“ • *
.
O p erasi-operasi M iliter di P apua: P agar M a k a n Tan am an ? Pro-Kontra P e m e k a ra n P a p u a : S e b u a h P e la ja ra n Bagi P e m e rin ta h Pusat D im en si In te rn a s io n a l Kasus P a p u a D e m o k ra tis a s i P artai d a n D ile m a Sistem K e p a r ta ia n di In d o n e s ia M e re n ta s J a la n P a n ja n g P e rd a m a ia n : N e g a r a & M a s y a ra k a t d a la m Resolusi Konflik M in o ritas M uslim di A u stralia d a n Inggris K e b ija k a n P e rta h a n a n A ustralia d a n Respons N e g a r a -n e g a r a Asia Tim ur d a n S e la n d ia Baru
REVIEW BUKU K ek erasa n a la K a p ita lis m e S e b u a h T e la a h a ta s Buku “V io le n c e a n d D e m o c ra tic S o c ie ty ”
Jurnal Penelitian
Vol. 3 No. 1, 2006
DAFTAR ISI 1
Catatan Redaksi Artikel •
Operasi-Operasi Militer di Papua: Pagar Makan Tanaman? Amiruddin a l Rahab
•
Pro-Kontra Pemekaran Papua: Sebuah Pelajaran bagi Pemerintah Pusat
•
Dimensi Internasional Kasus Papua
•
Demokratisasi Partai dan Dilema Sistem Kepartaian di Indonesia
L ili Romli Adriana Elisabeth
Syamsuddin Haris
3-23
25-41 43-65
67-76
Penelitian • Merentas Jalan Panjang Perdamaian: Negara dan Masyarakat dalam Resolusi Konflik Syafuan R ozi
77-89
• Minoritas Muslim di Australia dan Inggris lndriana Kartini
91-99
• Kebijakan Pertahanan Australia dan Respons NegaraNegara Asia Timur dan Selandia Baru Athiqah N ur Alam i
101-109
Review Buku • Kekerasan ala Kapitalisme: Sebuah Telaah atas Buku Violence and Democratic Society Athigah Nur A lam i
Tentang Penulis
111-118 119
Catatan Redaksi ebagai negara nusantara, Indonesia memiliki banyak pulau, besar dan kecil. Secara kiasan hal ini diungkap dalam sebuah petikan lagu “dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau. Sambung-menyambung menjadi satu, itulah Indonesia.” Sepanjang sejarahnya, Indonesia mengalami pasang surut dalam pola hubungan pusat-daerah, seperti beberapa pemberontakan di daerah terhadap apa yang disebut sebagai pusat. Tampaknya, pola hubungan kedaerahan sekarang ini menyisakan satu daerah yang belum tuntas penyelesaiannya. Daerah itu tidak lain dan tidak bukan adalah Papua. Sejak awal, upaya penyelesaian Papua sudah memperlihatkan dimensi internasional. Namun dalam perkembangannya, dimensi internasional ini semakin lama kian termobilisasi sehingga memaijinalkan posisi Papua di antara sejumlah pihak berkepentingan. Satu di antara pihak yang berkepentingan itu adalah militer. Baik dimensi internasional maupun pertaruhan militer dengan jajarannya di pusat dan di daerah berujung kepada fenomena Papua Menggugat. Fenomena ini dihadapkan kepada kita semua bahwa Papua secara keseluruhan tengah berusaha untuk memahami dan menempatkan identitas lokalnya dalam kerangka NKRI atau perspektif lainnya. Dalam kerangka inilah, fenomena Papua Menggugat menjadi topik utama dalam Jurnal Penelitian Politik edisi kali ini. Serangkaian artikel yang bersifat empirik maupun teoritik dikupas oleh penulis yang berkompeten. Satu artikel membahas perkembangan dimensi internasional untuk kasus Papua, baik aktor negara maupun nonnegara. Seperti dalam suatu medan, setiap aktor beijuang untuk memperoleh hasil yang maksimal. Memang tidak semua aktor akan dibahas secara khusus dalam edisi kali ini. Jumal edisi ini lebih memfokuskan pada satu aktor, yakni militer. Sorotan terhadapnya memang bukan tanpa alasan. Militer mengemban amanat konstitusi untuk menjaga keutuhan negara di wilayah ujung Timur Indonesia ini yang masuknya ke dalam lingkungan NKRI dapat dikatakan belakangan. Sementara itu, pada tingkat lokal, mereka memperlihatkan kontradiksi khususnya dalam hal pemekaran Papua. Adanya pro-kontra jelas menunjukkan faksionalisasi masyarakat Papua terhadap gagasan dari Jakarta. Berdasar ketiga sorotan ini, apakah kita sebagai bangsa merasa malu atas kegagalan dalam membangun kebangsaan atau justru bangga dengan segala atribut kelokalan ini sehingga seenaknya kita sinis kepada yang lainnya? Pembahasan berikutnya adalah kajian teoritik tentang demokratisasi dan dilema sistem kepartaian. Kajian teoritik ini menekankan pada partai politik sehingga isu yang disorot adalah pelembagaannya agar dalam tubuh partai politik sungguh-sungguh bercirikan demokrasi. Selain itu, isu yang juga penting adalah soal model sistem kepartaian. Sebagaimana biasa, Jurnal Penelitian Politik edisi kali ini juga menyuguhkan laporan hasil penelitian, yaitu tentang konflik, kebijakan pertahanan Australia, dan respons negara-negara Asia Timur dan Selandia Baru, dan minoritas Muslim. Studi empirik tentang konflik memfokuskan pada upaya negara dan masyarakat di daerah-daerah konflik horizontal untuk menuju resolusi konflik. Karakteristik keagamaan disadari begitu dominan pada ketiga daerah konflik yang diteliti. Dalam konteks lain, studi tentang minoritas Muslim di luar negeri diungkapkan untuk memberi gambaran yang tepat tentang posisi kelompok Muslim di tengah kehidupan masyarakat Barat. Sementara itu, studi tentang politik luar negeri berkenaan dengan pertahanan Australia yang menimbulkan respons tertentu dari sejumlah negara kawasan di Asia Timur dan negara tetangga lainnya. Kami berharap tema-tema yang disajikan dalam Jurnal Penelitian Politik edisi kali ini dapat memberi pencerahan kepada masyarakat ilmiah. Lebih-lebih lagi, hal ini akan memberikan kontribusi bagi perbaikan kehidupan perpolitikan kita. Selamat membaca.
S
1
OPERASI-OPERASI MILITER DI PAPUA PAGAR MAKAN TANAMAN? Amiruddin al Rahab* Abstract The aim o f this paper is to describe military operations in Papua undertaken by Kodam Tjendrawasih. The operations conducted by the Kodam based on security approach have caused thousands o f civilian victims. Therefore, Kodam that suppose to be the protector o f the people and the State has triggered bigger problem for unity o f the nations, separating movement in the region. The problem o f Papua has to be solved by targeting the roots o f the problem, which is the role o f military as a tool fo r solving conflict in Papua. After all, the main problem in Papua has to be identified and solved by an approach that reaches the basic problem in that region: self esteem and the welfare o f the people o f Papua.
1. P engantar ezim m iliter Orde Baru Soeharto menjadikan Papua' sebagai daerah k e k u asa an m ilite r, te ru ta m a Angkatan D arat (AD). K esan seperti itu sangat terasa karena instansi militer dan para petinggi militer di Kodam dan jajarannya m endominasi ranah politik dan jalannya pemerintahan di Papua. Cengkraman AD atas Papua kian kuat karena adanya dwifungsi ABRI dan d ijadikannya Papua sebagai Daerah Operasi M iliter (DOM).*12 D engan semangat berdw ifungsi, obsesi u tam a sem ua p im p in an m ilite r Indonesia, khususnya di jajaran Kodam T rik o ra dan di P em da P ap u a ad alah
R
* Peneliti di ELSAM, Jakarta dan Inisiator Pokja Papua yang mendalami masalah hak asasi manusia dan militer serta politik lokal, spesialisasi masalah separatisme dan gerakan perlawanan di Papua. 1 Dalam tulisan ini, Papua dipakai untuk mengaju kepada masa kini. Sementara untuk mengacu ke masa lalu di pakai Irian Barat atau Irian Jaya. Namun istilah itu dipakai secara bergantian dalam tulisan ini. Di samping itu untuk menunjukkan orang selalu dipakai istilah Papua. 2 Pemakaian istilah ABRI atau TNI sangat terkait konteks waktunya. Dalam tulisan ini istilah itu dipakai saling bergantian. Bahkan juga dipakai istilah insitusi militer atau insituasi keamanan.
m enghancurkan apa yang m ereka sebut g e ro m b o la n b e rs e n ja ta O P M .3 O bsesi penghancuran OPM itu juga dimotivasi oleh kepetingan ekonom i dan politik. Secara p o litik p etin g g i A D , sep erti Pangdam , Danrem , dan D andim adalah juga Ketua Pem bina G olkar di w ilayahnya.4 Secara ekonomi, semua perusahaan besar di Papua dikategorikan sebagai objek vital nasional. Artinya perusahaan-perusahaan itu berada di bawah naungan militer untuk keamanannya. U ntuk itu, perusahaan-perusahaan harus menyetor sejumlah uang. Pada gilirannya dalam setiap kepala pimpinan dan anggota ABRI, semua orang Papua adalah separatis, kecuali orang itu bisa menunjukkan dirinya bukan separatis. Untuk m o tiv a si in i, O PM y an g se la lu k ecil 3Obsesi pimpinan militer untuk menghancurkan gerombolan bersenjata di Papua dapat dilihat dalam Mayjen Samsudin,
Pergolakan di Perbatasan: Operasi Pembebasan Sandera Tanpa Pertumpahan Daerah, Gramedia, Jakarta, 1994, hlm 59— 60. 4 Hal ini berlangsung sampai Pemilu 1997. Obsesi politik itu adalah mengupayakan Golkar harus menang dalam setiap Pemilu di Papua. Bahkan Pangdam juga merupakan anggota MPR dari fraksi utusan daerah.
3
kekuatannya selalu dikampanyekan sebagai ancam an serius bagi N K RI. O bsesi itu tum buh dari cara pandang yang m elihat gerakan menuntut pengakuan identitas politik Papua sekadar masalah “bom waktu yang ditinggalkan Belanda” atau buah dari hasutan kelom pok sep aratis, bukan m erupakan persoalan mendasar yang berkaitan dengan rasa keadilan dan harga diri orang Papua. Maka dari itu untuk mengenyahkan “hantu OPM” itu, kebijakan yang diambil di Papua adalah menghancurkan OPM secara fisik (m em bunuh)5 dengan m enggelar operasi militer berkesinambungan (DOM) dari tahun ke tahun. Dr. Benny Giyai seorang rohaniwan dan in telektual P apua m encatat bahw a pengalaman di bawah cengkraman militer itu merupakan pengalaman pahit yang tak akan pernah terlupakan oleh orang-orang Papua. Benny m enuliskan bahw a dalam seluruh pengalaman pahit itu, orang Papua merasa d ip e rla k u k an b u kan seb ag ai m an u sia, melainkan hanya sebagai objek, yaitu objek operasi militer.6 Sejarah sebagai objek kekerasan itu lah yang selalu diingkari oleh Indonesia sampai hari ini. Pihak-pihak m iliter atau aparat keamanan di Papua sama sekali tidak pernah merasa melakukan kejahatan terhadap siapa pun di Papua, karena operasi-operasi m ilite r yang m erek a la n ca rk a n , atau penangkapan-penangkapan serta penyiksaan
5 Membunuh di Papua sungguh dalam artian harfiah. Pembunuhan terhadap Arnold Ap tahun 1984 atau pembunuhan terhadap Theis H. Eluay tahun 2002 adalah contoh dari kebijakan itu. Bahkan Kasad Jenderal Ryamizar Ryakudu menyatakan para anggota Kopassus yang telah divonis oleh Pengadilan Tinggi M iliter Surabaya terbukti membunuh Theis sebagai Pahlawan NKRI. 6 Benny Giyai, Menuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran Sekitar Emansipasi Orang Papua, ElshamDieyai, 2000. Dalam pandangan Benny, hari merdeka itu adalah hari datangnya kebahagian sehingga penderitaaan tidak lagi menjadi hari-hari orang Papua. Selain itu, Benny juga m eyakini bahwa hari itu akan datang sebagaimana kosm ologi orang Papua yang meyakini bahwa waktu berputar antara susah menuju senang dalam babakan-babakan tertentu. Hlm. 8— 9.
4
atau pembunuhan dengan segala bentuknya di Papua hanyalah dalam rangka menjalankan tu g as seb a g a i p e lin d u n g N K R I dari rongrongan organisasi yang disebut sebagai OPM. Tulisan ini berusaha membeberkan operasi-operasi m iliter yang digelar oleh Kodam yang berpataka “Praja Ghupta Vira” (Ksatria Pelindung Masyarakat) di Papua. Dalam pandangan orang-orang Papua, ABRI alih-alih menjadi pelindung, malah menjadi seperti pagar m akan tanam an. O perasioperasi militer mendatangkan kesengsaraan lahir dan batin bagi orang-orang Papua. Pandangan orang Papua itu masih bertahan sampai saat ini sehingga mendorong mereka m e n u n tu t m e rd e k a k a re n a re n d ah n y a kepercayaan terhadap instansi pemerintah yang ada di Papua. Dalam keperluan tulisan ini, operasioperasi militer yang berjalan terus-menerus dilihat sebagai kemenangan politik ABRI dalam melakukan bargaining dengan aktora k to r n e g a ra la in d alam m engam bil kebijakan. Dwifungsi ABRI membuat aktoraktor politik lainnya kehilangan kendali terhadap ABRI. Hal itu terjadi karena kuatnya pengaruh perwira militer dalam politik lokal Papua baik dalam badan legislatif Papua maupun dalam lembaga eksekutif di Papua.7 2. ABRI: Wajah Indonesia di Papua Sampai saat ini, argumen Indonesia bahwa proses penggabungan Papua ke dalam In d o n esia ad alah suatu “keh en d ak dan panggilan sejarah” dari sikap patriotisme para sukarelaw an terasa tidak m em adai lagi.
7 Konsepsi dwifungsi ABRI membuat cara pandang aktoraktor politik lainnya terkesampingkan. Selain itu, selama operasi m iliter itu b erlan gsu n g, jajaran birokrasi dikendalikan pula oleh para perwira aktif, mulai dari Ketua DPRD I dan II se-Papua, wakil gubernur, bupati dan atau wakil bupati se-Papua. Institusi strategis juga dikendalikan oleh perwira ABRI aktif, yaitu Kantor Direktorat Sospol Provinsi dan Kabupaten se-Papua dan Mawil Hansip Provinsi dan Mawil Hansip Kabupaten se-Papua.
kekuatannya selalu dikampanyekan sebagai ancam an serius bagi N K RI. O bsesi itu tumbuh dari cara pandang yang m elihat gerakan menuntut pengakuan identitas politik Papua sekadar masalah “bom waktu yang ditinggalkan Belanda” atau buah dari hasutan kelom pok sep aratis, bukan m erupakan persoalan mendasar yang berkaitan dengan rasa keadilan dan harga diri orang Papua. Maka dari itu untuk mengenyahkan “hantu OPM” itu, kebijakan yang diambil di Papua adalah menghancurkan OPM secara fisik (m em bunuh)5 dengan m enggelar operasi militer berkesinambungan (DOM) dari tahun ke tahun. Dr. Benny Giyai seorang rohaniwan dan intelektual Papua mencatat bahwa pengalaman di bawah cengkraman militer itu merupakan pengalaman pahit yang tak akan pernah terlupakan oleh orang-orang Papua. Benny m enuliskan bahwa dalam seluruh pengalaman pahit itu, orang Papua merasa d ip e rla k u k an b u kan seb ag ai m an u sia, melainkan hanya sebagai objek, yaitu objek operasi militer.6 Sejarah sebagai objek kekerasan itu lah yang selalu diingkari oleh Indonesia sampai hari ini. Pihak-pihak m iliter atau aparat keamanan di Papua sama sekali tidak pernah merasa melakukan kejahatan terhadap siapa pun di Papua, karena operasi-operasi m ilite r yang m erek a la n ca rk a n , atau penangkapan-penangkapan serta penyiksaan
5 Membunuh di Papua sungguh dalam artian harfiah. Pembunuhan terhadap Arnold Ap tahun 1984 atau pembunuhan terhadap Theis H. Eluay tahun 2002 adalah contoh dari kebijakan itu. Bahkan Kasad Jenderal Ryamizar Ryakudu menyatakan para anggota Kopassus yang telah divonis oleh Pengadilan T inggi M iliter Surabaya terbukti membunuh Theis sebagai Pahlawan NKRI. 6 Benny Giyai, Menuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran Sekitar Emansipasi Orang Papua, ElshamDieyai, 2000. Dalam pandangan Benny, hari merdeka itu adalah hari datangnya kebahagian sehingga penderitaaan tidak lagi menjadi hari-hari orang Papua. Selain itu, Benny juga m eyakini bahwa hari itu akan datang sebagaimana kosm ologi orang Papua yang meyakini bahwa waktu berputar antara susah menuju senang dalam babakan-babakan tertentu. Hlm. 8— 9.
4
atau pembunuhan dengan segala bentuknya di Papua hanyalah dalam rangka menjalankan tu g as seb a g a i p e lin d u n g N K R I dari rongrongan organisasi yang disebut sebagai OPM. Tulisan ini berusaha membeberkan operasi-operasi m iliter yang digelar oleh Kodam yang berpataka “Praja Ghupta Vira” (Ksatria Pelindung M asyarakat) di Papua. Dalam pandangan orang-orang Papua, ABRI alih-alih menjadi pelindung, malah menjadi seperti pagar m akan tanam an. O perasioperasi militer mendatangkan kesengsaraan lahir dan batin bagi orang-orang Papua. Pandangan orang Papua itu masih bertahan sampai saat ini sehingga mendorong mereka m enuntut merdeka k aren a ren d ah n y a kepercayaan terhadap instansi pemerintah yang ada di Papua. Dalam keperluan tulisan ini, operasioperasi militer yang berjalan terus-menerus dilihat sebagai kemenangan politik ABRI dalam melakukan bargaining dengan aktora k to r n e g ara la in d alam m engam bil kebijakan. Dwifungsi ABRI membuat aktoraktor politik lainnya kehilangan kendali terhadap ABRI. Hal itu teijadi karena kuatnya pengaruh perwira militer dalam politik lokal Papua baik dalam badan legislatif Papua maupun dalam lembaga eksekutif di Papua.7 2. ABRI: Wajah Indonesia di Papua Sampai saat ini, argumen Indonesia bahwa proses penggabungan Papua ke dalam Indonesia ad alah suatu “kehendak dan panggilan sejarah” dari sikap patriotisme para sukarelaw an terasa tidak m em adai lagi.
7 Konsepsi dwifungsi ABRI membuat cara pandang aktoraktor politik lainnya terkesampingkan. Selain itu, selama operasi m iliter itu b erlan gsu n g, jajaran birokrasi dikendalikan pula oleh para perwira aktif, mulai dari Ketua DPRD I dan II se-Papua, wakil gubernur, bupati dan atau wakil bupati se-Papua. Institusi strategis juga dikendalikan oleh perwira ABRI aktif, yaitu Kantor Direktorat Sospol Provinsi dan Kabupaten se-Papua dan Mawil Hansip Provinsi dan Mawil Hansip Kabupaten se-Papua.
Apalagi argumentasi yang menyatakan bahwa Papua telah menjadi bagian dari Indonesia sejak alam terbentang karena terdapatnya persamaan adanya kapak batu persegi dan adanya persamaan relief lukisan di dinding gua batu. Lebih tak berarti lagi, apabila klaim Indonesia itu sem ata disandarkan pada penguasaan Papua oleh kerajaan kuno seperti Sriwijaya, Majapahit sampai Sultan Tidore.8 Klaim atas Papua yang disandarkan pada argumen bahwa Papua adalah wilayah jajahan B elan d a — se ja k tah u n 1828 b e rk a t keberhasilan Belanda mendirikan benteng Fort du Buis di Teluk Triton, Kaimana— secara otomatis menjadi wilayah Indonesia, ju g a tid a k m em b an tu b an y ak dalam menyakinkan orang Papua bahwa mereka adalah bagian sah dari Republik Indonesia.9 Semua argumen itu terasa hambar karena tidak berasal dari pengalaman nyata orang-orang Papua sendiri dalam berintegrasi dengan negara R epublik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Lebih tepatnya, orang Papua berinteraksi secara nyata dengan entitas negara Indonesia adalah melalui sebuah peijanjian internasional yang ditandatangani pada tanggal 12 Agustus 1962 di N ew Y ork dan d ila n ju tk a n dengan re fe re n d u m tu ju h tah u n k em u d ian . R eferendum itu disebut oleh Indonesia sebagai P epera yang dijalankan secara musyawarah antara 1.025 orang mewakili seluruh orang Papua yang ada kala itu. Baru setelah Pepera di tahun 1969 itulah Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan tulang punggungnya pemerintahan militer. Operasi militer untuk memaksa Papua berintegarasi ke dalam Indonesia secara faktual dirintis mulai tahun 1961 dengan masuknya bala tentara Indonesia ke Papua 8 Sejarah yang menguntai jauh ke belakang sebagai legitimasi Indonesia atas Papua seperti ini dapat dibaca dalam Irian
Barat dari Masa ke Masa, Sejarah Militer Kodam XVII/ Tjendrawasih, Puserjarah ABRI, 1971. Hlm. 9— 16. 9Argumentasi Papua adalah wilayah Indonesia karena bagian dari jajahan Belanda dipakai oleh Deplu Indonesia, lihat brosur Sejarah Kembalinya Irian Jaya ke Pangkuan Republik Indonesia, Deplu RI, 1998.
dengan sebutan sukarelawan dalam rangka m elak u k an in filtra si u n tu k m enguasai sebagian wilayah Papua dari Belanda dan kemudian daerah itu dimanfaatkan untuk m e n g acau k an ja la n n y a p e m erin ta h an B elanda atas P ap u a.101Sejak tahun 1961 itulah, masyarakat Papua mengenal Indonesia secara nyata berkat adanya pasukan-pasukan ABRI yang menyusup ke Papua. Artinya, wajah pertama Indonesia di Papua diwakili oleh sepak terjang para pasukan infiltran ini. Fase infiltrasi ini ditujukan untuk m em b en tu k b a sis -b a s is g e rily a dan mempersiapkan pembentukan pos terdepan bagi upaya penyerbuan Papua oleh Indonesia. Dalam fase ini, dimasukkan lebih kurang 10 kompi prajurit ABRI ke Papua. Fase kedua 'ad alah m elakukan serangan terbuka di beberapa daerah seperti B iak, Fak-fak, Sorong, Kaimana, dan Merauke. Fase ketiga adalah konsolidasi pasukan sebagai kekuatan militer Indonesia di Papua.11 S alah satu p e rw ira A B R I yang menjadi infiltran ini adalah Kapten Benny Moerdani (kemudian menjadi Menghankam/ Paftgab 1983— 1988, Menhankam 1988— 19?3) dengan pasukan berkekuatan 206 yang berasal dari RPKAD dan Kompi II Batalyon 530/Para dari Kodam Brawijaya. Pasukan ini diterjunkan di Merauke dengan sandi Operasi Naga. Operasi penyusupan di Papua ini secara k e se lu ru h a n d ib e ri san d i O perasi Djayawijaya. Setelah New York Agreement disetujui, Benny dipindahkan ke Holandia (Jayapura) m enjadi kom andan sementara seluruh pasukan infiltran Indonesia di Irian Barat.12 Seluruh pasukan infiltran ini sebagaimana d isy aratk an oleh New York Agreement kemudian diorganisasi ke dalam Kontingen Indonesia (Kotindo) sebagai pasukan keamanan UNTE A. Konsentrasi dari pasukan Indonesia ini awalnya adalah Merauke, Kaimana, Fak-fak, 10 Drs. M. Cholil, Sejarah Operasi-Operasi Pembebasan Irian Barat, Puserjarah ABRI - Dephankam, 1971. 11 Julius Pour, Benny Mordani, op cit, hlm. 198. 12 Ibid, hlm. 224— 226.
5
dan Sorong. Semua pasukan Indonesia ini kemudian dibagi ke dalam empat datasemen, yaitu Datasemen A di Merauke, Datasemen B di Kaimana, Detasemen C di Fak-fak, dan Detasemen D di Sorong. P a su k a n -p a su k a n In d o n e sia ini kem udian diperbantukan kepada United Nation Security Force (U N S F ) yang m erupakan ap arat keam anan U N TEA . Meskipun demikian, seluruh komando tetap berada di bawah Panglima Mandala. Artinya, pasukan K otindo secara organik tetap merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ABRI. Maka dari itu, segala tanggung jawab organisatoris dan administratif tetap menjadi tanggung jawab Indonesia. Dengan posisi yang demikian, ABRI di P apua m em ilik i dua m isi, form al merupakan alat kelengkapan dari UNTEA dalam UNSF, sem entara infom al adalah untuk melanjutkan komando Trikora. Maka dari itu, A B R I d alam K o tin d o , lebih m em entingkan tugas inform alnya, yaitu mengawasi UNTEA agar tidak merugikan Indonesia dan menekan kekuatan-kekuatan sosial p o litik oran g -o ran g P apua yang menentang Indonesia. Kehadiran dan sepak terjang ABRI yang kerap m elakukan kekerasan di Papua di kemudian melahirkan satu sikap yang khas Papua pula, yaitu Indonesia diasosiasikan d engan k e k erasan . U n tu k k e lu a r dari k e k erasan , o ra n g -o ra n g P apua m ulai membangun identitas Papua sebagai reaksi untuk menentang kekerasan yang dilakukan oleh para anggota ABRI yang menjadi representasi Indonesia bertahun-tahun di Papua.13Makna yang terbangun di balik itu adalah menolak menjadi Indonesia berarti menolak menjadi korban kekerasan dari ABRI. Sikap ABRI atas reaksi orang-orang Papua bukannya mencari jalan penyelesaian secara damai, melainkan mengintensifkan kekerasan dengan skala yang
13 Amiruddin, “Gerakan Papua MerdekarPenciptaan Identitas Ke-Papuan versus Ke-Indonesia-an” dalam Jurnal Hak Asasi Manusia Dignitas, Vol.III/No.l Tahun 2005
6
lebih besar melalui operasi militer dengan menjadikan Papua sebagai DOM. Akibatnya, kekerasan menjadi lingkaran yang tiada putus di Papua selama puluhan tahun.14 Sejak itu secara perlahan, orang-orang Papua, baik elit maupun jelata juga mulai mengenal Indonesia dalam arti sesungguh nya. Singkatnya dalam pandangan orang Papua, ABRI adalah Indonesia, Indonesia adalah A B R I.15 A k ib atn y a, perlaw anan terhadap Indonesia yang mulai buncah sejak tahun 1963 sampai hari ini tidak pernah berhenti. Selalu ada pemimpin baru dengan pengikut yang juga potensial terus tumbuh.16 3. Kodam : Tulang Punggung Security
Approach Tahun 1963, Men/Pangad Jend A. Yani mengeluarkan perintah Operasi Wisnumurti untuk mendatangkan pasukan dari divisi-divisi di Jaw a, M akassar, dan M aluku untuk mengembangkan kekuatan tempur dan staf Kodam XVII. Tugas pokok Kodam ini adalah m e n eg ak k an k ew ib aw a an P em erin tah Indonesia, menjamin keamanan dan ketertiban serta m em bantu pem erintah sipil dalam membangun Irian Barat.17Para infiltran yang tergabung dalam Kotindo adalah inti kekuatan A B R I di P ap u a k e tik a K odam X V II/ Tjendrawasih dibentuk.
14 Muridhan S. W idjojo, “ Separatism e - Hak A sasi M anusia- Separatisme: Siklus Kekerasan di Papua, Indonesia” dalam Jurnal Hak Asasi Manusia Dignitas, Vol.III/No.l Tahun 2005. 15 M engenai wajah Indonesia itu adalah seluruh aksi kekerasan yang dilakukan oleh para prajurit ABRI ini dapat ditelusuri dalam Decki Natalis Pigai BIK, Evolusi
Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua, Sinar Harapan, Jakarta, 2001. 16 Mengenai terus tumbuhnya perlawanan dan munculnya pemimpin-pemimpin baru dari setiap fase perlawanan itu lihat Yorris TH Raweyai, Mengapa Papua Ingin Merdeka, PDP, Jayapura, 2002. Yorris tercatat sebagai anggota PDP yang memperjuangkan kemerdekaan bagi Papua. H al ini m enunjukkan bahw a regenerasi perlawanan terus berlanjut selam a kekerasan terus terjadi. 17 Irian Barat:... Op cit, hlm. 104.
Sesunguhnya Kodam XVII yang awalnya bernama Kodam XVII/Irian Barat dibentuk melalui Surat Men/Pangad/No. Kpts1058/8/1962 pada tanggal 17 Agustus 196218 atau 2 hari setelah New York Agreement ditandatangani. Karena masa itu, Indonesia belum memiliki kewenangan pemerintahan di Papua. K odam ini hanya berada secara bayangan dengan fungsi mengawasi UNTEA dan gerak-gerik politik orang-orang Papua, terutama yang pro-kemerdekaan Papua. Brigjen U. R ukm ana yang k om andan K otindo merangkap sebagai Pangdam pertam a di Papua.19 Kodam ini kemudian direalisasikan secara nyata baru 12 Januari 1963 mendekati h ari p e n y erah a n a d m in istra si ke p em erin ta h an P apua d ari U N TE A ke Indonesia. Kodam ini kemudian membentuk komando teritorialnya yang terdiri dari 3 Korem dan 23 Kodim. Kemudian komando teritorial ini diubah pada tanggal 3 Maret 1963 menjadi 3 Korem20 dan 8 Kodim, 70 Puterpa dan 20 K o o terp a.21 K om andokomando ini berfungsi sebagai gelar pasukan dan sekaligus penguasaan teritorial dalam rangka fungsi sosial politik secara nyata.22Di sam ping itu, ju g a ditam bah dengan dua batalion infantri. Kodam mulai berfungsi secara riil 17 Mei 1963, setelah UNTEA mengalihkan tanggung jaw ab administrasi kepemerintahan ke Indonesia.
18 Namun ulang tahun Kodam selalu diperingati tgl 17 Mei 1963. Hal ini mulai terjadi sejak tahun 1967. 19 Irian Barat dari Masa ke Masa, op cit., hlm. 100-101. 20 Sejak tanggal 5 Agustus 1964, jumlah Korem di Irian Barat dikurangi menjadi 2, yaitu Korem 171 dengan markas di Manokwari dan Korem 172 dengan markas di Merauke. Dua Korem ini bertahan sampai sekarang. 21 Dari 8 Kodim ini dua Kodim langsung di bawah Kodam, yaitu Kodim 1701 Jayapura dan Kodim 1702 Wamena. Sementara 4 Kodim berada di bawah Korem 171, yaitu Kodim 1711 Manokwari, Kodim 1712 Sorong, Kodim 1713 Seruai dan Kodim 1714 Fak-fak. Dua Kodim lainnya berada di bawah Korem 172, yaitu Kodim 1721 Merauke dan Kodim 1722 Tanah Merah. PUTERPA (Perwira Urusan Perlawanan Rakyat) sekarang setingkat dengan Koramil. Kooterpa (Koordinator Perlawanan Rakyat), sekarang Babinsa. 22 Pusat Sejarah Kodam XVII, op cit.
K odam X V II/Irian B arat pada tanggal 30 Juni 1964 berganti nama menjadi Kodam XVII/Tjendrawasih dengan pataka-nya Praja Ghupta Vira yang berarti K satria Pelindung Masyarakat. Sejak tahun 1964, inti kekuatan Kodam XVII/Tjendrawasih terus berkembang dengan dibentuknya batalionb a ta lio n b aru , y a itu B a ta lio n 751/ Tjendrawasih di Manokwari yang berasal dari K odam V II/D ip o n e g o ro , Y o n if 752/ Tjendrawasih di Sorong berasal dari Kodam Vl/Siliwangi, dan Yonif753/Tjendrawasih di Jay ap u ra. K etig a y o n if ini m erupakan pembaharuan dari yonif sebelumnya, yaitu Yonif 641/Tjendrawasih I yang berasal dari Diponegoro dan Yonif 642/Tjendrawasih II yang berasal dari Siliwangi. Ke dalam kedua batalion ini telah bergabung unsur dari Papua, yaitu para gerilyawan Kasuari/Trikora dan anggota eks-PV K (Papuan Vrywillingers Korp) setelah mereka dididik di Siliwangi dan di Diponegoro.23Jumlah seluruh pasukan ABRI pada awal kehadiran Kodam ini sekitar 2.000 prajurit lebih. Peran m iliter— teru tam a AD— menjadi kian dominan di Papua ketika terjadi re o rg a n isa si m ilite r In d o n e sia setelah kekuasaan beralih dari tangan Soekarno ke tangan Soeharto. Dominasi militer di Papua itu sejalan dengan menguatnya militer dalam kekuasaan di Indonesia. Menhankam/Pangab Benny Moerdani yang juga anggota MPR dalam sidang MPR tahun 1988 pernah menyatakan kekuatan militer dalam politik itu tak ubahnya sebagai partai politik. Di era Benny Moerdani menjadi Menhankam/Pangab inilah peranan Kodam menjadi komando yang dominan di daerah dan sekaligus satu-satunya kekuatan militer yang mengendalikan kondisi keamanan dan ketertiban sekaligus kondisi sosial-politik daerah.24Dalam menjalankan fungsi sosialpolitik ini, ABRI aktif dalam menggalang
23 Irian Barat dari Masa ke Masa, hlm 115. 24 Lihat Julius Pour, Benny Mordani: Profil Prajurit N egarawan, Yayasan Kejuangan Panglim a Besar Sudirman, Jakarta, 1993, hlm. 469— 474 dan hlm. 543— 543.
7
kekuatan politik bersama dengan Golkar.25 Sejak orang Papua ikut Pemilu Indonesia di tahun 1971 sampai Pemilu tahun 1997, Golkar tetap merupakan partai politik dominan di Papua dengan perolehan suara di atas 80%. Sejalan dengan kebijakan itu, kemudian Kodam XVII/Tjendarawasih digabung dengan Kodam XV/Patimura menjadi KodamXVII/ Trikora26yang menjadi kekuatan hankam dan sosial politik utama pula di Papua. Sebagai kekuatan hankam dan sosial-politik titik berat tugas ABRI di Papua adalah mengatasi gangguan kamtibmas dan menangkal subversi dalam negeri. Dengan titik berat tugas militer seperti itu, Kodam akhirnya menjadi institusi yang dikuasai oleh AD.27 Seiring dengan itu, rangkaian kekerasan dan pelanggaran HAM terjadi. Pengalaman bu ru k di baw ah D O M ini, kem u d ian membangkitkan pengalaman buruk rakyat Papua selama proses awal integrasi dan Pepera. Pengalaman buruk itu kemudian tampil ke permukaan secara terbuka di kala kekuasaan m iliter dalam pem erintahan surut ketika reformasi politik terjadi tahun 1998. Di era reform asi, di Papua tum buh keberanian mempersoalkan seluruh kekuasaan Indonesia di Papua yang didom inasi oleh m iliter itu. Keberanian itu kian buncah ketika Panglima ABRI Jenderal Wiranto di bulan Agustus 1998 menyatakan minta m aaf dan mencabut status Papua sebagai daerah DOM.28 Dengan latar sejarah dan posisi politik seperti itu, m iliter di Papua m erasa dan melihat dirinya sebagai satu-satunya institusi yang menjaga keutuhan Indonesia di Papua. Pada
25 Sejak orang Papua ikut Pemilu Indonesia di tahun 1971 sampai pemilu tahun 1999, Golkar selalu menang telak di atas 80% di Papua. 26 Penggabungan terjadi bulan April 1985 berdasarkan surat perintah operasi KASAD No.l/Septem ber 1984. 27 Ibid., hlm. 472. 28 Kapan awal Papua bertatus DOM sampai saat ini belum ada informasi yang pasti. Namun dengan diumumkanya pencabutan status DOM oleh Jenderal Wiranto 8 Agustus 1998 menandakan bahwa Papua pernah berstatus DOM. S etelah status DOM d icab u t, Pangdam Papua menyatakan Papua berstatus daerah rawan.
8
gilirannya, militer di Papua selalu bertindak keras terhadap segala bentuk gerakan atau opini yang mempertanyakan atau memprotes keadaan yang dirasakan kurang adil oleh tokoh-tokoh Papua. Pada gilirannya, militer Indonesia di Papua sangat mudah memvonis seluruh bentuk protes orang Papua sebagai gerakan separatis. K e tik a cap s e p a ra tis sudah dialamatkan oleh militer kepada seseorang di Papua maka orang itu akan bisa menjadi korban dalam sekejap. Baik menjadi korban p e n c u lik a n , p e n y ik sa a n , b ah k an pem bunuhan. Aksi kekerasan itu berlangsung bertahun-tahun, dengan ribuan korban jiwa. Para korban dan keluarganya inilah bersamasama dengan kalangan muda dan mahasiswa serta tokoh-tokoh terpelajar Papua di era reform asi m ulai m enyuarakan perlunya Indonesia mempertanggungjawabkan seluruh kekerasan itu. Untuk meminta pertanggung jaw aban itu, w acana hak asasi manusia menjadi w acana yang paling dominan di Papua. Kian menghujamnya cengkraman militer terhadap kehidupan sosial politik di P apua ju g a tid a k te rle p as dari potensi ekonomi daerah ini yang begitu besar. Hal itu te rlih a t k e tik a PT F re e p o rt m ulai menanamkan investasinya di Papua. Untuk melindungi PT Freeport, militer di Papua mulai mengembangkan pengaruhnya dalam politik lokal dengan cara yang lebih keras.29 S elain itu , m ilite r ju g a m em p erb esar kekuasaanya dengan m enem patkan diri sebagai pelindung dari mengalirnya ribuan para imigran dan transmigran dari luar Papua. Semuanya ini disebut oleh para petinggi militer sebagai tugas nasional dalam rangka menjaga integritas teritorial Indonesia di Papua. Seluruh sepak terjang militer yang mendatangkan luka di hati orang Papua inilah
29 Mengenai perlindungan militer terhadap PT Freeport lihat, Amiruddin dan A derito Soarea, Perjuangan Amungme: Antara Freeport dan M iliter, ELSAM, Jakarta, 2003. Lihat juga, Denise Leith, The Politics o f Power: Freeport in Seharto ’s Indonesia, University o f Hawaii Press, Honolulu, 2003.
yang hendak diperbaiki dengan diberikan status otonomi khusus terhadap Papua. Pada bagian Menimbang dari UU Otsus menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, memenuhi kesejahteraan rakyat, penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menghormati hak asasi manusia, khususnya hak asasi masyarakat Papua. 4. Operasi-Operasi Militer: Penderitaan Rakyat Papua Untuk mendapatkan perhatian, OPM kerap melancarkan gerakan bersenjata secara sporadis. Hal itu ditem puh OPM karena terbatasnya kem am puan tem pur akibat sedikitnya jumlah persenjataan. Selain itu, juga karena tidak mudahnya medan Papua untuk m em bangun kekuatan besar yang terorganisasi secara baik.30 Selain gerakan bersenjata, secara umum usaha OPM untuk menunjukkan diri mereka tetap eksis adalah aksi p e n c u lik a n , ak si p e n y erg ap a n , p e n g ib aran b e n d era B in tan g K ejora, penyebaran propaganda m elalui m edia selebaran, dan mobilisasi demonstrasi atau rapat umum di daerah-daerah terpencil. Selain itu, kerap pula ditempuh aksi lintas batas, terutama ke PNG. OPM pada awalnya adalah reaksi orangorang Papua atas sikap pejabat-pejabat asal Indonesia yang mengecewakan mereka sejak tahun 1963.31 Perlawanan secara bersenjata pertama kali diluncurkan di Kebar, Manokwari 26 Juli 1965. Perlawanan di Kebar ini dipimpin oleh Johannes Djambuani dengan kekuatan 400 orang yang berasal dari suku Karun dan Ayamaru. Seiring dengan itu, suku Arfak di Arfai,
30 Seluruh uraian mengenai OPM ini disandarkan pada John RG D joparai, Pem berontakan O rganisasi Papua Medeka, Grasindo, Jakarta, 1993 dan Robin Osbom,
Kibaran Sampari: Gerakan Pembebasan OPM dan Perang Rahasia di Papua Barat, (terj.), Elsam, Jakarta, 2001 . 31 Richard Chauvel and Ikrar Nusa Bhakti, The Papua Conflict: Jakarta ’s Perceptions and Policies, East-West
Manokwari melancarkan pula perlawanan yang dipim pin oleh M ayor T itu ler L odew ijk Mandatjan yang diikuti oleh Kapten Tituler Barent M andatjan dan Lettu Tituler Irogi Maedogda dengan mengajak penduduk lari ke hutan. Sementara di Manokwari 28 Juli 1965 juga teijadi perlawanan yang dipimpin oleh Permanas Ferry Awom dengan pengikutnya sekitar 400 orang yang berasal dari suku Biak, A jam aru, Serui dan N um for m enyerang asrama Y onif 641/Tjendraw asih I. Dalam penyerangan ini 3 anggota ABRI tew as.32 Setelah teijadi penyerangan, ABRI m e la n ca rk a n O p e rasi S ad ar di baw ah komando Pangdam Brigjen R. Kartidjo untuk m enghancurkan kelom pok perlaw anan. Operasi Sadar ini tidak saja bertujuan untuk m em atahkan perlaw anan yang terjadi di M an o k w ari, te ta p i ju g a m en eg ask an kekuasaan Kodam XVII atas seluruh wilayah P ap u a. T ugas p o k o k o p e ra si ad alah m ela k u k an p e n g h a n c u ra n terh ad ap g ero m b o lan y an g b e rg e ra k di sek itar Manokwari dan Kebar sekaligus, minimum m en an g k ap F erry Awom dan Ju lian u s Wanma, baik mati maupun hidup sebelum tanggal 17 Agustus 1965. Operasi ini sejak 10 Agustus dilancarkan secara intensif dan terus-menerus ke kampung-kampung yang menjadi basis-basis perlawanan. Dalam operasi pengejaran terhadap kelompok perlawanan, 36
Center, Washington, 2004. Hlm. 22— 23. Sikap pejabat Indonesia yang mengecewakan itu dideskripsikan pula oleh Djopari. Misalnya, membakar buku dan dokumen yang berbahasa Belanda, mengintimidasi dan menodong tokoh-tokoh Papua yang memiliki bacaan dalam bahasa Belanda sebagai pro-Belanda, mengambil rumah-rumah penduduk dengan menyatakan rumah itu milik Belanda, serta mengambil berbagai barang dalam rumah penduduk atau penjabat lokal kemudian dibawa keluar Papua. Djopari, hlm. 82— 84. 32 Seluruh uraian mengenai OPM ini disandarkan pada John RG D joparai, Pem berontakan O rganisasi Papua Medeka, Grasindo, Jakarta, 1993 dan Robin Osbom,
Kibaran Sampari: Gerakan Pembebasan OPM dan Perang Rahasia di Papua Barat, (terj.), Elsam, Jakarta,
2001.
9
orang penduduk yang disebut sebagai anggota OPM tewas.33 Sejalan dengan operasi pengejaran ini, Operasi Sadar dikem bangkan ke seluruh wilayah Irian Barat pada tanggal 25 Agustus 1965. Sejak ini, Operasi Sadar langsung d ip im p in o leh P angdam . B erd asa rk an perintah operasi ini, wilayah Papua kemudian dibagi ke dalam 4 sektor. Sektor I adalah d aerah yang m e lip u ti M anokw ari dan sekitarnya menjadi pos terdepan operasi. Untuk daerah ini dilancarkan operasi intelijen dan teritorial untuk mendukung operasi fisik (tempur). Di sektor lainnya yang belum menujukan adanya perlawanan fisik, hanya dilancarkan operasi intelijen dan teritorial dengan tujuan untuk mencegah meluasnya pengikut perlawanan.34 Operasi ini dilanjutkan oleh Pangdam yang b aru, y a itu B rig je n R. B in to ro . Sepanjang tahun 1966— 1967 operasi tempur A BRI k ian m a s s if u n tu k m en g h ad ap i k e lo m p o k -k elo m p o k p e rla w an a n yang tumbuh dari suku Arfak di Manokwari di bawah pimpinan Lodewijk Mandatjan dan Ferry Awom dan ju g a di daerah sekitar Jayapura dan Merauke. Nama operasi kali ini ad alah O p erasi B arata y u d h a dengan m endatangkan pasukan dari Y onif 314/ Siliwangi dengan 2 kompi Yon 700/RIT dan 2 kompi Yon 935/Brimob. Selain itu dalam operasi ini juga dilibatkan 2 Ton KKO/ALRI, 1 Ton Kopasgat dan 1 tim RPKAD. Pasukan tempur ini juga diperkuat dengan 2 pesawat Bomber B-26 dan 1 Pesawat Dakota dan 1 Kapal Perang.35 O p erasi B arata y u d h a b e rtu ju a n menghancurkan perlawanan dan memper siapkan pem enangan Pepera. Operasi ini bersifat tempur dengan dibantu oleh operasi intelijen dan teritorial yang disiapkan dalam tiga fase, yang fase terakhirnya adalah tahun 1968.
53 Lihat Jopari, op cit, 110-111 dan bandingkan dengan Irian Barat, op cit, hlm 125-128. 14 Irian Barat, op cit, hlm. 130-134 35 Irian Barat.... op cit, hlm. 141.
10
Fase ketiga ini ditujukan untuk konsoliasi persiapan memenangkan Pepera. Operasi Baratayudha yang banyak menelan korban jiw a membuat kelompok perlawanan terpecah menjadi kecil-kecil dan surut. Untuk mengintensifkan kemenangan dalam Pepera, kelompok-kelompok kecil ini kemudian dikejar terus-menerus. Inti dari pasukan yang mengejar ini adalah dari RPKAD. Sejalan dengan ini, show offorce dari kekuatan yang diiringi dengan operasi intelijen dan teritorial dilancarkan di daerah yang perlawanan kecil dan m elem ah u n tu k m em en an g k an situ asi psikologis.36 Sepanjang tahun 1967, operasi berh asil m enem bak m ati 73 orang dan menangkap 60 orang dengan menyita 39 pucuk senjata. Adapun yang menyerahkan diri 3.539 orang. Operasi Barathayuda ini menggetarkan hati banyak orang Papua, karena mereka tidak mengira Indonesia akan melancarkan perang te rb u k a y an g b an y ak m en d atan g k an p e n d e rita a n fisik d an p sik is dalam menghadapi protes mereka. Ketika Brigjen Sarwo Edi menjadi Pangdam, digelar operasi baru yaitu operasi W ibaw a d en g an tu g a s u tam a adalah m em enangkan P epera untuk Indonesia. T ugas p o k o k d a ri o p e ra si ini ad alah m enghancurkan kelo m p o k perlaw anan, mengamankan usaha memenangkan Pepera se rta m en u m b u h k an dan m em elih ara kewibawaan pemerintah. Untuk tujuan itu, K odam m elakukan sinkronisasi operasi tem pur, intelijen, dan teritorial. Sejalan dengan ini, Pangdam m em erintahkan di setiap Kodim disiapkan kekuatan tempur agar bisa digunakan jika diperlukan. D alam k e ra n g k a m em en an g k an Pepera, OPSUS di bawah pimpinan Mayor Ali Moertopo37*yang bergerak dalam bidang intelijen dan sosial-ekonomi berperan dominan dalam melakukan operasi teritorial untuk penggalangan. D alam kerangka Operasi 36 Ibid., hlm 144— 145 37 Ali Moertopo sejak tahun 1962 telah berada di Papua dengan jabatan Asisten I Dan Kotindo dan kemudian menjadi A sisten I Kodam. A sisten I adalah bidang intelijen Kodam.
W ibawa, pem enangan Pepera ke Kodam diperbantukan intelijen dari Den Dipiad dan intelijen dari Tim Karsa Yudha/RPKAD. Untuk memenangkan Pepera itu, intimidasi dan kekerasan telah memaksa sebagian orang memilih menjadi Indonesia. Secara keseluruhan, dalam operasi ini dilibatkan 6.220 orang pasukan. O perasi p em enangan P ep era ini dibagi ke dalam 4 fase. Fase pertama adalah menghancurkan kelompok perlawanan dan sekaligus memperluas sebaran pasukan ABRI ke daerah-daerah yang telah dikuasai. Selain itu, di setiap P uterpa disiapkan 1 regu pasukan infantri untuk melakukan operasi teritorial. Fase kedua adalah memastikan di d a e rah -d a e ra h K ep ala B u ru n g P ep era dim enangkan oleh Indonesia. Untuk ini, segenap u n su r A B R I d ilib a tk a n untuk mengeliminir kelompok perlawanan. Fase ketiga dan keem pat adalah m em astikan k em enangan p ad a h ari H -nya dan mengamankan hasilnya.38 M eski pun fa se -fa se itu telah disiapkan, ternyata upaya memastikan Pepera bisa dim enangkan oleh Indonesia tidak berjalan secara mulus. Di daerah Erambo (Merauke), Dubu/Ubrub (dekat perbatasan), E naratoli dan W ahgete (P aniai) terjadi penolakan oleh masyarakat setempat. Para utusan pemerintah dan unsur ABRI yang ada di daerah itu dilawan oleh penduduk. Di Enarotali, perlawanan lebih hebat dengan melancarkan gerakan bersenjata serta terang-terangan m enolak bergabung ke In d o n e sia yang d ip im p in o leh A .R . Wamafma, Senen Mote, Maphia Mote, dan Thomas Douw. Perlawanan ini juga didukung oleh beberapa orang polisi asal Papua yang berpihak kepada kelom pok perlaw anan. Untuk menghentikan gerakan ini, Pangdam Sarwo Edi memerintahkan menghancurkan kelompok perlawanan. Untuk itu, pasukan Kopashanda dan pasukan dari Kompi 3,
38 Ibid., hlm. 170— 174
Batalyon 724/H asanuddin diterjunkan di Enarotali untuk membantu pasukan yang ada di K odim 1705/N abire. Pasukan ini dalam operasinya didukung pula oleh Dipiad (Dinas Pelaksana Intelijen AD) dan Satgas AURI yang dilengkapi pesawat B 26, Dakota, dan Hercules. Pasukan Yon 724/Hasanuddin ini kemudian bergerak melancarkan operasi ke berbagai daerah di sekitar P an iai.39 Operasi yang dipimpin oleh Mayor Mochtar Jahja dan M ayor Sitompul ini tidak mudah dilupakan oleh rakyat Paniai karena dalam operasi ini militer bertindak secara kasar dan membabi buta itu. Ditengarai ada sekitar 634 orang penduduk terbunuh sepanjang operasi itu.40* Aksi perlawanan menjelang Pepera ini juga pecah di Piramid, Wamena. Dua orang anggota ABRI dibunuh oleh penduduk. ABRI dalam peristiwa Piramid ini melancarkan operasi intelijen dan teritorial untuk mencari pelakunya. Pasukan dari Satgas 3/Hasanuddin dikerahkan untuk menguasai kampung-kampung dan mencari pelaku. Gencarnya operasi-operasi militer yang diperintahkan oleh Pangdam Sarwo Edi tidak terlepas dari fungsinya sebagai Ketua Proyek P elaksana D aerah. Sesuai dengan surat Mendagri No. 30/1969, Pangdam bertanggung jaw ab atas pengendalian, penggerakan, dan koordinasi kegiatan semua aparatur pemerintah daerah, sipil, dan swasta dan ABRI di Papua. Dengan lain kata, Pangdam adalah penguasa tertin g g i di P ap u a d alam m enjalankan pemerintahan dan bertanggung jaw ab penuh untuk memenang-kan Pepera. Dalam posisinya sebagai Ketua Proyek, Pangdam melancarkan usaha-usaha peningkatan operasi tempur di semua lini untuk menghancurkan perlawanan, melakukan operasi teritorial untuk penggalangan k o n d isi b ag i p em en an g an P ep era dan m engintensifkan operasi intelijen untuk mematahkan sisa-sisa gerakan separatis. Selain
39 Ibid., hlm. 182— 183. 40 Mengenai korban dari penduduk Paniai ini, lihat Pigay, op cit., hlm. 343— 344.
11
itu, melakukan operasi pengamanan objek vital dan tempat-tempat sidang Dewan Pepera.41 Sejalan dengan kemenangan Indonesia dalam Pepera, ABRI melakukan pula fungsifungsi sosial-politiknya. Untuk itu, Kodam melancarkan program penggantian para pejabat kabupaten dan dinas-dinas yang dilihat diragukan loyalitasnya pada Indonesia. Bersamaan dengan ini, keanggotaan DPRD I dan II melakukan penyusunan ulang dengan memasukan anggota ABRI menjadi anggota atau pimpinan dewan. D alam konteks ini, pasukan ABRI juga dirapatkan di kam pung-kam pung untuk mengawasi kehidupan m asyarakat secara langsung. Di samping itu, juga melancarkan proyek civilisasi dan kesehatan bekerja sama dengan zending dan misi yang telah ada. Dalam bidang ekonomi, Kodam juga turut serta melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi dengan mengontrol arus dan harga barang. Semua kegiatan ini disebut sebagai kegiatan civic mission ABRI di Papua.42 Setelah m em enangkan Pepera, 29 Januari 1970 Brigjen Acub Zainal ditunjuk menjabat Pangdam Tjendrawasih. Di tangan Pandam baru ini, organisasi Kodam menjadi 3 Korem, 9 Kodim, dan 3 Yonif. Yonif 751/ Tjendrawasih di Arfai, Manokwari berasal dari Kodam Diponegoro dengan status tugas jangka panjang. Yonif 752/Tjendrawasih di Sorong berasal dari Kodam Siliwangi dan Y onif 753/Tjendraw asih di Ifar Gunung, Jayapura berasal dari Brawijaya ditambah prajurit asli orang Papua. Ketiga Yonif ini dikem bangkan m enjadi pasukan organik Kodam Tjendrawasih. Sementara pasukanpasukan ABRI dari kesatuan lainnya yang berasal dari luar Papua mengalami rotasi penugasan. Pasukan lama pulang dan diganti dengan pasukan baru dari asal kesatuan yang sama. Reorganisasi ini juga sejalan dengan reorganisasi Kopkamtibda di Irian Jaya. Semua ini dipersiapkan untuk menyambut pelaksanaan Pemilu 1971.
