Cagar Budaya Candi Cangkuang
1. Keadaan Umum Desa Cangkuang Desa Cangkuang terletak di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Desa Cangkuang dikelilingi oleh empat gunung besar di Jawa Barat, yang antara lain Gunung Haruman, Gunung Kaledong, Gunung Mandalawangi dan Gunung Guntur. Asal nama Cangkuang dari nama pohon Cangkuang yang letaknya berada disekitar makam Embah Dalem Arif Muhammad. Pohon Cangkuang ini sejenis pohon pandan yang dalam bahasa latin Pandanus Furcatus, yang tempo dulu daunnya dimanfaatkan untuk membuat tudung, tikar atau pembungkus gula aren.
Gambar 1.1 Pohon Cangkuang ( Pandanus Furcatus )
Candi Cangkuang merupakan satu-satunya candi yang berada di puncak Kampung Pulo. Untuk memasuki kawasan cagar budaya cangkuang tersebut, pengunjung harus melalui situ (danau) menggunakan rakit. Jarak antara lokasi candi dengan pintu masuk kawasan cagar budaya sekitar 300 M. Dengan dikelilingi oleh perairan kawasan cagar budaya cangkuang terlihat seperti sebuah pulau.
Gambar 1.2 Lokasi Masuk Cagar Budaya Cangkuang
1
Embah Dalem Arif Muhammad serta masyarakat setempat yang telah membendung daerah ini, sehingga terbentuk sebuah danau dengan nama Situ Cangkuang. Setelah daerah ini selesai dibendung, maka dataran yang rendah menjadi danau, dan bukit-bukit menjadi pulau-pulau. Pulau tersebut antara lain Pulau Panjang (dimana kampung pulo ada), Pulau Gede, Pulau Leutik (kecil), Pulau Wedus, Pulau Katanda, dan Pulau Masigit. Embah Dalem Arif Muhammad berasal dari Kerajaan Mataram, Jawa Timur. Mereka datang dengan tujuan untuk menyerang tentara VOC di Batavia dan penyebaran agama Islam di Desa Cangkuang.
Gambar 1.3 Situ ( Danau ) Cangkuang
Di Desa Cangkuang khususnya Kampung Pulo waktu itu sudah dihuni oleh penduduk yang menganut agama Hindu, dengan bukti terdapat Candi Hindu yang sekarang telah dipugar.
Gambar 1.4 Candi Cangkuang
2
Dengan cara arif dan bijaksana Embah Dalem Arif Muhammad mengajak masyarakat setempat untuk menganut Islam dan secara berangsur-angsur menjadi penganut agama Islam, tapi sebagian ajarannya masih mereka laksanakan, seperti hari Rabu menjadi hari besar bukannya hari Jum’at. Faktor yang menyebabkan terjadinya pemugaran bermula pada 1966 telah ditemukan kembali kerangka bangunan candi yang menunjukkan bahwa tempat tersebut ada bekas bangunan candi yang ditemukan oleh Tim Sejarah Leles. Dengan penemuan tersebut Tim Sejarah dan Lembaga Kepurbakalaan mempunyai ide untuk segera dilaksanakan penelitian didaerah tersebut, hingga tahun 1968 penelitian masih terus berlangsung. Dalam pelaksanaan pemugaran pada tahun 1974 telah ditemukan kembali batu candi yang merupakan bagian-bagian dari kaki candi. Karena pada pelaksanaan penelitian tahun 1968 bagian tersebut belum ditemukan, maka susunan candi menjadi lengkap mulai dari kaki candi, tubuh, atap I, atap II dan puncak.
Sisi Selatan
Sisi Barat
Sisi Timur
Sisi Utara
Gambar 1.5 Tampak Candi Dari Keempat Sisi
3
Bagi wilayah Jawa Barat, Candi Cangkuang merupakan temuan penting dibidang kebudayaan ataupun sejarah. Candi Cangkuang merupakan candi pertama dipugar, dan juga untuk mengisi kekosongan sejarah antara Purnawarman dan Pajajaran. Menurut para ahli Arkeologi, candi cangkuang didirikan pada Abad VIII, dengan berpedoman padaalas an-alasan sebagai berikut : 1. Dilihat dari kelapukan batuannya; 2. Dilihat dari bentuknya yang masih sederhana, karena tidak ditemukan relief.
2. Sejarah Penelitian Candi Cangkuang Candi Cangkuang ditemukan kembali oleh Tim Sejarah Leles pada tanggal 9 Desember 1966, yang disponsori oleh Bapak Idji Hatadji (CV. Haruman ). Tim Sejarah Leles diketuai oleh Prof. Harsoyo, ketua penelitian sejarah Islam dan lembaga kepurbakalaan Drs. Uka Tjandrasasmita, dan Mahasiswa dari IKIP Bandung. Pada awal penelitian terlihat adanya batu yang merupakan fragmen dari sebuah bangunan candi dan disamping itu terdapat pula sebuah makam kuno berikut sebuah arca ( patung ) siwa yang terletak didalam candi tersebut dengan kondisi yang sudah rusak, temuan ini berada di bukit Kampung Pulo.
