V O L 2 , N O. 3 1 , 2 5 O K TO B E R 2 0 1 1 M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
VOL 2, NO. 31, 25 OKTOBER 2011
M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
Mafia Ancam
RP 10.000,-
Swasembada Daging
2014
2
Dari Redaksi
M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
VOL 2, NO. 31, 25 OKTOBER 2011
Sensus, Impor, Mafia dan Swasembada Daging elum lama ini kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta pemerintah segera mengevaluasi tataniaga daging yang terindikasi adanya praktek kartel dan mafia daging yang mengontrol harga daging. Praktek ini menyebabkan pemerintah tidak berdaya dan berdampak pada matinya industri peternakan sapi lokal. Beberapa indikasi praktek mafia peternakan di Indonesia antaranya, membanjirnya daging impor murah, terutama dari Australia, merusak tataniaga dan harga daging di tingkat lokal. Hal ini kemudian berdampak pada menurunnya pendapatan dan kesejahteraan para peternak lokal. Kalah bersaing adalah faktor yang menimbulkan keengganan untuk tetap bertahan di sektor ini. Peternak tidak mau rugi karena biaya produksi yang tinggi sedangkan harga jual yang murah. Kementrian Pertanian menargetkan swasembada daging sapi secara bertahap pada tahun 2014. Melalui sejumlah program, penyediaan daging sapi dari dalam negeri diproyeksikan meningkat dari 67 % pada tahun 2010 menjadi 90 % pada tahun 2014. Program swasembada daging sapi pernah ditargetkan sebelumnya, yaitu pada tahun 2005, namun kemudian direvisi menjadi tahun 2010. Sejak 2006 jumlah sapi mengalami kenaikan, untuk sapi potong naik menjadi 10,9 juta ekor dari 2005 yang hanya 10,6 juta ekor. Selanjutnya pada 2007 kembali meningkat menjadi 11,5 juta ekor dan 2008 naik menjadi 12,3 juta ekor. dan terakhir pada tahun 2010 mencapai 13,6 juta ekor. Jumlah ini belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selama periode pencapaian swasembada tersebut, Indonesia masih mengimpor 40 % dari total kebutuhan dimana Australia menjadi pemegang kunci suplai kebutuhan daging Indonesia dan menargetkan hanya 10 % prosentase impor di
B
tahun 2014 mendatang. Melalui angka sensus sapi menunjukan angka yang menggembirakan. Berdasarkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011 yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia mulai 1-30 Juni 2011, populasi sapi potong mencapai 14,8 juta ekor, sapi perah 597,1 ribu ekor dan kerbau 1,3 juta ekor. Dirinci menurut daerah, provinsi yang memiliki populasi sapi potong lebih dari 0,5 juta ekor berturut turut adalah Jawa Timur 4,7 juta ekor, Jawa Tengah 1,9 juta, Sulawesi Selatan
984 ribu ekor, NTT 778,2 ribu ekor, Lampung 742,8 ribu ekor, NTB 685,8 ribu ekor, Bali 637,5 ribu ekor, dan Sumatera Utara 541,7 ribu ekor. Sementara itu untuk sapi perah populasi terbanyak di Jawa Timur 296,3 ribu ekor sedangkan kerbau di NTT sebanyak 150 ribu ekor. Dari data sensus itu, wajar saja mulai tahun depan, target impor sapi Indonesia tidak lebih dari 20 persen. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan jumlah sapi impor saat ini yang mencapai 30% atau setara dengan 430.000 ekor sapi. Suatu ketika, Mentan berujar, impor sapi dilakukan hanya untuk memenuhi kuota kebutuhan daging sapi dalam negeri karena bila mengandalkan sapi
lokal, maka dikhawatirkan nantinya tidak mampu memenuhi kebutuhan daging secara nasional. Hasil Sensus Ternak Sapi Potong dan Kerbau 2011 bila dibandingkan dengan hasil sensus pertanian tahun 2003, populasi sapi di Indonesia telah mengalami pertumbuhan masing – masing untuk sapi potong sebesar 5,3% dan sapi perah 5,8%. Bila ternyata mampu menyisihkan setiap tahun sebanyak 2,5 juta ekor dan tanpa mengurangi populasi sapi potong yang ada maka pemerintah siap menghentikan sapi impor. Ada juga sinyalemen yang muncul, bila ternak impor juga disensus maka tidak perlu menunggu 2014 untuk swasembada, tinggal mengimpor sapi 1,5 sampai 2 juta ekor sudah swasembada. Data hasil sensus ternak itu masih terkesan sangat politis, ingin menunjukkan bahwa pemerintah telah berhasil membangun peternakan di Indonesia dengan menunjukkan data pertumbuhan yang secara signifikan meningkat. Padahal peningkatan tersebut karena peningkatan impor sapi bakalan dan daging. Data tersebut bisa menyesatkan. Boleh dibayangkan betapa data base peternakan kita sangat lemah, dan bisa dibayangkan pula ketika data tersebut dijadikan dasar dalam membuat program, yakin bahwa dilevel implementasi tidak dapat dilaksanakan. Dan kondisi itulah yang terjadi. Saat ini pun impor masih berjalan terus, malah kisruh soal ketidak adilan pembagian kuota impor daging merebak. Apalagi ada isu, 10 importer terlibat jual beli SPP (Surat Persetujuan Pemasukan). Untuk menghambat adanya praktek mafia itu, pemerintah jangan inkonsistensi, perketat pengawasan, hindari data yang tidak akurat, kuatkan regulasi dan pemerintah harus berpegang teguh kepada blue print program swasembada daging nasional.
dalam memberikan pemahaman duduk persoalan yang lebih dalam seperti sekarang ini ditengah menjamurnya media media lain yang kontaraproduktif dalam tahapan konsolidasi demokrasi kita.
bagi penentu kebijakan, sivitas kampus, aktivis dan orang-orang yang peduli dengan berbagai persoalan, terutama yang terkait dengan ekonomi, pertanian dan energi. Tabloid Inspirasi menghadirkan
Wakil Pemimpin Redaksi Hussen Gani Mariccar
Redaktur Senior Moch. Fatchi, SE., MM., Muji Misino, SE., MM., Mansur, Eddy K. Mudjtabar, Muhyitin, Bagus Suryo Nugroho, Reki Alfian Redaktur Dwi Raharja, SE., Komarudin, SE., Arianto Hadi Sanjaya, Ayu Pradipta Sari, S.In Sekretaris Redaksi Dian Supriyatin Sidang Redaksi Hussen Gani Mariccar, Ghazy Ely, Yaya Suryadarma, Kartika Permata, Ignafedri Maryoko, Ernawan Yudarnoko, SE., Edison Porando S., Hendra Anggana, SE Perwajahan Teddy Octavin
Suharyanto. S.Pt.. M.Si Dosen Universitas Bengkulu
Alamat Redaksi Jl. Kemuning 4 No. 2 Pejaten Timur, Jakarta Selatan 12510 Telp: +62-21-7972384 Email
[email protected]
Setiap Wartawan Tabloid INSPIRASI dibekali kartu PERS. Tidak boleh menerima sesuatu dari siapa pun, dalam bentuk apa pun dengan alasan apa pun. V O L 2, N O. 31, 25 O K TO B E R 2011 M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
VOL 2, NO. 31, 25 OKTOBER 2011
M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
Bagi saya tabloid ini sama dengan judulnya inspirasi,memberikan inspirasi buat pembaca. saya kira ulasan dalam tabloid ini mempunyai ciri khas sendiri yakni terfokus dan lebih mendalam lewat berbagai ulasannya. jujur saja, setiap membaca tabloid ini saya kira setiap lapisan persoalan dibahas mendalam dan secara ilmiah saya kira sangat membantu pembaca memahami persoalan secara lebih jernih terutama persoalan pertanian indonesia. Lebih dari itu, menurut saya tabloid inspirasi telah memberikan sumbangsih dalam dunia intelektual indonesia menjadi cakrawala dan semoga kedepan menjadi media arus utama
Ardinanda Mahasiswa unpad Ketua Cabang GMNI Kab Sumedang
INSPIRASI yang Inspiratif Sesuai dengan namanya, tabloid Inspirasi sangat inspiratif. Isinya ditulis oleh orang-orang yang concern di bidangnya, aktivis, akademisi dan praktisi. Oleh sebab itu, tabloid ini layak menjadi suguhan
Pendidikan: - 1997, S.Pt, Produksi Ternak , Universitas Bengkulu Bengkulu - 2007, M.Si, Tek. Hasil Ternak IPB Bogor
RP 10.000,-
Mafia Ancam
Swasembada Daging
2014
Dari Pembaca Sumbangsih INSPIRASI
Tempat Tanggal Lahir: Talang Padang 2 Juni 1973 Bidang Ilmu: Teknologi Hasil Ternak
Diterbitkan oleh PT. Bina Insan Negeri
ide-ide segar dan relevan, mambuat kita openmind dalam menghadapi setiap tantangan zaman. Dhuha Hadiansyah Dosen UIN
mpian pemerintah dalam hal pemenuhan kebutuhan daging sapi domestik tidak pernah berhenti. Tercatat bahwa telah tiga kali ini pemerintah mengupayakan supaya Indonesia berswasembada daging sapi. Pertama, adalah tahun 2005 dicanangkan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2010. Target capaiannya adalah tahun 2010. Kedua, yaitu ketika paruh waktu dan memandang PSDS perlu digenjot maka dicanangkan program Pro gram Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2010. Keduanya ternyata gagal dan malah sebelum 2009 P2SDS direvisi capaiannya tidak lagi 2010, melainkan menjadi 2014. Salah satu indikator utama dalam swasembada daging sapi adalah populasi ternak sapi. Jika populasi ternak sapi mencukupi untuk kebutuhan konsumsi daging maka dianggap telah swasembada. Untuk PSDS 2014 diharapkan minimal 90% konsumsi daging sapi dapat dipasok dari sapi domestik. Sisanya, 10%, dipenuhi melalui impor baik dalam bentuk daging segar maupun bakalan. Berdasarkan data dasar tahun 2009, populasi sapi saat itu sebesar 12,6 juta ekor. Diproyeksikan untuk tahun 2014, populasi sapi akan mencapai 15,5 juta ekor. Populasi sebesar tersebut dapat memenuhi 90% kebutuhan daging nasional. Oleh karenanya pemerintah mengupayakan supaya populasi ternak sapi bisa mencapai minimal jumlah tersebut. Ternyata, hasil sensus ternak sapi dan kerbau menunjukkan populasi ternak sapi kita saat ini telah mencapai 15 juta ekor. Artinya Indonesia telah swasembada daging sapi. Benarkah Indonesia telah swasembada daging sapi? Bila menilik pada data hasil sensus populasi sapi dan proyeksi yang dibuat pemerintah maka dapat dikatakan sebelum tahun 2014 Indonesia telah berswasembada daging sapi. Lantas apa yang perlu dilakukan selanjutnya? Sekalipun dianggap memenuhi target populasi, beberapa persoalan masih harus menjadi perhatian dalam mewujudkan dan mempertahankan swasembada daging sapi. Pertama, bahwa populasi sapi yang telah mencapai target tersebut adalah sapi-sapi yang diusahakan secara subsisten (usahatani subsisten). Skala usaha masih berkisar antara 1-5 ekor, dan ini menunjukkan tingkat efisiensi usahatani yang rendah. Peternak juga dapat dengan mudah mengkonversi sapinya untuk kebutuhan sehari-hari
I
Redaktur Pelaksana Yaya Suryadarma
Biro Daerah Wawan MS
3
Mewujudkan Swasembada Daging
M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Buyung Zaelani
Sirkulasi Fauzi, Tatang Hermawan
WACANA DEPAN
M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
VOL 2, NO. 31, 25 OKTOBER 2011
Penelitian yang dilakukan 1. Pengaruh pemberian ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus) terhadap akumulasi lemak tubuh dan jumlah bakteri dalam feses ayam broiler (1996, Skripsi). 2. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi dan Lama Pencelupan Daging Sapi ke Dalam Infusa Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus) terhadap Stabilitas Warna dan Bau serta Jumlah Bakteri Staphylococcus sp, Salmonella sp, dan Escherecia coli Daging (SEMI-QUE IV 2003) – Ketua tim peneliti. 3. Studi Kualitas telur Ayam ras yang Beredar di Kota Bengkulu (DIKS-DIKR 2005) – Ketua Peneliti 4. Karakteristik Dendeng Daging Giling pada Pencucian dan Jenis Daging yang Berbeda (2007, Tesis Pascasarjana). 5. K a j i a n P e n g g u n a a n L e v e l Antidenaturan dalam Pembuatan Nikumi Sapi, Kerbau dan kambing serta Pengaruhnya terhadap Sifat Fisiko-kimia dan Organoleptik Sosis dengan Penggunaan Tepung Kedelai sebagai Substitusi Susu Skim sebagai Binder (Program Hibah A2, 2007) – Anggota. 6. Penggunaan Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus) sebagai Feed Additive untuk menghasilkan Meat and Egg Designer secara Efektif (Riset Unggulan Universitas Bengkulu, 2008)- Anggota.
tanpa mempertimbangkan keberlanjutan reproduksi dan populasi ternak. Persoalan kedua adalah belum tersedianya pusat perbibitan secara nasional. Tidak adanya perbibitan maka keberlangsungan populasi dapat terancam apa lagi tingkat konsumsi secara agregat semakin meningkat, tentu ini akan menguras populasi yang ada. Bila mengandalkan peternakan subsisten maka dapat diprediksi populasi ternak akan segera menurun. Keamanan dan stabilitas populasi sapi akan terjaga bila ditopang dengan perbibitan yang memadai. Berdasarkan hal di atas maka perlu dilakukan beberapa upaya dalam rangka mewujudkan swasembada daging sapi bukan saja untuk tahun 2014, tetapi untuk selamanya.
