TESIS
DISKURSUS TRADISI BELIS ORANG MANGGARAI DI NUSA TENGGARA TIMUR
HELGA MARIA EVARISTA GERO NIM 1390261013
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
i
DISKURSUS TRADISI BELIS ORANG MANGGARAI DI NUSA TENGGARA TIMUR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana
HELGA MARIA EVARISTA GERO NIM 1390261013
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 9 OKTOBER 2015
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Aron Meko Mbete NIP. 194707231979031002
Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si NIP. 195208151981031004
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si NIP. 195208151981031004
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 195902151985102001
iii
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 9 Oktober 2015
Panitia Penguji Tesis berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No. 3298/UN.14.4/HK/2015 Tanggal 5 Oktober 2015
Ketua
: Prof. Dr. Aron Meko Mbete
Anggota
:
1. Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si 2. Dr. Ni Luh Nyoman Kebayantini, M.Si 3. Dr. I Ketut Setiawan, M.Hum 4. Dr. Industri Ginting Suka, M.S
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT NAMA
: HELGA MARIA EVARISTA GERO
NIM
: 1390261013
PROGRAM STUDI
: S2 KAJIAN BUDAYA
JUDUL TESIS
: DISKURSUS TRADISI BELIS ORANG MANGGARAI DI NUSA TENGGARA TIMUR
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Denpasar, 9 Oktober 2015
Helga Maria Evarista Gero
v
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis bersyukur dan memuliakan Tuhan Yesus Yang Maha Baik sebab DIA telah membimbing penulis serta menganugerahkan kesehatan dan kemampuan, sehingga tesis dengan judul “Diskursus Tradisi Belis Orang Manggarai di Nusa Tenggara Timur” dapat diselesaikan. Kajian ini merupakan suatu upaya untuk menelaah pertarungan diskursus tradisi belis Orang Manggarai. Tradisi belis atau paca (dalam bahasa Manggarai) merupakan produk dan praktik budaya adiluhung yang berkaitan dengan sistem perkawinan adat Manggarai. Tradisi belis sebagai budaya yang sakral dan memengaruhi pandangan hidup orang Manggarai, kini dinilai telah mengalami pergeseran sehingga belakangan wacana tandingan mulai mencuat ke permukaan dan menyebabkan tradisi belis menjadi sesuatu yang marak diperbincangkan serta menuai pro dan kontra. Tidak dapat disangkal bahwa dalam proses penyelesaian tesis ini, penulis mendapatkan banyak dukungan baik dalam bentuk moral maupun materi dari segenap pihak. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dengan tulus penulis mengungkapkan rasa terima kasih dan apresiasi yang mendalam kepada: 1.
Segenap pejabat struktural di lingkungan Universitas Udayana, khususnya Prof. Dr. dr.
I Ketut Suastika, Sp. P.D., KEMD selaku Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S.(K) selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si selaku Ketua Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya sekaligus Pembimbing Akademik, dan Dr. I Nyoman Dhana, MA selaku Sekretaris Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana yang telah menyetujui dan memberi kesempatan bagi penulis untuk mengikuti studi. 2.
Prof. Dr. Aron Meko Mbete dan Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si selaku
pembimbing yang telah dengan sabar dan teliti dalam membimbing dan penuh perhatian telah
vi
memberikan dorongan semangat, pengarahan, ide-ide kritis dan saran-saran berkualitas dalam menyelesaikan tulisan ini. 3.
Dr. I Ketut Setiawan, M.Hum, Dr. Ni Luh Nyoman Kebayantini, M.Si, dan Dr. Industri
Ginting Suka, M.S selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran membangun untuk mewujudkan tulisan yang lebih baik. 4.
Seluruh dosen di lingkungan Program Studi S2 Kajian Budaya Universitas Udayana
yang selalu berkenan membagi ilmu dan membangun paradigma berpikir kritis serta Staf Sekretariat di lingkungan Program Studi S2 dan S3 Kajian Budaya, Pak Putu Sukaryawan, Bu Iluh, Bu Komang, Pak Ketut Songket dan segenap staf yang telah membantu, memberikan layanan administrasi, informasi dan suasana yang akrab selama penulis menjalani masa studi. 5.
Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur, Bupati Kabupaten Manggarai, Camat
Kecamatan Langke Rembong, Lurah Kelurahan Golo Dukal, Kelurahan Pau, Kelurahan Waso, Kelurahan Watu, Kelurahan Wali, Kelurahan Tenda dan Kelurahan Lawir, atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengadakan penelitian. 6.
Romo Dr. Ino Sutam, Pr, Romo Herman Ando, Pr selaku Ketua Komisi Keluarga
Keuskupan Ruteng, Bapak Andreas Gandi dan Bapak Paulus Waru selaku tokoh masyarakat Manggarai di Kelurahan Pau, Mama Moni Djangkong dan Ibu Inat Geong sebagai Aktivis Perempuan Anti Kekerasan (PEMANTIK) Ruteng, Ibu Karolina Kleden selaku Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BkkbN) Kabupaten Manggarai, Bapak Valens Sene selaku tokoh masyarakat dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Manggarai, Bapak Sius Ladem dan Bapak Alex Lesing sebagai tongka, Bapak Lambertus Dapur dan Bapak Maksimus Antar sebagai tu’a golo Kampung Ruteng dan segenap informan di Kecamatan Langke Rembong Kabupaten Manggarai yang telah berkenan menerima penulis dan bersedia meluangkan waktu untuk
vii
berbincang serta berbagi pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. 7.
