VARIASI KOMPOSISI CASTING DALAM METODE INVERSI FASE PROSES MEMBRAN SELULOSA TRIASETAT
Oleh KHAIRIL ANWAR F34101075
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
VARIASI KOMPOSISI CASTING DALAM METODE INVERSI FASE PROSES MEMBRAN SELULOSA TRIASETAT
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh KHAIRIL ANWAR F34101075
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Khairil Anwar. F 34101075. Variasi Komposisi Casting Fase Inversi Terhadap Kinerja Membran Selulosa Triasetat. Di bawah bimbingan Abdul Aziz Darwis dan Prayoga Suryadarma.2005.
RINGKASAN Beberapa tahun terakhir, penggunaan membran mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama dalam industri kimia, bioteknologi, dan industri pengolahan air bersih. Membran dapat dibuat dari berbagai jenis bahan baku. Bahan baku organik merupakan salah satu bahan yang memiliki kelebihan dalam proses pembuatan membran. Salah satu contoh bahan membran yang bersifat organik adalah selulosa triasetat mikrobial. Selulosa triasetat mikrobial merupakan produk yang diperoleh melalui proses asetilasi selulosa mikrobial dengan kadar asetil lebih besar dari 42,3 persen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi komposisi casting terhadap kinerja membran selulosa triasetat. Tahapan penelitian ini terdiri atas karakterisasi selulosa triasetat, pembuatan membran selulosa triasetat dan karakterisasi membran selulosa triasetat terhadap fluks dan rejeksi larutan albumin. Karakterisasi selulosa triasetat diperoleh 2 jenis selulosa asetat (A dan B) yang mengalami proses hidrolisis yang berbeda. Selulosa asetat A mengalami hidolisis 3 jam, sedangkan selulosa B mengalami proses hidrolisis selama 1 jam. Hasil karakterisasi selulosa A adalah kadar air (5,25 %), kadar asetil (43,05 %), dan kadar abu (0,36), sedangkan selulosa B adalah kadar air (5,90), kadar asetil (43,84 %),dan kadar abu (0,34). Faktor dalam proses pembuatan membran adalah komposisi casting yang terdiri atas kadar asetil selulosa asetat, jenis pelarut dan konsentrasi polimer. Kadar asetil selulosa triasetat terdiri dari 2 level yaitu 43.05 % (-OCOCH3) dan 43.85 % (-OCOCH3), konsentrasi polimer terdiri dari 3 level (8 % (b/b), 10 % (b/b), dan 12 % (b/b)), dan jenis pelarut mempunyai 2 level yaitu diklorometana (DCM) dan dimetilsulfoksida (DMSO). Membran selulosa triasetat hasil proses inversi fase akan akan diuji fluks dan rejeksinya terhadap larutan albumin 500 ppm. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan tersarang faktorial. Hasil analisa keragaman pada taraf signifikansi α = 0.05 dan α = 0.01 menunjukkan bahwa konsentrasi polimer dan jenis pelarut berpengaruh sangat nyata terhadap fluks dan rejeksi albumin. Hasil pengujian menunjukkan bahwa DMSO mempunyai nilai fluks yang lebih tinggi dibandingkan DCM. Namun, kombinasi kadar asetil dan pelarut memberikan pengaruh yang berbeda. Membran selulosa asetat berkadar asetil 43,84 % (-OCOCH3) dalam pelarut DCM dapat menghasilkan membran dengan rejeksi albumin tinggi. Sebaliknya, apabila selulosa asetat berkadar asetil 43,84 % dilarutkan dalam DMSO menghasilkan membran yang rapuh (brittle). Peningkatan konsentrasi selulosa asetat dapat meningkatkan nilai rejeksi membran. Hasil uji Newman-Keuls α = 0.05 dan α = 0.01 menunjukkan bahwa konsentrasi polimer dan interaksi konsentrasi polimer dan pelarut sangat berbeda nyata. Nilai fluks albumin rata-rata yaitu 104,32 L/jam.m2 untuk kombinasi selulosa berkadar asetil 43.05 (%-OCOCH3), DMSO, 8 (% b/b) konsentrasi
selulosa asetat, sedangkan nilai fluks terendah adalah 40,16 L/jam.m2 yang diperoleh dari membran berkadar asetil 43.84 (%-OCOCH3), pelarut DCM dan 12 (% b/b) konsentrasi polimer. Nilai rejeksi albumin tertinggi adalah 78,56 %. Nilai ini diperoleh dari membran dengan komposisi selulosa asetat 12 %, kadar asetil 43.84 % dan pelarut DCM, sedangkan nilai rejeksi terendah diperoleh dari membran berpelarut DMSO dan kadar asetil 43.84 (%-OCOCH3) yaitu 13,43 %.
Khairil Anwar. F34101075. The variation of casting composition in phase inversion method of triacetate cellulose membranes. Supervised by Abdul Aziz Darwis and Prayoga Suryadarma. 2005.
SUMMARY Several years ago, the membranes development and application are increasing very fast especially in chemical industry, biotechnology and water recovery. Membrane can be made from many resources for example the microbial acetate cellulose. Acetate cellulose is a cellulose acetylating process, which is contains of 42, 3 percent acetyl content. The objective of researches is to know the influences of casting composition in phase inversion method of making triacetate cellulose membranes. The researches consist of making and characterizing of acetate cellulose, and also producing and characterizing cellulose acetate membranes. The membranes production was using a phase inversion method that converted the liquid phase polymer into solid phase. Casting solution was cast on the plate and it’s dried on 30 second of 0-1oC conditional temperature. Then, the casting was immersed in coagulation tank that was filled of non-solvent. In the coagulation tank, there was coagulating of casting solution. Design of experiment was using nested factorial method. The experiment factors were consisted of three variable, they were acetyl content (2 level), polymer concentration (3 level) and solvent (2 level). A respons variable were albumin flux and rejection. The cellulose acetate characterization gave a result that cellulose (a) had 43,05 % acetyl content, 5,25 % water content, and 0,36 % an-organic content. In contrary, cellulose (b) had 43,84 % acetyl content, 5,90 % water content, and 0,34 % an-organic content. It also gave a polymer concentration that was used to making a membrane. The polymer concentration in phase inversion method was determined by the solvating of acetate cellulose. They were 8 percent, 10 percent, and 12 percent acetate cellulose (w/w). The result of main researches gave a characterization of cellulose acetate membranes. The Characterization of membranes was determined by flux and selectivity of albumin. The highest and the lowest result of albumin flux were obtained from a different casting composition. The highest flux was 104, 32 L/Hour.m2 which was made from cellulose (a), 8 percent and DMSO and the lowest flux was 40,16 L/Hour.m2 which was contained cellulose (b), 12 percent of polymer concentration and dimethylsulfoxide. In contrary, the highest result of selectivity was obtained from a membrane, which was made of cellulose (b), 12 percent of polymer concentration and dichloromethane. While, the lowest result of selectivity was obtained from cellulose (a), 8 percent of polymer concentration and dimethylsulfoxide. The highest result was 78,56 percent 0f albumin and the lowest albumin selectivity was 13,43 percent.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Variasi Komposisi Casting Dalam Metode Inversi Fase Proses Membran Selulosa Triasetat”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Membran merupakan barier bersifat permeable atau semi permeable yang terdapat antara feed dan permeate untuk menahan pergerakan bahan-bahan tertentu. Teknologi filtrasi membran merupakan proses penting dalam separasi dan purifikasi produk akhir. Keberhasilan filtrasi membran dipengaruhi oleh bahan baku dan proses pembuatan membran. Selulosa asetat merupakan polimer yang bersifat hidrofilik, mudah dibuat, relatif murah dan mempunyai sifat merejeksi garam dan fluks yang tinggi, sedangkan proses pembuatan membran menggunakan metode inversi fase yang mengubah fase cair menjadi padat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi casting dalam metode inversi fase terhadap kinerja membran selulosa triasetat. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Keluargaku tercinta Ayah (Hasan Basri Nasution), Ibu (Barsama), dan adikku (Khairun Azhar) atas segala do’a, dorongan semangat dan kasih sayangnya. 2. Prof.Dr.Ir.H.Abdul Aziz Darwis, MSc dan Prayoga Suryadarma, STP, MT selaku dosen pembimbing atas bantuan, saran, bimbingan dan arahan penelitian dan penulisan skripsi ini. 3. Dr.Ir.Dwi Setyaningsih, Msi. selaku penguji yang telah memberikan saran dan arahannya dalam penulisan skripsi ini. 4. Kelompok membran selulosa asetat; Ibu Desi Yarni, Ferry Irawan, Ria Sartika dan Winanda Prayoga, terima kasih atas kerjasamanya.
5. Ardiyanto Mey Lesmana, Muhammad Yusuf, Wawan Marwan setiawan, Agus Nurul Iman, Anas Bunyamin dan rekan-rekan peneliti lainnya yang melakukan penelitian bersamaan dengan penulis atas bantuan dan diskusinya. 6. Laboran di setiap lab.departemen Teknologi Industri Pertanian atas bimbingan dan bantuannya selama di laboratorium. 7. Slamet Purwanto, Azmidi Nazarudin, Moch.Furqon, dan Pak Ridwansyah yang selalu mengingatkan semua kewajiban yang harus dilaksanakan penulis. 8. Serta seluruh pihak yang turut serta membantu suksesnya penelitian ini. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik selama pelaksanaan penelitian maupun penyusunan skripsi. Namun, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Februari 2006
Penulis
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul Variasi Komposisi Casting dalam Metode Inversi Fase Proses Membran Selulosa Asetat merupakan karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas rujukannya.
Bogor, Februari 2006 Yang Membuat Pernyataan
KHAIRIL ANWAR F34101075
BIODATA PENULIS
Khairil Anwar dilahirkan pada 17 Oktober 1982 di Jakarta sebagai anak pertama dari 2 bersaudara pasangan bapak Hasan Basri Nasution dan Ibu Barsama. Penulis menempuh pendidikan di TK Sawita, Sarik, Pasaman Sumatra Barat (1987-1988), SD Inpres Sawita Mess Ophir Pasaman Sumatra Barat. (1989-1990), SD N Pondok Pucung, Bekasi Barat (1990-1995), SLTP Budi Mulia Utama Jakarta (19951997), SLTP N 172 Jakarta (1997-1998) dan SMU N 89 Jakarta (1998-2001). Pada tahun 2001, penulis melanjutkan studi sebagai mahasiswa S1 Institut Pertanian Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian, Departemen Teknologi Industri Pertanian melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor). Pada tahun 2004, penulis melakukan praktek lapang di PT Lembang Kencana yang menghasilkan laporan praktek lapang yang berjudul “Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Produk Olahan Susu di PT Lembang Kencana, Bandung”. Untuk menyelesaikan pendidikan S1, penulis melakukan penelitian di Lab.Teknologi Kimia, TIN, IPB yang menghasilkan skripsi berjudul “Variasi Komposisi Casting Dalam Metode Inversi Fase Proses Membran Selulosa Triasetat”. Ditahun 2006, penulis menyelesaikan pendidikan S1 dengan gelar Sarjana Teknologi Pertanian.
