VII. RESPON PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Setelah memahami apa yang menjadi urusan di dalam peraturan perundang-undangan, kemudian kondisi pelatakan kewenangan atas sejumlah urusan tersebut, maka tahapan selanjutnya perlu diketahui tentang respon pemerintah daerah selaku eksekutor peraturan di tingkat daerah dan masyarakat atas sejumlah ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Informasi tentang tingkat respon ini penting untuk digali, guna memudahkan dalam mengungkap sekaligus memastikan, apakah persoalan lahan kritis dalam kawasan Sub DAS saat ini, sebagai turunan dari buruknya kualitas respon atau ada persoalan lain. Untuk tujuan tersebut, pada bagian ini dilakukan penelusuran terhadap rencana strategis (RENSTRA) di dua satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sumbawa. Pemilihan atas kedua instansi tersebut, atas pertimbangan ada kesesuaian tugas dan fungsi pokok serta wewenangnya dengan isu penyelenggaraan pengelolaan DAS. Dari penelusuran tersebut, kemudian ditindaklanjuti dengan memeriksa laporan akuntabilitas kinerja pemerintah (LAKIP) dari kedua SKPD tersebut untuk melihat persentase implementasi dari setiap program yang dicanangkan dalam RENSTRA. Dua tahapan tersebut, merupakan instrumen yang digunakan dalam riset ini dalam rangka mengukur tingkat respon pemerintah daerah terhadap enam amanat peraturan perundang-undangan. Sementara untuk mengukur respon masyarakat selaku penerima dampak kebijakan, adalah dengan melihat bentuk keterlibatan mereka dalam sejumlah program pemerintah dan juga inisiatif yang pernah mereka lakukan terkait upayanya dalam pelestarian Sub DAS.
7.1 Respon Pemerintah Daerah Ke-enam amanat peraturan perundang-undangan yang dijadikan acuan dalam mengukur tingkat respon pemerintah daerah, sebagaimana dimaksud di atas adalah sebagai berikut :
96
7.1.1 Mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 persen dari total luas DAS dengan sebaran proporsional (Pasal 18 ayat 1 UU No.41/1999) Salah satu tugas yang diperintahkan oleh UU No.41/1999 kepada pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya adalah meningkatkan daya dukung DAS dengan menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap DAS minimal 30 persen dari total luas DAS dengan sebaran yang proporsional guna mengoptimalkan manfaat baik lingkungan, sosial maupun manfaat ekonomi masyarakat setempat. Angka 30 persen tersebut didasari atas pertimbangan bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air. Sebagai amanat UU, tentunya pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban melaksankannya. Berdasarkan data pola penggunaan lahan di wilayah Sub DAS Batulanteh tahun 2010, diperoleh informasi bahwa dari 28.000 Ha luas Sub DAS Batulanteh, 9. 741,07 Ha atau 34,79 persen diantaranya masih berupa hutan (lihat Gambar 22). Jumlah tersebut sedikit lebih baik dari syarat minimal yang ditetapkan oleh UU No.41/1999 yakni minimal 30 persen dari total luas DAS. Namun terdapat dua hal yang perlu menjadi catatan yaitu : pertama, sebarannya tidak proporsional, sebagaimana terlihat dalam peta tata guna lahan, dimana kawasan yang masih berupa hutan hanya terkonsentrasi pada bagian hulu dari Sub DAS.
Kedua, angka tersebut juga jauh menyusut pada saat dilaporkan tahun 2007. Hasil analisis spasial Bakosurtanal dalam Hasanuddin (2008) melaporkan bahwa luas kawasan Sub DAS Batulanteh berupa hutan ± seluas 14.000 Ha atau 50,78 persen, artinya dalam kurun waktu empat tahun telah terjadi penurunan luasan kawasan Sub DAS Batulanteh berupa hutan ± sebesar 15 persen. Penyusutan yang terbilang besar, barangkali jawaban atas kesalahan persepsi dalam memaknai angka minimal 30 persen, padahal dalam penjelasan umum dari pasal 18 ayat (1) UU No.41/1999 tentang kehutanan diterangkan secara eksplisit tentang larangan bagi setiap provinsi dan atau kabupaten/kota untuk mengurangi luas kawasan hutannya dari luas yang telah ditetapkan, dimana luas minimal tidak boleh dijadikan dalih
97
untuk mengkonversi hutan yang ada, melainkan sebagai peringatan kewaspadaan mengingat pentingnya hutan bagi kualitas hidup masyarakat. Pertanyaan berikutnya, kemana arah konversi? Mencermati data perubahan luasan lahan berupa ladang sebesar 5,3 persen dari tahun 2007, menguatkan dugaan telah telah dilakukan konversi kawasan hutan menjadi ladang. Konversi tersebut barangkali dapat dimaknai sebagai konsekuensi atas ketergantungan masyarakat terhadap lahan pertanian dan sekaligus barangkali
sebagai sikap pemerintah daerah yang cenderung mempertahankan besaran kontribusi sektor pertanian dalam struktur perekonomian daerah. BPS, (2010) melaporkan kontribusi sektor ini terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) pada tahun 2009 sebesar 42,83 persen, dimana 24,89 persen diantaranya
merupakan share dari sub sektor tanaman bahan makanan.
