KESERASIAN BUDAYA PADA IMPLEMENTASI MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA Yun Iswanto Universitas Terbuka ABSTRACT Human resource has been long considered as a significant variable in a success of organizations. This situation calls for a systematic and thorough management of human resources. Success stories are abundant on how developed countries have developed and implemented human resources management. This article provides steps to be taken in order to successfully adopt the best management techniques and practices in developed countries in developing countries. Cultural differences between develop countries and developing need to be addressed. Intervention is needed to minimize constraint from social environment which by various efforts which includes shifting cultural limitation, building beliefs and cultural values to fit their management techniques and practices in local culture. Consistency in implementing these efforts will eventually result in organization success. Key words: culture fit, implementing human resource management approach
Keunggulan kompetitif suatu organisasi dalam era global saat ini sangat tergantung terutama pada bagaimana sumber daya manusia (SDM) dalam organisasi tersebut dikelola (Mendonca & Kanungo, 1996). Pernyataan tersebut tentu saja tidak mengesampingkan peran kritis dari sumber daya lain dalam organisasi, seperti keuangan, teknologi, dan sumber daya material karena bagaimanapun juga sumber daya lain tersebut pada akhirnya dihasilkan oleh usaha manusia yang kreatif, inovatif dan rajin serta kelihaian SDM organisasi dalam mengelola dan menggunakan sumber daya organisasi lainnya tersebut secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, tidak heran jika pada satu dasawarsa terakhir muncul kesadaran pentingnya pengelolaan yang baik terhadap SDM dalam organisasi. Banyak perusahaan akhir-akhir ini telah melibatkan Bagian SDM dalam penyusunan strategi perusahaan. Menurut Korn & Ferry (dalam Mendonca & Kanungo), area SDM telah menyatu dalam suatu formulasi strategi organisasi dan menjadi salah satu keahlian utama seorang Chief Executive Officer (CEO), bahkan lebih penting dari keahlian pemasaran atau penjualan. Seiring dengan meningkatnya perhatian terhadap pengelolaan SDM organisasi, meningkat pula berbagai pengembangan praktek dan teknik manajemen SDM. Pengembangan praktek dan teknik manajemen SDM tersebut ditujukan untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan terutama melalui manajemen kinerja, desain pekerjaan, sistem penghargaan, supervisi, pengembangan organisasi dan strategi perubahan organisasi. Pada akhirnya, berbagai upaya tersebut diharapkan untuk memungkinkan organisasi memelihara, meningkatkan, mendorong dan memperkuat keefektifan kerja karyawan guna mempertajam kemampuan kompetisi. Namun demikian, di banyak organisasi di Indonesia ternyata harapan itu tidak dapat terwujud (Paramita, 1989). Beberapa kasus tentang
Iswanto, Keserasian Budaya pada Implementasi Manajemen SDM
lemahnya daya kompetisi perusahaan di Indonesia dapat kita lihat pada terpuruknya banyak organisasi bisnis di Indonesia dalam satu dasawarsa belakangan ini, dan usaha-usaha recovery sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Ini merupakan permasalahan serius dalam praktek manajemen di Indonesia yang memerlukan berbagai kajian. Makalah singkat ini akan mengkaji tentang implementasi pendekatan manajemen SDM di Indonesia ditinjau dari aspek keserasian budaya. Hal ini terkait dengan hasil beberapa studi yang menyatakan bahwa kegagalan implementasi suatu pendekatan manajemen SDM dalam suatu organisasi dapat berkaitan dengan isu keserasian (keharmonisan) budaya. Secara praktis, isu keserasian budaya tersebut dapat dikaji melalui empat pertanyaan berikut. 1. Dapatkah praktek dan teknik manajemen SDM yang didesain atau dikembangkan dalam konteks sosial-budaya negara maju (misalnya Amerika Serikat), sama berhasilnya jika dipraktekkan pada organisasi yang secara fundamental memiliki lingkungan sosial-budaya yang berbeda dengan negara maju (misalnya Indonesia)? 2. Oleh karena manusia pada dasarnya memiliki sifat dasar yang sama (kecuali perbedaan sosialbudaya), apakah ada elemen inti dari praktek ilmu manajemen SDM yang memiliki aplikasi budaya secara umum sama? 3. Apakah ada segi-segi kritis dari budaya kerja negara tertentu, misalnya Indonesia, yang memungkinkan untuk memfasilitasi pemanfaatan praktek-praktek manajemen SDM? 4. Strategi khusus apa yang dapat digunakan oleh pimpinan organisasi untuk memanfaatkan fasilitator budaya dan mengatasi keterbatasan budaya dalam kaitannya untuk menjamin implementasi yang efektif dari teknik dan praktek manajemen SDM?
