahteraan masyarakat banyak. Mengingat seorang pemimpin mesti menjadi model anutan bagi masyarakat, maka dia tidak boleh terpengaruh oleh orang lain dalam bertindak dan mengambil keputusan. Seperti diisyaratkan dalam data (7-06), gambaran perilaku seorang pemimpin yang tidak tegas dalam bertindak dan mengambil
205
keputusan dianalogikan secara metaforis dengan perilaku ikan lumba-lumba (ana lobu) dan kerang (lema). Data (7-07) menyiratkan makna bahwa, dalam menjalankan roda kekuasaan yang dipercayakan kepadanya, seorang pemimpin tidak boleh mengumbar janji- janji muluk kepada masyarakat. Seorang pemimpin mesti lebih banyak berbuat daripada berbicara karena perbuatan berbicara lebih keras daripada perkataan, artinya seorang pemimpin harus lebih banyak bekerja daripada berbicara. Dengan perkataan lain, dalam menjalankan kekuasaan yang dipercayakan masyarakat kepadanya, seorang pemimpin tidak boleh melakukan pembohongan terhadap masyarakat melalui janji yang muluk-muluk. Tindakan pembohongan terhadap masyarakat melalui umbaran janji yang muluk-muluk dianalogikan secara metaforis dengan bunyi batu di Waewaru yang disingkap dalam klausa, Watu Waewaru ruku rapa raku ‘Batu Waewaru bunyi duluan’. Fakta lingual yang menyingkap kebohongan itu diisyaratkan dalam klausa, Nggola mbeja jere eke du nde ‘Guling habis rata tunggu sampai kapan’, yang menyiratkan makna bahwa janji-janji yang disampaikan oleh seorang pemimpin tidak pernah diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata.
7.7 Makna Estetis Makna estetis WVHMM tercermin dalam pilihan kata dan cara pengungkapan bahasanya yang mengandung keindahan bentuk dan kenikmatan inderawi ketika disimak. Makna estetis tersebar secara meluas dalam keseluruhan WVHMM karena komunikasi yang disampaikan melalui WVHMM merupakan komunikasi yang bersifat vertikal-transendental dengan kekuatan adikodrati,
206
yakni Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Hal ini berimplikasi bahwa guratan makna estetis tersebut bertalian erat dengan makna religius sebagai dimensi makna yang paling menonjol yang terkandung dalam WVHMM. Makna estetis tersebut dipahami sebagai manifestasi dari kesalehan ritual WVHMM karena komunikasi melalui WVHMM bersifat vertikal-transendental dengan kekuatan adikodrati, yakni Tuhan, roh leluhur, dan roh alam, yang memiliki struktur kekuasaan lebih tinggi daripada manusia. Resapan pikiran, perasaan, dan pengalaman hidup etnik Rongga yang diwahanai melalui WVHMM dikemas melalui pilihan kata-kata dan cara pengungkapannya yang mengandung makna estetis. Makna estetis WVHMM ditandai,
antara
lain
dengan
penggunaan
paralelisme
fonologis
dan
leksikosemantis, sebagaimana dilihat dalam fragmen di bawah ini. (7-08)
Bha ndili Jawa, bha bhara piring sana Jawa piring putih ‘Piring di Jawa piring yang bersih’ Mako lao Wio, mako milo’. piring sana Sumba piring bersih ‘Piring di Sumba piring yang bersih’
Seperti tampak pada fragmen (7-08) di atas, memiliki makna seorang pemimpin yang bijaksana dungkapkan dengan menggunakan gaya bahasa dengan memanfaatkan
fitur paralelisme fonologis
yang ditandai dengan asonansi,
aliterasi, dan rima. Sesuai dengan kenyataan bentuk tekstual yang tampak secara fisik, dua jenis asonansi yang digunakan adalah asonansi berstruktur simetris dan asimetris. Asonansi berstruktur simetris ditandai dengan fenomena permainan fonem vokal yang sama dan asonansi berstruktur asimetris ditandai dengan
207
permainan fonem vokal yang tidak sama. Asonansi berstruktur simetris ditandai dengan permainan fonem vokal a-a dalam kata Jawa ‘Jawa’ dan bhara ‘putih’. Asonansi berstruktur simetris ditandai dengan permainan fonem vokal a-o dalam kata mako ‘piring’ dan lao ‘di sana’ serta permainan fonem vokal i-o dalam kata Wio ‘Sumba’ dan milo ‘bersih’. Aliterasi berupa pengulangan fonem konsona ditandai dengan pengulangan fonem konsonan m dalam mako ‘piring’ dan milo ‘putih’. Paralelisme leksikosemantis ditandai dengan penggunaan kata-kata yang berhubungan secara sinonimis, seperti kata bha ‘piring’ bersinonim dengan kata mako ‘piring’ dan kata bhara ‘putih’ berhubungan secara sinonimis dengan kata milo ‘bersih’ dalam suatu medan makna yang bersifat kolokatif. 57
7.8 Makna Didaktis Berdasarkan esensi isi pesan yang terkandung di dalamnya, WVHMM sesungguhnya mengemban makna didaktis berupa seperangkat nilai pendidikan dan pengajaran yang menjadi penuntun moral dan pedoman etika dalam penataan perilaku hidup etnik Rongga. Sesuai dengan kandungan makna didaktis yang tercakup di dalamnya, siratan nilai pendidikan dan pengajaran yang diamanatkan melalui WVHMM meliputi nilai pengetahuan keagamaan, kemasyarakatan, sejarah, hukum adat, politik, ekonomi, dan kesenian. Salah satu fragmen WVHMM yang esensi isi pesannya menyiratkan makna didaktis bagi warga etnik Rongga adalah sebagai berikut.
57
Wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu di Kampung Leke,Kelurahan Tanarata pada tanggal 29 Oktober 2012 dan wawancara dengan Bapak Thomas Ola di Kampung Paundoa pada tanggal 16 Oktober 2012.
208
(7-09)
Ema po soro, ma’e rero ma’e ghewo ayah beri nasihat jangan ribut jangan lupa ‘Ayah memberikan nasihat janganlah rebut dan jangan lupa’ Ine reku lelu, ma’e rero ma’e ghewo mama beri nasihat jangan ribut jangan lupa Ibu memberikan nasihat jangalah ribut dan jangan lupa’
Fragmen (7-09) di atas menyiratkan makna didaktis berupa nilai pendidikan dan pengajaran bagi warga etnik Rongga agar mereka selalu menghormati orang-tua atau ayah-ibunya. Manifestasi penghormatan itu ialah mendengar dan menyimak secara cermat dan saksama nasihat atau petuah dari orang tua atau ayah-ibu. Setelah mendengar dan menyimak nasihat tersebut, anakanak mesti melaksanakannya karena nasihat tersebut merupakan pedoman dan panduan dalam penataan pola perilaku demi mencapai kebaikan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat.58
58
Wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu di Kampung Leke Kelurahan Tanarata pada tanggal 29 Oktober 2012 dan wawancara dengan Bapak Thomas Ola di Kampung Paundoa pada tanggal 16 Oktober 2012.
209
Makna Wacana Tradisi Lisan Vera (WVHMM)
Makna Religius Konseptualisasi tentang Eksistensi Tuhan, Roh Leluhur, dan Roh Alam,
Makna Sosiologis (Efektivitas Sosial)
Makna Historis
Makna Ekonomis
Makna Politis
Makna Estetis
Makna Didaktis
Bagan 7.1 Cakupan Makna Wacana Tradisi Lisan Vera Haimelo Mbuku Sa’o Mbasa Wini (WVHMM) 7.8 Rangkuman Merujuk fungsi yang diemban dan diperaninya dalam konteks sosial budaya etnik Rongga, WVHMM menyiratkan seperangkat makna yang meliputi makna religius, sosiologis, historis, politis, estetis, dan didaktis. Makna religius bergayut dengan konseptualisasi etnik Rongga tentang eksistensi kekuatan adikodrati, yakni Tuhan, roh leluhur, dan roh alam, yang dipahami sebagai sumber kekuatan moral dan spiritual utama yang sangat menentukan keberadaan, kebertahanan, dan kebertahanan hidup mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat. Dalam konseptualisasi etnik Rongga, Tuhan dipahami sebagai wujud
210
tertinggi, penguasa alam semesta, pengasih dan penyayang. Roh leluhur dipahami sebagai kekuatan adikodrati yang berperan sebagai perantara doa dan permohonan kepada Tuhan. Roh alam dipahami sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang ditugasi Tuhan untuk menunggu dan menjaga lingkungan. Makna sosiologis berkaitan dengan efektivitas sosial WVHMM yang termanifestasi dalam kesucian sosial etnik Rongga demi penciptaan dan pemertahanan keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan. Makna historis bertalian dengan keterikatan warga etnik Rongga sebagai suatu komunitas etnik, yang terbentuk dari 22 suku dengan jejak sejarah asal usulnya masing-masing. Makna ekonomis menyingkap sistem ekonomi dan mata pencaharian hidup yang digeluti oleh etnik Rongga, yakni pertanian dan sistem peternakan. Makna politis WVHMM berkaitan dengan kekuasaan secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap tatanan kehidupan etnik Rongga, terutama yang menyangkut karakteristik seorang pemimpin. Makna didaktis WVHMM menyiratkan seperangkat nilai pendidikan dan pengajaran bagi warga etnik Rongga tentang pengetahuan keagamaan, kemasyarakatan, hukum, adat istiadat, politik, ekonomi, dan kesenian.
211
BAB VIII MEKANISME PEWARISAN WACANA VERA HAIMELO MBUKU SA’O MBASA WINI
8.1 Pengantar Seperti telah disinggung sebelumnya, vera adalah tradisi ritual yang tercipta dari pengalaman hidup etnik Rongga pada masa lalu yang sampai kini masih tetap dilaksanakan. Vera disebut tradisi karena keberadaannya terkait dengan konsep kepercayaan (belief) dan perilaku (behavior) etnik Rongga dengan siratan makna simbolis dan peran kultural yang bermuasal pada realitas masa lampau. Tradisi ritual vera merupakan produk dan praktik budaya warisan leluhur milik sosial-kolektif etnik Rongga yang dimanifestasikan dalam bentuk tarian disertai nyanyian. Sebagai sebuah tradisi, vera sarat nilai sosial budaya sebagai pengikat rasa kebersamaan dalam ikatan komunitas etnik atau sub-etnik Rongga. Vera merupakan bagian integral dari budaya Rongga yang menyoroti bagian penting dari ikatan dan berkat Tuhan dan leluhur dalam menafasi relung kehidupan etnik Rongga sehari-hari. Tradisi ritual vera adalah milik etnik Rongga berupa pertunjukan tarian dan nyanyian yang dipertunjukkan secara berkelompok untuk kegiatan-kegiatan ritual tertentu. Tarian dan nyanyian yang ditampilkan memiliki nilai estetis sebagai wujud kreativitas para pendukung vera sebagai pelaku seni. Bagi warga komunitas etnik Rongga, pertunjukan sebuah ritual yang diselingi dengan nyanyian dan tarian adalah suatu kewajiban budaya demi kesinambungan tradisi, di samping pemenuhan kehendak Tuhan dan roh leluhur. Mempraktekkan sebuah ritual yang diselingi tarian dan nyanyian memiliki tujuan 211
212
khusus yang menyatu dalam satu kesatuan dengan sistem kepercayaan asli setempat. Tarian ritual vera sebagai salah satu produk dan praktek budaya etnik Rongga dapat memperkuat dan meneruskan nilai tradisi warisan leluhurnya. Hal ini selaras dengan pandangan Simaptupang (2013:204--205) yang menyatakan bahwa warisan adalah sesuatu yang berasal dari masa lampau yang dimiliki, digunakan, dan dihargai oleh orang-orang dewasa. Oleh karena itu, kehadiran dan keberadaan WVHMM memiliki fungsi dan makna pewarisan agar tetap hidup dan berkembang dalam realitas kehidupan etnik Rongga pada masa kini dan masa akan datang sesuai dengan konvensi sosial yang diamanatkan oleh leluhurnya. Mempertahankan vera sebagai budaya asli bertujuan agar generasi muda etnik Rongga tetap mengetahui tradisi warisan leluhurnya. Sesuai dengan realitas faktual yang ditemukan pada saat penelitian ini dilakukan, tradisi ritual vera cenderung sudah mulai mengalami perubahan dan pergeseran dalam tataran tertentu. Terkait dengan perubahan itu, menurut Arka (2010), ada empat faktor yang menyebabkan praktek vera berada di bawah ancaman kepunahan. Faktor pertama adalah munculnya penyebaran agama Katolik dan pendidikan modern. Kedua hal itu mengikis pondasi kepercayaan tradisional yang sangat penting untuk meneruskan vera. Generasi muda etnik Rongga yang dididik dalam iklim Indonesia modern tidak memiliki kesempatan membagi kewajiban tradisional mengenai praktik vera. Ketika orang muda bertanya tentang signifikansi vera sebagai bagian dari warisan leluhur, para orang tua memberikan jawaban beragam, sementara mereka mengakui bahwa vera menandakan identitasnya
213
sebagai warga etnik Rongga. Dewasa ini banyak orang dewasa tidak peduli lagi tentang keberadaan dan kebermaknaa vera sehingga tidak perlu menjaga keberlangsungan hidupnya. Faktor kedua adalah adanya pergeseran minat warga etnik Rongga karena terbingkai dalam konteks kehidupan modern. Pada zaman dahulu, ketika orangorang tua masih muda, mereka sangat antusias belajar dan menari vera karena tidak ada media hiburan yang lain. Sekarang, media hiburannya sudah berbeda, beragam, dan mudah diperoleh seperti dalam bentuk siaran radio, televisi, dan CD. Ketersediaan dan kemudahan mendapatkan media hiburan semacam itu memengaruhi pola pikir mereka. Faktor ketiga berhubungan dengan isi ritual vera yang dipandang tidak memiliki
nilai pertunjukan sehingga
anak
muda tidak tertarik untuk
mempelajarinya. Tarian vera sangat membosankan karena diulang-ulang, panjang, dan lama, sehingga tidak menarik bagi generasi muda etnik Rongga. Bahasa yang digunakan dalam teks vera bersifat baku dan beku sehingga tidak ada ruang untuk kreativitas pribadi. Vera gha’u gha’a memang dapat dipentaskan kapan dan di mana
saja
sebagai
media
hiburan,
namun
belum
ada
usaha
untuk
mengembangkannya secara kreatif sesuai dengan kebudayaan pop lokal dan nasional. Faktor keempat adalah faktor bahasa vera yang menuntut kecakapan khusus karena adanya kata-kata arkais. Generasi muda etnik Rongga tidak memiliki keterampilan bahasa dan menari vera, di samping penguasaan format upacara dalam bahasa Rongga.