Gambar 22. Tata guna lahan pada wilayah Sub DAS Batulanteh (Sumber: Bappeda Kabupaten Sumbawa, 2010)
98
7.1.2 Menyelenggarakan rehabilitasi hutan dan lahan serta mendorong peran serta masyarakat dalam bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 42 ayat (1) dan (2); dan pasal 70 ayat (2) UU No.41/1999) Pada paragraf 2 dan 3 dalam penjelasan umum UU No.41/1999 tentang kehutanan dijelaskan kedudukan hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sekaligus sebagi modal pembangunan nasional yang perlu dijaga kelestariannya salah satu melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan guna dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan. Sebagai bentuk respon atas perintah UU, berbagai skema dalam rangka rehabilitasi hutan dan lahan dengan mengikutsertakan masyarakat telah dilakukan oleh pemerintah daerah, diantaranya hutan kemasyarakatan (social forestry) pada tahun 2003 dan 2004 dilaksanakan di tiga lokasi (Desa Serading, Semamung dan Kanar). Program ini meliputi usaha penanaman empon-empon dibawah tegakan. Kemudian program dana reboisasi (DR) pada tahun 2002 seluas 200 Ha di dua lokasi (Desa Semamung dan Desa Lunyuk), program gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (GERHAN) seluas 300 Ha di tiga lokasi (Desa Semamung, Kanar dan Desa Serading), dimana program ini menanam tanaman multipusposes tree species (MPTS); dan program pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat (PSDHBM) ± 900 Ha dilaksanakan di tiga lokasi yaitu : Desa Serading, Semamung dan Desa Kanar (P3P Unram dan MFP, 2006). Di samping itu, sepanjang periode 2005 sampai 2010 pun, begitu banyak ditemukan program dengan semangat yang sama sebagaimana terdokumentasi dalam RENSTRA dan LAKIP Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa. Secara garis besar, dari hasil penelusuran menunjukkan ada 5 program yang dihajatkan untuk menurunkan luasan lahan kritis, yaitu : (a). Percepatan rehabilitasi hutan dan lahan; (b). Meningkatkan perlindungan fungsi dan status kawasan hutan; (c) Penegakan hukum dan perlindungan hutan; (d) Pemeliharaan wilayah tangkapan sumber air dan sumber-sumber mata air; dan (e). Meningkatkan keterampilan masyarakat perkebunan dan membangun pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat, melalui pengembangan hutan tanaman rakyat dan pembinaan kelompok madu. Namun, mencermati hasil review BPDAS Dodokan Moyosari terhadap lahan kritis di Kabupaten Sumbawa tahun 2009, dapat disimpulkan bahwa tingkat
99
keberhasilan atas sejumlah program rehabilitasi hutan dan lahan yang sudah diupayakan masih terbilang rendah. Keberadaan lahan kritis pada tingkat kekritisan agak kritis, kritis sampai dengan sangat kritis yang tersebar di dalam dan luar kawasan serta di kawasan budidaya, diketahui masih mencapai ± 129 ribu Ha atau 32,47 persen dari total luas hutan Kabupaten Sumbawa yang mencapai 398.105,35 Ha. Secara rinci disajikan pada Tabel 22 Tabel 22. Luas lahan kritis Kabupaten Sumbawa tahun 2009 Tingkat Luas kawasan (Ha) Jumlah kekritisan Budidaya Dalam kawasan Luar kawasan Sangat kritis 42,09 0,07 1.729,59 1.771,75 Kritis 3.889,08 4.297,63 458,14 8.644,84 Agak kritis 59.824,07 32.925,94 26.108,98 118.858,99 Jumlah 63.755,24 37.223,64 28.296,71 129.275,58 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, 2011 Kondisi demikian, barangkali juga sebagai turunan dari ketidakmampuan daerah dalam melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dalam skala luas. Sepanjang periode 2005 - 2010, pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa dilaporkan hanya mampu melakukan rehabilitasi hutan dan lahan sebatas 18.764 Ha atau setara dengan 3.753 Ha per tahun. Sebuah kemampuan yang tergolong kecil, mengingat dengan kemampuan yang demikian, maka dibutuhkan waktu ± 34 tahun untuk menuntaskan kegiatan rehabilitasi terhadap lahan kritis tersebut, itupun dengan asumsi tidak ada penambahan lahan kritis baru. Angka luasan lahan kritis yang ada saat ini, menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdesaan (P3P) Universitas Mataram dan Multistakeholder Forestry Programme (MFP), (2006), tidak terlepas dari puncak kerusakan yang berlangsung pada periode 1999 – 2001. Pada momentum itulah terjadi kevakuman kewenangan dalam pengelolaan kawasan hutan khususnya kawasan hutan
15
eks
Perum Perhutani, yang kemudian mendorong masyarakat sekitar hutan kembali memasuki kawasan untuk melakukan penyerobotan.