ISU KESERASIAN BUDAYA Pertanyaan pertama menyangkut masalah keserasian budaya yang berkaitan dengan praktek manajemen SDM yang umumnya di dasarkan pada pemikiran dan sistem nilai barat. Selama ini terdapat suatu anggapan (bahkan keyakinan dogmatis) yang dipegang teguh oleh sementara masyarakat bahwa teknik dan program manajemen SDM yang telah terbukti sukses dalam organisasi di barat (misalnya Eropa dan Amerika Serikat), dengan logika yang sama, harus juga berhasil diterapkan di negara lain khususnya negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Di sisi lain, terdapat suatu anggapan (dengan semangat dogmatis juga) yang secara diametral berbeda dengan anggapan pertama, yaitu bahwa di dalam lingkungan sosial budaya negara sedang berkembang, seperti Indonesia, telah menyatu dengannya yaitu segi yang tidak saja tidak kondusif untuk pengembangan SDM dan pembangunan ekonomi tetapi bahkan bertentangan dengan semangat pengembangan itu sendiri. Segi yang dianggap menghambat pengembangan dan pembangunan tersebut adalah: absennya semangat kerja (work ethic); fatalisme (sikap pasrah/menerima nasib) yang merupakan external locus of control bagi individu; keberagamaan (religiosity) yang menyebabkan individu mengabaikan kemajuan hidup mereka sendiri dalam kaitannya untuk memelihara lebih jauh sikap kepasrahan, dan kekeluargaan yang membuat individu lebih mementingkan kesejahteraan keluarga besar dan kaum kerabat. Oleh karena itu, diperlukan suatu pendekatan manajemen SDM strategik yang dapat mengintegrasikan budaya kerja tradisional di negara sedang berkembang dengan teknik dan praktek manajemen SDM dari negara maju. Banyak studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa transfer teknik dan praktek manajemen SDM yang didasarkan pada pemikiran dan sistem nilai dari negara maju ke negara berkembang tanpa
23
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005, 22-31
adanya penyesuaian-penyesuaian telah banyak mengalami kegagalan. Program-program yang sukses di negara maju dan gagal di negara berkembang bukan disebabkan karena kekurangan atau ketidaklayakan dari program tersebut tetapi disebabkan ketidakkritisan dalam mengadopsi program tersebut dengan mengabaikan keserasiannya dengan budaya kerja internal. Ini secara jelas harus dipahami, bahwa organisasi di negara-negara berkembang tetap memerlukan teknik dan praktek, seperti teknik dan praktek manajemen SDM yang efisien, tetapi dalam konteks budaya internal. Sebagai contoh, para ahli dan profesional telah sepakat bahwa kinerja jabatan pada budaya apapun dapat ditingkatkan melalui praktek penetapan sasaran, pemberian umpan balik kinerja, dan pemberian penghargaan yang bernilai. Oleh karena prinsip psikologi yang melandasi motivasi kerja (yang menyatu dalam praktek/program) tersebut secara universal adalah valid maka memiliki kemampuan mudah diterapkan pada keseluruhan budaya. Dengan demikian, yang menjadi persoalan di sini adalah bagaimana praktek/program tersebut dilaksanakan. Contoh lain, di Amerika Utara (Mendonca & Kanungo, 1996) umpan balik selama dalam proses reviu penilaian kinerja yang cenderung bersifat konfrontatif merupakan hal biasa. Hal ini konsisten dengan budaya Amerika Utara yang sangat individualistik yang merupakan ciri dari masyarakat dengan jarak kekuasaan rendah (low power distance). Sebaliknya, model konfrontatif tersebut tidak sesuai dengan karyawan di negara berkembang pada umumnya, dimana budaya menghindarkan diri dari membuat malu orang lain dianggap lebih penting daripada proses pembelajaran melalui reviu penilaian kinerja tersebut. Hal penting dari contoh tersebut adalah, di negara maju pada umumnya otonomi jabatan merupakan salah satu bentuk penghargaan non-ekonomi yang bernilai tinggi. Sebaliknya, di negara sedang berkembang otonomi jabatan kurang begitu diperlukan karena yang lebih bernilai