Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012
ISSN 1829-6971
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK KATA PENGANTAR Pembaca yang terhormat, Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas ijinNya sehingga Majalah Kulit, Karet ini dapat terbit kembali mengunjungi pembacanya yang setia. Majalah Kulit, Karet dan Plastik diterbitkan dalam rangka mempublikasikan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik maupun yang berasal dari lembaga riset maupun instansi lain. Pada terbitan kali ini disajikan tujuh naskah meliputi 7 (tujuh) naskah hasil penelitian antara lain: pengaruh variasi rasio HAF/SRF terhadap vulkanisat NBR; pengaruh penggunaan lumpur limbah industri penyamakan kulit terhadap penyerapan krom pada tanaman sawi; pengaruh serat batang pisang sebagai filler terhadap sifat mekanik dari komposit PVC-calcium carbonat; spektroskopi FTIR dan sifat mekanik nanokomposit grafting HDPE dan nanoprecipitated calcium carbonate (NPCC); pemanfaatan air olahan wetland di Sitimulyo dalam pembuatan kulit pikel domba; pengaruh jumlah minyak terhadap sifat fisis kulit ikan nila (Oreochromis niloticus) untuk bagian atas sepatu dan daur ulang limbah shaving industri penyamakan kulit untuk kertas seni Dewan Redaksi menerima dan mengharapkan saran serta koreksi para Pembaca untuk penyempurnaan dan kemajuan penerbitan majalah. Penutup kata, Dewan Redaksi mengucapkan terima kasih kepada semua pihak Bapak dan Ibu para Penulis dan khususnya kepada Mitra Bestari atas peran aktifnya dalam penyuntingan majalah ini. Selamat membaca, semoga dapat menambah informasi, wawasan dan bermanfaat bagi kita.
Dewan Redaksi
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Tahun 2012
i
Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012
ISSN 1829-6971
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK DAFTAR ISI Kata pengantar
i
Daftar Isi
ii
Abstrak
iii-x
Pengaruh variasi rasio HAF/SRF terhadap vulkanisat NBR (Ihda Novia I., Indiah Ratna D. dan Dodi Irwanto)
59-68
Pengaruh penggunaan lumpur limbah industri penyamakan kulit terhadap penyerapan krom pada tanaman sawi (A.R Budi Darmawan)
69-78
Pengaruh serbuk serat batang pisang sebagai filler terhadap sifat mekanis dari komposit PVC-CaCO3 (Supraptiningsih)
79-87
Spektroskopi FTIR dan sifat mekanik nanokomposit grafting HDPE dan nanoprecipitated calcium carbonate (NPCC) (Arum Yuniari dan Emiliana Kasmujiastuti)
89-95
Pemanfaatan air olahan wetland di Sitimulyo dalam pembuatan kulit pikel domba (Dwi Ningsih, Teguh Martianto dan Syaiful Harjanto)
97-103
Pengaruh jumlah minyak terhadap sifat fisis kulit ikan nila (Oreochromis niloticus) untuk bagian atas sepatu (Iwan Fajar P. dan Emiliana Kasmujiastuti)
105-111
Daur ulang limbah shaving industri penyamakan kulit untuk kertas seni (Sri Sutyasmi)
113-121
Indeks Subyek
122-1
Indeks Pengarang
122-2
Pedoman Penulisan Naskah
ii
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Tahun 2012
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK ISSN 1829-6971
Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012
ABSTRAK PENGARUH VARIASI RASIO HAF/SRF TERHADAP SIFAT VULKANISAT NBR Ihda Novia Indrajati, Indiah Ratna Dewi, Dodi Irwanto Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik, Yogyakarta Email:
[email protected] M. KKP., Vol.28 No.2, 2012, pp: 59-68 Tujuan penelitian adalah mempelajari pengaruh rasio HAF/SRF terhadap karakteristik vulkanisat, kesetimbangan swelling dan perpindahan massa pada vulkanisat NBR. Rasio HAF/SRF yang digunakan berturut-turut 0/70; 10/60; 20/50; 30/40; 35/35; 40/30; 50/20 dan 70/0 phr. Pengamatan dilakukan pada karakteristik vulkanisasi, sifat morfologi dan keseimbangan swelling. Data dianalisa secara kualitatif untuk melihat respon variabel penelitian terhadap sifat fisis vulkanisat. Karakteristik vulkanisasi ditentukan dari nilai indeks kecepatan vulkanisasi (cure rate index/CRI), morfologi vulkanisat dipelajari menggunakan alat SEM, dan kesetimbangan swelling dilakukan dengan cara perendaman dalam benzen dengan menghitung kecepatan penetrasi dan koefisien difusinya. Karakteristik vulkanisasi vulkanisat bahan pengisi ganda memberikan nilai lebih tinggi daripada dengan bahan pengisi tunggal. Konsumsi pelarut (uptake) vulkanisat dengan bahan pengisi HAF dan SRF mempunyai nilai berada diantara vulkanisat dengan bahan pengisi tunggal. Mekanisme perpindahan massa untuk keseluruhan rasio HAF/SRF mengindikasikan anomali dengan nilai n>0,5 dan konstanta k yang relatif sama. Koefisien difusi intrinsik (D*), koefisien serapan (S) dan koefisien permeasi (P) secara umum menunjukkan kecenderungan dan nilai maksimum diberikan oleh rasio 0/70. Kata kunci: NBR, HAF/SRF, karakteristik vulkanisasi, swelling, perpindahan massa PENGARUH PENGGUNAAN LUMPUR LIMBAH INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT TERHADAP PENYERAPAN KROM PADA TANAMAN SAWI A. R. Budi Darmawan Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Email:
[email protected] M. KKP., Vol.28 No.2, 2012, pp: 69-78 Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh tanah yang terkontaminasi limbah industri penyamakan kulit terhadap sifat dan tingkat penyerapan krom pada tanaman sawi. Penelitian dilaksanakan di Kayen, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta selama 3 bulan. Percobaan dengan pot menggunakan rancangan faktorial 2x3 lengkap dan 2 perlakuan tambahan sebagai kontrol yang diatur dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan 15 unit pot sebagai ulangan percobaan. Faktor pertama terdiri atas 2 varietas sawi, yaitu kailan (chinesse kale) dan sawi sendok (pak choy green). Faktor kedua terdiri atas 3 aras takaran limbah industri penyamakan kulit, yaitu 500 mg krom/kg tanah, 1000 mg krom/kg tanah, 1500 mg krom/kg tanah. Perlakuan kontrol adalah penanaman 2 varietas sawi tanpa pemberian lumpur limbah. Pemberian limbah dilakukan dengan mencampur lumpur limbah ke dalam media tanam yang terdiri atas campuran tanah, kompos dan pupuk kandang sesuai dengan variasi perlakuan. Pengamatan dilakukan dengan memanen tanaman saat umur 3 dan 6 minggu setelah tanam untuk selanjutnya tajuk dan akar tanaman serta media tanam dianalisa kandungan kromnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akumulasi krom di bagian perakaran tanaman lebih besar dibandingkan di bagian tajuk tanaman untuk kedua jenis sawi baik pada umur panen 3 maupun 6 minggu setelah tanam ternyata kandungan krom dalam jaringan tanaman sawi bagian tajuk yang lazim dikonsumsi melebihi ambang batas konsumsi harian manusia yang ditetapkan sebesar 0,035 mg/kg per hari. Kata kunci: kromium, limbah industri penyamakan kulit, sawi MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Tahun 2012
iii
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK ISSN 1829-6971
Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012
ABSTRAK PENGARUH SERBUK SERAT BATANG PISANG SEBAGAI FILLER TERHADAP SIFAT MEKANIS KOMPOSIT PVC–CaCO3 Supraptiningsih Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik, Yogyakarta Email:
[email protected] M. KKP., Vol.28 No.2, 2012, pp: 79-87 Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh penambahan serbuk serat batang pisang sebagai filler terhadap sifat mekanis komposit PVC-CaCO3. Serbuk serat batang pisang dibuat dari pelepah pisang yang dihaluskan, dan direndam dalam NaOH 15% selama 24 jam untuk menghilangkan lignin yang ada. Sesudah itu dikeringkan, dan diayak dengan ayakan 200 mesh. Komposit PVC-CaCO3 o dibuat dengan alat Two Roll Mill pada suhu 50 C, selama 10 menit dan kecepatan perputaran rol 50 rpm. Komposisi PVC dan bahan aditif dibuat tetap, sedangkan jumlah serbuk serat batang pisang divariasi berturut-turut 10 ; 20 ; 30; dan 40 phr (per hundred resin) dan dibuat kontrol atau tanpa ditambah serbuk serat batang pisang. Sifat mekanis komposit PVC-CaCO3 mempunyai berat 2 3 persatuan luas antara 4,55 – 5,90 kg/m , bobot isi 1,50 – 1,99 g/cm , kekuatan tarik 67,56 – 79,03 2 kg/cm , kekerasan 55,00 - 66,66 shore D, penyerapan air 0,96 – 3,32 %, kuat lentur 118,99 – 165,09 2 kg/cm , titik nyala 0,03 - 0,08 inc/detik, kerapatan air baik (tidak terjadi tetesan) dan kemampuan digergaji dan dipaku baik (tidak cacat/retak). Komposit PVC-CaCO3 dengan filler serbuk serat batang pisang jika dibandingkan dengan SNI 15-0233-1989 Mutu dan Cara Uji Lembaran Serat Semen, menunjukkan bahwa semua komposit PVC-CaCO3 dengan variasi jumlah filler serbuk serat batang pisang memenuhi persyaratan seperti yang ditetapkan oleh SNI tersebut diatas. Kata kunci: PVC, CaCO3, serbuk serat batang pisang, sifat mekanis SPEKTROSKOPI FTIR DAN SIFAT MEKANIK NANOKOMPOSIT GRAFTING HDPE DAN NANOPRECIPITATED CALCIUM CARBONATE (NPCC) Arum Yuniari dan Emiliana Kasmujiastuti Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik, Yogyakarta Email:
[email protected] M. KKP., Vol.28 No.2, 2012, pp: 89-95 Penelitian tentang pembuatan nanokomposit dari bahan high density polyethylene (HDPE) dan nanoprecipitated calcium carbonate (NPCC) bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan filler NPCC terhadap sifat mekanik dan spektroskopi. Nanokomposit dibuat dengan Rheomix 3000 Haake pada suhu 180 oC dan kecepatan 50 rpm selama 10 menit. Komposisi HDPE dan bahan aditif dibuat tetap, dan kandungan NPCC divariasi berturutturut 10 ; 20 ; 30; 40 dan 50 phr (per hundred resin) dan dibuat kontrol tanpa ditambah NPCC. Sifat mekanik diuji dengan alat uji tensile strength, hardness, densimeter dan karakterisasi gugus fungsi ditentukan menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR). Hasil uji sifat mekanik menunjukkan semakin tinggi jumlah NPCC kekerasan dan densitas naik, kemuluran tetap sedangkan kuat tarik cenderung turun. Spektrum nanokomposit -1 HDPE/NPCC menunjukkan terjadinya puncak baru pada bilangan gelombang 3472,49 cm (OH stretching). Kata kunci: HDPE, NPCC, FTIR, sifat mekanik
iv
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Tahun 2012
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK ISSN 1829-6971
Vol. 28 No. 2 Desember Tahun 2012
ABSTRAK PEMANFAATAN AIR OLAHAN WETLAND DI SITIMULYO DALAM PEMBUATAN KULIT PIKEL DOMBA Dwi Ningsih, Teguh Martianto, Syaiful Harjanto Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik, Yogyakarta Email:
[email protected] M. KKP., Vol.28 No.2, 2012, pp: 97-103 Telah dilakukan penelitian untuk mempelajari pengaruh penggunaan air olahan wetland yang ada di Sitimulyo dalam pembuatan kulit pikel domba. Air olahan wetland dalam pembuatan kulit Pikel dilakukan dengan 3 variabel perbandingan air wetland: air bersih yaitu 100:0; 75:25; 50:50. Sebagai pembanding digunakan kontrol atau tanpa tambahan air wetland. Kulit yang digunakan sebanyak 12 lembar kulit domba dibagi dalam 4 kelompok dan 3 lembar kulit untuk masing-masing perlakuan. Parameter mutu kulit yang diamati meliputi kadar air, kadar garam, pH, serta pengamatan organoleptis. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa air olahan wetland yang ada di Sitimulyo belum memenuhi persyaratan air untuk penyamakan kulit sesuai SNI 06-0649-1989 mengenai air untuk proses penyamakan kulit samak nabati. Hasil uji kulit pikel menunjukkan bahwa secara kimia (kadar air, garam dan pH) dan organoleptis tidak memenuhi persyaratan SNI 06-3537-1994 mengenai mutu dan cara uji kulit pikel domba. Kata kunci: kulit Pikel, air wetland, kulit domba PENGARUH JUMLAH MINYAK TERHADAP SIFAT FISIS KULIT IKAN NILA (OREOCHROMIS NILOTICUS) UNTUK BAGIAN ATAS SEPATU Iwan Fajar Pahlawan dan Emiliana Kasmudjiastuti Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik, Yogyakarta Email:
[email protected] M. KKP., Vol.28 No.2, 2012, pp: 105-111 Minyak/lemak merupakan komponen penting dalam kulit yang berfungsi untuk melunakkan kulit atau sebagai pelumas jaringan kulit pada proses penyamakan kulit. Minyak atau lemak dapat mengubah sifat-sifat penting kulit antara lain kulit menjadi lebih lunak, liat, mulur, lembut, dan permukaan rajahnya lebih halus. Tujuan penelitian ini untuk mempelajari pengaruh penambahan jumlah minyak sulfonasi terhadap kualitas fisik kulit ikan nila untuk bagian atas sepatu. Sifat fisik yang diamati meliputi kekuatan tarik, kekuatan sobek dan kemuluran. Dalam penelitian ini variasi jumlah minyak yang digunakan adalah 4, 6 dan 8%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan minyak, dapat meningkatkan sifat fisis dari kulit ikan nila. Penambahan minyak yang optimal adalah sebesar 4%, yang menunjukkan sifat fisis dengan nilai kekuatan tarik 233,96 kg/cm2, kemuluran 70% dan kekuatan sobek 36,08 kg/cm, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Acceptable Quality Levels in Leathers. Kata kunci: minyak, sifat fisis, kulit ikan nila
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol. 28 No. 2 Tahun 2012
v
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK ISSN 1829-6971
Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012
ABSTRAK DAUR ULANG LIMBAH SHAVING INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT UNTUK KERTAS SENI Sri Sutyasmi Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik, Yogyakarta Email:
[email protected] M. KKP., Vol.28 No.2, 2012, pp: 113-121 Telah dilakukan penelitian daur ulang limbah shaving untuk kertas seni. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendaur ulang limbah shaving industri penyamakan kulit untuk dibuat kertas seni agar tidak mencemari lingkungan dan menambah bahan baku pembuatan kertas seni. Dalam penelitian ini limbah shaving sebagian digunakan sebagai motif (20 %) dan sebagian lagi dibuat pulp (10 %) bersama-sama dengan kertas bekas (koran). Sebagai bahan pembantu digunakan pati kanji dan juga lem fox (1 %) yang berfungsi sebagai perekat. Pewarna digunakan untuk memperindah penampilan kertas seni. Ada dua tahap pembuatan kertas seni ini yaitu pertama membuat pulp dari kertas bekas yang ditambah dengan limbah shaving, kemudian pencetakan yang diberi motif limbah shaving pula. Lembaran kertas seni yang dihasilkan ada yang dipres (sekitar setengahnya) dan sisanya tidak dipres. Kertas seni kemudian diuji gramatur, indeks sobek, indeks retak dan indeks tarik. Hasil uji kertas seni yang menggunakan lem pati kanji menunjukkan bahwa kertas seni yang dipres mempunyai indeks -3 –3 sobek, indeks retak dan indeks tarik (3,85; 0,59; 8,4x10 ) dan yang tidak dipres (3,57; 0,52; 6,9x10 ), sedangkan kertas seni yang menggunakan lem fox dan dipress mempunyai indeks sobek, indeks retak dan indeks tarik (15,545; 0,76; 3528x10-1) yang tidak dipres (16,366; 0,80; 3549x10-1). Secara keseluruhan penampilan kertas seni hasil penelitian masih bisa bersaing dengan kertas seni yang ada di pasaran. Kata kunci: limbah shaving, daur ulang, pencemaran, kertas seni
vi
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Tahun 2012
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK ISSN 1829-6971
Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012
ABSTRACT THE EFFECT OF HAF/SRF RATIO ON PROPERTIES OF NBR VULCANIZATES Ihda Novia Indrajati, Indiah Ratna Dewi, Dodi Irwanto Center for Leather, Rubber and Plastics, Yogyakarta Email:
[email protected] M. KKP., Vol.28 No.2, 2012, pp: 59-68 The objectives of the research were to study the effect of HAF/SRF black ratio and the loading of sulfur on vulcanization characteristic, swelling behaviour and compression set of NBR vulcanizates. The ratio of HAF/SRF were 0/70; 10/60; 20/50; 30/40; 35/35; 40/30; 50/20 and 70/0 phr, respectively. The observation of this research consist of curing characteristic, morphology property and swelling equilibrium. Curing characteristic was determined from cure rate index (CRI), vulcanizates morphology was studied by SEM and swelling equilibrium was conducted by immersion test using benzene. The data were analyzed qualitatively to see the respond of the variable on physical properties. The curing characteristic of double filler vulcanizates was higher than those with single filler.Solvent uptake for double filler present in between to those with HAF or SRF. All of vulcanizates indicate the anomalous mass tranfer, with n>0,5 and constant k showed the same trend. The intrinsic diffusivity (D*), sorption and permeation coefficient showed similar trend and the maximum was obtained by the ratio HAF/SRF 0/70. Keywords: NBR, HAF/SRF, vulcanization characteristic, swelling, mass transfer THE EFFECT OF LEATHER TANNING INDUSTRY WASTE UTILIZATION ON CHROMIUM ADSORPTION OF GREEN MUSTARDS A. R. Budi Darmawan Agriculture Faculty, Lambung Mangkurat University, Banjarmasin Email:
[email protected] M. KKP., Vol.28 No.2, 2012, pp: 69-78 The aims of research was to study the effect of contaminated soil with tannery industrial wastesludge, and absorption level of chromium by the green mustard. The experiment was carried out in Kayen, Sleman, Yogyakarta for 3 months. The form of a pot experiment using a full factorial design 2x3 and 2 additional treatments as a control was set out in Completely Randomized Design (CRD), using 15 units of pots as replicates. The first factor consists of two varieties of mustard, which is kailan (chinesse kale) and spoon mustard greens (pak choy green). The second factor consists of 3 doses of leather tanning industry waste, i.e 500 mg chromium/kg soil, 1000 mg chromium/kg soil, 1500 mg chromium/kg soil. Control treatment was the planting of two varieties of mustard without the addition of sewage sludge. Preparation of sewage sludge was carried out by mixing the sewage sludge into the planting medium consisting of a mixture of soil, compost and manure treatments in accordance with the treatment. Observations made by harvesting the plants at the age of 3 and 6 weeks after planting for the next shoots and roots of plants and chromium content of growing media was analyzed. The results showed that the accumulation of chromium in the roots of plants was greater than in the plant canopy for the two types of mustards either good harvested at the age of 3 or 6 weeks after planting, and the content of chromium in plant tissues of mustard as part of vegetable that generally consumed exceeds the threshold of human daily consumption (0,035 mg/kg daily consumption). Keywords: chromium, leather tanning industrial waste, mustards
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Tahun 2012
vii
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK ISSN 1829-6971
Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012
ABSTRACT EFFECT OF BANANA STEMS FIBER POWDER AS FILLER TO THE MECHANICAL PROPERTIES OF PVC-CaCO3 COMPOSITE Supraptiningsih Center for Leather, Rubber and Plastics, Yogyakarta Email:
[email protected] M. KKP., Vol.28 No.2, 2012, pp: 79-87 The aim of research was to study the effect to the mechanical properties of banana fiber as a filler of PVC-calcium carbonate composite. Banana stem powder was made from banana stem which was grounded and soaked in 15 % NaOH for 24 hours to remove the lignin, dried and screened to 200 mesh, PVC-calcium carbonate composite was made using a Two Roll Mill at temperature of 50oC, for 10 minutes and 50 rpm. The composition of PVC and additives were not varied, while the variations made on banana fiber, ie 0, 10; 20, 30, and 40 phr (per hundred resin). The observation showed the mechanical properties of PVC- calcium carbonate composite has value of weight per unit area between 4.55 to 5.90 kg/m2, bulk densities from 1.503 to 1.999 g/cm3, tensile strength from 67.56 to 79.03 kg/cm2, hardness 55.00 to 66.66 shore D, water absorption from 0.960 to 3.322 %, flexibility test from 118.99 to 165.09 kg/cm2, flash point 0.032 0.075 inc / sec, water density was good (not drop happened) and the ability of sawed and nailed was good (no defected/cracked). When the test results of PVC-calcium carbonate composite with banana fiber compared with SNI 15-0233-1989 Mutu dan Cara Uji Lembaran Serat Semen, indicates that all PVC-calcium carbonate composite with banana fiber as filler fulfilled SNI requirements. Keywords: PVC, CaCO3, banana stems powder, mechanical properties FTIR SPECTROSCOPY AND MECHANICAL PROPERTIES OF NANOCOMPOSITES GRAFTING HDPE AND NANOPRECIPITATED CALCIUM CARBONATE Arum Yuniari dan Emiliana Kasmujiastuti Center for Leather, Rubber and Plastics, Yogyakarta Email:
[email protected] M. KKP., Vol.28 No.2, 2012, pp: 89-95 The purpose of this research based on high density polyethylene (HDPE) and nanoprecipitated calciumcarbonate (NPCC) was to evaluate the effect of nanoprecipitated calcium carbonate (NPCC) on FTIR spectroscopy and mechanical properties. The nanocomposites was prepared with a rheomix 3000 Haake at 180 º C and 50 rpm of rotor speed for 10 minutes. The composition of HDPE and additives were permanently, and NPCC content varied 10, 15, 20, 30, 40 and 50 phr (per hundred resin) respectively and control was made inherent NPCC. The nanocomposites were characterized using tensile strength, hardness tester, electro densimeter and Fourier Transform Infra Red (FTIR) spectroscopy techniques. The results of mechanical properties showed that the increasing the amount of NPCC was able increase hardness and density while elongation at break more stable and tensile strength decreased. Analysis functional group on nanocomposites with Fourier Transform Infra Red -1 (FTIR) indicated a new peak on wave band 3472,49 cm (OH stretching). Keywords: HDPE, NPCC, FTIR, mechanical properties
viii
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Tahun 2012
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK ISSN 1829-6971
Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012
ABSTRACT THE UTILIZATION OF TREATED WETLAND WATER IN SITIMULYO ON THE MAKING OF PICKLED SHEEPSKIN Dwi Ningsih, Teguh Martianto, Syaiful Harjanto Center for Leather, Rubber and Plastics, Yogyakarta Email:
[email protected] M. KKP., Vol.28 No.2, 2012, pp: 97-103 Research has been done to study the effects of treated wetland water utilization in Sitimulyo on the making of pickled sheepskin. The treated wetland water on the making of pickled sheepskin was done by using three variable ratio of wetland water: water that is 100:0; 75:25; 50:50. Used as a comparison was control or without any additional water wetland. Skin that was used as much as 12 pieces of sheepskin divided into 4 groups and 3 pieces of leather for each treatment. Quality parameters observed include skin moisture content, salinity, pH, and organoleptic observation. From the results showed that the treated wetland water in Sitimulyo not meet the water requirements for tanning leather according to SNI 06-0649-1989 on water for vegetable leather tanning process. Pickle skin test results show that the chemical (moisture, salt and pH) and organoleptic not meet the requirements of SNI 06-3537-1994 on quality and test methods pickle sheep skin. Keywords: pickled leather, wetland water, sheepskin THE INFLUENCE OF FATLIQUOR AMOUNTS ON PHYSICAL CHARACTERISTICS OF NILA SKIN (OREOCHROMIS NILOTICUS) FOR SHOE UPPER Iwan Fajar Pahlawan and Emiliana Kasmudjiastuti Center for Leather, Rubber and Plastics, Yogyakarta Email:
[email protected] M. KKP., Vol.28 No.2, 2012, pp: 105-111 Fatliquor could change physical properties of leather, which make it softer, more elastic, flexible and give smooth grain surface. This research was conducted to observe the influence of fatliquor addition on physical characteristics of nila skin for shoe upper. The physical characteristics in this research, consisted of tensile strength, tear strength and elongation at break. The fatliquor was put into the leather with the amount of 4%, 6% and 8%. Respectively, the results showed that the addition of fatliquor could improve the physical properties of nila skin. More fatliquor, could rise the physical properties value of nila skin. The optimal amount of fatliquor was 4%, which resulted in tensile 2 strength value of 233,96 kg/cm , 70% for elongation at break and 36,08 kg/cm for tear strength value, and fulfill the standard requirement of Acceptable Quality Levels in Leathers. Keywords: fatliquor, physical characteristics, nila skin
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Tahun 2012
ix
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK ISSN 1829-6971
Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012
ABSTRACT RECYCLING OF SHAVING WASTE FROM TANNING INDUSTRY FOR ART PAPER Sri Sutyasmi Center for Leather, Rubber and Plastics, Yogyakarta Email:
[email protected] M. KKP., Vol.28 No.2, 2012, pp: 113-121 A research has been done on recycling of shavings waste for art paper. The aim of this research was to utilize shaving waste from tanning industry for making art paper in order not to pollute the environment, and to add raw materials to the manufacture of art paper. In this study the majority of shaving waste was used as a motif (20%) and partly made of pulp (10%) together with paper waste (newspaper). As the materials starch and resin adhesive (fox) used was (1%) that served as an adhesive. Dyes were used to the beauty of the appearance of art paper. There were two stages of the paper making, first made from waste paper pulp added with the waste shaving, then printing given motives shaving motive of waste too. Part of the sheet of paper were pressed (about half), and the other parts were not pressed. They were then tested on gramatur art paper, tear index, tensile index, and the fracture index. The test results showed that pressed art paper had a tear index, tensile index and the fracture index (3.85; 0.59; 8.4 x 10 -3), and the impressed was (3.57; 0.52; 6.9 x 10 -3) -1 respectively the art paper that used fox adhesive on the pressed (15,545; 0,76; 3528 x 10 ), and on -1) impressed (16,366; 0,80; 3549 x 10 . The overall appearance of art paper results could still compete with the art of paper are the market. Keywords: shaving waste, recycling, pollution, art paper
x
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Tahun 2012
PENGARUH VARIASI RASIO HAF/SRF TERHADAP SIFAT VULKANISAT NBR THE EFFECT OF HAF/SRF RATIO ON PROPERTIES OF NBR VULCANIZATES Ihda Novia Indrajati, Indiah Ratna Dewi, Dodi Irwanto Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik, Yogyakarta Email:
[email protected] Diterima: 5 September 2012 Direvisi: 5 November 2012 Disetujui: 4 Desember 2012 ABSTRACT The objectives of the research were to study the effect of HAF/SRF black ratio and the loading of sulfur on vulcanization characteristic, swelling behaviour and compression set of NBR vulcanizates. The ratio of HAF/SRF were 0/70; 10/60; 20/50; 30/40; 35/35; 40/30; 50/20 and 70/0 phr, respectively. The observation of this research consist of curing characteristic, morphology property and swelling equilibrium. Curing characteristic was determined from cure rate index (CRI), vulcanizates morphology was studied by SEM and swelling equilibrium was conducted by immersion test using benzene. The data were analyzed qualitatively to see the respond of the variable on physical properties. The curing characteristic of double filler vulcanizates was higher than those with single filler. Solvent uptake for double filler present in between to those with HAF or SRF. All of vulcanizates indicate the anomalous mass tranfer, with n>0,5 and constant k showed the same trend. The intrinsic diffusivity (D*), sorption and permeation coefficient showed similar trend and the maximum was obtained by the ratio HAF/SRF 0/70. Keywords: NBR, HAF/SRF, vulcanization characteristic, swelling, mass transfer ABSTRAK Tujuan penelitian adalah mempelajari pengaruh rasio HAF/SRF terhadap karakteristik vulkanisat, kesetimbangan swelling dan perpindahan massa pada vulkanisat NBR. Rasio HAF/SRF yang digunakan berturut – turut 0/70; 10/60; 20/50; 30/40; 35/35; 40/30; 50/20 dan 70/0 phr. Pengamatan dilakukan pada karakteristik vulkanisasi, sifat morfologi dan kesetimbangan swelling. Data dianalisa secara kualitatif untuk melihat respon variabel penelitian terhadap sifat fisis vulkanisat. Karakteristik vulkanisasi ditentukan dari nilai indeks kecepatan vulkanisasi (cure rate index/CRI), morfologi vulkanisat dipelajari menggunakan alat SEM, dan kesetimbangan swelling dilakukan dengan cara perendaman dalam benzen dengan menghitung kecepatan penetrasi dan koefisien difusinya. Karakteristik vulkanisasi vulkanisat bahan pengisi ganda memberikan nilai lebih tinggi daripada dengan bahan pengisi tunggal. Konsumsi pelarut (uptake) vulkanisat dengan bahan pengisi HAF dan SRF mempunyai nilai berada diantara vulkanisat dengan bahan pengisi tunggal. Mekanisme perpindahan massa untuk keseluruhan rasio HAF/SRF mengindikasikan anomali dengan nilai n>0,5 dan konstanta k yang relatif sama. * Koefisien difusi intrinsik (D ), koefisien serapan (S) dan koefisien permeasi (P) secara umum menunjukkan kecenderungan dan nilai maksimum diberikan oleh rasio 0/70. Kata kunci: NBR, HAF/SRF, karakteristik vulkanisasi, swelling, perpindahan massa
PENGARUH VARIASI HAF/SRF TERHADAP SIFAT ........(Ihda Novia Indrajati, dkk.)
