SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | DISKURSUS
Valuasi Cagar Budaya, Prespektif Manajemen Sumber Daya Budaya R. Ahmad Ginanjar Purnawibawa ahmadgpurnaw ibaw
[email protected] Departemen A rkeologi, F akultas Ilmu P engetahuan Buday a, U niv ersitas Indonesia.
Abstrak Valuasi atau menentukan nilai ekonomi pada cagar budaya merupakan upaya pelindungan cagar budaya yang masih jarang dilakukan di Indonesia. Valuasi sering dianggap belum perlu maupun masih bersifat tabu untuk diterapkan di Indonesia. Padahal dengan dilakukannya valuasi ju stru akan mempermudah pengambilan kebijakan dan pengelolaan serta pelindungan cagar budaya. Tulisan singkat ini membahas secara konseptual mengenai urgensi dilakukannya valuasi terhadap cagar budaya dan metode-metode valuasi yang telah dilakukan di luar negeri, terutama di Eropa. Dengan menyadari urgensi dari valuasi diharap dapat menggugah pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan cagar budaya, untuk mulai melakukan valuasi terhadap cagar budaya yang mereka kelola. Kata-kunci : cagar budaya, nilai ekonomi, valuasi
Pendahuluan Tidak ternilai, merupakan jawaban yang sering kali dilontarkan oleh arkeolog atau penggiat kebudayaan lain jika dihadapkan pada persoalan nilai ekonomi dari suatu cagar budaya. Menentukan nilai cagar budaya dari kacamata ekonomi masih dinilai sebagai suatu hal yang tabu. Valuasi seolaholeh dianggap menurunkan derajat warisan bangsa, dari sesuatu yang adiluhung menjadi “hanya” sebatas aset ekonomi. Jika ditinjau dari kacamata keilmuan dan kebudayaan suatu cagar budaya memang tak ternilai harganya, karena merupakan warisan yang memiliki nilai penting budaya, religi, kesejarahan dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, dalam manajemen sumber daya budaya, menentukan nilai ekonomi (valuasi) merupakan hal yang sangat penting dilakukan dalam upaya pelindungan dan pengelolaan suatu cagar budaya. Inisiatif mengenai valuasi cagar budaya telah dimulai dalam d iskusi-diskusi UNESCO sejak tahun 1960an. Pembahasan tersebut semakin berkembang pada tahun 1970an–1980an, dengan diadakannya W orld Heritage Convention serta digunakannya Burra Charter untuk menentukan nilai penting cagar budaya di banyak negara (Throsby, 2012). Walaupun telah mulai dirintis, masih banyak negara mengalami kesulitan dalam melakukan valuasi. Kendala yang dihadapi dalam menerapkan valuasi adalah memilih metode yang tepat untuk digunakan. Metode valuasi ekonomi dianggap tidak dapat mewakili nilai penting kebudayaan yang dimiliki oleh cagar budaya. Di Indonesia, valuasi terhadap cagar budaya masih sangat jarang dilakukan. Balai Pelestarian Cagar Budaya, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat dalam mengelola cagar budaya masih belum banyak melakukan valuasi cagar budaya. Tidak adanya panduan berupa peraturan perundangan merupakan salah satu penyebab belum bisa dilakukannya valuasi. Padahal sebagai aset negara, sudah sewajarnya cagar budaya dinilai secara ekonomi, agar dapat dimanfaatkan secara optimal demi kesejahteraan masyarakat . Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 111
Valuasi Cagar Buday a, Perspektif Manajemen Sumber Day a Buday a
