VII ANALISIS KETERKAITAN HASIL AHP DENGAN CVM
Studi AHP menghasilkan prioritas utama teknologi pengomposan dan incenerator untuk diterapkan dalam pengolahan sampah di Jakarta Timur. Teknologi pengomposan akan efisien digunakan jika terdapat kegiatan pemisahan sampah organik dan anorganik dari sumber penghasil sampah. Jika tidak, proses pengomposan akan menjadi mahal karena adanya komponen biaya pemisahan bahan baku kompos. Disamping itu tidak efisien pula dari segi waktu karena adanya kegiatan pemisahan sampah berarti menambah waktu proses. Untuk itu, jika akan mengembangkan teknologi pengomposan dalam kegiatan pengolahan sampah, perlu diperhatikan kebiasaan masyarakat dalam membuang sampahnya. Masyarakat dituntut partisipasinya dalam bentuk kesediaannya melakukan pembuangan sampah secara terpisah antara sampah organik dan anorganik. Hasil studi CVM yang dilakukan terhadap kelompok rumah tangga menunjukkan bahwa sekitar 50% populasi rumah tangga di Jakarta Timur keberatan jika dilakukan pembuangan sampah secara terpisah antara sampah organik dan anorganik. Hal ini direfleksikan oleh jawaban responden pada Tabel 12 dan 13. Demikian pula dengan hasil studi CVM terhadap kelompok pedagang menunjukkan bahwa lebih dari 50% pedagang di Jakarta Timur menolak membuang sampah secara terpisah, seperti direfleksikan pada Tabel 31 dan 32. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa cukup berat tantangan dan kendala yang akan dihadapi jika
teknologi pengomposan diterapkan dalam kegiatan pengolahan sampah di Jakarta Timur. Kondisi masyarakat yang tidak bersedia melakukan pemisahan sampah menjadi tantangan dan kendala pula bagi penerapan teknologi incenerator. Pada kondisi sampah yang tercampur antara sampah organik (sampah basah) dengan sampah anorganik (sampah kering), sangat mungkin terjadi inefisiensi dalam proses pembakaran karena pembakaran sampah kering dan sampah basah secara bersamasama akan meningkatkan kebutuhan bahan bakar. Hal lain yang berkaitan dengan rendahnya partisipasi masyarakat untuk melakukan pemisahan sampah terkait dengan penerapan incenerator dalam pengolahan sampah adalah peluang terjadinya pencemaran. Sidik et al. (1985) mengatakan bahwa salah satu hasil pembakaran dalam incenerator adalah gas (asap) yang mengandung berbagai zat (termasuk zat yang membahayakan makhluk hidup). Jika sampah yang dibakar tidak dipisah, maka sulit menentukan apakah ada sampah yang termasuk atau mengandung zat berbahaya dan beracun. Sehingga peluang terjadinya pencemaran zat berbahaya dan beracun ke lingkungan sekitar incenerator berada menjadi cukup tinggi. Oleh karena itu jika akan diterapkan teknologi incenerator, maka teknologi tersebut harus dipastikan minimal dilengkapi dengan perlengkapan pengolah gas (asap), perlengkapan pengolah debu, dan instalasi pengolah air kotor. Berdasarkan uraian tersebut, partisipasi masyarakat dalam bentuk kesediaannya melakukan pembuangan sampah secara terpisah sangat diharapkan untuk mendukung penerapan pengomposan dan incenerator dalam kegiatan pengolahan sampah.
125
Analisis korelasi Spearman antara variabel persepsi rumah tangga dengan pendapat mengenai pemisahan sampah organik dengan anorganik menunjukkan pada taraf nyata 1% terdapat korelasi yang nyata antara kedua variabel tersebut dan korelasinya bersifat positif, seperti ditunjukkan pada Tabel 48. Demikian pula analisis korelasi Spearman terhadap variabel persepsi pedagang dengan pendapat mengenai pemisahan sampah organik dan anorganik menunjukkan bahwa pada taraf nyata 1% terdapat korelasi yang nyata antara kedua variabel tersebut dan korelasinya bersifat positif (seperti dapat dilihat pada Tabel 49). Tabel 48. Analisis Korelasi antara Variabel Persepsi Rumah Tangga dan Pendapat mengenai Pemisahan Sampah Organik dan Anorganik Buang sampah dipisah : organik vs an-organik Buang sampah dipisah : organik vs an-organik
Koefisien Korelasi Signifikansi (2 arah) N
PERSEPSI
Koefisien Korelasi Signifikansi (2 arah) N
PERSEPSI
1,000
0,456**
.
