VI. PERMASALAHAN KONSERVASI Akar permasalahan konservasi ditinjau dari sikap masyarakat yang menjadi fokus dari penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (a) sikap dan aksi konservasi oleh masyarakat maupun pengelola; (b) ketidak-berlanjutan pengetahuan lokal; dan (c) masalah kebijakan pengelolaan. Hal ini dijelaskan secara rinci sebagai berikut :
A. Sikap dan Aksi Konservasi Berdasarkan hasil penelitian tentang sikap masyarakat pendarung dan sikap pengelola yang berkaitan erat dengan 22 pernyataan stimulus kedawung, ternyata hanya sebanyak 10 pernyataan stimulus atau 45 % saja yang berkaitan stimulus kedawung yang menjadi sikap masyarakat dan sikap pengelola hanya berupa stimulus manfaat ekonomi dan stimulus alamiah tentang fungsi ekologis. Stimulus alamiah tentang informasi kelangkaan, kondisi populasi dan regenerasi ternyata tidak menjadi stimulus sikap masyarakat pendarung maupun pengelola untuk aksi konservasi kedawung. Masyarakat pendarung dan pengelola tidak memahami atau tidak menangkap sinyal yang memberi informasi tentang “kelangkaan”. Hal ini ditunjukkan oleh kondisi populasi dan regenerasi pohon kedawung di hutan alam yang tidak memiliki anakan dan individu remaja. Stimulus religius yang ditunjukkan atau direfleksikan dengan sikap kerelaan berkorban masyarakat pendarung maupun pengelola untuk aksi konservasi kedawung tidak nampak terefleksi secara nyata di lapangan. Berdasarkan pernyataan stimulus kedawung yang telah dirumuskan melalui penelitian tahap 1 sampai 7, seperti yang dimuat pada Bab II tentang metoda, maka ringkasan hasil uji stimulus kedawung terhadap sikap masyarakat, sikap pengelola dan aksi konservasi kedawung secara keseluruhan, seperti ditunjukkan pada Tabel 15. Sedangkan data hasil pengujian sikap secara terinci dimuat pada Lampiran 1 dan 2. Pada tabel ini menunjukkan bahwa aksi konservasi tidak terwujud di lapangan.
Hal ini sangat berhubungan dengan sikap masyarakat pendarung
maupun sikap pengelola. Stimulus alamiah tentang informasi kelangkaan kedawung dan stimulus religius tentang kerelaan berkorban, tidak menjadi sikap,
baik bagi masyarakat pendarung maupun bagi pengelola. Artinya sinyal kedawung yang sebagian besar yang berkaitan dengan informasi kelangkaan, tidak menjadi informasi bagi masyarakat maupun pengelola, sehingga tidak menjadi stimulus bagi sikap masyarakat maupun pengelola untuk aksi konservasi. Tabel 15. Keterkaitan stimulus kedawung dengan sikap masyarakat sikap pengelola terhadap aksi konservasi Sikap No
Pernyataan stimulus
*)
Masyarakat
Pengelola*)
(-) 3 (-) 4 (+)
(-) 2 (-) 3 (-)
(+) 5 (+) 3 (-)
(-) 4 (+) 3 (-)
(-) 2(-)
(-) 1(-)
3 (-)
2 (-)
1.
Stimulus Alamiah, Informasi kelangkaan (4 pernyataan) Informasi fungsi ekologis (5 pernyataan) 2. Stimulus Manfaat Informasi nilai ekonomi (4 pernyataan) Informasi nilai obat (4 pernyataan) 3. Stimulus Religius Direfleksikan kerelaan berkorban (7 pernyataan) Aksi Konservasi (9 pernyataan) Keterangan
*)
: nilai rata-rata skor > 3,9 stimulus berkait erat dengan sikap dan aksi, ditandai dengan (+) nilai rata-rata skor <3,8 stimulus tidak berkait dengan sikap dan aksi, ditandai dengan (-)
Stimulus dari suatu unit atau suatu spesies keanekaragaman hayati adalah spesifik dan unik ditujukan kepada subjek yang spesifik pula. Stimulus kedawung unik dan ditujukan kepada subjek yang unik pula, yaitu kepada masyarakat pendarung yang sudah bertungkus lumut dengan kedawung. Fakta selama ini banyak mengungkapkan, bahwa sinyal manfaat suatu sumberdaya hayati adalah yang paling cepat ditangkap oleh masyarakat menjadi stimulus, karena sudah berkembangnya informasi tentang manfaat.
Namun apabila sinyal lainnya
(stimulus alamiah dan religius) tidak dipahami dan tidak menjadi stimulus sikap untuk aksi konservasi bagi kelompok masyarakat, maka yang akan terjadi adalah discontinuity, inconsistency, disparity dan distorsion dari sumberdaya alam hayati. Kelompok masyarakat inilah yang disebut dengan kelompok “free rider” atau kelompok “pecundang” sebagai pelaku terdepan yang menimbulkan masalah konservasi di lapangan. Masyarakat pendarung di TNMB merupakan
masyarakat kecil yang
menjadi salah satu stakeholder inti yang dulunya berperan sebagai subjek-kunci dalam kegiatan konservasi kedawung. Namun peran ini terkikis karena tidak terjadi pembinaan dan perlindungan tentang hak dan kewajiban mereka serta 74
terjadinya intervensi luar. Hal ini dapat dibuktikan antara lain dari fakta pola penyebaran spasial pohon kedawung, dimana kelimpahan populasi kedawung jauh lebih tinggi di kawasan bagian barat yang berdekatan dengan perkampungan masyarakat pendarung, dibanding dengan kelimpahan kedawung yang jauh lebih rendah di kawasan bagian timur yang berjauhan dengan perkampungan penduduk. Sikap dan aksi konservasi dapat terwujud apabila ketiga kelompok stimulus alamiah, manfaat dan religius tersebut telah menjadi satu dan mengkristal menjadi pendorong sikap setiap individu masyarakat dan pengelola. Ketiga kelompok stimulus pendorong sikap untuk aksi konservasi ini disingkat dan disebut “Tri-stimulus amar konservasi” (amar singkatan dari alamiah, manfaat dan religius). Selanjutnya rincian analisis tentang sikap dan aksi untuk konservasi dikemukan sebagai berikut. 1. Ketidak-terkaitan stimulus dengan sikap masyarakat Berdasarkan hasil penelitian dapat dipastikan terjadi ketidak-terkaitan stimulus kedawung terhadap sikap masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa stimulus kedawung yang
sangat direspon masyarakat hanya stimulus
manfaat ekonomi. Berikut ini dikemukakan hasil dan analisis penelitiannya. a. Stimulus manfaat Manfaat ekonomi. Berdasarkan paket pernyataan stimulus kedawung tentang manfaat ekonomi kedawung yang terdiri dari 4 pernyataan, menunjukkan sikap masyarakat memberi respon sangat suka
terhadap pernyataan stimulus
kedawung yang berhubungan dengan manfaat ekonomi. Sinyal kedawung tentang informasi nilai ekonomi ditangkap
positif
menjadi stimulus oleh masyarakat dan telah menjadi “stimulus kuat” (evoking stimulus) selama ini, seperti pernyataan stimulus : “Hati berbunga-bunga melihat pohon kedawung berbuah lebat yang telah menghitam”. Ungkapan kegembiraan seperti inilah yang keluar dari Mbah Setomi, seorang pendarung buah kedawung yang sudah sepuh dari kampung Timur Sawah yang telah mulai memanen buah kedawung di hutan Meru Betiri sejak penjajah Jepang masuk ke kampung mereka Curahnongko tahun 1947.
75
Pernyataan stimulus : “Saat pohon kedawung berbuah, masyarakat masuk hutan untuk memanen buahnya”. Pernyataan ini sangat direspon positif oleh masyarakat. Buah pohon kedawung sudah masak/tua yaitu mulai awal bulan September sampai akhir Oktober sehingga menjadi stimulus kepada masyarakat masuk hutan untuk memanen kedawung. Kegiatan masyarakat masuk hutan untuk memanen buah kedawung ini sudah berlangsung sejak lama, jauh sebelum kawasan hutan Meru Betiri ini dikukuhkan oleh pemerintah menjadi taman nasional pada tahun 80 an. Pada bulan Agustus sampai September merupakan bulan yang menyenangkan bagi masyarakat pendarung kedawung, karena merupakan musim untuk memanen buah kedawung. Biasanya pada masa itu mereka menginap di hutan selama 3-5 hari. Berikut ini dikemukakan hasil pengolahan data seperti dapat dilihat pada Gambar 15.
Sikap Masyarakat (Semua stimulus terkait dengan sikap masyarakat)
Stimulus kedawung tentang manfaat ekonomi
Keterangan No Pernyataan stimulus kedawung tentang nilai manfaat ekonomi
Skor rata2 Sikap*) 1 5 Hati berbunga-bunga melihat pohon kedawung berbuah lebat yang telah menghitam + 2 5 Saat pohon kedawung berbuah, masyarakat masuk hutan untuk memanen buahnya. + 3 5 Pohon kedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat. + 4 4,8 Biji kedawung banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri jamu + Rata-rata 4,9 + *) + = sangat suka atau suka (rata-rata skor > 3,9) ; - = tidak suka atau kurang suka (rata-rata skor < 3,8)
Gambar 15. Keterkaitan sikap masyarakat terhadap stimulus nilai manfaat ekonomi kedawung Sejak kawasan hutan ini menjadi taman nasional, maka kegiatan masyarakat masuk hutan dan mengambil hasil hutan dianggap suatu pelanggaran. Kegiatan pengambilan kedawung ini umumnya mereka lakukan dengan kelompok kecil yang beranggotakan 3-5 orang, yaitu satu orang sebagai pemanjat dan pemungut buah di atas pohon, sedangkan yang lain mengumpulkan buah yang sudah jatuh di bawah pohon. Teknik pengambilan buah kedawung biasanya dilakukan dengan cara dipanjat, dimana tangga yang digunakan adalah dengan cara membuat patek di pohon tersebut. Hal ini terlihat dengan adanya kayu-kayu kecil yang ditancapkan 76
p pada pohon n tersebut deengan ukuraan yang dissesuaikan deengan tapak k kaki dan l langkah kak ki si pemanjaat. Tidakk semua oraang bisa meemanjat pohoon kedawunng, karena memerlukan m k keberanian dan keteram mpilan tingggi dengan menggunakan m n pantek sepperti dapat d dilihat pada Gambar 16 berikut ini :
(a)
(b)
(c)
6. Alat dan bahan b patek (a), seorang pendarung sedang mem manjat Gambar 16 tanpa tali pengaman (b), dan bekaas patek yanng tertancap di pohon kedawungg (c). mbilan buahh kedawung dilakukan satu s tahun seekali, yaitu pada p bulan Pengam A Agustus ataau Septemb ber.
Adappun langkaah kerja yaang dilakukkan dalam
p pengambilan n kedawung adalah sebaagai berikut -
Pembuattan patok unntuk injakann dari batangg jambe yang sudah tua, jika tidak ada jamb be patok dibu uat dari bam mbu Patok yang akan dibuat d diambbil dari bag gian paling bawah dan n dipotong dengan panjang p 18 – 20 cm Setiap pootongan dibaagi empat baagian Bagian yang y dipotonng empat dibbentuk sedem mikian rupa sehingga muudah untuk ditancapkan ke pohoon kedawungg (diruncingkkan) Panjang patok yang sudah jadi/siap dipatokaan panjangnyya lebih kuraang 15 cm Patok teersebut dibeenamkan/dippatokkan kee pohon keedawung seedalam 1/3 bagian dari d panjang patok Patok dittancapkan dengan jarak 60 – 75 cm Setelah semua patokk tertancap di d batang poohon kedaw wung, maka pohon p bisa ma dan buah h kedawung bisa diamb bil. Untuk dipanjat sampai keccabang utam buah keedawung yaang letaknyaa di ujung ranting, peengambilan dilakukan dengan galah g yang diujungnya d ddiikatkan pissau/clurit. Namun N ada juuga cabang yang pottong. Dalaam masyarakkat ada keseepakatan tidaak tertulis, yyaitu apabilaa pada saat
m musim kedaawung berbuuah di hutan dan pada poohon tersebutt sudah dipaasang pasak 77
yang baru, maka orang lain tidak boleh memanen buah kedawung pada pohon tersebut pada musim itu. Ini merupakan konsensus masyarakat yang penting untuk menghindari konflik sesama masyarakat pendarung kedawung. Sedangkan terhadap pernyataan “Pohon kedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat”, semua masyarakat menyatakan sikapnya sangat suka. Hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi masyarakat memandang pohon kedawung itu merupakan salah satu sumber pendapatan mereka sejak lama dan dapat memberikan sumbangan pendapatan bagi kehidupan keluarga terutama di masa paceklik. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat ikatan hidup yang erat antara mereka dengan pohon kedawung, tetapi ikatan nilai ekonomi ini
belum menjadikan pendorong bagi masyarakat untuk berbuat
konservasi kedawung di hutan alam. Secara sadar ataupun tidak disadari masyarakat pendarung TNMB telah ikut dan berperan di dunia global melalui kedawung. Berdasar hasil wawancara dengan masyarakat diketahui semua biji kedawung setiap tahun habis terjual kepada tengkulak. Hal ini sesuai dengan penelitian Purwandari (2001), bahwa semua hasil biji kedawung habis terserap oleh industri jamu di Jawa dan kebutuhan industri masih belum bisa terpenuhi, suplai biji kedawung langsung diserap industri jamu meningkat setiap tahunnya dan rata-rata per tahun mencapai 88 ton.
Biji kedawung digunakan oleh sepuluh industri jamu di Jawa, lima
diantaranya termasuk industri jamu besar yang sudah mengekspor produknya ke mancanegara. Sekitar 51 macam produk obat tradisional atau jamu berbahan baku biji kedawung. Masa kini dan mendatang perlu dijalin kerjasama yang saling menguntung antara masyarakat, pengelola dan industri jamu untuk konservasi kedawung.
Pemerintah seharusnya berperan sebagai fasilitator dan regulator
secara proaktif bagi kepentingan ketiga belah pihak dengan prinsip keadilan yang berkelanjutan, misalnya pajak yang dipungut oleh pemerintah dari industri jamu hendaknya disalurkan untuk kepentingan penelitian, peningkatan kapasitas masyarakat untuk konservasi dan peningkatan nilai tambah bagi masyarakat. Manfaat obat. Berdasarkan paket pernyataan stimulus kedawung tentang manfaat obat yang terdiri dari 4 pernyataan, hanya satu pernyataan, yaitu: “Biji kedawung berkhasiat untuk obat sakit perut kembung” yang menjadi sikap 78
masyarakat, tetapi hanya sebatas mengetahui dan menyukai biji kedawung bermanfaat untuk obat sakit perut. Masyarakat sekarang ini sehari-hari tidak lagi memanfaatkan biji kedawung untuk mengobati sakit perut. Mereka sudah banyak beralih menggunakan obat-obat pabrik farmasi yang dijual bebas di warungwarung, karena praktis dan terpengaruh dengan siaran TV yang mulai masuk tahun 1973. Saat ini sudah terjadi perubahan budaya masyarakat tentang menjaga kesehatan keluarga.
Hanya beberapa orang tua yang selalu menyimpan biji
kedawung di rumahnya untuk dijadikan persediaan obat keluarga. Sedangkan masyarakat umumnya tidak lagi menyimpan biji kedawung. Masyarakat tidak mengetahui manfaat atau khasiat kedawung yang beranekaragam, selain untuk dapat mengobati sakit perut. Berbeda dengan masyarakat tradisional di Afrika yang banyak tahu tentang manfaat kedawung selain untuk obat sakit perut (Hall, Tomlison, Oni, Buchy dan Aebischer, 1997). Walaupun begitu ada beberapa orang yang sangat suka dengan pohon kedawung seperti yang diungkapkan oleh Suparno, seorang pendarung kedawung.
Dia memberi julukan untuk pohon
kedawung sebagai pohon kehidupan - pohon sumber waras. Pohon ini banyak sekali jasanya baik sebagai pelestarian hutan melalui peningkatan kesuburan tanah, mencegah longsor, erosi.
Juga pohon ini memberikan manfaat kalau
bijinya dikonsumsi secara teratur ia akan memelihara kesehatan perut. Berikut dikemukan rincian hasil dalam bentuk Gambar 17. Stimulus kedawung: nilai manfaat obat, yang belum terkait sikap masyarakat 5, 6 dan 8
Sikap Masyarakat
Stimulus kedawung yg terkait sikap masyarakat : 7
Keterangan No 5 6 7 8
Pernyataan stimulus kedawung tentang nilai manfaat obat
Skor rata2
Sikap*)
Biji kedawung dipakai sendiri untuk obat sakit perut kembung. Biji kedawung selalu ada disimpan di rumah untuk obat. Biji kedawung berkhasiat untuk obat sakit perut kembung. Pohon kedawung adalah tumbuhan obat yang banyak khasiatnya. Rata-rata
2,7 2 4,4 3,2 3,1 *) + = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9); - = tidak suka atau kurang suka/setuju (< 3,8)
+
-
Gambar 17. Sikap masyarakat terhadap stimulus nilai manfaat obat kedawung 79
Begitu juga Mbah Setomi mengungkapkan perasaannya, bahwa kedawung merupakan pohon tumbuhan obat yang unggul. Sejak zaman Jepang kedawung paling banyak dipakai untuk mengobati penyakit dan kedawung sangat dikenal di masa itu untuk obat segala macam penyakit dan dicampur dengan temulawak. Makan biji kedawung dapat menghaluskan kulit, melancarkan pernapasan. Pohon kedawung adalah pohon yang membanggakan di hutan, karena manfaat dan fungsinya yang dirasakan Mbah Setomi berdasarkan pengalamannya. Berdasarkan analisis data terbukti bahwa sikap masyarakat terhadap nilai manfaat obat berbeda nyata pada kelas umur masyarakat pendarung. Begitu juga ada korelasi yang nyata antara kelas umur dengan sikap manfaat obat. Masyarakat kelas umur di atas 40 tahun ternyata lebih merespon stimulus nilai manfaat obat. Hasil analisis menunjukkan pula bahwa dalam masyarakat mulai terjadi ketidak-keberlanjutan pengetahuan tentang manfaat obat kedawung dari generasi tua ke generasi muda.
Faktor yang menjadi penyebabnya adalah
terutama generasi muda lebih banyak dipengaruhi dengan informasi luar dan menganggap obat kedawung sudah kuno.