59
PENDAHULUAN Nitrile Butadiene Rubber (NBR) banyak digunakan oleh industri otomotif karena mempunyai ketahanan terhadap bahan bakar, oli dan fluida lainnya. NBR mempunyai struktur rantai nonreguler (amorf), sehingga tidak mengkristal ketika diregangkan. Konsekuensinya NBR tidak mempunyai sifat penguatan internal (self reinforced), maka untuk meningkatkan sifat-sifat pelarut maupun mekanik perlu ditambah bahan pengisi yang bersifat menguatkan (reinforcing filler) atau mencampur NBR dengan karet jenis lain. Namun demikian, NBR mempunyai ketahanan terhadap cuaca (weathering) dan ozon yang rendah (Barlow, 1993; Jovanović, et.al., 2009, Manoj, et.al., 2011). Sifat ketahanan NBR terhadap oli sangat dipengaruhi oleh kandungan acrylonitrile (ACN). Makin tinggi kandungan ACNnya, maka NBR jenis tersebut makin tahan terhadap oli. Carbon Black (CB) telah diketahui dapat digunakan sebagai bahan pengisi penguat (reinforcing) untuk NBR. Jenis “Semi Reinforcing Furnace” (SRF) black dilaporkan dapat memberikan kekuatan yang cukup dengan harga relatif rendah (Franta, 1989). Penelitian penggunaan berbagai jenis CB pada NBR maupun campuran NBR dengan karet lain telah banyak dilakukan. Manoj, et.al. (2011) mempelajari karakteristik curing, perilaku swelling dan sifat-sifat mekanik sistem NBR/EPDM dengan bahan pengisi CB jenis Intermediate Sub Abrasi Furnace (ISAF), HAF dan SRF. Pengaruh penambahan jumlah CB (jenis FEF) pada sifat swelling dan ketahanan pampat tetap pada karet SBR dan NBR dilaporkan oleh Mostafa, et.al. (2009). Bahan pengisi penguat (reinforcing) jarang digunakan secara tunggal dalam jumlah yang cukup besar karena dapat menyebabkan deteriorasi sifat mekanik yang disebabkan oleh sifat dispersi bahan pengisi yang buruk. Rattanasom et.al. (2007) menyatakan bahwa vulkanisat karet alam (NR) dengan bahan pengisi silika/CB dengan rasio 20/30 memberikan sifat mekanik yang lebih baik daripada hanya dengan bahan pengisi silika atau CB saja sebesar 50 phr. Interaksi polimer dengan pelarut merupakan hal penting baik dari sudut 60
pandang akademik maupun teknologi. Polimer yang terikat silang (crosslinking) bila kontak dengan pelarut akan menunjukkan fenomena swelling. Derajat swelling dinyatakan dalam jumlah cairan (liquid) yang diserap oleh polimer (Abu-Abdeen dan Elamer, 2010). Swelling vulkanisat karet merupakan proses difusi. Sejumlah pelarut akan mendifusi kedalam karet sampai mencapai kesetimbangan (equilibrium). Proses difusi tersebut merupakan parameter kinetis yang bergantung pada volume kosong pada bahan, mobilitas segmental rantai polimer dan ukuran molekul penetran. Bahan pengisi aktif yang terdapat dalam matriks polimer menurunkan koefisien difusivitas karena molekul penetran akan menempuh jalur yang lebih berliku (tortuous) dalam berpenetrasi kedalam badan polimer. Penyerapan pelarut dan difusinya merupakan faktor pembatas pada aplikasi polimer karena proses tersebut menyebabkan perubahan sifat mekanik bahkan dapat menyebabkan destruksi struktur polimer. Oleh karena itu karakteristik swelling dari sebuah polimer penting untuk dipelajari untuk efisiensi dan efektivitas aplikasinya (Stephen, et.al., 2007, Choi dan Ha, 2009 dan Unnikrishnan dan Thomas, 1995, Al Minnath et.al., 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penambahan CB jenis HAF dan SRF dengan rasio tertentu terhadap karakteristik vulkanisasi, sifat morfologi, karakteristik swelling dan perpindahan massa pada vulkanisat NBR. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bahan Penelitian Bahan penelitian terdiri atas karet NBR Krynac 4975 F (100 phr) dengan kadar acrylonitrile 48,5%, viskositas Mooney (ML o 3 (1+4) 100 C) 75, berat jenis 1,01 g/cm . Asam stearat 1 phr; zinc oxide (ZnO) 5 phr; HAF Black (N-330) 0 – 70 phr; SRF Black (N-774) 0 – 70 phr, OCI; dioctyl phthalate (DOP) 15 phr; 2,2,4,trimethyl-1,2,dihydroquinoline (TMQ) 2 phr, Kemai; paraffin wax Antilux 654 A, Rhein Chemie, buatan Germany 1 phr, mercaptobenzothiazole (MBTS) 2 phr, Shandong Sanxian, China;
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 59-68
Tabel 1. Variasi formulasi kompon NBR
Bahan (phr) HAF SRF Belerang
Kode P1 0 70 0,5
P2 10 60 0,5
P3 20 50 0,5
tetramethylthiuramdisulphide (TMTD) 1,5 phr, Stairchem, China; Sulfur MIDAS SP 325 kemurnian 99% variasi 0,5 – 1,5 phr, Miwon dan coumarone indene (CI) resin 1 phr. Metode Penelitian Preparasi Kompon NBR Kompon NBR dibuat dengan formulasi seperti disajikan pada Tabel 1. Pencampuran (mixing) semua komponen penyusun vulkanisat NBR, dilakukan dengan two roll mill skala laboratorium dengan rasio friksi o 1,1:1, suhu rol berkisar 40–50 C dan waktu pencampuran 45–50 menit. Kompon o dikondisikan selama 24 jam pada suhu 25 C kelembaban 60% sebelum divulkanisasi. Pengamatan Karateristik Vulkanisasi Karakteristik vulkanisasi meliputi torsi minimum (ML), torsi maksimum (MH), waktu scorch (tS2) dan waktu optimum vulkanisasi (t 9 0 ) diamati menggunakan Kunhwa o Rheometer pada suhu 160 C, sesuai dengan ASTM D 2084. Indeks kecepatan vulkanisasi (cure rate index/CRI) dihitung berdasarkan perbedaan waktu optimum dengan waktu scorch sesuai dengan persamaan (1). 100 CRI = t90 - tS2 .............................................(1)
Pengujian Morfologi Morfologi vulkanisat dipelajari menggunakan alat Scanning Electron Microscophy (SEM) merek JEOL 330 dengan perbesaran 1000x. Potongan melintang vulkanisat diamati untuk mengetahui tingkat dispersi dan distribusi partikel CB didalam matriks karet NBR.
P4 30 40 0,5
P5 35 35 0,5
P6 40 30 0,5
P7 50 20 0,5
P8 70 0 0,5
Kesetimbangan Swelling Pengamatan swelling dilakukan dengan cara perendaman sampel dalam benzen. Sampel vulkanisat NBR berukuran 20x20x2 mm divulkanisasi dengan cetak tekan o menggunakan hidrolik pres pada suhu 160 C 2 dan tekanan 150 kg/cm . Berat awal sampel (W0) diukur, kemudian sampel direndam dalam benzen (dalam botol difusi) dengan massa molar MS pada suhu kamar. Secara periodik sampel diambil, sisa pelarut yang menempel pada permukaan sampel dibersihkan dengan kertas tisu. Sampel ditimbang dan diperoleh berat tertentu (Wt), kemudian sampel dikembalikan kedalam botol. Pengamatan dilakukan sampai diperoleh berat sampel yang tetap (W1). Jumlah pelarut yang diserap oleh vulkanisat pada waktu t (Q t ), dinyatakan dalam persamaan (2). Qt =
Wo - W1 Ms x 100 ................................ (2) Wo
Jika Ms adalah molaritas pelarut (Mathew, et.al., 2006; Dasan, et.al., 2008; Manoj, et.al., 2011). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Vulkanisasi Rheometer merupakan instrumen yang baik untuk mengevaluasi efek interaksi CB dengan karet pada kecepatan vulkanisasi dan pembentukan ikatan silang (cross linking), dan tujuannya adalah untuk mengetahui parameter-parameter kritis yang terkait dengan proses vulkanisasi. Gambar 1 menunjukkan torsi minimum dan maksimum pada vulkanisat NBR.
PENGARUH VARIASI HAF/SRF TERHADAP SIFAT ........(Ihda Novia Indrajati, dkk.)
61
Torsi, lb.in
Gambar 1. Torsi minimum dan maksimum pada vulkanisat NBR Torsi minimum (M L ),adalah torsi lelehan karet yang belum tervulkanisasi pada o 160 C, dan ML merupakan indikator derajat pembentukan ikatan silang.Proses komponding NBR dengan CB selama periode waktu tertentu memberikan kesempatan pada rantai molekul NBR kontak dengan CB dan terperangkap didalam ruang kosong (void) dari agregat CB. Rantai molekul NBR menjadi tidak bebas bergerak (immobile) dan terlokalisasi. Pembentukan ikatan silang secara fisik menghambat mobilitas rantai molekul dan menahan deformasi karet. Menurut Li, et.al. (2008) dan Manoj, et.al. (2010) bahwa luas permukaan CB mempunyai peran penting untuk tingkat kerapatan ikatan silang yang terbentuk. Bila luas permukaan bertambah, maka jumlah rantai yang terperangkap pada agregat CB juga bertambah, demikian pula dengan ikatan silangnya. Gambar 1 menunujukkan P1 mempunyai ML lebih rendah daripada P8. Hal ini dapat dijelaskan bahwa HAF mempunyai luas permukaan yang lebih besar daripada SRF. Oleh karena itu, partikel HAF memberikan kemungkinan lebih besar bagi rantai molekul NBR untuk terperangkap dalam agregatnya. Vulkanisat dengan campuran HAF dan SRF (P2-P7) secara umum menunjukkan kecenderungan naik dan mencapai nilai maksimum pada P3, kemudian turun. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada P2 sampai dengan P3 HAF memberikan peran besar bagi terbentuknya ikatan silang secara fisik, yaitu dengan menyediakan luas permukaan yang besar. SRF meskipun mempunyai luas permukaan lebih kecil, namun dalam jumlah yang besar juga 62
memberikan kontribusi yang penting bagi terbentuknya ikatan silang secara fisik. Bertambahnya jumlah HAF pada vulkanisat menyebabkan penurunan ML. Meskipun luas permukaan yang disediakan HAF besar, namun pencampurannya lebih sulit dan besar kemungkinannya membentuk agregat sehingga dispersi dan distribusi partikel bahan pengisi yang homogen akan sulit dicapai (Jovanović, et.al., 2009). P5 memberikan nilai ML lebih rendah daripada P4 maupun P6. Selama proses vulkanisasi berlangsung selain terbentuk ikatan silang secara fisik juga terbentuk ikatan silang secara kimiawi sebagai hasil reaksi antara molekul karet dengan beberapa reagensia vulkanisasi. Perbedaan torsi maksimum (MH) dan minimum (ML), yang disebut sebagai ∆M, merupakan indikator atau penunjuk derajat kerapatan ikatan silang kimiawi (Li, et.al., 2008;Jovanović, et.al., 2009; Rattanasom dan Prasertsri, 2009). Kerapatan ikatan silang yang terbentuk, seperti ditunjukkan Gambar 1. Secara umum terdapat kecenderungan naik sampai mencapai nilai maksimum (P3) dan kemudian turun lagi. Perbedaan MH dan ∆M yang mencolok terlihat pada vulkanisat dengan bahan pengisi tunggal (P1 dan P8). HAF dengan ukuran partikel kecil memberikan nilai yang lebih tinggi daripada SRF dengan ukuran partikel yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan penemuan Rattanasom dan Prasertsri (2009) yang menyebutkan bahwa ukuran partikel CB yang kecil memperlihatkan perbedaan torsi tinggi daripada partikel dengan ukuran besar. Pembentukan ikatan silang kimiawi tidak hanya dipengaruhi oleh reaksi kimia antara reagensia vulkanisasi dengan karet tetapi juga turut mempengaruhi adalah ikatan kimia antara karet dengan gugus fungsi pada permukaan carbon black. Sulfur yang pada permukaan carbon black turut meningkatkan vulkanisasi (Li, et.al., 2008; Manoj, et.al., 2010). SRF dilaporkan oleh Li, et.al. (2008) tidak mempunyai gugus sulfur pada permukaan partikelnya, sehingga MH dan ∆M nya yang lebih rendah daripada HAF yang ditambah. Hal ini dapat dijelaskan perbedaan MH pada saat digunakan bahan pengisi tunggal. Waktu scorch (t S2 ), optimum vulkanisasi 90% (t90) dan indeks kecepatan
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 59-68
Tabel 2. Karakteristik vulkanisasi
Kode t S2 , det P1 295 P2 109 P3 100 P4 114 P5 133 P6 122 P7 112 P8 105
t 90, det CRI, det -1 615 0,31 286 0,56 250 0,67 272 0,63 347 0,47 349 0,44 272 0,63 289 0,54
Gambar 2c dan d, dan terlihat bahwa P2 lebih homogen bila dibanding pada P6. Jumlah HAF pada P2 lebih sedikit bila dibanding pada P6 sehingga dalam proses pencampuran akan lebih mudah diperoleh dispersi bahan pengisi yang homogen.
reaksi vulkanisasi (Cure Rate Index/CRI) ditunjukkan oleh Tabel 2. Waktu scorch merupakan indikator keamanan olah (scorch safety), dan meningkat d e n g a n n a i k n y a w a k t u s c o rc h . P 1 memberikan tS2 tertinggi, sehingga memberikan keamanan olah yang lebih tinggi. Pada bahan pengisi ganda (P2-P7), secara umum tS2 dan t90 naik, mencapai nilai maksimum pada P6 dan kemudian turun lagi.Kecenderungan yang sama juga ditunjukkan oleh nilai t90. Indeks kecepatan reaksi vulkanisasi merupakan pengukuran kecepatan reaksi vulkanisasi berdasarkan pada perbedaan waktu vulkanisasi optimum dan waktu scorch, saat vulkanisasi dimulai. Makin tinggi CRI maka makin tinggi pula kecepatan vulkanisasi (Al Minath et.al., 2011). Nilai CRI maksimum dijumpai pada P3, dengan demikian reaksi vulkanisasi pada sistem P3 berlangsung paling cepat dan baik. Sifat Morfologi Vulkanisat Morfologi vulkanisat NBR diamati menggunakan metode Scanning Electron Microscopy (SEM) dengan perbesaran 1000x, dan fotonya seperti tersaji pada Gambar 2. Gambar 2 a dan b menunjukkan morfologi vulkanisat yang menggunakan bahan pengisi tunggal, yaitu hanya HAF (P8) atau SRF (P1). P1 terlihat lebih homogen dibanding P8. Hal ini dapat dijelaskan bahwa partikel HAF mempunyai ukuran lebih kecil daripada SRF, sehingga dalam proses pencampuran dengan two roll mill akan lebih sulit terdistribusi secara homogen. Morfologi vulkanisat dengan bahan pengisi ganda (campuran antara HAF dan SRF) ditunjukkan
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2. Foto SEM vulkanisat NBR, (a) P1; (b) P8; (c) P2 dan (d) P6
PENGARUH VARIASI HAF/SRF TERHADAP SIFAT ........(Ihda Novia Indrajati, dkk.)
63
Gambar 3. Mol uptake pelarut pada variasi rasio HAF/SRF Pola serapan benzen oleh vulkanisat NBR seperti yang ditunjukkan Gambar 3 secara umum memiliki kecenderungan yang sama hanya berbeda tingkat serapannya. Pola serapan pada Gambar 3 terbagi atas 2 (dua) zona. Zona pertama merupakan uptake pelarut pada awal perendaman. Kecepatan swelling sangat tinggi pada daerah ini karena gradien konsentrasi yang cukup besar dan pelarut stress yang sangat kuat bekerja pada sampel polimer, dan kondisi demikian ditunjukkan oleh kenaikan kurva. Zona kedua diindikasikan dengan berkurangnya kecepatan swelling karena turunnya gradien konsentrasi dan pada akhirnya mencapai kesetimbangan. Hal ini berarti gradien konsentrasi mencapai nol (Stephen et. al., 2006).Kesetimbangan lokal tersebut diasumsikan terjadi pada seluruh titik selama proses difusi dan ekivalen dengan swollen state. Mostafa et. al. (2009) melaporkan tren yang sama, menggunakan karet NBR dengan N-550 sebagai bahan pengisi, bahkan P1 64
memberikan uptake pelarut tertinggi untuk bahan pengisi tunggal, dan uptake pelarut P1 lebih besar daripada P8. Kondisi ini berkaitan dengan kerapatan ikatan silang (ditunjukkan oleh ΔM nya seperti ditunjukkan olehTabel 3), sedangkan P8 memberikan ΔM lebih tinggi dibanding P1.Vulkanisasi menghambat pergerakan rantai molekul secara makro, tetapi menyisakan pergerakan lokal segemental yang tinggi. Penambahan CB dapat memodifikasi kondisi tersebut. Melalui proses wetting pada saat pencampuran two roll mill terjadi penempelan rantai molekul karet pada permukaan CB. Segmen-segmen polimer dibasahi (wet) dengan adsorpsi secara bertingkat permukaan partikel CB terhadap rantai molekul karet. Penguatan (reinforcement) oleh CB menghambat pergerakan lokal yang bebas rantai karet makromolekul dan oleh karenanya meningkatkan ketahanan terhadap pelarut. Carbon black (CB) meningkatkan kerapatan ikatan silang, sehingga meningkatkan kontribusi elastisitas terhadap jaringan. Ikatan silang tersebut menghambat daya mulur rantai karet yang diinduksi oleh swelling, akibatnya difusi pelarut ke dalam celah (gap) diantara molekul karet menjadi sulit, sehingga menurunkan persentase swelling dan mencegah terjadinya pemutusan rantai. Oleh karena itu, swelling dapat dikurangi dengan meningkatkan jaringan molekul karet (Mostafa, et. al., 2009; Lu, et. al., 2009; Manoj, et. al., 2011). Mekanisme Perpindahan Difusi pelarut terkait dengan sifat fisik jaringan polimer dan interaksi antara polimer dengan pelarut tersebut. Alfrey et. al. dalam Masaro and Zu (1999) mengklasifikasikan difusi berdasarkan kecepatan difusi pelarut dan kecepatan relaksasi polimer kedalam 2 (dua) jenis, yaitu Fickian (kasus I) dan NonFickian (kasus II dan anomali). Jumlah pelarut yang diserap per satuan luas unit polimer pada waktu t didefiniskan pada persamaan 3 (Stephen et. al., 2007, Al Minnath, et. al., 2011). log
(QQt ) = log k + n log t ...................(3) 8
Kesetimbangan Swelling Swelling pada vulkanisat dengan bahan pengisi CB terjadi karena keberadaan tekanan antara jaringan (network) karet dengan pelarut yang bekerja untuk mengembangkan (swell) atau mengerutkan (shrink) jaringan tersebut. Swelling terjadi karena ekspansi polimer dan tersedianya free volume yang lebih banyak untuk memfasilitasi perpindahan massa pelarut. Teori free volume menjelaskan bahwa proses difusi atau migrasi diatur oleh jumlah free volume dan ukuran molekul zat yang bermigrasi (Cassidy dan Aminabhavi, 1985).
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 59-68
N 0,80 0,62 0,58 0,68 0,70 0,67 0,56 0,64
k (g/g detn) 0,30 0,20 0,17 0,23 0,23 0,23 0,13 0,21
Pada kondisi ini kecepatan difusi dan relaksasi segmen polimer adalah sebanding. Penyimpangan dari tipe Fickian diasosiasikan dengan waktu yang dibutuhkan oleh segmen
8
8
= 1 - ( π8 ) Σn=0 [ (2n 1+ 1) n=
Qt Q
2
2
exp [-D(2n+1)
2
π 2 ht2
...(4)
Jika t adalah waktu, h adalah ketebalan awal sampel, D adalah koefisien difusi dan n merupakan integer. Dari persamaan tersebut ½ dapat dilihat bahwa plot Qt versus t adalah linier untuk waktu yang pendek dan D dapat dihitung dari slope awal, sehingga persamaan (4) menjadi persamaan (5). Qt Q
½
= π4 ( hD) t ...................................(5)
Koefisien difusi dapat dihitung dengan memanipulasi persamaan (5) menjadi persamaan (6). D
=
π
2
( ) ..........................................(6) hθ 4Q
8
Kode P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8
Parameter Kinetika Proses difusi merupakan parameter kinetik yang berhubungan dengan ukuran penetran dan mobilitas segmen polimer. Koefisien difusi sampel polimer yang direndam dalam pelarut tertentu dihitung menggunakan persamaan (4).
8
Tabel 3. Nilai n dan k vulkanisat NBR dengan berbagai rasio HAF/SRF
karet untuk merespon swelling stress dan menata ulang kembali untuk mengakomodasi molekul pelarut. Penguatan oleh partikel bahan pengisi memberikan pembatasan dengan derajat yang tinggi terhadap proses penataan ulang rantai molekul karet. Nilai k yang diberikan P1 merupakan nilai yang paling maksimum, sedangkan nilai paling minimum diberikan oleh P7. Sedangkan vulkanisat lainnya memberikan nilai yang hampir sama, sehingga dapat dikatakan interaksi pelarut dengan polimernya relatif sama.
[[
Jika Qt dan Q∞ adalah mol % uptake pada waktu t dan waktu kesetimbangan, k merupakan konstanta yang bergantung pada karakteristik struktural polimer dan memberikan informasi mengenai interaksi antara polimer dengan pelarut, dan n adalah parameter yang berkaitan dengan mekanisme difusi, dan nilai n berkisar antara 0,5 – 1. Tipe Fickian (kasus I) mempunyai nilai n=0,5, dimana kecepatan relaksasi rantai polimer lebih tinggi dibanding dengan kecepatan difusi dari penetran. Tipe non-Fickian terdapat 2 (dua) jenis, yaitu kasus II dan anomali. Kasus II mempunyai kecepatan difusi yang lebih cepat daripada kecepatan relaksasi, sedangkan pada anomali kecepatan difusi dan relaksasi mempunyai orde yang sama. Nilai n=1 mengindikasikan perpindahan mendekati tipe non-Fickian (Kasus II), dimana kecepatan relaksasi rantai polimer lebih rendah daripada difusi cairan. Nilai n antara 0,5–1 mengindikasikan anomali perpindahan (Masaro dan Zu, 1999). Nilai k dan n untuk vulkanisat dengan berbagai rasio HAF/SRF diperoleh dengan analisa regresi dengan memplotkan log (Qt /Q∞ ) versus log t, dan hasilnya disajikan pada Tabel 3. Nilai n P1 hingga P8 memberikan harga diatas 0,5 yang berarti mekanisme perpindahan pada vulkanisat tersebut diklasifikasikan sebagai anomali.
Jika θ adalah slope awal pada plot Qt versus t½ dan Q∞ merupakan persen mol uptake pada kesetimbangan (Stephen et. al., 2007). Persamaan (6) digunakan untuk sistem tanpa swelling yang kentara. Jika swelling
PENGARUH VARIASI HAF/SRF TERHADAP SIFAT ........(Ihda Novia Indrajati, dkk.)
65
diperhitungkan maka perlu koreksi terhadap swelling polimer dengan cara memasukkan φ, faksi volum polimer pada massa swollen, oleh karena itu memberikan nilai koefisien difusi intrinsik D* seperti pada persamaan (7).
difusi intrinsik yang lebih besar dibanding P8. Free volume yang diberikan oleh SRF lebih besar daripada oleh HAF karena perbedaan ukuran partikel. Vulkanisat dengan bahan pengisi HAF/SRF diharapkan mampu memberikan jumlah free volume yang rendah. Namun, dispersi bahan pengisi di dalam D D = 7 .....................................................(7) matriks polimer juga turut mempengaruhi jumlah free volume. Bila dispersi bahan φ3 pengisi di dalam matriks buruk, maka akan Fraksi volum polimer, φ, pada massa swollen timbul ruang kosong (void) pada lapisan antara (interface) yang akan mendorong dihitung menggunakan persamaan (8). naiknya jumlah free volume. w1 / ρ1 φ= ..................................(8) w1 / ρ1 + w2 / ρ2 Tabel 4. Parameter kinetika difusi Jika w1 dan ρ1 adalah berat dan densitas sampel polimer, sedangkan w2 dan ρ2 adalah berat dan densitas pelarut(Al Minnath et. al., 2011). Koefisien difusi intrinsik disajikan pada Tabel 4. Menurut teori free volume untuk proses difusi pada polimer, kecepatan difusi sebuah molekul tergantung terutama pada mudah atau tidaknya segmen polimer bertukar posisi dengan molekul penetran. Sebagai tambahan, mobilitas polimer tergantung pada jumlah free volume di dalam matrik (Gambar 4). Bahan pengisi akan mengisi free volume dan membentuk jalur yang berliku (turtuous path) bagi molekul penentran. Derajat jalur berliku ini dipengaruhi oleh fraksi volume, bentuk serta orientasi bahan pengisi (George and Thomas, 2001). Free volume Rantai polimer
Partikel HAF Partikel SRF
Gambar 4. Ilustrasi free volume dalam matriks NBR Jika jumlah free volume dalam matriks polimer kecil, maka mobilitas rantai polimer akan rendah. Sehingga kecepatan difusi molekul penetran kedalam matriks polimer akan rendah pula. P1 mempunyai koefisien 66
Kode
D*(102 cm2/s)
S
P (102 cm2/s)
P1
7,29
0,78
5,67
P2
3,28
0,62
2,02
P3
3,91
0,64
2,52
P4
5,03
0,70
3,48
P5
6,72
0,62
4,14
P6
3,99
0,69
2,76
P7
3,40
0,69
2,35
P8
4,87
0,64
3,13
*
Koefisien difusi intrinsik, D , pada Tabel 4 menunjukkan bahwa vulkanisat dengan * rasio HAF/SRF 0/70 (P1) memberikan D paling tinggi, sedangkan P8, dimana rasio * HAF/SRF 70/0, mempunyai harga D yang lebih rendah daripada P1. Teori free volume diatas dapat menjelaskan alasan untuk kondisi tersebut. SRF memiliki ukuran partikel yang lebih besar bila dibanding HAF, oleh karena itu akan memberikan free volume yang lebih banyak. Konsekuensinya akan meningkatkan difusivitas molekul penetran kedalam matriks NBR. Vulkanisat dengan bahan pengisi ganda relatif memberikan nilai D* lebih rendah daripada P8, kecuali untuk P4 dan P5. Pada kedua vulkanisat tersebut fraksi volume HAF dan SRF didalam matriks NBR hampir sama. Fraksi HAF yang besar akan memberikan
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 59-68
dispersi yang kurang baik seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2d. Akibatnya D* naik karena jumlah free volume dalam matriks NBR meningkat, sedangkan P2, P3, P6 dan P7 * memberikan D lebih rendah daripada vulkanisat lainnya karena fraksi HAF dan SRF dalam matriks mampu memberikan jumlah free volume yang rendah, sehingga meningkatkan derajat jalur liku (turtuosity) bagi molekul penetran untuk berpenetrasi * kedalam matriks NBR. Nilai D yang rendah menunjukkan interaksi NBR dengan CB dalam matriks relatif tinggi. Permeasi molekul penetran kedalam polimer tidak hanya bergantung pada difusivitas, tetapi juga pada solubilitas atau kemampuan menyerap (sorption) dari penetran. Koefisien serapan, S, yang berkaitan dengan kesetimbangan serapan maksimum penentran dihitung menggunakan persamaan (9). ∞ s= M ......................................................(9) M p
Jika M∞ adalah massa pelarut pada kesetimbangan swelling dan Mp adalah massa awal sampel polimer. Tabel 4 menyajikan koefisien serapan S untuk vulkanisat NBR pada berbagai rasio HAF/SRF. Nilai S maksimum diberikan oleh P1, yang berarti bahwa massa pelarut diakomodasi paling baik pada sistem P1. Hal ini terkait dengan jumlah Free volume yang tersedia pada sistem tersebut. Proses permeasi merupakan kombinasi proses penyerapan dan difusi, dan oleh karena itu tergantung pada koefisien penyerapan (S) dan difusinya (D*). Koefisien permeasi dihitung dengan persamaan (10). *
P = D S ...................................................(10) Secara lengkap nilai P disajikan pada Tabel 4, jika nilai P maksimum diberikan oleh P1. Secara umum nilai P vulkanisat NBR pada berbagai rasio HAF/SRF menunjukkan tren yang sama dengan D*.
KESIMPULAN Karakteristik vulkanisasi vulkanisat dengan bahan pengisi ganda HAF dan SRF menunjukkan dampak positif daripada dengan bahan pengisi tunggal yaitu HAF atau SRF saja. Kerapatan ikatan silang yang diwakili oleh ∆M, maksimum pada P3, demikian pula dengan CRI. Kesetimbangan swelling memberikan gambaran mengenai banyaknya pelarut yang diserap (uptake) oleh vulkanisat. Serapan maksimum terjadi pada P1. Mekanisme perpindahan massa vulkanisat NBR diklasifikasikan sebagai perpindahan anomalus dengan nilai n>0,5 pada semua rasio HAF/SRF, sedangkan konstanta k mempunyai * nilai yang relatif sama. Nilai D , S dan P menunjukkan tren yang sama, dan nilai maksimum dijumpai pada P1. DAFTAR PUSTAKA Al Minnath, M., Unnikrishnan, G. and Purushothaman, E., 2011. Transport studies of thermoplastic polyurethane/natural rubber (TPU/NR) blends, J. Membrane Sci. 379 : 361-369. Barlow, F. W., 1993.Rubber Compounding: Principles, Materials and Techniques, 2nd Ed., Marcel Dekker, Inc., New York Cassidy, P. E. and Aminabhavi, T. M., 1985. Water permeation through elastomer laminates: 3. Neoprene/styrenebutadiene rubber, Polymer 27:13961399. Choi, S. and Ha, S., 2009, Influence of the swelling temperature and acrylonitrile content of NBR on the water swelling behaviors of silica-filled NBR vulcanizates, J. Ind. Eng. Chem. 15 : 167-170. Dasan, K. P., Unnikrishnan, G. and Purushothaman, E., 2008.Pelarutt transport through carbon black filled poly(ethylene-co-vinyl acetate) composites,eXPRESS Polymer Letter 2 (5) : 382-390. Franta, I., Vondracek, P., Meissner, B. and Duchacek, V., 1989. Compounding Materials and Special Purpose Additives, in I. Franta (Ed.), Elastomers and Rubber Compounding Materials, S T N L - P u b l i s h e r o f Te c h n i c a l
PENGARUH VARIASI HAF/SRF TERHADAP SIFAT ........(Ihda Novia Indrajati, dkk.)
