Variasi pH di Perairan Indonesia Titri Yan Rizki1, Camellia Kusuma Tito1, Agus Setiawan2 1
Balai Penelitian dan Observasi Laut, Jl. Baru Perancak, Negara, Jembrana, Bali Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan , Komplek Bina Samudera, Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur, Jakarta e-mail:
[email protected]
2
ABSTRAK Dengan memanfaatkan data Karbon Total (TCO2) dan Alkalinitas Total (TA) serta data suhu, salinitas, fosfat, dan silikat telah dihitung variasi pH air laut di perairan Indonesia dengan menggunakan software Ocean Data View (ODV). Hal ini dilakukan untuk mengetahui pola umum distribusi pH di perairan Indonesia. Dari hasil analisis didapatkan bahwa pola monsunal berperan cukup signifikan pada variasi pH air laut di perairan Indonesia. Di perairan Indonesia bagian barat, pH air laut di musim barat lebih rendah daripada di musim timur, dan sebaliknya pH air laut di perairan Indonesia bagian timur pada saat musim barat lebih tinggi daripada musim timur. Kata kunci: pH air laut, karbon total, alkalinitas total, pola monsunal
Variation of pH of Indonesia Waters ABSTRACT This research aimed to determine the general pattern of distribution of pH in Indonesian waters. We to obtained the variation of seawater pH of Indonesian waters, by utilizing Carbon Total (TCO2) and total alkalinity (TA) data, and temperature, salinity, phosphate and silicate data using Ocean Data View (ODV). We found that the monsoonal pattern played significant role in the variation of pH of seawater in Indonesian waters. In the region of western Indonesia waters, the pH of seawater during the west monsoon was lower than during the east monsoon, whereas pH of seawater in the region of eastern Indonesia waters was higher during the west monsoon than the east monsoon. Keywords: seawater pH, total carbon , total alkalinity , monsoonal pattern
PENDAHULUAN Aktivitas manusia saat ini, pembakaran hutan, kendaraan bermotor, pemanfaatan lahan hutan, dan berbagai aktivitas di bidang industri, menyebabkan meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfer, dimana hal ini menyebabkan peningkatan tekanan parsialnya. Semenjak dimulainya revolusi industri, tekanan parsial CO2 di atmosfer telah meningkat dari 280 menjadi 387 ppm (Tans, 2009). Apabila tekanan parsial CO2 di atmosfer lebih besar daripada di permukaan air laut, maka akan terjadi penyerapan CO2 oleh permukaan laut. Kurang lebih 30% atau 118 Gt CO2 diserap oleh laut antara tahun 1800 dan 1994 (Sabine et al., 2004).
27
Penyerapan CO2 oleh permukaan laut menyebabkan berubahnya sistim karbonat dalam air laut. Meningkatnya jumlah CO2 yang terlarut dapat menurunkan pH, menurunkan jumlah ion karbonat (CO32-) dan mengakibatkan turunnya jumlah mineral karbonat penyusun kerangka kapur (Kleypass et al., 2006). Proses penurunan pH akibat penyerapan CO2 antropogenik oleh air laut dikenal sebagai pengasaman laut (ocean acidification) (Gattuso dan Lavigne, 2009). Meningkatnya jumlah CO2 yang diserap oleh laut diketahui telah menurunkan pH air laut sebesar 0.1 dari 8.2 menjadi 8.1 (Orr et al., 2005). Bertambahnya konsentrasi H+ dalam air laut mengakibatkan berkurangnya