bagi mereka adalah penghargaan yang berupa kepuasan kebutuhan sosial dan keamanan. Jadi, jelas bahwa masalah kesesuaian/keserasian budaya adalah sangat vital dalam mengimplementasikan berbagai teknik dan praktek manajemen SDM dalam suatu organisasi. Keberhasilan program, teknik dan proses, khususnya yang berkaitan dengan sistem sosial harus memperhatikan norma, keyakinan, dan nilai dari budaya kerja internal demi pelaksanaan aktivitas program dan proses yang efektif. Program dan praktek yang konsisten dan berakar dalam nilai dan norma budaya akan sukses dan berkesinambungan. Sebagai contoh, keberhasilan organisasi industrial yang fenomenal di Korea Utara, Taiwan, Singapura, Hongkong, dan Jepang secara luas dihubungkan baik dengan gaya manajemen maupun sifat yang berakar dalam nilai sosial konfusian, kekeluargaan, dan struktur institusi yang tidak harus Eropa ataupun Amerika. Oleh karena itu, praktek ilmu manajemen SDM perlu dimodifikasi atau cara implementasinya harus beradaptasi disesuaikan dengan nilai budaya dan keyakinan negara setempat. Dengan kata lain, organisasi harus mempertimbangkan segi-segi kritis dari budaya kerja internal yang dapat memfasilitasi atau bahkan dapat menghambat adopsi yang efektif dari praktek dan teknik manajemen negara maju. Untuk itulah, diperlukan intervensi atau strategi yang menjamin kesesuaian budaya tersebut. Sebagai contoh, pada umumnya orang Jawa tidak suka menunjukkan emosinya di depan umum. Mereka tidak suka mengkritik orang di depan umum, tidak dapat menerima perilaku agresif dan menghindari sikap mempermalukan orang lain di depan umum. Dengan demikian perlu di cari cara-cara yang lebih diplomatis dalam melakukan penilaian kinerja karyawan agar penilaian kinerja karyawan (Jawa) tersebut dapat berjalan secara efektif dan berhasil guna. Istilahnya adalah tertangkap ikannya tanpa keruh airnya.
24
Iswanto, Keserasian Budaya pada Implementasi Manajemen SDM
PERAN BUDAYA DALAM PRAKTEK MANAJEMEN SDM Isu kesesuaian budaya kedua adalah, apakah tidak ada elemen inti dari praktek manajemen SDM yang memiliki aplikasi budaya yang secara umum sama baiknya, baik diaplikasikan di negara maju maupun di negara sedang berkembang? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengidentifikasi karakteristik lingkungan sosial budaya dan budaya kerja organisasi, baik di negara sedang berkembang maupun negara maju. Untuk ini, kita perlu melihat hasil penelitian berkaitan dengan perbedaan budaya antara negara maju dan negara sedang berkembang. Hofstede (Robbins, 2003; Gibson, Ivancevich, Donnelly, & Konopaske, 2003) telah melakukan survei terhadap lebih dari 116.000 karyawan IBM yang berlokasi di 40 negara mengenai nilai yang berkaitan dengan kerja. Dari hasil analisisnya, Hofstede menemukan lima dimensi dasar yang diukur menurut skala ordinal. Dengan mengukur tingginya kelima dimensi tersebut Hofstede dapat membandingkan budaya nasional masing-masing negara. Kelima dimensi tersebut adalah: 1. Power Distance (Jarak Kekuasaan). Sejauhmana suatu masyarakat menerima kenyataan bahwa kekuasaan dalam suatu institusi dan organisasi didistribusikan secara tidak seimbang. Rentang dimensinya mulai dari relatif seimbang (low power distance) hingga sangat tidak seimbang (high power distance). Kalau suatu masyarakat menerima bahwa kekuasaan dalam suatu organisasi didistribusikan secara relatif seimbang maka masuk kategori memiliki jarak kekuasaan rendah (low power distance). Sedangkan jika suatu masyarakat menerima bahwa kekuasaan dalam suatu organisasi didistribusikan secara sangat tidak seimbang maka masuk kategori memiliki jarak kekuasaan tinggi (high power distance). 