RESPON MASYARAKAT KOTA TANGERANG TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NO. 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : Ety Lusiana NIM : 204044103025
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2009 M
RESPON MASYARAKAT KOTA TANGERANG TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NO. 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh : Ety Lusiana NIM : 204044103025
Di Bawah Bimbingan Pembimbing I
Dr. H. Yayan Sopyan, M.Ag NIP: 150 277 991
Pembimbing II
Dr. Hj. Mesraini, M.Ag NIP: 150 326 895
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul RESPON MASYARAKAT KOTA TANGERANG TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NO. 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah.
Jakarta, 18 Februari 2009 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H.M Amin Suma, S.H., M.A,M.M NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN MUNAQASAH Ketua
: Drs.Djawahir Hejazziey, SH. MA
(------------------)
NIP. 130 789 745 Sekretaris
: Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag
(------------------)
NIP. 150 269 678 Pembimbing I
: Dr. H. Yayan Sopyan, MA
(------------------)
NIP. 150 277 991 Pembimbing II
: Dr. Hj. Mesraini, MA
(------------------)
NIP. 150 326 895 Penguji I
: Drs. Sirril Wafa, M.Ag
(------------------)
NIP. 150 277 992 Penguji II
: Kamarusdiana, S.Ag., MH NIP. 150 285 972
(------------------)
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul RESPON MASYARAKAT KOTA TANGERANG TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NO. 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah.
Jakarta, 18 Februari 2009 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H.M Amin Suma, S.H., M.A,M.M NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN MUNAQASAH Ketua
: Drs.Djawahir Hejazziey, SH. MA
(------------------)
NIP. 130 789 745 Sekretaris
: Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag
(------------------)
NIP. 150 269 678 Pembimbing I
: Dr. H. Yayan Sopyan, MA
(------------------)
NIP. 150 277 991 Pembimbing II
: Dr. Hj. Mesraini, MA
(------------------)
NIP. 150 326 895 Penguji I
: Drs. H. Sirril Wafa
(------------------)
NIP. Penguji II
: Kamarusdiana, S. Ag., MH NIP. 150 282 927
(------------------)
KATA PENGANTAR
ا ا ا Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala rahmat, karunia, hidayah, dan inayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tetap tercurahkan kepada Nabi pembawa perubahan, revolusioner di dalam segala aspek kehidupan dan rahmat sekalian alam, Baginda Nabiyullah Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya dan juga orang-orang yang tetap istiqamah menegakkan dinul Islam hingga akhir zaman. Skripsi yang berjudul “Respon Masyarakat Kota Tangerang terhadap Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (S1) pada Jurusan Al-Akhwal Al-Syakhsiyyah program studi Administrasi Keperdataan Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan sumbangan motifasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, izinkanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof., Dr., H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M, Selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum.
2. Bapak Drs., H.A. Basiq Djalil, S.H., MA dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H, Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah yang selalu memberikan bimbingan, spirit kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. 3. Drs. Djawahir Hejazziey, SH.,MA, dan Bapak Drs.H.Ahmad Yani, MA, Ketua Koordinator Teknis, dan Sekretaris Program Non Reguler,
Ahwal
Syakhsiyyah yang selalu memberikan bimbingan, spirit kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. 4. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. H. Yayan Sopyan, MA, dan Ibu Dr. Hj. Mesraini, MA, dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberikan ilmunya selama penulis mengerjakan skripsi ini. Merupakan suatu kehormatan bagi penulis bisa berada di bawah bimbingan bapak dan ibu. 5. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Jaenal Aripin, MA, yang telah meluangkan waktunya dan memberikan ilmunya selama penulis mengerjakan skripsi ini. 6. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ibu Pemerintahan Daerah Kota Tangerang Bagian Hukum dan Perundang-undangan, dan Bapak Ibu Dinas Tramtib Kota Tangerang, serta seluruh instansi Kecamatan Cipondoh (Khususnya warga masyarakat Kelurahan Poris Plawad dan Kenanga),dan Kecamatan Karawaci (Khususnya warga masyarakat kelurahan Bojong Jaya dan masyarakat Gerendeng) yang sudah memberikan data-data, ilmu dan
pengalamannya kepada penulis. Semoga apa yang dilakukan menjadi amalan yang baik dan dibalas oleh Allah SWT. 7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga dan pikirannya untuk mendidik agar kelak menjadi manusia yang berguna di dunia dan akhirat semoga do’a dan didikannya menjadi berkah dan dapat menuntun penulis untuk memasuki kehidupan baru yang lebih baik. 8. Segenap pengelola perpustakaan Pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data yang berkaitan dengan skripsi penulis. 9. Ibundaku Zaenah dan ayahanda Sugianto serta adikku Lala, dan kak toni yang senantiasa mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan bimbingan baik moril maupun materil, nasihat maupun do’a demi kesuksesan penulis, semoga hari-hari selalu bahagia dan dilindungi Allah SWT. 10. Teman-teman PA angkatan 2004-2005, khususnya Lilis, Erna yang membantu dan menemani penulis menyelesaikan skripsi ini dalam suka dan duka. Semoga tali silaturrahmi tidak terputus Amien. Akhirnya penulis dengan segala kerendahan hati berharap, semoga kebaikan dan pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis akan mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan dan belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat
berguna dikemudian hari dan memberikan manfaat bagi semua pihak serta rekanrekan yang membacanya dan semoga semua yang telah penulis lakukan mendapat ridha Allah SWT. Amin.
Jakarta, 23 Desember 2008 M 25 Dzulhijjah 1428 H Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.......................................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................................ v BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................ 1 A. Latar Belakang.......................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................ 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 9 D. Review Studi Terdahulu............................................................ 10 E. Metode Penelitian ..................................................................... 13 F. Sistematika Penulisan ............................................................... 19
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PELACURAN.................. A. Definisi Pelacuran.................................................................... 21 1. Pelacuran menurut Hukum Islam.................................. 25 2. Dasar Hukum Larangan Pelacuran menurut Hukum Islam ............................................................... 26 3. Pelacuran menurut Hukum Pidana............................... 28 B. Sejarah Pelacuran di Indonesia................................................. 31 C. Faktor penyebab terjadinya pelacuran ...................................... 38 D. Dampak dari pelacuran terhadap masyarakat............................ 40 E. Perempuan dan Hak-hak perempuan ........................................ 43
F. Islam dan Gender ..................................................................... 46 BAB III
PERDA KOTA TANGERANG NO 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN .................................................. 48 A. Sekilas Tentang Kota Tangerang .............................................. 48 B. Latar Belakang Lahirnya Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Pelacuran .............................. 54 C. Seputar materi Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ............................................................... 57 1.
Identifikasi Bab-bab dan Pasal-pasal yang krusial dalam Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran......................................... 57
2. Problematika Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ...................... 60 3. Penerapan Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ...................... 65 BAB IV
PERDA KOTA TANGERANG NO 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DALAM PANDANGAN MASYARAKAT ........................................................................... 69 A. Kondisi Objektif Wilayah Penelitian........................................ 69 B. Identitas Responden................................................................. 73 C. Pengetahuan masyarakat terhadap pelacuran ............................ 76
D. Sikap masyarakat terhadap Perda Kota Tangerang No 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran .......................................... 88 E. Respon masyarakat terhadap Perda Kota Tangerang No 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ................................................................................................ 10 3 F. Analisa Data ................................................................................................ 11 3 BAB V
PENUTUP ...................................................................................................... 11 7 A. Kesimpulan ............................................................................................ 11 7 B. Saran-saran ............................................................................................ 11 8
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................................. 12 0 LAMPIRAN – LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat menghindari pergaulan sesama. ia pun punya kebebasan bergaul dan memasuki berbagai komunitas yang beragam. Namun kebebasan tidak selamanya absolut. Tentu ada batas–batas tertentu yang secara normatif disetujui oleh masyarakat (Pemerintah) maupun ajaran agama yang dapat di yakini kebenarannya. Tanpa batasan itu ia akan kehilangan kemuliannya, karena ia akan terjebak pada kebejatan moral yang tidak mustahil merusak jasmani. 1 Kebebasan yang dilakukan secara absolut, sering diterapkan orang pada kebebasan antara lelaki dan wanita. Akan tetapi bila sudah meningkat pada kebebasan hubungan seksual, sadar atau tidak, hal itu mengakibatkan perilaku yang abnormal, dari pandangan sosial maupun agama. Akibat lebih jauh adalah timbulnya kerusakan moral dan kehormatan yang tidak jarang mengakibatkan kerusakan jasmani. Berjangkitnya penyakit kelamin seperti AIDS, lahir dari kebebasan seksual, tanpa kontrol terhadap kebersihan lawan seks. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah di beri bekal hidup berupa aturanaturan untuk dijadikan pedoman dalam sebuah kehidupan agar tidak menyimpang dari garis-garis yang telah di tentukan. Salah satu yang diatur dalam Islam adalah 1
Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih sosial, (Yogyakarta:LkiS, 1994), cet ke-1, h.94
masalah hukuman bagi tindak kejahatan. Al-Qur’an membatasi teksnya pada ketentuan lima macam tindak kejahatan bersama sanksinya. Yaitu; Pembunuhan, pencurian, melakukan pengrusakan, zina, dan tuduhan zina terhadap wanita baikbaik.2 Guna terciptanya suatu kemaslahatan dan ketentraman dalam masyarakat serta menjaga manusia dari hal-hal yang mafsadah maka diadakanlah pembalasan atas kejahatan atau pelanggaran agar merasa jera dan berfikir untuk tidak mengulangi masalah yang sama. Sebagaimana diadakannya hukuman dalam Islam. Salah satu hukuman dalam Islam adalah hudûd atau hukuman rajam bagi pelaku zina. Kasus hukum rajam bagi pelaku zina bukanlah inti ajaran yang di kehendaki syariah. Adapun hukum rajam adalah hukum pendukung dalam menegakkan larangan zina. Islam sangat mementingkan pemeliharaan terhadap lima hal yaitu; Agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Larangan Islam terhadap pelacuran/perzinaan, ini berkaitan dengan penghargaan Islam terhadap kehormatan diri dan kesucian keturunan. Islam mensyari’atkannya hâd (dera) bagi lelaki atau perempuan yang berzina, dan bagi penuduh pembuat zina.3 Islam sangat melarang keras perbuatan zina, seperti pelacuran dan sejenisnya, pelanggaran terhadap ketentuan ini akan menimbulkan dampak yang buruk sangat serius terhadap masyarakat luas.
2
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya (Jakarta : Sinar Grafika,2007) hal. 191 3 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. Penerjemah Masdar Helmy, (Bandung,Gema Risalah Press,1996 ),hal.359
Penyakit AIDS yang sangat di takuti masyarakat dewasa ini, di derita terus terutama oleh para pelaku homo-seksual, serta orang-orang yang suka jajan seks di luar pernikahan.4 Di Indonesia sendiri pelacuran tidak dianggap sebagai kejahatan akan tetapi hanya permasalahan sosial biasa. Yang dianggap kriminal adalah profesi sebagai germo yang diancam dengan hukuman maksimal 4 tahun (Pasal 297 KUHP). Karena pelacuran dianggap sebagai permasalahan sosial maka penanganannya pun dilakukan dengan pendekatan sosial. Prostitusi atau pelacuran adalah persenggamaan antara pria dan wanita tanpa terikat oleh piagam pernikahan yang sah. Perbuatan ini dipandang rendah dari sudut moral dan akhlak, dosa menurut agama, tercela dan jijik menurut penilaian masyarakat di Indonesia. Akan tetapi belakangan ini, pelacuran adalah salah satu profesi dan lahan bisnis untuk tujuan ekonomi. 5 Walaupun pelakunya selalu berdalih dengan alasan ekonomi, namun juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan alasan yang secara rasional bukan moral bisa dipahami. Misalnya, mundurnya usia perkawinan, tingginya angka perceraian, meningkatnya mobilitas penduduk, gaya hidup, pendapatan masyarakat, dan tantangan yang dihadapi. Tidak dapat dipungkiri banyak berita media massa membukakan mata bahwa globalisasi juga berdampak pada penyebaran dan perluasan ruang lingkup operasi pelacuran, dan sekarang telah banyak industri seks komersil 4
Hasanuddin, Perdagangan Perempuan dalam perspektif hukum Islam”Ahkam V”, No.12 (2003): h.131 5 Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, h.95
dikarenakan banyak peminat, baik itu dalam pemenuhan kebutuhan di Indonesia sendiri ataupun untuk diperdagangkan ke mancanegara dengan penghasilan yang cukup besar dan setingi-tingginya dari sistem pelacuran. Pelacuran tetap bagian tak terjangkau dari hukum yang ada. Tidak salah, kalau pelacuran merupakan komoditi seks yang menggiurkan.6 Pelacuran memiliki sisi positif dan negatif pula. Diantara sisi positifnya adalah ia memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Baik sebagai usaha kecil sampai industri seks komersial ternyata jumlahnya yang sangat besar. Industri seks merebak di daerah yang membuka lapangan kerja baru. Karena dalam sejarahnya pelacuran memang berkembang sejalan dengan tumbuhnya kota-kota kecil dan kotakota besar. Di tahun 1995 saja jumlah pekerja seks, di Indonesia berkisar antara 65.582 pelacur, dan diperkirakan mereka yang bekerja nyambi rangkap bisa mencapai angka 500.000. Lokalisasi atau komplek bordello secara resmi diatur oleh Pemerintah Daerah. Hasil dari industri seks ini diperkirakan US$ 1,27 milyar sampai US$ 3,6 milyar atau sama dengan 4%-11% APBN 1995 Republik Indonesia.7 Namun di balik sisi positifnya itu ternyata tersimpan berbagai sisi negatif yang tidak bisa dibayar dengan jumlah materi berapapun. Pelacuran bukan hanya sebuah gejala individual akan tetapi sudah menjadi gejala sosial dari penyimpangan seksualitas yang normal dan juga agama. Karena pelacuran bukan hanya memiliki
6
Armaidi Tanjung, dan Elfi Delfita, Mengapa Zina dilarang, (Solo:CV Pustaka Mantiq, 1997), h.69 7 Ibid, h.68
dampak terhadap individu-individu pelaku dan pemakai jasa ini secara personal, akan tetapi juga memiliki dampak terhadap masyarakat umum.8 Di era desentralisasi seperti sekarang , penanganan masalah ketertiban dan sosial diserahkan pada pemerintah kota dan kabupaten setempat. Dan beberapa dari mereka kemudian menerbitkan perda mengenai masalah ini. Salah satunya adalah Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Tangerang. Tepatnya pada usia ke-13 Pemerintah Kota Tangerang mulai melaksanakan Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Dengan disahkannya Perda tersebut, maka siapapun dilarang melacur ataupun
melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan pelacuran. Adapun bagi pelanggar ketentuan-ketentuan Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 ini diberikan ancaman pidana bagi pelakunya yaitu kurungan paling lama 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 15.000.000 (lima belas juta rupiah). Di samping itu Drs. H. Wahidin Halim, M.S.i, sebagai Walikota Tangerang ingin mewujudkan sebuah Kota yang berhias dan bertaqwa menuju peradaban pembangunan masyarakat yang berakhlakul karimah, bahkan semua aspek pemerintahan diarahkan bagaimana membentuk masyarakat yang berakhlak mulia
8
Abdul Moqsit Ghazali dkk, Tubuh, seksualitas, dan kedaulatan perempuan, (Jakarta: Rahima, 2000), h.211
guna membendung dekadensi moral ke jurang kehancuran untuk menjadi landasan moral dan etika dalam berbangsa dan bernegara. 9 Pada dasarnya, tujuan mulia mengiringi niat Pemerintah Kota Tangerang membuat Perda itu, selain ingin menciptakan masyarakat yang berakhlakul karimah, pemerintah juga ingin membantu kepolisian dalam rangka menekan angka kriminalitas yang kerap ada dan terjadi. Harus diakui, sejak disahkan DPRD Kota Tangerang pada akhir November 2005, perda No 8 tahun 2005 sedikit banyak telah membawa pengaruh positif bagi warga Kota Tangerang. Terbukti kini keberadaan PSK tidak sesemarak dulu, sebelum adanya perda tersebut. Kepala Dinas Ketentraman dan Ketertiban Kota Tangerang, Ahamad Lutfi mengatakan semenjak Perda No 8 tahun 2005 diberlakukan, jumlah PSK diwilayahnya menurun, yaitu dari 200 PSK, kini tinggal 50 orang PSK. Sisa yang masih nekat beroperasi di Kota Tangerang, selalu kucing-kucingan dan berdandan tidak seronok.10 Itikad baik Pemda Tangerang untuk membenahi moral masyarakat juga mendapat sambutan negatif dari kalangan yang tidak sepaham. Bahkan ada yang menganggap hal ini sebagai upaya penegakan Syariat Islam di tingkat pemda.
9
http://www.Tangerangkota.go.id/view.php?mode=9&sort no=22, artikel diakses pada tanggal 15 maret 2008. 10 Sumantri Handoyo, Tangerang MIOL, artikel diakses pada 15 Juli 2008 dari http://www.Kaskus.us/showthread.php?t=308011
Berbagai macam isu yang mendeskreditkan Pemda Tangerang bertebaran di media massa, mereka bersuara lantang mencabut pembatalan Perda tersebut.11 Penyebabnya adalah Perda ini memberi kewenangan pada aparat Tramtib untuk menangkap perempuan mana saja yang dicurigai sebagai pelacur. Akibatnya banyak terjadi penangkapan terhadap perempuan baik-baik yang kebetulan keluar malam seperti pulang kerja. Padahal dalam sistim hukum manapun seseorang tidak boleh ditangkap dan dihukum hanya dilandasi oleh kecurigaan. Ambil kasus salah tangkap yang dialami saudari Lilis Lindawati, seorang ibu rumah tangga yang bekerja di sebuah restoran Cengkareng, di tangkap oleh petugas Tramtib pada tanggal 27 Februari 2006 di daerah Grendeng Kecamatan Karawaci pada saat pulang kerja.12 Dengan kasus tersebut Perda No. 8 Tahun 2005 dalam Implementasinya telah menimbulkan kriminalisasi terhadap perempuan yang bekerja di malam hari. Sehingga terjadi adanya pro dan kontra mengenai Perda tersebut. Akan tetapi, dibutuhkan sebuah regulasi untuk menertibkan aktivitas mereka dengan terus berpikir bagaimana mencari penyelasaian permasalahan mereka. Bertolak pada itu semua maka dianggap perlu untuk mengetahui bagaimana tanggapan dan reaksi masyarakat Kota Tangerang sendiri yang berlatar belakang masyarakat yang menjunjung tinggi agama memandang fenomena pelacuran yang
11
Chairil Akhmad, Orang Kerdil Takut Islam Besar, artikel diakses pada 20 juli 2008 dari http: www.mail-archive.com/
[email protected]/msg39478.html, 12 Soelastri soekirno dan Ninuk M Pambudy, Perempuan, perda, dan Domestikasi, kompas, Sabtu 04 maret 2006
terjadi di masyarakat dengan dikeluarkannya Perda Kota Tangerang No 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Atas dasar tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan melaporkannya dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi dengan judul : “Respon Masyarakat Kota Tangerang terhadap Peraturan Daerah Kota Tangerang No 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Pelacuran”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar pembahasan skripsi ini lebih sistematis dan terarah, maka perlu adanya pembatasan masalah yang akan dianalisa. Untuk itu pembatasan masalah dalam penulisan karya ilmiah ini adalah ; 1.
Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.
2.
Pelaksanaan Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.
3.
Pelaksanaan Perda Kota Tangerang di Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh.
4.
Respon masyarakat Kota Tangerang terhadap Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Dengan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, fokus penulisannya
diharapkan mampu memberikan pemahaman bagi para pembaca. Berkenaan dengan ini, maka pokok masalah dalam skripsi ini dirumuskan sebagai berikut : 1.
Apa yang melatarbelakangi lahirnya Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran?
2.
Bagaimana pengetahuan masyarakat terhadap Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2005 Kota Tangerang tentang Pelarangan Pelacuran?
3.
Bagaimana sikap dan respon masyarakat Kota Tangerang terhadap Peraturan Daerah No. 8 tahun 2005 Kota Tangerang tentang Pelarangan Pelacuran?
C Tujuan Dan Manfaat Penelitian Setelah penulis menentukan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran 2. Untuk mengetahui pengetahuan masyarakat Kota Tangerang terhadap Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran 3. Untuk mengetahui sikap dan respon masyarakat Kota Tangerang terhadap Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Adapun manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu: Manfaat secara Teoritis yakni memperkaya khazanah keilmuan khususnya di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan Manfaat secara praktis yaitu memberikan Informasi pada masyarakat umum sebagai bahan untuk kebijakan Kota Tangerang dalam hal ini Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.