15
Perum perhutani keluar dan meningggalkan kawasan hutan tanaman industry (HTI) pada tahun 1998
100
7.1.3 Perlindungan hutan di dalam dan luar kawasan (Pasal 48 ayat (1) & (5) UU No.41/1999) Penegakan hukum atas tindak pidana kehutanan merupakan salah satu instrumen yang dinilai cukup efektif dalam melakukan perlindungan hutan. Pada pasal 50 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 41/1999 disebutkan beberapa bentuk pelanggaran tindak pidana kehutanan yang dapat dikenakan denda kurungan maupun dalam bentuk materi. Adapun jenis pelanggaran dan denda disajikan pada Tabel 23. Sepanjang periode 2005 - 2010, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa telah menangani tindak pidana kehutanan sebanyak 96 kasus, dengan beragam bentuk pelanggaran. Tabel 23. Bentuk pelanggaran dan denda yang dapat dikenakan kepada setiap pelaku tindak pidana kehutanan Bentuk pelanggaran pidana Denda No Kurungan Materi 1 Merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan 10 tahun 5 Miliar 2 Pemilik ijin usaha melakukan pemanfaatan yang 10 tahun 5 Miliar merusak hutan 3 Menduduki kawasan hutan secara tidak sah 10 tahun 5 Miliar 4 Merambah kawasan hutan 10 tahun 5 Miliar 5 Melakukan penebangan pada radius di luar 10 tahun 5 Miliar ketentuan UU 6 Membakar hutan dengan sengaja 15 tahun 1,5 Miliar 7 Menebang pohon atau memungut hasil hutan 10 tahun 5 Miliar tanpa ijin/tanpa memiliki hak 8 Menerima, membeli, menyimpan dan atau 10 tahun 5 Miliar memiliki hasil hutan yang diketahui atau diduga diambil secara tidak sah 9 Melakukan penyelidikan umum, eksplorasi, dan 10 tahun 5 Miliar atau eksploitasi bahan tambang tanpa izin 10 Mengangkut dan atau memiliki hasil hutan yang 5 tahun 10 Miliar tidah dilengkapi dengan surat keterangan sahnya 11 Mengembalakan ternak yang tidak ditunjuk 3 bulan 10 juta secara khusus untuk tujuan tersebut 12 Membawa alat-alat berat atau lainnya yang 5 tahun 5 Miliar diduga digunakan untuk mengangkut hasil hutan tanpa izin 13 Membawa alat-alat yang lazimnya digunakan 3 tahun 1 Miliar untuk menebang dalam hutan tanpa izin 14 Membuang benda-benda yang dapat 3 tahun 1 Miliar menyebabkan kebakaran 15 Mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar 1 tahun 50 juta yang dilindungi UU tanpa izin Sumber : UU No.41/1999 tentang kehutanan
101
Tabel 24 menyajikan jumlah kasus tindak pidana kehutanan berdasarkan jenis pelanggaran sepanjang periode 2005 - 2010. Dari 96 kasus yang terjadi selama kurun waktu 5 tahun, 25 kasus atau 26 persen diantaranya terjadi pada tahun 2009, dengan jenis pelanggaran terbanyak sepanjang periode tersebut, berupa pengangkutan hasil hutan berupa kayu tanpa dilengkapi dokumen yang sah dan penebangan tanpa izin. Tabel 24. Jumlah kasus tindak pidana kehutanan periode 2005 - 2010 berdasarkan jenis pelanggarannya Jenis Pelanggaran Pasal Jumlah kasus per tahun JML pelanggaran 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Penebangan tanpa izin 50 ayat 3 5 6 5 2 3 20 point (e) Memiliki, menimbun 50 ayat 3 2 2 4 dan membawa kayu point (f) tanpa dukumen Mengangkut kayu 50 ayat 3 3 11 8 3 25 tanpa dilengkapi point (h) dokumen yang sah Merambah kawasan 50 ayat 3 1 1 hutan/peladangan liar poin (b) 16 13 25 10 48 Jumlah 9 19 14 19 25 10 96 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, 2011 Kedua jenis pelanggaran tersebut dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 78 ayat 5 UU No.41/1999 tentang kehutanan disebutkan akan diancam dengan 10 tahun kurungan/penjara dan denda sebesar 5 miliar rupiah. Namun yang perlu menjadi catatan dari data tersebut, ancaman hukuman yang tergolong berat belum mampu meredam “prilaku menyimpang” masyarakat dalam interaksinya dengan hutan. Mengambil contoh di tahun 2008, terlihat ada terjadi penambahan pelanggaran tindak pidana sebanyak 5 kasus dari tahun sebelumnya (2007), kemudian kembali bertambah sebanyak 6 kasus pada tahun 2009. Meskipun pada tahun 2010 menunjukkan penurunan sampai 40 persen dari tahun sebelumnya (2009), namun belum mampu diprediksi apakah kondisi positif tersebut akan berlangsung lama, mengingat data dalam lima tahun terakhir cendrung fluktuatif. Pertanyaan selanjutnya bagaimana proses penangan perkara atas sejumlah kasus tersebut? Berikut pada Tabel 25 disajikan jumlah kasus 16
Tidak ada keterangan tentang jenis pelanggaran
102
tindak pidana kehutanan selama periode 2005 - 20210 berdasarkan proses justisi dan jumlah hukuman. Tabel 25. Jumlah kasus berdasarkan proses justisi perkara dan jumlah hukuman sepanjang periode 2005 - 2010 Tahun Jumlah Proses justisi Vonis hukuman kasus Lidik & sidik SP3 P21 >2 thn 1-2 thn <1 thn 2005 9 9 0 9 0 0 9 2006 19 19 0 19 0 0 19 2007 14 14 0 14 0 0 14 2008 19 19 0 19 0 0 19 2009 25 25 0 25 0 0 25 2010 10 10 0 10 0 0 10 jumlah 96 96 0 96 0 0 96 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa,2011 Patut diapresiasi, apabila melihat proses atas penanganan perkara yang berhasil diselesaikan atas sejumlah kasus yang ada, artinya tidak ada tunggakan perkara
yang
proses
justisinya
tidak
berlanjut
atau
tidak
termonitor
perkembanganya. Namun yang patut disayangkan, kualitas vonis dari perkara yang disidangkan tergolong rendah. Hukuman yang dijatuhkan oleh hakim sangat ringan, jika merujuk dengan ancaman hukuman yang diberikan oleh undangundang. Secara keseluruhan hukuman diberikan kurang dari satu tahun. Vonis hakim yang tergolong rendah menggambarkan bahwa pemerintah belum tegas dalam melakukan penegakan hukuman atas tindak pidana kehutanan yang terjadi, sehingga tidaklah mengherankan bila tidak memberikan efek jerah bagi pelaku kejahatan di sektor kehutanan.
