105
VI. STUDI PREFERENSI MASYARAKAT TERHADAP TIPOLOGI PERUMAHAN YANG DIMINATI
Abstrak Pemekaran Kabupaten Kubu Raya tahun 2007 dengan ibukota kabupaten yang berkedudukan di Sungai Raya, serta status kawasan Sungai Raya yang juga sebagai hinterland Kota Pontianak menunjukkan indikasi pesatnya pembangunan di kawasan tersebut khususnya industri perumahan yang diprediksi akan mengalami peningkatan pesat. Kawasan Sungai Raya yang notabene merupakan wilayah bergambut, menciptakan suatu kondisi yang dilematis terhadap pembangunan permukiman di kawasan tersebut. Dampak dari pembangunan permukiman di kawasan Sungai Raya akan menimbulkan berbagai persepsi masyarakat terhadap rumah tinggal sebagai salah satu kebutuhan primer. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi dan minat masyarakat terhadap perumahan dan permukiman. Metode analisis menggunakan analisis kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden belum memiliki rumah sendiri (71%) dimana 33% berstatus sewa/kontrak dan 38% masih tinggal dengan orang tua. Sebayak 69% responden memilih sistem pembayaran kredit apabila hendak membeli rumah dengan kemampuan mencicil maksimal Rp. 2.5 juta per bulan (< Rp. 1 juta sebanyak 51% dan Rp. 1–2.5 juta sebanyak 43%). Kisaran harga rumah yang terjangkau oleh responden maksimal Rp. 250 juta rupiah (< Rp. 100 juta sebanyak 44% dan Rp.100–250 juta sebanyak 36%). Sekitar 44% responden menyatakan kurang paham terhadap kerusakan lingkungan akibat eksploitasi lahan gambut. Sementara 80% responden memilih kawasan Sungai Raya sebagai lokasi tempat tinggal dan 43%menginginkan rumah dengan desain arsitektur yang menarik. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan utama dalam memilih rumah tinggal antara lain: kualitas bangunan, ketersediaan sarana dan prasarana, kedekatan dengan lokasi tempat kerja dan harga rumah yang relatif murah. Sebanyak 79% responden menyatakan struktur panggung cocok untuk di lahan gambut dan sebanyak 53% responden berminat terhadap tipologi hunian vertikal (Model A), 29% memilih hunian horizontal 2-3 lantai (Model B) dan 19% memilih hunian horizontal 1 lantai (Model C). Persepsi responden terhadap hunian vertikal (rusun/apartemen) sebagai berikut: a) kelebihan hunian vertikal antara lain: hemat lahan, tertata rapih, lebih murah, sosialisasi baik, kredit murah, bebas banjir, dan praktis, b) beberapa kelemahannya yaitu: pada beberapa kasus terkesan kumuh, padat, berisik, rawan konflik, akses ke lantai teratas cukup jauh jika tanpa lift, dan kesulitan dalam distribusi air. Kata kunci : preferensi, persepsi, tipologi, perumahan.
6.1 Pendahuluan Pemerintah daerah Kabupaten Kubu Raya yang berkedudukan di Sungai Raya terus melakukan pembangunan di berbagai bidang guna mewujudkan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Salah satu kebutuhan pokok masyarakat
diantaranya
kebutuhan
akan
perumahan
dan
permukiman.
Meningkatnya kebutuhan akan permukiman di kawasan Sungai Raya disebabkan tingginya animo masyarakat penglaju (commuter) Kota Pontianak untuk memilih
106
tempat tinggal di wilayah pinggiran (hinterland), selain itu status kawasan Sungai Raya sebagai kota baru pemerintahan yang berpotensi akan berkembang pesat menjadi kawasan perkotaan. Sehubungan dengan karakteristik lahan di kawasan Sungai Raya yang notabene merupakan wilayah bergambut, maka meningkatnya pembangunan perumahan
di
kawasan
tersebut
menimbulkan
permasalahan-permasalahan
lingkungan, sosial, ekonomi dan teknologi. Seperti diketahui bahwa lahan gambut merupakan ekosistem yang mengemban misi lingkungan yang besar, sehingga laju ekspansinya perlu dikontrol dan dikendalikan. Potret kondisi di lapangan memberikan gambaran bahwa trend rumah tapak yang dikembangkan oleh developer mendapat respon yang sangat baik dari masyarakat, sementara tipologi rumah panggung sudah mulai ditinggalkan dan dianggap kuno. Pembangunan rumah tapak dianggap tidak berwawasan lingkungan karena berpotensi merusak ekosistem gambut. Lahan gambut yang akan dijadikan permukiman di drain hingga level maksimal kemudian ditimbun dengan tanah mineral sehingga gambut tidak tersisa lagi. Kondisi ini telah menghilangkan fungsi ekologi gambut sebagai peredam banjir dan penyimpan karbon yang sangat baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana persepsi masyarakat terhadap
tipologi
bangunan
tempat
tinggal
yang
berwawasan
lingkungan,