D. Review Studi Terdahulu Berdasarkan telaah yang sudah dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan, penulis meninjau bahwa apa yang merupakan masalah pokok penelitian ini tampaknya sangat penting dan prospektif untuk mengetahui seperti apa respon masyarakat terhadap Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2005 Kota Tangerang. Adapun penelitian sebelumnya tentang Peraturan Daerah dan pelacuran diantaranya adalah sebagai Berikut : No
Identitas Penulis
1. Najihatin
Substansi
Perbedaan
Kedudukan Hukum Lokalisasi Terletak pada cara
Niswah,
Pelacuran
Tahun
Dr.KH.MA.
2006
memberikan pandangan yang jelas dengan
menurut Sahal
pemikiran penanggulangan Mahfudz, pelacuran.
mengenai pelacuran yang merujuk Lokalisasi
Yaitu adanya dan
pada Al-Qur’an dan Hadist, serta penanggulangan, penanggulangan pelacuran melalui dengan pencegahan pemikiran
DR. KH. SAHAL pelacuran
dengan
MAHFUDZ, lewat pemikirannya adanya
Peraturan
yang tertuang dalam Nuansa Fiqh Daerah
Kota
Sosial. Menurutnya ada dua cara Tangerang No. 8 terbaik pelacuran.
dalam
menanggulangi Tahun
Pertama,
2005
melalui tentang Pelarangan
Sentralisasi lokasi pelacuran dari Pelacuran suatu tempat yang jauh dari kontak penduduk.
Kedua,
pendekatan
Kausatif-Sosiologis.
Cara
ini
melalui
dimaksudkan
untuk
mengetahui sebab-sebab dan latar belakang para pelaku pelacuran. Kiai
sahal
menyebut untuk
“Keyword”
sebagai mengatasi
pelacuran.
2. Siti Bulkis pada Sikap Tahun 2008
masyarakat
Terhadap Terletak pada zina
Perilaku zina (Studi kasus di Desa yang
Kandawati
Kec.Gunung
dilakukan
Kaler, tanpa ada imbalan
Kab.Tangerang, Prop. Banten), atau penelitian
ini
bertujuan
untuk dengan
bayaran perbuatan
menggambarkan pemahaman dan zina tindakan
masyarakat
Desa pembayaran
Kandawati terhadap peilaku zina.
3. Dewi Nuraeni 2007
adanya
(pelacuran)
Nugraha Adat kebiasaan masyarakat Garut Perbedaan Tahun dalam perspektif Perda Kabupaten materi
pada perda,
Garut No 22 Tahun 2000 dan daerah pembuatan
Hukum
Penelitian
Islam.
bertujuan
untuk
mengetahui respon masyarakat pelestarian, terhadap penerapan
pemberdayaan, pengembangan
adat-istiadat, perda.
kebiasaan-kebiasaan jenis-jenis,
ini perda, tidak adanya
masyarakat,
adat-istiadat
serta
pelestarian adat istiadat tersebut sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
4. Sri
Wahyuni, Tinjauan Hukum Islam terhadap Terletak pada isi
Tahun 2006
Perda Kota Tangerang No 7 perda dan tidak ada Tahun 2005 tentang minuman tanggapan penelitian
beralkohol, bertujuan
untuk
ini mengenai
mengetahui menurut
perda persepsi
tinjauan hukum Islam terhadap masyarakat Perda Kota Tangerang tentang terhadap Minuman Beralkohol.
keberadaan perda.
5. Isti’amah, Tahun Tinjauan Hukum Islam terhadap Keberadaan perda 2008
di ditinjau
menurut
Cirebon (Analisis terhadap perda hukum
Islam,
Kabupaten Cirebon No.1 tahun dengan
perda
penanggulangan
Prostitusi
2002 Tentang Prostitusi ), tujuan dalam
pandangan
penelitian ini, untuk mengetahui masyarakat,
serta
tinjauan Hukum Islam terhadap wilayah pembuatan perda Cirebon No 1 tahun 2002 perda. tentang Prostitusi.
Dari beberapa kajian skripsi yang telah dipaparkan di atas, belum ada satu karya ilmiah yang secara tuntas mengenai respon atau (tanggapan) masyarakat terhadap pelarangan pelacuran dalam Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.
E. Metode Penelitian Ada beberapa hal yang terkait dengan metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini, yakni; 1.
Pendekatan Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan pendekatan kualitatif dan
kuantitatif. Data Kualitatif yang diperoleh adalah berupa dokumen yang berkaitan dengan Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran, dan juga data wawancara yang dilakukan kepada para pihak yang terkait erat dengan Peraturan Daerah tersebut. Serta penelusuran
terhadap data-data yang ada dilapangan, termasuk beberapa pemikiran atau tulisan dan catatan yang memiliki relevansi dan mendukung terhadap penelitian yang di angkat. Sedangkan Jenis data Kuantitatif digunakan terutama untuk melihat Respon masyarakat Kota Tangerang (di kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh) terhadap Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran . 2. Jenis Penelitian Adapun jenis penelitian skripsi ini termasuk jenis penelitian hukum normatif karena titik tekannya didasarkan pada Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran serta peraturan lainnya yang terkait dengan Peraturan Daerah Kota Tangerang, baik menyangkut masalah yang diteliti dengan memuat deskripsi masalah berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan secara cermat dan mendalam. Pendekatan Empiris juga dilakukan, terutama untuk memotret realitas yang terjadi di lapangan yang berkaitan dengan Respon Masyarakat Kota Tangerang (di Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh) terhadap Peraturan Daerah Kota Tangerang No 8 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. 3. Data a. Jenis Data Ada dua sumber yang dijadikan sebagai bahan pengambilan data penelitian ini,yakni primer dan sekunder. Untuk jenis penelitian normatif, data primer diambil dari Peraturan Daerah Kota Tangerang
No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran atau peraturan lainnya yang masuk dalam kategori sistematika sumber hukum di Negara hukum Indonesia, sedangkan data sekundernya
adalah komentar,
penjelasan dan juga penafsiran terhadap Peraturan Daerah yang terkait dengan obyek penelitian. Data yang dikumpulkan secara langsung dari sumber- sumber lain, seperti laporan-laporan atau data-data yang diperoleh dari daerah setempat, maupun dari literatur kepustakaan hingga situs internet. Sedangkan untuk jenis penelitian empiris, data primer berasal dari responden masyarakat Kota Tangerang (khususnya di kecamatan karawaci dan Kecamatan Cipondoh) serta informasi hasil wawancara dan sekundernya berupa dokumen yang diambil dari institusi terkait, terutama dari Pemerintahan Kota Tangerang. b. Instrumen pengumpulan data Instrument
angket
digunakan
sebagai
alat
pengumpulan
data
empiris/lapangan. c. Teknik pengumpulan data Untuk jenis penelitian normatif
dilakukan dengan cara studi
kepustakaan, yakni menelusuri bahan pustaka yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Peraturan Daerah. Sedangkan untuk jenis penelitian empiris dilakukan penelitian lapangan dan penelusuran dokumen. Penelitian lapangan dilakukan dengan cara wawancara baik terstuktur yang terkait dengan Peraturan Daerah Kota
Tangerang, serta
survei dengan instrumen angket Kuesioner atau
angket sebagai instrumen utama. Tujuannya adalah menggali data tentang Respon masyarakat Kota Tangerang di Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh terhadap Perda kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Adapun teknik pengampilan sampel yaitu dengan cara Stratified Random Sampling (sampel dipilih secara acak berjenjang) yaitu diambil dari masyarakat Kota Tangerang yang terdiri dari 13 Kecamatan, diambil 2 kecamatan (Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh, setiap kecamatan diambil 2 Kelurahan, dan setiap kelurahan diambil secara acak yaitu satu RW dan dua RT. Dalam hal ini Penulis berpedoman pada buku prosedur penelitian karangan Suharsimi Arikunto, yang memberikan pedoman dalam melakukan penelitian atau seorang peneliti harus memperhatikan 3 hal yaitu : a. Kemampuan penelitian dilihat dari segi waktu, tenaga dan dana. b. Sempit Luasnya wilayah pengamatan dari setiap Subjek. c. Besar kecilnya resiko yang ditanggung peneliti. 13 Berdasarkan Keterangan diatas, maka penulis mengambil sampel berdasarkan ketiga pertimbangan tersebut, yaitu sebanyak 150 orang sebagai responden dari masyarakat Kota Tangerang (di Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh) Untuk kecamatan Karawaci yaitu 39 orang warga kelurahan Gerendeng (20 orang
13
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), Edisi Revisi IV, Cet ke-11, h.120
warga RT 03/06, dan 19 orang warga RT 04/06) untuk kelurahan Bojong Jaya 38 orang (19 orang warga RT 02/04, dan 19 orang warga RT 03/04) Sedangkan untuk Kecamatan Cipondoh yaitu 43 orang warga kelurahan Poris Plawad (20 orang warga RT 02/03, dan 23 orang warga RT 05/03) untuk Kelurahan Kenanga 30 orang (15 orang warga RT 01/01, dan 15 orang warga RT 02/01). 4. Analisis data Karena pendekatan yang digunakan adalah Kualitatif dan kuantitatif, maka untuk kualitatif teknik analisis data yang penulis gunakan adalah Content Analysis, teknik analisis diawali dengan mengkompilasi berbagai dokumen termasuk peraturan perundangan yang berkaitan khususnya dengan Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran, serta mengkategorisasikan data hasil wawancara. Dari hasil tersebut, selanjutnya dikaji isi (content); baik terkait kata-kata (Word), makna (meaning) symbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan lainnya yang disampaikan terutama oleh Peraturan Daerah yang dimaksud. Khusus mengenai Peraturan Daerah, data yang diperoleh dari analisis ini sekurang-kurangnya adalah gagasan kultural yang melingkupi latar belakang diterbitkannya Perda, identitas subyek dan obyek bahasan Perda serta pergolakan isu, kebijakan atau ide yang diperjuangkan/dikembangkan dalam tiap-tiap butir Perda tersebut. Secara detail, langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan analisis tersebut adalah, semua bahan hukum baik yang diperoleh secara normatif maupun empiris disistematisir dan diklasifikasikan kemudian dilakukan eksplikasi yakni diuraikan dan dijelaskan sesuai obyek yang diteliti berdasarkan teori. Bahan yang
telah dieksplikasi dilakukan evaluasi, yakni dinilai dengan menggunakan ukuran ketentuan hukum yang berlaku, terutama ketentuan hukum mengenai Peraturan Daerah Kota Tangerang No 8 tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran. Langkah analisis tersebut dilakukan secara integral dalam satu kesatuan. Ini dilakukan agar menghasilkan kesimpulan yang komprehensif dan kritis, yang mencakup; fakta, teori dan nilai yang perspektif. Kemudian untuk data kuantitatif data-data tersebut ditabulasi, yakni disusun ke dalam bentuk tabel dengan menggunakan Statistik Prosentase sebagai berikut Keterangan : P=
F X 100% N
P = Besar Prosentase F = Frekuensi ( Jumlah jawaban responden ) N = Jumlah Responden14 Adapun dalam teknik penulisan dan transliterasi yang digunakan penulis adalah berpedoman kepada buku pedoman penulisan skripsi yang dikeluarkan oleh Syariah dan Hukum tahun 2007, dengan beberapa penulisan skripsi sebagai berikut: 1. Kutipan ayat-ayat Al-Qur’an tidak diberi footnote,melainkan dengan menyebut nama dan nomor ayat yang dikutip pada akhir kutipan. 2. Pembuatan indensi dan footnote disesuaikan dengan program komputerisasi yang ada. 14
ke-8, h.40
Anas sudjono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1997), cet
3. Pembuatan tabel dengan satu spasi.
F Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pembahasan masalah dalam penulisan skripsi ini penulis mencoba mengelompokkannya berdasarkan hubungan dari setiap masalah yang ada. Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab yaitu : BAB I
Pendahuluan, dalam bab ini penulis menjelaskan sekaligus menempatkan skripsi ini pada kerangka dasar dengan memaparkan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
Tinjauan teoritis pelacuran, dalam bab ini memuat tentang definisi pelacuran, pelacuran menurut hukum Islam, pelacuran dalam hukum pidana, sejarah pelacuran di Indonesia, faktor-faktor yang mempengaruhi pelacuran, dampak dari pelacuran. Perempuan dan hak-hak perempuan, Gender dan Islam.
BAB III
Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran, sekilas tentang Kota Tangerang, materi Perda Kota Tangerang No.8 tahun 2005, sistematika Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005, problematika Perda Kota Tangerang No.8 tahun 2005, serta penerapan Perda Kota Tangerang No.8 tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran.
BAB IV
Respon masyarakat terhadap Perda Kota Tangerang No 8 tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran, dalam bab ini memuat tentang wilayah obyektif penelitian yaitu di Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh, identitas responden, pengetahuan masyarakat terhadap pelacuran, sikap masyarakat terhadap Perda Kota Tangerang tentang pelarangan pelacuran, respon masyarakat Tangerang terhadap Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran, serta analisa data.
BAB V
Penutup yang berisi tentang Kesimpulan dan saran-saran, dalam bab terakhir ini berisi kesimpulan dari permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya dan saran-saran dari penulis
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PELACURAN
A.
Definisi Pelacuran dan hukumnya Pelacuran disebut juga dengan prostitusi, yang berasal dari bahasa Latin
pro-stituare yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan perbuatan persundalan, pencabulan, pergendakan. Sedangkan prostitusi adalah pelacur atau sundal yang dikenal dengan WTS atau Wanita Tuna Susila. 15 Pelacuran dalam kamus bahasa Indonesia dijelaskan berasal dari kata lacur yang berarti malang, celaka, sial, gagal, atau buruk laku. Pelacur adalah perempuan yang melacur, sundal, wanita tuna susila. Pelacuran adalah perihal menjual diri sebagai pelacur, penyundalan.16 Menurut William Benton dalam Encyclopedi Britannica, pelacuran dapat didefinisikan sebagai praktek hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja (promiskuitas)17, untuk imbalan berupa upah. Dengan demikian
15
Kartini Kartono, Patologi Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1997), Jil.1, Edisi 2,
h.177 16
W.J.S. Poerwadarminta; (Diolah kembali oleh pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), h.548 17 Promiskuitas/promiscuity ialah: Hubungan seks secara bebas dan ketidak acuhan emosional, melakukan hubungan seks tanpa emosi, tanpa perasaan cinta kasih atau afeksi, dan dilakukan dengan pria manapun juga, dilakukan dengan banyak laki-laki.
pelacuran dikarakteristikkan oleh tiga unsur utama, yaitu pembayaran, promiskuitas, dan ketidak acuhan emosional.18 Definisi pelacuran menurut Mulia, T.S.G. et.al, dalam Ensiklopedia Indonesia jelasnya, pelacuran itu bisa dilakukan baik oleh kaum wanita maupun pria. Jadi, ada persamaan predikat pelacur antara laki-laki dan wanita yang bersama-sama melakukan perbuatan hubungan kelamin di luar perkawinan. Dalam hal ini cabul tidak hanya berupa hubungan kelamin di luar nikah saja, akan tetapi termasuk pula peristiwa homoseksual dan permainan-permainan seksual lainnya.19 Selanjutnya,
Kartini
Kartono
dalam
bukunya
“Patologi
Sosial”
mengemukakan definisi pelacuran adalah sebagai berikut: 1. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan gejala jalan memperjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran. 2. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu
seks tanpa kendali dengan banyak orang
(promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.
18
Encyclopedi Britannica, Macropaedia, (Chicago/London: William Benton Publishers), 197374, dalam Than-Dam truong, Seks, Uang dan kekuasaan, Pariwisata dan pelacuran di Asia Tenggara,Terjemahan Ade Armando, (Jakarta: LP3ES, 1992), cet ke-1, h.15 19 Mulia, T.S.G. et.al, dalam Ensiklopedia Indonesia sebagaimana dikutip oleh Kartini Kartono, Patologi Sosial, h. 184
3. Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.20 G. May dalam bukunya “Encyclopedia of Social Science”, menuliskan masalah prostitusi, May menekankan masalah barter atau perdagangan secara tukarmenukar, yaitu menukarkan pelayanan seks dengan bayaran uang, uang, hadiah atau barang berharga lainnya. Pihak pelacur mengutamakan motif-motif komersil, atau alasan-alasan keuntungan materiil. Sedang pihak laki-laki mengutamakan pemuasan nafsu-nafsu seksual.21 Sebuah definisi pelacuran yang kurang moralistis diajukan oleh Gagnon J.H. (1968) dalam bukunya “Prostitution”, dalam International Encyclopedia of Social Science, sebagaimana dikutip oleh Thanh-Dam Truong dalam bukunya Seks, Uang dan Kekuasaan, yang memandang pelacuran sebagai “pemberian akses seksual pada basis yang tidak diskriminatif untuk memperoleh imbalan baik berupa barang atau uang, tergantung pada kompleksitas sistem ekonomi. Pembayaran diakui bagi perilaku seksual yang spesifik.”
Jadi pelacur didefinisikan sebagai profesional
berdasarkan pertukaran moneter dan kelangkaan pelayanan yang disediakan. Pelayanan ini diasumsikan tidak tersedia di dalam lingkup hubungan seksual non komersial. 22
20
Ibid, h.185 G. May dalam bukunya, Encyclopedia of Social Science, dalam Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1997), Jil.1, Edisi 2, h.184 22 Gagnon J.H., Prostitution, dalam International Encyclopedia of Social Science, vol. 12, (Macmillan and Free Press, New York, 1968), sebagaimana dikutip oleh Than-Dam Truong, Seks, Uang dan kekuasaan, h.17 21
Prostitusi atau pelacuran menurut pengertian masyarakat luas adalah Persenggamaan antara pria dan wanita tanpa terikat oleh piagam pernikahan yang sah. Perbuatan ini dipandang rendah dari sudut Moral dan akhlak, dosa menurut agama, tercela dan jijik menurut penilaian masyarakat di Indonesia. Akan tetapi pelacuran adalah salah satu profesi dan lahan bisnis untuk tujuan ekonomi. 23 Sedangkan pelacuran menurut perda Kota Tangerang No8 Tahun 2005 pasal 1 tentang Pelarangan Pelacuran ialah; hubungan seksual di luar pernikahan yang dilakukan oleh pria atau wanita, baik di tempat berupa restoran, hotel, tempat hiburan atau lokasi pelacuran ataupun ditempat-tempat lain di daerah dengan tujuan mendapat imbalan jasa.24 Semua definisi yang disebutkan diatas memiliki masalahnya sendiri-sendiri, karena diangkat dari pelbagai masyarakat yang berbeda yang tentu saja memiliki standar moral dan sosial yang berbeda pula tentang pelacuran. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa paling tidak terdapat empat elemen utama dalam definisi pelacuran yang dapat ditegakkan, yakni: bayaran, perselingkuhan, ketidak acuhan emosional, mata pencaharian. Dalam banyak literatur pembayaran uang sebagai sumber pendapatan dianggap sebagai faktor yang paling umum dalam dunia pelacuran.