7.1.4 Perlindungan dan pelestarian sumber air dan mata air (Pasal 21 ayat (1) & (2) UU No.7/2004) Benjamin Fangklin seorang penemu dan sekaligus diplomat Amerika mengatakan “manakala sumurnya kering – kita baru mengetahui betapa berharganya air” (Postel,1995). Tidak mau menunggu sumur benar-benar kering, UU No.7/2004 tentang sumber daya air dalam pasal 21 ayat (1) dan (2) memerintahkan pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya akan perlunya untuk melakukan perlindungan dan pelestarian atas sumber air dan mata air, mengingat pentingnya bagi kelangsungan hidup manusia. Tabel 26,
103
menyajikan kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan rehabilitasi mata air sepanjang periode 2007- 2010. Tabel 26. Jumlah titik mata air yang direhabilitasi di Kabupaten Sumbawa selama periode 2007-2010 Kemampuan rehabilitasi titik mata air per tahun Jumlah 2007 2008 2009 2010 8 7 6 4 25 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, 2011 Tidak adanya data resmi tentang kondisi terkini dari 153 titik mata air yang ada di Kabupaten Sumbawa, namun dari hasil wawancara didapatkan informasi bahwa sebagian besar titik mata air perlu mendapat penanganan serius. Jika diasumsikan sebesar 50 persen dari jumlah titik mata air yang perlu penanganan serius dan dengan kemampuan rehabilitasi rata-rata sebanyak 5 titik mata air per tahun, maka masih dibutuhkan 10 tahun lagi untuk menuntaskan kegiatan rehabilitasi mata air tersebut, itupun dengan asumsi tidak ada penambahan jumlah baru titik mata air yang rusak.
7.1.5 Membentuk wadah koordinasi atau dengan nama lain (Pasal 86 UU No.7/2004) Pengelolaan sumber daya air mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan aksi untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air. Atas dasar itulah, UU No.7/2004 memerintahkan pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya untuk membentuk wadah koordinasi untuk setiap wilayah sungai. Tugas pokok wadah koordinasi adalah menyusun dan merumuskan kebijakan serta strategi pengelolaan sumber daya air. Mengingat peran dan tugasnya, maka wadah koordinasi merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi keberlangsungan pengelolaan sumber daya air yang optimal, equity dan berkelanjutan. Sebagai necessary condition, maka wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air harus dibentuk oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Pada tahun 2010, pemerintah Kabupaten Sumbawa telah membentuk wadah koordinasi dengan nama komisi irigasi. Sesuai hajat pembentukannya yakni memudahkan koordinasi para pihak yang berkepentingan terhadap sumber
104
daya air, maka komisi irigasi yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati No: 407/kpts/2010, berunsurkan pemerintah dan non pemerintah. Instansi pemerintah yang terlibat antara lain : Bappeda, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pertanian. Sedangkan unsur non pemerintah adalah LSM, akademisi, dan P3A. Secara umum komisi irigasi tersebut diberikan wewenang dalam menyusun rencana kebijakan untuk mempertahankan dan meningkatkan fungsi irigasi. Syarat unsur keanggotaan tersebut, sudah terpenuhi bilamana merujuk pada pasal 86 ayat 4 UU No.7/2004 tentang sumber daya air, dimana disebutkan bahwa wadah koordinasi beranggotakan unsur pemerintah dan unsur non pemerintah dalam jumlah seimbang atas dasar prinsip keterwakilan. Namun yang perlu menjadi catatan bahwa pemerintah daerah terbilang lalai dalam hal ini, dimana untuk menghadirkan wadah koordinasi tersebut, dibutuhkan waktu 6 tahun sejak UU diterbitkan tahun 2004.