Impor Sapi
Impor masih diperlukan untuk mendorong terwujudnya swasembada daging sapi 2014. Pemerintah sempat menghentikan impor sapi dari Australia pada pertengahan tahun ini. Sekalipun peternak domestik menyambut dengan baik, dampaknya adalah kenaikan harga daging sapi yang cukup signifikan. Tetapi, ketercukupan akan daging sapi masih belum bisa dipenuhi dari sapi domestik maka kemudian justru pemerintah menambah kuota impor daging sapi dari 72.000 ton menjadi 90.000 ton. Penambahan kuota ini untuk mengamankan kebutuhan akan daging sekaligus untuk mengamankan populasi ternak sapi domestik. Persoalannya, penambahan kuota impor ini dikhawatirkan para peternak akan mempengaruhi harga sapi lokal menjadi menurun dan ini berpengaruh pada gairah usaha peternakan sapi domestik. Untuk mengatasi ini maka perlu kejelasan dan pengawasan yang serius dalam pelaksanaan impor agar tidak berdampak berlebihan pada gairah peternakan sapi domestik. Paling tidak impor ditujukan untuk kebutuhan segmen masyarakat tertentu dan terbatas. Dengan demikian maka tidak akan mempengaruhi usaha peternakan sapi domestik. Sembari impor terbatas tetap dilakukan maka harus juga kembangkan peternakan sapi secara terprogram dan terarah. Periode 1997 – 2001, Indonesia sempat mengurangi impor sapi bakalan secara signifikan. Hal ini kemudian diikuti oleh pengurasan sapi domestik sehingga populasi sapi menurun drastis. Kemudian pada tahun
2002 Indonesia kembali meningkatkan impor sapi bakalan guna memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi. Pada tahun ini rata-rata impor daging sapi per bulannya adalah 7.000 ton. Hal di atas memperlihatkan bahwa kebutuhan akan daging sapi terus meningkat dan pada tahun 2020 bisa menjadi 3 (tiga) kali lipat. Untuk mengantisipasi hal ini maka perlu diupayakan pengamanan populasi sapi domestik melalui impor sebagai solusi jangka pendek dan terbatas.
Betina Produktif
Tiga puluh persen pemotongan ternak sapi di RPH adalah sapi betina produktif. Hal ini menunjukkan bahwa pengurasan betina produktif masih cukup tinggi. Aturan pelarangan pemotongan betina produktif juga dinilai tidak efektif untuk mencegah pemotongan betina produktif. Hal ini diduga karena sistem usahatani yang bersifat subsisten sehingga kendali atas pemanfaatan dan pengkonversian ternak sangat lemah. Upaya pencegahan pemotongan betina produktif telah dilakukan oleh pemerintah dengan menyediakan dana kompensasi sebesar Rp 700 miliar tahun 2011. Ini meningkat dari Rp 450 miliar pada tahun 2010. Mekanismenya adalah peternak yang mememiliki ternak sapi betina dan produktif maka pemerintah memberikan insentif. Totalnya adalah 50 ribu ekor betina produktif yang akan dijaring. Cara ini dapat saja diterapkan untuk keperluan jangka pendek dan darurat. Untuk jangka panjang maka cara ini harus ditinggalkan. Lebih baik dana yang ada digunakan untuk penyiapan usaha peternakan dengan skala yang lebih ekonomis. Pemerintah harus segera mengkondisikan iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan usaha peternakan sapi secara komersial dan industrial. Karena dengan usaha yang seperti ini maka swasembada daging dapat tercapai dengan arti yang sesungguhnya. Tentu saja dengan tetap mempertimbangkan peternakan rakyat sebagai bagian pembangunan peternakan secara nasional. Optimalisasi dan revitalisasi RPH (Rumah Potong Hewan) juga penting untuk mengetahui tingkat pemotongan dan distribusi daging sapi. Selama ini banyak RPH yang dibangun tetapi belum efektif pemanfaatannya. Padahal dengan semua pemotongan melalui RPH maka data ternak akan dapat dipantau dengan baik. Pengendalian atas pemotonagn ternak betina
produktif juga dapat dilakukan di sini. Data pemotongan akan memberikan informasi penting bagi penyediaan daging dan ketersediaan bakalan. Ini, pada gilirannya dapat membantu pemetaan dan perencanaan pengembangan peternakan sapi potong di Indonesia.
Perbibitan
Salah satu kelemahan kita saat ini adalah belum adanya pusat perbibitan yang memadai. Pusat perbibitan merupakan sumber bagi ketersediaan bibit unggul untuk pengembangan peternakan sapi. Untuk itu pemerintah harus segera mengembangkan perbibitan sapi nasional secara terpadu dengan usaha pengembangan ternaknya serta laju konsumsinya. Dengan demikian maka antara kebutuhan konsumsi dan ketersediaan bakalan sapi seimbang. Pemerintah dapat memelopori, memfasilitasi, atau bertindak sebagai pelaku pengembangan perbibitan. Memang usaha perbibitan adalah usaha yang bersifat investasi tinggi dan berjangka panjang. Oleh karenanya pemerintah juga dapat memberdayakan pihak swasta untuk pengembangannya.
Pengembangan Usaha Skala Efisien
Sebagaimana telah diuraikan di atas, populasi ternak sapi yang ada saat ini merupakan sapi-sapi yang ada pada peternakan rakyat dengan skala usaha subsisten. Peternak mengusahakan ternaknya lebih bersifat sebagai tabungan (saving). Di satu sisi ini menunjukkan bahwa ternak sapi memberikan nilai ekonomi bagi peternak kecil, tetapi untuk tingkat efisiensinya masih rendah sehingga dapat mengganggu stabilitas populasi dan ketersediaan daging sapi. Swasembada daging sapi tidak bisa hanya bersandarkan pada sistem usaha subsisten. Kendali atas penguasaan dan pemanfaatan ternak sapi sangat sulit. Peternak dapat dengan cairnya mengkonversikan ternaknya untuk kebutuhan hariannya tanpa mempertimbangkan keberlanjutan populasi, reproduksi dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pemerintah sudah seharusnya melakukan fasilitasi untuk menarik pihak lain guna melakukan investasi usaha peternakan. Jika selama ini pemerintah dengan mudahnya memberikan konsesi penggunaan lahan untuk usaha perkebunan, mengapa tidak untuk memberikan usaha peternakan sapi.
4
PARADIGMA
M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
VOL 2, NO. 31, 25 OKTOBER 2011
PARADIGMA
M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
VOL 2, NO. 31, 25 OKTOBER 2011
5
KOMODITAS PETERNAKAN, MAFIA, DAN PEREKONOMIAN KITA alam beberapa bulan terakhir ini banyak diberitakan tentang membanjirnya produk pangan impor murah di sekitar sentra produksi pangan kita. Beberapa pihak termasuk DPR menilai adanya indikasi mafia dan kartel dibalik itu semua, sehingga pemerintah diminta untuk mengatasi permasalahan tersebut. Disamping maraknya importasi murah untuk beras dan beberapa bahan pangan lain, importasi komoditas peternakan perlu mendapatkan perhatian secara seksama. Komoditas peternakan merupakan bagian penting dari kebutuhan pangan nasional, yang saat ini masih didominasi Starchy Staple Foods. Kita masih banyak memerlukan pangan sumber pro tein hewani, karena tingkat konsumsi masyarakat untuk susu, daging, dan telur masih rendah, yaitu sekitar 10, 8, dan 5,3 kg/kap/tahun. Sekedar ilustrasi dan intermezo, konsumsi susu masyarakat Inggris dan beberapa negara Eropa mencapai lebih dari 100 kg/kap/tahun, atau 10 kali lipat konsumsi susu masyarakat kita, sehingga pemain sepak bola kita sulit menandingi kehebatan pemain Inggris dan Eropa. Masyarakat Jepang mengkonsumsi telur 5 kali lebih banyak dari masyarakat Indonesia, sehingga kita juga masih sulit mengejar ketertinggalan ilmu dan teknologi dari Jepang. Oleh karena produksi susu, daging, dan telur nasional memang masih terbatas, maka kekurangannya harus diimpor. Kebijakan impor diharapkan dapat menjadi buffer bagi peningkatan produksi peternakan nasional. Bahkan bila perlu impor dapat menjadi katalisator bagi percepatan peningkatan produksi. Artinya, outcome kegiatan importasi harus ikut merangsang pertumbuhan produksi peternakan nasional, dan bukan sebaliknya berdampak negatif terhadap proses produksi dan tata niaga didalam negeri.
D
Prof. Dr. Ir. Anang Mohamad Legowo, MSc. Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro
Tempat dan tanggal lahir: Pati, 17 April 1960 PENDIDIKAN: 1. SD Negeri Tayu II, Pati: Lulus tahun 1971 2. SMP Negeri Tayu I, Pati: Lulus tahun 1974 3. SMA Negeri I Pati: Lulus tahun 1977 4. Fak. Teknologi Pertanian Univ. Gadjah Mada: Lulus tahun 1983 5. Master (MSc) in Food Science and Technology, Faculty of Agriculture, Kagawa University, Japan : Lulus tahun 1993 6. Doctor of Philosophy (PhD) in Food Science, United Graduate School of Agricultural Sciences, Ehime University. Japan: Lulus tahun 1996 III. RIWAYAT JABATAN 1. Ketua Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan UNDIP 1997 - 1999 2. Ketua Program Studi (PS) S1 Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan UNDIP 1999 – 2003 3. Ketua Badan Studi Bahasa & Budaya Jepang UNDIP 1998 - 2005 4. Pembantu Dekan III Fakultas Peternakan UNDIP 2003 – 2007 5. Anggota Senat Fakultas Peternakan UNDIP2003 – Sekarang 6. Anggota Senat/ Senat Guru Besar UNDIP 2007 – Sekarang 7. Ketua PS S1Teknologi Hasil Ternak, FP UNDIP 2008 – 2012
dari nama panggilan kolektif organisasi rahasia di Cicilia dan Amerika yang bekerja untuk perlindungan dan penegakan hukum (main hakim) sendiri. Nama anggota mafia juga cukup keren, yaitu disebut mafioso atau “lelaki terhormat”. Sedangkan “kartel” adalah kelompok produsen atau “perusahaan” independen yang bertujuan menetapkan atau mendikte harga untuk membatasi suplai dan kompetisi. Meminjam istilah kartel dibidang politik (Hargens, 2011), kartel selalu bertujuan mengatur arus politik karena kepentingan ekonomi. Akibatnya, peternak sebagai pelaku utama usaha peternakan akan menghadapi kesulitan dalam memasarkan hasil produksinya. Peternak juga akan menerima margin keuntungan yang kecil, sekalipun harga jual akhir produknya meningkat. Margin yang besar justru dinikmati oleh pihak mafia dan kartel. Contoh kasus yang belum lama ini terjadi adalah penyelundupan ayam ras dari Malaysia di Kalimantan Barat (Kompas, 17 Oktober 2011). Ayam tersebut dijual dengan harga jauh lebih murah daripada harga ayam yang dibudidayakan para peternak di Kalimantan Barat. Ditengarai ada
Mafia Peternakan dan Ekonomi Mafia dan kartel peternakan, bila terbukti ada, akan menjadi pemicu rusaknya tata niaga komoditas peternakan. Pengertian “mafia” diambil
Peternakan ayam
“pelaku lokal” yang berperan dan akibatnya banyak peternak mengalami kerugian. Dalam jangka panjang, peternak yang dirugikan oleh pihak tertentu (mafia atau kartel) tentu akan mengalami frustasi. Alih-alih selanjutnya mereka mau didajak untuk meningkatkan produktivitasnya, untuk melanjutkan produksinya saja bisa enggan dan tidak termotivasi. Bila hal tersebut terjadi pada peternak dengan skala yang lebih luas, maka proses produksi peternakan dan pangan akan terganggu. Padahal, dana yang diperuntukkan bagi pengadaan pangan juga sangat besar. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan jumlah penduduk yang terus bertambah sekitar 1,3% per tahun yang membutuhkan bahan pangan, maka nilai ekonominya juga luar biasa. Oleh sebab itu, jika kebutuhan pangan tak tercukupi atau terganggu pemenuhannya, maka stabilitas ekonomi nasional juga akan terpengaruh. Menurut Mudbhary (Trobos, Oktober 2011), pada dekade 2011hingga 2020, harga produk peternakan seperti daging, susu, dan telur diprediksi 30% lebih tinggi dari dekade sebelumnya. Prediksi pakar FAO ini disatu sisi menggembirakan, karena peternak akan meningkat pendapatannya.
Namun, disisi lain dapat tidak menggembirakan, yaitu jika peningkatan harga tersebut banyak dinikmati oleh pihak lain dalam tata niaga hasil produksinya, maka peternak hanya akan jadi penonton yang gigit jari. Apapun pilihannya, kemungkinan naiknya harga komoditas peternakan 10 tahun mendatang merupakan dan tantangan dan sekaligus peluang. Ada beberapa tantangan untuk kecukupan pangan dunia yang dikemukakan Mudbhary (2011), yang perlu kita cermati terkait pencukupan kebutuhan pangan hewani asal ternak di Indonesia. Pertama, pertumbuhan permintaan yang tetap, terkait faktor pertumbuhan populasi dan peningkatan pendapatan per kapita. Kedua, pertumbuhan suplai yang melambat, terkait faktor penurunan hasil pertanian, tekanan lingkungan, serta peningkatan biaya energi, input, dan pakan. Ketiga, ketidaksamaan akses pangan. Keempat, isu kesehatan dan nutrisi. Kelima, harga pangan yang tinggi dan bersifat volatil.