214
Seperti telah disinggung sebelumnya, sebagian besar warga etnik Rongga, terutama kelompok generasi muda terdidik, cenderung sudah memiliki kerangka pemahaman dan pemaknaan yang kurang tepat terhadap kebermaknaan fungsi dan peran tradisi ritual vera. Beberapa fakta menunjukkan bahwa mereka cenderung lebih senang menonton dan menyaksikan pertunjukan bernuansa modern seperti breakdance, sepak bola dunia daripada menonton dan menyaksikan pertunjukan vera (Arka, 2010). Dalam upaya pemberdayaan vera sebagai salah satu aset budaya milik sosial-kolektif yang menjadi lambang identitas internal dan eksternal etnik Rongga perlu dilakukan penyadaran terhadap seluruh warga etnik Rongga, terutama kelompok generasi muda, yang saat ini hampir semuanya menganut agama Kristen. Sistem pewarisan WVHMM dari generasi ke generasi adalah salah satu upaya penerusan nilai tradisi yang sudah diamanatkan oleh leluhurnya. Simatupang (2013:234) mengatakan bahwa : “Tradisi tidak mampu mengembangkan dirinya sendiri. Hanya manusiamanusia masa kini yang hidup, mengetahui, dan mnginginkannya sajalah yang dapat menghidupkan tradisi dengan cara menyesuaikannya pada kondisi yang berlaku di masa kini. Tradisi dapat rusak atau hansur bila pewarisnya tidak lagi melakukannya, menggelarnya entah dengan cara dan dalam bentuk apa pun, karena hanya dengan dipraktikkan maka tradisi itu diberi kehidupannya di masa kini”. Tradisi lisa vera merupakan produk dan praktik budaya warisan leluhur etnik Rongga. Vera masih tetap hidup dan berkembang sampai saat ini karena masih tetap dilaksanakan oleh pendukungnya sebagai salah satu bentuk pewarisan budaya. Pewarisan adalah proses pemindahan hak dari seseorang kepada orang lain (Jendra, 2002:19). Dalam pengertian umum, pewarisan adalah pemindahan
215
hak dari orang tua kepada anaknya atau keluarganya. Suatu pemindahan hak yang teratur dan konsisten dikatakan sebagai sistem pewarisan. Pewarisan budaya tradisi vera merupakan suatu proses pemindahan hak atas nilai-nilai dan normanorma yang diberikan oleh generasi tua etnik Rongga kepada generasi yang lebih muda. Proses pemindahan ini diwahanai melalui proses pembelajaran atau proses pendidikan dengan tujuan untuk memahami nilai-nilai kehidupan, norma budaya, dan adat istiadat, demi terciptanya kondisi kehidupan yang harmonis kepada generasi muda. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, terdapat dua model mekanisme pewarisan WVHMM yang dilaksanakan etnik Rongga. Kedua mekanisme pewarisan itu meliputi mekanisme pewarisan alamiah dan mekanisme pewarisan nonalamiah.
8.2 Mekanisme Pewarisan Alamiah Mekanisme pewarisan alamiah adalah cara pewarisan tradisi budaya dalam suatu masyarakat yang berlangsung secara turun-menurun dalam konteks asli sesuai dengan kaidah yang digariskan denga leluhur. Beberapa karakteristik yang berkenaan dengan mekanisme pewarisan alamiah tradisi budaya suatu masyarakat adalah sebagai berikut: (1) berlangsung secara turun-temurun dari generasi ke generasi, (2) dalam konteks tradisional atau asli, dan (3) sesuai dengan kaidah yang digariskan oleh leluhur sebagai rujukan. Merujuk pada kebiasaan yang sudah berlaku secara mentradisi sejak dari leluhurnya, mekanisme pewarisan alamiah tradisi budaya vera yang dilakukan etnik Rongga adalah dengan cara berperan serta sebagai pelibat dalam konteks
216
ritual vera. Sesuai dengan realitas faktual yang dihadapi dan dialami oleh etnik Rongga selama ini, vera hanya dilaksanakan oleh kelompok generasi tua (orang tua) karena mereka dianggap memiliki kestabilan emosi, di samping karena mereka menguasai vera, sehingga dapat melaksanakan dengan baik dan lancar sesuai dengan ketentuan dan kaidah adat yang sudah digariskan dan diwariskan oleh leluhurnya.59 Berdasarkan pengalaman di lapangan, kelompok generasi muda etnik Rongga tidak berperan aktif dan tidak tertarik dalam mengikuti kegiatan vera karena tarian vera sangat membosankan. Selain karena bahasanya diulang-ulang, pementasan juga berlangsung dalam rentang waktu yang relatif lama (mulai tengah malam sampai dengan matahari terbit). Meskipun demikian, mereka yakin bahwa tanpa adanya keterlibatan langsung dari generasi muda dalam pertunjukan vera, mereka bisa meneruskan tradisi vera karena tuntutan ritual dan kewajiban adat demi kepatuhan terhadap pesan dan amanat leluhur. Sesuai dengan konseptualisasi yang tertera dalam peta pengetahuan etnik Rongga, pelaksanaan vera merupakan perwujudan kehendak dan harapan para leluhur dengan tujuan untuk mencapai kedamaian, kesejahteraan, keberhasilan, dan kemakmuran hidup mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat di dunia. Seandainya vera tidak dilaksanakan dengan baik sesuai dengan kaidah yang sudah digariskan dan diwariskan oleh leluhur, maka diyakni oleh etnik Rongga akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, sebagaimana dituturkan oleh nara sumber di bawah ini.
59
Wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu dan Bapak William Roma di Kampung Leke, pada tanggal 12 Oktober 2012.
217
“Kami rutin melaksanakan vera, setiap ada acara kematian (yang disebut vera sarajawa) khususnya kepada kepala suku, acara syukuran yang disebut vera haimelo seperti syukuran setelah panen, syukuran musim panen, syukuran penempatan rumah baru, ada hal-hal yang bersifat ganjil dan aneh. Kami merasa takut kalau tidak melaksanakan vera, para leluhur bisa marah, kami bisa mendapatkan marabahaya, bisa sakit, jatuh, dan bahkan kematian.”60 Mekanisme pewarisan alamiah memiliki peran penting dan strategis bagi etnik Rongga demi keberlanjutan dan keberlangsungan hidup tradisi vera pada masa yang akan datang. Mekanisme pewarisan alamiah adalah cara pewarisan turun-temurun secara lisan melalui mekanisme unjuk libat tari dalam kegiatan pertunjukan vera. Keterlibatan dalam pertunjukan vera terkait dengan pementasan vera karena tuntutan ritual yang melatarinya, dan praktik budaya.
Hal ini
merupakan kewajiban yang terkait dengan kejadian-kejadian tertentu seperti kegiatan pertanian dan upacara kematian. Kewajiban semacam ini merupakan cara dan bentuk alamiah transmisi pewarisan vera untuk sebagian besar jenis vera yang hidup dan berkembang dalam realitas sosial budaya etnik Rongga. Mekanisme pewarisan alamiah memberikan kesempatan kepada orang tua yang sudah mahir untuk menunjukkan kecakapan dan kebolehannya menari vera, selain memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk melihat, belajar, dan ikut menari vera. Kejadian alamiah yang berlangsung secara beruntun dan berulang merupakan peluang terjadinya proses alih keterampilan dari satu generasi ke generasi berikut. Proses alih keterampilan melalui pemberdayaan gerak tari sambil mendendangkan nyanyian dapat menjadi media yang mewahanai proses pewarisan nilai-nilai yang terkandung dalam WVHMM. 60
Hasil wawancara dengan Bapak Alfridus Ndolu, di Kampung Leke, Kelurahan Tanara, pada tanggal 15 Agustus 2013.
218
Mekanisme
pewarisan
alamiah
masih
dipandang
efektif
untuk
memberikan penyadaran kepada masyarakat, terutama kelompok generasi muda, tentang pentingnya nilai-nilai budaya warisan leluhur sebagai panduan moral dan pedoman etika. Namun penerusan vera dapat diaktegorikan lemah dan terancam. Keterancaman
terlihat
secara
kenyataan
bahwa
kemampuan
untuk
mempertunjukkan vera kurang baik yang diperoleh generasi muda dan sebagai orang tua memang diakui bahwa kualitas vera dewasa ini mengalami kemerosotan. Selain itu, ada beberapa hal praktek budaya vera berada di bawah ancaman seperti yang sudah diuraikan di depan. Ancaman yang dimaksud seperti munculnya penyebaran agama Katolik dan pendidikan modern, pergeseran minat dalam kehidupan modern, tarian vera dianggap membosankan karena diulangulang, tidak aktraktif, dan bahasa yang banyak berisi ungkapan yang bersifat arkais sehingga susah dipahami terutama para generasi muda. Semua orang tua etnik Rongga mengatakan pentingnya pemeliharaan dan penerusan vera, hilangnya vera berarti hilang pula identitas, nilai tradisional dan pengetahuan masyarakat pribumi. Selain sebagai kewajiban budaya yang harus dilaksanakan, vera juga sebagai identitas dan kebanggaan etnik Rongga, mengemban tanggung jawab menjaga tradisi, diyakini memberi kedamaian hidup, kesejahteraan, kemakmuran hidup di dunia, dan jika tidak dilaksanakan dengan baik mereka dihantui oleh rasa takut yang akan menimpa mereka. Gambar di bawah ini contoh mekanisme pewarisan alamiah vera yang dipentaskan sesuai dengan tuntutan ritual.
219
Gambar 8.1 Pertunjukan Vera Haimelo Mbuku Sa’o Mbasa wini Dokumen Sumitri 2012 Gambar 8.2 Pertunjukan Vera Haimelo Mbuku Sa’o Mbasa Wini
Gambar. 8.2 Pertunjukan Vera Haimelo Mbuku Sa’o Mbasa Wini Dokumen Sumitri 2012
220
Gambar 8.1 dan 8.2 di atas adalah rekaman gambar pertunjukan vera dalam konteks ritual mbuku sa’o mbasa wini. Kegiatan ini dilaksanakan secara turun-menurun dalam wujud lisan sesuai dengan tradisi yang berlaku dalam realitas kehidupan etnik Rongga dan tuntutan ritual yang melatarinya. Aktivitas pertunjukan tersebut merupakan pengejawantahan produk dan praktik budaya etnik Rongga dengan memberikan kesempatan kepada tetua adat menunjukkan kemahiran menari dan menyanyikan, di samping memberikan kesempatan kepada kelompok generasi muda untuk melihat dan belajar menari. Pertunjukan vera di atas dilaksanakan di Kampung Sambi, Kelurahan Tanarata, pada tanggal 27 Oktober 2012, yang berlangsung di halaman rumah ketua suku pemilik gendang. Seperti tampak pada gambar di atas, peneliti (dengan tanda X) ikut berpartisipasi secara langsung sebagai daghe (penari perempuan) dalam pertunjukan vera tersebut.
8.3 Mekanisme Pewarisan Non-alamiah Mekanisme pewarisan nonalamiah adalah cara pewarisan melalui pelatihan secara tradisional dan bersifat sporadis sesuai dengan kebutuhan tertentu. Pada saat ini, kelompok generasi muda etnik Rongga ikut terlibat secara langsung dalam kegiatan latihan menari dan menyanyi vera yang dibawakan oleh kelompok generasi tua di bawah panduan orang yang sudah mahir vera. Keterampilan olah fisik tari dilatih secara tradisional dengan meniru dan ikut menari sambil menyanyi. Vera gembira bisa dilatih secara inovatif dengan mencatat dan menghafal syair lagunya serta tariannya dilatih secara intensif dengan melakukan modifikasi verbal sesuai dengan konteks pertunjukan.
221
Sampai saat ini, belum ada sanggar khusus untuk tarian vera dalam rangka pemberdayaan dan pewarisan budaya lokal etnik Rongga. Oleh karena itu, mekanisme pewarisan nonalamiah ini tidaklah efektif karena dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Upaya pemberdayaan vera sebagai salah satu aset budaya lokal etnik Rongga memerlukan dukungan yang sinergis dari berbagai pihak, baik pelaku vera, tetua adat, masyarakat maupun pemerintah, dalam rangka keberlangsungan vera ke depan. Bentuk dukungan itu bisa diwujudkan dengan membentuk sanggar-sanggar budaya sebagai wadah pengembangan kreativitas masyarakat, terutama kelompok generasi muda, dalam berekspresi karena selama ini vera hanya dimainkan oleh kelompok generasi tua atau para orang tua. Berikut adalah gambar latihan tarian dan nyanyian vera ghau gha’a yang menunjukkan mekanisme transmisi pewarisan nonalamiah.
