Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009
PENGGUNAAN MULTIMEDIA DALAM PENGAJARAN MUATAN LOKAL BAHASA DAERAH Iqbal Nurul Azhar1
Abstraksi: Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2005, sebanyak 10 bahasa daerah di Indonesia dinyatakan telah punah, sedang puluhan hingga ratusan bahasa daerah lainnya saat ini juga terancam punah. Untuk mengatasi ini pemerintah memasukkan bahasa daerah sebagai salah satu mata pelajaran resmi yang berbentuk muatan lokal. Namun sayangnya, banyak dijumpai kelemahan dalam pengajaran muatan lokal ini, salah satunya adalah masih monotonnya sistem pengajaran bahasa daerah di kelas. Penerapan metode mengajar yang beragam yang disertai dengan penggunaan multimedia yang bervariasi diyakini mampu menutupi kelemahan ini. Artikel ini mencoba mengulas tuntas hal tersebut.
Kata-kata kunci: muatan lokal, Bahasa daerah, multimedia, kelas
Abstract: Based on a research conducted in 2005, it was found that 10 local languages had already been extinct, and another hundred languages were endangered. To solve this problem, our government placed local languages subject in the group of the official subjects that had to be studied in schools. Unfortunately, there are so many weaknesses can be found related to the teaching processes of the subject in classrooms. The monotonousness of teaching and learning activities is one of the weaknesses. The implementation of various teaching methods accompanied by the usage of multimedia in classrooms, are considered to be the best solution to solve the problem. This article discusses all about this matter.
Keywords: schools’ subject, local languages, multimedia, classroom activities.
1
Iqbal Nurul Azhar adalah pengamat pendidikan, praktisi etnolinguistik dan dosen Universitas Negeri Trunojoyo
Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009
A. PENDAHULUAN Bahasa daerah adalah bahasa komunikasi sehari-hari yang dipakai oleh masyarakat lokal. Bahasa ini telah bertahan melewati berbagai macam perubahan zaman dan telah sering bersinggungan dengan bahasa lain seperti bahasa daerah lain, bahasa asing maupun bahasa Indonesia. Akibat dari berinteraksinya bahasa ini dengan berbagai macam kondisi dan stuasi, maka muncullah berbagai macam jenis dialek dan logat yang berbeda. Akibatnya, bahasa daerah yang di ucapkan oleh satu masyarakat, meskipun secara akar dan rumpun sama, tetapi dalam prakteknya memiliki perbedaan dengan bahasa daerah yang diucapkan oleh masyarakat daerah lain. Kita ambil contoh yaitu bahasa Jawa Solo. Meskipun secara rumpun sama, namun dalam beberapa aspek, jelas berbeda dengan bahasa Jawa Banyuwangi. Demikian pula yang terjadi di Madura. Meskipun sama-sama menggunakan bahasa Madura, orang Madura akan dapat terlihat jelas apakah dia berasal dari Bangkalan atau Sumenep ketika mereka berbicara. Perbedaan ini bisa dilihat dari perbedaan aksen dan intonasi yang diucapkan oleh dua masyarakat yang berbeda tapi sama tersebut. Meskipun berbeda, bahasa daerah ini memiliki kesamaan yang tidak dapat dibantahkan terutama dalam hal yang berhubungan dengan sastra. Peribahasa adalah contoh nyata dari hal ini. Antara masyarakat Malang maupun masyarakat Yogyakarta pasti tidak akan berbeda pendapat untuk mengartikan Tut Wuri Handayani yang memiliki makna dari belakang memberikan motivasi untuk maju. Demikian juga peribahasa Madura Akantha belling kaojanan, yang memiliki makna seseorang yang tidak mempan untuk dinasehati, pastilah orang Madura Sampang maupun Madura Jember tidak akan berbeda persepsi untuk mengartikannya. Ada puluhan atau ratusan bahasa sastra dan peribahasa yang ada di masyarakat daerah yang mungkin akan sayang sekali apabila bahasa ini hilang hanya karena masyarakat daerah tidak menggunakan atau bahkan mungkin tidak mempelajarinya sama sekali. Kekhawatiran ini memang cukup berasalan. Sebuah temuan mengejutkan yang didapat dari hasil penelitian para pakar bahasa dari sejumlah perguruan tinggi menjelaskan bahwa sebanyak 10 bahasa daerah di Indonesia dinyatakan telah punah, sedang puluhan hingga ratusan bahasa daerah lainnya saat ini juga terancam punah (www. tempointeractive.com). Pada tahun 2005, berdasarkan penelitian Pusat Bahasa Depdiknas RI, bahasa daerah di Indonesia berjumlah 731 bahasa. Pada 2007 tinggal 726
Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009
bahasa,
karena
5
bahasa
diantaranya
mati
(www.elbud.or.id.htm).
