ii
Kata Pengantar
Pendidikan memiliki peran penting dalam proses pembangunan suatu bangsa dan negara. Perubahan zaman akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus disejajarkan dengan penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan yang berhasil dan berkualitas merupakan salah satu syarat mutlak untuk mewujudkan pembangunan nasional. Periode 2012 sampai dengan 2020 merupakan periode terpenting dilihat dari usia produktif masyarakat Indonesia. Usia produktif manusia Indonesia dalam periode ini mencapai 50% populasi penduduk. Momen ini merupakan kesempatan emas untuk mendidik anak bangsa agar menjadi manusia yang berkualitas. Untuk itulah, perlu diidentifikasi mengenai kualitas sumber daya manusia Indonesia, yang salah satunya didasarkan atas hasil studi literasi internasional yang dilakukan oleh IEA melalui Program PIRLS 2011. Hasil studi ini dianalisis berdasarkan konteks keindonesiaan dalam peta internasional. Berdasarkan temuan terpetakan bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia, baik di tataran internasional maupun nasional, masih rendah. Berbagai factor penyebabanya cukup banyak. Beberapa di antaranya adalah factor internal siswa seperti kebiasaan, minat, motivasi, dan budaya baca yang masih rendah; system pembelajaran membaca di sekolah belum memadai; isu literasi belum dijadikan dasar pengembangan kurikulum dan buku teks pelajaran serta buku pendidikan; ketersediaan sarana dan prasarana berupa buku di perpustakaan yang belum memadai; dan sistem penilaian yang masih lemah. Laporan hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar dalam kebijakan perbaikan pendidikan Indonesia di masa depan. Alhamdulillah penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang dengan limpahan berkah laporan penelitian analisis hasil belajar peserta didik berdasarkan literasi membaca hasil studi internasional PIRLS 2011 dapat diselesaikan. Untuk itu, penulis ucapkan terima kasih kepada Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Kemdikbud atas kepercayaan dan fasilitasi yang diberikan sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.
Jakarta, 5 Desember 2012
iii
Daftar Isi
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................................... ABSTRAK ....................................................................................................................
ii iii iv
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................................. A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ B. Permasalahan ............................................................................................. C. Tujuan Peelitian ......................................................................................... D. Hasil yang Diharapkan................................................................................ E. Ruang Lingkup ........................................................................................... F. Manfaat Hasil ..............................................................................................
1 1 8 9 10 11 11
BAB II
KAJIAN TEORI ................................................................................................ A. Kompetensi Literasi ................................................................................... B. Hakikat Membaca ....................................................................................... C. Buku dan Budaya Baca ............................................................................... D. Bahan Bacaan ............................................................................................. E. Kemahiran Berbahasa Pembaca .................................................................. F. Pengukuran Kemampuan Membaca ........................................................... G. Kurikulum dan Buku Teks Pelajaran .......................................................... H. Penilaian yang Mengusung Isu Literasi ......................................................
12 12 12 25 30 30 35 42 55
BAB III
METODE PENELITIAN .................................................................................. A. Jenis Penelitian ........................................................................................... B. Metode Penelitian ....................................................................................... C. Sumber Data ............................................................................................... D. Keabsahan Data .......................................................................................... E. Instrumen .................................................................................................... F. Panduan Penilaian ....................................................................................... G. Analisis Data ...............................................................................................
64 64 64 64 65 65 66 68
BAB IV
HASIL DAN BAHASAN PENELITIAN ......................................................... A. Hasil Penelitian .......................................................................................... B. Bahasan Penelitian ......................................................................................
69 69 89
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. A. Simpulan .................................................................................................... B. Saran ...........................................................................................................
112 112 113
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................
115
ANALISIS HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK DALAM LITERASI MEMBACA MELALUI STUDI INTERNASIONAL (PIRLS) 2011
iv Maman Suryaman
[email protected] Abstrak Studi ini berisi hasil analisis deskriptif eksploratoris dan dokumenter terhadap kemampuan membaca siswa SD kelas 4 di Indonesia menurut benchmark internasional PIRLS 2011. Capaian rata-rata kemampuan membaca siswa Indonesia secara umum berada pada level rendah di bawah median internasional. Namun, siswa Indonesia mengalami kemajuan dari tahun 2006 ke 2011, khususnya di level tinggi, sedang, dan lemah walaupun tidak signifikan, sedangkan di level sempurna belum ada perubahan. Berdasarkan analisis kemampuan membaca siswa Indonesia dalam standar internasional (PIRLS), kecenderungan yang dilakukan, perbandingannya dengan butir soal yang biasa diujikan dalam ujian nasional, serta pembelajaran membaca di sekolah ditemukan bahwa kemampuan mengulang informasi yang dinyatakan secara tersurat; membuat inferensi; menafsirkan dan memadukan gagasan dan informasi; serta memeriksa dan menilai isi, bahasa, dan unsur-unsur yang terdapat di dalam teks bacaan masih berada di bawah rata-rata internasional. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan beberapa faktor penyebabnya. Pertama, siswa Indonesia berada dalam kurva berkemampuan rendah. Kedua, kecenderungan siswa Indonesia menjawab soal berdasarkan tebakan. Ketiga, butir-butir soal ujian nasional, baik stem maupun pilihan tidak dikonstruksi dengan sempurna dan cenderung bersifat tunggal dengan kata kunci pertanyaan kurang spesifik. Keempat, pemilihan wacana kurang diperhatikan dari segi kualitas isi dan masalahnya. Kelima, pembelajaran membaca di kelas belum mengutamakan pengembangan kompetensi membaca. Keenam, kebiasaan membaca belum dikembangkan secara memadai. Ketujuh, teori sastra yang diajarkan seringkali kurang tepat. Kedelapan, ukuran-ukuran jawaban dalam persepsi guru dan siswa sangat variatif oleh karena kualitas butir soal belum sempurna. Kesembilan, terdapat beberapa butir soal yang tidak biasa muncul di dalam soal ujian nasional.
1
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang mengarah kepada peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencapaian amanat ini secara teoretis dapat dicermati secara komprehensif melalui peningkatan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Berita yang dilansir oleh Harian Umum Pikiran Rakyat (Pikiran Rakyat, 5 Agustus 2005) tentang kondisi ideal surat kabar yang harus dibaca, yakni 1:10 atau satu surat kabar untuk 10 penduduk, belum dicapai oleh masyarakat Indonesia. Bahkan, masih di bawah Filipina dan Sri Langka dengan rasio sebagai berikut: Indonesia 1:45; Filipina 1:30; dan Sri Langka 1:38. Kondisi demikian mencerminkan bahwa kebutuhan dan kemampuan membaca masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Namun, untuk menciptakan agar masyarakat memiliki kebutuhan akan buku, melek aksara harus terus diciptakan. Penciptaan ini sejalan dengan kesepakatan Dakar (Global Monitoring Report, 2006) tentang Literacy for Life bahwa keberaksaraan merupakan hak seluruh umat manusia tidak hanya karena alasan moral, tetapi juga untuk menghindari hilangnya potensi manusia dan kapasitas ekonomi. Keberaksaraan saat ini menjadi sangat penting karena munculnya masyarakat yang didasarkan pada ilmu pengetahuan. Revolusi telekomunikasi dalam era kekinian merupakan tenaga penggerak yang kencang luar biasa. Revolusi itu mampu mempercepat perhubungan di angkasa; perubahan di atas tanah dan gerakan di bawah tanah. Revolusi itu juga tidak bergerak dengan kecepatan, tetapi dengan percepatan (Sanusi, 1998:90). Percepatan ini mampu mengatasi berbagai persoalan. Artinya, bangsa yang lamban akan terlambat; bangsa yang lengah akan tergeser dan tersungkur di pinggir jalan raya peradaban. Dengan kata lain, bangsa yang literasi masyarakatnya masih rendahlah yang pertama kali akan tersungkur di pinggir jalan raya peradaban. Untuk itu, membangun masyarakat literat harus menjadi prioritas utama di antara prioritas-prioritas utama lainnya. Adapun masyarakat literat ditandai dengan adanya kemauan dan kemampuan masyarakat untuk membaca (Suryaman, 2001). Jika dilihat dari sejarah perkembangan budaya di Indonesia, beberapa komunitas di negeri ini sesungguhnya telah memiliki dan mengenal aksara sejak lama, jauh sebelum masuknya tulisan Arab dan Latin. Suku-suku Jawa, Sunda, Bali, Batak, dan Bugis sudah sejak lama mempunyai aksara sendiri, dan meninggalkan berbagai tulisan penting dengan memakai aksara mereka. Persoalannya adalah apakah tulisan dalam komunitas-komunitas tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari atau hanya menjadi bagian dari suatu lingkungan yang relatif terbatas dan eksklusif? Di dalam perkembangan sejarah tampak bahwa tulisan pada komunitas-komunitas yang mempunyai aksara, lebih banyak berhubungan dengan kehidupan istana dan ritual keagamaan. Artinya, tulisan belum menjadi bagian kehidupan sehari-hari orang banyak. Padahal, tulisan barulah menyebar luas dalam masyarakat kalau sudah terjadi peralihan dari kelisanan ke keberaksaraan, dan kalau keberaksaraan itu sudah memasuki tahapan topografik dengan adanya mesin cetak. Sebaliknya, berbagai tulisan dari komunitas-komunitas tradisional di Indonesia baru berada pada tahapan hirografik ketika tulisan-tulisan itu masih berbentuk masnukrip (tulisan tangan) dengan fungsi aural yang masih kuat. Berdasarkan dua pandangan tersebut, budaya tulis di dalam sejarah komunitas tradisional masyarakat Indonesia belum tercipta secara luas. Hal ini mengindikasikan bahwa tradisi lisan menjadi budaya yang kuat di kalangan masyarakat sejak dahulu. Budaya itu kemudian dimapankan hingga kini melalui perkembangan teknologi informasi yang hanya digunakan untuk kegiatan mendengar dan
2
melihat. Data-data mengenai kemampuan membaca siswa Indonesia di dunia yang masih sangat rendah menggambarkan betapa budaya lisan masih sangat kuat tumbuh di dalam masyarakat. Melihat kenyataan tersebut tampak bahwa masyarakat Indonesia kehilangan satu peradaban atau satu babak kebudayaan, yakni kebudayaan membaca. Pada saat mereka mengalami peralihan kebudayaan ke kebudayaan elektronik, masyarakat Indonesia masih berada pada babak kebudayaan pramembaca. Kebudayaan ini ditandai oleh buta aksara, baik dikarenakan buta huruf, melek huruf tapi tidak bisa memahami isi bacaan, motivasi dan kebiasaan membaca yang rendah, maupun ketersediaan sarana berupa buku yang masih sangat kecil. Artinya, anak-anak Indonesia tidak mengalami kebudayaan membaca. Mereka langsung memasuki babak kebudayaan elektronik. Implikasinya, tidak muncul sikap kritis terhadap wujud-wujud elektronik seperti televisi. Tontonan televisi hanya dipandang sebagai media hiburan yang utama sehingga semua aktivitas hidup harus disesuaikan dengan jadwal televisi. Akibatnya, muncul lagi satu fenomena baru selain tiga buta (buta wacana, buta aksara, dan buta pengetahuan dasar), yakni “buta televisi”. Oleh karena masyarakat Indonesia tidak mengalami kebudayaan baca, kebudayaan elektronik hanya dipandang sebagai sesuatu yang menyenangkan dan permukaan saja. Akibatnya, kebudayaan elektronik komputer, misalnya, sama sekali tidak dipandang sebagai sesuatu yang bermakna bagi pengembangan kualitas hidup. Teknologi yang canggih ini telah memberikan peluang yang luar biasa untuk lebih mempercanggih kebudayaan membaca. Namun, peluang ini belum dimanfaatkan secara memadai untuk kepentingan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Berdasarkan paparan tersebut tampak bahwa persoalan masyarakat literat terkait pula dengan budaya masyarakat dan keinginan politik pemerintah untuk membangkitkan diri, bangsa, dan negara menuju cita-cita pencerdasan dan penyejahteraan kehidupan bangsa. Dengan kata lain, jika individu masyarakat dan bangsa ingin maju, budaya baca (literasi) harus ditumbuhkan melalui suatu sistem yang terstruktur, baik dari masyarakat maupun dari pemerintah melalui pengembangan budaya baca yang kuat. Abad ke-21 adalah era baru yang dipenuhi perubahan-perubahan yang mengejutkan. Era ini sebagai cerminan tinjauan restrospektif atas abad ke-20 yang telah menjadi tempat bagi banyak peristiwa dan perkembangan yang menentukan, seperti Perang Dunia, dekolonialisasi, ekspansi penduduk Asia, Afrika, dan Amerika Latin, kebangkitan demokrasi liberal, proses internalisasi dunia, serta kemorosotan hegemoni negara-negara Barat (Stearns via Taryadi, 1999:92). Namun, fenomena yang menonjol dalam konteks ini adalah ungkapan globalisasi. Di hadapan kita terbentang dasawarsa terpenting dalam sejarah peradaban, suatu periode inovasi teknologi yang mempesona, peluang ekonomi yang tidak pernah terjadi sebelumnya, dan reformasi politik yang menakjubkan. Menurut futurulog John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990), trend-trend yang terbentuk adalah perubahan dari (1) masyarakat industri menjadi masyarakat informasi, (2) teknologi paksa menjadi high tech/high touch, (3) ekonomi nasional menjadi ekonomi internasional, (4) jangka pendek menjadi jangka panjang, (5) sentralisasi menjadi desentralisasi, (6) bantuan institusional menjadi bantuan individual, (7) demokrasi representatif menjadi demokrasi partisipatif, (8) hierarki menjadi jaringan, (9) utara menjadi selatan, dan (10) salah satu menjadi pilihan berganda. Perubahan-perubahan tersebut merupakan fenomena yang tidak dapat dihadang dengan sikap apatis, melainkan harus dihadapi dengan sikap kritis. Bahkan, perubahan itu akan terus berlanjut pada masa depan. Masyarakat yang akan mampu menghadapi hidup adalah masyarakat yang memiliki kemampuan untuk memprediksi masa depan berupa meramalkan mana di antara kemungkinankemungkinan dari masa depan yang sungguh-sungguh akan terjadi. Menurut Gary Hamel, profesor manajemen strategis dan internasional pada London Business School, tujuan memprediksi adalah mencoba membayangkan masa depan yang masuk akal, yakni masa depan yang dapat diciptakan (Gibson, 1988:123). Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dan negara di dalam membangun bangsa haruslah berorientasi ke masa depan. Kemampuan memprediksi masa depan hanya akan tercapai bila masyarakatnya sudah menjadi masyarakat literat atau masyarakat melek aksara, yakni masyarakat yang sanggup menyerap dan menganalisis kemudian membuat sintesis dan evaluasi terhadap informasi yang tercetak sebelum mengambil keputusan menurut kemampuan nalar dan intuisinya (Harjasujana, 1988). Di samping
3
sebagai antisipasi, terbentuknya masyarakat melek aksara juga merupakan keharusan dalam menghadapi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryaman, 2001:6). Apalagi dalam konteks kekinian yang ditandai oleh pesatnya penerapan ilmu rekayasa pada umumnya, teknologi chip dan teknologi hayati pada khususnya, berkembangnya isu-isu universal dan pencarian kekuatan transendental atau metafisik, di sisi menetapnya pikiran sekuler-ateistik, semuanya berbarengan dengan era kesejagatan atau globalisasi yang memacu perubahan yang sangat cepat pada bidang politik, ekonomi, perdagangan, pertahanan-keamanan, sosial, pendidikan, dan seni budaya. Di depan monitor komputer, dengan hanya menekan sejumlah tombol informasi segala referensi dan ensiklopedi, buku dan makalah, berita dan desas-desus, analisis dan pergunjingan dapat diakses dengan cepat. Kedudukan budaya masyarakat literat yang sangat penting bagi pencerdasan kehidupan bangsa merupakan modal dasar bagi terciptanya perubahan masyarakat ke arah peningkatan kesejahteraan, keadilan, kemanusiaan, dan spiritual keagamaan masyarakatnya. Seperti diamanatkan melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 4 (5) bahwa untuk mencerdaskan bangsa dilakukan melalui pengembangan budaya baca, tulis, dan hitung bagi segenap warga masyarakat. Amanat ini menjadi sangat penting untuk diimplementasikan sehingga masyarakat belajar sepanjang hayat dapat diwujudkan. Pengimplementasian ini akan terjadi manakala budaya baca telah menjadi kebutuhan masyarakat. Namun, untuk menciptakan agar masyarakat literat tumbuh, melek aksara harus terus diciptakan. Penciptaan ini sejalan dengan kesepakatan Dakar (Global Monitoring Report 2006) tentang Literacy for Life bahwa keberaksaraan merupakan hak seluruh umat manusia tidak hanya karena alasan moral, tetapi juga untuk menghindari hilangnya potensi manusia dan kapasitas ekonomi. Keberaksaraan saat ini menjadi sangat penting karena munculnya masyarakat yang didasarkan pada ilmu pengetahuan. Hal ini telah disadari oleh bangsa Indonesia, setidak-tidaknya sejak Negara Republik Indonesia berdiri. Presiden Soekarno, misalnya, dalam pertengahan tahun 1960-an menyerukan kepada segenap bangsa Indonesia untuk membiasakan diri membaca agar dapat menambah ilmu pengetahuan. Pentingnya kegiatan membaca dalam kehidupan sehari-hari juga diserukan kembali oleh Presiden Soeharto dalam penetapan Bulan September sebagai Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan pada tanggal 14 September 1995 di Istana Negara, Jakarta, dan peresmian Perhimpunan Masyarakat Gemar Membaca (PMGM) pada tanggal 31 Mei 1996. Hari Aksara, Hari Kunjung Perpustakaan, dan Bulan Gemar Membaca dicanangkan pula pada tanggal 14 September 1995. Pencanangan dan peresmian itu dimaksudkan agar segenap bangsa Indonesia memberikan perhatian terhadap membaca sebagai suatu unsur dari budaya bangsa. Kemudian, Presiden Megawati Soekarnoputri menyerukan kepada segenap komponen bangsa Indonesia untuk mensukseskan Gerakan Membaca Nasional pada tanggal 12 November 2003. Terakhir pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Gerakan Pemberdayaan Perpustakaan di Masyarakat pada tanggal 17 Mei 2006. Pada tahun 1978 Daniel Lerner mempublikasikan hasil penelitiannya tentang tradisi, transisi, dan modernisasi di enam negara Timur Tengah (Kleden, 1999). Ia menerapkan asumsi secara ketat tentang perbedaan antara masyarakat tradisional, masyarakat transisional, dan masyarakat modern melalui akses terhadap tulisan dan terhadap media komunikasi lainnya seperti radio. Berdasarkan temuan ini Lerner menyimpulkan bahwa hubungan dengan dunia lain, kebudayaan lain, pandangan hidup lain, dan sistem sosial lain atau sistem politik lain, lebih cepat dibuka melalui membaca. Sebagai bagian dari suatu tingkah laku budaya (cultural behavior), baik dipandang dari sudut pembaca maupun penulis, seorang pembaca akan terbiasa mencari informasi, menambah pengetahuan, melakukan pengecekan pengetahuannya, atau mencari hiburan dan kesenangan dengan membaca buku-buku. Misalnya, para murid akan membaca buku teks pelajaran, referensi, buku pengayaan untuk menyelesaikan tugas-tugas belajarnya serta membaca novel, majalah, surat kabar, puisi, dan sebagainya untuk mendapatkan hiburan dan pencerahan. Seorang profesor akan membaca buku-buku baru, jurnal-jurnal ilmiah nasional maupun internasional untuk melakukan penelitianpenelitian bagi pengembangan keilmuan dan untuk bahan diskusi dengan para mahasiswanya, pun akan membaca novel, majalah, surat kabar, puisi, dan sebagainya untuk mendapatkan hiburan dan pencerahan. Para artis akan membaca buku-buku untuk pengembangan kerartisannya dan akan
4
membaca novel, majalah, surat kabar, puisi, dan sebagainya untuk mendapatkan hiburan dan pencerahan. Para murid, para profesor, dan para artis pun akan membuat catatan-catatan harian tentang kesan-kesan dan pengalaman belajarnya, pengalaman keilmuannya, dan pengalaman keartisannya serta terhadap hasil kesenangan dan pencerahan dari membaca novel, puisi, majalah, dan surat kabar. Dampaknya adalah munculnya kebiasaan dan kebutuhan untuk membaca. Sebagai sebuah kebiasaan, membaca mempersyaratkan prasyarat tertentu, yakni kesanggupan teknis untuk memakai bahasa tulisan dengan baik, serta kesanggupan budaya untuk menyendiri pada saat-saat tertentu dalam suatu kebebasan pribadi yang tidak terganggu, tempat orang yang hanya berhadapan dengan dirinya sendiri. Anggota suatu keluarga dapat mendengarkan radio atau menonton televisi bersama-sama, tetapi sulit bagi mereka untuk membaca sebuah novel atau esei bersama-sama. Kebiasaan membaca mengandaikan semacam ”individualisme kebudayaan”. Dalam banyak komunitas di Indonesia dapat dikatakan secara umum bahwa kecenderungan untuk bersama-sama jauh lebih kuat dari kesanggupan untuk menyendiri. Dalam konteks ini tampak korelasi tinggi antara kebersamaan dan kelisanan di satu pihak, dan antara kesendirian dan keberaksaraan di pihak lain. Sebagai ilustrasi, jika terdapat dua orang atau lebih berkumpul dalam satu ruangan, secara spontan timbul kebutuhan untuk berbicara, bertukar cerita dan lelucon, berdiskusi atau sekadar membanyol dan meledek. Artinya, kebutuhan untuk mengobrol mendorong orang cenderung bersama-sama. Sebaliknya, seorang yang sendirian, akan mengisi waktunya dengan mendengarkan musik dan radio, menonton televisi, membaca buku dan majalah. Namun, untuk komunitas Indonesia, masyarakat cenderung memilih kebutuhan untuk bersama-sama dan mengobrol. Inilah budaya yang harus diseimbangkan dengan kebutuhan menyendiri dan membaca serta menulis. Budaya baca yang belum tumbuh dengan baik dapat dilihat melalui hasil ujian nasional bahasa Indonesia yang hingga kini masih menjadi perbincangan hangat di masyarakat oleh karena hasilnya yang belum menggembirakan. Ada yang mengatakan “Kok bisa nilai bahasa Indonesia lebih rendah daripada bahasa Inggris?” Mereka menyimpulkan bahwa pelajaran bahasa Indonesia lebih sulit diajarkan di negerinya sendiri. Kegalauan dan anggapan mereka tidak salah, tetapi juga tidak benar seratus persen. Lalu, ada apa dan mengapa dengan bahasa Indonesia. Kita pasti sepakat bahwa ada keanehan manakala bahasa Indonesia lebih sulit daripada bahasa Inggris. Namun, harus dipahami bahwa belajar bahasa Indonesia sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari umumnya siswa di seluruh Indonesia. Di samping itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar utama di semua bidang kehidupan. Oleh karena itu, belajar bahasa Indonesia diarahkan pada penguasaan tingkat literasi tertinggi (tingkat epistemik). Pada tingkatan ini pembelajar bahasa Indonesia harus mampu menggunakan bahasa untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk estetika bahasa sebagai seni (sastra). Untuk bahasa Inggris, yang secara politis berfungsi sebagai bahasa asing, dapat ditetapkan sampai dengan tingkatan fungsional di SMP dan tingkat informational di SMA.Sementara itu, bahasa asing lainnya, dapat diusulkan hanya sampai pada tingkat literasi fungsional, karena keterbatasan pajanan dan kesempatan untuk berkomunikasi dalam bahasa asing yang bersangkutan. Penempatan mata pelajaran bahasa Indonesia pada level tertinggi dari segi literasi menjadikannya sebagai bagian dari pengembangan kemampuan berbahasa di satu sisi. Di sisi lain, penguasaan tersebut menjadi prasyarat bagi pembelajar untuk mempelajari bidang keilmuan yang lain. Yang menjadi persoalan adalah apakah kedua tujuan tersebut sudah menjadi sandaran para guru bahasa Indonesia dan para penyusun soal ujian nasional (UN). Secara umum dapat diidentifikasi bahwa terdapat fenomena yang menarik untuk dicermati dari kemampuan berbahasa dan bersastra di kalangan masyarakat. Pertama adalah mengenai melek aksara. Secara teoretis dan empiris melek aksara merupakan suatu cita-cita bangsa Indonesia. Namun, citacita ini belum tercapai secara efektif. Misalnya, data angka buta aksara penduduk Indonesia di atas 15 tahun ke atas masih mencapai 15,5 juta jiwa. Jika jumlah penduduk Indonesia yang telah mencapai 15 tahun ke atas sebanyak 200-an juta jiwa, kemudian dipersentasekan akan diperoleh angka sebesar kurang lebih 15% yang masih dianggap buta aksara atau 85% sudah melek aksara. Di pihak lain, angka rata-rata melek aksara untuk negara berkembang sebesar 61%. Artinya, angka melek aksara masyarakat Indonesia sudah sangat tinggi. Akan tetapi, fakta lain tampak bahwa judul buku baru yang
5
disiapkan hanya 19 buah untuk satu juta penduduk atau hanya tersedia 6000 judul buku baru setiap tahun. Dengan kata lain, angka melek aksara penduduk Indonesia yang sudah tinggi belum sesuai dengan pertumbuhan bukunya. Kemungkinan besar terjadinya ketidaksesuaian itu disebabkan oleh parameter yang digunakan untuk mengukur jumlah melek aksara. Di dalam konteks melek aksara, Iganas Kleden (1999) mengelompokkan penduduk Indonesia ke dalam tiga jenis. Pertama, penduduk yang secara teknis dapat membaca dan menulis kalau diminta membacakan atau menuliskan nama, tempat kelahiran, nama orang tua, dan jenis pekerjaan. Inilah orang-orang yang telah mendapat latihan membacamenulis. Akan tetapi, karena bahan bacaan yang tersedia sedemikian langka, mereka jarang sekali mempraktikkan kemampuan membacanya. Dengan kata lain, orang-orang ini secara teknis dapat membaca (dan barangkali dapat menulis). Kedua, penduduk yang secara teknis dan fungsional melek aksara. Misalnya, anak-anak sekolah yang harus sanggup membaca buku (teks) pelajaran, orang-orang keuangan di suatu lembaga atau perusahaan yang harus membaca dan menuliskan pemasukan dan pengeluaran, atau seorang insinyur otomotif akan membaca buku petunjuk mobil. Bagi kelompok ini, membaca dan menulis adalah sebuah fungsi yang harus dijalankan dalam konteks pekerjaan. Mereka belum menjadikan membaca dan menulis sebagai kebiasaan untuk berkomunikasi dan berekspresi melalui tulisan. Ketiga, penduduk yang di samping mempunyai kesanggupan baca-tulis secara teknis dan fungsional, menjadikan baca-tulis sebagai kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka tidak hanya membaca dan menulis dengan hal-hal yang terkait dengan pekerjaan, tetapi oleh kebutuhan secara budaya. Jika pengelompokan tersebut dihubungkan dengan data melek aksara penduduk Indonesia, kemungkinan besar melek aksara yang dimaksud adalah melek aksara dalam kelompok pertama, yakni melek aksara dalam hal kemampuan membaca dan menulis secara teknis. Hal ini didukung oleh hasil studi The International Association for the Evaluation of Education Achievement (IEA) (1992),. Data tersebut menunjukkan bahwa siswa SD Indonesia dalam hal kemampuan bacanya berada pada urutan ke-26 dari 27 negara yang diteliti, termasuk di dalamnya negara maju, seperti Amerika, Kanada, Jerman, dan negara-negara berkembang, seperti Trinidad dan Venezuela. Sebagian besar siswa yang diteliti memperoleh skor tes membaca pemahaman berada pada kategori rendah, dengan menjawab secara benar rata-rata di bawah 36,1%. Para siswa Indonesia yang memperoleh skor tertinggi secara signifikan masih berada jauh di bawah para siswa yang berskor tertinggi di semua negara lain. Sementara itu, siswa Indonesia yang bernilai terendah merupakan salah satu di antara tiga sampel negara yang berskor terendah. Beberapa karakteristik yang muncul dalam studi tersebut adalah siswa Indonesia menghabiskan relatif banyak waktu kegiatan kelasnya untuk keterampilan seperti bahasan kosakata, hubungan hurufbunyi, dan jawaban terhadap pertanyaan secara tertulis. Relatif sedikit waktu yang dihabiskan untuk pendramatisasian cerita, membaca senyap mandiri, menyimak cerita yang dibaca, membaca di perpustakaan atau bekerja dalam kelompok kecil membaca. Siswa jarang diminta untuk membaca sesuatu di rumah sebagai bagian dari program bahasanya. Bahkan, menurut Harjasujana (1988:11) dalam era kekinian, dengan kehadiran TV, aktivitas anak-anak di rumah lebih banyak berupa kegiatan menonton. Tidak bisa dibayangkan bagaimana kita dapat melakukan kegiatan ilmu dan budaya tanpa menggunakan bahasa secara tertulis, yakni membaca dan menulis. Oleh karena itu, menurut Taufik Ismail (2001) yang terpenting dari pembelajaran bahasa adalah membaca dan menulis, sedangkan aspek linguistik dapat langsung dilihat melalui karya-karya tulis mereka.Bila ini bisa dilakukan, minimal seorang siswa telah membaca karya sastra antara 15 sampai 30 judul selama 3 tahun. Sebagai suatu ilustrasi tentang proses membaca yang dilakukan siswa pada 1210 SMP dan SMA di Amerika dilaporkan oleh Applebee (1993). Tabel Jumlah Halaman Buku Dibaca Siswa SMP dan SMA di Amerika Serikat Kelas 7 – 8 SMP
Membaca per Minggu 30 halaman
Membaca per Tahun 1080 halaman
6
9 SMP dan 10 SMA
32 halaman
1152 halaman
11 – 12 SMA
51 halaman
1836 halaman
113 halaman
4068 halaman
Jumlah
Siswa SMP di Amerika selama tiga tahun telah membaca 3312 halaman dan siswa SMA sepanjang tiga tahun telah membaca 4824 halaman. Artinya, seorang siswa yang telah menamatkan SMP dan SMA selama enam tahun sudah terlatih membaca sebanyak 24408 halaman. Kondisi demikian tentu memberi harapan yang kuat akan keberhasilan studi mereka di perguruan tinggi kelak. Hal ini baru gambaran membaca buku sastra wajib. Belum lagi kegiatan membaca buku lain, seperti sejarah, ekonomi, PPKn, dan lain-lain. Kondisi tersebut diperburuk dengan budaya baca yang belum tumbuh. Rata-rata penduduk Indonesia lebih disibukkan oleh budaya lihat, yakni sebesar 74% menonton televisi dengan rata-rata per hari 3,7 jam. Angka ini paling tinggi di Asia dengan perbandingan Filipina 3,6; Australia 3,2; Hongkong 3,1; Singapura 2,4; Malaysia 2,2; Korea Selatan 2,2; Taiwan 2,1; dan Thailand 1,9 jam per hari. Artinya, di satu sisi masalah ekonomi menjadi alasan untuk tidak membeli buku, di sisi lain kebutuhan akan buku belum tercipta. Kedua variabel ini dukung-mendukung bagi melemahnya daya beli dan budaya baca masyarakat pengguna. Dengan kata lain, pembelajaran bahasa tentulah ikut memberikan sumbangan negatif bagi gagalnya siswa dalam meraih kesuksesan ujian nasional bahasa Indonesia. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan UNY (2011) ditemukan beberapa kompetensi yang dianggap sangat sulit. Beberapa kompetensi tersebut adalah “menemukan ide utama dan ide penjelas paragraf”, “menemukan kalimat yang berupa fakta dan opini dalam tajuk rencana”, “menemukan unsur-unsur intrinsik puisi”, “menemukan unsur-unsur intrinsik cerpen/novel”, “ dan “menemukan nilai-nilai dan amanat Hikayat (Sastra Melayu Klasik). Beberapa faktor penyebab adalah minat dan kebiasaan membaca rendah, referensi perpustakaan terbatas: terutama karya sastra dan buku-buku ilmu pengetahuan populer, terdapat pemahaman yang berbeda terhadap konsep-konsep bahasa dan sastra di antara guru, dan antara guru dan tentor bimbingan belajar, dan sastra bersifat multiinterpretasi, padahal soal sastra berupa kutipan, bukan karya yang utuh. Keadaan tersebut memberikan gambaran bahwa peta masyarakat literat Indonesia masih belum tumbuh dengan baik.Hasil-hasil studi internasional menguatkan simpulan tersebut.Dalam konteks yang demikian, perlulah ditelaah mengapa studi-studi internasional tentang prestasi membaca sangat penting bagi terbentuknya peradaban yang kuat. Sebagai contoh adalah hasil studi yang dilakukan oleh IEA melalui program PIRLS. Studi yang dilakukan IEA melalui program PIRLS mengenai kemampuan membaca siswa Indonesia di dunia didasarkan atas hasil tes untuk mengukur hasil membaca teks sastra dan teks informasi. Siswa yang dimaksud adalah siswa kelas 4 SD. Adapun subtansi yang diteskan terkait dengan kemampuan siswa menjawab beragam proses pemahaman, pengulangan, pengintegrasian, dan penilaian atas teks yang dibaca. PIRLS melaporkan empat skala kemampuan membaca dalam standar internasional, yakni skala sempurna (advanced) dengan skor 625, tinggi (high) dengan skor 550, sedang (intermediate) dengan skor 475, dan lemah (low) dengan skor 400. Jenis teks yang digunakan adalah teks pengalaman kesastraan dan pemerolehan serta penggunaan informasi. Komposisinya teks sastra 50% dan teks informasi 50% dengan rincian, 20% difokuskan pada informasi yang dinyatakan secara tersurat untuk diulang, 30% membuat inferensi dengan jelas, 30% menafsirkan dan memadukan gagasan dan informasi, serta 20% memeriksa dan menilai isi, bahasa, dan unsur-unsur yang terdapat di dalam teks. Di dalam PIRLS 2011 ini teks sastra berisi cerita pendek atau episode yang disertai dengan ilustrasi pendukung.Lima bagian berisi cerita-cerita tradisional dan kontemporer dengan panjang teks kira-kira 800 kata dengan beragam latar.Pada setiap hal yang esensial dua karakter utama dan sebuah alur dihubungkan dengan satu atau dua peristiwa pusat. Di dalam bagian-bagian tersebut tercakup
7
pula ciri-ciri gaya dan bahasa penceritaan, seperti cerita orang pertama, humor, dialog, dan beberapa gaya bahasa. Teks informasi berisi lima bagian termasuk ragam teks lengkap maupun tidak lengkap berdasarkan panjang kata antara 600 sampai dengan 900. Teks tersebut merepresentasikan ciri-ciri seperti diagram, peta, ilustrasi, fotografi, atau tabel.Rata-rata materi mencakup materi ilmiah, etnografi, biografi, sejarah, informasi, dan gagasan praktis. Teks disusun melalui sejumlah cara, termasuk cara logis, argumen, urutan, dan topik. Beberapa bagian menggunakan organisasi bacaan seperti subjudul, kotak teks, atau daftar. Peta masalah tersebut juga harus didukung oleh kurikulum yang memadai.Isu perubahan kurikulum yang sekarang sedang berkembang disadari oleh para pembuat kebijakan pendidikan sekolah harus mengacu pada isu literasi siswa Indonesia di dunia internasional yang tergolong rendah. Seperti banyak diberitakan media massa bahwa perubahan ini didasari oleh salah satunya adalah isu literasi. Hal ini tampak dalam struktur kurikulum yang sekarang masih dalam tahap uji public.Substansi yang paling menonjol adalah masalah pengurangan jumlah mata pelajaran di SD dari 11 menjadi 6.Mata pelajaran IPA, IPS, matematika diintengrasikan ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Jumlah jam sekolah bertambah antara 3 s.d. 4 jam per minggu. Struktur kurikulum SMP difokuskan pada pengurangan jumlah mata pelajaran dari 12 menjadi 10.Pada level ini, IPA dan IPS sudah muncul, tetapi tetap sebagai mata pelajaran integrative science dan integrartive social studies, bukan sebagai disiplin ilmu.Selain itu, siswa SMP mendapatkan pembelajaran teknologi informasi dan komunikasi, muatan lokal, dan pengembangan diri.Muatan lokal berupa seni budaya, penjaskes, dan prakarya.TIK bukan bediri sendiri, melainkan sebagai media untuk semua mata pelajaran. Durasi jam pelajaran bertambah 6 jam per minggu sehingga total 38 jam per minggu. Pada jenjang SMA tidak ada perubahan mendasar, kecuali jumlah jam bertambah 1 jam per minggu.Orientasi yang dikembangkan pada semua jenjang difokuskan pada pengembangan tiga kompetensi, yakni sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Berdasarkan isu termutakhir terkait dengan penataan kurikulum tersebut adalah munculnya implikasi terhadap pengembangan sistem evaluasi. Seperti dikemukakan di atas, mata pelajaran bahasa Indonesia di SD menjadi sentral dari mata pelajaran IPA, IPS, dan matematika. Sementara itu, mata pelajaran bahasa Indonesia di SMP dan SMA menjadi sentral pengembangan literasi lebih lanjut. Jelaslah bagi kita sekarang mengapa UN mata pelajaran bahasa Indonesia dianggap sulit, baik bagi siswa maupun bagi guru. Virus ganas yang menyebar di kalangan siswa adalah rendahnya minat dan kemampuan membaca.Penyebaran virus ini tidak pernah kita cegah, apalagi diobati. Padahal, semua orang tahu bahwa soal UN bahasa Indonesia berupa soal-soal membaca. Jika para siswa tidak terbiasa membaca dan tidak punya kemampuan membaca, sulit rasanya UN bahasa Indonesia dapat dipecahkan. B.
Permasalahan
Permasalahan di dalam penelitian ini didasarkan atas hasil studi internasional yang dikembangkan oleh IEA melalui program PIRLS mengenai kemampuan membaca siswa di dunia.Hasil studi tersebut kemudian ditindaklanjuti melalui analisis faktor-faktor penentu hasil membaca.Artinya, data PIRLS dikaji berdasarkan sudut pandang kemanfaatannya bagi siswa Indonesia. Kajian tersebut meliputi kompetensi-kompetensi mana yang telah dikuasai dan kompetensi-kompetensi mana yang belum dikuasai oleh siswaIndonesia pada PIRLS 2011; seperti apa tingkat kemampuan siswa Indonesia terhadap benchmark internasional (rata-rata internasional) dalam masing-masing kompetensi yang dinilai dalam PIRLS; dan penyebab-penyebab kelemahan siswa Indonesia dalam masing-masing kompetensi yang diukur dalam PIRLS yang diinferensi dari spesifikasi respons sampel siswa terhadap setiap butir soal PIRLS. Berdasarkan permasalahan umum tersebut, dapat dirumuskan beberapa permasalahan turunannya sebagai berikut ini.
8
1.
Seperti apakah peta kemampuan membaca siswa Indonesia dibandingkan dengan siswa-siswa di dunia internasional?
2.
Seperti apakah perubahan kemampuan membaca siswa di setiap negara dari tahun ke tahun?
3.
Seperti apakah kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level lemah?
4.
Seperti apakah kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level sedang?
5.
Seperti apakah kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level sedang?
6.
Seperti apakah kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level tinggi kasus 1?
7.
Seperti apakah kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level tinggi kasus 2?
8.
Seperti apakah kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level tinggi?
9.
Seperti apakah kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level tinggi?
10. Seperti apakah kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level sempurna? 11. Seperti apakah kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level sempurna? 12. Seperti apakahbentuk butir soal dan kemampuan siswa Indonesia terhadap butir soal yang tidak biasa muncul di dalam soal ujian nasional?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini mengungkap peta kognitif siswa dalam PIRLS, khususnya dalam bidang membaca, perbandingan kemampuan membaca terhadap rata-rata kemampuan membaca siswa internasional, dan menyajikan hasil diagnosis terhadap kemungkinan penyebab kelemahan siswa Indonesia dalam domain konten dan kognitif yang diukur dalam PIRLS.Di samping itu, penelitian ini juga sebagai dasar dalam memberikan masukan terhadap pengambil kebijakan guna peningkatan mutu pendidikan, khususnya dalam bidang pembelajaran bahasa Indonesia. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kompetensi-kompetensi mana yang telah dikuasai dan kompetensi-kompetensi mana yang belum dikuasai oleh siswa Indonesia pada PIRLS 2011; seperti apa tingkat kemampuan siswa Indonesia terhadap benchmark internasional (ratarata internasional) dalam masing-masing kompetensi yang dinilai dalam PIRLS; dan penyebabpenyebab kelemahan siswa Indonesia dalam masing-masing kompetensi yang diukur dalam PIRLS yang diinferensi dari spesifikasi respons sampel siswa terhadap setiap butir soal PIRLS dengan rincian untuk mengetahui hal sebagai berikut. 1. Kemampuan membaca siswa Indonesia dibandingkan dengan siswa-siswa di dunia internasional. 2. Perubahan kemampuan membaca siswa di setiap negara dari tahun ke tahun. 3. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level lemah. 4. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level sedang. 5. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level sedang. 6. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level tinggi kasus 1.
9
7. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level tinggi kasus 2. 8. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level tinggi. 9. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level tinggi. 10. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level sempurna. 11. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level sempurna. 12. Bentuk butir soal dan kemampuan siswa Indonesia terhadap butir soal yang tidak biasa muncul di dalam soal ujian nasional.
D.
Hasil yang Diharapkan Hasil yang diharapkan dari studi ini adalah seperti berikut.
1.
Peta kemampuan membaca siswa Indonesia di dunia internasional.
2.
Data perubahan kemampuan membaca siswa di setiap negara dari tahun 2001 dan 2006 ke tahun 2011.
3.
Data kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal sastra pada level lemah.
4.
Data kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal sastra pada level sedang.
5.
Data kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal nonsastra pada level sedang.
6.
Data kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal sastra pada level tinggi kasus 1.
7.
Data kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal sastra pada level tinggi kasus 2.
8.
Data kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal nonsastra pada level tinggi 1.
9.
Data kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal nonsastra pada level tinggi 2.
10. Data kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal sastra pada level sempurna. 11. Data kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal nonsastra pada level sempurna. 12. Data kemampuan siswa Indonesia atas butir soal yang tidak biasa muncul di dalam soal ujian nasional. E.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup studi ini adalah hanya dibatasi pada pengungkapan peta kognitif siswa dalam PIRLS, khususnya dalam bidang membaca, perbandingan kemampuan membaca terhadap rata-rata kemampuan membaca siswa internasional, dan menyajikan hasil diagnosis terhadap kemungkinan penyebab kelemahan siswa Indonesia dalam domain konten dan kognitif yang diukur dalam PIRLS. F.
Manfaat Hasil
Hasil kajian diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembuat keputusan dalam konteks penyempurnaan kurikulum, penetapan standar buku ajar, penetapan standar isi, standar proses pembelajaran, serta penetapan standar konten kurikulum pendidikan guru. Selain itu, hasil kajian juga menjadi masukan bagi Puspendik dalam penetapan ujian nasional dan standar alat penilaian ujian nasional yang sepadan dengan kompetensi-kompetensi yang diakses secara internasional, yang diperkirakan paling efektif berdampak pada arah pembelajaran di tingkat sekolah dan menjadi rujukan praktis bagi guru dan pengawas sebagai pelaksana kurikulum di lapangan. Manfaat penelitian ini juga menjadi bagian terpenting bagi para guru untuk mengembangkan literasi siswa melalui pembelajaran membaca yang mengarah pada pencapaian kompetensi, terbangunnya kebiasaan, minat, motivasi, dan budaya buku siswa.
10
Bab II Kajian Teori
A.