Gambar. 8.3 Latihan Tarian dan Nyanyian Vera Haimelo oleh anak-anak Sumber: Fransiscus Seda (2005)
222
Gambar 8.4 Latihan Tarian dan Nyanyian Vera Haimelo oleh orang dewasa Dokumen Sumitri 2012
Gambar 8.5 Pentas Tarian dan Nyanyian Vera Haimelo oleh anak-anak Dokumen: Fransiscus Seda 2005
223
Gambar 8.3 dan 8.4 di atas adalah latihan tarian dan nyanyian vera oleh anak-anak dan orang dewasa yang dilaksanakan sebelum pementasan vera haimelo. Dalam hal ini, vera dipertunjukkan dengan
fungsi sebagai hiburan
(gha’u gha’a). Pada saat ini, generasi muda etnik Rongga terlibat langsung dalam latihan vera di bawah panduan orang tua yang sudah mahir dalam pertunjukan vera. Latihan vera ini dilakukan untuk menyambut peringatan hari Pendidikan Nasional pada bulan Mei tahun 2005. Gambar 8-4 adalah latihan vera untuk hiburan di Kelurahan Tanarata oleh orang dewasa dalam rangka peresmian Gedung Bupati Manggarai Timur, 27 November 2012. Gambar 8-5 adalah acara pementasan vera untuk hiburan (gha’u gha’a)
di Kampung Waerana, pada
tanggal 2 Mei 2005. Mekanisme pewarisan tradisi lisan vera, baik secara alamiah maupun non-alamiah seperti tersebut di atas adalah sebagai upaya untuk memperkuat dan meneruskan nilai tradisi sebagai warisan leluhur. Dalam dinamika budaya etnik Rongga meskipun penerusan vera sangat lemah dan terancam, vera masih menunjukkan prospek yang masih potensial untuk tetap lestari sebagai sebuah tradisi lisan yang didasari atas: (1) eksistensinya sebagai identitas etnik; (2) kehadirannya sebagai kebanggaan dan rasa hormat terhadap tarian dan nyanyian; (3) eksistensinya sebagai bagian dari ritual tradisional; (4) keterkaitannya dengan kewajiban dan kepatuhan terhadap adat istiadat; (5) fungsinya untuk mengemban tanggungjawab menjaga tradisi, memenuhi kehendak Tuhan dan nenek moyang; (6) keyakinan dapat memberi kedamaian, kesejahtraan, keberhasilan dan kemamkuran dalam hidup di dunia; dan (7) kepercayaan jika tidak dilaksanakan (dengan baik) sesuai dengan kaidah adat, ada rasa takut yang akan menimpa
224
mereka, misalnya mendapatkan marabahaya seperti bisa sakit, jatuh tanpa sebab, dan bahkan ditimpa kematian seperti yang sudah disinggung di depan. Pada hakikatnya, pewarisan tradisi vera sebagai bagian ritual dipahami oleh etnik Rongga sebagai budaya pertanian warisan leluhur yang sudah mentradisi. Makna ritual tersebut ialah untuk menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar tumbuh kesadaran betapa pentingnya nilai-nilai budaya warisan leluhur sebagai pedoman etika dan moral di dalam diri mereka. Dengan kesadaran itu, mereka melakukan upaya untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara manusia dan Tuhan sebagai pencipta alam semesta, manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan sesamanya. Ketiga hubungan tersebut harus menyatu secara sinergis untuk membentuk sikap dalam konsep keseimbangan. Selain itu, kesadaran etnik Rongga tentang keberadaan dan kebermaknaan vera sebagai salah satu permadani budaya nusantara dan miniatur etnografi budaya yang menandakan kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia yang multi-etnik dan multikultural. Dalam perspektif ekologis yang lebih luas, vera yang berupa tarian dan nyanyian berisi nilai keselamatan khususnya kelompok asli
minoritas
sangat
penting
dilakukan
dalam
rangka
memelihara
keanekaragaman budaya.
8.4 Rangkuman Vera adalah salah satu wacana tradisi lisan warisan leluhur etnik Rongga yang tampil dalam bentuk pertunjukan tarian disertai nyanyian dan memiliki nilai filosofis dan estetis tinggi dalam menyingkap pandangan mereka tentang dunia.
225
Kebermaknaan wacana tradisi lisan vera sebagai wadah penyingkap pandangan dunia etnik Rongga tercermin dalam WVHMM sehingga perlu diwariskan agar tetap hidup dan berkembang dalam realitas kehidupan etnik Rongga pada masa kini dan masa yang akan datang. Mekanisme pewarisan WVHMM yang dilakukan etnik Rongga selama ini bersifat alamiah melalui pementasan vera sesuai dengan tuntutan latar ritual, sedangkan mekanisme pewarisan nonalamiah dilaksanakan melalui pelatihan yang berlangsung secara tradisional dan sporadis berdasarkan kebutuhan tertentu. Mekanisme pewarisan vera seperti itu menunjukkan prospek yang potensial tetap lestari sebagai sebuah tradisi lisan yang hidup dan berkembang dalam realitas kehidupan etnik Rongga sebagai identitas dan kebanggaan etnik, terkait dengan kewajiban dan kepatuhan terhadap adat istiadat, pengemban tanggung jawab menjaga tradisi, pemenuhan kehendak Tuhan dan nenek moyang. Ada keyakinan mendapatkan kedamaian, kesejahteraan, keberhasilan dan kemakmuran dalam hidup di dunia, dan kalau tidak dilaksanakan (dengan baik) sesuai dengan kaidah adat, ada rasa ketakutan yang akan menimpa mereka. Pada hakikatnya, pewarisan ritual vera dipahami sebagai budaya pertanian yang memiliki peranan yang penting untuk menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar tumbuh kesadaran di dalam diri mereka. Kesadaran menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara manusia dan Tuhan sebagai pencipta alam semesta, manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan sesamanya, ketiganya perlu dijaga agar menyatu secara sinergis untuk membentuk
226
sikap dalam konsep keseimbangan. Keberadaan dan kebermaknaan vera sebagai salah satu permadani budaya nusantara dan miniatur etnografi budaya yang menandakan kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia yang multi-etnik dan multikultural.
227
BAB IX SIMPULAN, TEMUAN, DAN SARAN
9.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis karakteristik struktur, fungsi, makna, dan mekanisme pewarisan teks WVHMM dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Teks WVHMM merupakan sebuah wacana tradisi lisan bergaya sastra. Karakteristik satuan kebahasaan teks WVHMM paling menonjol bercorak puitis dengan memanfaatkan fitur paralelisme yang membangun efek musikalitas dan mengundang kenikmatan indrawi. Teks WVHMM sebagai wacana bergaya sastra memiliki struktur yang khas dan teratur yang didukung oleh struktur formal dan struktur naratif. Struktur formal mencakupi tiga komponen dasar, yakni struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Struktur makro atau tema sentral teks WVHMM adalah doa permohonan kepada Tuhan agar pada musim tanam yang akan datang berjalan dengan baik. Superstruktur atau skema teks WVHMM terdiri atas tiga bagian, yaitu pendahuluan, yang disebut ti’ika, inti Vera dan penutup yang disebut tetendere. Struktur mikro atau struktur dasar teks WVHMM terdiri atas struktur formal dan struktur naratif. Struktur formal teks WVHMM memiliki karakteristik bentuk tekstual satuan kebahasaan bercorak puitis yang mencirikan keberadaan teks WVHMM. Dimensi kesastraan mewujud secara emperis dalam satuan kebahasaan meliputi : bunyi, kata, frasa, klausa/kalimat, dan hubungan baris secara sintaktis sebagai satu kesatuan. WVHMM memiliki pengulangan pola-
227
228
pola, baik pengulangan kata maupun pengulangan frasa, juga memiliki kesamaan dalam tataran tertentu dengan pola formula Lord. Pengulangan pola formula itu berguna untuk menunjang kelancaran pelantunan syair-syair WVHMM yang disesuaikan dengan gerak tari dan lagu. Ditemukan kekhasan pola-pola formula dalam WVHMM meskipun tampil tidak teratur atau dalam pola matra yang sama seperti yang dikemukakan oleh Lord, namun tetap menunjukkan keteraturan karena mempertimbangkan posisi dan irama. Keteraturan pengungkapan pola-pola itu dikemas dengan menggunakan berbagai gaya bahasa, baik gaya bahasa paralelisme maupun gaya bahasa kias yang sarat makna estetis yang menunjang keberadaan WVHMM sebagai wacana tradisi lisan bergaya sastra. Struktur naratif teks WVHMM dapat dilihat berdasarkan suasana hati yang mencakupi suasana hati tuturan dan suasana hati perspektif. Kedua struktur naratif tersebut sebagai penggambaran sikap, pandangan dan keadaan penutur sebagai guyub tutur dalam satu kesatuan masyarakat etnik. Dalam tautan itu dengan karakteristik teks dan konteks sosial budaya etnik Rongga yang melatarinya, WVHMM mengemban berbagai fungsi. Fungsi tersebut sebagai media untuk menyimpan dan memberikan informasi realitas budaya masa lalu berkenaan dengan ajaran etika moral yang mewujud secara emperis dalam fungsi manifes dan fungsi laten. Dalam kenyataannya, bentuk tekstual yang tampak secara fisik dalam struktur permukaan (surface structure) yakni fungsi manifes yang diperani oleh fungsi referensial, fungsi emotif, fungsi konatif, dan fungsi puitik sebagai dimensi fungsi yang paling menonjol. Mencermati karakateristik struktur dalam (deep structure), fungsi laten yang
229
diperani WVHMM adalah sebagai pranata religius, sistem pengetahuan, sarana pemersatu, sarana kontrol sosial, sarana pendidikan, sarana ekonomis, dan media hiburan. Teks WVHMM sebagai dokumetasi tradisi lisan merupakan wadah untuk mewahanai dan melestarikan peristiwa sosiokultural masa silam. Teks WVHMM sarat dengan makna filosofis sebagai pedoman bagi etnik Rongga dalam menapaki ziarah kehidupannya sebagai manusia dan anggota masyarakat. Guratan makna filosofis teks WVHMM bersifat multidimensional karena tercerap dalam satu kesatuan dengan makna religius, sosiologis, ekonomis, historis dan identitas, politis, estetis dan didaktis. Sesuai dengan keberadaan dan kebermaknaannya, mekanisme pewarisan WVHMM yang berlangsung selama ini bersifat alamiah dan non-alamiah. Mekanisme pewarisan alamiah dilakukan dengan unjuk libat tari dalam kegiatan pertunjukan vera. Mekanisme pewarisan nonalamiah diwahanai melalui pelatihan yang berlangsung secara tradisional dan bersifat sporadis berdasarkan kebutuhan tertentu yang bersifat temporal.
9.2 Temuan Dengan merujuk pada hasil penelitian yang telah dipaparkan dan dijelaskan dalam beberapa bab sebelumnya, berikut dipaparkan dan dijelaskan beberapa temuan penelitian yang menampilkan dimensi kebaruan dan hubungan yang bersifat dialektis. Temuan penelitian yang dipaparkan dan dijelaskan dalam bab ini ditelaah dari aspek teoretis (temuan teoretis), aspek metodologis (temuan metodologis), dan aspek empiris (temuan empiris), yang dapat dideskripsikan sebagaimana berikut.
230
9.2.1 Temuan Teoretis Secara teoretis, penelitian ini memadukan wilayah kajian sastra lisan dan ekspresi linguistik. Di samping aspek kesastraan, juga dibedah dan dielaborasi elemen-elemen linguistik struktur teks WVHMM. Kajian ini dapat dikatakan inovatif karena sepanjang pengetahuan penulis, penelitian sastra lisan dengan tetap menggunakan teori sastra, tetapi juga memanfaatkan kemajuan teori linguistik secara teritegrasi dan ekplisit belum ditemukan. Terkait dengan dimensi kebaruan dalam temuannya, kajian ini berpilar pada analisis struktur teks WVHMM dengan menggunakan paradigma analisis wacana kritis sesuai dengan paradigma yang dikembangkan oleh van Dijk. Secara dasariah, penerapan pendekatan ini bertujuan untuk membongkar aspek-aspek pembentuk struktur internal teks WVHMM sebagai satu kesatuan yang utuh. Aspek-aspek yang dimaksud berkaitan dengan daya lingual dan daya sastra sebagai perajut teks WVHMM. Dengan melihat sinergisitas berbagai unsur yang membingkai teks WVHMM, dapatlah disingkap secara komprehensif berbagai informasi budaya etnik Rongga yang tersembunyi di balik ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam teks WVHMM. Dalam penerapan teori, ada ketidaksesuaian antara penelitian ini dan teori Lord, yakni pola formula dan tema. Teks WVHMM yang dituturkan secara lisan tidak hanya didasarkan pada kaidah formula, tetapi lebih cenderung menggunakan fitur paralelisme, sebagai ciri khas bahasa ritual di kawasan Indonesia Timur, seperti yang diungkap oleh Fox (1974). Fitur paralelisme ini memegang peranan penting dalam merajut struktur teks WVHMM untuk menciptakan makna estetis
231
sebagai ciri yang paling menonjol. Meskipun teori Lord tidak sepenuhnya berlaku dalam teks WVHMM, teori itu telah memberikan sumbangan pemikiran dalam penelitian tardisi lisan. Sementara itu, tema yang dikemukakan oleh Lord yakni kelompok ide yang secara teratur digunakan pada penciptaan suatu cerita dalam gaya formulaik. Tema tersusun dari adegan-adegan yang telah ada dalam pikiran pencerita dan digunakan untuk merakit cerita itu (Lord, 1976a:68). Tema yang dimaksud oleh Lord tidak cocok dengan karaktersitik teks WVHMM. Hal ini
mungkin
disebabkan struktur WVHMM tidak panjang dan lebih cenderung menggunakan struktur yang paralel dengan membentuk pola formula tertentu sehingga tidak terjadi pengulangan. Sisi kebaruan dalam kajian fungsi mengacu pada pendapat Merton dengan memilah fungsi teks WVHMM atas fungsi manifes dan fungsi laten. Sepengetahuan peneliti kajian fungsi yang dilakukan oleh penelitian yang setipe dengan penelitian ini hanya pada kajian fungsi laten. Fungsi manifes yang identik dengan fungsi tekstual bergayut dengan telaah bahasa pada tataran permukaan sesuai yang dikemukkakn oleh Jakobson. Fungsi laten yang identik dengan fungsi kontekstual beraras pada fungsi tradisi lisan sebagaimana yg tersirat dalam pandangan Bascom dan Dundes. Oleh karena itu, kajian fungsi dalam penelitian ini lebih komprehensif.