Urgensi Valuasi Cagar Budaya Mason (2008) membagi nilai cagar budaya menjadi dua kelompok, nilai sosiokultural dan nilai ekonomi. Nilai sosiokultural meliputi nilai sejarah, simbolik, sosial, spiritual dan estetika. Nilai ini berhubungan dengan nilai penting ( significance ) kultural yang sering dipahami oleh arkeolog maupun penggiat kebudayaan. Dari kacamata arkeologi, nilai penting arkeologis sangat dipengaruhi oleh keaslian ( authenticity) bentuk, bahan, pengerjaan dan tata letak serta umur benda tersebut (Mundardjito, 2005). Sementara menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, setidaknya terdapat lima n ilai penting yang dimiliki oleh cagar budaya, yaitu; nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. Untuk kelompok nilai lain, Mason membagi nilai ekonomi dibagi menjadi use value dan non use value . Use value merupakan nilai (ekonomi) sebenarnya yg diperoleh melalui harga transaksi yang terjadi di pasar, atau nilai yang sebenarnya. Sayce (2009) juga menggunakan istilah value untuk mendefinisikan nilai ekonomi. Sementara non use value lebih bersifat personal, lebih mempertimbangkan nilai non-ekonomi yang berasal dari subjektivitas individu, berhubungan dengan keinginan untuk mewariskan cagar budaya bagi generasi mendatang. Di dalamnya termasuk nilai eksistensi, nilai pilihan (option), dan nilai warisan. Sayce menggunakan istilah worth untuk mendefinisikan nilai non-ekonomi tersebut. Diagram 1. Nilai penting cagar budaya (Mason, 2008)
Cagar Budaya
Socio cultural values Historic
Use (market) value
Cultural/Simbolic
Nonuse (nonmarket) value
Social
1. existence
Spiritual/Religious
2. option
Aesthetic
3. bequest
Economic values
Manajemen Sumber Daya Budaya (MSDB) lebih praktis dalam menyikapi permasalahan tersebut. MSDB memiliki tujuan mengelola sumber daya arkeologi demi kesejahteraan masyarakat dengan tetap memerhatikan kelestariannya, sehingga menentukan nilai ekonomi merupakan suatu langkah yang sangat perlu dilakukan dalam usaha pemanfaatan dan pelindungan cagar budaya. Valuasi ekonomi pada cagar budaya dapat membantu pengelola cagar budaya dalam pengambilan kebijakan terkait anggaran dana dan inventarisasi aset daerah. Namun belum dilakukannya valuasi sering kali menyebabkan munculnya permasalahan dalam pelindungan (pengamanan, pemeliharaan dan pemugaran), kompensasi dan insentif, serta kepemilikan cagar budaya. Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi cagar budaya dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan melalui penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran. Pekerjaan dalam pengamanan, pemeliharaan, dan pemugaran sangat terkait dengan anggaran dana. Anggaran untuk pengamanan, pemeliharaan, dan pemugaran umumnya berasal dari Pemerintah Daerah/Provinsi atau Pusat, C 112 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
R. Ahmad Ginanjar Purnaw ibaw a
tergantung dari peringkat cagar budaya. Selama in i besaran anggaran ditentukan melalui kajian/studi teknis dan serangkaian proses birokrasi di badan pengelola cagar budaya. Dengan diketahui nilai ekonomi dari suatu cagar budaya, pengelola dapat menentukan besarnya anggaran pelindungan dengan mengacu kepada nilai ekonomi tersebut. Karena nilai ekonomi seharusnya ditentukan/diketahui setelah memerhatikan keadaan fisik dan lingkungan dari cagar budaya yang bersangkutan. Langkah tersebut dapat ditempuh sebagai komplementer dari kajian/studi teknis yang telah dilakukan selama ini, ataupun sebagai acuan baru dalam menentukan besaran anggaran. Di sisi lain kompensasi dan insentif sangat terkait dengan kepemilikan cagar budaya. Pada cagar budaya yang dimiliki o leh masyarakat, ketika mereka telah memenuhi kewajiban untuk melestarikan cagar budaya tersebut, maka sesuai Undang-Undang harus diberikan imbalan berupa uang atau advokasi. Insentif tersebut dapat berupa pengurangan pajak, yang bertujuan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pelestarian cagar budaya. Akan tetapi, besaran kompensasi