VARIASI DIALEKTAL DALAM MUATAN LOKAL BAHASA MADURA DI JAWA TIMUR Agusniar Dian Savitri1 Universitas Negeri Surabaya
Hasil kajian dialektologis dapat memberikan manfaat bagi bidang pendidikan, begitupula sebaliknya. Contoh manfaat tersebut adalah peta bahasa. Melalui peta bahasa dapat diketahui variasi penggunaan bahasa berdasarkan aspek geografisnya. Berkaitan dengan bahasa Madura di Jawa Timur, terdapat daerah yang berbahasa Madura dan daerah yang terpengaruh bahasa Madura. Peta bahasa yang dihasilkan oleh Kisyani (2004) menunjukkan hal tersebut. Pada gambar peta 1 terdapat dua daerah bahasa yaitu bahasa Jawa dan bahasa Madura. Bahasa Jawa terdiri atas dua dialek yaitu dialek Osing dan dialek Jawa Timur (selain Osing). Dialek Jawa Timur ini terdiri atas sepuluh subdialek, yaitu: subdialek Banyuwangi Selatan, subdialek Bojonegoro, subdialek Gresik, subdialek Lamongan, subdialek Mojokerto, subdialek Pasuruan, subdialek Rowogempol, subdialek Sidoarjo, subdialek Surabaya, dan subdialek Tengger (Kisyani, 2004).
Gambar 1 peta bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan (Kisyani, 2004)
Berdasarkan peta bahasa tersebut (Kisyani, 2004) dapat ditentukan dua muatan lokal yang diberlakukan di Jawa Timur, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Madura. Bahasa Jawa diberikan pada daerah yang merupakan daerah pemakaian bahasa Jawa sedangkan bahasa Madura diberikan pada daerah yang merupakan daerah pemakaian bahasa Madura.
Gambaran variasi dialektal sebuah bahasa dapat direfleksikan dalam peta bahasa. Peta bahasa adalah peta yang merefleksikan dan mendeskripsikan situasi pemakaian bahasa yang terjadi pada daerah tertentu (McMahon, 1995:30). Peta bahasa tersebut terbagi dalam dua peta yaitu peta peraga dan peta tafsiran. Peta peraga adalah peta yang dijadikan alat untuk menganalisis data yang diperoleh dari lapangan agar data tersebut dapat tergambar dalam perspektif geografis sedangkan peta tafsiran adalah peta yang mendeskripsikan perbedaan penting antara satu daerah dengan daerah lain (Chambers dan Trudgill, 1990:38). Perbedaan penting dalam peta tafsiran berupa perbedaan pemakaian bahasa, dialek, subdialek, maupun wicara secara geografis. Selain itu, perbedaan tersebut dapat merefleksikan budaya yang berbeda. Sehubungan dengan bahasa Madura, terdapat hasil penelitian yang menunjukkan adanya variasi dialektal bahasa Madura. Hasil penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Soetoko, dkk (1995) tentang ”Geografi Dialek Bahasa Madura di Pulau Madura”; penelitian Sofyan yang membagi bahasa Madura dalam beberapa dialek, yaitu (1) dialek Sumenep, (2) dialek Pamekasan, (3) dialek Bangkalan, (4) dialek Kangean, (5) dialek Pinggirpapas, dan (6) dialek Bawean (Sofyan, 2007:3). Selain pendapat tersebut, terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa dialek bahasa Madura terdiri atas empat dialek yaitu (1) dialek Sumenep, (2) dialek Pamekasan, (3) dialek Bangkalan, dan (4) dialek Kangean (Rifai, 2008:53). Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh peta bahasa yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa (2008). Berdasarkan analisis yang dilakukan Pusat Bahasa, dialek Bangkalan, Pamekasan, Sampang, Sapudi, dan Sumenep, secara leksikal merupakan satu dialek karena persentase perbedaannya hanya 31—50% (Mahsun, dkk., 2008). Hasil yang sama terdapat pada penelitian yang dilakukan Balai Bahasa Jawa Timur (2010). Isolek yang digunakan di Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep merupakan satu dialek. Perbedaan leksikal yang terdapat pada keempat daerah tersebut merupakan perbedaan subedialek (2010). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, kecenderungan yang terdapat pada variasi bahasa Madura adalah variasi tersebut terjadi pada tataran fonologis dan leksikal. Itu terjadi karena unsur fonologis dan leksikal merupakan unsur yang paling mudah berubah. Bahasa Madura ditetapkan sebagai muatan melalui keputusan Kandepdikbud Jatim No. 1702/104/M/94 tanggal 30 Maret 1994 (Zaini, 2007). Penetapan Bahasa Madura sebagai muatan lokal di Jawa Timur memiliki tiga permasalahan utama. Permasalahan pertama adalah penentuan dialek Madura yang diajarkan di sekolah dan ejaan bahasa Madura. Permasalahan kedua adalah ejaan bahasa Madura yang masih terdiri atas beberapa versi. Permasalahan ketiga adalah kurangnya tenaga edukatif untuk mengajar bahasa Madura baik pada tingkat SD, SMP, maupun SMU (Zaini, 2007). Dalam tulisan ini, yang akan dipaparkan hanya masalah pertama dan kedua, yaitu memberikan alternatif untuk mengatasi masalah tersebut dengan memanfaatkan kajian dialektologis. Dalam penentuan pengajaran bahasa, terdapat tiga jenjang putusan, yaitu putusan politik, putusan implementasi atas putusan politik yang telah dilakukan, dan putusan tentang pembelajarannya di dalam kelas (Corder dalam Sumarsono, tanpa tahun). Pertimbangan yang dilakukan dalam putusan politik berkaitan dengan persoalan bahasa seperti apa, bagaimana, untuk apa, dan kepada siapa bahasa tersebut diajarkan. Putusan implementasi berarti persoalan bahasa seperti apakah yang diajarkan dan bagaimana mengorganisasikannya sedangkan putusan yang ketiga berarti bagaimana siswa belajar bahasa tersebut. Jika tiga jenjang putusan tersebut digunakan dalam muatan lokal bahasa Madura, maka putusan politik yang diambil adalah variasi dialektal mana yang ditentukan untuk digunakan sebagai muatan lokal bahasa Madura di Jawa Timur. Penentuan ini tentu tidak bisa manasuka. Pemilihan yang salah dapat menyebabkan ketidakberterimaan variasi dialektal yang dipilih bagi penutur lain. Dengan kata lain, terdapat penutur yang
diuntungkan dengan penentuan variasi dialektal tersebut dan terdapat penutur yang dirugikan. Dampak yang dapat terjadi bagi penutur yang dirugikan adalah bahasa Madura yang diajarkan menjadi tidak bermakna. Patut digarisbawahi bahwa penentuan bahasa daerah sebagai muatan lokal suatu daerah tidak berarti hanya satu bahasa saja dalam satu provinsi (Sumarsono, tanpa tahun). Bahkan sangat mungkin, ditentukan dua bahasa daerah sebagai muatan lokal dalam satu kabupaten atau satu kecamatan. Mengapa demikian? Situasi kebahasaan yang berbeda dalam satu wilayah baik provinsi, kabupaten, maupun kecamatan memungkinkan hal tersebut. Contoh untuk kasus ini adalah situasi kebahasaan di Kabupaten Malang. Terdapat satu kecamatan yang menggunakan bahasa Madura dalam komunikasi seharihari di Kabupaten Malang, yaitu kecamatan Gondanglegi, sedangkan kecamatan yang lain menggunakan bahasa Jawa. Jika hanya bahasa Jawa yang ditentukan sebagai muatan lokal, tentu akan menyulitkan penutur Madura yang ada di kecamatan Gondanglegi. Selain itu, pembelajaran bahasa Jawa di kecamatan tersebut tidak akan bermakna bagi siswa. Permasalahan putusan politik tersebut tidak sekadar pada penentuan bahasa saja tetapi penentuan dialek mana yang akan dijadikan muatan lokal bahasa tertentu. Lalu bagaimanakah caranya agar dapat ditentukan bahasa dan variasi dialektal yang tepat untuk daerah tertentu? Dalam hal ini, peta bahasa dapat memberikan perannya. Berdasarkan peta bahasa Madura tampak bahwa terdapat persebaran variasi dialektal yang berkelompok pada daerah tertentu seperti yang tampak pada peta berikut.