Tokoh masyarakat Mbah Setomi
mengatakan (1) banyak generasi muda sekarang tidak tahu, karena tidak pernah mengambil buah kedawung di hutan; (2) banyak anak muda sombong, membanggakan obat-obat modern; (3) menganggap obat dari kedawung tidak praktis dan merepotkan dan (4) obat yang dijual di warung atau toko sudah siap pakai dan manjur. TNMB memiliki banyak spesies tumbuhan obat untuk mengobati penyakit perut dan gangguan pencernaan, yaitu dari 355 spesies tumbuhan obat telah diketahui sebanyak 135 spesies berkhasiat untuk mengobati penyakit perut atau gangguan pencernaan, salah satu di antaranya yang paling dikenal masyarakat adalah pohon kedawung. Pengetahuan tradisional masyarakat hutan di Afrika Barat tentang manfaat dan pengolahan kedawung jauh lebih banyak, berkembang dan maju dibanding masyarakat TNMB. Hal ini dapat dimengerti karena keanekaragaman tumbuhan di hutan alam di Afrika Barat jauh lebih sedikit dibanding ekosistem hutan hujan tropika Indonesia. Masyarakat Afrika tidak punya banyak pilihan terhadap spesies
80
yang bermanfaat, seperti masyarakat hutan TNMB. Maka proses trial and error pada masyarakat Afrika jauh lebih intensif terjadi dan dalam waktu panjang. b. Stimulus alamiah Kelangkaan. Sinyal alamiah tentang kelangkaan, kondisi populasi dan regenerasi kedawung secara menyeluruh tidak menjadi informasi bagi masyarakat, sehingga sinyal ini tidak menjadi stimulus bagi masyarakat untuk aksi konservasi. Masyarakat tidak menyukai kehidupan kedawung yang bersifat soliter, tidak bisa hidup berdekatan dengan sesama jenisnya. Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan “kedawung yang anakannya tidak bisa tumbuh menjadi besar di sekitar pohon induknya”, bahwa masyarakat tidak suka dengan kondisi dan sifat kedawung ini.
Begitu juga masyarakat tidak memahami sinyal tentang sulitnya
menjumpai anakan pohon kedawung di hutan alam sebagai informasi dan pertanda ancaman kelangkaan, sehingga sinyal ini tidak menjadi stimulus bagi sikap untuk aksi konservasi. Masyarakat menyukai pohon kedawung dewasa yang jumlahnya jauh lebih banyak dibanding pohon yang muda atau anakannya. Artinya mereka tidak memahami sinyal ini sebagai informasi kelangkaan, mereka hanya fokus
aspek ekonomi jangka pendek, yaitu kepada pohon kedawung
dewasa yang bisa berbuah terkini. Sikap masyarakat terhadap stimulus ini untuk lebih jelasnya ditunjukkan pada Gambar 18 berikut ini. Stimulus kedawung: Kondisi populasi dan regenerasi yang belum terkait sikap masyarakat 14, 15 dan 17
Sikap Masyarakat
Stimulus kedawung yg terkait sikap masyarakat : 16 Keterangan Skor rata2
Sikap*)
2,7
+ -
14
Pernyataan stimulus kedawung: kondisi populasi dan regenerasinya Anakan kedawung sangat jarang menjadi besar di sekitar pohon induknya.
15
Pohon kedawung muda sangat jarang ditemukan di kawasan hutan alam.
3,1
16
Anakan kedawung hanya tumbuh di tempat terbuka terkena sinar matahari.
4,3
17
Pohon dewasa jauh lebih banyak dibanding pohon mudanya di hutan
1,4
No
Rata-rata
*) + = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9) ;
3
- = tidak suka atau kurang suka/setuju (< 3,8)
Gambar 18. Sikap masyarakat terhadap stimulus tentang kelangkaan kedawung 81
Berdasarkan analisis data ternyata bahwa masyarakat kelas umur diatas 40 tahun lebih memahami kondisi populasi kedawung yang sudah menuju langka. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa tidak terjadi keberlanjutan pengetahuan tentang konservasi dari masyarakat lebih tua kepada masyarakat yang lebih muda. Berdasarkan hal di atas, maka penyuluhan dan pendampingan tentang konservasi kedawung perlu diprioritaskan pada kelompok masyarakat umur < 40 tahun. Fungsi ekologis.
Berdasarkan 5 pernyataan stimulus kedawung, ada 4
pernyataan yang dipahami dan disukai masyarakat, seperti pernyataan stimulus nomor 9, 10, 11 dan 12, seperti dapat dilihat pada Gambar 19.
Pernyataan
stimulus 13 direspon negatif oleh masyarakat, yaitu pernyataan “buah kedawung yang muda dimakan satwa lutung”. Masyarakat umumnya tidak suka dan tidak rela buah kedawung muda dimakan satwa budeng, karena akan mengurangi hasil panenannya. Ini artinya, stimulus nilai ekologis yang berbenturan dengan stimulus nilai ekonomi, maka sikap masyarakat akan lebih berpihak kepada nilai ekonomi. Penelitian
menunjukkan
bahwa
kedawung
secara
alami
hidup
berdampingan dengan berbagai spesies tumbuhan, yaitu sekitar 75 % diantaranya adalah termasuk spesies tumbuhan obat. Keanekaragaman tumbuhan obat tersebut berupa pohon, liana, perdu maupun tumbuhan bawah. Masyarakat memahami kedawung dapat memberi kehidupan kepada jenis tumbuhan lain. Sinyal dari karakteristik kedawung ini dapat dijadikan informasi bagi masyarakat, sehingga menjadi stimulus bagi sikap masyarakat untuk aksi konservasi. Sikap masyarakat yang terkait dengan stimulus : 9,10, 11 dan 12
Stimulus kedawung: Nilai fungsi ekologis, yang tidak terkait dengan sikap masyarakat : 13
Keterangan No Pernyataan stimulus kedawung tentang nilai fungsi ekologis 9 10 11 12 13
Skor rata2
Sikap*)
Kedawung banyak tumbuh di lereng bukit yang terjal Kedawung adalah pohon tertinggi pengayom tumbuhan lainnya di hutan Kedawung yang sedang berbunga banyak didatangi lebah madu. Kedawung menggugurkan daunnya sebanyak 1 atau 2 kali setiap tahun. Buah kedawung yang muda dimakan satwa budeng
4,4 4,9 4,6 4,4 1,8
+ + + +
Rata-rata
4,0
*) + = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9) ;
+
- = tidak suka atau kurang suka/setuju (< 3,8)
Gambar 19. Sikap masyarakat yang terkait stimulus fungsi ekologis kedawung 82
Contoh beberapa spesies tumbuhan obat tingkat pohon yang ada antara lain: bendo (Artocarpus elasticus Rein Ex Bl.), timo (Kleinhovia hospita L), gundang (Ficus variegata Bl.), waru (Hibiscus tiliaceus L.), winong (Tetrameles nudiflora R.Br.), glintungan (Bischofia javanica Bl.), suren (Toona sureni Bl.) dan lain-lain (Mirwan, 1995; Sihotang, 1996; Dewi, 1999; Rinekso, 2000; Winara, 2001; Iskandar, 2003). Masyarakat pendarung menyadari fungsi pohon kedawung dapat mencegah erosi dan longsor. Menurut mereka seperti yang diungkapkan oleh Mbah Setomi sebagai berikut: Pohon kedawung sangat jarang tumbuh di tempat datar di hutan dan umumnya pohonnya punya tamping (banir). Pohon kedawung berperan sebagai penjaga longsor serta tumbuh banyak dilereng-lereng bukit, karena dia perlu sinar matahari. Kedawung pohon paling tinggi dan lurus, tapi kalau pohon apak (beringin) tumbuh lebih dulu, maka kedawung akan kalah atau pohon kedawungnya bisa berbelok mencari sinar matahari. Dia setuju dan semangat sekali kalau kedawung dilestarikan di hutan, termasuk juga pohon joho.
Begitu juga masyarakat memahami dan menyukai pohon kedawung karena dapat berfungsi menyuburkan tanah di sekitar tempat tumbuhnya dengan guguran daunnya secara serentak sebanyak 1 atau 2 kali dalam satu tahun. Kalimat lain yang diucapkan dengan penuh kebanggaan oleh Mbah Setomi adalah : Saya suka dan bangga dengan pohon kedawung. Kedawung menyediakan pupuk untuk menyuburkan tanah hutan dan sangat bermanfaat bagi jenis tumbuhan lain yang ada di sekitarnya. Pohon kedawung itu adalah pohon penyubur hutan, karena dia setiap tahun menggugurkan daunnya, bahkan ada yang sampai 3 kali menggugurkan semua daunnya dalam satu tahun. Musim kemarau dia mengugurkan daun, tidak serentak mengugurkan daun, masing-masing individu berbeda waktu gugur daunnya. Pada saat itu akan banyak sekali sampah yang menjadi pupuk dan juga sinar matahari akan lebih banyak masuk ke lantai hutan waktu mengugurkan daun. Orang yang tidak tahu mengira pohon kedawung mati. Banyak orang yang tak mengerti dengan kelebihan kedawung ini dalam konservasi hutan.
Masyarakat pendarung kedawung, juga sekaligus sebagai pendarung madu lebah di hutan.
Mereka mengetahui dan menyukai pohon kedawung ketika
sedang berbunga banyak didatangi lebah madu untuk mengambil pakan. Menurut masyarakat, madu dari lebah yang pakannya dari bunga kedawung ini dicirikan dengan madu berwarna kuning. Berikut ini pada Gambar 20 dapat dilihat bentuk tajuk pohon kedawung dari kejauhan di hutan taman nasional Meru Betiri.
83
(a) (b) G Gambar 20. Bentuk tajuuk pohon keddawung darii kejauhan (yyang dilingkkar) (a), bunga kedaawung yang merupakan sumber pakaan lebah madu (b). h satu spesiees pohon terrtinggi dan Pohoon kedawungg yang meruupakan salah t terbesar di TNMB meemiliki berbbagai nilai manfaat peenting bagi kehidupan m manusia dan n ekosistem m hutan. Pohhon kedawun ng adalah ppohon kehiddupan yang s sangat berp potensi mem mbangun im mage dan stimulus s baagi masyaraakat untuk b berperilaku aksi konservvasi, asal saja disosialisaasikan, disam mbungkan peengetahuan i dengan baik ini b dan secaara konsistenn kepada maasyarakat penndarung. Masy yarakat tidak k senang apabila satwa budeng mem makan buah kedawung y yang muda, karena akann menguranggi hasil paneenan merekaa. Namun ad da persepsi l seperti pernyataan lain p Mbah M Setom mi yang bersifat konservaasionis bebag gai berikut: Budeeng tidak bisaa mengambil buah kedawuung di ujung ranting, karrena rantinngnya kecil dan d bisa pattah, dia akan n jatuh. Budeeng makan buah b kedaw wung mudaa secara teeratur, masinng-masing iindividu maakan bergaantian. Buah gompol diam mbil seperluny ya dan dibaw wa ke dahan lain untuk k memakannnya dan keemudian menngulangnya kembali seccara bergaantian. Kalaau buah padaa satu gompol itu habis baru pindahh ke gomp pol yang lainn dan kalau sudah kenyaang dia akann pergi. Buddeng sangaat hemat dallam memakaan buah kedaawung dan ddia tidak maakan menggacak semuaa gompol yaang ditemui, melainkan ssatu gompol ke gomp pol lainnya. Budeng itu sangat hemat dan masih bannyak meninnggalkan buaah kedawungg yang utuh,, apalagi buaah yang tum mbuh diujuung ranting, ini tidak diaambilnya. Budeng B tidakk bisa memaanjat pohonn kedawung yang berdiam meter besar, sehingga tidaak semua poohon kedaw wung yang bisa dipanjaatnya. Namun n kalau mannusia, semuaanya diambbil, bahkan kalau banyak yyang menebanng cabang poohon kedawunng !
Ungkkapan di atas a dapatlaah dipastikaan bahwa telah t terjad di ketidakb berlanjutan pengetahuaan lokal kepada k generasi mudaa, khususny ya tentang p pemahaman konservasi.
84
Berdasarkan hasil analisis data, sikap terhadap nilai fungsi ekologis tidak berbeda nyata antara masyarakat pendarung kelompok umur di bawah 40 tahun dengan kelompok umur di atas 40 tahun. Walaupun hubungan kelas umur dengan sikap terhadap stimulus fungsi ekologis tidak nyata, tetapi ada kecenderungan bahwa masyarakat pendarung yang berumur di atas 40 tahun cenderung lebih respon terhadap stimulus fungsi ekologis kedawung. 2. Ketidak-terkaitan stimulus dengan sikap pengelola Berdasarkan hasil penelitian dapat terbukti terjadi ketidak-terkaitan antara stimulus kedawung terhadap sikap pengelola. Hanya stimulus manfaat, yaitu yang berhubungan nilai manfaat ekonomi yang terkait erat dengan sikap pengelola.
Sedangkan stimulus alamiah tentang kelangkaan, kondisi populasi
dan regenerasi yang memberikan sinyal bahwa kedawung saat ini terancam langka belum menjadi informasi dan stimulus bagi sikap pengelola. Berdasarkan hasil penelitian ini ternyata bahwa stimulus kedawung yang berkaitan dengan sikap pengelola hanya stimulus manfaat ekonomi saja. Stimulus tentang manfaat obat kedawung tidak dipahami oleh pengelola, yaitu bahwa kedawung memiliki manfaat obat untuk berbagai macam penyakit, selain untuk obat sakit perut kembung. Sedangkan stimulus alamiah tentang kelangkaan serta kondisi populasi dan regenerasi sama sekali belum menjadi pendorong sikap bagi pengelola untuk konservasi. Analisis lebih jauh mengenai masalah ini diuraikan sebagai berikut ini : a. Stimulus manfaat Manfaat ekonomi.
Berdasarkan paket pernyataan stimulus manfaat
ekonomi kedawung yang terdiri dari 4 pernyataan, menunjukkan bahwa sikap pengelola merespon positif terhadap stimulus manfaat ekonomi, yaitu pada pernyataan stimulus 1, 3 dan 4.
Namun pernyataan stimulus : “Saat pohon
kedawung berbuah, banyak masyarakat masuk hutan untuk memanen buahnya” disikapi negatif oleh pengelola. Pengelola tidak suka masyarakat masuk kawasan hutan karena pengelola beranggapan dan memandang masyarakat masuk hutan adalah pelanggaran peraturan perundangan yang berlaku dan masyarakat dianggap sebagai aktor perusak kawasan hutan taman nasional.
85
Pernyataan “Pohon kedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat”, kurang disukai oleh sebagian pengelola dan masih mengkhawatirkan akan berdampak negatif terhadap konservasi taman nasional. Namun lebih dari 50 %
pengelola menyadari dan menyukai bahwa kedawung
sudah sejak lama menjadi sumber mata-pencaharian masyarakat. Mereka merasa terkendala dan terikat dengan peraturan perundangan yang berlaku yaitu bahwa memasuki kawasan taman nasional dilarang tanpa izin. Selama ini pengelola belum berupaya mencari jalan keluar
agar masyarakat secara legal dapat
mengambil buah kedawung di kawasan secara lestari. Pernyataan “Biji kedawung banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri jamu” disukai oleh juga pengelola, namun tanda suka ini belum direfleksikan dalam program pengembangan kedawung yang terencana dan benar. Program peningkatan nilai tambah kedawung untuk ekonomi masyarakat belum dilakukan, terbukti dari masyarakat selama 50 tahun terakhir masih menjual dalam bentuk biji kedawung kepada tengkulak. Selama ini nilai tambah hanya dinikmati oleh industri jamu dengan mengekspor berbagai produk jamu dari bahan baku kedawung, seperti yang dilakukan oleh dua Industri Jamu Besar di Jawa. Analisis hasil penelitian lebih jelasnya disajikan dalam bentuk Gambar 21 sebagai berikut.
Sikap pengelola
Stimulus kedawung Nilai manfaat ekonomi yang belum terkait dengan sikap pengelola : 2
Stimulus kedawung yg terkait dengan sikap pengelola : 1, 3 dan 4
Keterangan No Pernyataan stimulus kedawung tentang nilai manfaat ekonomi Hati berbunga-bunga melihat pohon kedawung berbuah lebat yang menghitam 1 Saat kedawung berbuah, banyak masyarakat masuk hutan memanen buahnya. 2 Pohon kedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat. 3 Biji kedawung banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri jamu 4 Rata-rata *)
Skor rata2
Sikap*)
4,7 2,3 3,9 4,6 4,0
+
+ + +
+ = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9); - = tidak suka atau kurang suka/setuju (< 3,8)
Gambar 21. Sikap pengelola yang terkait dengan stimulus manfaat ekonomi kedawung
86
Selama ini pengelola hanya memberikan perhatian kepada 3 spesies yang dianggap prioritas menurut pengelola taman nasional, yaitu spesies harimau jawa (Panthera tigris Sondaica), bunga padma (Rafflesia zollingeriana) dan penyu hijau (Chelonia mydas) (Balai Taman Nasional Meru Betiri, 2004).
Ketiga
spesies ini tidak berkaitan langsung dengan kepentingan hidup masyarakat pendarung maupun masyarakat lain yang hidup di sekitar kawasan TNMB. Walaupun pengelola melakukan program rehabilitasi dengan salah satu tanaman pokoknya kedawung, tetapi sampai hari ini masih sebatas agar lahan rehabilitasi segera hijau ditutupi vegetasi. Penanaman kedawung dilakukan dengan jarak tanam yang salah, yaitu terlalu rapat. Pengelola belum bersikap bahwa pohon kedawung penting dan merupakan komoditi strategis yang bisa menjadi stimulus untuk masyarakat berperilaku konservasi. Manfaat obat. Berdasarkan paket pernyataan stimulus kedawung tentang nilai manfaat obat kedawung yang terdiri dari 4 pernyataan, menunjukkan bahwa sikap pengelola secara keseluruhan terhadap pernyataan stimulus kedawung memberi respon tidak suka atau tidak tahu. Pernyataan “Biji kedawung berkhasiat untuk obat sakit perut kembung” merupakan satu-satunya yang direspon positif oleh pengelola, tetapi hanya sebatas mengetahui dan menyukai biji kedawung bermanfaat untuk obat sakit perut. Namun pengelola jarang atau tidak pernah memanfaatkan biji kedawung untuk mengobati sakit perut. Sama juga dengan masyarakat, ternyata pengelola kalau sakit perut menggunakan obat-obat pabrik farmasi yang dijual bebas di toko-toko obat. Pengelola juga tidak mengetahui tentang potensi manfaat pohon kedawung lainnya seperti halnya pengetahuan masyarakat tradisional di Afrika Barat yang banyak tahu tentang manfaat kedawung (Hall, Tomlison, Oni dan Buchy, 1997). Analisis hasil penelitian lebih jelasnya disajikan dalam bentuk Gambar 22 sebagai berikut.
