Validitas Hadis Puasa Syawal
VALIDITAS HADIS “MAN SHẦMA RAMADHẦNA WA ATBA’AHU SITTẦN MIN SYAWẦLIN KẦNA KA SHIYẦMID DAHRI” M. Dailamy SP.1
STIT Muh. Kendal
[email protected] Abstrak: Wacana yang paling fundamental dalam kajian hadits adalah persoalan otentisitas dan reliabilitas sebuah hadits. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas peran hadits sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Quran, tidak sepenuhnya berkaitan resistensi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguannya atas keakuratan metodologi yang digunakan menentukan originalitas hadits. Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari kemungkinan verifikais ulang, kritik sejarah bahkan hasil tersebut bisa menjadi collapse. Fenomena keraguan terhadap validitas Hadits Puasa Syawal “Man shăma ramadhăna wa atba’ahu sittăn min sya-wălin...dst, sebagaimana diriwayatkan Muslim pada kitab shahihnya, bersumber dari yang satu ini. Hadits ini telah diyakini oleh kebanyakan ulama adalah shahih, namun itu bukan berarti semua hadis yang terdapat pada kitab shahihnya adalah bernilai shahih. Menurut analisis penulis, validitas hadis Muslim tersebut adalah hadis shahih ghairu ma’mŭlin bihi, yakni hadis shahih yang tidak perlu diamalkannya. Kata Kunci: Validitas Hadits, Puasa Syawal, Shahih Ghairu
Ma`mulin Bihi
Pendahuluan Namanya saja puasa. Ia merupakan salah satu bentuk ibadah dalam Islam. Khusus puasa Ramadhan bahkan berhukum wajib. Di samping puasa wajib, dikenal dalam Islam ada puasa sunnah, seperti 1 Penulis adalah Ketua STIT Muhammadiyah Kendal; Wakil Ketua PWM.Jawa Tengah dan Ketua BPH. STIKES Muhammadiyah Gombong, Dosen Pasca Sarjana UM.Purwokerto, FAI UMP dan IAIN Purwokerto. Guru Besar dalam displin Ilmu Hadits pada perguruan tinggi yang sama.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 1 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
M. Dailamy S.P.
puasa hari Senin, puasa hari Kamis, puasa hari-hari Bidh (putih), yakni tanggal 13, 14, dan 15 pada setiap bulan Qamariah, puasa ‘Arafah dan puasa ‘Ầsyura, ataupun puasa model puasa nabi Dawud. Hal tersebut merujuk kepada hadis Qatădah riwayat Muslim.2 Menjalankan ibadah dalam aturan Islam hendaklah merujuk kepada dalil baik dari al-Quran maupun hadis. Artinya ibadah haruslah berdasarkan perintah pembuat syara’. Ulama Ushul Fiqih telah membuat banyak kaidah berkaitan dengan ibadah. Antara lain:
.ُ ﻓَﻼَ ﻳُ ْﺸَﺮعُ ِﻣﻨْﻬﺎَ إِﻻﱠ ﻣﺎَ َﺷَﺮ َﻋﻪُ ﷲُ َوَرﺳ ُْﻮﻟُﻪ,َات اَﳊَْﻈَُﺮ ِ ﺻ ُﻞ ِﰲ اﻟْﻌِﺒﺎَد ْ َأَْﻷ
“Pada dasarnya semua urusan ibadah adalah terlarang; maka tidak dilakukan atasnya kecuali yang diperintahkan oleh Allah dan atau oleh rasul-Nya”.3 Jika dalil datang dari al-Quran, sepertinya tidak ada masalah, mengingat al-Quran adalah qath’i, walau penafsirannya bersifat zhanni. Dalam pada itu jika dasar itu berasal dari hadis, seperti diketahui hadis itu ada yang shahih, ada yang hasan ada pula yang dha’if. Bahkan ada pula yang maudhu’. Para ulama semisal hadis, semisal Ibnu Hajar telah dengan tegas menolak hadis dha’if sebagai sumber rujukan untuk beribadah. Ungkapan al-hadĭtsudh dha’ĭfu lă yuhtajju, amat populer dalam ranah kajian hadis. Tradisi puasa enam hari pada bulan Syawal sangat populer dalam masyarakat muslim Indonesia-khususnya di daerah sepanjang Pantai Utara Jawa (Pantura), lebih khusus lagi di kabupaten Kendal dan sekitarnya. Bahkan hari Raya setelah puasa enam hari pada bulan Syawal tampak lebih meriah ketimbang hari ‘Ĩdul Fithri-nya itu sendiri. Hal seperti ini cukup menarik untuk dikaji secara mendalam terkait dengan sumber ajaran adanya puasa enam hari pada bulan Syawal. Apalagi Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis Tabligh pun telah menjadikan amalan yang satu ini merupakan kebiasaan emas kedua, dari sembilan kebiasaan langkah Awal Menuju Pribadi Muslim Sebenarbenarnya.4 Hadis riwayat Muslim, pada kitab al-Shiyăm, bab istihbăbi shiyămi tsalătsati ayyămin min kulli syahrin wa shaumi yaumi ‘arafata wa ‘ăsyură`i wal istsnaini wal khamĭsi, hadis no. 196 (1162); 2
Kaidah dengan redaksi sebagaimana terkutip dapat dibaca pada ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman al-Bas-săm, Taudhĭhul Ahkăm min Bulŭghil Marămi, Juz 1, Maktabah alAsadiy, Makkah Mukarramah, Cet.ke-5, 1423 H=2003 M., hlm.70. 4 PP.Muhammadiyah Majlis Tabligh, The Nine Golden Habits = Sembilan Kebiasaan Emas Langkah Awal Menuju Pribadi Muslim Sebenar-benarnya, hlm.14 3
2 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Validitas Hadis Puasa Syawal
Hadis Sumber Rujukan Perlunya Puasa Syawal Puasa tersebut sebanyak enam hari di bulan Syawal dan dilaksanakan setelah melaksanakan puasa Ramadhan. Amalan ini merujuk pada hadis Abu Ayyûb yang berbunyi:
ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َ ِْل ﷲ َ ي َر ِﺿ َﻲ ﷲُ َﻋْﻨﻪُ اَﻧﱠﻪُ َﺣ ﱠﺪﺛَﻪُ أَ ﱠن َرﺳُﻮ ِّ ْب اَْﻻَﻧْﺼَﺎ ِر َ َﻋ ْﻦ اَِﰊ اَﻳـُﻮ .اﻟ ﱠﺪ ْﻫ ِﺮ
َﺎم ِ ﺼﻴ ِ َال ﻛَﺎ َن َﻛ ٍ َﻣ ْﻦ ﺻَﺎ َم َرَﻣﻀَﺎ َن َواَﺗْـﺒَـ َﻌﻪُ ِﺳﺘﺎ ِﻣ ْﻦ َﺷﻮ:َﺎل َﻗ
“Dari Abu Ayyûb al-Anshâriy dia menceriterakan, bahwasanya Rasulullah saw. bersab-da, ”Barangsiapa telah berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan puasa enam hari dari bulan Syawal, maka dia seakan telah berpuasa sepanjang tahun”.
Takhrîjul hadîts
Hadis tersebut telah diriwayatkan oleh banyak mukharrij dengan beragam redaksi matan oleh antara lain: 1. Muslim dari jalan Abu Ayyŭb al-Anshăriy, pada kitab al-Shaum, bab istihbâbi shaumi sittati ayyamin min syawâlin itbâ’ân li ramadhâna, hadis no. 204 (1164); dengan sanad yang terdiri dari, Nabi Saw. Abu Ayyub al-Anshăriy‘Umar bin Tsăbit bin al-Hărits al-KhazrajiySa’ad bin Sa’ĭd bin Qais Ismă’ĭl bin Ja’far Yahyă bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa’ĭd Muslim 2. Abu Dawud dari jalan Abu Ayyŭb al-Anshăriy, dalam kitab alShaumi, bab fî shaumi sittati ay-yamin min Syawâlin, hadis no. 2433; dengan sanad yang rawi-rawinya terdiri dari, Nabi Saw. Abu Ayyŭb al-Anshăriy ‘Umar bin Tsăbit al-Anshăriy Sa’ad bin Sa’ĭd ‘Abdul ‘Azĭz bin Muhammad-Shafwăn bin Sulaim al-Nufailiy Abu Dawud 3. al-Tirmidziy dari jalan Abu Ayyŭb al-Anshŭriy, pada kitab al-Shaum, bab mâ jâ`a fî shiyâmi sittati ayyâmin min Syawâlin, hadis no. 759; rawi dalam sanadnya terdiri dari, Nabi Saw. Abu Ayyŭb al-Anshăriy JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 3 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
M. Dailamy S.P.
‘Umar bin Tsăbit Sa’ad bin Sa’ĭd Abu Mu’ăwiyah Ahmad bin Manĭ’ al-Tirmidziy 4. Ibnu Majah dari jalan Abu Ayyŭb al-Anshăriy pada kitab al-Shiyâm, bab shiyâmi sittati ayyâmin min Syawâlin, hadis no. 1716; rawirawinya terdiri dari, Nabi Saw. Abu Ayyŭb al-Anshăriy ‘Umar bin Tsăbit Sa’ad bin Sa’ĭd ‘Abdullah bin Numair ‘Ali bin Muhammad Ibnu Majah 5. Al-Dârimiy dari jalan Abu Ayyŭb al-Anshăriy pada kitab al-Shaum bab fî shiyâmis sittati min syawâlin, hadis no, 1760; rawi-rawinya terdiri dari, Nabi Saw. Abu Ayyŭb al-Anshăriy ‘Amer bin Tsăbit Shafwăn dan Sa’ad bin Sa’ĭd ‘Abdul ‘Azĭz bin Muhammad Nu’aim bin Hammăd al-Dărimiy 6. Ahmad bin Hanbal, pada Musnad al-Imâm Ahmad bin Han-bal, dari jalan Jâbir bin ‘Abdillah al-Anshâriy, pada Juz III, hlm. 308; rawi-rawinya terdiri dari: Nabi Saw. Jăbir bin ‘Abdillah al-Anshăriy ‘Amer bin Jăbir al-Hadhramiy Sa’ĭd (Ibnu Abi Ayyŭb) ‘Abdullah bin Yazĭd Ahmad bin Hanbal dan hlm. 324; rawi-rawinya terdiri dari: Nabi Saw. Jăbir bin ‘Abdillah al-Anshăriy ‘Amer bin Jăbir al-Hadhramiy Sa’ĭd Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin Hanbal
4 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Validitas Hadis Puasa Syawal
Pada Juz V, hlm. 417, Abu Ayyŭb al-Anshăriy, rawi-rawinya terdiri dari: Nabi Saw. Abu Ayyŭb al-Anshăriy ‘Umar bin Tsăbit Sa’ad bin Sa’ĭd Abu Mu’ăwiyah Ahmad bin Hanbal Pada hlm. 419; Abu Ayyŭb al-Anshăriy, rawi-rawinya terdiri dari: Nabi Saw. Abu Ayyŭb al-Anshăriy ‘Umar bin Tsăbit Sa’ad bin Sa’ĭd Warqă` Syu’bah Muhammad bin Ja’far Ahmad bin Hanbal 7. Al-Baihaqiy dari jalan Abu Ayyŭb al-Anshăriy pada kitab al-Shiyâm, bab fî fadhli shaumi sitta-ti ayyâmin min Syawâlin, hadis no. 8431, rawi-rawinya terdiri dari: Nabi Saw. Abu Ayyŭb al-Anshăriy ‘Amer bin Tsăbit al-Anshăriy Sa’ad bin Sa’ĭd al-Anshăriy Muhădhir bin al-Mauri’ Muhammad bin Ishăq al-Shaghăniy Abul ‘Abbăs Muhammad bin Ya’qŭb bin Yŭsuf Abu ‘Abdillah al-Hăfizh Al-Baihaqiy dan pada hadis no. 8432; dalam deretan rawi-rawinya terdapat rawi bernama Ibnu Lu-hai’ah. 8. Al-Nasâ`iy Abu Ayyŭb al-Anshăriy pada al-Sunanul-Kubrâ, hadis no. 2875, 2876, 2877, 2878 dan 2879; rawi-rawinya (hadis no. 2875) terdiri dari : Nabi Saw. Abu Ayyub al-Anshăriy’Amer bin TsăbitSa’ad bin Sa’ĭd, Muhammad bin ‘Amer al-LaitsiyHasan Ibnu Shălih-
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 5 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