7.1.6 Pembangunan kesatuan pengelolaan hutan (KPH) beserta infrasturkturnya oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya (Pasal 10 ayat 1 PP No.3/2008 perubahan dari PP No. 6/ 2007) Tuntutan akan pentingnya pengelolaan sumber daya alam termasuk sumber daya hutan secara efisien dan lestari, UU No.41/1999 tentang kehutanan beserta peraturan turunannya Peraturan Pemerintah No.3/2007 perubahan dari Peraturan Pemerintah No. 6/2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan, melahirkan konsep pengelolaan hutan dalam bentuk unit terkecil atau yang biasa dikenal dengan istilah kesatuan pengelolaan hutan terkecil atau biasa disingkat dengan KPH. Sama halnya dengan pembentukan wadah koordinasi yang diatur dalam 16 undang-undang No.7/2004 tentang sumber daya air, pembentukan KPH pun dipandang sebagai syarat perlu (necessary condition) untuk menjalankan praktek pengelolaan hutan secara efisien dan lestari. Sebagai syarat perlu, tentunya keberadaan KPH menjadi sebuah keharusan dan pemerintah selaku penerima mandat dari undang-undang sesuai kewenangannya berkewajiban menghadirkannya, karena tanpa KPH maka tidak bisa dijamin akan terjadinya atau berlangsungnya praktek pengelolaan hutan secara efisien dan lestari. Jumlah KPH yang telah terbentuk sampai dengan tahun 2011, seperti terlihat pada Tabel 27.
105
Tabel 27. Nama dan luas KPH berdasarkan fungsi hutan di Kabupaten Sumbawa sampai tahun 2011 Nama KPH Luas KPH (Ha) Jumlah Rasio atas (Ha) luas hutan Hutan lindung Hutan produksi Batulanteh 12.193,5 18.796,17 30.989,67 7,78 Puncak Ngegas 27.489,46 16.754,24 44.243,7 11,11 Orong Telu 20.840 40.024,59 60.864,59 15,29 Brang Beh 11.364 48.561,94 59.925,94 15,05 Rinti Labangka 53.493,60 18.109,80 71.603,40 17,99 Jaran Pusang 14.103,30 19.338,56 33.441,86 8,40 Ampang Sili 22.532,07 15.172,02 37.704,09 9,47 Ampang Riwo 23.078,05 22.800,50 45.878,55 11,52 Jumlah 185.093,98 199.557,82 384.651,80 96,62 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, 2011 KPH yang telah selesai dibentuk oleh pemerintah daerah mencapai 96,62 persen, jumlah ini sudah cukup sebagai landasan pengelolaan hutan yang lestari dan efisien. Pertanyaannya kemudian, apakah infrastuktur dari KPH tersebut telah terbentuk? Karena diketahui, untuk mengoperasionalkan KPH tersebut, perlu dikuti dengan melengkapi organisasi pengelolaanya, berupa struktur organisasi, prosedur-prosedur, personil atau sumber daya manusia dan sarana-prasarananya. Dari 8 KPH yang telah dinyatakan terbentuk, diperoleh informasi bahwa kesemuaanya telah dilengkapi dengan organisasi pelaksananya, namun masih diperlukan pembenahan atas sarana-prasarana yang ada dan penambahan personil di setiap KPH, mengingat luasnya wilayah kerja dan perlu juga dilakukan.
7.1.7 Kepatuhan Pemerintah Daerah Terhadap Amanat Peraturan Pelaksanaan atas ke
enam
amanat Undang-undang sebagaimana
diterangkan dalam uraian respon di atas, menjadi pentunjuk bahwa tingkat kepatuhan pemerintah daerah terbilang cukup baik (lihat Tabel 28). Kepatuhan tersebut dapat
dimaknai
sebagai
keseriusan
pemerintah
daerah
dalam
meminimalisir tekanan yang tengah dihadapi oleh Sub DAS Batulanteh. Bentuk kesungguhan tersebut, tercermin pula pada inisiatif mereka dalam menghadirkan produk hukum berupa Raperda pengelolaan terpadu Sub DAS Batulanteh. Inisiatif tersebut patut diapresiasi, mengingat kehadiran Raperda tersebut, terbilang murni sebagai reaksi pemerintah daerah atas permasalahan yang tengah terjadi pada kawasan Sub DAS Batulanteh. Tidak ditemukannya amanat undangundang yang secara eksplisit memerintahkan pemerintah daerah untuk
106
menghadirkan PERDA tentang pengelolaan DAS, menjadi indikator bahwa Raperda tersebut lahir atas inisiatif daerah. Raperda yang terdiri atas 14 bab dengan 50 pasal, secara garis besar mengatur tiga hal : pertama, perencanaan pengelolaan Sub DAS dan tata cara pelaksanaan rehabilitasi dan reklamasi hutan dan lahan serta konservasi hutan, lahan dan air dalam kawasan Sub DAS (diatur dalam pasal 6-38); kedua, hak dan kewajiban masyarakat hulu (diatur dalam pasal 40-41); dan terakhir, pembentukan komisi pengelolaan Sub DAS yang berunsurkan pemerintah, swasta, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang relevan (diatur dalam pasal 45-46). Mencermati urusan yang diatur dalam Raperda tersebut, diprediksi kehadirannya belum mampu sepenuhnya menjawab persoalaan Sub DAS. Semestinya Raperda tersebut mengakomodir isu terkait perilaku makhluk hidup yang saling berinteraksi dalam DAS atau dinamika penggunaan lahan pada kepemilikan masyarakat yang notabene kurang diatur dalam UU No.7/2004. Isu lainnya, yang mungkin perlu juga diatur, misalnya menyangkut mekanisme cost sharing antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, mekanisme pemanfaatan dana internasional, serta sistem insentif dan disinsentif. Hal ini perlu dilakukan, karena Seidman and seidman (2004) menerangkan bahwa salah satu faktor penyebab dari adanya “perilaku menyimpang” masyarakat dalam konteks interaksinya dengan sumber daya alam adalah terkait dengan ada atau tidak adanya peraturan. Ketika peraturan telah ada, namun “perilaku menyimpang” tersebut masih terjadi, maka ada kemungkinan ketentuan yang diatur dalam peraturan tidak jelas dan atau tidak lengkap dan atau tidak tegas. Tingkat kepatuhan yang tergolong cukup baik, ternyata belum cukup menjawab persoalan lahan kritis yang tersebar pada zona tengah kawasan Sub DAS Batulanteh. Lahan yang sebagai besar milik masyarakat telah dimanfaatkan secara intensif untuk budidaya tanaman palawija dan sayuran. Intervensi kedepan sudah semestinya lebih diarahkan pada rehabilitasi dan manajemen lahan pada kepemilikan masyarakat dan perlu diatur mekanisme insentif yang mampu menggerakkan masyarakat, dari pola pemanfaatan saat ini beralih pada pengelolaan lahan menurut kontur dan mengembangkan budidaya tanaman agroforestry yang memiliki nilai konservasi selain nilai keekonomiannya.