67
Literature, Prague. Jovanović, V., Simendic, J. B., Jovanovic, S. S., Markovic, G. and Milena, M. C., 2009. The influence of carbon black on curing kinetics and thermal aging of a c r y l o n i t r i l e - b u t a d i e n e r u b b e r, CI&CEQ 15(4): 283-289. Li, Z. H., Zhang, J. and Chen, S. J., 2008. Effect of carbon blacks with various structures on vulcanization and reinforcement of filled ethylenepropylene-diene rubber, eXPRESS Polymer Letter 2(10): 695-704. Lu, Y., Zhang, J., Chang, P., Quan, Y. And Chen, Q., 2010, Effect of filler on compression set, compression stressstrain behaviour, and mechanical properties of polysulfide sealants, J. Appl. Polym Sci 120: 2001-2007. Abu-Abdeen, M. and Elamer, I., 2010. Mechanical and swelling properties of thermoplastic elastomer blends, Mat. Des. 31 : 808-815. Masaro, L. and Zu, X. X., 1999. Physical models of diffusion for polymer solutions, gels and solids, Prog. Polym. Sci. 24 : 731-775. Mathew, L., Joseph, K. U. and Joseph, R., 2006. Swelling behaviour of isora/natural rubber composites in oils used in automobiles, Bull. Mater. Sci. 29 (1) : 91-99. Manoj, K. C., Kumari, P., Unnikrishnan, G., 2011. Cure Properties, swelling behaviors and mechanical properties of carbon black filler reinforced EPDM/NBR blend system, J. Appl. Polym. Sci., 120 : 2654-2662.
68
Mostafa, A., Aboel-Kasem, A., Bayoumi, M. R. and El-Sebaie, 2009. Effect of carbon black loading on the swelling and compression set behavior of SBR and NBR rubber compound, J. Mater. Des. 30 : 1561-1568. Mostafa, A., Aboel-Kasem, A., Bayoumi, M.R. and El-Sebaie, 2009. Insight into the effect of CB loading on tension, compression, hardness and abrasion properties of SBR and NBR filled compounds, J. Mater. Des. 30 : 17851791. Stephen, R., Joseph, K., Oomen, Z. and Thomas, S, 2007. Molecular transport of aromatic pelarutts through microcomposites of natural rubber and carboxylated styrene butadiene rubber (XSBR) and their blends, Composites Sci. Tech. 67 : 1187-1194. Rattanasom, N., Saowapark, T. and Deeprasertkul, C., 2007. Reinforcement of natural rubber with silica/carbon black hybrid filler, Polym. Test. 26 : 369. Rattanasom, N. and Prasertsri, S., 2009. Relationship among mechanical properties, heat ageing resistance, cut growth behaviour and morphology in natural rubber: Partial replacement of clay with various types of carbon black at similar hardness level, Polym. Test. 28 : 270-276. Unnikrishnan, G. and Sabu, T. 1995. Sorption and diffusion of aromatic hydrocarbons through filled natural rubber, Polymer 37 (13) : 2687-2693.
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 59-68
PENGARUH PENGGUNAAN LUMPUR LIMBAH INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT TERHADAP PENYERAPAN KROM PADA TANAMAN SAWI THE EFFECT OF LEATHER TANNING INDUSTRY WASTE UTILIZATION ON CHROMIUM ADSORPTION OF GREEN MUSTARDS A. R. Budi Darmawan Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru Email:
[email protected] Diterima: 10 April 2011 Direvisi: 20 April 2012 Disetujui: 23 Mei 2012 ABSTRACT The aims of research was to study the effect of contaminated soil with tannery industrial wastesludge, and absorption level of chromium by the green mustard. The experiment was carried out in Kayen, Sleman, Yogyakarta for 3 months. The form of a pot experiment using a full factorial design 2x3 and 2 additional treatments as a control was set out in Completely Randomized Design (CRD), using 15 units of pots as replicates. The first factor consists of two varieties of mustard, which is kailan (chinesse kale) and spoon mustard greens (pak choy green). The second factor consists of 3 doses of leather tanning industry waste, i.e 500 mg chromium/kg soil, 1000 mg chromium/kg soil, 1500 mg chromium/kg soil. Control treatment was the planting of two varieties of mustard without the addition of sewage sludge. Preparation of sewage sludge was carried out by mixing the sewage sludge into the planting medium consisting of a mixture of soil, compost and manure treatments in accordance with the treatment. Observations made by harvesting the plants at the age of 3 and 6 weeks after planting for the next shoots and roots of plants and chromium content of growing media was analyzed. The results showed that the accumulation of chromium in the roots of plants was greater than in the plant canopy for the two types of mustards either good harvested at the age of 3 or 6 weeks after planting, and the content of chromium in plant tissues of mustard as part of vegetable that generally consumed exceeds the threshold of human daily consumption (0,035 mg/kg daily consumption). Keywords: chromium, leather tanning industrial waste, mustards
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh tanah yang terkontaminasi limbah industri penyamakan kulit terhadap sifat dan tingkat penyerapan krom pada tanaman sawi. Penelitian dilaksanakan di Kayen, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta selama 3 bulan. Percobaan dengan pot menggunakan rancangan faktorial 2x3 lengkap dan 2 perlakuan tambahan sebagai kontrol yang diatur dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan 15 unit pot sebagai ulangan percobaan. Faktor pertama terdiri atas 2 varietas sawi, yaitu kailan (chinesse kale) dan sawi sendok (pak choy green). Faktor kedua terdiri atas 3 aras takaran limbah industri penyamakan kulit, yaitu 500 mg krom/kg tanah, 1000 mg krom/kg tanah, 1500 mg krom/kg tanah. Perlakuan kontrol adalah penanaman 2 varietas sawi tanpa pemberian lumpur limbah. Pemberian limbah dilakukan dengan mencampur lumpur limbah ke dalam media tanam yang terdiri atas campuran tanah, kompos dan pupuk kandang sesuai dengan variasi perlakuan. Pengamatan dilakukan dengan memanen tanaman saat umur 3 dan 6 minggu setelah tanam untuk selanjutnya tajuk dan akar tanaman serta media tanam dianalisa kandungan kromnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akumulasi krom di bagian perakaran tanaman lebih besar dibandingkan di bagian tajuk tanaman untuk kedua jenis sawi baik pada umur panen 3 maupun 6 minggu setelah tanam ternyata kandungan krom dalam jaringan tanaman sawi bagian tajuk yang lazim dikonsumsi melebihi ambang batas konsumsi harian manusia yang ditetapkan sebesar 0,035 mg/kg per hari. Kata kunci: kromium, limbah industri penyamakan kulit, sawi PENGARUH PENGGUNAAN LUMPUR LIMBAH.................(A. R. Budi Darmawan)
69
PENDAHULUAN Industri penyamakan kulit merupakan jenis industri yang menghasilkan limbah dan potensial menimbulkan masalah pencemaran. Proses pengolahan kulit, meski memberi nilai tambah besar pada kulit mentah, namun berpotensi menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan karena penggunaan bahan-bahan kimia dalam prosesnya yang berpotensi membahayakan lingkungan. Apabila penggunaan bahan-bahan kimia tersebut tidak dibatasi dan dikelola dengan baik, akibatnya dapat mengancam keseimbangan lingkungan dan kesehatan manusia. Lumpur limbah yang banyak mengandung krom akan mengganggu dan mencemari lingkungan apabila lumpur limbah tersebut tidak diolah ataupun dimanfaatkan. Pada beberapa industri penyamakan kulit lumpur limbahnya hanya ditampung dalam karung-karung plastik dan kemudian dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) atau dibuang di lahan yang digunakan untuk tempat pembuangan. Pemanfaatan lahan tempat pembuangan lumpur limbah penyamakan kulit untuk usaha budidaya tanaman memiliki dampak yang merugikan karena besarnya kemungkinan akumulasi logam berat utamanya krom dalam tanah. Logam berat tersebut dapat ikut terserap oleh akar yang selanjutnya dibawa ke jaringan akar, batang, daun, buah atau biji tanaman sehingga bila masuk ke dalam rantai distribusi dan konsumsi pangan akan dapat meracuni manusia atau hewan yang mengkonsumsinya. Terakumulasinya krom dalam jumlah besar di tubuh manusia jelas-jelas mengganggu kesehatan karena krom memiliki dampak negatif terhadap organ hati, ginjal serta bersifat racun bagi protoplasma makhluk hidup. Selain itu juga berdampak sebagai karsinogen (penyebab kanker), teratogen (menghambat pertumbuhan janin) dan mutagen (Chaney et al., USEPA, 2000 cit. Schiavon et al., 2008). Lumpur industri penyamakan kulit biasanya mengandung kalsium (Ca) 10-30 %, nitrogen (N) 2-10 %, krom (Cr) 0,2-3 %, besi (Fe) 0-12 % dan aluminium (Al) 0-6 % (jika garam fero dan aluminium digunakan untuk 70
proses pengendapan) (Jun et al., 2009). Apabila Cr dalam lumpur terakumulasi di tanah dalam bentuk krom hidroksida, maka senyawa krom tersebut tidak larut dan bersifat toksik. Telah dilaporkan bahwa 90 % penyamakan kulit di dunia menggunakan senyawa krom. Persentase krom yang dibuang sebagai limbah cair dari sebuah industri penyamakan kulit mencapai 25 % dari total limbah dengan konsentrasi 8.000 ppm (Saleh, 2007). Pencemaran Cr valensi 6 dalam tingkat yang sangat tinggi (14.600 mg/kg pada air tanah dan 25.900 mg/kg di tanah) dilaporkan di lokasi industri United Chrome Products, Corvallis, Oregon (Krishnamurthy dan Wilkens, 1994 cit. Ghani, 2011). Di India, sekitar 2.000-32.000 ton unsur Cr terbuang ke lingkungan setiap tahunnya dan itu berasal dari industri penyamakan kulit (Shanker et al., 2005) Upaya membatasi limbah dapat dilakukan melalui pengurangan limbah pada sumbernya dan apabila mungkin dilakukan pemanfaatan limbah melalui cara penggunaan kembali (reuse), daur ulang (recycle), dan perolehan kembali (recovery). Kromium adalah logam dengan jumlah terbanyak ketujuh yang ada di kerak bumi (Katz dan Salem, 1994 cit. Panda dan Choudhury, 2005) dan ditemukan di semua bagian dari lingkungan termasuk di udara, air dan tanah dalam jumlah yang wajar. Kisaran normal Cr di alam mulai dari 10 hingga 50 mg/kg tergantung dari material induknya (Pandey dan Pandey, 2008 cit. Akinci dan Akinci, 2010). Kromium tergolong mineral penting yang dibutuhkan dalam jumlah kecil (essential trace mineral) yang tidak dapat diproduksi oleh tubuh sehingga harus dipasok dari makanan sehari-hari. Zat ini sangat diperlukan bagi hampir semua jaringan tubuh manusia, termasuk kulit, otak, otot, limpa, ginjal dan testis. Kromium berperanan mengendalikan metabolisme insulin yang mengontrol kadar gula darah (sebagai glucose tolerance factor/GTF), membantu proses pencernaan protein dan lemak, menurunkan kadar trigliserid dan kolesterol darah. Tanaman telah menunjukkan kapasitas
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 69-78
bertahan pada bahan kimia organik pada konsentrasi tinggi tanpa efek keracunan serta dapat mengambil dan mengubah bahan kimia tersebut secara cepat dan menjadi kurang toksik. Tanaman menstimulasi penurunan bahan kimia organik di rhizosfer dengan cara melepas eksudat akar, enzim dan penambahan karbon organik di tanah. Keberadaan kontaminan logam berat pada tanaman menunjukkan potensi untuk melakukan fitoekstraksi (penyerapan dan pemulihan kontaminan sampai diatas biomassa tanah), menyaring logam berat dari air melalui sistem perakaran (rhizofiltrasi), fitodegradasi (melakukan metabolisme kontaminan dengan bantuan enzim dalam jaringan tanaman), stabilisasi tempat pembuangan dengan mengontrol erosi dan evapotranspirasi air dalam jumlah besar (fitostabilisasi) dan penyerapan kontaminan serta melepasnya ke udara lewat daun (fitovolatilisasi) (Meuser, 2012). Akumulasi Cr yang berbeda-beda pada bagian-bagian tanaman telah dilaporkan. Akar mengakumulasi 10-100 kali lebih banyak Cr dibanding tunas dan jaringan lainnya. Pada buncis, sedikitnya 0,1 % dari total Cr yang berakumulasi ditemukan pada biji, sedangkan konsentrasi pada akar mencapai 98 % dari total penyerapan Cr. Shallari et al. (1994) cit. Masdin (2010), yang mengumpulkan tanaman-tanaman yang ditanam di tanah yang mengandung garam tinggi (serpentin), dan menemukan bahwa Herniaria hirusta merupakan akumulator Cr yang tinggi. Selain itu tanaman air eceng gondok (Eichhornia crassipes) telah menunjukkan kapasitas yang tinggi untuk mengakumulasi Cr mencapai 6 mg/hari berat kering telah dideteksi pada akar tanaman ini yang tumbuh pada 10 ppm Cr valensi 6. Besarnya akumulasi Cr (160-350 mg Cr/kg berat kering pada akar dan mencapai 1,6-2,0 mg Cr/kg berat kering pada tunas) diamati untuk kol kembang, sayur hijau, dan cabe. Tanaman-tanaman tersebut diketahui sebagai spesies penyuka sulfur, tetapi tidak untuk kacang polong, strawberi, atau selada. BAHAN DAN METODE Bahan penelitian Bahan-bahan penelitian terdiri atas
benih sawi Kailan (Chinesse Kale) dan sawi sendok (Pak Choy Green) diperoleh dari PT. Sang Hyang Seri (Persero), pupuk kompos, tanah regosol (pasiran) sebagai media tumbuh tanaman, lumpur limbah dari Unit Pengolahan Air Limbah (UPAL) Balai Besar Kulit Karet dan Plastik, Sitimulyo, Yogyakarta. Alat Penelitian Alat penelitian meliputi cangkul, cetok, sabit, nampan pembibitan, polybag plastik kapasitas 5 kg, mistar, timbangan, kertas label, alat tulis, gelas ukur, LI-COR leaf area meter tipe LI-3000 C, oven, alat pengukur pH, Atomic Absorbtion Spectrofotometer (AAS) tipe AA-100 single beam. Cara Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta berupa percobaan pot menggunakan rancangan faktorial 2x3 lengkap dan 2 perlakuan tambahan sebagai kontrol yang diatur dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan 15 unit pot sebagai ulangan. Penelitian dilakukan mulai bulan Desember 2008 s/d Februari 2009. Faktor pertama terdiri atas 2 varietas sawi, yaitu : S1 = Kailan/Chinesse Kale (Brassica oleracea var. alboglabra) S2 = Sawi sendok/Pak Choy Green (Brassica campestris var. chinensis) Faktor kedua terdiri atas 3 aras takaran limbah L2 = 500 mg krom/kg tanah (setara dengan 25 g lumpur limbah/kg media tanah) L3 = 1000 mg krom/kg tanah (setara dengan 50 g lumpur limbah/kg media tanah) L4 = 1500 mg krom/kg tanah (setara dengan 75 g lumpur limbah/kg media tanah) Sebagai pembanding perlakuan, dibuat kontrol untuk masing-masing jenis sawi yaitu dengan menanam sawi tanpa diberikan tambahan lumpur limbah ke dalam media tanam dengan kode S1L1 dan S2L1. Tabel 1. Rancangan percobaan pemberian perlakuan lumpur limbah Jenis sawi Kailan Pakchoy
PENGARUH PENGGUNAAN LUMPUR LIMBAH.................(A. R. Budi Darmawan)
Takaran limbah (mg Cr/kg tanah) 0 500 1000 1500 S1L1 S1L2 S1L3 S1L4 S2L1 S2L2 S2L3 S2L4 71
Penentuan takaran lumpur limbah diatas berdasarkan hasil analisa lumpur limbah menggunakan AAS yang menunjukkan bahwa dalam setiap kg lumpur limbah mengandung krom sebesar 19.985 mg, dengan demikian perhitungan takaran dilakukan memakai rumus : L2 = 500 mg krom/kg tanah = 500 mg/19.985 mg x 1 kg lumpur limbah = 0,025 kg = 25 g lumpur limbah. Sehingga lumpur limbah yang diberikan ke media tanam (tanaman) untuk tiap polybag volume 5 kg sebesar = 25 g x 5 = 125 g lumpur limbah. L3 = 1000 mg krom/kg tanah = 1000 mg/ 19.985 mg x 1 kg lumpur limbah = 0,05 kg = 50 g lumpur limbah. Sehingga lumpur limbah yang diberikan ke media tanam (tanaman) untuk tiap polybag volume 5 kg sebesar = 50g x 5 = 250 g lumpur limbah. L4 = 1500 mg krom/kg tanah = 1500 mg/ 19.985 mg x 1 kg lumpur limbah = 0,075 kg = 75 g lumpur limbah. Sehingga lumpur limbah yang diberikan ke media tanam (tanaman) untuk tiap polybag volume 5 kg sebesar = 75 g x 5 = 375 g lumpur limbah. Pemberian Perlakuan Pemberian kontaminan limbah industri penyamakan kulit dilaksanakan dengan cara memberikan lumpur limbah kedalam polybag media tanam sesuai dengan perlakuan yang telah direncanakan pada saat bibit dipindah ke polybag tanam Pemanenan Pemanenan dilakukan setelah tanaman berumur 3 minggu dari waktu tanam (panen awal atau panen korban) dan 6 minggu setelah tanam (panen akhir). Pemanenan dilakukan dengan mengambil 5 tanaman sebagai sampel untuk tiap kombinasi perlakuan pada panen awal dan 10 sampel tanaman pada panen akhir. Analisis tanah dan tanaman · Analisis media tanam sebelum perlakuan, meliputi : Kadar lengas (%), pH, C total (%), N total (%), Bahan organik (%), P tersedia (ppm), K tersedia (ppm), rasio C/N, Cr total (ppm) 72
· Analisis media tanam sesudah perlakuan, meliputi : Kadar lengas (%), pH, C total (%), N total (%), Bahan organik (%), P tersedia (ppm), K tersedia (ppm), rasio C/N, Cr total (ppm) · Analisis media tanam sesudah panen, meliputi :Kadar lengas (%), pH, C total (%), N total (%), Bahan organik (%), P tersedia (ppm), K tersedia (ppm), rasio C/N, Cr total (ppm) · Analisis kandungan limbah, meliputi : Cr total, pH · Analisis jaringan tanaman, meliputi : Cr dalam tajuk dan akar Analisis dilakukan di Laboratorium Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada menggunakan alat AAS. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Komponen media tanam awal dan limbah industri penyamakan kulit Media tanam yang digunakan dalam penelitian terdiri atas campuran tanah, kompos dan pasir dengan perbandingan 1:1:1. Jenis tanah dalam media tanam termasuk regosol yang secara umum mempunyai sifatsifat (Anonim, 2010) : mengandung bahanbahan yang belum atau baru mengalami pelapukan, tekstur tanah kasar, struktur remah, konsistensi lepas-lepas sampai gembur dan pH berkisar 6-7. Jenis tanah ini lemah dalam pembentukan agregat sehingga peka terhadap erosi dan lolos air, cukup mengandung unsur fosfat dan kalium yang masih segar dan belum diserap tanaman serta memiliki kapasitas tukar kation relatif kecil. Analisis terhadap media tanam yang dilakukan sebelum pemberian limbah bertujuan untuk mengetahui tingkat kesuburan awal, kandungan unsur hara makrodan ada atau tidaknya kandungan kromium (Cr) pada media tanam. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan N total sedang, kandungan P dan K tinggi, kadar C-organik tinggi, nisbah C/N tinggi, bahan organik tinggi dan pH tanah netral. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa dalam media tanam terdapat unsur Cr dengan konsentrasi rendah (Tabel 2). Keberadaan unsur Cr dalam media tanam dimungkinkan
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 69-78
karena secara alamiah Cr ditemukan dalam konsentrasi yang rendah pada batuan, tanah, debu vulkanik dan gas di udara dalam beberapa bentuk senyawa yang berbeda (semisal krom sulfat, krom oksida, krom klorida, kalsium kromat, natrium dikromat dan seng kromat). Selain itu, terdeteksinya Cr dalam media tanam dapat disebabkan tanah yang digunakan untuk media tanam adalah tanah kebun yang diduga pernah menjadi tempat pembuangan berbagai macam sampah atau Cr tersebut berasal dari pupuk kompos yang digunakan sebagai campuran media tanam. Tabel 2. Hasil analisis media tanam sebelum perlakuan Variabel
Media Tanam
Harkat (*)
N total (%) P2O5 (ppm) K2O (ppm) Cr (ppm) C organik (%) C/N rasio pH H2O Bahan Organik (%)
0,412 1.358 1.728 3,457 14,07 34,15 6,61 24,25
Sedang Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Netral Tinggi
(*)
Harkat menurut Laboratorium Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian FTP UGM
Analisis terhadap limbah dilakukan untuk mengetahui kandungan-kandungan unsur yang ada termasuk kadar kromium. Hasil analisis kadar kromium dalam limbah dijadikan dasar untuk menentukan takaran limbah yang diberikan kepada media tanam sesuai perlakuan. Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar krom limbah industri penyamakan kulit sangat tinggi (19.985 ppm), sehingga berpotensi sangat besar mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan bila masuk ke dalam tubuh manusia melalui rantai makanan. Selain mengandung krom dengan kadar sangat tinggi, limbah industri penyamakan kulit juga mengandung unsur N, P, dan K tinggi, C-organik tinggi, nisbah C/N tinggi, kadar bahan organik tinggi dan pH agak masam sehingga lumpur limbah tersebut berpotensi dimanfaatkan sebagai media tanam yang baik setelah kadar kromnya diturunkan pada ambang batas yang rendah.
Tabel 3. Hasil analisis limbah penyamakan kulit Variabel N total (%) P2O5 (ppm) K2O (ppm) Cr (ppm) C organik (%) C/N rasio pH H2O Bahan Organik (%)
Limbah 1,498 1.853 1.611 19.985 44,60 29,77 6,05 21,68
Harkat (*) Tinggi Tinggi Tinggi Sangat tinggi Tinggi Tinggi Agak masam Tinggi
(*) Harkat menurut Laboratorium Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian FTP UGM
2. Komponen media tanam setelah pemberian perlakuan Analisis media tanam yang dilakukan setelah perlakuan (Tabel 4) dibandingkan dengan analisis media tanam setelah panen akhir sawi (panen kedua) untuk mengetahui besarnya penyerapan kromium oleh tanaman dan kehilangan kromium dari media tanam setelah panen sawi dilakukan.
Tabel 4. Kandungan krom (ppm) dalam media tanam setelah perlakuan Perlakuan Tanpa penambahan limbah 500 mg Cr/kg media tanam (125 g) 1000 mg Cr/kg media tanam (250 g) 1500 mg Cr/kg media tanam (375 g)
Kandungan Cr (ppm) 3,457 498,159 1.025,13 1.491,0
Hasil analisis menunjukkan jika makin tinggi penambahan lumpur limbah industri penyamakan kulit ke dalam polybag media tanam yakni mulai 125 g, 250 g sampai dengan 375 g, maka akan memberikan peningkatan kandungan krom dalam media tanam sebesar berturut-turut 498,159 ppm; 1.025,13 ppm dan 1.491 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa makin banyak timbunan lumpur limbah penyamakan kulit yang dibuang ke lahan akan menyebabkan pencemaran yang berat dengan tingginya kadar krom di lahan tersebut. 3. Hasil analisis krom dalam tanaman dan media tanam setelah panen Hasil analisis kandungan krom dalam jaringan tanaman diperlukan untuk
PENGARUH PENGGUNAAN LUMPUR LIMBAH.................(A. R. Budi Darmawan)
73
mengetahui besarnya krom yang dapat diserap tanaman dan terakumulasi di berbagai bagian tanaman saat pertumbuhan tanaman masih berlangsung cepat maupun saat panen akhir dilakukan. Analisis unsur krom yang dilakukan terhadap media tanam tempat tanaman tumbuh sebelumnya juga penting dilakukan untuk mengetahui sisa krom yang masih ada di media tanam dan hilangnya krom ke lingkungan akibat terlindi saat penyiraman dilakukan. 3.1. Hasil analisis krom dalam tanaman 3 minggu setelah tanam (mst) Hasil analisis krom dalam jaringan tanaman saat panen awal (Tabel 5) menunjukkan bila jumlah krom yang terkandung di bagian perakaran tanaman lebih besar dibanding bagian tajuk baik pada kailan maupun pakchoy. Hal ini karena akar merupakan bagian tanaman yang berfungsi menyerap unsurunsur dalam tanah termasuk krom lalu mentranslokasikan ke bagian tanaman yang lain.
Disamping itu krom akan diserap oleh tanaman melalui sistem perakaran secara relatif cepat namun ditranslokasikan ke bagian tajuk (daun) dengan lambat (Akinci dan Akinci, 2010). Penyerapan kromium yang cepat dipengaruhi pula oleh dikeluarkannya eksudat akar yang mengandung asam organik. Asam organik ini dapat membentuk hubungan dengan senyawa krom dan membuatnya tersedia untuk diserap tanaman (Bartlett dan James, 1988 cit. Panda dan Choudhury, 2005). Persentase penyerapan krom semakin meningkat pada kailan dan pakchoy seiring pertambahan takaran limbah. Adanya kandungan unsur hara dan bahan organik yang besar memberi pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan tanaman sehingga proses metabolisme tanaman termasuk penyerapan unsur-unsur di dalam tanah juga cepat. Kailan menyerap krom lebih banyak dibanding pakchoy dikarenakan fisik morfologis tanaman yang lebih besar sehingga bagian perakarannya juga lebih besar dan banyak. Perakaran ini penting untuk menunjang tegaknya tajuk.
Tabel 5. Hasil analisis krom dalam tanaman 3 mst Perlakuan
Kandungan krom (ppm) Tajuk
Kailan 0 mg/kg Kailan 500 mg/kg Kailan 1000 mg/kg Kailan 1500 mg/kg Pakchoy 0 mg/kg Pakchoy 500 mg/kg Pakchoy 1000 mg/kg Pakchoy 1500 mg/kg
74
Akar
Total
Persentase penyerapan kandungan krom dari media tanam (%) Tajuk
Akar
Total
0,991
2,466
3,457
28,66
71,33
100
2,823
16,010
18,83
0,56
3,21
3,77
4,486
49,623
54,109
0,43
4,84
5,27
7,734
79,044
86,778
0,51
5,30
5,82
2,544
0,913
3,457
73,58
26,41
100
3,831
5,892
9,723
0,76
1,18
1,95
11,663
41,767
53,43
0,78
2,80
3,58
7,334
30,683
38,017
0,71
2,99
3,70
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 69-78
3.2. Hasil analisis krom dalam tanaman 6 minggu setelah tanam (mst) Persentase kromium total dalam jaringan tanaman 6 mst lebih besar dibanding 3 mst (Tabel 6). Hal ini berarti bahwa sampai dengan panen akhir dilakukan, metabolisme tanaman masih tetap berjalan meski terdapat kecenderungan sampai dengan pemberian takaran limbah 1000 mg/kg merupakan titik kritis tanaman dapat tumbuh dan berkembang tanpa dipengaruhi oleh krom dalam limbah secara nyata. Kandungan krom di bagian perakaran lebih besar dibanding bagian tajuk untuk perlakuan pemberian limbah, tetapi hal sebaliknya terjadi pada perlakuan tanpa pemberian limbah. Penyerapan krom semakin lambat dengan semakin besarnya takaran limbah yang diberikan pada kailan dan pakchoy. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman mengakumulasi lebih banyak kontaminan di lingkungan pertanamannya pada konsentrasi polutan yang kecil dan kemampuan penyerapan unsur kontaminan semakin menurun pada kondisi konsentrasi polutan yang makin besar. Konsentrasi kromium dalam jaringan
tanaman berhubungan dengan gejala toksisitas dan biasanya memiliki kisaran beberapa ratus ppm. Rentang kadar krom yang tinggi dalam jaringan tanaman sebelum gejala keracunan teramati berkisar antara 5 ppm pada barley, oat, jagung dan jeruk hingga 175 ppm pada tembakau (Sinha et al., 2005 cit. Akinci dan Akinci, 2010). Hal inilah yang menyebabkan terhentinya serapan krom oleh sawi yang dijadikan tanaman uji. Kailan dan pakchoy masih menyerap krom dalam jumlah besar pada takaran 1000 mg/kg dengan jumlah serapan 126,389 ppm dan 61,781 ppm; namun serapan krom makin turun dengan bertambahnya takaran limbah. Moral et al (1995) cit. Ghani (2011) menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi krom dalam tanah menurunkan kandungan N, P, K, Ca dan Fe pada sistem perakaran Brasssica juncea. Penghambatan penyerapan unsur hara tersebut dikarenakan adanya kompetisi dengan Cr yang terserap akar. Pada konsentrasi Cr tinggi dimana akar yang tercekam diamati, pengurangan penyerapan unsur hara esensial tersebut mungkin disebabkan rusaknya fungsi membran tanaman.
Tabel 6. Hasil analisis krom dalam tanaman 6 mst Perlakuan
Kandungan krom (ppm) Tajuk
Kailan 0 mg/kg Kailan 500 mg/kg Kailan 1000 mg/kg Kailan 1500 mg/kg Pakchoy 0 mg/kg Pakchoy 500 mg/kg Pakchoy 1000 mg/kg Pakchoy 1500 mg/kg
Akar
Total
Persentase penyerapan kandungan krom dari media tanam (%) Tajuk
Akar
Total
2,275
1,182
3,457
65,80
34,19
100
3,984
38,922
42,906
0,79
7,81
8,61
21,941
104,448
126,389
1,47
7,00
8,47
3,634
63,826
67,46
0,35
6,22
6,58
1,952
1,505
3,457
56,46
43,53
100
4,378
20,647
25,025
0,87
4,14
5,02
9,449
52,332
61,781
0,63
3,50
4,14
7,258
33,766
41,024
0,70
3,29
4,00
PENGARUH PENGGUNAAN LUMPUR LIMBAH.................(A. R. Budi Darmawan)
75
4. Hasil analisis krom dalam media tanam setelah panen Hasil analisis kadar krom yang tersisa dalam media tanam (Tabel 7) menunjukkan bahwa sisa krom dalam media tanam masih sangat tinggi. Apabila tanah dalam media tanam digunakan kembali untuk budidaya tanaman terutama sawi, maka masih banyak krom yang dapat diserap oleh jaringan tanaman dan terakumulasi pada bagian-bagian yang dikonsumsi manusia. Jika pada percobaan pot menghasilkan sisa kandungan krom di media tanam yang masih tinggi, maka hal yang sama dapat berlaku pada tempat pembuangan limbah industri penyamakan kulit dimana akumulasi krom di lahan kemungkinan lebih besar dibanding dalam media tanam polybag. Hal ini dikarenakan luasan lahan yang lebih luas dan efek penyiraman serta limpasan air hujan yang lebih kecil. Persentase krom yang hilang akibat terlindi bersama air penyiraman ataupun limpasan akibat air hujan cukup besar, berkisar antara 16 % hingga 46 %. Hilangnya krom ini menjadikan konsentrasinya dalam media tanam menjadi lebih kecil sehingga efek toksisitasnya menjadi lebih kecil pula dan memungkinkan tanaman masih dapat bertahan tumbuh meski diduga gejala-gejala penghambatan pertumbuhan tanaman telah terjadi akibat adanya cekaman (stress) krom.