23
Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKis, 1994), h.95 Lembaran Daerah Kota Tangerang No. 8 Seri E Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran 24
1. Pelacuran Menurut Hukum Islam Dalam Islam istilah pelacur masuk dalam kategori pezina, yakni melakukan hubungan seks diluar pernikahan baik untuk mencari uang ataupun tidak. Sebagaimana yang dikutip oleh K.H. Sahal Mahfudz dalam bukunya Nuansa Fiqh Sosial, tentang pendapat para ulama madzhab dalam mendefinisikan zina adalah sebagai berikut:25 1. Menurut Syafi’iyah, zina adalah perbuatan lelaki memasukkan penisnya ke dalam liang vagina wanita lain (bukan istrinya atau budaknya) tanpa syubhat. 2. Menurut Malikiyah, zina adalah perbuatan lelaki menyenggamai wanita lain pada vagina atau duburnya tanpa syubhat. 3. Menurut Hanafiyah, ia adalah persenggamaan antara lelaki dan wanita lain di vaginanya, bukan budaknya dan tanpa syubhat.26 Pengertian zina yang biasanya dikemukakan dalam kitab-kitab Fiqh adalah hubungan badan antara laki-laki dan perempuan yang tidak berdasarkan pada ikatan perkawinan atau perbudakan yang sah menurut agama. Dalam Al-Qur’an, zina bisa terjadi antara orang yang sudah menikah (Muhsanat) dan belum menikah (Ghairu Muhsanat). Bagi setiap pemeluk Islam harus meninggalkan perbuatan zina. Perbedaan makna antara prostitusi dengan perzinaan adalah setiap prostitutor adalah pezina dan setiap pezina belum tentu prostitutor. Maksudnya setiap praktek
25 26
Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, h.95 ibid.
prostitusi bertujuan komersil dengan meraup upah, sedangkan pezina tidak selalu bertujuan materil. Pandangan Islam tentang zina dan prostitusi sudah dimaklumi, bukan saja oleh kalangan Islam sendiri, tapi juga oleh masyarakat luas yang berlainan agama. Di samping hukumnya haram dan termasuk dosa besar, Islam memandang perbuatan itu sebagai tindakan tercela dan punya sanksi berat. 2. Dasar Hukum Larangan Pelacuran menurut Hukum Islam Al-Qur’an sebagai pedoman pertama dan utama agama Islam tegas-tegas melarang dan mengharamkan zina. Banyak ayat mengharamkan zina, bahkan perbuatan yang mengarah zina pun dijelaskan dalam Al-Qur’an, ditambah keterangan Nabi Muhammad SAW melalui sabda beliau. Beberapa ayat Al-Qur’an yang menyampaikan masalah zina, hal tersebut dijelaskan didalam Qs. Al-Isra’(17): 32
'()* !" #$%& ⌧ ./0 +⌧,-)* Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya perzinahan itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
3 1",23 892:; 37' 456& "C2B )☺=>@2AB ' E,1F&G D &)6 0MN2O M J"&&KL )☺>I
!2B1 Q'R!' P( 2TU, P( 59">5XO $VW)
J"⌧YZ([ )☺=>I⌧, ./0 M]2!2B☺ V\2AB Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orangorang yang beriman.”(QS. An-Nur/ 24:2) Dari kedua ayat ini jelas dan tegas larangan mendekati zina. Zina tidak saja perbuatan yang merusak kehidupan manusia itu sendiri, tapi zina dinilai perbuatan yang keji dan buruk. Allah SWT yang menciptakan manusia, tentu Maha mengetahui dan Maha memahami betul akibat zina yang dilakukan manusia di muka bumi. Kalau tidak, mengapa larangan itu tegas dan jelas ditujukan pada umat manusia. Sabda Nabi Muhammad SAW mengenai zina
َََْ ْ َُدَةَ َ ِ ا ِِ اَُ َلَ رَُ ْ لُ أ ِّ ﺹَ اُّ ََِْ و ُ#ْ3َُْ% ٍَ و.َ/ ِ ََْ(َة, ِ01ِِْ ُ0ْ1َِْ ا2َِ ُ)َ َُّ*َ ا+َ, ْ(َ" #$%َ 'ُ&ُوْا ( ِْْ7ُ ُ8َُْ ) رَو,0ٍ وَا./َِ ُ(َْ, ِ4ِّ5ِِ َُ45ٍ وَا.َ%َ Artinya: “Dari Ubaidah bin Shomit dia telah berkata: Bersabda Nabi Muhammad SAW, ambillah dari padaku, (sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi mereka) yaitu perempuan perawan yang berzina dengan lakilaki bujangan hukuman mereka (masing-masing) didera 100 kali dera dan diasingkan satu tahun, dan janda apabila berzina dengan duda hukumannya dera 100 kali ditambah rajam.” (H.R. Muslim)27 Islam memang sangat hati-hati dan bijak dengan perbuatan zina. Untuk itu, pemeluknya diharapkan untuk mengendalikan naluri birahi nafsu seksnya. Sehingga jangan sampai pemenuhan kebutuhan seks melalui praktek liar, kacau, dan melanggar
27
Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (ttp: Dar al-Fikr, tth), juz 3, h. 1324
fitrah manusia. Tapi Islam mengatur jalan yang luhur dan membawa kebaikan sesuai dengan ketinggian martabat manusia.28 Adapun solusi yang diciptakan Islam dalam rangka mencegah terjadinya zina antara lain adalah lembaga perkawinan. Melalui lembaga ini diharapkan manusia akan melakkuakan hubungan seksual dengan jalan yang baik dan lebih memiliki ikatan formal maupun etik dengan agama dan juga dengan pasangannya, sudah pasti yang diharapkan adalah lembaga perkawinan yang mampu menciptakan keluarga yang mawaddah wa rahmah didasari oleh kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. 2. Pelacuran dalam Hukum Pidana KUHP dan RUU-KUHP tidak melarang postitusi tetapi hanya melarang mucikari (germo).29 Adapun larangan melakukan profesi mucikari terdapat dalam pasal 296 KUHP. Yang menentukan bahwa:30 “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu.” Pasal 432 RUU-KUHP juga menentukan bahwa:31 “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun paling singkat tiga tahun. Setiap orang:
28
Armaidi Tanjung, Mengapa Zina dilarang, (Solo: CV Pustaka Mantiq, 1997), h. 24 Orang yang menyediakan sarana (kamar, rumah), menyediakan pelacur, mengelola aktifitas tersebut, dan mendapat sejumlah prosentase tertentu. 30 Andi Hamzah, KUHP&KUHAP (Jakarta:Rineke Cipta, 1992), h.119 31 Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundangundangan direktur Perundang-undangan, rancangan Undang-undang Republik Indonesia, Nomor…Tahun… Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Direktorat perundangundangan, 1999-2000), h. 164 29
a) enjadikan sebagai pekerjaan atau kebiasaan menghubungkan atau memuaskan orang lain berbuat cabul atau bersetubuh; atau b) enarik keuntungan dari perbuatan cabul dan persetubuhan orang lain dan menjadikannya sebagai mata pencahariannya. KUHP dan RUU KUHP dalam pasal 434 hanya melarang orang yang bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dengan tujuan melacurkan diri, namun pelacuran atau prostitusi itu sendiri tidak dilarang. Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang ada dan berlaku dalam mengatur delik susila masih sangat terbatas pada masalah pemerkosaan serta pada masalah perzinaan. Adapun istilah perzinaan yang digunakan dalam KUHP hanya terbatas pada skandal seksual yang dilakukan oleh orang-orang yang telah berkeluarga atau terkait dengan tali pernikahan, yang dilakukan dengan orang lain yang bukan suami atau istrinya. Skandal seks yang dapat dikategorikan perzinaan menurut KUHP, adalah apabila: 1. Dilakukan oleh orang-orang laki-laki beristri dengan perempuan lain yang bukan istrinya sendiri. 2. Dilakukan oleh seorang perempuan bersuami dengan laki-laki lain yang bukan suaminya 3. Dilakukan oleh seorang perjaka atau duda dengan istri orang lain. 4. Dilakukan oleh seorang gadis atau janda dengan suami orang lain. 32 Jelaslah bahwa persetubuhan/pelacuran yang dilakukan oleh orang-orang yang bebas dari tali pernikahan tidak termasuk delik perzinahan. Seorang gadis/janda tidak 32
Asyhari Abdul Ghafar, Pandangan Islam tentang zina dan perkawinan sesudah hami, (Jakarta:Andes Utama, 1996), h.128
disebut berzina bila ia melakukan senggama dengan seorang perjaka atau duda, dan sebaliknya.33 Meskipun demikian hukum pidana tetap merupakan dasar dari peraturanperaturan dalam industri seks di Indonesia. Karena larangan memberikan pelayanan seksual khususnya terhadap praktek-praktek pelacuran tidak ada dalam hukum Negara, maka peraturan dalam industri seks ini cenderung didasarkan pada peraturanperaturan yang dikeluarkan pemerintah daerah, baik pada tingkat Propinsi, Kabupaten, dan Kecamatan, dengan mempertimbangkan reaksi, aksi dan tekanan berbagai organisasi masyarakat yang bersifat mendukung dan menentang pelacuran tersebut. Sebenarnya pelacuran dilihat dari segi hukum, norma maupun agama merupakan sebuah bentuk penyimpangan seks yang normal. Dalam Islam secara tegas melarangnya bahkan mulai dari langkah pendekatannya sampai pelaksanaan pelacuran (perzinaan) itu sendiri, mengingat kejinya perbuatan tersebut melebihi dari perbuatan hewan. Namun hukum di Indonesia KUHP (yang berasal dari WVS Belanda itu) tidak dengan tegas melarang adanya pelacuran. Juridiksi ini hanya mengancam pidana bagi para mucikarinya saja. Sedangkan pelacur dan pelanggannya tidak diancam.
Namun hanya terkena ancaman menyangkut ketertiban ditempat
umum dan jalan raya. Sikap ini menunjukkan tidak adanya kekuatan hukum yang kuat yang bisa menjerat dan memberantas praktek pelacuran (prostitusi).
33
Ibid
B. Sejarah Pelacuran di Indonesia Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri. Yaitu berupa tingkah laku lepas bebas tanpa kendali dan cabul, karena adanya pelampiasan nafsu seks dengan lawan jenisnya tanpa mengenal batasbatas kesopanan. Pelacuran itu selalu ada pada semua negara berbudaya, sejak zaman purba sampai sekarang. Dan senantiasa menjadi masalah sosial, atau menjadi obyek urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya, dengan perkembangan teknologi, industri dan kebudayaan manusia, turut berkembang pula pelacuran dalam pelbagai bentuk dan tingkatannya.34 Secara historis, Pelacuran bukan sebuah fenomena baru, sejak zaman Babilonia dan India kuno pelacuran telah muncul ke permukaan. Bahkan menurut Thanh-Dram Truong,35 praktik pelacuran pada masa Babilonia kuno
ini
mengatasnamakan agama. Praktik prostitusi ini dilakukan dengan cara menempatkan perempuan-perempuan cantik disekitar candi-candi untuk melakukan kegiatan seksual dengan orang-orang asing yang berkunjung sebagai imbalan kesuburan dan kekuasaan seksual si dewi yang mereka puja. Hasil prostitusi ini di sumbangkan untuk keberlangsungan candi. Perempuan pelayan seks ini memiliki akses terhadap tanah, budak, dan menikmati prestise sosial. Di India dikenal istilah devadasi (pelacur candi) dengan fenomena yang agak mirip dengan Babilonia, pelacuran dilakukan oleh perempuan-perempuan yang berasal dari kasta rendahan. Prostitusi ini dilakukan
34 35
Kartini Kartono, Patologi sosial, h.177-178 Than-Dam Truong, Seks, Uang, h.20-21
untuk tujuan keagamaan karena adanya keyakinan bahwa perempuan perlu dilahirkan kembali sebagai pria dengan menjalani Salvation (penyelamatan diri)36 Selain Pelacuran yang dimotivasi oleh unsur keagamaan juga terdapat pelacuran yang dipicu oleh unsur non keagamaan. Di Indonesia sendiri secara umum dilakukan karena non keagamaan yang terdapat dimana-mana. Entah itu diorganisir oleh suatu kelompok atau dilakukan secara individual. 37 Bahkan, pada masa-masa krisis ekonomi seperti sekarang ini, prostitusi semakin hari semakin meningkat. Dengan sejarah panjang, pelacuran telah dikenal sejak nenek moyang bangsa Indonesia. Walaupun dengan bentuk yang berbeda-beda baik mulai dari tari-tarian, sawer, selir, ataupun dalam bentuk lain, namun semuanya mengarah pada satu bentuk pelacuran. 1. Masa Kerajaan Pelacuran di Indonesia tidak terlepas dari sejarah peradaban bangsa Indonesia sendiri. Menurut banyak sumber pelacuran di Indonesia telah terjadi sebelum zaman kerajaan Majapahit. Perdagangan perempuan saat ini merupakan pelengkap dari sistem kerajaan, kekuasaan raja tidak terbatas hanya sekedar menguasai pemerintahan, tapi juga menguasai segalanya termasuk tanah dan segala isinya beserta rakyatnya (hamba).38
36
Lihat di Marzuki Umar Sa’abah, Seks dan Kita, (Jakarta:Gema Insani Press),cet ke-1, h.83 Abdul Moqsit Ghozali dkk, Tubuh, Seksualitas, Dan Kedaulatan Perempuan, (Jakarta: Rahima, 2002), cet-I, h.212 38 Abu Al-Ghifari, Gelombang Kejahatan Seks Remaja Modern, (Bandung: Mujtahid, 2002), cet ke-3, h.99 37
Menurut
penulis
buku
Pelacuran
di
Indonesia
Sejarah
dan
Perkembangannya, Terence H. Hull dan Gavin W.Jones, para doktor kependudukan, serta kandidat doktor Endang Sulistyaningsih, sekarang dosen pascasarjana yang bekerja di Depnaker, sebagaimana dikutip oleh Panji mas dalam artikelnya wanita publik dari masa ke masa, yaitu Tradisi "menjual" atau mempersembahkan wanita untuk imbalan tertentu berlanjut sampai beratus tahun kemudian.39 Dalam sejarah, nilai perempuan sebagai barang dagangan kata mereka, melekat sejak berdirinya dua istana pecahan Kerajaan Mataram, 1755, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, yang pengaruhnya bertahan lama di Jawa. Di Jawa Barat daerah itu adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan. Di Jawa Tengah: Pati, Jepara, Grobogan, dan Wonogiri. Lalu Blitar, Malang, Banyuwangi, dan Lamongan untuk Jawa Timur.40 Tidak hanya di Jawa. Di Bali, umpamanya, seorang janda dari kasta bawah, jika tak ada beking kuat keluarganya, otomatis menjadi milik raja. "Jika raja memutuskan tidak mengambilnya untuk lingkungan istana, dia akan dikirimkan ke luar kota untuk menjadi pelacur", dengan catatan, sebagian penghasilannya disetor ke Istana. Tren ini, bersama dengan perbudakan dan pengabdian seumur hidup, merupakan hal yang biasa dijumpai dalam sistem feodal di seluruh Asia.
39
Panji Mas, Wanita Publik dari masa ke masa, diakses pada tgl 13 agustus dari http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/07/26/0018.html 40
Ibid.
Memang,tradisi itu belum mencapai segi komersialisasinya sebagai industri seks dengan sistem germo dan pelacur profesionalnya.41 2. Masa Penjajahan Sejarah Prostitusi Pondasi pelacuran modern di Indonesia dibangun pada zaman kerajaan Mataram.Tradisi penyerahan perempuan sebagai upeti diteruskan dengan perdagangan wanita dan menemukan bentuknya yang mutakhir didorong faktor-faktor ekonomi dan kemiskinan nilai-nilai agama. Seperti perdagangan yang lain, pelacuran lahir oleh adanya penawaran dan permintaan. Aktivitas pelacuran meningkat drastis setelah ada pembenahan hukum agraria, 1870. Yaitu dibukanya perekonomian negara jajahan bagi para penanam modal swasta. Area perkebunan diperluas di Jawa Barat, industri gula tumbuh di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di Sumatera, perkebunan didirikan. Gerakan ekonomi ini menarik migrasi tenaga kerja laki-laki. Mayoritasnya bujangan secara besarbesaran. Sarana pun dibangun. Misalnya jalan kereta api untuk menghubungkan kotakota di Jawa: Batavia-Bogor-Cianjur, Bandung-Cilacap, Yogya, Surabaya. Fisik kota kota ini juga dibenahi, termasuk didirikannya tempat penginapan. Ini yang membuat aktivitas pelacuran tumbuh di sekitar stasiun kereta api di setiap kota.42 Di Indonesia dari pertengahan 1890-an sampai sekitar 1913, pelacuran diatur oleh pemerintah Kolonial bagi Netherlands Indies Army agar para serdadu
41
Panji Mas, Wanita Publik dari masa ke masa, diakses pada tgl 13 agustus dari http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/07/26/0018.html 42
Abu Al-Ghifari, Gelombang Kejahatan Seks Remaja Modern, h.100
dapat memuaskan dahaga seksualnya melalui cara “alamiah”, mengingat berlakunya sikap menghinakan terhadap matsurbasi dan homoseksualitas pada masa itu. Pelacuran teratur seperti itu dibela berdasarkan kepercayaan bahwa pelacuran dibutuhkan untuk memuaskan kebutuhan seksual alami pria dan untuk menjaga agar mereka tetap “jantan”. Pelacur dipandang sebagai keniscayaan untuk membantu mempertahankan “kejantanan” pria seraya pada saat yang sama para serdadu didorong untuk tidak menikahi perempuan pribumi. Pelayanan medis disediakan bagi para pelacur untuk menjaga mereka tetap sehat dan kuat untuk digunakan. Segregasi spasial antara serdadu dan pelacur diberlakukan untuk mencegah hidup bersama atau perkawinan.43 Sebagai contoh, di Nairobi sekitar pertengahan 1930-an, “pusat-pusat asusila”, ditoleransi oleh Negara sebagai tempat-tempat reproduksi pekerja upahan kota. Pusat-pusat ini menyediakan sekaligus pelayanan seksual dan kerumahtanggaan seperti tempat tidur, makanan matang, air mandi, minuman keras, dan sebagainya. Pusat-pusat a-susila juga menguntungkan pemerintah daerah dalam hal menghemat dana “perumahan layak” bagi pekerja pribumi karena “kebutuhan delapan pekerja mungkin dapat dipenuhi hanya dengan menyediakan dua kamar bagi para pria dan satu kamar bagi pelacur”.44
43
44
Than-Dam Thruong, seks,uang, …, h.143
Davis dalam white, 1986:256, sebagaiman dikutip oleh Than-Dam Thruong dalam bukunya seks, uang, dan kekuasaan Than-Dam Thruong, seks,uang, …,h.143
Contoh lain adalah kasus perkebunan di sejumlah wilayah Kolonial di Asia Tenggara. Di Sumatra pada abad ke-19,perluasaan perkebunan menciptakan kebutuhan akan pekerja upahan yang kemudian dipenuhi oleh arus migrant pria dari Jawa. Para pelacur direkrut untuk menemani para kuli agar tetap berada di depot pada masa menunggu yang panjang. Di perkebunan, pekerja kontrakan perempuan diboyong ke dalam untuk menarik para pekerja pria dan untuk menjaga agar mereka tetap berada dalam kontrak. Kuli para perempuan berfungsi sebagai tukang masak dan “pelayan tempat-tempat tidur” bagi pekerja pria yang tidak menikah yang berada dalam lilitan utang dan kekeurangan uang. Ditunjukkan Stoler (1985), perdagangan kuli perempuan oleh para manajer, mandor, dan pekerja pria pribumi sangat menguntungkan dan berlaku umum di Sumatra pada peralihan abad ini. 45 Di zaman pemerintahan Hindia Belanda merasakan perlunya ada hiburan dan pelayanan seksual bagi tentaranya, pelacur diperbolehkan berkunjung ke penjara untuk menghilangkan keresahan politik. Berbagai bentuk pelacuran telah dikenal pula dalam seni tari tradisional. Dongbret, lenong, ronggeng, ledek, punya bagian sentral terdiri atas tari-tarian, dan sering diadakan untuk meramaikan hajatan atau selamatan, sering pula diikuti dengan transaksi seks.46 3. Masa Kemerdekaan Tak lama setelah Indonesia merdeka, kala perekonomian masih morat-marit, perempuan muda dan keluarga miskinnya dari desa mencoba mengubah nasibnya 45
Ibid, h.144 Stoler, A,. Capitalism and Confrontation in sumatra’s Plantation Belt 1880-1979, (New Haven: Yale University Press, 1985), dalam Than-Dam Thruong, seks, uang,…, h.XXVII. 46
dikota. Pada 1990, ketika jumlah penghuni kota meroket, sektor primer tak mampu menyediakan lapangan kerja sebanyak pertambahan itu. Hanya 49% dari penduduk usia kerja yang dapat ditampung. Untuk tenaga kerja wanita, terbanyak lowongan berada di pabrik, di jasa penjualan, hotel dan restoran, dan rumah-rumah tangga. Tetapi karena upah kurang memadai, para perempuan itu melirik industri seks yang memberi peluang penghasilan lima sampai 10 kali lipat. Nah, ketika gaya hidup berubah, mobilitas penduduk mudah, pendapatan masyarakat membaik, industri seks makin rumit jenisnya. Selain pelacur klasik yang beroperasi di jalanan dan rumahrumah untuk call girls alias gadis panggilan, ada kelompok wanita yang disebut perek ("perempuan eksperimen"), dan paling mutakhir ABG ("anak baru gede") atau "remaja komersial" yang mencari mangsa di diskotek, bioskop, dan mall. Tetapi remaja yang "bisa dipakai" ini tidak selalu bisa dikategorikan sebagai "pekerja" seks. Sebab ada yang motifnya bukan uang, cuma sekadar bersenang-senang. Data resmi menyebutkan, jumlah "pekerja seks"sampai 1994/1995 tercatat 71.281.tidak termasuk yang di luar pagar lokalisasi.47 Namun tak bisa diingkari kendati sampai 1997 perkembangan ekonomi Indonesia nampak begitu maju, namun pelacuran tidak pernah menjadi perhatian pemerintah. Yang ada hanya usaha penyelesaian dengan jalan pintas. Dan mereka menganggapnya sebagai “penyakit sosial” sehingga memerlukan sebuah direktorat khusus di Departemen sosial. Sampai sekarang hiburan malam dan praktek pelacuran
47
Panji Mas, Wanita Publik dari masa ke masa, diakses pada tgl 13 agustus dari http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/07/26/0018.html
makin marak, baik yang terselubung maupun yang secara terang-terangan. Mulai dari kalangan bawah yang berkeliaran di jalan-jalan raya, sampai yang berpraktek-praktek di hotel-hotel untuk kalangan elit.. Semua fenomena ini adalah tanggung jawab kita bersama, karena semua ini bukanlah terjadi sendiri namun karena diciptakan oleh kondisi yang di ciptakan oleh kehidupan manusia. Maka tidak adil jika hanya menyalahkan satu pihak saja. C. Faktor penyebab terjadinya pelacuran Setiap pelacur memiliki berbagai alasan untuk menerjuni profesi yang tidak favorit di mata masyarakat umum. Sekali lagi, hidup tidaklah ideal. Profesi apapun akan dijalani untuk menyambung hidup. Salah satunya adalah menjadi pelacur. Adapun faktor penyebab terjadinya pelacuran yaitu: 1.