0,000
199
199
0,456**
1,000
0,000
.
199
200
** Korelasi nyata pada taraf 0,01 (2 arah)
Tabel 49. Analisis Korelasi antara Variabel Persepsi Pedagang dan Pendapat mengenai Pemisahan Sampah Organik dan Anorganik
Pemisahan pembuangan sampah organik - anorganik PERSEPSI
Koefisien Korelasi Signifikansi (2 arah) N Koefisien Korelasi Signifikansi (2 arah) N
Pemisahan pembuangan sampah organik - anorganik 1,000
PERSEPSI 0,370**
.
0,000
195
195
0,370**
1,000
0,000
.
195
200
** ** Korelasi nyata pada taraf 0,01 (2 arah)
126
Tabel 48 dan 49 memberi arti bahwa semakin tinggi persepsi seorang individu terhadap kebersihan lingkungan, maka pendapatnya tentang pemisahan sampah organik dengan anorganik semakin baik. Berdasarkan hal ini, maka untuk mendorong kesediaan masyarakat, baik kelompok rumah tangga maupun pedagang, untuk melaksanakan pemisahan sampah perlu dilakukan upaya peningkatan persepsinya terhadap kebersihan lingkungan. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan persepsi antara lain bimbingan, penyuluhan, sosialisasi program, pendidikan formal maupun informal, serta bentuk-bentuk pendekatan persuasif lainnya. Oleh karena itu perlu dibuat program yang terkait dengan peningkatan persepsi masyarakat guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemisahan sampah. Studi CVM yang dilakukan juga menghasilkan nilai rata-rata WTP rumah tangga Jakarta Timur untuk mendukung kegiatan pengolahan sampah di wilayahnya. Nilai rata-rata total WTP untuk kelompok rumah tangga yang diwujudkan dalam bentuk kesediaan membayar retribusi kebersihan adalah Rp 5.250,00 per bulan per kk. Data Kantor Statistik Jakarta Timur (2000) dalam Suku Dinas Kebersihan Jakarta Timur (2002) menyebutkan bahwa jumlah penduduk Jakarta Timur pada tahun 2000 mencapai 508.763 kk. Berdasarkan data tersebut dapat ditentukan besarnya retribusi per tahun yang potensial dapat ditarik dari masyarakat, yaitu: Rp 5.250,00/bulan/kk x 508.763 kk x 12 bulan/tahun = Rp 32.052.069.000,00/thn. (tiga puluh dua milyar lima puluh dua juta enam puluh sembilan ribu rupiah). Jika diasumsikan rumah tangga yang membayar retribusi kebersihan hanya 75% dari total rumah tangga di Jakarta Timur (sesuai data penelitian ini), maka besarnya dana yang dapat dihimpun melalui retribusi kebersihan adalah
127
Rp 32.052.069.000,00/tahun x 0,75 = Rp 24.039.051.750,00/tahun (dua puluh empat milyar tiga puluh sembilan juta lima puluh satu ribu tujuh ratus lima puluh rupiah). Potensi dana sebesar Rp 24.039.051.750,00/tahun ini jika dapat direalisasikan akan sangat berguna untuk mendukung pengadaan dan kegiatan operasional teknologi pengolahan sampah. Data Suku Dinas Kebersihan Jakarta Timur (2002) menyebutkan bahwa target pemasukan retribusi kebersihan dari rumah tangga untuk tahun 2002 adalah Rp 1.575.090.000,00 (satu milyar lima ratus tujuh puluh lima juta sembilan puluh ribu rupiah). Dari target tersebut, realisasinya Rp 1.187.012.500,00 (satu milyar seratus delapan puluh tujuh juta dua belas ribu lima ratus ribu rupiah) Pada sisi ini terlihat bahwa sesungguhnya potensi dana yang ada di masyarakat untuk memberikan dukungan dana bagi kegiatan pengolahan sampah belum tergali secara optimal. Dalam persfektif yang lebih luas, hasil studi AHP dan CVM mengindikasikan bahwa penerapan teknologi pengolahan sampah dalam kerangka pengelolaan lingkungan hidup sesungguhnya berkaitan erat dengan pola perilaku dan tingkat kemakmuran masyarakat, serta kondisi pemerintahan yang ada. Hal ini memberi arti bahwa penggunaan teknologi dalam kegiatan pengolahan sampah sesungguhnya merupakan bagian dari pengelolaan lingkungan hidup yang dapat masuk kedalam ruang sosial, ekonomi, dan politik. Dengan demikian untuk mengatasi masalah sampah di Jakarta Timur jangan hanya menggantungkan kepada penggunaan atau penerapan teknologi semata untuk kegiatan pengolahan sampah, melainkan harus berpijak kepada landasan struktural yang menyentuh sisi masyarakat, birokrasi, hukum, pendidikan, ekonomi, dan lain-lain.
