BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian permasalahan yang dikemukakan di atas dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Perubahan arah kebijakan pengaturan bidang kesehatan pada era otonomi luas dapat dikelompokkan menjadi 2 gelombang, yaitu: 1. Periode pertama adalah perubahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi atau dalam perspektif ruang mengatur yaitu dari ruang mengatur sempit menjadi ruang mengatur luas. Hal ini terjadi pada saat perubahan UU 5/1974 menjadi UU No. 22/1999. 2. Periode kedua adalah desentralisasi menjadi "re-(sentralisasi)" atau yang dalam pendekatan ruang mengatur perubahan dari ruang mengatur luas menjadi ruang mengatur sedang, yaitu ketika terjadi perubahan dari UU No 22/1999 menjadi UU No.32/2004 dan UU No 23/2014. 2. a. Berkaitan dengan realisasi pengaturan di bidang kesehatan secara nasional, ditemukan bahwa: Pertama, pelaksanaan kewenangan mengatur di bidang kesehatan oleh pemerintah daerah di Indonesia sangatlah variatif, baik dari segi jumlah maupun substansi pengaturannya. Kedua, perbedaan performa
499
daerah dalam mengeksekusi kewenangan mengatur yang diberikan kepadanya menunjukkan bahwa pelaksanaan kewenangan mengatur tidak selalu linier dengan besarnya ruang mengatur yang diberikan oleh pemerintah pusat. Ketiga, kemauan dan kemampuan daerah untuk melaksanakan
kewenangan
mengatur
tidaklah
sama.
Keempat,
ketergantungan daerah terhadap pengaturan dari pemerintah pusat masih tinggi. b. Secara Nasional, pelayanan kesehatan tetap meningkat pasca diterapkannya desentralisasi luas yang mana ditunjukkan dengan peningkatan IPM dan pencapaian MDGs. Akan tetapi, kesenjangan IPM di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia selama lima tahun terakhir yang masih cukup tinggi. Berdasarkan Angka Harapan Hidup nampak bahwa di lima tahun terakhir terdapat peningkatan angka harapan hidup di Indonesia dan kesenjangan angka harapan hidup antara satu daerah provinsi dengan daerah provinsi lainnya lainnya semakin mengecil meskipun nilainya masih cukup tinggi. Berdasarkan data IPM dan AHH tersebut semakin jelas bahwa kondisi daerah provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia sangatlah variatif baik dari segi kesiapannya melaksanakan desentralisasi kesehatan maupun dari hasil desentralisasi kesehatan itu sendiri. Hal lain yang menarik juga untuk dicatat adalah, bila dilihat dari data IPM yang ada nampak bahwa sebelum desentralisasi pun IPM Indonesia meningkat. Bila dikaitkan dengan 500
kewenangan mengatur, hal ini terkonfirmasi mengingat meskipun ruang mengatur yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pasca desentralisasi semakin luas, namun pelaksanaannya variatif, bahkan cenderung terbatas. Akan tetapi, peningkatan tetap dapat dicapai karena adanya peraturan-peraturan dari pemerintah pusat (pedoman-pedoman yang dikeluarkan kementerian kesehatan, misalnya dalam bentuk SPM, NSPK dan juknis-juknis) yang mengisi kekosongan pengaturan di daerah. 3. Paling tidak ada empat hal yang dapat dilakukan untuk mencapai kebijakan pengaturan bidang kesehatan yang ideal: Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa arah kebijakan pengaturan bidang kesehatan adalah desentralisasi luas dan asimetris. Kesan re-sentralisasi yang diusung oleh UU No 32 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 2014 tidak bertujuan untuk membawa urusan kesehatan menjadi sentralistik, namun lebih merupakan masa transisi untuk mengevaluasi dan menata pelaksanaan desentralisasi kesehatan. Kedua, pemerintah harus memberikan waktu transisi yang cukup bagi daerah untuk meningkatkan kemampuannya untuk melaksanakan desentralisasi kesehatan. Pada masa transisi tersebut, pemerintah pusat berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan mendukung pembiayaan urusan kesehatan. Ketiga, pemerintah pusat harus melakukan evaluasi terkait kemampuan daerah untuk merealisasikan pengaturan di bidang kesehatan. Evaluasi untuk pemerintah provinsi dapat dilakukan oleh kementerian 501
