Validasi Konkuren Skala Keber-Pancasila-an Pada Remaja Mahasiswa di Ibukota Indonesia
Eko Aditya Meinarno Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia Kampus Baru UI, Depok 16424 Juneman Jurusan Psikologi, Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45, DKI Jakarta 11480
Abstract The Indonesians identification with the Pancasila five-principle values as the country ideology and foundation, are recently continuously questioned by many. Corruption, violence due to ethnicities and religions, injustice, unequal access to education and health, and the separation movements in some regions in Indonesia are obvious examples of the incidents attributed as the loss of the Indonesians’ Pancasila values. On the other hand, Indonesians are also known for their hospitality, helpfulness, and having high level of solidarity when they are facing natural disasters or in sport, especially when the Indonesia football team is competing with other teams, defending the country. In the paradoxical social situations, this research is held and its purpose is to generate a valid measurement tool to find an index for Indonesians’ the Pancasila-identification. This index is expected to be a valid base for education and social interventions. The interventions purposes are to keep and improve the Pancasila-identification in Indonesians. The measurement of concurrent validation was held in Jakarta with 290 students as respondents. They were studying in different universities and given the reliable Identification-withPancasila Scales (α ≥ 0.7). They are from different ethnicity and religion background. The research found that the scale is valid for the first, the second, the fourth and the fifth principle (r ≥ 0.3; p < 0.01) by using criteria (gold standard) scale ATGS, IWAHS, SDP and ANES. For the third principle of the Pancasila-identification, construct-suitable criteria scale is needed and that is Nationality and Patriotism Scale. Key words: Identification-with-Pancasila scale, concurrent validity, university students, Jakarta
Jurnal Insan Media Psikologi Vol. 14 No. 1 April 2012, halaman 1-13. ISSN 1411-2671 Naskah ini merupakan Draf. Naskah selengkapnya dapat dibaca pada versi cetaknya.
Abstrak Dewasa ini, tingkat identifikasi orang Indonesia terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara terus-menerus dipertanyakan oleh berbagai pihak. Korupsi, kekerasan atas nama etnis dan agama, ketidakadilan hukum, ketimpangan akses pendidikan dan kesehatan, serta upaya beberapa daerah untuk memisahkan diri dari Indonesia, merupakan sejumlah contoh gejala yang terjadi di masyarakat yang sering diatribusikan sebagai menurunnya atau bahkan hilangnya keber-Pancasila-an orang Indonesia. Meskipun demikian, bangsa Indonesia juga terkenal sebagai bangsa yang ramah, suka gotong royong, dan memiliki solidaritas yang tinggi terlebih saat sesamanya tertimpa bencana alam atau sedang membela negara dalam olahraga sepak bola. Di tengah-tengah situasi paradoksikal tersebut, penelitian ini hendak menghasilkan sebuah alat ukur yang valid yang mampu menghasilkan indeks keber-Pancasila-an individu-individu Indonesia dalam kelima silanya. Indeks ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar intervensi pendidikan dan sosial guna memelihara dan/atau meningkatkan keber-Pancasila-an orang Indonesia. Validasi konkuren skala keber-Pancasila-an dilakukan dengan memberikan skala keberPancasila-an yang sudah teruji reliabilitasnya (α ≥ 0.7) kepada 290 mahasiswa dari berbagai latar belakang perguruan tinggi, etnis, dan agama di Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skala valid untuk keber-Pancasila-an sila pertama, kedua, keempat, dan kelima (r ≥ 0.3; p < 0.01), dengan skala kriteria ATGS, IWAHS, SDP, dan ANES. Untuk skala keber-Pancasila-an sila ketiga, penelitian ini menyarankan digunakannya skala kriteria (baku emas) yang lebih sesuai konstruknya, yakni Skala Nasionalisme dan Patriotisme. Kata Kunci: skala keber-Pancasila-an, validasi konkuren, mahasiswa, Jakarta
Jurnal Insan Media Psikologi Vol. 14 No. 1 April 2012, halaman 1-13. ISSN 1411-2671 Naskah ini merupakan Draf. Naskah selengkapnya dapat dibaca pada versi cetaknya.
PENDAHULUAN Daoed Joesoef (2011) pernah mengungkapkan bahwa Pancasila adalah suatu doktrin yang mengkritik perbuatan manusia dan pada gilirannya mengharapkan tanggapan kritis manusia terhadapnya. Pancasila dengan begitu menjadi moralitas sosio-politis terapan (applied socio-political moralities). Namun demikian, Franz Magnis-Suseno (1995a) menyatakan bahwa kita tidak dapat mengharapkan bahwa Pancasila menjadi semacam moralitas dan etos menyeluruh hidup sehari-hari individu-individu masyarakat Indonesia. Menurutnya, di Indonesia, moralitas dan etos menyeluruh bagi kehidupan individu-individu itu kiranya ditentukan oleh agama, nilai-nilai budaya setempat, dan―untuk sebagian―juga oleh “suasana” nasional Indonesia di mana Pancasila dengan cita-citanya merupakan komponen, jadi barangkali ada pengaruhnya juga. Magnis-Suseno menegaskan bahwa Pancasila bukanlah moralitas individual, melainkan cita-cita, tekad bersama, tujuan, dan nilai-nilai yang disepakati oleh bangsa Indonesia, yang harus mendasari kehidupannya sebagai masyarakat Indonesia, bangsa Indonesia, dan negara Indonesia. Pancasila adalah cita-cita dan etika politik (boleh juga disebut: ideologi terbuka) bangsa Indonesia di mana “politik” berarti “menyangkut kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sebagai keseluruhan” (Magnis-Suseno, 1995a). Menurut Jimly Asshiddiqie (2008), dalam pembahasan Pancasila sebagai ideologi ini, maka yang tepat digunakan adalah ideologi dalam arti netral. Ideologi adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Disebut dalam arti netral karena baik-buruknya tergantung kepada isi ideologi tersebut. Persoalan baik-buruk tidak terlepas dari persoalan nurani. Dalam kaitannya dengan Pancasila, Darpito Pudyastungkoro (2010) menyatakan bahwa berbagai kecenderungan adanya keretakan bangsa, konflik berdarah, tindakan anarkis dan korupsi, merupakan indikasi lemahnya komitmen untuk menjadikan Pancasila sebagai “nurani bangsa”. Sehubungan dengan penggunaan kata “nurani”, Kees Bertens (2001) menyatakan bahwa hati nurani merupakan penghayatan tentang baik atau buruk yang berhubungan dengan tingkah laku konkret kita. Hati nurani bersifat personal, artinya selalu berkaitan erat dengan pribadi yang bersangkutan. Hati nurani diwarnai oleh kepribadian orang. Jadi, menurut Bertens, hati nurani dalam arti yang sebenarnya selalu berkaitan dengan persona tertentu. Hati nurani hanya bisa bicara atas nama seorang pribadi. Dengan demikian, ungkapan “hati nurani bangsa”, seperti digunakan oleh Pudyastungkoro di atas, hanya bersifat kiasan. Seluruh diskusi di atas sangat penting dipertimbangkan ketika psikologi sebagai ilmu empiris hendak mulai menjadikan Pancasila sebagai objek kajiannya, seperti dilakukan oleh penelitian ini, agar tidak keliru dalam menentukan unit analisis dan metode pengukurannya. Nampak bahwa para ahli tersebut senantiasa menghubungkan Pancasila dengan nilai dan perihal yang terkait (moral, nurani, etika). Apakah Jurnal Insan Media Psikologi Vol. 14 No. 1 April 2012, halaman 1-13. ISSN 1411-2671 Naskah ini merupakan Draf. Naskah selengkapnya dapat dibaca pada versi cetaknya.