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................iii DAFTAR ISI ......................................................................................v DAFTAR TABEL ..............................................................................vii DAFTAR GAMBAR ..........................................................................viii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................ix
I. PENDAHULUAN .........................................................................1 A. LATAR BELAKANG ..............................................................1 B. TUJUAN PENELITIAN ..........................................................2 C. RUANG LINGKUP .................................................................3 II. TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................4 A. SELULOSA ASETAT .............................................................4 B. MEMBRAN ............................................................................8 C. KLASIFIKASI MEMBRAN ...................................................9 D. PEMBUATAN MEMBRAN ..................................................13 E. PEMBENTUKAN MACROVOID ...........................................17 F. PARAMETER KINERJA MEMBRAN....................................19
III. METODOLOGI PENELITIAN..................................................21 A. BAHAN DAN ALAT ............................................................21 B. TAHAPAN PENELITIAN .......................................................23 1. Karakterisasi selulosa asetat................................................23 2. Karakterisasi membran selulosa asetat ................................23 C. RANCANGAN PERCOBAAN ...............................................24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.....................................................26 A. KARAKTERISTIK SELULOSA ASETAT MIKROBIAL .....26
B. PENGARUH JENIS PELARUT DAN KONSENTRASI POLIMER PADA KADAR ASETIL 43,05 % (-OCOCH3) DAN 43,84 % (-OCOCH3) TERHADAP KINERJA MEMBRAN ............................................................28 1. Fluks...................................................................................28 2. Rejeksi................................................................................34
V. PENUTUP.....................................................................................40 A. KESIMPULAN .......................................................................40 B. SARAN ...................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................42 LAMPIRAN .......................................................................................44
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Komposisi membran selulosa asetat........................................25 Tabel 2. Karakterisasi selulosa asetat....................................................27
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Struktur selulosa asetat....................................................... 4 Gambar 2. Reaksi pada proses Asetilasi .............................................. 6 Gambar 3. Reaksi hidrolisis selulosa asetat.......................................... 7 Gambar 4. Membran an-organik.......................................................... 9 Gambar 5. Membran simetrik dan asimetrik ........................................ 9 Gambar 6. Membran berdasarkan fungsi, ukuran partikel dan proses filtrasi ......................................................................12 Gambar 7. Diagram fase ternary system ..............................................15 Gambar 8. Instaneous demixing dan delayed demixing ........................16 Gambar 9. larutan casting....................................................................21 Gambar 10. Perlengkapan membran inversi fase ..................................22 Gambar 11. Perlengkapan crossflow filtration ......................................22 Gambar 12. Diagram alir tahapan penelitian.........................................23 Gambar 13. Selulosa triasetat ...............................................................26 Gambar 14. Pengaruh jenis pelarut dan konsentrasi terhadap fluks albumin pada selulosa asetat berkadar asetil 43,05 % (-OCOCH3)..................................................................29 Gambar 15. Pengaruh jenis pelarut dan konsentrasi terhadap fluks albumin pada selulosa asetat berkadar asetil 43,84 % (-OCOCH3)..................................................................30 Gambar 16. Pengaruh jenis pelarut dan konsentrasi terhadap rejeksi albumin pada selulosa asetat berkadar asetil 43,05 % (-OCOCH3) ..................................................................35 Gambar 17. Pengaruh jenis pelarut dan konsentrasi terhadap rejeksi albumin pada selulosa asetat berkadar asetil 43,84 % (-OCOCH3) ..................................................................36
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Prosedur analisa membran mikrofiltrasi..........................45 Lampiran 2. Rekapitulasi data selulosa asetat .....................................49 Lampiran 3. Data rekapitulasi fluks albumin ......................................50 Lampiran 4. Rekapitulasi data rejeksi albumin ...................................53 Lampiran 5. Analisa ragam karakteristik membran selulosa asetat......57 Lampiran 6. Hasil uji lanjut newman-keuls data hasil penelitian.........58 Lampiran 7. Kurva standar albumin....................................................62 Lampiran 8. Karakteristik pelarut .......................................................63 Lampiran 9. Diagram alir pemurnian selulosa asetat mikrobial...........65 Lampiran 10. Diagram alir pembuatan selulosa asetat .........................66 Lampiran 11. Diagram alir pembuatan membran selulosa asetat...........67
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Berbagai produk yang dihasilkan dalam industri pertanian memerlukan proses separasi dan purifikasi. Filtrasi membran merupakan salah satu cara yang efektif untuk menggantikan proses pemisahan produk konvensional seperti destilasi, adsorpsi, ekstraksi, sendimentasi dan sentrifugasi. Hal ini disebabkan oleh beberapa kelebihan proses filtrasi membran diantaranya konsumsi energi yang relatif kecil, biaya operasi relatif rendah, tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, proses dapat berlangsung secara kontinu dan tidak memerlukan instalasi yang besar. Pemilihan material membran merupakan hal yang penting dalam menentukan proses membran dan kualitas produk yang dihasilkan. Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan material membran adalah karakteristik polimer, pengaruh polimer terhadap produk dan bahan pembersih membran. Salah satu polimer yang dapat dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan membran adalah selulosa asetat. Selulosa asetat merupakan ester organik selulosa yang dapat digunakan dalam pembuatan membran. Hal ini didukung oleh beberapa kelebihan yang dimiliki selulosa asetat, diantaranya adalah harga yang relatif tidak mahal dan mudah dibuat, bersifat hidrofilik, dapat merejeksi garam yang tinggi serta sumberdaya yang dapat diperbaharui. Namun, secara teknis penggunaannya terbatas pada suhu rendah (maksimum 30oC), memiliki resistensi yang lemah terhadap klorin, sangat rentan terhadap mikroorganisme dan membutuhkan perhatian khusus terhadap lingkungan dan penyimpanan. Selulosa untuk pembuatan selulosa asetat dapat diperoleh dari kayu, kapas dan selulosa mikrobial. Penggunaan selulosa mikrobial sebagai alternatif sumber selulosa disebabkan oleh kemudahan proses produksi, ketersediaan bahan baku dan kandungan selulosa asetat yang bebas lignin. Proses pembuatan membran kebanyakan dibuat melalui proses inversi fase yang dikembangkan oleh Loeb & Soerijan. Penggunaan metode ini akan menghasilkan struktur morfologi membran yang rapat dan berpori
(Wenten,1999). Kesting (1985) telah melakukan penelitian selulosa asetat komersial dengan menggunakan metode inversi fase. Dalam penelitian itu diuji pengaruh faktor proses membran terhadap kinerja membran. Faktor proses membran diantaranya adalah rasio konsentrasi pelarut dan non-pelarut, penambahan pelarut dalam bak koagulasi, suhu bak koagulasi, dan lama penguapan pelarut dalam pembuatan membran selulosa asetat. Dalam metode inversi fase terdapat parameter yang mempengaruhi karakteristik dan struktur membran yaitu dalam proses membran dan komposisi casting. Parameter yang dikontrol dalam proses membran adalah suhu dan lama penguapan pelarut serta suhu dan bahan bak koagulasi, sedangkan parameter komposisi casting meliputi tipe polimer, konsentrasi polimer dan system pelarut (Kesting, 1985). Peningkatan kandungan asetil dalam selulosa asetat dapat menurunkan ukuran pori-pori membran dan permeabilitas air. Menurunnya permeabilitas air disebabkan oleh berkurangnya konsentrasi gugus hidroksil (-OH) yang bersifat hidrofilik Selain itu, peningkatan konsentrasi polimer juga dapat membentuk konsentrasi membran yang tinggi sehinga jumlah pori akan menurun dan fluks menjadi rendah. Faktor ketiga yang diperhitungkan dalam komposisi casting adalah pemilihan pelarut atau sistem pelarutan polimer. Kesting (1985) menyatakan bahwa pemilihan pelarut dapat mempengaruhi fluks membran (Wenten,1999; Mulder,1996; Kesting,1985).
B. TUJUAN 1. Menentukan pengaruh jenis pelarut dan konsentrasi selulosa asetat yang berbeda kadar asetil dalam komposisi casting membran selulosa asetat terhadap fluks larutan albumin. 2. Menentukan pengaruh jenis pelarut dan konsentrasi selulosa asetat yang berbeda kadar asetil dalam komposisi casting membran selulosa asetat terhadap rejeksi larutan albumin.
C. RUANG LINGKUP Ruang lingkup penelitian ini meliputi : 1. Karakterisasi selulosa asetat mikrobial dengan analisis kadar air, kadar asetil, dan kadar abu. 2. Pembuatan membran selulosa asetat dengan beberapa komposisi casting yaitu kadar asetil, konsentrasi polimer, dan jenis pelarut.
3. Karakterisasi membran untuk menentukan pengaruh komposisi casting dengan mengukur fluks dan rejeksi proses membran untuk air dan larutan albumin.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SELULOSA ASETAT Selulosa asetat merupakan asam sintetik ester dari selulosa yang berupa padatan tidak berbau, tidak berasa dan berwarna putih. Selulosa yang digunakan dalam pembuatan selulosa asetat memiliki kemurnian yang tinggi. Ulmann’s encyclopedia (1999) menyatakan bahwa pemurnian selulosa merupakan salah satu tahap penting dalam proses pembuatan selulosa asetat. Proses pemurnian selulosa berdasarkan atas
penelitian Sumise (1994)
mengenai produksi selulosa mikrobial untuk digunakan dalam pembuatan membran dan bahan pangan rendah kalori adalah selulosa yang dihasilkan diberi perlakuan dengan NaOH 1 % pada suhu kamar selama 24 jam dan dinetralkan dengan asam asetat 1 %. Produk selulosa harus dicuci dengan air dan dikeringkan. Selulosa termasuk polimer-polimer alam yang paling sederhana dalam artian bahwa polimer tersusun atas unit tunggal, D-glukosa, yang terikat melalui karbon 1 dan 4 oleh ikatan Beta (Stevens, 2001). Selulosa memiliki tiga gugus hidroksil per residu anhidroglukosa, sehingga dapat dilakukan reaksi-reaksi seperti esterifikasi, adisi dan lain-lain (Bydson, 1995). H
OH
OH
H
CH2OH
H
OH
OH
H
O O H
H
H O
H
H O
H
OH
OH
H
H
H
O H
O CH2OH
O CH2OH
Gambar 1. Struktur selulosa (Nevell,1985) Selulosa diesterifikasi menjadi selulosa triasetat (mengandung 44,8 %) yang memiliki rumus empirik C6H7O5(CH3CO)3. Sebagian besar selulosa asetat, kecuali fibrous triacetate, diproduksi dengan menggunakan metode solution process dan katalis yang sering digunakan adalah asam sulfat. Namun, para produsen selulosa asetat menggunakan proses yang berbeda,
variasi peralatan yang digunakan, perbandingan selulosa dan cairan, pelarut, suhu dan konsentrasi katalis yang digunakan. Bahkan, dalam industri yang sama mereka menggunakan berbagai modifikasi untuk mendapatkan selulosa asetat dengan berbagai karakteristik atau grade yang berbeda. Proses pembuatan selulosa asetat terdiri dari tiga tahap, yaitu asetilasi, hidrolisis, dan purifikasi. Proses asetilasi selulosa merupakan reaksi heterogen dan reaksi dikendalikan berdasarkan kecepatan difusi reagent ke dalam serat selulosa. Oleh karena itu, karakteristik/sifat kimia dan fisika selulosa sangat penting dalam proses asetilasi dan kualitas produk akhir (Bydson, 1995). Dalam menentukan selulosa yang digunakan untuk proses asetilasi terdapat 2 hal penting, yaitu kemampuan selulosa untuk menghasilkan asetilasi yang seragam dan kualitas produk yang dihasilkan (Stevens, 2001). Namun, kemampuan selulosa tidak dapat diperkirakan hanya dari komposisi kimia. Perlakuan awal yang menentukan sifat fisik dapat menjadi faktor yang terpenting. Pemilihan selulosa tergantung pada prosedur esterifikasi. Berikut adalah syarat minimum selulosa yang digunakan dalam proses asetilasi : a) Selulosa harus cukup mengembang (swollen) dalam perlakuan awal. Walaupun proses asetilasi tidak dapat dilakukan tanpa pengembangan yang cukup. Namun, ini tidak berarti bahwa selulosa yang sangat mengembang akan menghasilkan asetilasi yang baik. b) Dalam selulosa harus terdapat penetrasi katalis yang baik dan cukup, tetapi tidak berlebihan karena akan menyebabkan pemutusan rantai panjang selama perlakuan awal. c) Kecepatan asetilasi harus feasible dengan menghasilkan residu yang rendah sehinggga produk yang dihasilkan akan mudah disaring. Aktivasi sangat penting dilakukan sebelum proses asetilasi. Aktivasi terdiri atas 2 langkah yaitu swelling dan sorption. Kondisi asetilasi sempurna akan dihasilkan bila selulosa membengkak di dalam air dan disaring, selanjutnya air akan digantikan oleh asam asetat. Selulosa mengalami perlakuan dengan asam asetat yang mengandung katalis (asam sulfat). Tujuan utama dalam proses aktivasi adalah untuk
membengkakkan serat dan mengendalikan pemutusan rantai selulosa oleh katalis. Air merupakan swelling agent yang efektif karena kemampuannya untuk
memutuskan
ikatan
hidrogen
dalam
jaringan
rantai
intern,
meningkatkan luas permukan dan mempercepat difusi reagent kedalam molekul selulosa (Ullman’s encyclopedia, 1999). OSO2OH Rcell(OH)3 + H2SO4 + 3 (CH3CO)2O
Rcell
+ 4 CH3COOH (OCOCH3)2 O
H O CH2OH
OH
H
CH3
O
H
OH
O
H
CH3 C O
O H
O
OH
OH H
C
CH2OH H
CH3
H O
C O
(Selulosa)
(Asetat Anhidrida)
H2SO4
CH3COOH
O CH3 O CH3
O
C O
O
O
H CH3
C
O
H
O
H
CH3COOH
H
O
O O
O
H
CH3 C O
H
C
CH3 C O
O
H O CH3 C
H
O (Selulosa Triasetat)
(Asam Asetat)
Gambar 2. Reaksi pada proses asetilasi (Wadsworth dan Deponte, 1985). Proses asetilasi (Gambar 2) umumnya dilakukan setelah selulosa mengalami pembengkakan (perlakuan awal). Selanjutnya, ditambahkan katalis yang akan didistribusikan ke seluruh serat selulosa dan menurunkan derajat polimerisasi. Menurut Kirk dan Othmer (1993), proses asetilasi merupakan proses yang bersifat eksoterm. Oleh karena itu, proses pencampuran harus dilakukan dalam keadaan dingin sebelum ditambahkan asetat anhidrid. Selanjutnya, asetat anhidrid ditambahkan dalam campuran. Dalam proses ini tidak boleh terdapat air karena akan menyebabkan terjadinya reaksi antara air dengan anhidrid, pelepasan panas dan proses asetilasi tidak akan berlangsung. Setelah proses asetilasi dan sulfasi terjadi akan menghasilkan larutan jernih.
O CH3 O CH3
C
O
CH3
H
C O
H
O
O
H
O
C
O
H
CH3COOH
H
O
O
O
O
H
CH3 C
CH3 C O
O
H O
O
CH3 C
H
O (Asam Asetat)
(Selulosa Triasetat)
H2SO4
O OH
H2O
H
OH
H OH
H
H
O
CH3COOH
H
O
O
O
O
O
H
CH3 C O
CH3
CH3 C O
H
H O
C O
(Selulosa Di/Monoasetat)
(Asam Asetat)
Gambar 3. Reaksi hidrolisis selulosa asetat (Kuo et al., 1995) Proses hidrolisis akan menghilangkan asetat anhidrid yang tertinggal dan mempercepat proses desulfasi (Gambar 3). Untuk mencegah terjadinya presipitasi selulosa asetat, maka penambahan air dilakukan dalam bentuk larutan asam asetat. Proses hidrolisis akan menghilangkan beberapa gugus asetil. Menurut Bydson (1995), lamanya tahapan hidrolisis dapat mencapai beberapa hari apabila dilakukan dalam suhu kamar, namun dapat juga dilakukan dalam beberapa jam dengan suhu 40-80oC. Terjadinya peningkatan suhu akan meningkatkan kecepatan hidrolisis (Kirk et al., 1993). Apabila terdapat konsentrasi air yang tinggi, degradasi asetil akan berkurang. Konsentrasi air dalam proses hidrolisis akan mempengaruhi rasio antara gugus hidroksil primer dan sekunder dalam asetat. Terjadinya peningkatan kadar air dalam produk akan meningkatkan jumlah gugus hidroksil primer. Sebaliknya, peningkatan asam asetat akan menyebabkan terjadinya re-asetilasi pada gugus hidroksil yang reaktif dan menghasilkan produk dengan jumlah gugus hidroksil yang rendah.
Proses purifikasi merupakan proses yang sama pentingnya dengan penggunaan asam asetat sebagai medium katalis dalam proses asetilasi. Untuk menghilangkan asam asetat dan katalis yang terdapat dalam selulosa asetat maka dilakukan pencucian dengan air yang bebas ion dan garam terlarut Hal ini juga berguna untuk mendapatkan warna dan kebersihan produk yang baik (Kuo et al., 1995). Ketidakstabilan selulosa asetat disebabkan oleh asam sulfat yang terdapat dalam ester. Stabilitas termal dari ester bervariasi dengan konsentrasi sulfat. Namun, stabilizer yang digunakan tergantung pada kemampuan untuk menghilangkan kombinasi sulfat dalam ester, konversi sulfat menjadi garam atau efek keduanya. Penggunaan basa dalam media hidrolisis berguna untuk menetralisasi sulfat bebas dan terikat dalam ester (Kirk et al., 1993). Setelah selulosa asetat terbentuk maka kelarutannya mengalami perubahan tergantung kandungan kadar asetil atau derajat asetilasi. Menurut Kirk et al. (1993), selulosa asetat dengan kadar asetil 43,0-44,8 % dapat larut dalam diklorometana dan tidak larut dalam aseton. Kadar asetil 37,0-42,0 % larut dalam aseton dan tidak larut dalam diklorometana sedangkan kadar asetil 24,0-32,0 % larut dalam 2 metoksimetanol dan tidak larut dalam aseton. Kadar asetil 15,0-20,0 % larut dalam air dan tidak larut dalam 2 metoksimetanol dan kadar asetil kurang 13,0 % larut pada semua pelarut kecuali aseton, diklorometana, air, 2 metoksimetanol.