Tabel 28. Matriks indikator tingkat respon pemerintah daerah dan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan Amanat peraturan perundangan-undangan
Kondisi faktual
Mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 persen dari total luas DAS dengan sebaran proporsional (Pasal 18 ayat 1 UU No.41/1999 tentang kehutanan) Menyelenggarakan rehabilitasi hutan dan lahan serta mendorong peran serta masyarakat dalam bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 42 ayat (1) dan (2); dan pasal 70 ayat (2) UU No.41/1999 tentang kehutanan) Perlindungan hutan di dalam dan luar kawasan (Pasal 48 ayat (1) & (5) UU No.41/1999 tentang kehutanan)
Dari 28.000 Ha luas Sub DAS Batulanteh, 9. 741,07 Ha atau 34,79 persen diantaranya masih berupa hutan, namun sebarannya tidak proporsional. Skema rehabilitasi hutan dan lahan dengan keterlibatan masyarakat, diantaranya program HKm, dana reboisasi (DR), GERHAN, dan PSDHBM.
Tidak ada tunggakan perkara yang proses justisinya tidak berlanjut atau tidak termonitor perkembanganya. Artinya proses penanganan perkara berhasil diselesaikan. Perlindungan dan pelestarian sumber air dan mata air (Pasal Telah terehabilitasi 25 titik mata air sepanjang periode 200721 ayat (1) & (2) UU No.7/2004 tentang sumber daya air) 2010
Keterangan Amanat UU tidak sepenuhnya dipatuhi Amanat UU dipatuhi, namun tingkat keberhasilan program masih rendah Amanat UU dipatuhi, namun kualitas vonis sangat rendah Amanat UU sudah dipatuhi, namun kemampuan rehabilitasinya masih rendah Amanat UU sudah dipatuhi, namun pembentukan terbilang lamban. Amanat UU sudah dipatuhi, namun masih
Membentuk wadah koordinasi atau dengan nama lain (Pasal Pada tahun 2010, telah dibentuk wadah koordinasi dengan 86 UU No.7/2004 tentang Sumber daya air) nama komisi irigasi berdasarkan Surat Keputusan Bupati No: 407/kpts/2010, yang berunsurkan pemerintah dan non pemerintah Pembangunan kesatuan pengelolaan hutan (KPH) beserta KPH yang telah selesai dibentuk oleh pemerintah daerah infrasturkturnya oleh pemerintah atau pemerintah daerah mencapai 96,62 persen. Jumlah ini sudah cukup sebagai sesuai kewenangannya (Pasal 10 ayat 1 PP No.3/2008 landasan pengelolaan hutan yang lestari dan efisien perlu dilakukan perubahan dari PP No. 6/ 2007 tentang tata hutan dan pembenahan terhadap penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan organisasi pengelola. hutan)
107
108
7.1.8 Relevansi Respon Terhadap Permasalahan Sub DAS Telah dipahami dari pembahasan sebelumnya, bahwa respon pemerintah daerah yang terbilang cukup baik atas sejumlah amanat undang-undang, belum juga mampu memberikan perubahan yang signifikan atas persoalan lahan kritis dalam kawasan Sub DAS Batulanteh. Kondisi tersebut, memunculkan keraguan akan relevansi respon dengan permasalahan Sub DAS sebenarnya. Pada bagian ini, dibahas bagaimana relevansi antara respon dengan kondisi lahan Sub DAS yang kritis. Mencermati sajian Tabel 29, barangkali sulit melihat relevansi secara lansung antara respon dengan permasalahan lahan kritis Sub DAS. Hal ini dapat dipahami, karena amanat peraturan perundang-undangan yang direspon oleh pemerintah daerah tidak terbatas peruntukkannya khusus untuk menjawab persoalan lahan kritis pada Sub DAS Batulanteh, melainkan amanat tersebut bersifat makro yang dihajatkan untuk terselenggaranya pengelolaan sumber daya alam secara umum yang optimal dan lestari. Relevansinya akan terlihat, manakala didalami semangat yang melekat pada setiap amanat yang direspon. Keluaran respon 1 sampai 4 misalnya, bermuara pada meminimalisir peningkatan lahan kritis baik di dalam dan luar kawasan Sub DAS. Demikian juga dengan respon 5 dan 6 ditujukan untuk menjawab kesulitan koordinasi antar setiap aktor yang terlibat dalam pengelolaan Sub DAS dan terselenggaranya pengelolaan sumber daya hutan yang efisien dan lestari. Adanya jalinan koordinasi yang intensif antar aktor, memungkinkan pemerintah selaku aktor di level kebijakan mampu menyelami kebutuhan masyarakat sebagai aktor yang bergantung atas lahan dalam kawasan Sub DAS dan pada gilirannya akan muncul solusi yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat pemilik lahan dengan kepentingan publik sebagai pemanfaat jasa Sub DAS. Untuk itu, bisa dikatakan permasalahan lahan kritis dalam kawasan Sub DAS, bukan dikarenakan ketiadaan relevansi respon, melainkan lebih disebabkan oleh bentuk intervensi yang belum spesifik dan optimal khusus pada lahan kritis milik masyarakat. Semestinya perlu pendekatan khusus, misalnya dengan mengatur mekanisme insentif, melalui mekanisme payment for environmental service (PES).
