SALINAN BUPATI MANGGARAI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANGGARAI NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KESETARAAN DAN PEMBERDAYAAN PENYANDANG DISABILITAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MANGGARAI, Menimbang
: a. bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan daerah yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera, penyandang disabilitas merupakan bagian dari seluruh masyarakat Kabupaten Manggarai yang memiliki kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dalam berbagai hal; b. bahwa untuk mewujudkan kesamaan kedudukan, hak, kewajiban dan peran penyandang disabilitas diperlukan sarana dan upaya yang lebih memadai, terpadu dan berkesinambungan dalam rangka menciptakan kemandirian dan kesejahteraan penyandang disabilitas; c. bahwa wujud kesetaraan dan pemberdayaan adalah perlakuan non diskriminatif, penyediaan sarana prasarana yang mamadai dan upaya terpadu serta berkesinambungan dari Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran aktif masyarakat; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Kesetaraan dan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas;
Mengingat
: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3298); 4. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyadang 1
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Cacat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3670 ); Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886 ); Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967); Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Person with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2011 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5251 ); Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3754); Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1999 tentang Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas; Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2010 tentang Panduan Umum Pembentukan Pusat Informasi dan Konsultasi Bagi Perempuan Penyandang Disabilitas (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 601); Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MANGGARAI dan BUPATI MANGGARAI MEMUTUSKAN : Menetapkan :
PERATURAN DAERAH TENTANG KESETARAAN PEMBERDAYAAN PENYANDANG DISABILITAS.
2
DAN
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Manggarai. 2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Manggarai. 3. Bupati adalah Bupati Manggarai. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Manggarai. 5. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah lingkup Pemerintah Daerah. 6. Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelemahan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya yang terdiri dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental, penyandang disabilitas fisik dan mental. 7. Derajat Disabilitas adalah tingkat berat ringannya keadaan disabilitas yang disandang seseorang. 8. Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang kepada penyandang disabilitas untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. 9. Aksesibilitas adalah kemudahan disediakan bagi penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. 10. Rehabilitasi adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang disabilitas mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. 11. Rehabilitasi Medik adalah kegiatan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui tindakan medik agar penyandang disabilitas dapat mencapai kemampuan fungsionalnya semaksimal mungkin. 12. Rehabilitasi Pendidikan adalah kegiatan pelayanan pendidikan secara utuh dan terpadu melalui proses belajar mengajar agar penyandang disabilitas dapat mengikuti pendidikan secara optimal sesuai bakat, minat dan kemampuannya. 13. Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. 14. Bantuan sosial adalah upaya pemberian bantuan kepada penyadang disabilitas yang tidak mampu yang bersifat tidak tetap, agar mereka dapat meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya. 15. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial adalah upaya perlindungan dan pelayanan yang bersifat terus menerus, agar penyandang disabilitas dapat mewujudkan taraf hidup yang wajar. 16. Pemberdayaan adalah sebuah upaya untuk menciptakan/meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya. 17. Kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara sesuai dengan Pancasila.
3
18. Kemandirian adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam segala aspek kehidupan tanpa tergantung pada orang lain. 19. Lembaga-lembaga non pemerintah adalah lembaga-lembaga di luar sektor pemerintah maupun bisnis swasta yang bergerak dalam aktivitas atau pembelaan kepentingan umum dan menekankan pola-pola alternatif serta pemberdayaan masyarakat. 20. Lembaga Pendidikan adalah lembaga yang berusaha untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. 21. Kesehatan adalah keadaan sejahtera fisik, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. 23. Pelayanan kesehatan adalah segala kegiatan yang diberikan kepada seseorang dalam rangka observasi, diagnosis, pengobatan atau pelayanan kesehatan lainnya di Rumah Sakit Umum Daerah, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan jaringannya. 24. Sekolah Luar Biasa yang selanjutnya disingkat SLB adalah sekolah yang melayani/menangani anak-anak yang menyandang kelainan fisik atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan ketrampilan sebagai pribadi, maupun sebagai anggota masyarakat dalam hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau dapat mengikuti pendidikan lanjutan. 25. Tim Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas Daerah yang selanjutnya disingkat TKP2KS Penyandang Disabilitas Daerah adalah Tim Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas Daerah. 26. Balai Latihan Kerja yang selanjutnya disingkat BLK adalah Unit Pelaksana Teknis pada Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Manggarai. 27. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. 28. Kelas terpadu atau inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak-anak yang berkelainan (penyandang hambatan/cacat fisik) dilayani di sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. 29. Masyarakat adalah perseorangan, kelompok dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan. 30. Orangtua adalah ayah dan/atau ibu kandung atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. 31. Keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan. 32. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah Kabupaten Manggarai. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Penyelenggaraan Kesetaraan dan dilaksanakan berdasarkan asas :
Pemberdayaan
4
penyandang
disabilitas
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m.
kemanusiaan; keadilan; kemanfaatan; keterpaduan; kemitraan; keterbukaan; akuntabilitas; partisipasi; kesetaraan; non diskriminasi; profesionalitas; kesejahteraan Sosial; dan keberlanjutan. Pasal 3
(1)
(2)
Penyelenggaraan kesetaraan dan pemberdayaan penyandang disabilitas bertujuan untuk mewujudkan kemandirian, kesamaan hak dan kesempatan serta meningkatkan kemampuan penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Tujuan penyelenggaraan kesetaraan dan pemberdayaan penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari : a. meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup; b. memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian; c. meningkatkan ketahanan sosial penyandang disabilitas dalam mencegah dan menangani masalah kesejahteraan sosial; d. meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggung jawab sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesetaraan dan pemberdayaan penyandang disabilitas secara melembaga dan berkelanjutan; e. meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; f. meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial. BAB III KEWAJIBAN PEMERINTAH DAERAH Pasal 4
(1)
Kewajiban Pemerintah Daerah dalam pelayanan dan pemberdayaan penyandang disabilitas meliputi: a. melaksanakan kebijakan Pemerintah dalam pemberdayaan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas; b. memperhatikan kesetaraan dan pemberdayaan serta pelayanan bagi penyandang disabilitas dalam menyusun setiap kebijakan dan/atau rencana kerja; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan, program dan/atau kegiatan pemberdayaan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas; d. memberikan dukungan sarana dan prasarana pemberdayaan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas; e. memfasilitasi penyandang disabilitas untuk mengembangkan kemampuan dan bakatnya dalam mencapai kemandirian dalam kehidupan dan penghidupan; f. mendorong dunia usaha dan masyarakat untuk memberikan perlindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas; 5
g.
