Simposium Nasional Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan Kawasan Timur Indonesia 2010
FAKTOR PENDORONG IUU FISHING DI PERAIRAN TIMUR INDONESIA Armen Zulham dan Budi Wardono Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Jl. K.S. Tubun, Petamburan VI-Jakarta 10260
ABSTRAK Illegal Unreported and Unregulated (IUU) fishing merupakan perilaku ekonomi pada perikanan akses terbuka dan common property. Perilaku ini sebenarnya dapat dijelaskan melalui teori keuntungan dan backward binding supply curve. Perilaku produsen (armada penangkap ikan) tersebut dilatarbelakangi keinginan memonopoli / mengendalikan penguasaan sumberdaya perikanan dari common property menjadi private property. Perilaku ini didorong oleh kelemahan aturan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Kajian tentang IUU fishing ini berdasarkan informasi yang dikumpulkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Tual, karena Tual pernah dikenal sebagai pusat pendaratan ikan penting di Maluku. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2010 dengan melakukan survey terhadap 33 responden nelayan yang dilengkapi dengan informasi tambahan dari berbagai key persons yang terdapat di Tual. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan statistik sederhana. Tulisan ini hanya membahas praktek illegal fishing yang dilakukan oleh pengusaha perikanan Indonesia yang bermitra dengan pengusaha asing, sedangkan illegal fishing yang dilakukan oleh armada kapal perikanan asing tidak menjadi bagian dari tulisan ini. Faktor pendorong armada perikanan Indonesia melakukan kegiatan illegal fishing antara lain ditentukan oleh faktor ekonomi, lemahnya penegakan hukum serta kecilnya denda yang dikenakan, serta faktor kebijakan. Kata kunci: perikanan, illegal, unregulated, unreported, tual ABSTRACT IUU fishing was formed as the economic behavior in the open access fisheries and common property. This behavior can be explained by profit theory and backward binding supply curve. It is back grounded by the behavior of producers (fishing vessels) in order to monopolize/to control the fisheries resources from common property to private property. This behavior is encouraged by the weakness of fisheries utilization regulation. Information about the analysis of IUU fishing is based on the survey in Tual Fisheries Fishing Port, because Tual is well-known as the fish landing center in Maluku. The research took time in June 2010 by surveying 33 fishermen and key persons in Tual. The data analysis is conducted descriptively by simple statistics. This paper only explains the praxis of illegal fishing by Indonesian and foreign fishing companies that have partnership in exploit fish in Indonesia water, while the illegal fishing by foreign fishing vessels in Indonesia water is not elaborated in this paper. The stimulus factor for Indonesian fishing vessels to conduct illegal fishing i.e. the weakness of fishing exploitation regulation, economic factor, the weakness of law enforcement and low fine of penalty for the offended fishing vessels. Keywords: fisheries, illegal, unregulated, unreported, tual
PENDAHULUAN Berdasarkan kondisi biofisik perairan Laut Banda dan Laut Arafura merupakan wilayah perikanan penting di KTI. Daerah ini terkenal dengan potensi udang, ikan pelagis kecil dan ikan pelagis besar. Sebagai informasi, potensi ikan pelagis besar di Laut Banda tercatat sekitar 83.300 ton per tahun, di Laut Seram sampai Teluk Tomini sebesar 83.300 ton per tahun, di Laut Arafuru 40.700 ton per tahun, Izin penangkapan ikan pada perairan Indonesia baru mendapat perhatian yang memadai setelah dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan. Sebelum periode tersebut masalah izin penangkapan ikan pada perairan Indonesia belum mendapat perhatian penting. Ini menunjukkan sebelum dibentukknya Departemen Kelautan dan Perikanan, pada perairan Indonesia menjadi tempat kegiatan penangkapan ikan illegal. Dinamika penangkapan ikan berbagai perairan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kebijakan izin penangkapan ikan termasuk izin kapal ikan asing yang beroperasi pada perairan Indonesia. Kontroversi izin kapal ikan asing yang beroperasi diperairan Indonesia terjadi saat terbitnya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 60/Sept/ 2001 tentang izin penangkapan ikan. Kepmen tersebut membagi tiga skema izin kapal ikan asing, yaitu: usaha patungan, sewa beli dan lisensi.