ion-ion karbonat karena bereaksi dengan H+ dalam air membentuk ion bikarbonat, sehingga menyulitkan organisme calcifier dalam membentuk dalam membentuk-mengikat kalsium karbonat. Indonesia sebagai negara dengan wilayah perairan yang sangat luas memiliki peranan yang sangat penting dalam siklus karbon regional dan global. Setiawan et al. (2010) menyatakan perairan Indonesia berperan sebagai CO2 sink dengan potensi penyerapan setara dengan Samudera Atlantik, yaitu sekitar 0,3 Pg/tahun. Adanya pengaruh musim, batimetri, fenomena upwelling dan downwelling di perairan Indonesia juga akan mempengaruhi kesuburan perairan, dimana kesuburan perairan ini dapat ditentukan oleh laju fotosintesis yang memerlukan CO2. Menurut Suciaty dan Putri (2011), di perairan Indonesia bagian timur, konsentrasi rata-rata CO2 pada musim tenggara lebih tinggi dibandingkan pada musim barat laut. Hal ini dipengaruhi oleh terjadinya fenomena upwelling di Laut Banda dan Selat Makasar bagian selatan. Tingginya konsentrasi CO2 ini mengakibatkan menurunnya nilai pH air laut. Perairan Indonesia yang relatif cukup hangat hingga saat ini masih belum banyak dikaji variasi nilai pH air lautnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola umum distribusi pH di perairan Indonesia, dengan menggunakan pendekatan yang diberikan oleh Dickson et al. (2007) melalui ODV. ODV adalah software yang dapat digunakan untuk menganalisis dan memvisualisasi data oseanografi, profil atmosfer dan data lainnya, dalam bentuk gambar atau grafik secara time series. ODV juga dapat melakukan perhitungan statistik dan visualisasi beberapa variabel berdasarkan variabel utama (Brown, 1998). LOKASI STUDI DAN METODOLOGI Daerah kajian dibatasi untuk perairan Indonesia pada 15°LU - 15°LS dan 90°BT - 140°BT. Data input yang digunakan dalam perhitungan yaitu data rata-rata tahunan dan musiman untuk parameter suhu, salinitas, fosfat, dan silikat yang didapatkan dari data World Ocean Atlas 2009 (WOA09). Selain itu, dibutuhkan pula data tahunan dan musiman Karbon Total (TCO2) dan Alkalinitas Total (TA) dari hasil model global yang dikembangkan oleh Goyet et al. (2000) yang bisa didapatkan dari website Carbon Dioxide Information Analysis Center (CDIAC) seperti dideskripsikan pada Tabel 1. 28
Tabel 1. Deskripsi data input yang digunakan dalam penelitian ini Variabel Satuan Ukuran Data Sumber Karbon Total (TCO2) Alkalinitas Total (TA) Suhu Salinitas Fosfat
µmol/kg µmol/kg °C psu µmol/kg
1°x1° 1°x1° 1°x1° 1°x1° 1°x1°
CDIAC CDIAC WOA09 WOA09 WOA09
Silikat
µmol/kg
1°x1°
WOA09
Gambar 1. Distribusi TA dan TCO2 hasil model (Goyet et al., 2000) pada musim barat (kiri) dan musim timur (kanan). Daerah kajian meliputi seluruh Indonesia secara regional, maka asumsi Dissolved Inorganic Carbon (DIC) sama dengan TCO2 digunakan karena tidak meninjau input lokal seperti sungai dari daratan sehingga nilai DIC dianggap relatif kecil. Untuk DIC dan TA pada Gambar 1, variasi nilai hanya signifikan di perairan tertentu seperti daerah paparan Sunda, Laut Banda, dan Laut Arafuru. Sedangkan di daerah Samudera Hindia dan Samudera Pasifik nilai kedua parameter tersebut berpola serupa di kedua musim.