Pemilu 1971 ini merupakan pemilu pertama Indonesia di bawah kekuasaan rezim O rde B aru S o e h a rto . P em ilu in i ju g a merupakan pemilu pertama bagi orang Papua d alam k e k u a sa a n In d o n e sia . D alam m empersiapkan Pem ilu 1971 ini, Kodam juga menghadapi perlawanan, terutama di Biak U tara dan B arat, serta di kepala burung M an o k w ari. U n tu k m e n g h en tik an perlaw anan tersebut dilancarkan operasi m iliter. S an d i o p e ra si a d ala h O p erasi Pamungkas dengan pendekatan pada operasi teritorial yang dibantu tempur dan intelijen. Pelaksana Operasi adalah Kodim Biak yang dibantu pasukan tempur dari Yonif 753 dan 752/Tjendrawasih serta Dipiad. Operasi di Biak ini dipimpin oleh Dandim Biak Mayor R. A. Hendrik dan M ayor Puspito yang juga Komandan Yon 7 5 3 .43 Bulan Juli 1971 ini, K odam ju g a m e la n ca rk a n O p e rasi P am u n g k as di Manokwari untuk mengejar Ferri Awom yang belum menyerah. Operasi ini dipimpin oleh D an y o n g ab S atg as 3 /M erd ek a, M ayor Ahmad. Kemudian digantikan oleh Letkol S. Mardjan. Dalam Operasi ini terlibat pasukan dari Satgas 3/Merdeka dan 1 peleton dari Yon 751 dan 1 peleton dari Kompi 753. Batalionb a ta lio n b e rtu g a s m e n g ejar k elom pok perlawanan sepanjang hari selama berbulanbulan, siang, dan malam. Dalam pengejaran ini K apten S ahala R ajag u g u k berh asil m em b u ju k F e rry A w om u n tu k tu ru n menyerah dengan 400 orang anggotanya.44 Operasi militer yang m asif di tahun 1971 ini alih-alih membuat sentimen anti In d o n e sia su ru t, m alah p erlaw an an berkembang ke berbagai kota dalam bentuk penyerangan terhadap pos-pos ABRI dan pemerintahan. Melihat perlawanan menguat, Kodam kian memperkuat kekuasaannya di Papua dengan menutup Papua bagi media. Suasana ketakutan m erajalela di seantero Papua. Selam a m en jelan g dan sesudah Pemilu 1971 tidak ada satu pun orang di
41 Irian Barat, op cit., 202— 203. 42 Ibid., 217— 218.
43 Ibid., hlm 239 dan 241— 243. 44 Ibid., hlm 245.
12
Papua berani mempersoalan ketidakadilan atau tindakan-tindakan anggota m iliter yang menyakitkan hati mereka. Atmosfer ketakutan itu muncul dari tindakan m iliter Indonesia yang selalu melancarkan serangan militer besar-besaran terhadap daerah-daerah yang ditengarai sebagai basis OPM. Dalam melakukan serangan, ABRI kerap melibatkan pasukan dalam jumlah besar dengan dibantu oleh pesawat pembom Bronco dan helikopter bersenjata. Serangan besarbesaran itu tidak saja mengejar anggota OPM yang mencoba menyerang pos-pos ABRI, melainkan kerap kali menelan korban jiwa dari penduduk kampung yang tidak terlibat dalam OPM. Banyaknya korban jiw a di akhir tahun 1970-an ini juga disebabkan oleh sikap militer Indonesia sendiri yang tidak pernah secara jelas mem posisikan OPM sebagai gerakan kemerdekaan. OPM hanya dilihat sebagai gerakan krim inal yang disebut sebagai Gerakan Pengacau Liar (GPL) atau G erakan P e n g a ca u K eam anan (G PK ). Dengan cara seperti ini, setiap korban jiw a yang jatuh dari kalangan orang-orang Papua dengan mudah diklaim oleh militer sebagai anggota OPM.45 M enjelang Pem ilu 1977 kem bali perlaw anan dilancarkan oleh kelom pokkelompok OPM di Papua, terutama di daerah Kobagma, Bokondini, Mulia, Ilaga, Piramid, Kabupaten Jayawijaya. Perlawanan ini dipicu oleh penempatan kesatuan-kesatuan ABRI di ham pir seluruh w ilayah Papua. Operasio p erasi m ilite r u n tu k m em atahkan perlaw anan m enjelang Pem ilu 1977 dan Sidang Umum MPR 1978 ditingkatkan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Selain itu, perlawanan juga pecah di Enarotali, Biak, dan Mimika serta di sepanjang daerah perbatasan dengan PNG Era ini dianggap oleh orang Papua
45 Mengenai ini lihat Ikrar Nusa Bhakti, “Hak Menentukan Diri Sendiri Jenis Baru di Papua: Pilihan Antara Kemerdekaan dan Otonomi.” dalam Dewi Fortuna Anwar (Ed.J, Konflik Kekerasan Internal, Obor, Jakarta, 2005, hlm. 255— 256.
sebagai era awal status Daerah Operasi Militer bagi P ap u a d ite ra p k a n .46 P angdam Tjendrawasih waktu ini dijabat oleh Brigjen Imam Munandar. Di Jayawijaya, terutama di daerah sekitar Tiom dan Kwiyawage yang merupakan lembahlembah di Baliem dilangsungkan pula operasi militer untuk menghentikan perlawanan dan m em persiap-kan Pem ilu 1977. O perasi dilancarkan di bulan April dan Juni. Perlawanan orang Ndani di daerah ini diawali oleh perasaan tidak suka Suku Ndani terhadap kebijakan Indonesia yang memaksa mereka berganti pakaian. Sekitar 15.000 orang berkumpul melakukan protes. Perlawanan ini diawali oleh Operasi Koteka yang dilancarkan untuk mengadabkan orang-orang di daerah itu. Di Tiom sekitar 4.000 orang melawan dengan cara menyerang pos pemerintah di daerah itu. Kemudian ke daerah ini diterjunkan pasukan khusus dari RPKAD dengan didrop dari helikopter. Selain itu, para penduduk yang mencoba menyelamatkan diri ke hutan-hutan dihujani tembakan dari udara.47 Di areal PT Freeport di Timika bulan Juli 1977juga teijadi gejolak. Penduduk setempat yang ditengarai digerakkan oleh OPM juga melancarkan serangan terhadap pipa-pipa dan fasilitas PT Freeport karena merasa kecewa atas kehadiran perusahaan itu. ABRI membalas aksi penduduk itu dengan melakukan penembakan dari udara menggunakan pesawat Bronco.48 Setelah itu, ke berbagai deretan kampung di sekitar Agimuga diteijukan pasukan infantri dari Batalion 753/Tjendrawasih untuk mengejar penduduk dan mem bakar perkampungan. Implikasi dari aksi kekerasan ini penyelengaraan
46 Kesan Papua sebagai DOM terlihat dalam tulisan Pastor N eles Kebadabi Tebay, Pr, “Orang Papua Menuju K ep u n ah an ,” m akalah dalam sem in ar yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Gaise, Keuskupan Bandung dan Lembaga Penelitian Universitas Katolik Parahiyangan Bandung, tanggal 12— 13 November 1999. 47 Ibid., hlm. 139— 144. Bandingkan dengan Yorris TH R aw ey a i, M engapa Papua Ingin Merdeka, PDP, Jayapura, 2002, hlm. 121— 122. 48 Samsudin, op cit., hlm. 51— 52.
13
Pemilu 1977 di beberapa kampung di daerah pegunungan ini terpaksa ditunda.49 Robin Osbome mencatat operasi militer di tahun 1977— 1978 adalah operasi militer paling buruk. Dalam setiap operasi pengejaran terhadap mereka yang disebut kelompok OPM diterjunkan pasukan dalam jumlah besar yang berintikan kesatuan RPKAD dan pasukan angkatan darat lainnya. Di daerah selatan Jayapura yang berdekatan dengan perbatasan yang dikenal sebagai daerah Markas OPM diterjukan 10.000 orang tentara setelah daerah itu dibombardir dari udara oleh dua pesawat Bronco. Dalam penyerangan ini, diperkirakan 1.605 orang para pendukung OPM dan penduduk di wilayah itu tewas.50Operasi militer di tahun-tahun ini selalu diingat oleh orang-orang tua di daerah itu, sebagai kenyataan paling pahit dalam hidup mereka.51 Sepanjang tahun 1977— 1978 itu, Dubes Indonesia untuk PNG memperkirakan 1.800 orang pasukan dikerahkan beroperasi di hutan-hutan untuk melakukan pengejaran dan 3.000 orang siaga berada di Jayapura untuk setiap saat menggantikan.52Menyadari o p erasi m ilite r itu te la h m e n cip tak a n ketakutan dan menelan banyak korban jiw a yang tidak perlu, Panglima ABRI kala itu, Jenderal M. Yusuf, m engum um kan akan mengurangi operasi militer di Papua dengan mengintrodusir kebijakan baru yang dikenal dengan kebijakan Operasi Senyum. Dalam Operasi Senyum ini dinyatakan Indonesia tidak akan m elancarkan operasi besarbesaran, karena OPM mulai dilihat kecil dan tidak m em bahayakan. ABRI hanya akan
49 Ibid., hlm. 149— 150. 50 Robin Osbome, Kibaran Sampari: Gerakan Pembebasan OPM dan Perang Rahasia di Papua Barat, ELSAM, Jakarta, 2001, hlm. 134— 135. 51 Operasi militer di tahun 1977 ini selalu dijadikan patokan oleh orang di Mimika dan Jayawija serta Enarotali sebagai awal mereka menjadi korban dari kekerasan militer. (Pembicaraan pribadi dengan Mama Yosepha tahun 1996 dan Pendeta Perminus Kogoya di Wamena tahun 2003). 52 Ibid., hlm. 152.
14
melancarkan patroli di perbatasan dan tugas keamanan rutin.53 Gejolak kembali membuncah di tahun 1980-an, terutama sekitar tahun 1984. Di tahun 1980-an Kodam telah dinyatakan sebagai Kotama dalam jajaran AD. Panglima Kodam menjadi pimpinan di daerah untuk seluruhjajaran kom ando. Pangdam dalam reorganisasi organisasi ABRI ini langsung berada di bawah Panglima ABRI. Sejalan dengan itu, Panglima ABRI juga memiliki komando langsung kepada K otam a AD lainnya, yaitu K ostrad dan Kopassus. Oleh karena itu, di era ini kerap kali operasi militer melibatkan pasukan-pasukan dari Kostrad dan Kapassus dengan perintahnya langsung dari Panglima ABRI, dan Kodam hanya memfasilitasi. Kenyataan ini kemudian dikenal dengan nama pasukan BKO (bawah kendali operasi).54Di era ini, Papua juga tertutup bagi media sehingga banyak operasi yang dilancarkan oleh militer tidak diketahui oleh orang luar. Robin Osbome menyebut keadaan ini sebagai perang rahasia Indonesia di Papua. Di awal tahun 1980-an, Kopkamtib mengeluarkan analisis bahwa kekuatan OPM telah mengecil dan terpencar-pencar ke dalam kelompok kecil-kecil dengan senjata yang san g at te rb a ta s. M esk ip u n d em ik ian , Laksusda Irian Jaya kala itu juga melihat gerak an k elo m p o k -k elo m p o k OPM itu kem bali m u lai a k tif setelah m enerim a pukulan telak sepanjang tahun 1977— 1978. Gerakan OPM itu aktif sepanjang daerah perbatasan dengan PNG. Antara bulan Maret dan Juni 1984, pasukan dari Kopasandha (Kopassus) mulai melakukan penyusupan ke daerah-daerah sekitar perbatasan. Aksi pasukan baret merah ini adalah dengan melakukan penangkapan terhadap setiap o ran g y an g d ic u rig a i. O sborne m e n c a ta t g e ra k a n p a su k a n ini san g at menakutkan penduduk sekitar perbatasan k a re n a p e rla k u a n b u ru k n y a terh ad ap 53 Bhakti, op cit., hlm. 256. Lihat juga Osbome, op cit., hlm. 153. 54 Reorganisasi ini dilakukan oleh Panglima ABRI Benny Moerdani setelah menggantikan M. Yusuf di tahun 1983.
penduduk. Akibatnya, ratusan orang melarikan diri ke daerah PNG karena takut. Pengungsian ke PNG di tahun 1984 ini kian banyak ketika Suku Muyu di Mindiptana, Woropko, dan Merauke juga masuk ke PNG. Pengungsian Suku Muyu ini dipicu oleh kehadiran pasukan ABRI, yaitu intelijen Kopassus di daerah itu untuk mencari anggota OPM setelah teijadinya penyerangan pos ABRI di desa Kanggewot dan Kakuna tanggal 11— 12 April 1984. Gerakan suku Muyu ini kemudian juga diikuti oleh penduduk dari daerah lainnya, yaitu dari Jay a p u ra , W am ena, S orong, M im ika (A m ungm e), M anokw ari, dan Fak-fak. Seluruh pengungsi asal Papua yang masuk ke PNG ini diperkirakan mencapai 10.000 orang.55 Sementara Yafet Kambai mencatat dari seluruh pengungsi itu hanya sekitar 7.500 berhasil masuk ke PNG dan 1.900 orang b erd iam d iri di h u ta n -h u ta n se k ita r p e rb a tasa n . S elu ru h p e n g u n g si ini ditempatkan di kamp East Aswin dan Western Province, PNG.56 Gerakan pengungsian ke PNG, selain faktor operasi militer di daerah perbatasan itu, juga disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan, yaitu aktifnya OPM di daerah itu, munculnya rasa kecewa karena macetnya pembangunan, banyaknya operasi intelijen, dan masuknya arus transmigrasi secara besar-besaran ke Papua terutama di sekitar daerah perbatasan.57 Transmigrasi yang di dalamnya juga masuk keluarga ABRI dan para pensiunan ABRI kian membuat orang takut sekaligus merasa tanahnya dirampas. Para p u rn aw iraw an A B R I yang ik u t dalam pemukiman transmigrasi sekaligus menjadi intel Kodam dalam mengawasi daerah itu.58Daerah55 Osbome, hlm. 236. 56 Theo van den Broek, Returnees from PNG to Irian jaya:
Dealing in Particular with Returnees to WoropkoMindiptana Area, SKP Jayapura, Januari 1999. Juga lihat Yafet Kambai, Gerakan Papua Merdeka di Bawah BayangBayang Mega-Haz, ELSHAM, Jayapura, 2003, hlm. 29— 30. 57 Van den Broek, ibid., hlm. 4. 58 Kodam menyebut tugas para purnawirawan dalam pemukiman itu adalah menjadi mata dan telingga Kodam dalam bidang keamanan. Lihat, Sejarah Kodam VIII/ Trikora Priode 1982— 1990, hlm. 82— 83.
daerah transmigrasi ini seperti di Arso dan Koya atau di beberapa daerah di Merauke dijadikan pula sebagai daerah penyangga bagi OPM dan memudahkan ABRI untuk melakukan patroli di daerah itu .59 Pengungsian ke PNG di tahun 1983— 1984, juga dipicu oleh banyaknya terjadi penangkapan-penangkapan di kota-kota Papua, terutama Jayapura oleh intelijen Kopasandha. Mereka yang ditangkap ada 20 orang yang berasal dari Uncen dan pegawai Gubemuran Irian Jaya. Salah seorang dari mereka adalah Amold Ap yang menjabat sebagai Kepala Museum Antropologi Uncen. Penangkapan ini menimbulkan keresahan di Jayapura. Akibatnya, banyak dari para m ahasisw a U ncen dan pegawai di pemerintah daerah lari ke PNG. Bahkan di Jakarta, tiga orang sahabat Amol Ap yang memprotes penangkapan dan pembunuhan Amold oleh Kapassus ke DPR-RI terpaksa meninggalkan Jakarta.60* Setelah pelarian besar-besaran ke PNG tahun 1984 ini, gerakan perlawanan dari OPM betul-betul surut. Namun, ABRI yang kian m erasa b erk u asa atas Papua tidak bisa m eninggalkan cara-cara kekerasan untuk menunjukkan dominasinya. Stigma OPM d ie k p lo ita si sed e m ik ia n ru p a un tu k m elum puhkan siapa saja yang dianggap menentang Indonesia. Tindakan kekerasan itu kerap pula dipakai setiap menjelang pemilu demi memenangkan Golkar di Papua. Operasi militer setelah tahun 1984 berjalan secara lebih m asif, namun aksi kekerasan dalam operasi itu tidak diketahui oleh publik di luar Papua karena media massa d ilaran g m em b eritak an n y a. K em asifan operasi itu ditopang oleh kebijakan ABRI yang menjadikan yonif sebagai kekuatan inti tem pur dengan pasukan tam bahan dari Jakarta atau Makassar dan Maluku yang diBKO-kan ke kodam. Di tahun 1984 ini, kodam memilik 6 yonif, 3 di Papua dan 3 yonif
59 Bhakti, op cit., hlm. 257, dan Osbome, hlm. 280. 60 G eorge. J. Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora, ELSAM, Jakarta, 2000, hlm. 24— 25.
15
di Maluku sebagai hasil penggabungan kodam. Dari 3 yonif di Maluku, satunya adalah Yonif Linud 733 di Ambon yang berkualifikasi para. Yonifdari Maluku ditugaskan melakukan operasi secara bergantian, sementara yonif di Papua melakukan operasi sepanjang tahun di bawah kendali korem.61 Papua sebagai daerah operasi, satuan intelijen kodam dan jajarannya memegang peranan yang besar untuk menghancurkan gerakan yang disebut separatis. Oleh karena itu, peranan intelijen dan operasi kontra intelijen selalu aktif sepajang tahun. Para intelijen dari kodam dan korem direkrut dari anggota satuan tempur yang memiliki naluri intelijen dan kemudian dilatih 3 sampai 10 hari sebelum diterjunkan mengumpulkan informasi. Selain itu, anggota intelijen ini latihan sambil bertugas bersam a dengan intelijen tempur yang datang dari Kopassus. Operasi-operasi di masa ini adalah O p erasi G agak I (1 9 8 5 — 1986) yang d ip im pin oleh P angdam M ayjen H. Simanjuntak. Dalam operasi ini, pasukan o p erasi d ibagi ke d alam se k to r A di perbatasan, B di tengah dan C kepala burung dengan komando Korem masing-masing. Danrem adalah komandan sektor operasi. Kodim menjadi subsektor dengan Dandim sebagai Dansubsektor. Titik tekan operasi adalah terito rial dengan didukung oleh operasi intelijen dan tempur serta kamtibmas. Sektor A l meliputi daerah Kodim 1701/Jayapura, yaitu M em bram o, Arso, Waris. Senggi, Kemtuk dan Demta. Pasukan yang dikerahkan di daerah ini adalah Yonif733/ BS, satu kompi dari Yonif 751,9 tim intelijen, aparat teritorial setempat serta dibantu oleh 2 SSK Wanra. Sementara A2 meliputi daerah K odim 1702/W am ena dengan kekuatan pasukan dari 1 regu Yonif 751, 2 peleton KiZipur-4/Diponegro, 2 peleton Senzipur 10 serta pasukan teritorial setempat berserta 2 SST wanra/hansip. A3 adalah daerah Kodim 1707/
Merauke dengan sasaran utama adalah desa M endiptana dan Waropko. Pasukan yang diterjunkan di daerah ini adalah 1 kompi Yonif 751,1 peleton Zipur4/Diponegoro, 1 peleton Denzipur 10, dan aparat teritorial yang dibantu oleh 2 SST wanra/hansip. Daerah operasi sektor B adalah meliputi daerah Korem 173/PVB, dengan hot spot operasi di Nabire. Sasaran utam a adalah E narotali dan K ebo, Ilaga. O perasi ini bertujuan memburu pimpinan OPM, yaitu Daniel Kogoya, Tadius Yogi, dan Simon Kogoya. Pasukan yang dikerahkan ke daerah ini adalah 1 pleton Y onif753,1 peleton Zipur 4/Dip dan Apter setempat dan dibantu oleh 2 SST hansip/wanra. S ektor C adalah daerah Fak-fak dengan fokus operasi di daerah C3, yaitu daerah kompleks Tembagapura, Agimuga, dan Timika. Pimpinan OPM yang hendak dikejar di daerah tambang PT Freeport ini a d ala h V ick tu s W angm ang dengan mengerahkan pasukan dari Yonif752 dengan kekuatan 2 kompi dibantu Apter dan 2 SST hansip/wanra.62 Dalam Operasi Gagak I ini, Kodam mencatat 14 orang yang diduga OPM berhasil dibunuh dan 8 orang ditangkap dengan menyita 2 pucuk senjata. M em asuki tahun 1986 operasi ini dilanjutkan Pangdam Mayjen Setiana dengan sandi Operasi Gagak II (1986— 1987) dengan tugas pokok penghancuran GPK. Titik tekan operasi adalah operasi teritorial dan intelijen untuk memisahkan GPK dari rakyat serta melakukan deteksi loyalitas rakyat terhadap pem erintah. Operasi intelijen melakukan p e n g g a la n g a n a g ar lo y a lita s rak y at meningkat. Operasi tempur terus dijalankan dengan menggelar patroli untuk mengejar dan menghancurkan. Operasi dilancarkan dengan tetap membagi daerah operasi ke dalam 3 sektor. Pasukan yang d ilib atk an dalam Operasi Gagak II ini adalah seluruh pasukan organik tempur dan teritorial Kodam VIII/ Trikora. Serta pasukan BKO dari Satgas
01 Sejarah Kodam VIlI/Trikora, Priode 1982— 1990, Kodam, Jayapura, 1990, hlm. 76.
16
62 Kodam VIII/Trikora, op cit., hlm. 108— 109.
Yonif 321/Kostrad, 6 Tim Intelpur Kostrad, 1 Kompi Yonzipur/Dip, 1 Kompi Yon Zipur/ Brawijaya, satuan dari TNI AL dan AU serta P en erb ad . S elam a o p e ra si in i, A B R I melaporkan 21 orang berhasil dibunuh, 5 ditangkap dan menyerah 12 orang dengan menyita 13 pucuk senjata.63 K e tik a M ay jen W ism oyo A rism unandar m enjadi Pangdam Trikora digelar operasi dengan sandi Operasi Kasuari 01 (1987— 1988), yaitu Juni 1987 sampai M ei 1988 d en g an tu g as utam a menghancurkan GPK secara fisik, terutama di sekitar daerah perbatasan. Selain itu, o perasi ju g a d itek an k an di K abupaten Jayapura, Paniai, Fak-fak dan Biak. Perkiraan ABRI waktu ini kekuatan OPM hanya 222 orang dengan 64 pucuk senjata campuran. Akan tetapi, operasi digelar dalam 3 sektor dengan Danrem tetap sebagai komandan sektor. Untuk daerah subsektor A l yang meliputi perbatasan di Kabupaten Jayapura dikerahkan pasukan dari Satgas Yonif 321/ Kostrad, Satgas Patimura II, 2 peleton Yonif 751, tim Y onif752, tim analis Kopassus, tim Intelpur Kostrad, Satgas Intel Laksusda, satu peleton Kizipur4/Diponegoro, 1 kompi Zipur 5/Brawijaya dengan dibantu 4 SSK wanra sebagai TBO. Sementara untuk Subsektor A2, Wamena dikerahkan 1 Ton Yon 751, 1 Ton Z ipur 5/B raw ijaya, 1 tim In telp u r Kostrad, 1 Ton Plus Satgas 642/Tanjungpura dan dibantu SST wanra. Sementara di sektor A3, yaitu Merauke dikerahkan pasukan 1 Ton Yonif 751, dan 1 Ton Zipur 5/Brawijaya, Satgas Intel Laksusda dan Tim Intelpur Kostrad dan 2 SST w anra.64 Di daerah operasi subsektor B I, Nabire sasaran adalah Enarotali dan Sugapa, dengan menerjunkan pasukan dari Yonif753, Intel L aksusda, K izipur 4/D iponegoro, peleton Intelrem 173, Ru Marinir, 1 peleton KopaskhasAU, 1 Tim Khusus Kodim Nabire dan 2 SSK wanra. Kampung yang menjadi
sasaran adalah Kampung Tagitakaida, Seruai, Kampung Swaipak, Ampobukar, Supriori dan Swainober, Biak Barat. Selain itu juga di desa Hitadipa, Kecamatan Komopa, Kecamatan Sing, Desa Sapolinik, Kecamatan Sinak dan Lereh, Nabire. Begitu juga Desa Tamakuni, Waropen. Pimpinan OPM yang dikejar di daerah ini adalah Tadius Yogi dan Simon Kogoya. Sementara itu di sektor C, pasukan dikonsentrasikan untuk patroli tempur dan penjagaan areal PT Freeport serta Kecamatan Agimuga dan kampung Jila. Pasukan yang dikerahkan adalah berasal dari Yonif752 satu kompi, Yonif753 satu regu, Ton Intelrem 171, Satgas Intel Laksusda dibantu satu SSK wanra. Semua pasukan di-BKO-kan kepada Kodim 1706/Fak-fak.65 O p erasi m ilite r ini k em u d ian d ilanjutkan dengan O perasi K asuari 02 (1 9 8 8 — 1989). O p e rasi d ite k a n k an di sepanjang perbatasan dengan PNG dengan titik tekan operasi teritorial, intelijen dan tempur serta kamtibmas. Operasi teritorial diarahkan untuk membentuk desa binaan agar rakyat berpihak pada ABRI. Pasukan yang bertugas dan sektor operasi sama dengan Operasi Kasuari 01. Kelly Kwalik muncul sebagai pimpinan OPM di daerah Agimuka dan Tembagapura di masa Operasi Kasuari 02 ini. Mayjen Abinowo setelah meng-gantikan Wismoyo Arismunandar mengelar Operasi Rajaw ali 01 ( 1989— 1990) dan Operasi Rajawali 02 (1990— 1991). Operasi tetap ditujukan untuk penghancuran OPM di sepanjang perbatasan dengan PNG. Jenis operasi adalah teritoril, intelijen dan tempur secara terpadu dan serentak. Operasi teritorial diarahkan untuk pembentukan desa binaan dengan tujuan memisahkan rakyat dari GPK. Sementara operasi intelijen ditujukan untuk m e n g id e n tifik a si g e ra k an G PK dan menetralisir pengaruhnya. Sementara itu, operasi tempur melancarkan patroli, pengejaran, dan
61 Ibid., hlm. 111. 64 Ibid., Kodam, hlm. 114— 115.
“ Ibid., hlm. 116— 117.
17
penghancuran. Pasukan yang terlibat dalam operasi ini adalah pasukan organik Kodam VIII ditambah Yonif 621/Tanjungpura, Yonif 431/ Brawijaya, (diganti Yonif 310/Siliwangi), 1 tim In te lp u r K o stra d , S atgas D am pak XX Kopassus, Satgas Udara 3 Heli Puma, 1 Cassa AL, dan 32 Polsek, dan 6 SSK wanra. Di masa inilah, Thomas Wangai mengibarkan Bendera Melanesia Barat di Jayapura. Memasuki tahun 1990, kekuatan OPM diperkirakan hanya 215 orang dengan 69 pucuk senjata campuran. Konsentrasi gerakan berada di sepanjang perbatasan dan sebagian tersebar di Kabupaten Jayapura, Biak, Yapen-Waropen, Fak-fak, Merauke. Pada periode ini, ABRI telah membagai empat kelompok GPK, yaitu politis, orang hutan, rakyat pendukung, dan clandestine yang berada dalam Pemda I dan II, perguruan tinggi, dan SLTA.66 Pasukan pendukung operasi ini adalah pasukan organik Kodam tambah 32 Koramil rawan, yaitu Satgas Yonif 732 asal Maluku, Satgas Ki. Denzipur 10,1 Ki. Yon 751, 752, 753, Satgas Intel, dan ditambah pasukan nonorganik, yaitu Satgas Yonif 621, 431, 310, tim Intelpur Kostrad, Den Kopassus, dan Satgas Udara. Di tahun 1990 inilah, operasi intelijen militer yang berintikan pasukan Kopassus di Papua meningkat. Penangkapan-penangkapan yang disertai pembunuhan terhadap orangorang yang dicurigai sebagai OPM kerap terjadi di berbagai tempat. Operasi jenis ini kemudian terkuak ketika teijadi serangkaian pembunuhan terhadap penduduk kampung di desa Wea, Tembagapura di bulan Oktober sampai Desember 1995. Dalam aksi ini, pasukan dari Y onif 752 melakukan penembakan membabi buta terhadap penduduk yang sedang berada dalam rumahrumah mereka. Tindakan ABRI itu diawali oleh adanya demontrasi beberapa bulan sebelumnya dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora. Dalam peristiwa ini, 11 orang terbunuh dan bebeberapa orang lainnya ditangkap dan kemudian disekap di kontainer m ilik PT 66 Kodam VIII, hlm. 126.
18
Freeport. Sebagian dari penduduk di kampungkampung itujuga mengalami penyiksaan.67Aksi k e k e ra sa n y an g sam a ju g a te rja d i di M ap en d u m a k e tik a p asu k an K opassus mencoba membebaskan orang-orang yang disandera oleh kelompok Yudas Kogoya dan Kelly Kwalik. Operasi militer dengan tujuan untuk m em buru kelom pok yang disebut OPM kembali teijadi di tahun 2003 tepatnya antara bulan April sampai Juni dan kemudian terus bertahan sam pai O k to b er68 di W amena. Dalam operasi pengejaran di tahun 2003 ini diterjunkan pasukan dari K opassus dan Kostrad yang di BKO-kan kepada Korem 171/Jayapura. O p erasi m ilite r ini d iaw ali oleh terjad in y a pem b o b o lan gudang senjata Kodim 1702 Wamena oleh sekelompok orang bersenjata dini hari tangal 4 April 2003. Untuk mengejar kelompok bersejata itulah operasi ke kampung-kampung di seputaran k o ta W am ena d ila n c ark a n . P en g ejaran bahkan sam pai ke d aerah K w iyaw age. M ereka yang ditangkap di sek itar kota Wamena ditahan di Kodim dan kemudian mengalami penyiksaan yang luar biasa. Di kampung-kampung yang dilewati pasukan TNI ini terjadi rangkaian kekerasan te rh a d a p p e n d u d u k . N am u n , tin d a k a n kekerasan yang luar biasa dilakukan pasukan TN I te rja d i di K w iyaw age. K am pungkampung yang diperkirakan berpenduduk hampir 7.000jiw a ini dihujani tembakan dan rumah-rumahnya dibakar. Ribuan penduduk nya yang berhasil ditangkap mengalami penyiksaan dan beberapa orang di antaranya d ib u n u h .69* K e tik a p e n u lis d atan g ke
67 Amiruddin, op cit. 68 Pada bulan Oktober, TNI berhasil membunuh Justinus Murib bersama 6 orang pengaw alnya di Kampung Bolakme, Wamena. Justinus diangapa sebagai Pimpinan OPM di Wamena dan memimpin pembobolan gundang senjata Kodim dan membunuh dua orang anggota TNI di areal Kodim. 69 Lihat Laporan Lengkap Tim Pengkajian Permasalahan HAM di Papua, Komnas HAM, 2003.
Kampung Kwiyawage ini di bulan September 2003, kampung ini masih kosong dan sisa-sisa pembakaran dan pengrusakan masih terlihat jelas.70 Operasi militer yang paling mengejutkan setelah DOM dicabut di Papua adalah tindakan Kopassus di tahun 2001, yaitu membunuh Theis H. Eluay di Jayapura. Pembunuhan itu dilakukan setelah Theis diundang Kopassus ke markasnya di Hamadi, Jayapura. Mayatnya kemudian dibuang di jurang pingir jalan di daerah Koya. Sampai hari ini, pembunuhan Theis ini belum terungkap siapa yang memerintahkannya. Yang jelas, seorang letkol dan seorang mayor Kapassus divonis oleh M akamah M iliter Tinggi III Surabaya sebagai penanggung jawabnya. M etode pembunuhan terhadap Theis bukanlah m etode baru di Papua. Ratusan orang di Papua dibunuh dengan cara sep erti itu, b aik di kam pung-kam pung maupun di kota di seluruh Papua. Sebenarnya ketika m em asuki era reformasi politik Indonesia di tahun 1998, OPM tidak berarti lagi secara politik karena tid ak m em iliki k e k u ata n se n ja ta yang memadai. Bahkan, para anggotanya terpecahpecah dan banyak yang bertalian dengan aparat TNI. Maka dari itu ketika menjabat M enkopolkam , SBY m enyatakan OPM bukanlah ancaman yang serius. Namun, aksi kekerasan oleh TNI di Papua tidak pernah surut. 5. Penutup: Hak Asasi Manusia Agenda yang Tersisa R an g k aian o p e ra si m ilite r yang terpapar di atas jika disimak dalam literatur resmi Indonesia terdapat kesan bahwa operasi itu berjalan mulus tanpa cela. Seluruh operasi itu digelar semata-mata untuk mematahkan perlawanan Gerakan Pengacau Liar atau Gerakan Pengacau Keamanan. Tetapi, banyak saksi di Papua menyatakan dalam seluruh
70 Kwiyawage berjarak sekitar 45 menit terbang dengan helikopter. Penulis datang ke kampung ini sebagai anggota penyelidik ad hoc KPP-HAM Komnas HAM.
operasi itu banyak korban jiw a jatuh dari penduduk biasa di kampung-kampung serta p u lu h a n o ran g P a p u a y an g te rp e la ja r dipenjarakan.71 Ketika situasi politik berubah, rangkaian Operasi Militer di Papua, digugat oleh orangorang Papua karena m ereka mencatatnya sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi mereka. Ternyata dalam operasi militer yang tiada putus itu yang dibunuh, disiksa, dan dihilangkan atau diperkosa bukanlah sekadar musuh negara, melainkan ratusan penduduk kampung yang daerahnya menjadi sasaran operasi militer tersebut. A ntara tahun 1963— 1969 korban orang Papua oleh operasi militer diperkirakan oleh O sborne dengan m engutip H asting b e rju m la h 2 .0 0 0 sam p ai 3 .0 0 0 orang. Sementara Eliaser Bonay mantan Gubernur Papua di tahun 1981 pernah menyatakan korban berkisar 30.000 jiw a.72Jan Warinussy D irek tu r E k se k u tif LP3B H M anokw ari m em p erk irak an ju m la h k o rban ham pir 100.000jiwa sejak Pepera sampai sekarang.73 Namun, jumlah korban yang moderat ditulis oleh Agus Sumule ketika merumuskan perlunya Pengadilan HAM serta Komisi K eb en aran dan R e k o n silia si d ijam in pembentukannya dalam UU Otonomi Khusus untuk Papua. Sumule merinci jumlah korban tersebut adalah antara tahun 1969— 1997 di Paniai 614 orang dibunuh. Hilang 13 orang dan diperkosa 80 orang (1980— 1995). Tahun 1979 Kelila (Jayawijaya) 201 dibunuh, serta tahun 1977 di Asologaiman, 126 dibunuh, dan Wasi 148 orang dibunuh.74 Jumlah korban pembunuhan oleh aparat dalam rangkaian operasi militer itu belum teridentifikasi secara jelas sampai saat ini. Meskipun demikian.
71 M endesaknya m asalah hak asasi m anusia untuk diselesaikan di Papua, lihat Adriana Elisabeth, Agenda dan Potensi Damai di Papua, LIPI, Jakarta, 2005. 72 Osbome, op cit., hlm. 109. 73 Lihat wawancaranya dalam Majalah Sampan, edisi 02/ Februari 2006, hlm. 11— 13. 74Agus Sumule, Mencari Jalan Tengah: Otonomi Khusus Provinsi Papua, Gramedia, Jakarta, hlm. 233— 234.
19
masalah hak asasi manusia yang serius telah tejadi di Papua. Menyikapi masalah hak asasi manusia yang serius itu, ketika fajar tahun 2000 merekah, Presiden Abdurrahman Wahid yang kala itu berada di Jayapura mengubah nama provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Papua. Seiring dengan perubahan nama itu, Presiden juga memperbolehkan pengibaran bendera B in tan g K e jo ra dan m em in ta TN I mengunakan jalan damai dan meninggalkan c a ra -c a ra k e k erasan dalam m enyikapi masalah di Papua. Setahun kemudian, status Otonomi Khusus juga disetujui oleh Presiden Megawati kepada Papua melalui UU No. 21/ 2001. Jalan dialog ini mulai terbuka karena munculnya gelombang protes yang tiada henti di Papua sepajang tahun 1998. Gelombang itu dimulai oleh para kalangan mahasiwa di Jayapura dan kemudian menjalar ke hampir semua kota di Papua. Titik cetusnya terjadi di Biak, bulan Juli 1999. R ibuan orang berdemonstrasi dan mengibarkan bendera B in tan g K ejo ra di P e la b u h an B iak. Demonstrasi kemudian juga menyebar ke kota-kota Papua lainnya, seperti Manokwari, Wamena, Merauke, Timika, dan Jayapura. Sayang dalam berbagai aksi demonstrasi yang diikuti pengibaran bendera Bintang Kejora ini, lagi-lagi, aparat keamanan bertindak secara k a sa r.75 S ep an jan g tah u n 2000, dem onstrasi-dem onstrasi yang m enuntut k ead ilan dengan m engibarkan bendera Bintang Kejora juga mengalami tindakan kekerasan oleh aparat keamanan. Sepanjang tahun 1999— 2000, puluhan orang tewas tertembak oleh aparat.76 Sayangnya, seluruh jalan dialog itu dan status Otonomi Khusus belum menyentuh persoalan mendasar di Papua, yaitu pemulihan
75 Theo P.A van den Broek Ofm dan J. Budi Hemawan Ofm, Memoria Passionis di Papua: Kondisi Hak Asasi
Manusia dan Gerakan Aspirasi Merdeka, Gambaran 1999, Keuskupan Jayapura, Jakarta, 2001. 76 Yafet Kambai, op cit., hlm. 34— 36.
20
harga diri orang Papua. Bagi orang-orang Papua, pengalaman bersama Indonesia, terutama selama rezim militer Soeharto berkuasa dirasakan begitu melecehkan harkat dan martabat mereka. Seluruh pelecehan itu, kemudian dikatakan oleh orang-orang Papua sebagai realitas pelanggaran hak asasi manusia, baik yang berupa tindak kekerasan, seperti pembunuhan, penyiksaan, penangkapan dan pemerkosaan. Pelecehan yang lain adalah Indonesia te la h m e m b ia rk a n o ra n g -o ra n g P apua terperangkap dalam kemiskinan yang kronis tanpa infrastruktur kesehatan, pendidikan, dan transportasi serta kom unikasi yang m em adai. K ondisi ini, dalam data yang dilansir oleh harian Kompas sekitar 80% orang asli Papua berada dalam gelimang kemiskinan.77 B elum adanya ja la n k elu ar bagi m a salah k e m isk in a n dan k elan g k aan infrastruktur, serta belum adanya upaya p e rta n g g u n g ja w a b a n a tas te rja d in y a p e la n g g a ra n b e ra t h ak asa si m an u sia membuat Papua tetap bergejolak meskipun Otonomi Khusus telah diberikan. Pada hal, Otonomi Khusus dirancang sebagai jalan k e lu a r b ag i se lu ru h p e rso a la n yang mengganjal dalam hubungan Jakarta dengan Jayapura. Belum efektifnya Otsus sebagai jalan keluar tidak terlepas dari realita politik di Papua itu sendiri. Para perancang Otonomi Khusus hanya mengandaikan, bahwa dengan adanya Otonomi Khusus, maka semua pihak akan suka rela m endukungnya. Namun, dalam kenyataanya belum sem ua pihak mendukung. Salah satu pihak yang belum mendukung sepenunya adalah pihak-pihak dari kalangan militer. M aka d ari itu , sam pai saat ini, Pengadilan HAM dan KKR yang diwajibkan oleh UU Otonomi Khusus untuk meminta pertanggungjawaban dari mereka yang terlibat belum terwujud di Papua. Pada hal, dua instansi ini d ih a ra p k a n m e n jad i saran a untuk membongkar m asalah kejahatan terhadap kemanusian di Papua.
D engan dem ikian, m em bicarakan masalah Papua saat ini yang paling pokok adalah menjelaskan peran dan posisi militer dalam keseluruhan konflik di Papua tersebut. Sikap pemerintah yang selalu membantah dan menutup mata atas terjadinya berbagai bentuk kekerasan yang dilancarkan oleh anggota ABRI akan merugikan Indonesia sendiri. Selain itu, sikap merasa tak pemah bersalah dari p e m e rin ta h In d o n e sia ju g a akan menjauhkan orang Papua dari Indonesia. G am baran yang terp ap ar di atas adalah merupakan kenyataan-kenyataan yang pernah dialami oleh orang-orang Papua. Dengan membuka seluruh pengalaman itu, dan memberikan ruang bagi pengalam an orang-orang Papua untuk menjadi bagian darinya akan lebih m em udahkan dalam mencari jalan keluar bagi persoalan Papua yang kini kian rumit. Singkatnya, peranan ABRI atau TNI dan Polri di Papua sejak tahun 1960-an sampai tahun 2000 harus dibuka. Sementara itu, seluruh pengalam an pahit orang-orang Papua mesti diakomodasi pula di dalamnya sebagai bagian yang utuh. M aka dari itu , p em b en tu k an p en g ad ilan H A M dan K K R di P apua sebagaimana diamatkan oleh UU Otonomi Khusus menjadi agenda mendesak di Papua. Tanpa kedua sarana itu, membicarakan masalah Papua seperti jalan di tempat. Jika itu yang terjadi, kekecewan dan perasaan tidak diangap sebagai bagian dari keindonesiaan akan kian meluas di Papua.* Daftar Pustaka Aditjondro, George J. 2000. Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: ELSAM. Amiruddin. 2005. “Gerakan Papua Merdeka: Penciptaan Identitas Ke-Papua-an versus KeIndonesia-an” dalam Jurnal H ak A sasi Manusia Dignitas, Vol.III/No. 1 Tahun 2005. Amiruddin dan Aderito Soarea. 2003. Perjuangan Amungme: Antara F reeport dan M iliter. Jakarta: ELSAM.
Bhakti, Ikrar Nusa. 2005. “Hak Menentukan Diri Sendiri Jenis Baru di Papua: Pilihan Antara Kemerdekaan dan Otonomi.” Dalam Dewi Fortuna Anwar (Ed.), Konflik Kekerasan Internal. Jakarta: Obor. Hlm. 255— 256. Chauvel, Richard dan Ikrar Nusa Bhakti. 2004. The Papua Conflict: Jakarta 's Perceptions and Policies, East-West Center, Washington. C h olil. 1971. S eja ra h O p e ra si-O p e ra si Pembebasan Irian Barat. Puserjarah ABRIDephankam. Deplu RI. 1998. Sejarah Kembalinya Irian Jaya ke Pangkuan Republik Indonesia. Jakarta: Deplu RI. D joparai, John R.G. 1993. P em beron takan O rg a n isa si P a p u a M erdeka. Jakarta: Grasindo. Elisabeth, Adriana dan Muridan S. Widjojo. 2004. Pemetaan Peran dan Kepentingan Aktor dalam Konflik di Papua. Jakarta: LIPI. Elisabeth, Adriana, dkk. (2005). Agenda dan Potensi Damai di Papua. Jakarta: LIPI. G iyai, B enny. 2 0 0 0 . M enuju P apu a B aru: Beberapa Pokok Pikiran Sekitar Emansipasi Orang Papua, Elsham-Dieyai. Kambai, Yafet. 2003. Gerakan Papua Merdeka di B aw ah B a ya n g -B a ya n g M ega-H az. Jayapura: ELSHAM. Hlm. 29— 30. Kodam XVII/Tjendrawasih. 1971. Irian Barat dari Masa ke Masa, Sejarah Militer Kodam XVII/ Tjendrawasih. Puserjarah ABRI. Laporan Tim Pengkajian Komnas HAM tentang Permasalahan HAM di Papua (Wamena dan Wasior), Oktober 2003. Leith, D enise. 2003. The P o litic s o f Pow er: Freeport in Seharto s Indonesia. Honolulu: Universiti o f Hawaii Press. Majalah Sampari, edisi 02/Februari 2006. M ayjen Sam sudin. 1994. P erg o la k a n di Perbatasan: Operasi Pembebasan Sandera Tanpa P ertu m pahan D aerah . Jakarta: Gramedia. Osbome, Robin. 2001. Kibaran Sampari: Gerakan Pembebasan OPM dan Perang Rahasia di Papua Barat, (terj.). Jakarta: Elsam. P igai, D eck i N atalis BIK. 2 0 0 1 . E vo lu si Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua. Jakarta: Sinar Harapan.
21
Pour, Julius. 1993. Benny Mordani: Profil Prajurit Negarawan. Jakarta: Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman. Raweyai, Yorris T.H. 2002, Mengapa Papua Ingin Merdeka. Jayapura: PDP. Sejarah Kodam VIII/Trikora Priode 1982-1990. Sumule, Agus. 2004. M encari Jalan Tengah: Otonomi Khusus Provinsi Papua. Jakarta: Gramedia. Tebay, N eles Kebadabi. 1999. “Orang Papua M enuju K epunahan,” makalah dalam Sem inar yang d iselengarakan oleh Kelompok Studi Gaise, Keuskupan Bandung dan Lembaga Penelitian Universitas Katolik Parahiyangan Bandung, tanggal 12— 13 November 1999.
22
Van den Broek Ofm, Theo P.A dan J. Budi Hemawan Ofm. 2001. Memoria Passionis di Papua: Kondisi Hak Asasi Manusia dan Gerakan A sp ira si M erdeka, Gambaran 1999. Jakarta: Keuskupan Jayapura,. Van den Broek, Theo. 1999. Returnees from PNG to Irian ja ya : D ealing in Particular with Returnees to Woropko-Mindiptana Area. Jayapura: SKP. Widjojo, Muridhan S. 2005. “Separatisme - Hak A sasi M anusia - Separatism e: Siklus Kekerasan di Papua, Indonesia” dalam Jurnal Hak Asasi Manusia Dignitas, Vol.III/ N o.l Tahun 2005.
Lampiran Tabel Nama Pangdam XVII/Tjendrawasih dan Operasi-Operasi yang Dipimpinnya No 1
N am a B rig jen U R u k m a n
Lam a Tugas M e i 1 9 6 3 — 1 7 April 1964
K eterangan O p e ra s i W is n u m u rti I d a n II, O p e ra s i W is n u m u rti III d a n IV O p e ra s i G ia t d a n T a n g k a s
2
B rig jen Inf. K a rtidjo
1 7 A p ril 1 9 6 4 —
O p e ra s i S a d a r O p e ra s i ini d ip im p in o le h D a n r e m 171 M a n o k w a ri L etko l D ja k a W a r g a d in a ta . O p e ra s i B ra th a y u d h a , o p e ra s i
3
4
5 6 7 8 9
10
11
B rig jen T N I R . B intoro
B rig jen T N I S a rw o Edi W ib o w o B rig jen A c u b Z a in a l B rig jen Im a m M unandar B rig jen C .l. S a n to s a B rig jen R K . S e m b irin g M e lia la M a y je n H. S im a n ju n ta k * M a y je n S e tia n a M a y je n W is m o y a A ris m u n a n d a r
12
M a y je n A b in o w o
13
W a rd h a n a
14
M a y je n Jo n i L u m in ta n g
15 16 17
M a y je n I K e tu t
M a y je n A m ir S e m b irin g M a y je n M a h id in S im b o lo n M a y je n N u rd in Z a in a l
2 3 M a re t 1 9 6 6
p e n g h a n c u ra n p e rlw a n a n d a n u ntu k m e m e n a n g k a n P e p e ra O p e ra s i S a d a r d a n B ra ta y u d h a
2 5 Juni 1 9 6 8
O p e ra s i W ib a w a (P e r s ia p a n P e n y e le n g a ra a n P e p e r a )
2 6 J a n u a ri 1 9 7 0 — 1974 1977— 1978
O p e ra s i P a m u n g k a s O p e ra s i di S e p a n ja n g P e r b a ta s a n
1 9 7 8 — 1982 1982— 1985 1985— 1986
O p e ra s i G a g a k I
1986— 1987
O p e ra s i G a g a k II
1987— 1989
O p e ra s i K a s u a ri I d a n II
1 9 8 9 — 19 91
O p e ra s i R a ja w a li I d a n II
1994— 1995
1995— 1996 1 9 9 8 — 19 99**
1999— 2002 2002— 2004
P e n g a m a n a n D a erah R a w a n O p e ra s i P e n g e n d a lia n P e n g ib a ra n B e n d e ra O p e ra s i P e n y is ira n di W a m e n a
' Sejak April 1985 Kodam XVlI/Tjendrawasih di gabung dengan Kodam XV/Patimura. Gabungan kedua Kodam ini menjadi Kodam VIII/Trikora dengan pusat komandonya tetap di Jayapura. ** Kodam VIII/Trikora kembali dipecah menjadi dua, yaitu Kodam Trikora di Jayapura dan Kodam Patimura untuk Maluku.
23
PRO-KONTRA PEMEKARAN PAPUA: SEBUAH PELAJARAN BAGI PEMERINTAH PUSAT Lili Romli*
Abstract The division ofthe Province o f Papua is an interesting case in pos t reform era in which local government autonomy is a hot topic in local politics in Indonesia. The decision to divide the province comes from Central Government in Jakarta, not provincial government in Jayapura. The decision raises dispute argument in pro or contra on the necessary o f the division between people o f Papua. The paper aims is to describe the discord between the problem o f the Division ofPapua in the level offormal rule and the pro and contra to the decision. To solve the problem ofpro and contra, this paper argues that it is necessary to give more room fo r people ofPapua to decide what it need. By involving local institution that has been legally approved as representatives o f Papuan people, such as Papuan People Assembly (Majelis Rakyat Papua, MRP) and DPRD, the pro and contra to the division among people and government will be solved in dialogic decision.
Pendahuluan alam era reform asi dan otonom i daerah ini, salah satu fenomena yang m uncul di daerah-daerah adalah tuntutan pem ekaran daerah. Di beberapa daerah, sebagai contoh kasu s, m ereka berlomba-lomba agar daerahnya dimekarkan atau minta pemekaran.*1 Kondisi itu kontras dengan kasus di Papua. A pabila daerahdaerah lain berlomba-lomba agar daerahnya dimekarkan, tidak demikian halnya dengan Papua atau Irian Jaya. Tampaknya kasus Papua berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kasus-kasus pemekaran daerah lain selama ini. Jika pem ekaran daerah yang terjadi selama ini yang ngotot adalah orangorang daerah agar secepatnya daerahnya d im ek ark an , sem e n ta ra u n tu k kasus p em ek aran P apua yang n g o to t ad alah
D
* Peneliti Bidang Politik Nasional Pusat Penelitian Politik 1 Agar daerahnya dimekarkan mereka kerap melakukan dem onstrasi, baik kepada daerah induk maupun ke Pemerintah Pusat. Contoh kasus adalah saat pemekaran Provinsi Banten yang ingin pisah dari Provinsi Jawa Barat.
Pemerintah Pusat. Sebagaimana diketahui, Pemerintah Pusat menerbitkan UU No. 45 Tahun 1999 u n tu k p em ek a ra n P ap u a. N am un, UU tersebut ditolak oleh m asyarakat Papua. Meskipun sudah ditolak, tampaknya jalannya cerita belum usai. Empat tahun kemudian k e in g in a n P e m e rin ta h P u sat un tu k mem ekarkan Papua dilanjutkan kembali. K ini, P em erin tah P u sat m enghidupkan kembali UU No. 45 Tahun 1999 melalui Inpres No. 1 Tahun 2003. Inpres tersebut menginstruksikan untuk mempercepat, antara lain, pemekaran Papua menjadi 3 provinsi, yaitu Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, dan Irian Jaya Timur. Tentu saja dengan adanya Inpres tersebut mengagetkan rakyat Papua. Sebab, bukankah dulu UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran Papua sudah ditolak? Tetapi mengapa sekarang keluar Inpres No. 1 Tahun 2003 untuk mempercepat pemekaran Papua? Bukankah untuk pemekaran Papua
25
harus dilakukan melalui Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagaimana diamanatkan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua? Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan itu, seb ag ian b e sa r ra k y a t P apua m enolak pemekaran Papua. D engan d em ikian, dalam kasus pemekaran Papua sebagaimana dikatakan di atas tam p ak n y a y an g n g o to t untu k m em ekarkaan Papua adalah Pem erintah P u sat, sed a n g k a n P e m e rin ta h D aerah P ro v in si P apua tid a k n g o to t b ahkan menolaknya. Inilah yang saya katakan sebagai fenom ena khusus, yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan pemekaranpemekaran daerah dalam kasus-kasus daerah lain, seperti pem ekaran Provinsi Banten, Pemekaran Provinsi Bangka Belitung, dan Pemekaran Provinsi Gorontalo. Dampak sikap ngotot Pem erintah Pusat tersebut menimbulkan benturan dan konflik antara mereka yang pro-Pemerintah Pusat (dengan demikian setuju pemekaran) dan yang menolak keinginan Pemerintah P u sat (d en g an d em ik ian m enolak pem ekaran). Sikap pro-kontra tersebut, sesungguhnya apabila kita amati dipicu oleh sikap elite terhadap kebijakan Pemerintah Pusat tentang pemekaran Papua. Sikap elite yang berbeda itu lalu merembet ke masing-masing pendukung di antara elite-elite tersebut sehingga yang teijadi kemudian konflik horizontal di antara pendukung pemekaran dan penolak pemekaran. Antiklimaks dari konflik tersebut adalah peristiwa Mimika saat dideklarasikan Provinsi Irian Jaya Timur. Tulisan ini mencoba untuk membahas tentang fenom ena pro-kontra pem ekaran Papua tersebut. Namun, sebelumnya terlebih dahulu membahas tentang latar belakang pemekaran Papua, keluarnya UU No. 45 Tahun 1999 dan Inpres No. 1 Tahun 2001.
