VI. MANIFESTASI GERAKAN EKOLOGI DI PESANTREN: REFLEKSI INDIVIDUAL ATAU INDUKSI AKTOR LUAR? 6.1.
Forma Gerakan Ekologi di Pesantren Gerakan ekologi adalah suatu gerakan yang mengandung jejaring yang luas
antar individu dan organisasi-organisasi yang saling mengikat diri dalam aksi bersama (collective action) untuk mendapatkan atau mengejar keuntungankeuntungan bagi lingkungan (Rootes, 2002). Dalam konteks ini, forma gerakan ekologi yang berlangsung di kedua pesantren ini merupakan bentuk suatu gerakan sosial yang juga merupakan gerakan aksi bersama yang bertujuan mendapatkan keuntungan baik dari sisi ekologi atau lingkungan maupun dari sisi ekonomi dengan kerangka bangun yang mendasari adalah teologi Islam seperti yang dipaparkan pada bab sebelumnya. Selain itu, kerangka gerakan yang dilakukan kedua pesantren ini juga merujuk pada pandangan Bell (2004) yang meletakkan pemecahan masalah ekologi pada dialog ekologis yang melibatkan dua komponen yaitu komponen material dan komponen ideal. Berangkat dari dua komponen tersebut, kemudian dapat dilihat bagaimana upaya praktis yang dapat dilakukan sebagai upaya memahami hubungan manusia secara individu dan kelompok dengan lingkungan.
6.1.1. Kelompok Tani Hejo Daun: Suatu Upaya Pemberdayaan Masyarakat Gerakan lingkungan yang berbasis pada institusi yang bercorak agama semacam pesantren memang belum terlalu banyak terpublikasikan secara luas. Kesimpulan ini yang kemudian mengemuka disampaikan oleh Bank Dunia melalui Country Environmental Analysis yang diterbitkan pada tahun 2009. Dalam laporan tersebut disebutkan sebagai berikut: "...religious institutions are not traditionally known to play a role in representing public aspirations or forming public opinion in the environment1...“ Padahal, sejatinya gerakan tersebut telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. Beberapa pesantren pada tahun 1980an telah melakukan 1
Dalam laporan ini, World Bank mengakui bahwa tidak banyak penelitian atapun survei yang dilakukan untuk mendalami munculnya gerakan ini. World Bank memotret gerakan ekologi yang dilakukan oleh institusi agama melalui metode literatur dan wawancara kepada beberapa informan.
berbagai macam gerakan, meskipun tidak secara spesifik dalam mengatasi problematika lingkungan, tetapi upaya pemberdayaan masyarakat terus dilakukan. Sebagai contoh, pesantren An Nuqayah di Guluk-guluk Madura, pesantren Pabelan di Magelang, dan sebagainya. Seiring dengan semakin menyeruaknya berbagai problematika lingkungan, Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi keislaman terbesar di Indonesia kemudian pada tahun 2007 membentuk suatu gerakan yang bernama Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan (GNKL). Gerakan ini kemudian meluas secara bertahap dari mulai Jawa Tengah, Jawa Timur kemudian Jawa Barat. Hingga saat ini, gerakan ini telah menjadi gerakan nasional dan terus menyebar ke seluruh Indonesia.2 Salah satu mitra dari gerakan tersebut adalah pesantren Al Amin. Saat itu, posisi KH. Abdul Basith yang juga merupakan ketua PCNU Kabupaten Sukabumi ikut berperan dalam mendorong pelaksanaan program GNKL tersebut. Beberapa bantuan berupa bibit pohon, didistribusikan kepada beberapa pondok pesantren di sekitar Sukabumi. Salah satu kegiatan yang kemudian bersanding berbarengan antara pesantren Al Amin dengan GNKL adalah forum bahsul matsaail atau semacam forum diskusi yang membahas berbagai permasalahan seperti masalah lingkungan. Berikut pernyataan salah satu informan tentang kegiatan tersebut: “…Sebenarnya diawali dengan program kita, pesantren konservasi itu. GNKL PBNU punya satu misi yaitu mengenai lingkungan dan salah satunya itu konservasi. Kebetulan ketemu dengan kita, kita juga satu misi. Jadi di pertemuan tersebut, beberapa item kita bahas…” Potret gerakan di pesantren Al Amin yang sebenarnya sudah berlangsung sebelum persinggungan dengan GNKL terebut sebenarnya terlihat dari karakteristik kyai yang memang memiliki pandangan yang merakyat dan berusaha membangun program-program yang memiliki manfaat untuk masyarakat. Salah satu potret kegiatan diluar kegiatan lingkungan yang dilakukan oleh Kyai Abdul Basith antara lain:
2
Untuk lebih jelasnya, potret kegiatan GNKL-PBNU ini selalu terekam di www.nu.or.id
69
PCNU Sukabumi Adakan Program Bagi-Bagi Takjil Gratis Sukabumi - Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Sukabumi mengadakan program bagi-bagi takjil (menu berbuka puasa) secara gratis di empat kecamatan di wilayah Sukabumi, Jawa Barat. Program yang secara khusus diadakan pada bulan suci Ramadhan ini dimaksudkan selain sebagai bukti kepedulian PCNU terhadap masyarakat sekitar dan para musyafir (orang yang dalam perjalanan), program ini juga punya arti penting, yaitu sebagai bentuk pendekatan kepada Nahdliyin (sebutan warga NU). "Program ini terselenggara murni dari PCNU (Sukabumi) sebagai bukti kepedulian NU terhadap warga sekitar and para musyafir juga sebagai pendekatan kepada para Nahdliyin," kata Ketua PCNU Kab. Sukabumi, KH Abdul Basith belum lama ini. Selain memberikan paket takjil, PCNU juga membagikan buku saku "Ahlussunnah wal Jama'ah, Sejarah & Perkembangannya serta Sebab Timbulnya Firqoh-Firqoh Lainnya." Menurut Koordinator Wilayah Cicurug, Mumuh Muhtar, setidaknya setiap harinya tidak kurang dari 200 paket dibagikan kepada masyarakat dengan lokasi yang berpindah-pindah. (wil/dar).3 Forma gerakan ekologi yang dilakukan di Pesantren Al Amin sebenarnya memperlihatkan corak manifestasi gerakan ekologi pesantren yang lebih keluar (eksternal) yang merupakan hasil refleksi pribadi aktor dalam pesantren, khususnya Kyai. Bentuk kegiatannya adalah dengan melakukan penanaman pohon Sengon yang bekerjasama dengan masyarakat disekitar maupun dengan murid kyai. Kegiatan ekologi ini tidak terkait langsung dengan pesantren secara sistem. Artinya, tidak ada keterlibatan pesantren Al Amin secara langsung dengan gerakan ekologi baik atas nama pesantren maupun santri pada umumnya. Mereka yang terlibat dalam gerakan ini hanyalah sebagian kecil yang dikomandoi oleh Ajengan Basith. Ini memperlihatkan konsistensi pesantren yang sedari awal memang memisahkan dengan tegas aktivitas pengajaran agama didalam pesantren dengan aktivitas diluar pesantren, bahkan kegiatan belajar mengajar formal baik SMP maupun SMA terpisah dari kegiatan agama, meskipun dilangsungkan dalam satu kompleks pesantren. Pesantren Al Amin merupakan salah satu pesantren di Kabupaten Sukabumi yang dalam setiap tahunnya selalu memiliki aktivitas utama yaitu mengelola
3
Sumber: http://nu.or.id/page/id/dinamic_detil/1/10125/Warta/PCNU_Sukabumi_Adakan_ Program_Bagi_Bagi_Takjil_Gratis.html, tanggal 30/09/2007
70