87
Stimulus kedawung Nilai manfaat obat yang tidak terkait dengan sikap pengelola : 5, 6 dan 8
Sikap pengelola
Stimulus kedawung yg terkait dengan sikap pengelola : 7
Keterangan No
Pernyataan stimulus kedawung tentang nilai manfaat obat
Sikap*)
-
5
Biji kedawung dipakai sendiri untuk obat sakit perut kembung.
1,9
6
Biji kedawung selalu ada disimpan di rumah untuk obat.
1,3
7 8
Biji kedawung berkhasiat untuk obat sakit perut kembung. Pohon kedawung adalah tumbuhan obat yang banyak khasiatnya.
4,3 3,0
Rata-rata *)
Skor rata2
+ = sangat suka atau suka/setuju (>3,9) ;
2,6
+
-
- = tidak suka atau kurang suka/setuju (<3,8)
Gambar 22. Sikap pengelola terhadap nilai manfaat obat b. Stimulus alamiah Kelangkaan. Sikap pengelola ternyata belum berkaitan dengan stimulus alamiah. Sinyal tentang kelangkaan yang menginformasikan kondisi populasi dan regenerasi kedawung belum menjadi informasi bagi pengelola, sehingga sinyal ini belum menjadi stimulus bagi sikap pengelola untuk aksi konservasi. Pengelola tidak menyukai kondisi terhadap sifat atau karakter kedawung yang anakannya tidak bisa tumbuh menjadi besar di sekitar pohon induknya. Hakl ini artinya bahwa pengelola tidak memahami karakter kedawung yang hidup soliter dan tidak bisa hidup berdekatan sesama spesiesnya, sehingga perlu dibantu menyebarkan bijinya. Pengelola juga tidak merespon positif atau tidak memahami terhadap kondisi seperti sulitnya menjumpai pohon kedawung yang muda di hutan alam serta tentang pohon kedawung dewasa yang jumlahnya jauh lebih banyak dibanding pohon kedawung yang muda.
Padahal fenomena atau sinyal ini
merupakan informasi yang sangat penting, yaitu bahwa regenerasi kedawung di hutan alam terputus karena sangat sulit terjadi regenerasi. Pengelola tidak menangkap sinyal tentang kondisi populasi kedawung sebagai
informasi kelangkaan, sehingga tidak menjadi stimulus bagi sikap
pengelola untuk aksi konservasi. Pernyataan stimulus 14, 15, 16 dan 17 tersebut
88
sama sekali tidak ada yang overlap dengan sikap pengelola, seperti terlihat pada Gambar 23 berikut ini. Stimulus kedawung Kondisi populasi dan regenerasi belum terkait dengan sikap pengelola : 14, 15, 16 dan 17
Sikap pengelola
Keterangan No Pernyataan stimulus: kondisi populasi dan regenerasinya 14 15 16 17 *)
Skor rata2
Anakan kedawung sangat jarang menjadi besar di sekitar pohon induknya. Pohon kedawung muda sangat jarang ditemukan di kawasan hutan alam. Anakan kedawung hanya tumbuh di tempat terbuka terkena sinar matahari. Pohon kedawung dewasa jauh lebih banyak dari pohon mudanya di hutan . Rata-rata
Sikap *)
2,1 3,7 2,8 2,2 2,7
-
+ = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9) ; - = tidak suka atau kurang suka/tidak setuju (< 3,8)
Gambar 23. Sikap pengelola terhadap kondisi populasi dan regenerasi kedawung Fungsi ekologis. Berdasarkan uji terhadap 5 pernyataan stimulus kedawung, ternyata pengelola kurang memahami dan kurang berpengalaman dengan fungsi ekologis pohon kedawung dibandingkan dengan masyarakat pendarung. Ada tiga pernyataan yang direspon negatif oleh pengelola. Pengelola belum menyadari bahwa pohon kedawung merupakan pohon besar dan bertajuk tertinggi pada canopy hutan yang menaungi berbagai jenis tumbuhan penting lainnya. Pengelola tidak mengetahui bahwa bunga kedawung merupakan pakan yang disukai lebah madu.
Begitu juga pengelola tidak
mengetahui bahwa pohon kedawung menggugurkan daun 1 sampai 2 kali dalam setahun. Kondisi ini merupakan sifat fisiologis kedawung untuk mengatasi kekeringan dan sekaligus menjadi hal yang sangat positif bagi pendauran hara dalam menyuburkan tanah dan memelihara kualitas lingkungan hidup hutan alam. Berikut dapat dilihat analisis hasil penelitian seperti pada Gambar 24.
89
Stimulus kedawung Fungsi ekologis yang tidak terkait dengan sikap pengelola : 10, 11 dan 12.
Sikap pengelola
Stimulus kedawung yg terkait dengan sikap pengelola : 9 dan 13
Keterangan No
Pernyataan stimulus kedawung tentang fungsi ekologis
9 10 11 12 13
Pohon kedawung banyak tumbuh di lereng bukit yang terjal Kedawung adalah pohon besar dan tinggi mengayom tumbuhan lainnya Pohon kedawung yang sedang berbunga banyak didatangi lebah madu. Pohon kedawung menggugurkan daun sebanyak 1 atau 2 kali per tahun. Buah kedawung yang muda dimakan satwa budeng Ratarata
*)
+ = sangat suka atau suka/setuju (>3,9) ;
Skor rata2 4,3 3,4 3,5 3,2 4,4 3,7
Sikap*) +
+
-
- = tidak suka atau kurang suka/setuju (<3,8)
Gambar 24. Sikap pengelola terhadap nilai manfaat ekologis 3. Bias stimulus terhadap sikap masyarakat dan sikap pengelola Berdasarkan hasil penelitian ternyata bahwa sikap masyarakat dan sikap pengelola terjadi bias dengan stimulus kedawung terhadap sikap konservasi. Informasi alamiah tentang kelangkaan,
kondisi populasi dan regenerasi
kedawung di hutan alam tidak dipahami oleh masyarakat maupun oleh pengelola (pernyataan 14, 15 dan 17). Informasi tentang kelangkaan yang penting ini tidak menjadi stimulus bagi sikap konservasi masyarakat maupun pengelola. Namun demikian pada Gambar 25 ditunjukkan bahwa masyarakat dibandingkan dengan pengelola lebih menangkap dan memahami informasi yang diberikan kedawung untuk aksi konservasi, yaitu seperti pernyataan 10, 11, 12 dan 16. Ini menunjukkan bahwa masyarakat pendarung mempunyai pengalaman yang lebih banyak tentang kedawung dibandingkan dengan pengelola. Hal ini sangat logis karena masyarakat
lebih banyak dan lebih intensif berinteraksi
dengan kedawung, paling tidak pada saat mereka mengambil buah kedawung setiap tahunnya.
90
Stimulus Kedawung yg berkaitan erat dg sikap masyarakat 2, 3, 10, 11, 12 dan 16
Stimulus Kedawung yang bias dengan sikap masyarakat dan sikap pengelola: manfaat obat (5,6,8), kondisi populasi dan regenerasi (14,15,17) Stimulus Kedawung yg berkaitan erat dg sikap pengelola: nilai fungsi ekologis (13)
Stimulus Kedawung terkait erat dg sikap masyarakat dan pengelola: nilai ekonomi (1, 4), nilai obat (7), nilai fungsi ekologis (9) Keterangan No
Pernyataan stimulus kedawung Nilai manfaat ekonomi (Stimulus manfaat)
Masyarakat *)
(+) Hati berbunga-bunga melihat pohon kedawung berbuah lebat yang telah menghitam 1 (+) Saat pohon kedawung berbuah, masyarakat masuk hutan untuk memanen buahnya. 2 (+) Pohon kedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat. 3 (+) Biji kedawung banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri jamu 4 (+) Nilai manfaat obat (Stimulus manfaat) (-) 5 Biji kedawung dipakai sendiri untuk obat sakit perut kembung. (-) 6 Biji kedawung selalu ada disimpan di rumah untuk obat. (-) 7 Biji kedawung berkhasiat untuk obat sakit perut kembung. (+) 8 Pohon kedawung adalah tumbuhan obat yang banyak khasiatnya. (-) Nilai fungsi ekologis (Stimulus alamiah) (+) 9 Kedawung banyak tumbuh di lereng bukit yang terjal (+) 10 Kedawung adalah pohon raksasa pengayom tumbuhan lainnya di hutan (+) 11 Kedawung yang sedang berbunga banyak didatangi lebah madu. (+) 12 Kedawung menggugurkan daunnya sebanyak 1 atau 2 kali setahun. (+) 13 Buah kedawung yang muda dimakan satwa budeng (-) Kondisi populasi dan regenerasi (Stimulus alamiah) (-) 14 Anakan kedawung sangat jarang menjadi besar di sekitar pohon induknya. (-) 15 Pohon kedawung muda sangat jarang ditemukan di kawasan hutan alam. (-) 16 Anakan kedawung hanya hidup di tempat terbuka terkena sinar matahari. (+) 17 Kedawung dewasa jauh lebih banyak dibanding pohon mudanya di hutan (-) *) + = sangat suka atau suka/setuju - = tidak suka atau kurang suka/tidak setuju
Pengelola*)
(+) (+) (-) (-) (+)
(-) (-) (-) (+) (-) (-) (+) (-) (-) (-) (+) (-) (-) (-) (-) (-)
Gambar 25. Stimulus yang terkait dan bias dengan sikap masyarakat dan pengelola 4. Ketidak-sejalanan stimulus dengan aksi konservasi masyarakat Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi ketidak-sejalanan stimulus kedawung dengan aksi masyarakat untuk konservasi. Berdasarkan 8 pernyataan aksi konservasi kedawung yang paling mungkin dan mudah dilakukan oleh masyarakat yang diartikulasikan berdasarkan pernyataan stimulus kondisi populasi dan regenerasi kedawung, ternyata ada perbedaan seperti yang dapat 91
dilihat pada Gambar 26. Hanya satu pernyataan disukai masyarakat, yaitu melakukan penjarangan kedawung yang ditanam di lahan rehabilitasi. Masyarakat tidak melakukan aksi konservasi secara sadar di dalam kawasan hutan. Pernyataan 22 yaitu “Ada biji kedawung yang tercecer diperjalanan pulang di hutan sehabis memanen” ternyata ada kurang lebih 50 % dari masyarakat secara tidak sengaja berperan sebagai penyebar biji di hutan alam, yaitu adanya buah atau biji yang tercecer pada waktu memikul hasil panenannya pulang ke rumah. Aksi Konservasi kedawung yang belum direspon dengan aksi masyarakat 18,19,20,21,22,23, dan 24
Aksi Masyarakat
Aksi konservasi kedawung yg terkait aksi masyarakat : 25 Keterangan No Pernyataan Aksi Konservasi Kedawung
Skor rata2 1,6
18
Menyemaikan atau menyebarkan biji kedawung di areal hutan alam.
19
Buah kedawung yg tergantung di pinggir tajuk terluar tidak semuanya dipungut
2,3
20
Biji kedawung yang dipanen sendiri selalu ada yang dijadikan bibit.
2,3
21
Kedawung saat ini perlu pengayaan atau penanaman di hutan alam.
2,4
22
Ada biji kedawung tercecer diperjalanan pulang di hutan sehabis memanen
2,9
23
Biji direndam air panas 5 menit dan air biasa 1 malam, lalu disemaikan.
2,2
24
Biji kedawung untuk mudah tumbuh dipotong sedikit ujung kulit bijinya.
2,7
25
Jarak tanam Kedawung di lahan rehabilitasi baiknya diperlebar minimal 30 m.
4,7
Rata-rata 2,6 *) + = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9); - = tidak suka atau kurang suka/setuju (< 3,8)
Sikap*)
+ -
Gambar 26. Aksi masyarakat untuk konservasi kedawung Pernyataan dan pengakuan Mbah Setomi tentang penyebaran kedawung adalah sebagai berikut : Waktu saya memikul buah kedawung pulang, sering beberapa buah kedawung jatuh di hutan dan saya biarkan dengan harapan agar bisa tumbuh. Buahnya saya bawa ke rumah, kemudian baru bijinya dikeluarkan. Walaupun orang mengambil semuanya tanpa tersisa, namun ada saja yang tertinggal karena ada yang tak bisa diambil dengan genter, terutama buah yang paling di ujung. Ini akan menjadi sumber benih yang penting di hutan.
Bukti ini dapat dilihat pada Gambar 12 tentang peta penyebaran pohon kedawung dengan menggunakan GIS.
Pada gambar tersebut terlihat pola
penyebaran spasial kedawung semakin mendekati ke arah perkampungan 92
masyarakat pendarung kedawung dan bersifat mengelompok, yaitu di desa Curahnongko dan Andongrejo. Terlihat jelas ada Pengaruh intervensi manusia terlihat jelas dalam pola penyebaran kedawung. Proses ini terjadi pada masyarakat pendarung dari generasi tua atau satu generasi sebelum generasi sekarang ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya dijumpai pohon kedawung yang remaja. Sebaliknya pola penyebaran spasial kedawung di kawasan hutan alam bagian Timur yang berjauhan dengan perkampungan masyarakat, penyebarannya jarang dan satu-satu dengan jarak sangat berjauhan lebih dari 500 meter. Kajian kesesuaian habitat kedawung berdasarkan faktor ketinggian dari permukaan laut, topografi dan kedekatan dengan sungai menghasilkan
peta
habitat potensial kedawung di kawasan TNMB seperti pada Gambar 12. Pola penyebaran spasial kedawung ini menginformasikan bahwa faktor pelaku penyebar biji kedawung di hutan alam adalah manusia pendarung kedawung, selain kemungkinannya juga dilakukan oleh aliran air hujan. Adanya interaksi masyarakat pendarung kedawung dengan TNMB memberi dampak positif bagi konservasi kedawung.
Jadi dugaan tentang masyarakat
pendarung kedawung sebagai pelaku utama yang menyebabkan kelangkaan kedawung tidaklah benar dan tidak sesuai dengan fakta, bahkan mereka berperan positif terhadap penyebaran biji kedawung di hutan alam. Pernyataan aksi konservasi yang 7 butir lagi, justru yang sangat penting bagi kebutuhan konservasi kedawung tidak dilakukan oleh masyarakat, seperti dapat dilihat pada Gambar 26 di atas.
Masyarakat sangat jarang melakukan
penanaman kedawung di hutan alam dan dari 80 responden hanya 3 orang yang menyatakan pernah dengan sengaja menyebarkan biji kedawung di hutan alam. Menurut pengakuan Mbah Setomi hal ini terjadi sebagai berikut ini : Buah yang jatuh di bawah pohon kedawung dan tidak kena cahaya matahari langsung tidak bisa tumbuh dan dimakan ulat dan menjadi busuk. Kalau diserahkan ke alam saja, maka banyak yang tidak tumbuh. Mbah Setomi kalau pergi ke hutan dia sering membuang buah kedawung tua di lahan hutan yang terbuka disana, sini, dan dia melihat tahun berikutnya tumbuh menjadi anakan kedawung baru, ini berdasarkan pengalamannya. Mbah Setomi sudah lama melakukan ini jauh sebelum program rehabilitasi, ini dilakukan karena dia tidak punya lahan sendiri. Biji kedawung 93
perlu sinar matahari langsung untuk tumbuh secara alami di lantai hutan. Kalau jauh jatuhnya dari pohon induknya dan kena sinar matahari baru biji tersebut bisa tumbuh. Kalau di bawah kedawung ada jenis tumbuhan lain yang duluan tumbuh, sehingga biji dan anakan kedawung tak bisa hidup lagi. Mbah Setomi selain menanam kedawung, juga dia menanam kluwek, kemiri dan lain-lain. Kalau secara sadar masyarakat ikut melakukan konservasi kedawung dengan membantu menyebarkan biji kedawung sejak dahulu, seperti mbah Setomi, maka tentu panenan buah kedawungnya akan lebih banyak dan dapat meningkatkan pendapatan mereka yang sangat nyata sekarang ini. Karena pekerjaan yang relatif kecil dan sederhana ini tidak dilakukan sejak dahulu secara sadar, maka dampak negatifnya sangat dirasakan sekarang. Masyarakat sudah kehilangan modal waktu selama 50 tahun lebih untuk dapat memanen buah kedawung yang lebih banyak padahal pohon kedawung baru mulai berbuah pada umur sekitar 16-20 tahun (Soejono, 1993). Inilah yang dimaksud oleh Watt (1973), bahwa waktu termasuk kedalam kategori modal, selain keanekaragaman dan ruang yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat tidak termotivasi untuk menanam kedawung di kawasan hutan alam, karena umumnya mereka belum menyadari dan belum memahami bahwa pohon kedawung sudah mulai langka. Masyarakat tidak menyadari, bahwa kedawung memerlukan bantuan tenaga mereka untuk menyebarkan biji bagi proses regenerasinya. Masyarakat belum memahami teknologi untuk mempermudah biji kedawung berkecambah seperti melalui perendaman dengan air panas, padahal teknologi sederhana ini sudah sejak tahun 1994 dikembangkan melalui hasil penelitian IPB.
Hal ini berarti bahwa sosialisasi hasil penelitian kepada
masyarakat tidak terjadi. Mbah Setomi juga mendukung kondisi ini dengan menyatakan bahwa sampai tahun 1992 tidak pernah ada pembinaan atau penyuluhan dari petugas PA (staf taman nasional) maupun Perhutani, sehingga masyarakat tidak pernah berhubungan dengan PA, kecuali dicegat apabila masyarakat membawa hasil dari hutan. Petugas PA sudah hafal jalan-jalan orang mencari madu, kedawung, kluwek, joho dan lain-lain, sehingga mereka tinggal menunggu di jalan saja dan menyita hasil hutan bawaan masyarakat. 94
Masy yarakat jugaa dalam meelakukan penngambilan bbuah kedawung sering m melakukan pemotongann cabang aatau ranting pohon keddawung yanng banyak b buahnya dann sulit untuk k dijangkau dengan galaah. Perilakuu masyarakatt memanen b buah kedaw wung seperti ini bersifat tidak konseervasi karenna menganutt pola pikir j jangka pend dek dan tidakk berpikir jaangka panjanng. Hal ini diketahui berdasarkan b p pengamatan beberapa kali k di hutann, dimana masyarakat m m melakukan pemotongan d dahan besar yaitu rata-raata 2 atau 3 dahan untukk setiap pohhon kedawunng. Hal ini s sejalan denggan sinyal 199 “Buah kedawung yangg tergantung di pinggir taajuk terluar t tidak semuanya dipunngut”, bahw wa sebagian n besar maasyarakat saangat suka m melakukan p pemungutan semua buahh kedawung,, termasuk yang y terdapatt di pinggir t tajuk. Hal ini tidak muungkin dilakkukan dengaan bantuan galah g dan saatu-satunya c meman cara nen buah yanng terdapat ddi pinggir taju uk adalah deengan cara memangkas m d dahan dan caabang pohonn kedawung seperti terlihhat pada Gam mbar 27 berikut ini.