365
Akselerasi Pembangunan Kawasan Timur Indonesia Melalui Integrasi Riset Kelautan dan Perikanan
Selama periode berlakunya izin kapal asing tersebut banyak terjadi pelangggaran, sehingga mendorong dilakukan registrasi ulang izin kapal panangkap ikan pada tahun 2001 – 2003. Menurut Satria (2006), hasil evaluasi terhadap izin kapal ikan berdasarkan data DKP (2003) tercatat dari 7.369 izin kapal sebelum dilakukan registrasi ulang, ternyata hanya 4.128 kapal ikan yang melakukan registrasi, sisanya tidak melakukan registrasi ulang, hal ini berarti terdapat 3.241 izin kapal ikan yang disalahgunakan atau ditransfer ke pihak asing. Pada akhir 2005 kapal ikan asing tidak boleh lagi beroperasi pada perairan Indonesia, kecuali jika perusahaan kapal ikan asing tersebut mau bekerja sama mengembangkan industri pengolahan ikan di dalam negeri serta merekrut awak kapalnya dari warga negara Indonesia. Sementara itu izin kapal ikan asing dalam bentuk usaha patungan akan berakhir pada akhir tahun 2007. Ini berarti kapal ikan asing tersebut tidak diizinkan lagi beroperasi pada perairan Indonesia atau kapal ikan asing yang beroperasi pada perairan Indonesia harus mengikuti peraturan yang berlaku di Indonesia dan berbendera Indonesia. Pada tanggal 31 Januari 2008 pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.05/Men/2008 tentang usaha perikanan tangkap. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut juga mengatur usaha perikanan tangkap terpadu yang mewajibkan usaha penangkapan ikan tersebut harus melakukan investasi usaha pengolahan dengan pola usaha perikanan tangkap terpadu. Pada Permen tersebut unit pengolah ikan merupakan satu kesatuan dari usaha perikanan tangkap terpadu. Disamping itu usaha perikanan tangkap terpadu yang dimaksudkan itu dilaksanakan dengan sistim klaster perikanan. Searah dengan perubahan kebijakan tentang izin penangkapan ikan tersebut maka kualitas dan kuantitas kegiatan illegal fishing pada perairan Indonesia tersebut ikut berubah, menyesuaikan peraturan yang berlaku. Makalah ini berguna untuk melakukan identifikasi dan mempelajari faktor pendorong dari kegiatan IUU fishing yang terjadi pada perairan KTI. Hal ini menarik, karena berbagai aturan untuk mengendalikan IUU fishing telah dilakukan, tetapi praktek penangkapan ikan illegal kerap terjadi. Tulisan ini memanfaatkan data hasil survei pada perikanan tangkap di perairan timur Indonesia terutama kegiatan penangkapan ikan oleh kapal-kapal di Tual yang dilakukan pada bulan Juni 2010. Tulisan ini juga, memanfaatkan hasil dari studi pustaka tentang kegiatan IUU fishing pada nelayan tradisional di KTI. Data hasil survey dilakukan terhadap 33 nelayan yang terdapat di Tual (terutama PPN Tual), serta hasil wawancara dengan tokoh masyarakat dan informan kunci pada perikanan di Tual. SEKILAS IUU FISHING PADA PERAIRAN TIMUR INDONESIA Pengertian umum dari IUU fishing dapat ringkas sebagai berikut: a.
Illegal fishing adalah: pelanggaran hukum atau aturan yang dilakukan oleh kapal penangkap ikan. Pelanggaran itu meliputi: penangkapan ikan tanpa izin, penggunaan alat tangkap yang dilarang, menangkap jenis ikan yang dilarang, menangkap ikan melebihi kuota, menangkap ikan diluar waktu yang ditetapkan.
b. Unreported fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang tidak melaporkan atau keliru melaporkan jumlah hasil tangkapannya kepada otoritas perikanan yang berwenang. c.