Berdasarkan hasil analisis jaringan tanaman, penyerapan krom oleh kedua jenis sawi menunjukkan jika akumulasi krom dalam tajuk tanaman yang umumnya dikonsumsi telah melebihi konsumsi ambang batas harian sebesar 0,035 mg/kg per hari bagi orang dewasa. Kadar krom yang tinggi di jaringan tanaman hasil penelitian ini, terutaman yang terdapat pada perakaran tanaman sawi dapat menjadi sumber pencemar potensial bagi lingkungan bila dikembalikan langsung ke dalam tanah baik secara langsung (ditimbun atau dibuang ke lahan) maupun diolah menjadi pupuk kompos. Beberapa usaha lain yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan mengolah bagian tanaman dengan kadar krom tinggi menjadi barang lain yang tidak dikonsumsi seperti hasilnya sebagai campuran ataupun filler (bahan pengisi) dalam pembuatan batu bata, leatherboard, ataupun dengan mengekstrak bagian akar tanaman untuk mendapatkan unsur krom yang dapat digunakan kembali dalam proses penyamakan kulit. Penerapan cara yang cepat dan berbiaya murah untuk mengatasi pencemaran logam berat seperti kromium di areal pertanian yang luas mutlak diperlukan. Karena proses pembersihan secara tradisional biayanya mahal dan praktis hanya di area yang kecil.
Tabel 7. Hasil analisis krom dalam media tanam setelah panen Perlakuan Kailan 0 mg/kg Kailan 500 mg/kg Kailan 1000 mg/kg Kailan 1500 mg/kg Pakchoy 0 mg/kg Pakchoy 500 mg/kg Pakchoy 1000 mg/kg Pakchoy 1500 mg/kg
76
Kandungan krom (ppm) Media tanam Tanaman Total 3,457 3,457
Persentase total (%) 100
258,470
42,906
301,376
60,49
427,087
126,389
553,476
53,99
988,023
67,46
1055,483
70,79
-
3,457
3,457
260,249
25,025
285,274
57,26
523,522
61,781
585,303
57,09
1206,563
41,024
1247,587
83,67
100
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 69-78
Kegiatan untuk membersihkan tanah yang tercemar tersebut biasanya ditempuh dengan cara remediasi, baik secara in-situ (onsite/pembersihan di lokasi) ataupun ex-situ (off-site). Penelitian-penelitian yang dilakukan untuk menemukan metode baru yang efektif dan berbiaya murah diantaranya dengan menggunakan mikroorganisme, biomassa dan tanaman hidup sebagai akumulator logam berat (Peralta et al., 2001 cit. Akinci dan Akinci, 2010). Tanaman yang ideal yang akan digunakan untuk fitoremediasi harus memiliki produktivitas biomassa tinggi, umur pendek, toleransi yang tinggi, mudah dikelola, dapat tumbuh di berbagai lokasi serta kapasitas akumulasi konsentrasi tinggi dari kontaminan. Penambahan bahan organik ke dalam tanah yang terkontaminasi Cr dan menjaga pH tanah menjadi netral dapat menurunkan kandungan Cr terlarut. Hal ini terjadi melalui mekanisme absorpsi Cr oleh bahan organik maupun menginisiasi pembentukan senyawa kompleks yang tidak dapat diserap oleh tanaman. Tanaman sendiri telah mengembangkan mekanisme yang kompleks dengan cara mengontrol penyerapan dan akumulasi logam berat (Cobbett dan Goldsbrough, 2002 cit. Panda dan Choudhury, 2005). Mekanisme ini melibatkan proses chelat dan mengisolir ionion logam dengan ikatan logam ligands tingkat tertentu yang berupa phytocelatins (PCs) dan metallothioneins (MTs) (Cobbett, 2000; Cobbett dan Goldsbrough, 2002 cit. Panda dan Choudhury, 2005). MTs kemungkinan memiliki peranan dalam detoksifikasi kromium pada tanaman dan hal itu telah dilaporkan untuk sorghum dimana MT-serupa protein muncul saat terjadi cekaman krom (Shanker et al., 2004 cit. Panda dan Choudhury, 2005). MTs adalah hasil dari translasi mRNA dan memiliki sifat seperti sistein yang kaya logam serta memiliki ikatan dengan protein yang bermolekul ringan dan rendah (Kagi, 1991 cit. Panda dan Choudhury, 2005). MTs mungkin mempunyai peranan yang sangat penting dalam detoksifikasi krom pada tanaman, kemungkinan dengan mengikat ion-ion krom dan menjadikannya kurang toksik.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kromium dapat diserap oleh kedua jenis sawi pada saat fase pertumbuhan awal tanaman (panen awal) maupun saat mencapai fase pertumbuhan optimal (panen akhir). 2. Kailan menyerap kromium dalam jumlah lebih besar dibandingkan pakchoy pada semua takaran pemberian lumpur limbah. 3. Akumulasi krom di bagian perakaran tanaman lebih besar dibandingkan di bagian tajuk tanaman untuk kedua jenis sawi. 4. Sawi kailan dan pakchoy yang ditanam pada lahan yang mengandung krom dari limbah industri penyamakan kulit yang diteliti tidak dapat dikonsumsi manusia karena kandungan krom dalam jaringan tanaman bagian tajuk yang umumnya dikonsumsi melebihi ambang batas konsumsi harian sebesar 0,035 mg/kg per hari. Saran Tidak melakukan pembuangan lumpur limbah industri penyamakan kulit di sembarang lahan dan tidak menanami lahan tersebut dengan tanaman untuk
DAFTAR PUSTAKA Akinci, I. E. and S. Akinci. 2010. Effect of chromium toxicity on germination and early seedling growth in melon (Cucumis melo L). African Journal of Biotechnology. 9 (29) : 4589-4594 A n o n i m . 2 0 1 0 . Ta n a h . http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah. Diakses tanggal 4 November 2010. Ghani, A. 2011. Effect of chromium toxicity on growth, chlorophyll and some mineral nutrients of Brassica juncea. Egypt Academic Journal Biology Science. 2 (1) : 9-15. Jun, R., T. Ling and Z. Guanghua. 2009. E ff e c t s o f c h r o m i u m o n s e e d germination, root elongation and coleoptiles growth in six pulses. International Journal Environment Science Technology. 6 (4) : 571-578.
PENGARUH PENGGUNAAN LUMPUR LIMBAH.................(A. R. Budi Darmawan)
77
Masdin. 2010. Interaksi kromium dengan mikroorganisme dan tanaman. Health and Home Tips. Meuser, H. 2012. Soil Decontamination. Soil Remediation and Rehabilitation Environmental Pollution. 23 : 201-278 Panda, S. K. and S. Choudhury. 2005. Toxic metals in plants : Chromium stress in plants. Brazilian Journal of Plant Physiology. 17 (1). Saleh, M. H. 2007. Recovery dan Zeolit Cegah Pencemaran Logam Berat. Suara Merdeka Cyber News. Diakses 2 Maret 2009.
78
Shanker, A. K., C. Cervantes, H. Loza-Tavera a n d S . Av u d a i n a y a g a m . 2 0 0 5 . Chromium toxicity in plants. Environment International. 31 : 739753. Schiavon, M., E. A. H. Pilon-Smits, M. Wirtz, R. Hell and M. Malagoli. 2008. Interactions between chromium and sulfur metabolism in Brassica juncea. Jurnal of Environmental Quality. 37 : 1536-1545
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 69-78
PENGARUH SERBUK SERAT BATANG PISANG SEBAGAI FILLER TERHADAP SIFAT MEKANIS KOMPOSIT PVC–CaCO3 EFFECT OF BANANA STEMS FIBER POWDER AS FILLER TO THE MECHANICAL PROPERTIES OF PVC-CaCO3 COMPOSITE Supraptiningsih Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik, Yogyakarta Email:
[email protected] Diterima: 23 Mei 2012 Direvisi: 14 Agustus 2012 Disetujui: 14 September 2012 ABSTRACT The aim of research was to study the effect to the mechanical properties of banana fiber as a filler of PVC-calcium carbonate composite. Banana stem powder was made from banana stem which was grounded and soaked in 15 % NaOH for 24 hours to remove the lignin, dried and screened to 200 mesh, PVC-calcium carbonate composite was made using a Two Roll Mill at temperature of 50oC, for 10 minutes and 50 rpm. The composition of PVC and additives were not varied, while the variations made on banana fiber, ie 0, 10; 20, 30, and 40 phr (per hundred resin). The observation showed the mechanical properties of PVC-calcium carbonate composite has value of weight per unit area between 4.55 to 5.90 kg/m2, bulk densities from 1.503 to 1.999 3 2 g/cm , tensile strength from 67.56 to 79.03 kg/cm , hardness 55.00 to 66.66 shore D, water absorption from 0.960 to 3.322 %, flexibility test from 118.99 to 165.09 kg/cm2, flash point 0.032 0.075 inc / sec, water density was good (not drop happened) and the ability of sawed and nailed was good (no defected/cracked). When the test results of PVC-calcium carbonate composite with banana fiber compared with SNI 15-0233-1989 Mutu dan Cara Uji Lembaran Serat Semen, indicates that all PVC-calcium carbonate composite with banana fiber as filler fulfilled SNI requirements. Keywords: PVC, CaCO3, banana stems powder, mechanical properties ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh penambahan serbuk serat batang pisang sebagai filler terhadap sifat mekanis komposit PVC-CaCO3. Serbuk serat batang pisang dibuat dari pelepah pisang yang dihaluskan, dan direndam dalam NaOH 15% selama 24 jam untuk menghilangkan lignin yang ada. Sesudah itu dikeringkan, dan diayak dengan ayakan 200 mesh. Komposit PVC-CaCO3 dibuat dengan alat Two Roll Mill pada suhu 50oC, selama 10 menit dan kecepatan perputaran rol 50 rpm. Komposisi PVC dan bahan aditif dibuat tetap, sedangkan jumlah serbuk serat batang pisang divariasi berturut-turut 10 ; 20 ; 30; dan 40 phr (per hundred resin) dan dibuat kontrol atau tanpa ditambah serbuk serat batang pisang. Sifat mekanis komposit PVC-CaCO3 mempunyai berat persatuan luas antara 4,55–5,90 kg/m2, bobot isi 1,50–1,99 g/cm3, 2 kekuatan tarik 67,56 –79,03 kg/cm , kekerasan 55,00 - 66,66 shore D, penyerapan air 0,96–3,32 2 %, kuat lentur 118,99–165,09 kg/cm , titik nyala 0,03 - 0,08 inc/detik, kerapatan air baik (tidak terjadi tetesan) dan kemampuan digergaji dan dipaku baik (tidak cacat/retak). Komposit PVCCaCO3 dengan filler serbuk serat batang pisang jika dibandingkan dengan SNI 15-0233-1989 Mutu dan Cara Uji Lembaran Serat Semen, menunjukkan bahwa semua komposit PVC-CaCO3 dengan variasi jumlah filler serbuk serat batang pisang memenuhi persyaratan seperti yang ditetapkan oleh SNI tersebut diatas. Kata kunci: PVC, CaCO3, serbuk serat batang pisang, sifat mekanis PENGARUH SERAT BATANG PISANG SEBAGAI FILLER........(Supraptiningsih)
79
PENDAHULUAN Batang pisang merupakan limbah dari tanaman pisang yang telah ditebang untuk diambil buahnya dan merupakan limbah pertanian potensil yang belum banyak pemanfaatannya. Beberapa penelitian telah mencoba untuk memanfaatkannya antara lain untuk papan partikel dan papan serat (Rahman, 2006). Serat batang pisang merupakan jenis serat yang berkualitas baik, dan merupakan salah satu bahan potensial alternatif yang dapat digunakan sebagai filler pada pembuatan komposit polivinil klorida atau biasa disingkat PVC. Batang pisang sebagai limbah dapat dimanfaatkan menjadi sumber serat agar mempunyai nilai ekonomis. Rahman (2006) menyatakan bahwa perbandingan bobot segar antara batang, daun, dan buah pisang berturut-turut 63, 14, dan 23%. Batang pisang memiliki bobot jenis 0,29 g/cm3 dengan ukuran panjang serat 4,20 – 5,46 mm dan kandungan lignin 33,51% (Syafrudin, 2004). Pada pemanfaatan serat batang pisang perlu ada perlakuan sebelum serat batang pisang dicampur dengan bahan lain. Perlakuan dengan alkali (NaOH) diharapkan dapat berpengaruh terhadap komposit yang dihasilkan, karena fungsi alkali dapat menghilangkan lignin yang ada (Muiz, 2005). Ketersediaan bahan baku kayu di alam mulai berkurang, maka tidak menutup kemungkinan dikembangkan produk papan komposit dari limbah pertanian (agrobased- composite) dengan kualitas yang sama dengan bahan baku kayu. Limbah batang pisang merupakan salah satu alternatif bahan baku yang murah dan mudah diperoleh. Pemberian perlakuan alkali pada bahan berlignin selulosa mampu mengubah struktur kimia dan fisik permukaan serat. PVC lazim digunakan secara luas karena plastik jenis itu selain murah, juga tahan lama, dan fleksibel. Penambahan serat alami pada pembuatan PVC merupakan alternatif yang menarik. Tantangan utama dalam penelitian tentang serat alami dengan komposit plastik adalah kurangnya kompatibilitas antara sifat serat dan matriks yang dapat mempengaruhi kekuatan ikatan antara keduanya. Penambahan serat alami 80
pada plastik PVC, dapat berfungsi sebagai penguat bahan, sementara beberapa serat alami hanya berperan sebagai pengisi, sehingga kontribusi yang diberikan oleh serat alami lebih sedikit terhadap peningkatan kekuatan mekanik campurannya. Serat alami umumnya memberikan dampak positif terhadap kekakuan komposit plastik sekaligus mengurangi kepadatan (Wirawan, dkk, 2009). Komposit adalah gabungan dua atau lebih bahan yang berbeda, dan hal ini dibuat untuk memperoleh sifat-sifat yang lebih baik yang tidak diperoleh dari masing-masing penyusun kompositnya (Fajriyanto dan Firdaus, 2007). Komposit terdiri atas matriks sebagai fase tetap dan fase terdespersi (pengisi) dan kedua fase tersebut dipisahkan oleh kondisi antar muka (interfase). Komposit yang dihasilkan tergantung pada bahan matriks dan bahan pengisi matrik yang digunakan. Setiap komposit yang dibuat dengan bahan berbeda, maka sifat yang terbentuk akan berbeda dan tergantung dari bahan pengisi matrik, jenis pengisi dan bahan penguat yang digunakan (Hanafi, 2004). Penambahan serat alami sebagai filler (pengisi) pada komposit diharapkan dapat meningkatkan sifat mekanis komposit plastik tersebut. Penelitian Zhong Xin, et al., (2009) tentang wood fiber dalam pembuatan komposit PVC menunjukkan bahwa wood fiber mampu menaikkan nilai kuat tarik komposit. Xiwen (2010) menggunakan reed fiber dengan matriks PVC, diperoleh hasil bahwa reed fiber mampu menaikkan sifat mekanik komposit tersebut. Selanjutnya, Maulida (2006) memperoleh hasil bahwa kuat tarik komposit polipropilen yang ditambah filler serat pandan lebih tinggi daripada komposit polipropilene serat batang pisang dengan kepekatan polipropilene 30% berat/berat. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh serat batang pisang sebagai filler terhadap sifat mekanis komposit PVC-CaCO3. BAHAN DAN METODA PENELITIAN Bahan penelitian Bahan penelitian terdiri atas serbuk serat
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 79-87
batang pisang dan bahan plastik jenis polyvinyl chloride (PVC). Serbuk serat batang pisang dibuat dari pelepah pisang yang dihaluskan, dan direndam dalam NaOH 15% selama 24 jam untuk menghilangkan lignin yang ada. Sesudah itu dikeringkan, dan diayak dengan ayakan 200 mesh. PVC yang digunakan adalah PVC jenis suspension (EH 1000), produksi dalam negeri (PT.Eastern Polymer, Cilincing, Jakarta Utara). Kalsium karbonat (CaCO3) berbentuk tepung, warna putih, dan tidak berbau (bobot molekul 100,09; spesifik gravitasi 2,6-2,75; titik leleh 133,9oC). Dioctyl Phtalat (DOP) sebagai plastisizer berbentuk cairan agak kental, warna bening, dan tidak berbau. Epoksi sebagai co plastisizer berupa cairan agak kental dengan warna kekuning-kuningan. BaCdZn berupa cairan encer, warna coklat agak kuning, dengan bau spesifik digunakan sebagai bahan stabilizer. Asam stearat digunakan sebagai pelumas (lubricant) dengan spesifikasi bentuk butiran halus, warna putih, tidak berbau (bobot molekul o 284,47 dan titik leleh 69,4 C). Alat penelitian Peralatan untuk penyiapan serbuk serat batang pisang terdiri atas: timbangan analit merk Sartorius tipe 2442, mesin penggiling, ayakan 200 mesh, dan pisau. Sedangkan peralatan untuk pembuatan komposit PVCCaCO3 yang ditambah serbuk serat batang pisang terdiri atas: timbangan analit merk Sartorius tipe 2442, mesin penggiling Two Roll Mill ( merk Toyo Seiki tipe 560, ukuran roll D 75 mm, L 152 mm) : hydraulic press (merk Toyo Seiki tipe 297). Peralatan untuk uji sifat fisis komposit PVC-CaCO3 terdiri atas pemotong spesimen (pisau pond). Hardness Tester (Toyo Seiki tipe 297) digunakan untuk uji kekerasan (hardness). Tensile Strength Tester (Troning Albert, tipe QC-II-M-18 no seri 2987) digunakan untuk uji kuat tarik/ tegangan putus. Flexing Tester (Satra STN 141) d i g u n a k a n u n t u k u j i k u a t l e n t u r. Tempat pelaksanaan penelitian dan pengujian di Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Jl. Sokonandi 9 Yogyakarta.
Metode penelitian Pembuatan komposit PVC-CaCO3 Komposit PVC-CaCO3 dibuat sebanyak 15 kompon. Variasi jumlah penambahan serbuk serat batang pisang adalah 5 variasi. Masing-masing variasi serbuk serat batang pisang dibuat 3 kompon untuk keperluan pengujian ulangan. PVC dan bahan aditif (CaCO3) dibuat tetap, sedangkan serbuk serat batang pisang yang ditambahkan berturutturut 10; 20 ; 30; dan 40 phr, dan dibuat kontrol yaitu tanpa ditambah serbuk serat batang pisang. Bahan komposit yang terdiri atas PVC, serbuk serat batang pisang, DOP, epoksi, Ba Cd Zn, dan asam stearat dicampur di dalam mixer sampai rata (15 menit), selanjutnya untuk menjadikan campuran lebih homogen digunakan mesin Two Roll Mill o pada suhu 50 C (5 ulangan). dengan kecepatan perputaran roll 50 rpm. Pengujian komposit PVC-CaCO3 dengan filler serbuk serat batang pisang Kualitas komposit PVC-CaCO3, diuji sifat mekanisnya yang meliputi: berat persatuan luas, bobot isi, kekuatan tarik, kekerasan, penyerapan air, kuat lentur, titik nyala, kerapatan air, dan kemampuan digergaji dan dipaku. Pengujian sifat mekanis menggunakan metode SNI 15-0233-1989 tentang Lembaran Serat Semen, yaitu uji bobot isi, uji kekuatan tarik (tensile strength), uji kekerasan, uji kuat lentur, uji titik nyala (dengan nyala api butena), uji sifat penyerapan air, uji kerapatan air, dan uji kemampuan dipaku. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat mekanis, untuk semua komposit PVC-CaCO3 hasil variasi serbuk serat batang pisang disajikan pada Gambar 1 sampai dengan Gambar 7. Berat per satuan luas komposit PVCCaCO3 Berat per satuan luas komposit PVC-CaCO3 dengan variasi jumlah penambahan serbuk serat batang pisang disajikan pada Gambar 1.
PENGARUH SERAT BATANG PISANG SEBAGAI FILLER........(Supraptiningsih)
81
Gambar 1. Berat per satuan luas komposit PVC-CaCO3 dengan variasi penambahan jumlah serbuk serat batang pisang Berat per satuan luas komposit turun dengan bertambahnya jumlah filler serbuk serat batang pisang. Turunnya berat per satuan luas komposit dikarenakan bobot jenis filler serbuk serat batang pisang lebih rendah (ringan) daripada bobot jenis PVC. Dengan demikian, makin banyak serbuk serat batang pisang ditambahkan, maka komposit makin ringan, atau berat per satuan luas massa komposit makin kecil. Menurut Syafrudin (2004) bahwa serat batang pisang memiliki bobot jenis 0,29 g/cm3 dengan ukuran panjang serat 4,20 – 5,46 mm dan kandungan lignin 33,51%. Ramzah, dkk, (2008) menyatakan bahwa sifat mekanis komposit PE dan serbuk serat batang pisang, makin tinggi serbuk serat batang pisang yang ditambahkan komposit menjadi lebih padat dan kaku. Nilai berat per satuan luas terendah diperoleh pada penambahan jumlah serbuk serat batang 2 pisang 40 phr yaitu sebesar 4,55 kg/m dan sebaliknya tertinggi pada komposit tanpa ditambah serbuk serat batang pisang (kontrol), yaitu sebesar 5,81 kg/m2. Nilai berat per satuan luas berfungsi untuk mengukur berat/ringan suatu massa, dan tergantung pada tujuan penggunaan massa tersebut. Pada SNI 150233-1989 tentang Lembaran Serat Semen menghendaki massa yang ringan untuk pembuatan lembaran serat semen. Bobot isi komposit PVC-CaCO3 Bobot isi menunjukkan bahwa penambahan jumlah serbuk serat batang 82
pisang dengan variasi (10-40 phr) menyebabkan nilai bobot isi turun. Makin banyak serbuk serat batang pisang ditambahkan ke dalam komposit PVC-CaCO3, maka bobot isi makin kecil. Hal ini senada dengan sifat berat per satuan luas, walaupun bobot isi adalah berat per satuan volume 3 (kg/cm ). Hasil analisa sidik ragam perlakuan penggunaan filler serbuk serat batang pisang terhadap bobot isi komposit PVC-CaCO3 menunjukkan ada perbedaan nyata (p>0,05), sedangkan uji Tukey HSD 5% terdapat perbedaan nyata antara komposit tanpa ditambah serbuk serat batang pisang dan yang ditambah serbuk serat batang pisang sebanyak 40 phr. Sebaliknya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara komposit PVC-CaCO3 tanpa ditambah filler serbuk serat batang pisang dengan komposit PVC-CaCO3 yang ditambah serbuk serat batang pisang berturutturut : 10, 20,dan 30 phr.
Gambar 2. Bobot isi komposit PVC-CaCO3 dengan variasi penambahan jumlah serbuk serat batang pisang Hal ini disebabkan karena serbuk serat batang pisang mempunyai bobot jenis relatif kecil 3 yaitu 0,29 g/cm (Syafrudin, 2004), sehingga pada volume yang sama komposit akan lebih ringan atau bobot isinya rendah. Bobot isi tertinggi dijumpai pada komposit PVC-CaCO3 tanpa ditambah serbuk serat batang pisang 3 yaitu sebesar 1,99 g/cm , sedangkan bobot isi terrendah dijumpai pada komposit dengan
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 79-87
penambahan jumlah serbuk serat batang pisang sebesar 40 phr, yaitu 1,50 g/cm3. Kekuatan tarik komposit PVC-CaCO3 Hasil uji kekuatan tarik komposit PVCCaCO3 dengan penambahan filler serbuk serat batang pisang disajikan pada Gambar 3. Komposit PVC-CaCO3 dengan ditambah filler serbuk serat batang pisang, maka makin banyak serbuk serat batang pisang yang ditambahkan nilai kuat tariknya makin tinggi. Kenaikan kekuatan tarik komposit tersebut sejalan dengan tujuan pembentukan komposit plastik serat, yaitu untuk mendapatkan kekuatan tarik yang tinggi seperti yang disyaratkan pada SNI 15-0233-1989 Lembaran Serat Semen.
reed fiber mampu menaikkan sifat mekanik komposit tersebut seperti kuat tarik komposit. Kekuatan tarik tertinggi dicapai pada komposit PVC-CaCO3 dengan filler serat batang pisang 40 phr yaitu sebesar 79,03kg/cm2 dan berbeda nyata dengan komposit tanpa penambahan serat batang 2. pisang sebesar 67,56 kg/cm . Kekerasan komposit PVC-CaCO3 Kekerasan komposit PVC-CaCO 3 dengan variasi penambahan jumlah filler serbuk serat batang pisang disajikan pada Gambar 4. Kekerasan komposit makin naik selaras dengan bertambahnya jumlah bahan pengisi serbuk serat batang pisang. Hal ini kemungkinan dikarenakan oleh serbuk serat batang pisang yang merupakan filler rigid. Dengan demikian makin banyak serat yang mengisi rongga matrik polimer plastik otomatis kekerasan komposit naik.
Gambar 3. Kekuatan tarik komposit PVCCaCO3 dengan variasi penambahan jumlah serbuk serat batang pisang Penambahan serat alami sebagai filler dalam pembuatan komposit plastik terbukti dapat meningkatkan sifat mekanis komposit seperti yang dilakukan oleh Shen et. al. (2010). Beberapa penelitian yang membuktikan hal tersebut antara lain dilakukan oleh Xin, et. al. (2009) tentang penggunaan wood fiber dalam pembuatan komposit PVC. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa wood fiber mampu menaikkan kuat tarik komposit yang dihasilkan. Penelitian lain oleh Xiwen (2010) menggunakan reed fiber dengan matriks PVC, diperoleh hasil bahwa
Gambar 4. Kekerasan komposit PVC-CaCO3 dengan variasi penambahan jumlah serbuk serat batang pisang Henry (2009) menyatakan bahwa kekerasan komposit plastik dipengaruhi oleh jenis dan jumlah filler yang digunakan. Oleh sebab itu makin banyak serat batang pisang yang digunakan sebagai filler, maka komposit plastik makin keras dan rigid. Kekerasan tertinggi dicapai pada penambahan filler serbuk serat batang pisang sebesar 40 phr yaitu 66,66 shore D dan terendah dicapai
PENGARUH SERAT BATANG PISANG SEBAGAI FILLER........(Supraptiningsih)
83
pada komposit PVC-CaCO3tanpa penambahan filler yaitu sebesar 55 shore D. Jenis dan jumlah filler mempengaruhi kekerasan komposit PVC-CaCO3 karena menentukan jumlah ikatan silang yang terbentuk antara gugus fungsional pada rantai atom karbon dengan molekul komposit (Hong, et. Al., 2009 ; Henry, 2009). Penyerapan air komposit PVC-CaCO3 Gambar 5 menunjukkan penyerapan air komposit PVC-CaCO3 hasil berbagai variasi penambahan jumlah serbuk serat batang pisang. Terlihat bahwa makin banyak serat batang pisang yang ditambahkan, maka penyerapan air komposit makin tinggi. Hal ini disebabkan karena serbuk serat batang pisang bersifat sangat higroskopis. Pada suhu tinggi, beberapa komponen penyusun serat seperti hemiselulosa atau senyawa karbohidrat lainnya, struktur mengalami degradasi sehingga larut dalam air. Oleh karena itu penggunaan suhu tinggi saat pembuatan komposit dapat menurunkan higroskopisitas komposit yang menyebabkan penyerapan airnya turun. Suhu yang diberikan pada material sampel mengakibatkan adanya pemutusan ikatan hidrogen (OH). Shen et. al. (2010), menyatakan bahwa pemutusan ikatan OH pada komposit dimulai pada rentang suhu 60-80ºC. Kadar air bahan baku material seperti PVC-CaCO 3 dan serat organik yang digunakan sangat mempengaruhi penyerapan air komposit serat. Makin tinggi kadar air bahan baku, makin tinggi pula penyerapan air komposit serat yang dihasilkan, sebab tidak semua uap air dalam komposit dapat dikeluarkan dari dalam komposit. Penyerapan air komposit yang ditambah serbuk serat batang pisang pada semua variasi jumlah penambahan serat berkisar 0,96 3,33%, dan hal ini memenuhi persyaratan standar SNI 15-0233-1989 Mutu dan Cara Uji Lembaran Serat Semen, yang menetapkan penyerapan air maksimum 35%. Sifat penyerapan air tersebut relatif kecil bila dibandingkan dengan kemampuan penyerapan air komposit plastik dengan serbuk serat batang pisang dengan perlakuan alkali yang dilakukan oleh Hakim dan
84
Febrianto (2005) yaitu rata-rata 52,57% pada perendaman air selama 2 jam.