M. Dailamy S.P.
Ishăq bin Manshŭr Ahmad bin YahyăAl-Nasă`iy. Rawi-rawi hadis no.2876 terdiri dari, Nabi Saw. Abu Ayyub al-Anshăriy. ‘Umar bin TsăbitSa’ad bin Sa’ĭdShafwăn bin Sulaimal-DarăwardiyKhallăd bin Aslamal-Nasă`iy 9. Al-Baghawiy Abu Ayyŭb al-Anshăriy pada kitab al-Shiyâm, bab shaumi sittin min Sya-wâlin, hadis no. 1774. Sanadnya terdiri dari rawi-rawi, Nabi Saw. Abu Ayyŭb al-Anshăriy, ‘Umar bin Tsăbit al-Anshăriy Sa’ad bin Sa’ĭd Muhădhir bin al-Mauri’, Humaid bin Zanjawaih Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdil Jabbăr al-Rayyăniy Abu Manshŭr Muhammad bin Sam’ăn al-Naisăbŭriy ‘Abdul Wăhid bin Ahmad al-Malĭhiy al-Baghawiy, Menurut al-Albâniy, hadis tersebut telah diriwayatkan Muslim, Abu Dawud, Ibnu Ma-jah, Ahmad bin Hanbal, al-Dârimiy, al-Thahâwiy dalam kitab Misykatul Âtsar, Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud alThayâlisiy, dan al-Baihaqiy. Selanjutnya dinilai shahih oleh al-Albâniy.5 Kalau penulis susun perjalanan sanad hadis akan tampak seperti bagan di bawah ini (dengan penjelasan sebagai berikut): 1. Rawi pusat kajian, yakni rawi yang bernama Sa’ad bin Sa’ĭd penulis tulis dengan huruf tebal 2. Mukharrij hadis (rawi terakhir yang meriwayatkan kepada kita melalui tulisannya), penulis tulis dengan huruf tebal dan tercetak miring. 3. Murid Abu Ayyub al-Anshăriy, ada yamg menulis ‘Umar bin Tsăbit, ada pula yang menyebutnya ‘Amer bin Tsăbit. al-Albâniy, Irwâ`ul Ghalîl Fî Takhrîj Ahâdîts Manâris Sabîl, al-Maktab alIslămiy, Bairut, Cet. ke-2, 1405 H.=1985 M, Juz IV, hlm. 106, hadis no. 950. 5
6 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Validitas Hadis Puasa Syawal
رﺳﻮل ﷲ صم اﺑﻮ اﯾﻮب اﻷﻧﺼﺎري
ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪﷲ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ اﻟﺤﻀﺮﻣﻲ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﺟﺠﺎﺑﺮﺟﺎﺑﺮ اﻟﺤﺎرث ﺛﺎﺑﺖ ﺳﻌﯿﺪ ﺑﻦ اﺑﻲ ӨNJ ƞƃ Ƽ Өƞƃ اﻟﻮر اﯾﻮب ﺷﻌﺒﺔ اﺑﻮ ﻗﺎء ﷴ ﺑﻦ ﻋﺒﺪاﻟﺮﺣﻤ ﺟﻌﻔﺮ ن ﺑﻦ ﻋﺒﺪﷲ ﺑﻦ ﻋﺒﺪﷲ ﻋﺒﺪاﻟﻌﺰﯾﺰ ﺑﻦ ﻣﺤﺎﺿﺮ ﺑﻦ ﯾﺰﯾﺪ ﻧﻤﯿﺮ ﷴ ﻣﻤﺤﻤﺪﷴ ﻣﻮرع اﺑﻮ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ اﺳﻤﺎﻋﯿﻞ ﺑﻦ ﻣﻌﺎوﯾﺔ ﷴ ﺟﻌﻔﺮ Ƽ Өƺҳǚ اﻟﻨﻔﯿﻠ ﺣﻨﺒﻞ ي Ƽ ǚ ﻧﻌﯿﻢ ﺑﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﷴ ǀ үǛ ƹ ﷴ اﻟﻠﯿﺜﻲ ﺑﻦ ﯾﺤﻲ ﺻﻔﻮان ﺑﻦ əǃ ǚəDŽ ǚ اﯾﻮب و ﺳﻠﯿﻢ ﺣﺴﻦ ﺑﻰ ﺑﻦ ﻗﺘﯿﺒﺔ اﻟﺪارﻣ اﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺻﺎﻟﺢ ﺳﻌﯿﺪ LJ ﻣﻨﯿﻊ ﻣﺴﻠﻢ اﺳﺤﺎق ﺑﻦ اﻟﺘﺮﻣﺬي ) (1 ﺣﻤﯿﺪ ﺑﻦ ﻣﻨﺼﻮر زﻧﺠﻮﯾﮫ اﻟﺪراورد ﷴ ﺑﻦ اﺳﺤﺎق اﺣﻤﺪ ﺑﻦ ي اﺑﻮ ﺟﻌﻔﺮ ﷴ اﻟﺼﻐﺎﻧﻲ ﯾﺤﯿﻲ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺠﺒﺎر ﺧﻼد ﺑﻦ اﺑﻮاﻟﻌﺒﺎس ﷴ ﺑﻦ اﻟﺮﯾﺎﻧﻲ LjǘǛƄƾƵǚ اﺳﻠﻢ ﯾﻌﻘﻮب اﺑﻮ ﻣﻨﺼﻮر ﷴ ﺑﻦ اﺑﻮ ﻋﺒﺪﷲ ﺳﻤﻌﺎن اﻟﺤﺎﻓﻆ ﻋﺒﺪاﻟﻮاﺣﺪ ﺑﻦ اﺣﻤﺪ اﻟﻤﺎﻟﺤﻲ LjƬǂ NJ Ƶǚ LJDŽ ƤƵǚ
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 7 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
M. Dailamy S.P.
Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalâniy dalam kitabnya Talkhîsh alHabîr fî Takhrîj Ahâdîts al-Râfi’iy al-Kabîr, hadis tersebut telah diriwayatkan dari jalan: 1. Jâbir bin ‘Abdillah al-Anshâriy, oleh Ahmad bin Hanbal, ’Abdu bin Humaid, dan al-Bazzâr; 2. Tsaubân, oleh al-Nasâ`iy, Ibnu Majah, Ahmad bin Hanbal, alDârimiy, dan al-Bazzâr; 3. Abu Hurairah, oleh al-Bazzâr, dan Abu Nu’aim; 4. Ibnu ‘Abbâs, oleh al-Thabrâniy, 5. Al-Barâ` bin ‘Âzib, oleh al-Dâruquthniy. 6. Abu Ayyûb al-Anshâriy oleh Muslim.6 Ini berarti hadis “man shăma ramadhăna wa atba’ahu sittăn mib syawălin...” telah diriwayatkan dari atau melalui banyak jalan. AlTirmidziy sendiri setelah meriwayatkan hadis tersebut, menyatakan bahwa selain hadis tersebut telah diriwayatkan dari jalan Abu Ayyŭb al-Anshăriy, telah diriwayatkan juga dari jalan Jăbir, Abu Hurairah dan Tsaubăn. Kajian atas Sanad Hadis Man Shăma Ramadhăna wa Atba’ahu Sittăn min Syawălin...dst. 1. Kajian atas mukharrijnya Mengkaji siapa saja yang telah meriwayatkan hadis tersebut, terbilang banyak, walau tidak dapat dikatakan sebagai hadis riwayat al-Jamă’ah menurut istilah Ibnu Hajar al-‘Asqalăniy, mengingat alBukhăriy tidak meriwayatkannya. Selain telah diriwayatkan oleh banyak mukharrij, juga datang dari banyak jalan sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalăniy, (sebagai pendekar ulumul hadits dan pemerhati hadis yang sangat instent), menurutnya sah-sah saja jika bertanya mengapa al-Bukhăriy tidak meriwayatkan dalam kitab Shahihnya. Yang menarik ialah, al-Nasă`iy (walau telah meriwayatkan hadis tersebut), tetapi diriwayatkannya melalui tulisannya dalam kitab Sunanul Kubră, bukan pada al-Mujtabă`(yang sering disebut Sunan alNasă`iy). Mengingat hadis-hadis yang terdapat pada Sunan al-Nasă`iy, menurut penulisnya, adalah merupakan hadis-hadis pilihan dari kitab Sunanul Kubră. Artinya menurut al-Nasă`iy, hadis tersebut tidak terpilih untuk dimasukkan pada kitab Sunan al-Nasă`iy. 6 Ibnu Hajar al-‘Asqalăniy, Talkhîsh al-Habîr fî Takhrîj Ahâdîts al-Râfi’iy al-Kabîr, Maktabah Nizăr Mushthafă al-Băz, Makkah Mukarramah, Cet.ke-1, 1417 H.=1997 M., Juz II, hlm.819,
8 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Validitas Hadis Puasa Syawal
2. Kajian atas kualitas sanadnya Kebanyakan mukharrijnya termasuk Muslim, telah meriwayatkan hadis man shăma ramadhăna wa atba’ahu sittăn min syawălin...dst nya dari jalan rawi yang bernama Sa’ad bin Sa’ĭd. Di lain pihak alBaihaqiy telah meriwayatkannya dari jalan Ibnu Luhai’ah. Al-Tirmidziy setelah meriwayatkan hadis man shăma ramadhăna wa atba’ahu sittăn min syawălin...dst tersebut berkomentar, ”hadîtsun hasanun shahîhun.” =hadis yang pada mulanya berderajat hasan, kemudian naik menjadi berderajat shahih, lantaran ada hadis lain yang menopangnya. Atau hadis yang tidak disepakati nilainya, ada yang menilai shahih, ada pula yang menilai tidak shahih. Dengan demikian, berdsarkan pendapat di atas, kalupun hadis tersebut di atas adalah hadis shahih, maka ia adalah shahih lighairihi. Al-Thahâwiy (seperti dikutip oleh al-Albâniy), juga menyimpulkan demikian. Al-Tha-hâwiy berkata:7 “Pada mulanya hadis tersebut menurut perasaanku, adalah bukanlah hadis yang kuat sanadnya, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Sa’ad bin Sa’îd, (sebab rawi ini dikatakan shadûqun sayyiul hifzhi), dan tidak pula disukai oleh ahli hadis. Sampai aku temukan, sungguh telah mengambilnya para jawara ilmu riwayah; dan aku temukan juga kalau hadis tersebut datang juga dari jalan ‘Amer bin Tsâbit, Shafwân bin Sulaîm, Zaid bin Aslam, Yahyâ bin Sa’îd al-Anshâriy, dan ‘Abdu rabbah bin Sa’îd al-Anshâriy. Kemudian disebutnya sanad masing-masingnya. Maka menjadilah hadis tersebut menjadi shahih. Hilanglah keraguan saya atas kejelekan hafalan Sa’ad bin Sa’îd”. Dalam pada itu al-Dărimiy dan juga al-Nasă`iy, telah meriwayatkan hadis ini dari jalan Amer bin Tsăbit, yang semestinya ‘Umar bin Tsăbit, seperti tampak pada riwayat selain dua mu-kharrij tersebut. Hadis tersebut dapat dikatakan bersanad rancu, mengingat tabi’in yang menjadi murid Abu Ayyŭb al-Anshăriy (dan yang sekaligus guru dari Sa’ad bin Sa’ĭd), ada yang menyebut dengan nama ‘Umar bin Tsăbit, ada pula yang menyebutnya ‘Amer bin Tsăbit. Pusat kajian sanad terletak pada rawi yang bernama Sa’ad bin Sa’îd.Ia adalah saudara dari Yahyâ bin Sa’îd. Al-Dzahabiy baik dalam kitab Mîzânul I’ti-dâl fî Naqdir Rijâl ataupun pada kitab Siyaru A’lam al-Nubalâ`, menjelaskan: Sa’ad bin Sa-’îd termasuk jajaran Tâbi’în, wafat pada tahun 141 H. Di antara ulama kritikus hadis ada yang 7
al-Albâniy, Irwâ`ul Ghalîl Fî Takhrîj Ahâdîts Manâris Sabîl, Ibid, hlm. 106. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 9 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