pelaksanaan ibadah haji dan umrah. Pengeolaan ibadah ini tampaknya telah dilakukan secara turun temurun sehingga terkadang peserta dan jamaah yang bergabung dalam KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umroh) Al Amin ini dapat berjumlah ratusan yang berasal tidak hanya dari Sukabumi, tetapi daerah lain seperti Bogor, Jakarta, Bekasi, dan lainnya. Kyai Abdul Basith, yang merupakan pimpinan pesantren Al Amin menjadi salah satu daya tarik kenapa begitu tingginya animo jamaah untuk ikut bergabung melaksanakan ibadah. Proses refleksi yang fundamental, yang dialami oleh kyai, berproses dalam proses ibadah ketika itu, ia melihat bagaimana kerawanan iklim mempengaruhi keseimbangan alam hingga mencairnya es di kutub. Kejadian ini mendorong Ajengan melakukan refleksi yang mendalam hingga memunculkan konsepsi kutubul awliaa. Konsepsi ini menjelaskan bagaimana dunia ini perlu keseimbangan sehingga perlu dijaga keberadaan masing-masing kutub tersebut. Salah satu aspek yang penting adalah keseimbangan alam dengan upaya menanam pohon . Pola penanaman pohon sengon ini yang pada awalnya diinisiasi oleh Ajengan Basith setelah kembali dari haji pada tahun 2008. Meskipun demikian, pola penanaman pohon tidak dilakukan sendiri oleh Ajengan Basith. Ia kemudian mengajak masyarakat disekitar yang sebagian adalah muridnya untuk ikut serta dalam kegiatan ini. Dari sinilah, kegiatan yang kemudian belakangan di sebut sebagai Model Pesantren Konservasi ini mulai menarik perhatian masyarakat. Model Pesantren Koservasi (MPK) yang dinisbahkan kepada gerakan yang dilakukan oleh pesantren Al Amin ini tampaknya merupakan model adopsi dengan apa yang telah diciptakan sebelumnya, seperti Model Desa Konservasi (MDK) yang dikembangkan oleh Balai Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) atau Model Kampung Konservasi (MKK) oleh Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Model pesantren seperti ini merupakan penamaan yang dilakukan oleh pihak luar pesantren untuk menyebut gerakan yang dilakukan oleh pesantren ini sejalan dengan konsepsi konservasi. Kombinasi gerakan yang dilakukan, dilatari oleh pandangan keseimbangan diatas antara aspek ekonomi dengan aspek ekologi sebagaimana pernyataan berikut ini: “…model pesantren konservasi ini akan memberi manfaat positif baik dari sisi ekonomi maupun ekologi bag ipesanren maupun petani dan warga 71
sekitarnya. Model pesantren konservasi merupakan konsep yang unik, karena menggabungkan tugas mulia menjaga keseimbangan alam dengan pemberdayaan masyarakat pesantren dan masyarakat desa…” Pilihan untuk mencari solusi atas berbagai problematika ekologi yang terjadi di sekitar pesantren Al Amin dilakukan kyai dengan mendasari pada konsepsi yang ia telaah dari berbagai sumber dan literatur klasik yang terdapat di pesantren. Hasil pergumulan tersebut kemudian mengarah pada kesimpulan untuk melakukan tindakan penghijauan yang harus memberikan manfaat berimbang baik pada alam maupun pada manusia. Kemanfaatan yang dikonseptualisasikan oleh kyai antara lain adalah (a) menyimpan air dan menahan erosi; (b) menjadi tempat bernaungnya burung-burung; (c) mengeluarkan oksigen dan menjadi sedekah bagi individu yang menanam; (d) dedaunan bermanfaat sebagai humus dan makanan ternak; (e) pepohonan tersebut bertasbih; dan (f) dari segi ekonomi, dapat membantu meningkatkan ekonomi masyarakat (petani). Selain menghasilkan rumusan teologis, refleksi yang dilakukan oleh kyai ini yang juga merupakan pergumulan dari pemahamannya terhadap kondisi masyarakat sekitar yang membuatnya kemudian merumuskan manfaat dari sisi ekonomi sebagai pintu masuk memperkenalkan program yang ia usung kepada masyarakat. Ada dua hal yang mendasari hal ini. Hal pertama adalah tafsir dan pemahaman kyai atas keprihatinannya terhadap kondisi petani yang selalu berhadapan dengan tengkulak dan terus di eksploitasi serta selalu dalam posisi yang dirugikan. Selain itu, dari sisi historis, kyai merasa bahwa dahulu dunia pertanian dengan kyai tidak bisa dipisahkan. Geertz (1960) bahkan menyebutkan bahwa posisi status sosial serta ekonomi kyai dimasa itu begitu tinggi karena memiliki superioritas ekonomi. “…Itu gini yah, saya ini lagi mengangkat sedikit petani, Sebetulnya saya ini engga ada akses petani engga ada keturunan lagi. Cuma pertama itu saya melihat kepada awal kyai itu dulu tani kalau engga tani perikanan itu kyai yang dari dulu seperti itu dilihat sekarang sudah tidak ada lagi. Yang kedua, dulu itu yang kaya bukan orang kota tapi orang desa. Haji hektaran sawahnya kebun, Nah sekarang itu sudah tidak ada, satu kyai sudah tidak tani lagi apa sebab yang wakafnya sudah tidak ada. Yang kedua yang tadi itu bahwa apa namanya petani sekarang ini sudah tidak mau tani itu dikarenakan sudah pada dijual tanahnya yang akhirnya dia juga garap tanahnya yang punya tanah tersebut. Dia jual tanahnya tapi dia
72
garap lagi tanah itu. Model kan itu. Padahal tanah itu diibaratkan sebagai modal. Itu alasan saya yah kenapa saya masuk ke petani…” Upaya pemecahan problem ekologi selain melalui aspek ideal seperti dipaparkan diatas, juga membutuhkan aspek material serta upaya praktis yang dilakukan. Aspek material dapat terlihat dari keberadaan kelompok tani Hejo Daun Al-Amin. Kelompok tani ini merupakan implementasi dari ajaran fikih lingkungan (fiqh al bi‟ah) yang bertujuan melaksanakan kegiatan konservasi dan penghijauan dengan model pesantren konservasi. Melalui kegiatan seperti ini, komunitas pesantren secara umum terlibat secara langsung dalam kegiatan pelestarian alam, antara lain melalui bebeapa kegiatan semacam gerakan santri menanam, rumah bibit pesantren, pelatihan membuat pupuk kompos dan organik serta kampanye peduli lingkungan. Selain itu, sebenarnya aspek material yang terlihat adalah pilihan untuk menanam pohon seperti dijelaskan diatas melalui wadah kelompok tani ini. “…Kita langsung menanam, salah satunya adalah diwilayah ini yang pertama yaitu Pakopen, dengan tersendiri dan tidak mempunyai nama Hejo Daun. Kita kumpulkan beberapa kelompok tani, dan penanaman kedua di Cicurug yaitu di Tenjolaya, kita juga kumpulkan. Ketika itu kita terpikir bahwa, kita ini ingin menghijaukan, dan ketika itu langsung tersirat ada satu kata yaitu Hejo Daun. Kita laporkan langsung ke Ajengan (Abuya). “Buya bagaimana kalau penanaman kita ini, kita namakan Kelompok Tani Hejo Daun…Ada beberapa kecamatan, hanya kecamatan Cicurug, Kecamatan Cidahu, kecamatan Ciambar, kecamatan Parung Kuda, dan mungkin ini termasuk kecamatan Caringin. Dan dari 6 (enam) kecamatan ini, kita menyebar, kita alokasikan khusus di kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Sukabumi. Dan seluruhnya Kabupaten Sukabumi ini terdiri dari 47 kecamatan dalam Kabupaten dan Kota Sukabumi. Pada waktu itu kita kasih (berikan) pada setiap kecamatan yang didalamnya kita salurkan ke Pesantren. Dengan nama, atas nama Pesantren. Karena kita, selain kita mengadakan penghijauan ini, dan kita mempunyai jalur-jalur pesantren.…” Rumusan praktis kemudian dibutuhkan untuk kesinambungan ide dan materi yang mewujud pada dialog ekologis. Rumusan praktis yang dimaksud adalah
sistem
pemberdayaan
masyarakat
yang
dilakukan.