Gambar 5. Penyerapan air komposit PVCCaCO3 dengan variasi penambahan jumlah serbuk serat batang pisang
Shen et.al.(2010), menyatakan bahwa partikel serbuk serat batang pisang bereaksi dengan alkali membentuk selulosa alkali, sehingga menyebabkan sifat higroskopis komposit serat menurun. Beberapa faktor yang mempengaruhi daya penyerapan air komposit plastik adalah sifat dasar serat itu sendiri, dimana sifat serbuk serat batang pisang relatif higroskopis dan menyebabkan daya penyerapan air komposit sangat tinggi. Daya penyerapan air berpengaruh terhadap stabilitas bentuk komposit, dan berpengaruh pada penggunaan komposit, karena sangat dipengaruhi oleh kondisi udara dan kelembaban lingkungan. Apabila daya penyerapan air sangat tinggi, maka komposit plastik serbuk serat batang pisang dapat dimanfaatkan untuk di dalam ruangan seperti keperluan interior. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan jumlah serbuk serat batang pisang memberikan pengaruh berbeda nyata (p>>0,05) terhadap daya penyerapan air komposit PVC-CaCO3. Muiz (2005) menyatakan bahwa perbedaan penyerapan air komposit plastik diduga ada hubungannya dengan fraksi yang menarik air
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 79-87
seperti selulosa, hemiselulosa, dan karbohidrat nonselulosa, serta fraksi yang menolak air seperti lignin, lemak, dan resin. Kuat lentur komposit PVC-CaCO3 Gambar 6 menunjukkan hasil uji kuat lentur komposit PVC-CaCO3 pada berbagai variasi penambahan jumlah filler serbuk serat batang pisang.
Titik nyala komposit PVC-CaCO3 Gambar 7 menunjukkan bahwa titik nyala komposit sangat dipengaruhi oleh jumlah penambahan serbuk serat batang pisang. Makin banyak jumlah serbuk serat batang pisang yang ditambahkan, maka titik nyala komposit makin besar. Hal ini disebabkan karena serat batang pisang yang ditambahkan adalah serat yang kering sehingga mudah terbakar oleh api. Nilai terendah titik nyala dijumpai pada komposit tanpa penambahan serbuk serat batang pisang, yaitu sebesar 0,03 inc/detik. Nilai tertinggi dijumpai pada komposit plastik dengan penambahan serbuk serat batang pisang 40 phr, sebesar 0,075 inc/ detik.
Gambar 6. Kuat lentur komposit PVCCaCO3 dengan variasi penambahan jumlah serbuk serat batang pisang Makin banyak serbuk serat batang pisang yang ditambahkan, maka kuat lentur komposit turun. Sifat kuat lentur berbanding terbalik dengan sifat kekerasan komposit. Serbuk serat batang pisang sebagai filler, menjadikan komposit plastik makin keras dan kuat lenturnya turun secara nyata (p>0,05). Serbuk serat batang pisang merupakan filler rigid. Hal ini sesuai dengan fungsi filler yaitu menambah kekerasan dan mengurangi kuat lentur (Hong, et al, 2009). Kuat lentur tertinggi dicapai oleh komposit tanpa penambahan serbuk serat 2 batang pisang, yaitu sebesar 165,09 kg/cm , sedangkan kuat lentur terendah pada komposit dengan jumlah penambahan serbuk serat batang pisang 40 phr, yaitu sebesar 118.9 2 kg/cm . Hasil perhitungan analisa sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada setiap penambahan 10 phr serbuk serat batang pisang (p>0.05).
Gambar 7. Titik nyala komposit PVC-CaCO3 dengan variasi penambahan jumlah serbuk serat batang pisang Perhitungan statistik analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan yang sangat nyata antara komposit tanpa serat dengan komposit berserat mulai penambahan 20 phr. Kerapatan air komposit PVC-CaCO3 Hasil uji kerapatan air menunjukkan baik (tidak terjadi tetesan), pada semua variasi jumlah penambahan serbuk serat batang pisang pada komposit PVC-CaCO3. Komposit plastik dengan penambahan serbuk serat batang pisang sampai 40 phr masih menunjukkan sifat kerapatan air yang baik. Kemampuan dipaku dan digergaji komposit PVC-CaCO3 Hasil uji kemampuan digergaji dan
PENGARUH SERAT BATANG PISANG SEBAGAI FILLER........(Supraptiningsih)
85
dipaku baik, (tanpa cacat/retak} pada semua variasi jumlah penambahan serbuk serat batang pisang komposit PVC-CaCO 3 . Pengamatan secara visual dilakukan untuk melihat kondisi permukaan (morfologi) komposit dan homogenitas distribusi filler serat batang pisang didalam komposit PVCCaCO3. Bila hasil uji komposit PVC-CaCO3 dengan penambahan filler serbuk serat batang pisang dibandingkan dengan SNI 15-02331989 Mutu dan Cara Uji Lembaran Serat Semen, maka semua komposit PVC-CaCO3 dengan variasi jumlah penambahan serbuk filler serat batang pisang memenuhi persyaratan SNI tersebut. Prospek industri lembaran serat semen (eternit) dari komposit PVC-CaCO3 Ditinjau dari beberapa faktor yang menguntungkan, maka dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk membahas masalah prospek industri eternit dari komposit PVCCaCO3. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1. Sifat mekanis dan fisis Apabila dibandingkan dengan eternit semen, maka sifat mekanis dan fisis komposit PVCCaCO3 hasil penelitian memberikan nilai spesifikasi bahan yang lebih baik. Sifat-sifat tersebut antara lain penyerapan air dan kerapatan air yang relatif kecil, sifat plastik yang plastis, sifat kemampuan digergaji dan dipaku, dapat memecahkan masalah pengangkutan dan pemasangan eternit. Sifat mudah pecah dan retak tidak dijumpai pada komposit PVC-CaCO3. 2. Kesehatan Lingkungan Penggunaan komposit PVC-CaCO3 cukup aman ditinjau dari segi kesehatan lingkungan, karena tidak menimbulkan kelapukan. Vinyl Chloride Monomer (VCM) yang dikhawatirkan akan membahayakan tubuh manusia telah terikat menjadi polimer dan berikatan secara kimia dalam komposit. VCM tidak akan bertebaran diudara karena adanya persyaratan kadar VCM dalam PVC harus seminimal mungkin. 3. Pemasaran Faktor pemasaran sangat berpengaruh pada prospek industri eternit dari PVC. Bahan baku PVC menyebabkan harga lebih tinggi bila 86
dibandingkan dengan eternit semen. Mengingat sifat mekanis dan fisis yang lebih baik, maka pada pemasarannya dapat untuk “decorative eternit” atau untuk keperluan khusus.
KESIMPULAN Pada pembuatan komposit PVC- CaCO3 dengan serbuk serat batang pisang sebagai filler dapat memenuhi persyaratan SNI 150233-1989 Mutu dan Cara Uji Lembaran Serat Semen. Pengaruh serbuk serat batang pisang sebagai filler komposit PVC-CaCO3, terbukti dapat menaikkan kuat tarik, kekerasan, penyerapan air, dan titik nyala. Pengaruh yang lain adalah menurunkan beberapa sifat mekanis, yaitu berat per satuan luas, bobot isi, kuat lentur, kerapatan air, kemampuan dipaku dan digergaji. Komposit PVC-CaCO3 dengan filler serbuk serat batang pisang memiliki berbagai sifat khas seperti: berat persatuan luas 4,55– 2 3 5,90 kg/m , bobot isi 1,50–1,99 g/cm , kekuatan tarik 67,56–79,03 kg/cm2, kekerasan 55,00–66,66 shore D, penyerapan air 0,96 – 3,32 %, kuat lentur 118,99–165,09 kg/cm2, titik nyala 0,03-0,07 inc/detik, kerapatan air baik (tidak terjadi tetesan) dan kemampuan digergaji dan dipaku baik (tidak cacat/retak). UCAPAN TERIMA KASIH Atas berhasil dan selesainya penelitian ini, diucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: Ir. Siti Rochani, Sofyan Karani, B.Sc, Hernadi Surip BSc, dan Sunarso yang telah, membantu dan memberi masukan dalam pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Fajriyanto, dan Firdaus, F., 2007. Karakteristik Mekanik Panel Dinding dari Komposit Sabut Kelapa (Coco Fiber)-Sampah Plastik (Thermoplastics), LOGIKA, Vol. 4, No. 1, Januari 2007, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UII Yogyakarta Hakim, L. dan Febrianto, F., 2005. Karakteristik Fisis Papan Komposit dari
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 79-87
Serat Batang Pisang (Musa sp.) dengan Perlakuan Alkali. Peronema : Forestry Science Journal, Vol.1, No.1, April 2005 : 1 – 37, ISSN 1829 6343. Hanafi, I.,2004. Komposit Polimer Diperkuat Pengisi dan Gentian Pendek Semula Jadi, Universiti Sains, Malaysia. Henry, C.P., 2009. Crude Rubber and Compounding Ingredients: A Textbook of Rubber Manufacture, BiblioLife, ISBN 1110348665, 9781110348664. Hong, N,.Wah, L.E., & Ching, L.Y., 2009. Focus Ace Spm Chemistry, ISBN –13: 978-983- 00-3631-1, Penerbitan Pelangi Sdn.Bhd, Bangi, Selangor Darul Ehsan, Malaysia. Maulida, 2006. Perbandingan Kekuatan Tarik Komposit Polipropena dengan Pengisi Serat Pandan dan Serat Batang Pisang, Jurnal Teknologi Proses 5(2) Juli 2006 :142-147. Muiz, A., 2005. Pemanfaatan Batang Pisang (Musa sp) Sebagai Bahan Baku Papan Serat. Skripsi, Fakultas Kehutanan. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Rahman, H., 2006. Pembuatan Pulp dari Batang Pisang Uter (Musa paradisiaca Linn. var uter) Pascapanen dengan Proses Soda. Skripsi, Fakultas Kehutanan. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. Ramzah, Mohammad S., Basuki W.,Nursyamsu B.,2008. Karakteristik Termoplastik Polietilena Dengan Serat Batang Pisang Sebagai Komposit untuk B a h a n P a l e t K a y u , http://repository.usu.ac.id. Issue Date: 19-Sep-2008.
Shen, J., Song, Z., Qian, X., and Ni,Y., 2010. “A Review on Use of filler in cellulosic paper for fungcional applications.”Industrial and Engeeneering Chemistry Research ,50 (2), 661-666. SNI 15-0233-1989. Mutu dan Cara Uji Lembaran Serat Semen, Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Syafrudin, 2004. Pengaruh Konsentrasi Larutan dan Waktu Pemasakan Terhadap Rendemen dan Sifat Fisis Pulp Batang Pisang Kepok (Musa spp) Pascapanen. Skripsi, Fakultas Kehutanan. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. Wirawan, R. dan Zainudin, E.S. dan Sapuan, S.M., 2009. Sifat mekanik dari serat alami diperkuat PVC komposit:. Review, Sains Malaysiana, 38 (4). hlm 531-535. ISSN 0126-603. Xiwen,Y.Z.L., 2010. Study on the reed fiber/PVC composites material [J];New Chemical Materials; Hunan Vocational College of Science & Technology,Changsha 410118. Xin, Z., Ping, X., and Yun, D., 2009. Properties o f M o d i f i e d Wo o d - F i b e r / P V C Composite, Institute of Plastics Machinery and Engineering, Beijing University of Chemical Technology, Beijing ,China.
PENGARUH SERAT BATANG PISANG SEBAGAI FILLER........(Supraptiningsih)
87
88
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012
SPEKTROSKOPI FTIR DAN SIFAT MEKANIK NANOKOMPOSIT GRAFTING HDPE DAN NANOPRECIPITATED CALCIUM CARBONATE (NPCC) FTIR SPECTROSCOPY AND MECHANICAL PROPERTIES OF NANOCOMPOSITES GRAFTING HDPE AND NANOPRECIPITATED CALCIUM CARBONATE Arum Yuniari dan Emiliana Kasmujiastuti Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik, Yogyakarta Email:
[email protected] Diterima: 10 Juli 2012 Direvisi: 16 Oktober 2012 Disetujui: 15 Nopember 2012 ABSTRACT The purpose of this research based on high density polyethylene (HDPE) and nanoprecipitated calciumcarbonate (NPCC) was to evaluate the effect of nanoprecipitated calcium carbonate (NPCC) on FTIR spectroscopy and mechanical properties. The nanocomposites was prepared with a rheomix 3000 Haake at 180 º C and 50 rpm of rotor speed for 10 minutes. The composition of HDPE and additives were permanently, and NPCC content varied 10, 15, 20, 30, 40 and 50 phr (per hundred resin) respectively and control was made inherent NPCC. The nanocomposites were characterized using tensile strength, hardness tester, electro densimeter and Fourier Transform Infra Red (FTIR) spectroscopy techniques. The results of mechanical properties showed that the increasing the amount of NPCC was able increase hardness and density while elongation at break more stable and tensile strength decreased. Analysis functional group on nanocomposites with Fourier Transform Infra Red (FTIR) indicated a new peak on wave band 3472,49 cm-1 (OH stretching). Key words: HDPE, NPCC, FTIR, mechanical properties ABSTRAK Penelitian tentang pembuatan nanokomposit dari bahan high density polyethylene (HDPE) dan nanoprecipitated calciumcarbonate (NPCC) bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan filler NPCC terhadap sifat mekanik dan spektroscopi. Nanokomposit dibuat dengan Rheomix 3000 Haake pada suhu 180oC dan kecepatan 50 rpm selama 10 menit. Komposisi HDPE dan bahan aditif dibuat tetap, dan kandungan NPCC divariasi berturut-turut 10 ; 20 ; 30; 40 dan 50 phr (per hundred resin) dan dibuat kontrol tanpa ditambah NPCC. Sifat mekanik diuji dengan alat uji tensile strength, hardness, densimeter dan karakterisasi gugus fungsi ditentukan menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR). Hasil uji sifat mekanik menunjukkan semakin tinggi jumlah NPCC kekerasan dan densitas naik, kemuluran tetap sedangkan kuat tarik cenderung turun. Spektrum nanokomposit HDPE/NPCC menunjukkan terjadinya puncak baru -1 pada bilangan gelombang 3472,49 cm (OH stretching). Kata kunci: HDPE, NPCC, FTIR, sifat mekanik PENDAHULUAN Nanokomposit dengan kandungan calcium carbonat (CaCO3) rendah merupakan polimer yang sangat diminati, hal ini disebabkan nanokomposit mempunyai sifat mekanik tinggi dan ketahanan termal serta sifat barrier
yang dimiliki relatif baik (Pinnaviaia, et al., 2000 cit Mahmood, et al., 2009). Dalam kelompok poliolefin, polyethylene (PE) sering digunakan dalam pembuatan nanokomposit karena memiliki rantai molekul nonpolar. Polyethylene merupakan salah satu polimer
SPEKTROSCOPI FTIR DAN SIFAT MEKANIK.....(Arum Yuniari dan Emiliana K.)
89
dengan struktur molekul paling sederhana, bersifat termoplastik dibuat dari polimerisasi ethylene (C2H4). Polimer termoplastik adalah polimer yang dapat mencair dan mengalir pada suhu tinggi. High Density Polyethylene (HDPE) dihasilkan dari proses polimerisasi monomer ethylene pada suhu dan tekanan rendah dengan berbagai katalisator umumnya adalah logam transisi seperti krom dan titanium, kadang-kadang digunakan cocatalyst seperti aluminium alkyl. Precipitated Calcium Carbonate (PCC) adalah produk turunan kapur yang telah mengalami proses rekarbonisasi. PCC umumnya dibuat dari batuan kalsium karbonat dengan kemurnian tinggi. PCC dikenal sebagai kalsium karbonat yang dimurnikan. Bentuk umum dari PCC adalah kristal heksagonal yang dikenal dengan calsite, dengan turunannya adalah skalenohedral, rhombohedral dan prismatik. Bentuk lainnya adalah aragonite dan vaterite PCC dibuat dari sintesa slurry CaCO3 dan gas CO2 dengan suhu 0–60⁰C. PCC yang dihasilkan partikel terkecil dengan ukuran 1,5–6,5 µm dan partikel terbesar berukuran 15–25 µm (Gane, et al., 2010 ; Jasminka, K. et al., 2011). Nano- partikel adalah partikel yang mempunyai ukuran < 100 nm atau 0,1µ. Nano partikel telah dikenal dalam beberapa tahun terakhir sedangkan jenis nano-PCC telah digunakan secara komersial lebih lama lagi. Nano-PCC jenis SMI's ultrafine diproduksi dalam berbagai ukuran partikel dari 0,06 µm atau 60 nm sampai dengan dengan 0,15 µm atau 150 nm. Keunggulan nano ultrafine PCC yaitu dalam aplikasi polimer akan meningkatkan dispersi filler dan meminimalkan interaksi dengan aditif polimer lainnya.
Gambar 1. Mikrograf SEM dari nano PCC 90
Menurut Bhattacharya, et al. (2009) teknik utama untuk membuat polimer multikomponen adalah dengan metode physiosorption, grafting dan ikatan silang, yaitu menggabung berbagai komponen fungsional dalam bahan tunggal. Pemisahan mikro dan makrophase langsung mempengaruhi sifat fisika dan kimia dari polimer multi komponen. Graft kopolimer adalah gabungan beberapa makromolekul yang bercabang dan memiliki tipe ikatan yang berbeda. Grafting adalah proses ikatan kovalen dan irreversible. Skema diagram Physiosorption, grafting dan crosslinking terdapat pada Gambar 2. Physiosorption, grafting dan crosslinking merupakan teknik untuk menggabungkan polimer dan monomer. Physiosorption berkaitan dengan sifat fisika, prosesnya reversibel satu dengan yang lain berhubungan pada permukaannya atau dihubungkan dengan surfactant.
Gambar 2. Skema diagram (I) physiosorption, (II) grafting to, (III) grafting dari B. skema diagram (I) crosslinking intermolekular dan (II) crosslinking intramolekular
Mahmood, et al (2009) dalam penelitiannya tentang HDPE-g-MA/clay nanokomposit melaporkan bahwa terjadi interkalasi cukup tinggi antara partikel clay sehingga kuat tarik nanokomposit relatif tinggi, disamping itu maleat anhidrat dapat menaikkan tingkat interkalasi. Polimerisasi antara HDPE dan CaCO3 menyebabkan terjadinya ekfoliasi CaCO3 kedalam matriks HDPE (Alexandre, et al., 2002).
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 89-95
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bahan penelitian Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah plastik jenis high density polyethylene (HDPE) produksi dalam negeri merek Asrene SI 5230 injection grade dengan melt temperature 175–235ºC. Filler nano precipitated calcium carbonate (NPCC) yang digunakan merek SHENGKE dengan spesifikasi NPCCA-601, CaCO3 (coated) ≥ 95%, bentuk partikel: kubus, ukuran partikel rata-rata: 40 nm, kadar air 0.5%, brightness ≥ 90%, absorpsi minyak: 25–40 ml/100g, specific gravity: 2,5 g/cm³, specific surface area (BET) ≥ 20 m²/g, HCl insoluble: 0,1– 0,2%, derajat aktivitas: ≥99%, pH: 8,5 –10,5. Maleat anhidrat (MA) sebagai compatibilizer, dicumyl peroksida (DCP) sebagai inisiator, antioksidan (AOX), antimoni trioksida sebagai flame retardant dari Jerman, calsium stearat sebagai heat stabilizer buatan Singapura merk FACI, dan asam stearat sebagai lubricant produksi lokal. Alat penelitian Peralatan untuk pembuatan nanokomposit terdiri atas:timbangan digital merk Mettler Toledo, Hot Blender : Rheomic 3000 Haake , hydraulic press MN Vulcanizing Press Spec XLB, D 400 x 400 x1, tahun 2000, mesin pelletizing merk Suzhou, dan injection molding Merk COSMO, kode TTI 330/100HT. Alat uji meliputi: untuk uji morfologi: Fourier Transform Infra Red (FTIR) merk Shimadzu IR Prestige 21, AIM-8800, alat uji sifat mekanik: tensile strength tester merk Troning Albert tipe QC II-M-18, hardness tester merk Toyoseiki (Durometer D), dan Electro Densimeter merk Mirage EW-200SG. Metode penelitian Nanokomposit dibuat dari campuran HDPE, NPCC serta bahan aditif. Perbandingan HDPE/NPCC dalam formulasi yang diteliti adalah 100/10; 100/20; 100/30, 100/40; 100/50 dan sebagai kontrol digunakan perbandingan HDPE/PCC 100/0. Bahan lainnya adalah flame retardant, asam stearat,
anti oksidan, compatibilizer dan inisiator dibuat tetap. Bahan –bahan ditimbang sesuai formulasi dan dicampur dalam mesin Rheomix 3000 Haake pada suhu 180oC selama 10 menit dengan kecepatan rotor 50 rpm. Campuran dialirkan ke mesin pelletizing sehingga diperoleh butiran nanokomposit. Nanokomposit dipress dengan mesin 2 hydraulic press bertekanan 150 kg/cm untuk persiapan pengujian. Pengujian sifat nanokomposit Pengujian dilakukan untuk mengetahui kualitas nanokomposit HDPE/NPCC, yang meliputi uji sifat mekanik: densitas, kuat tarik, kemuluran, dan kekerasan. Uji densitas dilakukan menggunakan alat densimeter dan mengacu metode uji ASTM D792. Uji kuat tarik dan kemuluran dilakukan dengan menggunakan alat uji tensile strength tester, uji kekerasan menggunakan hardness tester. Karakterisasi gugus fungsi nanokomposit menggunakan alat Fourier Transform Infra Red (FTIR).
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Infrared Spectroscopy Karakterisasi gugus fungsi nanokomposit HDPE/NPCC ditentukan dengan alat Fourier Transform Infra Red Spectrophotometer (FTIR) dan hasil pantauan gugus fungsi disajikan pada Gambar 3, 4, 5 dan 6.
Gambar 3. Spektrum FTIR HDPE
SPEKTROSCOPI FTIR DAN SIFAT MEKANIK.....(Arum Yuniari dan Emiliana K.)
91
-1
Gambar 4. Spektrum FTIR NPCC
-1
2635,94 cm , 1470,39–1539,10 cm (C=C), 1304,12–1367,50 cm-1 (C-H), 11751,16 cm-1, -1 -1 1081,02 cm (CH2), 718,09 cm (acetate) (Peacock, 2000). Spectra nano precipitated calcium carbonate (Gambar 4) terdiri atas beberapa puncak kuat didaerah 3437,06; 2918,41 – 1795,8; 1800; 1634,84; 1455,83 (vaterite), 1162,85; 875,63 cm-1 (calcite) dan -1 712,98 cm (aragonite) (Kevin, 2004; Saeedi, M and Salman, J, S., 2011). Spektrum FTIR komposit HDPE tanpa NPCC (Gambar5) terlihat adanya puncak serapan didaerah bilangan gelombang berturut-turut: 1710,53 cm-1 asymetric streching dari carbonyl (C=O) -1 dari maleat anhidrat dan 1695,61 cm symetric streching dari carbonyl (C=O) dari maleat anhidrat sedangkan puncak serapan didaerah 715 cm-1 (C-H stretching). Spektrum FTIR nanokomposit HDPE/NPCC (Gambar 6) menunjukkan puncak serapan didaerah -1 3883,97–3472,49 cm (OH stretching); -1 2351,19–2020,28; 1710,53 cm (OH); 1646,19; 1468,33; 874,75, dan 714,20 cm-1 (CH stretching) (Durmus, et al., 2007). Sifat mekanik nanokomposit
Gambar 5. Spektrum FTIR komposit tanpa NPCC
Kekerasan nanokomposit Kekerasan nanokomposit disajikan pada Gambar 7. kekerasan komposit makin naik sejalan dengan bertambahnya jumlah bahan pengisi NPCC. Hal ini dikarenakan NPCC merupakan filler kaku dan kristalin maka makin banyak NPCC yang ditambahkan akan mengisi matriks HDPE dengan demikian kekerasan komposit akan naik.
Gambar 6. Spektrum FTIR nanokomposit dengan NPCC 5 phr
Kekerasan, Shore D
97
96.2
96
96 95.4
95
95 94.4
Gambar 3. menggambarkan didaerah bilangan 3913,96–3604,48;
92
spektrum FTIR HDPE pita serapan didaerah gelombang berturut-turut: -1 2905,02 cm (C-CH3),
94 0
5
10 15 Jumlah NPCC, phr
20
Gambar 7. Grafik kekerasan nanokomposit HDPE/NPCC
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 89-95
Gambar 7. memperlihatkan bahwa penambahan NPCC 5 phr hanya menaikkan kekerasan 0,64%, dan penambahan NPCC sampai 20 phr menaikkan kekerasan sampai 1,9%. Walaupun penambahan NPCC tidak begitu banyak namun tetap ada interaksi interfacial adhesion diantara NPCC dengan HDPE. Ukuran filler (NPCC) makin kecil ternyata memberikan interaksi interfacial yang makin besar. Hal ini juga senada dengan yang dilaporkan oleh Liang (2002) yang menyatakan bahwa penggunaan partikulat inorganic rigid dengan ukuran yang lebih kecil seperti CaCO3 dalam polimer dapat memperbaiki interfacial adhesion diantara matrik dan filler. Filler jenis NPCC hanya sedikit memiliki cacat permukaan dan mudah didispersikan kedalam matrik polimer. Kuat Tarik Pengaruh penambahan filler NPCC terhadap kuat tarik nanokomposit disajikan pada Gambar 8. Hasil uji menunjukkan makin banyak filler NPCC yang ditambahkan kuat tarik nanokomposit akan turun.
Kemuluran Kemuluran nanokomposit disajikan pada Gambar 9. Kemuluran nanokomposit untuk semua variasi jumlah penambahan NPCC adalah sama yaitu 20 %.
270.91
270
25
260 250 245.34
240
240.46
239.87 235.72
230 0
5
10
15
20
Jumlah NPCC, phr
Gambar 8. Kuat tarik nanokomposit dengan filler NPCC Hal ini dikarenakan interfacial adhesion diantara HDPE sebagai matrik dan filler NPCC melemah, sehingga bila ada tarikan tidak dapat menahannya yang menyebabkan komposit putus. Kuat tarik nanokomposit dipengaruhi oleh bentuk kristal dari filler,
Perpanjangan putus, %
Kekuatan tarik, kg/cm2
280
jenis kompatibiliser dan physicochemical. Kristal NPCC merupakan jenis kristal sangat kaku (150 – 250 GPA) yang dapat berakibat melemahkan interfacial adhesion (Durmus, et al., 2007 dan Durmus, et al., 2008 ). Pada Gambar 8 terlihat bahwa penambahan NPCC 5 phr nilai kuat tarik turun sebesar 9,44%, dan penambahan sampai 20 phr kuat tarik turun sampai 13,03%. Penambahan NPCC sampai 5 phr menghasilkan kuat tarik paling maksimal (Durmus, et al., 2007 dan Kusmono, 2010). Diameter partikel filler makin kecil maka makin banyak masa filler yang mengisi matrik antar molekul plastik sehingga mobilitas struktur HDPE berkurang. Hal ini berbeda dengan pendapat Mahmood, et al.(2009) yang mengatakan bahwa terjadi interkalasi cukup tinggi antara partikel NPCC sehingga kuat tarik nanokomposit tinggi, hal ini disebabkan dalam penelitian tersebut digunakan larutan dodecylamine sebagai bahan yang berfungsi untuk pendispersi dan adhesi NPCC dalam matrik polimer.
20
20
20
20
20
20
15
10 0
5
10
15
20
Jumlah NPCC, phr
Gambar 9. Kemuluran nanokomposit dengan filler NPCC Kemuluran nanokomposit dipengaruhi oleh jumlah NPCC dalam matriks campuran dan makin banyak jumlah NPCC yang ditambahkan maka kemulurannya makin turun, hal ini disebabkan terjadi interaksi yang
SPEKTROSCOPI FTIR DAN SIFAT MEKANIK.....(Arum Yuniari dan Emiliana K.)
93
kurang baik antara matriks polimer dan nano filler. Polimer akan kehilangan sifat-sifat plastiknya menyebabkan nanokomposit menjadi kaku (Supri, A.G.H. et al., 2008). Densitas Densitas nanokomposit disajikan pada Gambar 10. Densitas nanokomposit meningkat dengan bertambahnya jumlah filler NPCC. Kenaikan densitas nanokomposit dikarenakan densitas filler lebih tinggi dari densitas HDPE. Penambahan NPCC 5 phr menaikkan densitas nanokomposit sebesar 2,75%, dan penambahan NPCC 20 phr menaikkan densitas nanokomposit sebesar 9,17%. Menurut Gupta R.K. (1994) densitas HDPE > 0,954 gr/cm3.
Densitas, gr/cm3
1.25
1.18 1.15
1.19
1.15 1.12 1.09
1.05
0
5
10
15
20
Jumlah NPCC, phr
Gambar 10. Densitas komposit LHE dengan filler NPCC KESIMPULAN Sifat mekanik nanokomposit HDPE/NPCC menunjukkan bahwa kekerasan dan densitas naik seiring naiknya jumlah NPCC, nilai kekerasan tertinggi adalah 96,2 shore A dan nilai densitas tertinggi sebesar 3 1,19 gr/cm . Sedangkan kuat tarik nanokomposit turun dengan meningkatnya jumlah NPCC. Kuat tarik terendah sebesar 235,72 kg/cm 2 . Analisa gugus fungsi nanokomposit menunjukkan adanya puncak baru pada bilangan gelombang 3472,49 cm-1 (OH stretching).
94
UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan Terima kasih disampaikan kepada: 1. Ir.Dwi Wahini M.Eng yang telah membimbing dalam melakukan penelitian. 2. Dodi Irwanto, M.Eng yang telah mambantu dalam pelaksanaan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Alexandre, M., Dubis, P., Sun, T., Garces, I.M. and Jerome, R., 2002. Polyethylene layered silicate nanocomposites prepared by the polymerization filling technique: synthesis and mechanical properties. Polymer, 43: 2123-2132. Bhattacharya, A., James, W. R. and Paramitha, R., 2009. Polimer Grafting and crosslinking. A JohnWiley & Sons,Inc. Publication ISBN 978-0-470-40465-2. Durmus, A., Woo, M., Kasgos, A., Christopher, W.M and Tsapatsis, M., 2007. Intercalataed Linier Low Density Polyethylene (LLDPE/clay) Nanocomposites Prepared With Oxidized Polyethylene as a New type Compatibilizer, Structural, Mechanical and Barrier Properties. European Polymer Journal 43 : 3737-3749. Durmus, A., Kasgos, A. and Christopher, W.M., 2008. Mechanical Properties of Linier Low Density Polyehylene (LLDPE)/clay Nanocomposites Estimation of aspect Ratio and interfacial Strength by Composites Models. Journal of Macromolecular Science.Part B Physics 47: 608-619. ISSN 022-2348. Gane, Patrick, Arthur, Charles, Burl, Mathias, Pohl and Michael, 2010. Process to prepare Precipitated Calcium Carbonate Implementing Low Charge Acrylate A/O Maleinate- Containing Polymer. English. Patent No. Wo2010018432. Gupta, R.K.,1994. Handbook of Small Scale Plastics Projects & Processing Te c h n i q u e s . S m a l l B u s i n e s s Publication, Roop Nagar, Delhi-India.