B. MEMBRAN Membran adalah selaput semi permeabel yang melewatkan spesies tertentu dan menahan spesi yang lain berdasarkan pada ukuran spesi yang akan dipisahkan. Spesies yang memiliki ukuran besar akan tertahan dan yang berukuran lebih kecil akan dilewatkan. Osada dan Nakagawa (1992) menyatakan bahwa membran adalah selaput semi permeabel yang berupa lapisan tipis, memisahkan dua fasa dengan cara menahan komponen tertentu dan melewatkan komponen yang lain.
C. KLASIFIKASI MEMBRAN Membran dapat diklasifikasikan atas beberapa hal antara lain berdasarkan bahan pembuatnya, ada atau tidak adanya pori, morfologi dan sifat geometris (Mallevialle et al., 1996). 1. Berdasarkan Material Asalnya. Berdasarkan material asalnya membran dapat dibedakan atas:
Gambar 4. Membran an-organik (www.purite.co.uk) a. Membran Biologi Membran biologi adalah membran yang terdapat di jaringan tubuh organisme, baik sel tumbuhan, hewan maupun manusia. b. Membran Sintetik Membran sintetik adalah membran yang dibuat secara sengaja sesuai dengan kebutuhan dan disesuaikan dengan sifat membran alami. Membran sintetik ini masih dibagi lagi menjadi membran organik yang materialnya adalah polimer dan membran anorganik yang terbuat dari bahan keramik, gelas, logam dan lain-lain. 2. Berdasarkan Morfologi. Membran berdasarkan morfologinya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
Gambar 5. Membran simetrik dan asimetrik (Strathmann et al., 1985 )
a. Membran Asimetrik. Membran asimetrik adalah membran yang mempunyai struktur pori yang tak seragam. Membran asimetrik dibagi atas dua macam yaitu membran inversi fasa dan membran komposit. Perbedaan utama kedua jenis membran ini adalah proses pembuatannya. Perbedaan yang lain adalah membran inversi fasa hanya terdiri dari satu jenis membran sedangkan membran komposit merupakan gabungan dua jenis membran dengan perbandingan tertentu. b. Membran Simetrik Membran simetrik mempunyai struktur pori yang seragam di setiap tempat dan pembuatannya melalui teknik inversi fasa. 3. Berdasarkan Fungsi Berdasarkan fungsinya membran dibagi atas: a. Membran Mikrofiltrasi Membran mikrofiltrasi berfungsi untuk menyaring makromolekul > 500 000 g/mol atau partikel dengan ukuran 0.1-10 µm. Tekanan yang digunakan 0.5-2 atm. b. Membran Ultrafiltrasi Membran ultrafiltrasi berfungsi untuk menyaring makromolekul > 5 000 g/mol atau partikel dengan ukuran 0.001-0.1 µm. Tekanan yang digunakan adalah 1-3 atm. c. Membran Osmosa Balik Membran osmosa balik berfungsi untuk menyaring garam-garam organik > 50 g/mol atau partikel dengan ukuran 0.0001-0.001 µm. Tekanan yang digunakan 8-120 atm. d. Membran Dialisa Membran dialisa berfungsi untuk memisahkan larutan koloid yang mengandung elektrolit dengan massa relatif kecil. Zat terlarut pada larutan dengan konsentrasi tinggi akan menembus membran menuju larutan dengan konsentrasi rendah. Jadi gaya pendorongnya adalah konsentrasi.
e. Membran Elektrodialisa Membran ini berfungsi untuk memisahkan larutan dengan membran melalui pemberian muatan listrik. Jadi gaya pendorongnya adalah gaya gerak listrik. 4. Berdasarkan Bentuk Berdasarkan bentuknya membran dibagi atas dua macam, yaitu: a. Membran Datar Membran datar mempunyai penampang lintang besar dan bentuknya melebar. Membran datar ini dibagi lagi menjadi membran datar yang terdiri dari satu lembar saja, membran datar bersusun dan membran spiral bergulung. b. Membran Tubular Membran ini berbentuk pipa memanjang dan terdiri dari tiga jenis yaitu membran serat berongga, membran kapiler dan membran tubular.
Gambar 6. Membran Berdasarkan Fungsi, Ukuran Partikel Dan Proses Filtrasi (www.purite.co.uk)
D. PEMBUATAN MEMBRAN Proses pembuatan membran dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah sintering, stretching, track-etching, template-leaching, phase inversion dan coating (Mulder,1996;Wenten, 1999). 1. Sintering Sintering merupakan teknik sederhana dalam pembuatan membran sintesis berpori. Prinsip Metode sintering adalah polimer atau metal keramik ditenakan dengan suhu tinggi. Pori yang terbentuk dari hasil pengepresan dengan panas berkisar antara 0,1-10 µm. Teknik ini sangat cocok untuk bahan yang tidak dapat larut dalam pelarut. Membran yang dihasilkan dengan menggunakan metoda sintering mempunyai porositas yang kecil yaitu berkisar antara 10-20 % dan terkadang sedikit lebih tinggi. 2. Stretching. Metode stretching adalah pembuatan film atau foil dari bahan polimer semi-kristal (polytetrafluoroethylene,polypropylene, polyethylene) ditarik searah proses ekstrusi sehingga molekul-molekul kristalnya akan terletak parallel satu sama lain. Pori yang terbentuk dari teknik persiapan ini adalah 0,1-3 µm. Porositas membran yang dihasilkan melalui teknik diatas 90 %. 3. Track-Etching. Metode track-etching adalah pembuatan film (polycarbonate) yang diberikan radiasi energi tinggi. Partikel radiasi ini akan menghancurkan matriks polimer dan membentuk satu lintasan. Film kemudian direndam dalam bak asam atau alkalin. Selama perjalanan ini, polimer akan terbentuk berupa silinder berpori seragam dan distribusi ukuran pori yang sempit. 4. Template-Leaching. Teknik ini diawali dengan peleburan 3 komponen homogen (Na2OB2O3-SiO2) pada suhu 1000-1500 oC dan kemudian dikeringkan. Pada proses ini akan terbentuk 2 fase, satu fase akan didominasi oleh SiO2 yang tidak larut sedangkan fase lainnya melarut. Fase kedua kemudian
dikeluarkan dengan suatu asam (basa) dan akan dihasilkan suatu rentang diameter pori dengan ukuran minimum sekitar 0,005 µm. 5. Coating. Coating merupakan teknik pembuatan membran komposit sederhana untuk memperoleh lapisaan atas padat yang sangat tipis. Proses pembuatannya adalah dengan mencelupkan membran asimetrik ke dalam larutan pelapis yang mengandung polimer, pre-polimer atau monomer dengan konsentrasi padatan dalam larutan rendah (kurang dari 1%). Membran asimetrik dipisahkan dari bak yang mengandung material pelapis dan pelarut, selanjutnya diperoleh lapisan tipis dari larutan yang menempel pada bak. Setelah itu, film dimasukkan ke dalam oven sehingga pelarut akan menguap dan terjadi crosslinking. 6. Phase Inversion. Menurut Kesting (1985), Suatu metode persiapan membran yang sering digunakan untuk menghasilkan membran asimetrik adalah metode inversi fase. Metode ini ditandai dengan pengubahan polimer dari fase cair menjadi padat. Proses solidifikasi diawali dengan transisi fase cair satu (polimer dan pelarut) dan fase cair dua (polimer dan non-pelarut). Selama proses demixing, salah satu fase cair (fase polimer konsentrasi tinggi) akan memadat sehingga terbentuk matriks padat pengendalian tahap awal transisi fase akan menentukan morfologi membran yang dihasilkan. Konsep fase inversi mencakup berbagai teknik antara lain penguapan pelarut, presipitasi dengan penguapan terkendali, presipitasi termal, presipitasi fase uap, dan presipitasi imersi. Presipitasi Immersi merupakan proses pencetakan Film tipis dipermukaan kaca gelas datar, selanjutnya campuran casting dikoagulasi untuk membentuk membran. Proses pengkoagulasian casting dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu evaporasi langsung dan perendaman dalam non-pelarut. Persiapan awal yang dilakukan untuk kedua metode ini adalah pelarutan polimer kedalam pelarut yang sesuai dan polimer tersebut harus mempunyai aktivitas permukaan yang cukup.
Menurut Syarifuddin (1994), proses melarut merupakan suatu proses pemecahan ikatan suatu persenyawaan untuk selanjutnya mengadakan ikatan dengan pelarut untuk membentuk ikatan. Energi yang dibutuhkan untuk memecahkan ikatan-ikatan ini diambil dari energi yang dilepaskan karena terbentuknya larutan antara partikel terlarut dengan pelarut. Untuk memecahkan suatu ikatan persenyawaan dibutuhkan energi yang cukup besar. Oleh karena itu, senyawa yang berikatan ion hanya dapat larut dalam air atau pelarut yang sangat polar lainnya. Begitu juga dengan persenyawaan kovalen polar hanya larut dalam pelarut polar dan senyawa kovalen non-polar larut dalam pelarut non-polar. Diklorometana merupakan pelarut hasil klorinasi dari methyl chloride dan destilasi bertingkat. Pelarut ini termasuk pelarut berbahaya bagi manusia dan diduga penyebab kanker (lampiran 8). Sedangkan dimetilsulfoksida merupakan bahan kimia yang tidak berwarna, cairan higroskopik, tidak berbau, sedikit asam, pelarut aprotik kuat, larut dalam air, alcohol, benzene, aseton, kloroform. Dimetilsulfoksida dapat digunakan dalam proses polimerasi dan reaksi sianida; reagen analisis; pembersih dalam industri; pestisida, peluntur cat; bahan tambahan dalam polyacrilonitrile; fluida hidraulik; produk parmasi; agen pelengkap logam (Lewis,1993). Menurut Strathmann et al. (1985), proses immersi presipitasi dipengaruhi oleh 3 komponen yaitu polimer, pelarut dan non-pelarut. Beberapa komposisi dalam ternary system tidak homogen, kadang-kadang terdapat didaerah demixing area dalam diagram ternary system. Sebagai contoh pada diagram dibawah ini :
Gambar 7. Diagram fase ternary system yang menggambarkan kelarutan polimer (P), pelarut (S) dan non-pelarut (NS) (Strathmann et al.,1985) Garis putus-putus pada diagram menunjukkan 2 komposisi kesetimbangan pada area binodal. (m) merupakan campuran yang tidak stabil campuran ini terdapat dalam area spinodal dan bercampur ke dalam 2 fase yaitu fase miskin polimer (p) dan fase yang kaya akan polimer (r). Area yang terdapat diantara kurva binodal dan spinodal merupakan daerah metastabil. Dalam komposisi ini terjadi fase pemisahan oleh nucleation dan pertumbuhan nucleus. Didalam area spinodal, larutan yang terbentuk merupakan larutan tidak stabil. Secara prinsip, larutan tersebut tercampur secara cepat dari dekomposisi spinodal selama terbentuknya jaringan bikontinu (Kesting,1985). Selanjutnya Kesting (1985) menerangkan bahwa pembentukan membran dilakukan dengan meratakan larutan casting ke bidang datar (pelat kaca) menggunakan casting knife. Selanjutnya direndam ke dalam bak koagulasi yang mengandung non-pelarut. Pada saat itu, terjadi difusi pelarut ke luar film dan non-pelarut ke dalam film. Proses difusi pelarut dan non-pelarut disebabkan oleh ketidaklarutan polimer dalam nonpelarut, perbedaan berat molekul, koefisien difusi pada kecepatan relatif molekul.
keterangan gambar : s : komposisi pada sisi skin. b : komposisi pada sisi bawah
Gambar 8. Instaneous demixing dan delayed demixing. (Strathmann et al.,1985 ) Perbedaan komposisi dalam film/membran dapat digambarkan dalam garis komposisi. Konsep dari garis komposisi dapat digunakan untuk membedakan 2 tipe proses demixing, yaitu instantaneous demixing dan delayed demixing. Instantaneous demixing ditandai dengan terlihatnya kekeruhan membran saat proses pemisahaan fase, dimana garis/lintasan komposisi melintasi binodal, sedangkan dalam proses delayed demixing, path composition membutuhkan waktu untuk melintasi kurva binodal. Pada instantaneous demixing, lapisan atas membran telah bercampur dalam 2 fase, yaitu fase kaya polimer ( s’) dan fase miskin polimer ( s”). kedua fase tersebut mempunyai komposisi (v) yang disebut virtual composition. Perbedaan tipe demixing akan memberikan perbedaan morfologi membran. Instantaneous demixing akan menghasilkan membran berpori (ultrafiltrasi atau mikrofiltrasi) sedangkan delayed demixing menghasilkan membran tidak berpori (dense skin layer) berupa membran reverse osmosis atau pervaporasi (Kesting, 1985).