Unregulated fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal ikan tanpa kebangsaan / registrasi, atau menangkap ikan pada kawasan stok ikan yang belum dikonservasi dan belum disusun aturan pengelolaannya.
Berdasarkan batasan yang disebutkan diatas, maka upaya pencegahan kegiatan IUU fishing di Indonesia telah lama dilakukan (Hutagalung, 2007; Isfandi, 2007; Hutahuruk, 2007) baik terhadap nelayan tradisional maupun pada kapal-kapal penangkap ikan skala komersial. Rencana aksi mengatasi masalah IUU fishing terhadap nelayan tradisional di Indonesia Timur dilakukan melalui joint campaign Indonesia – Australia pada berbagai lokasi seperti di Kupang dan Kabupaten Rote Ndao, Maurauke, Bone – Sulsel dan Wakatobi – Sultra, Probolinggo – Jawa Timur. Aksi ini sasarannya adalah nelayan tradisional Indonesia yang sering menangkap ikan pada perairan Australia. Program aksi lain untuk mengatasi masalah IUU fishing adalah melalui kerjasama internasional untuk melakukan verifikasi kepemilikan kapal asing yang ada di perairan Indonesia dengan pemerintah China, Philipina dan Thailand, serta kerja sama pengawasan dengan Australia, Philipina dan Thailand, melakukan koordinasi pengawasan di laut dengan Australia. Dengan demikian terdapat dua sasaran untuk mengendalikan IUU fishing di Indonesia yaitu kepada kelompok nelayan lokal yang kerap menangkap ikan di luar wilayah Indonesia dan kapal ikan berbendera Indonesia atau kapal ikan asing yang menangkap ikan pada perairan Indonesia. Bukti-bukti adanya kegiatan penangkapan ikan illegal pada perairan Indonesia dapat ditelusuri sejak pelaksanaan registrasi ulang perusahaan perikanan dan kapal penangkap ikan yang selesai dilakukan pada tahun 2003. Hasil registrasi tersebut menunjukkan banyak kapal ikan dan perusahaan perikanan yang tidak melakukan daftar ulang seperti yang ditunjukkan pada Tabel 91.
366
Simposium Nasional Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan Kawasan Timur Indonesia 2010
Tabel 91.
Hasil Registrasi Ulang Izin Kapal Ikan di Indonesia Tahun 2003 Jumlah
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Uraian Total Perusahaan Perikanan Total Kapal Penangkap Ikan Jumlah kapal ikan Indonesia Jumlah kapal pengangkut Indonesia Jumlah kapal pengangkut dan kolektor Indonesia Jumlah Kapal Pengangkut Asing
Sebelum Registrasi 1.800 19.000 6.925 251
Registrasi 1.161 7.378 3.767 215
Tidak melakukan Registrasi 639 (35,5%) 11.622 (61,2%) 3.158 (45,6%) 36 (14,3%)
70 127
62 80
8 (11,4%) 47 (37%) Sumber: P2SDKP (2007).