psikologi secara epistemologis memang dapat berbicara mengenai nilai? Secara lebih operasional, bagaimanakah sikap dan tingkah laku yang berhubungan dengan nilai (values) dalam psikologi diukur? Pada 1996, Clive Seligman, James M. Olson, dan Mark P. Zanna menyunting sebuah buku berjudul “The Psychology of Values”. Pada bab 5 buku ini, Sandra L. Murray, Geoffrey Haddock, dan Mark P. Zanna, menunjukkan bahwa meskipun selama ini penelitian mengenai nilai banyak menggunakan riset korelasional, namun pendekatan riset eksperimental mampu memperjelas pemahaman mengenai pengaruh nilai terhadap sikap dan tingkah laku. Melalui ketiga studinya, mereka sukses melakukan manipulasi nilai (value-relevance) dari sikap individu-individu dalam laboratorium. Selanjutnya, David K. Chan (2008) dalam buku yang disuntingnya, “Moral Psychology Today: Essays on Values, Rational Choice, and the Will”, mengulas bahwa dalam psikologi moral, terdapat dua hal penting. Pertama, berpikir tentang sesuatu yang terkait dengan nilai. Kedua, bertindak untuk mewujudkan sesuatu yang terkait dengan nilai itu. Konsep “pilihan” (choice) merupakan jembatan penting antar keduanya, dan yang mengemban pilihan tersebut disebut agen moral (moral agent). Agen moral inilah yang selanjutnya ditelaah untuk mengetahui apakah ia dapat memilih di antara nilai-nilai yang saling bersaing (competing values), dan−jika ya−bagaimana ia memilihnya. Di samping itu dalam diri individu sebagai agensi juga terdapat niat (intention) sebagai keluaran nalar praktis serta hasrat (desire) sebagai anteseden motivasional tindakan moral. Berdasarkan kedua buku di atas, nyata bahwa ada sebuah sub-disiplin dalam psikologi yang mengakomodasi studi-studi psikologis yang terkait dengan nilai; entah disebut “Psikologi Nilai” atau “Psikologi Moral”. Di samping itu, kita dapat terus meninjau contoh-contoh penelitian yang pernah dilakukan. Pada 2002, Gunnthorsdottir, McCabe, dan Smith melakukan penelitian mengenai penggunaan alat ukur Machiavellianisme guna memprediksi keterpercayaan (trustworthiness) dalam permainan taruhan. Mereka menemukan bahwa skala Machiavellianisme (Mach-IV) tidak meramalkan tingkah laku mempercayai orang lain (trusting behavior), namun meramalkan resiprositas atau keterpercayaan (trustworthiness). Machiavellianisme itu sendiri merupakan kecenderungan seseorang untuk tidak mempercayai (distrust) orang lain, terlibat dalam tingkah laku manipulatif yang tidak bermoral, mengupayakan kendali atas orang lain, serta mengusahakan status bagi diri sendiri (Dahling, Whitaker, & Levy, 2009). Salah satu skala Machiavellianisme yang paling awal yang dikonstruksi oleh Christie dan Geis dapat ditemukan dalam laman situs web “Self-Assessment 9.3: Machiavellianism Scale” (2009). Dalam kaitannya dengan sifat kepribadian (personality trait) yang berkenaan dengan nilai-nilai, Milton Rokeach (1973), seorang ahli Psikologi Nilai, pernah menyatakan bahwa kepribadian yang menganut nilai-nilai seperti otoritarianisme dan etnosentrisme dapat diubah melalui pengaruh prosedur eksperimental konfrontasi diri. Jurnal Insan Media Psikologi Vol. 14 No. 1 April 2012, halaman 1-13. ISSN 1411-2671 Naskah ini merupakan Draf. Naskah selengkapnya dapat dibaca pada versi cetaknya.
Penelitian mengenai bagaimana suatu ideologi nasional mempengaruhi individu juga telah dilakukan. Ferguson, Carter, dan Hassin (2009) mengkaji sejumlah penelitian eksperimental yang menunjukkan bahwa priming subliminal imajeri bendera Amerika menghasilkan efek pengaktifan konstruk nilai-nilai ideologis yang terkait dengannya, seperti kekuasaan (power), materialisme, dan agresi (perang, terorisme, dll). Seluruh memori yang terkait dengan kebangsaan (nation) yang mendukung atau konsisten dengan sistem nasional saat ini (current) lah yang dipertimbangkan sebagai ideologi dalam penelitian ini. Efek ini terjadi apapun afiliasi/identifikasi partai politik orang-orang tersebut, namun memang efeknya lebih kuat pada orang-orang yang mengalami terpaan tinggi oleh berita-berita politik (variabel moderator). Dengan demikian, Ferguson, Carter, dan Hassin menunjukkan kepada kita bahwa pengukuran nilai di samping dapat dilakukan secara eksplisit (seperti melalui skala Likert, misalnya dalam skala Machiavellianisme dari Christie dan Geis, serta skala F-otoritarianisme dari Adorno), dapat juga dilakukan secara implisit (mengenai otomatisitas ideologis seseorang). Seluruh uraian di atas mengimplikasikan bahwa setidaknya secara heuristik-metodologis psikologi, pengukuran untuk mengetahui kadar nilai keber-Pancasila-aan seseorang adalah mungkin. Masalahnya adalah “atribut apa (dari Pancasila) yang hendak diukur”. Moerdiono (1995) menyatakan bahwa terdapat tiga tataran nilai dalam Pancasila, yakni nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis. Dua di antaranya sebagai berikut: “Pertama, nilai dasar, yaitu suatu nilai yang bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas dari pengaruh perubahan waktu. Nilai dasar merupakan prinsip, yang bersifat amat abstrak, bersifat amat umum, tidak terikat oleh waktu dan tempat, dengan kandungan kebenaran yang bagaikan aksioma. Dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan dengan eksistensi sesuatu, yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara. Nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang telah menyengsarakan rakyat, maupun dari cita-cita yang ditanamkan dalam agama dan tradisi tentang suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh warga masyarakat. Kedua, nilai
instrumental, yaitu suatu nilai yang bersifat
kontekstual. Nilai instrumental merupakan penjabaran dari nilai dasar tersebut, yang merupakan arahan kinerjanya untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Nilai instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu pada nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamik dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu. Dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai
Jurnal Insan Media Psikologi Vol. 14 No. 1 April 2012, halaman 1-13. ISSN 1411-2671 Naskah ini merupakan Draf. Naskah selengkapnya dapat dibaca pada versi cetaknya.
dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR.” “Nilai dasar” nampaknya dapat disepadankan dengan “nilai terminal” dalam terminologi Rokeach (1973), sedangkan nilai instrumental memiliki padanan istilah yang sama (nilai instrumental). Menurut Rokeach, nilai terminal merupakan keyakinan mengenai kondisi akhir yang dikehendaki (desirable end-states of existence), sedangkan nilai instrumental merupakan cara-cara bertingkah laku yang dikehendaki (desirable modes of conduct). Penelitian yang bermaksud melakukan pengukuran ini tidak menyentuh nilai terminal Pancasila karena memang tidak dapat. Mengapa? Salah satunya, sebagaimana diungkapkan oleh Magnis-Suseno (1995b) karena Pancasila belum merupakan, dan memang tidak dapat merupakan, sebuah rumusan. Selanjutnya, ia menyatakan: “Pandangan hidup bangsa selalu merupakan suatu keseluruhan, suatu kontinuum nilai-nilai, cita-cita, pandangan-pandangan, kebiasaan-kebiasaan; sesuatu yang dihayati oleh semua, tetapi tentu tidak dapat dijelaskan satu demi satu menurut unsur-unsurnya. Yang sejak beratus-ratus tahun dihayati oleh bangsa Indonesia bukan sebuah rumusan singkat dan abstrak, melainkan suatu cara hidup. Kehebatan rumusan Pancasila justru terletak dalam kenyataan bahwa rumusan cekak-aos, ‘singkat-padat’, itu ternyata memadai, ternyata dapat mengungkapkan secara singkat segala pokok yang oleh segenap golongan di Indonesia dapat dikenali kembali sebagai miliknya …. Apabila kita membaca Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dengan sikap-sikap individual yang disebut, maka hal itu mudah dilihat. Sikap-sikap tersebut jelas sudah berakar dalam masyarakat. Tetapi tidak dengan sendirinya akan diterapkan pada situasi yang baru. Sebagai contoh, kita dapat mengambil masalah lalu lintas. Kita menyaksikan bahwa orang yang di rumahnya sopan dan penuh perhatian terhadap setiap orang yang lewat, dalam suasana lalu lintas di kota besar bertindak secara individualis, egois, kasar secara ekstrim. Kelihatan bahwa nilai-nilai tradisional, seperti keramahan dan kesopanan yang suka dibanggakan orang Indonesia terhadap orang asing, belum dapat dialihpindahkan atau dibawa ke dalam suasana lain, lepas dari lingkungan akrab semula.” Pancasila tidak mutlak diberikan tafsiran operasional, melainkan lebih merupakan tantangan ideal (Magnis-Suseno, 1995a). Apabila mengikuti pemikiran Magnis-Suseno di atas, maka konsekuensinya secara metodologis psikologi sosial adalah bahwa guna mengetahui seberapa Pancasilaiskah seseorang, hendaknya pertama-tama dilakukan pendekatan induktif dengan terlebih dahulu membuat daftar dari sampel lapangan berupa keyakinan, sikap, dan tingkah laku konkret yang dipandang tahan atau sesuai (favorable) atau tidak sesuai (unfavorable) dengan idealisme Pancasila (“Orang yang bagaimanakah yang disebut Pancasilais?”) dalam berbagai konteks situasi yang dihadapi partisipan penelitian dewasa ini. Jurnal Insan Media Psikologi Vol. 14 No. 1 April 2012, halaman 1-13. ISSN 1411-2671 Naskah ini merupakan Draf. Naskah selengkapnya dapat dibaca pada versi cetaknya.
Pertanyaan ini dapat dikalimatkan ulang, “Apakah ciri-ciri homo pancasilaensis itu pada masa sekarang?” “Homo Pancasilaensis” merupakan istilah dari Sartono Kartodirjo (dalam Gismar, 2008), yang didefinisikan sebagai suatu kepribadian superordinat dan ideal yang dihayati bersama, hadir dalam benak setiap individu, dan dengan demikian menjadi sumber penting baik bagi identitas nasional maupun personal. Selanjutnya, daftar tersebut dianalisis dan dikelompokkan menjadi konstelasi-konstelasi sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan masing-masing sila Pancasila. Sejumlah konstelasi sikap dan tingkah laku tersebut lah yang merupakan nilai-nilai instrumental Pancasila yang dapat dijadikan indikator-indikator dalam skala keber-Pancasila-an untuk diukurkan oleh peneliti kepada masyarakat responden yang lebih luas. Namun demikian, persis pada titik ini penelitian yang bertujuan untuk mengkonstruk sebuah skala keberPancasila-aan yang valid ini menjumpai batasnya. Oleh karena belum pernah ada yang melakukan upaya induktif dengan skala riset nasional sebagaimana disebutkan di atas, baik dengan diskusi kelompok terarah (FGD), wawancara dari bawah (grounded interview), dan sebagainya, nilai-nilai instrumental yang dikenai pengukurannya kepada responden diturunkan langsung melalui proses deduktif-rasional oleh peneliti dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa), atau yang dikenal sebagai “36 butir-butir Pancasila (Tekad yang tunggal untuk melaksanakan lima kehendak)”. Yang diukur dalam hal ini tentu bukanlah nilai-nilai instrumental Pancasila itu sendiri, melainkan penghayatan dan pengamalan terhadapnya, atau dalam terminologi variabel psikologis, “tingkat identifikasi” terhadap nilainilai tersebut dalam ragam konteks situasi kehidupan sehari-hari. Penelitian ini menyebutnya “KeberPancasila-an”. Penelitian ini memiliki signifikansi teoretis maupun praktis. Secara teoretis, penelitian ini membawa Pancasila kepada taraf ilmiah-psikologis-ulayat. Hal ini sejalan dengan: Pertama, semangat reformasi Indonesia untuk melakukan demistifikasi terhadap Pancasila. Sebagaimana kita ketahui, mistifikasi Pancasila telah dijadikan alat politik oleh penguasa Orde Baru untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan Pemerintah sebagai “tidak Pancasilais” atau “anti-Pancasila”. Penelitian ini mendekati Pancasila sebagai objek sikap dan objek identifikasi sebagaimana dipelajari dalam psikologi. Kedua, semangat psikologi Indonesia untuk memperkaya khasanahnya dengan menjadikan fenomena keperibumian (indigenous) sebagai objek penelitian psikologi. Sebagaimana diketahui, Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri dan dikristalisasikan dari nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan rakyat Indonesia yang beraneka ragam. Ungkapan-ungkapan bahwa penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila sudah semakin luntur bahkan hilang, khususnya pada generasi muda, telah sering kita dengar. Bacharuddin Jusuf Habibie (Tempo Interaktif, 2011), misalnya, mengungkapkan bahwa Pancasila seolah hilang dari memori kolektif Jurnal Insan Media Psikologi Vol. 14 No. 1 April 2012, halaman 1-13. ISSN 1411-2671 Naskah ini merupakan Draf. Naskah selengkapnya dapat dibaca pada versi cetaknya.