2. Uncertainty Avoidance (Penghindaran Ketidakpastian). Sejauhmana suatu masyarakat di suatu negara lebih menyenangi situasi yang terstruktur daripada tidak terstruktur. Atau dapat juga dikatakan, sejauhmana suatu masyarakat merasa terancam oleh ketidakpastian dan situasi yang ambigius melalui penyediaan stabilitas karier, mengadakan aturan-aturan yang lebih formal, tidak mentoleransi ide dan perilaku yang berbeda, dan percaya pada kebenaran serta karya para ahli secara absolut. Negara yang memiliki nilai tinggi pada penghindaran ketidakpastian maka masyarakatnya memiliki suatu tingkat kegelisahan/kekhawatiran yang tinggi yang termanifestasikan pada nervous, stres, dan agresifitas yang tinggi. 3. Individualism versus Collectivism (Individualisme lawan Kolektivisme). Individualisme menunjukkan suatu ikatan kerangka sosial yang longgar di mana seseorang dianggap hanya perhatian terhadap diri mereka sendiri dan keluarga terdekat mereka, sedangkan kolektivisme (berkelompok) dicirikan oleh kerangka sosial yang kuat di mana seseorang dibedakan antara di dalam dan di luar kelompok; mereka berharap bahwa orang-orang yang berada di dalam kelompoknya memelihara/memperhatikan mereka dan sebagai gantinya mereka akan loyal secara absolut. Kolektivisme ekuivalen dengan individualisme yang rendah (low individualism). 4. Masculinity versus Feminity (Maskulin lawan Feminin) atau Quantity of Life versus Quality of Life (Kuantitas Hidup lawan Kualitas Hidup). Jika nilai yang dominan di dalam suatu masyarakat adalah maskulin maka menunjukkan ketegasan, semangat memiliki uang dan barang, dan tidak peduli pada pihak lain, kualitas hidup atau masyarakat. Sebaliknya, Kualitas Hidup menunjukkan masyarakat yang memberikan nilai terhadap hubungan (relationships), menunjukkan kesensitifannya, dan perhatian terhadap kesejahteraan pihak lain. 5. Long-Term versus Short-Term Orientation (Orientasi Jangka Panjang lawan Orientasi Jangka Pendek). Masyarakat dengan budaya Orientasi Jangka Panjang melihat ke masa depan dan
25
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005, 22-31
memiliki nilai berhemat serta ketekunan. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki budaya Orientasi Jangka Pendek melihat masa lalu dan saat ini. Menghargai hal-hal yang bersifat tradisi dan melaksanakan tanggung jawab sosial. Berdasarkan dimensi tersebut maka ciri-ciri lingkungan sosial budaya negara berkembang dibandingkan dengan negara maju dapat dikatakan bahwa budaya negara berkembang relatif tinggi pada penghindaran ketidakpastian dan jarak kekuasaan. Relatif rendah pada individualisme dan maskulin serta berorientasi jangka pendek. Relatif tinggi penghindaran ketidakpastian menandakan ketidakbersediaan untuk mengambil risiko dan menerima perubahan organisasional yang dimanisfestasikan pada keengganan yang ada dalam diri seseorang untuk mengambil inisiatif personal di luar yang telah digariskan. Masing-masing anggota masyarakat telah memperoleh peran khusus. Penyimpangan dari peran yang telah ditentukan tersebut tidak dianjurkan bahkan akan kena sanksi. Akibatnya, individu cenderung tergantung pada kekuatan dari luar. Bersikap pasrah merupakan pendekatan hidup mereka. Untuk itu, penting bagi pimpinan organisasi mengembangkan strategi manajemen SDM guna mengelola kinerja bawahan melalui pelibatan mereka dalam penyusunan tujuan organisasi yang lebih menantang. Tingkat individualisme yang rendah menunjukkan perhatian terhadap keberhasilan kelompok lebih menjadi perhatian dibandingkan dengan keberhasilan kerja individu. Identitas individu berasal dari keanggotaan keluarga, kasta atau kaum dan komunitas. Individu harus menerima norma dan nilai keluarga, kasta, kaum, atau komunitas tersebut tanpa reserve. Masing-masing individu bekerja dalam arti untuk memelihara keluarga, memberikan kesejahteraan pada orang tua, pasangan hidup dan anak. Dalam budaya kerja yang dicirikan oleh individualisme yang rendah, cenderung tidak mencari kepuasan dari mengerjakan pekerjaan dengan baik tetapi sebaliknya dari menemukan pekerjaan yang