Pola
yang
diperkenalkan oleh kyai Abdul Basith dengan kelompok tani Hejo Daun adalah melakukan penanaman pohon dengan menggunakan sistem tumpang sari sehingga
73
petani yang membudidayakan sengon ini bisa juga menikmati hasil lain diluar pohon sengon yang akan dipanen nanti. “…Ya kalau ingin panjang umur, kalau ngomong lama pengen pendek umur yah? Ga terlalu lama dong lima tahun itu, saya menjawabnya seperti itu saja. Justeru kalau ada sesuatu itu kita mengharapkan pada Allah supaya panjang umur, makanya dalam hadist diterangkan bahwa nanam itu kalaupun besok akan kiamat disunahkan menanam pohon hari ini padahal besok hari kiamat. Terus yang kedua saya pakai sistem, menanamnya, kalau orang lain itu nanamnya begini. Seseorang punya tanah 1 hektar. Kemudian dia tanam 2.500 pohon. sesudah tanam, setelah itu dibiarkan, paling disuruh yang punya kebun ke petani, “hey petani tolong jaga yang penting saya minta jaga sengonnya kalau mau tumpang sari mah silahkan saja”. Itu justru merugikan masyarakat. Saya yang disana yang sewa kalau sewa kan 100 persen oleh kita, kita buat perjanjian dengan petani bahwa petani yang pertama akan diberi 10 persen dari panen akhir. Disana itu ada 9 orang petani dari 30.000 pohon, yang 5.000 ada yang 2.000 pohon diurus per orang. Kalau dia ngurus 5.000 saja, hasil semuanya jadi semuanya dia dapat 500 pohon (10 persen). Itu kita pakai perjanjian. Apa sebab? jangan sampai kita panen “manehna ngalamot curuk”, kasian kan. Yang kedua, itu tumpang sari itu hadiah aja, Tumpang sari 2 juta per hektar, mau nanam apa terserah mereka. Sebab dalam penanaman sengon itu jaraknya 2 x 2 meter dan diantaranya untuk tumpang sari. Kita kasih modal dan hasilnya untuk dia, sepertinya rugi yah? padahal tidak. Kalau kita memberi tumpang sari otomatis di tengahnya akan dia bersihkan. Contoh, untuk menanam jagung, dia tidak akan minta ke kita, dia bersihkan, dia pupuk terus nanam jagung, sebulan, 2 bulan, 3 bulan. Kita sudah untung tuh pertama. Apa? Kalo dia mupuk jagung, maka pupuknya ke sengon yang dipinggirnya, yang kedua kita tidak perlu membersihkan. Coba kalau satu hektar kita bersihkan, kan kalo per 3 bulan harus dibersihkan kebunnya, itu berapa duit kalau dikali sepuluh orang sudah berapa coba? Panen jagung. otomatis dia bersihkan lagi terus modalnya ditanamin lagi untuk kedua kali, dipupuk lagi dibersihkan lagi. Saya yang paling pokoknya 1 tahun saja 3 kali panen kalo sudah tiga kali panen kan sudah ke atas pokoknya pohon itu yang rawan itu masih balita itu kalau sudah setahun udah enak engga diurus juga ga masalah. Jadi 2 juta itu untuk membersihkan hakikatnya apa? Lahan selama 1 tahun padahal dia ga terasa padahal hakikatnya seperti itulah, oh dia senang gembira. Yang kedua, saya gaji per pohon itu 100 rupiah tapi yang hidup bukan yang mati, misalnya dalam 1 hektar saja ada 2.500 pohon itu kali seratus 250 ribu cuman ngasihnya pertiga bulan sekali, bukan satu bulan sekali. Pas tiga bulan dia akan dating ke kita bukan kita yang datang ke mereka. Laporan, cuma ada syarat jangan bohong yah, itu aja sebelum seminggu kesini hitung dulu dong, akan saya bayar per pohon 100, otomatis ada yang mati dong misalnya yang hidup Cuma 2.300 contoh kita bayar 230 ribu kali tiga bulan. Itu sampai berapa lama sampai lima tahun? Kalau dalam
74
pikiran kita itu rugi yah, ko belum apa-apa sudah mengeluarkan uang, justru kita ngangkat petani yah, dari tumpang sarinya mereka ada keuntungan pas dari panen sengonnya mereka mendapatkan 10 persen dari hasil. Meskipun demikian, sistem seperti ini bukan berarti sistem yang beku dan tidak bisa dimodifikasi dalam pelaksanaan lapangannya. Kondisi sosio masyarakat sekitar tentu berbeda sehingga masing-masing kelompok dapat memformulasikan sistem mereka sendiri dengan tetap berprinsip pada aturan dan rambu-rambu yang telah ditetapkan. Kalau di masyarakat masalah tidak ada. Tapi ketika ditawarkan untuk menanam, mereka tidak mau. Alasannya, pertama karena jarak tanam hingga masa panen itu sekitar lima tahun. Mereka kan kebutuhannya mungkin tiap hari kalau begitu yang bisa dihasilkan tiga bulanan atau seperti singkong sekitar enam bulan. Ya memang untuk pertama tanam awal bisa dengan tumpang sari. Saya pertama tanam, tumpang sari dengan ketimun, kemudian diganti dengan jagung. Tetapi setelah satu tahun tidak bisa karena sudah tinggi. Kalau bisa, kalau masih kuat bisa dengan cabe rawit atau papaya. Tapi kalau untuk saya biasanya menanam bunga. Nah, masyarakat komplainnya disisi itu. Kalau komplain masalah lingkungan tidak ada, tetapi justru bersyukur karena bisa menyerap tenaga kerja. Tidak ingin menanam itu karena memang jarak tanam yang relatif lama. Saya disini pertama setiap penggarap kebagian satu pohon itu Rp50. Jadi misalkan, dari seratus persen, jadi 45 untuk pihak Al Amin dan Aqua sebagai penanam modal, kemudian 45 untuk penggarap dan untuk yang punya lahan. Nah yang 45 ini awalnya itu 15 untuk yang penggarap, 30 untuk yang punya lahan. Kemudian penggarap tidak mau kalau seperti itu. Kenapa 30 karena, 10nya lagi sebenarnya untuk majelis, untuk lingkungan. Akhirnya, disamakan dengan yang punya lahan dengan konsep fifty-fifty, karena memang yang cape itu yang menggarap. Tetapi, saya minta untuk yang Rp50 itu untuk saya, untuk kesana-kemari. Itu yang saya gunakan disini. Jadi berbeda dengan yang lain. Bagaimana kalau seperti itu? Ok, mereka setuju. Jadi mereka mengambil dari bagian tersebut. karena saya jujur tidak mengambil keuntungan, dari sana sekian ya sekian. Kalau dari sana A, ya kebawah terus A. Cuma saya ambil yang Rp50 perbulan, itu saya mohon ridhonya karena posisi anda sudah saya rubah dari 15 menjadi misalkan 50. Ngambilnya dari yang punya tanah, hasil dari kesepakatan. Ya memang, menurut mereka untuk awal itu hanya Rp50. Tapi kalau kita itu kan tiga tahun. Ya wajarlah kalau menurut saya karena mereka tidak tahu apa-apa, tahu terima jadi. Sementara kalau ada complain itu selalu ke saya. Minimalkan setiap bulan saya keliling kebun mereka untuk control.
75
Pola pemberdayaan semacam ini, yang bertujuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat (petani) seperti cita-cita kyai sedikit banyaknya telah memperlihatkan hasil seperti pernyataan berikut: “…Alhamdulillah saya merawat dari mulai awal. Pertama saya merawat, tahun 2008 bulan 5 (lima atau Mei – red), sampai sekarang tahun 2009, bulan 11 (November). Alhamdulillah, sudah menikmati. Secara saya didukung oleh Abuya, istilahnya dengan petani, dengan rekan-rekan saya ada 9 (Sembilan) orang disini. Tumbuhnya, Alhamdulillah, hampir 90 persen kalau diwilayah ini karena cocok dengan lahan. Kalau lahan istilahnya, dari selain semacam wilayah ini, memang saya lihat, kuranglah istilahnya, kurang bagus. Kalau yang sudah kita laksanakan disini, hampir 70 persen, sampai kita hampir berhasillah istilahnya sekarang…” Kemudian dalam perjalanannya, kelompok tani Hejo Daun ini memperluas cakupan gerakannya hingga ke masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Taman nasional ini berasal dari kawasan Cagar Alam Gunung Halimun yang awalnya seluas 40.000 ha. Sejak tahun 1953 kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional, sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992. Kemudian, dalam perjalanannya, dikeluarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003, yang merupakan perubahan fungsi kawasan eks Perum Perhutani atau eks hutan lindung dan hutan produksi terbatas disekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan penambahan luas kawasan menjadi 113.357 ha4. Perluasan kawasan taman nasional ini memiliki dampak yang cukup signifikan bagi masyarakat disekitarnya. Terutama menyangkut akses untuk mengelola lahan yang dahulu masih dapat digunakan, kemudian menjadi tertutup karena penetapan tersebut. Pesantren Al Amin kemudian mencoba memperluas ide pemberdayaan masyarakat yang dilakukannya dengan berupaya mendorong terbukanya akses masyarakat untuk mengelola sebagian wilayah yang termasuk dalam cakupan wilayah taman nasional. Pesantren Al Amin kemudian bekerjasama dengan PT. Danone (Aqua Golden Misissipi) dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) untuk menggunakan sebagian areal taman nasional untuk digunakan 4
www.tnhalimun.go.id
76
sebagai areal budidaya bagi masyarakat sekitar tanam nasional yang tergabung dalam kelompok tani Hejo Daun tersebut. Potret program yang dilakukan seperti pernyataan salah satu informan dari Aqua sebagai berikut: “…Kalau ini harus dilihat dalam konteks program jangka panjang. Program ini adalah program gunung salak lestari, jadi ini dibawah payung Aqua Lestari, yang tujuannya adalah melestarikan lingkungan dan memberdayakan masyarakat. Jadi acara ini, dalam konteks program ini adalah penanaman kedua pada tahun ini (2009). Penanaman pertama bulan Februari, menanam 37.000 pohon, dan acara ini, kita dalam minggu yang lalu (kemaren) dan minggu depan, kita akan menanam 70.000 pohon. 40.000 pohon sengon diwilayah hutan produksi yang diluar kawasan Taman Nasional, terus 30.000 pohon puspa di lokasi ini, areal Al-Amin bersama mitra-mitranya. Jadi kita punya target bersama-sama setiap tahunnya menanam 100.000 pohon. Jadi mitranya gabungan antara Taman Nasional, Pesantren Al-Amin, Aqua dan kelompok-kelompok masyarakat, termasuk semua karyawan Aqua yang bersemangat menanam-nanam…” Pada tataran praksis program tersebut, berbagai problematika kemudian muncul. Perbedaan pandangan, terutama menyangkut insentif kemudian menjadi problem yang mewarnai dinamika gerakan ini. Para petani yang berada di sekitar taman nasional dan terlibat dalam gerakan terkadang mengeluhkan persoalan insentif ini sehingga implementasi menjadi banyak terhambat. Kondisi seperti ini memunculkan
pertanyaan,
terutama
menyangkut
keberlanjutan
upaya
pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pesantren Al Amin. Sebagai misal pernyataan salah satu informan yang terlibat dalam kegiatan tersebut sebagai berikut: “…Saya pernah juga ke Taman Nasional. Coba dong, tolong kerjasamanya. Saya bilang, apakah memang kalau Aqua kemudian menanam, tanaman tersebut dapat tumbuh begitu saja tanpa di urus? Tanpa dipelihara? Cobalah ikut andil dalam pemeliharaannya meskipun disitu ada masyarakat yang juga tumpang sari. Kan terbatas masyarakat yang mau ikut ke gunung. Karena menyangkut biaya. Dari bawah itu ke gunung, setiap hari sekitar Rp10.000. Kalau jalan kaki, cape dulu sebelum kerja. Jadi bukan kita meminta gaji setiap bulan, tapi semacam kompensasilah. Sampai sekarang belum ada tanggapan [Aqua]. Jadi kalau masyarakat yang tumpang sari, kan itu yang datar/landai saja. Tapi yang kami tanami itu kan yang miring-miring atau di gunung. Itu kan dibiarkan. Makanya, rumput dengan kayu, lebih cepat rumput [tumbuhnya]. Saya juga sudah laporkan ke Al-Amin supaya diajukan ke Aqua. Tapi sampai sekarang belum ada realisasinya. Anggaran untuk yang program kedua saja seperti ini, tersendat-sendat… Bahkan sebenarnya ini sudah saya ajukan. Ini jangan hanya sebatas menanam. Ini kan pernah ditanam untuk yang 260 77
Ha, cuma karena tidak pernah dipelihara, ya habis. Jadi dari Desember, Januari, Februari dan Maret belum ada realisasi. Padahal ini sudah empat bulan dan harus dibersihkan kembali...”