Gambar 3 Peta Bahasa Madura di Jawa Timur (Savitri, 2009)
Berdasarkan gambar 3, terdapat kantong-kantong Madura yang menunjukkan pemakaian bahasa Madura dan dialeknya. Pengertian kantong Madura dalam hal ini adalah daerah di luar Pulau Madura yang penuturnya etnik Madura, berbahasa ibu bahasa Madura, dan menggunakan bahasa Madura sebagai alat komunikasi sehari-hari. Kantongkantong Madura tersebut biasanya berada di daerah pegunungan atau pantai yang jauh dari pusat pemerintahan. Terdapat sepuluh kantong Madura yang terdapat pada peta bahasa Madura di Jawa Timur. Kesepuluh kantong Madura tersebut terbagi dalam daerah pakai dialek bahasa Madura. Daerah sebelah timur, yaitu daerah 6, 8—12 merupakan daerah pakai bahasa Madura dialek Sumenep sedangkan daerah sebelah barat, yaitu daerah 2—4 merupakan daerah pakai dialek Bangkalan.
Adanya variasi dialektal bahasa Madura, situasi geografis dan kebahasaan penutur Madura yang berbeda tidak berarti standarisasi bahasa Madura tidak dapat dilakukan. Yang perlu diperhatikan adalah dalam standarisasi tersebut tidak menekankan pada satu dialek saja tetapi memperhatikan dialek lain. Selama ini, bahasa yang dianggap standar adalah dialek Sumenep2. Jika dialek Sumenep memang ditentukan sebagai bahasa standar tidak berarti muatan lokal bahasa Madura di Jawa timur menggunakan dialek Sumenep untuk semua daerah. Dalam muatan lokal, bahasa Madura standar dapat digunakan untuk keterampilan menulis formal. Namun hal ini pun masih menjadi pertanyaan karena dalam kegiatan formal, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah. Yang lebih tepat tampaknya, terkait dengan bahasa Madura standar, menetapkan standarisasi aturan penulisan yang dapat digunakan untuk penulisan buku ajar dan tulisan kreatif guna pengembangan bahasa Madura. Bagaimanapun, standarisasi bahasa bukan ditemukan dalam tuturan, melainkan dalam tulisan. Variasi fonologis dapat berperan dalam sistem penulisan bahasa Madura. Dengan mengaitkannya pada sebaran variasi pada peta 3, tampak bahwa dialek titik pengamatan 6 memiliki sebaran paling luas. Selain itu, dari empat belas korespondensi, hanya dua korespondensi yang memiliki kekonsistenan. Dengan demikian, dialek pada titik pengamatan 6 dapat dijadikan acuan dalam penentuan penulisan bahasa Madura, termasuk ejaan. Berbeda dengan penentuan muatan lokal pada paparan sebelumnya, dalam sistem penulisan perlu ditentukan satu dialek yang dapat dijadikan acuan bagi yang lain. Itu penting karena sistem penulisan diperlukan dalam pembelajaran bahasa Madura. Sistem penulisan yang sama dapat digunakan untuk penulisan buku ajar dan pengembangan bahasa Madura karena tulisan tersebut dapat dibaca dan dipahami oleh penutur lain yang merupakan penutur dialek yang berbeda ataupun penutur bahasa yang berbeda dengan penulis. Pembelajaran muatan lokal dikembangkan dengan melihat kedekatan peserta didik baik secara fisik maupun psikis. Dekat secara fisik berarti terdapat dalam lingkungan tempat tinggal sedangkan dekat secara psikis berarti bahan kajian muatan lokal mudah dipahami oleh kemampuan berpikir yang sesuai dengan usia peserta didik. Selain itu, dalam pelaksanaan muatan lokal, pemberian pekerjaan rumah perlu dihindari (Depdiknas, 2006). Penentuan bahan kajian dengan melihat kedekatan secara fisik dan psikis dapat dilakukan dengan mempertimbangkan variasi dialektal yang terdapat pada daerah peserta didik. Variasi dialektal dapat dipertimbangkan dalam menyusun bahan ajar bahasa Madura. Materi-materi yang dijadikan bahan ajar disesuaikan dengan kondisi kebahasaan di daerah masing-masing namun tidak melupakan kondisi kebahasaan di luar daerah tersebut. Tujuannya adalah agar siswa memiliki wawasan tentang situasi kebahasaan bahasa Madura di luar daerah mereka. Bagi sebagian besar peserta didik di kantong-kantong Madura yang mendapatkan mata pelajaran bahasa Madura, bahasa Madura bukanlah bahasa kedua bagi mereka melainkan bahasa pertama. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Madura di sekolah seharusnya tidak bertujuan membelajarkan pengetahuan tentang bahasa Madura tetapi bertujuan untuk mengembangkan kompetensi pragmatik siswa dalam berbahasa Madura. Tujuan itu akan memberikan implikasi yang cukup besar pada penanaman nilai-nilai budaya Madura. Agar tujuan tersebut dapat tercapat, dalam pembelajaran bahasa Madura, perlu disusun perencanaan yang baik. Penentuan dan pengembangan bahasa Madura sebagai muatan lokal perlu mempertimbangkan variasi dialektal. Pertimbangan variasi dialektal itu dilakukan dengan cara sebagai berikut. Pertama, memanfaatkan peta bahasa untuk menentukan bahasa Madura dialek tertentu yang akan digunakan sebagai muatan lokal di sekolah. Dengan demikian, di Jawa timur ataupun dalam satu kabupaten di Jawa Timur dapat memiliki muatan lokal bahasa Madura yang berbeda dengan daerah lain. Kedua, hasil kajian variasi
fonologis dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah sistem penulisan dan ejaan bahasa Madura. Ketiga, hasil kajian variasi leksikal maupun variasi fonologis dapat dimanfaatkan untuk pengayaan bahan ajar muatan lokal bahasa Madura. Peserta didik tidak sekadar belajar bahasa Madura dialeknya sendiri tetapi juga mendapat wawasan tentang bahasa Madura dialek lain. Dengan demikian, materi bahasa Madura dapat berbeda antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya, bergantung pada bentuk variasi yang digunakan di daerah tersebut.
Daftar Rujukan Aziz, Abdul. 2008. “Catatan dari Kongres I Bahasa Madura”. Antara Jatim 24 Desember 2008. www.antarajatim.com. Halliday, M.A.K dan Hasan, Ruqaiya. Language, Context, and Text: Aspects of Language in a Social-Semiotic Perspective. Victoria: Deakin University. Chambers, J.K. dan Trudgill, P. 1990. Dialektologi. Terj. Annuar Ayyub. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. Depdiknas. 2006. “Model Mata Pelajaran Muatan Lokal”. http://akhmad sudrajat.files.wordpress.com/2008/07/modelmapelmulok. Senin, 1 Agustus 2011 Kisyani-Laksono. 2004. Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan: Kajian Dialektologis. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. Lauder, M.R.M.T. 1993. Pemetaan dan Distribusi Bahasa-Bahasa di Tangerang. Jakarta:P3B. McMahon, A. M. S. 1995. Understanding Language Change. Cambridge: Cambridge University Press. Priantono, Bambang. 2006. “Jabaran Kecil Bahasa Madura”. 22 September 2006. www.bambangpriantono.multiply.com.
Pusat Bahasa Depdiknas. 2008. Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. Savitri, Agusniar D. 2009. “Bahasa Madura di Jawa Timur”. Tesis. Universitas Negeri Surabaya. Soetoko, dkk. 1995. “Geografi Dialek Bahasa Madura di Pulau Madura”. Laporan Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. Sofyan, Akhmad. 2007. “Dialek dan Tingkat Tutur Bahasa Madura”. Medan Bahasa Jurnal Ilmiah Kebahasaan. Sidoarjo: Balai Bahasa Surabaya. Sofyan, Akhmad. 2008. Variasi, Keunikan, dan Penggunaan Bahasa Madura. Sidoarjo: BBJT Pusat Bahasa Depdiknas Sukmawati, Dwi L. 2007. “Penggunaan Kosakata dalam Tingkat Tutur Bahasa Madura” dalam Jurnal Medan Bahasa. Vol 2 nomor 1 Juli 2007. Surabaya: BBJT Depdiknas Pusat Bahasa. Zaini, Akhmad. 2007. “Memperbincangkan Nasib Bahasa Madura: Catatan dari Seminar Prakongres Bahasa Madura”. Radar Madura Online, 25 November 2007. www.radarmadura.com.
1
[email protected];
[email protected]; Penentuan dialek Sumenep sebagai bahasa standar masih menjadi perdebatan sampai saat ini karena penutur dialek Pamekasan juga menginginkan dialeknya yang menjadi bahasa Madura standar. Itu tampak pada ejaan penulisan bahasa Madura dalam versi Pamekasan dan Sumenep. 2