Hindia Belanda, pemerintah kolonial saat itu membagi wilayah Netherlands New Guinea (sebuah nama untuk Irian Barat atau Irian Jaya pada waktu masa penjajahan Belanda) dalam enam karisedanan, yaitu (1) Hollandia (sekarang namanya Jayapura) dengan ibu kota Hollandia; (2) Geelvinkbaai (sekarang Teluk Cendrawasi) dengan ibu kota Biak; (3) N ew G u in ea T engah d en g an ibu k o ta Enarotali; (4) New Guinea Selatan dengan ibu kota Merauke; (5) New Guinea Selatan dengan ibu kota Fakfak; dan (6) New Guinea Barat dengan ibu kota Sorong.2 Tentu pembagian keenam wilayah tersebut ada alasannya. Pemerintah Hindia Belanda tidak asal saja membagi wilayah Netherland New Guinea atas enam wilayah. M en u ru t Ik rar N u sa B h ak ti, alasan pembagian enam wilayah itu didasarkan atas (1) k ed ek atan w ilay ah ; (2) efek tiv itas pemerintahan; dan (3) pertalian adat/suku di antara penduduk di wilayah itu.3 Pada tahun 1963 ketika Netherland N ew G u in ea m e n jad i b a g ian w ilay ah Indonesia, yang kemudian berubah menjadi Irian Barat, pembagian enam wilayah tersebut tetap dipertahankan oleh Indonesia. Namun, dalam perkembangan kemudian, yaitu pada tahun 1969, dari enam karesidenan itu diciutkan m enjadi tiga karesidenan baru, yaitu (1) Karesidenan Paniai; (2) Karesidenan Sorong; dan (3) Karesidenan Yapen Waropen. Karesidenan di Irian Barat terus berkembang dan ada yang d ib eri nam a baru, yaitu k ab u p aten , m en jad i 14 k ab u p aten dan terakhir 28 kabupaten.4 Pada masa Pemerintahan Orde Baru, tep atn y a tah u n 1983, y aitu pada m asa Gubernur Irian Jaya dipimpin oleh Busyiri Suryowinoto dan M enteri Dalam Negeri Supardjo Rustam, ide tentang pemekaran muncul kembali. Ide pemekaran ini berawal dari Seminar “Pembangunan Pemerintahan
Latar Belakang Pemekaran Ide tentang pem ekaran Irian Jaya sudah lama. Jauh sebelum Irian Jaya menjadi bagian Indonesia, di zaman pemerintahan 26
2 Ikrar Nusa Bhakti, “Mencari Titik Temu Pemekaran Provinsi Papua”, Kompas, 25 Agustus 2003. 3 Ibid. 4 Ibid.
Daerah” dalam rangka Dies Natalis Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) ke-16 di Jakarta tanggal 3 Mei 1983. Pada seminar tersebut muncul gagasan perlunya pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi tiga w ilayah dan pem bentukanpembentukan kabupaten-kabupaten.5 Namun, dalam seminar itu terdapat dua pendapat yang berbeda, satu sisi ada yang berpendapat bahwa pemekaran dimulai dari baw ah dulu, y aitu dengan m em bentuk kapubaten-kabupaten dulu, tetapi di sisi lain ada yang berpendapat sebaiknya dimulai dari atas dulu y a itu d en g an m em bentuk pemekaran provinsi dulu. Sehubungan dengan adanya polemik tersebut, Gubernur Irian Jaya yaitu Busyiri m emanggil orang-orang Irian Jaya yang berpolemik tersebut, yaitu JRG Jopari, 3 m ahasisw a IIP asal Irian Jaya (M ichael Menufandu, Obednego Rumkorem, Martinus Howay), dan beberapa anggota DPR yang mewakili Irian Jaya, antara lain MC Da L opez, Izaac H indom , Izaac Saujay, M ocham m ad W asaraka, dan Sudarko. M ereka d ip a n g g il dalam ran g k a membicarakan rencana pemekaran wilayah Irian Jaya. Untuk itu, mereka diwajibkan untuk memberikan masukan tertulis kepada gubernur. Ide te n ta n g p e m ek aran te ru s berkembang dengan diadakannya Seminar Nasional “Percepatan Pembangunan di Irian Ja y a ” , yang d ilak u k an oleh P ersatu an Wartawan Indonesia (PWI). Dalam seminar itu dibicarakan juga tentang kemungkinan pemekaran wilayah Irian Jaya. Hasil seminar lalu direkom endasikan kepada M enteri Dalam Negeri, yakni Supardjo Rustam. D alam perkem bangan kem udian, Menteri Dalam Negeri memerintahkan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Dalam Negeri untuk melakukan penelitian di Irian Jaya selama enam bulan
5 JRG Djopari, “Pemekaran Papua Positif bagi Rakyat Papua”, Sinar Harapan, 5 Maret 2003.
tentang kemungkinan pemekaran wilayah Irian Jaya. Hasil penelitian ini kemudian disampaikan kepada Presiden Soeharto, yang isinya apabila kondisi ekonomi negara memungkinkan dan proses kaderisasi aparat pemerintah asal putra daerah telah mencukupi untuk struktur minimal birokrasi pem erintahan tingkat provinsi, pem ekaran w ilayah dapat dilaksanakan. Pemekaran dapat dimulai dengan tiga provinsi dan kemudian menjadi enam provinsi sesuai enam karisedanan sewaktu pemerintahan Hindia Belanda di Irian Jaya. Gagasan tentang pem ekaran Irian Jaya tersebut, ternyata tidak kunjung tiba sampai akhirnya Presiden Soeharto jatuh. Entah alasan apa, ide pemekaran itu tidak kunjung terwujud. M ungkin rekomendasi tentang perlunya pemekaran yang diajukan o leh B a litb a n g D e p d ag ri b elu m ju g a terpenuhi sehingga tidak memungkinkan pemekaran Irian Jaya dilaksanakan. Atau alasan lain, entahlah? Yang jelas selama masa Presiden Soeharto kendali Jakarta atas Irian Jaya begitu ketat dengan diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM). Dan dampak dari DOM tersebut membuat rakyat Irian Jaya m akin se n g sa ra a k ib a t te rja d in y a pelanggaran-pelanggaran HAM. Pemekaran Irian Jaya Berdasarkan UU No. 45 Tahun 1999 K e tik a te rja d i p e rg a n tian pemerintahan, dari Soeharto ke B. J. Habibie, gagasan p em ek aran Irian Jay a m uncul k em b ali. G u b ern u r Irian Jay a, Freddy Numberi, mengusulkan pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi tiga wilayah. Kemudian, usul ini ditanggapi oleh pemerintah dengan mengajukan RUU tentang pemekaran Irian Jaya dan pembentukan kabupaten-kabupaten lainnya di Irian Jaya. Singkat kata, lalu keluarlah UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Dengan adanya UU itu,
27
berarti Irian Jaya terbagi atas 3 provinsi, yaitu Irian Jaya Barat dengan Ibu Kota Manokwari, Irian Jaya Tengah dengan Ibu Kota Timika, dan Irian Jaya Timur dengan Ibu Kota Jayapura. U n tu k m e n g etah u i apa d a sa r pertimbangan keluarnya UU No. 45 Tahun 1999 tersebut, di sini saya kutipkan dasar pertimbangan sebagaimana dinyatakan dalam poin menimbang UU No. 45 Tahun 1999, yaitu:6 a. bahwa berhubung dengan perkembangan dan kemajuan Provinsi Irian Jaya,.. .serta adanya aspirasi yang berkembang dalam m a sy a ra k a t, d ip a n d an g p e rlu meningkatkan penyelenggaraan pemerin tahan, pelaksanaan pembangunan, dan p em b in aan k e m asy a ra k ata n guna menjamin perkembangan dan kemajuan dimaksud pada masa mendatang; b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas dan memperhatikan perkembangan jumlah penduduk, luas wilayah, potensi ekonomi, sosial budaya, sosial politik dan peningkatan beban tugas serta volume kerja di bidang p em erintahan, pem bangunan, dan kemasyarakatan di Irian Jay a... dipand ang p erlu m em bentuk Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat sebagai pemekaran dari Irian Jaya...; c. bahwa pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya B a ra t.. .akan dapat mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pertim bangan-pertim bangan yang diajukan tersebut kemudian lebihjauh dijelaskan dalam Penjelasan Umum dari UU No. 45 Tahun 1999 ini. Di sini, lagi-lagi, saya kutipkan bunyi Penjelasan Umum tersebut, yaitu:
6 Lihat UU No. 45 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah.
28
Provinsi Irian Jaya mempunyai wilayah seluas 404.669 km2 dengan geografis yang bergunung-gunung dan berbukit-bukit, dalam perkembangannya walaupun telah menunjukkan kem ajuan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan masih diperlukan peningkatan. Provinsi Irian Jaya juga memiliki makna yang khas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Makna khas tersebut terdapat di dalam dinamika budaya, struktur pranata adat istiadat, potensi wilayah, dan struktur sosial kemasyarakatan serta tantangan dan kendala yang dihadapi beserta lingkungan strategis yang mempengaruhinya. Perkembangan Provinsi Irian Jaya tersebut diikuti pula dengan peningkatan jum lah penduduk yang sangat pesat dengan laju pertumbuhan rata-rata 2,41% per tahun. Pada tahun 1990, jum lah penduduk Provinsi Irian Jaya berjumlah 1.436.439jiw a dan pada tahun 1998 meningkat menjadi 2.225.102 jiwa. Hal ini mengakibatkan bertambahnya b eb an tu g as dan v o lu m e kerja p e n y e le n g g a ra a n p e m e rin ta h a n , p em bangunan, dan pembinaan kemasyarakatan di Provinsi Irian Jaya. Provinsi Irian Jaya memiliki sumber daya pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan pariwisata yang cukup potensial untuk dikembangkan serta memiliki prospek yang cukup baik bagi pem enuhan kebutuhan pasar baik dalam negeri maupun luar negeri karena memiliki letak yang sangat strategis, yaitu merupakan pintu gerbang ke arah lingkar Pasifik. B erdasarkan hal-hal tersebut dan memperhatikan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat sejak tahun 1982, yang selanjutnya dituangkan secara formal dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Irian Jaya tanggal 10 Juli 1999, Nomor 10/DPRD/1999 tentang Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I Irian Jaya dan untuk lebih meningkatkan daya guna dan h a sil g u n a p en y elen g g araan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat serta untuk lebih meningkatkan peran aktif masyarakat, dan sesuai aspirasi masyarakat sejalan dengan kebutuhan pembangunan dan pemerintahan di Provinsi Irian Jaya, maka Provinsi Irian Jaya perlu dimekarkan menjadi tiga provinsi, yaitu dengan membentuk Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat. U ntuk m e n in g k atk an dan m em perkuat peranan putra daerah asli Irian Jaya dalam formasi kepegaw aian dan jabatan negeri, diberikan prioritas kepada putra daerah tersebut sedem ikian rupa dalam mendapatkan pendidikan dan pelatihan. Di samping itu, hak adat dalam kom unitas budaya suku-suku asli Irian Jaya, termasuk hak atas tanah ulayat, dilindungi dan dijamin pengem bangan serta pem berdayaannya secara din am is dan selaras dengan perkembangan zaman. U ntuk m elaksanakan UU No. 45 Tahun 1999 tersebut, Presiden B.J. Habibie kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden No. 327 Tahun 1999 pada tanggal 12 Oktober 1999. Dalam Dekrit tersebut, Presiden B.J. H abibie m en g an g k at W akil G ubernur Herman Monim dan Bram Atururi, masingmasing sebagai Gubernur Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya B arat. N am un dalam perkembangan, baik UU No. 45 Tahun 1999 maupun Dekrit Presiden No. 327 Tahun 1999 ditolak oleh D ew an Perw akilan Rakyat Daerah Provinsi Irian Jaya melalui SK. No. 11/ DPRD/1999 tanggal 16 Oktober 1999. Isi SK DPRD Provinsi Irian Jaya tersebut menolak pemekaran Irian Jaya karena atas desakan rakyat Irian Jaya. Dengan adanya penolakan DPRD Provinsi Irian Jaya tersebut, kem udian m uncul p e rtan y aan m en g ap a dalam Penjelasan Umum UU No. 45 Tahun 1999, sebagaimana dikutip di atas, dinyatakan bahwa keluarnya UU ini tidak lepas dari aspirasi masyarakat yang lalu dituangkan dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya No. 10/ DPRD/1999? Kalau benar berdasarkan aspirasi
masyarakat, seharusnya UU No. 45 Tahun 1999 diterima, bukan ditolak. Tetapi yang terjadi adalah rakyat Irian Jaya menolak dan DPRD Irian Jaya m en d u k u n g n y a. Pertanyaan selanjutnya, ada apa sebenarnya di balik itu semua? Benarkah UU No. 45 Tahun 1999 benar-benar berdasarkan aspirasi masyarakat Irian Jaya atau sesungguhnya hasil rekayasa Jakarta (Pemerintah Pusat)? Jaw aban yang m uncul cenderung bahwa UU No. 45 Tahun 1999 tidak lepas dari kepentingan Pemerintah Pusat dalam upaya m eredam atau m em ecah gerakan P ap u a M erd ek a. D engan Irian Jaya d im e k a rk an m ak a d u k u n g an terh ad ap gerakan Papua Merdeka akan terpecah-pecah, yang pada gilirannya nanti akan melemahkan gerakan itu sendiri karena Irian Jaya tidak lagi satu, tetapi sudah menjadi tiga, yaitu Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, dan Irian Jaya Timur. C ara sep erti ini m em ang dapat d ilak u k an , tetap i p erso alan w aktu dan kondisinya tidak pas. Mengapa tidak jauhjau h sebelum itu, katakanlah seharusnya direalisasikan ketika masa Soeharto di mana negara kuat? Sementara sekarang, pada era reformasi ini di mana semua orang menuntut k e b eb a san dan ada ru an g k eb eb asan , ditambah kondisi negara yang lemah maka kebijakan itu tidak pas. Maka menjadi wajar ap ab ila k e m u d ia n rak y at Irian Jaya m en o lak n y a k a re n a m em ang yang d ib u tu h k a n a d ala h k ead ilan bukan pemekaran. Mungkin berdasarkan pertimbangan tersebut, Presiden B.J. Habibie menerima tuntutan rakyat Irian Jaya tersebut, yaitu menunda pelaksanaan UU. No. 45 Tahun 1999 dan membatalkan Dekrit Presiden No. 327 Tahun 1999 karena tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat Irian Jaya. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika B.J. Habibie digantikan oleh Presiden A b d u rah m an W ahid, p en d ek atan yang diterapkan dalam m enangani Irian Jaya berbeda dengan kebijakan sebelumnya. Di sini, Presiden Abdurahm an Wahid bukan saja
29
memberikan dana bagi diadakannya Kongres Nasional Papua II pada bulan Mei 2000, tetapi juga mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua pada tanggal 25 Desember 2000. Nama Papua merupakan keinginan rakyat Papua sendiri, bukan pemberian nama dari Pemerintah Pusat. Dengan persetujuan pemberian nama Papua untuk m engganti nam a Irian Jaya diharapkan rakyat Papua akan mengubah tuntutan yang selama ini diajukan, terutama kelompok OPM dan Presediun Dewan Papua. Ketika Presiden Abdurahman Wahid ja tu h dan d ig a n tik a n o leh M eg aw ati, diberikan kebijakan terhadap Papua dengan apa yang dinam akan sebagai pem berian otonomi khusus, melalui UU No. 21 Tahun 2001. Kebijakan yang sama, yaitu Otonomi K h u sus, d ib e rik a n ju g a k ep ad a A ceh. K eb ijak an p em b erian otonom i khusus sesungguhnya merupakan bentuk win-win solution, sem ua p ih a k m em p ero leh kemenangan. Perlu dikemukakan di sini, kebijakan otonomi khusus ini berbeda dengan kebijakan otonomi berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999. Pada UU No. 22 Tahun 1999, titik berat otonomi ada pada tingkat kabupaten atau kota. Antara kabupaten/kota dengan provinsi tidak ada hierarki. Sementara UU Otonomi Khusus titik berat otonomi berada di tingkat provinsi, bukan pada kabupaten atau kota. B e rk a ita n d en g an p em ek aran wilayah, UU Otonomi Khusus menyatakan bahwa apabila akan diadakan pemekaran harus terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Majelis Rakyat Papua (MRP). Pasal 76 UUNo. 21 Tahun 2001 menyebutkan bahwa, “ P em ek aran P ro v in si P apua m enjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPR Papua setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, serta kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa mendatang”. L alu siap a itu M R P? M RP merupakan reperesentasi kultural orang asli Papua. Orang asli Papua adalah orang yang
30
berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Sampai saat ini, entah mengapa MRP belum terbentuk? K arena belum terbentuknya MRP, dapat dikatakan Otonomi Khusus Papua belum berjalan secara maksimal, meski dana untuk pelaksanaan Otonomi Khusus sudah diberikan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah Provinsi Papua. Inpres No. 1 Tahun 2003 S etelah k e lu arn y a UU O tonom i Khusus tentang Papua tersebut, seharusnya persoalan Papua selesai, minimal berkaitan dengan masalah pemekaran Papua. Mengapa, mengingat saat UU tentang Pemekaran Papua No. 45 Tahun 1999 ditolak oleh masyarakat Papua, lalu sebagai ja la n tengah untuk m e n g atasi p e rs o a la n P ap u a la h ir UU Otonomi Khusus, maka berkaitan dengan persoalan pemekaran harus berdasarkan UU Otonomi Khusus tersebut. N am un, en tah k en ap a dan latar belakang apa, pada tanggal 27 Januari 2003, Presiden Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2003. Instruksi itu berisi tentang Percepatan Pelaksanaan UU No. 45 tentang Pembetukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, K ab u p aten P an ia, K ab u p aten M im ika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Dalam diktum menimbang, disebutkan: a. B ahw a untuk p elak san aan U ndangU ndang No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong dipandang perlu dilakukan percepatan penyiapan sarana dan prasarana, pem bentukan organisasi perangkat daerah dan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah; b. B ahw a sesu a i tu n tu ta n dan perkembangan aspirasi masyarakat serta
kondisi politik nasional yang kondusifpada saat ini maka penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi Irian Jaya Barat perlu direalisasikan secara terarah, terpadu, terkoordinasi, dan berkesinambungan. In stru k si p resid en ini ditu ju k an kepada (1) M enteri D alam N egeri; (2) Menteri Keuangan; (3) Gubernur Provinsi Papua; dan Bupati/Wali Kota se-Provinsi Papua. Pertam a, M enteri D alam N egeri melakukan percepatan pelaksanaan UU No. 45 Tahun 1999, dengan tugas: 1) M ela k san a k a n p em b in a an dan pengawasan penyelenggaraan pemerin tahan daerah di Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah; 2) M em p e rsia p k an p e n e ta p a n dan p e n y esu a ian b a ta s -b a ta s w ilay ah Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, dan Prdvinsi Irian Jaya; 3) M em berikan pem binaan dan peng awasan kepada Provinsi Irian Jaya Barat dan Provinsi Irian Jaya Tengah dalam ran g k a p e m b en tu k an O rg an isasi Perangkat Daerah; 4) M em berikan pem binaan dan peng aw asan kepada P rovinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya B arat dalam rangka pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi; 5) M engaktifkan pejabat gubernur, para p e ja b a t, dan p e n ata a n a p a ra tu r Pemerintah Provinsi Irian Jaya Barat dan P ro v in si Irian Jay a T engah serta mengupayakan dukungan sarana dan prasarana yang memadai; 6) Melakukan koordinasi dengan menteri/ pim pinan lem baga nondepartem en terkait dan m engadakan pertem uan dengan pejabat pemerintah daerah. Kedua, m emberikan tugas kepada M en teri K eu an g an u n tu k m en y iap k an anggaran yang diperlukan dalam rangka
pelaksanaan langkah komprehensifyang belum tertampung dalam APBN. K e tig a, G u b e rn u r m em b erik an dukungan pelaksanaan UU No. 45 Tahun 1999, dengan tugas: 1) Pengalihan personel, pembiayaan, aset dan dokumen; 2) S u p e rv isi dan d u k u n g an pad a pembentukan dan penataan penyeleng garaan pem erintahan daerah otonom baru. K eem pat, b u p ati/w ali kota m en dukung untuk memperlancar pengalihan dan penataan penyelenggaraan pem erintahan seperti dimaksud UU No. 45 Tahun 1999. K elim a, u n tu k m e m p e rla n ca r percepatan pelaksanaan UU No. 45 Tahun 1999, M en te ri D alam N e g eri d ap at membentuk Tim Asistensi untuk memberikan dukungan/bimbingan teknis penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada gubernur dan b u p a ti/w a li k o ta d alam k a ita n p e nyelenggaraan Pemerintahan Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah. Setelah adanya instruksi presiden tersebut, pada tanggal 6 Februari 2003, dengan dihadiri ribuan orang dari sembilan k a b u p ate n , P ro v in si Iria n Jay a B arat diresmikan oleh pejabat Gubernur Irian Jaya Barat, yaitu Abraham Octavianus Atururi di Manokwari. Acara peresmian provinsi baru ini ju g a digelar di Sorong, Fakfak, dan Jayapura. Pada tanggal 11 Maret 2003, Menteri Dalam Negeri mengharapkan agar Gubernur Papua menyampaikan perkembangan tertulis mengenai respons masyarakat Papua atas pemekaran Papua. Laporan tersebut diperlukan oleh Departemen Dalam Negeri sebagai salah satu pertim bangan untuk mengefektifkan pem ekaran Papua m enjadi tiga provinsi. Kemudian pada tanggal 23 Mei 2003, Menteri Dalam Negeri meminta gubernur, DPRD, dan Bupati Manokwari segera mengimplementasikan Inpres No. 1 Tahun 2003.
31
Beberapa kalangan menilai bahwa Inpres No. 1 Tahun 2003 tentang percepatan pemekaran tersebut menjadi titik balik bagi berjalannya UU No. 21 Tahun 2001 tentang O tonom i K husus Papua. K ond isi ini menunjukkan bahwa nasib Otonomi Khusus Papua berada pada posisi di persimpangan jalan . B etapa tidak, di satu sisi bahw a pemekaran di tanah Papua dilakukan oleh MRP, namun di sisi lain, dengan adanya Inpres No. 1 Tahun 2003 te rseb u t m enunjukkan bahw a pem ekaran Papua ternyata dilakukan oleh Pemerintah Pusat bukan oleh MRP sebagai representasi rakyat Papua. Pro-Kontra Pemekaran Papua Saat pendeklarasian Provinsi Irian Jaya Barat tanggal 6 Februari 2003 oleh Pejabat Gubernur Irjabar (Irian Jaya Barat) di Manokrawi, yang dihadiri oleh kurang lebih 15 ribu orang dari Kabupaten Manokwari, Sorong dan Fakfak, berlangsung secara damai dan aman. Tidak ada gejolak, k onflik, dan penentangan. Semuanya berjalan lancar dan aman. Namun, suasana serupa tidak teijadi saat pendeklarasian Provinsi Irian Jaya Tengah (Irjateng) yang dilakukan pada tanggal 23
Agustus 2003. Provinsi Irian Jaya Tengah dideklarasikan di Timika oleh keenam bupati dan ketua DPRD yang ada di wilayah provinsi itu. Saat pendeklarasian ternyata diwarnai oleh aksi penolakan sekelom pok pendukung dan penentang pemekaran provinsi. Bentrokan antara yang pro dan kontra ini membawa korban meninggal dunia sebanyak empat orang, yaitu 2 orang dari pihak penolak dan 2 orang dari pihak pendukung. P ad a p erk e m b an g a n kem udian, karena situasi makin tegang, pada tanggal 27 Agustus 2003 Pem erintah menunda atau m em p e rta h an k a n d alam status quo pemekaran daerah di Provinsi Papua, kecuali Irian Jaya Barat. Pada masa status quo ini pemerintah akan meninjau kembali UU No. 45 Tahun 1999, UU No. 21 Tahun 2001 dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2003. Sikap p em erin tah dengan m em berlakukan status quo berkaitan dengan pemekaran Papua tersebut merupakan suatu sikap yang bijak dan arif dalam menyikapi perkembangan yang terjadi di tanah Papua. U ntuk itu, kita sangat m enghargai dan menghormatinya karena memang persoalan Papua begitu kom pleks dan rumit, yang penyelesaiannya butuh waktu dan pemikiran yang mendalam, termasuk persoalan tentang pemekaran. Apakah pemekaran merupakan
Tabel 1. Perbandingan Indikator Ekonomi dan Sosial Provinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, dan Irian Jaya Indikator
Prov. Irian Jaya Tengah
Provinsi Irian Jaya
Ibu Kota
M an o kw ari
T im ik a
J a y a p u ra
Luas (k m 2 )
1 0 5 .0 7 3
5 8 .7 7 9
2 4 9 .6 3 0
Ju m lah P en d u d u k
5 7 1 .1 0 7
5 0 6 .0 2 6
1 .1 5 6 .3 9 7
K e p a d a ta n (O rg /K m 2 )
5 ,4
8 ,6
4 ,6
Luas H u tan (h a)
1 0 .1 7 3 ,8
7 .5 2 9 ,8
2 4 .3 2 4 ,8
P an jan q Jin A s pa l (km )
1 .3 0 7 ,5 8
1 .3 5 1 ,3 5
2 .0 8 6 ,0 1
Ju m lah P N S
9 .7 1 8
1 7 .4 1 7
2 0 .5 1 1
R a sio P en d u d u k P e r P N S
1 :5 9
1:9
1:5 6
Jum lah G uru S D
3 .8 6 9
4 .3 6 2
6 .3 3 0
Jum lah M urid S D
5 2 .5 6 9
1 4 9 .6 7 2
1 4 3 .9 4 7
R a sio G uru p e r m urid S D
1:4
1:3 4
1:2 3
Ju m lah D o kte r
67
62
171
R a sio P en d u d u k P e r D o kte r
1 :8 2 5 4
1 :8 .1 6 2
1 :6 7 6 3
P e n e rim a a n P B B 2 0 0 1
1 5 1 .2 6 8 ,5
1 0 9 .4 0 3 ,7
1 0 2 .8 1 6 ,1
P artai Pilihan 1 9 9 9
G o lk a r (4 2 % ),
G o lk a r (4 3 % )
G o lk a r (3 4 % )
P D IP (3 3 % )
P D IP (2 9 % )
P D IP (3 2 % )
Sumber: Kompas, 23 September 2003
32
Prov. Irian Jaya Barat
jalan satu-satunya penyelesaian masalah Papua atau bukan? Perlu perenungan yang mendalam! Namun, terlepas dari itu, persoalan pemekaran dan tentang Inpres No. 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pemekaran, telah terjadi konflik antara yang pro dan kontra. Salah seorang yang pro terhadap pemekaran Papua mengemukakan beberapa argumentasi, yaitu:7 1) Aspek pemerintahan. Rentang kendali pem erintahan Papua sangat jauh atau panjang sehingga seorang Gubernur tidak m am pu m e n g e n d a lik a n w ilay ah administratif pemerintahannya. Dengan 14 w ilayah setingkat kabupaten sulit dikoordinasikan oleh seorang gubernur. Luas 4 kali pulau Jaw a, m aka akan b ertam b ah s u lit dan b e ra t d engan tambahan 14 kabupaten baru tahun 2003. K o n flik p ro v in si (g u b e rn u r) dan kabupaten maupun kota di Irian Jaya pada tah u n 2002 p e rlu d ic erm ati atas pembagian dana 1,8 triliun rupiah bagian dari dana otonomi khusus yang hanya 20% sampai ke 14 wilayah Kabupaten (termasuk 2 kota), sedangkan 8% berada dan dikendalikan di provinsi. 2) Aspek Politik. Pembagian Papua menjadi 3 provinsi m em berikan kesem patan kepada tiga putra yang terbaik untuk menjadi gubernur. Dari segi pendidikan dan komunikasi politik, wilayah menjadi semakin kecil sehingga bagi pemerintah maupun partai politik dapat dengan mudah sampai ke desa/kam pung un tu k m elakukan kewajibannya karena isolasi sudah menjadi p rio rita s utam a un tu k d ibuka dem i pembangunan. 3) Aspek Hukum. Dilihat dari tata urutan dan kebiasaan perundang-undangan, maka Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 11 Tahun 1999 tidak bisa membatalkan UU No. 45 Tahun 1999juga tidak mencabut pasal-pasal pemekaran
7 JRG Djopari, “Pemekaran Papua Positif bagi Rakyat Papua”, dalam Sinar Harapan, 5 Maret 2003.
wilayah Papua berdasarkan UU No. 45 Tahun 1999. Inpres No. 1 Tahun 2003 tanggal 27 Januari 2003 secara hukum adalah benar dan tepat. 4) A sp ek E k o n o m i. K e tig a w ilay ah mempunyai potensi sumber alam yang sam a, yaitu pertam bangan. W ilayah Tengah ada PT Freeport. Wilayah Barat ada Pertamina dan Proyek Tangguh BP. W ilay ah T im u r ada ju g a tam b an g tembaga/emas di Okisibil (PT Inggold) dan minyak bumi (PT Connoco) di Kouh, Tanah Merah. Di wilayah Timur belum dieksploitasi karena alasan gangguan k eam an an . T iga w ila y a h itu akan membuka peluang besar bagi investasi modal, baik dari dalam maupun luar negeri. 5) A spek Sosial B udaya. D engan tiga wilayah provinsi baru maka pembinaan dan pengembangan budaya serta adat istiadat akan lebih efek tif dilakukan sebab kem am puan untuk itu ada dan ditunjang dengan jangkauan pelayanan pemerintah yang pendek serta prioritas yang jelas bila dibandingkan dengan kenyataan sekarang ini. Pelayananpelayanan sosial seperti pendidikan dan agama, sarana dan prasarananya dapat diperbaiki. Bantuan kepada lembagalembaga sosial, swadaya masyarakat dan keagamaan serta pendidikan (swasta) akan lebih efektifbila dibandingkan dengan sekarang ini. 6) Aspek Pertahanan dan Keamanan. Dari segi pertahanan, keam anan dan ketertiban wilayah, tidak ada alasan yang kuat untuk m elakukan penam bahan aparat keamanan melalui pembentukan Kodam dan Polda provinsi yang baru karena yang ada sekarang ini telah mencukupi untuk menangani persoalan yang ada selam a ini. K etertiban dan keam anan di provinsi sem akin terus membaik, apalagi telah terjadi saling p e n g e rtia n y an g m en d alam a n ta r pemerintah Indonesia dan Papua New
33
Guinea bahwa keamanan dan ketertiban di sepanjang perbatasan kedua negara m eru p ak an p rio rita s u tam a bagi kepentingan hubungan kedua negara, agar masyarakatnya dapat berkunjung dengan berbagai tujuan, apakah itu kunjungan-kunjungan sosial, dagang, w isata , b u d ay a, a d at is tia d a t, dan sebagainya dengan aman dan nyaman sebagai layaknya kehidupan bertetangga dengan baik. Apa yang dikemukan oleh Djopari tersebut, yang merupakan salah seorang putra te rb a ik P ap u a, sep e rtin y a p e rso a la n pemekaran Papua dilihat dari aspek mana pun (dia menyebutkan enam aspek) tidak ada satu pun aspek yang merugikan, tetapi sebaliknya menguntungkan. Oleh karena, menurut dia, tidak ada persoalan dengan pemekaran Papua karena pemekaran Papua membawa dampak yang positif bagi rakyat Papua berdasarkan tinjauan enam aspek di atas. P ertanyaan yang segera m uncul kemudian, apakah memang demikian? Ini menjadi pertanyaan besar karena mengingat pem ekaran Papua telah m em icu konflik horizontal di antara m asyarakat Papua. Tercatat hanya Irian Jaya Barat yang tidak berkebaratan, bahkan katanya gembira (?), dengan adanya pemekaran tersebut. Adapun dua provinsi lainnya menolak pemekaran secara tegas. Namun, terlepas setuju-tidak setuju dengan pendapat Djopari tersebut, ada satu hal yang perlu dikritisi, yaitu berkaitan dengan “tidak akan dibentuk Kodim dan Polda Provinsi” pada pembentukan provinsi b aru. B en ark ah d e m ik ian ? Saya k ira, bukankah salah satu alasan mereka yang menolak pemekaran Papua berkaitan dengan pembentukan Kodim dan Polda baru apabila ada pemekaran provinsi baru. Sepanjang saya ketahui, setiap provinsi pasti ada Kodim dan Poldanya, hatta provinsi baru. Apalagi nanti di P apua, y an g nota bene kead aan
keamanannya masih terganggu dengan masih adanya Gerakan Papua Merdeka atau OPM. Baiklah, kita lanjutkan berkaitan dengan pro-kontra pemekaran Papua. Berbeda dengan pendapat Djopari di atas, pengamat politik dari CSIS, Indra J. Piliang, seperti dalam tulisannya di Kompas dengan judul, “Solusi Damai Untuk Papua”, mengajukan gugatan berkaitan dengan Inpres No. 1 Tahun 2003, yaitu:8 1) Pemerintah tidak pernah menjelaskan dasar dari p e n g a m b ila n k e p u tu sa n yang berkenaan dengan keluarnya Inpres No. 1 Tahun 2003, juga bagaimana kaitan dengan pemberlakuan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Pertanyaannya, apakah status otonomi khusus akan berlaku di ketiga provinsi baru ataukah hanya di Provinsi Papua saja. 2) D engan b erlak u n y a inpres tersebut berarti Papua kini terdiri tiga provinsi, yakni Provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, dan Irian Jaya Timur. Lalu, bagaim ana dengan Provinsi Papua? Tidak jelas sekarang, provinsi mana yang d iseb u t seb ag ai p ro v in si asal atau provinsi induk karena nama Provinsi Papua tidak ada lagi. Juga menyangkut MRP, apakah akan dibentuk di tiga provinsi itu atau “provinsi asal” yang tidak ada. 3) P e m b e rla k u a n in p re s te rseb u t menyebabkan sebuah preseden baru telah dimulai, yakni adanya tiga provinsi baru yang m enghilangkan atau memakan provinsi induknya. Berkaitan dengan Inpres No. 1 Tahun 2003 tersebut, Menteri Dalam Negeri Hari S abarno m en g atak an bahw a tid ak ada pertentangan yuridis antara Inpres No. 1 Tahun 2003 yang didasarkan pada UU No. 45 Tahun 1999 dengan UU No. 21 Tahun 2001. Menurutnya, UU No. 45 Tahun 1999
8 Indra J. Piliang, “Solusi Damai Untuk Papua”, dalam Kompas, Agustus 2003.
34
yang terbit lebih dahulu telah membagi Papua menjadi tiga provinsi, sementara UU No. 21 Tahun 2001 memberikan jiwa pada kekhususan Papua. Kekhususan itu adalah alokasi dana, MRP, dan pemilihan kepala daerah. Jadi, katanya, sebenarnya tidak ada pertentangan dan saling melengkapi.9 Selanjutnya, Menteri Dalam Negeri d alam d e n g ar p e n d a p a t d en g an D PR memberikan penjelasan tentang persoalan pemekaran Papua ini. Berikut penjelasan Mendagri tersebut, Pada prinsipnya, kebijakan Pemerintah dan DPR dalam pananganan masalah Papua bermuara pada pemberian kesejahteraan bagi masyarakat Papua dalam rangka NKRI, baik yang diterapkan melalui UU No. 45/1999 maupun melalui UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Kalau disikapi lebih mendalam dan bijaksana, substansi kedua UU tidak bertentangan tapi justru saling melengkapi. UU No. 45/1999 lebih menekankan pendekatan untuk mengakomodasi adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Di sisi lain, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dengan memperpendek rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan masyarakat.
Sedangkan, UU No. 21/2001 lebih m en ekankan pada p e n g ak u an dan p en g h o rm atan te rh a d ap sa tu a n -sa tu a n pemerintahan daerah yang bersifat khusus dalam wadah NKRI dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua. UU yang bersifat khusus ini d ite ta p k an dalam ra n g k a m engurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di P ro v in si P apua, se rta m em berikan kesempatan yang luas kepada penduduk asli Papua untuk membangun dirinya. Dengan demikian, pembentukan 3 provinsi (Provinsi Irian Jaya Timur, Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat) secara yuridis telah sah semenjak ditetapkan UU No. 45 Tahun 1999 (lih a t ’ Lihat Kompas Cyber Media, 27 Agustus 2003.
Pasal 29). Keberadaan ketiga Provinsi tersebut juga diakui oleh UU No. 21 (lihat Pasal 1 butir a junto Pasal 74). Namun, ternyata ada kelalaian dalam penyusunan UU No. 21 Tahun 2001 yang tetap menyebut “Provinsi Papua” padahal seharusnya sebagai “Provinsi Irian Jaya Timur”. UU No. 45/1999 hingga saat ini belum dapat dilaksanakan secara optimal karena adanya penolakan oleh sebagian masyarakat. Meskipun demikian, secara yuridis formal UU No. 45/199 masih tetap berlaku dan untuk mengaktifkan penyelenggaraan Pemerintah Provinsi Irian Barat dengan mempertimbangkan iklim yang kondusif di Irian Jaya Barat, telah diterbitkan Inpres No. 1/2003, yaitu untuk mempercepat pelaksanaan UU No. 45/1999. Pernyataan Menteri Dalam Negeri dalam Rapat Dengar Pendapat dengan DPR tersebut menarik sekali, paling tidak ada dua hal y an g m esti d ip erh atik an . Pertam a, pernyataan bahw a penyebutan “Provinsi P a p u a ” m eru p ak an b e n tu k k e lalaia n penyusun dan pembahas UU No. 21/2001 yang seharusnya menyebut “Provinsi Irian Jaya T im ur” . P ertan y aan n y a, benarkah demikian? Pasal 1 butir a UU No. 21/2001 mengatakan, “Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi otonomi khusus dalam k e ran g k a N e g ara K e sa tu a n R ep u b lik Indonesia” . Kalaupun pernyataan Papua itu sesungguhnya mengacu kepada Provinsi Irian Jaya Timur, berarti yang mendapat otonomi khusus adalah Provinsi Irian Jaya Timur dengan ibu kota Jayapura. Dengan demikian, Provinsi Irian Jaya Tengah dan Barat tidak m em peroleh otonom i khusus. Benarkah demikian, entahlah? Lalu bagaimana dengan pasal yang m engatur tentang pemekaran Papua harus dapat persetujuan MRP. Apakah memang MRP untuk mengurus pemekaran Irian Jaya Timur yang wilayah semakin kecil dan penduduknya semakin sedikit? Benarkah demikian, entahlah? Pertanyaan kemudian, benarkah orang-orang di DPR itu lupa semua tentang hal tersebut. Entahlah juga? Saya pribadi berpendapat bahwa pernyataan Menteri Dalam Negeri tersebut
35
hanya bersifat politis dan apologia, yang sulit sekali dipertanggungjawabkan bahwa mereka p ara an g g o ta dew an te rse b u t lupa mencantumkan nam a “Irian Jaya Timur” bukan “P apua” . P ertanyaan sederhana, b u k ankah nam a Irian Jay a pada m asa pem erintahan Abdurahm an Wahid sudah berubah menjadi Papua. Papua adalah Irian Jaya, yang merupakan satu kesatuan seluruh wilayah dan batas-batas wilayah yang ada di Papua atau Irian Jaya, tidak hanya Irian Jaya Timur dan tidak termasuk Irian Jaya Tengah dan Barat. Kedua, berkaitan dengan pernyataan bahwa UU Pemekaran “secara yuridis sah”. Ini memang menjadi perdebatan, karena memang di dalam UU Otonomi Khusus tidak ada klausul yang menyatakan bahwa UU Pemekaran dinyatakan tidak berlaku. Dengan tidak adanya klausul seperti itu maka kedua UU (UU Otsus dan UU Pemekaran) memang sam a-sam a berlaku. N am un, salah satu anggota dewan mengusulkan agar ada klausul tentang pencabutan UU Pem ekaran. Di bawah ini saya kutipkan dialog anggota dew an saat p em b ah asan UU O tonom i Khusus bagi Papua sebagaimana dikutip oleh wartawan Pembaruan, Marcellus Widiarto. “Risalah pembahasan RUU Otsus Papua menunjukkan bahwa status UU Pemekaran dibicarakan pada rapat ke-8 Pansus DPR tentang Otsus Papua yang berlangsung pada Sabtu, 20 Oktober 2001 dari Jam 14.00 sampai 22.30 WIB di Ruang Rapat Pansus D Gedung Nusantara II DPR. Dalam rapat itu dipimpin oleh Ferry Mursidan Baldan dan dihadiri oleh 21 dari 50 anggota Pansus dan para pejabat eselon I inter-departemen dan staf mewakili Pemerintah Pusat. Dalam risalah tersebut, Antonius Rahail dari Fraksi KKI mengusulkan agar dimasukkan suatu klausul bahwa dengan berlakunya UU Otsus maka UU Pemekaran dan UU No. 5/2000 dinyatakan tidak berlaku, kecuali ketentuan mengenai pembentukan Kabupaten Paniae, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Tetapi Prof. Dr. Abdul Gani, Dirjen Perundang-Undangan Depkeh dan HAM yang mewakili pemerintah pusat menganggap usulan itu tidak perlu dimasukkan secara eksplisit ke dalam UU Otsus karena sudah terpenuhi secara sistematis”.
36
Sementara itu, pakar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Harun Al Rasyid, mengatakan bahwa UU Pemekaran cacat hukum. Hal ini selain karena masyarakat Papua sendiri teijadi penolakan terhadap kebijakan pemekaran Papua menjadi tiga, tetapi juga usulan pemekaran itu adalah dari DPR dan pemerintah, bukan atas usulan gubernur dan DPRD Papua. Padahal dalam UU Otonomi Daerah, pemekaran daerah itu harus atas usulan gubernur yang disetujui DPRD, baru kem udian diusulkan kepada presiden.10 Inpres No. 1 Tahun 2003 ternyata membawa dampak besar bagi rakyat Irian Jaya. Di antara dampak yang muncul akibat Inpres tersebut adalah terjadinya konflik elite dan k o n flik h o riz o n ta l di k alan g an masyarakat Irian Jaya. Elite di Irian Jaya terpecah dua, yaitu yang pro-pemekaran dan yang m enolak pem ekaran. Sementara di kalangan masyarakat juga terpecah mengikuti polarisasi elite tersebut, yang pro dan yang kontra. Kenyataan ini jelas terlihat ketika deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah di mana teijadi insiden yang membawa korban meninggal dunia sebanyak 4 orang dari kedua belah pihak. Akibat konflik tersebut, kemudian pemerintah mengambil sikap yang arif, yaitu dengan menunda pemekaran Irian Jaya dalam kondisi status quo. Dalam Rapat Dengar Pendapat, Menteri Dalam Negeri mengatakan, “Berdasarkan pertimbangan politik dan pemerintahan, pemekaran daerah di Provinsi Irian Jaya Tengah ditunda atau dipertahankan dalam statusquo. Pada masa statusquo ini perlu meninjau kembali UU No. 45/1999, UU No. 21/2001 dan Instruksi Presiden No. 1/2003 serta mencari solusi penyelesaian masalah-masalah fundamental yang merintangi implementasi dari pemekaran wilayah yang tujuan utamanya adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Apabila telah tercipta iklim yang kondusif ke depan, masih perlu diantisipasi dan dipertimbangkan adanya aspirasi masyarakat yang diwakili oleh 6 (enam) bupati dan 6 (enam) ketua DPRD di wilayah Irian Jaya Tengah yang tetap 10Lihat, Harus Alrasid; “Pemekaran Papua Cacat Hukum”,
Tempo Interaktif, 20 Februari 2003
menginginkan pemekaran provinsi, sebagaimana diatur dalam UU No. 45/1999”.
Analisis Pro-Kontra Pemekaran Papua Konflik pro-kontra pemekaran Papua awalnya berasal dari Inpres No. 1 Tahun 2003. Apabila tidak ada inpres tersebut, besar kemungkinan konflik tidak akan terjadi. Hal ini karena mengingat UU No. 45 Tahun 1999 sudah ditolak oleh DPRD Papua dan sudah ditangguhkan oleh Pemerintahan Presiden H ab ib ie. P e m e rin ta h p ad a w aktu itu memahami keberatan rakyat Papua tentang pemekaran Provinsi Papua. Namun sayang, entah kenapa pemerintah dan DPR tidak mencabut UU No. 45 Tahun 1999 tersebut saat membahas dan menetapkan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Sesungguhnya dengan adanya UU No. 21 Tahun 2001 te rse b u t, yang di dalamnya mengatur juga tentang persoalan pemekaran, menurut kebiasaan maka UU yang sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi. Tetapi itu memang hanya soal kebiasaan sehingga lemah secara hukum. Dengan kata lain, meski sudah ada UU No. 21 Tahun 2001, UU No. 45 Tahun 1999 juga tetap berlaku. Akibatnya kedua UU tersebut terlihat saling bertabrakan, di mana UU No. 45 Tahun 1999 memerintahkan perlunya pemekaran Papua sedangkan UU No. 21 Tahun 2001 mengatur tentang pemekaran Papua yang harus berdasarkan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi rakyat Papua. Celakanya UU No. 21 Tahun 2001 belum dilaksanakan, sementara itu muncul Inpres No. 1 Tahun 2003 yang memerintah kan menteri terkait untuk melaksanakan UU No. 45 Tahun 1999, yang sudah ditolak oleh rakyat Papua itu. Yang terjadi kemudian, instruksi itu mendapat perlawanan, tetapi Pem erintah Pusat tam paknya bersikeras untuk tetap memekarkan Provinsi Papua. Akibat sikap ngotot Pemerintah Pusat ini, masyarakat Papua kemudian terbelah dua, sebagian yang mendukung pemekaran dan
sebagian yang menolak pemekaran. Dengan sikap ngotot P em erin tah P usat m uncul anggapan di kalangan m asyarakat Papua bahwa pemerintah sengaja ingin memecah belah rakyat Papua. Betapa tidak? Seharusnya P e m e rin ta h P u sa t k o n siste n saja m elak san ak an UU N o. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua tanpa mengeluarkan instruksi No. 1 Tahun 2003. Tetapi mengapa kemudian pemerintah tetap saja ingin melaksanakan UU No. 45 Tahun 1999? A da b eb erap a an alisis berkaitan dengan hal tersebut, sebagaimana berikut. 1) Bahwa pemerintah mengeluarkan inpres tersebut dalam upaya untuk memberikan pelayanan pada masyarakat (mendekat kan rentang kendali pelayanan) dan m e m fa silita si dan m en in g k atk an pembangunan ekonomi. Karena banyak nya k a b u p ate n (28 k a b u p ate n , dan rencana akan dikembangkan menjadi 40 kabupaten), tidak mungkin hanya dilayani oleh satu provinsi atau gubernur. Jadi, perlu adanya beberapa provinsi. 2) Keluarnya inpres tersebut berkaitan dengan masalah keamanan. Provinsi Irian Jaya atau Papua dipecah menjadi beberapa provinsi adalah dalam rangka untuk melemahkan gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Pemekaran Papua dilakukan dalam upaya untuk memecah aspirasi Papua Merdeka. 3) Keluarnya inpres berkaitan dengan tujuan untuk melemahkan posisi Golkar di Irian Jaya. Pada Pemilu 1999, Partai Golkar menguasai perolehan suara di Irian Jaya. Dengan adanya pemekaran Irian Jaya diharapkan pada Pemilu 2004 kekuatan Partai Golkar akan berkurang dan beralih kepada PDI-P karena dengan diangkatnya gubernur baru akan menjadi patron baru bagi PDI-P yang nanti pada gilirannya akan memberikan dukungan kepada PDI-P. Apabila kita kelompokkan mereka yang pro-kontra terhadap pemekaran Papua, maka terdiri dari (1) Elite Jakarta; (2) Elite 37
Pertanyaannya, mengapa hal tersebut terjadi? A da beberapa kem ungkinan dan penjelasan terhadap sikap mereka tersebut. Untuk Provinsi Irian Jaya Barat, mereka yang m endukung pem ekaran m em iliki alasan bahwa dengan adanya pemekaran merupakan kesem patan yang baik untuk mem ajukan daerah yang selama ini tertinggal dari daerahdaerah lain di Irian Jaya. Dengan adanya pemekaran maka daerah Irian Jaya Barat akan dapat mengejar ketertinggalan dan mengatasi kemiskinan yang dialami masyarakat selama ini. Untuk memperbesar kewenangan dalam pem erintahan dan untuk m em perbanyak posisi-posisi jab atan politik bagi rakyat Papua. Selain itu, dan ini yang penting, untuk mempertahankan integrasi Papua agar tetap dalam pangkuan NKRI. A lasan m erek a yang m en o lak pemekaran adalah karena pemekaran tidak dilakukan dalam kerangka otonomi khusus sesuai dengan UU N o. 21 Tahun 2001 sehingga pemekaran yang dilakukan saat ini tidak m em iliki dasar hukum yang kuat. Pemekaran dilakukan karena kepentingan eliteelite pusat dan kepentingan pemerintah Pusat untuk mengontrol Papua. Dengan Papua dibagi
tiga provinsi maka kontrol terhadap Papua lebih mudah dibandingkan dengan satu provinsi. Dengan adanya tiga provinsi maka akan lahir tiga Kodam dan tiga Polda. Institusi inilah yang akan mengawasi gerak-gerik sebagian rakyat Papua yang ingin m em isahkan diri dari Indonesia. Mereka menolak pemekaran juga karena tidak dilibatkannya masyarakat sehingga masyarakat merasa tidak diperhatikan padahal mereka merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan. Akibatnya muncul anggapan bahwa pemekaran Papua hanya untuk memecah belah rakyat Papua. Kesimpulan dan Rekomendasi Persoalan tentang pemekaran Papua telah membelah masyarakat Papua itu sendiri menjadi sikap yang mendukung dan menolak (pro-kontra). A kibat sikap pro-kontra ini dampak yang nyata adalah terjadi konflik horizontal di antara kedua kelompok tersebut. Dengan adanya konflik tersebut, terutama setelah teijadi peristiwa Timika, pemerintah mengambil sikap status quo tentang pemekaran Papua. Salah satu kebijakan yang akan diambil
Tabel 3. Sikap Pro-Kontra Elit Pemda dan MasyarakatTerhadap Pemekaran Papua S ikap E lit P ro P e m e k a r a n
V a ria b e l Internal Elit Pem da K e p e n tin g a n
P u b lik
V aria b el Eksternal (S o s ia l,
B u d a y a , E k o n o m i, P o litik ) K o n tra P e m e k a ra n
K e p e n tin g a n P u s a t H a n k a m , P o litik)
(in te g ra s i,
K e p e n tin g a n In d iv id u /K e lo m p o k
K e p e n tin q a n K e lo m p o k
K e p e n tin g a n P u b lik
O to n o m i K h u s u s
(S o s ia l, B u d a y a , P o litik)
(E k o n o m i, P o litik )
Elit M asyarakat P ro P e m e k a ra n
K e p e n tin g a n In d iv id u /K e lo m p o k
K e p e n tin g a n P u s a t d an K e p e n tin g a n K e lo m p o k
K o n tra P e m e k a ra n
K e p e n tin g a n P u b lik
O to n o m i K h u s u s d a n K e p e n tin g a n In te rn a s io n a l (P a p u a M e r d e k a )
Sumber: Diolah dari berbagai sumber pemberitaan media massa
38
Pemda, dan (3) Elite M asyarakat. B erd asark an hal te rse b u t, m aka d ap at dikelompokkan mereka yang pro dan kontra sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini. Elite-elite tersebut memiliki alasan mengapa mereka menerima atau menolak terhadap pemekaran Papua. Bagi elite pemda, khususnya pemda dari kabupaten yang terkena pemekaran dan menjadi provinsi, setuju terhadap p em ekaran k aren a dalam upaya un tu k m emperpendek rentang kendali sehingga optimal dalam pemberian pelayanan terhadap m asyarakat, m eningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperbesar kewenangan dalam pemerintahan, mem-peroleh posisi jabatanja b a ta n p o litik , dan dalam upaya mempertahankan integrasi NKRI. Alasan-alasan tersebut bisa masuk dalam kategori kepentingan publik dan atau kepentingan kelompok atau individu. Elite yang menolak pemekaran memiliki argumentasi bahwa pemekaran tersebut tidak sesuai dengan UU No. 21 Tahun 2001 yang menghendaki bahwa pemekaran harus melalui MRP, pemekaran harus memperhatikan aspirasi dan kultur masyarakat Papua, serta dibicarakan terlebih dahulu dengan Pemda Provinsi Papua dan DPRD provinsi. Dalam konteks ini, Ketua DPRD Provinsi Jhon Ibo mengatakan, “Pihak DPRD Papua sama sekali tidak tahu tentang isi Inpres No. 1 Tahun 2001. Salinan inpres yang kami dapat pun ternyata diperoleh dari faksimile Ana Wartel, yang katanya terletak
di Plaza Indonesia. Jadi kami dapat dokumen negara yang bersejarah itu bukan dikirim dari Sekretaris Presiden atau Staf Presiden di Jakarta. Soal pemekaran Papua sebenarnya sudah ditolak o le h D P R D P ro v in si O ktober 1999 lew at Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya No. 11/ D PR D /1999 tanggal 16 Oktober 1999.”"
Sementara di kalangan elite masyarakat yang setuju terhadap pem ekaran Papua berdasarkan alasan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan m asyarakat, m em percepat pembangunan, memperoleh posisi j abatan bagi putra asli Papua, dan untuk mempertahankan integrasi nasional. Adapun elite masyarakat yang menolak pemekaran berdasarkan alasan bahwa pemekaran dilakukan untuk kepentingan eliteelite politik di Jakarta, untuk memevag aspirasi Papua Merdeka, meningkatkan ruang kontrol Jakarta terhadap Papua melalui pembentukan Kodim dan Polda di provinsi-provinsi baru, tidak melibatkan masyarakat Papua, khususnya kalangan adat dan gereja. Elite-elite tersebut, baik yang pro maupun yang kontra terhadap pemekaran Papua, mengekspresikan sikapnya berbedabeda pada setiap provinsi baru yang mengalami pemekaran. Di Provinsi Irian Jaya Barat, sebagian besar elite dan masyarakat setuju terhadap pemekaran, sedangkan di Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Timur sebagian besar elite dan m asyarakatnya m enolak pemekaran.
T abel 2. K elo m p o k Y ang Pro-Kontra Pem ekaran Papua S ika p E lit P u s a t P ro P e m e k a r a n
B iro k ra s i
E lit .. E lit P e m d a B iro k ra s i
E lit M asya rak a t K e lo m p o k
yang
dekat
dengan Pusat P o litis i K o n tra P e m e k a r a n
A n g g o ta D P R D
P o litis i
B iro k ra s i P ro v in s i
LSM
LSM
A n g g . D P R D P ro v in s i
G e r e ja /A g a m a
A k a d e m is i
Adat
Sumber: Diolah dari berbagai sumber pemberitaan media massa. " Lihat “Apa Kata Mereka” dalam Fokus, Kompas 23 Pebruari 2003.
39
oleh pemerintah akan berusaha mensinkronkan antara UU No. 45 Tahun 1999 dengan UU No. 21 Tahun 2001. Tampaknya dengan sikap pemerintah tersebut, secara implisit maupun eksplisit, pemekaran Papua harus ada. Kesimpulan ini diambil dan didukung dengan pernyataan pemerintah bahwa ia tetap mengakui Irian Jaya Barat sebagai provinsi baru di Papua. Persoalan yang belum terselesaikan, bagi pemerintah, berkaitan dengan dua provinsi lainnya, yaitu Irian Jaya Timur dan Irian Jaya (Tengah). Dalam konteks itu, pemerintah akan mensinkronkan kedua UU di atas. M enurut hem at saya, tam paknya persoalan konflik masalah pemekaran Papua berpangkal dari kepentingan-kepentingan elite lokal yang terpecah dan elite pusat yang terpecah pula. Artinya, ada kepentingan yang sama antara elite pusat dan elite lokal yang pro pemekaran berhadapan dengan elite lokal dan elite pusat (terutama elite yang dirugikan dengan adanya p e m ek aran te rse b u t) yang m en en tan g pemekaran Papua. Dampak dari konflik tersebut kemudian menjalar ke masyarakat atau arus bawah, yang sesungguhnya mereka tidak seharusnya dilibatkan. Tetapi yang teijadi antara kedua kelompok tersebut membawa-bawa masyarakat. Akibatnya, seperti dikemukakan sebelum nya, terjadi konflik horizontal, konflik antara sesama rakyat Papua. P em ek aran P ap u a, m em ang merupakan suatu keharusan, karena sejumlah alasan, yaitu: 1) Dari segi politik, pembagian Provinsi Papua menjadi tiga wilayah provinsi (bahkan b isa enam pro v in si, pen.) memberikan kesempatan kepada tiga putera terbaik Papua untuk menjadi gubernur. 2) D ari segi ekonom i, ketiga w ilayah tersebut mempunyai potensi sumber alam yang sama, yaitu pertambangan. 3) Dari aspek sosial budaya, pembinaan dan pengembangan budaya serta adatistiadat akan lebih efektif dilakukan.
40
P elay an an -p elay an an sosial seperti pendidikan dan agam a, sarana dan prasarananya dapat diperbaiki. M eskipun pem ekaran m erupakan suatu keharusan dengan sejumlah alasan di atas, ak an te ta p i p ro se s dan p ro se d u r p em ekaran P apua haru s sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. P ro ses p e m ek a ra n P ap u a selain harus mengacu kepada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juga mengacu kepada UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, di mana dalam proses pemekaran harus dibicarakan dulu melalui M ajelis Rakyat Papua dan DPRD Papua. Untuk itu, dalam proses percepatan pemekaran Papua, pemerintah Pusat harus melakukan sosialisasi melalui pendekatanpendekatan secara persuasif melalui dialog dan musyawarah. Sekarang tidak lagi jamannya kebijakan yang bersifat top-down. Setiap kebijakan harus bersifat bottom-up, yang m em p erh atik an asp irasi dan keinginan masyarakat daerah. Dalam dialog tersebut semua pihak harus dilibatkan dan didengarkan suaranya. Paling tidak dalam dialog tersebut, unsur yang dilibatkan adalah: 1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua; 2. Pemerintah Daerah, yang dikepalai oleh gubernur; 3. Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Papua; 4. Komisi HAM Papua; 5. Majelis Rakyat Papua (MRP); 6. Badan Perwakilan Desa yang ada di Papua; 7. Dewan Adat Papua; 8. Pimpinan Adat; 9. Gereja Katolik; 10. Organisasi Non-Pemerintah/LSM M engapa lembaga-lembaga di atas harus dilibatkan? Setuju atau tidak setuju, lem ab ag a-lem b ag a terseb u t m erupakan
representasi dari m asyarakat Papua dan m erupakan jem batan penghubung antara k epen tin g an P em erin tah P usat dengan kepentingan masyarakat Papua. Oleh karena itu, sudah seharusnya lembaga-lembaga tersebut dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Selama ini, kerap, Pemerintah Pusat enggan untuk m elakukan dialog dengan lembaga-lembaga di atas. Kalaupun ada, dan dilakukan, adalah dialog dengan mereka yang setuju dengan ide Pemerintah Pusat. Padahal persoalan bukan di situ tetapi adalah mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan yang ada untuk mencari penyelesaiannya.
Daftar Pustaka “Apa Kata Mereka” dalam Fokus, Kompas 23 Februari 2003. Al Rasyid, Harun. Pem ekaran Papua C acat Hukum, Tempo Interaktif, 20 Februari 2003. B hakti, Ikrar N usa. “M encari Titik Temu Pemekaran Provinsi Papua”, Kompas, 25 Agustus 2003. Djopari, J.R.G. “Pemekaran Papua Positif bagi Rakyat Papua”, dalam Sinar Harapan, 5 Maret 2003. Piliang, Indra J. “Solusi Damai untuk Papua”, dalam Kompas, Agustus 2003. UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah.
41
DIMENSI INTERNASIONAL KASUS PAPUA Adriana Elisabeth* Abstract Issue on Papua has a strong international dimension. It will remain critical fo r Indonesian political bargaining when political violence and human rights abuse continue in Papua. The existence o f multinational companies contributes to the international dimension o f the Papuan case. Although most foreign countries stick on their commitment to support the integrity o f Indonesian territory, the future o f Papua depends on how the political and economic problems would be resolved.
I. Pengantar asus Papua ibarat bom waktu bagi In d o n esia. B an y ak fa k to r yang mampu memicu isu Papua menjadi isu b e sa r dan te rb u k a , y ak n i p o litik , keamanan, sosial, dan ekonomi. Dimensi persoalan Papua yang sangat beragam - lokal, nasional, dan internasional -berpotensi kuat m engubah m asalah yang b ersifat lokal m enjadi nasional begitu pun sebaliknya. Lebih dari itu, dimensi lokal dan nasional persoalan Papua sangat mungkin menjadi isu internasional manakala hal itu melibatkan peran dan kepentingan politik dan ekonomi pihak asing. K a ra k te ristik a tau dim en si ^ te rn a s io n a l kasus Papua ditentukan oleh operan aktor negara (state actor) dan aktor non-negara ( non-state actor) yang secara k o n siste n dan te ru s-m e n e ru s te la h “m e n g in te rn a sio n a lis a s i” isu P apua, misalnya melalui lobi dan diplomasi, baik yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia maupun pihak-pihak yang berseberangan dengan Pemerintah Indonesia, antara lain O rganisasi Papua M erdeka (O PM ) dan
K
Peneliti Bidang Politik Internasional, P2P LIPI & Koordinator Tim Kajian Papua 2006 LIPI.
beberapa anggota Presidium Dewan Papua (PDP). Tulisan ini akan membahas dimensi internasional isu Papua dengan menganalisis p eran dan k ep en tin g an b eb erap a aktor internasional yang terlibat dalam persoalan di Papua. Kemudian juga membahas langkah atau strategi Pemerintah Indonesia dalam menangani persoalan di Papua, khususnya berkaitan dengan upaya Indonesia untuk menjaga hubungan luar negerinya dengan negara-negara asing m aupun kom unitas internasional, terutama dengan Australia dan negara-negara Pasifik Selatan. II. P eran dan K ep en tin g a n A k tor Internasional dalam Kasus Papua Pada m asa P eran g D in g in , peta politik global lebih banyak dipengaruhi oleh hubungan antamegara/pemerintahan. Namun setelah berakhirnya Perang Dingin, politik dunia d itan d ai dengan berkem bangnya organisasi-organisasi antarpemerintahan di berbagai level. Sebagai contoh, beberapa organisasi antarpem erintahan di tingkat global adalah World Bank (Bank Dunia), World Trade Organisation (W TO ), International Labour Organisation (ILO) dan 43
International Atomic & Energy Agency (IAEA). B eberapa organisasi di tingkat regional, misalnya Association o f South East Asian Nations (A S E A N ), O rg an isasi Konferensi Islam (OKI), Gerakan Non-Blok (G N B ), O PE C , North A tlantic Treaty Organization (NATO), dan Kelompok G-7. Selain organisasi antarpemerintahan, berkembang pula organisasi internasional nonpemerintahan dan nonperusahaan atau
International Non-Governmental Organisations (INGO), seperti Greenpeace, Human Rights Watch, Refugee International dan sebagainya, kem udian juga terdapat o rg a n isasi ra h a sia , sep e rti in te lije n , terorism e.1 Secara lebih luas, organisasi kejahatan lintas negara ( Transnational Organised Crime!TOC) mencakup bukan hanya kegiatan terorisme, melainkan juga penyelundupan senjata (arms smuggling), obat-obat terlarang (ilicit drugs trafficking) dan p e rd a g a n g a n m an u sia ( human trafficking), khususnya perempuan dan anakanak. A ktor n o nnegara yang berperan sangat dominan dalam peta politik global saat ini adalah perusahaan global yang dikenal dengan Multinational Corporations (MNC), Transnational Corporations atau Global Firms. D engan kata lain, perkem bangan politik di tingkat nasional maupun regional/ internasional harus memperhitungkan peran dan kepentingan perusahaan-perusahaan berskala dunia ini. B ertam b ah n y a ju m la h a k to r nonnegara yang terlibat dalam hubungan antamegara dan antarbangsa menyebabkan p eran a k to r n eg ara tid a k lagi b e rsifa t dominan. Perkembangan politik internasional ini menjadi salah satu faktor penting dalam analisis persoalan di Papua. Aspek politik dan ekonom i yang b erk aitan dengan upaya penyelesaian isu Papua harus memperhatikan peran dan kepentingan aktor internasional, 1 Herb Feith. “Globalisasi Politik Dunia dan Keharusan R eform asi PBB”, h ttp ://fis ip .u n m u l.a c .id / globalisation.html. h. 2 & 3.