29
Gambar 2. Distribusi suhu, salinitas, silikat, dan fosfat dari data WOA09 pada musim barat (kiri) dan musim timur (kanan). Parameter suhu dan salinitas di atas digunakan dalam perhitungan konstanta kesetimbangan. Berbeda dengan 2 parameter sebelumnya, keempat parameter pada Gambar 2 memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara musim barat dan musim timur hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia seperti. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan arah angin pada musim barat dan musim timur menyebabkan pergerakkan massa air dengan karakteristik yang berbeda menuju arah yang berbeda. Untuk mengetahui pola umum distribusi pH di Indonesia, digunakan perhitungan dengan pendekatan yang diberikan oleh Dickson et al. (2007) melalui software ODV, dengan perhitungan sebagai berikut : 30
−] = [ ∗ ] + [� − ] + [ −] −] +[ � − ] + [ � − ] + [� = [� − ] + [ −] +[SiO � − ]+[ � ] + [�� − ] − [� + ] − [�� + [ −[��] − [� ]
(1) −]
(2)
dengan nilai CT (TCO2) dan AT (TA) diketahui, dan konstanta-konstanta dari berbagai sumber, diantaranya K0 (konstanta solubilitas untuk CO2 pada air laut); dan konstantakonstanta equilibrium untuk tiap pasangan asam-basa yang ada, seperti K1, K2, KB, KS, KF, KW, K1p, K2p, K3p, dan KSi dari Dickson et al. (2007) dengan rumusan sebagai berikut: � =[
∗ ]/f(CO
2)
(3)
dengan f(CO2) adalah fugasitas yang merupakan fungsi dari suhu dan salinitas, � = [� + ][� − ]/[ ∗ ] −] − ]/[� � = [� + ][ �� = [� + ][ � ] � − ]/[ − − + ]/[�� ] � = [� ][� �� = [� + ][� − ]/[��] �� = [� + ][ � − ] − � � = [� + ][� ]/[� ] − − + ]/[� � � = [� ][� ] − − + ] ]/[� � � = [� ][ − + � � = [� ][SiO � ]/[Si � ]
de ga se ua spesies di dala ta da [ ] dapat dihitung nilai pH dengan persamaan :
(4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) erupaka ko se trasi ersatua μ ol/kg,
� = −� �[� + ]
(14)
dengan [H+] adalah nilai konsentrasi ion Hidrogen yang didapat dengan subsitusi Persamaan 1 hingga Persamaan 13. Skala pH yang digunakan adalah skala free scale karena skala ini direkomendasikan oleh Marion et al. (2011) dalam perhitungan nilai pH air laut. HASIL DAN PEMBAHASAN Perairan Indonesia mendapat pengaruh dari perairan-perairan besar, seperti Samudera Pasifik dan Saudera Hindia, yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda, salah satunya dalam hal tingkat keasaman. Dalam penelitian Doney (2006), Samudera Pasifik memiliki pH yang cukup tinggi mencapai 8.05 dan Samudera Hindia memiliki pH sekitar 8 – 8.05. Selain itu diketahui pula bahwa Laut Cina Selatan memiliki pH yang rendah, kurang dari 8.
31
Gambar 3. Nilai rata-rata tahunan pH air laut. Gambar 3 menunjukkan kondisi umum derajat keasaman perairan Indonesia. Untuk daerah Indonesia timur bagian utara, pH bernilai sedang yaitu 7.9 dan membesar ke arah selatan mencapai 8,1. Sedangkan di daerah barat Sumatra nilai pH 7.9 dan membesar mencapai 8,2 ke arah selatan Jawa dan Samudera Hindia. Daerah Selat Malaka dan Selat Karimata memiliki pH yang relatif lebih rendah (berkisar 7.7 hingga 7.9) daripada wilayah perairan lainnya. Penyebab variasi pola derajat keasaman tersebut akan dijelasakan berikutnya.