M. Dailamy S.P.
menganggap tsiqqah, ada pula yang mengatakan dha’îf. Ahmad bin Hanbal, dan Abu ‘Abdirrahmân, mengatakan dha’îf.8 Al-Nasâ`iy tidak memasukkan hadis itu pada kitab al-Mujtabâ`(Sunan al-Nasâ`iy); al-Nasâ`iy hanya memasukkan pada kitab Sunanul Kubrâ. Rawi Sa’ad bin Sa’îd dalam pandangan al-Nasâ`iy ialah rawi yang laisa bilqawiyyi. Dengan merujuk pernyataan Abu ‘Abdirrahmăn, al-Nasă`iy menyatakan rawi Sa’ad bin Sa’ĭd adalah dha’if.9 Al-Sakhâwiy sendiri, sebagai terbaca pada kutipan terdahulu menyatakan Sa’ad bin Sa’îd adalah shadûqun sayyi`ul hifzhi, = jujur tetapi buruk hafalan. Al-Baihaqiy yang telah meriwayatkan hadis tersebut dari jalan Ibnu Luhai’ah, yang nama lengkapnya ialah ‘Abdullah bin Luhai’ah bin ‘Uqbah bin Fir’ăn bin Rabĭ’ah bin Tsaubăn (95-174 H); rawi yang satu ini dikenal sebagai rawi dha’if oleh Abu Zur’ah, tidak dapat dijadikan hujah, oleh Yahyă bin Ma’ĭn, dan dinyatakan tidak kuat hafalannya oleh al-Nasă`iy. 10 Dari paparan sebagaimana tertulis, dapat diambil simpulan, bahwa rawi yang bernama Sa’ad bin Sa’ĭd, adalah rawi yang tidak disepakati nilai keterpercayaaannya atau nilai ketsiqahannya.Dalam pada itu rawi Ibnu Luhai’ah, dikenal sebagai rawi yang dha’if. Bagi ahli hadis yang mengedepankan kaidah al-jarhu muqaddamun ‘alât-ta’dîl =yang menganggap cacat didahulukan atas yang menganggap adil atau tanpa cacat, maka dengan serta merta akan menilai hadis tersebut sebagai hadis yang tidak kuat atau lemah. Bagi ahli hadis yang mengedepankan kaidah al-ta’dîl muqaddamun ‘alâ al-jarhi = yang menganggap tanpa cacat lebih didahulukan atas yang menganggap cacat, maka akan menerima hadis tersebut sebagai hadi hasan/shahih. Bagi ahli hadis yang menyatakan hadis dha’if manakala datang dari berbagai jalan, maka saling menguatkan, akan menilai hadis tersebut sebagai hadis yang maqbûl. Bagi ahli hadis yang menyatakan hadis dha’îf tidak saling menguatkan, maka akan menolak hadis tersebut. 8 Al-Dzahabiy, Mîzânul I’tidâl fî Naqdir Rijâl , Dăr al-Ma’rifah, Bairut, Cet, ke-1, 1382 H.=1993 M., Juz II, hlm.120; Lihat juga al-Dzahabiy, Siyaru A’lam al-Nubalâ`, Dăr al-Fikri, Bairut, Cet.ke-1, 1418 H.= 1997 M., Juz VI, hlm.255. 9 Al-Nasă`iy, al-Sunanul Kubră, al-Risălah al-‘Ầlamiyah, Bairut, Cet.-2, 1432 H.=2011 M., Juz 3, hlm.240. 10 Al-Dzahabiy, Siyăru A’lăm al-Nubală`, Dăr al-Fikri, Bairut, Cet, ke-1, 1417 H.=1997 M., Juz 7, hlm. 358-371; Lihat juga M.Dailamy, Hadis-Hadis Kitab Bulŭghul Marăm, Kajian Atas Ketepatan Penulisan dan Keshahihan Hadis, STAIN Purwokerto Press-Fajar Pustaka, Cet.ke-1, 2006, hlm. 270, bag. catatan kaki no.16.
10 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Validitas Hadis Puasa Syawal
Kajian Atas Muatan Makna Hadis Bunyi Matan hadis puasa enam hari pada bulan Syawal. sangat beragam. Muslim meriwayatkannya dengan menggunakan kalimat, ”Kăna ka shiyămid dahri, ” = adalah dia seperti puasa sepanjang tahun. AlTimidziy dan al-Dărimiy, meriwayatkannya dengan bunyi, ”fa lidzălika shiyaămid dahri, ”= yang demikian itu puasa sepanjang tahun. AlBaihaqiy dengan menggunakan kalimat, ”fa dzăka shiyămud dahri.”= maka yang demikian itu puasa sepanjang tahun. Lafal Ibnu Majah mirip dengan lafal riwayat Muslim, berbunyi: ”kăna ka shaumid dahri.” = adalah ia seperti puasa sepanjang tahun. Bukankah berpuasa sepanjang masa/sepanjang tahun berdasar pada hadis terlarang oleh Nabi. Walaupun kalimat “seakan”, bukanlah merupakan bentuk riel dari menjalankan puasa sepanjang tahun. Sebuah hadis dikatakan sebagai hadis shahih apabila memenuhi banyak syarat, seperti: 1. Rawi-rawinya terdiri dari orang yang adil dan dhabith, 2. Sanadnya bersambung sampai dan disandarkan kepada Nabi (marfŭ’ dan musnad), 3. Tidak kedapatan cacat atau kejanggalan baik pada bagian sanad maupun matan.11 Termasuk cacat atau janggal ialah apabila isi hadis menjanjikan sesuatu yang ketika me-ngamalkannya tidak berbanding lurus dengan beratnya atau ringannya amalan yang ada pa-da hadis.12 Isi hadis menyatakan barangsiapa yang telah berpuasa bulan Ramadhan, lalu mau menambah lagi enam hari pada bulan Syawal, maka ibarat telah berpuasa setahun. Mengapa dikatakan seperti puasa setahun? Ibnu Majah telah meriwayatkan hadis pada no. 1715, yang menyatakan satu kebaikan sepadan dengan sepuluh. Dengan berhitung seperti ini akan ditemukan puasa Ramadhan 30 hari ditambah enam hari pada hari bulan Syawal, menjadi 36 hari; jika dikali 10 akan terdapat 360, ini sepadan dengan satu tahun. Bahkan al-Dârimiy pada hadis no. 1761, menyatakan yang puasa Ramadhan selama satu bulan sepadan dengan sepuluh bulan, dan yang enam hari pada bulan Syawal setara dengan dua bulan. 11 Abu ‘Amer ‘Utsmăn bin ‘Abdirrahmăn (Ibnu al-Shalăh), Muqaddimah Ibni alShalăh, Dăr Kutub al-‘Ilmiyah, Bairut, Cet. ke-1, 1416 H.=1995 M., hlm. 15-16. 12 Mushthafă al-Shibă’iy, al-Sunnatu wa Makănatuhăfĭt Tasyrĭ’il Islămiy, al-
Maktab al-Islămiy, Bairut, Cet. ke-4, 1405 H.=1985 M., hlm. 102.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 11 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