Gambar 27 7. Percabanggan utama poohon kedawuung yang dippotong masyyarakat pada wakttu memanenn buah kedaw wung (tanda lingkaran puutih). Perillaku masyaraakat ini akann menguranngi produksi buah kedaw wung untuk t tahun-tahun mendatang karena luass permukaann percabanggan tempat tumbuhnya t b buah kedaw wung semakiin berkuranng. Disini teerlihat masyyarakat belum m berpikir j jangka panjaang, atau mereka m berpikkir berbuat seperti itu ppercuma, kaarena orang l lain akan beerbuat setelah h mereka puulang dari hu utan. Untuk mengatasi perilaku p ini p perlu ditemu ukan atau dicari d teknologi pengam mbilan buah kedawung yang tidak m merusak. Peeran laborattorium pergguruan tingggi, khususnyya dibidangg teknologi 95
pemanenan hasil hutan non kayu sangat penting dan diperlukan untuk memecahkan permasalahan ini. Berdasarkan analisis data kelas umur ternyata, bahwa masyarakat pendarung dari kelas umur > 40 tahun lebih berperilaku konservasi. Hasil analisis ini menunjukkan perlu penyuluhan dan pendampingan tentang konservasi kedawung yang diprioritaskan kepada masyarakat pendarung kelompok umur muda dibawah 40 tahun. Faktor-faktor pembatas lingkungan ekosistem alam ini harus menjadi stimulus bagi manusia dalam berperilaku terhadap alam, karena stimulus yang diberikan oleh kedawung saat musim dia berbuah yaitu dimana buah yang tumbuh dari ujung ranting-ranting pada lingkar tajuk terluar diperuntukkan bagi proses regenerasi kedawung. Buah ini tidak bisa dipungut oleh satwa budeng karena akan membahayakan dirinya dengan resiko jatuh. Namun dipihak lain buah inilah yang diambil habis oleh manusia tanpa menyisakan dan tanpa menyemaikannya di hutan, sehingga spesies ini menjadi langka di hutan. Kurangnya stok biji yang tersebar jauh dari pohon induknya adalah penyebab sangat lambatnya proses regenerasi terjadi di hutan alam. Tidak tertutup kemungkinan bahwa aksi yang dilakukan oleh seseorang tidak sejalan dengan sikapnya.
Oleh karena itu kemudian muncul keraguan
terhadap konsistensi hubungan antara sikap dengan perilaku seseorang.
Ada
beberapa alasan yang menyebabkan perilaku masyarakat pendarung tidak sesuai dengan sikapnya. Pertama, ketidaksesuaian antara sikap orang tersebut dengan informasi mengenai kenyataan sesungguhnya atau kenyataan yang terjadi. Kedua, ketidaksesuaian antara sikap orang tersebut dengan sikap panutannya. Ketiga, adalah karena hak kepemilikan yang tidak jelas atau perasaan tidak memiliki. Contoh untuk alasan pertama misalnya seseorang yang mengambil sikap menentang pengambilan semua buah kedawung yang tua di hutan TNMB, tetapi dia sendiri melakukannya karena dia melihat orang banyak melakukan hal yang sama. Jika ia tidak memungut buah kedawung yang tua semuanya, dia tetap merasa sia-sia dan merasa rugi karena orang lain memungutnya tanpa menyisakan buah yang tua untuk sumber biji bagi regenerasi kedawung di hutan TNMB.
96
Sehingga sikap seseorang yang positif menjadi sirna karena tidak adanya komitmen dari sikap bersama. Contoh alasan pertama dapat pula dipakai sebagai contoh untuk alasan yang kedua, karena orang yang menjadi panutannya setuju dengan tindakan mengambil semua buah kedawung yang tua di hutan tanpa menyisakan sebagian buah tua untuk regenerasi kedawung. Hal ini sesuai menurut Koentjaraningrat (1974), bahwa konsep panutan ke atas masih dominan di kalangan masyarakat Indonesia. Konsep seperti itu mendorong seseorang untuk menghindari perbedaan pendapat dengan panutannya. Alasan ketiga adalah yang paling dominan pada masyarakat pendarung, yaitu adalah masalah kebijakan pengelolaan taman nasional yang membatasi hak masyarakat akses ke sumberdaya hayati taman nasional dengan alasan perlindungan dan pelestarian potensi sumberdaya hayati. Pengalaman yang berharga tentang domestikasi dan budidaya kedawung adalah yang dilakukan oleh konsorsium FAHUTAN IPB – LATIN bersama masyarakat pendarung pada areal demplot 7 ha pada tahun 1994. Kedawung yang ditanam pada periode 4 tahun pertama ternyata pertumbuhan anakannya sangat
tinggi (cm)
cepat yaitu mencapai 7 m lebih seperti ditunjukkan grafik pada Gambar 28. 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
Series1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
um ur (tahun)
Gambar 28. Pertumbuhan pohon kedawung yang kerdil, sejak ditanam tahun 1994 dengan jarak tanam yang rapat 6 m x 5 m Setelah tahun ke 4 dan selanjutnya pertumbuhan tinggi maupun diameternya sangat lambat atau kerdil. Hal ini karena jarak tanam kedawung terlalu rapat (6 m x 5 m), sehingga terjadi persaingan antar spesies yang sama, maupun dengan spesies pohon trembesi (Enterolobium saman PRAIN) yang sama-sama ditanam pada tahun 1994, seperti dapat dilihat pada
Gambar 29
berikut ini : 97
(a) (bb) G Gambar 29. Pohon kedaawung umurr 3 tahun (a); dan pohon kedawung tumbuh kerrdil berumurr 12 tahu dg tingginya haanya 8,5 metter (b) Penggalaman pad da demplot 7 ha ini menuunjukkan baahwa stimuluus alamiah k kedawung d hutan alaam belum dapat di d dipah hami dengann baik, teruutama oleh K Konsorsium m FAHUTAN N IPB - LAT TIN dan pen ngelola pada tahun 1994 4 waktu itu. P Padahal di hutan alam m fenomenaa alamiah inni sangat jeelas ditunju ukkan oleh k kedawung, yaitu y tidak adanya a anakkan kedawunng yang bisaa tumbuh daan hidup di s sekitar pohoon induknya. Jarak antarr individu poohon kedawuung di hutann alam yang p paling dekatt yang pernaah dijumpai adalah sekiitar 30 m ddan kejadiann ini sangat j jarang. mur 10 tahunn tingginya Padaa kondisi normal pohon kedawung yang berum d dapat mencaapai 15 metter atau lebih seperti teerlihat pada Gambar 300. Hal ini k karena temppat tumbuhnyya terbuka dan d tidak ternnaungi, sehingga mendaapat cahaya y yang cukup untuk kebuttuhan hidupnnya. Dalam masyarakat sendiri beluum berkemb bang proses pembelajaran mandiri t tentang budiidaya kedaw wung di hutaan alam. Haal ini terjadii karena ban nyak faktor p penyebab, teetapi paling tidak t hal ini didorong daan suatu reflleksi sikap masa m bodoh d komponnen sikap “aaffective” daari masyarakkat pendarunng yang telaah tertanam dari d dipikiran maasyarakat sej ejak dahulu. Kebijakan pengelolaan p TNMB telaah menutup a akses masy yarakat terhaadap sumbeerdaya hayaati taman nnasional.
M Masyarakat
p pendarung k kedawung m merasa tidaak memilikii hutan Meeru Betiri laagi seperti t terungkap dari d pernyataaan mereka bahwa “ala as iku duweek e’londo” (hutan ini m milik Belanda); di masaa Perhutani:: “alas iku duwek d e’manndor” (hutan n ini milik 98
m mandor), daan masa pen ngelolaan Taaman Nasion nal “alas ikuu duwek e’ PA” P (hutan i miliknyaa taman nasioonal). itu
(aa) (b) Gambar 30 0. Pohon ked dawung umuur 10 tahun tumbuh t di laahan rehabiliitasi TNMB (aa) dan pohonn kedawung berumur b 10 tahun yang ditanam d di kampuss IPB Darmaaga Bogor yang ditanam m pada tahun 1995 (b). 5 Ketidak 5. k-sejalanan stimulus deengan aksi konservasi k p pengelola Secaara keseluruhhan stimuluss kedawung yang sedangg terjadi di hutan h alam b belum berjaalan simultann dengan aaksi konservaasi oleh penngelola. Berdasarkan 6 p pernyataan aksi konseervasi kedaawung yangg diartikulaasikan sesuuai dengan p pernyataan stimulus s alam miah kedaw wung tentangg kelangkaann, kondisi poopulasi dan r regenerasiny ya, ternyata seperti yangg ditunjukkaan pada Gam mbar 31 tidak satupun p pernyataan yang y disikap pi dan dilakuukan positif oleh o pengeloola. Patro oli dan laranngan masyarrakat masuk k hutan, mennjadi kegiattan penting k konservasi y yang dilakukkan pengeloola seperti yaang terlihat ppada pernyattaan nomor 2 padahal ini tidak ada 26, a kaitannyya dengan sttimulus alam miah untuk konservasi k kedawung. yarakat selaama ini terkkesan menerrima peringatan-peringaatan dalam Masy b bentuk larangan memaasuki kawassan taman nasional.
Pengelola selama ini
m memperseps sikan masyaarakat bukann sebagai mitra, m bukann sebagai bagian b dari s subjek tamann nasional, masyarakat m l lebih cenderrung dilihat sebagai s pelaaku perusak 99
hutan taman nasional.
Walaupun pengelola menganggap penting penyuluhan
kepada masyarakat, namun sebenarnya pengelola belum memahami apa substansi penyuluhan yang akan diberikan kepada masyarakat. Ini ditunjukkan melalui respon negatif yang diberikan pengelola, bahwa sebenarnya pengelola belum memahami kebutuhan konservasi kedawung.
Aksi Pengelola
Aksi Konservasi kedawung yang tidak terkait dengan aksi pengelola 18, 21, 23, 24, 25 dan 26
Keterangan No Pernyataan kebutuhan aksi konservasi kedawung 18 21 23 24 25 26
*)
Menyemaikan atau menyebarkan biji Kedawung di areal hutan alam.
Skor rata2
1,6 Pohon kedawung saat ini perlu pengayaan atau penanaman di hutan alam. 2,9 Biji kedawung direndam air panas 5 menit dan air biasa 1 malam, lalu dikecambahkan. 2,8 Biji kedawung untuk mudah tumbuh dipotong sedikit ujung kulit bijinya. 3,2 Jarak tanam kedawung di lahan rehabilitasi sebaiknya diperlebar sekurangnya 30 m. 2,8 Patroli dan larangan masyarakat masuk hutan, bukan kegiatan penting untuk dilakukan 2,2 + = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9) ; - = tidak suka atau kurang suka/setuju (< 3,8)
Sikap*)
-
Gambar 31. Aksi pengelola tidak sejalan dengan harapan konservasi kedawung Pernyataan 25 tentang “Jarak antar pohon kedawung di lahan rehabilitasi sebaiknya diperlebar/berjauhan”, pihak pengelola menyikapinya negatif dan hanya memandang sisi sempit saja, yaitu agar tetelan (istilah masyarakat untuk lahan rehabilitasi) segera tertutup dengan vegetasi, tanpa melihat kualitas apa yang akan terjadi pada tanaman pokok itu sendiri. Pengalaman dan fakta dari demplot kedawung 7 ha menunjukkan bahwa pertumbuhan pohon kedawung lambat dan kerdil. Sampai saat ini pengelola tetap mengharuskan masyarakat melakukan penanaman dengan jarak tanam 6 m x 5 m dan sejak tahun 1999 lebih dari 20.000 pohon kedawung yang ditanam. Sekiranya pohon kedawung yang ditanam di tetelan (lahan rehabilitasi) tidak segera dijarangi sesuai dengan sifat hidupnya di hutan alam, yaitu hidup soliter dari jenis sesamanya, maka akan terjadi kegagalan pada panen kedawung di masa datang. Secara keseluruhan pengelolapun belum memahami tentang teknologi untuk mempermudah biji kedawung berkecambah, seperti melalui perendaman dengan air panas. Padahal teknologi sederhana ini sudah lama dikembangkan. Juga di 100
dalam kalangan pengelola sendiri belum berkembang proses pembelajaran mandiri tentang budidaya kedawung di hutan alam meskipun ada beberapa orang staf taman nasional di Resort Sarongan yang telah berpengalaman dengan teknik mempercepat berkecambahnya biji dengan memotong sedikit ujung biji dengan menggunakan “gunting kuku” dan persentase berkecambahnya meningkat. Sampai sekarang pola pikir pengelola dalam menjalankan tugas sehariharinya berpegang pada tafsiran peraturan perundangan yang kaku dan sempit. Pengelola masih berpikir pengelolaan taman nasional dan konservasi adalah perlindungan kawasan dan memisahkan masyarakat dengan hutan habitat tempat hidup mereka. Padahal paradigma pengelolaan kawasan konservasi saat ini dan ke depan seharusnya masyarakat lokal sekitar hutan berperan sebagai subjek yang merupakan satu kesatuan sistem pengelolaan kawasan konservasi yang dinamis. 6. Bias stimulus terhadap aksi konservasi masyarakat dan pengelola Berdasarkan hasil penelitian terbukti bahwa terjadi bias terhadap pemahaman stimulus kedawung, sehingga aksi konservasi oleh masyarakat maupun aksi konservasi oleh pengelola tidak terjadi atau tidak dilakukan sejalan dengan stimulus kedawung. Bias pemahaman terutama terjadi terhadap stimulus kelangkaan, kondisi populasi dan regenerasinya. Hal ini menunjukan bahwa sinyal tentang kelangkaan tidak menjadi informasi bagi masyarakat dan pengelola yang ditunjukkan oleh kedawung di hutan alam melalui tidak adanya anakan yang hidup dan tumbuh selama lebih dari 10 tahun terakhir. Begitu juga buah kedawung yang tumbuh di pinggir tajuk umumnya diambil masyarakat dan ini sangat sukar bagi masyarakat mengambilnya tanpa melakukan dengan cara memotong cabang atau ranting (seperti pernyataan 19). Artinya sinyal atau fenomena ini menginformasikan bahwa buah kedawung yang tumbuh pada bagian pinggir tajuk terluar sangat berguna bagi pohon kedawung untuk regenerasinya secara alami. Berikut ini penjelasan secara keseluruhan dikemukakan dalam bentuk Gambar 32, bahwa aksi-aksi konservasi yang diharapkan oleh kedawung terjadi, tetapi hal ini tidak dilakukan oleh masyarakat maupun pengelola.
101
Harapan aksi konservasi kedawung
Aksi masyarakat yg terkait erat harapan konservasi kedawung : 25
Terjadi bias pemahaman stimulus kedawung, sehingga harapan konservasi kedawung tidak sejalan dengan aksi masyarakat dan aksi pengelola :
Aksi pengelola Keterangan No
Pernyataan Harapan Aksi Konservasi Kedawung
18 19 20 21 22 23 24 25 26
Menyemaikan atau menyebarkan biji kedawung di areal hutan alam. Buah kedawung yg tergantung di pinggir tajuk tidak semuanya dipungut Biji kedawung yang dipanen sendiri selalu ada yang dijadikan bibit. Kedawung saat ini perlu pengayaan atau penanaman di hutan alam. Ada biji kedawung tercecer diperjalanan di hutan sehabis memanen Biji direndam air panas 5 menit dan air biasa 1 malam, lalu disemaikan. Biji kedawung untuk mudah tumbuh dipotong sedikit ujung kulit bijinya. Jarak tanam kedawung di lahan rehabilitasi diperlebar min. 30 m Patroli dan larangan masuk hutan, bukan kegiatan penting dilakukan Rata-rata
Masyarakat*)
Pengelola*)
(-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (+)
(-) 0 0
0 2,6 (-)
(-) 0 (-) (-) (-) (-)
(-)
*) 0 = tidak relevan untuk diujikan + = sangat suka atau suka/setuju ; - = tidak suka atau kurang suka/kurang setuju
Gambar 32. Bias pemahaman stimulus kedawung, tidak sejalan dengan aksi masyarakat dan aksi pengelola untuk konservasi kedawung 7. Kerelaan berkorban masyarakat untuk aksi konservasi Penelitian untuk mengkaji stimulus religius apakah telah berperan mendorong sikap masyarakat pendarung untuk aksi konservasi didekati melalui kerelaan berkorban untuk aksi konservasi. Berdasarkan hasil penelitian, secara keseluruhan menunjukkan dengan menguji 7 pernyataan tentang kerelaan berkorban dapat diketahui, bahwa sikap dan aksi masyarakat tidak dilandasi kerelaan berkorban untuk konservasi kedawung. Artinya nilai-nilai religius dan nilai-nilai sosio-budaya masyarakat tradisional tidak menjadi stimulus bagi kerelaan berkorban untuk aksi konservasi. Pernyataan “Biji kedawung yang dipanen, ada yang disisakan/ditinggalkan di hutan” menggambarkan bahwa sinyal ini tidak dipahami masyarakat, yaitu bahwa kedawung butuh bijinya disisihkan sebagian kecil untuk sumber bibit di hutan. Dipihak lain bagi masyarakat menganggap bahwa semua biji kedawung 102
yang dipanen dapat dijadikan uang. Sangat jarang dengan kesadaran sendiri masyarakat rela menyisihkan sebagian kecil biji untuk dibibitkan. Dari 80 orang responden hanya 3 orang yang membibitkan kedawung dari biji yang mereka panen sendiri. Alasannya adalah karena
pohon kedawung masih banyak di
hutan dan bisa tumbuh sendiri secara alami. Rincian hasilnya dapat dilihat pada Gambar 33 berikut.