E. PEMBENTUKAN MACROVOID Menurut Strathmann et al. (1985), Pada sublayer ultrafilltrasi sering ditemukan ruang kosong yang besar yang dikenal dengan macrovoid. Pembentukan macrovoid dapat dicegah dengan beberapa cara yaitu :
1. Pemilihan kombinasi antara pelarut dan non-pelarut yang tidak dapat bercampur. 2. Peningkatan konsentrasi polimer dalam larutan casting. 3. Penambahan pelarut ke dalam bak koagulasi. Terdapat
berbagai
teori
yang
menggambarkan
pembentukan
macrovoid. pembentukan macrovoid dipicu oleh beberapa faktor diantaranya adalah : 1. Pembentukan sel konvektif yang mendekati lapisan membran. 2. Rusaknya lapisan atas membran karena tekanan mekanis. 3. Kehadiran weak point di lapisan atas membran. 4. Nukleasi droplet pada fase miskin polimer. Mekanisme ke-4 merupakan mekanisme pembentukan macrovoid yang tidak selalu terbentuk dilapisan atas membran. Pada mekanisme ini, Pembentukan nucleus dari polymer lean phase terjadi dibawah lapisan bawah membran selama proses demixing pelarut dan non-pelarut. Berdasarkan
atas
mekanisme
Reuvers
dan
Smoolder
dalam
Strathmann et al. (1985), pembentukan macrovoid terkait erat dengan pertumbuhan nucleus. Pada nucleus fase miskin polimer, akan terjadi pencampuran antara pelarut dan non-pelarut. Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi pelarut dalam nucleus pada fase miskin polimer. Peningkatan konsentrasi pelarut dapat menyebabkan terjadinya delayed demixing dalam skala kecil. Hal ini menimbulkan kestabilan larutan polimer disekitar nucleus, sehingga dalam fase miskin polimer tidak terbentuk nucleus yang baru. Akibatnya, terjadi pengembangan nucleus lama menjadi macrovoid. Apabila daya affinitas antara pelarut dan non-pelarut tinggi. Pelarut yang terdapat di dalam membran akan mengalir cepat menuju nucleus di polymer lean Phase. Peningkatan konsentrasi pelarut dalam nucleus akan memicu pembentukan macrovoid. Sebaliknya, kombinasi pelarut dan nonpelarut berdaya affinitas yang rendah, aliran pelarut menuju nucleus dalam polymer lean Phase akan lambat. Terjadinya propagasi difusi non-pelarut akan menyebabkan
terbentuknya
nucleus
baru
dibagian
dalam
membran.
Pembentukan nucleus baru akan menghalangi pertumbuhan nucleus lama sehingga macrovoid tidak terbentuk (Strathmann et al., 1985). Peningkatan konsentrasi polimer akan menurunkan difusi non-pelarut ke membran sehingga akan menekan pertumbuhan macrovoid selama proses delayed demixing lokal terjadi. Menurut Boom dalam Strathmann et al. (1985), Penambahan pelarut ke dalam bak koagulasi akan menekan pembentukan macrovoid, apabila terjadi proses delayed demixing berskala local. Penambahan polimer lain ke dalam larutan juga dapat mencegah pembentukan macrovoid.
F. PARAMETER KINERJA MEMBRAN Efisiensi membran ditentukan oleh selektivitas dan fluks. Pada proses ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi nilai fluks dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jumlah pori pada permukaan membran, jari-jari pori, perbedaan tekanan pada membran, dan tebal efektif membran (Mallevialle et al., 1996). Sifat mekanik dan struktur pori merupakan salah satu parameter dalam penentuan karakteristik membran. Sifat fisik mekanik dan struktur pori sangat dipengaruhi oleh jenis bahan pembuat dan proses pembuatan membran sedangkan kinerja atau penampakan membran pada saat pengoperasiannya terutama ditentukan oleh distribusi dan ukuran porinya (Mallevialle et al., 1996). Fluks adalah jumlah volume permeat yang diperoleh pada operasi membran per satuan luas permukaan membran dan per satuan waktu. Fluks (Scott dan Hughes, 1996) dapat dinyatakan sebagai berikut : Jv =
V A.t
Di mana : Jv = fluks volume (l/m2.jam) A = luas permukaan membran (m2) t = waktu (jam) V = volume permeat (l) Selektivitas merupakan kemampuan membran untuk memilih zat yang harus tersaring. Selektivitas membran terhadap campuran ditentukan dengan
parameter tahanan (R). Buckley dan Wiesner di dalam Mallevialle et al. (1996) menyatakan bahwa tahanan (R) adalah perbandingan antara bagian yang tertahan dengan bagian yang dapat melewati membran.
R (%) = Cumpan – Cpermeate x 100 % Cumpan
Dimana : R
= persentase tahanan.
Cumpan = konsentrasi partikel dalam umpan. Cpermeat = konsentrasi partikel dalam permeat. R tidak tergantung pada satuan konsentrasi. Nilai R bervariasi antara 100 % pemisahan partikel sempurna, dalam hal ini membran semipermeabel ideal dan 0 % artinya seluruh partikel larutan melewati membran secara bersama-sama.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah selulosa mikrobial (nata de coco) yang diperoleh dari pabrik nata de coco dan NaOH untuk pemurnian selulosa mikrobial. Untuk pembuatan selulosa asetat diperlukan asetat anhidrida, asam asetat glasial dan H2SO4. Untuk pembuatan larutan casting digunakan 2 jenis pelarut yaitu diklorometana (CH2Cl2) dan dimetilsulfoksida
((CH3)2SO)
(Gambar
9).
Bahan
untuk
pengujian
karakteristik membran adalah bahan kimia untuk kadar protein (metode lowry), air dan bovin serum albumin (BSA).
Gambar 9. larutan casting. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah bak perendaman, pisau, kempa hidrolik, oven, dan alat-alat gelas baik untuk pembuatan selulosa asetat dan karakterisasi selulosa asetat yang dihasilkan. Alat-alat yang digunakan untuk mencampur dan pembuatan film selulosa asetat adalah magnetic bar, pipet mohr, magnetic stirrer, applicator, lembaran kaca, bak koagulasi, gunting, dan cetakan membran (Gambar 10). Instrumen yang digunakan untuk analisa adalah spektrofotometer dan tabung ulir, neraca analitik, tanur, oven, dan alat-alat gelas lainnya. Alat yang digunakan dalam crossflow filtration (Gambar 11) adalah modul membran (plate), pompa diphragma, gauge pressure.
Gambar 10. Perlengkapan membran inversi fase.
Gambar 11. Perlengkapan crossflow filtration.
B. TAHAPAN PENELITIAN Penelitian ini secara garis besar terdiri atas tiga tahap yaitu
(1)
karakterisasi selulosa asetat mikrobial, (2) penentuan pengaruh komposisi casting terhadap fluks membran, dan (3) penentuan pengaruh komposisi casting terhadap rejeksi membran. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada gambar 12.
Mulai
Karakterisasi selulosa asetat mikrobial
Penentuan pengaruh kadar asetil, konsentrasi polimer dan jenis pelarut terhadap fluks membran yang dihasilkan
penentuan pengaruh kadar asetil, konsentrasi polimer dan jenis pelarut terhadap rejeksi membran yang dihasilkan
Selesai
Gambar 12. Diagram alir tahapan penelitian 1. Karakterisasi selulosa asetat. Selulosa asetat yang dihasilkan, dikeringkan dalam oven. Setelah itu, selulosa asetat dihaluskan dengan mortar. Selulosa asetat yang telah halus diukur kadar air, kadar asetil, dan
kadar abunya. Prosedur
pengukuran dapat dilihat dalam lampiran 1.
2. Karakterisasi Membran selulosa asetat. Membran yang telah dibuat dengan metode inversi fase segera dipotong dengan diameter 5,5 cm. Selanjutnya, membran disimpan dalam
plastik berisi air. Untuk mengetahui kinerja membran dilakukan pengukuran terhadap fluks dan rejeksi untuk larutan albumin pada kondisi tertentu. Proses filtrasi membran dikontrol dengan tekanan umpan 6 p.s.i.g dan tekanan retentat 2 p.s.i.g dalam suhu ruang 26-28 oC. Suhu larutan umpan dikendalikan dalam suhu 5-10oC untuk mencegah terjadinya koagulasi albumin selama proses filtrasi membran. Filtrasi membran dilakukan selama 60 menit.
Prosedur pengukuran dapat dilihat pada
lampiran 1. a. Fluks. Fluks merupakan jumlah volume permeat yang diperoleh pada operasi membran per satuan luas permukaan membran dan per satuan waktu. Proses ini dilakukan dengan menggunakan modul membran filtrasi. Dalam penelitian ini, pengukuran fluks untuk air dan larutan albumin dilakukan selama 1 jam. Setiap 5, 10, 15, 30, 45 dan 60 menit dilakukan pencatatan terhadap perubahan volume. Nilai fluks yang diperoleh merupakan volume permeat per satuan luas membran dalam waktu 60 menit. Prosedur pengukuran fluks dapat dilihat dalam lampiran 1. b. Rejeksi. Pengukuran
rejeksi
menunjukkan
kemampuan
membran
menyaring umpan. Pengukuran dilakukan setelah pengukuran nilai fluks membran. Setelah pengukuran fluks larutan albumin selama 60 menit, permeat ditampung dalam tabung ulir. Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar protein dengan metode lowry. Prosedur pengukuran dapat dilihat dalam lampiran 1. C. RANCANGAN PERCOBAAN Dalam penelitian ini digunakan beberapa perlakuan yaitu kadar asetil, konsentrasi polimer dan jenis pelarut. Kadar asetil (A) memiliki 2 taraf yaitu 43,05 (%-COOCH3) dan 43,84 (%-COOCH3). Kadar asetil yang berbeda untuk mengetahui pengaruh peningkatan kadar asetil terhadap kinerja
membran. Jenis pelarut ditentukan berdasarkan kelarutan selulosa asetat. Jenis pelarut (B) yang digunakan adalah diklorometana dan dimetilsulfoksida. Konsentrasi polimer ditentukan atas kemampuan pelarut dalam melarutkan selulosa asetat. Konsentrasi polimer (C) yang digunakan dalam penelitian ini adalah 8 % (b/b), 10 % (b/b), dan 12 % (b/b). Fluks dan rejeksi albumin 500 ppm merupakan variabel respon. Rancangan percobaan dapat dilihat dibawah ini : Yijk = µ + Ai + Bj(i) + Ck + ABij(i) + εijk Keterangan : I = 1,2. J = 1,2,3. k = 1,2. m = 1,2. Yijk µ Ai Bj Ck ABij εm(ijk)
= variable yang diukur. = pengaruh nilai tengah umum. = efek taraf faktor kadar asetil ke-i. = efek taraf faktor konsentrasi ke-j yang tersarang dalam faktor kadar asetil ke-i. = efek taraf faktor pelarut ke-k (k =1,2). = efek interaksi antara faktor kadar asetil ke-i dan faktor konsentrasi ke-j yang tersarang dalam faktor kadar asetil ke-i. = efek kekeliruan.
Tabel 1. Komposisi membran selulosa asetat. PELARUT (C)
CH2Cl2
(CH3)2SO
KADAR ASETIL (A) 8% A1B1C1D1 A1B1C1D2
A-1 10 % A1B2C1D1 A1B2C1C2
12 % A1B3C1D1 A1B3C1D2
A1B1C2D1 A1B1C2D2
A1B2C2D1 A1B2C2C2
A1B3C2D1 A1B3C2D2
8% A2B1C1D1 A2B1C1D2
A-2 10 % A2B2C1D1 A2B2C1C2
12 % A2B3C1D1 A2B3C1D2
A2B1C2D1 A2B1C2D2
A2B2C2D1 A2B2C2C2
A2B3C2D1 A2B3C2D2
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK SELULOSA ASETAT MIKROBIAL
Penelitian ini menggunakan polimer selulosa asetat mikrobial (nata de coco). Selulosa asetat yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 13.
(a)
(b)
Gambar 13. Selulosa asetat. (a) kadar asetil 43.05 %; (b) kadar asetil 43.84 %. Berdasarkan Gambar 13 terlihat bahwa selulosa triasetat mempunyai perbedaan dalam warna. Warna selulosa triasetat (b) yang terlihat adalah coklat kekuningan, sedangkan selulosa asetat (a) berwarna putih. Warna coklat yang terdapat pada selulosa (b) disebabkan oleh kandungan asam asetat anhidrid. Perbedaan kandungan asetil dan sulfat disebabkan oleh kondisi hidrolisis yang berbeda. Selulosa triasetat (a) mengalami hidrolisis selama 3 jam sedangkan selulosa (b) hanya 1 jam. Hidrolisis akan mengganti kandungan gugus asetil (-OCOCH3) dengan gugus hidroksil (-OH) sehingga selulosa (b) mempunyai kandungan asetat anhidrid yang lebih tinggi dibandingkan selulosa (a). Menurut Wadsworth dan Deponte (1992), Untuk menghilangkan asam asetat dan katalis yang terdapat dalam selulosa asetat maka dilakukan pencucian dengan air yang bebas ion dan garam terlarut untuk mendapatkan warna dan kebersihan produk yang baik.
Selain perbedaan secara fisik, selulosa triasetat juga memiliki perbedaan dalam kadar abu, kadar air dan kadar asetil. Hasil pengujian terhadap selulosa asetat tersebut ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Karakterisasi selulosa asetat No. 1. 2. 3.
Komponen Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar asetil (%)
Selulosa (a) Selulosa (b) 5.25 5.90 0.36 0.34 43.05 43.84
Berdasarkan data tersebut, Kadar air selulosa asetat (a) sebesar 5,25 persen sedangkan selulosa asetat (b) sebesar 5,90 persen. Kadar air yang terdapat dalam selulosa asetat dipengaruhi oleh kondisi pengeringan selulosa asetat dan sifat bahan yang mudah menyerap air. Kadar air selulosa asetat yang rendah memungkinkan untuk kenaikan kadar air selama penyimpanan. Kadar abu yang dimiliki oleh selulosa asetat menunjukkan kandungan logam anorganik dalam selulosa asetat. Hal ini disebabkan oleh bahan-bahan kimia yang ditambahkan pada proses asetilasi tidak mengandung bahan-bahan organik. Menurut Wadsworth dan Deponte (1992), Kadar abu (anorganik) yang rendah ini akan menghasilkan film selulosa asetat yang mempunyai stabilitas cair dan kejernihan optik tinggi. Berdasarkan Tabel 2, Kadar abu selulosa asetat (a) adalah 0,36 persen sedangkan selulosa asetat (b) sebesar 0.34 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan bahan an-organik dalam selulosa asetat masih tergolong rendah. Kadar asetil merupakan ukuran jumlah asam asetat yang diesterifikasi pada rantai selulosa yang akan menentukan derajat substitusi. Derajat substitusi adalah nilai rata-rata persubstitusi per anhidroglukosa (UAG). Selulosa mempunyai 3 gugus hidroksil pada setiap UAG yang dapat disubstitusi, oleh karena itu DS mempunyai kisaran nilai 0-3. jumlah substitusi ester asetat sangat mempengaruhi kelarutan dan sifat-sifat polimer. Berdasarkan data dalam Tabel 2, terlihat bahwa selulosa asetat (a) dan (b) mempunyai kadar asetil 43.05 persen dan 43.84 persen. Tingginya kadar asetil selulosa asetat (b) dibandingkan dengan selulosa asetat (a) disebabkan oleh lama hidrolisis yang berbeda. Menurut Wadsworth dan Deponte (1992),
Hidrolisis akan Mengganti kandungan gugus asetil (-OCOCH3) dengan gugus hidroksil (-OH), sehingga akan mengurangi kandungan gugus asetil hasil proses asetilasi. Fengel dan Wegener (1995) menyatakan bahwa selulosa asetat yang memiliki kadar asetil 43.0-44.8 persen atau lebih dapat larut dalam pelarut diklorometana. Selulosa ini memiliki derajat substitusi (DS) berkisar antara 2.8-3.0 dan selulosa asetat ini dikenal dengan nama selulosa triasetat. Derajat esterifikasi atau jumlah asam asetat menentukan kelarutan dan kesesuaian dengan pelunak, resin, dan lain-lain, bahkan mempengaruhi sifat mekanis. Kesesuaian selulosa asetat dengan pemlastis dan pelarut polar akan meningkat, apabila kandungan asam asetat rendah. Sebaliknya, kelarutannya dalam pelarut non-polar menurun.