mengetahui tingkat kemampuan masyarakat secara financial, mengetahui minat dan preferensi masyarakat terhadap perumahan yang layak huni, serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat dalam memilih tempat tinggal, seperti: usia, tingkat pendidikan, penghasilan, status sosial, lokasi, mata pencaharian. 6.2 Metode Penelitian Metode yang digunakan untuk mengetahui persepsi dan minat masyarakat terhadap perumahan dan permukiman adalah metode analisis kuantitatif yang berasal dari rekapitulasi kuesioner responden. Uji kuantitatif terhadap persepsi masyarakat menggunakan Skala Likert dalam bentuk tabulasi, persentase dan grafik. Proses pengolahan data menggunakan perangkat lunak (software) komputer dengan program Excel. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey dan wawancara (interview) dengan menggunakan kuesioner. Penentuan sample dilakukan dengan metode purposive sampling melalui beberapa tahapan, yaitu: 1) membagi responden menjadi dua kelompok (cluster) yaitu responden yang bekerja di Sungai Raya dan responden yang bekerja di Kota
107
Pontianak (dalam radius yang tidak terlalu jauh dari Sungai Raya) dengan pertimbangan pemilihan lokasi tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerja; 2) Jumlah sampel masing-masing cluster ditentukan 35 responden, sehingga total sampel dua lokasi tersebut sebanyak 70 responden; 3) penentuan responden berdasarkan beberapa kriteria sebagai berikut: 70% responden dengan kriteria belum memiliki rumah sendiri dan 30% sudah memiliki rumah (dengan pertimbangan responden terpilih akan berpeluang besar untuk memilih tempat tinggal di kawasan Sungai Raya), merupakan keluarga muda atau baru bekerja, dan berpenghasilan baik.
6.3 Hasil dan Pembahasan 6.3.1 Identitas Umum Responden Terdapat beberapa karakteristik responden berdasarkan tempat tinggal dan tempat bekerja, yaitu; 1) Responden bekerja di Sungai Raya dan tinggal di Sungai Raya; 2) Responden bekerja di Sungai Raya tetapi tinggal di Pontianak; 3) Responden bekerja di Pontianak dan tinggal di Pontianak; dan 4) Responden bekerja di Pontianak tetapi tinggal di Sungai Raya. Karakter yang terbentuk diatas disebabkan kawasan Sungai Raya yang juga berfungsi sebagai hinterland Kota Pontianak, merupakan lokasi strategis dengan jarak tempuh yang relatif terjangkau untuk skala kota sehingga menjadi sasaran utama sebagai lokasi tempat tinggal. Selain itu, ibukota Kabupaten Kubu Raya yang juga berkedudukan di Sungai Raya menjadikan kawasan ini sebagai cikal bakal kota baru mandiri (kota baru pemerintahan) walaupun pada awalnya pemenuhan kebutuhan masyarakat Sungai Raya masih bergantung pada fasilitas Kota Pontianak (kota baru satelit). Berdasarkan
distribusi
usia
responden,
pengelompokan
dilakukan
berdasarkan rentang usia yang dikelompokkan menjadi 4 (empat), yaitu responden yang berusia 15 – 25 tahun, 26 – 35 tahun, 36 – 45 tahun, dan 46 – 55 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berusia 36 – 45 tahun dengan persentase sebanyak 47%, kemudian urutan kedua adalah responden berusia 26 – 35 tahun sebanyak 34%, urutan ketiga responden berusia 46 – 55 tahun (10%) dan paling sedikit responden berusia 15 – 25 tahun (9%). Usia responden antara 36 s/d 55 tahun dengan persentase yang besar menunjukkan usia kerja produktif yang dapat dijadikan indikator tingkat kemapanan dan kematangan dalam pengambilan keputusan (Gambar 39a).
108
Sementara berdasarkan distribusi jenis kelamin menunjukkan sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki berjumlah 49 orang dengan persentase 70% dan 30% untuk jenis kelamin perempuan dengan jumlah 21 orang (Gambar 39b). a
10%
9%
15 - 25 tahun 34%
47%
26 - 35 tahun 36 - 45 tahun 46 - 55 tahun
b 30% 70%
Laki-laki Perempuan
Gambar 39. Distribusi Usia (a) dan jenis kelamin (b) Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini sebagian besar merupakan penduduk asli Kalbar yaitu sebanyak 46 responden (66%) dan sebesar 34% atau 24 responden merupakan penduduk pendatang yang antara lain berasal dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Jakarta (Gambar 40a). Bagi sebagian penduduk pendatang ada yang sudah lama merantau ke Kalbar sehingga sudah menetap di Kalbar, selain itu ada juga yang baru bermigrasi beberapa tahun dikarenakan mutasi pekerjaan. Dilihat dari jenis pekerjaan responden, diketahui bahwa sebagain besar responden pada penelitian ini bermata pencaharian sebagai karyawan swasta yaitu sebanyak 26 responden dengan persentase sebesar 37%, kemudian diikuti oleh PNS/polisi/ABRI sebesar 23%, profesi dosen/guru 21%, wiraswasta 13% dan pedagang/petani serta pensiunan masing-masing sebesar 3% (Gambar 40b).