Kakak Mir Madung, Kakak Yuliana Risna, P. Dr. Otto Gusti, SVD, Kakak Ryno Pota,
Kakak Prima Maoen, Kakak Mikael Gandi, Kakak Toly Gandi, Kakak Essy Gandi, Diakon Arnus Eugene, Kakak Nancy Djeha, Kakak Alfons Kantus, Kakak Alfian Septianto, Kakak Darius Jehanih dan Kakak Anni Djeha yang telah berkenan menyediakan tempat dan waktu untuk mengantarkan penulis berkeliling selama penelitian berlangsung dan tidak pernah menolak mendengar keluh kesah ketika penulis menemukan saat-saat sulit selama proses analisis data berlangsung. Tidak lupa keluarga Bapak Steven Gero dan Mama Florensia yang selalu mendukung dan mendoakan penulis selama masa studi. 8.
Ayahanda tercinta Drs. Aloysius T. Gero, M.Si, Ibunda tercinta Evimia Tijah, SE, Adik
Marina Gero, A.md. A.K., dan Adik Enca Gero yang tiada henti mendukung penulis lewat doa dan cinta yang begitu besar. 9.
Uncle Nebo yang sedia untuk berdiskusi bersama melalui whatsapp, sms dan telepon.
Juga Aunty Nury dan Tara Gero yang mendukung lewat doa. Tidak lupa Soul brothers and sisters: D’Gilaz, brogil Andri Hiang, Elfis, Cifan Rian, Haris Buga Raya, Li Dalung dan semua kerabat yang memotivasi penulis dengan pertanyaan “kapan wisuda?” 10.
Teman-teman Cultural Studies UNUD angkatan 2013 atas kebersamaan dan suasana
studi yang menyenangkan, akrab dan saling memotivasi. Bersama teman-teman, saya tidak merasa sendirian selama hidup merantau di Bali. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini. Denpasar, 9 Oktober 2015
Penulis viii
ABSTRAK
DISKURSUS TRADISI BELIS ORANG MANGGARAI DI NUSA TENGGARA TIMUR Penelitian ini menjelaskan tentang fenomena munculnya ragam diskursus tradisi belis dalam kehidupan orang Manggarai di Nusa Tenggara Timur. Tradisi belis merupakan ritual penyerahan mahar sebagai prasyarat penting sebuah ikatan perkawinan dalam adat Manggarai. Tradisi belis diberlakukan untuk menghormati pengantin perempuan dan menjadi kontrol kekuasaan laki-laki atas perempuan. Singkatnya, tradisi belis mengikat laki-laki untuk bertanggung jawab terhadap perempuan. Dahulunya tradisi belis disesuaikan dengan status pengantin perempuan; keturunan raja atau rakyat biasa. Dalam perkembangannya, tradisi belis dikaitkan dengan latar belakang pendidikan seorang perempuan. Semakin tinggi pendidikan seorang perempuan, semakin mahal pula belis yang akan diterima. Sehingga, harga diri perempuan dan prestise keluarganya akan meningkat karena itu. Saat ini, banyak orang Manggarai mengatakan bahwa nilai tradisi belis telah bergeser. Belis dipandang semakin membebani karena harganya meningkat dari tahun ke tahun. Belis tidak lagi “melindungi” dan melambangkan penghargaan kepada perempuan tetapi turut mengesahkan kebebasan yang paradoksal bagi perempuan. Perbedaan pandangan terhadap tradisi belis menyebabkan tradisi ini mendulang pro dan kontra dari orang Manggarai di Kota Ruteng. Masalah yang didiskusikan dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut: (1) bagaimana bentuk diskursus tradisi belis orang Manggarai di Nusa Tenggara Timur, (2) mengapa terjadi diskursus tradisi belis orang Manggarai, (3) bagaimana refleksi dan aksi orang Manggarai di Nusa Tenggara Timur terhadap pelbagai bentuk diskursus tradsisi belis. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap beragam manifestasi relasi kuasa dalam diskursus, baik yang mendukung status quo maupun beresistensi. Teori yang digunakan untuk menganalisis data adalah Analisis Wacana Kritis, teori relasi kuasa dan pengetahuan dan teori posfeminisme. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik observasi partisipasi, wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Penelitian ini menemukan bahwa bentuk diskursus tradisi belis, baik lisan maupun tertulis, menyatakan kebenarannya masing-masing. Pertama, diskursus tradisi belis dalam masyarakat tradisional membenarkan kenyataan bahwa tradisi belis merupakan tradisi lokal yang sakral, given, mengikat relasi suami dan istri dan sebagai simbol penghargaan kepada perempuan. Kedua, diskursus tradisi belis dalam posmodernitas. Tradisi belis dilihat mengesahkan ideologi gender, memperkuat kapitalisme pendidikan, mendukung kontestasi prestise keluarga Manggarai dan memicu mapannya situasi kemiskinan di Manggarai. Ketiga, gereja lokal memosisikan diri sebagai ruang perjumpaan antara iman Katolik dan kebudayaan orang Manggarai melalui diskursus tradisi belis yang diproduksi. Bentuk-bentuk wacana yang diproduksi oleh berbagai sumber kekuasaan di Manggarai berakar pada kuasa kapitalisme, kuasa Gereja Katolik Manggarai, kuasa patriarkal Manggarai dan kuasa posfeminis. Kekuasaan tersebut menyebar di dalam relasi-relasi kuasa baik relasi negosiasi maupun relasi oposisional. Diskursus yang ada merepresentasikan perempuan menurut bahasa patriarki dan fenomena itu direfleksikan oleh orang Manggarai. Kata kunci
: Diskursus, tradisi belis orang Manggarai, representasi perempuan ix
ABSTRACT
DISCOURSE OF THE TRADITION OF BELIS OF MANGGARAI PEOPLE IN EAST NUSA TENGGARA
This study explains the phenomenon about the presence of discourses of the tradition of belis in the lives of Manggarai people in East Nusa Tenggara. The tradition of belis is a ritual of giving dowry as the absolute prerequisite for marriage in customary law of Manggarai people. The tradition of belis places to honor the bride and being a control of male power in women. Briefly, the tradition of belis sets a man to be responsible for his woman. Formerly, the tradition of belis was tailored to the status of the brides; the blood of the aristocrat or common people. In its development, the tradition of belis is adjusted with the educational background of women. The higher education of a woman, the more expensive belis will be received. So that, the self-esteem of women increases as well as the prestige of her family. Nowadays, many Manggarai people say that there has been a shift in the value of the tradition of belis. Belis is considered increasingly burdensome because the price goes up from year to year. Belis is no longer protected and represented respect for woman but has authorized the freedom that is paradoxical for women. This led the tradition of belis pros and cons of Manggarai people in Ruteng. The problems that mainly discussed in this paper are (1) the form of discourse of the tradition of belis, (2) ideology and power relation behind the discourse that is growing, (3) the praxis reflection of Manggarai people to the discourse of the tradition of belis. Furthermore, this research aims at revealing a variety of manifestations of the power relation in discourses both to support the status quo and showing resistance. Theories used to analyze the data obtained were the Critical Discourse Analysis, theory of power relation and knowledge and theory of post feminism. The method performed in this study is the method of qualitative with participatory observation technique, in-depth interviews and study of literature. The result of analysis shows that the form of discourse of the tradition of belis, both oral and written stating their own truth. First, discourses of belis in local tradition justify the fact that the tradition of belis is a tradition of sacred, binding relationship of husband and wife and as a symbol of respect for women. Second, discourse of belis in postmodern. The tradition of belis is seen as legitimizing the ideology of gender, strengthens the capitalism of education, has authorized the contestation of the prestige of Manggarai people and lead to an established for the situation of poverty in Manggarai. Third, local church stands as the meeting between the faith of the Roman Catholic and culture of Manggarai people through discourse of belis tradition. The forms of discourses produced are rooted in the power of capitalism, the Catholic Church of Manggarai, the patriarchy of Manggarai people and the power of postmodern feminism. The powers spread in the relation of negotiation and oppositional relation. The discourse represents women as in accordance with the language of patriarchy and build praxis reflection from the people of Manggarai.