Faktor ekonomi Karena faktor kemiskinan; adanya pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan hidupnya, khususnya untuk mendapatkan status sosial yang lebih baik.48
2.
Faktor Kemalasan Diakibatkan oleh faktor psikis dan mental yang rendah, tidak memiliki norma agama, dan susila menghadapi persaingan hidup. Hanya dengan modal fisik, kecantikan, sehingga dengan mudah mengumpulkan uang.49
3.
Faktor moral atau akhlak 48
Kartini Kartono, Patologi sosial, h.209 Reno Bachtiar dan Edy Purnomo, Bisnis Prostitusi Profesi yang menguntungkan, (Yogyakarta: Pinus), Cet-1, h.81 49
Adanya demoralisasi atau rendahnya faktor moral, ketakwaan individu dan masyarakat, serta ketidaktaatan terhadap ajaran agamanya, serta standar pendidikan dalam keluarga mereka pada umumnya rendah. 4.
Faktor Biologis Adanya nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, yang tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu pria/suami.
5.
Faktor sosiologis Ajakan dari teman-temannya sedaerah yang sudah lebih dahulu terjun ke dunia pelacuran. Karena faktor pendidikan yang sangat minim, akhirnya mereka dengan mudah kena bujuk dan tipuan dari para calo yang menjanjikan gaji yang sangat tinggi dan akhirnya dijebloskan ke tempat pelacuran.
6.
Faktor Psikologis Hubungan keluarga yang berantakan, terlalu menekan, dan mengalami penyiksaan seksual dalam keluarga. Serta adanya pengalaman traumatis dan shock mental misalnya; gagal dalam bercinta atau perkawinan dimadu, ditipu, sehingga muncul kematangan seks yang terlalu dini dan abnormalitas seks.50
7. Faktor yuridis Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran, serta tidak ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum
50
Kartini Kartono, Patologi Sosial, h.211
pernikahan atau diluar pernikahan, akan tetapi yang dilarang dalam undangundang adalah mucikari dan germo.51
D. Dampak dari pelacuran terhadap masyarakat. Setiap sesuatu di muka bumi ini pastilah mempunyai dua sisi yang berlawanan, yakni sisi positif dan sisi negative. Namun dengan proporsi yang berbeda-beda dimana yang satu lebih mendominasi yang lainnya. Begitu juga dengan praktek pelacuran, ia mempunyai sisi positif walaupun dampak negatifnya lebih dominan dari pada dampak positifnya. 1. Dampak Positif Pelacuran a) Prostitusi di Indonesia mampu menghasilkan uang sekitar Rp 8,6 triliyun. Jumlah tersebut dihitung dari penghasilan sekitar 72.000 pelacur seIndonesia(1997), ditambah pajak tempat hiburan malam seperti bar dan diskotik. Dalam versi majalah Prospektif
edisi 17-23 april 2006 itu
mengutip sebuah hasil penelitian [Khofifah] bahwa omset bisnis syahwat mencapai Rp 11 triliun [setahun]. Bagi bangsa Indonesia turisme merupakan sumber devisa yang sangat penting di bidang non-migas. Di antara efek semakin berkembangnya arus turisme ini maka semakin besar permintaan. Maka jika permintaan terpenuhi, arus wisatawan semakin banyak, devisa yang masuk ke kas Negara juga semakin banyak. 52
51
Ibid, h.207 http://arifwidi.com/catatan/2006/04/playboy-indonesia-pornografi-indonesia, diakses pada tanggal 10 Desember 2008 52
b) Alternatif pekerjaan yang praktis untuk mengatasi kemiskinan yang tak berujung. c) Bisa menjadi fasilitas menjaga keutuhan rumah tangga bagi orang yang melihatnya dari faktor teori keseimbangan. Dengan dalih misalkan suami tergoda untuk jajan (istilah dari memakai jasa pelacur), maka bisa jadi dia akan merasa berdosa, dan pada saat rasa berdosa itu semakin bertambah dan mencapai puncaknya maka ia akan lebih dan semakin sayang terhadap istrinya. Apalagi jika kedua belah pihak mampu memahami kondisi masingmasing
dan
saling
membuka
ruang
komunikasi.,
yang
merusak
keharmonisan rumah tangga itu bukan murni kesalahan dari pelacur, namun juga karena salah satu pihak istri atau suami lebih senang menikmati suasana diluar rumah dan tergoda dengan menu baru (gaya-gaya berhubungan yang sering ditawarkan oleh pelacur). Namun dampak positif yang ditawarkan ini masih sering terjadi kontroversi dari berbagai pihak tinggal dari sudut pandang mana orang menilainya, Maka masing-masing pihak akan mempunyai pandangan yang berbeda-beda. 2. Dampak negatif pelacuran. Setiap hal yang dilarang agama pasti ada hikmah di baliknya. Seperti, pengharaman khamr, karena didalam khamr lebih banyak mengandung mudharatnya daripada manfaatnya. Begitu pula dengan pelacuran, diantara dampak negative pelacuran itu adalah:
a) Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami yang tergoda oleh pelacur biasanya melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakan. b) Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum, agama. Terutama sekali menggoyahkan norma perkawinan, sehingga menyimpang dari adat kebiasaan, norma hukum, dan agama, karena digantikan dengan pola pelacuran dan promiskuitas, yaitu digantikan dengan pola pemuasan kebutuhan seks dan kenikmatan seks yang awut-awutan serta tidak bertanggung jawab. c) Dengan adanya pelacuran menyebabkan rusaknya moral di dalam masyarakat,
dimana
dapat
menyebabkan
rusaknya
keturunan
dan
kehormatan wanita dan keluarga didalam masyarakat. d) Menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin dan kulit. Penyakit yang paling banyak terdapat ialah syphilis dan gonorrhoe (kencing nanah). Terutama akibat syphilis, apabila ia tidak mendapatkan pengobatan yang sempurna, bisa menimbulkan cacat jasmani dan rohani pada diri sendiri dan anak keturunan.53 e) Tersebarnya penyakit-penyakit menular yang berbahaya, baik yang telah dikenal secara umum maupun belum seperti AIDS dan sebagainya. 54 Ketika AIDS untuk pertama kalinya ditemukan di Amerika Serikat pada tahun1981 53
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal & Patologi Seks.(Bandung: Alumni. 1979), h.69-76 Usman Ath-Thawiil, Ajaran Islam tentang fenomena seksual,(Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 1997), cet-1, h.72 54
seluruh dunia langsung gempar, hingga bulan maret 1986 sudah ditemukan 18.000 kasus dan 51 % dari jumlah tersebut meninggal dunia. Bahkan sampai akhir 1996 di Indonesia sudah muncul 501 kasus AIDS.55 Prostitusi atau pelacuran merupakan penyakit dalam masyarakat yang harus segera dihilangkan, karena sangat mengganggu ketentraman dan kedamaian dalam suatu masyarakat. Walaupun dipahami bahwa prostitusi merupakan salah satu dari sekian keprihatinan yang pasti ada dan sulit untuk dihindarkan, sebagai konsekuensi logis dari perkembangan peradaban, namun prostitusi dalam bentuk apapun tetap merupakan penyakit masyarakat yang harus diatasi secara jelas, tegas dan tuntas. E. Perempuan dan Hak-hak perempuan Perempuan secara langsung menunjukkan kepada salah satu dari dua jenis kelamin, meskipun didalam kehidupan sosial selalu dinilai sebagai the Other Sex yang sangat menentukan mode sosial tentang status dan peran perempuan. Marginalisasi perempuan yang muncul kemudian menunjukkan bahwa perempuan menjadi the second sex, seperti juga yang disebut sebagai “warga kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu di perhitungkan. 56 Posisi perempuan dalam masyarakat memberi kesan bahwa, ada beberapa posisi universal yang diduduki oleh setiap perempuan di semua masyarakat. Kenyataannya bahwa, bukan semata-mata tidak ada pernyataan yang sederhana
55
Anang Zamroni dan Ma’ruf Asrori, Bimbingan Seks Islami, (Surabaya: Pustaka Anda) cet. I, h. 217-227 56 Istibyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Gender menurut al-Sya’rawi, (Jakarta: Teraju, 2004), h. 63
tentang posisi perempuan yang universal, tetap di sebagian masyarakat tidaklah mungkin memperbincangkan perempuan ikut andil dalam stratifikasi masyarakat. Latar belakang kelas perempuan mungkin sama penting dengan gendernya dalam menentukan posisi mereka di masyarakat, Sebab masyarakat masih kuat memandang perempuan sebagai penyangga moral sehingga penegakan moralitas di masyarakat harus dimulai dari perempuan. Selain itu, budaya hukum di masyarakat masih memandang perempuan sebagai obyek yang harus diatur, di kekang dan dibatasi geraknya di ruang publik. Kata Pelacur dan prostitusi di masyarakat selalu diarahkan kepada perempuan, muncullah istilah WTS (wanita tuna susila), bukan PTS (pria tuna susila), padahal perempuan dan laki-laki pelacur kedua-duanya sama-sama tuna susila, dan samasama berdosa di hadapan Tuhan.57 Realitas Sosiologi di masyarakat membuktikan bahwa upaya-upaya untuk mengeliminasi prostitusi dan perbuatan maksiat lainnya selalu mendiskriminasikan perempuan. Seolah-olah perempuan lah penyebab utama munculnya perbuatan maksiat tersebut, padahal sejumlah penelitian tentang prostitusi mengungkapkan ada sejumlah elemen di masyarakat yang diuntungkan oleh praktek prostitusi. Mereka itu diantaranya para calo, germo, petugas keamanan, pedagang makanan dan minuman, supir-supir taksi, bahkan pemda yang menarik retribusi atau pajak dari tempat-tempat
57
Siti Musdah Mulia, Perda Syariat dan Peminggiran Perempuan, artikel diakses pada tanggal 25 Desember 2008 dari http://
[email protected]
lokalisasi prostitusi. Dan terutama adalah para pengguna atau pelanggan yang nota bene adalah laki-laki. Karena itu, semua upaya penghapusan prostitusi harus memangkas semua elemen yang mengambil keuntungan dari praktek prostitusi, bukan hanya dengan melakukan razia terhadap perempuan yang terlibat prostitusi. 58 Menurut Komnas Perempuan, LBH APIK, Women Research Institute, budaya atas nama “moral bangsa” dan “perlindungan terhadap perempuan”, tidak sungguhsungguh bertujuan melindungi perempuan karena justru mengembalikan perempuan pada relasi kekuasaan yang timpang dalam hubungannya dengan keluarga, masyarakat, dan bahkan Negara. Tuntutan terhadap perempuan sebagai penjaga moral bangsa (tidak bersama dengan laki-laki) menunjukkan adanya politisasi terhadap seksualitas perempuan. Sudah tentu hal ini sangat merugikan perempuan karena hakhak dasarnya sebagai manusia yang utuh akan tercabut dan terlanggar. Padahal gerakan perempuan Indonesia selama ini sudah jauh ke depan yang ditandai oleh jaminan kesetaraan dan keadilan melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang sudah ada selama ini (Di antaranya yang terpenting adalah: UUD 45, pasal 27 (2) tentang persamaan di muka hukum, UU No. 7/1984 yang meratifikasi Konvensi CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Inpres No. 9/2000 tentang Gender Mainstreaming, UU Perlindungan Anak No. 23/2003, UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan banyak lagi, termasuk berbagai
58
Ibid.
konvensi ILO yang melarang diskriminasi terhadap perempuan kerja, perdagangan perempuan dan anak perempuan.59 F. Islam Dan Gender Islam menawarkan prinsip-prinsip ajaran dasar yang sangat potensial (menjanjikan) untuk peningkatan kualitas keadilan dan kesetaraan gender. Keadilan dan kesetaraan di depan Allah merupakan ajaran dasar Islam dan menjadi dambaan setiap orang. Namun banyak fakta memperlihatkan bahwa keadilan dan kesetaraan gender belum sepenuhnya dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terutama disebabkan oleh masih kuatnya adat-istiadat, tradisi, dan nilai-nilai sosial budaya yang hidup yang menempatkan kaum laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda, hirarkis.60 Dalam hirarki perbedaan ini, ketidaksetaraan menjadi bagian yang kasat mata di mana eksistensi kaum laki-laki selalu lebih diprioritaskan. Disisi lain, bias kesadaran ideologi patriarki, penyelewengan dan ekstremitas pemahaman doktrin dasar agama, dari pijakan teologis keadilan ilahiah yang universal sering menyudutkan kedudukan dan peran perempuan dalam
masyarakat.
Lebih
menyulitkan lagi adalah keyakinan masyarakat umum bahwa pemahaman dan penafsiran pesan keagamaan seperti ini sudah merupakan sesuatu yang bersifat azali,
59
Sulistyowati Irianto, Kebangsaan Indonesia dari Perspektif Perempuan, dari http://cedawui.net/index.php?option=com_content&task=view&id=184&Itemid=60, diakses pada tanggal 14 Desember 60 Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Kesetaraan dan Keadilan Gender (Jakarta: t.p, 2004), h. 3
suatu ketentuan bawaan dari asal-usul penciptaannya. Akibatnya, bersifat tetap, baku, permanen. Islam hadir dengan misi yang sangat menghormati kaum perempuan dan mengahargai setiap individu bukan atas dasar variabel jenis kelamin. Tetapi fakta ketimpangan berbasis relasi gender sulit terbantahkan dalam realitas kehidupan umat Islam.61 Sejumlah penelitian mengenai perempuan dan hukum di Indonesia menyimpulkan betapa marginalnya posisi
perempuan. Indikasi ini membuktikan
secara nyata bahwa ketimpangan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan di Indonesia masih sangat kuat. Ketimpangan gender jelas merupakan masalah sosial yang harus diselesaikan secara integratif dengan menganalisis berbagai faktor yang turut serta melanggengkannya, termasuk di dalamnya faktor hukum yang kerapkali mendapatkan pembenaran agama.62
61
Ibid. Siti Musdah Mulia, Perda Syariat dan Peminggiran Perempuan, artikel diakses pada tanggal 25 Desember 2008 dari http://
[email protected] 62
BAB III PERDA KOTA TANGERANG NO. 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN
A.
Sekilas tentang Kota Tangerang Pembangunan Kota Administratif
Tangerang secara makro berpijak pada
kebijaksanaan pembangunan berdasarkan prioritas tahapan Repelita dimulai sejak Pelita I sampai Pelita V. Selain bertitik tolak dari prioritas tersebut, ada beberapa faktor pendorong dan faktor penarik diantaranya berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 Kota Tangerang ditetapkan sebagai Ibukota Kabupaten, pesatnya pertumbuhan ekonomi yang memungkinkan dapat memperbaiki kualitas kehidupan, masih banyak tersedianya sumber daya alam sehingga dapat menarik investor yang dapat menyerap lapangan kerja baru. Sedangkan dalam lingkup Jabotabek sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 termasuk wilayah pengembangan Jabotabek yang dipersiapkan untuk mengurangi ledakan penduduk DKI Jakarta, mendorong kegiatan perdagangan dan industri yang berbatasan dengan DKI Jakarta, mengembangkan pusat-pusat pemukiman dan mengusahakan keserasian pembangunan DKI Jakarta dengan daerah yang berbatasan langsung.63
63
Mei 2008
http://WWW.TangerangKota.go.id./view.php?mode=1&sort_no=12 diakses pada tgl, 25
Kota Tangerang secara geografis terletak antara 6º6’-6º13’ LS dan 106º36’106º42’ BT, dengan batas: 1. Sebelah Utara, berbatasan dengan Kecamatan Teluknaga dan Kecamatan Sepatan Kabupaten Tangerang 2. Sebelah Selatan, Berbatasan dengan Kecamatan Curug, Kecamatan Serpong, dan Kecamatan Pondok Aren Kabupaten Tangerang 3. Sebelah Timur berbatasan dengan DKI Jakarta 4. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kecamatan Cikupa kabupaten Tangerang. Kota Tangerang, secara resmi berdiri pada tanggal 28 Februari Tahun 1993, berdasarkan Undang-Undang No.2 Tahun 1993, dengan luas wilayah 183,78 Km²). Secara administratif Kota Tangerang terbagi menjadi 13 Kecamatan dan 104 Kelurahan, dengan jumlah penduduk 1.521.574 jiwa terdiri dari 775.797 jiwa penduduk laki-laki dan 745.778 jiwa penduduk perempuan.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Wilayah Administrasi Kota Tangerang Kecamatan Luas (Km²) Tangerang 15,79 Cipondoh 17,90 Cibodas 9,61 Ciledug 8,77 Karawaci 13,48 Karang Tengah 10,47 Jatiuwung 14,41 Periuk 9,54 Larangan 9,40 Benda 5,92 Neglasari 16,08 Pinang 21,59 Batu Ceper 11,58
Sumber : Badan Pemerintahan Daerah Kota Tangerang, Data diolah dari hasil penelitian Kota Tangerang ditinjau dari aspek penggunaan lahan merupakan daerah perkotaan (urbanized area). Hal ini ditunjukkan dengan luas wilayah yang sudah terbangun mencapai 48 % (± 8.510 Ha), sedangkan sisanya sekitar 52 % (± 9.220 Ha) belum terbangun. Lahan yang telah terbangun tersebut pemanfaatannya berupa permukiman, industri, perdagangan dan perkantoran. Visi-Misi Kota Tangerang Visi merupakan cara pandang ke masa depan yang mengilhami setiap tindakan secara emosional dan memotovasi secara positif untuk mencapai kondisi yang diinginkan. Pengembangan Kota Tangerang dengan melihat kondisi eksisting dari hasil analisis perekonomian, analisis sektor unggulan, analisis internal dan eksternal, maka dirumuskan Visi Kota Tangerang untuk tahun 2004-2008 sebagai berikut: Kota Tangerang Sebagai Kota Industri, Perdagangan dan Permukiman Yang Ramah Lingkungan Dalam Masyarakat Yang Berakhlak Mulia” Penjelasan dari Visi Kota Tangerang adalah: 1. Kota Tangerang dan Perdagangan. Kota Tangerang secara spasial berbatasan langsung dengan DKI Jakarta dan menjadi bagian dari pengembangan Metropolitan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), serta menjadi pintu gerbang bagi masuknya pergerakan orang yang menjadikan Kota Tangerang memiliki letak geografis yang
menguntungkan bagi Pembangunan kota. Dukungan
aksesibilitas yang baik, ketersediaan sarana dan prasarana, kemudahan berinvestasi, kondisi lingkungan yang kondusif menjadikan Kota Tangerang memiliki prospek yang cerah dan menjanjikan sebagai lokasi pengembangan berbagai kegiatan ekonomi. 2. Permukiman Kota Tangerang sebagai kota untuk pengembangan berbagai kegiatan ekonomi, secara tidak langsung akan menarik penduduk untuk bermukim di Kota Tangerang. Pelaksanaan pembangunan yang memperhatikan daya dukung lingkungan menciptakan Kota Tangerang merupakan tempat yang ideal dan nyaman sebagai lokasi permukiman. 3. Pembangunan yang Ramah Lingkungan. Kondisi Kota Tangerang yang nyaman, aman dengan masyarakat yang agamis, rukun dan toleransi, menjadi faktor utama bagi terlaksananya kesinambungan pembangunan. Peran serta masyarakat serta kondusifnya situasi Kota Tangerang yang didukung dengan kebijakan pembangunan yang memperhatikan aspek lingkungan.. 4. Masyarakat yang Berakhlak Mulia Masyarakat yang berakhlak mulia dicerminkan melalui kualitas hubungan antara manusia dengan Tuhan dan hubungan antara manusia itu sendiri, sehingga menjadi landasan moral dan etika dalam bermsyarakat, berbangsa dan bernegara. Pemahaman dan pengalaman agama secara benar diharapakan dapat mendukung terwujudnya masyarakat Kota Tangerang yang religius,
demokratis, mandiri, berkualitas sehat jasmani dan rohani, serta tercukupi kebutuhan material-spiritual.64 Misi Misi merupakan sesuatu hal yang harus dilaksanakan agar visi dapat direalisasikan dengan baik. Bertolak dari rumusan Visi Kota Tangerang tahun 20042008, maka dirumuskan misi Kota Tangerang berupa: 1. Memulihkan
dan
Mendorong
Pertumbuhan
Ekonomi
Guna
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Kota Tangerang Yang Mandiri, dan Berakhlakul Mulia, melalui pengembangan sektor-sektor ekonomi unggulan daerah, meningkatkan peran serta dan kemandirian masyarakat dalam pengembangan serta mewujudkan keserasian dan keharmonisan masyarakat Kota yang berbudaya dan berakhlak mulia. 2. Menigkatkan kualitas dan Kuantitas Pelayanan Publik,
melalui
pembangunan dan peningkatan kualitas sarana dan prasarana pelayanan dasar kota dengan menyediakan dan meningkatkan pelayanan dasar (Basic Service) dibidang pendidikan, kesehatan bagi masyarakat, dan bidang infrastruktur serta menyediakan perumahan layak huni yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. 3. Membangun dan menguatkan Tata Kepemerintahan yang baik (Good Governance); melalui pembangunan pada aspek sumberdaya manusia, sarana
64
Bapeda (Badan Pemerintahan Daerah) Kota Tangerang, Penyusunan Profil Daerah Kota Tangerang, h.II-4
prasarana, karakter mulia dan harmonisasi antar Stakholders untuk menciptakan aman dan nyaman bagi masyarakat. 4. Membangun Terwujudnya Pembangunan Berwawasan Lingkungan Dan Berkelanjutan (Suistanable Development), melalui pembangunan yang memperhatikan
dan
menciptakan
pola
kesinambungan
ekologi
dan
membangun kesadaran ekologis masyarakat dunia usaha dan industri dalam pembangunan yang berwawasan lingkungan. Nilai Inti Budaya Nilai inti budaya merupakan pijakan bagi seluruh masyarakat Kota Tangerang dalam mengimplementasikan visi dan misi pemerintahan Kota Tangerang. Nilai inti budaya tersebut adalah: 1. Inovasi; berarti setiap pelaksanaan pembangunan dapat memberikan kontribusi yang mampu menggerakkan berbagai sector perekonomian kota (income generation) dan meningkatkan kualitas sumberdaya masyarakat. 2. Kebersamaan (Unity); Keberhasilan pembangunan kota tidak terlepas dari kebersamaan dari seluruh stakeholders Kota Tangerangyang meliputi pemerintah, Swasta, dan Masyarakat. Kesepakatan yang terjalin dari seluruh stakholders ini meniptakan hubungan yang harmonis untuk mendukung pelaksanaan pembangunan di Kota Tangerang. 65
65
http://WWW.TangerangKota.go.id./view.php?mode=1&sort_no=12, diakses pada tgl 20 Agustus 2008
3. Profesionalisme; Kegiatan pembangunan di Kota Tangerang harus didukung oleh aparat pemerintah yang profesional dan senantiasa memberikan pelayanan prima kepada masyarakat Kota Tangerang, dengan didasari prinsip-prinsip good governance. 4. Akhlakul Karimah; Aparat Pemerintah Kota Tangerang diharapkan dapat melaksanakan tugas kepemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dengan ketulusan hati. Dengan demikian pelaksanaan tugas sehari-hari dapat menjadi sarana di dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta upaya untuk mendapatkan ridho Allah SWT.66 B.
