118
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV HFI Jateng & DIY
Variasi Lokal Dalam Visibilitas Hilaal: Observasi Hilaal di Indonesia Pada 2007–2009 Muh. Ma’rufin Sudibyo Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF–RHI) Jl. Gejayan Soropadan CC XII/04 Depok Sleman Yogyakarta 55283 Telp. /Fax: (0274) 552630
[email protected]
Abstrak – Telah dilaksanakan observasi hilaal selama Januari 2007–Desember 2009 guna memperbaiki “kriteria” MABIMS (Imkan Rukyat) sekaligus menguji kriteria LAPAN. Selain menjadi basis kalender Hijriyyah nasional, “kriteria” MABIMS pun merupakan alat uji validitas laporan–laporan visibilitas hilaal terutama kala Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun validitas “kriteria” MABIMS sendiri dipertanyakan mengingat homogenitasnya, pun kriteria LAPAN akibat keterbatasan datanya. Observasi dilakukan dengan bantuan alat optik (binokuler dan teleskop) maupun tidak dan telah menghasilkan 168 data visibilitas. Analisis variabel selisih terbenamnya Bulan dengan terbenamnya Matahari (Lag) dengan variabel waktu saat hilaal pertama terlihat (Best Time) menghasilkan definisi kuantitatif hilaal sebagai fungsi sederhana dari Lag. Hubungan Best Time dengan Lag memiliki bentuk sangat berbeda dibanding persamaan Yallop, namun pada Lag < 40 menit relatif mirip. Sementara analisis variabel selisih tinggi Bulan dan Matahari (aD) terhadap variabel selisih azimuthnya (DAz) dengan metode least–square menghasilkan persamaan visibilitas dua–orde: aD ≥ 0,099DAz2–1,490DAz + 10,382 yang kami usulkan dinamakan kriteria RHI. Bentuk kriteria RHI hampir sama dengan kriteria LAPAN meski lebih optimistik, namun berbeda bila dibandingkan dengan kriteria yang sejenis seperti dari Scoch, Maunder dan Fotheringham. Tetapi terhadap “kriteria” MABIMS sangat berbeda karena tinggi Bulan mar’i minimum tidak homogen melainkan bervariasi antara 9,38°– 3,77° sesuai nilai selisih azimuth Bulan–Matahari (0° – 7,5°) . Analisis komparatif dengan data visibilitas global menunjukkan konsistensi kriteria RHI khususnya bagi daerah tropis. Sehingga perbedaan bentuk kriteria RHI dibandingkan kriteria global dua–orde sejenis merupakan variasi lokal visibilitas hilaal, yang hanya berlaku bagi daerah tropis. Kata kunci : Hilaal, ”kriteria” MABIMS, kriteria LAPAN, kriteria RHI
I. PENDAHULUAN Bulan sabit termuda (hilaal) merupakan fenomena fisis ekstraterestrial dan atmosferik yang menjadi penentu sistem kalender Hijriyyah yang digunakan Umat Islam [2,4,7]. Pergantian antar bulan (lunasi) Hijriyyah yang diwujudkan dalam bentuk penentuan tanggal 1 tiap lunasi bergantung pada eksistensi hilaal. Namun berbeda dengan definisi kualitatifnya yang telah disepakati bersama, yakni sebagai Bulan dalam fase sabit yang paling tipis menyerupai sehelai benang melengkung, secara kuantitatif belum ada definisi hilaal yang bisa diterima seluruh komponen Umat Islam. Implikasinya memunculkan problem klasik: perbedaan dalam awal bulan suci Ramadhan atau dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) di seluruh dunia. Pun demikian di Indonesia. Salah satu sumber perbedaan adalah terjadinya ”pemisahan” antara hisab (pemodelan matematis gerak Bulan) dan rukyat (observasi Bulan dengan metode tepercaya) sehingga keduanya seolah saling berseberangan dan berhadapan. Akibatnya eksistensi kriteria visibilitas hilaal, yakni hisab tentang batas minimum prediktif nan valid dan reliabel dalam kondisi ideal untuk terlihatnya hilaal yang disusun berdasarkan hasil–hasil rukyat, terabaikan. Hal ini menyebabkan pergeseran paradigma dalam mendefinisikan hilaal, dari semula berparadigma empirik menjadi asumtif [9]. Dalam praktiknya paradigma hilaal asumtif kemudian terbagi dalam kubu wujudul hilaal (yang mendefinisikan hilaal sebagai Bulan pasca konjungsi yang terbenam lebih lambat dari Matahari) dan kubu imkan rukyat (mendefinisikan hilaal mirip dengan wujudul hilaal namun menambahkan ketentuan sudah menampakkan bentuk sabit tertipis yang bisa dilihat mata dalam kondisi ideal).