Keywords : Discourse, tradition of belis of Manggarai people, representation of women x
RINGKASAN
Dalam sistem perkawinan orang Nusa Tenggara Timur, pembayaran belis menjadi prasyarat penting suatu perkawinan. Perkawinan dalam tradisi kehidupan sosial orang Nusa Tenggara Timur umumnya menganut sistem genealogis patrilineal (mengikuti garis keturunan ayah) dan disempurnakan oleh ritual berupa belis (material) yang wajib dipenuhi oleh pihak mempelai laki-laki berdasarkan kesepakatan kedua keluarga mempelai. Dalam perkembangannya, praktik belis menuai pro dan kontra. Di satu sisi, sebagai budaya yang terberi, belis memiliki fungsi sosial sebagai perekat hubungan sosial kekerabatan di masyarakat. Belis bukanlah suatu beban yang menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat karena merupakan tradisi yang sudah diyakini manfaat dan kebaikannya, terutama dalam menjaga nilai kekerabatan, gotong-royong dan kebersamaan dalam masyarakat. Dikatakan menjaga nilai gotong-royong karena dalam mempersiapkan belis yang ditentukan keluarga mempelai perempuan, keluarga mempelai laki-laki akan mengumpulkan keluarga serta kerabat terdekatnya yang tergabung dalam ikatan keluarga seetnis ataupun seguyub. Di sisi lain tradisi belis dianggap telah mengalami pergeseran dan cenderung membebani serta menjadi ‘tameng’ atas beroperasinya kekuasaan. Dalam tradisi Manggarai, ketentuan yang harus dibawa sebagai belis biasanya tergantung pada modal ekonomi, sosial, kultural dan simbolik yang melekat pada mempelai perempuan. Dengan kata lain, nilai perempuan diukur berdasarkan modal yang dimiliki. Padahal sejatinya, belis diberlakukan untuk menghargai perempuan dan untuk mencegah poligami serta sebagai ungkapan penghargaan setinggi-tingginya dan sekaligus mempererat tali kekeluargaan yang terjalin antara kedua keluarga. Tetapi, hal yang terjadi belakangan ini adalah bahwa praktik belis lebih menunjukkan adanya gejala transaksional. Seperti ada transaksi produk serta tenaga manusia dalam hal ini perempuan. Belis menjadi tameng dalam lahan pertarungan ideologis. Hal ini dibuktikan dengan maraknya ketentuan nilai belis sebagai penghargaan terhadap perempuan berdasarkan tingkatan kualifikasi sumber daya manusia perempuan tersebut, seperti pendidikan terakhir dan pekerjaan yang dimiliki dan seakan-akan telah dibakukan. Baik individu maupun kelompok menjalankan kepentingan dan kuasanya melalui wacana-wacana baik yang mendukung terus berlangsungnya tradisi belis ‘masa kini’ tetapi ada pula yang menunjukkan sikap anti kekuasaan dengan menciptakan wacana-wacana tandingan. Fenomena diskursus tradisi belis orang Manggarai di Nusa Tenggara Timur urgen diteliti. Usaha untuk mengungkap segala bentuk diskursus, membongkar kekuasaan yang bermain di belakang hadirnya beragam diskursus tersebut dan refleksi praksis orang Manggarai terhadap fenomena pro dan kontra tradisi belis Manggarai yang dianggap sakral dan agung akan dilakukan dengan menggunakan beberapa teori. Teori tersebut antara lain, teori relasi kuasa dan pengetahuan perspektif Foucault, teori posfeminisme dan Analisis Wacana Kritis. Ketiga teori ini sangat relevan untuk ‘membedah’ fenomena permainan wacana yang dikaitkan dengan produksi dan reproduksi kekuasaan. Selain mengungkap relasi kuasa dan wacanawacana yang bergulir tentang tradisi belis dengan menggunakan teori relasi kuasa dan pengetahuan yang dikemukakan Foucault, analisis posisi perempuan dalam wacana serta kesadaran kritis perempuan tentang posisinya di hadapan tradisi belis dan beragam bentuk wacana yang ada, dilakukan dengan menggunakan Analisis Wacana Kritis dan teori posfeminisme. Penggunaan teori tersebut dikarenakan pro dan kontra tentang tradisi belis orang Manggarai dikaitkan dan bahkan mengatasnamakan perempuan.
xi
Pertarungan diskursus tradisi belis pun terjadi khususnya di antara tiga sumber kekuasaan di Manggarai yakni gereja, kelompok adat dan kelompok aktivis termasuk orang muda Manggarai. Ketiganya memperjuangkan tujuan dan kepentingan masing-masing dengan pelbagai bangunan argumen yang mampu memengaruhi orang lain untuk setuju serta mengikuti pandangan mereka. Wacana tersebut terdiri dari wacana tulisan dan wacana lisan. Semua wacana yang diproduksi merupakan ritus-ritus kebenaran buah-buah kekuasaan untuk menjaga kesepakatan tentang kenyataan, kewajaran dan kebenaran umum. Pertama, kelanggengan belis didukung sebagai sebuah tradisi adiluhung yang lumrah dalam setiap masyarakat tradisional. Dukungan atas kelanggengan belis didukung dengan anggapan normatif bahwa tradisi belis merupakan warisan budaya yang harus dipertahankan. Mereka menolak pandangan tentang hubungan antara budaya belis dan kekerasan termasuk eksploitasi terhadap perempuan. Titik pijak argumentasi ialah tradisi tersebut senantiasa dilaksanakan beriringan dengan ritual yang melibatkan pencipta dan leluhur. Ada pula ungkapan tradisional yang terkesan sangat menghargai dan menjunjung tinggi martabat perempuan. Lebih lanjut, karena tradisi ini dianggap sebagai simbol penghargaan terhadap perempuan Manggarai maka tradisi ini ampuh mengikat relasi suami istri. Kedua, diskursus tradisi belis dalam posmodernitas. Diskursus yang diproduksi merupakan hasil refleksi yang melihat ketidakwajaran dalam praktik belis dan ‘usil’ terhadap status quo. Tradisi belis ‘masa kini’ dipandang sebagai manifestasi modernitas sehingga lebih memikirkan untung dan rugi. Tradisi belis ‘masa kini’ dipandang sebagai tradisi yang membawa perempuan Manggarai merayakan kebebasannya yang paradoksal karena melegitimasi ideologi gender. Selain itu, praktik belis ‘masa kini’ dinilai menunjukkan adanya gejala transaksional. Transaksional yang dimaksud karena perempuan dihargai hanya ketika ia memiliki kualitas yang berbeda yang diukur dengan gelar akademik dan ijazah sekolah. Lebih lanjut, kontestasi prestise keluarga Manggarai juga dinilai terjadi dalam tradisi belis, dimana keluarga Manggarai menetapkan ukuran-ukuran tertentu untuk ditiru dan diakui. Kapitalisme pendidikan dalam angka belis menjadi penyebab terjadinya kontes prestise