Untuk
menyelamatkan bahasa daerah dari kebinasaan inilah, maka Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah mencantumkan Bahasa Daerah sebagai muatan lokal yang harus dan wajib dipelajari. Dalam sejarah pengajaran bahasa daerah, seperti survei tahun 1999 (Rusyana dalam Rosidi ‘ed.’, 1999: 72-75), bahasa daerah diajarkan di lima belas propinsi, yaitu Aceh, Sumatra Utara, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Bali. Propinsi lain
yang menyusul
mengajarkannya, yaitu Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Jakarta, Iirian Jaya, dan Nusa Tenggara Timur. Bahasa daerah yang diajarkan adalah bahasa Aceh, Gayo, Batak Mandaliling, Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Melayu, Rejang, Lampung, Sunda, Cirebon, Madura, Dayak Simpang, Dayak Kanayatan, Banjar, Kutai, Tombulu, Tonsawang, Mongondow, Bugis, Makasar, Mandar, Toraja, Tolaki. Muna, Wolio, dan Bali. Bahasa-bahasa daerah itu diajarkan di semua SD dan SLTP. Untuk tingkat SLTA, seperti bahasa Jawa baru diajarkan di sekolah guru dan SMU Bahasa. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang pada substansinya adalah kurikulum berbasis kompetensi, menawarkan setitik asa terhadap peningkatan kualitas pembelajaran bahasa daerah sebagai salah satu muatan lokal. Bahasa daerah yang dulunya posisinya masih belum pasti karena tidak ada aturan jelas tentang tata laksanya, kini mulai mendapatkan perhatian. Perhatian ini setidaknya akan meminimalisir bervariasinya perlakuan daerah terhadap mata pelajaran ini. KTSP (Depdiknas, 2006) memberikan arahan tentang posisi bahasa daerah dalam proses pembelajaran di sekolah. Mata pelajaran ini merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi siswa yang disesuaikan dengan potensi daerah beserta ciri khasnya, termasuk di dalamnya keunggulan daerah, corak kehidupan lokal daerah tersebut yang kesemuanya dikelompokkan ke dalam topik atau subtopik yang bervariasi. Inti dari mata pelajaran bahasa daerah ini ditentukan oleh Satuan Pendidikan. Keberadaan mata pelajaran bahasa daerah merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan yang tidak terpusat. Inilah wujud nyata desentralisasi pendidikan yang berakar kuat pada kearifan terhadap keadaan dan kebutuhan lokal.
Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009
Muatan lokal (mulok) sebagai salah satu unsur muatan Kurikulum 1994 mulai diterapkan sejak tahun 1994. Status mulok sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan di sekolah (dasar dan menengah) kemudian diperkuat posisinya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang disahkan pada tanggal 8 Juli 2003 (pos kupang.com). Sayangnya, meskipun sudah lama diterapkan, hasilnya ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal mendasar yang mungkin dapat dijadikan alasan adalah bahwa bahasa daerah adalah bukan bahasa official/resmi yang wajib dipakai di dalam segala kegiatan formal. Bahasa daerah hanyalah bahasa komunikasi sehari-hari yang ketika dipakaipun kadang kurang memenuhi standard penggunaannya karena sering dicampur adukkan dengan bahasa lain. Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa resmi negara Indonesia dipakai sebagai bahasa formal yang kegunaannya akhir-akhir ini menjadi “trend” dan mampu “mengalahkan” penggunaan bahasa daerah dalam masyarakat. Sebagai bukti nyata ada dalam pelaksanaan Festival Duta Wisata di Madura. Dari hasi pengamatan penulis2, tidak kurang dari 40 persen peserta festival tidak bisa berbahasa daerah, 60 persen sisanya bisa berbahasa daerah dengan catatan bahasa yang mereka pakai adalah bahasa kasar3. Hanya 3 persen dari keseluruhan peserta festival tersebut yang mampu secara lancar mengungkapkan idenya dengan menggunakan bahasa halus secara tepat dan lancar. Fenomena ini dapat menjadi pukulan telak terhadap masyarakat Madura, karena para calon duta wisata yang diharapkan mampu mewakili nama baik kota tempat kelahiran mereka ternyata memiliki kelemahan yang mungkin bagi sebagian masyarakat yang masih memegang teguh budaya sebagai cacat yang tidak termaafkan. Berkaca dari pengalaman tersebut, maka timbul sebuah pertanyaan yang perlu kita kaji secara mendalam. Mengapa semua itu bisa terjadi? Secara logis, satu pertanyaan tersebut muaranya berasal dari dua hal. Yang pertama adalah dari faktor keluarga sebagai basis pendidikan terkecil dari masyarakat, dan yang kedua adalah dari tempat mereka menimba ilmu yaitu sekolah. Dan andaipun kita diminta untuk membandingkan keduanya, lebih besar manakah pengaruh keluarga dan sekolah yang menyebabkan fenomena ini mampu terjadi, maka kita dengan yakin dapat menunjuk sekolah sebagai bagian yang menyumbang tangan terhadap adanya 2 3
Penulis pernah menjadi juri Story Telling dalam Festival Kacong-Jebbing Bangkalan Bahasa Madura memiliki tiga tingkatan, Enja’-Iyah (kasar), Enggi-Enten (menengah), EnggiBunten (halus)
Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009
fenomena ini terjadi. Mengapa Sekolah? Karena jelas lembaga ini memiliki perangkat formal yang sebenarnya sangat mampu menanggulangi masalah tersebut. Perangkat pertama adalah sistem, yang kedua adalah kurikulum. Sistem dapat memaksa anak-anak untuk belajar bahasa daerah dengan baik dan benar melalui pelaksanaan pembelajaran formal sehari-hari yang kemudian secara formal pula dikhiri dengan ujian, sedangkan kurikulum adalah kerangka dan pedoman nyata akan kemana mata pelajaran muatan lokal ini diarahkan. Sistem dan kurikulum ini memang telah diimplementasikan oleh sekolah-sekolah yang mengajarkan muatan lokal bahasa daerah. Namun sayangnya ada banyak sekali kelemahan yang dijumpai, diantara lain: (1) materi pengajaran bahasa daerah lebih banyak menekankan pada pembahasan peribahasa, arti kosakata, isi dari sebuah teks, perubahan bahasa kasar ke bahasa halus, dan bagaimana menulis dengan huruf kuno (honocoroko, hanacaraka), sedang pembahasan tentang tata bahasa daerah yang baik dan bagaimana mengucapkan satu kata lewat metode menyimak, jarang dilaksanakan. Padahal tidak semua siswa di sekolah tersebut adalah
asli orang daerah tersebut.