109
a
34%
66%
Penduduk asli
Pendatang
b 3% 3% 13% 37%
PNS/Polisi/ABRI Karyawan Swasta Pedagang/Petani
23% 21%
Dosen/Guru Pengusaha/Wiraswasta Pensiunan/dll
Gambar 40. Distribusi daerah asal (a) dan pekerjaan (b)
Sementara untuk tingkat pendidikan responden dikelompokkan mulai dari tingkat SD sampai perguruan tinggi S1/S2. Hasil distribusi tingkat pendidikan responden menunjukkan bahwa sebesar 51% responden merupakan sarjana S1 dan S2 dengan persentase terbesar, pada urutan kedua responden dengan pendidikan SLTA/SMK yaitu sebesar 30%, selanjutnya responden dengan pendidikan diploma (D3/D4) sebesar 15%, dan responden dengan pendidikan SLTP dan SD masingmasing sebesar 3% dan 1% (Gambar 41).
110
1% 3% 30%
51% 15%
SD
SLTP
SLTA/SMK
Diploma (D3/D4)
Sarjana (S1/S2)
Gambar 41. Distribusi tingkat pendidikan Berdasarkan distribusi status pernikahan, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berstatus menikah yaitu sebesar 77%, dan responden yang berstatus belum menikah sebesar 21%, sementara sebesar 2% dengan status lainnya (Gambar 42a). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar responden telah berkeluarga dimana kebutuhan tempat tinggal sudah menjadi kebutuhan pokok yang prioritas. 2% 21%
77%
Belum menikah
Menikah
Lainnya…
a
2% 31% 67%
b
0 - 2 orang
3 - 4 orang
> 4 orang
Gambar 42. Distribusi status pernikahan (a) dan jumlah anak (b)
111
Selanjutnya Gambar 42b menunjukkan jumlah anak yang dimiliki oleh masing-masing responden yang telah berkeluarga, dimana sebagain besar responden merupakan keluarga kecil dengan 0 – 2 orang anak yaitu sebesar 67% dan responden dengan 3 – 4 orang anak sebesar 31%, sedangkan responden yang memiliki lebih dari 4 orang anak sebesar 2%. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa tipe hunian yang dibutuhkan untuk keluarga tersebut termasuk tipe hunian kecil sampai sedang. Tipe hunian kecil sampai sedang dapat diinterpretasikan sebagai rumah tipe 45 hingga tipe 75 dengan spesifikasi memiliki 2 atau 3 kamar tidur. Sementara itu distribusi responden berdasarkan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dapat dijelaskan pada Gambar 43.
7% 52%
41%
2 - 4 orang
5 - 6 orang
> 6 orang
Gambar 43. Distribusi jumlah anggota keluarga
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga dengan persentase terbesar adalah 2 – 4 orang anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah yaitu sebesar 52%, sementara anggota keluarga berjumlah 5 – 6 orang sebesar 41% dan anggota keluarga yang berjumlah lebih dari 6 orang hanya sebesar 7%. Responden dengan jumlah anggota keluarga antara 5 – 6 orang atau lebih menunjukkan indikasi bahwa keluarga tersebut sebagian besar masih tinggal bersama orang tua. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendapatan total dalam sebulan dikelompokkan menjadi 5 (lima) kelompok penghasilan yang dapat dilihat pada Gambar 44. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan persentase terbesar adalah responden berpenghasilan antara 1 juta s/d 2.5 juta yaitu sebesar 35%, urutan kedua adalah responden berpenghasilan 2.5 juta s/d 5 juta sebesar 27%, sementara pada urutan ketiga adalah responden dengan penghasilan antara 5 juta s/d 10 juta yaitu sebesar 23%, sedangkan responden berpenghasilan kurang dari 1 juta dan lebih dari 10 juta masing-masing hanya sebesar 7%. Kelompok
112
responden dengan penghasilan < 2.5 juta dapat dikategorikan sebagai kelas menengah bawah, yang berpenghasilan antara 2.5 – 5 juta termasuk kategori kelas menengah, sementara penghasilan 5 – 10 juta termasuk kategori kelas menengah atas dan penghasil > 10 juta termasuk kategori kelas atas. Hal ini dapat dijadikan acuan untuk menentukan ratio tipe rumah yang akan dibangun. Ratio yang biasanya digunakan untuk pemerataan tipe rumah berdasarkan kebijakan perumahan dan permukiman adalah 1 : 2 : 3 atau 1 : 3 : 6 artinya setiap pembangunan 1 unit rumah mewah harus diimbangi dengan membangun 2 atau 3 unit rumah menengah dan 3 atau 6 unit rumah sederhana. Data responden menunjukkan persentase responden kelas menengah dan kelas bawah yang cukup besar sehingga dapat menggunakan ratio 1 : 3 : 6. < Rp. 1 juta Rp. 1 juta - Rp. 2.5 juta Rp. 2.5 juta - Rp. 5 juta Rp. 5 juta - Rp. 10 juta > Rp. 10 juta
7%
7%
23% 36% 27%
Gambar 44. Distribusi penghasilan total per bulan 6.3.2 Karakteristik Responden Selain data-data umum responden yang telah dijabarkan diatas, dalam penelitian ini juga akan dijelaskan informasi-informasi yang lebih khusus, seperti: status kepemilikan rumah, kemampuan responden secara finansial, serta beberapa pertimbangan dan alasan yang terkait dengan perumahan dan permukiman. Berdasarkan distribusi status kepemilikan rumah, sebelumnya secara purposive telah ditentukan bahwa lebih dari 70% responden adalah yang belum memiliki rumah sendiri. Dalam penelitian ini status kepemilikan rumah dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu: responden yang sudah memiliki rumah sendiri dan responden yang belum memiliki rumah sendiri. Selanjutnya untuk yang berstatus belum memiliki rumah akan dibedakan menjadi status sewa/kontrak/kost dan status masih tinggal bersama orang tua/keluarga. Distribusi responden berdasarkan status kepemilikan rumah dapat dilihat pada Gambar 45.