baik. Dalam masyarakat dengan budaya individualisme yang rendah maka pimpinan organisasi harus berusaha mendorong setiap pengambilan keputusan secara konsensus dengan memperhatikan nilai-nilai kekeluargaan. Relatif tingginya jarak kekuasaan mengisyaratkan bahwa manajer dan bawahan menerima masingmasing posisi dalam hirarki organisasi dan beroperasi dari posisi yang tetap dan pasti tersebut. Manajer tidak melihat bawahan sebagai manusia seperti dirinya, demikian pula sebaliknya, bawahan juga tidak melihat atasan seperti diri mereka. Pada budaya jarak kekuasaan tinggi, kepemimpinan lebih bersifat paternalis. Dalam budaya seperti ini, seorang pemimpin lebih dituntut sebagai manusia bijaksana yang dapat dijadikan suri tauladan bagi bawahannya, tidak hanya dalam kehidupan organisasi tetapi juga dalam kehidupan pribadi. Dengan kata lain, bawahan memiliki ketergantungan yang tinggi kepada atasan dan mempunyai harapan atasan akan bertindak otokratis. Atasan akan membuat aturan-aturan untuk bawahan yang berbeda dengan aturan-aturan untuk atasan dan setiap orang mempunyai perkiraan bahwa atasan akan mendapat perlakuan yang lebih istimewa. Sebaliknya, pada masyarakat dengan jarak kekuasaan relatif rendah bawahan tidak terlalu tergantung kepada atasan. Mereka berharap atasan akan selalu berkonsultasi dengan bawahan. Tingkat maskulinitas rendah dalam konteks kerja mengisyaratkan bahwa orientasi karyawan lebih ke arah hubungan manusia atau person daripada ke arah hubungan kinerja. Hubungan interpersonal
26
Iswanto, Keserasian Budaya pada Implementasi Manajemen SDM
banyak terlibat dalam pengelolaan kinerja karyawan. Termasuk dalam budaya maskulin adalah masyarakat Amerika, yang menitikberatkan pada penampilan, uang dan kebendaan, ambisi serta pencapaian. Sebaliknya, masyarakat Asia, termasuk Indonesia dapat dikategorikan sebagai masyarakat feminin yang memiliki orientasi pada kualitas hidup, hubungan manusia dan lingkungan. Pada masyarakat dengan budaya maskulin rendah, kepuasan kerja tidak diperoleh dari pencapaian sasaran pekerjaan, tetapi diperoleh dari kebutuhan afiliatif. Manifestasi lain dari budaya maskulin rendah adalah bahwa kinerja pekerjaan dapat dengan mudah dirancang dalam rangka melaksanakan tugas-tugas sosial yang telah disepakati bersama dalam konteks hubungan antarpribadi. Oleh karena itu, banyak hubungan antarpribadi terlibat dalam pengelolaan kinerja karyawan. Dimensi budaya kelima, adalah budaya orientasi jangka panjang lawan orientasi jangka pendek. Masyarakat dengan budaya orientasi jangka panjang senantiasa memberikan dorongan dan memberikan penghargaan terhadap perilaku yang berorientasi pada masa depan, seperti perencanaan dan investasi untuk masa depan serta menunda kesenangan. Ini berbeda dengan masyarakat dengan budaya orientasi jangka pendek yang lebih menekankan pada pemenuhan kesenangan jangka pendek, kurang menghargai perencanaan, dan investasi untuk masa mendatang. Dalam kaitannya dengan dimensi budaya, orientasi jangka panjang dan jangka pendek tersebut menurut Kadia & Bhagat (dalam Mendonca & Kanungo, 1996) menunjukkan dimensi Berpikir Abstraktif dan Asosiatif (abstractive vs associative thinking). Pada budaya asosiatif, masyarakat menggunakan asosiasi di antara peristiwa yang mungkin tidak banyak memiliki basis logika; sebaliknya pada budaya abstraktif, masyarakat lebih dominan menggunakan hubungan sebabakibat. Dalam menjelaskan dimensi ini, Ramanujan (dalam Mendonca & Kanungo) menggunakan istilah kecenderungan berfikir jenis konteks sensitif atau konteks bebas terhadap peraturan (contextsensitive or context-free kinds of rules). Pada budaya asosiatif, sebagian besar masyarakat menggunakan konteks sensitif, sedangkan pada budaya abstraktif masyarakat cenderung menggunakan konteks bebas. Berdasarkan hasil temuan studi pada negara-negara maju, ditemukan relatif tinggi