tersebut. Tubuh perempuan berpendidikan menjadi tempat pertarungan ideologi sosio-ekonomi untuk mencapai kesepakatan harga belis yang kemudian diperkuat keabsahannya oleh masyarakat patriarkis. Pada akhirnya, kontes prestise yang berusaha dipertahankan oleh masyarakat setempat memicu mapannya situasi kemiskinan orang Manggarai. Ketiga, diskursus tradisi belis dalam sudut pandang Gereja Katolik Manggarai yang inkulturatif dan membebaskan. Dalam konteks ini, gereja lokal berperan sebagai tonggak perubahan pandangan orang Manggarai, Nusa Tenggara Timur, menuju satu kebudayaan baru (tradisi belis). Sehingga, gereja lokal memosisikan diri sebagai ruang perjumpaan antara iman Katolik dan budaya Manggarai. Bentuk-bentuk wacana yang tercipta selalu berakar pada kekuasaan. Pertarungan diskursus tradisi belis dilatarbelakangi oleh ideologi dan kekuasaan. Terdapat empat pengetahuan atau kuasa yang menjadi kontrol produksi kebenaran, yakni 1) kuasa kapitalisme, 2) kuasa Gereja Katolik Manggarai, 3) kuasa patriarkal Manggarai dan 4) kuasa posfeminis. Pengetahuan ini diartikulasikan dengan praktik belis dalam beragam relasi kuasa, baik relasi negosiasi maupun relasi oposisional diantara sumber kekuasaan yang ada di Manggarai. Perempuan menjadi tokoh sentral dalam pro dan kontra tradisi belis orang Manggarai. Sebagai tokoh sentral, ada perempuan yang benar-benar ‘sadar’ bahwa tradisi belis adalah tradisi yang given, adiluhung dan sakral. Kalaupun tradisi tersebut diwariskan hingga kini, tradisi tersebut dikonstruksi untuk kepentingan baik dan mulia. Ada pula perempuan yang sadar bahwa sedang terjadi sesuatu yang tidak wajar di dalam pelaksanaan tradisi belis masa kini tetapi memilih untuk apatis atau membiasakan diri dengan keyakinan kebanyakan orang Manggarai. Namun, tidak sedikit perempuan yang sadar akan realitas, xii
berusaha lepas dari keimanensiannya dan kritis menciptakan transformasi sosial. Bukan hanya perempuan melainkan juga kelompok adat dan gereja Katolik, memilih untuk tidak mempertahankan sikap netral, tetapi berani mengungkapkan pikirannya sebagai bentuk refleksi atas praksis tradisi dan diskursus tradisi belis orang Manggarai.
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM.........................................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ..................................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ...................................................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ...............................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH...........................................................................................
vi
ABSTRAK......................................................................................................................
ix
ABSTRACT....................................................................................................................
x
RINGKASAN........................................................................................................... ......
xi
DAFTAR ISI ………………………………………………………..............................
xiv
DAFTAR TABEL...........................................................................................................
xviii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................
xix
GLOSARIUM.................................................................................................................
xx
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................
10
1.3 Tujuan Penelitian ………………............................................................
10
1.3.1 Tujuan Umum..............................................................................
10
1.3.2 Tujuan Khusus.............................................................................
11
1.4 Manfaat Penelitian...................................................................................
11
1.4.1 Manfaat Teoretis..........................................................................
11
1.4.2 Manfaat Praktis............................................................................
12
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka .....................................................................................
13
2.2 Konsep.....................................................................................................
18
2.2.1 Diskursus .....................................................................................
18
2.2.2 Tradisi Belis.................................................................................
20
xiv
2.2.3 Orang Manggarai di Nusa Tenggara Timur ................................
22
2.2.4 Tradisi Belis Orang Manggarai ...................................................
24
2.2.5 Diskursus Tradisi Belis Orang Manggarai di Nusa Tenggara Timur..............................................................
26
2.3 Landasan Teori ........................................................................................
27
2.3.1 Teori Relasi Kekuasaan dan Pengetahuan...................................
27
2.3.2 Teori Analisis Wacana Kritis ......................................................
29
2.3.3 Teori Posfeminisme.....................................................................
31
2.4 Model Penelitian .....................................................................................
34
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian .............................................................................
36
3.2 Lokasi Penelitian .....................................................................................
37
3.3 Jenis dan Sumber Data ............................................................................
38
3.4 Teknik Penentuan Informan ....................................................................
38
3.5 Instrumen Penelitian................................................................................
39
3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ..................................................