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 89-95
Jasminka, K., Marko, U., Vesna, B.I. and Damir, K., 2011. Synthesis of Calcium Carbonate by Semicontinuous Carbonation Method in the Presence of Dextrans. Croatica Chemica ACTA CCACAA, ISSN 0011-1643, e ISSN 1334-417X Croat. Chem. Acta 84 (1) 25-32. CCA-3446. Kevin, D.O.J., 2004. A Guide to Identifying Comnuce Inorganic Filler and A c t i v a t o r s u s i n g Vi b r a t i o n a l Spectroscopy The Internet Journal of Vibration Spectroscopy Vol 2/edition 3. Kusmono, 2010. Studi Sifat Mekanik dan Morfologi Nanokomposit berbasis Poliamid 6/Polipropilen/Clay. Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin (SNTTM) ke 9 Palembang. Liang, J.Z., 2002. Toughening and Reinforcing in Rigid Inorganic Particulate Filled Poly(propylene). Journal of Apllied Polymer Science Vol 83, Issue 7: 1547-1555. Mahmood, M., Musa R.K., and Gustavo, Q., 2009. Maleic Anhydride Grafting onto HDPE, by In situ Reactive Extrusion and its Effect on Intercalation and Mechanical Properties of HDPE/Clay Nanocomposite. Iranian Polymer Journal 18: 10.
Pinnavaia, J. J. and Beall G.W., 2000. Polymer Nanocompsites. John Wiley, New York. Peacock, A.J., 2000. Hand Book Of Polyethylene, Structures, Properties and Aplications marcel Dekker. Inc. Saeedi, M. And Salman, J.S., 2011. Morphological and Thermal Properties of HDPE/CaCO 3 Nanocomposites, Effect of Content of Nano and MFI. International Conference on Nanotechnology and Biosensors. IPCBEE vol 25. IPCBEE vol 25 IACSIT Press. Singapore. Supri, A.G.H., Salmah and Hazwan, K., 2008. Low Density Polyethylene-Nanoclay Composites, the Effect of Poly(acrylic acid) on Mechanical Properties, XRD, Morphology Properties and Water Absorption. Malaysian Polymer Journal (MPJ). Vol.3 No.2, p 39-53.
SPEKTROSCOPI FTIR DAN SIFAT MEKANIK.....(Arum Yuniari dan Emiliana K.)
95
96
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012
PEMANFAATAN AIR OLAHAN WETLAND DI SITIMULYO DALAM PEMBUATAN KULIT PIKEL DOMBA THE UTILIZATION OF TREATED WETLAND WATER IN SITIMULYO ON THE MAKING OF PICKLED SHEEPSKIN Dwi Ningsih, Teguh Martianto dan Syaiful Harjanto Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik, Yogyakarta Email:
[email protected] Diterima: 8 September 2012 Direvisi: 22 Oktober 2012 Disetujui: 11 Nopember 2012 ABSTRACT Research has been done to study the effects of treated wetland water utilization in Sitimulyo on the making of pickled sheepskin. The treated wetland water on the making of pickled sheepskin was done by using three variable ratio of wetland water: water that is 100:0; 75:25; 50:50. Used as a comparison was control or without any additional water wetland. Skin that was used as much as 12 pieces of sheepskin divided into 4 groups and 3 pieces of leather for each treatment. Quality parameters observed include skin moisture content, salinity, pH, and organoleptic observation. From the results showed that the treated wetland water in Sitimulyo not meet the water requirements for tanning leather according to SNI 06-0649-1989 on water for vegetable leather tanning process. Pickle skin test results show that the chemical (moisture, salt and pH) and organoleptic not meet the requirements of SNI 06-3537-1994 on quality leather and test methods pickle sheep. Keywords: pickle leather, wetland water, sheepskin ABSTRAK Telah dilakukan penelitian untuk mempelajari pengaruh penggunaan air olahan wetland yang ada di Sitimulyo dalam pembuatan kulit pikel domba. Air olahan wetland dalam pembuatan kulit Pikel dilakukan dengan 3 variabel perbandingan air wetland:air bersih yaitu 100:0; 75:25; 50:50. Sebagai pembanding digunakan kontrol atau tanpa tambahan air wetland. Kulit yang digunakan sebanyak 12 lembar kulit domba dibagi dalam 4 kelompok dan 3 lembar kulit untuk masing-masing perlakuan. Parameter mutu kulit yang diamati meliputi kadar air, kadar garam, pH, serta pengamatan organoleptis. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa air olahan wetland yang ada di Sitimulyo belum memenuhi persyaratan air untuk penyamakan kulit sesuai SNI 060649-1989 mengenai air untuk proses penyamakan kulit samak nabati. Hasil uji kulit pikel menunjukkan bahwa secara kimia (kadar air, garam dan pH) dan organoleptis tidak memenuhi persyaratan SNI 06-3537-1994 mengenai mutu dan cara uji kulit pikel domba. Kata kunci: kulit pikel, air wetland, kulit domba PENDAHULUAN Proses penyamakan kulit adalah proses merubah kulit mentah (hide atau skin) yang bersifat labil menjadi kulit tersamak yang bersifat stabil. Proses tersebut dimaksudkan untuk mengubah sifat-sifat kulit mentah yang mudah mengalami kerusakan dan pembusukan menjadi kulit tersamak yang
tahan terhadap aktifitas mikroorganisme dan pembusukan. (Purnomo, 2005). Dalam proses merubah kulit mentah menjadi kulit tersamak dilakukan dalam 3 tahapan utama yaitu proses pra penyamakan (beam house), proses penyamakan dan proses pasca penyamakan. Proses beam house adalah proses pengubahan kulit mentah sampai menjadi kulit Pikel.
PEMANFAATAN AIR OLAHAN WETLAND DI SITIMULYO......(Dwi Ningsih, dkk)
97
Menurut SNI. 06-3537-1994 kulit pikel adalah kulit mentah yang telah mengalami proses pengapuran dan diawet dengan cara pengasaman/pickling. Pada proses penyamakan kulit, harus diingat bahwa kulit merupakan bahan organik yang mempunyai sifat-sifat yang masih sangat sensitif terhadap beberapa jenis kemikalia serta mikroorganisme. Oleh karena itu segala sesuatunya harus dipersiapkan dan diperhitungkan secermat mungkin agar kulit mentah tidak mengalami kerusakan baik oleh perlakuan-perlakuan kimia, fisik maupun mikroorganisme selama berlangsungnya proses penyamakan. Salah satu faktor yang penting dalam penyamakan kulit adalah kondisi kemikalia yang digunakan termasuk air. Air merupakan perantara/ medium untuk
menyampaikan bahan-bahan lain ke dalam kulit. Air untuk penyamakan tidak boleh mengandung zat-zat yang dapat bereaksi dengan bahan yang digunakan dalam proses penyamakan kulit karena akan mempengaruhi proses penyamakan tersebut. Air yang digunakan untuk penyamakan harus jernih, tidak mengandung mikroorganisme dan bebas dari garam-garam besi dan kesadahan. (Jayusman, 1990). Air merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam proses penyamakan kulit. Jumlah air yang dibutuhkan dalam proses tergantung pada jenis kulit yang akan dihasilkan. Kebutuhan jumlah air menurut Rajamani (1999) untuk 1 ton kulit mentah awet garaman dalam tiap tahapan proses dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Limbah Cair Industri Penyamakan
Parameter Volume limbah cair per ton hide/skin, m 3 pH
Soaking
Liming
Deliming
Pickling
Chrome Tanning
6-9
3-5
1-2
0,5-1
1-2
Campuran termasuk pencucian 30-40
7,5-8
3-5
1-2
0,5-1
1-2
7-9
Syarat kualitas air dalam setiap tahapan proses adalah sebagai berikut : 1. Perendaman (soaking) Kesadahan sedang sedikit membahayakan. Kandungan bahan tersuspensi yang tinggi atau adanya pembusukan bakteri itu yang tidak diharapkan 2. Pengapuran (liming) Air sadah tidak berbahaya bagi kulit putih kapur dan cairan kapur sulfida, tetapi tidak boleh digunakan dalam proses pengapuran dengan larutan enzim kapur. 3. Pencucian setelah liming, deliming dan bating Kandungan yang tinggi dari karbonat kemungkinan menyebabkan lime blast dan efek enzimatik terganggu pada proses bating. 4. Pickling dan Penyamakan krom Air sadah tidak berbahaya
98
Klasifikasi air berdasarkan kesadahan total adalah sebagai berikut : 0-4 oG : air sangat lunak o 4- 8 G : air lunak o 8-12 G : air lunak sedang 12-18 oG : air cukup sadah o 18- 30 G : air sadah >30 oG : air sangat sadah 1 Derajat Jerman (oG) = 1 bagian CaO dalam 100.000 bagian air = 10 mg/L = 0,357 mval/L ion alkali tanah. Dalam proses penyamakan kulit dibutuhkan air yang relatif besar. Menurut Rajamani (1999) untuk 1 ton kulit mentah 3 awet garaman membutuhkan 30-40 m air. Hal ini menyebabkan limbah cair yang dihasilkan melimpah.
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 97-103
Limbah cair yang dihasilkan diolah dengan tiga tahapan utama yaitu pengolahan primer, sekunder, dan tersier. Pengolahan primer meliputi pengolahan fisik dan pengolahan kimia. Pengolahan sekunder meliputi pengolahan biologi. Sedangkan pengolahan tersier salah satunya dapat berupa proses penjernihan dengan sistem wetland. Air outlet dari hasil pengolahan biologi selanjutnya diolah menggunakan wetland. Wetland adalah sistem pengolahan air limbah dengan memanfaatkan tanaman air, berlangsung melalui proses fisika, kimia dan biologi yang disebabkan oleh adanya interaksi antara mikrobiologi, tanaman dan substrat. (Anonim, 2007). Proses pengolahan limbah penyamakan terbaik dapat dihasilkan dengan kombinasi proses pengolahan fisika/kimia dengan proses biologi. Kombinasi proses pengolahan limbah akan memberikan hasil yang memuaskan bila dibandingkan dengan pengolahan sendiri-sendiri. Pengolahan secara biologi nampaknya merupakan metode pilihan terbaik untuk menghilangkan warna dan kandungan bahan organik. (G. Durai, 2011). Prinsip dasar sistem wetland untuk pengolahan air limbah adalah pada proses respirasi tumbuhan air. Menurut Prayitno dkk., (2011), wetland cukup efektif untuk mengurangi BOD, COD, TSS, N-NH3, kadar sulfida, lemak dan krom. Proses-proses yang terjadi dalam sistem pengolahan air limbah dengan memanfaatkan tanaman air adalah : a. Proses fisika dengan mekanisme removal sedimentasi dan filtrasi. b. Proses fisika dan kimia dengan mekanisme removal adsorpsi dan presipitasi fosfor dan logam berat. c. Proses biokimiawi dengan mekasnisme removal penurunan bahan organik, nitrifikasi, denitrifikasi, dekomposisi anaerobik, penyerapan tumbuhan air. (Iwan. K, 2011). Dalam keadaan umum, kerusakan/cacat dapat terjadi ketika air limbah digunakan secara langsung dalam recycle. Sebagai contoh air limbah soaking dan deliming dapat menyebabkan permukaan kasar, air limbah krom dapat menyebabkan kulit mengeras dan
warnanya lebih gelap. Pengolahan limbah sebelum digunakan dapat mengatasi beberapa masalah meliputi kerusakan permukaan kulit, permukaan kasar dan warna gelap pada kulit (Zhuangdou Zhang, 2008). Sebagai upaya pengelolaan limbah yang dihasilkan dapat dilakukan dengan cara penerapan produksi bersih yang salah satunya dilakukan melalui penerapan 3R (reuse, recycle and recovery). Dalam penelitian ini air yang digunakan untuk proses mulai dari perendaman sampai dengan pengasaman menggunakan air olahan wetland yang ada di Sitimulyo. Pemanfaatan kembali air olahan wetland merupakan salah satu upaya untuk mengurangi jumlah kebutuhan air bersih dalam proses penyamakan kulit dan mewujudkan kondisi yang ramah lingkungan. Tujuan penelitian ini untuk mempelajari pengaruh penggunaan air olahan wetland yang ada di Sitimulyo dalam pembuatan kulit pikel. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bahan Penelitian Bahan penelitian terdiri atas : kulit domba awet garaman yang diperoleh dari PT. ASA, tepol, soda ash, kapur, Na2S, NH4Cl, ZA, bating agent, degreasing agent, garam, HCOOH, H2SO4, anti jamur, kertas pH, BCG, air, air olahan wetland dari Sitimulyo Yogyakarta. Alat Penelitian Alat penelitian meliputi: drum eksperimen stainless steel ukuran 620 x 300 mm, timbangan, gelas ukur, corong, pengaduk, boumemeter, mesin fleshing merk San Gok. Cara Penelitian Dalam penelitian ini faktor yang dipelajari adalah penggunaan air olahan wetland dari Sitimulyo yang diaplikasikan dalam proses penyamakan kulit mulai dari perendaman s/d pengasaman kulit domba. Jumlah air yang digunakan bervariasi dengan perbandingan air wetland: air bersih berturutturut 100:0, 75:25, 0:100. Kulit yang digunakan sebanyak 12 lembar kulit domba awet garaman yang dibagi dalam 4 kelompok.
PEMANFAATAN AIR OLAHAN WETLAND DI SITIMULYO......(Dwi Ningsih, dkk)
99
Kelompok I (100:0), II (75:25), III (50:50), dan IV (0:100). Masing-masing variasi dilakukan 3 kali ulangan (metode triplo).
Kulit domba awet garaman diproses sampai tahap pengasaman menggunakan formulasi seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Formula Pembuatan Kulit Pikel dari kulit Domba
Proses Pencucian Perendaman
Pengapuran
Bahan Kimia Air Air* Soda ash Tepol Air* Na2S Kapur Air* Kapur
300 0,3 0,5 100 2,5 2 100 4
Air*
100
Deliming, Bating, Degreasing
Air* ZA NH4Cl Palkobate Degreasing agent Pengasaman Air* Garam HCOOH (1:10) H2SO4 (1:20) Anti jamur (1:10)
%
Waktu 60’
Keterangan Bersih Cek pH = 9-10
30’
Cek bulu rontok
2 x 10’
100 1 1 0,75 0,7 80 10 0,5 1,1 0,1
4x20’ putar 30’ stop ON, putar 30’, cuci, fleshing, timbang Cek pH = 8,5 Cuci
90’
10’ 30’ 3x30’ 90’
Cek Be
pH= 2,5 Ǿ kuning dengan BCG
Keterangan : Air* = Air variasi proses Air yang digunakan untuk pencucian tidak menggunakan air variasi proses
Tabel 3. Hasil pengujian air olahan wetland
No. 1 2 3 4 5 6 100
Satuan
Uraian Kesadahan jumlah Kadar besi (Fe) Kadar garam (NaCl) Kadar Permanganat (KMnO4) Kekeruhan pH
Hasil Pengujian
mg / l mg / l mg / l
30 5 0,0239 2391,70
mg / l
86,90
mg / l -
0,26 7,3
Persyaratan Min -
Maks 12 5 100 5
6
50 7,5
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 97-103
Pengujian Pengujian yang dilakukan: 1. Uji air wetland meliputi kesadahan jumlah, kadar besi, kadar garam, bilangan permanganat, kekeruhan dan pH sesuai SNI 06-0649-1989 tentang Air untuk Proses Penyamakan Kulit Samak Nabati 2. Uji kulit pikel meliputi uji kadar garam, kadar air, pH dan organoleptis sesuai SNI 06-3537-1994 tentang Mutu dan Cara Uji Kulit Pikel Domba/Kambing HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil uji air olahan wetland Hasil uji air olahan wetland terdapat pada Tabel 3. Dari hasil uji air olahan wetland didapatkan bahwa untuk kesadahan jumlah, kadar garam, dan bilangan permanganat tidak memenuhi syarat mutu air. Sedangkan untuk kadar besi, kekeruhan dan pH memenuhi syarat mutu air yang disyaratkan oleh SNI 060649-1989 mengenai air untuk proses penyamakan kulit samak nabati. Kesadahan air olahan wetland sebesar 30,5 derajat jerman menunjukkan kalau air olahan wetland sitimulyo termasuk dalam golongan air sangat sadah. (Anonim, 1994). Bilangan permanganat yang tinggi menunjukkan tingginya kandungan bahan organik dalam air sehingga mudah ditumbuhi oleh bakteri. 2. Hasil Uji Kulit Pikel dari Kulit Domba Secara Kimiawi Hasil uji mutu kulit pikel domba secara kimiawi terdapat pada Tabel 4.
a. Pengaruh jumlah air wetland terhadap kadar garam dalam kulit pikel Garam dibutuhkan dalam upaya pengawetan kulit. Berdasarkan analisa statistik hasil uji kadar garam dapat dilihat bahwa menunjukkan bahwa kadar garam pada penggunaan berbagai variasi perbandingan air wetland : air bersih dengan perbandingan (100:0; 75:25; 50:50) untuk semua variasi berbeda nyata terhadap kontrol (0:100) (p≤ 0,05). Sedangkan perbandingan 75:25 tidak berbeda nyata dengan perbandingan 100:0. Kulit pikel yang diproses menggunakan perbandingan air wetland : air bersih sebesar 100:0; 75:25; 50:50 memberikan nilai kadar garam yang berada di bawah kadar garam yang disyaratkan yaitu berturut turut 6,43; 6,45; 5,37 %. Persyaratan kadar garam dalam SNI 06-3537-1994 tentang Mutu dan Cara Uji Kulit Pikel Domba/Kambing adalah minimal 8. Tekanan osmotik (π) adalah tekanan yang diberikan pada larutan yang dapat menghentikan perpindahan molekul-molekul pelarut ke dalam larutan melalui membran semi permeabel (proses osmosis). Kadar garam yang tinggi pada air olahan wetland menyebabkan tingginya tekanan osmosis dalam kulit sehingga menahan partikel garam yang akan masuk pori-pori kulit. Hal ini menyebabkan kadar garam terserap lebih kecil daripada yang diproses dengan menggunakan air besih. Menurut Purnomo (1985), pada kulit Pikel, garam dibutuhkan sebagai bahan buffer agar selama proses tidak mengalami pembengkakan saat penambahan asam dalam proses pickling. Reaksi osmosis dari garam mendesak air keluar dari kulit hingga tingkat kondisi yang tidak memungkinkan
Tabel 4. Hasil uji mutu kulit pikel domba secara kimiawi
Syarat-syarat kimiawi
100:0 (I) 75:25(II)
50:50 (III )
0:100 (k)
Standard
Kadar garam (%)
6,43b
6,45b
5,37c
9a
Min 8
Kadar air (%)
63,98c
67,99a
65,97b
59,32d
Max 60
pH
3,03b
2,71d
2,95c
3,29a
1-2,5
Keterangan : angka-angka sekolom diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada α = 5%
PEMANFAATAN AIR OLAHAN WETLAND DI SITIMULYO......(Dwi Ningsih, dkk)
101
pertumbuhan bakteri. Dengan kadar garam yang lebih rendah menyebabkan kondisi lebih rentan terserang oleh bakteri. (Anonim,2012). b. Pengaruh jumlah air wetland terhadap kadar air dalam kulit Air merupakan perantara/medium untuk menyampaikan bahan-bahan ke dalam serat kulit. Berdasarkan analisa statistik hasil uji kadar air pada penggunaan berbagai variasi perbandingan air wetland:air bersih dengan perbandingan 100:0; 75:25; 50:50 menunjukkan bahwa hasil kadar air untuk semua variasi yang berbeda nyata terhadap kontrol (0:100) (p≤0,05). Perbandingan air wetland: air bersih = 0:100 (kontrol) memberikan nilai kadar air terbaik yang memenuhi standard SNI 063537-1994. Sedangkan untuk kulit Pikel yang diproses menggunakan perbandingan air wetland : air bersih sebesar 100:0; 75:25; 50:50 memberikan nilai kadar air yaitu 63,98; 67,99; 65,97 % yang berada di atas kadar air yang disyaratkan. Persyaratan kadar air dalam SNI 06-3537-1994 adalah maksimal 60 %. Hal ini dikarenakan kadar garam yang tinggi dalam air olahan wetland. Sifat garam yang higroskopis menyebabkan air yang ada dalam kulit susah keluar dari kulit. Hal inilah yang menyebabkan kadar air dalam kulit lebih besar daripada kadar air kulit yang diproses dengan air bersih. (Hedisoebroto,1990). Hal ini berarti bahwa air wetland yang digunakan untuk proses belum bisa dimanfaatkan untuk proses penyamakan kulit. c. Pengaruh jumlah air wetland terhadap pH kulit pikel pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Berdasarkan analisa statistik hasil uji pH pada penggunaan berbagai variasi perbandingan air wetland:air bersih (100:0; 75:25; 50:50) menunjukkan bahwa hasil pH berbeda nyata terhadap kontrol (0:100) (p≤ 0,05). Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa semua variasi tidak memenuhi pH yang disyaratkan pada SNI 06-3537-1994. Hasil uji pH dari variasi perbandingan air wetland:air bersih 102
(100:0; 75:25; 50:50) berturut-turut 3,03; 2,71; 2,95. Persyaratan pH dalam SNI 063537-1994 adalah antara 1-2,5. Hal ini diduga bahwa pada proses pikel masih kurang sempurna serta jumlah dan kualitas asam yang digunakan kurang sehingga belum mampu untuk menurunkan pH. Proses pengasaman sangat dipengaruhi oleh jumlah garam, asam dan air yang digunakan.(Sarkar, 1991). Lebih lanjut Sarkar (1991) menyatakan bahwa ketika terjadi proses pickling kulit akan mengabsorb asam dalam rendaman. pH dari rendaman Pikel H2SO4-NaCl akan mengalami kenaikan dari 1,7-2 menjadi 2,7-3,5. Kenaikan pH tersebut terjadi akibat absorpsi asam oleh kulit dan juga netralisasi kapur residu dalam kulit. 3. Hasil Uji Organoleptis a. Pengaruh jumlah air wetland terhadap
kenampakan nerf kulit Pikel Dari pengamatan organoleptis nerf kulit pikel dari semua variasi menunjukkan adanya kesamaan flek yang terdapat pada kulit pikel. Sedangkan kulit pikel (kontrol) tidak terdapat flek. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 1. Penampakan nerf kulit Pikel domba kontrol (a) Nerf kulit Pikel kontrol, (b) Nerf kulit Pikel variabel I (c) Nerf kulit Pikel variabel II, (d) Nerf kulit Pikel variabel III
Hal ini sesuai dengan pendapat Jayusman (1990) yang menyatakan bahwa
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 97-103
apabila air yang digunakan memiliki kesadahan yang tinggi akan menghambat proses misalnya dalam pengapuran akan terjadi flek flek CaCO3 dan pada proses Pikel terjadi flek CaSO4 yang dapat menurunkan mutu kulit. Hal ini ditunjukkan dengan kesadahan yang tinggi dari air olahan wetland yaitu sebesar 30,5 derajat jerman. b. Pengaruh jumlah air wetland terhadap bau kulit Hasil pengamatan organoleptis menunjukkan kulit yang diproses dengan menggunakan air wetland untuk semua variasi menghasilkan bau yang menyengat. Bau semakin menyengat dengan wetland yang semakin besar. Hal ini dapat disebabkan karena bilangan permanganat yang tinggi. Bilangan permanganat adalah jumlah mg KMnO4 yang diperlukan untuk mengoksidasi zat organik yang terkandung didalam satu liter contoh air. Bilangan
permanganat yang tinggi menunjukkan tingginya kandungan bahan organik dalam air wetland yang menyebabkan mudah berkembangnya bakteri. Kandungan bahan organik yang tinggi menyebabkan timbulnya bau yang menyengat. (Anonim, 2004).
KESIMPULAN 1. Air olahan wetland di Sitimulyo belum dapat memenuhi persyaratan air untuk proses penyamakan kulit 2. Penggunaan air wetland yang ada di Sitimulyo dalam proses pembuatan kulit Pikel dengan berbagai variabel air proses menyebabkan penurunan kualitas kulit Pikel yang dihasilkan 3. Kulit Pikel yang diproses menggunakan air wetland belum dapat memenuhi persyaratan kimiawi (kadar air, kadar garam dan PH) dan secara organoleptis (nerf dan bau) yang tercantum dalam SNI 06-3537-1994 mengenai mutu dan cara uji kulit Pikel domba/ kambing. SARAN 1. Pemanfaatan air olahan wetland di Sitimulyo sebaiknya dilakukan pengolahan yang intensif sebelum diterapkan pada proses penyamakan kulit
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2007. Panduan Pengendalian Pencemaran Limbah Bahan Berbahaya Beracun pada Industri Penyamakan Kulit, Departemen Perindustrian, Jakarta Anonim, 1994. “Pocket Book for the Leather th Technologiest”, 4 edition, BASF, Jerman Durai,G. And M. Rajasimman,2011. Biological Treatment of Tannery Waste Wa t e r A r e v i e w. J o u r n a l o f Enviromental Science and Technology 4 (1) : 1-17. 2011, Department of Chemical Engineering Annamalai University, India Hedisoebroto. N, 1990. Dasar-dasar analis dan pemisahan kimia, ITB, Bandung Iwan,K. dan Suryono, 2011. Wetland Technology for Domestic Wastewater Management Jayusman, 1990. Pengetahuan Bahan, Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik, Yogyakarta Purnomo, E., 2005. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit, ATK, Yogyakarta SNI 06-3537-1994, 1994. Mutu dan Cara Uji Kulit Pikel Domba/Kambing, Departemen Perindustrian SNI 06-0649-1989, 1989. Air untuk Proses Penyamakan Kulit Samak Nabati, Departemen Perindustrian SNI 06-6989.22-2004, 2004. Air dan Air Limbah - Bagian 22: Cara uji nilai permanganat secara titrimetri, Departemen Perindustrian Sarkar, K.T. 1991. Theory and Practice of Leather Manufacture, The CLS Press, India Zaenab, 2008. Industri Penyamakan Kulit dan Dampaknya terhadap Lingkungan Zhiwen Ding, Yu Shuxian, Zhang Xiaolei, Gao Zhongbai, 2007. “Developing Countries Training Course on EcoLeather Manufacture Technology”, China Leather and Footwear Industry Research Institute, China Zhuangdou Zhang, 2008. Recycling of Waste Water from Raw Hide to Wet Blues in Leather Manufacture. Donyon Chemicals Co., Shanghai, China
PEMANFAATAN AIR OLAHAN WETLAND DI SITIMULYO......(Dwi Ningsih, dkk)
103
104
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012
PENGARUH JUMLAH MINYAK TERHADAP SIFAT FISIS KULIT IKAN NILA (Oreochromis niloticus) UNTUK BAGIAN ATAS SEPATU THE INFLUENCE OF FATLIQUOR AMOUNTS ON PHYSICAL CHARACTERISTICS OF NILA SKIN (Oreochromis niloticus) FOR SHOE UPPER Iwan Fajar Pahlawan, Emiliana Kasmudjiastuti Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik, Yogyakarta Email:
[email protected] Diterima: 3 Agustus 2012 Direvisi:16 Oktober 2012 Disetujui: 15 Nopember 2012 ABSTRACT Fatliquor could change physical properties of leather, which make it softer, more elastic, flexible and give smooth grain surface. This research was conducted to observe the influence of fatliquor addition on physical characteristics of nila skin for shoe upper. The physical characteristics in this research, consisted of tensile strength, tear strength and elongation at break. The fatliquor was put into the leather with the amount of 4%, 6% and 8%. Respectively, the results showed that the addition of fatliquor could improve the physical properties of nila skin. More fatliquor, could rise the physical properties value of nila skin. The optimal amount of fatliquor was 4%, which resulted in tensile strength value of 233,96 kg/cm2, 70% for elongation at break and 36,08 kg/cm for tear strength value, and fulfill the standard requirement of Acceptable Quality Levels in Leathers. Key words: fatliquor, physical characteristics, nila skin ABSTRAK Minyak/lemak merupakan komponen penting dalam kulit yang berfungsi untuk melunakkan kulit atau sebagai pelumas jaringan kulit pada proses penyamakan kulit. Minyak atau lemak dapat mengubah sifat-sifat penting kulit antara lain kulit menjadi lebih lunak, liat, mulur, lembut, dan permukaan rajahnya lebih halus. Tujuan penelitian ini untuk mempelajari pengaruh penambahan jumlah minyak sulfonasi terhadap kualitas fisik kulit ikan nila untuk bagian atas sepatu. Sifat fisik yang diamati meliputi kekuatan tarik, kekuatan sobek dan kemuluran. Dalam penelitian ini variasi jumlah minyak yang digunakan adalah 4, 6 dan 8%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan minyak, dapat meningkatkan sifat fisis dari kulit ikan nila. Penambahan minyak yang optimal adalah sebesar 4%, yang menunjukkan sifat fisis dengan nilai kekuatan tarik 233,96 kg/cm2, kemuluran 70% dan kekuatan sobek 36,08 kg/cm, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Acceptable Quality Levels in Leathers. Kata kunci: minyak, sifat fisis, kulit ikan nila PENDAHULUAN Bagian atas sepatu (shoe upper) merupakan salah satu komponen penting pada industri persepatuan. Pemilihan kulit sebagai bahan baku untuk bagian atas sepatu oleh produsen sepatu kelas atas, karena kulit
mempunyai sifat paling lentur, bisa mengikuti gerakan kaki manusia, dengan begitu sepatu akan nyaman dipakai. Ada beberapa alasan mengapa kulit dipertimbangkan cocok untuk bahan bagian atas sepatu (UNIDO, 1976), yaitu mempunyai sifat elastisitas dan
PENGARUH JUMLAH MINYAK TERHADAP SIFAT.....(Iwan Fajar P. dan Emiliana K.)