Di Indonesia secara garis besar perbedaan itu mengkristal dalam dua kutub: kutub hisab haqiqi wujudul hilaal (yang dipelopori Muhammadiyah) dan kutub rukyatul hilaal (yang dipelopori Nahdlatul ’Ulama). Secara kuantitatif kedua ormas tersebut memiliki massa terbesar sehingga perbedaan antar keduanya membawa implikasi pada perbedaan signifikan dalam tubuh Umat Islam Indonesia. Kementerian Agama RI mencoba menjembataninya dengan menggagas ”kriteria” visibilitas tiga–orde sebagai merupakan derivasi ”kriteria” MABIMS yang merupakan kesepakatan menteri– menteri agama dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Indonesia, sehingga dikenal pula sebagai ”kriteria” MABIMS (Imkan Rukyat). ”Kriteria” ini memiliki ketentuan: a) umur Bulan ≥ 8 jam pasca konjungsi, b) tinggi Bulan mar’i (toposentrik) ≥ 2° dari horizon (aD ≥ 3°), dan c) jarak Bulan–Matahari (elongasi) ≥ 3°[1,9]. ”Kriteria” ini menjadi dasar penyusunan kalender Hijriyyah nasional dan taqwim standar Kementerian Agama RI sekaligus alat evaluasi untuk laporan–laporan rukyatul hilaal khususnya dalam forum sidang itsbat penentuan 1 Ramadhan, 1 Syawwal maupun 1 Zulhijjah. ”Kriteria” ini dibangun berdasarkan laporan rukyatul hilaal 29 Juni 1984 (penentuan 1 Syawwal 1404 H) dimana hilaal dilaporkan teramati dari Jakarta, Pelabuhan Ratu dan Pare–Pare. Belakangan ”kriteria” ini didukung pula oleh laporan rukyatul hilaal 16 September 1974 (penentuan 1 Ramadhan 1394 H) dimana hilaal dilaporkan terlihat dari dua lokasi di Jakarta dan satu lokasi di Yogyakarta [1]. Namun demikian validitas ”kriteria” ini sendiri banyak dipertanyakan karena bentuknya sangat berbeda dibandingkan kriteria visibilitas lainnya. Dalam perkembangannya aplikasi ”kriteria” MABIMS (Imkan Rukyat) pun cenderung inkonsisten, sehingga dari tiga
ISSN 0853-0823
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV HFI Jateng & DIY
119
ketentuannya hanya dua yang sering diterapkan (yakni umur Bulan dan tinggi Bulan mar’i). Begitupun bila hanya ada satu dari dua ketentuan yang memenuhi syarat maka ”kriteria” dianggap telah terpenuhi [9]. Akibatnya ”kriteria” ini sulit untuk membedakan apakah hilaal yang dilaporkan pengamat merupakan hilaal yang sebenarnya ataukah obyek terang di langit latar belakang maupun latar depan yang bentuknya menyerupai hilaal. Bangun dasar sebuah kriteria visibilitas senantiasa mengikutsertakan parameter iluminansi Bulan (jumlah cahaya yang jatuh di sebuah permukaan per unit area dari sebuah sumber cahaya) dan parameter kegelapan langit (meredupnya cahaya senja di langit latar belakang sebagai akibat kian turunnya Matahari di bawah horizon pasca terbenam). Rasio antara iluminansi Bulan dengan kegelapan langit dinamakan kontras hilaal [4]. Kriteria visibilitas empiris seperti kriteria Maunder–Fotheringham, Schoch dan Bruin mengandung parameter kegelapan langit berupa selisih tinggi Bulan–Matahari (aD) dan parameter iluminansi Bulan berupa selisih azimuth Bulan–Matahari (DAz) [10]. Tinggi Bulan mar’i, meski adalah derivasi dari aD dalam bentuk ≈ aD–1, tidak pernah dikategorikan baik sebagai parameter kegelapan langit maupun iluminansi Bulan, mengingat acuan pengukuran tinggi Bulan mar’i adalah horizon sehingga berpotensi bias. Observasi hilaal 6 Desember 2010 oleh tim pengamat USM di Teluk Kemang (Malaysia) misalnya, baru berhasil mengidentifikasi hilaal ketika tinggi Bulan mar’i 1,67° (atau di bawah angka 2° versi ”kriteria” Imkan Rukyat) namun sejatinya pada saat itu Bulan