Strategi Antisipasi Seiring dengan usulan agar pemerintah segera mengusut dan menuntaskan kasus dugaan adanya praktek mafia
Peternakan domba dan kartel peternakan, peningkatan produksi peternakan nasional harus terus diupayakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan yang terus meningkat di masa mendatang. Pertama, peningkatan populasi dan produktivitas ternak, baik untuk pemenuhan daging, susu, dan telur merupakan keniscayaan. Seleksi dan pengembangan ternak lokal berpotensi unggul harus dilakukan dengan kesungguhan dan berkelanjutan. Untuk daging misalnya, sejauh ini diperoleh dari unggas (sekitar 60%), daging sapi (sekitar 22%), dan dari ternak lainnya (babi, kambing, domba). Kedua, kegiatan importasi dapat dilaksanakan dengan perencanaan yang matang, termasuk menyangkut jenis dan jumlah komoditas yang diimpor harus proporsional. Dalam upaya swasembada daging (2014?) tidak mungkin dicapai hanya dengan impor daging dan membeli sapi potong bakalan. Impor sapi induk atau bibit unggul barangkali dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan populasi dan produktivitas ternak. Sapi potong kita saat ini masih terbatas produksinya, baik yang menyangkut pertambahan bobot badan dan kemampuan melahirkan anak. Rata-rata pertambahan bobot badan sapi di Indonesia hanya sekitar 30-100 g/hr, sementara di luar negeri bisa mencapai 300-1000 g/hr (Riyanto, 2010). Sapi di Indonesia rata-rata beranak dalam 2-3 tahun sekali, sedangkan sapi di luar negeri sudah dapat beranak setiap tahun. Lebih baik kita belum berha-
sil swasembada daging pada tahun 2014, tetapi sudah berhasil sampai tahapan tertentu mempersiapkan swasembada tersebut. Ketiga, setiap usaha peningkatan produksi peternakan harus diarahkan pada peningkatan pendapatan peternak. Oleh karena sebagian besar peternak kita masih tergolong berpendapatan rendah, maka strategi ini sering dipopulerkan dengan adopsi konsep pro-poor (berpihak pada rakyat miskin). Filosofi strategi ini tepat, mengingat peternak adalah pelaku utama usaha peternakan, sehingga jika mereka “kuat” maka berbagai upaya pengembangan dapat diintroduksi secara berkelanjutan. Bukan sebaliknya, menjadikan peternak sebagai “mesin produksi” dan hasilnya justru dinikmati para “pelaku” pada mata rantai tata niaga hasil produksinya. Memang bukan persoalan mudah menyediakan produk peternakan untuk sekitar 230 juta jiwa penduduk Indonesia yang terus bertambah lebih dari 1,3% per tahun. Negara butuh “impian” yang kuat atau visi yaitu suatu saat (2020?) mampu swasembada daging, susu dan telur. Dengan demikian kita dapat termotivasi untuk segera bangkit membuat goal dan langkah strategis serta upaya nyata ke depan. Kini kita, sudah memiliki road map peningkatan swasembada sejumlah komoditas yang terkait dengan ketahanan pangan, seperti beras, gula, jagung, kedelai dan daging sapi. Namun jika sebuah road map hanya parkir di tingkat elite pengambil keputusan tanpa
disosialisasikan ke publik, maka sebuah road map hanya akan menjadi wacana saja. Tidak lebih. Khusus sapi potong, sampai hari ini juga belum melihat langkah-langkah kementerian terkait mengimplementasikannya. Semua masih jalan seperti business as usual. Buat apa mengembangkan sapi potong di Indonesia yang penuh lika-liku premanisme dan pada akhirnya tidak menguntungkan secara bisnis. Lebih mudah dan lebih untung kalau impor saja. Selain itu peran lobbyist peternak sapi Australia maupun negara lain ke pemerintah Indonesia juga sangat efektif. Lobi ini biasanya di-bundling (dipaketkan) dengan berbagai program kemanusiaan/sosial, pendidikan, keamanan dan sebagainya. Sehingga menyulitkan Pemerintah ketika akan melakukan perlawanan di meja perundingan maupun di media. Munculnya video penyiksaan sapi di rumah pemotongan hewan (RPH) baru-baru ini, patut diduga salah satunya tidak terlepas dari keinginan pemerintah Australia yang pernah disampaikan ke Komisi IV DPR-RI sekitar beberapa bulan yang lalu. Mereka meminta supaya sapi bakalan dari Australia tidak dibatasi beratnya maksimal 350 kg/sapi, tetapi dibebaskan. Untuk mereka untung tetapi buat Indonesia rugi, karena harga sapinya menjadi lebih mahal. Makanya Komisi IV DPR menolak permohonan itu. Dari segi kebijakan, selain persoalan sapi belum bisa di-
anggap sebagai aset, ternyata kebijakan impor daging yang berada di Kementerian Perdagangan bukan Kementerian Pertanian cq Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan juga membingungkan. Kementerian Pertanian hanya merekomendasikan berapa volume daging yang harus diimpor, operasional impornya oleh Kementerian Perdagangan. Maka jadilah sapi menjadi komoditi perdagangan bukan komoditi budidaya untuk ketahanan pangan. Kebijakan impor sapi betina unggul juga sangat menyulitkan peta ketahan pangan dan peternak lokal kita. Patut diduga ini merupakan karya pelobi ulung Australia lainnya yang berhasil mempengaruhi pengambil keputusan di Jakarta. Tujuannya jelas, supaya Indonesia terus mengimpor sapi dari Australia. Kalaupun ada betina unggul yang diimpor, itu hanya beberapa saja dari yang kita pesan. Sisanya tidak unggul karena patut diduga ovariumnya sudah dirusak atau dipotong. Jadi maksimal hanya bisa melahirkan 1 pedet atau anak sapi saja. Jadi siapa sebenarnya yang tidak punya peri kebinatangan? Selain itu data impor sapi selama ini tidak jelas. Apakah data dari Badan Pusat Statistik (BPS) atau mafia pengimpor sapi atau dari langit ketujuh? Di pasaran sering ditemukan daging impor harganya lebih murah dari harga daging lokal. Jadi ketidak jelasan ini memang ada yang melakukannya.
Langkah Pemerintah Sudah selayaknya pemer-
intah harus lebih tegas lagi dalam persoalan ketahan pangan terkait dengan kebutuhan daging sapi. Tekan pemerintah Australia dan 230 juta rakyat Indonesia siap mendukung penuh langka pemerintah K atakan jika Australia melakukan berbagai ancaman terkait animal welfare seperti yang ditayangkan di Channel News Asia beberapa waktu lalu dan tidak mau bekerja sama sebagai dua negara sahabat, Pemerintah Indonesia akan menghentikan impor sapi dari Australia. Liputan itu patut diduga rekayasa mereka. Coba tanyakan berapa si pemotong yang menendang-nendang itu dibayar? Ya k i n k a n p a d a r a ky a t bahwa kita tidak akan mati jika tidak makan daging sapi karena negara kita masih punya banyak protein hewani lainnya. Yakinkan pada rakyat bahwa negara lain seperti India tidak makan daging sapi juga hidup dan lebih cerdas otaknya. Yakinkan bangsa ini bahwa makan daging sapi lokal dan dombrut (domba Garut) lebih sehat dan cocok buat bangsa ini. Pemerintah Australia karena yang mereka lakukan itu perbuatan sengaja untuk menekan kita. Di sini terlihat bahwa negara lain berusaha menguasai ketahanan pangan kita karena secara ekonomi sangat menguntungkan. Demi ketahanan pangan, diversifikasi daging sapi seharusnya disuarakan dengan lantang dan terus menerus oleh pemerintah untuk melawan upaya mafia impor sapi dan pedagang daging sapi beku, khususnya dari Australia.
6
WACANA UTAMA
M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
VOL 2, NO. 31, 25 OKTOBER 2011
Hambat Mafia Daging Dengan Benahi Tataniaga Ternak Dan Daging Sapi ulang punggung industri sapi potong nasional adalah peternakan rakyat yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Sejak tahun 1991, usaha penggemukan sapi potong skala besar mulai ada dan saat ini keberadaannya mampu memasok sekitar 30 persen kebutuhan daging sapi nasional. Usaha tersebut umumnya mengandalkan sapi bakalan yang diimpor dari Australia. Namun keberadaan usaha skala besar tersebut belum mampu menghilangkan kesenjangan permintaan dan penawaran, sehingga kenaikan harga daging sapi cenderung terus meningkat dari waktu ke waktu. Sentra Produsen sapi potong yang tersebar pada berbagai daerah dan sebagian besar bermuara pada sentra konsumen DKI Jakarta dan Jawa Barat membentuk pola distribusi sedemikian rupa sehingga harga eceran daging sapi pada beberapa daerah di pasar domestik bergerak harmonis dengan perbedaan marjin tertentu. Namun sebagai negara pengimpor daging sapi dari Australia dan Selandia Baru, pergerakan harga produsen cenderung turun, sedangkan harga eceran domestik cenderung naik. Hal ini terjadi sejak Juli hingga Nopember 2008 (Badan Litbang Depdag,2008). Berbagai komponen biaya tataniaga seperti retribusi, pungutan liar, susut bobot badan selama transportasi, biaya transportasi yang tinggi menyebabkan biaya pemasaran makin tinggi dan mendorong harga daging sapi domestik terus meningkat. Ironisnya harga daging sapi impor dan daging sapi dari eks impor ikut meningkat sesuai harga daging sapi domestik, sehingga harga daging sapi secara agregat selalu meningkat. Faktor lain yang juga turut mengdongkrak kenaikan harga daging sapi adalah keberadaan program
T
Ir. Robertho Imanuel Aden, MP Ketua Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta, 8 Maret 1964 PENDIDIKAN: - 1988 S1, Universitas Sam Ratulangi, Manado, Produksi Ternak - 1995 S2, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Produksi Ternak PELATIHAN PROFESIONAL: - 2002 Pelatihan pendaya gunaan Hasil LITBANG IPTEK Nuklir bagi mitra Kerja Program IPTEKDA BATAN Bidang Peternakan BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL Jakarta - 2002 Kursus Agroklimatologi Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta
penyebaran ternak sapi oleh berbagai instansi yang pengadaannya bersumber dari pasar hewan domestik. Kebutuhan sapi untuk program tersebut direspon pedagang dengan menaikkan harga jual sapi.Kenaikan harga ini mendorong naiknya harga sapi untuk keperluan pemotongan sehingga pada gilirannya menaikan harga daging sapi di pasar D a r i A s p e k ko n s u m s i , berdasarkan budaya (jenis makanan dan gengsi) dan rasa, posisi daging sapi tidak tergantikan dengan daging lain. Ketersediaan daging sapi selalu dibutuhkan baik pada kelompok kelas pendapatan tinggi, sedang maupun rendah. Perilaku konsumen yang demikian menyebabkan harga daging sapi terus meningkat. Pemicu kenaikan harga terutama terjadi saat menjelang hari besar keagamaan seperti menjelang bulan puasa dan hari Raya Idul Fitri maupun Natal serta Tahun Baru.
Jika tidak dikendalikan fenomena tersebut dapat mengarah pada ketidakadilan pasar. Paling tidak ada lima pelaku pasar yang terlibat yaitu: peternak, pedagang sapi antar daerah, importir ternak dan daging sapi, konsumen dan pemerintah. Dari kelima pelaku pasar tersebut yang pola kerja serta kegiatannya mengarah seperti gaya mafia adalah pedagang antar daerah dan importer ternak dan daging sapi. Pada tahun 1970-1979 Indonesia merupakan negara pengekspor ternak sapi dan kerbau, dengan negara tujuan Singapura dan Hongkong. Bebebrapa daerah sumber ternak tersebut adalah NTT, NTB, Bali dan NAD. Namun dengan alasan permintaan dalam negeri terus meningkat, sejak tahun 1979 Pemerintah mengambil kebijakan untuk menghentikan ekspor ternak sapi dan kerbau (Ditjennak 1990). Untuk mendukung tataniaga ternak dan daging sapi
tersebut, pemerintah pusat bekerjasama dengan Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Mengapa yang dipilih Pemerintah Daerah DKI Jakarta, karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadikan daerah ini sebagai sentra konsumsi utama daging sapi. DKI Jakarta menyediakan infrastruktur pemasaran dalam bentuk perusahaan daerah. Selain berfungsi sebagai infrastruktur pasar untuk mengendalikan penawaran dan permintaan. Keberadaan lembaga ini mampu mendidik konsumen mengenal berbagai kualitas potongan daging sapi seperti sirloin, tenderloin dan topside dan mampu merubah perilaku konsumen dari membeli daging segar menjadi daging beku. Namun apa yang terjadi pada daerah tertentu muncul pungutan baru dengan sebutan sumbangan pihak ketiga. Sumbangan tersebut meningkat dengan adanya UU No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah mendorong Pemerintah Daerah
WACANA UTAMA
M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
VOL 2, NO. 31, 25 OKTOBER 2011
meningkatkan pendapatan asli daerah sehingga muncul berbagai retribusi yang tumpang tindih dan tidak konsisten antar wilayah dalam kegiatan perdagangan komoditas sapi potong. Akibatnya biaya perdagangan meningkat. Efisiensi perdagangan menurun dan daya saing di sentra konsumsi menurun. Inkonsistensi kebijakan perdagangan internasional dan perdagangan antar wilayah menyebabkan daya saing produk dan komoditas pertanian dari daerah sentra produksi kalah dengan produk dan komoditas pertanian impor di daerah sentra produksi. Fakta ini sangat nyata pada komoditas dan produk sapi. Pangsa impor semakin meningkat dan tujuan pasar tidak lagi untuk hotel dan restoran berbintang, tetapi sudah masuk pasar tradisional baik di sentra konsumsi maupun di sentra produksi. Laju permintaan daging sapi yang lebih tinggi dan laju pasokan domestik menyebabkan harga daging sapi domestik terus meningkat hingga pasokan impor terus makin membesar. Ironisnya
Peternakan sapi
harga impor yang lebih murah justru menyesuaikan dengan harga domestik yang cenderung naik. Kenaikan harga tersebut ternyata tidak banyak dinikmati petani dan dapat berdampak terhadap peningkatan inflasi, pengurasan populasi sapi nasional dan mendorong kenaikan harga daging ayam. O r g a n i s a s i Pa s a r d a n aturan main menentukan beberapa pelaku yang terlibat dan bagaimana proses transaksi itu terjadi. Dengan demikian walaupun komoditas yang diperdagangkan itu sama, organisasi pasar dapat jadi berbeda. Hal ini terjadi pada pasar sapi potong di Indonesia. Faktor yang membedakan antara lain: keterlibatan makelar, cara bayar, penentuan bobot badan yang akan menentukan nilai produk, besaran biaya jasa pasar hewan. Jumlah pelaku yang terlibat dalam pemasaran ternak dan daging sapi bervariasi antar daerah. Dari berbagai studi yang dilakukan pelaku yang terlibat adalah:Peternak, pedagang pengumpul desa, makelar di pasar hewan tertentu, pedagang antar provinsi (antar pulau),
importir, distributor daging/ pedagang, pejagal, pengecer dan pedagang keliling. Banyaknya pelaku pasar sejak dari sentra produksi dan konsumsi menyebabkan besarnya margin keuntungan, tingginya biaya pemasaran dan penurunan bobot badan sapi sehingga konsumen membayar harga daging menjadi lebih mahal.Contohnya sekarang ini harga daging sapi di kota Palangkaraya Rp.80.000/Kg Untuk mengendalikan kegiatan yang dilakukan oleh para mafia daging dan mengendalikan harga perlu dilakukan pemerintah pembenahan tataniaga ternak dan daging sapi domestik sejak dari daerah sentra produsen hingga daerah konsumen, disamping itu harus ada sinkronisasi antar perdagangan internasional dalam hal impor ternak dan daging sapi dengan perdagangan dalam negeri. Pada perdagangan dalam negeri ada lima hal yang dapat ditempuh: 1. Mengalihkan perdagangan ternak sapi menjadi daging sapi 2. Membatasi pungutan resmi dan tidak resmi dalam dis-
tribusi sejak dari peternak hingga ke konsumen 3. Memonitor daya saing daging sapi domestik dengan daging impor, Bila diperlukan pemerintah dapat menggunakan kebijakan tarif 4. Lakukan segmentasi harga dan konsumen sesuai kualitas potongan daging dengan tujuan meningkatkan data saing dengan tidak mengurangi pendapatan peternak 5. Memfungsikan perusahaan daerah dengan fasilitasnya sebagai bagian dari sistem distribusi daging di daerah sentra konsumsi Upaya-upaya di atas harus juga disesuaikan dengan kondisi dan fasilitas yang dimiliki daerah masing-masing. Selain itu ada lagi upaya yang dapat dilakukan pemerintah dalam mengelola tata niaga ternak dan daging ternak agar tidak dikuasai oleh mafia ternak adalah: 1. Pemetaan ternak 2. Pemetaan kebutuhan daging dan susu sapi 3. Perbaikan tata niaga dari hulu ke hilir
7
4. Pembatasan impor ternak dan daging/jerohan 5 .Penegakan aturan 6. Pelarangan pemotongan induk betina produktif dengan sikap yang tegas 7. Konsistensi program Pemerintah Pusat maupun daerah 8. Rangsangan dan Stimulus, berupa Revitalisasi Unit pelaksana teknis 9. Pertanian terpadu 10.Kelembagaan Peternak yang baik mulai dari sentra produksi ke pasar. Bila hal-hal tersebut konsisten dilakukan oleh pemerintah, maka kita tidak perlu kuatir dengan penghentian impor sapi dan daging sapi dari Australia. Justru Australia yang akan kebingungan kemana mereka memasarkan produk sapi mereka. Karena mereka tahu bahwa Indonesia adalah pangsa pasar yang besar, dan harga daging dalam negeri tidak akan terpengaruh. Untuk Komoditas Perikanan tidak jauh berbeda kondisinya dengan Peternakan, maka langkah-langkah di atas dapat juga dilakukan.