Gambar 2.1 Arca Dewa Siwa
Penelitian yang berdasarkan pada tulisan Vorderman dalam buku Notulen Bataviaasch Genotschap terbitan tahun 1893 yang menyatakan bahwa di Desa Cangkuang terdapat makam kuno ( Arif Muhammad ) dan sebuah arca yang sudah rusak. 4
Gambar 2.2 Makam Arif Muhammad
Selama penelitian berlangung disekitar tempat tersebut ditemukan pula peninggalan-peninggalan kehidupan zaman pra sejarah yang berupa alat-alat dari batu obsidian (batu kendan), pecahan-pecahan tembikar yang menunjukkan adanya kehidupan pada zaman Neolitikum dan batu-batu besar yang merupakan peninggalan dari kebudayaan megalitikum. Dari temuan-temuan itu, jelaslah bahwa di Cangkuang terdapat beberapa lapisan kebudayaan, yaitu : I. Kebudayaan Neolitikum Kebudayaan dimana terjadi revolusi yang sangat besar dalam peradaban manusia. Perubahan tersebut adalah dari Food Gathering menjadi Food Producing. Orang telah mengenal cara bercocok tanam, beternak, dan memiliki tempat tinggal tetap. II. Kebudayaan Megalitikum Kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu besar. Batu-batu itu biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk mendapatkan bentuk yang diperlukan. III. Kebudayaan Hindu Kebudayaan yang memuja patung-patung dewa, mempunyai sifat-sifat khusus yaitu adanya Trimurti sebagai kekuatan tiga orang dewa tertinggi yang menduduki tempat jauh. IV. Kebudayaan Islam Kebudayaan yang datangnya pada setelah Embah Dalem Muhammad menyebarkan ajaran Islam. Proses pemugaran Candi dimulai pada tahun 1974-1975 dan pelaksanaan rekonstruksi dilaksanakan pada tahun 1976 yang meliputi kerangka badan, atap dan patung siwa serta dilengkapi dengan sebuah joglo museum dengan 5
maksud untuk dipergunakan menyimpan dan menginventarisir benda-benda bersejarah bekas peninggalan kebudayaan dari seluruh Kabupaten Garut. Setelah selesai pemugaran Candi
Cangkuang, maka candi tersebut
mempunyai ukuran yang sesuai dengan keadaan alamnya yaitu memiliki tinggi 8,50 M dan kaki dasar bangunannya 4,50 X 4,50 M. Didalam candi tersebut terdapat ruang dengan ukuran 2,20 X 2,20 X 3,38 M dan patung Dewa Siwa memiliki tinggi 62 cm, dibawah patung terdapat lubang yang tertutup sedalam 7 M. Dalam rekonstruksi bangunan candi tersebut batu aslinya hanya terdiri dari kurang lebih 40% saja, sedangkan sisa kelengkapannya merupakan bentuk bahan yang dibuat dari adukan semen, batu koral, pasir dan besi. 3. Pemukiman Kampung Pulo Kampung Pulo merupakan sebuah kampung kecil, terdiri dari enam buah rumah dan enam kepala keluarga. Sudah menjadi ketentuan adat bahwa jumlah rumah dan kepala keluarga itu harus enam orang dengan susunan tiga rumah disebelah kiri dan tiga rumah disebelah kanan yang saling berhadapan ditambah satu masjid sebagai tempat ibadah. Oleh sebab itu kedua deretan rumah tersebut tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Jika seorang anak sudah dewasa kemudian nikah maka paling lambat dua minggu setelah pernikahan harus meninggalkan rumah tempat asalnya, keluar dari lingkungan keenam rumah adat tersebut. Dia bisa kembali keasalnya bila salah satu keluarga meninggal dunia dengan syarat harus anak wanita dan ditentukan atas pemilihan keluarga setempat.
Gambar 3.1 Kampung Pulo
6
Gambar 3.2 Rumah Adat Kampung Pulo
4. Ajaran Embah Dalem Arif Muhammad Embah Dalem Arif Muhammad adalah salah seorang penyebar agama Islam di Garut, Jawa Barat. Metode dakwah yang dilakukan Arif Muhammad tidak jauh dari pola dakwah Wali Songo, bersama rekannya yang antara lain : Sunan Pangadegan, Wirabaya, Wiradijaya, Prabu Santosa, dan Maya Gatret mempunyai hubungan dakwah dengan Cirebon. Pedoman dakwah yang diajarkan oleh Arif Muhammad berprinsip pada ajaran Islam yang tidak mengenal kekerasan dan paksaan, melainkan dengan perdamaian dan keikhlasan hati. Ajaran-ajaran yang disampaikan dan ditulis Arif Muhammad dalam naskah-naskah tidak berbeda dengan apa yang kita dapatkan dari para ulama sekarang ini. Dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits, beliau mengajarkan berbagai hal untuk menghadapi segala kehidupan membentuk pribadi umat menjadi muslim yang sejati dengan mentauhidkan Allah SWT, berakhlak baik, dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT.
7
Adapun hal-hal yang membuktikan adanya penyebaran Islam yang dilakukan pada permulaan abad XVII, antara lain : 1. Naskah Khotbah Jum’at yang terbuat dari kulit kambing dengan memiliki ukuran 176 X 23 cm. Walaupun terlihat agak sedikit rusak, namun tulisan dalam naskah tersebut masih terbaca jelas.
Gambar 4.1 Naskah Khotbah Jum’at
2. Kitab Suci Al Qur’an yang terbuat dari kulit kayu (saih) dengan memiliki ukuran 33 X 24 cm. Karena sudah dimakan usia, kondisi kitab ini terlihat sobek. Walau demikian kitab Al Qur’an ini masih bisa dibaca dengan jelas.
Gambar 4.2 Kitab Suci Al Qur’an
8
3. Kitab Ilmu Fikih yang terbuat dari bahan kulit kayu (saih) dengan memiliki ukuran 26 X 18,5 cm.
Gambar 4.3 Kitab Ilmu Fikih
4. Makam Embah Dalem Arif Muhammad yang berada disebelah selatan Candi Cangkuang. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kerukunan hidup beragama di Nusantara sudah terbina sejak ratusan tahun yang lalu.
Gambar 4.4 Candi Cangkuang dan Makam Arif Muhammad
9