Kompetensi Literasi
Kompetensi literasi adalah kemampuan menyelesaikan masalah atau mencapai tujuan dalam dunia nyata dengan menggunakan teks sebagai alat utamanya. Dalam konteks pendidikan bahasa di Indonesia, konsep literasi dapat dikaitkan bukan hanya dengan kompetensi komunikatif tulis, tetapi juga dengan kompetensi komunikatif lisan. Menurut Holmes (2004) “Literacy by its nature is about what we do with certain types of text. It is about the purpose and the variety of these texts and the activities to which they give rise.” Berbekal kompetensi literasi tertentu, orang dapat berpartisipasi dalam “komunitas yang menggunakan literasi secara komunikatif” (August dan Hakuta, 1997: 54). Pada dasarnya, tingkat literasi paling dasar adalah tingkat performative yang dijelaskan, yakni tingkat literasi yang digambarkan sebagai kemampuan berbahasa atau mengendalikan komunikasi di antara orang-orang yang dikenal, dalam konteks tatap muka, dan jika komunikasi dilakukan secara tertulis maka ragam tulisannya bukan ragam tulis dan lebih menyerupai ragam bahasa lisan yang ditulis. Dalam istilah para ahli literasi yang telah dikutip di atas, kemampuan ini termasuk kategori kemampuan menggunakan wacana primer. Tingkat literasi fungsional tampak pada kemampuan melaksanakan komunikasi, di mana seseorang dapat membuktikan diri sebagai anggota masyarakat yang mampu memenuhi tuntutan hidup sehari-hari dengan menggunakan bahasa yang bersangkutan. Tingkat berikutnya yang lebih tinggi adalah tingkat informational. Pada tingkat ini fokusnya adalah pada peran yang dimainkan oleh literasi dalam komunikasi ilmu pengetahuan, terutama yang berbasis disiplin tertentu. Kemampuan seperti ini diperlukan bagi orang yang belajar bahasa untuk tujuan belajar atau mempelajari ilmu pengetahuan seperti yang terjadi di sekolah-sekolah dengan harapan siswa dapat melanjutkan studinya di jenjang yang lebih tinggi seperti universitas. Tingkat keempat tingkat epistemic adalah tingkatan seseorang mampu menggunakan bahasa untuk pengembangan ilmu pengetahuan (termasuk aspek estetika bahasa sebagai seni sastra. Berdasarkan pembagian tingkatan literasi ini dapat ditentukan tingkat literasi yang menjadi target tertinggi pembelajaran bahasa sampai siswa menyelesaikan pendidikan tingkat menengah. Oleh karena bahasa Indonesia dan bahasa daerah telah menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari umumnya siswa di seluruh Indonesia, serta mengingat bahwa bahasa tersebut merupakan bahasa pengantar utama di semua bidang kehidupan, maka dapat ditetapkan bahwa baik mata pelajaran Bahasa Indonesia maupun bahasa daerah seharusnya diarahkan sampai pada penguasaan tingkat literasi tertinggi, yaitu tingkat epistemik. B.
Hakikat Membaca
Membaca menurut Lado (1964:132) adalah “to grasp language patterns from their written representation”. Lado mengartikan membaca dari sisi bahasa. Bahasa diartikan sebagai sesuatu yang mengandung informasi atau pesan yang terepresentasikan dalam bentuk tulisan. Definisi ini dipertegas oleh Tarigan (1990:7-8) bahwa “membaca merupakan proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata atau bahasa tulis”. Begitupun dengan pendapat yang dikemukakan Rusyana (1984:190) bahwa “membaca merupakan suatu kegiatan memahami pola-pola bahasa dalam penampilannya secara tertulis untuk memperoleh informasi daripadanya”. Titik tolak ketiga definisi tentang membaca di atas adalah bahasa. Membaca dianggap sebagai proses pemahaman bahasa dalam bentuk tulisan. Artinya, posisi pemahaman terhadap bahasa yang digunakan dalam tulisan menjadi suatu aspek yang sangat signifikan bagi pemerolehan informasi yang terkandung di dalamnya.
11
Sekalipun memiliki makna yang signifikan terhadap pemerolehan informasi, pemahaman bahasa bukanlah satu-satunya faktor penentu keberhasilan seseorang dalam membaca. Smith (1985:100), misalnya, mengemukakan bahwa “dapat saja terjadi seorang pembaca mahir tidak dapat memahami suatu bahasan bacaan”. Artinya, meskipun pembaca mengetahui benar pola-pola suatu bahasa, bisa terjadi ia tidak dapat memahami atau mendapatkan informasi yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, Smith (1985:100) lebih lanjut mengemukakan bahwa “membaca adalah kegiatan untuk memperoleh informasi dari bahan bacaan secara selektif”. Aspek pemahaman terhadap sesuatu yang dibacanya menjadi faktor yang signifikan pula bagi keberhasilan membaca seseorang. Hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan lebih lanjut tentang membaca lebih banyak diwarnai oleh tinjauan psikologis, terutama tentang membaca lanjut. Inti pandangan ini adalah bahwa membaca merupakan proses kognitif (Tampubolon, 1987:6). Sebagai proses kognitif membaca tidak hanya bertumpu pada penguasaan unsure-unsur mekanis, seperti bahasa, komposisi, dan ejaan. Membaca merupakan suatu aktivitas komunikatif yang di dalamnya terdapat hubungan timbal-balik antara si pembaca dengan isi teks tersebut. Taraf, kualitas, dan kuantitasnya ditentukan oleh: (1) taraf pendidikan pembaca; (2) taraf intelegensi; (3) sikap yang ditentukan oleh lingkungan (bagi orang dewasa ditentukan oleh posisinya dalam masyarakat); dan (4) kemampuan berbahasa itu ditentukan oleh suatu sistem atau taraf sosial tertentu (Hardjono, 1988:49). Morris (Moyle (1973:25-26) mengungkapkan bahwa “membaca merupakan suatu kegiatan yang tidak hanya mampu mengerti pesan penulis dalam suatu bacaan, tetapi juga mampu mereaksi secara aktif untuk memperoleh informasi baru”. Pernyataan ini senada dengan pendapat yang dikemukakan Nuttall (1983:5) bahwa “makna yang tercakup dalam suatu bacaan tidaklah tercurah begitu saja ke dalam pemahaman seseorang tanpa pengerahan segala daya secara aktif untuk mendapatkan makna tersebut”. Oleh karena itu, Widdowson (1983:85) memadukan antara aspek pemahaman bahasa dan aspek pemahaman makna dalam membaca. Ia mengemukakan bahwa seseorang dikatakan membaca bila orang tersebut setelah mengenali kalimat-kalimat dalam tulisan mampu memahami nilainya berupa kemampuan menyarikan informasi bacaan melalui interpretasi aktif. Dalam kaitannya dengan pengajaran membaca, melalui proses membaca sekaligus dibangkitkan beberapa kemampuan yang penting yang perlu dimiliki oleh setiap anak didik. Kemampuan pertama ialah kemampuan informasional, yakni kemampuan untuk menerima dan menyampaikan informasi. Kemampuan kedua ialah kemampuan mengantisipasi, yakni kemampuan untuk memperkirakan informasi-informasi yang dikemukakan dalam bacaan. Kemampuan ketiga adalah kemampuan menganalisis, yakni kemampuan untuk menguraikan informasi-informasi yang ada dalam bacaan (Logan and Logan, 1972:373). Untuk memperoleh kemampuan seperti itu dibutuhkan bahan bacaan yang tersusun baik karena suatu wacana bukanlah timbunan kalimat acak. Pendapat bahwa untuk memahami sebuah wacana cukup dengan memahami sebuah kalimat adalah pendapat yang salah karena makna kalimat di dalam suatu wacana saling mendukung melalui pernyataan struktur formal dan struktur isi (Luria, 1982:186-190). Kemampuan membaca berhubungan dengan kemampuan pembaca memahami isi bacaan dan tingkat kesulitan bahan bacaan berhubungan dengan keterpahaman bacaan. Lebih lengkap lagi dapat dikemukakan bahwa proses membaca akan berlangsung manakala ada pembaca, bacaan, kegiatan membaca itu sendiri, dan latar (waktu, tempat, suasana, dan kultur) (Rusyana, 1984:208). Menurut teori membaca, membaca merupakan suatu kegiatan yang tidak hanya mampu mengerti pesan penulis dalam suatu bacaan, tetapi juga mampu mereaksi secara aktif untuk memperoleh informasi baru (Morris dalam Moyle, 1973:25-26). Pernyataan ini senada dengan pendapat yang dikemukakan Nuttall (1983:5) bahwa “makna yang tercakup dalam suatu bacaan tidaklah tercurah begitu saja ke dalam pemahaman seseorang tanpa pengerahan segala daya secara aktif untuk mendapatkan makna tersebut”. Oleh karena itu, Widdowson (1983:85) memadukan antara aspek pemahaman bahasa dan aspek pemahaman makna dalam membaca. Ia mengemukakan bahwa seseorang dikatakan membaca bila orang tersebut setelah mengenali kalimat-kalimat dalam tulisan kemudian mampu memahami nilainya berupa kemampuan menyarikan informasi bacaan melalui interpretasi aktif.
12
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga hal yang mendasar berkenaan dengan bahan bacaan, yakni (1) aspek kebahasaan, (2) aspek kom-posisi karangan, dan (3) aspek keterbacaan. Hal-ihwal bacaan akan menyangkut penggunaan bahasa secara tertulis. Paling tidak terdapat dua hal yang mendasar dalam bahasa tulis, yakni penggunaan kata dan kalimat. Bila kita kaitkan dengan usia pembaca, dua hal mendasar tersebut harus kita perhatikan. Artinya, apakah kosakata bacaan tersebut sudah relevan dengan tingkat usia mereka dan apakah kalimat-kalimat yang disusun memiliki tingkat kompleksitas yang sesuai dengan tingkat usia mereka? Kosakata adalah kekayaan kata yang dimiliki oleh seseorang atau suatu bahasa (Kridalaksana, 1993). Zuchdi (1997:9) mengklasifikasikan kosakata ke dalam kosakata aktif dan kosakata pasif. Kosakata aktif adalah kosakata untuk penguasaan bahasa secara produktif yang digunakan untuk menghasilkan bahasa dalam kegiatan ber-komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Sedangkan kosakata pasif adalah kosakata yang hanya dipahami tetapi tidak dipergunakan. Kosakata dapat juga diklasifikasikan ke dalam kosakata umum dan kosakata khusus (Kridalaksana, 1993). Kosakata umum dapat berarti (1) kosakata yang bukan merupakan istilah-istilah teknis atau yang sering dijumpai dalam berbagai bidang keilmuan dan (2) kata yang sudah meluas ruang lingkup pemakaiannya. Kosakata khusus adalah kata tertentu, sempit, dan terbatas ruang lingkup pemakaiannya. Mengacu pada pendapat tersebut, kosakata baca tergolong ke dalam kosakata pasif. Dalam kaitannya dengan bahasa kedua, Lado (1964:114-127) membagi kosakata ke dalam kata mudah, sedang, dan sukar. Kosakata bahasa kedua yang mudah dipelajari adalah kosakata yang bentuk dan artinya sama dengan kosakata bahasa pertama. Kosakata yang sedang adalah kosakata yang diajarkan dan dipahami secara kon-tekstual, yang meliputi bidang makanan, pakaian, olah raga, kota, desa, penemuan, geografi, surat kabar, pendidikan, dan lain-lain. Kosakata sukar adalah kosakata bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa itu, baik bentuk maupun artinya. Pemahaman makna kata secara tepat merupakan prasyarat yang perlu untuk membaca agar dapat memahami maksudnya (Zuchdi, 1997:7). Kosakata sangat erat hubungannya dengan pemahaman dan penalaran sehingga suatu tes kosakata yang baik secara efektif berfungsi sebagai alat pengukur intelegensi umum, dan kebanyakan tes intelegensi yang baik mengandung banyak butir (item) kosakata. Hal utama yang minimal harus dimiliki pembaca agar dapat memahami bacaan adalah pemahaman arti kata yang digunakan oleh pengarang. Pengembangan kosakata yang banyak dan cermat merupakan tahapan yang penting bagi pemahaman yang baik (Zuchdi, 1995:2). Kosakata yang pertama kali diperoleh anak adalah kosakata dengar. Menurut Zuchdi (1997:7) kebanyakan anak dapat menanggapi secara benar kata-kata yang diucapkan oleh orang lain, sebelum mereka dapat menggunakan kata-kata tersebut untuk berbicara. Sedangkan kosakata baca baru diperoleh anak manakala mereka mendapat pengkondisian (seperti melalui pendidikan). Anak mulai mengenal tulisan (bacaan). Secara teratur mereka mulai mempelajari arti kata yang ada dalam bacaan tetapi belum ada dalam kosakata yang telah dimilikinya. Jumlah total kosakata bermakna yang dimiliki oleh seorang anak adalah jumlah semua kata yang dapat di-pahaminya secara benar, baik dalam mendengarkan, berbicara, membaca, atau menulis (Zuchdi, 1995:3). Hasil penelitian Edgar Dale mengenai kosakata anak-anak kota menunjukkan bahwa tiga perempat dari mereka telah memiliki kurang lebih 1500 kata pada per-tengahan tahun pertama memasuki sekolah (kelas 1). Dale mencatat bahwa kata-kata yang diketahui oleh anak-anak kelas satu adalah: (1) kata-kata yang menyatakan rasa; (2) kosakata yang digunakan sehari-hari; (3) kata-kata yang muncul hampir pada setiap kalimat; dan (4) kata-kata yang menyebut hal yang telah dialami dan dihayati anak (Tarigan, 1985:5). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikemukakan bahwa penguasaan kosakata memiliki peranan yang amat penting dalam memahami pikiran dan pengalaman orang lain, baik lisan maupun tulisan. Dalam kaitannya dengan bacaan dapat dikatakan bahwa penguasaan kosakata seseorang akan mempengaruhi pemahaman mereka terhadap bacaan itu. Di pihak lain, kosakata yang dipergunakan dalam suatu bacaan akan menentukan pula tingkat keterbacaannya.
13
Secara gramatikal, kata memiliki beberapa bentuk, yakni: kata tunggal, kata kompleks, kata ulang, dan kata majemuk. Semuanya bersumber pada leksem; masing-masing mempunyai bentuk sendiri sebagai akibat proses morfologis yang dialaminya (Kridalaksana, 1990:33). Pada prakteknya, penggunaan kosakata dalam buku pelajaran beragam, baik dari segi bentuk maupun jenisnya. Menurut berbagai penelitian, banyak buku pelajaran yang dipenuhi kata-kata teknis dan yang jarang digunakan, yang sebenarnya tidak perlu. Hal ini telah dibuktikan berulang-ulang dalam penelitian buku pelajaran yang digunakan untuk mengajarkan ilmu alam, ilmu sosial, dan matematika (Dale dan Razik, 1973; Petty, Herold, dan Stall, 1968; dalam Zuchdi, 1995:12-13). Serra (Zuchdi, 1995:13) menemukan bahwa terlalu banyak konsep yang termuat dalam bahan pelajaran ilmu sosial yang merupakan konsep-konsep yang sulit atau tidak umum yang tidak diulang-ulang secukupnya. Kritik ini tampaknya masih bisa dipercaya kebenarannya. Walau demikian, tiap-tiap bidang studi memiliki kosakata khusus yang harus dipelajari. Guru tidak dapat mengharapkan seorang murid memahami suatu materi pelajaran tanpa bantuan istilahistilah teknis seperti pembagian, faktor, dan desimal dalam aritmatika, garis lintang dan garis bujur dalam geografi, dan istilah-istilah teknis lain yang serupa dalam bidang studi lain. Oleh karena itu, setiap suatu konsep diperkenalkan, pada saat itu diperkenalkan pula penjelasannya secara rinci. Berikut beberapa contoh penggunaan kata yang dianggap mudah dan sukar untuk siswa SD kelas 6 (Wahjawidodo, 1985), dilihat dari segi gramatikal (bentuk), yang meliputi : kata tunggal, kata kompleks, kata ulang, dan kata majemuk. Hasil penelitian menunjukkan ada kecenderungan bahwa kata ulang lebih mudah dipahami murid daripada kata majemuk. Kata berimbuhan yang terbentuk dari kata dasar yang telah dikuasai dengan imbuhan yang telah dikuasai pada umumnya juga tidak menimbulkan kesulitan. 1)
Kata kompleks yang tergolong mudah bagi kelas 6 Dengan ber-
: berakal, bergema, berbakti, berderma, berjasa, berapi;
Dengan di-
: dianggap, dieja, dihuni, dicontoh, dibelit, dibongkar;
Dengan di-kan
: diasinkan, dianugerahkan, dialamatkan, dibusungkan; diinginkan;
Dengan me-
: mengaduk, mengaduh, mengatur, membentuk, mem-basmi;
Dengan me-kan
: mendebarkan, mendaftarkan, mendiktekan, mengawet-kan, mencernakan;
Dengan ter-
: tercampur, terduduk, tergabung, terhapus, teringat;
Dengan pe-
: pencungkil, penduduk, penggembala, pembilang, pem-borong, pencipta;
Dengan ke-an
: kebiasaan, kecemasan, kegelapan, kehangatan, kebijaksanaan;
2)
Dengan pe-an
: pembakaran, pembaringan, pegunungan, pembiasaan, pengendapan, pengabdian;
Dengan per-an
: perhiasan, perkawinan, percakapan, perdagangan, per-juangan;
Dengan an-
: belaian, cicilan, eceran, ejekan, hiburan, akhiran, baca-an, dataran, endapan.
Kata yang tergolong sukar bagi kelas 6 a) kata dasar
: bakhil, bengis, bernas, canggung, pocot, kepul, kucek, usung, akidah, anus, brosur, poligami;
b) kata berimbuhan
: berbarengan, sebingkah, berijtihad, berjaram, meng-analisis, membeliak, memborgol, kedudukan, kejenuhan, kelingan;
c) kata ulang
: berbongkah-bongkah, berjubel-jubel, kaok-kaok;
d) kata majemuk
: main sikut, bermandikan cahaya, batu akik, angin buritan, fajar sidik.
14
Membaca pemahaman menurut Harjasujana (1997:2) meliputi pemahaman kalimat-kalimat, dan pemahaman tentang kalimat-kalimat itu meliputi pula kemampuan menggunakan teori tentang hubungan-hubungan struktural antarkalimat seperti yang digambarkan dalam teori Tata Bahasa Transformasi (TBT). Pengetahuan tentang hubungan struktural itu berguna bagi proses pemahaman kalimat, sebab kalimat bukanlah untaian kata-kata saja melainkan untaian kata yang saling berkaitan mengikuti cara-cara yang spesifik. Hubungan-hubungan struktural yang penting untuk memahami makna kalimat itu tidak hanya diberikan dalam struktur luar, tetapi juga diberikan dalam struktur isi kalimat. Pemahaman kalimat tidak akan dapat dilakukan dengan baik tanpa dukungan pemahaman atas hubungan isi antarkalimat tersebut. Untuk itu, kalimat yang disusun dalam suatu wacana agar memiliki keterbacaan yang tinggi harus selalu memperhatikan ketiga unsur tersebut, yakni struktur luar, struktur isi, dan hubungan antarkeduanya. Masalah yang berhubungan dengan pengaruh struktur kalimat terhadap proses membaca ada dalam bidang yang sangat khusus, yakni keterbacaan (Harjasujana, 1997:4). Berbicara tentang keterbacaan, setiap penyusun wacana atau buku bacaan, baik fiksi maupun nonfiksi, harus mendasarkan diri pada orientasi teoretis, yakni masalah struktur kalimat. Di samping itu, juga masalah kosakata, seperti dikemukakan oleh Rusyana (1984:208). Hal yang sama dikemukakan pula oleh Sakri (1993:135) bahwa keterbacaan (readability) bergantung pada kosakata dan bangun kalimat yang dipilih oleh pengarang untuk tulisannya. Tulisan yang banyak mengandung kata yang tidak umum lebih sulit dipahami daripada yang menggunakan kosakata sehari-hari, yang sudah dikenal oleh pembaca pada umumnya, khususnya pembaca dengan kondisi usia tertentu. Tentang hal ini telah dijelaskan pada penjelasan tentang kosakata baca. Demikian pula, bangun kalimat yang panjang dan kompleks akan menyulitkan pembaca yang tingkat perkembangan usianya berbeda. Uraian-uraian di atas mengimplikasikan bahwa penyusunan wacana, sekalipun menurut pengarang sudah sesuai dengan tingkat perkembangan usia anak, namun tanpa mengetahui penguasaan kosakata dan kalimat yang digunakan dalam suatu bacaan wacana dan dikenal mereka, maka wacana tersebut akan gagal dalam hal keter-bacaannya. Pengukuran terhadap penguasaan kosakata dan kalimat dalam bacaan wacana oleh anak amat penting dilakukan sebagai dasar penyusunan bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi bagi anak-anak sesuai dengan tingkat perkembangan usianya. Hal ini disebabkan oleh bahwa membaca berarti memahami isi (deep structure) bacaan. Sarana pemahaman tersebut adalah struktur luar (surface structure). Ada yang berpendapat bahwa panjang kalimat sebagai unsur utama yang menyebabkan timbulnya kesulitan dalam kegiatan membaca (Harjasujana, 1997:5). Oleh karenanya, sudah sejak tahun 1921, panjang kalimat dijadikan alat ukur tingkat keterbacaan sebuah wacana, dan hampir selalu dijadikan unsur utama dalam formula-formula keterbacaan. Kalimat-kalimat yang kompleks pada umumnya panjang-panjang. Korelasi antara kompleksitas dan panjang kalimat cukup tinggi, yakni sebesar 0,775 (Harjasujana, 1997:5). Hingga kini belum ada penelitian tentang panjang kalimat yang cocok untuk anak usia SLTP di Indonesia. Walau demikian, penelitian tentang ini sebenarnya sudah dilakukan Rudolf Flesch bagi penutur berbahasa Inggris. Hasilnya berupa skala. Ada-pun skala yang digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan yang dibuat Rudolf Flesch (1974) adalah sebagai berikut: TINGKAT KESULITAN Sangat Mudah
PANJANG KALIMAT (Jumlah Kata) 8 atau kurang
Mudah
11
Sedang
14
Standar
17
15
Agak Sulit
21
Sulit
25
Sulit Sekali
29 atau lebih
16
Wacana yang panjang kalimatnya 8 kata atau kurang diperkirakan cocok untuk siswa kelas 4; wacana yang panjang kalimatnya berkisar antara 8-11 kata cocok untuk siswa kelas 5; wacana yang panjang kalimatnya ada di antara 11-14 kata diperkirakan cocok untuk siswa kelas 6; wacana yang panjang kalimatnya berkisar antara 14-17 kata cocok untuk siswa kelas 7 dan 8; wacana yang panjang kalimatnya berkisar antara 17-21 kata cocok untuk siswa SMU; dan wacana yang panjang kalimatnya berkisar antara 24-29 kata cocok untuk siswa SMU dan mahasiswa. Sementara itu, penelitian terhadap penutur berbahasa Indonesia telah dilakukan oleh Wahjawidodo, dkk. (1985) dengan subjeknya siswa SD. Penelitiannya menunjuk-kan bahwa kalimat yang maknanya mudah dipahami murid ialah kalimat yang terdiri atas paling banyak 10 kata untuk kelas 2, 15 kata untuk kelas 4, dan 20 kata untuk kelas 6, dengan catatan kata-kata yang digunakan harus yang mudah. Skala antara yang dikemukakan Flesch dengan Wahjawidodo, dkk. tampak berbeda. Wacana yang panjang kalimatnya 8 kata atau kurang diperkirakan cocok untuk siswa kelas 4; wacana yang panjang kalimatnya berkisar antara 8-11 kata cocok untuk siswa kelas 5; wacana yang panjang kalimatnya ada di antara 11-14 kata diperkirakan cocok untuk siswa kelas 6, Sedangkan dalam skala Wahjawidodo, dkk., siswa kelas 4 panjangnya paling banyak 10 kata, lebih panjang daripada skala Flesch yang hanya 8 kata; siswa kelas 6 paling banyak 20 kata, lebih panjang daripada skala Flesch yang hanya 11-14 kata. Sementara itu, untuk siswa SLTP kelas 1 dan 2 dalam skala Flesch panjang kalimatnya antara 14-17 kata. Menurut susunan kalimatnya, kalimat tunggal lebih mudah dipahami maknanya atau maksudnya daripada kalimat majemuk. Hal ini disebabkan kalimat majemuk lebih rumit daripada kalimat tunggal. Keterbacaan oleh Dale dan Chall (Gilliland, 1976:13 dan Rusyana, 1984:213) didefinisikan sebagai sejauh kelompok pembaca memahaminya, membacanya dengan kecepatan optimal, dan merasa tertarik. Sekalipun di dalam keterbacaan tercakup pula pembaca, akan tetapi pengukuran bacaan melalui pembaca di sini lebih menekankan pada aspek bahasanya. Sedangkan posisi pembaca pada kemampuan membaca merujuk pada kemampuan memahami isi bacaan. Oleh karena itu, istilah yang digunakan di dalam penelitian ini bukan hanya keterbacaan tetapi juga kemampuan membaca. Artinya, keterbacaan digunakan untuk mengukur segi bacaan yang sekaligus juga melibatkan pembaca dan kemampuan membaca digunakan untuk mengukur kemampuan pembaca memahami isi bacaan. Sehubungan dengan keterbacaan (readability), Dale dan Chall (Gilliland, 1972:12-13) mendefinisikannya sebagai berikut: the sum total (including interaction) of all those elements within a given piece of printed materials that affects the success which a group of readers have it. The success is the extent to which they aunderstand it, read it at optimum speed and find it interesting. Keterbacaan itu adalah jumlah seluruh unsur yang ada dalam teks (termasuk di dalamnya interaksi) yang berpengaruh terhadap keberhasilan yang dicapai oleh ke-lompok pembaca. Keberhasilan di sini meliputi keluasan materi yang dapat dipahami, membaca dengan kecepatan optimal, dan merasa tertarik dengan teks tersebut. Definisi Dale and Chall ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan McLaughin (Gilliland, 1972:14). Menurut McLaughin keterbacaan adalah “the degree to which a given class of people find certain reading matter compelling and, necessarily, com-prehensible”. McLaughin menekankan keterbacaan pada karakteristik pembaca dan kemenarikan teks. Artinya, keterbacaan harus didasarkan pada karakteristik pembaca berdasarkan asumsi bahwa pembaca akan melanjutkan membaca hanya bila ia paham dan tertarik tentang hal yang dibacanya. Berdasarkan pendapat tersebut, Gilliland (1972:12) kemudian merumuskan keter-bacaan sebagai pencocokan kemampuan pemahaman seseorang terhadap materi wacana tulisan yang dibacanya pada tingkatan tertentu (Gilliland, 1972:12; McNeill, et.al., 1980:366). Gilliland (1972:86) menyimpulkan bahwa ada tiga ide utama yang terkait dengan keterbacaan, yakni (a) kemudahan; (b) kemenarikan; dan (c) keterpamahaman. Yang pertama berkaitan dengan
17
bentuk tulisan, yakni tata huruf (topografi) seperti besar huruf dan lebar spasi. Dari batasan ini keterbacaan dapat diukur dari kecepatan pengenalan kata, tingkat kesalahan, jumlah fiksasi mata per detik, yang kesemuanya berhubungan dengan keterampilan membaca dan kejelasan tulisan (bentuk dan ukuran tulisan). Kedua berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide pada bacaan, dan penilaian keindahan gaya tulisan. Ketiga berhubungan dengan karakteristik kata dan kalimat, seperti panjang-pendeknya dan frekuensi penggunaan kata atau kalimat, bangun kalimat, dan susunan paragraf. Dengan alasan teoretis, teknis dan praktis, batasan ketiga ini sering digunakan sebagai dasar studi keterbacaan. Dalam studi ini pun batasan ketiga ini yang digunakan. Sakri (1994:165) menyatakan bahwa keterbacaan adalah derajat kemudahan sebuah tulisan untuk dipahami maksudnya. Tulisan yang tinggi keterbacaannya lebih mudah dipahami daripada yang rendah, dan sebaliknya. Uraian tentang keterbacaan di atas mengandung makna bahwa tulisan itu harus berkualitas. Untuk menguji kualitas tulisan diperlukan alat ukur. Agar dapat diukur objek yang diukur harus memiliki sifat dapat diukur (measurable). Menurut Coupland (Klare, 1984:683) “keterbacaan merupakan variabel yang dapat diukur atau dapat dikuantifikasi dengan suatu skala tunggal dan dapat dibuat indeks dalam berbagai cara (readability is a variable that can be quantified on a single scale, and can be indexed in quite different ways)”. Dalam buku “Panduan Penggunaan Kata, Kalimat, dan Wacana” yang diterbitkan oleh Depdikbud (1985:39-40) disebutkan bahwa wacana disebut mudah apabila ia mempunyai tingkat keterbacaan yang tinggi. Artinya, wacana tersebut dapat dipahami oleh sebagian besar pembaca yang ditujunya. Wacana disebut sukar apabila ia mem-punyai tingkat keterbacaan yang rendah. Artinya, wacana tersebut hanya dapat di-pahami oleh sebagian kecil pembaca yang ditujunya. Menurut Klare (1984:726) meningkatnya derajat keterbacaan suatu teks dapat menambah atau meningkatkan berbagai perilaku pembaca, seperti pemahaman, pembelajaran, retensi, kecepatan membaca, efisiensi membaca, dan keberterimaan. Menurut Hafni (1981:9) pertimbangan yang paling penting dalam pemilihan bahan pengajaran membaca adalah faktor keterbacaan. Tingkat keterbacaan atau tingkat kesukaran baca harus sesuai dengan tingkat kemampuan pembelajar. Klare (1984:727) menyatakan bahwa kemungkinan bertambahnya tingkat pemahaman tergantung pada antara lain: a) situasi penyelenggaraan tes (the test situation); b) motivasi pembaca (reader motivation); c) tingkat keterbacaan bahan (readability level of material); d) isi bahan bacaan (content of material); dan e) kompetensi pembaca (reader competence). Pada bagian lain Klare (1984:726) menyatakan pula bahwa: The accumulated evidence now clearly supports the notion that improved readability can produce increases in the following kinds of reader behavior: (1) comprehension, learning, and retention; (2) reading speed and efficiency; and (3) acceptability (a general term intended to cover readership, preference, preserverence, etc.) Tingkat keterbacaan yang lebih baik akan meningkatkan perilaku pembaca dalam (1) pemahaman, pembelajaran, dan ingatan; (2) kecepatan dan efisiensi membaca; dan (3) keberterimaan (suatu istilah umum yang di dalamnya termasuk jumlah pembaca, pilihan, dan pemeliharaan). Dalam hal keterbacaan Rusyana (1984:213) mengemukakan bahwa keterbacaan hanya akan menjadi jelas apabila dhubungkan dengan peristiwa membaca. Peristiwa membaca dirumuskannya sebagai “Pembaca membaca bacaan dalam suatu latar”. Subjek pembaca dihubungkan dengan objek bacaan oleh predikat membaca. Dengan demikian, keterbacaan dapat diterangkan dalam hubungan pembaca dengan bacaan, yaitu sebagai kesesuaian pembaca dengan bacaan. Artinya, tingkat keberhasilan membaca ditentukan oleh tingkat kesesuaian pembaca dengan bacaannya, yang masingmasing aspeknya telah diuraikan di atas. Dale dan Chall (Gilliland, 1976:13) mengemukakan bahwa keterbacaan bacaan tertentu dalam hubungan sejauh kelompok pembaca memahaminya, membacanya dengan kecepatan optimal, dan ketertarikan terhadap bacaan. Berbicara tentang keterbacaan Rusyana (1984:213) menyimpulkan bahwa terdapat tiga aspek keterbacaan, yakni pemahaman, kecepatan baca, dan minat, yang satu dengan lainnya saling berpengaruh. Lebih lanjut Rusyana (1984:214) menggambarkannya ke dalam hal berikut:
PEMBACA
Kemampuan memahami
Kemampuan bacaan
Kemampuan membaca
Kemudahan dibaca
BACAAN
18
Keterbacaan menyangkut ketiga aspek tersebut, dan untuk mengetahuinya harus diperiksa masing-masing aspek serta interaksinya, baik menyangkut pembaca maupun bacaan, dan diperiksa bagaimana kesesuaian antara kedua pihak itu. Kita harus memeriksa keadaan pembaca berkenaan dengan kemampuannya memahami bacaan, keterampilannya membaca, dan minat serta motivasinya. Demikian juga kita harus memeriksa keadaan bacaan berkenaan dengan bahasa yang digunakan, kemudahannya dibaca, serta isi dan gayanya. Kemudian diperiksa apakah bacaan dengan keadaan seperti itu sesuai atau tidak bagi pembaca dengan keadaan tertentu itu. Walau demikian, di antara ketiga aspek itu dapat dipilih yang paling mendasar dengan pertimbangan teoretis, teknis, dan praktis dianggap mengandung masalah yang lebih terbatas serta menawarkan kemungkinan penggunaan yang lebih luas dan sering (Gilliland, 1976:84). Untuk itulah, ketiga aspek itu tidak seluruhnya diperiksa dalam penelitian ini. Berdasarkan pertimbangan teoretis, teknis, dan praktis, hanya satu aspek yang dijadikan dasar studi, yakni pemahaman dalam arti keterpahaman bacaan. Karena keterpahaman bacaan ini akan menjadi jelas bila dikaitkan dengan proses membaca, maka pembicaraan tentang ini akan selalu berhubungan dengan pembaca, bacaan, dan kegiatan membaca pembaca. Keterpahaman bacaan dikaitkan dengan pembaca akan menyangkut kemampuan pembaca memahami bacaan. Hal ini akan tercermin melalui teknik klos. Keterpahaman bacaan dikaitkan dengan bacaan itu sendiri akan menyangkut penggunaan bahasa dan komposisi wacana dalam bacaan tersebut. Hal ini akan tercermin melalui formula.. Keterbacaan berkenaan dengan keterpahaman bacaan bersangkut-paut dengan keadaan bacaan. Bacaan yang berkualitas adalah bacaan yang memiliki tingkat keterpahaman yang tinggi. Di antara faktor yang menentukan tingkat keterpahaman bacaan adalah faktor kebahasaan dan komposisi karangan. Seperti telah dijelaskan di atas, keterbacaan berkenaan dengan kemampuan memahami bacaan bersangkut-paut dengan pembaca memahami bacaan. Suatu bacaan dianggap memiliki tingkat keterpahaman yang tinggi apabila bacaan tersebut mudah dibaca oleh sebagian besar pembaca. Salah satu teknik yang bisa digunakan untuk mengukur hal ini adalah melengkapi kalimat atau biasa dikenal dengan teknik klos atau cloze-test. Penjelasan tentang teknik ini akan dikemukakan pada subbagian alat ukur keterbacaan. Studi keterbacaan sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1923 oleh Lively dan Pressey (Klare, 1984:686). Sejak itu beberapa ahli menemukan formula keterbacaan dengan versinya masingmasing. Lorge (Klare, 1984:686) menganjurkan pemakaian formula yang sederhana karena daya ramal formula yang kompleks tidak selalu lebih baik. Para ahli keterbacaan pasca-Lorge lebih menekankan pada pemakaian formula yang terdiri atas dua faktor, yakni semantik dan sintaktik. Faktor semantik berhubungan dengan kesukaran kata yang dapat diukur dengan menghitung kata-kata yang tidak lazim (unfamiliar), kata-kata sukar, kata-kata yang kekerapan pemakaiannya rendah, dan kata-kata yang terdiri atas tujuh (7) huruf atau lebih. Sedangkan faktor sintaktik berhubungan dengan kesukaran kalimat, yang dapat diukur dengan kriteria panjang kalimat. Asumsi dasarnya adalah semakin panjang suatu kalimat, semakin sukar untuk dipahami. Di Indonesia studi keterbacaan baru dimulai pada tahun 1979 (Siahaan, 1987:60 dan Zuchdi, 1997:13), yakni untuk tingkat sekolah dasar (Rusyana, 1984:214). Sedangkan untuk tingkat SLTP buku-buku yang digunakan belum disusun dengan mempertimbangkan hasil studi keterbacaan.
19
Padahal, menurut Rusyana (1984:314) kesulitan belajar yang dihadapi oleh murid mungkin ada yang timbul dari buku-buku pelajaran, antara lain mungkin berkenaan dengan keterbacaannya yang kurang sesuai. Pengestimasian tingkat keterbacaan wacana dapat melalui dua cara. Yang pertama ialah melalui rumus/formula, sedangkan cara yang kedua melalui pembaca (McNeill, et.al., 1980:368; Singer dan Donlan, 1980:174). Sementara itu, menurut Gilliland (1972:83 dan lihat juga Rusyana, 1984:215) terdapat lima cara atau metode pengukuran keterbacaan, yakni (1) penilaian subjektif; (2) tanya jawab; (3) formula; (4) grafik dan Carta; dan (5) teknik cloze. Namun, kedua pendapat tersebut sebenarnya sama. Artinya, bila dikelompokkan ke dalam pola yang dikemukakan McNeill, et.al. dan Singer dan Donlan, maka metode yang dikemukakan Gilliland tersebut sebenarnya dapat dibagi dua, yakni informasi keterbacaan dari pembaca yang mencakup penilaian subjektif, tanya jawab, dan teknik cloze dan informasi keterbacaan melalui formula atau grafik yang mencakup formula dan grafik dan Carta. Informasi keterbacaan wacana melalui formula/rumus tidak diteskan pada siswa, melainkan wacana-wacana yang akan diuji dicocokkan dengan formula/ rumus yang telah tersedia. Dengan demikian, prosedur untuk memperoleh informasi keterbacaan wacana dapat dikatakan sama dengan prosedur untuk memperoleh informasi tentang keterpahaman bacaan. Tujuan tes keterpahaman bacaan ialah untuk mengetahui tingkat kesukaran materi wacana. Formulasi keterbacaan cenderung berfungsi sebagai alat meramal (predictive device), termasuk meramalkan secara objektif kesukaran membaca (Klare, 1984:684). Prosedur pengujian keterbacaannya dilakukan melalui penyampelan teks dan penghitungan beberapa sifat yang mudah diidentifikasi seperti rata-rata kata dalam kalimat dan jumlah kata-kata sukar, yang akhirnya akan diperoleh skor sebagai penentu tingkat keterbacaan. Ada tiga formulasi keterbacaan yang masih populer sampai sekarang. Ketiga formulasi tersebut ialah Formula Flesch (1974), Grafik Fry (1977), dan Grafik Raygor (1984) (Harjasujana, 1997:6). Di antara ketiga formula itu yang paling populer dan paling banyak digunakan ialah Grafik Fry. Sementara itu, dalam hal pengukuran tingkat keterbacaan wacana dengan menggunakan kalimat sebagai satu-satunya faktor penentu yang dikemukakan oleh Flesch memiliki dua karakter, yakni (1) tingkat kesukaran kata, semakin banyak jumlah kata panjang atau sukar dalam teks, semakin sukar teks tersebut untuk dipahami dan (2) panjang kalimat, bila kalimat-kalimat di dalam teks itu semakin panjang, bacaan tersebut akan semakin sukar (Hafni, 1981:22). Selain Flesch, Hunt (1988) juga berpendapat bahwa terdapat tiga generalisasi yang sudah mapan berkenaan dengan perubahan kalimat anak-anak karena pertumbuhan kematangan mereka, yakni (1) kebanyakan anak menulis lebih banyak dalam topik yang ditentukan ketika mereka bertambah besar; (2) kalimat menjadi lebih panjang; dan (3) anak-anak lebih sering menggunakan klausa subordinat. Penelitian ini mendorong-nya untuk merumuskan ulang pengamatan nomor 2 dan 3, yakni kalimat yang lebih panjang dan penggunaan klausa subordinat. Dari ketiga jenis klausa -klausa nomina, klausa adverbia, dan klausa ajektiva -- yang pertama dan kedua tidak berkembang pesat bersama kematangan anak. Selanjutnya, poin 3 di atas, diperbaiki rumusannya: ketika anak-anak matang, mereka lebih banyak menggunakan klausa ajektiva, melalui peng-gunaan indeks klausa subordinat. Kemudian, Hunt memperkenalkan T-unit berupa “the shortest allowable sentences” sebagai alat penghitungan panjang kalimat. T-unit didefinisikan sebagai unit-unit terpendek yang ke dalamnya sepotong wacana dapat dipenggal tanpa me-ninggalkan fragmen-fragmen kalimat sebagai sisa (residu). T-unit selalu hanya berisi satu klausa independen ditambah beberapa klausa subordinat yang dihubungkan dengan klausa independen itu. T-unit dapat digunakan dalam cara-cara yang berbeda. Salah satunya adalah untuk menghitung jumlah rata-rata T-unit per kalimat. Cara lain adalah menghitung panjang rata-rata T-unit per kalimat. Panjang T-unit dapat dikembangkan dengan dua cara, yakni (1) tambahkan lebih banyak klausa dependen dan (2) perpanjang klausa yang ada dengan menambahkan frase-frase dan kata-kata (yang berasal dari klausa-klausa yang dikurangi). Selanjutnya, T-unit yang bermacam-macam indeksnya
20
dirumuskan ke dalam bahasa aritmatik sebagai berikut: (1) “Average clause length” adalah jumlah kata per klausa; (2) “Subordinate clause index” adalah jumlah klausa per T-unit; (3) Average T-unit length” adalah jumlah kata per T-unit; (4) “Main clause coordination index” adalah jumlah T-unit per kalimat; dan (5) “Average sentence length” adalah jumlah kata per kalimat. Kelima ukuran ini sangat berguna secara analisis dan saling berhubungan secara aritmatik: (1) jumlah kata per klausa kali jumlah klausa per T-unit sama dengan jumlah kata per T-unit; (2) itu kali jumlah T-unit per kalimat akan memberikan jumlah kata per kalimat; (3) indeks pertama kali indeks kedua sama dengan indeks ketiga; (4) yang ketiga kali yang keempat sama dengan yang kelima; (5) panjang klausa kali indeks klausa subordinat sama dengan panjang T-unit; dan (6) figur itu kali indeks koordinasi klausa utama sama dengan panjang kalimat. Rumusan di atas dibuat karena pertimbangan bahwa peneliti pendidikan meng-hargai perasaan intuitif guru tentang kematangan tetapi mengharapkan juga bahwa guru dapat mengukurnya secara kuantitatif, dengan menghitung sesuatu, jika dia tahu apa yang harus dihitung. Guru mengetahui bahwa diperlukan berabad-abad untuk mem-bangun suatu ilmu pengetahuan tetapi hal itu harus dirintisnya pula meski dengan pengetahuan yang serba sedikit. Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa formulasi keterbacaan yang diuraikan di atas menekankan pada faktor semantik dan sintaktik. Faktor semantik mencakup tingkat kesukaran kata, seperti jumlah suku kata dan kelaziman kata (familiar) sedangkan faktor sintaktik mencakup panjang kalimat. Artinya, penggunaan kosakata dan panjang kalimat berpengaruh terhadap keterbacaan. Makin tidak lazim kosakata yang digunakan dan makin panjang sebuah kalimat dengan tanpa memperhati-kan usia anak dalam bacaan, makin rendah keterbacaannya. Oleh karena itu, penulis buku pelajaran perlu mengatur penggunaan kosakata dan panjang kalimat yang ditulisnya sesuai dengan calon pembacanya. Kosakata dan kalimat-kalimat dalam wacana untuk anak SD kelas 1 akan berbeda dengan kelas 2, 3, 4, 5, dan 6. Begitupun dengan anak SLTP, SMU, dan perguruan tinggi. Semakin tinggi tingkatan usia seseorang, semakin mudah untuk memahami bacaan yang kalimatnya panjang, tetapi akan sebaliknya dengan makin rendah tingkatan usia mereka. Informasi keterbacaan wacana yang diperoleh melalui pembaca disebut oleh Singer dan Donlan sebagai tes keterbacaan tipe try out. Informasi keterbacaan wacana menurut tipe ini diperoleh melalui tes yang dikerjakan oleh sejumlah pembaca yang mempunyai tingkat kelas yang sama. Dengan demikian, prosedur untuk memperoleh informasi keterbacaan wacana dapat dikatakan sama dengan prosedur untuk memper-oleh informasi tentang pemahaman bacaan (reading comprehension). Hal ini sejalan dengan pola yang dikemukakan Rusyana (1984:214) dalam bentuk kemampuan memahami bacaan. Dengan demikian, tujuan tes keterbacaan wacana dalam tipe ini ialah untuk mengetahui tingkat kemampuan membaca peserta tes. Penilaian subjektif adalah pengukuran keterbacaan yang hanya mendasarkan pada pengamatan sepintas tentang isi, pola, rentang kosakata, dan format dan pengorganisasian suatu bacaan. Yang dapat menilai adalah guru, pustakawan, editor, kelompok pembaca, dan sebagainya (Gilliland, 1972:84). Walaupun penilaian subjektif memiliki korelasi dengan skor tingkat keterbacaan yang diukur melalui formula, metode ini ternyata mengandung kelemahan (Klare, 1984:703). Kelemahannya adalah orang yang tidak terpilih dan terlatih tidak dapat dijadikan sebagai penilai karena hasil penilaian mereka kadangkala agak sukar untuk disejajarkan dengan sistem perankingan terhadap sejumlah teks yang telah ditentukan. Metode tanya jawab adalah metode pengukuran tingkat keterbacaan suatu teks yang dilakukan dengan cara pembaca diberi sebuah teks yang telah dilengkapi dengan seperangkat pertanyaan yang harus dijawab oleh pembaca teks setelah selesai membaca seluruh teks. Pertanyaan yang diajukan menyangkut isi teks yang tersurat maupun yang tersirat. Metode pengukuran ini lebih menekankan pada kemampuan memahami baca-an. Kelemahan metode ini adalah (1) sulit untuk menentukan apakah jawaban yang diperoleh dapat mencerminkan kompleksitas teks atau hanya karena pertanyaannya yang sulit; (2) jawaban dari pertanyaan yang disusun secara urut sesuai dengan urutan ide atau isi teks akan berbeda dengan jawaban dari pertanyaan yang disusun secara acak; (3) keadaan pada saat pertanyaan diajukan dapat mempengaruhi jawaban, misal-nya waktu menjawab yang sempit; dan (4) sangat tergantung pada kemampuan pem-baca.