Mereka butuh kaset atau media lainnya yang bisa mereka pelajari di rumah yang berisi kosakata dan bagaimana cara mengucapkannya. (2) kegiatan pembelajaran masih menggunakan gaya lama, yaitu ceramah dan jarang melibatkan kegiatan praktek seperti presentasi menggunakan bahasa daerah halus, atau memberikan sambutan dengan menggunakan bahasa daerah. (3) Guru jarang atau bahkan mungkin tidak pernah memakai peralatan multimedia seperti tape, dan TV untuk mengajarkan bahasa daerah di kelas. Padahal sumber belajar anak-anak tidak hanya ada di buku diktat mereka saja. Kelemahan yang dipaparkan di atas menyebabkan pengajaran bahasa daerah terkesan monoton dan membosankan, sehingga banyak diantara siswa yang malas untuk belajar dengan sungguh-sungguh ketika pengajaran bahasa ini dilaksanakan. Dari apa yang telah disebutkan di atas, maka tulisan ini mencoba menawarkan konsep pengajaran muatan lokal bahasa daerah dengan memanfaatkan multimedia sebagai salah satu sarana untuk menarik minat siswa untuk lebih tekun belajar bahasa daerah mereka sendiri. Fokus diskusi dari konsep yang ditawarkan dalam artikel ini akan dibagi ke dalam empat poin penting yaitu; (a) bagaimana membuat pembelajaran bahasa daerah bermakna dan menarik (b) manfaat media dalam pengajaran bahasa daerah (c) sarana multimedia yang bisa dipakai dalam pengajaran bahasa daerah
Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009
(d) bagaimana memanfaatkan sarana belajar multimedia dalam pengajaran bahasa daerah.
B. MEMBUAT PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH BERMAKNA DAN MENARIK Pembelajaran bahasa daerah hendaknya berlangsung tidak sekedar meaning getting, tetapi berupa proses meaning making, sehingga akan terjadi internalisasi nilainilai dalam diri siswa. (wibawa, sutrisna, 2007). Dengan pola ini, siswa tidak dipaksa bekerja keras menggunakan aspek kognitif mereka untuk memahami seperangkat kaidah. Energi mereka lebih diarahkan kepada pengembangan aspek afektif, sesuai dengan sifat bahasa daerah itu sendiri yang sebagian besar bersubstansikan nuansa afektif. Konsep pembelajaran seperti ini akan dapat diimplementasikan dengan baik pada semua pengajaran bahasa daerah di daerah manapun, karena pada dasarnnya bahasa-bahasa daerah di Indonesia memiliki karakteristik yang sama, yaitu penuh dengan substansi afektif. Belajar dari pelaksanaan pembelajaran muatan lokal kurikulum 1994, guru sebagai manajer, team leader, pendidik dan sutradara kegiatan kelas terkesan kurang memahami apa yang ditulis dalam GBPP mereka. Tanpa pemahaman penuh terhadap apa yang tertulis dalam GBPP tersebut, mereka melaksanakan kegiatan belajarmengajar. Dengan penuh ketidakyakinan, mereka menjelaskan apa saja yang mereka ketahui. Kesulitan ini menyebabkan guru kehilangan fokus karena perhatian mereka terpecah. Selain guru harus dapat memahami GBPP, guru juga harus dapat menyiapkan skenario pembelajaran yang baik. Karena masalah inilah, guru hanya menjelaskan saja kepada siswa beberapa teori verbalistik (aspek kognitif saja) dan bukan berusaha membuat mereka memahami dan mengarahkan mereka kepada mencintai (salah satu aspek afektif).
Tentu keadaan ini dapat dijadikan sebagai cermin berharga untuk
berkaca terhadap kelemahan pembelajaran bahasa daerah saat ini yang dapat digunakan untuk pembenahan pembelajaran bahasa daerah di tahun-tahun yang akan datang. Pola pembelajaran bahasa daerah dengan KBK didasarkan atas pendekatan kontekstual atau yang dikenal dengan pola pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning). Pembelajaran kontekstual sebagai dijelaskan dalam KTSP (Depdiknas, 2006) adalah konsep pembelajaran yang membantu guru mengkorelasikan antara materi
Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009
atau topik yang diajarkannya dengan keadaan di kehidupan nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection) dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Untuk pelaksanaan pembelajaran, dapat digunakan pendekatan “penyatukaitan diri dengan yang dipelajari” (immerison, mencelupkan diri ke dalamnya) (wibawa, sutrisna, 2007). Penerapan dari pendekatan ini, dalam pembelajaran bahasa daerah, siswa harus dibawa secara langsung dengan cara melibatkan diri mereka ke dalam pembelajaran bahasa tersebut secara utuh. Siswa diajak menggunakan bahasa daerah secara langsung untuk menulis atau mengarang, berbicara, membaca, dan menyimak. Kebiasaan guru menguasai kelas dengan ceramahnya yang panjang lebar tentang bahasa daerah hendaknya perlu dikurangi atau bahkan mungkin dihindari. Yang diperlukan guru di dalam kelas hanyalah memberikan instruksi seperlunya untuk mengarahkan siswa bagaimana seharusnya mereka belajar bahasa daerah di kelas tersebut. Selebihnya, diserahkan kepada siswa karena merekalah sebenarnya pusat pembelajaran. Namun apabila diperlukan, guru dapat tetap menggunakan metode lama yaitu ceramah, dan itupun hanya dilaksanakan ketika benar-benar dibutuhkan, seperti ketika guru menjumpai sebuah pertanyaan yang tidak mungkin dijawab tanpa melakukan penjelasan secara klasikal di depan kelas. Proses immersion ini dapat diimplementasikan ke dalam berbagai macam kegiatan kelas. Kita ambil contoh dalam pembelajaran berbicara, siswa secara langsung belajar untuk berbicara (berkomunikasi dengan orang lain, berpidato, bercerita, dan menyanyi). Mereka diberi kesempatan untuk berekspresi menggunakan bahasa daerah mereka. Tugas guru hanyalah membetulkan jika ada kesalahan penggunaan kata dan tata bahasa. Pembelajaran menulis juga demikian. Siswa diajak menulis atau mengarang secara langsung (mengarang puisi, cerita pendek, cerita bebas, atau lainnya). Dalam pembelajaran menyimak, guru dapat menggunakan fasilitas multimedia (audio visual)
Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009
untuk membangkitkan semangat siswa dalam belajar. Multimedia ini digunakan untuk menampilkan penggunaan bahasa secara langsung yang ada di masyarakat seperti tayangan ketoprak, ludruk, lagu-lagu campur sari, pentas wayang, panembrama, karawitan, dan lomba puisi berbahasa daerah. Menggunakan permainan individu atau kelompok dalam pengajaran bahasa daerah juga dianjurkan. Selain menghindari pembelajaran yang monoton, permainan juga dipakai untuk melatih kreatifitas mereka. Semakin dini kreatifitas ini diasah, semakin bagus dan jelas hasilnya. Yang tak kalah pentingnya adalah penggunaan media. Raharjo (1991 menyatakan bahwa visualisasi mempermudah orang untuk memahami suatu pengertian. Sebuah pemeo mengatakan bahwa sebuah gambar “berbicara“ seribu kali dari yang dibicarakan melalui kata-kata (a picture is worth a thousand words). Hal ini tidaklah berlebihan karena sebuah wayang atau gambarnya akan lebih menjelaskan barangnya (atau pengertiannya) daripada definisi atau penjelasan dengan seribu kata kepada orang yang belum pernah mengenalnya. Media pembelajaran sebagai faktor eksternal dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi belajar karena mempunyai potensi atau kemampuan untuk merangsang terjadinya proses belajar. Misalnya, (a) menghadirkan obyek langka: seperti kereta kencana, jenis-jening tembang (b) konsep yang abstrak menjadi konkrit: peribahasa, sistem masyarakat, (c) mengatasi hambatan waktu, tempat, jumlah dan jarak: siaran radio atau televisi pendidikan, (d) menyajikan ulangan informasi secara benar dan taat asas tanpa pernah jemu: buku teks, modul, program video atau film pendidikan berbahasa daerah,. (e) memberikan suasana belajar yang santai, menarik, dan mengurangi formalitas.
C. MANFAAT MEDIA DALAM PENGAJARAN BAHASA DAERAH. Multimedia dalam pembelajaran tumbuh dari praktek pendidikan dan gerakan komunikasi audio visual. Media ini semula dilihat sebagai teknologi peralatan, yang berkaitan dengan penggunaan peralatan, media dan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan atau dengan kata lain mengajar dengan alat bantu audio-visual. Multimedia pembelajaran merupakan gabungan dari tiga aliran yang saling berkepentingan, yaitu
Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009
media dalam pendidikan, psikologi pembelajaran dan pendekatan sistem dalam pendidikan. Media memiliki multimakna, baik dilihat secara terbatas maupun secara luas. Munculnya berbagai macam definisi disebabkan adanya perbedaan dalam sudut pandang, maksud, dan tujuannya (www. didikwirasamodra.wordpress.com). NEA (National Education Association) dalam mustolih (2008) memaknai media sebagai segala benda yang dapat dimanipulasi, dilihat, didengar, dibaca, atau dibincangkan beserta instrumen yang digunakan untuk kegiatan tersebut. Raharjo dalam dickywirasamodra (2008) menyimpulkan beberapa pandangan tentang media. Raharjo menempatkan media sebagai komponen sumber, dan mendefinisikannya sebagai “komponen sumber belajar di lingkungan peserta didik yang dapat merangsangnya untuk belajar.” Dari definisi ini kita dapat melihat bahwa media dalam peroses pengajaran bahasa daerah dapat digunakan untuk merangsang minat belajar siswa. Dalam definisi yang lain, Rahardjo menyatakan bahwa media dalam arti yang terbatas,
adalah
sebagai
alat
bantu
proses
kegiatan
pembelajaran.
(www. didikwirasamodra.wordpress.com). Hal ini berarti bahwa media sebagai alat bantu, dapat digunakan guru bahasa daerah untuk memotivasi belajar peserta didik, memperjelas informasi/pesan pengajaran, serta memberikan tekanan pada bagian-bagian yang penting, memberi variasi pengajaran dan memperjelas struktur pengajaran. Di sini media memiliki fungsi yang jelas yaitu memperjelas, memudahkan dan membuat menarik pesan kurikulum yang akan disampaikan oleh guru kepada peserta didik sehingga dapat memotivasi belajarnya dan mengefisienkan proses belajar. Di samping itu dikemukakan bahwa kita hanya dapat mengingat 20% dari apa yang kita dengar, namun dapat mengingat 50% dari apa yang dilihat dan didengar. Karenanya, penggunaan multimedia, yaitu media yang melibatkan indera pendengaran atau penglihatan sangat berperan penting dalam proses pembelajaran bahasa daerah.
D. PEMILIHAN MEDIA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH D.1. Kriteria Memilih Media Tiap jenis media mempunyai karakteristik atau sifat-sifat khas tersendiri. Artinya, satu media mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri. Dalam
Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009
menentukan media yang akan dipakai, seorang guru akan mempertimbangkan banyak hal sebelum menggunakan media tersebut. Terdapat 6 hal yang biasanya dijadikan pertimbangan oleh guru dalam memilih media, antara lain: jangkauan, keluwesan, ketergantungan, kendali/kontrol, atribut, dan biaya operasional penggunaan media tersebut. (www. didikwirasamodra.wordpress.com). 1. Jangkauan Beberapa media tertentu lebih sesuai untuk pengajaran individual misalnya buku teks, modul, program rekaman interaktif (audio, video, dan program komputer). Jenis yang lain lebih sesuai untuk pengajaran kelompok di kelas, misalnya media proyeksi (OHT, Slide, Film) dan juga program rekaman (audio dan video). Ada juga yang lebih sesuai untuk pengajaran massal , misalnya program siaran ( radio, televisi, dan konferensi jarak jauh dengan audio).