bangsa, seolah "lenyap" dari kehidupan kita, yang antara lain ditandai dengan menguatnya radikalisme, fanatisme kelompok dan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Puan Maharani memunculkan istilah “tuna Pancasila” guna menggambarkan tiadanya pelaksanaan ideologi negara yang konsisten dan konsekuen (Bambang, 2011). Namun demikian, Indonesia juga memiliki “kampung Pancasila”, seperti yang terdapat di Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur (Sucipto, 2011); “laboratorium Pancasila”, seperti yang terdapat di Sekolah Indonesia Nederland di Wassenaar (Santosa, 2011) dan di Universitas Negeri Malang; serta Pusat Studi Pancasila, seperti yang terdapat di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Universitas Pancasila Jakarta. Diskursus ini menuntun kita untuk bertanya, “Sesungguhnya, seberapa hilang Pancasila dari kita, seberapa kita ‘tuna’ Pancasila?”. Untuk menjawabnya, diperlukan alat ukur guna mengetahui derajat keber-Pancasila-an orang Indonesia, sehingga dapat dijadikan dasar intervensi pendidikan dan sosial untuk semakin mengusahakan peningkatan tingkah laku ber-Pancasila yang diidam-idamkan para pendiri bangsa Indonesia.
METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan skala psikologis keber-Pancasila-an yang valid. Partisipan penelitian ini adalah 290 mahasiswa (71 laki-laki, 219 perempuan; M usia = 18.78 tahun; SD usia = 1.30 tahun) yang berasal dari Universitas Indonesia (31.04%), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (26.55%), dan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya (42.41%). Ditinjau dari rerata usianya, partisipan berada pada usia remaja. Pemilihan remaja memiliki sejumlah alasan. Di satu pihak, pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi telah mengubah nilai hidup manusia menjadi pemburu materi, dengan mengabaikan sama sekali akibat sosial yang terjadi. Perilaku remaja merupakan produk dari proses keterasingan atau alienasi dari kehidupan yang wajar (Ancok, 2004). Individu remaja mengalami tuntutan yang tinggi untuk berprestasi dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagaimana dinyatakan oleh Mansour Fakih (2001), apabila ideologi achievement-oriented dari psikolog David McClelland berakibat terhadap pertumbuhan ekonomi, maka ideologi tersebut tersebarkan tidak saja pada kalangan bisnis dan pemerintahan, tetapi justru kepada seluruh bangsa, dengan cara mempengaruhi cara berpikir semua orangtua ketika mereka membesarkan anak-anaknya. Di lain pihak, remaja di Indonesia hidup dalam negara yang terkenal dengan kultur kolektivismenya. Sebagaimana dikemukakan oleh Hofstede (2003), berdasarkan hasil risetnya, Indonesia menduduki peringkat rendah dalam hal individualisme. Kolektivisme dapat menyebabkan penguatan identitas etnis dan identitas religius yang apabila isinya keliru berpotensi destruktif terhadap identitas nasional, seperti kekerasan komunal, fanatisme kelompok, sebagaimana dikemukakan Habibie di atas. Demikianlah, remaja Indonesia hidup dalam konteks situasi psikososial yang paradoksal. Jelaslah bahwa remaja Jurnal Insan Media Psikologi Vol. 14 No. 1 April 2012, halaman 1-13. ISSN 1411-2671 Naskah ini merupakan Draf. Naskah selengkapnya dapat dibaca pada versi cetaknya.
merupakan prototipe lokus konflik atau pertarungan nilai-nilai. Hal ini semakin kompleks apabila kita mempertimbangkan kenyataan karakteristik remaja itu sendiri, yakni kecenderungan untuk mengambil posisi yang sangat ekstrim dan mengubah kelakuannya secara drastis (Lewin, 1946, dalam Sarwono, 2002). Sementara itu, Pancasila tidak mengadopsi sepenuhnya individualisme atau sepenuhnya kolektivisme, melainkan sintesis antara kedua ideologi tersebut (Setiawan, 2009). Sering kita mendengar ungkapan “Remaja Harapan Bangsa”. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui sikap atau tingkat identifikasi remaja Indonesia terhadap Pancasila, yang merupakan dasar negara Indonesia, karena keberlangsungan bangsa kelak terletak di tangan remaja yang hidup saat ini. Remaja yang diteliti adalah mahasiswa tingkat awal di perguruan tinggi. Dari sisi historisitas, remaja mahasiswa Indonesia ini merupakan generasi yang secara kronologis relatif berjarak jauh dengan beberapa kejadian bersejarah Indonesia (Kemerdekaan, berdirinya Orde Baru) dan dunia (runtuhnya komunisme tahun 1991), juga kemungkinan besar tidak terlalu menghayati imbas krisis moneter 19971998 (saat itu, mereka masih berusia kanak-kanak). Remaja mahasiswa saat ini juga tidak lagi dikenai kewajiban mengikuti penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang indoktrinatif, dan memiliki akses informasi yang sangat luas mengenai Pancasila, serta dimungkinkan dialog dalam pemahaman Pancasila; meskipun mereka semua tetap memperoleh materi Pendidikan Pancasila melalui mata pelajaran atau mata kuliah. Mahasiswa merupakan bagian kelompok kelas menengah yang merupakan agen perubahan yang seyogianya kritis terhadap permasalahan perkembangan kehidupan bangsa. Sementara itu, Pancasila itu sendiri mengandung nilai-nilai yang dinamis, dan membutuhkan reaktualisasi. Remaja mahasiswa Indonesia lah yang akan menjadi aktor reaktualisasi, reinterpretasi, reinventing, rediscovery, rejuvenilisasi, revitalisasi nilai-nilai Pancasila. Hal ini lagi-lagi menandaskan signifikansi pengambilan sampel mahasiswa dalam validasi skala keber-Pancasila-an dalam penelitian ini. Pemilihan universitas dilakukan peneliti berdasar atas latar belakang yang bervariasi, yakni negerinasional (UI), negeri-religius/Islam (UIN), dan swasta-religius/Katolik (Unika). Agama partisipan adalah Islam (63.4%), Kristen Katolik (19.7%), Kristen Protestan (13.4%), Buddha (2.4%), dan Hindu (1.0%). Partisipan berasal dari etnis Jawa (37.2%), China (18.3%), Sunda (10.7%), Minang (6.6%), Betawi (6.6%), dan Batak (5.5%). Etnis lainnya (Manado, Palembang, Melayu, Bali, Lampung, Ambon, Banten, Bugis, Makasar, Flores, Gorontalo, Lampung) sebanyak 12.7%, dan ada 2.4% partisipan yang menyebut dirinya “etnis Indonesia”. Asal sekolah partisipan sebelum masuk perguruan tinggi adalah sekolah negeri (43.8%), madrasah (6.2%), swasta umum (17.2%), dan swasta berafiliasi agama tertentu (32.8%). Profesi ayah dari partisipan adalah karyawan swasta (37.2%), wiraswasta (30.0%), pegawai negeri sipil (16.2%), militer (0.7%), dan lain-lain (15.8%). Jakarta dipilih sebagai lokasi populasi penelitian karena, di samping merupakan Ibu Kota Negara Indonesia, juga merupakan kota di mana penduduknya terdiri atas berbagai macam suku, memeluk beragam agama dan kepercayaan, serta pandangan hidup, sehingga merupakan Jurnal Insan Media Psikologi Vol. 14 No. 1 April 2012, halaman 1-13. ISSN 1411-2671 Naskah ini merupakan Draf. Naskah selengkapnya dapat dibaca pada versi cetaknya.