9.2.2 Temuan Metodologis Dimensi kebaruan dalam aspek metodologis dalam penelitian ini ditandai dengan penggunaan pendekatan etnografis dialogis dalam perspektif emik.
232
Artinya, analisis fungsi dan makna teks WVHMM bersumber pada sudut pandang etnik Rongga sebagai pemilik dan penghayat teks WVHMM. Selain itu, pemahaman dari sudut pandang emik (native’s point of view) akan memperkaya wawasan peneliti tentang keberadaan tradisi lisan atau sastra lisan yang diteliti.
9.2.3 Temuan Emperis Secara emperis, dalam teks WVHMM ditemukan fenomena menarik sebagai kekhasan produk budaya etnik Rongga. Temuan menunjukkan bahwa secara dasariah konteks penuturan teks WVHMM berkenaan dengan pertanian, tetapi tidak banyak kosakata yang berkaitan dengan kosakata pertanian. Di antara kosa kata yang banyak digunakan dalam teks WVHMM adalah jagung (jawa) dan padi (pare) karena selain sebagai makanan pokok etnik Rongga, kedua tanaman tersebut adalah jenis tanaman yang diwariskan dari leluhurnya secara turun temurun. Selain itu, ditemukan juga kosakata babi (wawi) dan ayam (manu) karena keduanya banyak digunakan sebagi sarana persembahan utama dalam berbagai ritual, dan bersentuhan langsung dengan kebutuhan hidup sehari-hari etnik Rongga.
9.3 Saran Peran WVHMM dalam kerangka penanaman norma-norma dan nilai-nilai kehidupan bagi masyarakat etnik Rongga. Sehubungan dengan itu, di bawah disampaikan beberapa saran. Saran-saran tersebut adalah seperti di bawah ini.
233
1) Untuk Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur Disarankan kepada pihak Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur melalui beberapa instansi terkait, seperti Dinas Pendidikan dan Olahraga, dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan agar mencanangkan dan merancang program revitalisasi norma-norma dan nilai kehidupan yang terkandung dalam ritual vera dan WVHMM dalam suatu mekanisme program yang sistemis, terstruktur, dan sinergis dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat, termasuk LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan Lembaga Pendidikan Tinggi.
2) Untuk Masyarakat Etnik Rongga Disarankan kepada warga masyarakat etnik Rongga, baik generasi tua maupun generasi muda agar menjaga kelestarian budaya Vera dengan berbagai unsur terkait di dalamnya karena Vera merupakan aset budaya yang mencirikan identitas etnik Rongga sebagai suatu kelompok masyarakat berbudaya, meskipun dilihat dari besaran penduduknya termasuk etnik minoritas.
3) Untuk Lembaga Pendidikan Formal Disarankan kepada Lembaga Pendidikan Formal, khususnya jenjang pendidikan dasar di wilayah sebaran etnik Rongga untuk merancang model pembelajaran mata pelajaran Muatan Lokal dan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Etnik Rongga, dengan memanfaatkan bentuk lingual yang digunakan dalam Vera sebagai percontoh.
234
4) Untuk Peneliti dan Pemerhari Masalah Budaya Lokal Disarankan kepada kelompok peneliti dan pemerhati masalah budaya lokal untuk meningkatkan upaya pendokumentasian produk dan praktek budaya lokal etnik Rongga yang sudah berada di ambang kepunahan. Hal itu sebagai dampak dari gerusan arus balik globalisasi dan modernisasi, agar dapat hidup dan berkembang
pada
masa
sekarang
dan
masa
akan
datang.
Upaya
pendokumentasian itu sebagai salah satu bentuk pelestarian budaya lokal sebagai pendukung kekayaan budaya nasional.
235
DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 2000. ”Dekonstruksi dan Proses Pemaknaan Teks” Untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa. Dalam Kaswanti Purwo, Bambang (Ed), Kajian Serba Linguistik Jakarta: Gunung Mulia. Arka, I Wayan. 2004 Palatography in fieldwork setting: investigating and analysing alveolar continuant [r] and [ ] in Rongga. Dalam I Wayan Pastika dan I.Nyoman. Darma Putra (Ed), Wibawa Bahasa 40-50. Denpasar : Program Pascasarjana (S-2 – S-3) Linguistik, Universitas Udayana dan Bali Mangsi, hal 40-50 Arka, I Wayan. 2005 “Challenges and prospect of maintataining Rongga: a preliminary ethnographic report”. Dalam Ilana Mushin (ed) . Proceedings of the 2004 Conference of the Australian Linguistics Society. Arka, I. Wayan, dkk. 2007. Bahasa Rongga: Tatabahasa Acuan Ringkas. Jakarta. Penerbit Universitas Atma Jaya. Arka, I Wayan. 2010. “Maintaning Vera in Rongga: Struggle over Culture, Tradition, and Language in Modern Manggarai, Flores, Indonesia”. Dalam Margaret Florey (ed) Endangered Languages Of Austronesia. Oxford University Press, hal 90-109 Arka, I Wayan. 2012. Kamus : Bahasa Rongga-Indonesia dengan Pelacak Kata Bahasa Indonesia-Rongga. Jakarta. Penerbit Universitas Atma Jaya. Arka, I Wayan. 2013. “Language management and minority language maintenance in (eastern) Indonesia”: Strategic issues. Language Documentation and Conservation,7:74-105. Arya, I Nyoman, 2008. “Semantic Typology : Semantic of Locative Relation in Rongga”. Submitted to the Departemen of Linguistic and the Graduate Faculty of the University of Kansas in partial fulfillment the requirement for the for the degree of master arts. Badrun, Ahmad.2003. “Patu Mbojo” : Struktur, Konteks Pertunjukan, Proses Penciptaan, dan Fungsi. (Disertasi). Depok: Ilmu Pengetahuan Budaya Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Barker, Ch. 2004 Cultural Studies : Teori dan Parktek. Diterjemahkan oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta.
236
Barker. Ch. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Diterjemahkan oleh Tim KUNCI Cultural Studies Center. Yogyakarta: Bentang Budaya. Bascom, William R. 1965ª “Folklor and Anthropology” dalam Alan Dundes The Study of Folklor. Englewood Clifft : Prentice Hall Inc. Bascom, William R. 1965b. “Four Functions of Folklor dalam Alan Dundes The Study of Folklor. Englewood Cliff Prentice Hal Inc. Bauman, R. 1977. Verbal Art as Performance. Prospect Heights, Illinois: Wafeland Press. Bauman, R.1992. “Performance”. Dalam Bauman Richard (Ed). Foklor, Cultural Performance, and Popular Entertainment. New York : Oxford University Press, Ben-Amos, Dan. 1992. “Fokltale”. Dalam Richard Bauman (Ed). 1992.Folklore, Cultural Performance and Popular Entertainments. New York : Oxford University Press. Bourdieu, P. 1977. Outline of Theory of Practice. Cmbridge University Press Bungin, B. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana. Brunvand, Jan Harold. 1968. The Study of Amercian Folklore. New York: W.W. Norton & Company Inc. Bustan, Frans. 2005. Wacana Budaya Tudak Dalam Ritual Penti Pada Kelompok Etnik Manggarai, di Flores Barat : Sebuah Kajian Linguistik Kebudayaan. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Udayana. Chaer, Abdul. 2011. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. (Edisi Revisi). Jakarta. Rineka Cipta. Cook, G. 1994. Discourse and Literatur : The Interplay and Mind. Oxford : Oxford University Press Danandjaya, James. 1991. Foklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta: Temprit. Danesi, Marcel. 2012. Pesan, Tanda, dan Makna : Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. (diterjenmahkan oleh Evi Setyarini dan Lusi Lian Piantari). Yogyakarta : Jala Sutra.
237
Djawanai, Stephanus, 1995. “Tata Bahasa Teks Lisan Bahasa Ngadha”. Buletein Humaniora Edisi II.Yogyakarta UGM Dhavamony, M. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakrta.Kanisius. Dundes, A. (ed). 1965. The Study of Folklore. Englewood Cliff: Prentice Hall. Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology: A Reader. Massachussets: Blackwell. Endraswara, S. 2009. Metodelogi Penelitian Folklor : Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta, Medpress Eco, U. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press. Eco, U. 1986. Semiotic and the Philosophy of language. Bloomington: Indiana University Press. Eco, Umberto. 1992. “Sebuah Pengantar menuju Logika Kebudayaan” Dalam Serba-serbi Semiotika. Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (Ed). Jakarta:Gramedia Pustaka Utama. Eriyanto, 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS Fairclough dan Wodak 1997 “Critical Discourse Analysis” dalam Teun A.Van Dijk (ed.), Discourse an Social Interaction: Discourse Studies a Multidisciplinary Intruduction. Vo 2 London:: Sage publication. Faisal, S.1990. Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang:Yayasan Asih Asah Asuh Finnegan, Ruth. 1997. Oral Poetry: Its nature, significance and Social Context. London-New York: Cambridge University Press. Foley, John Miles. Foley, John Miles. 1981. “The Oral Theory in Context”, Dalam John Mile Foley (Ed.) 1981. Oral Tradition Literature. Colombus: Stavica Publishers. Foley, John Miles. 1986.Oral Tradition in Literature : Interpretation in Context. London.Cambridge University Press. Foley, W.A.1997. Anthropological Linguistics: an Introduction. Oxford : Blackwell. Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Djambatan.
238
Fox, James J. (ed). 1997. The Poetic Power of Place: Comparative Perspectives On Austronesian Idea Of Locality. London.Cambridge University Press. Fox, James J. 1974. Our Ancestors Spoke in Pairs in J Scherzer (ed), Eksplorations in the Etnography: of Speaking 65-85. Cambridge University Press Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra, dan Sejarah : Kumpulan Karangan mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta : Penerbit Djambatan. Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Geertz. Clifford. 2001. “Agama Sebagai Sistem kebudayaan” Dalam Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama. Daniel L. Pals (Ed). Diterjemahkan oleh I.R Muzir dan M. Syukri Yogyakarta : IRCISoD Grimes, Barbara. 1997. “Knowing your Place, Representing Relations of Precedence and Origin on The Buru Landscape, J.J.Fox (ed), The Poitic Power of place: Comparative Perspectives on Austronesian Idea of Locality :116-31. Canberra: Departement of Anthropology, Research School of Pasifik and Asian Studies, Australian National University. Haliday, 1997. Exploration in the function of Language. London : Edwar arnold Haliday, M.A. K. dan Hasan 1989. Language, Context, and text : aspects of Language in a Social-Semiotic Perspective. Geelong: Deakin University Press. Haliday, M.A.K dan Hasan R. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial.Diterjemahkan oleh Asrudin Barori Tou dan M. Ramlan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hasan, R. 1989. Lingusistics, Language, and Verbal Art. Victoria:Deakin University Hesselgrave, D. J. dan Edward, R. 1996. Kontekstualisasi, Makna, Metode, dan Model. Diterjemahkan oleh Stephen Suleman. Jakarta: Gunung Hoed, Beny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial.Jakarta Komunitas Bambu Hidayah, Zulyani. 1999. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES Hutomo, Sadi Suripan. 1991. Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Jawa Timur: HISKI. Hutom, Sadi Suripan. 1993. Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban. Jakarta: P3B
239
Jakobson, Roman. 1992 ”Linguistik dan Bahasa Puitik”. Dalam Serba-serbi Semiotika. Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (Ed). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kaplan, David. Dan Albert, A.M. 1999. Teori Budaya. Diterjemahkan oleh Landung Simatupang. Yogyakarta : Pusat Pelajar Keraf, Gorys. 1999. Diksi dan Gaya bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Koentjaraningrat, 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Kleden, Ignatius, 1996. Pergeseran Nilai Moral, Perkembangan Kesenian dan Perubahan Sosial. Kolom 8, 5-6 Kosmas, Jeladu. 2008. Sintaksis Bahasa Rongga. Disertasi Program Doktor Linguistik Pasacasarjana Universitas Udayana Kutha Ratna, I Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga Posstrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Levinson, S.C. 1989. Pragmatics. Cambridge : Cambridge University Press. Leech, G. 2003. Semantik. Diterjemahkan oleh Paina Partana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Levi-Strauss, C.1963. Structural Anhtropology. Translated by Claire Jacobson and Booke Grundfest Schopf. New York: Basic Books. Levi-Strauss, C. 1970. The Savage Mind. Chicago: The University of Chicago Press. Lord, Albert B. 1976a. The singer of Tales. New York: Atheneum. Lord, Albert B. 1976b. “The Traditional Song”, dalam Benjamin A. Stolz dan Richard S. Shannon (ed) 1976:1-5 Moleong. Lexy J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Muhadjir, Noeng. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif: Telaah Positvistik, Rasionalistik, Phenomenologik, Realism Metaphisik. Yogyakarta: RakeSarasi Ochs, E. 1988. Culture and Language Development: a Language Acquisition in a Samoan Village. Cambridge: Cambridge Unive rsity Press.
