••
..--
~
•
Media
•
.21)
n 11ft'M,r
.- .
-
•
-..- ~
•
OLEH: WICAKSO
0 ADI •
BEBERAPA tahun ilarn di harian ini berlangsung perdcbatan perihal kchidupan seni rupa di Yogyakarta yang disinyalir "ko ong ide", "tidak imclek", dan karenanya kurang keren. Para pengamat eni rupa (dari luar Yogyakarta) menandaskan bahwa ebagian be ar para pcrupa Yogyakarla cenderung tidak mengenal dunia hIas dan bUla lerhadap berbagai pemikiran sosial, teori tcks, doktrin barn dalarn politik, budaya, penemuan- penemuan revolusioner daJam ftIsafat, serta gcrakan-gerakan antikemapanan mutakhir yang mengharu biru jagal kcsenian di camero dunia schingga mcrcka sepcrti katak. daJam tcmpurung. Merck.a adalah ·cjcni. "tukang gambar" yang meski langannya . angar terampil, t lapi k palanya kosong, dan kaJaupun ada isinya, yang b 'r 'okol Ji silu hanyalah sumpalan jcrami kcring yang diambil dari sawah-Iadang ncnck moyanhl'Jlya yang agraris, fldefO, dan kctinggalan ZaJ1ltUl •
It Lt.
Ko!)!!
• •
18
/v$
,1 (1
.. -
-
-
.
"
to , -
AKA, jika engkau datang ke Yogyakarta dan beIjumpa dengan para pempanya, jangan berharap dapat oerdiskusi perihal Derrida, Fbucault , Lyotard, Habermas, Baudrillard, Bourdieu, Rorty, beleuze, Guattari, Bataille, Ewald, Castoriadis, Boudon. Canguilhem, DumeziJ, apalagi Greenberg atau Harold Bloom yang hidup di za man batu itu, Di hadapan mereka jangan menyebut-nyebut nama seperti de Beauvoir, Cixous, Kristeva atau lragaray. Pun Bonnefoy, Beuys, Hirst, atau sebatalion nama-nama beken lambang kecernerlangan seni rupa kontemporer dunia. Perupa Yogyakarta disinyaJir kurang melek buku sehingga salah-salah mereka akan menyangka nama-nama itu sebagai merek parium atau obat an-
,
Media
-
's '
-
tipanu dan kurap, Perbincangan di kalangan perupa Yogyakarta cenderung berkisar pada hal ihwal kesuksesan transaksi pada pameran-pameran, lelang dan perihal pemborongan karya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu beserta berbagai simpang siur misteri di baliknya, juga perihal minat senirnan pada hal-hal remeh yang tak berkaitan secara langsung dengan dunia pemik:iran yang lagi ngetren, Tentu, ungkapan-ungkapan berbau "preman" tersebut dapat diperhalus: bahwa di lingkungan perupa Yogyakarta tak hidup wacana berbobot, sebuah situasi yang disebut no talking art, Seorang kurator dan kritikus dari Jakarta yang semula menaruh hOlmat terhadap para perupa Yogyakarta, setelah melihat kenyataan tersebut, terpaksa menarik respeknya tersebuL Seorang kritikus Yogya-
- --
m
,,
, ,
karta menjawab: tak benar semua perupa Yogyakarta malas mernbaca buku. Masih ada segelintirperupa yang suka membaca, contohnya Ugo Untoro dan Entang Wiharso. Tentu, yang dirnaksud oleh para pengkritik dari luar Yogyakarta sebagai seniman buta buku tersebut adalah para perupa di luar pemeluk teguh kontemporerisme yang sebagian besar beredar di lingkungan Galeri dan Yayasan Seni Cemeti. Senirnan kontemporer itu dianggap fasih talking art dengan karya-karya yang juga "canggih dan intelek", sementara seniman nonkontemporer hanya melukis hal-hal yang dianggap ketinggaIan zaman, seperti haru biru dunia perwayangan, roh-roh gaib, dan segala ihwal yang berkaitan dengan citra-ciI tra kosmos agraris. Jadi, yang dirnaksud dengan talking art di sini adalah kepiawaian berbicara perihal "teks-teks mutakhir" yang datang dari kancah pemikiran seni kontemporer di seantero dunia, sernentara seniman yang berbicara perihal kampung halaman yang ndeso dengan karya-karya yang berlumuran lumpur dari mmah dan ibu kulturnya yang paling deka t sebagai bagian inheren pertumbuhan kreatifnya dianggap tidak "canggih" dan kW'ang "intelek " . Tak perIu pemaparan yang canggih untuk mengatakan bahwa pandangan tcrsebut Iumayan konyol. Para perupa Yogyakarta, sepelti Naslrun, Entang Wihru o. Made Sukadana, Elica, Pupuk DP, Nyoman Ma liadi. Pand Ketut Taman, dan Lakhsmi SlIaresmi, yang ml?ngolah hal ihwnl di putar ibll waca na mCl'ckn st'bagai dunin t rc1ckatyang l11('reka kc-nnl. adulnh para scniman . ung llll'lukllkun tnlking nrt ell'l!, an r \ranva sL'nnt1'1. JikH mp! 'ka di, unggap kUl'Ung canggl h. bolch judi karcna pUl'U !ll'l11ikir lhn kntikll~ S( tU Udak milmpll luu ltda" mau Sl'l' Ira slItlggllh SlIllW-:lIh IlwlIlit 'llnh k U'ya 1(,Il , ' (I 1111'I\'ku s 'hdgtll h'ks yllllg 1I111!, YHng bnll'h J,tdl .111 I lull kulult l'atlgglltny I dlul\n-
__
-.