gambaran yang representatif tentang Indonesia yang plural (sebagaimana tergambar dalam deskripsi data demografis di atas), dengan gejala dan permasalahan psikososial yang kaya. Seluruh fakta demografis di atas diharapkan membuat penelitian ini optimistis dalam cakupan generalisasi hasil. Penelitian dilakukan dengan metode penyampelan insidental. Uji validitas skala keber-Pancasila-an dilakukan dengan validasi konkuren. Menurut Azwar (2003), pengujian validitas suatu instrumen dalam menjalankan fungsi ukurnya dapat dilakukan dengan melihat sejauh mana kesesuaian antara hasil ukur instrumen tersebut dengan hasil ukur instrumen lain yang sudah teruji kualitasnya (kriteria validasi). Tabel 1 menunjukkan sampel butir dengan tipe respons Skala Likert dari skala keber-Pancasila-an dan skala kriterianya (sering disebut “baku emas” atau gold standard). Data skala keber-Pancasila-an diambil dari sampel secara bersamaan dengan data skala kriterianya. Keseluruhan skala tersebut sudah reliabel, dengan nilai α ≥ 0.70. Oleh karena hasil penelitian Suwartono dan Meinarno (2010) menunjukkan bahwa kelima sila Pancasila meskipun bersifat unidimensional namun tidak memiliki satu fundamen konstruk yang mendasarinya, maka keber-Pancasila-an kelima sila diperlakukan sebagai lima variabel yang terpisah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang memvalidasi skala keber-Pancasila-an dengan kriteria skala lain yang dipandang bersesuaian yang sudah teruji validitas dan reliabilitasnya. Hasil validasi menunjukkan bahwa kelima skala keber-Pancasila-an berkorelasi sangat signifikan dengan masingmasing skala kriterianya. Korelasinya adalah korelasi positif. Artinya, semakin tinggi skor seseorang dalam skala keber-Pancasila-an sila kesatu, misalnya, maka semakin tinggi pula skor orang tersebut dalam skala kriterianya, dalam hal ini Attitudes Toward God Scale; sebagaimana dalam Tabel 1. Tabel 1. Contoh butir skala
Skala Keber-Pancasilaa-an
Skala Kriteria
Koefisien Validitas Konkuren (r)
Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa (n i
Attitudes
Scale/ATGS-9
r xy = 0.32**
= 5; α = 0.78)
(Wood, Worthington, Exline, Yali, Aten, &
r txty = 0.38**
Toward
God
McMinn, 2010) (n i = 9; α = 0.94) ●
Beragama merupakan wujud kepercayaan saya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
●
Saya percaya Tuhan melindungi dan menyayangi saya.
Jurnal Insan Media Psikologi Vol. 14 No. 1 April 2012, halaman 1-13. ISSN 1411-2671 Naskah ini merupakan Draf. Naskah selengkapnya dapat dibaca pada versi cetaknya.
●
Saya berusaha menghormati pemeluk agama
●
lain dalam situasi atau kondisi apapun. ●
Saya menganggap Tuhan sebagai yang maha kuasa dan maha mengetahui.
Saya tidak menghalangi ketika ada penganut
●
agama lain yang ingin menjalankan ibadah.
Saya merasa dirawat dan dijaga oleh Tuhan.
Sila Kedua: Kemanusiaan Yang Adil dan
Identification
Humanity
r xy = 0.24**
Beradab (n i = 4; α = 0.70)
Scale/IWAHS (McFarland & Brown, 2008)
r txty = 0.31**
With
All
(n i = 27; α = 0.85) ●
Saya yakin bahwa pada dasarnya derajat
●
setiap manusia adalah sama, tidak peduli ●
seluruh dunia. ●
suku, agama, ras, ataupun golongannya. Saya percaya bahwa umat manusia harus
Saya memiliki banyak persamaan dengan kelompok dalam masyarakat.
●
saling mencintai.
Saya merasa dekat dengan masyarakat di
Saya memiliki kepedulian yang besar (merasa marah, ingin menolong) jika hal buruk terjadi pada masyarakat di seluruh dunia.
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia (n i = 5; α =
Patriotism Scale (Blank, 2003) (n i = 3; α =
r xy = 0.15**
0.79)
0.70)
r txty = 0.21**
●
●
Jika dibutuhkan, saya bersedia menjadi garda terdepan
dalam
upaya
mempertahankan
●
Menggunakan produk-produk buatan dalam negeri merupakan salah satu wujud kecintaan
●
merasa
bangga
pada
capaian
kesejahteraan sosial di Indonesia. ●
kedaulatan Indonesia.
Saya
Saya merasa bangga pada lembaga demokrasi Indonesia.
●
Saya
merasa
bangga
pada
peluang
saya terhadap bangsa Indonesia.
berpartisipasi dalam kehidupan politik di
Saya bergaul dengan orang dari berbagai
Indonesia.
suku dan budaya demi memajukan persatuan Indonesia. Sila Keempat: Kerakyatan Yang Dipimpin
Support for Democratic Principles scale/SDP
r xy = 0.26**
Oleh
(Kaase, 1971) (n i = 9; α = 0.72)
r txty = 0.37**
Hikmat
Kebijaksanaan
Permusyawaratan/Perwakilan
Dalam
(n i = 5; α =
0.70) ●
Selama
masih
mengutamakan ●
bisa
dilakukan,
musyawarah
saya
●
dalam
Setiap orang harus memiliki hak untuk mengemukakan pendapatnya meskipun
pengambilan keputusan.
pendapatnya
Seluruh Warga Negara Indonesia mempunyai
mayoritas masyarakat
kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
●
itu
berbeda
dengan
Setiap partai yang demokratis harus memiliki kesempatan untuk memimpin pemerintahan.