maupun insentif ini masih belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, sehingga besaran yang seharusnya diterima oleh pemilik cagar budaya masih belum jelas. Berdasarkan uraian d iatas, valuasi ekonomi terhadap cagar budaya sangat mendesak untuk segera dilakukan. Dengan diketahuinya nilai ekonomi yang dimiliki o leh suatu cagar budaya, besarnya dana yang dianggarkan untuk program pelindungan, pemberian insentif maupun kompensasi kepada masyarakat sebagai pemilik cagar budaya dapat dihitung dengan baik. Dengan demikian diharapkan anggaran dana dapat dioptimalkan, tepat sasaran, dan transparan untuk diakses oleh masyarakat. Urgensi lain dari valuasi cagar budaya adalah untuk dilakukannya penghitungan aset negara. Mengingat Indonesia sangat kaya akan sumber daya budaya secara kualitas dan kuantitas. Menjadikan cagar budaya sebagai aset dan menghitung nilainya secara ekonomi, akan meningkatkan aset daerah maupun nasional. Dengan tercatatnya cagar budaya sebagai aset daerah maka akan memudahkan dalam transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan, dapat dijadikan dasar identifikasi potensi ekonomi daerah dan pengembangan serta optimalisasi yang terarah. Yang paling signifikan adalah dapat menarik investasi dari pemodal untuk berinvestasi di Indonesia. Metode Valuasi Ekonomi Konsep valuasi seperti yang sudah disinggung sebelumnya, berasal dari ilmu ekonomi. Tujuan utama valuasi adalah memperkirakan atau menentukan nilai ekonomi dari suatu objek (Mohamad, 2015). Adanya nilai-nilai penting budaya pada suatu cagar budaya adalah kendala yang dihadapi dalam proses valuasi. Nilai budaya tersebut membuat valuasi ekonomi tidak semudah jika dilakukan pada bangunan-bangunan yang baru. Beberapa ahli telah berupaya merumuskan metode untuk melakukan valuasi sebaik mungkin pada cagar budaya. Metode-metode yang sering digunakan antara lain :
Compensation methods merupakan metode valuasi dengan melakukan simulasi. Dalam metode ini nilai ekonomi suatu aset dihitung berdasarkan perkiraan b iaya yang diperlukan untuk membangun ulang aset jika aset tersebut hancur atau hilang. Di Eropa, metode ini semakin sering digunakan pada cagar budaya dengan karakter perkotaan (Lazrak, 2011; Nijkamp, 2012).
Social Cost Benefit Methods menggunakan kelompok sosial tertentu yang membelanjakan uangnya di area cagar budaya tertentu. Melalui metode ini dapat diketahui nilai ekonomi dari cagar budaya yang bersangkutan. Metode ini cocok diterapkan pada cagar budaya yang menarik turis dalam jumlah besar (Snowball, 2008; Nijkamp, 2012). Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 113
Valuasi Cagar Buday a, Perspektif Manajemen Sumber Day a Buday a
Stated Preference Methods, merupakan metode yang berasal dari behavioral economic , nilai ekonomi cagar budaya diketahui dengan melakukan survei terhadap responden yang kemudian dianalisis. Metode ini bisa dibagi menjadi dua pendekatan, Contingent valuation methods dan Choice modeling . Dasar dari kedua pendekatan tersebut adalah kesediaan individu mengeluarkan uang untuk sebuah cagar budaya (Mason, 2008; Nijkamp, 2012).
Revealed Preference Methods, merupakan metode untuk menentukan nilai ekonomi dari nilai transaksi pasar yang sebenarnya (Mason, 2008; Nijkamp, 2012). Metode ini dapat dibagi menjadi tiga pendekatan; Travel Cost Method, Economic Impact Studies, dan Hedonic Price Methods . Travel Cost Method dihitung menggunakan perhit ungan biaya yang harus dikeluarkan individu untuk mengunjungi cagar budaya, termasuk tiket, karcis masuk, dan biaya akomodasi (Snowball, 2008; Mason, 2008).