Gambar 4. Sirkulasi transpor massa air di permukaan pada musim barat (kiri) dan musim timur (kanan) (Wyrtki, 1961). Perairan Indonesia merupakan daerah perairan tropis yang selalu mendapat pengaruh dari angin monsun. Angin monsun digerakkan oleh perubahan tekanan secara bergantian di Benua Asia dan Benua Australia akibat perbedaan posisi matahari sepanjang tahun. Angin monsun ini merupakan salah satu pembangkit arus dominan yang mampu menggerakkan massa air yang terjadi di permukaan perairan Indonesia. Monsun yang dialami perairan Indonesia yaitu monsun barat, yang terjadi di bulan Desember, Januari, 32
dan Februari serta monsun timur yang terjadi di bulan Juni, Juli, dan Agustus. Adanya angin monsun tersebut walaupun tidak berpengaruh secara langsung terhadap nilai pH, namun dapat menyebabkan variabilitas nilai pH di permukaan air karena mampu menghasilkan transpor massa air laut dari suatu perairan ke perairan lain seperti pada Gambar 4. Pembahasan variasi monsunal pH akan dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu Indonesia bagian barat, yang meliputi Selat Malaka, Selat Karimata, Laut Jawa, barat Sumatra dan Samudera Hindia, dan Indonesia bagian timur, yang meliputi Selat Makassar, Laut Banda, dan Samudera Pasifik. Hal ini merujuk pada penelitian Aldrian et al., (2003) yang menyatakan bahwa pengaruh monsun antara Indonesia bagian barat dengan bagian timur memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal curah hujan, seperti pada Gambar 5 yang menunjukkan bahwa Indonesia barat termasuk region A dan Indonesia timur termasuk dalam region C. Indonesia bagian barat mengalami curah hujan maksimal pada musim barat sedangkan Indonesia timur mengalami curah hujan maksimal pada musim timur. Berdasarkan Siahaya (2009), curah hujan akan menyebabkan besarnya aliran sungai sehingga mempengaruhi tingkat kebasaan perairan yang ditunjukkan dengan rendahnya nilai pH.
Gambar 5. Zonasi curah hujan di Indonesia (Aldrian et al., 2003). Dari hasil perhitungan yang dilakukan, didapatkan bahwa pola monsun di perairan Indonesia berperan signifikan terhadap variasi pH air laut terutama di perairan dangkalnya seperti pada Laut Jawa dan Selat Karimata. Nilai pH air laut perairan Indonesia barat di musim barat umumnya lebih rendah daripada di musim timur, sedangkan nilai pH air laut perairan Indonesia timur di musim barat umumnya lebih tinggi daripada di musim timur seperti terlihat pada Gambar 6. 33
Berdasarkan Suciaty (2010), TA dan DIC merupakan faktor yang penting dalam penentuan nilai pH air laut. Alkalinitas merupakan gambaran kombinasi muatan negatif akibat ion bikarbonat dan karbonat dalam air laut sehingga ketika nilai alkalinitas rendah dan terjadi penambahan ion karbonat maka dibutuhkan jumlah ion hidrogen yang besar, akibatnya pH menjadi rendah. DIC yang tinggi akan mengakibatkan bertambahnya ion hidrogen sehingga nilai pH air laut rendah. Untuk parameter input lainnya seperti fosfat dan silikat berpengaruh terhadap nilai alkalinitas. Sedangkan suhu dan salinitas juga berpengaruh pada nilai pH namun tidak secara langsung, melainkan melalui konstanta-konstanta dalam perhitungan. Suhu yang rendah dan salinitas yang rendah akan menghasilkan nilai pH yang rendah. Hubungan antar parameter tersebut sesuai dengan perbandingan antara nilai-nilai parameter input pada Gambar 1 dan Gambar 2 dengan hasil perhitungan nilai pH pada Gambar 6.