B. PENGARUH KONSENTRASI POLIMER DAN JENIS PELARUT DALAM KADAR ASETIL 43,05% (-OCOCH3) DAN 43,84 % (-OCOCH3) TERHADAP KINERJA MEMBRAN Parameter yang penting bagi membran adalah fluks dan rejeksi membran. Fluks menunjukkan jumlah volume permeat (filtrat) diperoleh pada filtrasi membran per satuan luas permukaan membran dan per satuan waktu, sedangkan rejeksi membran menunjukkan kemampuan membran menyaring bahan umpan. Proses filtrasi membran dilakukan dengan sistem crossflow filtration dalam modul plate. Proses filtrasi membran dikontrol dengan tekanan umpan 6 p.s.i.g dan tekanan retentat 2 p.s.i.g dalam suhu ruang 26-28 oC. Suhu larutan umpan dikendalikan dalam suhu 5-10oC.
Proses filtrasi membran
dilakukan selama 60 menit. 1. Fluks Fluks adalah jumlah volume permeate yang diperoleh pada operasi filtrasi membran per satuan luas permukaan dan per satuan waktu. Proses pengukuran fluks dilakukan dengan mensirkulasikan larutan albumin selama 60 menit pada kondisi tertentu. Albumin merupakan protein (BM = 69000 g/mol) yang mudah larut dalam air dan terkoagulasi oleh
panas. Konsentrasi larutan albumin yang digunakan dalam pengujian ini sebesar 500 ppm. Data hasil pengukuran dapat dilihat dalam lampiran Dari hasil analisa diperoleh bahwa nilai fluks rata-rata terbesar adalah 105,25 L/jam.m2. Nilai ini diperoleh dari membran dengan selulosa asetat berkadar asetil 43,05 % (-OCOCH3) dan konsentrasi 8 % (b/b) dalam pelarut DMSO. Sedangkan nilai fluks rata-rata terkecil adalah 42,33 L/jam.m2 yang diperoleh dari membran berkomposisi selulosa asetat berkadar asetil 43,84 % (-OCOCH3), konsentrasi polimer 12 % (b/b) dan pelarut diklorometana. membran yang terbentuk dalam selulosa asetat berkadar asetil 43,84 % (-OCOCH3) dan pelarut dimetilsulfoksida tidak menghasilkan membran yang kuat sehingga tidak dapat diukur nilai fluks larutan albuminnya.
120.00
Fluks (L/jam.m2)
100.00 8% 80.00
10% 12%
60.00 40.00 20.00 0.00 DCM
DMSO
Jenis pelarut
Gambar 14. Pengaruh jenis pelarut dan konsentrasi terhadap fluks albumin pada selulosa asetat berkadar asetil 43,05 % (-OCOCH3) Histogram hubungan antara fluks larutan albumin dengan interaksi jenis pelarut dan konsentrasi polimer pada kadar asetil 43,05 % (-OCOCH3) dapat dilihat pada Gambar 14. Nilai fluks albumin yang didapat semakin rendah dengan semakin tingginya konsentrasi polimer dalam komposisi casting. Nilai rata-rata fluks albumin pada konsentrasi
polimer 8 % (b/b), 10 % (b/b) dan 12 % (b/b) adalah 98,87 L/jam.m2, 86,37 L/jam.m2, dan 81,39 L/jam.m2 Penggunaan pelarut yang berbeda dalam pembuatan membran memberikan nilai fluks albumin yang berbeda. Nilai fluks albumin yang dihasilkan dalam membran berpelarut dimetilsulfoksida lebih tinggi dibandingkan dengan membran berpelarut diklorometana. Nilai rata-rata fluks albumin membran berpelarut dimetilsulfoksida dan diklorometana adalah 100,28 L/jam.m2 dan 77,48 L/jam.m2.
120.00
Fluks (L/jam.m2)
100.00 80.00
8% 10%
60.00
12%
40.00 20.00 0.00 DCM
DMSO
Jenis pelarut
Gambar 15. Pengaruh jenis pelarut dan konsentrasi terhadap fluks albumin pada selulosa asetat berkadar asetil 43,84 % (-OCOCH3) Histogram hubungan antara fluks larutan albumin dengan interaksi jenis pelarut dan konsentrasi polimer pada kadar asetil 43,84 % (-OCOCH3) dapat dilihat pada Gambar 15. Dari gambar tersebut terlihat bahwa membran yang berpelarut dimetilsulfoksida tidak dapat menghasilkan membran, sedangkan membran berpelarut diklorometana memberikan nilai fluks albumin yang semakin menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi polimer. Berikut ini adalah nilai rata-rata fluks albumin dari membran berpelarut diklorometana pada konsentrasi polimer
8 % (b/b), 10 % (b/b) dan 12 % (b/b) adalah 42,12 L/jam.m2, 34,39 L/jam.m2, dan 21,17 L/jam.m2 Hasil analisa keragaman pada α = 5 % dan α = 1 % menunjukkan bahwa konsentrasi menunjukkan adanya pengaruh yang sangat nyata terhadap ukuran pori. Hasil analisa ini diperlihatkan dalam lampiran 5. Hasil uji lanjut Newman-Keuls α= 5 % dan α= 1 % menunjukkan bahwa nilai rata-rata fluks albumin tertinggi dalam selulosa asetat berkadar asetil 43,05 % (-OCOCH3) adalah 98,87 L/jam.m2 dan terendah 81,39 L/jam.m2, sedangkan nilai rata-rata fluks albumin dalam selulosa asetat berkadar asetil 43,84 % (-OCOCH3) terendah dan tertinggi adalah 21,17 L/jam.m2 dan 42,12 L/jam.m2. Nilai fluks terendah dan tertinggi dalam selulosa asetat berbeda kadar asetil tersebut diperoleh dari konsentrasi polimer 8 % (b/b) dan 12 % (b/b). Menurut Kesting (1985), terdapat dua prinsip struktur membran, yaitu finger like cavity dan foam-like cavity. Konsentrasi polimer yang rendah dapat membentuk struktur membran finger like cavity, sedangkan konsentrasi polimer yang tinggi akan menghasilkan foam like cavity. Bahkan Mulder (1996) menyatakan konsentrasi polimer yang tinggi akan membentuk konsentrasi membran yang tinggi. Hal ini akan menurunkan jumlah pori, sehingga nilai fluks mengalami penurunan. Hasil interaksi antara jenis pelarut dan konsentrasi polimer menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi polimer dalam pelarut dimetilsulfoksida dan diklorometana dapat menurunkan nilai fluks albumin. Menurut Strathmann et al. (1985), peningkatan konsentrasi polimer dalam larutan casting dapat mencegah pembentukan macrovoid. Meningkatnya konsentrasi polimer akan menurunkan proses perpindahan pelarut menuju polymer lean phase, sehingga menciptakan barier transfer pelarut menuju polymer lean phase. Hasil uji keragaman α = 5 % dan α = 1 % menunjukkan bahwa jenis pelarut mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap fluks albumin. Hasil serupa juga diperoleh dalam uji keragaman α = 5 % dan
α = 1 % terhadap pengaruh interaksi antara pelarut dan konsentrasi polimer. Hasil analisa dapat dilihat dalam lampiran 5. Uji lanjut Newman-Keuls α = 5 % dan α = 1 % terhadap interaksi pelarut dan konsentrasi polimer, menunjukkan bahwa nilai fluks rata-rata tertinggi adalah 105,25 L/jam.m2. Nilai ini diperoleh pada membran berpelarut dimetilsulfoksida dan konsentrasi polimer 8 % (b/b), sedangkan nilai fluks albumin rata-rata terendah adalah 68,47 L/jam.m2 yang diperoleh dari membran berpelarut diklorometana dan konsentrasi polimer 12 % (b/b). Nilai ini diperoleh dari selulosa asetat berkadar asetil 43,05 % (-OCOCH3). Sedangkan fluks albumin yang diperoleh dari selulosa asetat berkadar asetil 43,84 % (-OCOCH3) mempunyai fluks tertinggi dan terendah adalah 84,24 L/jam.m2 dan 42,33 L/jam.m2. Pengujian nilai fluks albumin menunjukkan bahwa membran berpelarut dimetilsulfoksida mempunyai nilai fluks yang lebih tinggi dibandingkan
dengan
diklorometana.
Padahal
dimetilsulfoksida
mempunyai titik didih yang lebih tinggi dibandingkan dengan diklorometana. Dalam evaporasi pelarut terdapat karakteristik pelarut yang sangat penting yaitu titik didih pelarut. Berdasarkan Lewis (1993), Diklorometana memiliki titik didih 39oC, sedangkan dimetilsulfoksida memiliki titik didih 189oC. Data ini menunjukkan bahwa pelarut dimetilsulfoksida membutuhkan energi yang lebih besar untuk dapat meninggalkan membran. Ini akan menghasilkan membran yang berpori rapat (dense Porous membran). Menurut Rivai (1995), pelarut yang memiliki konstanta dielektrik tinggi merupakan pelarut yang baik untuk zat-zat yang polar. Sebaliknya, pelarut dengan tetapan dielektrik rendah menjadi pelarut yang baik untuk zat-zat
non-polar.
Berdasarkan
Lewis
(1993),
dimetilsulfoksida
merupakan pelarut yang mempunyai konstanta dielektrik tinggi yaitu 48.9, sedangkan Diklorometana merupakan pelarut yang memiliki konstanta dielektrik rendah (8.93). Perbedaan konstanta dielektrik pelarut menyebabkan membran yang berpelarut dimetilsulfoksida lebih mudah melewatkan air dibandingkan dengan membran berpelarut diklorometana.
Hal inilah yang menyebabkan nilai fluks membran berpelarut dimetilsulfoksida lebih tinggi dibandingkan dengan membran berpelarut diklorometana. Tingginya nilai fluks membran berpelarut dimetilsulfoksida juga diperkuat oleh terbentuknya macrovoid pada membran. Menurut Strathmann et al. (1985), pembentukan macrovoid sangat dipengaruhi oleh karakter pencampuran pelarut dan non-pelarut. Ketika affinitas antara pelarut dan non-pelarut tinggi, maka pelarut akan cepat mengalir ke nucleus polymer lean Phase sehingga terjadi peningkatan konsentrasi polimer. Peningkatan konsentrasi pelarut dalam nucleus polymer lean Phase dapat menyebabkan terjadinya delayed demixing dan tidak terbentuknya nucleus baru. Gagalnya pembentukan nucleus baru dalam polymer lean phase menyebabkan terjadinya macrovoid. Dimetilsulfoksida
mempunyai
konstanta
dielektrik
tinggi.
Konstanta dielektrik yang tinggi menunjukkan bahwa dimetilsulfoksida bersifat polar. Kesamaan struktur kimia dimetilsulfoksida dengan air (non-pelarut) menyebabkan affinitas dimetilsulfoksida dan air lebih tinggi dibandingkan affinitas diklorometana dan air. Affinitas pelarut dan nonpelarut akan meningkatkan kecepatan aliran dimetilsulfoksida menuju nucleus polymer lean phase dan konsentrasi dimetilsulfoksida akan meningkat. Peningkatan konsentrasi dimetilsulfoksida dalam nucleus di polymer lean Phase menyebabkan nucleus dikelilingi oleh daerah yang relatif stabil dan nucleus baru tidak terbentuk. Tidak terbentuknya nucleus baru
menyebabkan
terbentuknya
macrovoid.
Hal
inilah
yang
menyebabkan rendahnya kekuatan membran dan tingginya nilai fluks albumin yang dihasilkan. Berbeda
dengan
pelarut
dimetilsulfoksida,
diklorometana
merupakan pelarut berkonstanta dielektrik rendah (8,93). Konstanta dielektrik yang rendah menunjukkan bahwa pelarut bersifat non-polar sehingga mempunyai struktur kimia yang berbeda dengan air (nonpelarut). Hal inilah yang menyebabkan rendahnya affinitas antara diklorometana dan air. Rendahnya affinitas diklorometana dan air
menyebabkan tidak terjadinya peningkatan konsentrasi dilorometana pada polymer lean phase, sehingga membentuk nucleus baru. Akibatnya, pembentukan macrovoid dapat ditekan. Selain itu, perbedaan bentuk dan ukuran macrovoid yang dihasilkan dari pelarut juga dapat mempengaruhi morfologi membran. Sebagai contoh, Strathmann et al. (1985) mengadakan penelitian tentang perbedaaan bentuk dan ukuran macrovoid yang terdapat pada membran yang dihasilkan dari pelarut DMAc (dimethylacetamide), DMF (dimethyformamide) dan NMP (n-methyl-2-pyrrolidone) dalam pelarut etanol. Macrovoid yang dihasilkan oleh pelarut NMP berbentuk seperti rokok panjang, sedangkan DMAc dan DMF menghasilkan macrovoid berbentuk segitiga dan dalam ukuran kecil. Membran berpelarut NMP lebih mudah rusak dibandingkan dengan DMAc dan DMF. Berdasarkan observasi tersebut, perbedaan morfologi membran dapat memberikan pengaruh terhadap kekuatan membran. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan kekuatan membran berpelarut diklorometana dan dimetilsulfoksida.