pada berpikir abstraktif (context-free) dan relatif rendah pada berpikir asosiatif (contextsensitive). Budaya tinggi pada berpikir asosiatif (context-sensitive) telah mengarahkan perilaku para anggota organisasi di negara-negara berkembang kepada berpikir dengan konteks yang telah ditentukan daripada berpikir dengan prinsip yang dominan. Pola semacam itu menunjukkan bagaimana pendekatan mereka terhadap pekerjaan. Pekerja pada negara-negara berkembang tidak dipandu oleh norma etika kerja yang relevan dan layak untuk bekerja atau oleh prinsip-prinsip penyelenggaraan perilaku kerja yang abstrak tetapi kebanyakan ditentukan oleh konteks sekarang (the immediate context) yang dianggap penting oleh mereka. Oleh karena itu, perilaku mereka mencerminkan suatu perasaan selalu berada pada waktu kini/kekinian (a sense of always living in the present). Sedangkan “kini” secara tetap akan berubah. Artinya, karyawan yang memiliki budaya tinggi pada berpikir asosiatif akan terbukti sulit diprediksi dalam rangka penyelenggaraan perilaku kerja yang dituntut secara bersama-sama. Penetapan sasaran spesifik dengan target waktu dan pengembangan rencana tindakan yang spesifik bertentangan dengan gaya hidup dan pola pikir pada budaya berpikir asosiatif yang tidak menekankan pada perencanaan masa depan. Pola pikir tersebut sangat cocok untuk pendekatan management by crisis, namun tidak cocok untuk manajemen kinerja yang efektif.
27
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005, 22-31
UPAYA UNTUK MENJAMIN KESERASIAN BUDAYA Masalah kesesuaian budaya berikutnya diformulasikan dalam pertanyaan tentang segi-segi kritis apa dari budaya kerja negara berkembang, misal Indonesia, yang memungkinkan untuk memfasilitasi pemanfaatan praktek-praktek manajemen SDM? Ciri lingkungan sosial-budaya negara berkembang pada umumnya (termasuk Indonesia), memang kurang cocok dengan sikap, nilai, dan norma perilaku yang diperlukan dalam praktek manajemen SDM yang efektif. Namun demikian, untuk membantu kondisi yang tidak kondusif tersebut menjadi kondisi yang cocok dengan kebutuhan praktek manajemen SDM yang efektif, menurut Mendonca & Kanungo (1996) organisasi tidak perlu mengambil kebijakan dan praktek-praktek yang akan memaksa karyawan, dengan nilai dan keyakinan budaya yang mereka pegang secara mendalam, menyerah dengan nilai dan keyakinan budaya yang tidak mereka yakini. Sebaliknya, organisasi perlu mempertimbangkan suatu pendekatan sistematik untuk menggeser keterbatasan budaya dan membangun keyakinan serta nilai budaya yang memiliki potensi untuk meningkatkan keefektifan praktek manajemen SDM. Artinya, para pimpinan organisasi harus mendesain dan mengimplementasikan praktek manajemen SDM yang menjamin kesesuaian budaya secara tepat dan benar. Untuk menjamin proses manajemen SDM konsisten dengan karakteristik budaya negara sedang berkembang, perlu dilakukan beberapa langkah sebagai berikut. Pertama, organisasi perlu merancang sasaran spesifik dan menantang tetapi dapat dijangkau serta layak untuk menjadi sasaran pencapaian suatu unit kerja. Artinya, bahwa pendekatan ini diawali dengan merancang sasaran yang masih dalam level kompetensi karyawan dan selanjutnya secara bertahap ditingkatkan level kerumitan serta tanggung jawabnya seiring dengan semakin meningkatnya tingkat kapabilitas karyawan. Selanjutnya, manajer perlu meningkatkan kepercayaan diri bawahan melalui berbagai cara, baik melalui pelatihan, pengembangan dan perancangan tindakan untuk menghilangkan berbagai hambatan organisasional terhadap pencapaian kinerja organisasi. Intervensi ini khususnya dimaksudkan untuk mengatasi adanya efek dari budaya penghindaran ketidakpastian yang tinggi (the high uncertainty avoidance). Sedangkan untuk mengatasi disfungsi dari adanya budaya jarak kekuasaan yang tinggi (high power distance) maka manajer dapat bertindak