Berdasarkan Tabel 91, jumlah usaha perikanan, jumlah kapal ikan yang tidak melakukan registrasi ulang mencapai sekitar 35 % dan 61 % dari jumlah usaha dan kapal yang ada, sedangkan jumlah kapal perikanan Indonesia yang tidak melakukan registrasi ulang sekitar 45 %. Kondisi tersebut membuktikan pada periode tersebut terdapat banyak perusahaan perikanan yang fiktif dan izin penangkapan ikan yang disalahgunakan atau dijual ke pihak asing. Selain itu menurut data stasiun pengawas SDKP Tual, pada tahun 2009 di wilayah hukum Tual terdapat 18 Kapal penangkap ikan yang melakukan pelanggaran dan sebagian telah diputuskan oleh pengadilan. Sebagian besar kapal tersebut adalah kapal ikan asing berbendera Indonesia. Sebelumnya dari tahun 2007 sampai 2009 di wilayah hukum Tual tercatat sekitar 28 unit kapal yang melakukan kegiatan illegal fishing yaitu: 22 kapal berbendera Indonesia dan enam kapal berbendera asing. Kapal ikan asing tersebut umumnya melakukan kegiatan penangkapan ikan tanpa dokumen SIPI, SIB dan melakukan transhipment. Sedangkan kapal ikan berbendera Indonesia umumnya melanggar ketentuan penggunanan alat tangkap dan ukuran jaring penangkap ikan yang tidak sesuai dengan yang ditetapkan dalam dokumen. Hasil kajian terhadap putusan pelanggaran tersebut untuk kapal ikan asing umumnya bebas dan sebagian besar asetnya dikembalikan pada pemiliknya. Sedangkan untuk kapal berbendera Indonesia sebagian besar didenda berkisar antara Rp 100 juta sampai Rp. 175 juta. Pada sisi lain nelayan tradisional dari Indonesia banyak yang mencari ikan secara illegal ke perairan lain atau dalam perairan Indonesia sendiri. Penangkapan ikan di luar perairan Indonesia dilakukan tanpa dilengkapi dokumen perjalanan dan izin. Penangkapan ikan ke perairan Australia dilakukan untuk mencari hasil perikanan tertentu seperti lola, teripang, ikan hiu. Jumlah nelayan pelintas batas ini menurut Hutahuruk (2007) terus menurun. Nelayan tradisional pelintas batas yang dideportasi melalui Kupang – NTT umumnya berasal dari berbagai daerah seperti: Jawa Timur (Probolinggo), Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua Barat. Jumlah nelayan tersebut pada tahun 2004 sebanyak 204 orang, tahun 2005 sebanyak 1.012 orang dan tahun 2006 sekitar 696 orang. Data yang disampaikan oleh Fox (2010) menunjukkan jumlah perahu dari pulau Rote yang datang ke Australia pada tahun 2007, 2008 dan 2009 masing – masing sekitar 83 perahu, 88 perahu, dan 74 perahu. Jumlah tersebut diharapkan terus menurun seiring dengan efektifnya kampanye IUU fishing kerjasama Indonesia – Australia. FAKTOR PENDORONG IUU FISHING Faktor pendorong kegiatan IUU fishing pada perairan Indonesia sekurang-kurangnya dapat dikelompokkan dalam tiga faktor, yaitu: faktor ekonomi, faktor hukum, dan faktor kebijakan industri pengolahan hasil perikanan di dalam negeri. a. Faktor ekonomi Model profit (p) perusahaan penangkapan ikan yang banyak dirujuk adalah model yang dikembangkan oleh Arnarson (2003)
Dimana p.Y (e,x) merupakan penerimaan dari usaha penangkapan ikan, C(e) adalah biaya yang dikeluarkkan untuk menangkap ikan. Sedangkan bagian ketiga dari fungsi profit diatas 𝜎Y(e,x) merupakan bagian terpenting dari faktor ekonomi tersebut, karena menggambarkan opportunity cost bagi perusahaan penangkap ikan jika mengeksploitasi ikan pada perairan sesuai dengan yang diinginkannya. Dengan demikian, 𝜎 merupakan biaya 367
Akselerasi Pembangunan Kawasan Timur Indonesia Melalui Integrasi Riset Kelautan dan Perikanan
per unit eksploitasi. Pada perairan yang pengawasannya sangat kurang maka 𝜎 cenderung mendekati nol, namun pada perairan yang pengawasan yang ketat maka 𝜎 merupakan harga bayangan dari stok ikan yang harus dikeluarkan oleh perusahaan penangkapan ikan.
