1
Penerapan Asas Convenience Of Payment Dalam Beracara Di Pengadilan Pajak Poligami: Diskursus Paradigma Hukum, Agama, Politik, Sosial dan Budaya Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Yang Melakukan Transfer Dana Menurut UndangUndang Nomor 3 Tahun 2011 Kesalahan Penerapan Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Adalah Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Kedudukan Hukum Memorandum of Understanding Dalam Sistem Hukum Indonesia Hukum Pembuktian Dalam Kejahatan Yang Dilakukan Melalui Komputer Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Program Kegiatan Alokasi Dana Cukai Hasil Tembakau
Volume 13, No.1 Mei 2012
ISSN 1412-2928
2 JURNAL “YUSTITIA”
Pimpinan Umum/Penanggung Jawab Dekan Fakultas Hukum Universitas Madura Pimpinan Redaksi Muhammad, S.H.,MH. Wakil Pimpinan Redaksi Achmad Rifai, S.H., M.Hum. M.Amin Rachman, S.H., MH. Sekretaris Redaksi Sri Sulastri, S.H.,M.Hum. Konsultan Redaksi Drs. H. Kutwa, M.Pd. Drs. H. Abd. Roziq, MH. Dr. H. Akh. Munif, S.H.,M.Hum. Redaksi Pelaksana H. Gatot Subroto, S.H.,M.Hum. Dr. Ummi Supratiningsih, S.H.,M.Hum. Win Yuli Wardani, S.H.,M.Hum. Adriana Pakendek, S.H., MH.M.Si.,MM. Anni Puji Astutik, S.H., MH. Pembantu Umum Hj.Wasilaning Rahayu Toyyib Muniri Alamat Redaksi Jl. Raya Panglegur Km.3,5 Telp. (0324) 322231, Fax. (0324) 327417 Pamekasan E-mail:
[email protected] Yustitia diterbitkan satu kali dalam setahun, sebagai media komunikasi ilmu pengetahuan hukum dan pembangunan. Untuk itu, redaksi menerima sumbangan tulisan ilmiah yang belum pernah diterbitkan dalam media lain, dengan persyaratan seperti yang tercantum pada halaman sampul belakang.
3
Dari Redaksi
Jurnal Yustitia Fakultas Hukum Universitas Madura Volume 13 No. 1 Mei 2012 pada penerbitan ini kini hadir kembali dengan berbagai artikel hasil penelitian dan konseptual maupun hasil gagasan yang dihasilkan oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Madura untuk dipersembahkan ke hadapan para pembaca. Tulisan Anni Puji Astutik mengenai Penerapan Asas Convenience of Payment Dalam Beracara di Peradilan Pajak. Kemudian Menarik untuk disimak tulisan saudara Nadir mengenai Poligami: Diskursus Paradigma Hukum, Agama, Politik, Sosial dan Budaya yang selama ini menjadi titik perhatian banyak kalangan di negeri ini antara kaum pendukung poligami yang bersikukuh bahwa Poligami dibolehkan bahkan dibenarkan dan ada pula kaum penentang Poligami yang bersikukuh bahwa poligami dilarang. Tulisan selanjutnya mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Yang Melakukan Transfer Dana Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 yang ditulis oleh Agustri Purwandi. Selanjutnya mengenai Kesalahan Penerapan Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Adalah Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang digagas oleh Ach. Rifai. Tidak kalah menariknya tulisan saudara Firman Sjah mengenai Kedudukan Hukum Memorandum of Understanding Dalam Sistem Hukum Indonesia. Kemudian tulisan yang ditulis oleh saudara Mohammad mengenai Hukum Permbuktian Dalan Kejahatan Yang Dilakukan Melalui Komputer. Terakhir dalam junal ini dibahas mengenai Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Program Kegiatan Alokasi Dana Cukai Hasil Tembakau yang ditulis oleh saudara Insana Melia Dwi Cipta Aprila Sari. Pada penerbitan Jurnal Yustitia Volume 13 No. 1 Mei 2012 ini, redaksi mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan jurnal kali ini serta kepada semua penulis atas artikel yang kami terima.
Salam Redaksi
4
DAFTAR ISI
EDITORIAL 1. Anni Puji Astutik, S.H.,MH. Penerapan Asas Convenience of Payment Dalam Beracara di Peradilan Pajak……..5 2. Nadir, S.H. MH. Poligami: Diskursus Paradigma Hukum, Agama, Politik, Sosial dan Budaya………28 3. Agustri Purwandi, SH.,MH. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Yang Melakukan Transfer Dana Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 …………………………………..51 4. Ach. Rifai, SH., M.Hum. Kesalahan Penerapan Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Adalah Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim …………………………….68 5. Dr. Firman Sjah, SH., M.Hum. Kedudukan Hukum Memorandum of Understanding Dalam Sistem Hukum Indonesia ……………………………………………………………………85 6. Mohammad, SH.,MH. Hukum Pembuktian Dalam Kejahatan Yang Dilakukan Melalui Komputer ……………………………………………………………………………95 7. Insana Melia Dwi Cipta Aprila Sari, SH., MH. Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Program Kegiatan Alokasi Dana Cukai Hasil Tembakau ……129
5 PENERAPAN ASAS CONVENIENCE OF PAYMENT DALAM BERACARA DI PENGADILAN PAJAK
Anni Puji Astutik, S.H., M.H. Fakultas Hukum Universitas Madura Jln. Raya Panglegur KM. 3,5 Pamekasan Email:
[email protected]
Abstrak Pajak dipandang sebagai gejala masyarakat, dimana pajak tumbuh berkembang seiring dengan berkembangan masyarakat. Pada awalnya pajak merupakan pemberian sukarela dari rakyat kepada rajanya, namun seiring berkembangnya peradaban masyarakat akhirnya pajak mulai di paksakan dalam pemungutannya. Dalam perkembangannya pemungutan pajak sering menimbulkan masalah yang dikenal dengan sengketa pajak. Penelitian ini mempergunakan pendekatan yang bersifat yuridis-normatif yang dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Upaya penyelesain sengketa pajak bisa dilakukan dengan pengajuan banding ke pengadilan pajak. Pasal 36 ayat 4 Undang-Undang Nmor 14 tahun 2002 dalam pengajuan banding mensyaratkan kewajiban pembayaran 50% dari nilai pajak terutang wajib pajak ke Pengadilan Pajak. Syarat ini menurut bertentangan dengan asas convenience of collection yaitu pemungutan pajak dilakukan pada waktu yang tepat atau saat mempunyai uang, bukan sebaliknya memaksa wajib pajak untuk membayar meskipun wajib pajak mendekati kepailitan. Selain memaksa syarat ini bisa menjadi salah satu pintu masuk terjadinya praktik mafia pajak di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Kata kunci: Asas convenience of payment, pengadilan pajak
6
A. Latar Belakang Pajak memiliki sejarah yang sangat panjang sejalan dengan perkembangan manusia, adalah hal yang biasa jika pajak dipandang sebagai gejala social masyarakat, karena pajak sudah ada sejak adanya masyarakat. Sehingga adalah sesuatu yang lazim apabila ada yang mengatakan dimana ada masyarakat, ada pajak (ubi societas, ibi aerarium).1 Dari kajian terhadap sejarah dapat diketahui bahwa semula pajak merupakan pungutan sukarela yang diserahkan oleh masyarakat kepada raja. Diserahkannya pajak terhadap raja karena pada masa tersebut (khususnya hingga masa abad pertengahan) belum dilakukan pemisahan antara kas negara dan kas raja. Pemisahan antara kas raja dengan kas negara terjadi setelah terbentuknya negara-negara nasional diakhir abad pertengahan.2 Dalam perkembangannya, pajak menjadi permanen setelah di setiap kota diwajibkan untuk memenuhi jumlah atau target pajak tertentu. Pemungutan pajak secara permanen ini pertama kali berkembang di Eropa karena tingginya tingkat pendidikan, perekonomian dan pembentukan tentara permanen di Kerajaan Perancis pada tahun 1544 dan Kerajaan Prusia pada tahun 1626.3 Meskipun di Inggris tidak ada keterkaitannya dengan pembentukan tentara, penetapan pajak secara permanen pemungutan pajaknya harus dilakukan melalui persetujuan Parlemen. Hal tersebut terlihat pada disetujuinya Bill of Right pada abad ke-17 yang pasal 2 nya berbunyi: “tidak seorangpun boleh dituntut karena menolak membayar pajak yang tidak disetujui parlemen” Di Indonesia sendiri, pengenaan pajak secara sistematis dan permanen dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah. Hal ini dimulai sejak Contingenten dan Verplichte Leverantieen atau Tanam 1
Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Edisi Revisi. Bandung, 2004.Refika Aditama, hlm. 8. 2 Bohari, Pengantar Hukum Pajak,. Jakarta, 2006. Raja Grafindo Persada, hlm. 13 3 Iwa Kusuma Sumantri (terpetik dalam Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak) ,Edisi Revisi. Yogyakarta, 2006. Andi, hlm. 71.
7 Paksa pada masa H.William Daendels dan Landrent pada masa penjajahan Inggris. Sementara itu, pengenaan Pajak Penghasilan secara permanen dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan.4 Meskipun demikian, pada masa itu pemungutan pajak masih mengalami kendala berupa adanya penyalahgunaan dan beban pajak yang tidak terbagi secara merata. Permasalahan ini muncul karena adanya pemberian hak istimewa kepada orang-orang tertentu yang dinilai telah berjasa kepada negara atau raja. Kelas-kelas yang memiliki hak istimewa ini dibebaskan dari kewajiban pembayaran pajak, mereka ini misalnya adalah para pemuka agama dan para penguasa, sedangkan rakyat jelata pada waktu itu dikenakan berbagai macam pungutan yang memberatkan. Bagi para penduduk yang tidak mampu membayar pajak maka diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan umum untuk beberapa hari lamanya dalam satu tahun.5 Kendala yang hampir sama juga di rasakan saat ini, permasalahan yang timbul saat ini dalam perpajakan juga sangat komplek mulai dari proses pemungutan pajak sampai saat dan selesainya pungutan pajak. Kedala saat proses pemungutan pajak dimulai dari penghindaraan dari pembayaran pajak, menghindar pajak secara yuridis, pindah domisili,6 mengelak membayar pajak sampai penggelapan pajak yang kesemuanya bisa dipastikan merugikan Negara karena disini Negara tidak menerima pendapatan dari rakyat sehingga akan menggangu aktifitas negara. Masalah saat setelah selesainya pungutan pajak bisa merugikan kedua belah pihak bisa merugikan wajib pajak atau bisa merugikan Negara. Masalah yang timbul saat dan setelah pemungutan pajak ini yang dikenal dengan sengketa pajak.
4
id.wikipedia.org diakses tanggal 27 Januari 2014 Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, Cet. VIII. Jakarta. 1977. Eresco, hlm. 1 6 id.wikipedia.org/wiki/ penghindaran pajak. diakses tanggal 27 Januari 2014 5
8 Sengketa pajak adalah sengketa yang muncul di bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dan pejabat pajak yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat berujung pada banding atau gugatan pajak melalui Pengadilan Pajak. Timbulnya sengketa pajak ada pada dua hal yang sangat prinsipal yaitu pertama, tidak melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang diperintahkan oleh norma hukum pajak, kedua, melakukan perbatan hukum, tetapi tidak sesuai dengan norma hukum pajak. Selanjutnya disebutkan pihak-pihak yang menimbulkan sengketa pajak yaitu pihak wajib pajak, pemotong, penanggung pajak, pemungut pajak dan pejabat pajak. Wajib pajak atau Penanggung pajak dikatakan sumber timbulnya sengketa pajak karena tidak melakukan perbuatann hukum sebagaimana yang diperintahkan oleh norma hukum pajak, misalnya tidak menyampaikan surat pemberitahuan dalam jangka waktu yang ditentukan, tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang tercantum dalam surat paksa. Sementara itu, dalam melakukan perbuatan hukum, perbuatan hukum tersebut bertentangan dengan norma hukum pajak, misalnya membayar pajak yang terutang tidak secara lunas dan jangka waktu pelunasan telah berakhir, menghalang-halangi juru sita pajak dalm melakukan penyitaan atas barang-barang yang dikenakan penyitaan. Pejabat pajak dikatakan sebagai sumber timbulnya sengketa pajak karena tidak melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang diperintahkan norma hukum pajak, misalnya tidak menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar untuk menagih jumlah pajak yang masih kurang dibayar, sedangkan dalam melakukan perbuatan hukum tetapi bertentangan dengan norma hukum pajak, misalnya menerbitkan keputusan penagihan pajak secara seketika dan sekaligus kepada wajib pajak yang tidak berhak menerimanya. Sengketa pajak berakhir karena penyelesaian di luar lingkungan peradilan maupun di dalam lembaga peradilan pajak. Dalam hal penyelesaian sengketa di luar peradilan pajak dapat dilakukan dengan cara negoisasi, arbitase, mediasi, dan konsiliasi, sedangkan dalam hal upaya penyelesaian sengketa dalam peradilan pajak adalah dengan cara
9 banding, gugatan dan peninjauan kembali.7 Penyelesaian melalui peradilan pajak menguntungkan dari aspek penegakan hukum pajak karena tujuan penegakan hukum adalah menyelesaikan sengketa pajak tanpa melakukan pelanggaran hukum pajak dan memberikan perlindungan hukum wajib pajak. Pasal 36 ayat 4 UU NO. 14 tahun 2002 tentang pengadilan pajak dalam pengajuan banding mensyaratkan kewajiban pembayaran 50% dari nilai pajak terutang wajib pajak ke Pengadilan Pajak. Syarat ini menurut penulis bertentangan dengan asas convenience of collection yaitu pemungutan pajak dilakukan pada waktu yang tepat atau saat mempunyai uang, bukan sebaliknya memaksa wajib pajak untuk membayar meskipun wajib pajak mendekati kepailitan. Selain memaksa syarat ini bisa menjadi salah satu pintu masuk terjadinya praktik mafia pajak di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bertitik tolak pada beberapa permasalahan yang dikemukakan di atas, maka kajian mengenai bagaimanakah penerapan asas convenience of payment dalam beracara di pengadilan pajak merupakan hal yang menarik untuk dikaji dari perspektif keilmuan, terutama dari aspek ilmu hukum. Guna memfokuskan penulisan, pengkajian dibatasi dalam lingkup pengajuan banding ke pengadilan pajak. B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas, yang dijadikan permasalahan di dalam karya tulis ini, antara lain adalah: 1. Bagaimana landasan filosifis dan yuridis pungutan pajak? 2. Bagaimana proses beracara di pengadilan pajak ? 3. Bagaimana penerapan asas convenience of payment dalam beracara pengadilan pajak? C. Metodologi Penelitian ini mempergunakan pendekatan yang bersifat yuridisnormatif yang dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library 7
Wirawab B ilyas, Hukum Pajak. Bandung, 2000. ERESCO, hlm. 89.
10 research). Dalam rangka memperoleh data yang akurat, maka alat penelitian yang dipergunakan adalah studi dokumen terhadap bahanbahan kepustakaan. Selanjutnya data-data yang telah diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif untuk kemudian dipaparkan secara deskriptif yuridis D. Landasan Filosofis, Yuridis Pemungutan Pajak Landasan filosofis pungutan pajak di Indonesia mengarah pada landasan Idiologi Negara yakni pancasila. Artinya seluruh aktifitas Negara baik dari segi hukum, politik, ekonomi dan sebaginya semua harus berdasarkan kepada idiologi pancasila. Ada keterkaitan pungutan pajak dengan sila-sila pancasila yaitu: Sila pertama, ketuhanan Yang Maha Esa, kaitanya dengan pungutan pajak adalah sila pertama mempunyai makna mengakui adanya tuhan, dalam agama Islam bentuk mengakui Allah dengan menjalankan perintanya dan menjauhi larangannya. Salah satu perintahNya adalah mengeluarkan zakat untuk kepentingan orang miskin tanpa mendapat imbalan secara langsung, dimana hal ini ada kesamaan dengan pemungutan pajak mulai dari tujuan, syarat-syarat dan sebagainya. Sila kedua, kemanusian yang adil dan beradab kaitanya adalah pungutan pajak harus memenuhi keadilan yang juga sesuai dengan peradaban manusia. Syarat yuridis dari pajak tercermin dalam prinsip non diskriminasi. Bahwa perlakuan terhadap wajib pajak harus secara manusiawi dan tidak boleh melanggar HAM. Sila ketiga persatuan Indonesia kaitanya adalah pajak merupakan sumber utama untuk mempertahankan persatuan , karena hidup suatu bangsa tertuju pada pendapatan Negara yang merupakan kelangsungan hidup bangsa. Pajak merupakan salah satu alat pemersatu bangsa. Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan keadilan, disini ajak harus berdasarkan Undang-undang, jadi kerakyatan adalah rakyat ikut menentukan adanya aturan mengenai pajak melalui wakil-wakil rakyat.
11 Sila kelima, keadilan sosial bagi selurh rakyat Indonesia adalah pajak merupakan suatu alat untuk membiayai masyarakat yaitu untuk membiayai pengeluaran untuk kepentingan masyarakat umum. Secara garis besarnya tujuan akhir pancasila ada pada sila kelima adalah sebuah kebenaran, hal ini sama dengan tujuan dari pungutan pajak yang juga tercermin dalam sila kelima yakni mewujudkan pemerataan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pancasila menjadi tolak ukur dalam menentukan kebenaran substansi hukum yang terkandung dalam setiap Undang-Undang Pajak Sebelum amandemen UUD 1945, ketentuan mengenai pajak mengandung kewenangan pada Negara untuk memungut pajak apabila Negara membutuhkannya, tetapi dengan syarat harus berdasarkan undang-undang. Setelah UUD 1945 diamandemen, tidak ada kesewenang-wenangan dalam pembebanan pungutan yang bersifat memaksa kepada warga Negara. Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 A Undang-Undang Dasar 1945 bahwa pajak dan pungutan lain untuk kepentingan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undangundang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu8: 1. Pemungutan pajak harus adil
8
Erly suandy, Hukum Pajak. Yogyakarta, 2002. Salemba Empat, hlm. 31-32
12
2.
3.
4.
5.
9
Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Pengaturan pajak harus berdasarkan UU Sesuai dengan Pasal 23 A UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan lain yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya, jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum, jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak9. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah. Pemungutan pajak harus efesien Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu. Sistem pemungutan pajak harus sederhana10 Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan
Rochmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak. Bandung, 1992. Erosco, hlm. 14 http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak di akses tanggal 1 November 2014
10
13 wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak. Landasan yuridis pemungutan didasarkan pada pendapat beberapa para ahli yang mengemukakan tentang asas-asas pemungutan pajak, antara lain: 1. Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut: a. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak. b. Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum. c. Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah. d. Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.11 2. Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
11
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. London, 1776.
14 Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan. b. Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum. c. Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. d. Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama). e. Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek pajak sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.12 3. Menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut: a. Asas politik finansial: pajak yang dipungut negara jumlahnya memadai sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara. b. Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya: pajak pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah c. Asas keadilan: pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula. d. Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak. a.
12
http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak di akses tanggal 5 November 2014
15 e. Asas yuridis: segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang. Dari semua landasan hukum pemungutan pajak yang paling prinsip adalah mewujudkan keadilan di dalam pembentukan undangundang, secara umum keadilan dalam pungutan pajak bukanlah monopoli ketentuan Hukum Pajak belaka, lebih dari itu, prinsip tersebut juga harus melandasi setiap perumusan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, prinsip keadilan tercermin pada asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtgelijkheidbrginsel) yang merupakan salah satu dari asas material yang wajib dipenuhi oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana dikemukakan oleh Van der Vlies.13 Di samping pada saat penyusunan regulasinya, akomodasi asas atau prinsip keadilan juga dinilai penting pada saat pemungutan pajak itu sendiri. Hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum bagi tercapainya keadilan, dan jaminan ini diberikan kepada pihak-pihak yang tersangkut di dalam pemungutan pajak, yakni pihak fiscus dan wajib pajak. E. Proses Beracara Dalam Pengadilan Pajak Proses persidangan di pengadilan pajak, diatur dalam Pasal 49 hingga Pasal 76 UU NO 14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak. Secara umum menurut ketentuan pasal-pasal tersebut ada dua jenis proses sidang pemeriksaan. Pertama proses pemeriksaan dengan acara cepat dan yang kedua proses pemeriksaan dengan acara biasa. Sesuai ketentuan Pasal 47 UU NO. 14 Tahun 2002, persidangan mulai diselenggarakan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya surat banding. 1. Pemeriksaan Dengan Acara Cepat Dalam konteks banding, pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan apabila satu atau lebih dari persyaratan formal pengajuan banding tidak terpenuhi, yaitu: 13
Widodo Ekatjahjana, Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Menurut UUD 1945. 2007, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung, hlm. 114- 115.
16 Surat banding tidak menggunakan bahasa Indonesia atau tidak dialamatkan kepada pengadilan pajak b. Surat banding diajukan setelah lewat batas waktu 3 (bulan) sejak tanggal diterimanya SK keberatan, kecuali jika pemohon banding bisa menunjukkan keadaan di luar kekuasaannya (force majeur) c. Surat banding ditujukan terhadap lebih dari satu SK Keberatan; d. Pemohon banding tidak melunasi minimal 50 % dari pajak yang terutang; e. Surat banding diajukan oleh selain yang berhak atau tidak dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus. Selain karena tidak terpenuhinya syarat formal tersebut, pemeriksaan dengan acara cepat juga dilakukan apabila hakim pengadilan pajak berdasarkan pertimbangan hukum menilai bahwa sengketa tersebut bukan kewenangan pengadilan pajak (meski seluruh syarat formal terpenuhi). Misalnya jika pemohon banding dalam surat bandingnya hanya mempersoalkan masalah perilaku atau perlakuan pemeriksa pajak serta hal-hal di luar formalitas prosedural dan materialitas banding. Pemeriksaan dengan acara cepat ini hanya akan dipimpin oleh seorang hakim tunggal. Dan karena pada intinya putusan yang akan diambil nantinya berupa penolakan terhadap pengajuan banding yang diajukan pemohon banding, maka umumnya sidang jenis ini berlangsung dengan singkat (biasanya hanya satu kali persidangan). Biasanya pada sidang pertama, Hakim Tunggal yang memimpin sidah akan langsung membacakan putusan yang berupa ‘tidak dapat diterima’. Jika sudah begini, maka pupus sudah harapan wajib pajak untuk mencari keadilan. Meskipun masih ada alternatif pengajuan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung akan tetapi kans untuk bisa memenangkan kasus di MA juga nihil karena tidak terpenuhinya persyaratan formal pengajuan banding. Oleh karena itu, sekali lagi disarankan kepada wajib pajak yang hendak mengajukan banding ke pengadilan pajak, untuk memperhatikan dan memenuhi persyaratan a.
17 formal pengajuan banding yang telah ditetapkan oleh UU NO. 14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak dan peraturan terkait lainnya. 2. Pemeriksaan Dengan Acara Biasa Jika pengajuan banding memenuhi persyaratan formal yang ditentukan, atau Pengadilan Pajak menilai bahwa persyaratan formal itu sudah terpenuhi, maka pemeriksaan terhadap sengketa pajak yang diajukan akan dilakukan melalui pemeriksaan dengan acara biasa. Dalam hal ini, majelis hakim yang akan menangani perkara biasanya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim Pengadilan Pajak. Satu orang bertindak sebagai hakim ketua dan dua lainnya bertindak sebagai hakim anggota. Berdasarkan informasi yang diterima, kedua hakim anggota ini masing-masing menyoroti satu bidang. Satu hakim anggota fokus pada sengketa formal dan satunya lagi khusus fokus pada masalah-masalah atau sengketa material. Dalam persidangan jenis ini, Dirjen Pajak sebagai pihak terbanding wajib menghadiri sidang yang digelar tersebut. Tetapi meskipun pihak terbanding tidak menghadiri sidang, pemeriksaan oleh majelis hakim tetap dilaksanakan. Undang-undang tidak membuat syarat normatif untuk mendengarkan kedua belah pihak yang bersengketa, melainkan hanya cukup mendengar keterangan aparat pemerintah/ termohon. Kehadiran pemohon keadilan hanya apabila diperlukan. Selain itu, proses penyelesaian sengketa ajak melalui Pengadilan Pajak hanya mewajibkan kehadiran terbanding atau tergugat, sedangkan pemohon banding atau penggugat dapat menghadiri persidangan atas kehendaknya sendiri, kecuali apabila dipanggil oleh hakim atas dasar alasan yang cukup jelas. Akan tetapi, seperti sudah disampaikan sebelumnya, wajib pajak sebaiknya ikut hadir pada setiap sidang yang digelar oleh Pengadilan Pajak agar dapat memberikan informasi dan keterangan yang berimbang dengan informasi dan keterangan yang disampaikan oleh Terbanding kepada majelis hakim. Dan untuk itu, dalam surat bandingnya wajib pajak sebaiknya menyatakan kesediaanya untuk hadir dalam setiap persidangan atas sengketa yang diajukannya. Jika sudah ada pernyataan mengenai hal tersebut dalam surat banding, selanjutnya Panitera
18 Pengadilan Pajak akan mengirimkan surat pemberitahuan mengenai akan digelarnya sidang sengketa milik wajib pajak. Jika wajib pajak ingin memberikan kuasa kepada pihak selain yang disebutkan diatas, maka pihak lain itu harus sudah memiliki Surat Kuasa yang masih berlaku dari Ketua Pengadilan Pajak dan juga memiliki surat kuasa khusus dari wajib pajak yang mengajukan banding. Biasanya copy dari kedua surat kuasa ini diminta oleh majelis hakim saat persidangan berlangsung. Jika penerima kuasa tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka majelis hakim berhak untuk mengabaikan keterangan atau penjelasan yang mereka sampaikan. Jalannya Sidang Pengadilan Pajak Pada proses sidang pemeriksaan sengketa banding yang pertama, majelis hakim umumnya kembali meneliti dan melakukan pemeriksaan mengenai pemenuhan syarat formal seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Ini dilakukan untuk meyakinkan majelis hakim bahwa pengajuan banding yang dilakukan pemohon banding memang sudah nyata-nyata memenuhi persyaratan formal yang ditetapkan oleh undangundang dan ketentuan yang berlaku. Setelah itu, barulah pemeriksaan terhadap materi banding dilakukan. Persyaratan formal banding a. Banding diajukan dengan surat banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak, b. Banding dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima surat keputusan dibanding, c. Terhadap 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu) surat banding, d. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas dan mencantumkan tanggal terima Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak serta mencantumkan nomor dan tanggal Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang diajukan banding, e. Bersama surat banding dilampirkan salinan surat keputusan yang dibanding f. Bersama surat banding dilampirkan bukti pembayaran 50% atas pajak yang terutang.
19 g. Pada surat banding dilampiri bukti pembayaran atas pajak yang masih harus dibayar sesuai yang telah disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan. h. Surat banding ditanda tangani oleh pemohon banding atau kuasanya dilampiri dengan surat kuasa khusus.14 Dalam proses pemeriksaan materi banding, yang menyangkut masalah koreksi dan jumlah koreksi, hakim terlebih dahulu akan menanyakan dasar dan alasan koreksi yang dilakukan oleh Dirjen Pajak. Karena pejabat yang hadir mewakili Dirjen Pajak dalam persidangan ini umumnya bukan pemeriksa pajak yang melakukan koreksi, maka tak jarang mereka juga tidak bisa langsung menjawab pertanyaan majelis. Dalam hal ini majelis umumnya memberikan waktu kepada mereka untuk menjawabnya dalam bentuk tertulis yang harus diberikan kepada majelis hakim dalam persidangan selanjutnya. Bahkan jika memungkinkan, majelis bisa meminta kepada pihak terbanding untuk menghadirkan pemeriksa pajak yang melakukan koreksi terhadap wajib pajak pemohon banding. Setelah dirasa cukup, barulah majelis akan menanyakan kepada wajib pajak pemohon banding mengenai alasan serta dasar hukum yang melandasi keberatan dan ketidaksetujuannya. Jika wajib pajak pemohon banding tidak bisa menjawab secara langsung, sama seperti halnya pihak terbanding, majelis hakim juga biasanya memberikan waktu kepada wajib pajak pemohon banding untuk menyiapkan jawaban secara tertulis dan disampaikan pada persidangan berikutnya. Dalam menjawab pertanyaan majelis hakim, wajib pajak pemohon banding sebaiknya juga mengungkap segala permasalahan baik yang sifatnya material (menyangkut jumlah koreksi) maupun yang 14
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-28/PJ./2010 tentang Prosedur Penanganan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan dan Persiapan Menghadiri Persidangan Banding atau Gugatan di Pengadilan Pajak
20 sifatnya formal prosedural baik dalam proses pemeriksaan pajak oleh KPP maupun proses penyelesaian keberatan di Kanwil DJP. Sebab meskipun dalam surat banding permasalahan tersebut tidak dicantumkan, tetapi jika bisa diungkap dan dibuktikan di proses persidangan, hal tersebut bisa menjadi perhatian dan kemungkinan bisa dipertimbangkan oleh majelis hakim. Persidangan di pengadilan pajak umumnya memang dilakukan lebih dari sekali dan bahkan kabarnya bisa beberapa kali dan memakan waktu selama satu tahun. Sesuai dengan informasi dari internal pengadilan pajak, sebenarnya sidang dibatasi hanya sampai 7 (tujuh) kali persidangan untuk satu sengketa pajak atau satu permohonan banding. Sidang pemeriksaan sengketa banding terhadap satu pemohon banding biasanya dilaksanakan satu kali dalam satu bulan. Dengan demikian, batas maksimal sebenarnya hanya 7 bulan (dengan tujuh kali sidang pemeriksaan). Tapi jika diperlukan, majelis hakim yang menangani sengketa pajak tersebut bisa menambah dengan dua kali persidangan lagi sehingga total jangka waktu pelaksanaan sidang pemeriksaan banding adalah selama 9 bulan. Pembatasan jangka waktu pelaksanaan sidang pemeriksaan sengketa Banding ini dibuat agar pengadilan pajak bisa memenuhi ketentuan Pasal 81 ayat (1) UU NO. 14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak yang menetapkan bahwa putusan terhadap sengketa banding harus diambil dalam jangka waktu 12 bulan sejak surat banding diterima oleh pengadilan ajak. Itu berarti setelah proses sidang untuk pemeriksaan sengketa banding selesai dilakukan, majelis hakim hanya punya waktu kurang lebih 3 atau lima bulan untuk meneliti hasil pemeriksaan dan memberikan putusan banding. Proses persidangan dalam rangka pemeriksaan sengketa banding di pengadilan pajak pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan pengadilan lainnya. Dalam setiap persidangan yang diselenggarakan, kedua belah pihak yang bersengketa wajib pajak sebagai pemohon banding maupun Dirjen Pajak sebagai pihak terbanding keduanya diberikan hak yang sama dalam memberikan penjelasan dan keterangan mengenai sengketa
21 pajak yang disidangkan. Penjelasan bisa dilakukan secara lisan tetapi apabila diminta oleh majelis akim, penjelasan bisa dibuat secara tertulis. Dalam sidang pemeriksaan sengketa banding ini, berlaku hukum positif di mana pihak yang menyatakan suatu pendapat harus bisa membuktikan pendapatnya dan harus didasarkan pada bukti-bukti yang nyata (bukan perkiraan atau estimasi). Dalam sidang pemeriksaan banding tidak berlaku hukum negatif atau sistem pembuktian terbalik yang biasanya terjadi dalam proses pemeriksaan pajak maupun proses penyelesaian keberatan. Majelis Hakim akan menentukan apa yang harus dibuktikan, siapa yang harus membuktikan (beban pembuktian) serta penilaian atas pembuktian tersebut. Biasanya pembuktian ini memerlukan paling sedikit dua alat bukti. F. Penerapan Asas Convenience of Payment dalam Beracara di Pengadilan Pajak Konotasi pengertian dari pengadilan pajak adalah karena adanya sengketa, atau beda pendapat dan tafsir baik atas pemahaman, penerapan maupun akibat dari suatu penerapan ketentuan perpajakan. Pencarian keadilan dalam perpajakan pada prinsipnya dalam doktrin-doktrin klasik memang tetap dimungkinkan. Prinsip yang harus menjadi pegangan tersebut antara lain adalah 15 : a. Prinsip kesamaan/ keadilan (equity) Beban pajak harus mencerminkan kemampuan relatif pembayar pajak b. Prinsip kepastian (certainty) Pengertian pemahaman harus tegas, pasti dan tidak memberikan multitafsir c. Prinsip kelayakan (convenience) Pemungut pajak tidak harus melakukan penekanan (coerciveness) kepada pembayar pajak d. Prinsip economy (economy) Biaya pemungutan jangan lebih besar dari penerimaannya 15
Tjip Ismail, Peranan BUMN dalam Penerimaan Pendapatan Negara. Jurnal Hukum Bisnis, 2007. Vol.26 no.1, hlm. 42
22
Hubungan hukum antara fiskus dengan pemerintah adalah hubungan perikatan yang lahir karena Undang-undang. Sebagaimana diketahui dalam doktrin, bahwa perikatan dapat lahir karena perjanjian maupun karena undang-undang. Karena karakteristik hubungan hukumnya adalah hubungan yang lahir karena Undang-undang, maka tidak diperlukan kesepakatan atau persesuaian kehendak atau pendapat antara pembayar pajak dan Pemerintah. Hubungan hukum antara pihak Pemerintah dengan pembayar pajak menempatkan para pihak tidak dalam kedudukan sederajat. Pemerintah (fiskus) memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan lebih kuat dibandingkan dengan pembayar pajak16. Namun demikian, hukum harus berfungsi sebagai alat penjaga keseimbangan dan keharmonisan (balancing). Fungsi hukum dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara kepentingan negara/ kepentingan umum dan kepentingan perorangan17. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, substansi pengadilan adalah pada kata dasar “adil”. Adil dalam pengertian, bahwa para pihak yang bersengketa diberikan kesempatan yang sama untuk menguji dan mempertahankan diri atas subjek maupun objek yang dipersengketakan. Unsur pengadilan hukum hendaknya tidak saja menyangkut penegakan hukum tetapi juga adalah perlindungan hukum. Penegakan hukum merupakan serangkaian aktivitas, upaya dan tindakan melalui organisasi berbagai instrumen untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan oleh penyusun hukum atau undang-undang tersebut18. Di dalam pengertian penegakan hukum tersebut juga termasuk penyuluhan, sosialisasi dan pendidikan serta bimbingan agar para pembayar pajak dapat mengikuti dan mematuhi undang-undang perpajakan sesuai dengan yang dicita-citakan oleh undang-undang atau peraturan di bidang perpajakan. 16
Y. Sri Pudyatmoko, Penegakan dan perlindungan hukum di bidang pajak, Jakarta, 2007, Salemba empat, hlm.8 17 Jusuf Anwar, Pasar Modal sebagai sarana pembiayaan dan investasi. Bandung, 2005, PT Alumni, hlm. 33 18 Y. Sri Pudyatmoko, Op.Cit, hlm. 11
23 Sejatinya, posisi pembayar pajak terhadap negara adalah sangat tidak seimbang. Menurut Sindian Isa Djajadiningrat19, Pemungutan pajak adalah suatu kekuasaan yang sedemikian besarnya yang berada di tangan negara, yang bahkan “hukumnya” dapat diciptakan sendiri oleh negara. Hanya kalau kekuasaan yang besar tersebut diabdikan untuk rakyat dan kesejahteraan umum, barulah menjelma menjadi keadilan. Timbulnya sengketa pajak, adalah setelah suatu putusan atau beslit atau penetapan yang mewajibkan pembayaran atau hukuman tertentu telah ditimpakan kepada wajib pajak. Menurut UU NO. 14 tahun 2002 pasal 1 ayat 5 sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa. Definisi yang dibuat undang-undang tersebut pada dasarnya sudah mencerminkan ketidak adilan. Seyogianya sengketa harus diperluas pengertiannya ketika masih dalam proses penentuan besar kewajiban perpajakan, bukan setelah ada penetapan oleh aparat fiskus. Sebab apabila aparat telah mengeluarkan ketetapan atau beslitnya, yang walaupun dalam proses penetapannya oleh wajib pajak dirasakan tidak mencerminkan keadilan, upaya yang terbuka baginya hanyalah proses banding atau peninjauan kembali untuk membuktikan sebaliknya. Sesuai dengan doktrin umum hukum pembuktian, maka siapa yang mendalilkan harus membuktikannya20. Dalam konteks ini, sang wajib pajak harus mengeluarkan dan mengerahkan energi ekstra untuk membuktikan kebenaran pada pihaknya, yang untuk mana sebetulnya dalam proses awalnya mungkin telah dirasakan ketidakadilan atau tidak seimbang.