Tabel 29. Matrik relevansi antara respon dengan permasalah Sub DAS Respon
Permasalahan Sub DAS
Kategori Relevan Tidak relavan - Lahan dengan slope >40% dan berada √ pada ketinggian >500 mdpl masuk kategori kritis, yang ditandai oleh tutupan lahan yang tidak menunjang aspek √ konservasi tanah dan air. Struktur kepemilkan lahan sebagian besar miliki Negara dan sisanya milik masyarakat.
Mempertahankan kecukupan hutan di atas angka minimal 30% (respon atas amanat yang diatur dalam pasal 18 ayat 1 UU No.41/1999) Menyelenggarakan rehabilitasi hutan dan lahan dengan peran serta masyarakat seperti program HKm, dana reboisasi (DR), GERHAN, dan PSDHBM. (respon atas amanat yang diatur dalam pasal 42 ayat (1) dan (2); dan pasal 70 ayat (2) UU No.41/1999) Melakukan perlindungan hutan di dalam dan luar kawasan, - Lahan dengan slope 25-40% dan berada melalui penegakan hukum (respon atas amanat yang diatur pada ketinggian 100-500 mdpl juga masuk kategori kritis. Struktur kepemilkan lahan dalam pasal 21 ayat (1) & (2) UU No.7/2004) Memebentuk wadah koordinasi dengan nama komisi irigasi sebagian besar milik masyarakat dan telah (respon atas amanat yang diatur dalam pasal 86 UU dibudidayakan secara intensif untuk tanaman palawija dan sayuran. No.7/2004) Membentuk KHP dalam jumlah yang cukup sebagai landasan pengelolaan hutan yang lestari dan efisien (respon atas amanat yang diatur dalam pasal 10 ayat 1 PP No.3/2008 perubahan dari PP No. 6/ 2007) *Menghadirkan produk hukum berupa RAPERDA pengelolaan terpadu Sub DAS Batulanteh Ket. *). Bukan bagian dari amanat yang diperintahkan UU
√ √ √
√
109
110
7.2 Respon Masyarakat Pada paragraf 11 penjelasan umum UU No.41/1999 tentang kehutanan disebutkan bahwa dalam rangka mengoptimalkan perolehan atas manfaat sumber daya hutan, maka pemanfaatannya harus sesuai dengan fungsi pokoknya (konservasi, lindung, dan produksi) dan menjaga keberlangsungannya melalui kegiatan perlindungan dan rehabilitasi serta reklamasi dengan melibatkan peran serta masyarakat. Pentingnya pelibatan masyarakat juga diungkapkan pada paragraf 7 penjelasan umum UU No.7/2004 tentang sumber daya air, dimana disebutkan perlunya melibatkan seluas-luasnya peran serta masyarakat mulai dari penyusunan pola pengelolaan, kemudian perencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan, sampai pada pemantauan serta pengawasan dalam pengelolaan sumber daya air. Pertanyaannya, Bagaimana bentuk peran serta atau keterlibatan masyarakat? Adakah inisiatif lokal yang berkontribusi bagi kelestarian sumber daya tersebut? Apakah inisiatif lokal tersebut lahir atas dasar pemahaman mereka akan kehendak undang-undang? Pertanyaan-pertanyaan tersebut, dibahas pada bagian ini. Bentuk keterlibatan masyarakat yang dikehendaki undang-undang, sebenarnya sudah relatif banyak ditemukan pada sejumlah program pemerintah daerah, sebagaimana telah diungkapkan pada pembahasan sebelumnya, misalnya program hutan kemasyarakatan, (HKm), kemudian program pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat (PSDHBM), program gerakan rehabilitasi hutan (GERHAN), program dana reboisasi (DR), dan program hutan tanaman rakyat (HTR) serta termasuk program konservasi-NTB WRMP di wilayah Sub DAS Batulanteh yang dimulai sejak tahun 2008 - 2010 kerjasama antara Pemda, Uni Eropa, World Bank dan LP3ES. Program konservasi lahan-NTB WRMP tersebut, dalam pelaksanaannya di samping telah berhasil membentuk 6 kelompok konservasi dengan wilayah kerja tersebar di zona hulu dan tengah Sub DAS Batulanteh (lihat Tabel 30), juga berhasil membentuk wadah yang bernama forum komunikasi hulu-hilir Sub DAS Batulanteh. Forum yang beranggotakan dari unsur pemerintah, LSM, perguruan tinggi, GP3A/P3A, PDAM dan masyarakat hulu dipersiapkan untuk memfasilitasi proses pengembalian manfaat air yang diterima oleh PDAM dan P3A atau GP3A Aji dan Pungka ke wilayah hulu.