Jurnal Insan Media Psikologi Vol. 14 No. 1 April 2012, halaman 1-13. ISSN 1411-2671 Naskah ini merupakan Draf. Naskah selengkapnya dapat dibaca pada versi cetaknya.
Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh
American
National
Rakyat Indonesia (n i = 6; α = 0.77)
Humanitarianism
Studies
r xy = 0.37**
Scale/ANES
r txty = 0.47**
Election
(Steenbergen, 1995) (n i = 6; α = 0.805) ●
●
Sebelum
meminta
hak,
saya
berusaha
●
Seseorang harus selalu mencari cara
menjalankan kewajiban saya dengan sebaik-
untuk menolong orang lain yang kurang
baiknya.
beruntung dibandingkan dengan dirinya.
Aktivitas sehari-hari saya dilakukan untuk menyejahterakan masyarakat.
●
Martabat
dan
kesejahteraan
seluruh
rakyat harus menjadi hal yang paling penting dalam setiap masyarakat.
Keterangan: n i : jumlah butir r xy : Koefisien validitas sebelum dikoreksi terhadap efek atenuasi r txty : Koefisien validitas setelah dikoreksi terhadap efek atenuasi ** : korelasi sangat signifikan (p < 0.01)
Korelasi
dengan
baku
emas
setelah
dikoreksi terhadap
efek
atenuasi
(pelemahan
karena
ketidaksempurnaan koefisien reliabilitas salah satu dan/atau kedua instrumen) adalah berkisar dari 0.31 sampai dengan 0.47 untuk Skala Keber-Pancasila-an Sila Kesatu, Kedua, Keempat, dan Kelima. Sedangkan, untuk Skala Keber-Pancasila-an Sila Ketiga, korelasinya 0.21. Menurut Streiner dan Norman (2005), korelasi antara alat ukur baru dengan baku emas (skala kriteria) hendaknya minimal r ≥ 0.3 sampai dengan maksimal 0.5. Magnitud koefisien korelasi justru hendaknya tidak boleh terlalu tinggi, karena akan menyebabkan redundansi dalam hal kepersisan konstruk sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai apakah perlunya adanya dua alat ukur. Dengan demikian, skala yang valid menurut hasil penelitian ini adalah Skala Keber-Pancasila-an sila kesatu, kedua, keempat, dan kelima. Rendah atau tidak memuaskannya koefisien validitas konkuren Keber-Pancasila-an Sila Ketiga mungkin disebabkan oleh dua hal. Saifuddin Azwar (2003) menyatakan bahwa problem utama dalam validasi konkueren adalah menemukan kriteria validasi yang tepat. Tidak selalu kriteria itu dapat ditentukan dengan mudah karena konsepsi mengenai trait yang diukur oleh suatu alat ukur dan oleh kriterianya seringkali tidak sama walaupun namanya tampak sama. Korelasi yang lemah pertama-tama dapat dijelaskan dengan pernyataan Azwar tersebut. Skala kriteria untuk Keber-Pancasila-an Sila Ketiga adalah Skala Patriotisme, sedangkan Skala yang divalidasi adalah Skala Nasionalisme (Sila Ketiga). Ternyata, walaupun “patriotisme” merupakan istilah yang sering digunakan bergantian dengan “nasionalisme”, atau dianggap sinonim, ternyata merupakan dua buah konstruk yang berbeda.
Jurnal Insan Media Psikologi Vol. 14 No. 1 April 2012, halaman 1-13. ISSN 1411-2671 Naskah ini merupakan Draf. Naskah selengkapnya dapat dibaca pada versi cetaknya.
Blank (2003) menyatakan bahwa nasionalisme mencakup keyakinan tentang superioritas bangsa sendiri dan penilaian positif yang meluas terhadap bangsa sendiri; termasuk penyangkalan, penafsiran ulang, dan penolakan untuk mendiskusikan aspek-aspek negatif dari kesejarahan bangsa. Sebaliknya, patriotisme menolak idealisasi bangsa semacam itu. Dalam patriotisme, ada cara pandang yang berjarak, yang konstruktif-kritis. Patriotisme memungkinkan ditariknya/diberhentikannya dukungan terhadap bangsa apabila tujuan bangsa menjadi tidak manusiawi dan destruktif. Maurizio Viroli (1995) menyebut deskripsi lain dari patriotisme, yakni “cinta negara, tanah air” (love of country, “terra patria”, land of the fathers); sedangkan nasionalisme dideskripsikan sebagai “kesetiaan kepada bangsa” (loyalty to the nation). Patriotisme dimungkinkan tanpa nasionalisme. Istilah nasionalisme digunakan untuk mempertahankan atau menguatkan kesatuan (oneness) kultural, linguistik, dan etnis serta homogenitas rakyat. Hal ini sesuai dengan isi pidato “Lahirnya Pancasila” oleh Soekarno (1945), penggali Pancasila, yang berkenaan dengan prinsip nasionalisme dalam Pancasila: “…. Kebangsaan Indonesia yang bulat! …. satu nationale staat…. Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu.” Istilah patriotisme digunakan untuk memperkuat atau membuat orang cinta terhadap lembaga-lembaga politik, cinta kepada republik. Pembedaan antara patriotisme dan nasionalisme menjadi lebih jelas apabila kita meninjau musuh-musuhnya. Musuh nasionalisme adalah pencemaran budaya, heterogenitas, pencemaran rasial, serta perpecahan sosial, politik, dan intelektual. Musuh patriotisme adalah tirani, pemerintah yang lalim, opresi, dan korupsi. Sudah agak lama sejumlah pemikir mengingatkan bahaya nasionalisme yang berpotensi dimengerti secara sempit. Richard Aldington (1931, dalam Wardaya, 2002), misalnya, pernah mengingatkan bahwa memahami nasionalisme secara sempit itu ibarat “ayam jago tolol yang berkokok di atas tumpukan kotorannya sendiri sambil menyerukan tuntutan agar tajinya menjadi lebih besar dan paruhnya menjadi mengkilat”. Sebagai ganti, Aldington mengusulkan dibangunnya patriotisme. Berbeda dengan nasionalisme, patriotisme adalah “suatu rasa tanggung jawab kolektif yang hidup” yang tentunya dibutuhkan dalam setiap bentuk kehidupan bersama, pada tingkat lokal maupun internasional. Hal ini sesuai dengan isi pidato Soekarno (1945): “Saudara-saudara, tetapi ... tetapi ... memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berpaham “Indonesia über Alles”. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini! Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan”. “My nationalism is humanity.” …. Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia lah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia…. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah philosofische Jurnal Insan Media Psikologi Vol. 14 No. 1 April 2012, halaman 1-13. ISSN 1411-2671 Naskah ini merupakan Draf. Naskah selengkapnya dapat dibaca pada versi cetaknya.