113
70 60 50
38%
40 30
29%
33%
20 10
20
23
27
Rumah Sendiri
Sewa/Kontrak/Kost
Tinggal dengan Orang Tua/Keluarga
0
Gambar 45. Distribusi status kepemilikan rumah
Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa responden dengan status sudah memiliki rumah sendiri sebesar 29%, sementara responden yang berstatus sewa/kontrak/kost sebesar 33% dan responden yang masih tinggal bersama orang tua/keluarga sebesar 38%. Jika dilihat dari status penghasilan responden, maka hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang sudah memiliki rumah sendiri memiliki penghasilan rata-rata per bulan sebesar 5 juta. Gambar 46a menjelaskan berbagai alasan responden sehingga belum memiliki rumah sendiri yang dibedakan menjadi 3 kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan yang paling banyak adalah karena dana yang dimiliki belum mencukupi yaitu sebesar 58%, sementara di urutan kedua dengan alasan mutasi pekerjaan, belum menikah dan lain-lain sebesar 24%, dan sekitar
18%
dengan pertimbangan masih menemani orang tua. Responden yang mengemukakan alasan belum mencukupi secara finansial rata-rata memiliki penghasilan kurang dari sama dengan 2.5 juta rupiah. Berdasarkan perhitungan logis dapat diprediksi dalam jangka waktu 2-3 tahun kedepan dengan kondisi finansial yang semakin meningkat, rencana untuk memiliki rumah sendiri akan dapat menjadi kenyataan. Dalam penelitian ini juga diperoleh informasi tentang minat responden untuk memiliki rumah sendiri (Gambar 46b). Dari 50 responden yang belum memiliki rumah dapat dilihat bahwa antusiasme responden untuk memiliki rumah sendiri sangat besar yaitu dengan persentase 82%, sementara 18% lainnya menyatakan tidak berminat dengan pertimbangan masih menemani orang tua, menempati rumah dinas, masih banyak keperluan yang lebih mendesak dan beberapa pertimbangan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan sandang sudah menjadi kebutuhan pokok yang prioritas seiring dengan semakin tingginya tuntutan kehidupan.
114
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
58 %
Dana belum mencukupi
a
24 %
18 %
Menemani orang tua
(mutasi,belum menikah,dll)
140 120 100 80
82 %
60 40 20
18 %
0
b
Ya
Tidak
Gambar 46. Distribusi pertimbangan terhadap status kepemilikan rumah (a) dan minat untuk memiliki rumah sendiri (b) Berkaitan dengan sistem pembayaran yang dipilih masing-masing responden dibedakan menjadi 3 sistem pembayaran, yaitu: cash, cash bertahap dan kredit. Hasil penelitian menggambarkan bahwa sebagian besar responden memilih pembayaran dengan sistem kredit yaitu sebesar 69%. Hal ini dapat dikaitkan dengan jenis pekerjaan responden yang sebagian besar adalah karyawan (negeri/swasta) dengan sistem pembayaran gaji yang rutin setiap bulannya. Sementara responden yang memilih sistem pembayaran secara cash sebesar 15% dengan penghasilan rata-rata per bulan diatas 10 juta dan jenis pekerjaan sebagian besar adalah pengusaha (wiraswasta). Hanya sekitar 7% responden yang memilih sistem pembayaran secara cash bertahap. Penjelasan dapat dilihat pada Gambar 47a. Dalam penelitian ini dapat diketahui kisaran harga rumah yang sesuai dengan kemampuan masing-masing responden yang dibedakan menjadi 4 kelompok kisaran
115
harga. Persentase terbesar adalah harga rumah kurang dari Rp. 100 juta rupiah yaitu sebesar 44%, pada urutan kedua dengan harga rumah antara Rp. 100 – 250 juta rupiah dengan persentase sebesar 36%, sementara pada urutan ketiga dengan harga rumah berkisar antara Rp. 250 – 500 juta yaitu sebanyak 16%, dan yang paling sedikit adalah harga rumah dengan kisaran harga Rp. 500 juta – 1 milyar yaitu sekitar 4%. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa kemampuan membayar (ability to pay) responden yang masih tergolong rendah dimana secara sosial termasuk kategori masyarakat strata rendah. Distribusi kisaran harga rumah masing-masing responden dapat dijelaskan pada Gambar 47b.