M. Dailamy S.P.
Adalah janggal jika dinyatakan satu bulan Ramadhan setara dengan sepuluh bulan, dan yang enam hari pada bulan Syawal setara dengan dua bulan. Betapapun dengan tanpa memperhatikan komentar ahli hadis yang beraroma tajrih atas rawi yang bernama Sa’ad bin Sa’ĭd dalam sanadnya, (hadis tersebut dikatakan hadis shahih oleh kebanyakan pemerhati hadis, mengingat salah satu mukharrijnya adalah Muslim), Menurut penulis ia sebatas shahih sanadnya, mengingat (menurut penulis), dalam matan hadisnya terdapat dua kejanggalan. Seperti diketahui, sebuah hadis akan dikatakan shahih, apabila rawi-rawinya terdiri dari orang-orang yang dhabith, adil, saling bertemu antara musnid dan musnadnya (bersambung), musnad (disandarkan kepada Nabi), dan tidak ditemukan cacat serta kejanggalan di dalamnya. Dua kejanggalan dimaksud menurut penulis adalah: Pertama: Kejanggalan pemahaman atau arti. Hadis tersebut termasuk pada kelompok hadis tabsyir= menggembirakan, memotivasi ummat, tetapi jika dilihat dari artinya menjadikan orang dapat bertanya. ”Apa benar puasa Ramadhan (yang wajib) sepadan dengan puasa Syawal (yang hanya dihukum sunnah saja oleh kebanyakan ulama). Puasa Ramadhan yang wajib hukumnya itu, akan mendapatkan pahala 30x10 =300. Puasa 6 hari pada bulan Syawal adalah “sunnah”= 6 x 10 = 60.300 + 60 = 360 = satu tahun. Apa mungkin 30 Unta ditambah 6 Kambing, akan menghasilkan 36 Unta atau 36 Kambing. Atau kita ikuti riwayat al-Dărimiy, sebualn Ramadhan setara dengan sepuluh bulan, dan enam hari pada bulan Syawal setara dengan dua bulan, adalah merupakan hal yang aneh. Padahal pahala puasa Ramadhan berdasarkan hadis lain yang juga shahih, pahalanya tanpa ada ukurannya. Rasulullah Saw. (seperti diketahui berdasarkan hadis Abu Hurairah), menyatakan bahwa puasa adalah milik atau untuk Allah SWT, dan akan diberi pahala bagi yang melak-sanakannya dengan tanpa ukuran. Sahabat Abu Hurairah menceritakan:
َﻞ اﺑْ ِﻦ آ َد َم ِ ُﻛ ﱡﻞ َﻋﻤ:ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َ ِْل ﷲ ُ َﺎل َرﺳُﻮ َ ﻗ,َﺎل َ َﻋ ْﻦ اَِﰉ ُﻫَﺮﻳْـَﺮَة َر ِﺿ َﻲ ﷲُ َﻋْﻨﻪُ ﻗ َﺎل ﷲُ َﻋﱠﺰ َو َﺟ ﱠﻞ إِﻻﱠ اﻟﺼ ْﱠﻮَم ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ ِﱃ َ ﻗ,ْﻒ ٍ َﺎﳍَﺎ إ َِﱃ َﺳْﺒﻌِﻤِﺎﺋَِﺔ ِﺿﻌ ِ َﻒ اﳊَْ َﺴﻨَﺔُ َﻋ ْﺸَﺮ اَْﻣﺜ ُ ﻳُﻀَﺎﻋ ٌ َوﻓـَْﺮ َﺣﺔ, ﻓـَْﺮ َﺣﺔٌ ِﻋْﻨ َﺪ ﻓِﻄْ ِﺮِﻩ, ﻟِﻠﺼﱠﺎﺋِِﻢ ﻓـَْﺮ َﺣﺘَﺎ ِن, ﻳَ َﺪعُ َﺷ ْﻬ َﻮﺗَﻪُ َوﻃَﻌَﺎ َﻣﻪُ ِﻣ ْﻦ أَ ْﺟﻠِﻰ,َواَﻧَﺎ أَ ْﺟﺰِى ﺑِِﻪ .ْﻚ ِ َﺐ ِﻋْﻨ َﺪﷲِ ِﻣ ْﻦ ِرﻳ ِْﺢ اﻟْ ِﻤﺴ ُ ْف ﻓِْﻴ ِﻪ أَﻃْﻴ ُ َوﳋَُﻠُﻮ,ِﻋْﻨ َﺪ ﻟِﻘَﺎ ِء َرﺑِِّﻪ 12 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Validitas Hadis Puasa Syawal
“Dari Abu Hurairah r.a. dia berkata telah bersabda Rasulullah Saw., ”Tiap amalan anak Adam akan dilipat gandakan pahalanya dari 10 sampai 700 lipat. Allah berfirman, ”Terkecuali amalan puasa. Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan memberinya pahala (di luar ketentuan umum). Si shâim telah meninggalkan syahwat dan makanannya hanya karena-Ku. Bagi shâim akan memperoleh dua kegembiraan. Gembira ketika berbuka, dan gembira ketika bertemu dengan Tuhan-Nya. Sungguh bau mulut shâim, menurut Allah lebih harum ketimbang bau minyak wangi”. 1. Takhrîjul Hadîts Hadis tersebut telah diriwayatkan oleh: a. al-Bukhâriy, dalam kitab: 1) al-Libâs bab mâ yudzkaru fî al-miski, hadis no. 5927; 2) al-Shaum, bab fadhli al-shaum hadis no. 1894; b. Muslim, dalam kitab al-Shiyâm bab fadhli al-shiyâm, ha-dis no. 163164-165 (1151); Matan hadis tersebut di atas adalah matan hadis yang terdapat pada riwayat Muslim hadis no. 164 (1151); c. al-Nasâ`iy, dalam kitab al-Shiyâm bab dzikri al-ikhtilâfi ‘alâ Abî shâlih fî hâdzâ al-hadîts, hadis no. 2212-2214; d. Ibnu Majah, dalam kitab al-Shiyâm bab mâ jâ`a fî fdhli al-shiyâm, hadis no. 1638; dan dalam kitab al-Adab bab fadli al-‘amal, hadis no. 3823; e. al-Baihaqiy, dalam kitab al-Shiyâm bab man kariha al-siwâk bi al-
‘asyiy idzâ kâna shâ`imân lima yustahabbu min khulûfi fami alshâ`im, hadis no. 8332; f. Ibnu Khuzaimah, dalam kitab al-Shiyâm bab dzikri i’thâ`i al-rabbi ‘azza wa jalla al-shâ`im ajrahu bi ghairi hisâb idz al-shiyâm min alshabri qâla ‘azza wa jalla innamâ yuwaffâ al-shabirûna ajrahum bi ghairi hisâb, hadis no. 1897; g. Al-Baghawiy pada kitab al-Shiyâm bab fadhli al-shiyâ-mi, hadis no. 1704; h. Abu Ya’lâ al-Maushiliy, dalam kitab Musnad Abî Ya’lâ al-Maushiliy, Juz X, hlm. 353, hadis no. 5947; i. Ahmad bin Hanbal, dalam Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Juz II, hlm. 503; j. Imam Malik, dalam kitab al-Shiyâm bab jâmî’ al-shiyâm, hadis no. 3/58-704; k. Al-Dârimiy, dalam kitab al-Shaum, bab fadhli al-shiyâmi, hadis no.1776)
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 13 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
M. Dailamy S.P.
l. Al-Bazzâr, pada bab wa mimmâ rawâ ‘Abdullâhi bin al-Hârits ‘an ‘Aliyyin, hadis no. 915; (LihatAl-Bazzâr, Al-Bahr al-Zakhkhân alMa’rûf bi Musnad al-Bazzâr, Juz III, hlm. 129) m. Ibnu Hibbân, pada kitab al-Shaûmi bab fadhlish-shaŭ-mi, dzikril
bayâni bi anna khulûfa famish-shâ`imi yakûnu athyabu ‘indallâhi min rîhil miski, hadis no.3421, 3422 dan 3423; (Lihat Ibnu Hibbân, Shahîh Ibni Hibbân, Jilid IV, juz 5 dan 6, hlm.130).13 Hadis shahih yang muttafaq ‘alahi = disepakati oleh al-Bukhâriy