21
Selain cara-cara yang telah dikemukakan di atas, cara lain untuk mengestimasi tingkat keterbacaan suatu bacaan dapat dilakukan melalui cara yang disebut dengan Informal Reading Inventory (IRI) dan cloze test. IRI biasanya terdiri atas sebuah wacana singkat yang diikuti dengan beberapa pertanyaan pemahaman berupa pilihan berganda. Butir-butir soal yang diutamakan ialah soal yang menyangkut hal-hal yang bersifat faktual dan inferensial. Soal-soal yang bersifat faktual ialah soal yang jawaban-nya diperoleh secara langsung dari informasi yang ada dalam wacana sedangkan soal-soal yang bersifat inferensial dimaksudkan untuk mengestimasi tingkat kesulitan yang bersifat implisit (McNeil, Donant, dan Alkin, 1980:257-258; Singer dan Donlan, 1980: 189-190; dan Tallei, 1988:85). Teknik cloze diperkenalkan oleh Taylor pada tahun 1953 (Farr & Rosser, 1978:71). Kata cloze berasal dari kata clozure, sebuah istilah psikologi Gestalt yang dipakai untuk menjelaskan kecenderungan orang untuk menyelesaikan suatu pola yang secara mental tidak lengkap, menjadi suatu kesatuan yang bulat (Hafni, 1981:23). Taylor kemudian menamakannya dengan cloze procedure. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa: The cloze procedure as a method of intercepting a massage from tansmitter (writer or speaker), multilating it’s language patterns by deleting parts, and so administering it to receivers (readers and listeners) that their attempts to make patterns whole again yield a considerable number of cloze units. Prosedur klos atau (biasa pula disebut teknik klos) merupakan suatu metode untuk menangkap berita dari sumbernya (penulis atau penutur), mengubah pola bahasa dengan jalan menghapus atau melesapkan bagian-bagiannya, kemudian menyampaikannya kepada penerima (pembaca atau penyimak) lalu pembaca atau penerima menyempurnakan (bagian-bagian yang dilesapkan) menjadi pola-pola yang sempurna dan menimbulkan unit-unit klos yang sangat banyak jumlahnya. Teknik cloze disebut juga tes integratif, yang menurut Oller (Brown, 1980:217-218) lebih baik daripada soal-soal pilihan ganda yang disebutnya butir diskrit. Oller menyebutkan bahwa kompetensi bahasa adalah global yang membutuhkan integrasi bagi pemakaian pragmatiknya dalam dunia nyata. Tes semacam ini disebut juga oleh Rebecca (Alatis, Altman, dan Alatis, Eds., 1981:171) sebagai tes penguasaan bahasa se-cara global karena dalam tes semacam itu terlibat lebih dari satu keterampilan berbahasa. Menurut Oller (1979:357) teknik cloze merupakan jenis tes yang sensitif untuk menguji pemahaman membaca. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa manfaat teknik cloze adalah (1) untuk mengukur tingkat kesulitan teks; (2) untuk mengukur kemampu-an dwibahasawan (rating bilinguals); (3) untuk meramalkan (estimating) tingkat pe-mahaman membaca; (4) untuk menelaah kendalakendala dalam teks; dan (5) untuk mengevaluasi efektivitas mengajar (Oller, 1979:340-363). Dalam tes seperti itu, tiap kata ke-n dalam sebuah wacana dihapus dan harus ditemukan sendiri oleh para peserta tes (McNeil, Donant, dan Alkin, 1980:260-163; Singer dan Donlan, 1980:184-186). Makin kecil n tersebut, makin sukarlah tes itu. Oller (1979:364) menyarankan agar jumlah kata yang dihapus (dilesapkan) kurang lebih 50 kata. Bila n sama dengan 5, maka teks itu akan terdiri atas kurang lebih 250 kata. Oleh karena itu, teks yang kurang dari 250 kata kurang sesuai bila diuji dengan teknik cloze. Dengan kata lain, sebuah wacana yang sama yang diberikan kepada kelompok peserta tes akan berbeda tingkat keterbacaannya jika n-nya tidak sama. Penyekoran teknik cloze ada dua macam, yakni teknik tepat-kata dan teknik tepat-konteks (Oller, 1979:367-368). Bila teknik tepat-kata yang digunakan, maka jawaban yang dianggap benar hanya jawaban yang persis sama dengan teks aslinya. Bila teknik tepat-konteks yang digunakan, maka jawaban yang dianggap benar bervariasi, dengan syarat masih sesuai konteksnya atau tidak memiliki makna yang berbeda. Dengan kata lain, pengisian kata dengan sinonim dari kata yang dihilangkan diperbolehkan asal tidak mengubah makna. Kedua teknik tersebut berkorelasi tinggi (0.99). Artinya, kedua-duanya bisa digunakan sesuai dengan keinginan penguji. Namun, teknik tepat-kata lebih banyak di-gunakan daripada teknik tepatkonteks karena mudah dalam penyekorannya, sedangkan teknik tepat-konteks memerlukan pembobotan terhadap jawaban yang diberikan oleh yang diuji (testee).
22
Untuk menentukan suatu wacana itu memiliki tingkat keterbacaan tertentu, para ahli telah menyusun kriterianya. Bets (Harris & Sipay, 1980:182) mengusulkan kriteria penilaian hasil tes cloze sebagai berikut: (1) tingkat independen (2) tingkat instruksional (3) tingkat frustasi
: rata-rata skor tes > 90% : rata-rata skor tes 79% : rata-rata skor tes < 50%.
Anderson (Oller, 1979:351) mengusulkan kriteria penilaian hasil tes cloze sebagai berikut: (1) tingkat independen (2) tingkat instruksional (3) tingkat frustasi
: rata-rata skor tes > 53% : rata-rata skor tes 44 - 53% : rata-rata skor tes < 44%.
Rankin dan Culhans (Muchlan, 1991:192) mengusulkan kriteria penilaian hasil tes cloze sebagai berikut: (1) tingkat independen (2) tingkat instruksional (3) tingkat frustasi
: rata-rata skor tes > 60% : rata-rata skor tes 41-60% : rata-rata skor tes < 40%.
Keterangan: - Tingkat independen diartikan sebagai tingkat keterbacaan yang mudah; - Tingkat instruksional diartikan sebagai tingkat keterbacaan yang sedang; dan - Tingkat frustasi diartikan sebagai tingkat keterbacaan yang sulit. Kriteria yang dipilih untuk menafsirkan tingkat keterbacaan adalah kriteria yang dikemukakan Rankin dan Culhans. Alasannya, dalam teori-teori tes atau evaluasi, tingkat keberhasilan minimal ditentukan sebesar 60% kemampuan peserta tes men-jawab secara benar. Kedua tipe tersebut pada dasarnya sejalan dengan tujuan utama penelitian tentang keterbacaan yang dikemukakan Chall (1984:236). Menurutnya tujuan tersebut mencakup (1) untuk memahami apa yang membuat teks mudah atau sukar untuk dibaca dan dipahami dan (2) untuk menggunakan pengetahuan ini agar dapat mempengaruhi kesesuaian yang optimal antara pembaca dengan teks. C.
Buku dan Budaya Baca
Menurut Mochtar Lubis (Lubis, 1999:vii) buku merupakan senjata yang kukuh dan berdaya hebat untuk melakukan serangan maupun pertahanan terhadap perubahan sosial, termasuk perubahan dalam nilai-nilai manusia dan kemasyarakatan. Inilah pergulatan yang harus dilakukan, yakni pergulatan untuk menegakkan nilai-nilai. Nilai-nilai ini haruslah tumbuh dalam diri anggota-anggota masyarakat kita. Bagaimana manusia merdeka itu seharusnya memikirkan nasib manusia lain seperti dia memikirkan nasib sendiri dan hak-hak kemanusiaan dirinya. Ia meyakini bahwa buku dapat menjalankan peran mahapenting ini. Bagaimana agar peran itu dapat dijalankan? Menurut Suryaman (2007), ada suatu persyaratan yang harus diikuti, yakni tumbuhnya budaya baca-tulis masyarakat. Budaya baca-tulis akan menjadi fondasi bagi terbentuknya masyarakat membaca, masyarakat belajar, dan masyarakat berpengetahuan. Masyarakat demikian akan selalu melakukan perubahan ke arah peningkatan kesejahteraan, keadilan, kemanusiaan, dan spiritual keagamaan. Pada saat seperti inilah buku amat diperlukan. Artinya, perubahan akan terjadi jika masyarakatnya cerdas. Dengan demikian, buku berfungsi sebagai sumber pencerdasan. Selain menjadi sumber pencerdasan, menurut Suryaman (2007) lebih lanjut, buku juga merupakan sumber pengetahuan dan hiburan. Pengetahuan dan hiburan ini sangat dibutuhkan oleh manusia dari berbagai kalangan tanpa batasan usia dan tingkatan sosial. Kebutuhan manusia akan
23
pengetahuan dan hiburan terus berkembang setiap saat. Dengan demikian, kebutuhan buku pun selalu berkembang seiring dengan perkembangan pengetahuan dan hiburan tersebut. Hal itu memungkinkan dipandang dari segi budaya bahwa buku dapat memiliki tiga fungsi yang saling berkaitan tetapi tetap berbeda (Kleden, 1999:22-47). Pertama, buku dapat dipandang sebagai produk budaya (cultural product), yakni sebuah benda yang menjadi perwujudan fisik dari pikiran, perasaan, dan pengalaman manusia. Buku dapatlah dibandingkan dengan meja, kursi, mobil, sepatu, atau benda-benda lainnya. Kedua, buku dapat dilihat juga dipandang sebagai bagian dari suatu tingkah laku budaya (cultural behavior), baik dipandang dari sudut pembaca maupun penulis. Artinya, seorang pembaca akan terbiasa mencari informasi, menambah pengetahuan, melakukan pengecekan pengetahuannya, atau mencari hiburan dan kesenangan dengan membaca buku-buku dan kemudian mengikatnya ke dalam wujud lambang-lambang verbal. Ketiga, buku tidak hanya dipandang sebagai produk budaya atau tingkah laku budaya, tetapi juga proses memproduksi budaya (cultural production). Prosesnya mencakup penciptaan bahasan (material production) dan penciptaan lambang (symbolic production). Perwujudan dari proses ini adalah menulis, terutama menulis buku. Menulis buku adalah membekukan dan membakukan pikiran dan perasaan secara fisik dalam aksara. Berdasarkan pemetaan Kleden, dapatlah ditarik simpulan bahwa tahapan-tahapan di dalam pengembangan sastra anak adalah menumbuhkan keinginan pada anak-anak untuk memiliki buku. Keinginan ini sejajar dengan keinginan untuk membeli mainan, pakaian, dan sebagainya. Kedua, menumbuhkan keinginan pada anak-anak untuk terus mencari informasi, pengetahuan, dan hiburan melalui buku. Ketiga, mengembangkan pola pendidikan yang efektif agar anak-anak terdorong untuk menuliskan informasi, pengetahuan, serta hiburannya ke dalam buku. Mari kita tengok tentang budaya baca dan tulis. Jumlah buku masih menjadi masalah yang belum teratasi di Indonesia. UNESCO menetapkan parameter menyangkut jumlah buku yang diterbitkan per satu juta orang penduduk suatu negara dibandingkan dengan keseluruhan jumlah penduduk. Angka rata-rata judul buku baru per satu juta orang adalah 55 judul untuk negara berkembang dan 513 judul untuk negara maju (Damian, 2005:163). Jika dikaitkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang telah mencapai kurang-lebih 250 juta jiwa, seharusnya telah tersedia buku baru sebanyak 13750 judul. Namun, data terbaru dari IKAPI tahun 2005 judul buku baru yang terbit baru mencapai 6000 judul. Artinya, di Indonesia hanya ada 24 judul buku baru untuk setiap satu juta penduduk atau kurang dari separuh parameter UNESCO. Selain masih kurangnya judul buku baru, masalah yang dihadapi adalah oplah buku per judul buku baru. Rendahnya daya beli menyebabkan penerbit tidak berani untuk mencetak sebuah buku dengan oplah yang banyak. Padahal, semakin banyak oplah, harga sebuah buku akan semakin murah. Faktor lain adalah kondisi sosial-ekonomi masyarakat, seperti krisis ekonomi, minat baca, minat buku, perkembangan elektronik (televisi dan video game), kesesuaian buku dengan pembaca, dan sebagainya. Di samping itu, sikap masyarakat yang belum menjadikan buku sebagai kebutuhan pokok. Padahal, televisi sudah dijadikan kebutuhan pokok oleh semua kalangan seperti yang dilaporkan oleh Suryaman (2001). Tentang kesesuaian buku dapat dikemukakan bahwa buku yang cocok untuk pembaca tampaknya akan memunculkan minat baca. Hal ini terbukti dengan larisnya buku serial Lupus yang telah mencapai seri lima dalam waktu empat bulan (setiap seri buku tersebut rata-rata telah dicetak dan terjual habis sebanyak 70.000 eksemplar) (Kompas, 30 Maret 1988). Suatu jumlah yang tidak pernah dibayangkan oleh penerbitnya dan sekaligus suatu rekor dalam sejarah penerbitan buku di Indonesia. Larisnya buku tersebut menurut Kompas karena bahasanya yang spontan, keluar dari kaidah bahasa yang baku yang bisa ditafsirkan sebagai antitesis dominasi ahli bahasa, ringan, lucu, dan tidak tematis. Ungkapan-ungkapannya, latarnya, dan pemakaian bahasanya yang bercampur dengan bahasa pergaulan (dialek) adalah khas dunia remaja. Pola laku pengunjung perpustakaan, baik di lembaga pendidikan maupun umum, tampak dari hasil Pertemuan Pustakawan Internasional di Lembang pada tanggal 5 April 1995 di ASEAN. Penduduk Singapura sudah lebih maju dalam kebiasaan mengunjungi perpustakaan. Sebesar (13%) populasi warganya adalah pengunjung perpustakaan. Penduduk Malaysia yang biasa mengunjungi
24
perpustakaan sebesar 3%. Penduduk Indonesia yang biasa mengunjungi perpustakaan baru 1% (Parera, 1995:130). Hasil pemetaan yang dilakukan dari diskusi redaksi Horison tahun 1995 dikemukakan oleh Taufik Ismail (2003). Terdapat 35 problematika membaca sastra di Indonesia. Dari sejumlah itu, paling tidak ada tujuh hal yang mendasar jika dikaitkan dengan membaca sastra di sekolah. Ketujuh hal tersebut adalah merosotnya minat masyarakat membaca karya sastra, rendahnya tiras buku sastra, sepinya ulasan dan kritik sastra, lambatnya proses desentralisasi kegiatan sastra, kurang adanya penyelenggaraan sayembara penulisan sastra, terbatasnya minat televisi menggunakan karya sastra sebagai bahan pembuatan sinetron, dan merosotnya wajib membaca buku sastra, bimbingan mengarang, dan pengajaran sastra di sekolah. Menurut Taufik, problematika tersebut telah menjadi epidemi yang tidak pernah diobati. Penyebab paling mendasar adalah butir ketujuh, yakni merosotnya wajib membaca buku sastra, bimbingan mengarang, dan pengajaran sastra di sekolah. Hal ini terbukti dari data bahwa bahwa terjadinya penurunan standar membaca buku sastra dari 25 buku dalam tiga tahun di AMS Hindia Belanda menjadi 0 buku dalam tiga tahun di SMU kini. Padahal, 63 tahun yang lalu mutu bacaan buku sastra dan bimbingan mengarang siswa AMS Indonesia tak berbeda banyak dengan mutu siswa SMU Amerika Serikat, Canada, Jepang, Belanda, Perancis, Jerman Barat, Rusia, dan Swiss. Pada tahun 1997, Taufik Ismail melakukan penelitian terhadap tamatan SMU di 13 negara. Hal yang diteliti adalah kewajiban membaca buku sastra, bimbingan menulis, dan pengajaran sastra di tempat mereka sekolah. Dasar penelitian adalah buku wajib yang tercantum dalam kurikulum dan ketersediaan buku sastra di perpustakaan sekolah. Berikut ini adalah data hasil tersebut.
25
No.
Tabel Kewajiban Membaca Buku Sastra, Bimbingan Menulis, dan Pengajaran Sastra di Dunia Buku Asal Sekolah Nama SMU/Kota Wajib
Tahun
1.
SMU Thailand Selatan
5 judul
Narathiwat
1986-1991
2.
SMU Malaysia
6 judul
Kuala Kangsar
1976-1980
3.
SMU Singapura
6 judul
Stamford College
1982-1983
4.
SMU Brunei Darussalam
7 judul
SMU Melayu I
1966-1969
5.
SMU Rusia Soviet
12 judul
Uva
1980-an
6.
SMU Canada
13 judul
Canterbury
1992-1994
7.
SMU Jepang
15 judul
Urawa
1969-1972
8.
SMU Internasional Swiss
15 judul
Jenewa
1991-1994
9.
SMU Jerman Barat
22 judul
Wanne-Eickel
1966-1975
10.
SMU Perancis
30 judul
Pontoise
1967-1970
11.
SMU Belanda
30 judul
Middleburg
1970-1973
12.
SMU Amerika Serikat
32 judul
Forest Hills
1987-1989
13.
SMU Hindia Belanda-A
25 judul
Yogyakarta
1939-1942
14.
AMS Hindia Belanda-B
15 judul
Malang
1929-1932
15.
SMU Indonesia
Di mana saja
1943-2003
0 judul
(Sumber: Taufiq Ismail, 2003:8).
Telah disepakati hampir oleh semua bangsa yang berperadaban maju bahwa membaca menjadi fondasi bagi bangkitnya peradaban bangsa itu. Menurut Barbara Tuchman (Kaplan dan Robinowitz, 2001) bahwa buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh, pemikiran macet. Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, mercusuar seperti kata seorang penyair yang dipancangkan di samudera waktu. Seperti dibuktikan oleh Taufik Ismail (2003) bahwa generasi siswa MULO-AMS yang bercelana pendek di tahun 20-an, 30-an, dan 40-an itu bernama antara lain Soekarno, Hatta, Agus Salim, Muhammad Natsir, Sjahrir, Djuanda, Wilopo, Kasimo, Yamin, Prawoto Mangkusasmito, Ruslan Abdulgani, Sjafruddin Prawiranegara, Tan Malaka, Rosihan Anwar. Mereka mulai banyak membaca di MULO-AMS dan mayoritas dari mereka kelak kemudian berkemampuan tinggi menuliskan pikiran mereka, sebagai panen buah latihan mengarang di sekolah dahulu. Buku dan esei, seperti anak sungai, terbit dan mengalir dari tangan mereka. Berikut ini ilustrasi tentang proses membaca yang dilakukan siswa pada 1210 SMP dan SMA di Amerika dilaporkan oleh Applebee (1993).
26
Tabel Jumlah Halaman Buku Dibaca Siswa SMP dan SMA di Amerika Serikat Kelas
Membaca per Minggu
Membaca per Tahun
7 – 8 SMP
30 halaman
1080 halaman
9 SMP dan 10 SMA
32 halaman
1152 halaman
11 – 12 SMA
51 halaman
1836 halaman
Jumlah
113 halaman
4068 halaman
Berdasarkan tabel tersebut, siswa SMP di Amerika selama tiga tahun telah membaca 3312 halaman dan siswa SMA sepanjang tiga tahun telah membaca 4824 halaman. Artinya, seorang siswa yang telah menamatkan SMP dan SMA selama enam tahun, mereka sudah terlatih membaca sebanyak 24408 halaman. Kondisi demikian tentu memberi harapan yang kuat akan keberhasilan studi mereka di perguruan tinggi kelak. Hal ini baru gambaran membaca buku sastra wajib. Belum lagi kegiatan membaca buku lain, seperti sejarah, ekonomi, PPKn, dan lain-lain (Ismail, 2003). Kondisi ini diperburuk dengan budaya baca yang belum tumbuh. Rata-rata penduduk Indonesia lebih disibukkan oleh budaya lihat, yakni sebesar 74% menonton televisi dengan rata-rata per hari 3,7 jam. Berdasarkan hasil survey SRI (Dumais, 1995) angka ini paling tinggi di Asia dengan perbandingan Filipina 3,6; Australia 3,2; Hongkong 3,1; Singapura 2,4; Malaysia 2,2; Korea Selatan 2,2; Taiwan 2,1; dan Thailand 1,9 jam per hari. Artinya, di satu sisi masalah ekonomi menjadi alasan untuk tidak membeli buku, di sisi lain kebutuhan akan buku belum tercipta. Kedua variabel ini dukung-mendukung bagi melemahnya daya beli dan budaya baca masyarakat pengguna. Budaya baca yang belum tumbuh berdampak kepada rendahnya kebutuhan dasar akan buku. Sebagai contoh, hasil Litbang Kompas (Litbang Kompas, 2005) tentang jumlah dana yang digunakan untuk membeli buku tampak bahwa sebagian besar (88%) responden tidak menyediakan dana untuk membeli buku. Hanya sebagian kecil responden (12%) yang menyediakan dana kurang dari Rp100.000 per bulan untuk membeli buku. Dengan demikian, membeli buku tampaknya masih belum merupakan prioritas bagi sebagian besar responden. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau sedikit sekali dari responden (14,3%) yang memiliki perpustakaan pribadi di rumah dan bahkan menjadi anggota perpustakaan pun jumlahnya sedikit (23%). Keadaan industri perbukuan di Indonesia dalam laporan UNESCO tahun 1993 hanya terbit sebesar 0,0009% dari total penduduknya atau 9 judul buku baru per satu juta penduduk. Keadaan yang sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan rata-rata negara berkembang lainnya, yakni sebanyak 55 judul buku baru per satu juta penduduk, apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang mencapai 513 judul buku baru per satu juta penduduk. Keadaan potensi ekonomi dari industri perbukuan yang demikian besar di kalangan negaranegara industri kawasan Asia Pasifik belum dinikmati oleh industri perbukuan di Indonesia. Betapun Indonesia telah berkeinginan kuat untuk mencerdasakan dan menyejahterakan kehidupan bangsa seperti yang termaktub di dalam mukadimah UUD 1945. Namun, Indonesia masih mengalami kekurangan buku. Dengan sendirinya, kesejahteraan bangsa Indonesia pun dari industri perbukuan tidak dapat dinikmati.
27
D.
Bahan Bacaan
Sebuah bacaan biasanya mengandung lebih dari sebuah paragraf (Rusyana, 1984:210). Setiap paragraf membicarakan pokok paragraf. Antara pokok paragraf yang satu dengan yang lain terdapat hubungan. Pokok-pokok paragraf itu ternyata merujuk pada pokok yang lebih besar. Pokok paragraf itu merupakan bagian dari pokok yang lebih besar itu. Pokok yang lebih besar itu adalah pokok karangan itu, yaitu isi karangan yang dibicarakan dalam semua paragraf pada karangan itu. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam bacaan paling tidak terdapat dua hal pokok, yakni penggunaan bahasa dan pokok pembicaraan. Di samping itu, bila ditelusuri lebih lanjut, akan tampak pula bahwa bacaan satu dengan bacaan lainnya memiliki susunan yang berbeda. Menurut Rusyana (1984:135, 210) terdapat bacaan atau karangan berjenis kisahan, deskripsi, percakapan, bahasan, dan alasan. Dalam bacaan kisahan terdapat peristiwa yang mengandung pelaku, perilaku, dan latar. Dari segi keterjadiannya dalam ruang dan waktu, kisahan dibedakan atas yang faktual dan rekaan. Dalam bacaan deskripsi terdapat lukisan tentang penginderaan, pikiran, perasaan, dan khayal. Deskripsi pun dapat dibedakan menjadi yang faktual dan yang rekaan. Dalam bacaan percakapan terdapat kalimat-kalimat langsung para pelaku. Dalam bacaan bahasan terdapat penjelasan, penguraian, pembandingan, penafsiran, percontohan, dan penilaian terhadap suatu pokok. Dalam bacaan alasan terdapat alasan-alasan untuk membuktikan sesuatu. Jenisjenis karangan itu dalam penggunaannya tidaklah terpisah benar-benar sebab adakalanya digunakan sekaligus. Akan tetapi, secara keseluruhan biasanya kita dapat membedakan apakah bacaan itu cerita ataukah bahasan, atau jenis lainnya. Bacaan dapat pula dibedakan dari susunan barisnya, lebih jauh dari susunan bunyi dan iramanya, menjadi prosa dan puisi. Menurut fungsinya bacaan dapat dibedakan atas bacaan yang digunakan untuk menyampaikan informasi faktual dan bacaan yang digunakan untuk menyampaikan reka cipta (Rusyana, 1984:211). Biasanya bacaan yang berisi informasi menggunakan jenis-jenis bahasan, alasan, deskripsi faktual, dan kisahan faktual dalam susunan prosa. Sedangkan bacaan yang berisi reka cipta menggunakan jenis deskripsi rekaan dan kisahan rekaan dalam susunan puisi. Perbedaan tersebut menimbulkan perbedaan dalam penggunaan bahasa. Dalam bacaan informasi, lebih-lebih yang berupa karangan keilmuan, bahasa digunakan secara informatif seperti tampak pada penggunaan kata yang referensial atau denotatif, yaitu merujuk langsung pada yang dimaksud, lebih-lebih yang berupa istilah, dan dalam penggunaan bahasa yang menuju ke arah yang abstrak. Sedangkan pada bacaan rekaan, lebih-lebih dalam sastra yang berupa puisi, kata-kata digunakan untuk ekspresi, bersifat konotatif sehingga mengandung arti rangkap. Sehubungan dengan bacaan di sekolah, bahan bacaan dapat dibedakan ke dalam bacaan bahasan yang berisi pelajaran dan bacaan lainnya yang berupa bacaan kisahan, drama, dan puisi. E.
Kemahiran Berbahasa Pembaca
Setiap pembaca juga harus mempunyai kemahiran berbahasa tertentu (Rusyana, 1984:208). Untuk menjadi pembaca yang baik, diperlukan penguasaan perbendaharaan kata yang beragam, luas, dan cermat; pemahaman kalimat yang merefleksikan makna tertentu; serta pemahaman pikiran, perasaan, dan khayal yang terkandung pada setiap paragraf dan pada wacana keseluruhannya. Akan tetapi, kemahiran itu bersifat dependen (tergantung) pada keberadaan si pembaca itu sendiri, apakah dia sebagai pembaca anak-anak, dewasa, atau orang tua; apakah dia sebagai pembaca anak SD, SLTP, SLTA, atau mahasiswa; dan sebagainya. Dengan kata lain, kemahiran berbahasa akan sangat tergantung pada perkembangan usia pembaca. Oleh karena itu, ukuran kemahiran berbahasa harus didasarkan pada tingkat usia mereka. Dalam pandangan pembelajaran bahasa termutakhir, kemahiran berbahasa akan tercapai manakala memperhatikan kompetensi komunikatif. Membaca merupakan bagi-an dari kemahiran berbahasa, yang juga sebagai wujud komunikasi antara pembaca dengan bacaan (mewakili penulis). Oleh karena itu, kompetensi komunikatif menjadi sesuatu yang mendasar bagi keberhasilan seseorang dalam membaca.
28
Kompetensi komunikatif merupakan suatu sistem mendasar dari pengetahuan dan keterampilan yang menjadu syarat komunikasi, misalnya pengetahuan kosakata dan keterampilan dalam menggunakan konvensi sosiolinguistik untuk bahasa tertentu (Canala dalam Richards dan Schidt, [peny.], 1984:5). Kompetensi ini meliputi ke-mampuan menggunakan bentuk-bentuk linguistik untuk menunjukkan tindak komuni-katif dan untuk memahami fungsi komunikatif dari kalimat kaitannya dengan kalimat lain (Munby, 1978:28). Dua komponen dari empat komponen kompetensi komunikatif adalah kompetensi gramatikal dan kompetensi wacana (Canala dalam Richards dan Schidt, [peny.], 1984:7). Kompetensi gramatikal berhubungan erat dengan penguasaan sandi bahasa, baik secara verbal maupun nonverbal. Hal yang tercakup di dalamnya adalah ciri dan kaidah bahasa seperti kosakata, pembentukan kata, pembentukan kalimat, ejaan, ucap-an, dan semantik. Kompetensi ini secara langsung terfokus pada pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk memahami dan mengekspresikan secara tepat makna harafiah ucapan-ucapan (tulisan, pen.). Hal-hal yang tercakup ke dalam kompetensi gramatikal adalah fonologi, ortografi, kosakata, pembentukan kata, dan pembentukan kalimat. Kompetensi wacana berkaitan dengan penguasaan menggabungkan bentuk-bentuk dan maknamakna gramatikal untuk mencapai teks lisan atau tulisan yang terpadu dalam berbagai genre (narasi lisan dan tulisan, esei argumentatif, laporan ilmiah, surat bisnis, dan lain-lain). Kesatuan suatu teks diperoleh melalui kohesi dalam bentuk dan koherensi dalam makna tertentu (Canala dalam Richards dan Schidt, [peny.], 1984:23-24). Pengalaman pembaca juga berpengaruh terhadap kemampuan memahami bacaan. Pada saat membaca, rangsangan bacaan menyebabkan terpanggilnya makna yang berasal dari pengalamannya, seperti dikemukakan oleh Harrison (Rusyana (1984:208) bahwa seseorang membaca dengan sesuatu yang telah dialaminya. Untuk dapat mem-baca dengan baik, seseorang harus mempunyai bidang konsep-konsep yang luas yang berguna untuk menyusun makna yang seksama dan lengkap, yang ada dalam peng-alamannya (Rusyana, 1984:208). Dalam pandangan ahli psikologi dan pendidikan, yakni David P. Ausubel (Biehler, 1978:297 dan Hamied, 1995:89), yang telah melakukan eksperimen untuk menunjuk-kan perlunya advance organizers dalam pembelajaran dan penyimpanan bahan verbal yang bermakna, pengalaman atau gagasan yang telah diketahui “merasuk” atau “mengakar” ke dalam proposisi baru dalam teks. Hal ini akan terjadi secara efektif hanya manakala gagasan yang ada itu stabil, jelas, terbedakan dari gagasan lain, dan berkaitan langsung dengan proposisi yang harus dipahami itu. Artinya, pembaca harus menyadari aspek mana dari pengetahuan yang telah dimiliki itu bertemali dengan pengetahuan yang tertera di dalam teks. Terkadang kebertemaliannya cukup jelas dan terkadang tidak. Manakala kedua kondisi ini tidak ada atau pengetahuan yang diperoleh dari si pembaca itu kurang mantap, “pengorganisasian awal (advance organizers)” bisa diberikan. Pengorganisasi awal adalah pernyataan yang secara sengaja dimunculkan sebelum teks dan dimaksudkan untuk memberikan jembatan konseptual antara sesuatu yang telah diketahui oleh pembaca dan proposisi dalam teks yang diharapkan dapat dipahami dan dipelajari si pembaca. Sekalipun tidak menyebutnya dengan skema, teori yang dikemukakan Ausubel itu sebenarnya tergolong ke dalam teori skema dalam perkembangan teori berikutnya. Hal ini didasarkan pada penekanan akan pentingnya kaitan antara sesuatu yang dimiliki si pembaca dengan sesuatu yang akan dipelajarinya. Penekanan ini jelas menunjukkan betapa pentingnya skema dalam pemahaman wacana. Penelitian Ausubel dan juga penelitian dari orang-orang yang terinspirasi olehnya telah memberikan indikasi yang jelas bahwa pengorganisasian awal itu mempunyai dampak fasilitatif dalam pemahaman. Dalam cakrawala pendidikan, pandangan-pandangan yang mirip dengan teori skema telah mendorong munculnya konsepsi-konsepsi yang berhubungan dengan kegiatan membaca (Hamied, 1995:90). Kesimpulan Huey, misalnya, yang dikutip Anderson & Pearson (1988) tentang apakah kita itu membaca huruf demi huruf atau dalam bongkah yang lebih besar, menyatakan bahwa: So it is clear that the larger the omount read during a reading pause, the more inevitably must the reading be by suggestion and inference from clews of whatsoever kind, internal or external. In reading, the
29
deficient picture is filled in, retouched, by the mind, and the page is thus made to present the familiar appearance of completeness in its details which we suppose to exist in the actual page. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa sesuatu yang dimiliki pembaca itu akan mengisi rongga-rongga di antara informasi yang ditawarkan wacana yang dibacanya. Sesuatu yang diharapkan ada dalam bacaan itu akan memberi warna pada pemahaman si pembaca akan bacaan itu. Oleh karena itu, dalam keseluruhan upaya pendidikan, terutama jika melihat signifikansi temuan Ausubel tentang advance organizer, pembentukan struktur pengetahuan melalui berbagai bentuk pengalaman yang harus dilalui anak didik menjadi prasyarat bagi membaca, yang selanjutnya membaca men-jadi prasyarat bagi keseluruhan perkembangan kualitas kemampuan manusia dalam memanfaatkan dan memindahkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Secara implisit terungkap pula bahwa tatkala seseorang membaca, ia mencoba membentuk pola gagasan-gagasan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang telah dimilikinya (Hamied, 1995:91). Wacana yang dibacanya hanyalah perangsang ke arah pembentukan gagasan-gagasan itu. Jika rangsangan yang ditampilkan dalam tulisan itu merupakan sesuatu yang baru bagi si pembaca, kegiatan membaca menjadi upaya pemecahan masalah dan bukan lagi sekedar upaya mengaitkan secara sederhana unsur-unsur yang ada dalam bahan bacaan itu. Kenneth Goodman (Hamied, 1995:91) merupakan tokoh yang menonjol dalam melihat pemrosesan informasi, khususnya kegiatan membaca, dari sisi pandang psikolinguistik. Membaca itu sama sekali bukan proses yang pasif. Membaca itu merupakan proses aktif. Dalam model makro yang ditampilkan, Goodman menempatkan membaca itu dalam konteks pemrosesan informasi yang lebih luas dan bersifat komunikatif yang ditandai dengan pencarian makna. Dengan tidak mengesampingkan aspek sosiolinguistik, yakni bahwa bahasa beroperasi dalam konteks sosial, ia menyuguhkan aspek-aspek psikolinguistik dari membaca, khususnya yang bertemali dengan pertanyaan bagaimana bahasa saling berinteraksi dengan pikiran. Goodman (Hamied, 1995:92) memandang membaca sebagai proses psikolinguistik. Dalam artian, ia bermula dari represenstasi permukaan bahasa yang dikodekan oleh si penulis dan berakhir dengan makna yang dikonstruksi oleh si pembaca. Penulis mengkodekan pikiran dalam bentuk bahasa dan pembaca mengawakodekan bahasa ke dalam pikirannya. Menurutnya pembaca yang mahir adalah pembaca yang efektif dan efisien. Ini berarti bahwa pembaca mahir itu efektif dalam mengkonstruksikan makna yang sesuai dengan makna semula dari si penulisnya dan efisien dalam arti memanfaatkan waktu sesedikit mungkin untuk memperoleh keefektivan. Selanjutnya Goodman menyimpulkan bahwa kemahiran pembaca itu merupakan variabel yang tergantung pada latar belakang semantik yang dibawanya tatkala ia menghadapi bacaannya. Dalam hal pengetahuan latar belakang, Coady (Carrell & Eisterhold, 1988:75) menyatakan bahwa: Backgorund knowledge becomes an important variable when we notice, as many have, that students with a Western background of some kind learn English faster, on the average, than those without such a background. Artinya, pengetahuan latar belakang menjadi suatu variabel penting manakala kita mencatat bahwa siswa-siswa dengan latar belakang Barat pada beberapa jenis pembelajaran bahasa Inggris lebih cepat daripada tanpa suatu pengetahuan latar belakang. Coady (Carrell & Eisterhold, 1988:75) juga mengetengahkan bahwa pengetahuan latar belakang mungkin mampu menggantikan kelemahan sintaktis tertentu: The subject of reading materials should be of high interest and relate well to the background of the reader, since strong semantic input can help compensate when syntactic control is weak. Pokok materi bacaan harus mendapat perhatian yang tinggi dan dihubungkan dengan latar belakang pengetahuan pembaca, selama input semantik itu kuat dapat membantu menggantikannya manakala kontrol sintaktik lemah. The interest and background knowledge will enable the student to comprehend at a reasonable rate and keep him involved in the material in spite of its syntactic difficulty. Perhatian dan latar belakang pengetahuan akan memungkinkan siswa untuk memahami hal yang masuk akal dan menangkap yang tercakup dalam materi meskipun sintaktiknya sulit. Dari penjelasan tersebut dapat dikemukakan bahwa pengetahuan yang telah dimiliki itu disebut pengetahuan latar belakang (background knowledge), dan struktur-struktur dari pengetahuan yang
30
telah dimiliki itu disebut skema. Menurut teori skema memahami sebuah teks merupakan proses interaktif antara pengetahuan latar belakang dari si pembaca dengan teks itu sendiri. Pemahaman yang efisien mensyaratkan kemampuan untuk mengaitkan bahan tekstual kepada pengetahuan itu sendiri. Memahami kata, kalimat, dan keseluruhan teks melibatkan lebih dari sekedar pengetahuan kebahasaan seseorang. Menurut Anderson (Hamied, 1995:98) setiap tindakan pemahaman melibatkan pengetahuan orang tersebut tentang dunianya. Istilah skema digunakan pula oleh Piaget (Barry, 1977) untuk menjelaskan perkembangan intelektual anak. Skema diartikannya sebagai pengetahuan yang sudah ada pada anak. Ia memberikan contoh tentang seorang anak kecil dari kota yang diajak berjalan-jalan oleh ayahnya ke suatu desa. Ia melihat seekor sapi di ladang. Kemudian anak itu berkata: “Ayah, lihat, itu ada anjing besar”. Pengambilan kesimpulan “anjing besar” ternyata didasarkan atas pengetahuan awal anak tentang anjing namun pengetahuan anak tentang sapi belum dikenalnya. Di sini anak mencoba menempatkan stimulus yang baru (sapi) pada pengetahuan awalnya. Stimulus baru itu kira-kira mirip dengan seekor anjing (yang sudah ia kenal) sehingga ia mengidentifikasikan objek tersebut sebagai seekor anjing. Si anak belum mampu membedakan antara sapi dengan anjing tetapi sudah mampu melihat kesamaannya. Skema dengan demikian merupakan abstraksi pengalaman yang secara konstan mengalami pemantapan sesuai dengan informasi baru yang diperoleh. Semakin banyak pengalaman, semakin bertambah pula penyempurnaan skema seseorang. Para pakar teori skema memastikan bahwa latar belakang pengalaman yang kaya akan sangat membantu keberhasilan belajar (Harjasujana, 1988:21). Pengalaman yang banyak itu bisa diperoleh dengan berbagai cara, di antaranya dengan jalan membaca. Semakin banyak seseorang membaca, akan semakin meningkat pula kemampuan membacanya. Hasil penelitian Yap (1978) mendukung pernyataan tersebut. Temuannya menunjukkan bahwa tingkat keterampilan membaca seseorang ditentukan oleh 65% banyaknya membaca. Oleh karena itu, penjelasan tentang pengalaman seseorang dalam kemampu-an membacanya dapat dijelaskan melalui teori skema. Pada umumnya penjelasan tentang teori skema dapat digolongkan ke dalam tiga model membaca, yakni (1) model membaca bawah-atas atau bottom-up (MMBA); (2) model membaca atasbawah atau top-down (MMAB); dan (3) model membaca timbal-balik atau interaction (MMTB) (Harjasujana, Mulyati, Nurhayatin, 1995:3.3; Abdi, 2000:46). Model pertama (MMBA) memandang bahwa struktur-struktur yang ada dalam teks itu dianggap sebagai unsur yang memainkan peran utama, sedangkan struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya merupakan hal sekunder. Pada MMBA pembaca mulai dengan pengenalan kata, menghubungkan kata dengan kata, frase dengan frase, kalimat dengan kalimat, paragraf dengan paragraf, dan diakhiri dengan keseluruhan teks. Hal ini sejalan dengan penjelasan perlunya penggambaran bacaan wacana dan tes penguasaan aspek bahasa dan organisasi karangan pada awal uraian di atas. Model kedua merupakan kebalikan dari model pertama, yakni struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya itu memainkan peranan utama sedangkan struktur-struktur yang ada dalam teks merupakan unsur sekunder. Struktur-struktur itu berupa pemahaman judul atau penafsiran judul, pemahaman konteks situasi wacana, dan diakhiri dengan pemahaman akhir. Model ketiga merupakan pengawinan dua model pertama. Model ini dicanangkan oleh Rumelhart (Harjasujana, Mulyati, Nurhatin, 1995:3.20). Dia beranggapan bahwa model-model terdahulu tidak memuaskan karena pada umumnya bertitik tolak pada formalisme model-model perhitungan linier. Model-model itu memiliki sifat-sifat berurut berlanjut, tidak interaktif. Pengikut paham MMTB meyakini bahwa pemahaman itu tergantung pada informasi grafis atau visual dan nonvisual atau yang ada dalam pikiran pembaca atau tergantung pada informasi linguistik dan nonlinguistik. Oleh karena itu, pemahaman bisa terganggu jika ada pengetahuan yang diperlukan untuk pemahaman tidak bisa digunakan karena pem-baca lupa atau mungkin karena pembaca terganggu skemanya. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengalaman seseorang (pembaca) akan menentukan kemampuan orang tersebut (pembaca) dalam memahami bacaannya. Dengan kata lain, kemampuan membaca akan ditentukan oleh derajat pengalaman seseorang (pembaca) tersebut.
31
Dalam proses membaca, hal yang tak kalah pentingnya adalah kegiatan membaca itu sendiri. Menurut Rusyana (1984:212) yang dimaksud dengan kegiatan adalah perbuatan yang dilakukan dengan sadar dan bertujuan. Membaca adalah proses pengenalan simbol-simbol yang berlaku sebagai perangsang untuk pemunculan dan penyusunan makna, disertai dengan penggunaan makna yang dihasilkan itu sesuai dengan tujuan pembaca, dan sebagai hasilnya adalah penerapan makna itu pada tujuannya (Harrison dalam Rusyana, 1984:212). Jadi, pada waktu membaca pembaca dituntut oleh tujuan membaca. Ia pun melakukan sesuatu terhadap isi bacaan itu, yaitu memilih cita yang sesuai dengan tujuan, dan menyusunnya menurut tujuan itu. Dengan tindakan itu makna yang diperoleh dari bacaan dimanfaatkan bersama dengan makna yang telah dimiliki oleh pembaca menjadi suatu susunan makna yang baru. Artinya, membaca bukan sekedar mengenal simbol-simbol, melainkan mengenal dan memahami makna-nya. Oleh karena itu, membaca pemahaman menjadi hal penting dalam kegiatan membaca. Kegiatan itu dilakukan dengan suatu cara, misalnya kegiatan membaca itu dilakukan secara senyap, yaitu pada waktu membaca dalam hati, atau secara nyaring. Cara ini dipilih sesuai dengan tujuan membaca, dan tentulah juga dengan jenis bacaan dan suasana. Faktor dorongan dan minat juga berpengaruh terhadap proses membaca. Setiap orang mempunyai kebutuhan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya itu, antara lain melalui kegiatan membaca. Bacaan yang dipilihnya adalah bacaan yang diminatinya, yaitu bacaan yang mempunyai hubungan atau kepentingan baginya. Minat yang berkenaan dengan bacaan terutama adalah minat sosial budaya, yang timbul sebagai hasil pendidikan. Minat jenis ini, yaitu minat yang luas dan mendalam terhadap hal-hal yang bermanfaat, merupakan ciri keterpelajaran seseorang (Whiterington, 1952:25,77 dan Rusyana, 1984:208). Sekalipun dorongan dan minat berpengaruh terhadap proses membaca, faktor ini juga akan dipengaruhi oleh hakikat, kualitas, dan sumber minat serta motivasi seseorang terhadap bacaan (Gilliland, 1972:22). F.