principe yang nomor dua, yang saya namakan internasionalisme. Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.” Jadi jelas bahwa yang dimaksud oleh Soekarno, yang antara lain diinspirasi Gandhi, sebagai nasionalisme―yang akhirnya terumuskan dalam Sila Ketiga Pancasila―adalah “nasionalisme patriotik” atau “patriotisme nasionalis”, karena sebagaimana dinyatakan oleh Gandhi sendiri, “For me patriotism is the same as humanity. I am patriotic because I am human and humane” (“Bagi saya, patriotisme sama dengan kemanusiaan. Saya patriotik karena saya manusia dan manusiawi”) (Prabhu & Rao, 1960). Hal ini diperkuat oleh temuan Georgios Varouxakis (2006), bahwa patriotisme merupakan batu loncatan (stepping stone) kepada komitmen universalistik terhadap kemanusiaan ketimbang sebagai oposisi (lawan) atau inkompatibilitas terhadap humanitas. Oleh karena itu, lebih tepat apabila skala kriteria (baku emas) untuk Skala Keber-Pancasila-an Sila Ketiga dalam penelitian ini bukan hanya skala patriotisme saja, atau skala nasionalisme saja, melainkan sebuah skala yang mampu menghasilkan ukuran relasi dinamis kedua konstruk. Penjelasan kedua dari lemahnya korelasi skala dengan baku emasnya adalah panjang skala atau jumlah butir dalam skala. Sebagaimana diinformasikan dalam Tabel 1, jumlah butir baku emas Skala Patriotisme (Blank, 2003) hanya tiga butir, dan skala Keber-Pancasila-an lima butir; jadi termasuk skala yang pendek. Dengan menambah jumlah butir skala dan/atau menggunakan skala baku emas yang lebih panjang, diharapkan ada peningkatan yang agak berarti terhadap koefisien validitas konkuren.
SIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini menyimpulkan bahwa telah dihasilkan untuk pertama kalinya di Indonesia sebuah skala Keber-Pancasila-an yang valid dan reliabel untuk Sila Kesatu, Kedua, Keempat, dan Kelima. Penelitian selanjutnya membutuhkan baku emas baru sebagai skala kriteria untuk Keber-Pancasila-an Sila Ketiga. Contoh dari skala yang demikian adalah Patriotism and Nationalism Scale yang dikonstruksi oleh Kosterman dan Feshbach (1989). Skala ini terdiri atas tiga faktor distingtif, yakni 1) patriotisme (perasaan afektif lekat, cinta, dan bangga dengan bangsa sendiri); 2) nasionalisme (pandangan bahwa bangsa sendiri superior dan seyogianya dominan, perbandingan sosial ke bawah dengan bangsa lain); serta 3) internasionalisme (sikap terhadap bangsa-bangsa lain). Temuan-temuan mereka menunjukkan antara lain bahwa sikap positif terhadap negara sendiri tidak perlu berasosiasi dengan perasaan negatif terhadap negara lain. Di samping itu, Dominic Abrams, Michael A. Hogg, José Mendes Marques (2005) Jurnal Insan Media Psikologi Vol. 14 No. 1 April 2012, halaman 1-13. ISSN 1411-2671 Naskah ini merupakan Draf. Naskah selengkapnya dapat dibaca pada versi cetaknya.
menyimpulkan dari berbagai studi berdasarkan skala ini bahwa patriotisme merupakan bentuk yang lebih “jinak, baik” (benign form) dari kelekatan nasional, sementara nasionalisme lebih spesifik mencerminkan minat terhadap kelompok serta perlindungan terhadap status quo bangsa. Dengan demikian, kepada peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan validasi konkuren Keber-Pancasila-an Sila Ketiga dengan Skala Patriotisme dan Nasionalisme dari Kosterman dan Feshbach. Guna meningkatkan validitas ekologis dan mengetahui secara lebih persis muatan social desirability dalam butir-butir skala, penelitian ini menyarankan dilakukannya sebuah studi sebelum konstruksi skala keber-Pancasila-an, yakni studi representasi sosial terhadap pemuda mengenai ciri-ciri manusia Pancasialis. Pemuda dimaksud dapat merupakan pemuda yang aktivitasnya berbasis religiusitas (Himpunan Mahasiswa Islam, Remaja Masjid, Kerohanian Islam/Rohis, Komunitas Sel/Komsel Kristiani, Kerohanian Kristen/Rohkris, dll), berbasis etnisitas (Remaja Minang, Perkumpulan Muda Mudi TiongHoa Indonesia, Pemuda Sunda, Pemuda Maluku Indonesia Bersatu, dll), maupun tanpa afiliasi religiusitas/etnisitas (Pramuka, Kelompok Ilmiah Remaja, Persatuan Paskibra Indonesia, Resimen Mahasiswa, dll).
DAFTAR PUSTAKA Abrams, D., Hogg, M. A., & Marques, J. M. (2005). The social psychology of inclusion and exclusion. New York: Psychology Press. Ancok, D. (2004). Psikologi terapan: Mengupas dinamika kehidupan umat manusia. Yogyakarta: Darussalam. Asshiddiqie, J. (2008). Ideologi, Pancasila, dan konstitusi. [Diakses 17 Desember 2011]. http://jimly.com/makalah/namafile/3/ideologi__pancasila__dan_konstitusi.doc Azwar, S. (2003). Reliabilitas dan validitas (Edisi ke-3). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bambang. (2011). Puan ingatkan soal tuna Pancasila (Antara News). [Diakses 17 Desember 2011]. http://www.antaranews.com/263156 Bertens, K. (2001). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Blank, T. (2003). Determinants of national identity in East and West Germany: An empirical comparison of theories on the significance of authoritarianism, anomie, and general self-esteem. Political Psychology, 24(2), 259-288. Chan, D. K. (ed). (2008). Moral psychology today: Essays on values, rational choice, and the will. Dordrecht, NLD: Springer Netherlands.
Jurnal Insan Media Psikologi Vol. 14 No. 1 April 2012, halaman 1-13. ISSN 1411-2671 Naskah ini merupakan Draf. Naskah selengkapnya dapat dibaca pada versi cetaknya.