8
WAWANCARA
M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
VOL 2, NO. 31, 25 OKTOBER 2011
Teguh Boediyana: “Mafia Akan Habis Bila Aturan Main Jelas” Pencapaian swasembada daging 2014 sepertinya tidak ingin terulang seperti di tahun 2005 dan 2010 lalu yang konon selalu gagal. Melalui sejumlah program, penyediaan daging sapi dari dalam negeri diproyeksikan meningkat dari 67 % pada tahun 2010 menjadi 90 % pada tahun 2014.
PSKI (Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia) berharap data statistik hasil sensus ternak sapi nantinya benar-benar dapat mencerminkan keadaan pembangunan peternakan yang sebenarnya. Pengembangan daerah pusat-pusat peternakan baru kelihatannya tidak ada. Namun Papua yang sangat prospektif sebagai daerah pengembangan peternakan sapi, nanti dapat dilihat apakah daerah tersebut mencerminkan sebagai pengembangan peternakan sapi baru. Dengan hasil sensus ternak ini diharapkan nantinya akan berguna bagi pemerintah untuk secara lebih tepat menetapkan pemetaan daerah-daerah pusat peternakan di Indonesia. PPSKI juga meminta kepada Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statsitik (BPS) harus melakukan sensus ternak secara sungguh-sungguh, karena data yang diperoleh
P
akan sangat besar pengaruhnya dalam pengambilan kebijakan. De ngan angka dan data yang valid, diharapkan tidak ada lagi masalah-masalah yang timbul, seperti terjadi oversupply daging, kemudian akibat impor daging yang berlebihan menimbulkan distorsi pasar dan harga ternak sapi di dalam negeri. Dengan data yang benar diharapkan impor sapi bakalan dan impor daging bisa diatur dan disusun sesuai kebutuhan, sehingga kebijakan tersebut menjadi instrumen yang efektif untuk meningkatkan populasi ternak sapi di dalam negeri. Apapun kebijakan yang diambil pemerintah harus berorientasi dalam rangka perlindungan terhadap pengembangan usaha peternakan sapi lokal, termasuk peternaknya. Perlindungan dimaksudkan supaya peternakan sapi lokal terus berkembang dan dapat memenuhi keinginan pemerintah
agar bisa memenuhi kebutuhan daging sapi nasional. Untuk lebih jauh jauh lagi dalam mensukseskan swasebada daging dengan segala persoalannya sepertinya sensus ternak, masih tingginya angka impor daging, adanya sinyalemen jual beli surat pesetujuan pemasukan (SPP) impor daging serta praktek mafia. Redaksi INSPIRASI dalam suatu kesempatan mewawancari Ketua Umum DPP Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Teguh Boediyana belum lama ini. Berikut petikan wawancaranya; Untuk mensukseskan sensus ternak tahun 2011 sebagai penunjang swasembada daging nasional di tahun 2014 tercapai. Apa yang Anda usulkn kepada pemerintah? Kami (PPSKI) mengusulkan harus ada institusi atau lembaga yang mengawal proses sensus
ternak ini sampai ke daerahdaerah. Mungkin di pusat sudah dirancang dengan baik, tetapi bagaimana pelaksanaannya di daerah-daerah. Kalau petugas sensus ternak tidak memiliki komitmen dan kualitas yang tinggi, dan profesionalismenya rendah, tidak menutup kemungkinan akan terjadi kompromikompromi dalam menetapkan angka-angka. Apabila hal ini benar terjadi akan menimbulkan masalah yang serius. Oleh karena itu, di tingkat Kabupaten dan Provinsi, harus ada institusi atau lembaga seperti organisasi masyarakat peternak supaya ikut mengawal pelaksanaan sensus ternak ini. Disarankan dalam pelaksanaan sensus ternak, pihak BPS juga melibatkan mahasiswa setempat. Dengan asumsi mahasiswa masih memiliki idealisme, sehingga para mahasiswa dalam melaksanakan sensus ternak dapat mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan secara benar.
sapi tersebut dicapai. Tidak tercapainya target swasembada daging sapi tahun 2010 terindikasi bahwa dari tahun 2006 sampai tahun 2010 ternyata impor daging sapi menunjukkan kenaikan secara konsisten. Misalnya pada tahun 2007 impor daging mencatat sebanyak 80.000 ton, tahun 2008 naik menjadi 90.000 ton, dan tahun 2009 naik lagi mencapai 110.000 ton. Jadi terlihat adanya angka impor daging yang terus naik setiap tahun. Begitu juga impor sapi hidup bakalan untuk digemukkan menunjukkan suatu kenaikan dari tahun ke tahun, dan puncaknya terjadi pada tahun 2009 mencapai 760.000 ekor. Apabila target swasembada daging sapi keberhasilannya menunjukkan positif, seharusnya indikasinya terjadi penurunan jumlah impor daging sapi maupun jumlah impor sapi hidup bakalan. Namun sebaliknya justru terjadi kenaikan jumlah impor daging sapi maupun sapi hidup bakalan.
Apa yang diharapkan dari sensus ternak tahun 2011? Hasil sensus ternak tahun 2011, diharapkan dapat digunakan untuk melihat sebaran potensi peternakan sapi di masingmasing provinsi. Hal ini penting terutama untuk daerah-daerah yang selama ini surplus ternak, apakah masih memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan ternak sapinya. Misalnya NTB, NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh, Riau, merupakan daerah yang potensial dikembangkan peternakan sapi dan sekaligus diharapkan dapat menunjang target swasembada daging sapi tahun 2014.
Kalau seperti itu gejalanya, langkah pemerintah harusnya bagaimana? Pemerintah harus mengantisipasi terhadap kekhawatiran yang disampaikan kami, agar petugas sensus dapat melakukan sensus ternak dengan baik dan benar. Jangan sampai mereka hanya melakukan kompromikompromi data di tingkat Kabupaten maupun Provinsi. Kami menilai tugas melaksanakan sensus ternak ini tidak ringan, karena ternak sapi tersebar jauh dari daerah keramaian dan tidak bisa dijangkau dengan kendaraan umum. Menghadapi kendala tersebut tidak tertutup kemungkinan akan timbul penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan yang sudah ditetapkan. Saya juga pernah menyampaikan analisa kepada Kementerian Pertanian bahwa salah satu kegagalan target swasembada daging sapi tahun 2010, karena didasarkan data populasi ternak sapi yang tidak valid. Kemudian, kami minta kepada pemerintah untuk melakukan sensus ternak sapi. Menteri Pertanian merespon secara positif terhadap permintaan kami itu, sehingga diajukan rencana sensus ternak tahun 2011, yang didukung oleh DPR. Dengan adanya sensus ternak ini diharapkan diperoleh data yang memiliki akurasi dan validitas yang tinggi, sehingga dapat digunakan pemerintah untuk menyusun kebijakan pembangunan peternakan ke depan. Namun kalau ternyata terdapat perbedaan signifikan terhadap data yang dipakai pemerintah untuk menyusun
Bagaimana pandangan Anda soal impor daging yang angkanya terus meningkat? Menteri Pertanian pada awal jabatannya pernah merespon secara positif mengenai sinyalemen keraguan terhadap data populasi sapi, yang selama ini digunakan oleh pemerintah/Kementerian Pertanian dalam menyusun kebijakan, termasuk dalam rangka menyusun target swasembada daging sapi tahun 2010 maupun tahun 2014. Sinyalemen tersebut cukup beralasan, karena tidak tercapainya swasembada daging sapi tahun 2010, diyakini dalam penyusunan roadmap atau blueprint saat itu menggunakan beberapa asumsi dan data yang tidak akurat/valid. Akibatnya target pencapaian swasembada daging sapi tahun 2010, bisa dikatakan gagal, dan kita tidak pernah tahu sampai sejauh mana program swasembada daging
WAWANCARA
M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
VOL 2, NO. 31, 25 OKTOBER 2011
blueprint swasembada daging sapi, maka pemerintah harus melakukan review. Sampai saat ini pemerintah masih memakai data populasi sapi sekitar 12,8 juta ekor, padahal setiap tahun terjadi pemotongan sapi betina. Jadi boleh dibilang impor daging bisa merusak suksesnya swasembada daging? Saat jaman Presiden Megawati itu ada kebijakan tidak boleh ada daging impor dari negara tertentu. Tapi apa kenyataannya, itu ada 141 kontainer daging impor. Itu saya lacak siapa yang melakukan semua itu, waktu itu ketika ada kasus halal haram. Siapa yang mengeluarkan surat ijin. Saya sampai lacak ke Amerika melalui orang sana, dan orang kementan tutup mulut semua. Saya ke komisi IV DPR semuanya tidak ada yang tahu. Saya Tanya teman saya yang di dinas, katanya kami sedang mempersiapkan sidak dengan Komisi IV, sidak kok disiapin. Kalau begitu, menurut Anda mafia daging itu ada? Po ko k n y a s e m u a s i k a p , semua hal-hal yang dilakukan melanggar aturannya itu saya anggap mafia. Kalau cara mainnya normal saja sih itu tidak masalah. Mafia akan habis apabila ada aturan main yang jelas. Sekarang juga harus transparansi, PT apa, dapat quato berapa. Jangan sampai mafia ini menimbulkan masalah bagi peternak lokal. Harus ada kewajiban yang dibebankan kepada importer daging baik daging sapi maupun yang lainnya dengan syarat-syarat. Untuk mencegah distrorsi impor harus diatur quota dan bea masuk impor daging. Harus bagaimana dengan kondisi ini ? Kami memperjuangkan paling tidak, pertama proteksilah jangan sampai harga jatuh. Kedua, orang yang plasma (peternak rakyat) mulai diberi kesempatan pengembangan teknologi supaya sapi yang dihasilkan berkualitas, ketiga, mulailah penggunaan teknologi-teknologi tepat guna misalnya dengan cara pemberian zat probiiotik pada rumput. Kalau saya lebih perjuangan politik. Misalnya dalam UU No.18/2008 itu membolehkan impor sapi dari negara manapun, itu kan bisa. Kami perlu country base penyakit hewan menular. Kalau ingin swasembada, impor Australia juga dikurangi, akhirnya UU itu kami bawa ke MK. Kami ingin country base dari negera yang bebas penyakit untuk maximum security. Yang kedua kenapa kita harus mengikuti aturan perdagangan orang lain kalau itu merugikan kita. Menurut kementan dan BPS sekarang jumlah sapi 14,8 juta ton belum lagi kerbau. Sebenarnya kalau kita lihat dari blue print swasembada daging, kementan proyeksi jumlah itu untuk tahun 2014, kenapa sekarang masih impor di atas 10%. Jadi, pemerintah tidak konsisten
dengan konsepnya sendiri. Kalau memang data itu salah ya harus segera direvisi, itu kan data pemerintah. Kalau memang masih butuh berarti masih salah hitung. Kalau peternak mikirnya gampang, kalau itu menimbulkan distorsi, ya… lawan! Sikap Anda terhadap mafia daging dan sapi bagaimana? Mafia itu kan berhubungan dengan para oknum pemangku kebijakan, sedangkan saya selaku peternak tidak masalah, prinsip peternak atau pedagang mencari keuntungan, dan pokoknya tidak boleh ada impor baik dalam bentuk daging maupun sapi hidup, soalnya impor itu terjadi dan bisa menyebabkan distorsi harga terhadap daging lokal, kami ingin melindungi peternak lokal yang umumnya adalah peternak kecil. Kami menyadari kalau ternak lokal belum bisa memenuhi kebutuhan sapi nasional, bukan sekedar kuantitas tapi kualitas juga belum. Kami belum mampu menyuplai kebutuhan daging untuk high class, tapi bukan berarti tidak bisa. Sehingga kami masih mentolelir adanya impor. Pemerintahan yang lalu juga manyadari hal ini. Sehingga pak Mentan waktu itu menjadikan sapi lokal sebagai backbone, sapi bakalan impor sebagai pendukung, sedangkan impor daging sebagai penyambung. Kenapa hanya sebagai pendukung, sapi bakalan impor ini masih memiliki nilai tambah karena diimpor masih hidup, ada proses penggemukan dan lainnya, beda dengan daging, itu jaman orde baru. Kemudian tatanan ini menjadi tidak ada sejak krisis ekonomi. Harga dolar naik sehingga impor tidak ada, yang banyak dikonsumsi adalah lokal. 2001 terjadi recovery ekonomi. Sebagai gambaran, sebelum tahun 1998, ada 55 perusahaan, pas tahun 1998 tinggal 3-4 perusahaan. Tahun 2001 mulai bangkit lagi sampai sekarang ada 22 perusahaan yang utamanya menggemukan sapi bakalan impor. Tahun 2010, mulai dicanangkan swasembada daging. Data impor yang ada di dirjen peternakan itu beda dengan kenyataan, datanya 70.000 ton, tapi kenyataannya 110.000 ton. Itu kami peternak lokal teriak, ternyata sampai akhir 2010 ada 120.000 ton impor. Dari situ kami mulai melihat adanya distorsi. Kalau dulu daging yang boleh diimpor itu kan daging yang berkualitas untuk memenuhi kelas atas, kayak hotel, restoran, dan lain-lain. Tapi sekarang yang banyak diimpor adalah daging secondary cut dan jeroan. Untuk mengatasi derasnya impor daging itu, pemerintah seharusnya bagaimana? Pemerintah harus melakukaan kebijakan yang paling bijak, sehingga produsen sapi potong juga terlindungi, konsumen happy, industry juga happy. Semua happy. Kita punya dewan daging nasional yang mengontrol suplai dan demand daging. Semua asosiasi daging masuk ke sana.