40
3.6.1 Metode Pengumpulan Data .........................................................
40
3.6.2 Teknik Pengumpulan Data ..........................................................
41
3.7 Metode dan Teknik Analisis Data...........................................................
43
3.7.1 Seleksi Data .................................................................................
43
3.7.2 Transkripsi Data ..........................................................................
44
3.7.3 Analisis Data ...............................................................................
44
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data.....................................................
45
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis ..................................................................................
46
4.2 Kondisi Demografi dan Aksesibilitas .....................................................
48
4.2.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk ...................................
50
4.2.2 Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan .......................
51
4.2.3 Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian..........................
53
4.3 Kebudayaan Orang Manggarai................................................................
57
4.3.1 Bahasa Manggarai .......................................................................
57
4.3.2 Kesenian ......................................................................................
58
xv
4.3.3 Pola Pemukiman..........................................................................
64
4.3.4 Sistem Kepercayaan ....................................................................
65
4.3.5 Sistem Kekerabatan .....................................................................
70
4.3.6 Sistem Perkawinan ......................................................................
72
4.3.6.1 Jenis Perkawinan Adat Manggarai .......................................
73
4.3.6.2 Tahapan Adat dalam Perkawinan Orang Manggarai ...........
74
4.3.6.3 Belis Berdasarkan Jenis Perkawinan Orang Manggarai ..................................................................
78
4.3.6.4 Belis Bagi Janda dalam Konteks Tradisi Pande Molas Kole ................................
BAB V
80
BENTUK DISKURSUS TRADISI BELIS ORANG MANGGARA DI NUSA TENGGARA TIMUR 5.1 Wacana Tulisan .......................................................................................
84
5.2 Wacana Lisan ..........................................................................................
101
5.2.1 Diskursus Belis dalam Masyarakat Tradisional Manggarai.................................................................
101
5.2.2 Diskursus Belis dalam Posmodernitas.........................................
140
5.2.3 Diskursus Belis dalam Tradisi Gereja Katolik Manggarai.................................................................................... BAB VI KEKUASAAN
DI
BALIK
DISKURSUS
TRADISI
BELIS
179
ORANG
MANGGARAI 6.1 Kekuasaan di Balik Diskursus Tradisi Belis Orang Manggarai di Nusa Tenggara Timur .........................................................................
185
6.1.1 Kuasa Kapitalisme.......................................................................
185
6.1.2 Kuasa Gereja Katolik Manggarai ................................................
188
6.1.2.1 Ajaran Kitab Suci Sebagai Landasan Ideologis Humanisasi .............................
190
6.1.2.2 Ajaran Sosial Gereja Katolik Sebagai Landasan Ideologis Humanisasi .............................
191
6.1.3 Kuasa Patriarkal Manggarai (Status Quo)...................................
194
6.1.4 Kuasa Posfeminisme ...................................................................
199
6.2 Relasi Kuasa di dalam Diskursus Tradisi Belis.......................................
202
xvi
6.2.1 Relasi Negosiasi ..........................................................................
204
6.2.1.1 Relasi Negosiasi Tokoh Adat dan Tokoh Masyarakat .........................................................
204
6.2.1.2 Relasi Negosiasi Elit Kultural dan Gereja Katolik Manggarai.........................................................
207
6.2.1.3 Relasi Negosiasi Gereja Katolik Manggarai dan Aktivis Perempuan....................................................................
210
6.2.1.4 Relasi Negosiasi Anak Rona dan Anak Wina .......................
211
6.2.2 Relasi Kuasa Oposisional ............................................................
213
6.2.2.1 Relasi Oposisional Imam Lokal dan Gereja Katolik Manggarai.........................................................
213
6.2.2.2 Relasi Oposisional Gereja Katolik Manggarai dan Elit Kultural..........................................................................
216
6.2.2.3 Relasi Oposisional Aktivis Perempuan dan Elit Kultural..........................................................................
220
6.2.2.4 Relasi Oposisional Aktivis Perempuan dan Gereja Katolik Manggarai ....................................................
225
BAB VII REFLEKSI PRAKSIS ORANG MANGGARAI TERHADAP DISKURSUS TRADISI BELIS 7.1 Refleksi Praksis Perempuan Manggarai..................................................
231
7.2 Refleksi Praksis Elit Kultural ..................................................................
253
7.3 Refleksi Praksis Gereja Katolik Manggarai ............................................
256
7.4 Refleksi Penulis.......................................................................................
259
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan..................................................................................................
262
8.2 Saran........................................................................................................
265
Daftar Pustaka.................................................................................................................
268
Pedoman Wawancara......................................................................................................
273
Daftar Informan ..............................................................................................................
276
xvii
DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Langke Rembong Menurut Jenis Kelamin........................................................................................................
50
Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Kecamatan Langke Rembong Menurut Tingkat Pendidikan....................................................................................................
51
Tabel 4.3 Jenis Usaha di Kecamatan Langke Rembong ..............................................
54
Tabel 4.4 Populasi Ternak Besar di Kecamatan Langke Rembong.............................
56
Tabel 4.5 Populasi Ternak Kecil dan Unggas di Kecamatan Langke Rembong ......................................................................................................
56
Tabel 4.6 Jumlah Penduduk Menurut Agama..............................................................