19
Sindian Isa Djajadiningrat, Hukum Padjak dan Keadilan, 1965, pidato pengukuhan guru besar luar biasa dalam ilmu hukum fiskal, PT. Eresco, Bandung, hal. 21 20 Pasal 1965 KUHPerdata : itikad baik selamanya harus dianggap ada, sedangkan siapa yang menunjuk kepada suatu itikad buruk diwajibkan membuktikannya
24 Selanjutnya dalam proses peradilan, undang-undang tersebut tidak membuat syarat normatif untuk mendengarkan kedua belah pihak yang bersengketa, melainkan hanya cukup mendengar keterangan aparat pemerintah atau termohon. Kehadiran pemohon keadilan hanya apabila diperlukan. Selain itu, proses penyelesaian Sengketa Pajak melalui Pengadilan Pajak hanya mewajibkan kehadiran terbanding atau tergugat, sedangkan pemohon Banding atau penggugat dapat menghadiri persidangan atas kehendaknya sendiri, kecuali apabila dipanggil oleh hakim atas dasar alasan yang cukup jelas. Pada penjelasan umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 menyatakan bahwa dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, penyelesaian sengketa perpajakan melalui pengadilan pajak mengharuskan wajib pajak untuk melunasi 50% kewajiban perpajakannya terlebih dahulu. Meskipun demikian proses penyelesaian sengketa perpajakan melalui pengadilan pajak tidak menghalangi proses penagihan pajak. Sampai di sini, dalam beracara di pengadilan menurut penulis sudah ada dua ketidakadilan yaitu, Pertama yaitu dalam hal wajib pajak mengajukan banding, yang bersangkutan harus terlebih dahulu membayar atau melunrasi 50 % kewajiban perpajakannya. Kedua, yaitu dalam proses beracara pada pengadilan banding, hakim hanya wajib mendengar sepihak keterangan termohon, sedangkan pemohon keadilan tidak wajib didengarkan keterangannya. Menjadi pertanyaan di sini, atas asas yang mana pengadilan atau peraturan perpajakan memaksakan pembayaran 50% untuk sesuatu yang sesungguhnya masih menjadi objek sengketa. Kewajiban penyerahan 50% dari jumlah yang dipersengketakan akan dapat secara signifikan mempengaruhi kemampuan keuangan para pencari keadilan. sedangkan konsep dasar pemungutan pajak yang mengharuskan pemungutan pajak dilakukan pada saat yang paling tepat conveneince of payment. Syarat membayar 50% utang pajak ini bersifat kewajiban, karena jika salah satu syarat formal saja tidak terpenuhi maka akan berakibat pada ditolaknya banding yang diajukan pembanding yakni wajib pajak.
25 Putusan ini tentunya sangat merugikan wajib pajak yang mencari keadikan di pengadilan pajak. Selain itu, syarat membayar 50% juga bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocen). Asas ini pun tampaknya terabaikan dalam situasi yang mengharuskan pembayaran separuh dari jumlah yang dipersengketakan, seolah-olah wajib pajak atau pemohon banding adalah pihak yang salah, padahal kesalahan bisa jadi juga dari pihak terbanding yakni dirjen pajak. Apalagi, apabila diperhatikan kewenangan yang sangat besar diberikan (vested in) bagi pengadilan pajak. Berdasarkan ketentuan pasal 33 ayat 1 pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Pada pasal 87 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 memang memberikan kompensasi penyeimbang dalam hal wajib pajak pembanding dimenangkan sebagian atau seluruhnya yang dibanding. Apabila putusan pengadilan pajak mengabulkan sebagian atau seluruh banding, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Akan tetapi esensi dari keadilan bukan pada pemberian kompensasi atau dispensasi dalam hal penetapan beban pajak yang dilakukan secara keliru oleh fiskus sehingga menjadi objek sengketa. Esensi keadilan tersebut pertama-tama harus tercermin dari pengakuan aparat fiskus bahwa telah terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam menetapkan beban pajak yang menyita energi, waktu, konsentrasi atau mungkin nama baik dari wajib pajak. Kemudian, terhadap aparat yang keliru atau tidak cermat dalam melaksanakan tugas yang diembankan kepadanya, seyogianya dapat diajukan tuntutan hukum serta hukuman disiplin berdasarkan peraturan yang berlaku. Dengan demikian, akan ada kehati-hatian dari fiskus dalam berhubungan dengan penetapan pajak. G. Simpulan
26 Pajak merupakan salah satu pendapatan Negara yang paling besar di antara pendapatan Negara. Untuk hal itu Negara harus memprioritaskan pelayanan pajak mulai dari perbaikan system perpajakan dan mekanisme proses beracara di Pengadilan Pajak. Perbaikan sistem pelayanan dan proses beracara di pengadilan pajak hendaknya dimulai dari perubahan aturan mengenai perpajakan terutama kemungkinan untuk menghapuskan ketentuan Pasal 36 ayat 4 UndangUndang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengatur kewajiban pembayaran 50% setoran pajak terutang. Daftar Pustaka Anwar, Jusuf. 2005. Pasar Modal sebagai sarana pembiayaan dan investasi. Bandung: PT Alumni. B ilyas, Wirawab. 2000. Hukum Pajak. Bandung: PT. ERESCO. Bohari, 2006. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Djajadiningrat, Sindian Isa. 1965. Hukum Pajak dan Keadilan. pidato pengukuhan guru besar luar biasa dalam ilmu hukum fiskal, PT. Eresco, Bandung. Ekatjahjana, Widodo. 2007. Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Menurut UUD 1945. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung. 2007. Pudyatmoko, Sri. 2006. Pengantar Hukum Pajak, Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi. Suandy, Erly. 2002. Hukum Pajak. Yogyakarta. Salemba Empat. Soemitro, Rochmat. 1977. Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan. Cet. VIII. Jakarta: PT Eresco. soemitro, Rochmat. 1992. Pengantar Singkat Hukum Pajak. Bandung: PT Erosco. Soemitro, Rochmat dan Dewi Kania Sugiharti, 2004. Asas dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: PT Refika Aditama.
27
Smith, Adam. 1776. An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (dalam bahasa Inggris). London. Ismail, Tjip. 2007. Peranan BUMN dalam Penerimaan Pendapatan Negara. Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 26 No.1. 2007. Y. Sri Pudyatmoko, 2007. Penegakan dan Perlindungan Hukum di Bidang Pajak. Jakarta: Salemba Empat. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-28/PJ./2010 tentang Prosedur Penanganan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan dan Persiapan Menghadiri Persidangan Banding atau Gugatan di Pengadilan Pajak id.wikipedia.org/wiki/ penghindaran pajak. diakses tanggal 27 Januari 2014 id.wikipedia.org diakses tanggal 27 Januari 2014 http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak di akses tanggal 1 November 2014 http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak di akses tanggal 5 November 2014
28 POLIGAMI: DISKURSUS PARADIGMA HUKUM, AGAMA, SOSIAL, POLITIK DAN BUDAYA
Nadir, S.H., M.H. Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan Jl. Raya Panglegur km. 3,5 Pamekasan Madura Jatim Email:
[email protected]
Abstrak Islam tidak melarang poligami, juga tidak menganjurkan berpoligami. Namun diperbolehkannya untuk berpoligami asalkan memenuhi syarat-syarat dan batas yang telah ditentukan oleh Al-qur’an dan Hadist serta ketentuan hukum positif Indonesia. Diskursus poligami kembali kepada masing-masing orang dalam menafsirkan ayat maupun hadist Nabi masalah poligami, karena sepanjang tafsir yang digunakan berbeda maka akan mnenghasilkan kesimpulan yang berbeda pula dan perbedaan itu adalah rahmah bagi setiap umat manusia. Predikat hukum poligami akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Dalam pemahaman budaya, praktek poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda. Para ulama dengan membandingkannya dengan dalil-dalil lainnya menunjukan bahwa poligami merupakan jalan keluar atau rukhshoh (bentuk keringanan) atas sebuah kebutuhan. Bukan menempatkan posisi utama dalam masalah pernikahan, alasan agar tidak jatuh ke dalam zina adalah alasan yang rasional dan sangat bisa diterima akal sehat.
Kata kunci: Paradigma, Poligami, Diskursus, Hukum, Islam, Sosial dan Budaya
29
A. Pendahuluan Perkawinan sudah tidak diragukan lagi merupakan salah satu lembaga masyarakat yang terpenting begitu juga Allah SWT telah menetapkan peraturan-peraturan untuk memastikan bahwa pencapaian perkawinan adalah mungkin bagi semua orang. Al-Qur’an menyatakan cara yang sebenarnya dan alami untuk memperoleh kedamaian dan kepuasan dalam hidup adalah melalui hubungan suami istri sebagaimana yang dilakukan oleh Adam dan Hawa sebelumnya, hanya melalui susunan ini, kedamaian dalam kehidupan perkawinan dapat benar-benar dicapai dan dijamin. Oleh karena itu, dalam masyarakat manusia prinsip utama kehidupan perkawinan adalah bahwa umat manusia harus hidup dalam berpasang-pasangan, yaitu pria dan wanita harus menikah dan hidup bersama dalam perkawinan yang bahagia21 Al-qur’an menyatakan: “Dia menciptakan kamu dari seorang diri, kemudian dia jadikan dari padanya istrinya. Dalam sebuah Hadist Nabi Muhammad SAW Bersabda yang artinya “bahwa nikah itu adalah sunnahku, barang siapa yang tidak suka (benci) terhadap pernikahan dia adalah bukan ummatku”. Islam memandang bahwa perkawinan adalah menguntungkan baik kepada individu maupaun kepada masyarakat sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ghozali yang dikutip kembali oleh Haifaa A. Jawad mengemukakan: “ketahuilah Bahwa Pernikahan adalah sebagian dari jalan agama seperti memakan makanan karena jalan agama diperlukan bagi setiap manusia dan kehidupan. Sedangkan hidup tidak mungkin tanpa makanan dan minuman. Demikian pula ia memerlukan lawan jenis manusia, keturunan dan hal ini tidak mungkin tanpa pernikahan. Oleh kerana itu, 21
Haifaa A. Jawad, Perlawanan Wanita: Sebuah Pendekatan Otentik Religius. Malang, 2002. Cendekia Paramulya. hlm. 81-82.
30 pernikahan merupakan penyebab asalnya kehidupan. Sedangkan makanan penyebab penghidupan itu ada”. Demikian pula hasil yang diperoleh darinya lebih banyak dari pada kerugiannya dari titik pandang yang kolektif keuntungan yang berarti adalah memperoleh keturunan. Akan tetapi, tidak hanya pengabdian fisik manusia, terlebih bahwa lembaga perkawinan menjamin bahwa fungsi keturunan di sini adalah suci, tertib, tidak zina, tidak cabul dan tidak kacau balau. Di dalam Al- Qur’an surat Arrum Allah berfirman: Wamin Aayatihi An-kholako Lakum Min Anfusikum Azwaaja Litaskunuu Ilaiha Wajaala Bainakaum Mawaddata Warohmah Innafy dzaalika La aayatin liqoumin Yatafakkaruun “Artinya bahwa dan dia diantara kekuasaannya telah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berfikir”.22 Memenuhi keinginan seksual seseorang adalah aspek penting yang lain dari perkawinan. Perkawinan dari sudut pandang Islam adalah membantu, mengatur nafsu seksual dan menyalurkan-Nya kepada jalan yang benar dan di ridhai oleh Allah. SWT juga, ia berfungsi sebagai perisai terhadap perbuatan zina dan persetubuhan di luar nikah yang mana keduanya dilarang dalam Islam. Al-qur’an menyatakan bahwa “Wala takrobuzzinaa Innahu kana faahesyatan wa Saa’a Sabiilaa” yang artinya bahwa janganlah kamu sekali-kali mendekati zina sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji”23 22 23
Al Qur’an 30 : 21 Al Qur’an Surat Al Israa’ 17 : 32
31 Selain itu pernikahan membawa kedamaian dan ketenangan jiwa dan menanamkan cinta dan kasih sayang antara pasangan yang menikah. Hal ini akan sangat mendorong manusia untuk beribadah kepada Allah SWT. Kerukunan antara suami istri dipandang sebagai katalisator bagi perkembangan jiwa mereka. Dengan kata lain, hubungan yang rukun dan perkembangan antara suami istri penting sekali untuk meringankan hati dari bebannya dan dengan demikian, memungkinkan akal untuk lebih memusatkan dalam beribadah. Imam Ghozali dengan indah menyatakan “Bahwa manfaat ketiga dari pernikahan adalah hati menemukan kesenangan melalui keakraban dengan wanita karena duduk dan bercanda dengan mereka. Kesenangan ini kemudian meningkat menjadi kesenangan untuk meningkatkan ibadah kepada Allah SWT. Ketekunan dalam beribadah membawa kelelahan dan perjanjian jiwa. Akan tetapi, kesenangan yang diperoleh dengan cara ini (pernikahan) membawa kembali kekuatan jiwa.24 Dalam teks Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya Pasal 2 menjelaskan bahwa perkawinan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Islam juga melihat perkawinan sebagai sebuah alat yang menciptakan sebuah rumah tangga menyenangkan bagi suami istri. Hubungan perkawinan membantu pasangan untuk bekerja bersama-sama dan bekerjasama secara damai dalam menijmen urusan domistik rumah tangga, karenanya waktu yang cukup diluangkan untuk memenuhi perintah Tuhan. Oleh keran itu, Nabi Muhammad SAW mengingatkan kepada ummatnya untuk mencari pasangan yang benar dan dapat membantu mencari rahmat Allah. Begitu sangat indah dan menyenangkan sebuah pernikahan di mana akhir-akhir ini orang yang telah melangsungkan pernikahan pun 24
Hafaa A. Jawad, Perlawanan .................., Op. Cit,. hlm.86
32 masih ingin mengulangi kembali pernikahan tersebut. Islam tidak melarang dan tidak menganjurkan hanya membolehkan (ibahah) seorang pria menikah lebih dari satu dengan kata lain “poligami”, asalkan memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditetapkan oleh Alqur’an dan Hadist serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sebagaimana penulis kemukakan di atas, bahwa Islam tidak melarang, juga tidak menganjurkan untuk berpoligami. Namun diperbolehkannya untuk berpoligami asalkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Al-qur’an dan Hadist serta peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia saat ini. Namun ayat tersebut memberikan tafsir (tafsirul ayah lil ayah) ayat menafsirkan ayat “Wa in Khiftum Alla Takdilu fa Wahidatam” yang artinya jika kalian takut untuk tidak berbuat adil terhadap istri-istrinya, maka cukup satu saja. Berdasarkan ayat tersebut dapat dilihat bahwa manusia tidak akan mungkin berbuat adil terhadap istri-istrinya baik istri yang pertama, maupun istri yang kedua, mungkin bisa adil secara materiil. Akan tetapi, bulum tentu bisa adil secara in-materiil (psikologis) karena keadilan yang mutlak hanya milik Allah SWT. B. Poligami Dalam Diskusrsus Publik Poligami merupakan wacana lama bahkan Islam belum datangpun poligami prakteknya sudah ada. Akan tetapi, tidak sesuai dengan aturan Agama Islam. Perdebatan-perdebatan soal poligami dikalangan masyarakat bahkan muncul kembali tatkala isu nikah sirri dilarang terjadi pro kontra soal poligami ada yang mengatakan boleh poligami ada yang mengatakan tidak boleh poligami. Dari zaman dahulu sebelum Islam datang, poligami adalah sebuah praktek yang terkenal di antara sebagian besar bangsa kuno hal tersebut diperbolehkan dan dipraktekan di Mesir, Persia dan China, juga ia
33 dipraktekan oleh bangsa Yahudi dan diatur dalam pembahasanpembahasan tertentu oleh hukum Musa.25 Menurut ajaran Talmud seorag laki-laki boleh menikah banyak wanita, karena Rabba Saith, adalah sah untuk melakukan demikian, jika ia dapat menyediakan (kebutuhan) untuk mereka. Namun demikian, orang bijak telah memberikan nasehat yang baik, bahwa orang-orang laki-laki seharusnya tidak menikah lebih dari 4 (empat) istri.26 Beberapa agama membenarkan dilakukannya poligami. Hal itu dikuatkan pula dengan ketentuan yang kemudian dijadikan dasar pembenar (legitimasi) bagi laki-laki untuk melakukan poligami dan bahkan dijadikan penguatan bagi perempuan untuk menerima suaminya berpoligami. Ketentuan masalah poligami tersebut tertuang di dalam UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 3 ayat (2) yang berbunyi: Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Artinya seorang suami boleh memiliki istri lebih dari seorang, tetapi, bila kita lihat ayat sebelumnya Pasal 3 ayat (1) yang pada pokoknya berbunyi bahwa seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri, demikian pula seorang istri hanya boleh memiliki seorang suami maka terlihat ada ketidakkonsistenan antara keduanya. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam sebuah institusi perkawinan, posisi tawar perempuan lebih rendah dibanding laki-laki.27 Poligami oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan sebagai gambaran ketidaksetaraan antara laki-laki dengan perempuan karena pada dasarnya poligami itu merupakan sisa-sisa perbudakan terhadap kaum perempuan, di mana orang-orang yang berkuasa seperti raja, pangeran, kepala suku, dan para pemilik harta memperlakukan kaum perempuan semata-mata sebagai pemuas nafsu seksual dan pengabdi terhadap dirinya. Namun 25
Al-Haj Mahomed Ullah Ibn S.Jung, The Muslim Law of Marriage. Pakistan, 1978. hlm. XXXI 26 Thomas PatrickHughes, Dictionary of Islam. London, 1935. hlm. 462 27 Anonymous, Bila Suami Anda Berpoligami dalam www.hti.or.id
34 demikian, poligami merupakan salah satu persoalan yang diperhatikan oleh Al-Qur’an sebagaimana yang disebutkan berikut: “dan jika kamu tidak dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bila kamu mengawininya) maka kawinilah perempuan lain yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki yang demikian itu adalah lebih dekat pada tidak berbuat aniaya”. Dalam pangkal ayat tersebut di atas, terdapat kelanjutan tentang pemeliharaan anak yatim dan keizinan dari Allah untuk beristri lebih dari 1 (satu) yaitu sampai dengan 4 (empat). Menurut Ath-Thabari sebagaimana yang dikutip oleh Nur Jannah Ismail.28 memahami ayat di atas, dalam konteks perlakukan terhadap anak-anak yang ada dalam sebuah walinya dan juga perempuan lain yang menjadi istri mereka. Ath-Thabari menafsirkan ayat tersebut dengan kewajiban berlaku adil terhadap anak yatim dan kewajiban berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yang dikawini. Labih lanjut Ath-Thabari menjelaskan apabila seorang laki-laki tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim yang dikawininya, maka hendaknya ia mengawini perempuan lain yang ia sukai 2 (dua), 3 (tiga) maupun 4 (empat). Namun jika khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap mereka, maka nikahilah seorang istri saja. Jika masih juga khawaitr terhadap satu orang istri saja, maka janganlah engkau menikahinya. Akan tetapi, bersenang-senanglah dengan budak yang kamu miliki karena mereka itu milikmu dan merupakan hartamu (para budak tidak menuntut hak sebagaimana perempuan-perempuan merdeka) yang demikian itu lebih dekat pada keselamatan diri dari dosa, aniaya dan penyelewengan terhadap perempuan. 28
Nur Jannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan: Bias laki-laki Dalam Penafsiran. Yogyakarta, 2003. LKiS. hlm.214
35 Syaikh Bin Baz mengatakan Fatwa Ibnu Baz: Berpoligami itu hukumnya sunnah bagi yang mampu, karena firmanNya “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi 2 (dua), 3 (tiga) atau 4 (empat). Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (An-Nisa : 3). “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” (An-Nisa : 3).29 Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman “Dan kamu sekalikali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri-mu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” (An-Nisa : 129). Berdasarkan pernyataan di atas, kita mendapat kesan yang mendalam bahwa baik Ath-Thabari maupun Syaikh Bin Baz pada dasarnya menekankan untuk berlaku adil, baik terhadap anak yatim maupun terhadap hak-hak perempuan yang telah diwajibkan oleh Allah kepada kaum laki-laki. Hanya saja bukan berarti ayat ini menunjukkan kebolehan berpoligami sampai 4 (empat) orang istri dengan tanpa syarat yang sangat ketat, sehingga surat tersebut tidak mungkin (untuk tidak boleh setiap laki-laki). Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan sedemikian lengkap hukum-hukum untuk memecahkan problematika kehidupan umat manusia. Islam telah membolehkan kepada seorang laki-laki untuk beristri lebih dari satu orang. Hanya saja, Islam membatasi jumlahnya, yakni maksimal 4 (empat) orang istri, dan mengharamkan lebih dari itu. Hal ini didasarkan firman Allah SWT. yang atinya: “Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi masing-masing dua, tiga, atau empat kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, kawinilah seorang saja atau kawinilah budakbudak yang kalian miliki yang demikian itu adalah lebih dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya”.30 29
30
Syaikh Bin Baz, Majalah Al-Balagh, edisi 1028 Al Qur’an Surat An-nisa’ 4: 3
36 Melalui ayat di atas, Allah menjelaskan, bahwa manusia tidak akan dapat berlaku adil dalam hal-hal tertentu. Hanya saja harus disadari hal ini tidak berarti bahwa Allah menganiaya manusia. Keadilan yang dituntut atas seorang suami terhadap istri-istrinya bukanlah keadilan yang bersifat mutlak, tetapi keadilan yang memang masih berada dalam batasbatas kemampuannya sebagai manusia untuk mewujudkannya. Sebab Allah SWT. sendiri tidak memberi manusia beban kecuali sebatas kemampuannya sebagaimana firman-Nya. Berkenaan dengan ketidakmampuan manusia berlaku adil sebagaimana yang ditunjukkan dalam Al-quran surat an-Nisa’ ayat 129 di atas, Ibn-Abbas menjelaskan bahwa ketidakmampuan yang dimaksud adalah dalam perkara kasih sayang dan syahwat suami terhadap istriistrinya. Sebaliknya, selain dalam dua perkara ini, seorang suami akan mampu berlaku adil kepada istri-istrinya. Keadilan selain dalam kasih sayang dan syahwatnya inilah yang sebetulnya dituntut dan diwajibkan atas para suami yang berpoligami. Sebaliknya, keadilan dalam hal kasih sayang dan kecenderungan syahwatnya bukanlah sesuatu yang diwajibkan atas mereka. Hal ini dikuatkan oleh Hadist Nabi Mohammad SAW sebagaimana dijelaskan Aisyah R.A: “Bahwa Rasullullah SAW pernah bersumpah dan berlaku adil seraya berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku bersumpah atas apa yang aku sanggupi. Oleh karena itu, janganlah Engkau memasukkanku ke dalam perkara yang Engkau sanggupi tetapi tidak aku sanggupi. (yaitu hatinya)”.31 C. Poligami Dalam Diskursus Islam, Sosial Budaya Jika dicermati mendalam dari sisi laki-laki dan dari sisi dibolehkannya oleh kaum perempuan bahwa Poligami lebih baik daripada berselingkuh atau berzinah dengan pelacur. Poligami hukumnya
31
Hadist Riwayat Abu Dawud.
37 halal, sedangkan selingkuh atau berhubungan seksual (berzinah) dengan wanita lain hukumnya haram. Karenanya “kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: 2 (dua), 3 (tiga) atau 4 (empat). Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Alqur’an Surah An-Nisa : 3). Kemudian kaum penentang poligami sering menggunakan ayat berikut ini: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri-mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An Nisaa’:129). Ayat di atas tidak menolak poligami, namun oleh orang-orang yang menolak poligami sering dijadikan dalil untuk menolak poligami yang seyogiyanya membolehkan poligami. Konteks adil dalam ayat di atas Allah menegaskan bahwa manusia tidak akan dapat adil secara sempurna kepada istri-istrinya karena memperlakukan banyak istri secara adil adalah conditio sine qua non bagi tindakan poligami. Meski demikian bukan berarti melarang poligami, tapi menyuruh manusia agar tidak terlalu condong pada yang dicintai dan membiarkan yang lain terlantar. Adil yang dimaksud adalah adil dalam hal materiil dan in materiil. Ayat yang memperbolehkan poligami diwahyukan kepada Nabi Mohammad SAW setelah perang Uhud yang menewaskan banyak orang laki-laki muslim. Ayat ini mengangkat keprihatinan kaum perempuan dan anak-anak yatim yang ditinggal wafat oleh suami dan ayah yang merawat mereka.
38 Mencermati ayat di atas, tujuan pokok kebolehan poligami dalam Al-qur’an Surat Annisa’ ayat 4 : 3 adalah untuk menyelesaikan masalah tersebut, bukan pemenuhan kebutuhan seksual. Karena itu, jelas nass poligami itu termasuk kelompok nass kasuistik yang temporal untuk menuntaskan masalah yang ada ketika itu. Lebih dari itu, latar belakang makro ayat, yakni praktek Arab pra-Islam, adalah adanyapraktik poligami tanpa batas. Karena itu, adanya batasan maksimal empat merupakan pembaruan yang luar biasa oleh Syariat Islam.32 Selain itu. ada juga ahli hukum Islam menyimpulkan bahwa yang dianut ialah asas monogami dengan tetap terbuka peluang poligami selama hukum agama mengizinkan.33 Ada juga ahli hukum yang menyimpulkan bahwa yang dianut ialah asas monogami takmutlak atau asas monogami terbuka; poligamiditempatkan pada status hukum darurat (emergency law) atau dalam keadaan yang luar biasa (extra-ordinary circumstance).34 Jika mencermati peradaban pada masa pra Islam poligami adalah sebuah praktek yang umum di Arabiyah seorang laki-laki diperbolehkan menikah dengan istri beberapa saja tanpa ada batasan apapun. Jumlah istri yang tidak terbatas ini dibenarkan sebagai suatu kompensasi dari kurangnya laki-laki yang disebabkan oleh perang-perang suku-suku yang sering terjadi. Dengan datangnya Islam, konsep poligami didefinisikan ulang secara radikal (sampai ke-akar-akarnya). Islam membatasi istri yang boleh dinikahinya paling banyak 4 (empat) orang saja (itupun dengan beberapa persyaratan tertentu sebagaimana ayat di atas) dan mengenalkan monogami sebagai suatu bentuk perkawinan yang ideal. 32
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi tentang Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, hlm. 326-327 33 Periksa Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. Jakarta, 2004. Prenada Media. hlm. 51. 34 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional. Medan, 1975. Zahir Trading Co. hlm. 25-26.
39 Lebih dari itu, beberapa bentuk poligami yang lazim berlaku di arabiah dilarang oleh Islam seperti menikahi 2 (dua) orang perempuan yang bersaudara secara bersamaan atau menikahi seorang perempuan dengan bibinya secara bersamaan dan sebagainya.35 Dalam Islam poligami itu dihalalkan, apabila membawa ke-arah keadilan, dan dilarang atau diharamkan apabila menimbulkan keluhankeluhan dan tindakan tindakan ketidakadilan, sehingga berlaku adil kepada seorang istri merupakan sebuah kewajiban agama yang bersifat mengikat dalam kesadaran saja dan tidak menjadi sebuah aturan hukum.36. Bagaimanapun juga, berlaku adil kepada istri itu bukan merupakan tugas yang mudah untuk dicapai, hanya ketaqwaan kepada Allah saja yang dapat memenuhi persyaratan itu. Oleh karena itu, kita memegangi secara kuat pendapat bahwa jalan yang terbaik adalah mengikuti apa yang dianjurkan oleh Al Qur’an, apabila kalian khawatir tidak akan bisa berbuat adil, maka menikahlah dengan satu orang istri saja. Poligami sudah ada jauh sebelum kedatangan agama Islam. Boleh dibilang bahwa poligami itu bukan semata-mata produk syariat Islam. Jauh sebelum Islam lahir ditahun 610 Masehi, peradaban manusia dipenjuru dunia sudah mengenal poligami, menjalankannya dan menjadikannya sebagai bagian utuh dari bentuk kehidupan wajar. Bahkan boleh dibilang bahwa tidak berperadaban manusia di dunia ini di masa lalu yang tidak mengenal poligami. Lebih jauh, kalau kita buka sejarah umat manusia, sesungguhya peradaban kita sudah mengenal poligami dalam bentuk yang sangat mengerikan. Misalnya, seorang laki-laki bisa saja memiliki bukan hanya 4 (empat) isteri, tetapi ratusan isteri. Dalam Islam karya Ali Abdul Wahid Wafi menyebutkan bahwa bila kita melihat dalam sejarah, sebenarnya poligami merupakan gaya hidup yang diakui dan berjalan dengan lancar dipusat-pusat peradaban manusia. Bahkan bisa dikatakan bahwa hampir semua pusat peradaban 35
Haifaa. A Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan: Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender. Yogyakarta, 2002. Fajar Pustaka Baru. hlm. 148 -149 36 S. Saeed, The Legal Status of Muslim Women, dalam The Islamic Quarterly, Vol. XXIV. No.1 dan 2 tahun 1980. hlm. 16
40 manusia (terutama yang maju dan berusia panjang), telah mengenal poligami dan mengakuinya sebagai sesuatu yang normal dan formal. Para ahli sejarah mendapatkan bahwa hanya peradaban yang tidak terlalu maju saja dan tidak berusia panjang yang tidak mengenal poligami. Jadi, pendapat bahwa poligami itu hanya produk hukum Islam adalah tidak benar. Sebab bangsa Arab sebelum masa kedatangan Islam pun mengenal poligami. Dalam salah satu hadits disebutkan bahwa ada seorang masuk Islam dan masih memiliki 10 (sepuluh) orang isteri. Lalu oleh Rasulullah SAW diminta untuk memilih 4 (empat) saja dan selebihnya diceraikan. Beliau bersabda: Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Pilihlah 4 (empat) orang dari mereka dan ceraikan sisanya. Masih menurut beliau, poligami itu bukan hanya milik peradaban masa lalu dunia, tetapi hari ini masih tetap diakui oleh negeri dengan sistem hukum yang bukan Islam seperti Afrika, India, China dan Jepang. Sehingga jelaslah bahwa poligami adalah produk umat manusia, produk kemanusiaan dan produk peradaban besar dunia. Islam hanyalah salah satu yang ikut di dalamnya dengan memberikan batasan dan arahan yang sesuai dengan jiwa manusia. Islam datang dalam kondisi di mana masyarakat dunia telah mengenal poligami selama ribuan tahun dan telah diakui dalam sistem hukum umat manusia. Justru Islam memberikan aturan agar poligami itu tetap selaras dengan rasa keadilan dan keharmonisan. Misalnya dengan mensyaratkan adanya keadilan dan kemampuan dalam nafkah. Begitu juga Islam sebenarnya tidak membolehkan poligami secara mutlak, sebab yang dibolehkan hanya sampai empat orang isteri dan segudang aturan main lainnya sehingga meski mengakui adanya poligami. Namun poligami yang berkeadilan, sehingga melahirkan kesejahteraan. 37 Poligami jauh lebih beradab. Namun ketika ada orang berpoligami dan mengumumkan kepoligamiannya, semua ikut merasa jijik sementara ketika hampir semua lapisan masyarakat menghidup37
Izzatul Ulya, Poligami http://www.eramuslim.com.