2. Rejeksi Selektivitas merupakan kemampuan membran dalam menyeleksi zat-zat yang dapat disaring. Nilai selektivitas dinyatakan dengan persen rejeksi, yaitu perbandingan antara zat sesudah dengan sebelum dilewatkan pada membran dikalikan dengan 100 %. Membran dikatakan baik apabila memiliki kemampuan selektivitas atau nilai persen rejeksi yang tinggi (Mulder, 1996). Hasil analisa nilai rejeksi albumin 500 ppm menunjukkan bahwa nilai rejeksi rata-rata tertinggi adalah 78,56 %. Hasil ini diperoleh dari membran dengan komposisi selulosa asetat berkadar asetil 43,84 % (-OCOCH3), diklorometana dan 12 % (b/b) konsentrasi polimer. Nilai rejeksi albumin terendah adalah 13,43 % yang diperoleh dari membran dengan komposisi selulosa asetat berkadar asetil 43,05 % (-OCOCH3), dimetilsulfoksida, dan 8 % (b/b) konsentrasi selulosa asetat.
100.00
Rejeksi (%)
80.00
8% 10%
60.00
12%
40.00 20.00 0.00 DCM
DMSO
jenis pelarut
Gambar 16. Pengaruh jenis pelarut dan konsentrasi terhadap rejeksi albumin pada selulosa asetat berkadar asetil 43,05 % (-OCOCH3) Gambar 16 menunjukkan hubungan rejeksi albumin terhadap interaksi pelarut dan konsentrasi polimer dalam selulosa asetat berkadar asetil 43,05 % (-OCOCH3). Peningkatan nilai rejeksi albumin diperoleh seiring dengan peningkatan konsentrasi polimer. Nilai rata-rata rejeksi albumin pada membran berkonsentrasi polimer 8 % (b/b), 10 % (b/b) dan 12 % (b/b) adalah 22,94 %, 33,94 %, dan 55,80 %. Gambar 16 juga menunjukkan bahwa membran berpelarut diklorometana mempunyai rejeksi albumin yang lebih tinggi dibandingkan dengan membran berpelarut dimetilsulfoksida. Nilai rata-rata rejeksi albumin untuk membran berpelarut diklorometana dan dimetilsulfoksida adalah 50,90 % dan 28,22 %.
100.00
Rejeksi (%)
80.00
8% 10%
60.00
12%
40.00 20.00 0.00 DCM
DMSO
jenis pelarut
Gambar 17. Pengaruh jenis pelarut dan konsentrasi terhadap rejeksi albumin pada selulosa asetat berkadar asetil 43,84 % (-OCOCH3) Gambar 17 menunjukkan hubungan antara nilai rejeksi albumin terhadap interaksi faktor konsentrasi polimer dan jenis pelarut dalam membran selulosa asetat berkadar asetil 43,84 % (-OCOCH3). Dari gambar tersebut terlihat bahwa membran berpelarut dimetilsulfoksida tidak dapat menghasilkan membran walaupun telah terjadi peningkatan konsentrasi polimer. Sebaliknya, membran berpelarut diklorometana akan menghasilkan membran yang mempunyai nilai rejeksi albumin yang semakin tinggi seiring dengan peningkatan konsentrasi polimer. Nilai rata-rata rejeksi albumin membran berpelarut diklorometana pada konsentrasi polimer 8 % (b/b), 10 % (b/b), dan 12 % (b/b) adalah 19,11 %, 34,67 %, dan 39,28 %. Hasil analisa keragaman α = 0.05 dan α = 0.01, menunjukkan adanya perbedaan signifikan pada perlakuan pelarut terhadap rejeksi membran. Hasil analisa keragaman juga menunjukkan hal yang signifikan terhadap konsentrasi polimer dalam kadar asetil yang berbeda. Uji lanjut Newman-keuls α = 0.05 dan α = 0.01,menunjukkan bahwa konsentrasi polimer menghasilkan nilai rejeksi yang berbeda secara signifikan. Nilai
rejeksi rata-rata tertinggi diperoleh pada konsentrasi 12 % (b/b) selulosa asetat yaitu 47,54 persen, sedangkan konsentrasi polimer 8 % (b/b) menghasilkan nilai rejeksi 21,02 persen. Dimetilsulfoksida
merupakan
pelarut
yang
bersifat
polar.
Akibatnya, pembentukan matriks membran tidak mempunyai kekuatan yang baik. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan kekuatan membran
pada
dimetilsulfoksida.
kombinasi
selulosa
Sebaliknya,
berkadar
penggunaan
asetil
pelarut
tinggi
dan
diklorometana
menghasilkan membran yang kuat. Diklorometana merupakan pelarut yang bersifat non-polar. Pelarut ini mempunyai kemampuan yang baik dalam pelarutan selulosa asetat. Kesamaan struktur kimia antara selulosa asetat berkadar asetil tinggi dan pelarut diklorometana menghasilkan matriks polimer membran yang kompak. Akibatnya, membran selulosa asetat/diklorometana/air mempunyai kekuatan yang baik. Strathmann et al. (1985) menyatakan bahwa dalam ternary sistem dikenal 2 tipe demixing proses yaitu Instaneous demixing dan delayed demixing. Proses demixing ditandai dari kekeruhan yang terbentuk setelah proses perendaman. Selama proses demixing, salah satu fase cair akan memadat sehingga terbentuk mariks padat. Perbedaan dalam proses demixing akan menghasilkan morfologi membran yang berbeda. Membran berpelarut dimetilsulfoksida mengalami instaneous demixing sedangkan diklorometana mengalami delayed demixing. Membran yang mengalami Instaneous demixing akan menghasilkan membran berpori sedangkan delayed demixing menghasilkan membran tidak berpori (pori sangat rapat). Hal inilah yang menyebabkan tingginya nilai rejeksi albumin dari membran selulosa asetat/diklorometana/air. Dalam proses pembuatan membran dikenal adanya macrovoid. Pembentukan macrovoid dapat ditekan dengan beberapa hal yaitu penggunaan pelarut dan non-pelarut yang tidak mudah bercampur, peningkatan konsentrasi polimer, dan penambahan pelarut ke dalam bak koagulasi. Dimetilsulfoksida merupakan pelarut yang mempunyai affinitas yang tinggi terhadap air (non-pelarut), sehingga pencampuran
antara pelarut dan non-pelarut dalam polymer lean phase berlangsung cepat. Akibatnya, terjadi peningkatan konsentrasi dimetilsulfoksida pada nucleus polymer lean phase. Peningkatan konsentrasi dimetilsulfoksida menghasilkan area stabil disekeliling nucleus, sehingga tidak terbentuk nucleus baru dalam fase miskin polimer. Hal inilah yang menyebabkan terbentuknya macrovoid membran. Terbentuknya macrovoid pada membran menyebabkan menurunnya kekuatan membran yang berpelarut dimetilsulfoksida. Sebaliknya, pada pelarut diklorometana terjadi pembentukan nucleus baru sehingga macrovoid dapat ditekan. Peningkatan konsentrasi polimer selulosa asetat menunjukkan adanya peningkatan nilai rejeksi albumin. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah pori dan pencegahan terbentuknya macrovoid yang dapat menurunkan kekuatan membran. Semakin meningkat konsentrasi polimer dalam membran selulosa asetat dapat meningkatkan kekuatan dan matriks membran. Meningkatnya matriks membran menghasilkan struktur membran yang kompak. Peningkatan
konsentrasi
polimer
juga
dapat
mencegah
terbentuknya macrovoid. Hal ini diperkuat Strathmann et al. (1985) yang menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi polimer akan menciptakan barier proses difusi non-pelarut ke membran sehingga akan menekan pertumbuhan macrovoid. Hasil analisa keragaman α = 0.05 dan α = 0.01 menunjukkan bahwa interaksi faktor pelarut dan konsentrasi terhadap rejeksi membran berpengaruh sangat nyata. Analisa lanjut Newman-Keulls α = 0.05 dan α = 0.01 menunjukkan bahwa interaksi pelarut dan konsentrasi terhadap rejeksi berpengaruh sangat nyata. Nilai rata-rata tertinggi dan terendah rejeksi albumin membran selulosa asetat berkadar asetil 43,05 % (-OCOCH3) adalah 69,34 % dan 13,43 %. Sedangkan nilai rata-rata tertinggi dan terendah rejeksi albumin membran berkadar asetil 43,84 % (-OCOCH3) adalah 78,56 % dan 38,21 %. Nilai rejeksi tertinggi diperoleh dari konsentrasi polimer 12 % (b/b), sedangkan nilai terendah berasal dari konsentrasi polimer 8 % (b/b).
Dimetilsufoksida merupakan pelarut yang bersifat polar sedangkan diklorometana adalah pelarut yang bersifat non-polar. Interaksi pelarut dan konsentrasi menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi selulosa asetat dalam diklorometana menghasilkan rejeksi larutan albumin yang semakin meningkat. Sebaliknya, peningkatan konsentrasi polimer dalam larutan dimetilsulfoksida tidak tidak memberikan hasil yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan struktur kimia antara selulosa asetat dan pelarut serta pembentukan macrovoid. Selulosa asetat yang telah mengalami derajat asetilasi tinggi mempunyai sifat kepolaran yang semakin menurun. Apabila selulosa asetat tersebut dilarutkan dalam dimetilsulfoksida dapat menghasilkan membran yang ikatan antar matriksnya lemah, sehingga membran yang dihasilkan tidak kuat. Selain itu, membran berpelarut dimetilsulfoksida membentuk macrovoid yang dapat menurunkan kekuatan membran.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Parameter yang sangat penting bagi membran adalah fluks dan selektivitas membran. Peningkatan kadar asetil selulosa asetat memberikan pengaruh nyata terhadap kinerja membran. Selektivitas membran terhadap albumin akan meningkat seiring dengan peningkatan kadar asetil selulosa asetat. Namun, peningkatan kadar asetil dapat menurunkan nilai fluks membran. Hasil analisa keragaman dengan taraf signifikansi α = 0.01 menunjukkan bahwa jenis pelarut dan konsentrasi polimer berpengaruh signifikan terhadap kinerja membran. Diklorometana menghasilkan membran dengan rejeksi albumin tinggi, tetapi nilai fluksnya rendah. Sebaliknya, dimetilsulfoksida menghasilkan membran dengan rejeksi albumin rendah, tetapi nilai fluksnya tinggi. Hasil uji Newman-keuls taraf signifikansi α = 0.01 menunjukkan adanya selektivitas membran seiring dengan peningkatan konsentrasi polimer. Membran yang menghasilkan nilai rejeksi albumin terbesar diperoleh dari membran selulosa asetat berkonsentrasi polimer 12 % (b/b) dan rejeksi albumin terendah diperoleh dari membran dengan konsentrasi polimer 8 % (b/b). Hasil uji keragaman dan Newman-keuls dengan taraf signifikansi α = 0.01 juga menunjukkan adanya pengaruh interaksi antara variable komposisi casting terhadap kinerja membran. Fenomena yang paling menarik adalah membran yang menggunakan selulosa asetat berkadar asetil 43,05 % (OCOCH3) akan menghasilkan membran dengan nilai fluks meningkat dan rejeksi menurun, apabila menggunakan pelarut dimetilsulfoksida. Sebaliknya, penggunaan dimetilsulfoksida dalam membran yang berasal dari selulosa asetat berkadar asetil 43,84 % (-OCOCH3) tidak dapat menghasilkan membran.
B. SARAN Perlu dilakukan penentuan kinerja membran dengan menggunakan pelarut campuran yaitu dimetilsulfoksida dan diklorometana.
DAFTAR PUSTAKA
An Ullmann’s encyclopedia.1999. Industrial Organic Chemicals, Starting Materials And Intermediate Vol.5. Wiley-Uch. New-York. American Standard for Testing Material. 1991. ASTM D-678-91: Standard Testing of Cellulose Acetate-Acetyl Content. AOAC.1980. Official Methods of Analysis of Association of Official Analytical Chemistry. Washington DC. Apriyantono, A., D.Fardiaz, N. L. Puspitasari, S. Yasni dan S.Budiyanto.1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangandan Gizi IPB.Bogor. Fengel, D dan G. Wegener. 1995. Kayu, Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Lewis, Richard.J.1993. Hawley’s Condensed Chemical Dictionary 12th Edition. Van Nostrand Reinhold Company. New York. Kesting, R.E . 1985. Phase Inversion Membranes. American Chemical Society. New York. Kirk, R.E dan D. F. Othmer. 1993. Encyclopedia of polimer science and Technology. Interscience Publisher.New York. Kuo, C.M dan R.T. Bogan. 1995. Manufacture for Cellulose Acetate. US Patent 5,608,050. [http : //www.uspto.gov] K. Scott dan R. Hughes. 1996. Industrial Membrane Separation Technology. Chapman & Hall. New York. Mallevialle, J. Odendaal, P.E, dan Wicsher, M.R. 1996. Water Treatment Membrane Process. Mc.Graw-Hill. New-York Malm, C. J. dan Hiatt. G. D. 1954. Cellulose and Cellulose Derivatives. Interscience Publisher. New York. Mulder, M. 1996. Basic Principle of Membrane Technology 2nd edition. Kluwer Academic Publisher.Dordrecht. Nakano Sumise.1994. Japanese Patent. JP061225780. Osada, Y dan Nakagawa, T. 1992. Membrane Science and Technology. Marcel Dekker.,Inc. New York.
Reid dan Breton. 1959. Membranes. Di dalam Talbert, N. Eisenberg dan E.Joe.1986. Middlebrooks. Reverse Osmosis Treatment of Drinking Water. Butterworks Publisher. USA. Stevens, P. Malcolm. 2001. Polymer Chemistry : An Introduction. Oxford university press, Inc. England. Terjemahan. Sofyan, Iis. 2001. Kimia Polimer. PT.Pradnya Paramita. Jakarta. Strathman. H, C.A. Smoolders, M.H.V. Mulder, R.M. Meertens, M.A.M. Beerlage.1985. Preparation of Polyimides Ultrafiltration Membranes Part.1 Ternary System. Wiley-Uch. New-York. Sudjana.1994. Desain dan Analisa Eksperimen. Torsito. Bandung. Wadsworth, L.C. dan D.Daponte.1985. Cellulose Esters. Di dalam Nevel,T.P dan S.H.Zeronian (eds). Cellulose Chemistry and Its Aplications. Ellis Horwood.Chichester. Wenten, I.G.1999. Teknologi Membran Industrial. Teknik Kimia ITB. Bandung.
Lampiran 1. Prosedur analisa membran mikrofiltrasi. 1. Analisis Kandungan Asetil (ASTM, D-678-91) Kandungan asetil ditentukan dengan cara melihat banyaknya NaOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan contoh.