240
Pals, D. L (Ed). 2001. Dekonstruksi Kebenaran : Kritik Tujuh Toeri Agama. Diterjemahkan oleh I.R. Muzir dan M.Syukri. Yogyakarta: IRCISoD. Parera, J.D. 1990. Teori Semantik. Jakarta : Erlangga Paulus, Nggoi, 1993. Pandangan Hidup Orang Rongga Menjadi Lokus Evangelisasi Gereja. Skripsi Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa EndeFlores. Porat, dkk, 1997.Strukutr Bahasa Ngada Dialek Rongga.Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Pudentia, M. P. P. S. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi Analisis Strata Norma dan Analisis Strukturaldan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Preminger, Alex (ed).1974. “Semiotics” Encyclopedia of Poetry and Poetics. Princeton : Princeton University Press Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi multikultural. Surakarta Universitas Muhamadyah. Ricoeur, Paul. 1996. Interpretation Theory. Discourese and Surplus Meaning. Diterjemahkan oleh Haniah. Jakarta: Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaa. Robot, Marsel, dkk. 1997. Kajian Tola Kaba : Sastra Lisan Manggarai. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sairin. Sjafri, 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Yogyakarta : Pustaka pelajar. Se, Robertus dkk. 2011. Karakteristik Sistem Ekonomi dalam Realitas Sosial Guyub Budaya Rongga. Hasil Penelitian Sedyawati, Edi. 1996. Kedudukan Tradisi Lisan dalam Ilmu-ilmu Sosialdan Ilmuilmu Budaya. Dalam Warta ATL, Jurnal Pengetahuan dan Komunikasi Peneliti dan pemerhati Tradisi Lisan. Edisi II/Maret/1996 Jakarta Sibarani, Robert.2012. Kearifan Lokal : Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta. Diterbitkan oleh ATL. Segers, Rien T.1978. The Evaluation of Literary Texts. Lisse: The Peter de Ridder Press.
241
Sims. Martha C, dan Stephens Martine.2005. Living Foklor : an Introduction to the Study of People and their Tradition. Utah State University Press. Simatupang, Lono.2013 Pergelaran : Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya. Yogyakarta : Jalasutra. Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Pengantar Amri Marzali. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sobur, A. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung PT Remaja Rosdakarya. Strauss, Anselm dan Juliet Corbin.2003. Dasar-dasar penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoritisasi data. Yogyakarta: Pustka Pelajar Sudikan, Setya Yuwana, 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Unesa Unipress bekerjasama dengan Citra Wacana Sujiman, Panuti dan Zoest, Aart Van. 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sumarlan, editor. 2008. Analisis Wacana : Iklan, Lagu, Puisi, Cerpen, Novel, Drama. Surakarta. Penerbit Buku Katta. Sumitri, Ni Wayan. 2005. “Ritual Dhasa Jawa Pada Masyarakat Etnik Rongga, Manggarai, Nusa Tenggara Timur”. Tesis Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar Sumitri, Ni Wayan dan Arka, I Wayan. 2013. Folklor Ritual Vera dari Etnik Rongga Flores : Jendela Kini untuk Masa lalu dan Masa Depan dalam Endraswara, Suwardi dkk. (ed) Folklor dan Folklife dalam Kehidupan Dunia Modern : Kesatuan dan Keberagaman. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Sumitri, Ni Wayan. 2013. “Harmonisasi Estetis dan Komoditas Seni Tradisi Vera Etnik Rongga”. Makalah disajikan dalam The 5th International Conperence on Indonesian Studies 2013. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas IndonesiaTanggal 13--14 Juni 2013 di Yogyakarta. Sumitri, Ni Wayan. 2013. “Bahasa Vera : Sebagai Pengungkap Pola Pikir Etnik Rongga di Manggarai Timur, NTT”. Dalam Katubi dan Patji (ed) Prosiding Seminar Nasional Bahasa Dalam Dimensi Kemasyarakatan dan Kebudayaan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta. Suparsa, I Nyoman.2008. Fonologi Bahasa Rongga Sebuah Kajian Transformasi Generatif. Disertasi Doktor Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana
242
Sweeney, Amin. 1987. A Full Hearing. London, England: University of California Press. Tarno, dkk. 2009. Pemakaian Skema Citra Kinestetik sebagai Sumber Peregangan Metafora Nominal dalam Guyub Tutur Rongga di Kabupaten Manggarai Timur. Hasil Penelitian. Taum, Yoseph Yapi. 1999. Sastra dan Bahasa Ritual dalam dalam Tradisi Lisan Masyarakat Flores Timur. Dalam Rasmanto, B dan purwo, B. Kaswanti (ed) Sastra Lisan: Pemahaman dan Intrepretasi. Jakarta : Mega Media Abadi Teeuw.A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya-Girimmukti Pasaka. Tuloli, Nani. 1990. Tanggomo Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta: Intermasa. Ochs, E. 1988. Culture and Language Development: a Language Acquisition in a Samoan Village. Cambridge: Cambridge University Press. Van Dijk, Teun A. 1985a. Handbook of Discourse Analysis. Volume1. Disciplines of Discourse. London: Academic Press. Van Dijk, Teun A. 1985b. Handbook of Discourse Analysis Volume 2. Dimensions of Discourse London : Academic Press. Van Dijk, Teun A. 1985 c. Handbook of Discourse Analysis.Volume 3. Discourse and Dialogue. London: Academic Press. Van Dijk, Teun A. 1985 d.Handbook of Discourse Analyisis Volume 4. Discourse Analysis in Society. London: Academic Press Vansina, Jan. 1985 Oral Tradition as History. Wisconsin:The University of Wisconsin Press Verheijen, A. J. 1991. Manggarai dan Wujud Tertinggi. Jilid I. Jakarta: LIPI-RUL. Zoest, Aart Van. 1993 Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1977. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.
243
Lampiran: 01 GLOSARIUM Ana eko Ana haki Ana fai Ana Ulu Daghe Embu Nusi Ja’o Jawa Manu Mbasa wini Mbata ndale Ndeta Ndili Ngga’e Nggua mezhe Nggo lau tolo Ngilo ura manu Noa lako Pani Pare Posa jara
Posa pata
Putu lelu
Sa’o lamba Tangi jo Ti’i ka Tetendere
: Penari perempuan berada pada posisi paling ujung akhir : Pihak saudara laki-laki dari ibu : Pihak saudara perempuan dari ayah : Anak kepala /Penari perempuan sebagai pengatur barisan berada pada barisan paling depan : Penari perempuan : Roh leluhur : Saya : Jagung : Ayam : Memerciki bibit dengan darah korban (ayam dan babi) : Acara menyanyi bersama yang diiringi dengan pemukulan gong dan gendang : bawah : atas : bawah : Acara periwayatan sejarah asal-usul suku yang melaksanakan pertujukan vera : Kenduri atau pesta besar : Tempat khusus untuk menyimpan gong dan gendang : Pemeriksaan hati ayam : Seorang laki-laki dewasa berperan sebagai pemimpin dan pemandu tarian vera : umpan : Padi : Seorang woghu (penari laki-laki) mengemban tugas khusus untuk melantunkan syair-syair vera memberi aba-aba tari dalam tarian vera : Seorang woghu (penari laki-laki) mengemban tugas khusus untuk melantunkan syair-syair nyanyian yang dibalas noa lako : Pertunjukan vera pada saat orang meninggal berlangsung di halaman rumah adat selama empat hari : Mengesahkan atau meresmikan rumah baru sebagai rumah adat : Tarian penutup sebagai tanda berakhirnya tarian vera : Pemberian makanan kepada roh leluhur : Bagian pembukaan
244
Tora loka
Vera Vera dheke ra’a Vera dheke sa’o
Vera gha’u gha’a
Vera haemelo
Vera maki polo Vera mbuku sa’o Vera saju Vera sarajawa Woghu
: Acara pembersihan arena dari gangguan roh-roh jahat dan sesama manusia agar tarian vera berjalan lancar dan suskes : Pertunjukan tarian diiringi dengan nyanyian tradisional etnik Rongga : Pertunjukan vera yang dilaksanakan untuk memulihkan nama baik seseorang : Pertunjukan vera yang dilaksanakan berkaitan dengan keberhasilan membangun rumah adat yang baru : Pertunjukan vera untuk ditonton, biasanya untuk penyambutan tamu, peresmian gedung baru, peringatan hari rayan besar dan lain sebagainya : Jenis vera gembira yang dilaksanakan etnik Rongga untuk menyampaikan ucapan syukur kepada Tuhan dan roh leluhur atas penyelenggaraan terhadap kehidupan mereka sebagai manusia dan masyarakat. : Vera yang dilaksanakan di pekuburan : Vera yang dilaksanakan pada musim tanam : Jenis vera haemelo yang dilaksanakan apabila terjadi peristiwa aneh : Jenis vera sedih yang dilaksanakan apabila ada orang yang meninggal dunia seperti kepala suku : Penari vera laki-laki
245
Lampiran : 02 Data Acuan Analisis
Teks Pembukaan : Pau Manu : Pengucapan Mantra Beri Makan Leluhur 1. Renge meu embu nusi, ndia kami dhete manu dengar kamu nenek moyang, sekarang kami pegang ayam Nunu meu ramba tau ti’i, kamu meu bhate beritahu leluhur supaya buat beri makan kamu semua 2. Meu embu woso, kami ngge ndiwa nge kamu leluhur banyak kami itu tidak bisa Ire mona mona ngala, li ma’i kaheke manu ndia bantah tidak tidak bisa, ayo datang makan daging ayam ini 3. Ramba ma’e menge bhate meu embu woso supaya jangan lapar semua kamu leluhur banyak Dhengi ne kami ana embu woso minta dengan kami anak cucu banyak 4. Li ti’i ko rebha, bhagi ko pawa ayo beri yang baik, bagi yang baik juga Ndoa one uma, mae nduta pergi ke kebun, jangan ada rintangan 5. Nuka one sa’o, karo mae roi pulang ke rumah, duri jangan kena duri Sambu ata bho menggi polo wrha mungkin orang irihati cemburu dan dengki Setan 6. Sambu ata bho, menggi polo wrha rase mata mungkin orang cemburu, dengki setan ibuang jauh Mala a....a.....a.....a.....a.....a.....a ya ...a....a...a...a...a...a 7. Ndia tara dhete, kau manu Ini sebab pegang kamu ayam Tau nunu meu, embu nusi mau beri tahu kamu para leluhur 8. Komba ndia kami, tau adha malam ini kami buat upacara Ko adha kau mbasa wini upacara mbasa wini
246
9. Ramba tau nggoti, ne mula bhate on supaya mau tanam (biji-bijian) dan tanam semua di kebun e uma kami, one uma kami di kebun kami, semua di kebun kami 10. Dhengi ne kami, mae sama po’o minta dengan kami, mari sama-sama duduk ka nake manu ndia makan daging ayama ini Pembukaan Mbata Tahapan Nggo Lau Tolo (Gong disimpan) 11. Nggo lau tolo, lau tolo wonga gong disimpan, disimpan pada tempatnya Sese ana manu , ana manu kero kuning anak ayam, anak ayam kuning II Inti Tora Loka :bersihkan arena 12. o ...a......o ....songgo bondo nggelu bondo ....................pinjam lumbung kembali lumbung/pinjam padi satu lumbung kembali satu lumbung juga o.....a.........nggelu walo ndeka rhua kembalikan dua kali lipat 13. o..... a......o songgo kamba nggelu kamba Pinjam kerbau kembali kerbau o.......a......o wiko wolo sama-sama ukuran sama-sama besar Nggai : Sejarah riwayat suku 14. Motu weak ndili mai, weak ndili mai Jawa nama-nama turun datang nama turun datang Jawa Motu weak yang datang di sana adalah motu weak yang berasal dari Jawa Rajo ngazha milo motu, tu ndele Sarikondo perahu nama milo motu, tanah utara Sarikondo perahu mereka disebut Milo berlabuh di sarikondo 15. Sarikondo mosa me’a, tei motu stana mezhe Sarikondo sendiri sangat dikenal dan pertumbuhan motu sangat besar Motu woe limazhua, embu me’a Sunggisina Nama teman tuju, nenek sendiri nama Sunggisina Motu adalah tuju bersaudara, keturunan dari Sunggisina
247
Motu wae limazhua, beka sogho wae kodhe nama teman tuju, pecah sebab air kera Motu adalah tujuh bersaudara tetapi mereka terpecah belah karena berjuang memperebutkan sup kera 16. Uma rhele ghembe uma merhe lahan /kebun di lereng kebun besar Nara ma’e lere dhuku kumba olo merhe Saudara jangan lengah jangan sampai rumput lebih besar 17. Su’a kuku gheli wera pengga hoa wini kayu kukuu (sejenis kayu keras untuk menanam padi/jagung) saudara tikam untuk tanam bibit Nara wetu jomi weta, nggoti do ndomi saudara tajamkan ujungnya saudara tanam lebih cepat /ngebut 18. Mbali azi Rani mai mbana Mbali adik Rani, datang meramaikan. Rae ka’e lawe, lawe mai mbana Rae kakak Lawe, Lawe datang meramaikan 19. Ngguru tara woso,woso arhi woso ka’e aur (bambu hutan)ranting banyak,banyak adik banyak kakak Besi singga lina, lina riwu lina ngasu kesukuan dan persaudaraan menjadikan kita satu himpunan yg besar 20. Jara mosa bhara, posa jara ngarha kuda jantan putih, katanya kuda ternama Peko maju pengga, mbau-mbau pengga kejar rusa mau tikam, tidak jadi tikam 21. Maghi Kopambaja, Kopambaja maghi randa lontar Kopambaja(nama tempat), lontar lebat daunnya Nganda ghi, ndeta toa ghele ghoma lihat rangke atas potong sulit sekali 22. Embo sosa ndau, lau wiri nanga ombak berbunyi, di laut batas pantai Meti ndili seli meti reta wiri penda surut/kering surut di bawah, gelap surut berhenti dibatas pandan 23. Mbawarani nggana, rie pimbe inerie Bintang pagi berdampingan, dengan gunung Inerie Bhutu ndala nu, rie pimbe Inerie muncul bintang lain, berdampingan dengan Inere