memiliki aD=8,14°. Bilamana tinggi Bulan mar’i hendak dijadikan parameter visibilitas hilaal, maka harus ditekankan tinggi Bulan mar’i tersebut diukur tepat pada saat Matahari terbenam. Dan merujuk pada kriteria visibilitas empiris di atas, tinggi Bulan mar’i saat visibilitas hilaal sangat dipengaruhi oleh nilai DAz. Dalam kriteria Maunder–Fotheringham misalnya, tinggi Bulan mar’i bervariasi antara 8,5° (DAz=10°) hingga 10° (DAz=0°). Hal senada juga nampak dalam kriteria Scoch dimana tinggi Bulan mar’i bervariasi antara 8,3° (DAz=10°) hingga 9,4° (DAz=0°). Pendekatan fisis F. Bruin yang kemudian menjadi dasar bagi kriteria–kiteria visibilitas fisis modern (seperti kriteria Schaefer, Yallop dan Odeh) pun menyajikan hasil yang mirip dimana tinggi Bulan mar’i bervariasi antara 7,5° (DAz=10°) hingga 9,1° (DAz=0°) [10]. M. Ilyas memperlihatkan nilai aD minimal 4° namun hanya terjadi bila DAz besar [1,6]. Nampak bahwa kriteria – kriteria itu menyaratkan perlunya DAz dipertimbangkan, bukannya dianggap homogen dan diabaikan seperti dalam ”kriteria” MABIMS. Guna memperbaikinya Djamaluddin telah mengusulkan adanya kriteria LAPAN sebagai kriteria empiris hasil analisis data laporan rukyatul hilaal Kementerian Agama RI periode 1962–1997 tanpa membedakan apakah visibilitas berdasarkan alat bantu optik (teleskop atau binokuler) maupun tidak. Hasilnya, tinggi Bulan mar’i bervariasi antara 2,1° (DAz=6,5°) hingga 8,1° (DAz=0°) saat visibilitas hilaal. Seperti halnya MABIMS (Imkan Rukyat), kriteria LAPAN pun terdiri dari 3 ketentuan: a). umur Bulan ≥ 8 jam pasca konjungsi, b). elongasi Bulan–Matahari ≥ 5,6° dan c). Tinggi Bulan–Matahari mengikuti selisih azimuthnya (DAz),
di mana untuk DAz ≥ 6°maka aD > 3° dan untuk DAz < 6°maka aD ≥ 0,14DAz2–1,83DAz + 9,11. [1] Kriteria ini didasarkan pada data yang terbatas (11 data, sebagai hasil reduksi dari 38 data) namun 3 data diantaranya diragukan karena memiliki nilai elongasi Bulan–Matahari (aL) kurang dari batas Danjon. Djamaluddin berpendapat batas Danjon disebabkan sensitivitas mata manusia sehingga visibilitas hilaal pada saat aL < 7° (yakni nilai batas yang diusulkan Danjon) adalah memungkinkan, apaLagi McNally telah menyarankan nilai batas Danjon seyogyanya lebih rendah yakni 5°, sehingga ketiga data itu masih memenuhi syarat [3,5,8]. Dalam kondisi tersebut hilaal dianggap bisa terlihat sebagai titik cahaya mirip bintang (bukan lengkungan cahaya) sehingga mata manusia yang paling sensitif berkemungkinan melihatnya. Argumen ini dipatahkan oleh observasi Jim Stamm (13 Oktober 2004), yang hanya bisa mengidentifikasi hilaal (pada aL=6,4°) yang sangat tipis dengan teleskop pada lokasi dengan elevasi cukup tinggi (+2.210 m dpl), sementara observasi serupa dengan mata telanjang dan binokuler gagal mengidentifikasinya. Dengan demikian batas Danjon termutakhir saat ini tidak lebih kecil dari 6,4°[8]. Observasi Stamm sekaligus menunjukkan adanya kebutuhan alat bantu optik (teleskop) dan lokasi berelevasi tinggi, hal mendasar yang tidak dijumpai dalam rukyatul hilaal yang menghasilkan ketiga data meragukan tersebut. Sebagai upaya memperbaiki ”kriteria” MABIMS (Imkan Rukyat) dan sekaligus menguji kembali validitas kriteria LAPAN maka diselenggarakanlah kampanye observasi hilaal dengan tujuan: 1. Merekapitulasi data observasi hilaal di Indonesia sehingga terbentuk basis data lokal termutakhir. 2. Menyusun kriteria baru yang bertujuan memperbaiki ”kriteria” MABIMS (Imkan Rukyat) maupun LAPAN. 