Gambar 6. pH air laut pada musim barat (kiri) dan musim timur (kanan). Pola nilai pH di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik tidak terlalu memperlihatkan adanya variasi musiman. Jika dikaitkan dengan transpor massa air seperti pada Gambar 5, baik di musim barat maupun musim timur, arah transpor di kedua samudera tersebut selalu sama. Di Samudera Hindia, tampak bahwa terdapat daerah konvergensi yaitu pertemuan dua massa air, dari barat Sumatra yang mengarah ke selatan dan dari selatan Jawa yang arusnya mengarah ke barat, dengan karakteristik oseanografi yang berbeda yang berkumpul menghasilkan transpor massa dengan arah ke barat menuju Samudera Hindia. Hal ini tercermin pula pada variasi nilai TCO2 yang membentuk suatu kontur nilai yang tinggi serta nilai alkalintas total yang rendah di barat daya Sumatra, di musim barat maupun musim timur seperti pada Gambar 1. Di Samudera Pasifik, antara musim barat dengan musim timur tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada nilai pHnya karena di wilayah perairan tersebut tidak mendapat pengaruh monsun dari wilayah Indonesia. Selat Malaka memiliki pH yang relatif rendah daripada wilayah perairan lainnya. Hal ini terjadi karena Selat Malaka merupakan tempat berkumpul beberapa sungai besar di Pulau Sumatra yang memberikan fluks karbon yang cukup besar sehingga nilai pH menjadi rendah di daerah tersebut. Selat Karimata juga memiliki nilai pH yang kecil, berkisar dari 34
7,8 hingga 8, karena mendapat pengaruh dari Laut Cina Selatan yang rendahnya pH. Variasi monsunal nilai pH terlihat di kedua selat tersebut. Ketika musim barat nilai pH di Selat Karimata menjadi lebih rendah dibandingkan ketika musim timur. Berdasarkan Aldrian et al. (2003), paparan Sunda termasuk dalam zona B yang memiliki curah hujan tinggi yang maksimal di bulan November. Hal ini terlihat dalam perhitungan nilai pH pada musim peralihan di bulan September, Oktober, dan November seperti pada Gambar 7 bahwa nilai pH di Selat Karimata mencapai minimal (sekitar 7.6) sebagai akibat curah hujan yang maksimal pada bulan November.
Gambar 7. Grafik curah hujan pada region B (kiri) berdasarkan Aldrian et al. (2003) dan nilai pH musim peralihan (September-November) (kanan). Di daerah tenggara Kalimantan terdapat pola pH yang lebih rendah pada musim timur. Hal ini disebabkan karena adanya sungai-sungai besar di Kalimantan yang bermuara di Laut Jawa yang memiliki debit besar ketika musim penghujan (musim barat) dan berkurang ketika musim timur. Hal ini menyebabkan sumber karbon dari darat berkurang ketika musim timur (seperti terlihat pada Gambar 1) sehingga nilai pH membentuk kontur nilai yang tinggi dibandingkan musim timur. Dalam kajian ini, terdapat beberapa wilayah yang tidak memperlihatkan nilai pH. Hal ini disebabkan karena terbatasnya ketersediaan data input terutama di wilayah pesisir, seperti di timur Sumatra, Teluk Bone, utara Jawa, dan utara Papua. Selain itu, hasil pengolahan data ini memiliki resolusi yang sangat kasar yaitu berukuran 1° x 1°, sehingga untuk membandingkan data hasil pengolahan dengan data lapangan sebagai validasi menjadi sulit. Maka, diperlukan adanya studi yang lebih detail dengan resolusi yang lebih baik serta yang bersifat timeseries agar diketahui wilayah-wilayah perairan di Indonesia yang berpotensi mengalami pengasaman.
35