Pengukuran Kemampuan Membaca
Kemampuan memahami isi bacaan secara keseluruhan mencakup kemampuan menyerap informasi yang bukan saja mengenai apa yang disajikan akan tetapi juga mengapa hal itu disajikan (Tarigan, 1986:90). Oleh karena itu, pembaca dituntut untuk (a) memahami maksud penulis; (b) memahami organisasi dasar tulisan; dan (c) menilai sajian penulis. Langkah pertama yang harus dilakukan pembaca dalam membaca adalah menentukan serta memahami maksud dan tujuan penulis. Sebagian besar tulisan memenuhi salah satu dari empat tujuan umum wacana, yakni memberitahukan, meyakinkan, mengajak, mendesak, atau menghibur (Tarigan, 1986:91). Seorang pembaca harus berusaha mencari serta mendapatkan maksud dan tujuan tersebut. Agar hal tersebut tercapai, pembaca perlu melakukan beberapa hal berikut ini, yakni: (a) carilah suatu pernyataan mengenai maksud penulis pada paragraf pendahuluan atau pada paragraf penutup; (b) perhatikan secara baik cara penulis menentukan ruang lingkup pembicaraannya; (c) perhatikan cara penulis menentukan organisasi serta penyajian bahan. Jika yang dimaksudkan berupa pemberitahuan, penulis akan menampilkan pokok bahasannya selangsung dan senyata mungkin. Kalau maksudnya mengajak, mendesak, maka dia akan menatanya dalam suatu urutan atau susunan yang logis. Kalau maksudnya untuk meyakinkan, maka dia dapat menambahkan pada kedua yang pertama tadi suatu daya tarik bagi pembaca; dan (d) carilah dan dapatkan maksud-maksud yang tersirat, yang tersembunyi. Langkah berikutnya adalah memahami organisasi dasar tulisan. Pada umumnya suatu tulisan terdiri atas tiga organ dasar, yakni pendahuluan, isi, dan kesimpulan (Tarigan, 1986:94). Organ pendahuluan digunakan untuk memperkenalkan subjek atau pokok permasalahan yang akan diuraikan pada bagian isi. Organ isi digunakan untuk menyajikan, menguraikan, dan membahas pokok permasalahan yang telah dikemuka-kan pada organ pendahuluan. Hasil ini kemudian dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan. Organisasi tersebut pada kenyataannya tidak sesederhana itu. Pengarang kerapkali menyajikan persoalan secara implisit sehingga suatu persoalan tidak mudah dipahami secara langsung. Ia
32
memerlukan pembaca-pembaca yang kritis yang mampu mem-berdayakan skema yang telah ada dalam dirinya. Menurut Albert, et.al. (1961b:9-10) para pembaca yang teliti dan cermat, para pembaca yang bertanggung jawab, akan tetap waspada terhadap indikasi-indikasi yang eksplisit maupun yang implisit dari tema, maksud, ruang lingkup, dan organisasi umum penulis. Kerapkali pula para pembaca yang kurang berpengalaman gagal memanfaatkan dengan sebaik-baiknya bantuan yang beraneka ragam yang disajikan pengarang. Inilah langkah ketiga yang harus dilakukan pembaca agar bacaan yang dibacanya dipahami secara baik dan menyeluruh. Seperti telah dijelaskan di bagian awal bahwa kemampuan membaca dalam penelitian ini diartikan sebagai kemampuan untuk memahami informasi yang terkandung dalam materi cetak. Kemampuan ini oleh Williams (1984:2) dikatakan sebagai esensi membaca sehingga tanpa pemahaman kegiatan membaca belum terjadi. Kemampuan memahami tidak dapat dilihat, melainkan hanya dapat diuji. Dengan demikian, pemahaman hanya dapat diukur dengan mengajukan pertanyaan, baik secara lisan maupun secara tertulis. Harris (1969:59) mengemukakan bahwa kriteria pe-mahaman isi bacaan dapat diukur melalui pertanyaan tentang gagasan pokok. Kemampuan pembaca menjawab pertanyaan tersebut menjadi indikator tingkat pemahamannya. Tingkat pemahaman dalam membaca menurut Burns, Roe, dan Ross (1984:177) meliputi: a) pemahaman literal, b) pemahaman interpretatif, c) pemahaman kritikal, dan d) pemahaman kreatif. Ahli lain seperti Barret (Burnes dan Page, 1985:53) membagi tingkat pemahaman ke dalam: a) pemahaman literal, b) pemahaman inferensial, c) pemahaman kritikal, dan d) pemahaman apresiasi. Kedua ahli tersebut sama-sama membagi tingkat pemahaman membaca ke dalam empat bagian. Keempat bagian tersebut secara konseptual sama, hanya terdapat istilah istilah yang berbeda, yakni pemahaman interpretatif dengan pemahaman inferensial dan pemahaman kreatif dengan pemahaman apresiasi. Pemahaman literal adalah pemahaman terhadap bacaan dalam bentuk pengenalan sejumlah ide yang dinyatakan secara eksplisit. Pemahaman interpretatif atau pemaham-an inferensial adalah pemahaman terhadap bacaan dalam bentuk penghubungan fakta-fakta yang dinyatakan dalam baris yang satu dengan baris yang lain. Di samping itu, pembaca juga menginterpretasikan konsep yang ada dalam bahan bacaan. Pemahaman kritikal adalah pemahaman terhadap bacaan dalam bentuk pemikiran kritis untuk mempertimbangkan kriteria-kriteria internal dan eksternal. Pemahaman kreatif atau pemahaman apresiasi adalah pemahaman terhadap bacaan dalam bentuk pembangkitan reaksi emosionalnya berdasarkan gaya, bentuk, dan struktur penyusunan penulis. Pem-baca diharapkan mampu secara kreatif mengaplikasikan konsep-konsep yang ada dalam bacaan. Keempat tingkatan tersebut tidak seluruhnya diukur dalam penelitian ini. Untuk itu, penulis hanya memfokuskan pada tingkat pemahaman literal, pemahaman interpretatif atau inferensial, dan pemahaman kritikal. Pemahaman kreatif atau apresiasi tidak diukur karena memerlukan alat ukur dalam bentuk tes subjektif. Sedangkan dalam penelitian ini, alat ukur yang digunakan dalam bentuk tes objektif. Pengujian terhadap kemampuan memahami isi bacaan tergolong ke dalam aktivitas kognitif. Oleh karena yang akan diukur adalah kemampuan kognisi, maka alat ukur yang digunakan untuk kepentingan tersebut hendaklah alat ukur yang valid untuk hal tersebut. Ranah kognitif dalam Taksonomi Bloom merupakan alternatif yang baik untuk menjadi landasan dalam pembuatan alat ukur ini, khususnya untuk mengukur tingkatan pemahaman membaca yang telah dijelaskan di atas. Menurut Bloom (1974:83) sistem berpikir seseorang sebagai cermin dari kerja kognisinya berjenjang-jenjang, mulai dari proses berpikir sederhana hingga proses berpikir yang paling kompleks. Ia kemudian membaginya ke dalam enam ranah (tataran) berpikir. Keenam jenjang proses berpikir itu meliputi: (1) mengingat, (2) memahami, (3) mengaplikasi, (4) menganalisis, (5) mensistesis), dan (6) mengevaluasi. Berlandas pada ranah kognitif Bloom, Sanders (1966:2-3) kemudian mengem-bangkan jenjang proses berpikir kognisi anak dalam kemampuan membaca ke dalam 7 jenjang kemampuan. Jenjang-
33
jenjang tersebut adalah: (1) mengingat, (2) menerjemahkan, (3) menafsirkan, (4) menerapkan, (5) menganalisis, (6) mensintesis, dan (7) mengevaluasi. Kemampuan Mengingat Kemampuan mengingat dimaksudkan untuk mengungkap kemampuan membaca siswa dalam hal mengenali kembali suatu informasi yang secara faktual (eksplisit) terdapat dalam wacana yang dibacanya. Informasi itu dapat berupa fakta, definisi, generalisasi, nilai-nilai, dan keterampilan. Pertanyaan ingatan disusun dengan cara yang memungkinkan siswa menjawab pertanyaan tersebut jika ia ingat akan informasi tentang hal itu. Artinya, siswa tidak dituntut untuk membandingkan, menghubungkan, atau menjelaskan dengan bahasanya sendiri. Kalaupun dituntut untuk membandingkan, menghubungkan, atau menjelaskan, hal itu sudah dijelaskan dalam bacaan tersebut. Seperti telah dikemukakan di atas, informasi faktual itu dapat berupa, fakta, definisi, generalisasi, nilai, dan keterampilan. Untuk itu, pertanyaan ingatan mendasar-kan diri pada aspekaspek tersebut. Fakta secara sempit didefinisikan sebagai sesuatu yang diketahui dari pengamatan langsung melalui pancaindra. Dalam hal ini fakta tidak memerlukan interpretasi. Fakta ini perlu dipelajari karena merupakan dasar, pangkal tolak untuk generalisasi, hukum, dan prinsip. Contoh: Kondisi Bacaan
: Dalam suatu bacaan dikemukakan empat (4) fakta mengenai mineral dan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa zat zinc itu penting bagi tubuh.
Pertanyaan
: Sebutkan 4 fakta yang dikemukakan dalam bacaan tentang mineral!
Sebutkan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa zat zinc itu penting bagi tubuh! Definisi adalah makna atau penjelasan suatu kata, istilah, atau konsep. Contoh pertanyaan ingatan tentang definisi: Kondisi Bacaan
: Penjelasan tentang kalsium
Pertanyaan
: Apa yang dimaksud kalsium pada bacaan di atas?
Generalisasi adalah pernyataan yang mengemukakan ciri-ciri sekelompok konsep atau benda. Fungsi generalisasi adalah untuk lebih memahami fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehar-hari.
34
Contoh: Kondisi Bacaan
: Sebuah bacaan menjelaskan akibat kekurangan mineral pada atlet.
Pertanyaan
: Sebutkan akibat kekurangan mineral pada atlet.
Nilai mencerminkan sesuatu yang berhubungan dengan pernyataan tentang kualitas. Sifatnya khusus. Artinya, nilai tidak berlaku umum seperti teori. Ciri-ciri yang dituntut untuk nilai tertentu hanya berlaku bagi suatu masyarakat atau bangsa tertentu. Nilai sangat terikat pada suatu kebudayaan. Contoh: Kondisi Bacaan
: Bukti bahwa zat seng merupakan zat penting bagi atlet.
Pertanyaan
: Bukti apa yang dikemukakan penulis untuk menunjang pernyataannya bahwa zat seng merupakan zat yang penting bagi atlet!
Kemampuan Menerjemahkan Kemampuan menerjemahkan dimaksudkan untuk mengungkap kemampuan mem-baca siswa dalam hal mengubah suatu bentuk komunikasi gagasan ke dalam bentuk komunikasi lainnya, seperti mengubah makna lambang dari satu lambang ke lambang lain, baik dari lambang verbal ke verbal, lambang verbal ke gambar, maupun dari gambar ke lambang verbal. Pemikiran pada kemampuan ini bersifat harafiah, tidak menuntut penemuan hubungan implikasi, atau makna yang implisit. Pembaca hanya diminta mengubah bentuk komunikasi ke dalam bentuk yang lain. Contoh: Kondisi
: Sebuah puisi berjudul “Cintaku Jauh di Pulau” karya Chairil Anwar
Pertanyaan
: Parafrasekan sajak tersebut dengan kalimat yang baik dan benar!
Kemampuan Menafsirkan Kemampuan menafsirkan dimaksudkan untuk mengungkap kemampuan baca siswa dalam hal menghubungkan makna antarfakta, antargeneralisasi, antardefinisi, dan antarnilai dalam bacaan. Pertanyaan yang diajukan untuk mengungkap kemampuan ini mencakup hubungan (1) perbandingan, (2) implikasi, (3) generalisasi induktif dengan evidensi yang mendukung, (4) antara nilai keterampilan atau definisi dengan contoh penggunaannya, (5) numerik (bilangan), dan (6) sebab-akibat. Hubungan perbandingan Contoh: Kondisi
: Bacaan berisi tentang kosakata bahasa Indonesia, Jawa, Malaysia, Pasemah, Tagalog, Melayu, Pasemah, dan Bali.
Pertanyaan
: Dari segi kosakata, manakah bahasa yang lebih mirip? A. bahasa Jawa-bahasa Pasemah B. bahasa Melayu-bahasa Bali C. bahasa Indonesia-bahasa Malaysia D. bahasa Melayu-bahasa Tagalog Hubungan Implikasi Kondisi
: Bacaan berisi tentang fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia
Pertanyaan
: Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi; karena itu, bahasa Indonesia harus dipergunakan dalam … A. acara keluarga
35
B. penulisan peraturan daerah C. kelompok belajar D. penulisan karya sastra Hubungan antara Generalisasi Induktif dan Evidensinya Kondisi
: Bacaan berisi tentang mineral dan stamina
Pertanyaan
: Kemukakan evidensi (ciri, kejadian, atau keadaan) untuk mendukung generalisasi bahwa jumlah mineral pada tubuh atlet mempengaruhi staminanya!
Hubungan antara Nilai, Keterampilan, Definisi dan Contoh Penggunaannya Kondisi
: Bacaan berisi tentang perang kemerdekaan dan hak asasi manusia
Pertanyaan
: Termasuk menggunakan jenis alasan manakah isi bacaan di atas? A. B. C. D.
alasan berdasarkan kepentingan diri alasan berdasarkan pandangan agama alasan berdasarkan undang-undang alasan berdasarkan penilaian yang belum tentu benar
Kondisi
: Bacaan berisi tentang tajuk rencana dua harian umum Republika dan Pikiran Rakyat!
Pertanyaan
: Bandingkan tajuk rencana harian Republika dengan Pikiran Rakyat mengenai peristiwa pembatalan kenaikan BBM!
Kondisi
: Bacaan berisi tentang perang Diponegoro terhadap Belanda
Pertanyaan
: Termasuk ke dalam jenis manakah perang Diponegoro? A. B. C. D.
pemberontakan perang kemerdekaan pertempuran perang dunia
Hubungan Numerik Kondisi
: Bacaan berisi tentang pedagang A yang menjual harga ayam sayur per kg-nya Rp 10.000 dengan pedagang B yang menjual harga ayam sayur per kg-nya Rp 11.000. Harga modalnya per kg Rp 9000. Masing-masing menjual 10 kg. Pedagang A jualannya habis sedangkan pedagang B masih sisa 6 kg dan tidak layak jual lagi.
Pertanyaan
: Pedagang manakah yang mendapat keuntungan lebih besar?
Hubungan Sebab-Akibat Kondisi Pertanyaan
: :
Bacaan berisi tentang kepadatan penduduk dan keamanan suatu daerah Apakah akibat kepadatan penduduk terhadap keamanan suatu daerah?
Kemampuan Menerapkan Kemampuan menerapkan dimaksudkan untuk mengungkap kemampuan membaca siswa dalam hal mengalihkan/memindahkan konsep-konsep akademis ke dalam ke-hidupan sehari-hari. Ciri-ciri
36
penting yang harus diperhatikan dalam menyusun pertanyaan untuk mengungkap kemampuan ini adalah: 1)
pertanyaan jenis ini digunakan sebagai pengetahuan yang berfungsi menjelaskan dan memecahkan, yakni pengetahuan yang dapat ditransfer dalam berbagai situasi;
2)
pertanyaan jenis ini lebih banyak digunakan sehubungan dengan suatu konsep/ masalah sebagai suatu keseluruhan; dan
3)
pertanyaan jenis ini selalu disertai dengan arahan secukupnya karena didasarkan pada informasi yang telah diberikan dan diharapkan pembaca mengetahui apa yang harus dilakukannya. Kondisi
: Bacaan berisi tentang cara membuat masakan tradisional. Bahan, cara membuat, dan cara menghidangkan dijelaskan secara lengkap (namun tanpa menyebutkan waktu menghidangkannya).
Pertanyaan
: Kapan waktu yang tepat untuk menghidangkannya?
Kemampuan Menganalisis Kemampuan menganalisis dimaksudkan untuk mengungkap kemampuan membaca siswa dalam hal memecahkan masalah yang memerlukan pengetahuan tentang unsur-unsur/bagian-bagian serta proses penalaran. Contoh: Kondisi
: Bacaan terdiri atas 5 paragraf
Pertanyaan
: Apa ide utama paragraf pertama bacaan di atas?
Kemampuan Mensintesis Kemampuan mensintesis dimaksudkan untuk mengungkap kemampuan membaca siswa dalam hal menyatupadukan informasi dari bacaan secara imajinatif dan kreatif yang kemudian mendapatkan pengetahuan baru baginya. Kondisi
: Bacaan tanpa judul
Pertanyaan
: Judul apa yang tepat untuk bacaan di atas?
Kemampuan Mengevaluasi Kemampuan mengevaluasi dimaksudkan untuk mengungkap kemampuan membaca siswa dalam hal memberi penilaian terhadap nilai/validitas suatu bacaan. Kondisi
:
Pertanyaan
:
Bacaan berisi tentang pendidikan petani dan pembangunan
Jika pendidikan petani memadai, benarkah hal tersebut akan menunjang pembangunan? Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua istilah yang biasa digunakan dalam penelitian membaca, yakni kemampuan membaca dan keterbacaan. Kemampuan membaca diartikan sebagai kecepatan membaca dan kemampuan pemahaman isi bacaan secara keseluruhan (Tampubolon, 1987:7). Di dalam simpulan ini terkandung pula makna kecepatan. Namun, istilah kecepatan tidak digunakan di dalam penelitian ini. Karena pada dasarnya pada saat pembaca diuji kemampuannya memahami isi bacaan akan terkait langsung dengan kecepatan. Keterbacaan oleh Dale dan Chall (Gilliland, 1976:13 dan Rusyana, 1984:213) didefinisikan sebagai sejauh kelompok pembaca memahaminya, membacanya dengan kecepatan optimal, dan merasa tertarik. Kemampuan membaca cenderung merujuk pada pembaca, sedangkan keterbacaan merujuk pada bacaan. Sekalipun di dalam keterbacaan tercakup pula pembaca, akan tetapi pengukuran bacaan melalui pembaca di sini lebih menekankan pada aspek bahasanya. Posisi pembaca pada kemampuan membaca merujuk pada kemampuan memahami isi bacaan. Oleh karena itu, istilah yang digunakan di dalam
37
penelitian ini bukan hanya keterbacaan tetapi juga kemampuan membaca. Artinya, keterbacaan digunakan untuk mengukur tingkat kesulitan suatu bacaan dan kemampuan membaca digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan pembaca memahami isi bacaan. Pengertian Wacana Wacana adalah satuan bahasa terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang nyata disampaikan secara lisan dan tulisan (Tarigan, 1987:26-27). Selanjuntya, Tarigan menunjukkan beberapa ciri wacana berdasarkan batasan tersebut, yakni: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
satuan bahasa; terlengkap, terbesar, tertinggi; di atas kalimat/klausa; teratur/tersusun rapi/rasa koherensi; berkesinambungan/kontinuitas; rasa kohesi/rasa kepaduan; lisan/tulisan; dan awal dan akhir nyata.
Hal yang senada dikemukakan oleh Kridalaksana (1984:72) bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirarki gramatikal tertinggi dan terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seni, ensiklopedi,), para-graf, kalimat, atau kata yang membawa amanat lengkap. Batasan yang lebih luas dan lengkap dikemukakan oleh Syamsuddin (1992:5) bahwa wacana merupakan rangkaian ujaran atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur dan sistematis dalam satu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segemental (fonem, morfem, kata, dan kalimat) maupun nonsegmental bahasa (situasi, ruang, waktu pemakaian, pemakai bahasa, intonasi, dan perasaan). Di dalam penelitian ini bentuk wacana yang digunakan adalah wacana tertulis. Salah satu wujud wacana tertulis menurut Harjasujana (1986) adalah “sebuah teks/ bahan tertulis yang dibentuk oleh lebih dari sebuah alinea yang mengungkapkan sesuatu secara beruntun dan utuh (sepucuk surat, sekelumit ceritera, dan sepenggal uraian pengetahuan).” Wacana tertulis yang dimaksud adalah bacaan wacana yang diambil dari buku ajar atau buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SLTP kelas 2 terbitan Balai Pustaka yang ditandai oleh bacaan, membaca pemahaman, atau membaca. Menurut Tarigan (1993:11) buku ajar adalah buku yang dirancang untuk digunakan di kelas, yang dengan cermat disusun dan disiapkan oleh para pakar atau ahli dalam bidang itu dan diperlengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang sesuai dan serasi. Di samping itu, buku ajar dikatakan pula sebagai sarana belajar yang biasa digunakan di sekolahsekolah dan perguruan tinggi untuk menunjang suatu program pengajaran. Mengingat fungsinya seperti itu, maka bahan bacaan yang ada di dalam buku pelajaran harus betul-betul memenuhi kriteria, baik faktor usia, keterbacaan, maupun kemudahannya untuk dipahami. G.
Kurikulum dan Buku Teks Pelajaran Bahasa
Kurikulum adalah “an explicitly and implicitly intentional set of interactions designed to facilitate learning and development and to impose meaning on experience” (Miller dan Seller, 1985:3). Hal itu berarti bahwa di dalam kurikulum terkandung harapan yang ingin dicapai, baik secara tertulis maupun tidak, dalam bentuk seperangkat interaksi yang dirancang untuk memfasilitasi pembelajaran dan pengem-bangan dan untuk mengembangkan pengalaman-pengalaman yang bermakna pada diri siswa. Dengan kata lain, kurikulum merupakan rencana yang dikembangkan sebagai pedoman dalam pembelajaran. Di dalam konteks berbangsa dan bernegara kurikulum merupakan perangkat pembelajaran yang amat strategis untuk menyemaikan dan membentuk konsepsi dan perilaku individu tentang kesadaran
38
identitas. Kesadaran identitas menurut (Suwignyo, 2007:39) menunjuk pada kemampuan serta proses memahami perubahan jati diri terkait cara berpikir, kemandirian, dan orientasi pribadi (aspek internalpsikologis) serta posisi, peran, dan tanggung jawab sosial individu (aspek eksternal-sosiologis). Oleh karena itu, proses transformasi sistem nilai, makna dan simbol material dan nonmaterial dalam bidang kehidupan manusia mencakupi juga persoalan ekonomi, religi, kekuasaan, pertanian, kelautan, keuangan, kesehatan, pakaian, makanan, arsitektur, tata rumah, hukum, hak milik, dan kemandirian alam pikir atau subjektivitas (Merry, 2003). Konsepsi tersebut sejalan dengan Pembukaan UUD 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan kata lain, relevansi kurikulum dengan kesadaran identitas tercermin melalui pemaknaan yang mendalam bahwa pendidikan yang mencerdaskan adalah pendidikan dengan kurikulum yang mengarah pada pembangunan Indonesia menjadi negara bangsa yang maju, modern, bermoral, berdisiplin, beretos kerja tinggi, menguasai kemampuan teknis dan profesional, memiliki sikap rasional dan kemampuan intelektual, demokratis, bertanggung jawab, serta makmur dan sejahtera. Di dalam konteks pembelajaran, kurikulum merupakan seperangkat rencana yang berisi tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Sesuai dengan konteks berbangsa dan bernegara, kurikulum dalam konteks ini haruslah menjadi bagian dari penyemaian dan pembentukan konsepsi dan perilaku individu tentang kesadaran identitas kebangsaan dan kenegaraan. Dengan demikian, kurikulum bukan hanya menjadi hiasan selama pertemuan di kelas antara guru dengan siswa, melainkan bagian terpenting di dalam mengubah karakteristik manusia Indonesia yang maju, modern, bermoral, berdisiplin, beretos kerja tinggi, menguasai kemampuan teknis dan profesional, memiliki sikap rasional dan kemampuan intelektual, demokratis, bertanggung jawab, serta makmur dan sejahtera. Untuk sampai kepada tujuan tersebut, guru berperan sentral di dalam menerjemahkan substansi kurikulum ke dalam pembelajaran. Hal ini sejalan dengan semangat desentralisasi pendidikan dalam wujud pemberian ruang partisipasi kreatif guru dan pengelola sekolah di dalam menjabarkan rencana, metode, dan alat-alat pembelajaran. Upaya yang dapat dilakukan guru adalah memahami dan menerjemahkan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan (Kurikulum Nasional). Adapun ruang kreatif dapat dimaknai melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Di sinilah para guru dan pengelola sekolah termasuk masyarakat dapat menerjemahkan Kurikulum Nasional berdasarkan konteks-konteks yang diidealkan mengenai pembelajaran. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan kebutuhan oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan dan kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Provinsi untuk pendidikan menengah. Kurikulum ini dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yakni kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Sesuai dengan bidang kajiannya, jenis kurikulum bermacam-ragam. Salah satunya adalah kurikulum bahasa. Yang membedakannya dengan kurikulum bidang lainnya, kurikulum bahasa berisi khusus bidang bahasa. Di samping itu, perbedaan juga muncul terkait dengan pendekatan yang digunakan. Kurikulum bahasa saat ini menonjolkan pendekatan komunikatif dan pendekatan wacana. Pengembangan kurikulum bahasa didasarkan pada berbagai unsur. Menurut Siahaan (1997:5) unsur-unsur sebagai masukan dalam pengembangan kurikulum bahasa meliputi: (1) bahasa yang dipelajari, (2) pembelajar, (3) cara/sistem penyampaian bahasa, (4) teori belajar bahasa, (5) cara dan teori pembelajaran bahasa, dan (6) prosedur dan cara-cara mengevaluasi hasil pembelajaran bahasa. Kesemua unsur ini akan menentukan kurikulum bahasa yang dikembangkan. Pendekatan komunikatif didasarkan pada pandangan bahwa bahasa adalah sarana untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, tujuan utama pembelajaran bahasa adalah untuk meningkatkan keterampilan berbahasa siswa, seperti dikemukakan oleh Richards, dkk., (1985:48) sebagai berikut. Communicative approach also communicative language teaching is an approach to foreign or second
39
language teaching which emphasizes that the goal of language learning is communicative competence. Teaching materials used with a communicative approach often are based on (a) teach the language needed to express and understand kinds of functions, such as requesting, describing, expressing likes and dislikes, etc., (b) a national syllabus or some other communicatively organized syllabus, and (c) emphasize the processes of communication, such as using language to perform different kinds of tasks, e.g. to solve puzzels, to get information, using language for social interaction with other people. Penekanan pendekatan komunikatif adalah tujuan pembelajaran bahasa diarahkan pada kompetensi (kemampuan) komunikatif. Oleh karena itu, materi yang dikembang-kan dalam pembelajaran bahasa dengan pendekatan komunikatif didasarkan pada fungsi komunikasi, silabus komunikatif, dan proses komunikasi. Unsur-unsur kurikulum adalah tujuan, isi, proses, dan evaluasi (Syaodih, 1997:102). Unsurunsur tersebut berkaitan satu sama lain: isi harus sesuai dengan tujuan, proses harus sesuai dengan isi dan tujuan, dan evaluasi harus sesuai dengan proses, isi, dan tujuan. Dikatakan demikian karena kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (Syaodih, 1997:102). Sebagai pedoman, kurikulum tidak mengatur guru dan siswa secara ketat. Guru dan siswa dapat melakukan kreasi di dalam pelaksanaannya. Bahkan, salah satu ciri Kurikulum 1994 adalah materi bersifat global, yakni berupa tema. Artinya, setiap pokok persoalan menyangkut bahasa dan sastra Indonesia dalam setiap pelajaran ber-dasarkan tema tertentu, misalnya tema kelautan. Semua persoalan kebahasaan, keterampilan berbahasa, dan sastra bertemakan kelautan. Begitupun dengan pokok pembicaraan membaca. Implikasinya, para penyusun buku pelajaran, para guru, dan para siswa harus kreatif. Bila dianggap bahwa materi bacaan yang dicontohkan di dalam buku pelajaran tidak sesuai dengan perkembangan kognitif siswa, baik faktor keterbacaan, bahasa, maupun substansinya, guru dapat menentukan bacaan yang menurutnya cocok dengan kondisi siswa. Pada masa kini kurikulum di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam Kurikulum Nasional dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum nasional dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) berupa Standar Isi (SI), Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Proses (SP), serta Standar Penilaian (SPen) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Adapun KTSP dikembangkan oleh guru, pengelola sekolah, masyarakat (satuan pendidikan) yang didasarkan atas panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah. Standar Isi memuat Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk setiap mata pelajaran. Standar kompetensi diartikan sebagai kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan pemilikan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap tingkat dan/atau semester. Setiap mata pelajaran mempunyai standar kompetensi masing-masing. Artinya, kualifikasi minimal peserta didik yang menggambarkan pemilikan sikap, pengetahuan, dan keterampilan, yang diharapkan, dapat dicapai melalui mata pelajaran-mata pelajaran tertentu. Standar kompetensi terdiri atas sejumlah kompetensi dasar (KD) sebagai acuan baku yang harus dicapai oleh setiap satuan sekolah dan berlaku secara nasional. Standar Isi mata pelajaran ini harus dirujuk oleh satuan pendidikan pada saat mengembangkan silabus mata pelajaran dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dari setiap jenjang pendidikan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. SKL memuat hal-hal pokok, yakni: 1)
Kurikulum satuan pendidikan ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan setelah memperhatikan pertimbangan dari Komite Sekolah atau Komite Madrasah dan
2)
Satuan pendidikan dapat mengembangkan kurikulum dengan standar yang lebih tinggi dari SI dan SKL.
Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran
40
bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespons situasi lokal, regional, nasional, dan global. Dengan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia ini diharapkan: 1)
peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri;
2)
guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar;
3)
guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya;
4)
orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah;
5)
sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; serta
6)
daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
Mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. 1)
Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis.
2)
Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara.
3)
Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan.
4)
Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.
5)
Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.
6)
Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
41
Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Di dalam SI ruang lingkup ini meliputi Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Di dalam merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian perlu pula memperhatikan Standar Proses dan Standar Penilaian. Pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Dalam proses tersebut diperlukan guru yang memberikan keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Dalam konteks seperti ini, paradigma proses pendidikan bergeser dari paradigma pengajaran ke paradigma proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang dimaksud adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Oleh karena itu, proses pembelajaran perlu direncanakan, dilaksanakan, dinilai, dan diawasi agar terlaksana secara efektif dan efisien. Dengan demikian, standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran. Standar ini ditetapkan oleh Permendiknas yang dideskripsikan sebagai berikut.
Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Di dalam proses pembelajaran, pendidik memberikan keteladanan.
Setiap tahun pendidik melakukan perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan RPP yang memuat sekurang-kurangnya tujuan, materi, metode, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.
Pelaksanaan proses pembelajaran harus memperhatikan jumlah maksimal peserta didik per kelas dan beban mengajar maksimal per pendidik dan rasio maksimal jumlah peserta didik per pendidik.
Pelaksanaan proses pembelajaran dilakukan dengan mengembangkan budaya membaca dan menulis.
Penilaian hasil pembelajaran menggunakan berbagai teknik, yakni tes tertulis, observasi, tes praktik, dan penugasan, baik perorangan maupun kelompok, sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai.
Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Secara mekanis dan prosedural, penilaian hasil belajar dilaksanakan oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah. Masing-masing pelaksana penilaian memiliki tugas dan kewenangan tersendiri. Pendidik memiliki tugas dan kewenangan dalam hal ulangan akhir tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas di bawah koordinasi satuan pendidikan. Tugas dan kewenangan satuan pendidikan di dalam penilaian meliputi penilaian dalam mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, aspek kognitif dan/atau psikomotorik untuk kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian. Adapun tugas dan kewenangan pemerintah adalah melakukan ujian nasional yang dilaksanakan oleh BSNP.
42
Kemunculan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (selanjutnya disingkat KTSP) merupakan angin segar bagi kita untuk dapat mengembangkan kreativitas kontekstual bagi peningkatan mutu pendidikan. Guru yang selama ini hanya melaksanakan segala sesuatu yang terancang di dalam kurikulum, mendapatkan kesempatan luas untuk mengembangkan kompetensinya sehingga pembelajaran menjadi sesuatu yang menarik, menyenangkan, dan bermakna. KTSP memang dirancang untuk meningkatkan partisipasi kreatif guru dan proses belajar yang berpusat pada siswa. Partisipasi kreatif guru dapat diterjemahkan ke dalam upaya guru untuk menciptakan suasana belajar yang kontekstual dengan lingkungan sosial siswa serta menyenangkan. Pembelajaran berpusat pada siswa – seperti dikemukakan pada PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan -dapat dimaknai sebagai proses yang interaktif, inspiratif, menantang, dan memotivasi peserta didik, memberi ruang bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, fisik, dan perkembangan psikologis peserta didik. Sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan kebutuhan oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan dan kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Provinsi untuk pendidikan menengah. Kurikulum ini dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yakni kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masingmasing satuan pendidikan. Dengan kata lain, KTSP merupakan produk berupa perangkat lunak pendidikan yang kewenangannya diserahkan kepada satuan-satuan pendidikan. Guru, kepala sekolah, pengelola pendidikan, serta masyarakat merupakan pemangku kepentingan yang amat menentukan bagi terciptanya tujuan ideal kontekstual dari suatu pendidikan. Dasar penyusunannya adalah SI, SKL, Standar Proses, dan Standar Penilaian. Berikut ini beberapa prinsip dasar di dalam pengembangan KTSP, termasuk untuk kepentingan pengembangan silabus dan RPP mata pelajaran bahasa Indonesia. Pertama,
berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, serta kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
Kedua,
beragam dan terpadu. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
Ketiga,
tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Keempat,
relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha, dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
43
Kelima,
menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
Keenam,
belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik agar mampu dan mau belajar yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
Ketujuh,
seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan moto Bhinneka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Komponen KTSP meliputi tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan; struktur dan muatan KTSP (mata pelajaran, muatan lokal, kegiatan pengembangan diri, pengaturan beban belajar, ketuntasan belajar, kenaikan kelas, dan kelulusan); pendidikan kecakapan hidup; pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global; serta kalender pendidikan. Standar kompetensi adalah kebulatan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai siswa dalam mempelajari suatu mata pelajaran. Cakupannya adalah berupa standar isi berkenaan keilmuan serta standar keilmuan berkenaan dengan pengetahuan, keterampilan, serta sikap. Kompetensi dasar yang dijabarkan dari standar kompetensi, merupakan pengetahuan, keterampilan, serta sikap minimal yang harus dikuasai serta dapat diperagakan siswa. Masing-masing standar kompetensi diturunkan ke dalam beberapa kompetensi dasar atau minimal. Materi pokok merupakan pokok-pokok materi yang harus dipelajari siswa sebagai sarana pencapaian kompetensi dasar. Materi yang dikembangkan harus diperhatikan dari segi cakupan, jenis, serta kedalamannya yang didasarkan atas situasi dan keadaan sekolah atau lokasi sekolah. Sekolah yang berada di desa berbeda dengan di kota; sekolah yang minim sarana berbeda dengan sekolah yang sudah memadai dalam sarana; dan sebagainya. Dalam hal jenis, dilihat dari ranahnya materi harus mengarah pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap, sedangkan dilihat dari isinya dapat berupa fakta, konsep, prinsip, serta prosedur (Suryaman, 1992). Dalam hal kedalaman, yang harus diperhatikan adalah tahapan dari yang mudah ke sukar, dari sederhana ke rumit, dari konkret ke abstrak; susunan materi didasarkan atas struktur keilmuan; serta variasi dan perpaduan dalam hal ilustrasi (diperhatikan dari segi kemenarikan, kejelasan, serta kebenarannya dari segi kelimuan), ragam media (TTS, ilustrasi, survey lapangan, ke pasar), serta pemaduan antarmateri (ketika berupa apresiasi sastra tercakup di dalamnya keterampilan membaca, kosakata, menulis, dan sebagainya). Pengalaman belajar berhubungan dengan bagaimana, di mana, dan sumber belajar yang bagaimana siswa belajar. Sifat pengalaman belajar komprehensif, tetapi juga khusus atau khas. Artinya, kegiatan belajar siswa bukan sekedar mendengarkan ceramah, akan tetapi mampu menghayati dan mengalami sendiri sehingga bermakna. Kelas tidak berarti ruang yang dibatasi oleh dinding segi empat, beratap, dan berjendela, tetapi juga ruang belajar nyata, seperti pasar, musium, dan sebagainya. Bentuknya dapat berupa mendemonstrasikan, mempraktikkan, mensimulasikan, mengadakan eksperimen, menganalisis, mengaplikasikan, menemukan, mengamati, meneliti, menelaah, dan lain-lain. Pengalaman yang dapat diciptakan adalah siswa diberi tugas berbicara di depan kelas tentang strategi mengembangkan usaha dagang dikaitkan dengan peluang yang muncul di masyarakat. Oleh karena itu, kecakapan hidup (life skill) dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) harus diperhatikan. Kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mampu memecahkan permasalahan hidup secara wajar dan menjalani kehidupan secara bermartabat tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif mencari dan menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasi
44
permasalahan tersebut. Penekanan dalam pembelajaran antara kecakapan hidup dengan substansi mata pelajaran pada setiap jenjang pendidikan harus seimbang. Pembelajaran kontekstual merupakan terapan dalam penentuan hasil atau materi pembelajaran dan pengalaman belajar yang disesuaikan dengan karakteristik siswa dan atau daerah. Pembelajaran kontekstual didasarkan atas penelitian John Dewey yang kesimpulannya bahwa siswa akan belajar dengan baik bila sesuatu yang akan dipelajari terkait dengan sesuatu yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Kegiatan dan strategi yang ditampilkan dapat berupa kombinasi dari kegiatan pembelajaran otentik, berbasis inkuiri, berbasis masalah, layanan, dan berbasis kerja. Jika diterjemahkan, konsep tersebut dapat dijelaskan sebagai penekanan pada pemacahan masalah; mengenal kegiatan pembelajaran yang terjadi pada berbagai konteks, seperti rumah, masyarakat, serta tempat kerja; mengajar siswa untuk memantau dan mengarahkan belajarnya sehingga menjadi pembelajar yang aktif; menekankan pembelajaran dalam konteks kehidupan siswa; mendorong siswa belajar dari yang satu dengan yang lainnya dan belajar bersama; serta menggunakan penilaian otentik. Sumber bahan bukan hanya buku teks pelajaran, tetapi juga yang terkait dengan pembelajaran, seperti sarana, prasarana, bentuk, maupun tempat (seperti pasar, wisata, dan museum). Sumber belajar yang dapat digunakan adalah siswa, sebelum berbicara di depan kelas, mengamati dan mewawancarai pedagang di pasar sebagai bahan dalam mengembangkan usaha dagang dikaitkan dengan peluang yang muncul di masyarakat. Alokasi waktu pembelajaran suatu kompetensi dasar tertentu diperhitungkan dari hasil analisis dan atau pengalaman penggunaan jam pembelajaran untuk mencapai suatu kemampuan dasar, baik di kelas maupun di luar kelas. Penentuan waktu ini tergantung pada situasi, cakupan, serta kedalaman materi. Makin rumit, banyak, serta luas suatu materi berarti makin banyak waktu yang diperlukan. Begitupun sebaliknya. Implikasinya, alokasi waktu merupakan hal yang harus diperhitungkan dalam pembelajaran membaca. Struktur kurikulum hasil penataan (2013) masih bergulir di level kebijakan. Substansi yang paling menonjol adalah masalah pengurangan jumlah mata pelajaran di SD dari 11 menjadi 6. Mata pelajaran IPA, IPS, matematika diintengrasikan ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Jumlah jam sekolah bertambah antara 3 s.d. 4 jam per minggu. Struktur kurikulum SMP difokuskan pada pengurangan jumlah mata pelajaran dari 12 menjadi 10. Pada level ini, IPA dan IPS sudah muncul, tetapi tetap sebagai mata pelajaran integrative science dan integrartive social studies, bukan sebagai disiplin ilmu. Selain itu, siswa SMP mendapatkan pembelajaran teknologi informasi dan komunikasi, muatan lokal, dan pengembangan diri. Muatan lokal berupa seni budaya, penjaskes, dan prakarya. TIK bukan bediri sendiri, melainkan sebagai media untuk semua mata pelajaran. Durasi jam pelajaran bertambah 6 jam per minggu sehingga total 38 jam per minggu. Pada jenjang SMA tidak ada perubahan mendasar, kecuali jumlah jam bertambah 1 jam per minggu. Orientasi yang dikembangkan pada semua jenjang difokuskan pada pengembangan tiga kompetensi, yakni sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Berdasarkan isu termutakhir terkait dengan penataan kurikulum tersebut adalah munculnya implikasi terhadap pengembangan buku teks pelajaran. Seperti dikemukakan di atas, mata pelajaran bahasa Indonesia di SD menjadi sentral dari mata pelajaran IPA, IPS, dan matematika. Sementara itu, mata pelajaran bahasa Indonesia di SMP dan SMA menjadi sentral pengembangan literasi lebih lanjut. Lalu, seperti apa dampaknya bagi para penulis buku teks pelajaran bahasa Indonesia? Bahasa berperan strategis dalam dalam kehidupan sehari-hari untuk membangun ikatan kebersamaan, baik di tataran masyarakat lokal maupun di tataran masyarakat dalam konteks berbangsa dan bernegara. Selain itu, bahasa merupakan sarana untuk mencapai tujuan dan menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan nyata (Vygotsky, 1986). Oleh karena itu, pembelajaran bahasa seharusnya bukan bertujuan untuk mengajarkan pengetahuan tentang bahasa, tetapi mengajarkan kemampuan komunikasi yang efektif dan bermanfaat dalam melakukan hubungan sosial dengan lingkungan sekitar, yang sering disebut dengan kompetensi komunikatif. Kompetensi ini menjadi dasar bagi terbentuknya masyarakat literat.