Berdasarkan paparan diatas, kyai/ajengan melalui gerakan ini terlihat memanfaatkan dua hal yaitu secara ekonomi maupun dakwah. Pola hubungan sosial kyai yang berciri tradisional-partilineal yang menempatkan eratnya hubungan antara kyai dan murid maupun anggota kelompok tani seperti hubungan pertalian darah memiliki peran strategis sehingga konstruksi ide dan pemaknaan yang dibangun oleh kyai relatif mudah di implementasikan karena faktor ketaatan tersebut. Salah satu contohnya adalah tafsir yang dikembangkan oleh kyai, bergerak searah dalam hal interpretasi oleh murid maupun petani lain yang terlibat dalam gerakan. Selain itu, proporsi bagi hasil yang disepakati baik oleh pemilik lahan, pesantren yang direpresentasikan oleh kyai, penggarap lahan, serta kewajiban untuk mengeluarkan sedekah merupakan inisiasi dari kyai dan secara utuh dijalankan oleh kelompok tani maupun beberapa individu yang terlibat di pesantren meskipun pada beberapa kasus mengalami modifikasi dalam hal proporsi, tetapi sistem dan aturan main tetap menggunakan konstruksi yang diusulkan oleh kyai.
6.1.2. Harim Zone dan Gerakan Santri Pecinta Alam Harim merupakan salah satu konsepsi konservasi alam yang dikenal dalam sejarah Islam. Al-Harim merupakan zona terlarang, jadi merupakan ketetapan Islam dalam membatasi melarang pembangunan atau membatasi bangunan rekayasa manusia yang menggangu sumber-sumber alam. Menurut hukum Islam, hari merupakan lahan atau kawasan yang sengaja dilindungi untuk melestarikan sumber-sumber air seperti halnya sumur, danau, sumber mata air, sungai, aliran air. Zona harim juga berlaku untuk kemaslahatan yang lain, misalnya jalan, perempatan, dan fasilitas publik yang lain yang diperuntukkan guna mencegah kerusakan terhadap fasilitas tersebut dan melindungi kawasan tersebut dari bahaya. Islam menetapkan zonasi dalam harim antara lain (a) kawasan terlarang untuk sebuah sungai adalah meliputi ukuran setengah dari lebar sungai pada kedua tepinya; (b) kawasan terlarang untuk sebatang pohon meliputi jarak dua
78
setengah hingga tiga meter di sekeliling pohon tersebut; (c) untuk sumur ditetapkan kawasan zona larangan sekurang-kurangnya sejauh 20 meter keliling; (d) kawasan terlarang untuk mata air didasarkan pada keadaan air dengan memberikan pertimbangan yang memadai tentang saluran, ukuran kolam yang akan dibuat, tempat yang dibutuhkan bagi orang dan binatang untuk bergerak di sekitarnya dan tipe tanah di mana air itu mengalir (Mangunjaya dan Abbas, 2009). Pesantren Daarul Ulum Lido merupakan pesantren yang menerapkan konsep Harim Zone dan merupakan yang pertama kalinya di Indonesia. Pondok Pesantren Modern Daarul Ulum Lido menjadi pilot project pertama, hasil kerjasama antara Pesantren dengan Conservation International Indonesia, Yayasan Owa Jawa dan Rutford. Lahan seluas 1,5 hektar sepanjang bantaran kali Cilengsir dijadikan kawasan Harim Zone dan telah ditanami berbagai jenis pohon seperti Mangga, Durian, Jambu dan Rambutan. Para santri memanfaatkan kawasan Harim Zone sebagai laboratorium alam sehingga mereka bisa belajar secara langsung di alam terbuka. Para santri juga diajak untuk terlibat secara aktif untuk menjaga alam dan lingkungan, diantaranya dengan membersihkan sampah di sungai dan menanam pohon. Pesantren Daarul Ulum Lido merupakan pesantren yang memiliki topografi yang berbukit-bukit dan cukup rindang dengan berbagai pepohonan. Pondok Pesantren ini diapit oleh dua gunung yaitu Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak. Gerakan ekologi yang berlangsung di Pesantren Daarul Ulum Lido memperlihatkan corak manifestasi gerakan ekologi yang merupakan hasil induksi aktor dari luar Pesantren yang memperkenalkan gerakan ekologi. Bentuk gerakan ekologi di pesantren juga menjadi lebih kedalam (internal). Pesantren yang memiliki luas sekitar 8 hektar ini memanfaatkan sebagian lahannya untuk didiamkan dan menjadikan lahan tersebut sebagai lahan pembelajaran santri. Pesantren memiliki zona khusus yang disebut sebagai Harim Zone, atau zona haram yang merupakan suatu lahan yang berada di pinggir sungai yang tidak boleh dimanfaatkan untuk pembangunan, tetapi menjadi tempat hidup vegetasi dan menjadi paru-paru pesantren. Lahan atau zona ini juga menjadi areal pembelajaran santri dan miniatur alam dalam lingkungan pesantren. Zona ini
79
berada dalam kompleks pesantren dan menjadi satu-satunya wilayah yang tidak boleh digunakan kecuali untuk aktivitas pendidikan yang berkaitan dengan alam. Harim zone ini mendapat dorongan dan pengembangan dari aktor dan organisasi lain seperti Conservation International Indonesia (CI) yang secara khusus memang mendorong upaya konservasi alam serta beberapa jejaring pesantren modern lainnya. Persinggungan pesantren Daarul Ulum Lido dengan kegiatan konservasi sebenarnya telah terjadi pada tahun 2005. Saat itu, pesantren ini menjadi salah satu mitra kegiatan Conservation International Indonesia dalam suatu proyek the World Bank – Faith and Environment Initiative Agreement No 7133121. Kerjasama ini memberikan fondasi gerakan awal dan perkenalan pesantren dengan konstruksi gerakan lingkungan seperti konservasi. Proyek ini memberikan bantuan kepada pesantren untuk melakukan aktivitas lapangan yang berkaitan dengan hutan serta konservasi keanekaragaman hayati. Saat itu, pesantren Daarul Ulum Lido, bersama dengan lima pesantren lainnya yang tersebar dari Bogor, Sukabumi dan Cianjur yaitu pesanten Al Furqaniyah, pesantren Riyadhutholibin, pesantren Al Basyariah, pesantren Attanwiriyah dan Pesantren Gelar memperoleh bantuan berupa pohon yang ditanam disekitar wilayah pesantren. Tabel 6.1. Distribusi Bantuan CI dan Peserta Program Pesantren
Peserta Program
Jumlah Bantuan Pohon
PP. Daarul Ulum Lido
754 orang
400 pohon
PP. Al Furqaniyah
150 orang
425 pohon
PP. Riyadhutholibin
100 orang
550 pohon
PP. Al Basyariah
572 orang
500 pohon
PP. Attanwiriyah
650 orang
500 pohon
PP. Gelar
350 orang
450 pohon
Sumber: Final Report Islamic Boarding Schools and Conservation, 2005
Keterlibatan dalam bentuk kerjasama dengan lembaga diluar pesantren membuka jalan untuk mengimplementasikan ide konservasi yang selama ini mengendap. Kondisi ini diuntungkan oleh geografi serta akses yang berdekatan
80
dengan salah satu home base lembaga tersebut. Ini seperti yang diungkapkan oleh informan sebagai berikut: “…Jadi kalau di flash back, Almarhum KH. Ahmad Dimyati, setelah melihat beberapa tempat, beliau memilih daerah disini. Kenapa, karena alasan pertama adalah yang paling beliau perhatikan adalah air. Ketemulah di daerah disni. Jadi beginilah kontur pesantren kita yang naik turun. Selain itu, kita juga memang dekat dengan PPK (Pusat Pendidikan Alam Konservasi) Bodogol. Terus kita juga sering kerjasama dengan Conservation International , pak Fachruddin khususnya. Jadi kalau ada pelatihan-pelatihan di Bodogol, kita ikut kesana. Vice presidentnya mereka juga pernah kesini. Pak Jatna Supriatna juga pernah kesini. Jadi, beliau tertarik. Sebelum adanya konferensi internasional eco-pesantren itu, gerakan kita sudah lebih awal. Kenapa, karena memang kerjasama kita erat dengan CI walaupun tidak dalam bentuk MoU ataupun kerjasama paten, kita jugadekat dengan pelesetarian lingkungan. Akhrinya, sebenarnya ada beberapa pesantren yang dipertimbangkan untuk kegiatan harim zone, tetapi karena kita lebh memiliki lahan yang memang pasdan memiliki daerah yang cocok untuk harim zone, maka dipilihlah daerah tersebut. Karena memang dibawah, pembangunan tidak terlalu cepat dan dipilihlah tempat yang memang tidak terpakai untuk lahan konservasi. Untuk 10 tahun kedepan masih memungkinkan program tersebut. Pada tahun 2005 kita mendapatkan sumbangan sebanyak 1000 pohon, waktu itu saya masih santri. Pohonnya itu pohon produksi buah, kayu dan lain sebagainya, kita tanam disekitar pondok peantren kita untuk penghijauan. Juga untuk penghijauan atau reforestasi di sekitar taman nasional gede pangrango juga. Untuk sekitaran ini, jati yang kita tanam, kita konsentrasikan di satu tempat. Sebenarnya untuk proyek harim zone ini disemua (area pesantren), tetapi yang dibawah itu seperti show room…” Meskipun gerakan awal yang dilakukan masih sebatas program, tetapi pengembangan model gerakan tersebut terus dilakukan hingga saat ini, pesantren tersebut telah memiliki dan mengimplementasikan konsepsi harim zone. Konsepsi yang digali dari khazanah sejarah Islam tentang konservasi ini (Mangunjaya dan Abbas, 2009) dilakukan melalui pelaksanaan workshop pada Mei, 2009. Workshop tersebut dilakukan untuk mengintroduksi dan mengindusir pengetahuan serta