(2)
(3)
(4)
mengalokasikan anggaran pemberdayaan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara proporsional yang disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah; h. melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap perlindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas; i. wajib memberikan bantuan dana kepada lembaga swasta yang menyelenggarakan pendidikan bagi penyandang disabilitas; j. menjamin bahwa sektor swasta yang menawarkan fasilitas dan layanan yang terbuka atau tersedia untuk publik mempertimbangkan seluruh aspek aksesibilitas bagi penyandang disabilitas; k. menyelenggarakan pelatihan bagi pemangku kepentingan tentang masalah aksesibilitas yang dihadapi oleh penyandang disabilitas; l. menyediakan di dalam gedung dan fasilitas lain yang terbuka untuk publik, tanda-tanda dalam huruf Braille dan dalam bentuk yang mudah dibaca dan dipahami; m. menambah bentuk bantuan dan dukungan lain yang sesuai bagi penyandang disabilitas untuk menjamin akses mereka terhadap informasi; n. meningkatkan akses bagi penyandang disabilitas terhadap sistem serta teknologi informasi dan komunikasi yang baru, termasuk internet; dan o. kewajiban lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundang yang berlaku. Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati menetapkan Rencana Aksi Daerah Pemberdayaan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas. Rencana Aksi Daerah Pemberdayaan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan dan merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Ketentuan lebih lanjut tentang Rencana Aksi Daerah Perlindungan Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Peraturan Bupati. BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN Pasal 5
(1)
(2)
Setiap penyandang disabilitas mempunyai hak yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Hak yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diperoleh penyandang disabilitas dengan pelayanan khusus sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasannya. Pasal 6
(1) (2)
Setiap penyandang disabilitas mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan jenis dan derajat kedisabilitasan, pendidikan dan kemampuannya.
6
BAB V KESAMAAN KESEMPATAN Pasal 7 (1)
(2)
Setiap penyandang disabilitas mempunyai kesamaan kesempatan dalam bidang: a. pendidikan; b. ketenagakerjaan dan usaha; c. kesehatan; d. olahraga; e. seni budaya; f. pelayanan publik; g. bantuan hukum; dan h. informasi. Kesamaan kesempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan dengan pelayanan khusus. Bagian Kesatu Pendidikan Pasal 8
Setiap penyandang disabilitas berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan pada satuan, jenis, dan jenjang pendidikan. Pasal 9 (1)
(2)
Pemerintah Daerah wajib menyediakan pendidikan khusus dalam bentuk SLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. SLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan untuk menampung peserta didik penyandang disabilitas yang karena jenis atau derajat kedisabilitasannya tidak dapat mengikuti kelas terpadu atau inklusi. Pasal 10
(1) (2)
(3)
Penyelenggara pendidikan adalah satuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah Daerah dan lembaga swasta. Setiap penyelenggara pendidikan wajib memberikan kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas sebagai peserta didik pada semua satuan, jenis dan jenjang pendidikan. Setiap penyelenggara pendidikan wajib memberikan pelayanan khusus bagi peserta didik penyandang disabilitas yang disesuaikan dengan jenis dan derajat kedisabilitasannya. Pasal 11
(1) (2)
Setiap penyelenggara pendidikan dapat menyelenggarakan kelas terpadu atau inklusi bagi penyandang disabilitas. Penyelenggara pendidikan yang menyelenggarakan kelas terpadu atau inklusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan: a. guru dan pembimbing khusus yang memiliki kompetensi di bidangnya; dan b. sarana dan prasarana sesuai jenis dan derajat kedisabilitasan peserta didik. 7
(3)
(4)
(5)
Dalam hal jumlah peserta didik penyandang disabilitas tidak memenuhi persyaratan untuk dibentuknya kelas terpadu atau inklusi, penyelenggara pendidikan wajib berkoordinasi dengan penyelenggara pendidikan lain yang sudah memiliki kelas terpadu atau inklusi. Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan untuk memindahkan dan/atau menempatkan peserta didik penyandang disabilitas ke penyelenggara pendidikan lain yang sudah memiliki kelas terpadu atau inklusi sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikannya. Penyelenggara pendidikan yang memiliki kelas terpadu atau inklusi wajib menerima peserta didik penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 12
Peserta didik penyandang disabilitas dapat pindah pada satuan pendidikan lain yang setara yang sudah memiliki dan/atau menyediakan kelas terpadu atau inklusi atau pada satuan pendidikan khusus penyandang disabilitas. Pasal 13 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan kelas terpadu atau inklusi dan SLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati. Bagian Kedua Ketenagakerjaan dan usaha Pasal 14 (1)
(2)
Setiap penyandang disabilitas mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasannya. Tenaga kerja penyandang disabilitas berhak mendapatkan pelayanan khusus dan/atau mendapat aksesibilitas dalam menjalankan pekerjaannya sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasannya. Pasal 15
(1)
(2)
Pemerintah Daerah, pelaku usaha dan/atau masyarakat wajib memberikan kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan jabatan dan kualifikasi yang dibutuhkan. Pemberian kesempatan yang sama sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan fasilitas khusus. Pasal 16
(1) (2)
Setiap pekerja penyandang disabilitas berhak mendapat perlakuan yang sama dengan pekerja lain tanpa diskriminasi. Pekerja lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghormati dan mengupayakan terwujudnya hak-hak penyandang disabilitas dalam menjalankan pekerjaannya. Pasal 17
(1)
Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan pelatihan kerja bagi calon tenaga kerja penyandang disabilitas. 8
(2)
Pelatihan kerja bagi calon tenaga kerja penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh pelaku usaha dan/atau masyarakat. Pasal 18
(1)
(2)
Pelatihan kerja bagi calon tenaga kerja penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), diselenggarakan melalui BLK. Pelatihan kerja bagi calon tenaga kerja penyandang disabilitas oleh BLK diberikan secara cuma-cuma atau tanpa biaya. Pasal 19
(1)
(2)
(3)
Pelatihan kerja bagi calon tenaga kerja penyandang disabilitas yang diselenggarakan oleh pelaku usaha dan/atau masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dilakukan secara mandiri dengan tetap mengacu pada standar pelatihan kerja yang berlaku. Pelaku usaha dan/atau masyarakat penyelenggara pelatihan kerja bagi calon tenaga kerja penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memberikan keringanan biaya pelatihan yang akan memberatkan kepada calon tenaga kerja penyandang disabilitas. Pelaku usaha dan/atau masyarakat penyelenggara pelatihan kerja bagi calon tenaga kerja penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membebaskan biaya pelatihan dan/atau biaya lainnya bagi calon tenaga kerja penyandang disabilitas yang tidak mampu. Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelatihan kerja bagi calon tenaga kerja penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati. Pasal 21 (1)
(2)
(3)
Pemerintah Daerah, pelaku usaha dan/atau masyarakat wajib memberikan kesempatan yang sama, dukungan dan/atau bantuan kepada penyandang disabilitas yang memiliki keterampilan dan/atau keahlian untuk usaha sendiri atau kelompok usaha bersama. Dukungan dan/atau bantuan dari Pemerintah Daerah, pelaku usaha dan/atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. bantuan pendanaan atau permodalan; b. sarana dan prasarana; c. pemberian pelatihan dan/atau pendampingan; d. tenaga guru/pengajar dan/atau tenaga teknis lainnya. e. memfasilitasi pengurusan izin usaha; f. informasi usaha; g. promosi dan pemasaran; dan Dukungan dan/atau bantuan dari pelaku usaha dan/atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian dari kepedulian dan tanggung jawab perusahaan. Pasal 22
Bantuan pendanaan atau permodalan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a dapat diberikan dalam bentuk:
9
a.