105
plastisitas, mempunyai kuat tarik yang tinggi, mempunyai sifat permeabilitas, dan mudah dalam pengerjaan serta perawatan. Bahan baku untuk sepatu kulit umumnya berasal dari kulit hewan besar seperti kulit sapi dan kerbau. Seiring dengan perkembangan teknologi penyamakan kulit, kemudian digunakan kulit reptil, seperti kulit ular, buaya dan biawak. Tren terbaru dalam industri fashion kini dikembangkan dengan penggunaan bahan baku untuk sepatu dari kulit ikan, diantaranya adalah kulit ikan nila (Oreochromis niloticus). Ikan nila termasuk dalam filum Chordata, sub filum Vertebrae, kelas Actinopterygii, ordo Perciformes, famili Cichlidae, genus Oreochromis dan spesies O. Niloticus. Ikan nila adalah sejenis ikan konsumsi air tawar. Ikan ini diintroduksi dari Afrika pada tahun 1969, dan kini menjadi ikan peliharaan yang populer di kolam-kolam air tawar dan di beberapa waduk di Indonesia. Dalam bahasa Inggris, ikan nila dikenal dengan sebutan Nile Tilapia. Ikan nila berukuran sedang, dengan panjang total bisa mencapai sekitar 30 cm. Kulit ikan nila merupakan limbah dari industri fillet ikan. Kebutuhan konsumsi ikan di Amerika Serikat diperkirakan 90 juta ton per tahun tetapi baru terpenuhi 50% dari total produksi dalam negeri dan hasil impor. Indonesia sendiri merupakan negara pengekspor terbesar dengan jumlah dibawah 10 juta ton per tahun (Usni, 2007). Apabila dari limbah kulit ikan nila tersebut sebesar 5% saja, maka penyediaan kulit ikan nila sudah tercukupi, ditambah lagi saat ini banyak industri rumah tangga/rumah makan yang membuat crispy dan abon dari ikan nila sehingga kulitnya dapat dimanfaatkan untuk disamak dan akan terjamin ketersediaan bahan bakunya. Kondisi ini akan membuka peluang dan memacu industri sepatu/alas kaki untuk berkreasi menciptakan diversifikasi produknya. Struktur kulit ikan seperti hewan vertebrata, terdiri dari dua lapisan utama. Lapisan luar adalah epidermis dan lapisan dalam adalah dermis atau corium. Lapisan ini sangat berbeda tidak hanya dalam posisinya, tetapi dalam struktur, karakter dan fungsinya. Struktur kulit ikan relatif sederhana karena ikan hidup di air dan jaringan epidermis juga 106
Relatif tipis. Epidermis terdiri dari beberapa lapisan sel epitel dan jumlah lapisan bervariasi tergantung pada spesies, bagian tubuh dan umur ikan. Sel epitel bergabung bersamasama secara melekat atau matriks. Menurut O'Flaherty et al. (1978), kulit ikan mempunyai perbedaan dari kulit hewan lainnya karena kulit ikan memiliki sisik, tidak mempunyai kelenjar minyak dan serabut kulitnya tersusun secara mendatar serta bersilangan secara horisontal. Secara umum semua jenis ikan dari perairan darat maupun laut dapat disamak, walaupun dalam prakteknya hanya beberapa spesies ikan yang dapat menghasilkan kulit yang lemas, bercahaya, mempunyai rajah yang baik dan dapat diproduksi menjadi barang-barang kulit dan sepatu. Proses peminyakan merupakan bagian dari proses penyamakan kulit yang bertujuan untuk menempatkan molekul minyak pada ruang yang terdapat diantara serat-serat kulit dan dapat berfungsi sebagai pelumas. Minyak atau lemak dapat mengubah sifat-sifat penting kulit, antara lain kulit menjadi lebih lunak, liat, mulur, lembut, dan permukaan rajahnya lebih halus (Purnomo, 2002). Peminyakan juga bertujuan untuk melicinkan serat-serat kulit sehingga kulit menjadi tahan terhadap daya tarik, dan elastis bila dilekuk-lekukkan serta dapat membuat serat kulit tidak lengket antara satu dengan lainnya dan memperkecil daya serap kulit terhadap air (Rachmi, 1992). Minyak atau lemak merupakan komponen penting dalam kulit yang berfungsi untuk melunakkan kulit atau sebagai pelumas jaringan kulit pada proses penyamakan kulit (Sivakumara, et al., 2008). Fungsi minyak pada proses peminyakan adalah untuk mengontrol perbedaan pengkerutan antara bagian grain dengan corium selama proses pengeringan kulit (Etherington dan Roberts, 2011). Jumlah minyak yang digunakan untuk proses peminyakan 5-20% tergantung penggunaannya. Selama proses peminyakan, molekul minyak dan jaringan kulit akan mengikat secara fisis yang lebih kuat dari ikatan antara minyak dan emulsifier, sehingga akan membuat sulitnya minyak migrasi dari kulit (Puntener, 1996). Minyak yang digunakan pada proses peminyakan kulit umumnya menggunakan minyak yang sudah
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 105-111
Disulfonasi, yang berasal dari minyak ikan, hewan, nabati. Minyak sulfonasi banyak digunakan karena dapat memberikan dispersi minyak yang baik dan tidak sensitif terhadap asam. Temperatur yang digunakan pada proses peminyakan sekitar 45°C untuk penyamakan nabati, dan untuk penyamakan full chrome sekitar 60-65°C, diputar selama 30-40 menit (Etherington dan Roberts, 2011). Proses peminyakan merupakan proses yang sangat kompleks tergantung banyak faktor dan dapat mempengaruhi sifat fisis kulit seperti kekuatan tarik, kekuatan sobek, pegangan, kelemasan, keawetan, water vapour, wetting properties, waterproofness (Palop, 2007; Sivakumara, et al., 2008). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Palop (2007), penggunaan minyak yang optimal pada proses peminyakan kulit untuk bagian atas sepatu adalah 1,7-5,3%. Lebih lanjut, Blaschke (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa struktur jaringan kulit yang telah diberi minyak 3,5% menunjukkan adanya kenaikan densitas dan akan mengurangi jarak antara bungkusan serabut tunggal (single fibre bundles). Tujuan penelitian ini untuk mempelajari pengaruh penambahan jumlah minyak sulfonasi terhadap kualitas fisik kulit ikan nila untuk bagian atas sepatu. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bahan Penelitian Bahan penelitian terdiri atas bahan baku dan bahan kimia. Bahan baku berupa kulit ikan nila awetan kering yang diperoleh dari distributor kulit ikan nila di Surakarta. Bahan kimia untuk proses penyamakan dan finishing kulit, antara lain NaHCO3, wetting agent, Ca(OH)2, Na2S, NH4Cl, bating agent, NaCl, HCOOH, H2SO4, Tannigan PAK, Tannigan HO, Tannigan OS, Novaltan PF, Chromosal B, minyak sulfonasi, dyestuff, Preventol, binder protein dan lak air. Bahan kimia tersebut diperoleh dari distributor bahan kimia di Yogyakarta. Alat Alat penelitian terdiri atas wadah plastik (ember) kapasitas 5 liter, timbangan, papan
Pentangan, spray gun, alat peregang manual (hand staking) terbuat dari lempeng baja diameter 20 cm, mesin pencetak (embossing) merk Mostardini, alat uji tensile strength merk Kao Tieh model KT 7010 A untuk menguji kekuatan tarik, kemuluran dan kekuatan sobek. Rancangan penelitian Dalam penelitian ini faktor yang dipelajari adalah jumlah minyak yang digunakan pada proses peminyakan. Jumlah minyak yang ditambahkan divariasi berturutturut 4, 6 dan 8% dari berat kulit wet blue. Proses penyamakan secara umum menggunakan metode standar proses penyamakan kulit ikan dari Laboratorium Riset Penyamakan Kulit di Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik (BBKKP) dengan tahapan proses seperti pada Tabel 1. Pengujian Kulit hasil penelitian diuji sifat fisisnya di Laboratorium Uji Komoditi Kulit dan Sepatu (LUKKUS), BBKKP. Uji fisis kulit meliputi uji kekuatan tarik, kemuluran dan kekuatan sobek. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat fisik kulit tersamak merupakan sifat yang sangat mempengaruhi penggunaan kulit tersamak pada suatu produk. Kualitas fisik kulit tersamak yang baik akan meningkatkan kualitas produk. Sifat fisik yang dominan dalam menentukan kualitas suatu produk kulit adalah kekuatan tarik, kemuluran dan kekuatan sobek. Secara umum, penggunaan kulit jadi (finished leather) membutuhkan kulit yang mempunyai kekuatan tarik dan kekuatan sobek yang tinggi, dan kemuluran yang rendah. Pengaruh jumlah minyak terhadap sifat kekuatan tarik kulit ikan nila Kekuatan tarik adalah besarnya gaya maksimal yang diperlukan untuk menarik kulit sampai putus yang dinyatakan dalam kg/cm2 atau N/m2. Sifat kuat tarik kulit menggambarkan kuatnya ikatan antara serat kolagen penyusun kulit dengan zat penyamak.
PENGARUH JUMLAH MINYAK TERHADAP SIFAT.....(Iwan Fajar P. dan Emiliana K.)
107
Tabel 1. Tahapan proses penyamakan kulit ikan nila Proses
Jumlah (%) 200 0,5 0,5
Perendaman
Cuci, Bilas Pengapuran
Buang sisik dan daging Pengapuran ulang
Penghilangan kapur
Cuci, bilas Pengikisan protein dan Penghilangan lemak
Cuci, bilas Pengasaman
Penyamakan
Bongkar, aging Netralisasi
Cuci, bilas Penyamakan ulang
Cuci bilas
Cuci, bilas Pewarnaan
Bahan Air NaHCO3 Wetting agent
Waktu
Putar 30 menit
200 2 3
Air CaOH2 Na2S
400 2
Air CaOH2
200 1
Air NH4Cl
150 1 1
Air Bating agent Degreasing agent
100 10 1 0,5
Air NaCl Asam formiat Asam sulfat
80 4 4 1,5
Air pengasaman Krom Alum Soda kue
0,02
Anti bakteri
150 1,5 1
Air Soda kue Tannigan PAK
150 2
Air Novaltan PF
Putar 45 menit
150 3 3 2
Air Tannigan OS Tannigan HO Novaltan PF
Putar 45 menit Putar 45 menit Putar 45 menit
100 0,25 4/6/8 0,5
Air 40ºC Cat dasar Minyak Asam formiat
Putar 60 menit Putar 60 menit Tambahkan 2×15 menit, pH
2 0,02
Novaltan PF Anti jamur
Putar 30 menit Putar 10 menit
Putar 15 menit tiap 2 jam, diamkan selama satu malam
Putar 15 menit, diamkan selama semalam Putar 15 menit, cek Ø dengan indikator PP berwarna jernih
Putar selama 30 menit, thumb test
Putar 10 menit Tambahkan 3×5 menit Tambahkan 3×15 menit, putar selama 2 jam
Putar 3 jam Tambahkan 2×15 menit, pH 4 Putar 15 menit
Putar 60 menit, cek Ø dengan indikator BCG berwarna biru
Cuci, bilas, aging, finishing 108
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 105-111
Proses penyamakan yang baik akan menghasilkan kulit dengan kekuatan tarik yang tinggi. Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa kekuatan tarik kulit ikan nila cenderung naik seiring dengan penambahan jumlah minyak. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah minyak berpengaruh terhadap kekuatan tarik. Proses peminyakan merupakan proses yang sangat kompleks tergantung banyak faktor dan dapat mempengaruhi sifat fisis kulit seperti kekuatan tarik, kekuatan sobek, dan kelemasan (Palop, 2007; Sivakumara et al., 2008). Sifat fisik kulit dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kualitas kulit mentah, pengawetan kulit, proses pengapuran, pengikisan protein, penyamakan, peminyakan maupun proses penyelesaian seperti peregangan, pementangan dan pemberian larutan finishing. Hasil uji kekuatan tarik dari sampel yang diberi perlakuan penambahan minyak sebesar 4%, 6% dan 8%, berturut-turut adalah 2 233,96; 218,57 dan 261,36 kg/cm , seperti terdapat pada Gambar 1. Bila dibandingkan dengan persyaratan Acceptable Quality Levels in Leather untuk bagian atas sepatu, yaitu nilai 2 kekuatan tarik minimal adalah 200 kg/cm , maka semua perlakuan tersebut memenuhi persyaratan tersebut. Nilai kekuatan tarik tertinggi dicapai oleh perlakuan dengan penambahan minyak sebesar 8% yaitu 261,36 kg/cm2 dan nilai terendah dicapai oleh perlakuan dengan penambahan minyak sebesar 6% yaitu 218,57 kg/cm2. Nilai uji kekuatan tarik diatas, bahkan jauh diatas standar mutu kekuatan tarik yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia, SNI 0253:2009 kulit bagian atas alas kaki dari kulit kambing. Syarat mutu nilai kekuatan tarik kulit bagian atas alas kaki menurut SNI 2 0253:2009 adalah minimal 16 N/mm atau 2 setara dengan 163,15 kg/cm . Kekuatan tarik dipengaruhi oleh proses peminyakan. Minyak berfungsi sebagai pelumas dan menjadikan serat-serat kulit menjadi lembut dan fleksibel bila dipegang. Pada saat yang bersamaan minyak juga memberikan pengaruh terhadap sifat-sifat kulit seperti kuat tarik, daya tahan sobek, kedap air, kelembaban serta penyerapan udara dan air (Herawati, 1996).
Gambar 1. Pengaruh jumlah minyak terhadap kekuatan tarik kulit ikan nila Pengaruh jumlah minyak terhadap sifat kemuluran kulit ikan nila Kemuluran adalah pertambahan panjang kulit pada saat ditarik sampai putus, dibagi panjang semula dan dinyatakan dalam persen (%). Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa kemuluran kulit cenderung naik sejalan dengan penambahan jumlah minyak. Purnomo (2002) menyatakan bahwa minyak atau lemak dapat mengubah sifat-sifat penting kulit antara lain kulit menjadi lebih lunak, liat, mulur, lembut, dan permukaan rajahnya lebih halus. Dari hasil penelitian diketahui bahwa semakin banyak jumlah minyak yang ditambahkan maka kulit akan menjadi lebih mulur. Hasil uji kemuluran sampel berturutturut adalah 70, 86 dan 90% seperti terdapat pada Gambar 2. Nilai kemuluran tertinggi sebesar 90% dicapai pada kulit ikan dengan penambahan minyak 8%. UNIDO (1976) dalam Acceptable Quality Levels in Leathers, menyatakan bahwa persyaratan maksimal untuk kemuluran adalah 80%, maka hanya perlakuan penambahan minyak 4% yang dapat memenuhi persyaratan tersebut. Purnomo (1985) mengemukakan bahwa untuk pembuatan sepatu dari bahan kulit, sebaiknya bahan yang digunakan tidak mempunyai sifat kemuluran yang tinggi, karena akan mempengaruhi pada saat pengopenan dan kenyamanan pemakaian sepatu. Kemuluran kulit berkaitan dengan sifat elastisitas/kelemasan kulit yang dihasilkan. Kulit samak menjadi lemas karena terjadi reduksi elastin pada proses pengapuran dan pengikisan protein kulit. Derajat kemuluran serta kelemasan juga dipengaruhi oleh proses
PENGARUH JUMLAH MINYAK TERHADAP SIFAT.....(Iwan Fajar P. dan Emiliana K.)
109
penyelesaian seperti pementangan dan pelemasan.
tertinggi adalah 43,01 kg/cm, dicapai pada kulit ikan nila dengan penambahan minyak Sebesar 8%. Nilai kekuatan sobek terendah adalah 36,08 kg/cm, dicapai pada kulit ikan nila dengan penambahan minyak 4%.
Gambar 2. Pengaruh jumlah minyak terhadap kemuluran kulit ikan nila Pengaruh jumlah minyak terhadap sifat kekuatan sobek kulit ikan nila Kekuatan sobek menunjukkan batas maksimum kulit tersebut untuk dapat sobek. Gambar 3 menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah pemakaian minyak dalam proses peminyakan, nilai kekuatan sobek semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah minyak berpengaruh terhadap kekuatan sobek. Proses peminyakan merupakan proses yang sangat kompleks dan dapat mempengaruhi sifat fisis kulit seperti kekuatan tarik, kekuatan sobek, dan kelemasan (Palop, 2007; Sivakumara, et al., 2008). Kekuatan sobek kulit tersamak dipengaruhi oleh perubahan struktur kulit dan tingginya komposisi protein serat di dalam kulit (Purnomo, 1985). Serabut-serabut kulit akan mengalami konstraksi pada saat proses pengapuran dan proses pengikisan protein sehingga kekuatan sobeknya akan menjadi rendah. Selanjutnya kekuatan sobek akan meningkat dan stabil bila serabut-serabut kolagen mengadakan ikatan dengan bahan penyamak (Untari, dkk., 1995). Hasil uji kekuatan sobek dari sampel, berturut-turut sebagai berikut 36,08; 41,42; 43,01 kg/cm seperti disajikan pada Gambar 3. Menurut Acceptable Quality Levels in Leathers (UNIDO, 1976) persyaratan nilai kekuatan sobek minimal adalah 25 kg/cm, maka semua perlakuan tersebut dapat memenuhi persyaratan. Nilai kekuatan sobek
110
Gambar 3. Pengaruh jumlah minyak terhadap kekuatan sobek kulit ikan nila Dengan melihat sifat fisis kulit ikan nila yang dihasilkan, terutama ditinjau dari nilai kemulurannya, kulit ikan nila yang memenuhi syarat adalah dengan penambahan minyak 4%. Mengingat kulit ikan nila tersebut diperuntukkan untuk bagian atas sepatu yang kemulurannya dibatasi, maka dalam penelitian ini penambahan minyak 4% dinyatakan paling optimal. Bila dilihat dari nilai kekuatan tarik dan kekuatan sobek, ternyata keduanya juga memenuhi persyaratan Acceptable Quality Levels in Leather.
KESIMPULAN Penambahan minyak dapat mempengaruhi sifat fisis dari kulit ikan nila untuk bagian atas sepatu. Makin banyak penambahan minyak dalam proses peminyakan, dapat meningkatkan nilai kekuatan tarik, kemuluran dan kekuatan sobek dari kulit ikan nila. Penambahan minyak yang optimal untuk kulit bagian atas sepatu (shoe upper) dari kulit ikan nila adalah sebesar 4%, dengan nilai kekuatan tarik 233,96 kg/cm2, kemuluran 70% dan kekuatan sobek 36,08 kg/cm. Hal tersebut memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Acceptable Quality Levels in Leathers.
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 105-111
DAFTAR PUSTAKA Blaschke, K., 2012. Lubricant on Vegetable Tanned Leather: Effects and Chemical Changes in Restaurator. International Journal for The Preservation of Library and Archival Material. 33: 76-99. Etherington dan Roberts., 2011. A Dictionary o f D e s c r i p t i v e Te r m i n o l o g y : Fatliquoring. http://cool.conservationus.org/don/dt/dt1274.html. Herawati, S.Y., 1996. Pengaruh Kadar Cr2O3 dalam Penyamakan Kulit Ikan Tuna terhadap Mutu Kulit Tersamaknya. Laporan Penelitian. IPB, Bogor. O'Flaherty, F.T., Roddy dan R.M Lollar., 1978. The Chemistry and Technology of Leather: Evaluation of Leather. Huntington Publishing Company, New York. Palop, R., 2007. Influence of Fatliquor on Physical and Chemical Properties of Leather. China Leather and Footwear Industry Research Institute, Beijing. Puntener, A., 1996. Fatliquors: Their Effect on The Lightfastness of Dyed Leathers. World Leather The Professional Magazine for The Leather Industry. Vol. 9, No 1, p. 30-31.
Purnomo, E., 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi Teknologi Kulit, Yogyakarta. _____, 2002. Penyamakan Kulit Ikan Pari. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Rachmi, R., 1992. Pengaruh Berbagai Bahan Penyamak terhadap Kekuatan Tarik dan Kemuluran Kulit Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp). Laporan Penelitian. Universitas Diponegoro, Semarang. Sivakumara, V., R. P. Prakasha, P. G. Raob, B. V. R a m a b r a h m a m a , d a n G . Swaminathana., 2008. Power Ultrasound in Fatliquor Preparation Based on Vegetable Oil for Leather Application. Journal of Cleaner Production. 16: 549-553. UNIDO (United Nations Industrial Development Organization)., 1976. Acceptable Quality Levels in Leathers. United Nations Publication, New York. Untari, S., M. Lutfie, dan J. W. Dadang., 1995. Pengaruh Pelarut Lemak di dalam Proses Pelarutan Lemak pada Penyamakan Kulit Itik Ditinjau dari Sifat Fisiknya. Jurnal Nusantara Kimia. 12: 31-40. Usni, A., 2007. Pembenihan dan Pembesaran Nila Gift. PT Penebar Swadaya, Depok.
PENGARUH JUMLAH MINYAK TERHADAP SIFAT.....(Iwan Fajar P. dan Emiliana K.)
111
112
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012
DAUR ULANG LIMBAH SHAVING INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT UNTUK KERTAS SENI RECYCLING OF SHAVING WASTE FROM TANNING INDUSTRY FOR ART PAPER Sri Sutyasmi Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik, Yogyakarta Email:
[email protected] Diterima: 11 September 2012 Revisi: 5 Nopember 2012 Disetujui: 4 Desember 2012 ABSTRACT A research has been done on recycling of shavings waste for art paper. The aim of this research was to utilize shaving waste from tanning industry for making art paper in order not to pollute the environment, and to add raw materials to the manufacture of art paper. In this study the majority of shaving waste was used as a motif (20%) and partly made of pulp (10%) together with paper waste (newspaper). As the materials starch and resin adhesive (fox) used was (1%) that served as an adhesive. Dyes were used to the beauty of the appearance of art paper. There were two stages of the paper making, first made from waste paper pulp added with the waste shaving, then printing given motives shaving motive of waste too. Part of the sheet of paper were pressed (about half), and the other parts were not pressed. They were then tested on gramatur art paper, tear index, tensile index, and the fracture index. The test results showed that pressed art paper had a tear index, tensile index and the fracture index (3.85; 0.59; 8.4 x 10 -3), and the -3 impressed was (3.57; 0.52; 6.9 x 10 ) respectively the art paper that used fox adhesive on the -1 -1) pressed (15,545; 0,76; 3528 x 10 ), and on impressed (16,366; 0,80; 3549 x 10 . The overall appearance of art paper results could still compete with the art of paper are the market. Keywords: shaving waste, recycling, pollution, art paper ABSTRAK Telah dilakukan penelitian daur ulang limbah shaving untuk kertas seni. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendaur ulang limbah shaving industri penyamakan kulit untuk dibuat kertas seni agar tidak mencemari lingkungan dan menambah bahan baku pembuatan kertas seni. Dalam penelitian ini limbah shaving sebagian digunakan sebagai motif (20 %) dan sebagian lagi dibuat pulp (10 %) bersama-sama dengan kertas bekas (koran). Sebagai bahan pembantu digunakan pati kanji dan juga lem fox (1 %) yang berfungsi sebagai perekat. Pewarna digunakan untuk memperindah penampilan kertas seni. Ada dua tahap pembuatan kertas seni ini yaitu pertama membuat pulp dari kertas bekas yang ditambah dengan limbah shaving, kemudian pencetakan yang diberi motif limbah shaving pula. Lembaran kertas seni yang dihasilkan ada yang di pres (sekitar setengahnya) dan sisanya tidak dipres. Kertas seni kemudian diuji gramatur, indeks sobek, indeks retak dan indeks tarik. Hasil uji kertas seni yang menggunakan lem pati kanji menunjukkan bahwa kertas seni yang dipres mempunyai indeks sobek, indeks retak dan indeks tarik (3,85; 0,59; 8,4 x 10 -3) dan yang tidak di pres (3,57; 0,52; 6,9 x 10 –3 ), sedangkan kertas seni yang menggunakan lem fox dan di press mempunyai indeks sobek, indeks retak dan indeks tarik (15,545; 0,76; 3528 x 10-1) yang tidak di press (16,366; 0,80; 3549 x 10-1). Secara keseluruhan penampilan kertas seni hasil penelitian masih bisa bersaing dengan kertas seni yang ada di pasaran. Kata kunci: limbah shaving,daur ulang, pencemaran, kertas seni DAUR ULANG LIMBAH SHAVING INDUSTRI PENYAMAKAN......(Sri Sutyasmi)
113
PENDAHULUAN Dalam rangka ikut serta melestarikan lingkungan maka industri penyamakan kulit yang sudah terkenal potensial mencemari lingkungan harus bisa menangani atau mengolah limbah yang dihasilkan agar industri tetap bisa beroperasi. Limbah shaving adalah limbah padat dari kulit tersamak yang berupa serutan kulit. Volume limbah shaving industri penyamakan kulit ini sangat besar, Limbah tersebut mempunyai sifat ringan, tidak mudah terdegradasi, tidak mudah rusak oleh bahan kimia, mikroorganisme, bahkan oleh perlakuan fisik. Potensi kulit sapi dan kerbau seluruh indonesia yang menghasilkan limbah shaving adalah sebagai berikut; Jabotabek : 35,40 juta kaki persegi atau sekitar 17,7 juta kg, Jawa Barat : 15,70 juta kaki persegi atau sekitar 7,85 juta kg, Jawa Tengah : 7,60 juta kaki persegi atau sekitar 3,80 kg, Yogyakarta : 1,70 juta kaki persegi atau sekitar 0,85 juta kg, Jawa Timur : 54,50 juta kaki persegi atau sekitar 27,25 kg. Dengan demikian potensi kulit sapi dan kerbau yang menghasilkan limbah shaving di pulau Jawa saja sekitar 57,45 juta kaki persegi atau 28,275 juta kg = 28.275.000 ton (Sunaryo, 2002). Limbah padat ini umumnya masih mengandung krom untuk kulit yang disamak krom dan formalin untuk kulit yang disamak formaldehid. Volume limbah shaving ini berkisar antara 99 kg untuk setiap ton kulit yang diproses (Zhiwen, D., 2008), sehingga limbah shaving yang dihasilkan khusus dari hasil penyamakan kulit sapi dan kerbau di pulau Jawa saja = 2.799.225 ton. Limbah shaving sebetulnya merupakan kumpulan serat protein kolagen yang sangat halus dengan sifat yang tidak mudah rusak oleh mikroorganisme, bahan kimia bahkan perlakuan fisik (Sri-Sutyasmi, 2009). Adapun struktur jaringan kolagen kulit tersamak krom adalah sebagai berikut. O
OH... +
Cr .... . O OH Rantai protein C
114
O
.. Cr
+
Rantai protein C O
Protein kolagen C HO
N
O C
O
O
O
C
C
Cr. ..
OH
Cr
..