dan Muslim tersebut dengan tegas lagi jelas menyatakan, pahala puasa Ramadhan, tidak ada ukuran bakunya. Berapa besar/banyaknya terserah pada Allah sendiri, mengingat orang yang berpuasa berarti telah rela hati meninggalkan syahwatnya, baik syahwat perempuan, makanan atau minuman. Dalam pada itu hadis pokok kajian, kalaupun dikatakan hadis shahih karena salah satu mukharrijnya adalah Muslim, tetapi al-Bukhâriy (guru Muslim) ternyata tidak meriwayatkannya. Yang muttafaq ‘alaihi lebih didahulakan dari pada yang tidak muttafaq ‘alaihi. Lagi pula puasa enam hari pada bulan syawal (jika dilihat dari hukumnya), orang berkata hanya sunnah hukumnya. Yang sunnah tidak akan setara dengan yang wajib. Bukankah fungsi amalan sunnah berdasarkan hadis, hanyalah untuk melengkapi atau menyempurnakan amalan wajib, apabila amalan terakhir ini tidak sempurna. 2. Kejanggalan Peristiwanya Puasa enam hari menurut imam Malik, tidak dikenal baik oleh ahli ilmu dan ahli Fiqih Madinah, di mana Nabi menghabiskan umurnya di Madinah. Imam Mâlik (97-179 H.), penulis kitab al-Muwaththâ`, pada Juz I, hlm. 286, menyatakan, bahwa puasa enam hari pada bulan Syawal, tidak dikenal oleh baik ulama Fiqih ataupun ahli Ilmu di Madinah. Imam Mâlik menulis:
إِﻧﱠﻪُ َﱂْ ﻳـََﺮ:ﱠﺎم ﺑـَ ْﻌ َﺪ اﻟْ ِﻔﻄْ ِﺮ ِﻣ ْﻦ َرَﻣﻀَﺎ َن ٍ َﺎم ِﺳﺘﱠ ِﺔ أَﻳ ِ ِﰲ ِﺻﻴ,ْل ُ ْﺖ ﻣَﺎﻟِﻜًﺎ ﻳـَﻘُﻮ ُ َﲰﻌ َِ و:َﺎل َْﳛﻴَﻲ َﻗ َوإِ ﱠن اَ ْﻫ َﻞ,َﻒ ِ ِﻚ َﻋ ْﻦ اَ َﺣ ٍﺪ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱠﺴﻠ َ َوَﱂْ ﻳـَْﺒـﻠُﻐ ِْﲏ ذَاﻟ,ْﻞ اﻟْﻌِْﻠ ِﻢ وَاﻟْ ِﻔ ْﻘ ِﻪ ﻳَﺼ َْﻮُﻣﻬَﺎ ِ اَ َﺣﺪًا ِﻣ ْﻦ اَﻫ اَ ْﻫ ُﻞ اﳉَْﻬَﺎﻟَِﺔ,ُْﺲ ِﻣْﻨﻪ َ ْﺤ َﻖ ﺑَِﺮَﻣﻀَﺎ َن ﻣَﺎﻟَﻴ ِ َواَ ْن ﻳـَﻠ,ُ وَﳜََﺎﻓـ ُْﻮ َن ﺑِ ْﺪ َﻋﺘَﻪ,ِﻚ َ اﻟْﻌِْﻠ ِﻢ ﻳَ ْﻜَﺮﻫ ُْﻮ َن ذَاﻟ .ِﻚ َ َوَراَوُﻫ ْﻢ ﻳـَ ْﻌ َﻤﻠ ُْﻮ َن ذَاﻟ,ْﻞ اﻟْﻌِْﻠ ِﻢ ِ ﺼﺔً ِﻋْﻨ َﺪ اَﻫ َ ِﻚ ُر ْﺧ َ ﻟ َْﻮ َراَوْا ِﰲ ذَاﻟ,وَاﳉَْﻔَﺎ ِء 13 Lebih lanjut lihat M.Dailamy SP, Ramadhan Mubarak (Perspektif al-Quran dan Hadis), Seri Kajian Islam ke-7, hlm.181-182
14 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Validitas Hadis Puasa Syawal
“Yahyâ berkata, Aku pernah mendengar imam Mâlik berkata dalam hal puasa enam hari setelah berbuka puasa dari puasa Ramadhan, bahwasanya imam Mâlik tidak melihat seorangpun (pada zaman imam Mâlik hidup di Madinah) baik dari ahli Ilmu ataupun ahli Fiqih, yang berpuasa enam hari dimaksud. Tidak pula datang kepada beliau keterangan dari ulama salaf yang melakukannya. Ahli ilmu (termasuk imam Mâlik) memakruhkan puasa enam hari setelah puasa Ramadhan di bulan Syawal. Mereka takut malah terperosok kepada apa yang dinamakan bid’ah, lantaran merangkai Ramadhan dengan sesuatu yang tidak ada dasarnya, karena kebodohan semata. Andaikata mereka menganggap rukhshah atau dibolehkan oleh ahli ilmu, pasti merekapun akan mengamalkannya”. Memang ditemukan juga hadis riwayat Ibnu Majah dari jalan Abu Hurairah, pada kitab al-Shiyăm, bab Shiyămi asyhurul hurumi, hadis 1745, yang menyatakan Rasul memerintahkan kepada Zaid bin Usămah untuk berpuasa Syawal, tetapi hadis tersebut telah dinyatakan sebagai hadis munqathi’ (terputus sanad) oleh al-Sindiy, pensyarah hadis hadis yang ada pada Sunan Ibnu Majah, dan dinyatakan dha’if oleh al-Albăniy, sebagaimana dapat dibaca pada kitabnya berjudul Dha’ĭf Sunan Ibni Măjah. hlm. 133. Hadisnya berbunyi:
ﷲ ﺑْ ِﻦ اُﺳﺎََﻣﺔَ َﻋ ْﻦ ِ ي َﻋ ْﻦ ﻳَِﺰﻳْ ِﺪ ﺑْ ِﻦ َﻋْﺒ ِﺪ ِّ ﺛَﻨﺎَ َﻋْﺒﺪُاﻟْ َﻌ ِﺰﻳْ ِﺰ اَﻟ ﱠﺪرَاوَْرِد,َﺣ ﱠﺪﺛَﻨﺎَ ﳏَُ ﱠﻤ ُﺪﺑْ ُﻦ اﻟﺼﱠﺒﺎ َِح ُﺻﻠﱠﻰ ﷲ َ ﷲ ِ ْل ُ أَ ﱠن اُﺳﺎََﻣﺔَ ﺑْ َﻦ َزﻳْ ٍﺪ ﻛﺎَ َن ﻳَﺼ ُْﻮُم اَ ْﺷ ُﻬﺮَاﳊُْﺮُِم ﻓَﻘﺎ ََل ﻟَﻪُ َرﺳُﻮ,ﳏَُ ﱠﻤ ِﺪﺑْ ِﻦ إِﺑْـﺮَا ِﻫْﻴ َﻢ .َت َ َﱴ ﻣﺎ ﰒُﱠ َﱂْ ﻳـَﺰَْل ﻳَﺼ ُْﻮُم َﺷﻮﱠاﻻً ﺣ ﱠ,ﺻ ْﻢ َﺷﻮﱠاﻻً! ﻓَـﺘَـﺮََك أَ ْﺷ ُﻬﺮَاﳊُُْﺮِم ُ :َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ Telah menceriterakan kepadaku (Ibnu Majah) Muhammad bin alShabbăh, telah menceriterakan kepadaku ku (Muhammad bin alShabbăh) ’Abdul ‘Aziz al-Darăwardiy, dari Zaid bin ‘Abdillah bin Usămah dari Muhammad bin Ibrăhĭm, bahwa Usămah bin Zaid selalu berpuasa pada bulan-bulan hurum; lalu Rasulullah Saw. memerintahkan kepadanya untuk berpuasa pada bulan Syawal (puasa Syawal). Usămah bin Zaidpun berhenti dari puasa pada bulan-bulan hurum. Sampai wafat, Usămah bin Zaid selalu berpuasa Syawal.
Hadis tersebut dikatakan munqathi’ (terputus), sebab ada rawi yang tidak disebut namanya antara Muhammad bin Ibrăhĭm bin alHărits al-Taimiy dengan Usămah bin Zaid, sahabat dekat yang sekaligus kesayangan Rasul Saw. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 15 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
M. Dailamy S.P.
Memang di antara ahli hadis ada yang mengatakan mengapa imam Mălik sampai memakruhkan puasa enam hari setelah puasa Ramadhan, dikarenakan imam Mălik tidak tahu kalau ada hadis yang menyatakan demikian, atau hadis yang menjadi pokok bahasan tidak sampai kepadanya, sepertinya tidak tepat. Mengingat berdasarkan riwayat tersebut dalam al-Muwathă`, ditanyakan kepada beliau perihal puasa Syawal yang enam hari itu. Tidak sampai kepada Mălik, bukanlah hadisnya, tetapi yang tidak sampai kepada Mălik ialah berita kalau ada seorangpun ulama salaf pada melakoni puasa Syawal, saat imam Mălik masih hidup. Seperti diketahui menurut imam Mâlik, kebiasaan ulama Madinah adalah dapat dijadikan sumber hukum. Logikanya atau jalan pikirannya, ialah aneh jika puasa enam hari di bulan Syawal, setelah puasa Ramadhan (yang jika dilihat pahalanya cukup menggiurkan), tidak dikenal oleh ulama Madinah. Jika memang puasa enam hari pada bulan Syawal adalah sunnah, pasti diikuti oleh ulama Madinah secara turun temurun, apalagi mengingat beda waktu antara Nabi dengan ulama-ulama sebaya dengan imam Mălik, belum terlalu lama berselang atau belum terlalu jauh. Maka tidaklah mengadaada jika imam Mălik yang sekaligus guru dari imam al-Syăfi’iy, malah menganggap makruh menjalankan puasa enam hari pada bulan Syawal setelah puasa Ramadhan, dengan alasan takut kalau malah melakukan hal-hal yang bid’ah. Sebenarnya hadis Muslim yang shahih sanadnya tetapi tidak shahih matannya, bukanlah merupakan hal yang mengada-ada. Penulis menemukan setidaknya dua lagi riwayat Muslim, yang dikatakan tidak shahih matannya, yakni: Pertama, hadis yang terdapat pada kitab Fadhăilush Shahăbah r.a, bab fadhă`ili Abĭ Sufyăna Shahr bin Harb r.a., hadis no. 168 (2501), yang berbunyi sebagai berikut:
, ﻛﺎَ َن اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠِﻤ ُْﻮ َن ﻻَﻳـَْﻨﻈُﺮُْو َن إ َِﱃ اَِﰊ ُﺳﻔْﻴﺎَ َن, ﻗﺎ ََل,ّﺎس ٍ َﲏ اﺑْ ُﻦ َﻋﺒ ِْ َﺣ ﱠﺪﺛ,َﻋ ْﻦ اَِﰊ ُزَﻣﻴ ٍْﻞ , ﻧـَ َﻌ ْﻢ!ﻗﺎ ََل, ﻗﺎ ََل,َث أَ ْﻋ ِﻄﻨِْﻴ ِﻬ ﱠﻦ ٌ ﺛَﻼ,َِﱯ ﷲ َ ِ ﻳﺎَﻧ,ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َ ﱠﱯ ِّ ِ ﻓَﻘﺎ ََل ِﻻﻧ,َُوﻻَﻳُﻘﺎَ ِﻋﺪ ُْوﻧَﻪ ُ ﻧـَ َﻌ ْﻢ! ﻗﺎ ََل َوﻣُﻌﺎَ ِوﻳَﺔ, ﻗﺎ ََل,َْﺖ أَِﰊ ُﺳﻔْﻴﺎَ َن أَُزِّو َﺟﻜَﻬﺎ ُ َب َوأَﲨَْﻠُﻪُ أُﱡم َﺣﺒِْﻴﺒَﺔَ ﺑِﻨ ِ ِﻋْﻨ ِﺪ ْي أَ ْﺣ َﺴ ُﻦ اﻟْﻌَﺮ ُْﺖ أُﻗﺎَﺗِﻞ ُ َﱴ أُﻗﺎَﺗِ َﻞ اﻟْ ُﻜﻔﱠﺎ َر ﻛَﻤﺎَ ُﻛﻨ ُﱐ ﺣ ﱠ ْ ِ ﻧـَ َﻌ ْﻢ! ﻗﺎ ََل َوﺗُـ َﺆِّﻣﺮ, ﻗﺎ ََل,ْﻚ َ َﲔ ﻳَ َﺪﻳ َ ْ َْﲡ َﻌﻠُﻪُ ﻛﺎَﺗِﺒﺎً ﺑـ ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َ ﱠﱯ ِّ ِِﻚ ِﻣ َﻦ اﻟﻨ َ َﺐ ذاَﻟ َ َوﻟ َْﻮﻻَ أَﻧﱠﻪُ ﻃَﻠ, ﻧـَ َﻌ ْﻢ! ﻗﺎ ََل اَﺑُﻮُزَﻣﻴ ٍْﻞ, ﻗﺎ ََل,ِﲔ َ ْ اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠِﻤ .ِﻚ ﻷَِﻧﱠﻪُ َﱂْ ﻳُ ْﺴﺌَ ْﻞ َﺷْﻴﺌًﺎ إِﻻﱠ ﻗﺎ ََل ﻧـَ َﻌ ْﻢ َ ﻣﺎَأَﻋْﻄﺎَﻩُ ذاَﻟ 16 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Validitas Hadis Puasa Syawal
“Dari Abu Zumail, telah menceriterakan kepadaku Ibnu ‘Abbăs, dia berkata, orang-orang Islam tidak mau memperhatikan (tidak acuh) terhadap Abu Sufyăn, dan tidak mau pula duduk-duduk bersamanya. Abu Sufyăn berkata kepada Nabi Saw., ”Wahai nabi, ada tiga hal (permintaanku kepadamu) yang mudahmudahan anda dapat berkenan untuk mengiyakannya. Nabipun mengiyakannya. Aku (demikian kata Abu Sufyăn), adalah orang Arab yang bagus dan berpenampilan indah, aku punya anak !perempuan yang namanya Habĭbah, aku nikahkan denganmu ”Nabi mengiyakan. (yang kedua), Mu’awiyah anakku, hendaklah engkau jadikan sekretarismu!” Nabi mengiyakan. (yang ketiga), perintahkan agar aku memerangi orang-orang kafir, sebagaimana aku dahulu suka memerangi orang-orang Islam!” Nabi pun mengiyakannya. Selanjutnya Abu Zumail berkata, andaikata Abu Sufyăn tidak meminta hal tersebut kepada Nabi, Nabi pun tidak akan memberikan hal yang demikian; karena sesungguhnya tidak suatupun yang diminta olehnya, Nabi hanya mengiyakannya”. Al-Nawawiy (w. thn. 676 H.) dalam kitabnya Shahĭh Muslim bi Syarhin Nawawiy, Juz XVI, hlm. 63 berkomentar sebagai berikut:
َﺎل ,وََو ْﺟﻪُ اِْﻹْﺷْﻜﺎَِل أَ ﱠن اَﺑَﺎ ُﺳْﻔﻴَﺎ َن اﱠﳕَﺎ أَ ْﺳﻠَ َﻢ ﻳـَْﻮَم ْﺚ اﻟْ َﻤ ْﺸﻬُْﻮِر ﺑِﺈ ْﺷﻜ ٍ ْﺚ ِﻣ َﻦ اْﻷَﺣَﺎ ِدﻳ ِ وَا ْﻋﻠَ ْﻢ أَ ﱠن َﻫﺬَا اﳊَْ ِﺪﻳ َ ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَْﻴِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺪ~ ﱠﱯ َ ف ﻓِْﻴِﻪَ.وﻛَﺎ َن اﻟﻨِ ﱡ ِﻼ َ َﻓـﺘ ِْﺢ َﻣ ﱠﻜﺔََ ,ﺳﻨﱠﺔَ َﲦَﺎ َن ِﻣ َﻦ اﳍِْ ْﺠَﺮِةَ ,وَﻫﺬَا َﻣ ْﺸﻬُْﻮٌر ﻻَﺧَ َﺎط َاوﺑْ ُﻦ ﺑـَْﺮﻗِ ِّﻲ وَاﳉُْ ْﻤﻬُْﻮُرَ.و ْﺟﻬًﺎ َﺳﻨﱠَﺔ َﺎل اَﺑـُْﻮ ﻋَُﺒـْﻴ َﺪَة َو َﺧﻠِْـﻴَﻔﺔُ ﺑْ ُﻦ ِﺧﻴ ٍ ِﻚ ﺑَِﺰﻣَﺎ ٍن ﻃَِﻮﻳ ٍْﻞ.ﻗ َ َﺗـَﺰﱠو َج أُﱠم َﺣﺒِْﻴﺒَﺔَ َﻗـْﺒ َﻞ ذَاﻟ َ َﺎل َﺎض َواِ ْﺧَـﺘﻠَﻔُﻮْا أَﻳْ َﻦ َﺗـﺰﱠَو َﺟﻬَﺎ ,ﻓَِﻘْﻴ َﻞ ﺑِﺎﻟْ َﻤ ِﺪْﻳـﻨَِﺔ ﺑـَ ْﻌ َﺪ ﻗَﺪُْوِﻣﻬَﺎ ِﻣ َﻦ ْاﳊَﺒَ َﺸِﺔَ ,وﻗ َ َﺎل اﻟْﻘَﺎﺿِﻲ ِﻋﻴ ٍ ِﺖ َوﻗِْﻴ َﻞ َﺳْﺒ ٍﻊ ﻗ َ ﺳ ٍّ َﺎك ,ﻓَِﻘْﻴ َﻞ ﻋُﺜْﻤَﺎ ُن َوﻗِْﻴ َﻞ ﺧَﺎﻟِ ُﺪ ﺑْ ُﻦ َﺳﻌِْﻴ ِﺪ ﺑْ ُﻦ َﺎل َواِ ْﺧَﺘـﻠَﻔُﻮْا ﻓِْﻴ َﻤ ْﻦ َﻋَﻘ َﺪ ﻟَﻪُ َﻋﻠَْـﻴﻬَﺎ ُﻫﻨ َ ْض ْاﳊَﺒَ َﺸِﺔ ,ﻗ َ اﳉُْ ْﻤﻬُْﻮُر ﺑِﺄَر ِ َﺎل اﻟْﻘَﺎ ِﺿ ﱡﻲَ ,اوﻟﱠ ِﺬ ْي ِ ْﰲ ُﻣ ْﺴﻠِ ٍﻢ ُﻫﻨَﺎ أَﻧﱠﻪُ َﺎﺷ ﱡﻲ ﻷَِﻧﱠﻪُﻛَﺎ َن أَِﻣْﻴـُﺮ اﻟْﻤَْﻮ ِﺿ ِﻊ َو ُﺳْﻠﻄَﺎﻧِِﻪ.ﻗ َ اﻟْﻌَﺎ ِﺻ ﱡﻲ ﺑِِﺈذَِْﺎَ ,وﻗِْﻴ َﻞ اﻟﻨﱠﺠ ِ َﺎل ُﻛْﻔﺮِﻩ َﻣ ْﺸﻬُْﻮٌر َوَﱂْ ﻳَِﺰِد ِﲔ َوَرَد اﻟْ َﻤ ِﺪْﻳـﻨَﺔَ ِﰲ ﺣ ِ ْﺐ ِﺟﺪاَ ,و َﺧَـﺒُﺮﻫَﺎ َﻣ َﻊ اَِﰊ ُﺳْﻔﻴَﺎ َن ﺣْ َ َزﱠو َﺟﻬَﺎ اَﺑُﻮ ُﺳْﻔﻴَﺎ َن َﻏ ِﺮﻳ ٌ ﱠﱯ ﱠﺎس أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ َﲔ اﻟﻨ ِ ف ـﺑْ َ ِﻼ َ ْﺾ اﻟﺮﱡوَاِة ﻷَِﻧﱠﻪُ ﻻَﺧَ ْﺚ َوْﻫ ٌﻢ ِﻣ ْﻦ ـَﺑﻌ ِ َﺎل اِﺑْ ُﻦ ﺣَْﺰٍمَ ,ﻫ َﺬااﳊَْ ِﺪﻳ ُ اﻟْﻘَﺎ ِﺿ ﱡﻲ َﻋﻠَﻰ َﻫﺬَاَ .وﻗ َ َﰲ رِوَاﻳٍَﺔ َﻋ ِﻦ ْض ْاﳊَﺒَ َﺸِﺔَ ,اوَﺑُﻮﻫَﺎ ﻛَﺎﻓٌِﺮ .وِ ْ ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَْﻴِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﺗـﺰﱠَو َج أُﱠم َﺣﺒِْﻴﺒَﺔَ َﻗـْﺒ َﻞ اﻟَْﻔﺘ ِْﺢ ﺑَِﺪ ْﻫ ٍﺮ َوِﻫ َﻲ ﺑِﺄَر ِ َ َﺎل َواْﻵﻓَﺔُ ﻓِْﻴِﻪ ِﻣ ْﻦ ِﻋ ْﻜ ِﺮَﻣﺔَ ﺑْ ِﻦ َﻋﻤَﺎ ِر اﻟﱠاﺮِو ْي َﻋ ْﻦ اَِﰊ ُزَﻣﻴ ٍْﻞ َوأَﻧْ َﻜَﺮ اﻟ ﱠﺸْﻴ ُﺦ َﺎل ﻣَْﻮﺿُْﻮعٌ ,ﻗ َ اﺑْ ِﻦ ﺣَﺰٍْم اَﻳْﻀًﺎ أَﻧﱠﻪُ ﻗ َ َﺎل َوَﻫ َﺬ اﻟْﻘَﻮُْل ِﻣ ْﻦ َﺟﺴَﺎَرﺗِِﻪ َح رَِﲪَﻪُ ﷲُ َﻫﺬَا َﻋﻠَﻰ اِﺑْ ِﻦ ﺣَﺰٍْم َوﺑَﺎﻟَ َﻎ ِﰲ اﻟ ِّﺸﻨَﺎ َﻋِﺔ َﻋﻠَْﻴِﻪ ,ﻗ َ ﺼﻼ ِ أَﺑُﻮ َﻋ ْﻤ ِﺮوﺑْ ُﻦ اﻟ ﱠ ْﺚ َﺎل َوﻻَ ـَﻧ ْﻌﻠَ ُﻢ اَ َﺣﺪًا ِﻣ ْﻦ أَﺋِﱠﻤِﺔ اﳊَْ ِﺪﻳ ِ ﻓَِﺈﻧﱠﻪُﻛَﺎ َن ُﻫﺠُْﻮﻣًﺎ َﻋﻠَﻰ ﲣَْ ِﻄﺌِِﻪ اْﻷَﺋِﱠﻤِﺔ اﻟْ ُﻜﺒﱠﺎ ِر َواْﻃْﻼ َِق اﻟﻠِّﺴَﺎ ِن ﻓِْﻴ ِﻬ ْﻢ.ﻗ َ َﺎب ِﲔ َو َﻏْﻴـﺮُﳘَُﺎَ.وﻛَﺎ َن ُﻣ ْﺴﺘَﺠ ُ َﳛﻴَﻲ ﺑْ ُﻦ َﻣﻌْ ٍ ْﺚَ ,وﻗَ ْﺪ َوـَﺛَﻘﻪُ َوﻛِْﻴ ٌﻊ وَْ ﺿ ِﻊ اﳊَْ ِﺪﻳ ِ َﺐ ِﻋ ْﻜ ِﺮَﻣﺔَ ﺑْ َﻦ َﻋﻤَﺎ ٍر إ َِﱃ َو ْ ﻧَﺴ َ ﻂ ِﻣْﻨﻪُ َو َﻏْﻔﻠَﺔٌ ِﻷَﻧﱠﻪُ َْﳛﺘَ ِﻤ ُﻞ أَﻧﱠﻪُ َﺳﺄَﻟَﻪُ ْﺚ ﻟَِـﺘَﻘﺪِﱡم زَوَا َﺟﻬَﺎ َﻏﻠَ ٌ َﺎل َوﻣَﺎَﺗـﻮَﳘَُﻪُ اﺑْ ُﻦ ﺣَﺰٍْم ِﻣ ْﻦ ُﻣﻨَﺎﻓَﺎِة َﻫ َﺬااﳊَْ ِﺪﻳ ِ اﻟ ﱠﺪﻋَْﻮِة ﻗ َ JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 17 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