Kalau kebijakan dari pemerintah itu konsisten, didukung dengan integritas perbedaan data itu mestinya tidak terjadi. Pemerintah kan punya Badan Karantina, setiap sapi yang masuk dikarantina dulu, jadi dari sana kan bisa didata, berapa yang masuk dan keluar. Internal di Kementan sendiri tidak sinergi sehingga terjadi kesimpangsiuran data. Sebenarnya kalau aturannya jelas, kebijakannya tegas pengusaha tidak berani main-main. Pengusaha melakukan kecurangan ketika ada peluang. Kelihataanya dirjen peternakan itu jalan sendiri-sendiri tidak melakukan koordinasi. Semestinya bagaimana program swasembada nasional ini agar sukses? Kalau memang ada swasembada sapi, itu harus dibarengi dengan pengurangan impor. Tapi kenyataannya impor sapi nambah terus, sampai tahun 2011 ini terus bertambah. Impor daging ini sungguh menarik, bagaimana tidak menarik nilainya mencapai Rp 8 triliun pertahun, this is a big business. Sekarang ke-
9
tika sudah terjadi pembatasan, muncullah system quato. Maka terjadi perebutan ijin (SPP/Surat Persetujuan Pemasukan). Ketika ijinnya sudah dibuat maka dijual. Ketika dibuka begitu saja gak ada masalah. Ketika ada pembatasan mulai terjadi ekses. Dan ini adalah hal yang wajar.
lokal atau rakyat harus diberi suatu kebijakan dong, buat aturan bagi importer, tiap memasukan daging, mereka harus memberika satu ekor betinanya kepada kita, atau tiap importer sapi kasih 10% sapi betinanya untuk bisa dikembangkan oleh peternak lokal.
Bagaimana untuk meningkatkan peternak lokal? Jangan dibilang kalau ternak sapi itu menguntungkan. Peternak yang cuma punya dua ekor itu mereka nabung, mengkonversi tenaganya dalam bentuk daging. Kalau punya 2030 itu harus menghitung berapa rumput harus beli, misal kalau rumput harga sekilonya Rp 300, kasih makan sehari 20 kg, jadi Rp 6000/hari belum dedak. Sehari naiknya 0,3 kg kalau harga sapi lokal kira-kira Rp 25.000/kg, jadi cuma Rp 8.000, kan masih rugi. Sapi perah, kalau punya 2-3 ekor itu masih bisa survive, karena ada pos yang ia kerjakan sendiri. Ini harus diproteksi. Beda kalau di barat, lahan banyak tinggal tebas aja, rumput gak perlu beli. Jadi peternak
Menurut Anda, apakah swasembada daging nasional 2014 akan berhasil? Ini pertanyaan yang sulit untuk dijawab, awalnya saya masih ragu. Karena melihat hasil sensus 2011 angkanya mengejutkan, tapi kenapa impor-nya makin besar. Nah, jangan-jangan salah hitung. Bagi saya, sukses swasembada 2014 maupun 2018 yang pen ting pemerintah harus konsisten dengan upayanya untuk peternak sapi lokal, dan pemerintah harus menjamin tidak adanya distorsi adanya leberalisasi. Jadi pemerintah komitmen terhadap pengembangan peternak rakyat. Kalau dulu program swasembada di tahun 2005 dan 2010 itu hanya program retorika belaka karena kondisi politik saat itu.
BIODATA Teguh Boediyana Tempat dan tgl lahir: Purwokerto, 7 Mei 1951. Riwayat pendidikan terakhir: a. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada ( lulus 1977 ) b. Master Program School of Agribusiness Arizona States University ( lulus 1990 ) Riwayat Pekerjaan : a. Manajer Operasional Taurus Dairy Farm Sukabumi (1978 – 1980) c. Staf di Ditjen Koperasi Deperdagkop (1982 -1984) d. Kasie Ternak Besar di Ditjen Binus Koperasi, Dep. Kop. (1984-1988) e. Kasubdit Adiminstrasi Tatalaksana Kop. Ditjen BLK (1991 – 1993) f. Kapuslitbang Koperasi , Dep. Koperasi dan PPK (1993 – 1994). g. Direktur Bina Kop. Perikanan dan Peternakan, Dep. Kop. & PPK (1994-1995). h. Direktur Bina Kop. Peternakan , Dep. Kop dan PPK (1995 – 1998). i. Kepala Biro Humas Dep. Koperasi dan UKM (1998 – 1999). Pengalaman organisasi dan lain-lain : a. Ketua Komisariat Dewan Mahasiswa Fak. Peternakan UGM (1974 – 1976). b. Anggota Majelis Mahasiswa Universitas Gadjah Mada ( 974-1976) c. Anggota Tim Teknis Pengembangan Persusuan
e. f.
g. h. i.
j. k.
m.
Nasional (1978 – 1982) d. Anggota Redaksi Majalah PIP. (1984 – 1993) Pemimpin Umum Majalah Buletin Koperasi (1999 ) Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (994 - 2009). Direktur Eksekutif Pengurus Pusat KAGAMA (2001– 2004) Tenaga Ahli Tim Kemitraan di Bogasari Flour Mills (2000 -2009) Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO) (20032009). Ketua Dewan Persusuan Nasional (2007 - ....). Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (2009 - ...........). l. Ketua Komite Tetap Pengembangan Industri Peternakan KADIN Indonesia (2009 - ........ ). Koordinator Majelis Paskar DEKOPIN (2010-......).
10
MATA MAHASISWA
M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
VOL 2, NO. 31, 25 OKTOBER 2011
“Akar Dari Konflik Sosial Ini Adalah Kemiskinan” Konflik sosial yang belum lama terjadi di Ambon menunjukan betapa masih lemahnya stabilitas negara. Sebab atau pemicu konflik itu bisa dikarenakan banyak faktor, dan yang terpenting akibat dari konflik sosial meninggalkan dampak terhadap perekonomian rakyat.
incang Malam Mata Mahasiswa episode 26 September 2011 yang ditayangkan TVRI tiap Senin malam pukul 22.00 WIB mengangkat tema “Konflik Sosial dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Rakyat” dengan mengadirkan nara sumber, anggota Komisi III DPR RI, Didi Irawadi, Ketua Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan dan Koperasi DPP LPM (Dewan Pengurus Pusat Lembaga Pemberdayaan Masyarakat), Sudiro Andi Wiguno, Tokoh Masyarakat Ambon, Thamrin Ely, Himpun-
B
an Mahasiswa Islam, Rudi Gani, PMKRI, Stefanus Gusma, dan GMNI, Haryadi. Menurut Didi Irawadi, bangsa ini didirikan berdasarkan keragamaan, dari mulai founding father yang dulu masih di jajah Belanda. Nilai-nilai kebersamaan ini yang sekarang mulai hilang, Karena sekolompok orang tertentu yang sebenarnya tidak mewakili kelompok mayoritas ingin memaksakan kehendaknya. Nilai-nilai pancasila harus kembali ditanamkan dalam pendidikan.
Thamrin Ely menyikapi, konflik sosial itu adalah adanya perbedaan pemahaman antar dua kelompok dalam satu masa, kejadian di Ambon kemarin itu bukan konflik sosial. Bahwa ada entri point kematian seorang tukang ojeg itu dimanfaatkan oleh banyak orang untuk konflik. Kalau aparat keamanan efektif ini bisa dicegah supaya tidak melebar kemana-mana. Sampai sekarang tidak diberi penjelasan tentang yang sesungguhnya. Memang peran intelegent tidak efektif, aparat juga
tidak efektif. Sementara Sudiro Andi Wiguno mengatakan konflik sosial dan ekonomi ini sangat berkaitan, sebagian besar konflik di Indonesia karena faktor ekonomi yang tidak mampu bersaing . apapun judulnya 70% masalah di Indonesia akarnya adalah ekonomi. Dengan ekonomi kerakyatan bisa mengatasi masalah ekonomi rakyat. Di LPM mempunyai program pengembangan wirausaha desa, potensi desa kita kembangkan sehingga masalah-masalah yang berasal dari ekonomi bisa dikurangi termasuk konflik sosial, masalah lain bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Dan masyarakat pun mempunyai tauladan yang baik dari mulai desa sampai atas. Sedangkan Rudi Gani memaparkan, Indonesia mayoritas Islam dan juga agama lain yang bisa jadi potensi. Dan pancasila adalah pondasinya. Akan tetapi ada sekelompok orang yang sengaja memancing di air keruh. Dalam teori konflik sosial itu ada dua hal, pertama memang konflik yang timbul dari masyarakat sendiri, kedua konflik yang sengaja diciptakan. Di Indonesia lebih cenderung kepada yang kedua, sengaja konflik didesain untuk menutupi agenda-agenda tertentu. Konflik yang terjadi apakah di Aceh, Papua, Ambon, dan sebagainya sekarang memang belum selesai. Karena penyelesaiannya adalah parsial tidak sampai ke akarnya. Akar dari konflik ini adalah kemiskinan. Bagi Stefanus Gusma, mengutarakan Indonesi pernah men-
jadi negara istimewa karena adanya keharmonisan dalam keberagaman. Namun, konflik yang terjadi atau pun kekerasan yang terjadi itu akarnya adalah ekonomi. PMKRI pernah melakukan survei di daerah perbatasan konflik yang terjadi itu masalah utamanya ekonomi karena pemerintah tidak mampu menyediakan sarana ekonomi yang baik. Kemudian banyak hajatan politik di daerah yang menonjolkan isu Sara. Lalu yang menarik adalah konflik-konflik yang terjadi itu akibat gonjang-gonjing politik, itu patut diduga untuk pengalihan. Karena dalam sejarahnya tidak ada konflik agama, tidak ada konflik ras. Ini patut dipertanyakan karena sampai sekarang konflik tidak pernah terselesaikan. Malah Haryadi mengatakan, bangsa Indonesia telah melupakan sejarah. Kita pernah besar karena adanya keragaman dan nasionalisme untuk menyatukan. Masalah yang terjadi saat ini adalah adanya ketimpangan. Kita lihat wilayah Indonesia dari Sabang sampai Marauke pembangunan infrastruktur itu berbeda dan tidak merata. Selama program-progam itu tidak adil kepada masyarakat, maka akan memicu konflik sosial di masyarakat. Setelah pemaparan para nara sumber penyebab konflik sosial yang terjadi, ini disebabkan oleh kemiskinan, tidak meratanya pemerintah dalam membangun, lemahnya peran intelegent, dan aparat keamanan. Jadi, sejatinya peran pemerintah harus bagaimana? Menurut Didi Irawadi, pemerintah telah berusaha untuk mensejahterakan masyarakatnya, tapi pemerintah tidak bisa sendiri harus didukung oleh kekuatan-keuatan politik yang lain terutama dalam pemera taan program. Kemudian masalah yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu harus diperbaiki, misalnya masalah pajak. Sedangkan Thamrin Ely mengutarakan, tidak perlu curiga kepada pemerintah, karena sudah ada APBN-nya, terutama masalah Ambon ini ada Inpres No. 6 tahun 2003 untuk merecovery daerah konflik, tapi pelaksanaannya di lapangan itu yang bermasalah Sudiro Andi Wiguno mengatakan, pemerintah ini kesulitan dengan sistem yang sangat liberal ini. Harusnya pemerintah membangun wirausaha berbasis industri kecil yang tepat guna. LPM merancang solusi jangka panjang bukan sekedar 1-2 tahun. Dan Pemerintah jangan menunjukan kemampuan pertahanan militeristik, tapi berikanlah tiga hal yang pertama adalah pendidikan yang kedua adalah pengembangan ekonomi kerakyatan yang ketiga kembangkan teknologi tepat guna dan padat karya.