Latar Belakang Lahirnya Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran Indonesia merupakan negara berkembang dengan jumlah pemeluk Islam
terbesar di dunia dengan karakteristik sosial dan budaya yang khas. Nilai-nilai ajaran, dan budaya Islam dalam norma kehidupan sosial cukup berpengaruh dalam kebiasaan dan landasan moral masyarakat, sehingga seringkali dijadikan standard dalam menilai suatu perilaku masyarakat, yang benar-salah, baik-buruk, dan pantas-tidak pantas. Pelacuran merupakan salah satu perbuatan yang sangat tidak pantas dan merupakan perilaku yang salah dan sangat buruk sekali dalam masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Islam.
66
Bapeda (Badan Pemerintahan Daerah) Kota Tangerang, Penyusunan Profil Daerah Kota Tangerang, h.II-4 dan 5.
Membicarakan masalah Pelacuran kini, tidak hanya sebuah gejala individual akan tetapi sudah menjadi gejala sosial dari penyimpangan seksualitas yang normal dan juga agama. Karena pelacuran bukan hanya memiliki dampak terhadap individu-individu pelaku dan pemakai jasa ini secara personal, akan tetapi juga memiliki dampak terhadap masyarakat umum, yang akhirnya berhubungan pada masalah hukum. Pelacuran yang akhir-akhir ini telah menimbulkan masalah yang mengganggu kondisi ketertiban dan keamanan masyarakat, seperti beredarnya obatobatan terlarang, merusak sendi-sendi rumah tangga, serta menularnya berbagai macam penyakit. Menyadari akan bahaya dan dampak dari pelacuran bagi manusia khususnya generasi bangsa bila dibiarkan, maka tatanan pengaturan dan pengawasan terhadap pelacuran memang sangat diperlukan. Hal inilah yang disadari oleh Pemerintah Kota Tangerang. Perda merupakan sebuah instrumen regulasi yang hadir ditengah sebuah komunitas. Sebuah perda lahir karena dorongan inisiatif pemerintahan dan tekanan masyarakat setempat yang disampaikan melalui musyawarah bersama aparat pemerintah dan pejabat setiap kecamatan dalam bentuk usulan suatu peraturan tentang pelarangan pelacuran. Yang dianggap Perlu untuk diregulasi demi kesejahteraan dan keamanan masyarakat Kota Tangerang. Dan tepatnya pada tanggal 18 Nopember 2005 dalam usia ke-13, Pemerintah Kota Tangerang menetapkan peraturan mengenai hal tersebut yaitu Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.
Menurut Ramdan Lubis
67
(Bagian Hukum dan Perundang-Undangan),
Peraturan Daerah Kota Tangerang ini lahir karena Tangerang merupakan wilayah penyangga Ibu Kota dan berbatasan langsung dengan Ibu Kota Jakarta, tidak munutup kemungkinan Budaya-budaya di Ibu kota masuk ke Tangerang termasuk Prostitusi, timbullah usulan masyarakat tangerang termasuk atas usulan Walikota untuk mengatur masalah pelacuran, karena dalam Hukum Pidana hanya mengatur dan memeberikan sanksi pidana terhadap germo dan mucikari, Untuk mengatur Pelacuran yang ada di Kota Tangerang dengan membuat perda Kota Tangerang No 8 Tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran yang bertujuan untuk mencegah prostitusi masuk ke Tangerang dan mengatur prostitusi yang sudah ada meliputi; pelaku pelacuran, germo dan tempat yang terjadi adanya prostitusi. Dengan misi Kota Tangerang masyarakat yang berakhlakul karimah.68 Sebagai landasan hukum dalam penetapan Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran adalah sebagai berikut: 1.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (LNRI Tahun 1974 Nomor 53 Tambahan LNRI Nomor 3039)
2.
UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (LNRI Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan LNRI Nomor 3209)
67 68
Wawancara pribadi dengan Ramdan Lubis, Tangerang, 21 Agustus 2008. Wawancara Pribadi dengan Ramdan Lubis, Tangerang, 21 Agustus 2008.
3.
UU No 2 Tahun 1993 tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang (LNRI Tahun 1993 Nomor 18, Tambahan LNRI nomor 3518)
4.
UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan (LNRI Tahun 2004 No 53 Tambahan LNRI 4389)
5.
UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (LNRI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan LNRI Nomor 4437);
6.
PP No 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (LNRI Tahun 1983 No 36)
7.
PP No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (LNRI Tahun 2000 No 54, Tambahan LNRI Nomor 3952)
8.
PP No 18 Tahun 2000 tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan (Lembaran Daerah Kota Tangerang Tahun 2000 Nomor 4 seri C)
C.
Seputar materi Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran
1. Identifikasi bab-bab dan Pasal-pasal yang krusial dalam Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran Hukum pidana hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal seperti tertera pada KUHP pasal 296,297 dan 506. KUHP juga melarang perdagangan wanita dan anak-anak di bawah umur. Demikian pula dalam Rancangan KUHP hanya melarang mereka yang membantu dan
menyediakan pelayanan seks secara ilegal, artinya larangan hanya diberikan untuk mucikari atau germo. Meskipun demikian hukum pidana tetap merupakan dasar dari peraturanperaturan dalam industri seks di Indonesia. Karena larangan memberikan pelayanan seksual khususnya terhadap praktek-praktek pelacuran tidak ada dalam hukum Negara, maka peraturan dalam Industri seks ini cenderung didasarkan pada peraturanperaturan yang dikeluarkan pemerintah daerah, baik pada tingkat Propinsi, Kabupaten, dan Kecamatan, dengan mempertimbangkan reaksi, aksi dan tekanan berbagai organisasi masyarakat yang bersifat mendukung dan menentang pelacuran tersebut. Penanggulangan pelacuran di Kota Tangerang merupakan masalah yang kompleks dan rumit, karena masalah pelacuran menyangkut kehidupan manusia yang disebabkan oleh berbagai aspek seperti sosial, budaya, ekonomi, ketertiban dan keamanan lingkungan. Penanggulanagan pelacuran dikatakan rumit, karena menyangkut sikap mental sehingga penanggulangannya harus secara professional dengan rencana yang matang serta pelaksanaan kegiatan yang terarah, terpadu dan berkesinambungan. Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 tahun 2005 terdiri dari 6 (enam) bab yaitu mengatur hal-hal sebagai berikut: 1. Bab 1, mengenai ketentuan umum, ketentuan umum diatur dalam pasal 1 yaitu mengenai pengertian tentang daerah, pemerintah daerah, walikota,
tim, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), pengertian tentang pelacuran, tempat perbuatan tuna susila atau pelacuran. 2. Bab II, mengenai larangan. Larangan yang dimaksud adalah larangan terhadap perbuatan tuna susila dan atau pelacuran dalam Daerah Kota Tangerang. Larangan ini diatur dalam pasal 2, sampai dengan pasal 4. 3. Bab III, mengenai penindakan dan pengendalian, diatur dalam pasal 5 sampai dengan pasal 7, yaitu Penindakan dan pengendalian terhadap Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Walikota atau pejabat yang ditunjuk. Serta pasal 8 mengenai partisipasi masyarakat. 4. Bab IV, mengenai ketentuan pidana, diatur dalam pasal 9 yaitu setiap orang yang melanggar Peraturan Daerah ini dipidana dengan pidana kurungan 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta). 5. Bab V, mengenai ketentuan penyidik, diatur dalam pasal 10 sampai dengan pasal 12, yaitu
selain pejabat penyidik umum dapat juga
dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah bersangkutan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 6. Terakhir adalah Bab VI tentang Ketentuan Penutup, diatur dalam pasal 13.
2. Problematika Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran Di keluarkannya Perda Kota Tangerang No. 8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran ternyata belum sepenuhnya terlaksana, karena dalam kenyataannya, ketika Dinas Ketentraman dan Ketertiban (Tramtib) Kota Tangerang mengadakan razia di sekitar wilayah Tangerang, masih menemukan para pelacur melakukan aktifitasnya. Pihak pemerintah telah melakukan sosialisasi mengenai Perda Kota Tangerang No. 8/2005 tentang pelarangan pelacuran dari awal tahun 2006, sampai saat ini sosialisasi telah dilakukan di tingkat kecamatan dan kelurahan, tingkat RT/RW, bahkan ke sekolah-sekolah. Tidak ada lagi istilah belum mengetahui soal keberadaan Perda ini karena pihak pemerintah juga sudah memasang spanduk dan menyebarkan leaflet di beberapa wilayah di Kota Tangerang. Dalam pelaksanaan Perda ini Dinas Keamanan dan Ketertiban (Tramtib) juga dilibatkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).69 Masalah pelacuran menjadi suatu dilema yang sangat rentan dengan gejolak masyarakat, disatu sisi pelacuran sama sekali ditolak keberadaannya oleh umat Islam di Indonesia tetapi di sisi lain pelacuran telah manjadi suatu alasan karena terbentur dengan kebutuhan ekonomi. Tapi menjadi pelacur tentu bukan solusi. Pemda Tangerang menganggap hal ini sudah sangat berbahaya. Itikad baik Pemda Tangerang untuk membenahi moral masyarakat mendapat sambutan negatif dari kalangan secular-liberal (Chairil akhmad wartawan Sabili) Bahkan ada yang menganggap hal 69
Ibid.
ini sebagai upaya penegakan syariat Islam ditingkat pemda. Berbagai macam isu yang mendeskreditkan Pemda Tangerang bertebaran di media massa. Mereka bersuara lantang mencabut pembatalan.70 Munculnya Perda anti maksiat ternyata membuat gerah pihak-pihak yang memang tidak menghendaki diterapkannya Perda tersebut karena dianggap telah bertentangan dengan konstitusi dan pancasila. Perda-perda yang terdapat dibeberapa wilayah di Indonesia mulai berlaku semenjak bendera otonomi daerah mulai dikibarkan, salah satunya adalah Kota Tangerang yang mengeluarkan Perda No. 8/2005 tentang pelarangan pelacuran. Walaupun kritik dan hujatan terus berdatangan dari berbagai kelompok masyarakat, pihak pemerintah terus menerapkan Perda No.8 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.
Terbukti dengan gencarnya petugas Dinas Tramtib Kota
Tangerang mengadakan razia di tempat-tempat yang biasanya dilakukan praktek pelacuran, bahkan daerah-daerah lain terlebih dahulu memiliki Perda tentang pelarangan pelacuran. Menurut Tihadi, Kasi Penegakan dan Penindakan Dinas Tramtib Kota Tangerang, pemberlakuan penerapan Perda bernuansa agama dalam hal ini Perda Kota Tangerang tentang pelarangan pelacuran mengalami kemajuan yang cukup signifikan. “pengaruhnya sangat besar sekali”, jika semula masih banyak para pelacur yang mangkal di jalan-jalan protokol para pelacur biasa menjajakan birahi dimalam
70
Chairil Akhmad Orang Kerdil Takut Islam Besar,artikel diakses pada 10 agustus 2008 dari http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg39478.html.
hari, sekarang tidak pernah dijumpai pada saat dilakukan razia oleh petugas Dinas Tramtib Kota Tangerang.71 Menurut Wahidin, Perda tersebut merupakan produk dari masyarakat Tangerang dengan pemerintahan yang otonom. Perda itu mempertimbangkan aspek sosiologis, psikologi masyarakat, politis dan aspek moralitas masyarakatnya. Perda ini mendapat dukungan yang positif dari masyarakat. Sejauh ini, kata beliau tidak ada satupun warga Kota Tangerang yang mengeluh substansi dari Perda itu.72 Dalam proses penetapannya sudah dilakukan dengan tokoh masyarakat, ormas, parpol, LSM, dan unsur masyarakat lain, bahkan sebelum ditetapkan pihaknya menggelar konsultasi terbuka dengan kejaksaan, pengadilan, dan kepolisian. Mereka yang kontra terhadap Perda ini kebanyakan dari masyarakat luar Tangerang.73 Adapun yang menjadi problematika Peraturan Daerah Kota Tangerang No 8 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran dituntut untuk dicabut. Perda tersebut dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan bisa menimbulkan banyak penafsiran. Penolakan Perda yang menimbulkan multi tafsir itu dilakukan sejumlah seniman, aktifis sosial, dan praktisi hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK). Adapun yang menjadi keberatan LBH APIK terhadap Perda karena dianggap bertentangan dengan UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam
71
Wawancara pribadi dengan Tihadi, Tanggal 21 Agustus 2008 Chairil Akhmad, Orang Kerdil Takut Islam Besar,artikel diakses pada 10 agustus 2008 dari http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg39478.html 73 Wawancara pribadi dengan Ramdan Lubis, tanggal 21 Agustus 2008. 72
KUHAP pasal 53 disebutkan, percobaan melakukan kejahatan dapat dipidana apabila maksud akan melakukan kejahatan itu sudah nyata dengan adanya permulaan membuat kejahatan itu dan perbuatan itu tidak diselesaikan hanyalah oleh sebab hal yang tidak bergantung kepada kehendaknya sendiri. Sedangkan Perda Kota Tangerang, menurut LBH-APIK melawan prinsip-prinsip KUHP karena razia yang dilakukan Pemkot Tangerang menimbulkan penangkapan dan penahanan berdasarkan anggapan atau persangkaan. LBH-APIK juga menganggap ketentuan Perda berdasarkan pada tanggapan, penilaian, dan keyakinan individu seperti yang tercantum dalam pasal 4 dan 5 Perda tesebut, sebagai salah satu bentuk perbuatan main hakim sendiri dan melanggar asas praduga tak bersalah. Perda yang mulai berlaku 23 November 2005 itu juga dianggap bertentangan dengan UU lainnya, seperti UU No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.74 Adapun jenis hierarki Peraturan Perundang-undangan yaitu; a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan pemerintah; d. Peraturan Presiden;
74
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=141653 diakses pada tanggal
12 Desember 2008
e. Peraturan Daerah. Salah satu contoh kasus yang dianggap salah tangkap oleh petugas Tramtib terhadap Ny.Lilis Lindawati, seorang karyawan sebuah restoran di Cengkareng karena diduga sebagai pelacur. Lilis dikenakan tahanan selama empat hari karena suaminya, Kustoyo, yang bekerja sebagai guru SD tidak bisa membayar denda Rp 300.000. Denda ini ditetapkan majelis hakim yang diketuai Barmen Sinurat dalam sidang tindak pidana ringan (Tipiring) bersamaan HUT Kota Tangerang, Pada pukul 20.00. Lilis ditangkap petugas Trantib dan esoknya ia disidangkan bersama 27 wanita yang dituduh sebagai pelacur. Ketika itu ia pulang kerja dan naik angkutan kota Roda Niaga jurusan Kalideres, Tangerang. Ketika sampai di Gerendeng, ia turun dari angkot dan mencari tumpangan angkot lain menuju rumahnya di daerah Sepatan, Kabupaten Tangerang. Salah seorang seniman Tangerang, Wowok Hesti Prabowo, yang ikut menuntut dibebaskannya Lilis mengatakan, pengadilan Tipiring yang digelar di tengah pesta mengingatkan zaman bar-bar dimana sebuah kerajaan akan memenggal kepala seseorang di tengah perhelatan. Dalam kasus Lilis, kata Wowok, hukuman tiga hari kurungan ternyata molor satu hari, dan Lilis baru dibebaskan pada hari ke-4 pada pukul 09.35 WIB. 75 Meski ditentang sebagian masyarakat Perda No. 8/2005 (Perda anti pelacuran) lolos dari uji materiil atau tetap boleh diberlakukan. Pemerintah Kota Tangerang tetap akan menerapkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang
75
http://www.Indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=280534 diakses pada tanggal 12 Desember 2008
pelarangan pelacuran. Padahal, banyak kalangan menilai Perda itu multitafsir Pemberlakuan peraturan daerah (perda) itu didukung Ketua Komisi A DPRD Kota Tangerang Iskandar Zulkarnain (PPP) dan anggota Komisi A.Suratno Abubakar (PAN), yang menjadi ketua panitia khusus rancangan Perda tersebut. Menurut mereka, perda itu sudah cukup baik meski tidak tertutup kemungkinan dievaluasi. penegasan Wali Kota Tangerang Wahidin Halim bahwa penyidikan maupun penegakan Perda dilakukan secara selektif, tidak serabutan, dan tidak asal tangkap karena menghargai hak-hak masyarakat Tangerang.76 Dalam pelaksanaan Perda Kota Tangerang No. 8/2005 tentang pelarangan pelacuran diperlukan kerjasama semua pihak tidak hanya aparat pemerintahan tetapi juga semua masyarakat harus berperan aktif, bahkan pihak pemerintah dengan senang hati menerima kritik atau saran untuk kesempurnaan Perda itu, serta berani melakukan evaluasi terhadap Perda jika dinilai menimbulkan dampak yang kurang bagus, hanya saja kritikan yang disampaikan tidak tendensius. 3. Penerapan Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran Menurut Lawrence M.Friedman, sebagaimana dikutip oleh Jaenal Aripin dalam bukunya Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, menyebutkan bahwa struktur dari sistem hukum merupakan bentuk dari keseluruhan
76
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/04/utama/2482226.htm diakses
pada tanggal 12 Desember 2008
instansi-instansi penegak hukum.77 Di Indonesia yang merupakan struktur dari sistem hukum tersebut, yaitu: Advokat, Polisi, Jaksa, Hakim dan para penegak hukum lainnya.78 Para penegak hukum lainnya adalah mereka ditunjuk undang-undang atau peraturan-peraturan seperti yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Tangerang No 8 Tahun 2005 yaitu selain aparat penegak hukum pada umumnya juga dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah Kota Tangerang yang pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pelarangan pelacuran yaitu dengan langkah preventif dan represif. Langkah prefentif yaitu dengan mengadakan penyuluhan-penyuluhan mengenai pelarangan pelacuran. Penyuluhan diberikan kepada tokoh-tokoh masyarakat, pemuda anggota masyarakat, di berbagai desa, kelurahan, serta kecamatan yang ada di wilayah Kota Tangerang. Selanjutnya tindakan yang tergolong sebagai langkah represif yaitu melakukan tindakan terhadap pelarangan pelacuran yang ada di Kota Tangerang tidak dengan hukum pidana(KUHP), karena sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa tidak ada pasal-pasal yang berhubungan langsung dengan pelacur, melainkan hanya dengan germonya dan perdagangan perempuan yang dapat diancam pidana. Ketentuan atau aturan yang digunakan adalah dengan menggunakan ketentuan-
77
Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), cet-1, h. 116-112 78 Ni Putu Sawitri Nandari, Penanggulangan Pelacuran Ditinjau Dari Perspektif Hukum dan Gender, T.tp
ketentuan pemerintah daerah baik dituangkan dalam Perda ataupun kebijakan operasional lainnya. Tindakan-tindakan tersebut berupa: a. Tindakan razia terhadap pelacuran. b. Melaksanakan dengan tegas Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Langkah represif lainnya terhadap pelarangan pelacuran yang dilaksanakan oleh tim penertiban, meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1. Mengidentifikasikan lokasi pelacuran dan personal pelacurnya sendiri sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pada waktu mengidentifikasi petugas melakukan penyamaran, dengan mendatangi lokasi-lokasi pelacuran untuk mengetahui lebih jelas. 2. Apabila lokasi dan pelacurnya telah dapat diidentifikasi, maka kemudian dilakukan razia siang maupun malam hari. 3. Para pelacur yang telah ditangkap langsung dimasukkan di panti rehabilitasi. 4. Mereka kemudian diadili oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Adapun hasil operasi penertiban Perda No 8/2005 tentang pelarangan pelacuran tidak hanya pelacur, tetapi juga razia terhadap pasangan yang selingkuh, serta para waria, untuk lebih jelasnya akan ditampilkan dalam bentuk tabel adalah sebagai berikut:
Razia Dinas Tramtib (Data tahun 2006-2008) NO
TAHUN
PSK
P.SELINGKUH
WARIA
JMLH
KETERA NGAN 1 2006 269 275 orang 8 orang 552 - 50 orang orang dikirim ke panti rehabilitasi - 25 orang Sidang Tipiring 2 2007 114 455 orang 64 orang 633 - 54 orang orang dikirim ke Panti rehabilitasi 3 2008 58 232 orang 4 orang 294 - 20 orang orang dikirim ke Panti rehabilitasi JUMLAH 441 962 orang 76 orang 1479 - 124 orang dikirim ke Panti rehabilitasi - 25 orang sidang tipiring Sumber: Dinas Ketentraman dan ketertiban Kota Tangerang, data diolah dari hasil penelitian 2008 Pelarangan pelacuran bukan suatu masalah yang mudah, sebab hal ini menyangkut banyak faktor didalamnya, seperti faktor sosial, budaya dan ekonomi. Tidak setiap orang menginginkan agar pelacuran ini dituntaskan, karena ada yang tetap menginginkan keberadaan pelacuran, yang kiranya menguntungkan
dari
mereka. Dengan demikian pelarangan pelacuran tentu tidak akan dapat berjalan dengan efektif
BAB IV PERDA KOTA TANGERANG NO 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DALAM PANDANGAN MASYARAKAT
A. Kondisi Objektif Wilayah Penelitian 1. Sekilas tentang Kecamatan Karawaci Kecamatan Karawaci adalah salah satu kecamatan dari 13 kecamatan di Kota Tangerang yang baru saja terbentuk berdasarkan Perda Kota Tangerang No.16 tahun 2000 tentang pembentukan tujuh Kecamatan diamana salah satunya adalah Kecamatan Karawaci, yang merupakan pemecahan dari Kecamatan Tangerang, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: 1. Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah kecamatan Jatiuwung; 2. Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kecamatan Batuceper dan KecamatanTangerang; 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kecamatan Cibodas; 4. Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Kecamtan Neglasari. Luas wilayah kecamatan Karawaci adalah : 1221.10 Ha (13,34 Km2), dengan jumlah penduduk sebanyak, 149,640 jiwa yang terdiri dari Laki-laki 75.708 jiwa dan perempuan 73.932 jiwa, 38.222 KK, 522 Rt, 126 Rw, dan 16 Kelurahan.