sebagai pelatih atau mentor. Ini memungkinkan bawahan menemukan hubungan personal dan dukungan dari manajer yang diperoleh ketika mereka berinteraksi dengan pihak manajer yang menjadi pelatih atau mentor tersebut. Hubungan semacam ini akan menimbulkan kepercayaan bawahan dan mendorong bawahan mau melihat kepada umpan balik kinerja yang diberikan oleh manajer sebagai suatu kesempatan untuk mencari dan memperoleh bantuan demi memperbaiki kekurangan-kekurangannya dalam berkinerja. Adanya batasan-batasan akibat dari budaya maskulin rendah (low masculinity) dapat diatasi melalui intervensi sebagai berikut. Pertama harus diingat bahwa karakteristik budaya maskulin rendah memiliki orientasi pada kualitas hidup, hubungan manusia, dan lingkungan. Pada masyarakat dengan budaya maskulin rendah, kepuasan kerja tidak diperoleh dari pencapaian sasaran pekerjaan tetapi diperoleh dari kebutuhan afiliatif. Oleh karena itu, untuk mengatasi budaya maskulin rendah ini sasaran pekerjaan harus didefinisikan dalam konteks untuk memenuhi kebutuhan pengguna produk atau jasa yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut dan pada saat yang sama bawahan harus dibuat
28
Iswanto, Keserasian Budaya pada Implementasi Manajemen SDM
sadar tentang kontribusinya yang potensial terhadap sasaran departemen dan organisasional yang akhirnya melayani kebutuhan produk atau jasa suatu masyarakat atau negara. Selanjutnya, para manajer dapat menggunakan kesempatan saat memberikan umpan balik untuk menyoroti dampak kinerja yang positif atau negatif terhadap pihak lain. Dengan demikian, akhirnya pekerjaan tersebut menjadi alat pemuas hubungan atau orientasi kepada manusia yang oleh karyawan dianggap lebih penting daripada kontrak kerja dengan perusahaan. Selanjutnya, bagaimana mengatasi kendala akibat adanya budaya berpikir abstraktif rendah (low abstractive thinking) yang dicirikan oleh gaya hidup dan pola pikir yang tidak menekankan pada perencanaan masa depan? Untuk ini, para manajer perlu merancang sasaran kinerja dalam konteks perilaku yang ingin dicapai yang mudah dilihat dalam target waktu spesifik dan jelas serta tidak ambigius. Pada saat yang sama juga perlu dikomunikasikan tentang kemungkinan adanya dampak negatif terhadap unit kerja, kolega, dan organisasi dari kegagalan mencapai sasaran tersebut dalam kerangka waktu yang telah ditetapkan. Selama dan setelah periode waktu kinerja, umpan balik ditekankan pada kinerja aktual bawahan dan waktu yang digunakan dibandingkan dengan sasaran yang telah disepakati sebelumnya. Disamping itu, pada setiap sesi umpan balik harus menghasilkan suatu rencana tindakan (action plans) dengan perilaku kinerja atau target output yang spesifik dan jadwal waktu bawahan untuk menyelesaikan target output tersebut. Kendala budaya negara berkembang selanjutnya yang perlu dihadapi manajer dalam rangka implementasi manajemen SDM efektif adalah budaya individualisme rendah (low individualism). Budaya individualisme rendah menekankan perhatiannya pada kelompok dan pencapaian kelompok serta menolak pencapaian kerja individual. Oleh karena itu, untuk mengarahkan bawahan kepada pencapaian tugas personal maka harus dijamin tersedianya kebutuhan sistem pendukung/bantuan bagi pencapaian sasaran. Dialog manajer-bawahan selama sesi umpan balik harus membicarakan bagaimana caranya membantu karyawan meningkatkan kinerja. Dialog manajer-bawahan ini merupakan peluang bagus untuk mengidentifikasi faktor-faktor, seperti kebutuhan karyawan tentang pelatihan dan pengembangan, kejelasan peran, bantuan-bantuan teknis, kekurangan sumber daya, dan penghilangan kendala organisasional (misalnya kebijakan dan prosedur yang tidak fungsional). Dialog manajer-bawahan yang berlangsung terus-menerus dengan diskusi yang konstruktif, positif, dan memotivasi akan memperkuat dan meningkatkan rasa percaya diri karyawan.