KESIMPULAN Dari hasil perhitungan yang dilakukan didapatkan bahwa pola monsun di perairan Indonesia berperan signifikan terhadap variasi pH air laut. Berdasarkan pola tahunannya, nilai pH di perairan Indonesia bervariasi dari 7.7 hingga 8.2. Nilai pH air laut perairan Indonesia barat di musim barat lebih rendah daripada di musim timur dan sebaliknya nilai pH air laut perairan Indonesia timur di musim barat lebih tinggi daripada di musim timur. Nilai pH di perairan sekitar Selat Malaka relatif lebih rendah daripada wilayah perairan lainnya karena banyaknya sungai besar yang membawa fluks karbon tinggi dan bermuara di perairan tersebut. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Tim Peneliti Perubahan Iklim, Tim Peneliti Penginderaan Jauh dan Tim Peneliti Pemodelan Laut Balai Penelitian dan Observasi Laut atas diskusi selama proses penulisan. Terima kasih juga disampaikan kepada seluruh staf dan karyawan Balai Penelitian dan Observasi Laut yang telah mendukung pelaksanaan kegiatan penelitian sejak 2011 hingga saat ini. DAFTAR PUSTAKA Aldrian, E., Gates, L.D. and Widodo, F.H. (2003). Variability of Indonesian Rainfall and the Influence of ENSO and Resolution in ECHAM4 Simulations and in the Reanalyses. MPI Report 346, 30pp. Brown, M. (1998). Ocean Data View 4.0. Oceanography Vol. 11 No. 2, 19-21 Dickson A.G., Sabine C.L. and Christian J.R. (2007). Guide to Best Practices for Ocean CO 2 Measurements. PICES Special Publication 3, 191pp. Doney, S.C. (2006). The Danger of Ocean Acidification. Scientific American, 59-65. Gattuso, J.-P. and Lavigne, H. (2009). Perturbation Experiments to Investigate the Impact of Ocean Acidification: Approaches and Software Tools. Biogeosciences Discuss, 6, 4413–4439, 2009 Copernicus Publications on behalf of the European Geosciences Union Goyet C., Healy, R., and Ryan, J. (2000). Global Distribution of Total Inorganic Carbon and Total Alkalinity Below The Deepest Winter Mixed Layer Depths. Environmental Sciences Division Publication No. 4995. Kleypas, J.A., Feely, R.A., Fabry, V.J., Langdon, C., Sabine, C.L., and Robbins, L.L. (2006). Impacts of Ocean Acidification on Coral Reefs and Other Marine Calcifiers: A Guide for Future Research. report of a workshop held 18–20 April 2005, St. Petersburg, FL, sponsored by NSF, NOAA, and the U.S. Geological Survey, 88 pp. Marion, G.M., Millero, F.J., Camões, M.F., Spitzer, P., Feistel, R., Chen, C.-T.A. (2011). pH of Seawater. Mar. Chem., doi:10.1016/j.marchem.2011.04.002. Mukhtasor. (2007). Pencemaran Pesisir dan Laut. PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 19 hal. Orr, J.C., Fabry, V.J., Aumont, O., Bopp, L., Doney, S.C., Feely, R.A., Gnanadesikan, A., Gruber, N., Ishida, A., Joos, F., Key, R.M., Lindsay, K., Maier-Reimer, E., Matear, R., Monfray, P., Mouchet, A., Najjar, R.G., Plattner, G., Rodgers, K.B., Sabine, C.L., Sarmiento, J.L., Schlitzer, R., Slater, R.D., Totterdell, I.J., Weirig, M., Yamanaka, Y., 36
Yool, A. (2005). Anthropogenic Ocean Acidification over Twenty-first Century and its Impact on Calcifying Organisms. Nature, 437, 681-686. Sabine, C.L., Feely, R.A., Gruber, N., Key, R.M., Lee, K., Bullister, J.L., Wanninkhof, R., Wong, C.S., Wallace, D.W.R., Tilbrook, B., Millero, F.J., Peng, T., Koyzr, A., Ono, T., and Rios, A.F. (2004). The Oceanic Sink for Anthropogenic CO2. Science Vol 305, 367-371. Setiawan, A., Putri, M.R., Suciaty, F. (2010). Calculation of CO2 Flux in the Indonesia Waters Based on Remote Sensing Data and Empirical Approach. 7 th Annual Scientific Meeting of Indonesian Oceanologists Association (ISOI), 6-7 October 2010, Bangka Belitung. Siahaya, D. dan Putri, M.R., (2009). Nutrient and pH Condition of Ambon Bay in 2009. Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia VI (PITISOI), Bogor. Suciaty, F.. (2011). Studi Siklus Karbon di Permukaan Laut Perairan Indonesia, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung. Suciaty, F. dan Putri, M.R., (2011). Monthly Variation of CO2 in the CTI (Coral Triangle Initiative) Region. International Seminar on Marine BROK-DKP, Denpasar, June 10th, 2011. Tans, P. (2009). Changes in Atmospheric Carbondioxide - Mauna Loa, Earth System Research Laboratory, NOAA. www.esrl.noaa.gov/gmd/ccgg/trends/ diakses 30 Juli 2011. Wyrtki, K.A. (1961). Naga report. Volume 2: Physical Oceanography of the Southeast Asean Waters. The University of California, California. 195 p.
37