MATA MAHASISWA
M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
VOL 2, NO. 31, 25 OKTOBER 2011
“Pemerintah Harus Berani Melindungi Petani” Persoalan yang dihadapi petani saat ini adalah manajemen budidaya di lapang. Yang dihadapi adalah ketidakpastian. Persolannya bukan bisa apa tidak tapi mau atau tidak. Banyak sekali permasalahan baik hulu maupun hilir. api, semua dapat dihadapi kalau kita selesaikan bersama, demikian menurut Dirjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, Ir. Udhoro Kasih Anggoro, MS., pada acara Bincang Malam Mata Mahasiswa episode 3 Oktober 2011 dengan tema “Kapan Indonesia Swasembada (mandiri) di Sektor Pangan?” Acara yang disiarkan tiap Senin malam, pukul 22.00 WIB di TVRI Jakarta ini, juga dihadiri nara sumber lainnya seperti, Ketua Komisi IV DPR RI, M. Romahurmuzi, Ketua Dewan
T
Holtikultura Nasional, Benny Kusbini, Marlon Sipahutar, Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran Bandung, Ahmad Daud Alamsyah, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang, Abdullah Mujahid, Fakultas Pertanian Brawijaya, Malang. Sedangkan menurut M. Romahurmuzi, dirinya sangat yakin Indonesia bisa swasembada pangan. Tahun 1960-an negara berkembang merupakan ekportir utama pangan dunia. Namun sekarang 90% pangan dunia dikuasai oleh lima multinational
corporation, sehingga ini proses pemiskinan petani dari tahun 1960-an sampai saat ini, itulah hal yang harus kita lawan. Negara ini harus bersatu padu, karena yang kita hadapi adalah jaringan kapitalisme global yang mempunyai kekuatan jaringan di segala lini. Petani kita sekurangkurangnya mengahadapi tiga persoalan. Persoalan pertama adalah persoalan lahan. Lahan sewaktu-waktu diwariskan, sehingga semakin kecil. Kedua, persoalan modal, sudah lahannya kecil modalnya tidak ada. Sehingga mereka terjebak oleh
rentenir, apakah untuk modal atau untuk memenuhi kebutuhan yang belum bisa dipenuhi dari bertani. Kemudian, yang ketiga itu masalah pemeliharaan kualitas. Kita terus mencari solusi untuk mengatasi ketiga masalah ini, di antaranya masalah lahan dengan mengelola lahan baru. Untuk menjawab persoalan modal kita berikan bantuan usaha agribisnis pedesaan Rp 100 juta setiap Gapoktan. Untuk mejaga kualitas kita berikan bantuan teknologi apakah itu power treashur, rice milling unit, dan peralatan saprodi yang bisa menunjang beras petani meningkat. Sementara Benny Kusbini mengatakan, bangsa ini harus optimis baik dari pemimpinnya sampai petaninya. Tapi, persoalannya masalah pangan ini selalu diserahkan kepada petani. Petani tidak bisa menyelasaikan masalah ini, ini masalah pada kebijakan politik di bangsa ini. Misalnya bagaimana persoalan infrastruktur pertanian irigasi, jalan, perdagangan, bagaimana mengenai biaya, petani tergantung rentenir. Pemerintah harus mengambil peran dalam hal ini. Bagaimana Thailand bisa, Korea bisa, Malaysia bisa melindungi petani. Pemerintah kita pada saat panen malah impor. Negara kita menjadi sasaran empuk bagi para pengekspor pangan. Pemerintah harus berani melindungi petani. Bagi mahasiswa menanggapi kesulitan yang dihadapi oleh para petani itu, Marlon Sipahutar menyikapi setidaknya lima masalah pertanian kita, yang pertama masalah modal, kedua bibit unggul, kita hanya mampu menyediakan bibit unggul 39% untuk padi, 14% untuk kedelai, dan 22% untuk jagung dengan data seperti itu bagaimana kita bisa swasembada. Yang ketiga adalah kenaikan permintaan tidak diimbangi dengan kenaikan produksi, yang keempat adalah anomali cuaca, dan yang kelima
11
adalah menyusutnya lahan. Ini bukan masalah Abdullah Mujahid mengutarakan, yang ditemui di Malang dan sekitanya petani ini pertama pendidikannya rendah. Yang kedua adalah kita bandingkan jumlah petani, buruh tani, dan pengusaha di lingkup pertanian, petani sendiri jumlahnya kecil dengan lahan yang kecil, banyaknya yang berusaha di lingkungan pertanian. Yang ketiga keinginan mahasiswa pertanian yang ingin terjun ke wilayah pertanian sanget kecil. Yang berikutnya petani tidak bebas berinovasi karena adanya perusahaan multinasional. Sementara Ahmad Daud Alamsyah menandaskan tiga hal masalah petani, pertama masalah pengetahuan, fasilitas, dan modal. Pengetahuan petani itu menanam bukan untuk usaha tani, hanya untuk bertahan hidup saja. Petani tidak memikirkan untung. Ini peran pendampingan daripada PPL. Sekarang banyak PPL yang tidak terjun. Kedua adalah masalah infrastruktur yang tidak mendukung. Ketiga adalah masalah ekonomi, baik lahan, benih, permodalan dan sebagainya, seperti yang terjadi di Lampung, lahan transmigran digusur itu miris sekali. Padahal kita punya undang-undang No. 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan berkelanjutan. Untuk mengedepankan nasib petani kita, mampukah petani kita menentukan harga di pasar? Udhoro Kasih Anggoro malah berbalik bertanya kepada mahasiwa, maukah Anda jadi birokrat? Minat mahasiswa pertanian harus ada yang jadi birokrat pertanian. Sedangkan M. Romahurmuzi mengatakan kita sudah swasembada beras dan jagung. Untuk daging, gula, dan kedelai kita sedang menuju kesana. Untuk yang tidak bisa membeli pupuk pemerintah sudah mengintervensi dengan subsidi pupuk. Namun Benny Kusbini menyikapinya dengan ketidak setujuan kalau sekarang masih swasembada, soalnya kenyataan jagung dan beras masih impor. Jadi, Benny menghimbau kepada mahasiswa, itu harus mahasiswa jaga di pelabuhan jangan ada barang yang masuk. Masalah harga, sebenarnya dengan harga Rp 5000-Rp 6000 petani itu sudah makmur. Tapi karena dari awal budidaya sudah di ijon dan ketika jadi beras padagang menikmati, petani hanya membuat gabah dan jadi termarjinalkan. Wajar saja mahasiswa mempertanyakan, apakah Indonesia masih sebagai negara angraris yang menempatkan pertanian sebagai sektor utama? M. Romahurmuzi menjawab, kalau lihat PDB, pertanian itu menyumbang 15%, kedua setelah manufactur. Kalau dilihat dari angkatan kerja itu hampir separuh dari jumlah angkatan kerja. Kalau dilihat dari PDB negara kita masih agararis.
12
KATA MAHASISWA
M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
VOL 2, NO. 31, 25 OKTOBER 2011
Indikasi Mafia Peternakan Di Indonesia K
Abdullah Mujahid Mahasiswa Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang Tempat / tanggal lahir: Ambon / 05 Juli 1991 Status pendidikan: - Semester 6 , Program Studi Agroekoteknologi Minat Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Perguruan Tinggi Universitas Brawijaya Riwayat pendidikan: a. SD: SDN Karang Pakis I, lulus tahun 2002 b. SMP: SMPN 14 Ambon, lulus tahun 2005 c. SMA: SMAN 3 Jombang, lulus tahun 2008 Hobi: Browsing, Reading , Travelling. Keterampilan: Public Speaker, Mengajar, Motivator Bahasa asing yang dikuasai: Inggris, Arab
cukup untuk memenuhi sektor peternakan. Dan hampir semua sumber daya modal diserahkan ke investor swasta yang notabene adalah pengusaha asing yang seperti diketahui saat ini menguasai mulai pakan hingga produk olahan ternak. Minimnya pendampingan pada peternak rakyat juga menjadi salah satu kendala sangat penting. Hal ini mengingat lebih dari 90 persen ternak sapi dipelihara oleh sekitar 6,5 juta rumah tangga di pedesaan dengan pengetahuan peternakan yang sangat minim. Banyak dari peternak sapi potong telah berusia tua, dengan tingkat pendidikan lulusan sekolah dasar sehingga pengetahuan mereka pun terbatas. Indikasi lainnya adalah, selama ini Indonesia sangat sulit untuk mendatangkan impor sapi betina unggul dari Australia untuk dibudidayakan di Indonesia. Padahal, impor sapi betina diperlukan agar peternak bisa membudidayakan sapi dengan jumlah yang lebih banyak. Pada tahun 2007 usaha pembibitan sapi hanya berjumlah tiga unit dan pada tahun 2008 meningkat menjadi enam unit. Akibatnya, saat ini Indonesia masih kekurangan sekitar satu juta ekor sapi induk. Untuk itu, industri pemuliaan dan budi daya sapi lokal potong seperti sapi Bali, sapi Madura, dan sapi Aceh harus lebih diintensifkan menggunakan teknologi modern. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah selama ini tidak selamanya berpihak pada peternak rakyat. Kebijakan impor yang mengalir deras membuat peternakan rakyat tidak mampu bersaing dengan produk luar negeri yang lebih murah. Ketergantungan peternak lokal terhadap pakan yang diproduksi oleh perusahaan asing dan rendahnya sosialisasi tentang teknologi yang berbasis alam serta kearifan lokal turut memberikan dampak pada kondisi peternakan dalam negeri. Tersebarnya peternak rakyat yang berusaha secara parsial juga menjadi masalah, harus ada kesungguhan dalam menyatukan semua elemen dalam penanganan masalah
peternakan nasional. Langkah konkretnya ialah menerapkan pembagian wilayah di Indonesia yang mana mengkhususkan untuk memproduksi massal dan massif jenis ternak lokal sehingga pengembangannya bisa dilakukan secara signifikan. Daging impor bisa lebih murah karena di negeri asalnya diberi subsidi yang dapat menurunkan harga. Insentif ini berupa subsidi pakan, subsidi bibit unggul, pemberian kredit usaha peternakan. Memang sudah ada berbagai program subsidi, dari pemerintah Indonesia namun sampai sekarang hasilnya belum jelas untuk bisa mandiri secara nasional. Alihalih subsidi, devisa negara saja terus menipis. Pemerintah semestinya harus segera melakukan evaluasi tata niaga peternakan yang terindikasi adanya praktek kartel dan mafia yang mengontrol pasar.Karena apabila terus menerus dibiarkan maka sangat mungkin praktek mafia ini berdampak pada matinya industri peternakan rakyat. Sudah selayaknya Indonesia mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan asal ternak secara mandiri dan berpotensi menjadi negara pengekspor produk peternakan. Hal tersebut sangat mungkin diwujudkan karena ketersediaan sumber daya yang sangat mendukung. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa pembangunan peternakan di Indonesia masih belum berhasil dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini mungkin disebabkan oleh berbagai kelemahan struktural dalam sistem pengembangan peternakan.Oleh karenanya dengan segala keterbatasan peternak, sejatinya perlu dikembangkan sebuah sistem peternakan yang berwawasan ekologis, ekonomis, dan berkesinambungan. Yaitu dengan mengembangkan peternakan industri dan peternakan rakyat yang dapat mewujudkan ketahanan pangan dan mengantaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akankah Indonesiaku tetap seperti ini? Let’s Fight For Indonesia!
ada awal penulisan artikel ini saya akan mengatakan bahwa pemerintah saat ini “kurang” memperhatikan kondisi ekonomi rakyat. Coba kita simak pada UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, terutama pada Pasal 36 ayat 5 yang mengakatakan: “Pemerintah berkewajiban untuk menciptakan iklim usaha yang sehat bagi hewan atau ternak dan produk hewan”. Jika kita cermat, maka kita akan berkesimpulan pemerintah saat ini telah terang-terangan melanggar Undang-Undang (UU). Pada pasal tersebut ada sepenggal kalimat yang mengatakan “...menciptakan iklim usaha yang sehat...”. “Sehat”, sesuatu yang sulit didapat oleh peternak kita saat ini, betapa tidak ketika UU ini ditetapkan dan disahkan pada tahun 2009 kemarin tidak kunjung membuat kondisi peternak Indonesia “sehat” alias sejahtera. Hal ini disebabkan karena para pengambil kebijakan untuk kemaslahatan 240 juta masyarakat Indonesia (pemerintah) belum mempunyai “nyali” untuk mandiri di berbagai sektor terutama sektor peternakan dan yang mencakup didalamnya seperti daging dan susu. “Iklim usaha yang sehat” seperti disinggung pada pasal 36 ayat 5 di atas hanya coretan hitam di atas putih belaka. Bagaimana tidak, ketika pasar daging di Indonesia (terutama sapi) dibanjiri oleh daging impor murah dari negeri kangguru yang telah merusak tata niaga dan harga daging di tingkat lokal. Akibatnya, para peternak selalu merugi sehingga tingkat kesejahteraannya terus menurun dan membuat peternak lokal kita menjadi terus terpuruk. Apakah kondisi seperti ini yang disiggung oleh pasal tersebut? Atau pernyataan saya yang keliru, yang menyatakan pemerintah telah melanggar UU? Coba kita kilas balik kejadian yang terjadi pada bulan Mei 2011 lalu tentang video kekerasan pada sapi yang terjadi di beberapa Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Indonesia yang berakhir pada penghentian impor sapi dari Australia ke Indonesia selama 6 bulan. Tapi nyatanya penghentian itu tidak sepenuhnya 6 bulan, hanya berlangsung selama kurang lebih satu bulan.