Desa/Kelurahan Bojong Jaya Gerendeng Margasari Pabuaran Tumpeng Bugel Karawaci Nambo Jaya Pasar Baru Cimone Karawaci Baru Nusa Jaya Sukajadi Cimone Jaya Koang Jaya Pabuaran Sumur Pacing Jumlah
Jumlah Penduduk Kecamatan karawaci Penduduk (Jiwa) 8.237 10.722 12.355 13.210 12.920 5.913 6.941 4.709 15.473 12.371 13.052 5.587 12.265 6.437 10.208 6.941 155.959 Sumber: diolah dari data penelitian 2008
Sarana Pendidikan Tingkat Pendidikan Keterangan Jumlah SD SDN 57 buah SDS 6 buah Mi 6 buah SLTP SLTPN 1 buah SLTPS 7 buah MTs 3 buah SLTA SMUN 2 buah SMUS 11 buah MA 1 buah Pondok Pesantren Perguruan Tinggi Sumber: diolah dari data penelitian 2008
69 buah
11 buah
14 buah
5 buah 3 buah
Pemeluk Agama Di Kecamatan Karawaci Per Kelurahan No Kelurahan Islam Katolik Protestan Hindu Budha 1 Bojong Jaya 7.055 234 372 51 526 2 Gerendeng 9.183 304 484 66 684 3 Margasari 10.582 351 558 76 788 4 PabuaranTumpeng 11.314 375 597 81 843 5 Bugel 11.066 367 583 79 824 6 Karawaci 5.064 168 267 36 377 7 Nambo Jaya 5.945 197 313 43 443 8 Pasar Baru 4.033 134 213 29 300 9 Cimone 13.253 699 699 95 987 10 Karawaci Baru 10.596 351 559 76 789 11 Nusa Jaya 11.179 370 589 80 833 12 Sukajadi 4.758 159 252 34 357 13 Cimone Jaya 10.505 554 554 75 783 14 Koang Jaya 5.513 183 291 40 441 15 Pabuaran 8.743 290 461 63 651 16 Sumur Pacing 4.761 158 251 34 355 Jumlah 133.578 4.427 7.043 959 9.952
Jumlah 8.237 10.722 12.355 13.210 12.920 5.913 6941 4.709 15.473 12.371 13.052 5.587 12.265 6.437 10.208 5.559 155.95 9
Sumber: diolah dari data penelitian 2008
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Tempat Ibadah Di Kecamatan Karawaci Kelurahan Masjid Mushola Gereja Pura Bojong Jaya 3 7 6 Gerendeng 2 7 1 1 Margasari 4 5 PabuaranTumpeng 3 7 Bugel 5 9 Karawaci 4 2 4 1 Nambo Jaya 2 3 1 Pasar Baru 4 3 1 Cimone 6 12 1 Karawaci Baru 7 3 3 Nusa Jaya 6 4 1 -
Vihara 1 1 2 -
Jumlah 16 12 9 10 14 12 6 10 18 13 11
12 Sukajadi 13 Cimone Jaya 14 Koang Jaya 15 Pabuaran 16 Sumur Pacing Jumlah 2.
3 7 3 3 2 64
4 7 5 5 2 85
1 2 1 22
1 3
3 1 1 9
11 16 11 9 4 183
Sekilas tentang Kecamatan Cipondoh Keadaan Cipondoh terletak disebelah Timur Kota Tangerang dengan luas
wilayah 1.833 Ha terdiri dari tanah Darat 1.483 Ha. Tanah Sawah 275 Ha dan Tanah Rawa 78 Ha. Letak ketinggian dari permukaan laut sekitar 0,14 Km dengan curah hujan rata-rata perbulan 100 mm. Wilayah Kecamatan Cipondoh terbagi dalam 10 Kelurahan, terdiri dari 90 Rw dan 513 Rt, dengan pembagian wilayah sebagai berikut: Wilayah Kecamatan Cipondoh Jumlah Penduduk Laki-laki Perempuan 1 Cipondoh 9.312 9.033 2 Cipondoh Makmur 10.697 10.883 3 Cipondoh Indah 12.062 11.419 4 Gondrong 7.049 6.246 5 Kenanga 5.326 5.135 6 Petir 7.067 7.388 7 Ketapang 4.288 4.204 8 Poris Plawad 6.079 5.858 9 Poris Plawad Utara 6.814 6.921 10 Poris Plawad Indah 8.654 8.104 JUMLAH 77.888 75.191 Sumber: diolah dari data penelitian 2008 No
Kelurahan
Pendidikan SLTA SLTP
Sarana Pendidikan Jumlah ( buah) Guru 3 buah 25 Orang 5 buah 42 Orang
Jumlah 18.345 21.580 23.481 13.295 10.461 14.995 8.492 11.937 13.735 16.758 153.079
Murid 855 Orang 1.350 orang
SD TK Aliyah Tsanawiyah Mdr. Ibtidaiyah Mdr.diniyah Pondok Pesantren Pesantren
34 buah 343 Orang 1.011 Orang 12 buah 48 Orang 398 Orang 2 buah 18 orang 571 Orang 5 buah 42 Orang 1.350 Orang 7 buah 66 Orang 1.011 Orang 1Buah 15 Orang 175 Orang Sumber: diolah dari data penelitian 2008 Jumlah Pemeluk Agama
Agama Jumlah Islam 137.774 Orang Kristen 6.467 Orang Hindu 279 Orang Budha 2775 Orang Sumber: diolah dari data penelitian 2008
Sarana peribadatan Masjid Surau Mushollah Gereja Vihara Pura
Sarana Peribadatan Jumlah (buah) 58 buah 107 buah
Sumber: diolah dari data penelitian 2008
Demikian sekilas tentang kondisi Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh yang menjadi objek penelitian penulis dalam penulisan skripsi yang berjudul Respon Masyarakat Kota Tangerang terhadap Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. B. Identitas Responden Di dalam identitas responden penulis mencoba membagi ke dalam beberapa tabel yaitu: Jenis Kelamin, Pendidikan terakhir, dan status perkawinan (Nikah, belum
nikah, dan Janda/duda), yang di mana penulis mengambil sampel sebanyak 150 responden dari sebagian masyarakat Kota Tangerang. Dari 13 Kecamatan penulis ambil 2 Kecamatan dan setiap Kecamatan diambil 2 Kelurahan dan setiap Kelurahan penulis mengambil 1 Rw dan 2 Rt. Penyajian dan uraian identitas responden diharapkan dapat memberikan gambaran yang cukup jelas tentang responden dan kaitannya dengan masalahmasalah dan tujuan penelitian. Tabel 1 Distribusi Responden Bedasarkan Jenis Kelamin No
Keterangan
F
%
1
Laki-laki
83
55,33
2
Perempuan
67
44,67
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari Data Lapangan 2008 Berdasarkan tabel 1 diatas data responden menurut jenis kelamin. Dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin laki-laki mendominasi dari keseluruhan responden. Kenyataan ini dibuktikan dengan jumlah laki-laki sebanyak 83 atau 55,33 % responden, sedangkan perempuan hanya 67 responden atau 44,67 % Tabel 2 Distribusi responden berdasarakan Jenjang Pendidikan No
Alternatif Jawaban
F
%
1
SD/MI
16
10,67
2
SMP/ MTs
28
18,67
3
SMA/ MA
96
64
4
Perguruan Tinggi
10
6,66
150
100
Jumlah
Sumber: Diolah dari data lapangan tahun 2008 Berdasarkan tabel diatas, responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah responden yang beragam mengenai status pendidikannya. Hal ini dikarenakan untuk mengetahui benar-benar pendapat sebagian besar masyarakat Kota Tangerang atau khususnya Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh yang status pendidikannya sangat beragam. Hal ini dapat dinyatakan sebagaimana jawaban responden, lulusan: SD/MI sebanyak 16 orang atau 10,67 %, SMP/MTs sebanyak 28 orang atau 18,67 %, SMA/MA sebanyak 96 orang atau 64 %, Perguruan Tinggi sebanyak 10 orang atau 6,66 %. Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Status Pernikahan No
Alternatif Jawaban
F
%
1
Nikah
110
73,33
2
Belum Nikah
40
26,67
3
Janda/Duda
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Mengenai status perkawinan responden, mayoritas responden berstatus dalam ikatan perkawinan atau nikah, hal itu dinyatakan oleh 110 orang atau 73,33 % responden. Sementara yang menyatakan belum menikah atau lajang sebanyak 40 orang atau 26,67 % sedangkan responden yang berstatus janda/duda tidak ada sama sekali. C. Respon Kognitif (Pengetahuan) masyarakat Kota Tangerang terhadap Pelacuran Dalam penelitian ini untuk mendapatkan data tentang pengetahuan responden terhadap pelacuran, serta adanya suatu peraturan lain tentang pelarangan pelacuran, secara umum menggunakan metode tes, yaitu obyektif tes yang jawabannya sudah tersedia. Mengunakan obyektif tes yang disertai jawabannya secara umum berjumlah 16 (enam belas) item atau pertanyaan. Mengenai pengetahuan masyarakat terhadap pelacuran, dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 4 Deskripsi Persentase Jawaban Responden Tentang Pelacuran No
Alternatif Jawaban
F
%
139
92,67
1
A.Tahu
2
B. Kurang Tahu
9
6
3
C.Tidak Tahu
2
1,33
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Pada tabel diatas terlihat jelas bahwa 92,67 % atau 139 responden mengetahui tentang pelacuran, dan hanya 1,33 % atau 2 responden yang benar-benar belum mengetahui, sedangkan 6 % atau 9 responden kurang mengetahui definisi dari pelacuran. Tabel 5 Deskripsi Persentase Jawaban Responden Tentang Pengetahuan sumber Pelacuran No
Alternatif Jawaban
F
%
119
79,33
29
19,33
3
A. Dari (baca) buku/media B. Dari Aparat Pemerintah C.Tidak Tahu
1
0,67
4
Abstain
1
0,67
Jumlah
150
100
1 2
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Pengetahuan masyarakat terhadap pelacuran pada umumnya diperoleh dari baca buku/media baik itu cetak maupun elektronik hingga mencapai 79,33 % atau 119 responden dari 150 responden, sedangkan sisanya mengetahui dari sumber lain yaitu dari aparat pemarintahan sebesar 29 orang atau 19,33 %, dan hanya 1 responden atau
0,67 % yang tidak tahu, dan yang sama sekali tidak menjawab 0,67 % atau 1 responden.
Tabel 6 Deskripsi Persentase Jawaban Responden tentang apa sebenarnya yang disebut pelacuran No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Hubungan seksual
140
93,33
2
B. Hubungan zina
9
6
3
C. Tidak Tahu
1
0,67
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Keterangan: A. Hubungan seksual diluar pernikahan yang dilakukan oleh pria atau wanita, Ditempat hiburan, lokasi pelacuran, ataupun ditempat-tempat lain dengan tujuan mendapatkan imbalan jasa/pembayaran B. Hubungan zina tanpa ada imbalan atau bayaran C. Tidak tahu D. Tidak menjawab
Dari tabel tersebut mayoritas jawaban responden 93,33 % atau 140 orang dengan jawaban Hubungan seksual diluar pernikahan yang dilakukan oleh pria atau wanita, ditempat hiburan, lokasi pelacuran, ataupun ditempat-tempat lain dengan tujuan mendapatkan imbalan jasa/pembayaran, sedangkan sisanya 6 % atau 9 orang
menjawab Hubungan zina tanpa ada imbalan atau bayaran, dan yang tidak tahu hanya 1 orang atau 0,67 %.
Tabel 7 Deskripsi Jawaban Responden tentang “Apakah Pelacuran Itu Melanggar Hukum” No
Alternatif Jawaban
F
%
148
98,67
1
A. Ya
2
B. Tidak
2
1,33
3
C. Tidak tahu
0
0
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Masyarakat pada umumnya mnegetahui bahwa pelacuran itu melanggar hukum hingga mencapai 98,67 % atau 148 dari 150 responden, sedangkan yang menjawab tidak 2 responden atau 1,33 %. Tabel 8 Deskripsi Jawaban Responden Apakah Ada Perbedaan Antara Pelacuran Dengan Perzinahan No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Ya, karena
122
81,33
2
B. Tidak, karena
27
18
3
C. tidak tahu
1
0,67
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Keterangan: A. Ya, karena pelacuran itu ada imbalan atau bayaran sedangkan kalau zina dilakukan atas dasar suka sama suka B. Tidak, karena sama-sama melakukan perbuatan dosa C. Tidak Tahu D. Tidak menjawab
Mengenai pengetahuan masyarakat tentang perbedaan pelacuran dan perzinahan responden menjawab karena pelacuran itu ada imbalan atau bayaran sedangkan kalau zina dilakukan atas dasar suka sama suka sebanyak 122 responden atau 81,33 %, sedangkan yang menjawab karena sama-sama melakukan perbuatan dosa adalah 27 responden atau 18 % dan yang menjawab tidak tahu 1 responden atau 0,67 %.
Tabel 9 Deskripsi Jawaban Responden “Apakah Pelacuran Termasuk Perbuatan Dosa” No
Alternatif Jawaban
F
%
149
99,33
1
A. Ya
2
B. Tidak
1
0,67
3
C. Tidak tahu
0
0
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Pada umumnya responden sangat mengetahui bahwa pelacuran itu melanggar hukum dibuktikan dengan jawaban responden sebesar 99,33 % atau 149 orang, sedangkan yang menjawab tidak hanya 1 orang atau 0,67 % responden. Jadi jelas bahwa responden mngetahui bahwa pelacuran itu melanggar hukum. Tabel 10 Deskripsi Jawaban Respoden tentang "Perbedaan Dosa Antara Pelacuran Dengan Perzinahan” No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Ya, Beda
67
44,67
2
B. Tidak beda
80
53,33
3
C. Tidak tahu
3
2
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Dari tabel diatas 44,67 % atau 67 responden menjawab beda tentang dosa antara pelacuran dengan perzinahan, sedangkan yang menjawab tidak beda antara pelacuran dengan perzinahan sebanyak 80 responden atau 53,33 % dan yang tidak tahu 3 responden atau 2 %.
Tabel 11 Deskripsi Jawaban Responden Tentang Dalam Hukum Islam Apakah Pelacuran Termasuk Perbuatan Dosa Besar. No
Alternatif Jawaban
F
%
133
88,67
1
A. Dosa Besar
2
B. Dosa Sedang
3
2
3
C. Dosa Kecil
0
0
4
Abstain
14
9,33
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Seperti ditunjukkan pada tabel 11 ternyata mayoritas responden 133 atau 88,67 % menjawab pelacuran termasuk dosa besar, sedangkan dosa sedang hanya 3 responden atau 2 %, dan yang tidak menjawab 14 responden atau 9,33 % karena responden tersebut Non-muslim. Tabel 12 Deskripsi Jawaban Responden Tentang Apakah Dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan Al-sunnah Terdapat Ayat Yang Menjelaskan Hukum Tentang Pelarangan Pelacuran
No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Ya, Ada
124
82,67
2
B. Tidak ada
1
0,67
3
C. Tidak tahu
5
3,33
4
Abstain
20
13,33
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Dari responden yang mengetahui dalam kitab suci Al-Qur’an dan Al-sunnah terdapat ayat tentang pelarangan pelacuran mencapai 124 responden atau 82,67 %, dan yang menjawab tidak ada hanya 1 responden atau 0.67 %, sedangkan yang tidak tahu 5 responden atau 3,33 %, dan yang sama sekali tidak menjawab sebanyak 20 responden atau 13,33 % dikarenakan sebagian responden ada yang Non-Muslim Tabel 13 Deskripsi Jawaban Responden Tentang Apakah Ada Peraturan Selain AlQur’an Al-Sunnah Yang Melarang Pelacuran. No
Alternatif Jawaban
F
%
123
82
1
A. Ada
2
B.Tidak ada
2
1,33
3
C. Tidak tahu
6
4
4
Abstain
19
12,67
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Jawaban responden tentang adanya peraturan selain Al-Qur’an dan Al-sunnah yang melarang pelacuran sebanyak 123 responden atau 82 % dan yang menjawab tidak ada 2 responden atau 1,33 %, sedangkan yang tidak tahu 6 responden atau 4 %, dan yang tidak menjawab sama sekali sebanyak 19 responden atau 12,67 %. Tabel 14 Deskripsi Jawaban Responden Tentang Apakah Dalam Hukum Pidana Mengatur Tentang Pelacuran No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Ya, Mengatur
133
88,67
2
B. Tidak
10
6,67
3
C. Tidak tahu
5
3,33
4
Abstain
2
1,33
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Pengetahuan masyarakat tentang adanya Hukum Pidana yang mengatur tentang pelacuran sebesar 88,57 % (133) responden, sedangkan yang menjawab tidak mengatur 10 responden (6,67 %), selebihnya yang menjawab tidak tahu ada 5 responden (3,33 % ), dan yang sama sekali tidak menjawab 2 responden atau 1,33 %. Tabel 15
Deskripsi Jawaban Responden Tentang Apakah Ada Peraturan selain dalam Hukum Pidana Yang Melarang Pelacuran No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Ada
119
79,33
2
B. Tidak ada
12
8
3
C. Tidak tahu
19
12,67
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Jawaban responden tentang adanya peraturan selain dalam Hukum Pidana yang melarang pelacuran, 79,33 % atau 119 responden menjawab ada, 8 % atau 12 responden menjawab tidak ada dan 19 responden atau 12,67 % tidak tahu. Dengan demikian mayoritas responden tahu adanya peraturan selain dalam Hukum Pidana yang melarang pelacuran. Tabel 16 Deskripsi Jawaban Responden Tentang Bentuk Peraturan Selain Dalam Hukum Pidana Yang Melarang Pelacuran No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Peraturan Daerah
120
80
2
B. Peraturan Pemerintah
7
4,67
3
C. Tidak tahu
14
9,33
4
Abstain
9
6
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Pengetahuan responden tentang peraturan selain dalam hukum pidana yang mengatur tentang pelarangan pelacuran, yaitu 80 % atau 120 orang menjawab Peraturan Daerah, sedangkan 4,67 % atau 7 orang menjawab peraturan pemerintah, dan responden yang tidak tahu 9,33 % atau 14 orang, responden yang tidak menjawab 6 % atau 9 orang. Tabel 17 Deskripsi Jawaban Responden Tentang Isi Peraturan Yang Melarang Pelacuran No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Tahu
79
52,67
2
B. Kurang tahu
59
39,33
3
C. Tidak tahu
11
7,33
4
Abstain
1
0,67
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Tabel diatas menunjukkan pengetahuan tentang isi perda yang melarang pelacuran di Kota Tangerang, 52,67 % atau 79 orang menjawab tahu, responden yang kurang tahu 39,33 % atau 59 orang, sedangkan responden yang tidak tahu hanya 7,33 % atau 11 orang, dan yang tidak menjawab 0,67 % atau 1 orang.