Menurut
Syari’at
Islam,
Artikel
dalam
41 hidupkan perzinahan, pelacuran, perselingkuhan, homo sek dan lesbianisme, tidak ada satu pun yang berkomentar buruk, semua seakan kompak dan sepakat bahwa perilaku seperti itu, adalah wajar terjadi sebagai bagian dari dinamika kehidupan modern.38 Pandangan syariat Islam tentang poligami atau dikenal dengan ta`addud zawaj pada dasarnya mubah atau boleh. Bukan wajib juga bukan sunnah (anjuran). Karena melihat rentetan ayat al-qur’an memang mensyaratkan harus adil. dan keadilan itu yang tidak dimiliki semua orang. Allah SAW berfirman: “dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlakuadil, maka seorang saja, atau budakbudak yang kamumiliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. 39 Jadi syarat utama poligami adalah adil terhadap isteri, baik dalam nafkah lahir batin, atau pun dalam perhatian, kasih sayang, perlindungan serta alokasi waktu. Jangan sampai salah satunya tidak diberi dengan cukup. Apalagi kesemuanya tidak diberi cukup nafkah, maka hal itu adalah kezaliman sebagaimana hukum menikah yang bisa memiliki banyak bentuk hukum, maka begitu juga dengan poligami, hukumnya sangat ditentukan oleh kondisi seseorang, bahkan bukan hanya kondisi dirinya tetapi juga menyangkut kondisi dan perasaan orang lain, dalam hal ini bisa saja isterinya atau keluarga isterinya. Pertimbangan orang lain ini tidak bisa dimentahkan begitu saja dan tentunya hal ini sangat manusiawi sekali, karena itu kita dapati Rasulullah SAW melarang Ali binabi Thalib untuk memadu Fatimah yang merupakan putri Rasulullah SAW, sehingga Ali bin Abi Thalim tidak melakukan poligami. Jika hukum poligami itu sunnah atau 38 39
Ibid. Al qur’an Surat An-nisa’ 4 : 3
42 dianjurkan, maka apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk melarang Ali berpoligami akan bertentangan, selain itu yang sudah menjadi syarat paling utama dalam pertimbangan poligami adalah masalah kemampuan finansial. Bagaimana pun ketika seorang suami memutuskan untuk menikah lagi, maka yang harus pertamakali terlintas dikepalanya adalah masalah tanggung jawab nafkah dan kebutuhan hidup untuk dua keluarga sekaligus. Nafkah tentu saja tidak berhenti sekedar bisa memberi makan dan minum untuk isteri dan anak. Akan tapi lebih dari itu, bagaimana dia merencakan anggaran kebutuhan hidup sampai kepada masalah pendidikan yang layak, rumah dan semua kebutuhan lainnya. Ketentuan keadilan sebenarnya pada garis-garis umum saja, karena bila semua mau ditimbang secara detail pastilah tidak mungkin berlaku adil secara empiris. Oleh karena itu, dibuatkan garis-garis besar seperti masalah pembagian jatah menginap, menginap di rumah isteri harus adil. Misalnya sehari di isteri tua dan seharidi isteri muda yang dihitung adalah malamnya atau menginapnya, bukan hubungan seksualnya. Karena kalau sampai hal yang terlalu mendetail harus dibuat adil juga, akan kesulitan menghitung dan menimbangnya. Secara fithrah umumnya, kebutuhan seksual laki-laki memang lebih tinggi dari wanita, dan secara faal, kemampuan seksual laki-laki memang dirancang untuk bisa mendapatkan frekuensi yang lebih besar daripada wanita. Nafsu birahi setiap orang itu berbeda-beda kebutuhannya dan cara pemenuhannya. Dari sudut pandang laki-laki masalah kehausan nafsu birahi sedikit banyak dipengaruhi kepada kepuasan hubungan seksual dengan isteri. Bila isteri mampu memberikan kepuasan skesual, secara umum kehausan itu bisa terpenuhi dan sebaliknya bila kepuasan itu tidak didapat, maka kehausan itu bisa-bisa tak terobati. Akhirnya, menikah lagi sering menjadi alternatif solusi. Umumnya laki-laki membutuhkan kepuasan seksual baik dalam kualitas maupun kuantitas. Namun umumnya kepuasan kualitas lebih dominan dari pada kepuasan secara kuantitas. Bila terpenuhi secara kualitas, umumnya sudah bisa dirasa cukup. Sedangkan pemenuhan dari sisi kuantitas saja sering tidak terlau berarti bila tidak disertai kualitas,
43 bahkan mungkin saja menjadi sekedar rutinitas kosong. Lagi-lagi menikah lagi sering menjadi alternatif solusi. Secara fisik, terkadang memang ada pasangan yang ekstrim di mana suami memiliki kebutuhan kualitas dan kuantitas lebih tinggi, sementara pihak isteri kurang mampu memberikannya baik dari segi kualitas dan juga kuantitas. Ketidakseimbangan ini mungkin saja terjadi dalam satu pasangan suami isteri. Namun biasanya solusinya adalah penyesuaian diri dari masingmasing pihak di mana suami berusaha mengurangi dorongan kebutuhan untuk kepuasan secara kualitas dan kuantitas dan sebaliknya isteri berusaha meningkatkan kemampuan pelayanan dari kedua segi itu. Nanti keduanya akan bertemu di satu titik, tetapi kasus yang ekstrim memang mungkin saja terjadi. suami memiliki tingkat dorongan kebutuhan yang melebihi rata-rata, sebaliknya isteri memiliki kemampuan pelayanan yang justru di bawah rata-rata. Dalam kasus seperti ini memang sulit untuk mencari titik temu. Karena hal ini merupakan fithrah alamiah yang ada begitu saja pada masing-masing pihak, dan kasus seperti ini adalah alasan yang paling logis dan masuk akal untuk terjadinya penyelewengan, selingkuh, prostitusi, pelecehan seksual dan perzinahan, sehingga jauh-jauh hari Islam sudah mengantisipasi kemungkinan terjadinya fenomena ini dengan membuka pintu untuk poligami dan menutup pintu ke arah zina. Dari pada zina yang merusak nilai kemanusiaan dan harga diri manusia, lebih baik kebutuhan itu disalurkan lewat jalur formal dan legal yaitu poligami.40 Para ulama dengan membandingkannya dengan dalil-dalil lainnya menunjukan bahwa poligami merupakan jalan keluar atau rukhshoh (bentuk keringanan) atas sebuah kebutuhan. Bukan menempati posisi utama dalam masalah pernikahan, alasan agar tidak jatuh ke dalam zina adalah alasan yang ma`qul (logis) dan sangat bisa diterima, karena Allah SWT memang memerintahkan agar seorang mukmin menjaga kemaluannya. Allah SWT berfirman:
40
Izzatul Ulya, Op.Cit.
44 “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,”41 Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."42 “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,”i43 Bila satu isteri saja masih belum bisa menahan gejolak syahwatnya, sementara secara nafkah dia mampu berbuat adil, bolehlah seseorang untuk menikah lagi dengan niat menjaga agamanya. Bukan sekedar memuaskan nafsu syahwat saja. Bentuk kekeliruan yang lain adalah rasa terlalu optimis atas kemampuan menanggung beban nafkah. Pada hal Islam tetap menuntut kita berlaku logis dan penuh perhitungan. Memang rezeki itu Allah SWT yang memberi, tetapi rezeki itu tidak datang begitu saja. Bahkan untuk orang yang baru pertama kali menikah pun, Rasulullah SAW mensyaratkan harus punya kemampuan finansial dan bila belum mampu, maka hendaknya berpuasa saja jangan sampai seseorang yang penghasilannya tidak mencukupi jangan berpoligami. Ada kalangan yang menentang poligami atau paling tidak kurang bersimpati terhadap poligami, mereka pun sibuk membolak balik ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW untuk mencari dalil yang bisa melarang atau minimal memberatkan jalan menuju poligami. Misalnya dengan mengikat seorang suami untuk janji tidak menikah lagi ketika melangsungkan pernikahan pertamanya. Janji itu disamakan dengan sighat ta'liq yang bila dilanggar maka isterinya diceraikan. Menanggapi hal ini, para ulama berbeda pendapat tentang syarat tidak boleh melakukan poligami bagi suami yang diajukan oleh isterinya pada saat aqad nikah. Apakah pensyaratan tersebut dibolehkan atau tidak, sebagian ulama menyatakan bahwa persyaratan tersebut diperbolehkan, sedangkan yang lain berpendapat hal tersebut dimakruhkan tetapi tidak haram, karena dengan adanya pensyaratan tersebut maka suami akan merasa terbelenggu yang pada akhirnya akan menimbulkan hubungan 41
Al Qur’an Surat Al-Mukminun 5 Al Qur’an Surat An-nur 30 43 Al Qur’an Surat Al-Ma`arij 29 42
45 yang kurang harmonis di antara keduanya. Bentuk lainnya dari upaya menelikung poligami dalam Islam, dikatakan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah melakukan poligami kecuali hanya kepada janda saja, tidak pernah kepada wanita yang perawan. memang ketika menikahi Aisyah RA, status Rasulullah SAW adalah seorang duda yang ditinggal mati isterinya. Dalam menjawab masalah ini, sebenarnya syarat harus menikahi wanita yang berstatus janda bukanlah syarat untuk poligami. Meski Rasulullah SAW memang lebih banyak menikahi janda daripada yang masih gadis. Namun hal itu terpulang kepada pertimbangan teknis di masa itu yang umumnya untuk memuliakan para wanita atau mengambil hati tokoh dibelakang wanita itu. Pertimbangan ini tidak menjadi syarat untuk poligami secara baku dalam syariat Islam. Sebagian kalangan juga ingin menghalangi poligami dengan dasar bahwa syarat berlaku adil dalam Al-quran adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dilakukan. Dengan demikian, maka poligami dilarang dalam Islam. Pada hal, walaupun ada ayat yang demikian, yang dimaksud dengan keadilan tidak dapat dilakukan adalah keadilan yang bersifat menyeluruh baik materi maupun ruhiyah. Sementara keadilan yang dituntut dalam sebuah poligami hanya sebatas keadilan secara sesuatu yang bisa diukur dan lebih bersifat materi. Sedangkan masalah cinta dalam dada, sangat sulit untuk diidentifikasi. Namun demikian, Rasulullah SAW mengancam orang yang berlaku tidak adil kepada isterinya dengan ancaman berat.44 Kemudian ada yang menilai praktek poligami pada dasarnya bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunnah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda. Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya alam, tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah.
44
Izzatul Ulya, Op. Cit. hlm. 4
46 Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki. Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat manakala perempuan yang dipoligami mengalami “self - depreciation”. Mereka membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Tidak sedikit diantara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri. 45 Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Oleh karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Sedangkan yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah) dan manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilainilai prinsipil dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan, karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami, dan untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat dan ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimana disaksikan Muhammad Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan poligami dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadist Nabi SAW tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain. 45
Ibid.
47 Sepertinya momen tersebut dimanfaatkan oleh kalangan feminis yang memang anti poligami. Kaum feminis radikal memandang, bahwa kebolehan poligami merupakan deklarasi penindasan laki-laki atas perempuan yang tiada akhir. Mereka menuduh agama Islam yang membolehkan poligami telah bertindak bias jender. Pandangan seperti ini telah merasuki pikiran banyak aktivis perempuan dewasa ini. Bahkan, pandangan seperti ini seakan-akan memperoleh legitimasi dengan adanya praktek-praktek poligami di tengah masyarakat kita yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Ditambah lagi dengan adanya sosialisasi yang sistematis dan berkesinambungan tentang percitraan negatif ibu tiri/istri muda, baik melalui film maupun cerita-cerita rakyat. Berbeda dengan pendapat di atas, ada pula yang berpendapat bahwa dilarangnya poligami justru menjadi pemicu dan cenderung melegalisasi prostitusi. Kita lihat salah satu ungkapannya, “Bayangkan saja, dengan tidak diperbolehkan menikah lagi, banyak pria memiliki wanita simpanan Padahal, daripada berzina, lebih baik dikawin secara resmi.46 Menurut pandapat penulis terlepas dari pro dan kontra boleh atau tidaknya berpoligami hal itu kembali kepada masing-masing orang dalam menafsirkan ayat maupun hadist masalah poligami, karena sepanjang tafsir yang digunakan berbeda maka akan mnengasilkan kesimpulan yang berbeda pula dan perbedaan itu adalah rahmah bagi setiap umat Nabi Muhamad. SAW. D. Poligami Dalam Diskursus Hukum Positif Indonesia Poligami menarik untuk diperbincangkan meskipun tidak dapat melahirkan formulasi tunggal antara pendukung poligami dan penentang poligami, hal ini bisa diperhatikan praktek poligami di Indonesia berjalan lancar tanpa ada hambatan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia mulai dari kalangan pejabat sampai ke kalangan kaum sarungan atau kalangan orang-orang yang menjadi panutan umat Islam,
46
Najmah Saidah, Adil Bukan Syarat Poligami. Makalah di akses dalam www.hisbuttahrir.or.id
48 baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sebenarnya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara spesifik pengertian poligami. Namun menurut kamus ilmiah populer bahwa Poligami adalah perkawinan antara seorang dengan dua orang atau lebih (namun diartikan: perkawinan satu orang suami dengan dua orang istri atau lebih).47 Sedangkan menurut kamus hukum poligami adalah perkawinan rangkap.48 Pengaturan masalah poligami itu sendiri di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia belum diatur secara khusus. Namun masih mengacu kepada Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan di mana dalam Pasal 3 ayat (1) pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Ayat (2) Pasal ini menyatakan bahwa bagi orang yang ingin beristri lebih dari satu (berpoligami), maka Pangadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihakpihak yang bersangkutan. Pasal 4 dalam hal seorang suami ingin beristri lebih dari seorang sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan izin ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Ayat (2) menjelaskan Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: 1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. 2. Istri mendapat cacat badan atau/penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 47
Pius A Partanto dan M .Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya, tanpa tahun), hlm.606 48 Yan Pramadya Puspa, Kamus Huku: edisi lengkap Bahasa Belanda, Inggris dan Indonesia. Semarang, 1977, hlm.175
49 1. Adanya perjanjian dari istri-istri. 2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup istri-istri dan anak-anak. 3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istriistri dan anak-anak mereka. Juga masih diatur dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masalah poligami diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 65. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masalah poligami diatur dalam Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45 Sementara dalam Instruksi Presiden Nomor 1Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam masalah poligami diatur dalam Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59. Namun demikian, jika memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7500 (tujuh ribu lima ratus rupiah). Sedangkan Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7500 (tujuh ribu lima ratus rupiah). Poligami adalah sesuatu yang sah dilakukan asalkan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku dan sesuai dengan hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad.SAW walaupun pada dasarnya penulis tidak setuju dengan poligami. Islam menempatkan perkawinan secara serius, perhatiannya selalu untuk memastikan bahwa kata perkawinan secara relatif tetap mantap dan dapat bertahan lama. Untuk mencapai ini Islam telah menetapkan peraturan-peraturan dan syarat-syarat tertentu untuk memenuhi tujuan tersebut sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
50 E. Simpulan Islam tidak melarang poligami, juga tidak menganjurkan berpoligami. Namun diperbolehkannya untuk berpoligami asalkan memenuhi syarat-syarat dan batas yang telah ditentukan oleh Al-qur’an dan Hadist serta ketentuan hukum positif Indonesia. Diskursus poligami kembali kepada masing-masing orang dalam menafsirkan ayat maupun hadist Nabi masalah poligami, karena sepanjang tafsir yang digunakan berbeda maka akan mnenghasilkan kesimpulan yang berbeda pula dan perbedaan itu adalah rahmah bagi setiap umat manusia. Predikat hukum poligami akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Dalam pemahaman budaya, praktek poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda. Para ulama dengan membandingkannya dengan dalil-dalil lainnya menunjukan bahwa poligami merupakan jalan keluar atau rukhshoh (bentuk keringanan) atas sebuah kebutuhan. Bukan menempatkan posisi utama dalam masalah pernikahan, alasan agar tidak jatuh ke dalam zina adalah alasan yang rasional dan sangat bisa diterima akal sehat. DAFTAR PUSTAKA Anonymous.2006. Bila Suami Anda Berpoligami: 9 Desember, 2006 dalm www.hti.or.id. A. Jawad, Haifaa. 2002. Otentisitas Hak-Hak Perempuan: Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender. Yogyakarta. Fajar Pustaka Baru. A. Jawad, Haifaa. 2002. Perlawanan Wanita: Sebuah Pendekatan Otentik Religius. Malang. Cendekia Paramulya. Harahap, M. Yahya. 1975. Hukum Perkawinan Nasional. Medan. Zahir Trading Co. Ismail, Nur Jannah. 2003. Perempuan dalam Pasungan: Bias laki-laki dalam penafsiran. Yogyakarta. LKiS. Izzatul Ulya, Poligami Menurut Syari’at Islam, Artikel dalam http://www.eramuslim.com.
51 Nasution, Khoiruddin. Status Wanita di Asia Tenggara : Studi tentang Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia. Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. Jakarta. Prenada Media. Pius A Partanto dan M .Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya, tanpa tahun). Saidah, Najmah. Adil Bukan Syarat Poligami. Makalah yang di akses dalam www.hisbut-tahrir.or.id S. Saeed. 1980. The Legal Status of Muslim Women, dalam the Islamic Quarterly, Vol. XXIV. No.1 dan 2 tahun 1980. Ullah Ibn S.Jung, Al-Haj Mahomed. 1978. The Muslim Law of Marriage. Pakistan. Thomas PatrickHughes, 1935, Dictionary of Islam. London. Yan Pramadya Puspa. 1977. Kamus Hukum: edisi lengkap Bahasa Belanda, Inggris dan Indonesia Semarang. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
52 PERLINDUNGAN TERHADAP NASABAH YANG MELAKUKAN TRANSFER DANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2011 Agustri Purwandi, S.H., M.H Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan Jl. Raya Panglegur km. 3,5 Pamekasan Madura Jatim Abstrak Ketika mekanisme pembayaran dituntut untuk selalu mengakomodir setiap kebutuhan masyarakat dalam hal perpindahan dana secara cepat, aman dan efisien, maka inovasi-inovasi teknologi pembayaran semakin bermunculan dengan sangat pesat. Memberikan jawaban dengan berbagai fasilitas kemudahan dan semakin tiada batas. Pergerakan dana lintas batas untuk saat ini telah menjadi kebutuhan yang mutlak bagi masyarakat. Tetapi dalam pergerakan lintas dana ini sangat rawan akan kejahatan. Oleh karena itu saat ini perlunya perlindungan kepastian hukum dalam transfer dana ini yang diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2011. Dengan diundangkannya UU No.3 Tahun 2011, maka setiap kegiatan transfer dana tidak lagi sepenuhnya bebas dilakukan pengirim asal maupun penerima. Sejumlah ancaman pidana telah ditetapkan jika dalam kegiatan transfer dana dilakukan menurut cara-cara yang dilarang undang-undang. Bank Indonesia memiliki peranan penting dalam menjaga stabilitas system keuangan, antara lain: menjaga stabilitas moneter diantaranya melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Kata Kunci :
53 perlindungan kepastian hukum, peranan Bank Indonesia. A. Latar Belakang Masalah Globalisasi yang berbasis teknologi informasi telah dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga perbankan di dunia untuk saling memberi dan menerima informasi inovasi produk, fitur-fitur baru dan potensi pasar masing-masing. Keadaan demikian dimanfaatkan oleh masing-masing bank untuk saling mengadopsi produk-produk baru sesuai potensi diri dan lingkungannya. Oleh karena itu, kini dapat dilihat produk-produk perbankan yang ditawarkan kepada masysarakat di berbagai belahan dunia hampir sama.49 Perbedaan mendasar dari berbagai sistem perbankan di dunia terletak pada pilihan sistem yang digunakan, baik pilihan mengenai sistem operasional bank, sistem pengawasan maupun sistem kedudukan bank sentral. Di beberapa negara Eropa, sistem operasional perbankan yang digunakan menggabungkan antarafungsi commercial dan fungsi investasi, sedangkan di Amerika mirip dengan di Indonesia, operasional bank umum hanya melakukan kegiatan pada bidang commercial saja. Ini berarti, di Indonesia, operasional bank hanya menitikberatkan pada keseimbanngan antara dana yang dihimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Dalam hal ini, bank berfungsi sebagai intermediary. Sekalipun terdapat aktivitas pemberian jasa, seperti transfer,save deposit box, kustodi, collection, traveler’s cheque, dan jasa-jasa lainnya, tetapi hakikatnya hal itu dilakukan oleh bank umum yang semata-mata untuk mendukung tugas dan fungsi bank umum dalam kedudukannya sebagai commercial system. Dengan demikian, produk investasi yang di beberapa negara Eropa merupakan produk perbankan yang dikenal dengan universal banking, maka di Indonesia lembaga investasi tersebut dilakukan oleh lembaga nonbank, seperti asuransi dan reksa dana. Memang terdapat kecenderungan lembaga perbankan kini menawarkan berbagai produk asuransi dan reksa dana, tetapi hakikatnya 49
Try Widiyono, kata pengantar, aspek hukum operasional transaksi produk perbankan di indonesia, simpanan, jasa, dan kredit. 2006. Jakarta.
54 dalam produk tersebut, bank yang bersangkutan hanya berfungsi sebagai agen atau distributor atau mediasi produk asuransi dan reksa dana. Dengan kata lain, produk-produk asuransi dan reksa dana itu bukan produk bank yang bersangkutan. Walaupun diakui adanya desakan untuk menggeser fungsi bank yang kini sebagai intermediary murni menjadi universal banking, namun hal ini perlu kajian lebih mendalam, khususnya untuk mengubah dan menetapkan regulasi yang tepat, hanya diprioritaskan terhadap keadaan sesaat terkait bank mengalami kelebihan dana, akibat tidak seimbangnya dana simpanan dan penyaluran kredit yang mengakibatkan bunga simpanan menjadi menurun.50 Meningkatnya kepercayaan masyarakat tersebut antara lain tercermin dari arus transaksi perpindahan Dana yang terus menunjukkan peningkatan tidak saja dari sisi jumlah transaksi, tetapi juga dari sisi nilai nominal transaksinya. Selain faktor kelancaran dan kenyamanan dalam pelaksanaan Transfer Dana, faktor kepastian dan pelindungan hukum bagi para pihak terkait juga merupakan faktor utama dalam Transfer Dana. Latar belakang ini patut kita garis bawahi, kejahatan perbankan juga melibatkan orang dalam bank sendiri, sehingga kepastian dan perlindungan hukum agaknya hal yang substansial dari Undang-Undang No.3 Tahun 2011. Tentu saja, ketentuan-ketentuan dalam undang-undang transfer dana tersebut tidak terlepas kompleksitas yang terkait dengan transfer dana. Namun keberadaan undang-undang ini akan lebih efektif mencapai tujuannya, apabila di ikuti dengan kebijakan “satu identitas” bagi setiap orang dalam melakukan transaksi apa pun dan dimana pun dalam wilayah Indonesia.51 Seperti yang kita ketahui, kegiatan transfer dana sudah menjadi bagian dari keseharian hidup sebagian besar masyarakat indonesia. Media maupun mekanisme yang dilakukan dalam melakukan kegiatan transfer dana juga sudah sangat beragam. Pihak yang menyediakan jasa transfer dana juga sudah bergerak dari yang dahulu didominasi oleh 50
Ibid,. Hlm.1-2 http://boyyendratamim.blogspot.com/ 2011/05/ beberapa-ketentuan-pidanaterkait.html/ 17-07-2012/14:16 51
55 kalangan perbankan, sekarang mulai dilakukan pula oleh pihak selain bank, khususnya dalam jasa Kegiatan Usaha Pengiriman Uang atau KUPU. Jika dilihat dari data stastistik, transfer dana yang dilakukan melalui sistem Real Time Gross Sattlement atau RTGS misalnya, ratarata bulanannya pada satu tahun terakhir mencapai lebih dari Rp 5.000 triliun per bulan. Belum lagi transfer yang dilakukan melalui kliring, yang rata-rata bulanannya pada satu tahun terakhir mencapai lebih dari Rp. 160 triliun per bulan, serta melalui alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang mencapai lebih dari Rp. 200 triliun setiap bulannya. Di sisi lain, sampai saat ini telah terdapat 78 penyelenggara transfer dana diluar perbankan, yang dikenal dengan sebagai money remitters atau penyelenggara KUPU. Hal ini menunjukkan perkembangan transfer dana yang teramat pesat di masyarakat. Perkembangnan transfer dana tersebut menuntut adanya kepastian hukum yang efektif bagi seluruh pihak terkait. Ragam mekanisme dan penyelenggara transfer dana membutuhkan adanya kesetaraan pengaturan hak dan kewajiban yang tegas, yang berlaku untuk semua pihak tanpa kecuali. Tuntutan-tuntutan tersebut dijawab dengan kehadiran UndangUndang tentang Transfer Dana. Kehadiran Undang-undang Transfer dana memberikan kepastian hukum bagi pelaku kegiatan transfer dana dengan memberikan dasar pengaturan yang jelas mengenai hak dan kewajiban para pihak, baik bagi nasabah sebagai pengguna maupun bagi bank atau lembaga selain bank sebagai penyelenggara transfer dana. Adanya hak dan kewajiban yang jelas ini menjadi penting, karena dasar dari pelaksanaan kegiatan transfer dana adalah adanya perjanjian antara para pihak tersebut. Dalam Undang-Undang Transfer Dana bahkan secara jelas diatur bahwa sarana perintah transfer dana yang disampaikan oleh nasabah pengirim dan telah diaksep oleh penyelenggara merupakan perjanjian yang sah dan mengikat. Hal ini tentunya akan memberikan kepastian dan rasa aman bagi nasabah, bahwa dana yang ia transfer akan dikirimkan oleh penyelenggara secara bertanggung jawab. Di sisi lain, bagi bank dan
56 lembaga selain bank sebagai penyelenggara, kehadiran Undang-Undang Transfer Dana juga memberikan kepastian mengenai bagaimana melaksanakan perintah transfer dana yang telah ia terima, serta apa yang menjadi hak dan kewajibannya dalam melaksanakan perintah transfer dana tersebut. Pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pelaku dalam Undang-Undang Transfer Dana bersifat komprehensif, dimulai dengan pengaturan mengenai pemberian perintah transfer dana dari nasabah pengirim kepada penyelenggara pengirim, sampai dengan pengaturan mengenai penyampaian dana kapada nasabah penerima. Dalam materi pengaturan undang-Undang ini juga dimuat beberapa pengaturan rinci, seperti informasi-informasi apa saja yang harus dilengkapi oleh seorang nasabah pengirim dalam sebuah perintah transfer dana. Kewajiban pengisian informasi oleh nasabah sesuai Undang-Undang Transfer Dana ini juga diatur sejalan dengan peraturan perundang-undangan terkait seperti Undang-Undang mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Sinergi antara UndangUndang Transfer Dana dengan UU TPPU ini saya pandang sebagai dukungan yang penting dalam memerangi dan memberantas kejahatan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Peraturan penting lainnya yang dimuat dalam Undang-Undang Transfer Dana adalah adanya ketegasan mengenai siapakah yang dapat menjadi penyelenggara kegiatan transfer dana. Dalam Undang-Undang ini jelas disebutkan bahwa pihak yang dapat menjadi penyelenggara transfer dana adalah Bank dan badan usaha berbadan hukum indonesia bukan Bank. Pengaturan ini selain memberikan kesetaraan level of playing field bagi para penyelenggara kegiatan transfer dana, juga ditujukan untuk meningkatkan rasa aman dan nyaman pengguna jasa transfer dana. Selain itu, dengan ditetapkannya pengaturan bahwa kegiatan transfer dana harus dilakukan oleh Bank atau badan usaha berbadan hukum, maka tingkat layanan dan tanggung jawab penyelenggara dalam melaksanakan kegiatannya diharapkan menjadi meningkat. Dengan meningkatnya
57 tanggung jawab penyelenggara, maka kepastian dalam penyelesaian transfer dana diharapkan juga akan meningkat. Hal lain yang tak kalah penting, khususnya bagi kita orang-orang hukum, adalah pengaturan mengenai alat bukti dan beban pembuktian dalam transfer dana, serta aturan pemidanaan untuk kejahatan transfer dana. Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik dalam transfer dana, dan atau hasil cetaknya, merupakan alat bukti yang sah. Di sisi lain, untuk lebih melindungi masyarakat pengguna, maka Undang-Undang Transfer Dana meletakkan beban pembuktian kepada pihak penyelenggara yang memiliki sistem transfer dana. Selain itu, untuk mencegah dan menimbulkan efek jera, Undang-Undang Transfer Dana mengatur kembali aspek pemidanaan untuk kejahatan transfer dana. Dengan demikian, ketentuan pidana dalam Undang-Undang Transfer Dana bersifat lex specialist dari pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP. Serangkaian pengaturan dalam Undang-Undang Transfer Dana sebagaimana yang sudah diuraikan di atas, merupakan upaya dalam memberikan kepastian hukum dalam penyelenggara transfer dana. Dengan adanya kepastian hukum, diharapkan hal tersebut dapat meningkatkan rasa aman dan nyaman dalam penyelenggaraan transfer dana, baik dari sisi penyelenggara maupun dari sisi pengguna. Dengan demikian, diharapkan nilai transaksi dana juga meningkat, yang pada akhirnya dapat mendorong dan meningkatkan perekonomian indonesia.52 B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang tersebut diatas , maka rumusan masalah yang akan diajukan oleh penulis adalah Bagaimana kepastian hukum terhadap nasabah yang melakukan transfer dana.? 52
Keynote speech Direktur Hukum Bank Indonesia.2011. Menuju Kepastian Hukum Dalam Transfer DanA. Seminar nasional sosialisasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Tranfer Dana. Fakultas huku m surabaya dan Bank Indonesia. Surabaya.
58 C. Kepastian Hukum Terhadap Nasabah Yang Melakukan Transfer Dana Berkaitan Dengan Imlplementasi U ndnag-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Setelah disetujui oleh seluruh fraksi mini dalam rapat Pansus DPR RI tentang Transfer dana pada tanggal 17 Februari 2011, Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 22 Februari 2011 akhirnya mengesahkan Rancangan undang-undang tentang transfer dana (RUU Transfer dana) yang diajukan oleh Pemerintah RI menjadi Undang-undang, pengesahan RUU transfer dana menjadi undang-undang ini menandai dimulainya era baru dalam penyelenggaraan transfer dana di Indonesia. Transfer Dana (untuk selanjutnya disingkat (UU-TD) dari konsideran UU-TD dapat diketahui yang menjadi pertimbangan dibentuknya UU-TD, yaitu bahwa kegiatan transfer dana di lndonesia telah menunjukkan peningkatan, baik dari jumlah transaksi, jumlah nilai nominal transaksi, maupun jenis media yang digunakan, bahwa seiring dengan peningkatan transaksi, perkembangan media transfer dana dan permasalahan yang terjadi, diperlukan pengaturan yang menjamin keamanan dan kelancaran transaksi transfer dana serta memberikan kepastian bagi pihak yang terkait dalam penyelenggaraan kegiatan transfer dana bahwa penyelenggaraan transfer dana yang aman, lancar dan memberikan kepastian bagi pihak terkait diharapkan dapat mewujudkan kelancaran sistem pembayaran nasional. Berikut Posisi dari UU-TD dikaitkan dengan UU lain di bidang sistem pembayaran yaitu : - UU Perbankan/ Perbankan Syariah : Kewenangan bank dan bank syariah melakukan kegiatan pemindahan dana. - UU LPS : Pengaturan Status dana transfer. - UU Kepailitan : Pengecualian prinsip zero hour rules damal sistem pembayaran. - UU Arbitrase dan ADR : Dasar hukum pengaturan dan pelaksanaan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. - UU Perlindungan Konsumen : Dasar hukum pengaturan dan penerapan prinsip perlindungan konsumen dalam SP.