44
terutama organisasi nonpemerintahan atau LSM dan perusahaan internasional yang (m asih dan akan) beroperasi di w ilayah Papua. Menurut hasil penelitian tim kajian Papua LIPI tahun 2004, secara garis besar, terdapat tiga aktor utama yang terlibat dalam konflik di Papua dan berada di level lokal, nasional, dan internasional, yakni negara/ pemerintah {state), masyarakat (society), dan pebisnis (market).2 Peran dan kepentingan ketiga aktor utama tersebut relatif berhasil dan m udah d ip e ta k a n . N am un, tid ak demikian dengan pemetaan pola hubungan di antara para aktor tersebut. Selain karena banyaknya jum lah aktor yang terlibat (baik langsung maupun tidak langsung), kesulitan te rse b u t ju g a d ise b a b k a n setiap ak to r memiliki lebih dari satu kepentingan dan antara satu kepentingan dengan kepentingan lain cenderung saling berhubungan. Berdasarkan pola hubungan tersebut, tidaklah mudah memisahkan secara tegas apakah seorang aktor lokal hanya berperan secara lokal, karena dalam mempertahankan kepentingannya dia pun bergerak di tingkat n a sio n a l b ah k an in te rn a sio n a l. S elain kepentingan yang saling berkait, peran para aktor ditentukan pula oleh pola hubungan atau hubungan kekuasaan (power relations) antara ketiganya yang cenderung bersifat tidak sim etris ( asymmetrical), m isalnya posisi masyarakat Papua di tingkat lokal dan nasional tam pak atau cenderung lem ah (powerless) dibandingkan dengan kekuasaan pem erintah (pusat dan daerah). Nam un demikian, di level internasional, elemenelemen yang ada dalam masyarakat Papua, seperti kelom pok pro-m erdeka di Papua banyak mendapatkan dukungan/simpati dari p ih a k in te rn a sio n a l. M erek a b e rh a sil mengusung ideologi merdeka dalam rangka m en d ap a tk a n sim p a ti dan d u k ungan internasional. Dengan kata lain, meskipun secara lokal dan nasional, masyarakat Papua 2 Adriana Elisabeth dkk. (2004). Peran dan Kepentingan Para Aktor dalam Konflik di Papua, Jakarta: LIPI.
cenderung menjadi kelompok marginal, di tingkat internasional “m arginalisasi” ini ju stru m enguntungkan m ereka. Bahkan, mereka memiliki posisi tawar yang cukup tinggi bila berhadapan dengan Pemerintah Indonesia karena simpati dan dukungan pihak internasional pada gerakan/kelompok prom erdeka di Papua. Lobi dan diplom asi kelompok pro-merdeka ini bertujuan untuk memperoleh dukungan internasional, baik yang berasal dari pemerintahan negara asing maupun masyarakat internasional, termasuk o rg anisasi n o n p em erin tah an di tingkat internasional dan lembaga dunia. D ukungan in te rn a sio n a l kepada k elo m p o k p ro -m e rd e k a di P apua m enim bulkan kom pleksitas yang cukup serius bagi Pem erintah Indonesia dalam berdiplom asi dengan pihak luar negeri. Meskipun Pemerintah Indonesia memiliki legitimasi politik yang kuat (kedaulatan yang sah) di Papua, posisi tawar Indonesia menjadi lemah ketika berhadapan dengan komunitas internasional berkaitan dengan persoalan demokratisasi, hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan di Papua. Hal ini dikarenakan isuisu tersebut merupakan agenda global yang kerap dipakai untuk m engukur ataupun m e n ila i tin g k a t k e b e rh a sila n atau p u n kegagalan sebuah pemerintahan di negaranegara berkembang. Bagi kelompok promerdeka, khususnya OPM, agenda global tersebut menjadi isu-isu strategis yang sangat m e n g u n tu n g k an b agi p o sisi atau “perjuangan” mereka di forum internasional. Dukungan internasional diperlukan untuk mencapai/mewujudkan kepentingan p o litik ja n g k a pan jan g kelom pok prom erd ek a, y ak n i m em isah k an d iri dari Indonesia. Diplomasi dan tuntutan politik m erdeka inilah yang d ib eri label oleh P em erintah Ind o n esia sebagai gerakan separatis Papua (separatisme Papua). Bagi Pemerintah Indonesia, kedaulatan Indonesia di Papua sudah menjadi keputusan final. U ntuk m enghadapi sikap dan tindakan k elo m p o k p ro -m e rd e k a , P e m e rin ta h Indonesia pun melakukan lobi dan diplomasi
guna m em peroleh dan m em pertahankan k o m itm en in te rn a sio n a l u n tu k tetap m en d u k u n g k e u tu h an w ila y ah N eg ara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), di mana Papua merupakan bagian integral dari NKRI. U p ay a in te rn a s io n a lis a s i u n tu k m e n arik p e rh a tia n in te rn a sio n a l atau mendukung kemerdekaan Papua, sebenarnya mulai dijalankan sejak tahun 19623 sebagai bentuk perlawanan terhadap Perjanjian New York (New YorkAgreement/NYA) tahun 1962 yang mengakui masuknya wilayah Papua menjadi bagian wilayah Republik Indonesia (RI). Gerakan kemerdekaan Papua mendapat peluang besar sejak bergulirnya reformasi di Indonesia yang dimulai pada pertengahan tahun 1998, di mana kelompok pro-merdeka (dan kelom pok pro-dem okrasi di Papua) leb ih b e ra n i d an te rb u k a d alam m engem ukakan tuntutan politik mereka. A palagi dengan lepasnya w ilayah Timor Timur dari Indonesia dan menjadi negara merdeka pada tahun 1999,4 maka peristiwa politik tersebut m enjadi spirit baru bagi p e rju a n g a n O PM u n tu k m ew u ju d k an kemerdekaan Papua. Gagasan untuk menginternasionali sasi Papua adalah salah satu rekomendasi yang dihasilkan dalam K ongres R akyat Papua II, yakni pembentukan sebuah tim untuk m elobi m asyarakat internasional, te rm a su k m em in ta b a n tu an D ew an Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dalam kaitannya dengan peran DK PBB seb ag ai p e n ja g a k e te rtib a n dan perdamaian dunia, termasuk untuk menjaga/ m em elihara keam anan di Papua sampai terbentuk pemerintahan yang tetap. Selain itu, kongres juga meminta PDP melakukan dialog dengan Indonesia, Belanda, Amerika Serikat (AS), dan P B B .5* 3 Upaya internasionalisasi kasus Papua dilakukan oleh kelompok anti-integrasi atau menolak hasil Pepera 1969 karena dianggap tidak adil. Untuk itu, mereka kemudian membentuk OPM di luar negeri, terutama di PNG 4http://www.koteka.net/ West Papua is the next East Timor 5Kompas (4 Juni 2000). “Kongres Rakyat Papua Sepakati Keluar dari NKRI”
45
Lobi internasional oleh kelompok pendukung kemerdekaan Papua dilakukan secara bilateral antamegara maupun di forum regional/intemasional dan dengan LSM. Lobi bilateral dijalankan m elalui pendekatan p e rs u a s if k ep ad a p em eg an g sim pul pem erintahan di berbagai negara. Upaya bilateral juga dilakukan dengan membuka kantor perwakilan dan konsulat. Hasilnya adalah beberapa negara di Pasifik Selatan sec a ra teg as m end u k u n g p e rju a n g an kelompok pro-merdeka di Papua.6 Namun demikian, haruslah diingat bahwa dukungan dari pem erintahan negara asing terhadap kelom pok pro -m erd ek a di Papua tidak bersifat konstan, tetapi cenderung fluktuatif bergantung pada siapa pemimpin negara yang sedang berkuasa pada saat tertentu. Lobi secara b ila te ra l kem udian d itin d a k la n ju ti di forum re g io n a l dan internasional, seperti di PBB dan Forum Negara Pasifik untuk memperoleh dukungan secara terbuka. Dukungan ini merupakan second voice untuk m em udahkan upaya menggalang simpati internasional melalui perwakilan negara asing yang mendukung kem erdekaan Papua. B eberapa isu yang biasanya diangkat dalam forum regional/ internasional adalah sejarah politik Papua, keabsahan Pepera, masalah HAM, peran dan dominasi militer Indonesia, ketidakadilan sosial dan ekonom i m asyarakat Papua, diskrim inasi rasial (ras M elanesia) dan kerusakan lingkungan. B erikut ini adalah posisi negaranegara asing dalam isu Papua: 1) Amerika Serikat (AS) AS memainkan peran yang signifikan dalam konflik di Papua. Untuk itu, Menteri Luar Negeri RI, Hassan W irayuda dalam siaran p ers “ R eflek si tah u n 2 0 0 2 ” menyatakan bahwa Indonesia secara khusus melakukan pendekatan dengan Pemerintah 6 Deplu RI (2001). “Kebijakan RI di Pasifik, Upaya Mencegah Separatisme di Irian Jaya”.
46
AS untuk m empertahankan dukungannya terhadap integritas wilayah Indonesia. Posisi atau peran AS sulit dipisahkan dari sejarah panjang dan proses politik di Papua. Menurut John Roberts, AS m endukung kebijakan Indonesia untuk “mengembalikan” wilayah P apua m e la lu i ak si d ip lo m a si dan mendukung Pepera (Act o f Free Choice) tahun 1969 yang kem udian m elahirkan keputusan PBB yang m enyatakan Papua merupakan bagian dari wilayah Indonesia.7 Tindakan AS di Papua juga berhubungan dengan keberadaan PT Freeport Indonesia (PTFI) sebagai perusahaan tambang tembaga terbesar di dunia. Kehadirannya didukung oleh keputusan politik Pemerintah Orde Baru (Orba) melalui kesepakatan Kontrak Karya I tahun 1967, kemudian mulai beroperasi pada tahun 1970 dan berproduksi untuk pertama kalinya pada tahun 1973. Keberadaan PTFI di T im ika, K a b u p aten M im ika, Papua d ip erp an jan g dengan p en andatanganan K ontrak K arya II tahun 1991. D engan demikian, perusahaan multinasional ini dapat beroperasi di Papua sampai tahun 2021 dan kesepakatan kerja tersebut m asih dapat diperpanjang dua kali masing-masing dalam waktu sepuluh tahun. Berkaitan dengan kebijakan AS di Papua, Pemerintah AS menegaskan tidak akan m endukung separatism e di Papua, sebaliknya, tetap m endukung keutuhan negara RI dan pemberlakuan otonomi khusus di Papua.8 Selain itu, Pemerintah AS melalui USAID dan lembaga bantuan keuangan AS, juga membiayai berbagai program di Papua sep e rti m an ajem en su m b er daya alam (S D A ),9 te rm a su k p ro g ram -p ro g ra m pengem bangan m asyarakat (community development) seperti yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia. 7 http://w w w .w sw s.org/articles/2004/aug20Q 4/papuaa30.shtml. Lihat John Roberts, Documents confirm US
colluded in Indonesia 's 1969 Incorporation o f Papua. 8 P em erintah A S m e la lu i P resid en G oerge Bush menyampaikan komitmen pemerintahannya kepada mantan Presiden RI, Megawati pada Juli 2002. 9 www. Bappenas.go.id
H ubungan bilateral Indonesia-AS terpengaruh oleh peristiwa pembunuhan dua w arga negara AS di Tim ika pada tahun 2002.10 Sebagai akibatnya, AS melakukan embargo militer dan memutuskan keija sama militernya dengan Indonesia, yang mendapat persetujuan dari K ongres A S ." N am un demikian, tiga tahun kemudian (pada tahun 2005), kerja sama di bidang pelatihan militer kedua negara dilanjutkan kembali. 12 2) Australia Posisi Australia dalam kasus Papua sangat penting karena Australia mempunyai pengaruh politik di kalangan negara-negara Pasifik Selatan. Selain itu, Australia juga cukup berperan dalam pem bangunan di Indonesia, terutama melalui program bantuan berupa hibah kepada Indonesia meliputi b erb ag ai sektor. D alam k aitan dengan penanganan kasus Papua, hubungan bilateral Indonesia-Australia tidak hanya bertujuan untuk menghadapi sikap dan reaksi negaranegara Pasifik Selatan dalam kasus Papua yang secara tegas, beberapa negara sudah memberikan dukungan mereka pada gerakan kem erdekaan Papua, nam un ju g a untuk meredam dukungan LSM Australia yang juga secara lugas m endukung kelom pok promerdeka di Papua. K ekhaw atiran Indonesia terhadap A u stra lia c u k u p lah b e ra la sa n a p ab ila dikaitkan dengan peristiwa politik di Timor T im ur tah u n 1999 di m ana sikap dan dukungan Pemerintah dan LSM Australia akhirnya berhasil mewujudkan kemerdekaan Timor Timur (Timor Leste). Apalagi dengan ad an ya in fo rm asi bahw a A u stra lia membentuk Task Force Papua yang diketuai oleh Chief o f Defence Force, Jenderal Peter 10 Pembunuhan itu diduga dilakukan oleh oknum militer/ TNI. 11 http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/ FG03Ae06.html 12 John Roberts, dalam makalah ‘Ambush near US-owned mine in Papua suggests Indonesian army involvement’, mengemukakan bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh oknum TNI.
C o sg ro v e y an g sed an g m en g k aji p e rm a sa la h an di P ap u a dan p ro sp e k kem erdekaan P ap u a.13 M eskipun hal itu belum tentu benar, Pemerintah Indonesia te ta p b e rh a ti-h a ti d alam m en jalan k an hubungannya dengan Australia. Meskipun Australia mendukung langkah yang diambil Indonesia untuk menyelesaikan persoalan di Papua dengan otonom i khusus, nam un A u stra lia m e n g in g in k a n In d o n esia m en g h o rm ati p e n e g a k a n hukum dan penghormatan HAM di Papua.14 Walaupun d e m ik ia n , d u k u n g a n d ari P em erin tah A u stra lia tid a k s e rta -m e rta m en d ap at dukungan dari semua elemen pemerintahan. Di Parlem en A ustralia, m isalnya, Partai Buruh dan Fraksi Kiri sering kali menjadikan isu separatism e di Papua sebagai bahan perdebatan.15 Pebisnis Australia juga melakukan aktivitas penam bangan di Papua, seperti Dominion Mining, BHP, Cudgen RZ, dan Cudgen RA. Australia pun memiliki sebagian saham PT Freeport M cM oran sekitar 40 persen (Rio Tinto) dari total saham yang dim iliki PT Freeport M cM oran di bursa saham di New York. 3) Kanada Kebijakan Pemerintah Kanada secara eksplisit mendukung implementasi otonomi k h u su s di P ap u a sec a ra k o n sek u en , berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 dengan menghormati hak rakyat Papua. Kanada membantu Papua juga melalui Canada Fund berdasarkan prioritas g e o g ra fis dan p ro g ram p rio rita s p em b an g u n an so sial di em pat bidang: k ese h a tan dan g iz i, p en d id ik an dasar, penanganan HIV/AIDS, dan perlindungan a n a k .16 Di se k to r b is n is, K an ad a pun 13 h ttp ://w w w .k o m p a s.co .id /k o m p a s-ceta k /0 3 0 9 /1 9 / nasional/572042.htm. 14 Kompas (9 Desember 2000). 15 Deplu RI (2001). “Kebijakan RI di Pasifik, Upaya Mencegah Separatisme di Irian Jaya”. 16 http: www.dfait-maeci.gc.ca
47
memiliki usaha pertam bangan (em as) di Papua, yaitu PT Ingold dan mengembangkan eksplorasi minyak di Teluk Bintuni. 4) Senegal S alah satu n e g a ra A frik a yang m endukung kem erdekaan Papua adalah Senegal, A frika Selatan. D ukungannya d id a sa rk a n p ad a p ah am N e g ritu d e solidaritas antara ras kulit hitam di seluruh dunia.17Tujuannya adalah untuk menentang k o lo n ia lism e dan d u k u n g an b agi ras M ela n e sia serta g erak an p em b eb asan P ap ua.18 Sikap ini diikuti dengan usaha membangun keija sama ekonomi, militer, dan memerangi diskriminasi rasial. Gerakan ini le b ih d ik en al g e ra k an P a n -A fric o id ( ‘G erak an P a n -N e g ro ’) yang m em perjuangkan korban dari konspirasi ra sism e d u n ia, g e n o sid a , dan pengam bilalihan tanah di seluruh dunia, te rm a su k di P a p u a .19 D alam p e r k em b an g an n y a, g e ra k an ini sem akin mendapatkan dukungan luas, terbukti sekitar 15 negara-negara di Afrika Barat dan Afrika Tengah menolak hasil Pepera di Papua dan berharap akan adanya im plem entasi hak penentuan nasib sendiri (self-determination) di Papua. Gerakan mendukung kemerdekaan Papua dari negara Afrika dimulai sejak 1969 saat penentuan voting Act o f Free Choice (AFC) di Sidang Umum PBB, negara-negara tersebut menuduh bahwa AFC merupakan salah satu bentuk penjajahan dan bentuk ketidakdemokratisan terhadap saudara kulit h itam di P apua B arat. S ebagai tin d ak lanjutnya, Organisasi Afrika-Amerika yang tergabung dalam National Associationfor the 17 w3.rz-berlin.mpg.de/~wm/PAP/GJA-bin-kejora.html 48k. Lihat juga Goerge J. Adijondro dalam Bintang Kejora di Tengah Kegelapan Malam & Penggelapan N a sio n a lism e Orang Irian dalam H istroriografi Indonesia. 18 http://: www.raceandhistorv.com/cgi-bin/forum/ webbbs config.pl/noframes/read/106. 19 Pianke Nubivang Honour and Truth in West Papua, http:/ /communitv. webtv.net/paulnubiaempire:.
48
Advancement o f Colored People (NAACP) mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal PBB, U Thant sebagai bentuk protes atas AFC dan meminta PBB merevisi kebijakan tersebut.20Meskipun demikian hingga saat ini b elu m ada p e rn y a ta a n resm i yang m en d u k u n g P a p u a h a n y a b e ra sa l dari sebagian kecil tokoh di Senegal, Ghana, dan Afrika Selatan. 5) Negara-Negara Asia Berkaitan dengan Papua, beberapa negara di A sia yang m em iliki perhatian khusus adalah M alaysia, Filipina, Korea Selatan, Jepang, India, dan Cina. Bagi Malaysia dan Filipina, Papua adalah pemasok kayu terbesar bagi kebutuhan impor kedua negara atau sekitar 70 persen berasal dari P ap u a.21 Bagi Jepang, Cina, Korea Selatan, dan India, ladang di sekitar kawasan Teluk B in tu n i { P ro y ek LN G T angguh) menyediakan cadangan LNG mencapai 23,7 triliun kaki kubik. Indonesia berkomitmen untuk mengekspor LNG ke Asia rata-rata enam sampai tujuh ton per tahun. Khusus bagi Cina, wilayah Papua m em ilik i SD A y an g d ap at m em enuhi sebagian kebutuhan kayu dan LNG Tidaklah mengherankan apabila hasil penebangan liar di wilayah Papua disinyalir dibawa ke Cina, seperti dalam kasus penem uan dua buah kapal yang berisi kayu berasal dari wilayah Papua dan berada di daratan Cina. Untuk mengatasinya, Pemerintah Indonesia telah mengupayakannya melalui jalur diplomatik.22 U n tu k m em en u h i k e b u tu h an LNG, Pemerintah Indonesia (Pertamina) dan Cina (P etro ch in a) m em buat p e rja n jia n yang m enyangkut pengirim an LNG dari Teluk Bintuni ke Provinsi Guangdong dan Fujian
20 Lihat John Saltford. United Nations Involvement with
the Act ofSelf- Determination In West Irian (Indonesian West New Guinea) 1968 to 1969. 21 Sugiharto (1 0 M ei 2 0 0 5 ). “B U M N dan Prospek Persaingan Dunia Usaha”, Jakarta: Hotel Borobudur. 22 Kompas (6 April 2005).
dengan terlebih dahulu melakukan investasi sebesar US$ 2 miliar untuk pembangunan infrastruktur.23 PT. Petrochina memiliki dua blok wilayah pengeboran di Teluk Bintuni dan Biak, yang terdiri lebih dari sepuluh ladang minyak yang siap dieksplorasi.24 Untuk mencapai kepentingannya di Papua, Pemerintah Cina juga membangun hubungan dengan negara-negara Pasifik Selatan guna memperkuat perannya di Papua. Kondisi ini pun telah menjadi perhatian OPM yang ingin membangun hubungan dengan C ina, k h u su sn y a u n tu k k ep en tin g an p o litik n y a di m asa depan. Di dalam pertem uan tahunan Forum Pasifik yang diselenggarakan di K iribati tahun 2000, misalnya, sejumlah tokoh penting Papua yang hadir sebagai peninjau telah m elakukan pendekatan dengan para pejabat dari Cina yang hadir dalam forum itu.25 Cina kemudian memfasilitasi pertemuan yang diselenggara kan oleh OPM di luar wilayah Indonesia.
Pemerintah Tuvalu juga mendukung kemerdekaaan Papua, 27 meskipun dalam kapasitas yang terbatas.
6) Negara-Negara Pasifik Selatan
- Vanuatu
Posisi negara-negara Pasifik Selatan dapat dibedakan m enjadi tiga kelom pok sebagai berikut. a. Kelompok Pendukung Papua Merdeka - Negara Kepulauan Cook (Cook Island) Pemerintah Negara Kepulauan Cook m endukung k e m erd ek aan P apua yang disam paikannya dalam KTT M ilennium PBB. M esk ip u n d u k u n g an n y a tid a k signifikan, tindakan ini memiliki pertalian erat dengan sikap Pemerintah New Zealand dalam kasus Papua.
22 http://www.globalpolicy.org/nations/sovereign/sover/ emerg/2002/0430papua.htm, Indonesia: Gas Project
Promises Income West Papuans not Excited ny Prangtip Daorueng Inter Press Service News Agency 24 Wawancara Nur Agus Susanto dengan Meryka P, Public Affair Manager for Government, PT Petro China. 25 Deplu RI (2001). Op.cit.
- Nauru Pem erintahan N auru secara tegas mendukung kem erdekaan Papua. Hal ini disam paikan dalam K TT Forum Pasifik Selatan di Kiribati, Oktober 2000. Selain itu, N au ru ju g a m e n d u k u n g re so lu si PBB mengenai penentuan nasib bagi rakyat Papua B arat.26 Sebelumnya, B em ard Dowiyogo M.P. (P residen R epublik N auru) dalam Millenium Summit PBB yang diselenggara kan pada September 2000, mengemukakan m en g en ai k e m erd ek a a n P ap u a dan menganggap bahwa selama ini Papua berada di bawah dominasi penjajah dan kontrol luar negeri. Namun pernyataan tersebut ini tidak langsung merujuk pada Indonesia. - Tuvalu
Pemerintahan Vanuatu mendukung kem erdekaan Papua Barat. A rgum entasi Pemerintah Vanuatu tak jauh berbeda dari Nauru, yaitu karena faktor-faktor sejarah dan kedekatan secara geografis.28 Di Vanuatu terdapat kantor perw akilan rakyat Papua B arat, yang d ik e tu a i o leh Dr. John Ondowame. Kemudian Pemerintah Vanuatu m em p u n y ai k o m itm en u n tu k m em prom osikan identitas dan hak dasar Ras M ela n e sia di w ila y ah A sia -P a sifik , khususnya bagi Papua Barat. Pemerintah Vanuatu juga mendorong dibukanya kasuskasus ketidakadilan yang selama ini teijadi di Papua, dan memperjuangkan kesejahtera an sosial bagi masyarakat P apua.29* 26 http://westpapuaaction.buz.org/recentevelopments.htm+Tuvalu+and+west+papua+&hl=id. 27 http:www.un.org/millennium/webcast/statements/tuvalu. 28 Pacific Concern Resource Centre (PCRC) (27 Oktober 2000). Press Release, Forum Pasifik Selatan. 29 http://:www.un.org/News/Press/docs/2000/ 20000908.ga9758.doc. & http://www.unpo.org/ news detail.php?ara 56&par= 1890
49
b. Kelompok Negara yang Abstain - Papua Nugini (PNG) Beberapa daerah di PNG seperti Port Moresby, Black Water Sepik, Sowampa, dan A m anaf juga digunakan oleh OPM untuk melakukan aksinya.30Posisi PNG dan Papua adalah berbatasan darat secara langsung. Posisi perbatasan PNG ini sangat strategis bagi para pelintas batas, termasuk kelompok merdeka dari Papua yang ingin melepaskan diri dari kejaran TNI dan Polri. Namun demikian, Pemerintah Indonesia sampai saat ini pun b elum m e lak u k an p e rja n jia n ekstradisi dengan Pemerintah PNG untuk mengatasi masalah perbatasan ini. PN G sec a ra te g as m en y atak an dukungan terhadap keutuhan NKRI, seperti dalam joint statement yang disampaikan oleh Perdana M enteri PNG, M ekere M orouta kepada M egaw ati Sukarnoputri (sebagai wakil presiden Indonesia saat itu). Kendati demikian, Pemerintah PNG masih bersikap gamang, terutama karena banyaknya anggota m asyarakat dan lem baga di PN G yang m endukung kem erdekaan Papua, seperti Gubernur Sandaun, John Tekwi, Politisi Tei Abai. Mereka tidak dikenakan sanksi oleh Pemerintahan Nasional di PN G 31 Sebaliknya, m ereka te ru s-m e n eru s b eru sah a m em pengaruhi kebijakan pem erintahan PNG untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Papua.
di NZ, yaitu Green Party mendukung bahkan mengupayakan kemerdekaan Papua dan terus m endorong internasionalisasi isu Papua. Green Party berkedudukan di Wellington dan memiliki cabang yang tersebar hampir di selu ru h p ro v in s i/w ila y a h . P artai ini m endapatkan dukungan dari partai lain, seperti Partai Buruh, Partai Nasional, Partai Warisan Kristen, Partai Aliansi, dan Partai Nasional. Dalam pernyataan resminya di Forum Negara Pasifik Selatan, partai ini meminta masalah Papua Barat dijadikan salah satu agenda sidang pertemuan yang kemudian diharapkan akan m em berikan dukungan secara in stitusional untuk kem erdekaan Papua. Dalam berbagai kesempatan, Keith Locke sebagai ju ru bicara hubungan luar partai, secara tegas m enginginkan nasib Papua adalah masalah yang harus menjadi perhatian negara-negara Pasifik Selatan dan mengingatkan negara yang tergabung dalam forum te rse b u t u n tu k m en d u k u n g dan m e n g ik u ti la n g k ah V anuatu dalam m e m p erju an g k an k e m erd ek aan rak y at Papua.32 Sedangkan di dalam negeri, Keith Locke juga berusaha keras menyakinkan Perdana Menteri NZ, Helen Clark agar Papua d ijad ik an salah satu fokus dan agenda pemerintahannya.33Hal ini dijadikan prioritas dukungan resmi kenegaraan. c. Kelompok Negara Pendukung NKRI
Sikap P e m e rin ta h a n N Z adalah mendukung keutuhan NKRI. Pemerintah NZ ju g a m em iliki program ban tu an untuk pembangunan di Indonesia (program the New Zealand A id A g en cylN Z A lD ), yang mencakup wilayah timur Indonesia, termasuk Papua. Meskipun demikian, salah satu partai
Kepulauan Salomon, Republik Fiji, K irib a ti dan S am oa B arat yang ju g a tergabung dengan Forum N egara Pasifik S elatan a d ala h n e g a ra -n e g a ra yang m en d u k u n g N K R I. N am un k elom pok kemerdekaan Papua secara terus-menerus membangun komunikasi dengan beberapa negara ini untuk mendukung tuntutan politik mereka.
10 ibid. 31 Deplu RI (2001). “Kebijakan RI di Pasifik, Upaya Mencegah Separatisme di Irian Jaya”.
32 Press Release Green Party (14 Agustus 2003); http:// www.scoop.co.nz. 33 http://www.greens.org.nz.
- New Zealand (NZ)
50
7) Negara-negara Uni Eropa Beberapa negara Uni Eropa memiliki perhatian lebih banyak terhadap Papua.34 Sebagai contoh, delegasi Uni Eropa yang diwakili oleh para duta besar negara-negara tersebut berkunjung ke Papua pada bulan M aret 2002. Dalam kunjungan tersebut, secara ekplisit negara yang tergabung Uni Eropa tersebut m endukung sepenuhnya integritas Papua ke dalam NKRI. Dukungan juga diberikan bagi pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) yang sebenar-benarnya di Papua dan m em berikan perhatian pada masalah HAM di Papua.35 Berikut ini adalah sikap Parlem en Uni Eropa dalam kasus Papua: pertama, secara mendasar mengakui Indonesia sebagai suatu negara kesatuan, dan wilayah Papua termasuk di dalamnya. Kedua, melihat berbagai kasus pelanggaran HAM, meminta kepada Indonesia untuk membentuk suatu badan pengadilan pelanggaran hak-hak asasi m anusia. K etiga, m elihat kondisi masyarakat Papua, Parlemen melihat bahwa Papua adalah provinsi yang kaya raya, tetapi penduduknya hidup dalam kemiskinan dan dari 17.000 pegawai yang bekerja di Papua, kurang dari 10 persen adalah orang asli Papua. K e-em pat, P arlem en U ni Eropa m en dukung O tsus yang m em b erik an persetujuan kepada P em erintah D aerah Papua untuk mendapat 80 persen dari pajak dari bidang perikanan dan kehutanan dan 70 persen dari perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan dan minyak bu m i.36 Posisi organisasi antar pemerintahan di berbagai level dalam kasus Papua dapat diketahui sebagai berikut: 1) ASEAN ASEAN sebagai organisasi regional di w ilayah A sia Tenggara secara resm i 34 Inggris, Italia, Portugal, Jerman, Austria, Denmark, Belanda, Spanyol, Swedia, Yunani, Belgia, Finlandia. 35 Memoria Passionis di Papua (2004), 'Kondisi SosialPolitik dan HAM 2 0 0 2 -2 0 0 3 ’ (cetakan pertam a), Jayapura: LSPP dan Keuskupan Jayapura. 36 http://www.infid.be/euroham.html,
menyatakan dukungan atas kesatuan wilayah Indonesia dan menolak segala bentuk usaha u n tu k m e n g g an g g u k e u tu h a n w ilay ah Indonesia.37 Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip dasar ASEAN, yaitu tidak akan ikut cam pur dalam perso alan internal ( noninterference principle ) tiap-tiap negara. Berdasarkan prinsip ini, isu Papua dianggap seb ag ai m a sa la h in te rn a l In d o n esia, meskipun permasalahan di Papua memiliki dimensi internasional. 2) Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) Peran PBB di Papua menjadi faktor sejarah yang sangat penting. Lembaga dunia inilah yang ikut “menyelesaikan” masalah wilayah Papua, terutam a sengketa antara Indonesia dan Belanda. PBB terlibat mulai d ari p em b en tu k an k o m isi PBB un tu k In d o n e sia y an g m era n ca n g adanya Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 yang menyatakan bahwa akan menyetujui adanya transfer kedaulatan dari Pemerintah Belanda ke Pemerintah Indonesia. Kemudian dibentuk Komisi Administrasi PBB untuk penanda-tanganan P erjanjian New York tahun 1962, yang menyatakan bahwa Irian Jaya (sekarang Papua) menjadi bagian dari w ilayah Indonesia, hingga pengaw asan terhadap pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua tahun 1969.38 P ad a ta h u n 1968, PBB ju g a membentuk tim peninjau mengenai kondisi di Papua yang diketuai oleh Femando Ortiz S anz, seo ran g d ip lo m a t B o liv ia. Kemenangan Pemerintah Indonesia dalam Perjanjian New York inilah yang menjadi salah satu persoalan mendasar bagi tuntutan kemerdekaan rakyat Papua, yang menuduh bahw a PBB dan In d o n e sia m elakukan rekayasa perjanjian tersebut dan menuntut adanya reformasi di PBB.
37 www.asean.sec. 38 John Saltford, the UN and Indonesian Collaboration,
United Nations Involvement With The Act O f SelfDetermination In West Irian.
51
3) Lembaga Keuangan Internasional Lembaga keuangan selain menyedia kan layanan perbankan bagi m asyarakat Papua, ju g a m em iliki program -program p en g em b an g an m a sy a ra k a t ( social development program), seperti World Bank, Asian Development Bank (ADB), IMF, dan
Inter-Governmental Group on Indonesia (IG G I)39 atau Consultative Group on Indonesia (CGI). Program Bank Dunia di Papua bekerja sama dengan the Melanesia Interest Group ,40 m e lip u ti p ro g ram pembangunan ekonomi di bidang trasmigrasi ke wilayah Papua. Program ini ditentang oleh seb ag ian m a sy a ra k a t P apua karen a tra n sm ig ra si m eru p ak an b a g ian dari ekploitasi SDA Papua. Tuduhan serupa juga d ialam atkan pada ADB dan IM F yang m em berikan pinjam an untuk melakukan ekploitasi SDA karena pinjaman ini juga digunakan untuk membiayai militer yang menjalankan fungsi keamanan di Papua.41 Beberapa organisasi nonpemerintah yang berkepentingan dalam isu Papua adalah: 1) TAPOL (the Indonesian Human
Rights Campaign) TA POL m eru p ak an L em baga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berbasis di In g g ris .42 TA POL b ertu ju a n memperjuangkan program-program HAM d en gan m e n y eb a rlu a sk an p e rso ala n kekerasan HAM, termasuk persoalan HAM di Indonesia, khususnya di Papua Barat dan A ceh. S eb elu m n y a, TA PO L m em iliki program serupa di Timor Timur. Salah satu TAPOL mengenai Papua ad alah d ata dan in fo rm asi m engenai kekerasan HAM di Irian Barat yang dikirim ke pertemuan ke-57 Komisi HAM PBB, yang diselenggarakan di G eneva, Swiss pada
39 http://www.cwis.org 40 http://www.westpapua.net (or www.westpapua.org) 41 http//www.nadir.org 42 TAPOL memberikan informasi secara terbuka melalui
website http://taDo1.en.apc.org/.
52
tanggal 29 M aret-27 A pril 2001. Dalam pernyataannya, TAPOL meminta Komisi HAM PBB untuk melakukan tindakan nyata terhadap Pemerintah Indonesia karena tetap melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh dan Papua.43Dalam kesempatan yang lain, lembaga ini menulis artikel dalam jumal online (Tapol 176, Agustus 2004) berjudul “Papua Menghadapi Masa Depan yang Tidak Jelas.” Artikel itu menjelaskan dilema masa depan Papua karena persoalan HAM yang serius, namun menyinggung pula mengenai tawaran otonomi khusus bagi P apua.44 2) Forum Asia Forum Asia merupakan organisasi regional HAM yang berada di Bangkok, Thailand45 sebagai salah satu keputusan hasil pertemuan organisasi HAM di Asia pada tahun 1992. Forum Asia ini mefokuskan diri pada w ahana proteksi terhadap tindakan kekerasan yang terjadi di w ilayah Asia. Lembaga ini juga merupakan wadah untuk m elak u k an sharing in fo rm asi ten tan g perkembangan HAM di Asia. Aktivitas yang dijalankan meliputi pelatihan HAM dengan standar PBB. Masalah HAM di Papua juga menjadi kajian serius yang diidentifikasikan sebagai salah satu fokus pem bahasan di Forum Asia. Forum ini juga mengeluarkan artikel mengenai persoalan HAM di Papua dan mengadakan pelatihan HAM di Papua. 3) Caritas Australia Caritas Australia atau the Catholic Agency for Overseas Aid and Development merupakan lembaga bantuan pembangunan yang d ik elo la G ereja K atholik. Dalam m en jalan k an b a n tu an n y a , lem baga ini didasarkan pada prinsip kebebasan bagi mereka yang tertindas. Caritas Australia bekerja sama dengan sekitar 154 organisasi
43 www.campeace.org/wparchive/statements_on.htm - 49k 44 http://tapol.gn.apc.org/, 45 Lihat http://www.forumasia.org.
di berbagai negara dan wilayah di seluruh dunia. Program pembangunan kemanusiaan C aritas m eliputi kesehatan, m engurangi dampak kerusakan alam, konservasi nilai budaya, dan pelatihan bidang pertanian. Caritas juga membantu sektor pendidikan dan keagamaan di Papua, seperti workshop k e-em p at te n ta n g Peace Building and Development in West Papua b e rtem a “M enjaw ab K ekerasan di Papua B arat: D engar Pendapat D engan Suara L ain” . Dalam kasus Papua, Caritas tidak menolak atau mendukung kemerdekaan Papua, namun menjalankan program bantuannya di Papua b e rd a sa rk a n p rin sip k e ag am aan dan kem anusiaan.46 Namun demikian, dalam pernyataan resm i lem baga ini diindikasikan adanya dukungan pada kemerdekaan Papua secara tidak langsung karena pertanyaan mereka mengenai sejarah dan keabsahan Indonesia di P apua. K em u d ian ju g a k e b erad a an pendatang ( amber) sebagai suatu ancaman yang semakin mendesak posisi rakyat Papua serta keberadaan dan peran militer di Papua yang mengakibatkan pelanggaran HAM, dan penjarahan SDA secara masif47 yang akan merugikan masyarakat Papua di kemudian hari. 4) Inside Indonesia Lembaga ini didirikan sejak tahun 1983 dan berkantor pusat di Australia. Inside b e rk o se n tra si p ad a b id a n g p e n e rb ita n b e rk a ita n d en g an w ila y ah In d o n e sia, khususnya yang terkena dam pak konflik berkepanjangan. Inside menerbitkan jum al em pat b u la n an yang le b ih b e rs ifa t a k a d e m is.48 T u lisa n y an g p ern ah dipublikasikan antara lain: “Why West Papua
Deserves Another Chance, West Papua in
46 http://www.caritas.org.au/ 47 Peter Zwart, caritas Aotearoa, http: www.converge.org.nz/pma/wp011204.doc+cari tas 48 Lihat www.insideindonesia.org.
1999, Whisky Friends-PNG Military and TNI Get Together. Raising the West Papua FlagEyewitness Account Demonstrations dan Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka”. W alaupun tu lis a n te rs e b u t te rk e sa n mendiskreditkan Indonesia, sebagai institusi yang berlandaskan pada nilai-nilai akademis dan jurnalistik, lembaga ini tidak bersikap pro ataupun kontra dalam isu Papua. Lembaga ini memberikan informasi mengenai wilayah Papua seperti dalam Health Care in Irian Jaya yang tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan politik. 5)
IC M IC A (G era k a n In te le k tu a l K a th o lik u n tu k In te le k k tu a l & Hubungan Budaya)
ICMICA (Pax Romana) merupakan sebuah asosiasi internasional terdiri dari berbagai kalangan profesional dan intelektual Katholik. Lembaga ini berpusat di Genewa, Swiss.49 Institusi ini terbuka bagi individul dan kelompok beragama Katholik dengan berbagai aktivitas berupa tukar pendapat dan dialog kebudayaan dari profesi dan generasi A gam a K a th o lik . L em b ag a ini ju g a menjalankan aktivitas yang bersifat sosial untuk pemberdayaan masyarakat, advokasi, dan solidaritas perdam aian, dan sebagai jaringan pemikiran. M asalah di Papua juga tidak luput dari perhatian asosiasi ini. Dalam pertemuan kom isi H A M PBB di G enew a, SwiSs, lem b ag a ini sec a ra tid a k lan g su n g menyebutkan bahwa kekerasan di berbagai dunia, term asuk di Papua harus diambil tindakan yang tegas.50 6) Pusat Sumber Daya Pembangunan [Dev-Zone & GEC] Pusat Sumber Daya Pembangunan atau D ev-Zone & GEC m engkhususkan kegiatannya pada pendidikan dan menjadi 49 Lihat www.paxromana.org. 50http://:www.campeace.org/wparchive/ statements on.htm+ICMICA.
53
pusat informasi. Lembaga ini berpusat di Aotearoa, New Zealand. Lembaga ini tidak memiliki sikap yang jelas dalam isu Papua, namun memiliki banyak informasi tentang ja rin g a n dan le m b a g a-lem b a g a yang mendukung kemerdekaan Papua, seperti, the
Diary o f Online Papua Mouthpiece (DoOPM), Free WestPapua, International Action fo r West Papua, Papua Press Agency, the Free Papuan Movement/OPM, WestPapuan Action serta lem baga-lem baga lain yang mendukung perjuangan rakyat P apua.51 D ev -Z o n e & G EC ju g a m em publikasikan tulisan yang berjudul Irian
Jaya: United. Nations Involvement with the Act o f Self-Determination in West Irian (Indonesian West New Guinea) 1968 to 1969. Tulisan ini mempertanyakan masuknya Irian Jaya ke Indonesia dan kesalahan PBB dalam proses politik di Papua. 7) Pan-African Coallitionfor the Liberation o f West Papua (PACLWP) Koalisi Pan-Afrika untuk Kebebasan Papua Barat terdapat di Afrika. PACLWP merupakan bagian dari sebuah institusi yang bernama theAfrican Diaspora. Lembaga ini secara tegas mendukung kemerdekaan Papua melalui hak penentuan nasib sendiri bagi ra k y a t P apua. L em baga ini ju g a mempertanyakan Pepera di Papua yang hanya dihadiri oleh 1025 penduduk dari total penduduk di Papua sekitar 700 ribu orang pada saat itu. Hal itu m erupakan bentuk pengkebirian hak penduduk Papua. B eberapa fokus p e rso ala n yang menjadi dasar tuntutan PACLWP adalah kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Papua sebagai salah satu bentuk dari genosida, k e k erasan yang d ila k u k a n o leh T N I, eksplorasi dan ekploitasi SDA Papua, dan terdesaknya populasi penduduk asli Papua dengan pendatang dari berbagai wilayah di Indonesia. Salah satu aktivitas PACLWP
51 http://www.dev-zone.org/
54
dalam mendukung Papua merdeka adalah mengorganisasi demonstrasi di depan kantor konsulat Indonesia di Los A ngeles pada tanggal 28 November 2003 dan 1 Desember 2003. Namun keberadaan lembaga ini sulit dilacak apakah berada di A frika atau di Amerika Serikat. 8) Organisasi Papua Merdeka di Belanda OPM di Den Hag, Belanda dengan je la s m en d u k u n g “ p e rju a n g a n ” Papua m erdeka. Fokus OPM ini adalah untuk m endapatkan dukungan internasional, 52 khususnya dari Eropa. Dalam salah satu dokumennya, kelompok ini menyebutkan bahw a Papua bukan m erupakan wilayah Indonesia adalah karena faktor b udayaperbedaan budaya antara penduduk asli Papua dan penduduk Indonesia lainnya. K elo m p o k ini ju g a m e n g g u n ak an isu kerusakan lingkungan akibat dari eksplorasi dan ekploitasi SDA Papua sebagai salah satu propaganda dalam perjuangannya. 9) The Uniting Church Australia
The Uniting Church Australia dibentuk sejak tahun 1997 terdiri dari Gereja Kongregasion, Gereja Methodis, dan Gereja P resb ite ria n y an g b e rp u sat di Sydney, Australia. Lembaga ini memiliki komitmen terhadap persoalan lingkungan, dukungan terhadap persamaan nasib, membantu etnis minoritas dan orang-orang yang terpinggirkan di berbagai belahan dunia. Organisasi ini juga menjalankan programnya di wilayah Papua dan berkeija sama dengan gereja lokal, seperti Gereja Kristen Evangelis. Program dipusatkan pada penanganan persoalan k e se h a ta n , te ru ta m a H IV (A ID S ) dan masalah pendidikan di P ap u a.53
52http://'www.fas.org/irp/world/para/papua. htm. 53http:www.nat.uca.org.au.
10) Indonesian House
Indonesian House adalah sebuah kantor berita yang fokus pemberitaannya mengenai kondisi dan berbagai persoalan di Indonesia, termasuk di Papua. Lembaga ini berada di Amsterdam, Belanda.54 Sebagai kantor berita, lembaga ini tidak memiliki p o sisi m en d u k u n g a tau p u n m enolak kem erdekaan Papua. Indonesian House memberikan informasi secara terbuka kepada semua pihak di seluruh dunia, term asuk m em berikan k e se m p a tan k ep ad a John Rumbiak, tokoh pro-m erdeka, yang juga supervisor ELSAM dalam artikel berisi hasil wawancaranya dengan Parlemen Eropa pada tanggal 1 Oktober 2003, berjudul Papua:
Developments Resolution.55
A ffecting
Conflict
11) Minority Rights Group International Lembaga yang berbasis di Inggris ini m engkhususkan perjuangannya terhadap hak-hak kelom pok m inoritas di seluruh dunia, yakni m em astikan hak kelom pok m inoritas berdasarkan etnik, agam a dan bahasa di seluruh dunia.56Lembaga ini sudah bekerja di 60 negara di seluruh dunia. Lem baga ini pernah m enjadi konsultan ECOSOC dan peninjau di Komisi HAM di Afrika. Aktivitasnya yang berkaitan dengan Papua adalah mempromosikan kelompok minoritas dan penduduk asli Papua di forum internasional, melakukan advokasi mengenai kebutuhan hak-hak kelompok minoritas di Papua. Pada 18 Mei 2001, MRG menyatakan akan memperjuangkan keberadaan dan hak penduduk asli P a p u a ,57 sebagai akibat dari k eb ija k an P e m e rin ta h In d o n e sia dan pengaruh globalisasi.
54 Lihat http://www.indonesia-house.org 55 Ibid. 56 Lembaga ini berpusat di London, Inggris dengan e-mail:
[email protected]. 57 http://www.campeace.org/wparchive/ minority rights.htm.
MRG juga mempeijuangkan wilayah Papua sebagai zona damai,58 dari berbagai aksi tindakan militer yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertikai, untuk itu MRG m e m p e rta n y ak a n k e p ad a p e m erin ta h Indonesia tentang keberadaan dan peran m iliter di Papua yang dianggap sebagai ancaman bagi penduduk asli dan menolak pembagian Papua menjadi beberapa provinsi dan mengembalikan kembali menjadi satu kesatuan wilayah. 12) Kantor Informasi Internasional OPM K e b era d a an lem b ag a ini tid a k d ik e ta h u i sec a ra p a sti. N am un dalam konferensi pers pada 1 Februari 2000, J. H. Prai, Direktur Kantor Informasi Internasional OPM di Swedia menyerukan penghentian p elan g g aran dan k ejah atan HAM yang d ilak u k an o leh TN I k ep ad a p en duduk Papua.59 Pernyataan tersebut beijudul “ West
Papuan ’s Desire Autonomy and End to Indonesian Military Operations". 13) Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO) UNPO berpusat di Den Hag, Belanda. Lembaga ini merupakan wadah bagi para p en d u d u k asli, n eg ara ja ja h a n , negara b erd au lat dan m in o ritas serta w ilayahw ilayah p ro tek si atas hak bu d ay a dan kemanusiaan yang tidak memiliki perwakilan di fo ru m in te rn a sio n a l. U N PO m en g g o lo n g k an m a sy a ra k a t P ap u a seb ag ai penduduk yang terpinggirkan dan yang perlu diperhatikan. Untuk itu, UNPO memberikan berbagai informasi atau artikel, seperti West
Papua: Indonesia ’s 1969 Takeover o f West Papua Not by “Free Choice” dan West Papua: Amnesty International Report 2004. U N PO ju g a m e lih a t p e rso ala n masuknya wilayah Papua ke Indonesia akibat dari dukungan AS kepada Indonesia untuk
58 http://www.minoritv.riEhts.org. 59 http://www.campeace.org/WParchive/OPM_IIO.htm.
55
m engam bil-alih w ilayah Irian Barat dari B elan d a. S elain itu , U N PO ju g a m empertanyakan validitas Indonesia dan menyebutkan proses integrasi sebagai bentuk o kupasi w ilay ah yang d isertai dengan pelanggaran HAM di P apua.60 14) WestPapua Action
WestPapua Action berm arkas di Irlandia61 dan lem baga ini secara tegas mendukung kemerdekaan dan perjuangan ra k y a t P apua. D alam salah satu kampanyenya, koordinator lembaga aksi ini, Mark Doris menyebutkan bahwa masuknya Papua ke Indonesia adalah sebuah peristiwa yang digalang oleh PBB dan negara yang berkepentingan untuk memaksakan Papua m asuk ke w ila y ah In d o n e sia. D engan demikian, pelaksanaan Pepera yang hanya dihadiri oleh 1.025 orang adalah peristiwa yang tidak adil dan karena adanya intimidasi. WestPapua Action ju g a m en g ungkapkan terjadinya pelanggaran HAM di Papua selama ini yang sudah menewaskan lebih dari 300.000 jiw a rakyat Papua yang memerlukan perhatian internasional untuk menghentikannya. WestPapua Action juga m enganggap tra n sm ig ra si m erupakan ancaman terhadap masa depan penduduk asli Papua.62 U ntuk m endapatkan dukungan internasionalnya, WestPapua Action berusaha mendapatkan dukungan Pemerintah Irlandia dan beberapa anggota Parlemen Irlandia serta Perleman Eropa. Lembaga ini bekerja sama dengan PaVO (Belanda) dan TAPOL untuk mendukung perjuangan rakyat Papua. Pada tahun 2001, organisasi ini m engadakan pertem uan internasional atas Solidaritas Papua Barat di Jerm an.63
60 D okum en P ress R elease “3 5th A n n iversary o f Controversial Vote and Annexation, Secret Files Show U.S. Support for Indonesia, Human Rights Abuses by Indonesian Military, Brand Symson (ed.), dikirim pada 9 Juli 2004. 61 Lihat http://westpapuaaction.buz.org. 62 http://westpapuaaction.buz.org. 63 Ibid.
56
15) The Pacific Concerns Resource Centre (PCRC) PC R C a d ala h lem b ag a yang m e n fo k u sk an d iri p ad a p e rso ala n dem ilitarisasi, dekolonisasi, konservasi lingkungan, pengembangan SDM, HAM dan pembangunan pemerintah yang bersih dan berwibawa. Lembaga yang berpusat di Fiji64 didirikan pada tahun 1980 di Hawai. Papua m enjadi salah satu fokus daerah kajian, nam un lem baga ini tid ak dalam posisi m em ih ak atau m en o la k tu n tu tan kemerdekaan Papua. Perhatian pada kasus Papua sesuai dengan prinsip aktivitasnya. PCRC pernah menyelenggarakan worskhop dengan tema “The Dynamics o f Conflict in West Papua: Prospects fo r the Future, yang b e k e rja sam a d en g an South Pacific University dan Universitas Nasional Papua pada bulan Oktober 2004.65 16) Asosiasi Papua Barat Australia A so sia si P ap u a B arat A u stralia merupakan salah satu lembaga terbesar yang m em iliki p erh atian terhadap Papua dan memiliki jaringan yang tersebar di seluruh Australia, Belanda, dan Amerika Serikat. Lembaga ini merupakan lembaga nonpolitik dan n o n ag am a. K o m itm en n y a adalah m endukung p em b erd ay aan m asyarakat Papua m elalui penyebaran inform asi di berbagai media massa. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, lem baga ini tidak sepenuhnya berpegang teguh pada asas organisasi, yaitu nonagama dan nonpolitik, seb ag ai co n to h , lem b ag a ini b eru sah a m en ek an P e m e rin ta h A u stra lia dalam k a ita n n y a d en g an p e m b en tu k an tim investigasi peristiwa pembunuhan di Timika dan kasus kekerasan di Papua.66 Selanjutnya, kelom pok ini ju g a b eru sah a m em baw a persoalan Papua ke lembaga PBB, seperti 64 Lembaga ini berkantor di Suva, wilayah Fiji sejak tahun 1993. Namun sebelumnya berada di Auckland. NZ. 65 http://www.pcrc.org.fl. 66 http://www.zulenet.com/awpa/wpglue.html.
K om isi H A M , K elo m p o k K erja PBB m engenai populasi penduduk asli, dan Komite Dekolonialisasi PBB,67 yakni untuk m engkaji m asalah P apua sec a ra lebih mendalam. 17) Cambridge Campaign and Peace (Campeace) Campeace berpusat di Cambridge, Inggris dan didirikan pada M aret 1999, sebagai respons atas konflik internasional yang terjadi di berbagai wilayah dunia. Saat ini, C am peace m em iliki p erw akilan di A ustralia. Sebagai lem baga yang mengk am panyekan p e rd a m aia n di b erb ag ai belahan dunia, Campeace juga mengulas persoalan yang ada di Papua, terutama halhal yang berkaitan dengan pelaksanaan HAM di Papua.68 20) West Papua Action NetWork (Westpan) Westpan adalah lembaga yang secara je la s dan tegas m endukung perjuangan kemerdekaan Papua. Westpan berpusat di K anada.69 Tujuannya adalah m endukung perjuangan hak-hak rakyat papua, melakukan lobi di tingkat internasional untuk merevisi k em bali “Act o f Fee C hoice” dan mempengaruhi Pemerintah Kanada dan LSM yang berada di Kanada untuk mendukung p erju a n g an ra k y a t P a p u a .70 W estpan m enekankan k esad aran p u b lik tentang ketidakadilan ekonomi dan sosial yang terjadi di Papua selama ini. III. Peran dan Kepentingan Aktor Internasional di Papua Berdasarkan peran dan kepentingan p ara ak to r asin g di P apua, p e rso ala n persoalan yang menjadi perhatian mereka 67 www. cs. utexas. edu/users/cline/papua/letter. htm. 1,8http://www.camDeace.org/westpapua.html . 69 Westpan memiliki dua lokasi di Kanada: Pacific People’s Partnership, Suite 407 620 View Street, Victoria dan KAIROS Canada, 129 St. Clair Ave, West Toronto. 70 http://westpapua.ouvaton.org.
dapat dibagi ke dalam empat kategori isu utama, yaitu politik (sejarah integrasi dan identitas politik Papua), keamanan (siklus k e k e ra sa n p o litik dan k a su s-k a su s p e lan g g a ra n H A M b e ra t), bu d ay a (diskriminasi ras dan budaya - Papuanisasi vs Indonesianisasi), ekonomi (penguasaan dan e k sp lo ita si p o te n si dan k ek ay aan ekonom i Papua oleh orang non-Papua). K o m p le k sitas k asu s P ap u a sem akin bertambah karena adanya korelasi erat antara satu masalah dengan masalah lain, seperti isu politik dan keamanan, maupun isu politik dan ekonomi. Namun berdasarkan laporan tim kajian Papua LIPI, terdapat satu persoalan lagi dalam kasus Papua, y aitu m asalah psikologis atau trauma yang disebabkan oleh tindakan kekerasan atau pendekatan militer yang sangat dominan di Papua. Hal ini telah membentuk traum a kolektif yang dikenal dengan istilah memoria passionis. O p erasi m ilite r di P apua diindikasikan telah mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM di Papua baik dalam b e n tu k in tim id a s i, p e n y ik sa a n dan pembunuhan. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Papua yang secara keseluruhan masih dalam keadaan tidak sejahtera atau miskin telah menjadi fakta yang menarik p e rh a tia n pihal*: asin g . P erlak u an diskrim inatif, baik secara rasial maupun budaya, turut memberikan justifikasi atas te rja d in y a a k si-a k si p o litik m en u n tu t kemerdekaan bagi Papua dan mendapatkan simpati dari pihak internasional. Demikian juga dalam isu sejarah politik Papua, di mana p ro se s in te g ra si o leh k elo m p o k yang m enentang hasil Pepera, dianggap cacat hukum dan tidak memenuhi kaidah-kaidah hukum internasional yang adil. Selanjutnya, kerusakan alam akibat eksploitasi SDA secara besar-besaran baik di sektor tambang maupun hutan, telah menyebabkan publikasi isu Papua tersebar secara luas di dunia. Pemberian visa sementara kepada 42 Warga Negara Indonesia (WNI) asal Papua beberapa bulan lalu merupakan bukti betapa kompleksnya persoalan Papua karena faktor 57
politik dan keamanan yang dijadikan alasan oleh para pencari suaka tersebut. Kejadian itu ju g a m en u n ju k k an b e tap a kuatn y a dimensi internasional kasus Papua. Alasan 42 orang Papua untuk m endapatkan suaka politik dari Pem erintah A ustralia adalah k arena m asalah k ek erasan p o litik dan genosida yang terjadi di Papua. Sebaliknya, Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa k ep erg ian m erek a ke A u stra lia leb ih disebabkan oleh faktor ekonomi atau untuk m eningkatkan k esejahteraan sosial dan ekonom i. A dapun Pem erintah A ustralia beralasan bahwa pemberian visa sementara tersebut karena alasan kemanusiaan karena orang-orang Papua yang datang ke Australia dikategorikan sebagai pengungsi. Persoalan ekonomi di Papua terkait erat dengan masalah kemiskinan, disparitas ekonomi dan pembangunan antara daerah P ap u a d en g an d a e ra h -d a e ra h la in di Indonesia. Di bidang pengelolaan SDA Papua, kebijakan pemerintah dinilai lebih b erp ih ak pada p e b isn is/p em o d al besar k e tim b a n g p ad a m a sy a ra k a t Papua. Akibatnya dalam kepentingan bisnis asing, masyarakat Papua sering kali terabaikan, m isalnya dalam pengam bilan keputusan menyangkut kepemilikan atas tanah adat, mereka tidak dilibatkan dalam proses dan kontrak bisnis yang dilakukan, padahal mereka adalah pemilik tanah adat di Papua. S e b a lik n y a , P e m e rin ta h (P u sa t) dan pengusaha memberi label pada orang Papua sebagai p rim itif dan tra d isio n a l (tid ak m odern). A kibatnya orang Papua ju stru dianggap sebagai beban pemerintah. Penguasaan dan pengelolaan sumber tam b ang dan h u tan P ap u a, b aik oleh pengusaha nasional maupun yang bekerja sam a dengan p e n g u sa h a in te rn a sio n a l m engakibatkan pem bagian hasil/im balan yang tidak layak antara orang Papua dengan p ara p e b isn is te rse b u t. P e ru sa h aa n intemasional/multinasional di Papua seperti PT Freeport Indonesia (PTFI) merupakan pem bayar p ajak te rb e sa r di Indonesia.