R(OOCCH3)x + X NaOH → R(OH)x + NaOOCCH3 Contoh dari polimer harus dapat melewati saringan 20 mesh. Contoh dikeringkan selama 2 jam pada suhu 105 ± 3o C. Contoh kering tersebut dengan bobot 1 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan 40 ml etanol (75%) dan dipanaskan selama 30 menit pada suhu 50-60o C. Setelah itu ke dalam contoh ditambahkan 40 ml larutan NaOH (0.5 N) dan pemanasan dilanjutkan selama 15 menit dengan suhu yang sama. Contoh kemudian didiamkan selama 48-72 jam, dan kelebihan NaOH dititrasi dengan HCl (0.5 N) dengan indikator fenolftalein. Contoh didiamkan selama satu hari untuk memberi kesempatan bagi NaOH berdifusi. Selanjutnya contoh dititrasi dengan NaOH (0.5 N) dengan indikator merah metil sampai terbentuk warna merah. Blanko dilakukan dengan cara yang sama dengan contoh. Kadar asetil dan kandungan asam asetat dihitung dengan rumus : Kadar asetil (%) = [(D-C)Na + (A-B)Nb] x (F/W) Keterangan : A = ml NaOH yang dibutuhkan untuk titrasi contoh B = ml NaOH yang dibutuhkan untuk titrasi blanko C = ml HCl yang dibutuhkan untuk titrasi contoh D = ml HCl yang dibutuhkan untuk titrasi blanko Na = normalitas HCl Nb = normalitas NaOH F = 4,305 untuk kadar asetil dan 6,005 untuk kadar asam asetat W
= bobot contoh (g)
2. Analisis dengan Spektrofotometer Inframerah Contoh yang akan dianalisis berbentuk membran tipis. Membran tipis tersebut kemudian diletakkan di tempat sel spektrofotometer, mengarah ke sumber radiasi.
3. Kadar Air (AOAC, 1980) Pinggan alumunium dipanaskan pada suhu 1050 C, didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobotnya. Sebanyak 2 gram contoh dimasukkan ke dalam pinggan alumunium dan dipanaskan dalam oven 1050 C selama satu jam. Selanjutnya pinggan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pemanasan dan pendinginan diulangi hingga diperoleh bobot konstan. Kadar air dihitung dengan cara : Kadar air (%) = (W1 – W2) x 100 % W1 Dimana : W1 = bobot sampel W2 = bobot sampel setelah pemanasan.
4. Kadar Abu (AOAC, 1980) Cawan perabuan dibakar dalam tanur, didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang. Contoh dimasukkan ke dalam cawan dan dibakar dalam tanur pada suhu 6000 C sampai diperoleh abu. Selanjutnya sampel disimpan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu dihitung berdasarkan bobot kering (bk) dengan cara :
Kadar Abu (% bk) =
bobot abu
x 100 %
bobot contoh – bobot air 5. Pengukuran Flux Air Dan Albumin (Scott dan Hughes, 1996) Fluks adalah jumlah volume permeat yang diperoleh pada operasi membran per satuan luas permukaan membran dan per satuan waktu. Fluks volume dapat dinyatakan sebagai berikut :
Jv =
V A.t
Di mana : Jv = fluks volume (l/atm.jam) A = luas permukaan membran (m2) t
= waktu (jam)
V = volume permeat (l) Pengukuran flux air dan albumin dilakukan dengan menggunakan modul ultrafiltrasi. Proses pengukuran dilakukan dengan mengontrol suhu (feed, permeate dan retentate), tekanan transmembran dan laju alir. Suhu yang digunakan adalah 0-5oC, tekanan feed (6 psig) dan retentate (2 psig), sedangkan debit air dikendalikan pada 250 ml/s. Proses pengukuran flux dilakukan setelah pompa stabil. Untuk menstabilkan pompa dialirkan air selama 15-30 menit. Setelah pompa stabil, pengukuran flux dilakukan selama 1 jam dimana setiap waktu 5, 10, 15, 30, 45 dan 60 volume air yang mengalir dicatat. Proses ini dilakukan secara kontinu dan berakhir setelah 1 jam.
6. Pengukuran Rejeksi (Osada dan Nakagawa, 1992) Umpan yang akan disaring terlebih dahulu diukur konsentrasinya dengan menggunakan spektrofotometer. Selanjutnya umpan dialirkan pada alat pengukur saat air akan menetes dan ditunggu hingga stabil. Selanjutnya diukur konsentrasi
larutan
permeat
dan
retentat
dengan
menggunakan
spektrofotometer. Persentase rejeksi dihitung dengan cara : Rejeksi (%) = Konsentrasi umpan – Konsentrasi permeat x 100 % Konsentrasi umpan
7. Kadar protein (Metode Lowry). a
Pembuatan pereaksi. 1. Natrium karbonat 2 % dalam larutan NaOH 0,1 N. 2. Tembaga sulfat 0,5 % dalam larutan Na-K-Tartarat 1 % (dibuat hanya pada waktu akan digunakan).
3. Campuran 50 ml pereaksi (1) dengan 1 ml pereaksi (2) (hanya pada waktu akan digunakan, hanya stabil selama 1 hari). 4. Pereaksi Folin Ciocalteau (pereaksi Folin).biasanya tersedia secara komersial, lanjutkan dengan air 1:1 sebelum digunakan. 5. Larutan protein standar 0,25 mg/ml (larutan bovine serum albumin)
b
Pembuatan Kurva Standar. 1. Masukkan ke dalam tabung reaksi : 0 (blanko); 0.1;0.2;0.4;0.6;0.8 dan 1 ml protein standar. Tambahkan air sampai volume total masingmasing 4 ml. Ke dalam masing-masing tabung reaksi ditambahkan 5,5 ml pereaksi (3), campur merata dan biarkan selama 10-15 menit pda suhu kamar. 2. Tambahkan 0,5 ml pereaksi (4) ke dalam masing-masing tabung reaksi, kocok merata dengan cepat sesudah penambahan. 3. Biarkan selama kurang lebih 30 menit sampai warna biru terbentuk. 4. Ukur absorbansinya pada panjang gelombang 650 nm dengan spektrofotometer. 5. Buatlah kurva standar yang menunjukkan hubungan antara absorbansi (pada ordinat) dan konsentrasi (pada absis).
c
Penetapan sampel. 0,1-1,0 sampel dipipet secara tepat, dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian diperlakukan seperti penetapan standar.
Lampiran 2. Rekapitulasi data selulosa asetat.
Karakterisasi Kadar asetil
Kadar air
Kadar abu
Ulangan
Data selulosa a
b
1
43.03
43.87
2
43.08
43.81
Rata-rata
43.05
43.84
1
5.12
5.74
2
5.38
6.05
Rata-rata
27.93
28.66
1
0.36
0.34
2
0.36
0.34
Rata-rata
0.36
0.34
Lampiran 3. Data rekapitulasi fluks albumin. Fluks albumin Kadar asetil 43,05 % Dimetilsulfoksida Tekanan Feed : 6 psig Tekanan retentate : 2 psig No. 1
2
3
Luas permukaan : 0,2375 m2 Temperatur Feed : 4-10oC Retentate : 4-10oC
Membran Tekanan (Psig) ulangan waktu volume (polimer % b/b) F R (menit) (ml) 8 6 2 I 0 0 II 0 0 I 5 2658 II 5 2666 I 5 2390 II 5 2380 I 5 2370 II 5 2366 I 15 6640 II 15 6636 I 15 6309 II 15 6290 I 15 6186 II 15 6200 10 6 2 I 0 0 II 0 0 I 5 2430 II 5 2425 I 5 2400 II 5 2390 I 5 2180 II 5 2196 I 15 6430 II 15 6425 I 15 6130 II 15 6110 I 15 5960 II 15 6024 12 6 2 I 0 0 II 0 0 I 5 2500 II 5 2490 I 5 2364 II 5 2420 I 5 2106 II 5 2100 I 15 6008 II 15 5980 I 15 5680 II 15 5662 I 15 5610 II 15 5604
flux (L/Jam.m2) 134.32 134.72 120.78 120.27 119.77 119.56 111.85 111.78 106.27 105.95 104.20 104.44 122.80 122.55 121.28 120.78 110.16 110.97 108.31 108.23 103.26 102.92 100.39 101.47 126.34 125.83 119.46 122.29 106.43 106.12 101.20 100.73 95.68 95.38 94.50 94.40
Lampiran 3. Data rekapitulasi fluks albumin (lanjutan). Fluks albumin Kadar asetil 43,05 % Luas permukaan : 0,2375 m2 Diklorometana Temperatur Feed : 4-10oC Tekanan Feed : 6 psig Retentate : 4-10oC Tekanan retentate : 2 psig No. 1
Membran (polimer %) 8
Tekanan (Psig) F R 6 2
2
10
6
2
3
12
6
2
ulangan I II I II II I II I II I I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II
waktu volume flux (menit) (ml) (L/Jam.m2) 0 0 0 0 5 2090 105.62 5 2086 105.41 10 2000 101.07 10 1995 100.82 15 1890 95.51 15 1886 95.31 30 5680 95.68 30 5690 95.85 45 5650 95.17 45 5500 92.65 60 5360 90.29 60 5370 90.46 0 0 0 0 5 2050 103.60 5 2045 103.34 10 1830 92.48 10 1838 92.88 15 1780 89.95 15 1800 90.96 30 4720 79.51 30 4780 80.52 45 4412 74.32 45 4308 72.57 60 4264 71.83 60 4235 71.34 0 0 0 0 5 2054 103.80 5 2040 103.09 10 1890 95.51 10 1875 94.75 15 1740 87.93 15 1736 87.73 30 4890 82.37 30 4876 82.14 45 4210 70.92 45 4204 70.82 60 4066 68.49 60 4072 68.59
Lampiran 3. Data rekapitulasi fluks albumin (lanjutan). Fluks albumin Kadar asetil 43,84 % Diklorometana Tekanan Feed : 6 psig Tekanan retentate : 2 psig No. 1
2
3
Luas permukaan : 0,2375 m2 Temperatur Feed : 4-10oC Retentate : 4-10oC
Membran Tekanan (Psig) ulangan waktu (% polimer) F R (menit) 8% 6 2 I 0 II 0 I 5 II 5 I 10 II 10 I 15 II 15 I 30 II 30 I 45 II 45 I 60 II 60 10% 6 2 I 0 II 0 I 5 II 5 I 10 II 10 I 15 II 15 I 30 II 30 I 45 II 45 I 60 II 60 12% 6 2 I 0 II 0 I 5 II 5 I 10 II 10 I 15 II 15 I 30 II 30 I 45 II 45 I 60 II 60
volume (ml) 0 0 2030 2026 1930 1940 1875 1870 5600 5360 5200 5210 4950 4968 0 0 1946 1940 1870 1836 1656 1650 4590 4610 4100 4110 4064 3986 0 0 1668 1660 1430 1430 1086 1074 3044 3006 2712 2730 2464 2304
flux (L/Jam.m2) 102.58 102.38 97.53 98.04 94.75 94.50 94.33 90.29 87.59 87.76 83.38 83.68 98.34 98.04 94.50 92.78 83.68 83.38 77.32 77.65 69.06 69.23 69.06 69.23 84.29 83.89 72.26 72.26 54.88 54.27 51.28 50.64 45.68 45.99 41.51 38.81
Lampiran 4. Rekapitulasi data rejeksi albumin. Kadar asetil Diklorometana Tekanan Feed Retentate No. 1
Membran
: 43,84 % : 6 psig : 2 psig Tekanan (psig )
(polimer (%)
F
R
8
6
2
Ulangan I
Waktu
Absorbansi
(menit)
F
0
0.0830
P
Konsentrasi F
P
Rejeksi albumin (%)
II I
5
0.07
500.00 427.09
14.58
0.07
500.00 432.86
13.43
0.07
500.00 421.33
15.73
0.07
500.00 421.33
15.73
0.06
500.00 363.69
27.26
0.06
500.00 352.16
29.57
0.06
500.00 352.16
29.57
0.06
500.00 357.92
28.42
0.06
500.00 346.40
30.72
0.06
500.00 352.16
29.57
0.05
500.00 306.05
38.79
0.05
500.00 311.81
37.64
0.05
500.00 282.99
43.40
0.04
500.00 271.46
45.71
10
0.04
500.00 236.88
52.62
0.04
500.00 242.64
51.47
15
0.03
500.00 208.05
58.39
0.04
500.00 225.35
54.93
0.03
500.00 185.00
63.00
0.03
500.00 179.23
64.15
45
0.03
500.00 179.23
64.15
0.03
500.00 167.71
66.46
60
0.02
500.00 150.41
69.92
0.02
500.00 156.18
68.76
0.04
500.00 219.58
56.08
0.03
500.00 213.82
57.24
0.03
500.00 179.23
64.15
0.03
500.00 190.76
61.85
0.03
500.00 161.94
67.61
0.03
500.00 167.71
66.46
0.02
500.00 144.65
71.07
0.02
500.00 138.88
72.22
0.02
500.00 133.12
73.38
0.02
500.00 133.12
73.38
0.02
500.00 110.06
77.99
0.02
500.00 104.30
79.14
II I
10
II I
15
II I
30
II I
45
II I
60
II 2
10
6
2
I
0
0.0830
II I
5
II I II I II I
30
II I II I II 3
12
6
2
I
0
0.0830
II I
5
II I
10
II I
15
II I
30
II I
45
II I II
60
Lampiran 4. Rekapitulasi data rejeksi albumin (lanjutan). Kadar asetil Dimetilsulfoksida Tekanan Feed Retentate No. 1
Membran
: 43,05 % : 6 psig : 2 psig Tekanan (psig )
(polimer %b/b)
F
R
8%
6
2
Ulangan Waktu I
Absorbansi
(menit)
F
0
0.083
R
Konsentrasi (ppm) F
R
Rejeksi albumin (%)
II I
5
II I
10
II I
15
II I
30
II I
45
II I
60
II 2
10%
6
2
I
0
0.08 500.00 467.44
6.51
0.08 500.00 455.92
8.82
0.08 500.00 455.92