b.
memberikan kemudahan bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan kredit dari perbankan dan/atau lembaga keuangan bukan bank dengan bantuan jaminan dari Pemerintah Daerah; dan memberikan bantuan pendanaan atau permodalan dalam bentuk hibah kepada kelompok usaha penyandang disabilitas sesuai dengan kemampuan keuangan daerah yang diserasikan, diselaraskan dengan rencana aksi perlindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas. Pasal 23
Dukungan atau bantuan sarana dan prasarana oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b dapat berupa: a. menyediakan tempat atau lokasi promosi, pemasaran atau penjualan produk usaha penyandang disabilitas; dan b. memberikan alat produksi (usaha) bagi penyandang disabilitas. Pasal 24 Dukungan atau bantuan pelatihan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c dapat berupa: a. menyediakan tempat dan/atau sarana pelatihan usaha; dan b. menyediakan instruktur dan/atau tenaga profesional yang memiliki keterampilan dan/atau keahlian dalam bidang usaha tertentu yang disesuaikan dengan kebutuhan dan/atau bidang usaha penyandang disabilitas. Pasal 25 Dukungan atau bantuan tenaga guru/pengajar dan/atau tenaga teknis lainnya oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d, dapat berupa menyediakan tenaga guru/pengajar dan/atau tenaga teknis lainnya yang memiliki kualifikasi pendidikan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas. Pasal 26 Dukungan atau bantuan perizinan usaha oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf e diberikan dalam bentuk: a. fasilitasi perizinan; b. kemudahan perizinan; dan c. keringanan biaya perizinan. Pasal 27 Dukungan atau bantuan informasi usaha oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf f dapat berupa: a. menyediakan alat atau media informasi yang memadai yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas dalam mengembangkan usahanya sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasannya; dan b. mengadakan atau menyediakan informasi mengenai prospek pemasaran dan pasar produk usaha penyandang disabilitas. Pasal 28 Dukungan atau bantuan promosi oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf g dapat berupa: a. membantu biaya promosi produk usaha penyandang disabilitas; 10
b.
c.
d.
menyediakan tempat (stand) khusus promosi produk usaha penyandang disabilitas paling sedikit 1 (satu) stand dalam setiap kegiatan pagelaran, pameran, festival, expo atau kegiatan sejenis yang diikuti oleh Pemerintah Kabupaten atau Provinsi baik di dalam maupun luar negeri; meningkatkan promosi produk usaha penyandang disabilitas melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik dan membuat website khusus promosi produk usaha penyandang disabilitas; dan memfasilitasi pendaftaran hak kekayaan intelektual atas produk usaha penyandang disabilitas. Pasal 29
(1)
(2)
Bantuan atau dukungan pendanaan atau permodalan dari pelaku usaha dan/atau masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a dapat berupa: a. pemberian hibah; b. pemberian bantuan modal usaha untuk mendukung atau membantu modal usaha penyandang disabilitas; dan c. pemberian pinjaman modal dengan bunga yang lebih kecil dan/atau sama besar dengan bunga yang diberlakukan perbankan dengan atau tanpa jaminan. Pemberian bantuan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bukan merupakan bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan. Pasal 30
Bantuan atau dukungan sarana dan prasarana oleh pelaku usaha dan/atau masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b, dapat dilakukan dengan cara membangun sarana dan prasarana usaha penyandang disabilitas seperti tempat atau sarana promosi, alat produksi dan pemasaran produk usaha penyandang disabilitas secara cuma-cuma yang biaya pembangunannya bukan bersumber dari keuangan pemerintah atau pemerintah daerah. Pasal 31 Bantuan atau dukungan pemberian pelatihan dan/atau pendampingan oleh pelaku usaha dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c, dapat dilakukan dengan: a. memberikan pelatihan secara cuma-cuma terhadap penyandang disabilitas sesuai dengan bidang usahanya; dan b. memberikan tenaga pendamping dari kalangan profesional yang memiliki keterampilan atau keahlian dalam bidang usaha tertentu yang ditujukan untuk meningkatkan atau memajukan usaha penyandang disabilitas. Pasal 32 Bantuan dan dukungan tenaga guru/pengajar dan/atau tenaga teknis lainnya oleh pelaku usaha dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d, dapat berupa menyediakan tenaga guru/pengajar dan/atau tenaga teknis lainnya yang memiliki kualifikasi pendidikan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas. Pasal 33 (1) Bantuan atau dukungan perizinan usaha oleh pelaku usaha dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf e, dapat 11
diberikan dengan membantu pengurusan izin usaha penyandang disabilitas. (2) Pelaku usaha dan/atau masyarakat yang memberikan bantuan pengurusan izin usaha penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menanggung biaya pengurusan izin sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 34 Bantuan atau dukungan informasi usaha oleh pelaku usaha dan/atau masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf f, dapat dilakukan dengan memberikan informasi dan konsultasi mengenai pasar, sumber pembiayaan, komoditas, penjaminan, desain dan teknologi, serta mutu. Pasal 35 Bantuan dan dukungan promosi dan pemasaran oleh pelaku usaha dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf g yang memiliki tempat pemasaran, toko, pusat perbelanjaan/mall, minimarket dan/atau tempat penjualan produk dagangan lainnya dengan berperan secara aktif membantu promosi dan pemasaran hasil produk yang dihasilkan oleh penyandang disabilitas untuk dipasarkan. Bagian Ketiga Kesehatan Pasal 36 (1) (2)