58
Pemasukan dari pajak yang diterima oleh negara/pemerintah dari PTFI mencapai antara US$ 700-U SS 800 setiap tahun. Secara keseluruhan, daerah Papua menyumbang sekitar 24 triliun rupiah untuk devisa negara dari sektor tambang. Namun, masyarakat Papua tetap tergolong masyarakat miskin (sangat miskin) secara ekonomi. Masalah kemiskinan dan kelaparan di Papua mungkin bukan menjadi tanggung jaw ab Freeport, nam un dem ikian, k aren a F reep o rt ikut menikmati hasil bumi Papua maka Freeport k erap d itu d in g seb a g a i p ih a k yang b e rta n g g u n g ja w a b d alam p e rso ala n ketidakadilan ekonomi dan rendahnya tingkat kesejahteraan hidup orang Papua. Tudingan k ep ad a F re e p o rt seb a g a i p en y eb ab ketidaksejahteraan orang Papua berkaitan juga dengan masalah kerusakan lingkungan hidup akibat limbah tambang (tailings), yang mencemari danau dan sungai-sungai karena p e n u m p u k an lim b ah te rs e b u t (S ungai A ghaw aghon).71 Tuntutan penutupan PT Freeport beberapa waktu lalu dipicu oleh la ra n g a n b ag i p a ra p en am b an g lia r menambang di daerah limbah. Kerugian lainnya adalah kerusakan lingkungan sulit sekali diperbaiki. Kerusakan ini berkaitan dengan kepercayaan tradisional suku Amungme mengenai gunung tersebut yang masih dianggap keramat oleh mereka. Eksploitasi SDA di sektor hutan (pembalakan liar) secara besar-besaran oleh perusahaan kayu yang dikuasai oleh Mr. Wong Group dari Malaysia telah menyebabkan kerusakan/ pencemaran lingkungan, termasuk punahnya sebagian flora dan fauna asli Papua yang merupakan sumber hidup utama orang Papua secara tradisional, seperti sagu, damar, dan ikan. Dimensi ekonomi konflik di Papua m e n jad i sem ak in k o m p le k s d engan kehadiran dan keterlibatan TNI dan Polri yang bukan hanya bertujuan untuk menjaga 71 Lihat Benedetti (10 Januari 2005). “The Ecological Tragedy o f R esource E xtraction in West Papua”, WestPAN: Canada’s West Papua Action NetWork, h. 1-2
keamanan di Papua, melainkan juga untuk melakukan aktivitas bisnis di Papua. Terdapat ju s tifik a s i te n ta n g k o re la si a n tara kepentingan m em pertahankan keutuhan NKRI dan kepentingan mem pertahankan keuntungan ekonomi aparat militer dan polisi di Papua. Selain karena keuntungan finansial yang diperoleh dari aktivitas bisnis (legal m aupun ile g a l), dalam k e n y ata a n n y a k eh ad iran m erek a m akin k u at k aren a d ik e h en d a k i oleh p a ra p e lak u b isn is (p en g u sah a tam b an g dan k ay u ) un tu k m elan cark an a k tiv ita s b isn is m ereka, misalnya dengan “mendatangkan” petugas keam anan un tu k m en g h ad ap i tu n tu tan m asy arak at tra d is io n a l. U n tuk b iay a keamanan ini, PT Freeport, misalnya, harus mengeluarkan uang sebesar 4,7 juta dollar Amerika pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 5,6 juta dollar Amerika pada tahun
2002.72 Dimensi ekonomi konflik di Papua juga terkait dengan perdagangan hasil budaya dan k e se n ia n tra d is io n a l P apua yang menguntungkan bagi para pemodal/pebisnis non-Papua. Perdagangan hasil kesenian dan budaya tradisional Papua melanggar HAM Papua karena sebagai pemilik budaya dan kesenian tradisional Papua, seharusnya merekalah yang paling berhak menikmati keuntungan ekonomi tersebut. IV. S trategi In d o n esia M en gh ad ap i K em u n gk in an T erb u ru k dalam Kasus Papua M erujuk pada salah satu definisi kebijakan luar negeri sebagai sesuatu yang sama dengan atau paralel dengan prioritasprioritas domestik maka penanganan konflik dan pembangunan di Papua harus menjadi bagian dari p e rju an g an dan diplom asi Indonesia dalam jangka panjang. Dukungan internasional dan pengakuan atas negara merupakan salah satu fondasi dasar dalam hubungan d ip lo m atik . O leh sebab itu,
dukungan negara asing atas integrasi wilayah NKRI akan menjadi indikator yang penting d alam p e n y e le sa ia n isu P ap u a secara internasional. N am un dem ikian langkah d ip lo m a si ini h aru s d iik u ti d en g an pembangunan ekonomi dan kesejahteraan daerah Papua secara tepat dan nyata. Politik luar negeri memiliki dua hal utama, yaitu kepentingan nasional dan etika/ m oral. B erdasarkan hal ini, tiap negara h endaknya m em p erh atik an etika/m oral dalam membina hubungan antamegara yang sehat sehingga kepentingan nasional dapat tercapai. D em ikian pula dalam m enjaga hubungan bilateral Indonesia dengan negaranegara asing, harus memperhatikan etika hubungan antamegara yang semakin lama semakin tidak diperhatikan, terutama karena a lasa n m em p e rta h an k a n k ep en tin g an nasional. Australia misalnya, sebagai negara besar (major power) sudah selayaknya membantu proses pembangunan ekonomi daerah Papua, apalagi Papua sudah memiliki Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Pembangunan empat sektor - pendidikan, kesehatan dan g iz i, in fra s tru k tu r dan p em b erd ay aan ekonomi rakyat - menjadi prioritas utama sesu a i d en g an UU O to n o m i K husus. Australia sendiri menjadi salah satu pemberi bantuan dana otonomi khusus selain negaranegara Uni Eropa. Secara formal, hampir semua negaranegara asing tetap m endukung keutuhan N K RI, kecuali em pat negara di Pasifik (Vanuatu, Nauru, Tuvalu, dan Kepulauan Cook), meskipun dukungan tersebut tidak bersifat permanen. Australia sebagai “deputy sheriff" di Asia Pasifik seharusnya dapat meyakinkan masyarakat di negara-negara di P a sifik S e la ta n te rs e b u t, term asu k m a sy a ra k a tn y a se n d iri u n tu k tid ak mendukung gerakan Papua merdeka, apalagi sebagian negara-negara di Pasifik Selatan banyak yang tergolong sebagai failed States. B erd a sa rk a n p o sisi stra teg is In d o n e sia b ag i k e p e n tin g a n ekonom i
72Ibid., h. 2.
59
Australia maka dapat diperkirakan bahwa Pemerintah Australia tidak akan membiarkan hubungan politik dalam kasus Papua ini b e rla ru t-la ru t. P o sisi g e o g ra fis (geoek o nom i) In d o n e sia m em punyai n ilai strategis bagi Australia, terutama jalur Selat Makassar di bagian timur Indonesia yang m eru p ak an ja lu r u tam a p e rd a g an g a n Australia menuju dan dari Asia Timur dan Timur Tengah. Hubungan bilateral IndonesiaAustralia di bidang ekonomi meliputi sektor perdagangan dan investasi, meskipun tidak te rla lu sig n ifik a n v o lu m en y a b ila dibandingkan Jepang dan Singapura. Ekspor Australia ke Indonesia berkembang dalam sektor perdagangan jasa, pendidikan, dan pariwisata. Investasi Australia di Indonesia terdapat di sektor tam bang nonm inyak, industri kimia, logam dan pabrikan, hotel, re sto ra n , dan tra n s p o rta si. In d o n esia merupakan pasar cukup besar bagi jasa dan produk mewah dari Australia, terutama bagi se k ita r 3 0 -4 0 o ran g In d o n e sia yang berpenghasilan sangat tinggi. Namun bagi Indonesia, pasar Australia hanya terbatas pada properti, portofolio, investasi pakaian, pembuatan baterai, dan ekspor ternak. Di b id an g in v e sta si tam bang, P eru sah aan R io T into dari A u stra lia menguasai saham Freeport McMoran sebesar 40 persen di bursa saham di New York. Selain memiliki saham di Freeport, perusahaan A u stralia - W oodside P etroleum L td .m en jadi salah satu p e ru sa h a a n dalam konsorsium LNG Tangguh, di Teluk Bintuni untuk memasok kebutuhan LNG di provinsi G uangdong, China selama lebih dari 25 tahun. Adapun Pertamina, Indonesia dan BP Plc (Perusahaan Inggris-A m erika) mensupply LNG ke provinsi Fujian, China. Di bidang kesehatan, Pem erintah A ustralia m elalui A usA ID m em berikan bantuan di bidang penanganan penyebaran virus H IV /A ID S , b aik secara nasional maupun secara khusus di Papua karena Papua tercatat sebagai daerah yang memiliki tingkat penyebaran atau angka penderita HIV/AIDS
60
tertinggi di Indonesia. A dapun di sektor pendidikan, Australia memberikan beasiswa kepada orang-orang Indonesia untuk belajar di u n iv e rsita s-u n iv ersita s di A ustralia, term asuk kepada perw ira m iliter untuk m e n g ik u ti p e n d id ik a n dan la tih a n di Australia. Pada A p ril 1997, P em erin tah Indonesia dan Australia meresmikan kerja sama pem bangunan bernam a “Australia Indonesia Development Area ” (AIDA) yang m eliputi D arw in dan b eb erap a kota di wilayah Indonesian bagian timur, seperti Kupang, Ambon, dan Jayapura yang masih sangat terbatas perkembangannya. Apalagi dengan teijadinya konflik komunal di Ambon pada 1998, keija sama tersebut boleh dibilang tidak menghasilkan manfaat apa pun, baik bagi Indonesia maupun Australia. Untuk menghadapi internasionalisasi kasus Papua maka Pem erintah Indonesia harus melakukan antisipasi secara nasional maupun dengan memperkuat diplomasi, baik secara bilateral (antamegara ataupun lembaga internasional) dan secara multilateral, yakni melalui forum regional dan internasional. Pemerintah Indonesia sendiri harus memiliki pemahaman yang akurat mengenai persoalan yang mendasar di Papua. Hal ini penting un tu k dapat m encapai k eputusan yang terpadu dalam m enyelesaikan persoalan politik dan ekonomi di Papua. Selain itu, p em ah am an y an g a k u ra t m engenai perkembangan situasi politik dan ekonomi di Papua akan meningkatkan bobot diplomasi In d o n esia di lu ar n eg eri. S elanjutnya, Pemerintah harus melakukan pembenahan ke dalam (self-correction), terutama dalam hal koordinasi dan ev alu asi k ebijakan dan im p le m e n ta sin y a di Papua. A k h irn y a, Pemerintah perlu menentukan langkah untuk m enyelesaikan k o n flik di Papua dalam ja n g k a p a n ja n g , m isa ln y a dengan membicarakan kesepakatan kerja dengan PT Freeport. Selanjutnya, dipublikasikan agar sem akin banyak pihak yang memahami duduk p erso alan di F reeport, term asuk
keterlibatan Australia di Freeport maupun di LNG Tangguh. Dimensi internasional kasus Papua bukan hanya karena keberadaan PT Freeport Indonesia di Timika, Kabupaten M imika yang kepemilikan sahamya sebagian besar dikuasai oleh AS, namun terdapat beberapa hal lain yang menambah derajat internasional persoalan di Papua, yakni letak Papua Barat (West Papua) yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini (PNG). Perbatasan darat dimanfaatkan oleh para pelintas batas/ pencari suaka dari Papua ke Australia melalui PNG. Antara 1984-1986 terdapat lebih dari 12 ribu pencari suaka (asylum seekers) asal Papua yang tinggal di di kamp pengungsian di East Awin, PNG. Namun masih ada sekitar 8000 pengungsi dan pencari suaka dari Papua yang tinggal di daerah East Awin, PNG namun tidak diberitakan oleh media.73 K eam anan w ila y ah p e rb a ta sa n menjadi persoalan penting bagi Indonesia, terutama dikaitkan dengan keberadaan OPM. Pemberian visa sementara kepada 42 WNI asal Papua tidak lepas dari dukungan LSM Australia, Green Party dan jaringan OPM di Australia. Kelompok pro-demokrasi di Papua yang m em perjuangkan Zona Damai ikut m em perkuat diplom asi Papua di tingkat internasional terutama melalui pemaparan tentang sejarah integrasi Papua ke wilayah Indonesia (Pepera 1969). Perjuangan melalui jalur diplomasi luar negeri ini dilakukan oleh PDP. P em b erian v isa sem en tara berdampak pada memburuknya hubungan bilateral Indonesia-Australia. Meskipun ada upaya di tingkat pemerintahan kedua negara untuk membicarakannya kembali, namun publik sudah mengetahui bahwa Indonesia dan Australia selama ini gagal menciptakan kom unikasi p o litik yang e fe k tif. B agi Pemerintah Indonesia harus diakui bahwa ada persoalan di Papua yang belum ditangani
secara m enyeluruh sehingga menyimpan p otensi yang b esar un tu k m eledak dan menjadi isu besar. Pemberian visa sementara kepada 42 WNI asal Papua bukanlah yang p ertam a te rja d i, term asu k p ara korban kerusuhan politik Mei 1998 yang melarikan diri ke A ustralia kem udian mendapatkan Permanent Residence (PR) Australia. Selain persoalan komunikasi politik y an g b u ru k , te rn y a ta A u stra lia leb ih mementingkan stabilitas politik di dalam negerinya. Tekanan dari Partai Hijau dan para a k tifis H A M di A u stra lia m am pu m en g alah k an k e p e n tin g a n P em erin tah Australia untuk menjaga hubungan baiknya d en g an In d o n e sia seb ag ai te ta n g g a terdekatnya. Tindakan A ustralia tam pak sangat tidak bersahabat dan tidak sensitif, nam un bagaim anapun perbedaan sistem p o litik a n ta ra k e d u a n e g a ra san g at berpengaruh dalam memahami persoalan ini. Memburuknya hubungan IndonesiaAustralia akhir-akhir ini merupakan bukti bahw a kedua negara m em ang m em iliki sistem politik dan budaya politik yang sangat berbeda. Namun Indonesia dan Australia tidak dapat menghindari fakta bahwa mereka bertetangga, bahkan sangat dekat secara geografis. Selain itu, Australia belum dapat mengurangi kedekatan dan ketergantungan nya terhadap Amerika Serikat. Sepak terjang AS di Asia, termasuk kebijakannya terhadap Indonesia dalam kasus pelanggaran HAM di Timor Timur dan masalah terorisme, telah membuat Australia bersikap dan bertindak agresif terhadap Indonesia. Kawasan Asia Pasifik memiliki peran yang stategis dengan wilayah Papua karena kedekatan geografis, kedekatan sejarah p e rsam a a n b u d a y a, dan p e rsa u d a ra a n M elanesia (Melanesian Brotherhood). Hal inilah yang menjadikan hubungan dengan negara-negara di Pasifik Selatan memiliki arti khusus bagi OPM karena beberapa negara di kawasan tersebut mendukung perjuangan rakyat Papua untuk merdeka.
73 Institute for Social Research, Swinbume University o f Technology (13 April 2006), www.apo.org.au. h. 1
61
Mengingat pentingnya peran negaranegara Pasifik Selatan dalam persoalan Papua maka Pemerintah RI juga telah mengirimkan wakil dalam pertemuan KTT Pacific Islands Forum ke-31 pada akhir Oktober 2000 di Tarawa, K iribati. Pem erintah Indonesia berusaha mendekati negara-negara anggota Forum Pasifik Selatan (Australia, Kepulauan Cook, N egara Federasi M ikronesia, Fiji, Kiribati, Nauru, Selandia Baru, Nieu, Palau, P apua N u g in i, R e p u b lik K ep u lau an Marshall, Samoa, Solomon, Tonga, Tuvalu, dan Vanuatu). Melalui forum ini, Pemerintah Indonedia berusaha meredam upaya PDP dalam meng-intemasionalisasikan isu Papua. F orum p e rte m u an te rs e b u t a k h irn y a mengeluarkan pernyataan yang positif bagi Indonesia, yakni p ern y ataan dukungan integritas teritorial Indonesia dan menetapkan PDP sebagai kelom pok separatis. Dalam forum itu, Menteri Luar Negeri (Menlu) RI menyampaikan permintaan resmi Pemerintah RI untuk menjadi mitra dialog pada forum pertem uan PIF, yang diharapkan dapat m em buka jarin g an institusional dengan negara-negara di Pasifik Selatan.74 S ecara b ila te ra l, P e m e rin ta h Indonesia juga melakukan lobi dan meminta negara-negara asing untuk tetap menjaga k o m itm en m erek a d alam m en d u k u n g kedaulatan Indonesia di Papua. A dapun secara multilateral dilakukan melalui forumforum, seperti ASEAN, ASEAN Regional Forum (ARF), pertemuan tingkat Menteri ASEAN-EU, PBB, dan GNB. V. Beberapa Catatan Akhir Internasionalisasi persoalan lokal di Papua sulit dicegah karena derasnya arus in fo rm asi dan k em aju an te k n o lo g i komunikasi. Peristiwa di suatu negara dapat d en gan m udah m en jad i m o tiv a si bagi munculnya gerakan politik serupa di negara lain. K edatangan 42 WNI asal Papua ke 74 Pernyataan pers Menteri Luar Negeri RI (2002). Refleksi
Departemen Luar Negeri tahun 2002.
62
A u stralia pun m em anfaatkan kem ajuan in fo rm asi dan te k n o lo g i k o m u n ik asi, terutama dengan keberadaan kelompok pro m erdeka di N egeri K anguru itu. Namun h u b u n g a n a n ta m e g a ra b u k an h anya ditentukan oleh pemerintah, melainkan juga oleh masyarakat (people to people relations). yang selama ini sudah teijalin erat. Namun Pem erintah Indonesia pun harus mampu membuktikan bahwa Papua tidak akan lagi menjadi “daerah tertinggal” di Indonesia. Kondisi riil di Papua harus dimengerti secara benar baik oleh pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat Papua, dan pebinis (asing). Ketiga aktor utama tersebut harus membuka komunikasi secara reguler untuk membicarakan masalah-masalah yang berpotensi m enim bulkan konflik baru di Papua. Peran MRP dapat dilibatkan dalam proses kom u n ik asi m engenai problem problem yang ada dan berkembang di Papua. E fek tiv itas M RP m erupakan salah satu indikator keberhasilan penerapan otonomi khusus di Papua. P e rb e d a a n p em ah am an dan kepentingan antara Pemerintah (pro-NKRI) dan M a sy a ra k a t P ap u a (p ro -m erd ek a) janganlah dipertentangkan terus-menerus, melainkan harus dicari alasan setiap pihak mengapa mereka sampai pada posisi yang ekstrem itu. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan m eningkatkan komunikasi yang intensif, misalnya melalui dialog. Selanjutnya, persoalan di Papua harus dapat diselesaikan secara damai karena selain akan m erugikan posisi dan citra politik Indonesia di tingkat internasional, juga akan semakin sulit mencegah campur tangan pihak asing dalam persoalan domestik Indonesia di Papua. Sebagai contoh, rancangan undangundang (bill) - H.R. 2601 yang dikeluarkan oleh Kongres AS adalah satu bukti adanya kepentingan negara adidaya itu di Papua. Rancangan undang-undang (RUU) tersebut a n ta ra la in m en y in g g u n g m en g en ai k e ab sa h an P e p e ra , m a sa la h H A M ,
demiliterisasi, kerusakan lingkungan hidup, dan pelaksanaan otonomi khusus di Papua. D engan d e m ik ian , kem am puan diplom asi Indonesia sangat m enentukan tingkat keberhasilan penyelesaian masalah in ternal, terutam a dengan m enjelaskan persoalan sesungguhnya, termasuk persoalan politik dan ekonomi di Papua. Selanjutnya Pem erintah Indonesia “m engajak” pihak internasional untuk membantu Indonesia dalam m enciptakan peace and order di d a e ra h -d a e ra h k o n flik di In d o n e sia. Bagaim anapun, keam anan dan stabilitas domestik Indonesia akan berpengaruh pada k eam an an dan s ta b ilita s re g io n a l dan internasional, termasuk bagi kepentingan ekonomi Australia. Suasana politik dan keam anan di Indonesia, khususnya di Papua akan selalu b e rp o te n si m e n g u n d an g p e rh a tia n in te rn a sio n a l. U n tu k itu P e m e rin ta h Indonesia dituntut untuk dapat mengatasi setiap persoalan yang terjadi, terutama akibat pecahnya konflik kekerasan. Terbengkalainya penyelesaian masalah-masalah yang muncul pada masa pascakonflik, seperti masalah pengungsi dan pem berdayaan ekonom i rakyat, akan kian mempersulit pemerintah. K em erdekaan Papua tentu sangat tid a k d ih a ra p k an , m esk ip u n d em ikian skenario terburuk tetap harus diperhitungkan. Tanpa kesungguhan dalam berdiplomasi dan koordinasi yang terpadu di antara institusi pemerintahan di Jakarta maka tidak mustahil Papua akan menjadi Timor Timur kedua. H ubungan dengan negara-negara asing, terutama yang berdekatan secara geografis, harus diperbaiki dan dijaga agar dapat mendatangkan manfaat yang maksimal bagi Indonesia, khususnya hubungan dengan Australia. Daftar Pustaka Aryani, Gusti, NC. 13 April 2006. “Political Asylum, between Rights and Covering Nuance”, http://www.antara.co.id/en
Astbury, Sid. 10 April 2006. “Papua Snaps Australia-Indonesia Happy Spell”, http:// news.monstersanderitics.com/ asiapacificc/printer_1153987.php. E lisab eth , A driana dkk. 2 0 0 4 . P eran dan Kepentingan Para Aktor dalam Konflik di Papua, Jakarta: LIPI. Elisabeth, Adriana dkk. 2005. Agenda & Potensi Damai di Papua, Jakarta: LIPI Press. Elisabeth, Adriana. 2 April 2006. “Pemerintah Australia Tidak S e n sitif’, Wawancara dengan Suara Merdeka, Fitzpatrick, Stephen dan Cath Hart. 18 April 2006. “D o n ’t Toy With Us: Indonesian President”, The Australian. Fitzpatrick, Stephen. 19 April 2006. “UN Raises Concems Over Asylum Policy”, http:// www.news.com.au/story/print/ 0,10119,18856792,00.html. Head, Mike. 4 April 2006. “Tensions Between Australia and Indonesia over asylum for Papuan A c tiv ists”, h ttp ://w sw s.org/ articles/2006/papu-a04_pm.shtml. h t t p : / / e n . w i k i n e w s . o r g / wiki_42_West_Papuan_asylum_ seekers_get_temporary_Australian_visas (24 Maret 2 0 0 6 ). “42 W est Papuan A sylu m S eek ers G et Temporary Australian Visas”. http://kom unitaspapua.com /m odules.php?op= m odload& nam e=N ew s& file=article& sid=923&POSTNUKESID=15166c280923fe 193 ca 7 f3 8 3 4 b a a 0 . 24 Maret 2006. “Di bal i k Pem berian Suaka Politik Terhadap Orang Papua”. http://news.monstersanderitics.com/asiapacificc/ printer_l 156274.php. 18 April 2006. “A utralian Prem ier Stands Firm on Indonesian Refugees”. http://news.monstersanderitics.com/asiapacificc/ p r i n t e r l 156595.php. 19 April 2006. “Australians Belie Canberra’s Support for Indonesian Unity”. http://abc.net.au/cgibn/com m on/ printfriendly.pl?http://www.abc.net.au/ news/newsitems. 7 April 2006. “Indonesia Welcomes Australian Review o f Asylum Seeker Process”.
63
http://abc.net.au/cgibn/com m on/ printfriendly.pl?http://www.abc.net.au/ newsitem/. 9 April 2006. “Govt Criticised O ver H andling o f Papuan A sylu m Seekers”. http://abc.net.au/cgibn/com m on/ printfriendly.pl?http://www.abc.net.au/ pm. 13 April 2 0 0 6 . “PM -Indonesia W elcom es M ovin g A sylu m Seekers Offshore”. http://sievx.com/articles/westpapua/ 20060409NationalInterest.html. 9 April 2006. Transcript “Australia on Papua”.
http://www.news.com.au/story/print/ 0 ,1 0 1 1 9 ,1 8 8 8 4 7 6 6 ,00.htm l. 21 April 2006. “Talks Underway in Indonesia”. http://www.news.com.au/story/print/ 0 ,1 0 1 1 9 ,1 8 9 2 2 5 5 0 ,00.htm l. 25 April 2 0 0 6 . “U p h old R igh ts, Indonesians Urged”. h t t p : / / w w w . u n p o . o r g / print.p h p?arg=56& p ar=4213. 2006. “West Papua: Australia Wams O ff West Papuan Refugees”.
http://www.antara.co.id .2006. “Defence Minister Call For Transparency o f NGOS”.
h t t p : / / w w w . u n p o . o r g / print.p h p?arg=56& p ar=4263. 2006. “West Papua: Australia Toughtens Asylum Rules”.
http://www.antara.co.id/en/seenws/?id=26995.30 Januari 2006. “Australia Belum Buat K eputusan Terkait Suaka 43 Warga Papua”.
h t t p : / / w w w . u n p o . o r g / print.php?arg=56& par=42176. 2006. “West Papua: Papuan Refugees Highlight Struggle for Independence”.
http://www.antara.co.id/en/seenws/?id=l 1234.12 April 2006. “Australia Should Back Papua Autonomy to Head O ff Crisis: Analysts”,
h t t p : / / w w w . u n p o . o r g / print.p h p?arg=56& p ar=4287. 2006. “West Papua: International Focus on New West Papua Refugee Bid”.
http://wwwadnki.com/ printPopUp.php?loid=8.0.284053004. 5 April 2006. “Indonesia-Australia: More Papuan Refugees, More Tension”.
http://www.westpapua.net. 2000. “Australian NGOs Support Separatism in Papua”.
http://www.apo.org.au. 13 April 2006. “Institute for S o cia l R esearch, Sw inburne University o f Technology”. http://www.chilout.org/information/ west_papuans.html. 22 Maret 2006. “West Papuans” http://www.cs.utexas.edu, “Statement o f Aims”. http://www.detiknews.com. 2006. “SBY Telpon Howard Soal Suaka Politik Warga Papua”. http://www.kapanlagi.eom/h/ 000111539_print.html (2006). “DPD-RI Bentuk Pansus Bahas Persoalan di Papua”. http://www.news.com.au/story/print/ 0,10119,18739837,00.html. 7 April 2006. “Labor Backs Papua Stance”. http://www.news.com.au/story/print/ 0 ,1 0 1 1 9 ,1 8 8 8 2 0 8 4 ,00.htm l. 21 April 2 0 0 6 . “PNG Mum N ot B ack in Indonesia”.
64
h ttp ://w w w .w estpap u a.n et/n ew s. “Australia, Indonesia Wins Multibillion Chinese LNG Contracts”. In stitu te f o r S o c ia l R esea rc h , Swinburne University o f Technology. 13 April 2006, www.apo.org.au Kompas. 2006. “LSM: Waspadai Sikap Australia”. _________ 6 April 2006. “Australia Cenderung Memperoleh Informasi Sepihak”. _________ 6 A pril 2 0 0 6 . “Indonesia Tinjau Hubungan dengan Australia”. _________6 April 2006. “Howard: Jejak Pendapat Bukan Sikap Rakyat Australia”. L ip u ta n 6 SCTV. 10 A pril 2 0 0 6 . “Australia Bimbang Mencabut Visa Pencari Suaka”. _________ 10 April 2006. “Presiden Yudhoyono M engingatkan Soal Toleransi antar Negara”. ________ 12 April 2006. “Nettle Tak Mendukung Gerakan Separatis Papua”.
________ 21 April 2006. “Menlu Bertemu Utusan PM Australia”. Leggatt, Johanna. 21 April 2006. “Australia Caved in on Papua: H auden”, http:// www.news.com.au/story/print/ 0,10119,18882593,00.html Media Indonesia Online. 8 April 2006. “Indonesia Tunggu Penjelasan Resmi dari Australia”. Pilger, John. 9 Maret 2006. “The Secret War Against the Defenseless People o f West Papua”, Truthout/Perspective. Piliang, Indra J. 29 Maret 2006. “Jalan Bisu Papua”, h ttp ://w w w .infopap u a.com / modules.php?op=modload&name=News& file=article&sid=3969&mode=thread& order= 0&thold=0 Raiston, Nick. 19 April 2006, “Papua Rift Needs Serious Diplomacy”, The Australian. Ramelan, Rahardi. 12 April 2006. “Menyikapi A ustralia 1999 dan 2 0 0 6 ”, http:// www.icmi.or.id Rayfield, Alex. 20 Mei 2004. “Australia & West Papua”, ZNet/Activism. Republika. 24 Januari 2006. “RI Telah Identifikasi 43 Warga Papua Pencari Suaka Politik di Australia”.
Sheehan, Paul. 23 April 2006. “Indonesia is Right to be Wary o f Australian Supporters if Papuan Independence”, Sidney Morning Herald. S uara P em baru an D a ily. 21 Januari 2006, “Australia Merahasiakan Identitas 43 Warga Papua”. __________ 27 Januari 2006. “Pemberian Suaka Politik Tak Mudah, Berpotensi Timbulkan Konflik Bilateral”. __________ 6 April 2006. “Selesaikan Masalah Papua Secara A rif’. The Australian. 18 April 2006. “PM Rules Out Jakarta Apology”. _________26 April 2006. “Envoy’s Indonesian Visit ‘Useful”. The Guardian. 12 April 2006. “Australia: Howard G overnm ent A ttack es W est Papuan Independence”, http://politicalaffairs.net. Tobing, Maruli. 24 April 2006. “Politik Bermuka Dua Negara Tetangga”, dalam Kompas. Walters, Patrick and Davis Nason. 13 April 2006. “Prime M in ister Slam s D oor on Boatpeople”, The Austalian. Wanggai, Velix. 29 Maret 2006. “Kemesraan Cepat Berlalu”, Republika Online.
R iyanto, Geger. 3 April 2006. “Papua dan Pragmatisme Australia”, dalam Pikiran Rakyat.
65
DEMOKRATISASI PARTAI DAN DILEMA SISTEM KEPARTAIAN DI INDONESIA*
Svamsuddin Haris* Abstract Politicalparties are integralpart o f process o f democratization in Indonesia. But, rather be the solution o f the problem in democratization o f the country, Indonesian political parties are still part o f the problem. The paper is aim to identify problem o f the parties in Indonesia and the party system. The paper describes that the parties have at leastfour shortcomings as its basicproblem, i.e. institutionalproblem, leadershipproblem, structural problem and ideological problem. This paper argues that to make political parties become the solution ofpolitical problem in Indonesia, it has to be modernized. In the context o f revision o f Decree o f Political Party, the party system has to be fitted in with other system in Indonesian political system. The choice is not only to choose between multi-party or bi-party system, but to choose the system that coherence with the whole political system in Indonesia.
Pengantar ak seorang pun membantah bahwa partai politik merupakan salah satu pilar dan institusi demokrasi yang penting selain lembaga parlemen, pemilihan umum, eksekutif, yudikatif, dan pers yang bebas. Melalui fungsi tradisionalnya dalam p artisip asi p o litik , kom unikasi politik , sosialisasi politik, artikulasi dan agregasi k ep entingan, bahkan sebagai m ediator konflik, partai adalah “jem batan” antara rakyat dan pemerintah. Namun demikian, tidak semua partai politik bisa memberikan k o n trib u si p o s itif bagi p erk em b an g an demokrasi. Samuel P. Huntington misalnya menggarisbawahi bahwa hanya partai-partai yang kuat dan terinstitusionalisasi yang menjanjikan terbangunnya demokrasi yang lebih baik'
T
* Makalah ini telah dipaparkan pada Seminar Nasional "Mencari Format Baru Pemilu dalam Rangka Penyempurnaan Undang-Undang Bidang Politik”, Hotel Borobudur, Jakarta, 10 Mei 2006. ’ Penulis adalah Peneliti Utama pada Bidang Penelitian Politik Nasional, P2P LIPI, Jakarta. 1 Huntington, Political Order in Changing Societies, New Haven and London: Yale University Press, 1968.
O leh k aren a itu, hal yang tidak mengherankan di negara-negara demokrasi yang relatif baru adalah bahwa partai-partai lebih m erupakan “b eb an ” atau m asalah ketimbang inisiator bagi solusi permasalahan rakyat. Diakui atau tidak, partai-partai yang lebih merupakan “masalah” ketimbang solusi itu pula yang tengah dialami Indonesia dalam era transisi demokrasi pascarezim otoriter O rde B aru. S in y alem en Transparency International bahw a p artai m erupakan institusi terkorup di Indonesia, dan parpol (p o litisi) sebagai aktor terk o ru p *12, jelas mengindikasikan hal itu. Begitu pula jika dilihat tingkat kepercayaan atas partai politik yang ternyata paling rendah dibandingkan kepercayaan terhadap militer, pemerintah (pusat dan daerah), sistem hukum, kepolisian, dan parlem en3*. Indikasi yang sama dapat
2 Lihat, “Catatan Akhir Tahun ICW: Pemberantasan Korupsi 2005”, dalam www.antikorupsi.org. 3 Dikutip dari Riswandha Imawan, “Birokrasi Politik dan Perilaku Korupsi”, makalah dalam Seminar NasionalXX AIPI di Medan, tanggal 3 -4 Mei 2006, hal. 6.
67
ditemukan, baik dari terungkapnya berbagai kasus penyalahgunaan dana APBD oleh para politisi partai di DPRD, maupun persepsi umum masyarakat tentang kinerja partaipartai pasca-Orde Baru yang tidak lebih baik dari periode sebelumnya4. M engapa partai-partai masih lebih merupakan masalah ketimbang solusi? Apa yang salah pada partai-partai dan sistem kepartaian di Indonesia pasca-Soeharto? Reformasi institusional semacam apa yang diperlukan untuk m embangun partai dan sistem kep artaian yang lebih asp iratif, akuntabel serta m enghasilkan dem okrasi yang produktif? Dalam kaitan itu, tulisan pendek ini m encoba m engidentifikasi problem atik partai-partai dan sistem kepartaian, dan atas dasar itu m enaw arkan sejum lah gagasan pembaharuan partai menuju suatu sistem k e p a rta ia n yang d ih a ra p k a n d ap at m em b erik an k o n trib u si b ag i c ita -c ita keadilan dan demokrasi di satu pihak, dan kesejahteraan rakyat di pihak lain. Dilema Partai dan Sistem Kepartaian Secara historis, partai-partai politik di Indonesia sebenarnya lahir, tumbuh, dan b e sa r bersam aan dengan p ertu m b u h an identitas keindonesiaan pada awal abad ke20. Meskipun menjadi wadah aspirasi dari kelompok dan atau golongan ideologis yang berbeda-beda, partai-partai pada era kolonial turut memberikan kontribusi bagi pencarian sekaligus “penemuan” identitas keindonesia an yang mendasari pembentukan republik. Sebagian besar pendiri bangsa, seperti HOS Tjokroam inoto, T jipto M angunkusum o, Soekarno, dan H atta adalah juga pendiri sekaligus pemimpin partai pada zamannya. 4 Lihat misalnya hasil-hasil penelitian Pusat Penelitian Politik LIPI, di antaranya, Lili Romli (Ed.), Potret Partai Politik Pasca-Orde Baru, Jakarta: P2P-LIPI, 2003; Syamsuddin Haris (Ed.), Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai, Jakarta: Gramedia, 2005; serta juga berbagai hasil survei dan polling seperti yang dilakukan oleh LP3ES, LSI, dan Litbang Kompas.
68
Walaupun demikian, ketika Indonesia benar-benar merdeka dari kekuasaan kolonial pada 1945, hal ini segera pula disadari bahwa terdapat perbedaan-perbedaan mendasar di antara para founding fathers tentang arah sistem kepartaian. Hal itu tampak jelas tatkala gagasan Soekarno tentang suatu partai negara yang b e rsifa t tu n g g al di baw ah sistem pemerintahan presidensial ternyata hanya seum ur jagung karena dengan keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945— yang ditandatangani Wakil Presiden M oham m ad H a tta dan b e risi an ju ran pembentukan partai-partai— harus digantikan oleh suatu sistem multipartai di bawah sistem pemerintahan parlementer. M eskipun p ad a ak h irn y a sistem multipartai menjadi realitas politik pada era Demokrasi Parlementer, namun kehadiran partai dan bahkan pemerintahan partai-partai yang menjadi ciri era ini ternyata tidak begitu d isu k ai o leh S o ek arn o dan te n ta ra. Pemerintahan hasil Pemilu 1955 yang semula diharapkan dapat menjadi solusi berbagai konflik ideologis, gejolak daerah, dan aneka persoalan politik, serta ekonomi lainnya, pada akhirnya kandas dan berum ur tak sampai setahun. Terlepas dari cerita sukses di balik penyelenggaraan Pem ilu 1955 dan ju g a produktivitas DPR dalam menghasilkan UU, p artai-p artai dan sistem m ultipartai era Demokrasi Parlementer, sebenarnya sejak awal telah m ew arisi berbagai kelemahan struktural, mulai dari tradisi konflik, tidak a d an y a d is ip lin o rg a n isa si, e litis, kepem im pinan yang cenderung personal, kecenderungan pemimpin-pemimpin partai y an g h a n y a m au b e n a r se n d iri, dan kesenjangan yang besar antara elite partai dan m assa pendukungnya di tingkat baw ah5*. Selain itu, bagi um um nya partai-partai, id e o lo g i le b ih b e rfu n g si untuk mengintegrasikan massa pendukung partai 5 Tentang partai-partai era Demokrasi Parlementer, lihat misalnya, Herbert Feith, The Decline o f Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca NY: Comell Modem Indonesia Project, 1962; juga Feith, Pemilihan Umum 1955, Jakarta: Penerbit Kompas, 1999.
kelangsungan kekuasaan pribadi dan vested interest kelompok akhirnya mengalahkan komitmen mereka terhadap ideologi. Pada akhirnya, kepentingan pribadi dan kelompok itulah yang menjadi “ideologi” para politisi partai kita dewasa ini. Sementara itu dalam konteks taktik dan strategi, pada umumnya, p a rta i-p a rta i te rp e ra n g k a p upaya m em perjuangkan jabatan-jabatan publik k etim b an g p e rju a n g a n m em enangkan kebijakan publik10. Sem entara itu, fungsi pendidikan politik bagi masyarakat hampir tidak pernah disentuh dan menjadi agenda partai-partai politik. Sebaliknya, partai-partai politik kita cenderung bersembunyi di balik baju yang bersifat ideologis, di belakang kharism a pribadi para elitenya, serta di balik isu-isu besar yang tak pernah diterjemahkan secara kontekstual-operasional. Sebagai akibatnya, kom petisi partai-partai cenderung lebih b e rsifa t fisik (m e la lu i k em am puan pengerahan massa, mobilisasi simbol-simbol, dan sejenisnya) ketimbang kompetisi atas dasar keunggulan visi, platform, dan program politik. Ironisnya, hampir tidak ada upaya seriu s p ara p em im pin p a rta i pada era reformasi dewasa ini untuk membenahi diri. Para politisi partai justru makin melestarikan problem atik struktural partai-partai dan “menikmati” situasi tidak sehat tersebut demi kelangsungan kekuasaan pribadi dan atau kelompok. Kecenderungan serupa tampak p u la dalam k o nteks sistem k e p artaia n sehingga tidak jelas arah dan formatnya— kecuali sekadar banyak dari segi jumlah— apakah koheren dengan pilihan terhadap sistem pemerintahan, sistem perwakilan, dan sistem pemilu. H am pir tidak pernah ada perdebatan serius di kalangan elite partaipartai di DPR, ke mana sesungguhnya arah sistem kepartaian kita pasca-O rde Baru sehingga yang muncul kemudian adalah UU No. 2 Tahun 1999 dan UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang tidak visioner dan 10 Arbi Sanit, “Perubahan Mendasar”, hal. 20— 23.
70
c en d e ru n g m em b iark an p a rta i-p a rta i merumuskan dirinya sendiri. Menuju Pelembagaan dan Demokratisasi Partai Sebagai organisasi modem, partaip a rta i su d ah te n tu d itu n tu t un tu k m engem bangkan etika b erp artai secara modem pula. Hal ini termasuk di dalamnya etika kepemimpinan yang demokratis dan k o legial, etika berorganisasi atas dasar distribusi kekuasaan yang terdiferensiasi, dan etika pertanggungjaw aban secara publik, yang sem u an y a d ilem b ag ak an m elalui mekanisme internal partai yang disepakati b ersam a. M ela lu i p elem b ag a an etik a berpartai semacam itu, partai-partai tidak hanya diharapkan menjadi wadah pendidikan politik dan pem bentukan kepemimpinan, tetapi ju g a bisa m enjadi basis sekaligus fondasi bagi pelembagaan demokrasi ke arah yang lebih substansial. Potret buram partai-partai dan sistem kepartaian tidak akan pemah berubah apabila tidak ada upaya serius untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Dalam hubungan ini, paling kurang tiga jalur dapat ditempuh untuk m en g u b ah p a rta i-p a rta i dan sistem kepartaian, yaitu ja lu r m asyarakat, jalur institusional, dan jalu r partai itu sendiridalam arti kesadaran para politisi untuk m engubah dirinya sendiri. Pengalam an selama ini menunjukkan bahwa hampir tidak ada harapan jika kita menunggu datangnya inisiatif perubahan dari partai. Oleh karena itu, gabungan jalu r m asyarakat dan jalur institusional tam paknya tetap merupakan a lte rn a tif te rb a ik u n tu k “ m em ak sa” berlangsungnya perubahan mendasar atas partai-partai kita. M elalui ja lu r m asyarakat, partaip artai dan p ara p o litisi secara berkala diseleksi, dipilih (kembali) atau “dihukum” — tidak dipilih— dalam pemilihan umum. Selain itu, berbagai elemen masyarakat juga dapat mendesakkan reformasi institusional atas partai-partai, terutama melalui perangkat
re g u la si y an g d a p at m e n d o ro n g dan memfasilitasi partai-partai ke arah format yang d ik eh en d a k i o leh seb u ah sistem demokrasi yang sehat. Urgensi perubahan dan atau penyempurnaan UU bidang politik pada umumnya dan UU Partai Politik pada khususnya terletak di sini. Oleh karena itu, urgensinya paling kurang terwujud pada dua konteks penting pem baharuan UU P artai P o litik, yakni p e rta m a , terbentuknya sebuah UU yang d ap at m en d o ro n g — dan k a lau p e rlu mewajibkan— partai-partai untuk mengubah karakter internalnya sehingga terw ujud partai-partai yang demokratis dan terlembaga ( institutionalized ). K onteks k e d u a , dari urgensi pem baharuan UU Partai Politik adalah terciptanya sebuah UU yang bukan hanya m enjadi dasar bagi pem bentukan sistem kepartaian yang dianggap tepat bagi In d o n e sia, m e la in k an ju g a m em ilik i koherensi dengan sistem pem erintahan, sistem perwakilan, dan sistem pemilu yang berlaku. B e rk aitan d en g an p e lem b ag a an partai, Huntington mengidentifikasi empat aspek yang bisa digunakan untuk menilai
apakah sebuah organisasi, termasuk partai politik, telah terinstitusionalisasi atau tidak. Aspek-aspek itu menurut Huntington adalah adaptability, complexity, autonomy, dan coherence. Tentang institusionalisasi, secara sederhana H untington m erum uskannya, “Institutionalization is the process by which organizations and procedures acquire value and stability” 11. Sedikit berbeda dengan itu, Randall dan Svasand mengatakan bahwa institusionalisasi partai mencakup dimensi internal dan eksternal yang mencakup empat elem en , y a itu system ness, decisional autonomy, value infusion, dan reification'2. Sem entara itu, Netherlands Institute fo r Multiparty Democracy (IMD) merumuskan lima aspek pelembagaan partai yang saling terkait, yaitu pengem bangan dem okrasi internal, keutuhan internal, identitas politik (ideologi), ketangguhan organisasi, dan kapasitas berkampanye13. D alam konteks Indonesia pascaSoeharto, aspek-aspek institusionalisasi partai, baik yang dikemukakan Huntington, Randall dan Svasand, serta IMD jelas tetap re le v an jik a d ih u b u n g k a n dengan problem atik struktural partai yang sudah
Tabel 1. Aspek-aspek Institusionalisasi Partai Sum ber
A s p e k -a s p e k institusionalisasi partai
Huntington (1 9 6 8 )
A d ap tab ility C o m p lexity A u to n o m y C o h e re n c e
R a n d all d an S v a s a n d (2 0 0 2 )
S tru ctu ral-in tern al -> sy ste m n e s s S tru ctu ra l-e xte rn al -> decisio nal a u to n o m y A ttitud inal-in ternal -> v a lu e infusion A ttitud ina l-e xte rn al -> reification
IM D (2 0 0 6 )
D e m o k ra s i internal K e u tu h an internal Ide ntitas politik (ideolo gi) K e ta n g g u h a n organisasi K a p a s ita s b e rk a m p a n y e
Sumber: Randall dan Svasand (2002) dan IMD (2006). " Huntington, Political Order, hal. 12. 12 Lihat, Vicky Randall dan Lars Svasand, “Party Institutionalization in N ew Democracies”, dalam Party Politics, Vol. 8 No. 1, 2002, hal. 13. 13 IMD, Suatu Kerangka Kerja Pengembangan Partai
Politik yang Demokratis, 2006, hal. 12— 15.
71
terwariskan sejak era 1950-an. Hanya saja, jik a kita belajar dari pengalam an jatuhbangunnya partai-partai sejak awal abad ke20, aspek kepemimpinan agaknya kurang ditekankan di dalam tiga perspektif yang d ik utip di atas. M em ang b en ar bahw a kepemimpinan personal dan kepemimpinan oligarkis bisa dipandang sebagai by product dari partai-partai yang tidak demokratis dan tidak terlembaga. Akan tetapi, perubahan m en d asar te rh a d ap p a rta i-p a rta i k ita barangkali tidak akan pernah terjadi tanpa dukungan dan in isia tif perubahan yang datang dari pemimpin-pemimpin partai yang memiliki komitmen demokratis pula. Mencari Model Sistem Kepartaian Pembicaraan dan juga praktik tentang sistem kepartaian di Indonesia hampir selalu terjebak pada diskusi mengenai pencarian jum lah partai. K etika Soekarno akhirnya “mengubur” partai-partai yang berkuasa pada era Demokrasi Parlementer, salah satu upaya p e rtam a yang d ila k u k a n n y a ad alah penyederhanaan partai dari segi jumlah, dari 28 p a rta i, o rg a n isa si, k elo m p o k , dan perorangan yang memperoleh kursi dalam Pemilu 1955 menjadi sekitar 10 partai. Partai Masyumi dan PSI yang dianggap turut terlibat d alam p e m b ero n tak a n d a erah serta merintangi jalannya “revolusi yang belum selesai” disingkirkan dari panggung politik n asio n al di era D em okrasi T erpim pin, sem entara PKI dan partai-partai loyalis lainnya dirangkul. Penyederhanaan serupa diperkuat dan makin dipertajam oleh rezim Orde Baru m elalui kebijakan fusi (penggabungan) partai-partai pada 1973, dari sepuluh partai (termasuk Sekber Golkar) kontestan Pemilu 1971 menjadi hanya tiga partai politik -PPP, PDI, dan G olkar (yang tak pernah mau disebut sebagai partai). Setelah Soeharto dan Orde Baru tumbang, menjelang Pemilu 1999 muncul 148 partai (48 di antaranya ikut pemilu), dan menjelang Pemilu 2004 tercatat 261 partai terdaftar di Departemen Hukum 72
dan HAM, meskipun hanya 24 partai saja yang m em enuhi sy arat sebagai peserta pemilu14. A pakah sistem kepartaian hanya berkaitan dengan soal jum lah partai belaka? Teoritisi klasik seperti M aurice Duverger (1 9 5 4 ) m em an g c e n d e ru n g m en g klasifikasikan tipe sistem kepartaian atas dasar jum lah. D uverger m isalnya m em bedakan sistem kepartaian atas sistem dua p a rta i dan siste m m u ltip a rta i. N am un demikian, berbeda dengan Duverger, Robert A. Dahi cenderung mengidentifikasi sistem kepartaian atas dasar tingkat kompetisi dan oposisinya di dalam serta terhadap struktur politik yang berlaku. Terlepas dari jumlahnya, D ahi m em b ed ak an em p at tip e sistem kepartaian, yaitu (1) yang bersifat persaingan sepenuhnya; (2) b ek erja sam a bersifat persaingan; (3) saling bergabung bersifat p e rsa in g a n ; dan (4) salin g b erg ab u n g sepenuhnya (Dahi, 1966). Sementara itu, Jean Blondel, Stein Rokkan, dan Sartori, selain menggunakan variabel ju m lah untuk m engidentifikasi sistem kepartaian, namun juga menambahkan variabel-variabel lainnya seperti “ukuran re la tif’ dari partai-partai (Blondel, 1968), distribusi kekuatan minoritas di dalam partai (Rokkan, 1968), dan variabel jarak ideologis an tarp artai di dalam sistem kepartaian (Sartori, 1976)15. Berbagai variabel tambahan tersebut menghasilkan varian atau tipe sistem kepartaian yang berbeda dan beraneka ragam sesuai dengan titik tekan sifat persaingan, 14 Tentang profil partai-partai peserta Pemilu 2004, lihat,
Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004 — 2009, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004. Dari 261 partai politik yang terdaftar di Dephukham tersebut, selain 24 partai lolos sebagai peserta pemilu, seleb ih n ya mencakup: 26 partai yang tidak lolos verifikasi oleh KPU, 153 partai yang dibatalkan sebagai badan hukum, dan 58 partai lainnya dinyatakan tidak memenuhi persyaratan UU Partai Politik No. 31 tahun
2002. 15 Selanjutnya lihat, Peter Mair, “Party System s and Structures o f Competition”, dalam Lawrence LeDuc, Richard G N iem i, dan Pippa Norris, (Eds.), Comparing
D em o cra cies: E lectio n s and Voting in G lobal Perspective, California: Sage Publication, Inc., 1996.
k e ce n d e ru n g an id e o lo g is, p o la re la si antarpartai, dan karakter partai-partai yang saling berinteraksi tersebut. Pertanyaannya kem udian, sistem kepartaian seperti apa yang dianggap tepat bagi bangsa Indonesia, dalam pengertian tak hanya koheren dengan pilihan terhadap sistem pemerintahan dan sistem perwakilan serta sistem pemilihan, melainkan juga dapat m em b erik an k o n trib u si b agi c ita -c ita keadilan, dem okrasi, dan kesejahteraan rakyat. Apabila disepakati bahwa semangat sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh UUD 1945 hasil amandemen adalah sistem presidensial, maka semestinya berlaku pula sistem p e rw a k ila n b ik a m e ral seb ag ai konsekuensi logisnya. Sebagai konsekuensi logis b e rik u tn y a ad alah bahw a sistem p erw ak ilan b ik a m e ral m en g h aru sk an berlakunya sistem pemilu distrik, dan sistem distrik meniscayakan diterapkannya sistem dua-partai. P raktik dem okrasi A m erika Serikat hampir selalu dirujuk sebagai contoh te rb a ik k o h e re n si a n ta ra sistem pem erintahan, sistem perw akilan, sistem pemilihan, dan sistem kepartaian seperti ini.
Namun demikian, hal itu tidak berarti pula bahwa model serupa benar-benar tepat bagi kebutuhan dan kondisi objektif bangsa Indonesia. Pilihan terhadap sistem pemilu d is trik dan siste m d u a -p a rta i seb ag ai konsekuensi berikut dari pilihan atas sistem pemerintahan dan perwakilan, tidak harus dipandang sebagai satu-satunya alternatif dalam rangka membangun demokrasi dan tata pemerintahan yang stabil, efektif, dan produktif. Pengalam an sejum lah negara dem okrasi yang m engadopsi cam puran antara sistem distrik dan sistem proporsional, serta relatif banyaknya perspektif teoritis tentang sistem kepartaian seperti dikutip di atas, barangkali bisa membawa kita pada alternatif pilihan yang tidak sekadar hitamputih. Artinya, meskipun koherensi antara sistem pem erintahan, sistem perwakilan, sistem pem ilihan, dan sistem kepartaian, merupakan acuan dasar yang penting, namun pilihan terhadap sistem pemilihan dan sistem kepartaian bisa saja berbeda atau sedikit menyimpang dari “keharusan” teoritis seperti dikemukakan di atas.
Tabel 2. Berbagai Tipe Sistem Kepartaian Author
Principal Criteria for Classification
Duverger (1 9 5 4 )
Num bers of parties
Dahi (19 66 )
Competitiveness of opposition
Blondel (19 68 )
Numbers of parties Relative size of parties
Rokkan (19 68 )
Numbers of parties Likelihood of single-party majorities Distribution of minority party strengths
Sartori (19 76 )
Num bers of parties Ideological distance
Principal Types of Party System Identified Two-party systems Multlparty systems Strickly competitive Cooperative-competitive Coalescent-com petitive Strickly coalescent Two-party systems Tw o-and-a-half-party systems Multiparty systems with one dominant party Multiparty systems without dominant party The British-German “1 vs 1 + 1” system The Scandinavian “1 vs 3 -4 system Even multiparty systems: “1 vs 1 vs 1 + 2 -3 ” Two-party systems M oderate pluralism Polarized pluralism Predominant-party systems
Sumber: Peter Mair, “Party Systems” dalam LeDuc, Niemi dan Norris, 1996, hal. 86.