3. Merumuskan definisi hilaal, khususnya untuk Indonesia. 4. Menguji variasi lokal terhadap visibilitas hilaal global. II. DATA Kampanye observasi dilaksanakan pada periode Zulhijjah 1427–Zulhijjah 1430 H (Januari 2007–Desember 2009) tiap menjelang lunasi Hijriyyah oleh relawan di jejaring titik observasi LP2IF–RHI yang secara geografis merentang dari garis lintang 5° LU (Lhokseumawe, NAD) hingga 32° LS (Perth, Australia) dengan titik observasi terbarat di garis bujur 97° BT (Lhokseumawe, NAD) dan titik tertimur di garis bujur 112,5° BT (Gresik, Jawa Timur). Target observasi berupa hilaal (Bulan sabit termuda dan tertipis yang hanya terlihat pasca terbenamnya Matahari) dan hilaal tua (Bulan sabit tertua dan tertipis yang hanya terlihat menjelang terbitnya Matahari). Observasi dilakukan dengan menggunakan alat bantu optik (binokuler dan teleskop) maupun tidak. Data primer berupa koordinat lokasi, elevasi, kapan Matahari teramati terbenam dan hilaal mulai terlihat (untuk hilaal) serta kapan hilaal tua terakhir kali terlihat dan Matahari terbit (untuk hilaal). Sementara data sekunder adalah kondisi kualitatif langit di atas horizon, orientasi serta citra (foto) hilaal dan hilaal tua. Reduksi data dilaksanakan dengan mempertimbangkan data sekunder. Data primer yang telah tereduksi lantas dibagi ke dalam kelompok data positif (hilaal/hilaal tua
ISSN 0853-0823
120
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV HFI Jateng & DIY
teramati) dan data negatif (hilaal/hilaal tua tidak teramati). Keduanya lalu diolah dengan menggunakan software Moon Calculator v6.0 secara toposentrik, airless dan terbit/terbenamnya Matahari secara geometrik. Keluaran data berupa aD, DAz, aL dan Lag (interval waktu terbenamnya Matahari dan Bulan). Untuk data positif, perhitungan dilaksanakan saat Best Time (waktu saat hilaal dilaporkan pertama kali terlihat atau hilaal tua dilaporkan terakhir kali terlihat) sementara data negatif dihitung saat Matahari terbit/terbenam. Selama kampanye observasi berhasil terkumpul 174 data visibilitas yang membentuk basis data RHI, terdiri dari 107 data positif dan 67 data negatif. Data kemudian dianalisis menggunakan spreadsheet MS Excell. Sebagai pembanding digunakan data visibilitas dari basis data Yallop dan ICOP yang dibatasi hanya untuk lokasi di daerah tropis (antara garis lintang 23,5° LU hingga 23,5° LS). Data Yallop berjumlah 28 data (9,5 % dari basis data) yang terdiri dari 21 data positif dan 7 data negatf. Sedangkan data ICOP berjumlah 54 data (7,3 % dari basis data) yang terdiri dari 23 data positif dan 31 data negatif. Yallop mendefinisikan variabel Best Time (Tb) sebagai waktu saat hilaal mulai terlihat pasca Matahari terbenam sebagai fungsi dari variabel Lag. Baik Best Time maupun Lag diukur secara relatif sejak waktu terbenamnya Matahari. Plot data Best Time dan Lag disajikan dalam Gambar.1. sementara nilai minimum Best Time dan Lag dinyatakan dalam tabel (1). TABEL 1. BEST TIME DAN LAG. Best Time (menit) Lag (menit)
5 24
7 26
–7 56
–12 72
–15 80
–29 105
Analisis linear menghasilkan persamaan (1):
Tb = −0,420 Lag + 16,941 + Tsunset
(1)
Mengikuti langkah al–Biruni yang kemudian diikuti Fotheringham, Maunder dan Schoch di kemudian hari, kriteria visibilitas disusun dengan berdasarkan variabel aD (parameter kegelapan langit latar belakang) dan DAz (parameter iluminansi Bulan) [5]. Plot data aD dan DAz disajikan dalam Gambar.2. sementara nilai minimum aD dan DAz dinyatakan dalam tabel (2).