248
24. U napu nio nio mboko tei mbua sangat terkenal, terkenal himpunan kelapa buahnya gugur mbua mboko mbiwa mbiwa naa li’e gugur buah muda tidak, tidak simpan buah 25. Sambi waja radha weo, mona nendo sambi keras sekali digoyang, tidak tumbang Wara tumbu kembi, ate mona leli topan menghantam dinding, hati tidak gentar 26. Uma kopo longgo longgosa’o, ngedho tewu pekarangan belakang rumah, lihat tebu Nara la’a dhiri pagha rura, ko kelo sala pemuda jalan pinggir pagar, buat salah 27. Nggote ko nio, setoko mona ndoa kasihan kelapa satu batang saja tidak punya kembar Mudha ngata muku, ne ana pimbe ine untung sipisang, ada anak menemani mama 28. Mbe’o mbe’o pau ja’o sadho maru ndau sudah tahu, saya tiba sore itu Ika kima ndia ja’o hadho maki lako ikan siput ini saya buang kasi anjing 29. Peko lako lau, kau ma’e tolo paru kejar anjing di sana, kau jangan sembarang lari Peko lako rhele, kau ma’e tolo hewe kejar anjin di atas, kau jangan sembarang dengar 30. Jawa sowo bhara, sembo’e rheta one jagung kulit putih, seikat dalam rumah Pembe sesewe tungga, pere maki tenge rendang/goreng setembikar, khusus makan untuk sendiri 31. Mbako ghembe kende, wunu ghebhaghe Tembakau tebing Kende, daun lebar-lebar Keti sewunu, mbingu toto riwu Petik sehelai, gila semua orang 32. Lako kolo rongo, ndau lau wena watu anjing gonggong kambing, itu di sebelah batu Tibo miri kembi, ndau lau wena watu kambing sandar dinding, itu di sebelah batu
249
33. Nggurumoma ndia rongga, longgo pangga lima rhua Nggurumoma (nama orang) di Rongga, punggungnya selebar tujuh jengkal Mbu’e mbila mena Kenge, longgo pangga limarhua Mbu’e Mbila (isteri Nggurumoma) di Kenge punggungnya selebar tujuh jengkal 34. Watu susu rongga rhua ndoa ndoa rhua batu susu rongga(naa batu di gunung Komba,) dua berpasangan berpasangan dua Leke ema Komba rhua ndoa ndoa rhua Menetap bapa komba, berpasangan berpasnagan dua 35. Ere- ere eje eje, du nde tunggu-tunggu semangka semangka, sampai kapan Napa- napa ndaka ndaka du mata tunggu-tunggu mendike mendike (sejenis mentimun), akhirnya mati Ingkar janji 36. Teo resi kanda , teo ja’o ngedo gantung sisa keranjang, gantung saya lihat Ambo pinga pao, ambo ja’o pango Gantung sisa keranjang, gantung saya lihat 37. Nggote nunu merhe, nggote nunu kasihan beringin besar, kasihan beringin Ana embu la’a, lerha nde jono mawo nde anak cucu jalan panas, berteduh di naungan mana 38. Ame- ame upe ine mona ana Si piatu, mama tidak punya anak Nda’a dhorho mbata, mbata nda’a so cabang menjorok laut, laut cabang tada 39. Nangge lau alo, lau alo nangge halo pohon asam di kali, di kali asam piatu Ko’e serotu. Sekumpulan serotu ko’e sendu sisa sekumpulan kecil sisa tunas 40. Nggoe nggina nggoe, ma’e nggoe jatuh jatuh, jangan jatuh Tudharaja bhuja , ndawi wake wali tombak ingin berdiri lagi
250
41. Ana halo pae, pae pine tona yatim piatu miskin, miskin tanta berkekurangan Ana halo pae , pae ema tona yatim piatu miskin, miskin bapa berkekurangan 42. Ana halo pae, raku ne arhe waru yatim piatu miskin, jahit pakai tali waru Ana halo pae dhepe , ne arhe tere yatim piatu miskin, jahit pakai tali sukun hutan 43. Kowa ko sapa lau lema lema lau sampan sederhana di laut, sampan di laut lepas Tewa laja lewa, ramba pere angi merhe kibar layar panjang, supaya terlindung dari angin besar 44. Ngamba ele lewa, ja’o pale kiru tole jurang biar panjang/dalam, saya mendaki melereng Tiwu ele lema, ja’o nangu kiru watu kolam biar dalam, saya berenang dekat batu 45. Kowa saka sapa lau lema lema lau sampan kecil bonceng sampan di laut lepas Poke watu nodho kau mona sei sodho buang batu permohonan engkau tidak ada yg beri 46. Kowa saka sapa lau lema lema lau perahu kecil bonceng sampan di laut lepas Wesa mani lai tenge tuu tuu tenge dayung begitu lincah sendiri betul betul sendiri 47. Lerha mbo mena mbena , sama mbesi wonga romba matahari terbit di mbena, seperti bunga kastela pagi hari Lerha ko’e ghoru , maru kau wonga meupau matahari sebelum sore, bungamu kastela terlanjur layu 48. Heu lau redhu , wunu penggu melu pinang di tempat yang menurun, daunnya pura-pura layu Sadho wara angi, wunu ngeta wali datang angin kencang daunnya segar kembali 49. Ika sara kiku, penggu me’u me’u penggu ikan sara kiku, pura- pura tidak mau Ika ana mbawu, ndai fonga wali ikan anak belana ingin jadi lagi
251
50. Lo resi mbojo, mudha ngata lima lua badan gerimis cape untung orang tangan rambut Weki resi semi, mudha ngata lima lua badan gerimis cape untung orang tangan rambut 51. Mbu’e Mbero gheno lau, gheno lau ghae gadis kampung Mbero gheno sana, Gheno sana Hongga Watu ata , kau radho rheleLando pemuda Watuata, kau duduk santai di Lando 52. Nunu po poso po, poso nunu merhe beringin hutan gunung, hutan gunung beringin besar Embu la’a lerha, jono rhele mawo merhe anak cucu jalan, panas terik matahari 53. Uma lange rhua ma’e nggari ma’e kadhi kebun yg berbatasan, jangan lewat jangan kesebelah Tunu manu kau ka, sande uma lange bakar ayam kau makan berikan juga kepada kebun yang berbatasan 54. Loka jere olo, olo horha loka tempat/arena yg rata di depan, di depan tengah depan arena Watu ture tana, tana tendole batu tersusun bersama dan dilapisi tanah 55. Kau- kau ja’o, kau mendu sei kau- kau saya kau bukan orang lain Kau- kau ja’o , kaju jawa mendu ata kau- kau saya kayu jawa bukan orang lain 56. Ndala ndau ndeta, ndeta ndala ndoa bintang di atas sana, atas sana bintang kembar Seke ndia lima, ndia lima seke ndake gelang/perhiasan di tangan bertingkat-tingkat/kembar 57. Koru mbutu , peni manu foke mojo ma’e tawa keluarkan manik- manik , beri makan ayam kerongkongan lucu jangan tertawa Nggedo demi doe, foke mojo ma’e tawa Nggedo minum seteguk kerongkongan lucu jangan tertawa 58. Tepo ndili po, mara ngo’i sedho tepo ( nama burung ) di bawah hutan, semua berkicau sedih More kaju ala, kio mara renge mengeluhkan penderitaan, berkicau ramai- ramai
252
59. Maghi lau wio maghi lewa pohon lontar di Wio ( P.Sumba ) pohon lontar tinggi Radhi toko lelu, radhi wa’i tangga batang kapas tangga kaki 60. Mbere rie- rie, rie kombere tas/ keranjang lurik-lurik, lurik tas/keranjang Kele kasa, nanggo kele wa’o gantung di samping, lengan gantug cocok 61. Nggote ana lobu , nggote lo kasihan lumba- lumba ( ikan ), kasihan badan La’i lema mbata, la’i sala jilat lemambata ( sejenis kerang ), jilat salah 62. Ndili no ndele moe kowa palo rajo bawah dan atas, seperti sampan beriringan dengan perahu Ndeta no ndale, moe bondo wa’u waju atas dan bawah, seperti lumbung (tempat simpan turun tumbuk 63. Maghi Poma Sambi , tau ngambu nana wati lontar Poma Sambi (nama tempat), lumayan buat ayam bakul Maghi Poma Merhe tau ngambu nana mbere lontar Poma merhe (nama tempat), lumayan buat ayam keranjang 64. Maghi Poma Sambi maghi lewa lontar sambi lontar panjang Hebe arhe embe rheta kera mboru ngera tali panjatan(hebe) dari embe (nama tumbuhan bertali yang biasa digunakan untuk ikat pagar, panjat pinang di atas puncak terlepas jatuh 65. Iu pale sighu melo, lombo embo ikan iu berkeliaran/ramai berkejar-kejaran, karena gulungan ombak Embo lana gheo, ena tuku tendo ombak pasang menghempas pasir berserakan 66. Nderu tenggu- tenggu lau lema lau Bunyi guntur bersahut- sahutan, di laut lepas Nurha re- re, ndele poso merhe Hujan kedengan bunyinya, di atas gunung besar 67. Keka Lekosui, keka kea burung kakatua Lekosui (nama tempat) kakatua ribut Nggo’a tara nganga, nggo’a legho hinggap di ranting nganga(nama pohon), hinggap sampai rantingnya melengkung
253
68. Embo lau numba, embo tumba ombak di laut numba(nama tempat), ombak besar Li sara mboro, li rhenge bunyinya menggelegar, bunyi kedengaran 69. Mbata so sa, mbata mbale bunyi ombak, menggelegar bersahutan Ture watu lamba turetepe perintang batu(susunan batu) disusun rapi 70. Soka loka ena nggeo ghere gheo bongkar tempat pasir(pantai), kepiting ancang- ancang mendekat Peka pondo loko, nete ghere ghe rebus periuk besar, siput menghindar 71. Tibho lau wio tibho milo kambing di laut Sumba, kambing gagah Bhara tuka lirhu, bhara bengge putih perutnya, putih bulat- bulat 72. Bha ndili Jawa, bha bhara piring di sana Jawa, piring putih Mako lau wio, mako milo piring di sana Sumba piring bersih 73. Lako mosa toro, ndai tendu longgo anjing jantan merah, ingin ikut dari belakang Walo pita sa’o, tana eko mbiwa mbe’o kembali ke rumah tanya ekornya tidak tahu 74. Mbesi mena Mbena, sama mbesi wonga romba kastela di Mbena seperti kastela berbunga pagi hari Lerha tangga rheta, sewunu melume’a matahari beranjak tinggi sehelai daunnya layu sendiri 75. Paru meti lau, mbodha ine ngata si’e pergi ke pantai, menangkap ikan musti ada garam untuk mengawetkannya Ghambo lako rhale mbodha ine ngata si’e berburu anjing di sana( arah barat ), musti ada garam 76. Jara moka toro, ndedho ndai ndai ndedho kuda betina muda merah, lari ingin ingin lari Ndai pami arhi dhepa, longgo mojo bholo ingin cari perhatian raba punggungnya rasa lucu
254
77. Jara mosa bhara, raru peko maju kuda jantan putih, sangat bersemangat kejar rusa Langa kara, mesi wa’i to teki pasang kekang baru, kaki angkat turun- angkat turun 78. Topo lira mbao ra’a mbiwa ra parang kilatan dara tidak turun Wara tumbu kembi, ate mbiwa leli angin kencang menghantam dinding hati tidak gentar 79. Nggoti uma Nggoli wawi ka, manu ka tanam kebun Nggoli daging babi dimakan, daging ayam dimakan Ndua uma Waru wawi ka manu ka pergi kerja kebun Waru daging babi dimakan, daging ayam dimakan 80. Tambiraja tana Mana nua ngamba kana tambiraja dan Mana(namatempat) kampung jurang semua Serha Waru Pede sele kami wae sehra, Waru, Pede(nama tempat) sili air mau lewat 81. Bhaso Mboparho Waerena, napa peka bhaso Mboparho(nama tempat) Waerena(nama tempat), sudah tunggu Wete Sambilele Waerena, napa peka berhalangan Sambilele (nama tempat) Waerena sudah tunggu 82. Seku- seku sebha sebha randanganga nama tempat, Sebha Randanganga Sebha Randanganga sele, kasa nde sebha randanganga sili bagian mana 83. Jo ngodho Mboro Mboro Ndeki tei Mendaki dari Mboro(nama tempat), Mboro gunung Ndeki kelihatan Tei Posokota kota, Enga Bangga Kelihatan Poso kota (nama tempat) dan Enga Bangga (nama tempat) 84. Tero nee Nelo mbodha wo’a Waepoa tero dan Nelo(nama tempat), musti sumur Waepoa (nama tempat) Watu api Waelai mbodha wo’a Waepoa watuapi Waelai (nama tempat), musti sumur waepoa 85. Kasimbolai , raka nata kasimbo(nama tumbuhan), dijadikan siri Tere pale nggoma raka nggobha tere pale nggoma (nama tumbuhan), dijadikan pinang
255