2. Keluwesan : Dari segi keluwesan, media ada yang praktis mudah dibawa kemana-mana, digunakan kapan saja, dan oleh siapa saja, misalnya media cetak seperti buku teks, modul , diktat , dll. 3. Ketergantungan Media : Beberapa media tergantung pemakaianya pada sarana/fasilitas tertentu atau hadirnya seorang penyaji/guru. 4. Kendali / control : Kadang-kadang dirasa perlu agar kontrol belajar ada pada peserta didik sendiri (pelajar individu), pada guru (pelajaran klasikal), atau peralatan. 5. Atribut : Penggunaan media juga dapat dirasakan pada kemampuanya memberikan rangsangan suara, visual, warna maupun gerak. 6. Biaya : Alasan lain untuk menggunakan jenis media tertentu ialah karena murah biaya pengadaan atau pembuatanya. Media transparansi (OHT ) adalah sarana visual berupa huruf, lambang, gambar, grafis maupun gabungannya yang dibuat pada bahan tembus pandang atau transparan untuk diproyeksikan pada sebuah layar atau dinding dengan
Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009
menggunakan alat yang disebut “overhead projector “ atau OHP. Sebagaimana halnya dengan semua jenis media proyeksi, OHT mempunyai kemampuan untuk membesarkan bayanganya di layar atau didinding sejauh kekuatan lensa dan sinar proyeksinya dapat mendukung. Oleh sebab itu, OHT sangat sesuai untuk kegiatan seminar, lokakarya, pengajaran maupun latihan yang melibatkan kelompok sasaran yang cukup besarnya sampai efektif 60 orang. D.2. Jenis-Jenis Multimedia Untuk mengemas pembelajaran agar lebih menarik dan tidak membosankan, guru dapat memanfaatkan sarana teknologi yang ada disekitar. Pemanfaatan teknologi ini selain membantu guru untuk menyampaikan materi dapat juga meningkatkan konsentrasi, perasaan ingin tahu dan kreatifitas anak. Media cukup banyak macamnya, Raharjo (1991) menyatakan bahwa ada media yang hanya dapat dimanfaatkan bila ada alat untuk menampilkannya. Ada pula yang penggunaannya tergantung pada hadirnya seorang guru, tutor atau pembimbing (teacher independent). Media yang tidak harus tergantung pada hadirnya guru lazim tersebut media instruksional dan bersifat “self contained”, maknanya: informasi belajar, contoh, tugas dan latihan serta umpan balik yang diperlakukan telah diprogramkan secara terintegrasi. Dari berbagai ragam dan bentuk dari media pengajaran, pengelompokan atas media dan sumber belajar ekonomi dapat juga ditinjau dari jenisnya, yaitu dibedakan menjadi media audio, media visual, media audio-visual, dan media serba neka. 1. Media Audio: radio, piringan hitam, pita audio, tape recorder, dan telepon . 2. Media Visual a. Media visual diam : foto, buku, ansiklopedia, majalah, surat kabar, buku referensi dan barang hasil cetakan lain, gambar, ilustrasi, kliping, film bingkai/slide, film rangkai (film stip) , transparansi, mikrofis, overhead proyektor, grafik, bagan, diagram, sketsa, poster, gambar kartun, peta, dan globe. b. Media visual gerak : film bisu . 3. Media Audio-visual a. Media audiovisual diam : televisi diam, slide dan suara, film rangkai dan suara , buku dan suara.
Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009
b. Media audiovisual gerak : video, CD, film rangkai dan suara, televisi, gambar dan suara. . 4. Media Lain a. Papan dan display : papan tulis, papan pamer/pengumuman/majalah dinding, papan magnetic, white board, mesin pangganda. b. Media tiga dimensi : realia, sampel, artifact, model, diorama, display. c. Media teknik dramatisasi : drama, pantomim, bermain peran, demonstrasi, pawai/karnaval, pedalangan/panggung boneka, simulasi. d. Sumber belajar pada masyarakat : kerja lapangan, studi wisata, perkemahan. e. Komputer D.3. Multimedia Yang Cocok Dipakai Dalam Pembelajaran Bahasa Daerah Semua media yang disebutkan di atas sebenarnya dapat dipakai dalam pembelajaran bahasa daerah. Tergantung dari sekreatif apa guru pengajar muatan lokal tersebut. Semakin kreatif seorang guru, maka media yang digunakan selama proses belajar akan semakin bervariasi. Tidak ada batasan berapa jumlah maksimal media yang dapat dipakai di dalam kelas. Asalkan memiliki keterkaitan kuat dengan tujuan pembelajaran, dan tujuan pembelajaran tersebut tercapai maka berapapun jumlahnya, media tersebut dapat diterima Beberapa media yang sangat bermanfaat untuk digunakan di dalam kelas namun jarang dipakai oleh guru pengajar muatan bahasa daerah adalah: a. Media alat elektronik seperti VCD/DVD atau video berisi berbagai program bahasa, sastra, dan budaya daerah seperti pertunjukan wayang, berbagai upacara tradisional, lagu-lagu daerah (tembang, campur sari, karawitan) dapat dipakai di dalam kelas. Pemanfaatan alat elektronik sangat membantu anak-anak terutama yang memiliki gaya belajar Auditory dan Visual. Apabila materi yang ditayangkan dalam media tersebut kemudian di evaluasi dengan menggunakan evaluasi yang berwujud product atau performance, maka anak-anak yang memiliki gaya belajar Kinestetik akan terbantu. b. pemanfaatan program komputer dalam bentuk software yang berhubungan dengan bahasa dapat juga dipakai di dalam kelas atau sebagai sahabat siswa ketika mereka belajar mandiri. Untuk membaca dan menulis aksara Jawa, Dinas Kebudayaan
Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009
Propinsi DIY telah menghasilkan program komputer hanacaraka
yang dapat
digunakan untuk pembelajaran membaca dan menulis Aksara Jawa. c. Model pembelajaran seperti
wayang
bahasa daerah
atau
dengan memanfaatkan media pertunjukan
pertunjukan
tradisional
lainnya
kiranya
dapat
direkomendasikan untuk dilaksanakan dalam pembelajaran bahasa daerah di sekolah. d. Kegiatan ekstrakurikuler