59 -
-
-
UU Transfer Dana : Prinsip-prinsip transfer dana, pelaksanaan, perizinan, pengawasan, sanksi pidana dan administratif. UU Perseroan Terbatas : Pengaturan bentuk penyelenggara sistem pembayaran , baik bank maupun non bank. UU ITE : Pengakuan Dok/ Info elektronik sebagai bukti sah serta kriteria tanda tagan elektronik. UU Pembentukan Per-UU-an : Pengakuan ketentuan BI dalam hierarki peraturan perundangan Indonesia. UU Bank Indonesia : meletakkan dasar kewenangan BI sebagai regulator, licensor, operator dan overseer di bidang SP + Pengertian SP/ UU TPPT : KYC dan laporan atas suspicious transaction dalam transfer dana.
Sebagaimana kita ketahui, kegiatan transfer dana sudah menjadi bagian dari keseharian hidup sebagian besar masyarakat Indonesia. Media maupun mekanisme yang digunakan dalam melakukan kegiatan transfer dana juga sudah sangat beragam. Pihak yang menyediakan jasa transfer dana juga sudah bergerak dari yang dahulu didominasi oleh kalangan perbankan, sekarang mulai dilakukan pula oleh pihak selain bank, khususnya dalam jasa Kegiatan usaha pengiriman uang atau Kupu. Jika dilihat dari data statistik, transfer dana yang dilakukan melalui sistem Real Time Gross Settlement atau RTGS misalnya, ratarata bulanannya pada satu tahun terakhir mencapai lebih dari Rp 5.OOO triliun per bulan. Belum lagi transfer yang dilakukan melalui kliring, yang rata-rata bulanannya pada satu tahun terakhir mencapai lebih dari Rp. 160 triliun per bulan, serta melalui alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang mencapai lebih dari Rp. 2OO triliun setiap bulannya. Di sisi lain, sampai saat ini telah terdapat 78 penyelenggara transfer dana di luar perbankan, yang dikenal sebagai money remitters atau penyelenggara KUPU. Hal ini menunjukan perkembangan transfer dana yang teramat pesat di masyarakat.
60 Perkembangan transfer dana tersebut menuntut adanya kepastian hukum yang efektif bagi seluruh pihak terkait. Ragam mekanisme dan penyelengara transfer dana membutuhkan adanya kesetaraan pengaturan hak dan kewajiban yang tegas, yang berlaku untuk semua pihak tanpa kecuali. Tuntutan-tuntutan tersebut dijawab dengan kehadiran UndangUndang tentang Transfer Dana. Kehadiran Undang-Undang Transfer Dana memberikan kepastian hukum bagi pelaku kegiatan transfer dana dengan memberikan dasar pengaturan yang jelas mengenai hak dan kewajiban para pihak, baik bagi nasabah sebagai pengguna maupun bagi bank atau lembaga selain bank sebagai penyelenggara transfer dana. Adanya hak dan kewajiban yang jelas ini menjadi penting, karena dasar dari pelaksanaan kegiatan transfer dana adalah adanya perjanjian antara para pihak tersebut. Dalam Undang-Undang Transfer Dana bahkan secara jelas diatur bahwa sarana perintah transfer dana yang disampaikan oleh nasabah pengirim dan telah diaksep oleh penyelenggara merupakan perjanjian yang sah dan mengikat. Hal ini tentunya akan memberikan kepastian dan rasa aman bagi nasabah, bahwa dana yang ia transfer akan dikirimkan oleh penyelenggara secara bertanggung jawab. Di sisi lain, bagi bank dan lembaga selain bank sebagai penyelenggara, kehadiran Undang-Undang Transfer Dana juga memberikan kepastian mengenai bagaimana melaksanakan perintah transfer dana yang telah ia terima, serta apa yang menjadi hak dan kewajibannya dalam melaksanakan perintah transfer dana tersebut. Pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pelaku dalam undang-Undang Transfer Dana bersifat komprehensif, dimulai dengan pengaturan mengenai pemberian perintah transfer dana dari nasabah pengirim kepada penyelenggara pengirim, sampai dengan pengaturan mengenai penyampaian dana kepada nasabah penerima. Dalam materi pengaturan undang-undang ini juga dimuat beberapa pengaturan rinci, seperti informasi-informasi apa saja yang harus dilengkapi oleh seorang nasabah pengirim dalam sebuah perintah transfer dana. Kewajiban pengisian informasi oleh nasabah sesuai Undang-Undang Transfer Dana
61 ini juga diatur sejalan dengan peraturan perundang-undangan terkait seperti Undang-Undang mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Sinergi antara Undang-Undang Transfer Dana dengan UU TPPU ini dipandang sebagai dukungan yang penting dalam memerangi dan memberantas kejahatan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Pengaturan penting lainnya yang dimuat dalam Undang-Undang Transfer Dana adalah adanya ketegasan mengenai siapakah yang dapat menjadi penyelenggara kegiatan transfer dana. Dalam Undang-Undang ini jelas disebutkan bahwa pihak yang dapat menjadi penyelenggara transfer dana adalah Bank dan badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank. Selain memberikan kesetaraan level of playing field bagi para penyelenggara kegiatan transfer dana, juga ditujukan untuk meningkatkan rasa aman dan nyaman pengguna jasa transfer dana. Selain itu, dengan ditetapkannya pengaturan bahwa kegiatan transfer dana harus dilakukan oleh Bank atau badan usaha berbadan hukum, maka tingkat layanan dan tanggung jawab penyelenggara dalam melaksanakan kegiatannya diharapkan menjadi meningkat. Dengan meningkatnya tanggung jawab penyelenggara, maka kepastian dalam penyelesaian transfer dana diharapkan juga akan meningkat. Hal lainnya yang tak kalah penting adalah pengaturan mengenai alat bukti dan beban pembuktian dalam transfer dana, serta aturan pemidanaan untuk kejahatan transfer dana. Sejalan dengan UndangUndang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-undang Transfer Dana mengatur bahwa informasi elektronik dalam transfer dana, dan/atau hasil cetaknya, merupakan alat bukti yang sah, Di sisi lain, untuk lebih melindungi masyarakat pengguna, maka Undang-Undang Transfer Dana meletakkan beban pembuktian kepada pihak penyelenggara yang memiliki sistem transfer dana. Selain itu, untuk mencegah dan menimbulkan efek jera, Undang-Undang Transfer Dana mengatur kembali aspek pemidanaan untuk kejahatan transfer dana. Dengan demikian, ketentuan pidana dalam Undang-Undang Transfer
62 Dana bersifat Lex Specialist dari pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP. Serangkaian pengaturan dalam undang-undang Transfer Dana merupakan upaya dalam memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan transfer dana. Dengan adanya kepastian hukum, diharapkan hal tersebut dapat meningkatkan rasa aman dan nyaman dalam penyelenggaraan transfer dana, baik dari sisi penyelenggara maupun dari sisi pengguna. Dengan demikian, diharapkan nilai transaksi transfer dana juga akan meningkat, yang pada akhirnya dapat mendorong dan meningkatkan perekonomian Indonesia. Kiriman uang dari luar negeri ke lndonesia khususnya oleh TKI seperti pada salah satu harian di Jawa Tengah menunjukkan angka yang cukup menakjubkan. Kiriman uang atau remitansi TKI dari luar negeri ke Tanah Air hingga Oktober 2011 mencapai 5,6 milyar dollar AS atau sekitar 55,4 triliun rupiah yang berasal dari Timur Tengah, Asia Pasifik, AS, Eropa, dan Australia. Uang tersebut dikirim melalui jasa perbankan. Perinciannya, dari TKI di Timur Tengah 2,2 milyar dollar AS, Asia Pasifik 3,2 dollar AS, AS 111,7 juta dollar AS, serta Eropa dan Australia 19,5 dollar AS (Suara Merdeka, 10-12-2011:4). Pengiriman uang atau remitansi oleh TKI ada yang dikirim melalui kurir khusus di samping menggunakan jasa keuangan non perbankan. Menurut Sudarto "Politik Hukum" adalah kebijaksanaan dari negara dengan perantaraan badan-badan yang benrenang untuk menetapkan peraturan, peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Pembentukan undang-undang merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh yang luas, karena itu (undangundang) akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-Undang oleh penguasa digunakan untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan sesuai dengan yang dicita-citakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa undang-undang mampunyai dua fungsi, yaitu; a. Fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai, dan
63 b. Fungsi instrumental. Berpijak pada kedua fungsi hukum di atas, maka dapat dikatakan bahwa hukum bukan merupakan suatu tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan. lni berarti, apabila kita mau membicarakan “Politik Hukum di lndonesia", maka mau tidak mau kita harus memahami terlebih dahulu "apa yang menjadi cita-cita dari bangsa lndonesia merdeka". Cita-cita inilah yang harus diwujudkan melalui sarana undang-undang (hukum). Dengan mengetahui masyarakat yang bagaimana yang dicita-citakan oleh bangsa lndonesia, maka dapat ditentukan "sistem hukum" yang bagaimana yang dapat mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan tersebut, dan sekaligus juga dapat dicari politik hukum yang bagaimana yang dapat mendorong terciptanya sistem hukum yang mampu menjadi sarana untuk mewuiudkan masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa lndonesia. UU-TD memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang melakukan kegiatan transfer dana baik pihak dalam negeri maupun luar negeri dan memberikan rasa aman bagi kegiatan transfer dana tidak hanya di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik lndonesia serta dari dalam ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik ndonesia dan sebaliknya, sehingga berdampak pada meningkatnya transaksi transfer dana yang pada akhirnya akan mendorong kelancaran perkembangan ekonomi tanah air. Asas perlindungan ini terlihat dari ketentuan Pasal 2 UU-TD yang menentukan Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku untuk : a. Transfer Dana antar-Penyelenggara atau intra-Penyelenggara dalam rupiah atau valuta asing yang Penyelenggara Pengirim dan Penyelenggara Penerima seluruhnya berada di wilayah Negara Kesatuan Republik lndonesia; dan/atau b. Transfer Dana antar-Penyelenggara atau intra-Penyelenggara ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik lndonesia atau dari wilayah Negara Kesatuan Republik lndonesia yang melibatkan Penyelenggara di lndonesia baik sebagai Penyelenggara Pengirim Asal, Penyelenggara Penerus, maupun Penyelenggara Penerima Akhir, sepanjang Perintah Transfer
64 Dana telah atau masih berada di wilayah Negara Kesatuan Republik lndonesia. UU-TD dalam rangka pembuktian dan beban pembuktian dalam kegiatan transfer dana mengatur sendiri dan beban pembuktian jika terjadi keterlambatan atau kesalahan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 76, Pasal 77, dan Pasal 78. - Pasal 76 UU-TD : (1) lnformasi elektronik, dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya dalam kegiatan Transfer Dana merupakan alat bukti yang sah. (2) lnformasi elektronik, dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku. - Pasal 77 UU-TD : Tanda tangan elektronik dalam kegiatan Transfer Dana memiliki kekuatan hukum yang sah. - Pasal 78 UU-TD : Dalam hal terjadi keterlambatan atau kesalahan Transfer Dana yang menimbulkan kerugian pada Pengirim Asal atau penerima, Penyelenggara dan/atau pihak lain yang mengendalikan Sistem Transfer Dana dibebani kewajiban untuk membuktikan ada atau tidaknya keterlambatan atau kesalahan Transfer dana tersebut. Dengan demikian, terdapat perluasan mengenai alat-alat bukti yang selama di diatur dalam hukum acara yang berlaku (Hukum Acara Pidana maupun Hukum Acara Perdata). Kebijakan Kriminal dalam UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana {UU-TD). Dalam rangka menanggulangi perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain atau pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan Transfer Dana tidak bisa lepas dari pembicaraan "kebijakan kriminal" atau criminal policy". Guna memberikan pemahaman mengenai kebijakan kriminal ini akan dikemukakan pengertian yang dberikan oleh Hoefnagels, sebagai berikut : "Criminal Policy is the science of crime prevention .,.. Criminal Policy as a science of policy is part of a larger
65 policy : the law enforcement policy ..,.. Criminal policy is also manifest as science and as application The legislative and enforcement policy is ini turn part of social policy" (Hoefnagels, 1 969:58). Dengan pernyataan bahwa "Criminal policy as a part of social policy", menurut Muladi sangat penting dan akan dapat menghindarkan hal-hal sebagai berikut: a. Pendekatan kebijakan sosial yang terlalu berorientasi pada "social welfare" dan kurang memperhatikan "social defence policy". b. Keragu-raguan untuk selalu melakukan evaluasi dan pembaharuan terhadap produk-produk legislatif yang berkaitan dengan perlindungan sosial yang merupakan sub sistem dari "national social defence policy". c. Perumusan kebijakan sosial yang segmental, baik nasional maupun daerah, khususnya dalam kaitan dengan dimensi kesejahteraan dan perlindungan. Pemahaman bersama akhir-akhir ini terhadap UU Pemerintahan di Daerah (sekarang Pemerintahan Daerah) merupakan langkah yang baik untuk meningkatkan koordinasi. d. Pemikiran yang sempit tentang kebijakan kriminal, yang seringkali hanya melihat kaitannya dengan penegakan hukum pidana. Padahal sebagai bagian dari kebijakan sosial, penegakan hukum pidana merupakan sub sistem pula dari penegakan hukum dalam arti luas yang meliputi penegakan hukum perdata dan penegakan hukum administrasi. e. Kebijakan legislatif ("legislative policy") yang kurang memperhalikan keserasian aspirasi baik dari suprastruktur, infrastruktur, kepakaran maupun pelbagai kecendrungan internasional (Muladi, 1gg7:gT). Pemerintah lndonesia bersama-sama DPR seperti telah dikemukakan di atas, telah berhasil membentuk UU-TD, di mana dalam UU-TD ini membuktikan adanya peranan hukum di bidang perekonomian, sehingga dapat dikatakan sebagai ikut campur pemerintah atau penguasa di bidang perekonomian dengan cara mengeluarkan peraturan yang oleh Sudarto disebut "hukum perekonomian sosial" yang
66 dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan khususnya yang dibuat oleh pemerintah atau badan pemerintah, yang secara langsung atau tidak langsung bertujuan untuk mempengaruhi perbandingan ekonomi di pasar-pasar. Pasar dalam arti pertemuan antara penawaran dan permintaan (Sudarto, 1986:73). Peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi ini seperti halnya peraturan perundang-undangan di bidang lainnya perlu ditegakkan, mengingat setiap peraturan yang dikeluarkan pasti ada yang melanggarnya. penegakan peraturan perundang-undangan pada umumnya dengan menetapkan sanksi yang akan dikenakan kepada para pelanggarnya. pada umumnya peraturan perundang-undangan (hukum) mengenal tiga sistem sanksi yang dapat digunakan oleh aparat penegak hukum ialah sistem sanksi hukum perdata, sistem sanksi hukum administrasi, dan sistem sanksi hukum pidana. UU-TD di dalam mempertahankan norma-norma di bidang Transfer Dana, nampaknya menggunakan ketiga sistem sanksi tersebut, seperti adanya sanksi berupa cara pembayaran besarnya jasa, bunga atau kompensasi serta sanksi administrasi berupa (a) teguran tertulis, (b) denda administratif, (c) pembekuan sementara kegiatan usaha Transfer Dana, atau (d) pencabutan izin kegiatan usaha Transfer Dana. Kewenangan ini ada pada Bank lndonesia. Fenomena akhir-akhir ini termasuk UU-TD menampilkan satu Bab tentang "Ketentuan Pidana", hal ini menunjukkan sanksi hukum pidana dipanggil guna mempertahankan norma-norma administratif. lni berarti terjadi pergeseran fungsi sanksi pidana dari semula "ultimum remedium" menjadi "primum remedium" yang sangat tergantung pada pilihan pembentuk peraturan perundang-undangan. Ketentuan pidana dalam UU-TD diatur dalam Bab Xll dari Pasal 79 sampai dengan Pasal 88, yang untuk lengkapnya sebagaimana paparan berikut ini. a. Pasal 79 UU -TD (1) Subjeknya : Setiap orang.
67 - Perbuatan yang dilarang : melakukan kegiatan penyelenggaraan - Transfer Dana tanpa izin dalam Pasal 69 (1). - Ancaman pidana berupa pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak tiga milyar rupiah. (2) Sanksi lain di samping pidana berupa wajib menghentikan seluruh kegiatan penyelenggaraan Transfer Dana. b. Pasal 80 UU -TD (1) Subjeknya : Setiap orang. - Perbuatan yang dilarang : secara melawan hukum membuat atau menyimpan sarana Perintah Transfer Dana -dengan maksud untuk menggunakan atau menyuruh orang lain untuk menggunakan. . Ancaman pidana berupa pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak 2 milyar rupiah. (2) Subjeknya : Setiap orang. - Perbuatan yang dilarang : menggunakan dan/atau menyerahkan sarana Perintah Transfer Dana sebagaimana ayat (1). - Ancaman pidana berupa pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak 4 milyar rupiah.
D. Kesimpulan 1. UU transfer dana menunjukkan adanya politik hukum pemerintah yang memberikan rasa aman, dan keyakinan bagi pihak-pihak yang melakukan kegiatan transfer dana baik dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang terlibat. 2. UU – TD memperluas keberlakuan atau ruang lingkup berlakunya tidak hanya terbatas pada wilayah NKRI, tetapi juga di luar wilayah NKRI sepanjang perintah transfer dana dilakukan di wilayah NKRI.
68 3. UU – TD memberikan wewenang kepada Bank Indonesia guna melaksanakan beberapa ketentuan dalam pasal-pasal UU-TD denga bentuk peraturan Bank Indonesia. 4. Sasaran UU-TD tidak hanya pihak-pihak yang melakukan kegiatan transfer dana perseorangan tetapi juga korporasi. 5. Dalam UU-TD khususnya berkaitan yang berkaitan dengan ketentuan pidana, tidak ada pasal yang mengkualifikasi tindak pidana transfer dana sebagai kejahatan atau pelanggaran, sehingga membawa konsekuensi yuridis dalam hal adanya percobaan, kadaluawarsa dan sebagainya. Saran 1. Dengan diberlakukannya Undang-undang transfer dana saya mengharap, adanya kepastian hukum yang lebih baik lagi terhadap para nasabah perseorangan maupun korporasi agar mendapatkan pelayanan dan jawaban yang memuaskan terhadap perbuatan administrasi yang dilakukan oleh pihak perbankan yang berorientasi hanya kepada nilai profit atas lembaganya saja. 2. Undang-undang Transfer dana dalam mempertahankan normanormanya agar ditaati oleh pihak-pihak yang melakukan transfer dana dengan menggunakan tiga sistem sanksi, yaitu Sistem sanksi hukum perdata, Sistem Sanksi hukum administrasi, dan Sistem Sanksi pidana.
69 KESALAHAN PENERAPAN HUKUM DALAM PERTIMBANGAN HUKUM PUTUSAN ADALAH PELANGGARAN KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM
Achmad Rifai, S.H., M.Hum. Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan Jl. Raya Panglegur km. 3,5 Pamekasan Madura Jatim
Abstrak Putusan lembaga peradilan adalah berkenaan dengan nasib seseorang, sehingga pertimbangan hukumnya harus dibuat dengan sangat hati-hati dan sungguh-sungguh. Kesalahan Penerapan Hukum akan menyebabkan salah satu pihak yang berperkara menderita kerugian. Dengan pertimbangan kerugian tersebut, kesalahan penerapan hukum adalah suatu pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, apalagi dalam ketentuan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tersebut ketidak-mampuan hakim dalam mengaktualkan ilmu hukumnya adalah tidak profesional. Kata Kunci: Pertimbangan Hukum, Aturan Hukum dan Kode Etik
A. Latar Belakang Sebuah media elektronik yang bernama okkezone.com menulis berita tentang dokter Ayu pada hari Kamis, 28 November 2013 01:03 wib,53 antara lain sebagai berikut: 53
Soal Kasus Dokter Ayu, MA Abaikan Faktor Risiko Medis”, Kamis 28 Nopember 2013, diunduh dari http://bandung.okezone.com/read/2013/11/27/526/903818/soalkasus-dokter-ayu-ma-abaikan-faktor-risiko-medis, diakses tanggal 03 Januari 2014.
70 Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Wila Chandrawila, menilai hakim Mahkamah Agung (MA) mengambil putusan atas kasus dr Ayu hanya berdasarkan dakwaan jaksa. Dalam dakwaan, jaksa menilai ada kelalaian yang dilakukan Ayu terhadap pasiennya. Harusnya, hakim MA melihat sisi lain yaitu risiko medis. Kematian pasien dr Ayu dikarenakan lepasnya emboli. "Emboli lepas itu kelalaian atau risiko? Di pengadilan negeri terbukti bahwa ini adalah risiko yang bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, di mana saja. Jadi bukan karena kelalaian," kata Wila di Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (27/11/2013). Namun, hakim berpendapat bahwa kematian pasien dr Ayu akibat kelalaian. "Menurut saya, tiga hakim dari MA ini memutuskan berdasarakan apa yang mereka baca, tapi mengabaikan faktor risiko(medis) itu," ungkapnya. Faktor risiko medis harus dikedepankan. Pasalnya, dalam penanganan medis pasti ada risiko yang harus diterima pasien. Soal risiko medis, dia mengibaratkan sebagai sebuah bencana alam. Hakim dinilai merupakan profesi yang tergolong mulia, hal itu karena hakim sematan wakil Tuhan untuk memutuskan keadilan di dunia.54 Untuk itu dalam setiap putusan harus memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Artinya setiap putusan yang akan dijtuhkan oleh hakim selalu disandarkan pada keadilan dan keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun mengingat keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut tidak terukur secara logika, karena manusia pasti tidak dapat memberikan keadilan menurut Tuhan Yang Maha Esa. 54
Ismantoro Dwi Yuwono, Memahami Berbagai Etika Profesi & Pekerjaan, Cet.I. Yogyakarta , 2011, Pustaka Yustisia. hlm.127
71 Undang-Undang telah memberikan pedoman dalam menjatuhkan suatu putusan guna menyiasati ketidakmampuan meciptakan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yakni hakim harus berdasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah, kemudian hakim itu yakin tentang kesalahan dari terdakwa tersebut sebagai pelakunya. Sebagaimana hal ini ditegaskan dalam pasal 183 KUHAP yakni: "Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Hakim di samping sebagai wakil Tuhan, ia juga berdasarkan adagium ius curia novit merupakan manusia yang tahu hukum55. Adagium tersebut berarti seorang hakim dianggap mengetahui hukum dalam menerima, mengadili dan memutuskan suatu perkara. Namun dengan tanpa menanggalkan keahlian mereka di bidang peradilan masing-masing, baik Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer ataupun Peradilan Tata Usaha Negara serta Mahkamah Konstitusi. Hakim dalam menerima, mengadili dan memutuskan suatu perkara akan berhadapan dengan para pihak yaitu pihak yang menuntut dan pihak yang dituntuntut. Dalam perkara doter Ayu tersebut pihak yang menuntut adalah almarhumah Siska Makatey yang diwakili oleh ahli warisnya, sedang dari pihak yang dituntut adalah dokter Ayu adalah ia sendiri yakni dr Dewa Ayu Sasiary Prawani bersama dua rekannya, dr. Hendry Simanjuntak SpOG dan dr Hendy Siagian SpOG.56 Kedua belah pihak, baik pihak yang menuntut maupun dari pihak yang dituntut sama-sama meghendaki agar putusan yang akan dijatuhkan dalam perkara tersebut memberikan keadilan bagi keduanya. Karena 55
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cet.VIII. Jakarta, 2008, Sinar Grafika. hlm.821 56
“Keluarga Korban Tanggapi Demo: Dokter Arogan”, Posted: 27/11/2013 15:30, diunduh dari health.liputan6.com/read/758054/keluarga-korban-tanggapi-demo-dokterarogan, diakses tanggal 03 Januari 2014.
72 bilamana putusan tersebut terasa timpang oleh kedua belah pihak, salah satu pihak yang merasa menerima ketidak-adilan akan mengemukakan putusan hakim tersebut tidak adil, karena mengorbankan perasaan keadilan salah satu pihak. Berdasarkan putusan Nomor 365 K/Pid/ 2012 pada 18 September 2012, dr Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr Hendy Siagian (Terdakwa III) dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana 'perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain' dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/PN.MDO tanggal 22 September 2011. Sebagaimana diketahui bahwa putusan Pengadilan Manado telah menyatakan tersebut telah menyatakan dr Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr Hendy Siagian (Terdakwa III) tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana 'perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain'. Sementara dalam persidangan di Pengadilan Negeri Manado telah terungkap fakta hukum berdasarkan keterangan saksi ahli kedokteran yang menyatakan Ayu dan dua rekannya tak melakukan kesalahan prosedural. Para saksi itu antara lain Reggy Lefran, dokter kepala bagian jantung Rumah Sakit Profesor Kandou Malalayang; Murhady Saleh, dokter spesialis obygin Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta; dan dokter forensik Johanis.57 Adapun wewenang hakim dalam mengadili pada Pengadilan Negeri dan hakim kasasi tidak sama, hakim pengadilan negeri mempunyai wewenang menilai dan mempertimbangkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan seta penerapan hukumnya. Sedangkan pada hakim kasasi hanya mepunyai wewenang mempertimbangkan penerapan hukum yang telah dilakukan oleh hakim pada pengadilan 57
“Inilah Alasan Hakim MA Menghukum dr Ayu”, Posted: 27/11/2013 06:58 WIB, diunduh dari http://www.tempo.co/read/news/2013/11/27/078532777/Inilah-AlasanHakim-MA-Menghukum-dr-Ayu, diakses tanggal 24 Pebruari 2014
73 negeri tersebut. Karenanya hakim kasasi disebut sebagai judex juris, sedangkan hakim pada pengadilan negeri disebut sebagai judex facti. Lebih-lebih lagi berdasarkan putusan Peninjauan Kembali Nomor: 79 PK/PID/2013kasus dr Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr Hendy Siagian (Terdakwa III) tertanggal 07 Pebruari 2014, dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain. Adapun susunan majelis PK terdiri dari M. Saleh sebagai ketua majelis beranggotakan Surya Jaya, M. Syarifuddin, Margono, dan Maruap Dohmatiga Pasaribu. Dalam putusan PK tersebut, Ridwan menjelaskan majelis PK juga memerintahkan agar para narapidana dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan.58 Berdasarkan berbedaaan kewenangan antara hakim pengadilan negeri dengan hakim kasasi, dimana dalam kasus dr Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr Hendy Siagian (Terdakwa III) tersebut oleh pengadilan negeri telah diputuskan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia. Sedangkan pada putusan kasasi dr Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr Hendy Siagian (Terdakwa III) dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Permasalahan yang dapat dikemukakan dalam tulisan ini adalah apakah pertimbangan hukum dari hakim kasasi yang keliru tersebut adalah melanggar Kode Etik dan Perdoman Perilaku Hakim? B. Hakim dan Ketentuan Hukum Dalam kasus pidana ketentuan hukum yang dapat dijadikan rujukan, misalnya KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan 58
“PK Diterima, MA Bebaskan Dokter Ayu Cs”, Posted: Jumat, 07 Februari 2014 , 15:52:00, diunduh dari http://www.jpnn.com/read/2014/02/07/215312/PK-Diterima,-MA-Bebaskan-Dokter-Ayu-Cs-#, diakses tanggal 24 Pebruai 2014.
74 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) atau ketentuan hukum lain yang dapat dijadikan dasar dalam proses penegakan hukum pidana. Penegakan huku pidana sejak tingkat penyidikan, pada tindak pidana umum dilakukan oleh polisi selaku penyidik. Bilamana penyidikan selesai kemudian dilanjutkan dengan penuntutan yang dilakukan oleh jaksa selaku Penuntut Umum, baru kemudian diajukan ke depan persidangan di Pengadilan Negeri sebagai pengadilnya adalah hakim. Hakim, Jaksa dan Polisi dalam rangka menegakkan hukum tersebut selalu berlandaskan pada ketentuan hukum yang berlaku. Polisi dalam melakukan penyidikan tidak boleh melakukan penyimpangan, misalnya melakukan penahanan terhadap pelaku tindak pidana yang tidak dapat ditahan, seperti tindak pidana penyerobotan tanah. Hal ini dikarenakan walaupun Polisi selaku penyidik diberikan kewenangan penuh guna menangkap dan menahan pelaku tindak pidana, tetapi kewenangan tersebut pada dasarnya dibatasi. Jaksa dalam proses penuntutan, baik pada tingkat tahap satu ataupun tingkat tahap dua tidak dibenarkan melakukan tindakan sewenang-wenang. Seperti Penuntut Umum melakukan penahanan terhadap tersangka yang tidak ditahan oleh penyidik, sementara tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka pada dasarnya tidak dapat ditahan. Demikian halnya dengan hakim, hakim dalam melaksanakan penerimaan perkara dibatasi oleh berbagai ketentuan hukum. Hakim dapat menerima, memeriksa, mempertimbangkan dan memutuskan perkara, namun harus berdasarkan ketentuan hukum yang telah berlaku. Hakim pada asasnya tidak boleh menolak perkara, tetapi tidak dapat dibenarkan dengan dasar asas tersebut, kemudian hakim mengabulkan perkara yang diajukan terhadapnya. Putusan hakim dalam perkara tindak pidana juga harus berdasarkan ketentuan hukum, misalnya hakim dapat menyatakan bersalah seseorang harus dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti dan dengan alat bukti tersebut hakim menjadi yakin bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh Penuntut Umum, sebagaimana hal ini ditentukan oleh pasal 183 KUHAP.
75 Adapun alat bukti yang dimaksudkan dalam pasal 183 KUHAP tersebut adalah alat bukti yang sudah ditentukan dalam pasal 184 KUHAP, yakni: 1. keterangan saksi; 2. keterangan ahli; 3. surat; 4. petunjuk; 5. keterangan terdakwa. Hakim dapat memadukan dari 5 (lima) alat bukti tersebut sebagai sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang dapat memberikan keyakinan pada diri seorang hakim bahwa seseorang telah bersalah melakukan suatu tindak pidana. Hakim dalam keberadaan yang bertugas di lembaga peradilan secara otomatis akan memposisikan dirinya sebagai Judex Juris atau sebagai Judex Facti. Hakim selaku Judex Juris adalah seluruh hakim agung yang mengadili sengketa perkara kasasi, sedangkan hakim selaku Judex Factiadalah para hakim yang berkedudukan ditingkat pertama dan tingkat banding. Hakim selaku Judex Facti mempunyai wewenang untuk mengadili perkara dengan mempertimbangkan dan menilai fakta hukum yang terungkap dalam persidangan di tingkat pertama dan tingkat banding. Dengan penilaian terhadap fakta hukum yang terungkap dalam persidangan tersebut, hakim dapat menerapkan hukum yang tetap terhadap kasus dimasud. Fakta hukum adalah segala hal yang terungkap dalam persidangan, baik pada saat sidang dakwaan, sidang pemeriksaan bukti, sidang tuntutan ataupun sidang pembelaan. Hakim harus mempertimbangkan dan menilai fakta hukum tersebut, kemudian dari fakta hukum yang terungkap diterapkan hukum yang paling tepat. Hakim harus secara runut dan cermat mepertimbangkan serta menilai satu persatu fakta hukum yang muncul dalam persidangan. Adapun hakim kasasi adalah Judex Juris, yang kewenangannya hanya sebatas pada menilai putusan hakim peradilan tingkat pertama atau
76 hakim peradilan tingkat banding tentang penerapan hukumnya saja. Judex Juris tidak mempunyai kewenangan untuk menilai kembali fakta hukum hukum yang telah ditetapkan oleh hakim peradilan tingkap pertama atau hakim peradilan tingkat banding. Kewenangan yang diberikan undang-undang terhadap hakim kasasi hanya sebatas penerapan hukum adalah sesuai dengan logika. Hal ini dikarenakan yang mengetahui secara tepat di saat persidangan terhadap segala fakta yang diajukan adalah hakim peradilan tingkat pertama. Hakim kasasi dalam menerima, mengadili dan memutuskan perkara hanya berkas yang disodorkan padanya. Hakim kasasi tidak tahu hal lain selain fakta hukum yang dinilai oleh Judex Juris dalam berkas putusannya. Fakta hukum hanya dapat dikemukakan dan diajukan oleh para pihak pada saat persidangan di peradilan tingkat pertama. Karenanya yang pantas secara logika menilai fakta hukum adalah Judis Facti bukan Judex Juris. Ketentuan hukum yang diberlakukan di samping KUHP ataupun KUHAP terhadap hakim dalam menerima, memeriksa dan memutuskan perkara pidana, juga terdapat ketentuan lain yakni Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Walaupun ketentuan yang tertuang dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tidak ada hubungannya dengan para pihak yang berperkara, namun ketentuan ini menjadi pedoman bagi hakim dalam menjalankan tugas-tugasnya. Aturan ketentuan dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia bernomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 tertanggal 08 April 2009, memuat ketentuan sebagai berikut: 02/SKB/P.KY/IV/2009 1. Hakim harus berlaku adil; 2. Hakim harus berperilaku jujur; 3. Hakim harus berperilaku arif dan bijaksana; 4. Hakim harus bersikap mandiri; 5. Hakim harus berintegritas tinggi;
77 6. Hakim harus bertanggung jawab; 7. Hakim harus menjunjung tinggi harga diri; 8. Hakim harus berdisiplin tinggi; 9. Hakim harus berperilaku rendah hati; 10. Hakim harus bersikap profesional. Sebanyak 10 (sepuluh) item yang dibebankan kepada hakim dalam menjalankan tugasnya yang harus dipatuhi, di samping hakim harus menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dari 10 (sepuluh) item tersebut yang sangat perlu dicermati oleh hakim adalah tuntutan kepribadian hakim yang harus profesional, di mana dalam penjelasan dari kode etik tersebut hakim harus terusmenerus mengikuti perkembangan hukum. Sehingga tidak salah jika kemudian hakim tersebut mempunyai predikat ius curia novit. C. Pertimbangan Hukum Selalu Berdasarkan Ketentuan Hukum Kemampuan hakim dalam menerapkan undang-undang sudah merupakan kewenangan dan kemampuannya. Keterampilan hakim dalam menegakkan hukum dalam berbagai media, kadang pelatihan, kursus atau jenis pelatihan lainnya guna menjaga integritas hakim. Lebih-lebih dengan dibentuknya organisasi hakim dalam wadah IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia), maka keterampilan hakim semakin holistik. Hakim tidak hanya dibekali ilmu mengadili sengketa, melainkan hakim juga mempunyai kemampuan di bidang organisasi dan ilmu administrasi. Hakim sebelum menjalankan tugasnya dalam menerima, memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara, hakim ditempa dalam suatu pelatihan khusus. Bahkan hakim sebelum menjalankan tugasnya harus menjalani pekerjaan sebagai seorang layaknya panitera. Ia dengan jabatan CAKIM (Calon Hakim) selama satu tahun mengikuti persidangan di pengadilan negeri, akan mengetahui bagaimana hakim membuka persidangan, bagaimana seharusnya hakim memeriksa perkara dan bagaimana seorang hakim memutuskan suatu perkara. Kemampuan seorang hakim cukup holistik di bidang hukum, hukum yang terekam dalam peraturan-peraturan tertulis maupun yang
78 merupakan kaidah hukum dan dalam hukum yang tidak tertulis merupakan sesuatu yang abstrak dan berlaku umum. Sedangkan hukum yang konkrit dan khusus sifatnya manakala telah diterapkan/diberlakukan pada kasus yang tertentu, tanpa kecuali dikuasai oleh hakim sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Pengadilan yang merupakan wadah hakim dalam menjalankan tugasnya melalui putusan, hakim berperan mentranformasikan ide-ide yang bersumber pada nilai-nilai moral yang bersifat abstrak ke dalam peristiwa konkrit, sehingga putusan hakim memfisualisasikan asas-asas yang abstrak menjadi kaidah hukum konkrit.Dalam setiap perkara akan dilihat, diakui atau dibenarkan telah terjadi peristiwa tersebut. Hakim melakukan pembuktian dengan alat-alat bukti dalam mendapatkan kepastian peristiwa tersebut dikualifisir termasuk dalam hubungan hukum apa atau yang mana. Hakim akan mencari ketentuan-ketentuan yang dapat diterapkan pada peristiwa hukum yang bersangkutan. Jadi, Hakim akan menerapkan hukum terhadap peristiwa dan menilainya serta pada gilirannya menetapkan hukumnya kepada peristiwa yang bersangkuta, barang tentu ia memberikan keadilan sesuai dengan penilaiannya. Eksistensi Keadilan memerlukan peranan Hakim dalam penerapannya. Konkretisasi keadilan hanya mungkin bilamana Hakim memahami kenyataan sosial yang terjadi di masyarakat.Hakim dalam mengaktualisasi ide keadilan memerlukan situasi yang kondusif, baik yang berasal dari faktor eksternal maupun internal dari dalam diri seorang Hakim sebagai wujud usaha memahami kenyataan sosial. Hakim dalam mentransformasikan ide keadilan tersebut telah diberikan keluasaan dalam mewujudkannya, sebab undang-undang telah memberikan hak-hak hakim serta kewajibannya seperti : a. Jaminan terhadap kebebasan Hakim; b. Jaminan kualitas profesionalisme Hakim; dan c. Penghayatan etika profesi Hakim.