45
Isu masyarakat literat menjadi bagian terpenting dalam penataan kurikulum yang sedang dilakukan saat ini. Artinya, isu-isu tersebut juga menjadi bagian terpenting di dalam reposisi mata pelajaran bahasa Indonesia sebagai disiplin ilmu tersendiri menjadi sarana belajar berbahasa dan bersastra serta sarana belajar untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu yang lain, termasuk reposisi dalam pengembangan buku teks pelajaran bahasa Indonesia yang terintegrasi dengan mata pelajaran lain melalui pendekatan. Sesuai dengan paradigma pembelajaran dan pendekatan-pendekatan di dalam pembelajaran, belajar berbahasa dan bersastra tidak lagi diorientasikan kepada belajar mengenai struktur bahasa dan konsep sastra, melainkan diarahkan kepada bagaimana siswa mengalami untuk melakukan kegiatan berbahasa dan bersastra. Lalu, bagaimana posisi struktur bahasa dan konsep sastra. Tentulah mengenai struktur bahasa dan konsep sastra secara tersurat juga merupakan bagian dari pengembangan kemampuan berbahasa dan bersastra. Hal ini dapat dicermati di dalam Standar Isi (SI) mata pelajaran bahasa Indonesia di berbagai jenjang pendidikan. Namun, sesuai dengan paradigma pembelajaran terbaru dan pendekatan-pendekatan turunannya, struktur bahasa dan konsep sastra akan dipelajari siswa di dalam konteks nyata, yakni melalui wacana-wacana berbahasa dan bersastra. Konteks nyata ini dimaksudkan agar siswa dapat memahami struktur bahasa dan konsep sastra secara fungsional sehingga kebermanfaatan serta kebertautannya menjadi jelas. Implikasinya terhadap pembelajaran, tentulah dimaksudkan agar siswa merasa tertarik, merasa memerlukan, merasa senang belajar bahasa. Untuk meningkatkan kebermaknaan dan kemenarikannya, penggunaan tema menjadi bagian terpenting di dalam pembelajaran bahasa. Artinya, strategi pembelajaran tematik lebih mengutamakan pengalaman belajar siswa. Di dalam mengembangkan pengetahuan dan keterampilan berbahasa dan bersastra, siswa tidak harus di-drill mengenai struktur bahasa maupun konsep kesastraan. Mengenai struktur kebahasaan dan konsep kesastraan akan diperoleh melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah dipahami di dalam konteks wacana. Bentuk pembelajaran ini dikenal dengan pembelajaran terpadu dan pembelajarannya sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan siswa. Keunggulan pembelajaran tematik adalah pengalaman dan kegiatan belajar relevan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa; menyenangkan karena bertolak dari minat dan kebutuhan siswa; hasil belajar akan bertahan lebih lama karena lebih berkesan dan bermakna; mengembangkan keterampilan berpikir siswa dengan permasalahan yang dihadapi; menumbuhkan keterampilan sosial dalam bekerja sama, toleransi, komunikasi, dan tanggap terhadap gagasan orang lain; struktur kebahasaan dan konsep kesastraan berada dalam konteks wacana. Keunggulan lainnya adalah siswa mudah memusatkan perhatian pada satu tema atau topik tertentu; siswa dapat mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi mata pelajaran dalam tema yang sama; pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan; kompetensi berbahasa dapat dikembangkan lebih baik dengan mengaitkan mata pelajaran lain dan pengalaman pribadi siswa; Siswa lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas; siswa lebih bergairah belajar karena mereka dapat berkomunikasi dalam situasi yang nyata, misalnya, bertanya, bercerita, menulis deskripsi, menulis surat, dan sebagainya untuk mengembangkan keterampilan berbahasa, serta sekaligus untuk mempelajari struktur kebahasaan dan konsep kesastraan. Tujuan pembelajaran bahasa melalui tematik adalah pembelajaran tematik dimaksudkan agar pelaksanaan kegiatan belajar mengajar menjadi lebih bermakna dan utuh; dalam pelaksanaan pembelajaran tematik perlu dipertimbangkan antara lain alokasi waktu setiap tema, memperhitungkan banyak dan sedikitnya bahan yang ada di lingkungan; pilihlah tema yang paling mungkin dikenali siswa; tema menjadi bagian terpenting di dalam mengembangkan kompetensi dasar. Hal-hal tersebut sesuai dengan rumusan-rumusan baru yang melekat pada bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia, memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan pemakainya, yakni (1) sebagai alat untuk mengekspresikan diri, (2) sebagai alat untuk berkomunikasi, (3) sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan (4) sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial
46
Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik untuk mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain; mengemukakan gagasan dan perasaan; berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut; serta menemukan, menggunakan kemampuan analitis, dan imaginatif yang ada dalam dirinya. Bahasa Indonesia merupakan salah satu sarana berkomunikasi, baik untuk saling berbagi pengalaman, saling belajar dari yang lain, maupun untuk meningkatkan kemampuan intelektual dan kesusastraan Indonesia. Adapun harapan dari pembelajaran bahasa Indonesia adalah agar para siswa mampu mengembangkan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan bersikap positif terhadap bahasa Indonesia, serta menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Implikasinya adalah pembelajaran bahasa Indonesia haruslah diarahkan pada peningkatan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesusastraan Indonesia. Di dalam dunia pendidikan, terdapat dua klasifikasi buku pendidikan, yakni buku teks pelajaran dan buku nonteks pelajaran. Buku teks pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan. Buku nonteks pelajaran meliputi buku pengayaan, buku panduan pendidik, dan buku referensi. Buku pengayaan adalah buku-buku yang dapat memperkaya peserta didik dalam bidang pengetahuan, keterampilan, dan kepribadian. Jenis buku pengayaan meliputi buku pengetahuan, buku keterampilan, dan buku kepribadian. Buku panduan pendidik adalah buku yang memuat prinsip, prosedur, diskripsi materi pokok, dan model pembelajaran untuk digunakan oleh para pendidik. Jenis-jenisnya meliputi buku pendidikan dan pembelajaran, media pembelajaran, evaluasi pembelajaran, serta penelitian pendidikan. Buku referensi adalah buku yang isi dan penyajiannya dapat digunakan untuk memperoleh informasi tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya secara dalam dan luas. Jenis-jenisnya meliputi ensiklopedi, kamus, atlas, aturan/perundang-undangan. Buku teks pelajaran dapat dipandang sebagai simpanan pengetahuan tentang berbagai segi kehidupan. Karena sudah dipersiapkan dari segi kelengkapan dan penyajiannya, buku teks pelajaran itu memberikan fasilitas bagi kegiatan belajar mandiri, baik tentang substansinya maupun tentang caranya. Dengan demikian, penggunaan buku teks pelajaran oleh siswa merupakan bagian dari budaya buku, yang menjadi salah satu tanda dari masyarakat yang maju dan berkarakter. Melalui kegiatan membaca buku, seseorang dapat memperoleh pengalaman tak langsung yang banyak sekali. Memang, dalam pendidikan merupakan hal yang berharga jika siswa dapat mengalami sesuatu secara langsung. Akan tetapi, banyak bagian dalam pelajaran yang tidak dapat diperoleh dengan pengalaman langsung. Karena itu, dalam belajar di sekolah, dan sesungguhnya juga, dalam kehidupan di luar sekolah, mendapatkan pengalaman tidak langsung itu sangat penting. Kemajuan peradaban masa sekarang banyak mendapat dukungan dari kegiatan membaca buku. Karena itulah, penyiapan buku teks pelajaran patut dilakukan dengan sebaik-baiknya. Dipandang dari proses pembelajaran, buku teks pelajaran itu mempunyai peran penting. Jika tujuan pembelajaran adalah untuk menjadikan siswa memiliki berbagai kompetensi, untuk menca tujuan tersebut, siswa perlu menempuh pengalaman dan latihan serta mencari informasi. Alat yang efektif untuk itu adalah buku teks pelajaran sebab pengalaman dan latihan yang perlu ditempuh dan informasi yang perlu dicari, begitu pula tentang cara menempuh dan mencarinya, disajikan dalam buku teks pelajaran secara terprogram. Manfaat buku teks pelajaran bukan hanya bagi siswa. Guru pun terbantu. Memanglah, buku teks pelajaran diperuntukkan bagi siswa. Akan tetapi, guru pada waktu mengajar mempertimbangkan pula apa yang tersaji dalam buku teks pelajaran. Guru, tentulah, memiliki kebebasan dalam memilih, mengembangkan, dan menyajikan materi. Semua itu merupakan wewenang dan kewajiban profesionalnya. Ia memiliki pengetahuan tentang struktur keilmuan berkenaan dengan materi yang
47
akan diajarkannya. Ia pun memiliki keterampilan dalam mengolah dan menyajikannya. Walaupun demikian, segala yang tersaji dalam buku teks pelajaran tetap saja berguna baginya, misalnya sebagai bahan untuk dipilihnya, dan disusun bersama dengan dengan bahan dari sumber lain. Juga, cara penyajian dalam buku teks pelajaran dapat dijadikan sebagai contoh pada menyajikan bahan dalam kegiatan pembelajaran siswanya. Memang, diharapkan, guru menggunakan pula sumber-sumber lain untuk memperkaya bahan pembelajaran. Begitu pula diharapkan ia menemukan berbagai teknik mengajar yang cocok dengan situasi kelasnya. Proses belajar melalui buku teks pelajaran merupakan proses belajar untuk mendapatkan pengetahuan atau pengalaman baru secara tidak langsung mengenai kegiatan yang dikehendaki di dalam setiap mata pelajaran serta karakter yang diharapkan tumbuh di dalam diri peserta didik. Dalam konteks seperti ini, seperti apakah wujud kegiatan yang memungkinkan peserta didik beroleh pengalaman tidak langsung dan pencerahan karakter sehingga pengalaman tersebut bermakna dalam kehidupannya? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlulah kiranya ditinjau mengenai bagaimana menyiapkan, memilih, serta menentukan cakupan dan urutan materi di dalam buku teks pelajaran yang memungkinkan pengalaman serta karakter yang diperoleh peserta didik bermakna di dalam kehidupannya. Agar buku teks pelajaran dapat digunakan dengan baik perlulah dilakukan pengenalan oleh siswa terhadap buku yang akan dipelajarinya. Hendaknya disediakan waktu bagi para siswa untuk menelaah bagian-bagian yang ada dalam buku teks pelajaran, mulai dari judul buku itu, daftar isi, judul-judul setiap bab, hingga bagian akhir dari buku itu. Setelah menelaah, siswa mendiskusikannya dengan sesamanya. Juga mereka diminta untuk mengemukakan apa yang diharapkannya atau diperkirakan dapat diketahui dari bab demi bab buku itu. Penelaahan sepintas tentang isi itu akan menimbulkan perhatian para siswa untuk memahami isi buku itu. Dapat dianjurkan kepada mereka untuk membaca bagian yang paling diminatinya. Selanjutnya, untuk mempelajari bagian yang dipilih sebagai materi tertentu, dapat digunakan berbagai cara. Guru dapat menunjukkan cara-cara untuk dicoba oleh para siswa. Misalnya, membaca judul bab, lalu menemukan kalimat topik pada paragraf demi paragraf. Setelah itu, membacanya dengan cermat, memahami pokok-pokok yang terkandung di dalam bab itu. Mengingat penggunaannnya dalam kegiatan belajar, buku teks pelajaran perlu disusun dengan cara yang dapat memenuhi keperluan belajar tersebut. Isinya benar dari segi keilmuan, disusun secara sistematis, mengandung informasi yang kaya dan relevan. Terdapat kesinambungan, kesaksamaan, keteraturan, dan keseimbangan. Mutu dari buku teks pelajaran tergantung pada kegunaannya untuk keperluan belajar siswa. Makin banyak keperluan yang dapat dilayani, semakian baik. Misalnya, memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan kecepatannya sendiri; untuk melakukan pendalaman; untuk mengadakan pemeriksaan lagi dalam mengingat sesuatu; untuk mencatat hal-hal penting bagi keperluan lain; untuk menyaksikan gambar, diagram, grafik, tabulasi, dan sebagainya. Berdasarkan paparan tersebut dapatlah dikemukakan beberapa persyaratan yang memungkinkan buku teks pelajaran tersusun dengan baik sehingga menarik perhatian peserta didik. Pertama,
buku teks pelajaran haruslah memiliki landasan sudut pandang yang jelas dan mutakhir. Buku teks pelajaran yang baik adalah buku yang memiliki suatu sudut pandang yang tangguh dan modern mengenai suatu pengajaran dan buku yang memeragakan sesuatu bahan pengajaran secara aplikatif.
Kedua,
buku teks pelajaran haruslah berisi materi yang memadai. Buku teks pelajaran yang baik adalah buku teks pelajaran yang menyajikan materi yang kaya, bervariasi, mudah dibaca, serta sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Dampak dari buku yang demikian adalah menjadi sumber pemecahan masalah akademis, memicu siswa untuk membaca, menyenangkan, menstimulasi kreativitas anak, dan sebagainya.
Ketiga,
buku teks pelajaran haruslah berisi materi yang disusun secara sistematis dan bertahap. Sistematis dalam arti materi disajikan dengan memperhatikan kemudahan pemahaman
48
siswa dalam hal penjelasan, penggambaran, dan pengorganisasian disusun secara sistematis; pengungkapan dilakukan secara lugas (tidak berbelit-belit); istilah diberi penjelasan dan atau contoh; penggunaan kata dan istilah dalam bahasa asing dan atau bahasa daerah yang tidak relevan dihindari; penyajian mendorong keaktifan siswa untuk berpikir dan belajar dengan cara bervariasi (misalnya: ilustrasi, kuis, dan lain-lain); menantang siswa untuk mencari sumber-sumber belajar lain; diikuti dengan sumber rujukan yang lengkap. Bahan kajian yang berkaitan dihubungkan satu sama lain secara terpadu, baik intrapelajaran maupun interpelajaran. Penempatan pelajaran dalam keseluruhan buku dilakukan secara tepat. Bertahap dalam arti materi yang disajikan diperhatikan dari segi urutan, seperti dari mudah ke sulit, dari sederhana ke rumit, dari umum ke khusus atau dari khusus ke umum, dari bagian ke keseluruhan, dan sebagainya. Keempat,
buku teks pelajaran haruslah berisi materi yang disajikan dengan metode dan sarana yang mampu menstimulasi siswa untuk tertarik membaca buku. Misalnya, disajikan gambar yang mampu merangsang siswa untuk menemukan jawaban dari suatu latihan, memperkonkret pengalaman belajar siswa, dan memungkinkan siswa untuk membuktikannya di lingkungan sekitar atau melalui penelitian sederhana.
Kelima,
buku teks pelajaran haruslah berisi materi yang mendalam sehingga memungkinkan siswa terbantu di dalam memecahkan masalah-masalah akademis yang dihadapinya. Misalnya, pada saat siswa mengerjakan tugas atau latihan, kedalaman pengerjaan atau pemecahan masalah terakomodasi oleh buku, baik disebabkan buku itu memuat hal yang diperlukan siswa atau adanya petunjuk untuk mendapatkan rujukan-rujukan yang memungkinkan masalah itu terpecahkan.
Keenam,
buku teks pelajaran haruslah berisi alat evaluasi yang memungkinkan siswa mampu mengetahui kompetensi yang telah dicanya. Tingkat pencaan kompetensi dapat dijadikan umpan balik bagi siswa apakah siswa harus memperdalam lagi bahan tersebut atau melanjutkan kepada bahan berikutnya yang lebih tinggi.
Ketujuh,
buku teks pelajaran haruslah berisi bahan yang memungkinkan siswa memiliki kesempatan untuk menggelitik mata hatinya atas hal yang telah dipelajarinya. Manfaat apa yang diperoleh siswa setelah membaca bahan dan berlatih atas bahan itu, merupakan pertanyaan yang sebaiknya muncul pada diri siswa. Dengan kata lain, alat ini dapat dijadikan bahan refleksi siswa atas segala masalah akademis yang selama ini dipelajarinya dan internalisasi mengenai karakter positif.
Jika buku teks pelajaran dan buku-buku pendidikan lainnya terpenuhi dari segi kualitas dan kepemilikannya, literasi yang dicita-citakan bangsa Indonesia akan secara bertahap terbangun dengan baik. Artinya, buku teks pelajaran harus mengusung isu literasi, mudah diakses, harganya murah, dan setiap siswa harus memiliki satu buku atau rasio 1:1. Di samping itu, jika buku dan kurikulum selalu bergandengan tangan untuk menuju pembentukan masyarakat literat, tentulah perubahan dan hubungan itu sangat efektif. Secara teoretis dan empiris sesungguhnya bangsa Indonesia sudah menyadari sejak lama bahwa membangun masyarakat literat merupakan fondasi awal bagi kemajuan bangsa. Pendidikan formal menjadi salah satu tumpuan utama untuk mencapai fondasi tersebut. Melalui pendidikan formal pembelajaran membaca dapat dilakukan secara efektif di sekolah. Di samping itu, pembelajaran membaca harus diikuti dengan sistem evaluasi yang memadai. Sistem evaluasi yang memadai ini menjadi pusat informasi mengenai literasi siswa. Evaluasi proses pembelajaran, evaluasi hasil, evaluasi harian, mingguan, bulanan, tengah semester, akhir semester sampai dengan ujian nasional memerlukan perangkat evaluasi yang berkualitas untuk menjamin bahwa isu literasi terelaborasi secara efektif. H.
Penilaian yang Mengusung Isu Literasi
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang digunakan oleh manusia untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa bertujuan membekali
49
peserta didik dengan kompetensi berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika dan aturan kebahasaan yang berlaku. Hal itu dilakukan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif berbahasa. Pembelajaran bahasa berfokus kepada empat aspek secara terintegrasi, yaitu: (1) mendengarkan, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis. Dalam PP No 19 pasal 26 ayat 3 disebutkan bahwa “Kompetensi lulusan untuk mata pelajaran bahasa menekankan pada kemampuan membaca dan menulis yang sesuai dengan jenjang pendidikan”. Hal itu ditunjang juga dengan pernyataan bahwa “Perencanaan proses pembelajaran dilakukan dengan mengembangkan budaya membaca dan menulis” (pasal 21 ayat 2). Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa dalam pembelajaran-bahasa aspek mendengarkan dan berbicara dapat diabaikan. Aspek mendengarkan dan berbicara tetap merupakan aspek yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran bahasa hanya saja dengan penekanan yang berbeda dengan aspek membaca dan menulis. Selain komunikatif dan integratif, pembelajaran bahasa juga bersifat autentik, pragmatik, apresiatif, dan kreatif. Pembelajaran bahasa akan melatih peserta didik untuk mengungkapan pikiran dan perasaan secara autentik dan pragmatik, mengapresiasi, dan mengkreasinya dalam bentuk tulis dan/atau lisan. Bahan kajian bahasa Indonesia juga mencakup bahan kajian sastra yang termasuk dalam kelompok mata pelajaran estetika. Fungsi utama sastra adalah untuk penghalusan budi, peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi budaya, penyaluran gagasan, penumbuhan imajinasi, serta peningkatan ekspresi secara kreatif dan konstruktif. Pembelajaran sastra dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra. Karakteristik tersebut menjadi bagian terpenting di dalam merumuskan sistem penilaian yang mengusung isu literasi. Seringkali kita memperdebatkan istilah penilaian dengan evaluasi di dalam dunia pendidikan. Pada awalnya, istilah penilaian merupakan padanan dari kata evaluation. Namun, para ahli kemudian mengelompokkan penilaian ke dalam pengukuran dan penilaian. Pengukuran merupakan suatu jenis penilaian dalam bentuk pemberian angka atau skala kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, benda, atau objek tertentu menurut aturan atau formulasi yang jelas. Misalnya, untuk mengukur berat badan seseorang dengan mudah kita pahami oleh karena aturannya sudah diketahui secara umum, yakni berupa timbangan. Namun, tidak semua pengukuran dapat dengan mudah dipahami dan diterapkan di dalam penilaian pendidikan. Kemampuan berbahasa dan bersastra, seperti mendengarkan, menulis, berbicara, membaca, berapresiasi, berekspresi, dan berkreasi sangat rumit sehingga ukuran-ukurannya sangat kompleks. Di dalam penilaian pendidikan, seperti penilaian kemampuan membaca, kita hanya dapat mengukur karakteristik tertentu dari siswa, bukan siswanya sendiri. Artinya, seorang guru bahasa Indonesia dapat mengukur penguasaan siswa terhadap kemampuan membaca, tetapi tidak mengukur siswanya sendiri. Wujud dari hasil pengukuran berupa data-data berbentuk angka, baik dengan skala 10 maupun 100. Di dalam definisi mengenai pengukuran terdapat istilah pemberian angka atau skala. Pemberian angka atau skala merupakan gambaran hasil dari suatu pembelajaran berbahasa dan bersastra. Angka atau skala ini memiliki beragam jenis. Pertama, skala nominal, yakni angka yang bersifat kategorial. Misalnya, di dalam menilai kemampuan membaca, setiap butir soal yang dijawab secara benar oleh siswa diberi skor satu (1), sedangkan bila salah diberi skor nol (0). Kedua, skala ordinal, yakni angka yang menunjukkan adanya urutan, tanapa mempersoalkan jarak antar urutan tersebut. Misalnya, angka yang menggambarkan urutan ranking siswa. Siswa yang mendapatkan ranking satu di dalam kemampuan berbicara, tidak berarti memiliki kemampuan dua kali lipat kepandaiannya dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan ranking dua. Ketiga, skala interval, yakni angka yang menunjukkan adanya jarak yang sama dari angka yang berurutan. Misalnya, angka kilometer (km) untuk mengukur jarak. Jarak antara km 1 dengan km 2 sama dengan jarak km 3 dengan km 4. Keempat, skala rasio, yakni angka yang memiliki semua karakteristik angka terdahulu ditambah dengan satu karakteristik
50
lagi berupa nol mutlak. Misalnya, kemampuan mendengarkan seorang siswa yang diukur dengan tes pilihan ganda salah semua. Artinya, siswa tersebut tidak memiliki kemampuan mendengarkan sehingga mendapatkan nilai nol (0). Angka nol ini tidak bermakna. Penilaian merupakan suatu proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar siswa. Misalnya, untuk mengetahui kemampuan membaca cepat siswa terhadap suatu wacana, dilakukan pengukuran. Kecepatan minimal siswa, misalnya 250 kpm (kata per menit) dengan mampu menjawab soal minimal 70%. Dengan panjang wacana, misalnya 500 kata, dan siswa mampu membacanya dalam waktu dua menit serta mampu menjawab soal tujuh dari 10 soal, dapat dikatakan kemampuan minimal membaca cepatnya sudah memadai. Penafsiran, pertimbangan, dan pengambilan keputusan terhadap kemampuan membaca cepat siswa merupakan bentuk dari kegiatan penilaian. Namun, kegiatan penilaian tersebut tidak dapat dilepaskan dari kegiatan pengukuran. Dengan demikian, penilaian dapat terjadi jika sudah dilakukan pengukuran. Tahapan-tahapan penilaian seperti diIlustrasikan di atas, meliputi tahapan pengumpulan informasi, pembuatan pertimbangan, dan pengambilan keputusan. Informasi merupakan bahan dasar penilaian. Informasi ini dapat bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Tentulah informasi ini harus akurat. Misalnya, informasi mengenai hasil kemampuan membaca memindai siswa. Berbagai dasar untuk mengukur kemampuan membaca memindai telah disusun Penilaian pembelajaran membaca dengan demikian adalah proses untuk mendapatkan informasi, mempertimbangkannya, serta memutuskannya mengenai prestasi atau kinerja siswa di dalam kompetensi membaca. Hasil penilaian ini dapat digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap ketuntasan belajar peserta didik dan efektivitas proses pembelajaran. Fokus penilaian pembelajaran membaca adalah keberhasilan belajar peserta didik dalam mencapai standar kompetensi membaca. Pada tingkat mata pelajaran bahasa Indonesia, kompetensi yang harus dicapai berupa Standar Kompetensi (SK) membaca yang selanjutnya dijabarkan dalam Kompetensi Dasar (KD) membaca. Untuk tingkat satuan pendidikan, kompetensi yang harus dicapai peserta didik adalah Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Tujuan penilaian di dalam kompetensi membaca tentulah amat banyak. Namun, guru cukup untuk mengetahui dan memahami tujuan penilaian seperti berikut ini. a)
Untuk mengetahui tujuan-tujuan pembelajaran membaca yang telah ditetapkan dari segi ketercapaiannya. Pembelajaran membaca merupakan sebuah proses untuk mencapai sejumlah tujuan di dalam kegiatan membaca. Rumusan ini menjadi bagian terpenting di dalam merumuskan indikator, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan penilaian, baik dalam jenjang yang operasional di kelas maupun dalam jenjang lembaga (KTSP). Hasil penilaianlah yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mencapai kedua tujuan tersebut.
b)
Untuk memberikan gambaran yang objektif atas pengamatan membaca serta berbuat untuk melakukan aktivitas membaca yang dilakukan siswa. Gambaran ini menunjukkan bahwa guru melakukan penilaian yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Salah satu di antaranya adalah dalam bentuk pengamatan terhadap kegiatan membaca siswa. Namun, seringkali pengamatan itu bersifat subjektif. Kemampuan pengamat sangat menentukan hasil pengamatan. Untuk mengatasi masalah ini, perlu didukung hasil pengukuran. Dengan demikian, kombinasi antara data hasil pengamatan dengan data hasil pengukuran menjadi dasar objektif di dalam melakukan penilaian terhadap kemampuan membaca siswa.
c)
Untuk mengetahui kemampuan siswa di dalam SK-KD tertentu. Kegiatan penilaian tidaklah mungkin dilakukan terhadap seluruh kemampuan membaca siswa. Kita cukup mengambil bagian-bagian tertentu di dalam SK-KD yang mencerminkan kemampuan siswa.
d)
Untuk menentukan kelayakan siswa dalam kemampuan membaca. Kemampuan membaca, di samping menggambarkan kemampuan mata pelajaran, juga menjadi dasar pemanfaatan di dalam mempelajari mata-mata pelajaran yang lain. Artinya, kemampuan membaca memiliki posisi amat penting. Jika kemampuan siswa masih lemah, tentulah dapat dijadikan dasar di dalam mengambil
51
keputusan bahwa siswa yang bersangkutan belum layak untuk dianggap berhasil di dalam belajar membaca. e)
Untuk memberikan umpan balik bagi kegiatan pembelajaran membaca yang telah berlangsung. Umpan balik dari hasil penilaian dapat ditujukan kepada siswa yang menempuh suatu pembelajaran dan juga untuk guru yang merencanakan dan melaksanakan pembelajaran. Bagi siswa, nilai yang diperoleh dapat dijadikan dasar apakah dia harus memperdalam unit tertentu atau melanjutkan untuk mempelajari unit berikutnya. Bagi guru, nilai yang diperoleh siswa, misalnya berdasarkan kriteria bahwa unit tertentu harus dikuasai minimal 70%, tetapi yang diperoleh siswa masih berada di bawah 70%, dapat dikatakan guru harus mengulang unit terserbut. Umpan balik dapat dilakukan jika hasil penilaian telah diinterpretasi. Paling tidak ada dua cara menginterpretasi hasil penilaian, yakni secara normatif dan secara kriteria. Jika nilai seorang siswa dibandingkan dengan nilai dalam kelompok, cara yang digunakan adalah cara normatif. Jika nila seorang siswa ditentukan berdasarkan kriteria, cara yang digunakan adalah cara kriteria.
f)
Untuk memberikan motivasi belajar pada siswa dan guru. Bagi siswa yang belum menguasai suatu unit tertentu, nilai tentulah harus dapat dijadikan motivasi untuk meningkatkan lagi gairah belajarnya serta dapat diketahui SK-KD apa yang belum dikuasainya sehingga di dalam penilaian berikutnya menjadi lebih baik. Bagi yang sudah berhasil, nilai dapat dijadikan motivasi untuk lebih meningkatkan lagi semangat belajarnya sehingga lompatan-lompatan membaca makin tinggi. Bagi guru, gambaran nilai siswa menjadi suatu gambaran tentang keberhasilan yang telah dicapai serta kelemahan apa yang masih perlu diperbaiki.
Prinsip penilaian mengacu pada standar penilaian pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah. Berikut ini beberapa prinsip penilaian yang dikembangkan oleh BSNP (Depdiknas, 2007). a)
Sahih, berarti penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur. Oleh karena itu, instrumen yang digunakan perlu disusun melalui prosedur sebagaimana dijelaskan dalam panduan agar memiliki bukti kesahihan dan keandalan.
b)
Objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas tanpa dipengaruhi oleh subjektivitas penilai. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan objektivitas penilaian, pendidik menggunakan rubrik atau pedoman dalam memberikan skor terhadap jawaban peserta didik atas butir soal uraian dan tes praktik atau kinerja.
c)
Adil, berarti penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender. Faktor-faktor tersebut tidak relevan di dalam penilaian, sehingga perlu dihindari agar tidak berpengaruh terhadap hasil penilaian.
d)
Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik merupakan salah satu komponen kegiatan pembelajaran. Dalam hal ini hasil penilaian benar-benar dijadikan dasar untuk memperbaiki proses pembelajaran yang diselenggarakan oleh peserta didik. Jika hasil penilaian menunjukkan banyak peserta didik yang gagal, sementara instrumen yang digunakan sudah memenuhi persyaratan secara kualitatif, berarti proses pembelajaran kurang baik. Dalam hal demikian, pendidik harus memperbaiki rencana dan/atau pelaksanaan pembelajarannya.
e)
Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, pendidik menginformasikan prosedur dan kriteria penilaian kepada peserta didik. Selain itu, pihak yang berkepentingan dapat mengakses prosedur dan kriteria penilaian serta dasar penilaian yang digunakan.
f)
Menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik. Oleh karena itu, penilaian bukan semata-mata untuk menilai prestasi peserta didik melainkan harus mencakup semua aspek hasil belajar untuk tujuan pembimbingan dan pembinaan.
52
g)
Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkahlangkah baku. Oleh karena itu, penilaian dirancang dan dilakukan dengan mengikuti prosedur dan prinsip-prinsip yang ditetapkan. Dalam penilaian kelas, misalnya, guru mata pelajaran matematika menyiapkan rencana penilaian bersamaan dengan menyusun silabus dan RPP.
h)
Beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan. Oleh karena itu, instrumen penilaian disusun dengan merujuk pada kompetensi (SKL, SK, dan KD). Selain itu, pengambilan keputusan didasarkan pada kriteria pencapaian yang telah ditetapkan.
i)
Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya. Oleh karena itu, penilaian dilakukan dengan mengikuti prinsip-prinsip keilmuan dalam penilaian dan keputusan yang diambil memiliki dasar yang objektif.
Terdapat banyak teknik penilaian untuk mengukur kemampuan berbahasa dan bersastra Indonesia. Secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis, yakni teknik tes dan teknik nontes. Yang termasuk ke dalam teknik tes adalah tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik, sedangkan yang termasuk ke dalam teknik nontes adalah pengamatan, penugasan, portofolio, jurnal, penilaian diri, dan penilaian antarteman. Tes tertulis adalah suatu teknik penilaian yang menuntut jawaban secara tertulis, baik berupa pilihan atau isian. Tes yang jawabannya berupa pilihan meliputi pilihan ganda, benar-salah dan menjodohkan, sedangkan tes yang jawabannya berupa isian berbentuk isian singkat atau uraian. Jenis tes isian singkat merupakan alat ukur yang terdiri atas pernyataan-pernyataan yang bagian kecil informasinya dihilangkan atau tidak lengkap. Bagian yang dihilangkan atau yang tidak lengkapnya merupakan informasi kunci atau penting. Siswa harus mengisinya secara tepat. Isinya biasanya hanya terdiri atas satu atau beberapa kata. Susunan jenis tes ini biasanya bervariasi. Bagian yang dihilangkan dapat terletak di tengah atau di akhir. Bahkan, dapat berupa sebuah wacana yang pada setiap kalimatnya selalu ada yang dihilangkan bagian pentingnya. Teknik tes jenis tes tertulis yang perbedaannya sangat mencolok adalah uraian. Tes uraian merupakan suatu bentuk soal yang jawabannya harus disajikan dalam bentuk paparan dengan bahasa siswa sendiri. Fokus yang perlu dirancang melalui tes esai ini adalah siswa harus sampai pada kompetensi berpikir tentang dan mempergunakan apa yang diketahuinya untuk menyelesaikan masalah yang dihadapkan kepadanya. Tingkat kognitif yang ditunjukkan oleh siswa melalui tes ini berupa menunjukkan kemampuan di dalam menerapkan pengalaman, penganalisisan, penghubungan, penilaian, dan penyimpulan terhadap suatu masalah berdasarkan informasi baru. Dengan kata lain, tes uraian menuntut siswa untuk dapat menghubungkan fakta-fakta dan konsep-konsep, mengorganisasikannya ke dalam koherensi yang logis, serta menuangkan hasilnya ke dalam bentuk ekspresi tulis. Tes lisan dilaksanakan melalui komunikasi langsung tatap muka antara guru dengan siswa. Pertanyaan dan jawaban diberikan secara lisan dan spontan. Tes jenis ini memerlukan daftar pertanyaan dan pedoman pensekoran. Tes praktik, juga biasa disebut tes kinerja, adalah teknik penilaian yang menuntut peserta didik mendemonstrasikan kemahirannya. Tes praktik dapat berupa tes tulis keterampilan, tes identifikasi, tes simulasi, dan tes petik kerja. Tes tulis keterampilan digunakan untuk mengukur keterampilan peserta didik yang diekspresikan dalam kertas, misalnya peserta didik diminta untuk membuat kerangka karangan. Tes identifikasi dilakukan untuk mengukur kemahiran mengidentifikasi sesuatu hal berdasarkan fenomena yang ditangkap melalui alat indera, misalnya mengetahui beragam pencitraan di dalam puisi sebagai bagian dari struktur fisik puisi. Tes simulasi digunakan untuk mengukur kemahiran bersimulasi memperagakan suatu tindakan tanpa menggunakan peralatan/benda yang sesungguhnya, misalnya memerankan tokoh drama. Tes petik kerja dipakai untuk mengukur
53
kemahiran mendemonstrasikan pekerjaan yang sesungguhnya seperti mendemosntrasikan cara berpidato, atau cara bercerita dengan alat peraga. Pengamatan adalah teknik penilaian yang dilakukan dengan menggunakan indera secara langsung. Observasi dilakukan dengan menggunakan pedoman observasi yang berisi sejumlah indikator perilaku yang akan diamati. Penugasan adalah suatu teknik penilaian yang menuntut peserta didik melakukan kegiatan tertentu di luar kegiatan pembelajaran di kelas. Penugasan dapat diberikan dalam bentuk individual atau kelompok. Penugasan ada yang berupa pekerjaan rumah atau berupa proyek. Pekerjaan rumah adalah tugas yang harus diselesaikan peserta didik di luar kegiatan kelas, misalnya menyelesaikan soal-soal dan melakukan latihan. Proyek adalah suatu tugas yang melibatkan kegiatan perancangan, pelaksanaan, dan pelaporan secara tertulis maupun lisan dalam waktu tertentu dan umumnya menggunakan data lapangan. Penilaian portofolio adalah penilaian yang dilakukan dengan cara menilai portofolio peserta didik. Portofolio adalah kumpulan karya-karya peserta didik dalam bidang bahasa Indonesia yang diorganisasikan untuk mengetahui minat, perkembangan, prestasi, dan/atau kreativitas peserta didik dalam kurun waktu tertentu. Sebagai suatu kumpulan karya, dokumen portofolio haruslah memenuhi beberapa kriteria, yakni karya yang dikumpulkan:
merupakan karya asli siswa; berupa contoh pekerjaan yang harus dibuat; merupakan sampel yang harus disimpan; harus dinilai dengan kriteria penilaian portofolio; harus terus-menerus dinilai; harus didiskusikan dengan siswa untuk melihat perkembangannya; serta haruslah disampaikan kepada orang tua.
Jurnal merupakan catatan pendidik selama proses pembelajaran. Jurnal ini berisi informasi mengenai kekuatan dan kelemahan peserta didik. Kekuatan dan kelemahan ini merupakan gambaran atas kinerja ataupun sikap peserta didik yang dipaparkan secara deskriptif. Penilaian diri merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya berkaitan dengan kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran. Tentulah guru dapat menyusun semacam instrumen untuk mengukur kompetensi diri siswa. Biasanya berupa pernyataan yang dapat diukur dengan skala. Jenis penilaian ini diri ini akan membantu guru di dalam memperoleh gambaran mengenai perkembangan siswa di dalam belajar bahasa Indonesia. Penilaian antarteman merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan dan kekurangan temannya dalam berbagai hal. Untuk itu perlu ada pedoman penilaian antarteman yang memuat indikator perilaku yang dinilai. Guru dapat menyusun kriteria penilaiannya. Jenis penilaian ini juga amat membantu guru di dalam menilai hasil kerja siswa. Berdasarkan paparan tersebut, berikut ini sajian sederhana mengenai teknik, jenis, dan bentuk instrument di dalam penilaian bahasa Indonesia. Tabel Teknik Penilaian, Jenis, dan Bentuk Instrumen No. 1.
Teknik Penilaian Tes
Jenis-jenisnya
Bentuk Instrumen
• Tes tertulis
• Tes pilihan: pilihan ganda, benar-salah, menjodohkan dll. • Tes isian: isian singkat dan uraian
• Tes lisan
• Daftar pertanyaan
54
2.
Nontes
• Tes praktik (tes kinerja)
• • • •
• Pengamatan
• Lembar pengamatan
• Penugasan individual atau kelompok
• Pekerjaan rumah • Proyek
•
• Lembar penilaian portofolio
Penilaian portofolio
Tes tulis keterampilan Tes identifikasi Tes simulasi Tes uji petik kerja
• Jurnal
• Buku cacatan jurnal
• Penilaian diri
• Kuesioner/lembar penilaian diri
• Penilaian antarteman
• Lembar penilaian antarteman
Untuk lebih mengenali kompetensi-kompetensi membaca, akan dipaparkan rumusan belajar yang dikembangkan oleh Bloom. Bloom mengelompokkan kompetensi belajar ke dalam tiga ranah, yakni ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah pertama adalah ranah kognitif. Ranah ini berkaitan dengan pengetahuan dan kemampuan intelektual siswa dari tingkat yang paling sederhana hingga tingkat yang tinggi. Secara rinci tingkatan-tingkatan tersebut terdiri atas ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Setiap tingkat kognitif dapat dirinci lagi ke dalam beberapa kata operasional.
55
Tabel Ranah Kognitif Ranah Kognitif
Aspek
Kata-kata Operasional
Ingatan
Mendefinisikan, mendeskripsikan, mengidentifikasi, menamakan, mendaftar, menjodohkan, menyebutkan, memilih, dan menyatakan
Pemahaman
Mengubah, mempertahankan, membedakan, menafsirkan, menjelaskan, menerangkan, memperluas, menggeneralisasikan, memberi contoh, menyimpulkan, membuat parafrase, meramalkan, menulis kembali, dan meringkas
Penerapan
Mengubah, menghitung, mendemonstrasikan, menemukan, memanipulasi, memodifikasi, mengoperasikan, meramalkan, menyiapkan, menghasilkan, menghubungkan, menunjukkan, memecahkan, dan mempergunakan
Analisis
Memerinci, mendiagramkan, membedakan, mengidentifikasi, mengilustrasikan, menyimpulkan, menghubungkan, menunjukkan, memilih, memisahkan, membagi
Sintesis
Mengkategorisasikan, mengkombinasikan, menyusun, mengarang, menciptakan, mendisain, merencanakan, menulis kembali, meringkas, dan menceritakan.
Evaluasi
Menilai, membandingkan, menyimpulkan, mempertentangkan, mengkritik, mendeskripsikan, membedakan, menjelaskan, membenarkan, memutuskan, menafsirkan, menghubungkan, meringkas, dan menyokong.
Mencipta
Ranah kedua adalah ranah afektif. Ranah ini lebih menekankan pada segi perasaan, nada, emosi, dan variasi tingkatan penerimaan dan penolakan terhadap sesuatu. Dengan kata lain, jangkauan ranah afektif cenderung kepada munculnya kesadaran melalui proses penerimaan dan kecenderungan terhadap nilai-nilai.
56
Tabel Ranah Afektif Ranah Afektif
Aspek
Kata-kata Operasional
Penerimaan
Menanyakan, memilih, mendeskrisikan, mengikuti, memberikan, mengidentifikasi, menempatkan, menjawab, memilih, dan menggunakan.
Penanggapan
Menjawab, membantu, menyesuaikan diri, mendiskusikan, menghormati, menampilkan, melakukan, membaca, melaporkan, menanggapi, memilih, menceritakan, menulis.
Penilaian
Melengkapi, mendemonstrasikan, mendeskripsikan, membedakan, menjelaskan, mengikuti, membentuk, mengundang, memutuskan, mengusulkan, membaca, melaporkan, memilih, mempelajari, mengambil bagian, dan mengerjakan.
Pengorganisasian nilai-nilai
Mengikuti, menyusun, menggabungkan, membandingkan, melengkapi, mempertahankan, menjelaskan, menggeneralisasikan, mengidentifikasi, mengintegrasikan, memodifikasi, mengorganisasikan, menyiapkan, menghubungkan, mensintesiskan.
Karakterisasi nilai yang kompleks
Melakukan, membedakan, memperlihatkan, mempengaruhi, mendengarkan, memodifikasi, mempertunjukkan, mengusulkan, mengkualifikasikan, menanyakan, merevisi, melayani, memecahkan, menggunakan, dan memverifikasi.
Ranah ketiga adalah psikomotorik. Ranah ini lebih menekankan pada segi gerakan-gerakan fisik dan alat-alat ucap. Misalnya, tulis-menulis, memerankan, membawakan acara, membacakan berita, berdeklamasi, melafalkan, dan sebagainya. Tabel Ranah Psikomotorik Gerak reflex Psikomotorik Gerak dasar Kemampuan perseptual Kemampuan fisik Gerak dengan keterampilan Komunikasi yang bersifat kelanjutan
Berdasarkan paparan mengenai penilaian, dapat diketahui bahwa butir-butir soal yang dikonstuksi oleh IEA Program PIRLS 2011 mengacu pada sistem sama dengan sistem penilaian membaca di Indonesia. Yang menjadi persoalan adalah konstruksi butir soal membaca di Indonesia tidak dielaborasi berdasarkan penafsiran yang lebih operasional dan menantang. Di samping itu, model pemanfaatan wacana sebagai dasar pengukuran kemampuan membaca belum didasarkan atas hasil pemilihan wacana yang memadai.
57
Bab III Metode Penelitian
A.
Jenis Penelitian
Jenis pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif eksploratoris dan analisis dokumen dengan menekankan pada teknik dokumenter untuk mengungkap data sekunder yangberasal dari databaseIEA Program PIRLS 2011 berupa dokumen data statistik mengenai kemampuan membaca siswa Indonesia di dunia dan butir-butir soal untuk mengukur kemampuan membaca siswa di dunia. Jenis penelitian ini sering diistilahkan dengan existing analysis research dengan fokus pada penelitian deskriptif eksploratoris dan dokumentasi.Tujuannya untuk mengeksplorasi kemampuan membaca siswa Indonesia berdasarkan data sekunder hasil studi IEA 2011 dalam program PIRLS. B.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode eksplorasi dan dokumentasi yang digunakan untuk mengolah data kembali dengan cara merangkum dan mengambil intisari hasil penelitian IEA program PIRLS 2011.Artinya, sumber-sumber informasi melalui sumber data yang ditemukan dikumpulkan untuk kemudian dianalisis.Selanjutnya, data dilaporkan kembali secara deskriptif kuantitatif dan kualitatif.Dalam hal ini ada proses penataan kembali atau mengkombinasikan informasi ke dalam cara baru untuk menjawab pertanyaan penelitian. C.
Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah seluruh respons dan capaian siswa terhadap butir soal membaca sastra dan informasi yang digunakan dalam PIRLS 2011 yang diambil dari PIRLS-almanac dan TPIRLS-item released. Soal-soal dalam domain kognitif memuat tugas-tugas yang meminta siswa untukmemperlihatkan pengetahuan tentang fakta, keterampilan, dan prosedur (knowing); menerapkan pengetahuan berbahasa dan bersastra berupa fakta, keterampilan, dan prosedur atau pemahaman tentang konsep-konsep untuk merepresentasikan ide (applying); kapasitas untuk berpikir logis, berpikir sistematis, dan berpikir intuitif dan induktif berdasarkan pola dan keteraturan yang dapat digunakan untuk mendapatkan solusi nonrutin masalah (reasoning).Data hasil studi PIRLS diperoleh dari responden siswa kelas 4 SD/MI di seluruh Indonesia dengan jumlah 937 siswa, sekitar 51% wanita dan 49% pria. Untuk mengukur kemampuan membaca siswa kelas 4 SD/MI, PIRLS menggunakan instrumen tes tertulis dengan format pilihan ganda dan uraian. Jumlah seluruh item 193, terdiri atas 118 item (61,14%) Multiple Choice (MC) dan item 75 (38,86%) uraian. Sumber data berikutnya adalah contoh-contoh butir soal yang digunakan untuk mengukur kemampuan membaca siswa dalam standar internasional dari buku tes (P11_Booklet_1 sampai dengan 11). Pemanfaatan data sekunder dari laporan IEA program PIRLStahun 2011 akan digunakan sebagai data utama guna mengkaji kemampuan membaca siswa Indonesia ditinjau dari aspek kognitif (knowing, applying, reasoning).Data sekunder tersebut didukung oleh data hasil analisis terhadap soal ujian nasional SD tahun 2009 ssampai dengan 2012. Data ini digunakan sebagai data pembanding analisis terhadap jenis-jenis butir soal yang dikembangkan di dalam PIRLS 2011 dengan jenis-jenis butir soal yang dikembangkan di dalam soal ujian nasional bahasa Indonesia SD sejak tahun 2009 sampai dengan 2011. D.
Keabsahan Data
Untuk menguji keabsahan data dilakukan melalui beberapa cara berikut ini. Pertama, triangulasi dilakukan dengan cara membandingkan data hasil analisis dengan dokumen lain.Kedua, intrarater dilakukan dengan cara membaca berulang-ulang secara cermat dan fokus terhadap objek penelitian.Ketiga, interrater dilakukan dengan meminta pedapat dari ahli dalam bidang penilaian, khususnya konstruksi butir soal.
58
E.