(3)
Penyandang disabilitas dapat disetarakan dengan individu yang sehat jasmani dan rohani. Setiap penyandang disabilitas berhak mendapatkan layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan kondisi dan kebutuhan individu penyandang disabilitas. Setiap orang yang memberikan layanan kesehatan dilarang menolak pasien penyandang disabilitas yang membutuhkan layanan kesehatan. Pasal 37
(1)
(2)
(3)
Pemerintah Daerah berkewajiban memberikan upaya pelayanan kesehatan yang berkualitas sesuai dengan kondisi dan kebutuhan penyandang disabilitas. Pemerintah Daerah berkewajiban menjamin ketersediaan tenaga, alat dan obat dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu bagi penyandang disabilitas. Upaya pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada prinsip kemudahan, keamanan, kenyamanan, keadilan, cepat dan berkualitas. Pasal 38
Upaya pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) meliputi: a. promotif; b. preventif; c. kuratif; dan d. rehabilitatif. 12
Pasal 39 Upaya pelayanan kesehatan dalam bentuk kegiatan promotif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a meliputi: a. penyebarluasan informasi tentang disabilitas; b. penyebarluasan informasi tentang pencegahan disabilitas; dan c. penyuluhan tentang deteksi dini disabilitas. Pasal 40 Upaya pelayanan kesehatan dalam bentuk kegiatan preventif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf b berupa upaya pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan yang diberikan kepada penyandang disabilitas dengan menciptakan lingkungan hidup dan perilaku yang sehat dengan menyertakan peran serta masyarakat. Pasal 41 (1)
(2)
(3)
Upaya pelayanan kesehatan dalam bentuk kegiatan kuratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf c dilakukan melalui pemberian pelayanan kesehatan dan pengobatan. Pelayanan kesehatan dan pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui perawatan rumah, pelayanan pada sarana kesehatan dasar dan pelayanan pada sarana kesehatan rujukan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang ditunjuk dalam wilayah kerjanya. Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai standar pelayanan minimal, dan dilakukan dengan: a. perawatan yang berkualitas dari tenaga kesehatan yang profesional; b. upaya aktif petugas kesehatan mendatangi penyandang disabilitas yang membutuhkan pelayanan kesehatan sesuai indikasi medis; c. dukungan penuh dari keluarga, masyarakat dan petugas sosial; dan d. persetujuan penyandang disabilitas dan/atau walinya atas tindakan medis yang dilakukan. Pasal 42
(1)
(2)
(3)
Upaya pelayanan kesehatan dalam bentuk kegiatan rehabilitatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf d merupakan suatu kegiatan rehabilitasi medik untuk mengembalikan fungsi organ tubuh secara optimal. Rehabilitasi medik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui tindakan medis. Tindakan medik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa pelayanan: a. dokter; b. psikolog; c. fisioterapi: d. terapi okupasi; e. terapi wicara; f. pemberian alat bantu atau alat pengganti; g. sosial medik; dan h. pelayanan medik lainnya. Pasal 43
Pemerintah Daerah melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah Provinsi dan penyelenggara kesehatan swasta untuk menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan. 13
Pasal 44 Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, meliputi: a. pelayanan kesehatan tingkat pertama, berupa pelayanan kesehatan dasar yang disediakan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama; b. pelayanan kesehatan tingkat kedua, berupa pelayanan kesehatan spesialistik yang diberikan oleh rumah sakit pemerintah dan/atau rumah sakit swasta; dan c. pelayanan kesehatan tingkat ketiga, berupa pelayanan kesehatan sub spesialistik yang diberikan oleh rumah sakit pemerintah dan/atau rumah sakit swasta. Bagian Keempat Olahraga Pasal 45 Pemerintah Daerah berkewajiban membina dan mengembangkan olahraga bagi penyandang disabilitas, yang dilaksanakan dan diarahkan untuk meningkatkan kesehatan, rasa percaya diri dan prestasi penyandang disabilitas dalam olahraga. Pasal 46 (1)
(2)
(3)
Pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, diselenggarakan pada lingkup olahraga pendidikan, olahraga rekreasi dan olahraga prestasi berdasarkan jenis olahraga bagi penyandang disabilitas dan sesuai jenis, derajat kedisabilitasan, dan kemampuannya. Pembinaan dan pengembangan olahraga bagi penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan melalui kegiatan pengenalan olahraga, penataran dan/atau pelatihan olahraga, dan kompetisi berjenjang dan berkelanjutan serta turnamen baik tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi maupun Nasional dan Internasional. Dalam melakukan pembinaan dan pengembangan olahraga bagi penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah Kabupaten bekerjasama dengan organisasi olahraga penyandang disabilitas dan berkewajiban membentuk sentra pembinaan pengembangan olahraga khusus bagi penyandang disabilitas. Pasal 47
(1)
(2)
Pemerintah Daerah bekerjasama dengan organisasi/perkumpulan olahraga penyandang disabilitas menyelenggarakan pekan olahraga penyandang disabilitas secara berjenjang sekurang-kurangnya 1 (satu) kali setiap tahun. Pekan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diselenggarakan antar organisasi/perkumpulan olahraga penyandang disabilitas. Pasal 48
Pemerintah Daerah memfasilitasi pembinaan dan pengembangan olahraga bagi penyandang disabilitas yang diselenggarakan masyarakat dan/atau organisasi olahraga penyandang disabilitas.