79 Faktor pertama merupakan faktor eksternal, sedangkan dua faktor terakhir merupakan faktor internal. Hakim diberikan haknya dengan kebebasan penuh dalam menjatuhkan putusan sesuai dengan kemampuan kualitas profesionalnya. Namun seluruh kebebasan hakim dengan kualitas profesionalisme tersebut tidak meyimpangi etika profesi hakim yang telah ditentukan dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Kebebasan peradilan sudah menjadi keharusan bagi tegaknya negara hukum (rechstaat). Hakim akan mandiri dan tidak memihak dalam memutus sengketa, dan dalam situasi yang kondusif tersebut, Hakim akan leluasa untuk mentransformasikan ide-ide dalam pertimbanganpertimbangan putusan. Di Indonesia jaminan terhadap indepedency of judiciary telah dipancangkan sebagai pondasi dalam Pasal 24 dan 25 UUD 1945 yang dipertegas dalam penjelasan dimaksud:“Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinyaterlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang kedudukan para Hakim”. Hal tersebut dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 1 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan:“Kekuasaan kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian didalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, directiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisiil kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh Undang-Undang”. Kekuasaan kehakiman yang mandiri mempunyai dua tujuan. Pertama agar melakukan fungsi dan kewenangan peradilan secara jujur, dan adil, kedua, agar kekuasaan kehakiman mampu berperan melakukan pengawasan terhadap semua tindakan penguasa. Sedangkan konsekuensi dari kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah supremasi hukum, yakni menempati hukum di atas kekuatan dan kekuasan apapun. Setiap penyelesaian sengketa harus sesuai dengan proses yang ditentukan hukum berdasarkan asas perlakuan yang sama didepan
80 hukum dan perlindungan yang sama didepan hukum. Asas equality before the law atau perakuan yang sama di depan hukum akan memposisikan peradilan sebagai katup penekan, setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh siapapun dan pihak manapun tanpa kecuali. Pelanggaran itu meliputi segala bentuk perbuatan yang tidak konstitusional, ketertiban umum dan kepatutan. Peradilan sebagai tempat terakhir dalam menegakkan kebenaran dan keadilan menempatkan peradilan sebagai tempat terakhir. Konsekuensi yang akan lahir dari fungsi peradilan ini adalah peradilan sebagai pelaksana penegakan hukum dan peradilan dibenarkan bertindak tidak demokratis secara fundamental, sehingga tidak memerlukan akses dari siapapun, tidak memerlukan negosiasi dari pihak manapun dan tidak memerulkan “kompromi” dari pihak yang berperkara. Terdapat kesepakatan umum dalam komunitas Pengadilan di dunia bahwa lembaga peradilan diharapkan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :
Pengadilan memberikan keadilan individu dalam kasus individual. Pengadilan beroperasi secara transparan. Pengadilan menyediakan suatu forum yang tidak memihak dalam meyelesaikan sengketa hukum. Pengadilan melindungi warga dari penggunaan kekuasaan pemerintah yang sewenang-wenang. Pengadilan melindungi yang lemah. Pengadilan membuat dan merawat catatan formal tentang putusan dan status hukum.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, sebenarnya pengaturan tentang kemandirian kekuasaan kehakiman tampak kokoh. Di samping setiap Hakim dituntut untuk melaksanakan tugasnya secara profesional, yakni kemampuan dan ketrampilan Hakim untuk melaksanakan efesiensi dan efektifitas putusan. Baik dari segi penerapan hukumnya, maupun
81 kemampuan mempertimbangkan putusan berdasarkan nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, serta kemampuan memprediksi reaksi dan dampak sosial atas putusan yang telah dijatuhkannya. Profesionalisme ini merupakan salah satu sisi dari mata uang “profesi”, disamping sisi etika profesi. Jadi, setiap profesi mempunyai dua aspek, yakni profesionalisme sebagai keahlian teknis dan etika profesi sebagai dasar moralita.Profesionalisme mempunyai peranan yang penting, lebih-lebih Hakim mengemban tanggung jawab dan kewajiban yuridis yang terkait dengan jabatannya. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1974 junkto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 mewajibkan Hakim:“.....tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”. Dalam upaya mewujudkan profesionalisme Hakim, maka seyogyanya para Hakim memiliki penguasaan ilmu yang mendalam dan wawasan yang luas, yang tercermin dalam bobot dan untuk putusan yang dijatuhkan dengan kemampuan untuk mengetahui, memahami dan menghayati hukum yang berlaku serta mempunyai keberanian menjatuhkan keputusan berdasarkan hukum dan keadilan. Kemampuan pemahaman terhadap Etika profesi Hakim adalah asas-asas moralita yang mendasari profesi Hakim, tidak dapat dipisahkan dengan peningkatan kualitas hakim. Etika profesi hakim bermakna sebagai pegangan dalam bersikap dan bertindak selama mengemban dan menjalankan jabatan Hakim, baik di dalam maupun di luar kedinasan. IKAHI telah merumuskan kode kehormatan Hakim Indonesia dalam bentuk Panca Dharma Hakim, yang merupakan suatu bentuk pengawasan terhadap anggotanya. Panca Dharma Hakim ini merupakan nilai-nilai yang bersifat abstrak, yang terdiri dari : 1. Kartika : bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
82 2. Cakra : berlaku adil; 3. Candra : bijaksana; 4. Tirta : jujur; 5. Sari : berbudi luhur;
D. Pertimbangan Hukum yang Keliru Penyimpangan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Putusan Hakim yang wujudnya terdiri dari susunan kata (bahasa) yang sebenarnya mengandung kegiatan berfikir yuridik dari pembuatnya (Hakim). Ia akan mengkonstatir, mensistimatir serta menyimpulkan. Kegiatan ini nampak teraplikasi dalam pemenuhan suatu peraturan hukum yang akan diterapkan pada kumpulan peristiwa yang dikemukakan para pihak, ataupun dalam pola pikir pertimbangan (motivasi), sehingga antara pertimbangan hukum dan keputusannya (amar) mempunyai suatu rangkaian yang logis. Tetapi yang tidak kalah pentingnya, secara konseptual putusan harus memberikan keadilan individu dalam setiap kasus (perkara). Bagi setiap individu yang paling penting putusan itu cocok dan memenuhi rasa keadilan. Sayangnya karena perkara itu terdapat dua pihak yang berkonflik, maka terdapat presepsi yang berbeda dalam menyikapi suatu putusan. Pihak yang kalah cenderung berkata, tidak adil, terdapat kolusi dan berbagai nada lain yang mendiskreditkan Pengadilan. Secara psikologis, setiap orang berkeinginan hidup bahagia dan menghindar dari kesengsaraan, sehingga manakala dinyatakan kalah akan mencari upaya untuk memperbaiki posisinya. Undang-Undang telah memberikan ketentuan untuk melakukan upaya hukum, jika ia tidak puas dengan putusan Hakim. Akan tetapi setelah sampai tingkat peradilan tertinggi-pun bahkan ketika kasusnya akan dieksekusi tidak secara
83 sukarela melaksanakan bunyi putusan. Hal ini tentunya menjadi beban Pengadilan. Ketidak-puasan inilah yang melahirkan upaya untuk menguji kebenaran putusan dan pertimbagan hukumnya. Dengan berdirinya lembaga pengawasan eksternal dari lembaga peradilan yang disebut Komisi Yudisial, semakin banyak masyarakat meminta pengujian terhadap kebenaran pertimbangan hukum dari suatu putusan lembaga peradilan. Memperhatikan kemampuan dan kualias dari hakim, maka tidak dapat diragukan lagi bahwa hakim akan memberikan pertimbangan hukum dan putusan yang adil bagi piha-pihak yang bersengketa. Kekeliruan setiap pertimbangkan hukum dalam suatu putusan pada dasarnya adalah suatu kesalahan profesional yang tidak dapat ditoleransi. Demikian banyak pencari keadilan yang tidak dapat menerima baik suatu putusan dengan alasan terdapat kekeliruan dalam pertimbangan hukumnya. Mahkamah Agung dalam hal terdapat kekeliruan dalam suatu pertimbangan hukum putusan pengadilan, tidak dapat menerima sebagai suatu penyimpangan atau pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Mahkamah Agung berpendapat bahwa kesalahan dalam pertimbangan hukum adalah masalah teknis peradilan, yang dapat diajukan upaya hukum. Mahkamah Agung berpendirian jika putusan masih bisa diajukan upaya hukum, maka hal tersebut bukanlah suatu penyimpangan dan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Sementara akibat kesalahan pertimbangan hukum akan menyebabkan suatu kerugian pada orang lain. Hal ini dapat angkat kasusnya dokter Ayu yang telah dipaparkan di atas. Bagaimana sengsaranya dokter Ayu yang tidak bersalah menjadi harus menjalani pidana di penjara, apalagi dokter Ayu tersebut harus kehilangan pekerjaan karena tidak dapat menjalankan praktik dokternya. Dengan mencermati dan mempertimbangkan efek negatif dari kesalahan dari pertimbangan hukum, hakim tidak dapat dibenarkan berlindung di balik kesalahan penerapan hukum bukan pelanggaran Kode
84 Etik dengan alasan karena dapat diajukan upaya hukum. Lebih-lebih lagi bilamana mempertimbangkan kemampuan kualitas hakim sebagaimana diuraikan di atas, maka kesalahan demikian menurut ketentuan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim pada paragraf terakhir adalah pelangaran. Penulis menyebut kesalahan penerapan hukum dalam suatu putusan adalah pelanggaran Kode Etik karena bedasarkan uraian Kode Etik pragraf terakhir tersebut hakim wajib mempelajari hukum dan memahami hukum secara terus menerus. Adapun kesalahan penerapan hukum dalam suatu putusan tiada lain adalah akibat ketidak-mampuan hakim dalam memahami hukum, sehingga ia salah menerapkan hukum yang seharusnya. E. Penutup Dengan menerapkan asas equality before the law, maka seharusnya kesalahan hakim atas penerapan dan pertimbangan hukum dalam suatu putusan adalah merupakan pelanggaran dan penyimpangan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Adapun pertimbangan hukum yang mendasarinya adalah aturan yang termuat dalam ketentuan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sendiri pada alinea terakhir, yakni hakim harus terus menerus mengaktualkan ilmu hukum yang dimilikinya. Mahkamah Agung dengan dasar ketentuan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tersebut harus menerima setiap laporan yang berkenaan dengan kesalahan penerapan hukum tersebut. DAFTAR PUSTAKA Dwi Yuwono, Ismantoro. 2011. Memahami Berbagai Etika Profesi & Pekerjaan, Cet.I. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. Harahap, M. Yahya. 2008. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cet.VIII. Jakarta: Sinar Grafika. http://www.tempo.co/read/news/2013/11/27/078532777/Inilah-AlasanHakim-MA-Menghukum-dr-Ayu, diakses tanggal 24 Pebruari 2014
85 http://bandung.okezone.com/read/2013/11/27/526/903818/soal-kasusdokter-ayu-ma-abaikan-faktor-risiko-medis, diakses tanggal 03 Januari 2014.
86 KEDUDUKAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA
Dr. Firman Sjah, S.H., M.Hum. Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan Jl. Raya Panglegur km. 3,5 Pamekasan Madura Jatim
Abstrak Memorandum of Understanding (M.o.U) yang diartikan sebagai perjanjian kerja sama, Nota kesepakatan, Nota kesepahaman dan pengertian yang lain merupakan penambahan kaidah hukum baru di Negara Indonesia khususnya dibidang perjanjian atau perikatan di mana Memorandum of Understanding (M.o.U) itu sendiri tidak dikenal disistem KUHPerdata (BW), melainkan berkembang di luar BW. Namun prakteknya di Indonesia akhir-akhir ini marak dipraktekkan di Indonesia. Kata Kunci: Kedudukan Hukum, Sistem Hukum, M.o.U.
A. Pendahuluan Memorandum of Understanding atau dikenal dengan kata lain (M.o.U), sebenarnya dalam hukum konvensional Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak di kenal, dan istilah ini merupakan istilah asing bukan istilah istilah hukum Nasional Indonesia. Namun dewasa ini sangat sering dipraktekkan dengan meniru apa yang sering di praktekkan di luar Negeri atau dipraktekkan secara Internasional. Penggunaan atau pemberlakuan Memorandum of Understanding (M.o.U) di Negara Indonesia secara langsung maupun tidak langsung telah membawa khasanah dan memperkaya pranata hukum positif Indonesia, sebab dengan diakuinya Memorandum of Understanding
87 (M.o.U) di Negara Indonesia dalam prakteknya maka senantiasa menumbuhkan kaidah hukum baru bahkan sistem hukum baru dalam hukum positif Indonesia/tata hukum Indonesia. Dalam hukum positif Indonesia/tata hukum Indonesia baik dalam Burgerlijk Wetboek (BW) maupun dalam Wetboek van Koophandel (WvK) tidak ada satu pasalpun yang mengatur tentang Memorandum of Understanding (M.o.U) serta peraturan Perundang-undangan lain yang mengatur masalah kontrak. Akan tetapi untuk mencari alasan yuridis tentang berlakunya Memorandum of Understanding (M.o.U) tentunya tidak terlalu sulit, karena hukum perdata Indonesia/Burgerlijk Wetboek (BW) buku ketiga yang mengatur masalah kontrak dalam Pasal 1338 ayat 1 menganut asas kebebasan berkontrak yang artinya bahwa apapun yang dibuat sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, merupakan hukum yang berlaku baginya, sehingga rumusan ini mengikat kedua belah pihak, kecuali jika kontrak tersebut bertentangan dengan kepentingan publik dan hukum yang berlaku. Dalam hukum perjanjian internasional ada suatu Asas yang tidak dapat dikesampingkan seperti halnya Modus Convensio Vencum Legem yang artinya bahwa setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang, maka dari itu dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam bentuk apapun perjanjian itu baik tertulis maupun tidak tertulis baik dibuat secara otentik ataupun secara non otentik (dibawah tangan) harus dihormati. Memorandum of Understanding (M.o.U) juga dikenal sebagai istilah perjanjian Internasional. Namun tata cara pembuatan perjanjian yang dibuat tersebut tentunya berbeda dengan perjanjian yang kita buat walaupun kadang-kadang istilah yang kita gunakan sama, karena perjanjian internasional didasarakan pada Vinna Convention On The law of treatiys 1969 di Wina yaitu didasarkan pada kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum internasional, maka dari itu jelas berbeda antara Memorandum of Understanding (M.o.U) biasa yang diartikan sebagai kerja sama antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum
88 yang lain dengan Memorandum of Understanding yang dibuat antar Negara. Memorandum of Understanding (M.o.U) jika digunakan di luar perjanjian kerja sama antar Negara, pada dasarnya sama dengan perjanjian biasa. Namun yang sangat membedakan dalam perjanjian Memorandum of Understanding (M.o.U) dengan perjanjian lainnya adalah masalah waktu. di mana dalam Memorandum of Understanding (M.o.U) waktunya biasanya hanya enam bulan dan hanya memuat pokok-pokok perjanjian saja. Mengenai masalah perjanjian ada sebuah rumusan perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagaimana yang dikutip oleh Rachmadi Usman 59 mengemukakan bahwa perjanjian adalah sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Para ahli berpendapat bahwa rumusan perjanjian tersebut terlalu luas, sehingga besar kemungkinan semua perbuatan dianggap perjanjian. Perjanjian lahir karena ada persetujuan atau kesepakatan diantara para pihak.
B. Praktik Memorandum Of Understanding Di Indonesia Memorandum adalah suatu peringatan, lembar peringatan, atau juga suatu lembar catatan.60 Memorandum juga merupakan suatu nota/ surat peringatan tak resmi yang merupakan suatu bentuk komunikasi yang berisi antara lain mengenai saran, arahan dan penerangan.61 Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tata hukum/sistem hukum positif nasional Indonesia tidak memgenal istilah Memorandum of Understanding (M.o.U) baik Burgerlijk Wetboek (BW) maupun Wetboek van Koophandel (WvK) dan akhir-akhir ini juga sering dipraktikkan oleh Negara Republik Indonesia sebagaimana Memorandum of Understanding (M.o.U) antara Negara Republik Indonesia dengan 59
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta, 2004, Gramedia Pustaka Utama. hlm.37 60 Yan Pramudya Puspa, Kamus Hukum. Semarang, 1977. CV. Aneka Ilmu. hlm. 594. 61 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia. Jakarta, 1986, hal. 319.
89 Negara Sigapura dan Memorandum of Understanding (M.o.U) Helsinky antara Negara Indonesia dengan Negara Finlandia. Memorandum of Understanding oleh beberapa ahli hukum di artikan sebagai Nota kesepakatan, Perjanjian kerja sama serta ada pula yang mengartikan perjanjian pendahuluan, ternyata dalam prakteknya sering diartikan sebagai perjanjian kerja sama. Berbagai pengertian dari ahli hukum tidak akan mengubah dari makna Memorandum of Understanding secara substansial, karena istilah Memorandum of Understanding merupakan istilah asing yang baru dikenal di Negara Indonesia. \ Pada dasarnya Memorandum of Understanding (M.o.U) adalah sebuah perjanjian yang diatur di luar KHUPerdata dan tidak dikenal dalam sistem hukum positif Indonesia. Namun secara praktek Memorandum of Understanding (M.o.U) sangat dikenal di Indonesia sebagai dasar hukum atas berlakunya Memorandum of Understanding (M.o.U) adalah Pasal 1338 ayat (1) KUHperdata yang dikenal dengan “Asas kebebasan berkontark” di mana rumusan Pasal tersebut menjelaskan “semua perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Menurut Salim H.S62 Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: 1. Membuat atau tidak membuat perjanjian; 2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun; 3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya; 4. Menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau tidak tertulis. Secara teoritis dan dalam beberapa literatur yang penulis temukan saat ini bahwa Memorandum of Understanding (M.o.U) dalam prakteknya hanya diannggap suatu kontrak yang simpel saja. Oleh karena itu, biasanya tidak dibuat secara formalitas, tanpa suatu akte Notaris, hanya saja karena Memorandum of Understanding (M.o.U) juga dianggap sebagai suatu kesepakatan dalam hal akan dilakukan suatu 62
Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori dann Teknik Penyususnan Kontrak. Jakarta, 2004. Sinar Grafika. hlm.9
90 proyek besar, maka terkadang penandatanganan suatu Memorandum of Understanding ( M.o.U) juga dibuat secara seremonial, dan ini dianggap wajar. Akan tetapi manakala suatu saat ada seseorang yang akan membuat perjanjian kerja sama tentang proyek besar, semula dibuat secara formalitas kemudian dibuat secara Notariil, maka hal itu suatu hal yang sangat baik dan bijkasana. Memorandum of Uderstanding (M.o.U) hanya dibuat dengan akte di bawah tangan saja artinya hanya dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Dalam prakteknya ternyata akhir-akhir ini, justru banyak orang yang mengadakan perjanjian kerja sama baik masalah proyek maupun kerja sama dibidang lain dibuat secara Notariil. Bahkan Negarapun mengadakan perjanjian antar Negara menggunakan istilah Memorandum of Understanding (M.o.U). Dalam kehidupan kita sehari hari, istilah Memorandum of Understanding (M.o.U) bukan suatu hal yang asing, meskipun asalnya istilah Memorandum of Understanding (M.o.U) merupakan istilah bahasa asing, karena prakteknya sifatnya sudah umum, Memorandum of Understanding (M.o.U) itu sendiri dalam hukum kontrak kita di Indonesia khususnya KUHperdata/BW sebagaimana yang dikemukakan di atas, bahwa tidak ada satu pasalpun yang mengatur tentang Memorandum of Understanding (M.o.U) kalau dilihat dari segi sifatnya maka Memorandum of Understanding (M.o.U) itu termasuk perjanjian yang sifatnya innominat yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUHperdata atau sutau perjannjian yang diatur di luar KUHperdata, seperti Production Shearing, Joint Venture dan lain sebagainya. Akan tetapi, sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa sungguh sangat bangga dengan diterimanya Memorandum of Understanding (M.o.U) dalam praktek di Indonesia sebagai sutau perjanjian yang relatif baru dalam sistem hukum positif di Indonesia, karena telah membahwa khasanah sistem hukum baru khususnya hukum kontarak di Indonesia. Dalam pembendaharaan kata-kata Indonesia para pakar ahli hukum menterjemahkan istilah Memorandum of Understanding (M.o.U)
91 ke-dalam berbagai istilah yang bervareasi, kelihatannya belum begitu baku, dengan bahasa Indonesia menurut penulis dengan literatur yang penulis temukan bahkan banyak para ahli hukum seperti Munir Fuady mengatakan memang belum ada kata yang baku arti dari Memorandum of Understanding (M.o.U) itu sendiri Misalnya ada yang mengartikan Nota Kesepakatan, mengartikan Perjanjian pendahuluan, Perjanjian Kerjasama, Nota Kesepahaman. Menurut Munir Fuady63 dalam bukunya “Hukum Bisnis dalam teori dan Praktek” mengemukakan bahwa istilah Nota kesepakatan merupakan istilah terjemahan bahasa Indonesia yang pas dan paling dekat dengan pengertian Memorandum of Understanding (M.o.U) tersebut. Jadi beberapa istilah yang disampaikan oleh para pakar hukum tersebut belum begitu benar mereka hanya menggunakan prediksi, karena mereka sendiri tidak menyebutkan apa Memorandum of Understanding (M.o.U) itu sendiri. Selanjutnya Munir Fuady64 menjelaskan Memorandum of Understanding (M.o.U) itu sendiri sama dengan perjanjian lain, seperti jual beli, sewa beli, beli sewa. Bidangnya juga bermacammacam bisa mengenai perdagangan, jual beli, perjanjian antar Negara, penanaman modal, ataupun bidang-bidang lainnnya bahkan paling tidak secara teoritis Memorandum of Understanding (M.o.U) sebenarnya dapat dibuat dalam bidang apapun. Sebenarnya pada hakekatnya Memorandum of Understanding (M.o.U) merupakan suatu perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti oleh dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang pengaturannya secara lebih detil. Oleh karena itu, dalam Memorandum of Understanding (M.o.U) hanya berisikan hal-hal yang pokok saja. Sedangkan mengenai aspek lain dari Memorandum of Understanding (M.o.U) relatif sama dengan perjanjian-perjanjian lainnya. 63
Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek: Bagian Ke-empat. Bandung, 2003. hlm. 48 64 Ibid.
92 Jika suatu Memorandum of Understanding (M.o.U) diartikan sebagai perjanjian kerja sama, maka substansi dari Memorandum of Understanding (M.o.U) bukan merupakan perjanjian pendahuluan melainkan perjanjian yang sudah formal dan sah serta mengikat para pihak tanpa disusul dengan perjanjian yang lebih detil lagi. Namun hal ini tergantung daripada proses pembuatannya, apabila dibuat dibawah tangan maka kekuatan Memorandum of Understanding (M.o.U) tidak sama dengan Memorandum of Understanding (M.o.U) yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT. Namun keduanya sama-sama mengikat dan memiliki kekuatan Hukum pembuktian. Sedangkan proses pembuatan Memorandum of Understanding sama halnya dengan proses pembuatan perjanjian lainnya di mana harus memenuhi syarat-syarat sahnya sutau perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHperdata di mana syarat sahnya perjanjian adalah:65 a. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak untuk mengadakan perjanjian yang mengikat kedua belah pihak; b. Kedua pihak cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri dalam melekukan perjanjian; c. Suatu hal tertentu, artinya ada objek yang dijadikan perjanjian; d. Causa yang halal artinya perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, peraturang perundangundangan dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. C. Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding Dalam Perjanjian Bisnis Sebelum membahas maalah tujuan serta kekuatan Memorandum of Understanding (M.o.U) akan menguraikan kembali apa itu perjanjian. Perjanjian adalah sutau peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu berjanji untuk melaksanakan sutau hal. Dalam perjanjian itu timbul suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut/perikatan.66 65 66
Rahayu Hartini, Aspek Hukum Bisnis. Malang, 2003. UMM Prees. hlm. 22 - 23 Ibid., hlm. 21
93 Hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menimbulkan perikatan (perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan, sumber perikatan yang lain adalah undang-undang. Sebagai salah satu bentuk dari perjanjian adalah Memoraandum of Understanding (M.o.U) di mana Menurut Munir Fuady dalam bukunya hukum bisnis ada beberapa alasan mengapa dibuat suatu Memoraandum of Understanding (Mo.U) terhadap suatu transaksi bisnis, yaitu sebagai berikut:67 a. Karena prospeknya belum jelas benar, sehingga belum bisa dipastikan apakah dalam kerjasama tersebut akan di tindaklanjuti atau tidak, maka dari itu untuk menghindari kesulitan dalam hal pembatalan suatu Agreement nantinya, maka dibuatlah Memorandum of Understanding (M.o.U) yang memang mudah dibatalkan itu. b. Karena dianggap penandatanganan kontrak masih lama dengan negosiasi yang masih berjalan, karena itu, daripada tidak ada ikatan apa-apa sebelum ditandatangani kontrak tersebut dibuatlah Memorandum of Understanding (M.o.U) yang akan berlaku untuk sementara waktu. c. Karena masing-masing pihak dalam perjanjian bisnis masih ragu-ragu dan masih perlu waktu untuk berpikir dalam hal menandatangani suatu kontrak, sehingga untuk sementara waktu dibuatlah Memorandum of Understanding (M.o.U). Kekuatan hukum dari Memorndum of Understanding (M.o.U) sama halnya dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak lain sebagaimana biasanya dan semua Pasal yang mengatur masalah pejanjian dapat diterapkan serta segala akibat hukumnya dari suatu Memorandum of Understanding tersebut. Sebagai konsekuensi dari apa yang disebutkan di atas maka ciri (M.o.U) adalah sebagai berikut:68 a. Isinya ringkas, bahkan seringkali hanya satu halaman saja. 67 68
Munir Fuady. Op.Ci. hlm. 49 Ibid., hlm. 92
94 b. Berisikan hal yang pokok-pokok saja c. Hanya bersifat pendahuluan saja yang akan diikuti oleh perjanjian-perjanjian lain yang lebih rinci. d. Mempunyai jangka waktu berlakunya Misalnya 1 bulan, 6 bulan atau 1 tahun, apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ditindak lanjuti dengan penandatanganan perjanjian-perjanjian yang lebih rinci, maka perjanjian tersebut akan batal kecuali diperpanjang oleh para pihak. e. Dapat dibuat dalam perjanjian di bawah tangan saja. f. Tidak ada kewajiban yang sifatnya memaksa kepada para pihak untuk harus membuat suatu perjanjian yang lebih detil setelah penandatanganan Memorandum of Understanding (M.o.U), walaupun secara rasio barangkali kedua belah pihak tidak punya rintangan untuk membuat dan menandatangani perjanjian yang detil tersebut.
D. Penutup Memorandum of Understanding (M.o.U) yang diartikan sebagai perjanjian kerja sama, Nota kesepakatan, Nota kesepahaman dan pengertian yang lain merupakan penambahan kaidah hukum baru di Negara Indonesia khususnya dibidang perjanjian atau perikatan di mana Memorandum of Understanding (M.o.U) itu sendiri tidak dikenal disistem KUHPerdata (BW), melainkan berkembang di luar BW. Namun prakteknya di Indonesia akhir-akhir ini marak dipraktekkan di Indonesia. Datar Pustaka Usman, Rachmadi. 2004. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Muhammad, Abdul Kadir. 2001. Etika Profesi Hukum Bandung: Citra Aditya Bakti Hartini, Rahayu. 2003. Aspek Hukum Bisnis Malang: UMM Prees H.S, Salim. 2004. Hukum kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Konrak, Jakarta: Sinar Grafika
95 Puspa, Yan Pramadya. 1977. Kamus Hukum. Semarang. CV. Aneka Ilmu. Hamzah, Andi. 1986. Kamus Hukum. Jakarta. Ghalia Indonesia.