Jika diasumsikan opportunity cost tersebut sebagai denda yang dikenakan kepada kapal penangkapan ikan yang melakukan pelanggaran. Besar denda yang ditetapkan oleh pengadilan (di Tual berkisar antara Rp. 100 juta – Rp. 180 juta) per kapal untuk kapal-kapal bertonase > 100 GT. Dengan besaran opportunity cost yang demikian bagi kapal dengan tonase besar, maka pelanggaran dalam penangkapan ikan cenderung akan terjadi. Dorongan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan secara illegal tersebut akan terus terjadi, karena satu perusahaan perikanan mengelola lebih dari lima kapal ikan, sehingga jika satu kapal ikan yang dikelolanya tertangkap karena melakukan pelanggaran, denda yang harus dibayar oleh pengelola kapal tersebut akan disubsitusi oleh empat kapal perikanan perikanan lainnya. Pada armada perikanan tradisional opportunity cost seperti yang dimaksudkan diatas ditanggung oleh seorang pemodal, ini dapat dipelajari dari armada perikanan yang berasal dari Sulawesi Tenggara dan NTT. Jika kapal nelayan tradisional tersebut berhasil mendapat komoditas yang diinginkan, maka pemodal memperoleh keuntungan yang sangat besar, karena hasil perikanan yang dicari adalah lola, hiu, teripang dan beberapa biota laut lainnya. Namun, jika gagal (karena tertangkap) paling tidak nelayan yang dibiayai oleh pemodal tersebut dapat kembali ke kampung halaman dengan selamat dan bahkan diberi bekal uang (Fox, 2010). b. Faktor hukum Penegakan hukum merupakan bagian yang sangat menentukan keberhasilan pengendalian IUU fishing di Perairan KTI. Jika digunakan data putusan pengadilan negeri Tual tahun 2007 – 2008 tentang tindak pidana perikanan maka terlihat bahwa dari 28 kasus penangkapan ikan illegal, enam kasus dilakukan oleh kapal ikan asing (1 kapal ikan Hong Kong, 1 kapal ikan China, dan 4 kapal ikan Thailand) dan 22 kasus dilakukan oleh kapal ikan berbendera Indonesia. Putusan pengadilan Tual menetapkan kapal ikan Thailand tersebut bebas, sedangkan kapal ikan Hongkong di denda Rp 140 juta dan kapal ikan China didenda Rp. 100 Juta serta kapal dan alat tangkapnya dirampas untuk negara. Sedangkan kapal kapal penangkap ikan berbendera Indonesia hanya enam kapal yang bebas selain itu semuanya di denda antara Rp. 100 juta – Rp. 150 juta. Pada tahun 2009 terdapat 18 kasus penangkapan ikan illegal yang terdapat di Pengadilan Negeri Tual. Sebagian kapal tersebut adalah kapal asing yang berbendera Indonesia. Sepuluh kasus telah ada ketetapan hukumnya, dari jumlah tersebut tujuh kapal yang diduga melakukan penangkapan ikan illegal diputuskan bebas, sedangkan sisanya dikenakan denda sebesar Rp. 150 juta atau kurungan 6 bulan penjara dan kapal serta alat tangkapnya dirampas untuk negara. Sementara itu kegiatan penangkapan ikan ilegal yang dilakukan oleh nelayan tradisional di Tual yang jumlahnya dari tahun 2007 – 2008 sekitar 20 kasus, kasus tersebut terkait dengan berbagai jenis pelanggaran seperti menangkap ikan dengan cara yang tidak dibenarkan, dari jumlah kasus tersebut putusan yang ditetapkan adalah nelayan harus dilakukan pembinaan. Untuk meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan penangkapan ikan illegal maka dibentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas). Di Maluku Tenggara saat ini terdapat 15 kelompok Pokmaswas. Gambaran diatas menunjukkan keputusan penegakan hukum tersebut tidak sebanding dengan upaya pengendalian IUU fishing yang sedang dilakukan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan. c. Faktor Kebijakan Faktor kebijakan yang mendorong kegiatan illegal fishing ini terjadi adalah karena kebijakan pengembangan industri perikanan di Indonesia sangat kompromistis dan banyak mempertimbangkan kepentingan pedagang/ eksportir ikan. Hal ini terkait dengan jenis – jenis ikan laut yang menurut sifatnya tidak memerlukan pengolahan. Dengan demikian sebagaian besar ikan hasil tangkapan kapal perikanan tersebut tidak perlu diolah. Kebijakan pengolahan ikan tersebut sangat longgar dan terkesan kurang searah dengan Permen Kelautan dan Perikanan No. PER.05/MEN/2008. Dengan demikian pada pelabuhan tertentu (seperti di Tual dan Ambon) atau pada lokasi lain akan cenderung terjadi transhipment ikan untuk dikirim ke pasar ekspor. Di Tual ini terjadi karena berbagai kendala yang terkait dengan operasi unit pengolah ikan (seperti, kendala listrik). Sementara di Ambon, untuk menghindari proses transhipment di tengah laut, maka transhipment dilakukan di pelabuhan perikanan tujuannya adalah untuk menghidupkan aktivitas di pelabuhan perikanan. Kegiatan transhipment hasil perikana ini terutama dilakukan oleh kapal-kapal ikan Thailand, karena industri perikanan di negara tersebut sangat memerlukan bahan baku ikan segar.