Tabel 18 Deskripsi Jawaban Responden Tentang Apakah Perda Itu Melanggar HAM Terutama Perempuan No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Ya, Melanggar
32
21,33
2
B. Tidak melanggar
100
66,67
3
C. Tidak tahu
18
12
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Jawaban responden tentang apakah perda melanggar HAM terutama perempuan, 21,33 % atau 32 orang menjawab ya, melanggar, sedangkan jawaban tidak melanggar sebanyak 66,67 % atau 100 orang, dan responden yang tidak tahu hanya 12 % atau 18 orang. Tabel 19 Deskripsi Jawaban Responden Tentang Alasan Jika Perda Itu Melanggar HAM No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Karena, membatasi
18
12
2
B. Karena mencurigai
28
18,67
3
C. Tidak tahu
27
18
4
D. Abstain
77
51,33
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Keterangan : A. Karena membatasi waktu beraktifitas perempuan pada malam hari B. Karena mencurigai dan menangkap perempuan ditempat umum, karena diduga pelacur C. Tidak tahu D. Tidak menjawab
Alasan tentang apakah perda itu melanggar HAM, karena membatasi waktu beraktifitas perempuan pada malam hari dijawab responden 12 % atau 18 orang, dan alasan Karena mencurigai dan menangkap perempuan ditempat umum, karena diduga pelacur 18,67 % atau 28 orang, sedangkan responden yang tidak tahu 18 % atau 27 orang, dan responden yang tidak menjawab sama sekali sebanyak 51,33 % atau 77 orang, jadi lebih dari setengah dari responden tidak menjawab sama sekali, karena perda itu tidak melanggar HAM. D. Respon Afektif (Sikap)
Masyarakat tentang Peraturan Daerah Kota
Tangerang tentang Pelarangan Pelacuran. Tabel 20 Deskripsi jawaban responden ” Apakah responden tahu adanya peraturan daerah terkait dengan pelarangan pelacuran “ No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Tahu
124
82.67
2
B.Kurang Tahu
18
12
3
C.Tidak Tahu
8
5,33
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Tabel diatas menunujukkan bahwa adanya Peraturan Daerah tentang pelarangan pelacuran diwilayah mereka, maka mayoritas responden mengetahui adanya perda tersebut, hal ini ditunjukkan dengan 82,67 %, sedangkan yang kurang tahu 12 %, dan yang tidak tahu hanya 5,33 % responden. Tabel 21 Deskripsi Jawaban Responden tentang Sejak Kapan Responden mengetahui adanya Peraturan Daerah No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. 6 bulan lalu
14
9,33
2
B. 1 Tahun lalu
41
27,33
3
C. 2-3 Tahun lalu
79
52,67
4
Abstain
16
10,67
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Adapun responden mengetahui adanya perda yaitu 9,33 % responden tahu sejak 6 bulan lalu, sedangkan 27,33 % sejak 1 tahun lalu, dan 52,67 % sejak 2-3 tahun lalu, dan yang tidak menjawab 10,67 %. Tabel 22
Deskripsi Jawaban Responden tentang Dari Mana Responden Mengetahui Peraturan Daerah Tentang Pelarangan Pelacuran
No
Alternatif Jawaban
F
%
1
25
16,67
2
A. Baca langsung Perdanya B. Dari Media
71
47,33
3
C. Aparat Pemerintah
45
30
4
Abstain
9
6
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Tabel 22 menggambarkan dari mana responden mengetahui adanya perda tersebut, dari baca langsung perdanya hanya 25 orang atau 16,67 %, sedangkan dari media mencapai 47,33 % atau 71 orang, dan dari aparat pemerintah 45 orang atau 30 %, dan yang tidak menjawab 6 % atau 9 orang. Jadi jelas bahwa media sangat dominan dalam operasionalisasi pelaksanaan perda tentang pelarangan pelacuran. Tabel 23 Deskripsi Jawaban Responden tentang Sejak Kapan Peraturan Daerah Tentang Pelarangan Pelacuran Diberlakukan No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. 1 tahun lalu
16
10,67
2
B. 2 Tahun Lalu
48
32
3
C. >3 Tahun lalu
48
32
4
Abstain
38
25,33
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Jawaban responden tentang sejak diberlakukannya perda tentang pelarangan pelacuran di Kota Tangerang, yaitu 10,67 % sejak 1 tahun lalu, sedangkan 2 tahun lalu 32 % atau 48 orang, dan sejak >3 tahun lalu juga sebanyak 32 % atau 48 orang, dan yang tidak menjawab 25,33 % atau 38 orang. Tabel 24 Deskripsi Jawaban Responden tentang Keberadaan Perda No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Tahu
98
65,34
2
B. Kurang tahu
41
27,33
3
C. Tidak tahu
11
7,33
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Jawaban responden tentang keberadaan perda tentang pelarangan pleacuran, lebih dari setengah responden atau 65,34 % atau 98 orang tahu keberadaan perda tersebut, sedangkan yang kurang tahu 27,33 % atau 41 responden, dan yang tidak tahu 7,33 % atau 11 orang.
Tabel 25 Deskripsi Jawaban Responden tentang Isi Perda No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Aturan tentang
90
60
2
B. Aturan tentang
8
5,33
3
C. Keduanya Benar
28
18,67
4
D. Abstain
24
16
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Keterangan : A. Aturan tentang pelarangan pelacuran B. Aturan tentang larangan bermesraan dan berpelukan atau berciuman yang mengarah pada hubungan seksual di tempat umum. C. Keduanya benar D. Tidak menjawab sama sekali
Deskripsi jawaban responden tentang isi perda tentang pelarangan pelacuran di Kota Tangerang, 60 % atau 90 orang menjawab aturan tentang pelarangan pelacuran, sedangkan 5,33 % atau 8 orang menjawab aturan tentang larangan bermesraan dan berpelukan atau berciuman yang mengarah pada hubungan seksual ditempat umum, dan yang menjawab keduanya yaitu A dan B 18,67 % atau 28 orang, dan yang tidak menjawab 16 % atau 24 orang.
Tabel 26 Deskripsi Jawaban Responden tentang Apakah Dengan Adanya Perda Bisa Mengurangi Adanya Pelacuran No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Bisa
129
86
2
B. Tidak Bisa
11
7,33
3
C. Tidak tahu
10
6,67
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Dengan adanya perda apaka bisa mengurangi adanya pelacuran di Kota Tangerang? 86 % atau 129 orang menjawab bisa, sedangkan 7,33 % atau 11 orang menjawab tidak bisa, dan yang tidak tahu hanya 6,67 % atau 10 orang. Tabel 27 Deskripsi Jawaban Responden tentang Tindakan Apa Yang Harus Dilakukan Pemda Kota Tangerang Untuk Melaksanakan Perda No 1
Alternatif Jawaban A. Mengadakan Razia terhadap pelacur
F
%
129
86
2
9
6
3
B. Mengadakan lokalisasi terhadap pelacur C. Tidak tahu
11
7,33
4
Abstain
1
0,67
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Tindakan yang harus dilakukan Pemda Kota Tangerang untuk melaksanakan perda yaitu mengadakan razia terhadap pelacur sebanyak 86 % atau 129 orang, dan mengadakan lokalisasi terhadap pelacur hanya 6 % atau 9 orang, sedangkan yang tidak tahu 11 orang atau 7,33 %, dan hanya 1 orang atau 0,67 % yang tidak menjawab. Tabel 28 Deskripsi Jawaban Responden tentang Sikap Responden Terhadap Adanya Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 No
Alternatif Jawaban
F
%
146
97,34
1
A. Setuju
2
B. Tidak setuju
2
1,33
3
C. Tidak tahu
2
1,33
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008
Sikap responden terhadap perda tentang pelarangan pelacuran, hampir seluruhnya atau 97,34 % atau 146 orang dari 150 orang menjawab setuju, sedangkan yang tidak setuju 1,33 % atau 2 orang, da yang tidak tahu juga 2 orang atau 1,33 %. Tabel 29 Deskripsi Jawaban Responden tentang Sikap Responden Dengan Adanya Lokalisasi Pelacuran No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Setuju
38
25,33
2
B. Tidak setuju
106
70,67
3
C. Tidak tahu
6
4
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Sikap reponden terhadap adanya lokalisasi pelacuran 25,33 % orang setuju, sedangkan 70,67 % tidak setuju, dan 4 % atau 6 orang tidak tahu. Tabel 30 Deskripsi Jawaban Tentang Sikap Responden Terhadap Seseorang yang Dianggap Pelacur, Apabila Dilihat Dari Sikap Dan Perilakunya Mencurigakan,Hanya Didasarkan Pada Prasangka Dan Kecurigaan No 1
Alternatif Jawaban A. Boleh
F
%
31
20,67
2
B. Tidak boleh
115
76,67
3
C. Tidak tahu
4
2,66
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Sikap responden terhadap anggapan bahwa orang bisa dianggap pelacur apabila dilihat dari sikap dan perilakunya yang mencurigakan, dan hanya didasarkan pada prasangka dan kecurigaan para petugas, 20,67 % menjawab boleh, sedangkan 76,67 % menjawab tidak boleh, dan yang tidak tahu 2,66 %. Tabel 31 Deskripsi Jawaban tentang Sikap Responden Dengan Adanya Perda Itu Maka Membatasi Waktu Beraktifitas Perempuan Dimalam Hari No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Mendukung
57
38
2
B. Tidak mendukung
84
56
3
C. Tidak tahu
7
4,67
4
Abstain
2
1,33
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Sikap responden terhadap adanya perda, maka membatasi perempuan beraktifitas perempuan pada malam hari, 38 % atau 57 orang yang mendukung, sedangkan yang
tidak mendukung 56 % atau 84 orang dengan pernyataan tersebut, dan yang tidak tahu 4,67 % atau 7 orang, dan yang tidak menjawab 1,33 % atau 2 orang.
Tabel 32 Deskripsi Jawaban tentang Sikap Responden Apabila Razia Penangkapan Pelacuran Terhadap Perempuan Yang Terlibat Pelacuran No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Setuju
71
47,33
2
B. Tidak setuju
75
50
3
C. Tidak tahu
3
2
4
Abstain
1
0,67
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Tabel 32 menunjukkan bahwa apabila razia penangkapan pelacuran hanya terhadap pelaku pelacuran, 47,33 % atau 71 orang menjawab setuju, sedangkan 50 % atau 75 orang menjawab tidak setuju, dan tidak tahu hanya 2 % atau 3 orang, sedangkan 1 orang atau 0,67 % tidak menjawab. Tabel 33 Deskripsi Jawaban tentang Sikap Responden Apabila Razia Penangkapan Pelacuran Terhadap Lelaki Hidung Belang No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Setuju
144
96,67
2
B. Tidak setuju
3
2
3
C. Tidak tahu
2
1,33
4
Abstain
1
0,67
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Mayoritas Responden setuju apabila razia penangkapan pelacuran terhadap lakilaki hidung belang ini dibuktikan dengan prosentase yaitu, 96,67 % atau 144 orang, sedangkan yang tidak setuju 2 % atau 3 orang, dan yang tidak tahu 2 orang atau 1,33 %, dan yang tidak menjawab 1 orang atau 0,67 %. Tabel 34 Deskripsi Jawaban tentang Sikap Responden Apabila Razia Penangkapan Pelacuran Terhadap Mucikari No
Alternatif Jawaban
F
%
144
96,67
1
A. Setuju
2
B. Tidak setuju
1
0,68
3
C. Tidak tahu
4
2,67
4
Abstain
1
0,68
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008
Mayoritas Responden setuju apabila razia penangkapan pelacuran terhadap mucikarinya ini dibuktikan dengan prosentase yaitu, 96,67 % atau 144 orang, sedangkan 0,67 % atau 1 orang yang tidak setuju, dan yang tidak tahu 4 orang atau 2,67 %, dan yang tidak menjawab 1 orang atau 0,67 %. Tabel 35 Deskripsi Jawaban tentang Sikap Responden Dengan Adanya Perda No. 8/2005 Tentang Pelarangan Pelacuran, Mencurigai Perempuan Ditempat Umum Pada Malam Hari Karena Diduga Pelacur No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Setuju
16
10,67
2
B. Tidak setuju
127
84,66
3
C. Tidak tahu
6
4
4
Abstain
1
0,67
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Tabel 35 Menggambarkan responden yang menyetujui dengan adanya perda maka mencurigai perempuan dimalam hari diduga pelacur adalah sebanyak 10,67 %, dan hampir seluruh responden yang tidak setuju adalah 84,66 %, sebagian responden 4 % tidak tahu, dan hanya 0,67 % reponden yang tidak menjawab. Tabel 36
Deskripsi Jawaban Responden tentang Hukuman Yang Pantas Diberikan Terhadap Pelaku Pelacuran No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Dipenjarakan
36
24
2
B. Didenda
22
14,67
3
C. Keduanya benar
92
61,33
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Orang yang melakukan pelacuran diberikan hukuman yang pantas menurut jawaban responden yaitu dipenjarakan sebagian kecil responden menjawab 24 %, sedangkan yang menjawab di denda hanya 14,67 %, dan lebih dari setengah reponden menjawab keduanya benar (dipenjarakan dan didenda) yaitu 61,33 %. Tabel 37 Deskripsi Jawaban Responden tentang Hukuman Yang Pantas Diberikan Terhadap Laki-Laki Hidung Belang No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Dipenjarakan
27
18
2
B. Didenda
30
13,33
3
C. Keduanya benar
78
52
4
Absatain
15
10
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Adanya pelaku pelacuran, karena adanya laki-laki hidung belang, adapun jawaban responden tentang hukuman yang pantas bagi mereka yaitu 18 % menjawab dengan dipenjarakan, dan sebagian kecil menjawab didenda yaitu 13,33 %, sedangkan lebih dari setengahnya responden menjawab dengan dipenjarakan dan didenda yaitu 52 %, sedangkan yang tidak menjawab hanya 10 %. Tabel 38 Deskripsi Jawaban Responden Tentang Hukuman Yang Pantas Diberikan Terhadap Mucikari No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Dipenjarakan
22
14,67
2
B. Didenda
16
10,67
3
C. Keduanya benar
112
74,66
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Selain laki-laki hidung belang maka praktek pelacuran juga didukung oleh mucikari sebagai penghubung praktek pelacuran, mereka juga harus dikenakan hukumann, adapun jawaban responden tentang hukuman yang pantas diberikan kepada mucikari yaitu 14,67 % menjawab dipenjarakan, hukuman denda 10,67 %,
sedangkan sebagian besar responden menjawab dipenjarakan dan didenda (keduanya benar) yaitu 74,66 %. Tabel 39 Deskripsi Jawaban Responden tentang Apakah Adil Jika Pelaku Pelacuran Dihukum Penjara 3 Bulan/Denda Sebesar Rp.15.000.000 No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Adil
113
75,33
2
B. Tidak Adil
31
20,67
3
C. Tidak tahu
4
2,67
4
Abstain
2
1,33
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Orang yang melakukan praktek pelacuran dihukum penjara paling lama 3 bulan atau denda 15.000.000 menurut responden dinyatakan adil 75,33 % atau 113 orang, tidak adil 20,67 % atau 31 orang dan tidak tahu 2,67 % atau 4 orang, dan yang tidak menjawab 1,33 % atau 2 orang. Jadi mayoritas responden menyatakan adil terhadap orang yang melakukan pelacuran. Tabel 40 Deskripsi Jawaban Responden Tentang Apakah Perda Tersebut Harus Ditaati No 1
Alternatif Jawaban A. Setuju
F
%
145
96,67
2
B. Tidak setuju
2
1,33
3
C. Tidak tahu
0
0
4
Abstain
3
2
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Tabel 40 menunjukkan responden yang menyetujui bahwa perda tentang pelarangan pelacuran harus ditaati adalah hampir seluruhnya 96,67 %, sedangkan yang tidak setuju ada 1,33 %, sedangkan yang tidak menjawab 2 % atau 3 orang. E. Respon Masyarakat terhadap Perda tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang Kuesioner tentang respon (tanggapan) masyarakat terhadap keberadaan Perda No. 8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran terdapat 14 item pertanyaan. Pilihan jawaban sudah tersedia dan responden diberi peluang untuk menjawab sesuai keinginannya sendiri. Dari hasil kuesioner yang diberikan penulis dan dijawab oleh 150 jiwa (responden) adalah datanya sebagai berikut: Tabel 41 Deskripsi Jawaban Responden Apakah Ada Pelaku Pelacuran Di Lingkungan Responden No 1
Alternatif Jawaban A. Ada
F
%
17
11,33
2
B. Tidak ada
121
80,67
3
C. Tidak tahu
12
8
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Respon masyarakat terhadap pelaku pelacuran yang ada di lingkungan responden, yang menjawab ada 11,33 % atau 17 orang, sedangkan yang menjawab tidak ada, 121 orang atau 80,67 %, dan yang tidak tahu 12 orang atau 8 %. Jadi, mayoritas responden menjawab bahwa dilingkungannya tidak ada pelaku pelacuran. Tabel 42 Deskripsi Jawaban Respon Tentang Bagaimana Pandangan Responden Terhadap Pelaku Pelacuran No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Tidak pantas
86
57
2
B. Biasa-biasa aja
38
25,33
3
C. Tidak tahu
6
4
4
Abstain
20
13,34
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Tabel 42 menunjukkan tentang pandangan responden terhadap pelaku pelacuran, yang menjawab tidak pantas 57 % atau 86 orang, dan yang menjawab
biasa-biasa saja 25,33 % atau 38 orang, sedangkan yang tidak tahu 4 % atau 6 orang, dan yang tidak menjawab 20 orang atau 13,34 %. Tabel 43 Deskripsi Jawaban Tentang Sikap Responden Bilamana Dilingkungannya Ada Pelaku Pelacuran No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Menasehati
96
64
2
B. Membiarkannya
45
30
3
C. Tidak tahu
4
26,67
4
Abstain
5
3,33
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Tabel 24 menunjukkan gambaran lebih dari setengahnya yaitu 64 % atau 96 orang dengan menasehati, sedangkan yang membiarkannya 45 orang atau 30 %, dan yang tidak tahu 4 orang atau 26,67 %, dan yang tidak menjawab 5 orang atau 3,33 %. Tabel 44 Deskripsi Jawaban Responden Tentang Bagaimana Dampak Yang Akan Ditimbulkan Dari Pelacuran Terhadap Masyarakat No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Menyebabkan
30
20
2
B. Menimbulkan
17
11,33
3
C. Keduanya benar
4
D. Abstain Jumlah
103
68,67
0
0
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Keterangan : A. B. C. D.