Kerelaan berkorban untuk konservasi : Nihil 13, 20, 27, 28, 29, 30 dan 31
Kerelaan berkorban masyarakat
Keterangan No
13 20 27 28 29 30 31
Pernyataan kerelaan berkorban masyarakat untuk konservasi Buah kedawung yang muda dimakan satwa budeng
Skor rata2
Sikap
1,8
Biji kedawung yang dipanen sendiri selalu ada yang dijadikan bibit.
2,3
Kedawung untuk penyebaran bijinya di hutan alam perlu bantuan manusia. Kedawung ditanam di lahan rehabilitasi tanpa imbalan menanam palawija.
2,3 1,4 1,4 2,3 1,8 1,9
-
Kedawung ditanam di lahan pertanian hak milik pribadi masyarakat. Permudaan kedawung di hutan tidak bisa diserahkan kepada alam saja. Biji kedawung yang dipanen selama ini, ada yang ditinggalkan di hutan Rata-rata
+ = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9) ;
- = tidak suka atau kurang suka/setuju (< 3,8)
Gambar 33. Kerelaan berkorban masyarakat belum ada untuk konservasi kedawung Masyarakat pendarung tidak ada yang rela memindahkan anakan kedawung yang tumbuh dibawah pohon induknya, kecuali Mbah Setomi. Walaupun mereka mengetahui bahwa biji kedawung di bawah pohon induknya, tidak akan pernah bisa tumbuh menjadi pohon besar, kecuali dipindahkan jauh dari pohon induknya. Masyarakat tidak pernah menanam pohon kedawung di lahan pertanian milik mereka sendiri, karena mereka tahu pohon kedawung yang sudah besar akan banyak mengambil luasan lahan pertanian mereka yang sempit. Hal ini sangat penting diperhatikan oleh pengelola, bahwa agar berhasil konservasi kedawung memerlukan lahan hutan atau perkebunan yang relatif luas. Namun begitu, dapat diketahui bahwa masyarakat pendarung kelas umur diatas 40 tahun lebih rela berkorban untuk konservasi kedawung, sehingga 103
penyuluhan dan pendampingan tentang konservasi kedawung perlu diprioritaskan kepada masyarakat kelompok umur muda dibawah 40 tahun. Menurut Quedraogo (1995) nilai-nilai spritual pada masyarakat tradisional sekitar hutan di Afrika Barat sangat mendorong mereka untuk bersikap dan berperilaku untuk aksi konservasi terhadap sejenis pohon kedawung yang nama lokalnya nere (Parkia biglobosa Jack.). Pohon nere mempunyai fungsi spritual, dimana batangnya digunakan sebagai simbol dalam cerita populer dan kepercayaan spritual mereka.
Daun nere banyak digunakan dalam upacara
keagamaan dan adat, kelahiran, kebangkitan, pemakaman dan pemujaan. Bijinya banyak digunakan untuk ritus dan upacara adat pada hari kelahiran, pesta, hari memakaman dan bagi waris.
Nilai-nilai religius inilah yang telah menjadi
stimulus kuat bagi sikap dan perilaku konservasi nere dalam masyarakat tradisional Afrika Barat. Mereka sudah sejak turun temurun membudidayakan nere dan bahkan pengetahuan mereka mengenai pemanfaatan biji spesies ini sudah maju sampai kepada proses fermentasi. Walaupun ada tradisi pada masyarakat pendarung yaitu bahwa sebelum mereka berangkat ke hutan, sehari sebelumnya mereka akan membuat acara syukuran di rumah bersama-sama keluarga dan anggota pendarung agar hasil panenan yang bisa dibawa pulang banyak.
Namun tradisi religius ini tidak
menjadi stimulus bagi sikap dan kerelaan berkorban masyarakat pendarung untuk aksi konservasi. Menurut pengalaman penulis waktu kecil di kampung, kakek dan orangorang tua dulu menanam pohon durian dengan niat untuk anak cucunya agar dapat memanen buah durian dimana mereka hanya berharap pahala dari Tuhan. Begitu juga dari pengalaman masyarakat adat suku Dayak di Kalimantan Barat yang pernah penulis wawancarai pada tahun 2005, bahwa terdapat norma dan hukum adat yang tidak memperbolehkan menebang pohon sialang tempat bersarang lebah madu, karena madu sangat berguna bagi kehidupan mereka. Pohon durian untuk anak cucu, pahala dan pohon sialang tempat bersarang lebah madu, merupakan stimulus untuk pembentukan sikap konservasi bagi orang-orang tua dahulu dan bagi masyarakat adat yang hidup di sekitar hutan
104
Berdasarkan uraian tersebut ternyata bahwa stimulus manfaat ekonomi dari kedawung telah mendorong dan menjadi sikap masyarakat pendarung untuk masuk hutan dan memanen buahnya.
Namun stimulus manfaat ekonomi ini
belum menjadikan bentuk motivasi dar masyarakat untuk berbuat konservasi terhadap kedawung di hutan alam. Hal ini terjadi karena modal sosial, spritual dan nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat sudah mulai menghilang. Menurut Pranadji (2006) “tata nilai maju” suatu masyarakat yang berkaitan dengan keberlanjutan adalah masyarakat yang memiliki tata nilai dasar kuat yang merupakan gabungan keseluruhan atau beberapa tata nilai maju yang sekaligus membentuk nilai composit (gabungan) masyarakat untuk keberlanjutan. Nilai-nilai religius yang bersifat universal ini, yaitu : (1) rasa malu dan harga diri, (2) kerja keras, (3) rajin dan disiplin, (4) hidup hemat, tidak mubazir dan tidak boros (5) gandrung inovasi, (6) menghargai prestasi,(7) berpikir sistematik, (8) empati tinggi, (9) rasional/ impersional, (10) sabar dan syukur, (11) amanah (high trust), dan (12) visi jangka panjang. Nilai-nilai dasar inilah yang mulai melemah, belum berkelanjutan dan belum terpelihara dan berkembang dalam diri masyarakat. Hal ini terlihat dari sikap dan perilaku mereka antara lain kurang berempati kepada kedawung, tidak punya visi jangka panjang, tidak gandrung inovasi, kurang sabar dan syukur. Kondisi ini terjadi, diduga kuat penyebabnya adalah karena adanya intervensi luar yang telah berlangsung lama dalam masyarakat pendarung. Berkaitan dengan dibatasinya akses masyarakat ke sumberdaya hutan taman nasional yang sudah berlangsung sejak tahun 1929, yaitu sejak ditetapkannya hutan Meru Betiri menjadi hutan lindung sampai sekarang ini.
Faktor hak
kepemilikan yang tidak jelas sangat mempengaruhi kerelaan berkorban masyarakat untuk aksi konservasi. Hal yang berbeda terjadi di masyarakat adat Pesisir Krui di Lampung yang berhasil melestarikan repong hutan damar mata kucing secara turun temurun. Keberhasilan ini terjadi, karena hak kepemilikan masyarakat adat terhadap sumberdaya hutannya legal dan jelas. Faktor yang bersifat psikis dan sudah melekat pada komponen sikap affective dari kebanyakan masyarakat pendarung adalah antara lain masalah keteladanan dan ketidak keharmonisan hubungan dengan staf taman nasional. 105
Ungkapan kekecewaan dan benci yang direfleksikan oleh tetua masyarakat, seperti diungkapkan Mbah Setomi. Petugas PA sejak tahun 1972 mulai melarang dan menyita hasil hutan yang masyarakat bawa dari hutan.
Mereka dituduh
sebagai tukang ngerusak hutan, tukang membakar hutan, apa saja yang dihasilkan (dibawa) dari hutan akan dirampas semua. Tetapi kalau sudah berwujud uang, petugas juga meminta bagian. Pada tahun 1988 boreg-boreg (cukong-cukong pencuri kayu) kayu jati mulai ada, mereka mendatangi penduduk agar mau ngempleng (mencuri) jati dengan diiming-imingi pendapatan tinggi. Sejak itu pencurian kayu jati mulai marak dan terang-terangan, bahkan sampai ada yang memakai gergaji senso (chain saw. Masyarakat menjadi sangat kecewa, karena pelaku tidak ada yang ditangkap, bahkan mereka kerjasama dengan petugas PA, polisi dan tentara. Akhirnya masyarakat berpikir untuk apa menjaga kelestarian hutan. 8. Kerelaan berkorban pengelola untuk aksi konservasi Berdasarkan hasil penelitian dengan menguji 5 pernyataan tentang kerelaan berkorban dapat diketahui, bahwa sikap dan aksi pengelola tidak dilandasi kerelaan berkorban untuk konservasi kedawung, maupun
kerelaan
berkorban untuk masyarakat, seperti ditunjukkan pada Gambar 34. Pernyataan stimulus 2 yaitu : Saat pohon kedawung berbuah, masyarakat masuk hutan untuk memanen buahnya”. Sebagaimana telah disebutkan di bagian awal dari bab ini, bahwa pengelola tidak suka masyarakat masuk kawasan hutan, pengelola beranggapan dan memandang masyarakat masuk hutan adalah pelanggaran peraturan perundangan yang berlaku dan masyarakat masih dianggap aktor perusak kawasan hutan taman nasional. Dari pernyataan sikap pengelola ini menunjukkan bahwa pengelola belum rela berkorban dan menyisihkan waktu, tenaga serta pikirannya untuk berpikir dan melakukan penyuluhan, bimbingan dan pendampingan kepada masyarakat. Masyarakat dengan cara demikian dapat tetap melakukan pemungutan buah kedawung secara lestari.
Bahkan sekiranya
pengelola meminta masyarakat untuk menyebarkan biji kedawung di hutan, maka masyarakat pendarung secara sukarela akan melakukan penyebaran biji kedawung ke tempat terbuka yang jauh dari pohon induknya dan sesuai bagi persyaratan kedawung untuk hidup. 106
Kerelaan berkorban pengelola tidak ada untuk konservasi : 2, 3, 23, 27dan 30
Kerelaan berkorban pengelola
Keterangan No Pernyataan kerelaan berkorban pengelola untuk konservasi
Skor ratarata*)
Sikap*)
-
2
Saat kedawung berbuah, banyak masyarakat masuk hutan untuk memanennya.
2,0
3
Kkedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat.
3,5
-
27
Kedawung untuk penyebaran bijinya di hutan alam perlu bantuan manusia.
2,6
28
Kedawung yg ditanam di lahan rehabilitasi dapat imbalan menanam palawija.
3,9
30
Permudaan kedawung di hutan alam tidak bisa diserahkan kepada alam saja.
2,6
+ -
Rata-rata
2,9
*) + = sangat suka atau suka/setuju (> 3,9) ; - = tidak suka atau kurang suka/tak setuju (<3,8)
Gambar 34. Kerelaan berkorban pengelola untuk konservasi kedawung belum terjadi. Hanya sebagian kecil pengelola yang suka dengan masyarakat yang menanam kedawung di lahan rehabilitasi dengan mendapat imbalan menanam palawija. Artinya dalam jangka panjang pengelola sangat khawatir lahan hutan dikuasai oleh masyarakat dan belum rela berkorban untuk membina masyarakat agar resiko yang dkhawatirkan tidak terjadi atau sekecil mungkin terjadi. Ini juga terlihat dalam surat DITJEN PKA 16 Des’ 1999 no. 1354/DJ-V/KK/1999 kepada Kepala Balai TNMB tentang kegiatan rehabilitasi kawasan butir 3 c alinea (3) Areal rehabilitasi dapat digarap oleh peserta rehabilitasi dalam jangka waktu 3 tahun dan setelah itu peserta harus dengan sukarela meninggalkan kawasan tanpa kompensasi. Begitu juga pernyataan 27, 28 dan 30 yang direspon negatif oleh sebagian besar pengelola menunjukkan bahwa pengelola belum mempunyai kerelaan berkorban untuk aksi konservasi kedawung, yaitu pengelola belum rela berkorban untuk melakukan penyemaian bibit kedawung di hutan alam. Nilai-nilai religius tidak menjadi stimulus bagi kinerja pengelola untuk rela berkorban terhadap aksi konservasi. Hal ini juga dipengaruhi karena rendahnya insentif dan reward yang diberikan negara kepada pengelola selama ini.
107
9. Perbedaan pengalaman masyarakat dengan pengelola Berdasarkan hasil penelitian terbukti, bahwa ada perbedaan pengalaman antara masyarakat dengan pengelola, seperti ditunjukkan pada Tabel 16 berikut : Tabel 16. Perbedaan pengalaman masyarakat dengan pengelola tentang kedawung Masyarakat
Penge -lola
+ + + +
+ +
+ -
+ -
+ + + + -
+ +
+ -
-
18
Hati berbunga-bunga melihat pohon kedawung berbuah lebat yang telah menghitam Saat pohon kedawung berbuah, masyarakat masuk hutan untuk memanen buahnya. Pohon kedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat. Biji kedawung banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri jamu Nilai manfaat obat (stimulus manfaat) Biji kedawung dipakai sendiri untuk obat sakit perut kembung. Biji kedawung selalu ada disimpan di rumah untuk obat. Biji kedawung berkhasiat untuk obat sakit perut kembung. Pohon kedawung adalah tumbuhan obat yang banyak khasiatnya. Nilai fungsi ekologis (stimulus alamiah) Kedawung banyak tumbuh di lereng bukit yang terjal Kedawung adalah pohon raksasa pengayom tumbuhan lainnya di hutan Kedawung yang sedang berbunga banyak didatangi lebah madu. Kedawung menggugurkan daunnya sebanyak 1 atau 2 kali setahun. Buah kedawung yang muda dimakan satwa budeng Kondisi populasi dan regenerasi (stimulus alamiah) Anakan kedawung sangat jarang menjadi besar di sekitar pohon induknya. Pohon kedawung muda sangat jarang ditemukan di kawasan hutan alam. Anakan kedawung hanya hidup di tempat terbuka terkena sinar matahari. Kedawung dewasa jauh lebih banyak dibanding pohon mudanya di hutan Aksi konservasi kedawung dan kerelaan berkorban Menyemaikan atau menyebarkan biji kedawung di areal hutan alam.
-
19
Buah kedawung yg tergantung di pinggir tajuk terluar tidak semuanya dipungut
-
+ -
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Pernyataan stimulus dan aksi konservasi kedawung terhadap sikap masyarakat dan sikap pengelola Nilai manfaat ekonomi (stimulus manfaat)
20
Biji kedawung yang dipanen sendiri selalu ada yang dijadikan bibit.
-
21
Kedawung saat ini perlu pengayaan atau penanaman di hutan alam.
-
22
Ada biji kedawung yang tercecer diperjalanan pulang di hutan sehabis memanen
-
23 24 25 26 27 28 29 30 31
Biji direndam air panas 5 menit dan air biasa 1 malam, lalu disemaikan. Biji kedawung untuk mudah tumbuh dipotong sedikit ujung kulit bijinya. Jarak tanam Kedawung di lahan rehabilitasi baiknya diperlebar min. 30 m. Patroli dan larangan masuk hutan, bukan kegiatan penting untuk dilakukan Pohon kedawung untuk penyebaran bijinya di hutan alam perlu bantuan manusia. Pohon kedawung ditanam di lahan rehabilitasi tanpa imbalan menanam palawija. Pohon kedawung ditanam di lahan pertanian hak milik pribadi masyarakat. Permudaan kedawung di hutan alam tidak bisa diserahkan kepada alam saja. Biji kedawung yang dipanen selama ini, ada yang ditinggalkan di hutan
+
+ -
-
+ = sangat suka atau suka/setuju - = tidak suka atau kurang suka/setuju/tak tahu
Berdasarkan Tabel 16 di atas dapat diketahui bahwa ternyata masyarakat lebih berpengalaman dengan kedawung, masyarakat lebih memahami potensi 108
stimulus kedawung, terutama stimulus tentang nilai manfaat ekonomi dan nilai fungsi ekologis. Sebagian masyarakat berpengalaman dalam menyebarkan biji di hutan alam, walaupun mereka melakukannya tidak sengaja atau tidak dengan sadar, yaitu melalui cara tercecernya biji waktu proses pengangkutan di dalam hutan.
Hal ini terjadi karena masyarakatlah yang lebih banyak berinteraksi
dengan kedawung dan interaksi ini terjadi berulang-ulang setiap tahun, terutama pada saat panen buah kedawung atau saat mereka masuk hutan mengambil tumbuhan obat lainnya. Adanya perbedaan pengalaman antara masyarakat dan pengelola ini, akan menyebabkan perbedaan
sikap dan perilaku untuk konservasi kedawung.
Pengelola sampai saat ini masih menganggap masyarakat yang masuk hutan memanen buah kedawung adalah pelaku utama yang menyebabkan kedawung menjadi langka.
Padahal berdasarkan pengalaman masyarakat malahan
sebaliknya, tanpa disadari sebenarnya mereka membantu untuk konservasi kedawung dengan ikut menyebarkan biji di hutan. Oleh karena itu seharusnya pengelola menjadikan kelompok masyarakat pendarung kedawung sebagai pelaku utama dalam konservasi kedawung. Cara ini bisa dilakukan secara sadar, mudah dan murah serta melakukan terlebih dahulu peningkatan kapasitas masyarakat pendarung tersebut. Hubungan sikap-stimulus, erat keterkaitannya dengan keberlanjutan konservasi atau memungkinkan pula putusnya keberlanjutan konservasi tersebut. Sebagai contoh adalah stimulus manfaat ekonomi dari kedawung yang telah membuat sikap masyarakat pada periode Agustus-Oktober secara turun temurun untuk masuk hutan dan memanen buah masak dari tumbuhan obat ini. Semua biji habis mereka jual tanpa ada yang dijadikan bibit (pernyataan stimulus 2 dan 3). Masyarakat pendarung kedawung belum secara sadar untuk menyemaikan biji kedawung di areal hutan yang terbuka dan terkena sinar matahari. Keadaan seperti ini telah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Pengalaman dan perilaku masyarakat pendarung ini kurang tergali oleh pengelola, sehingga pengelola tidak dapat membuat umpan balik (feedback) kepada masyarakat. Misalnya, pengelola belum pernah memberikan penyuluhan kepada masyarakat pendarung agar mau dengan sadar menyemaikan biji kedawung di tempat-tempat terbuka di hutan yang 109
berjauhan dari pohon induknya.