111
Tabel 30. Kelompok konservasi lahan Sub DAS Batulanteh Nama kelompok Lokasi Waktu pembentukan Desa Kecamatan Karya Baru Kerekeh Untir iwis April 2010 Ai Bulu Kelungkung Batulanteh Juni 2010 Lemak Sewe Pelat Untir iwis April 2010 Batu Balomo Kerekeh Untir iwis Juni 2010 Batudulang Utama Batudulang Batulanteh April 2010 Sumber : LP3ES, 2011
Jumlah anggota 14 19 29 12 18
Kesemuan program tersebut, memiliki semangat yang sama yakni membuka akses masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan dengan tetap mengedepankan pengelolaan yang lestari. Perubahan paradigma dalam pengelolaan sumber daya hutan saat ini, barangkali sebagai respon atas ungkapan Nancy Peluso yakni “Rich forest poor people - hutan banyak mengandung kekayaan, namun masyarakat disekitarnya miskin”, meskipun saat ini hutannya telah terkuras, masyarakatnya tetap miskin (Julmansyah, 2007). Keterlibatan masyarakat dalam berbagai skema kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, menjadi indikasi baiknya respon masyarakat. Lagi-lagi respon yang relatif baik, belum juga bisa menyelesaikan persoalan lahan kritis. Rendahnya tingkat keberhasilan program salah satu pemicunya adalah ketidak efektifan respon tersebut. Secara keselurahan program seringkali pelaksanaannya tidak tuntas, dikarenakan kelompok-kelompok masyarakat yang dibentuk tidak bisa bertahan lama. Kelompok tersebut sering kali tidak berfungsi sebagaimana mestinya seiring selesainya kegiatan pendampingan oleh pemerintah atau pihak ketiga. Masyarakat selaku sasaran program menilai kondisi demikian dikarekan kelompok yang pembentukannya difasilitasi oleh pemerintah atau pihak ketiga belum mandiri pada saat proses pendampingan berakhir. Untuk itu, setiap program kedepannya sudah semestinya memiliki konsep exit strategy yang jelas. Mengakhiri pembahasan tentang peran serta masyarakat melalui programprogram pemerintah di atas, selanjutnya bagaimana dengan inisiatif lokal yang juga berkontribusi bagi kelestarian Sub DAS? Mari melihat apa yang dilakukan masyarakat Desa Batudulang di hulu Sub DAS Batulanteh, dalam merawat dan
112
memelihara pohon yang mereka sebut sebagai “17pohon boan”. Masyarakat menganggap pohon itulah salah satu yang juga “merawat dan memelihara” kelangsungan dapur mereka, karena pada pohon itulah aktivitas berburu madu tetap hidup dalam masyarakat sampai saat ini. Selain itu, masyarakat Desa Batudulang juga telah memulai melakukan praktek pemanfaatan lahan tiga dekade silam yang diketahui memiliki nilai konservasi tinggi. Usaha tersebut yakni budidaya tanaman kemiri yang dilakukan secara swadaya dengan luasan mencapai ± 249 Ha. Namun dua contoh inisiatif tersebut bukanlah lahir atas dasar pemahaman mereka akan pentingnya kelestarian sumber daya hutan sebagaimana dikehendaki UU, melainkan hanya atas motivasi ekonomi. Masyarakat tidak berpikir atas kepentingan publik atau kepentingan jangka panjang atas apa yang mereka lakukan, melainkan hanya bagaimana mereka dan keluarga mereka bisa bertahan hidup. Perilaku semacam ini oleh Suparmoko (1997) dalam konsep ruang dan waktunya akibat ketidakberdayaan ekonomi masyakat tersebut, dimana dijelaskan masyarakat yang tidak berdaya secara ekonomi cenderung membuat pertimbangan untuk diri dan lingkungannya sendiri dan juga bersifat jangka pendek. Namun konsep tersebut tidak sepenuhnya benar, karena faktanya kerusakan sumber daya alam saat ini justru lebih besar disebabkan oleh kerakusan kelompok-kelompok kaya. Ruang
Waktu
Gambar 23. Pandangan manusia terhadap ruang dan waktu (sumber : Suparmoko, 1997) 17
Pohon boan adalah pohon yang menjulang tinggi dan sering menjadi tempat bersarangnya madu.