memperdalam
pemahaman
tentang
koservasi,
sekaligus
mengimplementasikan harim zone di pesantren Daarul Ulum Lido tersebut. Meskipun demikian, sebenarnya, selain konsepsi harim zone diatas, terdapat juga
81
konsepsi hima yang belum dapat diimplementasikan dilapangan karena berbagai faktor5. Oleh karena itu, jelas terlihat bahwa proses kesadaran yang terbangun dalam gerakan ekologi di pesantren ini sebenarnya merupakan suatu induksi pengetahuan, khususnya tentang konservasi yang berasal dari pengetahuan yang dimiliki oleh aktor diluar pesantren yaitu Conservation International Indonesia sebagai lembaga maupun Fachruddin M Mangunjaya sebagai personal. Proses induksi pengetahuan ini seperti dipahami aktor didalam pesantren sebagai konstruksi realitas di pesantren yang dikawinkan dengan ide dan konsepsi yang dimiliki aktor diluar pesantren. “…Kalau saya melihat, harim zone ini kan memang konsep modifikasi dari kenyataan yang ada di pesantren dengan keinginan orang-orang lingkungan hidup. Jadi di sisi lain pesantren punya lokasi, kemudian punya visi kedepan mengenai lingkungan hidup. Tiba-tiba ada aktivis lingkungan masuk dan melihat lokasi tersebut. Oleh karenanya, digodoklah, maka dijadikanlah ini sebuah percontohan untuk Indonesia,yang pertama...” Secara tegas, proses induksi pengetahuan yang dilakukan oleh aktor luar pesantren juga dirasakan dan memiliki implikasi yang besar seperti tergambar oleh pernyataan informan berikut ini: “…Dorongan untuk terlibat di isu lingkungan itu, pertama pada tahun 2005, saya ikut pendidikan dasar interpretasi alam dan konservasi alam di PPKA Bodogol yang di fasilitasi oleh CI. Disitu saya kenal dengan Pak Fachruddin. Kemudian saya juga secara berkala, tiap bulan saya mendapat tropika (majalah yang terbitkan oleh CI), lalu ada juga kawan dari LSM dan saya juga mendirikan kelompok pencinta alam lainnya diluar. Selain itu background saya yang banyak terlibat di pramuka…” Harim zone yang dilakukan dan dikembangkan, juga dinilai sebagai salah satu tanda kebangkitan model konservasi syariah yang dirasa dapat menjadi solusi mutakhir dari problematika yang dihadapi oleh dunia belakangan ini. Ini juga menjawab kritik yang digulirkan oleh White dan pemikir lainnya, yang merasa bahwa konstruksi teologi agama banyak memberikan andil pada kerusakan
5
Informasi secara komprehensif tertuang dalam Final Report the Rufford Small Grants Foundation yang merupakan proyek yang dikerjakan oleh Fachruddin M Mangunjaya dengan judul kegiatan Introducing the Islamic Hima and Harim System for New Approach to Nature Conservation in Indonesia. Proyek ini dilaksanakan sejak Juni 2008 hingga Juni 2009.
82
lingkungan. Padahal, agama jika dilihat secara positif justru memberikan argumentasi konsepsional untuk menyelamatkan lingkungan. Indonesian Islamic School Revives Shariah Conservation Model An Islamic Boarding school near Bogor, Java is pioneering the establishment of the harim model of river conservation in Indonesia. The chairman of the Pondok pesantren Modern Daarul Ulum, Ustadz Dr. H. Ahmad Yani explains, “This pilot program is a practical arena for studnets to get close to nature and start caring about the environment.” Enabling students to respect and safeguard water resources in accordance with Islamic teachings is an innovative and practical way of raising environmental awareness in Indonesia. In today‟s climate of uncontrolled extraction and destruction of the Earth‟s resources, preserving the environment is a priority that requires creative solutions, including the revival of traditional way of conserving our natural surroundings. In order to preserve its surrounddings, the Daarul Ulum is utilising the wisdom of Islamic traditions which provide a method for environmental management. This particular project addresses the stresses put on rivers and water systems by human habitations and uses the harim systems that lays down a code of behavior for those living in or near threatened habitats. For example, creating a harim zone in a river system requires that hal of the width of the river on each side of the river bank is designated as a pristine area where all human activity is prohibited. This untouched zone of natural habitat acts as a buffer, thus preventing the soil eroding into the river...“ (Eco Islam/www.ifees.org.uk) Meskipun demikian, keberadaan harim zone ini tidak terlepas dari kritik, terutama dari internal pesantren tersebut. Kritik terbesar pada terletak pada konsistensi dan kontinuitas pelaksanaan program yang dinilai hanya pada wilayah seremonial belaka. Tampaknya, ketergantungan yang cukup tinggi terhadap organisasi diluar pesantren ini menjadi salah satu batu sandungan pemahaman yang komprehensif. Selain itu, konstruksi dasar pesantren yang tidak memiliki kyai sebagai simbol dan pemimpin pesantren menjadi proses regeneratif ide kepada aktor lain menjadi tersendat dan bahkan terkadang berseberangan. Ini tergambar dari pernyataan salah satu aktor berikut ini: “…Sebenarnya konsep yang diajukan CI sudah cukup matang buat kita, cuma terkadang CI melakukan supervisi yang terkadang kendor, tidak tahu kenapa. Kita juga merasa bahwa diserahkan kita terima, di tanam secara simbolis. Jadi hanya berjalan seperti itu yang sudah-sudah. Kalaupun ada konsep-konsep penghijauan hanya berjalan secara seremonial dan tidak implementatif dan tidak kontinu. Tapi Ahlamdulillah sudah banyak. Sebab saya juga tidak mengerti, pelestarian alam dari sisi yang mana karena kita tidak ada penyuluhan dari orang-orang yang expert di bidang itu. Kita
83
hanya mengenal bahwa pelestarian alam dan sebagainya berjalan sepert iyang kita pahami saja, tidak secara konseptual, menyeluruh kita pahami. Kalau yang kita gerakkan sehari-hari adalah menuju Darul Ulum bersih dan sehat, itupun tidak maksimal karena kita secara jujur butuh orangorang yang punya kepedulian kepada lingkungan. Tidak hanya reforestasi, reboisasi dan sebagainya atau hanya sekedar tanam pohon. Kita ingin lebih detail, lebih fokus bahwa orang-orang ini bisa fokus bagaimana melakukan penyuluhan kepada santri untuk sadar akan kebersihan dan kesehatan lingkungan. Sanitasi intinya. Dan ini yang minim…”. Selain konsepsi dan implementasi harim zone sebagai manifestasi nilai teologi di pesantren ini, santri yang juga merupakan aktor utama berusaha mengaktualisasikan ide dan gagasannya melalui organisasi tersendiri. Organisasi ini juga mengalami persentuhan ide dengan CI-Indonesia dengan berbagai keterlibatan dalam kegiatan yang dilakukan oleh CI tersebut. Adanya ruang ini memunculkan peluang bagi santri untuk membentuk kelompok pecinta alam yang dinamakan IKAPALA – Ikatan Santri Pencinta Alam Salsabilla – yang memiliki tujuan utama untuk menggerakkan santri, ikut terlibat dalam gerakan mencintai lingkungan sekitar, terutama alam. Yang menarik adalah, kelompok ini tidaklah merupakan inisiasi top-down. Organisasi ini pada awalnya merupakan organisasi yang tidak diperbolehkan oleh pesantren, tetapi karena memiliki implikasi positif, maka pesantren kemudian membolehkan aktivitas organisasi ini. Organisasi ini yang kemudian menjadi motor gerakan yang melibatkan beberapa santri yang peduli terhadap isu konservasi dan lingkungan. “…Terutama pendorong utamanya adalah IKAPALA (Ikatan Pecinta Alam Salsabila), mereka itu yang punya interest tinggi untuk lingkungan. Dahulu peresmiannya adalah Direktur CI untuk Indonesia dan Filipina…” Potret keterlibatan CI dalam proses pembentukan, penyadaran dan menggerakkan santri dalam Ikapala ini secara simbolik terlihat dalam berita berikut ini: Menanam Pohon dan Mencintai Alam PP daarul Ulum mewajibkan siswa tingkat akhir menanam pohon Vice President (VP) Conservation International untuk Indonesia dan Phillipines, Dr. David Hess didampingi oleh Regional VP CI Indonesia, Dr. Jatna Supriatna dan Kepala Litbang Kehutanan Ir. Wahjudi Wardojo, Msc serta Direktur Wildlife Conservation Society (WCS) Dr. Noviar Andayani