14
Pasal 49 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diatur dalam Peraturan Bupati. Bagian Kelima Seni Budaya Pasal 50 (1)
(2)
(3)
Pemerintah Daerah, klub dan/atau paguyuban seni budaya serta pelaku seni budaya, membina dan mengembangkan seni budaya bagi penyandang disabilitas sesuai minat dan bakat serta jenis dan/atau derajat kedisabilitasannya. Pembinaan dan pengembangan seni budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sebagai upaya untuk mengembangkan atau menumbuhkan minat dan bakat dan/atau kemampuan penyandang disabilitas di bidang seni budaya. Pembinaan dan pengembangan seni budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan dengan cara membangun dan memanfaatkan potensi sumber daya, serta sarana dan prasarana seni budaya. Pasal 51
Pembinaan dan pengembangan seni budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), dilakukan dengan cara menggali, mengembangkan, melestarikan, dan memanfaatkan seni budaya. Pasal 52 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengembangan seni budaya bagi penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), diatur dalam Peraturan Bupati. Bagian Keenam Pelayanan Publik Pasal 53 (1)
(2)
SKPD dan instansi vertikal sebagai penyelenggara pelayanan publik, wajib memberikan pelayanan dengan perlakuan khusus kepada penyandang disabilitas. Pelayanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mendahulukan pelayanan dan/atau memberikan fasilitas khusus kepada penyandang disabilitas. Pasal 54
(1)
(2)
Bupati wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemberian pelayanan publik oleh satuan kerja perangkat daerah kepada penyandang disabilitas. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
15
Bagian Ketujuh Bantuan Hukum Pasal 55 (1) (2) (3)
(4)
(5)
Penyandang disabilitas berhak mendapatkan bantuan hukum. Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam rangka perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas. Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. pendampingan; b. pembelaan; dan c. tindakan hukum lainnya. Pemberian pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, diberikan oleh masyarakat secara cuma-cuma untuk perlindungan hukum penyandang disabilitas di luar pengadilan. Pemberian pendampingan, pembelaan dan tindakan hukum lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan oleh advokat dan/atau lembaga bantuan hukum untuk perlindungan hukum di luar dan/atau di dalam pengadilan. Bagian Kedelapan Informasi Pasal 56
(1)
(2)
(3)
Setiap penyandang disabilitas berhak memperoleh informasi yang seluasluasnya secara benar dan akurat mengenai berbagai hal yang dibutuhkan. Setiap SKPD dan instansi vertikal wajib memberikan informasi yang diperlukan oleh penyandang disabilitas, sepanjang bukan merupakan rahasia Negara dan/atau informasi lainnya yang dikecualikan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap SKPD dan instansi vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberikan informasi kepada penyandang disabilitas sesuai dengan jenis dan derajat disabilitasnya. Pasal 57
Pemerintah Daerah dan/atau pelaku usaha, bertanggung jawab untuk menyediakan sarana dan prasarana akses informasi dan komunikasi bagi penyandang disabilitas sesuai dengan jenis kedisabilitasannya. BAB VI AKSESIBILITAS Pasal 58 (1)
(2)
Pemerintah Daerah, pelaku usaha dan masyarakat wajib menyediakan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam setiap pengadaan sarana dan prasarana umum. Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang disabilitas agar dapat melakukan aktivitas dalam hidup bermasyarakat secara maksimal.
16
Pasal 59 Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1), meliputi: a. aksesibilitas pada bangunan umum; b. aksesibilitas pada jalan umum; c. aksesibilitas pada pertamanan dan pemakaman umum; dan d. aksesibilitas pada angkutan umum darat, laut dan udara. Pasal 60 (1)
(2)
(3)
Aksesibilitas pada bangunan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf a, diselenggarakan dengan menyediakan: a. akses ke, dari dan di dalam bangunan; b. pintu, ramp, tangga, lift untuk bangunan bertingkat; c. tempat parkir dan tempat naik turun penumpang; d. toilet; e. peringatan darurat; dan f. tanda-tanda khusus. Dalam hal bangunan bertingkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak memiliki lift maka pelayanan bagi penyandang disabilitas dengan jenis dan derajat disabilitas tertentu harus diberikan di lantai dasar bangunan. Penyediaan tangga atau jalan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dibuat sesuai ketentuan perundangan yang berlaku agar dapat memudahkan penyandang disabilitas dengan jenis dan derajat disabilitas tertentu berpindah dari satu bangunan ke bangunan lainnya. Pasal 61
Aksesibilitas pada jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf b, dilaksanakan dengan menyediakan: a. akses ke, dan dari jalan umum; b. akses ke tempat pemberhentian bis/kendaraan; c. jembatan penyeberangan; d. jalur penyeberangan bagi pejalan kaki; e. tempat parkir dan naik turun penumpang; f. tempat pemberhentian kendaraan umum; g. tanda-tanda atau rambu-rambu dan/atau marka jalan; dan h. trotoar bagi pejalan kaki/pemakai kursi roda. Pasal 62 Aksesibilitas pada pertamanan dan pemakaman umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf c, dilaksanakan dengan menyediakan: a. akses ke, dari, dan di dalam pertamanan dan pemakaman umum; b. tempat parkir dan tempat turun naik penumpang; c. tempat duduk/istirahat; d. toilet; dan e. tanda-tanda khusus. Pasal 63 Aksesibilitas pada angkutan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf d, dilaksanakan dengan menyediakan: a. ramp; b. tempat duduk; dan c. tanda-tanda khusus. 17
Pasal 64 (1)
(2)
(3)
Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan prioritas aksesibilitas yang dibutuhkan oleh penyandang disabilitas. Prioritas aksesibilitas yang dibutuhkan oleh penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Rencana Aksi Perlindungan dan Pelayanan Bagi Penyandang Disabilitas dengan terlebih dahulu mengadakan konsultasi publik yang melibatkan penyandang disabilitas dan/atau organisasi, kelompok penyandang disabilitas. Konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimaksudkan untuk mengetahui prioritas kebutuhan aksesibilitas penyandang disabilitas. Pasal 65
(1)
(2)
Dalam hal sarana dan prasarana umum yang telah ada dan belum dilengkapi aksesibilitas, wajib dilengkapi dengan aksesibilitas sesuai dengan standar yang ditetapkan. Ketentuan mengenai standar aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 66
Pemerintah Daerah, pelaku usaha dan/atau masyarakat wajib menyediakan aksesibilitas pelayanan informasi bagi penyandang disabilitas sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasannya selain aksesibilitas pada sarana dan prasarana umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63. BAB VII REHABILITASI Pasal 67 (1)
(2)
Rehabilitasi penyandang disabilitas dilaksanakan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penyandang disabilitas agar dapat melaksanakan fungsi sosial secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan dan pengalaman. Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui kegiatan: a. rehabilitasi pendidikan; b. rehabilitasi pelatihan; dan c. rehabilitasi sosial. Pasal 68
(1)
(2)
(3)
Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dilaksanakan pada fasilitas rehabilitasi yang diselenggarakan Pemerintah Daerah, pelaku usaha dan/atau masyarakat. Bagi penyandang disabilitas yang tidak mampu, penyelenggara rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membebaskan biaya rehabilitasi. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara perizinan, pelaksanaan rehabilitasi dan persyaratan pembebasan biaya rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
18
Pasal 69 (1)
(2)
(3)
Rehabilitasi pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf a dilaksanakan agar penyandang disabilitas dapat mengikuti pendidikan secara optimal sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Rehabilitasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan pemberian pelayanan pendidikan secara utuh dan terpadu melalui proses belajar mengajar. Pelaksanaan rehabilitasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 70
(1)
(2)
(3)
Rehabilitasi pelatihan bagi penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf b, dilaksanakan agar penyandang disabilitas dapat memiliki keterampilan kerja sesuai dengan bakat dan kemampuan penyandang disabilitas. Rehabilitasi pelatihan kepada penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud ayat (1), dilakukan dengan pemberian pelayanan pelatihan secara utuh dan terpadu. Pelayanan pelatihan sebagaimana dimaksud ayat (2) melalui kegiatan: a. asesmen pelatihan; b. bimbingan dan penyuluhan jabatan; c. latihan keterampilan dan permagangan: d. penempatan; dan e. pembinaan lanjut. Pasal 71
(1)
(2)
(3)
Rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf c, dilaksanakan untuk memulihkan dan mengembangkan kemauan dan kemampuan penyandang disabilitas agar dapat melaksanakan fungsi sosial secara optimal dalam bermasyarakat. Rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud ayat (1), dilakukan dengan pemberian pelayanan sosial secara utuh dan terpadu melalui kegiatan pendekatan fisik, mental, dan sosial. Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2), melalui kegiatan: a. motivasi dan asesmen psikososial; b. bimbingan mental; c. bimbingan fisik; d. bimbingan sosial; e. bimbingan keterampilan; f. terapi penunjang; g. bimbingan resosialisasi; h. bimbingan dan pembinaan usaha; dan i. bimbingan lanjut. Pasal 72
Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (1), diatur dalam Peraturan Bupati.