Instrumen
Instrumen yang dipergunakan dalam studi ini adalah tes dan kuesioner. Subtansi yang diteskan dalam PIRLS 2011 yang diambil dari PIRLS-almanac dan TPIRLS-item released dan butir-butir soal ujian nasional dari tahun 2009 sampai dengan 2011 terkait dengan kemampuan siswa menjawab beragam proses pemahaman, pengulangan, pengintegrasian, dan penilaian atas teks yang dibaca. Jenis teks yang digunakan adalah teks pengalaman kesastraan dan pemerolehan serta penggunaan informasi. Komposisinya teks sastra 50% dan teks informasi 50% dengan rincian 20% difokuskan pada informasi yang dinyatakan secara tersurat untuk diulang, 30% membuat inferensi, 30% menafsirkan dan memadukan gagasan dan informasi, serta 20% memeriksa dan menilai isi, bahasa, dan unsur-unsur yang terdapat di dalam teks. Di dalam PIRLS 2011 ini teks sastra berisi cerita pendek atau episode yang disertai dengan ilustrasi pendukung.Lima bagian berisi cerita-cerita tradisional dan kontemporer dengan panjang teks kira-kira 800 kata dengan beragam latar.Pada setiap hal yang esensial dua karakter utama dan sebuah alur dihubungkan dengan satu atau dua peristiwa pusat. Di dalam bagian-bagian tersebut tercakup pula ciri-ciri gaya dan bahasa penceritaan, seperti cerita orang pertama, humor, dialog, dan beberapa gaya bahasa. Teks informasi berisi lima bagian termasuk ragam teks lengkap maupun tidak lengkap berdasarkan panjang kata antara 600 sampai dengan 900. Teks tersebut merepresentasikan ciri-ciri seperti diagram, peta, ilustrasi, fotografi, atau tabel.Rata-rata materi mencakup materi ilmiah, etnografi, biografi, sejarah, informasi, dan gagasan praktis. Teks disusun melalui sejumlah cara, termasuk cara logis, argumen, urutan, dan topik. Beberapa bagian menggunakan organisasi bacaan seperti subjudul, kotak teks, atau daftar. Survey kemampuan membaca dalam PIRLS ini dirancang untuk mengetahui kemampuan anak Sekolah Dasar dalam memahami bermacam ragam bacaan dengan cara melibatkan anak-anak dalam proses membaca. Penilaian difokuskan pada membaca dengan dua tujuan membaca baik yang dilakukan disekolah maupun diluar sekolah, yaitu: (1) Membaca cerita/karya sastra dan (2) Membaca untuk memperoleh dan menggunakan informasi.Tujuan membaca ini telah dijadikan panduan dalam memilih bahan bacaan yang ada dalam masing-masing soal. Masing-masing bacaan yang terpilih memiliki karakteristik yang berbeda yang digunakan sesuai dengan salah satu dari kedua tujuan membaca diatas. Untuk masing-masing tujuan, diberikan empat jenis proses memahami bahan bacaan, yaitu: (1) mencari informasi yang dinyatakan secara eksplisit, (2) menarik kesimpulan secara langsung, (3) menginterpretasikan dan mengiintegrasikan gagasan dan informasi, dan (4) menilai dan menelaah isi bacaan, penggunaan bahasa, dan unsur-unsur teks. Setiap pertanyaan dirancang untuk menguji salah satu proses kemampuan membaca tersebut. Penilaian terhadap kemampuan membaca dalam PIRLS 2011 diatur sedemikian rupa agar siswa dapat menyelesaikan dua bagian yang harus dikerjakan selama 40 menit. Selama itu, siswa diminta untuk membaca teks yang sudah disediakan dan menjawab beberapa pertanyaan. Dua format pertanyaan digunakan untuk menguji pemahaman siswa, yaitu format pilihan ganda dan format pertanyaan terstruktur. Pada soal pilihan ganda, untuk masing-masing soal disediakan empat pilihan jawaban dan siswa diminta untuk memilih jawaban yang paling tepat. Untuk setiap pertanyaan hanya ditentukan satu jawaban yang dianggap benar. Pada soal terstruktur, siswa diminta untuk menjawab langsung pada berkas yang sudah disediakan. Jawaban siswa ini dinilai oleh para penskor yang terlatih dengan menggunakan panduan penilaian yang memandu mereka menerapkan kriteria yang spesifik untuk memberikan nilai pada setiap jawaban siswa. Dokumen ini dimaksudkan untuk memberikan informasi dan panduan pemberian nilai untuk jawaban siswa terhadap pertanyaan terstruktur, yang akan diperlukan oleh para penskor dalam survey kemampuan membaca PIRLS. Pada setiap pertanyaan terstruktur ini, diterapkan point value, dengan nilai 1,2, atau 3 poin, tergantung pada tingkat kedalaman pemahaman atau keluasan cakupan teks yang diberikan. (Setiap
59
soal pilihan ganda bernilai 1 poin). Siswa diingatkan untuk memperhatikan nilai poin masing-masing soal dengan cara mencatumkan gambar pena dan nomor 1,2, atau 3, tergantung pada nilai masingmasing soal. F.
Panduan Penilaian
Bentuk tes dalam PIRLS berupa pilihan ganda dengan empat pilihan, isian singkat, dan uraian. Penskoran tes pilihan ganda didasarkan atas kriteria “jika benar, diberi skor 1” dan “jika salah, diberi skor 0”.Tes isian singkat didasarkan atas kriteria“jika benar, diberi skor 1” dan “jika salah, diberi skor 0”.Adapun untuk tes bentuk uraian atau pertanyaan terstruktur dinilai berdasarkan panduan penilaian. Panduan berisi penjelasan setiap aspek kemampuan membaca yang spesifik yang dianggap sebagai bukti perormansi siswa pada tingkat kemampuan tertentu. Panduan ini pada dasarnya sama untuk semua pertanyaan, kendati untuk beberapa pertanyaan disusun panduan secara tersendiri tergantung pada jenis pertanyaannya. Misalnya, nilai terendah-nilai0-menunjukan tidak adanya pemahaman terhadap aspek bacaan yang ditanyakan.Siswa yang mendapatkan nilai 0 diperkirakan mengalami kesulitan dalam memahami isi bacaan atau tidak mengerti pertanyaannya.Bisa juga siswa hanya mendapatkan informasi yang tidak terlalu jelas baginya, sehingga siswa itu tidak memperoleh nilai untuk pertanyaan tersebut.Panduan penilaian digunakan untuk memberi nilai pada pertanyaan yang memiliki nilai 1, 2, dan 3 yang dihubungkan dengan tingkat kemampuan membaca siswa.Masingmasing tabeladalah berbeda satu dari yang lainnya, untuk menunjukkan rentangan kemampuan dalam memahami dalam masing-masing panduan dalam penilaian terhadap setiap pertanyaan dalam survey ini. Panduan untuk pertanyaan satu nilai. Jawaban yang diterima diberi skor 1 artinya: Jawaban siswa memperlihatkan pemahaman tentang aspek isi bacaan yang ditanyakan. Jawaban harus mencakup semua hal yang ditanyakan.Ketepatan jawaban siswa ini ditentukan dengan mencocokkan jawaban itu dengan gagasan atau informasi yang ada di dalam bacaan. Jawaban yang tidak dapat diterima diberi skor 0 artinya: Jawaban siswa tidak memperlihatkan kemampuan siswa untuk memahami aspek yang ditanyakan. Atau jawabannya tidak lengkap sesuai dengan apa yang diminta dalam pertanyaan. Ketepatan jawaban dapat diperiksa dengan cara membandingkannya dengan gagasan atau informasi yang ada dalam bacaan. Atau, jawaban siswa itu tidak tepat karena gagasan atau informasinya terlalu umum atau tidak berkaitan dengan pertanyaan.Jawaban yang disilang/ dihapus/tidak terbaca/dicoret-coret.Jawaban ini juga diberi nilai “0” jika memang tidak dapat diinterpretasikan. Jawaban ini biasanya meliputi upaya perbaikan jawaban dengan cara menghapus, mencoret jawaban yang dianggap salah dan kemudian diganti dengan jawaban baru tetapi tidak dapat dipahami, atau corat-coret/gambar yang tidak dapat ditafsirkan maknanya. Panduan untuk pertanyaan dua nilai. Jawaban dengan pemahaman penuh diberi skor 2 artinya jawaban siswa menunjukkan adanya pemahaman yang penuh terhadap aspek isi bacaan yang ditanyakan. Jawaban harus mencakup semua hal yang ditanyakan.Jika diperlukan, jawaban itu juga memperlihatkan kemampuan lebih dari hanya sekedar memahami makna harfiah, melainkan adanya upaya penafsiran, penarikan kesimpulan, atau penilaian aspek yang ditanyakan serta sesuai dengan isi bacaan.Jawaban juga dapat berupa gagasan atau informasi yang diambil dari bacaan untuk mendukung upaya penafsiran, penarikan kesimpulan, atau penilaian aspek yang ditanyakan tersebut. Jawaban dengan pemahaman parsial diberi skor 1 artinya jawaban siswa hanya menunjukkan pemahaman sebagian dari aspek isi bacaan yang ditanyakan. Jawaban itu mencakup sebagian, tetapi tidak seluruhnya dari aspek yang ditanyakan.Atau, jawaban itu menyebutkan semua aspek yang ditanyakan tetapi hanya memberikan penjelasan terbatas ketika dimintakan upaya penafsiran, penarikan kesimpulan, atau penilaian terhadap konsep yang lebih abstrak. Jawaban biasanya kurang didukung oleh bacaan, atau gagasan atau informasinya terlalu umum atau tidak terlalu berhubungan dengan aspek yang dipertanyakan. Bila tidak paham diberi skor 0 artinya jawaban tidak menunjukkan pemahaman sama sekali dari aspek isi bacaan yang ditanyakan. Jawabannya memperlihatkan upaya untuk melengkapi apa yang dimintakan dalam pertanyaan, tetapi tidak tepat atau tidak sesuai dengan gagasan atau informasi dalam bacaan. Atau tidak satu pun aspek yang ditanyakannya itu dijawab degan tepat.Atau, jawabannya itu terlalu umum dan tidak berkaitan dengan aspek yang ditanyakan.Jawaban yang disilang/dihapus/tidak terbaca/dicoret-coret.Jawaban ini juga diberi nilai
60
“0” jika memang tidak dapat diinterpretasikan. Jawaban ini biasanya meliputi upaya perbaikan jawaban dengan cara menghapus, mencoret jawaban yang dianggap salah dan kemudian diganti dengan jawaban baru tetapi tidak dapat dipahami, atau corat-coret/gambar yang tidak dapat ditafsirkan maknanya. Panduan untuk pertanyaan tiga nilai. Jika jawaban benar dan luas diberi skor 3 artinya jawaban siswa memperlihatkan pemahaman yang ekstensif terhadap aspek isi bacaan yang ditanyakan. Jawaban ini meliputi semua aspek yang ditanyakan.Jika diperlukan, jawaban ini mencakup kemampuan memahami gagasan dan informasi yang agak kompleks, abstrak, atau penting berkaitan dengan tema atau gagasan pokok bacaan yang ditanyakan.Jawaban siswa ini melebihi kemampuan memahami bacaan secara harfiah, sebab memperlihatkan kemampuan menarik kesimpulan, melakukan penafsiran, atau penilaian sesuai dengan isi bacaan. Jika jawabannya memuaskan diberi skor 2 artinya jawaban siswa ini menunjukkan bahwa siswa memahami aspek bacaan yang ditanyakan dengan memuaskan. Jawabannya mencakup semua aspek yang ditanyakan tetapi jawaban itu tidak menunjukkan bukti bahwa siswa mengerti benar gagasan atau informasi yang agak kompleks atau abstrak.Atau, jawaban itu sedikit memiliki kemampuan memahami bacaan secara harfiah, memperlihatkan kemampuan menarik kesimpulan, melakukan penafsiran atau penilaian tetapi tidak didukung oleh gagasan atau informasi dari bacaan sehingga jawabannya tidak konklusif. Jika jawabannya minimal diberi skor 1 artinya Jawaban siswa memperlihatkan pemahaman minimal terhadap aspek isi bacaan yang ditanyakan. Jawaban ini mencantumkan sebagian aspek yang ditanyakan yang meliputi pemahaman yang bersifat harfiah terhadap gagasan atau informasi yang ada di dalam bacaan, tetapi tidak mampu menghubungkan gagasan atau informasi itu dengan asppek yang ditanyakan. Jika dimintakan untuk menunjukkan gagasan atau informasi mana yang ada di dalam bacaan, jawabannya tidak tepat atau tidak sesuai dengan apa yang dimintakan dalam pertanyaan. Jika jawabannya tidak memuaskan diberi skor 0 artinya Jawaban siswa tidak memuaskan dalam menanggapi aspek isi bacaan yang ditanyakan. Siswa mungkin juga memberikan jawaban pada semua aspek yang ditanyakan, tetapi jawabannya tidak tepat atau tidak sesuai dengan gagasan atau informasi yang ada dalam bacaan. Atau, malah sama sekali tidak memahami pertanyaannya. Atau, jawabannya terlalu umum dan tidak berhubungan dengan isi bacaannya. G.
Analisis Data
Berdasarkan informasi awal tersebut, data yang digunakan dalam PIRLS 2011 yang diambil dari PIRLS-almanac dan TPIRLS-item released dan butir-butir soal ujian nasional dari tahun 2009 sampai dengan 2011 dianalisis dengan teknik baca catat melalui dua tahapan utama. Pada tahap I terdapat sembilan tahapan tururan, yakni pertama, membaca, mencatat, dan menelaahpermasalahan mengenai perubahan kemampuan membaca siswa di setiap negara dari tahun ke tahun. Kedua, membaca, mencatat, dan menelaah permasalahan mengenai kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level lemah. Ketiga, membaca, mencatat, dan menelaah permasalahan mengenai kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level sedang. Keempat, membaca, mencatat, dan menelaah permasalahan mengenai kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level sedang. Kelima, membaca, mencatat, dan menelaah permasalahan mengenai kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level tinggi. Keenam, membaca, mencatat, dan menelaah permasalahan mengenai kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level tinggi. Ketujuh, membaca, mencatat, dan menelaah permasalahan mengenai kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level sempurna. Kedelapan, membaca, mencatat, dan menelaah permasalahan mengenai kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level sempurna. Kesembilan, membaca, mencatat, dan menelaah permasalahan mengenai butir-butir soal yang tidak biasa muncul di dalam soal ujian nasional. Tahapan utama II meliputi pertama, analisis contoh butir soal yang mewakili kemampuan level sempurna, tinggi, sedang, dan rendah menurut standar internasional.Kedua, hasil studi tersebut kemudian ditindaklanjuti melalui analisis faktor-faktor penentu hasil membacaberdasarkan sudut pandang kemanfaatannya bagi siswa Indonesia.Tindak lanjut ini berupa kajian atas peta kognitif siswa dalam PIRLS 2011, khususnya dalam bidang membaca, perbandingan kemampuan membaca terhadap
61
rata-rata kemampuan membaca siswa internasional, dan menyajikan hasil diagnosis terhadap kemungkinan penyebab kelemahan siswa Indonesia dalam domain konten dan kognitif yang diukur dalam PIRLS. Dengan demikian, fokus ini diharapkan dapat menjawab permasalahan mengapa kemampuan membaca siswa Indonesia kelas 4 masih berada di bawah standar internasional.
62
Bab IV Hasil dan Bahasan Penelitian
A.
Hasil Penelitian
Deskripsi kemampuan membaca siswa Indonesia di dunia didasarkan atas hasil tes yang dilakukan oleh PIRLS untuk mengukur pengalaman bersastra dan kemampuan mendapatkan informasi. Jika merujuk kepada PIRLS 2011, kemampuan membaca hanyalah bagian dari literasi yang diukur. Unsur literasi lain, seperti perilaku dan sikap siswa, tidak secara khusus dideskripsikan. Namun, unsur ini menjadi satu bagian penting untuk dijadikan bahasan terkait dengan temuan kemampuan membaca. Adapun subtansi yang diteskan terkait dengan kemampuan siswa menjawab beragam proses pemahaman, pengulangan, pengintegrasian, dan penilaian atas teks yang dibaca. PIRLS melaporkan empat skala kemampuan membaca dalam standar internasional, yakni skala sempurna (advanced) dengan skor 625, tinggi (high) dengan skor 550, sedang (intermediate) dengan skor 475, dan lemah (low) dengan skor 400. Jenis teks yang digunakan adalah teks pengalaman kesastraan dan pemerolehan serta penggunaan informasi. Komposisinya teks sastra 50% dan teks informasi 50% dengan rincian, 20% difokuskan pada informasi yang dinyatakan secara tersurat untuk diulang, 30% membuat inferensi dengan jelas, 30% menafsirkan dan memadukan gagasan dan informasi, serta 20% memeriksa dan menilai isi, bahasa, dan unsur-unsur yang terdapat di dalam teks. Di dalam PIRLS 2011 ini teks sastra berisi cerita pendek atau episode yang disertai dengan ilustrasi pendukung. Lima bagian berisi cerita-cerita tradisional dan kontemporer dengan panjang teks kira-kira 800 kata dengan beragam latar. Pada setiap hal yang esensial dua karakter utama dan sebuah alur dihubungkan dengan satu atau dua peristiwa pusat. Di dalam bagian-bagian tersebut tercakup pula ciri-ciri gaya dan bahasa penceritaan, seperti cerita orang pertama, humor, dialog, dan beberapa gaya bahasa. Teks informasi berisi lima bagian termasuk ragam teks lengkap maupun tidak lengkap berdasarkan panjang kata antara 600 sampai dengan 900. Teks tersebut merepresentasikan ciri-ciri seperti diagram, peta, ilustrasi, fotografi, atau tabel. Rata-rata materi mencakup materi ilmiah, etnografi, biografi, sejarah, informasi, dan gagasan praktis. Teks disusun melalui sejumlah cara, termasuk cara logis, argumen, urutan, dan topik. Beberapa bagian menggunakan organisasi bacaan seperti subjudul, kotak teks, atau daftar. Siswa yang dimaksud adalah siswa kelas 4 SD. Kisaran usia rata-rata siswa SD kelas 4 berada pada 9-10 tahun. Jumlah siswa yang dijadikan sampel sebanyak 937 siswa, sekitar 51% wanita dan 49% pria. Pada bab ini akan dipaparkan hasil dan bahasan atas kemampuan membaca siswa Indonesia hasil studi PIRLS. Adapaun rinciannya meliputi hal-hal berikut ini. 1)
Kemampuan membaca siswa Indonesia dibandingkan dengan siswa-siswa di dunia internasional.
2)
Perubahan kemampuan membaca siswa di setiap negara dari tahun ke tahun.
3)
Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level lemah.
4)
Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level sedang.
5)
Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level sedang.
6)
Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level tinggi kasus 1.
7)
Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level tinggi kasus 2.
8)
Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level tinggi.
9)
Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level tinggi.
10) Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level sempurna.
63
11) Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level sempurna. 12) Bentuk butir soal dan kemampuan siswa Indonesia terhadap butir soal yang tidak biasa muncul di dalam soal ujian nasional. Berdasarkan permasalahan dan analisis terhadap data-data sekunder dari PIRLS 2011 diperoleh hasil penelitian sebagai berikut ini. 1.
Peta Kemampuan Siswa Indonesia di Dunia Internasional
Secara umum kemampuan membaca siswa Indonesia dalam standar intenasional masih belum memadai. Peta kemampuan siswa Indonesia di dunia internasional dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4.1 Peta Kemampuan Membaca Siswa Indonesia dalam Standar Internasional
Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa kemampuan membaca siswa diduduki oleh siswa Singapura dengan kategori level sempurna mencapai 24%. Urutan berikutnya adalah Rusia, Irlandia Utara, Finlandia, Inggris, Hongkong, dan Irlandia dengan capaian antara 15-19% mampu menjawab pada level sempurna. Di level sedang dicapai oleh siswa Perancis, Austria, Spanyol, Belgia, dan Norwegia dengan persentase 70%. Median level sempurna 8%, tinggi 44%, sedang 80%, dan lemah 9%. Sementara itu, siswa Indonesia mampu menjawab butir soal level sempurna (0,1%), mampu menjawab butir soal level tinggi 4%, mampu menjawab butir soal level sedang 28%, dan mampu menjawab butir soal level lemah 66%. Secara sederhana, peta itu dapat disusun melalui tabel berikut ini. Tabel 4.2 Posisi Siswa Indonesia dalam Standar Internasional Level Sempurna
Negara Singapura
Capaian (%) 24
Median (%) 8
Negara Indonesia
Capaian (%) 0,1
64
Tinggi
Sedang
Lemah
Rusia Irlandia Utara Finlandia Inggris Hongkong Irlandia Perancis Spanyol Belgia Norwegia
15-19
70
44
4
80
28
9
66
Perbandingan siswa Indonesia dengan Singapura di dalam menjawab butir soal level sempurna 24 kali lebih rendah. Bahkan, capaian siswa Indonesia untuk butir soal level sempurna tidak mencapai 1%. Sementara itu, di level lemah siswa Indonesia tergolong baik karena berada di atas rata-rata internasional. 2. Perubahan Siswa di setiap Negara dari Tahun 2001 dan 2006 ke Tahun 2011 Pada umumnya siswa di setiap negara mengalami kemajuan pada tahun 2011 dibandingkan dengan 2001 dan 2006. Terdapat enam negara yang ada kemajuan pada empat level standar internasional, yakni Singapura, Rusia, Hongkong, AS, Slovenia, dan Iran. Sementara itu, Denmark dan Norwegia ada kemajuan pada level lemah dan sedang. Siswa Indonesia juga mengalami kemajuan dari 2006 ke 2011, khususnya di level tinggi, sedang, dan lemah. Namun, di level sempurna belum ada perubahan.
65
Tabel 4.3 Perubahan Kemampuan Membaca Siswa Indonesia dalam Standar Internasional
Perubahan tersebut dibandingkan dengan capaian siswa internasional pada umumnya belum maksimal. Sekalipun ada perubahan, perubahan ini pun belum signifikan karena Indonesia berada masih berada di urutan terakhir dari 45 negara yang diteliti. Artinya, perubahan yang dialami siswa di semua negara yang diteliti jauh lebih baik. 3. Kemampuan Siswa Indonesia dalam Menjawab Butir Soal Sastra pada Level Lemah Butir soal berdasarkan wacana “Terbanglah Elang Terbanglah” (“Fly Eagle Fly”) dimaksudkan untuk mengukur kemampuan membaca siswa terkait dengan pengalaman bersastra. Tingkatan butir soal tergolong sangat mudah (lemah) karena hanya menanyakan informasi dan ide yang tersurat dari sebuah wacana. Butir soal ini hanya bersifat mengulang (ingatan). Butir soal ini berisi deskripsi mengenai rincian pernyataan yang ada pada awal cerita. Jenis soal berupa pilihan ganda dengan satu jawaban benar. Posisi siswa Indonesia berada pada urutan ke-38 berada di atas Kolombia, Trinidad dan Tobago, Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, Qatar, Oman, dan Maroko. Kemampuan literasi siswa di dunia ditunjukkan melalui kemampuan menjawab contoh butir soal sastra yang mengikat (anchoring) pada ukuran internasional di level lemah. Berdasarkan wacana “Terbanglah Elang Terbanglah” (“Fly Eagle Fly”), siswa menunjukkan bahwa mereka dapat menyebutkan kembali suatu rincian pernyataan tersurat dari awal sebuah cerita. Sebagian besar siswa (89%) secara internasional mampu menyelesaikan tugas ini dan siswa. Bahkan, siswa dari 11 negara
66
mampu menjawab benar sebesar 95%. Sementara itu, siswa Indonesia mampu menjawab secara benar sebesar 82%. Namun, masih berada di bawah rata-rata internasional (89%). Tabel 4.4 Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Butir Soal Sastra Level Lemah
Butir soal nomor 1 dari wacana “Terbanglah Elang Terbanglah” (“Fly Eagle Fly”) dalam versi bahasa Indonesia merupakan butir soal untuk mengukur kemampuan membaca karya sastra. Tingkat kesulitan butir soal tergolong sangat mudah (lemah) karena hanya menanyakan informasi dan ide yang tersurat dari sebuah wacana sastra dengan kemampuan kognitif bersifat mengulang (ingatan). Butir soal ini berisi deskripsi mengenai rincian pernyataan yang ada pada awal cerita. Jenis soal berupa pilihan ganda dengan satu jawaban benar. Berikut ini adalah contoh butir soal yang diujikan dalam standar internasional versi bahasa Indonesia.
67
1. Apa yang dicari petani pada awal cerita itu? A. B. C. D.
anak sapi pengembala jurang berbatu anak elang
Fokus pertanyaan soal ini pada tokoh dengan segala aktivitasnya. Kata tanya yang digunakan adalah “apa”. Kata tanya ini bersifat mengungkap informasi tersurat dari wacana yang harus dibaca. Pilihan jawabannya diambil semuanya dari wacana. 4. Kemampuan Siswa Indonesia dalam Menjawab Butir Soal Sastra pada Level Sedang Butir soal dari wacana “Kue untuk Musuh” (“Enemy Pie”) dimaksudkan untuk mengukur kemampuan membaca siswa terkait dengan pengalaman bersastra. Tingkatan butir soal tergolong sedang dengan proses mengungkap kemampuan melakukan inferensi atas tanggapan karakter tokoh dari sebuah wacana sastra. Jenis soal berupa uraian singkat dengan satu jawaban benar. Posisi siswa Indonesia berada pada urutan ke-43 di atas Oman dan Maroko. Kemampuan siswa Singapura menjadi yang terbaik dengan mampu menjawab benar sebesar 87%. Sementara itu, 70% siswa menjawab secara benar berada di atas rata-rata PIRLS pada empat negara. Rata-rata kemampuan siswa Indonesia di dalam menjawab butir dengan level sedang ini sebesar 45% dan berada di bawah ukuran rata-rata internasional (70%). Sebagian besar siswa (53%) salah dalam memberikan jawaban. Artinya, kemampuan sebagian besar siswa Indonesia di dalam menarik inferensi masih lemah.
68
Tabel 4.5 Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Butir Soal Sastra Level Sedang
Butir soal nomor 2 dari wacana “Kue untuk Musuh” (“Enemy Pie”) dalam versi bahasa Indonesia merupakan butir soal untuk mengukur kemampuan membaca karya sastra. Tingkatan butir soal tergolong sedang dengan proses mengungkap kemampuan melakukan inferensi atas tanggapan karakter tokoh dari sebuah wacana sastra. Jenis soal berupa uraian singkat dengan satu jawaban benar. Berikut ini contoh butir soal. 1. Di awal cerita, mengapa Tom merasa Jeremy adalah musuhnya?
Fokus pertanyaan soal ini pada tokoh dengan karakteristiknya. Kata tanya yang digunakan adalah “mengapa”. Kata tanya ini bersifat mengungkap alasan dari wacana yang harus dibaca. Siswa diminta untuk memberikan alasan atas sikap tokoh cerita terhadap tokoh cerita lainnya. Jawaban alasan tersebut tersurat tetapi siswa harus menghubungkan satu peristiwa sederhana dengan peristiwa sederhana lainnya.
69
5. Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Butir Soal Nonsastra pada Level Sedang Butir soal dari wacana “Lintas Alam” (“Day Hiking”) dimaksudkan untuk mengukur kemampuan membaca siswa terkait dengan menemukan dan menggunakan informasi. Tingkatan butir soal tergolong sedang dengan proses hanya menanyakan informasi dan ide yang tersurat dari sebuah wacana nonsastra. Jenis soal berupa pilihan ganda dengan satu jawaban benar. Posisi siswa Indonesia berada pada urutan ke-40 di atas Saudi Arabia, Qatar, Kolumbia, Oman, dan Maroko. Pada wacana “Lintas Alam” (“Day Hiking”) butir soal yang diajukan pada siswa adalah untuk menemukan informasi mengenai alasan yang menarik. Butir soal ini tergolong mudah untuk siswa dengan 84% siswa internasional dapat menjawab secara benar dan lebih dari separuh siswa dari seluruh negara mampu menjawab secara benar. Bahkan, siswa Hongkong dapat menjawab 98% secara benar. Namun, siswa Indonesia hanya 66% yang mampu menjawab soal pada butir ini dan berada di bawah rata-rata internasional (84%). Siswa lain memilih jawaban B (23%), C (5%), dan D (5%). Karakteristik jawaban sebenarnya bersifat tersurat di dalam brosur. Artinya, kemampuan membaca brosur masih menjadi suatu persoalan di kalangan siswa Indonesia, sama halnya dengan membaca tabel atau peta. Tabel 4.6 Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Butir Soal Nonsastra Level Sedang
Karakteristik butir soal dari wacana “Lintas Alam” (“Day Hiking”) meliputi kemampuan untuk mengukur kegiatan menemukan dan menggunakan informasi. Tingkat kesulitan butir soal tergolong sedang dengan proses hanya menanyakan informasi dan ide yang tersurat dari sebuah wacana
70
nonsastra. Soal dikonstruksi dalam bentuk berupa pilihan ganda dengan satu jawaban benar. Berikut ini contoh butir soal tersebut. 5. Mengapa kamu harus membawa kaos kaki cadangan dalam kegiatan lintas alam? A. B. C. D.
kaki mungkin saja basah cuaca mungkin saja dingin kalau-kalau lecet untuk seorang teman
Fokus pertanyaan soal ini pada tokoh dengan karakteristiknya. Kata tanya yang digunakan adalah “mengapa”. Kata tanya ini bersifat mengungkap alasan dari wacana yang harus dibaca. Siswa diminta untuk memilih alasan yang tepat atas informasi yang disediakan di alam bagan. Jawaban alasan tersebut tersurat. 6. Kemampuan Siswa Indonesia dalam Menjawab Butir Soal Sastra pada Level Tinggi Kasus 1 Butir soal dari wacana “Kue untuk Musuh” (“Enemy Pie”) dimaksudkan untuk mengukur kemampuan membaca siswa terkait dengan pengalaman bersastra. Tingkatan butir soal tergolong tinggi dengan proses untuk mengungkap kemampuan meinginterpretasi dan mengintegrasikan gagasan dan informasi dari sebuah wacana sastra. Jenis soal berupa uraian singkat dengan satu jawaban benar. Posisi siswa Indonesia berada pada urutan ke-43 berada di atas Oman dan Maroko. Wacana sastra yang diujikan berjudul “Kue untuk Musuh” (“Enemy Pie”). Butir ini mengilustrasikan kemampuan tingkat tinggi siswa untuk memadukan bukti/fakta-fakta dari penjelasan teks sastra kontemporer untuk memahami tujuan karakterisasi tokoh. Siswa pada tiga negara (Rusia, Hongkong, dan Finlandia) mampu menjawab secara benar sebanyak 70% dan 50% siswa berada di atas rata-rata internasional. Siswa Indonesia hanya 12% yang mampu menjawab secara benar dan berada jauh di bawah rata-rata internasional.
71
Tabel 4.7 Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Butir Soal Sastra Level Tinggi
Karakteristik butir soal dari wacana “Kue untuk Musuh” (“Enemy Pie”) mengukur kemampuan membaca siswa terkait wacana sastra. Butir soal memiliki tingkat kesulitan tinggi. Proses berpikir yang diungkap adalah kemampuan meinginterpretasi dan mengintegrasikan gagasan dan informasi dari sebuah wacana sastra. Soal yang dikonstruksi berupa uraian singkat dengan satu jawaban benar. Berikut ini contoh butir soal tersebut. 1. Gunakan bagian cerita yang telah kamu baca untuk menjelaskan mengapa
ayah Tom membuat kue untuk musuh. ......................................................
Fokus pertanyaan soal ini pada tokoh dengan karakteristiknya yang harus dipecahkan siswa melalui proses pemaduan bukti/fakta-fakta dari penjelasan teks sastra kontemporer untuk memahami tujuan karakterisasi tokoh. Kata tanya yang digunakan adalah “mengapa”. Kata tanya ini bersifat mengungkap alasan dari wacana yang harus dibaca. Berdasarkan pada bagian cerita dalam wacana sastra, siswa diminta untuk memberikan alasan yang tepat atas informasi tokoh dikaitkan dengan konflik yang terjadi antartokoh lainnya. Jawaban atas alasan tersebut bersifat tersirat.
72
7.
Kemampuan Siswa Indonesia dalam Menjawab Butir Soal Sastra pada Level Tinggi Kasus 2
Butir soal berdasarkan wacana “Terbanglah Elang Terbanglah” (“Fly Eagle Fly”) dimaksudkan untuk mengukur kemampuan membaca siswa terkait dengan pengalaman bersastra. Tingkatan butir soal tergolong tinggi karena menanyakan hal-hal yang bersifat evaluatif dari sebuah wacana sastra. Butir soal ini bersifat memberikan penilaian. Butir soal ini berisi deskripsi mengenai penilaian atas makna dari suatu peristiwa. Jenis soal berupa pilihan ganda dengan satu jawaban benar. Posisi siswa Indonesia berada pada urutan ke-39 di atas Qatar, Norwegia, Iran, Saudi Arabia, Maroko, dan Oman. Kemampuan siswa untuk menilai manfaat dari sesuatu dalam cerita secara menyeluruh menjadi salah satu standar internasional untuk mengukur kemampuan membaca. Butir soal dibuat berdasarkan wacana “Terbanglah Elang Terbanglah” (“Fly Eagle Fly”). Butir pilihan ganda agak mudah untuk siswa dengan 57% siswa menjawab benar di atas rata-rata internasional. Bahkan, ¾ siswa Rusia, Portugis, dan AS menjawab dengan benar. Sementara itu, persentase siswa Indonesia menjawab secara benar sebesar 34% dan berada di bawah rata-rata internasional (57%). Sisanya, siswa memilih jawaban B (13%), C (31%), dan D (17%). Persoalan yang muncul adalah “Mengapa sebagian besar siswa memilih yang salah?” Tabel 4.8 Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Butir Soal Sastra Level Tinggi
Karakteristik butir soal dari wacana “Terbanglah Elang Terbanglah” (“Fly Eagle Fly”) mengukur kemampuan membaca siswa terkait wacana sastra. Tingkatan butir soal tergolong tinggi karena menanyakan hal-hal yang bersifat evaluatif dari sebuah wacana sastra. Butir soal ini bersifat memberikan penilaian. Deskripsi butir soal ini mengenai penilaian atas makna dari suatu peristiwa. Jenis soal berupa pilihan ganda dengan satu jawaban benar. Berikut ini contoh butir soal tersebut.
73
11. Mengapa matahari yang sedang terbit penting dalam cerita ini? A. B. C. D.
Matahari itu membangkitkan naluri elang untuk terbang. Matahari berkuasa di langit. Matahari menghangatkan bulu-bulu elang. Matahari memberikan cahaya pada jalan setapak di gunung.
Fokus pertanyaan soal ini pada Kemampuan siswa untuk menilai manfaat dari sesuatu dalam cerita secara menyeluruh. Kata tanya yang digunakan adalah “mengapa”. Kata tanya ini bersifat mengungkap alasan dari wacana yang harus dibaca. Berdasarkan seluruh cerita dalam wacana sastra, siswa diminta untuk memilih alasan yang tepat atas informasi mengenai manfaat dari sesuatu yang ada salam cerita. Jawaban atas alasan tersebut bersifat tersirat. 8. Kemampuan Siswa Indonesia dalam Menjawab Butir Soal Nonsastra pada Level Tinggi Butir soal dari wacana “Lintas Alam” (“Day Hiking”) dimaksudkan untuk mengukur kemampuan membaca siswa terkait dengan menemukan dan menggunakan informasi dari wacana nonsastra. Kemampuan siswa siswa Indonesia untuk menjawab butir soal ini berada pada urutan ke40 di atas Oman, Azerbaizan, Kolumbia, Iran, dan Maroko. Butir soal standar internasional level tinggi dicontohkan melalui butir soal nomor 11 melalui membaca peta. Isi yang ditanyakan mengenai dua hal yang dapat dipelajari dari peta brosur “Lintas Alam” (“Day Hiking”). Berdasarkan hasil tes, diperoleh gambaran bahwa 59% siswa secara internasional mampu menjawab butir soal tersebut. Siswa Indonesia yang mampu menjawab sebesar 33% dengan kecenderungan 22% skor 1, 11% skor 2, 56% salah, dan sisanya tidak menjawab.
74
Tabel 4.9 Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Butir Soal Nonsastra Level Tinggi
Karakteristik butir soal dari wacana “Lintas Alam” (“Day Hiking”) meliputi kemampuan membaca siswa terkait dengan menemukan dan menggunakan informasi dari wacana nonsastra. Tingkatan butir soal tergolong tinggi dengan proses untuk mengungkap kemampuan memberikan penilaian. Butir soal ini berisi deskripsi mengenai penilaian atas makna dari suatu peristiwa dari sebuah wacana nonsastra. Jenis soal berupa uraian singkat dengan dua jawaban benar yang masingmasing mendapat skor 1 jika kurang sempurna dan 2 jika sempurna.
75
11. Sebutkan dua hal yang dapat kamu pelajari dengan mengamati peta? 1. .............................................. 2. ..............................................
Fokus pertanyaan soal ini pada kemampuan siswa untuk mengungkap kemampuan memberikan penilaian. Kata kunci yang digunakan adalah “menyebutkan”. Namun, proses kognitif siswa yang diungkap sesungguhnya adalah menyangkut kemampuan memberikan penilaian. Di dalam peta kognitif, kemampuan memberikan penilaian termasuk ke dalam kategori kognitif tingkat tinggi. 9. Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Butir Soal Nonsastra pada Level Tinggi Kasus butir soal yang digunakan untuk mengukur kemampuan siswa Indonesia menjawab soal nonsastra pada level tinggi dikonstruksi berdasarkan wacana “Misteri Gigi Raksasa” (“The Giant Tooth Mistery”). Dalam tataran kognitif, kemampuan melakukan inferensi tergolong ke dalam tingkat kognitif tinggi. Siswa dituntut berpikir lebih kuat dan tajam. Kemampuan menghubungkan suatu unsure dengan unsure lain menjadi prasyarat sebelum siswa melakukan inferensi. Butir soal pilihan ganda yang diambil dari wacana “Misteri Gigi Raksasa” (“The Giant Tooth Mistery”) digunakan untuk mengukur kemampuan membuat inferensi. Berbeda dengan melakukan inferensi pada soal pengikat (anchoring) pada level sedang, siswa menjawab butir secara benar ditunjukkan melalui inferensi berdasarkan pernyataan berseri dalam teks lengkap yang mengandung gagasan-gagasan kompleks. Sebanyak 58% siswa mampu mengerjakan soal cerita lintas negara dan lebih dari 75% siswa di Hongkong dan Cina Taipeh mampu menjawab secara benar. Sementara itu, siswa Indonesia hanya 35% yang mampu menjawab secara benar dan berada jauh di bawah rata-rata internasional (C untuk mendengar pendapat ilmuwan yang lain tentang pikirannya 58%). Kecenderungan yang terjadi, siswa Indonesia yang lain memilih jawaban A (untuk bertanya apakah fosil itu milik museum sebesar 12%), B (untuk membuktikan bahwa ia adalah ahli fosil sebesar 15%), dan D (untuk membandingkan fosil gigi dengan fosil gigi lain di museum sebesar 32%). Artinya, kemampuan sebagian besar siswa Indonesia dalam menjawab butir soal untuk membuat inferensi (tingkat tinggi) masih lemah. Di dalam wacana tidak ada informasi selain pada butir C. Posisi siswa Indonesia berada pada urutan ke-43 di atas Oman dan Maroko dalam kemampuan menjawab butir soal untuk melakukan inferensi. Tabel 4.10 Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Butir Soal Nonsastra Level Tinggi
76
Karakteristik butir soal nomor 9 dari wacana “Misteri Gigi Raksasa” (“The Giant Tooth Mistery”) meliputi kemampuan membaca siswa terkait dengan kegiatan melakukan inferensi. Tingkatan butir soal tergolong tinggi dengan proses untuk mengungkap kemampuan melakukan inferensi dari sebuah wacana nonsastra. Jenis soal berupa pilihan ganda dengan satu jawaban benar. 9. Mengapa Gideon Mantell membawa fosil gigi ke museum? A. B. C. D.
untuk bertanya apakah fosil itu milik museum untuk membuktikan bahwa ia adalah ahli fosil untuk mendengar pendapat ilmuwan yang lain tentang pikirannya untuk membandingkan fosil gigi dengan fosil gigi lain di museum
Fokus pertanyaan soal ini pada kemampuan siswa untuk melakukan inferensi. Kata Tanya yang digunakan adalah “mengapa”. Kata tanya ini bersifat mengungkap alasan dari wacana yang harus dibaca. Berdasarkan seluruh informasi dalam wacana nonsastra, siswa diminta untuk memilih alasan
77
yang tepat atas informasi berdasarkan pernyataan berseri dalam teks lengkap yang mengandung gagasan-gagasan kompleks. Jawaban atas alasan tersebut bersifat tersirat. Di dalam peta kognitif, kemampuan memberikan penilaian termasuk ke dalam kategori kognitif tingkat tinggi. 10. Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Butir Soal Sastra pada Level Sempurna Butir soal dari wacana “Terbanglah Elang Terbanglah” (“Fly Eagle Fly”) dimaksudkan untuk mengukur kemampuan membaca siswa terkait dengan pengalaman bersastra. Tingkatan butir soal tergolong sempurna dengan proses untuk mengungkap kemampuan menginterpretasi dan mengintegrasikan gagasan dan informasi dari sebuah wacana sastra. Jenis soal berupa uraian singkat dengan satu jawaban benar. Posisi siswa Indonesia berada pada urutan ke-44 satu tingkat di atas Maroko. Kemampuan siswa internasional menjawab tipe butir soal level sempurna tergolong rendah, yakni sebesar 29%. Butir soal yang didasarkan pada wacana sastra “Terbanglah Elang Terbanglah” (“Fly Eagle Fly”) difokuskan pada kemampuan menginterpretasi karakteristik perilaku dari wacana yang bersifat alegoris yang mencakup ciri bawaan dan memberikan suatu contoh dari teks yang didukung dengan interpretasi. Siswa Indonesia hanya 3% yang mampu menjawabnya. Seperti apa kecenderungan siswa Indonesia di dalam memecahkan soal seperti ini? Mengapa siswa Indonesia berada jauh di bawah rata-rata internasional dalam hal menginterpretasi dan memadukan gagasan serta informasi dari pengalaman bersastra? Kecenderungan siswa Indonesia menjawab pertanyaan butir soal level sempurna adalah salah (66%), mendapatkan skor 1 (18%), skor 2 (3%), dan sisanya tidak memberikan jawaban. Tabel 4.11 Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Butir Soal Sastra Level Sempurna
Karakteristik butir soal nomor 12 dari wacana “Terbanglah Elang Terbanglah” (“Fly Eagle Fly”) terdiri atas butir soal digunakan untuk mengukur kemampuan membaca karya sastra siswa, butir soal tergolong ke dalam tingkat kesulitan tertinggi (sempurna), butir soal untuk mengungkap kemampuan menginterpretasi dan mengintegrasikan gagasan dan informasi dari sebuah wacana sastra, dan jenis soal berupa uraian singkat dengan satu jawaban benar. 12. Kamu tahu seperti apa teman petani itu dari hal-hal yang ia lakukan. Jelaskan seperti apakah teman petani itu dan berikan contoh apa yang telah ia lakukan untuk menunjukkan hal ini. 1. .................................................
78
Fokus pertanyaan soal ini pada kemampuan menginterpretasi karakteristik perilaku dari wacana yang bersifat alegoris yang mencakup ciri bawaan dan memberikan suatu contoh dari teks yang didukung dengan interpretasi. Kata kunci yang digunakan adalah “menjelaskan”. Kata kunci ini bersifat mengungkap kemampuan memerinci bagian-bagian dari tokoh disertai dengan contoh. Datadata untuk dirinci dikemukakan secara tersurat. Akan tetapi, pemaknaan atasdata-data dan pemberina contoh bersifat tersirat Di dalam peta kognitif, kemampuan memberikan rincian dan contoh termasuk ke dalam kategori kognitif tingkat sempurna. 11. Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Butir Soal Nonsastra pada Level Sempurna Butir soal dari wacana “Misteri Gigi Raksasa” (“The Giant Tooth Mistery”) dimaksudkan untuk mengukur kemampuan membaca siswa terkait dengan menemukan dan menggunakan informasi. Tingkatan butir soal tergolong sempurna dengan proses untuk mengungkap kemampuan menginterpretasi dan mengintegrasikan gagasan dan informasi dari sebuah wacana nonsastra. Posisi siswa Indonesia berada pada urutan ke-41 di atas Iran, Azerbaizan, Kolumbia, dan Maroko. Pada kasus contoh butir 13, dengan tujuan untuk mendapatkan dan menggunakan informasi dengan proses untuk menginterpretasi dan memadukan gagasan dan informasi rata-rata internasional siswa yang dapat menjawab benar sebesar 32%, sedangkan siswa Indonesia hanya 7% yang mampu menjawabnya. Kecenderungan yang terjadi adalah 66% siswa salah memberikan jawaban dan sisanya tidak memberikan jawaban.