140 120 100 80
69%
60 40 20
15%
7%
Cash
Cash bertahap
0
a
Kredit
80 70 60 50
44%
40
36%
30 20
16%
10
4%
0 < Rp. 100 juta
b
Rp. 100 juta Rp. 250 juta
Rp. 250 juta Rp. 500 juta
Rp. 500 juta Rp. 1 milyar
Gambar 47. Distribusi sistem pembayaran (a) dan kisaran harga rumah (b) Bagi responden yang memilih sistem pembayaran kredit, pada penelitian ini juga diperoleh informasi tentang kesediaan membayar responden setiap bulannya untuk mencicil rumah. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pilihan paling banyak
116
adalah cicilan kurang dari Rp. 1 juta rupiah yaitu sebesar 51%, urutan kedua terbanyak adalah cicilan antara Rp. 1 – 2.5 juta rupiah sebanyak 43%, sedangkan di urutan terakhir dengan harga cicilan berkisar antara Rp. 2.5 – 5 juta rupiah yaitu sebesar 6%. Berdasarkan hasil analisis, dapat diketahui bahwa untuk cicilan kurang dari satu juta, maka harga rumah yang dapat ditawarkan adalah seharga Rp. 50 juta dengan asumsi masa kredit 10 tahun dan bunga bank sebesar 12% per tahun, yaitu dengan cicilan Rp. 916.667,- per bulan. Sementara untuk cicilan antara 1 - 2.5 juta per bulan, maka prediksi harga rumah yang dapat ditawarkan berkisar antara Rp. 70 – Rp. 135 juta rupiah. Ilustrasi mengenai kisaran harga cicilan/kredit rumah dapat dilihat pada Gambar 48. 90 80 70 60 50 40
51% 43%
30 20
6%
10
0%
0 < Rp. 1.000.000
Rp. 1.000.000 Rp. 2.500.000
Rp. 2.500.000 Rp. 5.000.000
Rp. 5.000.000 Rp. 10.000.000
Gambar 48. Distribusi kisaran cicilan rumah 6.3.3 Pemahaman Lingkungan dan PemilihanTipologi Perumahan Pada penelitian ini dapat diketahui pemahaman responden terhadap eksploitasi lahan gambut dan dampaknya terhadap lingkungan hidup. Beberapa pertanyaan diajukan terkait masalah pembangunan perumahan di lahan bergambut khususnya di kawasan Sungai Raya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi: a) isu lingkungan tentang pemanasan global (global warming) dan gas rumah kaca (GRK), b) persentase sumber emisi CO 2 Indonesia yang terbesar akibat dari penggundulan hutan dan alih fungsi lahan, c) kemampuan lahan gambut dalam menyimpan karbon 10x hutan tropis (WI-IP, 2006), d) ekosistem gambut sebagai pengatur hidrologi dan peredam banjir, dan e) tanggapan responden terhadap kemungkinan dampak dan kerusakan lingkungan yang terjadi. Melalui penelitian ini juga dapat diketahui preferensi masyarakat terhadap tipologi bangunan maupun lokasi permukiman yang diminati ditinjau dari beberapa aspek.
117
Hasil penelitian tentang pemahaman responden terhadap isu lingkungan menunjukkan bahwa sebagian besar responden atau sekitar 44% responden kurang memahami tentang beberapa isu lingkungan yang diajukan dengan kata lain hanya sebatas pernah mendengar isu tersebut saja. Sementara 34% responden mengakui bahwa mereka tahu dan sangat paham tentang permasalahan lingkungan yang terkait pembangunan permukiman di lahan gambut. Hanya sekitar 15% saja yang menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak tahu dan tidak paham mengenai isu lingkungan tersebut. a
b
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Paham
Kurang Paham
Tidak Paham
Series1 jumlah
24
31
15
(%) Series2
34,29
44,29
21,43
Sangat Berminat
Kurang Berminat
Tidak Berminat
Series1 jumlah
68
2
0
(Series2 %)
97,14
2,86
0
120 100 80 60 40 20 0
Gambar 49. Pemahaman lingkungan (a), minat terhadap hunian ramah lingkungan (b) Hasil penelitian juga menunjukkan sikap optimistik responden dimana 100% responden menyatakan bahwa mereka sangat peduli terhadap kelestarian lingkungan dan mendukung segala upaya pengendalian untuk meminimalisasi dampak kerusakan lingkungan khususnya yang terkait pembangunan permukiman di lahan gambut kawasan Sungai Raya. Sebanyak 97% responden menyatakan bahwa
118
mereka sangat berminat untuk memiliki hunian yang ramah lingkungan, dan 3% menyatakan kurang berminat (Gambar 49b) Berdasarkan alternatif lokasi permukiman, dalam hal ini ditawarkan 3 (tiga) lokasi permukiman dengan karakteristik serupa yaitu lahan bergambut, pada wilayah hinterland, dan secara eksisting sudah berkembang sebagai kawasan permukiman. Ketiga lokasi tersebut meliputi: a) Sungai Raya, b) Sungai Kakap (Pal), dan c) Seberang (Siantan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase paling banyak yaitu sebesar 80% responden memilih kawasan Sungai Raya sebagai alternatif pertama, sementara pada urutan kedua atau sekitar