19
BAB VIII BANTUAN SOSIAL Pasal 73 (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pemberian bantuan sosial dimaksudkan agar penyandang disabilitas yang mengalami guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara wajar. Pemberian bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat sementara dan/atau berkelanjutan dalam bentuk: a. bantuan langsung; b. bantuan aksesibilitas; dan c. penguatan kelembagaan. Bantuan langsung sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf a, diberikan oleh Pemerintah Daerah, pelaku usaha dan/atau masyarakat dalam bentuk uang dan/atau barang yang diberikan secara langsung kepada penyandang disabilitas. Bantuan aksesibilitas sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b, diberikan oleh Pemerintah Daerah, pelaku usaha dan/atau masyarakat dalam bentuk alat dan/atau fasilitas yang dapat menunjang kegiatan atau aktivitas penyandang disabilitas secara wajar yang disesuaikan dengan kebutuhan dan jenis serta derajat kedisabilitasannya. Penguatan kelembagaan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf c, diberikan oleh Pemerintah Daerah, pelaku usaha dan/atau masyarakat kepada kelompok dan/atau organisasi penyandang disabilitas guna penguatan eksistensi kelompok dan/atau organisasi penyandang disabilitas. BAB IX PENINGKATAN DAN PEMELIHARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL Pasal 74
(1) (2)
Dalam rangka peningkatan kesejahteraan sosial penyandang disabilitas, dibentuk TKP2KS Penyandang Disabilitas Daerah. Tugas dan fungsi serta susunan personalia TKP2KS Penyandang Disabilitas Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 75
(1)
(2)
(3)
Pemerintah Daerah, pelaku usaha dan masyarakat berkewajiban melakukan pemeliharaan tingkat kesejahteraan penyandang disabilitas yang diarahkan pada pemberian perlindungan dan pelayanan agar penyandang disabilitas dapat memperoleh taraf hidup yang layak. Pemeliharaan tingkat kesejahteraan sebagaimana dimaksud ayat (1), diberikan kepada penyandang disabilitas yang derajat kedisabilitasannya tidak dapat direhabilitasi dan kehidupannya secara mutlak bergantung pada bantuan orang lain. Bentuk kegiatan pemeliharaan taraf kesejahteraan bagi penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud ayat (2), berupa bantuan keuangan atau bahan pokok sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
20
BAB X PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 76 (1) (2)
(3)
Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam upaya kesetaraan dan pemberdayaan penyandang disabilitas. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (1) bertujuan untuk mendayagunakan kemampuan yang ada pada masyarakat guna mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan bagi penyandang disabilitas. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat dilakukan oleh: a. perseorangan; b. keluarga; c. organisasi keagamaan; d. organisasi sosial kemasyarakatan di bidang penyandang disabilitas; e. lembaga swadaya masyarakat; f. organisasi profesi; g. pelaku usaha; h. lembaga kesejahteraan sosial baik dalam negeri maupun luar negeri; dan/atau i. lembaga pendidikan. Pasal 77
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) dilakukan melalui: a. pemberian saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah; b. pengadaan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas; c. penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan rehabilitasi penyandang disabilitas; d. pengadaan dan pemberian bantuan tenaga ahli atau social untuk melaksanakan atau membantu melaksanakan peningkatan kesejahteraan penyandang disabilitas; e. pemberian bantuan berupa materiil, finansial, dan pelayanan bagi penyandang disabilitas; f. pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi penyandang disabilitas pada segala aspek kehidupan dan penghidupan; g. pengadaan lapangan pekerjaan bagi penyandang disabilitas; h. pengadaan sarana dan prasarana bagi penyandang disabilitas; dan i. kegiatan lain dalam upaya peningkatan kesejahteraan penyandang disabilitas. Pasal 78 Setiap orang dilarang mengeksploitasi dan/atau menelantarkan penyandang disabilitas.
21
BAB XI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 79 (1) (2)
(3)
(4)
Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dalam pelaksanaan perlindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas. Pembinaan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pelayanan disabilitas sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan melalui penyuluhan dan bimbingan. Pembinaan berupa penyuluhan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan untuk: a. menumbuhkan rasa kepedulian masyarakat kepada penyandang disabilitas; b. memberikan penerangan berkenaan dengan pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan penyandang disabilitas; dan c. meningkatkan peran aktif penyandang disabilitas dalam pembangunan daerah. Pembinaan berupa bimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk: a. memberikan penguatan dan peningkatan kualitas perlindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas yang dilakukan oleh pelaku usaha dan/atau masyarakat; b. meningkatkan dan menguatkan eksistensi kelompok dan/atau organisasi penyandang disabilitas; dan c. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan serta produktivitas penyandang disabilitas secara optimal. Pasal 80
(1) (2) (3)
Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas. Pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pelayanan disabilitas dapat dilakukan oleh masyarakat. Pengawasan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian dari peran serta masyarakat dalam memberikan perlindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas. Pasal 81
(1) (2)
Pembinaan dan pengawasan terhadap perlindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas dikoordinasikan oleh SKPD terkait. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap perlindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) dan Pasal 80 ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati. BAB XII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 82
Setiap penyelenggara satuan pendidikan yang dengan sengaja tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) serta tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dan ayat (5) dapat dikenakan sanksi administrasi.