P
(Henry Kissinger) contoh nyata bahwa ternyata revitalisasi maupun restrukturisasi peternakan tidaklah semudah yang direncanakan. Beberapa indikasi praktek mafia peternakan di Indonesia antaranya, membanjirnya daging impor murah, terutama dari Australia, merusak tata niaga dan harga daging di tingkat lokal. Hal ini kemudian berdampak pada menurunnya pendapatan dan kesejahteraan para peternak lokal. Kalah bersaing adalah faktor yang menimbulkan keengganan untuk tetap bertahan di sektor ini. Peternak tidak mau rugi karena biaya produksi yang tinggi sedangkan harga jual yang murah. Ini menjadi ancaman cukup serius jika Indonesia tetap menjadi importir input dan teknologi peternakan untuk menggerakkan proses produksi dalam negeri dan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dalam negeri. Ketergantungan pada impor jika tidak ditunjang oleh usaha-usaha kemandirian yang produktif, akan mendorong ketergantungan semakin sulit dipecahkan. Iklim dunia peternakan akhirnya menjadi kurang menjanjikan dan membuat masyarakat mulai meninggalkan dunia peternakan. Masyarakat desa yang identik dengan dunia ternak dan dunia tani akhirnya akan jenuh dan lama kelamaan bisa saja meninggalkan kebiasaan mereka tersebut. Apabila kondisi ini terus berlangsung maka kita dapat memprediksi pudarnya eksistensi dunia peternakan beberapa dekade ke depan. Dampaknya ketika iklim usaha peternakan meredup maka secara otomatis para pemilik modal akan melirik sektor usaha lain. Akan sangat sedikit investor yang bersedia berinvestasi di dunia peternakan. Pada kondisi ini saya yakin pemerintah hanya bisa sekedar menghimbau investor untuk berinvestasi di dunia peternakan, karena sejatinya pemerintah pun tidak bisa berbuat banyak karena pemerintah sendiri tidak mempunyai cadangan devisa yang
13
Swasembada Daging 2014 Patut Dipertanyakan
“Control oil and you control the nations, Control food and you control the people” alimat di atas agaknya cocok untuk menggambarkan kondisi pertanian kita saat ini, dimana dalam berbagai sektor pertaniannya terdapat pihak tak kasat mata yang dengan bebasnya mengatur kondisi pasar dan kebijakan-kebijakan yang terangkum di dalamnya. Peternakan merupakan bagian dan salah satu komponen pembangunan di Indonesia yang sangat diperhitungkan. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar. Bahkan pemerintah pun menjadikan peternakan sebagai komponen revitalisasi pertanian di Indonesia. Ke m e n t r i a n Pe r t a n i a n menargetkan swasembada daging sapi secara bertahap pada tahun 2014. Melalui sejumlah program, penyediaan daging sapi dari dalam negeri diproyeksikan meningkat dari 67 % pada tahun 2010 menjadi 90 % pada tahun 2014. Program swasembada daging sapi pernah ditargetkan sebelumnya, yaitu pada tahun 2005, namun kemudian direvisi menjadi tahun 2010. Sejak 2006 jumlah sapi mengalami kenaikan, untuk sapi potong naik menjadi 10,9 juta ekor dari 2005 yang hanya 10,6 juta ekor. Selanjutnya pada 2007 kembali meningkat menjadi 11,5 juta ekor dan 2008 naik menjadi 12,3 juta ekor. dan terakhir pada tahun 2010 mencapai 13,6 juta ekor. Jumlah ini belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selama periode pencapaian swasembada tersebut, Indonesia masih mengimpor 40 % dari total kebutuhan dimana Australia menjadi pemegang kunci suplai kebutuhan daging Indonesia dan menargetkan hanya 10 % prosentase impor di tahun 2014 mendatang. Ekspektasi yang cukup tinggi dari pemerintah ini ternyata memiliki realita berbeda di lapangan, dan membuat berbagai pihak yang terkait kewalahan menangani hal ini. Banyaknya spekulan, baik pakan, saprodi dan lainnya yang bermain bebas dan seringkali baur dengan mekanisme pasar menyebabkan harga daging melonjak tinggi. Ini adalah satu
KATA MAHASISWA
M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
VOL 2, NO. 31, 25 OKTOBER 2011
Ahmad Daud Alamsyah Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang
Tempat/Tgl Lahir : Kayuagung, 19 September 1991 Prodi: - Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Angkatan: 2008 - Institusi: Universitas Sriwijaya, Palembang
Namun penghentian impor sapi ke Indonesia yang hanya berlangsung sekitar satu bulan tersebut langsung merugikan para peternak Australia hingga miliaran rupiah. Yang membuat Perdana Menteri Australia Julia Gillard akhirnya memutuskan memberikan bantuan kepada para peternak sapi Australia hingga AUD 30 juta (US$ 32 juta) atau sekitar Rp 288 miliar, karena rugi akibat keputusan penghentian ekspor daging sapi ke Indonesia tersebut.
enyangkan perut umat. Bangsa saat ini memang lagi mengalami kondisi “kaya” impor dan mafia. Betapa tidak, jumlah impor daging Indonesia tahun 2011 ini mencapai 72.000 ton. Ternyata angka impor tersebut belum mencukupi kebutuhan daging di negeri kaya ini, sehingga pemerintah memutuskan untuk menambah impor 28.000 ton lagi, sehingga tahun 2011 ini jumlah impor daging Indonesia mencapai 100 ribu ton (wajar kondisi ini
Sederet angka rupiah fantastis yang diberikan oleh pemerintah Australia kepada peternak lokal “negeri kangguru” yang pada saat itu sedang mengalami keterpurukan. Lantas yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan pemerintah kita sekarang, apakah “masih ada nyali” untuk membuat kebijakan dan mengimplementasikannya secara benar yang bedampak kepada kesejahteraan masyarakat banyak terutama dikalangan peternak lokal negeri ini? Memang banyak program yang dibuat pemerintah untuk kemajuan di bidang peternakan, terutama untuk menyongsong swasmbada daging 2014. Bahkan jumlah rupiah (alokasi dana) untuk program penyelamatan sapi betina produktif oleh Direktorat Jendral Petenakan dan kesehatan Hewan Kementrian Pertanian pada tahun 2011 ini mencapai angka Rp 700 milyar. Namun, angka hanya sekedar angka yang tidak berdampak kepada kesejahteraan peternak lokal Indonesia, hal ini disebabkan kaena masih “buruknya” jiwa jujur pejabat kita yang lebih doyan mengenyangkan perut sendiri dibandingkan meng-
membuat peternak kita menjerit), karena pemerintah lebih mengutamakan impor daripada pengembangan peternak lokal. Lantas bagaimana dengan praktek mafia peternakan di Indonesia? Secara sederhana saja, mafia secara kasar dapat diartikan sebagai “perampok”, kalau mau halus dapat dikatakan sebagai “penjahat umat” tinggal mau pilih redaksi yang mana kasar atau halus. Ironisnya mafia peternakan tidak hanya didatangkan dari dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Sebagai contohnya, “mafia luar negeri” Australia misalnya, berperan dalam menghambat perkembangan peternakan di Indonesia dengan cara menyulitkan impor sapi betina produktif ke Indonesia. Alhasil, pemerintah seolah-olah kehabisan ide cerdasnya untuk mengatasi permasalahan ini, padahal kita punya potensi ternak lokal yang luar biasa seperti sapi bali, sapi madura dan sapi aceh yang dapat berkembang jika dikembangkan secara intensif dengan sentuhan teknologi modern. Tentunya, tidak hanya pemerintah yang hanya berperan dalam kemajuan peternakan di
Indonesia tetapi perlu juga ide segar dari kalangan akademisi dan pihak terkait, hanya saja persentasi peran pemeritah lebih besar dibandingkan pihak lain. Belum selesai masalah “mafia luar negeri” perkembangan peternakan kita juga dihambat oleh praktek “mafia dalam negeri”. Mafia harga misalnya, saya pernah berdiskusi dengan rekan mahasiswa di Jawa Timur (sekarang sudah alumni) permainan harga sendiri dilakukan oleh anggota kelompok pedagang jual beli daging sapi sendiri, yang selisih marginnya mencapai Rp25 ribu per kg. Di tingkatan peternak sendiri keuntungan tidak mencapai angka setinggi itu, padahal peternak hulu (pembudidaya) lebih banyak mengeluarkan modal, mulai dari pemeliharaan, benih ternak hingga pemberian pakan ternak yang harganya melambung tinggi sedangkan mafia harga hanya bermodalkan “kaya modal” saja. Selain mafia harga, ada juga yang namanya mafia “ternak berdasi” yang hobinya menghabiskan uang bantuan untuk masyarakat. Meskipun belum terbukti, coba kita tinjau kembali alokasi dana yang diberikan oleh pemerintah Indonesia yang berjumlah Rp 700 milyar untuk program penyelamatan sapi betina produktif, yang jika dana tersebut benar pada proporsi penggunaan yang semestinya seharusnya Indonesia tidak lagi mengimpor daging. Tapi kondisi sekarang Indonesia masih ketergantungan dengan yang namanya impor daging terutama dari negeri kanguru tersebut. Maka wajar kalau saya mengatakan swasembada daging 2014 hanya angan-angan belaka, karena “kaya” impor dan mafia masih merajalela di tanah air ini. Meskipun surplus daging kalau didapat dari hasil impor artinya kita belum bisa swasembada daging. Sebagai penutup yang sedikit mengkritik, jika pemerintah Indonesia gagal swasembada daging pada tahun 2005, kemudian gagal lagi pada tahun 2009, yang menjadi pertanyaan akankah 2014 terjadi kegagalan yang sama? Terakhir, kesimpulan sekaligus solusi hentikan impor, berantas mafia peternakan dan manfaatkan serta hargai potensi lokal negeri ini.
14
Opini
M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
VOL 2, NO. 31, 25 OKTOBER 2011
Opini
M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
VOL 2, NO. 31, 25 OKTOBER 2011
gantung jenis dan kualitasnya, terdapat margin sekitar Rp 30 ribu per kg. Berdasarkan cetak biru Kementerian Pertanian, pada 2011 impor daging sapi dipatok sebesar 72 ribu ton. Itu berarti margin keuntungan kotor Rp 2 - 3,6 triliun buat semua pemain daging, mulai importir sampai pedagang eceran. Tak mengherankan jika kuota impor daging sapi menjadi rebutan pengusaha. Segala cara dikerahkan, termasuk mendatangkan daging impor secara ilegal.
Menyoal Sensus Ternak dan Swasembada Daging Nasional etersediaan daging sapi, baik impor maupun lokal, sangat terkait dengan ketahanan pangan nasional. Ketersediaan daging sapi sama pentingnya dengan ketersediaan beras, gula, jagung, telur, unggas, kedelai dan sebagainya yang merupakan kebutuhan manusia yang paling asasi. Pada kondisi krisis dan kritis kebutuhan lain masih dapat ditunda, tetapi kebutuhan ini tidak bisa ditawar-tawar. Terpenuhinya kebutuhan pangan bukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologis semata, tetapi terkait dengan harkat dan martabat kemanusiaan kita dalam perspektif sosial. Sulit rasanya membayangkan suatu bangsa akan maju dan berdiri tangguh jika tidak memiliki pijakan yang kuat dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan. Bisa dibayangkang bagiamana para aparat negara atau masyarakat ingin berkontribusi membangun negara jika masih berkutat dengan persoalan perut. Rawan pangan tidak hanya berdampak pada bencana kemanusiaan berupa kelaparan tetapi lebih jauh dari itu rawan pangan akan mengakibatkan kerawanan gizi yang pada gilirannya akan berakibat pada kehilangan generasi (losing generation). Dalam declaration of human right tahun 1948 dan world conference of human right tahun 1993 telah disepakati bahwa setiap individu berhak memperoleh pangan yang cukup, artinya akses atas pangan merupakan Hak Asasi Manusia (HAM). Peran pangan begitu besar sebagai bahan makanan, sumber mata pencaharian, berperan dalam perekonomian, perdagangan, bahan baku industri, sosial, budaya, termasuk politik. Karena vitalnya peran pangan dalam suatu negara sehingga pangan dikategorikan sebagai komoditi politik strategis. Dalam suatu negara yang merdeka dan berdaulat, salah satu persyaratan yang mutlak harus dipenuhi adalah berdaulat di bidang pangan. Kedaulatan merupakan substansi dari suatu kemerdekaan. Kedaulatan terkandung di-
K
Dr. Ir. Syahruddin Said, M.gr.Sc
Peneliti Bioteknologi LIPI Tempat Tanggal Lahir : Makassar , 2 Februari 1968 Pendidikan: - Ph.D. (Reproduksi Hewan), The Graduate School of Natural Science and Technology, Okayama University, Okayama 700-8530, Japan. Maret 2003 - M. Agr. (Reproduksi Hewan), The Graduate School of Natural Science and Technology, Okayama University, Okayama 700-8530, Japan, Maret 2000 - B.Agr. (Ilmu Peternakan), Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar, September 1991. Pekerjaan: - 1993- sekarang : Peneliti Bioteknologi Reproduksi, Divisi Sel dan Kultur Jaringan, Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia - 1993- sekarang : Anggota tim teknologi transfer embrio dalam The Pembibitan Sapi Tri “S” Tapos, Bogor-Indonesia - 2004-2007 : Koordinator Reproduksi Hewan dan Laboratorium Genetik, Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia - 2008- sekarang : Pemimpin Proyek Teknologi Peternakan dan Praktek Peningkatan Percepatan Produksi Daging dan Susu. A Soft Loan Project. - 2009- 2011 : Kepala Research Facility, Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI
dalamnya kemandirian, harga diri, harkat dan martabat. Mengutip pernyataan founding father Muhammad Hatta “... hanya suatu bangsa yang telah menyingkirkan perasaan tergantung saja yang tidak takut akan hari depan. Hanya suatu bangsa yang faham akan harga dirinya maka cakrawalanya akan terang benderang...”. Terkait dengan pentingnya pangan terhadap kelangsungan suatu bangsa yang berdaulat, Presiden George W. Bush dalam Future Farmers of America, 27 Juli 2001 di Washington DC menegaskan, It’s important for our nation to build – to grow foodstuff, to feed our people. Can you imagine a country that was enable to grow enough food to feed the people? It would be a nation subject to international pressure. It would be a nation risk. So when we are talking about American Agriculture, we are really talking about a nation security issue.
Konsumsi Protein Hewani Protein hewani memiliki manfaat yang cukup besar dalam membangun ketahanan pangan maupun menciptakan SDM yang sehat dan cerdas. UNICEF mengakui bahwa perbaikan gizi yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan protein memiliki kontribusi sekitar 50% dalam pertumbuhan ekonomi negara-negara
Sensus ternak
maju. Kandungan gizi yang dimiliki protein hewani, baik telur maupun daging lebih tinggi dibandingkan makanan yang paling digemari masyarakat Indonesia yaitu tempe dan susu. Protein telur sekitar 12,5%, daging ayam mencapai 18,5%, sedangkan protein nabati seperti tempe dan tahu masing-masing hanya 11% dan 7,5%. Dibandingkan negara ASEAN lainnya, konsumsi protein hewani penduduk Indonesia jauh diurutan bawah. Menurut data FAO tahun 2006 mencatat rata-rata konsumsi daging penduduk Indonesia sekitar 4,5 kg/kap/tahun, Malaysia (38,5), Thailand (14), Filipina (8,5), Singapura (28). Konsumsi telur tak jauh beda. Indonesia dengan tingkat konsumsi 67 butir/kap/tahun masih lebih rendah dibanding Thailand (93 butir) dan Cina (304 butir). Demikian juga konsumsi susu, Indonesia ada di 7 kg/kap/tahun, sementara Malaysia 20 kg/ kap/tahun, apalagi masyarakat AS, sudah 100 kg/kap/tahun. Rendahnya konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia antara lain diakibatkan oleh masih lemahnya daya beli masyarakat Indonesia. Secara ilmu ekonomi, lemahnya daya beli masyarakat Indonesia disebabkan oleh adanya tingkat pendapatan masyarakat yang rendah ditambah lagi dengan
kondisi ekonomi yang tidak menentu akibat gejolak harga internasional. Konsumsi yang rendah ini juga disebabkan adanya kasus Avian Influenza (AI) dan Flu Babi yang masih belum dapat diselesaikan de ngan tuntas ataupun isu adanya pencampuran daging sapi dengan daging lainnya, sehingga menyebabkan keengganan masyarakat untuk mengkonsumsi. Terdapat faktor lain yang juga harus diperhatikan, yaitu rendahnya sosialisasi sadar gizi sehingga tidak heran jika kesadaran masyarakat terhadap pemenuhan gizi protein hewani rendah. Oleh karena itu, pemerintah harus terus mendorong peningkatan konsumsi protein hewani sejalan dengan program perbaikan gizi masyarakat. Rendahnya asupan protein hewani pada tingkat rumah tangga beresiko terhadap munculnya kasus malnutrisi, gangguan pertumbuhan otak anak balita, peningkatan resiko sakit, terganggunya perkembangan mental, dan penurunan produktivitas pekerja. Mengingat cukup besarnya peran pangan asal hewan bagi peningkatan kualitas dan produktivitas SDM, maka pening katan konsumsinya bukan hanya tanggungjawab stakeholder peternakan melainkan berbagai stakeholder. Untuk itu perlu dikembangkan
15
Australia Vs Swasembada Daging Nasional
komitmen dan kerjasama diantara semua pihak terutama dalam bentuk kerjasama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga litbang, perguruan tinggi dan pelaku usaha.