.0-.
--- :-::-•
Media
•
•
H
-
m
dingkan dengan teks-teks seni rupa kontemporer. Dan celakanya para pelupa ndeso itu juga tak banyak yang melakukan studi secara sungguh-sungguh terhadap teks lokal sebagai bagian dari irama napas dan denyut jantung pengalaman kultural yang mereka serap sejak kanak-kanak. Beberapa bahkan lebih clisibukkan dengan kebutuhan memproduksi karya sebanyak-banyaknya guna memenuhi pennintaan pasar.
yang interior tak dapat dikontrol oleh akal. Pada karya-karya awaJ..nya pun, kanvas Entang sudah penuh dengan cipratan darah, tubuh tercincang, wajah-wajah mendelik, kepala menggelinding tertancap di ujung keris yang meleleh, serta pantat dan mata tuyul yang mencelat: sebuab drama gelap berpusar bersama jeritan yang berhamburan ke langit jiwa yang menyerpih hancur. Itulah chaos dari "sang lain" bagi orang Jawa, yakni dunia Ukauka, seperti penamSALAH satu seniman ndeso pakan dari dunia lain yang rnayang berhasil keluar dari je- rak di televisi kita sekarang. bakan tersebut adalah Entang kemudian mencoba Wiharso yang sedang berpateks tersebut demeran cli CP Artspace, Jakarta ngan memasukkan idiom-idiom (20 Agustus-14 September lain yang ia pelajari ketika hi2004) . Mula-mula Entang dup cli Amerika, seperti Teddy mengolah teks kampung hala- Bear dan Balt Simpson. Hamannya berupa bentuk-bentuk . silnya adalah osmosis sirLtaktik horor, yang dalam masyarakat yang unik: hwnor, satir. dan sarJawa dtidentifikasi dengan du- kasme hero-antihero bercamnia lelembut, setan gentayang- pur provokasi brutal dengan an, serta wajah dan tubuh konteks yang lebih luas. Terroh-roh yang mengerikan. Da- nyata Amerika dalam lam kultur Jawa, wilayah mis- Entang tetap dapat dibaca dateri adalah dunia chaos, sesuatu lam alam semiotik kultur sebagai liyan , sang lain, dlmia traclisional di Indonesia (khuekst rior yang tak dapat dikon- susnya Jawa) daIan1 bentuk botro1. Int doritas adalah kontrol rom~'a. tampak daJam dan segala yang bcrada di luar karya-karya Dialogue of The Indiri seperti mimpl buruk atau /ler E.l'Perience, Dilemari gangguan gaib adalah tak tel'- Me as Tec/dyBear: Monumenb kendall s hingg mcnjadi brutal Projects Sme' 1. Good Mordan mengclikan. Entang mC'- Ilillg: MOllument . Project lihat s('baliknyu, bahwu justrl.l 2. tt pel' I roper Hand. ProfWr
•••
KOMPA.VHIX MUlYADI
Entang Wiharso Nation for Sale (2004) Cat minyak di kanvas 200 x 300 cm
• •
•
-
-
-. --'""="'=---
Medi a
•
•
. ...,...,.•
--.
-=-.:!..- -
m
• •
.
I;llMl'AS UI,X
eddy Bear? yang dilapisi kulit telur burung puyuh. Pameran seni rupa "Sublime Tunnel" ini berlangsung 20 Agustus-14 September 20 0 4 di Galeri CP Artspace, Jakarta. .