Menyebabkan rusaknya Moral, susila, hukum dan agama Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kulit dan kelamin Keduanya benar Tidak menjawab
Jawaban Respon masyarakat terhadap dampak yang ditimbulkan dari pelacuran terhadap masyarakat, yaitu menyebabkan rusaknya moral, susila, hukum dan agama yaitu 30 orang atau 20 %, dan menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kulit dan kelamin 11,33 % atau 17 orang, dan hampir seluruhnya responden (68,67 %) atau 103 orang yang menyatakan dengan jawaban keduanya benar. Tabel 45 Deskripsi Jawaban Tentang Apakah Masyarakat Bisa Menerima Jika Ada Praktek Pelacuran Dilingkungannya No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Bisa menerima
18
12
2
B. Tidak menerima
131
87,33
3
C. tidak tahu
1
0,67
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008
Tabel 45 menunjukkan gambaran bahwa apakah masyarakat bisa menerima jika ada praktek pelacuran dilingkungannya adalah responden yang menjawab bisa menerima hanya (18 %), sedangkan mayoritas responden
yang tidak menerima
adalah sebanyak (87,33 %), dan sisanya (0,67 %) adalah tidak tahu. Tabel 46 Deskripsi Jawaban Responden Tentang Respon Bila Perbuatan Pelacuran Dilarang No
Alternatif Jawaban
F
%
145
96,67
1
A. Ia, sependapat
2
B. Tidak sependapat
5
3,33
3
C. Tidak tahu
0
0
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Tabel 46 menunjukkan tentang respon bila perbuatan pelacuran itu dilarang, 145 orang atau 96,67 % menjawab ia, sependapat, sisanya 3,33 % atau 5 orang yang tidak sependapat. Tabel 47 Deskripsi Jawaban Responden Tentang Alasan Responden Jika Pelacuran Itu Dilarang No
Alternatif Jawaban
F
%
1
3
A. Karena melanggar hukum dan agama B. Karena mengganggu ketertiban lingkungan C. Keduanya benar
4
2
35
23,33
20
13,33
94
64,67
Abstain
1
0,67
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Tabel 47 menunjukkan tentang alasan responden jika pelacuran itu dilarang, adapun jawaban Karena melanggar hukum dan agama yaitu 35 orang atau 23,33 %, dan yang menjawab karena mengganggu ketertiban lingkungan 13,33 % atau 20 orang, sedangkan lebih dari setengahnya responden menjawab (keduanya benar) Karena melanggar hukum dan agama dan karena mengganggu ketertiban lingkungan sebanyak 94 orang atau 64,67 %. 1 orang atau 0,67 % tidak memberikan jawaban. Tabel 48 Deskripsi Jawaban Responden Tentang Bagaimana Cara Menanggulangi Pelacuran Di Kota Tangerang No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Membuat suatu peraturan tentang pelarangan pelacuran B. Mengadakan razia dan menangkap langsung pelaku pelacuran C. Keduanya benar
20
13,33
26
17,33
104
69,34
2
3
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Cara menanggulangi pelacuran di Kota Tangerang, yaitu dengan membuat suatu peraturan tentang pelarangan pelacuran mencapai 13,33 % atau 20 orang dari jawaban responden dan 17,33 % atau 26 orang harus mengadakan razia dan menangkap langsung pelaku pelacuran, sedangkan mayoritas responden yang menjawab keduanya benar adalah 104 orang atau 69,34 %. Tabel 49 Deskripsi Jawaban Responden Tentang Tindakan Responden Jika Melihat Praktek Pelacuran No
Alternatif Jawaban
F
%
75
50
2
A. Melaporkannya kepada pihak yang terkait B. Membiarkannya
59
39,33
3
C. Tidak tahu
16
10,67
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
1
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Tindakan yang akan dilakukan oleh responden jika melihat praktek pelacuran, melaporkannya kepada pihak yang terkait hingga mencapai 50 % atau 75 orang,
sedangkan 39,33 % atau 59 orang membiarkannya dan 10,67 % atau 16 orang yang menjawab tidak tahu. Tabel 50 Deskripsi Jawaban Responden Tentang Apa Dampak Setelah Adanya Perda Tersebut
No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Positif
134
89,33
2
B. Negatif
14
9,34
3
C. Tidak tahu
2
1,33
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Tabel 50 menunjukkan bahwa dampak setelah adanya perda, mayoritas responden menjawab positif yaitu sebanyak 134 orang atau 89,33 %, sedangkan 9,34 % atau 14 orang menjawab negatif dan 1,33 % atau 2 orang yangmenjawab tidak tahu. Tabel 51 Deskripsi Jawaban Tentang Pendapat Responden Apabila Pelaku Pelacuran Harus Dihukum Setimpal Karena Telah Melanggar Perda No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Sependapat
147
98
2
B. Tidak sependapat
1
0,67
3
C. Tidak tahu
2
1,33
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Pelaku pelacuran harus dihukum yang setimpal karena telah melanggar perda, hampir seluruhnya responden menjawab sependapat yaitu 98 % atau 147 orang, sedangkan responden yang tidak sependapat hanya 1 orang atau 0,67 % dan 1,33 % atau 2 orang yang memberikan jawaban tidak tahu. Tabel 52 Deskripsi Jawaban Responden Tentang Adanya Isu Salah Tangkap Yang Dilakukan Aparat Tramtib Terhadap Pelacuran No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Pernah
105
70
2
B. Tidak pernah
36
24
3
C. Tidak tahu
9
6
4
Abstain
0
0
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008
Jawaban responden tentang adanya isu salah tangkap yang dilakukan aparat tramtib terhadap pelacuran, 105 orang atau 70 % menjawab pernah, 24 % atau 36 orang menjawab tidak pernah dan 6 % atau 9 orang memberika jawaban tidak tahu. Tabel 53 Deskripsi Jawaban Responden Tentang Respon Masyarakat Terhadap Tindakan Aparat Tramtib Yang Telah Tertangkap Dan Dimasukkan Ke Panti Rehabilitasi No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Menerima
140
93,33
2
B. Tidak menerima
4
2,67
3
C. Tidak tahu
5
3,33
4
Abstain
1
0,67
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Tabel 53 menunjukkan gambaran bahwa respon masyarakat terhadap tindakan aparat tramtib yang telah tertangkap dan dimasukkan ke panti rehabilitasi, hampir seluruh responden menjawab menerima yaitu 93,33 %, dan 2,67 % responden tidak menerima terhadap tindakan aparat tramtib, sedangkan 3,33 % responden tidak tahu, dan yang tidak menjawab hanya 0,67 %. Tabel 54
Deskripsi Jawaban Tentang Respon Masyarakat Terhadap Cara Pemerintah Mensosialisasikan Perda No.8 /2005 No
Alternatif Jawaban
F
%
1
A. Sependapat
147
98
2
B. Tidak sependapat
0
0
3
C. Tidak tahu
2
1,33
4
Abstain
1
0,67
Jumlah
150
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2008 Tabel 54 menunjukkan gambaran persentase jawaban responden yang menjawab sependapat dengan cara Pemerintah Daerah mensosialisasikan Perda No.8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran adalah 98 % atau 147 responden, dan sisanya responden 1,33 % menyatakan tidak tahu, dan yang tidak memberikan menjawab hanya 0,67 %. F. Analisis Data Setelah penulis menyebarkan angket tentang Respon Masyarakat Kota Tangerang terhadap Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran, khususnya terhadap masyarakat Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh. Ternyata yang menanggapi angket tersebut sebanyak 150 orang yang terdiri dari 83 Laki-laki (55,33 %) dan 67 perempuan (44,67 %).
Dari 150 responden yang memberikan data pada penulis sebagian besar (didominasi) oleh kaum laki-laki yang rata-rata berpendidikan SLTP/SLTA yang sebagian besar dari mereka sudah menikah. Mengenai pengetahuan masyarakat terhadap pelacuran, pada umumnya mereka mengetahuinya dari baca buku/media 119 orang (79,33 %), dari aparat pemerintah 29 orang (19,33 %), sedangkan hanya 1 orang (0,67 %) yang tidak tahu dan 1 orang (0,67 %) yang tidak memberikan jawaban. Dan bentuk dari pelacuran yaitu hubungan seksual diluar pernikahan yang dilakukan oleh pria atau wanita, ditempat hiburan, lokasi pelacuran, ataupun ditempat-tempat lain dengan tujuan mendapatkan imbalan jasa/pembayaran. Masyarakat mengetahui bahwa perbuatan pelacuran itu melanggar hukum, dan dilarang oleh ajaran agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Sebagian besar masyarakat (responden) yaitu mencapai 88,57 % (133) responden mengetahui adanya aturan lain yang melarang tentang pelacuran yaitu terdapat dalam hukum pidana. Mayoritas masyarakat mencapai 80 % (120) responden juga mengetahui adanya peraturan daerah yang mengatur tentang pelarangan pelacuran yang ada di Kota Tangerang dan mereka mengetahuinya dari media. Mayoritas masyarakatpun (responden) yaitu hingga mencapai 52,67 % (79) responden mengetahui tentang isi yang terdapat dalam perda tentang pelarangan pelacuran. Adapun isi dalam perda tersebut tidak melanggar HAM terutama kaum perempuan. Yang dibuktikan dengan mayoritas responden yang tidak memberikan
alasan jika perda melanggar HAM yaitu sebanyak 77 orang atau 51,33 %, sedangkan yang beralasan karena membatasi waktu beraktivitas perempuan dimalam hari hanya 18 orang atau 12 %, dan karena mencurigai dan menangkap perempuan ditempat umum, karena diduga pelacur 28 orang atau 18,67 % dan 27 orang atau 18 % tidak memberikan jawaban. Jadi mayoritas masyarakat mengetahui bahwa perda No. 8 Tahun 2005 tentang pelarangan Pelacuran tidak melangar HAM terutama kaum perempuan. Dengan adanya Perda tentang pelarangan pelacuran yang ada di Kota Tangerang dianggap bisa mengurangi praktek pelacuran yang ada di Kota Tangerang. Adapun tindakan yang harus dilakukan Pemda Kota Tangerang untuk melaksanakan Perda tersebut yaitu dengan adanya razia terhadap pelacur. Adapun masyarakat yang mendukung razia terhadap praktek pelacuran yaitu sebanyak 86 % (129) responden. Mayoritas responden setuju jika penangkapan praktek pelacuran tidak hanya terhadap perempuan yang terlibat dalam pelacuran tetapi juga harus terhadap laki-laki hidung belang dan terhadap mucikarinya atau germo. Prosentase responden yang setuju penangkapan terhadap laki-laki hidung belang mecapai 96,67 % (144) responden, sedangkan penangkapan yang dilakukan terhadap mucikari sebanyak 144 responden atau mencapai 96,67 %. Masyarakatpun tidak menerima jika dilingkungannya ada praktek pelacuran dan mereka menganggap bahwa pelacuran itu dilarang, mengingat pelacuran itu melanggar hukum dan agama, dan menggangu ketertiban lingkungan.
Mayoritas masyarakat setuju yaitu mencapai 104 responden (69,34 %) jika dalam penanggulangan pelacuran di Kota Tangerang dengan cara membuat suatu peraturan tentang pelarangan pelacuran dengan mengadakan razia dan menangkap langsung pelaku pelacuran, karena mereka menganggap bahwa dengan adanya Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran akan membawa dampak positif terhadap masyarakat yang dibuktikan dengan prosentase sebanyak 134 responden (89,33 %) Mayoritas masyarakat sebanyak 98 % (147) responden sependapat apabila pelaku pelacuran harus mendapat hukuman yang sesuai dengan Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Dan mayoritas masyarakat yaitu sebanyak 140 responden (93,33 %) juga bisa menerima dengan tindakan petugas Tramtib terhadap pelaku pelacuran yang telah ditangkap, lalu dimasukkan ke panti rehabilitasi, Hal ini sebagaimana yang penulis temukan bahwa pelaku pelacuran harus mendapatkan pembinaan agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi. Menurut mayoritas masyarakat
yang penulis temukan (khususnya di
Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh), yaitu sebanyak 147 responden (98 %) sependapat jika aparat pemerintah harus mensosialisasikan Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ini dengan intensif agar mesyarakat mengetahui dan memahami isi Perda ini dan sanksi terhadap pelanggar Perda tersebut, dan agar tidak terdapat multitafsir didalam setiap pasal-pasal yang ada dalam Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan teori yang penulis paparkan pada bagian terdahulu, dan hasil wawancara serta pengisian angket tentang respon masyarakat Kota Tangerang terhadap Perda No. 8 Tahun 2005 tetang Pelarangan Pelacuran maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal: 1. Perda merupakan sebuah instrumen regulasi yang hadir di tengah sebuah komunitas. Sebuah perda lahir karena dorongan inisiatif pemerintahan dan tekanan masyarakat setempat yang disampaikan melalui musyawarah bersama aparat pemerintah dan pejabat setiap Kecamatan dalam bentuk usulan suatu peraturan tentang pelarangan pelacuran. Yang dianggap perlu untuk diregulasi demi kesejahteraan dan keamanan masyarakat Kota Tangerang. Tepatnya pada tanggal 18 Nopember 2005 dalam usia ke-13, Pemerintah Kota Tangerang menetapkan peraturan mengenai hal tersebut yaitu Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Dengan tujuan bisa mengurangi bisa mengurangi adanya praktek pelacuran yang ada di Kota Tangerang. 2. Pengetahuan masyarakat terhadap adanya Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran, sebagian besar masyarakat (responden) mengetahui
adanya aturan lain yang melarang tentang pelacuran yaitu terdapat dalam hukum pidana. Mayoritas masyarakat juga mengetahui adanya peraturan daerah yang mengatur tentang pelarangan pelacuran yang ada di Kota Tangerang dan mereka mengetahuinya dari media. Mayoritas masyarakatpun (responden) mengetahui tentang isi yang terdapat dalam perda tentang pelarangan pelacuran. Adapun isi dalam perda tersebut tidak melanggar HAM terutama kaum perempuan. 3. Masyarakat Kota Tangerang (khususnya di Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh) sependapat jika aparat pemerintah berkewajiban mensosialisasikan
Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang
Pelarangan Pelacuran ini dengan intensif agar masyarakat mengetahui dan memahami isi Perda ini. Begitu juga, agar masyarakat mengetahui sangsi yang dikenakan bagi pelanggar Perda tersebut, sehingga tidak terdapat multitafsir di dalam setiap pasal-pasal yang ada dalam Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. B. Saran-saran 1. Ada beberapa point tugas untuk Negara yang perlu menjadi perhatian utama sebagai upaya untuk mencegah warganya agar tidak terjerumus ke dalam praktek pelacuran; Pertama, Negara harus memberikan jaminan sosial agar seluruh warganya dapat hidup layak. Kedua, Negara harus menindak tegas praktik perdagangan manusia (trafficking), khusunya perdagangan terhadap anak-anak yang akan dipekerjakan sebagai pelacur. Ketiga, perlunya
penanaman nilai-nilai moral dan agama kepada setiap warganya. Keempat, perlunya memperkuat ikatan kehidupan keluarga yang harmonis. Bila ternyata pelacuran belum bisa dihapuskan maka dengan cara untuk mencegah agar pelacuran tidak semakin meningkat yaitu dengan cara adanya peraturan daerah yang mengatur tentang pelarangan pelacuran, diharapkan dapat mengurangi praktek pelacuran. 2. Kesejahteraan umat merupakan tanggung jawab bersama, sehingga setiap warga harus lebih peka dengan kondisi sosial disekitarnya. Hal ini sebagai langkah dini untuk pencegahan segala hal-hal yang menyimpang baik dari hukum, norma, maupun agama. Ketertiban yang telah terjaga mulai dari bagian masyarakat yang terkecil akan mempengaruhi ketertiban bangsa secara umum. 3. Demi terlaksananya Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan pelacuran, masyarakat diharapkan mematuhi berbagai aturan hukum yang diciptakan oleh pihak pemerintah agar tujuan dan upaya pencegahan terhadap praktek-praktek pelacuran dapat terwujud dan terealisasikan, sehingga jiwa manusia terutama generasi muda bangsa yang terancam akibat praktek pelacuran dapat terjaga dan terselamatkan.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an Al-karim Abdul Ghafar, Asyhari, Pandangan Islam tentang zina dan perkawinan sesudah hamil, Jakarta:Andes Utama, 1996 Al-Hajjaz, Muslim, ibn, Shahih Muslim, ttp: Dar al-Fikr, tth, juz ke-3 Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998, Edisi Revisi IV, Cet ke-11 Ath-Thawiil, Usman, Ajaran Islam tentang fenomena seksual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997, cet-1 Aripin, Jaenal, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008 Akhmad, Chairil, Orang Kerdil Takut Islam Besar,artikel diakses pada 10 agustus 2008
dari
http://www.mail-
archive.com/
[email protected]/msg39478.html Bapeda (Badan Pemerintahan Daerah) Kota Tangerang, Penyusunan Profil Daerah Kota Tangerang, h.II-4 dan 5. Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan direktur Perundang-undangan, rancangan Undang-undang Republik Indonesia, Nomor…Tahun… Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Direktorat perundang-undangan, 1999-2000), h. 164 Ghifari, (Al), Abu, Gelombang Kejahatan Seks Remaja Modern, Bandung: Mujtahid, 2002, cet ke-3. Hamzah, Andi, KUHP&KUHAP Jakarta:Rineke Cipta, 1992 Hasanuddin, Perdagangan Perempuan dalam perspektif hukum Islam”Ahkam V”, No.12, 2003 Handoyo, Sumantri, Tangerang MIOL, artikel diakses pada 15 Juli 2008 dari http://www.Kaskus.us/showthread.php?t=308011
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=141653 http://www.Indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=280534 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/04/utama/2482226.htm http://www.Tangerangkota.go.id/view.php?mode=9&sort http://arifwidi.com/catatan/2006/04/playboy-indonesia-pornografi-indonesia http://WWW.TangerangKota.go.id./view.php?mode=1&sort_no=12 Istibyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Gender menurut al-Sya’rawi, Jakarta: Teraju, 2004 Irianto, Sulistyowati, Kebangsaan Indonesia dari Perspektif Perempuan, dari http://cedawui.net/index.php?option=com_content&task=view&id=184&Itemid =60 Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Kesetaraan dan Keadilan Gender, Jakarta: t.p, 2004 Khallaf, Wahab, Abdul, Ilmu Ushul Bandung,Gema Risalah Press, 1996.
Fiqh.
Penerjemah
Masdar
Helmy,
Kartono, Kartini, Patologi Sosial Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1997, Jil.1, Edisi 2. --------------- Psikologi Abnormal & Patologi Seks, Bandung: Alumni. 1979 Lembaran Daerah Kota Tangerang No. 8 Seri E Peraturan Daerah Kota Tanerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran Moqsit Ghazali, Abdul, Tubuh, seksualitas, dan kedaulatan perempuan, Jakarta: Rahima, 2000 Mahfudh, Sahal, Nuansa Fiqih sosial,Yogyakarta: LkiS,1994, cet ke-1 Mas, Panji, Wanita Publik dari masa ke masa, diakses pada tgl 13 agustus dari http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/07/26/0018.html
Mulia, Musdah, Siti, Perda Syariat dan Peminggiran Perempuan, artikel diakses pada tanggal 25 Desember 2008 dari http://
[email protected]
Poerwadarminta, W.J.S. (Diolah kembali oleh pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984 Reno Bachtiar dan Edy Purnomo, Bisnis Prostitusi Prifesi yang menguntungkan, Yogyakarta: Pinus, Cet-1 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya Jakarta : Sinar Grafika, 2007
Soekirno, Soelastri dan M Pambudy, Ninuk, Perempuan, perda, dan Domestikasi, kompas, Sabtu 04 maret 2006 Sudjono, Anas, Pengantar Statistik Pendidikan, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1997, cet ke-8 Sadily, Hasan dan John M. Echols, kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1990 Sa’abah, Marzuki, Umar, Seks dan Kita, Jakarta:Gema Insani Press, cet ke-1. Sawitri Nandari, Ni Putu, Penanggulangan Pelacuran Ditinjau Dari Perspektif Hukum dan Gender, T.tp Tanjung, Armaidi,dan Delfita, Elfi, Mengapa Zina dilarang, Solo:CV Pustaka Mantiq, 1997 Trhuong, Than-Dam Seks, Uang dan kekuasaan, Pariwisata dan pelacuran di Asia Tenggara,Terjemahan Ade Armando, Jakarta: LP3ES, 1992 Wawancara Pribadi dengan Ramdan Lubis, Tangerang, 21 Agustus 2008 Wawancara pribadi dengan Tihadi, Tanggal 21 Agustus 2008 Zamroni, Anang, dan Asrori, Ma’ruf, Bimbingan Seks Islami, Surabaya: Pustaka Anda, cet. I