84
berkesempatan mengunjungi Pondok Modern Darul Ulum (DU) Lido, Sabtu (18/11). Dalam kunjungan tersebut, Dr. Hess diberikan penghormatan untuk memberikan sambutan dan penanam pohon di lokasi halaman pesantren dan melantik Ikatan Pencinta Alam Salsabila (IKAPALA) klub pencinta alam santri Darul Ulum. “Kami dari Conservation International sangat senang melihat kegiatan lingkungan yang ada di pesantren. Terlebih karena anda adalah generasi penerus yang harus mulai sadar akan lingkungan dan mencintai alam Indonesia,” kata Hess. Pesantren Darul Ulum Lido merupakan salah satu mitra CI Indonesia dalam kegiatan konservasi dan pondok pesantren yang dibiayai oleh The World Bank. Beberapa waktu yang lalu pesantren yang mempunyai jumlah santri 920 orang ini telah terlibat aktif dalam membantu proyek agroforestri dengan mendapatkan hibah 500 pohon tanaman buah-buahan, pupuk dan pohon tanaman keras terkait dengan upaya memperkaya keanekaragaman hayati di sekitar kawasan TN Gunung Gede Pangrango. Selanjutnya, pihak pesantren memulai membuat program „wajib menanam pohon‟ untuk para siswa kelas tiga (di tingkat akhir) dan mendorong para siswa supaya memiliki dan memelihara satu pohon selama berada dalam pembelajaran di Darul Ulum. “Kami sangat berterima kasih dengan adanya dorongan dari CI dalam memberikan semangat kepada para siswa untuk mencintai alam sebagai ciptaan Allah dan memelihara kebersihan lingkungan,” kata Ust Drs. Ahmad Yani, Direktur PM. Darul Ulum. Dalam sambutannya Ir. Wahjudi Wardojo, Msc juga memberikan appalus gembira atas inisiatif PM Darul Ulum, dan mengatakan bahwa upaya PM Darul Ulum adalah sejalan dengan pemerintah khususnya Departemen Kehutanan yang telah mencanangkan program Indonesia Menanam dengan slogan: Kecil Menanam Dewasa Memanen”. /fm (Tropika Vol. 10 – 2006) Santri yang terlibat dalam organisasi ini memiliki motivasi yang berbedabeda dari mulai hanya ingin terlibat dalam kegiatan alam saja hingga dorongan dan kesadaran yang inheren yang dirasakan oleh mereka. Tetapi sebenarnya, kesamaan pandangan dan saling mengikat diri dalam suatu aksi bersama secara rutin kemudian menyadarkan mereka untuk berusaha mengejar keuntungan secara paralel, baik keuntungan individual maupun keuntungan bagi lingkungan. Konsepsi semacam ini senada dengan konstruksi gerakan ekologi oleh Rootes. “Sejak kelas 2 (MTs), saya sudah masuk kegiatan IKAPALA. Kita sering menanam pohon karena kita punya lahan dibawah (harim zone)... sebenarnya, kita banyak punya planning kedepan. Kita ingin IKAPALA itu memiliki lahan sendiri dan menanam pohon buah-buahan misalkan, sehingga kita bisa mengirimkan ke dapur. Jadi kita tidak selamanya beli di pasar karena sebenarnya bisa dihasilkan sendiri. Dari tahun ke tahun kita lakukan meskipun hasilnya belum bisa dinikmati, jadi hanya dinikmati sendiri saja...”
85
Organisasi semacam ini merupakan instrumen yang mampu mengikat karena didasari oleh kesamaan ide dan pandangan, meskipun tetap diperlukan kesadaran individual untuk terus menggerakkan ide tersebut. “IKAPALA sebenarnya hanya pengikat, hanya ikatan untuk seorang kelompok pemuda yang cinta akan kebersihan dan lingkungan. Tetapi semua itu harus disadari oleh kita sendiri. Tanpa IKAPALA sebenarnya bersih itu harus datang dari kita. Jadi sebenarnya IKAPALA hanya sekedar ikatan bagi mereka yang cinta kebersihan dan lingkungan. Dan kita akan mencontohkan kepada adik-adik kelas kita bahwa ini loh IKAPALA. Selain itu kita akan merekrut terus anggota baru hingga bisa menularkan ide mencintai lingkungan...“ Penuturan informan lain tentang IKAPALA, “...IKAPALA itu adalah sebuah contoh untuk gerakan yang lain. Alam itu punya kita, semua manusia yang punya alam. Kita yang akan menggerakkan hal tersebut karena alam itu ingin hidup dan sama seperti manusia juga ingin hidup [maka harus dijaga]...“ Selain kedua gerakan diatas, pesantren juga berupaya menerapkan materimateri yang berkaitan dengan lingkungan (bi‟ah) dan beberapa aspek di dalamnya serta bagaimana berperilaku yang benar dengan alam pada semua materi pelajaran, baik negeri (al-mawâd al-hukûmiyah) maupun pesantren (al-mawâd alahliyah). Upaya memasukkan tema lingkungan dalam proses belajar mengajar merupakan pilihan yang menjadi perdebatan didalam pesantren karena sebagian masih mempertanyakan urgensinya. Meskipun demikian, pada beberapa hal, tema lingkungan telah menjadi mata pelajaran wajib. Pesantren kemudian hanya mencari justifikasi teologis guna mendukung materi pelajaran tersebut sehingga berwarna keagamaan. “…Kalau pelajaran lingkungan, di SMP sudah wajib, karena sudah ada pelajaran PLH. Kalau untuk yang lain seperti Tafsir misalnya, kita mencari ayat-ayat yang bercerita tentang lingkungan, dipelajari ke anak-anak. Ketepatan kita sudah punya itu, dan ketepatan pemerintah mewajibkan. Ya sudah di masukkan sekalian. Kita jadikan pelajaran untuk anak-anak. Dan sekarang itu jadi Mulok (Muatan Lokal) untuk Jawa Barat dan sebelumsebelumnya tidak ada karena sebelumnya, muatan lokal hanya Bahasa Sunda. Oleh karena itu sekarang ada PLH…”
86
Secara lebih jelas, beberapa mata pelajaran yang diformulasikan untuk diberikan perluasan materi dan mencakup substansi lingkungan seperti terlihat pada tabel 6.2,
Tabel 6.2. Pengembangan Pokok Bahasan Yang Bertemakan Lingkungan
1
BIDANG STUDI Tafsir
2
Hadits
NO
-
3
Insya’ (Composition)
4
Biologi
5
Geografi
POKOK BAHASAN/TEMA Tauhid (Aqidah) Sains (ilmu modern) Akhlaq Lingkungan alam (bi’ah) Muamalah Thaharah Jinayat Lingkungan (hima & harim) Sains
- Perkenalan - Urgensi Bahasa Arab - Indahnya Pemandangan Alam (al-manazhir) - Pemakaian , لـ, على,من - Biotik dan a-Biotik - Konservasi & Reboisasi - Lingkaran Kehidupan - Fungsi Hutan Lindung - Alam Indonesia - Perpindahan (Migrasi) - Hutan dan Laut
SUMBER RUJUKAN UTAMA Kitab-kitab Tafsir: - Ibn Katsir - Shafwah al-Tafasir - Tafsir Ayat Ahkam Kitab-kitab Hadits: - Bulughul Maram - Al-Lu’lu’ wa AlMarjan - Shahih Bukhari & Muslim - Al-Muwaththa’ - Al-Qira’ah al-Rasyidah - An-Nushush alAdabiyah - Buku modul intern - Buku-buku standar sesuai KTSP yang ditetapkan oleh Depdiknas & Depag - Buku-buku standar sesuai KTSP yang ditetapkan oleh Depdiknas & Depag
Selain itu, beberapa program juga dilakukan oleh pesantren seperti mewajibkan kepada santri kelas akhir (kelas enam) untuk menanam pohon dan menjadi dasar penilaian pada akhir semester nantinya. Pada tahun 2009 dan 2010, dalam setiap perayaan kelulusan murid (haflatul ikhtitam), setiap santri kelas akhir yang telah menyelesaikan proses pembelajaran di pesantren, kemudian diwajibkan menanam pohon sebagai sumbangsih mereka untuk masa depan. Pergumulan pesantren dengan isu ekologi hingga saat ini terus berlanjut dan mengalami
perkembangan
yang signifikan.