Hal ini sangat berguna bagi masyarakat
pendarung dan generasi penerusnya agar dapat memanen buah kedawung secara berkelanjutan, bahkan dapat meningkatkan hasilnya, karena mereka melakukan intervensi untuk regenerasinya. Berdasarkan hasil analisis data diketahui adanya perbedaan yang nyata pada sikap nilai manfaat obat, sikap terhadap kondisi populasi dan regenerasi, serta sikap dan aksi terhadap kebutuhan konservasi kedawung. Hal ini terjadi pada masyarakat dengan pengalaman lebih dari 10 tahun yang memiliki sikap lebih konservasi.
Keadaan ini wajar dalam masyarakat yang normal, karena
semakin banyak dan lama pengalaman mendarung kedawung, maka mereka akan semakin memiliki sikap dan aksi konservasi kedawung yang lebih baik. Sikap terhadap nilai manfaat ekonomi, sikap nilai manfaat ekologis dan kerelaan berkorban tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara masyarakat yang sudah lama berpengalaman lebih dari 10 tahun dengan masyarakat yang berpengalaman kurang dari 10 tahun. Hal ini menunjukkan sangat lambatnya perkembangan pengetahuan tentang kedawung dalam masyarakat serta sangat kurangnya informasi tentang kedawung yang sampai kepada masyarakat. Ini dibuktikan dari hasil penelitian bahwa tidak ada penyuluhan maupun program upaya peningkatan pengetahuan kedawung yang dilakukan oleh pengelola kepada masyarakat. Berdasarkan uji Pearson Correlation ditemukan korelasi yang nyata antara umur dan lama pengalaman terhadap sikap konservasi. Semakin tua umur dan semakin lama pengalaman, ternyata sikap, aksi dan kerelaan berkorban untuk konservasi kedawung semakin besar. Hubungan atau korelasi yang nyata dan positif terjadi antara sikap manfaat obat dengan aksi konservasi kedawung, Hubungan nyata yang positif terjadi pula antara kerelaan berkorban dengan sikap dan aksi konservasi kedawung. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan masyarakat untuk bersikap dan beraksi untuk konservasi kedawung, walaupun hal ini belum cukup memadai untuk mewujudkan tercapainya konsevasi kedawung yang diharapkan.
Untuk meningkatkan atau menghilangkan perbedaan ini perlu
dilakukan pendampingan kepada mayarakat serta perlu dibangun image bahwa 110
hutan Meru Betiri adalah untuk kesejahteraan masyarakat yang perlu dilestarikan agar manfaatnya berkesinambungan. Pandangan (image) bahwa alas iku duwe’e pemerintah harus dihilangkan dari pola pikir masyarakat, dan diganti dengan hutan ini modal dasar dan utama untuk terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang harus dikonservasi dan dikembangkan nilai tambahnya oleh masyarakat untuk masyarakat bersama-sama dengan pengelola. 10. Ketidak-sejalanan stimulus terhadap sikap dan aksi konservasi masyarakat dan pengelola Berdasarkan hasil penelitian ternyata, bahwa perilaku masyarakat dan pengelola tidak sejalan dengan kebutuhan konservasi kedawung yang seharusnya dilaksanakan simultan sesuai dengan kaedah keterkaitan dan kesejalanan stimulus, sikap dan aksi konservasi. Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 35 diketahui bahwa terjadi bias pemahaman stimulus kedawung oleh masyarakat maupun oleh pengelola. Sebanyak 9 aksi konservasi dan kerelaan berkorban yang diharapkan kedawung untuk dilakukan, yang direfleksikan terutama dari stimulus alamiah tentang kelangkaan, kondisi populasi dan regenerasi, ternyata masyarakat maupun pengelola tidak dilakukan. Artinya bahwa informasi yang dikeluarkan kedawung yang sedang terjadi di kawasan hutan alam, belum menjadi stimulus pendorong bagi sikap maupun aksi konservasi oleh masyarakat maupun oleh pengelola. Masyarakat hanya memahami informasi dan menyukai pernyataan 16 bahwa, “Anakan kedawung hanya hidup di tempat terbuka terkena sinar matahari” tetapi stimulus ini tidak secara simultan mendorong aksi konservasi oleh masyarakat. Padahal sesuai dengan harapan kedawung dari sinyal atau informasi yang ditunjukkannya terutama melalui kondisi populasinya seharusnya masyarakat pendarung ataupun pengelola rela berkorban untuk memindahkan anakan kedawung yang tumbuh di bawah pohon induknya atau menyemaikan bijinya di areal-areal yang terbuka terkena langsung sinar matahari dan yang berjauhan dari pohon induknya. Ada tiga pernyataan penting (yaitu nomor 14, 15 dan 17) tentang kondisi populasi dan regenerasi kedawung yang dipahami bias oleh masyarakat maupun pengelola, sehingga sikap dan aksi konservasi kedawung tidak berjalan. 111
Perbedaan stimulus kedawung dengan sikap dan aksi masyarakat dan pengelola dapat digambarkan sebagai berikut.
Sikap dan Aksi masyarakat yg terkait erat harapan konservasi kedawung : 16, 22
Harapan aksi konservasi kedawung
Terjadi bias pemahaman stimulus kedawung, sehingga sikap dan aksi masyarakat atau pengelola untuk konservasi tidak berjalan : 14, 15, 17, 18, 19, 20, 21, 23, 24, 26 Sikap dan aksi pengelola
Keterangan No
Pernyataan stimulus kelangkaan (kondisi populasi dan regenerasi)
14 15 16 17
Anakan kedawung sangat jarang menjadi besar di sekitar pohon induknya. Pohon kedawung muda sangat jarang ditemukan di kawasan hutan alam. Anakan kedawung hanya hidup di tempat terbuka terkena sinar matahari. Kedawung dewasa jauh lebih banyak dibanding pohon mudanya di hutan
18 19 20 21 22 23 24 25 27
Menyemaikan atau menyebarkan biji kedawung di areal hutan alam. Buah kedawung yg tergantung di pinggir tajuk tidak semuanya dipungut Biji kedawung yang dipanen sendiri selalu ada yang dijadikan bibit. Kedawung saat ini perlu pengayaan atau penanaman di hutan alam. Ada biji kedawung yang tercecer diperjalanan di hutan sehabis memanen Biji direndam air panas 5 menit dan air biasa 1 malam, lalu disemaikan. Biji kedawung untuk mudah tumbuh dipotong sedikit ujung kulit bijinya. Jarak tanam kedawung di lahan rehabilitasi baiknya diperlebar min. 30 m. Kedawung untuk penyebaran bijinya di hutan alam perlu bantuan manusia.
Masyarakat
Pengelola
+ -
-
Pernyataan Aksi Konservasi Kedawung
+ -
0 0
0
-
Keterangan : 0 = tidak relevan untuk diujikan ; + = sangat suka atau suka/setuju; - = tidak suka atau kurang suka/setuju
Gambar 35. Bias pemahaman stimulus kedawung, sikap dan aksi pendarung atau pengelola untuk konservasi tidak berjalan simultan Kegiatan penjarangan pohon kedawung di lahan rehabilitasi adalah sekaligus merupakan kegiatan pemuliaan kedawung dengan melakukan seleksi pohon-pohon yang berkualitas. Penampakan morfologi pohon kedawung yang unggul dapat didekati dari tinggi, percabangan dan luas tajuknya. Pohon unggul diharapkan dapat menghasilkan buah yang lebih banyak. Hal ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan Etherington (1975) dalam bukunya “Environment and Plant Ecology dan hasil penelitian Rinekso (2000) di TNMB.
112
Masyarakat dan atau pengelola tidak menjalankan ke-13 aksi dari 14 aksi konservasi penting yang dibutuhkan kedawung. Pada Gambar 36 dikemukakan bagan alir stimulus kedawung, sikap dan aksi konservasi kedawung yang seharusnya simultan terjadi. Akan tetapi hal itu tidak terjadi, padahal itu sebagai prasyarat terwujudnya konservasi kedawung di hutan alam. Variabel bebas
Sikap
Variabel tak bebas
Stimulus Alamiah
Kelangkaan, kondisi populasi dan regenerasi : (14) Anakan Kedawung sangat jarang tumbuh menjadi besar di sekitar pohon induknya, (15) Pohon Kedawung yang masih kecil/ muda sangat jarang ada di kawasan hutan alam, (16) Anakan Kedawung hanya hidup dan tumbuh di tempat terbuka terkena sinar matahari, (17) Pohon Kedawung dewasa jauh lebih banyak dibanding pohon mudanya di hutan alam;
Fungsi ekologis: (9) Pohon Kedawung banyak tumbuh di lereng bukit terjal, (10) Kedawung merupakan pohon besar dan tinggi pengayom berbagai jenis tumbuhan hutan lain, (11) Pohon Kedawung yang sedang berbunga banyak didatangi lebah madu, (12) Pohon Kedawung gugurkan daunnya sebanyak 1 atau 2 kali setiap tahun; (13) Buah Kedawung yang muda menjadi bahan makanan satwa budeng;
Stimulus Manfaat
Manfaat ekonomi (1) Hati berbunga-bunga melihat pohon kedawung berbuah lebat yang telah menghitam, (2) Saat pohon Kedawung berbuah, banyak masyarakat masuk hutan memanen buahnya; (3) Pohon Kedawung di hutan sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat; (4) Biji kedawung banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri jamu Manfaat obat (5) Biji Kedawung disangrai berkhasiat untuk mengobati sakit perut kembung ; (6) Biji kedawung disimpan di rumah untuk obat (7) Pohon Kedawung adalah tumbuhan obat yang banyak khasiatnya; (8) Biji Kedawung disangrai suka dipakai sendiri untuk obat sakit perut kembung,
Stimulus Religius (termasuk nilai sosio-budaya) Stimulus ini berpengaruh atau tidak kepada sikap, dinilai dari pendekatan dan refleksi dari kerelaan berkorban untuk konservasi (pernyataan no. : 18, 19, 27, 28, 31)
Aksi dan Kerelaan berkorban untuk konservasi kedawung (18) Menyemaikan atau menyebarkan biji kedawung di areal hutan alam, (19) Buah kedawung yang tergantung di pinggir tajuk terluar tidak semuanya dipungut, (20) Biji kedawung yang dipanen sendiri ada yang dijadikan bibit, (21) Pohon kedawung saat ini perlu penanaman di hutan alam, (22) ) Ada biji yang tercecer diperjalanan pulang di hutan sehabis memanen, (23) Biji kedawung direndam air panas 5 menit dan air biasa 1 malam, kemudian disemaikan, (24) Biji kedawung untuk mudah tumbuh dipotong sedikit ujung kulit bijinya. (25) Jarak tanam kedawung di lahan rehabilitasi diperlebar minimal 30 m. (26) Patroli dan larangan masyarakat masuk hutan, bukan kegiatan penting untuk dilakukan (27) Pohon Kedawung untuk penyebaran bijinya di hutan alam perlu bantuan manusia. (28)Pohon kedawung ditanam di lahan rehabilitasi tanpa imbalan menanam palawija. (29) Pohon kedawung ditanam di lahan pertanian hak milik masyarakat. (30)Permudaan kedawung di hutan alam tidak bisa diserahkan kepada alam saja. (31) Biji kedawung yang dipanen selama ini, ada yang ditinggalkan sengaja di hutan untuk sumber bibit
Gambar 36. Bagan ketidak-sejalanan stimulus dengan sikap dan aksi pendarung dan pengelola untuk konservasi kedawung (yang digaris bawah). Pernyataan yang digaris bawah, artinya pernyataan yang disikapi positif dan dilakukan oleh masyarakat pendarung maupun oleh pengelola. 113
B. Ketidak-berlanjutan Pengetahuan Lokal Salah satu hipotesis penelitian ini adalah bahwa konservasi kedawung dan hutan yang dikenal hari ini adalah merupakan suatu estafet local and traditional knowledge dari sustainability “domestication of plant resources” yang merupakan suatu proses evolusi tumbuhan dengan masyarakat dalam ekosistem atau habitatnya (Harris dan Hillman, 1989). Dalam hal ini evolusi merupakan suatu proses pembelajaran bagi masyarakat terhadap tumbuhan liar dan suatu habitat hutan alam yang secara berkelanjutan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Pada masyarakat hutan Meru Betiri, ini sukarnya proses konservasi yang terjadi masa ini adalah tidak lain karena proses pembelajaran dari masa lalu tidak bersambung ke masa kini. Daya kreativitas dan kemandirian masyarakat untuk berinovasi dalam konservasi kedawung atau dalam peningkatan nilai tambah produknya selama ini tidak berkembang atau stagnant. Mereka hanya sebagai pengumpul biji (gather) dan menjualnya kepada tengkulak yang datang ke rumah mereka. Proses ini telah berlangsung secara turun temurun selama lebih dari 50 tahun tanpa ada perubahan atau kemajuan dari kearifan masyarakatnya. Sebelum konsorsium IPB dan LATIN pada tahun 1994 melakukan pendampingan terhadap masyarakat pendarung, ternyata mereka belum pernah melakukan pembibitan dan budidaya kedawung. Masyarakat pendarung dari kelompok umur di bawah 40 tahun dibanding dengan umur di atas 40 tahun, ternyata memiliki perbedaan sikap yang nyata, dimana masarakat yang berumur di atas 40 tahun memiliki sikap dan perilaku untuk aksi konservasi yang lebih baik. Ini menunjukkan bahwa komponen cognition yaitu pengetahuan lokal dan pengalaman tentang kedawung kurang memadai di dalam diri individu pendarung, terutama kelompok yang berumur di bawah 40 tahun. Hasil analisis data juga menunjukkan bahwa pendidikan dasar formal bagi masyarakat pendarung kedawung tidak berpengaruh nyata terhadap sikap, aksi maupun kerelaan berkorban untuk konservasi kedawung. Berdasarkan analisis ini terlihat pendidikan sekolah dasar belum berperan sebagai agen untuk memelihara keberlanjutan pengetahuan lokal bagi anak-anak generasi mudanya. Ini diperkuat dengan hasil wawancara dengan anak-anak SD Curahnongko, bahwa ternyata 114
m mereka banyyak tidak tahhu tentang hhutan Meru Betiri, apalaagi tentang kedawung, u umumnya m mereka tidak tahu. Hal ini i menggam mbarkan bahhwa pendidik kan formal d sekolah sudah tiddak mengaaitkan mateeri kurikuluum lokalnyya dengan di m menggunaka an contoh-coontoh potensi sumberdaaya alam lokaalnya. Tidakk ada perb bedaan nyaata dari sikkap dan akksi konservvasi antara m masyarakat yang bapaaknya pendarung kedaawung denggan bukan pendarung k kedawung. Malahan sebbaliknya, peerbedaan yanng nyata aksii konservasi kedawung t terjadi pada masyarakat yang bapaknnya bukan sebagai penddarung kedaw wung, yaitu l lebih bersik kap konservvasi.
Hasill penelitian ini menunnjukkan bahhwa dalam
m masyarakat tidak terjaddi keberlanjjutan pengeetahuan lokkal tentang konservasi k kedawung dari d bapak kee anak. Berd dasarkan waawancara teerbuka deng gan masyarrakat, diketahui tidak a adanya
keeberlanjutan pengetahuuan lokal masyarakat m y yang memaadai untuk
m meningkatka an nilai tam mbah kedaw wung di dallam kelomppok mereka.. c contohnya,
Sebagai
bahwa mereka m sam mpai saat inni belum m mengetahui teknologi
p pengolahan biji kedawuung menjadi ”camilan biji b kedawunng” yang guurih, seperti d dilakukan olleh masyarakkat Jawa di Probolinggoo. “Camilann biji kedawuung” sering d dijual oleh pedagang asongan a di tterminal bus Probolingggo. Bagi masyarakat m s sekitar hutann di Afrika Barat B makannan yang nam manya “Daddawa” yang terbuat t dari h hasil fermen ntasi biji sejeenis kedawuung (Parkia biglobosa) ssangat terkennal, seperti c contoh dapaat dilihat pad da gambar beerikut :
(aa)
(b)
G Gambar 37. Biji kedawuung yang dioolah menjaddi ”camilan bbiji kedawun ng” yang gurih dijual pedagang aasongan di Probolinggo P (a); Dadawaa makanan uat dari biji P Parkia biglobbosa (b) khas masyaarakat Afrikaa yang terbu
115
Penelitian
tentang
ketidak-berlanjutan
pengetahuan
lokal
tentang
kedawung ini bukanlah menjadi lingkup penelitian ini. Tetapi faktor-faktor yang mempengaruhi ketidak-berlanjutan pengetahuan lokal tersebut dapat diduga, yaitu (1) karena terjadi alih generasi dan intervensi informasi global, (2) kedawung bukan menjadi komoditi utama ekonomi masyarakat pendarung, (3) telah terjadi lama intervensi luar terutama kebijakan pengelolaan taman nasional yang membatasi akses masyarakat kepada sumberdaya TNMB. 1. Alih generasi dan intervensi informasi global Hasil analisis data menunjukkan adanya perbedaan respon setiap kelas umur responden terhadap 5 kelompok pernyataan : yaitu sikap nilai manfaat ekonomi, sikap nilai manfaat obat, sikap nilai manfaat ekologis, sikap terhadap kondisi populasi dan regenerasi kedawung, aksi
konservasi kedawung dan
kerelaan berkorban untuk konservasi kedawung. Sikap terhadap nilai manfaat ekonomi dan nilai manfaat ekologis tidak berbeda nyata antara masyarakat kelompok umur di bawah 40 tahun dengan kelompok umur di atas 40 tahun. Walaupun hubungan kelas umur dengan sikap manfaat ekonomi tidak nyata, tetapi ada kecenderungan bahwa masyarakat yang berumur di bawah 40 tahun semakin respon terhadap stimulus manfaat nilai ekonomi. Begitu juga kelas umur tidak berhubungan nyata dengan sikap manfaat ekologis, namun begitu masyarakat kelas umur di atas 40 tahun cenderung lebih respon terhadap stimulus manfaat ekologis kedawung. Sikap terhadap nilai manfaat obat berbeda nyata pada kelas umur pendarung, begitu juga ada korelasi yang nyata antara kelas umur dengan sikap manfaat obat. Masyarakat pendarung kelas umur di atas 40 tahun lebih merespon stimulus nilai manfaat obat.