TABEL 2. aD DAN Daz. 0 10,38
DAz (°) aD (°)
1 9,00
2 7,80
3 6,80
4 6,01
5 5,41
Analisis polinomial menghasilkan persamaan a D ≥ 0,099 DAz 2 − 1,490 DAz + 10,382 .
(2)
Berdasarkan persamaan (2) maka tinggi Bulan mar’i pada saat Matahari terbenam yang memenuhi kriteria RHI bervariasi dari yang terkecil 3,77° (terjadi pada DAz=7,5°) hingga yang terbesar 9,38° (terjadi pada DAz=0°). III. PEMBAHASAN A. Definisi Hilaal Pada persamaan (1) untuk Tb=0 diperoleh Lag=40 menit, sehingga Bulan dengan Lag > 40 menit telah memperlihatkan bentuk sabitnya bahkan sebelum Matahari terbenam. Secara filosofis hilaal hanya akan terlihat setelah terbenamnya Matahari sehingga Lag=40 menit menjadi batas atas bagi hilaal. Sementara untuk Tb=Lag diperoleh Lag=12 menit maka Bulan dengan Lag < 12 menit takkan memperlihatkan bentuk sabitnya meskipun ditunggu sampai tiba waktunya Bulan terbenam. Namun data memperlihatkan nilai Lag minimum yang lebih besar, yakni 24 menit sehingga inilah batas bawah bagi hilaal. Lag ini tidak berbeda jauh bila dibandingkan dengan Lag minimum dalam basis data ICOP yakni 21 menit [8]. Menggunakan hubungan aD = aScosϕ dengan ϕ=lintang pengamatan (yang mendekati nol bagi wilayah tropis sehingga cosϕ ≈1) dan aS ≈ ¼ Lag maka pada persamaan (2) untuk DAz=0 diperoleh Lag ≈ 41 menit yang tidak berbeda jauh dengan 40 menit, sedangkan pada aD terkecil (terjadi pada DAz=7,5° dan berkorelasi dengan aD=4,78°) didapat Lag ≈ 19 menit. Dari data diketahui bahwa aD terkecil=5,8° yang menghasilkan Lag ≈ 23 menit yang tidak berbeda jauh dengan 24 menit. Dengan demikian hilaal secara kuantitatif dapat didefinisikan sebagai Bulan pasca konjungsi yang memiliki Lag ≥ 24 menit dan Lag ≤ 40 menit. Bulan dengan Lag < 24 menit diusulkan untuk diistilahkan sendiri sebagai Bulan gelap (dark moon), untuk membedakannya dengan hilaal [9].
22 50
20
45
18
Selisih altitude (derajat)
40
Best time (menit)
35 30 25 20 15 10 5 0 -5
16 14 12 10 8 6 4
-10
2
y = -0.4205x + 16.941
-15
0
-20 20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
0
95 100 105
2
4
6
8
10
12
14
16
Selisih azimuth (derajat)
Lag (menit)
Gambar 2. aD dan DAz hilaal serta kriteria RHI.
Gambar 1. Best Time hilaal sebagai fungsi dari Lag.