86. Hongga lari- lari, lari huki sapi pemuda gantang- ganteng, ganteng karena kulit sapi Mbu’e milo- milo, milo wae nio gadis cantik cantik, cantik karena air kelapa/santan kelapa 87. Kolo nggada tara, isesie wedi we’o perkutut loncat ranting, srigunting goyang ekor Kodhe ndaro kaju, isesie wedi we’o kera jalan di dahan, srigunting goyang ekor 88. Pako lambo rajo kesa rhenge peka tara kayu buat perahu, bunyinya kedengaran Ponggo ele rhoko kete ngai rhenge potong biar sembunyi, bunyinya kedengaran 89. Faru muku natu lau kopo , te’a tolo harum pisang beranga di sana kebun, masak di pohon Te’a muku bhela piu ata riwu masak pisang muda (yg belum tua betul) untuk banyak orang 90. Faru muku natu, ndau ngia kau harum pisang beranga(yg masak) di mukamu Ka sesepi ma’e dholo dheli makan sesisir jangan sulitmengunyah 91. Ndeki ele seri Pora, ghele ghoma ndeki(nama gunung) biar minta, Pora tidak terima Lando ele gharo Pora ghele ghoma lando(nama gunung) biar bujuk, Pora tidak mau 92. Nggo Lesa Keta, nggo bhenggo molo gong Lesa keta(nama tempat) gong bunyi bagus Rubha Kekalela piangia rhi’a rubha Kekalela (nama tempat), taruh tempat baik 93. Nurha re- re, ndele poso mese hujan berbunyi, di atas gunung Bhela pa- pa mena Komba, toka ola petir menggelegar di sana(arah timur), tahan hujan 94. Rau kala Tata, ndepe kadhe lange ma’e tebas hutan Tata, tanam tanda batas jangan Piu pare jawa, piu sama atur makan padi jagung, atur sama
256
95. Ana niu embu, kana nderi- nderi sudah berstatus nenek/kakek, selalu tidak bisa/tidak mau Embu niu nusi, kana nderi- nderi nenek berstatus moyang, tapi selalu tidak bisa/tidak mau 96. Bho were longgo, moe muku te’a tolo di pandang dari belakang, seperti pisang masak di pohon Pale ngia sare, moe muku mbui hate ketika berhadapan, seperti pisang bakar angus 97. Apa mba- mba, mba ko apa apa cari- cari, cari barang apa Tudhi ito kau ndau ndusu lapu pisau kecil engkau di situ, sudut tempat perapian 98. Mbu’e Dende Mando Lena milo me’a gadis Dende Mando(nama tempat), gadis Lena lebih cantik Hongga Keli Kewo nua Sare pala ghae pemuda Keli Kewo, kampung Sare berkeliaran 99. Ila Watu irha posa, ila rhi’a buluh Watunirha(nama tempat) katanya, buluh baik Nanga tau pate no pili no ghale begitu mau potong, dipilih- pilih 100.jawa sowo bhara, sembo’e rheta one jagung kulit putih, seikat dalam rumah Pembe sesewe, tungga maki tenge goreng/rendang satu tembikar untuk sendiri 101. Ua ndele poso, lando sorhi ndewa rotan di gunung, pucuknya tangkap dewa To’e lau rha kamu, lore nitu pohon to’e (sejenis bambuhutan yang berduri) akarnya melilit penunggu 102. Mbere tapa dende , kele do we’e tas kayu dende(nama kayu yg sangat baik dibuat papan), digantung dekatdekat lengan Topo dhupa heu senggu, do rheu parang bersarung pelepah pinang, buang jauh- jauh 103.Eo Wolo Nggedho, seeko eo erho kucing gunung Nggedho, sekor kucing melarat Woe ne bheku, sekombe woe welu berteman dengan musang semalam teman lepas
257
104.Lai ame Lai mesi, ma’e rewo wali benar si Lai maunya, jangan bohong lagi Rembu lau, tajo sa sama rhua rumput muda di sana Tajo semua sama 105. Ema po soro, ma’e rero ma’e ghewo Bapa memberi nasihat, jangan ribut jangan lupa Ine reku leluma’e rero ma’e ghewo Mama memberi nasihat jangan ribut jangan lupa 106.Kami ndia tanah, molo sala ko molo kami di luar(arena vera) benar sala atau benar Meu rheta one mali sala rengga mema kamu di dalam rumah, kalau kami salah tegur memang 107.Sike ne Temendu rheu merhe nde sike dan Te (namatempat), bukan seberapa jauh Pada radhi Nusa lau wo’a Waerua pasang tangga Nusa (nama tempat), di sana (arah selatan) sumur Waerua 108.Nggere nggete-nggete ndai dhawi wali nggere nggete(bunyi-bunyian), ingin sambung lagi Nggere nggete-nggete mbeta ndai dawi wali bunyi-bunyian putus, ingin sambung lagi 109.Ari- ari aja aja, ko ngata berpenampilan aduhai, ternyata punya orang Siwe meme-meme meme ko tenge bertahanlah kencang /kuat, kuat dengan milik sendiri 110.Eu lako seku ma’e hewe rhale Kende salak anjing seku(nama anjing) jangan dengar sana Kende Kolo waeko ma’e paru mabha landu gonggong Waeko (nama tempat) jangan lari padang landu (nama tempat) 111. Keti nata Logho, Logho Molosoli petik siri Logho, Logho Molosoli (nama tempat) Wae mange pale sare melereng Waemange melereng baik 112. Kamba ko jara wa’i ndo ndoro sala kerbau atau kuda, kaki tergelincir sala Renggo mesi mbe’o tetemu ndi’i mema menjatuhkan coba tahu tepat duduk/jatuhmemang
258
113.Kadha ngguru anda ghole laki kodhe pasang aur anda (nama tempat), menjebak si kera Supi sealu, ndai sabhi wali sumpit seruas, ingin coba lagi 114.Nderhe Wolomete , ne kau pumbu manu kerdil Wolomete(nama tempat) karena kau pumbu manu (sejenis rumput) Ne kau pumbu manu, na’a sea laki resa karena kau pumbu manu, fatallah si resa (nama jenis rumput) 115.Dhero mesi menge koka ngo’i ngo’a (jenis tanaman dadap yg berbunga) harum, koka (jenis burung) gembira ria Keti sewunu mbingu toto riwu petik sehelai, gila semua orang 116. Roke mawe lama ma’e roke roe supaya jangan cepat, jangan supaya cepat Mero pondo merhe we'e mero pau atur periuk besar(kegiatan masak), masih sementara atur 117.Mesi si’e Keli wae ko’e ngape asin garam Keli (nama tempat), air belum rasa Koro Nderuwowo wae ko’e ngape lombok Nderuwowo(nama tempat) air belum rasa 120.Watu Waewaru ruku raka pau batu Waewaru (nama tempat), bunyi duluan Nggola mbeja jere ere du nde guling habis rata, tunggu sampai kapan 121.Pale ghae mena rhale, ne ate ngitu ngape berkeliaran sana sini, dengan hati waspada Dhoma romba nggesu maru ,ne ate ngitu ngape biasa pagi akrab sore, dengan hati waspada 122. Putungguru Luwu nggera rhele Lena bakar aur Luwu (nama tempat) terang di atas lena (nama tempat) Renggo bheto tenggo ndara lau arha lindungi betung Tenggo (nama tempat) terang di sana 123. Tere- tere membe membe ko tere membagi alat makan, alat makan dalam jumlah banyak Teka torha ndari wati membe tere ko membe jual torha (alat makan dari buah sejenis labu), baris bakul berjajar banyak
259
124. Rongga dhoi, oka sambu lau ma’u orang Rongga, pikul kapur bertemu di pantai Bhai kele mbere sambu lau ma’u orang Bhai (etnis), bawa keranjang bertemu di pantai 125.Teki mbesi Keli hudhu Waengguru kumpul Waengguru (nama tempat) Ka’i penda Sambi hudhu Waengguru anakan nenas Sambi kumpul Waengguru 126.Mota ndori kodhi gaga dheke pagha babi hutan kecil, paksa naik pagar Jodho tena nggoko rete ata hende maju pasang jerat jerat orang lain 127.Mbesi tonggu mberi dhatu, mbau mbau dhatu buah kastela besar rebus, tidak tidak rebus Sadho tudhi rande selae marha ngande datang/tiba pisau jitu sepotong (sebagian kecil), haus kerongkongan 128.Kojo paka ghara, lau tolo namba kepiting merayap di atas cadas Kima mata mite ngata lau wena watu siput mata mite di sana sebelah batu 129.Ika mata lina neno mbiwa mbe’o ikan mata lina, (nama ikan) intai tidak tahu Mbawu mbata lau, neno mbiwa mbe’o belanak di laut, intai tidak tahu 130.Kaju molo padha ma’e widhi ma’e wadha kayu yg sudah diatur baik jangan dibongkar Arhe molo tendi ma’e reta ma’e rata tali yg sudah direntang jangan putuskan jangan putuskan 131.Oka riku timu timu riku oka kapur lurik timun, timun lurik kapur Molu wa’i boba boba molu pota tenggelam kaki, kaki tenggelam hilang 132.Pou lika Mbero Mbero pou pedha bunyi ( jatuh) tungku Mbero (namatempat) Mbero bunyi tarik Li’e tutu wunu, wunu li’e kembo buah tutup daun, daun buah mengkudu
260
133. Nata ghembe kende nata ndere sirih tebing kende, siri kekuning-kuningan Keti sepongo ramba ndero mbu’e Mbero petik seikat, supaya jatuh hati gadis Mbero 134.Ka’e kasa olo sor, ma’e mbai woso kakak di depan omomg, jangan terlalu banyak Arhi kasa murhi soro, ma’e nggetu nggemu adik di belakang omomg, jangan panjang lebar 135.Peko lako ana kita tau rame tawa kejar anjing anak kita, buat ramai tawa Peko lako lesa kita, tau degha- degha kejar anjing lesa (nama anjing) kita, buat main-main 136.Mbata so sa, kau meta wiri penda ombak besar kau cukup batas pandan Embo lau mai kau lange wiri maghi ombak dari sana, kau batas sampai lontar 137.Maghi Sa’opai Sa’o pai , maghi randa lontar Sa’o pai (nama tempat), lontar lebat daunnya Randi senggai, tau ngambu nana wati potong sehelai lumayan untuk anyam bakul 138.Manu laki erho, lorha lau hombo seso ayam merana ,berjalan sana lembah seso (nama tempat) Keto kau mbe’o , nggare kau ghewo kotek kau tahu kais kau lupa 139.Mena nggore, ndale nggare di sana(arah timur) kais, disana(arah barat) kais Ndia nggose, ndawi kole sini tanam, berdiri lah 140.Sei nunu kau ma’e rewo ke’o siapa beri tahu kau jangan bohong Sei posa kau ma’e mbaje kae Siapa beri tahu, kau jangan bohong lagi 141.Pui nua Sui , Sui pui se bersih kampung Sui Sui , tidak sisa Sele Ranggangali, sele wa’i biarkan Ranggangali, biarkan lah
261
142.Mbeki manu bhara, bhara liko wali di Mbeki ayam putih, putih dikepung lagi Eru tangi watu watu liko wali kampung Eru Tangi batu-batu dikeliling lagi 143.Leko ne sui, leko sui sola tangi bambu dan para-para, bambu para-para bergerak tangga Kali ngali ngali, tangi tana gali parit parit, tangga tana 144.Pepa ana pena pena regho ragho goyang batu ukuran kecil, goyang kentongan dari bambu Senda ngguru tonda tonda regho ragho tarik serentak bambu ditancap ditancap kentongan dari bambu 145.Manu polu kau dhanga peni romba maru ayam kesayangan kau, biasa beri makan pagi sore Peni manu mila ,kau mila ja’o mila beri makan ayam liar, saya liar kau liar 146.Peri wolowoko, wolowoko peri moro bambu gunung Woko, woko bambu obat Leo kodhe bangga, mbura ana keo kana berburu kera bangga (nama tempat), sumpit anak belok semua (tidak lurus 147.Manu saju ndili Motu, tembu tara toko longgo ayam ganjil/aneh di bawah Motu, tumbuh susuh di punggung Manu saju ndili Motu, peni riri wai kepi ayam ganjil di bawah Motu, beri makan pakai emas 148.Kodhe mbeke ko’e lau wena watu kera jantan belum, di lauti sebelah batu Kodhe mbeke merhe, ramba otu mbesi mbolu kera jantan besar, lirik buah muda kastela 149.Keka dhela- dhela kiru, lirhu lau kakak tua terbang-terbang tinggi, di angkasa Keka dhela- dhela, gheme dhea tu kakak tua terbang-terbang, berlabuh lirik beras 150.Rota poka ,woa ramba tei pare tongga kerja kebun, supaya dapat padi lumbung Ma’e ghia perha, ramba tei jawa kela jangan takut miang, supaya dapat jagung banyak
262
151.Supi rande- rande , dhama peo kolo ndele sumpit jitu jitu, coba bidik perkutut di atas Supi rande- rande, dhama dhangga kaka rharha sumpit jitu jitu, coba bidik apa di sana 152.Mbesi tonggu mberi, ma’e we’e ame dhenge buah kastela besar bersusun, jangan dekat si jamur We’e ne dhenge ame, dhenge ata rhe’e dekat dengan jamur, sijamur orang jelek 153.Kembu lau lema lau lema kembu mbeta rumput laut di laut, di laut lepas putus Gha’o ana ghejo ana ghejo gha’o ghe tangkap ana ghejo, anak ghejo (sejenis ikan) sulit 154.Mboru mboku Nggonu lau Nggeno le ngedho terlepas destar Nggonu , sana laut Nggeno hanya lihat Mesu pondi Nggeno, lau larha le napa kasihan Sanggul Nggeno, sana jalan sudah tunggu 155.Jara jaja pagha ndia mori ngai nongi kuda berusaha loncat pagar, ini tuannya masih intai Jara dhesi jaja ina tende olo mbere kuda sehingga berusaha loncat, karena angkat keranjang 156.Bidhi wele kau, koro wele kau belimbing kau suka, lombok kau suka Ro koro wolowae, ko’e ngape pedas lombok gunung air belum rasa 157.Ngodho poma toro, ngande marha wae mendaki Poma toro(nama tempat), kerongkongan haus air Wae kasa nde, one tere toko rhua air sebelah mana? Di tere ( sukun hutan ) batang dua 158.Ki’o lombe dao, su kau ne ja’o petik pucuk ubi, hanya kau dgn saya Kerhu lombe kua su, kita tau rhua cabut pucuk rotan hanya kiat dua 159.Kumba lo’a Rumba, kana kumba ngurha rumput tempat istirahat Rumba (nama orang), semuanya rumput muda Maghi Mabhandata, kana maghi kara lontar Mabhandata, semua daunnya tua
263
160.
Lombe lima mani ghae lima pucuk baik sekali Ghae mani lombe lima baik sekali limapucuk
161.