Dahling, J. J., Whitaker, B. G., & Levy, P. E.. (2009) The development and validation of a new Machiavellianism scale. Journal of Management 35 (2), 219-257. Fakih, M. (2001). Runtuhnya teori pembangunan dan globalisasi. Yogyakarta: Insist Press & Pustaka Pelajar. Ferguson, M. J., Carter, T. J., & Hassin, R. R. (2009). On the automaticity of nationalist ideology: The case of the USA. Dalam John T. Jost, Aaron C. Kay, & Hulda Thorisdottir, Social and psychological bases of ideology and system justification. New York: Oxford University Press. Gismar, A. M. (2008) Mencari Indonesia. Dalam Hidayat, K., & Widjanarko, P. (Eds.), Reinventing Indonesia: Menemukan kembali masa depan bangsa. Jakarta: Mizan. Gunnthorsdottir, A., McCabe, K., & Smith, V. (2002). Using the Machiavellianism instrument to predict trustworthiness in a bargaining game. Journal of Economic Psychology, 23(1), 49-66. Hofstede, G. (2003) Geert Hofstede Cultural Dimensions. [Diakses 18 Juli 2011]. http://www.geerthofstede.com/hofstede_indonesia.shtml Joesoef, D. (2011). Pikiran dan gagasan Daoed Joesoef: 10 wacana tentang aneka masalah kehidupan bersama. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Kaase, M. (1971). Demokratische Einstellung in der Bundesrepublik Deutscland. Dalam R. Wildenman (ed), Sozialwissenschaftliches Jahrbuch für Politik (Vol. 2). Munich: Günter Olzog Verlag. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) (1978) [Diakses 18 Juli 2011]. http://tatanusa.co.id/tapmpr/78TAPMPR-II.pdf Kosterman, R., & Feshbach, S. (1989). Toward a measure of patriotic and nationalistic attitudes. Political Psychology, 10, 257-274. Magnis-Suseno, F. (1995a). Filsafat, kebudayaan, politik: Butir-butir pemikiran kritis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Magnis-Suseno, F. (1995b). Kuasa dan moral. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. McFarland, S., & Brown, D. (2008). Who believes that Identification With All Humanity is ethical? Psicología Política, 36, 37-49. Moerdino. (1995). Pancasila sebagai ideologi terbuka menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas. Mimbar Penerangan 75 (XIII). Departemen Penerangan RI, Jakarta. Murray, S. L., Haddock, G., & Zanna, M. P. (1996). On creating value-expressive attitudes: An experimental approach. Dalam Seligman, C., Olson, J. M., & Zanna, M. P. (Ed.), The psychology of values. The Ontario Symposium (Vol. 8). New Jersey: Erlbaum. Prabhu, R. K., & Rao, U. R. (ed). (1960). Mind of Mahatma Gandhi: Encyclopedia of Gandhi’s thoughts. India: Jitendra T. Desai, Ahemadabad. Jurnal Insan Media Psikologi Vol. 14 No. 1 April 2012, halaman 1-13. ISSN 1411-2671 Naskah ini merupakan Draf. Naskah selengkapnya dapat dibaca pada versi cetaknya.
Pudyastungkoro, D. (2010). Wawasan kebangsaan, Pancasila dan persatuan bangsa. Dalam Oentoro, J. (Ed.), Indonesia satu, Indonesia beda, Indonesia bisa: Membangun Bhinneka Tunggal Ika di bumi Nusantara (Bunga rampai 50 tahun Jimmy Oentoro). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Rokeach, M. (1973). The nature of human values. New York: The Free Press. Santosa, E. (2011). Laboratorium Pancasila di Rijksstraatweg 679 Belanda (Detiknews.com). [Diakses 17 Desember
2011].
http://www.detiknews.com/read/2011/09/10/164327/1719554/10/laboratorium-
pancasila-di-rijksstraatweg-679-belanda?9922022 Sarwono, S. W. (2002). Psikologi remaja (Cetakan ke-6). Jakarta: RajaGrafindo Persada. Self-Assessment
9.3:
Machiavellianism
Scale.
(2009).
[Diakses
18
Desember
2011].
http://highered.mcgraw-hill.com/sites/0073381225/student_view0/chapter9/self-assessment_9_3.html Seligman, C., Olson, J. M., & Zanna, M. P. (Ed). (1996). The psychology of values. The Ontario Symposium (Vol. 8). New Jersey: Erlbaum. Setiawan, F. A. (2009). Pancasila, sintesis ideologi individualisme dan kolektivisme (Kompas.com). [Diakses
17
Desember
2011].
http://nasional.kompas.com/read/2009/08/16/20400330/pancasila.sintesis.ideologi.individualisme.dan .kolektivisme Soekarno.
(1945).
Lahirnya
Pancasila.
[Diakses
18
Juli
2011].
http://kepustakaan-
presiden.pnri.go.id/uploaded_files/pdf/speeches_clipping/normal/soekarno10.pdf Steenbergen, M. (1995). American National Election Studies Humanitarianism Scale. Dalam J. P. Robinson, P. R. Shaver, & L. S. Wrightsman (Ed.), Measures of political attitudes. New York: Academic Press. Streiner, D. L., & Norman, G. R. (2005). Health measurement scales: A practical guide to their development and use (Edisi ke-3). Oxford: Oxford University Press. Sucipto, A. (2011) Toleransi dari kampung Pancasila (Kompas.com). [Diakses 17 Desember 2011]. http://regional.kompas.com/read/2011/08/22/04335383/Toleransi.dari.Kampung.Pancasila Suwartono, C., & Meinarno, E. A. (2010, Juli). Construct validation of Pancasila scale: An empirical report. Proceeding of International Conference of Revisited Asian Society. Universitas Santa Dharma, Yogyakarta. Tempo Interaktif. (2011). Inilah pidato B.J. Habibie yang membuat hadirin terpukau. [Diakses 17 Desember 2011]. http://www.tempo.co/read/news/2011/06/01/078338141/Inilah-Pidato-BJ-Habibieyang-Membuat-Hadirin-Terpukau Varouxakis, G. (2006). ‘Patriotism’, ‘Cosmopolitanism’ and ‘Humanity’ in Victorian Political Thought. European Journal of Political Theory, 5(1), 100-118.
Jurnal Insan Media Psikologi Vol. 14 No. 1 April 2012, halaman 1-13. ISSN 1411-2671 Naskah ini merupakan Draf. Naskah selengkapnya dapat dibaca pada versi cetaknya.
Viroli, M. (1995). For love of country: An essay on patriotism and nationalism. New York: Oxford University Press. Wardaya, B. T. (2002, November/Desember). Nasionalis humanis-universal: Menjawab ajakan “pascanasionalis”-nya Romo Mangun. Basis No. 11-12, Tahun ke-51. Wood, B. T., Worthington, E. L., Exline, J. J., Yali, A. M., Aten, J. D., & McMinn, M. R. (2010). Development, refinement, and psychometric properties of the Attitudes Toward God Scale (ATGS-9). Psychology of Religion and Spirituality, 2(3), 148-167.
Jurnal Insan Media Psikologi Vol. 14 No. 1 April 2012, halaman 1-13. ISSN 1411-2671 Naskah ini merupakan Draf. Naskah selengkapnya dapat dibaca pada versi cetaknya.