67
Tabel 4.7 Jumlah Tempat Ibadah Menurut Agama di Kecamatan Langke Rembong ......................................................................................................
67
Tabel 5.1 Model Analisis Sara Mills............................................................................
84
Tabel 5.2 Perbedaan Konteks Sosial di Sekitar Belis Dahulu dan Sekarang ...............
137
xviii
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Situasi dalam Tahapan Ritual Perkawinan Adat Orang Manggarai .......................................................................................
22
Gambar 2.2 Tahapan Pongo dalam Perkawinan Adat Orang Manggarai .....................
25
Gambar 4.1 Persentase Luas Wilayah Kecamatan Langke Rembong ..........................
47
Gambar 4.2 Peta Kecamatan Langke Rembong............................................................
52
Gambar 4.3 Jumlah Produksi Padi di Kecamatan Langke Rembong............................
55
Gambar 4.4 Sepasang Pengantin Mengenakan Busana Adat Manggarai......................
61
Gambar 5.1 Mempelai Laki-laki dan Perempuan bersama Sejumlah Uang yang Menjadi Ketentuan Belis .........................................
117
Gambar 5.2 Jenis Hewan Belis Orang Manggarai.........................................................
136
Gambar 5.3 Suasana Masuk minta dan Penyerahan Belis .............................................
139
Gambar 5.4 Pertukaran Cincin dalam Tahapan Adat Perkawinan Orang Manggarai ...................................................................
147
Gambar 5.5 Suguhan Sirih dan Pinang dalam Tahapan Meminang..............................
158
Gambar 5.6 Uang dan Beer dalam Pembicaraan Adat Orang Manggarai.....................
166
xix
GLOSARIUM Ajaran Sosial Gereja
: seluruh kumpulan prinsip sosial dan ajaran moral sebagaimana diartikulasikan Hirarki dalam dokumen-dokumen resmi Gereja Katolik yang dikeluarkan oleh Magisterium Gereja Katolik, semisal dokumen Konsili Vatikan II maupun Sinode para uskup, ensiklik-ensiklik kepausan maupun nota doktrinal kongregasi Tahta Suci tentang persoalan-persoalan sosial. Sebagai
contoh,
Rerum
Novarum,
Gaudium
et
Spes,
Cantesimus Annus, Laborem Exersens. anak rona
: 1) anak laki-laki; keluarga mempelai perempuan atau keluarga yang akan mendapatkan anak laki-laki sebagai anggota keluarga, 2) peran sosial dalam konteks hubungan perkawinan orang Manggarai yakni sebagai kelompok yang berhak menuntut anak wina untuk menyerahkan sejumlah uang sebagai kewajiban atau sida.
anak wina
: 1) anak perempuan; keluarga mempelai laki-laki atau keluarga yang akan mendapatkan anak perempuan sebagai anggota keluarga, 2) peran sosial dalam konteks hubungan perkawinan orang Manggarai yakni sebagai kelompok yang wajib menyerahkan sejumlah uang sebagai kewajiban atau sida kepada kelompok anak rona.
Ata one
: sebutan
adat
yang
menegaskan
bahwa
laki-laki
dan
keturunannya berada dalam struktur kekerabatan patrilineal Ata pe’ang
: sebutan adat yang menegaskan bahwa perempuan dan keturunannya berada di luar struktur kekerabatan sang ayah (patrilineal) karena akan menikah dan mengikuti struktur kekerabatan suami.
xx
bis kayu
: truk yang dimodifikasi sebagai sarana angkutan penumpang pedesaan
counter hegemoni
: gerakan
perlawanan
terhadap
kelompok-kelompok
yang
berkuasa. Gerakan ini dikonstruksi secara diskursif oleh kelompok-kelompok subordinat sehingga terjadi pertarungan diskursus. ela podo wa’u
: sanksi adat yang harus dibayar untuk memulihkan nama baik jika terjadi perceraian atau pemutusan hubungan perkawinan.
Enu, nu
: sapaan kepada perempuan Manggarai.
golo
: Kampung atau pemukiman
hegemoni
: proses
membuat,
menjaga
dan
mempertahankan
serta
memproduksi seperangkat makna, ideologi dan praktik yang bersifat otoritatif melalui konsep bersama tentang kenyataan. humanisasi
: proses pembentukan subyek dan identitas kultural dari seorang manusia sehingga mampu mengatur diri sendiri.
ideologi
: konsep ideologi menurut Foucault adalah kekuasaan atau pengetahuan yang membentuk relasi-relasi sosial di dalam dan lewat kekuasaan. Ideologi kemudian mewujud dalam wacana dan menjadi alasan pembenaran atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.
jaran
: kuda
kaba
: kerbau
kaer wae cucu de ende
: upacara adat yang dilakukan kepada ibu menyusui dengan maksud agar ibu dapat memberikan ASI eksklusif kepada anaknya sehingga anaknya sehat selama masa pertumbuhan sekaligus membangun ikatan cinta yang mendalam antara ibu dan anak tersebut.