22
Pasal 83 Setiap pelaku usaha dan/atau masyarakat yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pasal 19 ayat (3), dan Pasal 68 ayat (2) dikenakan sanksi administrasi.
Pasal 84 Setiap penyelenggara pelayanan publik yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 56 ayat (2), dikenakan sanksi administrasi. Pasal 85 (1)
(2)
Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, Pasal 83 dan Pasal 84 dapat berupa: a. peringatan tertulis; b. pembekuan dan/atau pemberhentian pemberian bantuan; dan/atau c. tindakan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati. BAB XIII KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 86
(1)
(2)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang sosial diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah ini. Wewenang PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. melakukan pemeriksaan atas keterangan berkenaan dengan Peraturan Daerah ini; b. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan pelanggaran pidana dalam Peraturan Daerah ini, agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas; c. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan adanya pelanggaran; d. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan pelanggaran; e. memeriksa buku, catatan, dan dokumen berkenaan dengan adanya tindakan pelanggaran; f. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; g. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan terhadap pelanggaran; h. memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikan kepada pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan i. menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
23
BAB XIV KETENTUAN PIDANA Pasal 87 (1)
(2)
Setiap orang yang terbukti melanggar ketentuan dalam Pasal 35 ayat (3) dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah pelanggaran.
Pasal 88 (1)
(2)
Setiap orang yang dengan sengaja mengeksploitasi dan/atau menelantarkan penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dikenakan sanksi pidana sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. Tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah kejahatan.
BAB XV KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 89 Sarana dan prasarana umum dan sarana angkutan umum serta lingkungan yang sudah ada dan/atau sudah beroperasi yang belum menyediakan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini, wajib menyediakan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.
Pasal 90 Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
24
BAB XVI KETENTUAN PENUTUP Pasal 91 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Manggarai.
Ditetapkan di Ruteng pada tanggal 25 Mei 2015 BUPATI MANGGARAI, TTD CHRISTIAN ROTOK Diundangkan di Ruteng pada tanggal 25 Mei 2015 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN MANGGARAI, TTD MANSELTUS MITAK LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MANGGARAI TAHUN 2015 NOMOR 6. NOREG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANGGARAI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR : 06/2015.
Salinan sesuai dengan slinya KEPALA BAGIAN HUKUM, Ttd/cap Bour Maximus,SH Pembina Tingkat I NIP. 19630224 199003 1 006
25
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANGGARAI NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KESETARAAN DAN PEMBERDAYAAN PENYANDANG DISABILITAS I. UMUM Para penyandang disabilitas seringkali tidak menikmati kesempatan yang sama dengan orang lain. Ini terjadi karena kurangnya akses terhadap pelayanan dasar maka perlu mendapatkan perlindungan. Dengan memberikan perlindungan kepada para penyandang disabilitas maka hak konstitusional penyandang disabilitas terjamin dan terlindungi sehingga penyandang disabilitas dapat mandiri dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta terhindar dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Berbagai fakta memperlihatkan adanya perlakuan yang tidak adil dan sikap diskriminatif yang masih sering dialami penyandang disabilitas saat memenuhi kebutuhan dasarnya. Diantaranya, penolakan anak penyandang disabilitas untuk masuk sekolah umum, tidak adanya fasilitas informasi atau perangkat seleksi kerja yang dapat diakses bagi peserta penyandang disabilitas, penolakan untuk akses lapangan kerja, kurangnya fasilitas layanan publik yang dapat diakses penyandang disabilitas, kurangnya kesempatan dan dukungan pemerintah dalam partisipasi olahraga bagi penyandang disabilitas, stigma negatif terhadap keberadaan penyandang disabilitas dan berbagai kendala lain yang dihadapi para penyandang disabilitas. Stigma negatif telah menafsirkan penyandang disabilitas identik dengan orang sakit, lemah, tidak memiliki kemampuan dan hanya akan membebani orang lain. Sehingga penyandang disabilitas dipandang sebagai bagian dari masalah dan tidak dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Kehidupan para penyandang disabilitas masih memprihatinkan. Penyandang disabilitas sebagian besar berada dalam keluarga yang belum terpenuhi kebutuhan hidupnya. Kemiskinan dan kecacatan memang menjadi dua masalah yang sulit untuk dipisahkan. Seorang ibu yang berasal dari keluarga miskin dalam beberapa kasus tidak tercukupi kebutuhan gizinya selama hamil serta sesudah melahirkan anak-anaknya juga mengalami gizi yang kurang sehingga akan mengakibatkan anak menjadi cacat. Penyandang disabilitas banyak menghadapi hambatan dan pembatasan dalam berbagai hal sehingga sulit mengakses pendidikan yang memadai serta pekerjaan yang layak. Penyandang disabilitas sulit mendapatkan pekerjaan sebagai sumber mata pencaharian sehingga kebutuhan hidupnya banyak yang belum dapat tercukupi bahkan harus bergantung pada orang lain. Penyandang disabilitas juga banyak mengalami hambatan dalam mobilitas fisik dan mengakses informasi yang mempunyai konsekuensi lanjut pada terhambatnya penyandang disabilitas untuk terlibat dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Sebagai contoh, pengguna kursi roda sangat sulit untuk beraktivitas di luar rumah karena lingkungan mereka yang tidak asesibel. Penyandang tuna netra juga tidak banyak yang bisa mengakses berbagai informasi karena pengetahuan yang berkembang sangat cepat. oleh karenanya penanganan penyandang disabilitas harus dilakukan secara komprehensif. 26