ISSN 0853-0823
18
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV HFI Jateng & DIY
121
Persamaan (1) sekilas relatif berbeda bila dibandingkan dengan persamaan Best Time Yallop yang berbentuk Tb = 4 /9Lag + Tsunset. Namun khusus pada Lag ≤ 40 menit terdapat kesesuaian antara persamaan Yallop dengan data, yang diperlihatkan oleh deviasi standar residual sebesar + 4 menit. Sehingga estimasi Best Time pada hilaal bisa berdasarkan pada persamaan (1) maupun persamaan Yallop. B. Kriteria RHI dan Variasi Lokal Persamaan (2) merupakan kriteria visibilitas hilaal yang diusulkan diberi nama kriteria RHI. Bentuk kriteria ini relatif sama dengan kriteria LAPAN yakni sebagai kurva terbuka ke atas, meskipun pada DAz < 11° kriteria LAPAN lebih pesimistik dibanding kriteria RHI. Namun apabila pada basis data kriteria LAPAN dilakukan eliminasi terhadap 3 data meragukan, maka yang tersisa akan bersesuaian dengan kriteria RHI. Sehingga bisa disimpulkan bila proses reduksi data dipertajam, maka kriteria LAPAN pada hakikatnya adalah kriteria RHI. Bentuk kriteria RHI berbeda dibanding kriteria visibilitas dua–orde sejenis seperti kriteria Maunder–Fotheringham, Schoch dan Bruin, seperti dalam tabel (3), terlihat perbedaan sangat mendasar dimana ketiga kriteria terakhir berbentuk kurva terbuka ke bawah sehingga tidak memiliki titik balik nyata. Mengingat basis data untuk kriteria RHI maupun LAPAN terbatas hanya dari Indonesia, perbedaan bentuk ini kemungkinan mengindikasikan adanya variasi lokal dalam visibilitas hilaal. TABEL 3. PERBANDINGAN KRITERIA RHI DENGAN MAUNDER–FOTHERINGHAM, SCHOCH DAN BRUIN. DAz (°)
RHI
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
10,38 9,00 7,80 6,80 6,01 5,41 5,01 4,80 4,80 5,00 5,38
aD (°) Maunder– Fotheringham 11,00 10,94 10,86 10,76 10,64 10,50 10,34 10,16 9,96 9,74 9,50
Scoch
Bruin
10,37 10,35 10,31 10,25 10,16 10,06 9,94 9,80 9,64 9,47 9,27
10,14 10,25 10,30 10,29 10,22 10,09 8,94 8,80 8,64 8,47 8,27
26
IV. KESIMPULAN Telah tersusun basis data RHI tentang visibilitas hilaal Indonesia yang terdiri dari 174 data dengan 107 data positif dan 67 data negatif sebagai hasil observasi hilaal secara tak teputus dalam periode Zulhijjah 1427–Zulhijjah 1430 H (Januari 2007–Desember 2009). Dari basis data ini tersusun definisi baru hilaal, yakni sebagai Bulan pasca konjungsi yang memiliki Lag ≥ 24 menit dan Lag ≤ 40 menit. Telah tersusun pula kriteria visibilitas baru yang diusulkan sebagai kriteria RHI, dalam bentuk: aD ≥ 0,099 DAz2–1,490 DAz + 10,382, sehingga tinggi Bulan mar’i pada saat Matahari terbenam kala visibilitas hilaal bervariasi dari yang terkecil 3,77° (DAz=7,5°) hingga yang terbesar 9,38° (DAz=0°). Perbedaan bentuk kriteria RHI dengan kriteria visibilitas sejenis seperti kriteria Maunder–Fotheringham, Schoch dan Bruin memperlihatkan kiteria RHI merupakan variasi lokal dalam visibilitas hilaal yang hanya berlaku di daerah tropis, seperti diperlihatkan oleh basis data Yallop dan ICOP. Dengan kata lain, kriteria RHI hanya bisa digunakan di daerah tropis. PUSTAKA
24 22
Selisih altitude (derajat)
Bukti adanya variasi lokal dalam visibilitas hilaal nampak ketika kriteria RHI dibandingkan dengan data visibilitas hilaal global seperti dari basis data Yallop dan ICOP yang telah dibatasi hanya yang berasal dari daerah tropis. Keduanya ternyata bersesuaian dengan kriteria RHI seperti diperlihatkan Gambar.3. Sehingga sifat visibilitas hilaal seperti dinyatakan kriteria RHI adalah karakteristik daerah tropis, tidak hanya terbatas di Indonesia. Data visibilitas hilaal termutakhir seperti dihimpun tim pengamat USM dengan teleskop dari lokasi di Teluk Kemang, Negeri Sembilan (Malaysia) pun memperkuatnya. Besarnya selisih nilai aD dalam kriteria RHI dengan nilai aD dalam kriteria Maunder–Fotheringham, Schoch dan Bruin khususnya pada DAz > 2° akibat tidak dibedakannya visibilitas hilaal dengan ataupun tanpa alat bantu optik dalam kriteria RHI. Sementara pada tiga kriteria lainnya, data visibilitas hanya didasarkan pada mata tanpa alat bantu optik. Data visibilitas hilaal dari Teluk Kemang (observasi 12 Juli 2010 dan 6 Desember 2010) serta Semarang (observasi 19 September 2009) yang diambil dengan teleskop dan dilengkapi citra fotografis membuktikan nilai aD yang lebih kecil seperti termaktub dalam kriteria RHI adalah mungkin.