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa dalam
masyarakat generasi muda sudah mulai berkurang pengetahuan mereka tentang manfaat obat kedawung. Generasi muda sudah tidak menggunakan lagi biji kedawung untuk mengobati sakit perut dan beralih ke obat produk industri farmasi yang dijual bebas di warung. Nasehat dan tradisi orang-orang tua agar tetap menggunakan biji kedawung untuk obat sakit perut dianggap generasi muda suatu yang sudah kuno, 116
tidak praktis, terbelakang dan berbagai alasan lain. Faktor penyebabnya, diduga generasi muda banyak dipengaruhi oleh informasi global yang menganggap obat kedawung sudah kuno. Pemikiran dan temuan di atas ternyata bahwa keberlanjutan awal evolusi pertanian “masyarakat hutan dan “masyarakat kecil” dalam era globalisasi telah mengalami intervensi. Hal ini “menimbulkan gangguan” untuk tumbuh dan berkembangnya pengetahuan lokal yang belum mudah dapat bersambung dengan nilai-nilai moderen dan global, bahkan sering nilai-nilai global terputus dengan nilai-nilai pengetahuan lokal dan atau tradisional. Pengetahuan moderen yang berkembang di masyarakat Indonesia sekarang ini banyak terputus dari jatidiri dan sumberdaya alam lokal sekitarnya. Seharusnya adalah ideal sekali apabila evolusi pertanian dari “masyarakat hutan” yang di dalamnya mengandung muatan nilainilai pengetahuan lokal dan atau tradisional berlanjut dan bersambung ke era Global yang moderen, sehingga keberlanjutan keanekaragaman hayati, kedirian dan kekhasan setiap daerah tetap terpelihara, terajut dan terbangun sebagai prasyarat terwujudnya kemandirian bangsa. 2. Keanekaragaman hayati yang tinggi Tingginya keanekaragaman hayati hutan hujan tropika di kawasan hutan TNMB, menjadikan banyak pilihan bagi masyarakat pendarung untuk memanfaatkannya.
Faktor
ini
diduga
akan
dapat
mempengaruhi
dan
melonggarkan daya juang dan semangat masyarakat pendarung untuk menggali, mengembangkan dan memelihara pengetahuan lokal mereka tentang nilai tambah kedawung. Hal ini berbeda dengan masyarakat tradisional yang hidup di hutan sub tropika di Afrika Barat, dimana keanekaragaman hayati tumbuhannya sangat terbatas, sehingga faktor ini sangat mempengaruhi budaya, sikap dan perilaku masyarakatnya untuk bertahan hidup, terutama untuk mempertahankan, menggali dan mengembangkan pengetahuan lokal mereka terhadap sumberdaya hayati tumbuhan nere (Parkia biglobosa) yang menjadi salah satu komoditi ekonomi andalan bagi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lama waktu dan frekuensi interaksi masyarakat pendarung di TNMB dengan kedawung efektifnya berkisar antara 1 sampai 2 bulan setiap tahunnya, yaitu pada saat kedawung sudah berbuah 117
masak siap panen, terutama pada bulan September dan Oktober. Hal ini juga diduga dapat mempengaruhi terpecahnya
konsentarasi belajar masyarakat
pendarung di alam. Selain tumbuhan obat kedawung, masyarakat pendarung juga banyak mengambil buah kemiri (Aleurites moluccana), buah pakem (Pangium edule), buah kemukus (Piper cubeba), buah joho lawe (Terminalia balerica), buah joho keling (Vitex quinata), buah kapulaga (Amomum cardonomum), buah cabe jawa (Piper retrofractum), buah serawu (Piper canimum), buah bendoh (Entada phaseoloides), kulit batang pule (Alstonia scholaris), buah arjasa (Agenandra javanica) dan buah pinang (Areca catechu).
Masyarakat pendarung juga
umumnya mengambil madu hutan. Dengan beranekaragamnya hasil hutan non kayu yang dipungut masyarakat setiap tahun seperti disebut di atas, juga dapat memecahkan konsentrasi dan perhatian masyarakat pendarung terhadap kedawung. Pengetahuan tradisional masyarakat di Afrika tentang manfaat dan pengolahan produk kedawung jauh lebih lengkap, lebih berkembang dan lebih maju dibanding masyarakat TNMB. Hal ini dapat dipahami karena perbedaan budaya dan adanya keanekaragaman tumbuhan di ekosistem savana di Afrika yang jauh lebih sedikit dibanding ekosistem hutan hujan tropika TNMB. Masyarakat Afrika tidak punya banyak pilihan spesies bermanfaat lainnya, sedangkan yang dimiliki masyarakat TNMB memiliki banyak pilihan, seperti yang telah diungkapkan di atas. Dapat dipastikan proses trial and error terhadap spesies kedawung ini pada masyarakat Afrika Barat jauh lebih intensif terjadi dan dalam waktu panjang. Masyarakat Afrika Barat memandang tumbuhan pohon sejenis kedawung (Parkia biglobosa) merupakan pohon yang dianggap sakral. Ada kaitan yang erat antara kedawung dengan budaya masyarakat lokal di Afrika Barat, contohnya pohon kedawung biasa digunakan untuk kegiatan upacara perkawinan, upacara menyambut kelahiran bayi, upacara sunatan, upacara kematian, bahan untuk hadiah (gift), upacara agama sehubungan dengan informasi pertanian. Misalnya di Gambia : kalau buahnya tergantung dipercabangan yang rendah, berarti kurang menguntungkan pertanian, yaitu menunjukkan kurang hujan. Sebaliknya kalau 118
buahnya tergantung tinggi memberi sinyal baik untuk kegiatan pertanian yang menunjukkan banyak hujan. Hal ini dapat dimaklumi karena Afrika merupakan daerah kering (Quedraogo, 1995 dan Hall, et al., 1997). Budaya seperti ini, bagi orang Indonesia belum ada yang melaporkan secara tertulis, apakah budaya ini belum pernah ada atau memang sudah pernah ada, lalu terjadi ketidak-berlanjutan pengetahuan lokal dan tradisional dalam masyarakat Indonesia ? 3. Intervensi dari kebijakan pengelolaan Genetik tumbuhan, habitat serta budaya masyarakat tak dapat dipisahkan satu sama lain serta sebagai satu kesatuan utuh kehidupan manusia sejak awal keberadaannya di muka bumi. Sayangnya hubungan kehidupan seperti itu tak dapat berlanjut karena adanya proses intervensi (Harris dan Hillman, 1989). Ketidak-berkelanjutan pengetahuan lokal dan proses pembelajaran terhadap sumberdaya genetik yang ada di TNMB antara lain karena terjadi proses intervensi yang mengakibatkan putusnya rantai evolusi genetik, sehingga kehidupan terkini kehilangan arah kelanjutan dan tidak dapat dipahami lagi oleh masyarakat generasi muda. Selain intervensi global yang saat ini terus berjalan tanpa terkendali, terutama melalui media massa. Sesungguhnya juga terjadi intervensi luar yang secara langsung telah lama terjadi dan telah memisahkan masyarakat dengan hutan, yaitu dimulai sejak ditetapkannya hutan Meru Betiri sebagai hutan lindung di zaman penjajahan Belanda pada tahun 1938,
kemudian tahun 1972 oleh
pemerintah RI dirubah menjadi hutan suaka margasatwa untuk konservasi harimau jawa, tahun 1982 ditetap sebagai calon taman nasional dan terakhir tahun 1997 sebagai taman nasional.
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang dibuat
selama ini yang lebih banyak memisahkan hutan secara fisik dengan kehidupan masarakat lokal, tujuan ideal dari konservasi hutan dari suatu taman nasional sampai saat ini tidak atau belum dapat terwujudkan. Transformasi nilai-nilai baru ke dalam kehidupan kelompok masyarakat pendarung dan kelompok masyarakat lain sekitar hutan telah mengubah sikap mereka terhadap kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai baru yang tidak ada berkaitan dengan kedawung oleh sebagian masyarakat banyak diadopsi sehingga terjadi 119
gesekan nilai-nilai diantara generasi muda dan generasi
tua yang masih
menyimpan kearifan terhadap stimulus alam yang terdapat di sekitar lingkungan hidupnya. Selain itu nilai-nilai yang dikembangkan oleh pemegang kebijakan dalam kehutanan (terutama kebijakan baru tentang didirikannya taman nasional) tidak bisa dipahami oleh masyarakat, tanpa ada upaya menyambungkan persamaan nilai tradisional dan nilai-nilai baru tersebut. Sejak hutan Meru Betiri ditetapkan oleh pemerintah Belanda sebagai hutan lindung pada tahun 1938, kemudian menjadi suaka margasatwa dan taman nasional oleh pemerintah Indonesia, maka akses masyarakat lokal secara legal ke sumberdaya hutan menjadi hilang.
Hal ini sangat berpengaruh terhadap
perkembangan pola pikir, pengetahuan, persepsi, sikap dan perilaku masyarakat tentang konservasi sumberdaya hutan umumnya dan khususnya terhadap kedawung. Diubahnya hutan alam menjadi hutan jati pada tahun 1967 tersebut, maka akses masyarakat ke hutan alam semakin sulit dan memerlukan pengorbanan waktu dan tenaga yang lebih besar. Kondisi ini sudah merubah lingkungan hidup menjadi asing bagi mereka. Kesempatan bagi orang tua untuk mentransfer pengetahuan tradisionalnya kepada anak-anaknya semakin kecil. Hal ini diduga dapat mempengaruhi ketidak-keberlanjutan pengetahuan tradisional masyarakat mengenai keanekaragaman hayati hutan bagi generasi anak-anak mereka. Penanaman pohon jati secara besar-besaran di sepanjang perbatasan hutan alam yang memanjang dari arah Barat ke Utara sekitar 30 km dengan lebar sekitar 500 m, juga telah memisahkan kampung masyarakat dengan kawasan hutan taman nasional, seperti ditunjukkan pada Gambar 38. Hutan jati ini
pada tahun 1998-1999 semasa era reformasi terjadi
penebangan besar-besaran secara illegal oleh masyarakat. Pada lahan inilah yang oleh masyarakat dinamai dengan tetelan. Sejak tahun 1999 pengelola taman nasional bekerjasama dengan KAIL melakukan program rehabilitasi bersama masyarakat dengan tanaman pokok utamanya adalah kedawung.
120
G Gambar 38. Sketsa areaal hutan alam m yang dibab bat dan digannti menjadi hutan h jati prosesnya mulai m tahun 1955 sampaai 1967 (areaal yang diarssir hitam tua), kemuddian tahun 22000 dijadikaan areal rehaabilitasi (teteelan) setelah terjadi illegal loogging pada tahun 1998--1999
C. Masalah Kebijakan K Pengelolaaan 1. Peraturaan perundan ngan Palin ng tidak adda 12 peratuuran perunddangan yangg penting terkait t dan m mendasari k kebijakan
p pengelolaan n taman nassional, khussusnya yangg mengatur
p peran serta masyarakat. m Peraturan pperundangan n yang ada ccukup banyaak, namun i implementas sinya di lapangan masihh sangat minnim dilakukaan. Hal ini baanyak yang m menjadi kenndala, antaraa lain yang terkait denggan kapasitaas staf penggelola yang b belum banyyak memahaami substannsi peraturann perundanggan, kecualii substansi y yang berkaittan dengan larangan-laraangan dan saangsi. Berd dasarkan annalisis kanddungan peraaturan peruundangan dengan tris stimulus am mar konservvasi dapat diketahui bahwa b subsstansi yang berkaitan u umumnya adalah a menggenai stimullus alamiah, namun subbstansi yang g berkaitan s stimulus maanfaat dan stiimulus religiius dapat dikketahui masiih sangat kurrang. Sikapp pemerintahh sebagai peengelola TN NMB yang diicerminkan dari semua yang telah dilakukan p peraturan peerundangan terkait dann kegiatan pengelolaan p t tidak menceerminkan kriistalisasi sikkap dan perillaku tri-stim mulus amar konservasi. k H ini men Hal nunjukkan bahwa b peratturan perund dangan selaama ini dibuuat kurang b berdasarkan penafsiran n dari faktaa lapangan yang dihassilkan dari hasil-hasil 121
penelitian yang grass root. Tidak terjadi kelanjutan proses evolusi berpikir yang runut, sistematis dan tidak jelas dari pembuatan undang-undang ke peraturan pemerintah, dan dari peraturan pemerintah ke peraturan menteri dan seterusnya, sehingga akhirnya menghasilkan alat yang tidak operasional di lapangan. Kelompok stimulus alamiah yang sudah menjadi sikap konservasi pemerintah umumnya bersifat aksi perlindungan yang sangat makro dan kegiatan perlindungan ekosistem yang menjauhkan dari campur tangan masyarakat kecil, seperti masyarakat pendarung kedawung. Sedangkan stimulus manfaat, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat lokal dan stimulus religius yang berkaitan dengan nilai-nilai religius dan nilai-nilai sosio-budaya masyarakat setempat/tradisional yang berpotensi sebagai modal sosial untuk mendorong kerelaan berkorban bagi konservasi, belum menjadi sikap dan belum menjadi perhatian pemerintah yang jelas dan tegas di dunia praktis. Tabel 17 berikut ini menunjukkan analisis kandungan tri-stimulus amar konservasi dalam peraturan perundangan yang terkait dengan kebijakan pengelolaan taman nasional dan peran serta masyarakat, yaitu sebagai berikut : Tabel 17. Hasil analisis kandungan tri-stimulus amar konservasi dengan peraturan perundangan yang terkait dengan kebijakan pengelolaan taman nasional dan peran serta masyarakat Stimulus No
UU, PP atau SK Menhut
Alamiah
Manfaat
Religius
1.
UU No. 05 Tahun 1990 : Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya UU No. 24 Tahun 1992 : Penataan Ruang UU No. 23 Tahun 1997 : Pengelolaan Lingkungan Hidup PP No. 68, 1998 : Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam UU No. 41 Tahun 1999 : Kehutanan PP No. 8 Tahun 1999 Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar
kuat
lemah
cukup
cukup kuat kuat cukup cukup cukup
cukup cukup lemah cukup1) lemah cukup1)
lemah cukup lemah cukup lemah lemah
cukup
lemah
lemah
cukup lemah cukup
cukup cukup kuat
kuat lemah cukup
cukup
lemah2)
lemah
kuat
cukup
cukup
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
PP Nomor 34 Tahun 2002 : Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Peng. Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
Surat Keputusan Menhut No. 6186/ Kpts.-II/ 2002 10 Juni 2002 Organisasi dan Tatakerja Balai Taman Nasional. UU No. 20 Tahun 2003 : Sistem Pendidikan Nasional UU No. 32 Tahun 2004 : Pemerintahan Daerah Peraturan Menhut, No. : P.01/Menhut-II/2004 : Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam atau Sekitar Hutan dalam Rangka Social Forestry
Peraturan Menhut No. : P.19/Menhut-II/2004 Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
13.
Peraturan Menteri Kehutanan No: P.56/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional
Keterangan: 1) terkendala dengan UU no. 5 th. 1990 dan PP No. 68 th.1998 : Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam 2) bisa negatif atau merugikan masyarakat
122
Stimulus manfaat kawasan taman nasional bagi masyarakat lokal terkendala dengan UU no. 5 tahun 1990 dan PP No. 68 tahun 1998, yaitu ditutupnya akses masyarakat untuk memanfaatkan secara lestari sumberdaya hayati yang ada dalam kawasan.
Begitu juga mengenai stimulus religius belum
secara jelas atau belum secara eksplisit dimuat di dalam peraturan perundangan yang ada, kecuali dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hasil analisis kandungan selengkapnya dimuat pada Lampiran 13. Dari hasil analisis kandungan peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan taman nasional yang dibuat mulai tahun 1990 sampai tahun 2006 dapat diketahui tidak terjadi keberlanjutan berpikir yang sistematis. Tidak terjadi pendalaman substansi yang runut yang lebih operasional, lebih sesuai dan lebih mendukung kondisi sosio-bioekologi lapangan. 2. Kegiatan pengelolaan Konservasi TNMB sekarang ini dirasakan gagal, hal ini disebabkan adanya bias pemahaman stimulus yang berbeda antara masyarakat dan pengelola. Akibatnya program konservasi berlangsung dengan pondasi yang rapuh dan tidak berangkat dari upaya mengatasi akar permasalahan. Konsep sustainability itu sendiri belum pernah terjadi dan diterapkan sepenuhnya di lapangan. Berikut ini dikemukakan analisis kandungan kegiatan pengelolaan TNMB berdasarkan tristimulus amar konservasi pada periode kegiatan yang sudah dilakukan dan yang akan dilakukan. a. Kegiatan pengelolaan tahun 1998 – 2004 Berdasarkan buku laporan Balai Taman Nasional Meru Betiri (2004c), dapat diketahui program kegiatan tahun 1998 sampai 2004. Substansi program kegiatan ini dianalisis
keterkaitannya dengan stimulus amar, yaitu alamiah,
manfaat dan religius dalam rangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dan konservasi potensi keanekaragaman hayati TNMB, seperti Tabel 18 berikut :
123
Tabel 18. Kegiatan pengelolaan yang telah dilakukan tahun 1998-2004 dan keterkaitannya dengan tri- stimulus amar konservasi Aspek
Judul kegiatan
S.alamiah
S. manfaat
S. religius
1. Perlindungan dan pengamanan 2. Pemantapan dan rehabilitasi kawasan
• • • •
tidak ada
Tak ada
Ada
Ada
Tak ada
Tak jelas
Ada
Tak jelas
Ada
Tak jelas
Tak ada
3. Pengelolaan keanekaragaman hayati
• • • • • • • •
Patroli thd pencurian hasil hutan Penanganan kebakaran hutan Rehabilitasi melalui penanaman Pendampingan petani rehabilitasi kawasan Pengadaan bibit tanaman untuk rehabilitasi, dll Inventarisasi burung air Survey potensi vegetasi Identifikasi burung reptor Pembinaan populasi penyu Monitoring satwa dg fototrap Inventarisasi banteng Inventarisasi tumbuhan obat Inventarisasi burung merak, dll
Tak jelas
Tak jelas
Tak ada
Tak jelas
idem
idem
idem
4. Pengembangan pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan 5. Bantuan untuk peningkatan usaha ekonomi masyarakat
• Pembinaan kader konservasi dan generasi muda pencinta alam, dll
Tak jelas
Tak jelas
Tak jelas
• • • • • • • • •
Tak ada
Tak jelas
Tak ada
Idem
Idem
Idem
Ada
Tak jelas
Tak jelas
Ada Ada
Tak jelas Ada
Tak jelas Tak jelas
Ada
Tak jelas
Tak jelas
•
6. Penyebaran informasi dan promosi
5 ekor sapi ke masyarakat. tungku untuk masyarakat 1 perahu ke masyarakat 2 mesin perahu keramba kepiting alat-alat pembuat jamu modal grup TOGA etelase utk pemasaran jamu Pembuatan dan penyebaran leaflet, brosur, stiker dan buku • Pameran dan ekspose • Penyuluhan konservasi sumberdaya alam • Pengadaan peta-peta kawasan
Berdasarkan informasi pada Tabel 18 di atas dapat diketahui bahwa selama 7 tahun terakhir ada 55 judul kegiatan pengelolaan yang dilakukan, ternyata tidak satupun kegiatan yang dilakukan dengan lengkap sejalan dengan tristimulus amar konservasi (alamiah, manfaat dan religius). Bahkan 65 % dari kegiatan pengelolaan yang dilakukan sama sekali bias dengan tri-stimulus amar konservasi.