xxi
kapitalisme
: sistem yang bertujuan untuk meraup keuntungan. Sistem ini mengalami
perkembangan
menyangkut
sarana
produksi
sekaligus penciptaan pasar-pasar baru, misalnya gaya hidup, pendidikan dan ranah budaya. Kraeng
: sapaan kepada seseorang dengan maksud menghormati.
kumpul kope
: sikap ‘gotong-royong’ mengumpulkan sejumlah ketentuan belis untuk laki-laki yang mau menikah yang dilakukan oleh keluarga mempelai laki-laki dan kerabat yang terkait.
lonto leok
: musyawarah, forum diskusi
mbaru gendang
: rumah adat
Mori Kraeng
: Tuhan Yang Maha Kuasa, pencipta, wujud tertinggi
onto kursi
: dalam konteks tahapan perkawinan, kata ini berarti gelaran pesta perkawinan yang besar.
relasi oposisional
: interaksi atau hubungan yang sifatnya menentang dan mengkritisi pendapat atau kebijakan kelompok yang berkuasa.
relasi negosiasi
: interaksi tanpa tekanan dan pendiktean dari kelompok manapun dengan tujuan untuk bertukar kepentingan dan mencari titik temu dari perbedaan persepsi dan tuntutan.
paca
: sebutan lokal orang Manggarai yang merujuk pada belis atau mahar.
pande molas kole
: mengembalikan status dan nama baik perempuan (janda)
patriarkal Manggarai
: paradigma yang menerima pembedaan laki-laki dan perempuan sebagai sesuatu yang natural dan universal. Paradigma ini disebabkan oleh sistem yang melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi perempuan dalam kehidupan sosial dan budaya orang Manggarai.
penti
: pesta syukur panen atau syukur atas keberhasilan.
xxii
poli lunas belis
: belis telah diserahkan sesuai kesepakatan antara kedua belah pihak.
posmodernitas
: kondisi
pengetahuan
atau
pemikiran,
yang
mengkritisi
modernitas, merefleksikan dirinya sendiri dari kejauhan (secara berjarak) dan merasakan adanya dorongan untuk berubah. refleksi praksis
: kesadaran
terhadap
pengalaman
yang
dialami,
cara
mendefinisikan diri sendiri, budaya dan dunia, kritis terhadap klaim-klaim kebenaran yang telah diterima selama ini dan unjuk aksi pembebasan diri dan subyek yang tertindas dari komunikasi dan struktur yang mendominasi (emansipatoris). Sang Liyan
: pembedaan dalam model biner yang melibatkan relasi kekuasaan, dimana salah satu kubu dikuatkan atau dicitrakan secara positif, sementara yang lain ‘dikebawahkan’. Sebagai contoh, oposisi biner laki-laki dan perempuan; penjajah dan yang dijajah.
sapi reme kawing
: sapi yang disembelih dan dikonsumsi saat gelaran pesta perkawinan.
seng wali tuak rongko
: sejumlah uang yang wajib diberikan pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan apabila dalam acara adat disuguhi tuak atau semua minuman dan rokok. Biasanya uang yang diberikan senilai dua kali lipat harga pasar.
status quo
: struktur yang mengekalkan apa yang terjadi sekarang untuk mencegah timbulnya ketidakstabilan demi memertahankan kepentingan-kepentingan tertentu.
tanjeng
: sikap menyerahkan kepada orang lain untuk mengambil keputusan bahkan keputusan untuk dirinya sendiri.
Tongka tei
: juru bicara pihak keluarga mempelai laki-laki.
Tongka tiba
: juru bicara pihak keluarga mempelai perempuan.
xxiii
Tu’a golo
: elit
tradisional
atau
tua
adat
yang
memimpin
suatu
perkampungan. Elit tradisional ini diberi kuasa untuk mengurus dan mengatur urusan adat di kampung sehingga ia menjadi pengambil keputusan tertinggi dan berwenang memberi sanksi adat kepada yang melanggar adat di kampung. Tu’a teno
: elit tradisional yang berkuasa penuh untuk membagikan bagianbagian tanah ulayat kepada tiap-tiap keluarga atau warga kampung untuk diolah sebagai lahan pertanian dan perkebunan dan melaksanakan ritus pembagian tanah.
turuk empo
: menceritakan silsilah keluarga dari kedua mempelai.
wae teku tedeng
: filosofi orang Manggarai mengenai relasi yang tercipta karena ikatan perkawinan. Relasi yang tercipta diantara kedua keluarga besar bersifat abadi dan tidak akan terputus. Hubungan tersebut seperti mata air yang mengalir, tak pernah berhenti meskipun ditimbah terus-menerus.
wali sida
: memenuhi kewajiban berupa sumbangan ketika terjadi peristiwa perkawinan dan kematian dalam keluarga anak rona dengan tujuan
saling
meneguhkan
dan
melestarikan
kehidupan
keluarga. wa’u
: keluarga yang terbentuk dalam hubungan patrilineal, satu klan, satu keturunan.
wida
: pemberian perlengkapan rumah tangga dari pihak keluarga mempelai perempuan, semisal kain adat, perlengkapan dan perabotan rumah tangga.
xxiv