79
Tabel 4.12 Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Butir Soal Sastra Level Sempurna
Contoh butir soal nomor 13 untuk mengukur kemampuan pengalaman bersastra level sempurna menjadi contoh terakhir untuk melihat peta kemampuan membaca siswa Indonesia. Seperti sudah dijelaskan di awal bahwa kemampuan menginterpretasi dan memadukan gagasan serta informasi merupakan butir soal untuk mengukur kemampuan kognitif tingkat sempurna. Berikut ini adalah contoh butir soal yang dimaksud dalam versi bahasa Indonesia. 13. Penemuan-penemuan selanjutnya membuktikan bahwa Gideon Mantell salah meng-gambarkan bentuk Iguanodon. Isi bagian yang kosong untuk melengkapi tabel.
Bentuk Iguanodon menurut Gideon Mantell Iguanodon berjalan dengan empat kaki.
Bentuk Iguanodon menurut ilmuwanilmuwan masa kini Iguanodon memiliki cakar di ibu jarinya.
Iguanodon berukuran sepanjang 30 meter.
80
Karakteristik butir soal seperti contoh di atas tergolong tidak biasa dikonstruksi dalam soal-soal ujian bahasa Indonesia, termasuk ujian nasional. Konstruksi soal seperti ini diarahkan untuk mengungkap kemampuan menginterpretasi dan memadukan gagasan serta informasi yang diwujudkan ke dalam bagan. 12. Kemampuan Siswa Indonesia atas Butir Soal yang Tidak Biasa Muncul dalam Soal Ujian Nasional Selain butir-butir yang dijadikan contoh kasus pada paparan di atas, berikut ini disajikan pula beberapa contoh butir soal yang tidak biasa muncul dalam soal ujian nasional. Pertama, butir soal sastra dengan tujuan untuk mengungkap kemampuan melakukan inferensi.
Berdasarkan data literary-itemalmanac, butir soal dari wacana “Bunga di Atas Atap” (Flowers), 74,4% siswa Indonesia mampu menjawab dengan benar. Namun, kemampuan ini berada di bawah rata-rata internasional (76,1%). Yang menarik untuk dicermati adalah konstruksi butir soal seperti ini tidak pernah muncul dalam soal UN unsut siswa Indonesia. Kedua, butir soal dengan jenis isian pada wacana “Elang Terbanglah Elang” (Fly Eagle Fly) nomor 9. Butir soal ini juga tidak biasa dikonstruksi dalam ujian nasional. Hasilnya adalah 62,2% siswa Indonesia tidak dapat menjawab. Rata-rata siswa internasional yang tidak dapat menjawab butir soal ini sebesar 40%.
81
Ketiga, butir soal dengan jenis kombinasi berupa sikap dan isian dengan fokus pada pemberian alasan pada wacana “Si Kilau”, khususnya butir soal nomor 14. Kemampuan siswa Indonesia untuk menjawab butir soal ini dengan skor 1 sebesar 19% dan 2 sebesar 8%, sedangkan rata-rata internasional sebesar 19% untuk skor 1 dan 36% untuk skor 2.
Keempat, butir soal isian melalui bagan pada butir nomor 12 dengan wacana berjudul “Hiu” (Sharks). Kemampuan siswa Indonesia untuk menjawab butir soal ini dengan skor 1 sebesar 24%, 2 sebesar 18%, dan 3 sebesar 15%, sedangkan rata-rata internasional dengan urutan sama sebesar 22%, 28%, dan 30%. Skor terendah siswa Indonesia berada di atas rata-rata internasional, sedangkan skor 2 dan 3 berada di bawah rata-rata internasional.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa untuk butir soal yang tidak biasa muncul dalam soal ujian nasional, kemampuan siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata internasional. Hal ini tidak jauh berbeda dengan butir soal lain. Artinya, faktor-faktor lain yang turut menentukan kemampuan siswa Indonesia dalam tes membaca harus mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak.
82
B.
Bahasan Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang sudah dipaparkan pada subhasil penelitian memberikan peta kemampuan membaca siswa Indonesia, baik dalam tataran internasional maupun tataran nasional mengenai kemampuan kognitif, kebiasan membaca, minat dan motivasi membaca, cara pembelajaran membaca di sekolah, kurikulum pendidikan bahasa Indonesia, buku teks pelajaran bahasa Indonesia, sistem evaluasi sekolah, dan sistem evaluasi pendidikan nasional. Berdasarkan peta inilah bahasan penelitian dilakukan untuk mendiskusikan penyebab-penyebab dari kemampuan siswa Indonesia dalam mengerjakan soal kemampuan membaca. 1. Bahasan terhadap Peta Kemampuan Siswa Indonesia di Dunia Internasional Kemampuan membaca siswa Indonesia di level sempurna, tinggi, dan sedang berada di bawah persentase median yang dicapai oleh siswa secara internasional, sementara di level lemah berada di atas median siswa internasional. Untuk butir soal level lemah siswa Indonesia berada pada kemampuan sebaliknya dibandingkan dengan siswa di negara-negara yang dicontohkan. Perbandingan siswa Indonesia dengan Singapura di dalam menjawab butir soal level sempurna 24 kali lebih rendah. Bahkan, capaian siswa Indonesia untuk butir soal level sempurna tidak mencapai 1%. Sementara itu, di level lemah siswa Indonesia tergolong baik karena berada di atas rata-rata internasional. Berdasarkan kasus-kasus butir soal level lemah yang dicontohkan di atas kemampuan siswa Indonesia untuk menjawab soal-soal dengan tingkat kesulitan rendah masih berada di bawah rata-rata internasional. Namun, secara umum kemampuan siswa Indonesia untuk menjawab soal-soal dengan tingkat kesulitan rendah tergolong baik dilihat dari median internasional. Walaupun demikian, masih terdapat pula butir-butir soal rendah yang dijawab siswa berada di bawah median internasional seperti dipaparkan pada kasus di atas. Berdasarkan teori membaca, seperti sudah dikemukakan pada teori, banyak faktor yang harus diidentifikasi untuk meningkatkan kemampuan membaca siswa. Kesulitan belajar membaca yang dihadapi oleh siswa ada yang disebabkan oleh buku teks pelajaran, antara lain berkenaan dengan keterbacaan yang kurang sesuai dan ada pula yang disebabkan oleh pembelajaran di sekolah, antara lain berkenaan dengan pandangan guru tentang pembelajaran bahasa sebagai proses penguasaan pengetahuan tentang bahasa sehingga pembelajaran membaca pun diarahkan pada penguasaan pengetahuan tentang membaca. Akibatnya, buku teks pelajaran yang mengandung tingkat keterbacaan yang rendah semakin sulit untuk dibaca oleh karena tidak terbentuknya sikap yang baik pada siswa tentang membaca, seperti tidak munculnya kebiasaan membaca, kegiatan membaca, kesenangan membaca, perluasan terhadap penguasaan bahasa sebagai modal dasar pemahaman terhadap isi bacaan, dan kemampuan membaca itu sendiri. Menurut Semiawan (1992:20) di dalam meningkatkan kualitas perkembangan kognitif anak seharusnya pengajaran dan pendidikan lebih ditujukan pada latihan meneliti dan menemukan sesuatu. Pembebanan otak dengan pengetahuan hapalan, latihan ulangan, dan latihan (drill) yang berlebihan akan menjadikan anak tidak berpikir kreatif. Pola demikian hanya akan melahirkan anak yang mampu berpikir secara konvergen. Artinya, pembelajaran harus diorientasikan pada keterampilan pemerolehan melalui proses induktif sehingga anak mampu menarik kesimpulan umum berdasarkan tahapan-tahapan materi yang disajikan sebelumnya. Kemampuan memahami tidak dapat dilihat, melainkan hanya dapat diuji. Dengan demikian, pemahaman hanya dapat diukur dengan mengajukan pertanyaan, baik secara lisan maupun secara tertulis. Kriteria pemahaman isi bacaan dapat diukur melalui pertanyaan tentang gagasan pokok. Kemampuan pembaca menjawab pertanyaan tersebut menjadi indikator tingkat pemahamannya. Persoalan lain yang sering diabaikan dalam pembelajaran membaca adalah tidak adanya kejelasan mengenai tingkat pemahaman yang harus dikembangkan pada siswa. Padahal, tingkat pemahaman di dalam membaca sangat beragam. Beberapa jenis tingkat pemahaman dalam membaca di antaranya adalah pemahaman literal, pemahaman interpretatif atau inferensial, dan pemahaman kritikal. Pemahaman literal adalah pemahaman terhadap bacaan dalam bentuk pengenalan sejumlah ide yang dinyatakan secara eksplisit. Pemahaman interpretatif atau pemahaman inferensial adalah pemahaman terhadap bacaan dalam bentuk penghubungan fakta-fakta yang dinyatakan dalam baris
83
yang satu dengan baris yang lain. Di samping itu, pembaca juga menginterpretasikan konsep yang ada dalam bahan bacaan. Pemahaman kritikal adalah pemahaman terhadap bacaan dalam bentuk pemikiran kritis untuk mempertimbangkan kriteria-kriteria internal dan eksternal. Beberapa jenis pemahaman tersebut seringkali diabaikan. Hal ini tampak dari kemampuan membaca siswa Indonesia dalam melakukan interpretasi dan pengintegrasian fakta, melakukan inferensi, memberikan penilaian atas suatu peristiwa atau pendapat, menunjukkan manfaat dari sesuatu yang dibaca, bahkan menunjukkan ulang suatu fakta atau cerita dalam bacaan, masih menjadi persoalan besar yang dihadapi siswa Indonesia. Pemahaman seseorang atas wacana yang dibaca dapat dijelaskan melalui teori skema. Skema merupakan abstraksi pengalaman yang secara konstan mengalami pemantapan sesuai dengan informasi baru yang diperoleh. Semakin banyak pengalaman, semakin bertambah pula penyempurnaan skema seseorang. Para pakar teori skema memastikan bahwa latar belakang pengalaman yang kaya akan sangat membantu keberhasilan belajar (Harjasujana, 1988:21). Pengalaman yang banyak itu bisa diperoleh dengan berbagai cara, di antaranya dengan jalan membaca. Semakin banyak seseorang membaca, akan semakin meningkat pula kemampuan membacanya. Hasil penelitian Yap (1978) mendukung pernyataan tersebut. Temuannya menunjukkan bahwa tingkat keterampilan membaca seseorang ditentukan oleh 65% banyaknya membaca. Oleh karena itu, penjelasan tentang pengalaman seseorang dalam kemampuan membacanya dapat dijelaskan melalui teori skema. Pada umumnya penjelasan tentang teori skema dapat digolongkan ke dalam tiga model membaca, yakni (1) model membaca bawah-atas atau bottom-up (MMBA); (2) model membaca atasbawah atau top-down (MMAB); dan (3) model membaca timbal-balik atau interaction (MMTB) (Harjasujana, Mulyati, Nurhayatin, 1995:3.3; Abdi, 2000:46). Model pertama (MMBA) memandang bahwa struktur-struktur yang ada dalam teks itu dianggap sebagai unsur yang memainkan peran utama sedangkan struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya merupakan hal sekunder. Pada MMBA pembaca mulai dengan pengenalan kata, menghubungkan kata dengan kata, frase dengan frase, kalimat dengan kalimat, paragraf dengan paragraf, dan diakhiri dengan keseluruhan teks. Hal ini sejalan dengan penjelasan perlunya penggambaran bacaan wacana dan tes penguasaan aspek bahasa dan organisasi karangan pada awal uraian di atas. Model kedua merupakan kebalikan dari model pertama, yakni struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya itu memainkan peranan utama sedangkan struktur-struktur yang ada dalam teks merupakan unsur sekunder. Struktur-struktur itu berupa pemahaman judul atau penafsiran judul, pemahaman konteks situasi wacana, dan diakhiri dengan pemahaman akhir. Model ketiga merupakan pengawinan dua model pertama. Model ini dicanangkan oleh Rumelhart (Harjasujana, Mulyati, Nurhatin, 1995:3.20). Dia beranggapan bahwa model-model terdahulu tidak memuaskan karena pada umumnya bertitik tolak pada formalisme model-model perhitungan linier. Model-model itu memiliki sifat-sifat berurut berlanjut, tidak interaktif. Pengikut paham MMTB meyakini bahwa pemahaman itu tergantung pada informasi grafis atau visual dan nonvisual atau yang ada dalam pikiran pembaca atau tergantung pada informasi linguistik dan nonlinguistik. Oleh karena itu, pemahaman bisa terganggu jika ada pengetahuan yang diperlukan untuk pemahaman tidak bisa digunakan karena pembaca lupa atau mungkin karena pembaca terganggu skemanya. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengalaman seseorang (pembaca) akan menentukan kemampuan orang tersebut (pembaca) dalam memahami bacaannya. Dengan kata lain, kemampuan membaca akan ditentukan oleh derajat pengalaman seseorang (pembaca) tersebut. Dalam berbagai hasil penelitian ditunjukkan bahwa intensiatas dan kebiasaan membaca siswa Indonesia masih lemah. Faktor yang akan membentuk skema pengalaman pada siswa dengan demikian tidak terjadi. Jika hal ini terus-menerus dibiarkan, tingkat kemampuan memahami akan semakin menurun. Hal ini terbukti dengan masih rendahnya kemampuan membaca siswa Indonesia yang dikemukakan berdasarkan hasil studi yang dilakukan IEA Program PIRLS 2011 dan hasil studi pada tahun-tahun sebelumnya. Dampaknya adalah sebagian besar siswa Indonesia tidak memiliki skema yang kaya. Di dalam era kekinian, miskinnya skema siswa berdampak pada kemampuan yang lemah di dalam mengolah informasi yang semakin banyak. Bahkan, dalam hitungan detik, ribuan
84
informasi hadir di hadapan jutaan manusia. Siapapun yang mampu memilah, mengolah, dan memutuskan informasi mana yang diperlukan, merekalah yang akan semakin memiliki skema yang kaya. Pengujian terhadap kemampuan memahami isi bacaan tergolong ke dalam aktivitas kognitif. Oleh karena yang akan diukur adalah kemampuan kognisi, alat ukur yang digunakan untuk kepentingan tersebut hendaklah alat ukur yang valid untuk hal tersebut. Ranah kognitif dalam Taksonomi Bloom merupakan alternatif yang banyak digunakan untuk pembuatan alat ukur ini, khususnya untuk mengukur tingkatan pemahaman membaca yang telah dijelaskan di atas. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa sistem berpikir seseorang sebagai cermin dari kerja kognisinya berjenjang-jenjang, mulai dari proses berpikir sederhana hingga proses berpikir yang paling kompleks. Jenjang proses berpikir itu meliputi: (1) mengingat, (2) menerjemahkan, (3) menafsirkan, (4) menerapkan, (5) menganalisis, (6) mensintesis, dan (7) mengevaluasi. Pertanyaannya adalah apakah isu-isu literasi dengan memperhatikan jenjang berpikir sudah diidentifikasi dan dijadikan dasar bagi pembelajaran membaca di sekolah, pengembangan buku teks pelajaran, pengembangan kurikulum, pengembangan instrumen penilaian, dan lain-lain. Berdasarkan bahasan tersebut, isu-isu literasi belum menjadi bagian penting dalam pembelajaran membaca beserta ikutannya. Hal ini seperti tampak dalam table mengenai tidak adanya fokus yang baik terhadap proses kognitif. Berdasarkan tabel tersebut, fokus proses kognitif yang dialami siswa Indonesia tidak merata. Meskipun diperhatikan, penekanannya tergolong di level sedang (kemampuan mengingat, kemampuan melakukan inferensi, dan kemampuan meinginterpretasi dan mengintegrasikan informasi). Bahkan, pada beberapa bagian tidak diperhatikan, seperti pada proses kognitif untuk menguji dan mengevaluasi elemen isi, bahasa, dan struktur teks. Padahal, di dalam elemen-elemen tersebut tercakup masalah kemampuan menggambarkan gaya atau struktur teks dan menjelaskan perspektif pengarang.
85
Jawaban lebih komprehensif atas pertanyaan ini akan dipaparkan melalui bahasan hasil temuan berdasarkan kasus-kasus butir soal yang diujikan beserta hasil yang sudah dilaporkan oleh PIRLS 2011. 2. Perubahan Siswa di setiap Negara dari Tahun ke Tahun Pada umumnya siswa di setiap negara mengalami kemajuan pada tahun 2011 dibandingkan dengan 2001 dan 2006. Terdapat enam negara yang ada kemajuan pada empat level standar internasional, yakni Singapura, Rusia, Hongkong, AS, Slovenia, dan Iran. Sementara itu, Denmark dan Norwegia ada kemajuan pada level lemah dan sedang. Siswa Indonesia juga mengalami kemajuan dari 2006 ke 2011 namun tidak muncul dibandingkan dengan tahun 2001, khususnya di level tinggi, sedang, dan lemah walaupun tidak signifikan. Namun, di level sempurna belum ada perubahan. Perubahan tersebut dibandingkan dengan capaian siswa internasional pada umumnya, perubahan yang dialami siswa Indonesia belum maksimal. Sekalipun ada perubahan, perubahan ini pun belum signifikan karena Indonesia masih berada di urutan terakhir dari 45 negara yang diteliti. Artinya, perubahan yang dialami siswa di semua negara yang diteliti jauh lebih baik. Mengapa siswa Indonesia begitu jauh tertinggal dalam kemajuan membacanya? Pada umumnya pemerintah di negara-negara yang diteliti sudah menjadikan temuan-temuan studi internasional sebagai isu utama dalam pembuatan kebijakan pendidikan di negaranya. Singapura, Rusia, Hongkong, AS, Slovenia, Iran, Denmark, dan Norwegia adalah contoh negara yang merespons sangat kuat untuk menjadikan literasi sebagai isu kebijakan pendidikan di negaranya. Pemerintah Indonesia baru secara eksplisit menyatakan isu literasi pada saat akan adanya perubahan kurikulum dari 2006 ke 2013. Artinya, terdapat keterlambatan yang sangat panjang bagi pengembangan literasi siswa. Berdasarkan kebijakan kurikulum yang dikembangkan PIRLS belum dijadikan dasar dalam memperbaiki metode pembelajaran membaca. Indonesia termasuk salah satu negera yang belum menjadikan hasil penelitian sebagai dasar dalam perbaikan sistem pendidikan. Akibatnya, waktu membaca siswa Indonesia masih berada pada level rendah.
86
Kegiatan membaca itu merupakan sine quo non dalam semua proses pendidikan. Kegiatan membaca tidak bisa diabaikan dalam setiap upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Negara-negara maju, baik di Asia, Eropa, maupun Amerika sangat menekankan bahwa masyarakatnya harus menjadi pembaca yang handal. Para ahli pendidikan, seperti Mortimer J. Adler (1939) menyatakan bahwa “Reading is the basic tool in the living of a good life”; Roger Farr (1984) menyatakan bahwa “Reading is the heart of education”; dan Hartoonian (1984) menyatakan bahwa “If we want to be a super power, we must have individuals with much higher levels of literacy”. Menurut Rusyana (1984:128) tidak bisa dibayangkan bagaimana kita dapat melakukan kegiatan ilmu dan budaya tanpa menggunakan bahasa secara tertulis, yaitu membaca dan menulis. Oleh karena itu, menurut Ismail (Kompas, 3 April 2001) yang terpenting dari pembelajaran bahasa adalah membaca dan menulis sedangkan aspek linguistik dapat langsung dilihat melalui karya-karya tulis mereka. Bila ini bisa dilakukan, minimal seorang siswa telah membaca karya sastra antara 15 sampai 30 judul selama 3 tahun. Sastra sebagai bagian dari karya seni (dengan segala keindahan, kesenangan, hiburan, dan juga akhlak), diasumsikan merupakan bacaan yang tidak akan membosankan dan tidak akan menyulitkan. Pengajaran sastra diharapkan mampu mendorong siswa untuk membaca. Oleh karena itu, bacaan sastra dapat dijadikan awal kegiatan baca anak-anak, yang kemudian dilanjutkan dengan bacaan ilmu sosial dan sains. Pengalaman negara maju ditunjukkan oleh Ismail (1998) bahwa budaya membaca secara intensif ditanamkan di sekolah, yang dimulai dengan bacaan karya sastra lalu diperluas ke buku-buku ilmu sosial dan sains. Jika melihat peta demografis Indonesia di tahun 2010-2020, 50% populasi sumber daya manusia Indonesia tergolong ke dalam usia produktif. Prakondisi ini memiliki nilai yang tinggi bagi perubahan Indonesia di masa depan. Perubahan itu dapat terjadi manakala masyarakatnya sudah mencapai masyarakat literat. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus mengusung isu-isu literasi dengan salah satunya memanfaatkan hasil studi-studi internasional sebagai salah satu dasar yang sangat penting. Di dalam kurikulum yang digunakan saat ini peta kemampuan membaca belum dipilah secara tegas. Kebijakan pembelajaran membaca hanya terfokus pada proses membaca untuk memperoleh informasi (walaupun dalam temuan PIRLS tujuan ini masih berada di level sedang). Belum ada pendalaman yang memadai, misalnya, membaca untuk memperbaiki kemampuan membaca, membaca untuk beroleh pengalaman bersastra, dan membaca untuk beroleh kesenangan.
87
3. Bahasan atas Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Soal Sastra pada Level Lemah Kemampuan siswa Indonesia menjawab secara benar pada butir soal sastra level lemah sebesar 82% dan berada di bawah rata-rata internasional (89%) memberikan gambaran bahwa ada permasalahan yang dihadapi siswa Indonesia. Mengapa siswa Indonesia berada di bawah rata-rata internasional? Sebenarnya, dengan melihat persentase menjawab benar, kemampuan itu tergolong tinggi. Namun, jenis butir soal dengan tingkat kesulitan rendah menggambarkan bahwa terdapat masalah yang dihadapi siswa Indonesia. Padahal, soal ini sangat mudah. Di dalam bacaan terdapat beberapa informasi yang terkait dengan petani, yakni anak sapi, anak elang, ayam, dan anjing. Yang banyak diceritakan adalah anak elang dan ayam. Sementara itu, anak sapi hanya diceritakan di awal dan di akhir. Kemungkinan pertama yang menjadi penyebabnya adalah siswa Indonesia terfokus kepada jumlah penceritaan. Di dalam pembelajaran membaca sastra ada satu subkompetensi memahami unsur intrinsik cerita, khususnya tokoh utama. Tokoh utama cerita ditandai dengan selalu muncul sejak awal cerita dan tingkat kemunculannya sangat dominan. Padahal, di dalam kenyataannya dapat saja tokoh utama tidak muncul di awal cerita seperti pada cerita “Terbanglah Elang Terbanglah”. Artinya, secara teori ada persoalan kualitas kemunculan tokoh di dalam cerita. Kualitas inilah yang harus juga menjadi perhatian penting di dalam memahami posisi tokoh di dalam cerita. Mengapa persoalan ini amat penting untuk diperhatikan? Seperti sudah dijelaskan pada teori, membaca adalah suatu proses memahami, baik pemahaman literal, inferensial, maupun kritikal. Walaupun sifatnya mengingat, proses pemahaman tetap berlangsung. Sulit dilakukan siswa untuk mengingat sesuatu kalau tidak ada pemahaman atas sesuatu itu. Itulah yang kemudian disebut dengan pemahaman literal. Kemungkinan penyebab kedua adalah konsentrasi membaca yang tidak baik sehingga harus dilakukan secara berulang-ulang. Padahal, siswa harus mampu mengelola waktu saat mengerjakan tes seperti ini. Jika siswa harus mengulang bacaan, waktu akan terkuras habis. Jadi, siswa hanya mengandalkan teori mengenai tokoh utama dan diterapkan pada masalah yang berbeda. Konsentrasi yang tidak baik menggambarkan juga bahwa siswa tidak terbiasa membaca. Seseorang yang tidak
88
biasa membaca tidak akan dapat menjaga konsentrasinya sehingga membaca harus dilakukan berulang-ulang. Ketidakbiasaan membaca juga menandakan bahwa skema siswa sangat lemah. Kelemahan inilah yang menjadikan siswa tidak memiliki rasa percaya diri saat memahami bacaan. Berikut ini contoh butir soal yang diujikan dalam standar internasional. 1. Apa yang dicari petani pada awal cerita itu? A. B. C. D.
anak sapi pengembala jurang berbatu anak elang
Karakteristik pertanyaan soal tersebut terletak pada penggunaan “apa”. Dalam tataran kognitif, kata tanya “apa” untuk mengukur kemampuan mengingat atau menyebutkan kembali informasi yang tersurat dari wacana yang dibaca. Pilihan jawabannya diambil semuanya dari wacana. Namun, siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata internasional dalam menjawab secara benar. Berikut ini disajikan satu butir soal lagi yang dikutip dari buku tes PIRLS 2011 dengan karakteristik yang sama. Butir soal ini dikonstruksi berdasarkan wacana sastra dengan judul “Bunga di Atas Atap”. Siapakah yang bercerita pada bacaan di atas? A. B. C. D.
seorang nenek seorang anak seorang dokter seorang petani
Soal-soal yang dikonstruksi seperti contoh di atas sebenarnya sudah biasa dihadapi oleh siswa Indonesia. Yang menjadi pembeda adalah kualitas butir soal-soal yang dikonstruksi oleh PIRLS 2011 dengan soal-soal yang dikonstruksi seperti dalam soal ujian nasional masih jauh berbeda. Bandingkan dengan butir soal nomor 9 Ujian Nasional Bahasa Indonesia 2011/2012 berikut ini. Tokoh utama pada penggalan drama tersebut adalah … A. B. C. D.
Lisna Budi Joni Danu
Karakteristik pertanyaan soal tersebut terletak pada penggunaan “siapa”. Dalam tataran kognitif, kata tanya “siapa” untuk mengukur kemampuan mengingat atau menyebutkan kembali informasi yang tersurat dari wacana yang dibaca. Pilihan jawabannya diambil semuanya dari wacana. Jenis pertanyaan tersebut menuntut siswa menggunakan kriteria tokoh utama. Nama tokoh Danu dan Lisna paling banyak disebutkan. Artinya, jawaban atas butir soal tersebut adalah D (Danu) atau A (Lisna). Akibatnya, siswa cenderung menebak jawaban, bukan “menyebutkan” atau “menyimpulkan”. Kualitas butir soal seperti ini jelas lemah di satu sisi, dan tidak menarik di sisi lain bagi siswa oleh karena “membingungkan” antara “menyebutkan kembali” dengan “menyimpulkan”. Dalam keadaan seperti ini tampak bahwa ada ketidakjelasan jawabannya. Untuk lebih menguatkan analisis tersebut, berikut ini disajikan lagi satu butir soal nomor 10 Ujian Nasional Bahasa Indonesia 2011/2012.
89
Latar tempat pada drama tersebut adalah … A. B. C. D.
sekolah rumah Danu lapangan toko buah
Di dalam wacana yang ditampilkan, terdapat dua latar tersurat, yakni toko buah dan sekolah. Di samping itu, terdapat latar yang tidak jelas, yakni “tempat tokoh bernama Danu sakit”. Dalam wacana tidak ada sedikit pun tanda yang merujuk kepada tempat tokoh tersebut sakit. Akan tetapi, jawabannya adalah “rumah Danu”. Artinya, kualitas wacana yang dijadikan kasus untuk mengukur kemampuan membaca sastra siswa tidak bermutu. Akibatnya, menebak merupakan pilihan cara siswa menjawab. Karakteristik butir soal kemampuan membaca seperti ini sangat subjektif jawabannya. Persepsi ini muncul juga pada diri guru bahwa jawaban butir soal membaca sangat subjektif. Hasil penelitin yang dilakukan Suryaman (2001) memberikan peta yang sama mengenai kemampuan membaca untuk mengukur daya ingat. Hanya 38% siswa yang mampu menjawabnya secara benar. Persentase ini mencerminkan masih rendahnya daya ingat siswa dalam memahami informasi bahan bacaan. Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab rendahnya kemampuan membaca siswa Indonesia adalah adanya kesalahan teori, belum terbentuknya kebiasaan membaca, wacana yang dipilih tidak berkualitas, serta butir soal yang dujikan rendah validitasnya. Keadaan seperti ini akan berdampak pada rendahnya motivasi siswa untuk belajar membaca. Membaca menjadi beban yang sangat berat bagi siswa oleh karena kualitas soal yang lemah. 4. Bahasan atas Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Soal Sastra pada Level Sedang Berdasarkan hasil penelitian mengenai kemampuan siswa Indonesia membaca karya sastra yang diukur dengan soal sastra level sedang tampak bahwa kemampuan sebagian besar siswa Indonesia di dalam menarik inferensi masih lemah. Kemampuan kognitif yang diukur adalah kemampuan melakukan inferensi. Secara teori, kemampuan melakukan inferensi tergolong ke dalam pemahaman interpretatif atau pemahaman inferensial. Pemahaman jenis ini menekankan pada proses menghubungkan fakta-fakta yang dinyatakan dalam baris yang satu dengan baris yang lain terhadap bacaan. Di samping itu, pembaca juga menginterpretasikan konsep yang ada dalam bahan bacaan. Berikut ini disajikan contoh butir soal untuk mengukur kemampuan inferensi. 1. Di awal cerita, mengapa Tom merasa Jeremy adalah musuhnya? ......................................................
Butir pertanyaan nomor 2 merepresentasikan tanggapan atas karakter tokoh dilihat dari hubungan antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Pada saat yang bersamaan terpolakan juga mengenai alur cerita. Kemampuan menghubungkan satu tokoh dengan tokoh lain dan bersamaan dengan itu menguhubungkannya dengan alur cerita menuntut kemampuan berpikir yang lebih tinggi daripada sekadar mengingat. Kemampuan seperti inilah yang dimaksud dengan kemampuan inferensial. Di dalam soal-soal yang biasa dikonstruksi di dalam ujian sekolah, di dalam buku teks pelajaran, maupun di dalam ujian nasional bentuk soal seperti ini tidak biasa muncul. Butir soal seperti ini tidak biasa ada dalam soal-soal yang dikonstruksi untuk ujian nasional. Konstruksi yang
90
biasa muncul bersifat menanyakan langsung atas karakter tokoh. Berikut ini sebagai contoh butir soal ujian nasional 2009/2010. 7. Sifat Sang Putri dalam cerita tersebut adalah … A. B. C. D.
cantik dan manja cantik dan baik hati ramah dan penolong penyayang dan baik hati
Kunci jawaban atas butir nomor 7 tersebut adalah A. Jenis pertanyaan tergolong ke dalam menyebutkan kembali. Namun, berbeda dengan standar yang dikonstruksi PIRLS Benchmarks Internasional, stem pada butir soal ujian nasional tidak memberikan kesempatan siswa berpikir oleh karena stem dan pilihan tidak problematis. Kebiasaan siswa Indonesia menghadapi soal-soal yang tidak problematis dan tidak menantang menyebabkan siswa tidak terbiasa berpikir dan tidak tertantang untuk menyelesaikan masalah. Akibatnya, kecenderungan jawaban siswa dihasilkan dari proses “menebak”. Di sisi lain, pilihan jawaban sangat lemah. Kata “cantik” menggambarkan fisik. Gambaran fisik biasanya berkorelasi dengan gambaran mental. Dalam teori sastra, sifat tokoh merepresentasikan mental. Seharusnya, pilihan yang dikosntruksi berupa manja, baik hati, penolong, dan penyayang. 5. Bahasan atas Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Soal Nonsastra pada Level Sedang Butir soal nomo 6 digunakan untuk mengukur kemampuan menemukan informasi dari wacana yang problematis. Kata tanya yang digunakan adalah “mengapa”. Kata tanya ini bersifat mengungkap alasan dari wacana yang harus dibaca. Siswa diminta untuk memberikan alasan atas sikap tokoh cerita terhadap tokoh cerita lainnya. Jawaban alasan tersebut tersurat tetapi siswa harus menghubungkan satu peristiwa sederhana dengan peristiwa sederhana lainnya. Butir soal tersebut tergolong mudah untuk siswa dengan 84% siswa internasional dapat menjawab secara benar dan lebih dari separuh siswa dari seluruh negara mampu menjawab secara benar. Bahkan, siswa Hongkong dapat menjawab 98% secara benar. Namun, siswa Indonesia hanya 66% mampu menjawab soal pada butir ini dan berada di bawah rata-rata internasional (84%). Siswa lain memilih jawaban B (23%), C (5%), dan D (5%). Karakteristik jawaban sebenarnya bersifat tersurat di dalam brosur. Artinya, kemampuan membaca brosur masih menjadi suatu persoalan di kalangan siswa Indonesia, sama halnya dengan membaca tabel atau peta.
91
5. Mengapa kamu harus membawa kaos kaki cadangan dalam kegiatan lintas alam? A B C D
kaki mungkin saja basah cuaca mungkin saja dingin kalau-kalau lecet untuk seorang teman
Dari segi isi, butir soal yang biasa dikonstruksi untuk ujian nasional biasanya berupa informasi mengenai obat. Misalnya, butir soal nomor 5 pada ujian nasional 2011/2012 dan 2009/2010. Melihat fenomena ini, isi kasus cenderung tidak berubah dengan stem yang tidak problematis. Berikut ini adalah contohnya.
92
6.
Rani berusia 10 tahun maka penggunaan obat batuk yang sesuai adalah … A B C D
sehari tiga kali sebanyak 10 ml sehari tiga kali sebanyak 5 ml tiga hari sekali sebanyak 10 ml tiga hari sekali sebanyak 10 ml
Indikasi: Batuk berdahak Batuk karena bronchitis Komposisi: Tiap 5 ml mengandung: Bromhexine ………….. 4 mg Guaipheresin …………. 100 mg Ethanol ………………. 6% v/v Cara Pakai: Dewasa dan anak usia di atas 12 tahun: 3 kali sehari 10 ml Anak-anak usia 2 sampai 12 tahun: 3 kali sehari ml
Dengan melihat kasus tersebut, butir soal untuk mengukur kemampuan menemukan informasi dari kasus yang tidak problematis, tidak sesuai dengan dunia siswa, dan terlalu berat untuk siswa. Hal ini berdampak pada siswa tidak terbiasa menghadapi butir soal yang sesuai dengan perkembangan kognitifnya. Tentulah faktor demikian menjadi salah satu faktor penyebab masih banyaknya siswa Indonesia mendapatkan kesulitan untuk menemukan informasi secara tepat. 6. Bahasan atas Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Soal Sastra pada Level Tinggi Karakteristik butir soal dari wacana “Kue untuk Musuh” (“Enemy Pie”) mengukur kemampuan membaca siswa terkait wacana sastra. Butir soal memiliki tingkat kesulitan tinggi. Proses berpikir yang diungkap adalah kemampuan meinginterpretasi dan mengintegrasikan gagasan dan informasi dari sebuah wacana sastra. Soal yang dikonstruksi berupa uraian singkat dengan satu jawaban benar. Berikut ini contoh butir soal tersebut. 14. Gunakan bagian cerita yang telah kamu baca untuk menjelaskan mengapa ayah Tom membuat kue untuk musuh. 1.
..........................................
Fokus pertanyaan soal ini pada tokoh dengan karakteristiknya yang harus dipecahkan siswa melalui proses pemaduan bukti/fakta-fakta dari penjelasan teks sastra kontemporer untuk memahami tujuan karakterisasi tokoh. Kata tanya yang digunakan adalah “mengapa”. Kata tanya ini bersifat mengungkap alasan dari wacana yang harus dibaca. Berdasarkan pada bagian cerita dalam wacana sastra, siswa diminta untuk memberikan alasan yang tepat atas informasi tokoh dikaitkan dengan konflik yang terjadi antartokoh lainnya. Jawaban atas alasan tersebut bersifat tersirat. Kemampuan siswa Indonesia untuk memadukan fakta-fakta dari bacaan sastra kontemporer terkait dengan pemahaman atas tujuan karakterisasi tokoh masih lemah. Apalagi bentuk soal yang dikonstruksi berupa uraian singkat. Dugaan bahwa siswa banyak menebak butir soal pilihan ganda yang disebabkan oleh salah satunya stem dan pilihan tidak jelas diperkuat oleh kemampuan melalui butir soal nomor 14. Sebagian besar siswa (78%) jawabannya tidak memperlihatkan kemampuan siswa untuk memahami aspek yang ditanyakan. Sisanya, siswa tidak memberikan jawaban. Hasil penelitian yang dilakukan Suryaman (2001) menunjukkan bahwa kemampuan siswa menafsirkan berdasarkan soal-soal yang disusun sebesar 37% dijawab secara benar oleh siswa. Ada penguatan antara temuan PIRLS dengan temuan penelitian sebelumnya mengenai kemampuan siswa menginterpretasi.
93
Tingkat pemahaman dalam membaca yang diukur tergolong ke dalam pemahaman interpretatif atau inferensial. Pemahaman interpretatif atau pemahaman inferensial adalah pemahaman terhadap bacaan dalam bentuk penghubungan fakta-fakta yang dinyatakan dalam baris yang satu dengan baris yang lain. Di samping itu, pembaca juga menginterpretasikan konsep yang ada dalam bahan bacaan. Bentuk soal dengan stem seperti tersebut pada nomor 14 tidak biasa diujikan pada siswa Indonesia. Padahal, soal tersebut sangat menarik karena problematis dan jawabannya ada di dalam bacaan. Bentuk soal yang biasa diterima siswa Indonesia seperti pada soal ujian nasional berupa pertanyaan langsung atas pokok yang diujikan. Berikut ini disajikan contoh butir soal ujian nasional 2009/2010. Tersedia satu kutipan cerita yang dikutip dari buku pelajaran bahasa Indonesia. 8.
Amanat yang tepat untuk cerita tersebut adalah … A. jika ingin punya anak bertapalah B. kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula C. menjadi anak janganlah manja D. rakyat harus mencintai putrinya
Kunci jawaban atas butir soal tersebut adalah C. Setelah dianalisis, tidak ada satu pun pilihan jawaban yang tepat. Kunci jawaban pun tidak ada di dalam wacana. Dijelaskan di dalam wacana bahwa penyebab Puteri Raja manja karena dia anak satu-satunya. Orang tuanya pun sangat memanjakan. Bahkan, rakyatnya sangat mencintai Puteri Raja. Kebiasaan siswa Indonesia menghadapi butir soal seperti ini dapat dijadikan dasar bahwa kemampuan tingkat tinggi siswa untuk memadukan bukti/fakta-fakta dari penjelasan teks sastra kontemporer untuk memahami tujuan karakterisasi tokoh tidak akan tercapai. 7. Bahasan atas Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Soal Sastra pada Level Tinggi Kemampuan siswa untuk menilai manfaat dari sesuatu dalam cerita secara menyeluruh menjadi salah satu standar internasional untuk mengukur kemampuan membaca. Wacana sastra yang diujikan berjudul “Kue untuk Musuh” (“Enemy Pie”). Butir ini mengilustrasikan kemampuan tingkat tinggi siswa untuk memadukan bukti/fakta-fakta dari penjelasan teks sastra kontemporer untuk memahami tujuan karakterisasi tokoh. Siswa pada tiga negara (Rusia, Hongkong, dan Finlandia) mampu menjawab secara benar sebanyak 70% dan 50% siswa berada di atas rata-rata internasional. Siswa Indonesia hanya 12% yang mampu menjawab secara benar dan berada jauh di bawah rata-rata internasional. Hasil studi yang ditunjukkan oleh Suryaman (2001) memperkuat temuan tersebut bahwa soal yang digunakan untuk mengukur kemampuan mengevaluasi dijawab secara benar oleh 36% siswa. Persoalan yang muncul adalah “Mengapa sebagian besar siswa memilih yang salah?” Berikut ini disajikan contoh butir soal sastra level tinggi untuk menjawab persoalan tersebut. 11. Mengapa matahari yang sedang terbit penting dalam cerita ini? A B C D
Matahari itu membangkitkan naluri elang untuk terbang. Matahari berkuasa di langit. Matahari menghangatkan bulu-bulu elang. Matahari memberikan cahaya pada jalan setapak di gunung.
Karakteristik butir soal dari wacana “Terbanglah Elang Terbanglah” (“Fly Eagle Fly”) mengukur kemampuan membaca siswa terkait wacana sastra. Tingkatan butir soal tergolong tinggi
94
karena menanyakan hal-hal yang bersifat evaluatif dari sebuah wacana sastra. Butir soal ini bersifat memberikan penilaian. Deskripsi butir soal ini mengenai penilaian atas makna dari suatu peristiwa yang harus dijawab siswa dengan cara memilih salah satu jawaban yang paling benar. Berdasarkan butir soal tersebut juga dapat dikenalai bahwa kata tanya yang digunakan adalah “mengapa”. Kata tanya ini bersifat mengungkap alasan dari wacana yang harus dibaca. Berdasarkan seluruh cerita dalam wacana sastra, siswa diminta untuk memilih alasan yang tepat atas informasi mengenai manfaat dari sesuatu yang ada dalam cerita. Jawaban atas alasan tersebut bersifat tersirat. Ketidakbiasaan siswa Indonesia dihadapkan kepada soal-soal seperti pada butir nomor 11 menjadi satu gambaran ketidakmampuan sebagian besar siswa untuk memecahkan soal tersebut. Di dalam soal ujian nasional tidak ditemukan butir soal dengan tujuan mengukur kemampuan siswa untuk menilai manfaat dari sesuatu dalam cerita secara menyeluruh. Padahal, di dalam teori membaca satu jenis tingkat pemahaman dalam membaca yang diukur pemahaman kritikal.. Pemahaman kritikal adalah pemahaman terhadap bacaan dalam bentuk pemikiran kritis untuk mempertimbangkan kriteriakriteria internal dan eksternal. Persoalan yang juga dapat diidentifikasi dalam soal ujian nasional adalah wacana yang diujikan hanya berdasarkan wacana yang tidak utuh. Setiap butir soal didahului oleh kutipan wacana yang tidak utuh. Jika jumlah butir soal 50 buah, berarti siswa harus membaca 50 buah wacana tidak utuh. Beban siswa menjadi sangat berat sementara waktu yang tersedia relative sedikit. Akibatnya, siswa akan mengalami frustasi. Pengalaman ini berdampak pada keadaan mental yang sangat fatal, yakni tidak adanya keinginan untuk membaca. Padahal, seringkali juga kutipan wacana yang dijadikan bahan untuk pertanyaan tidak representatif. 8. Bahasan atas Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Soal Nonsastra pada Level Tinggi Karakteristik butir soal dari wacana “Lintas Alam” (“Day Hiking”) meliputi kemampuan membaca siswa terkait dengan menemukan dan menggunakan informasi dari wacana nonsastra dengan tingkat kesulitan butir soal tinggi. Proses yang diungkap mengenai kemampuan memberikan penilaian. Butir soal ini berisi deskripsi mengenai penilaian atas makna dari suatu peristiwa dari sebuah wacana nonsastra dan siswa diminta untuk menjawab dalam bentuk uraian singkat dengan dua jawaban benar yang masing-masing mendapat skor 1 jika kurang sempurna dan 2 jika sempurna. Di dalam teori membaca satu jenis tingkat pemahaman dalam membaca yang diukur pemahaman kritikal. Pemahaman kritikal adalah pemahaman terhadap bacaan dalam bentuk pemikiran kritis untuk mempertimbangkan kriteria-kriteria internal dan eksternal. Butir soal standar internasional level tinggi dicontohkan melalui butir soal nomor 11 melalui membaca peta. Isi yang ditanyakan mengenai dua hal yang dapat dipelajari dari peta brosur “Lintas Alam” (“Day Hiking”).
95
11. Sebutkan dua hal yang dapat kamu pelajari dengan mengamati peta? 1. .............................................. 2. ..............................................