Sasaran kegiatan tidak tepat, tidak ada yang fokus kepada
pemecahan permasalahan utama lapangan, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan dan manfaat bagi masyarakat lokal. Kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan kapasitas masyarakat lokal, khususnya kepada masyarakat pendarung tumbuhan obat kedawung belum 124
pernah dilakukan. Hampir semua kegiatan yang dilakukan tidak berkaitan dengan kehidupan
masyarakat sekitar hutan yang sehari-harinya banyak berinteraksi
dengan sumberdaya hayati taman nasional, yang seharusnya sangat berkaitan dengan stimulus manfaat. Padahal sumber akar permasalahan konservasi saat ini berasal dari interaksi masyarakat lokal dengan sumberdaya taman nasional yang belum pernah secara tuntas dikaji dan direkayasa agar menjadi interaksi positif yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualistis. Stimulus alamiah, manfaat dan religius (kerelaan berkorban) tidak menjadi pendorong utama dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan kawasan. Penyebaran informasi dan promosi selama ini ditujukan bukan kepada masyarakat lokal, apalagi khususnya kepada masyarakat pendarung kedawung. Substansi informasi dan promosi yang disebarkan sampai saat ini hanya terbatas pada materi objek wisata, dan ditujukan umumnya kepada masyarakat yang hidupnya jauh dari ekosistem taman nasional.
Sedangkan hasil-hasil penelitian
yang berhubungan dengan kedawung, terutama aspek budidaya dan konservasinya belum disosialisasikan oleh pengelola kepada masyarakat pendarung. Apalagi yang berkaitan dengan IPTEK yang dapat meningkatkan nilai tambah dari hasil sumberdaya hutan yang dipungut masyarakat, belum pernah dilakukan. Pengelola tidak memahami atau tidak merespon apa yang terjadi dengan kelangkaan kedawung di hutan, terlihat tidak ada satupun kegiatan selama 10 tahun terakhir yang berhubungan dengan penyuluhan dan pendampingan masyarakat untuk peningkatan sikap, perilaku dan kapasitas masyarakat bagi pelestarian pemanfaatan kedawung dari hutan alam, kecuali hanya kegiatan penanaman kedawung di kawasan rehabilitasi yang sampai hari ini belum berhasil berbuah. Padahal dengan memberikan penyuluhan dan pendampingan kepada masyarakat agar setelah memungut buah kedawung, mereka mau membantu menyebarkan segenggam bijinya yang terbaik ke areal-areal yang terbuka di kawasan hutan yang berjauhan dari pohon induknya. Ini merupakan kegiatan yang kecil, ringan, sederhana dan murah, tetapi sangat penting dan sangat besar artinya bagi keberlanjutan konservasi kedawung di hutan alam taman nasional.
Untuk
lebih jelasnya analisis kandungan selengkapnya dimuat pada Lampiran 14.
125
b. Kegiatan pengelolaan tahun 2005 -2009 Berdasarkan analisis kandungan pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa kegiatan pengelolaan yang berkaitan dengan stimulus amar (alamiah, manfaat dan religius) sangat terbatas dilakukan.
Sampai saat ini pengelola masih
melakukan kegiatan-kegiatan yang belum mengacu kepada visi dan misi pengelolaan dan belum terkait dengan stimulus amar. Penetapan kegiatan oleh pengelola belum mengacu kepada visi yang sudah dirumuskan dan belum mengenai sasaran pada pemecahan akar permasalahan. Kegiatan-kegiatan belum berpedoman kepada tuntutan karakteristik dan kebutuhan sumberdaya alam hayati lokal maupun tuntutan kebutuhan masyarakat sekitar hutan, seperti dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 19. Kegiatan pengelolaan sedang dan akan dilakukan tahun 2005-2009 yang berkaitan dengan tri-stimulus amar konservasi Stimulus alamiah
Stimulus manfaat
Stimulus religius
1. Penataan kawasan • Review Zonasi Taman Nasional Meru Betiri, Dll
Tidak jelas
Tidak jelas
Tidak ada
2. Pembinaan daya dukung kawasan • Pembinaan habitat banteng, Dll
Ada
Tidak ada
Tidak ada
3. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati • Identifikasi dan inventarisasi jenis flora • Identifikasi dan inventarisasi jenis fauna • Pembuatan demplot tumbuhan obat pulepandak
Ada Ada Ada
Tidak jelas Tidak jelas Ada
Tidak ada Tidak ada Tidak jelas
4. Pemanfaatan Kawasan • Penyusunan master plan pariwisata alam • Pembinaan kader konservasi dan pecinta alam • Penyusunan buku informasi tumbuhan obat, Dll
Ada Ada Ada
Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas
Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas
5. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan • Operasi pengamanan fungsional, Dll
Tidak jelas
Tidak ada
Tidak jelas
6. Pembinaan Sumber Daya Manusia • Pendidikan dan latihan penjenjangan. • Pelatihan/penyegaran POLHUT dan PPNS, Dll
Tidak jelas Tidak jelas
Tidak jelas Tidak jelas
Tidak jelas Tidak jelas
Judul kegiatan
7. Pembinaan Partisipasi Masyarakat Tidak ada Ada Tidak ada • Membantu urus hak paten/ merek 20 produk jamu Ada Ada Ada • Pengadaan bibit oleh petani mitra rehabilitasi. Tidak jelas Ada Ada • Pelibatan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi Ada Ada Ada • Pendampingan kelompok tani mitra rehabilitasi Ada Ada Ada • Penyuluhan konservasi. Sumber : Balai Taman Nasional Meru Betiri (2004c)
126
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa kegiatan pengelolaan taman nasional yang dilakukan selama ini sangat kurang atau belum mengaitkan dengan stimulus manfaat .
Ini dapat diketahui dari
bentuk-bentuk
pemanfaatan
sumberdaya hasil hutan Taman Nasional Meru Betiri oleh masyarakat sekitar di antaranya adalah : pengambilan tumbuhan obat, pengambilan kayu komersial untuk bahan bangunan, pengambilan kayu bakar (perencekan), pengambilan jenis bambu, pengambilan rotan, perburuan satwa, dan pengambilan madu. Bentuk-bentuk interaksi masyarakat hutan yang disebutkan di atas selalu dipandang oleh pengelola sebagai kegiatan pelanggaran hukum, karena selama ini pemahaman tentang substansi peraturan perundangan kurang memadai yang membuat mereka bersikap seperti itu. Peraturan perundangan tentang pengelolaan taman nasional selama ini belum banyak dioperasionalkan dan diimplementasikan dengan kondisi karakteristik lokal lapangan (Lampiran 13). Masyarakat pendarung kedawung selama ini dianggap melanggar hukum dan merupakan faktor penyebab langkanya kedawung di hutan. Padahal dalam penelitian ini masyarakat pendarung sebaliknya sangat berperan sebagai penyebar biji untuk regenerasi kedawung di hutan. Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang “tugas pokok dan fungsi pengelola taman nasional” adalah salah satu contoh produk peraturan yang kaku dan tidak operasional dengan kondisi dan karakteristik lokal lapangan. Tugas pokok dan fungsi pengelola tidak dengan tegas dan tidak dengan nyata menyebutkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan masyarakat sekitar hutan yang sudah lama bergantung dan berinteraksi dengan hutan taman nasional, termasuk pengembangan pengetahuan tradisional masyarakat yang mendukung konservasi. Berdasarkan bentuk-bentuk interaksi masyarakat dengan kawasan hutan serta dikaitkan dengan tri-stimulus amar konservasi seharusnya disusun prioritas program kegiatan pengelolaan kawasan taman nasional. Pengelola harus benarbenar memahami kegiatan mana yang perlu dilakukan dan kegiatan mana yang tidak perlu dilakukan atau tidak prioritas untuk dilakukan. Banyak kegiatan yang dilakukan selama ini tidak berhubungan langsung dengan kepentingan kesejahteraan masyarakat sekitarnya (stimulus manfaat) dan banyak yang tidak berkaitan dengan kebutuhan konservasi sumberdaya hayati kawasan itu sendiri 127
(stimulus alamiah), seperti yang diungkapkan dan ditemukan dalam penelitian disertasi ini (Lampiran 15). 3. Titik temu pengelolaan taman nasional dengan kepentingan masyarakat Berdasarkan analisis kandungan visi, misi, strategi kebijakan, tujuan, sasaran, kegiatan dan tugas pokok pengelola yang disebutkan di atas, maka dapat diringkas hasil analisis secara keseluruhan seperti pada Tabel 20 berikut : Tabel 20. Analisis kandungan visi, misi, strategi, tujuan, sasaran, kegiatan dan tugas pokok pengelola dengan tri-stimulus amar konservasi Kebijakan pengelolaan
Stimulus alamiah
Stimulus manfaat
Stimulus religius
1. Visi 2. Misi 3. Strategi 4. Tujuan 5. Sasaran 6. Kegiatan 7. Tugas pokok pengelola
Ada Ada Ada Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas
Ada Tidak jelas Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak jelas Tidak jelas
Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas
Pengalaman lapangan dari penelitian ini memberikan pembelajaran yang berharga, bahwa ternyata ada perbedaan visi antara masyarakat sekitar hutan dengan pengelola taman nasional yang harus dipertemukan menjadi visi bersama. Kalau tidak akan sulit terwujudnya konservasi hutan taman nasional, yang pada akhirnya akan berdampak negatif kepada masyarakat lokal dan terjadinya kerusakan lingkungan. Titik temu ini belum bertemu, karena masyarakat terkendala dengan hak akses ke sumberdaya alam hayati, sedangkan pengelola terkendala dengan peraturan perundangan yang berlaku, termasuk kurangnya kapasitas SDM pengelola untuk memahami dan mengimplementasikan materi peraturan perundangan yang berlaku. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat hutan dan pengelola taman nasional memiliki agenda yang sangat berbeda terhadap taman nasional sehingga harus dibuat síntesis teori dan paradigma baru agar menjadi suatu kebijakan pengelolaan taman nasional yang disepakati semua pihak, terutama dengan masyarakat lokal.
128
Masyarakat hutan yang masih miskin materi maupun pengetahuan saat ini berpikir dan menyikapi sumberdaya hutan sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi hidup keluarganya. Agenda masyarakat hutan hampir selalu dimulai dengan kebutuhan untuk melindungi dan melegalisasi hak akan sumberdaya hutan termasuk lahan rehabilitasi yang mereka garap untuk memenuhi kebutuhan hidup dan untuk pemanfaatan mereka sendiri.
Mereka
menekankan pada pentingnya mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup dari sumberdaya hutan dan termasuk lahan rehabilitasi. Mereka mengharapkan kepastian hukum akan hak memanen hasil tanaman pokok yang mereka tanam di lahan rehabilitasi. Mereka menjadikan dokumentasi sejarah yang mereka buat melalui kegiatan rehabilitasi sebagai jaminan agar bisa tetap memanfaatkan sumberdaya hutan yang mereka bangun secara lestari.
Berikut ini beberapa
pernyataan yang muncul di masyarakat yang menunjukkan hubungan tidak harmonis dengan pengelola : (1) Kami tahu bahwa dengan program agroforestri kami masyarakat Timur Sawah tidak lagi keluar masuk hutan untuk mencari berbagai jenis tumbuhan obat. Kami merasa telah terentaskan dari cap negatif sebagai masyarakat yang berada di bibir hutan. (2) Seringnya kami masuk keluar hutan menjadikan posisi kami di mata petugas (pengelola) tidak lebih dari seorang pesakitan yang serba salah dan kami selalu menjadi target operasi para penjaga hutan. (3) Kami selalu menjadi pihak yang dipersalahkan. Kami selalu menjadi ajang olokan sebagai masyarakat yang tidak mengerti apa itu kelestarian, apa itu keanekaragaman hayati dan sebagainya.
Dipihak pengelola taman nasional memiliki agenda yang seringkali dimulai dengan kepentingan untuk melindungi kawasan taman nasional yang terlarang bagi masyarakat berdasarkan pemahaman dan implementasi peraturan perundangan yang berlaku, sesuai dengan paradigma pengelolaan yang konservatif.
Apabila pengelola melibatkan masyarakat lokal dalam rencana
kerjanya, pengelola cenderung memandang masyarakat tersebut tidak lebih sebagai suatu sarana yang memungkinkan untuk mencapai tujuan konservatif, bukan melihat masyarakat itu sebagai subjek dan tujuan konservasi itu sendiri yang harus diwujudkan kesejahteraannya. Dari hasil penelitian ternyata bahwa program kegiatan pengelolaan yang selama ini sangat sedikit yang berkaitan dengan kepentingan peningkatan 129
kesejahteraan masyarakat dan peningkatan nilai tambah kedawung
(stimulus
manfaat) maupun yang berkaitan dengan konservasi potensi (stimulus alamiah). Pemahaman pengelola terhadap substansi peraturan perundangan yang berlaku yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan taman nasional sangatlah minim.
Paradigma baru pengelolaan taman nasional ádalah
bagaimana sintesa kedua hal di atas, yaitu memposisikan masyarakat hutan sebagai subjek konservasi taman nasional. Sedangkan pengelola dan akademisi perguruan
tinggi
memfasilitasi
masyarakat
hutan
untuk
mewujudkan
kesejahteraan dirinya sendiri melalui pelestarian pemanfaatan sumberdaya keanekaragaman hayati taman nasional. Hal ini semua merupakan prasyarat terwujudnya konservasi taman nasional yang berkelanjutan. Sebagai contoh adalah perlu segera disempurnakannya konsep rehabilitasi lahan hutan oleh masyarakat, termasuk aspek legalitas yang menjamin hak-hak dan kewajiban masyarakat, sehingga penguatan dan pengembangan kapasitas masyarakat terbangun dengan wajar sesuai juga dengan pengetahuan yang mereka miliki. Pendekatan yang lazim dipakai membangun dan mengelola taman nasional serta hutan-hutan negara, cenderung mengakibatkan konflik sumberdaya yang tidak terelakkan, terutama dengan masyarakat lokal. Taman nasional merupakan kawasan yang relatif luas, dimana penguasa tertinggi di sebuah negara awalnya mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau melenyapkan sesegera mungkin pemukiman penduduk dalam seluruh wilayah dan memberlakukan penghargaan lebih tinggi kepada nilai-nilai unsur-unsur biologi, ekologi, geomorfologi, atau estetis yang membentuk pembangunannya, ketimbang manusia masyarakat lokalnya.
Konsep ini memunculkan pandangan, bahwa
wilayah-wilayah bernilai tinggi bagi negara
secara keseluruhan hanya dapat
dikelola untuk melindungi sumberdaya hayati secara baik, apabila penduduk tidak menghuni atau jauh dari wilayah itu (McNeely, 1992). Praktek pengelolaan taman nasional selama beberapa dekade ini, menggunakan “sistem nilai” konservasi alam di Indonesia berupa “pengawetan dan perlindungan hutan” yang menekan sekecil mungkin interaksi hutan dengan aktivitas masyarakat. Berarti pula secara tidak disadari melepaskan “sistem nilai” kearifan dan kepentingan masyarakat lokal terhadap hutan. Padahal “sistem nilai” 130
hutan dalam masyarakat lokal ini telah melekat dan mentradisi sudah secara turun temurun sebagai sumber dan bagian dari kehidupannya dan sekaligus telah terbangun suatu kearifan lokal yang justru dapat mendukung ke arah terwujudnya konservasi hutan itu sendiri.
Sistem nilai ini kalau diuraikan ternyata
mengandung dan sangat berkaitan dengan konsep “tri-stimulus amar konservasi”. Sebagai contoh dapat dilihat pada sistem nilai dan kearifan tradisional masyarakat lokal yang berkembang dalam masyarakat adat berikut praktek pengelolaan hutan lestari yang dilakukannya (Hardjodarsono et.al., 1986) , seperti (1) Perkebunan tengkawang (Shorea stenoptera) di Kalimantan Barat ditemukan sudah ada oleh Prof. De Vriese ketika melakukan perjalanan dinas tahun 1857; (2) Hutan rakyat kayu pertukangan (jati, tembesu, merawan) di Palembang diketahui telah ada pada tahun 1932, ditemukan oleh C.N.A.de Voogd; (3) Perkebunan kemenyan (Styrax benzoin) di Palembang yang telah ada pada zaman Pemerintah Hindia Belanda tahun 1885, ekspor kemenyan dari Palembang antara tahun 18851889 yang diperkirakan sebenyak 668 ton per tahun; dan (4) Hutan damar mata kucing (Shorea javanica) milik rakyat Krui, telah lama ada dan pada tahun 1937 ditemukan oleh Ir. F.W. Rappard pada saat mengumpulkan bahan untuk herbarium famili Dipterocarpaceae.
Contoh-contoh ini merupakan wujud nyata
bentuk-bentuk aksi konservasi sumberdaya hayati tumbuhan hutan yang berkembang atas inisiatif masyarakat lokal secara mandiri berlandaskan kepada nilai-nilai dan pengetahuan tradisional yang berkembang di kalangan mereka sendiri, jauh dari campur tangan pemerintah jajahan Hindia Belanda waktu itu. Hal inilah dikemukakan Awang (2005) bahwa siapapun yang mengelola hutan publik hendaknya mau mempelajari tradisi-tradisi kehutanan yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan demikian upaya-upaya dapat lebih bijak demi untuk kepentingan perlindungan kehidupan dalam arti yang lebih luas dalam memaknai keberadaan hutan di tengah masyarakat. Hutan merupakan satu aset yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena hutan memberi banyak barang, jasa dan kepuasan batin kepada manusia, terutama bagi masyarakat sekitar hutan itu sendiri, yaitu berupa kelompokkelompok masyarakat kecil dan unik, seperti contohnya masyarakat pendarung tumbuhan obat di TNMB. 131