16% responden memilih
kawasan Sungai Kakap (Pal) dan hanya sebesar 4% responden yang memilih kawasan Siantan (Gambar 50) . Hal ini menunjukkan bahwa kawasan Sungai Raya memiliki beberapa kelebihan sebagai alternatif lokasi permukiman, antara lain: aksesibilitas yang baik dilalui oleh jalan nasional (arteri primer), kedekatan lokasi dengan kawasan pendidikan dan perkantoran di jalan Ahmad Yani Pontianak, kegiatan perekonomian cukup berkembang,
ketersediaan sarana dan prasarana
permukiman yang memadai, dan industri perumahan yang berkembang pesat. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Sungai Raya
Sungai Kakap / Pal
Seberang / Siantan
jumlah Series1
56
11
3
(%) Series2
80,00
15,71
4,29
Gambar 50. Alternatif pilihan lokasi tempat tinggal Sementara untuk kawasan Sungai Kakap dimana kegiatan perekonomian belum berkembang pesat sehingga daerah tersebut masih relatif sepi, perumahan masih sangat jarang dan akses kendaraan umum terbatas. Demikian juga kawasan Siantan, kondisi geografis yang terpisah oleh Sungai Kapuas dimana akses yang tersedia hanya satu buah jembatan penyebrangan yang menuju pusat kota (satu jembatan lainnya di pinggiran kota) dan satu buah terminal kapal ferry penyeberangan sehingga menjadi pertimbangan besar untuk memilih lokasi tempat tinggal di kawasan tersebut.
119
Distribusi responden menurut tipe hunian yang diminati dikelompokkan menjadi 5 pilihan yang meliputi: (A) rumah besar dengan halaman yang luas, (B) rumah sederhana untuk keluarga kecil, (C) rumah kecil tetapi memiliki halaman luas untuk berkebun, (D) rumah murah yang penting bisa punya tempat tinggal sendiri, dan (E) rumah dengan desain arsitektur dan interior yang menarik. Beberapa pilihan diatas dapat dipilih lebih dari satu, dengan tujuan untuk melihat kecenderungan minat dan preferensi responden terhadap hunian yang diminati atau dengan kata lain rumah idaman. Gambar 51 menunjukkan distribusi pilihan
Axis Title
responden: 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
A
B
C
D
E
Series1 jumlah
8
14
29
5
43
(Series2 %)
8,08
14,14
29,29
5,05
43,43
Gambar 51. Distribusi tipologi hunian yang diminati Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah dengan desain arsitektur dan interior yang menarik paling banyak dipilih oleh responden yaitu sebesar 43%, pada urutan kedua adalah rumah kecil dengan halaman luas untuk berkebun sebanyak 29%, selanjutnya di urutan ketiga tipe rumah sederhana untuk keluarga kecil sebesar 14%, 8% untuk tipe rumah besar dengan halaman luas, dan sebesar 5% memilih rumah murah.
Hasil
distribusi
tentang
tipologi
hunian
yang
diminati
responden
menggambarkan selera atau keinginan yang cukup tinggi dimana desain bangunan menjadi prioritas dalam memilih rumah tinggal. Hal ini cukup kontradiktif jika dibandingkan dengan kemauan membayar (willingness to pay) responden dimana persentase terbesar untuk harga rumah adalah kurang dari Rp. 100 juta dengan cicilan kurang dari Rp. 1 juta per bulan. Selain itu, dalam penelitian ini dapat juga diketahui beberapa pertimbangan dalam memilih rumah tinggal yang dikelompokkan menjadi enam kriteria. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 6 pilihan jawaban, 4 diantaranya terdistribusi dengan baik, dan 2 pilihan lainnya kurang menjadi prioritas. Empat kriteria yang
120
menjadi pertimbangan utama adalah: 1) kualitas bangunan/desain/finishing (C) sebanyak 26%, ketersediaan sarana dan prasarana (E) sebanyak 22%, kedekatan lokasi terhadap tempat bekerja (B) sebanyak 21%, dan harga rumah (A) sebanyak 20%. Sementara dua kriteria yang kurang menjadi prioritas meliputi lokasi berada di pusat keramaian (D) sebesar 8% dan jauh dari pusat kota (F) sebesar 2%. a
35 30 25 20 15 10 5 0
b
A
B
C
D
E
F
Series1 jumlah
23
24
29
9
25
2
(Series2 %)
20,54
21,43
25,89
8,04
22,32
1,79
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Struktur panggung