128
Mengacu kepada pemikiran kelompok Green (Ife, 1995) yang mengatakan bahwa untuk mengatasi masalah lingkungan hidup diperlukan suatu pendekatan fundamental dan pendekatan-pendekatan yang bersifat struktural berupa penggunaan prinsip-prinsip ekologi untuk mencari solusi dari masalah lingkungan hidup yang dihadapi. Prinsip-prinsip ekologi tersebut adalah holisme (holism), keberlanjutan (sustainability), keberagaman (diversity), dan keseimbangan (equilibrium). Prinsip holisme mengandung arti bahwa segala sesuatu harus dipandang sebagai bagian dari keseluruhan sistem. Prinsip ini mengandung makna juga akan adanya saling ketergantungan diantara elemen sistem yang saling berinteraksi satu sama lain. Dalam konteks analisis teknologi pengolahan sampah, penentuan skala prioritas harus ditinjau dari berbagai aspek dan harus melibatkan seluruh stakeholder, sehingga pandangan yang didapatkan bersifat komprehensif. Prinsip keberlanjutan mengandung arti bahwa sistem harus dapat dipelihara dalam jangka panjang, output yang dikeluarkan ke lingkungan harus dibatasi pada tingkat yang masih dapat ditolerir oleh lingkungan, dan penggunaan sumber energi dapat pulih seharusnya digunakan. Dalam konteks analisis teknologi pengolahan sampah, prinsip ini membawa implikasi kepada pertimbangan penggunaan teknologi yang ramah ekologis, ramah sosial, dan ramah ekonomi. Prinsip keberagaman mengandung arti bahwa melalui keberagaman, sistem di alam dapat berkembang, beradaptasi dan tumbuh. Konsekuensi hal ini terhadap analisis teknologi pengolahan sampah adalah dalam menentukan skala prioritas teknologi hendaknya dengan memperhatikan keberagaman teknologi yang ada. Boleh jadi suatu jenis teknologi memiliki kelebihan pada satu sisi, namun memilki
129
kekurangan pada sisi lain. Sehingga teknologi yang diterapkan dalam pengolahan sampah pun bisa saja lebih dari satu jenis (kombinasi teknologi) karena dapat saling mengisi kelemahan masing-masing teknologi. Hal ini membawa konsekuensi pula untuk memperhatikan keberagaman yang terdapat didalam masyarakat, dalam hal tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, tingkat penerimaan terhadap teknologi, dan lain-lain. Kebijakan penentuan teknologi pengolahan sampah sebaiknya ditetapkan dengan memperhatikan keberagaman didalam masyarakat, misalnya pemberlakuan subsidi silang dalam iuran retribusi kebersihan untuk membantu masyarakat yang terpaksa dikenakan tarif retribusi lebih rendah karena tingkat pendapatannya rendah. Prinsip keseimbangan menegaskan pentingnya hubungan diantara sistem, dan kebutuhan memelihara proses yang terdapat didalamnya. Dalam konteks analisis teknologi pengolahan sampah, hal ini membawa implikasi harus adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, baik yang ditujukan bagi masyarakat maupun pemerintah, keseimbangan dalam kebebasan dan kerjasama, keseimbangan antara peran pemerintah sebagai pemegang otoritas publik dengan peran masyarakat sebagai penghasil sampah dan yang menikmati keberadaan teknologi pengolahan sampah. Selain itu keseimbangan antara peran pemerintah dengan peran sektor swasta dalam hal mengambil inisiatif dalam menentukan teknologi pengolah sampah. Uraian yang mengacu kepada pemikiran kelompok “Green” tersebut menyiratkan bahwa sesungguhnya input teknologi dalam kegiatan pengolahan sampah hendaknya jangan dipandang sebagai satu-satunya cara dalam mengendalikan pencemaran lingkungan oleh sampah.
130