-
- -
-.
-
--
Medi a -,
-
.
'"
m
••
• •
•
and Property, Nation for Sale:
Wall of Nation Project, Series 3
Dalam katalogus pameran, sebagai kurator pameran, Jirn Supangkat bertanya, dari mana datangnya horor itu? Jawabnya ada dua. Pertama , ia menyebut chaos itu sebagai imbalan dari interioritas yang tak sepenuhnya tertundukkan oleh eksterioritas guna mengatasi segregasi antara order dan disorder dalam lata sosial beserta berbagai kaitannya dengan pembentukan memori imajiner pada ranah psikologis. Kedua, segregasi sebagai imbalan atas struktur sosial yang rusak akibat politik: bahwa Qrde Baru telah menghasilkan kekerasan tak terperi, bukan hanya pada tingkatan sosial, namun juga pembantaian eksistensi yang sudah melampaui batas kegentingan yang dapat ditanggungnya. Tetapi, kenapa semua drama gelap itu mesti dikaitkan secara verbal dengan politik? Toh, sebagai teks, karya Entang sudah kuat kebrutalan manllsiawi melalui penanda intemalnya sehingga makna referensialnya tak melulu mengacu pada politik dalam arti spesifik Kalaupun ada politik di
situ, lebih sebagai implikasi ontologis dan bukan epistemolo• gIsnya. Jim Supangkat sudah menyinggung aspek ontologis tersebut, tetapi sayangnya kernudian konteks politik (fOlmal) tampak lebih ditonjolkan: bahwa karya Entang seolah-olah juga "seni politik" dalam bentuk yang unik karena bertolak dari segregasi interioritas-eksterioritas. Untuk melampaui se.. gregasi itu, Entang mencoba melakukan sublimasi: menghilangkan jejak-jejak yang menekan dan mengolah teror sehingga kehilangan potensi rasa sakit yang ditimbulkannya. Dan, jendela sublimasi terakhir yang dijelajahi Entang aclalah "jendela spiritual". Jelas, interpretasi tersebut bertolak clari apa yang dikatakan oleh si pelukis, bukan yang dikatakan oleh karyanya sebagai teks. Jika mernang terdapat makna tekstual yang merujuk pada "jendela spiritual" tersebut, seperti apa bentuknya dan bagaimana ~ula memahaminya dalam krutan antara "spiritualitas dan politik" serta "segregasi mental" di baliknya? Lalu, da~a.tkah ka~a Entang disebut politiS yang SPI-
ritual? Bagaimana menjelaskannya? Diperlukan telaah mendalam untuk menjawab pertanyaan tersebut. Yang tampak jelas adalah hasrat Entang yang sangat besar untuk mengaitkan makna tekstual sebagian karyanya ke konteks politik, seperti pad a karya Searching My President yang merupakan satu-satunya karya yang berbeda (dan paling berhasil) ketimbang kaI'ya-karya sebelurnnya dan mayoritas karya dalam pameran kali ini. Karya ini paling berhasil karena menampakkan alur sublimasi yang sederhana tetapi sangat kaya makna pada perspektif tembok dengan batu bata terekspos meI'ah dengan figur ultradepresif telanjang rnelintang tanpa pijakan. ltulah suatu ambang nyeri real-surreal yang lebih dari cukup guna drama kolosal dan pada selurub kisah chaos sebagai mimpi buruk sebagai interioritas yang henda!< dijangkau si seniman. Tetapl, makna tekstual yang kaya itu justru disegel dengan judul "politis" serungga terjadi penyempitan konteks akibat segregasi tanda yang tic1ak perlu. Rupanya altruisme politik
masih menjadi beban lam seni rupa ki ta dang seniman mampuan untuk antara deskripsi dan Karya-karya Entang ngandung keunikan dari kampung balamannya, bagaimana kedekatan rakat bawah Indonesia dap film-film sejenis an Ratu Selatan beserta wah-arwahnya (yang oleh kaum intelektual sok si dan beI'mata rabun bat beban tersebut, oleh niman sendiri justxu keluar dari kemungkinan fonnasi makna yang jauh luas ketimbang acuan Jika pada karya-karya perpaduan antaI'a Ukauka Bart Simpson tidak tungi oleh beban-beban kenapa pada Search sident yang begitu kuat teks justru beban itu tampil? Semoga hal itu mencerminkan tendensi teks yang ingin diri bahwa ia juga seperti tuduhan para parfum dan lipstik itu. W[
AK _ O
Pengamat
•