O N
OH.. ... +
OH
C
O +
N C
C
O
C HO
O N
Protein kolagen
Gambar 1. Struktur jaringan kolagen kulit tersamak krom (Anonim, 2008) Jadi dapat kita ketahui bahwa kulit wetblue tersebut bermuatan positif, selain dari unsur kromnya juga rantai ujung amina atau rantai samping yang pada suasana pH rendah + akan terdisosiasi menjadi -–NH3 . Muatan ini akan reaktif dengan semua molekul yang bermuatan negatif (-) pada bahan pembantu seperti resin atau pewarna. Sifat-sifat itulah yang dijadikan acuan untuk memanfaatkan limbah shaving menjadi kertas karena merupakan solusi untuk masalah kekurangan bahan baku pulp yang sekaligus mengurangi dampak polusi dari industri penyamakan kulit. Alternatif ini menguntungkan semua pihak baik industri penyamakan kulit maupun industri kertas mengingat bahan tersebut merupakan buangan yang tidak mempunyai nilai namun bisa bermanfaat. Salah satu bentuk pemanfaatan yang mudah dilaksanakan dan murah biayanya ialah menggunakannya untuk bahan pembuatan kertas seni. Kertas seni (art paper) merupakan salah satu jenis produk kertas yang akhir-akhir ini semakin banyak diminati baik oleh pasar di dalam negeri maupun luar negeri. Pada umumnya jenis kertas seni merupakan hasil buatan tangan dengan bentuk desain yang unik dan menarik. Bahan baku yang digunakan sangat bervariasi mulai dari kertas bekas sampai dengan pulp yang dibuat dari limbah pertanian seperti merang, jerami, dan lain sebagainya. Selulosa adalah polisakarida yang terdiri dari rantai linear dari beberapa ratus hingga lebih dari sepuluh ribu ikatan β(1→4) unit D-glukosa. Selulosa adalah karbohidrat utama yang disintesis oleh tanaman dan menempati hampir 60% komponen penyusun
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 113-121
struktur kayu. Selulosa merupakan serat-serat panjang yang bersama-sama hemiselulosa, pektin, dan protein membentuk struktur jaringan yang memperkuat dinding sel tanaman (Tahirzadeh, et al., 2008). Jumlah selulosa di alam sangat berlimpah sebagai sisa tanaman atau dalam bentuk sisa pertanian seperti jerami padi, kulit jagung, gandum,kulit tebu dan lain-lain tumbuhan. Salah satu kesamaan sifat limbah shaving dan kertas adalah sama-sama mudah menyerap air. Peresapan air ke dalam suatu benda akan mengisi (berikatan) secara kimiawi melalui ikatan hidrogen. Terbentuknya ikatan hidrogen antara molekul air dengan serat/molekul lain dikarenakan polaritas molekul tersebut (Marcot, 2007), dalam hal ini serat kulit atau serat protein yang telah disamak. Mekanisme tersebut sama dengan yang terjadi pada serat selulosa. Kepolaran suatu molekul ditentukan juga oleh susunan atom yang terdapat pada molekul serat, hanya pada umumnya atom-atom tertentu saja seperti C, H, N, dan O, pada hal rantai protein tersusun dari asam amino yang terdiri dari atom C, H, N dan O. Hal ini pula yang menyebabkan serat kulit bisa menggantikan serat selulosa. Untuk membuat kertas seni terlebih dahulu dibuat pulp, kemudian untuk membuat corak atau motif pada kertas seni tersebut dapat menggunakan berbagai bahan seperti daun suji, daun pandan, daun bawang, serat pelepah pisang, serat nanas dan lain sebagainya, yang dalam penelitian ini limbah shaving disamping digunakan untuk campuran pembuatan bubur kertas juga bisa digunakan untuk corak. Proses pembuatan kertas daur ulang (Alamsyah, 2011). · Pertama, tentukan warna dan tekstur kertas daur ulang yang ingin dihasilkan. Jika menginginkan hasil kertas daur ulang yang bersih, putih dan halus maka gunakan kertas berjenis HVS. Jika menginginkan hasil kertas daur ulang yang berwarna gelap kecoklatan, tekstur agak kasar gunakan kertas koran. · Kedua, kelompokkan kertas sesuai jenisnya lalu potong kecil-kecil dan rendam semalaman agar mudah saat di
blender/dihancurkan (pembuatan bubur kertas). Saat memblender tambahkan air jika dibutuhkan, komposisi jumlah air yang diperlukan tidak ada patokan pasti. Yang penting kertas bisa hancur menjadi bubur namun tidak encer. · Ketiga, campurkan bubur kertas kedalam wadah cetakan yang sudah diberi campuran air dan lem. Saat inilah kita bisa menambahkan warna dan bahan campuran lainnya seperti dedaunan, pelepah pisang, bunga kering dan sebagainya sesuai keinginan dan kreativitas. · Keempat, aduk adonan bubur kertas hingga benar-benar rata lalu masukkan screen cetakan (screen sablon), angkat dan biarkan airnya menetes. Setelah itu pindahkan ke alas cetak dan keringkan. Proses pengeringan sebaiknya tidak dilakukan dibawah terik matahari langsung melainkan cukup diangin-anginkan saja agar kertas daur ulang yang dihasilkan tetap rata dan tidak menggulung. · Kelima, kertas daur ulang siap diolah menjadi produk lain. Tujuan dari penelitian ini adalah mendaur ulang limbah shaving industri penyamakan kulit untuk dibuat kertas seni agar tidak mencemari lingkungan dan menambah bahan baku kertas seni. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bahan dan Metode Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah limbah shaving dari industri penyamakan kulit, koran bekas, pati kanji, lem fox dan pewarna. Alat yang digunakan dalam penelitian ini semula adalah blender sebagai alat penghancur atau untuk pembuatan pulp (bubur kertas), cetakan dari kasa dengan ukuran lobang 150 –200 mesh, ember besar untuk tempat pulp dan penyaringan pulp serta papan/triplek yang dilapisi dengan kain penyerap. Namun dalam perkembangannya alat yang digunakan dalam membuat kertas seni tersebut adalah dirancang menjadi satu set alat untuk membuat pulp maupun untuk mencetak kertas seni seperti gambar berikut ini. Alat tersebut terdiri dari penampungan air,
DAUR ULANG LIMBAH SHAVING INDUSTRI PENYAMAKAN......(Sri Sutyasmi)
115
bitter (penghancur) untuk pembuatan pulp dan penyaring untuk mencetak kertas seni dengan ukuran kertas double folio dan ukuran lobang 150 -200 mesh.
sebagai motif, ditaburkan limbah shaving sebesar 20 % (3 gram) pada permukaan lembaran, dilakukan penirisan sebagian air sampai kira-kira air setinggi 1 cm diatas kasa, kemudian diatur motif sesuai keinginan dan air yang tersisa ditiriskan. Untuk mendapatkan lembaran dengan berat yang diinginkan, maka banyaknya pulp yang diambil dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
V =
Gambar 1: Alat untuk membuat kertas seni Metode Lingkup dari proses pembuatan kertas seni ini terdiri dari 2 tahap yaitu pertama tahap pembuatan pulp dan kedua adalah pencetakan kertas seni. Pada tahap pembuatan pulp kertas koran bekas dan limbah shaving masing-masing ditimbang sesuai kebutuhan untuk pembuatan kertas seni. Setiap lebar kertas seni beratnya sekitar 15 gram yaitu 68 % koran (10,2 gram ), 10 % limbah shaving ( 1,5 gram ) dan 20 % (3 gram) limbah shaving untuk motif. Selanjutnya koran bekas dan limbah shaving dibuat pulp menggunakan blender atau dalam bitter (penghancur) dengan konsistensi 1,5 % (1,5 gram bahan serat kering dalam 98,5 ml air) dan ditambah pewarna secukupnya ( 1 %) dan pati kanji sebesar 1 %. Untuk pengembangannya digunakan lem fox. Waktu yang diperlukan untuk proses penghancuran ini adalah 5 menit. Setelah bahan menjadi pulp (bubur kertas), selanjutnya pulp masuk tahap kedua yaitu pencetakan kertas seni. Pulp kemudian dimasukkan di atas cetakan kasa dengan ukuran lubang 150–200 mesh sambil diaduk agar merata, bila perlu tambahkan lagi air untuk memudahkan pengadukan. Pulp ditiriskan di atas kasa dengan menggunakan papan/tripllek yang dilapisi dengan kain penyerap. Untuk penggunaan limbah shaving
116
Jika : V = g = p = l = C =
100 p.l.g C
volume pulp (ml) berat lembaran (gm2) panjang lembaran (m) lebar lembaran (m) konsistensi pulp (%)
Lembaran kertas yang masih basah kemudian diangkat dan dikeringkan dibawah sinar matahari atau diangin-anginkan. Setelah kering agar permukaan rata kertas seni dipres, namun ada juga yang tidak dipres. Kertas seni kemudian diuji gramatur, indeks sobek, indeks retak dan indeks tarik baik yang dipres maupun yang tidak. Berikut ini adalah diagram alir proses pembuatan kertas seni. Apabila menggunakan alat tersebut diatas maka bekerjanya alat tersebut adalah sebagai berikut! limbah shaving dan kertas bekas dimasukkan dalam bitter (penghancur), selanjutnya pulp (bubur) dialirkan ke saringan, demikian juga air sampai dengan 2/3 bagian dari kotak saringan, kemudian setelah air tinggal 1/3 dimasukkan motif dan air ditiriskan melalui pegas pembuangan sampai air kering, selanjutnya kotak saringan diangkat/dibuka dan diatas saringan diberi kain penyerap serta triplek, kemudian ditekan agar adonan menempel pada kain penyerap dan triplek untuk selanjutnya dijemur atau di angin-anginkan. Apabila matahari panasnya penuh maka waktu penjemuran selama 2-3 jam dan apabila tidak ada panas matahari/agak mendung maka waktu penjemuran bisa sampai setengah hari.
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 113-121
Koran bekas + Limbah shaving
Lembaran kertas seni
Pembuatan Pulp/bubur kertas
Pengepresan
Pemberian Motif
Penyaringan dan pencetakan kertas
Penirisan
Gambar 2. Diagram Alir Proses Pembuatan Kertas Seni HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian 1. Hasil Uji limbah Shaving Untuk mengetahui kandungan yang terdapat dalam limbah shaving maka limbah shaving perlu diuji kandungan bahan kimianya. Adapun hasil uji limbah shaving tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil uji limbah shaving dari industri penyamakan kulit No.
Komponen
Jumlah (%)
1
Kadar air
37,82
2
Kadar N Total
9,25
3
Kadar protein
52,45
4
Kadar Krom
3,74
5
Kadar lemak
0,58
Dari hasil uji bahan dasar (limbah shaving) di atas dapat diketahui bahwa kandungan terbesar pada limbah shaving adalah kadar protein, berikutnya kadar air, dan selanjutnya berturut-turut kadar N total dan kadar Cr2O3 dan yang paling rendah adalah kadar lemak. Adanya kadar lemak yang rendah tersebut memungkinkan serat kulit untuk bersatu dengan serat selulosa dari kertas bekas, sedangkan unsur-unsur yang lain seperti, N total dan protein sangat mendukung tersedianya atom-atom seperti C, H, N, dan O.
Atom-atom tersebut merupakan faktor yang menentukan kepolaran suatu molekul yang ditentukan oleh susunan atom yang terdapat pada molekul serat. Terbentuknya ikatan hidrogen antara molekul air dengan serat/molekul lain dikarenakan polaritas molekul tersebut (Marcot, 2007) dalam hal ini serat kulit atau serat protein yang telah disamak. Mekanisme tersebut sama dengan yang terjadi pada serat selulosa, hanya pada umumnya atom-atom tertentu saja seperti C, H, N, dan O, pada hal rantai protein tersusun dari asam amino yang terdiri dari atom C, H, N dan O. Hal ini pula yang menyebabkan serat kulit bisa menggantikan serat selulosa. Untuk dapat mengetahui kertas seni yang dibuat dari limbah shaving dapat dilihat pada gambar berikut ini. 2.
Hasil uji Kertas Seni
Gambar 3. kertas daur ulang hasil penelitian Dilihat dari kenampakan kertas seni hasil penelitian tidak berbeda jauh dengan kertas seni yang ada di pasaran. Hasil uji kertas seni dari limbah shaving hasil penelitian yang menggunakan lem pati kanji dan pembandingnya dapat dilihat pada Tabel 2.
DAUR ULANG LIMBAH SHAVING INDUSTRI PENYAMAKAN......(Sri Sutyasmi)
117
Tabel 2. Hasil uji kertas seni dengan lem pati kanji
Parameter
Gramatur Indeks sobek Indeks retak Indeks tarik
Satuan
Kertas Seni Hasil Penelitian
Gr/m2 m Nm2/gr k Pa m2/gr k Nm/gr
Kertas Seni Tidak dipres 133,67 3,57 0,22 3,9 x 10-3
Dari Tabel 2. di atas dapat diketahui bahwa secara keseluruhan penampilan dari kertas seni dari limbah shaving hasil penelitian sedikit berbeda dengan kertas seni yang diperoleh di dipasaran. Kertas seni hasil penelitian mempunyai indek sobek yang hampir sama dengan kertas seni yang ada dipasaran. Namun demikian untuk indeks retak dan indeks tarik masih dibawah kertas seni pembanding. Hasil uji indeks retak dan indeks tarik yang masih dibawah hasil uji kertas
Kertas Seni Dipres 126,38 3,85 0,31 4,4 x 10 -3
Kertas Seni Dari Pasaran Sebagai Pembanding 125,12 3,80 0.60 10 x 10 -3
pembanding kemungkinan disebabkan karena kertas daur ulang yang digunakan untuk campuran pulp adalah koran bekas yang mempunyai serat pendek (Ngatijo, 1995). Disamping itu lem/perekat yang digunakan hanyalah pati yang tentu saja tidak bisa merekat dengan baik dengan serat kulit. Untuk membuktikan dugaan penggunaan lem yang kurang tepat maka dicoba untuk penggunaan lem fox sebagai perekat untuk menggantikan lem pati kanji. Hasil uji kertas seni yang menggunakan lem fox terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Uji kertas seni dengan menggunakan lem fox
Parameter
Gramatur Indeks sobek Indeks retak Indeks tarik
Satuan
Kertas Seni Hasil Penelitian
Gr/m2 m Nm2/gr k Pa m2/gr k Nm/gr
Kertas Seni Tidak dipres 133,67 3,57 0,22 3,9 x 10-3
Dari data diatas dapat diketahui bahwa penggantian lem dari lem pati kanji dengan lem fox sangat berpengaruh pada kualitas kertas seni yang terbuat dari limbah shaving yaitu indeks sobek, indeks retak dan indeks tarik. Apabila dibandingkan dengan kertas seni pembanding yang ada di pasaran maka kertas seni dari limbah shaving (kertas seni hasil penelitian) jauh lebih baik kualitasnya dibanding kertas seni yang ada di pasaran, walaupun bahan baku kertas bekas yang digunakan juga sama yaitu kertas koran.
118
Kertas Seni Dipres 126,38 3,85 0,31 4,4 x 10 -3
Kertas Seni Dari Pasaran Sebagai Pembanding 125,12 3,80 0.60 10 x 10 -3
Pasaribu (2007) mengemukakan bahwa pembuatan kertas memerlukan lem sebagai perekat sekitar 5 %, sedangkan dalam penelitian ini hanya 1 %. Ini membuktikan bahwa pemakaian lem fox sebagai perekat dalam daur ulang limbah shaving untuk pembuatan kertas seni adalah sudah cocok/sesuai. Menurut Aizz (2011) pembuatan kertas daur ulang memerlukan lem pati sekitar 10-15 gram lem untuk setiap 250 g bahan baku kertas. Kandungan kimia bahan baku pulp
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 113-121
untuk kertas seni yang perlu diperhatikan menurut Abhinimpuno (2007) adalah kandungan serat selulosa dan ligninnya. Menurut Harun, et al. (2004), sifat kertas seni yang dibuat secara manual menggunakan tangan yang paling diutamakan adalah nilai seni yang tinggi dan warna yang kas, bukan kekuatan kertas. Namun sifat seperti ini belum mempunyai nilai kualitatif yang pasti karena bersifat penilaian yang beragam tergantung dari sifat penglihatan perorangan. Untuk indeks retak dan indeks tarik dari kertas seni yang dipres hasilnya lebih baik dibanding dengan kertas seni yang tidak di pres. Hal ini kemungkinan karena serat-serat kulit dan serat selulosa bisa saling berkaitan dengan adanya pengepresan. Sebetulnya untuk kertas seni tidak diperlukan nilai kekuatan tarik, retak maupun sobek yang tinggi, karena lebih diutamakan ke masalah seninya, Hal ini dikarenakan kertas seni biasanya digunakan untuk pelapis atau pembungkus suatu produk sehingga tidak diperlukan kekuatan tarik yang tinggi. Tinggi rendahnya kuat rekat serat tidak terlepas dari faktor jenis, jumlah zat seperti resin atau polimer yang dapat berfungsi sebagai binder antar serat. Pada proses pembuatan pulp, saat air yang terdapat pada pulp kertas mulai berkurang (pada proses pengeringan), maka resin atau polimer secara bersamaan membentuk satu jaringan di antara serat sehingga dapat menyatukan seluruh serat dan membentuk satu lapisan. Lapisan polimer/resin tersebut menjadi tumpuan rekat serta kekuatan dari kertas secara keseluruhan. Apabila lapisan yang terbentuk sempurna maka akan meningkatkan kekuatan kertas (Anonim, 2011). Faktor lain yang mempengaruhi kuat rekat adalah seperti dikemukakan oleh EurControl, yaitu penampilan serat kasar atau halus. Serat halus bisa lebih fleksibel, dan bila mendapat tekanan secara axial, bisa menyebabkan kekuatan kertas yang lebih baik. Di samping itu dengan cara memintal serat secara bersama, maka akan membuat batang-batang serat dan struktur kertas menjadi kuat. Menurut Urip-Santoso (2009), kertas
dapat didaur ulang dengan mencampurkan kertas bekas yang telah dijadikan pulp dengan material kertas baru. Namun kertas akan selalu mengalami penurunan kualitas jika terus didaur ulang. Hal ini menjadikan kertas harus didaur ulang dengan mencampurkannya dengan material baru, atau mendaur ulangnya menjadi bahan yang berkualitas lebih rendah. Limbah shaving merupakan material baru yang perlu ditambahkan pada proses daur ulang, sehingga akan mengurangi pencemaran dan menambah bahan baku kertas. Dengan demikian masalah pencemaran lingkungan sudah teratasi, demikian juga masalah bahan baku kertas yang ternyata banyak menebang hutan juga sudah teratasi. Dilihat dari aspek teknologi dapat diketahui bahwa pembuatan kertas seni dengan memanfaatkan limbah shaving dan kertas bekas (koran) menggunakan teknologi yang sangat sederhana dan mudah untuk bisa dilakukan siapa saja. Terlebih lagi bahan baku yang digunakan merupakan limbah yang banyak tersedia di industri penyamakan kulit dan peralatannyapun amat sangat sederhana. Kendala utama pada proses pembuatan kertas seni dari limbah shaving ini adalah pada penghancuran menjadi pulp, kulit sangat liat karena kulit mempunyai tingkat kemuluran serat cukup tinggi bila dibanding dengan serat selulosa. Dampak dari sifat kulit ini adalah sulit memperoleh besar serat yang homogen, sehingga lapisan kertas kemungkinan tidak cukup rapat walaupun sudah mendapat tekanan mekanis. Dampak lain adalah ketebalan kulit tidak merata karena daerah yang berserat lebih besar kelihatan lebih tebal. Namun demikian secara keseluruhan dalam proses pembuatan pulp tidak mengalami kesulitan bahkan tidak menggunakan bahan kimia tambahan untuk membantu penghancuran seperti NaOH dan lain-lain. Dilihat dari aspek ekonomi pembuatan kertas seni dari limbah shaving sangat menguntungkan karena biaya murah, bahan baku mudah dan berlimpah karena semua dari limbah. Dari hasil perhitungan ekonomi yang dihitung dari produksi 50 lembar per hari dapat dilihat pada Tabel 4. Sedangkan perkiraan penggunaan limbah shaving untuk kertas seni dari industri kulit
DAUR ULANG LIMBAH SHAVING INDUSTRI PENYAMAKAN......(Sri Sutyasmi)
119
adalah seperti berikut ini. Perhitungan berikut menggunakan dasar 10% atau seberat 2.799.225 ton dari jumlah total limbah shaving kulit sapi dan kerbau yang dihasilkan oleh industri penyamakan kulit di Indonesia. Besarnya limbah shaving yang digunakan untuk campuran komponen/adonan pembuatan kertas seni adalah 30% dari total bahan. Dengan demikian jumlah limbah shaving yang bisa dimanfaatkan untuk pembuatan kertas seni, adalah sebesar 279.922.500 ton x 30 % =
83.976.750 ton. Berat kertas seni per lembar adalah 15 gram. Penggunaan limbah shaving per lembar kertas seni adalah 30 % atau sebesar 4,5 gram, sehingga per kilogram limbah shaving dapat dihasilkan lembar kertas seni sebanyak 222 lembar. Bila harga jual per lembar kertas seni Rp 780 maka bila dinilai dengan rupiah, kertas seni sebanyak 222 lembar tersebut di atas mempunyai nilai jual sebesar Rp. 173.160,atau dibulatkan menjadi Rp. 175.000,-
Tabel 4. Analisa ekonomi industri kertas seni No 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7 8.
Uraian Kapasitas produksi 15.000 lembar/tahun atau 50 lembar/ hari Biaya bahan baku per tahun Modal Modal tetap Rp. 550.000,Modal Kerja 3 bulan Rp. 2.400.000,Total Modal Total biaya produksi/tahun Harga pokok per lembar Harga jual per lembar Penjualan selama satu tahun Keuntungan sebelum pajak Keuntungan sesudah pajak Waktu Pengembalian Modal Sebelum pajak: 7 bulan Sesudah pajak : 8,5 bulan Batas rugi laba: Rp. 8.567.137,- = 73,22 %
KESIMPULAN 1. Limbah shaving dapat di daur ulang menjadi kertas seni dengan menambahkan kertas bekas. Dengan demikian penelitian ini bisa mengatasi masalah pencemaran oleh limbah shaving dan menambah bahan baku kertas pada industri kertas. 2. Penggunaan lem fox sebagai perekat lebih baik dari pada lem pati. 3. Hasil uji kertas seni yang dipres lebih baik dari yang tidak di pres. 4. Indeks retak dan index tarik kertas seni hasil penelitian dengan menggunakan lem pati kanji masih dibawah kertas seni yang
120
Biaya (Rp) Rp.
120.000,-
Rp. 2.520.000, Rp. 8.651.500, Rp. 600, Rp. 780,Rp.11.700.000,Rp. 3.378.500,Rp. 2.702.800,-
ada di pasaran, namun kertas seni yang menggunakan lem fox jauh lebih baik dari yang ada di pasaran. 5. Secara keseluruhan penampilan kertas seni hasil penelitian masih bisa bersaing dengan kertas seni yang ada di pasaran. UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Sofyan Karani dan Ign Soenaryo yang sudah membimbing dan ikut serta melaksanakan penelitian ini sampai selesai dan berhasil.
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012 : 113-121
DAFTAR PUSTAKA Abhinimpuno, Weko. 2007. Potensi Bahan Baku Alternatif untuk Kertas di Indonesia.(16 Maret 2011). Anonim 2011, Environmental Paper Net work, Green Press Initiative. Anonim, 2008, Technology of leather Manufacture, Developing countries training course on Eco-leather Manucture Technology, China Leather & Footwear Industry Research Institute. Aizz, 2011. Usaha Kertas Daur Ulang. Html. Alamsyah, 2011, Kertas Daur Ulang, Dari Sampah Menjadi Rupiah, Jakarta Barat. http://www.artikelwirausaha.com/cate gory/database/tag/bardiju Harun, W.K., Tugiana dan Sugeng, 2004. Pulp Kertas Seni dari Tanaman Serat bukan Kayu. Berita Sellulosa, Bandung, Vol. 39 No.1. Marcot, Bruce, G., 2007. How Many Recycled Newspaper Does It Take to save A Tree?, The Ecology Plexus. Ngatijo, Achmad Bunyamin, Maman S u p r atman , 1 9 9 5 . Pen g a m a ta n Mikroskopis Serat Daur Ulang, Berita Selulosa Tahun ke XXXI No 3.
Pasaribu, G., dan Sahwalito, 2006. Pengolahan Enceng Gondok sebagai Bahan baku Kertas Seni. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian. Sri Sutyasmi, 2009. Teknologi Pengambilan Kembali Krom dalam Limbah Shaving Industri Penyamakan Kulit, Jurnal Riset Industri, Vol III No.3 Desember 2009. Sunaryo, Ign, Sri Sutyasmi, Widari dan Murwati , 2002. “Kulit Penggunaan Lemak Fleshing Industri Penyamakan Untuk Pembuatan Sabun Mandi”. Majalah Kulit, Karet dan Plastik Volume II, Yogyakarta. Tahirzadeh, Karimi, K., Keikhosro, 2008. Macrofibril and mikrofibril in the celulloce, J.Mol.Sci,9:1621 -1630. Urip Santoso, 2009. Kertas Daur Ulang, Journal Urip santoso. http://uripsantoso,wordpress,com/2009 /05/17/asal-usul-kertas. Zhiwen, D., 2008. Leather waste resuse technology. Developing Countries Trainning Course on Eco-Leather Manufacture Technology, Chinese Leather and Footwear Industry Research Institute.
DAUR ULANG LIMBAH SHAVING INDUSTRI PENYAMAKAN......(Sri Sutyasmi)
121
INDEKS SUBYEK A Abu terbang bagas, 25-32 Adsorpsi, 25-28, 65, 66, 67 Air limbah, 25-28 APKI, 8 APRISINDO, 9 B Bahan penyamak, 9-16 Biodegradasi, 1 Biodegradable, 1, 2, 5 C Carbon black, 60, 61, 64, 69, COD, 25-31 Crosslink, 60, 61, 89, 93 D Detergent, 1, 2, 7, 8 Dicarboxylated starch, 1, DIN, 10, 16 E Ekolabel, 9, 16 F Filler, 59, 67, 68, 76, 79-94 G Glukopiranosa, 1 H HAF, 59-67 HDPE, 34-42 Hidrolitik, 1 I Industri penyamakan kulit, 8, 25, 26, 43, Ikan nila, 51 K Kekuatan tarik, 9, 11, 12, 13, 15, 16, 35, 36, 40, 43 Kemuluran, 9, 11, 13, 15, 16, 37, 40, 51, 54, 56 Koefisien difusi, 59, 60, Kompon, 61, 62, 81 Kristal, 60, 89, 91, 92 Krom, 8-15 Kulit jok, 8-16 Kulit jadi, 9 122-1
L Limbah padat, 43 Lumpur, 69-73, 77 M MAH, 17-23, 34, 37 Morfologi, 59-68, 74, 86, 91, 94 N NBR, 17-24, 59-68 O Otomotif, 8, 9 P Papan partikel, 43 Pati terdikarboksilasi, 1 PCC, 34-42 Pelarut, 60,61, 64-68, 99, 108 Perpindahan massa, 69,70,77 Polycarboxylate, 1, 2 Polikarboksilat, 1 Polimer, 1 Polisakarida, 1 R Ramah lingkungan, 8, 9, 15 Rheometer, 61 S Sawi, 69, 71-73, 75-77 SEM, 61 Sifat elektrikal, 34 Sifat termal, 34 SNI, 9-17, 28, 34, 35, 37, 41-43, 49-50 SRF, 59-67 Starch, 1-7 Swelling, 69-71, 74-78 T Termopastik elastomer, 17 Torsi, 61, 62 V Vulkanisasi, 69-74, 77 Vulkanisat, 69-77 W Water soluble polymer, 1, 7
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012: INDEKS SUBYEK
INDEKS PENGARANG A Agus, 25 Arum, 17, 34, 88 B Budi, 69 D Dodi, 59 Dwi, 95 E Emiliana, 34, 88, 102 I Ihda, 59 Indiah, 59 Isananto, 1 Iwan, 8, 102 R Rihastiwi, 8 S Sarto, 25 Sholeh, 25 Sri, 109 Suliestiyah, 8 Supraptiningsih, 43, 79 Syaiful, 95 T Teguh, 95
MAJALAH KULIT, KARET DAN PLASTIK Vol.28 No.2 Desember Tahun 2012: INDEKS PENGARANG
122-2
PEDOMAN PENULISAN NASKAH Ruang lingkup Majalah Kulit, Karet dan Plastik (MKKP) menerbitkan artikel hasil penelitian dan pengembangan dalam bidang Kulit, karet dan Plastik. Pada waktu dikirimkan ke Dewan Redaksi, klasifikasi artikel tersebut harus sudah dicantumkan dengan persyaratan sebagai berikut: Naskah Naskah harus berupa tulisan yang belum pernah dan tidak dipublikasikan dalam media cetak lain. 1. Naskah /artikel ilmiah dikirimkan ke Dewan Redaksi dalam 2(dua) rangkap disertai dengan softcopy didalam CD atau dikirim melalui email
[email protected]. 2. Setiap naskah yang diterima akan dievaluasi substansinya oleh paling sedikit 2 (dua) orang pakar yaitu dewan redaksi dan mitra bestari (peer reviewer) sebagai penilai independent dalam bidang yang sesuai. Untuk menjunjung fairness proses penilaian dilakukan hanya pada isi naskah dengan menghilangkan identitas penulis (blind review) 3. Naskah tulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa inggris, berupa artikel hasil penelitian dan pengembangan. Abstrak ditulis singkat, jelas dan tidak melebihi 200 kata dan harus ditulis dalam 2 (dua) bahasa (Indonesia dan Inggris). 4. Panjang naskah maksimum 15(lima belas) halaman termasuk gambar. Naskah ditulis pada kertas berukuran A4 (210x297). Judul naskah ditulis dengan font 14 bold format UPPER CASE. Nama Penulis ditulis tanpa gelar akademik. Apostrop ditulis dibelakang nama penulis dengan format superscript. Judul artikel dan nama penulis ditulis rata ditengah. Jarak antara judul dengan nama penulis adalah 1,5 spasi (12pt). Abstrak dan Intisari dalam bahasa inggris ditulis dengan huruf miring (italic). Kata kunci ditulis dibawah teks abstrak dan dipisahkan oleh tanda koma. 5. Isi naskah ditulis dengan format margin kiri 35 mm, margin kanan 30 mm, margin bawah 30 mm. Jarak header dari tepi atas kertas adalah 20 mm. Artikel diketik dalam program MS Word dengan jenis huruf Times New roman dengan font 12pt, 1,5 spasi. 6. Naskah disusun dengan urutan: judul, nama penulis, alamat lengkap, instansi setiap penulis, abstrak, pendahuluan, bahan dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih (kalau ada) dan daftar pustaka. Judul Judul harus singkat, jelas dan menggambarkan isi naskah. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa inggris. Abstrak dan kata kunci Abstrak memuat latar belkang secara ringkas, tujuan, metode, hasil serta kesimpulan suatu penelitan. Abstrak berbahasa inggris dan bahasa Indonesia dan dibawah dicantumkan kata kunci paling banyak 10 kata terpenting dalam naskah. Pendahuluan Pendahuluan mencakup latar belakang, tujuan, ruang lingkup penelitian, temuan terdahulu yang akan dikembangkan, hipotesis dan pendekatan umum. Bahan dan metode Bagian ini berisi informasi teknis. Hasil dan pembahasan Bagian ini menyajikan hasil penelitian, baik dalam bentuk bahan teks, tabel dan gambar. Penggunaan foto sangat dibatasi pada hasil yang jelas. Setiap gambar dan tabel diberi nomor secara berurut dan harus diacu pada naskah. Gambar 1 dan Tabel 1 adalah contoh penulisan judul gambar dan tabel. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan ditulis secara ringkas tetapi menggambarkan substansi hasil penelitian yang diperoleh. Saran diberikan secara jelas untuk dapat ditindak lanjuti oleh pihak yang relevan.
Kekuatan tarik, kg/cm2
280 270.91
270 260 250
245.34 240.46
240
239.87 235.72
230 0
5
10
15
20
Jumlah NPCC, phr
Gambar 1. Kuat tarik nanokomposit dengan filler NPCC Tabel 1. Nilai n dan k vulkanisat NBR dengan berbagai rasio HAF/SRF n
Kode
N
k (g/g det )
P1
0,80
0,30
P2
0,62
0,20
P3
0,58
0,17
P4
0,68
0,23
P5
0,70
0,23
P6
0,67
0,23
P7
0,56
0,13
P8
0,64
0,21
Ucapan Terima Kasih Bagian ini dapat digunakan untuk mengapresiasi penyandang dana serta institusi dan personal yang membantu selama penelitian dan penyususnan naskah publikasi. Daftar Pustaka disusun berdasarkan urutan abjad menggunakan author date system. Pustaka yang digunakan merupakan pustaka muthakhir (10 tahun terakhir) dengan proporsi pustaka jurnal lebih dari 80%, dan pustaka primer yang relevan. Jurnal Al Minnath, M., Unnikrishnan, G. and Purushothaman, E., 2011. Transport studies of thermoplastic polyurethane/natural rubber (TPU/NR) blends, J. Membrane Sci. 379 : 361-369. Buku Barlow, F. W., 1993. Rubber Compounding: Principles, Materials and Techniques, 2nd Ed., Marcel Dekker, Inc., New York. Prosiding Bhattacharya, A., James, W. R. and Paramitha, R., 2009. Polimer Grafting and crosslinking. A JohnWiley & Sons,Inc. Publication ISBN 978-0-470-40465-2. Thesis/Desertasi Iwan Pranata Sitepu, 2009. Pengaruh Konsentrasi Maleat Anhidrat terhadap Derajat Grafting Maleat Anhidrat pada HDPE dengan Inisiator Benzoil Peroksida (Disertasi). Universitas Sumatera utara respo. Paten Huruf-huruf awal nama orang yang memperoleh hak paten diikuti dengan nama akhirnya Negara yang memberi hak paten tersebut, nomor paten, tahun didalam kurung. Hofreiter, B.T., Wolff, L. A. and Mehltretter, C.L., 1959. U.S.Pat. 2894945.