73
Faktor sejarah, keterbelahan kultural, perpecahan politik, disparitas demografis, dan sensitivitas isu m ayoritas-m inoritas, adalah variabel-variabel penting lain yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan pilihan terhadap sistem pemilihan dan sistem kepartaian. Begitu pula keterbelakangan so sia l-e k o n o m i, tid a k ad an y a tra d isi konsensus, dan belum terbangunnya kultur liberal, adalah variabel-variabel yang tak kalah pentingnya berkaitan dengan pilihan terh ad ap sistem p e m ilih a n dan sistem kepartaian. Kegagalan sistem presidensial di sejumlah negara Amerika Latin, antara lain disebabkan karena terabaikannya berbagai faktor objektif yang bersifat lokal tersebut16. O leh karen a itu, dalam konteks In d o n e sia, m odel siste m m u ltip a rta i sed erh an a dengan dua p a rta i dom inan barangkali bisa m enjadi a lte rn a tif jik a diasumsikan bahwa pilihan terhadap sistem pemilu pun kelak akan bergerak dari sistem proporsional terbuka (sepenuhnya) untuk jangka pendek, dan gabungan sistem distrik dan proporsional untuk jangka menengah dan panjang. Namun demikian, untuk sampai kepada sistem “multipartai sederhana dengan dua partai dom inan” tersebut jelas tetap diperlukan reform asi institusional yang bersifat mendasar atas partai-partai politik, sehingga watak dan karakternya pun secara berangsur-angsur dapat didorong untuk berubah. Arah dan C akupan R evisi UU Partai Politik S ep erti te la h d ik em u k ak an seb elu m n y a, u rg en si re v isi atau penyem purnaan UU bidang politik pada um um nya dan U U P artai P o litik pada k h u susnya bukan hanya dalam rangka 16 Tentang kritik terhadap sistem presidensial dan juga parlementer, lihat misalnya, Richard Gunther, “Opening a D ialogue on Institutional C hoice in Indonesia: Presidential, Parliamentary and Sem ipresidential System s”, dalam R. W illiam Liddle, ed., Crafting Indonesian Democracy, Bandung: Mizan, 2001, hal. 149-178.
74
menciptakan tata pemerintahan yang lebih efektif dan stabil, m elainkan juga dalam upaya menghasilkan demokrasi yang lebih produktif. Bagaimanapun institusi-institusi d em o k rasi se p e rti p a rta i p o litik dan pemilihan umum tidaklah diciptakan untuk dan demi demokrasi itu sendiri, tetapi justru sebagai alat untuk m ew ujudkan cita-cita keadilan dan kesejahteraan rakyat. Dalam kaitan ini, partai-partai yang bekerja dan terlembaga ('institutionalized) dalam suatu sistem kepartaian yang efektif dengan tingkat frag m e n ta si sed an g le b ih d ip e rlu k a n k e tim b a n g p a rta i-p a rta i y an g tid a k terlembaga dalam suatu sistem kepartaian dengan tingkat fragmentasi tinggi seperti berlaku pasca-Orde Baru. Tingkat fragm entasi partai adalah produk dari pilihan terhadap sistem pemilu. Seperti diketahui, sistem distrik (first-pasthe-post) cenderung menghasilkan sistem kepartaian yang jauh lebih sederhana dengan dua p a rta i u ta m a , sed a n g k a n sistem proporsional cenderung menghasilkan sistem multipartai. Apabila sistem distrik dianggap rentan bagi bangsa Indonesia yang multietnik dan m u ltik u ltu ra l se rta cen d eru n g mengancam keberadaan golongan minoritas maka mekanisme koalisi bisa menjadi jalan keluar untuk menghindari sistem multipartai dengan tingkat fragm entasi yang terlalu tinggi. M ekanisme koalisi yang terbentuk secara relatif permanen dapat mendorong terbentuknya budaya konsensus yang sangat diperlukan bagi efektivitas dan stabilitas pemerintahan. Selain itu, melalui mekanisme k o a lisi, p a rta i-p a rta i k ecil yang gagal m emenuhi ketentuan electoral threshold tidak harus memaksakan diri untuk ”lahir kembali” dalam pemilu berikutnya, tetapi cukup bergabung dengan partai besar yang dianggap dekat secara ideologis. Selain m ekanisme koalisi, tingkat frag m e n ta si p a rta i y an g tin g g i dapat dikurangi pula melalui pengaturan electoral threshold yang relatif tinggi dibandingkan yang telah berlaku dalam UU Pemilu No. 12
Tahun 2003. Pengenaan electoral threshold yang tin g g i m em ang tid a k o to m atis m engurangi "n afsu ” elite p o litik untuk m em bentuk p a rta i baru p ad a p em ilu berikutnya, namun setidak-tidaknya jumlah partai baru yang benar-benar baru, ataupun partai lama yang ”dipermak” menjadi baru, tidak akan sebanyak jika batasan electoral threshold terlalu rendah seperti dianut UU Pemilu yang berlaku dewasa ini. Berkaitan dengan upaya meningkat kan demokratisasi internal, sudah waktunya sebagian kewenangan partai tingkat pusat d id esen tralisasik an ke tin g k at w ilayah (provinsi) dan cabang-cabang (kabupaten/ k o ta) p a rta i di d aerah . D e se n tra lisa si kekuasaan partai ini tidak hanya penting d alam h u b u n g an n y a d en g an upaya meningkatkan kapasitas dan kemandirian elite politik lokal, melainkan juga dalam ran g ka m en d u k u n g agenda n asio n a l desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam konteks p en calo n an ang g o ta le g is la tif misalnya, otonomi partai di tingkat daerah d alam p e n en tu a n cale g b e rp e lu an g mendorong para kandidat lebih bertanggung jaw ab di daerah pem ilihannya m asingmasing. Selain berbagai usulan perubahan di atas, pem baharuan partai m estinya juga b e rk a itan dengan p e n g a tu ra n orm as onderbouw, siste m k e an g g o ta a n dan pengkaderan yang lebih jelas, pengaturan pendanaan partai yang lebih transparan dan akuntabel, akom odasi keberadaan partai lokal, serta penguatan keterwakilan kaum perempuan dalam kepengurusan partai. Dengan demikian, arah revisi UU P artai P o litik m en cak u p sek u ran g kurangnya: • Pertama, penyempurnaan regulasi yang d apat m e n d o ro n g p a rta i-p a rta i m em perkuat kapasitas kelem bagaan, k etan g g u h an o rg a n isa si, k eu tu h an internal, penguatan identitas atau ideologi politik, serta demokratisasi internal; • Kedua, penyem purnaan regulasi yang memfasilitasi berlangsungnya mekanis
me kerja sama dan koalisi antarpartai sehingga mengurangi niat elite politik membentuk partai baru setiap kali pemilu akan berlangsung; • Ketiga, penyempurnaan regulasi dalam kerangka membangun sistem multipartai kompetitif-sederhana melalui ketentuan electoral threshold yang relatif tinggi; • Keempat, penyempurnaan regulasi dalam rangka m engakom odasi keberadaan partai-partai lokal sebagai kontestan pemilu daerah, dan partai-partai nasional sebagai kontestan pemilu nasional dan pemilu daerah. • Kelima, penyempurnaan regulasi dalam rangka desentralisasi kekuasaan partai di satu pihak, dan penguatan kedaulatan anggota partai di pihak lain. Penutup Terlepas dari pandangan setuju atau tidak setuju terhadap berbagai gagasan dan u su lan re fo rm asi k e p a rta ia n yang dikemukakan di atas, namun pesan utama yang ingin disampaikan melalui makalah pendek ini adalah, p ertam a, penataan kehidupan politik ke depan hendaknya lebih terarah, konsepsional, dan konsisten sehingga perubahan yang bersifat tambal-sulam bisa dihindari. Kedua, setiap pilihan terhadap perubahan politik hampir pasti membawa dampak dan risiko politik. Oleh karena itu, hal ini diperlukan suatu desain besar yang bersifat komprehensif dan koheren tentang arah penataan kehidupan politik sehingga dampak dan risikonya bisa diperhitungkan serta diantisipasi lebih dini. Ketiga, dalam konteks perubahan dan atau penyempurnaan UU bidang politik, desain besar serupa d ip e rlu k a n a g a r p ilih a n atas sistem kepartaian, misalnya, koheren dengan pilihan atas sistem pemilu, sistem perwakilan serta sistem pemerintahan, kendati penting juga untuk segera dicatat bahwa koherensi tidak selalu bisa menjamin bahwa setiap pilihan b e n a r-b e n a r sesu ai d engan k eb u tu h an objektif bangsa kita. 75
Lampiran:
Beberapa Usulan Revisi UU Partai Politik*)
Materi/isu
Praktik
Problematik
Ideal
Sistem
Partai m assa,
kepartaian
m ultipartai
T id a k disiplin, kesulitan d an a, konflik internal
Multipartai d en gan dua partai dom inan
Partai peserta pemilu berikutnya
ele cto ra l th re sh o ld 3 %
K eku atan di p arlem en tidak signifikan untuk kem e n a n g an politik
Multipartai se de rh an a
Sentralistik
T id a k dem okratis
Desentralisasi
Perlu desentralisasi partai nasional; P e m b e n tu k a n partai lokal.
T id a k diatur tapi setiap partai memiliki
Responsibilitas dan akuntabilitas orm as ond e rb o u w rentan
P em isah an an tara p o litic a l so cle ty d en gan
Perlu
Struktur organisasi kepartaian
dan
O nderbouw partai
M em en uh i
organisasi
Usulan Perbaikan
Perlu
e le cto ra l
T erla lu
longgar
kean g go taan
dan pasif.
bersifat
Kepengurusan partai
T id ak profesional karena p erang kap an ja b a ta n partai dan ja b a ta n publik
K euang an partai
Koalisi partai
Ideologi partai
Partai nasional dan partai lokal
S u m b er, p en gg u naan dan pelap oran tidak transparan T id a k a d a dlm regulasi tapi ad a dlm praktek P artai dengan b an ya k ideologi
T id a k diatur
peningkatan
threshold
m enjadi 5 -1 0 %
clvil socie ty
o n d e rb o u w Sistem
P e n y e d e rh a n a a n partai m elalui koalisi p erm a n e n atau pem ilu sistem distrik
d iatur d alam p e m b ed a an a n ta ra o rm as pada u m u m n ya dan o n d e rb o u w partai khususnya
UU
T id a k disiplin; jum la h anggota partai tidak jelas
K ean gg o taan partai terdata dgn je la s dan bersifat aktif.
K e a n g g o taan partai terdata; P en in g ka tan kualitas k e an g g o taa n partai
Kinerja partai tidak efektif akibat konflik
J a b a tan partai ja b a ta n
kepentingan
m estinya bersifat profesional
P erlu ad a larangan p era ng k ap an ja b a ta n partai dan ja b a ta n publik
M anipulasi publik
dan a
Instabilitas
Tran sp aran si dan akuntabilitas
Perlu pengaturan transparansi dan akuntabilitas partai lebih
dan
Tradisi koalisi terle m b ag a
Perlu pengaturan ten tan g koalisi
dan
Satu partai, satu ideologi.
R e gu las i perlu m em bedakan ideologi n egara
inefektifitas p em erintahan A m bivalensi
di dan publik
m anipulasi ideologi; visi dan platform partai tidak je la s
T id a k a d a payung hukum bagi partai lokal di A ceh
d en g a n partai
Pem ilu nasional diikuti partai nasional; pemilu d a e ra h diikuti partai nasional dan partai lokal
ideologi
Perlu diatur d alam regulasi klasifikasi partai nasional dan partai lokal
* ) K eterangan: M atriks rev isi UU Partai P olitik ini adalah salah satu produk tim Pusat P en elitian P olitik LIPI selain matriks revisi UU b id an g p o litik lainnya (UU P em ilu , UU P ilpres, UU Su sd u k , UU Pem da) dalam rangka perubahan dan atau penyem purnaan UU bidang p olitik m en jelan g P em ilu 2 0 0 9 .
76
R esu m e
MERENTAS JALAN PANJANG PERDAMAIAN: NEGARA & MASYARAKAT DALAM RESOLUSI KONFLIK# Syafuan Rozi* Abstract H orizontal conflicts that occured in C entral Sulawesi, Maluku, an d North M aluku have cau sed more than f iv e thousands casualties an d m ore than f iv e hundred thousands ID P s in North Sulawesi. The conflict has seg regated the so c iety into se p a ra ted com m unities that live base on religion: Islam an d Christian. Research on anatom y o f violence in Indonesia has sh ow ed a g reat developm en t sin ce 1990s. The research w as only fo cu sed on dom inant actors an d groups. The research seldom included religious leaders, lo ca l leader, an d youth leader; neither had it involved ID Ps as research object. Therefore this research suggests a developm ent o f people economic m odel that create cooperation between each m embers o f society. The m odel itselfcan gen eratefam ily base economic em powerm ents th atprom ote com m unalization am o n g a n d intra-society. B ase on that id e a .fo lk sfestiva l been held periodically, with each villages can p rodu ce its specia l craft an dproduct. F o lk ’s fe s tiv a l can a ct as p eacem aker in annihilating reason f o r conflict. L ocal wisdom such as panas pela, hibualam o need to be introduced arnong generations o f people.
Pendahuluan eterlibatan negara dan masyarakat dalam resolusi konflik di Sulawesi Tengah, Maluku dan Maluku Utara relatif beragam sesuai keadaan setempat saat darurat militer, darurat sipil, dan tertib sipil. Untuk kasus Poso di Sulteng sampai tahun 2006 (era Presiden SBY), daerah ini masih m engalam i k o n d isi p em b u n u h an , penem bakan, dan pengebom an sporadis. Daerah ini pun masih ada gejala weak state (lemah) atau failure state (gagal) de-eskalasi konflik di Poso. Langkah perlucutan senjata dan penghentian kekerasan tampaknya relatif belum berhasil dituntaskan. Kondisi Ambon, Maluku, pun awalnya demikian. Bila ditinjau
K
* Penelitian ini dilakukan oleh tim yang terdiri dari Syafuan Rozi (koordinator), Dhuroruddin M ashad, E m ilia Yustiningrum, Moch. Nurhasim, Tri Ratnawati, Heru Cahyono, dan Septi Satriani dengan fokus kasus Sulawesi Tengah, Maluku, dan Maluku Utara. * Penulis adalah peneliti pada Bidang Penelitian Politik Nasional, P2P LIPI, Jakarta.
dari tahapan resolusi konflik, kondisi Ambon saat ini masih dalam tahap persiapan untuk menuju peace building, yaitu rekonsiliasi pada tahap awal. Beberapa indikator kondisi konflik masih belum sepenuhnya menuju ke arah peace building karena tahap intervensi konflik masih terlalu banyak persoalan untuk bisa dilalui. Penelitian ini mengkaji keterlibatan negara dan masyarakat dalam proses resolusi konflik dan bagaimana pola hubungan negara dan m asyarakat yang berlangsung dalam resolusi konflik tersebut. Data menunjukkan resolusi konflik baru melewati de-eskalasi konflik untuk kasus Poso (Sulteng) dan tahap intervensi kemanusiaan untuk kasus Ambon di Maluku (Temate, Tidore, Jailolo, Tobelo) dan di Maluku Utara. Walaupun begitu, suatu program sudah mulai diletakkan sebagai dasar bagi tahap problem solving orientation dan peace building d engan in d ik asi d ih id u p k a n k em b ali adat dan ikatan 77
persaudaran (hibuolamo, panas-pela, bakubae, Sintuwu Maroso). M asalah relokasi pengungsi, trauma healing pascakonflik dan p em b erd ay aan ekonom i lokal belum mencapai titik yang menggembirakan.1 Catatan Penyembuhan Luka Bangsa T erjadinya konflik horizontal di Sulawesi Tengah, Maluku, dan Maluku Utara telah berdampak lebih kurang lima ribuan orang meninggal dunia dan sekitar lima ratus ribu orang menjadi pengungsi ke Sulawesi U tara dan sekitarnya. K onflik itu telah membelah masyarakat (segregasi pemukim an) menjadi komunitas yang tinggal berpisah mengelompok berdasarkan agama Islam dan K risten . P e n e litia n te n ta n g anatom i kekerasan di Indonesia telah mengalami banyak perkembangan sejak tahun 1990. S tu d i-stu d i yang p ern ah d ilak u k an seb elu m n y a m en u n ju k k an bahw a penanganan konflik di daerah-daerah yang dilanda konflik horizontal memperlihatkan kecenderungan yang masih elitis dengan keterlibatan aktor atau kelompok dominan terten tu saja, dengan tidak m elibatkan masyarakat (tokoh adat, tokoh agama, tokoh muda laki-perempuan, para pengungsi) yang justru paling menderita akibat konflik. K onflik Poso, um pam anya, terlalu kompleks jika dianalisis hanya berdasar urutan peristiwa, mengingat intensitas dan ekstensitas w ilayah dan pelaku konflik antarperistiwa memperlihatkan perbedaan sangat mendasar. Pada konflik Desember 1998 dan April 2000, intensitas dan wilayah konflik sangat terbatas di sebagian kecil kecamatan kota. Namun, mulai bulan M ei- 1* 1 Lemahnya koordinasi dan strategi dalam penanganan konflik, dengan alasan bahwa TNI dan Polri takut dianggap m elanggar hukum dan HAM. Faktor ini menandai bahwa Indonesia belum memiliki “tools ” atau perangkat hukum dan operasional yang mengatur bagaimana TNI dan Polri difungsikan untuk melakukan pengamanan konflik. Akibatnya, aparat keamanan kurang maksimal berperan dan kelihatan tidak profesional sebagai syarat untuk melakukan de-eskalasi konflik dalam pengertian membuka jalan bagi adanya perdamaian.
78
Juni 2000, d ila n ju tk a n Juli 2001 dan November-Desember 2001, konflik menjadi sangat akut di Poso, dan mengarah pada upaya menihilkan eksistensi lawan, terlihat dari realitas korban tanpa pandang bulu, termasuk perempuan dan anak-anak. Telah terbangun solidaritas kelompok secara tegas melalui ideologisasi konflik berdasar isu agama dan etnisitas sehingga konflik menjadi b ersifat sangat in te n sif (kekerasan dan korban) dan ekstensif (wilayah dan pelaku). Sementara konflik yang meletus di Maluku Utara 1999-2000 dapat dikatakan merupakan dampak atau rentetan konflik yang sebelumnya pecah di Ambon. Kecuali itu, pembentukan dan pemekaran kecamatan Malifut, turut memiliki andil dalam memicu konflik karena kebijakan tersebut telah m en im b u lk an k e tid a k se n a n g a n dari masyarakat suku Kao (beragama Kristen) yang merupakan penduduk asli, terhadap suku M ak ian (b e ra g am a Islam ) yang pendatang. Kerusuhan horizontal yang telah menjadi pertempuran massal ini memakan k o rb an jiw a san g a t besar. K o n flik berlangsung secara bergelombang, dengan identitas agama yang kuat. Pelajaran dari kebijakan pemekaran wilayah di saat negara melemah (weak state) ini menjadi mahal. K egagalan, “pem biaran” dan kelem ahan negara dalam melakukan de-eskalasi konflik, p erlu cu tan sen jata, p en eg ak an hukum , m engaw al akuntabilitas dana intervensi kemanusian untuk tidak dikorupsi, membuat peran negara yang baik dalam resolusi konflik cenderung belum m udah untuk dicapai. Di Poso, sejak awal konflik meletus tah u n 1998, seb a g ia n b e sa r elem en masyarakat telah secara mandiri membangun in is ia tif untuk m en g ak h iri k onflik dan berusaha mencegah terjadinya konflik yang lebih besar. P ara tokoh dua kom unitas mengadakan pertemuan Tagolu dan sepakat untuk berusaha menghentikan konflik dan b ersam a-sam a m em b eran tas p enjualan minuman keras yang mereka nilai sebagai
“biang-kerok” penyulut konflik. Namun, provokasi dari yang berkepentingan bagi terjadinya konflik (conflict by design), lebih in te n s if d is o sia lis a sik a n di lap an g an sehingga hal itu termentahkan dan berulang. Mengimbangi provokasi ini, ada sebanyak 129 tokoh m asyarakat dan tokoh agama antikonflik mengadakan kesepakatan Poso, tanggal 8 Januari 1999. Mereka menyerukan agar masyarakat menghentikan segala bentuk perselisihan. Bahkan, pertemuan tersebut ju g a m e n y ep a k a ti u n tu k m en y eru k an pengadilan bagi penggerak kerusuhan di Poso. Namun, akar problematika Poso tidak tersentuh dalam kesepakatan, bahkan oleh kebijakan negara dalam mencegah konflik yang lebih luas. Akibat realitas ini, konflik laten masih mengkristal, dan mereka yang b e rk e p en tin g a n te ru s m em p ro v o k asi m asyarakat m elalui celah berbagai isu. Herman Parimo hanyalah satu dari aktor yang muncul ke permukaan, tetapi aktor-aktor di belakang layar m asih tetap m elanjutkan “kasak-kusuk”. Sekecil apa pun persoalan yang terjadi, hal ini terlalu gampang di-blowup, sebab sentimen komunitas keagamaan sudah te rla n ju r d ija d ik a n a la t dalam mengeksploitasi konflik.2 2 Melihat realitas bahwa konflik antarkomunitas keagamaan ini terlalu mudah disulut, suatu inisiatif yang bersifat mikro memang ada untuk mencegah melebarnya konflik ke wilayah mereka. Salah satunya adalah Kesepakatan Tokorondo antara kepala Desa Tokorondo (Muslim) dengan kepala Desa Masani (Kristen) pada tanggal 25 Mei 2000. Mereka sepakat untuk saling melindungi kedua desa bila salah satu diserang. Namun, kesepakatan tersebut tidak mampu menahan gempuran provokasi. Warga Desa Masani (K risten) tidak mampu membantu membendung serangan ke Desa Tokorondo, 27-28 Mei 2000. Kesepakatan mikro lintas komunitas Islam-Kristen telah dihancurkan oleh kekuatan lain (massa) dari luar kedua desa, yang akhirnya memaksa mereka terlibat atau setidaknya kena imbas dari konflik. Upaya-upaya damai skala mikro memang banyak dilakukan, tetapi tak mampu bertahan dari pemaksaan pelibatan konflik oleh massa yang terprovokasi. Bahkan, pada Mei -Juni 2000, konflik mencapai puncak eskalasi, baik dari segi wilayah konflik, jumlah pelaku konflik, maupun dari segi korban kekerasan. Dalam konteks ini, sesuatu telah terjadi dengan apa yang disebut tragedi kemanusiaan di Poso. Solidaritas lintas wilayah mulai bermunculan dan segi ideologis konflik telah mengkristal. Di kalangan Kristen, solidaritas ini meliputi Laskar Manguni, Laskar Kristen, dan lain-lain yang tak teridentifikasi. Di kalangan Islam sejak Juni 2001, hal ini berkenaan dengan kedatangan pendukung dari orang-orang yang tergabung dalam Laskar Jihad.
N am un, elem en -e le m e n p roperdamaian di lingkungan masyarakat tidak putus harapan. Inisiatif tetap bermunculan. Rujuk Sintuwu Maroso yang dihadiri tokoh adat dari 13 kecamatan yang ada di Poso merupakan contohnya. Jadi, hal ini berbeda dengan inisiatif-inisiatif kesepakatan yang lebih dipijakkan pada perspektif komunitas k eag am aan seh in g g a b a sis p e se rta n y a m ew akili dua kom unitas agam a Isla m K risten. Pada R ujuk S intuw u M aroso, pijakannya berada pada p ersp ek tif adat. Bahkan, untuk menekankan perspektif adat, kesepakatan pun dirumuskan dalam bahasa lokal Pamona. Namun, inisiatif penyelesaian konflik melalui pendekatan adat ini ternyata tak mampu menghentikan kekerasan. Ketika realitas konflik lebih diideologisasi secara kental oleh isu k o m u n itas keagam aan, pendekatan kultural dalam situasi konflik yang masih berada pada puncak eskalasi menjadi tidak terlalu berarti. Ketika Deklarasi Malino (Desember 2001) dikumandangkan dan ternyata berhasil m enjadi m om entum bagi terjadinya deeskalasi konflik, upaya-upaya damai yang digerakkan oleh inisiatif masyarakat baru memperlihatkan efektivitasnya. Di berbagai tempat dilakukan inisiatif perdamaian yang dilakukan atas inisiatif masyarakat, meski berbagai kegiatan itu memang bermuara pada upaya mengimplementasikan kesepakatan Malino. Kegiatan-kegiatan yang berasal dari akar rumput ini meliputi bermacam-macam kegiatan mulai dari pertandingan olah raga, kesenian, maupun berbagai kegiatan kultural. Kriesberg berpendapat bahwa semakin tinggi tingkat interaksi dan saling-ketergantungan antara pihak-pihak yang tadinya berkonflik, akan semakin membatasi munculnya konflik baru. M unculnya saling pengertian dan berkembangnya norma-norma bersama juga akan dapat m encegah konflik.3*Pendapat tersebut senada dengan Asutosh Varshney 3 Louis Kriesberg, Constructive Conflicts From Escalation to Resolution (M aryland: Rowman and L ittlefield Publisher Inc., 2003), hlm. 384.
79
yang mempelajari konflik antara penganut Islam dan H indu di In d ia. V arshney m en g atak an bahw a ik a ta n /p e rta lia n hubungan antara etnis/pemeluk agama yang berbeda dapat mencegah konflik.4 Civil society (CS) kemudian cukup berperan dalam membuka ruang publik dan interaksi sosial yang re la tif in k lu sif di A m bon. K h u su sn y a k elo m p o k LSM , akadem isi, dan tokoh-tokoh agam a/adat/ tokoh m asyarakat yang berorientasi dan berinteraksi lintas agama/suku, sejak awal m unculnya k o n flik h ingga d e-esk alasi konflik dan rekonsiliasi lewat panas pela, bisa sangat berperan. Pembukaan dan perluasan ruang-ruang publik {public spaces) dalam rangka saling berbaikan (baku bae) seperti pasar-pasar, terminal-terminal, kantor-kantor pem erintah, lapangan/gedung olahraga, sekolah-sekolah, di Ambon, Maluku yang saat ini bisa diakses baik oleh kelompok Islam maupun Kristen -d i tempat-tempat tersebut mereka tidak lagi eksklusif tapi mulai mencair/relatif inklusif- sebelumnya cukup b an y ak d ifa s ilita s i o leh LSM (te rm a su k d en g an d u k u n g an LSM in te rn a sio n a l), dan p ara to k o h lokal. P e m e rin ta h (p u sa t dan d aerah ) ik u t membantu inisiatif tersebut sehingga nampak di sini adanya sinergi dari pelbagai kekuatan (negara dan masyarakat). Adanya relasi yang signifikan antara hadirnya public space dengan mencaimya/meningkatnya interaksi sosial lintas agama/suku di Ambon tersebut menunjukkan kebenaran teori Kriesbeg dan Varshney. Bila ditinjau dari tahapan resolusi konflik, kondisi A m bon saat ini sudah m encapai tahap peace building, yaitu rekonsiliasi pada tahap awal. Disebut “awal” karena segregasi tempat tinggal berdasarkan agam a m asih san g at te ra sa . Segregasi pemukiman bisa pula dilihat sebagai salah satu upaya jangka pendek untuk mendukung 4 Asutosh Varshney, Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslim in India ( New York: Yale University Press, 2002), hlm. 363.
80
resolusi konflik itu sendiri. Hal ini mengingat sec a ra h is to ris m u lai zam an k o lo n ial Belanda, masyarakat Ambon Islam-Kristen telah “terbiasa” hidup terpisah berdasarkan p e m ila h an ag am a (w a risa n k eb ija k an diskriminatif dan devide et impera Belanda di M alu k u ).5 N am un u n tu k ke depan, m a sy a ra k a t A m bon y an g id eal adalah masyarakat yang plural dan demokratis yang diikat oleh kearifan lokal yang m ereka bangun. Masyarakat Ambon saat ini terlihat te la h m e m ilik i sem acam d ay a tahan (resilience) terhadap provokasi. Kondisi ini lahir antara lain karena difasilitasi dengan kinerja aparat pem erintah (TNI/Polri dan pemda) yang semakin profesional dan mulai adanya usaha-usaha penegakan hukum.6* Bila dibandingkan dengan Ambon dan Poso, wilayah Maluku Utara melewati proses resolusi konflik yang lebih cepat, kendati proses m enuju perdam aian sejati tetap harus dilaksanakan secara perlahan. Proses resolusi konfliknya ditandai dengan relatif kuatnya dukungan masyarakat kepada n eg ara dan p ih ak yang m engupayakan perdam aian, ditam bah lagi sikap terbuka pemangku adat dan agama terhadap konsep perdamaian yang dimotori oleh militer dan p e m erin ta h . D i J a ilo lo , m asy arak at menyambut baik pembentukan Tim 30 yang cenderung diprakarsai oleh pihak militer. Begitu pula di Tobelo, masyarakat merespons positif prosesi awal penjemputan pengungsi Muslim yang diprakarsai oleh pemerintah daerah. H asilnya terlih at dengan jelas di Tobelo. Resolusi konflik tergolong beijalan dengan cepat, padahal pada kenyataannya, Tobelo (dan juga Galela) merupakan wilayah 5 Richard Chauvel, Nationalists, Soldiers and Separatists (Leiden : KITLV Press, 1990). 6 Pem ilu le g isla tif 2004 dan pilpres langsung telah berlangsung dengan sukses di Ambon. Hasil pemilu tersebut juga bisa dipandang sebagai bentuk lain dari resolusi konflik. Hal ini merupakan langkah awal penciptaan kestabilan baru dan demokratisasi di daerah bekas konflik tersebut. Pilkades juga telah berlangsung di beberapa tempat di Pulau Ambon dan Lease (Maluku Tengah).
konflik terpanas. Faktor terpenting yang membuat proses perdamaian di Maluku Utara berbeda dan lebih maju dibandingkan dengan di Ambon dan di Poso, ialah menyangkut struktur sosial masyarakat setempat di mana antara Muslim dan Nasrani praktis terdapat hubungan kekeluargaan dalam satu marga. Hal ini terutama dijumpai di tiga wilayah, yakni Tobelo-Jailolo-B acan, di mana di dalam satu marga ada yang beragama Islam dan ada yang Nasrani. Walau agak kurang menonjol, hubungan kekeluargaan marga antara yang M uslim dan N asrani juga terdapat di Galela dan Halmahera Barat.7 P e n e litia n ini m enem ukan ada beberapa perbedaan yang cukup signifikan antara proses perdamaian di Jailolo, Tobelo, dan Temate. Untuk wilayah Jailolo, peran tokoh agama lebih sentral dibanding dengan tokoh adat. Hal ini berbeda dengan di Tobelo yang peran tokoh adat justru lebih didengar karena pada dasarnya pem angku adat di Tobelo adalah wakil dari tokoh-tokoh agama dari kedua belah pihak. Hal ini pun tercermin pada tradisi yang selama ini berkembang dan hidup di T obelo di baw ah payung Hibualamo. P e rb e d a an ini tid a k m en gherankan k aren a di Jailo lo tid ak mengenal rumah besar yang dijadikan tempat p ertem u an a d at se p e rti H ibualam o, sebagaim ana dijum pai dan dipelihara di Tobelo. Memang di Jailolo, semacam rumah adat ada yang bernama Saboa, tetapi rumah ini hanya ditemukan di kampung-kampung terutama yang beragama Nasrani. Rumah Saboa tidak lebih hanya merupakan rumah adat kecil yang menaungi satu komunitas
7 Kesediaan secara ikhlas untuk melupakan dendam dan menerima kenyataan, serta bersikap tidak lagi menoleh ke belakang membuat proses perdamaian di Maluku Utara cepat terwujud. Di samping itu, perasaan lelah berkonflik dan kesadaran bahwa tidak ada yang diuntungkan dengan konflik ini membuat mereka mau duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi untuk melaksanakan perdamaian. Walau terdapat semacam rasa curiga dan kekhawatiran ketika pertama kali bertemu setelah peristiwa kerusuhan, akan tetapi pada akhirnya, mereka dapat saling menerima kembali.
(Nasrani) saja.8* Proses damai di Jailolo ditandai pula dengan pembentukan Pasar Kaget Akadiri Jailolo. Pasar sebagai transaksi pertukaran kebutuhan m anusia secara tak disengaja justru mempercepat proses perdamaian di kalangan m asy arak at Jailo lo . Pasar ini awalnya hanya terbatas digunakan oleh pihak N asrani yang m em butuhkan kebutuhan pokok karena pasar resmi yang didirikan oleh pemerintah tidak beroperasi selama konflik terjadi. Pasar yang terletak di kompleks asrama militer muncul pertama kali sekitar tahun 2002, sebagai jawaban akan kebutuhan para pengungsi akan bahan pokok. Perlahanlahan dengan semakin berkembangnya rasa aman dan kepercayaan yang timbul di antara kedua komunitas membuat pasar ini semakin ramai dan interaksi kedua komunitas semakin terjalin lancar. Proses resolusi konflik yang agak berbeda dapat dilihat di Tobelo. Masyarakat Muslim dan non-Muslim Kecamatan Tobelo Halmahera Utara, Maluku Utara akhirnya sepakat m en g ak h iri p erm usuhan, yang d iw u ju d k a n d alam d e k la ra si dam ai masyarakat pada 19 April 2001 di Lapangan A dat H ibualam o. P erjan jian dam ai ini dimotori oleh 12 tokoh agama (6 orang wakil dari Nasrani dan 6 orang wakil dari Muslim). Inti dari deklarasi damai ini, antara lain sepakat untuk menghentikan permusuhan; tid a k salin g m en g h in a, m eleceh k an , mempermalukan; menghormati, menjaga dan melindungi tempat ibadah dan umatnya serta 8 Peran yang sentral antara tokoh adat dan agama ini tidak kita temui pada proses perdamaian di Temate. Temate merupakan ibu kota provinsi yang kontrol pemerintah (daerah dan pusat) cenderung dominan sehingga proses perdamaian cenderung lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah tanpa bantuan tokoh adat dan agama. Peran yang seharusnya diemban oleh Sultan Temate sebagai sim bol pem ersatu adat dan agama ternyata gagal disandang oleh Sultan Temate dalam menghadapi konflik di Maluku Utara pada waktu itu. Hal ini dapat kita lihat pada waktu Sultan Temate gagal berdiri secara netral dalam kasus perebutan w ilayah antara Kao dengan Malifut. Sikap Sultan ini cenderung dibaca sebagai ketakutan Sultan akan kehilangan b asis dukungan tradisionalnya.
SU
mengupayakan kehidupan yang harmonis; serta tidak mengenang dan melupakan masa lalu serta tidak saling m enyalahkan atau membenarkan diri dan orang lain.9 Prospek Perdamaian di Tanah Bergolak
membangun kembali Poso. Sebagai upaya penyelamatan, mereka melakukan berbagai lan g k ah k e k e ra sa n u n tu k m em an cin g kembali teijadinya konflik antarkomunitas, sehingga aparat akan lebih terkonsentrasi lagi menangani persoalan konflik.10
A. Poso
B. Ambon.
Saat ini cenderung telah memasuki m asa re k o n s ilia si k o n flik w alau p u n pembunuhan sporadis masih teijadi. Perang terbuka berskala besar sudah tidak ada lagi. Momentum de-eskalasi terutama teijadi sejak disepakatinya deklarasi M alino. N am un demikian, dalam konstelasi kehidupan Poso, k e jad ian yang b e ru p a p e n em b ak an , pemboman, dan juga kekerasan individual secara sporadis ternyata masih muncul. Apa dan mengapa hal itu teijadi? Apakah hal itu masih merupakan bagian perpanjangan dari konflik? Untuk mendapatkan jawaban secara pasti, hal ini terlalu sulit. Sebab, analisis yang m uncul mem ang beraneka ragam. Suatu analisis melontarkan tuduhan pada aparat k eam an an , y an g d ise b u t tid a k re la membiarkan Poso menjadi aman kembali, dan berusaha mempertahan status quo berupa Poso yang “Aman Tapi Mencekam” (ATM), sehingga proyek “keamanan” bagi Poso dapat terus dinikmati. Namun, analisis lain menilai kekerasan sporadis dapat pula dilakukan oleh para korban konflik Poso yang merasa tidak puas terhadap penanganan dan penegakan hukum pemerintah. K e k era san sp o ra d is d a p at p u la dianalisis sebagai sebuah rekayasa yang dilakukan oleh kelompok elite yang terancam oleh tangan-tangan hukum. Di antara mereka terutama mencakup para pelaku penyimpang an dana bantuan yang disalurkan untuk
Kurang maksimalnya peran negara dalam manajemen de-eskalasi konflik dan intervensi kemanusiaan di Ambon, Maluku cen d eru n g m eru p ak an k esalah an fatal. Apalagi pemerintah daerah terkesan hanya menunggu program-program dan dana dari P e m e rin ta h P u sat. O leh k aren a itu, p e n y e le sa ia n k o n flik di A m bon d ap at dikatakan masih “setengah hati” dan belum m en y en tu h sec a ra tu n ta s a k ar-ak a r masalahnya. N am un di lain pihak, suatu kesadaran di kalangan masyarakat Ambon (baik Islam maupun Kristen) telah tumbuh untuk berdamai dan hidup kembali secara norm al karena “ sudah lelah” berperang. Proses pem b elajaran dari k o n flik telah m ereka dapatkan sekarang sebagaim ana pepatah mengatakan bahwa “menang jadi arang kalah jadi abu”. M eskipun denyut kehidupan kota Ambon saat ini sudah semakin “normal”, pemerintah tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya begitu saja. Komitmen pemerintah untuk melaksanakan janji Inpres No.6/2003 untuk m em bantu pem bangunan kembali Ambon, Maluku serta ikut menyelesaikan
9 Mereka juga sepakat untuk tidak lagi menggunakan simbol agama apabila terjadi perkelahian antar penduduk, sebaliknya saling menolong dan bekerja sama dalam mencari nafkah. Deklarasi damai ini kemudian ditindaklanjuti melalui program pemulangan pengungsi Muslim Tobelo yang selama setahun terkatung-katung nasibnya di Temate ke Tobelo. Ribuan pengungsi Muslim berasal dari Desa Gamsungi, Guruwa, Popilo dan Desa Luari lalu disambut oleh pihak sebelah (Kristen) di lapangan Hibualamo.
82
10Analisis lain memaparkan bahwa kekerasan teijadi sebagai perpanjangan dari dinamika politik lokal. Jika di era sebelum konflik didominasi oleh kelompok Islam maka pada era pascakonflik yang teijadi justru sebaliknya, yakni dom inasi kelom pok N asrani. Penjungkirbalikan penguasaan sumber-sumber politik teijadi terutama seiring dengan diberlakukannya kebijakan pemekaran daerah Poso sehingga mengubah komposisi kependudukan, yang di era sistem politik berdasar pem ilihan langsung sangat berimplikasi pada struktur penjabat di lingkungan legislatif dan eksekutif. Memang, pengalaman traumatis akibat konflik menyebabkan kedua kelompok sangat berhati-hati untuk mencegah meletusnya konflik yang baru. Namun, power sharing yang muncul di Poso “baru” pascapemilu legislatif 2004 dan Pilkada Juni 2005 jika tidak dikelola sangat dengan mudah memunculkan konflik baru dengan substansi seperti yang lama.
masalah pengungsi, masalah kepemilikan ta n a h /b a n g u n a n m an tan p e n g u n g si, pengangguran dan penciptaan lapangan keija serta tugas pemda mewujudkan good local governance, tidak bisa ditunda-tunda dalam rangka mengisi dan memelihara momentum rekonsiliasi. Bila tidak, stabilitas yang masih rapuh saat ini akan kem bali hancur. Isu ekonomi di Ambon saat ini cenderung telah m ulai m e n g g ese r isu p o litik dan isu kekerasaan. C. Maluku Utara Masa depan perdamaian di Maluku Utara boleh dikatakan masih tetap terbuka. Setelah hampir dua tahun saling bunuh telah m em buat m a sy a ra k a t lelah . S eb ag ian pengungsi m ulai kem bali ke desa yang mereka tinggalkan, dan beberapa desa yang tercabik m ulai m elakukan upaya-upaya pemulihan. Kecuali Tidore, di semua wilayah bekas konflik di M alut sebenarnya telah te rc a p a i su atu p o la p em u k im an yang memunculkan semacam pembauran relatif. Setidaknya, hal ini dilihat secara fisik, di mana di dalam sebuah desa antara pemeluk Islam dan N a sra n i sudah d ap at hidup berdampingan. Pembauran secara fisik dalam pola pemukiman maupun di lingkungan kerja tesebut telah mendorong mulai terjalinnya kontak sosial dan komunikasi sosial yang lebih intens di antara Muslim dan Nasrani, w alaupun di sisi lain secara um um ada konfigurasi wilayah yang berubah." " Perubahan konfigurasi dimaksud ialah kalau dulu konsentrasi pemukiman Nasrani dijumpai di Temate sebelah Utara dan atau di Indonesia, di samping tentunya banyak terdapat di Halmahera Utara, tetapi kini konfigurasinya berubah dan pusat pemukiman Nasrani berpindah dan lebih terkonsentrasi di Tobelo-Galela atau ke Jailolo. Tobelo-Galela kini praktis lebih merupakan daerah yang didominasi oleh mayoritas penduduk Nasrani, baik dilihat dari jumlah penduduk maupun penguasaan atas kehidupan ekonomi dan politik setempat. Kecenderungan berbeda kita jumpai di Tidore, kini Tidore menjadi semakin homogen dan mungkin menambah kesan eksklusif sebagai sebuah wilayah Muslim. Hal ini sekaligus menjelaskan mengapa sebagian besar warga Nasrani memilih tidak kembali ke Tidore, karena masyarakat Nasrani Tidore kini terbuka peluang untuk kembali ke tempat yang dirasa lebih “nyaman” yakni di TobeloGalela-Jailolo; kendati di wilayah-wilayah itu antara Muslim dan Nasrani telah belajar untuk kembali hidup bersama secara berdampingan.
Resolusi konflik merupakan suatu te rm in o lo g i ilm ia h y an g m en ek an k an kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik, yakni tahapan de-eskalasi konflik dan intervensi kemanusian dan negosiasi politik. Persiapan dan pelaksanaan tahapan problem-solving approach dan tahapan peace building di ketiga wilayah, cenderung belum tercapai terutama untuk kasus Poso yang masih ‘jalan di te m p a t’ pad a tah ap d e-esk alasi dan intervensi keamanan. D alam k o n te k s te rte n tu power sharing keterwakilan etnisitas/agama selain k em am p u an , d a lam p e n e ta p a n b u p ati (pilkada) di Maluku dan Maluku Utara, bisa jadi dianggap sebagai upaya problem-solving approach. Upaya menghidupkan Hibualamo, program untuk anak di daerah konflik LSM Save The Children di Halut, model desa multikultural Wayame, di Ambon, program focal-point Depsos dan Depag, Jembatan P e rd a m a ian dan F o ru m K o m u n ik asi A n taru m at B eragam a, dih arap k an bisa menjadi embrio tahapan peace building yang o p e ra sio n a l dan b e rd a m p ak n y ata di kemudian hari. Catatan Penutup Keterlibatan negara dan masyarakat dalam proses resolusi konflik di Sulawesi Tengah, Maluku, dan Maluku Utara relatif beragam sesuai keadaan setempat ketika mengalami status darurat militer, darurat sipil, dan tertib sipil. Poso di Sulteng sampai tah u n 2005 (era P resid en SBY) m asih m en g alam i k o n d isi p em b u n u h an , penembakan, dan pengeboman sporadis. Hal ini menunjukkan masih ada gejala weak state (negara lemah) atau failure state (negara gagal) de-eskalasi konflik di Poso. Langkah p e rlu c u ta n se n ja ta dan p e n g h en tian kekerasan tampaknya relatif belum berhasil d ila k u k a n . A p a rat y an g m estin y a m em ad am k an k o n flik , p ad a aw alnya 83
c en d e ru n g tid a k n e tra l atau b e rp ih a k membela satu kelompok. Bisnis persenjataan dan rasa aman, cenderung terasa ada dan tiada. Keadaan seolah-olah telah aman tetapi masih mencekam. Entry-point pihak ketiga untuk mendamaikan masih belum berhasil. Kondisi Ambon Maluku pun awalnya demikian. Bila ditinjau dari tahapan resolusi k o n flik , k o n d isi pada saat p e n e litia n dilakukan masih dalam tahap persiapan untuk menuju peace building, yaitu rekonsiliasi pada tahap awal. Beberapa indikator kondisi konflik masih belum sepenuhnya menuju ke arah peace building, karena tahap intervensi konflik masih terlalu banyak persoalan. Baru disebut “awal” karena pengaturan hubungan sosial dalam bentuk segregasi tempat tinggal berdasarkan agama masih sangat jelas dan kemampuan pelibatan untuk masuk lewat program rekonsiliasi relatif kurang berjalan maksimal, dan dampaknya cenderung belum terlalu besar. Namun, segregasi tersebut bisa pula dilihat sebagai salah satu upaya jangka pendek untuk mendukung resolusi konflik itu sendiri.12 Peran negara dan m asyarakat di M aluku U tara relatif berhasil dalam deeskalasi konflik dan negosiasi, perlucutan senjata re la tif berhasil di Kao, Ternate, Tidore, Tobelo, dan Jailolo. Pendekatan budaya Hibualamo pun sudah dilakukan di
12Suatu kecenderungan peralihan kekuasaan dari masa otoritarian dari Soeharto ke B.J. Habibie membutuhkan adaptasi karena persoalan-persoalan krisis politik dan ekonomi yang mereka hadapi terlalu besar dengan kapasitas pemerintahan yang rendah dan legitimasi politik yang kurang. Bahwasanya, penanganan konflik diserahkan “sepenuhnya” kepada aparat keamanan dengan kontrol yang amat rendah. Peran Pemerintah Pusat yang kurang maksimal dalam de-eskalasi konflik tidak ditopang oleh peran pemerintah daerah yang seharusnya dapat menjadi aktor implementasi atas kebijakan-kebijakan de-eskalasi konflik. Namun, peran ini tampaknya kurang dimaksimalkan, karena koordinasi penanganan konflik dikendalikan oleh pihak militer. Lemahnya koordinasi dan strategi dalam penanganan konflik, dengan alasan bahwa TNI dan Polri takut dianggap melanggar hukum. Faktor ini menandai bahwa Indonesia belum memiliki “tools of law” atau perangkat hukum yang mengatur bagaimana TNI dan Polri difungsikan untuk melakukan pengamanan konflik. Akibatnya, aparat keamanan kurang maksimal berperan dan kelihatan tidak profesional sebagai syarat untuk melakukan de-eskalasi konflik dalam pengertian membuka jalan bagi adanya perdamaian.
84
Halmahera Utara. Namun demikian, hal ini m enim bulkan m asalah dalam intervensi kemanusiaan, yaitu penanganan relokasi dan rehabilitasi pengungsi Malut, Malut dan Poso di Temate, Manado dan Bitung belum tuntas walaupun status pengungsi dinyatakan sudah tidak ada lagi. K ebijakan dan program pemberdayaan ekonomi, transformasi skills oflife atau kemandirian untuk para pengungsi belum maksimal. Selanjutnya, pola relasi masyarakat dan negara dalam tahap pertama dan kedua resolusi konflik bisa pula dijelaskan lebih mendalam dengan mengacu pada elaborasi teori Strategic Choices dari Sung Hee Kim dan kondisi lapangan di daerah:13 K elim a in d ik ato r terseb u t m ulai tampak secara berangsur-angsur untuk kasus Ambon di M aluku dan Tobelo-Jailolo di Maluku Utara. Untuk Poso, Tidore, Temate, Bitung, dan M anado berdasarkan temuan data peneliti di lapangan, daerah-daerah itu m asih m en g alam i b e rb a g a i m asalah pengelolaan pembenahan. Desa Wayame di Ambon, M aluku secara relatif tampaknya adalah sebuah contoh p elajaran m odel re so lu si k o n flik y an g am at b aik bagi p e m erin ta h d alam m en g em b an g k an kebijakan politik (stateplanning), khususnya penataan tata mang di daerah-daerah yang mengalami m asalah segregasi sosial dan k e p en d u d u k a n . K asus D esa W ayam e c en d e ru n g m e m ilik i k e tah a n a n so sial terhadap konflik dan tidak terseret arus dahsyat konflik karena desa ini adalah sebuah desa yang multietnik dan multikultur serta m ultiagam a. Hal ini disebabkan adanya pengaturan dan kesepakatan hubungan sosial (regulate social relationships ). M asy arak atn y a yang b e rla ta r belakang berbeda, tetapi berpendidikan, ternyata tidak terimbas oleh konflik yang terjadi. Di desa ini, konsep pembauran sosial teijadi melalui
13 Lihat Sung Hee Kim, et.al., Sosial Conflict: Escalation, Stalemate, Deescalation, (Mc Graw-Hill, 2nd Edition, 1986), hlm. 30.
T ab el P o la H u b u n g a n N e g a r a d a n M a sy a ra k a t d a la m R e s o lu s i K o n flik Peran N egara S trong (kuat), D om inan
P eran M as y a rak a t S tro n g (kuat), p a rtis ip a tif
P o la H ub. N eg.M asy. T rust (saling percaya), D em okratis
K e cen d eru n g an S ta tu s D aerah
S trong (kuat), D om inan
W eak (lem ah), S u b o rdina t
D is -tru s t (tdk. sa lin g percaya), Elitis
W eak (lem ah), F ailure (gagal)
S tro n g (kuat), tru s t (percaya) P a rtis ip a tif
D is tn is t (saling curiga), V o lo u n ta ry (kem a n d irian )
A m bon (era d a ru ra t m iliter dan sipil). T ido re (era tertib sipil) Ja ilo lo (daru ra t m iliter, d a ru ra t sipil dan te rtib sip il)
W eak (lem ah), Failure
W e a k (lem ah), S u b o rdina t
D istru st (saling curiga), O m m ision (keko so n g a n )
___(gaga')___
A m bon, T obelo, T ern a te (era te rtib sipil)
Poso, Sulteng (H abibie, Gus Dur, M ega, SB Y )
K etera n g a n -P o w e r s h a rin g pilkada. - S e g re ga si jk . pendek. - D esa W a ya m e dan keb a ng kita n H ib u o la m o di Halut. -F o rum K om unikasi A n ta r U m at. -Jurn a lism e dam ai. - S e g re ga si p em ukim an. -K o m u n ita s re la tif h om ogen.
- T e n ta ra/p o lisi m e n g h ila n g saat konflik pecah. -E n try p o in t oleh T N I re la tif belum berh a sil sa m p a i te rb e n tu k K e lo m p o k 30 di Ja ilo lo - R e -segregasi re la tif berhasil. -M e n ta l-h e a lin g belum tuntas. -P rog ra m J e m b a ta n P erdam aian. -P e rlucu ta n se n ja ta belum tuntas. -P o w e r s h a rin g p ilka d a belum m em b u a h kan rasa am an.
Diolah dari mengelaborasi teori Joel Migdal oleh Syafuan Rozi & Septi Satriani, P2P LIPI Desember, 2005. Catatan: 1. 2. 3. 4. 5.
Indikator yang digunakan untuk mengukur kuat atau lemahnya peran negara dan masyarakat adalah kriteria: Z,earfers/i/p/kepemimpinan negara dan masyarakat. State p/annmg/perencanaan negara dan partisipasi masyarakat. Capacities to penefrafe/kemampuan pelibatan untuk masuk (entry point). Regulate social relationships/pengaturan hubungan sosial. Extract resources and appropriate or use resources in determined ways/pengelolaan sumber daya yang langka dan diperebutkan dalam bentuk keadilan dan sharing (berbagi).
interaksi sosial yang tidak bersifat simbolik, tetapi lebih pada interaksi sosial yang semestinya. Ketika konflik terjadi, kesadaran tum buh di antara m ereka untuk saling berbagi, menjaga dan melindungi di antara kedua komunitas Islam dan Kristen yang ada di sana (extract resources and appropriate
or use resources in determined ways). Kebangkitan budaya “rumah besar” Hibuolamo dan power sharing Kristen-Islam dalam jabatan bupati hasil pilkada langsung di H alu t pun b isa d ija d ik a n m odel rekonsiliasi di M aluku Utara. Hubungan negara dan masyarakat di Tobelo era tertib sipil misalnya, cenderung berangsur menuju pola saling percaya (trust). Berikut ini bagan kecenderungan peran negara, masyarakat, dan pola hubungannya pada tahapan deeskalasi dan intervensi kemanusiaan.
Upaya-upaya pemulihan keamanan yang dilaksanakan oleh aparat keamanan di Poso cenderung menemui beberapa kendala. Kendala pertama berkaitan dengan masih adanya dendam di kalangan para kelompok radikal. Kelompok yang dimaksud adalah kelompok yang dulu pernah terlibat konflik dan ju g a dulu p ernah m enjadi korban. Kelompok ini tidak berada pada masyarakat secara um um , nam un han y a p ad a sek elo m p o k k e c il m a sy a ra k a t saja. Kelompok ini umumnya bersikap pasif dan tidak m au b ek erja sam a dengan aparat keamanan dalam mencari pelaku. K en d ala y an g k ed u a b e rk a itan dengan sistem kependudukan yang tidak diatur dengan baik. Semenjak meletusnya konflik Poso hingga ke masa pascakonflik, sistem k ep en d u d u k an Poso belum ada penataan. Pada saat terjadinya konflik,
85
Tabel D u a Tahap R esolu si K on flik P era n dan H ub u n gan N eg a ra -M a sy a ra k a t T ah ap an R esolusi K o n flik De-eskalasi
W ilay ah
S o c ie ty Po sitio n
S ta te -S o c lety R elatio n
Sulteng (Poso)
W eak (lemah), Failure (gagal), Distrust
W eak (lemah), Subordinat, pasif Distrust
Maluku (Ambon)
W eak (lemah), Failure (gagal), Distrust
W eak (lemah), Subordinat, pasif Distrust
W eak (lemah), Failure (gagal), Distrust
W eak (lemah), Subordinat, pasif
Anarchical/Distrust (saling curiga), Ommision (kekosongan)
Tem ate
W eak (lemah), Failure (gagal)
W eak (lemah), Subordinat, pasif
Diffused/Distrust (Kabur, saling curiga)
Jailolo
W eak (lemah), Failure (gagal)
W eak (lemah), Subordinat, pasif
Diffused/Distrust (Kabur, saling curiga)
Tidore
W eak (lemah)
Sulteng (Poso)
W eak (lemah), Failure (gagal), Distrust Patronage, Menyediakan penengah (provide mediation), Trust.
Distrust, W eak (lemah), Subordinat, pasif W eak (lemah), Subordinat, pasif Distrust Semi-Partisipatif, Trust
Diffused/Distrust (saling curiga), Contending Diffused/Distrust (saling curiga), Contending Pyramidai, Elitis Problem Solving
M engangkat identitas bersama (Foster shared identities) W eak (lemah), Subordinat, pasif Distrust
Problem Solving
Semi-Partisipatif, inisiatif, Volountary (kemandirian) Trust Distrust salah satu pihak/keduanya mengundurkan diri
Problem Solving
Maluku Utara: Tobelo-Galela
Intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik
S ta te P o sitio n
Maluku (Ambon)
Maluku Utara: Tobelo-Galela
Tem ate
Jailolo
Tidore
Patronage, Menyediakan penengah (provide mediation), Trust. Patronage, W eak (lemah), Failure (gagal), Distrust Menyediakan penengah (provide mediation)
Patronage, W eak (lemah)
Anarchical/Distrust (saling curiga), Ommision (kekosongan) Contending Anarchical/Distrust (saling curiga), Ommision (kekosongan) Contending
Pyramidai, Elitis
Pyramidai, Elitis Withdrawal
Diolah oleh: Syafuan Rozi, Emilia Yustiningrum & Septi Satriani, P2P LIPI Desember, 2005. Keterangan: Trust = saling percaya. Distrust = masih saling tidak percaya. Contending = saling bersaing. Problem Solving= sama-sama berupaya memecahkan masalah. Yielding= sama-sama memberi konsensi/mengalah. Withdrawal = salah satu pihak/ keduanya mengundurkan diri.