Baru-baru
ini
Conservation 87
International juga mengadakan program dengan pesantren. Ini semakin memperteguh bahwa, induksi pengetahuan dari aktor luar pesantren, setidaknya memberikan implikasi positif dengan semakin meningkatnya kesadaran aktor pesantren terhadap problematika ekologi. Berikut ungkapan Fachruddin Mangunjaya: "...Saya tidak sekali ke pesantren ini, tapi telah beberapa kali, dan PP Daarul Ulum, karena sudah tercatat menjadi mitra organisasi kami Conservation International, dalam upaya menyadarkan lingkungan melalui agama (Islam) sejak tahun 2003. Perlahan, saya melihat perubahan penataan kampus dan visi pimpinannya yang demikian maju tentang lingkungan, setelah mereka bergaul dengan banyak partner yang terkait lingkungan. Di kawasan pesantren ini, sekarang telah ada harim zone, yang merupakan contoh integrasi perawatan bantaran sungai dan upaya melestarikan keanekaragaman hayati6...“ Kesemua program yang dibangun, baik oleh santri maupun pesantren secara umum merupakan gerakan ekologi yang berciri kedalam. Artinya, gerakan yang dilakukan secara umum merupakan gerakan yang diciptakan untuk menumbuhkan kesadaran ekologis di dalam lingkungan pesantren baik itu oleh kyai, ustadz maupun guru serta santri. Gerakan yang dilakukan juga merupakan gerakan yang senada dengan idealita dan visi utama dari aktor luar yang banyak mengintrodusir pemahaman ekologi kepada pesantren ini. Oleh karena itu, terbangunnya gerakan harim zone dan gerakan lainnya yang terdapat di pesantren Daarul Ulum Lido ini dapat dilihat karena beberapa faktor. Pertama, faktor geografis yang merupakan faktor pra-kondisi, yang banyak memberikan keuntungan dan kelebihan dalam mengimplementasikan konsepsi program yang telah direncanakan. Kedua, faktor organisasi dan kelembagaan pesantren yang terlihat juga berpengaruh karena keleluasaan sistem pesantren yang tidak terpaku pada otoritas tunggal pimpinannya (kyai) dan memiliki sistem yang relatif lebih terbuka. Ketiga, faktor pemimpin pesantren (kyai) yang mampu menggulirkan ide yang terbangun dari hasil dialektika dengan aktor diluar pesantren kepada struktur sosial yang ada di pesantren.
6
Fachruddin Mangunjaya menjadi aktor utama yang berperan dalam memperkenalkan ide ekologi dan Islam serta banyak memngintrodusir pengetahuan tentang lingkungan hidup di pesantren Daarul Ulum Lido. Beberapa potret kegiatannya dapat dilihat di website http://nature-ofindonesia.blogspot.com atau http://agamadanekologi.blogspot.com
88
Berangkat dari potret teologi ekologi yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya
serta
karakteristik
pesantren.
Hal
itu
semua
kemudian
termanifestasikan dengan dua pola. Pola manifestasi yang pertama adalah pola manifestasi yang terbangun karena adanya refleksi individual kyai sementara yang kedua adalah karena adanya induksi pengetahuan aktor luar pesantren. Tabel 6.3. Pola Manifestasi Gerakan Ekologi di Pesantren Pesantren
Tipe Pesantren
Al Amin
Salafi
Daarul Ulum Lido
Modern
Bentuk Gerakan
Pola Manifestasi
Penanaman Pohon (Pemberdayaan Masyarakat) Harim Zone dan Santri Pencinta Alam
Refleksi Individual Kyai Induksi Pengetahuan Aktor Luar
Sumber: Sintesa Data lapangan
Manifestasi gerakan ekologi di kedua pesantren ini memperlihatkan suatu potret tindakan sosial yang oleh Weber digolongkan pada empat tipe yaitu tindakan tradisional, tindakan afektif, tindakan rasional nilai dan tindakan rasional instrumental. Potret gerakan yang terjadi di kedua pesantren ini secara umum memperlihatkan gejala suatu tindakan rasional nilai. Tindakan ini merupakan penjabaran dari orientasi tindakan rasional yang secara langsung menempatkan orientasinya pada suatu tata nilai. Aktor kemudian menempatkan tindakan mereka sebagai suatu tugas, kehormatan, tugas keagamaan atau yang lainnya (Morrison, 1995). Tindakan aktor dalam pesantren baik dalam konteks penanaman pohon maupun implementasi harim zone merupakan bentuk tindakan rasional nilai. Aktor yang terlibat dalam kedua gerakan ini mendasarkan motif keterlibatan mereka pada konstruksi nilai Islam yang melatari ide dan praksis gerakan mereka. Munculnya ide penanaman pohon yang lahir dari refleksi Ajengan Basith serta pergumulan dan dialektika antara CI dengan Ust. Yani secara umum dilatari oleh pemahaman dan penafsiran mereka atas teks-teks keagamaan seperti kedudukan manusia sebagai Khalifah serta fungsi dan tanggungjawabnya dalam menjaga alam memperlihatkan bahwa tindakan tersebut memiliki orientasi pada nilai keIslaman. Oleh karena itu, secara individual, tindakan tersebut dimaknai sebagai
89
suatu tanggungjawab etis dan bagian dari cara mereka mewujudkan interpretasi atas teks teologis mereka menjadi teks praksis. Meskipun demikian, perlu dipahami bahwa tindakan yang mewujud ini memiliki ketergantung pada seberapa jauh penafsiran aktor atas nilai yang menjadi landasan gerakan mereka. Pada beberapa aktor lain diluar kyai, misalnya, meskipun memperlihatkan perhatian dan keterlibatan dalam gerakan ekologi di kedua pesantren ini, tetapi tetap tidak mencirikan karakter tindakan kyai mereka. Para anggota kelompok tani Hejo Daun, secara umum tetap menempatkan isu ekonomi sebagai basis tindakan mereka meskipun warna nilai keagamaan yang diperkenalkan oleh kyai juga mengemuka, tetapi tidak sedominan yang terjadi pada kyai. Begitu juga para santri yang terlibat dalam kelompok santri pecinta alam, memperlihatkan corak tindakan rasional nilai yang berbeda dengan Ust. Yani dengan konstruksi nilai dan pemahaman serta kedalaman yang berbeda pula. Kondisi ini memberikan suatu pandangan bahwa dari beberapa tipe tindakan sosial, secara umum tipe tindakan yang terlihat dalam kedua gerakan ekologi ini merupakan tindakan rasional nilai dengan variasi nilai yang berbeda antar aktor. Variasi nilai semacam ini yang kemudian mempengaruhi kedalaman dan penghayatan mereka atas gerakan ekologi tersebut. Artinya, ketika konstruksi teologi yang menjadi landasan nilai tersebut sangat dalam seperti terlihat pada sosok kyai, secara umum tindakan yang mewujud juga memiliki kekukuhan nilai yang ajeg. Sementara, ketika sandaran nilai tersebut masih di permukaan seperti terlihat pada sikap para anggota kelompok tani dan santri, maka wujud tindakan juga belum menyerupai apa yang terjadi pada kyai.
6.2.