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) dijelaskan bahwa setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain, termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat. Kewajiban negara merealisasikan hak yang termuat dalam Konvensi, melalui penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan administrasi dari setiap negara, termasuk mengubah peraturan perundangundangan, kebiasaan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, baik perempuan maupun anak, menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olah raga, seni dan budaya, serta pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi. Sehubungan dengan kewajiban tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai menyusun Peraturan Daerah tentang Kesetaraan dan Pemberdayaan bagi Penyandang Disabilitas untuk memberikan dasar dan penguatan bagi upaya-upaya pemenuhan hak-hak para penyandang disabilitas tersebut. Adapun secara umum materi pokoknya disusun secara sistematis sebagai berikut : Asas, tujuan dan prinsip-prinsip yang harus dipergunakan dalam pelaksanaan Peraturan Daerah, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas yang meliputi hak untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, kesehatan, sosial, seni, budaya dan olah raga, politik, hukum serta penanggulangan bencana, aksesibilitas, forum komunikasi dan koordinasi disabilitas serta partisipasi masyarakat. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksudkan dengan asas “kemanusiaan” adalah penyandang disabilitas merupakan manusia makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang terlahir dengan harkat dan martabat yang sama dengan manusia lainnya sehingga harus diperlakukan sama sebagaimana perlakuan terhadap manusia lainnya. Huruf b Yang dimaksudkan dengan asas “keadilan” adalah penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus menekankan pada aspek pemerataan, tidak diskriminatif dan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Huruf c Yang dimaksudkan dengan asas “kemanfaatan” adalah penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus memberi manfaat bagi peningkatan kualitas hidup warga negara. Huruf d Yang dimaksudkan dengan asas “keterpaduan” adalah Dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus mengintegrasikan berbagai komponen yang terkait sehingga dapat berjalan secara terkoordinir dan sinergis. Huruf e Yang dimaksudkan dengan asas “kemitraan” adalah menangani masalah kesejahteraan sosial diperlukan kemitraan antara 27
Huruf
Huruf
Huruf
Huruf
Huruf
Huruf
Huruf
Huruf
pemerintah dan masyarakat, pemerintah sebagei penanggung jawab dan masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam menangani permasalahan kesejahteraan sosial dan peningkatan kesejahteraan sosial. f Yang dimaksudkan dengan asas “keterbukaan” adalah Memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang terkait dengan penyelenggaraan kesejahteraan sosial. g Yang dimaksudkan dengan asas “akuntabilitas” adalah setiap penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. h Yang dimaksudkan dengan asas “partisipasi” adalah Dalam setiap penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus melibatkan seluruh komponen masyarakat. i Yang dimaksudkan dengan asas “kesetaraan” adalah kesamaan bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh kesempatan dan hak haknya sebagai manusia, agar rnampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial, ekonomi, budaya, politik, pemerintahan, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. j Yang dimaksudkan dengan asas “non diskriminasi” adalah sikap dan perlakuan terhadap penyandang disabilitas dengan tidak melakukan pembedaan atas dasar usia, jenis kelamin, ras, etnis, suku, agama dan antar golongan. k Yang dimaksudkan dengan asas “profesionalitas” adalah setiap penyelenggaraan kesejahteraan sosial kepada masyarakat agar dilandasi dengan profesionalisme sesuai dengan lingkup tugasnya dan dilaksanakan seoptimal mungkin. l Yang dimaksudkan dengan asas “kesejahteraan sosial” adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan dasar material, spiritual dan sosial agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. m Yang dimaksudkan dengan asas “keberlanjutan” adalah menyelenggarakan kesejahteraan sosial dilaksanakan secara berkesinambungan, sehingga tercapai kemandirian.
Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Walaupun memiliki kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya, akan tetapi karena kondisi fisik dan/atau psikis 28
penyandang disabilitas berbeda dengan warga negara lain pada umumnya maka dalam menjalankan kewajibannya tersebut penyandang disabilitas tetap berhak mendapatkan pelayanan atau perlakuan khusus yang disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatannya. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kesempatan yang sama adalah untuk mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan sosial akan tetapi karena kondisi fisik dan/atau psikis penyandang disabilitas berbeda dengan orang lain pada umumnya, maka harus diberikan pelayanan khusus dan tidak dapat disamakan pelayanannya dengan orang lain pada umumnya Pasal 8 Yang dimaksud dengan “satuan pendidikan” adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Yang dimaksud dengan “jenis pendidikan” adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan pada satuan pendidikan seperti pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan akademik, pendidikan profesi, pendidikan keagamaan dan pendidikan khusus. Yang dimaksud dengan “jenjang pendidikan” adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Pendidikan inklusi adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 29
Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal
Cukup jelas. 19 Cukup jelas. 20 Cukup jelas. 21 Cukup jelas. 22 Cukup jelas. 23 Cukup jelas. 24 Cukup jelas. 25 Cukup jelas. 26 Cukup jelas. 27 Cukup jelas. 28 Cukup jelas. 29 Cukup jelas. 30 Cukup jelas. 31 Cukup jelas 32 Cukup jelas. 33 Cukup jelas. 34 Cukup jelas. 35 Cukup jelas. 36 Cukup jelas. 37 Cukup jelas. 38 Cukup jelas. 39 Cukup jelas. 40 Cukup jelas. 41 Cukup jelas. 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. 30
Huruf c Yang dimaksud dengan “fisioterapi” adalah “suatu pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk individu dan/atau kelompok dalam upaya mengembangkan, memelihara, dan memulihkan gerak dan fungsi sepanjang fase kehidupan dengan menggunakan modalitas fisik, agen fisik, mekanis, gerak, dan komunikasi”. Fisioterapi dapat dilakukan dengan latihan olahraga khusus, penguluran dan bermacam-macam teknik dan menggunakan beberapa alat khusus untuk mengatasi masalah yang dihadapi pasien yang tidak dapat diatasi dengan latihan-latihan fisioterapi biasa. Huruf d Yang dimaksud dengan “terapi okupasi” adalah bentuk layanan kesehatan kepada masyarakat atau pasien yang mengalami gangguan fisik dan/atau mental dengan menggunakan aktivitas bermakna untuk meningkatkan kemandirian individu pada area aktivitas kehidupan seharihari, produktivitas dan pemanfaatan waktu luang dalam rangka meningkatkan derajad kesehatan masyarakat. Tujuan utama dari terapi okupasi adalah memungkinkan individu untuk berperan serta dalam aktivitas keseharian Huruf e Cukup jelas. Pasal 43 Cukup Pasal 44 Cukup Pasal 45 Cukup Pasal 46 Cukup Pasal 47 Cukup Pasal 48 Cukup Pasal 49 Cukup Pasal 50 Cukup Pasal 51 Cukup Pasal 52 Cukup Pasal 53 Cukup Pasal 54 Cukup Pasal 55 Cukup Pasal 56 Cukup Pasal 57 Cukup Pasal 58 Cukup Pasal 59 Cukup
jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. Jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. 31
Pasal 60 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “rump” adalah jalan/jalur yang melandai pada fasilitas umum antara lain pada jalan raya atau bandara udara. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 32
Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal
Cukup 79 Cukup 80 Cukup 81 Cukup 82 Cukup 83 Cukup 84 Cukup 85 Cukup 86 Cukup 87 Cukup 88 Cukup 89 Cukup 90 Cukup 91 Cukup
jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MANGGARAI NOMOR 06.
33