kesehatan, sementara untuk pemerintah kabupaten/kota dapat dilakukan dinas kesehatan provinsi. Evaluasi dapat dilakukan berdasarkan kemampuan pemerintah untuk mencapai SPM Kesehatan. Bagi daerah yang tidak dapat mencapai SPM, pemerintah pusat dapat mengurangi urusan kesehatan yang diserahkan kepadanya, sebaliknya untuk daerah yang dapat mencapai SPM dan melaksanakan pengaturan bidang kesehatan dengan baik, dapat diberikan urusan kesehatan yang lebih luas. Keempat, pemerintah harus segera mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi amanat UU Kesehatan dan UU Pemerintahan Daerah termasuk SPM dan NSPK bidang kesehatan. B. Saran Beberapa masukan untuk meningkatkan pengaturan kewenangan mengatur pemerintah dari aspek pembagian urusan adalah sebagai berikut: a. Agar tumpang tindih pembagian urusan kesehatan sebagaimana pernah terjadi dalam pengaturan menurut UU No 22/1999 dan UU No. 32/2004 beserta peraturan derivatnya tidak terjadi lagi, maka Pemerintah harus segera mengeluarkan Perpres tentang pembagian urusan kesehatan khususnya yang mengatur bidang-bidang dan sub sub bidang kesehatan yang belum diatur dalam lampiran UU No.23 Tahun 2014 bidang kesehatan. Perlu juga dipastikan bahwa pembagian urusan kesehatan yang diatur dalam Perpres
502
langsung menunjuk kepada objek yang berbeda. Pengaturan yang tidak jelas dan bisa menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaan. b. Terkait ketidaksesuaian antara peraturan sektoral, keberadaan UU No 23 tahun
2014 tidak serta merta menyelesaikan persoalan yang ada. Ketidaksesuaian juga terjadi antara ketentuan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan pada tingkat lokal. Terkait tumpang tindih tersebut paling tidak ada dua hal yang dapat dilakukan pemerintah, yaitu: 1. Pemerintah harus terus melaksanakan sinkronisasi peraturan perundang-undangan lintas sektoral, 2. kementerian kesehatan harus memanfaatkan dengan baik kembalinya hubungan teknis antara kementerian kesehatan dan dinas kesehatan khususnya terkait sinkronisasi peraturan di bidang kesehatan. c. Ada urusan-urusan bidang kesehatan yang mengalami degradasi pada masa
pelaksanaan otonomi luas, misalnya urusan penanggulangan wabah penyakit menular dan mengenai surveillance. Kedua urusan ini pasca pelaksanaan otonomi luas didesentralisasikan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Sebagai masukan untuk perbaikan pengaturan di bidang kesehatan khususnya terkait sub bidang penanggulangan wabah penyakit menular dan surveillance, ada 2 pilihan: urusan tersebut kembali diatur secara sentralistis oleh pemerintah pusat atau kedua sub bidang ini tetap didesentralisasikan namun dengan pembinaan teknis yang cukup dari dinas
503
kesehatan dan hal tersebut diakomodir dalam PP Organisasi Perangkat Daerah yang sedang dibentuk. d. Untuk perbaikan pengaturan kewenangan mengatur pemerintah daerah di bidang kesehatan, pemerintah pusat dituntut untuk segera mengeluarkan SPM bidang kesehatan dan petunjuk teknis SPM Kesehatan. SPM kesehatan yang nantinya dikeluarkan haruslah sederhana dalam rumusan indikatornya dan sedapat mungkin mengakomodir variabilitas yang tinggi antara pemerintah daerah. terkait NSPK, diperlukan pengaturan tentang mekanisme monitoring dan evaluasi dari kementerian kesehatan. e. Dari sisi pembagian keuangan, pemerintah di satu sisi harus mengupayakan
agar dapat tercapai belanja kesehatan 15% dari belanja nasional dan disisi lain
harus
mendorong
pemerintah
daerah
untuk
memperkecil
ketergantungannya pada pembiayaan pemerintah pusat. Akan tetapi, perlu juga dipertimbangkan kembali sebuah mekanisme untuk mengawasi pemerintah daerah dalam mengeluarkan Perda Pajak dan Retribusi Kesehatan mengingat kewenangan untuk mengevaluasi perda-perda tersebut yang sebelumnya ada pada kementerian keuangan dihilangkan dengan berlakunya PMK nomor 17/PMK.07/2016 yang menggantikan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 11/PMK.07/2010.
504