Struktur telapak (lajur)
Series1 jumlah
55
15
(Series2 %)
78,57
21,43
Gambar 52. Distribusi pertimbangan dalam pemilihan tempat tinggal (a) dan pemilihan tipe struktur yang sesuai di lahan gambut (b) Selanjutnya Gambar 52b menunjukkan persepsi responden terhadap tipe struktur bangunan yang sesuai dan cocok di lahan gambut, dalam hal ini dibedakan menjadi dua yaitu tipe struktur panggung dan struktur telapak (lajur). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 79% responden beranggapan bahwa struktur bangunan yang cocok untuk di lahan gambut adalah struktur panggung, sementara sekitar 21% beranggapan bahwa struktur tapak yang sesuai. Hal ini menggambarkan bahwa sebenarnya responden cukup paham mengenai kondisi lahan gambut yang
121
tergolong tanah lunak sehingga tiang-tiang pancang pondasi merupakan solusi yang cukup rasional dengan pertimbangan kondisi lahan yang cenderung selalu basah. Namun kondisi di lapangan menunjukkan hal sebaliknya dimana rumah panggung sudah tidak diminati lagi. Hal ini ditandai dengan jumlah rumah panggung yang ditemukan di lapangan sudah sangat sedikit. Rumah panggung juga dianggap tidak modern dan secara arsitektur sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Pada dasarnya, dalam prinsip-prinsip mendesain sebuah bangunan, aspek struktur dan arsitektur merupakan dua unsur berbeda yang harus dikemas sebagai satu kesatuan yang utuh. Struktur bangunan lebih ditekankan kepada faktor kekuatan bangunan (firmitas) dimana bangunan dapat berdiri kokoh diatas lahan yang tersedia, sementara arsitektur lebih ditekankan kepada aspek estetika secara visual yang biasanya diaplikasikan pada facade (tampak) bangunan. Sehingga walaupun sebuah bangunan menggunakan struktur panggung, tidak berarti bahwa estetika bangunan tidak bisa diperoleh secara maksimal. Dengan rekayasa teknologi dan kemampuan mendesain yang baik, bentuk struktur apapun bisa dipadankan dengan tampilan façade bangunan yang menarik. Seiring dengan kemajuan teknologi khususnya dibidang desain arsitektur, industri perumahan saat ini tampil dengan desain yang baik (rumah tapak) sehingga menarik minat masyarakat untuk memiliki rumah-rumah yang ditawarkan oleh developer. Hal ini menyebabkan semakin jauh kesenjangan antara tipologi rumah panggung dengan tipologi rumah tapak yang tengah menjadi primadona saat ini. Berdasarkan konsep desain menurut distribusi luas lantai, dikenal dua macam tipologi bangunan yaitu secara horizontal (landed housing) dan secara vertikal (highrise building). Fenomena yang berkembang di kota besar dengan keterbatasan lahan yang tersedia, maka hunian vertikal menjadi solusi tempat tinggal yang cukup diminati kalangan masyarakat tertentu. Beberapa tahun belakangan ini, di Kota Pontianak mulai berkembang tipologi hunian vertikal untuk kelas menengah bawah (middle low) yang ternyata cukup diminati. Secara toponym, hunian vertikal kelas menengah bawah lebih dikenal dengan istilah rumah susun (rusun). Beberapa unit rusun telah dibangun di kawasan jeruju dan kawasan pendidikan Universitas Tanjungpura dan Politeknik Negeri Pontianak. Animo masyarakat yang sangat tinggi terhadap rusun (harga/sewa murah) menjadi pertimbangan utama untuk terus melakukan penambahan unit hunian. Pemilihan tipologi hunian yang diminati oleh responden dalam hal ini dibedakan menjadi 3 kelompok model hunian, yaitu: Model A
Hunian Vertikal
122
(4-8 lantai), Model B Hunian Horizontal (2-3 lantai), dan Model C Hunian Horizontal 1 lantai (Gambar 53).
MODEL A
MODEL B
MODEL C
Hunian vertikal (rusun/apartemen) Lahan gambut yang dibutuhkan relatif sedikit. Efisien dalam pembangunan sarana & prasarana. Potensi menyebabkan banjir relatif kecil. Potensi lepasnya CO2 dari gambut relatif kecil. Biaya konstruksi cukup tinggi, tapi harga lahan rendah. Menggunakan konstruksi beton
Hunian horizontal (2-3 lantai) Lahan gambut yang dibutuhkan cukup luas. Pembangunan sarana & prasarana kurang efisien (lahan menyebar). Potensi menyebabkan banjir cukup besar. Potensi lepasnya CO2 dari gambut cukup besar. Biaya konstruksi relatif rendah, tapi harga lahan cukup tinggi. Konstruksi beton/kayu.