86
beberapa kepala desa mengungsi, ada pula y an g te ta p tin g g a l di w ila y ah ini. Permasalahan muncul ketika datangnya para pengungsi dari daerah lain yang menempati wilayah tersebut dan belum didaftar dengan baik. Akibatnya, orang menjadi sangat mudah masuk dan keluar dari wilayah Poso dan kesulitan dalam melacak pelaku bila teijadi kekerasan. Sistem siskam ling ju g a tidak dijalankan, sehingga tidak bisa mendukung kinerja aparat keamanan.14 Faktor trauma di kalangan anggota masyarakat masih begitu kuat karena konflik yang pemah teijadi. Hancurnya sarana ibadah baik Muslim dan Kristen belum diperbaiki, daerah kosong karena penduduknya yang mengungsi, dan belum berani kembali ke tempat asal. Selain itu, hal ini berkenaan dengan m asalah hak-hak perdata m ilik pengungsi yang belum diperbaiki karena mereka yang mengungsi ini meninggalkan rum ah dan tanah perkebunan sehingga pemilik tidak lagi menguasai rumah yang ditinggalkan dan lahan perkebunan yang telantar. K onflik yang berlangsung antara 1999-2000 telah mengubah pola hubungan konfigurasi etnik-agama di Maluku Utara. Pusat pemukiman Nasrani kini cenderung lebih terkonsentrasi di Tobelo-Galela atau ke Jailolo, baik dilihat dari jumlah penduduk maupun penguasaan atas kehidupan ekonomi dan politik setempat. Kecenderungan berbeda kita jumpai di Tidore. Kini Tidore menjadi semakin homogen dan mungkin menambah kesan eksklusif sebagai sebuah w ilayah Muslim. Dengan kata lain, walaupun kalau dilihat dari pem ukim an penduduk telah terjadi pembauran antara Muslim-Nasrani, 14 Masih banyak sisa-sisa amunisi dan senjata api yang disimpan oleh masyarakat. Senjata tersebut masih banyak yang disimpan meskipun sudah banyak juga yang telah diserahkan kepada aparat keamanan. Aparat keamanan sendiri sudah berusaha memancing dengan pemberian hadiah-hadiah untuk anggota masyarakat yang bersedia m enyerahkan senjatanya, nam un sebagian kelom pok masyarakat ini tidak mau menyerahkan senjata mereka. Kelompok ini masih memiliki ketakutan apabila nanti sewaktu-waktu diserang dan mereka tidak bisa membela diri.
namun pascakonflik masyarakat berada pada titik di mana hubungan antara Islam-Kristen berupa saling menguatkan identitas ideologis masing-masing. Kecenderungan demikian te n tu h aru s d ik e lo la d en g an b aik dan d ip e rh a tik a n o leh p em erin tah . H al ini disebabkan beberapa wilayah, khususnya di Tobelo, masih memperlihatkan kecenderung an tia p -tia p p ih a k u n tu k m en g g alan g kekuatan di bidang ekonomi dan politik. Tahapan rekonsialiasi di M aluku U tara akan terg an g g u b ila p em erin tah m en g ab a ik a n u n tu k m en g em b an g k an program pemberdayaan ekonomi masyarakat p a sc a p e n g e m b a lia n ke d aerah asal. Pengungsi masih m enginginkan program relokasi dan rumah tinggal tetap, walaupun dengan program kredit murah. Kerusuhan te la h m em b u at la h an -lah a n p e rta n ian , perkebunan, perikanan, alat-alat produksi menjadi hancur, sementara masyarakat masih m engandalkan m ata pencahariannya dari sektor-sektor tersebut. Pem erintah perlu m em beri perhatian untuk pem berdayaan masyarakat agar bisa m elanjutkan hidup, misalnya untuk petani bagaimana pemerintah bisa membantu alat-alat pertanian dan alatalat produksi. Peran dan pola hubungan masyarakat dan negara yang semula kabur, arogan, dan kurang partisipatif (diffused, elitis-pyramidal) bisa menimbulkan kendala dalam resolusi konflik di waktu mendatang.15
15 Program intervensi kemanusiaan sebagai bagian resolusi konflik di Maluku Utara dan Maluku masih menghadapi kendala besar berhubung fakta adanya benang kusut masalah penanganan pengungsi, di mana ribuan pengungsi masih tertahan di Kota Temate. Banyak pengungsi belum menerima BBR (Biaya Bangun Rumah) dan bekal hidup. Pengungsi sendiri menolak pulang bila BBR dan bekal hidup belum diberikan. Kisruh masalah ini terkait erat dengan terjadinya banyak penyimpangan dan tidak seriusnya pemerintah daerah —dalam hal ini khususnya Dinas Sosial Provinsi—dalam menangani program pemulangan pengungsi. Penyimpangan yang banyak teijadi adalah akibat negara belum tegas dalam hukum dan tokoh pengungsi tidak dilibatkan secara partisipatif duduk satu meja, membuat rencana ke depan dan membuka pendanaan yang transparan. Alokasi dana pengungsi bagaikan sebuah bagi-bagi proyek di lapangan. Begitu pula penanganan pengungsi di Ambon, Maluku masih dalam keadaan yang relatif sama. Butuh keseriusan dan koordinasi berbagai pihak yang lebih baik untuk kepentingan bersama.
87
Usulan Rekomendasi Ada beberapa langkah yang sebenarnya dapat dilakukan sebagai langkah aw al m eren tas ja la n p a n jan g p erd am aian pascakonflik, sebagai berikut: 1) Pertama, pembagian kekuasaan secara bergilir. Sentimen perebutan jabatan politik/ birokrasi berdasar garis komunal — bagi daerah yang baru saja te rlib a t ko n flik komunal— perlu segera diredam dengan power-sharing atau k e terw ak ila n atau pergiliran etnisitas dalam kekuasaan. Suatu kota yang m ayoritas didom inasi agam a tertentu, bisa saja pejabat/pegawai yang diangkat sebagaim ana garis keagam aan penduduknya, sedangkan yang seimbang perlu ada perimbangan dan pergiliran agar tidak terjadi eskalasi konflik. Kedua, peran p em erin tah d a erah m em bangun early warning system m enjadi penting karena berdasarkan pengalaman konflik yang pemah ada, dan juga masih beragamnya potensi konflik yang bisa muncul bisa dideteksi lebih dini. 2) Kasus desa Wayame, Saparua, Maluku, cenderung bisa m enjadi sebuah contoh pelajaran model resolusi konflik yang baik bagi pem erintah dalam m engem bangkan kebijakan politik, khususnya penataan tata ruang di daerah-daerah yang mengalami masalah segregasi sosial dan kependudukan. Desa Wayame memiliki ketahanan sosial terhadap konflik dan tidak terseret arus d a h sy a t k o n flik yang te rja d i karen a m u ltie tn ik dalam k u ltu r se rta agam a penghuninya. Di desa ini, konsep pembauran sosial teijadi melalui interaksi-interaksi sosial yang tidak bersifat simbolik, tetapi lebih pada interaksi sosial yang semestinya. Ketika konflik terjadi, kesadaran tumbuh di antara mereka untuk saling menjaga dan melindungi di antara kedua komunitas Islam dan Kristen yang ada di sana. Kesadaran bukan tumbuh sesaat, tetapi melalui proses interaksi sosial yang panjang. Pendidikan menjadi salah satu
88
faktornya, hanya dapat dibangun melalui penciptaan masyarakat yang membaur lewat pendidikan multikultural sebagai instrumen katalisator untuk saling menghormati. 3) Perlu dibangun kesadaran masyarakat agar tidak mudah diprovokasi oleh pihak lain yang ingin mencari keuntungan sendiri, di samping upaya penegakan hukum , serta perlunya jaminan kesejahteraan bagi aparat keamanan agar tidak menyalahgunakan posisinya untuk kepentingan pribadi. Di samping itu, perlu juga dipikirkan kesejahteraan secara ekonomi masyarakat, sebab kemiskinan merupakan ladang empuk bagi orang-orang yang tidak bertan g g u n g ja w ab (p ro v o k ato r) untuk m enjadikan m ereka (orang-orang miskin terseb u t) sebagai a lat p en cap ai tujuan provokator. Program m em bangun M alut sebagai tujuan wisata memerlukan pelibatan masyarakat menyediakan penginapan home stay, di rumah keluarga. Untuk daya tariknya pemda dan masyarakat bersinergi membuat festival rakyat berkala dengan berbagai tema, sentra kerajinan, pasar seni, pasar jajanan dan oleh-oleh, budi daya hasil kelautan, wisata dan olahraga bahari. 4) Untuk menangani pengungsi, kembalikan w ew enang k ep en g u ru san pengungsi di tangan pemerintah daerah tingkat kabupaten dan d ih ap u s w ew en an g p ih ak k etig a (kontraktor), dalam hal ini melibatkan tokoh pengungsi sebagai team-work. Pemberian dana bantuan BBR dan biaya lauk pauk agar b ersam aan seh in g g a d an a yang sudah disalurkan tidak dialihkan untuk konsumsi kebutuhan sehari-hari. Hal ini memerlukan koordinasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten dalam hal data sehingga tidak ada lagi kesim pangsiuran di lapangan. Kalau perlu, masalah pengembalian pengungsi tidak h an y a d ila k u k a n sec a ra sep ih a k oleh pem erintah dan harus mulai m elibatkan tokoh-tokoh masyarakat baik adat dan agama seh in g g a k e m u n g k in a n m en jad ik an pengungsi untuk komoditas dapat dihindari. **
Daftar Pustaka Chauvel, Richard. 1990. Nationalists, Soldiers and Separatists. Leiden : KITLV Press. Sung Hee Kim, et al. 1986. S osial Conflict: Escalation, Stalemate, Deescalation. Mc Graw-Hill, 2nd Edition. Kriesberg, Louis. 2003. Constructive Conflicts From Escalation to Resolution. Maryland: Rowman and Littlefield Publisher Inc. Varshney, Asutosh. 2002. Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslim in India. New York: Yale University Press.
R esu m e
MINORITAS MUSLIM DI AUSTRALIA DAN INGGRIS# Indriana Kartini** Abstract The w ar again st terrorism has becom e the main topic an d sp rea d a ll o ve r the w o rld sin ce the bom bing o f WTC building in S eptem ber 11"' 2001. The issue is that rather fig h tin g terrorist a s the a cto r o f terrorism, the w ar is blured with fig h tin g M oslem p e o p le as the m ost victim ized as the a cto r o f terrorism . M oslem s in A ustralia and U nited Kingdom , tw o countries that becom e close su pporter o f USA in the w a r ag a in st terrorism , has suffered o f negative p u b lic perception . It is interesting to analyse p o lic y in those tw o U S ’clo se allies. The research that has been conduct com pares p o lic y o f A u stralia an d Britain after the bombing. Im age o f M oslem com m unity in those countries is sh aped by the role o f m ass m edia as the source o f opinion. The w a r again st terrorism has negative effect that it is victim izing M oslem com m unity as the source o f terror.
su terorisme merebak ke penjuru dunia khususnya pascatragedi pengebom an WTC di New York pada 11 September 2001. T ujuan m en d asar d ari “ perang melawan terorisme” yang dikumandangkan Amerika Serikat m enyusul peristiw a 11 September akhirnya menjadi kabur, yakni antara memerangi terorisme atau memerangi Islam. Penggalangan dukungan dari negaranegara lain yang diprakarsai AS untuk melakukan perang melawan terorisme, lebih tampak sebagai penggalangan sikap untuk turut mencurigai setiap kelompok Muslim. O leh sebab itu, sikap an ti-Isla m yang diwujudkan m elalui teror dan intimidasi terh ad ap kelo m p o k m in o ritas M uslim m uncul di b e b erap a n eg ara term asu k Australia dan Inggris, khususnya mereka yang diduga mempunyai keterkaitan dengan jaringan teroris internasional.
I
* Penelitian ini dilakukan oleh tim yang terdiri dari Indriana Kartini (koordinator), Afadlal, Hamdan Basyar, Riza Sihbudi, Sri Nuryanti, Dhuroruddin Mashad. * Penulis adalah peneliti pada Bidang Penelitian Politik Internasional P2P LIPI, Jakarta.
Hubungan M uslim dan Non-Muslim di Australia: Tataran Masyarakat Hubungan Muslim dan non-Muslim di Australia mengalami pasang surut. Hal ini diakibatkan oleh banyak faktor, misalnya soal kesejarahan, perkem bangan situasi yang k o m p lek s d en g an ad an y a isu -isu baik n asio n a l m aupun in te rn a sio n a l, dan generalisasi yang berlebihan atas eksistensi komunitas Muslim di Australia. Dari sisi sejarah, datangnya Islam di A u stra lia d iy ak in i dibaw a oleh p elau t Makassar pemburu tripang pada tahun 1750, kem udian terjalin hubungan dagang dan perkaw inan cam puran. Fase berikutnya, p e m e rin ta h A u stra lia m en d atan g k an pengendara unta dari A fghanistan, yang awalnya dipakai untuk mengatasi keadaan alam yang sangat sulit. Pada perkembangan berikutnya, m ereka diberdayakan untuk membangun jalur telegraf dan jalur kereta yang disebut Ghan Train. Fase selanjutnya, banyak berdatangan imigran dari negaranegara Eropa dan Timur Tengah. Imigran dari negara Eropa memang tidak signifikan bagi
91
p erk em b an g an k o m u n itas M uslim di A ustralia. Namun dem ikian, kedatangan imigran dari negara-negara Arab dan Timur Tengah sangat signifikan dalam sejarah perkembangan Islam di Australia. B eberapa hal yang m em pengaruhi hubungan antara masyarakat Muslim dan non -Muslim di Australia, yaitu dilihat dari jumlah kelom pok keagam aan (relative size o f groups), tidak adanya overlapping antara agam a yang b e rb e d a, tid a k adanya ghettoisasi, dan tidak adanya politisasi atas perbedaan yang ada, yang pada dasarnya m em pengaruhi pasang surut hubungan antarmasyarakat itu. Dari hal-hal tersebut, suatu k esim pulan dapat d ita rik bahw a meskipun hubungan antara Muslim dan nonM uslim terkadang m engalam i fluktuasi, namun masih dikatakan wajar, yang artinya tidak mengarah kepada pengucilan permanen atas kelompok Muslim. Pesatnya perkem bangan komunitas Islam di Australia pada gilirannya tidak lagi d ian g g ap seb ag ai fa k to r yang tu ru t menggerakkan perekonomian di Australia, tetapi kemudian dilihat sebagai bagian yang “ m em b ah ay ak an ” k elan g su n g an hidup kom unitas kulit putih di A ustralia yang didominasi budaya Anglo-Saxon. Sebagai akibatnya, hal ini memunculkan kebijakan yang membatasi perkembangan komunitas Muslim dengan dikeluarkannya kebijakan White A ustralia Policy, 1901. Kebijakan ini berpengaruh terhadap menyurutnya kedatangan imigran dari Timur Tengah dan negara Arab. Setelah kebijakan terseb u t d irev isi pada tahun 1958 dan akhirnya dihapus sama sekali pada tahun 1972, barulah komunitas Islam di Australia menggeliat lagi dengan banyaknya imigran dari negara-negara Arab dan Timur Tengah. S ebagaim ana d isin g g u n g di atas, hubungan a n tarm asy arak at m engalam i pasang surut, tergantung pada isu-isu yang mewarnai perkem bangannya. Hubungan antarm asyarakat pada dasarnya terjalin d engan baik. S elam a ini, p e m erin ta h
92
A u stra lia dan m a sy a ra k a t A u stra lia menghormati pelaksanaan asas multikultur A ustralia. N am un dem ikian, hubungan memburuk manakala ada isu internasional yang merupakan generalisasi berlebihan atas suatu persoalan, atau stigma atas kelompok M u slim A u stra lia y an g k em u n g k in an dipengaruhi oleh opini-opini yang dibangun m edia m assa. Stigm a k ed ek atan Islam dengan terorisme, Arab, dan lain-lain yang menyudutkan umat Islam di Australia, pada beberapa p eristiw a telah m em unculkan tindakan diskrim inatif bahkan kekerasan, seperti ketika dilakukan sweeping pada komunitas Muslim Australia pascapeledakan Bom WTC dan Bom Bali. Media massa memegang peran penting dalam pembentukan opini publik khususnya yang berkaitan dengan eksistensi kelompok Muslim. Meskipun dalam perkembangannya kelompok Muslim ini mengorganisasi diri dalam berbagai b entuk organisasi, dari organisasi formal yang bergerak di bidang sosial kem asyarakatan sampai organisasi radikal, diskursus yang berkembang dalam m a sy a ra k a t A u stra lia k h u su sn y a yang berkaitan dengan fundam entalism e atau terorisme tidak harus dihubungkan dengan keberadaan organisasi Islam ini. Sayangnya, m ed ia m assa te rk a d a n g bias dalam pemberitaannya sehingga sikap masyarakat yang tidak berlebihan atas suatu hal diekspos besar-besaran oleh media. Hal ini sering m enim bulkan salah p ersep si m engenai eksistensi komunitas Muslim di Australia dan keterkaitannya dengan isu-isu terorisme. D en g an sem an g at m u ltik u ltu ra lism e , seharusnya bisa dibangun kondisi yang lebih kondusif bagi munculnya pemahaman yang komprehensif mengenai komunitas Muslim di Australia. Kebijakan Pemerintah Australia terhadap Minoritas Muslim r
K e b ijak a n p e m e rin ta h fed eral Australia terhadap minoritas Muslim beijalan dalam ruang politik yang dikuasai oleh dua
kekuatan politik, yaitu gerakan konservatif dan gerakan progresif. K edua kekuatan politik itu, sesuai dengan sistem yang berlaku di Australia, selalu berusaha membangun k e b ija k an serasi seh in g g a b en tu k n y a merupakan pelbagai variasi penerapan nilainilai liberalisme. Persamaan sikap kedua kekuatan politik yang paling menonjol adalah konsistensi m ereka dalam m enjalankan prinsip sekularisme dan praktik pemerintahan Westminster. K edua konsistensi ini telah menempatkan komunitas Muslim Australia seb ag ai o b jek y an g h aru s m engalam i sosialisasi nilai-nilai liberal dan peradaban Barat. Kedua kekuatan politik yang dalam praktik kenegaraan terw akili oleh Partai Liberal dan Partai Buruh selalu berusaha m enegakkan n ila i-n ila i se k u le r dalam masyarakat. Manifestasinya ialah memegang teguh peradaban Barat yang memisahkan kegiatan-kegiatan sosial politik dari kegiatank eg iatan keagam aan. P erad ab an B arat m eng an g g ap k e g ia ta n so sia l p o litik m asyarakat sebagai urusan m asyarakat sendiri. Oleh karena itu, kedua kekuatan p o litik te rs e b u t akan se la lu m elih at komunitas Muslim sebagai komunitas yang tidak mengunggulkan identitas keagamaan dalam pergaulan kemasyarakatan. Program multikulturalisme tampak sebagai koleksi budaya dan bukan koleksi cita-cita kelompok sosial beragama. K elom pok sosial Islam dianggap sebagai bagian dari koleksi budaya tersebut. Kedua kekuatan politik juga sepakat m enjaga sistem politik yang m erupakan warisan Inggris, di mana parlemen memiliki otoritas tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sementara itu, pemerintah merupakan bagian dari parlemen tersebut. K onsekuensinya, sem ua undang-undang harus bersumber pada aspirasi masyarakat dan tid a k b o leh m en g am b il ru ju k a n keagamaan. Mereka menganggap kedaulatan Tuhan tidak bisa hidup dalam praktik politik di A u stra lia. M ereka ju g a cen d eru n g
melakukan liberalisasi komunitas Muslim dengan tujuan menanamkan nilai-nilai liberal dan peradaban Barat. Percaturan kekuatan politik yang m elibatkan kedua gerakan tersebut telah m elandasi kebijakan pem erintah federal m elakukan pengaw asan yang amat ketat kepada kelom pok-kelom pok sosial Islam y an g d itu d u h te ro ris . U n d an g -u n d an g antiterorism e m enjadi beban psikologis kom unitas M uslim karena m erasa selalu menjadi sasaran operasi intelijen dan polisi federal. Akan tetapi, percaturan kekuatan politik juga melandasi persamaan hak-hak k o m u n itas M u slim se rta m en d ap atk an jaminan hidup sesuai prinsip welfare state. Misalnya, pemerintah memberikan subsidi kepada lembaga-lembaga pendidikan dan kemasyarakatan Islam. Minoritas Muslim di Inggris: Tataran Sosial Meski tak ada informasi pasti kapan tepatnya agama Islam m asuk ke Inggris, tetapi setidaknya terd ap at catatan yang menyebutkan bahwa pada abad ke-10 telah ada Muslim yang menginjakkan kakinya di negeri yang disebut Al Bartun itu. Kaum M uslim kian banyak dijumpai di Inggris, terutam a terjadi di era im perialism e dan kolonialisme Inggris yang mencaplok banyak wilayah Timur yang komunitasnya mayoritas Islam, termasuk khususnya dari Asia Selatan. Seiring dengan hadirnya “komunitas baru in i” sejak 1919-an m ulai berm unculan boarding-house (rum ah kontrakan) yang didirikan sekaligus dihuni oleh komunitas Islam. B e rd a sa r d ata y an g d ite rb itk a n Minority Rights Group International pada Agustus 2002 tergambar bahwa komunitas Muslim tersebar. Muslim terbanyak tinggal di London (1 juta), lalu Bradford (82.750), Scotland (60.000), Wales (50.000), Leeds (3 0 .0 0 0 ) , O ld h am (2 5 .0 0 0 ), L ecester (25.000) , Birmingham (15.0000) dan Irlandia
93
U tara (4.000). D ari seluruh kom unitas M uslim, sebagian besar berasal dari sub k o n tin e n In d ia , T urki, serta seb ag ian keturunan Timur Tengah dan atau Afrika. Generasi awal Muslim Inggris tidak semuanya kaum pendatang. Shaikh Abdullah Quilliam adalah salah satunya. Keislaman mualaf yang intelektual dan aktivis ini diikuti banyak orang, termasuk sejumlah ilmuwan bereputasi. Sebagai intelektual, Quilliam sangat pro d u k tif dalam m enulis tentang Islam. Bahkan, tulisannya berjudul “The Faith o f Islam” diterjemahkan ke dalam 13 bahasa. Tak sedikit komunitas Inggris pada tahun 1880-an tertarik menjadi Islam lantaran terpengaruh tulisan dan aktivitas Quilliam ini. Tahun 1891, Quilliam mendirikan masjid dan akademi yang mengelola bermacam-macam kegiatan seperti sekolah, literary society, oriental library, museum, serta menerbitkan jurnal The Crescent (terbit mingguan) dan Islamic World (terbit bulanan). Salah satu organisasi yang sangat berjasa dalam pengembangan Islam Inggris adalah Pan-Islamic Society (PIS) yang didirikan Dr. Abdullah Suharawardy, yang berusaha m enghilangkan salah persepsi tentang Islam di lingkungan masyarakat nonMuslim. Sebagai upaya memperkokoh PIS, akhir abad k e -19, D r Leitner mendirikan Woking Mosque, m enjadi tonggak awal hadirnya sebuah masjid di London. Woking Mosque ini p u n y a p en g aru h re g io n a l, melakukan korespondensi sangat intensif dengan m uslim di luar Inggris, seperti Belanda, Norwegia, Swedia, Hungaria, dan lain-lain yang dipublikasikan pula dalam
Islamic Review. D alam konteks kekinian strategi pendidikan dalam mempersiapkan generasi muslim modem dalam konstelasi dunia Barat tetap berlanjut. Sekolah model ini bukan saja b erg u n a u n tu k m em bangun k esa d a ran k eb erag am aan a n ta ra M uslim dengan penganut agam a lain, tapi ju g a dengan sesama Muslim lain yang sebagian besar datang sebagai imigran dari banyak negara.
94
Karena ada “lampu hijau” dari pemerintah, in stitu si p en d id ik an Islam berkem bang bahkan sampai tingkat perguruan tinggi, seperti The Muslim College di London atau
Markfteld Institute ofHigher Education, The Institute o f Higher Islamic Daruul Uloom (L e ic e ste r). B ah k an , di lin g k u n g an p en d id ik an k o n s e rv a tif sep erti Oxford University telah b erd iri Oxford Centre Islamic Studies (OCIS). Dalam konteks ekonomi Muslim, hal ini sem ula m engalam i problem di dunia perbankan dengan sistem konvensional. Setelah melalui lobi bertahun-tahun, akhirnya HSBC mulai Juli 2003 mengadopsi sistem pendanaan Syariah, lalu menyusul Islamic Bank ofBritain di London (September 2004), dan pada Maret 2005 diikuti Lyods TSB, bank terkem uka di Inggris. M emang beberapa kasus perlakukan tidak adil terhadap Muslim m asih te rja d i, b a ik d alam hu b u n g an antarindividu, dunia usaha, ataupun seputar isu jilbab di lembaga pendidikan. Namun demikian, problem itu dapat diselesaikan melalui jalur hukum secara relatif adil. S eb ag ian b e sa r m ig ran M uslim berasal dari pedesaan asal negaranya, suatu lokasi — yang berbeda dengan perkotaan— yang pengaruh w estern isasi dalam ide, norma, gaya, dan cara hidup belum masuk secara intensif dalam kehidupan mereka. K etik a b e rm ig ra si ke In g g ris, m ereka m engalam i sebuah keterkejutan budaya, sebagai akibat menghadapi sebuah komunitas baru yang sangat berbeda. Terkait dengan persoalan ini, mereka setidaknya meliputi tiga kelompok Muslim: Pertama, “kelompok fanatik”. Realitas politik internasional yang sangat tidak menguntungkan Islam, adanya p o litik s ta n d a r g an d a d ari k ek u atan hegemoni, dan adanya semangat kebangkitan Islam di seluruh dunia ikut mempengaruhi pem ikiran sebagian M uslim Inggris ini. Kedua, kelompok yang masih mencampur adukkan ajaran Islam dengan kultur sesuai dengan garis etnisitasnya. Sebagai bagian terbesar dari kom unitas M uslim Inggris,
mereka cenderung longgar terhadap sebagian kultur Barat, namun sangat anti pada bagian lain. Ketiga, kelom pok m uslim kebaratbaratan, yang jumlahnya sangat kecil. Terutama bagi kelom pok M uslim fanatik, problematika sosial yang sering kali muncul, antara lain (a) Soal pendidikan gaya Barat (inggris) yang tak ada aturan apalagi batasan hubungan beda kelam in, dinilai bertentangan dengan nilai Islam dan kultur asal mereka. Realitas ini mendorong mereka berusaha m ew ujudkan institusi sekolah tersendiri, (b) Mainstream media massa serta dunia hiburan menurut parameter mereka d in ilai te rla lu vu lg ar, m en jad i fak to r penyebab p e n y im p an g an tin g k a h laku generasi m uda, (c) A turan hukum legal form al Inggris belu m m am pu m en g akomodasi syariah dalam kehidupan umat Islam, (d) M ereka terkadang dihadapkan larangan pelaksanaan salat (apalagi Jumat dan hari besar Islam) pada jam-jam kantor, jam sekolah, jam pabrik, (e) Fasilitas-fasilitas umum (seperti pem andian um um ) sulit dimanfaatkan kaum muslimah tanpa harus melanggar keyakinan kultural keagamaan nya. R ealitas-realitas tadi m enyebabkan kaum M uslim sebagai w arga m inoritas keagamaan terbesar tetap merasa diabaikan pemerintah bahkan oleh masyarakatnya. Di tengah upaya konsolidasi umat ini, komunitas Muslim juga menghadapi problem in tern al, ak ib at fa k sio n a lism e dalam kehidupan keagamaan, seperti (1) Isu-isu kemurnian ajaran agama, seperti Barelvi (pengaruh Asia Selatan) vs Wahabi (pengaruh Arab Saudi); (2) Isu-isu sosial politik, seperti antara pengikut Jamaah Tabligh yang “apolitis” vs Jam aat Islam i dan Ikhwanul Muslimin yang kental dengan politik; (3) Isu regionalisme akibat beda asal negara, asal wilayah dengan latar belakang bahasa, etnis, kultur, dan kebiasaan berbeda. M ereka m erasa lebih sreg berhubungan dengan komunitas Muslim yang sama latar belakang asalnya; (4) Ghetto. K om unitas M uslim tinggal m engelom pok dalam kom unitas
M uslim sendiri, guna mencegah lahirnya generasi Muslim yang asing terhadap Islam. Persepsi tentang Islam di dunia Barat term asuk Inggris telah terbentuk selama berabad-abad. Meskipun selama waktu itu, telah terjadi suatu proses untuk memahami Islam di dalam kom unitas Barat, namun realitas konflik sering kali masih terjadi. Dalam konteks ini, peran berita-berita di banyak media secara krusial terlibat dalam realitas ini, bahkan ikut bertanggung jawab terhadap terbangunnya apa yang disebut “the elite racism” di Inggris, di mana Muslim sering kali terk o n o ta si dengan barbar, ignoran, berpandangan sempit, semi-citizen, teroris gila, penganut agama yang sangat tidak toleran. Diskursus media massa Inggris yang secara id e o lo g is b ern u an sa antiMuslim, menjadi sangat mengental terutama sejak Revolusi Iran tahun 1979. Sejak saat itu, terutama sejak terungkap dalam banyak b e rita , is tila h fu n d a m e n talism e terus disejajarkan dengan Islam, tentu saja dalam pemaknaan negatif. Sikap media seperti itu makin parah seiring dengan polemik buku The Satanic Verses tulisan Salman Rushdi. Demonstrasi dengan membakar buku oleh Muslim sebagai sim b o lita s k e te rlu k a a n hati akibat penghinaan, oleh m edia dilip u t dengan komentar-komentar yang lebih merefleksikan penilaian tentang karakter keagamaan yang m eletu p -letu p di kalangan Islam . Sifat tersebut dilabeli sebagai membahayakan peradaban Barat. Fokus kom entar lebih terfokus pada isu-isu emosional Muslim, ancam an kem atian, fundam entalis abad pertengahan, fanatisme, serta militanisme. Bahkan, istilah-istilah “Mad Mullahs, Iranian terrorist, Mad Dog Gadaffi” yang sering kali m ew arn ai m ed ia ik u t m enyuburkan terbangunnya image negatif bagi komunitas Muslim.1 Dalam konteks ini suara Muslim 1
1Tahir Ababas, “Media Capital and the Representation of South Asian Muslims in the British Press: an Ideological Analysis”, Institute o f Muslim Minority affairs, 2001, hlm. 254.
95
tak dapat ditangkap secara “jern ih ” oleh komunitas Inggris pada umumnya. Mereka tak memiliki kemampuan dan platform untuk mengajukan keberatan apalagi menjelaskan tentang berbagai hal yang secara distortif diberitakan media. Problem seperti ini makin akut bagi Muslim Inggris, terutama setelah tragedi WTC 9 September 2001 yang diikuti pula oleh tragedi Bom London, 7 Juli 2005. K ebijakan P em erintah Inggris terh ad ap M inoritas M uslim Sejak aw al, Inggris R aya ( Great Britain) terdiri dari masyarakat yang berasal dari empat kebangsaan yang berbeda, yakni Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia. M ereka m en jad i seb u ah neg ara “multinasional.” Mereka bersatu dalam satu id en titas p o litik , dengan budaya yang berbeda. Multikultural adalah slogan yang dikembangkan oleh Inggris. Konsep kew arganegaraan Inggris sebagai identitas politik dengan perbedaan berbagai bangsa tersebut, menyebabkan para imigran dari bekas wilayah jajahan Inggris yang datang ke sana diperlakukan dengan baik dan diterima dalam sistem politik yang ada. M ereka diperlakukan sebagaim ana bangsa Wales, Irlandia, maupun Skotlandia. Kondisi itu telah menciptakan bangsa Inggris dengan kultur masing-masing. Akan tetapi, ketika ternyata para imigran tersebut banyak berdatangan ke sana maka ada kebijakan yang membatasinya. Hal ini kemudian ber kem bang pula apa yang disebut dengan sebutan “patrial”. Istilah itu mengacu kepada orang-orang Inggris (British) asli, yaitu yang berasal dari Inggris (E ngland), W ales, Skotlandia, dan Irlandia, serta keturunan mereka. Istilah itu menimbulkan konotasi diskriminasi. Warga yang bukan “patrial” tidak diperlakukan sama dengan warga yang “patrial”. W alaupun secara form al, Inggris m en erap k an k e b ija k a n yang n o n diskriminasi, tetapi pada kenyataannya istilah tersebut telah m enim bulkan sikap yang 96
diskriminatif. Dalam kehidupan sehari-hari, para “patrial” memperoleh hak istimewa, sedangkan nonpatrial menjadi warga negara “kelas dua”. Sikap tersebut juga muncul terhadap p ara M u slim di In g g ris. M ereka yang k eb an y ak an b e ra sa l dari p a ra im igran dianggap n o n p atrial yang b erarti tidak diutam akan dalam kehidupan di Inggris. M erek a m en g alam i d isk rim in a si yang berkaitan dengan pengamalan agama Islam. P a lin g tid a k dua a tu ra n hukum Inggris m em punyai dam pak signifikan te rh a d a p k e h id u p a n M u slim di sana. P ertam a, the Race Relations Act. Undangu n d an g te rs e b u t m e la ran g adanya diskriminasi berdasarkan ras dan etnis, dalam berbagai kegiatan, tetapi hak beragama tidak termasuk dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian, Muslim di Inggris tidak m em p u n y ai p ija k a n h u kum un tu k mempertahankan haknya sebagai Muslim, bila ada pihak lain yang melarang mereka k e tik a te n g ah m e n ja lan k a n k ehidupan keberagam aannya. M isalnya, pada hari Jum at, laki-laki M uslim dilarang untuk m elakukan salat Jum at atau M uslim ah dilarang mengenakan hijab (jilbab). K edua, the Public Order Act yang dibuat pada tahun 1986. Undang-undang ini mencegah adanya dorongan kebencian rasial. Selain itu, the Crime andDisorderAct dibuat p ad a tah u n 1998. U n d an g -u n d an g ini menciptakan kategori baru dalam tindakan rasial yang tidak menyenangkan, termasuk penyerangan, perusakan, dan pelecehan. Akan tetapi, berbagai tindakan kebencian keagam aan yang ditujukan kepada para M uslim , kem bali belum tercakup dalam aturan-aturan tersebut. K ondisi itu dapat m e la h irk a n p e ra sa a n te ra lie n a s i dan terpinggirkan di kalangan Muslim di sana. Akibatnya, mereka tidak dapat melakukan k e h id u p an sec a ra “ n o rm a l” dalam bermasyarakat. Sebenarnya, masyarakat Muslim di In g g ris m e n g in g in k a n p e n g ak u an dan perlakuan yang sama dengan warga negara
lain. Mereka ingin dianggap sebagai bagian m asyarakat dari negara tersebut. Hal itu berkaitan dengan hak asasi warga negara yang semestinya diperlakukan sama. Hak asasi itu harus diterapkan kepada siapa pun, tanpa melihat latar belakang, warna kulit, maupun keyakinan yang dianutnya. Praktik keagamaan semestinya dapat dilakukan oleh penganut Yahudi, Kristen, maupun Islam. Memang, di antara Muslim Inggris ada yang berkiprah dalam dunia politik. Ada dua warga M uslim Inggris yang menjadi anggota parlemen (M ajelis Rendah); Ada empat orang Muslim yang menjadi peers; Ada satu orang Muslim Inggris yang menjadi anggota Parlemen Eropa. Di tingkat lokal, p a rtisip a si M uslim In g g ris m engalam i peningkatan yang cukup signifikan. Pada pemilihan tahun 1996, 160 Muslim menjadi anggota Dewan Kota ( Councillors). Pada tahun 2001, jum lah anggota Dewan Kota yang M uslim berjum lah 217 orang. Para anggota D ewan K ota tersebut m ew akili daerah-daerah yang penduduk Muslim cukup besar, seperti London, Birm ingham , dan Bradford. K eikutsertaan M uslim Inggris dalam kancah politik tersebut diharapkan dapat memberikan harapan yang lebih baik bagi kehidupan Muslim Inggris. Mtaslim di Australia dan Inggris: Dimensi Internasional K ehidupan m inoritas M uslim di A ustralia dan Inggris senantiasa terkait dengan peristiwa internasional. Bahkan, tidak jarang peristiw a kekerasan internasional berimbas terhadap kehidupan Muslim di dua negara tersebut. M anakala terjad i aksi kekerasan internasional yang m elibatkan Muslim, maka minoritas Muslim di Australia dan Inggris langsung terkena imbasnya. Misalnya saja pasca-Perang Teluk 1991, di mana Irak menginvasi Kuwait yang berujung pada penyerangan sekutu ke Irak, aksi kekerasan terhadap m inoritas M uslim di A u stralia pun te rja d i. K em udian, aksi
terorisme 11 September 2001, di New York juga menimbulkan aksi kekerasan terhadap Muslim di Australia dan Inggris. P a s c a -11 S ep tem b er, “p eran g melawan terorisme” menjadi agenda utama kebijakan luar negeri AS. Agenda tersebut juga diadopsi oleh Australia dan Inggris yang m erupakan sekutu terdekat AS. Hal ini menciptakan koalisi triangular (baca: AS, Australia, dan Inggris) dengan AS sebagai pemegang tongkat komando. Ketiga negara tersebut juga mengeluarkan produk hukum, yakni UU antiterorism e yang bertujuan memerangi terorisme. Akan tetapi dalam kenyataannya, komunitas Muslim menjadi target utama pelaksanaan UU tersebut. Atas nama perang melawan terorisme, beberapa w arga M uslim di A u stralia dan Inggris ditangkap dengan m enggunakan payung hukum tersebut. Hal ini justru menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan masyarakat Muslim bahwa tanpa bukti yang kuat bisa saja m erek a d ita n g k a p d en g an d alih memerangi terorisme. Hal ini dapat dikatakan bahw a gerakan antiteror yang dilakukan pem erintah A ustralia dan Inggris, justru m enim bulkan te ro r terh ad ap m inoritas Muslim. Oleh karena itu, kebijakan standar ganda yang dilancarkan pem erintah AS, Inggris, dan A ustralia ju stru menumbuh suburkan radikalisme di kalangan Muslim. Laporan dari Royal Institute o f International A ffairs a tau d ik e n al Chatham House menyimpulkan bahwa invasi ke Irak oleh AS b ersam a In g g ris dan A u stra lia ju s tru m elahirkan p erek ru tan m ilitan M uslim sek a lig u s m e n in g k a tk a n p ro p ag an d a, perekrutan, dan pengum pulan dana bagi gerakan al-Qaida. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pelaku pengeboman di London adalah para pem uda M uslim berkewarganegaraan Inggris. Sementara di Australia, terdapat pula pemuda Muslim yang berniat melakukan aksi bom bunuh diri di Lebanon pada 2002. Para pemuda tersebut merupakan bagian dari masyarakat Muslim
97
yang tidak menyetujui kebijakan luar negeri Inggris dan Australia yang agresif terhadap dunia Islam. Hal ini terutam a berkenaan dengan keikutsertaan Inggris dan Australia bersama AS dalam serangan ke Afghanistan dan Irak. T atkala seran g an m ilite r ke Afghanistan diluncurkan, BBC melakukan polling pada November 2001 yang hasilnya sekitar 80% Muslim Inggris memandang aksi m ilite r AS dan In g g ris tid a k dapat dibenarkan. Sementara pada saat perang Irak, sekitar 66% Muslim Inggris menentang aksi militer ke Irak. Sikap Muslim Australia juga menentang keikutsertaan militer Australia dalam serangan ke Afghanistan dan Irak. Menarik untuk dicermati pernyataan Aziza Abdel Halim, Presiden Muslim Women ’s National Netwprk Australia, yang mengungkapkan bahwa banyaknya pemuda Islam yang berpandangan radikal sebenarnya dampak kebijakan luar negeri A ustralia. Aziza menegaskan bahwa pandangan radikal akan memudar bila pemerintah Australia dan Barat (baca: Inggris dan AS) menarik mundur pasukannya dari Irak maupun Afghanistan sehingga serangan bom ke negara-negara Barat akan berkurang dengan sendirinya. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah A u stra lia dan In g g ris m en g k aji ulang kebijakan luar negeri terhadap dunia Islam yang justru kontraproduktif. M in oritas M u slim di A u str a lia dan Inggris: Catatan Perbandingan Australia dan Inggris merupakan dua negara yang didominasi kaum “kulit putih” yang mengaku menganut sistem demokrasi liberal, yang dalam hal ini kedua negara tersebut sam a-sam a m enerapkan sistem demokrasi parlem enter. A ustralia adalah anggota Persemakmuran yang dipimpin oleh Ratu Inggris. Dengan kata lain, Australia berada “di bawah” kekuasaan Ratu Inggris. B ahkan, jik a k ita p e rh a tik a n b en d era A u stralia te rlih a t je la s adanya gam bar
bendera Inggris di pojok kiri atas. Oleh sebab itulah, hal ini dapat dipahami jika kebijakan luar negeri Australia cenderung “mengekor” pada kebijakan luar negeri Inggris. B egitu pula dalam hal kebijakan politik Australia terhadap Islam, baik dalam skala makro (yaitu kebijakan luar negeri mereka terhadap Dunia Islam) maupun dalam skala mikro (yaitu kebijakan terhadap kaum minoritas muslim) cenderung mengikuti apa yang dilakukan Inggris. Setidaknya hal ini terlihat jelas dalam hal pandangan mereka atas m asalah Ira k , A fg h a n ista n , dan terorisme. Dari aspek historis, Islam masuk ke kedua negara tersebut pada sekitar abad ke18. Bedanya, jika di Inggris, kaum Muslim d id o m in asi p ara w arga k etu ru n an dari kawasan Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh) yang pada awalnya masuk ke negara ini sebagai pekerja, sedangkan di A ustralia, sebagian besar kaum M uslim berasal dari kawasan Afghanistan, Turki, dan Timur Tengah, khususnya Lebanon. Hubungan antar-sesama kelompok Muslim baik di Inggris maupun di Australia, secara umum tidak mengalami permasalahan. M emang suatu kecenderungan pengelom pokan atas dasar asal-usul (ras dan etnis) tetap ada, namun ini tidak mengganggu interaksi sosial di kalangan mereka. Di kedua negara ini, sejumlah organisasi kaum muslim berdiri, seperti Muslim Council ofBritain (MCB) dan Muslim Association o f Britain (MAB) di Inggris atau Australian Federation o f Islamic Council (AFIC) di Australia. Organisasiorganisasi ini memainkan peranan penting dalam rangka memelihara hubungan baik (silaturahmi) di antara sesama komunitas Muslim, serta dalam rangka memperjuang kan kepentingan kaum minoritas Muslim. Di In g g ris d an A u stra lia , p e r tumbuhan jumlah kaum Muslim tergolong cukup pesat. B ahkan di Ing g ris, Islam menjadi agama minoritas terbesar (dibanding agama Yahudi atau Hindu). Sementara di Australia, Islam merupakan agama minoritas
98
S
terbesar kedua (di baw ah agam a Hindu/ Budha). Sebagai minoritas, kaum Muslim m en d ap atk an k e b eb a san dalam hal menjalankan ibadah keagamaannya (salat, puasa maupun pergi haji), namun dalam hal hubungan dengan kaum non-M uslim bisa dikatakan m engalam i fluktuasi. Secara umum, hubungan tersebut relatif cukup baik, nam un k a d an g k a la m uncul p erla k u an diskriminatif. Hal ini sekaligus membuktikan bahw a k en d ati In g g ris dan A u stra lia mengklaim dirinya sebagai “penganut sistem demokrasi”, dalam realitasnya tidak semua w arga n eg ara m erek a b e n a r-b e n a r menampilkan diri sebagai “demokrat sejati”. Di A u stra lia , kaum M uslim serin g m enghadapi k e su lita n k e tik a h en d ak m em bangun tem pat ibadah (khususnya masjid). Sikap negatif warga mayoritas nonMuslim terhadap kaum minoritas Muslim di kedua negara ini, tidak lepas dari peranan media massa dalam membentuk opini yang dipenuhi prasangka negatif terhadap kaum M uslim . D alam kasus Salm an Rushdie, penulis novel Ayat-Ayat Setan yang jelas-jelas menampilkan penghinaan terhadap Islam, misalnya, media massa di Inggris— atas nama “kebebasan berekspresi”— mengambil sikap yang merugikan kaum Muslim. Media juga hampir selalu menampilkan hal-hal yang negatif dalam pemberitaan mereka tentang dunia Islam , yang pada u jungnya ikut membentuk persepsi yang negatif dari kaum n o n -M uslim te rh a d ap kaum m in o ritas Muslim. Hal ini dapat dimengerti mengingat
sebagian besar media massa di Inggris dan A u stralia dik u asai para p em ilik m odal keturunan Yahudi. Dari sisi kebijakan resmi, penguasa sendiri m em ang sering kali menyatakan bahwa semua warga negara di sana, atas nama demokrasi dan hak-hak asasi manusia, diperlakukan secara sama, apa pun agama yang dianut oleh w arga negara mereka. Dalam konteks pelaksanaan bidang hukum, m isalnya, tid ak ja ra n g kaum m inoritas M uslim m endapat perlakuan yang sama dengan warga non-M uslim. Tidak jarang, dalam beberapa kasus soal jilbab, kaum minoritas Muslim memperoleh kemenangan di pengadilan. Akan tetapi, sejak terjadinya kasus seran g an te ro ris di A m erik a pad a 11 Septem ber 2001 (9/11), kecenderungan perlakuan yang sangat diskriminatif tampak ditujukan kepada kaum Muslim. Bahkan, beberapa saat setelah terjadinya kasus 9/11 (juga Bom Bali 2002 dan Bom London 2005), sejum lah m asjid di Inggris dan A u stra lia d iru sa k atau d ib ak ar m assa. Beberapa warga M uslim ju g a mengalami nasib yang mengenaskan, karena dikeroyok massa. Beberapa di antara mereka ada yang sampai meninggal dunia. Hal ini sekaligus m em buktikan bahw a “p erang m elaw an terorisme” yang dikobarkan Amerika Serikat di baw ah rezim G.W. B ush, m em baw a d am pak n e g a tif te rh a d a p n asib kaum minoritas Muslim di negara-negara Barat, termasuk di Inggris dan Australia.
99
Resume
KEBIJAKAN PERTAHANAN AUSTRALIA DAN RESPONS NEGARA-NEGARA ASIA TIMUR DAN SELANDIA BARU# Athiqah Nur Alami** Abstract Australia’s position in Asia Pacific has a significant consideration on their policy making, primarily defense policy. Their close relationship with The United States o f America and the United Kingdom sometimes becomes impediment in building relations with neighbor countries in Asia. The Australia 's defense policy more or less reflects the big countries 'interest in Asia Pacific, including Proliferation Security Initiatives, SM-3 andAMIZ policies. Those policies bring about various reactions from the East Asian Countries and New Zealand. The different reactions are related strongly with their interest and cooperation with Australia.
ustralia m erupakan suatu negara sekaligus benua yang m em iliki k a ra k te ris tik cu kup m en arik dibanding negara lain. Kebijakan Australia yang lebih condong ke Barat ternyata kerap menimbulkan ketegangan dengan negaranegara tetangganya di kawasan Asia Pasifik. Pasalnya kebijakan pemerintahan Australia sedikit banyak tidak jauh berbeda bahkan sejalan dengan Inggris dan Amerika Serikat. Termasuk di dalamnya kebijakan pertahanan Australia yang cenderung selalu memerlukan payung pertahanan dari negara besar, dalam hal ini terjadi pergeseran dari Inggris ke Amerika, yang dikenal dengan pergeseran dari Pax Britanica ke Pax Americana pada Desember 1941.
A
* Penelitian ini dilakukan oleh tim yang terdiri darTri Nuke Pudjiastuti (koordinator), Ikrar Nusa Bhakti, Japanton Sitohang, Mohamad Rum, Athiqah Nur Alami, Adriana Elisabeth, Kusnanto Anggoro. * Penulis adalah peneliti pada Bidang Politik Internasional P2P LIPI.
Di dalam laporan penelitian tahun ini, tim peneliti Australia berupaya menjelaskan bagaimana kebijakan pertahanan Australia tahun 2000-2005 termasuk perkembangan atau evolusi yang teijadi mulai pada tahun 1986 hingga 2005 dan isu-isu strategis yang muncul dalam kebijakan tersebut. Kebijakan pertahanan A ustralia ini tentu saja akan m emberikan im plikasi ataupun pengaruh terhadap negara-negara tetangganya. Oleh karena itu, menganalisis respons dari negaranegara tetangga Australia dan juga negaran eg ara b e sa r di A sia— m eskipun tidak berbatasan langsung dengan A ustralia— terhadap kebijakan pertahanan A ustralia tersebut menjadi penting untuk dilakukan dalam p en elitian ini. N eg ara-n eg ara di k aw asan A sia T im u r y an g kam i p ilih berdasarkan sig n ifik an si negara-negara tersebut dengan Australia dan juga terhadap politik internasional di wilayah Asia Pasifik, yaitu Cina dan Jepang. Sementara negara di Asia Tenggara yang juga dianalisis, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, dan 101
Thailand. Selandia Baru sebagai negara tetangga di selatan Australia juga menjadi b a g ian a n a lisis atas re sp o n s terh ad ap kebijakan pertahanan Australia tersebut. Pengaruh Lingkungan Strategis dalam Kebijakan Pertahanan Australia Sebagai negara ”kulit putih” yang berada di wilayah Asia, membuat Australia merasa perlu mengem bangkan kebijakan p e rta h an a n salah satu n y a dengan membangun jaring-jaring pertahanan dengan negara-negara di Asia Tenggara. Selain itu, menjaga kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik merupakan salah satu bentuk wujud aliansi abadi Australia kepada Amerika Serikat. D ua penekanan dalam kebijakan p erta h an a n itu la h yang te rk a d an g m enim bulkan dilem a dalam k eb ijak an pemerintah Australia. Di satu sisi, Australia m em butuhkan A m erika Serikat sebagai penjamin keamanan negaranya. Tetapi di sisi lain keberadaan Australia sebagai kaki tangan A m erika Serikat dianggap m engham bat Australia dalam membina hubungan dengan negara-negara Asia. Oleh karena itu, Australia berupaya m erum uskan kebijakan pertahanan yang telah mengalami evolusi sejak 1986 hingga saat ini, untuk mencari format yang paling tepat dalam m enjaga hubungan dengan A m erika Serikat sekaligus m em bangun h u b u n g an b aik dengan n e g a ra -n e g a ra tetangganya. Jauh sebelum Australia merdeka pada tah u n 1901 h in g g a tah u n 1941, ketergantungan A ustralia kepada Inggris sangatlah besar karena sebagai salah satu negara Persemakmuran Inggris, Australia merasa masih memiliki keterikatan historis dan politis dengan Inggris. Namun perang dunia kedua membuat Inggris harus lebih memperhatikan kelangsungan eksistensinya di Eropa ketim bang m enjaga keam anan negara-negara jajahannya di Asia Tenggara. Terlebih dengan jatuhnya Singapura — 102
sebagai salah satu negara Persemakmuran Inggris— ke tangan Jepang, menyebabkan A u stra lia m e m ik irk a n k em b ali k e te r gantungannya dengan Inggris. Karena itulah, demi keamanan negara, Australia beralih ke A m erik a S e rik a t y an g d iy a k in i dapat memberikan jaminan keamanan dan payung perlindungan pertahanan kepadanya. K o n se k u e n si d ari b en tu k pengabdian-nya kepada Amerika Serikat, A ustralia diw ajibkan untuk m endukung bahkan berjuang bersama dalam berbagai kebijakan Amerika Serikat. Misalnya, pascatumbangnya Uni Soviet, Amerika Serikat sedang giat memerangi komunisme di Asia Pasifik maka Australia pun melakukan hal serupa. Dengan mengedepankan Forward Defence Strategy, Australia bersama Amerika Serikat berupaya membendung penyebaran komunisme dalam Perang Korea dan Perang Vietnam. Selain itu tergabung dalam South East Asia Treaty Organization (SEATO),
British Commonwealth Far East Strategic Reserve (F E S R ) dan A N ZU S bersam a Amerika Serikat, menjadi pilihan Australia saat itu. Ketergantungan Australia terhadap Amerika Serikat dan juga Inggris, tampaknya tidak cukup dapat bertahan lama, paling tidak untuk sem entara waktu pada akhir tahun 1960-an, k a re n a ad an y a p eru b ah an lin g k u n g a n stra te g is di A sia saat itu. Akibatnya Australia mengalihkan kebijakan p e rta h a n a n n y a m e n jad i Self-Defence Strategy. Perubahan inilah yang kemudian membuat Australia perlu untuk merumuskan format kebijakan pertahanan sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang dan karakter bangsa Australia. Untuk itu, pada tahun 1986 Menteri Pertahanan Australia saat itu, Kim Beazley m enugaskan Paul Dibb, seorang mantan personel Departemen Pertahanan Australia untuk mengevaluasi pelaksanaan Forward Defence Strategy dan memberikan masukan tentang kem am puan apa yang tepat bagi instrumen pertahanan Australia. Hasilnya,
Dibb’s Report' mengusulkan suatu strategi penangkalan bagi pertahanan Australia yang terdiri dari em pat lapis2. Lapis pertam a meliputi intelligence dan surveillance yang komprehensif, dengan memberikan prioritas pada pengawasan sejauh 1000— 1500 mil ke lu ar w ilay ah A u stra lia . S trateg i ini d im ak su d k an u n tu k m e n d etek si p ara penyusup di wilayah laut dan udara. Lapis k ed u a m e n ek an k an p ad a kem am puan kekuatan laut dan udara dalam melakukan penyerangan untuk mengatasi ancaman yang melintas di wilayah laut dan udara Australia. Lapis yang ketiga, m em fokuskan pada kemampuan defensif untuk mencegah musuh mendekat ke wilayah penting di antaranya di jalu r pelayaran A ustralia. Lapis terakhir mengandalkan mobile ground forces guna menumpas ancaman yang berhasil melewati laut dan udara yang dianggap membahayakan aset-aset penting dan pemukiman penduduk. Masukan dari Paul Dibb ini ternyata m enuai b e rb a g ai k ritik , di an taran y a kebijakan ini cenderung terlalu defensif dan isolasionis, selain pem bebanan anggaran yang tidak sedikit jika memang strategi ini diterapkan Australia. Namun terlepas dari itu sem ua, tid a k d a p at d ip u n g k iri bahw a masukan Dibb ini menjadi dasar dalam mereview kekuatan pertahanan Australia bahkan hingga Buku Putih Pertahanan A ustralia tahun 2000. Setahun kemudian, dikeluarkanlah Buku Putih P ertahanan A u stralia ”The Defence o f Australia”. Buku putih tahun 1987 yang merupakan kali pertama terwujudnya secara je la s a rtik u la si stra te g i m ilite r A u stra lia in i, m e n ek an k an pada pengembangan ikatan-ikatan keamanan yang 1 Alex Tewes, Australia’s Maritime Strategy in the 21st Century, Research Brief N o.4 2004-05, Foreign Affairs, Defence and Trade Sections, Canberra: Parliament o f A u stralia, P arliam entary Library, dalam h ttp :// www.aph.gov.au/librarv/pubs/RB/2004-05/05rb04.htm. hal. 10— 12. 2 Review o f Australia’s Defence Capabilities, Report to the Minister for Defence by Mr. Paul Dibb, Maret 1986, Canberra: Australian Government Publishing Service.
leb ih d ek at d engan kaw asan sekaligus m enegaskan kem bali pentingnya aliansialiansi militer. Strategi penangkalan yang diusulkan Paul Dibb, sedikit banyak diadopsi dalam buku putih tersebut, terlihat dengan te ta p ad an y a em p at la p is strateg i penangkalan. Namun perbedaannya, strategi tersebut lebih bersifat ofensif. Setelah berakhirnya perang dingin dan juga teijadi berbagai persoalan politik domestik di beberapa negara di Asia Pasifik3, Australia mulai memperbaharui lagi strategi pertahanan dan keamanan sebagai respons dari perubahan lingkungan strategis saat itu. A k h irn y a p ad a ta h u n 1994, A u stra lia m e n g elu ark a n B u k u P u tih P ertah an an A u stralia ”D efen d in g A u stra lia ”4 yang memberikan perhatian lebih pada kerja sama pertahanan dengan negara-negara tetangga dan k u ra n g m en ek an k an p ad a ik atan pertahanan Australia dan Amerika Serikat5 dan mengubah strategi pertahanan menjadi ”mencari keamanan di dalam Asia”. Dengan ini berarti A ustralia telah mengubah cara pandang tentang bahaya kuning (Jepang) dan b ah ay a m erah (R R C dan kom unism e), dengan m enjadikan m ereka m itra demi keamanan dan kemakmuran bersama di Asia dan m eletakkan hubungan mereka dalam empat pilar utama, yaitu politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan6*.
3 Misalnya dalam konflik intern berbagai faksi di Kamboja, gerakan etnonasionalism e suku Karen di Myanmar, persoalan Moro di Filipina, persoalan Bougenville di Papua Nugini, persoalan emis India di Fiji, persoalan Aborigin di Australia, Gerakan Kemerdekaan Kanak di Kaledonia Baru, persoalan GAM, OPM dan integrasi Timor Timur di Indonesia. 4 Commonwealth o f Australia, Australia ’s Defence White Paper 1994: Defending Australia, ACT: AGPS, 1994. 5 Pengenduran ikatan pertahanan dengan Amerika Serikat merupakan bentuk dari independensi politik luar negeri Australia di bawah pemerintahan Partai Buruh. 6 Makalah resmi yang dibawakan oleh PM Australia Bob Hawke, Australia ’s Security in Asia , The Asia Lecture organized bay the Asia-Australia Institute, University of New South Wales, Sydney, 24 Maret 1991, dalam Ikrar Nusa Bhakti dkk, Persetujuan Pemeliharaan Keamanan Republik
Indonesia-Australia, Kaitannya dengan Stabilitas dan Keamanan Regional Asia Tenggara: Suatu Tinjauan Strategis Politis, Keija sama PPW-LIPI dengan Balitbang Deplu RI, 1997, hlm. 97.