Liko mawo rongga rongga, liko reke pagar naungan rongga, pagar terbaik Lombe lima mani, ghae ghae mani lima pucuk baik sekali
162.
Peko lako ona wa’e kia tau rame-rame kejar anjing ana woe (nama anjing), kita mau reme-rame Peko lako lesa, kita tau degha-dhega kejar anjing lesa, kita tahu main-main
Penutup 163.
.
jo jodo na, tangi jo e jona pasang tangga kami mau masuk rumah Jo jodo na,tangi jo e jona pasang tangga kami mau masuk rumah
264
Lampiran : 03 Asal-usul Sejarah Vera “Alkisah di suatu kampung, hidup sepasang suami isteri, Saru dan Walu, dengan kondisi yang sangat miskin. Mereka hidup sangat bergantung kepada buah-buahan hutan serta umbi-umbi yang mereka cari dan dapatkan setiap hari untuk dijadikan bahan makanan. Beras dan jagung boleh dikatakan sangat langka bagi kedua orang ini, demikian juga dengan pakaian yang dimiliki seadanya saja. Namun hidup mereka selalu rukun. Karena ketergantungan hidup mereka terhadap hutan terlalu besar, maka mereka berniat untuk menyingkir dari kampung dan pindah ke hutan. Keduanya berunding dengan baik, mempertimbangkan untung ruginya serta kenyamanan setelah pisah dari orang-orang sekampung karena kalah bersaing. Mereka ingin menyendiri di hutan agar kebutuhan makanan terpenuhi dengan mudah, serta mengucilkan diri dari pergaulan dengan masyarakat banyak karena ketiadaan pakaian yang layak. Pada suatu hari, Saru sang suami pergi ke hutan untuk mencari tempat yang baik guna mereka tempati.Setelah mendapatnya, kembalilah ia ke rumah menemui isteri tercinta, Walu. Saru menceriterakan semua hal ikhwal tempat yang akan mereka tempati dan disambut baik oleh sang isteri. Niat untuk berpindah ke hutan pun semakin membara di dalam dada kedua insan papa ini. Keduanya menentukan waktu yang tepat untuk segera meninggalkan kampung untuk pergi menuju ke tempat baru, tempat yang pasti memberikan harapan baru bagi kehidupan selanjutnya. Disepakati bahwa mereka akan berangkat malam hari ketika seisi kampung dalam keadaan tidur lelap. Ketika malam yang telah ditetntukan tiba, maka berangkatlah mereka dengan hati berbunga-bunga sambil mengharapkan kehidupan yang lebih baik akan segera mereka dapatkan di sana, di hutan yang menjanjikan itu. Tidak seorang pun yang tahu akan keberangkatan mereka. Setibanya di hutan, sangat gembiralah hati sang isteri karena keadaan tempat itu benarbenar sesuai dengan cita- cita dan keinginannya. Selain letaknya jauh dari kampung, di tempat itu mengalir pula sebuah sungai yang jernih dan terdapat banyak ikan, udang dan belut di dalamnya. Hiduplah mereka di situ dalam sebuah gubuk yang sangat sederhana hasil buatan Bapa Saru. Mereka hidup dari buah-buahan dan umbi-umbian hutan. Mereka mendapatkan lauk dari hasil tangkapan dari sungai, berupa ikan, udang dan belut yang sangat lezat. Sewaktu Bapa Saru pergi ke kampung untuk menjual rotan kepada penduduk, hasilnya dibelikan makanan dan pakaian seadanya. Semua ini dilakukan Bapa Saru dengan sangat rahasia agar tidak diketahui orang banyak sehingga keduanya merasa aman dan nyaman. Setelah beberapa lama hidup di hutan,mereka dikaruniai seorang anak laki- laki yang rupawan. Alangkah bahagia dan senangnya hati ayah dan ibu berdua. Anak itu diasuh dan dipelihara dengan penuh kasih sayang yang luar biasa. Tidaklah mengherankan kalau pertumbuhan anak itu begitu cepat.
265
Pada masa itu, populasi manusia hutan yang oleh penduduk setempat dinamakan embu ngiu masih terlalu banyak. Diceritakan bahwa embu ngiu memiliki tubuh pendek dan susunya sangat panjang. Saking panjangnya, susu tersebut dapat membelit/melilit anak manusia sehingga ditakuti oleh orang- orang pada masa itu. Untuk menghindari gangguan embu ngiu, biasanya orang memelihara anjing karena makhluk tersebut takut akan anjing. Bapa Saru dan mama Walu juga memelihara seekor anjing yang diberi nama nao talo. Anjing inilah yang menghalau embu ngiu dari gubuk mereka. Nasib sial menimpa keluarga ini, ketika mereka mengejar seekor belut besar di kali yang keracunan tuba buatan Bapa saru di sebuah kolam besar dan agak jauh dari gubuk mereka. Anjing nao talo juga ikut mereka, sedangkan anak kesayangan mereka tertidur di gubuk sendirian. Pada saat yang baik inilah embu ngiu datang ke gubuk tanpa ada hambatan dari nao talo anjing piaraan yang berguna untuk menghalau embu ngiu. Dengan senang hati, embu ngiu mengambil anak dari Saru dan Walu dan ditukar dengan anak embu ngiu. Anak embu ngiu yang masih kecil itu mereka baringkan di gubuk itu dalam keadaan tidur, diselimuti dengan rapi oleh ibunya, sedangkan Jawu dibawa pergi. Begitu Saru dan Walu tiba di gubuk, diperhatikan anak mereka yang masih tidur lalu dibangunkan. Alangkah terperanjatnya mereka ketika melihat anak yang sedang tidur itu ternyata bukan Jawu, melainkan anak embu ngiu. Hiruk-pikuk mereka dalam kebingungan mencari ke sana kemari sambil memanggil-manggil nama anak kesayangan mereka. Namun sia-sialah usaha mereka karena Jawu anak kesayangan tak kunjung ditemukan. Anjing nao talo juga kesana kemari mencari sambil melolong dalam kesedihan. Hilanglah segala harapan mereka dan hanya tangis pilu kedua orangtua itu serta lolongan nao talo yang memenuhi gubuk yang reot itu. Ketika dipastikan si Jawu anak kesayangan itu tidak mungkin ditemukan lagi, akhirnya mereka kembali ke gubuk dengan duka yang mendalam bersama anjing nao talo. Anak embu ngiu akhirnya mereka pelihara sebagaimana memelihara anak kandung mereka. Anak embu ngiu pun bertumbuh dengan sehat, tetapi perasaan mereka tidak bisa melupakan Jawu anak kandung mereka.Tidak lama kemudian anak embu ngiu itu pun mati, lalu mereka kubur sebagaimana mereka menguburkan manusia. Sepeninggal Jawu dan anak embu ngiu, hidup mereka merana dalam kedukaan. Suatu malam, Saru bermimpi yang aneh. Ia melihat sejumlah orang hutan (embu ngiu) datang membawa mayat Jawu anaknya ke gubuk mereka dalam keadaan menari sambil menyanyi. Mimpi itu menjadi kenyataan ketika ia terjaga oleh lolongan nao talo anjing kesayangan karena melihat sesosok mayat di depan gubuk mereka. Begitu keduanya turun dari gubuk dan melihat mayat itu, langsung mereka merangkulnya karena mayat itu ternyata Jawu anak mereka yang hilang. Mereka baringkan mayat Jawu dalam gubuk selama tujuh hari tujuh malam. Selama itu, mereka menangis dan meratap mengungkapkan kata- kata, syair-syair yang indah. Kata-kata
266
indah yang dilantunkan Saru dan Walu itulah menjadi lagu Vera sekarang ini. Mayat dari Jawu dibawa oleh embu ngiu ke gubuk dengan tujuan untuk menunjuk/memberitahukan kepada Saru dan Walu bahwa inilah Jawu yang kamu cari selama ini. Tunjuk/beritahu yang artinya sama dengan pera dalam bahasa Rongga. Selama tujuh malam, gubuk Saru dan Walu kedatangan orang-orang sekampungnya dulu untuk turut mengambil bagian dalam kedukaan dengan ratap tangis yang memilukan. Melihat kedatangan banyak orang, nao talo anjing kesayangan mereka melolong terus sepanjang malam selama tujuh malam. Ratapan Saru, Walu, lolongan anjing, dan ratapan para sahabat waktu itu, menjadi cikal bakal Vera yang ada sekarang ini.”61
61
Berdasarkan hasil rekaman dan catatan yang dibuat Bapak Alfridus Ndolu di Waekorok pada tanggal 15 Mei 2013.
267
LAMPIRAN 04 DATA PENDUKUNG Gambar 1.
X
Bersama Bapak Lurah Tanah Rata X (Yohanes Loni) Beserta Staf setelah Diskusi dan Wawancara Studi Pendahuluan (Dokumen Sumitri 2012) Gambar 2
Pertemuan dengan Tetua Adat untuk Menentukan Informan Kunci di Sambi Kelurahan Tanah Rata (Dokumen Sumitri 2012)
268
Gambar 3
Wawancara dengan Informan Kunci Bapak Al Fridus Ndolu di Kisol Kelurahan Tanah Rata (Dokumen Sumitri 2012)
Gambar 4
Wawancara dengan Informan Kunci Bapak William Roma di Kampung Lekeng Kelurahan Tanah Rata (Dokumen Sumitri 2012)
269
Gambar 5
Wawancara dengan Informan Kunci Bapak Markus Bana di Kampung Leko Lembo Kel. Watu Nggene (Dokumen Sumitri 2012)
Gambar 6
Diskusi dengan Informan Kunci dan informan pembanding dalam Bentuk Check Silang Data di Kampung Leke Kelurahan Tanah Rata (Dokumen Sumitri 2012)
270
Gambar 7
Persiapan Pertunjukan Vera Gha’u gha’a DI Kelurahan Tanarata (Dokumen Sumitri 2012)
Gambar 8
Wawancara dengan beberapa Informan Pembanding di Bamo (Dokumen Sumitri 2012)
271
Gambar 9
X
Upacara Penerimaan Tamu Sebelum Wawancara dan Diskusi di Mulai dengan Informan Kunci Bapak Thomas Ola di Paundoa (Dokumen Sumitri 2012) Gambar 10
X
Wawancara dengan Informan Kunci Bapak Thomas Ola dan Informan Pembanding di Paundoa (Dokumen Sumitri 2012)
272
Gambar 11
Wawancara dan Diskusi dengan beberapa Informan di Desa Bamo (Dokumen Sumitri 2012)
Gambar 12
Wawancara, Diskusi, Croscek Data dengan Informan Kunci dan Informan Pembanding di Kampung Ngembu (Dokumen Sumitri 2012)
273
Gambar 13
X
Diskusi Kelompok Terarah dengan Informan Kunci Bapak Alfridus Endolu dan Informan Pemanding di Kampung Leke (Dokumen Sumitri 2012) Gambar 14
Upacara Pemercikan Darah Ayam pada Bibit Padi dan Jagung di Kampung Sambi Kelurahan Tanarata (Dokumen Sumitri 2012)
274
Gambar 15
Setelah wawancara dengan Informan Kunci Bapak David Lombe di Kampung Wolomboro, Desa Bama (Dokumen Sumitri 2012)
Gambar 16
Bentuk Rumah Gendang Etnik Rongga (Dokumen Sumitri 2012)
275
Lampiran : 05 Daftar Informan I.
Nama Nara Sumber Utama 1. Nama : Thomas ola Umur : 71 tahun Pekerjaan Petani : Petani Alamat : Kampung Paondoa, desa Komba 2. Nama Umur Pekerjaan Alamat
: Afridus Ndolu : 55 tahun : Guru : Kampung, Waikorok, Tanarata
3. Nama Umur Pekerjaan Alamat
: Markus Bana : 70 tahun : Petani : Watu Nggene
4. Nama Umur Pekerjaan Alamat
: David Lombe : 71 tahun : Petani : Kampung Wolomboro, Bamo
II. Nara Sumber Pembanding 1. Nama : Wilhelmus Roma Umur : 60 tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Kampung leke, Kisol, Kelurahan Tanarata 2. Nama Umur Pekerjaan Alamat
: Agus Roka : 69 tahun : Petani : Kampung Paondoa, desa Komba
3. Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat
: Yohanes Nerdi : 38 tahun : D3 : Pegawai : Watu Nggene, kelurahan Watu Nggene
276
4. Paulus meka Umur Pekerjaan Alamat
: Paulus Meka : 64 tahun : Petani : Kampung Sambi, desa Bamo
5. Nama Umur Pekerjaan Alamat
: Qwintus Beos : 54 tahun : Petani : Kampung Paondoa, desa Komba
6. Nama Umur Pekerjaan Alamat
: Iginasius Ndoi : 55 tahun : Petani : Kampung Paondoa, desa Komba
7. Nama Umur Pekerjaan Alamat
: Anton Salo : 61 tahun : Petani : Kampung Leke, kelurahan Tanarata
8. Nama Umur Pekerjaan Alamat
: Meteus Watu : : 60 Tahun : Petani : Kisol, Kelurahan Tanarata
9. Nama Umur Pekerjaan Alamat
: Fabianus Sofi : 57 tahun :Guru SD : Nangarawa,drsa Bamo
10. Nama Umur Pekerjaan Alamat
: Maria Nughung : 70 tahun : Petani : Kampung Paondoa, Desa Komba
III. Informan 1. Yacobbus Dado 2. Mausnetus Jala 3. Donatus Jabur 4. Maria Nughung 5. Yohana Fransiska Anda 6. Ester Daghe 7. Maria Densi Daghe 8. Regina
277
9. Herman Rami 10. Yerona Nggue 11. Skolastika Jehaut 12. Frans Ogis 13. Hiron Lagung 14. Ffrans Nggoro 15. Yohanes Nerdi 16. Hendrikus Tanggang 17. Lambertus Jaik 18. Petrus Pengi 19. Ivan Ture 20. Frans Nggoro 21. Kanis Bana 22. Iginasius Ndoi