Economic impact studies, menentukan nilai ekonomi berdasarkan investasi dan pekerjaan yang diperlukan dari kegiatan konservasi. Metode ini bisa d ikatakan merupakan metode yang paling sederhana (Mason, 2008). Sementara Hedonic Price Method s, merupakan metode paling unik. Metode tersebut menentukan nilai ekonomi berdasarkan keragaman atribut dari aset. Metode ini memiliki kelemahan utama dari inkonsistensi model penilaian yang digunakan (Jones and Dunse, 1996; Nijkamp, 2012). Metode lain yang dikembangkan adalah penghitungan Total Economic Value. Total Economic Value dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Total Economic Value = Actual Use Value + Option Value + Existence Value Secara sederhana actual use value adalah nilai yang berasal dari pemanfaatan langsung cagar budaya dan lingkungannya. Option value merupakan potensi yang dimiliki cagar budaya untuk dimanfaatkan di masa mendatang. Sementara existence value merupakan nilai intrinsik dari cagar budaya itu sendiri, nilai yang membuat masyarakat menjadi bagian dan memiliki suatu cagar budaya (Pearce dan Turner, 1990; Dwyer dan Forsyth, 1997). Suatu upaya valuasi terhadap cagar budaya telah dirintis oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi pada tahun 2015. Pertimbangan valuasi d ilakukan dengan membuat daftar komponen -komponen yang memengaruhi nilai dari cagar budaya. Secara garis besar, komponen tersebut dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok. Komponen internal dan komponen eksternal. Komponen internal merupakan komponen yang mempengaruhi nilai cagar budaya dari dalam, sementara komponen eksternal adalah komponen yang berasal dari luar cagar budaya tersebut. Komponen internal meliputi nilai penting budaya, gaya seni (arsitektural dan relief), lokasi cagar budaya, keutuhan bentuk, dan kualitas bahan. Sementara komponen eksternal meliputi biaya yang telah dikeluarkan untuk penelitian, pemugaran, pemeliharaan, pengamanan , dan harga ganti rugi pembelian. Komponen eksternal lain adalah fasilitas pendukung yang terdapat pada cagar budaya dan pendapatan ( income ) yang diperoleh dari pemanfaatan cagar budaya. Komponen -komponen tersebutlah yang digunakan untuk menentukan nilai ekonomi cagar budaya. Secara umum valuasi ekonomi memiliki kelebihan dibandingkan penilaian nilai penting pada cagar budaya. Keunggulan tersebut dit unjukkan dalam presentasi data yang objektif (nilai ekonomi) dan lebih menarik bagi masyarakat yang memiliki mentalitas bisn is (Mason, 2008). Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa valuasi ekonomi sangat memerlukan keterlibatan ekonom yang kompeten dalam pelaksanaannya. Selain itu, nilai kultural pun tidak bisa dilepaskan begit u saja, Mason (20 08) menyarankan proses valuasi dimulai dari identifikai, elaborasi yang berisi kombinasi antara valuasi C 114 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
R. Ahmad Ginanjar Purnaw ibaw a
ekonomi dan kultural, dan hasilnya berupa pernyataan signifikansi yang menunjukkan nilai cagar budaya secara kultural dan ekonomi.
Diagram 2. Proses valuasi (Mason, 2008).