M. Dailamy S.P.
َﲑ ِْﺿﺔً ِﻣ ْﻦ ِرﻳَﺎ َﺳﺘِِﻪ َوﻧَ َﺴﺒِِﻪ أَ ْن َﺗـَﺰﱠو َج ﺑِْﻨﺘَﻪُ ﺑِﻐ َ َﺎح ﺗَ ِﻄْﻴﺒًﺎ ﻟَِﻘْﻠﺒِِﻪ ﻷَِﻧﱠﻪُ ﻛَﺎ َن رَُﲟَﺎ ـﻳَﺮَي َﻋﻠَْـﻴﻬَﺎ َﻏﻀَﺎ ِ َْﲡ ِﺪﻳْ ُﺪ َﻋْﻘﺪِاﻟﻨِّﻜ ﺿ ﱠﺢ ِﻣ ْﻦ َﻫﺬَا َﻋﻠَﻰ َ َب ِﰲ ِﻣﺜ ِْﻞ َﻫﺬَا ـﻳَْﻘﺘَﻀِﻲ َْﲡ ِﺪﻳْ َﺪ اﻟَْﻌْﻘ ِﺪ َوﻗَ ْﺪ َﺧﻔَﻰ أَْو ِ اَْو أَﻧﱠﻪُ ﻇَ ﱠﻦ أَ ﱠن إِﺳَْﻼَم اْﻷ,ُِرﺿَﺎﻩ ْﺲ ِﰲ َ َوﻟَﻴ,ُ َﻫﺬَا ﻛََﻼمُ أَِﰊ َﻋ ْﻤﺮٍو رَِﲪَﻪُ ﷲ,ُﺻ ْﺤﺒَﺘُﻪ ُ َﺖ ْ اَْﻛَﺒـَﺮ ﻣَْﺮَﺗـﺒَﺘِِﻪ ِﻣ ْﻦ أَِﰊ ُﺳْﻔﻴَﺎ َن ﳑَِ ْﻦ َﻛﺜـَُﺮ ِﻋْﻠ ُﻤﻪُ َوﻃَﺎﻟ َُِﰊ ُﺳْﻔﻴَﺎ َن أَﻧﱠﻪُ َْﳛﺘَﺎ ُج إ َِﱄ َْﲡ ِﺪﻳْ ِﺪِﻩ َﻓـﻠََﻌﻠﱠﻪ َِﺎل ﻷ َ ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَْﻴِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﺟ َﺪ َد اﻟَْﻌْﻘ ِﺪ وََﻻ ﻗ َ ﱠﱯ ْﺚ أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ ِ اﳊَْ ِﺪﻳ .َوﷲُ اَ ْﻋﻠَ ُﻢ.ﺼﻞُ َوإِ ْن َﱂْ ﻳَ ُﻜ ْﻦ ﲝَِِﻘْﻴـَﻘِﺔ َﻋْﻘ ٍﺪ ُ َك َْﳛ َ ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَْﻴِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ أََارَد ﺑِﻘَْﻮﻟِِﻪ ـَﻧ َﻌ ْﻢ أَ ﱠن َﻣْﻘﺼُْﻮد َ Mencermati komentar al-Nawawiy sebagaimana terkutip, alNawawiy sendiri menyatakan hadis riwayat Muslim yang satu ini adalah hadis yang musykil (sulit dipahami), atau boleh juga dikatakan mengandung kejanggalan. Isi hadis menyatakan Abu Sufyăn yang masuk Islam pada tahun fathu Makkah (8 H), dialah yang menikahkan putrinya yakni Ummu Habĭbah dengan Nabi. Padahal sejarah mencatat, Nabi menikahi Ummu Habĭbah janda dari Ubaidullah bin Jahsy bin Riyah, jauh sebelum fathu Makkah. Nabi menikahinya, sewaktu di Habsyah ketika setelah suami Ummu Habĭbah, murtad kembali dan menjadi pemeluk Nasrani.14 Lebih ekstrem lagi apa yang dikatakan oleh Ibnu Hazm, yang telah menyatakan hadis tersebut adalah maudhu’, dengan alasan sebagaimana terkutip dalam penjelasan al-Nawawiy tersebut. Ibnu alShalah, (dengan alasan-alasan yang dibuatnya) merupakan salah satu sosok ulama hadis yang tidak sependapat dengan pernyataan Ibnu Hazm. Kalau dalam matan hadis Muslim perihal puasa enam hari bulan Syawal, dinyatakan sebagai hal yang tidak sesuai dengan kenyataan pada zaman imam Mălik hidup, maka hadis Muslim tentang Abu Sufyăn sendiri yang menikahkan puterinya yakni Ummu Habĭbah dengan Nabi, setelah fathu Makkah, maka matan hadis Muslim yang terakhir ini, tidak sesuai dengan sejarah. Karena itulah hadis tersebut dikatakan hadis shahih sanadnya, tidak shahih bunyi matannya. Ada juga di antara ulama hadis yang sedikit bertasamuh dalam mensikapi hadis Muslim yang satu ini. Dengan cara memahami, bahwa apa yang dilakukan oleh Abu Sufyăn sebagaimana terceritera dalam hadis adalah dalam kerangka tajdĭdun nikăh (pembaharuan nikah), atau penguatan atas pernikahan Nabi dengan Ummu Habĭbah yang dilakukan sewaktu di Habsyah yang tanpa disetujui oleh Abu Sufyăn, ayah Ummu Habĭbah. Dalam tradisi Jawa, disebut pemberian restu. 14 Lebih lanjut lihat M. Syuhudi Ismangil, Methodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), Cet.ke-. 1, hlm. 152.
18 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Validitas Hadis Puasa Syawal
Dengan mengartikan seperti ini, sebagaian ulama hadis tidak dengan serta merta mengatakan, hadis Muslim pokok kajian adalah hadis dha’if atau maudhu’ sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hazm. Sebenarnya mengartikan pernyataan Abu Sufyăn kepada Nabi, aku punya anak perempuan yang namanya Habĭbah, aku nikahkan denganmu!” Nabi mengiyakan; sebagai ucapan tajdĭdun nikăh, perlu juga dicermati. Mengingat Shafiyur Rahmăn al-Mubărakfŭriy dalam kitabnya berjudul ”al-Rahĭqul Makhtŭm (bahtsun fĭ sĭratin nabawiyah ‘ală shăhibihă af-dhalush shalăti was salămi), menyatakan hlm. 364, Abu Sufyăn, sebelum fathu Makkah, pernah datang ke Madinah dalam kerangka usaha memperbarui atau memperpanjang perdamaian, dan ketika itu ketemu dengan Ummu Habĭbah yang telah menjadi isteri Nabi. Artinya, Abu Sufyăn telah mengetahui kalau Ummu Habibah puterinya, telah menjadi isteri Nabi. Bahkan dalam pertemuan dengan puterinya itu terjadi dialog ketika Abu Sufyăn akan duduk dipermadani Nabi, Ummu Habĭbah menarik permadaninya, dan dikatakan kepada ayahnya, ”Tidak, itu adalah permadani tempat duduk Rasul, engkau adalah orang musyrik yang najis!” wallăhu a’lam. Kedua, hadis riwayat Muslim lainnya yang dikatakan tidak shahih matannya ialah hadis yang terdapat pada kitab al-Zakăh, bab ikhfă`ish shadaqah, hadis no. 91 (1031), yang berbunyi:
َﺳْﺒـ َﻌﺔٌ ﻳُ ِﻈﻠِّ ُﻬ ُﻢ ﷲُ ِﰲ ِﻇﻠِّ ِﻪ ﻳـ َْﻮَم ﻻَ ِﻇ ﱠﻞ:ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗﺎ ََل َ ﱠﱯ ِّ َِﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮَة َﻋ ِﻦ اﻟﻨ , َوَر ُﺟ ٌﻞ ﻗَـ ْﻠﺒُﻪُ ُﻣ َﻌﻠﱠ ٌﻖ ِﰲ اﻟْﻤَﺴﺎ َِﺟ ِﺪ,َِب ﻧَ َﺸﺄَ ﺑِﻌِﺒﺎَ َد ِة ﷲ ٌ وَﺷﺎ,ِل ُ اَﻹِْﻣﺎَ ُم اﻟْﻌﺎَد:ُإِﻻﱠ ِﻇﻠﱡﻪ ,َﲨﺎ ٍَل َ ِﺐ و ٍ َت َﻣْﻨﺼ ُ َوَر ُﺟﻞٌ َد َﻋْﺘﻪُ اِ ْﻣَﺮأَةٌ ذا, إِ ْﺟﺘَﻤَﻌﺎَ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َوﺗَـ َﻔﺮﱠﻗﺎَ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ,َِوَر ُﺟﻼَ ِن ﲢََﺒّﺎَ ِﰲ ﷲ َﱴ ﻻَ ﺗَـ ْﻌﻠَ َﻢ ﳝَِْﻴـﻨُﻪُ ﻣﺎَ ﺗـُْﻨ ِﻔ ُﻖ ﺼ َﺪﻗٍَﺔ ﻓَﺄَﺧْﻔﺎَﻫﺎَ ﺣ ﱠ َ ِﱠق ﺑ َ ﺼﺪ َ َ َوَر ُﺟﻞٌ ﺗ,ََف ﷲ ُ ِﱐ أَﺧﺎ ِّْ إ,ﻓَﻘﺎ ََل .َُﺖ َﻋﻴْﻨﺎَﻩ ْ َوَر ُﺟﻞٌ ذَ َﻛَﺮ ﷲَ ﺧﺎَﻟِﻴﺎً ﻓَﻔﺎَﺿ,ُِﴰﺎَﻟُﻪ “Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. beliau bersabda, ”Ada tujuh kelompok manusia yang akan menerima perlindungan Allah, di saat tidak ada lagi perlindungan kecuali perlindungan-Nya, (mereka yakni): imam yang adil, pemuda yang tumbuh dan berkembang dalam ibadah kepada Allah, orang laki-laki yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, dua orang yang berteman (kasih sayang) karena Allah dan berpisahpun karena Allah, seorang yang dirayu lawan jenis yang berkedudukan lagi pula bagus atau cantik, tetapi dia menjawab, maaf aku takut kepada Allah, seseorang yang bershadaqah kemudian merahasiakankan JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 19 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
M. Dailamy S.P.
shadaqahnya, sampai tangan kanannya tidak mengetahui apa yang dishadaqahkan tangan kirinya, dan seseorang yang bermunajat kepada Allah pada waktu sepi, sampai berlinang kedua matanya.” Hadis tersebut selain telah diriwayatkan oleh Muslim, telah diriwayatkan pula oleh banyak mukharrij, seperti al-Bukhăriy pada hadis no. 660, 1423, 6479, 6806; oleh Mălik dalam al-Muwaththă`, pada hadis no. 1826; oleh al-Baghawiy pada hadis no. 471, oleh alTirmidziy pada hadis no. 2391, dan oleh al-Dailamiy pada al-Firdaus bi Ma`tsŭr al-Khithăb, hadis no. 3496 Semua mukharrij terkecuali Muslim, telah meriwayatkan hadis tersebut:
.ورﺟﻞ ﺗﺼﺪق ﺑﺼﺪﻗﺔ ﻓﺄﺧﻔﺎﻫﺎ ﺣﱴ ﻻ ﺗﻌﻠﻢ ﴰﺎﻟﻪ ﻣﺎﺗﻨﻔﻖ ﳝﻴﻨﻪ...