8.82
0.08 500.00 455.92
8.82
0.07 500.00 409.80
18.04
0.07 500.00 398.27
20.35
0.07 500.00 427.09
14.58
0.07 500.00 438.62
12.28
0.07 500.00 421.33
15.73
0.07 500.00 421.33
15.73
0.07 500.00 432.86
13.43
0.07 500.00 432.86
13.43
0.08 500.00 455.92
8.82
0.083
II I
5
II I
0.08 500.00 455.92
8.82
10
0.07 500.00 444.39
11.12
0.08 500.00 450.15
9.97
15
0.07 500.00 421.33
15.73
0.07 500.00 432.86
13.43
30
0.07 500.00 409.80
18.04
0.07 500.00 415.57
16.89
45
0.06 500.00 363.69
27.26
0.06 500.00 369.45
26.11
60
0.06 500.00 352.16
29.57
0.06 500.00 357.92
28.42
0.08 500.00 450.15
9.97
II I II I II I II I II 3
12%
6
2
I
0
0.083
II I
5
II I
0.08 500.00 455.92
8.82
10
0.06 500.00 375.22
24.96
0.06 500.00 369.45
26.11
15
0.06 500.00 352.16
29.57
0.06 500.00 340.63
31.87
0.06 500.00 340.63
31.87
0.06 500.00 340.63
31.87
0.05 500.00 317.57
36.49
0.05 500.00 311.81
37.64
0.05 500.00 294.52
41.10
0.05 500.00 282.99
43.40
II I II I
30
II I
45
II I II
60
Lampiran 4. Rekapitulasi data rejeksi albumin (lanjutan). Kadar asetil Diklorometana Tekanan Feed Retentate No. 1
Membran
: 43,05 % : 6 psig : 2 psig Tekanan (psig )
(polimer%b/b)
F
R
8%
6
2
Ulangan I
Waktu
Absorbansi
(menit)
F
0
0.083
R
Konsentrasi (ppm) F
Rejeksi albumin
R
(%)
0.071 500.00
427.09
14.58
0.070 500.00
421.33
15.73
0.066 500.00
398.27
20.35
0.062 500.00
375.22
24.96
0.060 500.00
363.69
27.26
0.060 500.00
363.69
27.26
0.059 500.00
357.92
28.42
0.058 500.00
352.16
29.57
0.057 500.00
346.40
30.72
0.055 500.00
334.87
33.03
0.056 500.00
340.63
31.87
0.055 500.00
334.87
33.03
0.068 500.00
409.80
18.04
0.066 500.00
398.27
20.35
10
0.060 500.00
363.69
27.26
0.059 500.00
357.92
28.42
15
0.056 500.00
340.63
31.87
0.055 500.00
334.87
33.03
0.055 500.00
334.87
33.03
0.055 500.00
334.87
33.03
45
0.043 500.00
265.70
46.86
0.044 500.00
271.46
45.71
60
0.040 500.00
248.40
50.32
0.039 500.00
242.64
51.47
0.045 500.00
277.23
44.56
0.046 500.00
282.99
43.40
0.038 500.00
236.88
52.62
0.036 500.00
225.35
54.93
0.033 500.00
208.05
58.39
0.033 500.00
208.05
58.39
0.027 500.00
173.47
65.31
0.026 500.00
167.71
66.46
45
0.025 500.00
161.94
67.61
0.025 500.00
161.94
67.61
60
0.023 500.00
150.41
69.92
0.024 500.00
156.18
68.76
II I
5
II I
10
II I
15
II I
30
II I
45
II I
60
II 2
10%
6
2
I
0
0.083
II I
5
II I II I II I
30
II I II I II 3
12%
6
2
I
0
0.083
II I
5
II I
10
II I
15
II I
30
II I II I II
Lampiran 5. Analisa ragam karakteristik membran selulosa asetat. Daftar analisa sidik ragam pengaruh komposisi casting terhadap fluks albumin. dF
SS
MS
F hit
F Tab 5%
SS Kadar Asetil
1
19030.89
19030.89
69975.69*
(1,12) 4.75
(1,12) 9.33
SS pelarut
1
2685.49
2685.49
9874.42*
(1,12) 4.75
(1,12) 9.33
Sumber keragaman
F tab 1%
SS total kons (K.asetil)
4
1547.23
386.81
1422.27*
(4,12) 3.26
(4,12) 5.41
SS pelarut X Kon(k.asetil)
4
1057.47
264.37
972.07*
(4,12) 3.26
(4,12) 5.41
SS Error
12
3.26
0.27
SS Total
23
35918.96
1561.69
Keterangan : *) berbeda sangat nyata
Daftar analisa sidik ragam pengaruh komposisi casting terhadap rejeksi albumin 500 ppm . Sumber keragaman
dF
SS
MS
F hit
F Tab 5%
F tab 1% (1,12) 9.33
SS Kadar Asetil
1
437.54
437.54
718.28*
(1,12) 4.75
SS pelarut
1
10764.25
10764.25
17671.13*
(1,12) 4.75
(1,12) 9.33
SS total kons (K.asetil)
4
3053.91
763.48
1253.36*
(4,12) 3.26
(4,12) 5.41
SS pelarut X Kon(k.asetil)
4
927.45
231.86
380.64*
(4,12) 3.26
(4,12) 5.41
SS Error
12
7.31
0.61
SS Total
23
17515.13
761.53
Keterangan : *) berbeda sangat nyata
Lampiran 6. Hasil Uji Lanjut Newman-Keuls Data Hasil Penelitian.
Hasil uji Newman-Keuls pengaruh konsentrasi polimer (43,05 %) terhadap fluks albumin. Perlakuan Konsentrasi (b/b)
Rata-rata (L/jam.m2 )
B1(A2)
98,87
B2(A2)
86,37
B3(A2)
81,39
Peringkat
A B C
Hasil uji Newman-Keuls pengaruh konsentrasi polimer (43,84 %) terhadap fluks albumin. Perlakuan Konsentrasi (b/b)
Rata-rata (L/jam.m2 )
B1(A1)
42,12
B2(A1)
34,39
B3(A1)
21,17
Peringkat
A B C
Keterangan : A1 = Kadar asetil 43,84 % A2 = kadar asetil 43,05 %
*
B1 = Konsentrasi polimer 8 % B2 = Konsentrasi polimer 10 % B3 = Konsentrasi polimer 12 %
C1 = Diklorometana C2 = Dimetilsulfoksida
Huruf-huruf yang sama menyatakan rata-rata tidak berbeda nyata Huruf-huruf berbeda menyatakan rata-rata berbeda nyata
Lampiran 6. Hasil uji lanjut newman-keuls data hasil penelitian (lanjutan).
Hasil uji newman-keuls pengaruh interaksi jenis pelarut dan konsentrasi terhadap fluks albumin. Perlakuan
Rata-rata (L/jam.m2 )
Peringkat
Pelarut*Konsentrasi(kadar asetil) C1B1(A2) C1B2(A2) C1B3(A2) C2B1(A2) C2B2(A2) C2B3(A2)
105,25 101,28 94,31 92,49 71,41 68,47
A B C D E F
Hasil uji newman-keuls pengaruh interaksi jenis pelarut dan konsentrasi terhadap fluks albumin. Perlakuan
Rata-rata (L/jam.m2 )
Peringkat
Pelarut*Konsentrasi(kadar asetil) C1B1(A1) C1B2(A1) C1B3(A1) C2B1(A1) C2B2(A1) C2B3(A1)
84,24 68,78 42,33 0,00 0,00 0,00
A B C D D D
Keterangan : A1 = Kadar asetil 43,84 % A2 = kadar asetil 43,05 %
*
B1 = Konsentrasi polimer 8 % B2 = Konsentrasi polimer 10 % B3 = Konsentrasi polimer 12 %
C1 = Diklorometana C2 = Dimetilsulfoksida
Huruf-huruf yang sama menyatakan rata-rata tidak berbeda nyata Huruf-huruf berbeda menyatakan rata-rata berbeda nyata
Lampiran 6. Hasil uji lanjut newman-keuls data hasil penelitian (lanjutan).
Hasil uji Newman-Keuls pengaruh konsentrasi polimer (43,05 %) terhadap rejeksi albumin. Perlakuan Konsentrasi (b/b)
Rata-rata (L/jam.m2 )
B1(A2)
55,80
B2(A2)
39,94
B3(A2)
22,94
Peringkat
A B C
Hasil uji Newman-Keuls pengaruh konsentrasi polimer (43,84 %) terhadap rejeksi albumin. Perlakuan Konsentrasi (b/b)
Rata-rata (L/jam.m2 )
B1(A1)
39,28
B2(A1)
34,67
B3(A1)
19,11
Peringkat
A B C
Keterangan : A1 = Kadar asetil 43,84 % A2 = kadar asetil 43,05 %
*
B1 = Konsentrasi polimer 8 % B2 = Konsentrasi polimer 10 % B3 = Konsentrasi polimer 12 %
C1 = Diklorometana C2 = Dimetilsulfoksida
Huruf-huruf yang sama menyatakan rata-rata tidak berbeda nyata Huruf-huruf berbeda menyatakan rata-rata berbeda nyata
Lampiran 6. Hasil uji lanjut newman-keuls data hasil penelitian (lanjutan).
Hasil uji newman-keuls pengaruh interaksi jenis pelarut dan konsentrasi terhadap rejeksi albumin. Perlakuan Pelarut*konsent B3C1(A2) B2C1(A2) B1C1(A2) B3C2(A2) B2C2(A2) B1C2(A2)
Rata-rata (% ) 69,34 50,90 42,25 32,45 28,99 13,43
Peringkat A B C D E F
Hasil uji newman-keuls pengaruh interaksi jenis pelarut dan konsentrasi terhadap rejeksi albumin. Perlakuan Pelarut*konsent B3C1(A1) B2C1(A1) B1C1(A1) B3C2(A1) B2C2(A1) B1C2(A1)
Rata-rata (% ) 78,56 69,34 38,21 0,00 0,00 0,00
Peringkat A B C D D D
Keterangan : A1 = Kadar asetil 43,84 % A2 = kadar asetil 43,05 %
*
B1 = Konsentrasi polimer 8 % B2 = Konsentrasi polimer 10 % B3 = Konsentrasi polimer 12 %
C1 = Diklorometana C2 = Dimetilsulfoksida
Huruf-huruf yang sama menyatakan rata-rata tidak berbeda nyata Huruf-huruf berbeda menyatakan rata-rata berbeda nyata
Lampiran 7. Kurva standar albumin.
Absorbansi
Kurva Standar Albumin 500 ppm 0,09 0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0
y = 0,0002x - 0,0026 R2 = 0,9888
0
100
200
300 Konsentrasi
400
500
600
Lampiran 8. Karakteristik Pelarut Dimethyl sulfoxide. (Methyl Sulfoxide; DMSO). CAS : 67-68-5. (CH3)2SO. Tabel 1. Karakteristik dimethyl sulfoxide. Formula (CH3)2SO Boiling point (oC) 189 Melting point (oC) 18.5 o Density (20/20 C) 1.10 Specific heat (cal/g.K) 0.7 Flash point (95oC) (OC) 203 oF Dielectric constant (20oC) 48.9 Sumber : Lewis (1993).
H3C
S
CH3
O Dimetilsulfoksida Dimethylsulfoxide merupakan bahan kimia yang tidak berwarna, cairan higroskopik, tidak berbau, sedikit asam, pelarut aprotik kuat, larut dalam air, alcohol, benzene, aseton, kloroform. Hasil turunan Oksidasi dari dimethylsulfoxide dengan Nitrogen tetraoksida dalam kondisi anhidrat; cairan limbah sulfide. Bahaya : Dapat berpenetrasi ke dalam kulit dan jaringan lainnya. Hal ini diperkuat oleh FDA tetapi masih dipertanyakan kebenarannya. Kegunaan : Pelarut untuk proses polimerasi dan reaksi sianida; reagen analisis; pembersih dalam industri; pestisida, peluntur cat; bahan tambahan dalam poliacrilonitril; fluida hidraulik; produk parmasi; agen pelengkap logam.
Lampiran 8. Karakteristik pelarut (lanjutan). Methylene chloride. (Methylene Dichloride; Dichloromethane). CAS : 75-09-2. CH2Cl2. Table 2. Karakteristik methylene chloride. Formula CH2Cl2 Molecular weight (g/mol) 86.95 Density (d 20o/4oC) 1.36 Melting point (oC) -97 Boiling point (oC) 39 Inflammation temperature (oC) o Reaction index (n 20 /D) 1.4230 Dynamic viscosity (20oC) (mPa S) 0.43 Magnetic suszeptibility (20oC) -0.733 x 10(-6) Dielectrical constant 8.93 Dipole momentum (D) 1.5 Polarity (kJ/mol) 172.0 Donor strength (kJ/Mol) 10.0 1 Chemical Shift (ppm) H : 5.31 13 C : 53.73 2 Coupling constant (Hz) J(H,D) = 1,1 1 J(C,D) = 27.2 Sumber : Lewis (1993). Cl H
C
H
Cl Diklorometana Turunan : Klorinasi dari methyl chloride dan destilasi bertingkat. Bahaya : Beracun, narkotica, TLV : 50 ppm dalam air; diduga sebagai penyebab kanker. Kegunaan : Penghilang cat, proses pembuatan plastic, ekstraksi pelarut, pelarut untuk selulosa asetat.
Lampiran 9. Diagram alir pemurnian selulosa asetat mikrobial (Nakano-sumise,1994)
Nata de coco
Pengecilan ukuran (pisau)
Air
Air
NaOH 1 % (b/v)
Air
Pencucian (air)
Air
Perendaman T=26-28oC, t = 24 jam Perendaman t = 12 jam Pembilasan (air) (5-6 kali)
Air
Pengepresan (kempa hidrolik)
Air
Pengeringan T = 40oC, t = 12 jam
Air
Penghancuran (hammer mills), 40 mesh
Serbuk selulosa
Lampiran 10. Diagram alir pembuatan selulosa asetat (Malm dan Hiatt, 1954)
Serbuk nata de coco
Asam asetat
Aktivasi T = 40oC, t = 5jam
H2SO4 1%
Asetilasi T= 50oC, t = 5 jam.
H2SO4 1%
Hidrolisis T= 50oC , t = 1 & 3 jam.
Asetat glacial(1:1.6) Asetat anhidrat(1:2.5)
Asam asetat
Sentrifugasi 2000 rpm,15 menit Presipitasi Air
Pembilasan Pengeringan T= 50oC, t= 5 jam Selulosa Asetat
Air dan asam asetat
Lampiran 11. Diagram alir pembuatan membran selulosa asetat (Wenten, 1999).
Selulosa asetat mikrobial Diklorometana/ Dimetilsulfoksida
Pencampuran (24 jam, 26-28oC) Penyimpanan (5 hari, 26-28oC) Pencetakan (0-1oC) Penguapan (0-1oC, 30 detik)
Air es
Air es
Perendaman/penyimpanan (4oC, 24 jam) Pembilasan pada air mengalir
Pemotongan (D = 5,5 cm)
Membran selulosa asetat mikrobial