Hunian horizontal (1 lantai) Lahan gambut yang dibutuhkan sangat luas. Pembangunan sarana & prasarana kurang efisien (lahan menyebar). Potensi menyebabkan banjir sangat besar. Potensi lepasnya CO2 dari gambut sangat besar. Biaya konstruksi rendah, tapi harga lahan tinggi. Konstruksi beton/kayu
Gambar 53. Preferensi Model Hunian (vertikal, bertingkat, tidak bertingkat) Dari ketiga model tipologi hunian yang ditawarkan, distribusi pilihan responden menunjukkan bahwa pilihan terbanyak adalah Model A dengan persentase sebesar 53%, sementara di urutan kedua adalah Model B dengan persentase 29% dan di urutan ketiga adalah model C dengan persentase sekitar 19%. 60 50 40 30 20 10 0
Model A
Model B
Model C
Series1 jumlah
37
20
13
(Series2 %)
52,86
28,57
18,57
Gambar 54. Distribusi pemilihan model hunian yang diminati
123
Dari hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa minat responden terhadap hunian vertikal cukup besar. Dari 37 responden (52.86% ) yang memilih model vertikal, dapat diketahui informasi karakteristik responden sebagai berikut: 16
40.54%
14 12
27.03%
10
24.32%
8
15
6
10
4
9
5.41%
2
2.70% 1
2
0
< 1,000,000 1 - 2,5 juta 2,5 - 5 juta
5 - 10 juta
> 10 juta
Gambar 55. Distribusi penghasilan responden yang memilih model vertikal 25 20
45.95%
40.54%
15 10
59.46%
54.05%
17
22
20 15
5 0 rumah sendiri sewa/dgn ortu
Cash
Credit
Gambar 56. Status kepemilikan rumah dan sistem pembayaran yang dipilih 6 5
33.33%
33.33%
4 3
20.00% 5
2
5
13.33% 3
1
2
0 < 100 juta
100 - 250 juta 250 - 500 juta 500 juta - 1 M
Gambar 57. Kisaran harga rumah (sistem pembayaran cash)
124
12 50%
10 8
40%
6 4
10
8
2 0 < 1 juta
10%
0%
2
0
1 - 2.5 juta 2.5 - 5 juta
5 - 10 juta
Gambar 58. Kisaran cicilan rumah (sistem pembayaran credit) 6.4 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 70% dengan rentang usia antara 36 – 45 tahun dengan persentase terbesar yaitu 46%. Sebanyak 66% responden merupakan penduduk asli Kalbar dengan jenis pekerjaan dominan adalah karyawan swasta yaitu sebesar 37%. Selanjutnya sebanyak 51% responden dengan tingkat pendidikan sarjana dan 77% berstatus menikah. Jumlah anak yang dimiliki responden antara 0 – 2 orang anak sebesar 67% dengan jumlah anggota keluarga yang tinggal serumah antara 2 – 4 orang sebesar 52%. Tingkat pendapatan responden berkisar antara Rp. 1 – 2.5 juta rupiah per bulan dengan persentase sebesar 36% (termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah). Berdasarkan status kepemilikan rumah, sekitar 70% responden belum memiliki rumah sendiri, yang terdistribusi sebanyak 38% masih tinggal dengan orang tua dan 32% berstatus sewa/kost. Alasan belum memiliki rumah sendiri sebanyak 58% responden menyatakan belum memiliki dana yang cukup, dimana 82% menyatakan berniat dan berencana untuk memiliki rumah sendiri. Dapat diketahui juga sistem pembayaran yang dipilih apabila hendak membeli rumah yaitu sebanyak 69%
responden
memilih
sistem
pembayaran
kredit,
kemampuan
mencicil
< Rp. 1 juta sebanyak 51% dan antara Rp. 1 – 2.5 juta sebanyak 43%. Kisaran harga rumah yang mampu dibeli oleh responden yaitu < Rp. 100 juta sebanyak 44% dan antara Rp. 100 – 250 juta sebanyak 36%. Berdasarkan tingkat pemahaman responden terhadap lahan gambut dan kerusakan lingkungan, sebanyak 44% menyatakan kurang paham terhadap isu lingkungan tersebut. Namun demikian sekitar 97% responden berminat untuk
125
memiliki hunian yang ramah lingkungan. Menurut distribusi pemilihan lokasi tempat tinggal 80% responden memilih kawasan Sungai Raya sebagai lokasi tempat tinggal. Sementara berdasarkan tipologi hunian yang diminati, sebanyak 43% responden menyatakan lebih memilih hunian dengan desain arsitektur yang menarik. Pertimbangan utama dalam memilih tempat tinggal secara berturut-turut adalah: kualitas bangunan (26%), ketersediaan sarana dan prasarana (22%), kedekatan dengan lokasi tempat kerja (21%) dan harga rumah (20%). Berdasarkan persepsi responden terhadap jenis struktur bangunan yang sesuai dan cocok di lahan gambut 79% menyatakan struktur panggung yang sesuai untuk lahan gambut. Sebanyak 53% responden berminat terhadap tipologi hunian vertikal (Model A), 29% memilih hunian horizontal 2-3 lantai (Model B) dan 19% memilih hunian horizontal 1 lantai (Model C). Karakteristik responden yang memilih model hunian vertikal (53%) adalah sebagai berikut: a) sebagian besar responden (40.54%) berpenghasilan antara 2,5-5 juta rupiah (termasuk golongan MBR), b) sebanyak 54.05% responden yang belum memiliki rumah sendiri masih tinggal bersama orang tua, c) sebagian besar memilih sistem pembayaran kredit (59.46%), d) harga rumah (cash) yang terjangkau oleh responden maksimal Rp. 250 juta rupiah, dan e) cicilan rumah yang dapat disisihkan maksimal Rp. 2,5 juta rupiah per bulan.