Kyai dan Gerakan Ekologi Berangkat dari teori yang di kedepankan oleh Weber yang mengatakan
bahwa kyai merupakan salah satu bentuk kepemimpinan kharismatik yang mempunyai kekuasan secara tradisional. Potret ini menggambarkan bagaimana peran kyai yang mempunyai kekuasaan secara informal terhadap masyarakat karena kemampuan individualnya terutama dalam bidang keagamaan juga dengan varian lembaga yang dimiliki oleh kyai seperti pesantren, majlis taklim, dan kelompok pengajian lainnya. 90
Di masyarakat Cicurug, Kabupaten Sukabumi, terutama mereka yang mayoritas merupakan petani, kepemimpinan kyai justru menjadi salah satu media transformasi masyarakat dari masyarakat – buruh tani – yang tidak pernah memiliki peluang untuk berpindah dari posisi paling dasar dari struktur masyarakat menuju posisi yang lebih baik atau setidaknya berusaha menjauh dari jurang subsisten yang dalam hal ini, pada taraf minimal memiliki akses untuk melakukan pengolahan lahan di kawasan taman nasional. Lantas bagaimana cara kyai memposisikan dirinya guna menjawab permasalahan masyarakat ini? Perubahan peran kyai tersebut dapat dilakukan setelah regenerasi pesantren Al Amin berpindah kepada Kyai Abdul Basith. Kyai Abdul Basith berperan meletakkan pondasi dasar pembangunan pesantren sebagai pusat aktivitas pesantren yang beriringan dengan masyarakat. Upaya yang dilakukan beliau seperti yang telah diperlihatkan diatas, merupakan bukti empirik bagaimana sebenarnya telah terjadi pergeseran makna kyai dan pesantren yang tidak hanya berkutat pada urusan transformasi keagamaan, menjaga kemurnian akidah dan sebagainya menjadi transformasi sosial seperti yang diungkapkan oleh Abd A’la (2006). Di satu sisi, kyai berusaha untuk tetap mempertahankan nilai dan pola kehidupan masyarakat relijius di dalam pesantren dengan tetap bertahan pada tradisi salafi, tetapi disisi lain kyai juga berperan dalam mendorong transformasi sosial sehingga merubah pandangan masyarakat menjadi masyarakat yang agamis disatu sisi, juga mampu berdikari dengan pencarian sumber nafkah alternatif melalui program Sengon tersebut. Saat ini, dengan meningkatnya kompleksitas masyarakat Cicurug kondisi ini mendorong perlunya kyai mentransformasi perannya yang dahulu hanya bertahan pada wilayah keagamaan, saat ini kyai yang memiliki kedudukan kultural yang relatif lebih tinggi dan kuat ketimbang unsur-unsur lain dalam masyarakat. Posisi kyai sebagai pemimpin akhirnya mengharuskan ia bergelut dengan persoalan masyarakat pada umumnya yang mayoritas merupakan buruh tani. Tampilnya kyai maupun pesantren dalam pesoalan masyarakat mampu membuat perubahan meskipun masih terbilang panjang. Meskipun demikian, kondisi ini sedikit banyaknya menguntungkan masyarakat pada struktur terbawah karena kyai tidak mempunyai batasan dan dapat menembus sekat struktural tersebut sehingga
91
program yang dijalankan pun relatif borderless dan dapat menyentuh mereka yang memang membutuhkan. Menangani problem masyarakat terutama yang berkaitan dengan ekonomi sebenarnya bukan wilayah kerja kyai. Akan tetapi melihat dominasi yang terjadi di masyarakat serta tidak bergeraknya ekonomi rakyat pada lapisan terbawah menjadi satu hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Transformasi yang dilakukan mendorong kyai berhadapan dengan tradisi yang dianggap mapan seperti pola peminjaman oleh pemodal ataupun tengkulak. Namun demikian, kyai Abdul Basith ini mempunyai modal dasar yang sangat dibutuhkan yaitu kedudukan kultural kyai dalam masyarakat dan sejumlah infrastruktur seperti lembaga pengajian yang dapat dipergunakan sebagai sarana penyaluran ide dan gagasan baik pengajian rutin mingguan di pesantren maupun pengajian lain di masyarakat sekitar. Kedudukan kultural tersebut dapat secara optimal dimanfaatkan oleh kyai dengan berperan dalam memberikan stimulan program penanaman tersebut kepada petani yang terlibat dalan kelompok tani Hejo Daun sehingga mampu menjauh dari problem ekonomi yang melanda mereka. Kekuatan kharismatik kyai yang menjadi simbol kultural pesantren maupun masyarakat mampu mendorong terjaganya sistem penanaman yang digulirkan oleh kyai. Selain itu, terlihat bahwa anggota kelompok tani tersebut enggan untuk berperilaku negatif yang menyebabkan terganggunya implementasi program tersebut. Sebenarnya, pesantren Al Amin juga memiliki program pembibitan yang kemudian hasil dari pembibitan yang mereka lakukan itu sebagian dimanfaatkan untuk penghijauan yang melibatkan pesantren lainnya. Akan tetapi, ketika penelitian ini dilaksanakan, program pembibitan tersebut tidak lagi dilaksanakan. Meskipun demikian, dampak dari program penanaman sengon ini, masyarakat disekitar pesantren semakin menyadari akan pentingnya pelestarian alam dan lingkungan serta peningkatan ekonomi masyarakat. Potret gerakan serupa dengan karakteristik pesantren tradisional-salafi ini sebenarnya juga terlihat dalam gerakan yang dilakukan oleh Pesantren An Nuqayah, Guluk-guluk Madura yang melalui Kyai Abdul Basit juga mampu menyelesaikan problem ekologis serta sosial yang terdapat pada masyarakat sekitar (Effendy, 1990). Contoh kyai
92
tradisional lain yang juga mencoba mendobrak problem sosial di masyarakat, seperti yang dilakukan oleh Kyai Sahal Mahfudz yang merupakan pimpinan pondok pesantren Maslakul Huda. Kyai Sahal melakukan reformulasi fiqih dengan menggeser dari yang awalnya fiqih tekstual menjadi fiqih kontekstual yang disebut dengan fiqih sosial. Bentuk kontekstualisasi yang dilakukan seperti dalam pelestarian lingkungan hidup. Kyai Sahal mendorong fungsi ganda pesantren yaitu sebagai lembaga pendidikan yang mampu mengembangkan pengetahuan, penalaran, keterampilan, kepribadian dan merupakan sumber referensi tata nilai Islami bagi masyarakat sekitar serta sebagai lembaga sosial di pedesaan yang menggerakkan swadaya dan swakarsa masyarakat untuk perbaikan lingkungan (Zubaedi, 2007). Pesantren Daarul Ulum Lido, sejak mengalami kekosongan figur kyai, berupaya melakukan reformulasi konsep kepemimpinan di pesantren. Pendekatan sistem yang digunakan untuk menjaga stabilitas pesantren menjadi pilihan terbaik sehingga pesantren berupaya mencari figur yang dapat memimpin pesantren layaknya kyai di pesantren lain. Meskipun demikian, patut di apresiasi bahwa pendekatan sistem ini meskipun kemudian tidak memunculkan figur kyai yang kharismatik, tetapi justru memunculkan figur yang terlihat egaliter dan relatif tidak berjarak dengan aktor lain disekitar pesantren. Ust. Ahmad Yani, (sebagaimana biasa disebut) menjadi bukti bahwa meskipun posisinya sebagai pimpinan pesantren, mudir al ma‟had, tetapi justru nuansa yang terbangun memperlihatkan dirinya seperti layaknya guru ataupun asatidz yang lain. Kondisi ini yang menyebabkan, transfer pengetahuan yang dilakukan tidak berjalan berundak dan birokratik. Meskipun, sebagian ada yang merindukan kehadiran sosok kyai sebagaimana lazimnya pesantren lain, tetapi keinginan tersebut hanya dorongan emosional-individual dan tidak pernah terangkat ke permukaan. Seluruh civitas pesantren justru mendukung pelaksanaan sistem yang telah terbangun tersebut. Dalam konteks gerakan ekologi, peran kyai menjadi sangat sentral meskipun tidak memiliki peranan yang relatif absolut dibanding pesantren Al Amin. Peranan kyai disini justru karena mampu menyerap ide yang diperkenalkan oleh aktor luar pesantren dan di kontekstualisasikan pada khazanah dan
93
lingkungan pesantren. Peranan seperti ini tidaklah mudah karena tentu mengalami pergulatan dan pergumulan di kalangan internal pesantren, terutama bagi mereka yang menganggap sinis pelaksanaan program tersebut. Ide kultural yang dibangun dengan mengimplementasikan berbagai program seperti harim zone pada dasarnya adalah untuk membumikan idealita teologi Islam tentang ekologi yang telah dikenal dalam khazanah keilmuan dan sejarah Islam, tetapi tidak pernah terbuka dan dibuka, serta menjadi konsumsi masyarakat, khususnya pesantren. Tentu, ketika awal di dirikannya pesantren ini, tidak ada mimpi untuk memiliki beberapa program diatas, tetapi dalam perjalanannya, proses kontekstualisasi pesantren dengan ide yang datang dari lembaga lain dan pergumulan yang berlangsung baik di luar maupun didalam semakin mematangkan pilihan pesantren untuk bergerak secara konsisten pada isu-isu ekologi. Kedua kyai yang disebutkan diatas ini jika dikaji lebih dalam, sesungguhnya tidak lagi hanya menjadi broker budaya seperti yang di sintesakan oleh Geertz (1960), seorang yang memiliki peran penyambung antara tradisi besar (great traditions) dengan tradisi kecil (little traditions) dan menjadi broker karena menyaring berbagai informasi maupun budaya bagi komunitasnya, tetapi berperan sebagai mediator atau perantara digagas oleh Horikoshi (1987) ataupun agen perubahan (agent of change) (Iskandar, 2001) yang dalam bahasa Abdurrahman Wahid (1987) kyai berperanan kreatif dalam perubahan sosial, bukan karena sang kyai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan justeru karena memelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Ia bukan melakukan penyaringan informasi, tetapi menawarkan agenda perubahan yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat yang dipimpinnya atau disekitarnya.
94