..., dan seseorang yang bershadaqah kemudian merahasiakannya, sampai tangan kirinya tidak mengerti apa yang dishadaqahkan oleh tangan kanannya.15 Dengan demikian pada riwayat Muslim tertutulis di atas, ditemukan adanya kejanggalan; karena menyelisihi riwayat yang sama yang diriwayatkan oleh mukharrij lainnya. Dengan demikian matan hadis riwayat Muslim yang satu ini termasuk hadis yang matannya maq-lŭb, alias terbalik. Hadis maqlŭb baik sanad maupun matan termasuk jajaran hadis dha’if. Simpulan Hadis riwayat Muslim yang terdapat pada kitab shahihnya (yang telah diyakini oleh kebanyakan ulama adalah shahih), namun itu bukan berarti semua hadis yang terdapat pada kitab shahihnya adalah bernilai shahih. Ada beberapa di antaranya, yang shahih sanadnya, tidak shahih matannya. Khusus terhadap hadis man shăma ramadhăna wa atba’ahu sittăn min syawălin...dst. riwayat Muslim, (tanpa lagi memperhatikan pendapat minor atas rawi yang bernama Sa’ad bin Sa’ĭd), hadis tersebut hanyalah shahih sanadnya. Isi hadis berdasarkan pernyataan imam Mălik, dan analisis penulis mengandung kejanggalan. Karena itu, 15 Untuk mengetahui lebih lanjut siapa-siapa yang telah meriwayatkan hadis tersebut dan pada kitab dan bab apa, dapat dibaca buku penulis berjudul, Empat
Persoalan Perempuan Dalam Agama, Perspektif al-Quran dan Hadis”, Seri Kajian Islam 1, hlm. 66-67.
20 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Validitas Hadis Puasa Syawal
paling banter, jika hadis riwayat Muslim terpaksa dikatakan shahih, sebatas shahih sanadnya. Matannya tidak shahih. Dengan demikian dalam kajian ilmu Hadis, hadis Muslim tersebut dapat dikatakan hadis shahih ghairu ma’mŭlin bihi = hadis shahih yang tidak perlu diamalkannya. Daftar Bacaan Departemen Agama R.I. Al-Quran dan Terjemahnya, Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imăm Ahmad bin Hanbal, al-Maktabah al-Islămiy, Bairut, Cet. ke-2, 1398 H.=1978 M. Abu Dawud, Sulaiman bin al-Asy’ats, Sunan Abĭ Dăwud, al-Maktabah al-Tijăriyah al-Kubră, Mesir, 1369 H.=1950 M. Dailamy, M., SP, Seri Kajian Islam ke-7, Ramadhan Mubarak (Perspektif al-Quran dan Hadis) untuk kalangan sendiri, 2014.
Seri Kajian Islam ke-1, Empat Persoalan Perempuan dalam Agama (Perspektif al-Quran-Hadis), untuk kalangan sendiri, 2014. Hadis-Hadis Kitab Bulŭghul Marăm (Kajian atas Ketepatan Penulisan dan Keshahihan Hadis), STAIN Purwokerto Press-Farjar Pustaka Yogyakarta, Cet.ke-1, 2006,
Al-Albăniy, Shahĭh Sunan Abĭ Dăwud, Maktabah al-Ma’ărif, Riyadh, Cet. ke-1, 1419 H. = 1998 M.
Dha’ĭf Sunan Sunan Abĭ Dăwud, Maktabah al-Ma’ărif, Riyadh, Cet. ke-1, 1419 H. = 1998 M.
Shahĭh Sunan al-Tirmidziy, Maktabah al-Ma’ărif, Riyadh, Cet. ke1, 1420 H. = 2000 M.
Dha’ĭf Shahĭh Sunan al-Tirmidziy, Maktabah al-Ma’ărif, Riyadh, Cet. ke-1, 1420 H. = 2000 M.
Dha’ĭf Sunan Ibni Măjah, al-Maktabah al-Islămiy, Bairut, Cet, ke1, 1408 H. = 1988 M.
Irwă`ul Ghalĭl Fĭ Tkhrĭji Ahădĭtsi Manăris Sabĭl, al-Maktabah alIslămiy, Bairut, Cet, ke-1, 1407 H. = 1987 M.
Musnad al-Imăm Ahmad bin Hanbal (Muraqamah bi Tsalătsi Tarqĭmăt), Baitul Afkăr al-Dawaliyah, Arden, Cet. ke-4, t.th.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 21 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
M. Dailamy S.P.
Al-‘Asqalăniy, Muhammad bin ‘Alĭ bin Hajar, Talkhĭsh al-Habĭr Fĭ Takhrĭji Ahădĭtsi al-Răfi’iy al-Kabĭr, Maktabah Nizăr Mushthafă al-Băz, Cet. ke-1, 1417 H. = 1997 M. Al-Baghawiy, Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ŭd, Syarhus Sunnah, Dăr al-Kutub al-‘Ilmiyah, Bairut, Cet. ke-2, 1424 H. = 2002 M. Al-Baihaqiy, Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin ‘Alĭ, al-Sunan alKubră, Dăr al-Kutub al-‘Ilmiyah, Bairut, 1420H. = 1999 M. Al-Bukhăriy, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismă’ĭl, Shahĭh al-Bukhăriy, al-Musammă al-Jămi’ al-Musnad al-Shahĭh al-Muhtashar Min Umări Rasŭli Saw. wa Sunanihi wa Ayyămihi, Dăr al-Arqam bin Abĭ al-Arqam, Bairut,. t.th. Al-Dailamiy, Abu Syujă’ Syirawaih bin Syahradăr, al-Firdaus bi Ma`tsŭr al-Khithăb, Dăr al-Kutub al-‘Ilmiyah, Bairut, Cet. ke-1, 1406 H. = 1986 M. Al-Dărimiy, Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdir Rahmăn bin al-Fadhl bin Bahrăm, Sunan al-Dărimiy, Dăr al-Ma’rifah, Bairut, Cet. ke-1, 1421 H. = 2000 M. Al-Dăruquthniy, ’Alĭ bin ‘Umar, Sunan al-Dăruquthniy, ’Ầlam al-Kutub, Bairut, Cet. ke-3, 1413 H. = 1993 M. Al-Dzahabiy, Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsmăn, Siyaru A’lăm alNubală`, Dăr al-Fikri, Bairut, Cet. 1, 1417 H. = 1997 M.
Mĭzănul I’tidăl Fĭ Naqdir Rijăl, Dăr al-Ma’rifah, Bairut, Cet. ke-1, 1382 H. = 1963 M.
Al-Hăkim, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Naisăbŭriy, Al-Mustadrak ‘Ală al-Shahĭhain, Dăr al-Ma’rifah, Bairut, Cet. ke-1, 1419 H. = 1998 M. Al-Maushiliy, Ahmad bin ‘Alĭ bin al-Mutsană al-Taimiy, Musnad Abĭ Ya’lă al-Maushiliy, Dăr al-Tsaqăfah al-‘Arabiyah, Damsyiq, Cet.ke1, 1412 H. = 1992 M. Al-Mizziy, Jamăluddĭn Abĭ al-Hajjăj Yŭsuf, Tahdzĭbul Kamăl Fĭ Asmă`ir Rijăl, Dăr al-Fikri, Bairut, Cet, ke-1, 1432-1433 H. = 2011 M. Al-Mubărakfŭriy, Shafiyurrahmăn, Al-Rahĭqul Makhtŭm, Bahtsun fĭs Sĭratin Nubuwwah ‘Ală Shăhibihă Afdhalussh Shalăti was Salămi, Maktabah Dăruz Zamăn, al-Madĭnah al-Munawwarah, 1434 H. = 2013 M.
22 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Validitas Hadis Puasa Syawal
Al-Nasă`iy, Abu ‘Abdurrahmăn Ahmad bin Syu’aib, Sunan al-Nasă`iy bi Syarhi al-Hăfizh Jalăluddin al-Suyŭthiy wa Hăsiyati al-Imăm al-Sindiy, Dăr al-Ma’rifat, Bairut, Cet. ke-6, 1422 H. = 2001 M.
Al-Sunan al-Kubră, Dăr al-Risălah al-Ầlamiyah, Bairut, Cet. ke-2, 1432 H. = 2011 M.
Al-Nawawiy, Muhyiddĭn Abu Zakariya Yahyă bin Syaraf, Shahĭh Muslim bi Syarhi al-Nawa-wiy, Dăr al-Kutub al-‘Ilmiyah, Bairut, t.th. Ibnu Hibbăn, Abu Hătim al-Bustiy, al-Ihsăn bi Tartĭbi Shahĭh Ibni Hibbăn, Tartĭb ‘Ală`uddĭn ‘Alĭ bin Balbăn al-Fă-risiy, Dăr al-Fikri, Bairut, Cet, ke-1, 1417 H. = 1996 M. Ibnu Khuzaimah, Abu Bakar Muhammad bin Ishăq, al-Nai-săbŭriy, Shahĭh Ibni Khuzaimah, al-Maktab al-Islămiy, Bairut, 1400 H. = 1980 M. Ibnu Majah, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazĭd al-Qaz-wĭniy, Sunan Ibni Măjah, Dăr al-Ma’rifah, Bairut, Cet. ke-2, 1418 H. = 1997 M. Ibnu al-Shalăh, Abu ‘Amer ‘Utsmăn bin ‘Abdirrahmăn, Muqaddimah Ibni al-Shalăh, Dăr al-Kutub al-‘Ilmiyah, Bairut, Cet, ke-1, 1416 H. = 1995 M. Mălik bin Anas r.a., al-Muwaththă`, Dăr al-Ma’rifah, Bairut, Cet. ke-2, 1420 H. = 1999 M. Muslim al-Hajjăj, Abu al-Husain, al-Qusairiy, Shahĭh Muslim, Maktabah al-Rusyd, Riyadh, 1422 H. = 2001 M. Mushthafă al-Sibă`iy, al-Sunnatu wa Makănatuhă Fĭt TasyrIslămiy, alMaktabah al-Islămiy, Bai-rut, Cet. ke-4, 1405 H. = 1985 M. Wensinck, A.J., al-Mu’jam al-Mufahras li Alfăzhil-Hadĭts al-Na-bawiy, E.J. Brill, Leiden, 1939.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 23 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
24 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015