96 HUKUM PEMBUKTIAN DALAM KEJAHATAN YANG DILAKUKAN MELALUI KOMPUTER
Mohammad, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Madura Jln. Raya Panglegur KM. 3,5 Pamekasan Madura Jatim
Abstrak Pembuktian secara umum menurut hukum acara di Indonesia, khususnya menyangkut hukum acara pidana, telah diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP. Sedangkan Pembuktian Dalam Delik Komputer Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik telah memberikan batasan mengenai alat bukti elektronik yaitu meliputi : (i) perangkat keras sistem komputer atau jaringan komputer peralatan lain yang tersambung ke komputer, (ii) perangkat lunak yang dapat berupa sistem operasi, sistem data base, dan atau (iii) sistem aplikasi yang tersimpan atau terpasang dalam sistem komputer atau jaringan komputer. Kata Kunci: Hukum Pembuktian, Kejahatan melalui komputer
A. Latar Belakang Perkembangan manusia modern abad ini antara lain ditandai dengan berkembangnya karakteristik kejahatan yang dilakukan. Jenisjenis kejahatan barupun banyak bermunculan, termasuk kejahatan komputer. Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa variable alat-alat bantu kejahatan akan sama kayanya dengan variable alat-alat yang
97 diciptakan manusia untuk memudahkan hidupnya pada masa kejahatan itu dilakukan. Ketika pertama kali perangkat komputer dipasarkan, tidak ada seorangpun yang pernah membayangkan bahwa komputer yang mulamula hanya berfungsi sebagai mesin hitung atau malah sekedar pengganti mesin ketik biasa, akhirnya mengambil alih sebagian besar pekerjaan manusia yang vital. Keunggulan dari aplikasi komputer ini selain memberi kemudahan terhadap berbagai kegiatan administrasi perkantoran, juga sekaligus membuka suatu kondisi krusial dari kegiatan dan dari sistem komputer untuk keperluan bussines, administrasi dan masyarakat. Di dunia bisnis misalnya, mayoritas dari transaksi moneter,diadministrasikan oleh komputer dalam bentuk deposito, neraca dibuat dengan bantuan komputer. Seringkali beberapa produksi dari suatu bank tergantung sekali kepada kemampuan fungsional dari sistem pengolahan data mereka dan sekaligus sebagai sarana penyimpan data rahasia bank yang sangat penting. Dengan berkembangnya penggunaan sarana komputer juga membuka peluang bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk menggunakannya sebagai tindak kejahatan. Dengan demikian pengamanan terhadap sistem jaringan komputer tidak saja dalam perhitungan keuangan secara otomatis yang sering dipakai dalam bidang perbankan, system pengupahan, transaksi lintas negara (salah satunya electronic transfer), namun yang tidak kalah penting untuk mendapat perhatian yaitu menyangkut pengamanan terhadap data itu sendiri. Dalam suatu transaksi dibidang perbankan ada berbagai hal yang perlu menjadi perhatian. Berbicara mengenai kesiapan perangkat lunak hukum di Indonesia, agaknya perlu segera dilakukan revisi atas aturan hukum yang berlaku saat ini dan perangkat-perangkat penunjang lainnya seperti kesiapan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki aparat penegak hukum. Penambahan pasal-pasal yang spesifik mengenai kejahatan yang berkaitan dengan dunia komputer perlu lebih dipertegas. Barangkali,
98 pembuktian terbalik yang sementara ini sering dipakai dalam pembuktian tindak pidana korupsi perlu dicermati dan diambil nilai lebihnya. Memang akan terasa semakin sulit membuktikan kasus kejahatan yang dilakukan melalui media komputer, karena tidak nampak secara kasat mata, terlebih dengan seiring berkembangnya teknologi informasi, dibanding dengan membuktikan kasus perusakan atau kejahatan lainnya, misalnya pencurian, pembunuhan dan lain sebagainya. Menyoal pelanggaran hukum dari penggunaan teknologi informasi yang semakin meningkat ini memang tidak akan pernah ada habis-habisnya. Tetapi, justru dengan memanfaatkan adanya teknologi informasi yang demikian majunya itu bagi penegakan hukum akan semakin memudahkan penuntasan berbagai kasus yang berkaitan dengan dunia komputer. Kepastian hukum bagi sebuah kasus tidak perlu lagi menunggu berlama-lama, misalnya untuk menunggu kasasi dari Mahkamah Agung. Di sisi lain, pemanfaatan database tentang berbagai tindak kejahatan di seluruh wilayah melalui jaringan komputer akan memudahkan aparat penegak hukum untuk mengindentifikasi kasus kejahatan itu sendiri, baik pelaku maupun pola kejahatan itu sendiri. Bagi dunia hukum Indonesia, langkah tersebut dapat memberikan gambaran seutuhnya kepada masyarakat internasional, terutama para calon investor, bahwa Indonesia tegas dalam hal penegakan hukum dan mampu dalam hal pemberantasan kejahatan baik secara umum maupun yang menyangkut dengan dunia komputer. Sayangnya, pemanfaatan jaringan teknologi informasi ini belum optimal. Hal itu sering kali terlihat dari perbedaan persepsi tentang penyelesaian berbagai kasus hukum yang melibatkan orang asing. Perangkat hukum yang mampu mengadopsi hukum internasional yang berlaku ke dalam sistem hukum nasional, mau tidak mau, perlu dipertimbangkan. Di samping itu, perlu juga meng-update berbagai peraturan hukum yang berlaku. Dengan demikian, ia akan mampu menjawab berbagai persoalan, baik di bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, maupun hankam di dunia informatika itu.
99 Namun yang patut disayangkan adalah pengakuan data elektronik sebagai alat bukti di pengadilan nampaknya masih dipertanyakan validitasnya, disamping terdapat kendala di tataran pemeriksaan, yakni terbatasnya sumber daya manusia yang ada di aparat penegak hukum jika akan melakukan suatu penyidikan. Dalam praktek pengadilan di Indonesia, penggunaan data elektronik sebagai alat bukti yang sah memang belum biasa digunakan. Padahal di beberapa negara, data elektronik dalam bentuk e-mail sudah menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutus suatu perkara (perdata maupun pidana). Kiranya, tidak perlu menunggu lama agar persoalan bukti elektronik, termasuk email, untuk mendapatkan pengakuan secara hukum sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Masalah pengakuan data elektronik memang menjadi isu yang menarik seiring dengan penggunaan teknologi informasi (internet). Salah satu yang menjadi masalah hukum tentang penggunaan teknologi informasi ini, adalah bahwa proses dalam bertransaksi dengan menggunakan perangkat komputer ini di Indonesia belum dapat diakui sebagai bukti oleh alat bukti secara konvensional yang diakui oleh hukum perdata seperti yang diatur dalam KUH Perdata dan Undangundang Hukum Acara perdata maupun pembuktian pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana (KUHAP). Bertititik tolak dari keresahan dan kekawatiran tersebut diatas kita sudah merasa lega karena sejak 21 April 2008 Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah disahkan melalui UU Nomor 11 Tahun 2008 dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58. Dengan disahkannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini sudah dapat menjawab pertanyaan mendasar kita bahwa penggunaan data elektronik sebagai alat bukti yang sah sudah diakui dalam praktek pengadilan di Indonesia. Demikian juga Hukum Acara yang dipakai selain menggunakan Hukum Acara menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga Hukum Acara yang diatur
100 tersendiri menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik.
Tentang
Menurut Munif Fuadi, ada beberapa prinsip hukum yang bersentuhan dengan penggunaan teknologi informasi ini yang semestinya diakui oleh sektor hukum pembuktian diantaranya adalah antara lain : a. Semua informasi elektronik dalam bentuk data elektronik mestinya memiliki kekuatan hukum, sehingga mempunyai kekuatan pembuktian. Dengan demikian, data elektronik mestinya mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan dokumen kertas. b. Kontrak yang dibuat secara elektronik mempunyai akibat hukum dan kekuatan pembuktian yang sama dengan kontrak yang dibuat secara tertulis di atas kertas. c. Tanda tangan elektronik mestinya mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan tanda tangan biasa.69 Atas paparan diatas, maka perlu upaya hukum terhadap penanggulangan kejahatan yang berkaitan dengan komputer, salah satu diantaranya adalah menyangkut tentang hukum pembuktian atas datadata elektronik yang digunakan dalam aksi kejahatan, sehingga penulis ingin mengupas mengenai hukum pembuktian dalam kejahatan yang dilakukan melalui komputer
B. Metodologi 1. Pendekatan Masalah Bahwa masalah pembuktian dalam kejahatan melalui komputer, dalam acara pemeriksaan biasa yang selama ini diatur dalam KUHAP, tidak menyebutkan alat bukti yang tertera di dalam komputer tetapi dengan tegas disebutkan salah satunya adalah surat, yang dibuat atas 69
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern Di Era Global. Bandung, 2002. Citra Aditya. hlm.412
101 sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, sebagaimana diatur dalam pasal 187 KUHAP. Namun, perspektif hukum pidana di Indonesia, hal itu akan menjadi persoalan ketika suatu kejahatan muncul namun alat bukti yang diajukan sesuai dengan aturan KUHAP kurang memenuhi persyaratan, karena kejahatan tersebut dilakukan melalui suatu sistem jaringan komputer, yang kita tidak tahu keberadaan terdakwa dalam melakukan kejahatan itu.dan terdakwa juga tidak tahu secara langsung terhadap orang-orang yang selama ini menjadi korbannya. Persoalan semakin menarik ketika proses perkara tersebut akan diajukan ke pengadilan, namun ditengah jalan hakim menolak dengan alasan kurangnya alat bukti yang sah, bahwa suatu tindak pidana tersebut benar-benar terjadi, hal-hal inilah kiranya yang menarik untuk penulis bahas dalam penulisan ini. Pendakatan masalah dalam penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan menganalisa hukum-hukum yang ada terutama terhadap Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disamping dari berbagai macam literatur hukum dan jurnal hukum serta surat kabar dan media lain yang tentunya berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas, yaitu yang menyangkut tentang hukum pembuktian dalam kejahatan melalui komputer. 2.
Sumber Data Data yang digunakan dalam penulisan ini meliputi dua data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diambil dari bahan-bahan ilmu hukum yang mengikat dan berhubungan erat dengan permasalahan yang akan ditelaah, antara lain, KUHAP, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dan peraturan perundangan lain yang sekiranya terkait dengan permasalahan yang akan dibahas. Sedangkan data sekunder, merupakan data yang diambil dari bahanbahan hukum yang memberikan penjelasan atau membahas lebih lanjut hal-hal yang telah dibahas pada bahan-bahan hukum primer,
102 yaitu berbagai makalah, jurnal hukum, surat kabar dan literatur lain yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis bahas.
3.
Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data Prosedur dan pengumpulan data dalam penulisan ini, menggunakan penelitian kepustakaan, yaitu dengan membaca buku-buku literatur dan bahan hukum lain disamping dengan menginventarisir dan mengumpulkan bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Hal ini penulis lakukan agar memperoleh data yang obyektif dan dapat dipercaya. Dari bahan-bahan hukum tersebut, baik primer maupun sekunder, selanjutnya penulis olah dan dianalisa. C. Hukum Pembuktian Menurut KUHAP 1. Alat Bukti Yang Sah Hukum acara pidana merupakan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana untuk menyelenggarakan hukum pidana material, sehingga memperoleh keputusan Hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan. Hukum Acara Pidana di Indonesia saat ini telah diatur dalam satu undang-undang yang dikenal dengan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni Undang-Undang No.8 Tahun 1981, berlaku sejak 31 Desember 1981 sampai dengan sekarang. Salah satu hal yang tidak boleh diabaikan dalam proses beracara adalah adanya hukum pembuktian.70 Di dalam hukum pembuktian, setelah diketahui bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, maka harus mempertanggungjawabkannya dan berbagai alat bukti yang sah yang dapat dikenakan atas tindakan terdakwa harus diajukan ke depan persidangan, hal ini diperlukan untuk memperkuat dakwaan yang ada. Seperti disebutkan dalam pasal 70
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I. Jakarta, 1993. Pustaka Kartini. Hlm. 20
103 183 KUHAP bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Ada beberapa teori tentang pembuktian ini diantaranya adalah : a. Teori pembuktian positif, bahwa salah atau tidaknya seorang terdakwa sangat tergantung sepenuhnya pada sejumlah alat bukti yang telah ditetapkan terlebih dahulu (keyakinan hakim diabaikan), b. Teori pembuktian negatif, bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana, apabila sedikitdikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam Undangundang (KUHAP) telah ada, ditambah adanya keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti, c. Teori pembuktian bebas, bahwa mengakui adanya alat-alat bukti dan cara pembuktian, namun tidak ditentukan di dalam Undang-undang dan d. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan, bahwa hakim menjatuhkan pidana semata-mata berdasarkan keyakinan pribadinya dan dalam putusannya tidak perlu menyebut alasan-alasan putusannya. Alat-alat bukti yang sah, apabila ada hubungan dengan suatu tindak pidana, 71 Kemudian menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat-alat bukti yang sah terdiri dari : a. Keterangan saksi 71
Darmawan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta, 1989. Djambatan. hlm.34
104 Yang dimaksud dengan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu. Jadi keterangan saksi ini mengenai suatu peristiwa pidana yang ia saksikan dengan sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu (tidak termasuk keterangan diperoleh dari orang lain/testimonium de auditu), Keterangan saksi ini terdapat 2 syarat, yaitu : i. syarat formil, apabila keterangan tersebut diberikan oleh saksi di bawah sumpah, ii. syarat materil, bahwa keterangan saksi, hanya salah satu dari alat bukti yang sah, serta terlepas dari hal mengundurkan diri sebagai saksi sesuai dengan pasal 168 KUHAP, bahwa yang tidak didengar keterangannya adalah keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke tiga dari terdakwa, saudara dari terdakwa atau yang sama-sama terdakwa, dan suami atau istri terdakwa, walaupun telah bercerai. 72
Sedangkan mengenai saksi ini terdapat 2 jenis yaitu : i. Saksi A Charge Yaitu saksi yang memberatkan terdakwa, saksi yang dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya yang memberatkan terdakwa, ii. Saksi A De Charge Yaitu saksi yang menguntungkan terdakwa, saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum, yang sifatnya meringankan terdakwa. 73 72 73
Ibid Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 142
105 b. Keterangan ahli Yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. c. Surat Surat sebagaimana tersebut dalam pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP harus dibuat diatas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat sebagaimana dimaksud pada pasal tersebut, diantaranya adalah : i. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu, ii. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan, iii. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya, iv. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. d. Petunjuk Sesuai dengan pasal 188 ayat (1) KUHAP, yang dimaksud dengan petunjuk disini adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
106 dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk ini diperoleh hanya dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Sedangkan penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk ditentukan oleh hakim.
e. Keterangan terdakwa Dalam pasal 189 ayat (1) KUHAP, yang dimaksud dengan keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan tersebut hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri 2. Pemeriksaan Surat Pemeriksaan surat dalam KUHAP tercantum pada Bab V yang mengatur tentang penangkapan, penahanan, pengeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat. Khusus mengenai pemeriksaan surat ini, terdapat dalam bagian kelima yang diatur dari pasal 47 sampai dengan pasal 49. Dalam pasal 47 KUHAP dijelaskan bahwa penyidik berhak untuk membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan telekomunikasi atau pengangkutan. Yang dimaksud dengan surat lain disini adalah surat yang tidak langsung mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang diperiksa akan tetapi dicurigai dengan alasan yang kuat. Pemeriksaan surat ini dapat dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan menurut ketentuan yang diatur dalam ayat tersebut.
107 Pasal 47 KUHAP ini secara jelas mengatur tentang surat dalam bentuk fisik sebuah kertas. Lain persoalannya jika kejahatan tersebut dilakukan dengan menggunakan data elektronis, misalnya melalui surat elektronik atau yang sering disebut dengan e-mail, apakah juga termasuk di dalam pengertian pasal 47 KUHAP ini. Yang jelas, dalam KUHAP yang mengatur tentang pemeriksaan surat tidak secara tegas memberikan jenis-jenis surat, hanya proses pemeriksaan dari membuka surat, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor maupun melalui sarana telekomunikasi atau perusahaan komunikasi. Padahal e-mail atau surat elektronis menggunakan sarana komunikasi ( internet, saluran telepon ) untuk mengirim maupun membuka surat tersebut. Sehingga secara analogi, sebenarnya e-mail atau surat elektronik dapat dijadikan bukti yang sah di dalam persidangan sesuai dengan pasal 47 KUHAP tersebut. Sedangkan dalam media komputer, yang dimaksud dengan surat disini sesuai dengan Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Di Bidang Teknologi Informasi, adalah surat elektronik yaitu program komputer dan atau layanan yang memungkinkan pengguna komputer untuk mengirim pesan – pesan melalui media elektronik kepada pengguna komputer lainnya. Kemudian menyangkut alamat surat dalam media komputer disebut dengan alamat surat elektronik yaitu alamat Internet dari seseorang, perkumpulan, organisasi, atau badan usaha, yang dapat dilakukan untuk berkomunikasi melalui Internet atau komunikasi elektronik lainnya. Sehubungan kebuntuan dalam masalah pembuktian ini, terkadang justru tersangka dapat lepas sehubungan pihak aparat penegak hukum kurang paham mengenai pemeriksaan surat yang berkaitan dengan komputer ini. Sebagai contoh, menyusul satu orang yang tertangkap di wilayah hukum Poltabes Semarang, tertangkap lagi dua orang yang melakukan tindak kriminal yang sama. Status mereka juga tidak beda yakni samasama mahasiswanya. Modus yang mereka lakukan juga sama yakni belanja produk komputer canggih dengan menggunakan Credit Card
108 (CC) milik orang lain (asing). Apakah hanya mereka yang terlacak dan tertangkap. Memang tidak jelas karena kenyataanya hanya ketiga orang yang ditangkap Kepolisian Kota Besar Semarang itulah yang diumumkan.74 Hal ini dapat terjadi disamping aturan hukum di Indonesia masih belum tegas juga disebabkan karena penilaian terhadap proses hukum atas pelaku kejahatan melalui Internet memang sulit dilakukan, padahal sebenarnya pelaku pembobolan kartu kredit lewat Internet itu bisa diadili di Indonesia atas perbuatan pencurian, masalahnya karena dalam pasal 184 KUHAP, dokumen elektronik tidak termasuk alat bukti. Kesulitan dalam upaya pembuktian, disebabkan juga karena instrumen yang digunakan para hacker ini bersifat maya. Barang-barang hasil curian sendiri hanya sebatas menjadi alat bukti petunjuk, tetapi tidak bisa menjadi alat bukti. Kasus belanja dengan menggunakan kartu kredit orang lain seperti yang baru-baru ini terungkap di Yogyakarta, pada dasarnya sama dengan kasus pencurian di dunia nyata. Meski korban adalah warga negara asing, namun pelakunya bisa diproses dengan menggunakan hukum Indonesia. Mengenai pasal 184 KUHP yang menghambat proses hukum, ini sangat tergantung pada keberanian hakim untuk mengambil keputusan. Jika pelaku dapat terjerat, selanjutnya kasus ini bisa dijadikan yurisprudensi untuk memudahkan proses peradilan kasus-kasus yang sama berikutnya. 3. Pemeriksaan Terhadap Tersangka Tersangka, menurut pasal 1 ayat 4 KUHAP adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Tersangka belumlah dapat dikatakan sebagai bersalah atau tidak sehingga setiap orang harus menjunjung tinggi atas asas presumption of innocence atau azas praduga tak bersalah. 74
Komputekonline.com, Pembobol Kartu Kredit Sulit di Sidang, Jakarta, April 2012
109 Didalam KUHAP mengenai pemeriksaan ini mengenal 2 (dua) sistem pemeriksaan yaitu :
a. Sistem Accusatoir, tersangka/terdakwa diakui sebagai subjek pemeriksaan dan diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk melakukan pembelaan diri atas tuduhan atau dakwaan yang ditujukan atas dirinya. Dalam sistem ini pemeriksaan terbuka untuk umum (depan sidang pengadilan) b. Sistem Inquisitoir, tersangka/terdakwa dianggap sebagai obyek pemeriksaan. Dalam sistem ini pemeriksaan tertutup, dan tersangka /terdakwa tidak mempunyai hak untuk membela diri (di depan penyidik). Namun kedua sistem ini mulai ditinggalkan, setelah diterapkan UU No.8/1981 tentang KUHAP, dengan diberinya hak tersangka/terdakwa didampingi penasehat hukum. 75 Sehubungan tersangka belumlah dapat dikatakan sebagai bersalah atau tidak maka setiap orang harus menjunjung tinggi adanya asas praduga tak bersalah. Konsekuensi daripada asas itu adalah tersangka harus mendapatkan hak-haknya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Yang dimaksud hak disini adalah adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang tersangka, atau terdakwa, apabila hak tersebut dilanggar, maka hak asasi dari tersangka, atau terdakwa telah dilanggar. Di dalam KUHAP hak-hak tersangka ini diantaranya adalah : a. Hak untuk mendapat pemeriksaan dengan segera Dalam pasal 50 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum. b. Perkaranya untuk segera dilanjutkan ke Pengadilan, sesuai pasal 50 ayat (2) KUHAP dijelaskan bahwa tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum. c. Hak untuk segera diadili oleh pengadilan, sesuai dengan pasal 50 ayat (3) KUHAP menjelaskan bahwa terdakwa berhak segera diadili. 75
Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 351
110 d. Hak untuk mempersiapkan pembelaan, dalam pasal 51 KUHAP dijelaskan bahwa untuk rnempersiapkan pembelaan, tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai e. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas, pasal 52 KUHAP menyebutkan bahwa Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. f. Hak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi/saksi ahli atau saksi A De Charge (saksi yang menguntungkan), g. Hak untuk tidak dibebani kewajiban pembuktian, dalam pasal 66 KUHAP disebutkan bahwa Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Dalam penjelasannya, ketentuan ini merupakan penjelmaan dari adanya asas praduga tak bersalah. Sehubungan di dalam KUHAP menyatakan bahwa tersangka tidak memiliki kewajiban untuk memberikan pembuktian maka di dalam sangkaan atas kejahatan yang dilakukan terhadap tersangka melalui perangkat komputer, yang memiliki beban untuk membuktikan adalah aparat penegak hukum. Sehingga kemampuan dan tingkat ketrampilan di bidang teknologi informasi para aparat penegak hukum diuji disini, berhasil tidaknya membawa tersangka ke proses perkara selanjutnya tidak terlepas dari mampu tidaknya aparat untuik membuktikannya, padahal seperti diketahui pembuktian dalam kejahatan yang berkaitan dengan cyberlaw lebih sulit dibanding dengan tindak pidana pada umumnya. D. Hukum Pembuktian Dalam Kejahatan Komputer Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik 1. Bukti Tertulis
111 Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa alat bukti dalam bentuk tertulis yang sah salah satu diantaranya adalah surat, di dalam KUHAP diatur pada pasal 47 yang mengatur mengenai pemeriksaan surat. Sehubungan dalam dunia internet dalam hal surat menyurat menggunakan surat elektronis atau e-mail maka perlu adanya pemikiran lebih mendalam lagi terhadap kedudukan e-mail ini di dalam hukum pembuktian dengan adanya suatu kejahatan melalui komputer. Lebih repotnya lagi, pengakuan data elektronik sebagai alat bukti di pengadilan nampaknya masih dipertanyakan validitasnya. Dalam praktek pengadilan di Indonesia, penggunaan data elektronik sebagai alat bukti yang sah memang belum biasa digunakan. Padahal di beberapa negara, data elektronik dalam bentuk e-mail sudah menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutus suatu perkara baik perkara perdata maupun pidana. Masalah pengakuan data elektronik memang menjadi isu yang menarik seiring dengan penggunaan teknologi informasi (internet). Beberapa negara telah memiliki peraturan hukum yang memberikan pengakuan data elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. China misalnya, membuat peraturan khusus untuk mengakui data elektronik. Salah satu pasal Contract Law of the People's Republic of China 1999 menyebutkan, "bukti tulisan" yang diakui sebagai alat bukti dalam pelaksanaan kontrak (perjanjian) antara lain: surat dan data teks dalam berbagai bentuk, seperti telegram, teleks, faksimili, dan e-mail.76 Sejak Januari 2001, Divisi Tindak Pidana Komputer dan Hak Milik Intelektual Departemen Kehakiman Amerika telah membuat kebijakan khusus yang berkaitan dengan pengakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. 77 Cara kedua untuk mengakui dokumen elektronik adalah dengan menyandarkan pada hasil akhir sistem komputer. Misalkan, dengan output dari sebuah program komputer yang hasilnya tidak didahului 76
Rapin Mudiardjo, Data Elektronik Sebagai Alat Bukti Masih Dipertanyakan, Hukumonline.com, tanggal 8 Juli 2012 77 Ibid
112 dengan campur tangan secara fisik. Contohnya, rekaman log in internet, rekaman telepon, dan transaksi ATM. Artinya, dengan sendirinya bukti elektronik tersebut diakui sebagai bukti elektronik dan memiliki kekuatan hukum. Kecuali bisa dibuktikan lain, data tersebut bisa di kesampingkan. 78
Namun anehnya, pengadilan di Indonesia belum menerima bukti elektronik tersebut sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Dalam konteks ini, tidaklah tepat jika dikatakan Indonesia telah ketinggalan dalam menggunakan data elektronik sebagai bukti transaksi. Dengan adanya internet, seolah ada semacam pengaburan akan adanya pengakuan terhadap data elektronik dalam transaksi. Lalu kemudian orang mempermasalahkan, apakah data tersebut bisa dipertanggungjawabkan di hadapan hukum. Dalam perkara perdata, sekiranya tida begitu masalah, jika dilihat esensi dari transaksi yang dilangsungkan secara elektronik, sepanjang para pihak tidak berkeberatan dengan prasyarat dalam perjanjian tersebut, segala bukti transaksi yang dihasilkan dalam transaksi tersebut memiliki nilai yang sama dengan dokumen transaksi konvensional, tetapi perlu pengkajian kembali terhadap perkara pidana, sehubungan batasan alat bukti dalam pembuktian kejahatan melalui komputer ini. Namun didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik , memberikan batasan mengenai alat bukti elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah sebagaimana dijelaskan dalam pasal 5 : 1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. 2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan 78
Ibid
113 dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. 3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. 4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Kemudian menyangkut alat bukti ini, dalam kejahatan melalui komputer sebaiknya selain alat bukti yang sudah diatur sebagaimana pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dan pasal 184 KUHAP, catatan elektronik yang tersimpan dalam sistem komputer dapat dijadikan alat bukti yang sah. Catatan elektronik tersebut yang akan dijadikan alat bukti sah di pengadilan dan harus dikumpulkan oleh penyidik dengan mengikuti prosedur sesuai ketentuan yang berlaku. Sedangkan alat bukti elektronik, khususnya yang berwujud perangkat lunak diperoleh dengan cara penggandaan dari lokasi asalnya dengan cara tertentu tanpa merusak struktur logika program. Salah satu bukti tertulis dalam surat menyurat secara elekktronis adalah e-mail. Dalam sistem hukum Indonesia, keberadaan data elektronik, termasuk e-mail, belum diterima sebagai alat bukti di pengadilan jika terjadi sengketa. Dalam hukum positif Indonesia, penggunaan data elektronik tidak setegas di beberapa negara. Beberapa waktu lalu, telah diputus satu kasus pidana di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur yang mengetengahkan bukti e-mail sebagai salah satu alat bukti. Dalam kasus tersebut, hakim memvonis terdakwa dengan hukuman satu tahun penjara karena terbukti telah melakukan tindakan cabul berupa penyebaran tulisan dan gambar. Hakim kemudian menghadirkan saksi ahli untuk menjelaskan, apakah bukti email tersebut bisa dimanipulasi. Keterangan ahli tersebut digunakan
114 oleh hakim untuk memastikan apakah dalam transfer data melalui internet mail (e-mail) tersebut telah terjadi tindakan manipulatif. Setelah mendengar keterangan dari saksi ahli, kemudian hakim memutus terdakwa telah terbukti melanggar Pasal 282 KUHP, yaitu menyangkut tentang kejahatan terhadap kesopanan, yaitu mempertontonkan suatu gambar atau tulisan yang melanggar perasaan kesopanan. 79 Terlepas dari salah tidaknya terdakwa, hakim telah menggunakan nalarnya untuk menggunakan bukti tersebut yaitu e-mail atau data elektronis yang disamakan sebagai alat bukti surat yang diatur di dalam Pasal 184 KUHAP. Merujuk pada praktek di Amerika, apa yang dilakukan oleh hakim tidaklah berbeda. Sekali lagi, pengakuan data atau bukti elektronik di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Jikapun masih sedikit kasus yang menggunakan bukti elektronik sebagai alat bukti di pengadilan, itu dikarenakan rentannya kemauan dari hakim untuk mempelajari hal-hal baru. Khususnya, berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam urusan privat maupun publik. Lebih lanjut mengenai alat bukti tertulis ini, di Indonesia sendiri telah memiliki Undang-Undang Pokok Kearsipan, sehingga keberadaan dokumen elektronik sebenarnya telah dikenal sejak tigapuluhan tahun lalu. Kemudian pada Kepres No. 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, secara tegas juga mengakui keberadaan media lainnya selain kertas seperti diantaranya adalah CD ROM dan mikrofilm, sehingga dokumen elektronik yang notabene merupakan bagian dari tulisan yang dihasilkan secara elektronik merupakan bagian daripada alat bukti tertulis yang dapat diajukan ke pengadilan. 80 Jadi, tidak serta merta karena tidak ditegaskan secara spesifik, secara tegas di dalam pasal 184 KUHAP bahwa surat elektronik merupakan alat bukti tertulis, maka dokumen elektronik tidak bisa diterima 79 80
Ibid Ibid
115 sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Namun secara hukum, sepanjang tidak ada penyangkalan terhadap isi dari dokumen, maka dokumen elektronik tersebut harusnya diterima layaknya bukti tulisan konvensional. Masalah otentikasi adalah persoalan yang berbeda dengan pengakuan data elektronik. Jika data atau dokumen elektronik tersebut diterima atau diakui secara hukum, dengan sendirinya proses otentikasi atas data tersebut akan mengikutinya. Sebenarnya, Indonesia bukan tidak mampu untuk melakukan satu revolusi pengembangan hukum. Namun, lebih didasarkan pada tidak ada kemauan untuk mengakui dokumen elektronik tersebut. Jika logika berpikir hanya melandaskan pada cara lama, dapat dipastikan sampai kapan pun tidak akan pernah ada pengakuan terhadap dokumen elektronik. Tetapi dengan berlakuknya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini, maka payung hukum di Indonesia sudah jelas dalam upaya penegakan hukum dalam kejahatan khususnya di bidang komputer. 2. Masalah Domisili dan Jurisdiksi Masalah domisili adalah menyangkut lokasi pelaku kejahatan melalui komputer. Hal ini berhubungan antara lain dengan dimana yang bersangkutan mengakses, mengirim maupun transformasi data lainnya dan penyelenggara situs web yang dipakai. Dalam internet biasanya terdapat alamat surat elektronik yaitu alamat internet dari seseorang, perkumpulan, organisasi, atau badan usaha, yang dapat dilakukan untuk berkomunikasi melalui Internet atau komunikasi elektronik lainnya.81 Untuk mendapatkan domisili, seseorang harus secara fisik berada di suatu daerah dan mempunyai niat untuk berdiam didaerah itu secara permanen. Seseorang hanya memiliki 1 (satu) domisili, tetapi ia dapat memiliki banyak tempat tinggal. Tempat tinggal, yang tidak secara 81
Asril Sitompul, Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Ceberspace. Bandung, 2001. Citra Aditya Bakti. hlm. 77
116 otomatis menjadi domisili seseorang, ditentukan dengan bagaimana orang tersebut memiliki hubungan erat dengan tempat itu sebagai hasil bahwa ia tinggal ditempat tersebut dalam waktu tertentu dalam suatu tahun. Tempat tinggal hanya memerlukan kehadiran fisik sebagai suatu tempat. Seseorang dapat menukar tempat tinggal tanpa mengubah domisilinya. Sekali domisili seseorang ditetapkan maka domisili tersebut akan terus dipakai sampai terjadi hal-hal sebagai berikut : a. Terjadinya perubahan kedudukan atau tempat tinggal, b. Terdapat keinginan yang mutlak dan tetap untuk meninggalkan domisili yang lama, atau c. Terdapat keinginan yang mutlak dan tetap untuk mendapatkan domisili yang baru. 82 Sedangkan masalah jurisdiksi berkaitan erat dengan wewenang pengadilan, tempat kejadian perkara, tempat pengajuan gugatan dan sebagainya. Yurisdiksi adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu kasus atau sengketa tertentu. 83 Dalam media internet yang merupakan media yang tidak mengenal batas, baik batas-batas wilayah maupun batas-batas kenegaraan, hal ini membawa dampak bagi perilaku para pengguna internet, sehingga apa yang boleh dilakukan dengan bebas disuatu negara kemungkinan akan dianggap sebagai pelanggaran hukum di negara lain. Sesuai dengan namanya www atau World Wide Web, maka jaringan internet ini selebar dunia. Hal ini membuat masalah jurisdiksi menjadi lebih rumit daripada masalah jurisdiksi pada peradilan biasa. Suatu misal, salah satu contoh kasus yang dilakukan oleh seorang mahasiswa Indonesia, melakukan kejahatan melalui komputer, yakni melakukan pembobolan, pencurian kartu kredit orang lain, ternyata korban yang memiliki kartu kredit tersebut orang Jerman, akhirnya
82 83
Ibid, halaman 85 Ibid
117 melalui kerja sama interpol antara kepolisian Jerman dan Indonesia berhasil menangkap mahasiswa tersebut. 84 Kasus diatas merupakan satu diantara sekian kasus yang ada di dunia ini. Jadi masalah yurisdiksi yang menyangkut kejahatan melalui komputer sesuai dengan perilaku pengguna internet yang tidak mengenal batasan-batasan baik wilayah maupun kenegaraan, maka persoalannya ketika hukum yang dibuat di suatu negara akan berlaku dan dengan sendirinya akan memasuki wilayah yurisdiksi negara lain. Tentu saja akan terjadi pertentangan, seperti apa yang dilarang di Indonesia kemungkinan saja justru diwajibkan di negara lain. Namun demikian di internet seperti halnya di media lainnya, juga diperlukan peraturan tentang perilaku, baik perilaku para penyedia akses, penyedia content, maupun pengguna dan pengunjung. Mengenai domisili dan kewenangan untuk memperoses suatu perkara pidana yang berkaitan dengan jurisdiksi hukum dalam kejahatan komputer ini didalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan beberapa acuan hukum untuk digunakan menyelesaikan suatu persoalan yang berhubungan dengan hal tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut : a. Undang – Undang ini digunakan untuk menghukum siapa saja yang telah melakukan tindak pidana teknologi informasi di wilayah hukum Indonesia. b. Undang – Undang ini memiliki kekuatan hukum di dalam dan atau di luar wilayah Indonesia, berlaku bagi siapa saja, apapun kewarganegaraannya, dengan domisili di dalam atau di luar wilayah Indonesia. c. Undang – Undang ini dapat digunakan dalam hal pelaku dan lokasi kejahatan berada di luar wilayah hukum Indonesia, namun korban
84
Budi Agus Riswandi, Permasalahan Penanganan Pelanggaran Hak Cipta Di Internet, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 18, Jakarta, Maret 2012.