GAYA KEPEMIMPINAN
Pertanyaan terakhir berkaitan dengan isu kesesuaian budaya adalah strategi khusus apa yang dapat digunakan oleh pimpinan organisasi untuk memanfaatkan fasilitator budaya dan mengatasi batasan budaya dalam kaitannya untuk menjamin implementasi yang efektif dari teknik dan praktek manajemen SDM? Untuk mengatasi adanya batasan budaya, para pimpinan organisasi perlu mengadopsi dan mengimplementasi gaya kepemimpinan ‘tugas-pengasuhan’ dan strategi pemberdayaan karyawan. Komponen ‘tugas’ dari gaya kepemimpinan ini esensinya adalah berperan membantu dampak ketidakberfungsian dari budaya penghindaran ketidakpastian, jarak kekuasaan tinggi, dan budaya berpikir asosiatif. Ini dilakukan melalui reorientasi bawahan yang berfokus pada isi jabatan, misalnya melalui rencana tindakan kinerja jabatan yang spesifik dan mudah dicapai, target waktu, dan jaminan bantuan manajer dalam memecahkan masalah. Sedangkan komponen
29
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005, 22-31
‘pengasuhan’ esensinya tergantung pada strategi pemberdayaan karyawan yang dapat meningkatkan rasa percaya diri bawahan. Pemberdayaan karyawan adalah menempatkan karyawan yang kompeten terhadap apa yang mereka lakukan (Robbins, 2003). Pada organisasi yang melakukan pemberdayaan karyawan, pengambilan keputusan didorong ke bawah, ke level operasional, di mana bawahan akan menerima kebebasan membuat pilihan-pilihan berkaitan dengan skedul dan prosedur serta pemecahan masalah berkaitan dengan pekerjaannya. Beberapa strategi pemberdayaan karyawan dapat dilakukan oleh pimpinan organisasi, diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, manajer harus berfungsi menjadi mentor dan pelatih serta menciptakan iklim saling membantu dan mempercayai di samping fungsinya sebagai pengendali dan pemegang otoritas. Kedua, manajer harus memfasilitasi bawahan untuk aktif melakukan pencapaian sasaran yang mengacu pada peningkatan rasa percaya diri bawahan melalui keberhasilan pelaksanaan pekerjaan. Tindakan fasilitasi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu tindakan menghilangkan birokrasi dan batasan organisasional lainnya untuk memperoleh kinerja yang baik, serta secara bertahap meningkatkan kerumitan tugas dan tanggung jawab bawahan yang diiringi dengan pelatihan dan pengembangan yang diperlukan. Strategi pemberdayaan ketiga, manajer harus merancang harapan kinerja yang tinggi bagi bawahannya dan pada saat yang sama manajer harus menyatakan keyakinannya terhadap kemampuan bawahan untuk memenuhi harapan tersebut. Usaha membimbing, melatih, dan mengembangkan bawahan tersebut berfokus pada tindakan remedial positif yang membuat bawahan merasa diarahkan kepada peningkatan kemampuan dan kepercayaan diri, sehingga hasil akhirnya adalah bawahan merasa lebih diberdayakan.
PENUTUP Berdasarkan pada uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesesuaian dan keserasian budaya adalah penting untuk diperhatikan oleh setiap pimpinan dalam mengimplementasikan berbagai teknik dan praktek manajemen SDM dalam suatu organisasi/perusahaan. Demi mencapai keberhasilan program, teknik, dan proses manajemen SDM, setiap pimpinan organisasi/perusahaan harus memperhatikan norma, keyakinan, dan nilai budaya kerja masyarakat di mana organisasi/perusahaan tersebut beroperasi. Program dan praktek yang konsisten dan berakar dalam nilai dan norma budaya akan sukses dan berkesinambungan. Oleh karena itu, praktek ilmu manajemen SDM perlu dimodifikasi dan harus beradaptasi disesuaikan dengan nilai budaya dan keyakinan masyarakat setempat. Artinya, pimpinan organisasi/perusahaan harus mempertimbangkan segi-segi kritis dari budaya kerja masyarakat setempat yang memungkinkan untuk dapat memfasilitasi adopsi secara efektif praktek dan teknik manajemen SDM dari negara maju.
REFERENSI Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., Donnelly, Jr., J.H., & Konopaske, R. (2003). Organization: Behavior, structure, processes. Eleventh Edition. New York: McGraw-Hill Irwin. Mendonca, M. & Kanungo, R.N. (1996). Impact of culture on performance management in developing countries. International Journal of Management. 17 (4/5), 65-75. Canada: MCB University Press. Paramita, B. (1989). Masalah keserasian budaya dan manajemen di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
30
Iswanto, Keserasian Budaya pada Implementasi Manajemen SDM
Robbins, S.P. (2003). Organizational behavior. International Edition. 10th Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc.
31