Berdasarkan hasil tes, diperoleh gambaran bahwa 59% siswa secara internasional mampu menjawab butir soal tersebut. Siswa Indonesia yang mampu menjawab secara benar sebesar 33% dengan kecenderungan 22% skor 1, 11% skor 2, 56% salah dan sisanya tidak menjawab. Membaca peta atau tabel merupakan kompetensi yang sangat penting di dalam pembelajaran membaca. Butir soal seperti ini juga biasa muncul dalam soal ujian nasional. Berikut ini contoh butir soal ujian nasional 2009/2010 tentang membaca peta. Disajikan sebuah peta lokasi. 17. Jika Pak Rudi mengendarai sepeda motor dari Jalan Gurame, belok ke arah Barat dan belok lagi ke arah Utara, ia akan pergi ke … A. B. C. D.
lapangan golf kantor PLN pasar baru kantor pajak
Tujuan butir soal tersebut hanya untuk mengukur kemampuan menyebutkan kembali. Hal ini berbeda dengan butir soal membaca peta pada standar PIRLS yang menonjolkan segi pemahaman. Kecenderungan membaca peta untuk pemahaman tingkat tinggi masih belum terjadi dalam pembelajaran membaca peta pada siswa Indonesia. 9. Bahasan atas Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Soal Nonsastra pada Level Tinggi Butir soal pilihan ganda yang diambil dari wacana “Misteri Gigi Raksasa” (“The Giant Tooth Mistery”) digunakan untuk mengukur kemampuan membuat inferensi. Berbeda dengan melakukan inferensi pada soal pengikat (anchoring) pada level sedang, siswa menjawab butir secara benar ditunjukkan melalui inferensi berdasarkan pernyataan berseri dalam teks lengkap yang mengandung gagasan-gagasan kompleks. Sebanyak 58% siswa mampu mengerjakan soal cerita lintas negara dan lebih dari 75% siswa di Hongkong dan Cina Taipeh mampu menjawab secara benar. Sementara itu, siswa Indonesia hanya 35% yang mampu menjawab secara benar dan berada jauh di bawah rata-rata internasional (58%). Kecenderungan yang terjadi, siswa yang lain memilih A (12%), B (15%), dan D
96
(32%). Artinya, kemampuan sebagian besar siswa Indonesia dalam menjawab butir soal untuk membuat inferensi (tingkat tinggi) masih lemah. Di dalam wacana tidak ada informasi selain pada butir C. 9.
Mengapa Gideon Mantell membawa fosil gigi ke museum? A. B. C. D.
untuk bertanya apakah fosil itu milik museum untuk membuktikan bahwa ia adalah ahli fosil untuk mendengar pendapat ilmuwan yang lain tentang pikirannya untuk membandingkan fosil gigi dengan fosil gigi lain di museum
Kemampuan melakukan inferensi siswa Indonesia yang masih berada jauh di bawah rata-rata internasional menggambarkan bahwa pembelajaran membaca belum berjalan dengan semestinya. Hasil penelitian Suryaman (2001) menguatkan dugaan tersebut. Untuk mengetahui aspek perencanaan dalam pembelajaran membaca yang dikembangkan guru berikut ini disajikan data tentang hal tersebut. Semua guru (7 orang guru) memberikan jawaban bahwa mereka tidak membaca kurikulum Bahasa Indonesia dalam waktu satu tahun terakhir, khususnya berkenaan dengan pokok bahasan membaca, sebelum pembelajaran membaca dilaksanakan. Mereka pun tidak membaca buku pelajaran pegangan siswa dan sumber lain selain buku pelajaran pegangan siswa. Alasannya, mereka tidak memerlukannya lagi karena mereka sudah terbiasa mengajarkan bidang studi bahasa Indonesia, khususnya pokok bahasan membaca. Di samping itu, bahan ajar membaca sudah tersedia di dalam buku pelajaran sehingga siswa dapat langsung membacanya. Ketika ditanya tentang perlunya menyusun rencana pembelajaran, seluruh guru (100%) menganggap sangat penting. Namun, ketika ditanya alasan mengapa mereka tidak membaca dasardasar untuk melakukan perencanaan pembelajaran membaca, jawaban mereka adalah pokok bahasan membaca merupakan hal yang relatif statis. Artinya, masalah membaca hanya berputar pada hal-hal yang sama, yakni ada bahan bacaan dan bahan latihan sehingga guru tidak perlu lagi melakukan persiapan. Ketika ditanya apakah posisi pokok bahasan membaca di antara pokok bahasan-pokok bahasan yang lain tergolong sulit, sedang, dan mudah, sebagian besar guru (6 orang atau 86%) menjawab mudah dan hanya 1 orang atau 14% yang menganggap sedang. Artinya, guru mempersepsi pokok bahasan membaca sebagai pokok bahasan yang paling mudah dibandingkan dengan yang lain sehingga dalam pembelajarannya tidak lagi diperlukan perencanaan. Sebagian besar (84%) menunjukkan alasan bahwa materi yang akan diajarkan sudah tersedia pada buku pelajaran. Hanya 14% yang beralasan bahwa pembelajaran membaca harus memperhatikan faktor-faktor cara membaca dan hakikat membaca. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh data bahwa seluruh guru membaca buku pelajaran pada saat mereka berada di kelas. Akibat dari cara demikian adalah seluruh guru menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui bahan bacaan apa yang akan dijadi-kan bahan pembelajaran pada saat itu kecuali setelah dikonfirmasikan kepada siswa pada saat itu juga. Di dalam proses pembelajaran di kelas seluruh guru menyatakan bahwa dirinya tidak mendapatkan kesulitan karena proses dapat berlangsung secara spontan dengan cara siswa disuruh untuk membaca. Ketika ditanya tentang strategi agar siswa terampil membaca, sebanyak 5 orang guru menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui strategi yang tepat dan 2 orang guru menggunakan strategi membaca cepat dan membaca pe-mahaman. Dilihat dari ketersediaan sarana belajar membaca, seluruh guru tidak menggunakan sarana belajar membaca berupa kamus. Setiap pembicaraan tentang kosakata hanya didasarkan atas intuisi dan pengetahuan guru. Aktivitas murid berjalan secara monoton. Di sisi lain, pola demikian tidak memberikan suatu kondisi yang baik bagi minat siswa untuk membaca.
97
Ketika ditanya tentang pokok bahasan yang dijadikan induk dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, seluruh guru tidak menentukannya. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan komunikatif belum diimplementasikan secara benar karena pembelajaran bahasa dilakukan secara terpisah antara satu pokok bahasan dengan pokok ba-hasan lain. Padahal, ciri kekuatan pendekatan komunikatif berupa materi yang bersifat integratif. Alasannya, mereka sulit untuk merumuskannya karena semua pokok bahasan dianggap sebagai inti. Mana yang dapat dijadikan pusat dalam pembelajaran sehingga mampu memayungi seluruh pokok bahasan menjadi persoalan besar yang dialami para guru. Mereka juga belum pernah memperoleh panduan praktis tentang penggunaan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Ketika diusulkan agar pokok bahasan membaca dapat dijadikan induk untuk pokok-pokok bahasan lainnya, seluruh guru menyatakan sangat setuju. Namun, mereka menganjurkan agar ada panduan khusus yang dapat dijadikan rujukan untuk pengembangannya. Berkenaan dengan model pembelajaran membaca yang bisa diungkap dari guru melalui wawancara adalah para guru tidak mengetahui model pembelajaran yang seperti apa yang seharusnya mereka kembangkan. Setelah siswa menyelesaikan proses membaca dalam hati, langkah yang dilakukan guru adalah melakukan evaluasi. Seperti telah tergambar pada aspek perencanaan dan pelaksanaan, evaluasi dilakukan guru hanya didasarkan pada latihan yang tersedia di dalam buku pelajaran. Tidak ada evaluasi secara terencana, baik terhadap bacaan secara lebih luas maupun terhadap pembaca. Evaluasi diidentikkan dengan latihan. Akibatnya, tidak ada tindak lanjut yang terpola yang bisa dilakukan murid di rumah, selain pola yang sama seperti yang mereka lakukan di dalam kelas. Berdasarkan uraian tersebut tampak bahwa hal-hal yang dideskripsikan dari pembelajaran membaca yang dilakukan guru mencakup tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dan tindak lanjut. Hasil pengamatan dan wawancara menunjukkan bahwa pada semua sekolah sampel guru tidak melakukan perencanaan khusus untuk pembelajaran membaca. Bahkan, tidak ada satu pun guru yang mengetahui bahan bacaan mana yang akan diajarkan pada jam tersebut. Mereka hanya mengandalkan buku pelajaran. Jadi, tidak ada perencanaan tertulis yang dikembangkan guru. Proses pembelajaran masih didasarkan atas intuisi dan pengetahuan guru semata. Tidak ada seorang guru pun yang membawa kamus ke dalam kelas. Evaluasi dipersepsi sebagai latihan. Begitu proses latihan selesai, pembelajaran membaca dianggap selesai. Akibatnya, waktu yang tersedia untuk pembelajaran membaca rata-rata tersisa satu jam pelajaran. Lalu, guru mengalihkan pokok pembelajaran membaca ke pokok pembelajaran yang lain. Dari beberapa kali pengamatan, pola pembelajaran membaca yang dikembangkan guru pada sekolah sampel yang diteliti semuanya sama. Kegiatan diawali dengan guru meminta siswa membuka buku dan membacanya dalam hati. Tahap berikutnya, guru meminta siswa mengerjakan latihan. Tahap terakhir, guru meminta siswa untuk membahas hasil kerja mereka yang disesuaikan dengan persepsi guru. Variasi yang tampak dikembangkan adalah dilakukannya kegiatan diskusi. Proses ini pun masih tetap di-dominasi oleh persepsi guru. Berdasarkan pola yang dikembangkan ini tampak pula bahwa pembelajaran bahasa masih dilakukan secara terpisah. Padahal, pokok bahasan membaca dapat dijadikan induk pembelajaran bahasa. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran membaca yang diteliti di sekolah-sekolah sampel dilakukan seadanya. Indikator seadanya adalah tidak adanya perencanaan, dan pelaksanaannya dilakukan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah, prinsip-prinsip, serta asumsi-asumsi berkenaan dengan membaca. Pelaksanaan pembelajaran membaca tanpa menggunakan strategi yang akan membuat siswa merasa tertarik untuk membaca, siswa dibiarkan membaca sendiri dan mengerjakan latihan sendiri, dan bahasan tentang membaca hanya berkutat pada latihan. Padahal, masalah bacaan dan membaca merupakan masalah yang kompleks sehingga tidak bisa dilakukan hanya dengan siswa mem-baca dalam hati serta menjawab pertanyaan-pertanyaan; masalah bacaan akan ber-hubungan dengan keterbacaan, bahasa, struktur karangan, jenis karangan, dan substansi bacaan itu sendiri; dan masalah membaca akan berhubungan dengan kemudahan pembaca memahami bacaan, bahasan tentang penguasaan bahasa pembaca, strategi me-ngenali kalimat utama, organisasi karangan, jenis karangan, dan juga informasi, baik faktual maupun nonfaktual, fiktif maupun nonfiktif, dan pernyataan implisit maupun eksplisit.
98
Di sisi lain, skema siswa Indonesia mengenai museum masih kurang sehingga museum hanya dipandang sebagai tempat penyimpanan benda-benda sejarah. Pembelajaran membaca yang cenderung hanya menekankan pada penentuan ide pokok paragraf tanpa ada penafsiran yang lebih spesifik mengenai ide pokok paragraf menjadi salah satu penyebab kemampuan membaca siswa lemah ketika dihadapkan pada soal-soal yang menghubungkan antara satu fakta dengan fakta lain dalam hubungan sebab akibat. 10. Bahasan atas Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Soal Sastra pada Level Sempurna Kemampuan siswa internasional menjawab tipe butir soal level sempurna tergolong rendah, yakni sebesar 29%. Butir soal yang didasarkan pada wacana sastra “Terbanglah Elang Terbanglah” (“Fly Eagle Fly”) difokuskan pada kemampuan menginterpretasi karakteristik perilaku dari wacana yang bersifat alegoris yang mencakup ciri bawaan dan memberikan suatu contoh dari teks yang didukung dengan interpretasi. Siswa Indonesia hanya 3% yang mampu menjawabnya. Seperti apa kecenderungan siswa Indonesia di dalam memecahkan soal seperti ini? Mengapa siswa Indonesia berada jauh di bawah rata-rata internasional dalam hal menginterpretasi dan memadukan gagasan serta informasi dari pengalaman bersastra? Kecenderungan siswa Indonesia menjawab pertanyaan butir soal level sempurna adalah salah (66%), mendapatkan skor 1 (18%), skor 2 (3%), dan sisasnya tidak memberikan jawaban. Kencenderungan ini memberikan gambaran bahwa kebiasaan melakukan interpretasi dan memadukan gagasan serta informasi untuk sebagian besar siswa belum terlatih dengan baik. Ada anggapan bahwa menginterpretasi gagasan dan informasi dalam sastra bersifat multiinterpretasi sehingga jawabannya dapat bermacam-macam. Anggapan ini tentunya sangat merugikan siswa karena interpretasi selalu berangkat dari masalah yang ada dalam bacaan. Artinya, masalahnya pasti sama. 12. Kamu tahu seperti apa teman petani itu dari hal-hal yang ia lakukan. Jelaskan seperti apakah teman petani itu dan berikan contoh apa yang telah ia lakukan untuk menunjukkan hal ini.
Di dalam sastra, ada satu teori mengenai karakteristik tokoh. Jenis pertanyaan yang biasa muncul berupa pertanyaan tunggal tanpa ada masalah seperti pada contoh berikut ini. 7. Sifat Sang Putri dalam cerita tersebut adalah … A. B. C. D.
cantik dan manja cantik dan baik hati ramah dan penolong penyayang dan baik hati
Berbeda halnya dengan butir nomor 12 standar internasional. Hampir semua butir pertanyaan dibuat secara problematis sehingga memandu siswa dalam memberikan jawaban secara pasti. 11. Bahasan atas Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Contoh Soal Nonsastra pada Level Sempurna Pada kasus contoh butir 13, dengan tujuan untuk mendapatkan dan menggunakan informasi dengan proses untuk menginterpretasi dan memadukan gagasan dan informasi rata-rata internasional siswa yang dapat menjawab benar sebesar 32%, sedangkan siswa Indonesia hanya 7% yang mampu menjawabnya. Kecenderungan yang terjadi adalah 66% siswa salah memberikan jawaban dan sisanya tidak memberikan jawaban. Bentuk soal mengklasifikasi masalah tidak ditemukan di dalam soal-soal
99
ujian nasional. Artinya, siswa Indonesia tidak terbiasa untuk dilatih dan diuji dengan model pemecahan klasifikasi. 13.
Penemuan-penemuan selanjutnya mem-buktikan bahwa Gideon Mantell salah meng-gambarkan bentuk Iguanodon. Isi bagian yang kosong untuk melengkapi tabel.
Bentuk Iguanodon menurut Gideon Mantell
Bentuk Iguanodon menurut ilmuwanilmuwan masa kini
Iguanodon berjalan dengan empat kaki. Iguanodon memiliki cakar di ibu jarinya. Iguanodon berukuran sepanjang 30 meter.
Hal ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan butir soal yang biasa dikonstruksi untuk uji kemampuan membaca siswa Indonesia. Adapun butir soal yang biasa dikonstruksi dalam kemampuan membaca siswa di Indonesia dalam ujian nasional seperti tampak pada contoh berikut ini. 1.
Apa yang menyebabkan banjir di kota-kota besar? A. padatnya penduduk yang tinggal di kota-kota besar B. tidak adanya daerah serapan air dan tersumbatnya saluran air C. banyaknya gedung-gedung bertingkat serta pabrik-pabrik D. kurangnya perhatian pemerintah dan instansi terkait.
Pertanyaan ini hanya mengungkap persoalan yang bersifat tunggal di satu sisi dan di sisi lain wacana yang diujikan kurang mengandung masalah yang bersifat problematis. Wacana yang disediakan dari segi substansinya hanya berisi informasi. Artinya, salah satu penyebab rendahnya kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal standar internasional oleh karena pemilihan wacana yang cenderung bersifat informatif. Kecenderungan ini juga terjadi di dalam kelas saat pembelajaran membaca berlangsung. Guru kurang responsif atas wacana yang dipilih sehingga tidak dipertimbangkan dari segi kualitasnya. Pembelajaran membaca cenderung asal dilaksanakan tanpa mempertimbangkan apakah kemampuan membaca berkembang atau tidak. Hasil studi yang dilakukan Suryaman (2001) terhadap analisis bacaan menunjukkan bahwa bacaan-bacaan yang ada dalam buku teks pelajaran, khususnya yang menjadi sampel dalam penelitian ini, juga pemilihannya kurang direncanakan secara matang. Hal ini tampak dari penggunaan kosakata baca, kalimat, posisi letak kalimat utama, organisasi karangan, serta jenis karangan. Ketidakmatangan dalam perencanaan ini menjadi nyata manakala diuji tingkat keterbacaannya. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat keterbacaannya sangat rendah. Dilihat dari sisi pembaca tampak pula bahwa aktivitas atau kegiatan membaca siswa ternyata sangat rendah. Faktor-faktor yang muncul adalah ketersediaan buku yang masih sedikit, perpustakaan yang tidak memadai, belum adanya kebiasaan mem-baca pada sebagian besar siswa. Berkenaan dengan kemampuan menguasai kosakata baca, kemampuan menguasai kalimat, kemampuan mengidentifikasi kalimat utama, kemampuan mengidentifikasi organisasi karangan, kemampuan mengidentifikasi jenis karangan, serta kemampuan memahami isi bacaan juga masih sangat rendah. Hal ini tampaknya tidak terlepas dari faktor pembelajaran membaca yang dikembangkan guru belum dilakukan secara baik dan model bacaan yang disajikan di dalam buku pelajaran juga kurang memadai. 12. Bahasan atas Kemampuan Siswa Indonesia Menjawab Contoh Butir Soal yang Tidak Biasa Dikonstruksi pada Soal Ujian Nasional
100
Selain butir-butir yang dijadikan contoh kasus pada paparan di atas, berikut ini disajikan pula beberapa contoh butir soal yang tidak biasa muncul dalam soal ujian nasional. Pertama, butir soal sastra dengan tujuan untuk mengungkap kemampuan melakukan inferensi.
Berdasarkan data literary-itemalmanac, butir soal dari wacana “Bunga di Atas Atap” (Flowers), 74,4% siswa Indonesia mampu menjawab dengan benar. Namun, kemampuan ini berada di bawah rata-rata internasional (76,1%). Kedua, butir soal dengan jenis isian (CR) pada wacana “Elang Terbanglah Elang” (Fly Eagle Fly) nomor 9. Butir soal ini juga tidak biasa dikonstruksi dalam ujian nasional. Hasilnya adalah 62,2% siswa Indonesia tidak dapat menjawab. Rata-rata siswa internasional yang tidak dapat menjawab butir soal ini sebesar 40%.
Ketiga, butir soal dengan jenis kombinasi berupa sikap dan isian dengan focus pada pemberian alasan pada wacana “Si Kilau”, khususnya butir soal nomor 14. Kemampuan siswa Indonesia untuk menjawab butir soal ini dengan skor 1 sebesar 19% dan 2 sebesar 8%, sedangkan rata-rata internasional sebesar 19% untuk skor 1 dan 36% untuk skor 2.
101
102
Keempat, butir soal isian melalui bagan pada butir nomor 12 dengan wacana berjudul “Hiu” (Sharks). Kemampuan siswa Indonesia untuk menjawab butir soal ini dengan skor 1 sebesar 24%, 2 sebesar 18%, dan 3 sebesar 15%, sedangkan rata-rata internasional dengan urutan sama sebesar 22%, 28%, dan 30%. Skor terendah siswa Indonesia berada di atas rata-rata internasional, sedangkan skor 2 dan 3 berada di bawah rata-rata internasional.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa untuk butir soal yang tidak biasa muncul dalam soal ujian nasional, kemampuan siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata internasional. Hal ini tidak jauh berbeda dengan butir soal lain. Artinya, faktor-faktor lain yang turut menentukan kemampuan siswa Indonesia dalam tes membaca harus mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Pembelajaran membaca yang dikembangkan guru ternyata tidak memperhatikan aspek bacaan dan pembaca. Guru menganggap bahwa pokok bahasan membaca me-rupakan pokok bahasan yang paling mudah dan sederhana karena segala sesuatunya telah tersedia di dalam buku pelajaran tersebut. Tidak adanya perencanaan secara khusus mengakibatkan pelaksanaan pembelajaran membaca berlangsung monoton dan evaluasi diidentikkan dengan latihan. Tidak ada tindak lanjut secara khusus setelah pembelajaran itu berakhir. Bahkan, sering terjadi waktu masih tersisa sehingga digantikan dengan pokok bahasan yang lain. Bila ditinjau lebih jauh lagi, yakni dari pembelajaran membaca, tampak bahwa pembelajaran membaca belum dikembangkan secara memadai pula. Guru memandang pokok bahasan membaca sebagai pokok bahasan yang paling mudah dan sederhana. Akibatnya, pembelajarannya pun dilakukan seadanya, yakni guru cukup mengandalkan buku pelajaran dan tidak perlu melakukan persiapan terlebih dahulu karena semuanya sudah ada dalam buku pelajaran. Persepsi demikian menyebabkan pelaksanaan pem-belajaran membaca dilakukan tanpa target yang jelas. Kegiatan membaca yang dilakukan siswa dari waktu ke waktu berjalan monoton. Mereka cukup membuka buku pelajaran, lalu membacanya, dan diakhiri dengan mengerjakan latihan yang telah ter-sedia pada buku tersebut. Kegiatan guru berikutnya adalah membahas hasil kerja siswa dengan sedikit diskusi. Benar-salahnya hasil kerja siswa lebih banyak ditentukan oleh persepsi guru. Tidak ada sarana pembelajaran membaca secara khusus, seperti kamus. Padahal sebuah bahasan dalam membaca akan selalu terkait dengan kamus. Penyediaan sarana ini juga akan membantu guru untuk menstimulus siswa untuk selalu membaca rujukan lain selain sumber yang dibacanya. Kegiatan membaca merupakan kegiatan yang amat kompleks. Tugas seorang guru adalah menguraikan kekompleksan tersebut menjadi suatu kegiatan yang mudah dan sederhana dengan tanpa menganggap kegiatan membaca sebagai hal yang mudah sehingga pembelajarannya dilaksanakan tanpa target yang jelas. Hal yang akan terkait dengan kegiatan membaca adalah bacaan, pembaca, dan peristiwa membaca. Aspek bacaan merupakan struktur yang amat kompleks. Di dalamnya terdapat bahasa yang digunakan sebagai sarana penyampaian informasi, baik sarana penyampaian informasi faktual
103
maupun fiktif. Agar informasi itu mudah dipahami, sebuah bacaan disusun berdasarkan teknik tertentu, seperti adanya pendahulu-an, isi, dan penutup; penempatan posisi letak kalimat utama; cara penyajian, seperti berdasarkan jenis karangan tertentu; serta substansinya itu sendiri. Di samping itu, bacaan akan terkait pula dengan aspek kognisi siswa. Artinya, apakah bacaan tertentu itu sudah sesuai dengan perkembangan anak, baik menyangkut tingkat kesulitan bacaan, substansi yang disajikan, maupun cara penyajian karangan, seperti organisasi karangan dan jenis karangan. Berkenaan dengan peristiwa membaca, hal yang harus diperhatikan adalah bacaan dan pembaca itu sendiri, cara pembelajarannya, serta penyediaan sarana pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam peristiwa membaca, aktivitas siswa tidak hanya diarahkan pada kemampuan menyerap substansi informasi bacaan karena hal demikian sulit terjadi manakala aspek-aspek di atas tidak diperhatikan. Ketiga aspek tersebut tidak diperhatikan oleh guru. Akibatnya, model pembelajaran membaca yang dikembangkan tanpa arah yang jelas, selain sekedar siswa membaca dan mengerjakan latihan. Evaluasi diartikan sebagai latihan. Padahal, di dalam evaluasi akan tersangkut pula aspek-aspek bacaan, pembaca, dan peristiwa membaca. Hal-hal demikian akan menjadi dasar pemberian tindak lanjut bagi kegiatan membaca siswa berikutnya. Bila kondisi ini dibiarkan terus-menerus, kemampuan membaca siswa tidak akan mencapai hasil yang maksimal. Dilihat dari model pembelajaran membaca yang dikembangkan guru dari ketujuh sekolah yang diamati ternyata menggunakan pola pembelajaran membaca yang sama dan sangat sederhana. Tahaptahap yang dilalui secara umum meliputi (1) guru meminta siswa untuk membaca bahan bacaan yang ada dalam buku pelajaran, (2) guru meminta siswa mengerjakan latihan yang ada dalam buku pelajaran, dan (3) guru dan siswa mendiskusikan hasil kerja siswa. Dilihat dari alokasi waktu, sebagian besar guru hanya memerlukan waktu 1 jam pelajaran. Hanya satu guru yang menggunakan waktu 2 jam pelajaran untuk pembicaraan pokok bahasan membaca. Menurut guru yang terpenting adalah tercapainya target materi tanpa memperhitungkan bahwa pokok bahasan membaca merupakan sarana berlatih anak untuk membaca. Artinya, kesiapan guru untuk mengembangkan pembelajaran membaca masih kurang baik.
104
Berdasarkan data di atas tampak bahwa belum ada upaya yang terencana dari para guru untuk mengembangkan kompetensinya selepas mengikuti pendidikan formal di perguruan tinggi. Persoalan demikian perlulah dijadikan bahan pertimbangan untuk memperbaiki kinerja para guru bahasa di masa-masa mendatang.
105
Bab V Simpulan dan Saran
A. Simpulan Berdasarkan analisis kemampuan membaca siswa Indonesia dalam standar internasional (PIRLS), kecenderungan yang dilakukan, perbandingannya dengan butir soal yang biasa diujikan dalam ujian nasional, serta pembelajaran membaca di sekolah dapat ditarik beberapa simpulan. 1. Kemampuan membaca siswa Indonesia dibandingkan dengan siswa-siswa di dunia internasional masih belum memadai, baik di level sempurna, tinggi, maupun sedang, kecuali di level lemah. 2. Perubahan kemampuan membaca siswa Indonesia mengalami kemajuan, khususnya di level tinggi, sedang, dan lemah, kecuali di level sempurna dengan perubahan dalam perbandingan dengan capaian siswa internasional pada umumnya belum signifikan karena masih berada di urutan terakhir dari 45 negara yang diteliti, sedangkan negara-negara yang mengalami kemajuan berada di atas rata-rata internasional. 3. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra untuk mengukur kemampuan mengingat atau menyebutkan kembali informasi dalam cerita sastra pada level lemah tergolong tinggi namun masih berada di bawah rata-rata internasional. 4. Kemampuan sebagian besar siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra untuk mengukur kemampuan kognitif berupa melakukan inferensi pada level sedang masih berada di bawah rata-rata internasional. 5. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra untuk mengukur kemampuan menemukan informasi dari wacana yang problematis pada level sedang di bawah rata-rata internasional. 6. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level tinggi (kasus 1) untuk memadukan fakta-fakta dari bacaan sastra kontemporer terkait dengan pemahaman atas tujuan karakterisasi tokoh dalam wacana yang dijadikan kasus masih berada di bawah ratarata internasional. 7. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra untuk menilai manfaat dari sesuatu dalam cerita secara menyeluruh pada level tinggi kasus 2 berada jauh di bawah ratarata internasional. 8. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra untuk mengukur kemampuan menemukan dan menggunakan informasi pada level tinggi berada jauh di bawah rata-rata internasional. 9. Kemampuan sebagian besar siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level tinggi dalam menjawab butir soal untuk membuat inferensi (tingkat tinggi) masih berada jauh di bawah rata-rata internasional. 10. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level sempurna berada jauh di bawah rata-rata internasional dalam hal menginterpretasi dan memadukan gagasan serta informasi dari pengalaman bersastra 11. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level sempurna dengan tujuan untuk mendapatkan dan menggunakan informasi dengan proses untuk menginterpretasi dan memadukan gagasan dan informasi berada di bawah rata-rata internasional
106
12. Bentuk butir soal dan kemampuan siswa Indonesia terhadap butir soal yang tidak biasa muncul di dalam soal ujian nasional pada butir soal sastra dengan tujuan untuk mengungkap kemampuan melakukan inferensi, butir soal dengan jenis isian pada wacana “Elang Terbanglah Elang” (Fly Eagle Fly) nomor 9, butir soal dengan jenis kombinasi berupa sikap dan isian dengan fokus pada pemberian alasan pada wacana “Si Kilau”, khususnya butir soal nomor 14, dan butir soal isian melalui bagan pada butir nomor 12 dengan wacana berjudul “Hiu” (Sharks) berada di bawah rata-rata internasional. Secara umum dapat disimpulkan bahwa untuk butir soal yang tidak biasa muncul dalam soal ujian nasional, kemampuan siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata internasional. Hal ini tidak jauh berbeda dengan butir soal lain. Artinya, faktor-faktor lain yang turut menentukan kemampuan siswa Indonesia dalam tes membaca harus mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Berdasarkan pembahasan, ditemukan berbagai faktor sebagai penyebab dari lemahnya kemampuan membaca siswa Indonesia dalam standar internasional maupun nasional. Pertama, kecenderungan siswa Indonesia menjawab soal berdasarkan tebakan. Kedua, butir-butir soal ujian nasional, baik stem maupun pilihan tidak dikonstruksi dengan sempurna dan cenderung bersifat tunggal dengan kata kunci pertanyaan kurang spesifik. Ketiga, pemilihan wacana kurang diperhatikan dari segi kualitas isi dan masalahnya. Keempat, pembelajaran membaca di kelas belum mengutamakan pengembangan kompetensi membaca. Kelima, kebiasaan membaca belum dikembangkan secara memadai. Keenam, teori sastra yang diajarkan seringkali kurang tepat. Ketujuh, ukuran-ukuran jawaban dalam persepsi guru dan siswa sangat variatif oleh karena kualitas butir soal belum sempurna. B. Saran Berdasarkan simpulan tersebut, beberapa rekomendasi yang dapat diajukan. Pertama, menjadikan hasil studi yang dilakukan IEA program PIRLS sebagai bahan untuk meningkatkan kinerja pembelajaran bahasa Indonesia di level makro, seperti kebijakan kurikulum (standar isi, standar proses, standar penilaian, standar sarana dan prasarana); kebijakan profesionalisme guru bahasa Indonesia melalui sistem sertifikasi yang memungkinkan masalah literasi menjadi isu utama; kebijakan perbukuan yang mengusung isu utama literasi; dan kebijakan penilaian melalui ujian nasional dengan mengusung isu utama literasi. Kedua, mengembangkan kebijakan buku pendidikan yang tidak hanya terfokus pada buku pelajaran, tetapi juga buku pengayaan, buku panduan pendidik, dan buku referensi sehingga akan tersedia bahan bacaan yang memadai. Ketiga, membangun kesadaran dan keseriusan guru untuk menjadikan pembelajaran membaca sebagai payung pembelajaran bahasa dan mengembangkannya sesuai dengan hakikat membaca. Pengembangan kinerja guru harus berkelanjutan, tidak hanya terhenti selepas studi formal di perguruan tinggi, seperti melalui pelatihan, seminar, temu ilmiah, temu alumni, dan sebagainya. Keempat, kebijakan di dalam pengembangan soal ujian nasional masih menyimpan banyak masalah, seperti stem yang tidak problematis, pilihan jawaban yang tidak tepat, potongan-potongan wacana yang tidak representatif dan membebani siswa oleh karena ragamnya terlalu banyak sehingga siswa frustasi dan hanya menebak untuk memecahkan soal. Kebijakan di ranah ini harus diikuti dengan pengembangan soal ujian nasional yang teruji dengan validitas dan reliabilitas yang beragam serta elaborasi yang memadai atas indiaktor-indikator yang akan diujikan sehingga pilihan jawaban hanya ada satu yang benar, sedangkan yang lain pasti salah. Kelima, wacana yang dijadikan bahan untuk menjawab soal sebaiknya berupa beberapa wacana utuh dengan kualitas isi dan masalahnya yang baik, seperti tidak cepat kadaluwarsa, berbasis pengetahuan, dan karya sastra bermutu. Keenam, kebijakan pembelajaran membaca di level mikro yang diimplementasikan guru di sekolah harus mengutamakan kompetensi membaca, kebiasaan, minat, motivasi, dan budaya buku, bukan bahasan mengenai kosakata, kalimat, dan teori membaca. Ketujuh, teori-teori mengenai kebahasaan dan kesastraan diterjemahkan guru ke dalam langkah-langkah operasional sehingga siswa beraktivitas sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai secara konkret. Kedelapan, pemilihan kategori membaca perlu dipertegas dengan mendasarkan diri pada tujuan membaca, seperti membaca untuk memperbaiki kemampuan membaca, membaca untuk beroleh pengalaman bersastra, membaca untuk beroleh informasi, dan membaca untuk kesenangan. Kesembilan, penyediaan ruang-ruang publik untuk membaca dengan tersedia
107
beragam bacaan agar siswa khususnya dan masyarakat pada umumnya berkesempatan untuk memperkaya skema dan membangun kebiasaan membaca.
108
Daftar Pustaka
Adler, M.J. & C. van Doren., (1982), How to Read a Book, New York: Simon and Schuster. Aikman, C.C. dan M.F. O’Hear, (1997), “Main Idea: Writers Have Always Used It”, Journal of Adolescent & Adult Literacy, Vol. 41, No. 31, November 1997. Akhadiah, S., M.G. Arsjad, dan S. Ridwan, (1986), Menulis II, Jakarta: Karunika. Alatis, J.E., H.B. Altman, dan P.M. Alatis, (Eds), (1981), The Second Language Classroom, New York: Oxford University Press. Anderson, R.C. dan P.D. Pearson, (1988), “A Schema_Theoretic View of Basic Pro-cesses in Reading Comprehension”, dalam P.D. Pearson (ed.), 1984, Handbook of Reading Research, New York & London: Longman. Ausubel, D., (1978), "In Defense of Advance Organizers: A Reply to the Critics", Review of Educational Research, 48, 251-257. Badudu, J.S., dkk., (1991), Buku Panduan Penulisan Tata Bahasa Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Barry, W., (1977), Piaget’s Theory of Cognitive Development, New York & London: Longman. Biehler, R.F., (1978), Psychology Applied to Teaching, Boston: Hougton Mifflin Company. Bloom, B.S., (1974), Taxonomy of Educational Objectives: Handbook of Cognitive Domain, London: Longman Group Ltd. Brown, H.D., (1980), Principles of Language Learning and Teaching, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Brugger, S.J.H., (1978), “Criteria for Readability Used with P3D Reading Books”, UNESCO, IDA III, December 1978. Burness, D. dan G. Page., (1985), Insight and Strategies for Teaching Reading, Sidney: Harcourt Brace Javanovich Groups. Burns, R., (1984), Teaching Reading in Today’s Elementary Schools, New Jersey: Houghton Mifflin Company. Carrell, P.L. dan J.C. Eisterhold, (1988), “Schema Theory and ESL Reading Pedagogy”, dalam P. Carell, J. Devine, & D. Eskey, (eds.), Interactive Approaches to Second Language Reading, Cambridge: Cambridge University Press. Dale, E. dan J.S. Chall, (1984), “A Formula for Predicting Readability”, Educational Research Bulletin, Vol. XXVII, p. 11-20 and 17-54, Ohio State University: Bureau of Educational Research. Elley, W.B., (1992), How in the World Do Students Read?, The International Asso-ciation for the Evaluation of Education Achievement. Farr, R., (1984), What can be Measured?, Nemark, Del: International Reading Asso-ciation. Farr, R. & N. Rosser, (1978), Teaching a Child to Read, New York: Harcourt Brace Javanovich. Ferguson, G.A., (1982), Statistical Analysis in Psychology and Education, Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha. Flesch, R., (1975), The Art Readability Writing, New York: Harper & Row.
109
Fry, E.B., (1977), “Fry’s Readability Graph: Clarification, Validity, and Extention to Level 17”, Journal of Reading, Newmark, Del: International Reading Asso-ciation. Gibson, R. Ed. (1998). Rethinking the Future, Memikirkan Kembali Bisnis, Prinsip, Persaingan, Kontrol dan Kompleksitas, Kepemimpinan, Pasar, dan Dunia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gilliland, J., (1976), Readability, London: Horder and Stoughton. Good, L.T. dan J.E. Brophy, (1986), Educational Psychology, New York: Longman. Hafni, (1981), Pemilihan dan Pengembangan Bahan Pengajaran Membaca, Jakarta: P3G. Halim, A., dkk., (1982), Ujian Bahasa, Jakarta: Wira Nurbakti. Hamied, F.A., (1995), “Teori Skema dan Kemampuan Analisis dalam Bahasa Indonesia”, dalam PELLBA 8, Peny. Soenjono Dardjowidjojo, Yogyakarta: Kanisius. Harjasujana, A.S., (1988), “Nusantara yang Literat: Secercah Sumbang Saran ter-hadap Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia”, Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar, Bandung: IKIP Bandung. Harjasujana, A.S., (1997), “Tata Bahasa dalam Membaca: Pengaruh Panjang Kalimat dan Kekompleksan Kalimat terhadap Kecepatan Efektif Membaca”, Makalah, Disajikan pada Temu Ilmiah Ilmu-ilmu Sastra PPs Unpad di Hotel Panghegar, 22 Desember 1997. Harjasujana, A.S., Y. Mulyati, dan N. Nurhayatin, (1995), Membaca Modul 1-12, Jakarta: Universitas Terbuka. Harris, D.P., (1977), Testing English as a Second Language, New York: Tata Mc-Graw-Hill Inc. Harris, J. dan Albert R.S., (1980), How to Increase Reading Ability, New York: Longman Inc. Hunt, K.W., (1988), “Recent Measures in Syntactic Development”, Journal of Adolescent & Adult Literacy, Vol. 41, No. 31, November 1997. Ismail, T., (1988), Benarkah Kini Bangsa Kita telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis?, Jalan Utan Kayu Raya GG-E Jakarta Timur: Tanpa Penerbit. Jacobs, L.Ch., dan C. I. Chase, (1992), Developing and Using Tests Effectively: a Guide for Faculty, San Francisco: Jossey-Bass Publishers. Klare, G.R., (1984), Readability: Handbook of Reading Research, New York & London: Longman, Inc., pp.681-744. Kleden, I. (1999). “Buku di Indonesia: Perspektif Ekonomi tentang Kebudayaan” dalam Buku dalam Indonesia Baru. Editor Alfons Taryadi. Jakarta: YOI. Lado, R., (1964), Language Teaching a Scientific Approach, Bombay-New Delhi: McGraw-Hill Publishing Co. Ltd. Litbang Kompas. (2007). “Minat Baca Masyarakat Terhadang Daya Beli”. Kompas, 19 Februari 2005. Logan, L.M. and V.G. Logan, (1972), Creative Communication, Toronto: McGraw-Hill Ryerson Limited. Luria, A.R., (1982), Language and Cognition, New York: John Wiley and Sons. McNeil, J. D., L. Donant, dan M.C. Alkin, (1980), How to Teach Reading Successfully, Boston: Little, Brown and Company. Moegiadi, dkk., (1988), Laporan Studi Kesenjangan antara Buku Pelajaran dengan Kurikulum, Jakarta: Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan, Badan Penelitian Pengembangan dan Kebudayaan. Moyle, D., (1973), The Teaching of Reading, London: Hallen Heinemann Inter-national.
110
Munby, J., (1988), Communicative Syllabus Design, Cambridge: Cambridge Uni-versity Press. Naisbitt, J. dan Patricia Aburdene, (1990), Sepuluh Arah Baru untuk Tahun 1990-an Megatrends 2000, Jakarta: Bina Rupa Aksara. Nurgiantoro, B., (1987), Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nuttal, C., (1983), Teaching Reading Skills in a Foreign Language, London: Heinemann Educational Books. Oller, J.W., (1979), Language Test at School, London: Longman Group Ltd. Pikiran Rakyat, 5 Agustus 2005. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0805/04/0401.htm Diakses 4 November 2006. Pillai, S., Ed. (1997). “Books for All”, Proceedings of the ASEAN Conference on Book Development, Kuala Lumpur, 13-15 August, 1996, Perpustakaan Negara Malaysia for ASEAN-COCI, 1997. PIRLS 2011 International Report. Performance at the PIRLS 2011. International Benchmarks TIMMS & PIRLS Report International Study Center (IEA): Lynch School of Education, Boston College. Pusat Perbukuan Depdiknas. (2006). Laporan Hasil Penilaian Buku Teks Pelajaran SD, SMP, dan SMA. Jakarta: Pusat Perbukuan. Richards, J.C. dan R.T. Schidt, (1998), Approaches and Methods in Language Teach-ing, New York: Cambridge University Press. Robinson, H.A., (1989), Teaching Reading and Study Strategies the Content Areas, Massachusetts: Allyn & Bacon. Rusyana, Y., (1984), “Gagasan tentang Studi Keterbacaan Tingkat Sekolah Me-nengah”, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan, Bandung: Diponegoro. Rusyana, Y., (1984), “Penggunaan Bahasa dan Jenis Karangan dalam Penyusunan Buku Pelajaran Sejarah”, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan, Bandung: Diponegoro. Rusyana, Y., (1984), “Meningkatkan Minat dan Menanamkan Kebiasaan Baca Tulis pada Anakanak”, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan, Bandung: Diponegoro. Rusyana, Y., (1984), “Meningkatkan Kegiatan Apresiasi Sastra di Sekolah Lanjutan”, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan, Bandung: Diponegoro. Sanusi, A., (1988), Pendidikan Alternatif: Menyentuh Aras Dasar Persoalan Pen-didikan dan Kemasyarakatan, Bandung: Program Pascasarjana IKIP Bandung, Grafindo Media Pratama, dan Universitas Islam Nusantara. Schleisinger, I.M., (1968), Sentence Structure and the Reading Process, The Hague: Mouton. Semiawan, C.R., (1992), Pengembangan Kurikulum Berdiferensi, Jakarta: Gramedia. Siahaan, B.A., (1991/1992), “Masalah dan Kendala Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah”, dalam Kongres Bahasa Indonesia V Jilid 1, Peny. Sitanggang, dkk., Jakarta: Depdikbud. Siahaan, B.A., (1987), Pengembangan Materi Pengajaran Bahasa, Jakarta: Dep-dikbud. Singer, H. dan D. Donlan, (1980), Reading and Learning from Text, Boston: Little, Brown and Company. Smith, F., (1985), Understanding Reading: A Psycholinguistics Analysis of Reading and Learning to Read, New York: Holt, Rinehart and Winston.
111
Suryaman, M. (2001). ”Kesiapan Masyarakat Sunda Menghadapi Era Global”, Makalah pada Konferensi Internasional Budaya Sunda (The Indonesian Conference on Sundanesse Culture), Gedung Merede, Bandung, 22-25 Agustus 2001. Syamsuddin A.R., (1992), Studi Wacana: Teori-Analisis-Pengajaran, Bandung: Mimbar Pendidikan Bahasa dan Seni FPBS IKIP Bandung. Syaodih, N., (1997), Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, Bandung: Remadja Rosda Karya. Tallei, (1988), “Keterpaduan, Keruntutan, dan Keterbacaan Wacana Buku Pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar: Suatu Kajian dengan Pendekatan Analisis Wa-cana”, Disertasi, Bandung: PPs IKIP Bandung. Tampubolon, D.P., (1987), Kemampuan Membaca: Teknik Membaca Efektif dan Ef-sien, Bandung: Angkasa. Tarigan, H.G., (1986), Membaca sebagai suatu Keterampilan Berbahasa, Bandung: Angkasa. Tarigan, H.G., (1990), Pengajaran Bahasa Komunikatif, Bandung: Fakultas Pendidik-an Bahasa dan Seni IKIP Bandung. Thomas, L., (1993), Beginning Syntax, USA: Blackwell. Tim Studi Guru. 2012. Persiapan Menghadapi Ujian Nasional SD 2013. Bandung: Pustaka Setia. Vogel, M.G., (tanpa tahun), The Adventures of Robinson Crusoe, New York: Wald-man & Son, Inc. Wadworth, J.B., (1977), Piaget’s Theory of Cognitive Development, New York & London: Longman. Widdowson, H.G., (1983), Teaching Language as Communication, Oxford: Oxford University Press. World Bank. (1995). Indonesia: Book and Reading Development Project, Staff, Appraisal, May. Yap, K.O., (1978), “Relationship Between Amount of Reading Ability and Reading Achievement”, Reading Journal, 17, (1). Zuchdi, D., (1995), Strategi Meningkatkan Kemampuan Membaca: Peningkatan Pemahaman Bacaan, Yogyakarta: FPBS IKIP Yogyakarta.