Physical condition assessments
Identification
Elicitation/ Elaboration
Statements of significance
Typology : stakeholder consultation
Many cultural and economic methods
Group process
Task
Tool
Integration of assessments and establishing policy
Management context assessments
Keseluruhan proses valuasi yang dirumuskan oleh Mason adalah gabungan antara valuasi ekonomi dan valuasi kultural. Pada tahap identifikasi, yang dilakukan adalah mencoba mendapatkan nilai-nilai pentingpada cagar budaya melalu i tipologi nilai-n ilai dan konsultasi kepada pihak-p ihak yang terlibat dengan cagar budaya tersebut. Setelah diketahui nilai-n ilai yang dimiliki oleh suatu cagar budaya, selanjutnya dilakukan elaborasi. Elaborasi adalah berusaha menarik n ilai-nilai terpenting dari cagar budaya tersebut. Dalam metode ini dapat menggunakan pendekatan kualitatif atau kuantit atif, bahkan kombinasi keduanya. Pendekatan kuantitatif sangat baik dalam melihat hubungan antar variabel, namun tidak memerhatikan hubungan dengan konteks budayanya. Kelemahan tersebut dapat diatasi menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil kombinasi tersebut adalah statements of significance . Dalam konteks valuasi ekonomi, hasilnya berupa nilai ekonomi yang tidak hanya berasal dari perhitungan matematis namun juga pertimbangan sosio kultural. Hasil integrasi inilah yang dapat digunakan untuk menentukan kebijakan -kebijakan mengenai anggaran dalam pengelolaan cagar budaya. Suatu hal yang selama ini cukup sulit diputuskan akibat belum adanya petunjuk ataupun peraturan turunan dari Undang -Undang Nomor 11 Tahun 2010. Kesimpulan Paradigma lama beranggapan bahwa penentuan nilai penting atau nilai ekonomi dilakukan sebagai justifikasi untuk melindungi dan mempertahankan suatu cagar budaya. Namun dalam masyarakat Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 115
Valuasi Cagar Buday a, Perspektif Manajemen Sumber Day a Buday a
kontemporer saat ini, cagar budaya harus didefinisikan ulang sebagai aset yang bisa memberikan manfaat kesejarahan, budaya, dan sosio-ekonomi (Nijkamp, 2012). Selaras dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang mendukung pemanfaatan cagar budaya demi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Valuasi ekonomi menjadi sangat pentng dilakukan untuk optimalisasi manfaat dari suatu cagar budaya. Karena tulisan ini masih merupakan pembahasan konseptual, perlu dilakukan penelitian-penelitian lanjutan mengenai penerapan metode -metode valuasi yang telah disampaikan di atas ke dalam contoh kasus di Indonesia. Selain itu, perlu dilakukan pengembangan model valuasi/metode baru yang cocok untuk diterapkan di Indonesia dan bisa mengintegrasikan nilai kultural dan nilai ekonomi secara seimbang. Daftar Pustaka Dunse, N. & C. Jones. (1998). A Hedonic Price Model of Office Rents. Journal of Property Valuation and Investment , 16, 297-312 Dwyer, L. & P., Forsyth. (1997). Valuing Heritage Conservation: an Economic Perspective. Artikel dalam Nuryanti, Wiendu (Ed). Tourism and Heritage Management (pp.192-200). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Lazrak, F. Nijkamp, P. Rietveld, P. & Rouwendal, J. (2011). Cultural Heritage and Creative Cities: An Economic Evaluation Perspective. Artikel dalam Fusco Girard, L., dan P. Nijkamp (Ed). Sustainable City and Creativity (pp.225-245). Aldershot: Ashgate. Mohamad, J. dkk. (2015). Valuers’ Perception on the Current Practice of Heritage Property Valuation in Malaysia . Dipresentasikan dalam 21st Annual Pasific-Rim Real Estate Society Conference, Kuala Lumpur 18-21 Januari 2015. Mason, R. (2008). Assesing Values in Conservation Planning, Methodological Issues and Choices. Artikel dalam Fairclough, G. Harrison, R. Jameson, J.H. & Schofield, J. (Ed). The Heritage Reader (pp.99-124). London: Routledge Nijkamp, P. (2012). Heritage Economics: A Conceptual Framework. Artikel dalam Liciardi, Guido & Amirtahmasebi, Rana (Ed). The Economics of Uniqueness, Investing in Historic City Cores and Cultural Heritage Assets for Sustainable Development (pp. 75-106). Washington: The World Bank Pearce, D. & Turner, R.K. (1990). Economics of Natural Resources and the Environtment . London: Harvester Sayce, S. (2009). Valuing Heritage Assets . RICS & H.M Treasury (Ed). Kingston University London Snowball, J.D. (2008). Measuring the Value of Culture: Methods and Examples in Cultural Economics . Berlin: Springer Verlag. Thorsby, D. (2012). Heritage Economics: A Conceptual Framework. Artikel dalam Liciardi, Guido & Amirtahmasebi, Rana (Ed). The Economics of Uniqueness, Investing in Historic City Cores and Cultural Heritage Assets for Sustainable Development (pp. 45-74). Washington: The World Bank Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Data Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi 2015
C 116 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017