Populasi Ternak Sapi dan Kerbau Vs Swasembada Daging Nasional Hasil sementara sensus ternak Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011 memperlihatkan bahwa ternak sapi potong cukup melimpah dimana jumlah sapi potong mencapai 14,43 juta, kerbau 1,27 juta, dan sapi perah 574 ribu ekor. Sehingga jumlah keseluruhan sekitar 16,3 juta ekor. Hasil akhir sensus akan dipublikasikan oktober 2011. Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan menilai, dengan hasil tersebut maka Indonesia sudah dapat dikatakan swasembada. Maksud swasembada, jelasnya, yakni 90 persen pemenuhan kebutuhan berasal dari sapi lokal, sedang sisanya impor. Dalam suatu seminar nasional Peran IPTEK Reproduksi dalam Mendukung Ketersediaan Daging dan Susu Nasional di Bogor 6 oktober 2011 terungkap bahwa sekitar 60-70% populasi ternak potong berada di pulau Jawa padahal di sisi lain kita mengetahui bahwa kantong-kantong ternak potong berada di kawasan timur Indonesia. Terkonsentrasinya
sapi potong di Pulau Jawa karena sensus ternak juga mendata ternak yang ada di feedloter atau ternak impor juga didata. Anehnya populasi ini menjadi dasar untuk swasembada. Kalau ternak impor juga disensus maka tidak perlu menunggu 2014 untuk swasembada, tinggal mengipor sapi 1,5 sampai 2 juta ekor sudah swasembada. Data hasil sensus ternak terkesan sangat politis, ingin menunjukkan bahwa pemerintah telah berhasil membangun peternakan di Indonesia dengan menunjukkan data pertumbuhan yang secara signifikan meningkat. Padahal peningkatan tersebut karena peningkatan impor sapi bakalan dan daging. Data tersebut sungguh menyesatkan. Boleh dibayangkan betapa data base peernakan kita sangat lemah, dan bisa dibayangkan pula ketika data tersebut dijadikan dasar dalam membuat program, yakin bahwa dilevel implementasi tidak dapat dilaksanakan. Dan kondisi itulah yang terjadi. Terkait swasembada daging yang harus dicermati bahwa jumlah ekor ternak dan daging yang diimpor setiap tahun telah menjadi acuan atau dasar jumlah kekurangan populasi ternak untuk swasembada. Maksudnya karena kita mengimpor sekitar 700 ribu ekor sapi hidup dan 119 ribu ton daging pada
tahun 2010 kalau dikonversi ke sapi hidup sekitar 700 ribu ekor sehingga diasumsikan dengan sederhana bahwa jika populasi bertambah 1,4 juta ekor maka kita sudah swasembada. Program swasembada daging nasional ini yang harus dipahami bahwa sapi asli Indonesia (sapi bali, pesisir, PO, madura) mendominasi lebih dari 50 % populasi. Sapi-sapi tersebut postur tubuhnya relatif lebih kecil dari sapi jenis persilangan atau sapi yang diimpor. Sehingga prediksi terhadap produksi daging tentu lebih kecil, oleh karena itu perlu adanya perhitungan tentang prediksi produksi daging sapi lokal, agar terukur benar dan benar-benar swasembada sapi dan bukan swasembada semu. Selanjutnya kantong-kantong ternak sapi potong adanya di kawasan timur Indonesia sedangkan konsumen daging terkonsentrasi di pulau Jawa sehingga distribusi dan transportasi harus diperbaiki. Kenyataan menunjukkan bahwa mengangkut ternak dari Nusa Tenggara Timur itu lebih mahal dibanding dari Darwin Australia. Di tengah kabar gembira hasil sensus ternak 2011, rupanya hal yang sangat mengerikan ketika komoditas ternak dimasukkan atau dicampuraduk dengan kepentingan politik seperti diulas di majalah min-
gguan Tempo edisi 6 sampai dengan 12 Juni 2011. Memang disadari bahwa pemenuhan kebutuhan daging nasional menyangkut hayat hidup masyarakat Indonesia, harkat dan martabat bangsa sehingga sulit dipisahkan dengan politik. Tetapi jika urusan ketersediaan pangan ini para politisi ikut bersaing dengan para pedagang dan pemcari rente maka urusannya akan menjadi lain. Bisa dibayangkan ketika mereka berkolusi dengan pedagang dan pemerintah negara pengekspor sapi. Kalau kondisi seperti ini tidak segera diperbaiki, maka populasi ternak tidak ada hubungannya dengan swasembada karena ternak sapi tidak menjadi komoditi yang harus dibudidayakan melainkan telah menjadi komoditi dagang. Hal ini diperkuat dengan keluarnya kebijakan impor daging menjadi kewenangan Kementerian Perdagangan, besarnya kuota impor menjadi wewenang Menko Ekonomi sedangkan Kementerian Pertanian hanya bertindak sebagai “konsultan”. Bisnis daging impor memang lumayan menggiurkan. Seorang importir membeli daging impor dengan harga rata-rata Rp 40 ribu per kilogram. Di supermarket, pasar tradisional, atau perhotelan Indonesia, daging impor ini dijual Rp 60-70 ribu per kg, ter-
Indonesia merupakan salah satu pangsa pasar terbesar produk peternakan dan keberhasilan dari program swasembada daging akan mengancam stabilitasi ekspor produk ternak Australia. Selanjutnya tiga negara produsen jeroan sapi, yakni Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat melakukan protes atas kebijakan pemerintah Indonesia yang akan mengurangi dan melarang impor jeroan dari negara tersebut. Kekhawatiran mereka terkait dengan bisnis dimana 70 persen produk peternakan baik daging maupun sapi hidup dari Australia dipasok ke Indonesia. Pada tahun 2009 realisasi ekspor sapi hidup dari Australia mencapai 700.000 ekor naik dari 2008 yang hanya 620.000 ekor. Perlu saya sampaikan bahwa jika jeroan berupa jantung diimpor dalam jumlah besar ribuan bahkan jutaan buah jantung, yakinkah kita bahwa seluruh jeroan itu diambil dari ternak yang dipotong berdasarkan standar kehalalan? Saya pikir bahwa ini juga menjadi kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Badan POM untuk memastikan bahwa jeroan-jeroan tersebut halal untuk dikomsumsi.
REFERENSI 1. Arief Daryanto. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB Pres. Bogor 2009. 2. Mohammad Jafar Hafsah. 2011. Mewujudkan Indonesia Berdaulat Pangan. PT. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta 2011. 3. Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. 2006. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta 4. Agus Pambagio. Politik Ketahanan Pangan Vs Sapi Australia. Jurnal Medan, 17 Juni 2011. 5. Sunudyantoro, Agoeng Wijaya, Retno Sulistyowati, Angga Sukma Wijaya. Partai Putih di Pusaran Impor Daging. Tempo edisi 6 Juni 2011.
V O L 2 , N O. 3 1 , 2 5 O K TO B E R 2 0 1 1 M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
VOL 2, NO. 31, 25 OKTOBER 2011
16
INSPIRATOR
M E M B AWA P E N C E R A H A N B A N G S A
Fani Darmagita: ”Jadi Peternak Karena Hoby” Berawal hidup di lingkungan orangtuanya yang berprofesi sebagai dokter gigi di Malang, Jawa Timur dan memiliki hoby berternak dan tani itu, pria satu anak ini juga mengikuti jejak ayahnya yang memiliki hoby beternak sapi. etelah jebol dari Fakultas Teknik Kimia Universitas Indonesia (FTUI) tahun 2004, Fani Darmagita langsung bekerja di perusahaan swasta layaknya pemuda yang baru lulus dari bangku kuliah. Suatu ketika, saat membaca berita di koran bahwa Indonesia mengimport sapi untuk memenuhi kebutuhan daging domestik, peluang ini langsung ditangkap Fani. ”Ini adalah peluang besar untuk berwiraswasta,” kenangnya. Gayung bersambut. Rekan kuliahnya pun mengajak usaha ternak dan penggemukan sapi (feedlot). Dengan bermodalkan senilai Rp 150 juta untuk membangun kandang dan fasilitas serta pembelian delapan ekor sapi potong impor. ”Saya mulai terjun di bisnis penggemukan sapi sejak Idul Fitri tahun 2009,” tukas pria kelahiran Medan, 25 Februari 1980. Baru berjalan dua bulan usahanya itu, Fani sudah merasakan enaknya jadi peternak. Di lahan familinya (Pak De, red) di Kelurahan Pedurenan, Kecamatan Mustika Jaya, Kotamadya Bekasi atau 3 km dari pasar Bantar Gebang dengan luas kurang lebih 2.200 meter persegi, sebagian sapi tersebut laku dijual saat Idul Adha 2009 dan memberikan keuntungan yang cukup besar. Namun yang namanya usaha, suka dan dukanya tentu akan dirasakan. Seperti halnya di peternakannnya, tiap hari harus siap dengan ketersediaan pakan ternak maupun obat-obatan serta vitamin. Penyediaan pakan juga menjadi kendala karena di sekitar Jakarta dan Bekasi penyedia pakan sapi yang bagus jumlahnya terbatas dan pebelian harus dalam jumlah besar. Pakan yang tersedia di daerah seperti Bogor dan
S
Bandung juga tidak bisa dijamin kualitasnya. Penanganan kesehatan sapi juga menjadi masalah karena jumlah dokter hewan dan mantri yang menangani sapi sangat terbatas dan lokasinya cukup jauh dari kandang ternaknya. Begitu juga dengan tenaga ahli inseminasi buatan yang jasanya cukup tinggi. ”Jujur saja Mas, sampai saat ini saya masih merugi. Dan operasioanalnya masih disubsidi dari gaji saya. Paling kalau mau untung saat-saat musim hari raya qurban seperti sekarang ini,” kilah peternak yang juga masih bekerja di perusahaan swasta asing. Untuk biaya operasiol sehari-hari, wajar saja Fani selain keluar langsung dari koceknya, ia pun menggantungan pada penjualan susu segar yang sudah dimulai sejak bulan April lalu. Pakan sapi dibuat sendiri dengan bahan yang diperoleh dari rekan-rekan peternak yang lebih besar, tentunya dengan harga yang lebih tinggi. Fani pun berusaha belajar menangani kesehatan sapi dan perawatan sapi yang sakit dari buku dan internet serta dari rekan-rekan sales obat hewan dan peternak yang
mau berbagi. ”Ke depannya saya akan mengikuti pelatihan inseminasi buatan agar dapat memenuhi kebutuhan ternak saya sendiri dan mungkin akan bisa berguna juga untuk petani di sekitar peternakan saya,” harap Fani. Selama perjalanan dua tahun membuka usaha peternakan sapi ini, jumlah ekor yang pernah dicapai Fani pernah di angka 50 ekor. Saat ini di kandangnya dari pengamatan INSPIRASI, terdapat 20 ekor sapi dengan dua betina, dua anak betina dan 16 ekor sapi jantan berbagai jenis. Untuk mengejar keuntungan yang instan dan cepat, saat ini Fani juga memfokuskan penjualan sapi potong untuk kurban dengan pemasaran melalui internet karena biaya yang murah, harga yang cukup tinggi dan pembayaran tunai, karena pada umumnya pembelinya adalah konsumen akhir. Keunggulan di peternakannya yang diberi nama Peternakan Taurus itu didirikan pada tanggal 7 Agustus 2009 lalu, sistem penjualan sapi langsung ditimbang hiduphidup bukan dipotong.
BIODATA Nama TTL Satus Pendidikan Pekerjaan
: Fani Damargita : Medan, 25 Februari 1980 : Menikah anak 1 : Sarjana Teknik Kimia (FTUI) : - Karyawan Swasta di PMA - Peternak Sapi
Diakui oleh Fani Darmagita, peternakannya memang belum menjadi peternakan besar, dan Fani pun belum berani untuk mensuplai kebutuhan RPH (Rumah Potong Hewan) secara rutin karena jumlah sapi masih terbatas. Sejatinya, Fani tetap berusaha keras untuk memaksimalkan usahanya dengan mengaplikasikan Standar Manajemen Mutu ISO 9001 sehingga dapat memberikan pelayanan yang optimal, mencapai target produksi dan melampaui target penjualan. Untuk menjamin kepercayaan dan kepuasan pelanggan, Fani melakukan pula pengujian
timbangan ternak sebelum dan sesudah digunakan selain kalibrasi rutin yang diadakan tiap 6 bulan. Fa n i b e r s a m a Pe t e rnakan Taurus akan terus melakukan perbaikan berkesinambungan sehingga pada akhirnya peternakan ini akan dapat menyediakan produk-produk terbaik berupa bakalan sapi, sapi potong, daging, susu dan kompos, serta dapat memberikan peran aktif di bidang pendidikan, pariwisata dan lingkungan hidup. Sebagai bukti peningkatannya, pada Idul Adha tahun 2010 Fani sudah mengirimkan 15 ekor sapi dan puluhan ekor kambing ke para pelanggan bila dibanding tahun pertama pembukaan usaha peternakan. Disamping mengirimkan sapi dan kambing ke pelanggan, pada tahun lalu juga melayani pemotongan sapi kurban di lokasi. Dengan menambahkan biaya Rp 400 ribu dan pelanggan dapat langsung menerima daging sapinya dalam kantong plastik sesuai berat yang diminta berikut seluruh bagian sapi lainnya. Pengalaman ini sudah terlaksana di tahun 2010 lalu sebanyak tiga ekor sapi dengan berat sekitar 300 kg.