untuk mendukung kegiatan kurikuler juga perlu
digalakkan, misalnya majalah dinding yang memuat karya siswa, sanggar sastra, karawitan, dan berbagai lomba bahasa, sastra, dan kesenian daerah. Kegiatan menggunakan bahasa daerah dalam waktu-waktu khusus juga perlu digalakkan, misalnya kegiatan sehari berbahasa Jawa (hari bahasa Jawa) di beberapa sekolah di DIY perlu diperluas ke sekolah-sekolah lain. Kegiatan pemerintahan yang menerapkan kegiatan hari bahasa Jawa juga perlu didukung dan perlu diperluas ke daerah-daerah lain. e. pemanfaatan internet (apabila ada) sangat dianjurkan di sekolah. Internet adalah gudang informasi. Melalui internet, jutaan informasi yang berhubungan dengan bahasa daerah dapat diakses dengan cepat. Beberapa website berbahasa daerah (utamanya Jawa) juga dapat digunakan untuk media pembelajaran. Situs-situs itu, antara lain: 1. www.familiazam.com/bahasa_jawa.htm 2. www.geocities.com/mohdsabilan/ 3. www.jawapalac.org/subsastra.htm/ 4. http://jv.wikipedia.org/wiki/Kaca_Utama 5. http://jonggringsaloka.org 6. http://padhang-mbulan.blogspot.com 7. www.seasite.niu.edu/Indonesian/jawa/unit1jawa.htm
E. MEMANFAATKAN MULTIMEDIA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH DI KELAS. Esensi pembelajaran muatan lokal diarahkan pada realitas penggunaan bahasa daerah dengan ragam dan laras selengkapnya yang didasarkan indeks postur batin penuturnya seperti (1) kaidah struktur, (2) contoh pemakaian bahasa yang sahih, (3)
Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009
contoh kegagalan DVC (diksi, verbositas, gramatika) yang harus dihindari, (4) antisipasi perkembangan kosakata dan (5) istilah bidang iptek. (Sunoto, 2008) Gagasan yang mengacu pada pendekatan komunikatif tersebut tersaji dalam bentuk Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Secara utuh, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang diharapkan dapat dicapai lewat pembelajaran ini dirumuskan dalam bentuk kemampuan untuk mendengaran dan memehami, berbicara, membaca dan memahami, memberikan respon secara tulisan berbagai bentuk wacana non sastra maupun sastra baik lisan maupun tulisan, dan yang terakhir adalah mampu mengapresiasi sastra daerah tersebut dalam bentuk yang lebih konkret yaitu mencintai karya sastra daerah. Dari gambaran ini kita dapat membedakan subsatansi pengajaran bahasa daerah ke dalam dua siklus besar yaitu siklus lisan dan tulisan. Dengan pemetaan ini maka kita dapat menentukan jenis multimedia pembelajaran yang akan dipakai guru di dalam kelas.
E.1 Pemakaian Multi Media Elektronik dalam Siklus Lisan dan Tulisan a. Siklus Lisan Siklus lisan terbagi dalam dua ranah yaitu ranah menyimak dan berbicara. Ketika materi belajar telah sampai pada ranah ini maka multimedia yang cocok adalah multimedia yang mampu memaksimalkan kemampuan audio dan visual siswa yaitu mata dan pendengaran mereka. Tidak hanya itu, andaikata memungkinkan, kemampuan psikomotorik mereka harus juga bisa dioptimalkan melalui kegiatan yang melibatkan pergerakan tubuh siswa, minimal gerak otot lidah dan mulut dalam bentuk pelafalan. Misalnya pada mata pelajaran muatan lokal bahasa Jawa, ketika materi telah masuk pada topik Kareman (hobby) seperti sepedhahan (bersepeda), maka sebaiknya guru tidak memulai membuka kelas dengan meminta siswa membaca teks, karena kegiatan membaca teks tidak berada dalam ranah lisan. Sebaiknya guru memulai membuka kelas dengan cara memberikan informasi-informasi pengantar yang berhubungan dengan topic (Building Knowledge of the Topic) seperti menanyakan kepada mereka apakah mereka punya sepeda, sepeda apa yang mereka punya, kapan mereka biasanya bersepada, dan bagaimana perasaan mereka ketika bersepeda. Guru
Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009
juga dapat membuka kelas dengan memutarkan kaset yang di dalamnya terdapat teks yang dibacakan dengan menggunakan narasi bahasa jawa, atau guru juga dapat memutarkan film yang berhubungan dengan hobby bersepeda dan alangkah lebih baiknya kalau hobi tersebut berhubungan dengan sepeda kuno karena lebih bernuansa tradisional. Disini akan terlihat betapa besar peranan multimedia. Selain karena siswa akan dapat mendengar dan melihat secara langsung apa sepeda itu, bagian-bagiannya seperti apa, dan cara bersepeda yang sehat itu bagaimana, perhatian mereka akan sepenuhnya tersita untuk mendengar dan melihat media yang diputar. Perhatian dari mereka inilah yang sangat penting didapatkan dalam proses belajar mengajar. Tingkat perhatian mereka dapat diukur dari hasil respon mereka terhadap pertanyaan yang diajukan oleh guru yang berkaitan dengan topik. Semakin besar perhatian terhadap media, maka semakin besar pula tingkat kebenaran jawaban mereka terhadap pertanyaan. Karena aktifitas yang dilaksanakan berada dalam siklus lisan, maka selain kegiatan menyimak, terdapat pula kegiatan berbicara. Guru dapat mensetting kegiatan ini dalam bentuk kegiatan presentasi perorangan tentang hobby bersepeda, atau andaikata guru ingin kegiatan tersebut lebih menantang lagi, guru dapat membuat kegiatan roleplay seperti seminar tentang sepeda, atau kegiatan pidato individu dengan topik budayakan hidup sehat dengan sepeda. Kegiatan presentasi ini jelas melibatkan aspek psikomotorik yaitu kegiatan menggerakkan mulut dan bagian-bagian tubuh lainnya. Ketika siswa presentasi, guru dapat menggunakan media seperti pengeras suara WA (Wireless Amplifier) untuk membantu siswa presentasi dan untuk merekam presentasi tersebut. Guru dapat memberikan penjelasan bahwa hasil pidato tersebut akan diputar di kelas sebelah, sehingga dengan adanya penjelasan ini, para siswa akan lebih bersungguh-sungguh mempersiapkan pidato bahasa daerah mereka. Hasil rekaman tersebut dapat bermanfaat banyak untuk pembelajaran bahasa daerah tersebut di masa depan. Selain dapat dijadikan model tentang pidato, hasil pidato tersebut dapat dijadikan bahan pengajaran yang berhubungan dengan tata ukara maupun kosakata. Kesalahankesalahan kosakata maupun tata bahasa yang ada di dalam pidato dapat ditampilkan dan dijadikan bahan untuk evaluasi agar tidak diulang untuk dilakukan lagi oleh siswa tahun-tahun selanjutnya.
Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009
Andaikata
guru
bermaksud
untuk
melanjutkan
topik
tersebut
dan
mengarahkannya pada pembahasan tata ukara (tata bahasa), misalnya tentang pola jejer-wasesa (Subjek-Predikat) maka guru dapat melakukan penjelasan itu dengan menggunakan slides yang ditampilkan melalui LCD ataupun lewat OHP. Penggunaan LCD maupun OHP jauh lebih efektif dari pada hanya menggunakan media tulisan di papan tulis. Selain karena menghemat waktu karena guru tidak perlu menuliskannya di papan tulis, slide yang ditampilkan dapat jauh lebih menarik karena penuh warna dan gambar. Di dalam slide juga dapat ditampilkan suara-suara unik yang mampu mengundang perhatian siswa. Andaikata guru mampu, guru dapat menambahkan slide dengan informasi tentang contoh pemakaian kata yang benar dalam kalimat, serta bagaimana intonasi yang bener cara mengucapkan kalimat tersebut. Media seperti yang sudah disebutkan di atas besar sekali peranannya dalam menumbuhkan rasa senang dan cinta terhadap bahasa daerah melalui kegiatan apresiatif dan rekreatif. Selain dengan mendengarkan berita seputar topik, siswa bisa diajak untuk menikmati lagu-lagu campursari, keroncong, dan langgam Jawa (bahasa Jawa) serta memahami makna syairnya. Menikmati acara ketoprak humor, ketoprak jampi stres, dan ludruk humor yang telah direkam dari siaran televisi sangat baik untuk dilaksanakan dalam siklus lisan ini asalkan sesuai dengan Tujuan Pembelajaran. Guru juga dapat memprogramkan kegiatan ektrakulikuler yang berhubungan dengan bahasa daerah dengan cara mengajak mereka secara langsung menikmati wayang kulit hasil garapan baru seperti yang dipentaskan oleh Ki Enthus Susmono, Ki Joko Hadiwijoyo ("dalang edan'') sampai ke wayang serius oleh Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Soedharsono. Kegiatan melihat dan menikmati secara langsung ini sangat sesuai dengan apa yang disebutkan sutrina wibaya sebagai immersion “penyatukaitan diri dengan yang dipelajari” (wibawa, sutrisna, 2007).
b. Siklus Tulisan Siklus tulisan sebagai siklus kedua terbagi dalam dua ranah yaitu ranah membaca dan menulis. Pada dua ranah ini multimedia yang cocok adalah multimedia yang mampu memaksimalkan kemampuan visual-kognitif dan psikomotorik siswa yaitu mata dan kemampuan gerak tangan mereka. Karena fokus dari siklus ini adalah membaca dan menulis, maka alat bantu mengajar yang paling dominant yang dipakai di
Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009
dalam kelas adalah teks. Karena melibatkan teks tulis, maka penggunaan LCD, buku modul, komputer, internet, dan alat tulis sangatlah optimal dalam siklus ini. Untuk membuka siklus ini guru dapat bermain-main dalam fase Building Knowledge of the Topic (memberikan pengantar informasi yang berhubungan dengan topic). Kita ambil contoh misalnya dalam pengajaran bahasa Madura. Topik yang akan diangkat adalah Namen Salak (menanam salak). Guru dapat menggunakan LCD untuk menampilkan gambar salak dan mengundang mereka untuk membuat kalimat satu saja di papan tulis yang berhubungan dengan salak. Yang dikoreksi bukan isi dari tulisan itu, tapi bagaimana bentuk tulisan tersebut, apakah terdapat kesalahan kosa kata atau salah tata bahasa. Tulisan anak-anak kemudian diberikan koreksi seperlunya. Tidak perlu terlalu detail, karena focus pembahasan bukan pada tata bahasa, tetapi pada membaca. Menuliskan satu kalimat hanya pengantar saja sebelum masuk pada materi. Setelah pengantar, guru masuk pada inti materi yaitu membaca. Ada banyak cara untuk melaksanakan kegiatan ini. Guru bisa menyuruh siswa membuka buku mereka dan membacanya jika memang guru siswa punya, atau guru memberikan foto kopi teks membaca tersebut satu persatu, atau guru bisa menampilkan teks tersebut lewat LCD atau OHP. Teks yang ada pada buku maupun slide berfungsi sebagai model bacaan bagi mereka. Model ini yang akan menjadi contoh ketika mereka akan masuk pada fase menulis. Jika guru ingin kelas menjadi lebih meriah, siswa dibagi kedalam kelompokkelompok kecil dan tiap kelompok itu diberikan amplop yang di dalamnya terdapat kertas-kertas yang berisi sebuah teks yang di potong-potong tiap paragraph. Teks tersebut berisi segala hal yang berhubungan dengan Namen Salak. Kelompok tersebut kemudian diminta menyusun potongan paragraph menjadi sebuah teks lengkap. Kelompok yang tercepatlah yang menang. Jika jumlah siswa di kelas tidak terlalu banyak, guru dapat memainkan game running dictation, yaitu permainan perkelompok yang tujuannya adalah untuk memindahkan teks ke dalam selembar kertas tulis. Untuk memainkan permainan ini, guru hanya cukup menyiapkan kertas model yang jumlahnya sesuai dengan jumlah kelompok. Kertas tersebut kemudian ditempelkan di luar kelas. Satu perwakilan siswa dari tiap kelompok dimainta keluar untuk membaca teks tersebut dan menceritakan apa yang telah dibaca dan diingatnya tentang isi teks kepada anggota kelompok yang lain.
Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009
Perwakilan tersebut kemudian digantikan oleh yang lain secara bergiliran untuk mendapatkan keseluruhan isi teks. Kelompok yang telah dapat menyusun dengan tepat dan tercepat dari teks yang ditempelkan di luar kelas, kelompok itulah yang menang. Untuk meningkatkan semangat berkompetisi yang sehat, guru dapat menyiapkan hadiah yang menarik yang bisa dinikmati bersama-sama oleh anggota kelompok yang telah memenangkan lomba. Hadiahnya cukup yang murah saja, seperti buku atau camilan. Kegiatan ini selain dapat meningkatkan antusiasme siswa dan mempererat kekerabatan diantara mereka, dapat pula meningkatkan jiwa sportivitas mereka. Untuk mengoptimalkan kemampuan psikomotorik mereka terutama dalam hal menulis, guru juga dapat memberikan tugas menulis apa saja tentang salak dengan menggunakan bahasa daerah. Siswa diberikan keleluasaan untuk mendapatkan inspirasi dengan mengajak mereka ke lab komputer dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk browsing di internet mencari informasi tambahan tentang salak. Apabila waktu tidak mencukupi, tugas mereka menulis dapat dibawa pulang sebagai PR. Dari pembelajaran yang melibatkan kegiatan membaca dan menulis dengan topik namen salak ini, kita bisa menghitung berapa banyak media yang dipakai. Ada lebih dari 7 media yang digunakan dalam kegiatan ini, dan semua media yang digunakan berfungsi untuk mendukung kegiatan pembelajaran agar lebih menarik.
F. SIMPULAN Dari paparan tentang penggunaan multimedia dalam pengajaran muatan lokal bahasa daerah di sekolah, dapat disimpulkan beberapa hal: 1. Bahasa daerah berada dalam situasi yang memprihatinkan, karena banyak penggunanya yang telah meninggalkan bahasa ini. Untuk mengatasi bertambahnya bahasa daerah yang mati, maka pemerintah memberlakukan bahasa daerah sebagai muatan lokal yang dipelajari di sekolah. 2. Meskipun menjadi muatan lokal dan diajarkan di sekolah, mata pelajaran bahasa daerah masih kurang diminati siswa. Hal ini disebabkan mata pelajaran bahasa daerah diajarkan dengan cara monoton dan klasikal. 3. Untuk mengatasi masalah ini, metode pengajaran bahasa daerah perlu dikembangkan, pengembangan ini bias lewat penerapan metode CTL, dan immersion, yaitu menyatukan diri dengan matapelajaran mereka.
Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009
4. Penggunaan multimedia juga berperan penting. Selain untuk menumbuhkan semangat belajar pada siswa, penggunaan media yang bervariasi dapat membantu dan melayani siswa dengan gaya belajar yang berbeda, Audio, Visual dan Konestetik. 5. Berbagai macam permainan dapat dimainkan dalam proses belajar siswa. Permainan ini jika di dukung oleh multimedia akan menghasilkan hasil yang luar biasa.
DAFTAR PUSTAKA Departemen Pendidikan Nasional RI, 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP): Bahan Sosialaisasi. htpp//:www.depdiknas.id.org. Rosidi, Ajip (editor). 1999. Bahasa Nusantara suatu Pemetaan Awal. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya Sunoto, L. Daya Tarik Pelajaran Bahasa Jawa. http://groups.yahoo.com. Wibawa, Sutrisna. 2007. Implementasi Pembelajaran Bahasa Daerah Sebagai Muatan Lokal. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah dalam Kerangka Budaya Yogyakarta, 8 September 2007 www. didikwirasamodra.wordpress.com. Multimedia Dalam Pembelajaran. Diakses Jumat, 12 September 2008 www. elbud.or.id.htm. Memperbicangkan Nasib Bahasa Madura. Diakses Kamis, 11 September 2008 www. mustolihbrs.blogspot.com. Multi Media dalam Pembelajaran. Diakses Jumat, 12 September 2008 www.pos kupang.com. Kurikulum Mulok Masih Terseok-seok. Diakses Kamis, 18 September 2008 www. tempointeractive.com. 10 Bahasa Daerah Punah, 700 Lainnya Terancam Diakses Jumat, 12 September 2008
Jurnal JEMBATAN MERAH Volume 3, Edisi Juli-Desember 2009