118 adalah warga negara Indonesia dan berdomisili di wilayah hukum Indonesia. d. Dalam kasus ayat (3) di atas jika dipandang perlu penyidik dapat meminta ekstradisi tersangka pelaku tindak pidana kepada negara di mana tersangka berdomisili. 3. Keabsahan Tanda Tangan Digital Tanda tangan digital adalah suatu tanda tangan yang dibuat secara elektronik yang berfungsi sama dengan tanda tangan biasa pada dokumen kertas biasa. Tanda tangan merupakan data yang apabila tidak dipalsukan dapat berfungsi untuk menyatakan bahwa orang yang namanya tertera pada suatu dokumen tersebut setuju dengan apa yang tercantum pada dokumen yang ditanda tanganinya itu. 85 Sedangkan dalam pasal 1 ke 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tanda tangan digital adalah tanda jati diri berupa informasi elektronik yang berfungsi sebagai pengesahan oleh pengguna melalui metode elektronik atau prosedur yang telah ditentukan. Tanda tangan digital sebenarnya dapat memberikan jaminan yang lebih terhadap keamanan dokumen dibanding dengan tanda tangan biasa. Penerima pesan yang dibubuhi tanda tangan digital dapat memeriksa apakah pesan itu telah diubah setelah ditanda tangani baik sengaja atau tidak. Kemudian tanda tangan digital yang aman tidak dapat diingkari oleh penanda tangan dibelakang hari dengan menyatakan bahwa tanda tangan itu dipalsukan. Dengan kata lain tanda tangan digital dapat memberi jaminan keaslian dokumen yang dikirimkan secara digital, baik jaminan tentang identitas pengirim dan kebenaran dari dokumen tersebut. Sifat yang diinginkan dari tanda tangan digital ini diantaranya adalah: 85
Asril Sitompul, Op.Cit, hlm. 42
119 a. Tanda tangan itu asli (otentik), tidak mudah ditulis/ditiru oleh orang lain. Pesan dan tanda tangan pesan tersebut juga dapat menjadi barang bukti, sehingga penandatangan tak bisa menyangkal bahwa dulu ia tidak pernah menandatanganinya. b. Tanda tangan itu hanya sah untuk dokumen (pesan) itu saja. Tanda tangan itu tidak bisa dipindahkan dari suatu dokumen ke dokumen lainnya. Ini juga berarti bahwa jika dokumen itu diubah, maka tanda tangan digital dari pesan tersebut tidak lagi sah. c. Tanda tangan itu dapat diperiksa dengan mudah. d. Tanda tangan itu dapat diperiksa oleh pihak-pihak yang belum pernah bertemu dengan penandatangan dan tanda tangan itu juga sah untuk kopi dari dokumen yang sama persis 86 Tanda tangan digital ini terbatas masa berlakunya di Amerika Serikat misalnya, kebanyakan memberi batas waktu 1 (satu) tahun untuk tanda tangan digital dan dengan demikian dokumen yang dibubuhi tanda tangan digital yang sudah habis masa berlakunya tidak dapat diterima. Pembatasan masa berlaku tanda tangan digital dilakukan dengan stempel waktu digital. Seperti diuraikan diatas, di Amerika Serikat memberi batas waktu tanda tangan digital untuk masa 1 (satu) tahun. Yang menjadi masalah adalah dalam praktek sering pula perlu dilakukan penanda tanganan untuk dokumen yang masa berlakunya lebih dari 2 (dua) tahun seperti kontrak sewa dan perjanjian jangka panjang lainnya. Hanya persoalannya apakah tanda tangan digital yang dibuat dengan menurut hukum yang berlaku di negara asing dapat diakui sama secara hukum dengan tanda tangan yang dibuat sesuai dengan hukum domestik suatu negara, namun perlu adanya dengan asumsi bahwa hukum di negara asing itu sejalan dengan hukum domestik.
86
Arrianto Mukti Wibowo, Studi Perbandingan Sistem-sistem Perdagangan di Internet dan Desain Protokol Cek Bilyet Digital, Penelitian, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia, Jakarta, 1997.
120 Jalan keluarnya adalah dengan mendaftarkan setiap kontrak yang dibuat lewat internet untuk dibubuhi dengan stempel waktu digital pada waktu ditanda tangani. Dengan pembubuhan stempel waktu, maka tanda tangan digital ini dapat berlaku sampai berakhirnya masa berlaku tanda tangan digital. Apabila masing-masing pihak memegang salinan dari stempel waktu tersebut, maka masing-masing dapat membuktikan bahwa kontrak tersebut ditanda tangani dengan kunci yang sah. Pada prakteknya stempel waktu ini dapat menjadi bukti keabsahan kontrak meskipun salah satu kunci dari penanda tangan mengalami perubahan setelah penandatanganan kontrak itu. Setiap kontrak yang ditanda tangani secara digital dapat dibubuhi stempel waktu, untuk menjamin bahwa tanda tangan digital yang dibubuhkan dikontrak itu dapat diverifikasi setelah kunci masing-masing penanda tangan habis masa berlakunya. 4. Perbuatan Yang Dilarang Perbuatan yang dilarang berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 sampai 37 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 adalah sebagai berikut : Pasal 27 : (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. (3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
121 (4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Pasal 28 : (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Pasal 29 : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Pasal 30 : (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. (3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan. Pasal 31 : (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik
122 dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan. (3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 32 : (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak. (3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya. Pasal 33 : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya Sistem
123 Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya. Pasal 34 : (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki: a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33; b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum. Pasal 35 : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik. Pasal 36 : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain. Pasal 37 : Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
124
5. Penyelesaian Sengketa Apabila ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dari adanya penyelenggaraan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi, maka dapat dilakukan upaya-upaya sesuai dengan Pasal 38-39 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagai berikut : Pasal 38 : (1) Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian. (2) Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan. Pasal 39 : (1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 6. Penyidikan Dalam hal hukum acara yang digunakan menurut UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tercantum dalam Pasal 42 sampai 44, sebagai berikut : Pasal 42 : Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 43 :
125 (1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. (2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat. (4) Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum. (5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini; b. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar dan/atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang terkait dengan ketentuan Undang-Undang ini; c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana berdasarkan ketentuan UndangUndang ini; d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan Usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana berdasarkan UndangUndang ini; e. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga
126 digunakan untuk melakukan tindak pidana berdasarkan UndangUndang ini; f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang- Undang ini; g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan Peraturan Perundangundangan; h. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini; dan/atau i. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku. (6) Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam. (7) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasilnya kepada penuntut umum. (8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat berkerja sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti. Pasal 44 : Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundangundangan; dan b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
127
E. Kesimpulan 1. Bahwa hukum pembuktian secara umum menurut hukum acara di Indonesia, khususnya menyangkut hukum acara pidana, telah diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP, diantaranya adalah : - Keterangan saksi, - Keterangan ahli, - Surat - Petunjuk, dan - Keterangan Terdakwa. Kemudian di dalam pasal 183 KUHAP menegaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Jadi sebelum adanya cukup bukti atas tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka maka hakim tidak diperkenankan untuk mengadili yang bersangkutan. Inilah beberapa kelemahan yang ada di dalam penegakan hukum jika terjadi kejahatan melalui komputer, sehubungan tidak mudahnya melakukan pembuktian. b. Hukum Pembuktian Dalam Delik Komputer Menurut UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik telah memberikan batasan mengenai alat bukti elektronik yaitu meliputi : i. perangkat keras sistem komputer atau jaringan komputer peralatan lain yang tersambung ke komputer, ii. perangkat lunak yang dapat berupa sistem operasi, sistem data base, dan atau iii. sistem aplikasi yang tersimpan atau terpasang dalam sistem komputer atau jaringan komputer. Kemudian menyangkut alat bukti ini, dalam kejahatan melalui komputer selain alat bukti yang sudah diatur dalam pasal 184
128 KUHAP, catatan elektronik yang tersimpan dalam sistem komputer dapat dijadikan alat bukti yang sah. Catatan elektronik tersebut yang akan dijadikan alat bukti sah di pengadilan dan harus dikumpulkan oleh penyidik dengan mengikuti prosedur sesuai ketentuan yang berlaku. Sedangkan alat bukti elektronik, khususnya yang berwujud perangkat lunak diperoleh dengan cara penggandaan dari lokasi asalnya dengan cara tertentu tanpa merusak struktur logika program. F. Daftar Pustaka Arrianto Mukti Wibowo, 1997. Studi Perbandingan Sistem-sistem Perdagangan di Internet dan Desain Protokol Cek Bilyet Digital, Penelitian, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia, Jakarta. Asril Sitompul, 2001. Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Ceberspace, Citra Aditya Bakti, Bandung. Budi Agus Riswandi, 2012. Permasalahan Penanganan Pelanggaran Hak Cipta Di Internet, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 18, Jakarta, Maret 2012. Darmawan Prints, 1989. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Djambatan, Jakarta. Martiman Prodjohamidjojo, 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, Mandar Maju, Bandung. Munir Fuady, 2002. Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern Di Era Global, Citra Aditya, Bandung. Rapin Mudiardjo, 2012. Data Elektronik Sebagai Alat Bukti Masih Dipertanyakan, Hukumonline.com, tanggal 8 Juli 2012 Roy Suryo, 2012. Mendesak, CyberLaw Untuk Indonesia, Harian Kompas, 17 Juli 2012. Soesilo, 1996. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentarkomentarnya, Politeia, Bogor. Yahya Harahap, 1993. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I, Pustaka Kartini, Jakarta.
129 _______, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Karya Anda, Surabaya. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. _______, Komputekonline.com, Pembobol Kartu Kredit Sulit di Sidang, Jakarta, April 2012.
130 HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DENGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAKSANAAN PROGRAM/KEGIATAN ALOKASI DANA CUKAI HASIL TEMBAKAU
Insana Meliya Dwi Cipta Aprila Sari, SH., MH. Fakultas Hukum Universitas Madura Jln. Raya Panglegur KM. 3,5 Pamekasan Madura Jatim Abstract Implementation of The allocation of Profit-Sharing Fund of Tobacco-Product Duty (DBH-CHT) policy is a concurrent governmental affair. To some extent, it is mutually carried out by central government and local government. However, there are some components that exclusively become the authority of central government whereas the other ones are under the authority of provincial/regency/town government. Governmental affairs under the authority of provincial and regency/town governments are based on the principles of externality, accountability, and efficiency. Such affairs consist of compulsory and optional ones. Key words: Profit-Sharing Fund of Tobacco-Product Duty (DBH-CHT), concurrent governmental affair, the authority of central government, the authority of provincial/regency/town government.
A. Pendahuluan Cukai merupakan pungutan negara yang di APBN masuk dalam golongan pendapatan pajak dalam negeri. Cukai termasuk golongan pajak pusat yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam pelaksanaannya dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Lembaga administrasi pajak yang tugasnya melaksanakan
131 pengelolaan terhadap pajak pusat seperti bea masuk, bea keluar, dan cukai. DJBC melaksanakan pemungutan pajak berdasarkan hukum pajak formal yaitu UU.No.10/1995 tentang Kepabeanan yang kemudian diubah dengan UU.No.17/2006 dan untuk Cukai berdasarkan Undangundang Nomor 11 Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan Undangundang Nomor 39 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 Tentang Cukai (Sugianto, 2008:4). Kebijakan dalam mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor cukai baik melalui kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi cukai; merupakan upaya yang lebih menekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah. Hal ini karena Cukai khususnya Cukai Hasil Tembakau (CHT) merupakan salah satu sumber pendapatan negara (pajak dalam negeri), maka pemerintah melalui kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi cukai berupaya agar penerimaan negara dari cukai mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pendapatan cukai negara mendanai belanja/pengeluaran negara dalam pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah pusat atas alokasi dana CHT ke daerah disamping meningkatkan penerimaan dari sektor CHT sekaligus mengatasi dampak rokok terhadap kesehatan; seperti adanya beberapa program dan kegiatan yang diagendakan dalam kebijakan tersebut. Menurut pasal 66A (Ayat 1)UU No.39/2007; bahwa alokasi dana CHT untuk mendanai kegiatan: peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan dibidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal. Berikut ini akan dibahas mengenai hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam pelaksanaan program/kegiatan alokasi dana cukai hasil tembakau. B. Penyelenggaraan Cukai Di Tinjau Dari Pembagian Urusan Pemerintahan Kebijakan pemerintah Tahun Anggaran (TA) 2008 mengalokasikan 2% dari pendapatan CHT yang dibuat di Indonesia, dialokasikan kedaerah provinsi, kabupaten/kota penghasil CHT, untuk melaksanakan penugasan dari pemerintah antara lain: mengurangi cukai palsu/cukai
132 ilegal, sosialisasi peraturan di bidang cukai, dan pemetaan industri rokok melalui beberapa program/dan kegiatan dari pasal 66A (Ayat 1) UU No.39/2007 tersebut diatas. DBH-CHT adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN, tepatnya adalah penerimaan negara dari CHT yang dibuat di Indonesia; dibagikan kepada provinsi penghasil CHT sebesar 2% (dua persen); (kemudian Th 2010 meliputi juga provinsi penghasil tembakau); membantu daerah-daerah tersebut melaksanakan kebijakan pemerintah pusat, guna meningkatkan penerimaan negara dari sektor CHT serta mengatasi dampak rokok terhadap kesehatan. DBH-CHT merupakan bentuk kebijakan pemerintah dalam mengelola anggaran belanja negara; dengan cara mengalokasikan sebagian dari pendapatan negara dalam bentuk anggaran transfer ke daerah. Hal ini dilakukan mengingat berfluktuasinya penerimaan negara dari sektor migas maka diperlukan upaya peningkatan dana yang berasal dari pajak dalam negeri, khususnya dalam hal ini penerimaan dari cukai. Dengan uraian tersebut kebijakan dibidang cukai merupakan salah satu bentuk kebijakan fiskal (kebijakan ekonomi); karena memenuhi instrumen kebijakan fiskal yaitu penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak mengarahkan kondisi perekonomian menjadi lebih baik dengan jalan ”mengubah” penerimaan dan pengeluaran pemerintah agar kondusif mendanai pembangunan. Dengan demikian cukai masuk dalam lingkup fiskal; Pasal 10 (Ayat 3) UU. N0.32/2004; fiskal merupakan salah satu urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat; maka dalam menyelenggarakannya, pemerintah pusat dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah. Dalam menyelenggarakan pemerintahan, presiden dibantu oleh menteri-menteri. Menteri yang membidangi urusan fiskal adalah menteri keuangan yang memimpin departemen keuangan, berada dibawah dan bertanggungjawab kepada presiden.
133 Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas antara lain: a) Menyusun rancangan APBN dan rancangan perubahan APBN; b) Melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang; c) Mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran.(Lihat Pasal 8 UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara) Dalam peraturan menteri keuangan No.100/PMK.01/2008 departemen keuangan mempunyai tugas membantu presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan dibidang keuangan dan kekayaan negara meliputi:kegiatan dan usaha-usaha menghimpun, mengalokasikan, mengarahkan dan menggerakkan dana, serta membina kekayaan negara dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan umum dibidang fiskal serta kebijaksanaan neraca pembayaran. Departemen keuangan sebagai pengelola keuangan dan kekayaan negara membagi kebijakan fiskal dalam Lima bidang utama yaitu: pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan negara, kekayaan negara dan sistem pengelolaan keuangan negara. Kewenangan pemerintah pusat dalam pelaksanaan DBH-CHT melibatkan beberapa ditjen dari Depkeu antara lain adalah Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK), dan Ditjen Perbendaharaan (DJP), sebenarnya masih ada beberapa direktorat dari Depkeu yang sedikit banyak juga berperan dalam merealisasikan kebijakan pemerintah ini, tapi karena keterbatasan waktu maka pembahasan hanya sebatas Tiga direktorat tersebut. DJBC kementerian keuangan bertugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis dibidang kepabeanan dan cukai berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh menteri keuangan (berdasarkan peraturan perundangan). Dalam DJBC terdapat beberapa direktorat yang khusus membidangi masalah cukai (Peraturan Menteri keuangan No. 100/PMK.01/2008). Seperti dikemukakan diatas bahwa departemen keuangan termasuk Tipe Holding Company; untuk Tipe Departemen yang demikian maka penyelenggara tugas dan fungsi departemen didaerah dilaksanakan oleh
134 Kantor Wilayah Direktorat Jenderal. Dalam Perpres No.22/2007 dan PMK No.68.PMK.01/2007 tentang organisasi dan tata kerja instansi vertikal Ditjen Bea & Cukai, disebutkan bahwa Kantor wilayah DJBC merupakan salah satu instansi vertikal dari DJBC. Semakin memperjelas bahwa penyelenggaraan cukai di daerah telah terjadi pelimpahan wewenang pemerintahan dari pemerintah pusat (DJBC) kepada instansi vertikal di daerah; Asas dekonsentrasi. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal diwilayah tertentu (Ketentuan Umum Pasal 1 no.8 UU.No.32/2004). Selanjutnya Pasal 228 (Ayat 1) bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 (Ayat 3) UU.No.32/2004 (termasuk diantaranya adalah Fiskal); yang didekonsentrasikan, dilaksanakan oleh instansi vertikal didaerah. Kemudian pasal 11 Peraturan pemerintah No.7/2008 yang diantara ketentuannya membahas penyelenggaraan dekonsentrasi; bahwa pelimpahan sebagian urusan pemerintahan dapat dilakukan kepada gubernur, selain dilimpahkan kepada gubernur sebagian urusan pemerintahan dapat pula dilimpahkan kepada:a) instansi vertikal; b) pejabat pemerintah di daerah. Sesuai Perpres No.22/2007 Instansi Vertikal Ditjen Bea & Cukai terdiri dari: (a)Kantor Wilayah DJBC; (b)Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai; (c)Kantor pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai. Instansi Vertikal departemen keuangan yang menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi Ditjen Bea & Cukai di Jawa Timur adalah: 1)Kantor Wilayah XI DJBC Jatim I yang berlokasi di Tanjung Perak Surabaya (Kepabeanan-ekspor impor; 2)Kantor Wilayah XII DJBC Jatim II yang berlokasi di Malang (urusan Cukai); 3)Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai/KPPBC (Tipe madya) yang berlokasi di Malang; 4)Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai/KPPBC yang berlokasi di Juanda Km 3-4 sda Surabaya (Cukai). Instansi vertikal departemen adalah perangkat departemen sebagai penyelenggara tugas pokok dan fungsi departemen di daerah/wilayah
135 yang mengurus urusan pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah, dalam wilayah tertentu dalam rangka dekonsentrasi. Instansi Vertikal yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di provinsi dan kabupaten/kota wajib: (Peraturan Pemerintah RI No.7/2008) a. berkoordinasi dengan gubernur atau bupati/walikota dan instansi terkait dalam perencanaan, pendanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan, sesuai dengan norma, standar, pedoman, arahan, dan kebijakan pemerintah yang diselaraskan dengan perencanaan tata ruang dan program pembangunan daerah serta kebijakan pemerintah daerah lainnya; b. memberikan saran kepada menteri/pimpinan lembaga dan gubernur atau bupati/walikota berkenaan dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilimpahkan. C. Pembahasan Pasal 66A UU.No.39/2007 bahwa penerimaan negara dari CHT yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil CHT sebesar 2% yang kemudian disebut dengan DBH-CHT yang pertama kali dialokasikan pada TA 2008. Kebijakan pemerintah ini dilakukan karena penerimaan cukai dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan yang signifikan, terutama CHT. Tahun anggaran 2008 kontribusi cukai terhadap penerimaan perpajakan (Pajak Dalam Negeri) sebesar Rp 44.426.530.000.000,- (empat puluh empat triliun empat ratus dua puluh enam milliar lima ratus tiga puluh juta) dan sumbangan CHT terhadap penerimaan cukai secara keseluruhan sebesar 98% lebih yakni mencapai Rp 43.571.000.000.000,-. Begitu pula di APBN TA2009 (UU.No.41/2008); penerimaan negara dari pendapatan cukai naik dibandingkan Th 2008 menjadi Rp49.494.700.000.000,- dan CHT menyumbang Rp 48.240.100.000.000,- Kemudian APBN TA2010 (UU.No.47/2009) pendapatan cukai mencapai Rp57.289.169.000.000,dari jumlah tersebut Rp 55.926.553.000.000,- berasal dari pendapatan Cukai hasil tembakau.
136 Hasil memuaskan (peningkatan signifikan dari tahun ke tahun) pendapatan cukai ini berkat kerjasama/partisipasi dari berbagai pihak, tentunya tidak lepas dari hasil kinerja Ditjen Bea & Cukai (DJBC), Instansi Vertikal DJBC serta UPT (Unit Pelaksana Teknis) di daerah (sebagai Unit Pelaksana Tugas Teknis penunjang Direktorat Jenderal/badan (Peraturan Menteri Keuangan No.100/PMK.01/2008, Pasal 2127). Dalam Ditjen Bea & Cukai terdapat UPT yakni: 1) Pangkalan Sarana Operasi Bea & Cukai; 2) Balai Pengujian dan Identifikasi barang. Dalam pelaksanaan DBH CHT Ditjen Bea dan Cukai mempunyai peran hanya sebagai pemberi data tentang kontribusi dari masingmasing daerah provinsi penghasil CHT terhadap penerimaan negara dari sektor cukai, dan menjadi salah satu dasar dalam penentuan jumlah DBH CHT yang akan dialokasikan ke masing-masing daerah penghasil CHT; kemudian dilanjutkan TA2010 yang pengalokasiannya lebih diperluas lagi, yaitu selain untuk daerah penghasil CHT juga untuk daerah penghasil Tembakau; mengingat putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan pengujian/constitutional review Gubernur NTB H.M Zainul Majdi terhadap Pasal 66A UU.No.39/2007. Mahkamah Konstitusi memutuskan, alokasi DBH CHT tidak hanya untuk daerah penghasil CHT saja tetapi juga untuk daerah penghasil tembakau; pengalokasian DBH CHT untuk provinsi penghasil tembakau tersebut harus dipenuhi paling lambat mulai TA 2010 dengan porsi pembagian tetap seperti semula sebesar 2% dari pendapatan CHT yang dibuat di Indonesia. Provinsi Jawa Timur dijadikan sebagai objek penelitian karena TA 2008, 2009, 2010, dan 2011 total alokasi dana CHT untuk provinsi ini merupakan yang terbesar dibandingkan dana yang dilokasikan ke daerah penghasil CHT/penghasil tembakau lainnya; yaitu TA`2008 sejumlah Rp135.849.855.000,-, TA2009 sebesar Rp599.357.180.000,00 (meningkat signifikan dibandingkan Th 2008), TA 2010 sebesar Rp 613.451.367.661,- dan TA2011 sebesar Rp 618.750.828.561,-dana tersebut kemudian dialokasikan kepada provinsi/kabupaten/kota di Jawa Timur. Ada 5 daerah yang mendapat alokasi dana CHT(Th.2008) dan
137 DBH-CHT Th.2009 yaitu Provinsi Sumatra Utara, Jabar, Jateng, Jatim, dan D.I.Yogyakarta (sebagai daerah penghasil CHT). Kemudian Th 2010 menjadi 19 daerah dan Th 2011 menjadi 20 daerah yang mendapat alokasi DBH-CHT (meliputi daerah penghasil tembakau dan penghasil CHT) (Permenkeu No.66/PMK.07/2010 dan Permenkeu No.33/PMK.07/2011). Selanjutnya gubernur berwenang mengatur pembagian DBH-CHT tersebut kepada kabupaten/kota yang ada diwilayahnya. Berikut ini mekanisme hubungan kewenangan dalam pelaksanaan kebijakan DBH-CHT Peran Ditjen Bea & Cukai (DJBC) dalam Pelaksanaan Program/kegiatan DBH-CHT; misalnya: Dalam mekanisme penetapan alokasi DBH-CHT per daerah; (a)DJBC memberikan data perkiraan CHT per provinsi dan data perkiraan DBH CHT per provinsi; (b)DJBC mengirim surat kepada Kantor Wilayah DJBC; menindaklanjuti surat dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) tentang permohonan agar DJBC mengizinkan Kantor Wilayah DJBC memberikan data perkiraan CHT per Kabupaten/kota; (c)Kantor wilayah DJBC (Kw CJBC) mengirimkan surat mengenai data perkiraan CHT per kabupaten/kota kepada gubernur daerah penghasil CHT; selanjutnya data perkiraan tersebut menjadi dasar bagi gubernur untuk mengatur dan menetapkan pembagian DBH-CHT per provinsi/kabupaten/kota; namun jika sampai deadline Kw DJBC dalam hal ini Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai belum menyampaikan data perkiraan CHT per daerah maka menjadi kewenangan gubernur untuk membagi DBH-CHT per daerah. Gubernur mengelola dan menggunakan DBH-CHT dan mengatur pembagian DBH-CHT kepada bupati/walikota didaerahnya masingmasing berdasarkan besaran kontribusi terhadap penerimaan CHTnya. Ayat selanjutnya menyatakan bahwa Pembagian DBH-CHT tersebut dilakukan dengan persetujuan Menteri Keuangan RI; dengan komposisi 30% untuk provinsi penghasil, 40% untuk kabupaten/kota daerah penghasil, dan 30% untuk kabupaten/kota
138 lainnya. (Lihat Pasal 66A (Ayat 3 dan 4 ) UU. No.39/2007 tentang Perubahan atas UU.No.11/1995 tentang Cukai) Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.100/PMK.01/2008 bertugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh menteri keuangan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Alokasi dana CHT TA 2008 dianggarkan dalam belanja negara pada kelompok dana penyesuaian; sedangkan DBH-CHT mulai Th 2009, 2010, 2011dianggarkan di APBN sebagai bagian dari dana perimbangan; masuk dalam komponen dana bagi hasil. DBH-CHT di APBN TA 2009(UU.No.41/2008) sebesar Rp964.802.000.000,-. DBH-CHT pada APBN TA2010 (UU.No.47/2009)sebesar Rp1.118.531.100.000,- kemudian DBH-CHT di APBN TA2011(UU.No.10/2010) sebesar Rp1.201.357.960.000,00. DBH-CHT masuk dalam kebijakan dan standardisasi yang perumusan dan pelaksanaannya terkait dengan tugas dan fungsi DJPK). Sesuai dengan PMK No.100/PMK.01/2008 DJPK menjalankan fungsi antara lain; 1)Perannya dalam merumuskan kebijakan dibidang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah; 2)Menjalankan tugastugas terkait dengan pelaksanaan kebijakan dibidang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah; 3)Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur dibidang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah; 4)Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi dibidang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Peran Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) dalam pelaksanaan DBH CHT; antara lain: Mekanisme Penetapan Alokasi DBH CHT; a) DJPK menerima data CHT & DBH CHT per provinsi dari DJBC; b) Selanjutnya DJPK menindaklanjuti dengan mengirim surat pemberitahuan mengenai DBH CHT kepada provinsi penghasil CHT melalui gubernur; c) DJPK mengirimkan surat ke DJBC yang isinya mengajukan surat permohonan agar DJBC mengizinkan kantor wilayah DJBC memberikan data perkiraan tentang CHT per
139 kabupaten/kota kepada gubernur yang ada diwilayahnya; d) Kanwil DJBC mengirimkan surat perkiraan CHT per kabupaten/kota kepada gubernur daerah penghasil CHT; e) Gubernur mengeluarkan peraturan kebijakan berupa peraturan gubernur tentang pembagian DBH-CHT untuk provinsi/kabupaten/kota yang ada diwilayahnya kemudian dikirimkan kepada DJPK; f)DJPK atas nama menteri keuangan menerbitkan peraturan kebijaksanaan berupa permenkeu tentang alokasi dana CHT TA dan dilampiri dengan penetapan menteri keuangan mengenai alokasi dana CHT untuk provinsi/kabupaten/kota; representasi dari persetujuan menkeu atas pembagian DBH-CHT kepada provinsi/kabupaten/kota yang sebelumnya ditetapkan dalam peraturan gubernur. DJPK menyampaikan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur dalam pelaksanaan DBH CHT; contohnya yang diselenggarakan di Surabaya, 23 Desember 2008 dalam Rapat Pembahasan Pembagian & Program Kerja DBH-CHT. Selanjutnya peran Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJP) mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis dibidang Perbendaharaan Negara sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Peraturan Menteri Keuangan No.100/PMK.01/2008). Dalam pelaksanaan DBH CHT peran Ditjen Perbendaharaan antara lain tampak dalam mekanisme pelaksanaan anggaran Transfer Ke daerah; yaitu berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu), Dirjen Perimbangan Keuangan menerbitkan DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) alokasi dana CHT, DIPA kemudian disampaikan kepada Dirjen Perbendaharaan untuk mendapatkan pengesahan (Peraturan Menteri Keuangan No.60/PMK.07/2008, Ps. 6 (Ayat 1 & 2).
140 Pengesahan atas DIPA tersebut merupakan dasar pelaksanaan anggaran transfer ke daerah. Selain itu dalam Pasal 9 Permenkeu No.21/PMK.07/2009 mengatur bahwa DJP memberikan pengesahan atas penetapan perubahan/revisi DIPA yang telah dilakukan oleh DJPK atas nama menteri keuangan. Perubahan atau revisi DIPA yang telah mendapatkan pengesahan tersebut merupakan dasar pelaksanaan Anggaran Transfer Kedaerah. Peran Ditjen Perbendaharaan dalam pelaksanaan alokasi dana CHT dapat dilihat di Pasal 6 Permenkeu No.60/PMK.07/2008.
D. Pelaksanaan Program & Kegiatan Dana Bagi Hasil (DBH) Cukai Hasil Tembakau (CHT) Di Daerah, Di Tinjau Dari Pembagian Urusan Pemerintahan Usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah, maka pemda provinsi, kabupaten/kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi. Dalam pelaksanaan program/kegiatan DBH-CHT; sebagai urusan pemerintahan yang kewenangan pengurusannya diserahkan kepada pemda penghasil CHT; kemudian TA 2010 selain daerah penghasil CHT dana tersebut dialokasikan juga pada daerah penghasil tembakau; dalam hal ini pemerintah memberikan kewenangan seluasluasnya kepada pemda tersebut (prinsip otonomi seluas-luasnya) untuk mengurus dan mengatur urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya; oleh sebab itu dilakukan pembagian kewenangan yang didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi, sehingga masing-masing tingkat pemerintahan bisa mengetahui hak dan kewajibannya. Selain itu dilaksanakan prinsip otonomi nyata; bahwa pemerintah provinsi, kabupaten/kota penghasil CHT yang mendapat alokasi dana CHT wajib melaksanakan ke-5 program/kegiatan yang ditetapkan dalam Pasal 66A (Ayat 1) UU.No.39/2007 berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada (pengaturannya
141 telah ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaan) dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah; dalam hal ini Pemda harus menjabarkan lima (5) kegiatan utama dari penggunaan DBH CHT tersebut menjadi kegiatan yang lebih teknis sesuai dengan kebutuhan/prioritas masing-masing daerah; sebelum tahun anggaran berjalan Bupati/Walikota dan Gubernur diwajibkan membuat dan menyampaikan rancangan program/kegiatan dan penganggaran DBH-CHT; dengan demikian program/kegiatan yang dilaksanakan akan lebih sesuai dengan prioritas dan karakteristik daerah masing-masing. Jean Blondel menyatakan: No goverment, even the most authoritarium, can ever take all public decisions at the centre. Some power has therefore to be given to authorities below the national level to take the decisions which the centre cannot take from this general remark emerges the idea of decentralisation, an idea which can of course take many forms and vary markedly in extent. (“Tak ada satupun pemerintahan, bahkan yang paling otoriter sekalipun, yang mampu mengambil semua keputusan publik dipusat. Karena itu sebagian kekuasaan harus diberikan kepada para penguasa dibawah level pemerintahan nasional guna mengambil keputusan-keputusan yang tidak bisa diambil oleh pemerintah pusat. Dari pernyataan umum inilah kemudian muncul gagasan desentralisasi, sebuah gagasan yang bisa mempunyai beragam bentuk dan sangat bervariasi tingkatannya”) Jadi kekuasaan atau kewenangan harus dibagi-bagi atau diserahkan kepada pemerintahan pada level pemerintahan daerah (Jean Blondel, Comparative Government and Introduction, 1990). Prinsip-prinsip tersebut diatas wujud dari adanya desentralisasi kekuasaan politik, antara lain pertama, (Svetlana Tsalik, Yogyakarta : IRE Press, 2003:156) dapat membantu mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan demokrasi warga negara. Kedua, meningkatkan akuntabilitas dan responsivitas terhadap berbagai kepentingan dan urusan lokal. Ketiga, desentralisasi memberikan semacam saluran akses tambahan pada kekuasaan terhadap kelompok-kelompok yang secara historis marginal.