103
Pergantian tampuk kepemimpinan di Australia dari Partai Buruh kepada Partai Liberal-Nasional di bawah John Howard, tentu saja mempengaruhi konsep pertahanan keamanan sebelumnya. Dengan mengeluar kan ”Australia’s Strategic Policy”7pada tahun 1997, menunjukkan bahwa PM John Howard lebih cenderung mendekat pada Inggris dan Amerika Serikat ketimbang dengan negaranegara tetangganya. Strategi ini menekankan pada strategi kontinental dengan orientasi utam a pada kekuatan m atra laut, yang ditunjang dengan kekuatan matra udara. Perubahan lingkungan di sekitar Australia kembali terjadi pada akhir tahun 1990-an, di an taran y a referendum dan a k h irn y a le p asn y a T im or T im ur dari Indonesia. Peristiwa ini sempat menimbulkan ketegangan diplomatik antara Indonesia dan A u stra lia k a re n a A u stra lia d ian g g ap m endukung kem erdekaan Tim or Tim ur melalui operasi tentara Australia di sana. Dari operasi di Timor Timur menunjukkan bahwa Australia membutuhkan kekuatan angkatan laut yang lebih andal, bukan hanya untuk m en g an g k u t p a su k a n tap i ju g a un tu k m elakukan penyerangan. Selain itu juga dibutuhkan angkatan udara yang tangguh guna m enghalau m usuh yang m asuk ke n e g a ra -n e g a ra te ta n g g a A u stra lia dan mengusir musuh jauh dari wilayah Australia. Hal tersebut dituangkan dalam Buku Putih Pertahanan tahun 2000 ”Our Future Defence Force”8. Tragedi serangan terhadap menara kem b ar W TC di W ashington pada 11 September 2001 oleh sekelompok teroris yang hingga kini belum terungkap, kembali membuat A ustralia memperbarui strategi pertahanannya. Sebagai salah satu sekutu Amerika Serikat, Australia kembali beijuang bersama Amerika Serikat dalam memerangi
7 Commonwealth o f Australia, Australia s Strategic Policy, Canberra, ACT: Department o f Defence, 1997. # Commonwealth o f Australia, Defence White Paper 2000, Defence 2000: Our Future Defence Force, Canberra, ACT: Department o f Defence, 2001.
104
tero rism e yang d ik en al dengan Global Coalition Against Terrorism. Ini termaktub dalam ”D efen ce W hite P ap er 2003: A D efen ce U p d a te ”9, y an g b e rh a sil mengidentifikasi tiga area ketidakpastian dan risik o , y a itu te ro rism e g lo b a l, sen jata pemusnah massal, dan kawasan bermasalah. P e ru b a h a n s tra te g i p e rta h a n a n ini sesungguhnya amat terkait dengan perubahan strategi m aritim A m erika Serikat dalam memerangi terorisme, di antaranya dengan kebijakan Proliferation Security Initiatives (PSI) yang dicetuskan George W. Bush pada 31 Mei 2003. B erdasarkan berbagai buku putih yang dikeluarkan Australia, menunjukkan bahw a A ustralia belum sepenuhnya dan tampaknya tidak akan pernah ”bertarung” secara m andiri. K oalisi dengan Amerika Serikat justru semakin erat dan tercermin d alam k e b ija k an p e rta h an a n A u stralia berikutnya. Salah satu bentuk konkret koalisi A m erika Serikat dan A ustralia ditambah dengan berbagai negara lain dunia dalam ran g k a m e n g g alan g k o a lisi m elaw an terorisme, terlihat dalam berbagai latihan operasi m iliter dalam program PSI yang sering m elakukan latihan bersam a. PSI d itu ju k a n u n tu k m en ceg ah te rja d in y a perdagangan atau transfer ilegal senjata pemusnah massal antamegara atau dari suatu n eg ara ke a k to r-a k to r n o n n eg ara yang melanggar aturan dan norma internasional10. Sampai dengan tahun 2005, PSI telah didukung oleh lebih dari 60 negara dunia dari berbagai kawasan. Meskipun PSI bukanlah seb u ah o rg a n isa si dan tid a k m em iliki sekretariat atau markas besar, kerja sama informal ini telah terbukti mampu mencegah p e n g em b a n g b ia k a n s e n ja ta p em u sn ah massal. 9 C om m onw ealth o f A ustralia, Australia ’s National Security: A Defence Update, Canberra, ACT: Department o f Defence, 2003. 10 C om m on w ealth o f A u stra lia , Weapons o f M ass
Destruction: Australia ’s Role in Fighting Proliferation, Practical Responses to New Challenges, Canberra, ACT: Australian Government, 2005.
Bentuk kerja sama lain dalam rangka aliansi A m erika Serikat-A ustralia adalah penandatanganan nota kesepahaman dalam hal pertahanan missil pada Juli 2004, di antaranya diwujudkan melalui kerja sama pengembangan Standard Missile 3 (SM-3) yang merupakan pengembangan dari SM-1 dan SM-2. Kekuatan senjata yang ditujukan untuk m em erangi terorism e inilah yang m endapatkan pertentangan dan respons b erag am d ari n e g a ra -n e g a ra te ta n g g a Australia, khususnya negara-negara Asia Tenggara, dengan adanya indikasi akan m u n cu ln y a p e rta ru n g a n ” The Son o f
Starwars". S elain itu u n tu k m endukung pengamanan maritim, pada 15 Desember 2004 PM A u stra lia John H ow ard mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan negara tetangga dengan akan menerapkan pengaw asan sejauh 1000 nm (1850 km) terhadap kapal yang akan menuju Australia m elalui kebijakan Australia ’s Maritime Identification Zone (AM IZ)11. Kebijakan ini kembali mengundang respons beragam dari negara tetangga yang terkena imbas dari kebijakan ini, khususnya Indonesia. Sejauh 1850 km tersebut, untuk wilayah Indonesia berarti telah m enjangkau sebagian besar wilayah Jawa dan melampaui laut Arafuru. Akibat reaksi dari berbagai negara maka kebijakan ini berganti menjadi Australia’s Maritime Identification System (AM IS). Perlu kita cermati, sesungguhnya perubahan kata "zone'" m enjadi ” system" m em iliki makna yang tidak jauh berbeda. Bahkan p en g g u n aan k ata ” system " m em buat A u stralia lebih bebas m enterjem ahkan konsep kebijakan tersebut seluas-luasnya, yang berarti bukan tidak mungkin lebih dari sekadar "zone" yang dikritik oleh berbagai negara karena melanggar kedaulatan negara yang bersangkutan.
11 Press Release: Strenghtening Ojfshore Maritime Security, Prime Minister Howard’s Announcement, Perth, 15 Desember 2004.
Isu S tra teg is d alam Pertahanan Australia
K eb ija k a n
Selain membangun pertahanan missil bersama Amerika Serikat dalam PSI yang secara langsung m aupun tidak langsung b erw u ju d SM -3 atau A M IZ /S , strateg i pertahanan Australia juga menekankan pada persoalan migrasi internasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa Australia adalah sebuah negara yang dibangun oleh para migran yang datang dari berbagai belahan dunia, mulai dari benua Eropa, Asia, dan Amerika. Akibat perbedaan latar belakang sosial, budaya, ekonom i antarw arga inilah, yang kerap memunculkan persoalan dalam membangun id e n tita s n e g ara A u stra lia . S elain itu, kehadiran para imigran yang tiap tahun kian bertambah, jelas m enim bulkan tambahan persoalan bagi Australia. Pasalnya kehadiran m erek a d ia n g g ap m e n jad i p en y eb ab munculkan ketidakamanan di bumi Australia akibat aksi-aksi radikal m ereka. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa sebagian besar mereka merupakan imigran ilegal. Sebagai akibat semakin banyaknya migran ilegal yang masuk ke Australia maka pada Septem ber 2001 Parlem en Federal A u stra lia m e lo lo sk a n Migration
Amandement (Excisionfrom Migration Zone) Act 200712yang ditujukan untuk mengurangi insentif bagi para migran yang masuk secara ilegal. Untuk menangani persoalan migran ini, Australia juga menerjunkan Australian Defence Forces (ADF) dengan menggelar operasi militer ”Relex” yang melibatkan 5 buah kapal perang dan 4 pesawat pengintai dari sebelah barat pulau Christmas hingga Ashmore Reef. Isu pertahanan keamanan yang juga m en jad i p e n ek a n a n A u stra lia ad alah pengam anan atas gas lepas pantai dan eksplorasi minyak di North-West Shelf yang
12 Moira Coombs, Excisionfrom the Migration Zone Policy and Practice, Research N ote No. 42 2003-04, 1 Maret 2004 dalam http://www.aph.gov.au/library/pubs/rn/ 2003-04/04m42.htm .
105
terletak di pantai Australia Barat dan laut Tim or, yang pada tah u n 2003 te rja d i penyerangan atas pelabuhan kilang minyak A u stralia oleh sekelom pok tero ris. Ini k em b ali m en u n ju k k an k ek h aw a tira n Australia atas terganggunya aset-aset vital negaranya oleh serangan teroris. U ntuk m en g atasi p e rso ala n p en gam anan di kaw asan lepas p an tai, Australia juga melibatkan perusahaan terkait dengan melakukan amandemen terhadap the
Maritime Transport Security Act 2003 (M T S A ), d en g an m e n u g ask an pengk o o rd in a sia n n y a k ep ad a D ep artem en Transport dan Pelayanan regional, yang direncanakan tugas itu akan selesai dan dapat dilaksanakan terhitung mulai 30 September 200513. Selain itu, isu terorisme pasca Tragedi 11 September 2001 dan Bom Bali I pada Oktober 2002 semakin menjadi perhatian lebih bagi A ustralia. D itam bah dengan peledakan bom yang dibawa oleh sebuah mobil yang berhenti di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada September 2004, kembali membuat Australia lebih waspada terhadap keam anan negaranya term asuk keamanan warga negaranya di negara lain.
penyebaran senjata pemusnah massal, Cina justru memilih untuk tidak bergabung dalam aliansi pimpinan Amerika Serikat tersebut. Alasannya, selain tidak sesuai dengan arah kebijakan luar negeri Cina, PSI juga dianggap m elanggar hukum internasional dengan adanya aksi "interdiction" yang dilakukan oleh negara anggota, yang berarti ju g a melanggar supremasi suatu negara. Diperkuat dengan kedudukan Cina sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Cina merasa m em iliki tanggung jaw ab khusus untuk m ew ujudkan perdam aian dan keamanan internasional. Cina hanya mengharapkan adanya keija sama yang erat dengan negara anggota inti PSI dan m em ainkan peran k o n s tru k tif d alam m e n g atasi m asalah tersebut14. Namun ternyata di pihak lain, Cina bersam a R usia ju stru m elakukan latihan militer bersama pada Agustus 2005 dalam ”Peace Mission 2005” yang didasarkan pada nota kesepahaman yang ditandatangani Juli 2004. Lalu terkait dengan hubungan Australia dan Cina, memang lebih signifikan dalam bidang perdagangan ketimbang pertahanan. D an p e rso a la n k e b ija k a n p ertah an an Australia tidak akan menjadi masalah bagi Cina selam a A ustralia m endukung ” one
china policy". R espons atas K ebijakan Pertahanan Australia Dalam menganalisis respons negaranegara tetangga dan juga negara-negara yang memiliki relevansi dengan Australia dan perpolitikan internasional, kami menetapkan Cina, Filipina, Jepang, Malaysia, Indonesia, Selandia Baru, Singapura, dan Thailand. Terkait dengan perubahan lingkungan strategis dan perkembangan isu terorisme yang merebak di dunia internasional, di mana n e g ara-n e g a ra b erlo m b a-lo m b a secara m u ltilateral m elakukan latihan m iliter bersama dalam forum PSI guna memerangi
13 Interview with the A ustralian A sso cia ted Press, November 17, 2004, hlm. 19
106
Sementara itu hubungan Australia dan Jepang kaitannya dengan keterlibatan kedua n egara dalam PSI din ilai cukup signifikan. D engan m enjadi bagian dari latihan bersam a PSI, Jepang m endapat k eu n tu n g an b e ru p a p en g em b an g an kemampuan Pasukan Bela Dirinya dalam m encegah penyebaran senjata pemusnah massal sekaligus mengamankan kepentingan jalur laut yang dilalui kapal-kapal tanker Jepang yang membawa minyak mentah dari Timur Tengah. Pengangkutan minyak mentah terseb u t m elalui Terusan Suez, Lautan Hindia, Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan Terusan Taiwan. Sedangkan kebijakan SM3 yang menurut pernyataan Australia baru
14 East Asia Strategic Review 2005, hlm. 28.
akan dikembangkan pada tahun 201315, justru sudah lebih dahulu dikembangkan Jepang, sehingga jika Australia nanti benar-benar akan mengembangkan SM-3 akan sangat m em bantu Jepang dan A m erika Serikat dalam mengatasi persoalan di antaranya krisis nuklir di Semenanjung Korea. Reaksi yang cukup unik ditunjukkan oleh S elandia B aru dalam m enanggapi kebijakan pertahanan Australia terkait dengan AMIS dan SM-3. Sebagai negara di selatan Australia, tentu saja radar pengamanan sejauh 1850 km akan mencapai wilayah Selandia baru. Pada awalnya M enteri Luar Negeri Selandia Baru Phil Goffbereaksi cukup keras te rh a d ap k e b ija k an te rse b u t karena m elanggar kedaulatan. N am un beberapa w aktu kem udian, pih ak S elandia B aru mengaku telah meminta klarifikasi terhadap Australia dan menyatakan bahwa telah terjadi kesalahan komunikasi antara Selandia Baru dan A u stra lia atas k e b ija k an m aritim A ustralia tersebut. Sejak itu ketegangan kedua negara seolah mereda dan memang perlu disadari bahwa membangun hubungan bilateral yang kondusif antara mereka lebih penting ketimbang mengedepankan konflik, baik bersenjata maupun diplomatik. Sebagai kawasan yang terletak di utara Australia dan kerap dianggap sebagai ancaman bagi Australia, negara-negara di A sia T enggara, dalam hal ini F ilipina, M alaysia, Singapura, Thailand termasuk Indonesia, memberikan reaksi yang cukup beragam terhadap kebijakan AMIS. Reaksi yang cukup keras muncul dari Malaysia dan Indonesia, karena dianggap m elanggar kedaulatan. Sementara Filipina, Thailand, dan Singapura tidak memberikan pernyataan atau reaksi yang terbuka terkait dengan sikap mereka atas kebijakan Australia tersebut. Khususnya Indonesia, berdasarkan diskusi terfokus yang dilakukan oleh tim peneliti dan juga pemberitaan di berbagai
15Australian Defense Section-Jakarta, Responses to Issues from LIPI Seminar, 16 Mei 2005.
media massa, menunjukkan bahwa terdapat reak si yang b erb ed a an tarin stan si atau departemen di jajaran pemerintah Indonesia dalam menyikapi kebijakan AMIZ dan SM3. Pernyataan Menteri Pertahanan Indonesia, Juw ono Sudarsono yang terkesan keras, sebenarnya cukup kondisional. Sementara di bawah permukaan, reaksi elite Indonesia jauh leb ih k e ra s. B ah k an d alam b erb ag ai p e rte m u an te rtu tu p , k a lan g a n m ilite r menggunakan istilah-istilah yang tidak kalah kerasnya. R eaksi b erleb ih an Indonesia terhadap AMIZ selain merupakan bentuk penolakan terhadap supremasi Barat, juga m en jad i sala h satu c ara In d o n esia menunjukkan nasionalismenya dalam rangka mengukuhkan identitas nasional. Namun secara um um , dilih at dari aw al sejarah hubungan diplom atik Indonesia-Australia hingga kini, m em ang kerap m engalam i pasang surut. Keterlibatan tentara Australia dalam lepasnya Timor Timur dari Indonesia, menjadi isu santer yang sempat membekukan hubungan kedua negara. Selain itu perbedaan m odel k ep em im p in an an tara PM John Howard dengan para pendahulunya, dalam menyikapi hubungannya dengan Indonesia, ju g a m enjadi salah satu penyebab yang m em perkeruh hubungan bilateral kedua negara. Kasus pemberian visa terhadap 42 orang warga Papua pada awal tahun 2006 ini juga kembali menguji kekokohan hubungan kedua negara. Penutup Perkembangan kebijakan pertahanan Australia sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan strategis khususnya di kawasan A sia Pasifik. Pertahanan dan keam anan k o n tin e n ta l m e n jad i d a sa r k e b ijak an p e rta h a n a n A u stra lia d ib an d in g k an p e rta h a n a n m a ritim . P ad ah al w ilay ah A u stralia yang d ik elilin g i oleh lautan, seh a ru sn y a m e n ja d ik an p e n tin g bagi A u stra lia u n tu k m em p erk u at arm ada maritimnya. Namun perubahan lingkungan strategis, khususnya pasca-perang dingin, 107
membuat Australia mulai mengalihkan fokus perhatian pertahanan keam anannya pada pertahanan maritim. Pergeseran fokus perhatian tersebut telah dimulai sejak Buku Putih Pertahanan tahun 1987 berdasarkan masukan dari Paul Dibb yang term uat dalam Dibb Report, hingga Defence Update tahun 2003 pascatragedi 11 September 2001 yang menimpa A m erika Serikat. Di dalam periodisasi kebijakan tersebut, tidak terlalu terlihat pergeseran kebijakan yang signifikan, tapi tetap ada penekanan-penekanan pada hal-hal tertentu. Isu-isu strategis yang juga turut m em p en g aru h i k e b ija k a n p e rta h a n a n A ustralia terk ait erat dengan persoalan m ig rasi ileg al yang k erap m em banjiri Australia, juga pengamanan terhadap aset vital Australia di gas lepas pantai dan kilang minyak dari serangan teroris. Kesemua isu strategis tersebut sesungguhnya bermuara pada ketakutan Australia terhadap serangan terorisme yang terus membayangi Australia. U paya k o n k re t dalam ran g k a m em p erk u at arm ad a m a ritim n y a dari serangan teroris, pada akhir tahun 2004 A u stra lia m e n g elu ark a n k e b ija k an
Australia ’s Maritime Identification Zone yang bertujukan untuk memeriksa kapalkapal yang akan menuju A ustralia dalam identitas kapal, awak kapal, kargo, lokasi dan pelabuhan tujuan di Australia. Kebijakan yang menerapkan cakupan sejauh 1850 km ini kontan mengundang reaksi keras dan b erb a g ai re sp o n s d ari n e g a ra -n e g a ra sekitarnya, khususnya negara-negara yang berbatasan langsung dengan Australia, di antaranya Indonesia, Malaysia, dan Selandia Baru. Adapun rencana pengembangan SM-3 yang d ia k u i A u stra lia b aru akan dikembangkan tahun 2013, tidak mendapat respons secara langsung yang signifikan. Kekhawatiran muncul dari Cina dan negaranegara Asia Tenggara terhadap kemungkinan munculnya perlombaan senjata antamegara yang memiliki nuklir, yang tentu saja akan mengancam perdamaian dunia. Sementara
108
Jep an g ju s tru te la h le b ih d ah u lu mengembangkan SM-3 ini bersama Amerika Serikat. Oleh karena itu, sebagai bagian dari jaring-jaring pertahanan Amerika Serikat sekaligus sekutu abadi Amerika Serikat di A sia Pasifik, A ustralia saat ini m enjadi p e rh a tia n n e g a ra -n e g a ra teta n g g an y a . Kepentingan Amerika Serikat dianggap telah b e rm a in di k a w asan te rs e b u t m elalu i Australia dan negara Asia sekutu Amerika Serikat, seperti Jepang dan Korea Selatan. D aftar P u stak a Australian Defense Section-Jakarta, Responses to Issues from LIPI Seminar, 16 Mei 2005. Bhakti, Ikrar N usa dkk. 1997. P ersetu ju an P em e lih a ra a n K eam an an R epu blik Indonesia-A ustralia, K aitannya dengan Stabilitas dan Keam anan Regional Asia Tenggara: Suatu Tinjauan Strategis Politis. Kerja sama PPW-LIPI dengan Balitbang Deplu RI. Commonwealth o f Australia. 1994. A ustralia’s D efen ce White P a p er 1994: D efending Australia. ACT: AGPS. ------------------- . 1997. Australia 's Strategic Policy. Canberra, ACT: Department o f Defence. --------------------. 2001. Defence White Paper 2000, Defence 2000: Our Future Defence Force. Canberra, ACT: Department o f Defence. .............................. . 2 0 0 3 . A u s tr a lia ’s N ation al Security: A Defence Update. Canberra, ACT: Department o f Defence. ............................... . 2 0 0 5 . W eapons o f M ass Destruction: Australia ’s Role in Fighting Proliferation, Practical Responses to New C hallenges. Canberra, ACT: Australian Government. Coombs, Moira. Excision from the Migration Zone Policy and Practice. 1 Maret 2004. Research N ote N o. 42 2 0 0 3 -0 4 dalam http:// www.aph.gov.au/library/pubs/m/2003-04/ 04m42.htm. East Asia Strategic Review 2005. Interview with the Australian Associated Press, November 17, 2004, hlm. 19.
Prime Minister Howard’s Announcement. 15 D esem ber 2004. Press R elease: “Strenghtening Offshore Maritime Security”. Review o f Australia 's Defence Capabilities. 1986. Report to the Minister for Defence by Mr. Paul Dibb. Canberra: Australian Government Publishing Service.
Tewes, Alex. 2005. Australia ’s Maritime Strategy in the 21st Century. Research Brief No.4 2004-05 Foreign Affairs Defence and Trade Sections. Canberra: Parliament o f Australia, Parliam entary Library, dalam http:// www.aph.gov.au/library/pubs/RB/2004-05/ 05rb04.htm.
109
Review B uku
KEKERASAN A L A KAPITALISME Sebuah Telaah atas Buku Violence and D em ocratic Society Athiqah Nur Alami (Kandidiat Peneliti P2P-LIPI) Judul Buku Penulis Penerjemah Penerbit Halaman
: Violence and Democratic Society : Prof. DR. Jamil Salmi, Ph.D. : Slamet Raharjo : Kelompok Pilar Media, Februari 2005 : 292 halaman Abstract
The rise o f capitalism at the present does not mark it as a glorious ideology. Capitalism has many dark sides that we should aware. One o f the dark sides that is worth to be noticed is the emergence o f violence against human that happened to maintain the existence o f Capitalism itself The Violence has variousforms, direct violence and indirect violence. Each form o f the violence brings conseguence that is often disrespect the universal human rights.
stilah kekerasan dan kapitalisme berasal dari dua akar ilmu sosial yang berbeda. K ekerasan m erupakan istilah dalam sosiologi, sedangkan kapitalism e muncul dalam ilmu ekonom i. N am un dem ikian, kedua istilah tersebut memiliki keterkaitan karena ternyata paham kapitalism e yang kemudian berkembang tidak hanya di bidang ekonomi tapi juga politik, mempengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat dunia saat ini, te rm a su k m en jad i salah satu p en y eb ab te rja d in y a k e k erasan , b aik langsung maupun tidak langsung. Teori-teori tentang kapitalisme yang berkembang pada abad k e-18, 19, dan 20 berada dalam konteks revolusi industri dan imperialisme Eropa serta perang dingin. Para teoritisi tersebut menggambarkan kapitalisme sebagai seb u ah sistem ekonom i yang
I
bercirikan m odal dim iliki oleh individu swasta dan keputusan ekonomi ditentukan oleh pasar1. Konstelasi perpolitikan dunia pasca perang dingin mengalami perubahan yang cukup signifikan. Runtuhnya komunisme di Uni Soviet dan pertumbuhan ekonomi pasar sosialis di Cina serta globalisasi, semakin memperkuat paham kapitalisme dunia. Tesis F ran cis F ukuyam a yang m entakdirkan kapitalism e sebagai “pem enang tunggal” semakin membuat yakin dunia bahwa tidak ada ideologi lain yang bisa bertahan selain k a p ita lism e . K em en an g an lib e ra lism e ekonomi dan politik serta demokrasi liberal Barat yang gemilang membuktikan bahwa
1Capitalism-Wikipedia, thefree encyclopedia yang diakses pada 3 Juli 2006.
111
liberalisme merupakan satu-satunya ideologi pemerintah yang paling tepat. N am un di b a lik k e jay a a n n y a, kapitalisme ternyata menyimpan wajah gelap yang perlu kita kritisi bersam a. Jurang pemisah masih menganga di antara retorika kem enangan kapitalism e dan sisi gelap kehidupan sehari-hari umat manusia. Di balik jargon-jargon kapitalisme, yaitu kemajuan (progress), pertum buhan (,growth ) dan kem akm uran (prosperity ), terdapat m asalah-m asalah dunia seperti kelaparan, kemiskinan, tuna wisma, buta h u ru f, re n d a h n y a tin g k a t k e seh atan , p en g an g g u ran , k etim p a n g an so sia l, peredaran obat terlarang, dan segala bentuk kekerasan.
Violence and Democratic Society yang ditulis oleh Prof. Dr. Jamil Salmi, Ph.D. ini berusaha untuk m enguak segala tabir gelap kapitalisme tersebut, dan membuka m ata p ik iran k ita bahw a k a p ita lism e bukanlah sebuah ideologi pemenang seperti yang dilontarkan oleh Fukuyama. Buku ini m engkaji k e te rk a ita n lan g su n g an tara berbagai aspek dalam tindak kekerasan yang terjadi akibat biasnya pandangan kapitalisme terhadap kekerasan tersebut. Kategorisasi bentuk kekerasan sebagai modus pelanggaran hak asasi m anusia, perangkaian secara struktural dan etis m engenai peran dan “keb erm aknaan” kekerasan m erupakan dampak akum ulasi m odal dalam sistem kapitalisme. Istila h k ek erasan dalam ranah kapitalisme yang terdapat dalam buku ini bermakna kekerasan bukanlah kecelakaan atau kesalahan, tapi justru diperlukan demi keberlangsungan kapitalism e. Kekerasan dilihat bukan dari kacamata pemerintah, tapi dari kacamata korban kekerasan. Definisi korban kekerasan, baik perorangan maupun kelo m pok ada b aik n y a m engacu pada Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan, terutama pada paragraf 1 dan 2 yaitu: “Korban berarti orang yang secara
p e ro ra n g a n dan k e lo m p o k m en d erita kerugian, termasuk cedera fisik dan mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan nyata terhadap hak dasar mereka”2. Kritik atas Pendekatan dalam Memandang Kapitalisme Profesor asal Maroko dari Institute o f Educational Panning di Rabat ini mengawali uraiannya dengan membeberkan lima jenis k a ra k te ristik p e n d ek a ta n p ersep si dan perhatian masyarakat demokratis-kapitalis yang bias, tidak benar, saling berkaitan dan salin g m ele n g k ap i d alam m em andang kekerasan. Pertama, ia mengungkapkan adanya analisis yang dangkal atau superficial atas m akna k ek erasan . M edia m assa hanya memberitakan aspek-aspek kekerasan yang paling mudah dilihat secara visual, sedangkan bentuk-bentuk kekerasan atau pelanggaran hak asasi manusia yang menurut mereka tidak lay ak d ib e rita k a n tid a k akan dim uat, meskipun kekerasan itu sangat dramatis. P e rh a tia n p u b lik h an y a te rfo k u s pada kekerasan yang instan dan sensasional yang digembar-gemborkan media massa, seperti peram pokan bank, pem bajakan pesawat. Namun demikian, tidak menaruh perhatian pada seorang kondisi im igran dari suku Indian Barat di London atau Puerto Rico di New York atau Arab di Paris yang menjadi korban kekerasan. Kedua, adanya analisis yang kurang proporsional oleh masyarakat Barat. Mereka m elebih-lebihkan w ilayah dan intensitas kekerasan yang sebenarnya tidak begitu serius atau mereka mereduksi suatu tindak kekerasan sehingga dam paknya menjadi m inim al. K etika orang m em bandingkan jum lah korban teroris, sikapnya terhadap pelaku terorisme di Eropa seperti IRA, Action Directe, B rigade M erah atau Al-Qaeda, 2Theo van Boven, Mereka yang Menjadi Korban, ELSAM, Jakarta, 2002, hlm. 6.
112
tid a k la h sam a sik ap m erek a te rh a d ap serangan yang dilakukan pemerintah Israel terhadap bangsa Palestina, Lebanon, Tunisia, dan Irak. S e te la h m e m b a n d in g k an sikap masyarakat Barat terhadap kasus kekerasan, terlihat adanya ketidakproporsionalan sikap Barat terhadap kekerasan. Tidak proporsional ini te rja d i k a re n a k o n sep te n ta n g p e rlin d u n g a n h ak asasi m an u sia yang dimaknai sempit. Ketika parlemen Prancis m em bahas k em u n g k in an p en g h ap u san p e rb u d a k an selam a ab ad k e - 19, to p ik utamanya yaitu berapa banyak kompensasi yang harus diterim a pem ilik budak jik a p e rb u d a k an d ih a p u sk a n , b u kan pada kompensasi yang harus diterima oleh para budak yang sekian tahun m enderita dan dibelenggu kebebasannya. K etiga, adanya analisis individualistik yang keterlaluan. Maksudnya yaitu hanya m em perhitungkan faktor-faktor individu yang pada kenyataannya dianggap sebagai pendekatan yang objektif. Hubungan kausal antara kekerasan yang diamati dan struktur sosial yang m elingkupinya dilenyapkan secara sistematis. Konsekuensinya analisis te rse b u t g ag al m e n e lu su ri h u b u n g an hubungan logis antara seorang individu sebagai pelaku atau korban dan kelompok atau kelas sosial darimana dia berasal. Di masa lampau, ketika Afrika dijajah Prancis, Inggris, Spanyol, dan Portugal, kaum nasionalis yang berjuang melawan penjajah digambarkan dan dituduh sebagai gangster, agitator, ekstremis, pemimpin gerombolan atau pembunuh, bukannya sebagai pejuang kebebasan. Kini, ketika kelompok oposan menentang rezim-rezim brutal di El Salvador, Guatemala atau Afrika Selatan yang terpaksa m enggunakan kekerasan, m ereka tidak p ernah d ian g g ap seb ag ai p a trio t yang menentang tatanan sosial yang represif dan tidak adil, namun sebagai teroris fanatik yang hanya bertujuan m enciptakan anarki dan keporakporandaan.
M en u ru t S alm i, k elem ah an dari analisis individualistik ini adalah kenyataan analitis yang mengesampingkan sepenuhnya b e n tu k -b en tu k k ek erasan in stitu sio n al, terutam a yang dilakukan oleh negara itu se n d iri. In d iv id u y an g m e la k sa n ak a n kekerasan dipersalahkan, tapi tidak ada seorang pun yang mendakwa pihak lain di balik layar atau dalang dari state terrorism ini. T e rlih a t m isa ln y a k e tik a sejarah memutuskan hanya ada satu tertuduh dalam pembunuhan massal My Lai yang dilakukan oleh pasukan Amerika Serikat secara biadab terh ad ap 450 o ran g p en d u d u k desa di V ietnam Selatan, y aitu Letnan W illiam Calley. Sem entara kitapun tidak pernah menentang keterlibatan AS di Vietnam. Tuduhan atas pelaku terorisme yang selam a ini b e rk e m b an g le b ih b an y ak diarahkan pada non-state actors dan jarang mengungkap pelaku state actor. Padahal m en u ru t P ro f. Ig o r P rim o ra tz d alam tulisannya berjudul "State Terrorism and Counterterrorism”3, state terrorism justru lebih berbahaya daripada non-state terrorism. Alasan p ertam a, dalam berbagai cara, state terrorism m erupakan gabungan dari aksi yang penuh kerahasiaan, tipu daya, dan kemunafikan. Ketika terlibat dalam suatu aksi terorisme — apakah pelakunya negara itu sendiri atau negara proxinya— sebuah negara akan bertindak sembunyi-sembunyi. Suatu n e g ara tid a k m en g ak u i seg a la b en tu k keterlibatan dan mengaku taat pada nilai-nilai dan p rinsip yang m engaturnya. Bahkan alasan yang digunakan ketika melakukan tindakan terorisme adalah sebagai legitimasi tindakan perang atau dalam rangka menjaga pertahanan dan keamanan negara. K edua, Primoratz mengutip tulisan Walter Laquer dalam buku "The Age o f Terrorism" yang m enyatakan bahw a tindakan tero r yang Igor P rim oratz, S ta te Terrorism and Counterterrorism, Working Paper Number 2002/3,
3 P rof.
Centre for Apply Philosophy and Public Ethics, dalam http://eprints.unim elb.edu.au/archive/00000137/01/ Primorat.pdf.
113
d ila k u k a n o leh n e g ara p o lisi dan pemerintahan tirani, bertanggung jawab atas rib u a n kali leb ih b an y ak k o rb an dan kesengsaraan ketimbang tindakan terorisme individu yang dilakukan bersama-sama. K ritik an te r a k h ir Salm i atas pendekatan dalam memahami kekerasan bahwa kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia sering ditampilkan hanya dengan a n alisis sep ih ak atau satu sisi pandangan ideologis. Ini terlihat dalam kekhawatiran pemerintah Amerika Serikat terh ad ap upaya p e lak san aan hak asasi manusia di negerinya Ayatollah Khomeini. Iran akan tampak lebih diakui dan absah jika sikap penghargaan atas pelaksanaan hak asasi manusia tersebut diberikan kepada Syah Iran, yang m enyiksa law an-law an politiknya melalui tangan-tangan polisi rahasianya di saat Syah berkuasa. Kekerasan yang bias dan sengaja juga tampak dalam pilihan kata dan ungkapan yang digunakan oleh media massa. Perlakuan terhadap gerakan pemberontakan Palestina (Intifadha) selam a akhir tahun 1980-an adalah contoh lain yang jelas-jelas d ib e rita k a n sec a ra b ia s. O pini p u b lik A m erika S erikat yang diarahkan lebih bersimpati kepada Israel terlihat sangat nyata dalam pemberitaan media. Ketika ratusan orang Palestina dibunuh oleh tentara Israel yang ditempatkan di Tepi Barat dan Jalur G aza, p ers A m erik a S e rik a t hanya m e m b e rita k an n y a di h alam an pojok. Sementara itu kematian seorang warga Israel menjadi headline dan diliput di halaman muka. Pemberitaan tentang kematian Tirzah Poret seorang korban “terorisme” Palestina yang tidak berdosa yang dimasukkan dalam tajuk rencana Washington Post tertanggal 8 April 1988, berlawanan dengan pemberitaan yang kering dan sangat tidak berim bang tentang meninggalnya 130 orang Palestina lanjut usia di Tepi Barat.
114
Bentuk-Bentuk Kekerasan Bagian berikutnya dalam buku ini y an g sem ak in m e n arik , y a itu setelah menelaah berbagai pendekatan masyarakat k ap italis dalam m em andang kekerasan, Salm i b e ru p a y a m e n g k a te g o risa sik a n berbagai kekerasan tersebut ke dalam empat bentuk kekerasan. Di dalam merumuskan em p at b e n tu k k e k e ra sa n te rse b u t dia mensyaratkan harus memenuhi dua kriteria y an g d id a sa rk a n p a d a b e n tu k -b e n tu k kekerasan yang analitis, tidak parsial dan teliti, yaitu objektivitas ( objectivity ) dan kelengkapan yang mendalam ( exhaustivity). Bentuk kekerasan tersebut adalah kekerasan la n g su n g , k e k e ra sa n tid a k lan g su n g , kekerasan represif, dan kekerasan alienatif. B entuk kekerasan yang pertam a yaitu kekerasan langsung. Kekerasan ini merujuk pada tindakan yang menyerang fisik atau p sik o lo g is orang secara langsung. Penggunaan kekerasan langsung ini, menurut Salmi, mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai cara untuk mengakses sumber daya alam, sebagai cara yang efek tif untuk mencari tenaga keija, dan sebagai cara untuk menjaga kelangsungan kapitalisme hingga sekarang ini. Sepanjang catatan sejarah suatu bentuk kegiatan ekonomi, kapitalism e tidak bisa berkembang di lingkungan yang sumber daya alamnya masih perawan dan tersedia secara bebas un tu k sem ua orang. K apitalism e membutuhkan persediaan sumber daya alam (tanah, air, minyak, dan bahan mineral) yang dim iliki oleh sektor privat (swasta) atau penguasaan sumber daya alam oleh swasta seb ag ai b e n tu k p e n o la k a n terh ad ap kepemilikan atau penguasaan sumber daya alam secara kelompok. Sejarah Amerika Serikat sepanjang abad k e-18 diwarnai tindakan perampasan tanah-tanah bangsa asli orang kulit berwarna (suku Indian) oleh orang kulit putih. Sebelum
tahun 1860, penduduk Indian telah berkurang ham pir dua pertiga. M im pi suku Indian berakhir pada 18 D esem ber 1890, ketika pasukan Amerika Serikat membunuh 200 orang laki-laki, perempuan dan anak-anak di Wounded Knee. P en g g u n a an k e k e ra sa n un tu k mengontrol sumber daya alam bukan hanya terjadi di masa lampau. Di Amerika Serikat juga, suku Navajo Indian di bagian barat daya dan suku Sioux di D akota terusik oleh perusahaan-perusahaan pertambangan besar yang sangat bernafsu mengeruk batu bara dan uranium yang ada di daerah kekuasaan suku Indian itu. Begitu juga yang teijadi pada suku Aborigin di Australia, Tasmania, Selandia Baru, dan Tahiti. Fungsi untuk mencari tenaga kerja ju ga diyakini Salm i sebagai tujuan dari kekerasan langsung. Banyak pekeija di Haiti setiap tah u n n y a d ire k ru t dengan ja la n “ditangkap, dirazia, dan dipaksa”, kemudian d ik irim ke R ep u b lik D o m in ica un tu k dipekerjakan di perkebunan tebu. Fungsi ini memang banyak ditemukan di negara Dunia K etiga. B entuknya antara lain, pertam a perbudakan hutang. Di banyak negara, ketika dalam keadaan sulit, misalnya gagal panen, maka untuk bertahan hidup para petani terpaksa meminjam uang dari rentenir. Jika p anen b e rik u tn y a g ag al la g i, m ereka memasuki pintu perbudakan karena jeratan hutang. Fenomena ini banyak berkembang di India dan Bangladesh. Bentuk kedua dari keija paksa berhubungan dengan penggunaan tahanan atau narapidana sebagai tenaga keija yang “ d ik o n tra k ” o leh p e ru sah a an p eru sah a an sw asta. D i K olom bia, perusahaan-perusahaan A m erika Serikat menggunakan beribu-ribu tahanan sebagai tenaga kerja dengan gaji yang tidak masuk akal. B en tu k k e tig a y a itu b e b erap a pemerintah mengambil tenaga kerja secara paksa dan menggunakannya untuk bekeija di sektor publik tanpa digaji. Praktik ini banyak teijadi di Indonesia, Liberia, dan Pakistan.
Fungsi kekerasan langsung yang terakhir terletak pada upaya melestarikan tatan an orde k ap italism e. Pada tingkat internasional, sebagian besar negara dengan sistem ekonomi kapitalis, rezim politiknya bersifat otoriter. Kecuali di negara-negara Barat yang demokratis dan beberapa negara D unia K etiga yang belakangan ini telah mengganti pemerintahan diktatornya, dapat d iam ati b ah w a p em b u n u h an d engan kepentingan politik, pem bunuhan massal masyarakat sipil, penahanan yang semaunya sen d iri, p en cu lik an dan “p en ghilangan o ra n g ” m eru p ak an m eto d e yang biasa digunakan di seluruh dunia untuk meredakan tu n tu tan k eb eb asan dan k ead ilan yang berlebih. Salmi dapat menyimpulkan bahwa dim ensi ekonom i tu ru t b erp eran dalam sebagian besar perang dan konflik yang pecah mulai abad ke-15. Di antaranya terlihat dalam konflik Utara-Selatan. Bentuknya, antara lain p e rd a g an g a n b u d ak , p e ra n g m elaw an p e n ja ja h , p e ra n g u n tu k m em p ero leh kem erdekaan dan intervensi m iliter saat perang dingin. Jelas bahwa semua konflik itu tujuan pokoknya adalah untuk memenuhi tu ju an -tu ju an ekonom is, sep erti upaya perluasan wilayah kekuasaan, upaya untuk mengendalikan sumber daya alam, pencarian pasar-pasar baru atau peluang investasi atau kebutuhan untuk mencari tenaga keija murah. Dan penggunaan senjata dalam kekerasan langsung bukanlah sekadar cerita yang m engada-ada dalam sejarah kapitalism e. Bahkan hal ini merupakan cara yang wajar untuk m en cip tak an , m elestarik an , atau mengubah hubungan-hubungan ekonomi dan sosial yang menjadi ciri sistem produksinya. B en tu k k e k e ra sa n k e d u a y aitu kekerasan tidak langsung yang bermakna tindakan yang membahayakan manusia juga, tetapi tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan tersebut. Salmi mengkategorikan kekerasan tidak langsung ke dalam dua jenis, yaitu
115
kekerasan yang dimediasi atau termediasi dan kekerasan dengan atau karena pembiaran. K ek erasan yang d im ed iasi atau term ediasi m erupakan hasil intervensi manusia secara sengaja terhadap lingkungan alam atau sosial yang membawa pengaruh secara tidak langsung pada manusia lain. Pokok kajian dari bentuk kekerasan ini ada em pat, y a itu p e n g aru h k o lo n ia lism e , pengaruh fisik proses produksi, pengaruh sifat hasil-hasil produksi, dan pengaruh kemajuan teknologi. S elain tin d a k a n m ilite rism e , k o lo n ialism e m em iliki p en g aru h pada k eh id u p an m a sy a ra k a t te rja ja h yang memburuk. M isalnya berupa penyebaran epidemi penyakit yang berbahaya, rusaknya keseimbangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat dan wabah kelaparan akibat supply makanan yang minim. C ontoh lain dari kekerasan yang te rm e d ia si d ap at d item u k an dalam berjalannya proses produksi. Di banyak industri, para pekerja setiap hari melakukan kontak dengan limbah produksi atau mesin yang mengancam keselamatan dan kesehatan mereka, karena mengakibatkan keracunan, alergi kulit, keguguran atau mutasi genetik, dan penyakit kronis. Proses produksi secara fisik tidak hanya berdampak pada pekeija, tapi ju g a m em baw a k o n sek u en si bagi lingkungan di luar perusahaan tersebut. K eru sak an e k o lo g is ini d a p at b eru p a kerusakan lingkungan alam dan penipisan sumber daya alam yang dapat diperbaharui. S ifa t-sifa t h a sil p ro d u k si m en cip tak an b en tu k k e k erasan yang termediasi yang lain dalam sistem ekonomi kapitalis. Karena tujuan utama perusahaan adalah memperoleh keuntungan sebanyakbanyaknya maka mereka menjual semua yang diproduksi. Ini berarti bahwa kemampuan menjual sebuah produk m enjadi kriteria pokok dalam menentukan barang dan usaha produksi. Sehingga produk yang dijual kurang memperhitungkan dampak negatif atau positif produk tersebut bagi kesehatan
116
dan keselam atan konsum en. Di negaranegara industri, terdapat hubungan yang jelas antara produk yang dikonsumsi masyarakat dan penyakit yang mereka derita. Konsumsi daging dan lemak yang berlebihan dapat menyebabkan penyakit jantung, hepatitis, dan sebagainya. Bentuk kekerasan termediasi lainnya terlihat pada dampak kemajuan teknologi. S elam a m asa p e n ja ja h a n , k eh id u p an masyarakat tradisional pedesaan di banyak n eg ara sec a ra b ru ta l b eru b ah dengan d ip e rk e n a lk a n n y a “p e rta n ia n un tu k p e rd a g a n g a n ” dan se irin g d engan menurunnya hasil pertanian dengan sistem tra d is io n a l. R ev o lu si e le k tro n ik ju g a b erd am p ak n e g a tif bagi neg ara-n eg ara b erk e m b an g , y a itu m en am b ah ju m la h pengangguran dan memperdalam jurang kaya m iskin. N am un ini tidak b erarti bahw a kemajuan teknologi itu buruk. Keburukannya tidak terletak pada teknologinya saja, tapi ju g a c ara m en g g u n ak a n n y a untuk berproduksi dan bidang apa yang seharusnya m en g g u n ak an te k n o lo g i can g g ih serta teknologi apa yang harus dikembangkan atau ditunda. Kategori kedua dari kekerasan tidak langsung menurut Salmi, yaitu kekerasan karena pembiaran. Jenis ini digambarkan dengan seseorang yang berada dalam keadaan b ah ay a n am un tid a k ada o ran g yang m en o lo n g n y a. B en tu k n y a a n tara lain kem iskinan, isu kelaparan, penderitaan k aren a sa k it se rta lin g k u n g a n kerja masyarakat miskin. Kemiskinan dan ketidakadilan sosial di negara-negara kapitalis adalah bentuk paling jelas dari kekerasan karena pembiaran. Kesenjangan pendapatan ekonomi antara negara kaya dan berkem bang merupakan aspek pertama dalam kekerasan jenis ini. Implikasi dari tingkat ketidakadilan yang tinggi ini, yang telah diteliti di sebagian besar negera-negara tersebut, adalah ternyata seb a g ia n b e sa r m a n u sia hid u p dalam kemiskinan mutlak. Untuk mengetahui asal
usul k e tid a k a d ila n di d alam ekonom i kapitalis, kita perlu melihat faktor determinan yang mempengaruhi distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan sangat terkait dengan proses produksi. Salmi m enyitir prinsip distribusi pendapatan yang diutarakan oleh Milton Friedman dalam buku Capitalism and Freedom bahwa setiap orang seharusnya m en erim a sesu ai d en g an apa yang diproduksinya berikut alat-alat produksi yang dimilikinya. Menurut prinsip ini, pendapatan setiap individu ditentukan oleh kuantitas fa k to r p ro d u k si yang d im ilik in y a dan besarnya keuntungan yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi tersebut. N am un p e rm a sa la h a n n y a te rn y a ta d is trib u si kepem ilikan m odal tid ak lah adil. A gar ekonomi kapitalis dapat beroperasi maka harus memiliki pasar buruh di mana tenaga mereka dapat ditukar dengan upah. Jika alat produksi (tanah dan modal) terdistribusi secara adil, tidak akan ada perbedaan antara buruh dan pemilik alat produksi sehingga tidak ada orang yang merasa terpaksa bekeija u n tu k m e n d ap a tk a n u pah. S um ber k e tid a k a d ila n b e rik u tn y a , y a itu tid a k setaranya keuntungan yang diperoleh dari modal dan buruh. Perbedaan ini disebabkan p e m ilik a la t-a la t p ro d u k sila h yang memutuskan pembayaran untuk setiap faktor produksi. K rim in a lita s d en g an k ek erasan lan gsung ju g a m eru p ak an ak ib at dari k em isk in an di b an y ak n e g ara. Salm i m enyatakan dalam sebuah studi tentang kriminalitas menyebutkan bahwa masyarakat dengan distribusi kesehatan dan kekuasaan yang tidak adil cenderung m enghadapi m asalah k rim in a lita s yang b e sa r dan sebaliknya. Lingkungan kerja masyarakat miskin sering kali juga diwarnai dengan kekerasan karena pembiaran. B en tu k k e k e ra sa n yang k etiga menurut Salmi, yaitu kekerasan represif. Kekerasan ini merupakan kekerasan yang dilegalkan atau tidak dikenakan sanksi atas p elan g g a ra n te rh a d ap h a k -h a k d asar
masyarakat yang umumnya dilakukan oleh negara atau pemerintah. Bentuk kekerasan ini terkait dengan 3 macam hak dasar manusia, yaitu hak sipil, hak politik, dan hak sosial. U ntuk sem akin m engkonkretkan bentuk kekerasan ini, Salmi menjabarkannya ke dalam studi kasus yang berbeda-beda di berbagai negara, seperti Inggris, India, Republik Federal Jerman, Swiss, Jepang, A ustralia, Kanada, Prancis, dan Amerika Serikat. Salah satu contohnya adalah yang terjad i di A ustralia. K esejah teraan dan demokrasi di Australia ternodai oleh praktik ra sis dan r e p re s if te rh a d a p p en d u d u k Aborigin. Suku A borigin secara historis dicabut hak-hak tradisionalnya dan hak atas tanah leluhurnya. Kehidupan keseharian dan hak-hak politik mereka dibatasi. Bentuk kekerasan keempat akibat paham kapitalisme yaitu kekerasan alienatif. Kekerasan ini merujuk pada pencabutan hakhak individu yang lebih tinggi. Konsep kekerasan ini memiliki makna objektif dan m akna subjektif. D alam makna objektif, alienasi merupakan sebuah fenomena sosial dimana seorang individu tercabut haknya untuk menentukan nasib sendiri, misalnya d ito lak hak atau kesem p atan n y a untuk berperan a k tif dalam proses pem buatan keputusan tentang karakter dan orientasi kehidupan profesional serta sosial dirinya. Sedangkan dalam makna subjektif, alienasi secara esensial memiliki makna psikologis dan mengacu pada situasi dimana individu m erasa a sin g d en g an d irin y a sen d iri, kebudayaannya atau komunitasnya. Kekerasan alienatif memiliki dampak di berbagai bidang. Di antaranya pada organisasi keija modem. Di dalam organisasi yang seperti ini, setiap pekerja memiliki kekuasaan dan tanggung jaw ab yang sempit sehingga keterlibatan dan partisipasi nyata m erek a di d alam p ro se s p en g am b ilan keputusan yang bersifat global m enjadi terpinggirkan. Jenis kekerasan yang diakibatkan oleh ekonom i k ap italis ini tidak hanya
117
mempengaruhi orang yang bekerja di pabrikpabrik dan kantor modem, tapi juga orang dan komunitas yang hidup di pinggir-pinggir sistem ekonomi modem. Hal ini teijadi setiap kali perusahaan kapitalis berbenturan dengan sebuah sistem ekonomi tradisional yang sedemikian hingga membatasi dan mencegah kegiatan-kegiatan produksi dim ana pola kehidupan kultural dan sosial masyarakat yang bersangkutan tergantung padanya. Dimensi lain dari kekerasan alienatif yaitu rasisme. Rasisme bukan hanya berupa kebencian untuk mengisolasikan beberapa orang pinggiran yang mempunyai ide-ide yang menyimpang, tapi esensinya merupakan sebuah fenomena sosial dan perannya sama dengan ideologi dalam masyarakat kapitalis. S eksism e d ap at ju g a d ian g g ap sebagai sebuah bentuk rasisme. Dengan dalih adanya perbedaan psikologis dan biologis yang fundam ental antara lak i-lak i dan perempuan, hierarki sosial telah berkembang jauh sehingga menguntungkan kaum lakilaki. Perempuan khususnya ditem patkan sebagai subordinat yang berakibat pada semua aspek kehidupan sehari-hari yang biasanya berorientasi domestik. Bentuk lain dari k ek erasan a lie n atif, y aitu adanya pemujaan terhadap perilaku konsumtif yang terjadi di negara-negara industri maju. Bagian akhir buku ini disimpulkan oleh Salmi bahw a kekerasan m erupakan fenomena multisegi yang berkaitan dengan sebab-sebab khusus dan akibat-akibatnya serta merefleksikan adanya keyakinan penuh bahwa terdapat nilai-nilai hak asasi manusia yang universal. Bila sedikit membandingkan dengan teori peradaban yang dikem ukakan oleh Johan Galtung4, kategori kekerasan dibagi m enjadi kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Khususnya tentang kekerasan kultural yang tampaknya tidak secara eksplisit dikem ukakan oleh
4 Johan Galtung, Studi Perdamaian, Pustaka Eureka, 2003, hlm. 431.
118
Salm i, G altu n g b e rp e n d a p a t bahw a kekerasan k u ltu ral terjad i k etika aspek budaya, ranah simbolik kita dapat digunakan untuk m en ju stifik asi atau m elegitim asi k e k e ra sa n la n g su n g atau stru k tu ra l. Kekerasan kultural merupakan kekerasan langsung yang d ilegitim asi dan dengan demikian dapat diterima di tengah-tengah masyarakat. Misalnya asumsi yang dibangun bahwa pembunuhan atas nama negara adalah benar, sedangkan atas nama individu adalah salah, sesungguhnya dapat mengaburkan realita yang teijadi. Akhir kata, buku setebal 292 halaman ini kaya akan referensi peristiw a sejarah konkret yang pernah terjadi di berbagai n e g ara seb ag ai b e n tu k dari b erb ag ai k e k e ra sa n b e se rta fa k to r-fa k to r yang m elatarbelakanginya. S truktur buku ini sangat sistematis dan dalam beberapa hal cukup netral dalam menilai bentuk-bentuk k e k e ra sa n y an g p e rn a h te rja d i dalam peradaban manusia. Meskipun subjektivitas yang menggambarkan tuntutan kesetaraan dan keadilan yang proporsional antara negara maju dan negara berkembang bahkan dengan negara Dunia Ketiga, kerap muncul dalam pemikiran Salmi. Kemudian yang menarik, buku ini dapat dijadikan kerangka berpikir untuk melakukan studi tentang kekerasan di segala lapisan masyarakat dalam situasi apa pun. Daftar Pustaka Galtung, Johan. 2003. Studi Perdamaian. Jakarta: Pustaka Eureka. Prim oratz, Igor. S ta te Terrorism and Counterterrorism, Working Paper Number 20 0 2 /3 . M elbourne: Centre for Apply Philosophy and Public Ethics, dalam http:// eprints.unimelb.edu.au/archive/00000137/ 01/Primorat.pdf. Van Boven, Theo. 2002. Mereka yang Menjadi Korban. Jakarta: ELSAM. Wikipedia. Capitalism. Yang diakses pada 3 Juli 2006
Tentang Penulis Adriana Elisabeth, Peneliti Bidang Internasional Pusat Penelitian Politik LIPI. Ia memperoleh gelar Master o f Social Sciences in International Relation dari University o f Tazmania. Bidang kajian yang ia tekuni antara lain adalah ekonomi politik. Amiruddin al Rahab adalah inisiator Pokja Papua dan Peneliti di ELSAM-Jakarta. Peneliti berdarah Temate dengan fokus kajian mengenai Papua ini sedang melanjutkan studi S2-nya pada proram Pascasaijana Universitas Indonesia. Athiqah Nur Alami, kandidat peneliti pada Bidang Politik Internasional Pusat Penelitian Politik LIPI. Ia menamatkan SI dari Jurusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Ia mendalami bidang kajian Australia dan bidang gender. . Indriana Kartini, saijana Hubungan Internasional FISIP Unpad yang lulus pada tahun 2002 ini adalah peneliti Bidang Politik Internasional Pusat Penelitian Politik LIPI. Kontributor buku Saddam Melawan Amerika (2003) ini aktif di ISMES {the Indonesian Society fo r Middle East Studies). Saat ini tengah melanjutkan studi S2 di University o f Melboume, Australia. Lili Romli, lahir di Serang-Banten. Ia merupakan peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI. Selain itu, ia juga mengajar di almamaternya, pada Jurusan Ilmu Politik FISIP UI. Saat ini ia sedang melanjutkan program doktor ilmu politik di Universitas Indonesia. Menulis di beberapa jum al ilmiah dan ak tif melakukan penelitian berkaitan dengan pemilu, partai politik, lembaga perwakilan, dan otonomi daerah. Syafuan Rozi, Peneliti Bidang Politik Nasional Pusat Penelitian Politik LIPI ini mendapatkan gelar SI dan S2-nya dari Universitas Indonesia. Fokus kajian peneliti kelahiran Bengkulu ini adalah mengenai konflik dan birokrasi. Selain sebagai peneliti, ia juga aktif mengajar di IISIP, Jakarta. Syam suddin H aris, Ahli Peneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI. Lahir di Bima, menyelesaikan SI dari FISIP Unas, S2 dari FISIP UI, dan tengah menyelesaikan doktoral di FISIP UI. Sejumlah karyanya yang telah diterbitkan adalah Demokrasi di Indonesia: Gagasan dan Pengalaman (1995), Menggugat Politik Orde Baru (1998), Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru (editor, 1998), Reformasi Setengah Hati (1999), dan Desentralisasi dan Otonomi Daerah (editor, 2005).
119
Beberapa Karya Peneliti P2P-LIPI
S tra te g i A S E A N d a la m P e rlu a s a n A S E A N + 3
Indonesia-Rusia Reformasi
■pWnii’iWSl feTafiA'e
E d ito r; *
Lili Romli
Selain karya tersebut masih terdapat karya-karya lain. Untuk informasi lebih lanjut hubungi Pusat Dokumentasi dan Informasi P2P-LIPI, Widya Graha Lt. III. Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10, Jakarta.
Inform asi Hasil Penelitian Terpilih " w
zm
i .
P**
'Minoritas'Muslim
Auslraliadan inggris1 Kasus S u 'jiK S i Tengah, Maluku, i » Mataku Utara
w
y
-i
*
«p»
PERTAHANAN AUSTRALIA ~ 2000-2005
r'
-
■H
—
0AN
}"“ ■ SPONS NEGARA-NEGARA ASIA TIMUR DAN SELANDIA BARU
m j: ■
ilm u Penge tah u an ifittenesia