368
Simposium Nasional Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan Kawasan Timur Indonesia 2010
Pada sisi lain hasil tangkapan dari nelayan tradisional umumnya dijual pada pasar lokal, karena tidak sesuai dengan standar kualitas dan ukuran yang disyaratkan oleh industri pengolahan. PENUTUP Kegiatan IUU fishing di Indonesia dan di perairan Indonesia Timur telah berlangsung lama, dinamikanya tergantung dari kebijakan yang terkait dengan izin penangkapan ikan. Pelanggaran penangkapan ikan pada berbagai perairan di Indonesia terdeteksi dengan baik setelah dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan. Sejalan dengan itu maka pengendalian IUU fishing semakin gencar dilakukan. Pengendalian IUU fishing di KTI sasarannya adalah nelayan tradisional dan kapal-kapal ikan skala komersial. Nelayan tradisional dicegah agar tidak mencari hasil perikanan di luar batas perairan yang ditetapkan. Sementara kapal komersial dimaksudkan untuk menangkap ikan dan menggunakan alat tangkap sesuai dengan ketentuan serta tidak melakukan transhipment ditengah laut. Faktor pendorong dari IUU fishing pada perairan KTI antara lain: faktor ekonomi, faktor ini ditentukan oleh oportuniti cost yang mau dibayar oleh kapal penangkap ikan dalam mengeksploitasi potensi ikan. Faktor hukum, faktor ini sangat ditentukan oleh keampuhan eksekusi keputusan pengadilan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kapal ikan atau oleh nelayan tradisional. Faktor kebijakan, kebijakan yang diperlukan adalah kebijakan yang mendorong tumbuhnya unit pengolah ikan, bukan kebijakan yang berkompromi dengan kepentingan eksportir ikan segar. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. Permen Kelautan dan Perikanan No. Per.05/MEN/2008. ----------. 2008. Keputusan Dirjen P2HP No. KEP. 033/DJ-P2HP/2008. ----------. 2009. Laporan Tahunan 2009 Stasiun Pengawas SDKP Tual. ----------. 2007. Review Pelaksanaan Kampanye Pencegahan IUU Fishing di Prov. Nusa Tenggara Timur Khususnya di Kabupaten Rote Ndao. Dinas KP NTT. Arnarson, R. 2003. Fisheries Subsidies, overcapitalization and economic losses. Univ. Of Iceland. Reykjavick. Fox, J. J. 2010. Indonesia Fishermen at Scott Reef. Research School of Pasific and Asian Studies. ANU – Canberra. Hutagalung, S. P. 2007. Kampanye Informasi Penanggulangan Illegal Fishing. Workshop kerja sama Indonesia – Australia. Hutahuruk, H. 2007. Review Pelaksanaan Kampanye Pencegahan IUU Fishing di Prov. Sulawesi Tenggara. Isfadi, D. 2007. Review Pelaksanaan Kampanye IUU-Fishing di Kabupaten Probolinggo. Satria, A. 2006. Kebijakan Kapal Asing: Kado Penutup Akhir Tahun 2005. IPB Press.
369