142 Intinya Reformasi demokrasi negara-negara bangsa melalui pengembangan desentralisasi politik atau pemerintahan (politic or government decentralization), akan berdampak positif terhadap penguatan demokrasi. Program/kegiatan DBH-CHT dari masing-masing provinsi, kabupaten/kota penghasil CHT berbeda antara satu dengan yang lain, karena tiap-tiap daerah memiliki karakteristik; misal ada provinsi, kabupaten/kota yang memiliki banyak pekerja/buruh pabrik rokoknya, sebaliknya lahan tanam tembakau tidak ada. Beda dengan daerah lain yang justru banyak petani tembakaunya, karena kondisi tanah dan iklim yang cocok untuk tanam tembakau. Selain itu penjelasan/alasan tentang perlunya pengadaan barang/peralatan sehubungan dengan pelaksanaan program/kegiatan, ditetapkan dengan peraturan gubernur/bupati/walikota; dengan demikian akan lebih memudahkan/mempercepat daerah dalam usaha pengadaan barang/peralatan yang dinilai urgen untuk segera direalisasikan untuk efektivitas pelaksanaan program/kegiatan DBH CHT. Serta prinsip otonomi yang bertanggungjawab; bahwa pengalokasian dana CHT, mewajibkan pemda penghasil CHT membuat program/kegiatan yang sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yaitu memberdayakan daerah meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai bagian utama dari tujuan nasional, bahwa program/kegiatan alokasi dana CHT (AD-CHT) yang dibuat provinsi, kabupaten/kota, harus disertai dengan kajian bersama antara pihak-pihak terkait. Perancangan awal dari program/kegiatannya dibuat oleh SKPD-SKPD yang memiliki tugas dan fungsi sesuai dengan lima kegiatan utama. Biro/bagian perekonomian (membentuk Tim yang terdiri dari dinas-dinas pemda terkait) seperti: Disnaker, Disbun, Dinkes, Dinas Lingkungan Hidup, Disperindag. Diantara 5 kegiatan utama dana alokasi CHT (peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan dibidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal), terdapat 1 kegiatan yang membutuhkan adanya koordinasi dengan instansi diluar pemerintah daerah, yaitu kegiatan sosialisasi ketentuan dibidang cukai dan/atau pemberantasan barang
143 kena cukai ilegal; dalam pelaksanaannya pemda dalam hal ini Disperindag membutuhkan adanya koordinasi dengan Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea & Cukai (KPPBC) setempat, (yang merupakan Instansi Vertikal dari Ditjen Bea & Cukai). Tim bentukan Biro/bagian perekonomian membuat program/kegiatan AD-CHT sebagai penjabaran dari 5 kegiatan utama (yang limitatif ada dalam UU.No.39/2007 dan PMK No.84/2008). Untuk mencapai tujuan tersebut Tahun 2009 pemerintah melalui Ditjen Perimbangan Keuangan memberikan sosialisasi mengenai kebijakan DBH-CHT; melalui rapat pembahasan pembagian dan program kerja DBH CHT TA 2009 (di Surabaya, 23-12-2008). Sehubungan dengan hal tersebut Ditjen Perimbangan Keuangan menyarankan agar pemda (penghasil CHT) membentuk Bank Kegiatan. Pendekatan politik menekankan pentingnya desentralisasi terhadap demokrasi, termasuk demokrasi partisipatoris ditingkat lokal. Desentralisasi menyediakan mekanisme yang memungkinkan tersalurkannya aspirasi politik masyarakat. Danny Burns et.al. mengajukan beberapa pendekatan umum untuk memperbaiki demokratisasi di tingkat lokal antara lain melibatkan masyarakat pada proses-proses politik secara langsung (Muhammad Asfar, 2001: 208209). Misalnya mekanisme dalam pemilihan kebijakan publik, bahwa desentralisasi partisipasi dalam pembuatan kebijakan publik dan kontrol terhadap pemerintah daerah bisa dilakukan masyarakat baik secara individual dan kelompok di luar pemerintah (civil society/masyarakat sipil). Mekanismenya misalnya melalui pertemuan-pertemuan dengan pemerintah daerah, keterlibatan langsung masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan publik (George A. Boyne, 1998: 62-66). Pelaksanaan program & kegiatan alokasi dana CHT/DBH-CHT yang kewenangan pengurusannya diserahkan kepada pemda, memberikan semacam saluran akses tambahan pada kekuasaan terhadap kelompok-kelompok yang secara historis marginal (seperti buruh rokok, petani tembakau), sehingga apa dan bagaimana yang diinginkan oleh mereka bisa diakomodir. Program/kegiatan AD-CHT
144 dirancang dan siap dibahas/dikaji oleh SKPD/dinas daerah terkait bersama dengan pelaku usaha; pengusaha, pekerja disektor rokok dan tembakau, petani tembakau, dan oganisasi masyarakat (Asosiasi Petani Tembakau yang ada di daerah, Asosiasi pengusaha Rokok),dll. Jadi ada pelibatan masyarakat pada proses pemilihan/pembuatan kebijakan DBH-CHT. Setelah disepakati oleh berbagai pihak, hasil kesepakatan tersebut menjadi semacam Bank Kegiatan (bila perlu dituangkan dalam berita acara kesepakatan) agar timbul komitmen masing-masing pihak untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang telah disepakati. Hal ini menunjukkan adanya sisi akuntabilitas dan responsivitas terhadap berbagai kepentingan dan urusan lokal. Regulasi desentralisasi atau otonomi daerah secara optimistik dipercaya beberapa kalangan akademisi sosial-politik dapat memperdalam demokratisasi politik di tingkat lokal. Regulasi desentralisasi atau otonomi daerah adalah demokratis (Sri Djoharwinarlien, 2003: 124 ). Dasar argumentasinya, antara lain regulasi otonomi daerah dapat menumbuhkan tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap proses pembuatan kebijakan dan dapat memperkuat akuntabilitas publik, sehingga masyarakat yakin bahwa kepentingannya tidak diabaikan. (Rasyid, 2003:64; Nasution et.al (ed.,), 2000: 82-83). Penyelenggaraan otoda harus berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat, oleh sebab itu seperti dijelaskan diatas, program/kegiatan alokasi CHT harus disesuaikan dengan kebutuhan, prioritas, dan ketersediaan anggaran untuk didanai dari APBD. Setiap tahun gubernur, bupati/walikota (dalam bentuk keputusan kepala daerah) menetapkan sebagian program/kegiatan ADCHT yang telah disepakati tersebut. Penyelenggaraan otoda harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah yang lainnya; artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah, misalnya daerah yang besar hasil tanaman tembakaunya dari pada industri tembakau maka menjalin
145 kerjasama; dengan daerah yang memiliki industri tembakau, misal Pemkab Pamekasan (sebagai daerah penghasil tembakau) bekerjasama dengan Pemkot Surabaya (dalam hal ini Disperindag) kedua pihak tersebut menfasilitasi dan mengatur regulasinya; untuk kerjasama yang saling menguntungkan antara petani Pamekasan dengan industri tembakau (pabrik rokok) dikota Surabaya, seperti PT. Sampoerna, PT Wismilak. Pemkab Pamekasan juga menjalin kerjasama dengan pemkab Kudus Jateng, dikota tersebut terdapat pabrik rokok PT DJarum Kudus. Setiap tahun perusahaan Djarum membeli tembakau madura (Pamekasan dan Sumenep), Th 2008 s/d Th 2009 untuk Pamekasan pembelian PT Djarum minimal 3.500 ton - 4000 ton. Sedangkan harga beli selalu diatas Break Event Point (BEP) petani, misal harga pembelian ada yang Rp 24 Ribu hingga 36 Ribu. Ini mengindikasikan bahwa kerjasama antardaerah penting dilakukan agar bersinergi menghasilkan/meningkatkan kapasitas daerah, mengingat masingmasing daerah memiliki potensi, kondisi, dan kekhasan yang berbeda. Harapan Pemkab Pamekasan; pabrikan tetap konsisten dengan pembelian. Sebaliknya pemkab akan berupaya menjaga agar mutu tembakau tetap terjaga; (memberikan arahan agar petani tidak menanam didaerah “terlarang” seperti daerah pantai dan daerah persawahan. Sebab kalau klor terlalu tinggi akan mempengaruhi mutu dan kualitas; tembakau termasuk jenis tanaman tahunan yaitu tanaman yang dipanen hanya setahun sekali; oleh sebab itu tembakau tergolong dalam kelompok tanaman perkebunan. Pemkab Pamekasan dalam hal ini dinas perkebunan akan mengkomunikasikan dengan petani melalui Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) mengenai apa yang menjadi keinginan dari pengusaha industri rokok. Pemkab Pamekasan juga bekerjasama dengan pabrik rokok di Kudus jawatengah(PT. Nojorono dan PT Sukun); pihak direksi mengatakan bahwa perusahaannya akan lebih selektif dalam membeli tembakau, hal itu seiring dengan tren global tembakau yang juga mulai mengalami penurunan produksi. (Lihat Artikel Judul: DBHCHT ditinjau dari cukai rokok, kesehatan, dan industri rokok). Pasal 2 (Ayat 4) UU.No.32/2004 bahwa pemda dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan
146 pemerintah, dan dengan pemerintahan daerah lainnya; hubungan tersebut diantaranya adalah hubungan wewenang; yang dalam pelaksanaan kebijakan DBH-CHT direpresentasikan dalam wujud pembagian kewenangan antara pempus dengan pemda provinsi, kabupaten/kota, yang didasarkan pada kriteria yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Hubungan kewenangan tersebut menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan. Selanjutnya Ayat 7 menyatakan bahwa hubungan administrasi terjadi sebagai konsekuensi dari kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang merupakan satu kesatuan dalam penyelenggaraan sistem administrasi negara. Sedangkan hubungan kewilayahan terjadi sebagai konsekuensi dibentuk dan disusunnya daerah otonom yang diselenggarakan di wilayah NKRI; sehingga wilayah daerah merupakan satu kesatuan wilayah negara yang utuh dan bulat. Bertolak dari ketentuan tersebut diatas maka pembagian kewenangan dalam pelaksanaan kebijakan DBH-CHT membutuhkan: 1)Koordinasi antar pelaku pembangunan dalam pencapaian tujuan nasional; 2)Integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antara pusat dan daerah; 3)Keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; 4)Penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan; 5)Partisipasi masyarakat (Penjelasan UU.No.17/2007, Bagian Ketentuan Umum). Desentralisasi dapat meningkatkan demokrasi secara efektif, berkualitas, legitimate, dan stabil-terkonsolidasi. (Tsalik, 2003:154; Sorensen, 2003: 236; Goodin dan Klingemann,1996: 633). kebijakan DBH-CHT sejak perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga pengawasannya menerapkan konsolidasi antara pempus dengan pemda Prov/kota/kab. Hal ini sejalan dengan desentralisasi yang mensyaratkan adanya pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan daerah otonomi; pelaksanaan kebijakan DBH-CHT sebagai urusan pemerintahan yang bersifat Concurren; merupakan urusan pemerintahan yang pengurusannya pada bagian/bidang tertentu dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemda; sedangkan disisi yang lain ada bagian urusan yang menjadi kewenangan eksklusif
147 pemerintah, dan ada pula bagian urusan yang diserahkan kepada provinsi/kabupaten/kota (Bagian Penjelasan, Undang-undang No.32/2004). Hal pembagian kewenangan yang didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi tersebut; yaitu sebagai berikut: 1) Bagian tertentu dalam pelaksanaan program/kegiatan DBH-CHT yang dilaksanakan bersama antara pemerintah dengan pemda; misalnya dalam mekanisme pendistribusian DBH-CHT kepada provinsi penghasil CHT di lakukan melalui koordinasi antara pemerintah(Depkeu c.q Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen Perimbangan Keuangan) dengan Gubernur dan Kantor wilayah Ditjen Bea dan Cukai setempat. 2) Bagian urusan dalam pelaksanaan program/kegiatan DBH-CHT yang menjadi kewenangan pemerintah; misalnya: Menteri Keuangan harus mempertimbangkan & meneliti tentang keakuratan pembagian alokasi DBH-CHT tersebut apakah sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan sampai akhirnya menutuskan untuk menyetujui dan menetapkan alokasi DBH-CHT tersebut. Pemerintah dalam hal ini menteri keuangan/menkeu memberikan pedoman umum penggunaan DBH-CHT dan sanksi atas penyalahgunaan alokasi DBH-CHT. Dalam penyaluran DBH-CHT Menkeu selaku pengguna anggaran transfer kedaerah (Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan No.21/PMK.07/2009) mempunyai kewenangan atas pelaksanaan anggaran transfer kedaerah dengan cara menunjuk Dirjen Perimbangan Keuangan sebagai kuasa pengguna anggaran transfer ke daerah; yang kemudian akan melaksanakan kewenangan dari menkeu terkait dengan penyaluran DBH CHT tersebut. Upaya pembinaan atas pelaksanaan DBH-CHT didaerah dilaksanakan oleh pemerintah dan atau Gubernur selaku wakil pemerintah didaerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otoda; pembinaan meliputi: a)
148 Koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan; meliputi aspek perencanaan, dan evaluasi dalam pelaksanaan program/kegiatan DBH-CHT; b)Pemberian pedoman dan standar dalam pelaksanaan program/kegiatan DBH-CHT; yang mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan, tata laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian dan pengawasan; c)Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi; yang mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan, tata laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian dan pengawasan; d)Pemantauan dan Evaluasi atas laporan alokasi penggunaan anggaran yang dilakukan oleh Menkeu RI c.q Dirjen Perimbangan Keuangan (Pasal 13 (Ayat 1) Peraturan Menteri Keuangan No.84/PMK.07/2008), selanjutnya dikoordinasikan dengan Mendagri; karena tugas dan fungsi Mendagri yang diantaranya meliputi pemantauan dan evaluasi yang antara lain dilakukan terhadap kewenangan, kelembagaan, kepegawaian, keuangan, pengelolaan aset, LPND, DPRD, pelayanan publik, dan kebijakan daerah. (Ps. 14 & 17 Peraturan Pemerintah No.79/2005). 3) Bagian urusan dalam pelaksanaan program/kegiatan DBH-CHT yang diserahkan pada provinsi; misalnya: o Gubernur daerah penghasil CHT menetapkan alokasi DBH-CHT untuk provinsi/kabupaten/kota diwilayahnya. o Gubernur bertanggungjawabmengerakkan,mendorong, dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan prioritas dan karakteristik daerah masing-masing. Pada awal tahun gubernur membuat dan menyampaikan rancangan program & kegiatan DBH CHT dan penganggarannya. Program & kegiatan DBH CHT tersebut merupakan penjabaran dari Pasal 66A UU.No.39/2007, kemudian gubernur melakukan konsolidasi rancangan program & kegiatan dengan bupati/walikota. Selanjutnya hasil konsolidasi tersebut disampaikan kepada Menkeu c.q Dirjen Perimbangan
149 Keuangan dan Mendagri c.q Dirjen Bina Administrasi Keuangan daerah. (PMK. No.84/PMK.07/2008, Ps. 10 (Ayat 2) o Pengadaan barang dalam rangka pelaksanaan program/kegiatan DBH CHT, di Tk.Provinsi dilaksanakan dengan keputusan gubernur. Gubernur membuat laporan alokasi/penggunaan DBHCHT atas pelaksanaan program/kegiatan sebagai penjabaran dari lima kegiatan utama (Ps. 66A (Ayat 1) UU.No.39/2007 tentang Cukai). Program/kegiatan yang dibuat/dirancang oleh pemerintah provinsi penghasil CHT merupakan program/kegiatan yang disesuaikan dengan kondisi, prioritas atau kebutuhan daerah. Kemudian gubernur membuat laporan konsolidasi penggunaan DBH CHT/ alokasi dana CHT, untuk memantapkan atau memperkuat penganggaran atas penggunaan DBH CHT yang telah dibuat oleh gubernur, bupati/walikota. Laporan konsolidasi tersebut diserahkan setiap 6 bulan sekali; kepada MenKeu dan Mendagri (PMK. No.84/PMK.07/2008, Pasal 11 (Ayat 2) (Menkeu c.q Ditjen Perimbangan Keuangan dan Mendagri cq. Ditjen Bina Administrasi Keuangan Daerah). 4) Bagian urusan dalam pelaksanaan program DBH-CHT yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota; misalnya: a) Bupati/Walikota bertanggungjawab untuk menggerakkan, mendorong, dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan prioritas dan karakteristik daerah masing-masing; b) Bupati/Walikota membuat dan menyampaikan rancangan program kegiatan dan penganggaran DBH-CHT kepada gubernur sebelum tahun anggaran berjalan; c) Pengadaan barang dalam rangka pelaksanaan program/kegiatan DBH CHT, di Tk.Kab/kota dilaksanakan dengan keputusan Bupati/Walikota; d) Bupati/Walikota membuat laporan Alokasi Penggunaan Dana
150 atas pelaksanaan program/kegiatan sebagai penjabaran dari Lima kegiatan utama (Ps. 66 A (Ayat 1) UU.No39/2007), rancangan program dan kegiatan yang dibuat/dirancang oleh pemda kabupaten/kota penghasil CHT tersebut disesuaikan dengan prioritas dan karakteristik daerah masing-masing. Laporan tersebut dikirim setiap 6 bulan sekali kepada gubernur. Poin 3 dan 4 merupakan bentuk pertanggungjawaban desentralisasi dengan menggunakan mekanisme partisipatory. Sebagaimana konsep berikut ini; “UNDP mengkonseptualisasikan desentralisasi sebagai berikut: Desentralisasi sektor publik dengan sendirinya tidak akan dapat efektif mendukung penguatan pemerintah lokal, termasuk penguatan masyarakat pada sektor publik dan privat. Dan sebaliknya pencapaian good governance pada tingkat lokal tidak mungkin tercapai tanpa transfer tanggungjawab dan kapasitas melalui desentralisasi. Tema “desentralisasi pemerintahan” memberikan pengertian sistematik dan harmoni bahwa hubungan timbal balik melahirkan keseimbangan kekuasaan dan responsibilitas antara pempus dengan level pemerintahan lain dan aktor-aktor non pemerintah, dan kapasitas lembaga di tingkat lokal mempertanggung-jawabkan desentralisasi menggunakan mekanisme partisipatory” (Jr Arellano A. Colongon, 2003: 89). Hasil kesepakatan sejumlah stage holder dalam perancangan dan pembahasan Program/kegiatan AD-CHT dituangkan dalam bentuk semacam Bank Kegiatan (ada berita acara kesepakatan) sehingga timbul komitmen masing-masing pihak untuk melaksanakan sesuai dengan apa yang telah disepakati. Hal ini menunjukkan adanya sisi akuntabilitas dan responsivitas terhadap berbagai kepentingan dan urusan lokal. Diatas dinyatakan bahwa bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah dalam pelaksanaan prog/kegiatan DBH-CHT al: pemerintah dan gubernur melakukan pembinaan dalam bentuk bimbingan, supervisi, dan konsultasi yang mencakup antara lain: aspek
151 pemantauan dan evaluasi, yaitu: Pemda kabupaten/kota penghasil CHT dan penghasil tembakau diwajibkan membuat rancangan program dan kegiatan disesuaikan dengan prioritas dan karakteristik daerah masingmasing. Kemudian bupati/walikota membuat laporan Alokasi Penggunaan Dana atas pelaksanaan program/kegiatan sebagai penjabaran dari Lima kegiatan utama (Ps. 66 A (Ayat 1) UU.No39/2007), Laporan tersebut dikirim setiap 6 bulan sekali kepada gubernur. Sedangkan pemerintah provinsi penghasil CHT dan penghasil tembakau juga membuat/merancang program/kegiatan DBH-CHT disesuaikan dengan kondisi, prioritas/kebutuhan daerah. Setelah itu gubernur wajib mengirimkan laporan alokasi/penggunaan DBH-CHT atas pelaksanaan program/kegiatan sebagai penjabaran dari lima kegiatan utama (Pasal 66A (Ayat 1) UU.No.39/2007 tentang Cukai). Selain itu gubernur membuat laporan konsolidasi penggunaan DBH CHT/ alokasi dana CHT, untuk memantapkan atau memperkuat penganggaran atas penggunaan DBH CHT yang telah dibuat oleh gubernur, bupati/walikota. Laporan konsolidasi tersebut diserahkan setiap 6 bulan sekali; kepada Menkeu dan Mendagri. (PMK. No.84/PMK.07/2008, Pasal 11 (Ayat 2)) (Menkeu c.q Ditjen Perimbangan Keuangan dan Mendagri cq. Ditjen Bina Administrasi Keuangan Daerah). Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemda provinsi, kabupaten/kota yang didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi; terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan dari masing-masing pemerintahan daerah, pada dasarnya memiliki kesamaan, yang membedakan hanya skalanya; ada urusan wajib yang berskala propinsi (skala provinsi; urusan wajibnya meliputi juga lintas kabupaten/kota) dan ada urusan wajib yang berskala kabupaten/kota. Urusan wajib dalam pelaksanaan program/kegiatan DBH-CHT yang menjadi kewenangan daerah provinsi, kabupaten/kota; antara lain: 1.
Bidang Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
152 a. Perencanaan dalam pelaksanaan program/kegiatan DBH-CHT; misalnya: Koordinasi gubernur dengan Kanwil Ditjen Bea dan Cukai dalam penetapan alokasi DBH-CHT untuk provinsi,kabupaten/kota yang ada dalam penguasaannya. Kanwil DJBC memberikan data tentang perkiraan CHT per kabupaten/kota, selanjutnya pembagian DBH-CHT tersebut disampaikan ke Menkeu untuk mendapatkan persetujuan dan penetapan. Bupati/walikota, gubernur pada awal tahun membuat dan menyampaikan rancangan program/kegiatan (penjabaran dari 5 kegiatan utama Pasal 66A UU.No.39/2007), kemudian membuat & menyampaikan penganggarannya dan gubernur mengkonsolidasikan rancangan program/kegiatan dengan bupati/walikota. Hasil konsolidasi tersebut disampaikan kepada Menkeu c.q Dirjen Perimbangan Keuangan dan Mendagri c.q Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah. b. Pengendalian dalam Pelaksanaan Program/kegiatan DBHCHT; terdiri atas: Pengendalian terhadap kebijakan perencanaan program/kegiatanDBH-CHT; misal: Biro Administrasi Perekonomian Provinsi, Bidang Perekonomian Kabupaten/Kota selaku Sekretariat dalam pelaksanaan program/kegiatan DBH-CHT; melakukan monitoring terhadap pelaksanaan kebijakan penggunaan DBH-CHT, dan melaporkan hasil pelaksanaan penggunaan DBH-CHT kepada Bappeda; kemudian Bappeda melaporkan hasil pemantauan atas pelaksanaan penggunaan DBH-CHT kepada kepala daerah. Pengendalian pelaksanaan rencana program/kegiatan DBHCHT; misal: (1) Pengendalian oleh gubernur, bupati/walikota dalam pelaksanaan program/kegiatan DBH-CHT dilakukan
153
2.
3.
oleh Kepala SKPD penerima dana alokasi CHT sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya; SKPD tersebut adalah Disnaker, Disperindag, Disbun, Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas Sosial, Badan Lingkungan Hidup, dan Dinas Kesehatan/RSU/RSK. Perlu diketahui bahwa pengaturan mengenai SKPD mana saja yang menerima dana alokasi CHT tergantung pada kebutuhan, dan prioritas daerah. Pengendalian oleh Kepala SKPD meliputi pemantauan pelaksanaan program dan kegiatan yang meliputi realisasi pencapaian target, penyerapan dana, dan kendala yang dihadapi. (2) Hasil pemantauan dari pelaksanaan program dan kegiatan DBH-CHT disusun dalam bentuk laporan setiap 6 bulan 1x untuk disampaikan kepada Biro administrasi Perekonomian. (3) Sebagai perangkat daerah yang melakukan pengendalian terhadap keseluruhan perencanaan pembangunan daerah; Kepala Bappeda provinsi, kabupaten/kota; melaporkan hasil pemantauan yang telah dilakukannya, berikut juga dengan hasil pemantauan yang dilakukan oleh SKPD kepada Kepala daerah, disertai dengan rekomendasi dan langkah-langkah yang diperlukan. Penanganan bidang kesehatan, misal: Program: a) Pengadaan, peningkatan sarana dan prasarana RS/RSJ/RSPP/RSM; melalui kegiatan pengadaan alat-alat kesehatan rumah sakit. b) Pengembangan lingkungan sehat; melalui kegiatan pembentukan area bebas rokok pada instansi. a) Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial, misal: Program Pendidikan non formal; melalui kegiatan sosialisasi bahaya akibat merokok bagi generasi muda, pegawai negeri, tenaga kerja wanita. b) Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat; melalui kegiatan penyuluhan
154
4.
5.
6.
7.
kesehatan akibat rokok; pengadaan media promosi dan informasi sadar hidup sehat; TOT pencegahan merokok usia dini. c) Dll. Pelayanan bidang ketenagakerjaan, misal: program peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja dan identifikasi kebutuhan layanan dan pembinaan ketenagakerjaan disektor industri rokok; melalui kegiatan pelatihan peningkatan keterampilan kerja; pendidikan & pelatihan keterampilan bagi pekerja perusahaan rokok. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah; misal: a) program peningkatan kualitas bahan baku; melalui kegiatan fasilitasi kemitraan usaha tani tembakau. b)pengembangan industri kecil dan menengah; melalui pendataan industri kecil menengah. Bidang pengendalian lingkungan hidup, misal: program peningkatan keamanan dan kenyamanan lingkungan; melalui kegiatan: pengendalian kebisingan dan gangguan kegiatan akibat industri rokok; pemeriksaan laboratorium hasil uji kualitas limbah cair domestik; sosialisasi pengelolaan lingkungan untuk pabrik rokok; pengujian udara ambient dikawasan industri rokok. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan, misal, program: a) peningkatan pendapatan daerah; melalui sosialisasi ketentuan dibidang cukai rokok. b)pembinaan industri rokok; melalui penyusunan dokumen hasil pemetaan pabrik rokok. c)peningkatan kualitas bahan baku; melalui pendataan kualitas bahan baku; tembakau
Penyelenggaraan pembagian kewenangan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dalam pelaksanaan program/kegiatan DBH-CHT selain merupakan urusan wajib juga menjadi urusan pilihan bagi provinsi, kabupaten/kota penghasil CHT. Urusan pemerintahan provinsi, kabupaten/kota yang bersifat wajib merupakan urusan pemerintahan yang berpedoman pada standar pelayanan minimal, dilaksanakan secara bertahap, dan ditetapkan oleh pemerintah, seperti penanganan bidang kesehatan, pendidikan, penanganan masalah sosial, perencanaan dan pengendalian pelaksanaan
155 rencana pembangunan. Sedangkan urusan pemerintahan provinsi, kabupaten/kota yang bersifat pilihan, meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah, yang dalam hal ini daerah tersebut antara lain: a) Berpotensi menghasilkan penerimaan bagi negara, yaitu dari CHT; b) Daerah yang memiliki potensi sebagai daerah penghasil bahan baku produk hasil tembakau (luas areal perkebunan tembakau); c) Daerah yang sebagian warganya bekerja sebagai buruh/pekerja pabrik industri tembakau; d) Daerah yang memiliki industri hasil tembakau/pabrik rokok; e) Luas areal pabrik rokok yang terdapat di daerah kabupaten/kota penghasil CHT. kelima hal tersebut diatas menjadi indikator yang menentukan besaran jumlah bagian DBH-CHT yang akan dialokasikan ke kabupaten/kota daerah penghasil CHT. E. Kesimpulan Pembagian kewenangan tersebut diatas telah memenuhi: 1)kriteria eksternalitas (mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dari suatu penyelenggaraan urusan pemerintahan); apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila dampaknya bersifat regional maka menjadi kewenangan provinsi, dan apabila dampaknya bersifat nasional maka menjadi kewenangan pemerintah. 2)memenuhi Kriteria akuntabilitas bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut; sehingga akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin. 3) memenuhi Kriteria efisiensi; yaitu pembagian kewenangan urusan pemerintahan yang mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan; artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dilaksanakan oleh provinsi dan/atau kabupaten/kota dibandingkan apabila ditangani oleh
156 pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada provinsi dan/atau kabupaten/kota. Sebaliknya apabila bagian urusan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna bila ditangani oleh pemerintah maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh pemerintah. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi tersebut dalam pelaksanaannya memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan; ini merupakan bentuk pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dengan pemerintah daerah (provinsi,kabupaten/kota) atau antar pemerintahan daerah; bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintahan yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda bersifat saling berhubungan (interkoneksi), saling tergantung (interdependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem pemerintahan dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan. (UU. No.32/2004, Pasal 11 (Ayat 2) dan Penjelasan No.3) Pembagian urusan dalam pelaksanaan program/kegiatan DBH-CHT tersebut membawa dampak positif bagi peningkatan penerimaan negara dari sektor cukai; misal TA 2008 walaupun merupakan tahun pertama pelaksanaan kebijakan alokasi dana CHT kedaerah tapi cukup memberi dampak yang menggembirakan,terbukti adanya peningkatan di APBN TA 2009 penerimaan negara dari sektor CHT mencapai Rp 48.240.100.000.000,meningkat dibandingkan penerimaan CHT dalam APBN- Perubahan TA 2008 yang berjumlah Rp 44.533.900.000.000,- (empat puluh empat trilliun lima ratus tiga puluh tiga milliar sembilan ratus juta rupiah).
F. Daftar Pustaka Asfar, Muhammad (ed.,), 2001. Implementasi Otonomi Daerah: Kasus Jatim, NTT, Kaltim, Surabaya: CPPS, CSSP dan Pusdeham. Blondel, Jean. 1990. Comparative Government and Introduction, European University Institute, Florence, Philip Allan 66 Wood Lane End, Hemel Hempstead Hemtfondshire HP2RG Divisi Simon & Schuster International Group.
157 Boyne, George A. 1998. Public Choice Theory and Local Government: A Comparative Analysis of The UK and USA. London and New York: Macmillan and ST. Martin’s. Colongon, Jr., Arellano A. 2003. “What is Happening of The Ground? The Progres of Decentralisation”, Edward Aspinall and Greg Fealy (eds.,) Local Power and Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation, h. 87-101, Singapore: Institue of Southeast Asian Studies. Djoharwinarlien, 2003. Sri. Otonomi: Peluang atau beban bagi daerah? Abdul Gaffar Karim et.al (ed.,) Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM. Nasution, Arif M., et. al (ed.,). 2000. Demokratisasi dan Problema Otonomi Daerah. Bandung: Mandar Maju. Rasyid, M. Ryaas, 2003.”Regional Autonomy and Local Politics in Indonesia”, Edward Aspinall and Greg Fealy (eds.,), Local Power and Politics in Indonesia:Decentralisation and Democratisation, h.63-71, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Sorensen, Georg. 2003. Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, Yogyakarta: CCSS dan Pustaka Pelajar. Sugianto, 2008.Pengantar Kepabeanan dan Cukai, Grasindo Widiasarana, Jakarta. Tsalik, Svetlana, 2003.Ukuran dan Demokrasi: Alasan dan Dukungan untuk Desentralisasi”, Larry Diamond, Developing Democracy toward Consolidation, Yogyakarta: IRE Press. PERATURAN Undang-undang No.17/2003 tentang Keuangan Negara Undang-undang No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Th 2005-2025
158 Undang-undang No. 39/2007 tentang Perubahan atas UU. No. 11/1995 tentang Cukai Peraturan Pemerintah No.79/2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah No. 7/2008 tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan Peraturan Menteri Keuangan No. 60/PMK.07/2008 tentang Dana Alokasi CHT TA 2008 Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil (DBH) CHT dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi DBH CHT. Peraturan Menteri Keuangan No. 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi, dan Tata Kerja Departemen Keuangan. Peraturan menteri Keuangan No.21/PMK.07/2009 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.
159 PEDOMAN PENULISAN JURNAL YUSTITIA
Tulisan yang akan dimuat dalam majalah Yustitia harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1.
2. 3.
4.
5.
6.
6.
Naskah yang dikirim berbentuk karya tulis ilmiah seperti hasil penelitian baik yang socio legal research maupun normative legal research, kajian teori, studi pustaka, analisis atau tinjauan putusan lembaga peradilan, serta gagasan kritis konseptual yang bersifat obyektif, sistematis, analitis, deskriptif dan verifikatif yang kesemuanya itu harus nilai nouvelty. Penulisan naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baku, lugas, sederhana dan mudah dipahami serta tidak menimbulkan sifat makna ganda. Naskah ditulis sepanjang 20 halaman, 1,5 spasi, naskah diketik di atas kertas A4 menggunakan font Tim News Roman 12, naskah harus disertai abstrak Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris sepanjang 100 kata, kata kunci disesuaikan dengan bahasa hasil penelitian, artikel, kajian teori, studi pustaka sebanyak 3-5 kata. Sistematika penulisan analisis putusan, kajian teoritis, wacana hukum harus mencakup nama penulis tanpa gelar akademik, nama instansi, abstrak berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris, kata kunci, pendahuluan, pembahasan langsung dibuat menjadi sub pokok bahasan sesuai dengan permasalahan yang dibahas, simpulan, saran, dan daftar pustaka. Sistematika hasil penelitian harus mencakup nama penulis tanpa gelar akademik, nama instansi, abstrak berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris, kata kunci, latar belakang masalah, rumusan masalah, metode penelitian, dan hasil penelitian dan pembahasan, simpulan, saran dan daftar pustaka. Penulisan menggunakan system footnot contoh: Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokratis, Yogyakarta, 2007, CV. Kreasi Total Media, hlm. Penulisan daftar pustaka secara alfabetis mengikuti turabian style dengan contoh sebagai berikut: Latif, Abdul. 2007. Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokratis. Yogyakarta: CV. Kreasi Total Media. Dewan Redaksi berhak mengarahkan penulisan (tanpa mengubah isi dan makna tulisan).