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Selisih azimuth (derajat) Yallop
ICOP
Gambar 3. Perbandingan kriteria RHI dengan data Yallop dan ICOP yang telah direduksi untuk daerah tropis.
[1] T. Djamaluddin. Visibilitas Hilal di Indonesia, Warta LAPAN, vol. 2 no. 4, pp. 137–138, Oktober 2000. [2] L.E. Dogget and B. E. Schaefer, Lunar Crescent Visibility, Icarus, vol. 107, pp. 388–403, 1994. [3] L.J. Fatoohi, F.R. Stephenson and S.S. Dargazelli, The Danjon Limit of First Visibility of The Lunar Crescent, The Observatory, vol. 118, pp.65–72, April 1998. [4] R.E. Hoffman, Rational Design of Lunar Visibility Criteria, The Observatory, vol. 125, pp. 156–168, 2005. [5] M. Ilyas, Lunar Crescent Visibility Criterion and Islamic Calendar, Q.J.R. astr. Soc, vol. 35, pp. 425–461, 1994. [6] M. Ilyas. Limiting Altitude Separation in The New Moon’s Visibility Criterion, Astron. & Astophys, vol. 206, pp. 133, 1988. [7] J.S. Mikhail, A.S. Asaad, S. Nawar and N.Y. Hassanin. Visibility of The New Moon at Two Sites: I. Maryland Situated at Northern geographical Latitude. II. Sacramento Peak Situated at High Altitude Above Sea Level. Earth, Moon & Planets, vol.70, pp. 93–108, 1995. [8] M.S. Odeh, New Criterion for Lunar Crescent Visibility. Exp. astr, vol. 18, pp. 39–64, 2004.
ISSN 0853-0823
122
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV HFI Jateng & DIY
[9] M.M. Sudibyo, M. Arkanuddin and A.R.S. Riyadi, Observasi Hilaal 1427–1430 H (2007–2009 M) dan Implikasinya untuk Kriteria Visibilitas di Indonesia. Proceed. Sem.Nas Obs. Bosscha, 2009. [10] B.D. Yallop. A Method for Predicting the First Sighting of The New Crescent Moon. NAO Technical Note, no.69, 1997.
TANYA JAWAB Sismanto (UGM) ? Apakah hasil perhitungan atau teori sudah dikonfirmasi dengan ciri-ciri dari syariat? ? Seberapa beda tipis bulan sabit bisa dilihat sebagai tanda masuk bulan baru? M. Sudibyo @ Data diambil dari visibilitas hilal yang berdasarkan ciri-ciri syariat. Para pemantau telah mencocokkannya dengan ciri-ciri syariat sebelum dilaporkan ke pusat data, sehingga hasil perhitungan sebagai analisis terhadap data sudah memenuhi ciriciri syariat.
@ Bangun dasar kriteria visibilitas mensyaratkan adanya parameter kecerahan langit (peredaman sinar matahari) dan kecerlangan bulan sebagai ukuran ketipisan Bulan. Persamaan ini sudah memenuhi 2 syarat tersebut. Seberapa tipis bulan sabit bisa dilihat? Bergantung kepada azimuthnya. Misalnya pada suatu senja diperoleh Daz = 0°, maka bulan tertipis yang dapat dilihat harus memenuhi aD = 10.23°. Anonim ? Alasan pengambilan persamaan kuadrat? ? Apakah dicoba untuk persamaan lain? M. Sudibyo @ Persamaan yangdisusun hanyalah persamaan batas dan itupun belum diperhitungkan lebar ketidakpastiannya. Satu-satunya persamaan yang cocok hanyalah persamaan kuadrat. @ Sudah. Persamaan linear tidak match, karena terlalu lebar dibanding data; persamaan polinomial sudah, hasilnya chaotic; sedang persamaan kutub tidak biasa digunakan dalam astronomi.
ISSN 0853-0823